Anda di halaman 1dari 18

Nang-Ning-Nung: Musik Pesantren dalam Riwayat Bunyi Seorang Santri

Oleh: M. Yaser Arafat1

Muqaddimatul Bunyi
Bila sanad antropologis musik hendak dirunut, maka ia akan berhenti di
bawah payung seni. Berdasarkan kesepakatan ahli kebudayaan, Koentjaraningrat
menulis bahwa ada 7 unsur kebudayaan; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem
religi, dan kesenian.2 Dengan kata lain, kebudayaan adalah karya manusia yang
mencerminkan tujuh perkara itu. Setiap benda, gagasan, dan tindakan manusia
memuat ketujuh-tujuhnya. Sasaran panah perbincangan ini sendiri tentu saja ihwal
musik sebagaimana telah terjudulkan di atas. Bukan enam unsur lainnya. Namun,
sebelum itu, menalari sekelebat paragraf konsepsi seni sebagai payung musik
mudah-mudahan dapat membantu pemahaman tentang seni dan pasal-pasalnya.
Seni, dalam Bahasa Indonesia (Melayu) mengarah pada arti tukang.3 Raden
Saleh, dalam Majalah Sin Po, 25 Juli 1931, disebut sebagai seorang tukang
menggambar indonesier. Kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert menyatakan seni
alias kunst sebagai kata berpengertian; hikmat, ilmu, pengetahuan, kepandaian,
ketukangan. Sesuai dengan pengertian art dalam Bahasa Inggris, yaitu skill in making
or doing. Art dapat berarti keterampilan (skill), aktivitas manusia, karya (work of art),
seni indah (fine art), dan seni rupa (visual art). Dari sini dapat dipahami kelahiran
istilah; seni perang, seni memasak, seni berdagang, seni berdiplomasi, dan seni
mempengaruhi orang lain. Sebab hidup adalah seni.
Bagaimana pesantren bertemu dengan seni, dalam hal ini, musik? Dalam
pengalaman audio-visualitas saya melalui tayangan tentang pesantren di televisi,
selalu saja saya mendengar petikan gambus dan irama padang pasir yang melatari.
Termasuk pula musik latar album pembacaan puisi KH. Musthafa Bisri (Gus Mus)

1
Mengajar di Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumatera Utara. Nyantri di Pondok Pesantren Modern Nurul Hakim,
Tembung, Deli Serdang, Sumatera Utara (1995-1998) & Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, DKI Jakarta (1998-2001). Menamatkan Sarjana Starata I di Jurusan Sosiologi Agama UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002-2007) & Sarjana Starata II di Jurusan Antropologi Budaya UGM Yogyakarta
(2011-2013). Pada tanggal 15 Mei 2015 melantunkan pembacaaan al-Quran langgam Jawa di Istana Negara RI.
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 165.
3
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: ITB Press, 2000), hlm. 41-42.

1
yang antara lain terdapat puisi Aku Harus Bagaimana dan Lirboyo Kaifal Hal. Entah
bagaimana hubungan antara suasana padang pasir dan pesantren. Dunia sehari-hari
Islam, dan karena itu dunia kepesantrenan, hari ini memang selalu melekat dengan
kebudayawian Arab. Pengaitan pesantren dan kebudayawian Arab tidak bisa
dilacak kesejakannya. Oleh karena itu, ia kebal dari penyalah-nyalahan. Sepintas
lalu pun, wujud kesenian yang cukup sering mengemuka di pesantren berwarna
arabik: seni baca al-Quran (tilawatil quran), salawat-qashidah (hadhroh, marawis) dan
kaligrafi. Bidang terakhir, kaligrafi, kerap disoroti hingga menjadi icon amatan atas
kebudayaan Islam.
Sementara itu, hubungan antara pesantren dan seni lain, dalam hal ini
musik, lebih terlihat dalam amsal seni kedua; salawat-qashidah. Seni baca al-Quran
agaknya telah mengumum dalam semarak festivalisme budaya masyarakat. Terus
terang, karena kemiskinan perkelindanan antara pesantren dan musik itulah, saya
agak melinglung beberapa jenak untuk meneroka hubungan antara pesantren dan
musik. Hingga timbullah pertanyaan-pertanyaan remeh. Apa itu musik pesantren?
Apakah ada makhluk bernama musik pesantren? Apakah santri-santri zaman now
yang dikenal sebagai musisi dan penggelora musik di negara ini macam Wali Band
dan Ki Ageng Ganjur itu dapat dilabeli sebagai produsen musik pesantren? Sejauh
mana musik disebut musik pesantren, dan, otomatis, sejauh mana pula musik
disebut bukan musik pesantren? Saya terjerembab ke dalam siksaan kategorial ala
filsafat analitik macam ini. Entah untuk kali keberapa. Apalagi belakangan, sejak era
populerisme Habib Syekh bin Abdul Qodir as-Seggaf ke seluruh penjuru dunia,
musik pesantren identik dengan salawatan, maulidan, rebana, marawis.
Bagaimana bila ada santri macam Gus Dadang Saputra yang
mengkonserkan perpaduan antara dangdut dan musik klasik di Jakarta beberapa
waktu lalu, itu dapat disebut musik pesantren? Bagaimana pula nasib komposisi
Salawat Bethoven yang ia gurat dan dikonserkan di Stadion Maguwoharjo pada
rangkaian perayaan hari santri 22 Oktober 2016 lalu? Apakah itu dapat disebut
musik pesantren? Apakah karena semua punggawanya merupakan para santri,
lantas musik yang dimainkan oleh Wali Band dapat disebut musik pesantren?
Apakah lagu religi Opick dapat disebut musik pesantren? Apakah lagu-lagu dan

