Anda di halaman 1dari 26

STUDI TAFSIR

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Studi Islam

Disusun oleh :

AVIANI ANWAR 11160820000095


SANIA PRICILLYA GUNAWAN 11160820000100
SILVI YULIANI 11160820000119

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………............ 1

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah………………………………………………………….... 3
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………….. 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir….......................................................................................... 4
B. Sejarah Perkembangan Tafsir......................................................................... 5
C.A. Pedoman Penafsiran Serta Pentingnya Ilmu Tafsir Dalam Memahami
B. Al-Qu’an…………………………………………………………………… 8
D. Metode Tafsir……………………………………………………………...... 10
D.1 Metode Ijmaliy........................................................................................ 10
D.2 Metode Tahliliy....................................................................................... 11
D.3 Metode Muqaran..................................................................................... 12
. D.4 Metode Maudlu’iy.................................................................................. 14
E. Corak Tafsir……………………………………............................................ 16
E.1 Corak Sufi............................................................................................... 16
E.2 Corak Fiqh............................................................................................... 17
E.3 Corak Lughawi....................................................................................... 18
E.4 Corak Adhabi Ijtima’i.............................................................................. 18
E.5 Corak Falsafi…………………………………………………………… 19
E.6 Corak Ilmi…………………………………………………………….... 20
E.7 Corak Teologi………………………………………………………….. 21

BAB III SIMPULAN


A. Simpulan......................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………... 24
KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Studi Tafsir”. Tak lupa
shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.

Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui
berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad
lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran
keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Studi tafsir Al Qur’an,
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.

Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Saya sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Jakarta, 8 Desember 2016

Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral, bukan hanya dalam
perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke-islaman namun juga merupakan inspirator,
pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang sejarah. Kitab suci ini diturunkan Allah kepada
nabi pamungkas, Muhammad Saw lengkap dengan lafal dan maknanya, diriwayatkan secara
mutawatir, memberi faedah untuk kepastian dan keyakinan, ditulis dalam kitab suci mulai awal
surat al-fatihah sampai akhir surat an-Nas (Mushaf Usmany), diperintahkan untuk disampaikan
kepada umatnya, sebagai pedoman dan tuntunan hidup bagi umat manusia. Dasar dari ajaran islam
yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan
dapat dijumpai dalam sumbernya yang asli di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Quraish Shihab
menyebutkan bahwa agama Ialam mempunyai satu sendi utama yang esensial, yaitu alquran yang
berfungsi memberikan petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Studi Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan penafsiran Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam yang berlaku sepanjang
zaman tidak akan pernah habis dan selesai untuk dibahas. Inilah yang membuktikan kemukjizatan
Al-Qur’an sekaligus perbedaan Al-Qur’an dengan kitab suci lainnya. Pengkajian studi ini
sangatlah penting bagi umat islam khususnya, agar dapat mengetahui berbagai hal yang
terkandung di dalam kitab suci tersebut.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk
untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan.
Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi
ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat
dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.

2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Tafsir?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tafsir?
3. Apa Pedoman Penafsiran Serta Bagaimana Pentingnya Ilmu Tafsir Dalam Memahami Al-
Qur’an?
4. Apa Sajakah Metode Penafsiran Yang Digunakan Mufassir Dalam Memahami Al-Qur’an?
5. Corak Apa Saja Yang Digunkan Mufassir Dalam Menafsirkan Al-Qur’an?

C. RUMUSAN MASALAH
1. Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam
2. Mengetahui Pengertian Dari Tafsir
3. Mengetahui Sejarah Perkembangan Tafsir
4. Mengetahui Pedoman Penafsiran Serta Pentingnya Ilmu Tafsir Dalam Memahami Al-Qur’an
5. Mengetahui Macam-Macam Metode Tafsir
6. Mengetahui Macam-Macam Corak Tafsir

