Anda di halaman 1dari 24

Emha Ainun Nadjib

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Emha Ainun Nadjib

Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun
(lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 59 tahun) adalah seorang tokoh
intelektual yang mengusung napas Islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15
bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern
Darussalam Gontor karena melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem
pondok yang kurang baik pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke
Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal
sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.

Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar
sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya
misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha.

Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing
Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di
Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas


yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi
ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan
komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara,
rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara
massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan
acara-acara bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan
di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan
kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar
kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali dan sudah
beralngsung lebih dari 10 tahun.

Di kota lain juga masih mempunyai agenda rutin bulanan seperti Mocopat Syafaat
Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan
Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, dan masih ada beberapa lain
yang bersifat tentative namun sering seperti di Bandung, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan
Bali.

Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas


nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir,
serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Teater
 2 Film
 3 Puisi/Buku
 4 Essai/Buku
 5 Penghargaan
 6 Pranala luar
 7 Referensi

[sunting] Teater

Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui
Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama.
Beberapa karyanya:

 Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),


 Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
 Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
 Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
 Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di
lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di
alun-alun madiun),
 Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
 Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
 Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan
melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda
Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
 Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di
Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
 Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang
menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas
Nabi yang bisa membenahinya (2012)

[sunting] Film

 RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi
[sunting] Puisi/Buku

Menerbitkan buku puisi:

 “M” Frustasi (1976),


 Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
 Sajak-Sajak Cinta (1978),
 Nyanyian Gelandangan (1982),
 102 Untuk Tuhanku (1983),
 Suluk Pesisiran (1989),
 Lautan Jilbab (1989),
 Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
 Cahaya Maha Cahaya (1991),
 Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
 Abacadabra (1994),
 Syair-syair Asmaul Husna (1994)

[sunting] Essai/Buku

Buku-buku esainya tak kurang dari 30 antara lain:

 Dari Pojok Sejarah (1985),


 Sastra Yang Membebaskan (1985)
 Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
 Markesot Bertutur (1993),
 Markesot Bertutur Lagi (1994),
 Opini Plesetan (1996),
 Gerakan Punakawan (1994),
 Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
 Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
 Slilit Sang Kiai (1991),
 Sudrun Gugat (1994),
 Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
 Bola- Bola Kultural (1996),
 Budaya Tanding (1995),
 Titik Nadir Demokrasi (1995),
 Tuhanpun Berpuasa (1996),
 Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
 Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
 Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
 Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
 Kiai Kocar Kacir (1998),
 Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
 Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
 Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
 Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
 Menelusuri Titik Keimanan (2001),
 Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
 Segitiga Cinta (2001),
 Kitab Ketentraman (2001),
 Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
 Tahajjud Cinta (2003),
 Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
 Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
 Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
 Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
 Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
 Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
 Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
 Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008,
Yogyakarta: Penerbit Progress)
 DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)

[sunting] Penghargaan
Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. [1]. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero
Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa
besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional
serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. [2]

[sunting] Pranala luar


 (Indonesia) Emha Ainun Nadjib Official Site
 (Indonesia) KiaiKanjeng Official Site
 (Indonesia) Jamaah Maiyah Indonesia
 (Indonesia) Jamaah Maiyah Jakarta
 (Indonesia) Jamaah Maiyah Surabaya

[sunting] Referensi
1. ^ ":: Menbudpar Sematkan Satyalencana Kebudayaan 2010 ::".
http://www.antaranews.com/berita/1300963597/menbudpar-sematkan-satyalencana-
kebudayaan-2010. Diakses pada 3 April 2011.
2. ^ ":: Menbudpar Sematkan Satyalencana Kebudayaan 2010 ::".
http://www.antaranews.com/berita/1300963597/menbudpar-sematkan-satyalencana-
kebudayaan-2010. Diakses pada 3 April 2011.
Biografi Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang seniman, budayawan,
intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa timur. Ia merangkum dan
memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Cak Nun
lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15
bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern
Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun
ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang
sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.

Biografi Emha Ainun Nadjib Cak Nun dari Biografi Web


Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar
sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya
misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti
lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa,
Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan
Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas


yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi
ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan
komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah
nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50
acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga
menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman
Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang
dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas
nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir,
serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke
berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar
gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan,
aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-
nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta
pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat
Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun
yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut
sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan
makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia
anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak
untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan
perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai
Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti
— yang berpangkalan di ntuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan
hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang
petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di
Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian
dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga
studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu
sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra
dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius
dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970).
Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976),
sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng
hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti
lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS
(1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte
III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Karya Seni Teater Cak Nun


Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker
kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar
serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang
pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik
Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982,
tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan
Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun).
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai
Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui
situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di
samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi:
“M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978);
Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan
Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek
Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985);
Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur
(1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994);
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit
Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola
Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa
(1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara
Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan
(1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang
Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001);
Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi
Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun”
(2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006,
kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni
2006).

Pluralisme
Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat
(bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di
hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat
tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar
syair, “Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah
salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah…”
Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai
dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-
shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman
agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid
Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial.
Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan
pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa
dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada
masalah dengan pluralisme.

“Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin
sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan
mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama.
Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa
disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan
intelektual itu.

Referensi:
http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/e/emha_ainun_nadjib/
http://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
Menghadirkan Realitas Ke Ruang Kontemplatif

Judul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki


Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Terbit : Juni, 2007

Siapa tidak mengenal Emha Ainun Nadjib. Lelaki ini terbilang produktif dalam menulis.
Tulisannya ada yang berupa puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu
berbagai persoalan dibedahnya, mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, sastra,
kebudayaan, kebangsaan, sampai agama. Itu pula yang dilakukannya lewat buku berjudul
Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki ini.

Di dalam kumpulan esai ini Emha mengungkapkan berbagai persoalan yang ada di dalam
masyarakat. Ia yakin begitu banyak masalah dalam masyarakat yang nyata-nyata menuntut
penyelesaian. Dalam pandangannya, jika persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari
berbagai pihak, keterpurukan dan krisis bangsa Indonesia tidak akan pernah berakhir.
Persoalan-persoalan itu bagi Emha bukan sekadar sebuah gejala, tetapi telah menjadi potret
buram yang terjadi dalam waktu lama. Buntutnya, diperlukan perubahan yang radikal agar
bangsa Indonesia bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik kritik Emha yang tertuang dalam
tulisannya.

Dalam kumpulan esai ini, Emha tampak mencoba menyodorkan realitas ke depan
pembacanya. Ia mencoba menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran
pembacanya. Tidak mengherankan jika pembaca sesekali akan berhenti membaca untuk
memberikan ruang kontemplasi, dan merenungkan apa yang sedang dibacanya. Hal ini
dilakukan misalnya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyan retorik. Di sinilah salah satu
kelebihan esai-esai yang ditulis oleh Emha.

Di samping itu, Emha kerap menggunakan idiom-idom yang diambil dari Al Quran sehingga
nafas Islami dari sejumah esainya dapat dirasakan. Menariknya, meskipun begitu, esai-esai
tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak menjadi tulisan-tulisan agama,
walaupun nilai-nilai religius tetap mengalir di dalamnya. Inilah yang membuat tulisan-tulisan
Emha tetap dapat “dinikmati” oleh berbagai kalangan, bahkan lintas pemeluk agama.

Ke akar masalah
Esai-esai Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang
tengah dibahas. Tetapi justru ia mengajak pembaca untuk secara perlahan menyelami akar
masalah dari persoalan yang ada. Di sini pembaca seakan diajak untuk melihat setiap
permasalah secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan,
bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya
(pluridimensional).

Hal di atas tampak misalnya ketika Emha berbicara soal terorisme yang memunculkan
stereotip di kalangan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini diceritakan
bagaimana Emha harus menjawab pertanyaan yang diajukan seputar terorisme dan pesantren.
Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pesantren, dengan nada menyejukkan Emha
mengungkapkan bahwa orang-orang dari pesantren adalah kaum yang termarjinalkan.
Lulusan pesantren sebagian besar menjadi kaum yang terlempar dari arus jaman. Lalu, yang
tidak diperhatikan oleh banyak kalangan, keterpinggiran tersebut disertai dendam di
punggung mereka dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ledakan api.

Harus diakui memang, tulisan-tulisan lelaki yang akrab dipanggil Cak Nun ini bukanlah
tulisan yang dapat seketika dipahami. Namun diperlukan kearifan, kecermatan serta ketelitian
dalam membacanya. Maklum saja, tulisan-tulisannya bukanlah berita sensasional tabloid
hiburan yang dapat dinikmati secara instan.