2
aktivisme musikal Inul Daratista dan Dewi Persik dapat dimasukkan ke dalam
kategori musik pesantren, lagi-lagi, hanya gara-gara mereka hidup dalam
kebudayaan pesantren jawatimuran? Bila iya, dengan demikian, berarti apakah lagu-
lagu Nella Kharisma dan Via Vallen juga dapat juga diikutkan ke dalam sana?
Sejauh ini, saya hanya mengetahui bahwa ideolog pesantren dari Jawa, Wali
Songo, merupakan sekumpulan para wali yang juga pemusik. Sunan Drajat dengan
kendang Tandaknya, Sunan Bonang dengan perangkats Bonangnya, Sunan Kalijaga
dengan Gamelannya, dan sunan-sunan lain dengan berbagai alat-alat musik keramat
lainnya. Ini belum terhitung fakta bahwa para wali itu merupakan pencipta tembang
dalam berbagai corak irama, mulai dari Mijil sampai Pocung. Riwayat ini sudah
cukup menyetir pengamatan tentang kekariban antara pesantren dan musik. Hanya
saja, itu peristiwa yang terjadi di Jawa. Bagaimana dengan profil diri para wali di
luar Jawa? Apakah mereka juga musisi? Meskipun sampai hari ini saya belum
menjumpai riwayat persua-mukaan para wali luar Jawa dengan musik, setidaknya
pantun-pitutur yang mereka wariskan menandakan adanya hubungan antara Islam
dan dunia bunyi. Tegasnya, pertalian antara pesantren dan bunyi. Karena itu,
tulisan ini akan saya keluarkan dari kamar hubungan pesantren dan musik, akan
tetapi, hubungan pesantren dan dunia bunyi.
Saya akan memulai wicara tentang dunia bunyi-bebunyian di pesantren
dengan memaparkan pengalaman saya menyantri di dua pesantren yang berbeda
wilayah, gaya, dan langgam. Pertama di Pondok Pesantren Modern Nurul Hakim,
Tembung, Medan, Sumatera Utara, dari tahun 1995-1998. Pesantren ini, ketika saya
masuk, diasuh oleh Ustadz Ahmad Sajid Zen. Kedua di Pondok Pesantren Darul
Rahman, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, dari tahun 1998-2001, yang diasuh oleh KH.
Syukron Makmun. Dua pesantren ini telah merajah peta perjalanan hidup saya
hingga kini. Hanya saja, saya rasa, pesantren kedualah, Darul Rahman, yang hingga
hari ini masih membekaskan tilas-tilas kepesantrenan dalam diri saya. Sedangkan
persentuhan saya dengan dunia bunyi yang identik dengan pesantren, yaitu seni
baca al-Quran atau tilawatil quran, sudah terjadi sejak masa kanak. Saya telah
mempelajarinya secara serius sejak usia saya menginjak angka 8-10 tahun. Saat saya
menyantri, bekal tilawah tersebut sudah terisi, meski belum penuh.

3
Far’un: Perjumpaan dengan Bunyi di Nurul Hakim
Saya dilahirkan di Desa Kebun Kacang,Tanjung Pura, Langkat, Sumatera
Utara. Untuk sampai ke desa kelahiran saya ini, dari Medan biasanya bisa ditempuh
dengan menghabiskan 2-2,5 jam perjalanan. Desa saya dihuni oleh orang-orang Jawa
peranakan atau yang hari ini biasa dijuluki kaum Pujakesuma, yang merupakan
singkatan dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Terkadang Pujakesuma diplesetkan
menjadi Putra Jawa Keluyuran di Sumatera. Saya baru menamatkan pendidikan
Sekolah Dasar pada tahun 1995. Setelah itu, atas kemauan saya dan persetujuan
ayah, saya masuk ke Pondok Pesantren Modern Nurul Hakim. Usia pesantren ini,
ketika saya masuk, baru memasuki tahun keenam.
Dibandingkan dengan beberapa pesantren lain di Kota Medan dan
sekitarnya, Nurul Hakim masih terbilang belia. Ia masih menyemerlang bersamaan
dengan seabrek capaian. Nurul Hakim di masa itu masih menjadi tujuan putra-
putra terbaik dari berbagai daerah, mulai dari Medan, Aceh, Palembang, Riau.
Nurul Hakim dibangun oleh seorang pengusaha muslim di Medan, Haji Abdul
Hakim Nasution. Para pendidiknya diambil dari Pondok Pesantren Modern
Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Nurul Hakim memang didirikan di
bawah pancaran sinar Gontor. Sebagian besar pengajarnya merupakan alumni
Gontor. Sewaktu saya masuk, Ustadz Ahmad Sajid Zein merupakan pengasuh
pesantren (mudirul ma’had) yang telah ikut berkeringat berember-ember sejak mula-
kala pendirian pesantren.
Dunia bunyi yang saya telingai di Nurul Hakim tidak jauh berspasi dengan
dunia bunyi di luar pesantren: adzan, tilawatil quran, barzanji. Di luar dunia bunyi
religius tersebut, telinga kami rutin disusupkan bebunyian dari grup drum band yang
kabarnya telah mengukir prestasi mentereng dalam berbagai kompetisi di Medan.
Pelatih drum bandnya adalah seorang ustadz dari Gontor yang juga orang Medan.
Sholahuddin Hasibuan namanya. Sudah mengalmarhum sekira 7 tahun lalu. Grup
drum band ini rutin berlatih hampir setiap sore. Selepas Ashar. Di saat santri-santri
berolahraga, mereka sibuk membunyi-bunyikan alat-alat musik. Dari grup drum
band inilah telinga saya pertama kali mendengar alunan Sweet Child O’ Mine nya

4
Guns „n Roses yang menjadi lagu wajib mereka setiap kali mereka menampil di
berbagai acara di luar atau di dalam pesantren. Meski begitu, saya baru mengetahui
nama grup musik rock asal Amerika Serikat tersebut beberapa tahun kemudian –
atau bahkan tatkala saya baru menghidupi dunia mahasiswa di Yogyakarta.
Maklum, keluarga kami termasuk ndesa. Sebelum mondok, saya jauh dari dunia
bunyi “modern”. Jangankan mendengarkan Sweet Child O’ Mine, menonton Album
Minggu Kita di TVRI dari televisi hitam putih 14 inchi merek Jhonsons saja sudah
beruntung.
Selain bebunyian drum band, Nurul Hakim juga mempertemukan saya
dengan The Final Count Down dari grup band Europe. Lagi-lagi tanpa saya tahu siapa
grup yang menyanyikannya. Lagu itu saya dengar dari musik latar pertunjukan
drama yang harus ditampilkan oleh setiap kumpulan santri dari masing-masing
lorong asrama.4 Selain lagu itu, saya juga menelingai lagu Please Forgive Me-nya
Bryan Adams dan lagu Smile-nya Boyzone. Tentu lagi-lagi waktu itu tanpa saya tahu
siapa penyanyi aslinya. Sama halnya dengan lagu-lagu populer Barat lain sezaman
yang rata-rata menjadi dering pembuka dunia bunyi baru di telinga saya. Berbahasa
Inggris bagi saya waktu itu merupakan amal yang mengkelukan lidah saya. Soalnya
di SD, saya belum perah mendapat pelajaran Bahasa Inggris. Mendengarkan lagu
dalam Bahasa Inggris adalah pengalaman baru bagi saya.
Bagaimana dengan bunyi tilawatil quran atau seni baca al-Quran? Di Nurul
Hakim, bunyi dari dunia itu belum cukup memikat saya. Barangkali karena sebab
suara saya yang mulai memasuki masa remaja. Setiap Selasa dan Jumat sore, selepas
Ashar, memang ada guru tilawah yang datang untuk mengajarkan tilawah.
Namanya ustadz Abdul Wahid. Suaranya tinggi dan bersih. Lagu-lagu tilawah yang
ia ajarkan masih tergolong lagu lama yang belum disentuh oleh inovasi. Kesertaan
saya dalam latihan tilawah ini dapat dihitung kalinya. Saya rasa latihan tilawah itu
agak kurang ramah anak-anak. Soalnya beberapa peserta latihan adalah ibu-ibu

