Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN SENJATA BIOLOGI:

KEMUNGKINAN ANCAMAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.


ISROIL SAMIHARDJO
1. LATAR BELAKANG
Senjata pemusnah massal atau weapon of mass destruction (WMD) yang terdiri
dari nuklir, biologi dan kimia (Nubika) saat ini menjadi isu yang semakin mengemuka
di luar maupun di dalam negeri terutama setelah munculnya berbagai teror biologi
dan kimia (slide bioteror). Isu nuklir juga tidak kalah pentingnya, terutama setelah
Iran mendeklarasikan dirinya serbagai negara yang mampu memperkaya Uranium.
Sumber ancaman nuklir pun telah meluas hingga ke tingkat zat radioaktif. Oleh
karena itu di tingkat internasional ancaman Nubika yang semula dikenal dengan
istilah NBC saat ini telah berkembang menjadi CBRN (Chemical, Biological,
Radiological and Nuclear Threats). Wacana baru mengindikasikan bahwa bahan
peledak (eksplosif) masuk dalam kategori senjata pemusnah massal sehingga
sebutannya menjadi CBRNE (CBRN + Explosive).
Permasalahan utama yang menyebabkan Nubika ini menjadi ancaman yang
sangat mengerikan adalah dampaknya yang bersifat massal dan terkait dengan
berbagai bidang kehidupan yang sangat luas (Ipoleksosbudmil). Senjata nuklir
yang terkenal demikian dahsyatnya, ternyata masih kalah dahsyat oleh agensia
biologi (biological agent). Permasalahan lain adalah sulitnya mengendalikan
penyebaran Nubika mengingat bahwa bahan-bahan tersebut, khususnya biologi,
kimia dan radioaktif terdapat dimana-mana dan dapat jatuh ke tangan siapa saja.
Oleh karena itu penangkalan utamanya terletak pada faktor manusianya dalam arti
jangan sampai bahan-bahan tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.

2. PERKEMBANGAN SENJATA BIOLOGI


Persoalan senjata biologi merupakan permasalahan klasik yang muncul sejak
sebelum Perang Dunia Pertama (PD-I) yaitu dengan digunakannya mikroorganisme
untuk menyebabkan berbagai penyakit guna melumpuhkan musuh [  slide
sejarah senjata biologi ] Permasalahan tersebut tetap ada hingga saat ini
namun dengan motif yang berbeda dan menggunakan mikroorganisme yang
jenisnya sama namun berbeda biotipenya. Target serangannya pun telah
mengalami perkembangan, yaitu tidak saja menyerang manusia secara langsung
namun digunakan pula untuk melumpuhkan perekonomian suatu negara dengan
menyebarkan wabah penyakit pada hewan dan tumbuhan. [  slide dampak
ekonoomi ]. Pelaku penyerangan pun telah mengalami pergeseran. Bila jaman
pra PD-I dilakukan oleh suatu negara maka kini digunakan oleh perorangan atau
kelompok tertentu (non-state actors). [  slide penggunaan agensia biologi oleh Al
2

Qaeda ]. Namun demikian, permasalahan utama masih tetap sama sejak dulu,
yaitu sulitnya mendeteksi pelaku penyerangan karena agensia biologi dapat
memperbanyak diri.
Sementara itu, dengan meningkatnya aksi teror biologi seperti yang terjadi di AS
Oktober 2001 dan KBRI Australia Juni 2005 serta aksi-aksi lainnya termasuk kasus
flu burung, pihak luar negeri telah meningkatkan kewaspadaannya untuk
mengantisipasi dan mencegah terulangnya kejadian tersebut. Untuk itu AS telah
menyusun program biodefence yang disebut dengan “Biodefence for the 21st
Century” yang dibagi dalam empat kegiatan utama yaitu Threat Awareness,
Prevention and Protection, Surveillance and Detection, dan Response and
Recovery. Lebih jauh George W Bush pada 2 Nopember 2005 mengumumkan
alokasi dana sebesar US$ 7,1 milyar (sekitar 60 triliun rupiah) untuk program The
National Bio-Surveillance Initiative. Program yang dikembangkan antara lain
adalah:
[  Slide Program Biodefence AS ]

Program Anggaran
1. Akselerasi Pengembangan Teknologi Kultur Sel US$ 2,8 milyar
2. Pembelian Vaksin Influensa oleh Departemen Pertahanan dan Departemen US$ 1,5 milyar
Kesehatan
3. Persediaan Pengobatan Antivirus US$ 1 milyar
4. Untuk membantu mendeteksi dan mencegah wabah US$ 251 juta
5. Pengembangan Pengobatan Baru dan Vaksin US$ 800 juta
6. Untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi suatu wabah di tingkat US$ 644 juta
lokal, state, dan federal.
Permasalahannya adalah, perlukah program-program sejenis dijalankan di
Indonesia? Sebagai negara agraris, Indonesia sangat memerlukan program-
program tersebut namun di lain pihak biaya yang dibutuhkan akan sangat
mengganggu keuangan negara karena dibutuhkan dana yang sangat besar.
Dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan dengan negara-negara ASEAN
seperti Thailand dan Singapura, Indonesia sudah sangat terlambat sehingga bila
terjadi serangan agensia biologi tidak dapat berbuat apa-apa. Thailand misalnya,
telah memiliki stock vaksin yang cukup memadai. Sebagai bahan perbandingan,
harga satu ampul vaksin saat ini mencapai sekitar US$ 15 dan bila dikalikan dengan
jumlah penduduk yang diperkirakan akan terjangkit penyakit yang disebabkan oleh
virus, maka akan dibutuhkan dana yang sangat besar. Sebagai contoh, Indonesia
telah dinyatakan bebas dari polio namun begitu terjadi kasus polio, ratusan milyar
telah dikeluarkan untuk program vaksinasi polio atau PIN (Pekan Imunisasi
3

Nasional). Bagaimana kalau misalnya terjadi wabah small pox (cacar) atau
penyakit-penyakit viral lainnya?
Kasus flu burung yang terus meningkat kasusnya dan mendudukkan Indonesia
pada peringkat pertama dunia dalam jumlah kematian telah menjadi “cambuk” untuk
kita semua. Bila ditinjau dari aspek teknologi, Virus H5N1 adalah merupakan
biotipe baru. Mungkinkan ini merupakan hasil iseng seseorang yang memodifikasi
gen virus H-N- sebelumnya? Adakah ini karena unsur kesengajaan? Bila ya,
siapakah “biang kerok” perekayasa atau penyebar virus tersebut. Kalau
seandainya memang virus tersebut merupakan GMO (genetically modified
organism), apakah yang membuat itu perorangan, non-state organisation, atau
mungkinkah negara tertentu? Pertanyaan ini memang sulit untuk dijawab dan
inilah kesempatan bagi para cendekiawan yang hadir dalam seminar ini untuk turut
memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Ada beberapa tulisan, yang mencurigai bahwa AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) adalah merupakan penyakit hasil rekayasa manusia.
Beberapa naskah sejak tahun 1980an juga telah memprediksi akan adanya suatu
genetic weapons yaitu senjata yang dapat dengan sendirinya menyerang etnis
tertentu.1 Kemajuan Bioteknologi saat ini memang telah memungkinkan untuk
dibuatnya senjata semacam itu.2
Serangan nyata agensia biologi ke suatu negara juga telah terjadi di Kuba pada
akhir tahun 1997 yang dilakukan oleh AS ke lahan pertanian di Havana.
Berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan, secara resmi Pemerintah Kuba telah
mengajukan tuduhan resmi kepada AS melalui PBB namun dengan berbagai dalih
akhirnya AS dapat berkelit. 3 Peristiwa itu terjadi ketika sebuah pesawat kecil jenis
S2R milik AS melintas di daerah pertanian Kuba. Pada saat yang bersamaan dari
arah tegak lurus melintas pesawat F27 milik Kuba yang melihat pesawat S2R
enyemprotkan senyawa/asap putih.4 Beberapa waktu kemudian terjadi wabah
hama penyakit tanaman Thrips palmy. [  slide gambar ]
1
Salah satu buku yang mengupas itu antara lain adalah SIPRI Year Book 1984.
2
Tulisan mengenai Genetic Weapons dapat dilihat di:
http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/259222.stm
http://www.peace.ca/geneticwarfare.htm
http://www.popularmechanics.com/technology/military_law/1281406.html
http://www.unesco.org/courier/1999_03/uk/ethique/txt1.htm
http://www.fromthewilderness.com/free/ww3/030403_genetic_p1.html
http://www.fromthewilderness.com/free/ww3/031103_genetic_p2.html
3
Salah satu anggota Delegasi RI menghadiri siding tersebut di Jenewa, yang diwakili oleh Isroil
Samihardjo.
4
Bisa dilihat di http://www.greenleft.org.au/back/1997/278/278p22.htm, dan
http://southmovement.alphalink.com.au/countries/Cuba/biowar.htm
4

Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan “gudang” berbagai agensia


biologi. Di lain pihak, sebagai negara agraris, Indonesia sangat rentan terhadap
kemungkinan ancaman agensia biologi. Sementara itu kesiapan terhadap
munculnya wabah-wabah penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan masih
sangat rendah. Kesiapan vaksin untuk menghadapi wabah beberapa virus boleh
dikatakan tidak ada bila dibandingkan dengan negara lain.
Agrobisnis merupakan salah satu penopang utama perekonomian Indonesia.
Berbagai serangan hama telah menunjukkan betapa rentannya perekonomian
Indonesia. Posisi Indonesia dalam bidang pertanian kini telah menjadi obyek bagi
negara lain untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan menciptakan
ketergantungan yang luar biasa.
Masalah utama yang muncul dalam penanganan permasalahan tersebut adalah
sulitnya membedakan antara penggunaan agensia biologi untuk hostile purposes
dan peaceful purposes. Kunci untuk membedakan apakah suatu agensia biologi
digunakan sebagai senjata untuk berbagai permusuhan/persaingan (hostile
purposes) atau digunakan untuk maksud-maksud damai (peaceful purposes) adalah
terletak dibalik maksud (intention) dari penggunaannya, apakah itu digunakan
secara sengaja (intentionally) atau tidak sengaja (unintenionally). Definisi yang
dikeluarkan oleh PBB pun mengindikasikan hal senada.
5

Senjata Biologi oleh PBB didefinisikan sebagai berikut:


“living organisms, whatever their nature, or infective material derived from them,
which are intended to cause disease or death in man, animals or plants, and
which depend for their effects on their ability to multiply in the person, animal or
plant attacked.”5
Virus flu burung yang saat ini menyerang misalnya, masih sulit dibedakan
apakah itu merupakan wabah alami (natural outbreak of diseases) atau wabah yang
disengaja (un-natural outbreak of diseases) untuk melumpuhkan potensi suatu
negara. Bila dapat dibuktikan bahwa itu ada faktor kesengajaan atau intended to
cause disease, maka itu dapat digolongkan sebagai senjata biologi.
Berdasarkan penyebarannya, secara sepintas terlihat bahwa distribusi flu
burung tidak memenuhi kaidah penyebaran secara alami. Beberapa pihak telah
menengarai adanya suatu kesengajaan terhadap penyebarannya. 6 Penyebaran flu
burung saat ini menurut penelitian dari UGM setidaknya melalui media lalat. Tetapi
mengapa endemi flu burung yang diakibatkan oleh virus H5N1 telah menyebar
hingga ke beberapa daerah di Indonesia yang memiliki jarak yang relatif jauh diluar
jangkauan migrasi lalat?
Pada awalnya flu burung ditemukan di Tangerang, yang mengakibatkan 3 orang
meninggal (hingga saat ini belum diketahui asal-usulnya), kemudian terjadi di
wilayah Jawa Tengah, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, dan Lampung.
[  slide penyebaran Flu Burung ]
Melihat persebaran tersebut, dapat dilihat bahwa zonasi penyebaran flu burung
dapat dikatakan acak, dan tidak hanya pada tempat yang berdekatan, tapi hingga
antar propinsi. Hal tersebut tentunya memberikan fakta bahwa penyebaran flu
burung tidak hanya melalui media unggas, tetapi ada kemungkinan oleh hewan lain
seperti lalat atau bahkan oleh manusia sendiri.
Berkaitan dengan senjata biologi, perhatian dari pemerintah dapat dikatakan
masih sangat lemah. Perhatian pemerintah terhadap berbagai wabah yang telah
terjadi memang demikian besar, seperti terhadap wabah demam berdarah, polio dan
sebagainya namun dalam kaitannya dengan ancaman agensia biologi, pemerintah
masih memandang wabah tersebut tidak secara komprehensif tetapi hanya dari

