Anda di halaman 1dari 56

BAB II

TINJAUAN TEORETIS DAN LEGALISTIK

2.1 Tinjauan Teoretis

2.1.1 Konsep Kinerja

Kinerja merupakan pembahasan yang sering digunakan orang

dalam berbagai pembicaraan terkhusus dalam rangka meningkatkan

keberhasilan suatu organisasi maupun sumber daya manusianya. Hal ini

dikarenakan kinerja merupakan kunci akan keberhasilan suatu organisasi

serta keefektifan organisasi tersebut. Menurut Andersen (1995) (dalam

Sudarmanto, 2009: 7) paradigma produktivitas yang baru adalah

paradigma kinerja secara aktual yang menuntut pengukuran secara aktual

keseluruhan kinerja organisasi, tidak hanya efesiensi atau dimensi fisik,

tetapi juga dimensi non fisik(intangible).

Terkait dengan konsep kinerja diatas, menurut Rummler dan

Brache (1995) (dalam Sudarmanto, 2009: 7-8) mengemukakan ada tiga

(3) level kinerja, yaitu:

1. Kinerja organisasi;merupakan pencapaian hasil (outcome) pada


level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini
terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan
manajemen organisasi.
2. Kinerja proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam
menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini

22
23

dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan manajemen


proses.
3. Kinerja individu / pekerjaan; merupakan pencapaian atau efektivitas
pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini
dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan
manajemen pekerjaan serta karakteristik individu.

Definisi kinerja terdapat dalam berbagai literatur sehingga,

pengertian dari kinerja tentu saja beraneka ragam. Namun, menurut

Sudarmanto, SIP, M.Si (2009: 8-9) kinerja dapat dikategorikan dalam dua

garis besar pengertian, sebagai berikut:

1) Kinerja merujuk pengertian sebagai hasil. Dalam konteks hasil,


Bernardin (2003: 143) menyatakan bahwa kinerja merupakan
catatan hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan
tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu. Dari
definisi tersebut, Beenardin meneknkan pengertian kinerja sebagai
hasil, bukan karakter sifat (trait) dan perilaku. Pengertian kinerja
sebagai hasil juga terkait dengan produktivitas dan efektivitas
(Ricard, 2003). Produktivitas merupakan hubungan antara jumlah
barang dan jasa yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja, modal,
dan sumber daya yang digunakan dalam produksi itu (Miner, 1988).
2) Kinerja merujuk pengertian sebagai perilaku. Terkait dengan dengan
kinerja sebagai perilaku, Murphy (1990) (dalam Ricard, 2002)
menyatakan bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang
relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi tempat orang
bekerja. Pengertian kinerja sebagai perilaku juga dikemukakan oleh
Mohrman (1989), Campbell (1993), Cardy dan Dobbins (1994),
Waldman (1994) ( dalam Ricard, 2002). Kinerja merupaka sinonim
dengan perilaku. Kinerja adalah sesuatu yang secara aktual orang
kerjakan dan dapat diobservasi. Dalam pengertian ini, kinerja
mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan
tujuan organisasi. Kinerja bukan konsekuensi atau hasil tindakan,
tetapi tindakan itu sendiri (Campbell, 1993 (dalam Ricard, 2003)).
24

Pengertian lain dari kinerja menurut Chabib Soleh dan Suripto

(2001: 3) bahwa kinerja adalah gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan

suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi

dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan strategis

(strategic planning) suatu organisasi. Sedangkan menurut Armstrong dan

Baron (1998: 15) kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai

hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen

dan menberikan kontribusi ekonomi.

Kinerja merupakan hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitas

yang telah dicapai oleh seorang karyawan atau pegawai dalam

mengemban tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan

kepadanya (Mangkunegara, 2001:67). Menurut Mangkuprawira dan Hubeis

(1997:339) kinerja karyawan sebagai hasil dari proses pekerjaan yang

terencana sesuai dengan waktu serta tempat berdasarkan karyawan dan

organisasi yang bersangkutan. Sedangkan menurut Mahsun (2006:25)

kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan

sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategi

planning suatu organisasi.

Berdasarkan dengan berbagai definisi tentang kinerja diatas,

peneliti menyimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu tolak ukur dalam

menilai keberhasilan suatu organisasi maupun instansi yang dilihat dari

kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola suatu organisasi


25

maupun instansi. Sehingga, peneliti ingin mengambil definisi dari Rummler

dan Brache (1995) (dalam Sudarmanto, 2009: 7-8) mengenai kinerja yang

terbagi akan tiga level dalam menjelaskan secara jelas tentang kinerja

dalam organisasi, kinerja dalam melaksanakan proses untuk menghasilkan

pelayanan maupun produk serta kinerja mengenai individu masing-masing

dalam melaksanakan pekerjaan. Kinerja yang terbagi akan tiga level

tersebut dapat dilihat, sebagai berikut:

A. Kinerja Organisasi
Kinerja organisasi menurut Rummler dan Brache (1995) (dalam
Sudarmanto, 2009: 7-8) merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level
atau unit analisis organisasi. Menurut Soleh dan Suripto (2011: 5) kinerja
juga sering dimaknai sebagai prestasi kerja yang dicapai organisasi dalam
suatu periode tertentu. Prestasi kerja dimaksud berkaitan dengan
efektivitas operasional organisasi baik berkenaan dengan aspek manajerial
maupun ekonomis operasional. Melalui informasi kinerja, organisasi dapat
mngetahui secara jujur dan objektif sampai sejauh mana tingkat
keberhasilan atau bahkan kegagalannya dalam menjalankan amanah
rakyat yang diterima. Berdasarkan kedua definisi kinerja diatas, kinerja juga
terdapat dalam organisasi pemerintahan terkhususnya pemerintah daerah.
Pengertian kinerja Pemerintah Daerah dapat didefinisikan sebagai
gambaran mengenai tingkat pencapaian hasil pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi Daerah yang tertuang dalam Dokumen
Perencanaan Daerah (Tim Studi Pengembangan sistem akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah: 9).
Kinerja organisasi membutuhkan budaya oerganisasi dalam
membentuk perilaku pegawai organisasi maupun instansi. Dimana,
berbagai sikap yang berada di dalam organisasi dapat membentuk perilaku
pegawai sesuai dengan lingkungan tempat para pegawai melaksanakan
pekerjaan. Menurut Robins (2003) (dalam Sudarmanto, 2009: 34) budaya
organisasi terbentuk dari persepsi subjektif anggota organisasi terhadap
nilai-nilai inovasi, toleransi risiko, tekanan pada tim, dan dukungan orang.
Sehingga, budaya organisasi dapat memberikan pengaruh terhadap kinerja
serta kepuasan karyawan dalam suatu organisasi, sebagaimana dalam
Gambar 2.1 berikut:
26

Gambar 2.1
Budaya Organisasi Berdampak Pada Kinerja
Faktor Tujuan: Kinerja
Tinggi
⚫ Inovasi dan
penempatan resiko Budaya
⚫ Perhatian secara organisasi Kepuasan
jelas

⚫ Orientasi hasil

⚫ Orientasi orang Rendah

⚫ Orientasi tim

Sumber: Robbins (2003)

Menurut Kotter dan Haskett (1997) budaya juga memiliki kekuatan


dalam berhubungan langsung dengan kinerja yang meliputi tiga gagasan,
yaitu:
1. Penyatuan tujuan, dalam sebuah perusahaan (organisasi) dengan
budaya yang kuat karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh
genderang yang sama. Artinya, tidak ada prestasi kecil dalam suatu
dunia yang penuh spesialisasi dan bentuk-bentuk keragaman lain.
2. Budaya yang kuat juga sering dikatakan membantu kinerja bisnis
karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa dalam diri
para karyawan.
3. Budaya kuat juga dikatakana membantu kinerja karena
memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus
bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan
tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Sesuai dengan pengertian kinerja organisasi diatas, menurut
Rummler dan Brache (1995) (dalam Sudarmanto, 2009: 7) kinerja pada
level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi,
dan manajemen organisasi. Dimana, suatu organisasi maupun instansi
harus membuat terlebih dahulu tujuan dari didirikannya organisasi maupun
instansi tersebut. Dimana, tujuan Setelah tujuan organisasi telah dibentuk
maka, dalam mencapai tujuan tersebut organisasi harus membentuk
rancangan organisasi yang dapat digunakan dalam melaksanakan kegiatan
organisasi. Setelah rancangan organisasi telah terbentuk maka, organisasi
dapat membentuk manajemen organisasi dalam hal mengelola organisasi
27