4
Nurul Hakim memiliki tiga gedung berlantai empat. Di Utara ada gedung Halimah, di tengah ada gedung Haji
Abdul Hakim Nasution, di Selatan ada gedung Hanisah. Halimah dan Hanisah adalah dua istri Haji Abdul
Hakim Nasution. Para santri ditidurkan di dua gedung istri-istri tersebut. Sementara kegiatan belajar-mengajar
dan kantor dilangsungkan di gedung tengah. Masing-masing lantai memiliki empat kamar. Satu kamar, bila
tidak salah ingat, bisa ditempati dua 15-20-an santri. Perlombaan sering dilakukan antar para penghuni lantai.
Mulai dari lantai satu sampai lantai empat masing-masing gedung.

5
bersuara indah yang bermukim di sekeliling pesantren. Satu-satunya peristiwa yang
menjaga kedekatan saya dengan dunia tilawatil quran atau lebih tepatnya dunia tarik
suara Islam adalah bahwa pada setiap bulan Ramadhan, pesantren mendatangkan
para ahli olah suara dari kampung setempat. Mereka datang menjadi muadzin dan
bilal pembaca puji-pujian serta zikir-zikir shalat tarawih dengan suara tinggi, lagu
indah bergaya Melayu-Arab. Saya sangat terpikat dan terpukau setiap kali
menyaksikan mereka mengatraksikan kelincahan suara di shaf paling depan masjid,
tepat di depan mimbar. Setiap Ramadhan tiba, dunia bunyi inilah yang kerap saya
tunggu-tunggu.
Saya baru kembali bergairah dalam tilawah ketika pada tahun kedua umur
kesantrian saya di Nurul Hakim, koordinator Jam’iyyatul Qurra atau wadah
perhimpunan para qari yang ditangani oleh Bagian Peribadatan (Qismul ‘Ibadah)
mendatangkan seorang guru tilawah muda, namun cukup punya nama di Sumatera
Utara, yaitu ustadz Sholahuddin. Kabarnya waktu itu ia merupakan rival ustadz
Fadhlan Zainuddin, qari senior di Sumatera Utara yang pernah memenangi
peringkat pertama MTQ Internasional di Iran. Ustadz Sholahuddin, yang biasa
dipanggil Bang Udin, pernah memenangi MTQ Internasional di Thailand. Saya tidak
tahu tepat angka tahunnya. Bang Udin sering melantunkan tilawah di Radio
Republik Indonesia (RRI) Medan. Suaranya menurut saya melebihi tinggi suara
ustadz Fadhlan. Lagu-lagu yang ia ajarkan juga cukup inovatif. Darinya saya
mempelajari dan sesekali menginovasi lagu-lagu tilawah yang pada waktu itu masih
terbilang baru. Sayangnya, saya terkendala oleh ketahanan suara yang mulai
menurun seiring keremajaan saya. Sampai saya duduk di tahun ketiga nyantri,
belajar tilawah kepada Bang Udin masih berlangsung. Sayangnya, saya mulai
bermalas-malasan. Saya rasa waktu itu dunia tilawah akan saya tinggalkan.
Dunia bunyi rutin di Nurul Hakim yang pertama kali saya jalani sebagai
santri baru bukanlah tilawah. Setiap pagi, menjelang jam pertama kelas, semua
santri akan menyenandungkan syair berisi syarat-syarat menuntut ilmu.
Berbarengan. Beriringan. Belakangan, ketika telah tidak lagi menyantri di sana, saya
baru tahu bahwa syair yang dinyanyikan dengan irama dari Bahr Thawil itu
termaktub dalam kitab Ta’limul Muta’allim. Meskipun ada bagian syair yang sedikit

6
berbeda kata namun bersama makna dengan syair yang ada dalam kitab adab-adab
menuntut ilmu tersebut. Setiap santri baru, oleh pengasuh pesantren, ustadz Sajid,
diajarkan syair yang setiap pagi harus dinyanyikan sambil menunggu jam pertama
belajar dimulai.
Itu dunia bunyi yang saya dapat di pesantren pertama kali. Sampai tahun
kedua berjalan, tidak ada dunia bunyi yang berubah di sana. Barulah di tahun
ketiga, dari corong masjid pesantren, mulia sering diputar kaset-kaset tilawah
bergaya murattal yang dibaca oleh Syekh Abdur Rahman al-Sudays dan Syekh
Syuraim. Surat yang paling sering diputar adalah Surat Al-Rahman. Sampai hari ini,
saat mendengar suara Imam Sudays, ingatan saya terpelanting ke pesantren
pertama saya ini. Selain bunyi tilawah murattal, sebelum sholat Jumat
berkumandang, pengurus masjid juga kerap memutar kaset salawat “Ya Rasulallah
Salamun ‘Alaik” dan “Sholla Alaikalllahu Ya ‘Adnani”, yang dinyanyikan oleh grup
Darul Arqam, Malaysia. Dua salawat ini, selain Shalawat Badar, merupakan harta
saya sebelum mengenal salawat lain ketika kelak saya menyantri ke Jawa.
Ada dunia bunyi lain yang berpencaran namun baru saya alami. Alkisah, di
tahun ketiga menyantri itu pula, kebetulan saya sudah dilibatkan dalam
kepengurusan Organisasi Santri Nurul Hakim (OSNH). Saya ditarik ke dalam
Bagian Informasi (Qismul I’lan). Tugasnya membacakan pengumuman setiap malam
selepas Isya di masjid dengan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris bergantian. Saya
harus tinggal di kamar khusus bersama dengan para pengurus lain yang semuanya
merupakan kakak kelas satu dan dua tahun di atas saya. Di sinilah, dalam suasana
agak longgar, dari mereka saya mulai mendengar lagu-lagu macam Frozen-nya
Madonna, Zombie-nya The Cranbarries, dan lagu-lagu “modern” lain. Mereka kerap
menyanyikannya di kamar, di waktu-waktu senggang sambil bergitar, atau sambil
menyetrika. Santri tingkat lanjut memang memiliki sedikit kelonggaran untuk
membawa gitar dan barang-barang lain –termasuk rokok. Di tahun ini pula, dalam
kompetisi pencak silat, sering diputar kaset disko Nyai Ronggeng. Bergantian dengan
kaset disko Jari dan Jempol Tangan Digoyang.
Pertemuan saya dengan kaset Kado Muhammad-nya Emha Ainun Najib
terjadi di tahun ketiga ini. Itu kaset milik seorang kawan, Eko Cihno Prayitno. Ia

