Anda di halaman 1dari 51

BAB I

A. Pendahuluan
Pemerintah Indonesia memiliki Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial yang menjelaskan bahwa pencegahan konflik
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
konflik dengan peningkatan dan kapasitas kelembagaan dan sistem deteksi
dini. Di dalam undang-undang tersebut telah dijelaskan mengenai upaya
pencegahan konflik. Pasal 2 dalam undang-undang tersebut menjelaskan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pencegahan Konflik dengan melalui memelihara kondisi damai
dalam masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian secara damai,
meredam potensi konflik dan membangun sistem peringatan dini. Dalam
melaksanakan pencegahan konflik, pemerintah dan pemerintah daerah
dapat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan/atau unsur masyarakat
lainnya. Selain itu, terdapat pula Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2018 tentang
Kewaspadaan Dini Daerah. Peraturan ini dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan otonomi sehingga daerah mempunyai kewajiban
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat sehingga dapat
menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, dengan adanya hal tersebut
tersebut maka pemerintah daerah Kabupaten Garut seharusnya dapat
meningkatkan upaya pencegahan konflik dengan menerapkan sistem
deteksi dini konflik yang efektif di wilayah Kabupaten Garut. Namun
demikian, pada kenyataannya konflik masih sering terjadi sehingga
memunculkan pertanyaan apakah system deteksi dini konflik tidak berjalan
efektif dalam upaya pencegahan dan penanganan konflik?.
Sistem Deteksi Dini sebenarnya sudah dikenal dengan CEWS
(Conflict Early Warning System) dan ditemukan pertama kali pada saat
terjadinya Perang Dingin. Konsep CEWS digunakan oleh intelejen militer
untuk memprediksi munculnya potensi penyerangan ballistic oleh lawan.
CEWS menjadi salah satu konsep dalam militer yang kemudian
diperkenalkan oleh PBB sebagai sebuah sistem atau instrumen untuk
meramalkan terjadinya bencana alam serta mendeteksi munculnya potensi-
potensi konflik komunal. Di Indonesia sendiri, konsep early warning atau
yang dikenal dengan sistem deteksi dini konflik telah diterapkan dengan
cukup baik. UNDP melalui program Peace Through Development di
Indonesia menemukan bahwa sistem deteksi dini konflik telah digunakan di
sebagian wilayah, bahkan perempuan memainkan peran penting dalam
prosesnya. Terdapat pula Institut Titian Perdamaian (ITP) yang telah
menerapkan sistem deteksi dini konflik di lima wilayah seperti Poso, Ambon,
Masohi, Ternate, dan Jailolo. Tujuan utama dari lembaga ini adalah
mempromosikan keterkaitan antara early warning dan peacebuilding.
Strategi kunci yang sangat efektif yakni dengan mengembangkan
sinergi antara peringatan dini dan program pembangunan perdamaian.
Selain itu, adanya pendekatan kearifan lokal menjadi upaya paling efektif
dalam mencegah konflik mengingat kondisi negara Indonesia yang
bersifat majemuk dengan beragamnya suku, agama, adat-istiadat dan
budaya. Dengan adanya ITP dan kerangka dinamis pencegahan dan
resolusi konflik ini maka seharusnya konflik dengan pola yang sama tidak
akan terulang kembali. Namun demikian, hal ini bertolak belakang jika
melihat berbagai kasus konflik yang terjadi di Indonesia.
Dalam sejarahnya, konflik sosial di Kabupaten Garut banyak terjadi
dengan pola yang sama yaitu dipicu dengan adanya pengakuan dari
pengikut sen-sen yang memproklamirkan keimanannya kepada sen-sen.
Konflik seperti ini tidak hanya sekali terjadi namun sifatnya berulang.
Terdapat beberapa contoh konflik di kabupaten Garut yang berulang
dengan pola yang sama. Contoh pertama yaitu konflik islam Baiat
pimpinan sen-sen komara bakar al misbah (NII KW 7) yang terjadi di
wilayah Kecamatan Caringin, Pakenjeng, Bungbulang, Pasirwangi,
Karangpawitan, Sukawening. Konflik antara islam Baiat dengan
masyarakat bermula dari tahun 2012, dan kembali terjadi pada tahun 2017
dan tahun 2018. konflik tersebut selalu terjadi berulang dikarenakan
adanya penyebaran faham – faham keagamaan yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran islam pada umumnya.

B. FAKTA-FAKTA PERMASLAHAN DI KABUPATEN GARUT.


Berdasarkan hasil inventararisasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
Kabupaten Garut selama kurun waktu 2017-2018 terdapat beberapa
permasalahan monumental yang dapat memicu konflik sosial di Kabupaten
Garut diantaranya :
a. Tahun 2018
1. Konflik Limbah Bulu Ayam PT. Daeyool.
2. Konflik atas Pernyataan Plt. Kadisdik Garut
3. Konflik Jemaat Ahmadiyah .
4. Konflik Penyerapan Bantuan Provinsi Jawa Barat.
5. Konflik Pembakaran Bendera Tauhid.
6. Konflik Sara Ajaran pimpinan Sensen Komara Bakar (Surat
Terbuka Pengakuan Kenabian Sensen).

b. Tahun 2017
1. Konflik Sara Ajaran pimpinan Sensen Komara (Pengakuan
Wawan Setiawan Jendral Bintang V Panglima Angkatan Darat).
2. Konflik bermotif SDA di Kecamatan Leles Kab. Garut.
3. Konflik Penolakan kedatangan Ust. Bachtiar Natsir ke Kab. Garut.
4. Konflik Horizontal Pemakzulan Bupati Garut oleh Ormas/LSM
GMBI.
5. Konflik Perselisihan antara Hisgar dan Fauzan.
Hasil identifikasi permasalahan konflik di Kabupaten Garut terdapat dua
jenis konflik yaitu konflik yang bernuansa agama dan konflik horizontal antara
Pemerintah Daerah Kab. Garut dan Ormas/LSM di Kabupaten Garut.
tentunya hal ini harus dijadikan kegiatan prioritas penyelesaian
permasalahan di Kabupaten Garut.
Perlunya langkah upaya nyata yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Garut, untuk menuntaskan secara optimal agar
permasalah tersebut tidak kembali berulang yang terus menyita perhatian
sekaligus mengganggu jalannya roda pembangunan di Kabupaten Garut.

C. Permasalahan Aktual Strategis yang berkaitan dengan Tugas Pokok


dan Fungsi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut.

Permasalahan yang menjadi garapan Beberapa permasalahan aktual


strategis di Kabupaten Garut diantaranya :
1. Ideologi :
Meningkatnya gejala separatisme di Kabupaten Garut diantara :
- Penyebaran Simbol Laten Komunis
- Meningknya Perkembangan Aliran Sesat Keagamaan di Kabupaten
Garut.
2. Politik :
Meningkatnya Potensi konflik yang diakibatkan penyelenggaraan Pilkada
diantaranya :
- Pilkada Bupati Garut
- Pilkades
- Dualisme Kepengurusan Partai Politik
3. Ekonomi
- Kelangkaan Sembako, Gas Lpg
- Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
- Maraknya Alfamart dan Indomart berpotensi mematikan ekonomi
masyarakat
4. Sosial dan Budaya
- Masih adanya gesekan antar ormas di Kabupaten Garut.
- Ormas yang melakukan pressure terhadap Kebijakan Pemerintah
Daerah.
- Konflik Pertanahan.
5. Pertahanan dan Keamanan
- Keberadaan Warga Negara Asing / Lembaga Asing.
- Masuknya Imigran Gelap di Kabupaten Garut.

D. Pendalaman Tugas Pokok, dan Fungsi Badan Kesatuan Bangsa dan


Poltik Kabupaten Garut.
Dalam rangka menjabarkan tugas pokok dan fungsi Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Kabupaten Garut yang tertuang dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Garut nomor 242 tahun 2014 tentang Tugas Pokok dan Fungsi
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut. disamping itu pula
dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Bagian
Keempat Urusan Pemerintahan Umum Pasal 25 (1) Urusan pemerintahan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) meliputi:
1. Pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional
dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan
pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
3. Pembinaan kerukunan antar suku dan antra suku, umat beragama,
ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan
lokal, regional, dan nasional;
4. Penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang
- undangan.
5. Koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang
ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi
serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
6. Pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila;
dan
7. Pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan
kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.

Atas dasar tersebut, secara komprehensif penjabaran tugas pokok dan


fungsi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut mengacu
pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Daerah
Bagian Keempat Urusan Pemerintahan Umum Pasal 25 (1) Urusan
pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5).
BAB II
MEMAHAMI KONFLIK

A. Apa itu Konflik


Kita sering kali mendengar kata konflik dalam kehidupan sehari-
hari. bahkan istilah tersebut makin populer dengan adanya beberapa
kejadian tragis di beberapa wilayah Indonesia pasca Orde baru, seperti di
Ambon, Sampit, Sambas, Poso, Timor-Timur, dan masih banyak lagi. Kita
sering kali mengasosiasikan konflik itu dengan sesuatu yang berbau
sadisisme, brutal, dan melibatkan kontak fisik.
Menurut akar bahasanya, konflik dalam kamus Webster (1966) dilihat
sebagai “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak1. Akan tetapi pada
perkembangannya kata tersebut mengalami perluasan arti dengan
masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai
kepentingan, ide, dan lain-lain.” Perluasan tersebut sebenarnya ingin
mengatakan bahwa kata konflik, telah menyerap aspek psikologis di balik
kata konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi itu sendiri.

Dalam perkembangannya, terdapat berbagai paradigma dan cara


pandang dalam melihat konflik. Pertama, cara pandang psikologis. Dalam
cara pandang ini konflik seringkali dilihat sebagai “sebuah kondisi
ketidaksepahaman yang melibatkan pihak-pihak karena merasa terancam
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya.” Menurut cara pandang ini
konflik biasanya dilihat sebagai sebuah benturan atau pertarungan antar
aktor dan kelompok atau budaya [dan negara atau bahkan peradaban] yang
memiliki perbedaan pandangan, kultur atau praktik sosial yang berbeda.
Cara pandang semacam ini bisanya juga disebut dengan model analisis
behavorial.

Kedua, cara pandang sosiologis. Cara pandang ini pada umumnya


melihat bahwa konflik terjadi karena adanya suatu struktur atau relasi
kekuasaan yang timpang yang terjadi dalam suatu proses sejarah yang
panjang. Struktur dan relasi kekuasaan itu bisa berwujud dalam sistem
ekonomi, politik dan budaya.

Pada dasarnya, konflik bukanlah sesuatu yang netral. Akan tetapi, di


dalam konflik mengandung unsur adanya praktek-praktek untuk
menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai
sesuatu yang diperebutkan. Unsur ini yang membedakan antara konflik
dengan sengketa. Sengketa terjadi apabila dua orang atau dua kelompok
(bisa lebih) bersaing satu sama lain untuk mengakui (hak atas) suatu benda
atau kedudukan yang sama. Jadi, melalui definisi ini terjawab sudah bahwa
ekses konflik cenderung merugikan pihak tertentu.
Kapan konflik itu terjadi? Konflik adalah hal yang natural atau alamiah, dan
dapat terjadi kapan saja. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kita hanya
berdiam diri saja menyikapi konflik.

B. Asumsi Dasar Konflik


a) Konflik selalu ada dalam kehidupan manusia.
Asumsi ini bertolak pada bahwa manusia diciptakan dalam
perbedaan. Perbedaan ini telah dimulai sejak manusia itu lahir
hingga dewasa. Ketidakmampuan untuk mengelola perbedaan
akan menimbulkan persengketaan antara manusia. Dalam
persengketaan masing-masing pihak menyatakan bahwa pihaknya
yang paling benar, paling suci, paling nasionalis, paling hebat. Di
sini terjadi saling klaim hak, bahwa pihaknya yang paling benar,
pihak lain adalah salah, jadi harus dihukum atau dihabisi.
Persengketaan yang mengarah kepada kekerasan dan telah
menimbulkan korban, itulah yang disebut konflik. Dalam konflik,
kedua belah pihak berupaya untuk menghilangkan hak orang lain,
termasuk nyawa pihak lain, harta benda pihak lain maupun
menghilangkan generasi pihak lain jikalau mungkin.

b) Konflik dapat dianalogikan dengan ”drama”


Setiap konflik membutuhkan aktor, panggung dan skenario,
begitu juga konflik. Untuk memahami konflik yang analog dengan
drama, maka perlu dijabarkan siapa-siapa aktor yang terlibat dalam
konflik. Apakah aktor politik atau militer? Siapakah sutradaranya?
Siapa penunggang bebas? Siapa figuran? Panggung apa yang
digunakan? Panggung merupakan media untuk mengekspresikan
peran dari aktor. Panggung biasanya kelompok etnis, agama atau
politik. Kemudian skenario apa di balik peran aktor dan panggung
yang digunakan? Kemana tujuan yang ingin dicapai? Apakah
wujudnya bisa mengembalikan dominasi kelompok? Status quo?
ekonomi? Kekuasaan? Skenario ini bisa bersifat struktural maupun
kultural.

c) Konflik selalu mempunyai dua sisi: menciptakan potensi


resiko dan potensi manfaat.
Huruf China untuk kata ”krisis” terdiri dari 2 huruf yang berarti
bahaya dan peluang. Dalam kaitan dengan perubahan, pada
dasarnya konflik merupakan salah satu cara bagaimana sebuah
keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah.
Konflik juga dapat mengubah pemahaman kita akan sesama dan
mendorong kita untuk memobilisasi sumber daya dengan cara-cara
baru. Konflik membawa kita pada klarifikasi pilihan dan kekuatan
untuk mencari penyelesaiannya.
d) Konflik dipengaruhi pola-pola emosi, kepribadian dan budaya.
Konflik mengikuti gaya kepribadian seseorang. Reaksi
psikologis (melamun, melawan, dingin/diam) berperan sangat kuat
dalam mempengaruhi proses konflik. budaya juga ikut membentuk
aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik.

e) Merujuk kepada fenomena konflik antar komunitas, umumnya


pada konflik yang melibatkan masyarakat di satu sisi dan
negara di sisi lain.
berdasarkan kajian dan pengalaman empirik selama 4 tahun ini
di maluku dan Poso, maka dapat dinyatakan bahwa pada
hakikatnya fenomena konflik dapat dianalogikan dengan
kebakaran pada suatu hutan yang gundul. Dengan api yang kecil,
rumput dan pohon yang sudah kering dengan cepat sekali terbakar,
meluas, terlebih-lebih apabila ada angin panas yang kencang,
maka kebakaran menjadi tidakterperikan dahsyatnya. Hal ini juga
berlaku bagi konflik. Unsur-unsur dasar suatu hutan gundul yang
terbakar adalah unsur rumput dan pohon kering, unsur api, serta
unsur angin. Unsur-unsur inilah yang akan dianalogikan dengan
dasar terjadinya suatu konflik.