secara efektif dan efisien. Manajemen juga dikatakan sebagai suatu proses
perencanaan, pengorganisasian, memimpin, dan mengawasi pekerjaan
anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi
yang dinyatakan dengan jelas (Stoner dan Freeman, 1992:4). Selain itu,
ada pula pendapat lain mengenai manajeman sebagai suatu proses untuk
membuat aktivitas terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan
melalui orang lain. Efisiensi menunjukkan hubungan antara input dan ouput
dengan mencari biaya sumber daya minimum, sedngkan efektif
menunjukkan makna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
(Robbins dan Coultar, 1996:6).
Dengan demikian, kinerja organisasi merupakan kebutuhan yang
harus berada didalam organisasi untuk mencapai tujuan oerganisasi
dengan mengikuti segala rancangan yang telah dirangkai serta mampu
membentuk manajemen yang baik dalam hal mengatur kerja sama secara
harmonis dan terintegritasi antara pemimpin dengan bawahannya.
Sehingga, hasil dari kinerja organisasi dapat bermanfaat bagi organisasi
maupun lingkungan disekitarnya. Namun, hasil kinerja organisasi terlebih
dahulu harus melewati tahapan evaluasi kinerja organisasi agar dapat
menghasilkan umpan balik maupun feedback atas proses kinerja
organisasi tersebut.
B. Kinerja Proses
Kinerja proses menurut Rummler dan Brache (1995) (dalam
Sudarmanto, 2009: 7-8) merupakan kinerja pada proses tahapan dalam
menghasilkan produk atau pelayanan. Berdasarkan pengertian kinerja
proses diatas maka, kinerja proses mengandung makna tentang hasil
berupa pelayanan. Dimana, pelayanan dari kinerja proses merupakan hasil
yang di dapatkan melalui berbagai kerangka kegiatan yang telah di atur
sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan organisasi yang memerlukan
waktu secara bertahap dalam mencapai tujuan tersebut.
Sesuai dengan pengertian kinerja proses diatas, menurut Rummler
dan Brache (1995) (dalam Sudarmanto, 2009: 7) kinerja pada level proses
ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan manajemen
proses. Dimana, dalam melaksanakan suatu proses perlu diadakannya
pembentukan tujuan yang melatar belakangi proses tersebut dilaksanakan
sehingga menghasilkan hasil yang dapat bermanfaat sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Namun, tujuan diadakannya proses tidak dapat dicapai
jika belum membentuk rancangan yang akan dilakukan dalam
melaksanakan suatu proses. Hal ini dikarenakan, rancangan proses
merupakan hal dasar dari pelaksanaan suatu kegiatan yang akan dilakukan
melalui proses yang panjang maupun proses yang singkat tergantung
dengan kerampungan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan. Setelah
rancangan proses dibentuk, maka tahapan selanjutnya ialah menerapkan
manajemen proses yang sesuai dengan standar di dalam suatu regulasi
28

yang dijadikan sebagai pedoman. Sehingga, dalam pelaksanaan kinerja


proses dapat terlihat rapi dan benar baik dalam susunan administrasi
maupun dalam melaksanakan kegiatan yang telah dirancang dalam suatu
rancangan serta memerlukan proses dalam melaksanakan manajemen
tersebut.
Dengan demikian, kinerja proses merupakan salah satu penopang
maupun pendukung terhadap jalannya suatu organisasi. Dimana, kinerja
proses lebih mengandung tentang siklus yang digunakan dalam organisasi
terhadap pelaksanaan kegiatan suatu organisasi yang memerlukan waktu
secara bertahap serta membuat pelaksanaan kegiatan organisasi tertata
secara rapi tanpa adanya tumpah tindih terhadap kegiatan yang akan
dilaksanakan.
C. Kinerja Individu / Pekerjaan
Kinerja individu / pekerjaan menurut Rummler dan Brache (1995)
(dalam Sudarmanto, 2009: 9) merupakan pencapaian atau efektivitas pada
tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja individu / pekerjaan ini merupakan
kinerja yang dinilai dari sumber daya manusianya dalam melaksanakan
suatu pekerjaan. Dimana, kinerja ini merupakan suatu tolak ukur yang
dinilai dari perilaku serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sumber
daya manusia dalam melaksanakan suatu kegiatan organisasi maupun
instansi. Sehingga, segala tindakan yang berasal dari sumber daya
manusia merupakan kinerja individu / pekerjaan.
Kinerja individu juga membahas tentang hubungan akan
karakteristik personal, perilaku dan kinerja dapat menentukan bagaimana
perilaku sumber daya manusia dalam melaksanakan pekerjaan. Sesuai
dengan pengertian kinerja individu / pekerjaan diatas, menurut Rummler
dan Brache (1995) (dalam Sudarmanto, 2009: 9) kinerja pada level ini
dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan manajemen
pekerjaan serta karakteristik individu. Dimana, suatu pekerjaan haruslah
didasari dengan tujuan atas dilaksanakannya pekerjaan itu. Namun, tujuan
suatu pekerjaan tidak dapat di capai jika sebelumnya tidak membentuk
suatu rancangan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Sehingga,
tujuan yang ingin dicapai tidak dapat terealisasikan. Akan tetapi, jika sudah
membentuk suatu rancangan pekerjaan tentu saja harus menerapkan juga
sistem manajemen dalam pekerjaan tersebut agar dapat tertata secara rapi
pekerjaan tersebut tanpa adanya permasalahan teknis yang dapat
ditimbulkan.

Berdasarkan dari berberapa pengertian tentang kinerja diatas,

peniliti dapat mengetahui bahwa dalam mengembangkan suatu kinerja


29

pasti memiliki beberapa pendekatan yang dapat digunakan menjadi tolak

ukur keberhasilan suatu kinerja. Dalam mengukur kinerja menurut Gomez

(2001) ( dalam Sudarmanto, 2009: 10) bahwa kinerja pegawai terkait

dengan alat pengukuran kinerja yang digunakan. Terkait dengan alat

pengukuran kinerja, secara garis besar diklasifikasikan dalam dua, yaitu:

pertama, tipe penilaian yang dipersyaratkan dengan penilaian relatif dan

penilaian absolut. Kedua, fokus pengukuran kinerja dengan 3 model, yaitu:

penilaian kinerja berfokus sifat (trait), berfokus perilaku dan berfokus hasil.

Selain itu, ukuran dan standar kinerja menurut David Devries dkk., (1981)

(dalam Sudarmanto, 2009: 10) menyatakan bahwa dalam melakukan

pengukuran kinerja ada tiga (3) pendekatan, yaitu dengan mengukur:

1. Pendekatan personality trait, yaitu dengan mengukur:


kepemimpinan, inisiatif, dan sikap.
2. Pendekatan perilaku, yaitu dengan mengukur: umpan balik,
kemampuan presentasi, respons terhadap komplain pelanggan.
3. Pendekatan hasil, yaitu dengan mengukur: kemampuan produksi,
kemampuan menyelesaikan produk sesuai jadwal, peningkatan
produksi/penjualan.

Sedangkan menurut Dick Grote (1996) dalam bukunya The

Complete Guide to Performance Apprasial menyatakan bahwa dalam

pengukuran atau penilaian kinerja ada tiga (3) pendekatan, yaitu:

1) Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis pelaku.

2) Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis perilaku.


30

3) Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis hasil.

Selain pendapat ahli diatas, adapula pendapat ahli menurut John

Miner (1988) (dalam Sudarmanto, 2009:11) yang mengemukakan bahwa

ada 4 dimensi yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai kinerja, yaitu:

a. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan, kecermatan.


b. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
c. Penggunaan waktu dalam kerja, yaitu; tingkat ketidakhadiran,
keterlambatan, waktu kerja efektif / jam kerja hilang.
d. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja.

Berdasarkan keempat dimensi tersebut, cenderung mengukur

kinerja pada level kinerja individu / pekerjaan. Sedangkan menurut

Dwijayanto (2002) (dalam Sudarmanto, 2009: 16) mengemukakan terdapat

5 indikator untuk mengukur kinerja organisasi, yaitu:

1) Produktivitas: dengan mengukur tingkat efisiensi, efektivitas


pelayanan, dan tingkat pelayan publik dalam rangka mencapai hasil
yang diharapkan.
2) Kualitas layanan: dengan mengukur kepuasan mesyarakat terhadap
layanan yang diberikan.
3) Responsitas: dengan mengukur kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
layanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
4) Responsibilitas: menjelaskan / mengukur kesesuaian pelaksanaan
kegiatan organisasi publik yang dilakukan dengan prinsip-prinsip
adminstrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi.
5) Akuntabilitas: seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi
publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat atau
ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian penyelenggaraan
31

pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada


di masyarakat atau yang dimiliki para stakeholders.

Selain itu, menurut Kumorotomo (1996) (dalam Dwiyanto, 2002:19)

merumuskan 4 indikator penilaian terhadap kinerja organisasi, yaitu:

a. Efisiensi: menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan


organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan
faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari
rasionalitas ekonomi.
b. Efektivitas: menyangkut rasionalitas tekhnis, nilai, misi, tujuan
organisasi serta fungsi agen pembangunan.
c. Keadilan: menyangkut distribusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakan organisasi pelayanan publik.
d. Daya tanggap: daya tanggap terhadap kebutuhan vital masyarakat,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.

Sedangkan menurut LAN (2000:3) telah menetapkan 5 indikator

organisasi yang telah dijadikan pedoman dan panduan bagi organisasi

publik dalam menyusun laporan kinerja, yaitu:

1. Masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan


kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka
menghasilkan keluaran, seperti: orang, dana, waktu, material, dan
lain-lain.
2. Keluaran adalah segala sesuatu berupa produk / jasa (fisik dan
atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu
kegiatan program berdasarkan masukan yang digunakan.
3. Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran kegiatan pada jangka menegah. Hasil merupakan ukuran
seberapa jauh setiap produk jasa dapat memenuhi kebutuhan dan
harapan masyarakat.
32

4. Manfaat adalah kegunaan suatu keluaran yang dirasakan langsung


masyarakat. Manfaat dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat
diakses oleh publik.
5. Dampak adalah ukuran tingkat pengaruh soaial, ekonomi,
lingkungan, atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh
capaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.

Lain halnya menurut Robert S. Kaplan dan David P. Norton (1996)

(dalam Sudarmanto, 2009: 15) telah merumuskan Balanced Scorecard

dalam kerangka mengembangkan pengukuran kinerja dengan

mengemukakan 4 perspektif atau aspek pengukuran.

Pada awalnya pengukuran ini hanya untuk konteks organisasi

perusahaan, akan tetapi seiring perkembangan zaman banyak yang mulai

mengadopsinya untuk kepentingan dalam mengukur kinerja di sektor

publik. Sehingga, didalam buku Guide to a Balanced Scorecard

Performance Managenent Methology dikemukakan aspek yang diukur

dalam teori Balanced Scorecard menurut Robert S. Kaplan dan David P.

Norton (1996) (dalam Sudarmanto, 2009: 15), sebagai berikut:

a. Pengukuran dari aspek keuangan: biaya administrasi minimal.


b. Pengukuran dari aspek pelanggan: kepuasan pelanggan, pelayanan
efektif.
c. Pengukuran dari aspek proses bisnis internal: sistem kontrol,
pengadaan yang efektif, memenuhi sasaran kebijakan publik.
d. Pengukuran dari aspek pertumbuhan dn pembelajaran: tersedianya
informasi pembuatan keputusan strategis, kualitas kerja, kepuasan
pegawai.
33

Menurut MENPAN (2003) https://www.menpan.go.id telah

merumuskan ukuran kinerja dalam konteks prinsip-prinsip pelayanan yang

dikembangkan menjadi 14 unsur minimal yang harus ada untuk

pengukuran indeks kepuasan masyarakat, yaitu dengan mengukur:

a. Prosedur pelayanan: kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan


kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
b. Persyaratan pelayanan: persyaratan teknis administratif yang
diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis
pelayanannya.
c. Kejelasan petugas pelayanan: keberadaan dan kepastian petugas
yang memverikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan
tanggung jawabnya).
d. Kedisiplinan petugas pelayanan: kesungguhan petugas dalam
memberikan pelayanan, terutama terhadap konsistensi waktu kerja
sesuai kententuan yang berlaku.
e. Tanggung jawabpe tugas pelayanan: kejelasan wewenang dan
tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian
pelayanan.
f. Kemampuan petugas pelayanan: tingkat keahlian dan keterampilan
yang dimiliki petugas dalam memberikan / menyelesaikan pelayanan
kepada masyarakat.
g. Kecepatan pelayanan: target waktu pelayanan dapt diselesaikan
dalam waktu yang telah ditentukan inut penyelenggara pelayanan.
h. Keadilan mendapatkan pelayanan: pelaksanaan dengan tidak
membedakan golongan / status masyarakat yang dilayani.
i. Kesopanan dan keramahan petugas: sikap dan perilaku petugas
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan
dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
j. Kewajaran biaya pelayanan: keterjangkauan masyarakat terhadap
besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
k. Kepastian biaya pelayanan: kesesuaian antara biaya yang
dibayarkan dengan biaya yang ditetapkan.
34

l. Kepastian jadwal pelayanan: pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai


denga ketentuan yang ditetapkan.
m. Kenyamanan lingkungan: kondisi sarana dan prasarana pelayanan
yang bersih, rapi, dan teratur, sehingga dapat memberikan rasa
nyaman kepada penerima pelayanan.
n. Keamanan pelayanan: terjaminnya tingkat keamanan lingkungan
unit penyelenggaraan pelayanan ataupun sarana yang digunakan,
sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan
terhadap risiko-risiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

Sesuai dengan 14 unsur yang digunakan dalam mengukur kinerja

tersebut, cenderung lebih mengukur kinerja terhadap kinerja pada level

proses. Dimana, kinerja proses lebih menekankan tentang rangkaian

proses kegiatan yang dapat mencapai suatu tujuan dilaksanakannya

kegiatan tersebut.

Berdasarkan dengan berbagai pendapat para ahli tentang standar

dalam mengukur kinerja peniliti dapat mengetahui bahwa, terdapat empat

indikator dalam menilai kinerja, yaitu:

1. Pengukuran kinerja dinilai dari uaraian mengenai pekerjaan yang


dilakukan.
2. Pengukuran kinerja dinilai dari mengukur sifat maupun karakter
pribadi terhadap sumber daya manusia.
3. Pengukuran kinerja dinilai dari mengukur hasil yang dicapai dalam
melaksanakan pekerjaan.
4. Pengukuran kinerja dinilai dari mengukur segala tindakan maupun
perilaku yang dilakukan dalam mencapai suatu tujuan.
35

Namun, kinerja pada Organisasi Pemerintah Daerah menurut

Chabib Soleh dan Suripto (2011: 7-10) memiliki tingkatan kinerja yang

terbagi atas 3, yaitu:

1) Kinerja kebijakan yang menjadi tanggung jawab Kepala Daerah dan


DPRD, karena kedua institusi inilah pihak yang menentukan dan
mengambil kebijakan daerah dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang dialami oleh daerah.
2) Kinerja program menjadi tanggungjawab dari para Kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebagaimana diketahui bahwa
program pada dasarnya merupakan instrument dari kebijakan, dan
oleh karenanya program yang disusun untuk melaksanakan suatu
kebijakan, haruslah program yang sudah diperhitungkan secara
matang, sehingga dengan dilaksanakan program tersebut tujuan /
sasaran kebijakan akan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
3) Kinerja kegiatan adalah bagian dari program, dengan demikian satu
program dapat terdiri atas satu atau lebih kegiatan. Dimana, para
Kepala Sub Bagian, Kepala Bidang dan atau para Kepala Urusan
bertanggungjawab atas terlaksana tidaknya suatu kegiatan.

Berdasarkan tingkatan kinerja diatas, terdapat juga beberapa

dimensi yang dapat digunakan dalam menilai suatu kinerja Pemerintah

Daerah menurut Chabib Soleh dan Suripto (2011: 12-16), yaitu:

1. Dimensi keuangan
Dimensi ini meliputi kemampuan Pemerintah Daerah dalam:
a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, peningkatan
PDRB, peningkatan pendapatan perkapita, peningkatan PAD dan
mengurangi celah fiskal daerah.
b) Memperbaiki struktur belanja daerah, dalam arti belanja langsung,
khususnya belanja modal secara bertahap persentasenya menjadi
makin besar, sementara belanja tidak langsung, khususnya belanja
peagwai persentasenya semakin kecil. Hal ini penting mengingat,
dewasa ini persentase belanja pegawai pada umumnya masih
sangat besar dibandingkan dengan belanja modal.
2. Dimensi kepuasan masyarakat daerah
36

Dalam era demokrasi, masyarakat daerah adalah pemilik


kedaulatan, semntara Pemerintah Daerah adalah pihak yang dipilih
dan dipercaya untuk melaksanakan kedaulatan melalui mekanisme
pemilihan kepala daerah. Peningkatan kesehjahteraan masyarakat
daerah sangat bergantung pada pemberian pelayanan publik yang
berkualitas prima. Keprimaan dalam pemberian pelayan publik
adalah ukuran yang harus dijadikan peganhan bagi pemerintah
daerah untuk menguji tingkat kepuasan masyarakat. Tingkat
kepuasan masyarakat tentu akan sangat bervariasi tergantung pada
tingkat besarnya harapan atas pelayanan yang seharusnya
diberikan.
3. Dimensi operasi kegiatan
Informasi operasional kegiatan secara internal sangat diperlukan
oleh pemerintah daerah untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan
SKPD sudah sejalan dan sirama yang secara keseluruhan berfokus
pada upaya pencapaian misi dan visi Kepala Daerah yang tercantum
dalam dokumenperencanaan daerah (RPJMD). melalui informasi
operasi kegiatan dapat diidentifikasi kegiatan mana yang menambah
nilai pelayanan dan kegiatan mana yang tidak menambah nilai
produk / pelayanan.
4. Dimensi kepuasan para pegawai
Disadari atau tidak, pegawai adalah aset terpenting yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah. Aset ini tidak dinilai berdasarkan jumlahnya,
tetapi harus dinilai berdasarkan mutu / kualitasnya. Tidak ada
gunanya memiliki jumlah pegawai yang banyak dengan mutu yang
rendah, bahkan kondisi demikian justru akan menjadi beban bagi
Pemerintah Daerah. Harapan setiap pegawai untuk meningkatkan
kariernya harus direspon dengan baik, melalui pendidikan dan
pelatihan (Diklat) teknis yang diperlukan. Setiap kenaikan jabatan,
harus harus didasarkan pada perimbangan objektif dan adil yang
didasarkan pada penilaian atas prestasi kerja (kinerja) dari pegawai
yang bersangkutan. Penilaian dilakukan secara terbuka, sehingga
semua pegawai dapat menyaksikan tingkat objektivitasnya.
5. Dimensi kepuasan para pemangku kepentingan
Kinerja Pemerintah Daerah sering diukur berdasarkan sudut
pandang dan kepentingan para pihak yang menjadi pemangku
kepentingan. Harapan mereka berbeda-beda sesuai dengan
kepentingan mereka masing-masing. Atas dasar hal tersebut,
variabel-variabel apa yang perlu diperhitungkan dalam pengukuran
kinerja, disesuaikan dengan kebutuhan informasi kinerja para
pemangku kepentingan. Bila hal ini dapat dilakukan pemerintah
daerah, maka para pemangku kepentingan akan merasa puas,
37

karena kebutuhan informasi yang diperlukan telah direspon secara


memadai oleh Pemerintah Daerah.
6. Dimensi waktu
Ukuran waktu merupakan hal yang tidak boleh dilupakan oleh
Pemerintah Daerah dalam mendesain pengukuran kinerja. Informasi
kinerja yang disajikan bukan saja harus valid secara material, tetapi
juga harus lengkap dan disampaikan tepat pada waktunya.
Ketepatan waktu penyampaian menjadi penting oleh karena,
informasi tersebut merupakan bahan bagi semua piahak yang
memerlukan informasi dalam pengambilan keputusan.

