Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Styrofoam merupakan plastik nomor 6 dalam klasifikasi plastik, yaitu
polystyren, sehingga styrofoam sama berbahayanya dengan plastik. Saat ini,
styrofoam banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan seperti
kemasan, bahan kerajinan, dekorasi, bahan bangunan, dan sebagainya. Menurut
Yang et all (2015), saat ini konsumsi sintesis dari bahan baku styrofoam
mendekati 7,1 % (21 Mt/tahun) dari konsumsi plastik di tahun 2013.
Styrofoam yang mempunyai nama lain polistyrene. Polistyrene merupakan
salah satu polimer yang ditemukan pada tahun 1930, dibuat melalui proses
polimerisasi adisi dengan suspensi. Stirena dapat diperoleh dari sumber alam yaitu
petroleum. Stirena merupakan cairan yang tidak berwarna menyerupai minyak
memiliki bau seperti benzena dan memeliki rumus kimia C6H5CH=CH2 atau
ditulis sebagai C8H8 (Yang et all, 2015). Dari kandungan senyawanya nampak
bahwa styrofoam merupakan sampah yang sulit di degradasi, sehingga perlu
pengolahan lain yang lebih bermanfaat. Disisi lain pengolahan sampah styrofoam
dengan cara pembakaran bukan metode yang aman bagi lingkungan karena akan
menyebabkan emisi gas yang potensial menyebabkan polutan dan menyebabkan
efek rumah kaca seperti CO2, SOx, dan CO (Rodiansono, 2005).
Styrofoam mengandung risiko bahaya bagi kesehatan manusia ketika
disimpan atau dipanaskan karena styrofoam bersifat karsinogen. Penggunaan
styrofoam sebagai wadah makanan dengan cara yang tidak tepat, dapat
menyebabkan terjadinya migrasi monomer styrene dari kemasan styrofoam ke
dalam makanan dan menimbulkan resiko penyakit (Ela dkk, 2016). Dampak dan
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh styrofoam baik pada kesehatan dan
lingkungan harus segera dicari alternatif solusinya. Mengingat resiko yang
ditimbulkan dari penggunaan bahan plastik dan styrofoam sebagai kemasan, maka
diperlukan solusi tepat salah satunya dengan mengidentifikasi jenis-jenis plastik

1
2

yang aman digunakan, sesuai dengan kriteria atau standar kemasan plastik yang
telah ditetapkan oleh instansi pemerintah serta ramah bagi lingkungan.
Ada berberapa metode yang telah berhasil diteliti dalam mengkonversi
limbah styrofoam, diantaranya adalah dengan pirolisis (thermal cracking),
hydrocracking dan hidroisomerisasi. Dengan alternatif mengubah limbah
styrofoam dengan metode pirolisis menjadi suatu energi bahan bakar alternatif
(Angga, 2013). Maryudi dan Salamah (2015) telah melakukan penelitian pirolisis
styrofoam dengan katalis zeolit alam. Hasil dari analisis GC-MS terhadap sampel
menunjukkan pirolisis sampel murni (tanpa zeolit) mengandung 19 senyawa
dengan komponen terbesar adalah benzena dan toluen yang merupakan senyawa
aromatis. Dengan menambahkan zeolit alam dengan variasi berat zeolit
menunjukkan senyawa yang bertambah banyak, namun masih mengandung
senyawa aromatisnya. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa styrofoam
mengandung ikatan rangkap 2, yang dapat terengkah dengan hadirnya katalis
zeolit alam.
Metode atau cara penanggulangan limbah plastik yang paling aman dan
bersahabat terhadap lingkungan adalah metode biodegradation atau biodegradasi.
Metode biodegradasi sifatnya alami dan tidak menimbulkan zat baru yang dapat
membahayakan lingkungan (Schnabel, 1981 dalam Pratomo dan Eli., 2011).
Mikroorganisme yang dapat mendegradasi plastik lebih dari 90 genus yaitu dari
jenis bakteri dan fungi, diantaranya; Bacillus megaterium, Pseudomonas sp.,
Azotobacter, Ralstonia eutropha, Halomonas sp., dan lain-lain. Senyawa yang
didegradasi yaitu bioplastik PHB (Poly-3-hydroxy-butyric acid) yang merupakan
senyawa yang diproduksi oleh mikroorganisme bioplastik sebagai sumber
cadangan makanan ketika kondisi nutrisi berkurang (Luegne et. al., 2003 dalam
Sriningsih dan Maya., 2015).
Baru-baru ini diketahui bahwa ulat tepung atau larva T. molitor mampu
memakan styrofoam. Penelitian Yang et al., (2015) menemukan bahwa T. molitor
yang diberi pakan styrofoam mampu mencerna styrofoam melalui bakteri
Exiguobacterium sp. strain YT2 yang terdapat di dalam ususnya. Bakteri tersebut
mensekresikan enzim ekstraseluler yang mengkatalis reaksi depolimerisasi
3

