A. Pengertian Pengungsi
Pengertian atau istilah ‘pengungsi’ secara umum mengalami dinamikanya sendiri. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi
dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu “Orang yang mencari tempat yang aman ketika
daerahnya ada bahaya yang mengancam”. Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa
pengungsi terjadi karena adanya bahaya. Misalnya bencana alam (natural disaster) seperti banjir,
gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi juga bisa terjadi karena bencana manusia (man
made disaster) seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan kebebasan
Terdapat dua pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah
pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang
Dunia II. Ia memberi pandangan tentang pengungsi sebagai berikut : “The forced movements,..
were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jew and political opponents
of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland
or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar
boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the
air and under the threat or pressure of advance of retreat of armies over immense areas of
43
Achmad Romsan, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung. Hlm. 35
31
dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort”. 44
orang yang terpaksa pindah ketempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa,
atau pengusiran orang-orang dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula
dalam bentuk pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul
akibat perang atau perjanjian atau penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi.
Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman.
Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan
perintah militer serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang.
Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada Pasal 1
Konvensi 1951 khususnya pada kalimat ‘applies to many person who has fled the country of his
nationality to avoid persecution or the threat of persecution’. 45 Pada pandangan Pietro Verri
pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena
adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya
penyiksaan. Menilik lebih jauh, batasan terminologi pengungsi, hal tersebut beririsan dengan
batasan suaka. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari
wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak
memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah. 46
Terminologi pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa takut
yang wajar akan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu
44
Ibid. Hlm. 36
45
Ibid.
46
Wagiman, Op Cit., Hlm. 99
32
dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya.
Dengan istilah lain, refugee adalah pengungsi yang lari ke negara lain yang sudah jelas diatur
Terdapat dua jenis pengungsi, yaitu pengungsi internal (Internal Displaced Person/IDP)
dan pengungsi lintas batas (refugee). Perbedaan keduanya hanya pada wilayah. Pengungsi
internal adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi
masih dalam satu daerah kekuasaan satu negara. Sedangkan pengungsi lintas batas merupakan
Istilah-istilah yang berkaitan dengan pengungsi menurut Achmad Romsan 47, yaitu:
better over all standard of living (that is, motivated by economic considerations), leave their
Economic migrant adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang
dimanapun.
47
Achmad Romsan, Op Cit., Hlm. 29-34
33
Romsan mendefinisikannya sebagai “A person who was not a refugee when she left her
country, but who became a refugee at a later date. A person becames a refugee sur place due to
Refugee sur place merupakan seseorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi
sewaktu berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena keadaan di negara
asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.
Pengertian pengungsi statuta adalah “Persons who meet the definitions of international
instruments concerning refugees prior to the 1951 Convention are usually referred to as
“statutory refugees”.
menurut instrumen-instrumen internasional sebelum tahun 1951. Istilah ini hanya dipakai untuk
membedakan antara “pengungsi sebelum Konvensi 1951” dengan “pengungsi menurut konvensi
1951”.
Pengungsi perang adalah “Persons compelled to leave their country of origin as a result
of international or national armed conflicts are not normally considered refugees under the 1951
Conventions of the 1967 Protocol. They do, however, have the protection provided for in other
international instrument, i.e. the Geneva Convention of 1949, et. al. In the case of forces
34
populations. In such cases, asylum seekers may meet the conditions of the Convention definition.
War refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara asalnya akibat
pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau nasional yang tidak dianggap pengungsi
biasa menurut Konvensi 1951 atau Protokol 1967. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan
pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandat yang ditetapkan oleh
statuta UNHCR. Istilah pengungsi mandat dipergunakan terhadap para pengungsi yang berada di
a) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR, dimanapun mereka berada,
b) Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR yang berada di luar negara-
negara pihak pada Konvensi 1951 (sesudah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22
April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4
Oktober 1967).
Pengungsi mandat adalah seseorang yang memenuhi kriteria statuta UNHCR sebagai
pengungsi dan oleh karena nya mendapat perlindungan dari PBB, baik yang bersangkutan berada
di dalam atau di luar negara peserta Konvensi 1951 atau Protokol 1967.
35
suaka sebagai pengungsi atau bukan, yang diberi status, diberi kartu identitas kepada mereka
yang telah dinyatakan sebagai pengungsi, dan dilakukan terhadap mereka seperti pencegahan
penahanan, pengusiran, atau pengembalian paksa pengungsi ke tempat wilayah pengungsi yang
dalam wilayah negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai berlakunya Konvensi
1951 sejak 22 April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak
4 Oktober 1967), yang statusnya sebagai pengungsi diakui oleh negara-negara pihak Konvensi
1951 dan/atau Protokol 1967 berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kriteria yang ditetapkan oleh
instrumen-instrumen tersebut.
Istilah Internally Displaced Persons/IDP’s digunakan oleh PBB dan UNHCR pertama
kali pada tahun 1972 untuk menunjuk orang-orang di Sudan, yang karena terjadi konflik
bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke
tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih dalam wilayah negara mereka sendiri. Istilah
36
konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk
pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih di dalam wilayah negara mereka
sendiri. Sejak tahun 1975 UNHCR dan PBB memakai istilah ini untuk merujuk orang-orang
yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang dirasanya aman,
sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya, tetapi yang (sudah) berada diluar
perbatasan negara asalnya. Untuk displaced persons dalam pengertian semula (tetap masih
berada dalam wilayah negara yang sama), dan untuk itu UNHCR memakai istilah Internally
Displaced Persons/IDP’s.
Istilah displaced persons dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1975 yang
memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada orang-
orang terlantar (persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam “kondisi
Istilah internally displaced persons (IDPs) timbul karena adanya bahaya yang
mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena
banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana
alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana
Stateless Persons adalah “persons who either from birth or as result of subsequent
37
akibat perubahan di dalam negara asalnya menjadi tanpa kewarganegaraan. Berarti ada dua
penyebab seseorang dapat menjadi tidak bernegara, yaitu sejak lahir atau akibat perubahan dalam
negara asalnya. Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada
Pengertian lain dari stateless persons adalah seseorang yang berada diluar negara
mempunyai atau pernah mempunyai rasa kecemasan yang berdasar atas persekusi karena alasan
ras, agama, rumpun bangsa, atau opini politik yang dapat atau tidak dapat, berdasarkan
kewarganegaraannya. 48
Dengan adanya istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pengungsi maka dapat
mengetahui dan dapat membedakan antara pengungsi itu sendiri dengan istilah-istilah yang
Dalam Pasal 1 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, definisi pengungsi secara umum
“As a result of events occurring before 1 January and owing to well-founded fear of being
persecuted for reason of race, religion, nationality, membership, of particular social group or
political opinions, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is
48
www.komnasham.go.id (diakses pada hari minggu 17 Mei 2015, pukul 10.00 WIB)
49
Convention and protocol relating to the status of refugees, diakses dari http://www.unhcr.org/3b66c2aa10.html
diakses pada hari minggu 17 Mei 2015, pukul 11.00 WIB
38
result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”.
Pasal tersebut memaparkan bahwa “Sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelum 1 Januari 1951, dengan rasa takut yang mendalam akan mengalami persekusi karena
alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, maupun opini-
opini politik yang mereka anut, berada diluar negara asalnya, serta tidak mampu, atau karena
rasa takutnya, menolak memanfaatkan perlindungan yang disediakan oleh negara dimana ia
sebelumnya berasal akibat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tidak mampu, atau karena rasa
Konvensi 1951, yang rancangannya dibuat sebagai hasil rekomendasi dari Komisi Hak
Asasi Manusia PBB yang baru saja dibentuk, menjadi petunjuk dalam menyusun standar
Konvensi menyusun standar minimum bagi perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak
dasar mereka. Konvensi juga menetapkan status hukum pengungsi, dan mencantumkan
mengenai surat keterangan jati diri dan dokumen perjalanan, mengenai penerapan biaya fiskal,
dan mengenai hak mereka untuk memindahkan aset miliknya ke negara lain dimana mereka telah
pengungsi. Pasal 33 Konvensi menetapkan bahwa “tidak satupun negara pihak dapat mengusir
perbatasan dimana jiwa atau kemerdekaan mereka akan terancam karena pertimbangan ras,
39
berkenaan dengan masalah hak atas akses terhadap pengadilan, pendidikan, jaminan sosial,
lainnya, misalnya: 50
• Pasal 1 yang memuat tentang definisi pengungsi. Definisi ini dirumuskan sangat umum
sekali.
• Konvensi ini memuat prinsip non refoulement yang diatur dalam pasal 33.
termasuk hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh pengungsi serta kewajiban-kewajiban
• Konvensi mengatur tentang status yuridis pengungsi, hak untuk mendapatkan pekerjaan
• Konvensi ini mengatur tentang Kartu Tanda Pengenal (KTP), dokumen perjalanan, tentang
Konvensi 1951 hanya dapat bermanfaat bagi orang yang menjadi pengungsi akibat
peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951. Namun tahun-tahun setelah 1951 membuktikan
bahwa pergerakan pengungsi tidak hanya merupakan dampak sementara dari Perang Dunia
50
Achmad Romsan, Op Cit., Hlm. 88
40
perlindungan yang tidak dapat diberikan pada mereka karena batas waktu yang ditetapkan oleh
Konvensi 1951.
maka terlihat perubahan pada pemaknaan pengungsi yang tidak hanya terbatas lagi pada
pengungsi yang muncul sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari
1951, melainkan menjadi pengungsi yang muncul akibat peristiwa yang terjadi sebelum maupun
Latar belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni :
1. Pengungsian karena bencana alam (natural disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya
masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini
2. Pengungsian karena bencana yang dibuat manusia (man made disaster). Pengungsian ini
(persekusi) dari negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari
41
Law (hukum pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu
Untuk menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri dari
Faktor subyektif adalah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri (yang
meminta status pengungsi), faktor inilah yang menentukan ialah apakah pada diri orang tersebut
ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusi atau penuntutan, maka jika ada
alasan ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut Eligibility (kelayakan), ketakutan itu
Faktor objektif adalah keadaan asal pengungsi. Di negara tersebut apakah benar-benar
terhadap persekusi terhadap orang-orang tertentu. Misalnya akibat perbedaan ras. Perbedaan
agama, karena suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada
negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi Eligibility.
