Pengertian
Seni Gambang Kromong adalah seni tradisi Betawi yang berakar dari seni tradisional Cina
dengan menggunakan instrumen berbentuk gambang yang terbuat dari bilah-bilah kayu
berjumlah 18 bilah, serta kromong merupakan instrumen pukul yang bentuknya mirip alat musik
bonang Jawa. Seni ini dahulu berfungsi untuk menjamu serta menghormati tamu Cina yang
datang ke Jakarta dan juga dimainkan saat menyambut tahun baru serta hari besar masyarakat
Cina yang ada di Batavia. Seni ini pun berkembang pada masyarakat Betawi. Sekarang menjadi
musik hiburan yang dimainkan pada acara pernikahan serta perayaan lain. Selain bisa dimainkan
sebagai musik yang mandiri atau biasa disebut Phobin, gambang kromong digunakan pula untuk
mengiringi tari Cokek dan Teater Lenong kesenian Betawi lainnya.
Hal yang menarik dari gambang kromong adalah lagu-lagu yang dibawakan biasanya lagu-lagu
bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan
(Performance) lagu dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai
lawannya.
B. Sejarah
Berdasarkan sumber-sumber Belanda, sejak abad 17 penduduk Batavia sudah sangat majemuk,
dalam buku Dagh Register 1673 penduduk Batavia berjumlah 32.0.68 orang dan 2.747 orang
diantaranya adalah keturunan Cina, mereka berkembang terus dan pada tahun 1893 sudah
mencapai 26.569 orang dari jumlah penduduk seluruhnya 110.669 orang.
Sebagai penduduk yang relatif besar, pada tahun 1880 mereka pun membawa budaya tanah
leluhur yaitu diantaranya musik Cina.
Musik yang bernama gambang kromong itu berasal dari warga Cina bernama Bek Teng Tjoe
yang ingin menjamu tamu. Pada awal perkembangan, lagu yang dibawakan masih lagu Cina,
kemudian mulai diisi oleh lagu-lagu Betawi.
Sejalan dengan perkembangan penduduk Cina dan masyarakat lainnya, perkembangan
demografis berubah, daerah pinggiran Jakarta, termasuk Tangerang yang sekarang masuk
wilayah propinsi Banten menyimpan seni Gambang Kromong ini sebagai musik khas daerahnya.
Sekarang gambang kromong bukan lagi monopoli etnis keturunan Cina tapi hampir merupakan
musik khas daerah pinggiran Betawi.
C. Alat Musik
Alat musik yang digunakan dalam seni gambang kromong ini terdiri atas : Gambang, Kromong,
Ning Nong, Kecrek, Gong, Gendang, Kongahyan, yang berukuran sedang disebut Tehyan,
Sukong serta bangsing atau Suling.
Gambang, yaitu instrumen pukul dengan bilah-bilah kayu berjumlah 18 buah, dengan skala
tangga nada khas Cina.
Kromong, yaitu instrumen pukul dari logam, bentuknya mirip dengan bonang Jawa.
Kecrek, berupa dua buah piringan dari logam yang dikaitkan pada kerangka. Pemukul yang
digunakan terbuat dari kayu.
Gong dan Kempul, sebagai instrumen kolomotik mirip sekali penggunaannya dengan alat
musik gamelan Sunda atau Jawa.
Instrumen gesek tiga buah, bentuknya mirip satu sama lainnya. Yang paling kecil disebut
Kongahyan, yang berukuran sedang disebut Tehyan, dan berukuran paling besar disebut Sukong.
Kongahyan :
Gbr. Kongahyan
Gbr. Tehyan
Gbr. Sukong
Gendang yang mirip sekali dengan alat musik gendang Sunda lengkap dengan gendang
kecilnya.
Bangsing atau Suling yang memiliki enam lubang yang dimainkan dalam posisi horisontal.
Sekarang juga terdapat istilah “gambang kromong kombinasi” Gambang keromong kombinasi
adalah orkes gambang keromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-
alat musik Barat modern seperti gitar melodi, bas gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya,
yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik.
Kehadiran gambang kromong kombinasi tanpa terasa mengganggu ciri khas dari gambang
kromong sendiri. Lagu-lagu yang dimainkan gambang kromong kombinasi berlangsung secara
wajar dan tidak berkesan dipaksakan.