fragmen styrofoam menjadi molekul-molekul kecil. Larva T. molitor bersifat


polifagus (omnivora). Penelitian ini menyiratkan bahwa pemberian styrofoam
tidak menimbulkan dampak negatif pada kemampuan bertahan hidup dari larva
T. Molitor dan membuktikan bahwa pembelahan/depolimerisasi molekul PS rantai
panjang. Styrofoam terdegradasi atau termineralisasi menjadi CO2 yang
selanjutnya diasimilasikan menjadi biomassa. Sisa fragmen styrofoam dan
intermediet lainnya dengan beberapa mikroba usus disebut sebagai fecula.
Biomassa ulat hongkong diduga memiliki kandungan protein dan tidak memiliki
kandungan senyawa yang berbahaya yang berasal dari styrofoam. Biomassa ulat
hongkong bisa dimanfaatkan untuk pupuk organik, dan pakan ikan nila ataupun
lele.
Kotoran ulat hongkong berukuran kecil, namun di lokasi pembudidaya ulat
hongkong, kotoran tersebut sangat melimpah dan menjadi limbah. Pada saat ini
pembudidaya ulat hongkong masih belum mengetahui pengolahan limbah kotoran
ulat tersebut, sehingga hanya dibuang begitu saja. Menurut Ravzanaadii dkk
(2012), berdasarkan analisis proksimat fecula/ekskreta ulat hongkong memiliki
kelembaban sebesar 13,02 %; protein 18,51%; lemak kasar 1.3%; serat kasar
25,96 %; dan abu mentah 3,22 %. Kandungan protein total 18,51 dalam ekskreta
menunjukkan kandungan protein tinggi sebagai produk limbah dan menunjukkan
bahwa ekskreta digunakan sebagai suplemen tambahan dalam proses daur ulang
makanan untuk makanan hewan. Kandungan asam lemak dari biomassa ulat
hongkong dalam satuan gram per 100 g protein adalah sebagai berikut: asam
lemak jenuh sebesar 35,57; asam lemak tidak jenuh sebesar 64,43; omega 3
sebesar 39,54; dan omega 6 sebesar 24,89 g/100 g protein. Sedangkan pada larva
(ulat hongkong) memiliki kadar protein sebesar 46,44%; lemak kasar 32,7%; serat
kasar 4,58%; kadar air 5,33% dan kadar abu 2,86 %.
Pada penelitian Leluk et al (2017) ulat hongkong yang diberi pakan
styrofoam memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Konsentrasi total
protein dalam tubuh mealworms diberi berbagai bahan polystyrene pada akhir
percobaan hanya sedikit lebih rendah dari pada kandungan protein yang terkontrol
mealworms makan oatmeal. Namun, kandungan gula total menurun hingga 32,5%
4

dari nilai kontrol dan kandungan lipid total menurun hingga 45% dari nilai
kontrolnya.
Umumnya harga pakan ikan yang terdapat di pasaran relatif mahal.
Alternatif pemecahan yang dapat diupayakan adalah dengan membuat pakan
buatan sendiri melalui teknik sederhana dengan memanfaatkan sumber-sumber
bahan baku yang relatif murah. Tentu saja bahan baku yang digunakan harus
memiliki kandungan nilai gizi yang baik yang diperlukan oleh ikan, mudah
didapat ketika diperlukan, mudah diolah dan diproses, dan berharga murah. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan biomassa ulat hongkong dan fecula
(kotoran ulat) yang berasal dari biodegradasi styrofoam yang masih dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan yang memiliki kandungan nutrisi
lengkap yang dibutuhkan oleh ikan. Penambahan, tepung ikan dan dedak dapat
dilakukan untuk menambah kandungan nutrisi pada pelet yang dihasilkan.
Berdasarkan hal tersebut sehingga perlu dilakukannya penelitian tentang
“Pemanfaatan Biomassa dan Fecula Hasil Biodegradasi Styrofoam oleh Ulat
Hongkong (Larva Tenebrio Molitor) dalam Pembuatan Pakan Ikan Serta
Pengujian Toksisitas LD50”. Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu solusi
dalam mengurangi limbah styrofoam yang ramah lingkungan dan sebagai
alternatif sumber protein dalam pembuatan pakan ikan. Jika dalam skala besar
dilakukannya degradasi styrofoam menggunakan ulat hongkong, banyak biomassa
(ulat mati) dan fecula (kotoran ulat) yang terbuang. Sehingga metode ini sebagai
keuntungan balik dari degradasi styrofoam menggunakan ulat hongkong serta
meminimalisir terjadinya limbah lain.