5
United Nations, Department of Political and Security Council Affairs, ‘Chemical and bacteriological
(biological) weapons and the effects of their use’, Report of the Secretary-General, UN Document
A/7575/Rev1, no. E.69 I. 24, New York, 1969.
6
Kecurigaan ini telah dikonfirmasikan dengan Balitbangkes, Balai Veterinair Deptan, Polri, Lembaga
Eijkman, dan Subdit Nubika TNI-AD. Semuanya tidak dapat memberikan argumentasi mengenai
kemungkinan wabah tersebut terjadi secara alami.
6

kacamata kesehatan manusia saja. Pemerintah belum mewaspadi serangan-


serangan penyakit baik yang menyerang manusia, hewan dan tumbuhan sebagai
suatu potensi negatif yang melemahkan ketahanan nasional.
Selain kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya genetic weapons, hal lain
yang perlu diwaspadi adalah adanya genetic imperialism atau penjajahan genetik.
Yang dimaksud dengan penjajahan genetik adalah ketergantungan suatu negara
terhadap negara lain akan sumber genetik. Indonesia dalam hal ini telah menjadi
korban selama bertahun-tahun dan bila dianalisis sebenarnya telah menimbulkan
kerugian ekonomi yang luar biasa besarnya.
Salah satu ketergantungan tersebut adalah dalam hal penyediaan ayam.
Peternak ayam saat ini tidak bisa mengembangbiakan (mereproduksi) ayam-ayam
peliharaannya. Ayam yang dipelihara atau telor yang dihasilkan tidak dapat
dikembangbiakkan. Untuk itu para peternak harus membeli bibitnya yang disebut
dengan DOC (Day Old Chick) yang 100% berasal dari luar negeri. Bukan hanya
bibit, makanan dan obat-obatan pun sangat tergantung dari luar negeri. Tiga
perusahaan besar yang kini memonopoli bidang ini adalah Charoen Pokphand,
Cheil Jedang Feed dan PT Japfa Comfeed. Dengan musnahnya ayam kampung,
maka perusahaan ini akan semakin leluasa dalam menguasai pasar maupun produk
yang notabene didatangkan dari luar negeri. Jadi, apakah kasus flu burung
merupakan salah satu cara atau usaha untuk memusnahkan ayam lokal sehingga
mereka dapat memonopoli sepenuhnya?
Hal yang terjadi saat ini sama dengan yang menimpa produk padi unggul asli
Indonesia. Padi-padi jenis unggul Indonesia telah musnah karena serangan hama
wereng yang mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kebijakan pemusnahan
secara total padi-padi asli Indonesia. Program tersebut dikenal dengan Eradikasi
Padi dengan cara membakar seluruh padi asli dan menggantikannya dengan jenis
lain dari luar negeri. Akibatnya? Kini para petani harus membeli bibit dari luar dan
ketergantungan padi tersebut terhadap pupuk dan obat-batan dari luar sangat tinggi.
Ini merupakan contoh lain dari genetic imperialism selain ayam.
Hama-hama lain pun tampaknya telah sengaja disebarkan seperti misalnya
pada saat Presiden Suharto mencanangkan pembudidayaan Lamtoro Gung sebagai
sumber protein nabati, telah diserang oleh Kutu Loncat (yang bukan asli Indonesia)
dan pada saat mengkampanyekan pembudidayaan jeruk, diserang oleh virus CVPD
(Citrus Vein Phloem Degeration).
7

3. UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN AGENSIA BIOLOGI

Sebagai salah satu dari tiga senjata pemusnah massal, senjata biologi telah
dilarang oleh PBB melalui Protokol Jenewa (1925) 7 dan Konvensi Senjata Biologi
(BWC, 1972)8. Namun, walaupun telah berumur lebih dari 25 tahun, ternyata BWC
tidak dapat diimplementasikan secara efektif karena belum disertai dengan sistem
verifikasi.
[  slide kronologi BWC ]
Pasal XII dari konvensi tersebut mengamanatkan bahwa BWC harus ditinjau setiap
5 tahun sekali. Jadi sejak diberlakukannya (1975), telah lima kali diadakan
peninjauan (review conference). Pada konferensi ketiga (1991), negara-negara
pihak (state parties) pada konvensi ini sepakat untuk membentuk Kelompok Ahli
(Verification Expert Group atau Verex) untuk menyusun sistem verifikasi tersebut.
Verex mengadakan empat kali sidang dalam tahun 1992-1993 dan berhasil
menghimpun 21 perangkat verifikasi. Setelah perangkat tersebut disebarluaskan
ke seluruh negara pihak, mereka menghendaki untuk dibahas secara politis. Maka
diadakanlah Sidang Khusus (Special Conference) pada September 1994 dan
menyepakati untuk dibentuknya Kelompok Ad Hoc (AHG) dengan mandat
membentuk sistem verifikasi yang dapat mengikat secara hukum (legally binding).
Sejak 1995 hingga 2001 AHG telah melaksanakan sidang sebanyak 24 kali dan
menghasilkan 570 halaman rancangan Protokol yang sangat komprehensif yang
disebut rolling text. Naskah yang telah dinegosiasikan selama 6½ tahun ini
akhirnya menemui kegagalan setelah Amerika Serikat pada tahun 2001 secara
sepihak menolak naskah tersebut maupun rejim-rejim di bawah BWC lainnya yang
bersifat mengikat secara hukum.
Maka sia-sialah upaya AHG dan sejak itu dibentuklah format negosiasi baru
yang disebut dengan the new process yang dijadwalkan tahun 2003-2005. Pada
sidang the new process ini penulis mempresentasikan pandangannya pada bulan
Juni 20059.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa AS tiba-tiba demikian intens
menolak segala rejim yang akan mengikat secara hukum? Beberapa analisis
menyampaikan bahwa kebijakan tersebut terkait dengan program biodefence yang
sedang dikembangkan AS. Yang jelas adalah bahwa pada akhir negosiasi, negara-
negara yang tergabung dalam GNB (yang dipromotori Indonesia) mengajukan
beberapa klausul yang dapat merugikan AS terkait dengan fasilitas-fasilitas lab