1) Orang-orang yang melarikan diri keluar negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih
2) Kaum Emigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke negara lain tidak bisa
42
Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi :
“sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan
ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan,
keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada diluar
kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan
kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena
tidak mempunyai kewarganegaraan dank arena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya,
Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok
yang kemudian dapat dikatakan Pengungsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan
ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat
politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi
adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka.
Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut sebagai pengungsi diatur secara
yuridis seperti dalam Konvensi 1951 didalam nya juga mengatur tentang ‘The exclusion clauses’
dan ‘The cessasions clauses’. Suatu keadaan dimana seseorang tidak diberikan status sebagai
pengungsi yang termasuk dalam kategori ‘The exclusion clauses’ kalau telah memenuhi kriteria
51
http://www.amankpermahimakassar.blogspot.com (diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015 pada pukul, 10.40 WIB)
43
misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah ada sebelum
yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan seseorang
menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi hanya
Penetapan seseorang menjadi pengungsi merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap,
yakni :
• Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang
1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi
atau bukan.
beberapa negara, maka Excom No.8 Tahun 1977 52 mengonklusikan beberapa standar dasar yang
perlu ditegakkan agar tercipta prosedur yang adil dan efesien. Standar-standar tersebut yakni :
keterampilan yang memadai, dalam hal ini termasuk pula pemahaman akan prinsip non
refoulement dan segera menyerahkan ke pihak yang berwenang atau memiliki otoritas.
2. Pencari suaka berhak atas informasi yang jelas akan prosedur yang digunakan dan
mendapat semua bantuan yang diperlukan seperti penerjemah beserta hal lainnya.
52
Excom No. 8 Tahun 1977 yakni Executive Commite on the International Protection of Refugee UNHCR.
44
suakanya ditolak.
5. Pencari suaka mendapatkan tempat naungan sementara hingga suakanya selesai diproses,
bagi para pengungsi agar dapat mengakhiri status kepengungsiannya dan mendapatkan kembali
kehidupan yang normal yang tadinya masih harus memiliki rasa takut dan harus mengungsi
keluar dari negara asalnya. Solusi yang diberikan dapat berupa repatriasi 53, integrasi lokal 54,
Kedudukan sebagai pengungsi tidak berlaku abadi artinya bisa berhenti, persoalan yang
timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa dirugikan statusnya sebagai pengungsi secara
sewenang-wenang. Oleh karena itu penghentian status pengungsi harus didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban
56
pengungsi adalah sebagai berikut
politik diskriminasi baik yang berkenaan dengan ras,agama atau negara asal maupun
warna kulit dan mereka mempunyai kebebasan untuk menjalankan agamanya serta
53
Repatriasi merupakan pemulangan pengungsi secara sukarela dan direitegrasikan ke dalam negara asalnya.
54
Integrasi lokal merupakan penawaran terhadap pengungsi untuk menetap di negara yang memberikannya suaka.
Hal ini biasa disebut sebagai naturalisasi.
55
Resettlement atau pemukiman kembali merupakan pemukiman kembali pengungsi di negara ketiga yang mau
menerima mereka secara permanen.
56
Sukanda Husin, UNHCR dan Perlindungan Hak Azasi Manusia, Jurnal Hukum No.7 Th. V 1998. Hlm. 32-34
45
b) Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana mereka
berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi mereka diatur oleh
hukum dimana mereka ditempatkan (place of residence). Hak yang berkaitan dengan
perkawinan juga harus diakui oleh negara peserta Konvensi dan Protokol (Pasal 12). Ini
c) Seorang pengungsi mempunyak hak yang sama dalam hal untuk mempunyai atau
memiliki hak milik baik bergerak maupun tidak bergerak dan menyimpannya seperti
halnya orang lain dan juga dapat mentransfer assetnya ke negara dimana dia akan
menetap (Pasal 13,14 dan 30). Ini merupakan hak kesempatan atas hak milik.
d) Negara peserta Konvensi harus mengakui kebebasan pengungsi untuk berserikat dengan
bersifat non-profit dan non-politis (Pasal 15). Ini merupakan hak berserikat.
e) Apabila ada suatu perkara yang dialami oleh para pengungsi dimana mereka ingin
menyelesaikannya melalui badan peradilan, maka dalam ini mereka harus dianggap sama
mereka harus diberikan bantuan hukum (Pasal 16). Ini merupakan hak berperkara di
pengadilan.
f) Bagi para pengungsi yang telah ditempatkan secara tetap di suatu negara dan telah diakui
menurut hukum, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan serta
mendirikan suatu perusahaan dagang dan pekerjaan bebas lainnya, dimana pekerjaan
46
gunanya adalah mengetahui keahlian untuk ditempatkan pada suatu pekerjaan yang cocok
(Pasal 17, 18 dan 19). Ini merupakan hak atas pekerjaan yang menghasilkan.
g) Setiap pengungsi akan mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara lainnya atas
hak memperoleh pendidikan sekolah dasar. Karenanya, setiap pengungsi berhak pula atas
pembebasan biaya pendidikan tertentu termasuk juga hak untuk memperoleh beasiswa
h) Setiap pengungsi diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memilih di daerah atau
provinsi mana mereka akan menetap sepanjang pilihan itu masih berada dalam teritorial
negara dimana ia ditempatkan (Pasal 26). Ini merupakan hak kebebasan bergerak.
i) Setiap pengungsi akan dapat menikmati hak-hak atas kesejahteraan sosial, seperti hak
untuk bekerja, perumahan, mendapatkan upah dari pekerjaan yang mereka lakukan (Pasal
j) Setiap pengungsi berhak atas surat-surat identitas dan dokumen perjalanan ke luar dari
teritorial negara dimana dia ditempatkan kecuali karena alasan keamanan dan
kepentingan umum. Dokumen yang dikeluarkan atas perjanjian internasional akan diakui
oleh negara peserta Konvensi (Pasal 27 dan 28). Ini merupakan hak atas tanda pengenal
k) Dalam hal ini pengungsi telah ditempatkan secara tetap di suatu negara, tidak aka nada
tidak aka nada penghukuman terhadap pengungsi yang masuk secara tidak sah, kecuali
jika keamanan nasional menghendaki lain, seperti mereka melakukan kekacauan dimana
mereka tinggal (Pasal 31, 32 dan 33). Ini merupakan hak untuk tidak diusir.
47
“Every refugee has duties to the country in which he finds himself, which require in particular
that he conform to its laws and regulations as well as to measures taken for maintenance of
public order”.
Berdasarkan Pasal 2 diatas setiap pengungsi berkewajiban untuk mematuhi semua hukum
dan peraturan atau ketentuan-ketentuan untuk menciptakan ketertiban umum di negara dimana
dia ditempatkan. Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights
diatas merupakan pengaturan umum. Pengaturan yang lebih rinci dapat dilihat di dalam
International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Convenant
C. Pengungsi di Indonesia
Banyaknya pengungsi yang masuk ke Indonesia sangat logis, karena lokasi geografis
Indonesia yang sangat strategis. Para pengungsi tersebut sebagian besarnya hendak menuju
Australia, Kanada, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Norwegia. Motif terbesar dari para
pengungsi tersebut adalah menghindari persekusi, atau menghindari perang yang terjadi di
negaranya.
Sebagai negara yang mempunyai posisi geografis yang sangat strategis membuat
Indonesia harus menerima konsekuensi sebagai wilayah yang terbuka dengan dunia luar
khususnya yang berbatasan dengan negara terdekat. Salah satu konsekuensinya adalah adanya
48
yang berbatasan maupun yang tidak berbatasan. Dampak tersebut berupa masuknya ribuan
pencari suaka atau yang biasa disebut asylum seeker yang ingin mendapatkan status pengungsi.
Mereka masuk melalui beberapa perbatasan di wilayah Indonesia, dan Indonesia dijadikan
sebagai negara transit sebelum mereka di tempatkan di tujuan akhirnya yakni Australia misalnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia dipilih sebagai negara transit diantaranya
adalah pertama, Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan garis pantai yang panjang, namun
tidak didukung oleh aturan hukum yang tegas. Sehingga dengan mudah dimanfaatkan bagi para
pengungsi dan pencari suaka untuk memasuki wilayah Indonesia. Kedua, posisi Indonesia sangat
lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak
memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Ketiga, kurangnya
sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka untuk
mengawasi perairan Indonesia secara intensif. Keempat, keberadaan UNHCR di Indonesia juga
menjadi daya tarik pengungsi. Kelima, kultur atau budaya masyarakat Indonesia dapat dengan
mudah menerima kedatangan dan keberadaan para pengungsi. Keenam, Indonesia telah hidup
rukun dengan berbagai macam suku, agama dan budaya yang beranekaragam.
