Anda di halaman 1dari 20

hPengertian Batik

Batik merupakan budaya yang telah lama berkembang dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kata
batik mempunyai beberapa pengertian. Menurut Hamzuri dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik,
pengertian batik merupakan suatu cara untuk memberi hiasan pada kain dengan cara menutupi
bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat perintang yang sering digunakan ialah
lilin atau malam.kain yang sudah digambar dengan menggunakan malam kemudian diberi warna
dengan cara pencelupan.setelah itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya
dihasilkan sehelai kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai sifat-sifat khusus.
Secara etimologi kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu”tik” yang berarti titik / matik (kata kerja,
membuat titik) yang kemudian berkembang menjadi istilah ”batik” (Indonesia Indah ”batik”, 1997, 14).
Di samping itu mempunyai pengertian yang berhubungan dengan membuat titik atau meneteskan
malam pada kain mori. Menurut KRT.DR. HC. Kalinggo Hanggopuro (2002, 1-2) dalam buku Bathik
sebagai Busana Tatanan dan Tuntunan menuliskan bahwa, para penulis terdahulu menggunakan
istilah batik yang sebenarnya tidak ditulis dengan kata”Batik” akan tetapi seharusnya”Bathik”. Hal ini
mengacu pada huruf Jawa ”tha” bukan ”ta” dan pemakaiaan bathik sebagai rangkaian dari titik adalah
kurang tepat atau dikatakan salah. Berdasarkan etimologis tersebut sebenarnya batik identik
dikaitkan dengan suatu teknik (proses) dari mulai penggambaran motif hingga pelorodan. Salah satu
yang menjadi ciri khas dari batik adalah cara pengambaran motif pada kain ialah melalui proses
pemalaman yaitu mengoreskan cairan lilin yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan
cap.

Sejarah Perkembangan Batik


Ditinjau dari perkembangan, batik telah mulai dikenal sejak jaman Majapahit dan masa penyebaran
Islam. Batik pada mulanya hanya dibuat terbatas oleh kalangan keraton. Batik dikenakan oleh raja
dan keluarga serta pengikutnya. Oleh para pengikutnya inilah kemudian batik dibawa keluar keraton
dan berkembang di masyarakat hingga saat ini. Berdasarkan sejarahnya, periode perkembangannya
batik dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Jaman Kerajaan Majapahit


Berdasarkan sejarah perkembangannya, batik telah berkembang sejak jaman Majapahit. Mojokerto
merupakan pusat kerajaan Majapahit dimana batik telah dikenal pada saat itu. Tulung Agung
merupakan kota di Jawa Timur yang juga tercatat dalam sejarah perbatikan. Pada waktu itu, Tulung
Agung masih berupa rawa-rawa yang dikenal dengan nama Bonorowo, dikuasai oleh Adipati Kalang
yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Majapahit hingga terjadilah aksi polisionil yang dilancarkan
oleh Majapahit. Adipati Kalang tewas dalam pertempuran di sekitar desa Kalangbret dan Tulung
Agung berhasil dikuasai oleh Majapahit. Kemudian banyak tentara yang tinggal di wilayah Bonorowo
(Tulung Agung) dengan membawa budaya batik. Merekalah yang mengembangkan batik. Dalam
perkembangannya, batik Mojokerto dan Tulung Agung banyak dipengaruhi oleh batik Yogyakarta. Hal
ini terjadi karena pada waktu clash tentara kolonial Belanda dengan pasukan Pangeran Diponegoro,
sebagian dari pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur di daerah Majan. Oleh karena itu,
ciri khas batik Kalangbret dari Mojokerto hampir sama dengan batik Yogyakarta, yaitu dasarnya putih
dan warna coraknya coklat muda dan biru tua.

Jaman Penyebaran Islam


Batoro Katong seorang Raden keturunan kerajaan Majapahit membawa ajaran Islam ke Ponorogo,
Jawa Timur. Dalam perkembangan Islam di Ponorogo terdapat sebuah pesantren yang berada di
daerah Tegalsari yang diasuh Kyai Hasan Basri. Kyai Hasan Basri adalah menantu raja Kraton Solo.
Batik yang kala itu masih terbatas dalam lingkungan kraton akhirnya membawa batik keluar dari
kraton dan berkembang di Ponorogo. Pesantren Tegalsari mendidik anak didiknya untuk menguasai
bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama yang dapat dilihat sekarang adalah
daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan meluas ke desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari,
Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut.

Batik Solo dan Yogyakarta


Batik di daerah Yogyakarta dikenal sejak jaman Kerajaan Mataram ke-I pada masa raja Panembahan
Senopati. Plered merupakan desa pembatikan pertama. Proses pembuatan batik pada masa itu
masih terbatas dalam lingkungan keluarga kraton dan dikerjakan oleh wanita-wanita pengiring ratu.
Pada saat upacara resmi kerajaan, keluarga kraton memakai pakaian kombinasi batik dan lurik.
Melihat pakaian yang dikenakan keluarga kraton, rakyat tertarik dan meniru sehingga akhirnya
batikan keluar dari tembok kraton dan meluas di kalangan rakyat biasa.
Ketika masa penjajahan Belanda, dimana sering terjadi peperangan yang menyebabkan keluarga
kerajaan yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah lain seperti Banyumas, Pekalongan, dan ke
daerah timur Ponorogo, Tulung Agung dan sebagainya maka membuat batik semakin dikenal di
kalangan luas.

Batik di Wilayah Lain


Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja. Pada tahun 1830 setelah perang
Diponegoro, batik dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegoro yang sebagian besar
menetap di daerah Banyumas. Batik Banyumas dikenal dengan motif dan warna khusus dan dikenal
dengan batik Banyumas. Selain ke Banyumas, pengikut Pangeran Diponegoro juga ada yang
menetap di Pekalongan dan mengembangkan batik di daerah Buawaran, Pekajangan dan
Wonopringgo.
Selain di daerah Jawa Tengah, batik juga berkembang di Jawa Barat. Hal ini terjadi karena
masyarakat dari Jawa Tengah merantau ke kota seperti Ciamis dan Tasikmalaya. Daerah
pembatikan di Tasikmalaya adalah Wurug, Sukapura, Mangunraja dan Manonjaya. Di daerah Cirebon
batik mulai berkembang dari keraton dan mempunyai ciri khas tersendiri.
Sejarah teknik batik

Tekstil batik dari Niya (Cekungan Tarim), Tiongkok.

Detail ukiran kain yang dikenakanPrajnaparamita, arca yang berasal dari Jawa Timur abad ke-13. Ukiran
pola lingkaran dipenuhi kembang dan sulur tanaman yang rumit ini mirip dengan pola batik tradisional
Jawa.

Seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakanmalam adalah salah
satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak
abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk
membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkoksemasa Dinasti
T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik
seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba diNigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[2].
Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat
populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis
sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia Iatau sekitar tahun 1920-
an.[3]

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah
tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan
dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.[2] Di sisi lain,J.L.A. Brandes (arkeolog
Belanda) dan F.A. Sutjipto (sejarawan Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari
daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, danPapua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut
bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat
batik.[4]

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12
di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan
menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada
masa sekitar itu.[4] Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita,
arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola
sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa
yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang
hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih
awal.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang
Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140
lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu
memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam
dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang
Sultan kecewa.[5] Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of
Java (London, 1817) tulisan SirThomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di
Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van
Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke
Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa
keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik
Indonesia memukau publik dan seniman.[2]

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis
baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang
diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis.
Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Wilayah Persekutuan Malaysia juga membawa
Batik bersama mereka.

Sekarang batik sudah berkembang di beberapa tempat di luar Jawa, bahkan sudah ke manca
negara. Di Indonesia batik sudah pula dikembangkan di Aceh dengan batik Aceh, Batik Cual di
Riau, Batik Papua, batik Sasirangan Kalimantan, dan Batik Minahasa.

Budaya batik
Pahlawan wanita R.A. Kartini dan suaminya memakai rok batik. Batik motif parang yang dipakai Kartini
adalah pola untuk para bangsawan.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau
menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada
masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya
"Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa
pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang
bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", di mana di beberapa daerah pesisir pekerjaan
membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala
suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat
menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya
dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta danSurakarta.
Batik Cirebon bermotif mahluk laut

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada.
Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu
itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Batik dipakai untuk membungkus seluruh tubuh oleh penari Tari Bedhoyo Ketawang di keraton Jawa.

Corak batik
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik
memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh
kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang
asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan
oleh Tionghoa, yang juga memopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil
minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal
(seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta
kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap
mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya
masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Cara pembuatan
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapasyang
dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain
sepertisutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan
cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas
untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah
dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari
warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua
atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke
dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Jenis batik

Pembuatan batik cap.


Pembuatan batik tulis.

Menurut teknik

 Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan.
Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
 Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan
cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu
kurang lebih 2-3 hari.
 Batik lukis adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih.
Menurut asal pembuatan
Batik Jawa

Sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai
orang Jawa dari turun temurun. Batik Jawa mempunyai motif-motif yang berbeda-beda.
Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarnakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya
bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur
mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Buddha. Batik jawa
banyak berkembang di daerah Solo atau yang biasa disebut dengan batik Solo.
Asal Usul Batik
Ditinjau dari sejarah, asal usul batik bermula sejak abad ke-17 Masehi. Pada masa itu, corak batik ditulis-
lukiskan pada daun lotar dan papan rumah adat Jawa. Awalnya, pola atau motif batik hanya didominasi
oleh gambar tanaman atau binatang. Para pengrajin corak batik juga masih sangat terbatas jumlahnya.
Mereka hanya membuat corak batik sebagai wujud pelampiasan hasrat seni dan keisengan yang
dilakukan untuk mengisi waktu luang.

Pada perkembangannya, asal usul batik mulai menarik perhatian pembesar kerajaan Majapahit. Motif-
motif abstrak, motif candi, awan, wayang beber, dan lain sebagainya mulai dikembangkan pada masa itu.
Penulisan batik pun mulai ditujukan pada media yang berbeda. Kain putih atau kain-kain berwarna terang
menjadi pilihan utama karena dianggap lebih tahan lama dan bisa digunakan untuk pemanfaatan yang
lebih banyak.