7
Naskah Protokol Jenewa dapat diakses melalui www.brad.ac.uk/acad/sbtwc/keytext/genprot.htm
8
Naskah Konvesi dapat diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/Biological_Weapons_Convention
9
Naskah dapat diakses melalui www.opbw.org/new_process/mx2005/bwc_msp.2005_mx_wp24_E.pdf
8

biologi milik AS yang berada di luar daerah yurisdiksinya. Seperti fasilitas Namru-2
yang ada di Indonesia misalnya.
Di tingkat internasional, Indonesia telah berperan sangat aktif dalam proses
perlucutan senjata biologi namun peran ini masih tidak cukup efektif untuk
mengakomodasikan kepentingan nasional Indonesia. [  slide foto di PBB ]
Peran Instansi Terkait
Bila dibandingkan dengan program biodefence yang dikembangkan AS, yang
terdiri dari empat pilar yaitu Threat Awareness, Prevention and Protection,
Surveillance and Detection, dan Response and Recovery, maka program yang
dilaksanakan di Indonesia kurang begitu terklasifikasi dan tidak ada batas yang
tegas antara peningkatan kesadaran terhadap ancaman, atau pencegahan dan
perlindungan, pengamatan dan deteksi ataukah dalam rangka tahap tanggap
darurat. Program yang dijalankanpun masih bersifat parsial dan terkesan masing-
masing departemen atau lembaga berjalan sendiri-sendiri.
Keterlibatan instansi-instansi terkait dalam penanganan nubika antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Departemen Pertahanan cq. Balitbang Dephan, merupakan instansi yang
konsisten menangani nubika sejak tahun 1985 khususnya dalam
keterlibatannya dengan forum nasional dan internasional. Berkaitan dengan
itu dibawah Balitbang Dephan telah dibentuk bagian khusus yang menangani
permasalahan tersebut, yaitu Bagian Fora. Penanganan nubika di Balitbang
Dephan tidak dapat menghasilkan produk yang maksimal karena terbatasnya
dana penelitian yang dialokasikan. Untuk memperbesar penelitian nubika,
akan berarti mengurangi alokasi dana penelitian yang lainnya.
Pada tanggal 21 Nopember yang lalu, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan
Dephan menyelenggarakan Seminar Biodefence.
b. Deplu telah membentuk direktorat khusus, yaitu Direktorat Keamanan
Internasional dan Perlucutan Senjata (Dit KIPS). Sebelum adanya Dit KIPS,
penanganan perlucutan senjata nubika ditangani oleh Direktorat Organisasi
Internasional (Dit OI). Pejabat-pejabat penting di lingkungan Deplu saat ini,
sebagian besar berasal dari Dit KIPS seperti Menlu Hasan (Bekas Dir KIPS),
Sekjen Imron Cottan, Yuri O Thamrin, Sudjandan (Dubes AS), Dino Kusnadi
(Jubir KBRI Australia), dan lain-lain. Dengan demikian nubika bukan hal asing
bagi Deplu. Pejabat yang sangat mendalami dan terlibat langsung perlucutan
nubika adalah Hasan Kleib yang saat ini menjabat Dubes di DK PBB New York.
c. Depkes. Instansi ini sangat terkait dengan senjata biologi, namun
perannya menjadi kurang signifikan karena personil yang dilibatkan kurang
memberikan kontribusi. Namun keterlibatan instansi tersebut akhir-akhir ini
9

semakin meningkat. Balitbangkes saat ini sedang merencanakan


pembangunan Lab Biologi Level-3 atau BSL-3 (Biosafety Level-3 menurut
standar WHO). Hingga saat ini di Indonesia belum ada satu pun Lab BSL-3.
Lembaga lain yang sedang merencanakan pembangunan BSL-3 adalah
Lembaga Eijkman. Lab BSL-3 adalah lab biologi dengan tingkat keamanan
yang sangat ketat (yang tertinggi adalah BSL-4). Lab tersebut mensyaratkan
tingkat pengawasan yang ekstra ketat karena akan menangani agensia-
agensia biologi yang sangat berbahaya. Sangat disayangkan bahwa Depkes
selama ini kurang dapat berperan dalam turut mengamankan “pencurian”
specimen asli Indonesia oleh pihak asing.
d. Deptan. Dengan adanya kasus flu burung, Deptan cq. Balai Penelitian
Veterinair menjadi focal point dalam penanganan unggas dan berperan aktif
dalam pembahasan RUU Bahan Biologi yang dimotori oleh Deplu.
Keterlibatan Deptan dalam penanganan biologi juga perlu dimonitor secara
kontinyu mengingat rentannya pertanian oleh serangan hama yang telah
terbukti mengganggu ketahanan nasional.
e. Kementerian Riset dan Teknologi. Kementerian ini telah membentuk
Pokja Bioteror namun tampaknya kementerian ini kurang memfokuskan pada
teror itu sendiri sehingga penanganannya masih belum terfokus.
Sebagaimana diketahui bahwa penanganan teror itu idealnya lebih
menitikberatkan pada si pelakunya, bukan peralatan atau perangkat yang
digunakan oleh si pelaku karena teroris dapat menggunakan sarana apa saja
untuk melancarkan aksinya. Bila ada Pokja Bioteror, tentunya harus ada
Pokja Kemoteror, Nukleoteror, Bomteror, dan lain-lain. Di lain pihak teroris
dapat menggunakan sarana lain yang tidak diperkirakan sebelumnya seperti
halnya kasus WTC 11 Sep 2001 yang menjadikan pesawat terbang sebagai
“rudal.”
f. Mabes Polri. Ada tiga instansi di Mabes Polri yang terlibat secara
langsung, yaitu NBC Interpol, Lab Forensik, dan Densus 88 Antiteror.
Permasalahan utama yang dijumpai di Mabes Polri adalah tidak konsistennya
penanganannya karena silih bergantinya pejabat yang menangani. Bulan Mei
yang lalu Polri (cq. NCB Interpol) mengadakan lokakarya bioteror tingkat
ASEAN di Jakarta.
[  slide lokakarya bioteror Polri ]
g. Mabes TNI. Sama halnya dengan Mabes Polri, penanganan permasalahan
nubika di lingkungan TNI juga mengalami pasang-surut karena tidak
menetapnya pejabat yang menangani. Instansi di lingkungan TNI yang
selama ini terlibat adalah Bais TNI (cq. Direktorat B), Subdit Nubika Ditziad
(Sub-direktorat Nubika, Direktorat Zeni TNI-AD), dan Puskes TNI. Sintel
10

Mabes TNI “mulai” terlibat untuk menanganinya. Subdit Nubika Dirziad cukup
intens menangani nubika namun permasalahannya kembali lagi pada personel
yang tidak terlibat secara penuh. TNI-AD memiliki satu Kompi Nubika yang
baru-baru ini ditingkatkan statusnya menjadi detasemen.
h. Menko Polhukkam. Kementerian ini telah membentuk Desk Antiteror.
Namun tampaknya pos ini masih belum berfungsi secara maksimal dalam
menangani bio-terror karena pejabat yang menangani kurang mendalami
secara intensif dan komprehensif terhadap permasalahan tersebut. Untuk
menindaklanjutinya, dalam rangka meningkatkan dan memperluas desk
tersebut, Depdagri telah membentuk badan antiteror yang rencananya
ditempatkan di seluruh daerah yang sifatnya preventif dengan mengikutkan
komponen masyarakat untuk melakukan kewaspadaan dan pencegahan
terhadap teror10.
i. Lembaga Eijkman sebagai satu-satunya lembaga biomolekuler yang
bergerak dalam pemetaan genetik memiliki kemampuan yang sangat tinggi
namun lembaga ini belum didayagunakan secara maksimal. Lembaga
Eijkmann sudah mulai terlibat dalam penanggulangan bioterror, antara lain
sebagai pembicara dalam seminar biodefence di Dephan tanggal 21
Nopember.
j. Depkeham. Departemen ini akhir-akhir ini meningkat perannya dengan
turut serta dalam pembahasan RUU Bahan Kimia dan RUU Bahan Biologi.
k. Perguruan tinggi. Hingga saat ini belum banyak perguruan tinggi yang
memiliki kesadaran tinggi akan bahaya ancaman nubika. Akademi Militer
misalnya, yang dulu memasukkan mata kuliah nubika kedalam kurikulumnya,
kini sudah tidak menerapkannya lagi. Dengan adanya seminar bioteror ini
mudah-mudahan para akademisi terpacu untuk turut mengamankan
kepentingan nasional dari ancaman penyalahgunaan agensia biologi.
Pengaruh Asing dalam Penanganan Nubika di Indonesia
Sebagai alternatif lain dalam mencegah proliferasi senjata pemusnah massal,
AS telah menerbitkan suatu inisiatif yang disebut sebagai PSI (Proliferation Security
Inciative). PSI adalah program yang dirancang oleh Presiden Goerge W Bush
dalam rangka meng-counter proliferasi senjata pemusnah massal. Inisiatif ini telah
secara tegas ditolak oleh Indonesia karena tidak sesuai dengan kepentingan
nasional RI khususnya yang berkaitan dengan cara-cara interdiction. Jepang dan
Singapura mendukung inisiatif ini dan berusaha keras untuk “merayu” Indonesia
agar mendukung inisiatif tersebut.

10
Penjelasan Mendagri pada Rapat Gubernur 9 Juni 2005
11

Selain melalui PSI, AS juga menggunakan “cara lain” dengan mengkondisikan


Dewan Keamanan PBB untuk menerbitkan resolusi khusus menyangkut nubika,
yaitu Resolusi DK nomor 1540. Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB berkaitan
dengan perlucutan senjata ini ”mau tidak mau” harus dipatuhi oleh Indonesia namun
pada prinsipnya Indonesia kurang sepaham dengan dikeluarkannya resolusi
tersebut.
Perangkat lain yang cukup “merepotkan” Indonesia adalah Export Control
Regime yang diprakarsai oleh Australia untuk mengontrol bahan-bahan kimia
tertentu melalui pengaturan ekspor yang dikeluarkan oleh pemerintahnya. Australia
telah mengajak beberapa negara untuk bergabung dalam rejim tersebut dan
bergabung dalam namanya Australian Group. Indonesia dalam hal ini belum
sepenuhnya mendukung aturan yang dipandang tidak sepenuhnya sejalan dengan
perjanjian multilateral yang telah ada.

Aspek Legislasi Nasional

Di tingkat nasional, ada beberapa undang-undang yang terkait dengan nubika


antara lain UU nomor 3/2002, UU nomor 15/2003 dan Inpres 5/2003.
a. Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Pasal 6
Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan,
daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman.
Pasal 7
(1) Pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, diselenggarakan oleh
pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara.
(2) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara
Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan
dan komponen pendukung.
(3) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan
lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk
dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan
bangsa (ayat 3).
Dari UU tersebut nyata sekali bahwa lembaga pemerintah di luar bidang
pertahanan merupakan unsur utama dalam menghadapi ancaman non-militer.
Ancaman nuklir, biologi dan kimia merupakan salah satu ancaman non militer
karena dapat digunakan untuk melumpuhkan suatu negara secara tidak
langsung. Agensia biologi, misalnya dapat digunakan untuk melumpuhkan
perekonomian suatu negara. Ini merupakan ancaman non-militer.
12

b. Undang-undang 15/2003 tentang Terrorisme


UU 15/2003 memberlakukan Perpu 1/2002 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme sebagai UU. Dalam Pasal-10 disebutkan sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, dst”
Dari UU tersebut nyata sekali bahwa nubika merupakan salah satu yang
diprediksi dapat dijadikan sebagai salah satu alat terror. Fakta telah
menunjukkan bahwa Anthraks telah digunakan sebagai alat terror yang sangat
menakutkan di AS tahun 2001 dan KBRI Australia tahun lalu. Semua pihak
yang terkait harus segera mengantisipasi kemungkinan ancaman lainnya
sesuai dengan pasal-12 yang antara lain berbunyi:
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan
sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk
melakukan: (a) tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan,
menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda... dst
UU mengamanatkan bahwa walaupun bahan nuklir, senjata kimia, senjata
biologi, radiologis, mikroorganisme dan lain-lainnya walaupun baru dalam
tahap akan digunakan sudah dapat dikenai sanksi pidana. Kriteria “akan
digunakan” menyangkut kehendak (intention) seseorang. Sulit sekali
mengukur kehendak seseorang tanpa mengetahui secara mendalam orang
yang memiliki kehendak tersebut. Intelijen dal,am hal ini memang merupakan
sarana paling ampuh untuk mendeteksi kehendak tersebut.
c. RUU Bahan Kimia dan RUU Bahan Biologi
Kedua RUU tersebut sekarang sedang dalam penyusunan. RUU Bahan
Kimia sedang dalam proses finalisasi di DPR sementara RUU Bahan Biologi
masih dalam proses drafting.
d. Keppres 103/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja LPND yang telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Keputusan Persiden Nomor 46 Tahun 2002 serta Inpres 5/2002
memberikan kewenangan kepada BIN yang sangat luas sebagaimana
tercantum dalam instruksinya yaitu:
PERTAMA : Di samping tugas pokoknya sendiri sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
13

Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen


sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Persiden Nomor 46
Tahun 2002, melakukan pengkoordinasian penyusunan perencanaan umum dan
pengkoordinasian pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi lainnya,
yang menyelenggarakan fungsi tersebut sebagai bagian atau untuk mendukung
penyelenggaraan tugas masing-masing.
KEDUA : Mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mewujudkan, membina, dan
menjaga keutuhan dan keterpaduan rencana dan gerak operasional intelijen, baik dalam
kerangka institusi maupun diantara aparatnya, sehingga seluruh instansi tersebut dapat
merupakan satu kesatuan masyarakat intelijen Indonesia yang secara sendiri-sendiri
ataupun bersama-sama mampu bekerja secara efisien dan efektif.
Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan BIN melakukan amanat Inpres
tersebut dikaitkan dengan kemungkinan ancaman nubika? Sementara itu,
ancaman sudah di depan mata. Sudah saatnya BIN menjadi koordinator dan
ujung tombak dalam bidang intelijen untuk mengantisipasi ancaman tersebut
sesuai Inpres 5/2002.

Aspek Astagatra

a. Geografi.
1) Sebagai negara yang terletak membujur di khatulistiwa dan membujur
dengannya, kondisi geografis Indonesia telah memungkinkan untuk memiliki
kekayaan alam yang sangat berlimpah baik dari laut maupun darat.
Kekayaan sumberdaya alam ini memiliki kerentanan yang sangat tinggi.
Ditinjau dari aspek pertanian misalnya, berbagai fakta telah membuktikan
bahwa Indonesia telah mengalami kerugian yang sangat besar yang
disebabkan oleh berbagai serangan hama yang menyerang pertanian.
Keunggulan padi Indonesia telah diluluhlantahkan oleh serangan hama
wereng yang mengakibatkan musnahnya bibit unggul padi asli Indonesia.
2) Kerusakan kekayaan sumberdaya alam ini telah berjalan lama dan telah
menimbulkan beberapa kerugian yang sangat menggangu ketahanan
pangan Indonesia.
b. Demografi
1) Senjata biologi telah diakui oleh beberapa pakar bahwa serangan yang
ditimbulkannya jauh lebih berbahaya bila dibandingkan dengan senjata
nuklir dan senjata kimia. Dengan kondisi alam yang sangat heterogen dan
tingkat pengamanan kesehatan yang masih sangat rendah, masyarakat
Indonesia sangat rentan terhadap kemungkinan serangan senjata biologi.
2) Kondisi pendidikan penduduk yang masih rendah ditambah dengan
masih adanya tingkat kemiskinan yang relatif tinggi menyebabkan rentannya
14