Keberadaan jumlah pengungsi yang cenderung meningkat inilah yang membuat usaha
penanganan pengungsi terus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak
memiliki undang-undang khusus atau peraturan hukum nasional mengenai pengungsi maupun
pencari suaka. Namun demikian, hak untuk mencari suaka dijamin di dalam Undang-undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28G ayat (2) yang berbunyi “setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain”. Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 Pasal 28
49
Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi dan Protokol tentang Status
Pengungsi. Menurut H Sukamta anggota Komisi I DPR Fraksi PKS pemerintah belum
meratifikasi Konvensi tersebut karena adanya pasal-pasal dalam Konvensi yang dinilai
memberatkan pemerintah Indonesia seperti keharusan bagi negara peratifikasi untuk memberikan
Pasal yang lain juga menyatakan bahwa pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan
dilematis, pada satu sisi amanat UUD NRI 1945 menjunjung kebebasan dan perlindungan bagi
para pencari suaka, tapi pada sisi lain juga pemerintah Indonesia akan lebih memprioritaskan
Sementara itu jika Indonesia mengikatkan diri kepada Konvensi 1951, beberapa pihak
beranggapan bahwa tindakan tersebut hanya akan menambah kewajiban bagi Indonesia,
sementara manfaat dari ratifikasi Konvensi tersebut masih diperdebatkan, memang beberapa
pihak meyakini akan ada beberapa manfaat dari ratifikasi Konvensi tersebut, tetapi letak
keseimbangan antara manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan kewajiban yang memang
57
Nasional.sindonews.com/read/1001655/17/semangat-konstitusi-dalam-menyikapi-pengungsi-rohingya-
1431702333 diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015, pukul 12.20 WIB
58
Ibid.
50
Menurut Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, menyatakan
bahwa pengungsi dan pencari suaka secara khusus diatur oleh Keppres (Keputusan Presiden),
namun sejauh ini belum ada Keppres yang dikeluarkan. Satu-satunya aturan hukum yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya pejabat imigrasi untuk mengatur soal pencari
suaka dan pengungsi adalah, surat ederan IMI-1489.UM.08.05 yang dikeluarkan oleh Dirjen
Imigrasi pada tahun 2010. Surat edaran tersebut mengatur bahwa setiap imigran yang mencari
suaka tidak akan dideportasi, mereka akan dirujuk ke UNHCR dan diizinkan tinggal (di
Indonesia) selama mereka memiliki sertifikat pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR. Mereka
juga akan dibebaskan dari rumah detensi dengan persetujuan dari pejabat imigrasi, dan
selanjutnya akan disupport oleh IOM atau UNHCR. Bagi mereka yang ditolak permohonannya
(sebagai pengungsi) oleh UNHCR, akan dimasukkan ke rumah detensi, dikarenakan denda,
dan/atau dideportasi. 60
59
Suaka.or.id/public-awareness/human-rights-framework/ diakses pada hari Jumat 5 Juni 2015, pukul 12.35 WIB
60
Ibid.
51
ratus orang meninggalkan wilayah semenanjung Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) untuk
mencari perlindungan di negara-negara lain sebagai akibat dari pergantian rezim di wilayah
tersebut. Kebanyakan dari mereka terutama dari Vietnam, menggunakan jalan laut sampai di
Indonesia. Saat itu, Indonesia tidak terdapat kantor UNHCR. Untuk menjamin penerimaan
terhadap mereka dan tempat tinggal mereka di Indonesia, UNHCR bertindak melalui Misi
Permanen Indonesia di Jenewa dan kantor cabangnya di Bangkok, serta mengirimkan stafnya
untuk misi jangka pendek. Seorang staf ditugaskan untuk jangka waktu panjang dan kantor di
Indonesia dikoordinasikan oleh kantor cabang UNHCR di Kuala Lumpur. Dengan dibukanya
tempat pengungsi di Pulau Galang, sejak tahun 1981 kantor UNHCR di Jakarta menjadi kantor
cabang sendiri.
Masalah pengungsi merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh
keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegiatan
Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai
dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima.
Pengaruh sosial dan budaya terjadi karena adanya interaksi di antara mereka, baik di lingkungan
61
www.academia.edu/3774645/PERANAN_UNHCR_DALAM_MELINDUNGI_PENGUNGSI_DI_INDONESIA
(diakses pada hari Sabtu 6 Juni 2015, pukul 10.00 WIB)
52
dan budaya yang ada dalam masyarakat agar pengaruh dari luar tidak merusak struktur sosial
pemerintah harus mampu menyaring serta mengatur hak-hak yang tidak diinginkan. Untuk
mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut, maka penanganan imigran illegal harus dilakukan
dengan baik dengan mengutamakan pengamanan (maximum security) dan penegakan kedaulatan
negara. Cara penanganan tersebut tentu berdasarkan aturan hukum baik nasional maupun
internasional.
Indonesia memiliki suatu sistem hukum nasional yang berdaulat penuh dan berlaku
dalam yurisdiksi seluruh negara. Namun Indonesia dalam konteks relasi internasional tidak dapat
lepas dari hukum internasional. Hukum internasional yang dipahami dan diterima sebagai
menyangkut hubungan dengan negara lain. Hukum internasional tertentu mengingat urgensinya
bagi kepentingan negara dan atau penghormatan terhadap masyarakat nasional dijadikan atau
nasional. Instrumen internasional secara resmi menjadi bagian dari hukum nasional, oleh
karenanya ia mengikat secara hukum. Oleh karena itu, haruslah dibedakan antara instrumen
62
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Hlm. 129
53
otoritas mana yang berwenang untuk menentukan persetujuan pengikatan berikut prosedurnya. 63
Namun, apabila menelusuri lebih jauh tentang konstitusi dan peraturan perundang-
undangan yang ada, sebenarnya ketentuan pencari suaka dan pengungsi bukannya tidak diatur
Undangan
1 UUD 1945 Pasal 28 G Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
negara lain.