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu
penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan
(wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan ak-kasyf yang
berarti membuka atau menyingkap; dan dapat pula diambil dari kata al-tasfarah, yaitu istilah yang
digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Sedangkan Ilmu tafsir berasal dari kata ilmu dan tafsir. Ilmu menurut Raghib al-ashfihani
adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Sedangkan Tafsir menurut bahasa berarti
menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Jadi ilmu
tafsir adalah ilmu untuk menjelaskan atau menerangkan makna yang abstrak (tersembunyi).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang di definisikan oleh Abu Hayyan, tafsir adalah
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal Al-Qur’an, tentang petunjuk-
petunjuknya, dan hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun serta hal-
hal lain yang melengkapinya. Azzarkasi berpendapat, tafsir adalah ilmu untuk memahami
kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Menurut assuyuti sebagian Ulama berpendapat tafsir adalah ilmu (membahas) turunnya
ayat, surat dan kisah-kisahnya, isyarat diturunkannya ayat, urutan makiyyah-madaniyyahnya,
muhkam-mutasyabihnya, nasakh mansukhnya, khas-‘amnya, muthlaq-muqyyadnya, global-
rincinya, ada yang menambahkan petunjuk haram-halalnya, ancaman-janjinya, perintah-
larangannya, perumpamaan-perumpamaannya.
Jadi ilmu tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk mengetahui-memahami maksud al-
Qur’an, menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya, yang disandarkan kepada
ilmu bahasa dan sastra, usul fiqh, ilmu qiraa’at, asbab nuzul, dan nasakh-mansukh. Sementara
Ulama mendefinisikannya dengan lebih ringkas atau lebih panjang tetapi tetap mencakup point-
point tersebut. Pendapat ini penulis kutip dari Syaikh khalid abd al-rahman al-‘akk.
Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama tafsir:
1. Di lihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Alquran) yang di dalamnya
terkandung firman Allah Swt yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw
melalui malaikat Jibril.

4
2. Dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan
Alquran sehingga dapat di jumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di
dalamnya.
3. Dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir
yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat
dapat di tinjau kembali.
Jadi, kebutuhan akan tafsir itu mutlak diperlukan untuk menjelaskan makan-makna yang
tersirat dari al-Qur’an tersebut, karena makna tersirat atau pesan yang ada di dalam ayat itu jauh
lebih urgen dari makna tersuratnya. Bahkan seiring perkembangan zaman kebutuhan akan
penafsiran ulang terhadap teks-teks tertentu sesuai kebutuhan zaman tidak bisa dielakkan,
tentunya setelah kita menelaah karya-karya ulama klasik. Jadi sangat terbuka lebar bagi kita untuk
mengkaji karya-karya klasik yang kemudian kita tarik benang merahnya dan kita analogikan
dengan situasi, kondisi, domisili dan berbagai hal di lingkungan masing-masing.bisa jadi dengan
penalaran kita yang jernih kita mampu menemukan sesuatu yang baru yang belum pernah
ditemukan para pendahulu kita atau kita mengembangkan apa yang telah dirintis oleh mereka.
Maka menurut, Quraish Shihab pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran, melalui penafsiran-
penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR


B.1. Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan
ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-
Quran. Bila pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak
jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya
mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin
Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab

5
yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain.
Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
a. Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu
'Abbas.
b. Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada
Ubay bin Ka'ab.
c. Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah
bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-
sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir
bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H,
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan
bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu
perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah
terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu
kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan
bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh
'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain,
dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-
Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.

6
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup
dalam interpretasi tunggal."

B.2. Tafsir di Masa Tabi’in


Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu
tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah,
Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti
tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas
r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu
juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir
seperti Zaid Ibnu Aslam.”
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad ada pula yang
menolaknya.
Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-
Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan
sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan
Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang
ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka
menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir
saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.

B.3. Tafsir pada Masa Tadwin


Masa tadwin (Pembukuan) ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu
mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari
para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum
tersusun sesuai dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan
hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis
bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis
dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu
Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.

7
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya
dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang
pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia
melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-
muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang
pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran.
Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.

