Anda di halaman 1dari 10

Kasus Euthanasia yang Pernah Terjadi

1. Kasus Seorang Wanita New Jersey – Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975
dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat
pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan
sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan
tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan
sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat
bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru
sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-
paru (pneumonia).

2. Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah
Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan
pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya
dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim
medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia
mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal
jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsure potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu,
dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai
lalai dalam tidak menemukan kondisi yangmembahayakan ini pada pasiennya.Setelah Terri Schiavo
selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998suaminya yang bernama
Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya
bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert
dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat
menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi
sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya
hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler
melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang
memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang
ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George
Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang
pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

3. Kasus “Doctor Death”

Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe. Pada awal April 1998,
di Pusat Medis Adven Glendale, di California diduga puluhan pasien telah “ditolong” oleh Kevorkian
untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi
“menolong” mereka. Tapi para penentangnya menyebut, apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

4. Kasus Rumah Sakit Boramae – Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit
sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun,
telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada
Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya
beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park
mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan
tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang
telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun,
kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.

5. Dokter DO melakukan eutanasia sukarela

Pada tahun 1994, sebuah laporan yang dipublikasikan dalam British Medical Journal menunjukkan
bahwa dokter Inggris melakukan praktek euthanasia sukarela, meskipun hukum. Penelitian oleh Ward
dan Tate, dari Cambridge University, menemukan bahwa 32% dari dokter yang disurvei telah menyetujui
permintaan pasien untuk diberikan pengobatan untuk membantu mereka mati lebih cepat Sebagian
besar - 46% - mengatakan mereka akan mempertimbangkan untuk memberikan pengobatan untuk
membantu seseorang mati jika itu adalah hukum untuk melakukannya. Pada bulan November 1997, 200
dokter menanggapi sebuah survei yang dilakukan oleh majalah Pulse.. Survei mengungkapkan bahwa 93
dokter (47%) telah diberi pengobatan untuk mengurangi kematian pasien. 49% mengatakan bahwa
mereka telah dalam posisi di mana mereka merasa bahwa mengurangi kematian pasien, selain dengan
tujuan untuk menghilangkan gejala saja, adalah hal yang benar untuk dilakukan.

6. Kasus Panca Satria Hasan Kusuma – Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukanoleh
seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang
bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan disamping
itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini
merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya
ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

7. Kasus Rudi Hartono – Indonesia

Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan Oktober 2004dengan
diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah dioperasi ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim.
Setelah diangkat, operasi tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, 23 tahun mengalami koma dengan
tingkat kesadaran di bawah level binatang. Sang suami, Rudi Hartono25 mengajukan permohonan
euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21 Februari 2005. Permohonan yang
ditandatangani oleh suami, orang tua serta kakak dan adik Siti Zulaeha.

Pro-Kontra Euthanasia
euthanasia kontra suntik matiKlikdokter.com - Euthanasia berarti sebuah proses mengakhiri kehidupan
karena penyakit yang diderita oleh seorang. Umumnya, individu yang meminta euthanasia adalah pasien
usia tua dengan penyakit yang tidak memiliki kemungkinan sembuh, dengan rasa sakit yang tidak
tertahankan, atau pasien dengan keganasan. Masih banyak pro dan kontra terkait pelaksanaan
euthanasia. Terlepas dari benar atau salah prosedur ini, mari kita kenal lebih jauh prosedur euthanasia.

Apa itu euthanasia?

Euthanasia adalah tindakan mengakhiri kehidupan seorang dengan penyakit tahap akhir. Tentu tidak
semua pasien merupakan kandidat prosedur euthanasia. Umumnya pasien yang menjalani prosedur ini
adalah pasien dengan penyakit tahap akhir dengan kemungkinan sembuh yang sangat kecil. Tujuan awal
dari tindakan ini adalah untuk mengakhiri penderitaan yang diderita oleh pasien. Ditinjau dari sisi
intervensi, euthanasia dibagi menjadi euthanasia aktif dan pasif.

Dalam euthanasia aktif, dokter atau tenaga kesehatan memberikan intervensi aktif yang dapat
menyebabkan kematian pasien, misalnya dengan memberikan obat tertentu. Sedangkan euthanasia
pasif terjadi ketika pasien meninggal karena tenaga kesehatan tidak melanjutkan atau memberikan
pengobatan yang diperlukan untuk menjaga pasien tetap hidup.

Argumen pro-euthanasia

Terdapat beberapa argumen yang mendukung terjadinya euthanasia. Pertama, kelompok pro-
euthanasia beranggapan bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan masa depan
kehidupannya. Terlebih jika individu tersebut dalam keadaan sakit berat yang menimbulkan penderitaan
bagi dirinya sendiri. Argumen lain menyatakan bahwa dengan melegalkan euthanasia terhadap pasien
dengan keadaan yang tidak dapat disembuhkan, tenaga dan perawatan kesehatan dapat dialihkan untuk
pasien yang memiliki harapan sembuh lebih besar dan memerlukan perawatan intensif.

Argumen kontra euthanasia

Kelompok kontra euthanasia beranggapan bahwa tindakan ini menyalahi kehendak yang maha kuasa.
Kehidupan adalah suatu hal yang suci dan kematian bukan berada di tangan manusia, namun berada
pada tangan sang Pencipta. Selain itu, setiap orang, baik yang mengalami sakit berat atau sehat memiliki
hak yang sama untuk hidup, jadi keputusan untuk mengakhiri hidup dengan alasan sakit keras tidak
dibenarkan. Permasalahan lainnya adalah mengenai siapa pihak yang memiliki otoritas untuk
menentukan seorang pantas melakukan euthanasia, apakah dokter atau keluarga?

Dimanakah euthanasia sudah dilegalkan?


Negara di dunia umumnya tidak melegalkan euthanasia. Namun terdapat beberapa negara yang telah
melegalkan proses ini seperti beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Jepang, Belanda dan
Luxemburg.

Artikel ini tidak bertujuan untuk mendukung atau menentang proses ini, namun kami bermaksud
memberikan pengertian tentang sebuah tindakan yang masih menuai kontroversi. Di satu sisi tindakan
ini bertujuan menghilangkan penderitaan pasien, namun di sisi lain tindakan ini bertentang dengan
norma agama dan etika yang umumnya dianut. Sekarang tergantung Anda untuk menilai, apakah Anda
setuju atau menolak dengan prinsip euthanasia?

Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai topik ini, silakan ajukan pertanyaan Anda di fitur
Tanya Dokter Klikdokter.com di laman website kami.(AN)

Baca juga:

Dicari: Hukuman Mati Paling Manusiawi

Pro-Kontra Halal-Haram di Dunia Kedokteran

Ditulis oleh

dr. Alvin Nursalim

Anggota Dewan Redaksi Medis

Klikdokter.com

Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai topik ini, silakan ajukan pertanyaan Anda di fitur
Tanya Dokter Klikdokter.com di laman website kami.

2.2. Jenis – Jenis Euthanasia

Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan,
sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok,
yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.

Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup
seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan
yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan

Euthanasia aktif langsung

yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung
mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera
mematikan
Euthanasia aktif tidak langsung

yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien,
tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut
oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang
perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah
tindakan pertolongan dihentikan.

3. Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.

4. Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar
yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang
bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
perbuatan kriminal.

Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini
diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus
Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis
besarnya, yaitu:

Euthanasia murni

yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya
termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”.

Euthanasia tidak langsung

yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan
lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan
analgetika yang mungkin “ de facto ” dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja

Euthanasia sukarela yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Ada
kalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan
dengan pasien.

Euthanasia nonvoluntary yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang
disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.
2.3. Euthanasia Dilihat Dari Berbagai Aspek

1. Aspek Hukum.

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, Dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya
euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat
hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki
kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam
undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

2. Aspek Hak Asasi.

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum
dengan jelas dan hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran
hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam euthanasia.Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara
tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri
dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

3. Aspek Ilmu Pengetahuan.

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah
seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak
membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama.

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang
mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut
ahli- ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur.

Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang
dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.
Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan
agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya jika dikaitkan dengan usaha medis bisa
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya,
kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang
berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak
Tuhan.

Dalam hal – hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal – hal yang menurutnya baik,
tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa
mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan
hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

2.4. Tinjauan Yuridis Euthanasia

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena
masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari
pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka
satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan
pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat pada pasal 344 KUHP yang
berbunyi.

Pasal 344 KUHP:

“ Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan
nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun ”.

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk
membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman
hukuman ini harus dihadapinya.

Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu
diketahui oleh dokter, yaitu:

Pasal 338 KUHP:“ Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar
mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun ”.

Pasal 340 KUHP“ Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-
lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun ”.
Pasal 359 KUHP: “ Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun ”.

Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:

Pasal 345 KUHP:“ Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun ”.

Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP
tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa pentingnya pembentuk undang-undang pada saat itu
(zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling
berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun dengan motif dan macamnya sepanjang perbuatan
tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, hal ini akan dianggap sebagai suatu
kejahatan yang besar oleh negara.

Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang.
Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

2.5. Euthanasia Menurut Hukum Diberbagai Negara

Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian
Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di
Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.

Euthanasia di Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-
undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi
negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan
bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sejak akhir tahun 1993,
Belanda secara hokum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan
bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun
2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana
seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Euthanasia di Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang
mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun
1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “ Right of the terminally ill bill ” ( UU tentang hak
pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali di praktikkan, tetapi bulan maret 1997
ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehinggah arus ditarik kembali. Dengan demikian menurut
aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.

Euthanasia di Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002. Para pendukung
euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak
dilegalisasikannya tindakan euthanasia di Negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur
pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adanya upaya untuk menciptakan “ birokrasi
kematian ”.

Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi euthanasia ( setelah Belanda dan Negara bagian
Oregon di Amerika ).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-
undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis
adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan ke langsungan hidupnya dan
penentuan saat-saat akhir hidupnya.

Euthanasia di Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya Negara
bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan ) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian
yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri
berbantuan, bukan euthanasia.

Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta
bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan
ini harus diajukan sampai tiga kali kepada pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu
15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter juga harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit
dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi
kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bias dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS
pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU
Northern Territory di Australia.

Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warganegara Swiss ataupun orang asing
apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun1937 dan dipergunakan sejak tahun1942, yang pada intinya
menyatakan bahwa “ membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan
melawan hokum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri ”.

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap
obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Euthanasia di Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College
of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield
(Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan euthanasia terhadap
bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi
eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi
faktor “ kemungkinan hidup sibayi ” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.

Namun hingga saat ini euthanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris
demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang
secara tegas menentang euthanasia dalam bentuk apapun juga.

Anda mungkin juga menyukai