Sehingga, penilaian kinerja Pemerintah Daerah memiliki arti

penting dalam melaksanakannya. Karena penilaian ini dibuat dalam rangka

memastikan dengan jelas apakah Kepala Daerah telah melaksanakan janji

yang dibuat pada saat melaksanakan kampanye sebelum dilaksanakannya

pemilu. Dimana, pertanggungjawaban tersebut dilaksanakan dengan cara

melaksanakan program serta kegiatan dalam rangka mencapai visi

maupun misi yang dijanjikan terdahulu secara ekonomis, efektif dan

efesien. Menurut Chabib Soleh dan Suripto (2011: 17-18) penilaian

terhadap kinerja program memang perlu, tetapi yang jauh lebih penting

untuk diperhatikan adalah:

1. Apakah hasil / output dari pelaksanaan program / kegiatan telah


memberi kontribusi yang bermakna dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi rakyat, mengingat dana yang
dipergunakan untuk melaksanakan program / kegiatan pada
dasarnya adalah dana rakyat yang dikumpulkan melalui pajak yang
dipungut dari rakyat.
2. Apakah hasil dari suatu pelaksanaan program / kegiatan telah
mampu memberi manfaat dalam memecahkan masalah tersebut
sebanding dengan dana yang dikeluarkan / dipergunakan untuk
melaksanakan program / kegiatan tersebut. Maksudnya apakah
capaian program dan nilai manfaat yang diperoleh sebanding
38

dengan nilai sumber daya yang dikorbankan (analisa biaya


manfaat).
3. Apakah hasil / output program / kegiatan telah dicapai melalui
cara-cara yang paling ekonomis dan efisien dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya dan atau dengan yang dicapai organisasi
sejenis lainnya.
4. Apakah hasil / output dari suatu program / kegiatan telah mampu
memberikan kontribusi terhadap tujuan kebijakan yang telah
ditentukan.
5. Apakah capaian tujuan kebijakan telah mampu memberikan
kontribusi yang berarti terhadap pencapaian misi dan visi Kepala
Daerah.

Berdasarkan dengan pemaparan diatas, peneliti dapat mengetahui

bahwa hal terpenting dalam permasalahan yang mucul merupakan dapat

terselesaikannya permasalahan tersebut dengan dampak yang ditimbulkan

dari program/kegiatan yang telah dilaksanakan dalam beberapa waktu

yang telah lalu. Karena, dampak akan dirasakan baik secara cepat maupun

lambat. Hal ini dapat kita ketahui dengan melakukan survey terhadap

masyarakat dengan membahas topik tentang pengaruh yang dapat

dirasakan masyarakat dalam kebijakan pemerintah menyelesaikan

permasalahan yang ada.

Menilai suatu program yang telah berhasil mencapai suatu tujuan

dibentuknya program tersebut dapat dilakukan perbadingan antara tujuan

dengan perealisasiannya dalam melaksanakan program tersebut. Sesuai

dengan penilaian program, kinerja memiliki kaitan yang sangat erat

terhadap pelaksanaan program tersebut dikarenakan suatu program dapat

terlaksana dengan adanya kinerja yang merupakan suatu cara dalam


39

melaksanakan program tersebut. Hal ini dikarenakan, program merupakan

salah satu rangkaian yang terdapat didalam kinerja pegawai dalam

melaksanakan tupoksinya masing-masing.

Peneliti dapat mengetahui bahwa kinerja Pemerintah Daerah

dapat dinilai dengan menggunakan beberapa dimensi dalam hal

pengukuran diringi dengan kesesuaian tingkatan kinerja pada pemerintah

daerah. Dimana, kinerja memiliki beberapa pandangan terhadap penilaian

atas kinerja tersebut. Sehingga, dalam hal yang berkaitan dengan kinerja

bagi Pemerintah Daerah dapat diukur sesuia dengan standar yang telah

diberikan melalui regulasi yang berlaku. Kinerja Pemerintah Daerah,

menjadikan beberapa regulasi sebagai pedoman dalam mengukur tingkat

keberhasilan kinerja yang dilaksanakan oleh pegawai pemerintah daerah.

Sehingga, kinerja Pemerintah Daerah dapat meningkat serta mampu dalam

mencapai tujuan bagi Pemerintah Daerah tersebut.

Kinerja merupakan salah satu faktor terpenting dalam suatu

organisasi maupun instansi. Hal ini dikarenakan, kinerja merupakan tolak

ukur dalam rangka penilaian suatu organisasi maupun instansi yang telah

dijelaskan dalam pemaparan diatas mengenai pengertian maupun dimensi

serta pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur keberhasilan

kinerja dalam mencapai suatu tujuan bagi suatu organisasi maupun

instansi.
40

Kinerja merupakan catatan dari hasil kerja yang dilaksanakan

seorang pegawai atau karyawan dalam melakukan pekerjaan

masing-masing, sehingga hasil kerja tersebut dapat dievaluasi tingkat

kinerja terhadap pegawai tersebut. Dimana, tingkat kinerja pegawai dinilai

sesuai dengan hasil dari tercapainya suatu target yang dapat direalisasikan

oleh pegawai selama periode waktu yang telah ditetapkan oleh suatu

organisasi. Karena mutu kinerja dalam organisasi maupun instansi sangat

ditentukan oleh kinerja pegawai di organisasi maupun instansi tersebut.

Karena setiap individu memiliki kinerja yang bebeda-beda tingkatannya

sesuai dengan karakteristik dari setiap individu dalam suatu organisasi

maupun instansi yang tentu saja berbeda.

Kinerja seseorang dapat dipengaruhi dalam 2 garis besar, yaitu

kemampuan seseorang dan motivasi yang dimilikinya. Maksud dari kedua

pengaruh tersebut ialah jika seseorang memiliki kemampuan dalam

mengerjakan suatu bidang tapi tidak memiliki motivasi dalam mengerjakan

bidang tersebut maka, kinerja orang tersebut akan rendah. Sama halnya

dengan seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi dalam mengerjakan

suatu bidang namun tidak memiliki kemampuan dalam bidang tersebut

maka, kinerja seseorang tersebut juga akan rendah. Karena kedua

pengaruh tersebut, yaitu kemampuan dan motivasi memiliki hubungan yang

sangat erat dalam menunjang tingkat kinerja seseorang. Sehingga, kedua

pengaruh tersebut tidak dapat dipisahkan ataupun hanya dimilki salah

satunya oleh seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan.


41

Berdasarkan dengan pengertian diatas, peniliti memilih untuk

menggunakan pendapat dari Rummler dan Barche (1995) (dalam

Sudarmanto, 2009: 7-8) mengenai kinerja dalam hal menunjang penelitian

yang menggunakan konsep kinerja. Sehingga, peneliti dapat

melaksanakan penelitian dengan menggunakan pedoman mengenai

konsep kinerja berdasarkan dengan pendapat menurut Rummler dan

Brache

2.1.2 Konsep Pajak Hiburan

Pajak menurut Soemitro (dalam Mardiasmo, 2018: 3) adalah iuran

rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang

langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum. Sehingga, menurut Mardiasmo (2018: 3) definisi

tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:

1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak


hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yaitu
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sedangkan, pajak menurut Siahaan (2016: 7) adalah pungutan dari

masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang

bersifat dapat dipaksakan dan tertuang oleh yang wajib membayarnya


42

dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara

langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Menurut

Mardiasmo (2018: 7-8) pajak terbagi atas tiga pengelompokkan, yaitu:

1) Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak
Pertambahan Nilai
2) Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contohnya: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya,tanpa
memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya: Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3) Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya:
Pajak Penghasilan, Pajak Pertamabahan Nilai dan Pajak Penjualan
atau Barang Mewah, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
1. Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor.
2. Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan
Pajak Hiburan.
43

Berdasarkan dengan kelompok ketiga dari pengelompokkan

perpajakan menurut lembaga pemungutnya, pengelompokkan tersebut

didasarkan hierarki yang terkait dengan pemerintahan yang memiliki

wewanang dalam menjalankan pemerintahan serta dapat memungut

pendapatan negara khususnya otonomi daerah. Hierarki pemerintahan di

Indonesia terbagi menjadi dua garis besar, yaitu pemerintahan pusat dan

pemerintah daerah. Dimana, pemerintahan daerah terbagi menjadi dua,

yaitu pemerintahan daerah provinsi dan pemerintah daerah

kabupaten/kota. Sehingga, pemungutan pajak hanya dapat dilaksanakan

sesuai dengan tempat yang telah menjadi wilayah dalam wewenangnya.

Menurut Siahaan (2016: 9) bahwa

“ Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui
undang-undang, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah
pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
pusat dan pembangunan. Sedangkan pajak daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.

Pajak menurut Mardiasmo (2018: 4) memiliki dua fungsi atas dasar

pelaksanaannya, yaitu:

1) Fungsi Anggaran (Budgetair)


Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2) Fungsi Mengatur (Regulered)
44

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan


kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh :
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk
mengurangi konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.