Kepopuleran kain batik kian bersinar. Pembesar-pembesar kerajaan Majapahit, Mataram, Demak, dan
kerajaan-kerajaan setelahnya, menjadikan kain batik sebagai simbol budaya. Khusus pada masa pengaruh
Islam, motif batik yang berwujud binatang ditiadakan. Penggunaan motif ini dianggap menyalahi syariat
Islam sehingga tidak diperkenankan kecuali dengan menyamarkannya menggunakan lukisan-lukisan lain.

Terkait dengan teknik pembuatannya, pada masa itu batik tulis merupakan satu-satunya teknik yang
digunakan. Dalam proses pengerjaannya, pewarnaan pun masih menggunakan bahan pewarna alami
yang dibuat dari sendiri menggunakan tanaman-tanaman seperti daun jati, tinggi, mengkudu, pohon nila,
dan soga. Sedangkan untuk bahan sodanya, para pembatik masa itu menggunakan soda abu dan tanah
lumpur.

Penggunaan kain batik yang sebelumnya hanya terbatas di lingkungan keraton, lambat laun mulai
dikembangkan oleh rakyat jelata. Hal ini membuat corak batik kian beragam sesuai dengan minat dan
jiwa seni para pembuatnya.

Asal usul batik juga tak lepas dari perkembangan teknologi. Pada masa sebelumnya teknik batik tulis
menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat motif batik, setelah perang dunia I atau
setelah modernisasi kian menjamur, teknik batik cap dan batikprinting pun mulai dikenal. Kedua teknik
batik ini sendiri dianggap sebagai teknik pembatikan yang sangat efisien dan tidak memakan banyak
waktu, meskipun secara kualitas dinilai kurang memiliki nilai estetis.

Sejarah perkembangan batik tidak hanya berhenti sampai di situ. Di era sekarang, batik bukan hanya
dikenal sebagai corak pakaian semata. Berbagai pernik pelengkap penampilan dalam kehidupan sehari-
hari seperti tas, sepatu, dasi, hingga helm, juga sudah menggunakan batik sebagai motifnya. Bahkan,
pakaian-pakaian sekolah, kedinasan, dan lain sebagainya juga menggunakan motif ini sebagai pilihan
utama.

Nah, demikianlah pemaparan sekilas kami mengenai asal usul batik Indonesia dan perkembangannya.
Mari kita lestarikan warisan nenek moyang bangsa Indonesia ini dengat terus mengenakannya dan
memperkenalkannya pada anak cucu kita.

Sejarah Batik Indonesia


Batik berasal dari gabungan dua kata bahasa jawa yaitu “amba” yang berarti menulis dan “titik”
yang berarti titik. Sejak abad XVII ketika itu, nenek moyang kita telah mengenal sistem melukis
pada permukaan daun lontar. Pada masa itu, motif batik di dominasi dengan bentuk tanaman dan
binatang. Sejarah pembantikan di Indonesia mulai mengalami perkembangan dan memiliki
keterkaitan dengan sejarah kerajaan di Indonesia. Hal ini mempengaruhi pola dan corak
perkembangan batik, mulai muncul corak lukisan tanaman, binatang dan perlahan motif beralih
ke arah yang lebih abstrak, seperti motif menyerupai awan, wayang, relief hingga candi. Bahan
yang digunakan saat itu adalah kain putih yang merupakan hasil tenunan sendiri. Sedangkan
untuk membuat pola dan gambar, menggunakan pewarna alami yang yang berasal dari tumbuhan
seperti pohon mengkudu, nila dan soga. Begitu pula dengan soda yang terbuat dari soda abu dan
garamnya berasal dari lumpur. Pada zaman ini, kain batik sangat terbatas dan hanya digunakan
oleh keluarga kerajaan saja. Lambat laun semakin berkembang dan menjadi pakaian yang
digemari oleh rakyat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini yang membuat corak
batik kian beragam sesuai dengan minat dan jiwa seni dari para pembuatnya.

Macam-macam Teknik Membatik


1. Teknik batik canting tulis

Canting adalah alat yang terbuat dari tembaga berbentuk seperti corong. Canting dipakai
untuk membuat batik tulis. Corong di dalam canting berfungsi untuk menorehkan lilin
kain batik sesuai pola yang sudah dibuat. Batik dengan teknik ini bernilai sangat tinggi
dan mahal, karena pembuatan yang masih sangat tradisional dan sangat memperhatikan
setiap pola seni yang dibuat, teknik ini juga membutuhkan waktu yang cukup lama.

2. Teknik batik celup ikat


Teknik yang agak berbeda karena tidak menggunakan malam (lilin). Cara pembuatannya
adalah kain diberi kelereng dan diikat sekencang mungkin. Fungsi kelereng didalam kain
sebagai pembentuk pola. Teknik ini adalah teknik yang mudah dan tidak membutuhkan
waktu yang lama.

3. Teknik batik coletan

Teknik batik ini dibuat dengan cara dilukis dengan menggunakan kuas sesuai pola yang
sudah dibuat. Kuas dalam teknik membatik ini berbentuk sapu dalam ukuran kecil.
Teknik ini terlihat mudah, namun tetap saja dibutuhkan ketelitian untuk menciptakan
bentuk kesenian batik yang sempurna.

