Anda di halaman 1dari 550

Perfume: The Story of a Murderer

Kiriman : Hendri Kho


Tiraikasih web http://dewi‐kz.info/
Daftar Isi
Perfume: The Story of a Murderer

Pujian Untuk Perfume

Tentang Penulis

BAGIAN I

Satu

Dua

Tiga

Empat

Lima

Enam

Tujuh

Delapan

Sembilan

Bagian II

Sepuluh

Sebelas

Dua Belas

Tiga Belas
Empat Belas

Lima Belas

Enam Belas

Tujuh Belas

Delapan Belas

Sembilan Belas

Dua Puluh

Dua Puluh Satu

Dua Puluh Dua

Dua Puluh Tiga

Dua Puluh Empat

Dua Puluh Lima

Dua Puluh Enam

Dua Puluh Tujuh

Dua Puluh Delapan

Dua Puluh Sembilan

Tiga Puluh

Tiga Puluh Satu

Tiga Puluh Dua


Tiga Puluh Tiga

Tiga Puluh Empat

Bagian III

Tiga Puluh Lima

Tiga Puluh Enam

Tiga Puluh Tujuh

Tiga Puluh Delapan

Tiga Puluh Sembilan

Empat Puluh

Empat Puluh Satu

Empat Puluh Dua

Empat Puluh Tiga

Empat Puluh Empat

Empat Puluh Lima

Empat Puluh Enam

Empat Puluh Tujuh

Empat Puluh Delapan

Empat Puluh Sembilan

Lima Puluh
Bagian IV

Lima Puluh Satu


Perfume: The Story of a Murderer

Perfume: The Story of a Murderer


Diterjemahkan dari Das Parfum: Die Geschichte eines
Mörders
karya Patrick Süskind
terbitan Diogenes Verlag AG Zürich

Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDY)


Süskind, Patrick
Perfume: The Story of a Murdered Patrick/ Süskind;
penerjemah, Bima Sudiarto;
penyunting, Pray. - Cet. 16. - Jakarta. Dastan Books, 2009.
316 hal. ; 14 x 205 cm
ISBN 978-979-3972-46-6
Anggota IKAPI

I. Judul II. Sudiarto, Bima III. Pray


813

Penerjemah: Bima Sudiarto


Penyunting: Pray
Copyright © 1985 by Diogenes Verlag AG Zürich
All rights reserved
This' translation is published by arrangement with
Diogenes Verlag AG Zürich
Hak terjemah ke dalam bahasa Indonesia ada pada Dastan
Books
Indonesian Language Translation Copyright © 2006 by
Dastan Books

Cetakan 1, Maret 2006


Cetakan 12, Oktober 2007
Cetakan 13, Maret 2008
Cetakan 14, Desember 2008
Cetakan 15, Maret 2009
Cetakan 16, Agustus 2009

JI. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520


Telp: (021) 8092269 Faks: (021) 80871671
Hotline SMS: 0817 37 37 37
Website: wwwdastanbooks.com
E-mail: layanan@dastanbooks.com

Kontak Perwakilan:
Jabodetabek: (021) 32 37 37 37
Jawa Barat: (022) 7099 3737
Yogyakarta & Jawa Tengah: (0274) 711 3737
Jawa Timur & Indonesia bagian Timur: (031) 7766 3737

Pembelian secara on-line dapat dilakukan melalui


www.zahra.co.id

Pujian Untuk Perfume

Anakronisme yang memuaskan dalam sastra, medis…


‐ Der Spiegel, Hamburg

Karya pertama penulis Eropa-setelah Rose-nya Eco-yang


menarik penerbit Amerika
‐ Cordere delia Sera, Mailan

Kuat dan menghanyutkan.


‐ Time Magazine
Tidak seperti apa pun yang orang pernah baca.
Sebuah
fenomena...
‐ Le Figaro, Paris

Mengejutkan dan membuat kagum-para kritikus di


Mailand, Paris, London, dan Jerman.
‐ Dia, Madrid

Cerdas, modis, amat memikat...


‐ Observer

Cerdas, modis, memikat, dan sangat layak dibaca.


‐ Literary Review

Sebuah meditasi tentang sifat kematian, hasrat, dan


kebusukan... Sebuah debut yang luar biasa.
‐ Peter Ackroyd, The New York Times Book Review

Fantasi yang cerdas dan sungguh memikat.


‐ Daily Telegraph

Sebuah tour de force yang mengagumkan, baik dalam


konsep maupun eksekusi.
‐ Guardian

Sebuah mahakarya...
‐ USA Today

... kisah Mr. Süskind ditulis dengan baik dan amat


tidak
biasa.
‐ Daily mail

Tour de force-nya Mr. Süskind.


‐ The New York Times

Sebuah kisah tentang seorang genius yang kriminal...


Luar
biasa.
‐ The New York Times

Penuturan-kisah yang sungguh luar biasa...


‐ The Cleveland Plain Dealer

Mengagumkan. Sebuah adikarya.


‐ San Francisco Chronicle

Karya seni yang amat sempurna...


‐ San Francisco Chronicle

Karya yang mengagumkan...


‐ San Francisco Chronicle

Sebuah novel yang orisinal dan mengagumkan.


‐ People

Karya sastra yang unik dan cerdas...


‐ The Boston Globe

Setelah diterbitkan di Jerman tahun lalu, novel


perdana
Süskind berjudul Perfume langsung menjadi international
bestseller. Penting bagi koleksi kesusastraan.
‐ Library Journal

Sebuah novel yang pasti akan terus diingat.


‐ Central Library
Tentang Penulis

PATRICK SÜSKIND lahir pada tahun 1949. Ia


memelajari
sejarah di Munich dan telah menjadi penulis di
dunia
pertelevisian sebelum menulis Das Parfum ini. Novel
keduanya bertajuk Die Taube (Burung Merpati) yang
kemudian diadaptasi menjadi naskah panggung dan
dipentaskan pertama kali di Gedung Teater BAC di London
pada bulan Mei 1993. Naskah panggung lainnya yang
berjudul Der Kontrabaß (Bas Ganda) pertama kali
dipentaskan di Munich pada tahun 1981, dan sejak
itu
menjadi salah satu kisah yang paling sering dipentaskan di
Jerman, Swiss, dan Austria. Karya ini telah pula dipentaskan
di Festival Edinburgh dan Royal National Theatre
(Teater
Nasional Kerajaan) di London. Novel Süskind lain berjudul
Die Geschichte von Herrn Sommer (Kisah Tuan Sommer)
terbitan 1992 telah pula mendulang sukses
internasional
sebagaimana Das Parfum. Selanjutnya ia juga
menerbitkan
Drei Geschichten (Tiga Kisah) pada tahun 1996.
Patrick
Süskind tinggal di Munich.

BAGIAN I

Satu

PADA ABAD KEDELAPAN BELAS di Prancis,


tinggallah
seorang pria yang dikenal sebagai salah seorang
tokoh
paling berbakat sekaligus paling ditakuti di zaman
yang
belum lagi mampu menoleransi karakter paradoks
seperti
itu. Kisah inilah yang akan dituturkan. Namanya Jean-
Baptiste Grenouille. Tak seperti tokoh paradoks
terkenal
lain seperti de Sade, Saint-Just, Fouche, atau
Bonaparte,
nama Grenouille kini terlupakan. Dan ini bukan lantaran ia
kekurangan atribut pendukung seperti arogansi,
misantropi, amoralitas, atau bahkan kekejian, tapi lebih
karena bakat dan ambisinya diletakkan secara ketat
di
ranah yang memang tak bisa dilacak dan diendusi sejarah.
Pada zaman itu kota-kota disesaki aroma yang asing bagi
hidung manusia modern: jalan raya berbau pupuk kandang,
halaman gedung berbau pesing, anak-anak tangga
berbau
jamur kayu dan kotoran tikus, dapur berserakan
sampah
potongan cabe dan lemak daging domba, ruang tamu
berbau apak serta berdebu, kamar-kamar tidur
seprainya
tak pernah diganti sampai berminyak, bantal-bantal
lembap dan aroma manis yang tajam dari pispot di kolong
tempat tidur, amis sulfur mengembang dari perapian,
aroma alkali menyengat dari bilik-bilik penyamakan
kulit,
sementara rumah-rumah jagal menebar bau darah beku.
Orang-orang berbau keringat dan pakaian tak dicuci, mulut
menebar bau gigi busuk, dari perut mengambang
aroma
bawang, dan tubuh mereka - kalau tak lagi muda, menebar
aroma keju anyir, susu basi, dan penyakit tumor.
Sungai-
sungai juga tak kalah berlomba aroma. Bau busuk hadir di
pasar, di gereja, di kolong jembatan, dan bahkan di
istana.
Rakyat jelata tak beda baunya dengan para pendeta.
Para
murid berbagi aroma dengan istri-istri guru mereka, begitu
pula kaum ningrat - bahkan sampai pada sang Raja, baunya
seperti seekor singa sementara sang Ratu seperti
bandot
tua, tak peduli musim panas atau musim dingin.
Tak ada
yang mampu menghentikan kesibukan bakteri pembusuk
pada abad kedelapan belas, maka tak heran jika tak
satu
pun kegiatan manusia - baik konstruktif maupun destruktif,
yang tidak disertai oleh bau busuk.
Kebusukan tentu saja paling parah mendera Paris
sebagai kota terbesar di Prancis. Dan konon ada
satu
tempat di Paris yang selain berbau busuk juga
menebar
keangkeran. Terletak di antara jalan Fers dan jalan
Ferronnerie, persisnya di sebuah tanah permakaman
bernama Cimetière des Innocents. Selama delapan ratus
tahun mayat-mayat dibawa ke tempat ini dari
Hôtel-Dieu
dan gereja setempat. Selama delapan ratus tahun, siang dan
malam, lusinan mayat digelandang ke dalam satu
lorong
yang digali memanjang, ditumpuk tulang demi tulang, baik
dalam bangunan makam terpisah maupun dalam rumah
makam. Baru pada saat menjelang Revolusi Prancis, setelah
beberapa bangunan makam runtuh dan baunya sedemikian
tak tertahankan sampai diprotes masyarakat sekitar,
tempat itu ditutup dan terlantar. Jutaan tulang dan
tengkorak diserok begitu saja ke dalam liang kubur
Montmartre. Di tempat ini pula sebuah pasar
makanan
kemudian didirikan.
Alkisah, di tempat terbusuk seantero kerajaan inilah
Jean-Baptiste Grenouille lahir pada tanggal 17 Juli
1738.
Kelahirannya disambut musim panas paling menggerahkan
tahun itu. Panasnya sampai mengelamkan pekuburan
dan
menebar aroma busuk yang kalau diendusi kira-kira seperti
gabungan antara melon busuk dan bekas bakaran
kotoran
binatang. Sedemikian meluas sampai ke gang-gang di
sekitarnya. Saat didera rasa sakit menjelang bersalin,
ibunda Grenouille tengah berada di kedai ikan di jalan Fers
dengan muka pias seperti baru saja perutnya dibelek. Ikan
di tempat itu baru dipanen pagi ini dari sungai
Seine,
dengan amis yang sengatannya mampu menutupi aroma
mayat. Namun seperti umumnya manusia zaman itu,
hidung ibunda Grenouille sudah tumpul dan tak lagi
mampu membedakan antara bau amis ikan dan bau busuk
mayat. Apalagi ditambah sakit di perut yang tentunya
semakin mematikan kepekaan indra. Ia hanya ingin
rasa
sakit ini berhenti - bagaimana caranya agar proses
melahirkan segera berlalu. Toh ini sudah yang kelima
kalinya. Semua proses persalinan dilakukan di warung ikan
seperti ini, dalam kondisi keguguran atau bayi
setengah
sempurna, karena daging belepotan darah yang keluar dari
rahim itu tak ubahnya jeroan ikan yang berserakan di situ.
Kalaupun sukses lahir, hidup si bayi juga tak lama. Ibunda
Grenouille tak pernah terlalu ambil pusing karena biasanya
saat magrib seluruh porak-poranda ini sudah akan tersiram
bersih dan diserok ke tanah pekuburan atau ke
sungai.
Demikian pula yang akan terjadi hari ini.
Ibunda Grenouille ketika itu masih belia - belum
lewat
25 tahun. Berparas lumayan cantik, gigi lumayan
utuh,
dengan rambut kusut tak terawat dan tidak sedang
mengidap penyakit serius - kecuali mungkin sedikit encok,
sifilis, dan paru. Ia masih ingin hidup lebih lama -
katakanlah, lima atau sepuluh tahun lagi dan bahkan
menikah kalau memang cukup beruntung. Dengan
status
normal sebagai seorang istri atau setidaknya janda, ia baru
merasa pantas punya momongan. Ibunda Grenouille
sungguh berharap momen menyakitkan ini segera
berlalu.
Saat kontraksi terakhir dimulai, ia berjongkok di
bawah
meja jagal lalu bersalin tanpa bantuan siapa pun
seperti
empat kesempatan sebelumnya. Kemudian ia memotong
tali pusar si jabang bayi dengan pisau jagal. Tapi
tiba-tiba,
karena tak tahan sengatan cuaca panas dan bau
busuk di
tempat itu (sebenarnya ia tak menganggapnya bau
busuk,
hanya bau sesuatu yang tak tertahankan seperti
kebun
bunga lili atau ruangan yang dipenuhi bunga narsis), ia pun
pingsan. Menggelosor jatuh dari bawah meja jagal ke
tengah jalan dan tergeletak di situ dengan tangan
masih
menggenggam pisau.
Kehebohan merebak. Orang-orang berkerumun di
sekeliling, menonton, dan beberapa memanggil polisi.
Wanita dengan pisau di tangan itu masih terbaring
di
jalanan dan perlahan siuman.
Apa yang terjadi padanya? Terdengar sejumlah orang
bertanya.
“Tidak apa-apa,” jawab si wanita.
Apa yang ia lakukan dengan pisau itu?
“Tidak ada apa-apa.”
Darah apa itu di roknya?
“Ini darah ikan.”
Ibunda Grenouille bangkit berdiri. Membuang pisau
ke
samping lalu berjalan gontai hendak membersihkan diri.
Lalu tiba-tiba saja, si jabang bayi di bawah meja
jagal
menjerit keras. Orang-orang segera celingukan. Dan di
situlah, di balik kerumunan lalat, kotoran, dan kepala ikan,
mereka menemukan sesosok bayi yang baru lahir, lalu
diangkat. Dus, sesuai hukum, segera mereka bawa si bayi ke
seorang ibu susu sementara ibunya mereka jebloskan
ke
penjara. Dan karena si wanita mengaku terus terang bahwa
ia lebih suka membunuh si jabang bayi sebagaimana empat
bayi sebelumnya, ia pun diadili, diputuskan bersalah
atas
pengguguran kandungan beruntun dan dihukum penggal
beberapa minggu kemudian di de Gréve.
Selama beberapa minggu itu si bayi sudah tiga
kali
berganti ibu susu. Tak ada yang ingin memeliharanya lebih
dari beberapa hari. Mereka bilang si bayi begitu
rakus.
Porsi menyusunya setara. dengan jatah dua bayi.
Menghabiskan jatah susu dan daya hidup si ibu
susu
sedemikian rupa. Wajar jika tak ada yang bersedia
menampung karena tak mungkin bagi seorang ibu
susu
untuk membiayai hidup dengan upah menyusui hanya
seorang bayi. Petugas polisi yang bertanggung jawab
atas
kasus ini adalah seorang laki-laki bernama La Fosse.
Ia
terus‐terusan dibuat pusing dan ingin agar si bayi
dikirim
saja ke rumah yatim-piatu di ujung terjauh jalan
Saint-
Antoine, di mana lalu lintas bayi dan anak-anak
ramai
setiap hari dari dan ke rumah yatim-piatu publik di Rouen.
Namun karena konvoinya terdiri atas kuli angkut
barang
yang membawa keranjang bayi dengan kemasan
seekonomis mungkin sampai tega menjejerkan empat bayi
dalam satu keranjang, maka tak heran bila angka kematian
di lalu lintas tersebut amat tinggi. Sejak itu para
kuli
disarankan agar hanya mengangkut bayi-bayi yang
sudah
dibaptis dan memiliki sertifikat transportasi resmi yang
akan distempel setibanya di Rouen. Masalahnya
sekarang,
bayi Grenouille belum dibaptis atau bahkan dinamai
agar
bisa dicatat secara resmi di sertifikat transportasi.
Sementara di pihak lain, secara sosial tak bisa dibilang baik
jika seorang polisi menyelundupkan bayi begitu saja
ke
rumah yatim-piatu. Padahal hanya itu satu-satunya cara
menghindari formalitas. Dus, dengan alasan kesulitan
administrasi dan birokrasi yang pasti terjadi jika si
bayi
disingkirkan begitu saja, dan karena desakan waktu,
La
Fosse menarik kembali putusan awal dan memberi
instruksi agar si bayi diserahterimakan dengan kuitansi ke
beberapa lembaga gereja tertentu, agar bisa dibaptis
dan
diputuskan nasibnya lebih jauh. Jadilah sang polisi
membuang si bayi ke biara Saint-Merri yang terletak
di
jalan Saint-Martin. Di sana ia dibaptis dengan nama
Jean-
Baptiste. Dan karena suasana hati pada hari
sebelumnya
sedang baik dan kotak amal gereja belum kering,
mereka
tidak mengirim si bayi ke Rouen dan malah
memanjakannya atas tanggungan biara. Pada titik ini
ia
diserahkan ke seorang ibu susu bemama Jeanne
Bussie
yang tinggal di jalan Saint-Dennis dengan bayaran tiga
franc seminggu sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Dua

BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN, si ibu susu Jeanne


Bussie berdiri di pintu gerbang biara Saint-Merri
dengan
tangan menenteng keranjang belanja. Pintu dibuka oleh
seorang pendeta botak berusia paruh baya yang
tubuhnya
menebar aroma cuka.
“Bapa Terrier,” seru si ibu susu. “Ini!” katanya
sembari
meletakkan keranjang belanja di muka gerbang.
“Apa ini?” bertanya Terrier sambil membungkuk ke arah
keranjang dan mendengus membaui, berharap isinya
sesuatu yang bisa dimakan.
“Ini anak haram milik perempuan dari jalan Fers
yang
tadinya hendak ia bunuh itu.”
Si pendeta dengan lembut membuka keranjang itu
dengan jarinya sampai terlihat wajah si bayi yang lelap.
“Kelihatannya baik-baik saja. Pipinya merona dan
tampak kenyang minum.”
“Terang saja begitu, karena ia menempelkan dirinya
padaku. Memompaku begitu kering sampai ke tulang.
Aku
tak sudi. Kini terserah kau mau disusui dengan susu
kambing, bubur, atau gula biang... aku tak peduli.
Haram
jadah ini akan melahap apa saja.”
Bapa Terrier dikenal ramah dan supel. Salah satu
dari
sekian tanggung jawabnya adalah menangani administrasi
kotak amal biara dan pendistribusiannya kepada fakir
miskin. Untuk itu ia berharap agar orang tahu
berterima
kasih dan tidak mengganggunya dengan tetek bengek lain.
Ia benci detail teknis karena detail baginya berarti
kesulitan dan kesulitan berarti gangguan kesehatan - ia
sangat menolak hal ini. Ia menyesal telah membuka
pintu
gerbang dan berharap si wanita segera pergi
membawa
keranjang itu pulang ke rumah atau apalah, pokoknya tidak
lagi mengganggunya dengan remeh-temeh seperti ini.
Perlahan ia menegakkan tubuh sembari menghela
napas.
Hidungnya menangkap aroma susu dan keju murahan yang
ditebarkan tubuh si ibu susu. Bau yang enak.
“Aku tak paham apa maumu,” ia berkata. “Sungguh, aku
tak mengerti apa maksudmu. Setahuku tak ada
salahnya
bagi si bayi untuk bernaung beberapa waktu lagi di
dadamu.”
“Memang tak apa baginya,” si ibu susu menyalak
balik,
“tapi aku rugi besar. Beratku turun lima kilo dan
harus
menanggung nafsu makan tiga perempuan digabung
jadi
satu. Semua ini demi apa? Demi tiga Franc seminggu?!!”
“Ah... begitu rupanya,” desah Bapa Terrier lega.
“Aku
paham maksudmu. Sekali lagi, ini hanya soal uang, kan?”
“Bukan!!” jerit si ibu susu kesal.
“Tentu saja iya!” bantah si pendeta. “Ujung-ujungnya
selalu uang. Semua ketukan di pintu gerbang ini selalu soal
uang. Sampai-sampai aku berharap agar sesekali
menemukan seseorang berdiri di sini dengan masalah yang
sama sekali berbeda - seseorang dengan cukup tenggang
rasa dan kebijaksanaan untuk membawa oleh-oleh
buah,
misalnya. Atau sekadar kacang. Lagi pula, di musim
gugur
begini pasti banyak yang bisa dijadikan hadiah.
Bunga,
misalnya. Atau sepatah dua patah kata beramah-tamah,
'Semoga Tuhan memberkatimu, Bapa Terrier.. semoga
harimu menyenangkan!' dan semacamnya. Tapi sepertinya
aku tak akan pernah menemui hal demikian sampai
aku
mati. Yang datang kemari kalau bukan pengemis pasti
saudagar. Kalau bukan saudagar, pasti pedagang. Jika
bukan minta sedekah, pasti menyorongkan tagihan. Aku
bahkan tak bisa lagi keluar jalan-jalan dengan tenang.
Belum tiga langkah pasti sudah ada saja yang
menodong
minta uang.”
“Tapi aku kan tidak begitu,” protes si ibu susu.
“Benar, tapi biar kuberi tahu: kau bukan
satu-satunya
ibu susu dalam jemaah kita. Ada ratusan ibu angkat
jempolan yang berebut ingin menyusui bayi memesona ini
untuk tiga Franc seminggu, atau memberi bubur atau
jus
atau makanan lain....”
“Kalau begitu, serahkan saja ia pada mereka!”
“... di pihak lain,” lanjut Bapa Terrier, “tak baik
kiranya
mengoper-oper seorang bayi seperti itu. Siapa tahu ia bisa
lebih baik menyusu padamu ketimbang orang lain? Apalagi
kau pasti juga tahu bahwa ia sudah terbiasa dengan aroma
tubuhmu, begitu pun dengan degup jantungmu.”
Sekali lagi si pendeta menghela napas panjang,
menghirup dalam-dalam kehangatan aroma tubuh si ibu
susu.
Tapi saat menyadari bahwa kata-katanya tak
mempan,
segera ia menambahkan, “Sekarang bawalah anak ini
kembali pulang! Keluhanmu akan kubicarakan dengan
kepala biara. Akan kusarankan agar kau diberi empat Franc
seminggu.”
“Tidak,” bantah si ibu susu.
“Baiklah... lima!” tukas si pendeta.
“Tidak.”
“Lantas, kau ingin berapa kalau begitu?” bentak
Bapa
Terrier. “Lima Franc sudah berlebihan untuk tugas seremeh
menyusui bayi!”
“Aku sama sekali tak ingin uang,. timpal si ibu susu. “Aku
ingin haram jadah ini keluar dari rumahku.”
“Tapi kenapa demikian, wahai wanita yang baik?” tanya
Bapa Terrier sambil menjawil lagi keranjang itu
dengan
lembut. “Lihatlah! Ia sungguh bayi yang menggemaskan.
Kulitnya segar kemerahan, ia tidak menangis dan juga telah
dibaptis.”
“Anak ini dirasuki setan.”
Kontan Terrier menarik jarinya dari keranjang.
“Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin seorang
bayi bisa dirasuki setan. Bayi adalah manusia yang
belum
lengkap - makhluk pramanusia, yang karenanya belum
memiliki jiwa yang terbentuk sempurna. Oleh karena itu, ia
tak mungkin diminati setan. Atau barangkali ia sudah
bisa
bicara, ya? Apa ia meronta-ronta, begitu? Mampu
menggerakkan sesuatu, barangkali? Apa ada bau setan dari
badannya?”
“Tidak, ia sama sekali tidak berbau,” jawab si ibu susu.
“Nah, itu dia! Itu bukti yang jelas bahwa ia tidak dirasuki
setan. Sebab jika iya, mestinya berbau tak sedap.”
Demi meyakinkan si ibu susu dan menguji
keberaniannya sendiri, Terrier mengangkat keranjang dan
mendekatkannya ke hidung.
'Aku tak mencium bau aneh apa pun,” katanya
setelah
mengendus beberapa kali. “Sungguh tak ada yang
aneh.
Meski memang ada bau tertentu dari popoknya.”
Terrier
menyorongkan keranjang agar wanita itu yakin.
“Bukan itu maksudku,” jawab wanita itu kesal
sambil
menjauhkan keranjang dari wajahnya. “Bukan bau
popok
yang jadi masalah. Kotorannya memang bau, itu
wajar.
Masalahnya si anak itu sendiri ‐ ia tidak berbau
sama
sekali.”
“Itu karena ia sehat!” bantah Terrier jengkel.
“Wajar ia
tidak berbau karena badannya sehat! Hanya bayi sakit yang
badannya bau. Semua orang tahu itu. Bukan rahasia bahwa
anak yang terserang cacar pasti berbau kotoran kuda, yang
terserang demam berbau apel busuk, dan yang
terserang
TBC berbau seperti bawang. Tapi anak ini sehat
walafiat.
Apa itu salah? Apa menurutmu ia mestinya berbau, begitu?
Apa anak-anakmu sendiri bau?”
“Tidak,” jawab si ibu susu. “Anak-anakku berbau seperti
normalnya bau anak manusia.”
Terrier meletakkan kembali keranjang itu ke tanah
dengan hati‐hati. Kejengkelan mulai naik ke ubun-ubun
menghadapi perempuan keras kepala ini. Rasanya
butuh
lebih bebas menggerakkan tangan kalau mau
melanjutkan
debat tanpa harus melukai si bayi dengan menenteng
keranjang terus-menerus. Tapi untuk sekarang ia masih
merasa cukup menahan tangan di belakang punggung,
menyorongkan perut buncitnya ke arah si ibu susu,
lalu
bertanya dengan nada tajam, “Kau bersikeras kalau begitu,
bahwa kau tahu bagaimana mestinya bau seorang
anak
manusia - yang kalau boleh kuingatkan bahwa begitu
seorang anak dibaptis maka ia adalah juga anak
Tuhan.
Benar?”
“Ya,” jawab wanita itu.
“Dan kau juga bersikeras bahwa jika seorang anak tidak
berbau ‐ menurut engkau, wahai ibu susu bernama Jeanne
Bussie dari jalan Saint-Dennis-maka anak tersebut
sudah
pasti dirasuki setan?”
Tangan kiri si pendeta berkelebat dari balik
punggung
menegaskan pertanyaan dengan jari telunjuk di depan
wajah si ibu susu. Membuat perempuan itu meragu. Ia
tak
menyukai arah percakapan yang sekonyong-konyong
berubah mempertanyakan keyakinannya sendiri, di mana
ia menjadi pihak yang salah.
“Maksudku sama sekali tidak begitu,” elaknya. “Kalian
para pendeta selalu saja seenaknya memutuskan apakah
segala sesuatunya harus berhubungan dengan setan
atau
tidak, Bapa Terrier. Bukan hakku memutuskan
demikian.
Aku hanya tahu satu hal: bayi ini membuatku
merinding
karena ia tidak berbau sewajarnya bau anak manusia.”
“Aha!” jawab Terrier puas sambil mengibaskan
tangan
kembali. “Sekarang kau menarik tuduhan soal setan
tadi,
ya? Bagus. Tapi sekarang tolong katakan padaku:
seperti
apa kiranya bau seorang bayi yang wajar menurut
pendapatmu? Hmm?”
“Mestinya ia berbau enak,” jawab si ibu susu.
“Enak bagaimana maksudmu?” desak Terrier. “Banyak
hal lain yang baunya juga bisa dibilang enak. Seikat bunga,
misalnya. Taman bunga Arab baunya juga enak. Tapi
bagaimana mestinya bau seorang bayi yang enak? Itu yang
kutanya.”
Si ibu susu tergugu. Ia tahu persis bagaimana
bau
seorang bayi. Ia tahu persis karena ia kenyang
menyusui,
merawat, menggendong, dan menciumi mereka. Ia bahkan
mampu mengendusi mereka di kegelapan sekalipun.
Saat
ini pun ia mencium bau tersebut dengan jelas. Tapi
baru
sekarang ia diminta menggambarkannya dengan kata¬kata.
“Bagaimana?” desak Terrier lagi sambil menjentikkan
jari tak sabar.
“Yaah... ini...,” gugu si ibu susu, “...tidak mudah dikatakan,
karena... karena masing-masing baunya berbeda, walaupun
masing¬masing juga baunya enak. Bapa, kau tahu
maksudku, kan? Kaki mereka, misalnya. Baunya seperti
batu halus yang hangat - atau... tidak, lebih seperti
susu...
atau mentega... persisnya mentega segar. Kaki mereka
berbau mentega segar. Dan tubuh mereka berbau seperti...
seperti kue serabi berbalur susu. Lantas kepala, sampai ke
ubun-ubun dan bagian belakang di mana rambut
mulai
mengijuk... itu lho,... tahu maksudku, kan? Bagian yang kini
tak lagi berambut di kepalamu ...... seraya menepuk bagian
yang botak di kepala si pendeta - yang dalam
ketakjuban
menyimak, tanpa sadar merundukkan kepala dengan
patuh. “Di sini, persis di sini, baunya paling enak.
Seperti
karamel. Begitu manis. Pokoknya enak sekali, Bapa.
Sulit
dijelaskan! Sekali mampu mengendusi, kau akan
menyukainya tanpa peduli itu bau anakmu sendiri
atau
bukan. Dan begitulah mestinya bau bayi. Tak boleh berbau
lain. Kalau tidak begitu - kalau mereka tidak berbau
apa-
apa sama sekali di ubun-ubun itu atau bahkan
nyaris tak
berbau seperti si haram jadah ini, maka... terserah kau mau
bilang apa, Bapa, tapi aku ...,” ia bersedekap dengan
tegas
sambil menyalangkan pandangan jijik ke arah keranjang di
kakinya seolah-olah berisi katak. 'Aku, Jeanne Bussie,
tak
sudi menerima benda itu lagi!”
Bapa Terrier perlahan mengangkat kepala sambil
melayangkan jemari mengelusi kepala. botaknya beberapa
kali seolah merapikan rambut, lalu mendaratkan jemari
tersebut ke bawah hidung seperti tak sengaja. Ia
mengendus-endus sambil berpikir.
“Seperti karamel, katamu ... ?” ia bertanya, sambil
mencoba membangkitkan ketegasan. “Karamel! Tahu apa
kau soal karamel? Memangnya kau pemah mencicipi?”
“Tidak juga sih,” jawab si ibu susu, “tapi sekali
aku
pernah berada di sebuah rumah besar di jalan Saint-Honore
dan melihat sendiri bagaimana pembuatannya dari gula
dan krim cair. Baunya begitu enak dan tak terlupakan.”
“Ya, ya... baiklah,” jawab Terrier sambil menarik jari dari
hidung.
“Tapi tolong jangan bicara lagi sekarang! Aku
capek
berdebat. Kuputuskan saja sekarang bahwa dengan ini kau
menolak bayi yang telah diserahkan oleh biara untuk
kau
rawat bernama Jean-Baptiste Grenouille dan
mengembalikannya ke pihak pelindung sementara, yaitu
biara Saint-Merri. Terus terang, ini sungguh
meresahkan,
tapi sepertinya tak ada pilihan lain. Kau resmi dipecat.”
Dengan itu ia mengangkat keranjang, melepaskan
endusan terakhir dari kehangatan dan aroma susu
yang
menyenangkan dari tubuh si ibu susu, membanting
pintu,
lalu langsung menuju ruang kantor.
Tiga

BAPA TERRIER dikenal sebagai orang berpendidikan. Ia


tak hanya memelajari ilmu agama tapi juga banyak
membaca filsafat, di samping sedikit tentang botani
dan
ilmu kimia. Ia agak memandang tinggi institusinya sendiri.
Tak seperti kebanyakan pendeta lain, ia tak pernah
mempertanyakan kesahihan mukjizat, peramalan dan hal
ihwal kebenaran sejati kandungan Alkitab, walaupun
teks
Alkitab memang tak bisa dijelaskan hanya dengan
nalar
yang malah cenderung mengontradiksi. Ia memilih
untuk
tidak mencampuri hal-hal seperti itu karena dirasa
menjengahkan dan membuat gelisah serta stres.
Padahal
nalar hanya bermanfaat jika seseorang memiliki keyakinan,
rasa aman, dan ketenangan. Yang paling ia tentang
adalah
anggapan takhayul masyarakat kebanyakan dalam hal
sihir-menyihir, kartu ramalan, penggunaan jimat, mata
jahat, pengusiran setan, omong kosong saat bulan purnama,
dan tetek bengek perilaku absurd lain. Sungguh
meresahkan melihat betapa kebiasaan seperti itu belum
juga musnah, bahkan ribuan tahun sejak penetapan
resmi
agama Kristen! Laporan-laporan perihal kerasukan setan
atau perjanjian dengan Iblis yang paling muluk
sekalipun,
setelah ditelaah lebih dalam ternyata tak lebih dari
takhayul kuno semata. Tapi ia juga menyadari bahwa
mengingkari keberadaan setan sama saja dengan
mengingkari kewenangannya - dan Terrier juga enggan
untuk sampai sejauh itu, karena badan-badan gereja
di
samping dirinya sendiri selaku seorang pendeta biasa, juga
ditugaskan untuk menetapkan hal-hal semacam itu yang
notabene sangat menyentuh dasar-dasar keagamaan. Tapi
di pihak lain rasanya sudah sangat jelas, bahwa
ketika
seorang biasa seperti ibu susu tadi bersikeras telah
menyaksikan peristiwa kerasukan setan, si setan sendiri
tak mungkin punya andil di dalamnya. Fakta bahwa wanita
tersebut merasa telah menangkap basah perbuatan
setan
adalah bukti tak terbantahkan bahwa sama sekali tak
ada
apa pun yang berkaitan dengan setan, karena setan
tidak
mungkin sedemikian bodoh membiarkan diri tertangkap
basah oleh seorang ibu susu seperti Jeanne Bussie. Apalagi
dengan hidung sebagai alasan! Dengan organ seprimitif alat
penciuman yang merupakan indra paling dasar! Sama saja
dengan mengatakan bahwa neraka pasti berbau
belerang
dan surga pasti berbau dupa serta parfum! Ini
wujud
takhayul paling buruk yang berakar langsung dari
sejarah
kelam paganisme. Saat manusia masih hidup seperti
binatang. Tak punya kesadaran dan tak mampu
membedakan warna tapi menganggap diri mampu
mencium bau darah, mampu membedakan mana kawan
mana lawan, mengaku telah diendusi raksasa-raksasa
kanibal, serigala jadi-jadian dan peri - sementara di
pihak
lain mereka masih belum jauh dari ritual
pengorbanan
manusia. Sungguh menjijikkan! Seperti kata pepatah,
“Orang bodoh melihat dengan hidung ketimbang mata.
Sungguh, anugerah nalar pemberian Tuhan tampaknya
harus menunggu sampai ribuan tahun lagi sebelum
sisa-
sisa terakhir dari keyakinan primitif seperti itu
terbasmi
habis.
“Begitulah,” Bapa Terrier bergumam. “Dan kau bayi
kecilku yang malang! Makhluk yang belum lagi
memiliki
dosa! Terpuruk di keranjang dan terbuang tanpa
menyadari kecurigaan jahat yang diarahkan kepadamu.
Wanita lancang itu berani-beraninya menuduhmu tak
memiliki bau sewajarnya anak manusia lain.
Benar-benar
omong kosong konyol! Poohpeedooh!”
Ia menggendong dan mengayun keranjang dengan
lembut di atas lutut, mengelus-elus kepala si bayi
dengan
jari sambil sesekali mengulang bergumam, “Poohpeedooh.”
Ini ekspresi yang dianggapnya lembut dan mampu
menenangkan anak kecil. “Katanya kau seharusnya berbau
karamel. Sungguh omong kosong. Poohpeedooh!”
Setelah beberapa waktu ia menarik jarinya kembali,
menariknya ke hidung dan mengendusi. Tapi tak
tercium
bau apa pun selain bau bubur gandum yang ia makan siang
tadi.
Sejenak ia ragu, lalu matanya berkeliling untuk
memastikan tak ada yang melihat. Bapa Terrier
mengangkat keranjang dan mendekatkan hidungnya lebih
dekat. Berharap mencium sesuatu, ia mengendusi
sekujur
kepala si bayi. Begitu dekat sampai rambut merah
si bayi
menggelitiki lubang hidung. Ia tak tahu bagaimana
mestinya bau kepala seorang bayi. Yang jelas bukan
karamel, karena karamel dibuat dari gula yang
dicairkan.
Bagaimana mungkin seorang bayi yang hanya minum susu
bisa berbau gula cair? Lebih masuk akal kalau ia
berbau
susu - seperti susu si ibu susu. Tapi toh tidak
demikian.
Atau barangkali berbau rambut, seperti bau kulit dan
rambut, dan sedikit bau keringat bayi. Terrier
mengendus
sedemikian rupa dengan harapan mencium bau kulit,
rambut, dan keringat si bayi. Tapi tetap tak
mencium apa
pun sama sekali. Tampaknya bayi tak memiliki bau,
pikirnya. Dan pasti memang demikian. Bayi kan dipelihara
dengan kebersihan, maka sewajarnya tak berbau.
Kecuali
kalau ia sudah bisa bicara, berjalan, atau menulis.
Hal-hal
yang akan tumbuh seiring usia. Kalau mau ditelusuri,
manusia pertama kali mengeluarkan bau badan saat
ia
menginjak pubertas. Memang demikianlah adanya.
Bukankah pujangga Horace sendiri telah menulis, “Anak
remaja berbau kesturi, sementara anak perawan berbau
mekar bunga laksana narsis putih...”? Orang Romawi
yang
biangnya paganisme pun mafhum akan hal ini! Bau
tubuh
manusia selalu bernuansa daging, atau lebih tepatnya
bau
dosa. Bagaimana mungkin seorang bayi yang belum
kenal
dosa ‐ bahkan dalam mimpinya sekalipun, bisa
memiliki
bau? Seperti apa baunya kalau memang iya? Poohpeedooh...
sungguh tidak mungkin!
Ia letakkan keranjang itu kembali ke atas lutut
dan
mengayun lembut. Si bayi masih tertidur letap.
Kepalan
tinju kanannya begitu mungil dan kemerahan, menyembul
dari balik selimut dan sesekali berkedut menggeseki
pipi.
Menggemaskan sekali. Terrier tersenyum dan mendadak
merasa amat nyaman. Sesaat ia membiarkan diri
hanyut
dalam lamunan bahwa dialah ayah si bayi. Bahwa ia belum
lagi jadi pendeta dan hanya orang biasa. Seorang
tokoh
masyarakat, barangkali. Memiliki istri - kehangatan
seorang istri beraroma susu dan wol, dan bahwa
mereka
telah memiliki anak yang kini sedang digendong dan diayun
lembut. Darah dagingnya sendiri. Poohpoohpoohpeedooh...
khayalan ini sungguh menyamankan. Begitu normal dan
wajar. Seorang ayah menggendong anak di pangkuan.
Poohpeedooh. Visi yang sudah setua umur dunia tapi selalu
terasa segar dan wajar - tentu saja selama dunia
masih
berputar. Oh, jagat Terrier begitu hangat dalam
sentimentalitas.
Lalu si kecil terbangun. Dimulai dari hidungnya. Hidung
kecil itu bergerak, mendorong ke atas dan
mengendus.
Menghirup dan menghela napas dalam embusan-embusan
pendek seperti bersin yang tak jadi. Lalu hidung itu
berkerenyut dan matanya membuka. Warnanya sulit
dipastikan - antara kelabu tiram dan krem opal putih,
tersaput semacam lapisan lendir tipis dan tampak tak
terlalu biasa menatap cahaya. Terrier mendapat kesan
bahwa sepasang bola mata itu belum mampu
menangkap
sosok dirinya. Tapi hidungnya tidak begitu. Sementara
mata “buta” si kecil menyipit dengan tatapan tak
jelas,
hidung itu seperti terpaku ke satu sasaran. Anehnya,
Terrier merasa bahwa dialah sasaran tersebut.
Gumpalan
daging mungil dengan dua lubang di wajah bayi itu
mengembang seperti pucuk bunga merekah. Atau
barangkali lebih mirip bunga tanaman kecil pemakan
daging yang tersimpan di taman botani kerajaan. Dan
seperti tanaman itu, hidung si kecil seolah membuat
isapan-isapan aneh dan menakutkan - Terrier merasa
seolah si bayi menatapnya dengan lubang hidung.
Melotot
sedemikian rupa, memerhatikan dan memandang lebih
tajam daripada mata mana pun di dunia. Seolah
menggunakan hidung untuk melahap sesuatu hidup-hidup.
Sesuatu dari dalam dirinya sendiri ‐ dari Terrier, dan ia tak
mampu menahan atau menyembunyikan sesuatu itu.
Sang
bayi tak berbau kini membauinya tanpa malu-malu.
Ah,
pasti begitu! Ia sedang mengenali dan menetapkan baunya!
Seketika itu juga ia mendadak merasa berbau tak
sedap.
Berbau keringat serta cuka, bubur gandum dan
pakaian
kotor. Serasa telanjang dan buruk - seolah ada yang
ternganga menatap begitu tajam tanpa timbal balik
membuka jati diri. Si bayi seolah mengendus sampai
menembus kulit dan seisi perut. Sampai ke emosi
yang
terdalam, segala pikiran kotornya terpapar begitu saja
di
hadapan hidung mungil nan rakus itu. Padahal
bentuknya
pun tak bisa dibilang sempurna. Hanya segumpal
daging
berbentuk hidung - sebuah organ dengan dua lubang yang
tak benci mengernyit, mendengus, dan berkedut. Bulu
kuduk Terrier mendadak berdiri. Perut serasa mual.
Ia
menarik kembali hidungnya sendiri seolah membaui
sesuatu yang tak sedap dan enggan berdekatan lebih jauh.
Lenyap sudah semua pikiran lembut yang semula
membayangkan si bayi sebagai darah dagingnya sendiri.
Pupus sudah romantisme lamunan soal ayah dan anak serta
istri - seperti ada orang yang tahu-tahu hadir dan
membumihanguskan segala fantasi indah tentang ia dan si
bayi. Matanya kini hanya melihat sesosok makhluk
aneh
dan dingin tengah bernaung di lututnya - atau bahkan
binatang buas. Kalau saja ia bukan manusia berwatak
lembut, takut Tuhan, dan berakal sehat, pasti sudah
digebahnya seperti orang tersengat laba-laba.
Terrier memaksa diri untuk bangkit dan meletakkan
keranjang di atas meja. Hatinya didera keinginan
untuk
menyingkirkan benda itu sejauh dan sesegera mungkin.
Lebih cepat lebih baik.
Si bayi lalu mulai menangis. Ia mengerjapkan mata,
membukanya lebar-lebar, dan melengkingkan jeritan
sedemikian nyaring sampai pembuluh darah Terrier serasa
beku. Segera ia mengayun keranjang dengan kedua tangan
dan berseru, “Poohpeedooh,” berusaha mendiamkan. Tapi si
kecil malah menjerit makin nyaring sampai wajahnya
membiru dan seperti mau meledak.
Harus segera menjauh! Begitu pikir Terrier. Pergi
detik
ini juga dari... ia hendak mengucap 'Iblis’, tapi segera sadar
dan menahan diri. Menjauh dari... monster ini! Dari
anak
aneh ini! Tapi hendak kabur atau dijauhkan ke
mana.? Ia
kenal selusin ibu susu dan yayasan yatim piatu di kota ini,
tapi rasanya masih terlalu dekat. Belum cukup jauh. Harus
menjauhkan benda ini sejauh mungkin. Sejauh-jauhnya
sampai tak terdengar lagi. Sampai benar-benar tak
bisa
dikirim balik ke lagi. Atau kalau mungkin dikirim
saja ke
gereja di wilayah lain - jika terletak di seberang
sungai
akan lebih baik. Pilihan terbaik adalah membuangnya
ke
Saint-Antoine. Aha, benar, itu dia! Tempat yang paling tepat
untuk bayi penjerit ini. Letaknya jauh di Timur,
melewati
kota Bastille, di mana pintu gerbangnya selalu dikunci saat
malam.
Jadilah ia mengemasi barang seadanya, menjinjing
keranjang, bergegas. Berlari melewati labirin gang demi
gang menuju Saint Antoine, ke Timur yang searah
dengan
sungai Seine, keluar dari kota melangkah lebih jauh lagi ke
jalan Charonne sampai nyaris mentok ke ujung jalan,
ke
sebuah alamat dekat biara Madeleine de Trenelle. Ia tahu di
situ tinggal seorang wanita bernama Madame Gaillard yang
mau menerima anak-anak tanpa peduli umur atau apa pun
asal ada yang bersedia membayar. Ke sanalah ia
akan
menyerahkan anak ini ‐ yang masih saja menangis.
Membayar dengan bayaran penuh untuk setahun di muka,
dan kabur kembali ke kota. Sekembalinya di biara nanti ia
bersumpah akan segera membuang pakaian yang ia
kenakan seolah habis terciprat najis, mandi sebersih
mungkin dari kepala sampai kaki, lalu merayap ke ranjang
di kamarnya yang sempit, menyilang trinitas berulang-
ulang, berdoa panjang-panjang dan akhirnya tidur
dengan
lega.

Empat

MADAME GAILLARD tampak jauh lebih tua dari usianya


yang belum lagi tiga puluh tahun. Banyak orang
menganggap begitu. Bagi dunia ia terlihat sesuai
dengan
usia sebenarnya, namun sekaligus pada saat yang
sama
tampak dua atau tiga ratus tahun lebih tua - jadi
seperti
mumi seorang gadis muda. Tak banyak yang tahu bahwa di
balik itu semua, jiwanya sudah lama mati. Sewaktu
kecil
ayahnya memukul kening Gaillard dengan tongkat, persis di
atas dasar tulang hidung. Sejak itu ia kehilangan kepekaan
membaui berikut kehangatan dan dinginnya rasa
kemanusiaan. Satu pukulan sudah cukup membuatnya
terasing dari perasaan wajarnya manusia, baik itu
kehangatan, kebaikan, dendam, kebahagiaan, atau
kesedihan. Ia tak merasakan apa pun saat tidur
dengan
seorang laki-laki, dan hanya ada setitik haru saat ia
mengandung anak. Ia tak menangisi yang mati atau
mensyukuri yang hidup. Bergeming saat dipukuli suami
tidak pula lega saat laki-laki itu meninggal akibat kolera di
Hôtel-Dieu. Dua rasa kemanusiaan yang bisa ia
rasakan
hanya setitik depresi saat menjelang migrain
menstruasi
dan perubahan mood saat kembali normal. Lain dari
itu,
wanita zombi ini sama sekali tak merasakan apa pun.
Di pihak lain... atau barangkali justru karena
ketiadaan
emosi manusiawi itu, Madame Gaillard terkenal bertangan
besi dalam hal tatanan, keteraturan, dan keadilan. Ia
tak
membedakan atau mendiskriminasi anak asuh. Jatah
makanan setiap anak tetap tiga kali sehari. Tak
lebih, tak
kurang. Ia bersedia mengganti popok tiga kali sehari,
tapi
hanya sampai usia dua tahun. Siapa pun yang
membangkang akan dipukul dan dikurangi jatah makannya
jadi dua kali sehari. Biaya perawatan setiap anak
dibagi
persis separo-separo untuk kepentingan rumah penitipan
yatim-piatu dan dirinya sendiri. Harga yang ditetapkan juga
tak pemah berubah - tak peduli paceklik atau sedang
makmur. Meski tampak aneh, tapi hanya dengan cara itu ia
bisa menghargai bisnis yang dijalani. Ia butuh uang
dan
sangat memperhitungkan setiap peraknya. Saat tua kelak ia
ingin punya simpanan tunjangan yang cukup untuk
membiayai kematian di rumahnya sendiri - tidak di Hôtel-
Dieu seperti suaminya dulu. Bayangan ini membuat
perutnya dingin. Ia tak ingin mati bersama ratusan
orang
asing. Ia ingin mati sendirian. Untuk itulah ia kini
menabung dari usaha penitipan anak yatim-piatu.
Kendati
publik mafhum dengan fakta bahwa kadang tiga atau empat
anak titipnya meninggal saat musim dingin, tapi ini
masih
jauh lebih baik dari kebanyakan rumah penitipan lain,
bahkan terhitung nomor dua terbaik di Paris karena
umumnya perbandingannya mencapai 9 dari 10 anak mati
setiap tahun. Toh tak ada yang peduli karena
jumlah
kelahiran jauh lebih banyak - Paris menghasilkan
sepuluh
ribu bayi resmi, haram, dan yatim‐piatu setiap tahun.
Jadi,
perbandingan itu masih dianggap wajar.
Grenouille kecil sungguh beruntung dibuang ke
rumah
penitipan Madame Gaillard. Besar kemungkinan ia tak akan
bertahan di tempat lain. Tapi di sini, bersama wanita
mati
rasa ini, ia tumbuh pesat. Grenouille punya ketahanan
jasmani yang tinggi. Siapa pun yang mampu bertahan
dilahirkan di keranjang sampah tak akan semudah itu
tersingkir dari dunia. Sehari-hari ia mampu hanya
makan
sup tanpa tambahan apa pun. Susu paling encer,
sayuran
maupun daging paling basi. Sepanjang masa kecil ia
bertahan dari campak, disentri, cacar air, kolera, jatuh
ke
sumur sedalam dua puluh kaki, atau luka bakar di
dada
akibat tersiram air panas. Badannya kenyang memar
dan
bekas luka serta sedikit pincang di kaki, tapi ia tetap hidup.
Daya tahannya setangguh bakteri atau kutu pohon
yang
hidup dari setetes darah yang diawet-awet selama
bertahun-tahun. Ia hanya butuh sedikit saja jatah
makan-
minum serta pakaian karena jiwanya tak menuntut
apa-
apa. Perlindungan, perhatian, kehangatan, cinta, atau
apa
pun yang katanya dibutuhkan oleh anak-anak, benar-benar
jauh dari Grenouille. Atau barangkali - setidaknya dalam
pandangan umum, ia sengaja membuang semua itu
agar
mampu bertahan hidup. Ini dilakukan sejak usia amat
muda. Tangisan yang mengikuti kelahiran Grenouille -
tangisan yang mengangkatnya dari sampah dan
mengirim
ibunya ke tiang gantungan, bukanlah tangisan naluri
demi
simpati atau cinta. Tangisan itu berasal dari pertimbangan
hati - hati sang bayi (bahkan boleh dibilang
pertimbangan
dewasa), dari putusannya untuk membenci cinta dan
kehidupan. Dalam situasinya kita bisa maklum bahwa
hidup hanya memungkinkan bagi Grenouille bila tanpa
cinta atau kasih sayang. Sejarah mungkin akan
berbunyi
lain kalau saja saat itu ia memilih “tanpa
kehidupan”.
Memang, ia tetap bisa mengambil “Jalan mudah”
dengan
memilih untuk langsung mati saja ketimbang
membebani
dunia dengan kelahirannya yang tak berarti. Tapi
pilihan
ini jelas menuntut kerendahan hati yang tak sedikit, dan itu
tidak dimiliki Grenouille. Merasa sebagai monster sejak
lahir, ia memilih untuk menjalani hidup di jalur
dendam
dan kebencian.
Putusan ini hadir tidak seperti orang dewasa saat
mengambil putusan, karena sebagai anak kecil ia
tidak
memiliki cukup pengalaman dan nalar untuk memilih
dari
berbagai pilihan yang dihadirkan oleh pengalaman.
Bagaimanapun, putusan ini perlahan hadir. Seperti
kacang
yang saat dilempar ke tanah harus memutuskan
apakah
hendak tumbuh atau tidak.
Atau seperti kutu pohon dalam permisalan tadi, di mana
hidup tak menawarkan apa pun selain hibernasi
abadi.
Kutu kecil nan jelek itu hanya tahu bagaimana menggulung
badan biru kelabunya tanpa menawarkan apa-apa bagi
dunia. Juga dengan memuluskan serta mengeraskan
kulit
yang tiada berkeringat sedikit pun. Sedemikian rupa
menciutkan diri agar tidak diperhatikan dan diinjak
manusia. Sang kutu yang kesepian menggulung diri di
pohon. Buta, tuli, bodoh, dan tanpa kegiatan lain
selain
mengendus-endus sepanjang tahun, sepanjang jalan, demi
setetes darah dari binatang yang kebetulan lewat
lantaran
tak kuat menggapai dengan kekuatan sendiri. Sang
kutu
hanya bisa jatuh. Jatuh ke tanah di tengah hutan
lalu
merangkak barang satu atau dua milimeter ke sana kemari
dengan enam kakinya yang mungil, berbaring pasrah
menunggu mati di bawah dedaunan. Tuhan tahu betapa tak
berartinya hal ini. Tak akan ada yang merasa
kehilangan.
Tapi dasar si kutu keras kepala, menggerutu dan
menjijikkan. Ia tetap bergeming. Hanya hidup dan
menunggu. Menunggu “sang kebetularn” untuk
membawakan darah dalam wujud seekor binatang,
persis
di bawah pohon. Hanya dengan cara itu si kutu bisa bebas
jatuh dari pohon untuk menggaruk, mengisap, dan
menggigit kulit mulus korbannya.
Grenouale muda tak ubahnya si kutu pohon. Ia
membungkus diri sedemikian rupa, menanti saat yang lebih
baik. Sumbangsihnya bagi dunia tak lebih dari
sekadar
kotoran saat buang air. Tanpa senyum, tanpa tangis, tanpa
keceriaan, bahkan tanpa bau badan! Wanita mana pun pasti
tak tahan dan segera menendangnya keluar rumah.
Tapi
tidak Madame Gaillard. Ia tak bisa mencium fakta bahwa si
bocah tak berbau, pun soal kejiwaan si anak, karena ia juga
menutup diri rapat-rapat.
Namun anak-anak lain langsung bisa merasakan
kelainan Grenouille. Sejak hari pertama ia datang,
kehadirannya sudah membawa atmosfer mencekam.
Refleks awal mereka adalah menjauhi keranjang tidur
si
bayi dan meringkuk bergerombol di pojok ranjang masing-
masing, seolah suhu ruangan mendadak anjlok. Yang
termuda di antara mereka bahkan kerap menangis
saat
malam. Yang lain bermimpi seperti ada yang hendak
mencuri napas mereka. Pernah suatu hari anak-anak tertua
berencana mencekik saja bayi itu. Mereka menumpuk
potongan-potongan kain, selimut, serta jerami ke muka
Grenouille lalu memberati dengan batu bata. Saat Madame
Gaillard menyingkirkan semua itu keesokan paginya, si bayi
sudah kisut, lumat, dan membiru, tapi tidak mati.
Anak-
anak mencoba lagi beberapa kali, namun tetap gagal. Kalau
saja mereka mencekik langsung dengan tangan kosong atau
menutup mulut serta hidung si bayi, kemungkinan
akan
lebih sukses, tapi tak ada yang berani mencoba. Tak
ada
yang sudi menyentuh si bayi. Grenouille membuat
mereka
gerah. Seperti orang yang tak tahan melihat laba-laba
tapi
tak berani menginjaknya karena jijik.
Seiring pertambahan usia, anak-anak akhirnya tak
bernafsu lagi meneruskan percobaan pembunuhan mereka-
barangkali di bawah kesadaran bahwa Grenouille tak
bisa
dihancurkan. Pilihan yang tertinggal adalah aksi
menjauh.
Menyebar, berlarian, atau setidaknya menghindar agar tak
tersentuh. Anehnya, mereka tak membenci Grenouille.
Cemburu atau dendam pun tidak. Jatah Grenouille di rumah
penitipan yatim-piatu tak pernah lebih atau kurang
dari
mereka sendiri, jadi tak ada alasan untuk itu.
Perasaan
terganggu dan tak nyaman berada dekat Grenouille semata-
mata hadir karena tak bisa mencium bau badannya. Untuk
itu mereka takut dan jeri.

Lima

KALAU MAU JUJUR, sebenarnya tak ada yang


menakutkan dalam. diri Grenouille. Saat dewasa
tubuhnya
tidak besar ataupun kuat. Buruk rupa memang, tapi
tidak
sedemikian buruknya sampai mampu membuat orang
menjerit kerakutan. Ia tidak agresif atau culas, tidak
berlaku sembunyi-sembunyi atau memprovokasi orang. Ia
malah lebih suka menghindar. Soal kepandaian juga biasa-
biasa saja. Umur tiga tahun ia baru bisa berdiri.
Kata
pertama. yang keluar dari bibirnya adalah 'ikan’. Ini terjadi
jam empat pagi. Diucapkan dengan keriangan luar
biasa
seperti gema suara, nelayan sepanjang jalan Charonne saat
memekikkan dagangan di kejauhan. Kata berikut adalah
‘pelargonium’, 'kandang kambing’, 'cabe savoy, dan
'Jacquestorreur’ - yang terakhir ini adalah nama seorang
pembantu tukang kebun dari biara Filles de la Croix
di
seberang jalan yang kadang diserahi berbagai pekerjaan
kasar oleh Madame Gaillard dan terkenal tak pernah mandi
seumur hidupnya. Grenouille tak terlalu suka
menyerukan
kata kerja, kata sifat, dan kata seru. Kecuali untuk 'ya' dan
'tidak’ yang lumayan jarang dipakai. Ia hanya menyerukan
kata benda - khususnya benda-benda dasar seperti
tanaman, binatang, manusia. Itu pun jika ketiga benda
tersebut mendadak menyerang hidungnya dengan aroma.
Suatu hari di bulan Maret, ketika sedang duduk
di
sebilah balok kayu besar sambil asyik bergumam entah apa
di tengah matahari musim panas, untuk pertama kalinya ia
menyerukan kata ‘kayu’. Ia sudah pernah melihat dan
mendengar tentang kayu ratusan kali sebelumnya, juga
akrab dengan benda ini karena sering disuruh
mengumpulkan kayu bakar di musim dingin. Tapi benda ini
belum pernah sedemikian menarik perhatian sampai
membuat ia mau menyebut namanya. Ini terjadi
pertama
kali di hari bulan Maret itu, saat ia sedang duduk
di balok
yang ditumpuk di bawah pinggiran atap dan
membentuk
bangku sepanjang sisi selatan gudang Madame Gaillard.
Bagian atas balok mengambangkan aroma terbakar
yang
manis sementara bagian dalamnya sampai ke atas menebar
bau lumut. Di tengah hangat terik matahari, tebaran aroma
damar meluruh dari bilah-bilah papan pinus yang
membentuk dinding gudang.
Grenouille duduk di balok itu dengan kaki terjulur
dan
punggung bersandar ke dinding. Mata terpejam dan tubuh
bergeming. Ia tidak melihat, mendengar, atau
merasakan
apa pun. Hanya aroma kayu yang menguap di sekeliling dan
terperangkap di bawah atap bangunan gudang. Ia
menghirup dan tenggelam dalam aroma itu, seolah
menyesaki seluruh pori-pori kulit sampai akhirnya menjadi
kayu itu sendiri. Seperti boneka kayu ia duduk di balok itu.
Seperti Pinokio. Berlagak mati dan setelah setengah
jam
atau lebih, mengucap kata 'kayu’. Ia muntahkan kata
itu
seperti orang yang seluruh tubuhnya sesak oleh kayu
sampai ke telinga, seolah terkubur dalam kayu sampal
ke
leher, seolah seluruh isi perut dan hidungnya luber
oleh
kayu. Bayangan ini menyadarkan dan menyelamatkan
benaknya, persis beberapa saar sebelum aroma
kehadiran
kayu serasa mencekik. Dengan gemetar ia mengggebah
badan, meluruk turun dari balok dan terhuyung‐huyung
menjauh bagai orang berkaki kayu. Sampai berhari-hari
kemudian pusingnya tak juga hilang. Dan setiap kali ingatan
penciuman itu meluruk sedemikian kuat, mulutnya
otomatis bergumam berkali-kali, “Kayu... kayu ...”
Hadilah ia belajar bicara. Kesulitan terbesar didapati
saat terbentur pada kata-kata dari benda-benda tak berbau,
seperti ide-ide abstrak dan sejenisnya - terutama soal etika
dan moral. Ia sulit mengerti dan cenderung
mencampur
aduk satu sama lain. Sampai usia dewasa ia selalu sungkan
dan kerap salah menggunakan kata-kata seperti
keadilan,
nurani, Tuhan, bahagia, tanggung jawab, kerendahan
hati,
rasa syukur, dan sebagainya - makna dari ekspresi
kata-
kata ini tetap jadi misteri baginya.
Di pihak lain, bahasa sehari-hari ternyata tak
cukup
mampu menjelaskan semua persepsi penciuman yang
diperolehnya selama ini. Dengan segera ia dapati bahwa ia
tak hanya mampu mencium dan menegaskan aroma
kayu,
tapi juga berbagai jenis kayu seperti kayu pohon
mapel,
kayu pohon ek, kayu pohon pinus, kayu lapuk, segar, busuk,
kayu berlumut, sampai ke setiap balok, kepingan, dan
serpihannya. Tak hanya itu, ia mampu membedakan
dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh orang lain secara
visual. Ini juga berlaku untuk banyak hal lain.
Misalnya
minuman berwarna putih yang biasa disajikan Madame
Gaillard untuk anak-anak asuhnya setiap hari. Orang
lain
akan langsung akur bahwa itu pasti susu, tapi indra
pencium dan pengecap Grenouille menegaskan hal yang
berbeda setiap hari, tergantung dari seberapa panas
saat
disajikan, dari sapi yang mana susu itu berasal, apa
yang
dimakan sapi itu sebelumnya, jumlah kandungan krim, dan
seterusnya. Atau kenapa asap harus memiliki hanya
satu
nama saja: 'asap’, padahal dari menit ke menit, dari detik ke
detik, campuran ratusan macam bau membaur menjadi
kesatuan yang sama sekali berbeda setiap kali asap
membubung dari sebuah sumber api. Atau kenapa
tanah,
daratan, udara - masing-masing dari setiap jengkalnya dan
di setiap tarikan napas, sarat dengan aneka aroma
dan
karenanya pasti memuat entitas yang juga
berbeda-beda -
hanya dirujuk dengan tiga kata yang umum tadi.
Seluruh
keganjilan dari keanekaragaman yang hanya bisa ditangkap
oleh indra penciuman plus keterbatasan jembatan
bahasa
ini sudah cukup menjadi bukti bagi Grenouille muda untuk
yakin bahwa penggunaan bahasa sama sekali tidak
logis.
Jadilah ia makin terbiasa untuk berbicara hanya
apabila
benar-benar tak bisa menghindari kontak dengan orang
lain.
Pada usia enam tahun ia sudah sangat mampu
memahami lingkungan dengan penciuman. Tak ada
benda
apa pun dalam rumah Madame Gaillard, tidak juga
sepanjang jalur utara jalan Charonne ‐ orang, pohon, semak,
tiang pancang, noda kecil atau besar - yang tidak
dikenalinya berdasarkan bau. Ia juga mampu mengenali
lagi benda yang sama berdasarkan keunikan benda
tersebut dalam ingatan. Otaknya menyimpan memori
tentang puluhan, bahkan ratusan ribu aroma spesifik
dengan sangat jelas. Tak hanya mengingat
masing¬masingnya secara acak kapan saja saat
mencium
bau yang sama, tapi juga mampu membaui saat mengingat -
tanpa harus mencium bau yang sama. Terlebih lagi,
imajinasinya mampu menyusun kombinasi baru dari
masing-masing aroma tersebut sedemikian rupa sampai
tercipta aroma yang tak ada di dunia nyata.
Grenouille
bagai seorang autodidak penyusun perbendaharaan
raksasa pustaka aroma yang membuatnya mampu
menciptakan banyak sekali kalimat tentang aroma.
Hebatnya lagi, semua ini terbentuk saat normalnya
anak
kecil masih harus berusaha keras mengingat kata agar
mampu menyusun kalimat koheren yang menggambarkan
dunia sekeliling. Analogi terdekat yang mampu
menggambarkan bakat aneh ini mungkin ibarat seorang
genius musik dengan kemampuan mengidentifikasi melodi
dan harmoni dari alfabet di setiap nada individual,
lalu
menggubahnya menjadi melodi serta harmoni yang
sama
sekali baru. Yang membedakan kedua realitas ini
adalah
bahwa perbandingan alfabet untuk aroma tentu jauh lebih
besar dan lebih bernuansa ketimbang nada. Plus fakta
menyedihkan bahwa seluruh keajaiban aktivitas kreatif
seorang genius bernama, Grenouille ini hanya bisa
eksis
dan diterima dalam pikirannya sendiri.
Dunia luar hanya mencatat bahwa ia tumbuh
menjadi
orang yang makin lama makin pendiam dan misterius.
Kegiatan favoritnya adalah berkelana sendirian sepanjang
sisi utara Saint-Antoine. Melalui kebun‐kebun sayur dan
anggur serta padang rumput. Kadang ia tak pulang
dan
menghilang berhari-hari. Hukuman rotan yang menanti
ia
terima tanpa jerit kesakitan. Hukuman kurungan rumah,
tak boleh makan, atau kerja berat tetap tak mampu
mengubah perilakunya. Delapan belas bulan kunjungan
sporadis ke sekolah gereja di Notre Dame de Bon
Secours
juga tak memberi dampak berarti. Grenouille belajar sedikit
kemampuan mengeja dan menulis nama sendiri. Tidak
lebih. Guru-guru menganggapnya bodoh.
Madame Gaillard lain lagi. Ia menyadari bahwa anak ini
punya kemampuan dan kualitas tersendiri yang sangat
tidak biasa - kalau tak mau dibilang ajaib. Terutama sejak ia
tahu bahwa tak seperti anak kecil lain, Grenouille
sama
sekali asing dengan rasa takut terhadap kegelapan
dan
malam hari. Kau bisa menyuruhnya pergi ke loteng
kapan
saja, sementara anak-anak lain biar ditemani lentera
sekalipun pasti tak akan berani. Atau disuruh
mengambil
kayu bakar di gudang saat tengah malam. Grenouille
tak
pernah membawa penerangan apa pun, tapi selalu mampu
menemukan jalan dan kembali dengan barang yang diminta
tanpa membuat kesalahan - tidak pakai terjatuh,
tersandung, atau terjerembab. Madame Gaillard juga
menemukan bahwa Grenouille mampu melihat menembus
kertas, kain, kayu, bahkan tembok dan pintu terkunci.
Tanpa memasuki pondok ia tahu persis berapa jumlah dan
anak yang mana yang ada di dalamnya. Ia tahu ada tidaknya
ulat dalam kembang kol sebelum kol itu dibelah. Dan sekali,
saat Madame Gaillard yakin sudah menyembunyikan
uang
sedemikian rupa sampai ia sendiri tak bisa menemukan (ia
selalu mengubah lokasi penyimpanan), Grenouille langsung
menunjuk tanpa ragu ke sebuah lokasi rahasia di
balik
langit-langit perapian - dan memang benar adanya! Ia
bahkan mampu melihat masa depan, karena ia suka
meramalkan kunjungan seseorang jauh sebelum orang
itu
hadir, atau kehadiran badai sementara langit pada saat itu
cerah. Tak ada yang tahu bahwa Grenouille tidak
melihat
semua ini dengan mata, tapi mengendusi aromanya dengan
hidung yang dari hari ke hari makin menegaskan
presisi
aroma tersebut. Pada ulat dalam kembang kol, uang di balik
perapian, dan orang di balik tembok atau yang
berada
beberapa blok di ujung jalan sekalipun. Madame
Gaillard
tentu saja tak akan menduga sampai sejauh itu - pun andai
pukulan ayahnya dulu tidak menumpulkan indra
penciumannya. Ia hanya tahu dan yakin bahwa idiot
atau
tidak, bocah ini punya indra ke enam. Sadar bahwa orang‐
orang seperti itu cenderung membawa sial dan
kematian,
kehadiran Grenouille membuatnya resah. Apalagi jika
mengingat bahwa ia tinggal seatap dengan orang yang
punya bakat menunjukkan persembunyian uang di balik
tembok dan perapian. Dus, begitu yakin bahwa
Grenouille
memang memiliki bakat mengerikan ini, timbul niat untuk
menyingkirkan si bocah. Kebetulan saat itu usia Grenouille
sudah mencapai delapan tahun dan biara Saint-Merri tiba-
tiba menghentikan pembayaran tahunan begitu saja.
Madame Gaillard sengaja tidak menagih. Agar tampak
wajar ia menunggu sampai seminggu. Saat kiriman
uang
tak juga datang, ia menggandeng si malang Grenouille dan
mengajaknya berjalan-jalan ke kota.
Ia kenal seorang penyamak kulit bernama Grimal
yang
tinggal dekat sungai di jalan Mortellerie dan terkenal selalu
mencari pekerja muda - bukan untuk dididik sebagai murid
atau karyawan, tapi sebagai buruh murah. Ada tugas-tugas
tertentu yang berbahaya, seperti membersihkan daging
dari kulit yang membusuk, mencampur larutan dan
bahan
celupan beracun untuk proses penyamakan, dan membuat
larutan alkali yang membakar kulit. Sedemikian berbahaya
sampai membuat si pemilik usaha enggan menyerahkan
pengerjaan pada tenaga ahli dan lebih suka
mempekerjakan imigran, gelandangan, pelacur, atau anak
hilang yang tak akan menarik perhatian jika terjadi sesuatu.
Madame Gaillard tentu saja tahu bahwa dalam kondisi
normal Grenouille tak mungkin bisa bertahan hidup
di
pabrik penyamakan kulit milik Grimal. Tapi ia bukan
wanita yang suka mengasihani. Toh tugasnya sudah selesai.
Perwalian dan pemeliharaannya sudah berakhir. Apa yang
terjadi pada si anak setelah itu bukan urusannya lagi. Kalau
mampu bertahan, baguslah. Kalau mati, ya bagus juga - asal
dilakukan dan terjadi secara legal.
Jadilah ia meminta kuitansi dari Monsieur Grimal
sebagai bukti tertulis serah terima Grenouille,
menyerahkan kuitansi biaya komisi sebesar lima belas
Franc, lalu kembali pulang ke rumah. Nuraninya sama
sekali tak menyisakan sesal. Ia justru merasa
tindakannya
tidak hanya sah, tapi juga adil, karena jika ia
mempertahankan seorang anak yang biaya penitipannya
tak lagi dibayar, biaya tersebut otomatis terbebankan
ke
anak lain atau dirinya sendiri. Ini tentu sangat
membahayakan masa depan anak asuh lain, atau lebih
buruk lagi: masa depannya sendiri, mengubur
impiannya
untuk mati wajar, sendiri, dan terlindung. Satu‐satunya
keinginan yang tersisa dalam hidup.
Karena kita hendak meninggalkan Madame Gaillard dan
tak akan bertemu dia lagi dalam cerita ini, sudilah
kita
relakan beberapa kalimat untuk menggambarkan
bagaimana akhir hidupnya.
Walau mendambakan kematian yang wajar sejak kanak-
kanak, Madame Gaillard temyata diberi hidup sampai
usia
sangat, sangat tua. Pada tahun 1782, menjelang ulang tahun
ketujuh puluh, ia melepaskan bisnisnya, membeli surat
tunjangan hidup sesuai rencana, lalu duduk di rumah
menanti ajal. Tapi kematian tak kunjung tiba. Yang
datang
malah sesuatu yang sama sekali tak terduga siapa
pun:
Revolusi Prancis - transformasi gila-gilaan seluruh tatanan
sosial, moral, dan agama. Awalnya revolusi ini tak
memengaruhi nasib Madame Gaillard, tapi kemudian - di
usianya yang nyaris delapan puluh tahun-orang yang
memegang kewajiban pembayaran tunjangan hidup
Madame Gaillard harus beremigrasi, seluruh hak
kepemilikannya dilucuti, dan dipaksa melelang
kepemilikannya atas sebuah pabrik garmen. Untuk
sementara perubahan ini tetap tidak berakibat fatal
bagi
Madame Gaillard, karena pabrik garmen itu
melanjutkan
membayar tunjangan tepat waktu. Tapi kemudian tiba saat
di mana ia tak lagi menerima uang dalam bentuk koin, tapi
secarik kertas tercetak. Ini menandai awal kejatuhan
kondisi perekonomian Madame Gaillard.
Dalam dua tahun, surat tunjangan itu tak lagi
cukup
untuk membiayai hidup. Madame terpaksa menjual rumah
dengan harga sangat rendah karena ribuan orang lain
mendadak juga terpaksa menjual rumah. Dan sekali lagi ia
menerima pembayaran berupa secarik kertas tercetak yang
dalam dua tahun kembali tak bernilai. Tahun 1797
(menjelang usia sembilan puluh tahun), seluruh harta dari
hasil kerja kerasnya selama hampir seratus tahun ludes dan
ia terpaksa tinggal di sebuah kamar sempit di jalan
Coquilles. Pada saat itulah ‐ setelah sepuluh-dua
puluh
tahun terlambat, sang maut menjelang. Hadir dalam wujud
penderitaan berkepanjangan bernama kanker tenggorokan
yang merampas nafsu makan dan akhirnya suara. Madame
Gaillard bahkan tak mampu melenguh protes saat diusung
ke Hôtel-Dieu. Ia ditaruh di sebuah bangsal bersama
ratusan orang sekarat lain, di bangsal tempat
suaminya
meninggal dulu, berbagi ranjang berdempet-dempet
dengan lima wanita asing, dan tiga minggu kemudian mati
di depan umum. Mayatnya dibungkus karung, dilempar
ke
gerobak pengusung pupuk kandang pada jam empat
pagi
bersama lima puluh mayat lain, lalu seiring denting
bel
dibawa ke Damart - sebuah tanah pekuburan baru berjarak
satu mil di luar gerbang kota. Dan demikianlah
akhir
seorang Madame Gaillard... dalam sebuah kuburan
massal,
ditutup batu kapur tebal.
Itu terjadi tahun 1799. Untungnya Madame Gaillard
sama sekali tak menyadari nasib yang menanti saat
ia
melenggang pulang pada tahun 1746, meninggalkan
Grenouille dan cerita kita untuk selamanya. Kalau saja
ia
menyadari, detik itu juga keyakinannya tentang
keadilan
akan lenyap, bersama satu-satunya makna hidupnya
yang
paling berarti.

Enam

SEJAK PERTAMA KALI menatap Monsieur Grimal - tidak,


tepatnya sejak endusan pertama atas bau yang
menyelimuti lelaki itu, Grenouille langsung tahu bahwa
orang ini tega menyiksanya sampai mati untuk
kesalahan
kecil sekalipun. Hidupnya bergantung pada berapa banyak
pekerjaan yang bisa ditangani dan seberapa bergunanya ia
di mata Grimal. Grenouille tak melihat pilihan selain patuh.
Menurut dan tak mencoba melawan sama sekali. Hari demi
hari ia memendam seluruh energi pemberontakan dan
pertentangan, mengubahnya menjadi keinginan tunggal
untuk bertahan hidup ala kutu pohon. Ia bekerja keras, tak
mengeluh dan tak mencolok. Harapan hidup dipelihara
dengan kobaran sangat kecil tapi tetap menyala. Ia menjadi
teladan kepatuhan, kesederhanaan, dan ketekunan bekerja.
Mematuhi segala perintah tanpa bertanya dan tampak puas
menerima makanan apa pun yang disodorkan. Sore hari ia
membiarkan diri dikunci di lemari di samping lantai
penyamakan tempat menyimpan peralatan dan
menggantung kulit kasar yang baru saja digarami. Di
sana
ia tidur beralas tanah yang keras dan dingin. Siang
hari ia
bekerja sampai matahari terbenam - empat jam di
musim
dingin, empat belas, lima belas, dan enam belas jam
di
musim panas. Tugasnya mengoreki daging dari kulit
binatang, membasahinya, mencabuti bulunya, mengapur,
merendamnya dengan cairan kimia, melebarkan,
menggosoknya dengan kotoran binatang, membelah kayu
bakar, mencabuti ranting dari pepohonan, turun ke sumur
penyamakan berisi uap kimia yang membakar kulit,
melapis kulit yang masih mentah dan yang sudah
jadi
sesuai instruksi pekerja senior, memelarkannya dengan
remukan gallnut, lalu menutup lubang pembakaran dengan
ranting dan tanah untuk proses mumifikasi kulit. Bertahun-
tahun kemudian ia harus menggali lagi lubang tersebut dan
mengangkat kulit yang kini sudah sempurna tersamak.
Jika tidak sedang mengubur atau menggali samakan
kulit, ia ditugasi membawa air. Selama berbulan-bulan
ia
membawa air dari sungai dengan dua ember.
Jumlahnya
bisa ratusan ember dalam sehari karena penyamakan
membutuhkan air dalam jumlah besar untuk
perendaman,
perebusan, dan pencelupan kulit. Selama berbulan-bulan
tugas ini membuat badannya tak pernah kering. Sore
hari
pakaiannya selalu kuyup dan ia terpaksa tidur dengan kulit
dingin dan membengkak seperti rendaman kulit antelop.
Setelah setahun hidup seperti binatang, ia terjangkit
anthrax ‐ penyakit yang paling ditakuti penyamak dan
biasanya fatal. Grimal langsung memecat dan celingukan
mencari penggantinya, walau diiringi sesal karena
belum
pernah ia menemui pekerja sepatuh dan seproduktif
Grenouille. Di luar dugaan, Grenouille ternyata mampu
bertahan dan sembuh. Yang tinggal hanya parut kehitaman
dari radang kulit di belakang telinga, di kedua tangan, dan
pipi. Membuat wajahnya cacat dan lebih jelek
daripada
sebelumnya. Tapi ini juga membuat ia kebal terhadap
anthrax. Kini ia mampu menguliti kulit paling bau
dengan
tangan tersayat dan berdarah sekalipun tanpa khawatir
terinfeksi lagi. Ini membuatnya mencuat tak hanya
melebihi para pekerja magang dan pekerja senior, tapi juga
dari para calon penggantinya. Dan karena ia tak
bisa lagi
digantikan dengan mudah, nilai kerja dan nilai
hidupnya
meningkat. Mendadak ia tak boleh lagi tidur di
lantai dan
diizinkan membuat sendiri ranjang papan (kendati
masih
di lemari yang sama), diberi jerami sebagai kasur
dan
selimut sendiri. Pintu lemari tak pernah dikunci lagi saat ia
tidur. Makanan juga lebih memadai. Grimal tak lagi
memeliharanya sebagai binatang biasa, tapi sebagai
peliharaan yang berguna.
Di usia dua belas tahun, Grimal memberi istirahat
setengah hari setiap minggu, dan di usia tiga belas bahkan
mengizinkan Grenouille keluar jalan-jalan setiap minggu
sore selama satu jam setelah jam kerja. Selama satu jam itu
ia bebas melakukan apa saja. Grenouille memenangkan
taruhannya sendiri dengan tetap hidup dan menggenggam
secuil kebebasan yang lebih dari cukup untuk
bernapas.
Hibernasi sudah berakhir. Kini saatnya Grenouille sang
kutu pohon menggeliat. Aroma fajar dihirup kuat-kuat.
Ia
ingin sekali berburu aroma lagi. Cagar aroma terbesar
di
dunia kini terbentang di depan mata: kota Paris.

Tujuh

RASANYA SEPERTI HIDUP di tengah padang utopia.


Perkampungan di sekitar Saint-Jacques de la Boucherie dan
Saint-Eustache serasa taman surga. Di pinggiran jalan
sempit antara jalan Saint-Dennis dan jalan Saint-Martin,
orang-orang tinggal dalam rumah yang berdempet rapat
satu sama lain, setinggi lima sampai enam lantai, membuat
orang sulit menatap langit. Udara di permukaan tanah
membentuk kanal-kanal lembap yang sarat dengan bekuan
aroma - gabungan dari aroma manusia dan binatang,
air
dan batu, abu dan kulit, sabun dan roti segar
serta telur
yang direbus dalam air cuka, bau mi dan kuningan
yang
digosok, bau daun, bir dan air mata, juga bau
lemak dan
rumput basah serta kering. Ribuan aroma membentuk
bubur tak terlihat menyesaki selokan, jarang
membubung
menguap melewati atap dan tak pernah berasal dari dalam
tanah. Penghuninya tak lagi menganggap aneh bubur
aroma ini. Sebagian berasal dari badan mereka sendiri dan
mereka sudah sangat terbiasa. Lagi pula, ini juga
udara
yang mereka hirup sehari-hari - seperti baju yang
sudah
dipakai sedemikian lama sampai tak lagi tercium
baunya
atau terasa menempel di kulit. Tapi ini tentu saja
merupakan pengalaman pertama bagi Grenouille. Ia
tidak
mengendusi sekaligus, tapi ia pilah pilah secara analitis
menjadi bank data aroma satu demi satu dalam
ingatan
terpisah. Hidung ajaibnya lalu mengurai setiap
gumpalan
uap dan aroma menjadi satu untaian terpadu yang tak bisa
diuntai lebih jauh lagi. Seluruh proses ini memberi
kesenangan luar biasa.
Sering kali ia hanya berdiri diam, bersandar di
dinding
atau berjongkok di sudut dengan mata tertutup,
mulut
setengah terbuka dan hidung terkembang lebar.
Tenang-
tenang ia menunggu setiap arus aroma yang datang.
Saat
angin mengantar aroma ke arahnya, ia akan memburu
sampai dapat. Kadang ia hanya membaui satu aroma
saja,
dihirupnya dalam-dalam untuk disimpan baik-baik dalam
ingatan. Kadang ia mencium aroma yang pernah
dikenal
atau variasi dari aroma itu, kadang aroma yang sama sekali
baru dan belum pernah tercium atau “terlihat” sebelumnya,
misalnya aroma kain sutra cetak, wangi teh liar, aroma kain
brokat bersulam benang perak, aroma gabus penyumbat
sebuah botol anggur tua, dan aroma sisir yang terbuat dari
tempurung kura-kura. Grenouille terus berburu mencari
berbagai aroma asing. Ia memburu dengan kecintaan
dan
kesabaran seorang pemancing untuk disimpan baik-baik
dalam ingatan.
Setelah kenyang menghirup bubur aroma jalanan ia akan
pergi ke daerah yang lebih segar, di mana aroma lebih tipis
dan berbaur menyebar bersama angin - persis seperti
parfum. Misalnya seperti saat ia pergi ke pasar Les
Halles,
di mana aroma siang hari terus bertahan sampai sore. Tak
terlihat dan tipis-tipis, seolah para penjual masih membaur
dalam keramaian, seolah keranjang-keranjang dagangan
mereka masih di situ dan penuh dengan sayuran
serta
telur, atau tong‐tong sarat anggur dan cuka, kantong-
kantong berisi rempah, kentang, dan tepung, peti-peti
dengan paku dan sekrupnya, meja jagal, meja yang
sarat
gulungan pakaian, piring dan sol sepatu, serta ratusan
macam barang lain yang dijual di situ selama siang
hari.
Kesibukan dan keramaian yang terjadi, sampai sekecil-
kecilnya, masih terekam di udara. Grenouille “melihat”
semua ini dengan hidung. Ia membaui dengan
ketepatan
melebihi normalnya orang melihat dengan mata.
Persepsi
indranya berdasarkan fakta dan karena itu berada di
tataran lebih tinggi - katakanlah, ia mampu untuk langsung
“melihat” esensi dan roh dari apa yang telah terjadi, dalam
kondisi murni dan tak terganggu oleh peristiwa sehari-hari
pada saat itu, seperti suara, pandangan, atau tekanan
manusia lain yang membuatnya muak.
Di saat lain ia akan pergi ke tempat pemenggalan ibunya
dulu. Tempat bernama de Gréve di mana tanjungnya
menjorok ke sungai seperti lidah raksasa. Di sini
kapal-
kapal berlabuh, ditarik atau ditambat ke tonggak sepanjang
tanjung, dengan sebaran aroma batu bara, butiran
padi,
rumput kering, dan tali lembap.
Dari arah barat, melewati jalur tunggal yang
memotong
ke arah kota melalui sungai, datang embusan angin
besar
yang membawa aroma pedesaan - aroma padang rumput di
sekitar Neuilly, aroma hutan di jalur antara
Saint-Germain
dan Versailles, bahkan aroma kota‐kota nun jauh di
sana
seperti Rouen atau Caen, dan tak jarang juga aroma
laut.
Aroma laut tercium seperti sebuah pelayaran dengan
ombak berisi campuran antara air, garam, dan dingin
matahari. Laut memiliki aroma sederhana tapi sekaligus
juga unik dan begitu kaya. Sedemikian kaya sampai
Grenouille ragu apakah benar pilahan aromanya terdiri
atas ikan, garam, air, ganggang, udara segar, dan
sebagainya. Ia lebih suka membaui aroma laut sebagai satu
kesatuan. Grenouille sangat menyukai aroma laut
sampai
ingin suatu hari nanti meraup sendiri sepuasnya
sampai
mabuk - tentunya dalam kondisi yang murni dan
belum
tercemar. Kelak, saat ia mendengar dari cerita‐cerita
tentang betapa luasnya laut itu dan betapa kau bisa
melayarinya dengan kapal selama berhari-hari tanpa
bertemu daratan, dengan gairah menggebu Grenouille
membayangkan dirinya duduk di atas tiang kapal,
sepuasnya meluncur di tengah samudra aroma lautan.
Ia
yakin bahwa yang tercium nanti bukan hanya sekedar
aroma, tapi napas‐napas sebenar-benarnya yang menjadi
akhir dari segala aroma. Betapa senangnya jika bisa
membaur lepas dalam napas itu. Tapi ini akan tetap
jadi
impian bagi Grenouille, yang saat itu tengah berdiri di tepi
sungai de Gréve, dalam lantunan ajeg sisa-sisa sepoi angin
laut yang bisa ia endusi. Grenouille tak aka-n
pernah
melihat laut. Laut yang sebenarnya-samudra luas yang
terbentang jauh di barat, dan tak akan pernah bisa melebur
dengan aromanya.
Jadilah ia kembali dengan tekun mengendusi jalanan
antara Saint‐Eustache dan Hotel de Ville sampai ia mampu
mencari jalan sendiri dalam kegelapan sekalipun.
Grenouille memutuskan untuk memperluas daerah
perburuan. Pertama ke arah barat di sekitar pinggiran
Saint-Honore, lalu keluar sepanjang jalan Saint-Antoine
ke
arah Bastille, dan akhirnya menyeberang sungai ke daerah
Sorbonne dan pinggiran Saint-Germain, tempat tinggal
orang-orang kaya. Gerbang‐gerbang besi rumah mereka
mengembuskan aroma pakaian kulit dan bedak rambut
palsu, sementara tembok-tembok tinggi mengembuskan
aroma taman yang terdiri dari sapu, bunga mawar,
dan
pagar tanaman yang baru dipotong rapi. Di sini
pula
Grenouille pertama kali mencium aroma parfum secara
lateral: aroma lavender atau mawar yang menyarati air-air
mancur di taman saat acara pesta. Ia juga mencium aroma
parfum yang lebih kompleks dan mahal - larutan aroma
kesturi yang dicampur dengan minyak neroli dan tuberosa,
bunga jonquil, melati, atau kayu manis. Semua dicatat baik-
baik dalam ingatan. Didaftar satu per satu seperti
ketika
orang mendadak membaui aroma tak sedap dan
lantas
penasaran ingin tahu sumbernya - meski tanpa kekaguman.
Grenouille tentu saja sadar bahwa tujuan parfum
adalah
untuk menciptakan efek memabukkan dan memancing
minat serta perhatian. Ia juga mengenali nilai masing‐
masing aroma yang menyusun parfum tersebut. Namun
kalau mau jujur, aroma-aroma itu terasa agak kasar
dan
membosankan ‐ lebih seperti diaduk asal-asalan ketimbang
diracik. Grenouille yakin bisa membuat sendiri aroma
parfum yang sama sekali berbeda kalau diberi kesempatan
memelajari dan mengolah ramuan dasarnya.
Ia tahu bahwa sebagian besar ramuan tersebut
bersumber dari bebungaan dan kios rempah-rempah di
pasar, sementara sisanya sama sekali tidak ia kenal.
Grenouille menyaring satu per satu, tetap dengan
kondisi
tanpa nama: aroma ambergris, kesturi, patchouli, kayu
cendana, aroma minyak perasan buah bergamot, aroma
vetiver, aroma getah pohon, kapur barus, perasan kelopak
bunga, minyak jarak....
Grenouille tidak mengkhususkan satu aroma pun. Tidak
membedakan berdasarkan dikotomi 'aroma yang enak’
dengan 'aroma yang tidak enak’. Setidaknya belum. Saat ini
ia sedang ingin melahap saja dengan rakus. Tujuan
perburuan ini semata-mata demi meraup segala yang
bisa
diberikan oleh dunia dalam hal aroma - terutama
aroma
yang baru dikenal. Bagi Grenouille, bau keringat kuda sama
berartinya dengan aroma seikat bunga mawar. Bau
sangit
tubuh serangga tidak lebih berarti dari aroma sapi
panggang di dapur-dapur para borjuis. Grenouille melahap
semua tanpa pandang bulu. Semua, segalanya, dihirup
begitu saja. Tak ada prinsip estetika apa pun di
dapur
imajinasi indra penciumannya. Di situ ia senantiasa
menyintesis dan meracik berbagai kombinasi aromatik.
Bau tak sedap diterjang juga, karena nantinya toh dibuang
lagi - seperti anak kecil dengan mainan balok, ia mencipta
dan menghancurkan. Kreativitas Grenouille tak mengenal
norma.

Delapan

TANGGAL 1 SEPTEMBER 1753 adalah hari ulang


tahun
penobatan Raja Prancis. Kota Paris meriah dengan taburan
petasan di Pont-Royal. Memang tidak semeriah
kembang
api saat pesta pernikahan Sang Raja atau pesta peringatan
kelahiran Dauphin yang legendaris, tapi tetap saja
meriah.
Jauh sebelum dimulai, para pekerja sudah sibuk
mengangkat kembang api raksasa berbentuk roda matahari
emas ke tiang kapal di pelabuhan. Jembatan kota
Paris
berias kembang api berbentuk banteng yang
membuncahkan percik api ke arah sungai. Suara derak dan
letupan berkumandang dari segala arah, memekakkan
telinga di sepanjang trotoar. Petasan-petasan roket melesat
dan melukis langit malam dengan semburan cahaya
putih.
Ribuan orang memadati jalanan sepanjang jembatan
dan
dermaga di kedua sisi sungai, tak henti ber-”aaah...”
“uuuh...” ria serta seruan memuji, bahkan - sesekali
ditingkahi, “Panjang umur Sang Raja ... !” - walau
sadar
bahwa Sang Raja telah awet bertahta selama lebih
dari 38
tahun dan kepopulerannya sudah lama pudar. Hmm...
kembang api memang mampu membuat orang optimis.
Grenouille duduk termenung dalam diam di bawah
bayang-bayang Pavilyun de Flore, persis di seberang Pont-
Royal, di sisi kanan silngai. Tak sedikit pun ia
turut
bersorak. Apalagi sampai mendongak memandangi petasan
roket. Ia datang dengan harapan dapat mencium
sesuatu
yang baru, tapi tak lama kemudian sadar bahwa
kembang
api ternyata tak punya aroma apa pun yang bisa
ditawarkan. Variasi kemegahan dan kemewahan audio-
visual mereka hanya meninggalkan campuran aroma
yang
amat monoton: sulfur, minyak, dan potasium nitrat.
Grenouille sudah hendak bangkit dan berjalan pulang
menyusuri gang Louvre ketika tiba‐tiba saja angin
membawa sebuah aroma yang amat samar clan sulit
ditegaskan. Benar‐benar secuil aroma. Sekecil atom ‐ tidak,
bahkan lebih samar dari itu. Lebih seperti pertanda
datangnya aroma ketimbang aroma itu sendiri, namun
pada saat yang sama meniang sungguh terasa seperti
pertanda dari sesuatu yang belum pernah diciumnya
selama ini. Grenouille merapatkan punggung ke tembok,
menutup mata dan mengembangkan hidung lebar‐lebar.
Aroma misterius itu sungguh lembut dan tipis sampai
nyaris tak "terpegang". Persepsi yang ditimbulkan juga
berubah terus. Apalagi dikaburkan oleh aroma petasan,
keringat sekian banyak orang, menyerpih dan tergilas oleh
ribuan aroma lain di kota ini. Tapi beberapa detik
kemudian aroma itu datang lagi. Tipis‐tipis, bersama
sekelebat bayangan pertanda akan sesuatu yang amat
hebat, tapi hanya sedetik... lalu hilang lagi. Grenouille
sungguh dibuat menderita. Untuk pertama kali dalam hidup
ia tersiksa, bukan hanya ketamakannya menghirup
aroma
yang tersinggung, tapi hatinya juga sakit. Seperti ada
sesuatu yang dahsyat di balik aroma ini ‐ aroma yang boleh
jadi merupakan kunci untuk mengurutkan senua aroma.
Orang belum bisa disebut 'pakar aroma’ kalau belum
mengerti aroma yang satu ini. Celakalah Grenouille
kalau
sampai tak bisa mendapatkannya. Ia harus memiliki ‐
tak
hanya untuk disimpan tapi juga agar hatinya tenang.
Grenouille nyaris muntah karena gelisah. Ia bahkan
belum bisa memastikan arah datangnya aroma tersebut.
Kadang ada jeda beberapa menit sebelum angin
mengembuskan aroma itu lagi. Dan setiap kalinya ia nyaris
jantungan takut kehilangan. Setengah putus asa, akhirnya ia
yakin bahwa aroma itu datang dari seberang sungai.
Dari
suatu tempat di arah tenggara.

Grenouille menjauh dad tembok Pavilyun de Flore,


membaur di kerumunan orang, lalu merintis jalan
menyeberangi jembatan. Setiap beberapa langkah ia.
berhenti dan berjingkat agar marnpu mengendusi
aroma
itu dari atas kepala orang‐orang. Mulanya ia tak
mencium
apa pun selain kehebohannya sendid, tapi perlahan ia bisa
menangkap aroma itu. Bahkan lebih kuat. Sadar
sedang
mengikuti jejak yang benar, ia menyelarn lag~l ke
kerumunan orang, menggeliat melewati jejalan para
penonton dan pemasang petasan yang sibuk menyuluti
petasan roket, sempat kehilangan aroma buruan di tengah
bubungan asap, panik, mendorong dan menyikut membuka
jalan lebih gegas, lalu entah. setelah. berapa menit
kemudian baru tiba di seberang sungai, dekat Hotel
de
Mailly, dermaga Malaquest, dan jalan setapak yang
mengarah ke jalan Seine.
Grenouille menghentikan langkah, mengumpulkan
segenap kekuatan, lalu mengendus. Begitu dapat, ia
"genggam” erat‐erat. Aroma itu bergulung sepanjang
jalan
Seine seperti pita. Begitu jelas tapi sekaligus juga
begitu
samar dan tipis. Jantung Grenouille berdegup kencang

bukan karena kecapekan sehabis berlari, tapi akibat
kegelisahan dari ketidakberdayaannya di hadapan aroma
misterius itu. Ia mencoba mengingat sesuatu sebagai
pembanding, tapi tak ada yang sama. Aroma ini segar, tapi
bukan seperti segarnya jeruk limau atau buah delima.
Bukan juga segarnya getah myrrh atau kayu manis,
tidak
pula daun mint atau pohon birch atau getah camphor atau
duri pohon pinus. Membanding lebih jauh, kesegaran
ini
juga tidak mirip kesegaran rintik hujan bulan Mei
atau
angin musim dingin atau air sumur. Grenouille juga
mencium kehangatan dalam aroma tersebut. Tapi
lagi‐lagi
saat membandingkan ia yakin bahwa ini tidak seperti
kehangatan pohon jeruk, bergamot, pohon cemara, atau
kesturi. Tidak pula menyerupai kehangatan bunga
melati
atau narsis, bunga mawar ataupun iris. Aroma ini gabungan
keduanya ‐ mengabur dan substantif. Tidak, ini bukan
gabungan, tapi kesatuan. Walau tipis dan amat samar
namun tetap bergaung kuat dan terus-menerus - seperti
selembar kain sutra... tapi bukan sutra. Lebih seperti
kue
kering berbalur susu madu. Sampai di sini pun ia
bingung
sekaligus takjub: bagaimana mungkin aroma susu dan sutra
bisa hadir bersamaan! Grenouille tak habis pikir. Aroma ini
sungguh tak bisa dicerna, tak bisa digambarkan, dan
tak
bisa dikategorikan dengan cara apa pun ‐ bahkan mestinya
tak mungkin ada! Tapi toh aroma itu hadir dan
nyata
karena kini ia tengah membauinya. Grenouille
mengekor
perlahan. Jantungnya terus berdegup kencang. Ia sadar
bahwa sebenarnya bukan ia yang mengikuti aroma,
tapi
aroma itulah yang telah menangkap dan menariknya
seperti kerbau dicucuk hidung.
Grenouille menyusuri jalan Seine. Tak ada orang
sepanjang jalan. Rumah-rumah berdiri lengang dan kosong
karena penghuninya sedang masyuk kembang api di
sungai. Tak ada gangguan bau manusia atau sengatan asap
mesiu. Jalan Seine kembali ke pelangi aroma aslinya berupa
air, kotoran manusia, tikus, dan sampah sayuran. Tapi
di
atasnya mengambang aroma misterius yang kini tengah
menarik hidung Grenouille. Beberapa langkah memasuki
jalan, remang cahaya malam habis ditelan bangunan-
bangunan tinggi. Grenouille melangkah dalam kegelapan.
Peduli amat, toh ia tak butuh mata. Aroma tipis
ini saja
sudah lebih terang ketimbang lentera mana pun.
Lima puluh meter berikutnya ia membelok tajam
ke
jalan Marais - sebuah gang yang amat sempit dan
makin
gelap - kalau memang bisa lebih gelap lagi. Anehnya,
di
tempat ini aroma misterius itu seperti memudar -
tidak,
bukan memudar, tapi menjadi lebih murni. Kemurnian
yang justru mengeluarkan daya tarik lebih besar. Kaki
Grenouille seperti punya pikiran sendiri. Satu ketika
ia
tertarik ke arah kanan, lurus menuju sebuah dinding.
Grenouille meraba sebentar dan menemukan celah rendah
yang mengarah ke halaman belakang sebuah rumah - atau
gedung. Tak tahulah. Yang jelas ia terus melangkah seperti
orang mimpi berjalan. Ia melewati pekarangan,
membelok
di sudut ke sebuah pekarangan lain yang lebih kecil, dan di
tempat ini akhirnya ada cahaya, meski hanya
menerangi
daerah seluas beberapa kaki saja. Sebuah atap kayu
menjuntai dari dinding. Di balik dinding itu ada
meja
dengan sebatang lilin yang menyala. Seorang gadis
duduk
di depan meja sedang membersihkan sekeranjang plum
kuning. Tangan kirinya mengambil buah dari keranjang,
digenggam lalu dikupas dengan pisau, kemudian ia
melempar hasilnya ke sebuah ember. Umur si gadis
mestinya tak lebih dari tiga belas atau empat belas
tahun.
Grenouille bergeming menatap nanar tak percaya. Seketika
itu ia mengenali sumber aroma misterius yang telah ia ikuti
sejak setengah mil lalu dari seberang sungai: bukan berasal
dari pekarangan atau buah plum. Sumbernya adalah
si
gadis perawan itu!
Sekejap ia begitu kalutnya sampai tak percaya
sendiri.
Baru pertama kali ini dalam hidup ia menyaksikan sesuatu
yang begitu indah seperti si gadis pengupas buah
plum -
pun walau hanya sempat melihat dari belakang,
dalam
siluet nyala lilin. Maksud Grenouille di sini tentu saja lebih
mengacu bahwa ia belum pernah mencium benda
secantik
ini. Sungguh berbeda dengan aroma manusia yang ia kenal
selama ini - dari sekian ribu pria, wanita, dan
anak-anak
sepanjang pengalaman hidupnya, jadi tak heran bila ia sulit
meyakini ada aroma yang begitu elok bisa keluar
dari
tubuh seorang manusia. Selama ini ia yakin bahwa tak ada
yang istimewa dari aroma manusia - malah cenderung
mengerikan. Anak-anak berbau hambar, pria dewasa
berbau kencing, asam keringat, serta keju, sementara
wanita umumnya berbau lemak anyir dan ikan busuk.
Sungguh sangat tidak menarik dan memuakkan.
Begitulah
bau tubuh manusia.
Namun kini rupanya tiba saat Grenouille tak lagi
bisa
memercayai hidung dan harus mengandalkan mata
untuk
meyakinkan bahwa ia benar-benar melihat apa yang
dicium. Tapi kegalauan indra ini tak berlangsung
lama.
Hanya sedetik yang ia butuhkan untuk yakin pada
realitas
optik tersebut. Detik berikut ia kembali terbenam
dalam
surga persepsi indra penciuman. Baru sekarang ia
tersenyum saat mencium aroma manusia... dari tubuh
si
gadis - mencium bau ketiaknya, minyak di rambutnya, bau
amis di kemaluan.... Grenouille menghirup dalam‐dalam
seperti orang mengisap candu. Keringat si gadis
sesegar
angin laut, lemak rambutnya semanis minyak zaitun,
kemaluannya seharum bunga lili air, kulitnya semerbak
aprikot matang. Harmoni dari seluruh komponen ini
menghasilkan aroma parfum tiada tara yang begitu
kaya,
begitu seimbang dan ajaib, sampai-sampai setiap
parfum
yang pernah ia cium selama ini dan setiap kumpulan aroma
yang pernah ia ciptakan sampai detik ini, menjadi
begitu
kerdil dan tak berarti. Ratusan ribu aroma jatuh tak
berharga di hadapan aroma yang satu ini. Aroma
yang
memiliki tataran hierarki dan prinsip jauh lebih tinggi dan
mampu menata susunan aroma lainnya. Sungguh
sebuah
keindahan murni.
Grenouille sadar bahwa ia harus memiliki aroma ini atau
hidupnya tak berarti lagi. Ia harus memahami detail
terkecilnya, mengikuti sampai ke rambut terhalus. Ingatan
saja, betapa pun kompleks, tak akan cukup. Ia ingin
menanam aroma dewa ini ke kedalaman jiwanya yang
hitam dan berlumpur - menelusuri sedemikian rupa sampai
akhirnya tiba pada putusan bahwa sejak detik ini ia
akan
hidup, berpikir, dan membaui hanya berdasarkan
struktur
terintim dari formula magis aroma tersebut.
Perlahan ia mendekati si gadis, makin dekat dan
makin
dekat, sampai tiba persis di bawah atap teras dan berhenti
persis selangkah di belakang si gadis yang belum
juga
menyadari kehadirannya.
Rambut si gadis berwarna merah dan ia
mengenakan
gaun kelabu panjang tak berlengan. Lengannya putih bersih
dan tangannya kekuningan oleh perasan buah plum.
Grenouille membungkuk ke arah si gadis dan
menghirup
aroma murni yang menguap dari tengkuk, rambut,
dan
kerah baju. Grenouille menghirupnya seperti menghirup
udara pagi. Belum pernah ia merasa senyaman ini.
Si gadis lain lagi. Mendadak ia merasa udara
berubah
dingin. Kendati tidak melihat Grenouille, tak urung
tubuhnya gelisah. Bulu kuduk meremang seperti orang
menjelang ketakutan luar biasa. Dingin aneh itu datang dari
arah belakang, seolah ada yang baru saja membuka
pintu
ruangan luas yang dingin itu. Si gadis meletakkan pisau ke
atas meja, menarik tangan ke dada, lalu berpaling.
Tubuh si gadis begitu kaku ketakutan melihat Grenouille,
sampai tak mampu berbuat apa-apa saat lelaki itu
menjulurkan tangan mencekik leher. Ia bahkan tak sanggup
menjerit, meronta, atau berusaha membela diri. Grenouille
berpejam mata. Ia tak ingin melihat wajah berbintik
si
gadis, bibir ranum dan bola mata hijau yang
mendelik
penuh teror itu. Matanya terus terpejam sementara
mencekik. Yang dipedulikannya hanya satu: jangan sampai
aroma tubuh gadis itu hilang sedikit pun.
Setelah si gadis mati, Grenouille meletakkan tubuh
lunglai itu di lantai di antara biji-biji buah plum,
lalu
merobek bajunya. Gelombang aroma tubuh si gadis sontak
membanjir memabukkan. Wajah Grenouille merangsek
menggeseki kulit si gadis. Hidungnya rakus melahap aroma
yang menguap - dari perut ke buah dada, ke leher, sekitar
wajah dan rambut, lalu kembali ke perut, turun ke
kemaluan, ke paha dan kakinya yang putih. Ia mengendusi
mayat si gadis dari ujung kepala sampai ujung kaki,
mengumpulkan sisa-sisa terakhir aroma tubuh di bawah
dagu, di pusar, dan di kerutan siku bagian dalam.
Setelah puas dan yakin tak bersisa lagi, untuk
sesaat ia
duduk berjongkok di sisi mayat, mengumpulkan kesadaran
setelah menyesakkan diri dengan aroma si gadis.
Ibarat
minuman, ia tak ingin menumpahkan aroma itu sedikit pun.
Untuk itu, pertama sekali ia harus menguncinya di
kamar
ingatan yang terdalam. Barulah kemudian ia bangkit
dan
meniup lilin.
Sementara itu, orang-orang sudah mulai kembali pulang,
bernyanyi dan bersorak ria sepanjang jalan Seine.
Grenouille kembali mengandalkan penciuman untuk
menuntun pulang di kegelapan sepanjang gang, tembus ke
jalan Petits Augustins yang berseberangan dengan jalan
Seine, lalu terus ke arah sungai. Tak lama kemudian mayat
si gadis ditemukan. Jeritan dan kehebohan kontan meledak.
Obor-obor dinyalakan. Para penjaga dan patroli malam
tergopoh-gopoh berdatangan. Sementara Grenouille sudah
lama kembali berada di seberang sungai.
Malam itu, kamar sempit Grenouille serasa istana
dan
ranjang papan serasa beralas bulu angsa. Belum
pernah
seumur hidupnya ia mencicipi yang namanya kebahagiaan,
selain kesenangan-kesenangan kecil tapi tersumbat-dan itu
pun amat sangat jarang. Tapi kini ia sedemikian
bergelimang suka cita sampai tak bisa tidur. Rasanya
seperti baru lahir kembali - tidak, bukan lahir kembali, tapi
lahir untuk yang pertama kalinya, karena selama ini
rasanya ia tak lebih dari binatang dengan sekelumit
kesadaran. Baru hari inilah ia menyadari jati diri
sesungguhnya sebagai seorang genius, di samping
kesadaran bahwa arti serta tujuan hidupnya memiliki
takdir yang lebih tinggi, yaitu tiada lain untuk
merevolusi
dunia aroma. Hanya dialah satu-satunya manusia di
dunia
ini yang sanggup mewujudkan hal itu melalui keistimewaan
indra penciuman, ingatan luar biasa, dan yang
terpenting,
wewangian sejati yang baru saja ia ambil dari gadis di jalan
Marais tadi. Di dalamnya terkandung formula magis untuk
membuat parfum macam apa pun. Sebuah formula
wewangian yang begitu hebat, halus, kuat, stabil, bervariasi,
dan sekaligus menakutkan - sebuah keindahan yang tak
tertahankan. Telah ia temukan kompas menuju masa
depan.
Dus, seperti lazimnya tokoh-tokoh monster berbakat
besar yang cenderung melompat tanpa ragu ke
pusaran
kegelapan jiwa mereka setelah merasa mengalami
“pencerahan”, Grenouille tak pernah lagi berpaling dari apa
yang diyakininya sebagai jalan takdir. Jelas baginya
sekarang kenapa ia harus begitu bertahan hidup selama ini,
dalam kekejian dan kekerasan yang luar biasa pula.
Rupanya agar kelak bisa memenuhi takdir sebagai seorang
pencipta wewangian. Dan bukan yang biasa-biasa saja, tapi
pencipta dan ahli parfum terhebat sepanjang masa.
Dan pada malam itu juga, sejak bangun sampai
di alam
mimpi, ia memeriksa bank data memorinya yang luar biasa
itu. Jutaan demi jutaan matriks ingatan aroma dikaji dengan
teliti lalu disusun secara sisternatis dalam kategori
aroma
bagus, jelek, tipis, kasar, busuk, serta menyenangkan.
Seminggu berselang sistem ini tumbuh menjadi lebih halus
dan tersaring, katalog aroma menjadi lebih luas dan
beragam, hierarkinya juga lebih jelas. Tak lama
kemudian
Grenouille mulai mampu membangun fondasi struktur
aroma yang telah dibuat dengan sedemikian hati-hati,
seperti membangun kastil saja. Ada rumah‐rumah, tembok,
tangga, menara, gudang bawah tanah, kamar-kamar,
ruangan-ruangan rahasia ... pokoknya sebuah benteng
ingatan imajinasi yang dibangun berdasarkan aroma
terdahsyat yang pernah ada, yang setiap hari tumbuh
makin besar, makin indah, dan makin menyempurna.
Sebuah pembunuhan menjadi awal dari semua
kemegahan ini ‐ itu pun kalau ia sadar. Tapi
Grenouille
benar-benar tak ambil pusing. Ia bahkan sudah tak
ingat
lagi bagaimana rupa dan perawakan si gadis dari
jalan
Marais. Yang penting ia telah menyimpan dan
menjadikan
bagian terbaik dari gadis itu sebagai milik pribadi,
yaitu
aroma tubuhnya.
Sembilan

ADA SELUSIN LEBIH ahli parfum tinggal di Paris


pada
zaman itu. Enam orang tinggal di sebelah kanan
sungai,
enam orang tinggal di sisi kiri, dan satu orang tinggal pas di
tengah, persisnya di Pont au Change, yang menghubungkan
sisi kanan sungai dengan Ile de la Cile. Jembatan ini begitu
padat dengan gedung-gedung berlantai empat sampai
orang tak bisa lagi melihat sungai saat menyeberang
jembatan dan malah serasa berada di sebuah jalan
raya
biasa - jalan yang sangat elegan, malah. Pont au
Change
memang terkenal sebagai salah satu distrik bisnis
terbaik
di Paris. Bermacam toko ternama bisa ditemui di sini. Ada
pandai emas, pembuat lemari, pembuat wig dan
dompet
terbaik, bermacam pabrik pembuat pakaian dalam
wanita
dan stoking terbaik, pembuat bingkai lukisan, para
pedagang sepatu berkuda, pembuat sulaman untuk
hiasan
bahu, pembuat kancing emas, dan para bankir. Di distrik ini
pula berdiri bisnis serta kediaman seorang ahli parfum dan
pembuat sarung tangan terkenal bernama Giuseppe
Baldini. Jendela etalasenya dinaungi kanopi hijau
beraltar
nan mewah, persis di samping bendera simbol
keluarga
Baldini. Bendera simbol keluarga itu bertatahkan emas,
bergambar flacon (tabung kimia) emas yang menumbuhkan
seikat bunga yang juga emas. Di depan pintu toko
terhampar sebuah karpet merah dengan gambar simbol
keluarga Baldini bersulam emas. jika pintu dibuka
akan
terdengar denting bel Persia, disusul ayunan leher
dua
patung bangau memerciki air beraroma bunga
lembayung
dari paruh mereka ke sebuah bejana emas, yang kemudian
dibentuk menyerupai flacon seperti pada simbol
keluarga
Baldini.
Kenapa? Malam itu terjadi sebuah bencana kecil. Dengan
sedikit keterlambatan pengumuman, pihak istana
mengeluarkan dekrit yang mengharuskan peruntuhan
sedikit demi sedikit seluruh gedung yang berada di
atas
jembatan di seluruh Paris. Maka pada malam itu,
tanpa
alasan jelas, sebelah Barat Pont au Change, di
antara
dermaga ketiga dan keempat, runtuh berurutan. Dua
buah
gedung diserok ke arah sungai. Begitu menyeluruh
dan
tiba-tiba sampai penghuninya tak sempat menyelamatkan
diri. Untungnya hanya dua orang yang tercatat
sebagai
korban, yaitu Giuseppe Baldini dan istrinya, Teresa.
Para
pelayan telah keluar lebih dulu, dengan atau tanpa permisi.
Chénier adalah pelayan pertama yang berniat kembali lebih
dulu (karena. ia tak punya tempat tinggal lain), melangkah
dengan kaki terseok agak mabuk. Bisa ditebak betapa syok
dan runtuh sarafnya melihat kejadian ini. Sia-sia saja
pengorbanan hidupnya selama tiga puluh tahun, bersandar
harapan agar suatu hari nanti namanya tercantum
dalam
surat warisan Baldini karena si tua itu tak punya
sanak
ataupun saudara. Kini, dalam sekali kebas, seluruh warisan
itu musnah ‐ semuanya: rumah, bisnis, bahan mentah,
laboratorium, Baldini sendiri dan tentu saja surat
warisan
Baldini. Padahal ia yakin bahwa kelak hampir pasti Baldini
akan menunjuknya sebagai pemilik pabrik di Saint-Antoine.
Tak ada apa pun yang bisa ditemukan. Tidak
mayat,
brankas, atau buku catatan berisi enam ratus formula.
Hanya satu yang tersisa dari Giuseppe Baldini sang
pembuat parfum terbesar seantero Eropa: aroma
parfum
aneka warna - ada aroma kesturi, kayu manis, cuka
apel,
lavender, dan ribuan aroma lain. Selama beberapa
minggu
aroma ini mengambang tinggi di atas sungai Seine,
membentang dari Paris sampai Le Havre.
Bagian II

Di belakang meja kasir dari kayu boxwood ringan, berdiri


sang Baldini - setua dan sekaku pilar, mengenakan wig
berpupur perak dan mantel biru berhias bros
katak-katak
kecil dari emas. Harum bunga kemboja yang ia semprotkan
setiap pagi membungkusnya seperti kabut, nyaris
terlihat
saking tebalnya dan membuat si pemakainya sedikit kabur
dari pandangan. Sedemikian kakunya ia sampai seolah
menjadi bagian dari barang jualannya sendiri. Hanya
apabila bel berdering dan kedua bangau memercik parfum
- itu pun agak jarang terjadi, ia mendadak “hidup”.
Tubuhnya membungkuk dan mengecil sedemikian rupa,
Ialu bergegas keluar dari balik meja kasir begitu
cepatnya
sampai kabut parfum kemboja tak sempat mengikuti.
Segera ia menyambut serta memersilakan duduk si
pelanggan sementara ia memeragakan dagangan parfum
dan kosmetiknya yang terbaik.
Koleksi parfum serta kosmetik dagangan Baldini
jumlahnya ribuan. Stoknya bervariasi, mulai dari
essences
absolues - wewangian utama dari minyak bunga, larutan
alkohol, ekstrak, sari pati, balsam, getah, dan
bermacam
obat dalam wujud kering, cair, atau lilin. Ia juga
menjual
bermacam minyak rambut, pasta, bedak, sabun, krim,
bedak wangi, bandolin, sampo, lilin pengeras kumis,
obat
kutil, dan alat-alat kecantikan mulai dari minyak
mandi,
losion, garam pewangi, perlengkapan kamar mandi, dan
rupa-rupa parfum yang tak terhitung banyaknya.
Namun
Baldini belum puas dengan produk-produk kecantikan
klasik ini. Ia berambisi mengumpulkan semua benda
beraroma atau apa pun yang memiliki kontribusi
dalam
pembuatan parfum. Jadi, selain pastiles pelega
tenggorok,
lilin dan tali dupa, ia juga menyediakan bermacam rempah
mulai dari biji minyak adas manis sampai kayu
manis,
sirup, bermacam minuman anggur dan brendi perasan
buah, minuman anggur dari Cyprus, Malaga, dan
Corinth,
madu, kopi, teh, permen, dan buah kering, daun ara,
kembang gula. atau manisan, cokelat, kastanye, bahkan
caper kering, mentimun, bawang, serta ikan tuna yang
diasinkan. Masih ditambah dengan filin penyegel
parfum,
alat tulis-menulis, tinta khusus untuk menulis surat
cinta
beraroma bunga mawar, perangkat menubs dengan tas
kulit Spanyol, penyangga pena dari kayu cendana
putih,
peti jenazah dan peti-peti biasa dari kayu cedar, pot air dan
mangkuk berdekorasi mekaran bunga, kendi dupa dari
kuningan, flacon kristal dan kendi-kendi bertutup
gading,
sarung tangan beraroma, sapu tangan, bantal alas menjahit
berisi bunga pala, serta kertas dinding beraroma
kesturi
yang mampu menghiasi kamar selama lebih dari
seratus
tahun.
Tentu saja toko Baldini tidak cukup besar untuk
menampung semua barang tersebut. Ruangan toko
memang apik, namun kecil dan menghadap ke arah
jalan
(atau ke arah jembatan). Jadi, untuk gudang ia tak
hanya
menggunakan ruangan bawah tanah, tapi juga seluruh
lantai dua dan lantai tiga serta nyaris seluruh ruangan yang
menghadap ke sungai di lantai dasar. Bisa
dibayangkan
betapa kacaunya aroma yang menaungi Rumah
Keluarga
Baldini. Betapa pun elok kualitas tiap-tiap barang tersebut
(karena Baldini hanya mau membeli barang kualitas
terbaik), paduan aromanya nyaris tak tertahankan.
Ibarat
sebuah orkestra beranggotakan ribuan musisi dan masing-
masing memainkan melodi berbeda sekencang dan sesuka
hati. Baldini dan para asistennya sudah terbiasa
dengan
kekacauan ini - persis seperti konduktor-konduktor
orkestra berusia senja (yang kemampuan mendengarnya
sudah pasti menurun). Begitu pun Nyonya Baldini
yang
tinggal di lantai empat dan selalu menentang penumpukan
barang lebih jauh, nyaris tak terganggu lagi oleh kekacauan
aroma tersebut. Tapi tidak demikian bagi para
pelanggan
Baldini yang baru pertama kali memasuki toko.
Neraka
aroma yang menghantam indra penciuman terasa bagai
hantaman tinju tepat di wajah. Tergantung kekuatan
masing-masing, yang bersangkutan bisa seketika itu pusing
atau malah segar. Apa pun itu, yang jelas tetap
membuat
indra penciuman si pelanggan sedemikian linglung sampai
tak ingat lagi tujuannya datang ke toko. Tak sedikit bocah-
bocah kurir yang lupa pesanan, pendekar pedang nan
sangar mendadak muntah-muntah, dan wanita ningrat
yang mual-mual, setengah histeris, setengah klaustrofobia -
ketakutan berada di ruang sempit, lantas pingsan dan
hanya bisa dibangunkan oleh olesan minyak beraroma
paling tajam dari minyak cengkeh, amonia, dan getah
camphor.
Dengan keadaan seperti itu, sungguh tidak
mengherankan bila denting bel Persia dan percik
parfum
dari paruh patung bangau di pintu toko Giuseppe
Baldini
makin lama makin jarang terdengar.

Sepuluh

“CHÉNIER!” SERU BALDINI dari balik meja kasir setelah


sebelumnya berdiri berjam-jam sekaku pilar, menatap
ke
arah pintu. “Pakai wigmu!” demikian ia berseru lagi.
Dari
balik tong-tong minyak zaitun dan juntaian
daging-daging
ham, muncullah Chénier, asisten Baldini yang berusia lebih
muda tapi sudah tampak seperti lelaki renta. Yang
dipanggil melangkah ke meja kasir. Ia mengambil wig dari
kantung mantel dan mengepaskannya ke kepala.
“Anda mau keluar, Monsieur Baldini?” ia bertanya.
“Tidak,” jawab Baldini. “Aku ingin melanjutkan studi
selama beberapa jam dan tak ingin diganggu untuk apa pun
juga. Paham?”
“Aha! Saya tahu! Anda pasti sedang membuat
parfum
baru.”
BALDINI: Benar. Parfum yang akan dipakai untuk
kulit
Spanyol milik Count Verhamont. Ia ingin sesuatu yang
benar-benar baru. Ia meminta sesuatu yang seperti...
seperti... kurasa ia menyebutnya sebagai 'Cinta dan
Jiwa',
dan ia terima barang itu dari... dari pecundang di
jalan
Saint-Andre-des-Arts... itu... si... si....
CHÉNIER: Pélissier.
BALDINI: Ya. Tepat sekali, itu nama si pecundang
itu.
Hmm... 'Cinta dan jiwa', buatan Pélissier. Kau tahu soal ini?
CHÉNIER: Ya, ya, tentu saja saya tahu. Anda bisa
mencium baunya di mana pun saat ini. Apalagi di
setiap
sudut jalan. Tapi kalau menurut saya, sih, tak ada
bagus-
bagusnya! Sama sekali tak bisa dibandingkan dengan
apa
yang akan Anda ciptakan, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tentu saja tidak.
CHÉNIER: 'Cinta dan jiwa' ini baunya sungguh biasa saja.
BALDINI: Vulgar, begitu?
CHÉNIER: Sangat vulgar. Seperti apa pun ciptaan
Missier. Saya yakin pasti mengandung minyak limau.
BALDINI: Sungguhkah? Apa lagi?
CHÉNIER: Sari bunga limau, barangkali. Dan sedikit
rosemary dalam larutan alkohol. Tapi saya tak pasti benar.
BALDINI: Semua itu tak ada gunanya sama sekali bagiku.
CHÉNIER: Tentu saja tidak.
BALDINI: Aku tak peduli apa pun yang dipakai si
pecundang Missier itu dalam membuat parfum. Aku
tak
sudi menggunakannya sebagai inspirasi, kujamin itu.
CHÉNIER: Anda benar sekali, Monsieur.
BALDINI: Seperti kau tahu, aku tak mengambil inspirasi
dari siapa pun. Seperti kau tahu, aku menciptakan
parfumku sendiri.
CHÉNIER: Saya tahu, Monsieur.
BALDINI: Aku sendiri yang melahirkan mereka –
parfum‐parfum itu.
CHÉNIER: Saya tahu.
BALDINI: Dan aku sedang berpikir untuk
menciptakan
sesuatu untuk Count Verhamont yang akan membuat
kehebohan besar.
CHÉNIER: Saya yakin pasti demikian, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tolong jaga toko. Aku butuh ketenangan
dan
kedamaian. Jangan biarkan siapa pun mendekatiku,
Chénier.
Demikianlah, Monsieur Baldini bergegas. Tidak dengan
langkah seperti patung, tapi membungkuk sesuai
usianya
yang memang sepuh. Tapi bungkuknya begitu dalam
sampai nyaris seperti habis dipukuli, lalu perlahan menaiki
tangga ke ruang studi di lantai dua.
Chénier mengambil posisi di belakang meja kasir
dan
memasang pose persis seperti majikannya, dengan
pandangan lurus ke arah pintu. Ia tahu apa yang
akan
terjadi beberapa jam ke depan: sama sekali tidak
ada
pengunjung yang datang dan malapetaka rutin di
ruang
studi Baldini. Seperti biasa, Baldini akan melepas
mantel
biru yang sarat aroma kemboia itu, duduk di belakang meja
kerja, lalu menunggu inspirasi. Setelah dapat, ia
bergegas
menuju lemari berisi ratusan flacon dan mulai mencampur
asal-asalan. Campuran itu tentu saja gagal. Ia lalu
menyumpah-nyumpah, membuka jendela, dan membuang
isi tabung ke sungai. Ia akan mencoba lagi sesuatu yang lain
yang juga gagal, lalu kembali menyumpah-nyumpah sambil
mengamuk melempari barang di kamar yang baunya makin
pekat itu. Sekitar jam tujuh malam ia akan kembali turun ke
toko dengan roman sebal dan penampilan berantakan,
gemetar dan mengeluh, lalu berkata, “Chénier, aku
kehilangan hidungku. Aku tak bisa menciptakan parfum itu,
aku tak bisa memberi kulit Spanyol itu pada sang
Count.
Habislah semua. Jiwaku sudah mati. Aku ingin mati,
Chénier. Tolong bantu aku untuk mati!” Saat itu
Chénier
akan menyarankan agar menyuruh orang membeli sebotol
'Cinta dan jiwd dari Pélissier. Baldini setuju saja,
tapi
dengan syarat bahwa tak seorang pun yang boleh
mengetahui peristiwa memalukan ini. Chénier lantas
akan
bersumpah untuk tutup mulut dan malam ini mereka akan
membuat wangi bahan kulit Count Verhamont dengan
produk ciptaan orang lain. Pasti demikian yang akan
terjadi. Tak diragukan lagi. Chénier hanya berharap
agar
sirkus ini segera berakhir. Baldini bukan lagi seorang
ahli
parfum yang hebat. Dulu memang. Tapi itu dulu
sekali.
Waktu Baldini masih muda, tiga atau empat puluh
tahun
yang lalu, ia pernah menciptakan parfum bertajuk
'Mawar
dari Selatan’ dan 'Buket Baldini nan Megah’ – dua
parfum
yang sangat hebat dan membuatnya sekaya sekarang. Tapi
sekarang ia sudah tua dan kelelahan, tidak tahu
mode
terkini serta cita rasa modern, dan setiap kali
berhasil
menciptakan parfum sendiri, selalu ketinggalan zaman dan
tak bisa dipasarkan. Akibatnya dalam setahun mereka
harus mengencerkan dan mengoplosnya hingga sepuluh
banding satu dan harus puas menjajakannya sebagai
produk aditif untuk air mancur. Memalukan sekali,
pikir
Chénier sambil memeriksa posisi wig lewat cermin.
Memalukan soal si Baldini tua, memalukan soal
tokonya
yang indah karena kalau begini terus lama‐kelamaan pasti
rusak, dan memalukan soal aku sendiri karena saat toko ini
rusak kelak, aku sudah terlalu tua untuk mengambil alih.
Sebelas

GIUSEPPE BALDINI MEMANG melepas mantel


berparfumnya, tapi itu hanya karena kebiasaan. Aroma
kemboja yang menyengat sudah sejak lama tak lagi
mengganggu kemampuannya untuk mencium. Puluhan
tahun begini, tentunya sekarang sudah tidak terasa
lagi.
Dan walau ia telah menutup pintu dan meminta agar tidak
diganggu siapa pun, ia tidak duduk di belakang
meja
menunggu inspirasi. Baldini tahu, lebih dari Chénier, bahwa
inspirasi tak akan datang - dan memang tak pernah datang.
Bahwa ia kini sudah tua dan lelah, itu benar. Juga bahwa ia
bukan lagi seorang ahli parfum yang hebat. Tapi
hanya
Baldini sendiri yang tahu dan sadar bahwa ia tak
pernah
jadi ahli parfum sebenar-benarnya. Ia mewarisi 'Mawar
dari Selatan’ dari ayahnya, dan formula untuk parfum
'Buket Baldini nan Megah’ ia beli dari seorang
penjual
rempah keliling dari Genoese. Sisa parfum yang lain hanya
aroma biasa. Ia tak pernah menciptakan apa pun. Ia bukan
penemu. Hanya seorang penjual wewangian tradisional
yang hati-hati. Itu saja. Ibarat kata, ia adalah
seorang koki
dengan dapur nan hebat plus rutinitas dan resep
yang
bagus, tapi tak pernah menciptakan hidangan kreasinya
sendiri. Seluruh omong kosong ketenaran soal studi,
eksperimen, dan inspirasi serta lagak-lagu kerahasiaan
ia
lakukan semata-mata demi menjaga citra profesional
seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan.
Seorang
ahli parfum sejati setidaknya adalah juga seorang alkemis -
ahli kimia, yang menciptakan keajaiban. Itu gambaran yang
diinginkan publik. Baik, jadilah ia menciptakan citra
sedemikian. Bahwa karya seninya menghasilkan sesuatu
yang unik dan berbeda, hanya ia sendiri yang tahu
dan
bangga karenanya. Baldini tak ingin jadi penemu. Ia malah
sangat mencurigai hasil penemuan apa pun karena
yakin
bahwa sebuah penemuan hanya bisa mewujud setelah
melanggar hukum alam atau hukum masyarakat - entah
dengan perilaku curang atau culas atau apalah. Baldini juga
tak berniat menciptakan parfum baru untuk Count
Verhamont. Ia juga tak ingin mengikuti saran Chénier untuk
membeli saja 'Cinta dan jiwa’ dari Pélissier sore ini.
Ia
sudah beli dan kini teronggok di atas meja dekat
jendela,
dalam sebuah flacon berukuran kecil dengan sumbat gelas.
Ia membelinya beberapa hari lalu. Tidak secara
langsung,
tentu saja. Tak mungkin ia melenggang ke toko
Pélissier
dan membeli parfum itu dengan tangan sendiri. Ia
beli
lewat seorang perantara yang juga menggunakan perantara
lain sebelumnya. Kehati-hatian dalam berbisnis adalah
sebuah kemutlakan. Baldini tak berniat mengharumkan
kulit Spanyol itu dengan parfum Pélissier begitu saja - lagi
pula parfum dalam botol sekecil itu tak akan cukup. Tidak,
ia punya ide lebih jahat lagi: ia ingin meniru parfum itu.
Ya, kenapa tidak? Toh ini tak bisa dibilang ilegal. Hanya
tidak etis saja. Membuat imitasi gelap atau membajak
parfum ciptaan pesaing dan menjualnya dengan nama
sendiri adalah tindakan yang sangat rendah dan
tercela -
tapi tidak ilegal di zaman itu. Dan akan lebih
tidak pantas
lagi kalau sampai ketahuan atau tertangkap basah. Itu
sebabnya Chénier tak boleh tahu, karena ia terkenal tukang
gosip.
Sungguh mengerikan melihat kenyataan bahwa seorang
jujur sampai terpaksa mengambil jalan tercela. Betapa
mengerikan melihat kenyataan bahwa hal terpenting
dari
eksistensi manusia, yaitu kehormatan, bisa dikotori oleh
keburukan seperti ini. Tapi Baldini sudah kehilangan
akal,
harus bagaimana lagi. Count Verhamont adalah
pelanggan
penting yang tak boleh dilepaskan - apalagi karena tinggal
dialah satu-satunya pelanggan yang tersisa. Baldini tak mau
harus mengejar-ngejar pelanggan lagi seperti di awal
kariernya dulu saat berusia dua puluhan, saat
terpaksa
menggelandang di jalanan dengan sekotak dagangan
menggantung di perut. Tuhan tahu betapa ia,
Giuseppe
Baldini - pemilik toko parfum terbesar di Paris, di
lokasi
bisnis yang juga terbaik - kini hanya mampu bertahan
hidup melalui panggilan dari rumah ke rumah,
berbekal
koper kecil di tangan. Baldini tak suka begini
karena
usianya sekarang sudah lebih dari enam puluh talmn,
dan
ia benci harus menunggu di ruang tamu yang
dingin
sebelum sempat memeragakan eau des millefleurs dan
barang dagangan lain sampai borjuis-borjuis tua itu
bersedia melirik. Belum lagi kompetisi yang menjijikkan
dengan para pesaing lain. Ada si Brouet, orang kaya
baru
dari jalan Dauphine yang mengaku punya koleksi
minyak
rambut terlengkap di seluruh Eropa, atau Calteau dari jalan
Mauconseil - pengusaha katering yang sukses memasok
makanan untuk keluarga Duchess d'Artois, atau Antoine
Pélissier dari jalan Saint-André-des-Arts. Seniman yang
satu ini sungguh tak terduga, dan setiap musim
selalu
meluncurkan wewangian baru yang digilai seluruh dunia.
Parfum buatan Pélissier selalu merombak selera
pasar.
Misalnya jika tren tahun ini adalah air Hungaria dan Baldini
menimbun minyak lavender, bergamot, dan rosemary
untuk memenuhi tuntutan pasar sebagaimana wajarnya,
Pélissier akan hadir memperkenalkan 'Air de Muse' -
parfum kesturi yang amat keras. Setelah itu setiap
orang
mendadak berbau binatang, dan Baldini terpaksa
meracik
ulang stok minyak rosemary‐nya menjadi minyak
rambut
dan menjahit lavender menjadi pundi-pundi bedak.
Kalau
Baldini kemudian ikut menimbun minyak kesturi, civet, dan
castor untuk tahun depan, Pélissier segera merilis
parfum
lain bertajuk 'Kesegaran Rimbi’ yang dengan cepat menjadi
tren baru. Lalu, setelah Baldini bermalam-malam
melakukan percobaan dan menyuap sana-sini demi
menguak rahasia formula ‘kesegaran Rimbi’, Pélissier bakal
segera melonjak lagi dengan 'Senja di Turki' atau 'Rempah
Lisbor’, atau 'Bouquet de la Cour' atau parfum
sialan
lainnya. Orang ini sungguh berbahaya bagi bisnis
dengan
kesembronoan kreativitasnya. Membuatmu ingin kembali
ke hukum perdagangan yang lama. Membuatmu ingin
kembali ke “Hukum Draconian' untuk melawan seniman
pembangkang seperti Pélissier ‐ si biang inflasi bisnis
wewangian. Baldini gemas sekali. Kenapa izin praktik
Pélissier tidak dicabut saja, plus ganjaran pasal yang
melarangnya untuk berbisnis lebih jauh. Lebih dari
itu,
orang seperti ini mestinya harus diberi pelajaran!
Sangat
menyebalkan, karena Pélissier sendiri dikenal bukan
seorang ahli parfum atau pembuat sarung tangan
yang
terlatih. Ayahnya dulu hanya seorang pembuat cuka apel, ia
pun menuruni bakat yang sama: membuat cuka apel, tidak
yang lain! Tapi justru sebagai seorang pembuat cuka apel ia
punya akses menangani bahan-bahan beralkohol, dus
jadilah si brengsek itu mampu menggebrak dan
mengacau
kedamaian para ahli parfum sejati. Lagi pula, buat
apa
masyarakat membeli parfum baru setiap tahun? Apa
memang perlu demikian? Toh sejak dulu masyarakat sudah
cukup nyaman dengan kolonye sari bunga lembayung
dan
wewangian bunga sederhana yang hanya dimodifikasi
sedikit saja tiap sepuluh tahun. Selama ribuan tahun
masyarakat terbiasa dengan wewangian dan getah
aromatik biasa, beberapa macam balsam, minyak dan
rempah aromatik kering. Pun saat orang kemudian belajar
menggunakan flacon untuk menyuling jejamuan, bunga,
dan kayu serta mengambil sari aroma dari uap
ketiga
elemen tersebut dalam bentuk minyak yang mudah
menguap, lantas menggiling benih, biji, dan kulit buah
dalam gilingan pohon ek, kemudian mengekstraksi
aroma
dari kelopak bunga menggunakan minyak yang telah
disaring dengan hati-hati, bahkan pada saat itu
jumlah
parfilm yang dihasilkan masih sangat sedikit. Di zaman itu,
figur seperti Pélissier tak mungkin ada, karena untuk
membuat minyak rambut sederhana saja orang
membutuhkan keahlian yang tak terbayangkan oleh
seorang pembuat cuka apel. Ia tidak hanya harus
mampu
menyuling, tapi juga bertindak sebagai pembuat salep,
apoteker, alkemis, seniman, pedagang, humanis, dan tukang
kebun sekaligus. Ia harus mampu membedakan lemak
domba dengan lemak anak sapi, atau antara bunga
lembayung Victoria dengan bunga lembayung Parma. Ia
juga harus fasih berbahasa Latin. Harus tahu kapan
waktu
yang baik untuk memanen heliotrope dan kapan
bunga
pelargonium mekar, dan tahu bahwa kelopak bunga melati
cenderung kehilangan aroma saat matahari terbit.
Nah,
mana mungkin Pélissier mengerti hal-hal seperti ini?
Seumur hidupnya pun ia mungkin belum pemah
meninggalkan Paris, atau melihat bunga melati mekar
merekah. Belum lagi lengan sekuat Hercules yang
dibutuhkan untuk memeras beberapa tetes saja dari
sari
pati ratusan kelopak bunga melati. Hmm... mungkin ia
sudah tahu hal ini - tahu soal bunga melati, tapi pasti hanya
dalam bentuk sebotol cairan konsentrat berwarna
cokelat
gelap yang dicampur bersama formula-jadi lainnya
untuk
membuat parfum. Bah! Di masa kejayaan seniman
sejati
zaman dulu, manusia ngawur seperti Pélissier tak
akan
pernah diterima di mana pun-terutama di bisnis parfum. Ia
kekurangan segalanya: karakter, pendidikan, keagungan,
dan kepatuhan hierarki dalam serikat kerja. Kesuksesan
sebagai seorang ahli parfum ia peroleh semata-mata
dari
penemuan yang sudah ada sejak dua ratus tahun lalu
oleh
sang genius Mauritius Frangipani - ia orang Italia, lho!
Si
genius penemu aroma yang dapat larut dalam larutan
alkohol. Dengan mencampur bubuk aromatik ciptaannya ke
dalam alkohol untuk mentransfer aroma dari bubuk
tersebut ke cairan yang mudah menguap, Frangipani
telah
membebaskan aroma dari materi, menghaluskannya, dan
menemukan aroma sebagai aroma murni. Pendeknya, ialah
pencipta parfum pertama. kali. Hebat sekali!
Benar-benar
prestasi monumental dan hanya bisa disejajarkan
dengan
penemuan-penemuan besar umat manusia lainnya, seperti
penemuan sistem penulisan oleh bangsa Syria, Geometri
oleh Euclid, gagasan-gagasan Plato, atau metamorfosis dari
anggur menjadi minuman keras oleh bangsa Yunani.
Sungguh prestasi nan mulia!
Namun demikian, seperti yang selalu terjadi pada semua
penemuan besar, ditemukannya larutan alkohol juga
memiliki akibat baik dan buruk yang mengantar umat
manusia pada bencana dan penderitaan, setara dengan
manfaat yang bisa dihasilkan. Penemuan Frangipani tak
lepas dari hukum ini. Sekarang, saat orang tahu bagaimana
mengikat aroma bunga, jejamuan, kayu, getah, serta sekresi
binatang dalam larutan alkohol dan mengemasnya
dalam
botol, kualitas seni membuat parfum juga makin
merosot.
Dari yang semula. agung berada di tangan para empu, kini
juga bisa dilakukan oleh para penipu - setidaknya
penipu
berhidung lumayan tajam seperti si brengsek Missier.
Tanpa susah-payah memelajari proses penciptaan benda
menakjubkan seperti dalam botol ini, orang-orang macam.
Missier seenaknya mengikuti indra penciuman dan meracik
apa saja yang muncul di kepala atau apa pun
yang bisa
menjadi tren di masyarakat, walau untuk sementara.
Yang membuat Baldini lebih jengkel adalah fakta bahwa
apa pun pendapatnya, di usia 35 tahun si brengsek Pélissier
sudah berhasil mengumpulkan kekayaan lebih besar
dari
dia sendiri - sang Baldini, yang sebelumnya harus
susah-
payah membanting tulang tanpa henti selama tiga generasi.
Kejayaan Pélissier tumbuh dalam hitungan hari, sementara
Baldini malah makin merosot. Hal seperti ini sama
sekali
tidak mungkin terjadi sebelumnya! Kenyataan bahwa
seorang seniman dan pedagang terhormat sampai harus
berjuang mempertahankan hidup, ini terjadi sejak
beberapa dekade terakhir! Dan sejak kegilaan terhadap
barang baru merebak di mana-mana, masyarakat
seperti
kesetanan dengan hasrat terhadap tindakan dan percobaan
instan. Membuat perdagangan yang berlangsung jadi penuh
omong kosong, baik di dunia bisnis maupun ilmu
pengetahuan.
Segala kegilaan soal kecepatan. Apa maksudnya
membangun sekian banyak jalan baru di mana-mana - juga
jembatan? Apa gunanya semua itu? Apa untungnya
menempuh perjalanan ke Lyon dalam seminggu? Siapa
yang mampu membangun toko dalam waktu sesempit itu?
Siapa yang diuntungkan dari kondisi ini? Atau
menyeberangi Laut Atlantik dan berlomba ke Amerika
dalam sebulan - buru-buru sekali? Toh selama ini kita baik-
baik saja tanpa benua itu selama ribuan tahun. Apa
sebenarnya yang dicari oleh bangsa beradab seperti kita di
tengah hutan yang dihuni oleh Indian atau orang
Negro?
Orang bahkan jauh-jauh pergi sampai ke Lapland di Kutub
Utara. Padahal yang ditemui hanya es abadi dan
kebiadaban sampai terpaksa makan ikan mentah. Dan
sekarang kabarnya kita tengah berharap menemukan
benua baru yang konon berada di Pasifik Selatan,
atau di
manalah ‐ peduli amat. Kenapa harus gila-gilaan
begini?
Mungkin lantaran yang lain juga berlaku serupa -
orang
Spanyol, orang Inggris nan terkutuk, dan orang
Belanda
yang kurang ajar – selalu menantang tarung sementara kita
tak pernah punya cukup dana perang. Coba
bayangkan:
sebuah kapal perang harganya 300 ribu livre, padahal
dihajar kanon sekali saja bakal tenggelam dalam
waktu
lima menit - dan harga segitu dibayar dari pajak
kita!
Menteri Keuangan baru-baru ini menuntut upeti
sepersepuluh dari pendapatan pajak. Ini jelas
menghancurkan negara - pun bila tuntutan itu tak
dipenuhi. Benar-benar jahat.
Penderitaan manusia berakar dari ketidakrelaan untuk
menempatkan diri pada tempatnya. Ini Pascal yang bilang.
Dan Pascal adalah tokoh hebat - katakanlah, Frangipani-nya
kaum intelektual. Seorang seniman sejati. Orang zaman
sekarang sudah enggan dengan hal-hal begini. Sekarang
orang membaca buku-buku “panas” karangan Huguenots
atau orang Inggris, menulis risalah atau mahakarya
yang
katanya ilmiah dan berakibat mempertanyakan segala
sesuatu. Akibatnya, segala sesuatu kini tampak salah - tiba-
tiba segala sesuatu mesti berbeda. Yang terakhir
adalah
tentang binatang-binatang kecil yang belum pernah
ditemui sebelumnya dan katanya terkandung serta
berenang ria dalam segelas air. Mereka juga
menyebut
sifilis sebagai penyakit yang wajar dan bukan suatu bentuk
hukuman Tuhan. Tuhan tidak menciptakan dunia dalam
tujuh hari, katanya, tapi dalam waktu jutaan tahun. Heh! Itu
pun kalau benar Tuhan yang buat. Mereka juga
bilang
bahwa suku-suku liar sebenarnya manusia biasa seperti
kita juga, bahwa selama ini kita telah salah mendidik anak,
dan bahwa bumi tidak lagi bulat tapi rata di bagian atas dan
bawahnya seperti buah melon - apa pun itu, tak ada
bedanya! Di segala bidang, manusia mempertanyakan
segala sesuatu, menggali, mengorek-ngorek, membongkar
dan bereksperimen sesuka hati. Manusia sudah tak
puas
lagi dengan kondisi apa adanya. Semua harus bisa
dibuktikan, harus ada saksi, statistik, dan
eksperimennya.
Mereka mengagung-agungkan Diderot, d'Alembert,
Voltaire, dan Rousseau, atau entah siapa lagi ‐
bahkan ada
pendeta dan kalangan ningrat juga di antara mereka!
Seluruh tatanan masyarakat terinfeksi oleh pengkhianatan
mereka, pada kegemaran mereka akan kegelisahan dan
ketidakrelaan untuk puas dengan pemberian alam, atau
bahkan dengan segala kekacauan yang berkecamuk di
kepala mereka sendiri!
Sejauh mata memandang, hanya kekacauan yang
terlihat. Orang-orang asyik membaca buku. Bahkan
perempuan! Para pendeta membuang waktu di warung
kopi. Jika polisi ikut campur dan memenjarakan salah
seorang di antara mereka, para penerbit segera
menjerit
dan buru-buru menggelar petisi. Pria dan wanita dari
kalangan ningrat berlomba memanfaatkan pengaruh
mereka dan dalam beberapa minggu saja orang itu
dibebaskan atau diizinkan keluar negeri, kembali sibuk
menebar pamflet yang menyesatkan. Di salon
orang-orang
ribut omong kosong soal orbit komet dan ekspedisi,
tentang daya angkat dan hukum fisika Newton,
rencana
membangun kanal, sirkulasi darah, serta diameter bumi.
Sang Raja sendiri ikut-ikutan meminta mereka
mendemonstrasikan omong kosong gaya baru - semacam
petir buatan yang mereka sebut sebagai listrik. Di hadapan
seluruh majelis istana, seseorang menggesek sebuah botol,
lalu timbul bunga api. Konon menurut laporan, Yang Mulia
begitu terkesan. Baldini sungguh tak habis pikir.
Tidak
mungkin kakek sang Raja, Louis nan agung yang
sejati -
yang di bawah pemerintahannya Baldini hidup selama
bertahun-tahun - membiarkan demonstrasi sekonyol itu.
Tapi memang demikian tampaknya watak zaman ini,
kendati harus ditebus dengan konsekuensi cukup berat.
Saat orang sudah tak malu atau takut lagi
mempertanyakan kekuasaan Tuhannya Gereja; saat mereka
membicarakan monarki ‐ makhluk dengan keagungan
setara Tuhan - dan raja sebagai sosok suci di
dalamnya
semudah membicarakan tukar-menukar barang dalam
katalog tentang berbagai bentuk pemerintahan yang
ingin
dipilih seenak hati; saat orang sudah sedemikian
lancang
menggambarkan Tuhan Yang Mahaperkasa - Tuhan
semesta alam, seolah tak beda dengan materi lain yang bisa
digantikan, plus imbuhan bahwa semua tatanan, moral,
serta kebahagiaan di bumi ini bisa ada tanpa Dia
‐ murni
berdasarkan moralitas dan nalar bawaan manusia semata....
Ampun Tuhan!! Tak heran kalau semua jadi jungkir
batik,
degradasi moral dan azab Tuhan yang disangkal oleh
manusia sendiri. HasiInya kelak sungguh mengerikan.
Komet besar yang jatuh pada tahun 1681, misalnya. Mereka
berani berolok dan menyatakan bahwa itu tak lebih
dari
nukilan bintang! Padahal sesungguhnya pertanda yang
diturunkan Tuhan sebagai peringatan. Ramalan teramat
jelas tentang seratus tahun degradasi dan disintegrasi
di
lingkungan spiritual, politik, dan agama basil ciptaan
manusia sendiri, dan bahwa suatu hari kelak semua
ini
akan mengarah pada bencana dan keterpurukan global
di
mana hanya bunga rawa yang bisa tumbuh - seperti
Pélissier.
Baldini berdiri dekat jendela sebagai seorang tua
yang
tengah menatap tegas ke arah matahari terik di
atas
permukaan sungai. Kapal‐kapal tongkang hilir mudik di
bawah kakinya, perlahan bergerak ke barat, menuju
Pont-
Neuf dan dermaga di bawah serambi-serambi kota Louvre.
Kapal-kapal tidak ditambat melawan arus. Untuk itu
mereka memanfaatkan arus dari seberang pulau. Di
sini
segalanya mengapung menjauh-baik kapal-kapal kosong
maupun yang sarat muatan, sampan dan kapal-kapal
nelayan yang lebar dan datar, gulungan air keemasan
maupun yang cokelat kotor.. semua bergerak menjauh,
perlahan, dengan jarak makin lebar dan tak
tertahankan.
Dan jika Baldini melihat persis ke bawahnya, persis
ke
bawah tembok rumah dan jembatan, air serasa
mengisap
fondasi jembatan. Membuatnya pusing.
Ia telah salah membeli rumah di atas jembatan. Terlebih
di sisi barat, karena matanya kini hanya bisa melihat sungai
mengalir dan bergerak menjauh. Seolah ia dan rumah serta
seluruh kekayaan yang telah susah-payah ia kumpulkan
selama ini ikut mengalir menjauh bersama sungai,
sementara, ia sudah terlalu tua dan lemah untuk
melawan
arus. Kadang saat sedang berbisnis di sisi sungai
sebelah
kiri, di daerah Sorbonne atau sekitar Saint-Sulpice, ia
sengaja tidak menyeberang jembatan dan langsung ke Pont
Saint-Michel, tapi mengambil jalan memutar lebih jauh
lewat Pont-Neuf, hanya karena jembatan itu tidak memiliki
bangunan di atasnya. Kalau sudah begitu, ia akan berdiri di
sisi timur dinding jembatan dan menatap ke arah
sungai.
Menikmati arus sungai yang mengalir ke arahnya.
Selama
beberapa saat itu ia biarkan dirinya hanyut dalam lamunan
bahwa hidupnya kini telah lebih baik, bahkan
bisnisnya
sedang marak, keluarganya makmur, dan banyak wanita
yang memuja dan menghambur ke pelukannya. Bahwa
hidupnya sedang tumbuh makin besar dan makin besar.
Tapi saat pandangan itu bergeser sedikit saja, ia
langsung melihat rumahnya sendiri di kejauhan - tinggi,
panjang dan lurus, rapuh, berjarak beberapa ratus meter di
Pont au Change. Ia juga melihat jendela ruang kerja di lantai
dua dan melihat dirinya sendiri di situ, tengah memandang
aliran sungai seperti sekarang. Dan mimpi indah itu
pun
pupus. Baldini memutar tubuh, berjalan gontai dari
Pont-
Neuf dengan perasaan lebih remuk dari sebelumnya -
seremuk sekarang ini, saat ia berpaling menjauh dari
jendela dan duduk di meja kerja.
Dua Belas

DI HADAPANNYA DI ATAS MEJA, berdiri flacon


berisi
parfum karya Pélissier. Berkilapan cokelat keemasan
diterpa sinar matahari, bening dan tidak kusam.
Tampak
begitu polos seperti air teh yang tidak kental, tapi
tetap
solid sebagai parfum. Selain empat perlima bagian alkohol,
seperlimanya berisi campuran misterius yang mampu
mengharubirukan seluruh Paris. Campuran itu kalau diteliti
mungkin berisi tiga atau tiga puluh ramuan berbeda
yang
disiapkan dari berbagai kemungkinan kimia, yang
masing-
masing proporsinya sangat tepat. Jiwa parfumnya sungguh
terasa - itu kalau kita cukup berbaik hati menyebut parfum
buatan oportunis macam Pélissier 'memiliki jiwa’. Tugas
Baldini sekarang adalah bagaimana menemukan komposisi
parfum ini.
Baldini menghela napas perlahan lalu menarik
gorden
menutupi jendela. Cahaya matahari langsung dapat
sangat
merusak aroma parfum atau aroma konsentrat lain
yang
sejenis. Sehelai sapu tangan putih berenda ia
keluarkan
dari laci dan digelarnya di atas meja. Lalu, sambil menarik
kepala sejauh mungkin dan memencet hidung, ia memutar
tutup flacon perlahan-lahan. Ia tak ingin merasakan sensasi
penciuman prematur secara langsung dari botol. Parfum
harus diendus dalam bentuk gas yang sedang mekar, bukan
dalam bentuk konsentrat. Ia memercik beberapa tetes
ke
permukaan sapu tangan, mengibas-ibas sebentar untuk
mengusir uap alkohol, lalu didekatkan ke hidung.
Dalam
tiga tarikan napas cepat ia mengisap aroma parfum seolah
terbuat dari bubuk saja, lalu segera mendengus
menghembuskan napasnya ke diri sendiri, mengendus lagi
dengan irama waltz, dan akhirnya menarik napas
panjang
dalam-dalam yang kemudian dilepas perlahan dengan jeda
diam beberapa detik sampai hembusan terakhir. Baldini
menghempaskan sapu rangan ke meja dan ambruk ke
kursi.
Jujur saja, aromanya luar biasa. Missier sialan itu
rupanya benar‐benar ahli. Seorang master, malah! Pun bila
ia memang belum pemah menerima pelatihan apa pun soal
pembuatan parfum. Baldini sungguh berharap dialah
yang
membuat 'Cinta dan jiwa’ ini. Benar-benar orisinal
sekaligus klasik, padat, harmonis, dan sama sekali
baru!
Aromanya terasa segar tapi tidak seronok. Bernuansa
bunga tapi manisnya tidak terasa palsu. Ada
kedalaman
dari warna cokelatnya yang kaya, enak dilihat dan
menggairahkan, tapi tetap tidak terkesan berlebihan
atau
bombastis.
Nyaris dengan ketakziman Baldini berdiri dan
mengangkat sapu tangan itu sekali lagi ke dekat
hidung.
“Menakjubkan... menakjubkan...,” demikian ia bergumam
sambil mengendus dengan rakus. “Parfum ini punya
karakter yang riang dan memesona. Seperti melodi
yang
mampu membuatmu merasa nyaman sekaligus.... Ah, tidak!
Langsung membuatmu nyaman detik pertama kau
menciumnya!” Baldini melempar sapu tangan itu
kembali
ke meja dengan kesal. Memutar badan dan berjalan
menjauh ke sudut ruangan, seolah malu oleh
antusiasmenya sendiri.
Ngaco! Benar-benar ngaco! Bagaimana mungkin ia
membiarkan diri hanyut memuji, “... seperti melodi,
riang,
indah, terasa nyaman.” Dasar idiod. Idiotisme kekanak-
kanakan! Itu kan cuma kesan sedetik. Kelemahan
sesaat.
Bias temperamen semata-terutama dari darah Italianya.
Jangan menilai saat mengendus! Itu peraturan nomor satu,
dasar Baldini bodoh! Baui saja saat mengendus dan menilai
belakangan! 'Cinta dan jiwa’ tidak jelek sebagai parfum dan
terhitung produk berhasil. Peracikan dilakukan dengan
cerdas dan baik - kalau tak mau disebut “menyulap”.
Dan
kau tak bisa berharap lebih dari sulap murahan
kalau
sudah bicara soal Missier. Orang seperti dia tak
mungkin
bisa menciptakan parfum sempurna. Penipu itu
menyulap
dengan keahlian seorang master. Membingungkan indra
penciumanmu dengan kesempurnaan harmoni. Dalam seni
klasik pembuatan parfum, orang itu adalah serigala berbulu
domba. Pendek kata: Missier tak lebih dari monster
berbakat. Lebih buruk lagi: ia seperti setan yang menggoda
iman para ahli parfum sejati.
Tapi engkau, wahai Baldini, tidak akan sampai
terbodohi. Kau memang terkejut untuk sesaat oleh
kesan
pertama ramuan ini, tapi tahukah kau bagaimana aromanya
satu jam dari sekarang, saat unsurnya yang mudah
menguap lenyap dan struktur utamanya naik ke
permukaan? Atau bagaimana perubahan aromanya malam
ini, saat sisa-sisa aroma yang bisa dicium
meninggalkan
komponen-komponen gelap nan berat yang saat ini
tersembunyi di balik kemegahan aroma bunga? Tunggu dan
lihatlah sendiri, Baldini!
Peraturan kedua menyatakan bahwa parfum sejati
bersifat langgeng. Memiliki tiga tahapan masa - sebutlah
'masa remaja’, 'masa dewasa’, dan 'masa tua’. Hanya apabila
mampu memerikan aroma yang tetap segar dan enak
di
ketiga tahapan itu, sebuah parfum bisa disebut
berhasil.
Berapa sering kita menemukan bahwa campuran aroma
yang terasa begitu segar saat pertama kali dicoba ternyata
berbau seperti buah busuk selang beberapa waktu
dan
akhirnya sama sekali tidak meninggalkan aroma apa
pun
selain bau kesturi yang dipakai sebagai dasar? Seorang ahli
parfum harus sangat hati-hati soal ini. Kelebihan
setetes
saja akan sangat merusak hasil akhir sebuah parfum.
Ini
kesalahan klasik pembuatan parfum. Siapa tahu, bisa
saja
Missier berlebihan menggunakan aroma dasar ini.
Barangkali malam ini juga akan kita singkap
kepalsuan
'Cinta dan jiwa'. Lihat saja.
Kita akan mengendus lagi nanti. Indra penciuman
kita
ibarat kapak tajam yang mampu membelah kayu
sampai
menyerpih. Memfragmentasi setiap detail parfum ini. Akan
jelas nanti betapa aroma magis palsu ini ternyata
terbuat
dari bahan dan metode yang biasa saja. Kita, Baldini
sang
ahli parfum, akan menangkap basah tipuan Pélissier
si
pembuat cuka apel. Topeng itu akan kita robek dari wajah
buruknya dan kita tunjukkan pada dunia bagaimana
sesungguhnya kehebatan Baldini. Campurannya akan kita
tiru dan ubah menjadi sesuatu yang sama sekali
baru.
Tiruan yang sedemikian sempurna sampai Missier
sendiri
tak mampu membedakannya dengan buatannya sendiri.
Tidak! Masih belum cukup! Kita akan meningkatkan parfum
ini! Kita angkat apa yang salah, membuangnya, dan
memamerkannya di bawah hidungnya sendiri! Kau
hanya
seorang penipu, Pélissier! Tak lebih dari penipu
busuk!
Pesohor karbitan di dunia pembuatan parfum. Tak
lebih
dari itu.
Dan sekarang, ayo kita kerja, Baldini! Tajamkan
hidungmu dan enduslah tanpa bias sentimentalitas!
Filter
aroma ini dengan aturan seni yang benar! Sebelum malam
ini berakhir, kau sudah harus menggenggam formulanya!
Baldini seperti terjun ke meja kerja. Menyambar kertas,
tinta, dan selembar sapu tangan baru, lalu digelarnya baik-
baik, dan ia pun mulai menganalisis. Prosedurnya
begini:
celup ujung sapu tangan ke dalam parfum, kibaskan dengan
cepat di bawah hidung, lalu saring aromanya
berdasarkan
pilahan-pilahan ramuan yang terkandung tanpa bias
dari
kompleksitas gabungan bagian yang lain. Kemudian, sambil
memegang sapu tangan di ujung tangan yang terjulur, catat
nama ramuan yang ditemukan, lalu ulangi lagi dari
awal
sambil terus melayang-layangkan sapu tangan ke dekat
hidung, menangkap fragmen aroma berikutnya, dan
seterusnya....

Tiga Belas

BALDINI BEKERJA TANPA HENTI selama dua jam,


dengan gerakan yang makin lama makin kacau, makin jorok
menulis dari tinta ke kertas, dan makin besar dosis parfum
yang ia teteskan ke sapu tangan untuk diendus hidungnya.
Ia nyaris tak bisa mencium apa-apa lagi sekarang.
Uap
parfum yang ia hirup membuat mabuk. Ia tak bisa
lagi
mengenali niat awal untuk membongkar kepalsuan
Pélissier. Baldini sadar tak ada gunanya terus mencium. Ia
tak akan pemah bisa menyarikan ramuan parfum misterius
ini. Yang pasti bukan hari ini atau besok saat
hidungnya
pulih kembali kalau Tuhan mengizinkan. Kegiatan
mengendusi dan memilah-milah unsur dasar aroma,
memfragmentasi kesatuannya untuk memastikan kualitas
gabungan aroma yang tercipta menjadi komponen-
komponen terpisah, adalah kegiatan yang sangat
melelahkan dan memualkan. Kini semangatnya sudah
terbang entah ke mana. Ia tak ingin meneruskan lebih jauh.
Kendati niatnya demikian, tapi tangannya seperti punya
pikiran sendiri. Ini buah dari praktik selama ribuan
kali
sebagai pembuat parfum. Mencelupkan sapu tangan lalu
dianginkan dan dikibas dengan cepat melewati wajah.
Setiap tarikan napas ia tahan selama beberapa detik untuk
kemudian dilepas dengan helaan dan jeda yang
terlatih.
Sampai akhirnya hidung itu sendiri yang memutuskan
untuk berhenti dari siksaan. Baldini mulai dihinggapi reaksi
alergi sampai benar-benar tak mampu mencium
apa-apa
lagi seperti disumbat lilin. Bernapas pun sulit. Seolah
terserang pilek hebat sampai matanya berair. Puji Tuhan!
Sekarang ia bisa berhenti dengan lega. Tugas telah
dilakukan dengan sekuat tenaga dan usaha terbaik,
berdasarkan aturan seni yang benar, kendati akhirnya
harus kalah (seringnya begitu). Saatnya untuk ultra
posse
nemo obligatur - tutup toko! Besok pagi ia akan pergi
ke
tempat Pélissier untuk membeli sebotol besar parfum
'Cinta dan jiwa’ untuk membuat wangi kulit Spanyol
milik
Count Verhamont sesuai permintaan. Setelah itu ia
akan
kembali menenteng koper kecil berisi rupa‐rupa sabun
model kuno, kantung-kantung aromatik, minyak rambut,
dan pundi-pundi bedak, lalu berkeliling ke salon-salon para
countess tua yang selalu gemetar sebagai langganan
terakhir. Barangkali saat itu ia juga akan sama gemetarnya
dan terpaksa menjual toko serta bisnsnya kepada Pélissier
atau salah satu dari puluhan pedagang kaya karbitan
di
kota ini. Kalau cukup beruntung ia bisa menjual
seharga
beberapa ribu livre. Ia akan mengepak satu atau dua koper
dan pergi ke Italia bersama istri tercinta (kalau
belum
keburu mati lantaran stres). Dan jika ia sanggup
bertahan
seusai perjalanan, ia akan membeli sebuah rumah
kecil di
pedesaan dekat Messina karena harga barang¬barang di
sana murah. Di sanalah, dalam pahitnya kemiskinan,
ia,
sang Giuseppe Baldini, mantan ahli parfum terbesar
di
Paris, akan meninggal dunia - kapan pun Tuhan
mengizinkan. Yah, kedengarannya tidak terlalu buruk.
Baldini menyumbat kembali flacon parfum, meletakkan
pena dan mengusap sapu tangan beraroma tajam itu
ke
kening untuk terakhir kali. Luapan alkohol cukup
menenangkan, tapi tidak lebih. Matahari terbenam di
ufuk
barat.
Baldini berdiri dan membuka gorden. Tubuhnya
mandi
cahaya matahari sore sampai ke lutut, merah padam seperti
sebatang obor tua saat apinya habis. Ufuk merah matahari
bersernbunyi di belakang kota Louvre bersama pijaran api
lembut menjajari atap-atap rumah. Sungai berkilau
keemasan dan kapal-kapal sudah lenyap. Angin sore
berhembus menyapa permukaan air, berkilapan di sana-
sini, bergerak makin dekat seperti tangan raksasa menebar
jutaan koin emas di atas air. Sesaat Baldini merasa
arus
sungai sore itu berbalik arah: mengalir ke arah
Baldini.
Banjir oleh kilauan emas.
Mata Baldini basah dalam kesedihan. Lama sekali
ia
berdiri diam memandang keelokan alam. Lalu tiba-tiba
ia
mendorong membuka jendela lebar-lebar dan melempar
parfum Pélissier sejauh mungkin, melengkung tinggi
sepanjang sungai, berkecipak dan membelah kilapan
permukaan air sebelum tenggelam dalam sekejap.
Udara segar menghambur ke dalam ruangan. Baldini
megap-megap menghirup napas dan segera sadar
bahwa
hidungnya mulai membaik. Lalu menutup jendela.
Hampir
bersamaan, malam turun begitu tiba-tiba. Pemandangan
kota dan sungai yang semula berpendar keemasan berubah
menjadi siluet kaku berwarna kelabu. Ruang kerja
Baldini
kini gelap. Ia tak bergeser dari posisi awal dan
tetap
menatap keluar jendela. “Aku tidak akan mengirim seorang
pun ke tempat Pélissier besok pagi,” ia berkata.
Kedua
tangan mencengkeram punggung kursi erat-erat. “Tidak
akan. Dan aku juga tidak akan berkeliling ke
salon-salon
lagi. Aku akan langsung pergi ke notaris besok pagi
dan
menjual nunah serta bisnisku. Itu yang akan
kulakukan.
Haram jadah!”
Ekspresi wajah Baldini saat itu sumringah seperti bocah
dan tiba-tiba ia merasa sangat bahagia. Sekali lagi ia adalah
Baldini tua sekaligus muda. Dengan keberanian dan
keteguhan kuat menghadapi nasib pun bila keteguhan
itu
berarti mundur teratur. Memangnya kenapa?! Tak ada lagi
yang bisa dilakukan. Tekadnya bulat untuk
meninggalkan
masa lalu yang bodoh, di mana seolah tak ada
pilihan.
Tuhan Mahaadil dalam memberi suka maupun duka,
tapi
Dia tak ingin kita meratapi dan menangisi duka. Justru kita
harus membuktikan pada diri sendiri bahwa kita
memang
jantan. Dan rasanya Dia memang telah memberikan tanda-
Nya. Fatamorgana merah keemasan dari siluet kota saat ini
merupakan peringatan: bertindaklah sekarang, saat ini
juga… Baldini. Sebelum terlambat! Mumpung rumahmu
masih berdiri kokoh, gudangmu masih penuh, dan
mumpung masih bisa menawar dengan harga yang
baik
untuk bisnis gagalmu. Putusan masih Dia biarkan di
tanganmu. Menikmati hari tua dengan hidup sederhana
di
Messina memang bukan tujuan hidup sejak awal, tapi
masih lebih terhormat dan terhitung ibadah ketimbang
musnah dalam kemewahan semu di Paris. Biarkan
saja
keluarga Brouet, Calteau, dan Pélissier bersorak
sekarang.
Giuseppe Baldini memang gulung tikar, tapi setidaknya ini
dilakukan dengan kehormatan dan atas kehendak sendiri!
Baldini merasa cukup bangga pada diri sendiri.
Benaknya kini begitu damai. Untuk pertama kalinya dalam
hidup ia merasa begitu nyaman. Lehernya tidak kaku
lagi
dan bahunya serasa hidup. Ia berdiri tegak tanpa
beban,
rileks, bebas dan puas dengan diri sendiri. Duh,
untuk
pertama kalinya bernapas terasa begitu ringan. Ia
bisa
dengan jelas mencium aroma parfum 'Cinta dan jiwa’ dalam
ruangan tanpa harus terpengaruh. Baldini telah mengubah
jalan hidup dan merasa bahagia. Sekarang ia hendak
naik
menemui istrinya dan menyampaikan putusan ini.
Setelah
itu ia akan berziarah ke Notre-Dame dan menyalakan
lilin
sebagai ungkapan terima kasih atas petunjuk serta
berkah
yang telah Tuhan berikan padanya, Giuseppe Baldini, dalam
wujud kekuatan karakter.
Dengan bergegas, nyaris seperti anak muda, Baldini
memakai wig di kepalanya yang botak, mengenakan mantel
biru, menyambar lilin dari meja, dan keluar dari ruangan. Ia
baru saja menyalakan lilin sepanjang perjalanan naik
saat
mendengar bel pintu berdenting di lantai dasar.
Bunyinya
bukan denting bel Persia dari pintu toko, tapi bel dari pintu
masuk pelayan - bunyi menyebalkan yang selalu terasa
mengganggu. Ia selalu mengubah putusan untuk
menyingkirkan benda itu dan menggantinya dengan bel
yang lebih enak didengar dengan alasan biaya yang
dirasa
berlebihan. Tapi kini pikiran itu malah membuatnya
terkikik geli. Toh tak ada bedanya lagi sekarang
karena ia
akan menjual bel itu sekalian bersama rumahnya.
Biar
penghuni baru saja yang gantian jengkel kelak.
Denting nyaring bel terdengar lagi. Baldini menajamkan
telinga ke arah suara di lantai bawah. Tampaknya
Chénier
sudah pulang dan pelayan wanitanya juga enggan
menjawab membukakan pintu. Jadilah Baldini turun
sendiri.
Baldini melepas gerendel dan membuka pintu.
Hmm...
tak ada siapa-siapa? Kegelapan malam seperti menelan
bulat-bulat cahaya lilin yang ia bawa. Lalu, perlahan sekali,
matanya meraba sosok seorang anak atau pemuda
tanggung mengapit sesuatu di lengannya.
“Mau apa kau?”
“Saya dari Maltre Grimal, mengirimkan kulit kambing
pesanan Anda,” jawab orang itu sambil melangkah
lebih
dekat dan menyorongkan setumpuk kulit kambing dari
lengannya yang menekuk. Dalam cahaya lilin, Baldini mulai
bisa melihat wajah si bocah serta matanya yang gugup dan
tak bisa diam. Tubuhnya bungkuk, seolah bersembunyi
di
belakang kedua lengan yang terjulur, menunggu untuk
ditinju. Orang itu adalah Grenouille.
Empat Belas

KULIT KAMBING UNTUK BAHAN kulit Spanyol Count


Verhamond. Baldini baru ingat sekarang. Ia memesan kulit
itu dari Grimal beberapa hari lalu. Kulit kambing
dengan
kualitas terbaik dan terhalus yang akan dipakai
sebagai
pengering tinta di meja Count Verhamont, seharga
lima
betas Franc per potong. Tapi ia tidak terlalu
membutuhkannya lagi sekarang, di samping untuk
menghemat pengeluaran. Di pihak lain, kalau ia tolak begitu
saja... ? Siapa tahu akan membuat kesan jelek, orang-orang
akan bergunjing dan menebar gosip bahwa Baldini
mulai
tak bisa dipercaya, Baldini mulai kehabisan pesanan,
Baldini tak hisa membayar tagihan... dan itu tidak baik. Oho,
tidak, karena justru akan menurunkan nilai jual
bisnisnya.
Akan jauh lebih baik kalau sekarang ia terima saja
kulit
kambing tak berguna ini. Tak ada yang perlu tahu
bahwa
Giuseppe Baldini sebenarnya telah memutar haluan.
“Masuklah!”
Ia memersilakan bocah itu masuk dan berjalan bersama
ke arah toko. Baldini memimpin dengan lilin di
tangan,
sementara Grenouille mengikuti di belakang sambil
menenteng kulit kambing. Ini adalah kali pertama
Grenouille menginjakkan kaki di rumah seorang ahli
parfum. Tempat di mana aroma bukan sekadar hiasan tapi
menjadi pusat perhatian. Ia mengetahui setiap ahli parfum
dan apoteker di kota ini, sering berdiam bermalam-malam
di etalase mereka dengan hidung menempel di celah lubang
kunci. Ia tahu setiap aroma yang ditangani di sini dan kerap
menggabungkannya di rumah aroma imajiner dalam
ingatan untuk menciptakan parfum terbaik. Jadi
sebenarnya tidak ada yang baru atau terlalu aneh, namun ia
tetap merasa seperti anak kecil genius musik yang
jejingkrakan kegirangan ingin melihat sebuah orkestra dari
dekat atau memanjat melewati paduan suara gereja hanya
untuk melihat organ yang tersembunyi. Grenouille ingin
sekali melihat toko parfum dari dalam, dan karena
itu
segera menyambar kesempatan untuk mengantar kulit
kambing ke tempat Baldini.
Kini ia berdiri dalam ruang toko Baldini.
Satu-satunya
tempat di Paris dengan jumlah terbesar aroma profesional
yang diracik dalam sebuah ruangan kecil. Ia tak
bisa
melihat banyak di keremangan cahaya lilin, kecuali sekejap
bayangan meja kasir dengan timbangannya, dua patung
bangau di atas baki parfum, sebuah kursi berlengan untuk
pelanggan, lemari-lemari gelap sepanjang dinding, sekilas
peralatan menulis dari perunggu, serta label-label putih
pada botol dan wadah leburan logam. Ia juga tak
bisa
mencium melebihi apa yang sudah biasa diciumnya
dari
jalanan, tapi ia segera bisa merasakan keseriusan
yang
melingkupi rumah ini. Boleh juga disebut sebagai
keseriusan suci - kalau kata 'suci' memang punya arti buat
seorang seperti Grenouille. Yang jelas ia merasakan sensasi
keseriusan yang dingin, ketegasan dari keahlian dan
seni
seorang seniman, serta keseriusan atmosfer bisnis yang
melekat di setiap mebel, setiap alat, sampai ke
kaleng,
botol, dan pot. Sepanjang langkah mengikuti Baldini, dalam
bayang-bayang tubuh si ahli parfum karena Baldini tak mau
repot‐repot menerangi jalan, Grenouille hanyut dalam
fantasi bahwa tempat ini miliknya. Bahwa di sinilah tempat
di mana ia kelak akan mengguncang dunia
Gagasan ini tentu saja sombong sekali. Tak ada
alasan
yang bisa membenarkan seorang pembantu penyamak kulit
berlatar belakang tak jelas, tanpa koneksi atau
perlindungan dan tanpa status sosial apa pun, untuk
sampai berharap bahwa ia bisa mengambil keuntungan
dari toko parfum paling terkenal di Paris ini. Apalagi sejak
kita tahu bahwa Baldini hendak mengakhiri bisnisnya.
Namun bagi Grenouille, gagasan sombong ini bukan
semata-mata harapan, tapi kepastian. Ia sadar bahwa satu-
satunya cara untuk lolos dari penjara nasib adalah dengan
kabur meninggalkan Grimal dan mengambil alih toko
ini.
Grenouille si kutu parasit mulai mencium darah.
Bersumber dari dendam dan kebencian yang ia
biarkan
tidur selama bertahun-tahun, terbungkus rapat dan
menanti peluang. Sekaranglah kesempatan itu. Tak
peduli
bagaimana akhirnya. Jadi sama sekali bukan soal
harapan.
Itu sebabnya Grenouille bisa begitu yakin.
Mereka sampai di ruangan toko. Baldini membuka ruang
belakang yang menghadap ke arah sungai dan berlaku
sebagai gudang sekaligus bengkel dan laboratorium.
Tempat di mana sabun dimasak, pomade diracik
menjadi
minyak rambut, dan eau de toilette dicampur dalam botol-
botol besar.
“Di sana!” Baldini menunjuk ke sebuah meja besar
di
depan jendela. “Taruh kulitnya di sana!”
Grenouille melangkah keluar dari bayang-bayang
Baldini, menaruh kulit kambing di meja, lalu dengan cepat
melompat kembali ke belakang, memosisikan diri di antara
Baldini dengan pintu. Baldini berdiri diam beberapa
saat.
Lilin diletakkan tegak lurus di atas meja agar
cairannya
tidak menetes. Punggung jemari Baldini mengusap
permukaan kulit kambing yang mulus. Ia membalik lapisan
teratas dan mengusap lapisan berbulu dari kulit itu. Terasa
kasar sekaligus lembut. Kualitasnya benar-benar bagus dan
cocok digunakan untuk kulit Spanyol. Saat kering
tidak
akan menyusut, dan setelah dipasang dengan benar
permukaannya akan tetap fleksibel dan lentur. Baldini bisa
langsung tahu hanya dengan menekan lembaran kulit
di
antara jempol dan jari telunjuk. Kulit kambing ini
mampu
menahan aroma sampai lima atau sepuluh tahun.
Bagus,
bagus sekali. Benar-benar kualitas prima. Ia juga
berpikir
untuk membuat sarung tangan - tiga pasang untuk diri
sendiri dan tiga pasang lagi untuk istrinya, sebagai
bekal
perjalanan ke Messina.
Baldini menarik kembali tangannya. Meja kayu yang
telah disiapkan juga dibuat dengan baik. Semua sudah siap.
Ada baskom kaca untuk merendam kulit dalam cairan
parfum, piring kaca untuk mengeringkan, adukan untuk
mencampur racikan dalam alkohol, lengkap dengan alu,
pengaduk, kuas, mesin pengupas, dan gunting besar. Seolah
semua ini sudah lama tertidur dalam gelap dan
akan
bangun menjelang pagi. Ia jadi berpikir apakah harus
membawa meja ini sekalian ke Messina? Bersama beberapa
peralatan lain - yang penting-penting saja tentunya. Meja
ini sungguh enak dan cocok dipakai bekerja. Kayunya
dari
pohon ek sampai ke kaki meja, dengan penahan
rangka
dipasang bersilangan agar tidak goyang. Permukaannya
juga tak mempan dihajar asam, minyak, atau goresan pisau.
Tapi pasti akan menuntut biaya besar bila diboyong
ke
Messina, bahkan dengan kapal sekalipun! Jadi memang
tidak bisa tidak, ia tetap harus menjual meja ini
besok,
lengkap dengan tetek bengek yang ada di atas, di
bawah,
dan di sisinya - pokoknya ia akan menjual semuanya besok!
Seorang Baldini memang sentimental, tapi tetap
memiliki
karakter kuat dan teguh dengan pendirian, apa pun
kesulitan yang menghadang. Boleh jadi ia menyerahkan
semua ini dengan mata berlinang, tapi akan tetap dilakukan
karena inilah jalan yang benar, sesuai pertanda dari Tuhan.
Baldini berbalik hendak pergi. Agak kaget melihat
makhluk aneh yang kini berdiri menghadang di pintu
- ia
sendiri hampir lupa.
“Kulitnya bagus,” kata Baldini. “Katakan pada majikanmu
bahwa aku puas dengan pekerjaannya dan akan
mampir
beberapa hari lagi untuk membayar.”
“Baik, Tuan,” jawab Grenouille. Tapi ia tetap bergeming.
Menghalangi Baldini yang sudah hendak meninggalkan
ruangan. Baldini jelas kaget, tapi masih belum curiga
dan
cenderung menangkap gelagat si bocah sebagai sikap malu-
malu.
“Ada apa?” ia bertanya. “Ada hal lainnya yang
bisa
kulakukan untukmu? Hmm? Bicaralah!”
Grenouille berdiri di sana dengan tubuh
membungkuk
dan menatap Baldini dengan tatapan yang sengaja dipasang
malu-malu.
“Saya ingin bekerja untuk Anda, Maître Baldini.
Bekerja
untuk Anda di bisnis ini.”
Kalimat ini mengalir bukan sebagai permintaan, tapi
tuntutan. Juga tak bisa dibilang mengucap, karena
mulut
Grenouille mendesis seperti reptil. Sekali lagi, Baldini salah
membaca gelagat buruk ini sebagai kegugupan seorang
anak kecil. Ia malah tersenyum ramah.
“Lho, kau kan murid seorang penyamak, anak
muda,”
ujar Baldini. “Aku tidak butuh murid karena sudah
ada
asisten.”
“Anda ingin membuat kulit kambing ini harum,
Maître
Baldini? Ingin membuat kulit yang saya bawa ini
berbau
harum, kan?” Grenouille mendesis seperti tak menyimak
jawaban Baldini.
“Benar,” jawab Baldini.
“Dengan parfum 'Cinta dan jiwa’ buatan Pélissier?” tanya
Grenouille. Tubuhnya membungkuk lebih dalam.
Mendengar ini, tubuh Baldini langsung gemetar
tersengat teror. Bukan lantaran heran bagaimana si
bocah
bisa tahu persis, tapi karena Grenouille telah
menyebut
nama parfum terkutuk yang gagal ia uraikan siang tadi.
“Dari mana kau dapat gagasan ngawur bahwa aku
akan
menggunakan parfum buatan orang lain ... ?”
“Karena tubuh Anda sarat aroma itu!” desis
Grenouille
lagi. “Tercium di keningmu, dan di kantong baju
sebelah
kanan ada sapu tangan yang juga kuyup oleh
parfum itu.
Parfum 'Cinta dan jiwa’ ini tidak terlalu bagus. Jelek. Terlalu
banyak bergamot dan daun rosemary, dan sedikit
sekali
sari bunga mawarnya.”
“Aha!” seru Baldini. Kaget menyadari percakapan
yang
bergeser ke penyebutan unsur secara spesifik. Dengan
bernafsu ia mengejar lebih jauh, “Apa lagi?”
“Bunga pohon jeruk, limau, cengkeh, minyak kesturi,
melati, alkohol, dan satu lagi saya tak tahu namanya
- di
sana, tapi dari sana, di botol itu!” telunjuk
Grenouille
menunjuk di kegelapan. Baldini menjajarkan terang lilin
sesuai arah telunjuk, ke arah lemari, ke sebuah botol berisi
balsam berwarna kuning kelabu.
“Storax?” ia bertanya.
Grenouille mengangguk. “Benar. Itu juga. Storax.”
Tubuhnya membungkuk sedemikian rupa sampai seolah
kejang-kejang sambil menggumamkan sedikitnya nama itu
dua belas kali, “Storaxstorax‐storaxstorax....
Baldini mengangkat lilin menerangi si aneh yang
menggumamkan 'storax’ itu dan berpikir, “Orang ini
kalau
tidak gila, mestinya pencuri atau memang genius berbakat.”
Ia yakin seratus persen bahwa memang itulah unsur
yang
dicarinya selama ini. Unsur yang sedemikian rupa
diracik
dengan proporsi yang tepat dan membentuk parfum 'Cinta
dan Jiwa'. Pengalamannya sebagai seorang ahli mengatakan
bahwa ini memang mungkin sekali. Sari bunga
mawar,
cengkeh, dan storax ‐ tiga unsur itulah yang ia
cari-cari
sepanjang siang. Bila digabung dengan unsur lainnya dalam
komposisi yang tepat - yang ia yakin telah berhasil ia kenali
sebelumnya, akan menyatulah semua itu menjadi
sebuah
bulatan cantik berwujud kue. Tinggal masalah proporsi
penggabungannya saja sekarang. Untuk ini Baldini harus
melakukan percobaan selama beberapa hari. Ini pekerjaan
sulit dan bahkan lebih buruk dari kegiatan mengidentifikasi
bagian-bagian tadi, karena ia harus mengukur bobot
dan
mencatat serta mengawasi seluruh prosesnya dengan
sangat hati-hati. Sedetik saja lengah dalam jentikan
pipet
atau salah menghitung jumlah tetesan, akan merusak
segalanya. Setiap kegagalan akan menghabiskan biaya
sangat mahal. Baldini jadi ingin menguji makhluk aneh ini.
Menanyakan formula yang tepat dari parfum 'Cinta
dan
Jiwa’. Dalam perhitungan Baldini, kalau ia bisa tahu sampai
setiap tetes dan gramnya, maka ia pasti seorang pembajak
yang - entah bagaimana, mencuri resep asli dari
Pélissier
untuk dipakai sebagai dasar negosiasi agar Baldini
mau
mengangkatnya sebagai murid. Tapi kalau mendekati, ia
pasti seorang genius aroma, dan ini tentu saja menggelitik
minat profesional Baldini. Ini bukan berarti ia hendak
membatalkan niat awal untuk pensiun, karena parfum
itu
toh sudah tak penting lagi sekarang. Bila orang ini mampu
membawakan sampai bergalon-galon pun, ia tetap
enggan
mengharumi kulit Spanyol milik Count Verhamont
dengan
parfum buatan Pélissier. Baldini yang sekarang bukan
lagi
seorang obsesif wewangian yang rela menghabiskan umur
dalam bisnis campur-mencapur aroma. Semangat bisnisnya
sudah bergeser sama sekali. Saat ini ia hanya ingin
menemukan formula parfum sialan itu, dan
kemungkinan
lebih jauh untuk memelajari bakat bocah misterius
ini.
Anak yang mampu mengendusi dan mengenali aroma
begitu saja. Baldini ingin tahu rahasianya. Penasaran saja.
“Tampaknya kau memiliki hidung yang baik, anak
muda,” ujar Baldini setelah Grenouille usai mendesah-
desah. Ia kembali menuju meja dan meletakkan lilin dengan
hati-hati. “Tak diragukan lagil memang hidung yang
berbakat. Tapi....”
“Hidung saya adalah yang terbaik di seluruh Paris,
Maître Baldini,” potong Grenouille dengan suara serak.
“Saya tahu semua aroma di dunia-semuanya. Hanya
saja
beberapa namanya saya tidak tahu, tapi saya cepat belajar.
Aroma yang memiliki nama jumlahnya tak banyak ‐ hanya
beberapa ribu. Saya mau memelajari semuanya. Saya
tak
akan pernah lupa nama balsam itu... storax. Balsam
itu
namanya storax, namanya storax, namanya storax....
“Diam!” bentak Baldini. “Jangan potong kalau saya
sedang bicara! Kau kurang ajar dan tidak sopan.
Tak ada
orang yang tahu nama seribu macam aroma. Aku
sendiri
tidak tahu. Paling hanya beberapa ratus, karena jumlahnya
sendiri tak sampai beberapa ratus di bisnis ini.
Yang lain
bukan aroma, hanya bau saja. Tak berguna.”
Tubuh Grenouille yang semula nyaris tegak lagi
saat
begitu bersemangat menggambarkan pengetahuannya
tentang ribuan aroma sampai membentangkan tangan,
kembali mengkerut seperti katak mendengar bentakan dan
selaan Baldini.
“Tentu saja aku juga tahu,” lanjut Baldini, “meski belum
lama, bahwa 'Cinta dan Jiwa’ terdiri dari storax, sari bunga
mawar, dan cengkeh, plus bergamot, ekstrak rosemary, dan
sebagainya. Yang ingin kuketahui, seperti kataku tadi,
adalah hidungmu. Kemungkinan, betapa Tuhan telah
menganugerahimu dengan hidung setajam itu ‐
sebagaimana berkahnya pada banyak orang lain,
khususnya pada orang-orang seusiamu. Tapi dalam
kasus
ahli parfum,” sampai di sini Baldini mengangkat
telunjuk
dan membusungkan dada, “seorang ahli parfum sejati
membutuhkan lebih dari sekadar hidung tajam. Ia
juga
butuh organ lain yang murni, bersih, serta terlatih
membaui selama puluhan tahun. Mampu menguraikan
aroma yang paling kompleks sekalipun berdasarkan
komposisi dan proporsi, sekaligus menciptakan racikan
parfum yang benar-benar baru. Hidung seperti ini,”
ujar
Baldini sambil mengetuk hidungnya dengan jari, “bukanlah
sesuatu yang dimiliki begitu saja, anak muda! Tapi diperoleh
melalui kerja keras dan ketekunan. Atau barangkali
kau
bisa memberiku komposisi yang tepat dari
masing-masing
unsur formula parfum 'Cinta dan jiwa' saat ini juga? Hmm?
Bisa tidak?”
Grenouille tak menjawab.
“Setidaknya perkiraan yang mendekati, barangkali?”
desak Baldini. Badannya sedikit terjulur agar bisa
melihat
katak jelek di depannya dengan lebih jelas. “Perkiraan saja.
Sekadar estimasi, begitu? Hmm ... ? Bisa tidak? Ayo bicara!
Katanya hidungmu terbaik di seluruh Paris?”
Tapi Grenouille tetap diam.
“Hah! Sudah kuduga!” seru Baldini puas sekaligus
kecewa. Ia meluruskan badan. “Kau tidak bisa, kan?
Tentu
saja tidak. Kau termasuk orang yang tahu apakah
ada
peterseli atau chervil dalam sebuah sup saat makan
siang.
Itu bagus, dan terhitung luar biasa. Tapi tidak
lantas
menjadikanmu seorang koki, kan? Mendekati pun tidak.
Dalam seni dan keahlian apa pun - catat ini
baik-baik
sebelum kau pergi, bakat tetap tidak berarti banyak
bila
dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh dari
kerendahan hati dan kerja keras. Itu yang utama.
Baldini tengah mencari batang lilin di meja saat
Grenouille nienggeram, “Saya tak tahu apa itu
formula,
Maître. Saya tidak tahu. Tapi selain dari itu, saya
tahu
segalanya!”
“Formula adalah dasar dari inti setiap parfum,”
tegas
Baldini. Ia ingin mengakhiri saja percakapan ini. Sekarang.
“Sebuah formula memuat instruksi langkah demi
langkah
dan mendetail tentang proporsi yang dibutuhkan untuk
mencampur setiap unsur agar hasilnya persis sesuai
keinginan. Itulah yang namanya formula. Ia bertindak
sebagai resep - kalau kau lebih mengerti istilah ini.”
“Formula, formula…” gumam Grenouille serak, makin
lama makin keras dari arah pintu. “Saya tidak butuh
formula. Resepnya sudah ada di hidung saya. Boleh
saya
racikkan untuk Anda, Maître? Bolehkah? Bolehkah?”
“Bagaimana caranya?” pekik Baldini sambil mengangkat
lilin ke wajah Grenouille. “Bagaimana caramu meraciknya?”
Sekali itu Grenouille tidak mengkerut. “Lho, semua
bahan kan sudah ada di sini. Segala yang
dibutuhkan,
aroma-aromanya, semua ada di ruangan ini.” Kembali
ia
menunjuk-nunjuk ke kegelapan. “Ada sari bunga mawar,
ada bunga pohon jeruk, di situ ada cengkeh, di
sana
rosemary, itu....”
“Tentu saja semua ada di sini!!” raung Baldini
kesal.
“Semua memang tersedia di ruangan ini. Tapi biar
kukatakan padamu, bodoh, bahwa apa pun itu tetap
tak
berguna kalau formulanya tidak adal”
“… di sana bunga melati, di sana alkohol,
bergarnot di
sana, storax di sana…” Grenouille mengoceh. Setiap nama ia
sebutkan sambil menunjuk ke tempat-tempat berbeda
di
ruangan itu. Padahal begitu gelap sampai orang hanya bisa
mengira-ngira bayangan lemari berisi bermacam botol
di
kejauhan.
“Kau bisa melihat dalam gelap, ya?” Baldini melanjutkan.
“Kau tak hanya memiliki hidung terbaik, tapi juga
mata
paling tajam di seluruh Paris. Iya? Sekarang -
barangkali
kau juga punya kuping terbaik - buka lebar-lebar kupingmu
karena akan kuberi tahu: kau ini sok tahu dan penipu. Bisa
saja kau curi informasi itu dari Pélissier. Habis kau
mata-
matai dia, kan? Dan sekarang kau pikir bisa
membodohi
aku, begitu?”
Grenouille kini berdiri tegak. Badannya menjulang
dengan kaki membentang menghalangi pintu, dengan
kedua tangan sedikit terentang - mirip laba-laba di
sudut
kusen. “Beri saya waktu sepuluh menit,” ujarnya
dengan
nada dan suara nyaris normal. “Saya akan buatkan
'Cinta
dan Jiwa’ untuk Anda. Saat ini, di sini juga, di
ruangan ini.
Maître, beri saya waktu sepuluh menit saja!”
“Kau pikir aku akan begitu saja membiarkanmu
seenaknya mengacak-acak laboratoriumku? Dengan segala
ramuan mahal ini? Kau?”
“Benar,” jawab Grenouille.
“Bah!!” bentak Baldini, sambil memuntahkan seluruh
udara dari paru-paru. Tapi kemudian ia menghirup
napas
dalam-dalam dan menatap Grenouille lama sekali.
Sambil
merenung. Kalau mau jujur, sebenarnya tak rugi bila
dicoba. Toh semua akan berakhir besok. Aku tahu persis ia
tak akan bisa membuktikan apa pun. Tak mungkin.
Sebab
kalau memang bisa, wah, artinya ia lebih dahsyat
dari
Frangipani sendiri. Jadi, kenapa tidak kubiarkan saja
ia
mendemonstrasikan kebenaran ini? Bukan tidak mungkin
suatu hari kelak, di Messina, aku akan menyesal telah salah
mengenali seorang ahli penciuman nan genius, walau
anugerah ini sengaja ditutupi Tuhan di balik wujud buruk...
Ah, tidak mungkin. Nalarku menegaskan bahwa hal
ini
tidak mungkin - tapi toh mukjizat memang bisa terjadi. Itu
pasti. Bagaimana jika suatu hari kelak, saat aku
terbaring
sekarat di Messina, aku akan sampai berpikir bahwa
dulu,
suatu senja di Paris, aku menutup mata pada
keajaiban?
Duh, sama sekali tak menyenangkan, Baldini. Biarkan
saja
si bodoh ini menyia-nyiakan beberapa tetes sari
bunga
mawar dan minyak kesturi. Toh akan kau sia-siakan
juga
jika kau masih berminat membajak parfum Pélissier.
Apalah artinya beberapa tetes - walau memang amat sangat
mahal, dibanding peluang mendapatkan pengetahuan dan
kedamaian di hari tua?
“Sekarang, perhatikan!” ujar Baldini dengan suara
ditegas-tegaskan. “Perhatikan baik-baik! Aku... siapa
namamu tadi?”
“Grenouille,” jawab Grenouille, “Jean-Baptiste
Grenouille.”
“Aha, benar,” balas Baldini sok tahu. “Baiklah,
sekarang
perhatikan baik-baik, Jean-Baptiste Grenouille! Telah
kupertimbangkan masak‐masak. Kuberi kau kesempatan,
sekarang, detik ini juga, untuk membuktikan ucapanmu.
Kegagalanmu nanti juga akan menjadi pelajaran
berharga
agar bersikap rendah hati, yang - walau bisa
dimaklumi
mengingat usiamu sekarang, akan menjadi syarat
mutlak
bagi kemajuanmu sendiri di masa depan sebagai
anggota
perserikatan ahli parfum, sekaligus buat dirimu sendiri
sebagai seorang laki-laki, anggota masyarakat, dan umat
Kristen yang baik. Aku siap mengajari tanpa dipungut
biaya. Entah kenapa aku sedang murah hati...sore ini. Siapa
tahu parfum hasil buatanmu akan berguna buatku
kelak.
Tapi jangan kau kira bisa menipu aku. Hidung
Giuseppe
Baldini boleh jadi sudah tua, tapi masih cukup tajam untuk
langsung mengenali perbedaan antara buatanmu dengan
parfum aslinya.” Baldini mengeluarkan sapu tangan
beraroma 'Cinta dan jiwa’ dari saku dan mengibaskannya di
depan hidung Grenouille. “Sekarang majulah, wahai pemilik
hidung terbaik di seluruh Paris! Dekati meja dan tunjukkan
kehebatanmu. Tapi hati-hati, jangan menjatuhkan atau
menyenggol apa pun. Jangan sentuh apa-apa dulu. Biar aku
beri penerangan lebih dulu. Kita ingin agar percobaan kecil
ini bisa terlihat dengan jelas, kan?”
Jadilah Baldini memasang dan menyalakan dua
batang
lilin di sudut kanan dan kiri di atas meja kerja
besar dari
kayu ek itu. Tiga lilin tambahan ia pasang bersisian
di
bawah meja, di sudut kanan dan kiri. Ia
menyingkirkan
tumpukan kulit kambing, dan mengosongkan bagian tengah
meja. Dengan gerakan cepat dan terlatih ia
menyiapkan
peralatan yang dibutuhkan: botol aduk berperut besar,
corong gelas, pipet, gelas pengukur kecil dan besar,
lalu
meletakkan semuanya dalam urutan yang benar di
atas
meja.
Sementara itu, Grenouille telah beranjak dari ambang
pintu. Bahkan ketika Baldini berpidato panjang lebar, sikap
kaku dan pura‐puranya telah lenyap. Yang ia dengar hanya
persetujuan Baldini, dengan gairah dan kegirangan seorang
anak kecil saat keinginannya diluluskan dan meledek pada
keterbatasan, kondisi, serta kekangan moralitas yang
semula mengekang. Tenang-tenang ia berdiri menunggu
sampai Baldini puas berorasi. Untuk pertama kalinya
ia
merasa lebih sebagai manusia ketimbang binatang saat
kelak berhasil mematahkan sikap skeptis orang.
Sementara Baldini sibuk memasang lilin, Grenouille
menyelinap berkeliling di kegelapan laboratorium,
mengamati lemari-lemari berisi bermacam ramuan mahal,
minyak, dan ramuan dalam larutan alkohol - semua
mengikuti tuntunan hidung. Dengan santai ia
mengambil
botol-botol yang dibutuhkan. Semua ada sembilan botol:
sari bunga pohon jeruk, minyak limau, sari bunga
mawar,
cengkeh, ekstrak melati, bergamot, rosemary, minyak
kesturi, serta balsam storax. Semua diambil dan
disiapkan
dengan cepat di pinggir meja. Yang terakhir ia
siapkan
adalah sebuah botol besar berleher sempit berisi
larutan
alkohol konsentrasi tinggi. Kemudian ia kembali
menempatkan diri di belakang Baldini. Si tua itu
masih
asyik menata peralatan racik dengan sikap dibuat-buat
untuk memamerkan keahlian. Memindahkan tabung yang
ini sedikit ke belakang, yang itu sedikit ke pinggir,
sedemikian rupa agar sesuai tatanan tradisi dan
tampak
apik di tengah cahaya lilin. Grenouille menunggu tak sabar.
Ingin agar si tua segera menyingkir dan membiarkan
ia
bekerja.
“Nah!” akhirnya Baldini berseru sambil menyingkir.
“Sudah kusiapkan semua yang dibutuhkan untuk
eksperimenmu. Jangan pecahkan apa pun, jangan
tumpahkan apa pun. Dan ingat: semua cairan yang
akan
kau pakai selama lima menit ke depan adalah
barang‐
barang yang sangat mahal dan langka. Tak akan pernah lagi
kau temui mereka dalam wujud konsentrat seperti ini.”
“Berapa banyak yang harus kubuat, Maître?” tanya
Grenouille.
“Membuat apa ... ?” sergah Baldini yang merasa
belum
selesai bicara.
“Parfum yang harus kubuat' “ jawab Grenouille
serak.
“Anda ingin berapa banyak? Haruskah kupenuhi botol
besar ini sampai ke ujungnya?” Ia menunjuk ke
sebuah
botol aduk berukuran minimal satu galon.
“Jangan!” jerit Baldini ngeri - spontan takut
membayangkan betapa mubazirnya bila itu sampai terjadi.
Merasa malu sendiri, ia langsung berkoar lagi, “Dan jangan
memotong kalau aku sedang bicara!” Suaranya berubah
kalem dan ironis saat kemudian bergumam,
“Buat apa segalon parfum yang kita sendiri juga
tak
suka? Setengah gelas saja sudah cukup. Tapi karena
memang sulit mengukur sejumlah itu, bolehlah kau
mulai
dengan mengisi sampai sepertiga botol.”
“Baiklah,” tukas Grenouille. “Saya akan mengisi sepertiga
botol aduk ini dengan parfum 'Cinta dan jiwa’. Tapi, Maître
Baldini, saya akan melakukannya dengan cara saya sendiri.
Entahlah bagaimana seorang ahli sejati melakukannya, tapi
saya akan coba melakukan ini dengan cara saya sendiri.”
“Sesukamulah,” sergah Baldini. Ia tahu bahwa dalam
bisnis ini tak ada istilah 'caraku’ atau 'caramu’.
Hanya ada
satu cara, yaitu dengan mengetahui formula dan
menggunakan kalkulasi yang tepat untuk mencapai
kuantitas yang diinginkan, menciptakan sebuah konsentrat
terukur yang tepat dari berbagai unsur, diuapkan
menjadi
parfum dengan cara mencampurkan unsur-unsur tersebut
dalam rasio yang tepat dengan alkohol - biasanya
dengan
variasi perbandingan antara 1:10 dan 1:20. Tak ada
cara
lain lagi yang ia tahu. Inilah yang hendak ia
saksikan
sekarang. Mulanya berbekal kesombongan karena yakin
Grenouille tak akan berhasil, tapi perlahan berubah
menjadi kekagetan, dan akhirnya terheran-heran tak habis
pikir. Bahkan terasa seperti mukjizat. Seluruh detailnya
begitu terpatri dalam ingatan. Tak mungkin terlupa sampai
mati.

Lima Belas

PEMUDA KECIL BERNAMA GRENOUILLE itu pertama-


tama membuka sumbat botol-besar berisi konsentrat
alkohol. Mengangkat botolnya saja ia kesulitan. Harus
mengangkat sampai nyaris ke kepala agar mulut botol
sejajar dengan corong di botol aduk. Buat apa ada
gelas
pengukur kalau begini? Baldini bergidik melihat kebodohan
itu. Grenouille menjungkirbalikkan dunia pembuatan
parfum karena memulai proses dengan pelarut, padahal
konsentratnya dulu yang harus dibuat. Selain itu,
secara
fisik pun ia nyaris tidak memadai. Tangannya gemetar
mengangkat botol. Baldini menunggu dan menebak-nebak
kapan kiranya botol besar itu selip dan pecah berantakan di
atas meja. Lilin, pikirnya. Ya Tuhan! Ada lilin! Wah,
bisa
terjadi kebakaran! Orang ini akan membakar habis
rumahku! Baldini sudah hendak menerjang menurunkan
botol alkohol dari tangan si gila itu, tapi Grenouille ternyata
mampu meletakkannya sendiri baik-baik ke lantai dan
ditutup kembali. Alkohol berkilau tenang dalam botol aduk
tanpa tumpah sedikit pun. Beberapa saat Baldini terengah-
engah, namun dengan wajah lega, seolah bagian
terberat
baru saja berlalu. Dan memang demikian. Proses
selanjutnya berlangsung begitu cepat sampai sulit
diikuti
mata, apalagi mencatat urutan proses atau memahami
keseluruhan prosedur.
Grenouille seperti mencomot asal-asalan dari deretan
flacon berisi unsur-unsur ramuan, membuka sumbat,
membaui isi flacon sekilas di bawah hidung,
memercikkan
sedikit dari satu botol, menuang satu atau dua tetes
dari
botol lain, menuang isi botol ketiga ke dalam
corong, dan
seterusnya. Grenouille sama sekali tak menyentuh pipet,
tabung uji, gelas pengukur, sendok, atau kayu
pengukur
yang tersedia dan biasa dipakai ahli parfum untuk
mengendalikan proses rumit saat pencampuran.
Kelihatannya jadi seperti main-main. Memercik dan
mencampur ramuan demi ramuan seperti anak kecil
saat
asyik menggodok rumput dan lumpur dalam rebusan
air
yang lalu disebut sebagai sup. Ya, memang persis
seperti
anak kecil, pikir Baldini. Meski berlengan panjang
menggantung, wajah rusak dan hidung bulat besar
seperti
orang tua, ia tetap seperti anak-anak. Semula Baldini
mengira Grenouille berusia lebih tua, tapi sekarang ia
tampak jauh lebih muda - seperti anak usia tiga atau empat
tahun. Tak beda dengan makhluk-makhluk mungil
pramanusia yang polos, sulit dimengerti, dan seenaknya
sendiri itu. Makhluk-makhluk sok polos yang egois,
selalu
ingin membudaki dunia agar tunduk pada keinginan
pribadi mereka. Dan pasti akan begitu kalau dibiarkan
mengejar hasrat megalomaniak tanpa dibatasi aturan
dan
prinsip pengajaran yang menuntun ke perilaku disiplin,
pengendalian diri, dan kesejatian seorang manusia. Seperti
ada fanatisme anak kecil yang terperangkap dalam
diri
pemuda ini. Berdiri di depan meja dengan mata
bersinar,
lupa sekeliling dan segalanya, kecuali diri sendiri dan botol-
botol serta isinya yang ia tuang ke dalam corong
dengan
gerakan canggung dan konon akan menghasilkan apa yang
diyakini sepenuh hati sebagai parfum mahal bernama
'Cinta dan Jiwa’. Baldini bergidik melihat Grenouille
sibuk
bergerak di tengah cahaya lilin. Begitu absurd tapi
juga
sangat percaya diri. Di zaman dulu - demikian ia merenung
dan untuk sejenak merasa begitu sedih, nelangsa, dan
jengkel seperti sore itu saat menatap kota dalam
kobaran
matahari senja dari balik jendela. Di zaman dulu,
orang
macam Grenouille tidak mungkin ada. Kalaupun ada, maka
terhitung ras manusia baru yang hanya mungkin eksis
di
zaman edan seperti sekarang. Tapi sekaranglah saatnya
memberi pelajaran, dasar bocah tak tahu adat! Baldini
hendak mengomelinya habis-habisan seusai percobaan,
sampai si bocah meringkuk seperti bangkai di tempat
sampah! Dasar manusia hina! Seenaknya mencampuri
urusan orang. Dunia benar-benar sudah gila dan
dipenuhi
parasit!
Baldini begitu sibuk dengan kejengkelan dan rasa
jijik
sampai tak menyadari saat Grenouille menutup kembali
semua flacon, menarik corong dari mulut botol aduk,
mencengkeram. leher botol dengan tangan kanan lalu
mengocok kuat-kuat diimbangi tangan kiri. Saat botol
diputar ke udara beberapa kali, isinya teraduk
bolak-balik
seperti limun dari perut sampai ke leher botol, meski tidak
sampai tumpah. Melihat ini, Baldini tak tahan lagi.
Ia
menjerit ngeri dan murka, “Hentikan!” lengkingnya. “Sudah
cukup! Hentikan saat ini juga! Haram. jadah! Taruh botol itu
kembali ke meja dan jangan sentuh apa‐apa lagi,
kau
mengerti? Jangan sentuh apa pun! Aku pasti sudah
gila
sampai mau mendengar ocehanmu. Caramu menangani
semua ini, kekasaranmu dalam bekerja, metode yang
primitif, sudah cukup untuk membuktikan bahwa kau
tak
lebih dari seorang penipu! Penipu barbar dan anak
kecil
buruk rupa tak tahu diri! Kau tak bisa mencampur
limun
atau air manis biasa, apalagi meracik parfum!
Bersyukur
dan berterimakasihlah bahwa majikanmu masih
mengizinkanmu bermain‐main dengan larutan penyamak.
Tapi jangan pernah kau ulangi lagi, kau dengar?
Jangan
pernah berani-berani menginjakkan kaki di toko parfum
mana pun!”
Demikian Baldini bertitah. Dan sementara ia bicara,
udara sekeliling dipenuhi aroma parfum 'Cinta dan
Jiwa’.
Aroma yang memiliki daya persuasif lebih kuat dari
kata-
kata, penampilan, emosi, atau kehendak. Daya persuasif
aroma ini tak bisa dibendung. Meresap ke dalam
diri
seperti udara yang merayapi paru-paru saat bernapas
mengisi dan mengilhami seluruh keberadaan. Benar-benar
tak bisa ditangkal.
Grenouille meletakkan botol ke atas meja, menyeka
tangan serta lehernya yang basah oleh parfum dengan
ujung baju. Mundur satu dua langkah ke belakang.
Kekagokan gerak tubuhnya saat membungkuk dari
hujan
cercaan Baldini sudah lebih dari cukup untuk
menebar
aroma yang baru saja tercipta ke segala arah.
Begitu saja,
tak butuh apa-apa lagi. Baldini memang masih terus
meledak dan mencaci‐maki, namun keraguan terasa makin
kuat di setiap tarikan napasnya. Sadar bahwa ia
baru saja
terbantah dengan telak dan makna kata‐katanya makin
kosong. Saat akhirnya Baldini terdiam, ia terdiam
cukup
lama. Tak butuh kata “Sudah selesai” sebagai penegas dari
Grenouille untuk menyadari bahwa parfum itu memang
sudah tercipta dengan baik dan sempurna.
Namun, meski sekujur tubuh dikabuti aroma 'Cinta
dan
Jiwa' yang begitu jelas, ia tetap menyeret langkah
ke arah
meja untuk menguji lebih jauh. Selembar sapu tangan
bersih ia ambil dari saku baju sebelah kiri, dilipat
dan
diperciki beberapa tetes dari botol aduk dengan pipet
panjang. Ia angin-anginkan sapu tangan dengan lengan
terjulur lalu ditarik sekilas ke bawah hidung dengan
gerakan terlatih. Baldini menghirup napas dan
mengeluarkan perlahan dalam desahan terputus‐putus,
perlahan-lahan sampai tak ada lagi udara tersisa di
paru-
paru.
Baldini terhenyak di bangku kerja. Jika tadi
wajahnya
memerah murka, kini pucat pasi.
“Luar biasa,” gumamnya perlahan. “Demi Tuhan,
sungguh luar biasa.” Ia menekan sapu tangan itu ke hidung
berkali-kali, mengendus dan menggelengkan kepala sambil
tak putus mengucap, “Luar biasa...” Tak diragukan lagi
bahwa aroma ini memang aroma parfum 'Cinta dan
Jiwa’.
Begitu persis disalin sampai Missier sendiri tak akan
sanggup membedakannya dengan karyanya sendiri. “Luar
biasa....”
Merasa diri begitu kecil dan malu, sang Baldini
tak
beranjak dari bangku. Tampak konyol menggenggam
sapu
tangan, menekannya ke hidung berkali-kali seperti babu
tua yang tersedu sedan. Saat ini ia tak bisa bicara
apa-apa
lagi. Menggumam “Luar biasa' pun tidak, selain
mengangguk-angguk lembut dan menatap nanar ke
dalam
isi botol Aduk. Bibirnya bergumam monoton, “Hmm, hmm,
hmm.... hmm, hmm, hmm... hmm, hmm, hmm....”
Beberapa saat kemudian, Grenouille mendekat ke
meja
tanpa suara, seperti bayangan.
“Parfum ini jelek,” ia berkata. “Racikannya masih belum
sempurna.”
“Hmm, hmm, hmm….”, jawab Baldini.
Grenouille berkata lagi, “Jika diizinkan, Maître, saya akan
membuatnya jadi lebih baik. Beri waktu satu menit
dan
akan saya buat parfum yang lebih pantas.”
“Hmm, hmm, hmm..., jawab Baldini sambil mengangguk.
Bukan maksud merestui, tapi karena ia begitu kaget dan tak
berdaya sampai hanya sanggup menggumam. “Hmm, hmm,
hmm, dan mengangguk. Ia menyingkir sambil terus begitu.
Sama sekali tak berusaha merintangi Grenouille yang mulai
meracik untuk kedua kalinya: menuang alkohol dari
botol
besar ke botol aduk di atas meja (persis di atas
parfum
yang sudah jadi tadi), menuangkan kembali kandungan
flacon demi flacon tanpa urutan dan kuantitas pasti
ke
dalam corong. Tapi di akhir prosedur, Grenouille
tidak
mengocok botol tapi diputar lembut seperti orang
mengaduk segelas brendi. Entah lantaran mengingat
kehalusan cara dan teguran Baldini, atau mungkin
karena
isinya terasa lebih berharga kali ini. Saat itulah, saat cairan
tengah diputar-putar lembut dalam botol, Baldini sadar
dari keterkejutan dan berdiri. Sapu tangan masih
ditekan
ke hidung seperti berjaga dari serangan baru.
“Sudah selesail Maître,” Grenouille berkata. “Sekarang
barulah aromanya benar-benar sempurna.”
“Ya, ya, baiklah,” jawab Baldini sambil mengibas
mengusir dengan tangan.
“Tak ingin diuji dulu?” desak Grenouille. “Tak
inginkah
Anda mengujinya, Maître? Maukah?”
“Nanti saja. Aku sedang tak bernafsu mengujinya
sekarang. Aku... sedang teringat akan hal lain.
Sekarang
pergilah! Ayo!”
Baldini menyambar sebatang lilin dan bergegas
menuju
pintu. Grenouille mengikuti. Kembali menyusuri koridor
sempit menuju pintu belakang. Baldini membuka
gerendel
dan membuka pintu, lalu menepi untuk memberi jalan pada
Grenouille.
“Bolehkah. aku bekerja untuk Anda, Maître?
Bolehkah?”
tanya Grenouille. Berdiri di ambang pintu sambil
kembali
memasang pose membungkuk, kembali dengan mata
mengintai.
“Aku tak tahu,” jawab Baldini. “Akan kupikirkan.
Sekarang pulanglah.”
Detik berikutnya Grenouille menghilang di kegelapan
malam. Baldini berdiri nanar memandang malam.
Tangan
kanan memegang lilin dan tangan kiri menggenggam
sapu
tangan, seperti orang mimisan. Tubuhnya menggigil
takut.
Segera ia masuk dan mengunci pintu. Sapu tangan
ia
selipkan ke saku sambil berjalan kembali ke laboratorium.
Aroma baru ini begitu sempurna sampai Baldini terharu
dan menangis. Ia tak butuh menguji lebih jauh.
Cukup
berdiri di pinggir meja di depan botol aduk, lalu bernapas.
Begitu agung dan luar biasa. Serupa simfoni 'Cinta dan jiwa’
yang asli sekaligus gesekan biola kesepian. Bahkan
lebih.
Baldini berpejam mata memandang kilasan memori
yang
berkelebat dan terbangkitkan oleh parfum itu. Ia
melihat
sosoknya sebagai seorang pemuda yang tengah
melewati
sebuah taman saat senja di kota Naples, kilasan lain
saat
terbaring di pelukan seorang wanita berambut hitam
keriting, serta siluet buket mawar di tepi jendela
saat
malam makin meninggi. Ia mendengar nyanyian burung
dan musik lamat-lamat dari bar-bar di pelabuhan,
menyimak bisikan di telinga - selarik kata, “Aku
mencintaimu,” dan betapa tengkuknya meremang bahagia.
Semua kenangan yang seolah terjadi saat ini juga!
Persis
sekarang ini! Baldini memaksa diri membuka mata
dan
melenguh senang. Parfum ini tidak sepertti parfum
mana
pun yang pernah dibuat. Bukan aroma yang membuat hal-
hal tercium lebih baik. Tidak seperti bedak wangi
atau
perlengkapan kamar mandi. Ini benar‐benar baru dan
mampu menciptakan dunia yang utuh - dunia yang
ajaib
dan begitu kaya. Seketika itu mampu membuatmu
lupa
akan segala keburukan dunia dan merasa begitu kaya,
begitu ringan, bebas dan nyaman....
Bulu kuduk dan rambut halus di lengan Baldini
yang
semula meremang kini kembali normal, bersama
dengan
debur kedamaian merengkuh sukma. Tangannya meraup
kulit kambing di pinggir meja, sebuah pisau, lalu
mulai
merapikan kulit itu agar layak dipakai. Setelah itu
ia
letakkan dalam baskom kaca dan menuang parfum buatan
Grenouille ke atasnya. Sebentang kaca tebal ia tutupkan di
atas baskom, lalu beranjak menuang sisa parfum ke
dua
botol kecil, memberi kertas label dan menuliskan kata 'Nuit
Napolitaine'. Kemudian meniup lilin dan pergi.
Setiba di lantai atas, ia tak berkata apa pun pada istrinya
selagi mereka makan. Terutama sekali ia tidak
menyinggung soal putusan besar yang telah diambil
sore
tadi. Sang istri ikut membisu, melihat bahwa suasana
hati
suaminya sedang baik, dan itu sudah lebih dari
cukup.
Baldini juga tidak menuruti kebiasaan berjalan
berkeliling
Notre-Dame untuk bersyukur pada Tuhan atas berkah
kekuatan dan keteguhan karakter yang kini dirasakan.
Bahkan untuk pertama kalinya dalam hidup, sepanjang
malam itu ia lupa berdoa.

Enam Belas
PAGI-PAGI SEKALI BALDINI langsung pergi ke
tempat
Grimal. Pertama‐tama ia membayar pesanan kulit kambing
dengan harga penuh tanpa mengeluh atau menawar
macam-macam. Lalu ia menjamu Grimal di Tour
d’Argent
dengan sebotol arak putih untuk menegosiasikan
perihal
Grenouille. Bisa dipastikan Baldini tak akan
mengungkap
'mengapa’ ia menginginkan pemindahan kepemilikan ini.
Alih-alih berterus terang, ia mendongeng bahwa mendadak
ia kebanjiran pesanan bahan kulit berparfum dan untuk itu
ia butuh pekerja tidak berpengalaman. Dikatakan bahwa ia
butuh pemuda yang tak banyak menuntut, bersedia
mengerjakan tugas-tugas mudah seperti memotong kulit
dan sejenisnya. Baldini memesan sebotol arak lagi sembari
menawar 25 livre sebagai biaya kompensasi transfer.
Zaman itu uang 25 livre sangat besar. Grimal
langsung
menyambut. Berdua mereka berjalan ke penyamakan, di
mana ‐ anehnya, Grenouille telah menunggu dengan buntel
sederhana yang sudah lengkap terkemas. Baldini
membayar 25 livre dan langsung membawa Grenouille
pergi. Benaknya sadar bahwa ia baru saja membuat
transaksi terbesar sepanjang hidup.
Grimal juga berpikiran sama. Ia kembali ke Tour
d’Argent untuk minum dua botol arak putih lagi,
lalu
pindah ke Lion d’Or di seberang sungai menjelang
siang.
Begitu mabuknya ia, sampai-sampai ketika memutuskan
untuk kembali ke Tour d’Argent tengah malam itu, ia salah
mengambil jalan ke jalan Nonanindieres yang ia
sangka
sebagai jalan Geoffroi L’Anier. Walhasil, saat mengira telah
keluar di ujung jalan Pont-Marie, ia malah jatuh ke
sungai
Quai des Ormes. Grimal jatuh tercebur dengan wajah lebih
dulu dan langsung tewas tenggelam. Perlu beberapa waktu
sampai sungai menyeretnya keluar dari kedalaman,
melewati tambatan kapal-kapal tongkang ke aliran arus
utama, mengapungkan mayatnya saat fajar, mengambang
ke arah barat.
Tubuh itu mengapung tanpa suara melewati Pont
au
Change tanpa terantuk tiang-tiang dermaga, persis
enam
puluh kaki di bawah Jean‐Baptiste Grenouille yang hendak
menjelang tidur. Sebuah dipan telah disiapkan di
sudut
belakang laboratorium Baldini. Mulut Grenouille
menyeringai puas sementara mantan majikannya
mengambang tak bernapas di sungai Seine yang
dingin. Ia
menggulung diri di dipan seperti kutu menjelang hibernasi.
Saat lelap, jiwanya melayang makin dalam ke diri
sendiri,
membuncahkan perasaan kemenangan sampai ke tembok
benteng sanubari dan imajinasi, di mana ia melayang dalam
mimpi jamuan pesta yang sarat wewangian - sebuah pesta
raksasa gila‐gilaan dengan awan-awan parfum dan
kabut
dupa, seluruhnya digelar atas nama keagungan pribadi.

Tujuh Belas

DEMIKIANLAH, DENGAN KEHADiRAN GRENOUILLE,


ketenaran Rumah Parfum Giuseppe Baldini mulai menanjak
ke tingkat nasional, bahkan sampai ke seluruh Eropa.
Bel
Persia di atas pintu nyaris tak pernah berhenti berdenting,
begitu pun aksi tebaran wewangian patung burung bangau
penyambut tamu - pendek kata, mendadak kondisi
bisnisnya berbalik 180 derajat.
Menjelang malam di hari pertama Grenouille bekerja, ia
harus bekerja keras menyiapkan sebotol besar 'Nuit
Napolitaine' yang langsung ludes terjual delapan puluh
flacon keesokan harinya. Ketenaran aromanya menyebar
seperti kobaran api. Mata Chénier sampai basah
menghitung uang dan punggungnya sakit lantaran
terlalu
sering membungkuk hormat setiap kali transaksi.
Soalnya
bukan apa‐apa - hanya orang-orang dari kalangan
terhormat atau setidaknya pelayan kalangan terhormatlah
yang datang berkunjung. Pernah suatu hari pintu toko
terhempas begitu keras sampai bergetar. Setelah itu
masuklah pesuruh Count d'Argenson seraya berteriak-
karena ‐ memang begitu kebiasaan seorang pesuruh -
bahwa ia ingin lima botol parfum baru ini. Chénier
masih
belum habis kaget ketika lima belas menit kemudian Count
d’Argenson muncul sendiri di ambang pintu. Bagaimana
tidak kaget? Count d’Argenson adalah orang
kepercayaan
sang Raja - seorang penasihat perang dan tokoh terkuat di
Paris.
Sementara Chénier berjuang menghadapi serbuan
pelanggan, Baldini menutup diri di laboratorium
bersama
murid baru kesayangannya. Kepada Chénier ia
membualkan situasi baru ini dengan teori fantastis yang ia
sebut sebagai 'pendelegasian kerja demi peningkatan
produktivitas'. Selama bertahun-tahun, demikian tuturnya,
ia sengaja diam mengamati dengan sabar sementara
Missier dan pecundang lain mencuri para pelanggan
serta
meruntuhkan bisnisnya. Kesabaran itu kini telah sampai
batasnya. Baldini menerima tantangan dan menyerang
balik dengan senjata mereka sendiri. Setiap musim,
setiap
bulan ‐ bahkan kalau perlu setiap minggu, ia akan
menghajar dengan sebuah parfum baru. Dan bukan
sembarang parfum! Baldini akan mengerahkan seluruh
bakat kreatifnya. Karena itu ia butuh bantuan asisten yang
belum berpengalaman. Seseorang yang diserahi tugas
khusus menangani dan bertanggung jawab terhadap
produksi parfum, sementara Chénier harus berkonsentrasi
pada penjualan. Dengan metode modern ini mereka
akan
membuka lembaran baru dalam sejarah industri
parfum,
menyingkirkan para pesaing, dan tumbuh menjadi besar
serta kaya raya tanpa dapat ditahan siapa pun. Ya, dengan
sadar dan secara eksplisit ia menyebut kata 'Mereka’
karena ia berniat berbagi keuntungan dengan Chénier,
rekan pembantu yang telah begitu lama bekerja untuknya.
Kalau saja Baldini tahu bahwa beberapa hari lalu
Chénier akan menganggap ocehan seperti ini sebagai bukti
kuat gejala kepikunan sang majikan. “Bersiap-siaplah jatuh
miskin,” demikian ia berpikir, “tak akan lama lagi sebelum
akhirnya si tua bangka itu bangkrut.” Tapi sekarang
ia tak
mampu berpikir apa-apa lagi. Benaknya bisu dengan
segunung tugas yang harus dilakukan. Begitu sibuknya
sampai terkapar kelelahan setiap sore dan nyaris tak
sanggup mengosongkan kas serta mengutip upah
bagiannya. Dalam mimpi yang paling liar sekalipun ia
tak
pernah membayangkan situasi akan terus menanjak seperti
ini, walau menyaksikan sendiri betapa Baldini keluar
dari
laboratorium setiap hari dengan sedikitnya tiga jenis
parfum baru.
Aroma parfum-parfum itu juga bukan main-main.
Dan
tidak hanya parfum, Baldini hadir dengan sederet
krim,
bedak, sabun, tonik rambut, eau de toilette, segala
macam
minyak... pokoknya nyaris semua lini produksi kini berbau
wangi segar, orisinal, berbeda, dan setiap kali bahkan
terasa lebib baik. Seolah tersihir, masyarakat terus
memburu produk baru apa saja yang keluar dari
toko
Baldini. Benar-benar apa saja, bahkan sampai ke pita
rambut berparfum yang dibuat Baldini kala iseng.
Harga
tak pernah jadi masalah. Apa pun produk keluaran Baldini
selalu jadi hit. Kesuksesan ini begitu dahsyat sampai
Chénier rela menerimanya sebagai fenomena biasa dan
tidak lagi mengusik mempertanyakan sebab. Pikirnya,
mungkin berhubungan dengan orang baru yang aneh itu, si
cebol kaku yang selalu mengunci diri seperti anjing
di
laboratorium dan kadang terlihat saat Baldini keluar
ruangan, berdiri di latar belakang sedang mengelap
gelas
dan membersihkan adukan - mungkinkah makhluk
misterius ini punya andil dalam kesuksesan bisnis mereka?
Rasanya Chénier tak akan percaya kalau tidak
diceritakan
sendiri oleh Baldini.
Kita tahu yang sesungguhnya bahwa si cebol Grenouille
memang sumber segala keajaiban ini. Semua yang dipajang
Baldini di rak toko dan dipasarkan oleh Chénier
baru
seujung kuku dari yang diciptakan oleh Grenouille di balik
pintu laboratorium yang tertutup. Hidung Baldini tak
bisa
cukup cepat mengimbangi kemampuan Grenouille. Ada
kalanya ia merasa begitu tersiksa karena terpaksa
harus
memilih di antara sekian banyak ciptaan Grenouille
yang
semuanya begitu baik dan sempurna. Penyihir kecil
itu
mampu memetakan resep untuk seluruh parfum yang
ada
di Prancis tanpa sekalipun mengulang resep yang sama dua
kali, dan tanpa sekalipun menghasilkan produk berkualitas
jelek atau bahkan menengah. Lebih jauh kalau mau
jujur,
Baldini tak bisa meresepkan atau memformulasikan setiap
produk itu sekaligus, karena Grenouille masih selalu
mengomposisikan parfum dengan cara yang kacau dan
tidak profesional seperti saat pertama Baldini mengenalnya
malam itu. Ia masih selalu mencampur ramuan sesuka hati
dan tanpa aturan. Tak tahan melihat semua ini, tapi dengan
harapan untuk bisa memahami barang sedikit, suatu
hari
Baldini menuntut agar Grenouille mau menggunakan skala,
gelas pengukur, dan pipet saat mempersiapkan
campuran,
pun walau Grenouille merasa tak perlu begitu. Ia
juga
menuntut Grenouille membiasakan diri untuk tidak
menganggap alkohol sebagai salah satu bahan ramuan, tapi
sebagai pelarut yang harus ditambahkan di akhir
percobaan. Dan demi Tuhan! Yang terpenting, Baldini
menuntut agar semua dilakukan lebih perlahan-dengan
tahapan dan urutan yang lebih bisa dicermati dan
dipahami, sebagaimana lazimnya seniman.
Grenouille menurut. Saat itulah untuk pertama kali
Baldini mampu mengikuti dan mendokumentasikan setiap
manuver individual penyihir ini. Berbekal kertas dan pena,
sambil terus mengingatkan agar bekerja lebih pelan,
ia
duduk di samping si pemuda dan mencatat berapa
ons
bahan yang ini, berapa gram yang itu, berapa tetes
yang
dimasukkan ke botol aduk, dan seterusnya. Metode
ini
amat detail dalam menganalisis prosedur; melibatkan
prinsip-prinsip yang bila diabaikan akan menghambat
prosedur itu. Setelah selesai mendokumentasikan setiap
prosedur ke dalam buku dan menyimpannya dengan aman,
Baldini merasa yakin bahwa semua kini jadi miliknya
seorang.
Bagaimanapun, Grenouille juga mengambil hikmah dan
manfaat dari prosedur disiplin terapan Baldini. Meski pada
dasarnya ia tak pernah hanya mengandalkan semua
itu.
Grenouille tak pernah sampai harus melongok sebuah
formula tertentu untuk membuat parfum yang sama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian karena
hidungnya tak pernah melupakan aroma. Tapi dengan
membiasakan diri menggunakan gelas pengukur dan skala,
ia memelajari bahasa khusus dunia pembuatan parfum.
Instingnya berkata bahwa pengetahuan ini akan
berguna
kelak. Setelah beberapa minggu, Grenouille telah
menguasai tidak hanya nama seluruh aroma yang ada
di
laboratorium Baldini, tapi juga mampu mencatat
formula
parfumnya sendiri. Atau sebaliknya, ia juga mampu
memodifikasi formula dan instruksi orang lain menjadi
parfum dan/atau produk beraroma lain. Tidak hanya
itu!
Sekali ia menguasai bagaimana mengekspresikan gagasan
dalam bahasa pipet dan skala, ia bahkan tak butuh
lagi
perantaraan eksperimen. Setiap kali Baldini menyuruh
membuat parfum baru, baik untuk kolonye atau apa
saja,
Grenouille tak lagi meraih flacon dan bubuk ramuan.
Ia
langsung duduk di depan meja dan menulis
formulanya
saat itu juga. Grenouille belajar menuangkan catatan
mentalnya tentang aroma menjadi sebuah parfum jadi
dengan cara menuliskan formulanya. Buat dia hal ini
sekadar jalan memutar saja, tapi di mata dunia-khususnya
Baldini, ini suatu kemajuan. Mukjizat Grenouille tidak
berubah, namun formulasi tertulisnya kini sedikit
banyak
menyingkirkan ketakutan yang dirasakan pengamat, dan
inilah yang terbaik. Setidaknya ini baik buat
kewarasan
banyak pihak. Makin Grenouille menguasai teknik dan seni
pembuatan parfum, ia makin mampu mengekspresikan diri
dalam bahasa konvensional dunia pembuat parfum,
sekaligus mengurangi rasa takut dan kecurigaan Baldini.
Walau masih menganggap Grenouille sebagai orang dengan
bakat dan penciuman luar biasa, Baldini tak lagi
menyamakannya dengan Frangipani atau penyihir aneh.
Grenouille merasa hal ini lebih baik. Peraturan dan disiplin
seni bisa ia fungsikan sebagai samaran. Kini nyaris
setiap
kali ia meninabobokan Baldini dengan prosedur yang
benar. Mengukur berat ramuan, memutar-mutar botol
aduk, meneteskan parfum ke sapu tangan sebagai
bahan
penguji. Grenouille kini sudah sama elegan dan
ahlinya
dengan Baldini dalam hal membaui sapu tangan berparfum
di bawah hidung. Kadang dari waktu ke waktu,
dengan
interval yang diatur baik, ia sengaja membuat
kesalahan
yang bisa ditangkap Baldini, seperti lupa menyaring
ramuan, salah menentukan skala, salah mencampurkan
persentase larutan ambergris ke dalam formula, dan
sebagainya. Dengan penuh perhatian ia menerima
omelan
Baldini dan memperbaiki dengan patuh. Dengan cara ini ia
menenangkan dan menyeret Baldini ke dalam ilusi
bahwa
'semuanya wajar-wajar saja’. Toh dari awal Grenouille
memang tak berniat mencurangi Baldini. Ia sungguh-
sungguh ingin belajar. Bukan bagaimana mencampur
ramuan, mengomposisi aroma, atau sejenisnya. Soal itu
ia
sudah lebih mafhum dari siapa pun. Baginya, seluruh bahan
yang ada di toko Baldini belum cukup untuk
menciptakan
parfum yang sesungguhnya. Parfum yang dibuat selama ini
hanya main-main bila dibandingkan dengan apa yang
tersimpan dalam pikirannya - dan pasti akan ia buat suatu
hari nanti. Untuk mencapai hal ini, Grenouille sadar bahwa
ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pertama
adalah jubah status dan kehormatan kalangan
menengah
ke atas ‐ setidaknya status sebagai murid utama di
bisnis
ini. Dari sini barulah ia bisa memuaskan gelora
sejati atas
bakatnya dan mewujudkan mimpi tanpa terhalang siapa
pun. Yang kedua adalah pengetahuan tentang seni
membuat parfum itu sendiri - bagaimana memproduksi,
mengisolasi, memekatkan, mengawetkan, dan
menyalurkannya ke pelanggan kalangan atas. Grenouille
boleh jadi memiliki hidung terbaik di dunia, baik
secara
analitis maupun visi, tapi pada saat ini ia belum
memiliki
kemampuan mewujudkan parfum yang sesungguhnya.

Delapan Belas

GRENOUILLE DENGAN SUKACITA memelajari seni


membuat sabun dari lemak babi, menjahit sarung
tangan
kulit kambing, meracik bedak dari tepung terigu, kulit padi,
dan almond, serta menumbuk akar bunga violet. Ia
juga
belajar membuat lilin wangi dari arang, potasium
nitrat,
dan potongan kayu cendana; membuat pastiles oriental
tumbuk dari getah dupa dan bubuk kayu; mengubah
remasan getah olibanum, lak, vetiver, dan kayu manis
menjadi bola harum; mengayak dan mengaduk poudre
impériale dari tumbukan kelopak mawar, lavender, dan
kulit pohon casearilla. Ia juga belajar bagaimana mengaduk
perona wajah berwarna putih dan biru halus,
mencetak
batangan-batangan gincu, membuat cat kuku terbaik
serta
pasta gigi rasa mint, mengaduk cairan penggulung
rambut
palsu untuk laki-laki, pemutih untuk menghilangkan bintik
kulit, dan ekstrak nightshade untuk mata, Spanish fly nntuk
pria-pria ningrat dan cuka apel higienis untuk para
wanitanya.... Pokoknya Grenouille belajar membuat segala
macam produk wewangian mulai dari bedak, perlengkapan
kamar mandi, sampai peralatan kecantikan, plus
ramuan
teh dan jejamuan, minuman keras, marinade, dan
sejenisnya. Semua dipelajari dengan sabar, tanpa niat
macam-macam, tanpa mengeluh, dan semua sukses.
Seluruh ilmu tradisional Baldini diserap dengan mudah
tanpa kesulitan.
Momen favorit Grenouille dalam proses pembelajaran
ini adalah setiap kali Baldini mengajari bagaimana
membuat larutan ramuan dalam alkohol, ekstrak, dan
sari
ramuan. Tanpa kenal lelah ia menggerus biji almond pahit
dalam bejana peremuk, menumbuk kesturi, mencincang
ambergris yang berminyak dengan pisau jagal, memarut
akar bunga violet dan memeras hasilnya dalam
larutan
alkohol terbaik. Ia belajar bagaimana memakai corong
pemisah untuk mengambil sari minyak dari lemon tumbuk
dan ampas susu, mengeringkan jejamuan dan bebungaan di
tempat hangat serta terhalang dari sinar matahari,
dan
bagaimana mengawetkan dedaunan dalam tempayan dan
peti bertutup lilin. Ia belajar seni membilas pomade
dan
bagaimana memproduksi, menyaring, memekatkan,
menjemihkan, dan memurnikan penggabungan ramuan.
Sejujurnya, laboratoriurn Baldini bukanlah tempat yang
tepat untuk membuat minyak bunga. atau tetumbuhan
dalam skala besar. Kota Paris tak cukup mampu
memasok
kuantitas bunga segar sebanyak itu. Namun dari
waktu ke
waktu, saat kebetulan beroleh rosemary murah dan
segar,
daun sage, mint, atau biji minyak adas dari pasar atau saat
menerima kiriman akar bunga valerian, jintan, pala,
atau
cengkeh kering, mulailah sang alkemis Baldini beraksi.
Tabung penyulingan ukuran besar segera dikeluarkan,
bersama dengan alat penyuling dari tembaga, di
atasnya
ada kepala tambat untuk mengondensasikan cairan.
Dengan bangga ia mengumumkan alat yang sudah
empat
puluh tahun ia pakai untuk menyuling bunga lavender
secara langsung dari tempatnya di dataran terbuka Liguria
Selatan dan puncak-puncak Luberon. Sementara Grenouille
memilah-milah apa yang hendak disuling, Baldini sibuk
mondar-mandir memanaskan tungku beralas batu bata -
karena kecepatan adalah inti dari prosedur ini, lalu
memasukkan apa yang sudah disiapkan Grenouille ke
sebuah ketel tembaga, yang diisi sedikit air hingga
menutupi dasarnya. Beragam tanaman yang sudah
dicincang ia masukkan, lalu dengan sigap menyumbat tutup
tabung dan menghubungkannya dengan dua buah
selang
agar air bisa keluar masuk dengan bebas. Mekanisme
pendinginan air yang cerdik ini, demikian Baldini
menjelaskan, adalah temuannya sendiri saat bekerja di
lapangan. Kemudian ia mulai meniup api tungku.
Perlahan-lahan ketel mulai mendidih. Dan setelah
beberapa waktu, hasil sulingan mulai merembes keluar dari
kepala tambat, mengalir ke sebuah botol Florentine
yang
telah disiapkan di bawah. Awalnya menetes lambat-lambat,
lalu mengalir deras. Tampilannya tampak biasa saja, seperti
lapisan sup kelam. yang tipis. Namun sedikit demi sedikit -
apalagi setelah botol pertama diganti dengan yang
kedua,
godokan itu mulai terbagi menjadi dua: di bagian
bawah
adalah cairan bunga atau tetumbuhan, dan di bagian
atas
mengambang lapisan minyak yang tebal. Jika cairan
itu -
yang beraroma sangat tipis ‐ dikeluarkan dengan
hati-hati
melalui cerat bagian bawah botol Florentine, yang
tinggal
adalah minyak murni - inilah esensinya, sari pati
aroma
yang diperas dari tanaman.
Grenouille terpana kagum melihat proses ini. Sangat
sedikit dalam hidup ini yang mampu menyulut
antusiasmenya. Itu pun tak terlihat di wajah - kegembiraan
yang menyala dalam kobaran beku. Namun demikianlah
kini yang ia rasakan saat melihat prosedur
penyulingan
memanfaatkan elemen api, air, dan uap, dengan
peralatan
sederhana namun cerdik untuk menangkap sari pati
atau
jiwa sebuah materi. Jiwa beraroma, minyak tak
terlihat
yang kini ada dalam botol Florentine itu adalah
yang
terbaik dari sebuah materi. Satu-satunya hal di dunia
ini
yang mampu menarik hati Grenouifle. Sisanya - kelopak
bunga, daun, kulit, warna, keindahan, vitalitas, dan kualiras
lain sama sekali tak masuk hitungan. Sama sekali
tidak
menarik. Tak lebih dari sekadar sekam yang harus
disingkirkan.
Selang beberapa waktu, saat hasil sulingan mengembun
dan menjernih, barulah tabung penyulingan itu diangkat
dari api, dibuka dan dibuang endapan kotorannya. Tampak
lunak dan pucat seperti jerami basah, seperti tulang burung
kecil yang putih, seperti sayuran yang direbus terlalu lama,
terasa hambar dan berserabut, seempuk bubur dan
sulit
dikenali asalnya, pucat pasi dan nyaris tidak berbau.
Endapan atau ampas itu lalu dibuang ke luar
jendela, ke
arah sungai. Baldini dan Grenouille kemudian memasukkan
tanaman baru ke dalam tabung penyulingan,
memasukkan
air, dan ditaruh lagi di atas tungku. Kembali ketel itu mulai
mendidih dan kembali darah kehidupan tanaman di
dalamnya menetes ke botol Florentine. Ini kerap
berlanjut
sepanjang malam. Baldini memandangi tungku sementara
Grenouille mengawasi botol. Tak ada yang bisa
dilakukan
selain menunggu sampai siklus berikutnya.
Mereka duduk di pinggir tungku, seolah tersihir
menunggui ramuan mendidih. Namun lamunan keduanya
tak sama. Baldini suka memandangi nyala dan percik bunga
api serta permukaan tembaga yang merah membara.
Ia
suka mendengar suara halus kayu terbakar dan gelegak isi
tabung yang mendidih, karena ini mengingatkannya
pada
masa lalu. Hanyut dibuai lamunan. Ia mengambil
sebotol
anggur dari toko karena panas godokan membuatnya haus,
meminum anggur sama mengingatkannya pada masa
lalu.
Lalu mulailah bibirnya berceloteh tentang nostalgia
masa
muda, tak berkesudahan. Ia bercerita tentang Perang
Pemberontakan Spanyol, saat partisipasinya melawan
Austria telah turut memberi pengaruh penting dalam
hidup; tentang Camisards - kawan seperjuangan kala
merajalela di Cévennes; tentang putri seorang Huguenot di
Estérel yang lantaran mabuk kepayang dengan parfum
bunga lavender lalu mengabulkan permintaannya; tentang
bagaimana ia nyaris mengakibatkan kebakaran hutan
dan
memusnahkan seluruh daerah tersebut kalau saja tidak ada
mistral - angin utara yang bertiup kuat di Prancis
selama
musim dingin; plus berulang-ulang kisah basi tentang
bagaimana ia menyuling parfum di tanah terbuka saat
malam, di bawah terang bulan, berteman anggur dan suara
tokek serta derik jangkrik; juga tentang minyak
lavender
ciptaannya - minyak parfum yang begitu kuat dan
murni
sampai bisa ditimbang seharga perak; tentang tahun-tahun
pembelajarannya di Genoa, tahun-tahun pengabdiannya
sebagai seorang ahli di kota Grasse, di mana jumlah
ahli
parfum sama banyak dengan pembuat sepatu - beberapa
ada yang sangat kaya sampai bisa hidup seperti
pangeran,
tinggal di rumah-rumah besar dengan taman dan
teras
serta ruangan-ruangan makan berdekor mewah tempat
mereka berpesta dengan peralatan makan dari porselen
dan emas, bla... bla.... bla....
Macam itulah dongeng Baldini sambil minum anggur.
Pipinya makin merona oleh anggur, panas tungku,
dan
antusiasme kisahnya sendiri.
Grenouille duduk memojok di balik bayang-bayang
tanpa menyimak sama sekali. Ia tak peduli segala
macam
cerita lama. Ia hanya peduli satu hal: proses baru
ini.
Matanya nyalang tak berkedip menatap puncak tabung-
tempat di mana rembesan sulingan mengalir keluar.
Dan
saat menatap ia membayangkan diri sendiri sebagai
isi
tabung itu, mendidih dan merembes keluar sebagai
sulingan, tapi dalam bentuk yang lebih baik, lebih baru dan
tak dikenal dari sekian tanaman eksotis yang ia
tanam
dalam batin. Bermekaran membentuk buket‐buket bunga
yang tak dikenal siapa pun selain dirinya sendiri,
dan
dengan aroma unik yang tercipta ia mengubah dunia
menjadi Taman Surga yang harum mewangi, di mana hidup
terasa lebih indah dan nyaman ditinggali - tentu saja dalam
kaitannya dengan penciuman. Sebagai tabung penyulingan
raksasa, ia akan membanjiri dunia dengan berbagai
hasil
sulingan ciptaannya. Demikianlah lamunan Grenouille saat
itu.
Baldini yang terbakar anggur masih terus mengocehkan
nostalgia yang makin lama makin dahsyat dan terjerat
dalam semangatnya sendiri. Sementara itu, Grenouille
memutuskan untuk berhenti mengkhayal. Saat itu ia hapus
sama sekali lamunan menjadi tabung penyulingan
raksasa
dan mulai mernikirkan bagaimana cara memanfaatkan
pengetahuan baru ini untuk tujuan yang lebih nyata....

Sembilan Belas

TAK MAKAN WAKTU LAMA sampai Grenouille


menjadi
ahli penyulingan. Ia menemukan - dengan hidung yang jauh
lebih membantu ketimbang segudang peraturan Baldini
-
bahwa panas api memegang peranan penting dalam
menentukan kualitas hasil sulingan. Setiap tanaman, setiap
bunga, setiap jenis kayu, dan setiap minyak perasan
biji
menuntut prosedur penggodokan tersendiri. Kadang harus
sangat panas, kadang sedang, dan untuk bebungaan apinya
harus sekecil mungkin.
Persiapan lain juga begitu. Mint dan lavender bisa
disuling berkelompok. Yang lain ada yang harus disisihkan
dengan hati-hati terlebih dahulu, dipetik, dipotong, digerus,
ditumbuk, atau bahkan dibuat menjadi bubur sebelum
ditaruh dalam ketel. Sialnya, ada banyak hal yang
tak bisa
disuling sama sekali. Ini membuat Grenouille sebal.
Melihat betapa Grenouille makin mahir menangani
perangkat kimia, Baldini bersedia membebaskannya
berkreasi dengan tabung penyulingan. Jelas sebuah peluang
yang tidak disia-siakan begitu saja oleh Grenouille.
Sementara tetap mengerjakan tugas pembuatan parfum
dan produk wewangian lain di siang hari, malamnya
ia
habiskan khusus untuk menguasai seni penyulingan. Ia
berencana menciptakan aroma dasar yang sama sekali
baru, untuk kemudian dikembangkan menjadi beberapa
macam aroma sesuai ingatannya selama ini. Kesuksesan
datang bertahap. Awalnya ia berhasil membuat minyak dari
jelatang dan dari biji seledri, eau de toilette dari
batang
elderberry segar dan ranting cemara. Hasil sulingannya
memang nyaris berbeda dengan aroma ramuan asal,
tapi
paling tidak masih cukup menarik untuk diteruskan
lebih
jauh. Kendati demikian, tetap ada substansi tertentu
yang
prosedurnya gagal sama sekali. Misalnya saat Grenouille
mencoba menyuling aroma kaca, lempung, aroma dingin
sebuah kaca yang mulus, pokoknya benda-benda yang
tak
bisa diendus hidung manusia normal. Ia telah
mencoba
sedikit pada kaca jendela - dan pecahan botol, dan sekarang
ingin mencoba lagi dalam jumlah besar, dalam
pecahan-
pecahan yang dibuat sehalus debu ‐ semuanya gagal.
Selanjutnya ia mencoba menyuling kuningan, porselen dan
kulit, kayu, serta kerikil. Tanah juga ia coba suling mentah‐
mentah. Begitu pun darah, kayu, ikan segar, dan rambutnya
sendiri. Di ujung percobaan, ia menyuling air mentah
dari
sungai Seine. Aroma uniknya dirasa pantas diabadikan.
Ia
yakin bahwa dengan bantuan tabung penyulingan ia
mampu menjarah aroma unik dari benda-benda itu, seperti
yang telah kenyang ia lakukan pada tumbuhan,
lavender,
dan biji jintan. Ia tak sadar bahwa penyulingan
sesungguhnya tak lebih dari sekadar proses
memisahkan
substansi kompleks menjadi komponen yang mudah
menguap dan yang tak mudah menguap. Ini hanya berguna
dalam seni membuat parfum, karena sari minyak
yang
mudah menguap dari tanaman tertentu bisa diekstraksi
atau dipisahkan dari substansi lain yang sedikit atau tidak
memiliki bau. Pada substansi yang kurang atau tidak
memiliki sari minyak, proses penyulingan tentu saja
tak
berguna. Buat manusia modern seperti kita hal ini
pasti
bisa segera dipahami, tapi dalam kasus Grenouille,
pengetahuan ini didapat secara menyakitkan, setelah
melewati berjam-jam percobaan yang mengecewakan.
Selama berbulan‐bulan ia tetap keras kepala menongkrongi
tabung penyulingan, malam demi malam, mencoba
setiap
cara dan teknik menyuling aroma baru yang radikal
-
aroma yang tak pernah ada di bumi dalam wujud
konsentrat. Usaha ini tentu saja berbuah kekonyolan. Hasil
terjauh yang didapat selalu minyak tanaman. Sumur
produktivitasnya yang tak terbatas itu terus memompa
usaha tanpa hasil. Hidung ajaib Grenouille justru jadi
penghalang terbesarnya dalam memahami kegagalan.
Saat akhirnya sadar bahwa ia telah gagal,
Grenouille
menyudahi percobaan dan jatuh sakit.
Dua Puluh

DEMAM TINGGI MENYERANG GRENOUILLE. Beberapa


hari pertama dibarengi keringat deras, tapi kemudian,
seolah pori-pori kulitnya tak tahan lagi dan mulai
mengeluarkan jerawat serta bisul dalam jumlah tak
terhitung. Banyak yang pecah dan mengeluarkan air
tapi
kemudian tumbuh lagi. Ada juga yang tumbuh sampai
matang benar, membengkak tebal dan memerah, lalu
meletus menumpahkan nanah kental serta darah
kekuningan. Dengan segera ratusan borok, bisul, dan nanah
itu membuat Grenouille tampak seperti patung martir yang
ditimpuki dari dalam.
Baldini tentu saja khawatir. Sangat tidak menyenangkan
kehilangan murid berharga di saat ia justru tengah
berencana mengembangkan bisnis lebih jauh. Membuat
cabang-cabang di luar kota dan bahkan sampai keluar
negeri. Pesanan terus meningkat, tidak hanya dari
seluruh
Paris, tapi terutama dari negeri-negeri seberang. Ini
tentu
saja harus segera diantisipasi dengan membuka cabang
baru. Baldini berniat membuka sebuah pabrik kecil di kota
Saint-Antoine, di mana ia bisa memproduksi parfum-
parfum yang paling cepat dibuat dalam kuantitas
besar,
dikemas dalam botol-botol kedl oleh anak-anak perempuan
sebagai buruh, dan segera dikirim ke Belanda, Inggris, dan
Jerman Raya. Usaha begini tak sepenuhnya legal
untuk
seorang ahli parfum yang berdiam di Paris, tapi
Baldini
baru saja beroleh dukungan dari orang-orang berpengaruh
- bukan hanya dari komisaris perdagangan, tapi juga
dari
pihak-pihak pemegang hak waralaba untuk kantor
pabean
kota Paris, atau dengan salah seorang anggota Majelis
Keuangan Istana dan promotor pelaksana perdagangan
nasional seperti Monsieur Feydeau de Brou. Tokoh terakhir
ini bahkan menawarkan prospek untuk mendapatkan
paten kerajaan - benar-benar mimpi indah serupa cek
kosong untuk meretas semua batasan sipil dan profesional.
Menjamin kebebasan dan keamanan berbisnis secara
permanen serta kekayaan tak terbayangkan.
Baldini juga menyimpan rencana lain. Rencana
favorit
yang berfungsi sebagai rencana tandingan atas rencana
pendirian pabrik di pinggiran kota Saint-Antoine.
Barang-
barang dagangan di tempat itu, kelak, walau tidak
diproduksi massal, akan tersedia untuk siapa saja.
Tapi
untuk orang-orang tertentu dan klien-kiien dari
katangan
atas, ia ingin menciptakan - bahkan sudah dibuat - parfum
pribadi yang hanya cocok untuk masing-masing orang
tersebut, seperti pakaian jadi yang dibuat khusus
dengan
parfum tersebut, misalnya, lengkap dengan pengenal
dan
sulaman nama pemakai. Ia bisa membayangkan nama‐
nama parfum itu sebagai 'Parfum de la Marquise de Cema’,
'Parfum de la Marechale de Villar’, 'Parfum du Duc
d'Aiguillor’, dan seterusnya. Ia membayangkan 'Parfum
de
Madame la Marquise de Pompadour', atau bahkan 'Parfum
de Sa Majeste le Roi' dalam kemasan flacon
bertatahkan
batu akik mahal dengan pegangan bersepuh emas dan
di
bagian dasarnya, pada tempat tersembunyi, terukir tulisan:
'Giuseppe Baldini, Sang Ahli Parfum’. Nama sang Raja
dan
namanya kelak akan tertulis di satu benda yang
sama.
Sedemikian tingginya angan-angan dan gagasan Baldini.
Dan sekarang Grenouille jatuh sakit, kendati Grimal -
semoga arwahnya beristirahat dengan tenang - telah
bersumpah bahwa anak itu tidak mengidap penyakit
apa
pun, bahwa Grenouille sanggup menghadapi tugas apa pun,
bahkan tak mempan diganyang wabah hitam - wabah
pes
abad pertengahan yang membunuh nyaris separo
penduduk Eropa Barat. Tapi nyatanya sekarang ia
jatuh
sakit. Sakit berat. Bagaimana kalau sampai meninggal?
Mengerikan! Bisa rusak semua rencana indah
mendirikan
pabrik, mengupah buruh-buruh wanita, mendapatkan
paten, dan parfum untuk sang Raja.
Baldini bertekad melakukan apa saja demi nyawa
sang
murid. Ia menyuruh Grenouille pindah dari dipan di
laboratorium ke ranjang haru yang bersih di lantai
atas.
Kasurnya ia lengkapi dengan kain sutra. Ia bahkan
memapah Grenouille naik tangga dengan tangannya
sendiri, walau jijik pada jerawat dan pecahan bisul.
Ia
menyuruh istrinya memanaskan sup kaldu ayam dan
menyiapkan anggur. Ia memanggil dokter paling terkenal di
Paris - seorang bernama Procope yang menuntut dibayar di
muka sejumlah dua puluh franc, bahkan sebelum ia
setuju
untuk berkunjung.
Sang dokter datang, mengangkat selimut dengan tangan
terjumput karena jijik, melihat sekilas ke tubuh Grenouille
yang seperti ditembusi ratusan peluru, dan langsung
meninggalkan kamar tanpa sekalipun membuka tas
medis
yang dibawa oleh seorang asisten. Kepada Baldini
sudah
jelas. Ini kasus cacar air sifilistik bernanah stadium
tinggi.
Tak bisa ia melaporkan bahwa kasusnya dengan komplikasi
campak dilakukan pengobatan karena pisau bedah tak bisa
dimasukkan dengan benar ke bagian tubuh yang luka - ini
pun sudah lebih mirip badan mayat ketimbang
organisme
hidup. Dan meskipun bau khas yang biasanya timbul
bersama wabah ini belum tercium (dari sudut
pandang
ilmiah, ini terhitung telaah detail yang luar biasa),
sang
dokter memastikan bahwa si penderita akan mati
dalam
waktu 48 jam - sepasti namanya, Procope. Saat itu ia
menuntut dua puluh franc lagi untuk kunjungan dan
prognosisnya - lima franc bisa diambil kembali apabila
jasad Grenouille boleh dibawa untuk keperluan
demonstrasi medis. Lalu sang dokter pun pamit.
Baldini sangat terpukul. Ia meraung menangisi
kehancuran yang menjelang. Menggigiti jemari meratapi
nasib. Sekali lagi, persis di ambang pencapaian
cita-cita,
seluruh rencana agungnya runtuh berantakan. Kalau
dulu
ia dihancurkan oleh Pélissier dan kelompoknya dengan
kekayaan dan plagiarisme mereka, sekarang oleh
pemuda
dengan sumur aroma baru yang tak pernah kering ini, anak
bungkuk sialan ini yang lebih berharga dari seluruh emas di
dunia. Entah bagaimana anak itu kini memutuskan
untuk
terserang cacar air sifilistik plus campak bernanah stadium
tinggi. justru di saat seperti ini! Kenapa tidak dua tahun ke
depan saja? Atau paling tidak setahun mendatang? Saat itu
Baldini pasti sudah kaya raya seperti tambang perak,
seperti Raja Midas dengan pantat bersepuh emas!
Grenouille boleh saja mad tahun depan, tapi jangan
sekarang, brengsek! Tidak dalam waktu 48 jam!
Sesaat Baldini sempat mempertimbangkan gagasan
untuk ke Notre-Dame di mana ia bisa menyalakan lilin dan
berdoa memohon pertolongan Bunda Maria untuk
kesembuhan Grenouille. Tapi ia tepiskan gagasan itu
karena waktunya sempit. Baldini bergegas menyambar
kertas dan tinta, lalu mengusir istrinya keluar dari
kamar
Grenouille. Ia akan mengawasi sendiri. Duduk di kursi
di
samping ranjang, kertas catatan di pangkuan, sebuah pena
bertinta di tangan dan mencoba memeras pengetahuan
Grenouille tentang seni buatan parfum. Demi Tuhan, jangan
sampai dia berani mati duluan tanpa berkata apa-apa
-
membawa harta karun Baldini ke liang kubur.
Tidakkah
Grenouille sudi meninggalkan warisan pada orang
tepercaya, agar generasi mendatang tidak harus kehilangan
aroma terbaik sepanjang masa? Ia, Baldini, dengan
amat
senang hati akan menyampaikan warisan itu. Formula
utama dari parfum terluhur yang pernah ada. Akan
menghantarkannya ke puncak ketenaran, bahkan atas
nama Grenouille - ya, ia sungguh bersumpah demi
segala
suci akan melakukan itu. Ia akan menggelar yang
terbaik
dari parfum‐parfum itu di hadapan sang Raja, dalam
sebuah flacon batu akik bersepuh emas dengan ukiran
dedikasi berbunyi, “Dari Jean-Baptiste Grenouille, Sang Ahli
Parfum, Paris”. Demikian bisik Baldini ke telinga Grenouille.
Dengan segenap hati memohon dan membujuk.
Namun sia-sia. Grenouille tak berucap apa-apa selain
menghasilkan sekresi berair dan bisul pecah. Berbaring
bisu di atas kasur berlapis sutra, mengucapkan salam
perpisahan dengan cairan menjijikkan itu, tanpa
mewariskan formula, pengetahuan, atau aroma apa pun.
Ingin sekali rasanya Baldini memberangus dan
memukuli
onggokan daging ini sampai mati, memeras keluar
rahasia
berharga itu - kalau saja bisa demikian... dan kalau
saja
tidak bertentangan dengan keyakinan Kristen untuk
mencintai sesama.
Demikianlah ia terus mendengkur dan memelas dengan
suara paling manis, memanjakan Grenouille, dan -
dengan
perjuangan setengah mati menahan diri - mengelapi
keringat di kening Grenouille, pada luka-lukanya yang
mendidih, menyuapi sesendok demi sesendok anggur,
berharap agar setidaknya mampu “melemaskan' lidah
Grenouille. Ini dilakukan sepanjang malam dan berujung
sia-sia. Menjelang fajar ia menyerah. Baldini jatuh
kelelahan di kursi di ujung ruangan seraya menatap - tidak
lagi dengan kernarahan, tapi dengan kepasrahan bisu. Pada
tubuh sekarat Grenouille yang terbaring di ranjang,
yang
tak bisa ia tolong, jarah, atau bujuk untuk mengatakan apa
pun. Kematian yang hanya bisa disaksikan dengan
pikiran
mati rasa seperti seorang nakhoda menyaksikan
kapalnya
karam, membawa seluruh kekayaan ke dasar laut.
Ketika
itulah mendadak mulut pemuda sekarat itu membuka,
mengeluarkan suara jernih yang berlawanan dengan
kondisinya. Ia berkata, “Katakan padaku, Maître, adakah
cara lain mengekstraksi aroma dari benda-benda selain
diperas dan disuling?”
Baldini - yang dengan mata tertutup mengelus kening,
setengah yakin suara itu keluar dari imajinasinya
sendiri
atau dari alam lain ‐ menjawab otomatis, “Ya, ada.”
“Apa itu?” datang pertanyaan dari arah ranjang.
Sontak
Baldini membuka mata lelahnya lebar-lebar. Grenouille
masih terbaring tak bergerak. Mungkinkah mayat itu
berbicara?
“Apa sajakah itu?” datang lagi pertanyaan itu. Kali
ini
Baldini menangkap bibir Grenouille bergerak berucap.
Berakhir sudah, pikirnya. Inilah akhirnya. Kegilaan
akibat
demam atau menjelang kematian. Ia bangkit, melangkah ke
sisi ranjang, lalu membungkuk mendekati si sakit.
Mata
Grenouille terbuka dan menatap Baldini dengan pandangan
aneh yang sama seperti ketika pertama kali bertemu.
“Apa sajakah itu?” kembali ia bertanya.
Baldini merasa tak tega. Ia tak mungkin menolak
permintaan terakhir seseorang menjelang ajal. Ia
menjawab, “Ada tiga cara lain, anakku: enfleurage à chaud,
enfleurage à froid, dan enfleurage à l’huile.
Masing-masing
merupakan teknik penyulingan superior dalam banyak
aspek, dan biasa digunakan untuk mengekstraksi aroma
terbaik yang pernah ada, yaitu bunga melati, mawar,
dan
jeruk.”
“Di mana semua ini bisa dilakukan?” tanya Grenouille.
“Di selatan, jawab Baldini, “terutama sekali di kota
Grasse.”
“Baguslah,” jawab Grenouille.
Dan dengan itu ia menutup mata. Baldini bangkit dengan
lemas. Batinnya tersiksa. Ia kumpulkan semua kerras
dan
meniup lilin. Hari sudah lewat fajar dan ia sangat kelelahan.
Aku harus memanggil pendeta, pikirnya. Tangan kanan
tergesa membuat tanda salib, lalu pergi.
Sementara itu, Grenouille sama. sekali tidak mati.
Ia
hanya tidur nyenyak, hanyut dalam mimpi, sambil
mengisap kembali seluruh cairan kehidupan yang
membuncah keluar bersama bisul dan jerawat.
Luka-luka
dan kawah bernanah perlahan mengering dan menutup.
Seminggu kemudian kondisi Grenouille kembali pulih.

Dua Puluh Satu

GRENOUILLE AMAT INGIN saat itu juga berangkat


ke
selatan, ke kota di mana ia bisa belajar teknik penyulingan
baru seperti uraian Baldini. Tapi tentu saja tidak mungkin.
Ia hanya seorang murid rendahan, atau dengan kata
lain:
sama sekali bukan siapa-siapa. Seperti dijelaskan
Baldini -
setelah menampakkan kegembiraan luar biasa menyambut
kebangkitan Grenouille dari kematian - ia bahkan lebih
rendah dari 'bukan siapa-siapa’ karena seorang murid yang
benar harus memiliki persyaratan memadai seperti
surat
legitimasi, akta kelahiran, memiliki kerabat kalangan
ningrat, serta sertifikat ikatan kontrak. Semua ini
Grenouille tak punya. Pun andai Baldini kelak memutuskan
untuk membantunya mengurus surat-surat resmi kenaikan
tingkat ke status ahli, itu hanya bisa terjadi atas dasar bakat
ajaib Grenouille, kesempurnaan perilaku sejak saat itu, dan
terutama sekali atas kebaikan Baldini. Yang terakhir
ini
meskipun banyak menguntungkan Grenouille, tetap saja
akan membuat ia berutang budi selamanya. Cukup
lama
sampai Baldini bersedia memenuhi janji - nyaris tiga
tahun. Selama itu, dengan bantuan Grenouille, Baldini
mewujudkan impian. Ia membangun pabrik di pinggir kota
Saint-Antoine, meloloskan tender untuk parfum eksklusif di
kalangan istana, serta menerima paten kerajaan.
Parfumnya terjual sampai ke St. Petersburg di Rusia,
Palermo di Italia, dan Copenhagen di Denmark.
Barang-
barang beraroma kesturi sangat dicari, bahkan di
Konstantinopel. Padahal Tuhan pun tahu orang-orang di
sana sudah lebih dari cukup memiliki parfum sendiri.
Parfum Baldini tercium mulai dari kantor-kantor elegan di
London sampai istana Parma, juga di puri Warsawa dan di
istana kecil dinasti Graf von und zu Lippe-Detmold. Kontras
dengan angan-angan semula untuk hidup menyepi
dalam
kemiskinan di Messina, Baldini yang kini berusia
tujuh
puluh tahun, berubah menjadi pembuat parfum terbesar di
seluruh Eropa dan termasuk salah satu orang terkaya
di
Paris.
Di awal tahun 1756 Baldini membeli gedung seberang di
Pont au Change yang ia pakai untuk tempat tinggal karena
gedung lama sudah penuh sampai ke atap dengan
parfum
dan rempah-rempah. Saat itu ia menyampaikan pada
Grenouille bahwa kini ia bersedia melepasnya, dengan tiga
syarat. Pertama, ia tak boleh membuat parfum apa
pun
yang sama dengan apa yang kini ada di bawah atap gedung
milik Baldini atau menjual formulanya pada pihak
ketiga.
Kedua, ia harus meninggalkan Paris dan tidak kembali lagi
selama Baldini masih hidup. Dan ketiga, Grenouille
harus
merahasiakan dua syarat tersebut. Ia diminta
bersumpah
atas nama semua santo, atas nama. jiwa ibunya
yang
malang, dan atas nama kehormatannya sendiri.
Grenouille tidak memiliki kehormatan, tidak percaya
santo, dan membenci ibunya, jadi dengan enteng ia
bersumpah. Sumpah demi apa pun ia bersedia. Syarat
bagaimanapun yang diajukan Baldini akan diterima. karena
ia sudah sangat tak sabar ingin segera memiliki surat resmi
status ahli. Kunci menuju kebebasan, berkelana tanpa
diganggu siapa pun, dan mencari pekerjaan. Hal lain
tidak
penting. Lagi pula, syarat macam apa itu? Tak boleh
memasuki Paris lagi? Siapa juga yang butuh Paris? Ia sudah
kenyang dengan kota ini sampai ke ceruk terkecilnya
sekalipun. Aroma kota ini akan selalu ia bawa ke mana pun
melangkah. Boleh dibilang ia telah memiliki Paris
selama
bertahun-tahun. Tak boleh membuat parfum-parfum laris
yang kini dimiliki Baldini? Tak boleh menyebarkan
formulanya? Bah! Ia mampu membuat ribuan lagi,
dan
setiap kali jauh lebih baik, kapan saja ia mau!
Tapi ia tak
mau begitu. Grenouille tak berniat bersaing dengan Baldini
atau ahli parfum borjuis lainnya. Tak pernah terlintas
niat
untuk menjadi kaya dengan bakat ini. Tak ingin hidup dari
situ kalau memang ada jalan lain mengongkosi hidup. Yang
paling diinginkan adalah mengosongkan jiwanya yang
paling dalam - satu-satunya hal terindah dari apa pun yang
bisa ditawarkan dunia. Dus, syarat Baldini bukan
apa-apa
buat Grenouille.
Grenouille berkemas pagi-pagi sekali di awal musim
semi, di bulan Mei. Baldini membekalinya dengan
sebuah
ransel kecil, selembar kemeja, dua pasang stoking,
sebongkah besar sosis, selimut pelana kuda, dan uang
25
franc. Menurut Baldini, ini saja sudah berlebihan dari
apa
yang semestinya diberikan, mengingat bahwa Grenouille
tidak membayar sepeser pun untuk pendidikan yang
diterimanya selama ini. Grenouille hanya diwajibkan
membayar uang pemutusan kontrak sebesar dua franc.
Tidak lebih. Yah, Baldini rupanya masih menyimpan sedikit
simpati untuk Jean-Baptiste Grenouille setelah sekian lama
tinggal bersama. Ia mendoakan semoga Grenouille
beruntung dalam perjalanan dan sekali lagi
mengingatkan
secara empatik agar tidak melupakan janji. Setelah itu
ia
mengantar Grenouille melewati koridor sempit ke pintu
belakang seperti saat pertama kali bertemu, dan
mereka
berpisah.
Baldini tidak mengangsurkan tangan memberi salam -
simpatinya tak sampai sejauh itu. Ia tak pernah bersalaman
dengan Grenouille. Selama ini ia selalu berusaha agar
mereka tidak bersentuhan. Perasaan yang datang dari rasa
jijik tanpa alasan, atau takut tertular, atau
terkontaminasi
entah apa. Ia hanya berucap, “Adieu.” Grenouille
mengangguk, merunduk melewati pintu dan berlalu.
Jalanan pagi itu tampak lengang.

Dua Puluh Dua

BALDINI MEMANDANG KEPERGIAN sang mantan murid.


Ransel di punggung Grenouille bergerak melintasi
jembatan ke seberang. Tubuh itu kecil, bungkuk,
mengusung ransel seperti manusia bongkok dan dari
samping malah seperti orang tua. Di ujung jalan
yang
berkelok ke Palais de Parlement, Baldini tak bisa
melihatnya lagi dan merasa amat lega.
Kini akhirnya ia mengaku bahwa ia tak pernah menyukai
pemuda itu. Tak pernah merasa nyaman setiap saat
bersama Grenouille di bawah satu atap sementara
terus
menjarah pengetahuan dan bakatnya. Ia merasa seperti
seorang manusia suci yang kecipratan amal jelek
untuk
pertama kali, atau seperti orang yang curang saat bermain
kartu. Memang benar bahwa risiko untuk sampai
tertangkap basah selama ini kecil sekali, apalagi
prospeknya juga luar biasa, tapi kegugupan dan
perasaan
tak nyaman yang ditimbulkan juga sama besarnya.
Jujur
saja, selama tahun-tahun belakangan ini ia selalu
dihantui
ketakutan bahwa suatu hari nanti ia harus membayar
keterlibatannya dengan Grenouille. Semoga semua bisa
berakhir dengan baik! Begitu doanya setiap hari.
Semoga
aku berhasil menggelembungkan keuntungan dari bisnis
berisiko tinggi tanpa harus membayar akibatnyal
Semoga
aku berhasil! Yang kulakukan memang tidak benar,
tapi
Tuhan pasti mau memaklumi, aku yakin. Tuhan telah cukup
keras menghukumku berkali‐kali di masa lalu, tanpa sebab
apa pun, jadi cukup adil kalau Dia memberi
keringanan
untuk yang satu ini. Coba, dosa apa yang
sebenarnya
kulakukan, kalau memang ada? Paling banter aku
hanya
beroperasi sedikit di luar peraturan Serikat Kerja Ahli
Parfum dengan mengeksploitasi berkah ajaib seorang
pekerja tak berpengalaman dan mengakui bakatnya
sebagai milikku. Aku hanya melenceng sedikit dari
jalur
tradisional nilai-nilai serikat kerja. Yang kulakukan hari ini
adalah apa yang selalu kubenci di masa lalu. Salahkah itu?
Banyak orang lain berlaku curang sepanjang hayat.
Aku
hanya menukil sedikit selama beberapa tahun. Itu pun
hadir begitu saja di depan rumah - seperti berkah. Sebuah
peluang sekali seumur hidup yang tak mungkin
kulewatkan. Mungkin bukan semata-mata peluang, tapi
Tuhan sendiri yang mengirim penyihir itu ke
rumahku,
sebagai ganti hari-hari memalukan saat menghadapi
Missier dan kawan-kawan. Atau barangkali Tuhan tidak
mengarahkan ini semua khusus untukku, tapi justru untuk
menghukum Pélissier! Ya, itu lebih mungkin. Dengan
cara
bagaimana lagi Tuhan mampu menghukum orang itu kalau
tidak dengan mengangkatku? Dari sudut pandang itu,
keberuntunganku terletak pada cara Tuhan mencapai
tujuan-Nya. Dus, tidak hanya harus kuterima, tapi
juga
tanpa rasa malu dan tanpa penyesalan....
Begitulah Baldini kerap berpikir selama tahun-tahun itu.
Di pagi hari saat meniti tangga turun ke toko, sore hari saat
naik lagi membawa peti kas untuk menghitung
koin-koin
emas dan perak, dan malam hari saat ia terbaring
di sisi
buntal tulang yang mendengkur-yang ia sebut sebagai
istri... tapi ia sendiri tak bisa tidur saking takut kehilangan
harta.
Dan hari ini adalah saatnya mengenyahkan semua
kecemasan itu. Tamu aneh itu telah pergi dan tak
akan
kembali. Tapi kekayaan yang ditinggalkan tetap jadi
miliknya dan aman sampai ke masa depan. Baldini
menangkup tangan ke dada dan merasakan di balik
bajunya, sebuah buku tebal terselip aman bersama
detak
jantung. Enam ratus formula telah tercatat di sini.
Lebih
dari yang mampu diramu oleh seluruh generasi ahli
parfum. Ia boleh saja kehilangan harta sekarang, tapi
dengan buku ini ia bisa jadi kaya lagi dalam
waktu satu
tahun. Sungguh, ia tak bisa menuntut lebih dari ini!
Matahari pagi menerpa atap-atap rumah seberang jalan.
Sinarnya berpendar keemasan dan terasa hangat di wajah.
Baldini masih menatap ke arah selatan, ke jalan
yang
menuju Palais de Parlemen ‐ menyenangkan sekali
tak
harus melihat tampang Grenouille lagi! Dengan penuh rasa
syukur ia memutuskan untuk berziarah ke Notre‐Dame
hari ini. Di sana ia akan melempar koin emas ke
dalam
kotak amal, menyalakan tiga batang lilin, lalu berlutut
memanjatkan puji syukur pada Tuhan yang telah memberi
karunia rezeki dan menjauhkannya dari bencana.
Tapi siang hari itu juga, persis saat Baldini hendak pergi
ke gereja, sesuatu yang aneh terjadi: ada kabar
bahwa
Inggris telah menyatakan perang terhadap Prancis.
Berita
ini saja sudah sangat menggelisahkan. Terlebih lagi Baldini
telah berencana mengirim produksi parfum ke Londan
persis pada hari itu. Terpaksalah ia menunda ziarah
ke
Notre-Dame dan berbelok ke pusat kota untuk memastikan
kabar itu lebih jauh. Setelah itu bergegas ke
pabriknya di
pinggiran kota Saint-Antoine dan menunda kiriman menuju
London - setidaknya untuk saat ini.
Malam itu di tempat tidur, sebelum ia lelap, mendadak ia
kedatangan ide bagus. Melihat kemungkinan pecah perang
dan kekerasan yang akan terjadi di seluruh koloni
Dunia
Baru, ia akan meluncurkan produk parfum bertajuk
'Prestige du Quebec, sebuah parfum heroik beraroma
tar,
yang apabila sukses - ia yakin pasti begitu - akan
menghasilkan keuntungan yang jauh melebihi kerugian
akibat pembatalan bisnis dengan Inggris. Ide konyol
ini
membuatnya lega dan menefungkup nyaman di atas bantal,
di atas buku kumpulan formula yang saking tebainya
sampai terasa menembus bantal. Tapi Baldini malah
merasa nyaman dan aman begitu. Maître Baldini
tertidur
lelap dan tidak pernah bangun lagi.

Dua Puluh Tiga

KETIKA RUMAH KELUARGA Giuseppe Baldini runtuh,


Grenouille sudah dalam perjalanan menuju Orleans.
Paris,
kota kejam nan berkabut itu, telah ia tinggalkan nun jauh di
belakang. Setiap langkah membuat udara makin jernih,
bersih, dan murni. Juga makin tipis. Tak ada lagi
badai
perubahan ribuan aroma setiap detik. Di sini hanya
ada
beberapa aroma khas; bau jalan berpasir, padang
rumput,
bau tanah, tanaman, air.. membentang sepanjang daerah
pedesaan dalam deburan arus panjang, bergulung perlahan,
mereda perlahan, nyaris tanpa jeda.
Bagi Grenouille, kesederhanaan ini menjadi
pembebasan. Alunan aroma surga dunia membelai hidung.
Untuk pertama kali dalam hidup ia tak harus
mempersiapkan diri menangkap aroma baru yang tak
terduga atau bahkan bersifat menyerang. Pun tak
harus
kehilangan aroma yang menyenangkan - di setiap
tarikan
napas. Untuk pertama kali ia hampir bisa bernapas dengan
begitu lega dan bebas, padahal biasanya ia harus
selalu
waspada menangkap aroma. Disebut 'hampir' karena
kita
pasti mafhum bahwa tak ada yang lewat begitu saja
di
depan hidung Grenouille. Ia sudah sangat terbiasa
memasang sikap waspada dan cemas pada apa pun
yang
datang dari luar dan masuk ke indra penciuman. Sepanjang
hayat, bahkan pada detik-detik ia merasakan setitik
kepuasan, kenyamanan, dan barangkali juga kebahagiaan,
ia lebih memilih membuang napas ketimbang
menghirup.
Persis seperti ketika ia memulai hidup - tidak dengan
menghirup udara penuh kelegaan, tapi dengan jerit
tangis
membekukan darah. Terlepas dari syarat Baldini yang
ia
terima - yang ia pandang semata-mata sebagai pembatasan
konstitusional - yang jelas, makin jauh ia dari Paris,
perasaan semakin nyaman, semakin mudah bernapas,
makin ringan melangkah, sampai kadang mampu
menegakkan tubuh kala berjalan sehingga tampak
seperti
seorang ahli kalau dilihat dari jauh. Seperti manusia
normal.
Yang paling melegakan adalah keadaan yang jauh
dari
siapa pun. Paris adalah tempat berpenduduk terpadat
dibanding kota mana pun di dunia. Enam sampai
tujuh
ratus ribu orang tinggal di Paris. Setiap kelokan
jalan dan
gang-gangnya selalu terisi orang. Rumah-rumah sesak
dijejali penghuni dari ruang bawah tanah sampai
loteng.
Nyaris tak ada sudut di Paris yang tidak dipenuhi
oleh
manusia. Tidak ada batu atau sejengkal tanah pun
yang
tidak sumpek oleh bau manusia.
Makin jauh dari kungkungan manusia, makin jelas
bagi
Grenouille bahwa selama delapan belas tahun ini emisi bau
manusialah yang telab menekannya seperti udara saat
badai petir. Semula ia mengira hanya ingin menjauh
dari
dunia secara umum, tapi ternyata bukan dunia bukan, tapi
manusia penghuninya yang ingin ia jauhi. Kau bisa
hidup
nyaman di dunia ini kalau tidak ada manusia lain.
Di hari ketiga perjalanannya, Grenouille mulai
mengendus bau kota Orleans, jauh sebelum ada tanda
apa
pun yang menyatakan bahwa ia sudah dekat kota.
Hidungnya mencium kondensasi aroma manusia di
udara
dan segera memutuskan untuk tidak langsung masuk kota.
Ia masih ingin merasakan kebebasan penciuman ini
lebih
lama lagi sebelum tercemar oleh iklim manusia. Grenouille
mengambil jalan memutar sangat jauh, tiba di Loire
at
Cháteaueuf dan menyeberang di sungai Sully. Bekal
sosisnya hanya bertahan sejauh ini. Ia beli lagi satu, setelah
itu pergi meninggalkan sungai untuk masuk lebih jauh.
Grenouille menghindari tidak hanya kota, tapi juga
pedesaan. Nyaris mabuk oleh udara yang makin jernih dan
jauh dari bau manusia. Permukiman atau peternakan
terasing hanya dimasuki kalau butuh bekal baru saja,
membeli roti dan langsung menghilang lagi ke hutan.
Setelah beberapa minggu ia bahkan tak tahan
menemui
petualang dan pejalan kaki yang kadang ditemui. Tak kuat
mencium konsentrat aroma yang pasti merebak
bersama
sosok petani yang muncul saat menata jerami di
padang
rumput. Dengan gugup ia menghindari setiap
rombongan
biri-biri - bukan lantaran bau kambing atau domba,
tapi
bau gembalanya yang ia tak tahan. Dusun dan
perkampungan ia lewati begitu saja dan lebih suka
mengambil jalan memutar setiap kali ia menangkap aroma
penunggang kuda dari jarak beberapa jam jauhnya.
Bukan
karena takut dihadang dan ditanyai surat-surat atau diseret
masuk wajib militer (ia bahkan tak tahu bahwa sedang ada
perang), tapi karena ia jijik terhadap bau
penunggangnya.
Dus, rencana semula untuk inengambil rute terpendek
menuju Grasse berubah menjadi sebuah perjalanan bebas -
seperti yang kerap terjadi setiap kali ia punya niat
atau
rencana. Grenouille tak ingin lagi pergi ke suatu tempat. Ia
hanya ingin menjauh. Jauh dari manusia.
Akhirnya, malam hari jadi waktu favoritnya untuk
bertualang. Siang hari ia merangsek ke bawah
belukar,
tidur di bawah semak‐semak, di cekungan akar pohon
besar, di tempat yang paling tidak bisa dijangkau,
menggulung badan seperti binatang dengan selimut
tertarik sampai kepala, menekan hidung di lekukan
siku
agar mimpi tidak terganggu oleh bau apa pun.
Grenouille
bangun setiap senja, mengendus-endus ke segala arah, dan
hanya saat ia yakin bahwa petani terakhir telah
pergi dari
ladang dan petualang paling berani telah bermalam, hanya
saat cahaya pupus dan jalan-jalan perkampungan sepi oleh
manusia, Grenouille berani keluar dan melanjutkan
perjalanan. Ia tak butuh penerangan untuk melihat. Bahkan
saat masih berani jalan siang had ia kerap menutup
mata
dan berjalan mengikuti petunjuk hidung. Bentangan
tanah
lapang dan penglihatan membuat matanya sakit. Ia
hanya
suka pada cahaya bulan. Cahaya bulan tidak mengenal
warna dan menyisiri kontur benda-benda dengan
sangat
lembut.
Menyelimuti bumi dengan warna kelabu suram,
menahan semut makhluk hidup agar tetap di
sarangnya
sepanjang malam. Dunia seperti disepuh timah, di mana tak
satu pun yang bergerak kecuali angin yang kadang
jatuh
memayung seperti bayang-bayang di atas rimba kelabu.
Tak ada sesuatu pun yang hidup kecuali aroma ibu bumi -
satu-satunya dunia yang ia terima, karena sangat
mirip
dengan dunia dalam jiwanya sendiri.
Grenouille berjalan ke arah selatan. Kira-kira saja karena
ia tidak mengandalkan kompas magnet tapi kompas
hidung. Membuatnya berjalan memutari setiap kota, setiap
desa, setiap permukiman. Berminggu-minggu ia tidak
bertemu satu manusia pun, sampai nyaris yakin
bahwa ia
memang hidup sendirian di dunia ini, dalam banjir
kegelapan atau cahaya bulan nan beku. Tapi ternyata
hidungnya masib bisa salah.
Manusia juga hadir saat malam. Bahkan di daerah paling
terpencil sekalipun. Bersembunyi seperti tikus masuk
sarang kalau ingin tidur. Bumi belum bersih dari
mereka
karena dalam tidur pun mereka masih mengeluarkan
bau
yang merembes keluar dari celah retakan rumah ke
udara
terbuka, meracuni alam yang tak mampu berbuat apa-apa.
Makin Grenouille terbiasa dengan udara jernih, makin
sensitif pula ia terhadap bau manusia, yang sialnya kadang
suka mengapung entah dari mana saat malam. Sama.
memuakkannya dengan bau kotoran binatang dan
nyaris
menutupi aroma tempat tinggal manusia itu sendiri. Kalau
sudah begini, Grenouille lebih memilih untuk kabur
lebih
jauh. Sensitivitas dan ketajaman penciumannya makin
meningkat, pun dengan bau yang makin jarang
tercium.
Demikianlah, hidung ajaibnya membawa Grenouille ke
daerah yang makin terpencil dan jauh dari manusia. Seolah
tertarik kutub magnet yang mendorongnya untuk tak
tersentuh siapa pun.

Dua Puluh Empat

KUTUB ITU, titik kerajaan yang paling jauh dari manusia


itu bernama Massif Central di Auvergne, sekitar lima
hari
perjalanan sebelah selatan Dermont, di puncak gunung
Plomb du Cantal berketinggian enam ribu kaki.
Gunung itu terdiri atas sebuah karang kerucut
raksasa
berwarna biru kelabu dan dikelilingi oleh tanah
tandus
yang amat luas, dipasaki beberapa pohon gosong yang
tertutup lumut serta semak belukar. Di sana-sini batu-batu
besar mencuat seperti gigi busuk. Di terik siang
sekalipun
daerah itu begitu muram dan redup sampai gembala
terpapa di provinsi termiskin ini tak akan sudi menggiring
ternaknya ke sini. Malam hari diputihkan oleh cahaya
bulan, membuat dataran ini tampak seperti berasal
dari
dunia lain. Bahkan Lebrun, bandit paling terkenal di
Auvergne, walau dikejar dari segala penjuru, lebih suka lari
ke Uvennes untuk ditangkap, diseret, dan dipenjara
ketimbang bersembunyi di Plomb du Cantal yang jelas-jelas
tak terusik orang.
Sadar bahwa di gunung itu ia bakal mati sendirian. Lebih
baik mati di bui bersama manusia normal daripada
jadi
zombi kesepian. Bermil‐mil. di sekitar pegunungan, tak
sejengkal tanah pun dihuni manusia atau binatang
mamalia. Kalaupun ada, paling-paling kelelawar, beberapa
ekor kumbang, dan ular beludak. Tak ada yang sudi
menjejaki tempat ini selama puluhan tahun.
Grenouille tiba di gunung ini pada suatu malam di bulan
Agustus tahun 1756. Saat fajar menyingsing, ia
berdiri di
puncak. Belum sadar bahwa perjalanannya sudah
sampai
akhir. Dipikirnya ini sekadar lokasi transit sebelum tiba di
daerah berudara lebih murni. Ia memutar tubuh dan
membiarkan hidungnya mengendus bebas, mengembara
melintasi panorama alam liar pegunungan. Di sebelah timur
terletak dataran tinggi Saint-Flour dan rawa-rawa
sungai
Riou. Di sebelah utara - arah datangnya tadi - berjejer rapat
pegunungan baru gamping. Dari sebelah barat, angin
lembut pagi hari membawa aroma bebatuan dan
rumput
liar. Dan dari selatan, kaki gunung Plomb
membentang
bermil-mil sampai ke ngarai Truyère yang gelap.
Benar-
benar tak ada manusia dari segala penjuru. Selangkah lebih
dekat saja, ke arah mana pun, baunya pasti akan
tercium.
Hidung kompas Grenouille berputar bingung kehilangan
orientasi. Ia sadar telah sampai tujuan, meski tetap
butuh
waktu untuk yakin dan jatuh hati pada tempat ini.
Saat matahari terbit, Grenouille masih berdiri di puncak
itu dengan hidung terangkat tinggi ke udara. Setengah
putus asa ia mencoba menentukan arah munculnya
manusia yang mungkin datang mengancam, plus arah
sebahknya untuk melarikan diri. Ia menduga bahwa
ke
arah mana pun pasti sama saja, karena cepat atau
lambat
pasti bakal tercium. Tapi tak ada apa pun. Hanya
ada
kedamaian ‐ kedamaian penciuman, kalau boleh
dibilang
demikian. Ke mana pun kepala berputar yang tercium
hanya aroma bebatuan, lumut, dan rumput kering.
Grenouille butuh waktu sangat lama untuk percaya
bahwa saat itu ia tidak mengandalkan penciuman lagi.
Ia
tak siap mendapati kesialan dan jadi ragu terhadap
indranya sendiri. Ia bahkan menggunakan mata untuk
membantu pengamatan, terutama saat matahari terbit.
Mencermati cakrawala, mencari tanda-tanda kehadiran
manusia seperti atap gubuk, asap, pagar, jembatan,
atau
hewan ternak. Tangannya mencakup ke dekat telinga
dan
menyimak kalau-kalau ada suara desing sabit, gonggongan
anjing, atau tangisan anak kecil. Seharian penuh ia
berdiri
diam di terik matahari, di puncak Plomb du Cantal
dan
menunggu sedikit saja dari tanda-tanda yang ia cari.
Keraguannya perlahan reda menjelang senja, seiring
terbitnya perasaan girang luar biasa. Ia telah lolos dari bau
menjijikkan itu! Ia benar-benar sendirian sekarang.
Satu-
satunya manusia di dunia.
Grenouille melompat bersorak keras-keras. Seperti awak
kapal karam melihat daratan setelah berminggu-minggu
terapung tanpa arah. Kesendirian ini sungguh patut
dirayakan! Sekali lagi ia bersorak girang seraya
melempar
ransel, selimut, dan tongkat ke tanah. Kakinya berhentakan
ke tanah, kedua tangan terangkat, menari
berputar-putar,
menjeritkan namanya sendiri ke empat penjuru angin,
mengangkat dan mengguncang tinju kuat-kuat ke arah
bawah, dan kepada matahari tenggelam. Grenouille benar-
benar kegirangan seperti orang gila dan terus begitu
sampai larut malam.

Dua Puluh Lima

BEBERAPA HARI BERIKUTNYA ia habiskan waktu


dengan bermukim di gunung, setelah memutuskan
bahwa
ia tak akan meninggalkan daerah surgawi ini begitu
cepat.
Pertama-tama ia mengendus mencari air dan
menemukan
sebuah arus kecil di retakan bebatuan, sedikit di
bawah
puncak gunung. Memang tidak banyak, tapi kalau
cukup
sabar menjilat, selama satu jam ia bisa memenuhi
kebutuhan air sehari-hari. Makanan ia temukan dalam
wujud kadal-kadal kecil dan ular cincin. Grenouille
menjepit kepala mereka lalu memakan mereka hidup-
hidup. Ia juga makan lumut kering, rumput, serta
buah
berry lumut. Pola makan seperti ini, walau tak bisa diterima
olah standar borjuis, sama sekali tak menjijikkan
baginya.
Dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, ia tak
lagi
makan makanan hasil olahan tangan manusia seperri
roti,
sosis, atau keju. Setiap kali lapar ia memakan apa saja yang
kira-kira bisa dimakan dan lewat dekat situ, tak peduli rasa.
Ia lebih kenal indra penciuman ketimbang indra pengecap,
jadi tidak ada masalah. Ia juga tak butuh tempat
berteduh
dan cukup puas bernaung di atas batu. Tapi tak
lama
sampai ia menemukan ini.
Dekat retakan sumber air, Grenouille menemukan
sebuah gua alam yang mengarah ke perut gunung
dengan
jalur tajam dan berkelok, berakhir kira-kira 30 meter
di
sebuah lereng berbatu. Punggung gua begitu sempit sampai
Grenouille harus berjalan membungkuk dan bahunya
bergesekan dengan langit-langit. Tapi ia bisa duduk
dan
dengan sedikit memutar badan bahkan bisa berbaring.
Begini saja rasanya sudah sangat nyaman. Tempat ini
banyak memberi keuntungan. Ujung terowongan gelap
gulita, bahkan di siang hari. Sepi, tanpa suara apa
pun.
Udara terasa lembap, asin, dan dingin. Grenouilie
dapat
langsung mengendus bahwa tak ada makhluk hidup
yang
pemah masuk ke sini. Saat tinggal di sana, batin Grenouille
terseret ke dalam arus kekaguman agung - seperti saat
pertama kali seseorang menjejakkan kaki di katedral
Paus
di Roma, atau mesjid agung di Konstantinopel.
Selimut
pelana digelar hati-hari di atas lantai seperti
menutupi
altar, lalu ia berbaring di atasnya. Sangat nyaman
dan
penuh berkah. Grenouille kini berada 45 meter di
bawah
tanah, di dalam perut gunung paling terpencil di
Prancis.
Seperti berada dalam kuburan sendiri. Seumur‐umur ia
tidak pernah merasa demikian aman. Bahkan melebihi
kenyamanan berada dalam kandungan. Dunia boleh
musnah di luar sana, tapi Grenouille tak akan peduli. Lalu ia
mulai menangis perlahan. Tak tahu harus berterima
kasih
pada siapa untuk karunia sebaik ini.
Hari-hari selanjutnya, Grenouille keluar hanya untuk
menjilat air, buang hajat, dan berburu kadal serta
ular.
Mereka lebih mudah ditangkap pada malam hari, saat
bernaung di bawah batu gamping atau dalam lubang
kecil
yang mudah dilacak hidung.
Ia kembali ke puncak beberapa kali lagi selama beberapa
minggu pertama untuk mengendusi cakrawala. Lama-
kelamaan ini lebih menjadi kebiasaan ketimbang
kewaspadaan karena ia tak pernah mencium ancaman apa
pun. Jadi bosan sendiri dan lebih suka kembali ke
gua
secepat mungkin setelah selesai memenuhi kebutuhan
dasar bertahan hidup. Di dalam sini ia merasa lebih hidup.
Dua puluh jam sehari ia habiskan dalam kegelapan,
kesunyian, dan tidak bergerak sama sekali. Duduk di
atas
selimut pelana di ujung koridor gua, punggung
bersandar
dinding, bahu terjepit di antara batu, dan menikmati diri.
Kita kenal orang-orang yang suka mencari
kesendirian
seperti orang saat dirundung penyesalan, orang-orang yang
mengalami kegagalan, para santo atau nabi. Umumnya
mereka menyepi ke gurun, hidup bersama serangga
dan
madu alam. Ada juga yang lebih suka thiggal di gua, lubang,
atau pulau terpencil. Yang lain berkutat di gua‐gua
pegunungan, berkawan kabut dan udara dingin. Mereka
melakukan semua ini agar bisa lebih dekat pada
Sang
Pencipta. Kesendirian dijadikan media pertobatan dan
penebusan dosa, didasari keyakinan bahwa - jalan hidup
yang dipilih telah sesuai dengan kehendak Tuhan.
Ikhlas
menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sampai
kesendirian itu dipecahkan oleh pertanda agung untuk
mewartakan wahyu pada umat manusia.
Tapi kasus Grenouille tidak begitu. Sama sekali tidak ada
Tuhan dalam pikirannya. Ia tidak sedang menebus
dosa
atau menunggu wahyu Ilahi. Kesendirian ini dilakukan
murni atas dasar kesenangan pribadi, untuk lebih
dekat
pada diri sendiri. Tidak lagi terganggu oleh hal-hal
eksternal. Ia puas dengan diri sendiri dan sangat
suka
begini. Berbaring di atas batu seperti mayat, nyaris
tak
bernapas dan jantung nyaris tak berdetak, tapi tetap
merasa menjalani hidup lebih intensif dan ceria
daripada
seumur hidup tinggal di luar.
Dua Puluh Enam

KATA PANGGUNG UNTUK pesta batin ini tidak lain


dan
tidak bukan bersumber dari kerajaan hati yang paling
dalam. Tempat ia memendam lapisan demi lapisan
aroma
yang ditemui sejak lahir. Mood awal dibangun
dengan
mengingat kembali ingatan-ingatan paling awal dan
terpendam: hawa permusuhan di kamar tidur Madame
Gaillard, tangan-tangannya yang kurus kering; napas
cuka
apel Bapa Terrier; manisnya hawa keibuan Bussie sang ibu
susu; aroma bangkai tanah pekuburan Cimetiéres des
Innocents; dan hawa-membunuh ibunya. Ingatan-ingatan
horor ini membuat Grenouille berkubang dalam keseganan
dan rasa jijik sampai merinding.
Kadang, kalau racun batin ini sedang cukup baik
hati
menyingkir dari ingatan, ia membiarkan diri hanyut sesaat
ke momen awal manisnya hidup saat di tempat
Grimal -
teringat pada kepulan aroma daging, kulit mentah,
dan
kubangan penyamakan, atau membayangkan kumpulan
aroma 600 ribu penduduk Paris di akhir musim panas yang
pengap dan gerah.
Lalu seketika itu, seluruh kebencian yang terpendam
meledak sedemikian rupa-titik kulminasi dari tahun-tahun
awal latihan mendayagunakan keajaiban penciuman.
Seperti hujan badai disertai gemuruh petir ia
menggulung
semua ingatan aroma yang selama ini begitu merendahkan
hidung ningratnya. Ia lemparkan seperti hujan batu es
mengguyur ladang padi. Seperti angin topan ia
mengacak-
acak aroma-aroma tersebut, dan menenggelamkan mereka
dalam banjir bandang penyucian. Kemarahan ini terasa
begitu adil dan manis.
Dendam kesumatnya terbalas pada saat ini. Ah, sungguh
momen yang agung. Tubuh Grenouille menggeliat
kesenangan dan terangkat begitu tinggi sampai
kepalanya
membentur atap gua, lalu mereda dan kembali rebah
seperti orang kekenyangan. Sungguh terlalu menyenangkan
aksi vulkanik ini karena mampu menghapus seluruh
ingatan aroma yang tidak enak. Begitu terus rutinitas
favorit Grenouille, berulang-ulang tanpa henti di relung
teater jagatnya yang terdalam. Melemparkannya ke
kelelahan yang manis dari ledakan pembenaran diri,
seperti seorang pahlawan usai berbuat kebajikan.
Kini ia bisa istirahat sejenak dengan nurani jernih.
Ia
mengulat ‐ seluas yang bisa dijangkau tubuhnya di koridor
gua nan sempit itu. Keterbatasan fisik ini tak bisa
disamai
dengan karpet bersih dalam batin, di mana ia bisa mengulat
sepuas dan sekuatnya dengan nyaman, lalu lelap lagi. Yang
ada sekarang tinggal aroma-aroma menyenangkan, seperti
aroma hembusan angin gunung, misalnya. Begitu kaya dan
asli, seolah terlahir dari padang-padang rumput musim
semi. Lalu ada aroma angin bulan Mei yang
berhembus
mendesiri dedaunan hijau dari rimba entah di mana, aroma
angin laut yang terasa sedikit pahit dengan hawa asin ikan
salmon.
Sore menjelang saat ia bangkit - tak bisa pasti benar soal
waktu di dalam gua seperti ini. Tak ada cahaya atau bahkan
kegelapan, karena sejatinya tak ada benda nyata apa
pun
dalam jagat terdalam seorang Grenouille, kecuali aroma.
(Itu sebabnya jagat ini diistilahkan sebagai 'lanskap'. Istilah
ini tidak terlalu tepat, barangkali, tapi satu-satunya
yang
paling mungkin karena bahasa kita memang tak bisa
menjelaskan dunia aroma.) Dalam jagat jiwa Grenouille,
saat itu hari sore dan matahari berada di selatan,
waktu
tidur siang usai. Terik tengah hari yang melumpuhkan
perlahan menyusut, mengembalikan hawa hidup setelah
dibatasi begitu lama. Panas api dendam dan
kemurkaan ‐
musuh utama wewangian agung - telah menyingkir, dan
kawanan iblis dalam batin telah diberangus. Lanskap yang
tersisa dalam hatinya kini melayangkan kelembutan dan
mengkilap di bawah lapisan gairah kedamaian yang
menandai momen kebangkitan - menanti uluran tangan
sang majikan untuk datang menyambut.
Grenouille serta-merta bangkit, mengusir sisa kantuk
dari tubuh. Dalam pikiran dan perasaan terdalam,
sang
Grenouille berdiri menjulang. Seperti raksasa yang dirawat
sendiri dalam segala kebesaran dan kemegahan, sempurna
dalam pandangan - sayang sekali tak ada yang melihat. Dan
lihatlah ia: begitu angkuh dan agung.
Ya! Inilah kerajaannya! Kerajaan tanpa tanding
seorang
Grenouille! Yang tercipta dan diperintah olehnya, yang bisa
dihancurkan kapan saja ia mau, untuk kemudian
bangkit
lagi, dibuat menjadi tidak terbatas dan dipertahankan
dengan pedang api dari segala pengganggu. Di sini
kehendaknya adalah mutlak. Kehendak sang Grenouille
Yang Agung, indah, dan tak terbandingkan. Setelah berhasil
mengenyahkan aroma busuk masa lalu, ia ingin
kerajaannya harum semerbak. Dengan langkah-langkah
besar ia lewati padang rendah untuk menabur
berbagai
rupa wewangian. Di sana dan di sini sesuka hati,
di
bentangan ladang dalam dimensi-dimensi tak berbatas,
di
bidang-bidang kecil, menabur benih atau menjejalkan
sendiri satu demi satu ke lokasi-lokasi terpilih. Di
tempat
terjauh dalam kerajaan itu, Grenouille Yang Agung menjadi
seorang tukang kebun yang gigih, giat berlarian ke
sana
kemari sampai tak sejengkal tanah pun yang luput ditebari
wewangian.
Demi melihat betapa bagusnya semua ini, dan
ketika
seluruh bumi telah sesak oleh berkah benih, Yang
Mulia
kemudian menurunkan hujan semangat nan lembut dan
tanpa putus. Dari segala arah benih‐benih itu mulai
berkecambah, bertunas, membuncahkan taman surga yang
mendamaikan hatinya. Seantero padang bergulung ombak
wewangian nan mewah, lengkap dengan taman-taman
tersembunyi yang menyimpan batang-batang pohon sarat
getah, meledak bermekaran dengan indah.
Kemudian Grenouille Yang Agung memerintahkan hujan
untuk berhenti. Dan demikianlah. Lalu ia menyuruh
matahari untuk mewartakan senyum lembutnya ke
seantero padang. Bila jatuh padi sebuah kuncup,
niscaya
akan merebak. Tak lupa Grenouille memberi sentuhan
pelangi dengan karpet warna yang ditenun dari
berbagai
jenis kapsul wewangian. Grenouille Yang Agung melihat
betapa sangat bagusnya hal ini, lalu mengirim angin
napasnya untuk bertiup ke seluruh padang. Mekaran-
mekaran yang tersentuh segera menumpahkan diri dengan
wewangian dan saling mencampur aroma masing‐masing
menjadi sebuah aroma tunggal yang terus berubah
dalam
keanekaragaman, bergulung berfusi menjadi aroma
pemujaan universal kepada Grenouille. Grenouille Yang
Agung, Yang Tak Terbandingkan dan Terelok, bertahta
di
awan beraroma emas, menghirup napasnya kembali, sangat
puas dengan persembahan tersebut. Ia berkenan
memberkahi makhluknya beberapa kali lipat, yang
lantas
dijawab dengan nyanyian puja-puji, rasa syukur, dan
ledakan aroma yang lebih megah lagi. Saat sore menjelang,
aroma itu masih terus tumpah dan bersatu dengan birunya
malam, membentuk udara yang lebih fantastis lagi. Sebuah
pesta aroma agung telah menunggu, bersama sebuah
ledakan besar semburan aroma bernuansa kembang api
yang butirannya berkilau seperti permata.
Namun Grenouille Yang Agung merasa agak lelah.
Ia
menguap dan berkata, “Wahai, telah kulakukan hal
yang
luar biasa, dan aku senang karenanya. Tapi
sebagaimana
semua pekerjaan saat selesai, kiranya ini mulai terasa
membosankan. Aku akan undur diri. Sebagal puncak acara,
akan kusimpan satu kesenangan kecil ke dalam hatiku.”
Demikianlah Grenouille Yang Agung bersabda.
Sementara warga jagat aroma berdansa dan berpesta
di
bawahnya, ia meluncur dengan kepakan sayap
terentang
lebar dari singgasana awan emas, melintasi padang jiwanya
yang gelap, dan pulang ke hatinya.

Dua Puluh Tujuh

AH, SUNGGUH MENYENANGKAN pulang ke rumah!


Peran ganda sebagai pembalas dendam dan pencipta jagat
sungguh melelahkan. Kendati lantas dirayakan selama
berjam-jam oleh hasil ciptaan juga belum Cukup
meredakan kelelahan. Grenouille Yang Agung kini
merindukan sedikit kesenangan domestik.
Hatinya adalah sebuah puri berwarna ungu. Terletak
di
sebuah padang bertaburan karang, tertutup bukit-bukit
pasir, dikelilingi oasis berawa, dan didirikan di
belakang
dinding-dinding batu. Puri ini lianya bisa dicapai dari
udara. Memiliki seribu kamar pribadi, seribu ruangan
bawah tanah, dan seribu ruang duduk nan elegan
yang
salah satunya berisi sebuah sofa ungu tempat
Grenouille
tak lagi menjadi Grenouille Yang Agung, tapi kembali
menjadi Grenouille biasa, atau barangkali lebih tepat
disebut sebagai Jean-Baptiste. Di sanalah ia beristirahat.
Kamar-kamar pribadi yang jumlahnya seribu itu
dipenuhi rak dari lantai sampai ke langit-langit, berisi
seluruh aroma yang dikumpulkan Grenouille seumur hidup.
Jumlahnya ada beberapa juta. Yang terbaik disimpan dalam
tong-tong di gudang loteng. Seperti anggur, setelah
cukup
lama disimpan aroma-aroma ini akan dipindah ke
dalam
botol yang disusun berjejer bermil-mil sepanjang
koridor
puri, disusun berdasarkan tahun dan tingkatan tertentu.
Begitu banyak sampai tak mungkin dihabiskan semua - pun
bila memakan waktu seumur hidup untuk itu.
Begitu Jean-Baptiste kembali ke rumah, berbaring di sofa
sederhana nan empuk di ruang duduk berwarna
ungu,
barulah ia benar‐benar beristirahat. Tangan Grenouille
bertepuk memanggil para pelayan. Sosok-sosok penurut ini
tidak terlihat, tak bisa diraba, tidak bersuara, dan tentu saja
tidak berbau - sungguh gambaran pelayan imajiner
sejati.
Grenouille memerintahkan mereka pergi ke kamar pribadi
dan mengambil. sebotol ini atau sebotol itu dari
pustaka
aroma, juga ke gudang loteng untuk mengambil
minuman.
Pelayan-pelayan imajiner itu bergegas, sementara perut
Grenouille keram menanti penuh harap. Mendadak ia
merasa seperti seorang pemabuk yang cemas kalau
pesanan brendinya, entah bagaimana, tidak ada. Bagaimana
kalau gudang loteng atau pustaka aroma itu
mendadak
kosong? Atau anggur dalam tong-tong itu mendadak
masam? Kenapa mereka membiarkannya menunggu?
Kenapa mereka tidak datang juga? Ia butuh pesanan
itu
sekarang. Amat sangat. Ia ketagihan dan bakal mati
di
tempat kalau tidak segera mendapatkannya.
Tenangkan dirimu, Jean-Baptiste! Tenanglah, kawan!
Mereka pasti datang membawakan pesananmu. Pelayan-
pelayan seperti terbang mempersembahkan permintaan.
Membawa buku aroma di atas nampan tak terlihat, tangan-
tangan bersaput mereka yang juga tak terlihat
membawakan botol-botol berharga itu, meletakkan di
lantai dengan sangat hati-hati, membungkuk hormat,
lalu
menghilang.
Kini akhirnya ia sendirian lagi. Tangan Jean-Baptiste
meraih, membuka botol pertama, menuang penuh-penuh
sampai ke bibir gelas, menariknya ke mulut dan meminum
sampai habis. Segelas penuh aroma dingin ia habiskan
dalam sekali teguk. Hmm... nikmat sekali. Begitu
segarnya
sampai mata Jean-Baptiste berlinang bahagia. Segera ia
menuang segelas lagi. Aroma dari tahun 1752, dipanen saat
musim semi, sebelum matahari terbit di Pont-Royal. Waktu
itu hidungnya dituntun ke arah barat, di mana angin semilir
membawa aroma laut, hutan, serta sedikit sentuhan tar dari
kapal-kapal tongkang yang terikat di pinggir sungai.
Ini
adalah aroma di penghujung malam pertama ia
menghabiskan waktu berkeliling Paris tanpa izin Grimal.
Aroma segar dari hari baru berikutnya. Fajar pertama yang
pernah diendusnya dalam kebebasan. Tak heran jika
kini
jadi lambang kebebasan. Lambang sebuah kehidupan yang
berbeda. Aroma harapan bagi Grenouille. Ia jaga
dengan
sangat hati-hati dan diminum setiap hari.
Begitu gelas kedua kosong, semua kegugupan, keraguan,
dan rasa tidak aman langsung lenyap, digantikan oleh
kenyamanan luar biasa. Grenouille merebahkan punggung
ke sofa, membuka sebuah buku dan mulai membaca
memoarnya sendiri. Ia membaca tentang aroma masa kecil,
masa sekolah, aroma jalan raya dan ceruk
tersembunyi
kota Paris, juga tentang aroma manusia. Grenouille
merinding lagi teringat bau tak sedap itu - bau yang telah ia
musnahkan. Dengan jijik ia terus menelaah, sampai
akhirnya benar-benar tak tahan dan menutup buku
kuat-
kuat, menyingkirkannya dan meraih buku lain.
Ini dilakukannya sambil terus menenggak aroma
tanpa
putus. Setelah botol berisi aroma harapan, ia
membuka
yang lain dari tahun 1744, berisi kehangatan aroma kayu di
muka rumah Madame Gaillard. Setelah itu ia melahap
sebotol aroma sore musim panas, diimbuhi parfum
dan
sarat percik aroma dari pinggiran sebuah taman di
Saint‐
Germain-des-Prés, bertahun 1753.
Grenouille minum sampai mabuk. Kaki dan tangan
terasa makin berat tergeletak di sofa. Pikiran nyaman
dalam kabut. Tapi pesta belum berakhir. Mata
memang
sudah tak kuat membaca dan jemarinya juga sudah tak kuat
memegang buku, tapi ia belum ingin menyerah
sebelum
menandaskan satu botol lagi. Aroma terbaik yang
pernah
ada. Aroma si gadis dari jalan Marais....
Ia minum dengan takzim dan punggung tegak di
atas
sofa, walau sulit dan ruang duduk serasa berputar
setiap
kali ia bergerak. Seperti anak kecil di ruang kelas
ia
merapatkan kedua lutut, kaki lurus bersisian dan
tangan
kiri bersandar rapi di atas paha kiri. Begitulah si
kecil
Grenouille menenggak aroma yang paling berharga. Segelas
demi segelas dan merasa makin sedih setiap kalinya.
Ia
sadar sudah minum terlalu banyak. Sadar tak akan
bisa
menahan aroma lezat sebanyak itu. Tapi ia terus
minum
sampai botol kering. Ingatannya melayang ke perjalanan
menyusuri gang gelap dari jalan raya ke pekarangan
samping rumah dan akhirnya tiba di bawah
penerangan
teras belakang. Si gadis duduk mengupas plum kuning.
Di
kejauhan, petasan roket dan desis kembang api
membahana....
Grenouille meletakkan gelas dan duduk bergeming
selama beberapa menit. Kaku oleh nostalgia dan
aroma,
sampai rasa terakhir lenyap dari langit-langit mulut.
Pandangan dan kepala terasa kosong, lalu ia ambruk
ke
sofa dan mulai mendengkur.
Tepat saat itu, Grenouille yang lain juga lelap di
atas
selimut pelana. Sama lelapnya dengan Grenouille
imajiner
tadi. Segala tindak‐laku, dan kelelahan luar biasa yang
dirasakan oleh Grenouille Yang Agung juga persis
dirasakan oleh Grenouille yang asli.
Saat bangun tentu saja ia tidak berada di ruang
duduk
atau puri ungu atau padang aroma batin tadi, tapi
dalam
gua batu pengap di ujung terowongan, di atas tanah keras,
dalam kegelapan. Mual oleh lapar dan haus, kedinginan dan
sengsara seperti seorang pemabuk setelah semalam suntuk
pesta minuman. Grenouille merangkak keluar dari gua.
Di luar sudah hari baru lagi. Biasanya menjelang malam
atau pagi. Tapi di tengah malam. buta sekalipun,
cahaya
bintang serasa menusuk seperti jarum. Udara berdebu,
menyengat dan menggores paru-paru. Bentangan lanskap
serasa rapuh. Grenouille berjalan tertatih membentur batu.
Bau paling samar sekalipun tercium begitu tajam dan
membakar bagi hidung yang tak biasa dengan aroma
realitas. Si kutu Grenouille kini sudah sepeka petapa
saat
keluar dari cangkang, bertelanjang ria menyusur pantai.
Ia pergi ke sumber air di retakan batu,
menjilat-jilat
selama satu jam. Lebih dari itu akan sangat
menyiksa.
Detak waktu di alam nyata ini tak kenal berhenti dan terus
membakar kulit. Beberapa larik lumut di kupas dari
bebatuan, ditelan tanpa dikunyah. Ia berjongkok dan buang
air sembari makan. Ini harus dilakukan cepat, cepat,
dan
cepat. Bagai makhluk buron yang ketakutan - binatang kecil
berdaging lembut. Terlebih ketika melihat burung nazar
berputar-putar di atas kepala... ia bergegas lari masuk gua,
ke ujung terowongan tempat selimut pelana tergelar.
Hanya di situ ia bisa merasa aman.
Grenouille bersandar ke dinding batu, merentang
kaki
dan menunggu. Ia harus menahan tubuh agar diam sediam
mungkin. Perlahan ia mulai bisa menguasai napasnya.
jantungnya berdetak lebih lambat dan teratur.
Dentuman
gelombang dalam jiwanya perlahan menyurut. Mendadak
kesendirian serasa menusuk jantung. Grenouille menutup
mata. Pintu-pintu kegelapan dalam dirinya membuka,
dan
ia masuk. Pementasan berikut dari teater jiwa
Grenouille
akan segera dimulai
Dua Puluh Delapan

BEGITULAH SETERUSNYA dari hari ke hari, minggu


ke
minggu, bulan demi bulan. Tanpa henti selama tujuh tahun.
Sementara itu, dunia dilanda perang dunia. Manusia
berperang di Silesia dan Saxony, di Hanover dan
Low
Countries, Bohemia dan Pomerania. Bala tentara Raja
berguguran di Hesse dan Westphalia, di Kepulauan
Balearic, di India, di Mississippi, dan di Kanada - itu
pun
kalau tidak lebih dulu ambruk terserang tifus dalam
perjalanan. Perang merampas hidup lebih dari sejuta orang.
Prancis kehilangan daerah koloni, dan negara-negara
lain
kehilangan begitu banyak uang sampai akhirnya
mernutuskan dengan berat hati untuk mengakhiri perang.
Suatu hari di musim dingin selama periode
tersebut,
Grenouille nyaris mati kedinginan tanpa disadari.
Selama
lima hari ia berbaring di ruang tunggu ungunya dan
saat
terbangun begitu kedinginan sampai tak sanggup bergerak.
Ia menutup mata dan ingin agar tidur saja sampai
mati.
Tapi mendadak cuaca berubah. Es mulai mencair dan
ia
selamat.
Pernah salju begitu tebal sampai ia tak kuat
menggali
untuk mengambil lumut di bebatuan. Jadilah ia
mengisi
perut dari bangkai‐bangkai kaku kelelawar beku.
Pernah seekor burung gagak terbaring mati di
mulut
gua. Ia memakannya juga. Hanya realitas dunia luar seperti
ini yang ia sadari selama tujuh tahun. Ia
benar-benar tak
pernah meninggalkan gunung, nyaman bergumul dengan
kerajaan mimpi dan pasti bakal di sana terus
sampai mati
(karena ia tak merasa kekurangan apa-apa) kalau saja tidak
tertimpa sebuah bencana yang memaksanya turun gunung.
Memuntahkan Grenouille kembali ke dunia.
Dua Puluh Sembilan

BENCANA YANG DIMAKSUD bukan gempa bumi,


bukan
kebakaran hutan, bukan tanah longsor atau gua
runtuh.
Sama sekali bukan bencana eksternal, tapi internal.
Dan
kebetulan sangat menekan batin karena mampu
menutup
media pelarian favorit Grenouille. Ini terjadi sewaktu tidur,
atau lebih tepat dalam mimpinya, selagi ia berada
di
kerajaan aroma.
Saat itu ia sedang tidur di sofa ungu di ruang
duduk
seperti biasa, dengan botol-botol aroma berserakan di
sana-sini. Ia telah minum sangat banyak, plus dua
botol
aroma si gadis berambut merah sebagai penutup.
Tampaknya pesta kali ini sedemikian kelewatan, karena
meskipun tidurnya sudah seperti orang mati, tapi
tidak
dibarengi mimpi indah seperti biasa. Mimpi yang
datang
berupa gumpalan-gumpalan kabut serupa hantu. Grenouille
mengenali kabut itu sebagai potongan‐potongan aroma.
Awalnya melayang-layang dalam rajutan-rajutan tipis
melewati hidung, tapi lama-lama makin tebal dan
mengawan. Lalu mendadak ia seperti berdiri persis di
tengah-tengah kabut yang terus menebal, merambat
naik
perlahan sampai sepenuhnya membungkusnya,
menggulung begitu rupa dan membuatnya sulit
bernapas.
Ia terpaksa menghirup napas kalau tak mau tercekik.
Saat
itulah batin Grenouille berkata bahwa ini adalah
aroma
tubuhnya sendiri.
Walau tahu bahwa ini bau tubuh sendiri, tapi
sungguh
sangat tidak sedap dan tak tertahankan. Sialnya, meski tak
tahan bau ini, Grenouille malah tenggelam makin dalam. Ia
tak kuat mencium bau tubuhnya sendiri!
Grenouille menjerit seperti orang dibakar hidup-hidup.
Jeritan itu mendobrak dinding ruang duduk, meluluhkan
dinding puri, dan melesat meruntuhkan seluruh jagat
imajiner dalam jiwanya seperti badai api. Melolong
keluar
dari mulut gua ke lorong gua dan menyebar ke
seantero
dataran Saint-Flour - seolah gunung itu sendiri yang
menjerit. Grenouille terbangun dalam jeritan. Ia
langsung
melompat meronta ke sana kemari, berusaha mengusir
kabut pikiran yang mencekik. Ia amat sangat
ketakutan.
Seluruh tubuh menggigil oleh perasaan takut mati.
Kalau
jeritannya tak cukup kuat merobek kabut itu, ia pasti sudah
tenggelam. Brr.. sungguh kematian yang mengerikan.
Badannya gemetar lagi setiap kali teringat. Dan sementara
duduk menenangkan diri, batinnya mendeburkan
keyakinan baru: ia harus mengubah jalan hidup. Tak
sudi
mengulang mimpi seperti itu untuk kedua kali. Ia pasti mati
kalau sampai terulang.
Grenouille menyambar selimut pelana, menutupi
bahunya, lalu merayap keluar. Fajar sudah menyingsing.
Suatu pagi di akhir Februari. Matahari bersinar cerah. Bumi
mengepulkan aroma batu lembap, lumut, dan air.
Angin
menisikkan semilir bunga anemones. Grenouille
berjongkok di depan gua. Cahaya matahari menghangatkan
tubuh, bersama dengan tarikan napas menghirup udara
segar. Ia masih gemetar setiap kali teringat kabut
mimpi
tadi. Tapi gemetar yang sama juga ia nikmati dari
kehangatan cahaya matahari yang menyapa punggung.
Lega rasanya mendapati bahwa dunia luar masih ada
setidaknya buat tempat mengungsi. Apa jadinya kalau
waktu keluar gua tadi dunia sudah musnah! Tak
ada
cahaya, tak ada aroma, tak ada apa pun - hanya
kabut
mengerikan di dalam, di luar, di mana-mana....
Perlahan rasa kagetnya menyurut. Perlahan pula
kegelisahan mereda, dan Grenouille mulai merasa lebih
aman. Menjelang siang ia kembali ke jiwa lama
sebagai
sosok berdarah dingin. Grenouille merapatkan jari
tengah
dan telunjuk tangan kiri ke bawah hidung, lalu
bernapas
sepanjang punggung kedua jari itu. Ia bisa mencium udara
musim semi yang basah bercampur aroma anemones, capi
tak mencium bau apa pun dari jemarinya. Grenouille
membalik tangan dan mencium telapaknya. Ia bisa
merasakan kehangatan yang memancar tapi tak
mencium
apa pun. Lalu ia menggulung lengan baju dan
mengubur
hidung di lipatan siku. Ia tahu ini lokasi yang biasanya jadi
salah satu sumber bau manusia, tapi ia tetap tak mencium
apa pun. Ia tak mencium apa-apa di ketiak, tidak
pula di
kaki atau sekitar kemaluan walau telah membungkuk
sedekat mungkin. Aneh sekali. Ia, Grenouille, mampu
mencium orang lain dari jarak bermil-mil, tapi tak mampu
mengendus kemaluan sendiri dari jarak tak sampai
serentangan tangan! Grenouille tidak lantas panik, tapi
menanggapi dengan dingin dan berkomentar sendiri,
“Bukannya aku tidak berbau, karena segala sesuatu
pasti
mengeluarkan aroma. Tampaknya aku tak bisa mencium
aromaku sendiri karena sudah sangat terbiasa sejak
lahir.
Hidungku jadi kebal. Kalau aku bisa memilah-milah
aromaku - atau setidaknya sebagian dari itu, lalu mencoba
lagi, pasti bisa. Begitulah adanya aku.”
Grenouille mulai membuka pakaian satu per satu. Sudah
dekil, kumal, dan sobek-sobek karena tujuh tahun tak
pernah dilepas. Aromanya pasti sudah sangat
bercampur
dengan aroma tubuhnya sendiri. Ia menumpuk pakaian
di
depan gua dan berjalan menjauh. Seperti tujuh tahun lalu ia
memanjat lagi ke puncak gunung. Ia berdiri persis
di
tempat yang sama waktu pertama kali datang, mengangkat
hidung ke arah barat, dan membiarkan angin
menyisiri
tubuh. Ia berniat mengangkat diri ke udara
semaksimal
mungkin. Memompa badan ke angin barat - ke arah aroma
laut dan padang basah, agar bisa dijadikan semacam
penyeimbang terhadap bau badan. Menciptakan gradien
antara tubuh dengan pakaian yang baru saja dilepas,
agar
bisa dicium lebih jelas. Dan agar hidung tidak
terkontaminasi oleh bau tubuh, ia mencondongkan diri
sedemikian rupa ke arah angin, dengan tangan
terjulur ke
belakang, seperti perenang sebelum mencebur ke air.
Pose konyol ini bertahan selama beberapa jam.
Kulit
Grenouille yang pucat karena jarang kena matahari
memerah seperti udang rebus. Menjelang sore ia
kembali
ke gua. Dari jauh ia bisa melihat pakaiannya masih
ada di
tempat. Selang beberapa meter ia menutup hidung
dan
membukanya lagi setelah berada persis di dekat tumpukan
pakaian. Ia mencoba teknik mengendus gaya Baldini -
mencuri udara dengan cepat lalu dilepas lagi penuh-penuh.
Untuk menangkap aroma, ia menangkup tangan
membentuk lonceng di sekitar pakaian, dengan hidung
menempel di atas jempol. Segala kemungkinan dijajal demi
mengekstraksi aroma dari pakaian, tapi yang dicari
tak
kunjung tercium. Tampaknya memang tak ada di situ.
Aroma lain bisa dijejaki dengan mudah, seperti aroma
bebatuan, pasir, lumut, getah, darah burung gagak, bahkan
bau sosis yang ia beli bertahun-tahun lalu dekat Sully juga
masih tercium jelas. Tumpukan pakaian ini menyimpan
jumal penduman dari tujuh sampai delapan tahun
lalu.
Hanya satu aroma yang tak ada: bau badannya
sendiri -
orang yang mengenakan pakaian itu sepanjang waktu.
Sekarang ia benar-benar mulai cemas. Matahari telah
tenggelam dan ia masih berdiri telanjang di pintu gua, yang
telah dihuninya dalam kegelapan selama tujuh tahun
ini.
Angin dingin bertiup. Tapi rasa dingin yang muncul datang
dari rasa takut. Tak seperti kengerian yang
dirasakannya
saat bermimpi - yang satu ini harus selalu dihindari dengan
segala cara. Rasa takut yang dihadapi sekarang hadir
dari
kesadaran bahwa ternyata ia tak terlalu mengenal diri
sendiri. Ia tak bisa melarikan diri, tapi juga tak
ragu
melangkah lebih dekat. Ia malah merasa harus memastikan
lebih jauh - pun bila harus berujung dengan kenyataan
bahwa ia memang tidak memiliki bau. Apa pun itu, ia harus
tahu sekarang juga.
Grenouille masuk ke gua. Gelap memang, tapi
seperti
biasa ia selalu bisa menentukan arah layaknya siang
hari.
Lagi pula ia sudah ribuan kali melewati jalan itu.
Tahu
setiap jengkal dan kelokan, dapat membaui setiap stalagmit
dan stalagmitnya. Sama sekali tidak sulit menentukan arah.
Yang sulit adalah perjuangan melawan ingatan ihwal mimpi
mencekik yang makin meninggi setiap langkah. Tapi
Grenouille bukan pengecut - setidaknya dari sudut pandang
perjuangan melawan rasa takut terhadap kesadaran bahwa
ia tak tahu banyak tentang diri sendiri. Grenouille
bisa
menang karena sadar tak punya pilihan lain. Tiba di ujung
terowongan, di tempat karang-karang menjulang miring ke
atas, rasa takut itu menghilang. Ia merasa tenang, berpikir
jernih dan hidung setajam pisau. Grenouille berjongkok,
meletakkan tangan menutup mata dan mengendus. Di
tempat ini ia berkubang selama tujuh tahun. Sedikit banyak
pasti ada aroma tubuh yang tertinggal. Melebihi tempat lain
di dunia. Grenouille bernapas perlahan, mencoba
menganalisis setepat mungkin, mengizinkan diri untak
menilai. Selama seperempat jam ia berjongkok di situ.
Memorinya sempurna dan ia tahu persis bagaimana
bau
tempat ini tujuh tahun yang lalu: aroma bebatuan
nan
lembap, asin, dingin, dan begitu bersih-sangat pasti
tak
pernah ditempati makhluk hidup lain baik manusia
ataupun binatang.... Persis dengan aroma yang ia cium
sekarang.
Ia terus berjongkok selama beberapa waktu. Dengan
tenang, mengangguk-angguk lembut. Lalu ia berbalik
dan
berjalan. Semula membungkuk, sampai terowongan
memungkinkannya untuk berdiri tegak, dan terus ke udara
terbuka.
Di luar gua, Grenouffle mengemasi buntelnya (jangan
tanya sepatu, karena sudah hancur sejak
bertahun-tahun
lalu), melingkari selimut pelana ke sekeliling bahu,
dan
malam itu juga pergi meninggalkan Plomb du Cantal,
ke
arah selatan.

