Anda di halaman 1dari 71

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Kinerja Pegawai
2.1.1.1 Pengertian Kinerja Pegawai
Istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual
performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh
sesecrang). Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya
(Mangkunegara, 2000). Sedangkan Sinabela, dkk (2011) mengemukakan
bahwa kinerja pegawai sebagai kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu
keahlian tertenu. Kinerja pegawai sangatlah perlu, sebab dengan kinerja ini akan
diketahui seberapa jauh kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya. Untuk itu diperlukan penentuan kriteria yang jelas dan
terukur serta ditetapkan secara bersamasama yang dijadikan sebagai acuan.
Beberapa pengertian kinerja yang dikemukakan oleh para pakar oleh
Rival, dan Basri (2005) dapat disajikan berikut ini :
1. Kinerja adalah separangkat hash yang dicapai dan menunjuk pada
tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta
(Slolovitch, Keeps,1992)
2. Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri
pekerja (Griffin :1987)
3. Kinerja dipengaruhi oleh tujuan (Mondy, Premeaux, 1993)
4. Kinerja merupakan suatu fungsi dan motivasi dan kemampuan. Untuk
menyelesaikan tugas dan pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampi!an
seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa
pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya (Hersey, Blanchard, 1993).

9
5. Kineria merujuk pada tujuan pegawai atau atas tugas yang diberikan
kepadanya (Casio, 1992)
6. Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas,
baik yang dilakukan individu, kelompok maupun perusahaan
(Schermerhon, Hunt and Osbom, 1991)
Kinerja seseorang ditentukan oleh kemampuan dan motivasinya untuk
melaksanakan pekerjaan (gibson, 1990). Hal senada dikemukakan oleh
Robbins (2001), mengatakan bahwa kinerja adalah hasil evaluasi terhadap
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dibandingkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Sementara di lain pihak, kinerja juga dipengaruhi oleh (opportunity)
selain faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini
dikemukakan oleh Kast and Rossenweig (1998) bahwa kinerja sama dengan
fungsi kesanggupan, usaha dan kesempatan atau dengan kata lain dimensi
kinerja adalah motivasi, kemampuan dan kesempatan.
Murphy and Cleveland (1995), merumuskan manajemen kinerja
sebagai: A periodical evaluation on the value of an individual employee for
his/her performance. Lebih lanjut Murphy and Cleveland mengatakan bahwa
kinerja adalah kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas atau pekerjaan.
Rue and Byars (1981), juga mengatakan bahwa kinerja adalah sebagai
tingkal pencapaian hasil. Dale S. Beach (1970) merumuskan sebagai : A
systematic evaluation on an individual employee regarding his/her
performance on his/her job and his/her potensials for development.
Bernandin and Russel (1993) merumuskan : A way of measuring the
contribution of individuals of to their organization.
Sejalan dengan itu, untuk memperoleh hasil kerja yang memuaskan,
perlu memperthatikan karakteristik pekerjaan, (Wexley and Yuki, 1992,
Strauss and Stayles, 1980). Adapun karakteristik pekerjaan adalah ragam
keterampilan, indentitas tugas, signifikasi tugas. Kelima karakteristik
pekerjaan tersebut dapat membangkitkan kondisi psikologis yang akan
mendukung atau menghambat kinerja seorang pegawai. Sehubungan dengar
itu, aspek kemampuan seseorang dalam proses pelaksanaan pekerjaan akan

10
selalu bergantung kepada faktor profesionalitasnya yang dapat dilihat
dengan kemampuan untuk bekerjasama dengan rekan kerjanya, memiliki
tingkat kreatifitas yang tinggi dan mampu berinisiatif dalam mengambil
keputusan yang cepat dan tepat.
Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, dapat dilihat
dari indikator ataupun variabel kinerja. Hal seperti ini dikemukakan oleh
Umar (1998) bahwa ada bebarapa variabel kinerja yang terdiri dari
komponen komponen yaitu 1) Mutu pekerjaan, 2) Kejujuran karyawan, 3)
Inisiatif, 4 ) Kehadiran karyawan 5) Sikap, 6) Kerjasama, 7) Keandalan 8)
Pengetahuan tentang pekerjaan, 9) Tanggung jawab, 10) Pemanfatan waktu.
Penjelasan ini juga mencoba menguraikan bagaimana kondisi
lingkungan birokrasi tersebut berinteraksi dengan karakteristik internal
birokrasi, yang akhimya membentuk praktik dan perilaku para pejabat
birokrasi publik yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, mengabaikan
kepentingan para pengguna jasa, kurang membedakan antara kepentingan
privat dan kepentingan publik, dan sangat kaku dalam menjalankan prosedur
dan peraturan sehingga membuat kinerja pelayanan publik menjadi sangat
buruk. Diantara variabel-variabel internal yang memperoleh perhatian
penting dalam kajian ini adalah kewenangan mengambil diskresi, etika
pelayanan, kerjasama tim dan sistem insentif. Dengan menggunakan kedua
perspektif ini diharapkan mampu merubah dan mengembangkan reformasi
publik dibidang pelayanan.
Kebijakan reformasi harus mampu mengubah lingkungan dan kondisi
internal birokrasi publik menjadi kondusif bagi adanya pelayanan publik
yang efisien, responsif dan akuntabel. Kebijakan publik yang hanya
merespon kondisi internal birokrasi seperti deregulasi, perampingan
birokrasi penyederhanaan prosedur, dan jenjang hierarki tanpa diikuti
dengan perubahan lingkungan budaya dan politik cenderung tidak memadai
dan tidak mampu membentuk sosok birokrasi yang benar-benar berpihak
pada kepentingan publik. Pengembangan customer, charter, reproduksi
dalam pelayanan publik, dan restrukturisasi birokrasi publik bisa menjadi
pilihan pilihan kebijakan dan program reformasi birokrasi publik yang perlu

11
dipikirkar oleh pemerintah kalau pemerintah memiliki kepedulian terhadap
kinerj pegawai pelayanan publik.
2.1.1.2 Kinerja Organisasi
Pengembangan Sistem Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP,2000), mengartikan kinerja organisasi sebagai Prestasi
yang dapat dicapai organisasi dalam suatu periode tertentu Prestasi yang
dimaksud adalah efektivitas operasional organisasi baik dar i segi manajerial
maupun ekonomis operasional. Prestasi organisas merupakan tampilan wajah
organisasi dalam menjalankan kegiatannya. Dengan kinerja, organisasi dapat
mengetahui sampai peringkat ke berapa prestasi keberhasilan atau bahkan
mungkin kegagalannya dalam menjalankan amanah yang diterimanya.
Secara nyata dan disadari bahwa seyogyanya organisasi dipengaruhi
oleh perilaku orang yang berkiprah atau berada di dalamnya. Pada hal
organisasi sebenarnya merupakan pola komunikasi dan hubungan yang
komplek dari sekelompok orang yang berada di dalamnya, baik hubungan
komunikasi antara atasan bawahan maupun bawahan dengan bawahan, mitra
sejajar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja organisasi
merupakan prestasi dari suatu organisasi dalam pelaksanaan kegiatan -
kegiatannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Suatu lembaga, baik lembaga pemerintah maupun lembaga yang
dinamakan perusahaan ataupun yayasan dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan harus melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakkan
oleh sekelompok orang yang berperan aktif sebagai pelaku dalam mencapai
tujuan lembaga, atau organisasi bersangkutan.
Karena manusia (baik perorangan maupun kelompok) merupakan
pelaku dalam upaya mencapai tujuan lembaga atau suatu organisasi, maka
jelas bahwa terdapat hubungan antara kinerja perorangan dengan kinerja
lembaga. Hal tersebut sejalan dengan Prawirosentono (1999) yang
menyatakan bahwa : Terdapat hubungan yang erat antara kinerja perorangan
(individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional

12
performance). Dengan perkataan lain kinerja seorang karyawan baik maka
kemungkinan besar kinerja perusahaan juga baik.
Suatu lembaga, baik lembaga pemerintah maupun lembaga yang
dinamakan perusahaan ataupun yayasan dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan harus melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakkan
oleh sekelompok orang yang berperan aktif sebagai pelaku dalam mencapai
tujuan lembaga, atau organisasi bersangkutan. Karena manusia (baik
perorangan maupun kelompok) merupakan pelaku dalam upaya mencapai
tujuan lembaga atau suatu organisasi, maka jelas bahwa terdapat hubungan
antara kinerja perorangan dengan kinerja lembaga. Begitu juga dengan
Kementerian Agama, terdapat hubungan antara kinerja aparat Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi dengan aparat Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/Kota yang ada. Hal tersebut sejalan dengan
Prawirosentono (1999) yang menyatakan bahwa Terdapat hubungan yang
erat antara kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja
lembaga (institutional performance). Dengan perkataan lain kinerja seorang
karyawan baik maka kemungkinan besar kinerja instansi/lembaga juga baik.
Kotler and Heskett (1992) menemukan bahwa ada 4 (empat) faktor
yang menentukan perilaku kerja manajemen suatu perusahaan, yaitu (1)
budaya perusahaan, (2) struktur, system, rencana dan kebijakan formal, (3)
kepemimpinan (leadership); dan (4) lingkungan yang teratur dan bersaing.
Ditegaskan pula oleh Hickman and Silva (1986) bahwa strategi ditambah
dengan budaya organisasi (culture) akan menghasilkan suatu keistimewaan
(excellence).
2.1.1.3 Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan. Selain itu indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan
dihitung dan diukur serta diguanakan sebagai dasar untuk menilai atau
melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan (ex-ente), tahap
pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai (ex-post).

13
Untuk mengukur kinerja organisasi atau kinerja pegawai, Lenvine
(Dwiyanto,1995) menawarkan tiga konsep yaitu: responsiveness,
responsibility dan accountability, Responsiveness atau responsivitas yaitu
kemampuan organisasi untuk dapat mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-
program pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Dengan kata lain responsivitas adalah kesesuaian antara
program dan kegiatan yang dijalankan dengan yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Responsiblity atau responblitas yaitu menjelaskan apakah
pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik yang
implisit maupun explisit. Accountablility atau akuntablitas yaitu menunjuk
pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi tunduk pada para
pejabat politik yang dipilih oleh rakyat (elected official).
Penjabaranya Dwiyanto (1995) menyampaikan ada 5 (lima) indikator
yang dipakai sebagai kriteria penilaian terhadap kinerja organisasi :
1)Produktivitas, adalah kemampuan suatu organisasi untuk menghasilkan sesuatu
barang dan jasa. Penilaian produktivitas suatu organisasi dilakukan
dengan menggunakan/mengkaji kuantitas dan kualitas dokumen-
dokumen yang tersedia disiplin organisasi tersebut, yaitu catatan-catatan
dan laporan-laporan organisasi menjadi sumber data info yang penting dalam
menunjukan produktivitas kerja organisasi yang bersangkutan.
2)Kualitas pelayanan, Sumber data info utama dari kualitas pelayanan
didapatkan dari pengguna jasa atau masyarakat. Pelayanan kepada
pengguna/masyarakat dalam melakukan penilaian terhadap kualitas
pelayanan salah satu cara yang dapat digunakan adalah survei terhadap individu
atau masyarakat yang menggunakan suatu jasa organisasi dan mengadakan
cek silang terhadap laporan dan dokumen mengenai pelayanan yang
diberikan oleh organisasi itu.
3)Responsivitas, adalah kemampuan organisasi dalam mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas pelayanan, serta
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan

14
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Data untuk menilai responsivitas bisa
bersumber pada organisai dan masyarakat. Data organisasi dipakai untuk
mengindentivikasi jenis-jenis kegiatan dan program organisasi, sedangkan
data masyarakat pengguna jasa diperlukan untuk mengindentifikasi
demand dan kebutuhan masyarakat.
4)Resperisibilitas, adalah tanggungjawab dalam pelaksanaan tugas, yang
menyangkut benar atau sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan
suatu organisasi. Hal ini dapat dinilai dari analisis terhadap dokumen dan
laporan kegiataan organisasi yaitu dengan menilai kecocokan
pelaksanaan kegiatan dan program organisasi dengan prosedur
administrasi dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam organisasi.
5)Akuntabilitas, adalah kemampuan suatu organisasi mengimplementasikan
kebijaksanaan dan kegiatan secara konsisten dengan kehendak
masyarakat, yaitu tidak hanya pada pencapaian target organisasi tetapi juga
sasran yakni masyarakat. Akuntabilitas suatu organisasi dapat dilakukan
dengan survei terhadap penilaian para wakil rakyat atau para pejabat politis
dan tokoh masyarakat.
Keban (1995) menekankan bahwa dalam kinerja suatu organisasi,
indikator yang paling mempunyai makna yang luas adalah efektivitas. Dalam
hal ini berarti kinerja organisasi publik itu tidak hanya bisa dilihat dari
ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik seperti
pencapaian target, tetapi sebaliknya kinerja diukur dari ukuran ekstemal,
seperti pemenuh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat
2.1.1.4 Penetapan Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah sesuatu yang akan dihitung dan diukur. Dala
menetapkan indikator kerja, harus dapat diindentifikasikan suatu bent
pengukuran yang akan menilai hasil (autcome) yang diperoleh dari aktivit
yang dilaksanakan. Indikator kinerja ini digunakan untuk meyakinkan bahv
kinerja prgawai/organisasi hari demi hari membuat kemajuan menuju tujw
dan sasaran dalam rencana strategik.

15
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran kinerja
menurut LAN dan BPKP (2000), sebagai berikut :
1. Susun dan tetapkan rencana strategis terlebih dahulu. Terkait hal ini setiap
organisasi publik, harus menyusun perencanaan strategi meliputi : visi, misi,
tujuan, sasaran dan cara mencapai tujuan/ sasar (kebijakan, program dan kegiatan)
2. Indentifikasi data/ informasi yang dapat dijadikan atau dikembangkan menjadi
indikator kinerja. Dalam hal ini, data/informasi yang relevan lengkap, akurat dan
kemampuan serta pengetahuan tentang bidang yang akan dibahas, sehingga akan
sangat menolong dalam penyusunan dan penetapan indikator kinerja yang relevan.
3. Pilih dan tetapkan indikator kinerja yang paling relevan dan berpengaruh besar
terhadap keberhasilan pelaksanaan atau program/kegiatan.
Pendekatan sistem tidak jarang dipraktekan baik di organisasi sektor
publik maupun sektor swasta dalam pelaksanaan pengukuran kinerja
organisasi. Pendekatan ini mengunakan indikator sebagai berikut :
1. Masukan (input), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar
pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran, indikator
ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi,
kebijakan/peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
2. Proses (process), adalah segala besaran yang menunjukkan upaya yang dilakukan
dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran, indikator proses
menggambarkan perkembangan atau aktivitas yang terajadi atau dilakukan selama
pelaksanaan kegiatan berlangsung, khususnya dalam proses mengolah masukan
menjadi keluaran.
3. Keluaran (output), adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu
kegiatan yang dapat berupa fisik/atau non fisik.
4. Hasil (outcome), adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran
kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5. Manfaat (benefit), adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan.
6. Dampak (impact), adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif
pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.