C. SUMBER KONFLIK
berdasarkan pengalaman empirik di berbagai kabupaten di
Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa sumber konflik sosial di
Indonesia sumbernya ada 5 pokok sumber konflik. Di dalam berbagai
literatur konflik kadangkala berdasarkan sifat konflik maka dibedakan
ada konflik yang bersifat struktural dan konflik yang bersifat
komunal/sosial psikologis/horisontal. Pembedaan sifat konflik ini dapat
saja dilakukan namun sumber konfliknya tetap saja mengarah kepada
pola konflik yang akan dijelaskan di bawah ini :

a) Konflik Struktural
Konflik ini terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses
dan kontrol terhadap sumber daya (tanah, Tambang, Hutan). Pihak
yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan
kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai
akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di
sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali
dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan
keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak
tertentu/pihak dominan/Pemerintah pusat. Kebijakan yang tidak
adil serta penggunaan operasi militer dalam rangka mengamankan
kebijakan pemerintah pusat. Salah satu kata kunci untuk
memahami konflik ini adalah adanya ketimpangan yang
diakibatkan oleh penguasa dan pemilik akses terhadap sumber
daya.
b) Konflik Kepentingan
Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik
kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa
untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban,
dan biasanya yang menjadi korban adalah pihak masyarakat
kebanyakan. Ciri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya
persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antar kedua belah
pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena
masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah
tata cara atau masalah psikologis.

c) Konflik Hubungan Psikologis


Dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa ada interaksi
sosial antar pribadi, antara kelompok, dan antar bangsa. Namun
dalam berinteraksi ada kecenderungan untuk mengambil jalan
pintas dalam mempersepsikan seseorang. bias persepsi ini disebut
stereotip yang merupakan cikal bakal dari munculnya prasangka,
berlanjut pada dilakukannya diskriminasi yang berakhir pada
terjadinya tindakan kekerasan. Prasangka adalah sifat yang negatif
terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata karena
keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka muncul
karena adanya bias persepsi (stereotype), yang memunculkan
penilaian yang tidak berdasar dan mengambil sikap sebelum
menilai dengan cermat. Akibatnya, ada penyimpangan pandangan
dari kenyataan yang sesungguhnya serta ada pula generalisasi.
Kecenderungan generalisasi (memukul rata) tersebut akan
memberi dampak negatif jika sasarannya adalah kelompok
minoritas dalam arti, jumlah maupun status. Prasangka kemudian
dikonkritkan dalam perilaku dan atau tindakan diskriminasi.

d) Konflik Nilai
Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang ada. Nilai adalah
kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada
kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar
atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus
menyebabkan konflik. manusia dapat hidup berdampingan dengan
harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai
muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu sistem
nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang
eksklusif dimana di dalamnya tidak dimungkinkan adanya
perbedaan kepercayaan.

e) Konflik Data
Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi
yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,
menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau
memakai tata cara pengkajian yang berbeda. beberapa Konflik
Data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan
kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik.
Konflik Data lainya bisa jadi karena memang disebabkan informasi
dan/atau tatacara yang dipakai oleh orang-orang untuk
mengumpulkan datanya tidak sama.
D. RAGAM KONFLIK
lampiran

Selain sumber-sumber konflik, perlu juga kita mengetahui tentang


ragam konflik. Ragam konflik ini dapat meliputi wujud konflik, kategori
konflik, dan level konflik.

1. WUJUD KONFLIK
Konflik dapat berwujud tertutup (latent), mencuat (emerging) dan
terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya
tekanan- tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya
berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Sering kali
satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadari adanya konflik
bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah
perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi.
mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan
permasalahannya jelas, tetapi proses negosiasi dan penyelesaian
masalahnya belum berkembang. Di sisi lain, konflik terbuka adalah
konflik dimana pihak-pihak yang berlisih secara aktif terlibat dalam
perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk negosiasi,
dan mungkin juga mencapai jalan buntu.

2. Kategori konflik
Dalam perkembangan studi perdamaian ada beberapa kategori
konflik. Kategori berdasarkan isu dikenal ada berbagai seperti
konflik Sumber daya alam, konflik agama, konflik etnis, konflik
perburuhan, dan masih banyak lagi. Sedangkan kategori konflik
berdasarkan pihak yang berkonflik, biasanya konflik dikatergorikan
sebagai konflik horisontal dan konflik vertikal. Konflik horisontal
meliputi, konflik antar komunitas, konflik antar kelompok
etnis/agama, konflik antar kelompok politik. Sedangkan konflik
vertikal dikenal adanya konflik separatisme.

3. Level konflik
Pada level manakah konflik dapat muncul? Jawabannya: hampir di
semua level, konflik dapat muncul. mulai dari level yang terkecil
yaitu di dalam individu dan interpersonal hingga ke level yang lebih
luas seperti komunitas, masyarakat, nasional, internasional dan
global. Dalam semua level tersebut, kita akan menjumpai berbagai
jenis konflik muncul. beberapa kategori konflik sering dipakai.
Konflik sering dikategorikan secara sektoral misalnya konflik di
sektor ekonomi, lingkungan, sosial- kultural, politik atau keamanan.

4. SIKLUS RESOLUSI KONFLIK


Dalam perkembangan studi perdamaian, ternyata konflik juga
memiliki daur hidup. Daur hidup ini sering kali kita sebut sebagai
siklus. Sedangkan resolusi konflik menyangkut upaya penyelesaian
konflik dan pencegahannya. Jadi, siklus resolusi konflik merupakan
sebuah tahapan ditujukan guna menyelesaikan konflik. Siklus
resolusi konflik akan mengikuti daur hidup konflik. mengapa kita
harus mengetahui siklus resolusi konflik? Tujuan kita memahami
siklus resolusi konflik adalah untuk mengetahui sampai tahapan
mana konflik tersebut dan mencari solusi yang tepat dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada. Siklus resolusi konflik ini
bermula dari konflik, upaya penghentian kekerasan (peace
keeping), upaya negosiasi dan perjanjian damai (peace making),
upaya pembangunan perdamaian (peace building), dan upaya
pencegahan konflik (conflict prevention).

Ketika konflik tengah terjadi, maka upaya awal yang harus kita
lakukan adalah menghentikan kekerasan yang ada. Upaya ini yang
kita sebut sebagai upaya penghentian kekerasan (peace keeping).
Pada fase ini, semua sistem sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain
tidak berjalan normal. Pada kondisi ini biasanya langkah yang
ditempuh adalah menerjunkan aparat keamanan, pengerahan
pasukan keamanan, dan lain-lain. Tujuan dari penghentian
kekerasan adalah untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak
lagi dan mencoba untuk melakukan upaya-upaya perdamaian.
Setelah kekerasan dapat ditekan, maka tahap selanjutnya adalah
upaya perjanjian damai (peace making). Pada fase ini, upaya
perdamaian dilakukan dengan melakukan negosiasi, mediasi untuk
mencapai kata sepakat tentang keinginan berdamai. Untuk itu,
hasil dari tahapan ini adalah berupa kesepakatan-kesepakatan
antar pihak yang berkonflik.
Tahap selanjutnya adalah upaya pembangunan perdamaian
(peace building). Pada tahap ini, biasanya sistem sosial, hukum,
politik, keamanan berangsur- angsur pulih kembali. Dimulainya
proses penegakan hukum bagi para pelaku konflik, upaya
pengungkapan kebenaran, berfungsinya lembaga pemerintah,
birokrasi, penanganan terhadap korban konflik, pengungsi dan
reintegrasi kelompok yang berkonflik, dan lain-lain. Tahap terakhir
yang biasanya kita sebut sebagai tahap pencegahan konflik
(conflict prevention). Pada fase ini, segala upaya yang dilakukan
berkaitan dengan pencegahan konflik, seperti penguatan
kelompok-kelompok rentan, melakukan deteksi konflik, melakukan
warning dan respon, mengusulkan payung hukum terhadap konflik
dan lain-lain, yang ditujukan untuk mencegah berulangnya konflik
(conflict relapse).

E. PENDETEKSIAN POTENSI DAN DINAMIKA KONFLIK

Bagaimana mendeteksi sebuah konflik yang telah, sedang dan


mungkin terjadi: Pertama, mengetahui profil wilayah/kabupaten
yang menjadi obyek konflik seperti: sejarah, geografis, demografis,
BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS

kondisi sosial, kondisi politik, kondisi ekonomi, dan kondisi budaya.


Kedua mengetahui sejarah atau background serta kronologis konflik
yang pernah terjadi di suatu kabupaten atau wilayah tertentu.

Gambar 5. Deteksi Potensi dan Dinamika Konflik

Untuk lebih memudahkan menyusun sejarah dan background konflik, daftar di


bawah ini dapat digunakan:

Kapan (when)  − konflik terjadi?


Kapan
 − tanggal berapa sampai tanggal berapa?
Dari
Di mana (where)  −
Di mana konflik kekerasan terjadi?
 Siapa orang/kelompok yang terlibat konflik? Apa
− masing-masing?
peran
Siapa (who) −
 Siapa tokoh utama dari masing-masing

kelompok? Siapa pemangku kepentingan dan
 apa− perannya?
Apa (what)  Apa yang disengketakan/dikonflikan ? Apa isu

konfliknya ?
Bagaimana (how) −

 Bagaimana proses terjadinya konflik?
Mengapa (why) −
 Mengapa konflik terjadi?

Ketiga, mendeteksi fase konflik yang meliputi analisis terhadap tingkat


eskalasi atau de-eskalasi.
1. Deteksi Eskalasi Konflik
Secara umum, untuk mendeteksi tingkat eskalasi atau de-
eskalasi konflik dapat dibagi menjadi 5 (lima) fase sebagai berikut:

a) Fase 1: Dispute/Ketegangan

- Meningkatnya perhatian terhadap konflik yang disertai


dengan mobilisasi politik. Pihak-pihak yang berkonflik
menggunakan strategi-strategi militan yang tidak
mengandung aspek kekerasan untuk mencapai
tujuannya.
- Kelompok, pihak, atau negara yang terlibat dalam konflik
mempertanyakan nilai, isu, dan tujuan yang terkait
dengan kepentingan nasional. Perbedaan posisi dan
pertentangan kepentingan dalam sebuah konflik laten
harus diartikulasikan dalam bentuk tuntutan ataupun
gugatan. Dan pihak-pihak yang terkena dampaknya
memiliki perhatian terhadap tuntutan-tuntutan tersebut.

2. Fase 2: Krisis

- Ketegangan masih di bawah batas kekerasan. Hubungan


antar-pihak yang mengalami ketegangan mulai
memungkinkan pengerahan kekuatan yang lebih besar.
Keputusan-keputusan yang diambil dalam situasi ini
didasarkan pada informasi yang tak lengkap dan muncul
karena tekanan waktu.
- munculnya pernyataan-pernyataan perlunya respon
“abnormal” terhadap situasi yang dihadapi.

3. Fase 3: Kekerasan Terbatas

- Perubahan dari nir-kekerasan menjadi kekerasan.


- Pertikaian terbuka dan bentrokan senjata di antara pihak
yang berkonflik, penggunaan represi.
- muncul ancaman pengerahan kekuatan dan penggunaan
kekuatan secara tidak sistematis dan sporadis. Ancaman-
ancaman yang sifatnya militer mencakup mobilisasi
pasukan, gerilya atau tentara pembebasan, dan
penguasaan parsial terhadap wilayah, kabupaten
perbatasan atau zona keamanan dan ancaman
pendeklarasian perang.
4. Fase 4: Kekerasan Massal
- Pertikaian terbuka dikarakterisasi oleh kerusakan masif
dan level displacement yang tinggi yang dapat memicu
intervensi internasional.
- Pembunuhan massal terhadap warga sipil yang tidak
bersenjata.
- Gross Human Rights Violation (pelanggaran HAm)
berskala massal.
-

5. Fase 5: Penghentian (Abatement)


- Ada upaya de-eskalasi konflik secara sengaja.
- Penurunan intensitas kekerasan.
- Ada kesepakatan damai sementara.

6. Fase 6. Fase Penyelesaian ( Settlement)


- Kesepakatan damai yang relatif permanen.
- Adanya proses DDR (Disarmament, Demobilisasi, dan
Reintegrasi).

5. Deteksi De-Eskalasi Konflik


Perdamaian dapat diibaratkan pohon dengan 3 bagian yaitu daun,
batang, dan akar.

a) Usaha Pembangunan Perdamaian. Apa saja alat atau


mekanisme yang berlangsung dalam menangani konflik.
dapat melalui beberapa cara seperti pengadilan adat, komisi
kebenaran, dan sebagainya.

b) Proses yang Ada. Proses yang berlangsung disana yang


berkaitan dengan konflik dan dapat mempertahankan
perdamaian, misalnya : pertemuan desa, pertemuan antar
kepala adat, dan sebagainya.
Berdasarkan kerangka pencegahan konflik, terdapat dua
model analisis yang dapat digunakan untuk memetakan
konflik yang terjadi, yaitu analisis faktor dan analisis actor

Gambar 6. Fase Konflik


c) Dukungan Sistemik. Sistem yang dapat menopang perdamaian

BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS


BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS

atau kapasitas mengelola konflik, seberapa besar pengaruhnya.


