Anda di halaman 1dari 3

MAKNA WAKAF

Wakaf ialah menahan suatu barang dan mengambil manfaatnya guna diberikan di jalan
kebaikan (Tahbiisul Ashl Wa Tasbiilul Manfa’ah) [1] . Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “ dan
berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS. Al-Hajj: 77), dalam ayat
yang lain Allah ‘Azza Wa Jalla juga menegaskan: ”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(QS. Ali-Imran: 92). Dalam sejarah Islam, wakaf baru dikenal sejak masa Rasulallah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Wakaf disyariatkan setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam berada di Madinah, yaitu pada tahun kedua Hijriah. Dalam masalah ini, Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
”Sesungguhnya Umar Radiyallaahu ’Anhu telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.
Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam., ”Apakah perintahmu
kepadaku yang berhubungan dengan tanah yang aku dapat ini?” Jawab Beliau, ”Jika engkau
suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya.” Maka dengan petunjuk Beliau
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam itu lalu Umar Radiyallaahu ’Anhu sedekahkan manfaatnya
dengan perjanjian tidak boleh dijual tanahnya, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh
dihibahkan.”[2]
Pengelolaan Wakaf di Era Dinasti Islam
Sekilas Kota geo_latitude: 5.578227 geo_longitude: 95.358536 geo_accuracy: 0
geo_address: Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia geo_public: 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tata cara pengelolaan wakaf

dalam Islam telah diatur berdasarkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Harta wakaf,
menurut ajaran Islam, hanya diambil manfaatnya, sementara barang asalnya harus tetap.
Karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Pada prinsipnya,
menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, pembuat wakaf
menentukan bentuk pengelolaan wakafnya sendiri. Pengelola wakaf biasa disebut dengan
istilah mutawalli atau nadhir.
Dalam perkembangannya praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa pemerintahan Islam
sesudah era Khulafaur Rasyidin. Sri Nurhayati dalam tulisannya yang bertajuk Akuntansi
Syariah di Indonesia memaparkan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. Pada masa itu, wakaf
tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya,
gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk
mengatur pengelolaan wakaf. Maka, dalam perkembangan berikutnya mulai dibentuk
lembaga yang mengatur wakaf. Lembaga ini bertugas untuk mengelola, memelihara dan
menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau
keluarga.

Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang menjabat sebagai hakim di Mesir pada masa Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) dari Dinasti Umayyah, misalnya, telah merintis
pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir
pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya.

Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan
melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, yang biasa disebut dengan
“hakimnya para hakim”. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam
administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga,
Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada
di bawah kewenangan lembaga kehakiman.

Keberadaan lembaga wakaf ini juga diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberinama Shadr al-Wuquuf.
Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola
lembaga wakaf.
Sementara di masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang
dikelola oleh negara dan menjadi milik negara. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di
Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan
sosial yang ada pada masa itu. Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh penguasa Islam di
Mesir sebelumnya dari Dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam. Pada
masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan
tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.

Pada masa Mamluk juga dikenal yang namanya wakaf hamba sahaya, yakni mewakafkan
budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa
Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya, yang mewakafkan budaknya
untuk merawat masjid.

Undang-undang wakaf

Di era Dinasti Mamluk inilah awal mula disahkannya undang-undang wakaf dalam sebuah
pemerintahan Islam. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, perundang-undangan wakaf
pada Dinasti Mamluk dimulai sejak masa Sultan Dzahir Baybars al-Bandaqdari, dimana
beliau memilih hakim dari masing-masing empat mazhab.

Sementara itu di masa pemerintahan Turki Utsmaniyah, kekuasaan politik yang diraih oleh
dinasti ini telah mempermudah penerapan syari’at Islam, di antaranya adalah peraturan
tentang perwakafan. Bahkan untuk menangangi persoalan wakaf ini, pada awal abad ke-19
M, pemerintahan Turki Utsmaniyah membentuk kabinet khusus untuk menangangi masalah
wakaf.

Di antara undang-undang perwakafan yang paling penting yang pernah dikeluarkan oleh
pemerintahan Turki Utsmaniyah adalah yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1863.
Undang-undang ini mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf. Undang-undang ini
dipraktikkan di berbagai negara (Turki, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, dan Arab Saudi)
untuk beberapa tahun setelah perpecahan Kesultanan Turki Utsmaniyah pada tahun 1918.

Anda mungkin juga menyukai