Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi sampai pada saat ini masih tetap menjadi masalah karena beberapa

hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi, bersifat asimptomatis, masih

banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah

diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya penyakit

penyerta dan komplikasi yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.1,2

Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai

hipertensi primer. Hipertensi sekunder yaitu sekitar 10-15% dari keseluruhan

hipertensi. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung

(disebut penyakit jantung hipertensi).1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Hipertensi terdiri dari hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi

primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya atau disebut juga

hipertensi esensial atau idiopatik. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang

diketahui penyebabnya.1-3 Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada dua

mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal.1

Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National Commitee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treathment of High Blood Pressure (JNC 7)

klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,

prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.1

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 71


Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 atau ≥100

Pasien dengan prehipertensi memiliki risiko untuk mengalami hipertensi.

Mereka dengan tekanan darah berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang

hidupnya akan memiliki risiko dua kali lipat menjadi hipertensi dan mengalami

penyakit kardiovaskuler dari pada mereka dengan tekanan darahnya lebih rendah.1
2.2 Etiologi dan Patogenesis

a. Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial ini merupakan penyakit multifaktorial yang timbul terutama

karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko tersebut

adalah:1

1. Diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok dan genetic

2. Sistem saraf simpatis

 Tonus simpatis

 Variasi diurnal

3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi:

Endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot

polos dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir

4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin

dan aldosteron

b. Hipertensi Sekunder

1. Hipertensi renal

Hipertensi renal atau hipertensi yang disebabkan oleh penyakit ginjal dapat

terjadi akibat lesi aterosklerotik arteri renalis, displasia fibromuskuler dan

penyebab-penyebab lain.1

Hipertensi renal pada fase akut terjadi akibat perfusi jaringan ginjal yang

menurun yang disebabkan oleh kontriksi arteri renalis utama dan cabang-
cabangnya yang mengaktivasi sistem renin-angiotensin. Pada fase kronik yaitu

setelah beberapa hari, tekanan darah tetap meningkat tetapi renin dan aldosteron

mulai menurun ke nilai normal.1,2

2. Hipertensi endokrin

Hipertensi endokrin dapat terjadi akibat peningkatan jumlah aldosteron yang

dapat menyebabkan terjadinya retensi natrium dengan merangsang pertukaran

natrium dengan kalium pada tubulus ginjal.

Hipertensi endokrin juga bisa disebabkan oleh hiperkalsemia yang terjadi

pada pasien hiperparatiroidisme. Hal ini terjadi karena kalsium yang tinggi

mempunyai efek vasokonstriksi langsung. Hipertensi akan menghilang jika

keadaan hiperkalsemia telah teratasi.

Penyebab lain dari hipertensi endokrin adalah penggunaan kontrasepsi oral.

Kontrasepsi oral ini mengandung hormon estrogen yang akan merangsang

sintesis renin substrat angiotensinogen di hati, yang selnajutnya membantu

meningkatkan angiotensin II dan aldosteronisme sekunder.2


Gambar 2.1 Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah

2.3 Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan:1-3

a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

b. Indikasi adanya hipertensi sekunder

 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal

 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian

obat-obat analgesik dan obat/bahan lain

 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi

 Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)


c. Faktor-faktor risiko

 Riwayat hipertensi atau kardiovaskuler pada pasien atau keluarga pasien

 Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya

 Riwayat diabetes mellitus pada pasien dan keluarganya

 Kebiasaan merokok

 Pola makan

 Kegemukan, intensitas olahraga

 Kepribadian

d. Gejala kerusakan organ

 Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient

ischemic attacks, defisit sensoris dan motoris

 Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki

 Ginjal: haus, poliuri, nokturia, hematuria

 Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten

e. Pengobatan antihipertensi sebelumnya

f. Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

2. Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tekanan darah merupakan pemeriksaan fisik yang paling utama

dilakukan. Tekanan darah diukur setelah pasien istirahat selama 5 menit dengan

posisi pasien pada saat pemeriksaan duduk di kursi, kaki di lantai dan lengan

pada posisi setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dua kali, dengan selang
waktu antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tambahan dilakukan jika hasil

kedua pengukuran sebelumnya sangat berbeda.1,3

Pada pasien usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada

hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi

berdiri.1

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien hipertensi adalah:1

a. Test darah rutin

b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)

c. Kolesterol total serum

d. Kolesterol LDL dan HDL serum

e. Trigliserida serum (puasa)

f. Asam urat serum

g. Kraetinin serum

h. Kalium serum

i. Hemoglobin dan hematokrit

j. Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)

k. Elektrokardiogram

Jika pada pasien telah dicurigai adanya kerusakan organ target maka

sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang llain berupa:1

a. Jantung

 Pemeriksaan fisik

 Foto polos dada


 Elektrokardiografi

 ekokardiografi

b. Pembuluh darah

 Pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure

 Ultrasonografi (USG) karotis

c. Otak

 Pemeriksaan neurologis

 CT scan atau MRI

d. Mata

 Funduskopi

e. Fungsi ginjal

 Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya

proteinuria/mikroalbuminemia serta rasio albumin kreatinin urin

 Perkiraan laju filtrasi glomerulus

2.4 Efek Hipertensi

1. Efek jantung

Kompensasi awal jantung terhadap beban kerja yang berlebihan dengan

kenaikan tekanan sistemik adalah sistem pertahanan berupa hipertrofi ventrikel

kiri yang ditandai dengan penebalan dinding ventrikel, fungsi ruang ventrikel

yang memburuk, dilatasi kavitas dan timbul gejala dan tanda gagal jantung.

Angina pektoris juga dapat terjadi akibat penggabungan antara penyakit

arterial koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen miokard yang bertambah
akibat massa miokard yang bertambah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

jantung membesar dan impuls ventrikel kiri menonjol. Bunyi penutupan aorta

menonjol, dan mungkin terdapat murmur lemah dan regurgitasi aorta. Bunyi

jantung prasistolik sering terdengar pada penyakit jantung hipertensi dan bunyi

jantung protodiastolik atau mungkin terdapat penggabungan ritme gallop. Tanda

iskemik dan infark mungkin ditemukan lambat. Sebagian besar kematian

disebabkan oleh infark miokard dan gagal jantung kongestif.2

Pasien hipertensi yang memiliki komplikasi jantung disebut sebagai

penyakit jantung hipertensi.1

2. Efek neurologik

Efek neurologik yang terjadi dapat berupa perubahan retinal dan sistem

saraf pusat. Gejala disfungsi sistem saraf pusat yang ditemukan berupa sakit

kepala daerah oksipital, paling sering pada pagi hari, adalah gejala hipertensi

dini yang paling menonjol. Gejala lain berupa pusing, kepala terasa ringan,

vertigo, tinnitus, dan penglihatan kabur, dan atau sinkop yang jyga mungkin

ditemukan.

Infark serebral bersifat sekunder terhadap terjadinya aterosklerosis pada

pasien hipertensi, sedangkan perdarahan serebral terjadi akibat tekanan arteri

yang meningkat dan terbentuknya mikroaneurisma vaskuler serebral.2

3. Efek ginjal

Lesi arteriosklerotik dari arteriole aferen dan eferen dan jumbai kapiler

glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling sering pada hipertensi dan

mengakibatkan menurunnya tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubulus.2


2.5 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:1

1. Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes,

gagal ginjal proteiunuria), <130/80 mmHg

2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes

melitus atau dislipidemia juga harus dilakukan hingga mencapai target masing-

masing kondisi.1

a. Terapi Nonfarmakologis

Terapi nonfarmakologis terdiri dari:1

 Menghentikan merokok

 Menurunkan berat badan berlebih

 Menurunkan konsumsi alkohol berlebih

 Latihan fisik

 Menurunkan asupan garam

 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur erta mengurangi asupan lemak

b. Terapi farmakologis

Terapi untuk hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah:1-4

 Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi


penurunan curah jantung dan tekanan darah. Beberapa diuretik juga berkerja

dengan menurunkan tekanan perifer sehingga menambah efek hipotensinya.