Contohnya seperti aturan mengenai pengelolaan hubungan
antara desa dan kelompok, budaya toleransi, gotong royong, dan
sebagainya.

F. ANALISIS AKTOR

Berdasarkan kerangka pencegahan konflik), terdapat dua model


analisis yang dapat digunakan untuk memetakan konflik yang terjadi,
yaitu analisis faktor dan analisis aktor.

Gambar 7. Analisis Aktor

a) Analisis Faktor Struktural

Faktor Struktural (Structural Factors) adalah faktor-faktor


struktural atau ‘latar belakang’ yang menciptakan pra-kondisi
konflik sosial. Faktor-faktor ini bisa meliputi eksklusi politik secara
sistematis, kesenjangan ekonomi yang inheren, ketiadaan institusi
yang memadai dan responsif, pergeseran dalam hal
keseimbangan demografis, kemerosotan ekonomi, dan kerusakan
ekologis terhadap wilayah.

Komponen indikator struktural digunakan untuk menilai


risiko konflik laten. Penilaian risiko melihat potensi konflik dalam
jangka panjang melalui analisis faktor struktural yang bisa saja
terentang selama beberapa dekade sebelumnya. Karakter dari
indikator struktural adalah indikator yang bersifat umum,
mendasar, menggambarkan struktural, serta latar belakang

BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS


prakondisi yang memungkinkan terjadinya konflik.

Hal penting lain adalah, Faktor Struktural harus disusun


dengan indikator yang bisa diukur naik-turunnya, misal
menggunakan kata tingkat, proporsi dan prosentase. Indikator juga
bisa disusun dengan cara membuat skala yang berlaku secara
spesifik di kabupaten tertentu. Indikator juga bermaksud untuk
mengetahui tingkat risiko konflik akibat naik-turunnya nilai indikator
tertentu. Dengan demikian disimpulkan bahwa Faktor Struktural
bersifat jangka panjang.

Geografi
Demografi
Sejarah
Sosial dan ekonomi
Politik & Hukum
budaya

Pempercepat (Accelerator) merupakan kejadian-kejadian di luar


parameter-parameter model. Secara esensial akselerator
merupakan kejadian-kejadian umpan-balik yang dengan cepat
meningkatkan level signifikansi situasi umum yang paling
mengandung kekerasan. Tetapi bisa juga Akselerator yang
mempengaruhi kegagalan sistem atau perubahan- perubahan
mendasar dalam kausalitas politik. Seringkali Akselerator juga
dipahami sebagai katalisator dalam proses eskalasi konflik. Definsi
akselerator Kejadian-kejadian yang tidak berhubungan langsung
dengan indikator-indkator penyebab konflik, akan tetapi bisa
meningkatkan secara cepat proses eskalasi atau de-eskalasi
konflik.

Contoh dari akselerator adalah sebagai berikut: Pertama,


Kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Kedua, Konflik
bersenjata/kekerasan antar- kelompok. Ketiga, Peningkatan
dukungan eksternal terhadap salah satu kelompok. Keempat,
Peningkatan ukuran dan kohesi kelompok vis a vis kelompok
lainnya. Kelima, Peningkatan teknik-teknik kekerasan sebagai
instrumen konflik. Keenam, Peningkatan bentuk-bentuk agresivitas
(Aggressive posturing). Ketujuh, meningkatnya bentuk-bentuk
pelanggaran terhadap “integritas hidup” manusia (life integrity
violations).
Kebijakan Diskriminatif
BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS

Konflik Kekerasan
Disintegrasi Kelompok
Pelanggaran Hukum
Pelanggaran HAM
lain-lain

Pemicu (Trigger) adalah kejadian tiba-tiba yang memicu


pecahnya konflik. Contoh dari Pemicu adalah pembunuhan
tokoh penting, kecurangan dalam pemilihan umum, dan skandal
politik. Sebagai misal, pembunuhan tokoh atau pemimpin
kelompok tertentu, perusakan simbol-simbol identitas dan lain
sebagainya. Pemicu bersifat jangka pendek dan sporadis.

Kriminalitas
Insiden Kekerasan Antar Kelompok
Insiden Kekerasan lainnya
Peristiwa lainnya

b) Analisis Aktor Sekuritisasi.

Analisis terhadap aktor sekuritisasi dilakukan dengan


melihat lima komponen. Yaitu, Aktor Sekuritisasi (Securityzing
Actor), ancaman keamanan eksistensial, Kelompok Rentan
(vulnerable group atau referent object (RO), Aktor Fungsional
(functional actor), dan logika ancaman (logic of threat). Aktor
Sekuritisasi merupakan aktor utama yang bisa mempengaruhi
kelompok untuk melakukan tindakan darurat guna merespon
ancaman keamanan eksistensial. Ancaman keamanan
eksistensial dipahami sebagai kondisi yang dianggap
membahayakan identitas dan survival dari individu atau
kelompok.
Kelompok Rentan adalah kelompok atau kumpulan
orang yang dianggap oleh Aktor Sekuritisasi sebagai rentan
terhadap ancaman keamanan eksistensial. Aktor Fungsional
merupakan pihak yang mempengaruhi hubungan dinamis antara
Aktor Sekuritisasi dengan Kelompok Rentan, misalnya media
massa. logika Ancaman (logic of threat) sebagai komponen
terakhir dari sekuritisasi yang mengandung substansi narasi
tindakan (speech act) dari Aktor Sekuritisasi mengenai ancaman
eksistensial yang sedang mengancam Kelompok Rentan.

Pemahaman Aktor Sekuritisasi terhadap kondisi nyata


Faktor Struktural, Akselerator, dan Pemicu akan menentukan
apakah faktor-faktor tersebut dilihat sebagai ancaman eksistensial
atau tidak. Apabila Aktor Sekuritisasi melihat bahwa terdapat

BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS


ancaman eksistensial, maka akan ada pertimbangan darinya
mengenai sebuah tindakan. Yaitu mengenai apakah akan
merespon secara normal dengan menggunakan cara-cara nir-
kekerasan atau secara abnormal dengan kekerasan.
Dalam sekuritisasi, Aktor Sekuritisasi membangun logika
ancaman yang diterima oleh Kelompok Rentan dengan
menggunakan apa yang disebut dengan Narasi Tindakan (speech
act). Ketika terjadi pembunuhan terhadap umat muslim di hari Idul
Adha misalnya, sebuah media massa dalam pemberitaanya
mengemukakan pernyataan bahwa “pembunuhan dilakukan di
hari Idul Adha, sehingga dianggap melukai umat Islam.”
Pernyataan tersebut sebenarnya mengandung informasi yang
belum dapat dibuktikan. Karena sumber-beritanya tidak diketahui
dengan jelas. Namun, bila informasi ini sampai pada Kelompok
Rentan dan direspon secara abnormal, maka hal ini akan
berimplikasi pada berlanjutnya proses sekuritisasi. lebih jauh lagi,
proses sekuritisasi ini akan mendorong terjadinya eskalasi konflik.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi apakah sebuah


proses sekuritisasi berpeluang untuk meningkatkan bobot Pemicu
dalam risiko konflik. Pertama, sejauh mana tingkat kemampuan
Aktor Sekuritisasi memobilisasi Kelompok Rentan. Semakin besar
kemampuan Aktor Sekuritisasi dalam memobilisasi Kelompok
Rentan, semakin besar pula tingkat risiko konfliknya. Kedua,
relevansi logika Ancaman (logic of threat) bagi Kelompok Rentan.
bila logika Ancaman yang berkembang tidak mendapat tempat
yang signifikan atau tidak relevan bagi Kelompok Rentan, maka
tidak ada peningkatan bobot Pemicu (trigger). Ketiga, karakter
spesifik Kelompok Rentan. Apakah karakter Kelompok Rentan
relevan dengan isu sekuritisasi yang sedang berkembang.
Keempat, tingkat peran Aktor Fungsional. bila peran Aktor
Fungsional memiliki signifikansi yang dibutuhkan, maka hal ini
dapat meningkatkan bobot Pemicu (trigger).

Hasil dari analisis dan deteksi itu dapat berupa sebuah


tulisan mengenai analisis potensi konflik. Analisis potensi konflik
merupakan sebuah tulisan singkat, hasil analisis cepat (rapid
analysis) mengenai trend konflik terkini. Ada dua jenis analisis
yaitu analisis rutin dan analisis momentual. Analisis rutin dibuat
secara rutin menurut kebutuhan dinamika konflik di kabupaten.
Analisis rutin dapat dilakukan setiap tahun, setiap 6 bulanan
bahkan bisa juga setiap 4 bulanan jika memang dibutuhkan.
Analisis rutin bertujuan memantau perkembangan trend konflik di
lapangan dari waktu ke waktu. Analisis rutin merupakan up-date
data dan up-date analysis bagi latar belakang konflik (back ground
confict). Analisis rutin yang dilakukan dengan baik akan sangat

BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS


BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS

membantu untuk pembuatan analisis momentual. berbeda


dengan analisis rutin, analisis momentual merupakan analisis
yang dibuat dalam rangka menyikapi situasi yang
mengindikasikan akan adanya ekskalasi konflik. Tujuan utama
dari analisis momentual adalah peringatan dan tanggapan dini
untuk situasi konflik yang mungkin akan berlangsung. Dalam
analisis ini juga disampaikan rekomendasi-rekomendasi untuk
pencegahan konflik.

Agen Sekuritisasi

Tokoh Politik
Tokoh Agama
Tokoh Adat
Tokoh Pemuda
Tokoh Komunitas
Tokoh lainnya

Aktor Fungsional

Kelompok Politik
Kelompok Agama
Kelompok syarakat/Adat
Kelompok LSM
Kelompok Profesional
Kelompok Perguruan Tinggi

Kelompok Rentan

Kelompok Politik
Kelompok Agama
Kelompok Masyarkat/etnik
Kelompok Pengangguran/
Pemuda
Kelompok bersenjata
Kelompok lainnya

c) PENGORGANISASIAN AKTOR

Untuk pengorganisasian terhadap aktor, maka perlu dibedakan


cara- cara dan pola pengorganisiran terhadap 3 (tiga) aktor yang
berbeda, yaitu: Aktor Sekuritisasi, Aktor Fungsional dan Kelompok
Rentan. Perlakuan dan pengorganisiran terhadap mereka
dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Terhadap Aktor

BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS


BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS

Sekuritisasi, hal yang perlu dilakukan adalah memberikan mereka


visi dan misi yang jelas dalam rangka pembangunan perdamaian.
Dalam beberapa hal, pengorganisiran itu bisa juga didorong agar
Aktor Sekuritisasi mampu menjadi kekuatan pencegah konflik dan
pembendung konflik. Pengorganisiran Forum latupati di Ambon
adalah salah satu contoh bagaimana Aktor Sekuritisasi
diorganisasikan. Peningkatan kapasitas untuk memediasi konflik,
menyusun strategi jangka panjang untuk mencegah konflik juga
dapat menjadi satu cara dalam mengorganisasikan Aktor
Sekuritisasi.

Sementara, pengorgansiasian Aktor Fungsional dilakukan agar


kelompok ini tidak lebih jauh mengakselerasi konflik.
Pengorganisasian ini juga dilakukan dalam rangka untuk
memotong dan meredam agar securitizing aktor tidak
menggunakan logic of threat terhadap vulnerable groups sehingga
konflik tidak meluas dan melebar. Contoh pengorganisasian
terhadap kelompok ini misalnya: bekerjasama dengan pihak
universitas untuk membangun riset dan rekonstruksi sejarah;
terhadap aparat keamanan dan masyarakat, misalnya, untuk
membangun dapat dilakukan program pencegahan konflik dan
penjagaan keamanan yang melibatkan polisi-masyarakat
(community policing).

Pengorganisiran terhadap Kelompok Rentan (vulnerable


groups) dilakukan agar kelompok masyarakat yang rentan itu
tidak menjadi korban atau pemicu konflik, dan dengan demikian
dapat menjadi pihak yang membangun perdamaian.
Pengorganisian ini dapat dilakukan melalui pembentukan
organisasi masyarakat untuk mencegah konflik atau melalui
kegiatan-kegiatan sederhana seperti pembuatan pasar dan ruang
tukar bersama, membuat kegiatan olahraga dan seni, dan lain
sebagainya.

G. Memberikan Peringatan Dini


Peringatan Dini adalah tindakan memberikan informasi tentang
kemungkinan munculnya atau meluasnya konflik kekerasan di masa
yang akan datang.
Gambar 8. Langkah-langkah Melakukan Peringatan Dini

Distribusi Analisis

PUSKOMIN
Peringatan Dini Lobby
BAKESBANGPOL

Rakor Teknis
Stakeholder

Tanggapan Dini
- Pengorganisasisan Aktor
- Advokasi kebijakan
- Pemberdayaan Masyarakat

Ada beberapa cara dalam melakukan Peringatan Dini

1. Distribusi Analisis
Adalah sebuah tindakan mengirimkan analisis Puskomin
Bakesbangpol kepada pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang
menerima analisis ini harus benar-benar terpilih, yaitu mereka yang
diidentifikasikan sebagai pihak yang dapat mendukung upaya damai.
Jaringan dapat menjadi salah satu diantaranya. Analisis sifatnya
rahasia dan terbatas untuk melindungi segala informasi yang tersedia
supaya informasi jatuh ke tangan yang tepat untuk menuju tujuan
utama yaitu pencegahan konflik dan situasi damai. Tidak disarankan
untuk mendistribusikan analisis kepada pihak media massa ataupun
pihak-pihak yang berkonflik karena ditakutkan justru akan
memperkeruh keadaan, kecuali bila pihak yang berkonflik memiliki
komitment untuk perdamaian.

