Anda di halaman 1dari 3

TANTANGAN GERAKAN IMMAWATI KEDEPAN

“IMMawati Sang Pelopor Akhlak”


Oleh: IMMawati Annisa Nurul Af’idah

Tiada syukur yang lebih indah melainkan syukur nikmat keimanan dan ketaqwaan yang
tersemat di dalam hati para pengemban dakwah yang senantiasa tercurah kepada Sang Maestro
Kehidupan, Allah SWT. Masihkah kita semua ingat dengan ksiah-kisah keteladanan para
pendahulu ibunda ‘Aisyah r.a., Khadijah r.a., Fathimah r.a., serta masih banyak sekali muslimah-
muslimah lain yang berpegang teguh pada kemurnian syari’at Islam sehingga mereka bisa kita
sebut dengan para muslimah pengukir sejarah. Kisahnya yang melegenda dan abadi, meski sudah
jauh tak kita jumpai bagaimana wujud rupa dari para ibunda kita, namun nama dan legendanya
yang senantiasa mewangi sepanjang zaman. Tidakkah kita ketahui mengapa hal ini bisa terjadi?
Tak lain karena memang keteladanannya yang luarbiasa mampu kita jadikan sebaik-baik tokoh
yang menginspirasi. Kita bisa mengenal dan meneladani kisahnya bukan karena kehebatan
dalam ihwal eksistensi yang dibuatnya, namun justru karena penjagaannya yang terbaik dalam
menekuni kodratnya sebagai muslimah yang tangguh, cerdas, serta shalihah.

Kemutakhiran peradaban abad 21 telah mendatangkan banyak sekali pilihan khususnya


untuk para generasi awal bagi yang mampu memilih dan memilah. Memilih yang lurus dan
memilah antara haq dan bathil. Memilih yang lurus dan memilah antara yang haq dan bathil
berarti dalam hal menyikapi datangnya budaya baru dengan mampu membedakan trend yang
masih sesuai dan sejalan dengan syari’at Islam, atau kebalikannya yang menyimpang bahkan
sangat jauh dengan hukum dan kaidah syari’at Islam. Tak dipungkiri kehadiran kecanggihan
teknologi mampu menembus batas ruang antar lini yang tanpa disadari dapat menguntungkan
atau bahkan melalaikan. Generasi abad 21 atau bisa disebut dengan generasi Z ini sudah jauh
dimanjakan oleh jajanan media sosial yang melenakan hati, waktu, jiwa, dan pikiran. Tak
sekedar itu, bahkan sedikit demi sedikit mampu menggerus keteguhan orientasi hidup yang
sudah rapi ditanamkan sejak kecil, serta meluluh lantakan idealisme diri yang sudah terbangun
kokoh di dalam jiwa para remaja putri yang masih dalam tahap perkembangan ini. Hal ini terjadi
karena lahirnya banyak fenomena yang kian menjamur di setiap harinya, dengan berbagai
tawaran yang mampu menarik perhatian para generasi muda khususnya untuk berlomba-lomba
saling menampakkan dan menunjukkan eksistensi diri di ruang maya, yaitu ruang dimana semua
orang mampu bebas mengakses segala hal yang kita tampilkan. Artinya, ketika kita memutuskan
untuk menggunakan ruang maya atau media sosial, maka berarti kita sudah paham benar bahwa
segala hal yang kita pertontonkan akan menjadi konsumsi publik.

Fenomena semacam ini makin dianggap ringan dan sepele, anehnya lagi banyak yang
menganggapnya semacam itu adalah hal yang biasa? Bagaimana bisa? Budaya baru yang tercipta
oleh kemajuan teknologi yang jelas tidak sejalan dengan adab seorang muslim yang harusnya
jauh dari perilaku menonjolkan diri bisa dianggap lumrah? Semua ini menjadi ‘PR’ bagi kita
para pengemban amanah dakwah untuk dapat menyampaikan serta mempelopori hakikat dari
menggunakan gadget serta media sosial agar lebih produktif dan jauh dari ‘jubriya’ (ujub, kikir
dan riya’).

Maka dari itu, sudah selayaknya ini menjadi problematika yang seharusnya bisa kita
semua hadapi. Berawal dari diri sendiri. Coba tanyakan pada nurani kita masing-masing, bahwa
apakah kita termasuk dalam fenomena ini? Jawablah dengan jujur, tak perlu memungkiri. Jika
iya, hal ini memang sangat sulit untuk kita cegah, keinginan untuk bisa diakui dan dilihat orang
lain dengan apa yang kita miliki, semua itu kita rasakan. Kehebatan, kemampuan, kecerdasan,
bahkan kecantikan yang kita miliki seakan menjadi hal yang menarik untuk kita sebarluaskan
dengan sengaja dan otomatis sudah pasti menjadi bahan konsumsi publik, dan antara sadar atau
tidak, sekali lagi; kita para perempuan yang menjadi objeknya. Keinginan untuk menonjolkan
dan memperlihatkan diri yang setiap harinya membuncah bahkan sudah mencapai tahap menjadi
sebuah candu. Ironis bukan? Terlihat sepele memang, namun mengerikan. Kita lupa bahwa
sebelum fenomena ini lahirpun, Islam sudah jauh mengaturnya. Islam adalah ide dan solusi yang
paling cemerlang, sehingga memang sifatnya yang universal melampaui zaman. Kita juga lupa
bahwa identitas muslimah sekaligus sebagai IMMawati yang sudah tersemat dalam diri, adalah
identitas yang seharusnya senantiasa menyadarkan diri agar tetap dalam penjagaan yang terbaik,
yaitu penjagaan terhadap diri dari segala macam pengaruh budaya luar yang bersifat merusak
serta mengikis keagungan akhlak dan adab, tak lupa juga agar membentengi diri dari budaya
hedonis dan modernisme yang juga tercipta begitu saja tanpa kita sadari, penyebabnya pun masih
sama, yaitu modernisasi zaman yang mampu menciptakan berbagai rupa dan jenis budaya baru
sehingga membentuk suatu kebiasaan buruk yang secara perlahan jauh dari syari’at Islam.
Ada banyak sekali hal yang harus diketahui dan dipahami bagi kita perempuan muslim
sekaligus sebagai kader persyarikatan, bahwasanya ada alternatif lain agar tetap eksis tanpa
kehilangan identitas sebagai seorang muslimah yang senantiasa terikat oleh aturan syari’at Islam
dengan se-detail mungkin, karena Islam adalah agama yang memberikan solusi serta kemuliaan
kepada kita para perempuan. Mengapa demikian? Mengapa seorang muslimah begitu berharga
sehingga begitu rinci aturan Islam yang mengikatnya? Jawabannya tak lain dan tak bukan ialah
dari rahim seorang muslimah akan lahir para generasi penerus di masa mendatang, karena
menyiapkan dan membentuk generasi dimulai dari membangun terlebih dahulu identitas seorang
muslimah yang cerdas, tangguh, serta shalihah.

Untuk itu, sebagai tonggak peradaban Islam, disinilah peran IMMawati untuk senantiasa
giat dalam belajar, bekerja dan berkarya nyata. Sudah sepatutnya IMMawati mengambil langkah
sebagai pelopor dan pelangsung di tengah menjamurnya fenomena yang tak bernilai ini.
Mengarahkan dan memberi contoh nyata bagaimana akhlak seorang muslimah yang lurus, syar’i
dan bermartabat agar terciptanya generasi perempuan muslim cerdas mencerahkan yang
berkemajuan sesuai pada kemurnian agama Islam. Mengedepankan kembali sifat malu dalam diri
seorang muslimah yang memang sudah menjadi fitrahnya, mengetahui batas-batas dalam
menjalankan hak dan wewenang sebagai seorang pengemban dakwah persyarikatan, dan juga
senantiasa meng-upgrade keimanan dan ketaqwaan diri kepada Allah Swt. agar mampu menjadi
seorang yang menyempurnakan amanah. Wahai IMMawati, dirimu akan mulia, jika kau bersedia
memuliakan dirimu. Sebaliknya, dirimu akan hina jika kau tak bersedia memuliakan dirimu.
Pilihan ada ditanganmu; menjadi sebaik-baik pengaruh atau menjadi seburuk-buruk penyebab.
Satu pesan untukmu IMMawati, bahwa tak perlu menyandang identitas sebagai orang lain untuk
menjadi pribadi yang terlihat hebat, karena kita semua adalah seorang ‘leader’ bukan ‘follower’,
yakinkan sekali lagi bahwa dirimu adalah seorang IMMawati Sang Pelopor Akhlak.

Trimurjo, 31 Agustus 2017

Anda mungkin juga menyukai