masyarakat untuk disisipi “ancaman-ancaman terselubung” dari luar yang


berdalih mensejahterakan kehidupan. Tingkat kesadaran masyarakat akan
ancaman bahaya senjata biologi juga masih sangat rendah mulai dari tingkat
grass root hingga ke tingkat elite.
c. Ideologi. Aspek ideologi tampaknya belum atau kurang tersentuh
secara maksimal dalam pembahasan dan analisis ancaman dari senjata
pemusnah massal padahal aspek ini sangat erat kaitannya terutama dengan
munculnya ideologi-ideologi baru. Kelompok Sekte Aum Ahinrikyo yang
menteror kereta bawah tanah Tokyo pada Maret 1995 misalnya menggunakan
agensia biologi Clostridium botulinum dan anthrax. Faktor lain yang perlu
dipertimbankan adalah Islam kini telah banyak bergeser (dibelokkan) dari
agama yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian menjadi ideologi yang
mengkotak-kotakkan aliran. Tidak mustahil bahwa bahan biologi digunakan
oleh kelompok ideologi tertentu untuk melancarkan serangan teror mereka,
untuk menarik perhatian tentang adanya keyakinan bahwa aliran mereka lah
yang paling benar. Di tingkat multilateral, keanekaagaman ideologi ini pun
secara tidak langsung telah mengkotak-kotakan beberapa kepentingan antara
negara-negara sekuler (yang didominansi negara maju) dengan negara lainnya
yang berdampak pada adanya diskriminasi dalam sistem pengaturan
perlucutan senjata [  kasus NPT dan BWC ].
d. Politik
1) Multilateral.
a) Di tingkat multilateral telah terjadi aliansi politik yang mengarah
pada perbedaan posisi yang cukup mengganggu upaya perdamaian
dunia. Amerika Serikat, misalnya cenderung untuk menerapkan paham
unilateralismenya dalam penanganan senjata biologi. Negara ini telah
dengan tegas untuk menolak segala bentuk perjanjian multilateral di
bidang persenjataan biologi yang mengikat secara hukum. Dengan
tegas AS menolak protokol senjata bilogi yang telah disusun selama 6½
tahun. Posisi ini telah membawa kelompok aliansinya untuk turut
mengubah kebijakan politiknya yang sebenarnya lebih didasari pada
aspek solidarisme politiknya. Pengkajian terhadap arah kebijakan
politik luar negeri dari.
b) Negosiasi perluncutan senjata di tingkat PBB pun diwarnai oleh
kelompok-kelompok politik dengan berbagai kepentingan nasional yang
sulit disatukan. Kelompok-kelompok tersebut diantaranya adalah
Western Group (kelompok negara-negara maju), Eastern Group
(negara-negara Eropa Timur), European Community Group, Kelompok
15

GNB plus (Kelompok GNB ditambah beberapa negara bukan GNB), dan
lain-lain.
2) Regional/Bilateral. Penolakan AS terhadap terbentuknya mekanisme
multilateral yang bersifat universal dan mengikat secara hukum, telah
mempengaruhi posisi negara-negara lain dalam pengimpelementasian
konvensi senjata biologi. Australia tdan Indonesia telah mempelopori
terbentuknya suatu kelompok regional di tingkat ASEAN plus Australia, New
Zealand dan Papua New Guinea. Kelompok ini telah melakukan worshop
pada bulan Pebruari 2005 di Australia dan Maret 2006 di Bali. Dephan
dalam hal ini telah berpartisipasi aktif menjadi pembicara pada kedua
workshop tersebut. Akhir Maret ini Singapura juga memprakarssai
pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) untuk membahas persenjataan
Biologi.
3) Nasional. Di tingkat nasional, “kepedulian politik” RI terhadap
permasalahan senjata biologi tampaknya masih parsial. Political will
pemerintah masih belum signifikan. Hal ini terlihat dengan masih
sektoralnya penanganan senjata biologi. Dengan semakin nyatanya
ancaman senjata biologi, permasalahan ini perlu diangkat ke tingkat
nasional dengan melibatkan Presiden dan DPR secara langsung.
e. Ekonomi. Dampak senjata biologi telah sangat signifikan mempengaruhi
perekonomian Indonesia. Di bidang kesehatan, serangan flu burung telah
banyak sekali menimbulkan kerugian. Belum lagi ditambah dengan dampak
ekonomi yang disebabkan menurunnya produktifitas sektor pertanian akibat
serangan berbagai hama. [  slide dampak ekonomi ]
f. Sosial. Masyarakat masih belum sepenuhnya menyadari dampak dari
senjata biologi, bahkan pengertian senjata biologi pun masih belum
sepenuhnya dipahami baik oleh kalangan masyarakat umum, akademisi
praktisi maupun kaum intelektual lainnya. Kesiapan masyarakat bila
seandainya ada serangan senjata biologi juga belum sepenuhnya ditangani.
g. Budaya. Masih sedikit orang yang berpikir bahwa serangan senjata biologi
ini terkait dengan budaya. Keterkaitan tersebut sangat besar sebetuolnya.
Budaya masyarakat Indonesia yang nrimo atau menerima apa adanya tanpa
protes ditambah dengan tekanan dari pemerintah untuk selalu bertoleransi
dalam beragama telah merasuk kedalam sanubari hampir setiap masyarakat
Indonesia. Kondisi ini telah menyebabkan sifat kekurangpedulian masyarakat
terhadap deviasi yang telah terjadi. Masyarakat tidak sadar bahwa mereka
sedang terjajah perekonomiannya. Ayam yang mereka makan sehari-hari
misalnya, hampir 100% merupakan produk asing. Wabah flu burung telah
semakin meningkatkan ketergantungan tersebut.
16

h. Keamanan
Di Indonesia masih ada kerancuan mengenai penggunaan kata/istilah
“keamanan”. Istilah ”keamanan nasional”, ”keamanan negara”, ”keamanan
dan ketertiban masyarakat”, safety, dan security semuanya masih ditafsirkan
kedalam satu kata ”keamanan” dan dianggap merupakan wewenang Polri.
Hal inilah yang antara lain mendasari Polri saat itu dipisahkan dari Departemen
Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan nama Dephankam diubah
menjadi Dephan (tanpa kam). Yang mendasari pemisahan tersebut
sebenarnya adalah bukan kata keamanan itu sendiri namun fungsinya dimana
militer berfungsi kearah kombatan dan polisi kearah penanggulangan kriminal
(law and order). Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap penanganan
senjata biologi yang sangat terkait dengan keamanan negara.
Menurut Saafrudin Bahar yang mengacu pendapat Baker dan Weller, ada
empat syarat sustainable security bagi suatu negara yaitu (1) sistem kepolisian
dan kepidanaan yang kompeten, (2) birokrasi atau civil service yang efisien dan
baik, (3) sistem judisial yang independen, dan (4) militer yang profesional dan
berdisiplin.11 Dikaitkan dengan konsep ancaman, syarat tersebut kurang tepat
karena keamanan suatu negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan mulai dari kemungkinan ancaman mulai timbul sampai terjadinya
suatu aksi pelumpuhan keamanan hingga paska aksi yang dapat digambarkan
dalam diagram sebagai berikut:
intention   trend  pre-action   action  post-action
Sistem Kepolisian dan Kepidanaan
Birokrasi? Judicial
Militer TNI (khusus ancaman militer)
Non Militer (untuk ancaman non-militer)
Sustainable security adalah merupakan rangkaian keamanan yang tidak saja
diperlukan pada saat ancaman muncul atau setelah terjadinya suatu konflik tapi
juga harus dipertimbangkan sejak ancaman itu diperkirakan akan muncul.
Intention atau niat12 akan kemungkinan terjadinya ancaman merupakan faktor
yang sangat penting bahkan bila niat tersebut dapat dieliminir sejak awal maka
akan dapat meng-counter konflik sejak dini. Dalam hal ini intelijen sangat
berperan penting.
TNI memang memiliki intelijen, baik di tingkat pusat (Sintel dan Bais)
maupun di tingkat daerah namun lingkup mereka, menurut UU nomor 3/2002

