PENDAHULUAN
1
2
yang aman digunakan, sesuai dengan kriteria atau standar kemasan plastik yang
telah ditetapkan oleh instansi pemerintah serta ramah bagi lingkungan.
Ada berberapa metode yang telah berhasil diteliti dalam mengkonversi
limbah styrofoam, diantaranya adalah dengan pirolisis (thermal cracking),
hydrocracking dan hidroisomerisasi. Dengan alternatif mengubah limbah
styrofoam dengan metode pirolisis menjadi suatu energi bahan bakar alternatif
(Angga, 2013). Maryudi dan Salamah (2015) telah melakukan penelitian pirolisis
styrofoam dengan katalis zeolit alam. Hasil dari analisis GC-MS terhadap sampel
menunjukkan pirolisis sampel murni (tanpa zeolit) mengandung 19 senyawa
dengan komponen terbesar adalah benzena dan toluen yang merupakan senyawa
aromatis. Dengan menambahkan zeolit alam dengan variasi berat zeolit
menunjukkan senyawa yang bertambah banyak, namun masih mengandung
senyawa aromatisnya. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa styrofoam
mengandung ikatan rangkap 2, yang dapat terengkah dengan hadirnya katalis
zeolit alam.
Metode atau cara penanggulangan limbah plastik yang paling aman dan
bersahabat terhadap lingkungan adalah metode biodegradation atau biodegradasi.
Metode biodegradasi sifatnya alami dan tidak menimbulkan zat baru yang dapat
membahayakan lingkungan (Schnabel, 1981 dalam Pratomo dan Eli., 2011).
Mikroorganisme yang dapat mendegradasi plastik lebih dari 90 genus yaitu dari
jenis bakteri dan fungi, diantaranya; Bacillus megaterium, Pseudomonas sp.,
Azotobacter, Ralstonia eutropha, Halomonas sp., dan lain-lain. Senyawa yang
didegradasi yaitu bioplastik PHB (Poly-3-hydroxy-butyric acid) yang merupakan
senyawa yang diproduksi oleh mikroorganisme bioplastik sebagai sumber
cadangan makanan ketika kondisi nutrisi berkurang (Luegne et. al., 2003 dalam
Sriningsih dan Maya., 2015).
Baru-baru ini diketahui bahwa ulat tepung atau larva T. molitor mampu
memakan styrofoam. Penelitian Yang et al., (2015) menemukan bahwa T. molitor
yang diberi pakan styrofoam mampu mencerna styrofoam melalui bakteri
Exiguobacterium sp. strain YT2 yang terdapat di dalam ususnya. Bakteri tersebut
mensekresikan enzim ekstraseluler yang mengkatalis reaksi depolimerisasi
3
dari nilai kontrol dan kandungan lipid total menurun hingga 45% dari nilai
kontrolnya.
Umumnya harga pakan ikan yang terdapat di pasaran relatif mahal.
Alternatif pemecahan yang dapat diupayakan adalah dengan membuat pakan
buatan sendiri melalui teknik sederhana dengan memanfaatkan sumber-sumber
bahan baku yang relatif murah. Tentu saja bahan baku yang digunakan harus
memiliki kandungan nilai gizi yang baik yang diperlukan oleh ikan, mudah
didapat ketika diperlukan, mudah diolah dan diproses, dan berharga murah. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan biomassa ulat hongkong dan fecula
(kotoran ulat) yang berasal dari biodegradasi styrofoam yang masih dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan yang memiliki kandungan nutrisi
lengkap yang dibutuhkan oleh ikan. Penambahan, tepung ikan dan dedak dapat
dilakukan untuk menambah kandungan nutrisi pada pelet yang dihasilkan.
Berdasarkan hal tersebut sehingga perlu dilakukannya penelitian tentang
“Pemanfaatan Biomassa dan Fecula Hasil Biodegradasi Styrofoam oleh Ulat
Hongkong (Larva Tenebrio Molitor) dalam Pembuatan Pakan Ikan Serta
Pengujian Toksisitas LD50”. Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu solusi
dalam mengurangi limbah styrofoam yang ramah lingkungan dan sebagai
alternatif sumber protein dalam pembuatan pakan ikan. Jika dalam skala besar
dilakukannya degradasi styrofoam menggunakan ulat hongkong, banyak biomassa
(ulat mati) dan fecula (kotoran ulat) yang terbuang. Sehingga metode ini sebagai
keuntungan balik dari degradasi styrofoam menggunakan ulat hongkong serta
meminimalisir terjadinya limbah lain.
suhu ruang, dan kelembaban 70-80% dan berat setiap perlakuan pembuatan pellet
(200 gram). Sementara variabel terikat dalam pembuatan pakan ikan dari
biomassa ulat hongkong berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak,
dan kadar serat kasar.
Untuk mendapatkan kadar protein, serat kasar, lemak, air, dan kadar abu
yang sesuai SNI, maka dilakukan variasi %perbandingan komposisi bahan
(biomassa ulat : fecula ulat) yaitu (20%:10%), (30%:10%), dan (40%:10%).
Selanjutnya dilakukan uji toksisisitas LD50 untuk melihat ada tidaknya racun yang
terkandung dalam pakan ikan dengan pemberian dosis pakan 3%, 5%, dan 7%.