2 TAP MPR No.XVII/MPR/1998 TAP MPR ini terdiri dari tiga bagian, salah satu
3 Undang-undang No.12 Tahun Pasal 12 ayat (2): Setiap orang bebas untuk
63
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni,
Bandung, Hlm. 115-116
64
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015
54
4 Undang-undang No.5 Tahun 1998 Pasal 3: Tidak boleh ada negara yang menolak,
Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak kuat bahwa dia akan berbahaya karena menjadi
1999 tentang Hubungan Luar kepada orang asing berada ditangan Presiden dengan
ditentukan.
55
memilikinya.
7 Peraturan Dirjen Imigrasi No. IMI- Pada bagian menimbang secara jelas disebutkan
8 Pasal 206, 221, dan 223 Peraturan Ketentuan-ketentuan yang ada pada PP mengatur
56
1. Liga Bangsa-Bangsa
Lembaga ini dibentuk pada tahun 1921 dan berakhir pada tahun 1946. Meskipun lembaga
ini tidak berusia lama, tetapi justru banyak melahirkan instrumen-instrumen hukum mengenai
perlindungan para pengungsi. Selama periode Liga Bangsa-Bangsa, banyak badan dibentuk yang
dimaksudkan untuk membantu Komisi Agung Pengungsi. Seperti, The Nansen International
Office for Refugees (1931-1938), The Office of The High Commissioner for Refugee (1931-
1938), The Office of The High Commissioner of The League of Nations for Refugees (1939-
Lembaga ini dibentuk pada tahun 1943, yang mempunyai tujuan untuk memukimkan
kembali (resettlement) para pengungsi ke negara mereka yang terlantar akibat Perang Dunia II.
Mandat UNRRA awalnya hanya enam bulan saja tetapi kemudian diperpanjang karena kerja
UNRRA semakin sulit mengingat terdapat 12.000.000 etnis Jerman dari Blok Timur yang tidak
ingin dipulangkan.
65
Achmad Romsan, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung. Hlm.62-69
57
Majelis Umum PBB. Dari lembaga-lembaga yang lain (Liga Bangsa-Bangsa dan UNRRA), IRO
komprehensif. Hal ini terlihat dari registrasi, penentuan status pengungsi, repatriasi, sampai ke
penempatan kembali pengungsi. Tujuan IRO adalah merepatriasi para pengungsi, tetapi karena
perkembangan politik pasca perang Eropa tujuan tersebut beralih menjadi mengusahakan
penempatan para pengungsi. Selain itu IRO juga telah mengembangkan ukuran standar yang
berkaitan dengan migrasi dalam jumlah besar dan hanya akan dapat dicapai melalui usaha
Dengan perkembangan dan perubahan keadaan maka dibentuklah lembaga khusus yang
menangani pengungsi di wilayah tertentu, seperti pengungsi Rusia, Jerman dan pengungsi
Palestina. Badan yang menangani pengungsi Rusia adalah Office of The High Commissioner for
Russian Refugees, untuk menangani pengungsi Jerman maka dibentuk High Commissioner for
Sedangkan untuk menangani pengungsi Palestina pada tahun 1950 dibentuklah UNRWA
(United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). Lembaga ini
masalah perlindungan terhadap para pengungsi dan mencari solusi agar masalah pengungsi tidak
berlarut-larut, memberikan perlindungan dan bantuan pada para pengungsi. Lembaga ini telah,
dan masih memberikan bantuan sisi kebutuhan para pengungsi berupa penyediaan bahan-bahan
pokok untuk kebutuhan makanan dan sekolah-sekolah untuk pendidikan, juga sebagian bantuan
kesehatan.
58
Lembaga ini mempunyai wewenang khusus untuk melindungi pengungsi. Selain itu
UNHCR juga mempunyai tugas dan wewenang dalam menangani pengungsi. Tugas, wewenang,
Tugas UNHCR terdapat dalam statuta UNHCR bab kedua. Tugas UNHCR yaitu 66:
• To promote meansures to improve the situation of refugees and reduce the number
requiring protection
66
Ibid., Hlm. 39-40
59
Semakin luasnya ruang lingkup aktifitas UNHCR yaitu memfasilitasi pemukiman bagi
para pengungsi, memberikan bantuan secara materi seperti papan dan pangan, kesehatan
b) ICRC (International Committee of the Red Cross) membantu dalam menangani korban
perang.