a. Golongan tiazid

Mekanisme kerja adalah dengan menghambat transfor bersamaNa-Cl di

tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.

b. Diuretik kuat

Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara

menghambat Na+, Cl-, K+ dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula

kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan

tiazid, oleh karena itu jarang digunakan pada antihipertensi, kecuali pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kretainin serum (<2,5 mg/dl) atau

gagal jantung.

c. Diuretik hemat kalium

Contohnya spironolakton yang merupakan diuretik lemah. Penggunaannya

terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah

hipokalemia. Spironolakton merupakan antagonis aldosteron, jadi obat yang

dipilih untuk aldosteronisme primer. Berbeda dengan golongan tiazid,

spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca2+ dan gula darah.

 Beta blocker

Efek antihipertensi akibat hambatan reseptor beta satu adalah:

a. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga

menurunkan curah jantung


b. Hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat

penurunan produksi angiotensin II

c. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada

sensisitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer

dan peningkatan biosintesis prostasiklin

Beta blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan

sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner, aritmia

supraventrikuler dan ventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien muda

dengan sirkulasi hiperdinamik, pada pasien yang memerlukan antidepresan

trisiklik atau antipsikotik. Efektif pada usia muda dan kurang efektif pada usia

lanjut.

 Calcium channel blocker atau calcium antagonist (CCB)

Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh

darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama

menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan

resistensi perifer ini sering diikuti oleh refleks takikardia dan vasokonstriksi,

terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin).

 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI)

ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga

terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi

bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan

berperan dalam efek vasodilatasi ACEI. Vasodilatasi secara langsung akan

menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya sekresi aldosteron di


korteks adrenal sebagai akibat berkurangnya angiotensin II akan menyebabkan

ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. ACEI dipilih untuk hipertensi

dengan gagal jantung kongestif.

 Angiotensin II receptor blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB)

Reseptor angiotensin II terdiri dari reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1

terutama terdapat pada otot polos pembuluh darah dan di otot jantung. Selain itu

terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai

semua efek fisiologis angiotensin II terutama yang berperan dalam hemostasis

kardiovaskuler. Pemberian obat ini akan menghambat semua efek angiotensin II

yaitu vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral

angiotensin II (sekresi vasopressin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek

renal, serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah

dan miokard. Efek yang ditimbulkan ARB sama dengan ACEI, tetapi ARB

tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka tidak timbul efek samping

berupa batuk dan angioedema.

Penatalaksanaan pasien hipertensi berdasarkan pedoman penatalaksanaan

hipertensi tahun 2014 dapat dilihat pada gambar berikut.5


Gambar 2.2 Algoritma pedoman penatalaksanaan hipertensi tahun 20145
Dosis obat yang digunakan sebagai pengobatan hipertensi berdasarkan

evidence-based adalah sebagai berikut.5

Gambar 2.3 Dosis obat antihipertensi berdasarkan evidence-based5

2.6 Gagal Jantung

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yan didasari oleh

ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara

adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional jantung.1

Gagal jantung ini bisa disebabkan oleh kegagalan kontraktilitas miokard, seperti

pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Pada beberapa kondisi
tertentu gagal jantung juga dapat terjadi pada kontraktilitas miokard yang baik,

seperti pada masalah mekanik, yaitu regurgitasi katup berat dan lebih jarang, yaitu

fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri) dan anemia berat.3

Faktor risiko independen untuk terjadinya gagal jantung serupa dengan faktor

risiko pada penyakit jantung koroner (peningkatan kolesterol, hipertensi, dan

diabetes) ditambah adanya hipertrofi ventrikel kiri pada EKG istirahat.3

Klasifikasi dari American College of Cardiology/ American Heart Association

(ACC/AHA), perkembangan HF dibagi menjadi 4 stages, yaitu:1

A : menandakan ada faktor risiko gagal jantung (diabetes, hipertensi, penyakit

jantung koroner namun belum ada kelainan struktural pada jantung

(kardiomegali, LVH, dll) dan kelainan fungsional.

