Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa sulit untuk didefinisikan dengan
tepat. Orang-orang yang dapat melaksanakan peran mereka dalam masyarakat
dan yang perilakunya sesuai dan adaptif dipandang sebagai sehat. Sebaliknya,
mereka yang gagal untuk memenuhi peran dan melaksanakan tanggung jawab
atau yang perilakunya tidak pantas dipandang sebagai sakit. Budaya setiap
masyarakat sangat mempengaruhi nilai-nilai dan keyakinan, dan ini pada
gilirannya akan mempengaruhi bagaimana masyarakat mendefinisikan sehat
dan sakit (Videbeck, 2011).
Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,
tetapi juga merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh semua orang.
Kesehatan jiwa merupakan perasaan sehat dan bahagia serta mampu
mengatasi masalah kehidupan, dapat menerima orang lain apa adanya dan
mempunyai sikap dan pikiran positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
(Hawari, 2006)
Menurut World Health Organization (2015), masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat
serius, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah
mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
gangguan kesehatan jiwa.
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, terdapat 0,17 % penduduk
Indonesia yang mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrenia) atau secara
absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk Indonesia. Bila dilihat
menurut provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi ternyata
terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hasil Riskesdas tahun
2013 menunjukkan, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY
mengalami gangguan jiwa berat. Sedangkan di Provinsi Lampung terdapat
0,08 % penduduk mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrenia).

1
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa
berat atau dalam istilah medis disebut psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan
ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Di daerah pedesaan,
proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga
mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai 18,2 persen.
Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7 persen.
Gangguan jiwa atau skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis
yang serius dan terus-menerus. Hasilnya respon yang sangat dapat
mengganggu kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat (Stuart, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu dari sekelompok gangguan psikotik.
Gangguan psikotik lainnya termasuk gangguan schizophreniform,
gangguan schizoaffective, gangguan delusi, gangguan psikotik singkat,
gangguan psikotik bersama (folie adap reseptor-reseptor deux), gangguan
psikotik yang disebabkan oleh kondisi medis umum, dan gangguan psikotik
zat induksi (American Psychiatric Association, 2000). Psikosis kadang-
kadang hadir dalam gangguan lain, seperti depresi dengan ciri psikotik,
episode manik dari gangguan bipolar, gangguan stres pasca trauma, delirium,
dan gangguan mental organik. Sekitar 50% dari pasien dengan skizofrenia
memiliki penggunaan zat paling sering alkohol atau ganja (Schmidt et al,
2011).
Penyebab skizofrenia masih belum pasti. Kemungkinan besar tidak ada
faktor tunggal. Penyakit ini mungkin hasil dari kombinasi termasuk faktor
biologis, psikologis, dan lingkungan (Townsend, 2014).
Halusinasi merupakan salah satu gejala positif dari Skizofrenia.
Halusinasi adalah suatu bentuk persepsi atau pengalaman indera dimana tidak
terdapat stimulasi terhadap reseptor-reseptornya, halusinasi merupakan
persepsi sensori yang salah yang mungkin meliputi salah satu dari kelima
panca indera. Hal ini menunjukkan bahwa halusinasi dapat bermacam-macam
yang meliputi halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan
pengecapan (Townsend, 2009). Data yang biasa didapatkan pada pasien
halusinasi adalah klien mengatakan mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, melihat bayangan, sinar,

2
bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster, mencium bau-
bauan seperti bau darah, urin, feses, merasakan rasa seperti darah, urin atau
feses. Klien bicara sendiri, tertawa sendiri, mengarahkan telinga ke arah
tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas dan menunjuk-nunjuk ke
arah tertentu.
Menurut Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009) menjelaskan bahwa
70% klien Skizofrenia mengalami halusinasi dengar. Dari data yang
didapatkan di Ruang Cendrawasih ditemukan 60% klien mengatakan
mendengar suara-suara yang mengajak bercakap-cakap.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. J
dengan Halusinasi di Ruang Cendrawasih Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Lampung”.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif

yang meliputi biologis, psikologis, sosial dan spiritual pada pasien

halusinasi dengan pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan ujian praktek di ruang cendrawasih pada klien dengan

halusinasi penulis dapat:

a. Mampu menuliskan konsep dan asuhan keperawatan pada Tn.J

dengan masalah halusinasi dengan benar.

b. Mampu melakukan pengkajian Tn.J dengan halusinasi secara

komprehensif.

c. Mampu menuliskan analisa data hasil pengkajian pada Tn.J dengan

halusinasi dengan benar.

3
d. Mampu menuliskan diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.J

dengan halusinasi dengan tepat.

e. Mampu menuliskan rencana asuhan keperawatan sesuai dengan

diagnosa yang muncul pada Tn.J dengan halusinasi dengan benar.

f. Mampu melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada Tn.J dengan

benar.

g. Mampu membuat dokumentasi asuhan keperawatan pada Tn.J dengan

benar.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penulisan studi kasus ini hanya berfokus pada Tn.J
dengan masalah Halusinasi tanggal 27 Maret – 01 April 2017 di ruang
Cendrawasih Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

D. Manfaat
1. Bagi Penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada klien
dengan halusinasi.
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan
keperawatan pada klien dengan halusinasi.
c. Meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan halusinasi.

2. Bagi Profesi Perawat


Sebagai bahan masukan bagi perawat ruangan dalam memberikan
panduan pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi
sehingga klien mendapatkan penanganan tepat dan optimal.

4
3. Bagi Rumah Sakit
a. Klien lebih terkelola dengan baik
b. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
c. Dapat mengembangkan proses asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah utama Halusinasi
d. Sebagai masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek
pelayanan keperawatan khususnya pada pasien halusinasi.

E. Metode penulisan

Penulisan studi kasus ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan

pendekatan studi kasus. Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah:

wawancara, observasi, studi pustaka, studi dokumentasi.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan yang digunakan dalam pembuatan laporan

studi kasus ini meliputi:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang, tujuan, ruang lingkup,

manfaat, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Teori

Teori berisikan tentang konsep dasar halusinasi, konsep

asuhan keperawatan klien dengan halusinasi, dan

keperawatan keluarga pada klien dengan halusinasi.

BAB III : Tinjauan Kasus

Meliputi hasil asuhan keperawatan klien yang dirawat dan

disajikan sesuai dengan sistematika dokumentasi proses

keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa

5
keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan

keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

BAB IV : Pembahasan

Berisi ulasan naratif dari setiap tahapan keperawatan

mulai dari pengkajian sampai evaluasi yang dilakukan

dengan membandingkan antara konsep teori di BAB II dan

tinjauan kasus di BAB III.

BAB V : Penutup

Meliputi kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai