Anda di halaman 1dari 2

A.

Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang
seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa
timur. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman
film, panggung, serta penyanyi. Lima tahun hidup menggelandang di
Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang
dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan
sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Dalam kesehariannya, Emha terjun
langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan
memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna
menumbuhkan potensialitas rakyat.

Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ia


juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan
bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya
dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri
Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri
Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat
terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas
gender. Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan
berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya
dilakukan di area luar gedung.

Di samping itu, secara rutin bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif


mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas
nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara
berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat. Berkali-kali Cak Nun
yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia
sebut sebagai manajemen keberagaman itu. Salah satunya mengenai dakwah, dunia
yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang
pantas dan tidak untuk berdakwah.

" "Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. " Orang
yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya. Lima tahun hidup menggelandang di
Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu
Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan
Emha berikutnya.

Karya Seni Teater Cak Nun

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd


HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan
mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Selain itu, bersama
Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir .

Pluralisme
Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-
shalawat dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer
di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia.

Emha Ainun Nadjib

" Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang


ada di benak jemaah masjid. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah
Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu malam, itu ia melakukan
hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase
pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran. "Ada apa dengan pluralisme?"
katanya.

Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan
pluralisme. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Islam beda
dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. " "Tidak bisa
disamakan, yang beda biar berbeda.

Anda mungkin juga menyukai