B : ada faktor-faktor risiko seperti stage A, dan sudah terdapat kelainan

struktural, LVH, kardimegali dengan atau tanpa gangguan fungsional,

namun bersifat asimptomatik.

C : sedang dalam kompensasi dan atau pernah gagal jantung, yang didasari

oleh kelainan struktural dari jantung

D : benar-benar masuk ke dalam refractory gagal jantung, dan perlu advanced

treatment strategies

Stage A dan B belum merupakan kondisi gagal jantung, hanya untuk

mengingatkan pelaksana pelayanan kesehatan bahwa kondisi ini ke depan dapat

masuk ke dalam gagal jantung.1

Klasifikasi fungsional dari gagal jantung berdasarkan New York Heart

Association (NYHA) adalah sebagai berikut.6


Kelas 1 : tidak terdapat batasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari tidak

menimbulkan gejala gagal jantung.

Kelas 2 : terdapat sedikit pembatasan aktivitas fisik. Tidak terdapat keluhan saat

istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan gejala gagal

jantung.

Kelas 3 : terdapat pembatasan aktivitas fisik, tidak terdapat keluhan saat istirahat,

tetapi aktivitas ringan menimbulkan gejala gagal jantung.

Kelas 4 : tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa gejala gagal jantung, terdapat

gejala gagal jantung pada saat istirahat.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung

kongestif.1

1. Kriteria mayor : paroksismal nocturnal dispnea, distensi vena leher, ronki

paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop S3, peninggian tekanan vena

jugularis, refluks hepatojugular

2. Kriteria minor : edema ekstremitas, batuk malam hari, dispnea d’effort,

hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, takikardia

(>120x/menit)

3. Penurunan BB ≥4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada satu kriteria mayor dan 2

kriteria minor.1
2.7 Mekanisme Gagal Jantung pada Hipertensi

Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi kronis.

Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala-gejala gagal jantung namun dapat

juga bersifat asimtomatis (tanpa gejala). Prevalensi (gagal jantung) disfungsi diastolik

asimtomatis pada pasien hipertensi tanpa disertai hipertrofi ventrikel kiri adalah

sebanyak 33%. Peningkatan tekanan afterload kronik dan hipertrofi ventrikel kiri

dapat mempengaruhi fase relaksasi dan pengisian diastolik ventrikel.

Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang

disertai hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan

afterload, penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi

sistolik asimtomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah beberapa lama,

hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi peningkatan tekanan darah sehingga

lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Lama-

kelamaan fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun. Penurunan ini mengaktifkan

sistem neurohormonal dan renin-angiontensin, sehingga meretensi garam dan air dan

meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya malah memperburuk keadaan

dan menyebabkan disfungsi sistolik.

Apoptosis (kematian sel terprogram yang dirangsang oleh hipertrofi miosit dan

ketidakseimbangan stimulus dan inhibitornya) diduga memainkan peranan penting

dalam peralihan fase “terkompensasi” menjadi fase “dekompensasi”. Peningkatan

mendadak tekanan darah dapat menyebabkan edema paru tanpa adanya perubahan

fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum dilatasi ventrikel kiri (asimtomatik atau

simtomatik) dapat memperburuk keadaan dan meningkatkan risiko kematian.


Disfungsi ventrikel kiri serta dilatasi septal dapat menyebabkan penebalan ventrikel

kanan dan disfungsi diastolik.7


BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Ernawati

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Suku : Batak

Status : Janda

No. MR : 80 22 38

Masuk RS : 30 September 2014

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama

Sesak nafas beberapa 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

- 1 bulan SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas, sesak nafas dirasakan pada saat

aktivitas dan istirahat. Sesak nafas dirasakan memberat pada saat pasien berbaring

serta berkurang jika pasien duduk. Sesak nafas memberat pada saat senja hari

sehingga pasien tidak bisa tidur. Pasien juga mengeluhkan jantung berdebar-

debar. Keluhan ini membawa pasien datang ke RSUD AA pada tanggal 12

September 2014 dan pasien dirawat selama dua minggu.


- 3 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas kembali yang makin memberat

pada beberapa jam SMRS, sesak juga dirasakan pada saat istirahat. Sesak nafas

dirasakan memberat pada saat pasien berbaring serta berkurang jika pasien duduk.

Sesak nafas memberat pada saat senja hari sehingga pasien tidak bisa tidur. Pasien

juga mengeluhkan lemas dan nyeri ulu hati pada saat sesak nafas dengan nyeri

seperti ditimpa benda berat. Pasien juga mengeluhkan adanya pembengkakan

pada perut dan tungkai pasien. Pembengkakan tungkai lebih besar kiri daripada

kanan. Demam (-), muntah waktu bangun tidur (+).

- Pada saat 1 minggu pasien dirawat, pasien mengeluhkan mata pasien menjadi

kabur dan dikonsulkan ke dokter mata dan didiagnosis sebagai retinopati diabetik.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat hipertensi dan diabetes melitus sejak umur 15 tahun

- Riwayat asma (-)

- Riwayat operasi tumor ginjal

Riwayat Penyakit Keluarga

- Ibu pasien diabetes melitus (+)

- Ayah pasien hipertensi (+)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

- Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga

- Sejak umur ±35 tahun pasien merupakan seorang perokok, merokok 3 bungkus

sehari, dan pasien berhenti merokok sekitar 2 tahun SMRS.

- Pasien pernah mengkonsumsi alkohol

- Pasien jarang berolahraga


PEMERIKSAAN UMUM

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tekanan darah : 170/110 mmHg

Nadi : 96 kali/menit

Suhu : 36,10 C

Respirasi : 16 kali/menit

Waktu masuk RS

Tekanan darah : 170/70 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

Suhu : 37,00 C

Respirasi : 40 kali/menit

PEMERIKSAAN FISIK (6 Oktober 2014)

Kepala

Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)

Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak terdapat peningkatan

JVP

Toraks

- Paru

Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan

Palpasi : vokal fremitus kanan normal dan kiri lemah

Perkusi : sonor pada semua lapangan paru


Auskultasi : vesikuler normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)

- Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis pada SIK 5 linea aksilaris anterior sinistra

Perkusi : batas jantung kanan: SIK 5 linea parasternalis dekstra

batas jantung kiri: SIK 4 linea midklavikula sinistra

Auskultasi : bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : perut datar, scar (-), asites (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : hepatomegali (-), nyeri tekan (+) pada abdomen , massa (-)

Perkusi : timfani pada seluruh abdomen

Ektremitas

Akral hangat, CRT <2 detik, udem (-), sianosis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Darah rutin (30 September 2014):

- Hemoglobin : 10,2 g/dl

- Hematokrit : 28,4%

- Leukosit : 8,9x103/uL

- Trombosit : 243x103/uL

- Eritrosit : 3,47x106/uL
Kimia darah (1 Oktober 2014):

- Kolesterol : 219 mg/dl - Bilirubin Direct : 0,14 mg/dl

- LDL : 136 mg/dl - Bilirubin Indirect : 0,04 mg/dl

- HDL : 38,4 mg/dl - Bilirubin Total : 0,18 mg/dl

- TGB : 223 mg/dl - Ureum : 6,2 mg/dl

- Albumin : 2,9 g/dl - Troponin : 4,3 g/dl

- Globulin : 1,4 g/dl - GDS : 148 mg/dl

Pemeriksaan urin (1 Oktober 2014):

- Makroskopi : warna (kuning muda)

kejernihan (jernih)

- Kimia urin : protein (positif 2) BJ (1,025)

glukosa (positif 1) darah (positif 1)

bilirubin (negatif) keton (negatif)

urobilinogen (0,2 u mol/L) nitrit (negatif)

pH (6,5)

- Mikroskopis : eritrosit 5-6/LPB krital 0/LPB

leukosit 6-8/LPB silinder 0/LPB

sel epitel 2-3/LPB bakteri 0/LPB

jamur 0/LPB
Rontgen (30 September 2014)

Kesan:

- CTR >50%

- Pelebaran pinggang jantung

- Hipertrofi ventrikel kiri

Elektrokardiografi (1 Oktober 2014)


Hasil:

- Rate : 85 kali/menit

- Ritme : sinus

- Aksis : aksis normal

- Gelombang T inversi pada lead I, lead II, V5 dan V6 menandakan hipertrofi

ventrikel kiri, iskemik

RESUME

Perempuan, 42 tahun, datang ke RSUD AA dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari

SMRS yang makin memberat beberapa jam SMRS. Sesak dirasakan pada saat

istirahat, memberat pada saat berbaring dan berkurang pada saat pasien duduk. Sesak

nafas juga memberat pada senja hari sehingga pasien tidak bisa tidur. Pasien juga

mengeluhkan lemas, nyeri ulu hati seperti ditimpa benda berat, pembengkakan pada

tungkai dan abdomen, muntah waktu bangun tidur. Seminggu hari rawatan pasien

mengeluhkan mata pasien menjadi kabur. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan

diabetes melitus sejak umur 15 tahun, riwayat ibu diabetes melitus dan ayah

hipertensi. Pasien seorang perokok dan alkoholik serta jarang berolahraga. Tekanan

darah 170/110 mmHg dan RR 40 kali/menit. Ictus cordis pada SIK 5 linea

midaksilaris anterior sinistra, batas jantung kanan SIK 5 linea parasternalis dekstra,

dan batas jantung kiri SIK 5 linea midklavikula sinistra. Paru dalam batas normal.

Nyeri tekan pada abdomen regio lumbar kanan, hipokondrik kanan dan epigatrik.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin, hematokrit dan eritrosit rendah,

dislipidemia, diabetes melitus, kerusakan ginjal. Dari rontgen toraks didapatkan CTR
>50%, pelebaran pinggang jantung dan hipertrofi ventrikel kiri. Dari EKG didapatkan

terjadi hipertrofi ventrikel kiri dan iskemik.

DIAGNOSIS KERJA

- HHD et causa dislipidemia dan diabetes melitus

- Heart failure stage B

- Kerusakan ginjal

- Retinopati diabetik

(diabetes melitus dengan multipel komplikasi)

RENCANA PEMERIKSAAN

Ekokardiografi

Pemeriksaan gula darah sewaktu dan tekanan darah tiap hari

RENCANA PENATALAKSANAAN

- Oksigen 3 liter/menit

- Infus Ringer Laktat

- Metformin tab 500 mg 2x1 hari

- Captopril 2x1 hari dengan inisial dosis 50 mg


BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan, usia 42 tahun datang dengan keluhan sesak nafas pada saat

istirahat dan aktivitas serta memberat pada saat pasien berbaring dan berkurang pada

saat pasien duduk. Sesak nafas ini memperlihatkan gejala dari penyakit yang berasal

jantung. Pada pasien ditemukan riwayat keluarga hipertensi yaitu ayah, riwayat ibu

diabetes melitus, kebiasaan merokok serta intensitas olahraga yang kurang. Ketiga hal

ini merupakan faktor risiko hipertensi. Ketiga faktor risiko yang dimiliki pasien ini