Menyerahkan kepada pembaca


Emha sendiri di dalam esai-esainya tidak mencoba menggurui. Ia juga tidak tiba-tiba menjadi
orang yang “maha tahu” dan mempunyai kapasitas untuk memberikan nilai pada sebuah
keadaan, melainkan mencoba membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Mengenai
penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan kepada pembaca.

Di dalam esai-esainya, Emha sering mengajak pembaca melihat realitas dengan cara tidak
langsung. Ia seringkali masuk ke dalam persoalan lewat peristiwa tertentu atau bahkan cerita
tertentu. Dari situ spektrumnya meluas dan menyusup ke hal-hal yang mendasar dan
substansial.

Ketika Emha memperbincangkan soal goyang Inul Daratista misalnya, ia tidak hanya
berhenti pada kontroversi goyang yang sempat menghebohkan itu, tetapi juga ia ingin
menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Hal ini,
menurut Emha, adalah disebabkan boleh latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran
masyrakat itu sendiri. Misalnya saja, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tetapi jika
dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal (Hal. 16).

Sebagai murid
Hal yang sama juga tampak saat Emha berbicara soal bencana Tsunami yang terjadi di tahun
2004 di Aceh. Di sini ia tidak melulu berbicara mengenai gempa secara teknis, tetapi ia justru
menelaah peristiwa tersebut dari sisi spritual yang reflektif dan kontemplatif.

Hal lain yang menarik dari kumpulan tulisan ini, Emha mengingatkan bahwa tulisannya
selalu bertolak pada tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bukan pada
“karir” kepenulisannya. Tidak mengherankan jika kemudian Emha acap kali memosisikan
diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisinya. Malah ia
menempatkan diri sebagai “murid” dari masyarakat atau umat. Keegaliteran inilah yang
membuat Emha selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.

Dalam buku yang tidak diberi pengantar, baik dari editor, penerbit maupun penulisnya sendiri
ini, esai-esai Emha dikelompokkan menjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang
banyak mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler yang menyoal ideologi negara dan
kepemimpinan, Santri Teror yang membahas masalah santri dan alam pikiran para santri,
Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk melihat berbagai kekacauan sikap budaya
dan kemunafikan, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum
marjinal, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang mencoba memaknai bencana yang melanda
Indonesia.

Sayangnya, tidak semua esai dalam buku ini menyebutkan sumber tulisannya. Akibatnya,
pembaca tidak pernah tahu konteks sesungguhnya dari tulisan-tulisan tersebut. Akan lebih
membantu sebenarnya jika pembaca tahu sumber tulisan tersebut, misalnya, apakah esai
tersebut pernah dimuat di sebuah harian, apakah esai tersebut merupakan makalah dalam
sebuah seminar, atau memang tulisan-tulisan yang belum sempat diterbitkan. Sumber
karangan, waktu ketika esai itu dibuat, dan konteks persoalan ketika esai itu dibuat, tentunya
akan membantu pembaca memahami gagasan-gagsan Emha dan maksud dari tulisan-
tulisannya.***
resensi BUKU
| Label: cara membuat blog. tinus blogger, contoh resensi buku, tinus-
narsis.blogspot.com, tulisanku | Posted on

dikutip dari http://ulas-buku.blogspot.com/

Catatan Perempuan Wartawan di Tengah Konflik Timtim

Judul: Timor Timur, Satu Menit Terakhir


Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman

Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik
secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal
yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah
konflik tersebut.

Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya
mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah
jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan
bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.

Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas
jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya
adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti
dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di
Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat
terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.

Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada
sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru
mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media
yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul
skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan
harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan
dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK
(Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).

Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang
tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak
pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-
kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat
ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur
Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.

Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional,
yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan.
Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan
begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di
wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa
sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial
Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan
sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.

Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan
fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum
milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau.
Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas
dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi,
dan satu orang wartawan.

Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami
ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga
Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan
bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang
moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.

Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia


seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia
merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di
wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.

Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani
Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung
menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media
juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya
wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.

Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan
Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu
memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini
bahkan menyulut protes dari Indonesia.

Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi
rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh
pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya,
aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan
Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia
tersebut.

Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien
memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir
dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili
Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan
devosi kepada Bunda Maria.

Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara
terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci
tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak
Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari
meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.

Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar
khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin
Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia
teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang
tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan
perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang
menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan
menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap
pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.

Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan
tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan
profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga
mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus in medio, keutamaan itu ada di
tengah.****
Diposkan oleh nigar pandrianto di
TUGAS RESENSi | Contoh resensi buku yang benar, | Contoh Tugas resensi buku
yang benar

IDENTITAS BUKU :

Judul Novel : tuilet

Pengarang : Oben Cedric

Penerbit : Gradien Mediatama

Tahun Terbit : 2009

Tempat Terbit : Yogyakarta

Tebal : 147 Halaman

POKOK-POKOK ISI BUKU :

Novel ini adalah novel yang bertema humor yang dikhususkan untuk
membawa pembacanya tidak hanya membaca kisahnya saja namun, akan
menemukan kisah-kisah lucu seputar tokoh yang ada didalam novel ini. Di dalam
novel ini dikisahkan bahwa ada seorang anak SMA, yang tidak terlalu terkenal
dikelasnya ia bernama Edi Wardiman, namun karena ia memiliki gaya yang dibilang
culun maka dia sering disebut oleh kawan-kawannya sebagai Edward culun. Dia
memiliki sahabat dekat bernama Joko, yang sama-sama juga disebut culun dan ada
juga disini dikisahkan ada gadis bernama Bella yang ternyata adalah vampir yang
jatuh cinta kepada si Edward karena melihat wajah Edward mirip dengan wajah
pacarnya dulu.
Novel ini mengisahkan konflik-konflik yang terjadi antar pemain, yang
disuguhkan dengan kisah yang lucu namun tetap tak mengurangi kualitas kisah dari
novel ini seperti, Edward yang dikhianati persahabatannya oleh Joko demi agar Joko
masuk ke kelompok siswa keren di sekolahnya, maka ia harus mengerjai Edward.
Joko menjebak Edward dengan cara mengajaknya untuk mengikuti perlombaan
penelitian ilmiah remaja tingkat SMA dan untuk bahan penelitiannya maka Joko
mengajak Edward untuk menyamar sebagai waria di taman lawang dan
mengumpulkan data tentang penelitiannya yang berjudul “PENGARUH IKLAN
KONDOM TERHADAP KESADARAN PENCEGAHAN AIDS DAN KUTIL BAGI
PARA WARIA DI TAMAN LAWAN”. Pada saat menyamar menjadi waria maka Joko
pun menelopon petugas trantib agar menangkap para waria di taman lawang
tersebut, alhasil Edward pun tertangkap dan masuk Koran dan berita yang
membuatnya malu.
Dikisahkan pada konflik berikutnya datanglah Bella sebagai murid baru
disekolah Edward yang disukai oleh para pria di sekolanya. Bella tidak segan
berteman dengan Edward yang kala itu jatuh reputasinya karena ketauan menjadi
waria di taman lawang, Mulailah kisah pertemanan pada mereka sampai akhirnya
Edward menyadari ada sesuatu yang aneh pada diri Bella seperti bau nafasnya
yang berbau jengkol dan kejadian pada saat dia hamper ditabrak mobil Bella
menolongnya dengan menahan mobil itu dan menyelamatkan Edward.

Edward semakin penasaran dengan apa yang dilihatnya sampai suatu ketika
dia menyusun rencana untuk menanyakan perihal keanehan ini ke Bella. Edward
mengajak Bella belajar bersama dirumahnya dan ia menyatakan ketertarikannya ke
Bella dan tak disangka Bella pun memiliki perasaan yang sama ke Edward, maka
Bella akhirnya menceritakan kepada Edward bahwa dia adalah seorang Vampir
namun dia tidak meminum darah manusia lagi, melainkan hanya meminum jus
jengkol saja untuk terapi agar tidak meminum darah manusia. Pada saat mereka
sedang belajar bersama Ibu Edward membawa cemilan kepada mereka berdua
yaitu keripik jengkol dan Bella sangat menyukai keripik jengkol tersebut sampai-
sampai saat makan Bella meneteskan air liurnya ke tangan Edward. Keesokan
harinya pada saat disekolah Bella meminta maaf kalau Edward akan menjadi vampir
juga karena telah tertetes cairan liur Bella, Edward pun merasakan ada yang aneh
pada dirinya kini dan bentuk fisiknya yang semakin gagah terlihat. Mulailah Edward
menjalani hari-hari barunya bersama Bella dan sebagai seorang vampir,kemudian
dikisahkan Edward mulai terkenal di sekolahnya sebagai seorang yang tampan
karena perubahan fisiknya yang terjadi akibat menjadi seorang vampir. Kehidupan
menjadi seorang vampir membuat Edward menjalani kehidupan yang selama ini
selalu diimpikannya dan ia mulai berpikir memabalas sakit hatinya kepada Joko,
maka dia pun pada suatu ketika pada jam istirahat pergi kekantin dan menemui Joko
dan mengerjainya dengan menceritakan semua kejelekannya kepada wanita yang
sedang Joko ajak makan dan Edward tahu Joko suka terhadap wanita tersebut.
Akibat hal tersebut Joko marah kepada Edward dan terjadilah perkelahian, namun
karena Edward adalah seorang vampir maka ia dengan mudah mengalahkan Joko.

