A. Pendahuluan
Pemerintah Indonesia memiliki Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial yang menjelaskan bahwa pencegahan konflik
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
konflik dengan peningkatan dan kapasitas kelembagaan dan sistem deteksi
dini. Di dalam undang-undang tersebut telah dijelaskan mengenai upaya
pencegahan konflik. Pasal 2 dalam undang-undang tersebut menjelaskan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pencegahan Konflik dengan melalui memelihara kondisi damai
dalam masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian secara damai,
meredam potensi konflik dan membangun sistem peringatan dini. Dalam
melaksanakan pencegahan konflik, pemerintah dan pemerintah daerah
dapat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan/atau unsur masyarakat
lainnya. Selain itu, terdapat pula Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2018 tentang
Kewaspadaan Dini Daerah. Peraturan ini dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan otonomi sehingga daerah mempunyai kewajiban
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat sehingga dapat
menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, dengan adanya hal tersebut
tersebut maka pemerintah daerah Kabupaten Garut seharusnya dapat
meningkatkan upaya pencegahan konflik dengan menerapkan sistem
deteksi dini konflik yang efektif di wilayah Kabupaten Garut. Namun
demikian, pada kenyataannya konflik masih sering terjadi sehingga
memunculkan pertanyaan apakah system deteksi dini konflik tidak berjalan
efektif dalam upaya pencegahan dan penanganan konflik?.
Sistem Deteksi Dini sebenarnya sudah dikenal dengan CEWS
(Conflict Early Warning System) dan ditemukan pertama kali pada saat
terjadinya Perang Dingin. Konsep CEWS digunakan oleh intelejen militer
untuk memprediksi munculnya potensi penyerangan ballistic oleh lawan.
CEWS menjadi salah satu konsep dalam militer yang kemudian
diperkenalkan oleh PBB sebagai sebuah sistem atau instrumen untuk
meramalkan terjadinya bencana alam serta mendeteksi munculnya potensi-
potensi konflik komunal. Di Indonesia sendiri, konsep early warning atau
yang dikenal dengan sistem deteksi dini konflik telah diterapkan dengan
cukup baik. UNDP melalui program Peace Through Development di
Indonesia menemukan bahwa sistem deteksi dini konflik telah digunakan di
sebagian wilayah, bahkan perempuan memainkan peran penting dalam
prosesnya. Terdapat pula Institut Titian Perdamaian (ITP) yang telah
menerapkan sistem deteksi dini konflik di lima wilayah seperti Poso, Ambon,
Masohi, Ternate, dan Jailolo. Tujuan utama dari lembaga ini adalah
mempromosikan keterkaitan antara early warning dan peacebuilding.
Strategi kunci yang sangat efektif yakni dengan mengembangkan
sinergi antara peringatan dini dan program pembangunan perdamaian.
Selain itu, adanya pendekatan kearifan lokal menjadi upaya paling efektif
dalam mencegah konflik mengingat kondisi negara Indonesia yang
bersifat majemuk dengan beragamnya suku, agama, adat-istiadat dan
budaya. Dengan adanya ITP dan kerangka dinamis pencegahan dan
resolusi konflik ini maka seharusnya konflik dengan pola yang sama tidak
akan terulang kembali. Namun demikian, hal ini bertolak belakang jika
melihat berbagai kasus konflik yang terjadi di Indonesia.
Dalam sejarahnya, konflik sosial di Kabupaten Garut banyak terjadi
dengan pola yang sama yaitu dipicu dengan adanya pengakuan dari
pengikut sen-sen yang memproklamirkan keimanannya kepada sen-sen.
Konflik seperti ini tidak hanya sekali terjadi namun sifatnya berulang.
Terdapat beberapa contoh konflik di kabupaten Garut yang berulang
dengan pola yang sama. Contoh pertama yaitu konflik islam Baiat
pimpinan sen-sen komara bakar al misbah (NII KW 7) yang terjadi di
wilayah Kecamatan Caringin, Pakenjeng, Bungbulang, Pasirwangi,
Karangpawitan, Sukawening. Konflik antara islam Baiat dengan
masyarakat bermula dari tahun 2012, dan kembali terjadi pada tahun 2017
dan tahun 2018. konflik tersebut selalu terjadi berulang dikarenakan
adanya penyebaran faham – faham keagamaan yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran islam pada umumnya.
b. Tahun 2017
1. Konflik Sara Ajaran pimpinan Sensen Komara (Pengakuan
Wawan Setiawan Jendral Bintang V Panglima Angkatan Darat).