4. Teknik batik cap

Teknik batik ini, cap menggunakan canting. Perbedaan dengan canting tulis, canting
dengan teknik cap ini terbuat dari kepingan plat atau logam berbentuk gambar yang
menonjol. Kelebihan dari teknik cap adalah bentuknya yang rapih, pembuatannya cepat
dan harga yang ditawarkan lebih terjangkau.

5. Teknik batik printing

Seiring berjalannya waktu, teknik batik sudah semakin berkembang. Hal ini ditandai
dengan munculnya teknik batik printing. Teknik ini memerlukan alat teknologi canggih
untuk membuat pola dan menggambarnya sedemikian rupa, kemudian dicetak/ print di
kain yang sudah disediakan. Teknik printing membatik banyak digunakan di pabrik
tekstil, karena dapat menghasilkan jumlah banyak dan waktu yang singkat. Batik printing
sering dibuat di Cina, kain yang diciptakan di Cina berwarna cerah dan mencolok dan
tidak muduh luntur.

Beberapa Contoh Motif Batik


1. Motif kawung
Batik motif kawung memiliki makna yang
melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usul jaman dahulu. Motif
kawung ini sering digunakan oleh pejabat kerajaan, karena dapat mencerminkan pribadi
sebagai seorang pemimpin yang mampu mengendalikan hawa nafsu serta menjaga hati
dan nurani agar ada keseimbangan dalam perilaku kehidupan manusia dengan alam dan
sekitarnya.

2. Motif Udan Liris

Batik motif udan Liris, merupakan salah satu motif


busana daerah yang terletak di Wonopringgo-Pekalongan. Filosofi batik Udan Liris
mengajarkan kepada kita generasi penerus bangsa untuk tetap istiqomah dalam
menjalankan ikhtiar mencari rezeki. Halangan dan rintangan bukan menjadi kendala,
tetapi justri sebaliknya bisa dijadikan sebagai pemicu untuk mencapai hasil yang jauh
lebih baik.

3. Motif Truntum
Motif batik Truntum diciptakan oleh Kanjeng
Ratu Kencana (Permaisuri Paku Buwana III). Motif batik ini bermakna cinta yang
tumbuh kembali. Beliau menciptakan motif ini sebagai simbol cinta yang tulus tanpa
syarat, abadi dan semakin lama semakin berkembang (tumaruntum). Karena maknanya
yang begitu dalam, motif ini biasa dipakai oleh kedua orangtua mempelai pengantin pada
hari pernikahan.
Harapannya adalah agar cinta kasih tumaruntum ini akan menghinggapi kedua mempelai.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, motif ini dimaknai dengan kewajiban orangtua yang
menuntun kedua mempelai untuk memasuki kehidupan yang baru.