Tiga Puluh

PENAMPILAN GRENOUILLE TAK KERUAN. Rambut


panjang mengijuk sampai ke lutut, janggut sampai ke pusar,
kuku panjang-panjang seperti cakar burung, kulit di kedua
lengan dan kaki (yang tidak tertutup pakaian) mengelupas
kemerahan.
Manusia pertama yang ia temui adalah para petani
di
ladang dekat kota Pierrefort. Mereka langsung lari
ketakutan. Tapi begitu tiba di kota, ia malah jadi tontonan.
Ratusan orang merubung ternganga. Banyak yang
percaya
bahwa ia pasti budak pelarian sebuah kapal dagang.
Yang
lain bilang ia bukan manusia, tapi gabungan antara manusia
dengan beruang atau makhluk ajaib dari hutan.
Seorang
pelaut menyatakan bahwa ia tampak seperti Indian
Cayenne dari seberang lautan. Ia lantas digiring menghadap
wali kota. Di sana sekali lagi ia mengejutkan semua
orang
saat mengeluarkan surat-surat status sebagai seorang ahli,
membuka mulut dan berkata-kata dengan suara tidak
terlalu jelas karena ini pertama kalinya ia berbicara
pada
orang lain setelah tujuh tahun. Grenouille mengutarakan
bagaimana ia diserang perampok, diseret dan ditawan
di
dalam gua selama tujuh tahun. Selama itu ia tak
pernah
melihat matahari atau manusia lain, diberi makan
oleh
tangan-tangan tak terlihat yang mengusung keranjang
dalam gelap, dan akhirnya dibebaskan begitu saja -
tanpa
pernah tahu kenapa dan tanpa pernah melihat
penculik
ataupun penyelamatnya. Grenouille sengaja mengarang
kisah ini karena pasti akan lebih mudah dipercaya
ketimbang alasan sebenarnya. Toh waktu itu para
perampok memang dikenal sering merajalela di
pegunungan Auvergne dan Languedoc, termasuk di
Cévennes. Grenouille cakup puas melihat wali kota
mencatat tanpa protes, lalu mengirim laporan itu ke
Marquis de la Taillade-Espinasse, sang penguasa kota
sekaligus anggota parlemen di kota Toulouse.
Di usia empat puluh tahun, sang Marquis tak lagi peduli
pada kehidupan istana di Versailles dan lebih suka
menyepi. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu
pengetahuan. Goresan penanya melahirkan banyak karya
penting seputar dinamika ekonomi-politik, termasuk
usulan penghapusan pajak tempat tinggal dan
hasil-hasil
pertanian. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan metode
pajak pendapatan progresif terbalik yang akan sangat
memberatkan masyarakat termiskin dan memaksa mereka
untuk lebih giat mengusahakan kegiatan ekonomi.
Terdorong oleh kesuksesan buku ini, ia menulis
sebuah
risalah tentang bagaimana mendidik anak-anak lelaki
dan
perempuan usia lima sampai seputuh tahun. Kemudian
ia
beralih ke eksperimen di bidang peternakan. Dengan
menebar benih sapi jantan ke berbagai jenis rumput,
ia
mencoba menghasilkan hibrida antara sayuran dengan
binatang penghasil susu. Setelah sukses membuat keju dan
‘rumput susu’ ciptaannya - seperti dijelaskan oleh Akademi
Ilmu Pengetahuan Lyon sebagai, “bercita rasa susu
kambing, walau agak pahit” - ia terpaksa meninggalkan
eksperimen itu karena mahalnya biaya menebar benih
banteng ke ratusan hektar ladang rumput. Kendati
demikian, keseriusan menekuni bidang agrobiologi telah
membangkitkan minat tak hanya pada binatang
pembajak
sawah, tapi juga pada bumi dan keterkaitannya
dengan
biosfer itu sendiri.
Ia belum lagi usai menuntaskan penelitian tentang
hibrida tanaman-binatang ketika mendadak terserang
demam riset gala-gilaan untuk membuat risalah agung
mengenai hubungan antara kedekatan makhluk hidup
terhadap bumi dan energi kehidupan. Tesisnya
menyatakan bahwa kehidupan hanya mampu berkembang
pada jarak tertentu..dari bumi, karena bumi secara
terus-
menerus mengeluarkan gas perusak (disebut sebagai
fluidum letale) yang melemahkan daya hidup, dan
cepat
atau lambat - bahkan berpotensi - memusnahkan daya
hidup tersebut. Itu sebabnya semua makhluk hidup secara
naluriah berusaha menjauhkan diri dari bumi melalui
proses pertumbuhan - maksudnya bahwa kita tumbuh
semakin tinggi dan menjauh dari tanah, bukan mengarah ke
tanah. Itu pula sebabnya kenapa bagian‐bagian
terpenting
makhluk hidup secara alami mengarah ke atas,
seperti
kuncup butir padi, mekaran bunga, kepala manusia.
Dus,
tubuh mulai membungkuk dan merunduk kembali ke arah
tanah selama proses penuaan, semua makhluk akhirnya
menjadi korban gas maut, untuk kemudian berubah
menjadi gas itu sendiri setelah membusuk dalam kematian.
Ketika Marquis de la Taillade-Espinasse menerima kabar
bahwa di Pierrefort ada orang yang pernah
mendekam di
gua selama tujuh tahun - itu artinya benar-benar
terbungkus oleh elemen perusak dari bumi, ia girang bukan
kepalang dan segera memboyong Grenouille ke
laboratoriumnya, untuk dijadikan objek penelitian. Ia
menemukan bahwa teorinya terbukti benar. Bahkan
tampak secara visual. Gas fluidum letale telah begitu parah
menyerang Grenouille sampai tubuh berusia 25 tahun
itu
jelas-jelas menunjukkan gejala penuaan. Taillade‐Espinasse
menegaskan bahwa Grenouille bisa lolos dari kematian
karena selama dikurung ia diberi makan tanaman
penyingkir elemen bumi secara teratur, kemungkinan
berupa roti dan buah-buahan. Kondisi fisik Grenouille
hanya bisa dipulihkan melalui pengusiran sepenuhnya
unsur fluidum, menggunakan mesin ventilasi khusus
ciptaan Taillade-Espinasse. Alat itu tersimpan di rumah
mewahnya di Montpellier. Kalau Grenouille bersedia
merelakan dirinya menjadi objek demonstrasi ilmiah, ia tak
hanya akan membantu melenyapkan kontaminasi gas
beracun, tapi juga memberi Grenouille banyak uang.
Dua
jam kemudian mereka duduk bersama di kereta kuda.
Meski kondisi jalan amat buruk, mereka berhasil
menempuh jarak 64 mil ke Montpellier hanya dalam
dua
hari. Sang Marquis mendayagunakan wewenang
kebangsawanannya untuk melecut kuda dan saisnya
sampai maksimal. Bahkan tak sungkan membantu
membetulkan roda patah atau pelana putus. Begitu
bergairahnya ia dengan temuan ini dan begitu ingin
menampilkannya di hadapan publik sesegera mungkin.
Grenouille sendiri tak sekalipun diizinkan beranjak dari
kereta. Ia dipaksa terus duduk, dibungkus pakaian
perca
dan selimut pelana yang kumal oleh tanah dan
lumpur.
Selama perjalanan ia diberi umbi mentah sebagai
pengganjal perut. Sang Marquis berharap prosedur ini
mampu mempertahankan status kontaminasi fluidum
untuk sementara.
Setiba di Montpellier, ia segera membawa Grenouille ke
gudang di loteng, lalu menyebar undangan ke seluruh
anggota fakultas kedokteran, asosiasi botani, sekolah
pertanian, klub kimia terapan, Freemasons' Lodge, dan
kalangan terpelajar lain yang jumlahnya tak lebih dari
selusin di kota itu. Beberapa hari kemudian, persis
seminggu setelah turun gunung, Grenouille berdiri di
atas
podium, di aula utama Universitas Montpellier. Kepada
ratusan pengunjung yang datang ia dipersembahkan
sebagai sebuah sensasi ilmiah tahun ini.
Dalam ceramah tersebut, Taillade-Espinasse
menggambarkan Grenouille sebagai bukti hidup kesahihan
teorinya tentang fluidum letate. Sambil melucuti pakaian
Grenouille satu per satu ia menjelaskan efek merusak
gas
mematikan itu terhadap tubuh. Ia menunjuk bekas gosong
dan parut pada kulit, kanker kulit kemerahan yang
amat
luas di dada, bahkan bukti efek merusak gas
tersebut
terhadap struktur tulang dengan mengacu pada
kepincangan dan kebongkokan Grenouille. Organ internal
juga ditunjuk sebagai korban, seperti pankreas, hati,
paru-
paru, kandung kemih, dan sistem pencernaan. Analisis
ini
dibeberkan dengan sebaskom penuh contoh organ-organ
tersebut, di kaki podium. Ringkasnya, tak diragukan
lagi
bahwa kelumpuhan daya hidup yang disebabkan oleh
kontaminasi fluidum letale selama tujuh tahun telah
sedemikian parah sampai si korban - yang penampilan
luarnya memang lebih mirip tikus ketimbang manusia
-
bisa dikatakan sebagai makhluk di ambang kematian.
Namun demikian, sang Marquis meyakinkan bahwa
hanya
dalam waktu delapan hari, dengan memakai alat
terapi
ventilasi plus diet ketat, ia mampu menyembuhkan
makhluk malang ini, mengarah kepada titik bukti
berikutnya bahwa penyembuhan total tetap bisa
diterapkan bagi siapa saja. Dus, ia mengundang
hadirin
untuk datang lagi minggu depan dan menyaksikan
kesuksesan prognosis ini - dengan catatan tentu saja,
bahwa paparan saat itu harus dipandang sebagai bukti tak
terbantahkan dari kebenaran teori Marquis tentang gas
fluidum dari bumi.
Ceramah ilmiah itu sukses luar biasa. Para hadirin ramai
menyambut bertepuk tangan, lalu antre melewati
podium
tempat Grenouille berdiri. Dalam kondisi fisik seperti
sekarang - penuh parut dan cacat bentuk - Grenouille
memang tampak begitu mengerikan sampai orang yakin ia
tak mungkin bisa disembuhkan dan tinggal menunggu mati
saja. Padahal yang punya badan merasa sehat dan
biasa
saja. Banyak di antara orang-orang terpelajar itu yang
menepuk-nepuk tubuhnya atas-bawah dengan lagak
profesional, mengukur, melihat ke dalam mulut dan
mata
Grenouille seperti dokter. Beberapa ada yang langsung
menyapa dan bertanya tentang pengalaman selama tinggal
di gua dan kondisi kesehatannya saat ini. Tapi
Grenouille
bersikukuh dengan skenario Marquis dan menjawab semua
pertanyaan dengan suara seperti orang tercekik
ditambah
aksi gerakan tangan menunjuk ke pangkal tenggorok,
seolah mengatakan bahwa organ ini juga sudah busuk
dimakan fluidum letate.
Seusai demonstrasi, Taillade-Espinasse bergegas
mengepak dan memboyong Grenouille kembali ke
gudang
di loteng rumah. Lalu di hadapan beberapa dokter terpilih
dari fakultas kedokteran ia mengunci Grenouille dalam
mesin ventilasinya - sebuah kamar sempit terbuat dari
papan-papan pinus yang dijalin rapat. Sebuah corong
pengisap dipasang di atasnya, mencuat sampai ke
atap
rumah. Corong ini berfungsi mengisap udara dari
langit,
bebas dari gas maut. Udara ini lalu dialirkan keluar melalui
sebuah katup buka-tutup dari kulit yang dipasang di lantai.
Seorang pelayan ditugasi mengoperasikan dan mengawasi
siang-malam, agar ventilator di dalam corong tidak
berhenti memompa. Demikianlah, Grenouille kini
dikelilingi arus udara yang disaring terus-menerus,
diberi
menu diet penyingkir racun bumi berupa kaldu
daging
burung dara, pai burung pipit, daging cincang bebek
liar,
buah-buahan segar yang dipetik langsung dari pohon,
roti
gandum yang khusus dikukus di ketinggian, anggur
Pyrenees, susu kambing, dan krim beku dari telur
ayam
betina yang diternak di loteng rumah. Semua
disajikan
selang beberapa jam melalui sebuah pintu bertekanan
berdinding ganda di sisi mesin.
Kombinasi perawatan dekontaminasi dan revitalisasi
fisik ini berlangsung selama lima hari. Pada hari
keenam
sang Marquis mematikan ventilator, membawa Grenouille
ke kamar bilas untuk dimandikan selama beberapa
jam
dalam sebuah bak berisi air hujan yang dihangatkan,
dan
terakhir membedaki tubuh dari kepala sampai kaki dengan
sabun cair khusus dari Potosi di pegunungan Andes.
Kuku
jari tangan dan kaki dipotong rapi, gigi dibersihkan dengan
limau pembersih dari Dolomites. Setelah itu cakur jenggot,
potong rambut, disisiri, ditata, dan dibedaki. Penjahit
dan
tukang sepatu juga didatangkan. Grenouille dibuatkan
kemeja sutra, lengkap dengan jabot (rumbai kain) di
dada
dan manset, stoking sutra, mantel panjang, celana
panjang
dan rompi beludru warna biru, plus sepatu hitam
gagah
bermata sabuk dari kulit. Yang sebelah kanan diganjal
sedemikian rupa untuk menutupi kepincangan Grenouille.
Sang Marquis turun tangan memberi riasan bedak putih ke
wajah Grenouille yang penuh parut, memberi pemerah
pada pipi dan bibir, tak lupa menebalkan alis
membentuk
lengkung khas para bangsawan dengan pensil alis nan
lembut. Terakhir ia memercikkan parfum favoritnya
tipis-
tipis beraroma violet. Sang Marquis mundur dua
langkah,
mengamati hasil karyanya, dan lama memikirkan kata yang
tepat mengutarakan suka cita.
“Monsieur,” katanya kemudian, “saya benar-benar puas.
Kagum pada kegeniusan saya sendiri. Tentu saja saya
tak
pernah meragukan teori saya tentang fluidum letale, apalagi
ditambah konfirmasi terapi terapan seperti ini. Telah
saya
ubah Anda dari binatang menjadi manusia. Sungguh
tindakan agung nan terpuji. Maaf, tapi saya
benar‐benar
terharu! Berdirilah di depan cermin dan pandang diri Anda
sendiri. Untuk pertama kalinya Anda akan sadar
bahwa
Anda adalah seorang manusia. Mungkin tidak tampan atau
spesial atau apalah, tapi tak pelak seorang manusia normal
yang bisa diterima lingkungan. Silakan, Monsieur! Pandangi
dan kagumilah keajaiban yang telah saya ciptakan bersama
Anda!”
Itu adalah pertama kalinya seseorang memanggil
Grenouille dengan sebutan 'monsieur'. Sebuah sapaan
terhormat yang menggetarkan.
Grenouille melangkah ke depan cermin dan melihat
kcajaiban itu. Ini juga pertama kalinya ia becermin.
Di
hadapannya berdiri seorang lelaki dalam balutan biru
nan
tampan, dengan kemeja putih dan stoking sutra.
Secara
refleks ia merunduk, sebagaimana kebiasaan untuk
selalu
merunduk di depan lelaki seperti itu. Si lelaki ikut
merunduk. Begitu pun saat ia tegak lagi. Keduanya
saling
pandang. Yang paling mencengangkan Grenouille adalah
fakta bahwa ia tampak begitu normal. Sang Marquis benar,
bahwa tak ada yang spesial dari penampilannya.
Tidak
tampan tapi juga tidak buruk. Biasa dan normal
saja.
Berpostur kecil dan agak kaku, wajah sedikit tanpa ekspresi
‐ pokoknya seperti ribuan lelaki normal lain di dunia. Kalau
sekarang ia keluar jalan-jalan pasti tak ada yang
memerhatikan. Jenis orang yang kalau bertemu di
jalan
tidak memberi kesan menonjol. Dan selain sedikit bau
violet serta perangkat yang dikenakan, Grenouille tak
mencium apa-apa dari sosok itu.
Tak terbayangkan bahwa sepuluh hari lalu para
petani
berlarian menjerit ketakutan melihatnya. Secara pribadi,
Grenouille tak merasa ada perubahan antara ia yang
dulu
dengan yang sekarang - pun saat berpejam mata.
Hirupan
napasnya mengenali aroma parfum murahan, beludru,
sepatu baru, aroma sutra, bedak, riasan, dan aroma
samar
sabun Potosi. Seketika ia sadar bahwa bukan
makanan
mewah atau omong kosong unit ventilasi yang
membuatnya tampak normal. Kenormalan itu murni datang
dari balutan beberapa lembar pakaian, potongan
rambut,
dan riasan kosmetik.
Grenouille berkedip membuka mata dan melihat lelaki di
cermin mengedip balik. Selarik senyum di bibir
bergincu
seolah menyatakan bahwa ketampanannya biasa saja. Tapi
Grenouille juga merasa bahwa lelaki di cermin itu, figur tak
berbau yang didandani seperti manusia ini, tidak
terlalu
jelek. Bahkan kalau kostumnya disempurnakan, mungkin
cukup berpotensi memengaruhi dunia. Jauh di luar dugaan
Grenouille sendiri. Anggukan dibalas anggukan. Begitu pun
saat ia curi-curi mengembangkempiskan hidung.

Tiga Puluh Satu

HARI BERIKUTNYA, ketika sang Marquis hendak


mengajari pose-pose dasar, sikap tubuh, dan langkah dansa
yang dibutuhkan menjelang debut sosial Grenouille, si
pemuda pura-pura lemas. Berlagak sangat kelelahan
dan
tercekik, lalu ambruk ke sofa.
Sang Marquis panik. Ia menjerit memanggil pelayan,
memanggil tukang kipas dan operator ventilator
portabel.
Sementara para pelayan berkelebat, ia berlutut di sisi
Grenouille, mengipasi dengan sapu tangan beraroma violet,
lalu memohon - benar-benar memohon - agar Grenouille
bangun dan jangan mati dulu sampai lusa demi
kelangsungan teori fluidum letale.
Grenouille menggeliat, batuk-batuk dan mengeluh.
Menepis sapu tangan kuat-kuat dan setelah “jatuh”
dari
sofa dengan gaya dramatis, merayap ke sudut
ruangan.
“Jangan parfum itu lagi!” jeritnya lemah. “Jangan
parfum
yang itu! Aku bisa mati!” Taillade-Espinasse segera
membuang sapu tangan dan botol parfumnya sekalian
keluar jendela. Baru setelah itu Grenouille mau
berlagak
sembuh. Lalu, dengan suara makin tenang ia
menjelaskan
bahwa sebagai seorang ahli parfum ia punya hidung sensitif
dan selalu bereaksi terhadap parfum tertentu, apalagi
selama periode penyembuhan ini. Soal kenapa aroma violet
bisa sangat mengganggu dijelaskan karena parfum itu
mengandung ekstrak akar bunga violet berkonsentrasi
tinggi yang pasti berasal dari dalam tanah dan
dengan
sendirinya memberi efek buruk pada penderita fluidum
letale. Kemarin saja, saat pertama kali mencium aroma itu,
ia sudah merasa tak enak. Dan hari ini aroma itu
seperti
membawanya kembali ke ingatan mencekik dalam gua
selama. tujuh tahun. Ia sungguh tak tahan. Kini
setelah
disembuhkan secara ajaib oleh sang Marquis, ia
merasa
lebih baik mati daripada terserang fluidum lagi. Mengingat
bahwa parfum itu diekstraksi dari akar saja sudah
cukup
membuat tubuhnya keram. Grenouille meyakinkan bahwa
ia pasti bisa langsung sembuh jika Marquis mengizinkan ia
membuat parfum sendiri. Parfum yang mampu
mengenyahkan sisa‐sisa aroma violet. Parfum baru ini
sangat ringan dan beraroma udara, terbuat dari
bahan-
bahan penyingkir elemen bumi seperti sari almond
dan
bunga pohon jeruk, minyak eukaliptus, pinus, dan
cemara.
Jika dipercikkan sedikit pada pakaian, beberapa tetes
di
leher dan pipi, Grenouille pasti akan kebal selamanya
dari
serangan memalukan yang baru saja terjadi.
Grenouille mengutarakan semua ini dalam ledakan
verbal yang tak jelas, diiringi batuk-batuk, napas tersengal
dan kesulitan bernapas, plus aksentuasi tubuh
menggigil,
berkedut-kedut dan mata yang diputar sedemikian rupa
sampai tinggal putihnya saja yang kelihatan. Sang Marquis
sangat terkesan melihat semua ini. Meyakinkan sekali
gejala dan penjelasan yang diberikan dengan teori fluidum
letale. Betapa bodohnya ia sampai tidak menyadari
soal
parfum violet itu. jelas, memang sangat mengandung
elemen bumi. Dia sendiri pasti akan terinfeksi kalau
memakainya bertahun-tahun. Sungguh di luar dugaan
bahwa hari demi hari ia digiring menuju kematian
hanya
gara-gara parfum! Lihat saja gejalanya: encok, leher
kaku,
impotensi, sembelit, tekanan pada telinga, gigi busuk -
tak
diragukan lagi bahwa semua bersumber dari racun fluidum
di parfum bunga violet itu. Dan si bodoh ini, si
bongkok
buruk rupa di sudut ruangan ini, telah menguak
rahasia
tersebut. Marquis jadi terharu. Ingin rasanya menghambur,
memeluk, dan mengangkat Grenouille penuh girang, tapi ia
takut masih terlalu banyak mengandung aroma violet.
Kalau Grenouille sakit lagi bisa repot nanti. Jadilah
ia
menjerit memanggil pelayan dan memerintahkan agar
semua parfum bunga violet disingkirkan, menganginkan
seantero rumah, semua pakaian dicuci dari racun
dengan
ventilator, dan membawa Grenouille dengan tandu saat itu
juga ke pembuat parfum terbaik di kota. Memang ini tujuan
Grenouille berpura-pura sakit.
Ilmu pembuatan parfum terhitung tradisi lawas di
Montpellier, dan walau kini kalah bersaing dengan.
para
ahli dari kota Grasse, masih ada beberapa ahli parfum dan
pembuat sarung tangan yang tinggal di kota itu.
Sosok
paling bergengsi di bidang ini adalah Runel, yang telah lama
berbisnis dengan dinasti Marquis de la
Taillade-Espinasse
sebagai penyedia sabun, minyak, dan wewangian. Runel
menyatakan bersedia meminjamkan studionya selama satu
jam pada si ahli parfum aneh dari Paris yang hadir bersama
iringan pelayan serta tandu. Grenouille tak mau diberi
petunjuk. Ia bilang sudah cukup tahu apa yang
harus
dilakukan dan akan baik-baik saja. Lantas ia mengunci diri
di laboratorium selama satu jam, sementara Runel
menunggu bersama kepala rumah tangga keluarga sang
Marquis sambil minum beberapa gelas anggur di
kedai
minum. Di situ dengan masygul ia diberi tahu
kenapa
parfum violetnya tak lagi jadi parfum favorit.
Laboratorium dan bengkel kerja Runel ternyata tidak
selengkap milik Baldini. Seorang ahli parfum biasa tak akan
bisa berbuat banyak hanya dengan beberapa botol minyak
bunga, kolonye, dan rempah‐rempah, tapi hidung
Grenouille yakin bahwa bahan-bahan di tempat ini
sudah
cukup untuk mencapai tujuan. Toh ia tak ingin
membuat
parfum hebat atau kolonye fantastis seperti yang ia
buat
untuk Baldini dulu - kolonye yang begitu terkenal dan
berkualitas jauh di atas rata‐rata ciptaan ahli parfum
lain.
Ia juga tak berniat membuat parfum jeruk seperti
bualannya pada Marquis tadi. Bahan-bahan dasar
seperti
minyak neroli, eukaliptus, dan cemara akan dipakai
Grenouille untuk menyamarkan aroma asli yang ingin
dibuat, yaitu aroma manusia. Ia ingin punya aroma seperti
manusia normal lain - pun bila itu hanya buatan dan
bersifat sementara. Grenouille mafhum bahwa setiap orang
memiliki bau khasnya sendiri-sendiri. Fakta ini jelas
bagi
hidung Grenouille yang mampu mengenali ribuan aroma
individual dan bisa menentukan perbedaannya pada setiap
manusia sejak mereka lahir. Kendati demikian, tetap
ada
tema dasar utama pada masing-masing aroma tersebut, dan
kebetulan umumnya sederhana saja, seperti aroma keju
masam atau keringat, misalnya. Tema dasar nan kaya
ini
ada pada semua manusia dan menciptakan aura khas
individual berbentuk awan kecil.
Aura itulah yang menjadi aroma persona pada
masing-
masing orang. Sangat kompleks dan tak bisa dipersepsikan
oleh kebanyakan orang. Manusia normal bahkan tak
menyadari bahwa mereka memiliki hal seperti ini.
Aura
yang tak bisa disamarkan atau ditutupi dengan
pakaian
atau kosmetik apa pun, bahkan parfum. Aroma dasar yang
merupakan emisi primordial ini secara naluriah dikenal
dan menciptakan kedekatan antar individu. Membuat
manusia merasa nyaman dan selatu ada dorongan
naluri
untuk tinggal bersama manusia lain, merasa aman
dan
normal. Pendek kata, aroma standar ini membuat
seorang
manusia bisa diterima oleh manusia lain.
Parfum aneh inilah yang dibuat Grenouille pada hari itu.
Tidak seperti parfum atau wewangian, tapi seperti manusia
normal yang memancarkan bau. Sulit didefinisikan atau
dijelaskan, tapi begitulah adanya. Kalau seseorang
mengendus aroma ini di kegelapan dalam sebuah ruangan,
ia bisa mengetahui bahwa ada manusia tain di ruangan itu.
Kalau parfum ini dipakai oleh manusia normal, ia
akan
memancarkan kesan seolah ada dua orang dalam satu
tubuh ‐ katakanlah, makhluk aneh berpesona ganda.
Sulit
dijelaskan atau dijabarkan dengan kata-kata karena secara
visual (itu pun jika terlihat) akan tampak seperti bayangan
kabur dan tak fokus, seperti sesuatu di dasar danau
di
bawah gelombang permukaan air.
Grenouille tahu bahwa bau manusia tak akan
pernah
bisa ditiru secara sempurna, tapi setidaknya yang ia
buat
cukuplah untuk niengelabui orang lain.
Ada sedikit kotoran kucing di balik ambang pintu
yang
mengarah ke halaman rumah dan tampaknya masih
lumayan segar. Grenouille mengambil setengah sendok teh
kotoran itu dan mencampurnya bersama beberapa tetes
cuka apel dan garam halus dalam sebuah botol
aduk. Di
bawah meja ia menemukan secuil keju sisa makan
siang
Runel. Sudah agak lama, mulai membusuk dan berbau
menyengat. Bau amis ia ambil dari tutup kaleng
sarden di
belakang laboratorium, dicampur telur busuk dan
minyak
kastroli, amonia, pala, sisa-sisa bekas cukur pada silet
pencukur, plus gosongan kulit babi yang ditumbuk halus. Ia
juga menambahkan minyak kesturi dalam jumlah besar,
baru setelah itu diaduk dalam larutan alkohol,
dibiarkan
mengendap, latu disaring ke botol kedua. Aroma hasil
endapannya sangat memuakkan. Berbau tengik seperti got,
dan kalau disebar setitik saja ke udara, rasanya
seperti
berdiri di tengah-tengah Paris di terik musim panas,
di
sudut perempatan jalan Fers dan jalan Lingerie,
muara
tempat bertemunya seluruh aroma dari Les Halles,
tanah
pekuburan Cimetière de Innocents dan perkampungan
sekitar.
Di atas dasar aroma yang menjijikkan ini - yang baunya
lebih menyerupai mayat busuk ketimbang manusia,
Grenouille menggelar selapis aroma minyak segar dari
permen, lavender, terpentin, limau, dan eukaliptus, yang
lalu disamarkan dan dilemahkan secara simultan
dengan
wewangian dari minyak bunga seperti geranium,
mawar,
jeruk, dan melati. Setelah dilarutkan kedua kalinya dengan
alkohol dan sepercik cuka apel, aroma dasar yang
busuk
tadi hilang. Sebenarnya tidak hilang, tapi bersifat laten dan
tersamar oleh ramuan segar di atasnya. Aneh juga
bahwa
sama sekali tak ada bau busuk yang tertinggal. Parfum yang
sudah jadi ini memancarkan aroma hidup yang sehat
dan
bersemangat.
Grenouille membuat dua flacon penuh, disumbat dan
dimasukkan ke saku baju. Lalu ia mencuci semua
botol,
pengaduk, corong, dan sendok bekas pakai dengan
air.
Dicuci hati-hati dan dibilas dengan minyak almond
pahit
untuk membuang semua bau bekas percobaan tadi.
Terakhir, ia mengambil sebuah botol aduk lagi dan
membuat lagi parfum yang sama dengan cepat,
sebagai
salinan dari yang pertama. Sama-sama mengandung
elemen segar dan bebungaan tapi tidak dibangun dari
aroma dasar yang busuk tadi. Kali ini ia memberi
aroma
dasar konvensional dari kesturi, ambergris, setitik
minyak
musang dan kayu cedar. Hasil. akhirnya sangat
berbeda
dari yang pertama. Lebih enak, lebih polos dan
segar,
karena tidak mengandung imitasi aroma manusia. Jika
manusia normal memakai parfum kedua ini dan bercampur
dengan aroma tubuhnya sendiri, hasilnya tak akan
bisa
dibedakan dengan parfum Grenouille yang pertama.
Parfum kedua juga dituang ke flacon. Lalu
Grenouille
membuka pakaian. Parfum pertama dipercikkan pertama
kali ke pakaian, lalu ketiak, sela jempol kaki, daerah
kelamin, dada, leher, belakang telinga, dan rambut. Setelah
itu ia mengenakan lagi pakaian dan meninggalkan
laboratorium.

Tiga Puluh Dua

Di AMBANG PINTU RUMAH, mendadak ia merasa takut.


Ini pertama kalinya ia memancarkan aroma manusia.
Baunya tidak enak dan membuat mual. Grenouille tak tahu
apakah orang lain bakal mencium seperti itu juga,
karena
itu ia tidak berani untuk langsung menuju kedai
minum
tempat Runel dan kepala rumah tangga keluarga
Marquis
menunggu. Akan lebih bijaksana kalau ia mencoba
dulu
“aura” baru ini di jalanan.
Grenouille menyelinap ke arah sungai melalui gang-gang
yang paling gelap dan sempit, tempat para penyamak
dan
pencelup pakaian membuka kios dan berbisnis. Setiap kali
ada orang lewat atau saat melewati daerah tempat
anak-
anak kecil bermain atau ada wanita yang sedang
duduk-
duduk, ia sengaja berjalan lebih perlahan agar “aroma
manusia”-nya bercampur dan membentuk awan aura yang
lebih padat.
Sejak keccil Grenouille sudah terbiasa tidak
diacuhkan
orang. Bukan karena mereka jijik seperti dugaannya
semula, tapi lebih karena mereka tak menyadari
kehadirannya. Ia tidak memiliki “aura” manusia normal.
Tak ada gelombang yang memancar dari tubuhnya ke
atmosfer seperti manusia normal (karena - bau bisa dibaca
juga sebagai gelombang kalau menurut ilmu fisika).
Ibarat
kata, ia tak punya “bayangan” yang terpantul ke
manusia
lain. Hanya kalau kebetulan bertubrukan saja mereka
menoleh. Itu pun hanya sesaat. Beberapa detik berisi
pandangan seolah melihat makhluk aneh yang mestinya
tidak ada ‐ makhluk yang walau secara visual ada,
tapi
secara “rasa” tidak ada. Setelah itu berjalan lagi
tanpa
menoleh dan melupakan Grenouille sama sekali.
Tapi lihatlah sekarang, di jalan kota Montpellier ini
Grenouilk merasa dan melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa ia memberi kesan pada orang yang dilewati.
Setiap
langkah semakin menumbuhkan percaya diri dan
kebanggaan yang mengguyur seperti manusia gurun
bertemu air. Ketika melewati seorang wanita yang
sedang
menimba air di sumur, Grenouille melihat sendiri betapa si
wanita mengangkat kepala untuk melihat siapa yang lewat,
lalu setelah puas kembali menimba. Lelaki yang
semula
duduk membelakanginya juga menoleh dan menatap
penasaran cukup lama. Anak-anak berhenti bermain
dan
menyingkir memberi jalan. Bahkan saat segerombolan dari
mereka berlarian menghambur dari pintu sebuah rumah ke
arahnya, tak ada wajah ketakutan di situ. Mereka
lewat
seperti biasa. Tidak berlaku heboh atau apa.
Beberapa peristiwa sejenis mengajari Grenouille untuk
menakar lebih persis daya dan pengaruh “aura”
barunya
ini. Ia jadi makin percaya diri dan ceroboh. Berjalan makin
cepat ke arah orang-orang, lewat lebih dekat, bahkan
sedikit menjulurkan sebelah tangan, menyenggol seolah tak
sengaja. Ia juga menubruk seseorang seolah tak
sengaja
waktu kondisi jalan sedang ramai. Grenouille berhenti,
meminta maaf, dan orang itu menanggapi baik-baik.
Menerima. permohonan maaf, bahkan menepuk pundak
Grenouille seraya tersenyum.
Grenouille meninggalkan gang sempit dan masuk ke
alun-alun di depan gereja Saint-Pierre. Bel tengah berbunyi.
Orang-orang bergerombol di depan pintu gereja.
Rupanya
ada yang baru menikah dan mereka ingin melihat
kedua
mempelai. Grenouille ikut mendekat dan membaur. Ia
mendorong membuka jalan ke sana kemari, ke
tumpukan
manusia yang paling padat di mana tubuhnya bisa
bersenggolan - tak hanya lengan, tapi juga pipi dan
dagu.
Sengaja menggosok-gosok membaurkan aroma barunya di
bawah hidung mereka. Di tengah keramaian itu ia
membentangkan tangan, kedua kaki, dan melonggarkan
kerah agar aroma parfum bisa keluar dengan bebas.
Kegembiraan makin membuncah ketika melihat bahwa tak
ada yang menanggapi berlebihan. Betapa ajaib dan
ironisnya melihat betapa sekian banyak pria, wanita,
dan
anak-anak berdiri berdesakan di sekitarnya, begitu
bebas
dan begitu mudah dikelabui. Menghirup tanpa
menghiraukan ramuan parfum yang ia buat dari
kotoran
kucing, keju busuk, dan cuka apel - menganggapnya sebagai
bau mereka sendiri dan menerimanya begitu saja. Lihatlah
dia kini, Grenouille si kutu busuk, berada di tengah-tengah
mereka sebagai seorang manusia normal!
Seorang gadis kecil berdiri dekat lututnya, berdiri
berdesakan di tengah orang dewasa. Diangkatnya si
kecil
dengan perhatian pura-pura dan digendongnya dengan
satu tangan agar bisa melihat lebih jelas. Ibunya tak hanya
toleran tapi juga berterima kasih, sementara si gadis
berseru gembira.
Grenouille bertahan di situi selama seperempat jam
dengan anak kecil di pelukan. Upacara pernikahan
terus
berlanjut, berarak keluar gereja diiringi dentang bel, sorak-
sorai massa, dan denting koin tanda keberuntungan.
Kegembiraan Grenouille lain lagi. Kegembiraan hitam -
perasaan penuh kemenangan yang jahat dan
membuatnya
gemetar seperti orang melepas berahi. Ia nyaris tak mampu
membendung luapan kemenangan agar tidak tiba-tiba
menjerit gila-gilaan di depan orang-orang. Pernyataan
bahwa ia tak takut lagi pada mereka. Tidak
membenci
mereka lagi, kendati kejijikannya begitu dalam dan
total.
Karena mereka demikian bodoh sampai kebodohan itu
tercium begitu keras. Demikian mudah diperdayai. Biarlah
begitu. Toh mereka bukan apa-apa dan ia adalah segalanya!
Seolah mengumpatkan ejekan, Grenouille memeluk si kecil
makin erat, ikut berseru dan bersorak dalam paduan
bersama yang lain, “Hidup pasangan pengantin! Panjang
umur kedua mempelai!”
Setelah pesta usai dan orang-orang mulai bubar,
Grenouille mengembalikan si kecil ke ibunya lalu masuk ke
gereja untuk menenangkan diri dan beristirahat. Udara
dalam gereja masih sarat wewangian dua dupa di sisi attar,
membumbung ke atas membentuk awan. Mengapung
dalam lapisan tipis di atas aroma samar para
pengunjung
yang baru saja duduk. Grenouille duduk mencangkung
di
bangku di belakang tempat paduan suara.
Seketika itu ia diliputi perasaan nyaman. Tidak
memabukkan seperti mimpinya dulu di perut gunung, tapi
perasaan nyaman yang dingin dan waras, seperti baru
menyadari daya kekuatan sendiri. Kini ia tahu persis
apa
yang mampu dilakukan. Dengan kegeniusannya ia
mampu
menciptakan imitasi aroma manusia sedemikian sempurna
sampai anak kecil saja bisa tertipu. Grenouille sadar
mampu berbuat lebih jauh lagi, seperti
menyempurnakan
aroma ini, misalnya. Tak hanya aroma manusia tapi
juga
aroma super - semacam aroma malaikat yang begitu
baik
dan vital. Siapa pun yang menciumnya akan
terpengaruh
dan mencintainya. Mencintai Grenouille sang pembawa
aroma tersebut.
Ya, itu yang ia inginkan. Bahwa mereka akan
mencintainya seperti tersihir. Tidak hanya menerimanya
sebagai salah seorang dari mereka, tapi mencintainya
sampai tergila-gila dan lupa daratan. Membuat mereka
bergulung di lantai, menjerit dan menangis. Bahkan
berlutut seperti memuja Tuhan. Ingin berdekatan hanya
agar bisa menciumnya. Mencium Grenouille! Ia akan
menjadi dewa aroma seperti dalam fantasinya, tapi kali ini
dengan dunia dan orang-orang di dunia nyata. Ia
sadar
mampu melakukan semua ini. Orang bisa menutup
mata
dari ketakutan, dari keindahan... dan menutup telinga
dari
melodi atau kata-kata, tapi tak ada yang bisa melarikan diri
dari aroma, karena aroma. bisa diibaratkan napas itu
sendiri. Setiap tarikan akan masuk ke tubuh dan tak
mungkin bisa bertahan, kecuali kalau ingin mati
tercekik.
Aroma akan masuk ke kesejatian diri, ke jantung,
dan
menetap selamanya antara rasa pilihan untuk menyukai
atau membenci aroma tersebut, memengaruhi bahkan
sampai ke pilihan untuk jijik dan nafsu, cinta dan
benci.
Barang siapa yang menguasai aroma pasti mampu
menguasai hati manusia. Grenouille duduk santai di bangku
panjang gereja Saint-Perre.
Tersenyum dalam euforia sambil membangun rencana
menguasai manusia. Sinar matanya tidak memancarkan
kegilaan, tidak pula senyum sinting seperti tokoh-tokoh
megalomaniak klasik. Ia tidak gila karena masih
mampu
mempertanyakan diri sendiri secara objektif. Tanpa
dramatisasi atau pretensi apa pun ia mengaku bahwa
niat
ini timbul karena ia memang jahat. Sangat jahat. Pengakuan
ini meluncur berbatur senyum dan kepuasan. Dengan
wajah polos bahagia.
Grenouille duduk cukup lama menikmati keheningan. Ia
menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma gereja.
Seulas senyum terlintas lagi. Tuhan kok baunya tengik, ya?!
Konyol juga kalau dipikir. Kok bisa Dia membiarkan
diri-
Nya berbau busuk. Selain itu juga palsu, karena terbuat dari
campuran ekstrak linden, dedak kayu manis, dan potasiurn
nitrat. Tuhan bau. Tuhan yang diaku oleh seorang pendeta
bau di kejauhan. Tuhan yang ditipu umat, atau
barangkali
Dia sendiri juga penipu. Tak beda dengan Grenouille. Hanya
lebih buruk!

Tiga Puluh Tiga

MARQUIS DE LA TAILLADE-ESPINASsE kagum dengan


parfum baru Grenouille. Sangat mengejutkan, katanya -
bahkan untuk orang sekelas penemu fluidum letale, melihat
betapa hebat pengaruh parfum secara umum. Barang
seremeh dan sefana parfum ternyata bisa seperti itu hanya
karena berasal dari ekstraksi substansi bumi. Wajah
Grenouille yang tadinya pias kini terlihat segar dan
memerah seperti orang sehat pada umumnya. Pun dengan
kualifikasi status rendah karena keterbatasan edukasi,
ia
kini tampak seperti memiliki kepribadian baru. Tak
diragukan lagi bahwa ia, sang Taillade-Espinasse, harus
membahas hal ini kelak dalam sebuah bab penting tentang
etika pola makan di buku barunya nanti - sebuah
risalah
lanjutan tentang fenomena teori fluidum letale. Tapi
sekarang ia ingin merasakan parfum baru ini.
Grenouille memberi dua flacon aroma bunga
konvensional yang ia buat berjam-jam lalu. Sang
Marquis
memercikkan ke tubuhnya dan segera merasa puas. Ia
mengaku bahwa setelah bertahun-tahun terkungkung
aroma violet, sepercik parfum buatan Grenouille
mampu
membuatnya merasa tumbuh sayap. Dan kalau tidak salah,
sakit lututnya juga mulai berkurang, begitu pun dengung di
telinga. Pokoknya ia serasa melayang, bugar, dan
kembali
muda. Suka cita ia memeluk Grenouille dan memanggilnya,
“Saudara fluidal-ku,” sambil cepat-cepat menambahkan
bahwa ini bukan sekadar sapaan sosial, tapi murni bersifat
spiritual dalam conspectu universalitatis fluidi letalis ‐
dalam kaitannya dengan fluidum letale, dan hanya
dalam
hal ini, semua manusia setara! Tanpa sungkan
memeluk
Grenouille, seperti kawan ia menggiring Grenouille
dalam
rencana berikutnya untuk membangun sebuah pondokan
internasional tanpa memandang status, bertujuan
membasmi fluidum letale dan menggantikannya secepat
mungkin dengan fluidum vitale (aroma buatan Grenouille).
Saat itu juga ia menjanjikan Grenouille sebagai
penghuni
pertama. Ia juga minta dituliskan formula parfum bunga itu
dalam secarik kertas, lalu memberi lima puluh koin
emas
pada Grenouille.
Persis satu minggu setelah ceramah ilmiah yang
pertama, Marquis de la Taillade-Espinasse
mempersembahkan Grenouille sekali lagi di aula utama
universitas. Ramainya luar biasa. Seolah seluruh
Montpellier tumpah di situ. Tak hanya kalangan
ilmuwan,
tapi juga kalangan sosial dan kaum wanita yang
ingin
melihat manusia gua nan legendaris. Musuh-musuh
lama
Taillade dari Friends of the University Botanical Gardens dan
Society for the Advancement of Agricultural tak bisa berbuat
banyak kendati telah mengerahkan seluruh anggota
untuk
mengacau. Acara itu sukses besar.
Taillade-Espinasse pertama-tama mengingatkan kondisi
Grenouile seminggu lalu dengan menyebarkan gambar
manusia gua dengan segala keburukan dan atribut
grafis
lain. Kemudian ia menampilkan Grenouile baru dalam
balutan mantel biru beludru yang elok dan kemeja
sutra.
Tampil klimis, berbedak, rapi. Berjalan tegak, anggun
berlenggok sendiri ke atas podium, membungkuk
hormat
dan mengangguk, senyum ke kiri lalu ke kanan.
Membungkam rasa skeptis dan kritik. Bahkan kawan-
kawan dari Universitas Botani juga diam seribu
bahasa.
Perubahan ini terlalu dahsyat, bahkan nyaris bagai
mukjizat. Mereka melihat sendiri betapa seminggu lalu
Grenouille lebih mirip binatang ketimbang manusia. Lamat-
lamat terdengar bisikan orang-orang berdoa. Saat Taillade-
Espinasse berbicara, seluruh ruangan hening. Sekali lagi ia
memaparkan teori yang sudah sangat dikenal tentang
fluidum letale, menjelaskan bagaimana dan dengan cara apa
mekanika serta pola makan yang ia terapkan
terhadap
tubuh Grenouille, sebelum akhirnya diberi fluidum vitale.
Terakhir, berdasarkan fakta-fakta yang telah dijabarkan, ia
memohon pada hadirin baik kawan maupun lawan,
agar
sedianya menyudahi perlawanan terhadap doktrin baru. ini
dan berjuang bersama membasmi bencana fluidum letale
dan membuka diri terhadap manfaat fluidum vitale.
Pada
titik ini ia membentangkan tangan dan memandang takzim
ke atas. Banyak pengunjung dari kalangan terpelajar
berlaku serupa dan para wanita menangis.
Grenouille berdiri di podium tapi tidak menyimak.
Dengan amat puas ia menyaksikan efek dari parfum
yang
sama sekah berbeda, yaitu parfumnya sendiri. Tak ada yang
tahu bahwa Grenouille telah mempersiapkan diri
sebelum
pertunjukan untuk memercik parfum, khusus
diperhitungkan berdasarkan ukuran ruang aula, agar
efek
aura parfumnya tersebar maksimum. Dengan mata
kepala
sendiri ia menyaksikan pengaruhnya begitu terlihat
nyata,
dari penonton di kursi terdepan sampai ke pojok belakang
dan gateri bagian atas. Hatinya melonjak girang melihat tak
ada seorang pun yang tidak berubah setelah
menghirup
parfum itu tanpa disadari. Ekspresi wajah, aura, juga emosi,
turut berubah. Mereka yang semula melotot heran
kini
menatap dengan pandangan lebih sejuk. Yang duduk
bersandar dengan alis terangkat skeptis dan pinggir mulut
melecehkan, kini lebih rileks dan menatap polos. Saat
aroma menerjang, bahkan yang semula takut‐takut,
ngeri
dan terlalu sensitif melihat penampilan lama Grenouille,
kini memandang dengan lebih bersahabat dan bersimpati.
Saat ceramah selesai, seluruh hadirin bangkit berdiri dan
bertepuk sorai. Meriah sekali, ditingkahi seruan:
“Panjang
umur fluidum vitale!” “Panjang umur Taillade-Espinasse!”
“Selamat untuk teori fluidal!” “Tinggalkan pengobatan
ortodoks!” Ini semua jeritan kalangan intelek kota
Montpellier dan anggota-anggota terhormat universitas
terbesar di selatan Prands. Marquis de la Taillade-
Espinasse tak pernah merasa begitu bahagia seperti
saat
ini.
Lain lagi perasaan Grenouille. Saat turun dari
podium
untuk membaur bersama keramaian, ia tahu bahwa
sebenarnya sambutan ini diarahkan untuk dirinya seorang,
Jean-Baptiste Grenouille, walau tak seorang pun menyadari
hal ini.
Tiga Puluh Empat

GRENOUILLE TINGGAL DI MONTPELLIER selama


beberapa minggu. Ia kini terkenal dan kerap diundang
ke
berbagai perkumpulan untuk menceritakan pengalaman
selama berada di gua dan tentang bagaimana sang Marquis
menyembuhkannya. Ia terpaksa terus mengangkat kisah
tentang perampok yang dulu. Bagaimana ia diseret,
keranjang diletakkan di sisinya setiap kali jam makan, dan
tentang tangga penyelamat. Setiap kali ia menambahkan
detail baru dan hiperbola yang lebih hebat. Grenouille jadi
makin pandai bicara - meski sangat terbatas karena ia
belum pernah berbicara dengan benar sepanjang hidup.
Dan yang terpenting baginya adalah peluang latihan
rutin
untuk berbohong.
Pokoknya, ia bisa mengatakan apa saja pada siapa
saja.
Publik menaruh kepercayaan - bahkan sejak napas
pertama, karena menghirup aroma parfum Grenouille
selagi menyimak. Mereka percaya apa saja. Dus, Grenouille
beroleh keyakinan diri dalam bersosialisasi ‐ sesuatu yang
dulu tak pernah terpikir bisa jadi nyata. Ini juga
terlihat
dari tubuhnya yang seolah bertumbuh. Punuknya hilang
dan ia berjalan nyaris tegak. Setiap kali orang
berbicara
padanya ia tidak lagi refieks merunduk tapi tetap tegak dan
balas menatap. Ia memang tidak langsung menjadi manusia
abad ini atau selebritas sosial dalam semalam. Yang
jelas
terlihat adalah bahwa ia tak lagi jadi makhluk
penggugup
dan ceroboh dalam pergaulan. Yang tampak di permukaan
adalah kesederhanaan alami atau sedikit sifat
malu-malu
yang menarik simpati banyak orang, dan terutama
tentu
saja wanita. Lingkungan elite zaman itu memang peka pada
segala hal yang berbau natural dan pesona tertentu
yang
masih mentah seperti yang tampak pada Grenouille.
Awal bulan Maret, Grenouille mengepak barang dan
pergi diam‐diam. Pagi-pagi sekali, saat gerbang kota
baru
saja dibuka. Ia memakai mantel cokelat biasa yang ia beli di
pasar loak sehari sebelumnya, dan sebuah topi lusuh
menutupi separo wajah. Tak ada yang melihat atau
mengenalinya, karena ia sengaja tidak memakai parfum.
Menjelang tengah hari sang Marquis datang tergopoh-
gopoh ke pos penjaga di pintu gerbang. Si penjaga
bersumpah bahwa ia tahu dan mengawasi berbagai
jenis
orang yang meninggalkan kota pagi ini tapi tidak melihat si
manusia gua, yang pastinya akan segera dikenali.
Marquis
lantas menyebar berita bahwa ialah yang mengizinkan
Grenouille pergi dari Montpellier ke Paris karena ada
urusan keluarga. Padahal ia sangat terpukul karena
sedianya berniat mengajak Grenouille tur ke seluruh
Prancis dalam rangka menggalang pendukung dan pengikut
teori fluidal.
Setelah beberapa waktu ia tenang lagi. Terutama melihat
ketenarannya tersebar sendiri sedemikian rupa tanpa
harus mengadakan tur dan nyaris tanpa berbuat
apa-apa
sama sekali. Sebuah artikel panjang tentang fluidum
letale
Taillade muncul di Jurnal des Sçavans dan bahkan di Courier
de I’Europe. Segera setelah itu pasien-pasien fluidal
dari
dalam dan luar kota berbondong-bondong datang
memohon penyembuhan. Pada musim panas 1764 ia
mendirikan organisasi 'Masyarakat Vital Fluidum’-nya yang
pertama, dengan 120 orang anggota di Montpellier
dan
membuka cabang di Marseille serta Lyon. Tak lama sampai
ia memberanikan diri maju ke Paris, dan dari sana
mulai
bergerak menguasai dunia dengan ajarannya. Sebagai
tahap awal, ia ingin membangun basis propaganda dengan
menorehkan prestasi-prestasi heroik. Ini demi
menenggelamkan kisah tentang Grenouille dan percobaan-
percobaan lain di masa. lalu. Pada awal bulan Desember ia
mengumpulkan sekelompok murid dan pendukung setia
untuk bergabung dalam sebuah ekspedisi ke gunung Pic du
Canigou di Paris. Konon disebut sebagai gunung tertinggi di
seluruh Pyrenees. Walau sudah uzur, ia ingin dikenal
sebagai orang yang mampu mencapai puncak di ketinggian
sembilan ribu kaki dan tinggal di sana selama tiga minggu.
Katanya ia baru akan turun persis pada malam
Natal.
Setelah menghirup udara murni yang jauh dari bumi, kelak
a. akan turun layaknya perjaka tingting berusia dua puluh.
Para murid dan pendukung menyerah melakukan
pendakian setiba di Vernet-perkampungan manusia
terakhir di kaki gunung yang menakutkan itu. Tapi tak ada
yang bisa menghentikan Marquis. Di bawah terjangan
udara sedingin es, semangatnya meluap-luap seperti
anak
kecil dan mulai mendaki sendirian. Hal terakhir yang dilihat
gembira ke langit plus orang hanya bayangan tangan
melambai senandung nyanyian, sebelum akhirnya lenyap di
badai salju.
Pengikutnya menanti dengan sia-sia kepulangan
Marquis de la Taillade-Espinasse pada malam Natal
itu. Ia
tidak kembali sebagai pemuda atau orang tua. Tidak
pula
kembali saat musim panas tahun berikutnya menjelang.
Pengikut paling setia mencoba mengadakan pencarian,
namun pulang dengan tangan hampa. Tak ada jejak barang
sesobek pakaian pun, tak ada mayat, bagian tubuh
atau
tulang sekalipun yang mereka temui.
Ajaran Marquis tetap utuh. Malah tersebar legenda
bahwa di puncak gunung itu ia menyatu dengan
fluidum
vitale. Bersatu dan mengapung abadi di udara. Tak terlihat
namun senantiasa muda, bebas bersasana di puncak-
puncak Pyrenees. Barang siapa mendaki dan
menemuinya
akan terlindung dari penyakit atau proses penuaan selama
setahun. Teori fluidal Taillade terus kokoh sampai
abad
kesembilan belas. Banyak disokong oleh instansi medis
serta dipakai sebagai salah satu terapi penyembuhan
oleh
banyak kalangan. Bahkan sampai sekarang, di kedua
sisi
Pyrenees (Prancis dan Spanyol), khususnya di
Perpignan
dan Figueras, banyak perkumpulan rahasia pemuja Taillade
yang mengadakan pertemuan setahun sekali untuk
mendaki puncak Pic du Canigou.
Di sana mereka menyalakan api unggun dengan
dalih
untuk merayakan titik balik musim panas dan
penghormatan terhadap St. John - tapi sebenarnya ini
dilakukan sebagai penghormatan terhadap guru mereka,
TaiRade-Espinasse, dan ajaran fluidum-nya yang agung,
sembari mencari hidup abadi. Kalau beruntung.

