Anda di halaman 1dari 6

TINDAK PIDANA PEMILU

Oleh :

PETRUS HABA PAU 1311600038

INDAH NOVITASARI 1311600077

NURINA AYUNINGTYAS 1311600142

RIZKY PRAYOGI PRIBADI 1311600198

HANIEF KURNIAWAN 1311600203


TINDAK PIDANA PEMILU

A. Tindak Pidana Pemilu

Sebelum melakukan kajian secara mendalam mengenai peraturan hukum yang


mengatur tentang tindak pidana pemilu di Indonesia, perlu terlebih dahulu kita pahami apa
yang dimaksud dengan pemilu, serta hal yang berhubungan dengan pemilu itu sendiri.
Berikut adalah sedikit gambaran mengenai pemilu maupun tindak pidana pemilu.

1. Pengertian Pemilu
Pemilu (Pemilihan Umum) adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan
rakyat dalam Negara Republik Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan berdasarkan
Demokrasi Pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung,
umum, bebas dan rahasia (Wancik Saleh, Pemilu 1982, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982).
Menurut Ramlan Surbakti, Pemilu diartikan sebagai mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau
partai yang dipercayai (Ramlan Surbakti, Penanganan Pelanggaran Pemilu,
Kemitraan, Kemitraan, 2011).
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2017, Pemilihan
Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Setelah uraian pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa Pemilihan
Umum adalah perwujudan kedaulatan rakyat untuk secara demokratis memilih
pemimpin yang akan membentuk pemerintahan, serta memilih wakil-wakil rakyat
untuk mengawasi jalannya pemerintahan, menyalurkan aspirasi politik rakyat,
membuat undang-undang serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja
Negara.

2. Pengertian Tindak Pidana


Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya (Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990).
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung pengertian
dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran
dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam
lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang
bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Bambang Poernomo, Asas-
asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980).
Pengertian tindak pidana menurut Wirjono Projodikoro sebenarnya
merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht atau KUHP, yaitu delict
yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan
pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana (Wirjono Projodikoro,
Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011).

3. Pengertian Tindak Pidana Pemilu


Dari uraian di atas, jelas apa itu perbuatan/tindak pidana. Namun hanya
dengan pengertian tersebut, belumlah cukup untuk menyimak lebih mendalam hal-
hal yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu, baik yang dianggap sebagai suatu
kejahatan maupun pelanggaran.
Rumusan atau definisi tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dijelaskan secara rinci, apa yang dimaksud
dengan tindak pidana. Padahal dalam penyusunan naskah undang-undang hal-hal
yang menyangkut ketentuan umum mestinya diberikan definisi dalam ketentuan-
ketentuan umum di bagian awal.
Pengertian tindak pidana pemilu dalam kepustakaan sebagaimana
dikemukakan oleh Djoko Prakoso, tindak pidana pemilu adalah setiap orang atau
badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,
mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum
yang diselenggarakan menurut undang-undang (Djoko Prakoso, Tindak Pidana
Pemilu, Sinar Harapan, Jakarta, 1987). Topo Santoso memberikan definisi tindak
pidana pemilu dalam tiga bentuk meliputi: (Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu,
Sinar Grafika, Jakarta, 2006)
1. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu
yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu.
2. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu
(misalnya dalam Undang-Undang Parpol ataupun dalam KUHP).
3. Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk
pelanggaran lalu lintas, penganiayaan kekerasan, perusakan, dan
sebagainya).

B. Pengaturan Tindak Pidana Pemilu

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam KUHP Indonesia, terdapat lima pasal yang mengatur mengenai


tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Lima pasal yang
terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana “Kejahatan
terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan” adalah:

1. Pasal 148 KUHP (Merintangi orang menjalankan haknya dalam


memilih)
2. Pasal 149 KUHP (Penyuapan)
3. Pasal 150 KUHP (Perbuatan tipu muslihat)
4. Pasal 151 (Mengaku sebagai orang lain)
5. Pasal 152 (Menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau
melakukan tipu muslihat)
Seperti yang telah disebut, ketentuan mengenai tindak pidana pemilu
memang dimuat dalam KUHP mulai dari Pasal 148-152, namun demikian KUHP
merupakan sumber hukum pidana materiil yang hanya mengatur mengenai aspek-
aspek hukum substantif dan tidak mengatur mengenai hukum acara. Di Indonesia
hukum acara pidana diatur diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Sebelum berlakunya
KUHAP landasan hukum acara pidana di Indonesia adalah HIR yang merupakan
produk hukum warisan Belanda yang berlaku hinggan tahun 1981. Perlu dicatat
pula bahwa pasal-pasal tindak pidana pemilu di dalam KUHP tidak pernah
diterapkan atas tindak pidana pemilu mengingat ketika pemilu pertama tahun 1955,
sudah ada tindak pidana pemilu yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1953. (Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006)