Perkembangan Batik di Dunia


Setelah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, perkembangan batik sangat
menggembirakan. Tidak hanya menjadi pakaian Nasional, batik kini sudah merambah dunia
Internasional. Batik kini sudah menjadi trend dan tidak hanya di Indonesia saja, batik sudah mulai
dipakai oleh desainner Internasional sekarang ini. Pengakuan dari Badan Dunia UNESCO, semua
daerah di Indonesia berusaha mengembangkan dan membangkitkan batik di daerah mereka.
Masyarakatpun kini antusias untuk memakai batik sebagai sebuah kebanggaan. Batik telah
berhasil memikat perancang busana Internasional dalam rancangan mereka.
Sebenarnya wacana tentang batik sebagai karya adiluhur mulai terlontar pada abad ke-19. Ketika itu
pakar budaya Hindia Belanda, JLA Brandes mengatakan bahwa batik merupakan peninggalan asli
milik bangsa Indonesia. Menurutnya, segala unsur dalam batik itu tidak dipengaruhi kebudayaan
India, baik yang bercirikan Hinduisme maupun Buddhisme.
Pada awalnya pendapat Brandes itu mendapat tentangan dari sejumlah pakar budaya lain, di
antaranya NJ Krom. Dia mengatakan bahwa batik sudah lama dikenal di India. Contohnya adalah seni
batik yang berkembang di pantai Koromandel. Dari India, menurut Krom, seni itu dibawa ke
Indonesia melalui jalur perdagangan.
Ada sebuah mitos bahwa pada abad ke-7 seorang pangeran dari pantai timur Jenggala bernama
Lembu Amiluhur memperisteri seorang puteri bangsawan dari Koromandel. Puteri itu lalu mengajari
seni membatik, menenun, dan mewarnai kain kepada para dayangnya. Maka dari itu orang-orang
Jawa memiliki kemampuan membatik.
Pakar lain mengungkapkan, kemungkinan batik mulai diperkenalkan pada abad ke-7 hingga ke-8 oleh
masyarakat Cina. Awalnya, pada abad-abad itu sejumlah kerajaan kuno di Indonesia mengirimkan
misi diplomatik dan perdagangan ke Cina.
Sebagai negara penghasil keramik terbesar, konon di Cina didapati semacam motif batik pada
keramik zaman dinasti Tang. Bahkan keramik tersebut juga dibuat dengan sistem batik, yakni bejana
keramik diolesi malam (sejenis lilin) terlebih dulu, sebelum dilapisi dengan glasir. Pecahan keramik
Cina tiga warna yang mirip batik seperti itu, banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi di sekitar
Candi Prambanan (Satyawati Suleiman, 1986:161). Temuan-temuan itulah yang rupanya mendasari
teori bahwa batik berasal dari Cina.
Sebagian besar pakar sepakat bahwa asal-muasal batik adalah dari Indonesia. Kemungkinan, motif
batik terinspirasi dari pola anyaman pada tembikar yang berasal dari masa prasejarah. Karena pada
masa itu bahan pakaian dibuat dari kulit kayu dan serat tumbuh-tumbuhan, maka motif batik masih
sangat primitif. Demikian pula pewarnaannya masih menggunakan manambul, yakni bahan pewarna
alami yang menghasilkan warna gelap atau hitam, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Alasantan
dari masa abad ke-10 Masehi.
Sebagian pakar menduga, batik memang berasal dari Cina dan/atau India. Namun, dengan teknologi
tradisional, batik dikembangkan oleh masyarakat Jawa dengan segala filosofinya.
Diperkirakan, tradisi batik berawal di sekitar abad-abad ke-10, meskipun sulit melacak pastinya.
Apalagi kata batik tidak ditemukan dalam bahasa Sansekerta atau Jawa kuno, bahasa mayoritas
waktu itu. Ada dugaan kata batik berasal dari kata Melayu kuno tik yang berarti titik. Kain batik pada
awalnya memang adalah kain yang dihiasi dengan gambar yang dibuat dari garis-garis dan titik-titik.
Pendapat lain mengatakan, kata batik berasal dari bahasa Jawa amba (menulis) dan titik, lalu diambil
suku kata belakangnya saja: ba dan tik. Memang, pembuatan kain batik menggunakan canting yang
ujungnya kecil, sehingga memberi kesan “orang sedang menulis titik-titik”. Dalam bahasa Jawa
krama, batik disebut seratan, sementara dalam bahasa Jawa ngoko disebut tulis. Yang dimaksud
adalah menulis dengan lilin.
Industri batik dalam bentuknya yang paling sederhana, diperkirakan mulai dikembangkan pada abad
ke-10 itu juga ketika Jawa banyak mengimpor kain putih (kain mori) dari India sebagaimana
diungkapkan berbagai sumber kuno. Bisa jadi lebih berkembang pada abad ke-11, saat sebuah
prasasti menyebutkan kata “tulis” yang berkonotasi menorehkan desain batik dengan sejenis alat
(canting).
Selain sumber tertulis berupa prasasti, motif-motif seperti batik bisa ditelusuri lewat sejumlah relief
cerita di Candi Borobudur. Hanya penafsirannya masih memerlukan bahan pembanding lebih
banyak. Persoalannya adalah batu-batu candi itu sudah agak aus, sehingga detail gambar kurang
terlihat nyata.

Arca

Informasi yang lebih akurat tentang batik ditafsirkan dari berbagai kain yang dikenakan oleh
sejumlah arca batu. Terutama pada arca-arca yang berukuran relatif besar dari zaman Majapahit.
Konon arca Kertarajasa yang merefleksikan pendiri Majapahit, Raden Wijaya, dalam perwujudannya
sebagai Harihara, memakai motif batik kawung. Karena itu kemudian batik kawung dianggap sebagai
batiknya para raja atau bangsawan di Jawa.
Begitu pula pada arca Prajnaparamita yang terdapat di Candi Gumpung, Muara Jambi. Arca Harihara
dan Prajnaparamita diperkirakan berasal dari abad ke-13. Jika motif pada arca tersebut boleh
disebut sebagai batik, maka penciptaan batik merupakan perjalanan panjang cipta karsa peradaban
manusia Nusantara sejak berabad sebelumnya.
Tafsiran lain mengatakan pola ceplok yang merupakan pola-pola batik kuno terdapat pada berbagai
hiasan arca di candi-candi Hindu dan Buddha. Bentuknya adalah kotak, lingkaran, binatang, bentuk
tertutup, dan garis-garis miring. Dasar pola ceplok paling nyata terdapat pada arca Buddha
Mahadewa dari Tumpang dan arca Berkuti dari Candi Jago.

Perkembangan Batik

Seni membatik mulai membudaya pada abad ke-12. Mula-mula berkembang di Pulau Jawa,
terutama di daerah Surakarta (Solo) dan Yogyakarta. Diperkirakan batik mulai dikenal luas pada abad
ke-17. Semula batik ditulis dan dilukis pada daun lontar, dengan dominasi bentuk binatang dan
tanaman. Namun lambat laun muncul motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang
beber, dan sebagainya. Sebuah catatan tertulis menyebutkan batik baru muncul pada 1518 di
wilayah Galuh, sekitar Barat Laut Jawa di masa pra-Islam.
Jenis dan corak batik tradisional sendiri tergolong amat banyak. Corak dan variasinya disesuaikan
dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang memiliki kebudayaan atau tradisi batik.
Sejarah batik di Indonesia sangat boleh jadi berkaitan dengan Kerajaan Mataram Hindu (abad ke-9
hingga ke-10) dan Kerajaan Majapahit (abad ke-13 dan seterusnya). Pengembangan batik kemudian
banyak dilakukan pada masa-masa Kerajaan Mataram Islam, diteruskan pada masa Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pada awalnya, batik merupakan kesenian gambar di atas kain yang dikhususkan untuk pakaian
keluarga para raja Jawa dan para pengikutnya. Karena itu batik hanya dikerjakan terbatas dalam
lingkungan keraton. Namun karena banyak pengikut raja bertempat tinggal di luar keraton, maka
kesenian batik ini dibawa ke luar keraton dan dikerjakan di rumah masing-masing abdi dalem.
Selanjutnya kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan meluas menjadi pekerjaan rumah
tangga kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Maka, batik yang tadinya hanya pakaian
keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari oleh wanita dan pria dari segala
golongan ataupun umur.