16
Sebagai ilustrasi pengukuran kinerja sektor publik, Mahsun (2006)
memberikan ilustrasi, untuk contoh penulis mengambil di Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Bali mengenai penerimaan pegawai baru
sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.1
Ilustrasi Contoh Aspek Pengukuran Kinerja Sektor Publik

Penerimaan Pegawai baru

Input atau Masukan :


Sumber daya (anggaran/dana,SDM,
Jumlah dana/ Formasi yang
Teknologi/peralatan, material yang
diterima
digunakan untuk melaksanakan suatu
kegiatan

Proses :
Upaya yang dilakukan dalam rangka Kegiatan pada hukum/aturan,
mengolah masukan menjadi keluaran pelaksanaan perekrutan

Output atau Keluaran :


Sesuatu diharapkan langsung dicapai dari Jumlah Bidang Pelayanan
suatu kegiatan balk berupa fisik
maupun non fisik

Outcome atau Hasil :


Segala sesuatu yang menunjukkan
Kualitas Pelayanan
berfungsinya keluaran. Hasil nyata yang
diperolah setelah adanya keluaran

Benefit atau Manfaat:


Manfaat yang diperoleh dari adanya Tingkat kepuasan user terhadap
indikator hasil kinerja pegawai

Impact atau dampak :


Pengaruh yang ditimbulkan dari Tingkat Pelayanan yang
adanya manfaat yang diperoleh dari dirasakan masyarakat
hasil suatu kegiatan. Sifatnya makro
regional.
17
Sumber : Mohamad Mahsun, 2006, diolah Penulis, 2016.
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang
ditetapkan. (LAN dan BPKP,2000), apabila dikaitkan dengan benefit,
indikator pengukuran yang telah di jelaskan sebagaimana tersebut di atas
maka salah satu kelemahan pengukuran dengan pendekatan sistem mulai dari
masukan (input), proses (process), keluaran (output), hasil (outcome),
manfaat (benefit) dan dampak (inpact), adalah tidak semua organisasi publik
bisa mengukur setiap akhir tahunnya sampai pada indikator dampak (impact)
yaitu pengaruh positif maupun negatifnya bagi masyarakat, akan tetapi pada
organisasi sektor publik tertentu, hanya sampai pada indikator keluaran
(output).
Pengukuran kinerja Dharma (1985) berpendapat bahwa hal-hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pengukuran prestasi kerja, sebagai berikut :
1. Kuantitas,
Merupakan ukuran kuantitas yang melibatkan perhitungan dari proses atau pelaksanaan
kegiatan. Hal ini berkaitan dengan permasalahan jumlah keluaran yang dihasilkan
sehingga untuk mengetahui tinggi rendahnya prestasi kerja karyawan, maka
realisasi hasil kerja karyawan tersebut dibandingkan dengan standar kuantitas yang
ditetapkan oleh lembaga.
2. Kualitas.
Merupakan ukuran kualitatif output yang mencerminkan indikator tingkat kepuasan yaitu
seberapa baik penyelesaian dari suatu pekerjaan. Walaupun standar kualitatif sulit diukur
atau ditentukan, akan tetapi hal ini tetap penting sebagai acuan pencapaian sasaran
penyelesaian suatu pekerjaan.
3. Ketepatan Waktu.
Merupakan suatu jenis khuusus dari ukuran kuantitatif yang menentukan
ketepatan waktu penyelesaian kegiatan. Dalam hal ini penerapan standar waktu biasa
ditentukan berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya atau berdasrkan
studi gerak dan waktu.

18
Berdasarkan pengukuran terhadap indikator kinerja sebagaimana yang
tertuang dalam perjanjian kinerja Kementerian Agama Tahun 2015, menunjukkan
capaian sasaran strategis dengan nilai rerata capaian sebesar 113,84% atau sangat
baik. Sasaran yang menunjukkan capaian kinerja yang sangat baik ( ≥100%)
adalah (1) Meningkatnya Harmoni Sosial dan Kerukunan Intra dan Antar Umat
Beragama sebesar 100%; (2) Meningkatnya Mutu Penyelenggaraan Haji dan
Umroh Yang Transparan, Efisien dan Akuntabel sebesar 110,00%; (3)
Terselenggaranya Tata Kelola Pembangunan Bidang Agama Yang Efisien,
Efektif, Transparan, dan Akuntabel sebesar 109,64%; (4) Meningkatnya Angka
Partisipasi Pendidikan sebesar 105,52%; (5) Menurunnya Jumlah Siswa Yang
Tidak Melanjutkan Pendidikan sebesar 194,25%; dan (6) Meningkatnya Jaminan
Kualitas Pelayanan Pendidikan sebesar 119,20%.

2.1.2 Motivasi
Istilah motivasi berasal dari kata yunani "movere" dan bahasa inggris
"to move" yang berarti menggerakkan, namun istilah motivasi oleh berbagai
pendapat tidak jarang istilah ini silih berganti dipakai dengan istilah lainnya,
seperti kebutuhan (need), keinginan (want), doorongan (drive) atau impulsa.
Pengertian motif (motive) dan motivasi (motivation) temyata bermacam
ragam pendapat, untuk mengurangi salah pengertian terlebih dahulu akan
diberikan istilah motif dan motivasi. The Liang Gie (1989) berpendapat
"motive atau dorongan batin adalah justru dorongan yang menjadi pangkal
seseorang melakukan sesuatu atau bekerja", Sedangkan pengertian motivasi
Koontz et a/. (1964) menyatakan "motivation refers to the drive and effort to
satisfy a want or goal" (motivasi menunjukkan dorongan atau usaha untuk
memenuhi/memuaskan suatu kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan).
Motivasi yang berasal dari kata "motif' disebutkan "keadaan dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan untuk mencapai
tujuan", pendapat lain menyatakan bahwa "motivasi adalah daya
penggerak /pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan, yang bisa berasal
dari dalam diri dan juga dari luar" (Dalyono, 2005). Faktor motivasi
berkaitan dengan kepuasan pegawai menjadi pembahasan Chung and

19
Megginson (Gomes, 2003), bahwa : "Motivation is definied as goal-directed
behavior. It concerns the level of effor one exerts in pursuing a goal... its
closely related to employee satisfaction and job performance. Motivasi
dirumuskan sebagai perilaku yang ditujukan pada sasaran. Motivasi
berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan seseorang dalam mengejar
suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pekerjaan/pegawai
dan performansi pekerjaan.
Secara umun definisi motivasi yang telah dikemukakan tersebut di
atas, terdapat beberapa persamaan yang merupakan karakteristik dari gejala
motivasi yaitu adanya kekuatan yang bersifat energi dari dalam individu dan
rangsangan dari lingkungan seseorang berada, sehingga mendorong
beraktivitas melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu, hal ini
dapat disadari bahwa setiap manusia pada dasarnya mempunyai
kebutuhanan, untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang bertingkah laku
tertentu yang dapat diarahkan, sehingga kebutuhan dan keinginannya
terpenuhi.
Motivasi sebagai kekuatan yang tersembunyi menyebabkan atau
mendorong kita untuk berperilaku atau berbuat dengan cara tertentu.
Kadang-kadang motivasi bersifat instingtif (dipengaruhi insting) dan kadang
kala timbul dari kepuusan yang rasional (walgito, 2003). Motivasi
berdampak kepada empat hal, yaitu : motivasi membangkitkan energi untuk
bersikap aktif, penuh perhatian dan terlibat di dalam kelompok, motivasi
mengarahkan tujuan, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan tugas untuk
mencapai tujuan yang diharapkan motivasi mendorong untuk memilih
aktivitas yang seharusnya dilakukan, motivasi juga menentukan bagaimana
suatu tugas akan dikerjakan. Motivasi menjadikan pola perilaku seseorang
yaitu, merencanakan sesuatu dengan terencana.
Terdapat lima karakteristik motivasi, yaitu : 1) bangkitnya energi; 2)
terdapat usaha yang terarah untuk mencapai tujuan; 3) perhatian hanya
ditujukan kepada hal-hal yang relevan; 4) pengorganisasian unit-unit respon menjadi pola
yang terpadu dan berurutan; 5) usaha yang terus menerus sampai kondisi yang
diharapkan tercapai (Gomes, 2003). Motivasi sebagai proses yang ikut menentukan

20
intensitas, arah dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran, Meskipun
motivasi umum terkait dengan upaya kearah sasaran apa saja, dalam pembahasan ini
akan lebih terfokus pada tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal terhadap
perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Terdapat tiga unsur kunci yaitu intensitas,
arah dan berlangsung lama. Intensitas tekait dengan seberapa keras seseorang
berusaha. lni adalah unsur yang mendapat perhatian paling besar bila berbicara
tentang motivasi. Akan tetapi, intensitas yang tinggi kemungkinan tidak akan
menghasilkan kinerja yang diinginkan jika uapaya itu tidak disalurkan ke arah
yang menguntungkan organisasi. Pada akhimya motivasi memiliki dimensi
berlangsung lama yaitu ukuran tentang berapa lama seseorang mempertahankan
usahanya (Robbins, 2006).
Beberapa konsep atau teori motivasi yang dikemukakan sebagai berikut :
2.1.2.1 Teori Hierarki Kebutuhan.
Teori hirarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham Maslow (1954),
mendapat pengakuan yang luas bahkan bisa dikatakan teori motivasi yang paling terkenal
terutama bagi para pekerja atau pegawai yang masih aktif dalam suatu organisasi.
Maslow hipotesisnya mengatakan bahwa di dalam diri semua manusia terdapat suatu
jenjang lima kebutuhan, yaitu sebagai berikut :
1. Psikologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perurnahan),
seks, dan kebutuhan jasmani lain.
2. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan
emosional.
3. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima-baik, dan persahabatan.
4. Penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti, otonomi, prestasi,
serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya status, pengakuan, dan
perhatian.
5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi seseorang/sesuatu sesuai ambisinya,
yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan
diri.
Teori hierarki kebutuhan Maslow tersebut digolongkan dalam "content
theories" yang menjelaskan adanya kebutuhan-kebutuhan sebagai faktor memberi
daya pada tingkah laku, yang didasarkan pada tiga premis pokok yaitu : Pertama ,

21
manusia mahiuk berkeinginan untuk memuaskan berbagai kebutuhan. Kebutuhan
yang tidak terpuaskan mempengaruhi tingkah laku, tetapi kebutuhan yang
terpuaskan tidak berfungsi sebagai motivator. Kedua, kebutuhan-kebutuhan
seseorang tersusun secara berururt dalam suatu hirarki, dari yang paling dasar
sampai yang paling tinggi. Ketiga, kebutuhan seseorang bergerak dari yang terendah
ke kebutuhan tingkat berikutnya setelah kebutuhan yang lebih rendah secara minimal
terpuaskan, sebagai contoh seseorang akan memuaskan diri pada pemuasan
keselamatan dan rasa aman sebelum yang bersangkutan mengarahkan tingkah
lakunya kepada kebutuhan sosial.
Teori Maslow dalam prosesnya menjelaskan bahwa tingkatan kebutuhan
hirarki diatas dapat dicapai setiap manusia secara bertahap. Suatu tingkatan
kebutuhan memerlukan pemuasan yang optimal apabila ingin berpindah ke tingkatan
selanjutnya. Sifat statis teori ini mengindikasikan bahwa orang akan terus menerus
berupaya memenuhi tingkatan kebutuhanya yang belum terpenuhi hingga puas dan
tidak memotivasi dirinya lagi. Jika keadaan sudah puas terjadi orang akan berpindah
ke kebutuhan selanjutnya yang nilai kepuasanya lebih tinggi dan memerlukan upaya
yang lebih tinggi lagi. Begitulah seterusnya hingga manusia mencapai kepuasan
tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi did di masyarakat. Namun, keadaan setiap
individu yang berbeda-beda balk dari segi ekonomi, status, jabatan dan lain-lain
menyebabkan kebutuhan setiap individu berbeda beda dan berada dalam berbagai
tingkatan. lni tentu jadi tantangan bagi pemimpin untuk memahami keberadaan
motivasi karyawan karyawanya sehingga tidak ada kesalahan ketika memberikan
sebuah perangkat motivator seperti bonus, promosi dan lain-lain. Pemimpin yang
mampu membaca tingkatan motivasi bawahan akan dapat dengan mudah
menentukan paket motivator yang cocok bagi bawahanya.
Lebih lanjut Maslow menjelaskan bahwa tingkatan kebutuhan yang is susun
dibagi menjadi dua jenis kebutuhan umum, yaitu : kebutuhan order rendah yang
mencangkup kebutuhan fisiologis dan keamanan; dan kebutuhan order tinggi yang
mencangkup kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Kedua klasifikasi
kebutuhan diatas mernbedakan sumber pemenuhannya masing masing. Kebutuhan
order rendah dipenuhi secara internal (dalam did orang itu) sedangkan kebutuhan
order tinggi dipenuhi secara ekstemal (misal dengan upah, kontrak, masa kerja, dan

22
lain-lain). Menurut Maslow orang dewasa secara normal memuaskan kira kira 85%
kebutuhan fisiologis, 70% kebutuhan rasa aman, 50% kebutuhan untuk memiliki dan
mencintai, 40% kebutuhan harga did serta 10% kebutuhan aktualisasi din.
Pernyataan tersebut cukup logis karena rata- rata orang Iebih termotivasi memenuhi
kebutuhan yang sifatnya tidak bisa ditunda-tunda lagi seperti makan, minum dan
kebutuhan fisiologisnya. Sementara kebutuhan lainya masih bisa ditunda. Secara
ekstemal (misal dengan upah, kontrak, masa kerja, dan lain-lain). Menurut Maslow
orang dewasa secara normal memuaskan kira kira 85% kebutuhan fisiologis, 70%
kebutuhan rasa aman, 50% kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, 40%
kebutuhan harga did serta 10% kebutuhan aktualisasi din. Pernyataan tersebut cukup
logis karena rata- rata orang Iebih termotivasi memenuhi kebutuhan yang sifatnya
tidak bisa ditunda-tunda lagi seperti makan, minum dan kebutuhan fisiologisnya.
Sementara kebutuhan lainya masih bisa ditunda.
Walaupun teori Maslow memperoleh pengakuan luas dari berbagai kalangan
terutama para manajer praktik karena teori ini mudah dipahami, namun teori ini
bukan tanpa cacat. Dukungan empiris yang kurang yang merupakan acuan
diterimanya suatu teori menyebabkan teon ini menuai banyak kritik. Selain itu sifat
statis teori ini juga mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan terutama
akademisi, karena dinilai kurang bisa diterima jika seseorang akan terus menerus
berupaya di satu tingkatan hingga puas tanpa hisa balik ke kebutuhan yang lebih
rendah atau mengoptimalkan kebutuhan sebelumnya lagi.
2.1.2.2. Teori X dan Teori Y
Teori X dan Teori Y dalam kajian teori motivasi klasik, Mc. Gregor (1960)
mengemukan pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia pada dasarnya, satu
negatif yang ditandai sebagi teori X, dan yang lainnya pada dasarnya positif, yang
ditandai dengan teori Y. Mc. Gregor memandang kodrat manusia didasarkan pada
kelompok asumsi tertentu, menunurut asumsi-asumsi ini pimpinan cenderung
mengeluarkan cara berperilakunya ke para bawahannya.
Asumsi Teori X dari Mc. Gregor, terdapat 4(empat) asumsi yang dipegang
para pimpinan adalah sebagai berikut :
1. Karyawan secara interen tidak menyukai kerja dan, bila dimungkinkan akan
mencoba menghindarinya.

23
2. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.
3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal
bila mungkin.
4. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang
terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah.
Menyadari kelemahan dari asumsi negatif mengenai kodrat manusia tersebut,
Mc. Gregor menngemukakan 4 (empat ) asumsi positif, yaitu :
1. Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan
istirahat atau bermain.
2. Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka
memiliki komitmen pada sasaran.
3. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan, tanggungj
awab.
4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua
orang dan tidak hanya milik mereka yang ada dalam posisi manajemen.
Esensi dari Teori X tersebut, mamandang sebagian besar manusia ini lebih
suka diperintah, tidak tertanam rasa tanggung jawab serta menginginkan kesamaan
atas segalanya. Orang-orang yang tergolong dalam teori ini pada hakekadnya tidak
menyukai bekerja, berkemampuan kecil untuk mengatasi masalah-masalah
organisasi, untuk itu perlu diawasi secara ketat. Sedangkan Teori Y adalah
sebaliknya, manusia itu suka bekerja dapat mengontrol dirinya mempunyai
kemampuan untuk berkreativitas, motivasinya tidak hanya, fisiologis melainkan
lebih tinggi dari itu, oleh karena itu orang semacam ini tidak perlu diawasi secara
ketat.
2.1.2.3. Teori Motivasi Prestasi.
Konsep motivasi prestasi merupakan salah satu dari teori kebutuhan yang
disampaikan oleh Mc.Clelland (1962). Pada teori ini Mc.Clelland memfokuskan
pada 3 (tiga) motivasi yang dijelaskan yaitu :
1. Motivasi prestasi (achievement motivation) yakni, dorongan untuk berprestasi
berdasar seperangkat standar, untuk supaya sukses. Seseorang dianggap
mempunyai motivasi untuk berprestasi jika mempunyai keinginan untuk

24
melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain.
Karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi adalah suka mengambil
resiko yang moderat (moderate risks), bertekad akan mencapai tujuan bulat tidak
setengah-setengah, memberikan hasil yang mkasimal dan pada umumnya hanya
memperhitungkan keberhasilan prestasinya saja tidak memperdulikan penghargaan-
penghargaan materi. Walaupun dalam prestasi kemudian mendapatkan pujian,
penghargaan dan hadiah-hadiah, hal tersebut bukanlah karena mengharapkan
akan tetapi karena orang lain atau lingkungannya yang akan menghargainya.
2. Motivasi affiliansi (affiliation motivation), yakni hasrat untuk hubungan antar
pribadi yang ramah dan akrab. Perbandingan antara pegawai yang bermotivasi
karena prestasi dengan pegawai bermotivasi karena afilasi
menggambarkan bagaimana kedua pola ini mempengaruhi perilaku.
Pegawai yang bermotivasi prestasi bekerja lebih keras, memilih
pembantunya yang berkemampuan teknis dan kurang memperhatikan
perasaan pribadi orang lain. Sedangkan pegawai yang bermotivasi afiliasi
bekerja lebih baik apabila mereka dipuji karena sikap dan kerjasamanya
yang menyenangkan dan cenderung memilih orang-orang disekelilingnya
agar keleluasaan untuk membina hubungan pekerjaan lebih lancar dan
merasa mendapatkan kepuasan batin karena berada dilingkungan
sahabat-sahabatnya.
3. Motivasi kekuasaan (power motivation), yakni kebutuhan untuk membuat
orang lain berperilaku dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga
mereka tidak akan berperilaku sebaliknya. Orang yang bermotivasi
kekuasaan ingin memikulkan dampak pada organisasi dan mau memikul
resiko untuk melakukan tindakan. Apabila dorongan yang muncul lebih
setuju pada kekuasaan lembaga dari pada kekuasaan pribadi, dalam arti
adanya kebutuhan untuk mempengaruhi perilaku orang lain demi
kebaikan organisasi secara keseluruhan, maka orang yang demikiar
merupakan pemimpin yang dapat diterima oleh orang lain, akan tetap i
apabila dorongan itu tertuju pada kekua tan pribadi, maka adanya
kecenderungan akan menjadi pemimpin organisasi yang tidak berhasil.

25
Motivasi berprestasi sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk berhasil dengan
membandingkan standar keunggulan. Keunggulan di sini merupakan perbandingan
antara prestasi orang lain dengan prestasi yang dicapai sendiri atau prestasi yang
pernah dicapai sebelumnya. Standar keunggulan diri dan standar keunggulan orang
lain yaitu perbandingan prestasi yang pemah dicapai sebelumnya, perbandingan
dengan prestasi orang lain serta perbandingan tugas-tugas yang pemah dikerjakan.
Motivasi berprestasi sangat ditanamkan kepada setiap anggota organisasi. Beberapa
penghargaan dan kemudahan fasilitas diberikan kepada setiap anggota organisasi
yang berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya dengan meraih prestasi terbaik
2.1.2.4. Teori Dua Faktor
Teori dua faktor merupakan teori yang dikembangkan oleh psikolog Frederick
Herzberg (1959). teori yang dikenal dengan "Model dua faktor" dari motivasi, yaitu
faktor motivasional dan faktor hygiene atau "pemeliharaan”
Model dua faktor dari motivasi tersebut, dijelaskan sebagai berikut :
1. Faktor hygiene atau pemeliharaan yang sifatnya ekstrinsik, yang
bersumber dari luar diri seseorang. Herzberg menjelaskan beberapa kondisi
dari suatu pekerjaan terutama menyebabkan ketidakpuasan para pegawai bila
kondisi dari suatu pekerjaan tersebut tidak ada. Namun hal tersebut tidak
membentuk motivasi yang kuat, kondisi ini sebaga maintenance factor.
Herzberg juga menjelaskan bahwa banyak diantara kondisi ini sering dirasakan
oleh para manajer sebagai faktor yang dapat memotivasi bawahan, tetapi
kenyataannya kondisi itu lebih potensial sebagai bukan pemuas kalau kondisi
tersebut tidak ada (Bragg, 1982 : Gibson. et al. 1997). Herzberg (Whiteset and
Winslow, 1967; Gibson et al. 1997) menyebutkan sepuluh faktor
pemeliharaan/hygiene factor, yaitu : 1) kebijakan perusahaan dan administrasi,
2) supervisi, 3) hubungan interpersonal dengan supervisor, 4) hubungan
interpersonal dengan bawahan, 5) hubungan dengan rekan kerja, 6) gaji, 7)
keamanan kerja, 8) kehidupan pribadi, 9) kondisi kerja, 10) status.
2. Faktor motivasional sifatnya instrinsik bersumber dari dalam diri
seseorang. Herzberg menjelaskan beberapa kondisi kerja membentuk
tingkat motivasi dan kepuasan kerja yang tinggi. Namun jika kondisi ini
tidak ada, kondisi tersebut tidak membuktikan munculnya ketidakpuasan

26
(Gerstmann, 2001). Terdapat enam faktor menurut Herzberg (Whiteset
and Winslow, 1967; Gibson et al. 1997), yaitu : 1) prestasi (achievement), 2)
penghargaan (recognitional), 3) kenaikan pangkat (advancement), 4) pekerjaan
itu sendiri (work itself), 5) pertumbuhan pribadi (interpersonal growth), 6)
tanggung jawab (responsibility)
Teori dua faktor bukannya tanpa kekuarangan, dan dari beberapa teori
motivasi tidak terlepas dari kritik, namun salah satu tantangan dalam memahami dan
menerapkan teori Herzberg adalah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang
lebih berpengaruh kuat daiam kehidupan pekerjaan pegawai, faktor ekstrinsik
apakah yang lebih kuat atau sebaliknya faktor instrinsik. Baron and Greenberg
(1990) menyatakan bahwa penelitianpenelitian yang dilakukan untuk membuktikan
teori ini menunjukkan hasil yang beragam. Bahkan beberapa penelitian
menunjukkan apa yang oleh Herzberg disebut sebagai motivator dan hygiene, sama-
sama memiliki pengaruh yang kuat baik terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan
kerja Namun demikian teori Dua-Faktor Herzberg masih bisa digunakan untuk
menyediakan kerangka yang sangat berguna untuk menggambarkan kondisikondisi
tertentu dimana orang dapat menemukan kepuasan dan ketidakpuasan kerja.
Lebih lanjut Baron and Greenberg (1990) memperkuat teori dua faktor
Herzberg, menjelaskan bahwa terdapat lima indikator faktor motivator yang memacu
kepuasan kerja, dan enam indikator faktor hygiene yang mencegah ketidakpuasan
kerja dalam gambar berikut ini :
Gambar 2.2
Indikator Motivator dan Hygiene menurut Baron dan Greenberg

Motivator: Higienis:
1 Peluang 1 . K ua l i t a s
promosi penyeliaan
2 Peluang 2. G a j i
Mencegah
untuk Meningkatka 3 . Kebijakan
Ketidak
kemajuan n kepuasan Perusahaan puasan
personal kerja 4 . Kondisi fisik
kerja
3 Pengakuan kerja
4 Ta n g g u n g 5 . Hubungan
Jawab 6 . Job
5 Pencapaian security

27
Sumber : Baron dan Greenberg, 1990.
Kepuasan kerja merupakan kondisi penting yang perlu mendapat perhatian
yang serius oleh pimpinan orgarisasi/lembaga, karena salah satu tujuan orang bekerja
adalah untuk memperoleh kepuasaan kerja, oleh karena itu organisasi/lembaga harus
memperhatikan kepuasan kerja para pegawainya, mengingat kinerja
organisasi/lembaga juga sangat ditentukan oleh kinerja individual. Hal ini senada
juga dengan apa yang dikemukakan oleh Steers and Porter (1997), bahwa kepuasan
kerja karyawan merupakan salah satu dari faktor utama yang dapat mempengaruhi
kinerja karyawan dan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini didasarkan pada teori dua-
faktor, yaitu pada konep faktor ektrinsik dan sepuluh karakteristik Herzberg
(kebijakan perusahaan dan administrasi, supervisi, hubungan interpersonal dengan
supervisor, hubungan interpersonal dengan bawahan, hubungan dengan rekan kerja,
gaji, keamanan kerja, kehidupan pribadi, kondisi kerja dan status), diambil tujuh
yang dianggap sesuai penerapannya pada konteks organisasi publik mamperkuat
sebagaimana disampaikan Rosidah (2009) yaitu meliputi : upah/gaji, keamanan
kerja, kondisi kerja, status, prosedur, mutu penyeliaan dan mutu hubungan personal.
Sedangkan enam karakteristik Herzberg yang merupakan faktor motivasional
dan sifatnya instrinsik (prestasi, penghargaan, kenaikan pangkat, pekerjaan itu
sendiri, pertumbuhan pribadi dan tanggungjawab), terdapat satu karakteristik
kenaikan pangkat yang tidak digunakan dalam penelitian ini dengan alasan bahwa
kenaikan pangkat merupakan salah satu penghargaan terhadap pegawai atas prestasi
kerja yang dicapai. Motivasi mengisyaratkan tekanan untuk maju kedepan dan
berbuat lebih banyak, hubungan antara motivasi dan prestasi kerja oleh Amstrong
(1996) digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2 . 3.
Hubungan antara motivasi dan prestasi kerja

Motivasi Prestasi Kerja

28
Sumber : Amstrong, 1996
Berdasarkan gambar 2.3, Amstrong (1996) menjelaskan bahwa hubungan
antara motvasi dan prestasi kerja adalah sesuatu yang positif dalam arti
meningkatnya motivasi akan menghasilkan prestasi kerja yang lebih baik, dan
sebaliknya perbaikan prestasi kerja akan meningkatkan motivasi karena
menimbulkan perasaan berprestasi. Bagaimanapun tertariknya seseorang untuk
mengerjakan sesuatu, dia tidak akan mampu melakukannya jika tidak memiliki
kecakapan yang dibutuhkan.

2.1.3 Disiplin
2.1.3.1 Pengertian Disiplin Kerja
Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manager untuk
berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu
perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatakan kesadaran dan kesediaan
seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku. Sebagai contoh, beberapa karyawan terbiasa terlambat untuk bekerja,
mengabaikan prosedur keselamatan, melalaikan pekerjaan detail yang diperlukan
untuk pekerjaan mereka, tindakan yang tidak sopan ke pelanggan, atau terlibat
dalam tindakan yang tidak pantas. Disiplin karyawan memerlukan alat
komunikasi, terutama pada peringatan yang bersifat spesifik terhadap karyawan
yang tidak mau berubah sifat dan perilakunya. Penegakan disiplin karyawan
biasanya dilakukan oleh penyelia. Sedangkan kesadaran adalah sikap seseorang
yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung
jawabnya.
Sehingga seorang karyawan yang dikatakan memiliki disiplin kerja yang
tinggi jika yang bersangkutan konsekuen, konsisten, taat asas, bertanggung jawab
atas tugas yang diamanahkan kepadanya.
Dalam kaitannya dengan disiplin kerja, Siswanto mengemukakan disiplin
kerja sebagai suatu sikap menghormati, menghargai patuh dan taat terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak menerima sanksi-sanksi
apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Sementara

29
itu, Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, mendefinisikan disiplin sebagai suatu
proses bekerja yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri.
Dari beberapa pengertian yang diungkapkan di atas tampak bahwa disiplin
pada dasarnya merupakan tindakan manajemen untuk mendorong agar para
anggota organisasi dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang
berlaku dalam suatu organisasi, yang di dalamnya mencakup :
(1) adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan,
(2) adanya kepatuhan para pengikut,
(3) adanya sanksi bagi pelanggar
Pada bagian lain, Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, menyebutkan bahwa
disiplin kerja adalah kesadaran, kemauan dan kesediaan kerja orang lain agar
dapat taat dan tunduk terhadap semua peraturan dan norma yang berlaku,
kesadaaran kerja adalah sikap sukarela dan merupakan panggilan akan tugas dan
tanggung jawab bagi seorang karyawan. Karyawan akan mematuhi atau
mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan bukan mematuhi tugasnya itu
dengan paksaan. Kesediaan kerja adalah suatu sikap perilaku dan perbuatan
seseorang yang sesuai dengan tugas pokok sebagai seorang karyawan. Karyawan
harus memiliki prinsip dan memaksimalkan potensi kerja, agar karyawan lain
mengikutinya sehingga dapat menanamkan jiwa disiplin dalam bekerja.
Menurut Wayne Mondy dan Robert M. Noe disiplin adalah status
pengendalian diri seseorang karyawan, sebagai tanda ketertiban dan kerapian
dalam melakukan kerjasama dari sekelompok unit kerja di dalam suatu organisasi
(someone status selfcontrol as orderliness sign order and accuration in doing
cooperation from a group of unit work in a organization) Banyak faktor yang
dapat mempengaruhi tegak tidaknya suatu disiplin kerja dalam suatu perusahaan.
Menurut Gouzali Saydam, faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Besar kecilnya pemberian kompensasi
b. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam lembaga
c. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
d. Keberanian pimpinan dalam mengambil keputusan
e. Tidak adanya pengawasan pemimpin
f. Tidak adanya perhatian kepada karyawan

30
g. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin
2.1.3.2 Macam-Macam Disiplin Kerja
Terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja yaitu :
1. Disiplin Retributif (Retributive Discipline), yaitu berusaha menghukum orang
yang berbuat salah
2. Disiplin Korektif (Corrective Discipline), yaitu berusaha membantu karyawan
mengoreksi perilakunya yang tidak tepat.
3. Perspektif hak-hak individu (Individual Rights Perspective), berusaha
melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
4. Prespektif Utilitarian (Utilitarian Prespective), yaitu berfokus kepada
penggunaan disiplin hanya pada sat kosekuensi-kosekuensi tindakan disiplin
melibihi dampak-dampak negatifnya.
Jackclass membedakan disiplin dalan dua kategori, yaitu self dicipline dan
social dicipline. Self dicipline merupakan disiplin pribadi karyawan yang
tercermin dari pribadinya dalam melakukan tugas kerja rutin yang harus
dilaksanakan, sedangkan social dicipline adalah pelaksanaan disiplin dalam
organisasi secara keseluruhan.
Menurut Colyer (2005: 67), disiplin pada umumnya termasuk dalam aspek
pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas. Dikatakan keras karena ada
sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi
bila terjadi pelanggaran. Terdapat dua jenis disiplin dalam organisasi, yaitu :
a. Disiplin Preventif
Disiplin preventif adalah tindakan yang mendorong para karyawan untuk
taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah
ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap,
tindakan dan prilaku yang diinginkan dari setiap anggota organisasi, untuk
mencegah jangan sampai para karyawan berperilaku negatif. Keberhasilan
penerapan pendisiplinan karyawan (disiplin preventif) terletak pada disiplin
pribadi para anggota organisasi. Triguno menyebutkan bahwa tujuan pokok
dari pendisiplinan preventif adalah untuk mendorong karyawan agar memiliki
disiplin pribadi yang tinggi, agar peran kepemimpinan tidak terlalu berat

31
dengan pengawasan, yang dapat mematikan prakarsa, kreativitas serta
partisipasi sumber daya manusia.
Dalam hal ini terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian
manajemen di dalam penerapan disiplin pribadi, yaitu : 1) Para anggota
organisasi perlu didorong, agar mempunyai rasa memiliki organisasi, karena
secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang menjadi miliknya 2)
Para perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan
standar yang harus dipenuhi. Penjelasan dimaksudkan seyogyanya disertai oleh
informasi yang lengkap mengenai latar belakang berbagai ketentuan yang
bersifat normative 3) Para karyawan didorong menentukan sendiri cara-cara
pendisiplinan diri dalam rangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum bagi
seluruh anggota organisasi.
b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah upaya penerapan disiplin kepada karyawan yang
nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang
berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan dan kepadanya
dikenakan sanksi secara bertahap.
Garret (2000: 98) menyebutkan bahwa bila dalam instruksinya seorang
karyawan dari unit kelompok kerja memiliki tugas yang sudah jelas dan sudah
mendengarkan masalah yang perlu dilakukan dalam tugasnya, serta pimpinan
sudah mencoba untuk membantu melakukan tugasnya secara baik, dan
pimpinan memberikan kebijaksanaan kritikan dalam menjalankan tugasnya,
namun seseorang karyawan tersebut masih tetap gagal untuk mencapai standar
kriteria tata tertib, maka sekalipun agak enggan, maka perlu untuk memaksa
dengan menggunakan tindakan korektif, sesuai aturan disiplin yang berlaku.
Tindakan sanksi korektif seyogyanya dilakukan secara bertahap, mulai
dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Sayles dan Strauss
menyebutkan empat tahap pemberian sanksi korektif, yaitu: (1) peringatan
lisan (oral warning), (2) peringatan tulisan (written warning), (3) disiplin
pemberhentian sementara (discipline layoff), dan (4) pemecatan (discharge). Di
samping itu, dalam pemberian sanksi korektif seyogyanya memperhatikan tiga
hal berikut :

32
a. Karyawan yang diberikan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau
kesalahan apa yang telah diperbuatnya,
b. Kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri,
c. Dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan
“wawancara keluar” (exit interview) pada waktu mana dijelaskan antara
lain, mengapa manajemen terpaksa mengambil tindakan sekeras itu.
Burack mengingatkan bahwa pemberian sanksi korektif yang efektif
terpusat pada sikap atau perilaku seseorang dalam unit kelompok kerja yang
melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja dan bukan karena
kepribadiannya.
Untuk itu, dalam penerapan sanksi korektif hendaknya hati-hati jangan
sampai merusak seseorang maupun suasana organisasi secara keseluruhan.
Dalam pemberian sanksi korektif harus mengikuti prosedur yang benar
sehingga tidak berdampak negatif terhadap moral kerja anggota kelompok.
Ada beberapa pengaruh negatif bilamana tindakan sanksi korektif
dilakukan secara tidak benar, yaitu :
1) Disiplin Manajerial,
2) Disiplin Tim,
3) Disiplin Diri.
Hopkins (2006: 76) Pengaruh negatif atas penerapan tindakan sanksi
korektif yang tidak benar akan berpengaruh terhadap kewibawaan manajerial
yang akan jadi menurun, demikian juga dalam tindakan sanksi korektif dalam
tim yang tidak benar dapat berakibat terhadap kurangnya partisipasi karyawan
terhadap organisasi, dimana kerja tim akan menjadi tidak bersemangat dalam
melaksanakan tugas kerja samanya, dan menjadi tercerai berai karena
kesalahan tindakan disiplin tim.
2.1.3.3. Pendekatan Disiplin Kerja
Terdapat tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner antara lain
sebagai berikut :
 Aturan Tungku Panas (hot stove rule),
 Tindakan Disiplin Progresif (progressive discipliner),
 Tindakan Disiplin Positif (positive discipliner).