c) World Food Programme (WPP) bertugas memberikan bantuan pangan, termasuk ke kamp-
kamp pengungsi.
d) United Nations Children Fund (UNICEF) bertugas mempromosikan hak anak melalui
program-program yang terfokus pada kesehatan, gizi, pendidikan, pelatihan dan pelayanan
sosial untuk anak, serta kegiatan-kegiatan yang melengkapi upaya UNICEF atas nama
pengungsi anak.
e) World Health Organization (WHO) yang bertugas mengarahkan dan mengkoordinir tugas
kesehatan internasional dan aktif berkampanye tentang imunisasi dan kesehatan reproduksi.
menyusul terjadinya darurat pengungsi serta membantu proses integrasi pengungsi ke negara-
60
advokasi global melawan epidemi ini, menjadi ujung tombak inisiatif perawatan dan bantuan
bagi penderita-penderitanya.
h) Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang bertugas
mengkoordinir gerakan PBB untuk hak asasi manusia serta memberikan tanggapan terhadap
pengungsi tidak dapat terpenuhi bila tidak ada kerjasama. Untuk itu dalam rangka pemenuhan
kebutuhan tersebut telah dilakukan upaya untuk membina kerjasama antara lembaga-lembaga di
atas. Selain untuk melindungi pengungsi kerjasama tersebut penting guna mengatasi masalah
pengungsi.
Meskipun tidak menggunakan istilah fundamental human rights (hak asasi manusia yang
asasi) atau human rights and fundamental freedoms (hak manusia dan kebebasan asasi)
sebagaimana yang kita kenal sejak 1945, melainkan istilah rights (hak) atau liberties
(kebebasan), atau droits de l’homme et du citoyen (hak manusia dan warga negara), konsep hak
asasi dan kebebasan fundamental, yang di Indonesia dikenal sebagai hak asasi manusia dengan
akronimnya HAM. Sebagai konsep hak dan kebebasan yang melekat pada diri manusia yang
harus dihormati dan dilindungi. Lahir ditingkat nasional khususnya Inggris, Amerika Serikat, dan
Prancis pada abad ke-17 dan ke-18 dengan dikeluarkannya instrumen HAM nasional dalam
61
Pada abad ke-19 konsep penghormatan dan perlindungan HAM mulai berkembang di
tingkat internasional, artinya dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam hubungan antara
mereka. 68
HAM adalah hak mendasar, dalam harga diri dan nilai-nilai individu manusia,
kesederajatan antara laki-laki dan perempuan dan kesederajatan antara bangsa yang besar dan
dengan yang kecil. HAM dalam penerapan kehendaknya tidak membedakan ras, agama, suku,
jenis kelamin, atau bahasa. Begitu pula dalam upaya menjamin perlakuan manusiawi terutama
bagi kelompok rentan. Hukum Internasional yang terfokus untuk menjaga martabat dan
pengungsi. 69
Hukum HAM berlaku untuk siapa saja, termasuk pengungsi tanpa memperdulikan status
resmi mereka. Seperti yang telah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa pengungsi adalah
segolongan manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh para
67
Enny Soeprapto, Perkembangan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, 2006. Hlm. 1
68
Ibid.
69
UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian
UNHCR. (Switzerland: Komisaris Tinggi PBB Untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 53
62
merupakan standar kepada pengungsi dan pencari suaka di wilayahnya. Ini sangat penting untuk
negara-negara yang belum jadi peserta dari traktat pengungsi manapun baik Konvensi 1951,
Adapun perangkat HAM internasional yang berkaitan dengan pengungsi dan dijadikan
sebagai dasar perlindungan dan perlakuan pengungsi. Perangkat yang dimaksud adalah DUHAM
memberikan perlindungan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap hak-hak dan
kebebasan dasar para pengungsi dan pencari suaka. Pasal 9 DUHAM mengatur bahwa “tidak
1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap
negara.
2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak
kembali ke negerinya. 72
70
Ibid.
71
Lihat Pasal 9 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia 1948
72
Ibid., Pasal 13
63
dari pengejaran.
2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-
kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang
Selain hak-hak yang terdapat dalam Pasal 9, 13, dan 14 sebagaimana yang telah
disebutkan diatas, dibeberapa pasal lain juga terdapat hak-hak yang krusial bagi perlindungan
pengungsi, diantaranya hak atas hidup, hak atas rasa aman, hak untuk mencari dan menikmati
suaka, bebas dari penyiksaan atau perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi,
dan merendahkan martabat manusia, bebas dari perbudakan, kebebasan berpikir dan beragama,
bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta kebebasan berpendapat dan
berekspresi. 74
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (selanjutnya disingkat Kovenan Sipol)
1966 merupakan Kovenan yang disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A
(XXI). Kovenan Sipol bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan
politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat
73
Ibid., Pasal 14
74
Asep Mulyana, Membaca Fenomena Pengungsi dan Pencari Suaka. Penelitian oleh Komnas HAM. 2011.