7
orang Jawa yang tinggal di Aceh. Saya mendengarkan Kado Muhammad dari walkman
secara diam-diam. Berkali-kali saya mengulang perbuatan itu. Dari kaset Emha
tersebut saya bersentuhan dengan Syair al-I’tiraf atau Ilahi Lastu yang lebih nyambung
dengan saya ketimbang saat ia dilantunkan tanpa musik. Dari kaset itu pula, saya
merasa memiliki dorongan untuk menulis puisi. Pengaruh kata-kalimat yang
dirangkai oleh Emha betul-betul menyetir saya pada keasyikan untuk memasuki
keintiman dunia bunyi dan kata. Beberapa kali kaset itu saya pinjam dari Eko untuk
saya putar di rumah jika saya mendapat kesempatan untuk izin pulang.

Tatimmatun: Menggauli Bunyi di Darul Rahman


Seiring selesainya tahun ketiga masa menyantri di Nurul Hakim,
berdasarkan kesepakatan dengan ayah, saya memutuskan untuk mencari pesantren
lain. Ada perubahan besar yang terjadi di Nurul Hakim yang telah bergelombang
sejak tahun kedua masa penyantrian saya. Para ustadz dari Gontor yang sejak awal
ikut membangun pesantren ternyata tidak dipakai lagi oleh yayasan yang waktu itu
dipimpin oleh menantu pendiri pesantren. Pihak Gontor pun akhirnya memutus
hubungan dengan pesantren. Gontor juga memutuskan pengiriman buku-buku
terbitannya yang selama lebih dari enam tahun dipakai di Nurul Hakim. Sebagian
besar santri memilih berhenti dan melanjutkan belajar di tempat lain.
Ayah lantas mengirim saya untuk menyantri di Pondok Pesantren Darul
Rahman, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Kata ayah waktu itu, biar saya diasah oleh
kehalusan pekerti Jawa. Sebelumnya saya tidak mengenal Darul Rahman. Pilihan
untuk menyantri di sana berasaskan masukan seorang ustadz yang tinggal di dekat
rumah kami. Ia alumni Darul Rahman. Berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Hasan
Umar namanya. Sudah lama ia menetap di Medan. Terhitung sejak ia mengabdi di
Pondok Pesantren Modern Al-Kautsar Al-Akbar, Medan, Sumatera Utara, yang
berlokasi hanya sepelemparan batu dari rumah kami. Setelah ayah menjual sepeda
motor Honda 70, barulah saya diantarkan ke Jakarta dengan menumpangi mobil
truck fuso tetangga kami yang bertugas membawa buah-buahan dari Medan ke
Bandung. Selepas perjalanan lebih-kurang 5 hari, kami menginjak Jakarta.

8
Darul Rahman, dari sisi kebiasaan berbahasa asing, tidak jauh berbeda
dengan Nurul Hakim. Kelebihan utamanya adalah penggabungan sistem
pendidikan pesantren salaf berbasis ngaji kitab kuning dan sistem pendidikan Gontor
berbasis pembinaan bahasa asing. Di pesantren inilah saya mempelajari kitab
kuning pertama kali. Karena di Nurul Hakim tidak ada kurikulum tersebut . Di
pesantren Darul Rahman ini pula saya berkarib dengan dunia bunyi pesantren yang
lebih luas, khususnya dunia bunyi salawat nabi yang tertuang dalam tradisi hadhroh
atau pelantunan salawat nabi diiringi tabuhan rebana. Di Nurul Hakim, saya belum
mengenal hadhroh dan tradisi bunyi salawatan sebagaimana saya hidupi di Darul
Rahman dan atau di Pulau Jawa pada umumnya.
Sebagai perluasan bunyi salawat nabi, di Darul Rahman pula saya mengenal
tradisi maulidan atau pembacaan kitab maulid (riwayat kelahiran Nabi Muhammad
saw). Waktu itu kitab maulid yang dibaca oleh para santri adalah Kitab Maulid
Barzanji. Istilah maulidan sendiri baru saya temukan di Jawa. Ia menunjukkan arti
kebiasaan pembacaan kitab maulid. Maksudnya, kitab maulid tersebut dibaca tidak
hanya di saat sedang ada hajat, melainkan pada saat kapan suka. Tidak hanya di
saat bulan Rabi’ul Awal tiba atau ketika ada hajatan pernikahan, aqiqahan, sunatan.
Maulidan berarti pembacaan kitab maulid digelar bisa setiap hari, setiap pekan,
setiap bulan, dan umumnya setiap selapanan atau 35 hari sekali seperti terjadi di
Jawa. Dalam tradisi maulidan inilah bebunyian berhamburan memenuhi telinga.
Secara umum, suasana bunyi maulidan selalu berlumur irama “padang
pasir”. Di Medan juga ada tradisi pembacaan kitab maulid, namun, tidak disebut
maulidan. Kitab maulid yang dibaca juga hanya Kitab Maulid Barzanji. Tidak seperti
di Jawa yang sampai hari ini setidaknya ada tiga-empat kitab maulid yang sering
dimaulidankan: Maulid al-Barzanji karangan Syekh Ja‟far al-Barzanji, Maulid al-Diba’i
karangan Syekh Abdurrahman al-Diba‟i, Maulid Simthud Durar karangan Habib Ali
al-Habsyi, Qashidah Burdah karangan Syekh Muhammad al-Bushiri, Maulid al-Dliyaul
Lami’ karangan Habib Umar bin Hafizh. Biasanya kitab Maulid Barzanji dibaca oleh
masyarakat muslim di Medan hanya dalam perhelatan pernikahan, sunatan, dan
aqiqahan. Tanpa rebana. Bila pun ada, cara menabuh rebana tersebut masih
berdasarkan metode konvensional. Tidak tersistematis dengan rumus-rumus