33
Pendekatan-pendekatan aturan tungku panas dan tindakan disiplin
progresif berfokus pada perilaku masa lalu. Sedangkan pendekatan disiplin
positif berorientasi ke masa yang akan datang dalam bekerja sama dengan para
karyawan untuk memecahkan masalah-masalah sehingga masalah itu tidak akan
timbul lagi.
1. Aturan tungku Panas
Pendekatan untuk melaksanakan tindakan disipliner disebut tungku panas
(hot stove rule). Menurut pendekatan ini, tindakan disipliner haruslah memiliki
konsekuensi yang analog dengan menyentuh sebuah tungku panas :
a. Membakar dengan segera
Jika tindakan disipliner akan diambil, tindakan itu harus dilaksanakan
segera sehingga individu memahami alasan tindakan tersebut. Dengan
berlalunya waktu, orang memiliki tendensi meyakinkan mereka sendiri
bahwa dirinya tidak salah yang cenderung sebagian menghapuskan efek-
efek disipliner yang terdahulu
b. Memberi peringatan
Hal ini penting untuk memberikan peringatan sebelumnya bahwa hukuman
akan mengikuti perilaku yang tidak dapat diterima. Pada saat seseorang
bergerak semakin dekat dengan tungku panas, maka diperingatkan oleh
panasnya tungku tersebut bahwa mereka akan terbakar juka mereka
menyentuhnya, dan oleh karena itu ada kesempatan menghindari terbakar
jika mereka memilih demikian.
c. Memberikan hukuman yang konsisten
Tindakan disipliner haruslah konsisten ketika setiap orang yang melakukan
tindakan yang sama akan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Seperti pada tungku panas, dan pada periode waktu yang sama, akan
terbakar pada tingkat yang sama pula.
Disiplin yang konsisten berarti :
1) Setiap karyawan yang terkena hukuman disiplin harus
menerimanya/menjalaninya
2) Setiap karyawan yang melakukan pelanggaran yang sama akan
mendapatkan ganjaran disiplin yang sama
3) Disiplin diberlakukan dalam cara yang sepadan kepada segenap
karyawan
d. Membakar tanpa membeda-bedakan
Tindakan disipliner seharusnya tidak membeda-bedakan. Tungku panas
akan membakar setiap orang yang menyentuhnya, tanpa memilih-milih.

34
Penyelia menitikberatkan pada perilaku yang tidak memuaskan, bukan
pada karyawanya sebagai pribadi yang buruk.
2. Tindakan Disiplin Progresif
Tindakan disiplin progresif (progressive discipliner) dimaksudkan untuk
memastikan bahwa terdapat hukuman minimal yang tepat terhadap setiap
pelanggaran. Tujuan tindakan ini adalah membentuk program disiplin yang
berkembang mulai dari hukuman yang ringan hingga yang sangat keras. Disiplin
progresif dirancang untuk memotivasi karyawan agar mengoreksi kekeliruannya
secara sukarela. Penggunaan tindakan ini meliputi serangkaian pertanyaan
mengenai kerasnya pelanggaran. Manajer hendaknya mengajukan
pertanyaanpertanyaan ini secara berurutan untuk menentukan tindakan.
3.Tindakan disiplin Positif
Dalam banyak situasi, hukuman tidaklah memotivasi karyawan mengubah
suatu perilaku. Namun, hukuman hanya mengejar seseorang agar takut atau
membenci alikaso hukuman yang dijatuhkan penyelia. Penakanan pada hukuman
ini dapat mendorong para karyawan untuk menipu penyelia mereka daripada
mengoreksi tindakan-tindakannya. Tindakan disipliner positif dimaksudkan
untuk menutupi kelemahan tadi, yaitu mendorong karyawan memantau
perilakuperilaku mereka sendiri dan memikul tanggung jawab atas
konsekuensikonsekuensi dari tindakan-tindakan mereka. Disiplin posirif
bertumpukan pada konsep bahwa para karyawan mesti memikul tanggung jawab
atas tingkah laku pribadi mereka dan persyaratan-persyaratan pekerjaan. Dengan
sesi konseling dimaksudkan agar karyawan belajar dari kekeliruan-kekeliruan
silam dan memulai rencana untuk membuat suatu perubahan positif dalam
perilakunya. Alih-alih tergantung pada ancaman-ancaman dan hukuman-
hukuman, penyelia memakai keahlian-keahlian konseling untuk memotivasi para
karyawan supaya berubah. Alih-alih menimpakan kesalahan pada karyawan,
penyelia menekankan pemecahan masalah secara koboratif.
2.1.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja
Terdiri dari beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja.
Banyak faktor yang mempengaruhi tegak tidaknya suatu disiplin kerja dalam
suatu perusahaan. Menurut Saydam, faktor-faktor tersebut antara lain :
 Besar kecilnya pemberian kompensasi

35
 Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan
 Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
 Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan
 Ada tidaknya pengawasan pimpinan
 Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan
 Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
Menurut Lewin disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku,
pembentukan perilaku adalah interaksi antara faktor kepribadian dan faktor
lingkungan (situasional) yaitu :
 Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai
yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan
disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang diajarkan atau
ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai
kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem ini akan
terlihat dari sikap seseorang, sikap diharapkan akan tercermin dalam
perilaku.
 Faktor Lingkungan
Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan
suatu proses belajar yang terus-menerus. Proses pembelajaran agar dapat
efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu
memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil bersikap, positif, dan
terbuka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Disiplin Kerja terdiri dari faktor kepribadian dan faktor lingkungan.
2.1.3.5 Sanksi Disiplin Kerja
Pelanggaran kerja adalah setiap ucapan, tulisan, perbuatan seorang
pegawai yang melanggar peraturan disiplin yang telah diatur oleh pimpinan
organisasi. Sedangkan sanksi pelanggaran adalah hukuman disiplin yang
dijatuhkan pimpinan organisasi kepada pegawai yang melanggar peraturan
disiplin yang telah diatur pimpinan organisasi.

36
Ada beberapa tingkat dan jenis sanksi pelanggaran kerja yang umumnya
berlaku dalam suatu oranisasi yaitu :
1. Sanksi Pelanggaran Ringan, dengan jenis:
a) Teguran Lisan
b) Teguran Tertulis
c) Pernyataan tidak puas secara tertulis
2. Sanksi Pelanggaran Sedang, dengan rincian :
a) Penundaan kenaikan gaji
b) Penurunan gaji
c) Penundaan kenaikan jabatan
3. Sanksi Pelanggaran Berat, dengan rincian :
a) Penurunan pangkat
b) Pembebasan dari jabatan
c) Pemberhentian
d) Pemecatan

2.1.4 Lingkungan Kerja


2.1.4.1 Makna Lingkungan Kerja.
Memahami istilah Iingkungan, referensi masyarakat pada umumnya tertuju
pada biosphere dan bagian-bagiannya, yakni bagian tipis dari permukaan bumi
dimana masih terdapat kehidupan, meliputi tanah, pegunungan, sungai, danau,
lautan, udara, angin atmosphere dan masih banyak lagi yang tidak mungkin
disebutkan satu-persatu terkait Iingkungan di muka bumi ini. Pada masa sekarang
manusia semakin menaruh perhatian terhadap lingkungannya yang semakin hari
semakin rusak dan tercemar sehingga pengertian Iingkungan sering disamakan
dengan ekologi, Berhubungan dengan istilah ekologi, Soemarwoto (2004)
mengatakan bahwa "ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan
linkungan hidupnya disebut ekologi" lebih lanjut Soemarwoto menggambarkan
bahwa ekologi berinteraksi pula dengan bidang-bidang lainnya, sehingga
memunculkan ekologi pembangunan, ekologi kependudukan, ekologi pangan,
ekologi pariwisata, serta bidang-bidang lainnya yang menggambarkan adanya
interaksi dengan Iingkungan hidupnya.

37
Dilihat dari studi ekologi pemerintahan, Wasistiono, (2013): menjelaskan
bahwa kajian ini melihat pemerintah sebagai sebuah "ekosistem" sehingga berbagai
teori, paradigma, pendekatan, konsep, prinsip yang digunakan sebagi alat analisis
pada ekologi dipakai pula pada kajian ekologi pemerintahan. Lebih lanjut Wasistiono
(2013) menjelaskan, beberapa hal penting yang biasanya digunakan dalam kajian
ekologi yaitu, a) memandang obyek sebagai sebuah ekosistem, b) penggunaan
paradigma antroposentrik, c) penggunaan pendekatan holistik dan d) adanya
mekanisme yang berfungsi memelihara sistem dalam keadan seimbang dan
dianamis.
Lingkungan dalam kontek penelitian ini adalah lingkungan kerja pada lembaga
Kementerian Agama Provinsi Bali, yang dikelompokan menjadi dua yaitu:
lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik. Lingkungan kerja fisik adalah
semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi karyawan balk secara langsung maupun secara tidak langsung.
Sedangkan lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang
berkaitan dengan hubungan kerja, balk hubungan dengan atasan maupun hubungan
sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan (Sedarmayanti, 2001).
Faktor-faktor penentu prestasi kerja individu dalam organisasi adalah faktor individu
dan faktor lingkungan kerja organisasi. Faktor lingkungan kerja organisasi sangat
menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan kerja
yang dimaksud antara lain : a) uraian jabatan yang jelas, b) otoritas yang memadai,
c) target kerja yang menantang, d) pola komunikasi kerja efektif, e) hubungan kerja
yang harmonis, f) iklim kerja respek dan dinamis, g) peluang berkarir, h) fasifitas
kerja yang relatif memadai (Mangkunegara, 2005).
2.1.4.2 Indikator Lingkungan Kerja
Menganalisis lingkungan kerja organisasi dapat menggunakan berbagai alat
analisis seperti SWOT (Strengths, Weaknesses, Oportunities, Treaths) bahkan
Suradinata (2013) melengkapi anlisis SWOT dengan istilah ASOCA yaitu
kepanjangan dari : ability (kemampuan), strength (kekuatan), opportunities
(peluang), culture (budaya) dan agility (kecerdasan) sebagai unsur yang penting
dalam menemukan strategi pemecahan masalah pengambilan keputusan, dan dapat
dikembangkan dalam mengikuti perubahan, perkembangan zaman, dan kebutuhan.

38
Sinergitas elemenelemen ASOCA sangat penting yang dapat dikelompokan kedalam
lingkungan internal organisasi yaitu kemampuan, kekuatan dan kecerdasan.
Sedangkan pengelompokan di lingkungan ekstemal organisasi meliputi : peluang
dan budaya.
Sims and Kroeck (1994), menyatakan bahwa faktor lingkungan kerja terdiri
dari : a) Suasana Kerja, b) Ketenangan Kerja, c) Tekanan dalam pekerjaan, d)
Hubungan antar sejawat. Lingkungan kerja dapat diukur berdasarkan persepsi dan
orang-orang yang bekerja tersebut dan diperlihatkan untuk mempengaruhi motivasi
serta perilaku mereka. Lingkungan kerja yang menyenangkan akan menjadi
pendorong bagi setiap karyawan untuk menghasilkan kinerja puncaknya.
Lingkungan kerja dapat diukur melalui berbagai faktor yaitu: struktur organisasi,
sentralisasi desentralisai, cara-cara pengambilan keputusan, sistem Keterbukaan,
hubungan atasan dan bawahan, hubungan antar karyawan, kompensasi, sistem
penghargaan dan lain-lain. Lingkungan kerja ditentukan berdasarkan enam dimensi
yaitu: tanggung jawab, koordinasi, semangat kelompok, pengahargaan, standar dan
kejelasan organisasi (Sims and Kroeck, 1999).
Peneliti beranggapan bahwa Indikator lingkungan kerja yang sesuai dengan
obyek penelitian adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sims and Kroeck (1994),
yaitu meliputi a) Suasana Kerja, b) Ketenangan Kelp, c) Tekanan dalam pekerjaan,
d) Hubungan antar sejawat Pemilihan indikator ini didasarkan dengan pertimbangan
lembaga pendidikan kedinasan dengan pola asrama, ciri khas yang membedakan
dengan perguruan umum lainnya adalah sistem pendidikan pengajaran. Pelatian dan
pengasuhan (jarlatsuh) seingga tenaga pendidik harus bisa menyesuaikan dengan
lingkungan kerja yang ada.

2.1.5 Komitmen
2.1.5 Komitmen
2.1.5.1 Pengertian Komitmen
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku
pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara
cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya
mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009).
Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009), komitmen dapat juga

39
berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi,
dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap
bertahan di organisasi tersebut.
Menurut Van Dyne dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008), faktorfaktor
yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah: personal, situasional dan
posisi. Personal mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu teliti, ektrovert,
berpandangan positif (optimis), cendrung lebih komit. Lebih lanjut Dyen dan
Graham (2005, dalam Muchlas, 2008) menjelaskan karakteristik dari personal
yang ada yaitu: usia, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan,
dan keterlibatan kerja. Situasional yang mempunyai ciri-ciri dengan adanya: nilai
(value) tempat kerja, keadilan organisasi, karakteristik pekerjaan, dan dukungan
organisasi. Sedangkan posisional dipengaruhi oleh masa kerja dan tingkat
pekerjaan.
Menurut Quest (1995, dalam Soekidjan, 2009) komitmen merupakan nilai
sentral dalam mewujudkan soliditas organisasi. Hasil penelitian Quest (1995,
dalam Soekidjan, 2009) tentang komitmen organisasi mendapatkan hasil :
i. Komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan
tingginya motivasi dan meningkatnya kinerja.
ii. Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan “Self
Control”.
iii. Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi.
iv. Komitmen tinggi berkorelasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan
aktifitas kolektif yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.
Lebih lanjut Soekidjan (2009) menjelaskan bahwa secara umum komitmen
kuat terhadap organisasi terbukti, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi
absensi dan meningkatkan kinerja.
2.1.5.2 Indikator perilaku komitmen
1) Indikator perilaku komitmen menurut Ques.
Menurut Quest (1995, Soekidjan, 2009) indikator-indikator prilaku
komitmen yang dapat dilihat pada karyawan adalah :
a) Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di
organisasinya dan melakukan hal-hal yang diharapkan, serta
menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan dan
ketentuan yang berlaku.
b) Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain,
menghormati dan menerima hal-hal yang dianggap penting oleh

40
atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta peduli akan citra
organisasi.
c) Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung misi
memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan
misi organisasi
d) Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan
kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam
hal pilihan pribadi, serta mendukung keputusan yang menguntungkan
organisasi walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.
2) Indikator perilaku komitmen menurut Meyer dan Ellen.
Meyer dan Allen (1991 dalam Soekidjan, 2009) membagi komitmen
organisasi menjadi tiga macam atas dasar sumbernya :
a) Affective commitment, Berkaitan dengan keinginan secara emosional
terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan
atas nilai-nilai yang sama.
b) Continuance Commitment, Komitmen didasari oleh kesadaran akan
biaya-biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan
organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.
c) Normative Commitment, Komitmen berdasarkan perasaan wajib
sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang
budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.
Dari ketiga jenis komitmen diatas tentu saja yang tertinggi tingkatannya
adalah Affective Commitment. Anggota/karyawan dengan Affective Commitment
tinggi akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti
terhadap organisasi. Sedangkan tingkatan terendah adalah Continuance
Commitment. Anggota/karyawan yang terpaksa menjadi anggota/karyawan untuk
menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan kurang/tidak dapat
diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk Normative Commitment,
tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggota/karyawan bertindak
sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi. komponen normatif akan
menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah sepantasnya
dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi
(Soekidjan, 2009).
Menurut Allen & Meyer (1997) mendeskripsikan indikator dari komitmen
organisasi sebagai berikut: Indikator affective commitment, Individu dengan

41
affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat
terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki
motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi
dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan yang
sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam
organisasi. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau
hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan
bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik
dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen &
Meyer, 1997) menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan
lebih mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah.
Affective commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-
reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen;
Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, &
Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen &
Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah
laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen &
Meyer, 1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki
tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah.
Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al.
(1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect.
Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment
ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan
suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya
mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah
laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan
internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang
berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi
berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi

42
(Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen &
Meyer, 1997). Indikator Continuance comimitment, Dengan continuance
commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan
emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian
besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka
individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat
untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam
organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus
asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Meyer & Allen
(1991) menyatakan bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau
memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau
indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job
retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan. Individu dengan
continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi
dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment
tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio
et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan beberapa penelitian continuance commitment tidak memiliki
hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir
atau absen dalam organisasi. Continuance commitment tidak berhubungan dengan
tingkah laku organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer,
1997), sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang
negatif. Continuance commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan
tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut
termasuk ke dalam organizational citizenship ataupun extra-role. Komitmen juga
berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya
dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Continuance
commitment tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota
organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun
menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya,
semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin
bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.
Indikator Normative commitment, Individu dengan normative commitment yang

43
tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu
kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan
semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan
melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative
commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku
dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational
citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan
(Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang
jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki
hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al.,
dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam
Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan hasil penelitian normative commitment
berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen
& Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan
(Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997). Normative commitment memiliki
hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997).
Walaupun demikian hubungan antara normative commitment dengan tingkah laku
extra-role lebih lemah jika dibandingkan affective commitment.
Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment,
normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress
anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly &
Orsak dalam Allen & Meyer, 1997). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
hubungan yang negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk
meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac;
Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar
terdapat pada affective commitment, terdapat pula hubungan yang signifikan
antara komitmen dan turnover variable diantara ketiga dimensi komitmen (Allen
& Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi menginginkan anggota yang
berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja.
1) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi.
Menurut Dyne dan Graham (2005, dalam Soekidjan, 2009) faktor-faktor
yang mempengaruhi komitmen adalah : Personal, Situasional dan Posisi.

44
a) Karakteristik Personal.
i. Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan
positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu
yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan
kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik
(senang membantu) akan cenderung lebih komit.
ii. Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen
organisasi.
iii. Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang
mungkin tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin
rendah.
iv. Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih
besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih
tinggi.
v. Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan
organisasinya.
vi. Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja
individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
b) Situasional.
i. Nilai (Value) Tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah
suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai
kualitas, Inovasi, Kooperasi, partisipasi dan Trust akan
mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling berbagi dan
memba- ngun hubungan erat. Jika para anggota/karyawan percaya
bahwa nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para
anggota/karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan
kontribusi untuk mewujudkan hal itu.
ii. Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: Keadilan yang
berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam
proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi
kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.
iii. Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna,
otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang
internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan atas otonomi, status
dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen.

45
Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa
tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi.
iv. Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan
yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini
didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsi
bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan,
respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu
dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan
keberadaan dan kesejahteraan personal anggota/karyawan dan juga
menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi
komit.
c) Positional.
i. Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat
anggota/karyawan komit, hal ini disebabkan oleh karena: semakin
memberi peluang anggota/karyawan untuk menerima tugas
menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang
lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga
dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna,
serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin
berkurang.
ii. Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status
sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang
tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif
terlibat.
2.1.5.3 Membangun komitmen organisasi.
Menurut Martin dan Nichols (1991, dalam Soekidjan, 2009), Tiga pilar
komitmen yang perlu dibangun adalah :
a. Rasa memiliki (a sense of belonging)
b. Rasa bergairah terhadap pekerjaannya
c. Kepemilikan terhadap organisasi (ownership)
Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota
bahwa apa yang dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi, cara
mendapat dukungan penuh dari organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas
yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah terhadap pekerjaan ditimbulkan

46
dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang, serta memberi
kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan
ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat
ditimbulkan dengan melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-
keputusan (Soekidjan, 2009).

2.2 Kerangka Konseptual dan Hipotesis


2.2.1 Kerangka Konseptual
Kementerian Agama sebagai lembaga pemerintah yang membidangi urusan
keagamaan bertugas menjamin pelaksanaan kehidupan beragama dan pembinaan
kerukunan umat beragama di masyarakat. Ketika reformasi birokrasi mulai gencar
dicanangkan memberikan dampak yang cukup besar bagi keidupan beragama di
Indonesia, hal ini tandai dengan adanya peingkatan dalam kegiatan peribadatan dan
aktivitas keagamaan di masarakat.
Berdasarkan telaah pada pemikiran keilmuan yang terkait dan hasil-hasil
penelitian empiris terdahulu sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka selanjutnya
peneliti akan menyusun kerangka teori melalui diagram yang akan menggambarkan
alur pemikiran.

Gambar 2.4 Model Empirik Penelitian

MOTIVASI H1

H4 KOMITMEN

H2
DISIPLIN H7
H5

H3
KINERJA
SDM
LINGKUNGA H6
N KERJA 6

47
Dari gambar tersebut dapat diihat pengaruh motivasi, disiplin, lingkungan
kerja terhadap komitmen artinya makin kondusif lingkungan kerja akan
meningkatkan komitmen guru dan ada pengaruh motivasi terhadap kinerja, disiplin,
lingkungan kerja terhadap kinerja sumber daya manusia artinya makin kondusif
lingkungan kerja akan meningkatkan kinerja sumber daya manusia serta adanya
pengaruh komitmen (memiliki hasrat, memiliki kemauan, serta memiliki ikatan
emosional) terhadap kinerja sumber daya manusia artinya makin tinggi komitmen
akan menaikkan kinerja sumber daya manusia.

2.2.2 Hipotesis penelitian


Komitmen organisasional dianggap penting bagi perusahaan karena: (1)
berpengaruh terhadap turnover karyawan, (2) berhubungan dengan kinerja yang
mengasumsikan bahwa karyawan yang mempunyai komitmen terhadap perusahaan
cenderung mengembangkan upaya yang lebih besar pada perusahaan (Morrison,
1997). Hasil penelitian Sulasmi (2005) yang berjudul Hubungan Komitmen
Organisasi dengan Motivasi Berprestasi pada Pegawai Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan antara variabel Komitmen Organisasi dengan variabel Motivasi
Berprestasi. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis pertama yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
H1 : Bila motivasi sumber daya manusia meningkat, maka komitmen sumber
daya manusia juga meningkat.
Dalam penelitian Luhans et al (2006: 297), menunjukkan bahwa motivasi
ekstrinsik di Amerika Serikat memilik dampak positif pada kinerja karyawan Rusia.
Studi lain yang dilakukan oleh Luthans dan Weixing Li (2006: 297) menemukan
bahwa kondisi psikologis positif dari karyawan di perusahaan milik negara China
menunjukkan harapan dan resiliensi secara signifikan berhubungan dengan kinerja
mereka, namun ciri evaluasi diri tidak berhubungan dengan kinerja. Arikunto (1993)
dalam penelitiannya yang meneliti Pengaruh Tingkat pendidikan dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Mengajar Para Guru serta penelitian yang dilakukan oleh Eriyadi
(2004) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara motivasi

48
kerja terhadap kinerja. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke empat yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
H4 : Bila motivasi sumber daya manusia meningkat, maka kinerja sumber
daya manusia juga meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Parvatiyar dan Sheth (2001) yang
judulnya “Manajemen Hubungan Pelanggan : Praktek Pemunculan, Proses dan
Disiplin” hasilnya menunjukkan bahwa hubungan pemasaran dan disiplin
berkontribusi terhadap loyalitas dan komitmen pelanggan dan Lory (2008) yang
judulnya “Proyek Parenthood Proses Menuju Disiplin” mengemukakan bahwa
disiplin termasuk keinginan oleh kedua belah pihak untuk terus mencari pemenuhan
komitmen. Di sini, komitmen ini adalah bagian dari hubungan tersebut dan mereka
memungkinkan satu sama lain. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke dua
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H2 : Bila disiplin sumber daya manusia meningkat, maka komitmen sumber
daya manusia juga meningkat.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi tingkat kedisiplinan yang dimiliki seorang pegawai maka akan semakin tinggi
pula kinerja pegawai. Hasil penelitian Hernowo dan Wadji (2007) dengan judul
Pengaruh Motivasi dan Disiplin Terhadap Kinerja Pegawai Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Wonogiri menunjukkan disiplin mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke
lima yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H5 : Bila disiplin sumber daya manusia meningkat, maka kinerja sumber daya
manusia juga meningkat.
Menurut Rokhman (2002) ”lingkungan kerja terbentuk oleh adanya komitmen
eksternal hal ini muncul karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan
tanggung jawab dan komitmen internal sangat ditentukan oleh kemampuan
pemimpin dan lingkungan organisasi dalam membutuhkan sikap dan prilaku
profesional dalam menyelesaikan tanggung jawab perusahaan”. Menurut Luthans
(2006) menyatakan atasan (manajer) perlu memberikan perhatian dan suasana kerja
yang akan membangkitkan komitmen pegawai. Penelitian Sihombing (2011) bahwa
lingkungan kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama berpengaruh highly

49
significant terhadap komitmen kerja pegawai PT BRI, Tbk cabang Iskandar Muda
Medan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke tiga yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
H3 : Bila lingkungan kerja kondusif, maka komitmen sumber daya manusia
akan meningkat.
Indriyani (2011) mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang kuat antara
lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan pada Badan Kesatuan Bangsa,
Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung. Khoiriyah (2009)
mengemukakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan CV. Aji Bali Jayawijaya Surakarta. Setiadi (2007) mengemukakan bahwa
lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan
Lippo Bank Cabang Pemuda Semarang. Lewa dan Subowo (2005) mengemukakan
bahwa variabel lingkungan kerja fisik mempunyai pengaruh terhadap kinerja
karyawan PT. Pertamina (Persero) Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat,
Cirebon. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke enam yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
H6 : Bila lingkungan kerja kondusif, maka kinerja sumber daya manusia akan
meningkat.
Hasil studi Christina and Maren (2010) menyimpulkan bahwa kinerja sumber
daya manusia dipengaruhi oleh komitmen. Komitmen organisasi merupakan
kekuatan yang bersifat relatif dari karyawan dalam mengidentifikasi keterlibatan
dirinya ke dalam bagian organisasi. Hasil penelitian dari Harrison dan Hubard
(1998) menyatakan bahwa komitmen mempengaruhi outcomes (keberhasilan)
organisasi. Kinerja karyawan dipengaruhi oleh komitmen organisasional. Karyawan
yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam bekerja tidak mempunyai keinginan
untuk keluar dari perusahaan dan dalam hal ini merupakan modal dasar untuk
mendorong produktivitas yang tinggi. Pendapat tersebut didukung oleh Moncrief et
al (1997) yang mengungkapkan bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi
yang tinggi akan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hasil studi McNeese–
Smith (1996) menunjukkan bahwa komitmen organisasional berhubungan signifikan
positif yang ditunjukkan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (signifikan pada level

50
0,001) terhadap kinerja karyawan produksi. Berdasarkan uraian diatas, maka
hipotesis ke tujuh yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H7 : Bila komitmen sumber daya manusia meningkat, maka kinerja sumber
daya manusia juga meningkat.
2.3 Hasil Penelitian Sebelumnya
Kajian Penelitian terdahulu mengenai Kinerja, Motivasi, Disiplin,
Lingkungan, Komitmen kerja telah banyak dilakukan. Akan tetapi kajian pada
penelitian sebelumnya dilakukan secara parsial dalam mengkaji bagaimana
hubungan kausalitas antar konstruk tersebut dilakukan secara parsial dan
tidak komprehesif. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu sebagai berikut :
1. Adekanbi Busola, Adejoka, dan Prof M.S.Bayat, 2014
Penelitian dilakukan di Departemen Kesehatan Nasional Afrika Selatan, yang
saat ini menggunakan Manajemen Kinerja dan Pengembangan Sistem (PMDS).
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dari sejumlah responden yang diteliti, 60%
berpikir bahwa sistem penilaian saat ini harus diintegrasikan dengan yang baru. Di
Cape Departemen Kesehatan Eastern, pelatihan pada pelaksanaan Kebijakan PMDS
masih berlanjut. kepatuhan masih rendah sebagai manajer dan karyawan belum
familiar dengan kebijakan. Beberapa responden berpendapat bahwa bentuk PMDS
penilaian terlalu panjang dan memakan waktu. Kartu pencatatan seimbang akan
Oleh karena itu jika terintegrasi dengan PMDS akan menyalurkan harapan pekerja
dan apa yang mereka diharapkan ke berbagai perspektif yang BSC yang terdiri dari.
Integrasi PMDS dan BSC akan menyelaraskan tujuan individu dengan tujuan
organisasi; dengan demikian mendorong pertumbuhan kemampuan individu dan
organisasi yang cenderung ke arah peningkatan mutu berkelanjutan dan kinerja
tinggi di Ruma Sakit Mthatha Jenderal Timur.

2. Cerasoli, C. P., Nicklin, J. M., & Ford, M. T., 2014


Lebih dari 4 dekade penelitian dan 9 meta-analisis telah difokuskan pada efek
melemahkan : yaitu, perdebatan apakah pemberian insentif ekstrinsik mengikis
motivasi intrinsik. Ulasan ini dan meta-analisis didasarkan pada ulasan seperti
sebelumnya dengan berfokus pada keterkaitan di antara motivasi intrinsik, insentif
ekstrinsik, dan kinerja, dengan mengacu pada 2 moderator : Jenis kinerja (Kualitas

51
vs kuantitas) dan insentif kontingensi (kinerja langsung yang menonjol vs kinerja
tidak langsung yang menonjol), ulasan saat ini yang belum sistematis. Berdasarkan
metode acak-efek meta-analisis, temuan dari sekolah, pekerjaan, dan domain fisik (k
183, N 212468) menunjukkan bahwa intrinsik motivasi adalah media untuk
prediktor kuat kinerja (0,21-45). Pentingnya motivasi intrinsik kinerja tetap di tempat
apakah insentif disajikan. Selain itu, insentif arti-penting dipengaruhi validitas
prediktif motivasi intrinsik untuk kinerja: Dalam "crowding out" mode, motivasi
intrinsik kurang penting untuk kinerja ketika insentif secara langsung terkait dengan
kinerja dan lebih penting ketika insentif secara tidak langsung terkait dengan kinerja.
dipertimbangkan secara simultan melalui regresi meta-analisis, motivasi intrinsik
diprediksi varians lebih unik di kualitas kinerja, sedangkan insentif adalah prediktor
yang lebih baik dari kuantitas kinerja. Dengan hormat kinerja, insentif dan motivasi
intrinsik tidak selalu antagonis dan terbaik dianggap serentak. penelitian masa depan
harus mempertimbangkan menggunakan kriteria kinerja yang tidak (misalnya,
kesejahteraan, pekerjaan kepuasan) serta menerapkan) metode POMP persen-dari-
maksimum-mungkin (dalam meta-analisis.
Meskipun pentingnya baik motivasi intrinsik dan ekstrinsik di tempat kerja
(Deci, 1976), dan meskipun pernyataan bahwa intrinsik "motivasi jarang beroperasi
di isolasi dari jenis lain motivasi "(Locke & Latham, 1990, hal. 58), kritikus telah
skeptis teori motivasi intrinsik dalam konteks kinerja. review kami mencakup lebih
dari 40 tahun alamat data primer beberapa kritik tersebut. Menggunakan pendekatan
baru, kami telah menunjukkan bahwa insentif dapat mempengaruhi validitas
prediktif intrinsik motivasi; tetapi yang lebih penting, motivasi intrinsik tetap
menjadi moderat untuk prediktor kuat dari kinerja terlepas dari apakah insentif yang
hadir. Secara umum, kita yang paling penting teoritis dan kontribusi empiris adalah
bahwa insentif dan motivasi intrinsik tidak kebutuhan antagonis: Kami menemukan
bahwa insentif hidup berdampingan dengan motivasi intrinsik, tergantung pada jenis
kinerja dan kontingensi insentif. Jenis-jenis yang diinginkan dan perilaku kinerja
yang tidak diinginkan pertama harus dipertimbangkan, karena mereka akan
mendorong tingkat yang sesuai insentif arti-penting.
Counter untuk klaim sebaliknya, penelitian kami menunjukkan dampak
gabungan dari insentif dan motivasi intrinsik sangat penting untuk kinerja. Kami

52
mendorong penelitian di masa depan meneliti potensi anteseden dan mediator dari
hubungan ini.

3. Claudia Jurowski, Ph.D. dan Janne Liburd, Ph.D., 2016


Penelitian ini menjelaskan bagaimana sebuah tim multi budaya dan multi
disiplin dari akademisi dan praktisi menggunakan teknik kelompok nominal
untuk mencapai konsensus pada modul kurikulum yang terintegrasi prinsip-
prinsip keberlanjutan dalam kursus manajemen sumber daya manusia. Proses dan
Hasil dari proses pembangunan konsensus dibahas. Hubungan antara prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya manusia dan
sosial-ekonomi, masalah budaya, dan lingkungan dijelaskan.
Ada kebutuhan penting untuk mengembangkan industri perhotelan
pariwisata dan pemimpin dengan filsafat manajerial yang akan mempraktekkan
prinsip-prinsip pengembangan berkelanjutan. Berbeda dengan kursus tunggal
pada keberlanjutan, pendekatan modular membantu siswa memahami bagaimana
menerapkan prinsip-prinsip untuk materi tertentu dan sektor industri. Misalnya,
siswa yang mengambil manajemen makanan dan minuman 30 Tentu saja yang
menggabungkan modul keberlanjutan akan memahami bagaimana
mengoperasionalkan keberlanjutan dalam sistem pelayanan makanan.

4. André Calero Valdez1, Anne Kathrin Schaar1, Martina Ziefle1, Andreas


Holzinger2, Sabina Jeschke3, Christian Brecher4, 2012
Masalah penelitian skala besar (kesehatan dan penuaan, ekonomi dan
produksi di negara-negara dengan upah tinggi) biasanya berjenis kompleks,
membutuhkan kompetensi dan masukan penelitian disiplin ilmu yang berbeda
[1]. Oleh karena itu, kerja koperasi dalam tim campuran merupakan prosedur
penelitian umum untuk memenuhi penelitian multi-faceted masalah. Meskipun,
interdisciplinarity adalah - sosial dan ilmiah - tantangan, tidak hanya dalam
mengarahkan kualitas kerjasama, tetapi juga dalam mengevaluasi kinerja
interdisipliner. Dalam makalah ini kami menunjukkan bagaimana menggunakan
campuran-node grafik jaringan publikasi dapat digunakan untuk mendapatkan

53
wawasan ke dalam struktur sosial kelompok penelitian. Memberi penjelasan
unsur diterbitkan kerjasama dalam grafik jaringan mengungkapkan lebih dari
sederhana grafik co-penulis. Validitas Pendekatan ini diuji pada 3 tahun publikasi
hasil interdisipliner kelompok penelitian. Pendekatan itu sangat berguna tidak
hanya dalam menunjukkan sifat jaringan seperti kedekatan dan homophily, tetapi
juga dalam mengusulkan kinerja metrik dari interdisciplinarity. Selain itu kami
sarankan menerapkan pendekatan untuk cluster penelitian besar sebagai metode
manajemen diri dan memperkaya grafik dengan data sociometric untuk
meningkatkan kejelasan dari grafik.
Faktor keberhasilan upaya penelitian interdisipliner dapat diukur dengan
melihat grafik jaringan publikasi. Dengan menggunakan campuran simpul grafik
sifat dunia nyata penting ditambahkan ke grafik, yang menyederhanakan
interpretasi manusia, dengan membuat hubungan implisit (yaitu penulis) eksplisit
(dengan menunjukkan menulis karya). Tetapi untuk memberikan grafik jaringan
publikasi yang lebih berarti data lebih lanjut diperlukan. Parameter seperti faktor
dampak, indeks kutipan harus dimasukkan dari titik bibliometrical pandang. Dari
sudut pandang sosiometrik pandang sifat seperti kepribadian ciri-ciri, jenis
motivasi, metode kompetensi dan lebih banyak perlu dipetakan ke mendapatkan
wawasan lebih lanjut. Dari sudut pandang teori graf pandang menggunakan
grafik simpul campuran akan rusak interpretability yang beberapa statistik grafik
digunakan tetapi peningkatan visibilitas melampaui masalah ini untuk sementara
waktu.

5. Ma Ga (Mark) Yang da Paul Hong n, Sachin B. Modi, 2011


Makalah ini membahas hubungan antara praktek lean manufacturing,
pengelolaan lingkungan (Misalnya, praktek lingkungan manajemen dan kinerja
lingkungan) dan kinerja bisnis hasil (misalnya, pasar dan kinerja keuangan).
hubungan yang dihipotesiskan dari model ini adalah diuji dengan data yang
dikumpulkan dari 309 perusahaan manufaktur internasional (IMSS IV) dengan
menggunakan AMOS. itu Temuan menunjukkan bahwa sebelum pengalaman
lean manufacturing yang positif berkaitan dengan lingkungan praktek
manajemen. praktek manajemen lingkungan sendiri secara negatif terkait dengan

54
pasar dan kinerja keuangan. Namun, peningkatan kinerja lingkungan secara
substansial mengurangi dampak negatif dari lingkungan praktik manajemen
onmarket dan kinerja keuangan. Kertas memberikan bukti empiris dengan ukuran
sampel yang besar bahwa praktek-praktek pengelolaan lingkungan menjadi
variabel importantmediating untuk menyelesaikan konflik antara lean
manufacturing dan lingkungan kinerja. analisis kontekstual tambahan
menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam hal kekuatan dan signifikansi statistik
dari beberapa hubungan yang diusulkan. Dengan demikian, untuk pelaksanaan
yang efektif dari pengelolaan lingkungan, perusahaan perlu untuk mengukur
kinerja lingkungan melalui mana dampak pengelolaan lingkungan pada hasil
kinerja bisnis lainnya diperiksa.
Model penelitian ini menyajikan lean manufacturing sebagai penting yang
praktik pengelolaan lingkungan. organisasi mungkin menanggapi peraturan,
kebijakan dan tekanan publik dengan membuat upaya untuk meningkatkan
kinerja lingkungan atau mungkin memilih untuk proaktif terlibat dalam praktik
tersebut. Namun, hasil kami penelitian harus ditafsirkan dengan hati-hati. Seperti
dengan semua penelitian upaya makalah ini memiliki keterbatasan tertentu yang
memberikan jalan untuk penelitian masa depan. Pertama, penelitian ini
menggunakan item tunggal untuk mengukur praktek environmentalmanagement.
Seperti penelitian tentang lingkungan manajemen berkembang upaya untuk
mengidentifikasi dan mengembangkan skala untuk beberapa dimensi pengelolaan
lingkungan mungkin berbuah. Kedua, seseorang mungkin menduga bahwa
implikasi negatif praktek environmentalmanagement adalah istilah yang lebih
pendek di alam dan implikasi positif tidak langsung menyadari lebih lama
periode. penilaian longitudinal dengan data sekunder dapat membantu
membedakan efek ini dan menambah tubuh kita pengetahuan tentang ketahanan
lingkungan. Akhirnya, sementara penelitian kami menggunakan survei skala
besar untuk memberikan bukti empiris untuk diusulkan pada model itu, studi
kasus secara mendalam juga dapat membantu memvalidasi dan memperluas
penelitian ini, terutama dalam hal aspek tambahan seperti peraturan dan praktek
perdagangan izin karbon. Studi kasus yang menyelidiki proses pelaksanaan
praktik pengelolaan lingkungan mungkin juga berbuah. Terlepas dari

55
keterbatasan ini, hasil empiris penelitian ini memberikan beberapa wawasan
manajerial yang berharga.
Pertama, lean manufacturing dan pengelolaan lingkungan praktek yang
berbeda dan mereka berdua dampak berbeda pada bisnis hasil kinerja
(Kleindorfer et al., 2005). Dari perspektif manajerial, lean manufacturing dan
pengelolaan lingkungan Prakteknya sinergis dalam hal fokus mereka pada
pengurangan limbah dan inefisiensi. Namun, lean manufacturing dengan
sendirinya akan tidak meningkatkan kinerja lingkungan karena ada
potensi konflik antara tujuan kinerja lingkungan dan prinsip-prinsip lean
manufacturing (Rothenberg et al., 2001). Fokus lean manufacturing limbah
internal dan proses pengurangan untuk meningkatkan efisiensi harus diperluas
untuk fokus pada pengurangan limbah lingkungan meningkatkan efisiensi
lingkungan dengan menerapkan praktik pengelolaan lingkungan. praktek
pengelolaan lingkungan memang membutuhkan tambahan investasi sumber daya.
Hal ini penting bagi perusahaan manufaktur untuk melaksanakan baik
manufaktur ramping dan pengelolaan lingkungan praktek cara untuk menikmati
eco-keuntungan melalui perbaikan kinerja lingkungan. Ini juga akan
memungkinkan perusahaan untuk memenuhi tujuan kinerja bisnis mereka lebih
baik.
Kedua, memahami konsekuensi manajemen kinerja lingkungan sangat
penting dalam terang perdebatan tentang konflik antara tujuan lingkungan dan
ekonomi (Russo dan Fouts, 1997;. Derwall et al, 2005;. Montabon et al, 2007).
Temuan kami menunjukkan baik dampak negatif dan positif dari praktek
pengelolaan lingkungan dalam dua cara: (1) langsung dampak praktik
pengelolaan lingkungan di pasar dan kinerja keuangan negatif; (2) Namun,
lingkungan praktek manajemen positif mempengaruhi kinerja lingkungan yang
pada gilirannya positif kinerja dampak pasar dan kinerja keuangan. Pelaksanaan
fokus jangka pendek manajemen lingkungan praktik adalah untuk meningkatkan
lingkungan kinerja dengan mengklarifikasi tujuan yang berhubungan dengan
lingkungan spesifik dan tujuan (misalnya, pengurangan bahan polutan,
meningkatkan penggunaan bagian komponen ramah lingkungan, catatan
keamanan lingkungan, dan efektivitas biaya dari komponen ramah lingkungan).

56
tingkat perusahaan komitmen strategis untuk pengelolaan lingkungan mungkin
baik dikomunikasikan dan dipahami melalui penerbitan komprehensif laporan
keberlanjutan.
Ketiga, kinerja lingkungan yang terkait dengan bisnis Kinerja sebagai
kinerja menengah (Jime'nez dan Lorente, 2001; Delmas dan Toffel, 2004). Untuk
pelaksanaan yang efektif praktik pengelolaan lingkungan adalah penting untuk
mengakui nilai kinerja lingkungan. Dalam kami kertas kami dioperasionalkan
kinerja lingkungan dengan dua ukuran perbaikan lingkungan. Penelitian di masa
depan mungkin perlu untuk mengembangkan ukuran kinerja lingkungan multi-
dimensi yang memprediksi pasar dan kinerja keuangan yang lebih baik.

6. Marı´a D. Lo´ pez-Gamero*, Jose´ F. Molina-Azorı´n, Enrique Claver-


Corte´ s, 2009
Pemeriksaan kemungkinan hubungan langsung antara perlindungan
lingkungan dan kinerja perusahaan di literatur umumnya menghasilkan hasil
yang beragam. Tulisan ini memberikan kontribusi untuk literatur dengan
menggunakan tampilan berbasis sumber daya sebagai proses mediasi dalam
hubungan ini. Penelitian ini secara khusus menguji apakah pandangan berbasis
sumber daya perusahaan memediasi hubungan proaktif positif pengelolaan
lingkungan dan perbaikan kinerja lingkungan dengan keunggulan kompetitif,
yang juga memiliki konsekuensi bagi kinerja keuangan. Kami juga memeriksa
kemungkinan adanya hubungan antara adopsi pendekatan perintis dan praktek
pengelolaan lingkungan yang baik. dukungan Temuan kami bahwa waktu
investasi awal dan intensitas dampak masalah lingkungan di adopsi dari proaktif
pengelolaan lingkungan, yang pada gilirannya membantu untuk meningkatkan
kinerja lingkungan. temuan juga menunjukkan bahwa sumber daya perusahaan
dan keunggulan kompetitif bertindak sebagai variabel mediator untuk positif
hubungan antara perlindungan lingkungan dan kinerja keuangan. Kontribusi ini
asli karena tulisan ini mengembangkan seluruh gambaran yang komprehensif
tentang proses jalan ini, yang memiliki sebelumnya hanya sebagian telah dibahas
dalam literatur. Selain itu, penelitian ini menjelaskan titik yang relevan dalam
literatur, yaitu bahwa efek perlindungan lingkungan pada kinerja perusahaan

57
tidak langsung dan dapat bervariasi tergantung pada sektor dipertimbangkan.
Sedangkan keunggulan kompetitif dalam kaitannya dengan biaya mempengaruhi
kinerja keuangan di sektor hukum IPPC, pengaruh yang relevan di sektor hotel
datang dari keunggulan kompetitif melalui diferensiasi.
Perdebatan tentang hubungan antara lingkungan perlindungan dan kinerja
perusahaan telah mengembangkan jauh di kali. Kurangnya landasan teoritis yang
solid berulang kali muncul sebagai alasan mengapa karya empiris belum
menghasilkan dalam konvergensi pengetahuan (Arago' n-Correa dan Sharma,
2003; McWilliams dan Siegel, 2001). Kontribusi kami buat di Penelitian ini telah
menyatakan secara eksplisit dan menguji proses path antara variabel yang
berbeda dalam model kami. Meskipun jalan ini Proses ini tersirat dalam banyak
karya-karya sebelumnya, kami telah menawarkan keseluruhan gambaran yang
komprehensif. Sebuah pemahaman yang lebih baik dari ini Proses telah
membantu untuk membangun hubungan antara pertama kami dan variabel
terakhir dalam model kami. Variabel-variabel ini telah dianalisis secara terpisah
dalam banyak karya-karya sebelumnya, tapi itu 'kotak hitam' Pendekatan belum
mendukung pemahaman tentang koneksi dan alasan perbedaan potensial. Kami
telah menunjukkan bahwa perusahaan diidentifikasi sebagai pemain lingkungan
sebelumnya yang lebih baik mengadopsi praktek-praktek pengelolaan lingkungan
yang lebih proaktif. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan
dapat mengadopsi pengelolaan lingkungan proaktif yang mengarah ke kinerja
perusahaan yang lebih baik melalui sumber perusahaan. Penelitian kami juga
memberikan kontribusi untuk pandangan berbasis sumber daya, menunjukkan
bahwa sumber daya ini relevan untuk memperoleh keunggulan kompetitif dan
kinerja keuangan. Akhirnya, dengan studi ini, kita memperjelas titik yang relevan
di literatur dengan menunjukkan bahwa efek perlindungan lingkungan terhadap
kinerja perusahaan adalah positif, meskipun mekanisme spesifik untuk sektor
dipertimbangkan. Sedangkan biaya keunggulan kompetitif mempengaruhi kinerja
keuangan di sektor hukum IPPC; itu pengaruh di sektor hotel berkaitan dengan
diferensiasi kompetitif keuntungan.

58
7. Pascal Paille´ • Yang Chen • Olivier Boiral •Jiafei Jin,
2013
Studi lapangan ini meneliti hubungan antara manajemen strategis sumber
daya manusia, kepedulian lingkungan internal, perilaku warga organisasi untuk
lingkungan, dan kinerja lingkungan. Itu orisinalitas dari penelitian ini adalah
untuk menghubungkan pengelolaan sumber daya manusia dan pengelolaan
lingkungan hidup pada konteks penduduk China. Data terdiri dari kuesioner
sesuai dari anggota tim manajemen puncak, petugas chief executive, dan pekerja
garis depan. Hasil utama menunjukkan bahwa perilaku warga organisasi untuk
lingkungan penuh memediasi hubungan antara manajemen strategis sumber daya
manusia dan kinerja lingkungan, dan bahwa kepedulian lingkungan internal yang
moderat pengaruh strategis organisasi manajemen sumber daya manusia perilaku
kewarganegaraan bagi lingkungan.
Kesimpulan dalam studi karyawan-level ini, kami mengembangkan
konseptual Model untuk memahami hubungan antara SHRM dan kinerja
lingkungan. Analisis hasil dikonfirmasi yang OCBE menengahi proses melalui
mana SHRM memiliki dampak pada kinerja lingkungan. Ini menyebabkan
kebutuhan untuk lebih fokus pada memilih, pelatihan, dan karyawan bermanfaat
bagi ramah lingkungan mereka praktek di tempat kerja untuk menghasilkan suatu
lingkungan budaya perlindungan bermanfaat bagi perusahaan lingkungan kinerja.
Selain itu, ada kebutuhan untuk melakukan pelatihan tentang lingkungan yang
berhubungan dengan relevan topik yang memungkinkan staf secara keseluruhan
(atas, senior, dan manajer menengah, dan tenaga kerja) untuk melaksanakan
integrasi antara HRM dan EM. Universitas juga penting stakeholder yang dapat
menawarkan program pengajaran keberlanjutan atau program (lihat de Castro dan
Jabbour, di tekan). Akhirnya, dengan memeriksa efek internal lingkungan
orientasi, penelitian ini mampu menunjukkan bahwa lingkungan Orientasi
mempengaruhi hubungan antara SHRM dan OCBE. Hal ini menunjukkan efek
kritis orientasi strategis dalam mengarahkan dan mempengaruhi pelaksanaan
perusahaan SHRM.

8. Achmad Sani1, 2013

59
Studi ini meneliti dampak dari keadilan prosedural, komitmen organisasi,
kepuasan kerja pada karyawan kinerja, dan potensi peran mediasi yang
dimainkan oleh perilaku organisasi kewarganegaraan dalam proses tersebut.
Model ini diuji menggunakan sampel dari 70 karyawan tertanam dalam 2
kelompok dari 15 cabang besar, Bank syariah di Malang. Sampel diambil
menggunakan proporsional random sampling. Data dikumpulkan langsung dari
responden menggunakan kuesioner dan analisis data teknis menggunakan
GeSCA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadilan prosedural dan komitmen
organisasi berpengaruh secara positif perilaku keanggotaan organisasi. komitmen
organisasi melakukan pengaruh kinerja pekerjaan yang positif. Kepuasan kerja
tidak positif mempengaruhi perilaku keanggotaan organisasi dan prestasi kerja.
Perilaku keanggotaan organisasi positif mempengaruhi kinerja pekerjaan.
Perilaku organisasi kewarganegaraan bertindak sebagai parsial mediator antara
keadilan prosedural, komitmen organisasi, dan prestasi kerja. Sejumlah saran
pada teori manajerial dan implementasi yang diusulkan.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti, menguji dan meninjau perilaku
keanggotaan organisasi sebagai mediasi aspek dari pengaruh keadilan prosedural,
komitmen organisasi, kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan. itu Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keadilan prosedural mempengaruhi perilaku
keanggotaan organisasi. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Zeinabadi dan Salehi (2011), Greenberg (dalam Gumusluoglu,
Karakitapoğlu, Hirst, 2012), (Leventhal, 1980; Lind & Tyler, 1988; Moorman,
1991 di Gumusluoglu, Karakitapoğlu, Hirst, 2011). Demikian, karena prosedur
resmi mewakili organisasi untuk mengalokasikan sumber daya; keadilan
prosedural cenderung berkorelasi dengan organisasi yang berkaitan dengan sikap
dan perilaku. Hasilnya tersirat bahwa komitmen organisasi mempengaruhi
perilaku keanggotaan organisasi. Hasil dari penelitian ini mendukung penelitian
sebelumnya termasuk penelitian yang dilakukan oleh Salehi dan Gholtash (2011),
(Mowday, Steers & Porter, 1979; dalam Zeinabadi dan Salehi (2011), Moorman,
Niehoff dan Organ (1993), yang menyatakan bahwa komitmen organisasi secara
langsung mempengaruhi perilaku keanggotaan organisasi. Temuan di lapangan

60
juga setuju dengan pendapat Robbins (2006) yang melihat komitmen sebagai
salah satu kerja sikap, karena mencerminkan perasaan seseorang (suka atau
dislikest) ke organisasi di mana ia workes. Kepuasan kerja tidak berpengaruh
pada perilaku keanggotaan organisasi. itu Hasil penelitian mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Kim, Sangmook (2006) bahwa kepuasan kerja tidak
langsung mempengaruhi perilaku keanggotaan organisasi. Berdasarkan
wawancara dan didukung oleh responden jawaban kuesioner terbuka, dinyatakan
bahwa bekerja di bank syariah adalah jenis Ibadah. Dalam hal ini, karyawan
dituntut untuk bekerja di setiap tulus. Dengan rasa tinggi ketulusan, setiap
karyawan mampu melakukan setiap pekerjaan yang ia harus menangani.

9. Benny Gunawan, Rahman Lubis, Muhammad Adam dan Mirza Tabrani, 2016
Meskipun reformasi di organisasi kepolisian telah dilaksanakan, tetapi
perubahan harus mempengaruhi Polda Aceh menunjukkan hal yang berbeda.
masyarakat masih sulit untuk membangun kepercayaan untuk kinerja Polri. Polisi
belum sepenuhnya mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kurangnya
kompatibilitas antara energi kelompok dengan pencapaian tujuan organisasi,
menunjukkan masalah yang terkait dengan pengembangan karir. Hal ini terkait
dengan rendahnya kompetensi dan komitmen polisi. Berdasarkan latar belakang,
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kompetensi sumber daya
manusia (SDM) dan komitmen polisi pengembangan karir petugas Polda Aceh.
Penelitian ini menggunakan kausalitas penyelidikan. Pengamatan
digunakan lingkup (horison waktu) dengan penampang pada tahun 2016 di
Kepolisian Daerah Aceh. Unit analisis adalah Kepolisian Daerah Aceh, dengan
unit pengamatan adalah anggota dari Polda Aceh. desain analisis yang digunakan
untuk menguji hipotesis dan menentukan hubungan antara variabel adalah
Structural Equation Modelling (SEM). Itu Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Kompetensi SDM memiliki peran lebih besar dari komitmen polisi pada karir
pengembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
Pengembangan Karir Aceh Regional polisi, diperlukan peningkatan kompetensi
SDM dan komitmen mereka.
Kompetensi Sumber daya manusia dan komitmen bersama-sama dapat
mendorong pengembangan karir dari Polisi Regional Aceh. Tapi kompetensi

61
SDM memainkan peran lebih besar dalam karir menggembirakan pengembangan,
dibandingkan dengan komitmen petugas. Kemampuan untuk mengembangkan
sumber daya manusia teknis keahlian dan praktik, yang didukung oleh
pengembangan interpersonal dan personal kompetensi memainkan peran lebih
besar dalam memperkuat pengembangan karir perwira polisi.
Selain itu, juga perlu didukung oleh pengembangan komitmen anggota
polisi, terutama dalam aspek faktor Pride, faktor Goals, dan factor keterlibatan.
Temuan penelitian dalam makalah ini, diharapkan dapat menjadi acuan
bagi akademisi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan
pengembangan lembaga kepolisian baik di Aceh dan di tempat lain di Indonesia,
dengan membuat temuan dalam penelitian ini sebagai bagian dari premis dalam
mempersiapkan kerangka kerja.

10. Daniel R. Krause, Robert B. Handfield, Beverly B. Tyler,


2007
Studi ini mengkaji hubungan antara upaya AS peningkatan pengembangan
pemasok perusahaan', komitmen, modal sosial akumulasi dengan pemasok
utama, dan membeli kinerja perusahaan. Kami mengidentifikasi hubungan antara
penelitian manajemen rantai pasokan pada pengembangan pemasok dan
penelitian teori organisasi modal sosial untuk mempertimbangkan bagaimana
peningkatan komitmen yang kuat untuk jangka panjang hubungan, modal
kognitif (tujuan dan nilai-nilai), modal struktural (berbagi informasi, evaluasi
pemasok, pengembangan pemasok), dan modal relasional (panjang hubungan,
pembeli ketergantungan, pemasok ketergantungan) terkait dengan peningkatan
kinerja perbaikan perusahaan (perbaikan biaya, dan perbaikan kualitas,
pengiriman, fleksibilitas). Analisis membeli perusahaan-perusahaan dari industri
otomotif AS dan elektronik memberikan dukungan untuk teori bahwa
peningkatan komitmen dan akumulasi modal sosial dengan pemasok utama
dapat meningkatkan membeli kinerja perusahaan. Selain itu, temuan ini
menunjukkan bahwa hubungan struktural dan modal relasional bervariasi
tergantung pada jenis peningkatan kinerja dipertimbangkan.

62
Peningkatan signifikan dalam outsourcing selama masa lalu dua dekade
telah memicu minat peneliti manfaat hubungan pembeli-pemasok. Kerjasama
dan kolaborasi antara pembeli dan pemasok memiliki peningkatan, hubungan
kinerja ini, dan fakta bahwa ada dimensi tertanam sosial harus menarik bagi
peneliti. Namun, pengetahuan terbatas dalam hal dimensi yang berbeda modal
sosial dan kontribusi mereka yang unik untuk berbagai dimensi kinerja.
Literatur dalam strategi dan teori organisasi telah diperiksa modal sosial
untuk beberapa waktu, tetapi aplikasi dalam penelitian rantai pasokan relatif
terbatas. Inkpen dan Tsang (2005) berpendapat bahwa kita perlu untuk
memeriksa secara detail karakteristik yang berbeda jenis jaringan. Penelitian ini
merupakan respon, sebagian, untuk memanggil mereka. Kami telah mengambil
jenis khusus dari aliansi strategis - inisiatif pengembangan pemasok dengan
membeli perusahaan - dan berusaha untuk mempelajari dimensi kognitif,
struktural dan modal relasional. Kami menemukan dukungan untuk saran
mereka bahwa berbagai jenis pengetahuan memiliki berbagai efek pada proses
organisasi dan bahwa diam-diam pengetahuan membutuhkan interaksi pribadi
yang lebih intim dari lebih dikodifikasikan dan mudah dipahami pengetahuan.
Dengan demikian, penelitian ini memberikan beberapa pemahaman awal
hubungan pembeli-pemasok industri dan bagaimana dimensi modal sosial
mereka berhubungan dengan peningkatan kinerja perusahaan. Kami percaya
penelitian lebih lanjut diperlukan. Secara khusus, upaya masa depan bisa fokus
pada yang ada ukuran tiga dimensi modal sosial, dan pada langkah-langkah
tambahan dari peningkatan kinerja perusahaan seperti inovasi. Dibandingkan
dengan biaya transaksi perspektif ekonomi yang berlaku dalam pasokan yang
masih ada rantai sastra, modal sosial menawarkan kesempatan bagi peningkatan
pemahaman kompleksitas pasokan hubungan rantai. Kami berharap peneliti lain
akan menyelidiki lebih lanjut dimensi sosial ini hubungan.

63
64
X1

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

1.1 Kerangka Konseptual Penelitian


Berdasarkan telaah pada pemikiran keilmuan yang terkait dan hasil-hasil
penelitian empiris terdahulu sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka
selanjutnya peneliti akan menyusun kerangka teori melalui diagram yang akan
menggambarkan alur pemikiran.
Gambar 3.1
Kerangka Konseptual Penelitian

MOTIVASI
X1
H4
H1
H7

65
H2 KINERJA
SDM
DISIPLIN
X2 H5
H3 H6
6
LINGKUNGAN
KERJA
X3

Keterangan :
(jurnal bahasa inggris)
...................................
...................................
...................................
MOTIVASI
...................................
...................................
...................................
Dari gambar tersebut dapat diihat pengaruh motivasi, disiplin, lingkungan
kerja terhadap komitmen artinya makin kondusif lingkungan kerja akan
meningkatkan komitmen guru dan ada pengaruh motivasi terhadap kinerja,
disiplin, lingkungan kerja terhadap kinerja sumber daya manusia artinya makin
kondusif lingkungan kerja akan meningkatkan kinerja sumber daya manusia
serta adanya pengaruh komitmen (memiliki hasrat, memiliki kemauan, serta
memiliki ikatan emosional) terhadap kinerja sumber daya manusia artinya makin
tinggi komitmen akan menaikkan kinerja sumber daya manusia.

1.2 Hipotesis penelitian


Komitmen organisasional dianggap penting bagi perusahaan karena: (1)
berpengaruh terhadap turnover karyawan, (2) berhubungan dengan kinerja yang
mengasumsikan bahwa karyawan yang mempunyai komitmen terhadap
perusahaan cenderung mengembangkan upaya yang lebih besar pada perusahaan

66
(Morrison, 1997). Hasil penelitian Sulasmi (2005) yang berjudul Hubungan
Komitmen Organisasi dengan Motivasi Berprestasi pada Pegawai Administrasi
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia hasil tersebut menunjukkan adanya
korelasi yang signifikan antara variabel Komitmen Organisasi dengan variabel
Motivasi Berprestasi. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis pertama yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
H1 : Bila motivasi sumber daya manusia meningkat, maka komitmen sumber
daya manusia juga meningkat.
Dalam penelitian Luhans et al (2006: 297), menunjukkan bahwa motivasi
ekstrinsik di Amerika Serikat memilik dampak positif pada kinerja karyawan
Rusia. Studi lain yang dilakukan oleh Luthans dan Weixing Li (2006: 297)
menemukan bahwa kondisi psikologis positif dari karyawan di perusahaan milik
negara China menunjukkan harapan dan resiliensi secara signifikan berhubungan
dengan kinerja mereka, namun ciri evaluasi diri tidak berhubungan dengan
kinerja. Arikunto (1993) dalam penelitiannya yang meneliti Pengaruh Tingkat
pendidikan dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Mengajar Para Guru serta
penelitian yang dilakukan oleh Eriyadi (2004) menjelaskan bahwa terdapat
pengaruh positif dan signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja.
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke empat yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
H4 : Bila motivasi sumber daya manusia meningkat, maka kinerja sumber
daya manusia juga meningkat.
Penelitian yang dilakukan olehParvatiyar dan Sheth (2001) yang
judulnya “Manajemen Hubungan Pelanggan : Praktek Pemunculan, Proses dan
Disiplin” hasilnya menunjukkan bahwa hubungan pemasaran dan disiplin
berkontribusi terhadap loyalitas dan komitmen pelanggan dan Lory (2008) yang
judulnya “Proyek Parenthood Proses Menuju Disiplin” mengemukakan bahwa
disiplin termasuk keinginan oleh kedua belah pihak untuk terus mencari
pemenuhan komitmen. Di sini, komitmen ini adalah bagian dari hubungan
tersebut dan mereka memungkinkan satu sama lain. Berdasarkan uraian diatas,
maka hipotesis ke dua yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

67
H2 : Bila disiplin sumber daya manusia meningkat, maka komitmen sumber
daya manusia juga meningkat.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi tingkat kedisiplinan yang dimiliki seorang pegawai maka akan
semakin tinggi pula kinerja pegawai. Hasil penelitian Hernowo dan Wadji (2007)
dengan judul Pengaruh Motivasi dan Disiplin Terhadap Kinerja Pegawai Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Wonogiri menunjukkan disiplin mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan uraian
diatas, maka hipotesis ke lima yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H5 : Bila disiplin sumber daya manusia meningkat, maka kinerja sumber daya
manusia juga meningkat.
Menurut Rokhman (2002) ”lingkungan kerja terbentuk oleh adanya
komitmen eksternal hal ini muncul karena adanya tuntutan terhadap
penyelesaian tugas dan tanggung jawab dan komitmen internal sangat ditentukan
oleh kemampuan pemimpin dan lingkungan organisasi dalam membutuhkan
sikap dan prilaku profesional dalam menyelesaikan tanggung jawab
perusahaan”. Menurut Luthans (2006) menyatakan atasan (manajer) perlu
memberikan perhatian dan suasana kerja yang akan membangkitkan komitmen
pegawai. Penelitian Sihombing (2011) bahwa lingkungan kerja dan motivasi
kerja secara bersama-sama berpengaruh highly significant terhadap komitmen
kerja pegawai PT BRI, Tbk cabang Iskandar Muda Medan. Berdasarkan uraian
diatas, maka hipotesis ke tiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H3 : Bila lingkungan kerja kondusif, maka komitmen sumber daya manusia
akan meningkat.
Indriyani (2011) mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang kuat
antara lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan pada Badan Kesatuan
Bangsa, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung. Khoiriyah
(2009) mengemukakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap
kinerja karyawan CV. Aji Bali Jayawijaya Surakarta. Setiadi (2007)
mengemukakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawan Lippo Bank Cabang Pemuda Semarang. Lewa dan
Subowo (2005) mengemukakan bahwa variabel lingkungan kerja fisik

68
mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan PT. Pertamina (Persero) Daerah
Operasi Hulu Jawa Bagian Barat, Cirebon. Berdasarkan uraian diatas, maka
hipotesis ke enam yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H6 : Bila lingkungan kerja kondusif, maka kinerja sumber daya manusia akan
meningkat.
Hasil studi Christina and Maren (2010) menyimpulkan bahwa kinerja
sumber daya manusia dipengaruhi oleh komitmen. Komitmen organisasi
merupakan kekuatan yang bersifat relatif dari karyawan dalam mengidentifikasi
keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Hasil penelitian dari Harrison
dan Hubard (1998) menyatakan bahwa komitmen mempengaruhi outcomes
(keberhasilan) organisasi. Kinerja karyawan dipengaruhi oleh komitmen
organisasional. Karyawan yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam bekerja
tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari perusahaan dan dalam hal ini
merupakan modal dasar untuk mendorong produktivitas yang tinggi. Pendapat
tersebut didukung oleh Moncrief et al (1997) yang mengungkapkan bahwa
komitmen karyawan terhadap organisasi yang tinggi akan berpengaruh terhadap
kinerja karyawan. Hasil studi McNeese–Smith (1996) menunjukkan bahwa
komitmen organisasional berhubungan signifikan positif yang ditunjukkan
dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (signifikan pada level 0,001) terhadap
kinerja karyawan produksi. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ke tujuh
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H7 : Bila komitmen sumber daya manusia meningkat, maka kinerja sumber
daya manusia juga meningkat.

1.3 Definisi Operasional Penelitian


Variabel yang akan diukur dalam peneltian ini dilakukan dengan persepsi
yang sama, sehingga diperlukan definisi opersionalisasi dari masing-masing
variabel yang akan diteliti. Variabel X merupakan variabel bebas dan variabel Y
merupakan variabel terikat. Masing-masing variabel tersebut dari motivasi,
disiplin, lingkungan, merupakan variabel bebas (X) dan komitmen kerja sebagai
sebagai mediator serta kinerja sumber daya manusia merupakan variabel terikat
(Y). Pada penelitian ini keterbaruan terletak pada konsep pengukuran variabel

69
motivasi, disiplin, lingkungan, melalui mediator variabel komitmen kerja belum
dijumpai penelitian yang menggunakan konsep ini pada Kementerian Agama Se-
Provinsi Bali sebagai lembaga pemerintahan yang mengatur kehidupan
beragama.
Berikut ini ditetapkan operasional variabel penelitian sebagai berikut :
1. Motivasi (X1)
2. Disiplin (X2)
3. Lingkungan (X3)
4. Komitmen Kerja (Y1)
5.

70
BAB IV
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian


Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan melihat permasalahan
sebagai satuan yang bulat dan menyeluruh (holistik), menghubungkan setiap variabel
fungsional dan memahami hakekatnya, serta menyoroti tentang Model Penanganan
TKP Bom di Wilayah Hukum Polrestabes Semarang.
Farouk Muhamad dan Djaali (2005:88) mengatakan bahwa, penelitian
kualitatif adalah penelitian yang eksploratif yang biasanya lebih bersifat studi kasus.
Penelitian kualitatif dimulai dengan adanya suatu masalah yang biasanya spesifik dan
diteliti secara khusus sebagai suatu kasus yang akan diangkat ke permukaan tanpa
adanya maksud untuk generalisasi. Proses kualitatif mempunyai suatu periode yang
dilakukan berulang-ulang, sehingga keadaan yang sesungguhnya dapat diungkap
secara cermat dan lengkap. Proses tersebut dimulai dengan survey pendahuluan
untuk mendeteksi situasi di lapangan dan karekteristik subyek (masyarakat atau
kebudayaan tertentu) yang akan menjadi obyek penelitiannya.
Sedangkan Parsudi Suparlan (1994:6) mengatakan bahwa, dalam pendekatan
kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola.
Yang dianalisis dalam pendekatan kualitatif adalah gejala-gejala sosial dan budaya
dengan menggunakan kebudayaan yang bersangkutan untuk memperoleh
gambaran mengenai pola yang berlaku dan pola pola perilaku yang diketemukan
dianalisis dengan menggunakan teori yang obyektif.
Parsudi Suparlan(1994:7) juga mengemukakan bahwa, sasaran dalam
pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip
yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas

71
perwujudan dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia atas perwujudan
dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia, maka analisis terhadap gejala-
gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan budaya yang bersangkutan
sebagai kerangka acuannya. Karena apabila menggunakan budaya lain sebagai
kerangka acuannya, maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain yg menjadi
kerangka acuan; tidak obyektif.

3.2 Setting Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kantor Kementerian Agama Se-Provinsi Bali.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif kasuistik. Strauss dan Corbin
mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif sebagai jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnnya.
Hasil penelitian ini diilustrasikan dengan model bagan, tabel dan gambar berdasarkan
dukungan data yang faktual. Penyajian secara terperinci mengenai data, fenomena
yang faktual merupakan karakteristik dari penelitian ini.

3.3 Sampel dan Informan


Dalam penelitian kualitatif ini, teknik sampling yang digunakan adalah
purposive sampling, dan snowball sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambian sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu ini, informan yang dianggap yang paling tahu tentang apa yang kita
harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti
menjelajahi objek/situasi sosial bisnis. Snowball sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama
menjadi besar yaitu dari informan yang satu kepada informan yang lain yang dapat
memberikan data tentang objek/situasi-situasi sosial bisnis yang diteliti. Sedangkan
informan kunci dalam penelitian ini Adalah Kepala Kantor, Kepala Bagan Tata
Usaha, Kepala Bidang dan Kepala Seksi pada Kantor Kementerian Agama Se-
Provinsi Bali.

3.4 Metode Pengumpulan Data

72
Penelitian lapangan memadukan teknik pengamatan (observasi) dan
wawancara (terbuka), dan bila diperlukan dengan pemeriksaan dokumen dalam
pengumpulan data. Artinya, segera setelah menyaksikan subyek (orang yang diamati)
menyelesaikan suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan atau bersikap/perilaku subyek,
pengamat/ peneliti langsung mewawancarainya sehingga dapat dipahami alasan dan
faktor-faktor apa yang melatar-belakangi alasan mengapa subyek bersikap/
berperilaku seperti yang diamati.
Cara ini sudah barang tentu berbeda dengan cara mewawancarai responden dalam
suatu survei, misalnya yang hanya merupakan proses tanya jawab (yang jawabannya
mungkin bisa dibuat-buat) tanpa dikaitkan dengan realita sikap/perilaku subyek yang
diteliti. Menurut Farouk Muhammad (2006:41), “Metode ini sangat cocok untuk
memahami sikap dan perilaku dalam kondisi alamiahnya yang terjadi dalam proses
dari waktu ke waktu.” Sedangkan menurut Farouk Muhammad dan Djaali
(2005:90) , penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri :
1. Bersifat eksploratif
2. Teori lahir dan dikembangkan di lapangan
3. Proses berulang-ulang
4. Pembahasan lebih bersifat kasus dan spesifik
5. Mengandalkan kecermatan dalam pengumpulan data untuk mengungkap secara
tepat keadaan yang sesungguhnya di lapangan.
Untuk memperoleh gambaran yang obyektif tentang permasalahan yang akan
diteliti pada penulisan karya ilmiah khususnya yang menggunakan pendekatan
kualitatif, . menurut Farouk Muhammad dan Djaali (2005:91) maka teknik
pengumpulan data yang digunakan antara lain:
1. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam adalah teknik wawancara yang didasarkan oleh rasa
skeptis yang tinggi, sehingga wawancara mendalam banyak diwarnai oleh probing.
Pra-kondisi dari wawancara mendalam adalah kedekatan atau keakraban hubungan
antara pewawancara dengan yang diwawancarai (responden) serta tingkat
pemahaman pewawancara terhadap keinginan,persepsi, prinsip dan budaya
responden. Wawancara mendalam dilakukan secara berulang-ulang dan biasanya

73
menggunakan kuesioner terbuka dan pertanyaan yang diajukan sangat ditentukan
oleh situasi wawancara.
2. Observasi Partisipasi
Salah satu teknik yang cukup ampuh dalam penelitian kualitatif adalah
observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah suatu bentuk observasi dimana
observer juga terlibat dalam kehidupan atau pekerjaan atau aktivitas subyek yang
diobservasi (responden). Oleh karena itu, seorang peneliti kualitatif, sebelum
malakukan observasi (pengumpulan data) terlebih dahulu harus beradaptasi atau
hidup bersama dalam lingkungan masyarakat atau orang-orang yang akan
diobservasi. Hal ini dimaksudkan agar observer lebih memahami dan menghayati
kehidupan masyarakat yang akan diobservasi , dan responden juga merasa akrab
dengan observer sehingga akan lebih terbuka dan melakukan aktivitas yang asli
sebagai sasaran observasi. Dengan observasi partisipasi diharapkan akan diperoleh
data yang lebih akurat dan asli, sehingga fakta yang sesungguhnya dapat diungkap
secara cermat dan lengkap.
3. Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion)
Diskusi kelompok terarah bertujuan untuk menggali dan mengidentifikasi pola
tingkah laku, opini, sikap dan motivasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
Tekniknya adalah dengan mengelompokkan responden yang mempunyai ciri-ciri
yang homogen (sejenis) kemudian diajak berdiskusi di bawah pimpinan seorang
moderator. Bahan diskusi ditentukan terlebih dahulu, yaitu berkaitan dengan masalah
yang diselidiki. Kebebasan bicara dan mengemukakan pendapat dalam diskusi
memungkinkan penggalian informasi yang dalam dan bercakupan luas tentang
aspek-aspek permasalahan yang relevan. Homogenitas kelompok mendorong peserta
diskusi berinteraksi dengan santai dan bebas, sehingga mereka sering memberikan
informasi yang tak terduga dan tak terpikirkan sebelumnya oleh pihak peneliti.
Dinamika kelompok sangat fleksibel dalam menampung kreativitas dalam proses
pencarian aspek-aspek permasalahan yang sedang diselidiki.
4. Analisis /TelaahDokumen
Telaah dokumen adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
menelaah dokumen yang ada untuk mempelajari pengetahuan atau fakta yang hendak
diteliti. Telaah dokumen biasanya dilakukan dalam penelitian sejarah, dan harus

74
didukung oleh pengetahuan teoritik dari peneliti. Telaah dokumen dapat merupakan
teknik utama dalam suatu penelitian kualitatif dan dapat pula hanya sebagai
pendukung/penunjang.

Dalam penelitian ini pengumpulan data yang dilakukan adalah :


1) Studi Pustaka, metode ini digunakan untuk memperoleh data sekunder yaitu
meliputi data karyawan, sruktur karyawan, kebijakan yayasan dan lain-lainnya
yang ada di Kantor Kementerian Agama Se-Provinsi Bali.
2) Penyebaran kuesioner, merupakan suatu penyelidikan mengenai suatu masalah
yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum (orang banyak) yang
dilakukan dengan jalan mengadakan suatu daftar pertanyaan berupa formulir-
formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk mendapat-
kan jawaban tentang tanggapan (respon) tertulis seperlunya (Singarimbun,
1995:130).

3.5 Teknik Analisis Data


Penelitian ini merupakan analisis deskriptif Structural Equation Method
(SEM) dilakukan sesuai dengan perubahan dalam penelitian ini melalui laporan
kinerja karyawan pada kantor kementerian agama se-provinsi Bali dengan jumlah
contoh 468 responden yang ditetapkan dengan startified random sampling (malhorta,
2007). Responden meliputi karyawan pada tingkat staf, kepala seksi, kepala bidang
dan kepala kantor. Pengambilan contoh secara disproportional sampling,
dikarenakan jumlah dari masing-masing kelompok responden yang tidak
proporsional, sehingga untuk mengetahui keterwakilan dari masing-masing tingkat
jabatan digunakan disproportional sampling. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan SEM dengan teknik pengolahan data diawali dengan statistik
deskriptif untuk memperoleh karakteristik data, selanjutnya dilakukan uji realibiltas
kontruk model pengukuran dan kecocdokan model (pendugaan koefisien model),
serta uji koefisien. Analisis data, deskripsi model struktural dan model pengukuran
diuji mengguna kan Linear Structural Relations (Lisrel).

75
DAFTAR PUSTAKA

Allen, NJ., Meyer PJ. And Smith CA., 1993, “Commitment to Organizations and
Occupations: Extention and Test of a Three – Component
Conceptualization”, Journal of Applied Psychology, Vol. 78, No. 4

Amstrong, Michael, 1994, “Handbook of Personal Management Practise”, 4th


Edition, Kopan Page Ltd., London

Anwar Prabu Mangkunegara, DR., Msi., 2006, Evaluasi Kinerja SDM, Edisi
Kedua, Refika Aditama, Bandung.

Anisa Novitasari, 2008. Hubungan Motivasi Kerja Dan Disiplin Kerja Dengan
Produktivitas Kerja Pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Grobogan.
Program Sarjana. FISIP UNDIP Semarang.

Arbuckle, J. L., 1997, “Amos User’s Guide Version 3.6”, Smallwaters Corporation,
hicago

Arikunto, Suharsimi., 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi


Revisi , Jakarta: Rineka Cipta.

Cooke, Ernest F., 1999, “Control and Motivation in Sales Management through The
Compensation Plan”, Journal of Marketing Theory and Practise

76
Cooper Donald R.C,. William Emory, 1998, “Metode Penelitian Bisnis”, Erlangga,
Jakarta

Davis, Keith., 2002. Fundamental Organization Behavior, Diterjemahkan Agus


Dharma, Jakarta: Erlangga

Dessler, Gary, 1997. Manajemen Sumberdaya Manusia, PT. Prenhallindo, Jakarta.

Doyle, P. and Wong, V., 1998, “Marketing and Competitive Performance: An


Empirical Study”, European Journal of Marketing, Vol. 32 No. 5/6, page
514-535

Fahmi, 2009. Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap
Kinerja Pegawai SPBU Pandanaran Semarang. Program Sarjana. Fakultas
Ekonomi Gunadarma Jakarta.

Feni Widaningsih, 2010. Pengaruh Motivasi, Disiplin Dan Kepuasan Kerja


Terhadap Kinerja Pegawai di RSUD Kota Surakarta. Program Sarjana.
Fakultas Ekonomi UMS Surakarta.

Gibson, James L., Invancevich, John M., dan Donnelly, Jame H. Jr., 1996.
Organisasi, alih bahasa Ir. Nunuk Ardiani, MM. Jakarta: Bina Aksara.

Gomes, F.C., 2002,Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi, Yogyakarta.

Hariandja, Marihot Tua Efendi , 2002 , Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan
Pertama, PT. Grasindo, Jakarta.

Hasibuan, Melayu, SP., 1997, Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan


Produktifitas, Bumi Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta.

Heidjrachman dan Husnan, Suad, 2002, Manajemen Personalia. BPFE-Yogyakarta.

77
Jae, Moon M, 2000, “Organizational Commitment Revisited in New Public
Management”, Public Performance & Management Review, Vol. 24, No.2

Jahrie, A. Fikri, S. Hariyoto. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia (Edisi


Pertama) Jakarta: Asosiasi Institut Manajemen Indonesia.

Johnson Dongoran, 2001, “Komitmen organisasional: Dua Sisi Sebuah Koin”, Dian
Ekonomi, 7 (1), hal. 35-56.

Laiterner, Alfred R, 1983, Teknik Memimpin Pegawai dan Pekerja, aksara


Baru,Jakarta.

Luthans, Fred, 1995, “Organizational Behavior”, Seventh Edition, Boston: McGraw-


Hill, Inc.

McNeese–Smith, Donna, 1996, “Increasing Employee Productivity, Job Satisfaction,


and Organizational Commitment ” Hospital & Health Services
Administration, Vol. 41: 2, p. 160-175

Mangkunegara, A.A.Anwar Prabu , 2000 , Manajemen Sumber Daya Manusia


Perusahaan, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.

Manulang, ML, 1988 , Dasar-dasar Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Maryoto, Susilo, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE


UGM.

Mowday, R. T., R. M. Steers and I. W. Porter, 1979, “The Measurement of


Organizational Commitment”, Journal of Applied Psychology, 84, p. 408-
414

78
Nitisemo, Alex, S., (1998) “Manajemen Personalia”, cetakan ketiga, Ghalia
Indonesia, Jakarta.

Ostroff, C., 1992, “The Relationship Between Satisfaction Attitudes and


Performance on Organizational Level Analysis”, Journal of Applied
Psychology, Vol. 77, No. 6, p. 963-974

Reksohadiprodjo, S., & Handoko,T.H.,2001, Manajemen Personalia dan Sumber


Daya Manusia,Edisi Kedua,BPFE, Yogyakarta.

Robbins, Stephen P, 1996, “Organizational Behavior Concept, Controversiest,


Application”, Eaglewoods Cliffs, Prentice Hall Inc.

Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi. Jakarta: Prehallindo.

Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Cetakan Pertama).


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Siagian, Sondang, P. (1995), Teori Motivasi dan Aplikasinya, Penerbit PT Rhineka


Cipta, Jakarta.
Singarimbun, Masri., 1995. Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.

Singarimbun,Masri dan Effendy,Sofyan,1996,Metode Penelitian Survey,


LP3ES,Jakarta.

Steers, Richard M, terjemahan Yamin, Magdalena, Pent, 1985 , Efektivitas


Organisasi, Erlangga, Jakarta.

Tansuhaj, Patriya., Donna, Randall & Jim, McCullough, 1998, “A Service Marketing
Management Model: Integrating Internal and External Marketing Function”,
The Journal of Service Marketing, Vol. 2, No.3

79

Anda mungkin juga menyukai