2. Konflik bermotif SDA di Kecamatan Leles Kab. Garut.
3. Konflik Penolakan kedatangan Ust. Bachtiar Natsir ke Kab. Garut.
4. Konflik Horizontal Pemakzulan Bupati Garut oleh Ormas/LSM
GMBI.
5. Konflik Perselisihan antara Hisgar dan Fauzan.
Hasil identifikasi permasalahan konflik di Kabupaten Garut terdapat dua
jenis konflik yaitu konflik yang bernuansa agama dan konflik horizontal antara
Pemerintah Daerah Kab. Garut dan Ormas/LSM di Kabupaten Garut.
tentunya hal ini harus dijadikan kegiatan prioritas penyelesaian
permasalahan di Kabupaten Garut.
Perlunya langkah upaya nyata yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Garut, untuk menuntaskan secara optimal agar
permasalah tersebut tidak kembali berulang yang terus menyita perhatian
sekaligus mengganggu jalannya roda pembangunan di Kabupaten Garut.
C. SUMBER KONFLIK
berdasarkan pengalaman empirik di berbagai kabupaten di
Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa sumber konflik sosial di
Indonesia sumbernya ada 5 pokok sumber konflik. Di dalam berbagai
literatur konflik kadangkala berdasarkan sifat konflik maka dibedakan
ada konflik yang bersifat struktural dan konflik yang bersifat
komunal/sosial psikologis/horisontal. Pembedaan sifat konflik ini dapat
saja dilakukan namun sumber konfliknya tetap saja mengarah kepada
pola konflik yang akan dijelaskan di bawah ini :
a) Konflik Struktural
Konflik ini terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses
dan kontrol terhadap sumber daya (tanah, Tambang, Hutan). Pihak
yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan
kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai
akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di
sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali
dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan
keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak
tertentu/pihak dominan/Pemerintah pusat. Kebijakan yang tidak
adil serta penggunaan operasi militer dalam rangka mengamankan
kebijakan pemerintah pusat. Salah satu kata kunci untuk
memahami konflik ini adalah adanya ketimpangan yang
diakibatkan oleh penguasa dan pemilik akses terhadap sumber
daya.
b) Konflik Kepentingan
Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik
kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa
untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban,
dan biasanya yang menjadi korban adalah pihak masyarakat
kebanyakan. Ciri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya
persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antar kedua belah
pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena
masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah
tata cara atau masalah psikologis.
d) Konflik Nilai
Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang ada. Nilai adalah
kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada
kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar
atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus
menyebabkan konflik. manusia dapat hidup berdampingan dengan
harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai
muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu sistem
nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang
eksklusif dimana di dalamnya tidak dimungkinkan adanya
perbedaan kepercayaan.
e) Konflik Data
Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi
yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,
menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau
memakai tata cara pengkajian yang berbeda. beberapa Konflik
Data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan
kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik.
Konflik Data lainya bisa jadi karena memang disebabkan informasi
dan/atau tatacara yang dipakai oleh orang-orang untuk
mengumpulkan datanya tidak sama.
D. RAGAM KONFLIK
lampiran
1. WUJUD KONFLIK
Konflik dapat berwujud tertutup (latent), mencuat (emerging) dan
terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya
tekanan- tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya
berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Sering kali
satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadari adanya konflik
bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah
perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi.
mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan
permasalahannya jelas, tetapi proses negosiasi dan penyelesaian
masalahnya belum berkembang. Di sisi lain, konflik terbuka adalah
konflik dimana pihak-pihak yang berlisih secara aktif terlibat dalam
perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk negosiasi,
dan mungkin juga mencapai jalan buntu.
2. Kategori konflik
Dalam perkembangan studi perdamaian ada beberapa kategori
konflik. Kategori berdasarkan isu dikenal ada berbagai seperti
konflik Sumber daya alam, konflik agama, konflik etnis, konflik
perburuhan, dan masih banyak lagi. Sedangkan kategori konflik
berdasarkan pihak yang berkonflik, biasanya konflik dikatergorikan
sebagai konflik horisontal dan konflik vertikal. Konflik horisontal
meliputi, konflik antar komunitas, konflik antar kelompok
etnis/agama, konflik antar kelompok politik. Sedangkan konflik
vertikal dikenal adanya konflik separatisme.