Kehidupan Edward menjadi vampir tidak selalu berjalan dengan bahagia


karena dia harus menghindari kejaran para pemburu vampir dan werewolf, yang
dikisahkan pada suatu cerita Edward harus bersusah payah mengahalau serangan
werewolf yang masuk kedalam rumahnya dan beruntung baginya ibunya berhasil
menghalau werewolf tersebut dengan senapan yang dimilikinya, maklum karena
ibunya mempunyai hobi berburu dulunya. Bukan hanya serangan werewolf saja
Edward juga harus menghindari tangkapan dari para pemburu vampir, yang
mengicar dirinya. Para pemburu vampir itu dikisahkan hamper saja menagkap
Edward namun Edward selamat karena bantuan dari Keluarga vampire Bella.

Dikisahkan kehidupan keluarga dari masing-masing tokoh dalam cerita novel


ini dimana Edward memiliki ibu yang merupakan single parent dan sendirian
membesarkan Edward setelah bercerai dengan suaminya dulu karena ketahuan
selingkuh dengan sekretarisnya dikantor dan Bella yang merupakan seorang gadis
yang dahulunya mencari ibunya yang sudah lama berpisah namun karena
kecelakaan dalam kapal yang ditumpanginya dalam pencariannya itu dia kemudian
ditemukan oleh dokter Henry yang menyelamatkannya dengan mengubahnya
menjadi vampire agar ia selamat dan menjadikan Bella menjadi anak angkatnya.

Kehidupan Edward yang terus dihantui rasa cemas akan tertangkap oleh
pemburu vampir dan werewolf membuat Edward resah dia, bercerita kepada Bella
bahwa ia ingin menjadi manusia kembali dan menanyakan bagaimana caranya
kepada Bella. Mendengar hal tersebut Bella sedih, namun karena ia saying kepada
Edward dan takut Edward tertangkap oleh pemburu vampire dan werewolf nantinya,
maka ia menceritakan bahwa Edward harus melalui tiga tahapan terlebih dahulu
sebelum ia kembali menjadi manusia itupun harus dilakukan dengan cepat karena
Edward hanya memiliki waktu kurang lebih 3 bulan sebelum ia menjadi vampir
seutuhnya dan tidak dapat menjadi manusia kembali.

Pada akhir cerita ini diceritakan Edward berhasil melakukan semua syarat
yang diceritakan Bella kepadanya, yaitu berendam selama tujuh malam di tujuh
sungai yang berbeda, berbuat satu kebaikan berdasarkan cinta suci yang dimana
Edward akhirnya berhasil membuat ibu dan ayahnya rujuk kembali dan terakhir
harus mencium waria dan pada syarat yang ketiga ini mulailah kekonyolan yang
dilakukan Edward untuk bisa mencium waria tersebut dari mencarinya lewat chatting
di internet sampai mengajaknya ketemuan di pantai ancol dan si waria yang dia ajak
kencan ternyata adalah seorang pemain sinetron yang sedang terkenal dan Edward
pun merasa geli dan tertawa dalam hatinya bahwa artis sinetron yang ibunya sukai
adalah seorang waria. Setelah ketiga syarat dipenuhi Edward tak lagi menemukan
Bella, Bella telah pergi meninggalkan Edward karena terlalu sedih dan ingin
melupakan Edward, karena vampir tidak boleh berhubungan dengan manusia. Novel
ini merupakan kisah yang bersambung, oleh karena itu cerita atau akhir dari cerita
ini menunjukkan kalau cerita masih agak sedikit menggantung.