SUMBER PUSTAKA
http://betawi.blogsome.com,
http://www.strada.or.id,
http://www.harisahmad.com,
http://wisatadanbudaya.blogspot.com,
http://id.wikipedia.org/,
http://google.com.
Gambang kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan
gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan [1]. Sebutan
gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal
mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas
Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-
1740)[2].
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu,
manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat
dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan
dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik Cina[1], yang sering disebut salendro
Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang,
kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong, tehyan, atau kongahyan sebagai pembawa
melodi.
Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan
unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu sukong,
tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada
perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti
lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar
Gunem, Gula Ganting, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya,
dan lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi, Balo-
balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde, Gelatik
Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas
bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat
Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu
Siu, Lo Fuk Cen, dan sebagainya.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat
humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran[1]. Pembawaan lagunya
dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya[1].
Gambang kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah
budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya (Jabotabek).
Jika terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat,
terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta
Barat, misalnya, terdapat lebih banyak jumlah grup gambang kromong dibandingkan dengan di
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur[3].
Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang kromong kombinasi"[4]. Gambang kromong
kombinasi adalah orkes gambang kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan
dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan
sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik
tanpa terasa mengganggu[5]. Hal tersebut tidak mengurangi kekhasan suara gambang kromong
sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan[5].
Gambang merupakan alat musik yang terbuat dari kayu khusus yang berbunyi halus bila di
pukul atau di mainkan. Bilahan gambang biasanya berjumlah 18 buah dengan ukuran yang
berbeda agar mengeluarkan nada yang berbeda pula. Sedangkan Kromong merupakan alat musik
terbuat dari perunggu. Bentuknya seperti alat Gamelan pada umumnya, jumlah kromong sendiri
biasanya berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Kromong juga merupakan alat musik yang di
mainkan dengan cara di pukul, dan setiap pencon juga memiliki nada yang berbeda.
Dalam pertunjukannya, biasanya tangga nada yang di gunakan merupakan tangga nada
pentatonik Cina. Tangga nada tersebut biasa dikenal dengan selendro cina atau salendro
mandalungan. Selain gambang dan kromong, alat musik Gamelan yang di gunakan diantaranya
adalah gong, gendang, suling dan kecrek. Selain itu juga menggunakan alat musik dari Cina
sebagai pengisi melodi seperti sukong, tehyan dan kongahyan. Pada saat pertunjukan biasanya
lagu yang dinyanyikan di bawakan oleh penyanyi pria dan wanita. Lagu yang dinyanyikan
biasanya merupakan lagu klasik Betawi seperti Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem,
Tanjung Burung, Mawar Tumpah dan lain – lain. Selain itu juga lagu pop Betawi seperti Jali-
jali, Stambul, Surilang, Persi, Akang Haji, Kramat Karem, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning
dan lain – lain.
Dalam perkembangannya, Gambang Kromong telah menjadi musik tradisional Betawi yang
sangat populer. Banyak grup orkes Gambang Kromong yang terlahir dan berkembang seiring
dengan perkembangan jaman. pada masa modern ini alat musik Gambang Kromong juga di
kombinasikan dengan beberapa alat musik modern seperti gitar, bass, organ, drum, seksofon dan
alat modern lainya. walaupun di tambahkan beberapa alat musik modern namun tidak
menghilangkan ciri khas dari Gambang Kromong sendiri.
Dalam perkembangannya, Gambang Kromong tidak hanya di tampilkan secara orkes saja.
Kesenian musik tradisional ini juga di gunakan untuk mengiringi berbagai kesenian Betawi
lainya seperti tarian tradisional Betawi.
Nah cukup sekian pengenalan tentang Gambang Kromong Musik Tradisional Betawi. semoga
bermanfaat dan menambah pengetahuan anda tentang kesenian tradisional di Indonesia.
ebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong.
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis
lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10
buah (sepuluh ’pencon’). Orkes Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-
unsur pribumi dengan unsur Cina.
Secara fisik unsur Cina tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong,
sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong merupakan unsur
pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya.
Disamping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-
lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas
bercorak Cina, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw,
Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.
Orkes Gambang yang semula digemari oleh kaum peranakan Cina saja, lama-kelamaan di gemari pula
oleh golongan pribumi, karena berlangsugnya proses pembauran. Bila pada masa lalu popularitas orkes
Gambang Kromong umumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat keturunan Cina dan
masyarakat yang langsung atau tidak langsung banyak menyerap pengaruh kebudayaannya, pada
perkembangan kemudian, penggemarnya semakin luas, lebih-lebih pada tahun tujuh puluhan. Bebagai
faktor yang menyebabkan diantaranya karena mulai banyak seniman musik pop yang ikut terjun
berkecimpung didalamnya seperti Benyamin S pada masa hidupnya, Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina
Effendi dan lain-lain.
Gambang Kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya
Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun didaerah sekitarnya, lebih banyak penduduk
keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes
Gambang Kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup Gambang
Kromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Dewasa ini terdapat istilah “Gambang
Kromong asli” dan “Gambang Kromong kombinasi”.
Salah satu musik khas dari kesenian Betawi yang paling terkenal adalah Gambang Kromong, dimana
dalam setiap kesempatan perihal Betawi, Gambang Kromong selalu menjadi tempat yang paling utama.
Hampir setiap pemberitaan yang ditayangkan di televisi, Gambang Kromong selalu menjadi ilustrasi
musiknya.
Kesenian Gambang Kromong berkembang pada abad 18, khususnya di sekitaran daerah Tangerang.
Bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa orang pekerja pribumi di
perkebunan milik Nie Hu Kong.
Pada awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang lagu-lagu klasik
semacam ini disebut Phobin. Lagu Gambang Kromong muatan lokal yang masih kental unsur klasiknya
bisa didengarkan lewat lagu Jali-Jali Bunga Siantan, Cente Manis, dan Renggong Buyut.
Pada tahun 70an Gambang Kromong sempat terdongkrak keberadaannya lewat sentuhan kreativitas
"Panjak" Betawi legendaris "Si Macan Kemayoran", Almarhum H. Benyamin Syueb bin Ji'ung. Dengan
sentuhan berbagai aliran musik yang ada, jadilah Gambang Kromong seperti yang kita dengar sekarang.
Hampir di tiap hajatan atau "kriya'an" yang ada di tiap kampung Betawi, mencantumkan Gambang
Kromong sebagai menu hidangan musik yanh paling utama.
Seniman Gambang Kromong yang dikenal selain H. Benyamin Syueb adalah Nirin Kumpul, H. Jayadi dan
bapak Nya'at.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan musik ini menjadi "terengah-engah" antara hidup
dan mati (dalam tabel yang dibuat Yahya AS termasuk dalam kondisi "sedang"). Musik ini hanya
terdengar di antara bulan Juni saja, yaitu sewaktu hari ulang tahun Jakarta. padahal tanggal dan tahun
kelahiran kota jakarta saja belum jelas pastinya. Itupun di tempat-tempat tertentu, seperti di Setu
Babakan misalnya.
Diperlukan pembinaan dan pelestarian berkelanjutan seni musik Gambang Kromong ini, khususnya bagi
generasi muda Betawi. Kepedulian generasi muda Betawi terhadap keseniannya (seni musik dan seni
silat) hendaknya harus melebihi generasi muda di daerah lainnya, karena keberadaan etnis Betawi itu
sendiri yang berada di ibu kota Jakarta sebagai etalase kebudayaan Indonesia.
Orkes Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan
unsur Cina. Secara fisik unsur Cina tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan
dan Sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong
merupakan unsur pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada
perbendaharaan lagu-lagunya. Disamping lagu - lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti jali-
jali, surilang, persi, balo-balo, lenggang-lenggang kangkung, onde-onde, gelatik ngungkuk dan
sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama lagu, alur melodi
maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnos, Macuntay, Gutaypan, dan
sebagainya. Sebutan untuk tangga nadanya pun berasal dari bahasa Cina yaitu Syang atau
Hsyang, Ceh atau Tse, Kong, Oh, atau Ho, Uh Lio atau Liu dan Suh.
Menurut tulisan Phoa Kian Sioe dalam majalah Panca Warna No.9 tahun 1949 berjudul "Orkes
Gambang, Hasil kesenian Tionghoa peranakan di Jakarta." Orkes Gambang Kromong
merupakan perkembangan dari orkes Yang Khim yang terdiri atas Yang-Khim, Sukong,
Hosiang, Thehian, Kongahian, Sambian, Suling, Pan (kecrek) dan Ningnong. Oleh karena Yang-
Khim sulit diperoleh, maka digantilah dengan gambang yang larasnya disesuaikan dengan notasi
yang diciptakan oleh orang-orang Hokkian. Sukong, Tehian dan Kongahiantidak begitu sulit
untuk dibuat disini. Sedangkan Sambian dan Hosiang di tiadakan tanpa terlalu banyak
mengurangi nilai penyajiannya.
Orkes Gambang yang semula digemari oleh kaum peranakan Cina saja, lama kelamaan di gemari
pula oleh golongan pribumi, karena berlangsungnya proses pembaruan.
Sekitar tahun 1880 atas usaha Tan Wangwe dengan dukungan Bek(Wijkmeester) Pasar Senen
Teng Tjoe, orkes gambang mulai dilengkapi dengan kromong. Kempul, Gendang dan Gong.
Lagu-lagunya ditambah dengan lagu-lagu Sunda popular, sebagaimana ditulis oleh Phoa Kian
Sioe sebagai berikut : "Pertjobaan Wijk meester Teng Tjoe telah berhasil, lagoe-lagoe gambang
ditaboeh dengan tambahan alat terseboet diatas membikin tambah goembira Tjio Kek dan
pendenger-pendengernya. Dan moelai itoe waktoe moelai brani pasang selendang boeat
"mengibing".
Sejak itulah dikenal nama orkes Gambang Kromong. Bila pada masa lalu popularitas orkes
Gambang Kromong umumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat keturunan Cina dan
masyarakat yang langsung atau tidak langsung banyak menyerap pengaruh kebudayaannya, pada
perkembangan kemudian, penggemarnya semakin luas, lebih-lebih pada tahun tujuh puluhan.
Berbagai faktor yang menyebabkan diantaranya karena mulai banyak seniman musik pop yang
ikut terjun berkecimpung di dalamnya seperti Benyamin. S pada masa hidupnya, Ida Royani,
Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain-lain.
Gambang Kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah
budaya Betawi, baik di Wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di Daerah sekitarnya, lebih banyak
penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-
grup orkes Gambang Kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak
jumlah grup Gambang Kromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini terdapat istilah "gambang kromong asli" dan "gambang kromong kombinasi".
Sebagaimana tampak pada namanya "Gambang Kromong Kombinasi", ialah orkes Gambang
Kromong yang alat-alatnya ditambah atau bdikombinasikan dengan alat-alat musik barat modern
yang kadang-kadang elektronis, seperti gitar melodi, bas, gitar, organ, saxopone. drum dan
sebagainya.
Disini berlangsung perubahan dari laras pentatonis menjadi diatonis tanpa terasa mengganggu.
dengan penambahan alat musik itu warna suara gambang kromong masih tetap terdengar, serta
masuknya lagu-lagu pop berlangsung secara wajar, tidak dipaksakan. Terutama bagi generasi
muda tampaknya gambang kromong kombinasi lebih komunikatif, sekalipun kadang-kadang ada
kecenderungan tersisihnya suara alat-alat gambang kromong asli oleh alat musik elektronis yang
semakin dominan.
Rombongan-rombongan gambang keromong asli pada umumnya dimiliki dan dipimpin oleh
golongan pribumi yang ekonomi lemah, seperti rombongan"Setia Hati" pimpinan Amsar di
Bendungan jago, rombongan "Putra Cijantung" pimpinan Marta (dahulu di pimpin oleh Nyaat
yang sekarang telah meninggal), rombongan "Garuda Putih" pimpinan Samad Modo di Pekayon,
Gandaria. Sedangkan kombinasi Gambang Kromong kombinasi pada umumnya dimiliki oleh
golongan yang ekonomi relatif kuat, seperti rombongan "Naga Mas" pimpinan Bhu Thian Hay
(almarhum), "Naga Mustika" pimpinan Suryahanda,"Selendang Delima" pimpinan Liem Thian
Po dan sebagainya.
Referensi : Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Ikhtiar Kesenian
Betawi, 2003
Abstrak
Jakarta, dalam keberadaannya sebagai ibukota tidak dapat dipungkiri bila mengalami banyak
gesekan kebudayaan, baik dari dalam negeri, seperti halnya kebudayaan daerah lain, juga dari luar
negeri, seperti halnya westernisasi dan kebudayaan dari Negara lain. Adapun dampak yang
menyebabkan kebudayaan Betawi sebagai empunya Jakarta semakin terkikis. Sehingga kebudayaan di
Ibukota semakin dinamis dengan adanya dorongan eksternal tersebut, kebudayaan baru muncul, dan
kebudayaan lama semakin tenggelam. Pada hal ini, Betawi memiliki Gambang Kromong sebagai salah
satu kebudayaan Jakarta yang nasibnya mengambang. Pada dasarnya Gambang Kromong merupakan
kebudayaan betawi yang dimiliki masyarakat pendatang (China). Menurut Sukotjo, Gambang Kromong
digunakan pertama kali oleh orang China Benteng, dan dalam keberadaannya bernagsut-angsur menjadi
milik betawi. Gambang Kromong merupakan perpaduan dari beberapa alat musik yang berasal dari
India, Indonesia, China dan kini, barat. Jadi dapat disimpulkan bahwa Gambang Kromong merupakan
gabungan kebudayaan dan menjadi kebudayaan baru yaitu Gambang Kromong Betawi. Seiring dengan
perkembangan zaman dan eksistensi Gambang Kromong yang menjadi ikon musik Betawi dalam ranah
pariwisata, membuat Gambang Kromong harus terus beradaptasi dengan jenis musik dan alat musik
baru yang muncul, agar eksistensi Gambang Kromong kembali ke masa kejayaannya.
Dalam keberadaannya, Masyarakat Betawi menganut Agama Islam, kecuali bagi mereka orang
Cina Benteng di Tanggerang. Sukotjo dalam tesisnya menegaskan bahwa Jakarta merupakan kota yang
sangat heterogen, dikarenakan perpaduan kebudayaan tersebut. Jakarta dalam perkembangannya,
tepatnya setelah kemerdekaan, mengalami lonjakan imigran. Hal tersebut dapat dimaklumi karena
peran Jakarta yang menjadi pusat dari segala pemerintahan dan pusat Indonesia. Lonjakan Imigran yang
meledak membuat etnis Betawi menjadi kaum minoritas. Secara perlahan para pendatang paska
kemerdekaan hingga sekarang telah menjajah, bahkan menguasai Jakarta dalam artian jumlah
penduduk. Karena pesatnya zaman, dan tidak dapat turut mengikuti perkembangan, maka masyarakat
Betawi harus mengangkat kaki dari tanah kecintaan, Jakarta, menuju ke pinggiran Jakarta seperti Bogor,
Tanggerang, Bekasi, Depok, Jawa Barat dan Banten. Jakarta sebagai pusat kota telah menjadi kota yang
sangat modern.
Jakarta memang menjadi pusat dari segalanya, seperti pemerintahan, perdagangan, dan mereka
juga tidak lupa dalam membangun pariwisata. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengunjung yang
berkunjung ke Jakarta tidaklah sedikit, dan para pengunjung, tidak semuanya datang karena urusan
ekonomi atau politik, tetapi mereka ingin menikmati Jakarta sebagai tempat wisata. Pariwisata yang
dibangun tidak hanya pada tekonologi atau modernitas, tetapi Jakarta sangat tahu dalam membangun
kembali kebudayaan Betawi sebagai ikon budaya Jakarta. Kesenian Betawi mulai dibangun mulai dari
Teater, Musik dan Tari. Intensitas penggunaan kesenian dan pergantian fungsi dari hal yang bersifat
sakral, menjadi sesuatu yang bersifat profan untuk kegunaan pariwisata.
Gambang Kromong merupakan salah satu alat musik yang mengalami gejala-gejala kebudayaan
ini, dan pada tesis ini akan berfokus pada Gambang Kromong sebagai musik yang mengalami perubahan
nilai, fungsi dan perkembangan. Perubahan nilai yang terjadi pada Gambang Kromong yakni pada
perubahan nilai sakral ke nilai profan. Perubahan fungsi yang terjadi adalah perubahan fungsi
pertunjukan ke fungsi pariwisata. Perkembangan akan Gambang Kromong, yang seperti halnya kita
ketahui, bahwa Gambang Kromong merupakan perpaduan alat musik dari berbagai macam kebudayaan.
Perkembangan akan Gambang Kromong atas masuknya alat musik barat dan jenis musik baru yang
muncul kini.
Gambang Kromong
Gambang Kromong, merupakan sebuah alat musik tradisional milik masyarakat Betawi. Bila
dirunut dari Sejarah, Gambang Kromong merupakan perpaduan banyak alat musik dari berbagai macam
daerah bahkan luar negeri, seperti halnya instrument gesek dan tiup dari China, instrument Gendang
dari Sunda, dan instrument gambang, kromong, kempul, kecrek, serta gong yang berasal dari Jawa.
Secara etimologinya, Gambang Kromong berasal dari penyebutan alat musik yang dipergunakan, yaitu
Gambang dan Kromong. Dalam keberadaanya, Musik Gambang Kromong telah dikenal sejak tahun
1880, hal tersebut terjadi ketika seorang Bek (Lurah) bernama Teng Tjoe (seorang kepala kampong
Tionghoa di Pasar Senen) menyajikan sebuah sajian untuk menyambut para tamu. Ensambel musik ini
berkembang di kalangan Cina Benteng di Tanggerang, dan Ensambel ini digunakan dalam kegiatan-
kegiatan masyarakat Cina Benteng. Masyarakat China Benteng yang membawa alat Musik China ketika
datang ke Indonesia, digabungkan dengan alat musik dari suku bangsa yang ada di Jakarta dan menjadi
sebuah instrument Gambang Kromong.
Gambang Kromong merupakan jenis musik tradisional yang tidak memiliki sistem notasi dalam
pencatatan musiknya. Musik Gambang Kromong menggunakan tangga nada pentatonik sebagai nada
pokok dari permainannya. Dalam keberlangsungannya, Gambang Kromong harus disesuaikan dengan
penggunaan solmisasi, ditambah lagi dengan masuknya alat musik barat yang membuat penyesuaian
dengan penggunaan tangga nada Septatonik. Adanya kesenjangan dan penyesuaian yang tidak
sempurna membuat jalinan suara yang tidak akurat dan memberikan warna etnik tersendiri. Perubahan
tangga nada membuat suatu pemaksaan dalam lagu-lagu yang dibawakan. Tangga nada yang
sebelumnya sudah memiliki patokan yang jelas menjadi berubah karena adanya penyesuaian yang
terjadi.
Bentuk Musik Gambang Kromong juga telah bercampur dengan lagu keroncong, pop dan
dangdut, tetapi tidak dipungkiri bahwa lagu-lagu tradisi tetap dipergunakan sebagai ikon dari Gambang
Kromong tersebut. Adapun lagu-lagu tradisi yang menjadi andalan, seperti Cente Manis, Kramat Karem,
Sirih Kuning, Jali-jali, dan lain-lain. Pembawaan lagu selain lagu-lagu tradisi, juga menggunakan lagu-lagu
yang menjadi kesepakatan dari para pemain. Pada dasarnya syair dari lagu-lagu tradisi Gambang
Kromong merupakan jenis pantun yang tidak beraturan. Setiap penyanyi dapat membawakan sebuah
lagu tradisi dengan lantunkan keanekaragaman syair walaupun sama dalam judul. Seseorang dikatakan
mahir apabila menguasai dengan baik syair-syair lagu yang dinyanyikan.
Jumlah birama yang dimainkan pada penyajian lagu tradisi disesuaikan dengan kemampuan
penyanyi dalam membawakan pantun. Perubahan tempo juga kerap kali terjadi dalam penyajian
Gambang Kromong, hal tersebut dilakukan agar menghilangkan rasa monoton pada waktu terjadi
pengulangan lagu. Bahasa yang digunakan menggunakan bahasa Betawi. Penyanyi yang akan
melantunkan sebuah lagu harus menyesuaikan dengan tangga nada yang dimainkan alat musik,
sehingga tidak ada penyesuaian layaknya alat musik barat. Pola penyajian musik sangatlah komunikatif.
Penonton dan pemusik dapat berinteraksi secara langsung tanpa ada pembatasan. Pola interaktif
tersebutlah yang memberikan kesan bahwa Gambang Kromong menjadikan suasana menjadi semarak.