9
tabuhan yang mirip derap langkah kaki kuda sebagaimana lazim terdengar hari ini.
Di samping itu, cara baca Kitab Maulid Barzanji di Medan juga berbeda dengan cara
baca di Jawa. Di Medan, Barzanji dibaca dengan penyenandungan mirip tilawatil
quran bergaya mujawwad. Satu rawi bisa dilantunkan dalam 15-20 menit. Di Jawa
setiap rawi hanya dilantunkan secara murattal atau bertempo cepat.
Salawatan di Darul Rahman digelar setiap malam Jumat selepas Maghrib.
Berbarengan dengan pembacaan maulid Barzanji. Terlebih dahulu salawat pembuka
dimainkan oleh munsyid atau vokalis tim hadhrah yang bertugas. Di sela-sela
pembacaan rawi, satu-dua salawat disisipkan untuk dilantunkan berjamaah
beriringan dengan tabuhan rebana. Ini satu budaya bunyi yang sebelumya belum
pernah saya rasuki. Istilah hadhrah baru saya ketahui di tahap ini. Acara-acara
pesantren yang melibatkan masyarakat luas pasti akan melibatkan penampilan
hadhrah.
Dalam ruang bersantri yang lebih longgar, dunia bunyi pesantren berbasis
salawatan di Darul Rahman juga kerap diperdengarkan di hari Minggu. Terutama
saat semua santri diwajibkan untuk bekerja bakti membersihkan pesantren. Dari
corong masjid, akan terdengar suara salawatan. Selepas dan sebelum azan, salawatan
juga dimainkan. Tentu minus hadhroh. Setiap santri, biasanya dari kelas atas,
diperbolehkan untuk menyumbangkan satu dua bait salawat nabi sambil menunggu
azan, selepas azan, dan atau saat menunggu iqamat. Salawat yang biasa dilantunkan
berjamaah tersebut adalah Salawat Nariyah dan Salawat Asyghil. Baru belakangan ini
saya mengetahui bahwa Salawat Asyghil yang berirama Hijaz tersebut merupakan
salawat yang ditulis oleh Imam Ja‟far al-Shadiq, cucu Nabi Muhammad saw dari
jalur Imam Husein.
Salawat Asyghil ini pada tahun 1970-an sering diperdengarkan melalui
saluran Radio As-Syafi‟iyyah Jakarta. Saya dengar, KH. Abdullah Syafi‟i di Jakarta
bahkan menghimbau seluruh santri di setiap pesantren dan di masjid-masjid Jakarta
untuk merutinkan pembacaan salawat ini selepas azan. Mengingat situasi sosial-
politik yang waktu itu sedang tidak membaik. Sewaktu tulisan ini saya susun, saya
baru saja menonton grup musik underground dari Bandung, Purgatory,
melantunkannya di atas panggung. Bersama Salawat Asyghil dan Nariyah mata saya

10
baru melek tradisi bersalawat nabi, biasanya Salawat Badar, di setiap pembukaan
acara apa saja. Termasuk acara upaca bendera. Saya tidak menemukan tradisi
serupa di Nurul Hakim dan mungkin saja di beberapa pesantren di Medan atau
bahkan di Sumatera. Seperti juga halnya tradisi bersalawat nabi sebelum dan
sesudah adzan.
Salawatan, maulidan, hadhrah bisa dianggap sebagai “bunyi resmi pesantren”.
Baik di Darul Rahman atau di pesantren lain di Jawa. Di luar bunyi resmi tersebut,
tetap dalam daur hidup pesantren Darul Rahman, saya mengenal luasnya dunia
bunyi-bunyian ketimbang di Nurul Hakim. Televisi dan radio mengambil peran
besar di sini. Soalnya di Nurul Hakim, para santri hanya diperbolehkan menonton
televisi ketika sarapan, makan siang, dan makan malam. Sementara di Darul
Rahman para santri diberikan ruang untuk menonton televisi yang disediakan oleh
Bagian Informasi (Qismul I’lan) setiap hari Minggu dan hari libur. Dimulai jam 09.00
pagi atau selepas pembersihan umum (Tanzhiful ‘Am). Santri juga dibebaskan
membawa walkman atau alat-alat elektronik berupa radio dalam berbagai ukuran
lengkap dengan loud-speaker sederhana. Namun, semua alat elektronik tersebut
hanya boleh dinyalakan setiap hari Minggu atau hari-hari libur. Di luar itu, alat-alat
tersebut disita dalam status penitipan ke Bagian Keamanan (Qismul Amni)
pesantren.
Di sanalah, dalam silang-selimpat televisi, radio, dan tape recorder ramah sita,
saya mengenal dunia bunyi “sekuler non-Arab” macam Slank, Padi, Boomerang,
Dewa 19, „Nsyinc, Westlife, Meggi Z, Mansyur S, dan bahkan terlebih lagi dunia
bunyi Hindustani atau lagu-lagu India. Ya, lagu India saat itu, kisaran tahun 1998-
2001, semacam menjadi soundtrack hidup para santri angkatan kami. Beriringan
dengan melejitnya Kuch-Kuch Hota Hai yang dibintangi Shah Rukh Khan, Kajol, Rani
Mukerjee. Hampir setiap pekan, setelah bekerja bakti, di waktu siang atau waktu-
waktu senggang, pesantren dihidupkan oleh bunyi lagu india. Terutama lagu-lagu
yang saat itu tengah melejit lewat film Mann, Dil To Pagal Hai, Mohabbatein, Dilwale
Dulhania Le Jayenge. Khusus lagu-lagu dari film Dil To Pagal Hai, sesungguhnya film
musikal-romantik itu bersinggasana di dalam khazanah budaya musikal saya

