Respon Time
Respon Time
Respon Time
PENDAHULUAN
1
kemampuan paru-paru dalam memompa keluar-masuk udara. Circulation yang
berarti penanganan terhadap kemampuan jantung untuk memompa darah dan
disability yang berarti penanganan terhadap kemungkinan terjadinya cacat
permanen akibat kecelakaan.1,5,6
Waktu tanggap pelayanan dapat dihitung dengan hitungan menit dan sangat
dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah tenaga maupun komponen-
komponen lain yang mendukung seperti pelayanan laboratorium, radiologi,
farmasi, dan administrasi. Waktu tanggap dikatakan tepat waktu atau tidak
terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi waktu rata-rata standar
yang ada. Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita
gawat darurat adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai kepada
penderita gawat darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau sewaktu bencana.
Keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada kecepatan yang tersedia
serta kualitas pemberian pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah
cacat sejak di tempat kejadian, dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit.
1,5,6
2
I.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi tempat penelitian
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi tenaga
kesehatan yang bertugas di IGD RS.Labuang Baji Makassar, sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan dalam penanganan trauma.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tenaga medis
Tenaga medis adalah tenaga ahli di bidang kesehatan dengan fungsi utamanya
adalah memberikan pelayanan medis kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya
dengan menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu pengobatan dan etik
yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan. 6
4
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu fasilitas terpenting dalam sebuah
rumah sakit. IGD merupakan tempat penanganan awal bagi pasien yang datang
dalam kondisi terancam nyawanya atau dalam keadaan darurat dengan kata lain
butuh penanganan dan pertolongan cepat dan tepat. Oleh karena IGD memiliki
peran yang tidak kecil, maka dibutuhkan IGD dengan fasilitas dan segala aspek
yang dapat menunjang seluruh pasien gawat darurat yang datang, terutama IGD
dalam sebuah rumah sakit yang ramai akan pasien yang datang untuk mendapatkan
penanganan segera.
Dalam simulasi ini, kami ingin melakukan sistem pemodelan IGD agar
mendapatkan sistem IGD yang efisien dan efektif sehingga para pasien gawat
darurat yang datang dapat dengan segera mendapat pertolongan yang cepat dan
tepat. 6
5
manusia terhadap cedera. Selain keadaan fisiologi mereka yang sudah ada
sebelumnya, respons masing-masing pasien terhadap cedera juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor perkembangan, sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan
memusatkan perhatian pada keunikan dari setiap orang, maka pendekatan
penatalaksanaan yang bersifat “generik” dan sembrono dapat dihindari. Karena
alur tanggung jawab merawat pasien dari departemen gawat darurat ke ruang
operasi, unit perawatan intensif, dan bagian-bagian lain, perawat harus tetap
mempertahankan kontinuitas perawatan, berperan sebagai penasehat pasien,
memastikan bahwa kebutuhan masing-masing pasien terpenuhi.
I. Primary survey
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi
diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan
efisien. Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian
resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan
ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa
terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut: 8,9,10
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (Cervikal spine control).
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/ environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermi.
A. Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan
6
sebagian, dan progresif atau berulang. Saat initial assesment pada airway, penderita
yang mampu berbicara memberi jaminan bahwa airwaynya terbuka dan tidak
dalam keadaan berbahaya. Oleh karena itu, tindakan awal yang paling penting
adalah dengan mengajak penderita berbicara dan memancing jawaban verbal.
Suatu respon verbal yang positif dan sesuai menunjukkan bahwa airway penderita
terbuka, ventilasi utuh, dan perfusi otak cukup. Tanda-tanda objektif sumbatan
airway, yaitu:9,10
(1). Lihat (look) apakah penderita mengalami agitasi atau tampak bodoh. Agitasi
memberi kesan adanya hipoksia, dan tampak bodoh memberi kesan adanya
hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan kurangnya
oksigenasi dan dapat dinilai dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut.
Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan yang merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway.
(2.) Dengar (listen) adanya suara-suara abdorrmal. Pernafasan yang berbunyi (suara
nafas tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubunagn
dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness,
dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Penderita yang melawan dan
berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan atau mabuk.
(3). Raba (Feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan apakah trakea berada ditengah.
Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh
kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera
diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw-thrust maneuver). Airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal
airway) atau nasofaringeal (nasopharyngeal airway). Karena semua tindakan-
tindakan ini mungkin mengakibatkan pergerakan pada leher, maka perlindungan
terhadap servikal (cervical spine) harus dilakukan pada semua penderita. Servikal
harus dilindungi sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan
penilaian klinis dan pemeriksaan foto rontgen yang sesuai. 8,9,10
7
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk
pemberian oksigen pada penderita. Airway yang terbuka tidaka kan berguna bagi
penderita kecuali penderita juga bernafas dengan adekuat. Ventilasi mungkin
terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh gangguan pergerakan nafas atau
depresi susunan saraf pusat. Tanda-tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat,
yaitu: 8,9,10
(1) Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat. Tiap pernafasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) harus
dianggap sebagai ancaman oksigenasi penderita.
(2) Dengar (Listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan tanda
akan adanya cedera dada.
(3) Gunakan pulse Oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi
yang adekuat.
Cara terbaik memberikan oksigen adalah dengan cara menggunakan masker
wajah yang melekat ketat dengan reservoir oksigen (tight-fitting oxygen reservoir
face mask). Cara lain misalnya kateter nasal, kanula nasal, masker nonrebreather
juga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen yang dihisap.
8
(3) Nadi
Periksa pada nadi yang besar seperti a. femoralis atau a. karotis (kiri-kanan)
untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain.
Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak
ditemukannya pulsasi pada arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi segera.
Lakukan kontrol perdarahan dengan tekanan langsung atau secara
operatif. Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line.
Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Besar arus tetesan infus yang
didapat tidak bergantung dari ukuran vena tetapi tergantung dari besar kateter
IV. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Pada saat
memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk permintaan darah dan
pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk tes kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur. Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter
cairan kristaloid, sebaiknya Ringer Lactat. Bila tidak ada respon dengan
pemberian bolus kristaloid maka diberikan transfusi darah segolongan. Jangan
diberikan vasopresor,steroid atau Bicarbonas Natricus. Juga jangan terapi syok
hipovolemik dengan infus RL atau pemberian darah secara terus-menerus,
dalam keadaan ini harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.8,9,10,11
9
hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah
dihangatkan.8
II. Resusitasi
Bila hipovolemia menyebabkan penurunan curah jantung dan perfusi tepi yang
tak adekuat, maka metabolisme aerobik pada tingkat sel jelas terganggu. Asidosis
laktat sebagai akibat metabolisme aerobik sel cepat terjadi. Di samping itu, cairan
ekstrasel hilang ke ruang intrasel karena pompa Na+ - K+ adenosin trifosfat (ATP)
gagal serta natrium dan air ekstrasel melintasi membran sel dalam pertukaran
dengan kalium. Hiperkalemia berikutnya dan kematian sel sering menyebabkan
kegagalan organ. Adanya asidosis metabolik yang parah berhubungan dengann
penurunan kontraktilitas myocardium, sehingga lebih memperburuk akibat
pengurangan aliran darah organ.
10
25 persen volume darah; Kelas III suatu perdarahan akut 30 sampai 35 persen
volume darah serta Kelas IV suatu perdarahan akut 40 sampai 50 persen volume
darah yang bersirkulasi.
Perdarahan dalam Kelas I dan Kelas II bisa diterapi dengan pemberian larutan
garam seimbang. Larutan demikian diberikan supaya menginfus sekitar 3 unit
larutan kristaloid untuk setiap unit perdarahan. Perdarahan kelas III dan IV
memerlukan pemberian larutan garam seimbang dan darah lengkap untuk
memulihkan stabilitas hemodinamik.
11
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan
harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga.
B. Pemeriksaan fisik
(1) Kepala
Survei sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan
kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena
kemungkinan bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan yang
teliti, mata harus diperiksa akan adanya:7
a. Ketajaman visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Dislocatio lentis
f. Jepitan otot bola mata
Ketajaman visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen,
membaca huruf pada botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata
harus diperiksa karena kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital.
(2) Maksilo-fasial
Trauma maksilofasial dapat menggangu airway atau perdarahan yang
hebat, yang harus ditangani saat survei primer. Trauma maksilofasial tanpa
gangguan airway atau perdarahan hebat, baru dikerjakan setelah penderita
stabil sepenuhnya dan pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan aman.
Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina
cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.8,9
(3) Vertebra servikalis
12
Penderita dengan maksilofasial atau tarauma kapitis dianggap ada
fraktur servikal atau kerusakan ligamentous servikal, pada leher kemudian
dilakukan imobilisasi sampai vertebra servikal diperiksa dengan teliti. Tidak
adanya kelainan neorologis tidak menyingkirkan kemungkinan fraktur
servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya ditegakkan setelah ada foto
servikal, dan foto ini telah diperiksa dokter yang berpengalaman.9
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri
daerah vertebra servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea dan fraktur
laring dapat ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan
auskultasi pada arteri karotis. Adanya jejas daerah arteri karotis harus dicatat
karena kemungkinan adanya perlukaan pada arteri karotis. Penyumbatan atau
diseksi arteri karotis dapat terjadi secara lambat, tanpa gejala. Angiografi atau
Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini. Kebanyakan trauma
arteri besar daerah leher atau cedera karena sabuk pengaman dapat
menyebabkan kerusakan intima, diseksi dan trombosis.9,10
(4) Toraks
Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya flail
chest atau open pneumothorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan
klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum.
Kontusio dan hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelainan dalam
rongga toraks. Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan /atau dispnoe.9
Evaluasi toraks dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik termasuk
auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks
untuk menentukan pneumotoraks, dan pada bagian posterior untuk adanya
hemotoraks. Bunyi jantung yang jauh disertai tekanan nadi yang kecil
mungkin disebabkan tamponade jantung. Adanya tamponade jantung atau
tension pneumotoraks dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis,
walaupun adanya hipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya
suara nafas dan hipersonor pada perkusi paru disertai syok mungkin satu-
satunya tanda akan adanya tension pneumotoraks, yang menandakan
perlunya dekompresi segera.9,10
(5) Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang tepat
tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi.
13
Pada saat penderita baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak
menyingkirkan diagnosis perlukaan intraabdomen, karena gejala mungkin
timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat, kalau
bisa oleh petugas yang sama. Diperlukan konsultasi ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan
neurologis, gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan
pemeriksaan fisik abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan
diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen, atau bila keadaan umum
memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras. Fraktur iga
terbawah atau pelvis akan mempersulit pemeriksaan, karena nyeri dari daerah
ini pada palpasi abdomen.9
(6) Perineum/rectum/vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter
uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rektum,
prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan
tonus musculus sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat
menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan
tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
(7) Muskuloskeletal
Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang
kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyreri, krepitasi
atau gerakan abnormal. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya
gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa
disertai fraktur. Kerusakan ligamen dapat menyebabkan sendi menjadi tidak
stabil, kerusakan otot tendo akan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi
dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan
saraf perifer atau iskemia (termasuk karena sindrom kompartemen).9
(8) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.
Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan GCS.
Bila ada cedera kepala harus segera dilakukan konsultasi neurologis. Harus
14
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perkembangan cedera intrakranial. Bila terjadi penurunan status neurologis
harus diteliti ulang perfusi, oksigenasi, dan ventilasi (ABCDE). Mungkin
diperlukan tindakan pembedahan atau tindakan lain untuk menurunkan
peninggian tekanan intrakranial. Perlunya tindakan bedah bila ada
perdarahan epidural, subdural, atau fraktur kompresi yang ditentukan oleh
ahli bedah saraf.9
15
BAB III
KERANGKA KONSEP
2005 Rumus :
16
Fasilitas Medis IGD
Fasilitas merupakan sarana bantu bagi instansi dan tenaga kesehatan
dalam melakukan pelayanan kepada pasien di rumah sakit. Fasilitas dan
penunjang yang harus tersedia selain ditentukan oleh kelas IGD rumah sakit
juga ditentukan oleh jumlah kasus yang ditangani.
Ketanggapan dan kinerja tenaga Dokter
Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) berupa produk
atau jasa yang dicapai seseorang atau kelompok dalam menjalankan
tugasnya, baik kualitas maupun kuantitas melalui sumber daya manusia
dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja terdiri dari
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal (disposisional) yaitu
faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kinerja
seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan
seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja
jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang
tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.
Faktor Eskternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang
yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan
rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi.13,14,15
Ketanggapan dan kinerja tenaga medis berhubungan dengan aspek
kesigapan tenaga medis dalam penanganan dan pelayanan pasien di rumah
sakit. Terdapat beberapa indikator untuk minilai kinerja dokter yaitu, Seluruh
dokter memiliki privilege, kelengkapan jumlah dan jenis spesialis, memiliki
izin praktek yang syah, bersertifikat ATLS (IGD) mengikuti pelatihan teknis
20 jam setahun, ketepatan waktu pelayanan, time reponse pelayanan, time
Motion pelayanan, pelayanan sesuai protap dan standar mutu, menerapkan
program patient safety, jumlah pasien yang dilayani, kepuasan Pasien
terhadap dokter, besaran pendapatan yang dihasilkan dokter, tidak adanya
tuntutan terhadap dokter. 14
17
III.2. Kerangka konsep
Respon Time
Kinerja tenaga Dokter dalam
Penanganan Trauma
pemberian pertolongan
di IGD
Ket :
18
petugas instalasi gawat darurat dengan waktu pelayanan yang diperlukan
pasien sampai selesai proses penanganan.
Kriteria Objektif: 2
Tepat : Waktu tanggap (respon time) dikatakan tepat waktu atau tidak
terlambat apabila waktu tanggap ≤ 5 menit
Terlambat : Waktu tanggap (respon time) dikatakan terlambat apabila
waktu tanggap > 5 menit
19
o Ambulans
Belum Cukup : < 80 % alat dan fasilitas medis tersedia di IGD
- Kinerja tenaga medis
Yang dimaksud adalah kinerja tenaga medis dalam pemberian pertolongan
pertama pada pasien trauma di IGD RS. Labuang Baji Makassar. Indikator
yang digunakan dalam penilaian kinerja tenaga medis pada penelitian ini
adalah ketepatan waktu pelayanan dan pernah mengikuti pelatihan
kegawatdaruratan.
Baik : Ketanggapan dan kinerja baik, jika tepat waktu pelayanan
dan pernah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan.
Kurang : Ketanggapan dan kinerja kurang, jika tidak tepat waktu
pelayanan dan tidak pernah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan.
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
21
Tenaga medis yang mengisi dan mengembalikan kuesioner penelitian
Data rekam medik pasien yang tertera keterangan waktu datang dan
waktu respon time
b. Kriteria Eksklusi
Tenaga medis perawatan yang tidak berada di IGD RS Labuang Baji
selama periode penelitian.
Tenaga medis yang tidak mengisi dan mengembalikan kuesioner
penelitian
Data rekam medik pasien yang tidak tertera keterangan waktu datang
dan waktu respon time
22
3. Entry data yang sudah dilakukan pengkodean dimasukkan kedalam komputer
dengan menggunakan program SPSS untuk dilakukan analisa data.
DAFTAR PUSTAKA
3. Purnama DI. 2008. Evaluation of Obstetric Emergency Referral Cases at Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital January - December 2008. Skripsi. Jakarta.
4. Pranowo KT, Hendrik. 2006 Pengaruh waktu Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Medis terhadap Mutu Pelayanan di Instalasi Gawat Daurat Bantul. Skripsi.
Yogyakarta.
5. Haryatun N. 2008. Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Kategori 1 – V di Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Moewardi:
Jawa Tengah.
6. Pratiwi A, Panggah W. 2008. Hubungan Beban Kerja Dengan Waktu Tanggap
Perawat Gawat Darurat Menurut Persepsi Pasien Di Instalasi Gawat Darurat RSU.
Pandan Arang Boyolali. Jawa Tengah.
7. Manuaba TW. Tindak bedah organ dan sistem organ payudara. In: R. Sjamsuhidayat,
Jong WD, editor. Buku ajar ilmu bedah. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 388- 401.
8. Driscoll P, David Skinner. Initial assessment and management Primary Survey
Peter Driscoll. available at
www.primarytraumacare.org/PTCmain/Training/pdf/PTCC_INDO.pdf
9. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Edisi 7. Komisi Trauma “IKABI”
2004.
10. Dries D. Initial Evaluation of the Trauma Patient. Update on 2 January 2012,
available at http://www.medscape.com
23
12. Anjaryani WD. 2009. Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Perawat di
RSUD Tugurejo Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro: Semarang.
13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Tentang Standar Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit. Jakarta.
14. Permana HP. 2007. Indikator Kinerja Rumah Sakit. Update on 26 th January 2012,
available at Indikator Kinerja RS-Hanna Subanegara.pdf.
15. Pranowo KT, Hendrik. 2006 Pengaruh waktu Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Medis terhadap Mutu Pelayanan di Instalasi Gawat Daurat Bantul. Skripsi.
Yogyakarta.
24
Level IV
Memberikan pelayanan sebagai berikut:
1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A, B, C dengan alat- alat yang lebih
lengkap termasuk ventilator
2. Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi
3. Observasi HCU/R. Resusitasi –ICU
4. Bedah cito
Level III
Memberikan pelayanan sebagai berikut:
1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A, B, C dengan alat- alat yang lebih
lengkap termasuk ventilator
2. Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi
3. Observasi HCU/R. Resusitasi –ICU
4. Bedah cito
Level II
Memberikan pelayanan sebagai berikut:
1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A: Jalan nafas (Airway problem) B:
Pernafasan (Breathing problem) dan C: Sirkulasi pembuluh darah (Circulation
problem)
2. Penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi
3. Bedah cito
Level I
Memberikan pelayanan sebagai berikut:
25
1. Diagnosis dan penanganan : Permasalahan pada A: Jalan nafas (Airway problem) B:
Pernafasan (Breathing problem) dan C: Sirkulasi pembuluh darah (Circulation
problem)
2. Melakukan Stabilisasi dan evakuasi
26
Kualifikasi
Tenaga
Dokter Semu - - -
Subspesialis a jenis
on
call
Dokter Spesialis - 4 - Bedah, - Anak, Bedah
Besar obgyn, Penyak ,
+ - Anak, it obgyn
Anast Penyakit Dalam
esi on Dalam on on call
site site (dokter
- (dr spesialis
Spesia lain on call
lis on
call)
Dokter PPDS On On site 24 - -
site jam (Rs
24 Pendidikan
jam )
Dokter Umum On On site 24 On site On
(+Pelatihan site jam 24 jam site 24
Kegawatdaruratan 24 jam
) GELTS, ATLS, jam
ACLS dll
Perawat Kepala Jam Jam kerja / Jam Jam
S1, kerja / Diluar jam kerja / kerja /
DIII(+Pelatihan Diluar kerja Diluar Diluar
Kegawat jam jam jam
Daruratan) kerja kerja kerja
Emergency
Nursing, BTLS,
BCLS dll
27
Perawat On On site 24 On site On
(+Pelatihan site jam 24 jam site 24
Emergency 24 jam
Nursing) jam
Non Medis On On site 24 On site On
Bagian Keuangan site jam 24 jam site 24
Kamtlb (24 jam) 24 jam
Pekarya (24 jam) jam
1. Pengertian – Pengertian
1. Pasien Gawat Darurat : adalah Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat
atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi
cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
2. Pasien Gawat Tidak Darurat : adalah Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.
3. Pasien Darurat Tidak Gawat : adalah Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba,
tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota badanya, misalnya luka sayat dangkal.
4. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat : adalah pasien yang datang dalam keadaan baik
tidak mengancam nyawa dan anggota badannya, misalnya pasien dengan ulcus tropicum.
5. Kecelakaan (accident) adalah suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai faktor
yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehingga menimbulkan cedera (fisik, mental,
social).
28
Pembedaan minor
Tenaga medis
Dokter - dokter IGD memiliki latar belakang pendidikan :
Serta pelatihan – pelatihan lain yang sangat diperlukan dalam menangani kasus – kasus gawat
darurat.
Fasilitas :
IGD RS. Usada Insani memiliki sarana serta prasarana yang memadahi, berkapasitas 11 tempat
tidur yaitu :
Ventilator Ambulatory
Peralatan Resusitasi
Ruang observasi
Ambulans
IGD RS. usada Insani menerima pasien yang berobat baik pasien umum, asuransi dan pasien
jaminan perusahaan
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini
memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan sosial dan dapat menyebabkan hilangnya
produktivitas seseorang. Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok
umur di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor
empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama.7
29
Trauma dpat didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat pemajanan akut tubuh
kesuatu bentuk energi atau akibat ketiadaan suatu bahan esensial misalnya oksigen dan
panas (Shechy,1989). Walaupun jaringan memiliki elastisitas untuk menyerap energi,
namun apabila kemampuan tersebut terlampaui maka akan terjadi cedera. Cedera dapat
terbatas pada satu organ atau sistem, misalnya pada kecelakaan lalu lintas yang banyak
mengakibatkan cedera pada kepala, dada, perut, dan tulang.
Tidak seperti penyakit progresif, trauma adalah suatu kejadian akut. Dalam
beberapa detik, kondisi pasien trauma dapat bergeser dari keseimbangan relatif menjadi
stres fisiologis yang berat. Derajat stres bergantung pada faktor-faktor misalnya
keparahan cedera yang dialami, efektivitas usaha resusitasi, usia dan patofisiologi yang
sudah ada sebelumnya (Richardson & Rodriguez, 1987). Anak, lansia, dan pasien yang
sudah mengidap penyakit lain dapat meninggal akibat stres dalam waktu yang lebih
cepat dan memiliki resiko mengalami komplikasi yang lebih besar. Di pihak lain tubuh
anak yang lebih besar dan orang dewasa muda yang sehat dapat melakukan kompensasi
lebih lama sehingga deteksi cedera yang samar menjadi lebih sulit.
30