Ini merupakan lagu tradisi dalam Gambang Kromong, Jali-jali dan Kicir-kicir, dan dalam keberadaannya,
lagu tradisi pasti menjadi lagu wajib dalam pertunjukan Gambang Kromong. Baik dengan adanya musik
barat atau tidak, baik dengan percampuran jenis musik atau tidak, lagu tradisi menjadi sangat penting
dalam eksistensi Gambang Kromong itu sendiri.
Angin segar pun datang, ketika Jakarta mempromosikan kotanya dengan Pariwisata sebagai poin
utama bagi pengunjung. Kesenian-kesenian Betawi mulai digarap dan dikembangkan, hal tersebut
dirasakan oleh para seniman Gambang Kromong. Gambang Kromong digunakan kembali dan menjadi
salah satu penggerak pariwisata kebudayaan milik Jakarta. Memang tidak dapat disangkan, keuntungan
pasti mempunyai kerugian atau adaptasi-adaptasi baru. Gambang Kromong yang tadinya sebagai
sebuah kesenian yang bernilai sakral, menjadi kesenian profan dan murni tontonan semata. Adanya
pergeseran nilai yang dirasa sangat terbukti, dimana mengakibatkan adaptasi-adaptasi yang
menghilangkan nilai-nilai lama yang kompleks menjadi sesuatu yang simpel. Fungsi yang utama dalam
pertunjukan sebagai hal tontonan yang bernilai lebih pada masyarakat, menjadi pertunjukan pariwisata,
yang menjadikan adanya kekurangan-kekurangan yang dilakukan dalam adaptasi yang dilakukan.
Contoh dari hal tersebut adalah bergantinya pertunjukan Gambang Kromong yang biasanya
diselenggarakan karena adanya sebuah siklus hidup, seperti perkawinan, sunat, dll, sekarang menjadi
tontonan panggung atau tempat wisata. Adaptasi lainnya yang terjadi adalah masuknya alat musik Barat
dalam Gambang Kromong, seperti gitar dan saxophone, sehingga Gambang Kromong agak terlihat
berbeda. Perpaduan kembali antara dua alat musik yang mempunyai jenis berbeda yaitu pentatonik dan
saptatonik, membuat Gambang Kromong semakin memberikan warna baru. Penyesuaian terus
dilakukan dalam rangka mengikuti selera masyarakat. Perpaduan juga dilakukan dengan beberapa genre
musik lainnya, seperti dangdut, jazz, pop, dan masih banyak lainnya. Hal tersebut terus dilakukan demi
keberlangsungan kesenian tersebut dan para seniman kesenian tersebut dalam menghadapi kerasnya
Jakarta.
Kesimpulan
Pada penelitian ini, Sukotjo melakukan etnisitas kepribumiannya. Beliau yang berasal dari
Jakarta dapat melihat lebih dalam lagi bagaimana musik Gambang Kromong dapat terjadi, dan hal
tersebut dipaparkan secara etnografi, sehingga menjelaskan bagaimana Gambang Kromong yang
sebenarnya. Ke-etnisitasan yang sangat terjadi dari Sukotjo adalah beliau dapat sangat memaparkan
bagaimana penggunaan Gambang Kromong bagi masyarakat Cina Benteng, yang hal tersebut sulit
dilakukan oleh peneliti lain. Beliau dapat menjelaskan secara menyeluruh bagaimana dari satu acara ke
acara lain, isi dan segala macam yang terjadi dalam Gambang Kromong. Beliau juga dapat mengkonversi
Gambang Kromong yang bersifat tidak tertulis menjadi tertulis, dari tidak bernotasi menjadi notasi
barat, hal tersebut yang menjelaskan bagaimana Kesenian Gambang Kromong menjadi sama dengan
musik lainnya, adanya pengupayaan multikultrual yang terjadi. Beliau juga dapat membaca proses
transisi dan pergolakan besar-besaran yang terjadi pada Gambang Kromong itu sendiri yang dilakukan
demi keberlangsungan dari instrument Gambang Kromong tersebut. Tetapi adapun yang terjadi dimana,
adaptasi yang dilakukan memberikan warna baru, memberikan kekhas-an dari Gambang Kromong
sebagai sebuah kesenian.