Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PERTAMBAHAN NILAI

OLEH:
KELOMPOK 4
1. Putu Krisna Mirahnda Sari 1707612001
2. Ni Putu Eka Sarastini 1707612010
3. Luh Putri Swandewi 1707612011

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2018
1. Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP?

a. Pengertian Pengusaha
Dikutip dari www.pajak.go.id bahwa “Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.”

b. Pengertian PKP
Dikutip dari www.pajak.go.id bahwa “Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1983 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.”

Sehingga dapat dikatakan jika Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah:
Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya:
 menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP)
 mengimpor Barang Kena Pajak (BKP)
 mengekspor Barang Kena Pajak (BKP)
 melakukan usaha perdagangan.
 memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean
 melakukan usaha Jasa Kena Pajak (JKP)
 memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tidak termasuk Pengusaha Kecil


yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010, tentang
batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai yang merubah batasan Rp 600 juta untuk
wajib dikukuhkan sebagaiPengusaha Kena Pajak menjadi Rp 4,8 milyar, kecuali Pengusaha
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
c. Pengertian NPWP
Dikutip dari pajak.go.id bahwa “Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor
yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.”

Berdasarkan sistem self assessment setiap WP yang memenuhi persyaratan subjektif


dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dengan cara :
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat
www.pajak.go.id.

o Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang ingin
dikenai pajak secara terpisah dengan suaminya.
o Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke
KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
o Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila
sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling
lambat pada akhir bulan berikutnya.
o WP orang pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan
untuk memperoleh NPWP.

d. Syarat Pengajuan PKP


Untuk mendapat pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak, seorang
pengusaha / bisnis / perusahaan harus memenuhi syarat:
a. Memiliki pendapatan bruto (omzet) dalam 1 tahun buku mencapai Rp 4,8 miliar.
Tidak termasuk pengusaha / bisnis / perusahaan dengan pendapatan bruto kurang dari
Rp 4,8 miliar, kecuali pengusaha tersebut memilih dikukuhkan jadi Pengusaha Kena
Pajak.
b. Melewati proses survey yang dilakukan KPP atau KP2KP tempat pendaftaran
c. Melengkapi dokumen dan syarat pengajuan PKP atau pengukuhan PKP.

Permohonan menjadi Pengusaha Kena Pajak tersebut diajukan ke KPP atau KP2KP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha wajib pajak.

e. Pengusaha Yang Wajib Mendapatkan Pengukuhan PKP


Selain harus memiliki omzet mencapai Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun, pengusaha yang
wajib mendapatkan pengukuhan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud diwajibkan:

1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak


2. memungut pajak yang terutang
3. menyetorkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
4. melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya paling lambat akhir bulan
berikutnya (SPT Masa PPN)

2. Pengendalian Atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan Agar
Memenuhi Syarat Formal dan Material
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat berfungsi
sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Faktur
Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan persyaratan material
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat (9) UU PPN
yang berbunyi: ”Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material”.
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan benar sesuai
dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh ayat (6).
Sehingga, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar
Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.

a. Persyaratan Formal
Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah
memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5) yaitu Faktur Pajak harus
mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha Kena Pajak
yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang diterbitkan
dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang menjadi lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain itu kepada Pengusaha Kena
Pajak penerbit Faktur Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian Faktur Pajak, akan dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai
transaksi yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut.
Tidak semua Pengusaha Kena Pajak yang dikarenakan membuat faktur pajak tidak
sesuai persyaratan formal terkena sanksi, ada pengecualian dari pengenaan sanksi apabila
Pengusaha Kena Pajak keliru atau tidak mengisi secara lengkapnama, alamat, dan Nomor
Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dan keliru
atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan yang
berhak menandatangani Faktur Pajak dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak pedagang eceran.
Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut tidak
dikenakan sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena Pajak yang
penerima tidak dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak Masukan.