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum


Disamping tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP, juga diatur lebih
rinci dan tegas terhadap tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
2017. Adapun yang mengatur tindak pidana dalam undang-undang ini adalah pada
Buku Kelima mengenai Tindak Pidana Pemilu, dengan perincian sebagai berikut:
 Bab I mengatur mengenai penanganan tindak pidana pemilu
 Bagian Kesatu (Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Pemilu) yaitu
Pasal 476 hingga Pasal 484.
 Bagian Kedua (Majelis Khsus Tindak Pidana Pemilu) yaitu Pasal
485.
 Bagian Ketiga (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) yaitu Pasal 486
hingga Pasal 487.
 Bab II mengatur mengenai ketentuan pidana pemilu yang berisi sanksi-
sanksi pidana pemilu, yaitu Pasal 488 hingga Pasal 554.

C. Tindak Pidana Pemilu sebagai Delik Tertentu di Luar KUHP/Delik Administrasi

Seperti yang telah dijelaskan di subbab sebelumya bahwa pengaturan mengenai


tindak pidana pemilu sebenarnya telah disebut dalam KUHP, namun seperti yang kita
ketahui juga, di luar itu terdapat Undang-Undnag No. 7 Tahun 2017 yang serta merta
mengatur perihal Pemilu dengan lebih rinci dan tegas. Dengan diselenggarakannya
pemilihan serentak, maka senantiasa diperlukan perbaikan peraturan perundang-undangan
sebagai refleksi dan dan evaluasi. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan perangkat
hukum yang memiliki kekhususan untuk mendukung pelaksanaan pemilu tersebut. Selain
khusus mengatur pelaksanaan pemilu, ketentuan hukum ini juga mengatur mengenai
penanggulangan pelbagai masalah penyelenggaraan pemilu dengan memuat ketentuan
pidana berupa sanksi bagi yang melanggar.

Berkaitan dengan istilah kekhususan, yang melekat pada Undang-Undang Pemilu,


maka perlu dibahas mengenai kualifikasi kekhususan dari Undang-Undang Pemilu ini.
Sudarto menegaskan bahwa, dalam hukum pidana khusus itu terdapat ketentuan-
ketentuan yang menyimpang dari hukum pidana umum, yang menyangkut sekelompok
orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Kekhususan dari hukum pidana militer tidak
dapat disangkal dan tampak jelas. Asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum pidana
umum, harus diperhatikan dan penyimpangan itu ada, apabila diperlukan untuk
kepentingan militer atau dalam keadaan khusus dimana angkatan bersenjata itu berada
(Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006).

Begitu pula halnya dengan undang-undang ‘khusus’ lainnya seperti Undnag-


Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang secara khusus menyatakan secara
jelas kekhususannya dengan mengidentifikasi dirinya sebagai undang-undang khusus
tindak pidana. Sehingga dapat pula dikatakan, Undang-Undang Pemilu ini bukan hukum
pidana khusus, karena sebenarnya undang-undang ini dikualifikasikan sebagai hukum
administratif, dan apabila ada segi hukum pidananya, itupun bersifat khas, ialah bersifat
administratif. Perluasan dari tugas penguasa (overheid), mengakibatkan makin luas pula
delik-delik seperti ini. Delik-delik ini bisa disebut delik administrasi atau juga delik-delik
tertentu di luar KUHP. Dengan kata lain, undang-undang ini bentuknya adalah perundang-
undangan yang bersifat administrasi; karena khusus menetapkan tujuan pemilu yang
diaturnya, menentukan penggunaan sistem pemilihan, mengatur proses pelaksanaan,
memuat peraturan pelaksanaan atau peraturan teknis, memberikan pedoman dan prosedur
teknis pelaksanaan pemilu. Namun dikualifikasikan sebagai delik tertentu di luar KUHP
karena di dalamnya selain memuat sanksi administratif, juga dimuat ketentuan pidana
berupa ancaman penjara dan denda. Bentuk kekhususan yang sistematis dari asas lex
specialis derogat legi generali; menurut Pasal 63 ayat (2) KUHP.

Anda mungkin juga menyukai