KEUNGGULAN ISI BUKU :


Buku ini memiliki keunggulan dari segi karakteristik tokoh-tokoh didalamnya yang
membuat si pembaca dapat langsung memahami karakter tokoh tersebut. Novel ini
juga dibumbui oleh cerita-cerita yang lucu dan jenaka yang membuat pembaca tidak
akan bosan membacanya.

KELEMAHAN ISI BUKU :


-Pemilihan kata-kata di novel ini menggunakan bahasa-bahasa serapan remaja saat
ini seperti : gue.elo,dll
Yang membuat novel ini sepertinya dikhususkan untuk kalangan remaja saja.
-Jalan cerita dari novel ini hampir sama dengan cerita di film dan novel lain yang
berjudul “Twillight”
jadi mungkin kita yang sudah pernah menonton atau membaca novel twilight
tersebut akan tahu dan
mudah menebak kisah dari cerita ini dan lanjutan cerita untuk novelnya kedepan dan
cenderung akan
merasa kurang tertarik untuk membacanya.
SARAN-SARAN TERHADAP BUKU INI :
-Agar pengarang lebih kreatif dalam mencari ide-ide dalam kisah novel ini dan
jangan terlalu sama persis
dengan novel twilight.
-Perbanyak tokoh didalm cerita ini jadi pembaca tidak terpaku, hanya dengan tokoh
Edward, Bella, dan
Joko saja.

MANFAAT ISI BUKU :


Novel ini memiliki manfaat untuk menhilangkan stress bagi pembacanya karena
penulis disini mengajak para pembaca untuk terus tertawa dengan pembawaan
karakter yang jenaka dan cerita yang menghibur para pembacanya.

Contoh resensi buku yang benar 9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

Artikel Terkait

 cerita pendek tentang cinta remaja


 Kumpulan Foto gambar kartun Hello Kitty terbaru
 Contoh resensi buku yang benar
 CARA SHOLAT ISTIKHARAH
 Bahaya terlalu sering Onani/Masturbasi
 Cara Memakai Jilbab + Video Terbaru
 Foto terbaru Maudy Ayunda
 DOWNLOAD Komik Hentai Bahasa Indonesia
 Berita Foto Pernikahan luna maya
 Download IDM TERBARU 2013 = Serial NUMBER

Anda sedang membaca artikel tentang Contoh resensi buku yang benar dan anda bisa
menemukan artikel Contoh resensi buku yang benar ini dengan url
http://anekabaca.blogspot.com/2012/10/contoh-resensi-buku-yang-benar.html. Anda boleh
menyebarluaskan atau mengcopy artikel Contoh resensi buku yang benar ini jika memang
bermanfaat bagi anda atau teman-teman anda,namun jangan lupa untuk mencantumkan link
sumbernya.
Contoh Resensi Novel Ketika Cinta Bertasbih

Novel Ketika Cinta Bertasbih sangat banyak sekali peminatnya setelah dikeluarkannya film
dengan judul "Ketika Cinta Bertasbih" di televisi swasta di Indonesia.novel ini memang
sangat laris dipasaran dan menjadi bestseller pada jenisnya. Jadi yang belum membelinya
bisa membaca Resensi Novel Ketika Cinta Bertasbih ini :

RESENSI NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH


Budaya Percintaan dalam Novel Cinta bertasbih
(Resensi)

IDENTITAS BUKU

 Judul : Ketika Cinta Bertasbih


 Penulis : Habiburrahman El Shirazy
 Penerbit : Republika-Basmalah
 Tahun terbitan : 2007
 Dimensi : 20,5 cm x 13,5 cm
 Tebal : 477 halaman

A. Sinopsi novel.
Azzam adalah seorang pemuda sederhana yang memilih untuk menuntut ilmunya di
Kampus Al Azhar, Cairo. Azzam dikenal sebagai sosok yang tegas dan dewasa. Dia sangat
memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Di kalangan teman-
temannya pun Azzam menjadi panutan dan sosok yang bisa diandalkan.
Setelah bapaknya meninggal, sebagai anak tertua dalam keluarganya, dialah yang
menanggung kehidupan keluarganya di Solo. Oleh karena itu, selain sebagai mahasiswa, dia
juga bekerja keras sebagai pembuat tempe dan bakso untuk menghidupi ibu dan adik-adik
perempuannya di Indonesia serta kehidupannya sendiri di Cairo. Bahkan Azzam, rela
meninggalkankuliahnya untuk sementara dan lebih berfokus untuk mencari rezeki. Meski
terkadang ada rasa iri melihat teman-teman satu angkatannya yang sudah terlebih dahulu
lulus, bahkan ada yang hampir menyelesaikan S2-nya tapi Azzam segera sadar kalau dia
tidak sama dengan teman-temannya yang lain. Azzam lebih dikenal sebagai tukang tempe di
kalangan mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Al Azhar.