menyebabkan pasien mempunyai penyakit hipertensi pada usia 15 tahun. Pasien juga

mengeluhkan sesak nafas dan palpitasi yang menandakan adanya gejala kerusakan

organ target.1

Pasien masuk rumah sakit karena mengeluhkan sesak nafas pada saat

melakukan aktivitas dan istirahat dengan frekuensi nafas 40 kali/menit dan tekanan

darah 170/70 mmHg, ditemukan kardiomegali, pelebaran pinggang jantung dan

hipertrofi ventrikel kiri yang memperlihatkan bahwa hipertensi pada pasien sudah

menunjukkan komplikasi pada jantung.1,2

Gejala gagal jantung yang terdapat pada pasien ini adalah ortopnea. Terjadinya

pembengkakan pada tungkai yang lebih besar pada tungkai kiri dibandingkan tungkai

kanan dan pembengkakan abdomen masih diragukan karena pada saat dilakukan

pemeriksaan tidak ditemukan. Ditemukannya faktor-faktor risiko gagal jantung pada

pasien berupa hipertensi, diabetes melitus dan sudah terdapat kelainan struktural
seperti LVH dan kardiomegali dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun

bersifat asimptomatik, maka pasien ini digolongkan menjadi gagal jantung stage B.1

Pemeriksaan darah menunjukkan bahwa pasien memiliki kolesterol yang tinggi,

LDL dalam batas tinggi dan HDL yang rendah. Hal ini mengindikasikan pasien

mengalami dislipidemia.8

Kerusakan ginjal ditandai dengan protein urin positif. Membran basal dari

kapsula bowman terdiri dari glikoprotein dan kolagen serta terselip di antara

glomerulus dan kapsul bowman. Glikoprotein bermuatan sangat negatif akan

menolak albumin dan protein plasma lain, karena juga bermuatan negatif. Dengan

demikian protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat difiltrasi dan kurang dari 1%

molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman. Protein yang

positif di urin menandakan adanya gangguan pada filtrasi ginjal.9 Hipoalbumin terjadi

akibat lolosnya protein ke dalam urin.

Pemeriksaan gula darah sewaktu dan terdapatnya glukosa dalam urin

merupakan tanda-tanda dari diabetes melitus pada pasien. Seratus persen glukosa

akan diabsorbsi kembali oleh tubulus ginjal sehingga tidak akan ditemukan glukosa

dalam urin kecuali jumlah glukosa darah meningkat.9

Hemoglobin, hematokrit dan eritrosit pasien rendah yang mengindikasikan

terjadinya anemia. Eritrosit juga ditemukan 5-6/LPB yang memungkinkan terjadi

cedera pada saluran kemih. Leukosit yang ditemukan 6-8/LPB pada pasien

memungkinkan juga terjadi infeksi pada saluran kemih pasien.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Penyakit


Dalam. Ed.V. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 1079-777.

2. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison Prinsip-Prinsip


Ilmu Penyakit Dalam. Ed.13. Jakarta: EGC; 2000;3:1256-72.
3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture Notes Kardiologi.
Ed.4. Jakarta: EMS; 2005:57-9.

4. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi FK UI.


Ed.5. Jakarta: Gaya Baru;2007: 341-60.

5. James PA, Oparil S, Carter BL, Chusman WC, Himmelfarb CD, Handler J, et al.
2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in
Addults Report from the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8). JAMA: 2014;311(5):507-20.

6. Yancy WC, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: A Report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. American Heart Association,2013;128:e240-e327.

7. Khalilullah SA. Mekanisme Gagal Jantung pada Hipertensi Kronis. Fakultas


Kedokteran Universitas Syiah Kuala Aceh; 2011.

8. Third Report of The National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert


Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in
Adults (Adult Treatment Panel III), Final Report. National Cholesterol Education
Program National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institutes of Health,
NIH Publication No. 02-5215: 2002;1-10.

9. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed. 2. Jakarta: EGC;


2001:468.

Anda mungkin juga menyukai