2. Lobby
Sebagai tindaklanjut dari pendistribusian analisis, dapat dilakukan
lobbying individual maupun kelompok kepada pihak-pihak yang
bersangkutan mengenai apa tanggapan mereka terhadap analisis
yang telah kita susun. Selain itu, lobbying juga bertujuan untuk
menanyakan apa komitmen yang dapat mereka lakukan untuk
tanggapan dini di lingkungannya.

3. Rakor Teknis
Metode ini dapat dipakai untuk peringatan dini dengan cara
mengundang anggota jaringan dan atau stakeholder (para pihak)
lainnya secara terseleksi di suatu tempat tertutup untuk mendiskusikan
bersama tentang permasalahan yang ada. Rakor Teknis ini juga dapat

BAB 2 - PERAN DAN KERJA CEWERS


diarahkan untuk memikirkan kira-kira langkah apa yang tepat diambil
untuk antisipasi konflik ke depan dan apa yang bisa dibuat oleh
jaringan yang berupa Rencana Tindak Lanjut (RTL). Selanjutnya, aksi
untuk tanggapan dini dapat diserahkan kepada jaringan dan atau stake
holder (para pihak) lainnya atau bisa juga diorganisasikan bersama
oleh Tim, jaringan dan stakeholder (para pihak) lainnya. Sama dengan
metode distribusi analisis, metode presentasi dan diskusi sifatnya
tertutup, terbatas dan rahasia. Hanya pihak-pihak tertentu saja yang
dapat diundang dalam kegiatan ini.

4. Melakukan Respon Dini Counter Isu/Informasi


Counter issue/informasi merupakan serangkaian tindakan untuk
memun-culkan isu/informasi yang berbeda sehingga isu/informasi
pertama tidak menyebar luas. Dalam situasi konflik biasanya muncul
sebuah “kesadaran konflik” sehingga isu/informasi yang mendukung
konflik mudah tersebar. Tugas kita adalah meng- counter isu/informasi
tersebut, menggantinya dengan isu/informasi yang pro-damai; yaitu
yang dapat memunculkan “kesadaran damai” atau bila tidak
memungkinkan minimal kita melakukan counter isu/informasi yang
sifatnya netral. Dengan melakukan counter issue/informasi diharapkan
kesadaran konflik tidak menyebar luas dan justru tercipta kesadaran
damai.

Gambar 9. Langkah-langkah Respon Dini Bila Terjadi Konflik

BUPATI GARUT
Counter Issue
(Framing-Reframing)

Melokalisir Wilayah
Konflik

STAKEHOLDER
Melokalisir Wilayah Konflik

bila suatu saat, konflik kekerasan telah pecah di satu kabupaten tertentu,
maka tanggapan dini dapat dilakukan dengan cara melokalisasi wilayah
konflik, sehingga konflik tidak menyebar luas ke wilayah lain. lokalisasi
wilayah konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah
dengan melakukan counter issue/informasi di wilayah yang tidak
berkonflik, membatasi pemberitaan tentang konflik yang terjadi, memutus
komunikasi dengan wilayah lain yang tidak berkonflik, menjaga
perbatasan, dan sebagainya.
BAB III

PERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN


KONFLIK KEAGAMAAN BERDASARKAN FUNGSI

Indonesia adalah sebuah nagara yang terdiri dari masyarakat majemuk,


lebih dari lima ratus suku bangsa ada didalamnya. Masyarakat majemuk yang
dibentuk oleh beraneka ragam suku, agama, kebudayaan yang bersatu dalam
kehidupan sosial, ekonomi, politik yang sangat kompleks. Mereka dipersatukan
oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara sebagai bangsa atau
nation. Mereka hidup berkembang dengan kebudayaan masing-masing namun
telah dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia menjadi Bhineka Tunggal Ika.
Meskipun demikian, kondisi semacam ini sangat rawan akan terjadi konlfik yang
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban. Dalam kehidupan bersama,
tiap-tiap individu memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Ketika kepentingan-
kepentingan yang berbeda itu bertentangan satu sama lain, maka konflik akan
terjadi. Oleh sebab itu, konflik sering diartikan sebagai hubungan antar dua pihak
atau lebih, pada tataran individu ataupun kelompok, yang memiliki atau merasa
memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan (Irfan Abu Bakar, Modul
Resolusi Konflik).
Perbedaan kepentingan yang tidak dikelola dengan bijaksana bisa
menimbulkan konflik. Konflik sosial bisa muncul karena adanya kompetisi untuk
memperebutkan sumber daya alam, ekonomi, sosial, politik antara individu-
individu dan anggota komuniti setempat (Dahrendorf, 1959, Suparlan, 1999).
Konflik juga muncul disebabkan oleh aturan main yang tidak adil didalam proses
kompetisi untuk menguasai sumber daya alam.
Kebudayaan masing-masing namun telah dipersatukan oleh sistem
nasional Indonesia menjadi Bhineka Tunggal Ika. Meskipun demikian, kondisi
semacam ini sangat rawan akan terjadi konlfik yang menimbulkan gangguan
keamanan dan ketertiban. Dalam kehidupan bersama, tiap-tiap individu memiliki
kepentingan yang berbedabeda. Ketika kepentingan-kepentingan yang berbeda
itu bertentangan satu sama lain, maka konflik akan terjadi. Oleh sebab itu, konflik
sering diartikan sebagai hubungan antar dua pihak atau lebih, pada tataran
individu ataupun kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki kepentingan-
kepentingan yang tidak sejalan (Irfan Abu Bakar, Modul Resolusi Konflik).
Perbedaan kepentingan yang tidak dikelola dengan bijaksana bisa
menimbulkan konflik. Konflik sosial bisa muncul karena adanya kompetisi untuk
memperebutkan sumber daya alam, ekonomi, sosial, politik antara individu-
individu dan anggota komuniti setempat (Dahrendorf, 1959, Suparlan, 1999).
Konflik juga muncul disebabkan oleh aturan main yang tidak adil didalam proses
kompetisi untuk menguasai sumber daya alam.
Pengertian konflik sesuai Undang-undang Penanganan Konflik Sosial
adalah: perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua
kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi social
sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
Konflik memang tidak selalu identik dengan kekerasan, namun terkait
dengan konteks konflik yang akan ditangani oleh kepolisian, maka pengertian
konflik sebagaimana yang tertulis dalam UU No. 7 tahun 2012, itulah yang akan
menjadi acuan. Konflik bisa mengarah negatif ketika pihak yang berkonflik
berupaya untuk memperoleh dukungan dari pihak lain dengan menggunakan
segala cara, termasuk sentimen atas nama kesamaan kelompok, suku, asal
daerah, agama, ras bahkan yang kerap terjadi adalah kesamaan kepentingan.
Dukungan secara membabi buta kepada salah satu pihak kerap muncul
dan menjadikan konflik semakin meluas, bahkan ia bisa lepas dari akar masalah
yang melatarbelakanginya. Konflik bisa berkembang dengan sangat liar tak
terkendali dan berubah wujud seolah olah menjadi konflik antar suku, antar
agama, antar kampung. Dengan demikian, sejatinya konflik itu bisa dengan
sengaja diciptakan dengan cara memanfaatkan kelompok-kelompok primordial
(atas nama suku, agama, ras, asal daerah) yang rentan secara tidak
bertanggungjawab.
Kelompok-kelompok ini memang terus tumbuh subur di tengah-tengah
masyarakat. Minimnya lapangan kerja, tingginya tingkat pengangguran hingga
semakin lebarnya jurang perbedaan akibat tingkat pendapatan antara yang kaya
dan miskin, termasuk perlakuan yang tidak sama dimata hukum adalah sumber
masalahnya. Kelompok promordial ini ibarat api dalam sekam, mereka
menyimpan amarah dan kekecewaan yang terpendam dan kapan saja bisa
dengan mudah meledak. Kelompok ini kurang rasional, emosional, sangat
mudah marah apabila dipicu dengan sentimen pelecehan agama, suku, ras dan
sebagainya.
Konflik yang bernuansa agama tidak terjadi karena perbedaan visi dan
ideologi antar pemeluknya. Konflik bernuansa agama sengaja dimunculkan
sebagai tindakan kamuflatif untuk menyuarakan kepentingannya. Konflik
bernuansa agama memang begitu mudah untuk menyulut kebencian,
memperoleh dukungan, padahal ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah
mereka yang lemah, minoritas dan miskin.
Konflik bisa berkembang menjadi masalah sosial yang sangat serius jika
tidak bisa dikendalikan dengan benar. Konflik menjadi besar manakala tidak ada
perantara (mediator) yang mampu bertindak dengan tidak memihak, yang
dihormati oleh kedua belah pihak yang sedang berkonflik. Konflik juga
membutuhkan orang yang bisa menjadi perunding (negosiator) dari salah satu
pihak yang dapat bertindak adil terhadap kedua belah pihak. Ia harus mampu
menjembatani perbedaan-perbedaan antar berbagai pihak yang sedang
berkonflik, sehingga mampu memberikan kompensasi-kompensasi sebagai ganti
rugi atas ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pihak yang merugikan (suparlan
1999).

Fungsi Kepolisian
Fungsi kepolisian adalah sebagai Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat (UU No 2 / 2002. Pasal 2).
Dalam struktur kehidupan masyarakat, polisi atau petugas kepolisian
mempunyai fungsi sebagai pengayom, penegak hukum, yaitu mempunyai
tanggung jawab khusus untuk memelihara keteriban warga dan menangani
kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam
bentuk upaya pencegahan agar anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja
dalam keadaan aman dan terntram (Bachtiar 1994:1).
Dengan kata lain, aktifitas polisi adalah berkenaan dengan masalah-
masalah sosial, yaitu berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam
kehidupan sosial yang dirasakan sebagai beban atau gangguan yang merugikan
anggota masyarakat (Suparlan 1985:61-73). Keberadaan polisi dalam suatu
masyarakat haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Problematika sosial yang terjadi di tiap-tiap masyarakat juga berbeda-
beda. Oleh sebab itu, meskipun fungsi polisi secara umum sama, namun
prakteknya bisa sangat berbeda-beda dalam hal cara menerapkan
fungsifungsiya. Polisi yang ideal adalah diseluruh dunia adalah polisi yang cocok
dengan masyarakat yang dilayaninya (Satjipto Rahardjo, 2000) Pemolisian
(policing) adalah cara pelaksanaan tugas polisi yang mengacu pada hubungan
antara polisi, pemerintah dan masyarakat. Untuk mencapai pemolisian yang
efektif, diperlukan model pemolisian yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan
sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat, kebudayaan serta
lingkungan yang dihadapinya. Variasi gaya pemolisian secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua;
Pertama, adalah pemolisian konvensional atau pemolisian tradisional.
Model ini lebih menekankan pada aktifitas kepolisian untuk mencapai kondisi
aman dan tertib dengan cara tindakan kepolisian yang reaktif dan proaktif, dan
lebih menekankan pada proses penegakan hukum untuk memerangi kejahatan.
Kedua adalah pemolisian modern yang merupakan antitesis dari
pmolisian konvensional. Para penganut model ini sepenuhnya menyadari akan
keterbatasan yang dimiliki untuk bisa mencapai tujuan kepolisiannya.
Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat,
memaksimalkan sumberdaya yang ada di masyarakat, membuka pintu
partisipasi masyarakat dan selalu berorientasi pada pemecahan masalah ketika
melihat persoalan sosial yang terjadi di masyarakat.
Mengingat bahwa permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat
majemuk di Indonesia ini begitu kompleks, maka untuk mengatasi masalah
tersebut, diperlukan sebuah sistem yang holistik, sistemik (sebuah kesatuan
yang bulat dan menyeluruh), maka dibutuhkan kemampuan polisi yang mampu
mengidentifikasi masalah, meneliti, menganalisis dan mengambil tindakan yang
tepat dan cepat. Salah satu ciri yang Kepolisian Republik Indonesia pasca
terpisah dari TNI adalah menjadi Kepolisian sipil dengan meninggalkan kultur
militeristiknya dan selanjutnya menjadi pengayom, penegak hukum untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Di dalam prakteknya, Polisi selalu bermitra dengan masyarakat untuk
bersama-sama memecahkan masalah gangguan keamanan dan ketertiban yang
terjadi. Dalam pemberian layanan kepolisiannya, polisi juga akan selalu
berkonsultasi dengan masyarakat, sehingga prioritas layanan yang diberikan
bisa benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat. Model Pemolisian
Masyarakat (Polmas) inilah yang saat ini terus berupaya diterapkan oleh Polri.
Pada tahapan operasional kepolisian, ada lima langkah yang harus dilakukan
oleh setiap anggota polisi dalam penerapan Polmas, yaitu : Mengamati atau
mengobservasi fenomena dilingkungan tugasnya dengan cermat. Dalam proses
obeservasi polisi harus mampu menangkap gejala dalam suatu peristiwa lengkap
dengan data-data sebagai informasi penunjang.
Melakukan analisis atas semua gejala dan peristiwa yang terjadi secara kritis.
Mampu melihat, meramalkan hubungan antar gejala dan peristiwa yang terjadi
dengan logis sehingga bisa menyiapkan upaya-upaya pencegahan
Mengidentifikasi akar masalah dari setiap ancaman keamanan dan ketertiban
yang yang terjadi, lalu berusaha mencari solusi Bersama warga masyarakat yang
potensial untuk diajak kerjasama
Mengembangkan pemolisian yang kreatif, bisa diterima oleh masyarakat,
menumbuhkan kepercayaan dan memperoleh dukungan dalam upaya
penciptaan kamtibmas dalam rangka peningkatan kualitas hidup warga. Jadi,
secara umum, fungsi Kepolisian adalah memelihara keteraturan atau
mengembalikan keteraturan yang terganggu akibat konflik yang terjadi antar
individu maupun antar kelompok. Kehadiran polisi diharapkan bisa mewujudkan
rasa aman, nyaman bagi warga masyarakat sehingga.
produktifitas warga bisa dijamin untuk mendorong peningkatan sumberdaya
ekonomi yang berujung pada peningkatan kesejahteraan warga.
Fungsi lainnya adalah sebagai penegak hukum, untuk memerangi
kejahatan, mengayomi dan melayani masyarakat dari ancaman kejahatan yang
menganggu dan merugikan dari pihak lain. Sedangkan fungsi sebagai
pemelihara keteraturan dan ketertiban mayarakat, menuntut polisi untuk selalu
ada dan berhubungan dekat dengan kehidupan warga masyarakat yang
dilayaninya. Polisi harus mampu mendeteksi semua kejadian sekecil apapun
yang terjadi di lingkunganya. Interaksi yang baik antara polisi dan warga menjadi
prasyarat utama untuk keberhasilan tugas-tugas polisi.

POLISI DAN PENANGANAN KONFLIK


a) Pra Konflik
Dalam UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
ditegaskan mengenai mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan
secara damai. Pada pasal 8 disebutkan, penyelesaian perselisihan dalam
masyarakat dilakukan secara damai. Penyelesaian secara damai
sebagaimana dimaksud mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Hasil musyawarah mufakat mengikat para pihak. Hal ini sejalan dengan
implementasi Polmas yang dikembangkan oleh Polri. Dalam kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung dalam konsep
Polmas pada hakekatnya bukan merupakan hal yang asing.
Sebagai suatu strategi, Polmasberarti: model perpolisian yang
menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan
masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap
permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban
masyarakat, serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat.
Tujuannya untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan
kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak lagi
semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian.
MAsyarakat sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri
upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib sebagai ketentraman
dan keselamatan kehidupan bersama mereka. Situasi ini difasilitasi oleh
petugas Kepolisian yang berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu
kemitraan.
Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa
masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan
mencari jalan keluar pemecahan masalah-masalah gangguan keamanan
dan ketertiban. Implementasi Polmas dalam rangka pencegahan dini
konflik bernuansa agama menjadi sangat relevan. Polisi dari fungsi
apapun harus memahami dan mengimplementasi model Polmas berbasis
kawasan (geographical community) ataupun model Polmas berdasarkan
community of interest. Polisi harus mampu membangun kemitraan dengan
warga, menciptakan jejaring dengan seluruh komponen di masyarakat,
bekerja secara proaktif, penuh inisiatif dan berorientasi pada pemecahan
masalah daripada penegakan hukum.
Pola kedekatan hubungan yang dibangun harus mampu menyerap
aspirasi warga dengan tepat, sehingga prioritas layanan yang diberikan
oleh polisi bisa sesuai dengan kepentingan warga. Pola kedekatan
hubungan yang sejajar antara polisi dengan warga akan sangat
membantu polisi dalam mendeteksi semua informasi yang muncul terkait
dengan dinamika warga yang terus menerus terjadi di tengah-tengah
warga. Manakala semua kejadian bisa terpantau dengan baik, maka
tindakan kepolisian bisa tepat sasaran, akurat, transparan, dan bisa
dipertanggungjawabkan secara administasi hukum maupun moral.
Salah satu cara yang dikembangkan oleh Polri untuk mencegah
terjadinya konflik adalah melalui penerapan strategi Pemolisian
Komunitas. Fungsi Bimmas menjadi ujung tombak kepolisian dalam
membangun hubungan sejajar antara polisi dengan warga masyarakat.
Bimmas menjadi telinga dan mata kepolisian dalam mendeteksi seluruh
perkembangan informasi yang ada di masyarakat. Bimmas juga menjadi
corong Kepolisian untuk mensosialisasikan semua informasi kepilisian
kepada warga masyarakat.
Petugas Bimmas harus mampu membuat dan menguasai peta
wilayah alias Peta Kamtibmas yang berisi tentang potensi kejahatan,
potensi sumber daya manusia, identifikasi tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda, tokoh ormas yang bisa diajak kerjasama. Petugas
Bimmas harus aktif melakukan komunikasi, berkunjung ke warga,
mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh warga,
membangun jejaring dengan seluruh pemangku kepentingan. Komunikasi
yang afektif adalah komunikasi dari hati ke hati yang dilandasi ketulusan
dan kejujuran. Keberadaan polisi hendaknya bisa menumbuhkan rasa
aman dan menyenangkan bagi seluruh.
Seluruh informasi yang dihimpun oleh petugas Bimmas akan
menjadi basis tindakan kepolisian. Dalam konteks penanganan konflik
bernuansa keagamaan, Polisi harus peka, peduli dan mampu bertindak
sebagai aparat negara yang memiliki kewenangan penuh untuk menjaga
ketertiban, penegak hukum, pelayan masyarakat yang dapat dipercaya
serta mampu menjembatani proses dialog antar pihak yang sedang
terlibat konflik. Peran itu bisa dilakukan oleh polisi manakala polisi mampu
menjadi tauladan dalam hal ketaatan terhadap hukum dihadapan warga
masyarakat.
Dalam perannya sebagai pengayom dan penjaga ketertiban, Polisi
harus mengenal secara baik para pemuka agama, tokoh masyarakat,
tokoh pemuda, aktifis politik, aktifis ormas, organisasi kepemudaan,
hingga bisa menjadi mitra kerja kepolisian yang bisa turut serta dalam
rangka menciptakan rasa aman dari ancaman kejahatan. Dalam konteks
inilah Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat itu dibangun. Antara polisi
dan warga saling bahu membahu untuk menciptakan lingkungan yang
tertib dan aman.

b) Penanganan Konflik
Pada saat terjadi konflik antar warga, tindakan kepolisian yang
harus diambil oleh masing-masing fungsi adalah sebagai berikut; Fungsi
Intelkam; melakukan deteksi dini, melakukan pemantauan, pemotretan,
identifikasi terhadap situasi keamanan di wilayah konflik serta
memberdayakan potensi para pemangku kepentingan untuk turut serta
dalam meredam situasi konflik.
Fungsi Patroli, Lalu lintas dan Sabhara; melakukan penjagaan,
pengaturan, pengawalan, perlindungan terhadap individu dan kelompok
yang berpotensi menjadi korban dalam konflik. Melakukan pengaturan lalu
lintas, mulai dari pengalihan jalan, pengaturan arus, penutupan dan
pembukaan akses jalan untuk menghindari ancaman yang bisa
menimbulkan korban.
Bimmas, Intel dan Reskrim juga bisa berperan sebagai perantara
(negosiator) yang bertugas menjembatani proses dialog antara berbagai
pihak yang terlibat dalam konflik. Mereka juga harusmelakukan
pemantauan serta mengeluarkan himbauan kepada para pihak agar
menaati hukum, tidak menggunakan kekerasan yang dapat
membahayakan keteteraman dan keselamatan umum.
Reskrim; merekam setiap tindakan para pihak yang terlibat konflik,
mengumpulkan barang bukti, mendeteksi setiap perkembangan kejadian,
mengidentifikasi saksi-saksi yang melihat, mendengar kejadian. Jika
diperlukan bisa mengambil tindakan tegas terhadap pelaku tindak pidana
(pelaku kekerasan yang merugikan orang lain) dengan cara menangkap
dan mengamankan pelaku untuk selanjutnya diproses secara hukum.
Satuan Dalmas dan Brimob; menghentikan dan membubarkan
para pihak yang tidak mengindahkan himbauan dan peringatan polisi. Jika
ada pihak yang melakukan tindakan anarki yaitu tindakan yang dilakukan
dengan sengaja yang bertentangan dengan hukum yang mengakibatkan
kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan
jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain,
maka Polisi harus menggunakan kekuatan dan pengerahan daya untuk
menanggulangi anarki secara tegas dan terukur sesuai undang-undang.

c) Pasca Kejadian Konflik


Semua tahapan kepolisian sebagaimana tersebut diatas tidak bisa
dilakukan secara terpisah-pisah oleh masing-masing fungsi tanpa
terkoordinasi. Tindakan kepolisian harus tetap dilakukan satu garis
komando yang dikendalikan dengan pengawasan yang ketat oleh
Komando Pengendali yang dipimpin oleh Kasatwil, Kasatfung dan/atau
pimpinan satuan lapangan.
Mereka bertanggung jawab penuh terhadap seluruh tindakan
kepolisian yang dilakukan anggota kepolisian. Fungsi Propam bertugas
membantu Kepala Polisi dalam menegakkan aturan dan disiplin anggota
kepolisian (Protap Nomor 1 Tahun 2010 Tentang penanggulangan anarki)
INTERVENSI POLISI DALAM
TAHAPAN-TAHAPAN KEKERASAN DAN KONFLIK

Tahap I : Pra Konflik

NO SATUAN AKTIVITAS YANG KETRAMPILAN YANG DASAR HUKUM


FUNGSI DILAKUKAN DIBUTUHKAN

1. Bimmas - Sambung desa - Imparsial. - UU Polri


- Penyuluhan hukum, - Komunikasi. - UU HAM
- Dll - Memiliki integritas dan - Perkap No. 07 tahun
etika yang baik. 2008 tentang Polmas
- Kreatif dan fleksibel.
- Terampil mendengar
permasalahan yang
dipertentankan.
- Mementingkan respon
dari pada reaksi.
- Empati.

2. Intelkam - Penyelidikan - Dapat berinteraksi - UU Polri


(tertutup) - secara santun bersama - UU No. 7 Tahun 2012
- Observasi warga masyarakat ttg Penanganan
- Analisa konflik setempat dengan Konflik Sosial
menjunjung tinggi nilai- - Perkap No. 3 tahun
nilai hukum dan agama 2009
serta adat dan istiadat
setempat
- Netral dan objektif
- Komunikatif

3. Humas - Siaran pers - Kemampuan komunikasi. - Perkap No. 16 Tahun


- Kontra informasi - Jejaring dengan media. 2010
Tahap II: Kejadian/Insiden Kekerasan

NO. SATUAN AKTIVITAS YANG KETRAMPILAN DASAR HUKUM


FUNGSI DILAKUKAN YANG DIBUTUHKAN

1. Sabhara - Penjagaan - Perilaku yang - UU Polri


- Patroli baik (sopan) - UU No. 9 tahun 1998
- Memisahkan - Netral tentang kemerdekaan
- Pertikaian - Dapat menilai menyampaikan
dan pendapat.
menempatkan - UU No. 7 Thn 2012
Kamtibmas tentang Penanganan
Konflik Sosial.
sebagai fokus - Skep Pol No : Skep/244/
utama IV/2004 tgl 21 April 2004
- Menguasai ttg himpunan petunjuk
permasalahan dan kegiatan fungsi Samapta
budaya local - Perkap No. 1 tahun 2009
tentang penggunaan
kekuatan dalam
tindakan kepolisian.
- Perkap tahun 2006
tentang pedoman
Dalmas.
- PROTAP/1/X/ 2010 ttg
Penanggulangan Anarki.
- - KUHP
2. Reskrim - Pemantauan langsung di - Pemahaman - UU Polri
TKP untuk memantau terhadap - UU No.07 Tahun 2012
provokator dan tokoh- perundangan yang Dll
tokoh utama. berlaku.
- Menandai dan mengikuti - Pemahaman
actor-aktor yang - terhadap
melakukan tindak pidana, perundangan yang
kekerasan dan anarki. sifatnya lex
- Meliput orang-orang yang spesialis UU No. 07
melakukan anarki dan - Tahun 2012.
kekerasan. - Pengetahuan teknis
- Mengumpulkan barang penyeledikan dan
bukti di TKP. penyidikan.
- Menyiapkan tim penyidik.
3. Lantas - Mengarahkan arus lalu - Pengamanan - UU Polri
lintas. - Patroli, Dll - UU Lalu Lintas
- Mengamankan, - Dll
menjaga dan mengatur
arus lalu lintas.
- Melakukan
Pengawalan.

4. Dokkes - Menyiapkan ambulan. - P3K - UU No. 2 tahun


- Menyiapkan tenaga - Kemampuan teknis 2002
medis. kesehatan. - UU No. 9 tahun
- Dll - 1998

- Negosiasi
5. Bimas - Penggalangan - Komunikasi - UU No. 2 tahun
- Pendekatan kepada - Empati - 2002
massa - Dll - UU No. 9 tahun
1998.
- Menyiapkan pasukan
6. Brimob huru- hara - Respon - UU No. 2 tahun
- Menyiapkan - Gakum - 2002
- peralatan yang - Dll - UU No. 9 tahun
diperlukan 1998
- Perkap No. 1
- tahun 2009
- Perkap tahun 2006
tentang pedoman
Dalmas
- PROTAP/1/X/
- 2010 pe-
nanggulangan
Anarki.
Tahap III: Pasca Insiden Kekerasan

NO. SATUAN FUNGSI AKTIVITAS YANG KETRAMPILAN YANG


DILAKUKAN DIBUTUHKAN DASAR HUKUM
1. Bimas - Perundingan secara - Psikolog - UU No. 2 tahun
damai - Mediasi 2002
- Rekonsiliasi - Dll - UU No 07 Tahun
- Pemulihan psikologis, 2012
sosial ekonomi, dll

2. Humas - Pemberitaan - Komunikasi - UU No. 2 Tahun


- Cover media, - Media 2012
- Dll - UU No. 07 Tahun
2012
BAB IV
PERAN TNI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL.