1.2 Rumusan Masalah


Mulia dkk (2017) telah melakukan penelitian untuk mengkaji uji fisik
pakan ikan yang menggunakan tepung gaplek. Metode penelitian menggunakan
metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) 4 perlakuan dan 4 kali
ulangan, yaitu P0 : pakan komersial (kontrol); P1 : pakan dengan binder tepung
gaplek 5 %; P2 : pakan dengan binder tepung gaplek 7,5 %; dan P3 : pakan
dengan binder tepung gaplek 10%. Bahan baku pakan adalah tepung bulu ayam
5

yang difermentasi dengan Bacillus licheniformis B2560, ampas tahu yang


difermentasi dengan Aspergillus niger, dan tepung ikan rucah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian binder tepung gaplek berpengaruh
nyata terhadap hasil uji fisik pakan ikan. Perlakuan dengan binder tepung gaplek
dengan konsentrasi 10% memiliki kualitas pakan yang paling baik dan mampu
menyamai kualitas pakan komersial.
Widiyanto dan Narto (2017) telah melakukan penelitian untuk
mengetahui kualitas pakan buatan dan mengukur kandungan protein, lemak,
karbohidrat, serat kasar, abu, dan air pada pakan dari limbah filet ikan dan ampas
tahu dengan formulasi yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Perbedaan perlakuan dengan
membedakan komposisi tepung ikan sebanyak 0,56 kg dan tepung kedelai sebesar
0,22 kg yang disubstitusi dengan tepung limbah filet ikan dan ampas tahu (P1 =
100% bukan dari limbah; P2 = 40% dari limbah limbah filet ikan dan ampas tahu;
P3 = 60% dari limbah filet ikan dan ampas tahu ; P4 = 100% dari limbah tepung
limbah filet ikan dan ampas tahu; dan P5 = Pakan komersil). Parameter yang
diamati yaitu uji proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak
kasar, kadar karbohidrat) dan parameter pendukung, yaitu uji organoleptik (warna,
tekstur dan bau). Data hasil organoleptik dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil Perlakuan terbaik pembutan pelet lele pada penelitian ini yaitu P2
(60% tepung ikan + 40% tepung limbah filet ikan; 60% tepung kedelai +40%
ampas tahu) dengan kandungan Protein (27.99%), Kadar Air (11.90%), Kadar abu
(24.18%), Lemak (18.79%), Karbohidrat (17.13 %).
Kusumastuti (2017) telah melakukan penelitian untuk mengetahui hasil uji
kandungan protein yang terdapat pada variasi konsentrasi pelet tepung bulu ayam.
Penelitian ini menggunakan desain percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 5 perlakuan yaitu pelet pabrik merek 781-1/kontrol (P0), pelet alternatif
limbah bulu ayam 10% (P1), pelet alternatif limbah bulu ayam 20% (P2), pelet
alternatif limbah bulu ayam 30% (P3), dan pelet alternatif limbah bulu ayam 40%
(P4). Hasil penelitian yang diperoleh yaitu semakin banyak tepung bulu ayam
yang digunakan maka kandungan protein pakan akan semakin tinggi.
6

Zaenuri et al (2017) telah melakukan penelitian untuk membuat pakan


ikan dengan memanfaatkan limbah padat sludge biogas dari ternak sapi dan
mengetahui nilai kandungan nutrisi dari pakan ikan dengan bahan baku limbah
padat sludge biogas. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Terdapat tujuh perlakuan (P)
yang terdiri dari sludge, tepung ikan, dedak padi dan janggel jagung (%) dengan
campuran berturut-turut 0-35-35-30 (P1), 5-35-35-25 (P2), 10-35-35-20 (P3), 15-
35-35-15 (P4), 20-35-35-10 (P5), 25-35-35-5 (P6), dan 30-35-35-0 (P7). Kualitas
pakan yang mendekati SNI dan memiliki daya apung baik terdapat pada P2.
Perlakuan P2 memiliki Kualitas pakan 20% protein, 5% lemak, 22% abu, 11%
kadar air dan daya apung selama 11 jam. Perlakuan tersebut memiliki kandungan
abu paling rendah dari perlakuan lain. Sehingga P2 menjadi yang terbaik dari
tujuh perlakuan yang ada.
Berdasarkan penelitian Yang et al (2017) dan Leluk et al (2017) telah
melakukan penelitian tentang biodegradasi polystyrene menggunakan mealworm
atau ulat hongkong (larva Tanebrio Molitor), maka untuk penelitian selanjutnya
juga dilakukan uji coba biodegradasi limbah polystyrene (styrofoam)
menggunakan ulat hongkong (larva T. molitor). Ulat hongkong yang digunakan
berasal dari pasar burung, Pekanbaru. Styrofoam yang digunakan merupakan
limbah styrofoam wadah makanan. Kemudian biomassa dan fecula ulat hongkong
diambil untuk dijadikan bahan pembuatan pakan ikan. Bahan utama pembuatan
pakan ikan pada penelitian ini adalah biomassa dan fecula ulat hongkong. Variasi
% perbandingan komposisi bahan (biomassa ulat : fecula ulat) yaitu (20%:10%),
(30%:10%), dan (40%:10%) dengan 2 kali perlakuan.
Penelitian-penelitian sebelumnya belum mengkaji variasi perbandingan
bahan pakan ikan menggunakan biomassa dan fecula hasil biodegradasi styrofoam
oleh ulat hongkong untuk meningkatkan kadar protein pada pembuatan pakan
ikan, sehingga penelitian ini sangat layak dan penting untuk dilakukan.
7

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan didapatkan tujuan
penelitian sebagai berikut.
1. Menganalisa pengaruh variasi %perbandingan komposisi bahan (biomassa
ulat : fecula ulat) terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar
lemak, dan kadar serat kasar dalam pembuatan pakan ikan hasil
biodegradasi styrofoam oleh ulat hongkong
2. Menganalisis hubungan pakan ikan hasil biodegradasi styrofoam oleh ulat
hongkong terhadap nilai LD50 dengan variasi pemberian dosis pakan 3%,
5% dan 7%

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai kemampuan ulat
hongkong (larva T. Molitor) dalam mengkonsumsi styrofoam, sehingga
dapat mendegradasi limbah styrofoam dengan cepat dan efisien, serta
aman bagi lingkungan
2. Bagi pembudidaya ulat hongkong; mengetahui solusi pengolahan limbah
kotoran ulat hongkong
3. Bagi petani ikan dan masyarakat; Memberikan alternatif pakan dengan
inovasi baru yang murah untuk menekan biaya produksi pakan, dan
memberi informasi mengenai pemanfaatan biomassa dan fecula ulat
hongkong sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan pakan ikan.
4. Bagi mahasiswa; memberikan kebermanfaatan ilmu bagi masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup


Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian untuk melihat pengaruh
pemberian biomassa dan fecula ulat hongkong (larva T. Molitor) dalam
pembuatan pakan ikan hasil biodegradasi styrofoam oleh ulat hongkong. Adapun
variabel tetap dalam penelitian ini yaitu jenis ulat yang digunakan serta jenis dan
ukuran styrofoam yang didegradasi, pakan ragi, intensitas cahaya rendah, kondisi
8

suhu ruang, dan kelembaban 70-80% dan berat setiap perlakuan pembuatan pellet
(200 gram). Sementara variabel terikat dalam pembuatan pakan ikan dari
biomassa ulat hongkong berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak,
dan kadar serat kasar.
Untuk mendapatkan kadar protein, serat kasar, lemak, air, dan kadar abu
yang sesuai SNI, maka dilakukan variasi %perbandingan komposisi bahan
(biomassa ulat : fecula ulat) yaitu (20%:10%), (30%:10%), dan (40%:10%).
Selanjutnya dilakukan uji toksisisitas LD50 untuk melihat ada tidaknya racun yang
terkandung dalam pakan ikan dengan pemberian dosis pakan 3%, 5%, dan 7%.

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan proposal ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian latar belakang masalah yang mendasari
dilakukannya penelitian ini, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, ruang lingkup serta sistematika penulisan dalam
usulan penelitian ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka mengenai topik terkait penelitian
ini, yaitu Polystyrene Foam (Styrofoam), Biodegradasi Plastik,
Mekanisme Biodegradasi Plastik, Mikroba Pendegradasi Plastik,
Biodegradasi Styrofoam oleh Larva T. Molitor, Kandungan Nutrisi
Fecula dan Biomassa Ulat Hongkong, Aspek Nutrisi Pakan Ikan,
Pengujian Kualitas Pakan Ikan, serta Uji Toksisitas Lethal Dose 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang alat, bahan, instrument yang digunakan pada
penelitian, variabel bebas, variabel tetap dan variabel terikat yang
digunakan pada penelitian, prosedur penelitian, analisis dan pengolahan
data serta jadwal penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai