Anda di halaman 1dari 66

REFERAT

Lupus Eritematosus Sistemik

Pembimbing : dr. Giri Aji, SpPD

Disusun oleh : Nadhila Adani


KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH
SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah


memberikan nikmat islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam kita
curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita ke zaman yang terang benderang ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr.Giri Aji,SpPD yang telah
memberi kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing dalam
menyelesaikan referat ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan. Kritik dan saran yang bangun saya harapkan dari
semua pihak demi kesempurnaan referat ini. Demikian semoga referat
“Lupus Eritematosus Sistemik” ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Mei 2015

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN… ......................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA… .............................................................................. 5

2.1 Definisi .......................................................................................................... 5

2.2 Epidemiologi… ...........................................................................................5

2.3 Etiologi… .................................................................................................... 7

2.4 Patogenesis… .............................................................................................. 10

2.5 Patofisiologi… ........................................................................................... 14

2.6 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 15

2.7 Diagnosis .................................................................................................... 21

2.8 Pemeriksaan Penunjang… .......................................................................22

2.9 Diagnosis Banding .................................................................................... 24

2.10 Derajat Berat Ringannya LES ............................................................. 25


2.11 Pengelolaan .............................................................................................26

2.12 LES dan Kehamilan .............................................................................. 32

BAB III KESIMPULAN… ....................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA… ............................................................................................. 34


BAB I PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi


autoimun sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada
jaringan dan kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis
diberbagai sistem organ.1,2 Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan berperan dalam patofisiologi penyakit LES.2 Dalam 30 tahun
terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama
di dunia.1 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus
per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk.3 Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus
per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak
yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4 Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara
pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien
(10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi.3
90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden
puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1 Rasio penyakit
LES pada perempuan dan laki- laki adalah 9:1.3 Angka morbiditas dan
mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.3 Dilaporkan survival rate 5
tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien
yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko
kematian yang tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini
serta penatalaksanaan yang tepat.1 Untuk menegakkan diagnosis LES
dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan oleh American College of
Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari
11 kriteria.1 Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif
meliputi non medika mentosa dan medika mentosa. Untuk penatalaksanaan
awal pasien LES yang baru terdiagnosis, penyuluhan dan intervensi
psikologis sangat diperlukan.1 Sedangkan untuk pemilihan terapi
ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan terapi yaitu
untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala
sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus


Sistemik adalah gangguan jaringan penyambung generalisata kronik
yang dapat bersifat ringan hingga fulminans dimana adanya temuan
autoantibodi yang menyerang komponen sitoplasma dan inti sel,
ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis,
pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi
organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai
gejala konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, LES adalah prototipe penyakit autoimun yang
ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti
sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas.1
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan
periode tenang dan eksaserbasi.6
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro”
berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus
digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang
dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.4

2.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu


penyakit rematik utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini,
insidensi LES meningkat tiga kali lipat karena kemajuan ilmu
kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui
kriteria ACR.1,7 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar
5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai
negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000
penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per
100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak
yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari
pasien yang dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES pada
tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada
tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%)
dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20%
sebelum usia 16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90%
pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada
usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7 Rasio penyakit LES pada
perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada
perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan
insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-
7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap
tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup
tinggi, dimana angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum.3 Dilaporkan survival rate 5
tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang
pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3 Sedangkan berdasarkan
usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-
20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-
64%.3 Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012
menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam
5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.4 Pada tahun-tahun pertama
mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa),
sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular
aterosklerosis Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas
pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95%
penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan kardiovaskular, dan 7-
36% karena adanya abnormalitas ginjal.4
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik,
prognosis LES tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai,
survival rate 98% dalam 5 tahun),
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10
tahun), Korea Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi
di negara Australia survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4

2.3 Etiologi

Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap


sebagai etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait.
Faktor lingkungan dan hormon berperan sebagai pencetus penyakit
pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang dianggap sebagau
pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-
obatan, stress mental maupun fisik.8
a) Antibodi Antinuklear (ANA)9

ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat


dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA

2. Antibodi terhadap histon

3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA

4. Antibodi terhadap antigen nucleolus

b) Faktor Genetik 7,9

1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar


monozigotik dan kembar dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk
menderita LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat
pertama yang secara klinis tidak terkena dapat menunjukkan
adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki
risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.
3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat
hubungan positif antara LES dengan gen HLA kelas II,
terutama pada lokus HLA- DQ.
4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi
komponen komplemen yang diturunkan. Kekurangan
komplemen akan mengganggu
pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan
memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas
jaringan.

Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear Pada Berbagai Penyakit Autoimun


Sumber : Vinay Kumar, 2007.

c) Faktor Lingkungan 2,7,9

Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang


meminum obat tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin.
Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T CD4+ dengan
menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen
LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati
dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan
menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang muncul 15% -
20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain
yang dapat memperburuk penyakit tersebut pada banyak
individu. Sekitar 70% pasien LES akan mengalami flare ketika
terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan
meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan
pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat
menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang
dapat meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi
sel limfosit B dan menstimulus interferon α (IFN α) untuk
produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu respon
imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang
menyerupai untaian asam amino manusia yang akan
menstimulus respon autoimun pada LES.
d) Faktor Imunologis 9

Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T


maupun sel B pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi
setiap salah satunya sebagai penyebab. Analisi molekular
terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk
bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel
B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B
oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri.
Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES
adalah kationik, sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B
yang teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan
nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

e) Faktor Hormonal 2

Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada


laki-laki. Hal ini disebabkan oleh efek estrogen yang
bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Perempuan yang
mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan
estrogen atau yang menggunakan hormone replacement
therapy
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan
berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan
aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.

Gambar 2.1 Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic


dan lingkungan pada LES.
Sumber : Ellen M.G, 2014.

2.4 Patogenesis

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan


mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi
dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung
ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut
melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak
spesifik terhadap organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau
bahan kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di
dalam tubuh yaitu 8:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di


kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali
molekul tubuh sebagai antigen kerena adanya
mimikri molekuler

Gambar 2.2 Model


pathogenesis LES
Sumber : Vinay Kumar,
2009.

Akibat proses tersebut,


maka terbentuk berbagai
macam antibodi di dalam
tubuh yang disebut
autoantibodi. Selanjutnya
antibodi tersebut akan
membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut akan
terdeposisi pada jaringan atau
organ yang akhirnya
menimbulkan gejala
inflamasi
atau
kerusakan jaringan.8

Karakteristik patogenesis dari LES


yaitu sistem imun yang menyerang
nuklear endogen yang dianggap sebagai
autoantigen. Autoantigen dikeluarkan
oleh sel yang mengalami apoptosis
kemudian akan dipresentasikan oleh sel
dendritik ke sel T. Sel T mensekresikan
sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan
IL23 yang mengaktivasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Nukleosome
endogen dapat berikatan dengan
molekular patogen reseptor dan dapat
menstimulus pengeluaran interferon α
(IFN α) sehingga memicu terjadinya
inflamasi. Selain itu juga nucleosome
dapat berikatan dengan reseptor
permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like
reseptor). Pada pasien dengan SLE yang
aktif terdapat peningkatan ekspresi
TLR9.7
Gambar 2.3 Tiga tahap
patogenesis penyakit kompleks
imun sistemik

Sumber : Vinay Kumar, 2009


Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan
langsung menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosome, nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat
terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel dan
mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi.
Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai
dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil
akhir dari ini
yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang
terdeposisi di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan
destruksi sel-sel yang diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2)
fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran kemotoksin,
peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.2

Gambar 2.4
Patogenesis pada
LES Sumber :
George Berstias,
2012.
2.5 Patofisiologi

Gambar 2.5 Mekanisme


sistemik pada LES
Sumber : Simanta
Pathak, 2011

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu


(a) meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-
glomerular, (b) terbentuknya kompleks imun pada organ target
yang menyebabkan kerusakan organ.11 Defek mekanisme regulasi
imun seperti klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan
kontributor pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi
autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi
antara gen dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon
imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel
T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun
abnormal. 2
Gambar 2.6
Patofisiologi
LES Sumber :
Harrison, 2011

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat


berupa gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan
kompleks imun dalam hati dan penurun uptake kompleks imun
pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau
tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan
sebagainya.2

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi.


Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya
berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
sistem imun.12
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis
adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya
eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau
didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 12
A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang


paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan
berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat
berlangsung intermiten atau terus- menerus. 13
B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat


berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala
lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal
proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat
terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat
responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ
yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan
kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.
Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan
setelah dalam pengobatan kortikosteroid. 13
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada
55% kasus LES. 1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit


berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema
yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk
jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk
semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut
penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu
sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat
sembuh tanpa bekas.13

Gambar 2.7 Lupus eritematosus


kutaneus akut Sumber : George,
2012

2). Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas


berbentuk anular. Sumber : George, 2012

3). Lesi Diskoid


Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di
bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi
LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor
secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni
ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher,
kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas
yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter
5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya
melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang
meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa
kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai
manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus

erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi


di masa kanak-kanak.14

Gambar 2.9
Facial
discoid
Sumber :
George,
2012
4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada


SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari
yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga
tampak perdarahan dan eritema periungual.13
Gambar 2.10 A) Livido retikularis B)
eritema periungual. Sumber : George, 2012
5). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa


bulan setelah penyakit tenang secara
klinis dan serologis.14
D. Kelainan pada Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul
gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar
90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.
Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:
i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

iii. Kelas III: focal lupus nephritis

iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis

v. Kelas V: membranous lupus nephritis

vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi


paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2
macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus
difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus
merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi
ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih
jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,
gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit
yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.2,13

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)


Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan
pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura
atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral,
mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.13
F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit


dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya
terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.13
G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare.


Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin
menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala
menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat. 13
H. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak,


tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa
bulan akan menghilang atau kembali normal. 13
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50%


kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering
pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus
LES. 13
J. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik


dan motorik. Biasanya bersifat sementara. 15
K. Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global


dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti
nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP
ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan
psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena
serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu
dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2
kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan
dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem lainnya. Pasien
menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul
biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor
cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global,
melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya.
Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas.
Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain
vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus. 15
L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia,


anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit
kronis trombositopenia, dan lekopenia. 13
M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema


dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks
imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal. 13
N. Kardiovaskuler

LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang


pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark miokard.
Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis, vegetasi pada
katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya.13

2.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of


Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien
tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini
adalah 11 kriteria tersebut.3
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES
memiliki sensitifiitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila
hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak
ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.3

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan
anemia nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang
cepat, hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin
akan rendah. Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen
serum juga ada. Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria,
merupakan gejala penting. Faktor
rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui
adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk
menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau
perkembangan penyakit LES. Berikut pemeriksaan penunjang minimal
yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring LES3 :
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila


diperlukan pemeriksaan kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)

4. PT dan aPTT

5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4

6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Rekomendasi 3

- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE

- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika


negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E

Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan


nuclear basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya
berpindah ke perifer. Fenomena ini disebabkan oleh factor
antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang menyerang bahan nuclear
di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah dikelilingi
neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes
sel
L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih
sensitif.

Antibodi antinuclear (ANA)

Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan


(ANA) pada 90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari
sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna
untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA
dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di
bawah lampu ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa
(anular, peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap
spesifik untuk L.E.S ialah pola membranosa, terutama jika titernya
tinggi. Pola berbintik juga umum terdapat pada L.E.S. Pada homogen
kurang spesifik.16
Lupus band test

Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri


atas deposit granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3
pada taut epidermal- dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut
lupus band test, specimen diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut
positif pada 90-100% kasus L.E.S dan 90-95% kasus L.E.D.16

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang


spesifik untuk S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita.
Antibodi ini mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya
antibodi tersebut dan kadar komplemen yang rendah dapat
meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau proteinuria.16

Anti-Sm

Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah
anti-Sm, tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak
ditemukan pada penyakit lain.16

2.9 Diagnosis Banding3

Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau


beberapa tes laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

g. Artritis reumatoid dini


h. Vaskulitis

Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai


gejala-gejala yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika,
sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.12

 Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling


sering di pagi hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena
adalah mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan
kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian
dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung
selama lebih dari 30 menit.14
 Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas
bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali
mempunyai halo ungu disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti
skleroderma sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai
alat-alat viseral.12
 Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada
muka (terutama pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema
berwarna merah ungu kadang- kadang juga livid. Pada palpebra
terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot- otot ekstraokular. Pada
fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap
dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke
leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik
ialah papul Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral
sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai
demam intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan berat
badan.12
 Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai
sindrom Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia
hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat. Gejala yang timbul
adalah demam, purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran
limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis, fenomena Raynaud, nyeri
perut, dan pembesaran hati.15
2.10 Derajat Berat Ringannya LES

 Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa


3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

 Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

3. Serositis mayor

 Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila


ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini,
yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis
arteri koronaria, miokarditis,tamponade jantung,
hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
pneumonitis, emboli paru,infark paru, ibrosis interstisial,
shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh


(blister)

6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke,


mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis
optik, psikosis, sindroma demielinasi. mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 ,
purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena
atau arteri.
2.11 Pengelolaan

Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui
pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus
pengobatan SLE adalah a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b)
menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian
tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. Pilar
Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan
konseling, 2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa
(OAINS, Anti malaria, steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan


berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting
agar tujuan di atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan


diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat
dengan potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan
periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap
3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari
(200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari
atau yang setara .
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection
faktor sekurang- kurangnya 15 (SPF 15).3

b. Pengobatan LES Sedang

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan


kecuali pada pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa
rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang
telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison
atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada


penggunaan obat- obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam
nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum pada bagan .3
Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan
derajat beratnya. Sumber : Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011

Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

Jenis Obat Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan


Toksisitas Awal Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala Darah rutin,
OAINS saluran cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, urin rutin, intestinal AST/ALT
sakit kepala, AST/ALT setiap 6 bulan.
hipertensi,
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.
Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa
steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis, tekanan
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk
(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang

Hidrosiklor 200-400mg/ anemi mata

o- kuin hari hemolitik setiap 3-


dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.
Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
mg/m2 keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.

Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.
Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,
A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.
Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi
mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastroint lengkap
dosis. feses estinal; terutama
lengkap. mual, leukosit dan
muntah. hitung
jenisnya.

Kortikortikosteroid

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien


dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai
anti inflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga
bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;

Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana


kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif.
Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat
seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping
kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan
meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko
efek samping.3
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang


biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikortikosteroid dan
imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik.3

Pencegahan17

Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari,


lingkungan yang sangat dingin dan stress emosional. Antara
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

 Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

 Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

 Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.

 Istirahat

 Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka


harus diobati dengan segera.
 Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek
daripada stress oksidatif
 Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.

 Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi,


demam infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau
stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah
cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu
mengubah gaya hidup.
 Hindari Merokok
 Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

 Hindari stres dan trauma fisik

 Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

 Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai


15.00

 Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung


hormon estrogen.
2.12 LES dan Kehamilan3

Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan


LES. Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama
kehamilan namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada
saat nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika
nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya
7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami
preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan
nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma
anti fosfolipid (APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama
kehamilan dan pasca persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:
1. Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya
setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan
remisi total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12
bulan remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus
selama hamil.
2. Medikamentosa:

a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak


melebihi 7,5 mg/hari prednison.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan
penuh kehati- hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan
obat-obat.
Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES

Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini:

- Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm


Hg atau simptomatik)
- Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)

- Gagal jantung
- Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)

- Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma


HELLP (Hemolitic anemia, elevated liver function test, low
platelet) walaupun sudah diterapi dengan aspirin dan heparin
- Stroke dalam 6 bulan terakhir

- Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.


BA
B
III
KE
SI
MP
UL
AN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit


inflamasi autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya
sendiri. Etiologi penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik,
faktor imunologis, faktor lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES
interaksi antar keempat faktor tersebut merespon tubuh untuk membentuk
autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks imun yang terdeposisi
pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi.
Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai
sistem dalam tubuh. Diagnosis LES menurut American College of
Rheumatology (ACR) ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11
kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak diskoid, fotosensitf,
ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan
darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif
meliputi non medika mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES
yaitu untuk meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES
melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S,


editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci
A.S., Kasper D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. Edisi 18. United States of America;
Mc Graw Hill Companies; 2012. H 2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi
Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic
lupus erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence,
incidence, clinical features, and mortality. Americam College of
rheumatology 2012; 64(2) : 159- 68.
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto
YB, editor. Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta
kedokteran ed IV. Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and
clinical features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20:
476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya :
Universitas Airlangga; 2007. h 235-41.

9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th
ed. Jakarta: EGC; 2009.

10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease


clinics of north America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus
erythematosus: lessons from animal models. BioMed central 2011;
241(13) : 1-9.

12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American


family physician 2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 -
Systemic Lupus Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics
17th edition. W.B Saunders, Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet].
Medscape; 2014 [cited 2015 Mei 19]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus
Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM.
2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit
dan kelamin Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond.
McGraw Hill. 5th edition. 2005. h 384-7.

Anda mungkin juga menyukai