Majapahit

Batik semakin berkembang setelah akhir abad ke-18, paling tidak awal abad ke-19. Batik yang
dihasilkan mulanya adalah batik tulis sampai awal abad ke-20. Batik cap baru dikenal seusai Perang
Dunia I atau sekitar tahun 1920.
Batik yang telah menjadi kebudayaan di Kerajaan Majapahit, konon jejak-jejaknya masih dapat
ditelusuri di daerah Mojokerto, Tulung Agung, dan Jombang. Sampai akhir abad ke-19 kerajinan
batik masih populer di Mojokerto.
Tersebarnya batik ke berbagai wilayah, salah satunya karena dampak Perang Diponegoro (1825-
1830). Ketika itu pasukan-pasukan Kiai Maja mengundurkan diri ke arah timur yang sekarang
bernama Majan. Maka dikenallah nama Batik Majan yang muncul seusai Perang Diponegoro itu.
Di sejumlah daerah penyebarluasan seni batik dilakukan oleh putri keraton Solo yang menikah
dengan Kiai Hasan Basri. Di antaranya dibawa ke Tegalsari dan Ponorogo, yang memang tidak jauh
dari Solo. Yang pertama dikenal adalah batik tulis. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal
setelah Perang Dunia I, dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas.
Dari kerajaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta, batik kemudian menyebar ke berbagai daerah,
khususnya di wilayah Pulau Jawa. Kalau pada awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga
raja di dalam berhias lewat pakaian, maka pada masa-masa selanjutnya batik dikembangkan menjadi
komoditi perdagangan. Selama bertahun-tahun Batik Solo sangat disukai kalangan ningrat karena
corak dan pola tradisionalnya sangat khas, misalnya Batik Sidamukti dan Sidaluhur.
Di Yogyakarta batik mulai dikenal pada masa Kerajaan Mataram Islam dengan rajanya Panembahan
Senopati. Daerah pembatikan pertama adalah di desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas
dalam lingkungan keluarga keraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Oleh karena
warga masyarakat tertarik pada pakaian-pakaian yang dikenakan oleh keluarga keraton, maka
mereka menirunya. Akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok keraton.
Akibat dari peperangan antara keluarga raja-raja maupun dengan tentara Belanda dahulu, maka
banyak keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru, antara lain ke Banyumas,
Pekalongan, Ponorogo, dan Tulungagung. Mereka ikut mengembangkan pembatikan ke seluruh
pelosok pulau Jawa.

Tarumanagara

Dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita turun-temurun,


diperkirakan di daerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman Kerajaan Tarumanagara. Kemungkinan
pohon tarum yang banyak terdapat di sana dimanfaatkan untuk pembuatan batik kala itu.
Ke luar Jawa pun batik berkembang, termasuk ke Sumatera Barat. Sumatera Barat termasuk daerah
konsumen batik sejak zaman sebelum Perang Dunia I, terutama batik-batik produksi Pekalongan,
Solo, dan Yogyakarta. Meskipun di Sumatera Barat telah berkembang terlebih dahulu industri tenun
tangan “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”, namun batik tetap digemari masyarakat setempat.
Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang. Pengembangannya terjadi
secara tidak disengaja. Ketika itu akibat blokade Belanda, perdagangan batik menjadi lesu.
Karenanya pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan
untuk membuat batik sendiri. Ciri khas dari Batik Padang adalah kebanyakan berwarna hitam,
kuning, dan merah ungu dengan pola Banyumasan, Indramayuan, Solo, dan Yogyakarta.
Di antara berjenis-jenis batik, tidak dimungkiri kalau yang paling populer sampai sekarang adalah
Batik Pekalongan. Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina,
Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif
dan tata warna seni batik. Ada beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara
tersebut yang kemudian dikenal sebagai jati diri Batik Pekalongan. Motif Jlamprang, umpamanya,
merupakan ilham dari India dan Arab. Lalu Batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan
Cina. Batik Belanda (disebut juga Batik VOC atau Batik Kompeni), Batik Pagi Sore, dan Batik Hokokai,
tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.
Sebagai pakaian adat yang dulu banyak dipakai kalangan keraton, tentu saja batik sudah mempunyai
motif baku yang penuh filosofi. Pada dasarnya ragam hias batik yang bercirikan tradisional adalah
pola geometrik (ceplokan, pola hias kawung, nitik, lereng, parang, dll) dan pola non-geometrik
(sidaluhur, sidamukti, semen rama, dll).
Dulu, pakaian batik menunjukkan status sosial. Selain itu banyak dipakai untuk upacara daur hidup.
Namun dalam perkembangan selanjutnya batik berubah menjadi kain hiasan, artinya tidak
digunakan semata-mata untuk pakaian tetapi juga untuk seprei, taplak meja, sarung kursi, dan
sebagainya.
Patut dipertanyakan, apakah kita sudah bangga dengan ditetapkannya batik sebagai ikon warisan
budaya asal Indonesia yang bertaraf internasional? Bagaimana dengan upaya pelestarian batik, yang
semakin tahun semakin sedikit pendukungnya?
Pada pertengahan 2009 Departemen Arkeologi UI diundang oleh Walikota Pekalongan untuk
berkunjung ke Museum Batik di sana. Maksudnya agar Tim Arkeologi UI bisa memberikan masukan
untuk pengembangan batik di museum tersebut.
Di antara kegiatan itu tim UI sempat mengunjungi pengrajin batik terkenal di masa lalu, yakni
seorang pioner batik peranakan. Ironisnya, saat ini tinggal cucunya seorang diri yang
mengembangkan batik tersebut. Lainnya sudah gulung tikar atau alih profesi. Cucunya ini masih
bertahan hanya karena ingin mempertahankan kehidupan para pengrajin yang sudah lama ikut
dengan kakeknya dulu.
Hal ini tentu sangat dilematis, mau di kemanakan bila usaha ini tutup. “Sebagai jalan keluar
Departemen Arkeologi sekarang ikut membantu memasarkan batik ini agar pengrajin terbantu,
sementara batik peranakan tetap lestari,” kata Dr. Heriyanti, salah seorang dosen di Departemen
Arkeologi UI.
Pada dasarnya batik dibedakan atas dua macam berdasarkan lokasinya, yakni batik pesisiran dan
batik pedalaman. Batik pesisiran lebih berkembang karena banyak mendapat pengaruh dari luar.
Dari teknik pembuatannya dikenal beberapa jenis batik, yaitu batik simbut, batik tulis, batik cap,
batik printing, batik prada, dan batik campuran.