3. Level konflik
Pada level manakah konflik dapat muncul? Jawabannya: hampir di
semua level, konflik dapat muncul. mulai dari level yang terkecil
yaitu di dalam individu dan interpersonal hingga ke level yang lebih
luas seperti komunitas, masyarakat, nasional, internasional dan
global. Dalam semua level tersebut, kita akan menjumpai berbagai
jenis konflik muncul. beberapa kategori konflik sering dipakai.
Konflik sering dikategorikan secara sektoral misalnya konflik di
sektor ekonomi, lingkungan, sosial- kultural, politik atau keamanan.
Ketika konflik tengah terjadi, maka upaya awal yang harus kita
lakukan adalah menghentikan kekerasan yang ada. Upaya ini yang
kita sebut sebagai upaya penghentian kekerasan (peace keeping).
Pada fase ini, semua sistem sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain
tidak berjalan normal. Pada kondisi ini biasanya langkah yang
ditempuh adalah menerjunkan aparat keamanan, pengerahan
pasukan keamanan, dan lain-lain. Tujuan dari penghentian
kekerasan adalah untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak
lagi dan mencoba untuk melakukan upaya-upaya perdamaian.
Setelah kekerasan dapat ditekan, maka tahap selanjutnya adalah
upaya perjanjian damai (peace making). Pada fase ini, upaya
perdamaian dilakukan dengan melakukan negosiasi, mediasi untuk
mencapai kata sepakat tentang keinginan berdamai. Untuk itu,
hasil dari tahapan ini adalah berupa kesepakatan-kesepakatan
antar pihak yang berkonflik.
Tahap selanjutnya adalah upaya pembangunan perdamaian
(peace building). Pada tahap ini, biasanya sistem sosial, hukum,
politik, keamanan berangsur- angsur pulih kembali. Dimulainya
proses penegakan hukum bagi para pelaku konflik, upaya
pengungkapan kebenaran, berfungsinya lembaga pemerintah,
birokrasi, penanganan terhadap korban konflik, pengungsi dan
reintegrasi kelompok yang berkonflik, dan lain-lain. Tahap terakhir
yang biasanya kita sebut sebagai tahap pencegahan konflik
(conflict prevention). Pada fase ini, segala upaya yang dilakukan
berkaitan dengan pencegahan konflik, seperti penguatan
kelompok-kelompok rentan, melakukan deteksi konflik, melakukan
warning dan respon, mengusulkan payung hukum terhadap konflik
dan lain-lain, yang ditujukan untuk mencegah berulangnya konflik
(conflict relapse).
a) Fase 1: Dispute/Ketegangan
2. Fase 2: Krisis
F. ANALISIS AKTOR
Geografi
Demografi
Sejarah
Sosial dan ekonomi
Politik & Hukum
budaya
Konflik Kekerasan
Disintegrasi Kelompok
Pelanggaran Hukum
Pelanggaran HAM
lain-lain
Kriminalitas
Insiden Kekerasan Antar Kelompok
Insiden Kekerasan lainnya
Peristiwa lainnya
Agen Sekuritisasi
Tokoh Politik
Tokoh Agama
Tokoh Adat
Tokoh Pemuda
Tokoh Komunitas
Tokoh lainnya
Aktor Fungsional
Kelompok Politik
Kelompok Agama
Kelompok syarakat/Adat
Kelompok LSM
Kelompok Profesional
Kelompok Perguruan Tinggi
Kelompok Rentan
Kelompok Politik
Kelompok Agama
Kelompok Masyarkat/etnik
Kelompok Pengangguran/
Pemuda
Kelompok bersenjata
Kelompok lainnya
c) PENGORGANISASIAN AKTOR
Distribusi Analisis
PUSKOMIN
Peringatan Dini Lobby
BAKESBANGPOL
Rakor Teknis
Stakeholder
Tanggapan Dini
- Pengorganisasisan Aktor
- Advokasi kebijakan
- Pemberdayaan Masyarakat
1. Distribusi Analisis
Adalah sebuah tindakan mengirimkan analisis Puskomin
Bakesbangpol kepada pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang
menerima analisis ini harus benar-benar terpilih, yaitu mereka yang
diidentifikasikan sebagai pihak yang dapat mendukung upaya damai.
Jaringan dapat menjadi salah satu diantaranya. Analisis sifatnya
rahasia dan terbatas untuk melindungi segala informasi yang tersedia
supaya informasi jatuh ke tangan yang tepat untuk menuju tujuan
utama yaitu pencegahan konflik dan situasi damai. Tidak disarankan
untuk mendistribusikan analisis kepada pihak media massa ataupun
pihak-pihak yang berkonflik karena ditakutkan justru akan
memperkeruh keadaan, kecuali bila pihak yang berkonflik memiliki
komitment untuk perdamaian.
2. Lobby
Sebagai tindaklanjut dari pendistribusian analisis, dapat dilakukan
lobbying individual maupun kelompok kepada pihak-pihak yang
bersangkutan mengenai apa tanggapan mereka terhadap analisis
yang telah kita susun. Selain itu, lobbying juga bertujuan untuk
menanyakan apa komitmen yang dapat mereka lakukan untuk
tanggapan dini di lingkungannya.
3. Rakor Teknis
Metode ini dapat dipakai untuk peringatan dini dengan cara
mengundang anggota jaringan dan atau stakeholder (para pihak)
lainnya secara terseleksi di suatu tempat tertutup untuk mendiskusikan
bersama tentang permasalahan yang ada. Rakor Teknis ini juga dapat
BUPATI GARUT
Counter Issue
(Framing-Reframing)
Melokalisir Wilayah
Konflik
STAKEHOLDER
Melokalisir Wilayah Konflik
bila suatu saat, konflik kekerasan telah pecah di satu kabupaten tertentu,
maka tanggapan dini dapat dilakukan dengan cara melokalisasi wilayah
konflik, sehingga konflik tidak menyebar luas ke wilayah lain. lokalisasi
wilayah konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah
dengan melakukan counter issue/informasi di wilayah yang tidak
berkonflik, membatasi pemberitaan tentang konflik yang terjadi, memutus
komunikasi dengan wilayah lain yang tidak berkonflik, menjaga
perbatasan, dan sebagainya.
BAB III
Fungsi Kepolisian
Fungsi kepolisian adalah sebagai Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat (UU No 2 / 2002. Pasal 2).
Dalam struktur kehidupan masyarakat, polisi atau petugas kepolisian
mempunyai fungsi sebagai pengayom, penegak hukum, yaitu mempunyai
tanggung jawab khusus untuk memelihara keteriban warga dan menangani
kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam
bentuk upaya pencegahan agar anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja
dalam keadaan aman dan terntram (Bachtiar 1994:1).
Dengan kata lain, aktifitas polisi adalah berkenaan dengan masalah-
masalah sosial, yaitu berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam
kehidupan sosial yang dirasakan sebagai beban atau gangguan yang merugikan
anggota masyarakat (Suparlan 1985:61-73). Keberadaan polisi dalam suatu
masyarakat haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Problematika sosial yang terjadi di tiap-tiap masyarakat juga berbeda-
beda. Oleh sebab itu, meskipun fungsi polisi secara umum sama, namun
prakteknya bisa sangat berbeda-beda dalam hal cara menerapkan
fungsifungsiya. Polisi yang ideal adalah diseluruh dunia adalah polisi yang cocok
dengan masyarakat yang dilayaninya (Satjipto Rahardjo, 2000) Pemolisian
(policing) adalah cara pelaksanaan tugas polisi yang mengacu pada hubungan
antara polisi, pemerintah dan masyarakat. Untuk mencapai pemolisian yang
efektif, diperlukan model pemolisian yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan
sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat, kebudayaan serta
lingkungan yang dihadapinya. Variasi gaya pemolisian secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua;
Pertama, adalah pemolisian konvensional atau pemolisian tradisional.
Model ini lebih menekankan pada aktifitas kepolisian untuk mencapai kondisi
aman dan tertib dengan cara tindakan kepolisian yang reaktif dan proaktif, dan
lebih menekankan pada proses penegakan hukum untuk memerangi kejahatan.
Kedua adalah pemolisian modern yang merupakan antitesis dari
pmolisian konvensional. Para penganut model ini sepenuhnya menyadari akan
keterbatasan yang dimiliki untuk bisa mencapai tujuan kepolisiannya.
Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat,
memaksimalkan sumberdaya yang ada di masyarakat, membuka pintu
partisipasi masyarakat dan selalu berorientasi pada pemecahan masalah ketika
melihat persoalan sosial yang terjadi di masyarakat.
Mengingat bahwa permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat
majemuk di Indonesia ini begitu kompleks, maka untuk mengatasi masalah
tersebut, diperlukan sebuah sistem yang holistik, sistemik (sebuah kesatuan
yang bulat dan menyeluruh), maka dibutuhkan kemampuan polisi yang mampu
mengidentifikasi masalah, meneliti, menganalisis dan mengambil tindakan yang
tepat dan cepat. Salah satu ciri yang Kepolisian Republik Indonesia pasca
terpisah dari TNI adalah menjadi Kepolisian sipil dengan meninggalkan kultur
militeristiknya dan selanjutnya menjadi pengayom, penegak hukum untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Di dalam prakteknya, Polisi selalu bermitra dengan masyarakat untuk
bersama-sama memecahkan masalah gangguan keamanan dan ketertiban yang
terjadi. Dalam pemberian layanan kepolisiannya, polisi juga akan selalu
berkonsultasi dengan masyarakat, sehingga prioritas layanan yang diberikan
bisa benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat. Model Pemolisian
Masyarakat (Polmas) inilah yang saat ini terus berupaya diterapkan oleh Polri.
Pada tahapan operasional kepolisian, ada lima langkah yang harus dilakukan
oleh setiap anggota polisi dalam penerapan Polmas, yaitu : Mengamati atau
mengobservasi fenomena dilingkungan tugasnya dengan cermat. Dalam proses
obeservasi polisi harus mampu menangkap gejala dalam suatu peristiwa lengkap
dengan data-data sebagai informasi penunjang.
Melakukan analisis atas semua gejala dan peristiwa yang terjadi secara kritis.
Mampu melihat, meramalkan hubungan antar gejala dan peristiwa yang terjadi
dengan logis sehingga bisa menyiapkan upaya-upaya pencegahan
Mengidentifikasi akar masalah dari setiap ancaman keamanan dan ketertiban
yang yang terjadi, lalu berusaha mencari solusi Bersama warga masyarakat yang
potensial untuk diajak kerjasama
Mengembangkan pemolisian yang kreatif, bisa diterima oleh masyarakat,
menumbuhkan kepercayaan dan memperoleh dukungan dalam upaya
penciptaan kamtibmas dalam rangka peningkatan kualitas hidup warga. Jadi,
secara umum, fungsi Kepolisian adalah memelihara keteraturan atau
mengembalikan keteraturan yang terganggu akibat konflik yang terjadi antar
individu maupun antar kelompok. Kehadiran polisi diharapkan bisa mewujudkan
rasa aman, nyaman bagi warga masyarakat sehingga.
produktifitas warga bisa dijamin untuk mendorong peningkatan sumberdaya
ekonomi yang berujung pada peningkatan kesejahteraan warga.
Fungsi lainnya adalah sebagai penegak hukum, untuk memerangi
kejahatan, mengayomi dan melayani masyarakat dari ancaman kejahatan yang
menganggu dan merugikan dari pihak lain. Sedangkan fungsi sebagai
pemelihara keteraturan dan ketertiban mayarakat, menuntut polisi untuk selalu
ada dan berhubungan dekat dengan kehidupan warga masyarakat yang
dilayaninya. Polisi harus mampu mendeteksi semua kejadian sekecil apapun
yang terjadi di lingkunganya. Interaksi yang baik antara polisi dan warga menjadi
prasyarat utama untuk keberhasilan tugas-tugas polisi.
b) Penanganan Konflik
Pada saat terjadi konflik antar warga, tindakan kepolisian yang
harus diambil oleh masing-masing fungsi adalah sebagai berikut; Fungsi
Intelkam; melakukan deteksi dini, melakukan pemantauan, pemotretan,
identifikasi terhadap situasi keamanan di wilayah konflik serta
memberdayakan potensi para pemangku kepentingan untuk turut serta
dalam meredam situasi konflik.
Fungsi Patroli, Lalu lintas dan Sabhara; melakukan penjagaan,
pengaturan, pengawalan, perlindungan terhadap individu dan kelompok
yang berpotensi menjadi korban dalam konflik. Melakukan pengaturan lalu
lintas, mulai dari pengalihan jalan, pengaturan arus, penutupan dan
pembukaan akses jalan untuk menghindari ancaman yang bisa
menimbulkan korban.
Bimmas, Intel dan Reskrim juga bisa berperan sebagai perantara
(negosiator) yang bertugas menjembatani proses dialog antara berbagai
pihak yang terlibat dalam konflik. Mereka juga harusmelakukan
pemantauan serta mengeluarkan himbauan kepada para pihak agar
menaati hukum, tidak menggunakan kekerasan yang dapat
membahayakan keteteraman dan keselamatan umum.
Reskrim; merekam setiap tindakan para pihak yang terlibat konflik,
mengumpulkan barang bukti, mendeteksi setiap perkembangan kejadian,
mengidentifikasi saksi-saksi yang melihat, mendengar kejadian. Jika
diperlukan bisa mengambil tindakan tegas terhadap pelaku tindak pidana
(pelaku kekerasan yang merugikan orang lain) dengan cara menangkap
dan mengamankan pelaku untuk selanjutnya diproses secara hukum.
Satuan Dalmas dan Brimob; menghentikan dan membubarkan
para pihak yang tidak mengindahkan himbauan dan peringatan polisi. Jika
ada pihak yang melakukan tindakan anarki yaitu tindakan yang dilakukan
dengan sengaja yang bertentangan dengan hukum yang mengakibatkan
kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan
jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain,
maka Polisi harus menggunakan kekuatan dan pengerahan daya untuk
menanggulangi anarki secara tegas dan terukur sesuai undang-undang.
- Negosiasi
5. Bimas - Penggalangan - Komunikasi - UU No. 2 tahun
- Pendekatan kepada - Empati - 2002
massa - Dll - UU No. 9 tahun
1998.
- Menyiapkan pasukan
6. Brimob huru- hara - Respon - UU No. 2 tahun
- Menyiapkan - Gakum - 2002
- peralatan yang - Dll - UU No. 9 tahun
diperlukan 1998
- Perkap No. 1
- tahun 2009
- Perkap tahun 2006
tentang pedoman
Dalmas
- PROTAP/1/X/
- 2010 pe-
nanggulangan
Anarki.
Tahap III: Pasca Insiden Kekerasan
Belajar dari pengalaman sejarah patut kita pahami bahwa nasionalisme atau
pembangunan karakter yang berwawasan kebangsaan tidak mungkin dapat
dipisahkan dari perspektif ketahanan nasional dimana hal ini berkaitan erat
dengan sistem pertahanan negara kita yang menganut sistem pertahanan
semesta. UU Pertahanan RI Nomor 3 Tahun 2002 dengan sistem pertahanan
keamanan rakyat semesta (sishankamrata) dalam mendefiniskan ancaman pada
hakekatnya terdiri atas ancaman militer dan non militer dan hal ini sesungguhnya
tak dapat disangkal dengan tanpa ancaman sebagaimana pernah dikemukakan
oleh pendapat lain. Jikalau kita hanya mengenal ancaman militer saja, lalu
bagaimanakah suatu bangsa dapat hidup tentram dan memiliki kekuatan
pertahanan diri dengan gejolak keamanan yang terus terjadi dan kekisruhan
ekonomi, politik dan sosial yang mengakibatkan konflik dan mempengaruhi
stabilitas keamanan Nasional ? sesungguhnya amat sulit untuk memisahkan
keinginan lawan dan bukan lawan tanpa kontrol dari pertahanan, dan hal ini
adalah fakta bahwa antara Pertahanan dan Keamanan adalah satu kesatuan
yang tak dapat dipisahkan, apalagi pertahanan lebih mengedepankan isi dan
tempat, yaitu karakter dan ruang lingkup geografinya secara komprehensif,
bagaimana mungkin hal ini dipandang tidak lebih penting daripada menonjolkan
sisi profesionalisme yang dianut oleh tiap-tiap organisasi. Ancaman non militer
yang salah satunya adalah konflik sosial dapat dipandang sebagai konflik
diantara karakter yang berbeda-beda yang mencari pembenaran masing-masing
dan tidak bisa disadarkan melalui pendekatan hukum belaka. Disinilah hadir
satuan kewilayahan TNI AD yang menampilkan pertahanan karakter, yaitu
aspek pertahanan nirmiliter yang merupakan sebuah idealisme dalam
menghadapi ancaman berdimensi non militer yang mengikis nilai-nilai
kebangsaan dan menimbulkan konflik sosial. Pandangan tentang pertahanan
karakter bagi TNI AD sendiri barangkali merupakan istilah baru, namun
implementasinya bukanlah hal yang baru sebab senantiasa dibangun dalam
kerangka pondasi nilai-nilai yang Pancasilais, dimanifestasikan dalam berbagai
kegiatan yang aplikatif dan realistis serta sesuai dengan kaidah Perundangan
yang berlaku dan merupakan tugas pokok satuan komando kewilayahan.
Keberadaan satuan kewilayahan sesungguhnya sangatlah efektif dalam
membangun sinergitas seluruh komponen bangsa dari grass root nya yaitu
komponen-komponen bangsa yang hidup dan bertempat tinggal di lingkungan
paling substansial mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga kota besar.
Karakter konflik saat ini memang telah berakar dan menyentuh perilaku
dalam kehidupan sosial. Kompetisi dalam memenangkan ego sektoral kelompok
yang merupakan cerminan dari sistem disentralisasi menjadi sedemikian
mengemuka, satu sisi hal ini adalah sistem baru meski tak dapat dikatakan baru,
namun tujuan awalnya terfokus pada kesejahteraan masyarakat namun
realitanya masih banyak diterima dengan sikap kecemburuan oleh sekelompok
masyarakat dengan pertentangan program kebijakan, perasaan khawatir akan
masa depan ditambah lagi dengan contoh-contoh korupsi didaerah maupun
pusat yang tidak ada habis-habisnya bahkan mungkin hingga detik ini.
Keseluruhan ini menimbulkan krisis kepercayaan secara ekonomi dan hukum.
Patut disayangkan bahwa sejauh ini Pertahanan masih menjadi aspek yang
realitanya tak dipikirkan dalam konsep disentralisasi, dimana peran pertahanan
di wilayah dirasakan hanya merujuk pada kata “pusat” dan “perang” . Pada
realitanya semua masalah apapun itu hanya dipandang sebagai persoalan
ekonomi dan sosial akan tetapi ternyata pada akhirnya dapat menimbulkan
konflik sosial dan konflik ini tak dapat diabaikan begitu saja dalam dimensi
pertahanan yang mencakup isi dan ruang Negara. Kondisi saat ini pada
umumnya, berbagai kebijakan dari pusat ke daerah tak dapat sepenuhnya
terealisasi, apalagi kebijakan antar daerah, antar institusi, antar organisasi,
selanjutnya antar individu dan terlebih lagi antar persoalan yang terkait.
Kecenderungan yang berjalan saat ini, keberadaan badan-badan penegak
hukum lebih dimanfaatkan semata mata apabila telah terjadi skala meluas dalam
ancaman yang bersifat tidak dapat diatasi, namun ancaman itu dapat terus
terjadi. Memandang konflik sebagai sesuatu yang hanya pantas ditindak secara
represif oleh badan penegak hukum semata merupakan pandangan yang
terbukti keliru yaitu sebuah pandangan yang beranggapan bahwa konflik
dipandang secara negatif dan konflik digunakan secara bersamaan dengan
istilah kekerasan, perusakan, dan ketidakrasionalan. Maka berangkat dari hal ini
konflik akhirnya dihadapi dengan konflik, pembenarannya adalah kekeliruan dari
penegakan aturan hukum yang kembali ingin ditegakkan dengan menyimpan
sejuta konflik dalam perasaan sosial negatif yang sewaktu waktu akan siap
muncul ke permukaan. Disisi lain, karakter wawasan kebangsaan dan persatuan
kesatuan menumbuhkan rasa kebersamaan dan memiliki cakupan dimensi
teramat luas dalam pergaulan yang plural serta kepemimpinan, sehingga satu
tidak ingin meninggalkan yang lainnya, serta menumbuhkan rasa tanggung
jawab sosial sebagai satu saudara sebangsa dan setanah air. Aspek ini meski
terkesan tradisional namun merupakan satu-satunya cara untuk meredam konflik
jauh sebelum terlihat gejalanya. Karakter wawasan kebangsaan merupakan
bagian dari dimensi pertahanan nirmiliter, yaitu pertahanan untuk menghadapi
ancaman yang bersifat non-militer diantaranya adalah konflik sosial yang secara
langsung maupun tidak langsung berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan
bernegara.
KESIMPULAN
Menghubungkan simpul simpul eksternal antara keamanan, pertahanan,
kesejahteraan, dan wawasan kebangsaan guna mereduksi terjadinya konflik
sosial bagi institusi TNI AD sendiri tentu tidak dapat dilakukan tanpa dukungan
lembaga lainnya. Namun sikap keapatisan masyarakat kita dalam mengatasi
gejala konflik dapat mengakibatkan eskalasi konflik cepat meluas sehingga perlu
dilakukan melalui pendekatan dan peran sosial yang dilaksanakan oleh kesatuan
kewilayahan TNI AD yang memiliki karakter kewilayahan, dan memiliki fungsi
yang terkait dalam bidang keamanan dan kesejahteraan yang diaktualisasikan
dalam berbagai kegiatan pembinaan teritorial .
Selanjutnya proses menuju sebuah kesadaran terhadap wawasan
kebangsaan guna membangun character building implementasinya adalah
merupakan azaz kepekaan dari potensi konflik yang kini telah banyak terjadi di
berbagai wilayah dalam dimensi pertahanan nirmiliter. Pertahanan adalah
menyeluruh, dan ketika badan-badan penegak hukum menjalankan fungsinya
untuk menegakkan hukum, maka harus ada badan lain yang bersentuhan
dengan etika sosial kemasyarakatan yang menampilkan karakter pendekatan
sosial guna mencegah terjadinya konflik secara meluas. Disinilah satuan
Komando kewilayahan hadir mengoptimalisasikan peran dan tugasnya
bersamaan dengan penegakan hukum, oleh sebab itu hal ini wajib dan harus
senantiasa didorong agar diimplemetasikan melalui kebijakan politik Negara.
Tugas pokok dan fungsi Bhabinkamtibmas itu sendiri harus dapat membimbing
masyarakat bagi terciptanya pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman masyarakat di desa atau
kelurahan. Bhabinkamtibmas juga harus membina partisipasi masyarakat dalam
rangka pembinaan Kamtibmas secara swakarsa disamping melakukan tugas-
tugas kepolisian secara umum. Demikian juga tugas pokok dan fungsi Kepala
Desa atau Lurah harus memegang teguh pengamalan Pancasila, UUD 1945
serta dapat memelihara keutuhan NKRI. Kepala Desa/Lurah harus bisa
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat. Babinsa tugas pokok dan fungsinya juga sudah diatur
dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2 huruf b tentang
Operasi Militer Selain Perang dan Surat Keputusan Kasad nomor :
Skep/98/V/2007 tanggal 16 Mei 2007 tentang Babinsa sebagai unsur pelaksana
Koramil bertugas melaksanakan bimbingan Teritorial (Binter).
“Tidak hanya itu, ketiga unsur pilar ini juga harus dapat membangun kemitraan,
berpartisipasi aktif dan juga ikut pro aktif dengan kegiatan masyarakat. Ini
dilakukan sekaligus untuk melakukan pendeteksian dan pencegahan dini
terhadap bahaya terorisme di wilyahnya.
- Ketepatan waktu
Informasi mempunyai nilai yang lebih sempurna apabila dapat
diterima oleh pengguna pada saat yang tepat. Informasi berharga
dan penting menjadi tidak bernilai jika terlambat diterima/usang,
karena tidak dapat dimanfaatkan pada saat pengambilan keputusan.
- Kejelasan (clarity)
Informasi yang jelas akan meningkatkan kesempurnaan nilai
informasi. Kejelasan informasi dipengaruhi oleh bentuk dan format
informasi.
- Dapat dibuktikan (Proporsional)
Nilai informasi semakin sempurna apabila informasi tersebut dapat
dibuktikan kebenarannya. Kebenaran informasi bergantung pada
validitas data sumber yang diolah.
- Tidak ada prasangka (Objektif)
Nilai informasi semakin sempurna apabila informasi tersebut tidak
menimbulkan prasangka dan keraguan adanya kesalahan informasi.
1. PENGERTIAN
- Kewaspadaan Dini adalah serangkaian upaya/tindakan untuk
menangkal segala potensi ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan dengan meningkatkan pendeteksian dan pencegahan dini.
- Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah adalah Tim yang dibentuk
oleh Kepala Daerah untuk membantu pelaksanaan tugas Kepala
Daerah dalam pelaksanaan Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah.
- Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan, yang selanjutnya
disingkat ATHG adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan
tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai
dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa,
keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan kepentingan nasional di berbagai aspek baik ideologi,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun pertahanan dan
keamanan.
- Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
- Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat yang selanjutnya disingkat
FKDM adalah wadah bagi elemen masyarakat yang dibentuk dalam
rangka menjaga dan memelihara kewaspadaan dini masyarakat.
- Akses Informasi adalah hubungan antar-perorangan, kelompok
maupun instansi tertentu yang dapat memberikan data dan/atau
informasi atau bahan keterangan untuk kepentingan tugas
pendeteksian dan pencegahan dini.
- Pendeteksian dan Pencegahan Dini adalah segala usaha, atau
kegiatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
untuk mendeteksi dan mencegah permasalahan yang mempengaruhi
penyelenggaraan pemerintahan
B. PELAPORAN CEPAT.
Dalam rangka peningkatan fungsi kewaspadaan dini di daerah, diperlukan
kolaborasi dengan penggunaan teknologi, salah satunya penyampaian
laporan melalui aplikasi smartphone, sehingga berbagai persoalan yang
terjadi diwilayah Kabupaten Garut dapat terdeteksi serta terlaporkan sedini
mungkin.
MASYARAKAT YANG
TERHIMPUN DALAM TIM KEWASPADAAN
(FKDM, FKUB dan FPK) CAMAT /BUPATI
DINI KEC. / Kab
BABINSA, BABINMAS
DAN KEPALA DESA