b. Persyaratan Material
Persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila keterangan yang
tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian transaksi yang sebenarnya dari
BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU
PPN:”Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.”
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar
Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material”.
Diluar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak, dalam
rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu diperhatikan yang
sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu mengenai Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan.
Jadi, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya mengenai:
a) Penyerahan BKP/JKP
b) Ekspor BKP Berwujud,
c) Ekspor BKP Tidak Berwujud,
d) Ekspor JKP,
e) Impor BKP,
f) Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean

c. Pengendalian Terhadap Faktur Pajak Keluaran


Agar faktur pajak yang diterbitkan PKP memenuhi syarat formal maka PKP harus
memperhatikan ketentuan faktur pajak yang diatur pada pasal 13 ayat (5) UU PPN Juncto
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-24/PJ/2012 tentang bentuk, ukuran, tata cara pengisian
keterangan, prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan, Tata Cara pembetulan atau
penggantian, dan tata cara pembatalan faktur pajak; sebagaimana telah diubah dengan
peraturan Dirjen Pajak No. 08/PJ/2013

Terkait waktu Penerbitan faktur pajak , hal yang harus diperhatikan PKP adalah:
1. Faktur pajak atas penjualan yang dibuat “terlalu cepat” dibandingkan dengan
pelunasan atas tagihan penjualan akan menyebabkan kesulitan cashflow.
2. Faktur Pajak dibuat terlambat akan dikenakan sanksi administrasi

d. Pengendalian Terhadap Faktur Pajak Masukan


Terkait pajak masukan yang harus diperhatikan adalah ketentuan yang diatur Pasal 9 ayat
(8) UU PPN. Pasal 9 ayat (8) UU PPn menyatakan:
Pengkreditan Pajak Maukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. Perolehan BKP /JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
b. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai huungan langsung dengan kegiatan usaha
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan / disewakan
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP diluar dari luar daerah pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
e. Dihapus
f. Perolehan BPKP/JKP yang Faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP/ JKP
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang
faktur pajaknya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6)
h. Perolehan BKP/ JKP yang pajak masukannya ditagih dengan meerbitkan ketetapan pajak
i. Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam surat
pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan
j. Perolehan BKP selain barang modal / JKP sebelum PKP berproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a)

3. Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang


Pemberlakuan kebijakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat
ke cabang atau sebaliknya sebagai penyerahan yang terutang PPN, akan menimbulkan cost of
compliance bagi PKP yang bersangkutan. Cost of compliance dapat berupa beban
administrasi bagi PKP dimana PKP tersebut harus mengurus pendaftaran sebagai PKP bagi
cabang-cabangnya, mengurus pelaporan pajaknya setiap bulannya, membuat faktur pajak dan
menghadapi pemeriksaan pajak dan lain sebaginya. Bila PKP lalai dalam menjalankan
kewajiban perpajakan, misalnya tidak membuat atau terlambat dalam membuat faktur pajak
atas transaksi penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang akan berdampak
pada sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan tersebut seharusnya memang tidak semestinya
ada, manakala penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya
tidak dijadikan sebagai objek PPN. Namun, oleh karena kelalaian atau ketidaktahuan PKP,
menyebabkan sesuatu yang tadinya beban pajaknya kecil atau mungkin tidak ada, malah ada
atau bahkan menjadi lebih besar.
Disisi lain tentu saja kebijakan tersebut tidak sejalan dengan salah satu prinsip
pemungutan pajak yaitu ease of administration. PKP harus membuat faktur pajak atas
transaksi penyerahan barang kena pajak di lingkungan internal PKP sendiri. Setelah faktur
pajak dibuat, PKP disibukkan lagi dengan pelaporan pajaknya. Administrasi yang sulit akan
cenderung mendorong PKP menghindari kewajiban perpajakannya. Prinsip kemudahan
administrasi juga merupakan hasil reformasi perpajakan nasional. Disamping tidak sejalan
dengan prinsip ease of administration, kebijakan pengenaan PPn antar cabangpun kurang
selaras dengan karakter PPN, yaitu netral dalam kegiatan ekonomi. Netral dalam arti bahwa
pengenaan PPN terhadap suatu barang atau jasa semata-mata untuk kepentingan aktivitas
ekonomi, bukan atas pertimbangan politik misalnya. Belum lagi bila dikaitkan dengan prinsip
akuntansi yang berlaku adalah tidak dibenarkan apabila dalam satu entitas melakukan
kegiatan transaksi.
Kebijakan penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya,
tentu tidak lepas dari kebijakan pemusatan PPN. Untuk mengimbangi kebijakan tersebut di
atas, diatur dalam pasal 1A ayat 2C UU PPN yaitu bagi PKP yang telah mendapat ijin
pemusatan PPN terutang, maka penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang
atau sebaliknya bukan merupakan objek pajak.