11
sampai hari ini. Hanya semata-mata karena semua lagu dari film itu benar-benar
cukup memikat dunia batin bunyi di kepala saya.
Sering pula, irama lagu India kami terapkan pada bait-bait nazhom Imrithi5
atau Alfiyah6 yang rutin disenandungkan sebelum kyai pengampu ngaji memasuki
ruang kelas. Karena saya baru menyantri di DR di kelas IV, maka saya pun baru
mengenal Imrithi pada kali itu. Ada pengalaman menarik saat pertama kali saya ikut
menyenandungkan Imrithi di kelas. Saya terkaget-kaget. Bait-bait syair tersebut oleh
kawan-kawan baru saya dinyanyikan dengan irama lagu dangdut Penasaran Rhoma
Irama. Sampai hari ini, Penasaran selalu mengingatkan saya pada peristiwa ini dan
tentu saja wajah teduh kyai pengampu, Kyai Mukhtar, yang dulu menyantri di
Pondok Pesantren Al-Anwar asuhan Syaikh Maimun Zubair.
„Imrithi dan Alfiyah akan disenandungkan oleh setiap santri yang
mempelajarinya pada setiap akhir tahun pelajaran atau menjelang bulan Ramadhan.
Acaranya semacam tutup tahun pelajaran atau biasa disebut haflah akhirus sanah.
Acara tersebut diisi dengan penyampaian mauizhah hasanah yang didahului dengan
pelantunan Imrithi dan Alfiyah yang dipersembahkan oleh masing-masing angkatan
di hadapan seluruh santri dan dewan kyai yang berkenan menghadiri acara. Setiap
penampil diperbolehkan mengcopy irama lagu apapun dan mempastekannya ke
dalam Imrithi maupun Alfiyah. Pernah sekali waktu, saat itu angkatan saya
mengcopy-paste-kan lagu Are Re Ar dari film India Dil To Pagal Hai ke dalam bait-bait
Alfiyah yang dilantunkan di atas panggung haflah.
Pada tahun ini pula, di Darul Rahman, lagu Ilir-Ilir yang dipopulerkan oleh
Emha Ainun Najib lewat album kaset Menyorong Rembulan. Sejak itu, saya rasa
dunia bunyi pesantren agak bisa diwakili oleh Emha dan musik-musik semisalnya.
Bersama dengan Ilir-Ilir, di kaset Emha itu ada lagu salawat Sholli wa Sallim Daiman,
Nurul Mushthofa, Qul Ya Azhim. Sebelum Emha, album salawat Haddad Alwi dan
Sulis telah lebih dulu menjadi narasi besar bagi seluruh lantunan salawat yang kami

5
Syair-syair berbahasa-arab yang berisi aturan tata bahasa Arab, berjumlah 250 bait. Ditulis oleh Syekh
Syarafuddin Yahya al-‘Imrithi. Di Darul Rahman, kitab ini dingajikan sebagai tahap kedua setelah para santri
mengkhatamkan Kitab Jurumiyah. Meninggal sekira tahun 1581 M di Mesir.
6
Syair-syair berbahasa-arab yang juga berisi aturan tata bahasa Arab, berjumlah 1000 bait. Ditulis oleh Syeikh
Ibnu Malik al-Andalusi (1204 M-1274 M). Dilahirkan di Andalusia. Wafat di Damaskus. Di Darul Rahman,
Alfiyah diajarkan kepada santri kelas V & VI. Pasca mengkhatamkan ‘Imrithi.

12
dengarkan hampir setiap hari di pesantren. Bahkan mungkin di luar pesantren.
Sempat ketika saya dan beberapa kawan berjalan-jalan ke Tanah Abang, suara
Haddad Alwi dan Sulis seolah menjadi soundtrack aktivitas pasar.
Selain dunia bunyi salawat, tahun ketiga saya menyantri di Darul Rahman
adalah tahun ketika dentuman bunyi musik pop Indonesia masuk ke dalam aroma
kehidupan anak-anak muda. Saat itu, saya mulai mendengar Sheila on 7 lewat lagu
Kita & Sephia, Jamrud dengan Pelangi di Matamu, Surti Tejo, dan Kabari Aku, Padi
dengan Begitu Indah dan Mahadewi. Sempat terbit keinginan saya waktu itu untuk
tidak hanya mendengar, tapi memainkan alat musik. Sayangnya, di Darul Rahman,
ada larangan membawa alat musik. Lebih saya sayangkan lagi, saya tidak pernah
berjumpa alasan fiqhiyah di balik larangan itu. Hanya larangan. Begitu.
Lebih penting lagi, di masa itu pula terjadilah pertemuan saya dengan Rock
n Roll dan Blues. Adalah seorang kawan seangkatan, Hery Irawan yang biasa kami
panggil Bogel, membawa kaset-kaset Slank formasi 137 ke pesantren. Kami sudah
duduk di kelas VI (enam) atau sampai di tahun terakhir menyantri. Sebagai malikul
ma’had (penguasa pesantren), kami memiliki keleluasaan atau semacam kebebasan
untuk melakukan banyak hal yang tidak mungkin dilakukan oleh santri di bawah
kami. Album Slank yang paling saya ingat dan paling sering diputar oleh Bogel
adalah album ketiga dan keempat Slank; Piss dan Generasi Biru. Setiap kali
mendengar sayatan gitar Pay dan dentingan keyboard Indra, saya merasakan
semacam ada aktivitas di otak. Seperti dipijat-pijat. Dari sanalah, kelak, saya dan
blues, terutama Slank, memiliki keterikatan. Sampai-sampai, skripsi saya di jenjang
S1 itu merupakan kajian saya atas Slank. Berawal dari pertemuan dengan Blues
Slank, hingga hari ini saya menempatkan Blues sebagai musik yang saya gemari.
Saya curiga, jangan-jangan taste musik Kanjeng Nabi Muhammad saw itu Blues.
Soalnya, dari sekian banyak orang di Madinah, anugerah kehormatan berupa
perintah untuk berazan hanya ia berikan kepada Bilal bin Rabah, orang Afrika itu.
Mengapa? Apa jangan-jangan karena kontur suara dan style irama Bilal itu bergaya
Afrikan, yang berarti, itu Blues? Bisa jadi iya. Bisa jadi tidak.

7
Slank formasi 13: Bimbim, Kaka, Pay, Indra, Bongky.

13
Meski begitu, dunia bunyi pesantren yang “resmi” macam salawat, tidak
bergeser dari ruang musikal saya. Pada tahun-tahun awal hidup di Yogyakarta, saya
bahkan sempat membeli tiga kaset album salawat An-Nabawiyyah, dari Pondok
Pesantren Langitan, Jawa Timur. Saat ini kaset mereka entah di mana. Ada kawan
yang meminjam, namun, belum dikembalikan hingga hari ini. Ada satu bunyi
pesantren yang hingga hari ini masih saya pertahankan untuk dibawakan dalam
ruang dengar masyarakat umum, yaitu bunyi irama doa yang lebih bernuansa Hijaz.
Karakter irama ini adalah kesedihan. Di Darul Rahman, saya kerap mendengarkan
Kyai Asmuni Abdurrahman membawakan irama Hijaz ini saat ia bertawassul
sebelum tahlilan. Ternyata, rata-rata para habaib dan kyai-kyai di Jakarta juga
biasanya membaca doa dan tawassul dengan menggunakan irama Hijaz tersebut.
Bila pembaca ingin tahu bagaimana irama Hijaz itu, coba dengarkanlah lagu
dangdut Laksamana Raja di Laut yang dinyanyikan Iyeth Bustami. Kira-kira, seperti
itulah karakter irama Hijaz. Selain Kyai Asmuni, Kyai Masyhuri Baidhawi juga rutin
membawakan irama Hijaz dalam lantunan al-Quran di Darul Rahman, terutama saat
beliau mengimami shalat.
Sedangkan bunyi khusus tilawatil quran atau seni baca al-Quran tidak terlalu
menjadi narasi utama di Darul Rahman. Ia dimasukkan ke dalam golongan kegiatan
ekstra kulikuler. Di Darul Rahman, santri yang memiliki bakat seni baca al-Quran
akan difasilitasi oleh bagian pengajaran (Qismut Ta’lim) dalam wadah Jam’iyyatul
Qurra. Seingat saya Jam’iyyatul Qurra mengadakan latihan setiap malam Jumat bakda
Isya. Karena bukan narasi utama, maka seni baca al-Quran di Darul Rahman tidak
terlalu tampak sebagai lini yang dipentingkan. Pasalnya, pesantren juga tidak
mendatangkan ustadz khusus untuk mengajarkan seni baca al-Quran bagi para
santri. Qismut Ta’lim hanya menyediakan pengajar dari santri senior. Bahkan saya
pernah menjadi satu di antara pengajarnya. Di beberapa pesantren lain sebagaimana
diceritakan oleh kawan-kawan, biasanya sang pengajar juga diminta dari salah
seorang ustadz atau kyai pesantren yang memang memiliki bakat dan prestasi di
bidang tersebut. Sementara santri-santri yang mempelajari seni baca al-Quran di
pesantren, umumnya memang telah lebih dahulu memiliki bakat dan prestasi di
luar pesantren atau sebelum ia masuk pesantren.

14
Ada satu dunia bunyi yang dulu saya dan para santri lain di Nurul Hakim
dan Darul Rahman tidak pernah diajarkan secara resmi, yaitu dunia bunyi dari bahr-
bahr syair Arab, yang biasa dikenal dengan nama Ilmu ‘Arudh. Ini adalah ilmu yang
diciptakan oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi8. Ia berfungsi sebagai timbangan
untuk melantunkan dan menciptakan syair-syair berbahasa-arab. Beberapa kawan
alumni pesantren-pesantren salafiyah di Jawa yang saya jumpai saat belajar di
universitas sempat ada yang mempelajarinya. Nama istilah bahr dan Ilmu ‘Arudh
sendiri baru saya dengar di Darul Rahman. Itupun tidak dalam rangka
mempelajarinya, melainkan lewat paparan kyai yang menyinggungnya sedikit di
saat ngaji kitab, tepatnya ketika memasuki satu atau dua bab berisi bait-bait syair
Arab. Saya tidak sempat mempelajarinya. Darul Rahman pun tidak
mengurikulumkannya.
Selain saran agar Ilmu ‘Arudh hendaknya diajarkan dan dikurikulumkan,
jika dipersilakan untuk mengajukan kritik terhadap dunia bunyi pesantren
sebagaimana yang saya alami waktu itu, saya akan menekankan kritik tentang
ketiadaan izin untuk belajar musik dan alat-alat musik di pesantren saya itu. Setahu
saya, alat-alat musik dalam kajian kitab-kitab fiqh dimasukkan ke dalam istilah
Aalatul Lahwi/Aalatul Malaahi (‫المالهى‬/‫)آلة اللهو‬. Setidaknya, keputusan tentang hukum
penggunaan alat-alat musik itu ditentukan oleh „illat atau sebab serta akibat yang
ditimbulkannya yang berhubungan dengan maqashid syariah (tujuan pensyariatan):
kelestarian agama, kelestarian nyawa, kelestarian harta, kelestarian keturunan, dan
kelestarian kehormatan.
Entah bagaimana riwayat asbabul ishthilah penerjemahan Aalatul
Lahwi/Malaahi menjadi alat-alat musik. Bila diartikan secara harfiah, Aalatul
Lahwi/Malaahi berarti alat-alat permainan/senda-gurau/yang melenakan. Tepatnya
melenakan manusia dari Tuhan dan kebenaran. Ada banyak pendapat para ulama
tentang musik yang bisa dibaca dalam berbagai literatur kitab kuning. Sayangya, di
pesantren dulu, saya belum pernah berkecimpung dalam kajian khusus tentang
tema tersebut. Tentu saja belum ada pula majelis yang digelar untuk itu.

8
Abu ‘Abd ar-Raḥmān al-Khalīl ibn Aḥmad ibn ‘Amr ibn Tammām al-Farāhīdī al-Azdī al-Yaḥmadī. Dilahirkan
di Arab Selatan (Oman) pada tahun 718 M. Wafat di Basrah, Iraq, pada tahun 786 M. Dikenal sebagai ahli
Bahasa Arab.