Azzam juga sering mendapatkan undangan dari duta besar Indonesia yang ada di
Mesir untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada acara-acara kebesaran. Jadi, selain terkenal
di kalangan mahasiswa sebagai tukang tempe, Azzam juga terkenal di kalangan para duta
besar.
Saat bekerja itulah Azzam mengenal sosok Eliana. Eliana adalah sosok yang
sempurna secara fisik. Putri duta besar, cantik, dan salah seorang lulusan Universitas di
Jerman. Akan tetapi, prinsip-prinsi keislaman yang Azzam pegang teguh membuat Azzam
mampu menepis perasaannya.
Saat bekerja juga Azzam secara tidak sengaja bertemu dengan Anna Althafunnisa.
Dialah perempuan yang memikat hatinya dan hendak ia lamar. Namun, status sosialnya
membuat Azzam ditolak. Yang lebih mencengangkan Azzam adalah Anna justru menerima
lamaran dair Furqan, sahabat Azzam sendiri yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada
Azzam.
Pernikahyan Anna dan Furqan berlangsung dan mereka hidup dengan baik. Begitu
juga pada Azzam, setelah Anna menikah, ibunya menyuruh agar Ia segera mencari pasangan
hidup, dan Azzam pun mencari pendampingnya. Banyak wanita yang sudah dilamarnya, tapi
selalu ada saja yang tidak cocok untuk dirinya, hingga suatu saat lamaran diterima seorang
wanita dan hampir terjadi akad, harus terputus karena suatu kecelakaan yang menyebabkan
Ibunya meninggal dan Ia lumpuh untuk beberpa waktu yang cukup lama.
Selam 6 bulan Anna dan Furqan dalam kehidupannya yang baik saja, dan saat itu
juga hubungan mereka retak, Furqan menceritakan pada Anna bahwasanya dia sudah tidak
perjaka lagi sebelum menikah dengan Anna dan dipastika terkena HIV dan karena itu juga Ia
tidak pernah menyentuh Anna, sehingga akhirnya Ia terpaksa memberi kebebasan untuk
Anna (cerai).
Kembalilah Anna pada orang tuanya,. Azzam yang lumpuh setelah kecelakaan itu
telah sembuh seperti semula, Ia mendatangi kiai Lutfi mohon bantuan mencarikan jodoh yang
tepat sesuai permintaan Ibunya dulu. Kiai Lutfi lalu menceritakan seorang wanita yang
dicerai suaminya karena suatu hal dan wanita itu masih perawan, yang diharapkan kiai Lutfi
sendiri agar dapat diterima Azzam. Tanpa disadari Azzam Ia menerima tawaran Kiai Lutfi,
agar menerima wanita itu menjadi istrinya, Azzam sangat senang begitu tahu kalau wanita
yang diceritakan itu adalah orang yang pernah dicintainya yaitu Anna Althafunnisa, begitu
juga sebaliknya Anna sangat senang karena Ia juga menjadi istri dari orang yang dulu sangat
diharapkannya, atau cinta pertamanya.
Setelah sebulan pernikahan Anna dengan Azzam, tiba-tiba Furqan kembali
menghubungi Anna dan membawa rujukan, dan Ia menceritakan bahwa Ia tidak terkena HIV.
Tapi semua sudah terjadi Anna dan Azzam sudah bahagia, dan mereka mendoakan agar
Furqan menemukan pasangan hidup yang cocok untuk nya.

B. Unsur-unsur intrinsik novel

1 .Tema :

 Perjuangan hidup untuk mengapai kebahagiaan.


 Seorang pemuda rela mengorbankan waktu belajarnya demi mencari uang untuk
menghidupi keluarganya.