Ilustrasi:
PT Yudi Putra merupakan perusahaan manufaktur yang berlokasi di kota Surabaya.
Setiap barang jadi (finish goods) yang dihasilkan dikirimkan ke cabang perusahaan yang
berlokasi di wilayah yang berbeda di kota Surabaya. Untuk memasarkan produknya, PT Yudi
Putra mengirimkan barang hasil produksinya ke perusahaan lain yaitu PT UB Factory Outlet
yang berlokasi di kota Malang. Dari ilustrasi tersebut, apabila PT Yudi Putra melakukan
pemusatan PPN, pengiriman barang ke gudang tidak menimbulkan PPN terutang. Sedangkan
pengiriman barang ke PT UB Factory Outlet menimbulkan PPN terutang berupa PPN
keluaran. Apabila PT Yudi Putra tidak melakukan pemusatan atas PPNnya, maka setiap
barang keluar dari pabrik akan menimbulkan PPN terutang meskipun satu entitas.
Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12 ayat
(2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan
PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang tempat pendaftaran
dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil DJP WP Besar, KPP di
lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. Surat edaran nomor SE-
45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan pemusatan tempat Pajak
Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi Wajib
Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak Madya.

4. Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang


Dinyatakan ”Tidak Ada”
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi Pajak
Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat jawaban “tidak
Ada” dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya “Tidak Ada”, maka Faktur
Pajak dari Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga beberapa orang yang
mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN. Kedua anggapan tersebut
semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN punya klasifikasi dan
definisi sendiri-sendiri.
Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/PJ./2001 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem Informasi
Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember 2001. Tetapi
hingga saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih berlaku dan bisa dijadikan
referensi peraturan.
Pada butir 1.4.1.3.dalam penjelasan Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan bahwa
apabila jawaban klarifikasi dari KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan:
1. “Ada dan Sesuai” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam
KPP domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh PKP
penjual, maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan;
2. “Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan oleh
PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau SKP-
KBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak tersebut
dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
3. “Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena
pengusaha yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual tidak
pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang bersangkutan,
maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan; dan
4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban
klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang
dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka
Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.

Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi Pajak


Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat jawaban “Tidak
Ada” dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya “Tidak Ada”, maka Faktur
Pajak dan Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif.Bahkan ada juga beberapa orang yang
mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN.Kedua anggapan tersebut
semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN punya klasifikasi dan
definisi sendiri-sendiri.
Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut tentu akan membuat WP susah dan terpaksa
harus menempuh jalur hukum Keberatan dan Banding. Kedua proses ini harus ditempuh WP
selama lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau sekitar 2 (dua) tahunan lebih. Pada proses
Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan, biasanya koreksi pemeriksa
pajak terhadap Pajak Masukan tersebut tetap dipertahankan oleh rekan mereka di tim
penelaah/peneliti Keberatan. Alasannya biasanya sama dengan alasan pemeriksa pajak yang
sebelumnya.
Namun pada saat Banding, Majelis Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berfokus
hanya pada soal fiktif atau tidaknya Faktur Pajak yang dikreditkan oleh WP.Para hakim
biasanya tidak peduli apakah Faktur Pajak tersebut sudah dilaporkan oleh PKP penjualnya
atau belum. Artinya selama WP yang mengajukan Banding bisa membuktikan bahwa
transaksi dan Faktur Pajak yang dikreditkannya di SPT Masa PPN tidak fiktif, maka koreksi
pemeriksa pajak akan dibatalkan oleh Majelis Hakim. Permohonan Banding WP terkait
dengan Faktur Pajak tersebut umumnya bisa dikabulkan.
Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berpedoman pada prinsip bahwa kesalahan PKP
penjual karena tidak melaporkan Faktur Pajak tidak dapat direntengkan kepada WP/PKP
pembeli yang mengkreditkan Faktur Pajak tersebut.Sebab sesuai dengan ketentuan umum UU
PPN pembeli dalam hal ini memang sudah diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM
kepada PKP penjual.Kecuali jika pembeli berstatus sebagai Wapu PPN, maka pembeli tidak
diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual.
Seperti sudah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN, PKP yang
melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN maupun
PPn-BM yang terutang.Ini artinya pembeli diwajibkan untuk membayar PPN maupun PPn-
BM kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti bahwa pembeli sudah membayar PPN maupun
PPn-BM kepada PKP penjual, pembeli akan mendapatkan Faktur Pajak dari PKP penjual.
Bagi pembeli, PPN yang dibayar kepada PKP penjual ini disebut dengan Pajak Masukan.
Kemudian dalam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa Pajak Masukan
(PM) dapat atau boleh dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan pada bulan yang
sama dengan Pajak Keluaran atau dikreditkan paling lambat tiga bulan berikutnya setelah
bulan (Masa Pajak) dari Faktur Pajak Masukan tersebut. Memang, dalam Pasal 9 UU PPN
disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak boleh dikreditkan.Begitu pun dalam ketentuan
Pasal 16B UU PPN, ada beberapa kriteria PM yang tidak dapat dikreditkan.Tetapi dari
kriteria yang ditetapkan oleh kedua pasal tersebut, tidak satupun kriteria pelaporan oleh PKP
penjual.Artinya di kedua pasal tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa apabila
penjual belum atau tidak melaporkan Faktur Pajak Keluarannya, maka hilang pula hak
pengkreditan Pajak Masukan (PM) oleh pembeli.
Apabila faktur pajak masukan dikonfirmasi tidak ada, salah satu penyebabnya adalah
seperti ilustrasi sebagai berikut:

a. Ilustrasi kasus faktur pajak yang dikonfirmasi “Tidak Ada”

PT Putra telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit komputer
kepada PT Putri dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN
sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN
1984 atas transaksi tersebut adalah:
1. PT Putra menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000,-
2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
₋ lembar pertama diberikan kepada PT Putri sebagai bukti beban pajak yang
seharusnya dibayar;
₋ lembar kedua menjadi arsip PT Putra sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Putra wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas
Negara.
4. PT Putri wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Putra.
5. Bagi PT Putri, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah untuk pengkreditan
pajak dalam suatu Masa Pajak.

Jika PT. Putri tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah melunasi PPN atas
pembelian komputer tersebut? maka PT Putri dibebani tanggung jawab secara renteng atas
pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Putri) harus membayar Rp.7.000.000,- lagi.
Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal 33 yang
berbunyi:”Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar”.

b. Yang Bertanggung Jawab Secara Renteng (Pasal 4 Pp 1 Tahun 2012):

 Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran
PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1 Tahun 2012)

a) pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau
pemberi jasa; atau
b) pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.

 Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
PP 1 Tahun 2012)

c. Cara Penagihan PPN Karena Tanggung Jawab Renteng


Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Strategi
untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit pajak tidak dapat
dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin dan memenuhi
persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa faktur pajak masukan
yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.
5. Rekonsiliasi DPP PPN dengan Peredaran Usaha dalam SPT PPh Badan
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN
dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga Penyerahan)
akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya rekonsiliasi atas PPN ini
dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya menjadi perlu sekali karena
terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771 nantinya. Pada umumnya
perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT Tahunan PPh
Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul karena dua kondisi.

1. Karena karakteristik transaksi ; dan


2. Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.

Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan dan SPT
Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain disebabkan oleh:

a. Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan. Tidak semua
transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva tetap bekas (Pasal
16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
b. Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan keuangan
dengan pembuatan Faktur Pajak. Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui
penjualan disesuaikan dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia
(PSAK), yang dilakukan dengan taat asas.Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa
setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada
saat terjadinya transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak
selalu menggunakan kurs transaksi.Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-
rata dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
c. Pemberian Cash Discount. Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon
tambahan apabila pembeli dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo /
syarat pembayaran yang telah disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut
dengan Cash Discount. Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang
tercantum dalam Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli
memanfaatkan Cash Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN
akan lebih besar daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
d. Adanya kesalahan tulis atau hitung. Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga
dapat timbul atas kesalahan tulis atau kesalahan hitung (human error) dalam
pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan
rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara rutin tiap bulannya, karena
apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri. Apabila ternyata
perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil tindakan
antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) caranya sangat mudah
dan sederhana, yaitu dengan mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan 10%. Apabila
sudah didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian dan PPN
masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya. Apabila masih ada yang tertinggal belum
dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera dilakukan pembetulan
SPM dan dibayar kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap menjadi exposure (potensi
kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak masukan yang belum dilaporkan sebagai
PPN masukan, maka pilihannya adalah melakukan pembetulan SPM atau membiarkannya
dengan tidak mengkreditkan dalam SPM dan pembukuan accounting akan mencatat sebagai
beban tambahan.
Rekonsiliasi peredaran usaha menurut laporan keuangan (SPT PPh Badan) versus SPT
Masa PPN (selanjutnya disebut rekonsiliasi) dilakukan untuk memastikan bahwa semua
objek pajak baik objek PPH Badan maupun objek PPN telah dihitung dibayar/disetor
pajaknya dan dilaporkan dalam SPT sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Berikut disajikan format rekonsiliasi yang dilaksanakan dengan cara melakukan penyesuaian
atas saldo peredaran usaha menurut Laporan Keuangan (SPT PPh Badan) menuju ke Nilai
DPP yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN selama 12 bulan. Format rekonsiliasi seperti ini
yang biasanya diminta oleh auditor pajak saat dilakukan pemeriksaan oleh kantor pajak
(Direktorat Jenderal Pajak).
Format rekonsiliasi di atas merupakan format untuk rekonsiliasi yang dilakukan secara
tahunan. Format tersebut dapat diaplikasikan untuk rekonsilasi yang dilakukan secara
bulanan dengan beberapa penyesuaian. Berikut penjelasan dari format rekonsilasi di atas.

a. Penjualan/Peredaran usaha menurut Laporan Keuangan : Angka ini merupakan


angka penjualan (revenue) sesuai laporan laba rugi. Angka ini dapat juga dilihat pada
Lampiran I SPT PPh Badan baris paling atas.

b1/c1. Saldo Penjualan yang Diakru : Penjualan yang diakru adalah penjualan yang sudah
diakui dalam catatan akuntansi tetapi belum ditagih (belum diterbitka invoice penjualan).
Pengusaha Kena Pajak (PKP) boleh memilih untuk menerbitkan faktur pajak (FP) pada saat
invoice penjualan diterbitkan. Jika pilihan ini diambil maka saldo penjualan yang diakru di
akhir tahun merupakan angka penjualan yang sudah diakui dalam laporan laba rugi tetapi
belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Oleh karena itu saldo akhir dari penjualan yang
diakru (c1) harus dikurangkan dalam rekonsilisi. Sebaliknya saldo awal penjualan yang
diakru merupakan angka penjualan yang tidak diakui dalam laporan laba rugi (sudah diakui
pada laporan laba rugi tahun sebelumnya) tetapi dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Oleh
karena itu saldo awal penjualan yang diakru (b1) ditambahkan dalam rekonsilisi. Untuk
rekonsiliasi bulanan angka yang dipakai adalah angka saldo awal dan saldo akhir bulan

b2/c2. Uang Muka Penjualan : Jika pembayaran dilakukan sebelum penyerahan barang
kena pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) terjadi maka PKP wajib memungut dan
menerbitkan FP saat menerima pembayaran tersebut. Saat PKP menerima uang muka maka
akan diterbitkan FP dan atas uang muka tersebut dicatat pada akun “Uang Muka Penjualan”
(bukan akun pendapatan). Oleh karena itu saldo akhir uang muka penjualan (b2) harus
ditambahkan pada rekonsiliasi. Sebaliknya saldo awal uang muka penjualan dikurangkan.
Untuk rekonsiliasi bulanan angka yang dipakai adalah angka saldo awal dan saldo akhir
bulan