C. PEDOMAN PENAFSIRAN SERTA PENTINGNYA ILMU TAFSIR DALAM


MEMAHAMI AL-QUR’AN
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dapat juga dipergunakan hadits asalkan hadits itu
benar-benar dapat dan tidak bertentangan dengan keterangan yang terdapat didalam Al-Qur’an.
Sekalipu hadits tersebut dikatakan sahih, tetapi jika bertentangan dengan keterangan yang ada
didalam Al-Qur’an maka hadis itu tidak dapat dipergunakan.
Karya-karya tafsir yang sudah ada tidak dapat diperlakukan sebagai puncak tafsir yang
tidak boleh dilangkahi lagi, karena sikap yang semacam ini akan menutup rapat penggalian dan
pengeluaran ilmu yang bertimbu-timbun terpendam di dalam Al-Qur’an itu. Mutu karya tafsir
ditentukan oleh keluasan dan kedalaman ilmu yang dikuasai oleh penafsirannya. Kemajuan ilmu
akan memberikan cahaya baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Karena itu karya-karya tafsir dari
generasi silam mungkin sekali dan diatasi oleh karya tafsir dari generasi mendatang.
Karya-karya tafsir dari generasi silam itu banyak berisikan dongeng-dongeng dan
kebanyakan diambil dari sumber-sumber Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, tidak dapat
diterima begitu saja melainkan harus diperiksa dengan sangat teliti dan disaring dengan sangat
seksama. Al-Qur’an tidak membawakan alam pikiran ilmiah, kritis analitis, menukik dan
menghujam dalam membongkar fakta demi fakta untuk menemukan kebenaran.
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan benar, maka harus diperhatikan petunjuk-
petunjuk dan peringatan-peringatan yang telah diberikan oleh Al-Qur’an itu sendiri. Petunjuk-
prtunjuk yang menjadi landasan dalam hal menafsirkan Al-Qur’an itu adalah:
Pertama, Dialah yang menurunkan kepadamu kitab yang di dalamnya terdapat ayat-ayat
yang jelas dan tegas, inilah yang menjadi teras dan kitab itu dan yang lainnya adalah ayat-ayat
yang memberikan ungkapan dalam bentuk kiasan. Orang-orang yang didalam jiwanya terdapat
kecenderungan kepada penyelewengan, menuruti bagian yang mengandung ungkapan kiasan itu

8
untuk mengadakan penyelewengan dan memberikan penafsiran semaunya sendiri. Padahal tidak
ada yang mengetahui pengertiannya yang sebenarnya melainkan Allah dan orang-orang yang
berilmu dengan landasan yang kuat dan mereka mengatakan;
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”
(QS Ali-Imran ayat 7).
Petunjuk yang kedua, adalah:
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya” (QS An-
Nisaa’ ayat 82).
Pedoman dalam menafsirkan Al-Qur’an dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Prinsip-prinsip dalam Islam dinyatakan didalam Al-Qur’an dengan kata-kata yang jelas
dan tegas. Oleh karena itu, tidak boleh membuat suatu dalil atas dasar ayat yang
mutasyabih, ayat dengan kata-kata yang mempunyai pengertian yang beraneka ragam.
b) Kejelasan suatu ayat Al-Qur’an harus dicari dari dalam Al-Qur’an itu sendiri, karena apa
saja yang dinyatakan ringkas pada suatu tempat, terdapat penjelasan yang luas dan lengkap
di bagian lain dalam Al-Qur’an itu juga.
c) Penafsiran terhadap ayat-ayat dengan kata-kata kiasan harus serasi dengan ayat-ayat
dengan kata-kata yang jelas dan tegas.
d) Bila telah terdapat suatu penggarisan hukum atau prinsip yang dinyatakan dengan kata-
kata yang jelas dan tegas, maka keterangan yang menimbulkan keraguan harus ditafsirkan
menurut hukum atau prinsip yang jelas dan tegas itu. Demikian juga hal-hal yang bersifat
khusus dibaca dan dihubungkan dengan penegasan yang lebih umum.
Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia,
karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan tafsir
membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir
membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di
samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali
dengan mengetahui makna-maknanya.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an
agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih.

Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu
kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fikih.

9
Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran agama yang
sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok
kajiannya adalah Kalamullah.

D. METODE TAFSIR

D.1. Al-Tafsir Al-Ijmaliy (Global)


Secara harfiah, kata ijmali berasal dari kata ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu
secara tidak terperinci. Kata Ijamali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisarm global, dan
penjumlahan. Tafsir ijmali adalah penafsiran al-Quran yang dialakukan dengan cara
mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global),
tampa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.
Dengan metode ini, mufasir berupaya menjelaskan makna-makna al-Quran dengan uraian
singkat dan yang mudah. Sehingga dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang
berpengatahuan sekedarnya sampai orang berpengetahuan luas.
Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Quran dengan
kosa kata yang berada didalam al-Quran sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian
tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung
dalam al-Quran. Secara garis besar metode tafsir inti tidak berbeda dengan metode medel
pendekatan analisis. Letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau
metode analisis operasional penafsirannya tampak hingga mendetail, sedangkan metode global
tidak. Uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit. Ciri-ciri yang
nampak pada metode ijmali adalah mufassirya langsung menafsirkan al-Quran dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
Adapun kelebihan dari metode ijmali ini antara lain:
a) Praktis dan mudah difahami
b) Bebas dari penafsiran israiliyat
c) akrab dengan bahasa al-Qur’an
Kekurangan-kekurangan dari metode ijmali ini antara lain:
a) Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial (terbagi tapi tidak mendalam).
b) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memedai.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat al-
Quran. Selain itu mufassir juga mengkaji dan menyajikan dan menyajikan sebab turunnya ayat
melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Tafsir ijamali biasanya,

10
menjelaskan makna ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan
urutan mushaf usmani. Adapun kitab-kitab tafsir dengan metode ijmalii adalah:
1. Tafsir al-Jalalain, karya jalal al-Din al-Sayuthi dan jalal al-Din al-Mahalli.
2. Shofwah al-Bayan lima’ani al-Quran, karya Sheikh Husnain Muhamma Mukhlaut.
3. Tafsir al-Quran Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Majdy.
4. Tafsir al-Wasith, karya Tim Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Penelitian- Islam)
Al-Azhar Mesir.
5. Taj al-Tafasir, karya Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.

D.2. Al-Tafsir Al-Tahliliy (Analisis)


Kata tahlili berasal dari bahasa arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti mengurai atau
menganalisa. Tafsir rahlili ialah menafsirkan al-Qur’an berbasarkan susunan ayat dan surah
yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini
menganalisis setiap kosa kata atu lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek
bahasa meliputi keindahan susunan kalimat ijasz, badi’, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz,
kinayah, isti’arah. Dan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum,
aqidah, moral, perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain
sebagainya. Selanjutnya metode Tahlily merupakan metode tafsir al-Quran yang dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran dilakukan dengan cara urut dan tertib ayat dan surah sesuai
dengan urutan yang terdapat dalam mushaf, yakni dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Al
Imran dan seterusnya hingga surat an-Nas. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
metode tafsir tahlily merupakan penafsiran ayat al-Quran dengan cara berurutan sesuai urutan
surah yang ada pada al-Quran, dengan cara menganalisis dari semua aspek, baik dari segi kosa
kata, lafal dari aspek bahasa, serta makna.
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tahlily adalah metode paling lama.
Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas
beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakatanya saja.
Dalam penjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang
mencakup seluruh isi al-Quran. Oleh karena itu akhir abad ke-3 dan pada awal abad ke-4 H
(10 M), ahli tafsir ibnu majah, al-Thabari mengkaji seluruh isi al-Quran dan membuat model-
model paling maju dari tafsir tahlily ini.
Adapun kelebihan dari metode tafsir tahlily ini adalah:
a) Ruang lingkupnya luas
b) Dapat memuat berbagai macam ide

11
Sedangkan kelemahan dari metode tafsir yahlily ini adalah:
a) Menjadikan petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian).
b) Melahirkan penafsiran yang subjektif.
c) Kajiannya tidak mendalam.
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahlily di uraikan, yang tahapan
kerjanya yaitu dimulai dari:
1. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan
sebagaimana urutan dalam al-Quran, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-
Nass.
2. Menjelaskan asbab an-Nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang
diberikan oleh hadist (bir Riwayah).
3. Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya
atau sesudahnya.
4. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan
keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadis Rasulullah Saw
atau dengan mengguanakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai
sebuah pendekatan.
5. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu
masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.

Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah:


1. Tafsir al-Quran al-‘Azhim, karya Ibn Katsir.
2. Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawiy al-Bantaniy.
3. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim (Tafsir al-Thabari), karya Ibn Jarir al-
Thabari.
4. Ma’alim al-Tanzil, karya al-Baghawi.
5. Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya al-Suyuthi.

D.3. Al-Tafsir Al-Muqaran (Perbandingan/Komparasi)


Secara harfiah, muqaran berarti membandingkan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti
suatu metode atau teknik menafsirkan al-Quran dengan cara membandingkan pendapat
seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejulah ayat. Tafsir muqaran yaitu
membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antaua ayat dengan hadis.

12
Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis. Nasharuddin
baidah berpendapat bahwa tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran atau
suatu surat tertentu denan cara membandingkan antara ayat dengan ayat dengan ayat atau
surah dengan hadis, atau antara pendapat ulama dengan ulama tafsir dengan menonjolkan
aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang membandingkan.
Ada beberapa tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir muqaran yang
membandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu:
a. Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b. Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian
ayat tersebut.
c. Melakukan analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir dengan
menjelaskan corak penafsirannya. Apakah bercorak bi al-ma’tsur, bi ra’yu dan lain
sebagainya.
d. Menentukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak
penafsiran yang tidak dapat diterimanyaa. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan
sejumlah argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang lainnya.
Tafsir muqaran memiliki kelebihan yaitu, bersifar objektif, kritis dan berwawasan
luas. Sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataannya bahwa metode
tafsir muqaran tidak bisa di gunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran seperti
halnya pada tafsir ijmali dan tahlili. Sedangkan pendapat lain juga mengelompokkan
kelebihan dan kekurangan dari metode ini, adapun kelebihannya antara lain:
a) Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luasi bagi para pembaca dari
metode-metode lain.
b) Membuka pintu untuk bersikap toleran atas pendapat-pendapat yang berbeda
mengenai suatu permasalahan.
c) Mendorong seorang penafsir untuk mengkaji penafsiran-penafsiran ulama lain
mengenai suatu ayat ataupun dalam suatu permasalahan.
Sedangkan kekurangannya antara lain:
a) Penafsiran dengan metode ini tidak cocok untuk pemula.
b) Penafsirannya kurang dapat memecahkan permasalahan yang ada ataupun sedang
dihadapi.
c) Cenderung hanya melihat penafsiran-penafsiran ulama terdahulu sehingga tidak
mengahasilkan penafsiran-penafsiran baru.
Objek kajian tafsir ini dikelompokan menjadi tiga:

13
1. Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Mufassir membandingkan ayat al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang
memiliki persamaan dengan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang diduga
sama. Objek kajian tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Quran
bukan dalam bidang makna.
2. Perbandingan ayat al-Quran dengan Hadis
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda
atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai
hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadits
dhaif tidak dibandingkan karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin
tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran. Setelah itu mufassir melakukan
analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.
3. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan
diantara hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-
masing. Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain,
mufassir berusaha mencari, mengali, menemukan, dan mencari titik temu diantara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah
membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Muqarrin

1. Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwil, karya al-Iskafi (yang terbatas pada


perbandingan antara ayat dengan ayat).
2. al-Jami’ li Ahkam al-Quran, karya al-Qurthubiy (yang membandingkan penafsiran
para mufassir).
3. Rawa’i al-Bayan fî Tafsir Ayat al-Ahkam, karya ‘Ali ash-Shabuniy .
4. Qur’an and its Interpreters (salah satu karya tafsir yang lahir di zaman modern ini),
karya Profesor Mahmud Ayyoub.

D.4. Al-Tafsir Al-Maudlu’iy (Tematik)


Tafsir maudhu’i yaitu menafsirkan al-Quran dengan langkah-langkah tertentu yang
dimulai dengan menentukan topik sampai memberikan kesimpulan atau jawaban akhir bagi
permasalahan yang dibahas. Arti dari kata maudhu’i adalah topik atau materi suatu
pembicaraan atau pembahasan secara tematik. Jadi tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang
membahas masalah-masalah al-Quran yang memiliki kesatuuann makna atau tujuan dengan
14
cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan)
untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya serta
menghubung-hubungkannya antara satu dengan yang lain.
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan mmasalah tersebut.
3. Mengurutkan tertib, sebab turunnya ayat berdasarkan masa turunnya.
4. Mempelajari penafsiran al-Quran yang telah dihimpun.
5. Kemudian mufassir mengarahkan pembahasan kepada metode tafsir ijmali dalam
memaparkan berbagai pemikiran.
6. Membahas unsur-unsur dan makna-makna serta mengkaitkannya sedemikian rupa
berdasarkan metode ilmiah yang sistematis.
7. Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Quran terhadap topik permasalahan
yang dibahas.
Adapun kelebihan/keistimewaan dari metode tafsir maudhu’i antara lain:
a) Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
b) Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam
menafsirkan al-Quran.
c) Kesimpulan yang mudah dipahami.
d) Metode ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat
yang bertentangan dalam al-Quran.
e) Menjawab tantangan zaman
f) Praktis dan sistematis
g) Dinamis
h) Membuat pemahan menjadi utuh.
Selain kelebihan diatas, metode tafsir maudhu’i mempunyai kekurangan yakni:
a) Memenggal ayat Al-Quran.
b) Membatasi pemahaman ayat.

Sebagian kitab-kitab tafsir yang memakai metode maudhu’i antara lain sebagai berikut:
1. Al-Mar’ah fi al-Quran dan Al-Insan fii al-Quran al-Kariim, karya Abbas Mahmud al-
Aqqad
2. Ar-Ribaa fii al-Quran al-Kariim, karya Abu al-‘A’la al-Maududiy
3. Rawa’i al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam, karya ‘Ali ash-Shabuniy

15
4. Al-Washaayaa al-‘Asyr, karya Syaikh Mahmud Syalthut
5. Tema-tema Pokok al-Quran, karya Fazlur Rahman
6. Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, karya M. Quraish
Shihab

E. CORAK TAFSIR
Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu
laun yang arti dasarnya warna. Corak penafsiran yang dimaksud di sini ialah nuansa khusus atau
sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.
Tafsir al-Qur`an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan
ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur`an
adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di
antara Para Ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Disini kami
menjelaskan ada tujuh corak penafsiran yang relatif digunakan para musafir dalam menafsirkan
Al-Qur’an, walaupun seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan timbulnya
corak-corak baru dalam ruang lingkup penafsiran Al-Qur’a, diantara tujuh corak itu adalah Tafsir
Bercorak Sufi, Fiqh, Lughawi, Adhabi, Falsafi, ‘Ilmi, dan Teologi.

E.1. Tafsir Bercorak Sufi


Tafsir bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari
apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila corak
penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal
turunnya al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran
ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an melalui sumber-sumber Islam yang
disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin.

Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:


1) Tafsir Sûfî Isyârî, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil, yakni penafsiran yang
bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya
antara penafsiran yang batini dengan kenyataan lahiriah.

16
2) Tafsir Sûfî Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan
dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî tidak dibangun atas dasar
premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah rûhiyyah, yaitu latihan-latihan
spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk
melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Salah satu contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah:

1) Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H);


2) Haqâ’iq al-Tafsīr, karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H);
3) Lathâ’if al-Isyârah, karya al-Qusyairi, dan
4) ‘Arâ’is al-Bayân fī Haqâ’iq al-Qur`ân, karya al-Syirazî (w.606)

E.2. Tafsir Bercorak Fiqhî


Tafsir bercorak fiqhî ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya,
atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran. Tafsir semacam
ini seakan-akan melihat al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-
undangan, atau menganggap al-Qur`an sebagai kitab hukum.
Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsûr, corak tafsir fiqhî juga muncul
pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di
antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan
pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah
masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Dan seiring masa pembentukan madzhab,
beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-
hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab
melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur`an dan al-
Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan
hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa
hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan
argumentasi.
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhî adalah
karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita
menemukan tafsir fiqhî sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh

17
para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan
membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhî adalah,
1) Ahkâm al-Qur`an, karya al-Jassâs (w. 370 H);
2) Ahkâm al-Qur`an, karya Ibn al-‘Arabî (w. 543 H); dan
3) Al-Jâmi‘ li ahkâm al-Qur`an, karya al-Qurtubî (w. 671 H).

E.3. Tafsir Bercorak Lughawi


Tafsir bercorak Lughawi adalah sebuah tafsir yang cendrung kebidang bahasa.
Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat, Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan
Kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an
juga menjelaskan segi-segi kemu’jizatannya.
Tafsir yang tergolong baru di dunia Arab ini, yakni sekitar abad ke-14 H, yang
diperkenalkan oleh Sayyid Quthb pada karyanya “ Fî Dhilâl al-Qur`an”. Selain itu, dia pun
menulis dua buah buku yang diberi judul: “al-Taswîr al-Fannî Fî al-Qur`an” dan “Masyâhid
al-Qiyâmat Fî al-Qur`an”. Kedua buku terakhir ini lebih kecil daripada kitab karangannya
yang pertama (Fî Dhilâl al-Qur`an). Akan tetapi, ketiga kitab tersebut memiliki rûh (tujuan
atau fungsi) yang sama yakni berusaha untuk mencapai pemahaman corak atau kecendrungan
sastra dalam al-Qur`an. Tafsir bercorak Lughawî yang mengandung Adabî ini terlepas
pemaparannya dari berbagai ungkapan yang berhubungan dengan kajian Nahwu, aturan-
aturan kebahasaan, istilah-istilah Balâghah. Demikianlah tafsir Lughawi yang mengandung
Adabi yang dikemukakan Sayyi Quthb terhadap ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan tutur
bahasa Arab yang indah disimak.

E.4. Tafsir Bercorak Adabi Ijtima’i (Sosial Masyarakat)


Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial
kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha
memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-
ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh
al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha
menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem
budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan

18
teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan
hanya sebatas kebutuhan.
Metode Adabî Ijtimâ’î dalam segi keindahan (balâghah) bahasa dan kemu’jizatan al-
Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh al-Qur`an, berupaya
mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-
aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang
berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran
al-Qur`an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa
al-Qur`an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan
zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala
kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen
yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti
lenyap.
Para Pelopor Kitab Tafsir Corak Adabî Ijtimâ’î menginginkan penafsiran al-Qur`an
kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban terhadap
tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara al-Qur`an
dan Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan
ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jâz Ilmî al-Qur`an. Dalam bidang
kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang
terbit pada abad ke-19 dan 20.
Tokoh utama corak adabî ijtimâ’î ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak
dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman,
Muhammad Arkoun.

E.5. Tafsir Bercorak Falsafi


Tafsir bercorak falsafi ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori
filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini
pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat. Dalam melakukan tafsir
Falsafi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama dengan Metode ta`wil atas teks-
teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan
yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya
berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau
pandangan para ahli falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi

19
sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada ayat. Seperti
tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan Ikhwan al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabi, tafsir
mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan
kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap
karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafî
yang cenderung hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi,
maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap
ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna yang
tersembunyi, yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi
kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Pada prinsipnya teks al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks
sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang
logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti,
1) Mafâtih Al-Ghâib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H),
2) al-Isyârat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H),
3) Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ (w. 370 H).

E.6. Tafsir Bercorak Ilmi


Tafsir bercorak ‘ilmî adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan
memfokuskan penafsiran pada kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan
ayat-ayat yang berkaitan dengan Ilmu dalam al-Qur`an.
Menurut Husayn Al-Dzahabî, tafsir yang bercorak ‘Ilmî dalah tafsir yang menetapkan
istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Qur`an
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya.
Alasan yang melahirkan penafsiran bi al-‘Ilmî adalah karena seruan al-Qur`an pada dasarnya
adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-
raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam
semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Qur`an ditutup dengan ungkapan-
ungkapan, antara lain: “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”,
atau dengan ungkapan: “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan:
“Bagi kaum yang berfikir”. Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna

20
yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan
pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk
mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan, pada abad ke-20
perkembangan tafsir bi al-ilmî semakin meluas dan semakin diminati oleh berbagai kalangan.
Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Qur`an melalui pendekatan ilmu
pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan mukjizat al-Qur`an dalam
ranah keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan
keunikan al-Qur`an.
Meluasnya minat terhadap corak tafsir bi al-‘Ilmî dikarenakan umat Islam merasa
tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut penyakit
pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di
dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan berbagai
eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam al-Qur`an
Beberapa contoh karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
1) Tafsir al-Kabîr / Mafâtih Al-Ghâib (Fakhruddin Al-Râzi)
2) Al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur`an al-Karîm (Thanthawî Jauhari)
3) Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)

E.6. Tafsir Bercorak Teologi (Kalam)


Tafsir bercorak Teologi (Kalam) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalâm, atau
tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini merupakan salah satu
bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis
tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut
pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan
tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur`an. Salah satu
kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir Mu’tazilah