15
Khatimatun: Musik Pesantren, Musik Isi
Pengalaman saya bertemu dengan dunia bunyi di pesantren itu, bagi saya
telah mengantarkan saya pada perjumpaan dengan seluruh peradaban. Pesantren,
dalam keketatan aturannya, justru melonggarkan para santri untuk menjumpai
kemudahan-kemudahan dalam menziarahi banyak kemungkinan. Idza dhaqal amru,
ittasa’a (apabila suatu perkara menyempit, maka meluaslah dia). Begitu kaidah fiqh
yang saya pelajari di pesantren. Dari sini saya dapat memahami mengapa Gus Dur
sangat menggandrungi Beethoven sekaligus dangdut dan Umi Kultsum.
Dari sini dapat dipahami pula mengapa ada banyak santri yang selepas
mengkhatamkan pendidikan “resmi” di pesantren, lalu meneruskan kesantriannya
dalam dunia yang lebih luas, justru berjumpa dengan Dream Theatre, The
Rollingstones, Nirvana, Guns „n Roses, lagu India, dangdut, dangdut koplo, Nawal
El-Zughby, Ibrahim Maalouf, Nancy Ajram, Dhaffer Youseff, Abdel Wahhab, Ummi
Kultsum, dan masih banyak lagi. Dari sini pula dapat dipahami mengapa Gus Evant
Gitara tenggelam dalam musik metal. Sehingga pada Hari Santri 22 Oktober 2017
lalu, ia secara sengaja memetalisasi lagu wajib para santri: Ya Lal Wathon. Tidak
terbayang betapa gembiranya wajah Mbah Kyai Wahab Hasbullah seandainya
beliau menyaksikan secara live kegaharan sayatan gitar Gus Evant tersebut. Dari sini
pula Wali Band dapat menampilkan musik Melayu berlumur sayatan gitar ala Steve
Vai.
Setidaknya saya memiliki beberapa coretan atas perkara ini. Betul pesantren
identik dengan gambus dan atau irama padang pasir, namun, pesantren adalah
kosakata dinamis. Karena itu, musik pesantren adalah musik proses. Bukan hasil. Ia
isi. Bukan bentuk. Dunia selalu bergerak. Tidak pernah berhenti (fixed). Proses
berjumpa dengan musik adalah keseluruhan perjumpaan dengan bunyi. Kesediaan
untuk menjalani bunyi dan tunduk pada hukum proses adalah jalan utuh untuk
memesrai dunia yang disajikan oleh pesantren. Itulah yang disebut lelaku, nyantri.
Bertemu bunyi adalah berlelaku. Titik sasarnya adalah proses mendengar.
Kedua, kerja mendengar bunyi di pesantren adalah lelaku cinta. Bentuknya
merupa dalam pemanunggalan yang sakral dan yang profan, cinipta dan Pencipta,

16
cininta dan pecinta, lelaki dan perempuan, idealisme dan realisme, dan seterusnya.
Makna musik pesantren terletak dalam kemanunggalan semua daftar “oposisi
biner” itu. Inilah maksud musik sebagai adonan al-Jalal (keagungan) dan al-Jamal
(keindahan) yang dihidangkan ke meja semesta dalam bentuk al-Kamal
(kesempurnaan).9
Terakhir, mendengar bunyi adalah tindakan fana atau ketenggelaman total ke
dalam apa yang didengarkan. Karenya, simbol atau ekspresi artistik –baca: karya
musik - bukan ciptaan musisi. Bunyi atau musik adalah sesuatu yang terberi. Ia
sudah ada “di sana”. Musisi atau pelaku musik cuma menemukannya (discover)
dengan ke-fana-annya. Ia boleh mengklaim orisinalitas, akan tetapi orisinalitas itu
bukan haknya. Orisinalitas adalah pesona yang “sejak dari sononya” telah terdaftar
sebagai “harta Tuhan” sang Maha Musik, Maha Bunyi.
Alhasil, tinjauan terhadap musik dalam kacamata pesantren tidak bisa
dikerjakan dengan berpandukan pada batasan-batasan legal-formal (fiqh) semata –
atau dengan mempertanyakan status halal-haramnya, pemeriksaan ontologis,
amatan motivasional, maupun tinjauan relasional atasnya. Musik pesantren harus
dipandang sebagai: kitabun fi musik-isi. Bukan fashlun fi musik-bentuk. Apakah itu
yang disebut nang-ning-nung? Entahlah. Wallahu a’lam bil Musik Pesantren.

***

9
Ibnu Arabi, Kitab al-Jalal wal Jamal (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 24-36.

17
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Abul Haris. 2009. “Musikalitas Al-Quran (Kajian Unsur Keindahan Bunyi
Internal dan Eksternal)”, Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Amrullah, Eva F. 2006. “Transendensi al-Quran dan Musik: Lokalitas Seni Baca al-
Quran di Indonesia”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Pusat Studi al-Quran (PSQ),
Vol. I, No. 3.
Arabi, Muhyiddin Ibnu. 2001. Kitab al-Jalal wal Jamal. Beirut: Darul Kutub al-
„Ilmiyyah.
Baso, Ahmad. 2012. Pesantren Studies 2a: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di
Masa Kolonial. Jakarta: Pustaka Afid.
Erzen, Jale Nejdet. 2007. “Islamic Aesthetics: An Alternative Way to Knowledge”,
dalam The Journal of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 65, No. 1, Winter.
al-Faruqi, Ismail Raji. 1999. Seni Tauhid; Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
George, Kenneth M. 2010. Picturing Islam Art and Ethic in Muslim Lifeworld. UK:
Wiley-Blackwell.
Indrawan, Andre & Susanti Andari, Suryati. 2009. “Seni Musik Hadrah Putri di
Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak”, dalam Jurnal Resital, Fakultas Seni
Pertunjukan ISI Yogyakarta, Vol. 10, No. 1.
Inglis, David & John Hughson (ed.). 2005. The Sociology of Art: Ways of Seeing. NY:
Palgrave McMillan.
Khan, Hazrat Inayat. 2002. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi [edisi revisi]. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Simatupang, Lono L. 2010. “Seni dan Agama”, bahan kuliah Dinamika Seni dan
Kebudayaan Pascasarjana Antropologi FIB UGM.
Sulasman & Fadlil Yani Ainusyamsi. 2014. “Islam, Seni Musik, dan Pendidikan Nilai
di Pesantren”, dalam Jurnal Panggung, LPPM ISBI Bandung, Vol. 24, No. 3.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Press.

18

Anda mungkin juga menyukai