b3. Objek PPN yang Dilaporkan Sebagai Pendapatan Non Operasional : Angka
penjualan/pendapatan yang dibandingkan pada baris a merupakan angka penjualan/
pendapatan dari kegiatan utama perusahaan yang terdapat di bagian atas laporan laba rugi
(sebelum dikurangi harga pokok penjualan/beban langsung). Oleh karena itu pendapatan
yang dilaporkan pada bagian pendapatan nonoperasional yang merupakan objek PPN harus
ditambahkan dalam rekonsiliasi

e. Penyerahan yang Dilaporkan pada SPT Masa PPN : Angka ini merupakan angka
seluruh penyerahan baik yang terutang PPN maupun tidak terutang PPN yang dilaporkan
pada induk SPT Masa PPN (Formulir 1111) baris 1.C (Jumlah seluruh penyerahan)

f. Jumlah Objek PPN Kurang Dipungut (Objek PPh Kurang) : Jumlah ini harus 0 (nol).
Jika angka ini positif maka dapat diartikan terdapat objek PPN yang tidak/belum dipungut
PPN, sehingga terdapat kurang pungut PPN sebesar 10% dari angka tersebut. Sebaliknya jika
angka ini negatif maka dapat diartikan masih terdapat objek PPh Badan yang belum termasuk
dalam penghitungan PPh Badan, sehingga terdapat kurang bayar PPh Badan sebesar 25% dari
angka tersebut Salah satu opsi jika angka pada baris f ini tidak nol adalah melakukan
pembetulan SPT
Contoh Kasus Tax Planning PPN

a. Kegiatan Membangun Sendiri


PT Magetan Jaya mendirikan bangunan untuk kegiatan usahanya di bidang property
seluas 400m2 di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pembangunan tersebut
dilakukan oleh salah satu pemborong yang juga berdomisili di daerah Mampang yang belum
dikukuhkan sebagai PKP. Biaya yang harus dikeluarkan pada bulan Januari 2012 adalah 1 M,
termasuk pembelian tanah sebesar 400 juta dan PPN sebesar 150 juta.Berapakah PPN yang
harus dibayar PT Magetan Jaya pada bulan Januari?

Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan adalah kegiatan membangun bangunan baik yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan yang dilakukan oleh tukang batu atau tukang kayu harian atau pemborong bangunan
yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP, yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain. Berdasarkan PMK nomor 39/PMK.03/2010 yang juga diatur dalam
PER-27/PJ/2010 yang menjadi dasar pengenaan pajak (DPP) adalah 40% dari seluruh
pengeluaran (termasuk PPN) pada bulan yang bersangkutan tidak termasuk harga perolehan
tanah.
- Tanpa tax planning:
Jumlah PPN yang terutang: 10% x 40% x jumlah pengeluaran (kecuali harga tanah)=
10% x 40% x (1M-400 juta) = 24 juta

- Dengan tax planning:


PT Magetan Jaya mengalokasikan/mengkapitalisasikan harga pembelian bangunan ke
harga pembelian tanah sebesar 100 juta. Sehingga harga tanah menjadi 500 juta (400
juta+100 juta).
Jumlah PPN yang terutang: 10% x 40% x (1M-500 juta) =20 juta

Jadi,dengan tax planning PT Magetan Jaya dapat menghemat biaya pajak sebesar 4
juta.
b. Kegiatan Membangun sendiri yang dilakukan bertahap
Sebelum PMK nomor 39/PMK.03/2010 dan Perdirjen Pajak nomor PER-27/PJ/2010
tentang ketentuan kegiatan membangun sendiri diterbitkan, peraturan yang ada waktu itu
hanya menyebutkan bahwa yang dikenai PPN adalah luas bangunan yang dibangun 300m2
atau lebih dan tidak menyebutkan berapa jangka waktu pembangunan bangunan dianggap
sebagai satu kesatuan. Artinya, WP dapat membangun bangunan secara bertahap tanpa
dikenai pajak.
Untuk menghindari pengenaan PPN yang besar, PT Magetan Indah membangun
halaman kantornya yang direncanakan seluas 400 m perseegi secara bertahap. Pada bulan
Januari 2009 membangun seluas 200 m persegi .Tiga bulan kemudian PT Magetan Indah
meneruskan proyeknya dengan membangun seluas 200 m persegi. Atas kegiatan tersebut PT
Magetan Indah berhasil lolos dari pengenaan PPN karena waktu itu tidak ada peraturan
tentang kegiatan membangun sendiri yang mengatur tentang pembangunan secara bertahap,
yang ada hanya dikenai PPN jika membangun 300 m persegi atau lebih sedangkan PT
Magetan Indah hanya membangun 200 m persegi