2. Tokoh

 Tokoh Utama : Khairul Azzam


 Pembantu : Anna Althafunnisa , Eliana Alam , Furqan Andi Hasan
 Piguran : Ayatul Husna , Muhammad Ilyas , Furqan Andi Hasan , Ibu Azzam , Kiai
Lutfi , Pak Ali ,Eliana Alam , Pak Alam , Nasrul

3. Penokohan :

 Khairul Azzam ; sederhana, pekerja keras, bertanggung jawab, sholeh.


 Anna Althafunnisa ; lembut, sholehah, cerdas.
 Furqan Andi Hasan ; cerdas, bijak
 Eliana ; supel, hedonis, cerdas.
 Kiai Lutfi ; Seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab atas perbuatannya dan
dapat menjadi panutan bagi masyarakat.
 Ayatul Husna ; Gadis yang sangat menyayangi keluarganya dan menjadi perantara
yang mempertemukan Anna dengan Azzam ketika di Indonesia
 Pendukung lainnya.

4. Alur
Alur maju, karena dimulai dengan awal pertemuan Anna Althafunnisa dengan Azzam, yang
mana mereka telah melewati liku-liku kehidupan hingga akhirnya mereka menikah.

5. Latar
Kairo, Mesir, Cleopatra, Indonesia, Desa Kartasura, Desa Wangen jawa.

6. Sudut Pandang
Sudut pandang orang ketiga

6. Gaya bahasa.
Gaya Bahasa : Personifikasi

7. Amanat .

 Seorang pemuda rela mengorbankan waktu belajarnya demi mencari uang untuk
menghidupi keluarganya
 Terkadang cinta tidak harus memiliki
 Kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, tidak perlu takut akan resiko.
Karena
 resiko membuat kita lebih matang untuk melangkah maju.
 Setiap ada kemauan, pasti ada jalan.
 Sesama muslim adalah saudara, yang saling peduli.
 Sayangilah dirimu, beri ia kesempatan untuk menjadi yang semestinya ia inginkan.
 Pilihan itu ada, namun tergantung siap atau tidak kita menanggung resiko dari pilihan
yang kita itu.
 Teguh pendirian, rela berkorban adalah kunci sukses masa depan.
 Lebih baik diam, daripada berbicara yang tidak perlu.
 Buah pengorbanan lebih berharga daripada sesuatu yang dengan mudah di dapat tanpa
pengorbanan.
 Cinta yang haqiqih adalah cinta yang berdasarkan pilihan hati, bukan hanya karena
nafsu ingin memiliki.

C. Keunggulan dan kelemahan novel.

1. Keunggulan novel

 Novel ini menghadirkan kisah percintaan bukan sekedar terhadap lawan jenis tapi
jauh mengungkapkan kecintaan terhadap Allah.
 Merupakan salah satu novel pembangun jiwa yang penuh akan makna.
 Gaya bahasa yang ringan dan alur cerita yang mudah dimengerti membuat pembaca
seakan dapat melihat apa yang ingin diperlihatkan penulis novel.
 Sarat akan pengetahuan.
 Kata-katanya santun dan mudah di pahami.
 Kertas novel menggunakan kertas quarto yang bagus dan bersih.
 Perwatakan tokoh mudah dimengerti, dan di gambarkan jelas.

2. Kelemahan novel.

 Cover yang dengan foto Masjid Al-Munawarah, hanya menggambarkan latar / tempat
cerita itu berlangsung, belum keseluruhan isi novel.
 Untuk novel dengan pengarang yang sama dan konsep yang sama pula, latar yang
dipilih kurang variatif.

D. Kesimpulan
Novel percintaan yang satu ini pantas di baca oleh siapa saja. Sesuai dengan konsepnya, yaitu
novel pembangun jiwa, novel ini dapat memberikan semangat pada jiwa untuk lebih
bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT. selain itu, novel ini penuh dengan
ilmu pengetahuan yang akan memperluas wawasan kita terhadap dunia.

Materi dari : http://nikmannasir.blogspot.com/2011/08/resensi-novel-ketika-cinta-


bertasbih.html , Resensi : Budaya Percintaan dalam Novel Cinta bertasbih

Mungkin itu dulu mengenai resensi novelnya semoga bermanfaat,jika ada waktu luang
silahkan langsung bisa (baca: Resensi Novel Dealova )

Anda mungkin juga menyukai