75
Lihat lebih lanjut Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
bagian Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
64
kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai
apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik, serta
Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan pengungsi maka para pengungsi juga mempunyai
hak atas semua hak dan kebebasan dasar seperti disebutkan dalam instrumen hak asasi manusia
internasional. Dengan demikian maka perlindungan bagi pengungsi harus dilihat dalam konteks
Hak-hak mengenai perlindungan pengungsi juga diatur dalam Kovenan Sipol yang
terdapat dalam Pasal 12, 13, 14, dan Pasal 16. Dalam Pasal 12 diatur bahwa :
1) Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan
untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.
2) Setiap orang bebas untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri.
3) Hak-hak diatas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang
ditentukan oleh hukum guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum,
kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang
4) Tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas hak nya untuk memasuki
negaranya sendiri. 78
76
Ibid.
77
Ibid.
78
Lihat Pasal 12 Kovenan Sipol 1966
65
ini, hanya dapat diusir dari wilayah tersebut sebagai akibat keputusan yang diambil berdasarkan
hukum, dan kecuali ada alasan-alasan kuat mengenai keamanan nasional, harus diberikan
kesempatan untuk mengajukan alasan untuk menolak pengusiran tersebut, dan berhak meminta
agar kasusnya ditinjau kembali dan diwakili untuk tujuan ini oleh badan yang berwenang atau
orang atau orang-orang yang secara khusus ditunjuk oleh badan yang berwenang”. 79
1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan pengadilan dan badan peradilan.
Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan
kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan
terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak
dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh
atau sebagian siding karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam
suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat
pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan
keadaan sendiri ; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun
perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-
2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai
79
Ibid., Pasal 13
66
a. Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya,
b. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan
d. Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui
pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak
mempunyai pembela dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan,
dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya.
f. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau
g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa
mengaku bersalah.
4) Dalam kasus orang dibawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia
5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya
atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum.
67
kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau
diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan
secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang
yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi
menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui
7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah
dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum
Selanjutnya Pasal 16 Kovenan Sipol mengatur bahwa : “setiap orang berhak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum dimanapun ia berada. 81 Dengan demikian bahwa setiap negara
berkewajiban untuk berupaya keras bagi pemajuan dan pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam
Kovenan ini”.
Kovenan Ekosob) merupakan Kovenan yang membahas tentang hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya dimana hak-hak tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. 82
80
Ibid., Pasal 14
81
Ibid., Pasal 16
82
Indonesia ESC Rights Action Network, Mengenai Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekosob (ICESCR),
(http://indonesia-escrights-net.blogspot.com/2009/08/mengenai-kovenan-internasional-tentang.html), Diakses pada
hari Rabu 10 Juni 2015, Pukul 11.20 WIB
68
yang kita hargai. Potensi manusia bisa diekspresikan melalui hak-hak sipil dan politik namun
memadai. 83
Perlindungan hak-hak pengungsi atau warga negara asing/imigran dalam Kovenan ini
1) Setiap negara pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik
dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif
mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara
2) Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur
dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau
nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak
ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing. 84
d. CAT ( The United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
83
Ibid.
84
Lihat Pasal 2 Kovenan Ekosob 1966
69
Penyiksaan) adalah sebuah instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk mencegah
untuk mencegah penyiksaan terjadi di wilayahnya dan konvensi melarang pemulangan paksa
atau ekstradisi terhadap seseorang ke negara lain di mana ia berhadapan dengan risiko
penyiksaan. 85
(1) Tidak ada negara pihak yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler), atau
mengekstradisi seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk
menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan.
(2) Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak berwenang harus
mempertimbangkan semua hal yang berkaitan, termasuk apabila mungkin terdapat pola
tetap pelanggaran yang besar, mencolok atau massal terdapat hak asasi manusia di negara
tersebut. 86
Unsur utama dari perlindungan internasional terhadap diri seorang pengungsi adalah
mereka tidak untuk dipulangkan secara paksa ke negara dimana kehidupan dan kebebasan
85
ICJR, 2012, Konvensi Anti Penyiksaan, (http://icjr.or.id/konvensi-anti-penyiksaan/). Diakses pada hari Rabu 10
Juni 2015 pukul 13.00 WIB
86
Lihat Pasal 2 Konvensi Anti Penyiksaan 1984
70
Namun kadang kala kendala yang dihadapi para pengungsi adalah banyak negara-negara
belum menjadi peserta dari instrumen HAM diatas dan Konvensi 1951 ataupun Protokol 1967.
Sehingga tidak jarang kehadiran pengungsi di negara persinggahan atau negara tujuan
dipulangkan secara paksa. Perlakuan seperti itu jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
internasional yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Kewajiban internasional yang
melekat kepada setiap negara yang menganggap mereka adalah bagian masyarakat internasional,
terlepas apakah negara itu menjadi anggota dari organisasi internasional seperti PBB, atau
anggota dari organisasi internasional lainnya, ataupun peserta atau bukan dari sebuah konvensi
71