Batik Pengaruh Cina

Budaya Cina banyak memengaruhi ragam hias batik di Jawa, terlebih pada daerah pesisir utara Jawa.
Corak hias naga, burung hong, bunga peony, dan rumpun bambu sering dijumpai pada batik-batik
tersebut. Misalnya saja pada Batik Cirebon, Batik Lasem, dan Batik Pekalongan. Begitu juga di
Rembang, Juwana, dan Pati. Di ketiga daerah ini batik gaya Cinanya disebut Lok Can.
Lok Can adalah salah satu jenis batik sutera yang paling populer, arti sebenarnya adalah sutera
kebiru-biruan. Dulu batik Lok Can dipasok ke Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera. Bahkan diekspor ke
Shanghai dan Hongkong.
Di daerah Cirebon dan Lasem berkembang Batik Bang-bangan. Batik ini menggunakan warna merah
(Jawa, abang) pada proses pencelupannya, di atas warna dasar coklat sehingga menghasilkan warna
merah bata yang unik.
Batik biru putih disebut Batik Kelengan, banyak ditemukan di daerah Ciledug, Cirebon. Batik ini
dibuat dari bahan dasar kain katun dengan proses pewarnaan dan bahan-bahan alami (Buku
Pengantar Pameran Tekstil dan Busana Indonesia yang Dipengaruhi Budaya Cina, 2005)
Pengaruh Cina tampak pula pada Batik Tiga Negeri. Dinamakan demikian karena proses pencelupan
dan pelilinan berlangsung di tiga sentra batik yang berbeda, yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo.
Salah satu corak batik pesisiran yang lumayan populer adalah Batik Buketan, dari bahasa Inggris
bouquet. Batik ini sering diperkaya dengan ragam hias berupa kumpulan karangan bunga.

Penggolongan Batik

Penciptaan batik tidak terjadi begitu saja. Batik membutuhkan kain, kain membutuhkan
keterampilan memintal. Memintal juga membutuhkan keterampilan memilih bahan yang tepat
untuk kemudian diolah menjadi benang dan dirangkai menjadi pintalan.
Di beberapa wilayah di Indonesia, banyak dijumpai bahan-bahan pembuatan batik dari bahan alami,
seperti kayu pohon mengkudu, kunyit, tinggi, soga, dan nila. Juga bahan soda yang dibuat dari soda
abu serta garam yang dibuat dari tanah lumpur.
Kain batik memiliki nilai sejarah yang tak ternilai, karena pada kain batik terdapat makna suatu
peristiwa, identitas, penjelasan strata sosial, bahasa kebudayaan, spiritualitas manusia, penemuan
teknologi, dan perjalanan suatu peradaban.
Batik merupakan seni melukis yang dilakukan di atas kain. Dalam pengerjaannya, pembatik
menggunakan lilin atau malam untuk mendapatkan ragam hias atau pola di atas kain yang dibatik
dengan menggunakan alat yang dinamakan canting.
Indonesia memiki banyak karya budaya. Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang
telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. Dibandingkan peninggalan budaya
lainnya, seni batik memiliki kelebihan tersendiri. Nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-
mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan
pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam
komposisi batik itu.
Kegiatan membatik merupakan sebuah proses yang membutuhkan ketelatenan, keuletan,
kesungguhan, dan konsistensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari
mempersiapkan kain, membuat pola, membuat isian, hingga pengeringan.
Batik dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu proses pembatikan, kualitas pembatikan, motif, dan
warna batik. Beberapa orang ada yang memperhitungkan makna atau nilai yang terkandung dalam
selembar kain batik.
Secara visual, batik mempunyai sejumlah pakem yang mesti diterapkan dalam penggunaannya. Baik
dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan motif tersebut beserta acara atau
upacara ritual yang akan diselenggarakan. Tidak sembarang orang boleh menggunakan pola
tertentu. Pola Parang Rusak, misalnya, hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola Truntum
yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin.
Warna yang digunakan pada batik keraton terbatas pada pewarna alami. Ini karena pada masa itu
belum ditemukan pewarna sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, penerapan warna seperti hitam,
merah, putih atau coklat mengacu pada pakem yang berlaku. Semua tata aturan tersebut bertujuan
untuk penyelarasan dan harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu
tujuan utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya seni, dalam hal ini adalah batik. Penciptaan
tersebut merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kiranya sesuai dengan adagium
“seni sebagai seni”, bukan seni untuk sebatas harta.

Desain Batik

Pada umumnya ada dua jenis desain batik, yaitu geometris dan non-geometris. Desain geometris
terdiri atas (1) motif parang dan diagonal, (2) persegi/persegi panjang, silang atau motif ceplok dan
kawung, dan (3) motif bergelombang (limar). Sementara desain non-geometris terdiri atas (1) semen
[motif semen terdiri atas flora, fauna, gunung (meru), dan sayap yang dirangkai secara harmonis], (2)
buketan, dan (3) lunglungan.
Ditinjau dari jenisnya, kita mengenal batik keraton, yakni batik dari Surakarta (Solo) dan Yogyakarta
(Yogya). Batik keraton memiliki beberapa motif dan filosofi. Motif Ceplokan Kasatrian digunakan
oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, orang yang mengenakannya akan terlihat gagah dan
kepribadian yang berani; Motif Parang Rusak Barong (parang berarti senjata) menunjukkan
kekuatan, kekuasaan, dan pergerakan yang gesit, ksatria yang mengenakan batik ini terlihat gagah
dan cekatan; Motif Kawung digunakan oleh para Raja dan keluarga kerajaan, sebagai sebuah simbol
kekuasaan dan keadilan; Motif Truntum (truntum berarti membimbing), mengandung makna bahwa
diharapkan orang yang memakainya dapat memperoleh dan memberi kebaikan.
Jenis lainnya adalah batik pesisir, yakni batik yang dibuat di luar daerah Solo dan Yogyakarta.
Beberapa contohnya Motif Megamendung dari Cirebon, Motif Paksinagaliman dari Cirebon, Motif
Merak Ngibing dari Indramayu, dan Motif Sawat Gunting, juga dari Indramayu.
Batik harus benar-benar kita lestarikan. Pengalaman yang lalu-lalu menunjukkan pelestarian
berbagai peninggalan masa lampau hampir selalu terabaikan karena masalah dana. Nah, mulailah
membuka mata, perjuangan keras agar batik tidak diklaim negara lain sudah berhasil, kini upaya
pelestarian harus benar-benar dipikirkan.

BOX

Sejarah Teknik Batik

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu
bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal sejak abad ke-4
SM, dengan ditemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola.
Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Cina, semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan
Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di
Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak
zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang
dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX. Batik cap baru dikenal setelah Perang
Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidak tercatat. G.P.
Rouffaer berpendapat bahwa teknik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka
pada abad ke-6 atau ke-7.
Di sisi lain, J.L.A. Brandes dan F.A. Sutjipto percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti
Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang
dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.
G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa
Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat
canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim
yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain
serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi
perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan
pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Serasah
itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London,
1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa
Napoleon menduduki Belanda.
Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang
diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-
19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di
Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Sejak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru
muncul. Dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi
dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang
sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.

Budaya Batik

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia, khususnya Jawa, sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan
keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan
membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang
memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena
ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega
Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun-temurun, sehingga kadang kala suatu
motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan
status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh
keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia yang sampai saat ini masih ada. Batik pertama
kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada
Konferensi PBB.
Corak Batik

Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki
ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan
tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan
juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa,
yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada
batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan
juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-
warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan
masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki
perlambangan masing-masing.
Pada awalnya baju batik kerap dikenakan pada acara acara resmi untuk menggantikan jas. Tetapi
dalam perkembangannya pada masa Orde Baru baju batik juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa
sekolah dan pegawai negeri (batik Korpri) setiap hari Jumat. Perkembangan selanjutnya batik mulai
bergeser menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum wanita. Pegawai swasta
biasanya memakai batik pada hari Kamis atau Jumat.
Di Malaysia setiap Kamis, semua pegawai negeri lelaki diharuskan memakai baju batik Malaysia
mulai 17 Januari 2008. Ketua Pengarah Jabatan Perkhidmatan Awam Tan Sri Ismail Adam telah
membagikan kepada semua jabatan kerajaan. Sebelum ini peraturan memakai baju batik hanya pada
Sabtu saja. Kemudian diubah kepada hari ke-1 dan hari ke-15 setiap bulan. Tetapi banyak yang
melupakannya.

Anda mungkin juga menyukai