11
Saafrudin Bahar, 2005. Mengapa Negara Kita Jadi Separah Ini, dan Bagaimana Cara
Menanggulanginya?, Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen Vol. I No. 5, CSICI, h.24
12
Menurut Robert Mangindaan (2005, Kasus Ambalat: Intelijen di dalam manajemen konflik, Jurnal
Intelijen dan Kontra Intelijen Vol. I No. 5, CSICI, h.24), suatu kekalahan tidak akan terjadi bila salah satu
factor –intention, capability dan circumstance- lawan dapat dihilangkan (dinolkan) .
17

terbatas pada ancaman militer. Untuk ancaman non-militer maka BIN


merupakan unsur utama. Polisi juga memiliki intel (reserse) namun lingkup
mereka lebih pada tindak kriminal (dalam lingkup kamtibmas) dan mereka
mengalami kesulitan dalam menindak pelaku kriminal kalau hanya berdasarkan
intention dan trend tanpa bukti kejahatan yang nyata. Untuk ancaman non-
militer, BIN dalam hal ini berperan sangat penting sebagai koordinator intelijen,
yang bila dikaitkan dengan UU 3/2002 dapat digambarkan sebagai berikut:

Militer TNI Bais, Sintel (Angk. Kodam, Korem, Koramil)

Ancaman UU 3/2002 Intelijen

Non Militer BIN Polri, Bea Cukai, Imigrasi dan instansi terkait

Pertimbangan Lain
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang nuklir dan kimia
dalam beberapa dasawarsa ini tidak menunjukkan kemajuan yang berpengaruh
signifikan terhadap ancaman yang mungkin ditimbulkan. Penggunaan bahan-bahan
kimia, khususnya bahan peledak, belum memanfaatkan teknologi baru. Namun
demikian perkembangan di bidang biologi, khususnya bioteknologi telah
menimbulkan ancaman-ancaman baru yang sangat signifikan. Kemajuan-
kemajuan bioteknologi yang perlu diwaspadai anta lain adalah:
a. Pesatnya perkembangan bioteknologi dan rekayasa genetika
b. Munculnya kembali penyakit lama (re-emerging diseases) dan penyakit baru
(new emerging diseases)
c. Munculnya kemungkinan untuk membuat senjata yang hanya menyerang
target tertentu (genetically modified organism)
Berkaitan dengan teknologi aspek teknologi, maka aspek ancaman yang perlu
diwaspadai adalah:
a. Mudahnya pembuatan senjata biologi
18

b. Sulitnya membedakan kegiatan penelitian yang ditujukan untuk perdamaian


dan permusuhan (peaceful vs hostile purposes)
c. Kemampuannya memperbanyak diri
d. Kemungkinannya untuk meningkatkan ketergantungan suatu negara dengan
negara lain (genetic imperialism)
Untuk itu maka perlu mempertimbangkan aspek-aspek risiko yang mungkin
ditimbulkan, antara lain:
a. Pengkajian terhadap risiko yang telah ditimbulkan (di masa lalu)
berdasarkan analisis lingkungan stratejik sebagaimana diuraikan sebelumnya
mengingat bahwa Indonesia sebetulnya telah mengalami “kekalahan” dalam
bidang biologi. Resiko tersebut perlu dikaji berdasarkan kronologi dan time-
line-nya sebagai indikator empiris untuk menyusun prosedur preventif di masa
mendatang.
b. Dampak masa kini
o Wabah-wabah penyakit pada manusia
o Wabah-wabah penyakit pada hewan
o Wabah-wabah penyakit pada tumbuhan
c. Analisis terhadap dampak yang mungkin timbul di masa yang akan datang:
o Penyakit Genetik
o New emerging dan re-emerging diseases
o Pengamanan generasi mendatang terhadap kerentanan genetik

4. PENUTUP

Demikian gambaran sekilas mengenai perkembangan senjata biologi dengan


harapan mudah-mudahan uraian tersebut dapat dijadikan bahan pemikiran bagi
para pemerhati senjata biologi untuk turut menangkal kemungkinan munculnya
bioteror. Gambaran yang disampaikan dalam naskah ini masih bersifat sangat
umum karena perkembangan Nubika memiliki lingkup yang sangat luas. Untuk
menjelaskan tiap substansi satu persatu akan dibutuhkan waktu yang sangat
panjang. Untuk itu, bila para pemerhati ingin memperdalam lebih jauh, dapat
mencari data melalui internet. Untuk bidang biologi bisa melalui OPBW
(Organisation of Prohibition of Biological Weapons) di www.opbw.org. Untuk bidang
kimia bisa melalui OPCW (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons di
www.opcw.org. Sebagai kesimpulan, dapat disampaikan bahwa ancaman
19

penyalahgunaan agensia biologi sudah ada di depan mata. Di dalam negeri,


pemerintah khususnya di tingkat interdep telah mulai menangani ancaman tersebut
secara serius. Kini saatnya para akademisi untuk mulai memikirkannya

Purwokerto, 1 Desember 2007

Anda mungkin juga menyukai