Kehidupan bangsa Indonesia di Era Globalisasi, ditandai oleh pesatnya


perkembangan teknologi dan informasi serta era perdagangan bebas, dimana
hubungan antar Negara menjadi semakin dekat dan memunculkan perubahan
sikap dan perilaku masyarakat sebagai dampak dari perubahan kondisi dinamika
sosial.
Hal ini adalah sebuah kepastian, bahwa peradaban bangsa-bangsa
menuju kepada dimensi ruang yang tak terbatas dan saling berinteraksi satu
sama lain. Kenyataan itu tentu menimbulkan tantangan bagi semua negara
karena masuknya era keterbukaan dengan sendirinya membawa mindset
ideologi dan seperangkat values yang tak dapat dicegah serta dapat
mempengaruhi cakrawala berpikir yang seringkali bertentangan dengan akar
budaya dan idealisme bangsa. Konsep Negara bangsa, yang menyatakan bahwa
adanya Negara dan bangsa adalah adanya kehendak bagi orang-orang untuk
bersatu mulai dipertanyakan bagi kita, sebab berbagai krisis yang melanda dunia
baik ekonomi, politik, perang dan persaingan bebas sebagai akibat dari
keharusan suatu bangsa untuk mempertahankan kelangsungan hidup
mengakibatkan sulitnya bagi orang-orang untuk mematuhi satu aturan dan lebih
mengedepankan perbedaan sebagai dampak pergeseran pandangan dan pola
pikir yang diserap melalui media, teknologi informasi dan transformasi universal.
Bagi bangsa Indonesia sendiri, kini telah terjadi krisis multi dimensional yang
saling mengait. Krisis, dapat mengakibatkan konflik dan konflik merupakan
berbagai acaman bentuk hubungan antar manusia yang antagonistik (berlawan)
baik yang dapat terlihat secara jelas maupun tersembunyi krisis merujuk pada
ketidakmampuan sumber daya khususnya manusia dalam menjawab
permasalahan yang ada. Konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan
salah satu dampak dari semua krisis yang terjadi, yang dapat melahirkan
ancaman baru. Apalagi bila melihat akar sejarah yang tidak dapat dipisahkan
sebagai kultur asli bangsa Indonesia, nyatalah bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah,
agama, dan berbagai aspek pemikiran lintas ideologi, dan memperoleh warisan
struktur kemasyarakatan era kolonial yang sulit untuk dapat dirubah. Semua ini
mengandung gejala konflik laten yang dapat merugikan dan mengganggu
persatuan dan kesatuan bangsa jika kita mengadopsi sedemikian saja
seperangkat nilai asing sehingga mengakibatkan krisis. Dewasa ini, dampak
krisis ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan
diri ( self-confidence) sebagai bangsa, dan krisis terhadap penegakan hukum.
Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap
kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan
mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya
untuk dapat diselesaikan. Sebagai contoh, aspirasi politik untuk memisahkan diri
atau membuat lambang sendiri di suatu daerah yang bertentangan dengan
kebijakan pemerintah, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan
diri sebagai satu bangsa, satu “nation”. Krisis hukum adalah gejala kini yang kita
lihat sebagai dampak daripada sikap antipati masyarakat yang terus tumbuh
terhadap suksesi penegakan hukum yang dirasakan tidak pernah mendapatkan
rasa keadilan dan merebaknya tindak kejahatan. Apabila krisis ini tidak dapat
segera diatasi , maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang
dipertaruhkan karena dampak daripada krisis ini akan dapat meluas sehingga
mengecilkan diplomasi Indonesia didunia Internasional disebabkan oleh
lemahnya pertahanan diri (self defence). Akhirnya kita hanya akan terus
tergantung pada bangsa asing, bukan hanya persoalan ekonomi semata, namun
lama kelamaan tanpa sadar kita telah menggunakan referensi asing dalam
mengatasi masalah-masalah sosial yang mana hal tersebut hanya dapat
diketahui dan diperbaiki oleh diri sendiri, hal ini dapat dikatakan krisis karakter.
Krisis inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan
Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan,
mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “ menjadi bangsa
pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.

MENGATASI GEJALA KONFLIK SOSIAL MELALUI PENDEKATAN


KOMUNIKASI SOSIAL.

Kecenderungan kita di era kini, terhadap masalah yang timbul seringkali


hanya dikaitkan terhadap sebuah produk politik Undang-undang, yang mana
produk politik tersebut walaupun pada hakekatnya adalah untuk menertibkan
kepentingan publik, namun dalam proses pelaksanaannya membutuhkan
penjabaran yang penuh dinamika jika hal yang harus dibenahi menyangkut
konflik sosial. Hal ini berawal dari situasi Lingkungan yang apabila mengalami
gejolak dan perubahan maka suatu organisasi berpeluang menghadapi konflik.
Konflik merupakan ciri bahwa suatu organisasi berada dalam kesulitan, Hal ini
terjadi akibat adanya keterbatasan sumber daya internal dihadapkan pada
tuntutan masyarakat saat ini yang menghendaki nilai pelayanan maupun
keadilan memenuhi rasa kepuasan dalam jangka pendek. Masyarakat
berpedoman pada kenyataan dan fakta, disisi lain UU menuntut konsekuensi dari
perilaku pejabat publik. Masyarakat menggeneralisasikan perilaku sebagai
warga Negara maupun pejabat publik, sebagai substansi kebersamaan dan
kesadaran individu, sehingga jika hal ini tidak terpenuhi dapat meluas menjadi
konflik sosial. Konflik sosial seringkali adalah terakumulasinya rasa
ketidakpuasan yang berawal dari beberapa individu dalam suatu organisasi yang
bisa memicu tumbuhnya nilai kebersamaan antar individu diluar organisasi, dan
bahkan mampu berinteraksi terhadap kelompok-kelompok yang memiliki
kesamaan nasib dalam pranata sosial kemasyarakatan. Gejala konflik sosial ini
tak selalu berarti perbuatan atau tindakan melawan hukum, namun juga sesuatu
perasaan senasib yang diakibatkan ketidakpuasan sekelompok orang orang
yang dapat menimbulkan kesamaan karakter melalui cara penyaluran yang
berbeda dimensinya. Konflik seperti ini tidak dapat diatasi melalui penegakan
hukum semata, bahkan penegakan hukum terlebih dahulu dapat
dikambinghitamkan sebagai subyek penyebab dari konflik itu sendiri. Ketika
gejala konflik telah meluas dan menimbulkan konflik sosial, lembaga-lembaga
dapat saja bertindak selaku mediator sampai eksekutor, namun kenyataannya ini
hanya bisa menyelesaikan masalah sesaat, namun belum mampu membuat akar
konflik menjadi hilang karena hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih
komunikatif dan edukatif melalui peran komunikasi sosial dan penanaman
karakter wawasan kebangsaan.

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI SATUAN KOMANDO


KEWILAYAHAN TNI AD

Segala sesuatu didalam Negara yang berakibat pada lemahnya persatuan


dan kesatuan tentu akan berdampak pada Ketahanan Nasional. Negara tidak
dapat dengan begitu saja menciptakan semacam ketentuan untuk menciptakan
pemahaman karakter oleh karena di era globalisasi ini, Negara bukanlah konsep
tunggal seperti dijaman dahulu. Bias, demikianlah gambaran nyatanya dimana
demokrasi telah mengemuka, dan demokrasi dalam wacana konflik sosial pada
kondisi kekinian ternyata lebih mengedepankan subyek sebagai suara
terbanyak, bukan pembenaran secara hukum meski ini diyakini benar
berdasarkan norma norma hukum. Oleh sebab itu maka di era kini, mereduksi
konflik harus berawal dari gejalanya dan tidak dapat dilakukan dengan
mengabaikan pendekatan sosial sebagai lawan kata konflik sosial. Pendekatan
ini hanya dapat dilakukan pertama tama melalui pembentukan kembali wawasan
kebangsaan sebagai nation character bangsa dan untuk melaksanakan ini
maka Negara harus didukung, sebab konsep Negara sebagai kata tunggal
sesungguhnya hanyalah mirip simbol mengingat kembali pada konsep awal
bahwa kehendak rakyat untuk bersatu membentuk Negara dalam kaidah Negara
bangsa telah terlewatkan dan berganti menjadi Negara adalah sarana untuk
mencapai tujuan masing-masing kelompok dan cenderung hanya merupakan
ruang hidup dimana individu-individu bertempat tinggal, inilah dampak dari
masuknya paham asing yang tak terlalu dikuasai seluk beluknya oleh sebagian
banyak masyarakat kita. Bertitik tolak dari hal diatas maka persoalan yang ingin
dikemukakan adalah, “Bagaimana peran yang bisa dioptimalkan bagi satuan
kewilayahan TNI AD dalam rangka menghadapi konflik sosial?”

Belajar dari pengalaman sejarah patut kita pahami bahwa nasionalisme atau
pembangunan karakter yang berwawasan kebangsaan tidak mungkin dapat
dipisahkan dari perspektif ketahanan nasional dimana hal ini berkaitan erat
dengan sistem pertahanan negara kita yang menganut sistem pertahanan
semesta. UU Pertahanan RI Nomor 3 Tahun 2002 dengan sistem pertahanan
keamanan rakyat semesta (sishankamrata) dalam mendefiniskan ancaman pada
hakekatnya terdiri atas ancaman militer dan non militer dan hal ini sesungguhnya
tak dapat disangkal dengan tanpa ancaman sebagaimana pernah dikemukakan
oleh pendapat lain. Jikalau kita hanya mengenal ancaman militer saja, lalu
bagaimanakah suatu bangsa dapat hidup tentram dan memiliki kekuatan
pertahanan diri dengan gejolak keamanan yang terus terjadi dan kekisruhan
ekonomi, politik dan sosial yang mengakibatkan konflik dan mempengaruhi
stabilitas keamanan Nasional ? sesungguhnya amat sulit untuk memisahkan
keinginan lawan dan bukan lawan tanpa kontrol dari pertahanan, dan hal ini
adalah fakta bahwa antara Pertahanan dan Keamanan adalah satu kesatuan
yang tak dapat dipisahkan, apalagi pertahanan lebih mengedepankan isi dan
tempat, yaitu karakter dan ruang lingkup geografinya secara komprehensif,
bagaimana mungkin hal ini dipandang tidak lebih penting daripada menonjolkan
sisi profesionalisme yang dianut oleh tiap-tiap organisasi. Ancaman non militer
yang salah satunya adalah konflik sosial dapat dipandang sebagai konflik
diantara karakter yang berbeda-beda yang mencari pembenaran masing-masing
dan tidak bisa disadarkan melalui pendekatan hukum belaka. Disinilah hadir
satuan kewilayahan TNI AD yang menampilkan pertahanan karakter, yaitu
aspek pertahanan nirmiliter yang merupakan sebuah idealisme dalam
menghadapi ancaman berdimensi non militer yang mengikis nilai-nilai
kebangsaan dan menimbulkan konflik sosial. Pandangan tentang pertahanan
karakter bagi TNI AD sendiri barangkali merupakan istilah baru, namun
implementasinya bukanlah hal yang baru sebab senantiasa dibangun dalam
kerangka pondasi nilai-nilai yang Pancasilais, dimanifestasikan dalam berbagai
kegiatan yang aplikatif dan realistis serta sesuai dengan kaidah Perundangan
yang berlaku dan merupakan tugas pokok satuan komando kewilayahan.
Keberadaan satuan kewilayahan sesungguhnya sangatlah efektif dalam
membangun sinergitas seluruh komponen bangsa dari grass root nya yaitu
komponen-komponen bangsa yang hidup dan bertempat tinggal di lingkungan
paling substansial mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga kota besar.

KARAKTER KONFLIK DAN KARAKTER WAWASAN KEBANGSAAN.

Karakter konflik saat ini memang telah berakar dan menyentuh perilaku
dalam kehidupan sosial. Kompetisi dalam memenangkan ego sektoral kelompok
yang merupakan cerminan dari sistem disentralisasi menjadi sedemikian
mengemuka, satu sisi hal ini adalah sistem baru meski tak dapat dikatakan baru,
namun tujuan awalnya terfokus pada kesejahteraan masyarakat namun
realitanya masih banyak diterima dengan sikap kecemburuan oleh sekelompok
masyarakat dengan pertentangan program kebijakan, perasaan khawatir akan
masa depan ditambah lagi dengan contoh-contoh korupsi didaerah maupun
pusat yang tidak ada habis-habisnya bahkan mungkin hingga detik ini.
Keseluruhan ini menimbulkan krisis kepercayaan secara ekonomi dan hukum.
Patut disayangkan bahwa sejauh ini Pertahanan masih menjadi aspek yang
realitanya tak dipikirkan dalam konsep disentralisasi, dimana peran pertahanan
di wilayah dirasakan hanya merujuk pada kata “pusat” dan “perang” . Pada
realitanya semua masalah apapun itu hanya dipandang sebagai persoalan
ekonomi dan sosial akan tetapi ternyata pada akhirnya dapat menimbulkan
konflik sosial dan konflik ini tak dapat diabaikan begitu saja dalam dimensi
pertahanan yang mencakup isi dan ruang Negara. Kondisi saat ini pada
umumnya, berbagai kebijakan dari pusat ke daerah tak dapat sepenuhnya
terealisasi, apalagi kebijakan antar daerah, antar institusi, antar organisasi,
selanjutnya antar individu dan terlebih lagi antar persoalan yang terkait.
Kecenderungan yang berjalan saat ini, keberadaan badan-badan penegak
hukum lebih dimanfaatkan semata mata apabila telah terjadi skala meluas dalam
ancaman yang bersifat tidak dapat diatasi, namun ancaman itu dapat terus
terjadi. Memandang konflik sebagai sesuatu yang hanya pantas ditindak secara
represif oleh badan penegak hukum semata merupakan pandangan yang
terbukti keliru yaitu sebuah pandangan yang beranggapan bahwa konflik
dipandang secara negatif dan konflik digunakan secara bersamaan dengan
istilah kekerasan, perusakan, dan ketidakrasionalan. Maka berangkat dari hal ini
konflik akhirnya dihadapi dengan konflik, pembenarannya adalah kekeliruan dari
penegakan aturan hukum yang kembali ingin ditegakkan dengan menyimpan
sejuta konflik dalam perasaan sosial negatif yang sewaktu waktu akan siap
muncul ke permukaan. Disisi lain, karakter wawasan kebangsaan dan persatuan
kesatuan menumbuhkan rasa kebersamaan dan memiliki cakupan dimensi
teramat luas dalam pergaulan yang plural serta kepemimpinan, sehingga satu
tidak ingin meninggalkan yang lainnya, serta menumbuhkan rasa tanggung
jawab sosial sebagai satu saudara sebangsa dan setanah air. Aspek ini meski
terkesan tradisional namun merupakan satu-satunya cara untuk meredam konflik
jauh sebelum terlihat gejalanya. Karakter wawasan kebangsaan merupakan
bagian dari dimensi pertahanan nirmiliter, yaitu pertahanan untuk menghadapi
ancaman yang bersifat non-militer diantaranya adalah konflik sosial yang secara
langsung maupun tidak langsung berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan
bernegara.

MENGOPTIMALKAN PERAN SATUAN KOMANDO KEWILAYAHAN.

UUD 1945 Pasal 30 ayat 2 menyatakan bahwa Usaha Pertahanan dan


keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai
kekuatan pendukung. Istilah kekuatan utama yang diberikan kepada TNI dan
Polri adalah juga berarti keduanya harus dapat bersinergi dan tugas pokok
keduanya harus dapat diimplementasikan dilapangan melalui mekanisme
Perundangan secara konsisten, sehingga tidak timbul celah yang dapat berubah
menjadi ancaman, karena jika tidak terpadu justru kedua institusi ini rentan
terseret didalam gejala konflik hingga terjadi konflik horizontal. Sesuai dengan
UU TNI no 34 tahun 2004 maka TNI memiliki tugas pokok dalam operasi militer
selain perang dan sesuai UU Nomor 3 Tahun 2002 pasal 7 ayat 2 tentang
Pertahanan Negara maka sistem Pertahanan negara akan melibatkan tiga
komponen yaitu komponen utama, komponen cadangan dan komponen
pendukung, serta dalam mekanisme Penyelenggaraan pertahanan tersebut
pada pasal 8 menyatakan bahwa Komponen pendukung adalah terdiri atas
warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan
prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat
meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen
cadangan. Hal ini berarti bahwa ketika rakyat dicantumkan didalam UUD 1945
sebagai kekuatan pendukung, maka kekuatan ini harus terkoneksi dengan fungsi
komponen pendukung sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang
Pertahanan mengingat adanya klausul yang menegaskan bahwa sistem
pertahanan kita adalah sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Maka
kekuatan pertahanan nirmiliter dalam rangka menghadapi ancaman non militer
harus senantiasa dipersiapkan sejak dini, Lapis pertahanan nirmiliter dibangun
dan dipersiapkan dalam menangkal dan menghadapi ancaman nonmiliter.
Mekanisme penyelenggaraan pertahanan non militer disiapkan secara terus
menerus sebagai aspek daya tangkal, dan ketika terjadi ancaman militer maka
secara otomatis kekuatan ini sebagai komponen cadangan dapat dimobilisasikan
dengan segera. Dari ketentuan tersebut, keterlibatan unsur komando
kewilayahan sesuai dengan UU TNI nomor 34 tahun 2004 harus dapat
dioptimalkan yaitu sesuai pasal 7 ayat 2 b dimana TNI memiliki andil dalam tugas
pokok OMSP (Operasi Militer Selain Perang) diantaranya yang dapat diserahkan
kepada komando kewilayahan adalah memberdayakan wilayah pertahanan dan
kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta,
yaitu :

1. Melakukan pelatihan bela Negara maupun pengerahan wajib militer guna


memupuk jiwa kebangsaan dan memfasilitasi terbentuknya komponen
cadangan dan komponen pendukung bekerjasama dengan Pemda dan
Kantor pertahanan diwilayah (kemhan) yang embrionya kini sudah mulai
terbentuk.
2. Memberdayakan peran babinsa (Bintara Pembina Desa) dalam tugas
keamanan di wilayah binaannya utamanya terhadap berbagai potensi
maupun gejala konflik yang mengganggu ketertiban masyarakat,
Keseluruhan ini diarahkan untuk menghadapi ancaman non militer sesuai
dengan Perpres 41 tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan
Negara.
3. Melakukan tugas dalam rangka mengatasi bencana sosial yang berawal
dari gejala konflik, dengan memberdayakan komunikasi sosial melalui
pemberian peran yang lebih luas kepada satuan komando kewilayahan
untuk menerima pengaduan atau keluhan dari masyarakat dan
memberikan kewenangan untuk mengatasi gejala konflik pada stadium
awal.
Guna mewujudkan harapan tersebut diatas maka organisasi komando
kewilayahan sudah selayaknya dilengkapi struktur organisasinya baik personel
maupun peralatannya agar selalu siap melaksanakan tugas yang diemban dan
tentunya mekanisme tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan dukungan
secara politik dari elemen bangsa lainnya.

KESIMPULAN
Menghubungkan simpul simpul eksternal antara keamanan, pertahanan,
kesejahteraan, dan wawasan kebangsaan guna mereduksi terjadinya konflik
sosial bagi institusi TNI AD sendiri tentu tidak dapat dilakukan tanpa dukungan
lembaga lainnya. Namun sikap keapatisan masyarakat kita dalam mengatasi
gejala konflik dapat mengakibatkan eskalasi konflik cepat meluas sehingga perlu
dilakukan melalui pendekatan dan peran sosial yang dilaksanakan oleh kesatuan
kewilayahan TNI AD yang memiliki karakter kewilayahan, dan memiliki fungsi
yang terkait dalam bidang keamanan dan kesejahteraan yang diaktualisasikan
dalam berbagai kegiatan pembinaan teritorial .
Selanjutnya proses menuju sebuah kesadaran terhadap wawasan
kebangsaan guna membangun character building implementasinya adalah
merupakan azaz kepekaan dari potensi konflik yang kini telah banyak terjadi di
berbagai wilayah dalam dimensi pertahanan nirmiliter. Pertahanan adalah
menyeluruh, dan ketika badan-badan penegak hukum menjalankan fungsinya
untuk menegakkan hukum, maka harus ada badan lain yang bersentuhan
dengan etika sosial kemasyarakatan yang menampilkan karakter pendekatan
sosial guna mencegah terjadinya konflik secara meluas. Disinilah satuan
Komando kewilayahan hadir mengoptimalisasikan peran dan tugasnya
bersamaan dengan penegakan hukum, oleh sebab itu hal ini wajib dan harus
senantiasa didorong agar diimplemetasikan melalui kebijakan politik Negara.

Tiga pilar di pemerintahan desa/kelurahan yaitu Bhabinkamtibmas,


Babinsa, Kepala Desa/Lurah harus bersinergi dalam mendeteksi dini gangguan
Kamtibmas, terutama bahya terorisme di wilayahya masing-masing. Apalagi
peran tiga pilar itu memiliki dasar hukum kuat yakni di Undang-undang Republik
Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014
tentang Desa, dan Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Tugas pokok dan fungsi Bhabinkamtibmas itu sendiri harus dapat membimbing
masyarakat bagi terciptanya pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman masyarakat di desa atau
kelurahan. Bhabinkamtibmas juga harus membina partisipasi masyarakat dalam
rangka pembinaan Kamtibmas secara swakarsa disamping melakukan tugas-
tugas kepolisian secara umum. Demikian juga tugas pokok dan fungsi Kepala
Desa atau Lurah harus memegang teguh pengamalan Pancasila, UUD 1945
serta dapat memelihara keutuhan NKRI. Kepala Desa/Lurah harus bisa
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat. Babinsa tugas pokok dan fungsinya juga sudah diatur
dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2 huruf b tentang
Operasi Militer Selain Perang dan Surat Keputusan Kasad nomor :
Skep/98/V/2007 tanggal 16 Mei 2007 tentang Babinsa sebagai unsur pelaksana
Koramil bertugas melaksanakan bimbingan Teritorial (Binter).

Babinsa memiliki tugas melatih satuan perlawanan rakyat, memimpin


perlawanan rakyat di pedesaan dan memberikan penyuluhan kesadaran bela
negara. Babinsa harus dapat memberikan penyuluhan pembangunan
masyarakat desa di bidang pertahananan dan keamanan negara.
Untuk itu, dalam mensinergikan peran ketiga pilar tersebut maka harus
memegang beberapa prinsip yang harus dilaksanakan secara bersama-sama
yaitu komunikasi intensif, transparansi, sinergi yang harmonis, kesetaraan dalam
penyelesaian masalah, komitmen mewujudka kamtibmas dan membangun
kemitraan.

“Tidak hanya itu, ketiga unsur pilar ini juga harus dapat membangun kemitraan,
berpartisipasi aktif dan juga ikut pro aktif dengan kegiatan masyarakat. Ini
dilakukan sekaligus untuk melakukan pendeteksian dan pencegahan dini
terhadap bahaya terorisme di wilyahnya.

ALUR PENYELESAIAN PERMASALAHAN DI TK. KECAMATAN


BAB V
DATA DAN INFORMASI

Pentingnya Data dan Informasi


Data dan informasi sangatlah penting dalam upaya pencapaian tugas pokok
serta fungsi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut, karena
dengan adanya data dan informasi awal dapat mendeskripsikan situasi serta
kondisi di wilayah Kabupaten Garut secara lebih komprehensif serta factual.
Bagaimana kita dapat memetakan permasalahan di suatu wilayah, apabila tanpa
didahului dengan data dan informasi yang faktual dilapangan, terlebih dalam
upaya pencegahan ataupun meminimalisir terjadinya potensi konflik diperlukan
informasi awal yang valid sehingga dalam proses pengambilan
kebijakan/tindakan tidak salah kaprah, alih-alih terjebak pada panorama konflik
yang dimainkan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadinya atau
golongan.
Beberapa hal tentang Pengertian data dan Informasi, Kualitas Informasi dan Nilai
informasi diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pengertian Data dan Informasi
1. Data adalah fakta dari sesuatu pernyataan yang berasal dari
kenyataan, di mana pernyataan tersebut merupakan hasil pengukuran
atau pengamatan. Data dapat berupa angka-angka, huruf-huruf,
simbol-simbol khusus, atau gabungan darinya (Sutarman (2012:3).
2. Informasi adalah sekumpulan fakta (data) yang diorganisasikan dengan
cara tertentu sehingga mereka mempunyai arti bagi si penerima
(Sutarman (2012:14).
b. Kualitas Informasi
1. Akurasi (accuracy)
Sebuah informasi harus akurat karena dari sumber informasi hingga
penerima informasi kemungkinan banyak terjadi gangguan yang dapat
mengubah atau merusak informasi tersebut. Informasi dikatakan akurat
apabila informasi tersebut tidak bias atau menyesatkan, bebas dari
kesalahan-kesalahan dan harus jelas mencerminkan maksudnya.
Ketidakakuratan sebuah informasi dapat terjadi karena sumber
informasi (data) mengalami gangguan atau kesengajaan sehingga
merusak atau mengubah data-data asli tersebut.
Beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap keakuratan sebuah
informasi antara lain adalah:
- Informasi yang akurat harus memiliki kelengkapan yang baik,
karena bila informasi yang dihasilkan sebagian tentunya akan
memengaruhi dalam pengambilan keputusan atau menentukan
tindakan secara keseluruhan, sehingga akan berpengaruh
terhadap kemampuannya untuk mengontrol atau memecahkan
suatu masalah dengan baik.
- Informasi yang dihasilkan oleh proses pengolahan data, haruslah
benar sesuai dengan perhitungan-perhitungan yang ada dalam
proses tersebut.
- Informasi harus aman dari segala gangguan (noise) dapat
mengubah atau merusak akurasi informasi tersebut dengan tujuan
utama.
2. Tepat Waktu (timeliness)
Informasi yang dihasilkan dari suatu proses pengolahan data,
datangnya tidak boleh terlambat (usang). Informasi yang terlambat tidak
akan mempunyai nilai yang baik, karena informasi merupakan landasan
dalam pengambilan keputusan. Kesalahan dalam mengambil
keputusan akan berakibat fatal bagi perusahaan. Mahalnya informasi
disebabkan harus cepat dan tepat informasi tersebut didapat. Hal itu
disebabkan oleh kecepatan untuk mendapatkan, mengolah dan
mengirimkan informasi tersebut memerlukan bantuan teknologi-
teknologi terbaru. Dengan demikian diperlukan teknologi-teknologi
mutakhir untuk mendapatkan, mengolah, dan mengirimkan informasi
tersebut.
3. Relevansi (relevancy)
Informasi dikatakan berkualitas jika relevan bagi pemakainya. Hal
ini berarti bahwa informasi tersebut harus bermanfaat bagi
pemakainya. Relevansi informasi untuk tiap-tiap orang satu dengan
lainnya berbeda. Misalnya, informasi mengenai kerusakan infrastruktur
laboratorium komputer ditujukan kepada rektor universitas. Tetapi
akan lebih relevan apabila ditujukan kepada penanggung jawab
laboratorium.
c. Nilai Informasi Lapangan
Secara spesifik Nilai Informasi Lapangan harus bernilai intelijen, yang
berarti informasi mengandung kerawanan maupun potensi )
- Ketelitian (accuracy)
Informasi harus mempunyai ketelitian yang tinggi/akurat, informasi
menjadi tidak bernilai jika tidak akurat, karena akan mengakibatkan
kesalahan pengambilan keputusan.
- Kecocokan dengan pengguna (relevance)
Informasi mempunyai nilai yang lebih sempurna apabila sesuai
dengan kebutuhan penggunanya. Informasi berharga dan penting
menjadi tidak bernilai jika tidak sesuai dengan kebutuhan
penggunanya, karena tidak dapat dimanfaatkan untuk pengambilan
keputusan.

- Ketepatan waktu
Informasi mempunyai nilai yang lebih sempurna apabila dapat
diterima oleh pengguna pada saat yang tepat. Informasi berharga
dan penting menjadi tidak bernilai jika terlambat diterima/usang,
karena tidak dapat dimanfaatkan pada saat pengambilan keputusan.
- Kejelasan (clarity)
Informasi yang jelas akan meningkatkan kesempurnaan nilai
informasi. Kejelasan informasi dipengaruhi oleh bentuk dan format
informasi.
- Dapat dibuktikan (Proporsional)
Nilai informasi semakin sempurna apabila informasi tersebut dapat
dibuktikan kebenarannya. Kebenaran informasi bergantung pada
validitas data sumber yang diolah.
- Tidak ada prasangka (Objektif)
Nilai informasi semakin sempurna apabila informasi tersebut tidak
menimbulkan prasangka dan keraguan adanya kesalahan informasi.

The intelligence Cycle


The intelligence cycle adalah proses mengolah informasi mentah menjadi produk
intelijen yang disampaikan kepada pengambil kebijakan untuk digunakan dalam
penentuan kebijakan dan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan. Ada 5
langkah dalam perputaran intelijen.
1) Planning and Direction. Merupakan manajemen informasi mulai dari
identifikasi data-data yang diperlukan sampai pengiriman produk intelijen
ke pengambil kebijakan atau pengguna produk intelijen. Merupakan awal
dan akhir dari lingkaran. Menjadi awal karena berkaitan dengan
penyusunan rencana yang mencakup kebutuhan pengumpulan informasi
yang spesifik dan menjadi akhir karena produk akhir intelijen yang
mendukung keputusan kebijakan, menciptakan permintaan-permintaan
produk intelijen yang baru. Keseluruhan proses mengacu pada petunjuk
pengambil kebijakan seperti Presiden atau Perdana Menteri, pembantu-
pembantu di jajaran eksekutif seperti Dewan Keamanan Nasional,
anggota kabinet….yang kesemua itu mengawali permintaan khusus
kepada intelijen.
2) Collection. Adalah pengumpulan data/informasi mentah yang diperlukan
untuk memproduksi analisa intelijen. Ada banyak sekali sumber-sumber
informasi termasuk informasi terbuka seperti berita radio asing, surat
kabar, majalah, internet, buku, dll. Informasi terbuka merupakan salah
satu sumber utama intelijen yang harus dimekanisasikan secara disiplin
menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang menjadi supply tidak terbatas
yang akan mendukung analisa intelijen. Bila anda pernah berkunjung ke
CSIS di Tanah Abang III Jakarta, perhatikan bagaimana intelijen masa
Orde Baru berbagi teknik dengan lembaga penelitian dan menjadikannya
sebagai salah satu lembaga yang disegani. Guntingan Koran CSIS adalah
khas pekerjaan membosankan yang sangat vital bagi intelijen, khususnya
bagi perwira analis, karena dengan mengikuti setiap waktu perkembangan
terkini dari media massa akan melatih insting analisanya. Di samping itu,
ada juga informasi rahasia dari sumber-sumber yang rahasia pula.
Informasi ini hanya memiliki prosentase yang kecil namun sifatnya
amatlah sangat penting sehingga sering juga menjadi penentu dari
sebuah produk intelijen. Biasanya diperoleh dari operasi tertutup oleh para
agen intelijen atau melalui informan. Secara teknis penngumpulan data
juga dilakukan oleh peralatan canggih secara elektronik dan fotografi serta
satelit.
3) Processing. Berkaitan dengan interpretasi atas data/informasi yang
sangat banyak. Mulai dari penterjemahan kode, penterjemahan bahasa,
klasifikasi data, dan penyaringan data. Dalam organisasi intelijen
tradisional dan konservatif, seorang agen baru seringkali harus melalui
masa-masa membosankan melakukan pemilahan data berdasarkan
kategori yang ditentukan atasannya. Hal ini sangat penting untuk
membiasakan diri dalam menyusun jurnal pribadi maupun jurnal unit yang
sangat vital dalam mempercepat proses penemuan kembali data-data
lama yang tersimpan. Juga membiasakan diri untuk segera melihat data
dari sudut pandang potensi spot intelijen atau memiliki potensi ancaman.
4) All source Analysis and Production. Merupakan konversi dari informasi
dasar yang telah diproses menjadi produk intelijen. Termasuk didalamnya
evaluasi dan analisa secara utuh dari data yang tersedia. Seringkali data
yang ada saling bertentangan atau terpisah-pisah. Untuk keperluan
analisa dan produksi, seorang analis, yang biasanya juga spesialis bidang
tertentu, sangat memperhatikan tingkat “kepercayaan”data (bisa
dipercaya atau tidak), tingkat kebenaran dan tingkat relevansi. Mereka
menyatukan data yang tersedia dalam satu kesatuan analisa yang utuh,
serta meletakkan informasi yang telah dievaluasi dalam konteksnya.
Bagian akhirnya adalalah produk intelijen yang mencakup penilaian atas
sebuah peristiwa serta perkiraan akan dampaknya pada keamanan
nasional. Salah satu unsur vital dari produk intelijen adalah peringatan dini
dan perkiraan keadaan. Sementara model laporan ada macam-
macamnya mulai dari yang sangat singkat berupa telpon lisan yang
menjadi laporan kepada pimpinan negara, sampai laporan yang cukup
tebal mencakup analisa perkiraan keadaan tahunan. Dari beberapa kasus
yang terungkap di media massa, terlihat jelas bahwa baik BIN maupun
BAIS TNI sangat lemah di sektor analis ini, entah karena sumber daya
manusia-nya yang levelnya masih sebatas lulusan akademi militer, D3
atau S1 saja, atau karena memang keterbatasan dana yang
menyebabkan lembaga intelijen tidak berkutik soal peningkatan SDM.
Bandingkan misalnya dengan CIA atau Mi6 yang secara aktif mengirimkan
para analisnya ke universitas-universitas di berbagai negara untuk
menempuh studi doktor sekaligus memantapkan spesialisasi masing-
masing.
5) Dissemination. Merupakan langkah terakhir yang secara logika
merupakan masukkan untuk langkah pertama. Adalah distribusi produk
intelijen kepada pengguna (pengambil kebjiakan) yang biasanya adalah
mereka yang meminta informasi kepada intelijen. Untuk kasus Indonesia,
pengguna disini hampir identik dengan Presiden.
BAB IV
PEMBENTUKAN TIM KEWASPADAAN DINI DAERAH.

A. Ketentuan Umum Permendagri No 2 Tahun 2018 tentang Kewaspadaan


Dini di Daerah.

1. PENGERTIAN
- Kewaspadaan Dini adalah serangkaian upaya/tindakan untuk
menangkal segala potensi ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan dengan meningkatkan pendeteksian dan pencegahan dini.
- Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah adalah Tim yang dibentuk
oleh Kepala Daerah untuk membantu pelaksanaan tugas Kepala
Daerah dalam pelaksanaan Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah.
- Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan, yang selanjutnya
disingkat ATHG adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan
tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai
dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa,
keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan kepentingan nasional di berbagai aspek baik ideologi,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun pertahanan dan
keamanan.
- Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
- Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat yang selanjutnya disingkat
FKDM adalah wadah bagi elemen masyarakat yang dibentuk dalam
rangka menjaga dan memelihara kewaspadaan dini masyarakat.
- Akses Informasi adalah hubungan antar-perorangan, kelompok
maupun instansi tertentu yang dapat memberikan data dan/atau
informasi atau bahan keterangan untuk kepentingan tugas
pendeteksian dan pencegahan dini.
- Pendeteksian dan Pencegahan Dini adalah segala usaha, atau
kegiatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
untuk mendeteksi dan mencegah permasalahan yang mempengaruhi
penyelenggaraan pemerintahan

2. Tujuan Kewaspadaan Dini di Daerah


Tujuan Kewaspadaan Dini di Daerah meliputi pendeteksian,
pengidentifikasian, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan
informasi dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi
berbagai potensi bentuk ATHG di daerah. (Pasal 2).

3. Fungsi Kewaspadaan Dini di Daerah


- meningkatkan peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat
untuk memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban umum di
daerah; dan
- meningkatkan koordinasi dan sinergitas antarPerangkat Daerah.

4. Pelaku Kewaspadaan Dini di Daerah


- Pemerintah Daerah, dan
- Masyarakat.

5. Tugas dan Tanggung Jawab Pelaku Kewaspadaan Dini di


Kabupaten/Kota

a) Kewaspadaan Dini di kabupaten/kota menjadi tugas dan tanggung


jawab bupati/wali kota.
b) Tugas dan tanggung jawab bupati/wali kota:
- membina dan memelihara ketentraman serta ketertiban
masyarakat untuk menjaga stabilitas di daerah kabupaten/kota;
- mengoordinasikan Perangkat Daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan Kewaspadaan Dini di daerah kabupaten/kota;
dan
- mengoordinasikan camat dalam penyelenggaraan Kewaspadaan
Dini di kecamatan.

6. Tugas dan Tanggung Jawab Pelaku Kewaspadaan Dini di


Kecamatan.

- Kewaspadaan Dini di kecamatan menjadi tugas dan tanggung


jawab camat.
- Tugas dan tanggung jawab camat sebagaimana dimaksud yaitu
membina dan memelihara ketentraman serta ketertiban
masyarakat untuk menjaga stabilitas di kecamatan.

7. Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di daerah kabupaten/kota


ditetapkan oleh bupati/wali kota dengan susunan keanggotaan terdiri
atas:
- Bupati / Wali Kota sebagai Ketua.
- Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten / Kota
sebagai Sekretaris / Pelaksana Harian.
- Unsur Perangkat Daerah di Kabupaten / Kota sesuai kebutuhan
sebagai Anggota.

8. Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di daerah kabupaten/kota


bertugas:
- merencanakan, melaksanakan dan merumuskan kegiatan
Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di daerah kabupaten/kota;
- mencari, mengumpulkan, mengoordinasikan dan
mengomunikasikan data serta informasi/bahan keterangan
dengan unsur intelijen negara lainnya mengenai potensi, gejala,
atau peristiwa timbulnya ATHG di daerah kabupaten/kota;
- mengoordinasikan fungsi dan kegiatan Tim Kewaspadaan Dini
Pemerintah Daerah di daerah Kecamatan di wilayahnya dan
FKDM di daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
Kewaspadaan Dini terhadap potensi, gejala, atau peristiwa
timbulnya ATHG di daerah kabupaten/kota yang mengancam
stabilitas nasional; dan
- memberikan rekomendasi kepada bupati/wali kota sebagai bahan
kebijakan yang berkaitan dengan Pendeteksian Dini dan
Pencegahan Dini terhadap ATHG di daerah kabupaten/kota.

9. Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di kecamatan, ditetapkan


oleh bupati/wali kota dengan susunan keanggotaan terdiri atas:

- Camat sebagi Ketua.


- Sekretaris Camat sebagai Sekretaris / Pelaksana Harian.
- Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas dan Lurah / Kepala Desa
sebagai Anggota.

10. Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di kecamatan bertugas:


- mencari, mengumpulkan, mengoordinasikan dan
mengomunikasikan data serta informasi/bahan keterangan dari
FKDM di kecamatan, dan berbagai sumber lainnya mengenai
potensi, gejala, atau peristiwa timbulnya ATHG di kecamatan;
- mengoordinasikan FKDM di kecamatan dalam pelaksanaan
Kewaspadaan Dini terhadap ancaman potensi, gejala, atau
peristiwa timbulnya ATHG di kecamatan; dan
- memberikan rekomendasi kepada camat sebagai bahan kebijakan
kepada bupati/wali kota yang berkaitan dengan Pendeteksian Dini
dan Pencegahan Dini terhadap ATHG di kecamatan.
- Dalam pelaksanaan tugas, Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah
Daerah dapat berkoordinasi dan bersinergi dengan Intelijen
Negara.(Pasal 11)

11. Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah dilakukan melalui


Pendeteksian Dini dan Pencegahan Dini yang meliputi:
a. Pengumpulan Data dan Informasi;
- Wawancara;
- Observasi; dan
- Analisis Dokumen.
b. Verifikasi dan Validasi Data dan Informasi;
- Pemilahan Data dan Informasi;
- Penyajian Data dan Informasi; dan
- Penarikan Kesimpulan.
c. Pelaporan
- Pelaporan Data dan Informasi,
- Rekomendasi.

12. Pusat Komunikasi dan Informasi

Untuk mendukung Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah


Daerah dalam memberikan laporan secara cepat, tepat dan akurat,
dibentuk Pusat Komunikasi dan Informasi Kewaspadaan Dini di
Kementerian Dalam Negeri, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Pusat Komunikasi dan Informasi menyampaikan laporan harian,
mingguan dan bulanan secara berjenjang dan/atau sewaktu-waktu jika
diperlukan.

13. FKDM Kabupaten/kota bertugas:


a. menjaring, menampung, mengoordinasikan, dan mengomunikasikan
data serta informasi dari masyarakat mengenai potensi ATHG; dan
b. memberikan laporan informasi dan rekomendasi sebagai bahan
pertimbangan Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di daerah
kabupaten/kota.

FKDM di kecamatan bertugas:


a. menjaring, menampung, mengoordinasikan, dan mengomunikasikan
data serta informasi dari masyarakat mengenai potensi ATHG; dan
b. memberikan laporan informasi dan rekomendasi sebagai bahan
pertimbangan Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di
kecamatan.

B. PELAPORAN CEPAT.
Dalam rangka peningkatan fungsi kewaspadaan dini di daerah, diperlukan
kolaborasi dengan penggunaan teknologi, salah satunya penyampaian
laporan melalui aplikasi smartphone, sehingga berbagai persoalan yang
terjadi diwilayah Kabupaten Garut dapat terdeteksi serta terlaporkan sedini
mungkin.

MASYARAKAT YANG
TERHIMPUN DALAM TIM KEWASPADAAN
(FKDM, FKUB dan FPK) CAMAT /BUPATI
DINI KEC. / Kab
BABINSA, BABINMAS
DAN KEPALA DESA

Anda mungkin juga menyukai