Pemungutan pajak memiliki syarat tersendiri dalam melaksanakan

pemungutan, menurut Mardiasmo (2018:4-5) syarat pemungutan pajak,

yaitu:

a) Pemungutan Pajak Harus Adil (Syarat Keadilan)


Sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan,
undang-undang maupun pelaksanaan pemungutan pajak harus adil.
Adil dalam perundang-undangan di antaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya, yaitu
dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan
banding kepada Pengadilan Pajak.
b) Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang-undang (Syarat
Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur di dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal
ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik
bagi negara maupun warganya.
c) Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
d) Pemungutan Pajak Harus Efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus lebih dari
hasil pemungutannya.
e) Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana
45

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan


mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

Menurut Mardiasmo (2018: 6-8) sesuatu dapat dikenakan pajak

apabila salah satu syarat mutlaknya dapat terpenuhi, yaitu objek pajak yang

dapat dirasakan oleh wajib pajak ketika memiliki objek pajak tersebut.

Objek pajak sering disebut dengan taatbestand (keadaan secara nyata),

dimana kewajiban membayar pajak dapat terjadi ketika telah sesuai dengan

taatbestand. Sedangkan, dalam pemungutan pajak daerah terdapat dua

istilah yang selalu digunakan, yaitu subjek pajak dan wajib pajak. Kedua

istilah ini sering disamakan pengertiannya namun, kedua istilah ini memiliki

pengertian yang berbeda satu sama lain.

Menurut Siahaan (2009: 79) subjek pajak ialah orang pribadi atau
badan yang dapat dikenakan pajak daerah. Sehingga, siapapun baik orang
secara pribadi maupun badan atau organisasi yang telah memenuhi
syarat secara objektif sesuai dengan peraturan daerah yang mengatur
tentang pajak daerah akan menjadi subjek pajak. Sedangkan, wajib pajak
ialah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan
pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong
pajak tertentu. Dengan demikian, suatu badan maupun orang pribadi
dinyatakan sebagai wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku di
daerah masing-masing.

Adapun teori-teori yang mendukung pemungutan pajak menurut

Mardiasmo (2018: 5), yaitu:

1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak
rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat harus membayar pajak yang
46

diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh


jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada
kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang.
Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin
tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang.
Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu:
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan
yang dimiliki oleh seseorang.
b. Unsur subjektif, dengan memerhatikan besarnya kebutuhan materiil
yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat
dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat
harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai
suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan
menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian,
kepentingan seluruh masayarakat lebih diutamakan.

Pajak memiliki asas sebagai dasar untuk memungut pajak,

menurut Mardiasmo (2018: 9) asas pemungutan pajak, yaitu:

a) Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)


Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang
47

berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk
Wajib Pajak dalam negeri.
b) Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
c) Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

Pajak juga memiliki kedudukan hukum, menurut Mardiasmo

(2018:6) kedudukan hukum pajak berada diantara hukum-hukum sebagai

berikut:

1. Hukum perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan


individu lainnya.
2. Hukum publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Tata Usaha
c. Hukum Pajak
d. Hukum Pidana

Menurut Mardiasmo (2018:7) hukum pajak yang mengatur

hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat

sebagai wajib pajak terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan


keadaan perbuatan, antara lain peristiwa hukum yang dikenai pajak
(objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa
besar pajak yang dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu tentang
timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum anatara
48

pemerintah dengan Wajib Pajak. Contoh: Undang-Undang Pajak


Penghasilan
2) Hukum pajak formil, memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak
materiil). hukum ini memuat, antara lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang
pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para
Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang
menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan /
pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan
keberatan dan banding. Contohnya: Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.

Berdasarkan pengertian diatas, pajak memiliki asas yang dapat

menunjang pemungutan pajak serta memiliki teori-teori yang dapat

digunakan dalam rangka memungut pajak kepada Wajib Pajak atas objek

pajak yang dimiliki dan dapat dirasakan maupun dinikmati oleh Wajib Pajak.

Hal ini yang menyebabkan pemungutan pajak wajib disertai dengan

regulasi yang dapat menegaskan peraturan yang berlaku bagi Wajib Pajak

dalam membayar pajak atas objek pajak yang dimilikinya.

Pajak Daerah merupakan salah satu bagian dari pajak, dimana

pajak daerah merupakan salah satu rangkaian dari pelaksanaan otonomi

daerah terkai dengan pengelolaan kekayaan daerah maupun pendapatan

daerah itu sendiri. Pajak daerah itu sendiri terbagi atas 2 (Dua) bagian

menurut Mardiasmo (2018: 15), yaitu:

1. Pajak Provinsi, terdiri dari:


49

a. Pajak Kendaraan Bermotor


b. Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan
e. Pajak Pokok
2. Pajak Kabupaten / Kota, terdiri dari:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Khusus daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak

terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibu

Kota Jakarta, jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari

pajak untuk daerah provinsi dan pajak untuk daerah kabupaten/kota

(Mardiasmo, 2018: 15). Berdasarkan dengan latar belakang penelitian,

salah satu pajak daerah yang memiliki tarif pajak daerah terbesar ialah tarif

pajak hiburan. Dalam pemungutan Pajak Hiburan memiliki beberapa

terminologi, menurut Siahaan (2016: 354) terminologi tersebut, yaitu:


50

1. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, dan


atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
2. Penyelenggaraan hiburan adalah orang pribadi atau badan yang
bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama
pihak lain yang menjadi tanggungannya dalam menyelenggarkan
suatu hiburan.
3. Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri
suatu hiburan untuk melihat dan atau mendengar atau menikmatinya
atau menggunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara
hiburan,kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain), dan
petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan.
4. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima
dalam bentuk apapundalam bentuk harga pengganti yang diminta
atau seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukar atas
pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas
penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama
apapun juga yang dilakukan oleh wajib pajak yang berkaitan
langsung dengan penyelenggaraan hiburan. Termasuk dalam
pengertian pembayaran adalah jumlah yang diterima, termasuk yang
akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara
tunai.
5. Tanda masuk adalah semua tanda atau alat atau cara yang sah
dengan nama dan dalam bentuk apaun yang dapat digunakan untuk
menonton, menggunakan fasilitas, atau menikmati hiburan. Tanda
atau alat atau cara yang sah adalah berupan tanda masuk yang
dilegalisasi oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota.
Termasuk tanda masuk disini adalah tanda masuk dalam bentuk dan
dengan nama apapun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu
langganan, kartu anggota (membership), dan sejenisnya.
6. Harga tanda masuk, yang selanjutnya disingkat HTM, adalah nilai
uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh
penonton atau pengunjung.

Menurut Siahaan (2016: 376) hasil penerimaan Pajak Hiburan

merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan suluruhnya ke kas

daerah kabupaten/kota. Pajak Hiburan yang dipungut oleh pemerintah kota

sebagian dari penerimaan pandapatan pajaknya diberikan kepada desa


51

yang berada dalam wilayah tempat Pajak Hiburan itu di pungut. Pajak

Hiburan adalah pajak yang dikenakan atas semua hiburan dengan

memungut bayaran, yang diselenggarakan pada suatu daerah (Nasution,

1989:512). Pengertian dari hiburan itu sendiri menurut Soelarno (1996:25)

adalah sesuatu yang sifatnya dapat menyenangkan dari pribadi yang

menikmati atau mengkonsumsinya.

Pajak hiburan memiliki objeknnya tersendiri, dimana Objek Pajak

Hiburan menurut Siahaan (2016: 356-357) ialah jasa penyelenggaraan

hiburan dengan dipungut bayaran. Objek Pajak Hiburan atas jasa

penyelenggaraannya menurut Siahaan (2016: 356), yaitu:

a. Tontonan film
b. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan atau busana
c. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya
d. Pameran
e. Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya
f. Sirkus, akrobat, dan sulap
g. Permainan bilyar, golf, dan boling
h. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan
i. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness
center)
j. Pertandingan olahraga

Namun, tidak semua penyelenggaraan hiburan merupakan objek

Pajak Hiburan. Karena objek Pajak Hiburan ditentukan oleh peraturan

daerah di masing-masing daerah. Objek Pajak Hiburan yang menjadi

pengecualian seperti pernikahan, upacara adat, dan kegiatan keagamaan

yang tidak dipungut biaya oleh penyelenggara hiburan tersebut. Tarif Pajak

Hiburan itu sendiri memiliki dasar pengenaan terhadapnya, dimana dasar


52

pengenaan Pajak Hiburan menurut Siahaan (2016: 358) ialah jumlah uang

yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.

Dimana, tarif pajak terbesar terdapat tiga jenis dalam Pajak Hiburan, yaitu:

a) Tarif pajak untuk diskotik, bar, dan pub ditetapkan sebesar 30%

b) Tarif pajak untuk karaoke, musik hidup, ruang musik, balai gita,

dan sejenisnya ditetapkan sebesar 30%

c) Tarif pajak untuk klub malam ditetapkan sebesar 30%

Pendapatan Pajak Hiburan merupakan salah satu sumber

Pandapatan Asli Daerah yang memiliki peran penting dalam menunjang

pendapatan asli daerah. Hal ini dikarenakan, tarif Pajak Hiburan merupakan

tarif pajak tertinggi dalam pendapatan pajak daerah yang merupakan salah

satu sumber Pendapatan Asli Daerah. Dalam pemungutan pendapatan

Pajak Hiburan, terdapat sistem perhitungan dalam menentukan besaran

nilai dalam memungut suatu Pajak Hiburan. Menurut Siahaan (2016: 361),

besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara

mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum

perhitungan Pajak Hiburan adalah sesuai dengan rumus berikut:

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

Tarif Pajak x Jumlah Uang yang Diterima atau yang

Seharusnya Diterima Oleh Penyelenggara Hiburan


53

Pajak Hiburan memiliki masa pajak yang jangka waktunya sama

seperti satu bulan takwin sesuai dengan keputusan dari bupati/walikota

yang telah ditetapkan. Masa pajak merupakan suatu bagian dari bulan

dihitung dalam satu bulan penuh. Menurut Siahaan (2016: 362) pajak yang

terutang merupakan Pajak Hiburan yang harus dibayar oleh wajib pajak

pada suatu saat, dalam masa pajak, atau dalam tahun pajak menurut

ketentuan peraturan daerah tentang Pajak Hiburan yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah kabupaten/kota setempat. Pajak Hiburan yang terutang

dapat dipungut didalam wilayah kabupaten/kota tempat

diselenggarakannya hiburan tersebut.