c. Melakukan pemusatan pajak terutang


Sekarang dikenal adanya prinsip desentralisasi pengukuhan PKP artinya, antara
perusahaan pusat dan cabang-cabangnya diperlakukan sebagai unit-unit yang berbeda dalam
hal pengukuhan PKP. Baik pusat maupun cabang masing-masing dikukuhkan sebagai PKP
oleh Kantor Pelayanan Pajak Setempat. Jadi,setiap penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan
atau antar cabang akan dikenai PPN.
Akan tetapi, ketentuan mengenai desentralisasi pengukuhan PKP itu menjadi hilang
jika entitas yang bersangkutan memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang.
Keuntungan yang diperoleh seperti, setiap cabang tidak perlu lapor ke DJP mengenai
penyerahan BKP antarcabang sehingga compliance cost perusahaan dapat semakin ditekan.
Oleh karena itu,sebaiknya suatu entitas yang mempunyai banyak cabang meminta izin untuk
melakukan pemusatan pajak terutang.

d. Lebih sering melakukan ekspor BKP/JKP daripada penyerahan dalam negeri


Tarif PPN untuk ekspor BKP/JKP yang 0% sebaiknya dimanfaatkan PKP untuk lebih
memaksimalkan ekspornya daripada penyerahan dalam negeri. Karena Bukan hanya tariff
pajaknya saja yang jauh lebih rendah tapi juga keuntungan dalam pengkreditan pajak
masukan yang menggiurkan pun siap didapat. Seperti yang kita tahu bahwa PPN yang harus
PKP bayar adalah sejumlah pajak keluaran dikurangi dengan pajak masukan.
PT Magetan Aman adalah PKP yang bergerak dalam industry baja. Selain melakukan
penyerahan hasil industrinya di dalam negeri, PT Magetan Aman juga melakukan ekspor
hasil produksinya. Pada masa pajak Januari 2012 mempunyai pajak masukan yang dapat
dikreditkan sebesar 100 juta dan juga melakukan ekspor ke Negara Palestina sebesar 2 M.
Berapakah jumlah PPN yang harus dibayar PT Magetan Aman pada masa pajak januari
2012?
Jawab:
Pajak keluaran atas ekspor BKP : 0% x 2 M = 0
Pajak masukan yang dapat dikreditkan= 100 juta
Pajak Keluaran – pajak masukan = 0 – 100 juta = lebih bayar 100 juta

Mari kita andaikan jika penyerahan sebesar 2 M itu dilakukan dalam negeri (bukan ekspor),
maka:
Pajak keluaran atas penyerahan BKP : 10% x 2 M = 200 juta
Pajak keluaran – pajak masukan = 200 jua – 100 juta=kurang bayar 100 juta

Jadi,berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa ekspor BKP/JKP sangat menguntungkan pihak
WP.
Daftar Pustaka

Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. Modul Manajemen Perpajakan. Jakarta: IAI.

http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletKUP.pdf

http://www.konsultasipajak.com/2016/10/pengertian-pengusaha-kena-pajak-pkp.html

http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=45880

http://www.taxqwordpress.com/2018/01/15/rekonsiliasi-peredaran-usaha-menurut-lapaoran-
keuangan-SPT-PPh-Badan-vs-SPT-Masa-PPN.html

https://www.online-pajak.com/id/pengukuhan-pkp-cara-syarat-pengajuan-pkp

https://www.online-pajak.com/id/pengukuhan-pkp-cara-syarat-pengajuan-pkp

http://www.scribd.com/dokumen/266709629/session-10-tax-planning-pengendalian-atas-
PPN-presentasion-docx.html

Anda mungkin juga menyukai