21
BAB III
SIMPULAN

A. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah, kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
1. Tafsir adalah ilmu untuk mengetahui-memahami maksud al-Qur’an, menjelaskan
maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya, yang disandarkan kepada ilmu bahasa
dan sastra, usul fiqh, ilmu qiraa’at, asbab nuzul, dan nasakh-mansuk, yang berkedudukan
sebagai hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada
kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat di tinjau
kembali.
2. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat
tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan
ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran
dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang
diperlukan untuk generasi berikutnya. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta
tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk
mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari
penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu
ubaidah.
3. Pedoman penafsiran yang utama adalah Al-Qur’an, Hadist selama tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an, serta tak lupa memperhatikan petunjuk serta larangan yang ada dalam
Al-Qur’an.
Seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil
manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih
4. Metode penafsiran al-Quran itu adalah suatu cara atau langkah yang mudah untuk
melakukan penalaran, hasil usaha manusia dan ijtihadnya untuk mempelajari nilai-nilai
yang terkandung didalam al-Quran. Adapun macam-macam tafsir al-Quran berdasarkan
metodenya adalah:
1. Metode tahlili (analisis).
2. Metode ijmali (global).
3. Metode muqaran (perbandingan/komparasi).
4. Metode maudhu’i (tematik).

22
5. Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang termasuk dalam corak-
corak tafsir tahlili adalah sebagai berikut :
1. Tafsir sufi, ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa
yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.
2. Tafsir fiqhî, ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau
dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.
3. Tafsir falsafî, ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau
tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.
4. Tafsir Ilmî, adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan
penafsiran pada kajian bidang ilmiah, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang
berkaitan dengan alam. Atau tafsir yang memberikan hukum terhadap istilah alamiah
dalam ibarat al-Qur`an.
5. Tafsir adabî ijtimâ’î adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan
sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung.
Tafsir adabî ijtimâ’î merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan
menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-
makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir yang bercorak adabi
ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.
6. Tafsir bercorak Lughawî adalah sebuah tafsir yang cendrung kebidang bahasa.
Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat, Bacaan, Pembentukan kata, Susunan
kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud
ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan segi-segi kemu’jizatannya
7. Tafsir bercorak Teologi(Kalâm) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalâm,
atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini merupakan salah
satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok
Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk
membela sudut pandang Teologi tertentu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Munawal, Agil Said Husin. 2005. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehah Hakiki. Ciputat:
PT. Ciputat Press.
Darbi Ahmad, Ulum Al-Q Al-Aridl, dan Ali Hasan. 1991. Sejarah dan Metodologi Tafsir.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1972. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Quran dan Ulumul Quran. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Primayasa.
Al-Farawi Abd, Al-Hary. 1996. Metode Tafsir Al-Maudhu’i. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suma, Amin Muhammad. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Pirdaus.
Nasaruddin, Baidan. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Baidan, Nashrudin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Wijaya, Ahsin. 2008. Kamus Imu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah.

Situs Internet

Anonim. 2011. http://studiquran.blogspot.co.id/2011/03/ilmu-tafsir.html. Diakses tanggal


Desember 2016 Pukul 04:45

Fitri, Mairita. 2015. http://kumpulanmakalah-mey.blogspot.co.id/2015/03/makalah-tentang-


metode-metode-tafsir.html. Diakses tanggal 8 Desember 2016 Pukul 04.50

Ilyas, Sufyan. 2015. https://sufyanilyas.files.wordpress.com/2016/02/makalah-studi-al-quran.pdf.


Diakses tanggal 8 Desember 2016 Pukul 04.50

Rudiana, Nana. 2014. http://sina-na.blogspot.co.id/2014/09/makalah-sejarah-perkembangan-ilmu-


tafsir.html. Diakses tanggal 9 Desember 2016 Pukul 05.30

Fidati. 2016. https://rindufidati.wordpress.com/2015/04/17/metodologi-tafsir-


tahliliijmalimaudhuimuqorrin/. Diakses tanggal 9 Desember 2016 Pukul 07.26

Saifurrahman. 2014. http://saifurrahman99.blogspot.co.id/2014/12/corak-corak-tafsir.html.


Diakses tanggal 10 Desember 2016 Pukul 05.15

Ahmad, Luthfi. 2012. http://upi-luthfiahmad.blogspot.co.id/2012/03/makalah-urgensi-ilmu-tafsir-


dalam.html. Diakses tanggal 10 Desember 2016 Pukul 07.19

24

Anda mungkin juga menyukai