Menurut Mardiasmo, (2018: 17) Wajib Pajak Hiburan wajib

melaporkan usahanya kepada Badan Pendapatan Daerah dalam jangka

waktu tertentu, contohnya melaporkannya paling lambat tiga puluh hari

setelah izin untuk penyelenggaraan hiburan telah didapat, kemudian

dikukuhkan serta mendapat Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).

Data wajib pajak dapat diperoleh dengan melaksanakan pendaftaran dan

pendataan terlebih dahulu terhadap wajib pajak. Pendaftaran dan

pendataan merupakan kegiatan yang diawali dengan mempersiapkan

dokumen yang dibutuhkan, seperti formulir pendaftaran dan pendataan

yang kemudian diberikan kepada wajib pajak. Setelah dokumen diberikan,

wajib pajak wajib mengisi formulir dengan jelas dan lengkap. Selanjutnya,

petugas pajak memncatat kembali formulir itu yang selanjutnya diberikan

kembali kepada wajib pajak dalam Daftar Induk Wajib Pajak sesuai dengan
54

nomor urut yang digunakan sebagai dasar dalam menerbitkan Nomor

Pokok Wajib Pajak Daerah.

Wajib pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah

wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah setiap awal masa pajak.

SPTPD merupakan singkatan dari Surat Pemberitahuan Pajak Daerah,

dimana Surat Pemberitahuan Pajak Daerah wajib diisi secara jelas, benar,

dan lengkapserta ditanda tangani oleh wajib pajak maupun kuasanya yang

disampaikan kepada walikota / bupati atau pejabat yang telah ditunjukkan

sasuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Surat Pemberitahuan

Pajak Daerah wajib disampaikan paling lambat lima belas hari setelah

masa pajak berakhir, dimana seluruh data perpajakan dimasukkan kedalam

berkas atau kartu data yang merupakan hasil akhir yang dapat dijadikan

sebagai dasar dalam menghitung serta menetapkan pajak yang terutang.

Dokumen serta keterangan wajib dimasukkan maupun dilampirkan dalam

Surat Pemberitahuan Pajak Daerah sesuai dengan yang telah ditetapkan

oleh bupati / walikota.

Pemungutan Pajak Hiburan menurut Siahaan (2016: 364) tidak


dapat diborong. Artinya, seluruh proses dalam kegiatan pemungutan Pajak
Hiburan hanya dapat dilakukan oleh sendiri tanda diserahkan kepada pihak
ketiga. Namun, kerjasama dengan pihak ketiga dimungkinkan ada dalam
proses pemungutan Pajak Hiburan, seperti mencetak formulir perpajakan,
mengirimkan surat kepada wajib pajak serta penghimpunan dalam pajak
berupa data objek dan subjek pajak.
Menurut Siahaan (2016: 365) pada dasarnya sistem pemungutan

Pajak Hiburan merupakan sistem self assesment, dimana wajib pajak

diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan,


55

membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Namun, beberapa

daerah penetapan pajaknya tidak sepenuhnya diserahkan oleh wajib pajak

melainkan ditetapkan oleh kepala daerah. Sedangkan menurut Mardiasmo

(2018:9) sistem pemungutan pajak ada tiga, yaitu:

a. Official Assessment System


Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besrnya pajak terutang ada pada
fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri.
2) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. Withholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memeri wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak. Ciri-cirnya: wewenang memotong atau memungut
pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, yaitu pihak selain fiskus
dan Wajib Pajak.
56

Wajib pajak yang ditetapkan pajaknya oleh kepala daerah wajib

menerbitkan SKPD terhadap jumlah pajak terutang. SKPD merupakan

singkatan Surat Ketetapan Pajak Daerah, dimana wajib pajak wajib

melunasinya dalam waktu tiga puluh hari paling lambat setelah diterima

Surat Ketetapan Pajak Daerah oleh wajib pajak atau jangka waktu lain

sesuai yang telah ditetapkan oleh bupati / walikota. Apabila jangka waktu

pembayaran telah lewat maka, wajib pajak akan dikenakan sanksi

administrasi seperti bunga sebesar dua persen dalam sebulan serta

mendapatkan penangihan berupa penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah.

Pemungutan pajak daerah memiliki kekurangan yang disebabkan oleh

banyaknya hambatan dalam memungut pajak, seperti yang dimaksud oleh

Mardiasmo (2018: 4) bahwa hambatan pajak terdapat dua

pengelompokkan, yaitu:

1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang dapat disebabkan
oleh:
a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami oleh
masyarakat.
c) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan
baik.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Betuknya antara lain:
a) Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
57

b) Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara


melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).

Berdasarkan dengan pemaparan mengenai Pajak Hiburan serta

proses pemungutan dan hambatan yang dapat dirasakan oleh Wajib Pajak

diatas, peneliti dapat mengetahui bahwa segala sesuatu kegiatan maupun

acara yang diselenggarakan dengan tujuan menghibur khalayak yang

menontonnya dan dipungut biaya dalam menyaksikan acara tersebut dapat

dikenakan Pajak Hiburan. Sedangkan kegiatan maupun acara yang tidak

dipungut biaya sedikitpun tidak dapat dikenakan Pajak Hiburan walaupun

kegiatan tersebut memiliki tujuan untuk menghibur penontonnya.

2.1.3 Konsep Pengelolaan

Nugroho (2003:119) mengemukakan bahwa pengelolaan

merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu manajemen. Secara etimologi

istilah pengelolaan berasal dari kata “kelola” (to manage) dan biasanya

merujuk pada proses mengurus atau menangani sesuatu untuk mencapai

tujuan tertentu. Sedangkan Terry (2009:9) mengemukakan bahwa

pengelolaan sama dengan manajemen sehingga pengelolahan dipahami

sebagai suatu proses membeda-bedakan atas perencanaan,

pegorganisasian, penggerakan dan pengawasan denganmemanfaatkan

baik 14 ilmu maupun seni agar dapat menyelesaikan tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya. Dalam pengelolaan terdapat beberapa langkah di


58

dalamnya, menurut Afifidin (2010:3) langkah-langkah tersebut memiliki

tujuan sebagai berikut:

1. Menentukan strategi
2. Menentukan sarana dan batasan tanggung jawab
3. Menentukan target yang mencakup kriteria hasil, kualitas, dan
batasan waktu
4. Menenrukan pengukuran pengoperasian tugas dan rencana
5. Menentukan standar kierja yang mencakup efektifitas dan efesiensi
6. Menentukan ukuran untuk dimulai
7. Mengadakan pertemuan
8. Pelaksanaan
9. Mengadaan penilaian
10. Mengadakan review secara berkala
11. Pelaksanaan tahap berikutnya, berlangsung secara berulang-ulang

2.1.4 Konsep Organisasi Pemerintah Daerah

Organisasi menurut Simangunsong (2014:80) merupakan salah

satu kebutuhan pokok rohani masyarakat. Sedangkan menurut Robbins

(1990) (dalam Simangunsong, 2014:81) definisi organisasi dikelompokkan

sebagai berikut:

1) Sebagai sebuah entitas rasional


2) Sebagai persekutuan dari sejumlah pendukung yang berkualitas
3) Sebagai sebuah sistem terbuka
4) Sebagai sistem yang menghasilkan kebermaknaan
5) Sebagai sebuah sistem dengan rangkaian yang longgar
6) Sebagai sebuah sistem politik
7) Sebagai alat untuk mendominasi
8) Sebagai unit pengolah informasi
9) Sebagai penjara batiniah
10) Sebagai kontrak sosial

Menurut Simangunsong (2014:81) organisasi juga merupakan

wadah dan sekaligus sistem kerja sama sekelompok orang yang mencapai

tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Definisi diatas juga


59

sesuai dengan pandangan Joiner (1994:25) (dalam Simangunsong,

2014:81) yang mengatakan bahwa organisasi adalah sebuah sistem.

Organisasi juga merupakan sistem yang bersifat self renewing system yang

artinya organisasi merupakan sistem dengan mekanisme memperbaiki

dirinya sendiri secara terus-menerus (Simangunsong, 2014:81). Organisasi

pemerintah menggunakan mekanisme memperbaiki dirinya sendiri secara

terus menerus berjalan sangat lamban bahkan terhenti (Simangunsong,

2014:81). Hal ini dapat menyebabkan bentuk dari organisasi pemerintah

akan terlihat jetinggalan jaman, penyebab hal ini terjadi dikarenakan

organisasi pemerintah yang kegiatannya bersifat monopolistik sehingga,

kompetensi juga ditiadakan. Karena tanpa adanya kompetisi maka,

efesiensi tidak akan tercipta serta membuat organisasi menjadi statis.

Berdasarkan organisasi pemerintah, Alfred Kuhn (1976) (dalam

Simangunsong) mengemukakan adanya enam asumsi yang dapat

digunakan untuk memahami, yaitu:

1. Pemerintah adalah organisasi formal yang kompleks


2. Pemerintah melingkupi seluruh masyarakat
3. Pemerintah secara potensial mempunyai ruang lingkup yang tidak
terbatas dalam menentukan perihal keputusan dan pengaruh yang
ditimbulkannya
4. Afiliasi keanggotaan oleh indvidu (warga negara) diakui secara
otomatis melalui kelahiran dan diakhiri karena kematian
5. Pemerintah menjalankan momopoli dalam penggunaan kekuasaan
atau delegasi atasnya
6. Terdapat banyak pendukung pemerintah yang mempunyai tujuan
bertentangan sehingga harus dipenuhi oleh kegiatan pemerintah
dan memberikan setiap kepentingan yang berbeda dengan cara
pemecahan yang berbeda pula, apabila berbagai konflik tidak dapat
diatasi melalui komunikasi dan transaksi
60

Organisasi Perangkat Daerah merupakan lembaga maupun

organisasi dalam Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada

Kepala Daerah dalam rangka melaksanakan kegiatan pemerintah di

daerah. Menurut Simangunsong (2014:84) karakteristik organisasi

pemerintah daerah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Diberi peluang untuk menyusun organisasi sesuai dengan


kebutuhan dan kemampuan Daerah masing-masing
2) Ada kaitan langsung antara visi dan misi dengan bentuk serta
susunan organisasi
3) Diarahkan untuk memiliki ukuran kinerja yang jelas dan terukur
4) Fungsi utamanya adalah memberi pelayanan kepada masyarakat
sehingga unsur pelaksana
5) Orientasi mulai bergeser dari struktural ke arah fungsional, dari basis
kewenangan kepada basis kompetensi
6) Sistem hierarki menjadi lebih longgar, rentang kendala menjadi tidak
beraturan, sehingga pengembangan karir PNS secara struktural
menjadi tidak pasti

2.2 Tinjauan Legalistik

2.2.1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang tidak digunakan lagi sebagai pedoman

dalam melaksanakan kegiatan dalam Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

berisikan tentang struktur pemerintahan serta tata cara dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah.


61

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 1 Ayat (2) adalah “ Pemerintahan Daerah

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah

dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.” Sesuai dengan Undang-Undang diatas, dalam

penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan yang erat antara

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam penyerahan

wewenang terhadap pengelolaan keuangan di daerah. Sebagaimana yang

terdapat di dalam pasal 279, yaitu:

(1) Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah


untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Daerah.
(2) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan
retribusi daerah;
b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk
Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang; dan
d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif
(fiskal).
(3) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai dengan pendanaan sesuai dengan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas Pembantuan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) diatur dengan undang- undang.
62

Berdasarkan dengan isi pasal 279, dalam urusan keuangan di

daerah harus mengikuti pedoman dalam mengelola keuangan daerah

tersebut sesuai dengan yang tertera di dalam pasal 279. Hal ini

dikarenakan dalam pengelolaan keuangan di daerah memerlukan

hubungan yang saling terkait antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Daerah terhadap penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah sesuai dengan pembagian daerah otonom. Dimana,

daerah otonom merupakan daerah yang memiliki wewenang dalam hal

mengatur sendiri urusan rumah tangganya maupun mengelola pendapatan

asli daerah masing-masing, namun pengelolaannya harus sesuai dengan

sistem pengelolaan yang telah di atur di dalam suatu regulasi yang

digunakan oleh Pemerintah Pusat juga.

Pengertian otonomi daerah terdapat di dalam pasal 1 ayat (6)

bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia”. Salah satu penyelengaraan otonomi daerah ialah

pengelolaan atas sumber pendapatan asli daerah, dimana pajak daerah

merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah sesuai dengan yang

terdapat di dalam pasal 285 ayat (1) yaitu:

Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:

a. pendapatan asli Daerah meliputi:

1. pajak daerah;
63

2. retribusi daerah;

3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang

dipisahkan; dan

4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah;

b. pendapatan transfer; dan

c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah

2.2.2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah

Dan Retribusi Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 1 Agka 10 yaitu:

“Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib


kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan dengan isi Undang-Undang diatas, pajak daerah

merupakan kewajiban bagi seseorang secara pribadi maupun badan

dalam membayar sesuatu yang telah dikenakan pajak oleh daerah serta

bersifat memaksa. Hal ini dikarenakan hasil pendapatan pajak daerah

dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan

penyelenggaraan terhadap pemerintah daerah. Penyelenggaraan ini

dilakukan semata-mata untuk mensejahterahkan masyarakat yang berada


64

di daerah tersebut. Pajak Daerah terbagi atas dua jenis menurut Pasal 2,

yaitu:

(1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:


a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Berdasarkan dengan isi Pasal 2, salah satu contoh jenis pajak

daerah dalam Kabupaten/Kota ialah pajak hiburan, dimana pengertian dari

pajak hiburan menurut Pasal 1 Angka 4 ialah “Pajak Hiburan adalah pajak

atas penyelenggaraan hiburan”. Pengertian dari hiburan itu sendiri

terdapat dalam Pasal 1 Angka 25 ialah “Hiburan adalah semua jenis

tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati

dengan dipungut bayaran”.

Pajak Hiburan memiliki peraturan dalam menetapkan suatu

kegiatan yang dikenai pajak dalam penyelenggaraannya. Hiburan memiliki

berbagai macam jenis kegiatan yang dapat dikenakan Pajak Hiburan,

sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 2 Ayat (2) yaitu:


65

Hiburan sebagaimana dimaksud adalah:


a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center);
dan
j. . pertandingan olahraga.

Pajak Hiburan memiliki objek pajak, subyek pajak serta wajib pajak.

Objek Pajak Hiburan seperti yang terdapat di dalam Pasal 42 Ayat (1) ialah

jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran, subyek Pajak

Hiburan menurut Pasal 43 Ayat (2) ialah orang pribadi atau badan yang

menikmati Hiburan, sedangkan wajib pajak menurut Pasal 43 Ayat (3) ialah

orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan Hiburan.

Dasar pengenaan Pajak Hiburan menurut Pasal 44 , yaitu:

(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima

atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.

(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan

kepada penerima jasa Hiburan

Selain dasar pengenaan Pajak Hiburan, terdapat juga Tarif Pajak

Hiburan yang digunakan terdapat dalam Pasal 45, yaitu:

(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh
lima persen).
(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan,
diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan
66

mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar
75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak
Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Undang-Undang ini juga terdapat tata cara pemugutan pajak, menurut

Pasal 96 sampai dengan Pasal 99, yaitu:

Pasal 96
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan
surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan
penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berupa karcis dan nota perhitungan.
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar
dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atauSKPDKBT.

Pasal 97

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,
Kepala Daerah dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
(1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak ataukurang dibayar;
(2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka
waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
(3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang
dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkanpenambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
67

(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan sebesar 100%(seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
pajak.

Pasal 98

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut


berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak dan ketentuan lainnya berkaitandengan pemungutan Pajak diatur
dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 99

(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan,
SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96
ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian
SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan
SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

Selain tata cara pemungutan, Undang-Undang ini juga berisikan tata

cara pembayaran dan penagihan pajak pada Pasal 101 dan Pasal 102,

yaitu:

Pasal 101

(1) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan


penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
68

setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggalditerimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan
dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib
Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran,
tempatpembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur
dengan PeraturanKepala Daerah.

Pasal 102

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,


STPD, Surat Keputusan Pembetulan, SuratKeputusan Keberatan, dan
Putusan Banding yangtidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan
peraturanperundang-undangan.

2.2.3 Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010

Tentang Pajak Daerah Kota Makassar

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010 tentang

Pajak Daerah Kota Makassar merupakan peraturan yang dibuat sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah

sebagai pedoman bagi pemerintah daerah Kota Makassar dalam

melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah di Kota

Makassar. Sesuai dengan isi Pasal 1 Ayat (4) bahwa:

“Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib


kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
69

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi


sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan dengan pasal diatas, pejak daerah juga terbagi akan

beberapa jenis pajak di dalamnya. Sesuai dengan isi Pasal 2 yaitu:

Jenis Pajak terdiri dari :


a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Salah satu jenis pajak daerah ialah Pajak Hiburan, menurut

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pajak

Daerah Kota Makassar Pasal 1 Angka 11 bahwa Pajak Hiburan adalah

Pajak atas penyelenggaraan hiburan. Dimana pengertian hiburan menurut

Pasal 1 Angka 12 ialah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan

dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Sedangkan

tempat hiburan menurut Pasal 1 Angka 13 bahwa Tempat Hiburan adalah

persil atau bagian persil baik terbuka maupun tertutup yang digunakan

untuk menyelenggarakan hiburan. Pajak Hiburan dalam Pasal 18 Yaitu:

(1) Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas penyelenggaraan


hiburan.
(2) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan
dipungut bayaran.
70

(3) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :


a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf dan bowling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness
center); dan
j. pertandingan olahraga.
(4) Penyelenggaraan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikecualikan terhadap kegiatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan lembaga sosial yang tidak untuk kepentingan
komersil.

Pembagian dalam Tarif Pajak Hiburan terdapat dalam Pasal 21


yaitu:

(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan,
diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan
mandi uap/spa, sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional sebesar 10% (sepuluh
persen).

Peraturan Daerah ini juga membahas tentang tata cara

pemungutan pajak pada Pasal 82 sampai dengan 86, yaitu:

Pasal 82
1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
2) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah
adalah:
a. Pajak Reklame;
b. Pajak Air Tanah;
c. PBB Perdesaan dan Perkotaan;
3) Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Penerangan Jalan;
71

e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;


f. Pajak Parkir;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pasal 83

1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan


penetapan Walikota dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan.
2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa karcis dan nota perhitungan.
3) Tata cara penetapan pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota

Pasal 84

1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar


dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/ atau SKPDKBT.
2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas,
benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
3) Wajib Pajak BPHTB wajib mengisi SSPD.
4) Dokumen SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi
sebagai SPTPD.
5) Bentuk, isi, dan tatacara pengisian SSPD dan SPTPD diatur dengan
Peraturan Walikota.

Pasal 85

1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak


Walikota dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2) Jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam
jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
surat teguran;
3) Jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang
terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula
belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak
yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi
72

administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari


pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persensebulan
dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
pajak.

Pasal 86

1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang


dipersamakanSPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud
dalam pasal 85 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Walikota
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian
SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan
SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) dan ayat (5)
diatur Peraturan Walikota.

2.2.4 Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Makassar

Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah Kota Makassar

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2012 ini

merupakan peraturan yang dibuat untuk merevisi beberapa pasal yang ada

di Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pajak

Daerah Kota Makassar. Salah satu perubahan dalam pasal di dalamnya

ialah perubahan Pasal 21 tentang Tarif Pajak Hiburan yaitu:


73

a. Pertunjukkan film/bioskop deitetapkan sebesar 15% (lima belas


persen);
b. Pergelaran kesenian, musik dan tari modern dikenakan pajak sebesar
35% (tiga puluh lima persen);
c. Pergelaran kesenian, musik dan tari tradisional sebesar 5% (lima
persen);
d. Pameran sebesar 20% (dua puluh persen);
e. Diskotik, karaoke, dan klub malam sebesar 50% (lima puluh persen);
f. Pub sebesar 35% (tiga puluh lima persen);
g. Sirkus, akrobat dan sulap sebesar 10% (sepuluh persen);
h. Permainan bilyard, bowling dan golf sebesar 35% (tiga puluh lima
persen);
i. Pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan
dewasa sebesar 20% (dua puluh persen);
j. Panti pijat, mandi uap/spa sebesar 50% (lima puluh persen);
k. Pertandingan olahraga termasuk kontes bina raga sebesar 15% (lima
belas persen);
l. Kontes kecantikan dan peragaan busana dikenakan pajak sebesar
30% (tiga puluh persen);
m. Ketangkasan anak sebesar 15% (lima belas persen);
n. Karaoke keluarga sebesar 35% (tiga puluh lima persen);
o. Refleksi kesehatan dan pusat kebugaran (fitness center) sebesar 35%
(tiga puluh lima persen).

2.2.5 Peraturan Walikota Makassar Nomor 110 Tahun 2016 Tentang

Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta

Tata Kerja Badan Pendapatan Daerah

Badan Pendapatan Daerah merupakan badan yang memiliki fungsi

sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) bahwa Badan Pendapatan Daerah

melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan bidang keuangan

yang menjadi kewenangan Daerah. Badan Pendapatan Daerah di kota

Makassar meiliki tugas dan fungsi sesuai dengan Pasal 4 yaitu:


74

(1) Badan Pendapatan Daerah mempunyai tugas membantu walikota


melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan bidang
keuangan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Badan Pendapatan Daerah dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
bidang keuangan;
b. pelaksanaan kebijakan Urusan Pemerintahan bidang keuangan;
c. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan Urusan Pemerintahan bidang
keuangan;
d. pelaksanaan administrasi badan Urusan Pemerintahan bidang
keuangan;
e. pembinaan, pengoordinasian, pengelolaan, pengendalian, dan
pengawasan program dan kegiatan bidang keuangan;
f. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh walikota terkait dengan
tugas dan fungsinya.
(3) Berdasarkan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), Badan Pendapatan Daerahmempunyai uraian
tugas :
a. merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang Pendapatan
Daerah;
b. merumuskan dan melaksanakan visi dan misi badan;
c. merumuskan dan mengendalikan pelaksanaan program dan
kegiatan Sekretariat dan Bidang Pendaftaran dan Pendataan,
Bidang Pajak I dan Retribusi Daerah, Bidang Pajak Daerah II dan
Bidang Koordinasi, Pengawasan dan Perencanaan;
d. merumuskan Rencana Strategis (RENSTRA) dan Rencana Kerja
(RENJA), Indikator Kinerja Utama (IKU), Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA)/RKPA, Dokumen Pelaksanaan Anggaran
(DPA)/DPPA dan Perjanjian Kinerja (PK) badan;
e. mengoordinasikan dan mermuskan bahan penyiapan penyusunan
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dan Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)/Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) Kota dan segala bentuk pelaporan
lainnya sesuai bidang tugasnya;
f. merumuskan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP)/Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
badan;
g. merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar
Pelayanan (SP) badan;
h. mengkoordinasikan pembinaan dan pengembangan kapasitas
organisasi dan tata laksana;
i. menyelenggarakan pembinaan, pemeriksaan, pengawasan,
pengendalian, dan penindakan terhadap pengelolaan pendapatan
daerah yang bersumber dari pemungutan pajak daerah, retribusi
75

daerah, deviden Badan Usaha Milik Daerah dan penerimaan daerah


lainnya;
j. menyelenggarakan pelayanan administrasi pengelolaan dan
pemungutan Pajak Hotel, Pajak Hiburan, Pajak Restoran, Pajak
Parkir, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan dan Pengolahan Mineral Bukan Logam, Pajak Air
Bawah Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi Dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan, serta Pajak/
Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah lainnya.
k. melaksanakan perencanaan dan pengendalian teknis operasional
pengelolaan keuangan, kepegawaian dan pengurusan barang milik
Daerah yang berada dalam penguasaannya;
l. melaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah Provinsi ke
pemerintah Kota sesuai dengan bidang tugasnya;
m. mengevaluasi pelaksanaan tugas dan menginventarisasi
permasalahan di lingkup tugasnya serta mencari alternatif
pemecahannya;
n. mempelajari, memahami dan melaksanakan peraturan
perundangundangan yang berkaitan dengan lingkup tugasnya
sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas;
o. memberikan saran dan pertimbangan teknis kepada pimpinan;
p. melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait lainnya sesuai
dengan lingkup tugasnya;
q. membina, membagi tugas, memberi petunjuk, menilai dan
mengevaluasi hasil kerja bawahan agar pelaksanaan tugas dapat
berjalan lancar sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
r. melaksanakan pembinaan jabatan fungsional;
s. melaksanakan pembinaan unit pelaksana teknis;
t. menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada walikota
melalui sekretaris Daerah;
u. melaksanakan tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh
walikota.

Dalam pelaksanaan magang, peneliti telah membuat kerangka


pemikiran yang akan dijadikan sebagai patokan dalam mendukung peniliti
terhadap penelitian yang akan dilakukan dilapangan nanti. Sehingga,
peniliti dapat melaksanakan penelitian sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Dimana, peneliti menggunakan hipotesis kerja dengan teori
menurut Rummler dan Barche (1995) (dalam Sudarmanto, 2009: 7-8)
mengenai kinerja dalam hal menunjang penelitian yang menggunakan
konsep kinerja yang terbagi atas tiga bagian, yaitu kinerja organisasi,
kinerja proses dan kinerja individu/pekerjaan. Dalam penelitian ini peneliti
juga menggunakan kerangka pemikiran yang dapat dilihat pada gambar
dibawah ini
76

Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran

Landasan Yuridis
Landasan Yuridis Pusat:
Pemda:
1. UU No. 23 Tahun 1. Perda Kota
2014 Kinerja Badan Pendapatan Makassar No. 3
2. UU No. 28 Tahun Dearah Dalam Pengelolaan Tahun 2010
2. Perda Kota
2009 Pajak Hiburan Di Kota
Makassar No. 2
Makassar Provinsi Sulawesi Tahun 2010
Selatan 3. Perwali Kota
Makassar No. 110
Tahun 2014
i. P
Faktor Pendukung: Faktor Penghambat: e
KINERJA
1. TeknologiInforma 1. Dari Individu: r
Rummler dan Brache, 1995
si Canggih • Kebiasaan Lalai
1. Kinerja organisasi w
2. Sarana Prasarana Pegawai dan
2. Kinerja proses a
Umum Tersedia Masyarakat
3. Kinerja l
3. Jarak Badan • Ketidaktahuan
individu/pekerjaan
Strategis Masyarakat i
Terhadap Wajib
Pajak Hiburan K
Upaya Mengatasi Faktor 2. DariOrganisasi: o
Penghambat: • Tingginya Penarikan
t
Tarif Pajak Hiburan
Menghadapi Faktor Terhadap Pajak a
Penghambat Hiburan
• Pemasangan Alat M
Wajib Pajak Belum a
Mencapai Target k
• Kurangnya a
Sinergitas Antara
s
Badan Pendapatan
s
Daerah dengan
Layanan Perizinan a
Izin Usaha Hiburan r

N
Sumber: Metodologi Penelitian Pemerintahan Tahun 2016 o
.

1
1
0

T
a
h
u
n

Anda mungkin juga menyukai