Bagian III

Tiga Puluh Lima

KALAU DULU GRENOUILLE butuh waktu tujuh tahun


saat pertama kali melanglang Prancis, perjalanan kali ini ia
tempuh dalam waktu kurang dari tujuh hari. Ia
tidak lagi
menghindari jalan utama dan perkotaan. Tidak pula
mengambil jalan memutar. Kini ia memiliki aroma,
uang,
dan keyakinan diri. Ia tak mau buang waktu.
Sore hari sepeninggalnya dari Montpellier ia tiba di
Le
Grau-du‐Roi, sebuah kota pelabuhan kecil di barat
daya
Aigues-Morres, di mana ia menumpang sebuah kapal
dagang menuju Marseille. Di Marseille ia tidak segera
meninggalkan pelabuhan tapi langsung mencari kapal
untuk pergi lebih jauh lagi menyusur pantai ke arah
selatan. Dua hari kemudian ia tiba di Toulon, dan
esoknya
di Cannes. Sisa perjalanan dilakoni dengan berjalan
kaki.
Mengikuti jalan belakang yang mengarah ke perbukitan,
terus ke utara.
Dua jarn kemudian ia berdiri di tanjakan, di
hadapan
sebentang lembah seluas beberapa mil yang seperti
cekungan di lanskap. Sekelilingnya dipagari perbukitan dan
gunung terjal. Di cekungan itu terdapat banyak
ladang,
taman, dan semak buah zaitun-menciptakan iklim yang
intim, asli, dan khusus. Meski laut begitu dekat dan terlihat
dari puncak bukit, tapi iklimnya tidak maritim. Tidak
bergaram atau berpasir. Sebuah iklim nonekspansif.
Pagar
perbukitan dan pegunungan membuat tempat ini hening
bin tenang. Seolah berhari-hari jauhnya dari tepi
pantai.
Dan meski puncak-puncak pegunungan sebelah utara
tertutup salju, tidak membuat tempat ini kering,
tandus,
atau berhawa dingin. Musim semi lebih dulu muncul di sini
ketimbang di Montpellier. Kabut tipis mencercah seperti
kaca di atas padang. Pohon-pohon aprikot dan
almond
sedang ranum, udara terasa hangat beraroma bunga
jonquil.
Di seberang lembah, sekitar dua mil jauhnya,
berdiri
sebuah kota diapit pegunungan. Dari jauh tak begitu
mengesankan. Tidak tampak puncak katedral mengungguli
atap-atap rumah, kecuali sebuah menari gereja kecil. Tidak
ada benteng atau bangunan-bangunan besu. Dinding-
dinding berdiri bersahaja, rumah-rumah berserakan di
sana‐sini, terutama yang mengarah ke dataran, memberi
kesan berantakan seperti daerah pinggiran. Seolah kota itu
sudah berkali-kali dikuasai dan diambil alih banyak
pihak
sampai tak lagi peduli soal pertahanan terhadap pendatang.
Mungkin bukannya tak mampu, tapi lebih didasari
pada
kemalasan warganya, atau kesadaran akan kekuatan
sendiri. Seperti tak merasa butuh menonjolkan diri.
Cukuplah dengan bercokol sedikit di atas lembah di
kaki
pegunungan, dan rasanya memang lebih tepat begitu.
Kota yang nyaman dan percaya diri ini bernama Grasse.
Sudah puluhan tahun menjadi pusat produksi dan
penjualan wewangian, parfum, sabun, serta minyak.
Mendiang Giuseppe Baldini selalu menyebut tempat ini
dengan takzim. Kota ini adaah Roma-nya wewangian, tanah
surga para pembuat parfum, dan mereka yang belum
pernah ke sini tak pantas menyandang gelar ahli parfum.
Grenouille menatap kota itu dengan pandangan sejuk. Ia
tak sedang mencari tanah surga para pembuat parfum dan
hatinya tidak melonjak melihat kota kecil menempel
di
lereng gunung. Kedatangannya dilandasi kesadaran bahwa
di tempat ini ia bisa memelajari beberapa teknik
pembuatan aroma yang lebih baik ketimbang di kota mana
pun di dunia. Ia ingin – tidak - ia harus mendapatkan
pengetahuan itu, demi tujuan pribadi.
Grenouille mengambil flacon parfum dari saku,
memercik sedikit, dan lanjut berjalan. Satu setengah
jam
kemudian, sekitar tengah hari, ia tiba di Grasse.
Ia makan siang di sebuah penginapan dekat
jantung
kota, di sebuah tempat bernama Aires. Halamannya dibagi
dua oleh sebuah selokan di mana para penyamak
kulit
mencuci kulit hasil samakan dan setelahnya dijemur
sampai kering. Baunya begitu menyengat dan kerap
membuat pelanggan penginapan kehilangan selera makan.
Tapi tidak buat Grenouille. Malah terasa akrab di
hidung.
Membuatnya merasa aman. Di setiap kota, yang dicari
pertama kali selalu lokasi penyamakan. Baru setelah
itu
menjelajah ke tempat lain.
Sepanjang siang ia habiskan dengan berkeliling kota.
Ternyata memang sangat kotor dan jorok. Mungkin
lantaran air yang memancar dari sumur dan banyak
mata
air lain dibiarkan mengalir begitu saja tanpa
dibuatkan
sungai atau selokan, membanjiri jalan dan menyisakan
kotoran. Rumah-rumah di beberapa lokasi permukiman
berdiri begitu rapat, menyisakan celah hanya beberapa
meter untuk gang dan tangga, memaksa pejalan kaki untuk
saling bersenggolan menyusuri tanah becek. Bahkan di
alun-alun dan sepanjang jalan kota yang lebih besar,
kendaraan masih sulit lalu-lalang.
Namun betapapun kotor, sempit, dan jorok, kota
ini
tetap ramai dengan aktivitas perdagangan. Sepanjang
perjalanani Grenouille mendapati tak kurang dari tujuh
usaha pembuatan sabun, selusin ahli parfum, pembuat
sarung tangan, tempat-tempat penyulingan berjumlah lebih
dari sepuluh jari, studio pembuatan minyak rambut
dan
toko rempah-rempah, juga tujuh pengusaha grosir parfum.
Mereka ini adalah para psdagang yang berkuasa
penuh
mengendalikan jalur perdagangan aroma. Orang tak
bisa
langsung menebak dari rupa rumah-rumah mereka.
Tampaknya saja yang sederhana ala kelas menengah,
tapi
yang tersimpan di belakangnya, dalam gudang dan loteng-
loteng raksasa, dalam tong-tong minyak, di tumpukan
sabun lavender terbaik, dalam botol-botol besar kolonye
bebungaan, anggur dan alkohol, dalam bal-bal kulit
beraroma, dalam tumpukan karung dan peti-peti besar
serta kecil sarat berisi rempah-rempah.... Grenouille
mengendusi setiap detail yang menguap dari balik
dinding¬dinding tebal. Baginya ini jauh lebih kaya
dari
kekayaan sepuluh orang pangeran. Dan ketika ia
mengendus lebih dalam menembus toko-toko dan
gudang
penyimpanan sepanjang jalan, ia menemukan bahwa di
balik perumahan pinggiran ini tersimpan bangunan-
bangunan mewah. Ada taman kecil namun sangat
elok,
tempat mawar-mawar beracun dan pohon-pohon palem
tumbuh subur serta air-air mancur dipagari semak
bunga
berornamen. Ruangan-ruangan ini memanjang dari sayap-
sayap rumah yang tampak dari luar, biasanya dibuat
membentuk huruf U ke arah selatan. Di lantai atas, kamar-
kamar tidur bermandikan sinar matahari, dinding berlapis
sutra, sementara di lantai bawah ada ruang-ruang
duduk
berlapis dinding kayu, juga ruang makan. Kadang
disertai
teras yang dibangun menjorok ke udara terbuka.
Tempat
ini, persis kata Baldini dulu, adalah tempat
penghuninya
makan dengan piring porselen dan peralatan makan
dari
emas. Orang‐orang yang tinggal di balik selubung toko-toko
sederhana ini bermandikan emas dan kekuasaan. Kekayaan
yang diamankan dengan sangat hati-hati. Tercium
sangat
kuat, melebihi apa pun yang pernah diendus
Grenouille
sepanjang tur mengeliling kota ini.
Ia berhenti dan berdiri sejenak di depan salah
satu
istana terselubung ini. Rumah itu terletak di muka
jalan
Droite yang merupakan jalan arteri utama yang
membagi
seluruh kota dari timur sampai ke barat.
Penampilannya
biasa saja, tak ada yang luar biasa. Bagian depan barangkali
sedikit lebih luas dan lebih besar dari tetangga kanan-kiri,
tapi tetap tidak mencolok. Di pintu gerbang berdiri sebuah
kereta tempat tong-tong diturunkan ke sebuah jalur landai.
Ada sebuah kendaraan lain yang menunggu. Seseorang
membawa setumpuk kertas masuk ke ruangan kantor,
keluar lagi bersama seorang pria lain, keduanya
menghilang melewati pintu gerbang. Grenouille berdiri
di
seberang jalan dan mengamati. Kita tahu ia tidak
tertarik
dengan kesibukan atau bisnis atau apalah, tapi toh
ia
berdiri di situ, maka pasti ada apa-apanya.

Ia berpejam mata dan berkonsentrasi pada aroma


yang
mengambang dari bangunan di seberang jalan itu.
Ada
aroma tong-tong cuka apel dan anggur, aroma sesak
gudang barang, aroma kekayaan yang disembunyikau oleh
tembok-tembok tinggi, dan akhirnya aroma taman yang
pasti terletak jauh di ujung bangunan itu. Tidak
mudah
menangkap aroma taman itu, karena mereka datang dalam
untaian tipis dari atas atap rumah dan turun ke
jalan.
Grenouille bisa mengenali aroma bunga magnolia, bakung,
daphne, dan rhododendron, tapi sepertinya ada aroma lain.
Sesuatu di taman itu yang mengeluarkan aroma
sangat
indah. Aroma yang begitu elok dan tak pernah ia
endus
sebelumnya - atau barangkali pernah, satu kali. Tapi sudah
lama sekali. Ia harus bisa mendekati sumber aroma ini.
Grenouille menimbang-nimbang apakah hendak
langsung menerabas saja melewati gerbang dan masuk.
Tapi sementara begitu banyak orang lalu-lalang sibuk
mengangkut dan menghitung tong-tong di muka rumah,
risiko ketahuan akan cukup besar. Grenouille memutuskan
untuk kembali ke jalan, mencari gang kecil atau
celah
sepanjang sisi rumah yang mungkin bisa membawanya
ke
bagian belakang. Ia berjalan beberapa meter sampai
menembus gerbang kota di ujung jalan Droite,
berbelok
tajam ke kiri dan menyusuri dinding kota sepanjang
kaki
gunung. Kaki belum lagi melangkah terlalu jauh ketika
aroma taman itu tercium. Mulanya samar, bercampur
dengan aroma padang pegunungan, tapi makin lama makin
kuat. Tahulah ia bahwa jaraknya sudah dekat. Sangat dekat.
Taman itu persis berada di balik tembok kota.
Persis di
sebelah, hanya terhalang dinding. Kalau ia mundur
sedikit
sepanjang lereng yang menuju ke atas, ia bisa
melihat
pucuk‐pucuk dahan pohon jeruk di balik tembok.
Sekali lagi ia menutup mata. Aroma taman menghambur
masuk. Konturnya begitu persis dan jelas terbayang
di
pikiran. Dan aroma itu, aroma magis yang paling berharga
itu, ada di antara mereka. Wajah Grenouille dibakar gairah,
sekaligus dingin di tengkuk oleh rasa takut. Darah
naik ke
kepala dan turun ke pusar, lalu naik lagi, turun lagi ‐ tubuh
ini nyaris tak bisa dikendalikan. Serangan aroma ini datang
begitu tiba-tiba. Untuk sesaat, setarikan napas yang rasanya
bagai seabad, waktu terlipat dua atau malah lenyap
sama
sekali karena detik itu ia tak mampu menjejaki
ruang dan
waktu. Rasanya seperti ditembakkan dari moncong meriam
ke dinding masa lalu, ke jalan Marais di Paris, ke
suatu
malam di awal September 1753. Tak salah lagi. Aroma yang
keluar dari taman ini adalah aroma gadis berambut merah
yang ia bunuh malam itu. Penemuan ini membuat
ia
menangis terharu - dan kesadaran bahwa hal ini tak
mungkin terjadi membuatnya takut setengah mati.
Grenouille merasa pusing. Ia gamang sejenak dan
terpaksa bersandar ke tembok, lalu melorot berjongkok.
Berusaha mengendalikan diri dan indra penciumannya,
ia
mulai menghirup aroma “magis” itu dalam
tarikan-tarikan
pendek dan tidak berbahaya. Perlahan ia menyimpulkan
bahwa walaupun aroma dari balik tembok ini sangat mirip
dengan aroma si gadis berambut merah, tapi tidak
benar-
benar persis. Katakaniah, 98 persen nyaris menyamai.
Sungguh luar biasa! Dalam imajinasi penciumannya
Grenouille melihat si gadis seolah dengan mata kepala
sendiri. Ia tidak sedang duduk tapi berlompatan,
melakukan pemanasan lalu diam mendinginkan diri.
Tampaknya sedang bermain permainan di mana ia
harus
bergerak dan diam dengan cepat. Ada orang lain
juga.
Seseorang dengan bau yang tidak terlalu menonjol.
Orang
ini memiliki kulit putih bersih. Bermata hijau. Bintik-bintik
di wajah, leher, dan buah dada.... napas. Grenouille berhenti
sejenak, lalu mengendus lebih giat dan mencoba
menekan
ingatan aroma si gadis berambut merah dari jalan
Marais.
Bukan apa-apa, tapi gadis di balik tembok ini belum
lagi
memiliki buah dada! Kuncup pun belum. Sangat
lembut,
nyaris tak berbau dan
berbintik-bintik. Buah dada yang baru mulai
mengembang - kemungkinan sejak beberapa hari terakhir,
atau malah beberapa jam, lalu atau detik ini.
Sedemikian
mungilnya tangkup buah dada gadis ini..Dengan kata lain: si
gadis masih bocah! Tapi bukan sembarang bocah!
Keringat menetes di kening Grenouille. Ia tahu
bahwa
anak-anak tidak memiliki aroma khusus. Tak bedanya
kuncup hijau pada bunga sebelum merekah. Tapi
anak di
balik tembok ini, kuncup ini masih tertutup rapat,
yang
berarti baru saja memancarkan ujung aromanya. Tak
mungkin dikenali manusia lain kecuali Grenouille. Anak
sekecil ini sudah mampu mengeluarkan aroma surgawi
yang kelak jika merekah akan memancarkan aroma parfum
yang belum pemah dicium jagat. Sekarang saja
baunya
sudah enak sekali. Grenouille teringat dan
membandingkannya dengan gadis berambut merah dari
jalan Marais. Si kecil di balik tembok pastinya tidak
bertubuh semontok dan sematang itu, tapi lebih halus, lebih
kaya nuansa, dan lebih alami. Dalam satu atau dua tahun ke
depan aroma ini akan semakin matang dan
menciptakan
daya tarik yang tak mungkin ditolak siapa pun, pria
atau
wanita. Orang akan dengan mudah luluh dan takluk
di
bawah pengaruh magis si gadis tanpa tahu kenapa.
Dan
karena mereka sedemikian bodoh, menggunakan hidung
hanya untuk bernapas dan hanya meyakini apa yang
bisa
dilihat mata, lantas berpendapat bahwa ini pasti
disebabkan oleh kecantikan, keanggunan, dan pesona
fisik
si gadis. Dalam kedunguan mereka akan memuji-muji
keelokan tubuh, kerampingan, dan buah dada. Mata
yang
katanya bagai zamrud, gigi mutiara, perut semulus gading,
dan segudang pembanding idiot lainnya. Lalu didaulatlah si
gadis sebagai Ratu Melati. Dilukis oleh seorang
pelukis
bodoh, dikerling penuh puja-puji sebagai wanita terelok di
seluruh Prancis. Remaja-remaja pria berebut memetik
mandolin di bawah jendela; para lelaki kaya nan
buncit
berlutut merajuk pada ayah si gadis agar menerima
pinangan mereka; dan wanita segala usia akan
mendesah
iri sampai terbawa mimpi ingin memiliki wajah dan tubuh
seperti itu walau hanya sehari. Tidak satu pun sadar bahwa
sesungguhnya bukan penampilan yang telah menjerat
mereka. Bukan keindahan eksternal yang membuai
jagat,
tapi murni aroma tubuh! Hanya Grenouille yang sadar akan
hal ini. Ya, ia sendiri. Ia tahu persis fakta ini.
Ah! Ingin sekali memiliki aroma ini. Tapi tidak
dengan
ceroboh seperti ketika menguras aroma si gadis dari
jalan
Marais. Saat itu ia hanya mengisap untuk diri
sendiri dan
akhirnya malah merusak aroma tersebut. Tidak. Ia
ingin
sungguh-sungguh memiliki aroma gadis kecil di balik
tembok ini. Menguliti dari kulitnya dan menjadikan aroma
itu sebagai milik pribadi. Bagaimana caranya, ia
belum
tahu. Tapi ia punya waktu dua tahun untuk putar otak. Yang
pasti akan jauh lebih sulit dari merampok aroma sekuntum
mawar langka.
Grenouille bangkit. Nyaris dengan takzim, seperti
meninggalkan sesuatu yang suci atau kekasih yang lelap. Ia
menjauh perlahan, dengan lembut, membungkuk agar tidak
dilihat atau didengar orang. Jangan sampai ada yang
menyadari penemuan ini. Maka berlarilah ia sepanjang
tembok ke ujung lain kota itu, di mana ia tak
lagi diusik
aroma si gadis dan masuk kembali lewat pintu
gerbang
Fénéants.
Grenouille berdiri di bawah bayang-bayang bangunan.
Kebusukan aroma jalanan membuatnya merasa nyaman
dan membantu menjinakkan nafsu yang semula
membludak. Dalam lima belas menit ia tenang
kembali,
sambil mencatat dalam hati untuk tidak lagi
mendekati
daerah sekitar taman di belakang tembok. Sikap
terlalu
hati-hati ini sebenarnya tidak perlu, tapi ia sedang
terlalu
senang. Sang bunga akan mekar sendiri di sana
tanpa ia
harus melakukan apa-apa, dan ia sudah tahu persis dengan
cara apa bunga itu akan merekah. Grenouille tak
ingin
meracuni diri dengan aroma itu secara prematur. Ia
harus
menyibukkan diri dengan pekerjaan. Memperluas
pengetahuan dan menyempurnakan teknik agar lebih
siap
saat panen tiba. Ia punya waktu dua tahun.

Tiga Puluh Enam

TAK JAUH DARI GERBANG FÉNÉANTS, di jalan


Louve,
Grenouille menemukan sebuah tempat usaha pembuatan
parfum kecil dan melamar kerja.
Ia beroleh kabar bahwa pemilik usaha, Maître parfumeur
Honoré Arnulfi, telah meninggal pada musim dingin
tahun
lalu dan bahwa janda berusia tiga puluh tahun
berambut
hitam nan ceria ini sekarang mengurus bisnis sendiri,
dibantu oleh seorang ahli.
Setelah berkeluh-kesah tentang masa-masa paceklik dan
kondisi keuangan yang menjelang ajal, Madame Arnulfi
menyatakan bahwa ia tak sanggup membiayai seorang ahli
lagi, tapi ia memang membutuhkan tenaga ahli untuk
menangani bisnis di masa depan. Ia tak bisa
menampung
Grenouille di rumah ini tapi memiliki sebuah kabin kecil di
tengah padang zaitun di belakang biara Franciscan
yang
jauhnya tak sampai sepuluh menit berjalan kaki. Grenouille
bisa tidur di situ kalau mau, kendati sempit. Ia
mengaku
bahwa sebagai seorang nyonya yang baik ia
berkewajiban
mengurus kesejahteraan fisik para pekerjanya, tapi tak
mampu memberi sarapan dua kali sehari. Pendek
kata,
seperti dugaan Grenouille, Madame Arnulfi adalah seorang
wanita kaya nan pelit dengan insting bisnis yang baik. Dan
karena Grenouille tidak rewel soal uang dan
menyatakan
diri cukup puas dibayar dua franc seminggu plus
kebutuhan minim lainnya, kesepakatan dengan segera
terjalin. Ahli pertama dipanggil - seorang pria raksasa
bernama Druot. Grenouille langsung tahu bahwa orang
ini
berbagi ranjang dengan Madame Arnulfi secara teratur dan
sang janda tak bisa mengambil putusan penting tanpa
berkonsultasi dengannya lebih dulu. Dengan kaki terentang
dan awan aroma bernuansa sperma, ia menjejakkan diri di
depan Grenouille yang tampak begitu ringkih,
mengamati
dari ke bawah, memandang lurus ke mata - seolah dengan
teknik ini ia bisa mencium niat buruk atau gelagat sebagai
calon saingan, akhirnya memberi sinyal persetujuan
dengan sebuah anggukan.
Setelah urusan kontrak selesai, Grenouille berjabat
tangan, dan makanan kecil yang sudah dingin, sehelai
selimut, dan kunci di belakang biara. Kabin itu lebih
tepat
disebut gubuk. Tidak berjendela dan berbau jerami
serta
kotoran kambing. Tapi Grenouille tidak protes. Ia
malah
suka dan mencoba membuat situasi senyaman mungkin.
Esok ia mulai bekerja untuk Madame Arnulfi.
Saat itu sedang musim bunga jonquil. Madame
Arnulfi
menanam bunga itu dalam bidang-bidang kecil di sebidang
tanah bercekungan lebar miliknya di bawah kota, atau
membeli dari para petani yang ia tawar gila-gilaan
setiap
onsnya. Bunga dikirim pagi-pagi sekali lalu dipindah
ke
ruang kerja dengan keranjang, ke sebuah tumpukan
yang
sangat banyak namun ringan dan harum. Di saat yang sama,
Druor mencairkan lemak babi dan lemak sapi dalam sebuah
tungku besar untuk dijadikan sup berkrim. Sesekop penuh
bunga segar ia masukkan ke godokan sementara Grenouille
terus mengaduk menggunakan pengaduk sepanjang sapu.
Bunga-bunga itu mengapung sebentar, seperti mata
manusia menjelang kematian, dan segera kehilangan warna
begitu pengaduk mendesak mereka ke pelukan minyak
hangat. Nyaris seketika itu juga bunga-bunga itu pudar dan
melayu. Kematian datang begitu cepat dan mereka tak
punya pilihan selain menghembuskan napas aroma
terakhir ke dalam minyak. Greno menyaksikan semua
ini
dengan sangat kagum. Makin banyak bunga yang ia
desak
ke dalam tungku, makin manis aroma minyaknya.
Bukan
berarti bunga-bunga itu terus menyesakkan aroma, tapi
minyak sendiri telah membentuk dan menegaskan
aroma
tersebut.
Kadang sup menjadi terlalu kental sehingga harus
segera. dituang ke dalam ayakan, membebaskannya dari
bangkai bunga dan memberi ruang untuk bunga baru.
Begitu terus Grenouille dan Druot bekerja sepanjang
hari
tanpa berhenti karena prosedurnya memang tidak
memungkinkan penundaan. Sampai sore, seluruh
tumpukan bunga ludes ke tungku minyak. Agar tidak
ada
yang terbuang percuma, sisanya direndam dalam air panas
dan diperas sampai tetes terakhir dalam sebuah
mesin
pemeras. Itu pun masih sedikit mengambangkan
keharuman. Mayoritas aroma yang menjadi jiwa lautan
bunga ini tetap berada dalam tungku. Ditutup rapat
dan
diawetkan dalam pelumas berwarna putih buram yang
tidak berbau dan lambat mengental.
Prosedur maceration - pelembutan dengan metode
perendaman ini berlanjut keesokan harinya. Tungku
dipanaskan lagi, minyak dicairkan dan diberi makan
bebungaan baru. Ini berlangsung sampai beberapa hari,
dari pagi sampai sore. Benar-benar pekerjaan
melelahkan.
Tangan Grenouille serasa rontok dan tinggal tulang.
Punggungnya sakit setiap kali menyeret badan pulang
ke
kabin. Walau Druot setidaknya berbadan tiga kali
lebih
kuat, ia tak pernah mau bergantian mengaduk. Malah
dengan ramah terus menuang bunga, menjaga api dan
kadang - entah karena panas atau apa - pergi keluar untuk
minum. Tapi Grenouille tidak protes. Ia terus
mengaduk
bunga di dalam minyak tanpa mengeluh. Dari subuh sampai
malam dan nyaris tidak menyadari beratnya pekerjaan
lantaran tak habis kagum dengan proses yang berlangsung
di depan mata dan di bawah hidungnya ini: pada
bunga‐
bunga yang layu begitu cepat dan penyerapan aroma
mereka.
Suatu hari Druot memutuskan bahwa minyak sudah
jenuh dan tak mampu menyerap aroma lagi. Ia mematikan
api, mengayak minyak kental untuk terakhir kali, dan
menuang hasilnya ke wadah tembikar. Minyak dengan
segera mengeras menjadi pomade - minyak rambut yang
sangat harum.
Kini giliran Madame Arnulfi beraksi. Ia hadir
menguji
kandungan logam dari produk yang baru dibuat,
memberi
nama dan mencatat dengan persis kualitas serta
kuantitas
produk tersebut. Setelah menyumbat wadah tembikar,
menyegel, dan menyimpannya di gudang loteng
berhawa
sejuk, ia merapikan gaun hitamnya, mengambil
kerudung
berkabung sebagai seorang janda, lalu berkeliling ke
pari
penjual parfum grosir dan eceran. Dengan rayuan
mengharukan ia menjelaskan pada para lelaki itu
tentang
kondisinya sebagai seorang wanita yang ditinggal mati
suami, membiarkan mereka menawar, membandingkan
harga, mendesah lemas, dan akhirnya menjual atau kadang
tidak menjual apa-apa.
Minyak rambut berparfum, jika disimpan di tempat
sejuk, dapat bertahan dalam jangka waktu lama.
Kalau
harga saat ini sedang jelek, siapa tahu akan naik
lagi di
musim dingin atau musim panas berikutnya. Di
samping
pertimbangan lain apakah hendak menjual ke pedagang
keliling seperti ini atau bergabung dengan produsen‐
produsen kecil lain dan bekerja sama mengirim pomade ke
Genoa atau berbagai konvoi ke pasar malam musim
gugur
di Beaucaire. Ini memang bisnis berisiko, tapi sangat
menguntungkan kalau sukses. Madame Amulfi dengan
sangat hati-hati mempertimbangkan berbagai
kemungkinan ini. Kadang ia mau menekan kontrak,
menjual beberapa porsi dagangan tapi tetap menyimpan
porsi lain untuk cadangan, juga mengambil risiko
bernegosiasi dengan pihak ketiga untuk kepentingan
pribadi. Ini memang melanggar kontrak, tapi kalau selama
masa negosiasi itu ia mendapat kesan bahwa pasar pomade
sedang jenuh dan bahaya jika menumpuk barang, ia segera
pulang ke rumah, menyampir kerudung, menyuruh
Druot
menuang produk ke tempat pemurnian dan
mengubahnya
menjadi essence absolue.
jika demikian yang terjadi, pomade akan dikeluarkan
lagi dari gudang loteng, dihangatkan dengan hati-hati
dalam belanga-belanga tertutup, dicairkan dengan alkohol
rektifikasi, lalu dicampur dan dibilas seluruhnya dengan
pengaduk yang dioperasikan oleh Grenouille. Sekembali ke
gudang loteng, adukan ini segera didinginkan.
Kandungan
alkoholnya dipisahkan dan dituang ke botol lain. Ini proses
pembuatan sejenis parfum dengan intensitas kepekatan
luar biasa, sementara sisa pomade tak bisa dipakai karena
telah kehilangan mayoritas aroma. Dus, aroma bunga
ditransfer ke medium lain. Tapi pekerjaan tidak
berhenti
sampai di sini. Setelah alkohol berparfum disaring
dengan
hati-hati dengan ayakan dawai agar sesedikit mungkin
mengandung sisa minyak, Druot menuang alkohol
berparfum itu ke sebuah kepala tambat kecil, lalu
disuling
perlahan di atas api kecil. Yang tersisa adalah
sejumlah
kecil cairan berwarna pucat yang sangat dikenal Grenouille
tapi belum pernah dicium dalam kualitas dan
kemumian
seperti ini, baik di laboratorium Baldini ataupun Runel. Ini
sari pati terbaik dari minyak bunga. Polesan
aromanya
dipekatkan seratus kali menjadi sebotol kecil essence
absolue. Esensi ini tak lagi membawa aroma manis. Baunya
nyaris menyengat, tajam, dan sengit. Tapi jika setetes
saja
dilarutkan dalam seliter alkohol, mampu membugarkan
dan membangkitkan seluruh aroma bunga yang
tersembunyi.
Hasilnya sedikit sekali. Cairan hasil sulingan hanya
mampu mengisi tiga flacon kecil. Tak ada yang tersisa dari
ratusan ribu bunga kecuali tiga flacon mungil itu.
Namun
produk ini kini memiliki nilai sangat tinggi, bahkan di kota
Grasse ini. Nilainya bisa lebih tinggi lagi begitu
dikirim ke
Paris atau Lyon, ke Grenoble, Genoa atau Marseille!
Madame Arnulfi memandangi tiga flacon itu seolah
mengelusi permukaannya dengan mata, lalu menyumbat
lubang dengan gabus keras yang pas memenuhi leher
flacon sambil menahan napas, seolah cemas agar
tidak
setetes pun benda berharga ini yang terhirup atau terbuang
percuma oleh napas. Agar lebih yakin bahwa tidak
satu
atom pun terbuang percuma, ia menyegel sekeliling
sumbat dengan lilin dan membungkus leher botol
dengan
plastik keras. Baru setelah itu ia taruh dalam
sebuah peti
kayu beralas kain katun, kemudian disimpan dan dikunci di
loteng atas.

Tiga Puluh Tujuh

PADA BULAN APRIL mereka merendam belukar


broom
serta bunga pohon jeruk. Lautan mawar mendapat
giliran
di bulan Mei. Aroma manisnya seperti menenggelamkan
seluruh kota dalam kabut krim manis yang tak
terlihat
selama sebulan.
Grenouille bekerja seperti kuda pacu. Tanpa
menonjolkan diri dan dengan kepatuhan seorang budak, ia
lakukan semua tugas yang disuruh Druot. Tapi
sementara
ia mengaduk, menggosok bak mandi, membersihkan
tempat itu, atau mengisi kayu bakar seolah tanpa
otak,
sesungguhnya tak satu hal pun yang luput dari
perhatiannya, baik bisnis maupun proses metamorfosis
aroma. Grenouille memanfaatkan hidung ajaibnya untuk
mengobservasi dan memonitor setiap detail kejadian
dengan lebih baik ketimbang Druot. Contohnya, migrasi
aroma kelopak mawar tadi; dari minyak mawar ke alkohol,
sampai ke flacon-flacon kecil yang amat berharga.
Jauh
sebelum Druot sadar, ia sudah lebih dulu tahu
kapan
godokan minyak sudah terlalu panas, kapan bunganya
perlu ditambah, dan kapan godokan telah sarat
aroma.
Grenouille bisa mencium apa yang terjadi di dalam. tungku
dan kapan persisnya penyulingan harus berhenti. Kadang ia
sengaja memberi tahu ini - tentu dengan cara yang
tidak
mencurigakan dan berupa saran. Misalnya ketika ia
berkata, “Godokan minyak mungkin sudah terlalu panas...,”
atau, “Minyak ini sebaiknya disaring dulu...,” atau, “Rasanya
alkohol dalam tabung penyulingan ini sudah menguap .....
Druot tidak terlalu bodoh untuk mengabaikan begitu
saja “saran‐saran amatir” ini. Ia tahu bahwa hasilnya
memang bisa lebih baik jika menuruti kata-kata Grenouille.
Apalagi melihat cara penyampaianya yang tidak angkuh
atau sok tahu, juga karena Grenouille tidak pernah -
terlebih di hadapan Madame Arnulfi - mengabaikan atau
meragukan otoritas dan posisi Druot sebagai seorang
ahli
utama, tidak pula memberi saran dengan nada sinis
atau
menyinggung. Jadi, tak ada salahnya dituruti. Pun
seiring
bergulirnya waktu, ia tak merasa terlalu keberatan
menyerahkan hampir segala putusan dalam proses
pekerjaan pada Grenouille.
Dus, makin lama Grenouille tak hanya ditugasi
mengaduk adonan, tapi juga memasukkan bunga ke tungku,
memanaskan dan mengayak, sementara Druot pergi ke
kedai Quatre Dauphins di seberang jalan untuk
minum
segelas anggur atau ke lantai atas, “menghibur”
Madamc
Arnulfi. Yakin bahwa Grenouille bisa diandalkan.
Di pihak lain, meski pekerjaannya jadi dua kali lipat lebih
berat, Grenouille lebih suka bekerja sendiri.
Menyempurnakan teknik baru dan kadang sedikit
bereksperimen. Dengan girang ia menemukan bahwa
pomade buatannya bisa dibilang lebih baik, dan
bahwa
essence absolue buatannya sendiri lebih murni beberapa
persen ketimbang buatannya bersama Druot.
Musim bunga melati berawal di akhir bulan Juli
dan
bunga tiberosa di bulan Agustus. Parfum dari kedua bunga
ini sangat halus, elok, dan rapuh. Tak hanya
bunganya
harus dipetik sebelum matahari terbit, tapi mereka
juga
menuntut perhatian dan penanganan khusus. Bila
dihangatkan aromanya berkurang dan jika dididihkan akan
musnah sama sekali. “Jiwa” mereka tak bisa direnggut
begitu saja, tapi harus “dibujuk” secara metodis
menggunakan ruang resapan khusus, di mana bunga-bunga
itu ditabur di atas lempengan kaca berlapis minyak
lemak
dingin atau dibungkus kain berlapis minyak lemak. Dengan
cara ini mereka akan mati dalam tidur. Butuh tiga
hingga
empat hari sampai mereka layu dan menguapkan
aromanya ke lapisan minyak... Sisa bunga diangkat hati-hati
untuk memberi ruang bagi bunga baru. Prosedur
ini
diulang antara sepuluh sampai dua puluh kali. Baru
pada
bulan September pomade dari bunga ini bisa dibuat
dan
minyak wangi bisa diperas dari kain pembungkus. Hasilnya
memang jauh lebih sedikit daripada metode
perendaman,
namun kemurnian dan kualitas pasta melati atau huile
antique de tubereuse ini jauh melebihi hasil yang diperoleh
dengan teknik lain. Khusus untuk bunga melati, permukaan
minyak wangi yang dihasilkan sangat bening, manis,
lengket, beraroma erotis dan murni. Hidung Grenouille
mampu membedakan antara aroma bunga yang asli dengan
parfum yang dihasilkan, karena campuran aroma
spesifik
dari media minyak yang dipakai - betapa pun murni - tetap
hadir laksana kelambu jaring laba-laba di atas aroma
melati. Melembutkan dan menipiskan ketajaman aroma asli
sedemikian rupa agar lebih enak diendus manusia normal.
Di pihak lain, teknik perendaman dingin tetap
merupakan
metode terbaik dan paling efektif untuk menangkap aroma-
aroma lembut. Tak ada cara lain lagi yang lebih
baik. Pun
bila metode ini dirasa tidak cukup baik buat hidung
Grenouille, sudah lebih dari cukup buat hidung
manusia
normal.
Berbagai teknik seni pembuatan parfum dikuasai
Grenouille dengan cepat. Bahkan melebihi Druot,
gurunya
sendiri. Namun Grenouille tetap waspada agar tidak
menonjol dan menjaga sikap merendah. Membuat Druot
dengan senang hati membiarkannya pergi ke rumah
jagal
untuk membeli lemak yang paling tepat, memurnikan
dan
memprosesnya, menyaring serta menyesuaikan
proporsinya sedemikian rupa agar menjadi media
terbaik
penangkap aroma. Ini pekerjaan sulit dan kerap dikeluhkan
oleh Druot karena lemak yang banyak mengandung
campuran bahan lain menjadi basi atau terlalu berbau babi,
kambing, atau sapi, dapat merusak pomade yang
hendak
dibuat. Ia biarkan Grenouille memutuskan sendiri
bagaimana mengatur lempengan-lempengan berlapis
minyak di ruang resapan, kapan waktu rotasi memasukkan
bebungaan, dan apakah pomade yang dibuat sudah
cukup
resap. Tak lama kemudian ia juga mengizinkan
Grenouille
memutuskan hal-hal krusial yang hanya bisa dikira-kira,
sama dengan Baldini dulu. Grenouille mampu menentukan
takaran yang lebih tepat, tentunya dengan bantuan hidung.
Tapi Druot tak pernah curiga soal ini.
“Ia punya sentuhan yang baik,” ujar Druot suatu
kali.
“Untuk sejumlah hal, instingnya bisa diandalkan.” Kadang ia
juga berpikir, “Sesungguhnya, kalau mau jujur, ia
lebih
berbakat daripada aku ‐ seratus kali lebih baik
sebagai
seorang ahli parfum.” Tapi tetap saja ia menganggap
Grenouille dungu karena pemuda itu sama sekali tak
berniat mengomersialisasikan bakatnya. Padahal kalau
Druot diberi sedikit saja dari bakat itu, niseaya ia bakal jadi
pakarnya ahli parfum. Grenouille dengan lihai
mendorong
Druot untuk sampai pada kesimpulan tersebut dengan
menunjukkan kesan bodoh, membosankan, serta tak
berambisi. Bertingkah seperti tak menyadari kegeniusan
diri sendiri dan hanya mau bekerja berdasarkan
perintah
Druot yang dianggap lebih berpengalaman. Dus, atas dasar
ini mereka mampu bekerja sama dengan baik.
Musim gugur dan musim dingin tiba. Suasana
tempat
kerja jadi lebih sepi. Aroma bunga terperangkap di
tempayan dan flacon-flacon di gudang loteng. Jika Madame
Arnulfi tidak menyuruh membuat pomade atau barang lain
atau menyuling sekarung rempah-rempah kering, tak
banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Panen zaitun
tetap
dipetik beberapa keranjang tiap minggunya. Minyaknya
diperas dan sisanya ditaruh di penggingan. Anggur
juga
disuling menjadi alkohol rektifikasi.
Makin lama, Druot makin jarang kelihatan. Ia lebih
sering “dinas” di ranjang Madame Arnulfi. Setiap kali
muncul badannya bau keringat dan air mani. Itu pun paling
hanya sekadar lewat dan langsung menuju kedai
minum.
Madame juga jarang turun dari lantai atas. Sibuk
dengan
perhitungan investasi dan menyiapkan pakaian berkabung
sebagai seorang janda. Berhari-hari Grenouille nyaris tidak
melihat seorang pun kecuali pembantu yang bertugas
menyiapkan sup makan siang, roti, dan zaitun untuknya.
Sementara itu, Grenouille juga jarang sekali keluar
rumah. Ia ikut ambil bagian dalam kehidupan bisnis parfum
- dengan menghadiri pertemuan dan prosesi para ahli
-
hanya agar tidak terlalu menonjolkan, saat ada
maupun
tidak. Itak punya teman atau kenalan dekat, namun
tetap
berhati-hati agar tidak dianggap sombong atau kurang
supel. Pada para ahli lain ia meninggalkan kesan
sebagai
sosok yang membosankan dan tidak menguntungkan.
Grenouille jadi ahli berakting membosankan dan
ceroboh,
walau tidak kelewatan sampai menjadi bahan olok-olok
atau objek lelucon di serikat kerja. Ia sukses
membuat
orang berpikir bahwa ia sama sekali tidak menarik. Orang‐
orang membiarkannya sendiri, dan Grenouille memang
lebih suka begitu.

Tiga Puluh Delapan

GRENOUILLE MENGHABISKAN WAKTU di tempat kerja.


Pada Druot ia menjelaskan bahwa ia sedang mencoba
menciptakan formula kolonye baru. Padahal sesungguhnya
ia sedang bereksperimen aroma untuk hal yang sama sekali
lain. Walau amat jarang dipakai, parfum yang ia
buat di
Montpellier makin lama makin menipis. Grenouille
harus
membuat yang baru. Kali ini ia tidak puas hanya
menyalin
aroma dasar manusia dengan mencampur ramuan
begitu
saja. Ada kebanggaan baru untuk menambahkan setitik
aroma pribadi, atau lebih.Pertama-tama ia membuat aroma
yang mampu membuatnya jadi tidak mencolok - aroma
sehari-hari yang biasa-biasa saja, lengkap dengan aroma
asam keju khas manusia, namun dibuat sedemikian
rupa
agar seolah keluar dari pakaian yang dikenakan. Ini
dimaksudkan agar ia lebih leluasa bergerak di tengah
manusia. Parfum ini cukup mampu menegaskan aura
kehadiran melatui penciuman, namun dibuat sedemikian
rupa agar tidak mengganggu hidung orang lain -
maksudnya, tidak begitu menyengat sampai membuat
orang menoleh mencari sumber bau. Dengart parfum
ini,
Grenouille seolah tidak benar-benar hadir namun
ditegaskan dengan aura bersahaja. Cocok dipakai di
lingkungan rumah Arnulfi atau saat harus berjalan ke kota.
Kadang aroma ini ada efek jeleknya juga, seperti
saat
disuruh Druot atau atas keinginannya sendiri keluar
membeli ekstrak kesturi. Saking “bersahajanya” parfum itu
sampai ia nyaris “tidak tampak” alias tidak diacuhkan oleh
penjaga toko, tidak dilayani, diberi barang yang salah atau
terlupakan ketika sedang menunggu untuk dilayani.
Grenouille lantas membuat parfum yang lebih harum
dan
sedikit berbau keringat - katakanlah, aromanya lebih punya
karakter agar kehadirannya lebih tegas dan orang percaya
bahwa ia memang sedang buru-buru serta ada urusan
penting. Ia juga sukses mengimitasi aura aroma Druot, yang
dipelajari dengan meresapi secarik linen berminyak dengan
sedikit telur bebek segar dan fermentasi tepung
terigu.
Biasa dipakai Grenouille saat sedang butuh menarik
perhatian.
Grenouille juga menciptakan parfum khusus untuk
menarik simpati dan terbukti efektif di kalangan
wanita
paruh baya dan nenek‐nenek. Berbau susu encer dan kayu
lembut segar. Efek yang tercipta bahkan saat
keluyuran
dengan wajah berantakan tak bercukur, cemberut, dan
terbungkus mantel tebal - adalah sosok seorang anak
malang bermantel lusuh yang butuh pertolongan. Sekali
saja menangkap aromanya, wanita-wanita tua yang
bersimpati akan memenuhi kantung mantel Grenouille
dengan kacang dan buah pir kering karena ia tampak begitu
kelaparan dan tak berdaya. Pernah seorang istri
tukang
daging membiarkannya memilih daging dan tulang
mana
saja secara gratis karena aroma Grenouille menyentuh rasa
keibuannya/ Grenouille menurut, lalu pulang dan
mencerna daging itu dalam rendaman alkohol untuk
digunakan sebagai komponen utama dari aroma berikut
yang akan dibuat, khusus jika ia sedang ingin
menghindar
dan sendirian. Aura aromanya mernuakkan, seperti bau
mulut seorang pelacur tua jalanan saat baru bangun tidur.
Efeknya sangat efektif, sampai Druot yang pemberani
dan
perkasa itu langsung menghindar dan keluar mencari udara
segar - tentunya tanpa benar‐benar menyadari apa yang
membuatnya menyingkir. Beberapa parfum tersebut di
sekitar kabin juga cukup ampuh mengusir pengganggu,
baik manusia maupun binatang.
Berbekal perlindungan beragam aroma ini, yang ia ganti
sesuka hati seperti orang bersalin pakaian sesuai
situasi,
Grenouille mampu bergerak. leluasa di tengah manusia
sambil tetap menyembunyikan wajah aslinya. Kegiatan
utama difokuskan pada proses pembuatan aroma. Ia belum
lupa pada si gadis kecil di balik tembok, dan sisa
waktu
tinggal setahun lebih sedikit. Secara sistematis ia
merencanakan bagaimana mengasah “senjata', memoles
teknik, dan menyempumakan metode.
Dus, ia mulai dari percobaan yang dulu gagal
dilakukan
di tempat Baldini, yaitu mengambil sari pati aroma benda-
benda mati, seperti batu, metal, kaca, kayu, garam,
air,
udara....
Kalau dulu ia gagal total menggunakan proses
penyulingan yang masih kasar, kini ia sukses, berkat
daya
serap luar biasa dari teknik lemak. Grenouille
mengambil
sebuah pegangan pintu dari kuningan karena ia suka aroma
dingin, apak, dan keliatan benda itu. Jadilah ia
bungkus
dengan lemak daging sapi selama beberapa hari. Dan
ternyata berhasil. Saat lemak dibuka dan diperiksa,
memang mengandung aroma pegangan pintu, meski
amat
samar. Pun setelah direndam dalam alkohol, aromanya
tidak hilang. Sangat tipis, jauh, dan terbayangi oleh
uap
alkohol, tapi tetap mampu diendus hidung Grenouille.
Taruhlah tak ada manusia lain yang bisa mencium ini selain
Grenouille, tapi setidaknya secara prinsip Grenouille sudah
jauh lebib berhasil ketimbang dulu. Kalau ia punya
seribu
buah pegangan pintu dan membungkusnya dalam
buntel
lemak sapi selama seribu hari, pasti bisa
menghasilkan
beberapa tetes parfum beraroma pegangan pintu dari
kuningan yang cukup kuat untuk diendus manusia normal.
Menghadirkan ilusi kehadiran benda itu di depan
hidung
mereka.
Grenouille juga sukses bereksperimen dengan debu
kapur sebuah batu yang ia temukan di semak taman zaitun
di depan kabin. Ia rendam dan ekstraksi menjadi sejumlah
kecil pomade rasa batu. Ia suka aroma
mikroskopisnya.
Lantas dikombinasikan dengan aroma lain dari berbagai
objek di sekitar kabin dan dengan susah-payah
membuat
miniatur aroma taman belukar zaitun di belakang
biara
Franciscan. Setelah disimpan dalam sebuah flacon kecil,
ia
mampu membangkitkan taman belukar itu kapan saja
ia
mau.
Semua ini adalah adikarya aroma dari bermacam pernik
remeh yang tak bisa dinikmati atau dikagumi siapa
pun
selain Grenouille. Sebuah jagat kesempurnaan yang
membuat Grenouille berani mencatat bahwa inilah saat-
saat paling membahagiakan dalam hidup. Kini tiba
saat ia
melangkah ke lanskap yang lebih luas. Waktunya
mengoleksi objek hidup.
Grenouille mengawali langkah dengan berburu lalat,
belatung, tikus, dan kucing kecil, lalu merendam
mereka
dalam minyak lemak hangat. Malam hari ia merayap
ke
kandang binatang, menyampirkan kain berlapis minyak ke
tubuh sapi, kambing, dan babi selama beberapa jam,
atau
membungkus dengan perban berminyak. Lain waktu ia
menyelinap ke kandang domba dan diam-diam
mencukur
seekor biri-biri. Wol yang didapat lalu direndam
dalam
alkohol rektifikasi. Awalnya tidak terlalu membuahkan
hasil. Tidak seperti benda mati, binatang punya
kebiasaan
buruk untuk protes setiap kali dipaksa menyerahkan
aroma. Babi suka merobek perban dengan
menggosokkan
badan ke tiang pancang; domba mengembik tiap kali
didekati tengah malam dengan pisau; sapi dengan bebalnya
mengguncang badan menjatuhkan kain lengket yang
menempel di punggung. Bahkan serangga juga ikut-ikutan.
Beberapa ekor kumbang suka buang air saat dikerjai;
lalu
tikus - mungkin karena takut - juga buang air di
lapisan
kain berminyak yang sedianya mau dijadikan dasar
pomade ala tikus. Tidak seperti bebungaan, rata-rata
binatang yang coba direndam selalu sungkan menyerahkan
aroma dengan sukarela. Kalau tidak berisik, pasti meronta-
ronta menjelang mati. Menolak pasrah, mencakar dan
menendang, membuat keringat keluar dan asamnya
merusak lapisan minyak. Mana bisa bekerja dengan
baik
kalau begini. Objek harus lebih dulu ditenangkan. Dan
harus seketika, agar mereka tak sempat panik atau
berontak. Satu-satunya jalan adalah: dibunuh.
Metode ini dicoba pertama kali pada seekor anak anjing.
Ia pancing agar terpisah dari induknya dengan
sepotong
daging, dari rumah jagal sampai ke laboratorium. Begitu si
anjing kegirangan menikmati daging di tangan kiri
Grenouille, segera Grenouille hajar bagian belakang
kepalanya dengan sebilah kayu di tangan kanan. Kematian
datang begitu tiba-tiba sampai wajah si anjing malang
masih memerikan kegirangan di mata dan mulut. Pun
setelah dimasukkan ke ruang peresapan. Aroma yang
keluar sempurna berbau anjing, tanpa kontaminasi
keringat. Tapi ia tetap harus hati-hati karena bangkai
organik terkenal cepat rusak. Jadilah Grenouille menunggui
korban selama dua belas jam sampai detik pertama
hidungnya menangkap bau bangkai itu - bukannya tak
suka, tapi ini harus segera dibereskan kalau tak
mau
pekerjaan jadi sia-sia. Proses segera dihentikan, bangkai
dibuang dan minyak hasil serapan dituang ke belanga
untuk dibilas hati-hati. Alkohol hasil sulingan dituang
sedikit, lalu ia mengisi sebotol kecil dengan beberapa cetes
perasan minyak. Parfum yang dihasilkan sangat jelas
beraroma anjing-basah, segar, berlemak, dan agak
tajam.
Benar-benar seperti anjing. Iseng, ia mengetes parfum
itu
ke induk mendiang anak anjing tadi di rumah jagal. Kontan
si induk anjing langsung menggonggong kegirangan dan tak
mau melepas moncongnya dari botol parfum. Grenouille
menyegel botol rapat-rapat, menyimpannya di kantong
cukup lama, dan membawanya ke mana‐mana sebagai
suvenir kesuksesan. Saat pertama kali ia berhasil
merampas jiwa aromatik dari makhluk hidup.
Selanjutnya, dengan amat bertahap dan hati-hati ia
mulai beralih ke manusia. Semula ia menyebar jaring
pengintaian agak luas karena belum tahu benar bagaimana
melumpuhkan korban baru ini. Metode perburuan
dijajal
dari jarak jauh.
Berbekal penyamaran dengan parfum, ia membaur di
tengah-tengah pengunjung Quatre Dauphins dan diam-
diam menyelipkan sehelai kain berlapis minyak lemak
di
bawah bangku, meja, serta sudut-sudut tersembunyi.
Beberapa hari kemudian ia ambil kembali untuk dites.
Kendati membaur bersama rupa-rupa aroma dapur,
asap
rokok, dan anggur, setitik aroma manusia tetap bisa
dikenali. Namun ini masih sangat kabur dan tersamar.
Tidak terasa personal. Aura massal sejenis yang lebih
murni dan halus ia peroleh dari katedral. Grenouille
menggantung kain eksperimentaInya pada malam tanggal
24 Desember di bawah bangku gereja dan diambil lagi pada
tanggal 26 setelah melalui lebih dari tujuh misa
berturut-
turut. Bauran aroma yang menyembur dari resapan kain ini
tajam berbau keringat dubur, darah menstruasi, keringat di
belakang lutut, dan keringat kepalan tangan, bercampur
dengan bau napas ribuan pelantun himne gereja dan
ocehan paduan suara Ave Maria, plus induksi dupa
khas
gereja. Konsentratnya membentuk awan menyesakkan
yang tak terlihat, tapi tak petak lagi memang bau manusia.
Aroma individual pertama ia peroleh dari Rumah
Sakit
de la Charité. Ia berhasil mencuri seprai bekas
membungkus mayat seorang ahli pembuat karung
selama
dua bulan. Sedianya seprai itu hendak dibakar karena
si
mayat mati oleh sakit paru-paru. Hasilnya sungguh
menakutkan. Si pembuat karung seolah bangkit dari
kematian. Menguap naik bersama larutan alkohol,
mengambang di langit-langit. Sedikit terkontaminasi oleh
metode penyulingan dan penyakit, tapi sangat bisa dikenali
sebagai personifikasi aroma seseorang. Grenouille bisa
membayangkan si mayat bertubuh kecil, usia tiga puluhan,
rambut pirang, hidung pesek, tangan dan kaki
pendek-
pendek, kaki rusak dan rata, kemaluan bengkak,
gampang
marah dan bau mulutnya apak. Secara aromatik pun
tak
bisa dibilang tampan. Tak pantas disimpan lama-lama.
Kendati demikian, sepanjang malam. Grenouille
membiarkan aroma itu berkibaran di kabin sambil
diendusnya berkali-kali. Senang dan puas dengan kekuatan
yang kini dipegang atas aura manusia lain. Setelah
puas,
botol parfumnya ia buang ke tong sampah.
Grenouille mencoba satu eksperimen lagi musim dingin
itu. Ia membayar satu franc pada seorang wanita pemulung
bisu-tuli untuk mengenakan beberapa set kain gombal
berlapis minyak lemak yang langsung menempel ke
kulit.
Dari sini ia menemukan bahwa lemak panggul daging
domba, babi, dan sapi bila dicairkan berkali-kali
dengan
kombinasi rasio 2:3:5 plus sedikit minyak perawan, sangat
baik menyerap aroma manusia.
Grenouille menyudahi sampai di situ. Ia menahan
diri
untuk tidak menguasai dan memproses sepenuhnya
seorang manusia hidup. Setidaknya jangan dulu. Risiko
masih terlalu besar dan tak ada pengetahuan baru
yang
bisa diperoleh. Yang penting sekarang ia telah
menguasai
teknik yang dibutuhkan untuk merampas aroma
manusia.
Tak perlu pembuktian lebih jauh lagi.
Lagi pula, aroma manusia sama sekali tidak
penting. Ia
lebih dari sanggup membuat imitasinya kalau mau.
Yang
diimpikannya adalah aroma manusia tertentu. Manusia-
manusia langka yang mampu menumbuhkan rasa cinta.
Inilah korban sesungguhnya.

Tiga Puluh Sembilan

PADA BULAN JANUARI, sang janda Arnulfi menikahi ahli


utamanya, Dominique Druot, yang lantas naik pangkat
menjadi Maître gantier etparfumeur. Jamuan makan besar-
besaran digelar untuk para master kelas satu, dan
pesta
yang lebih sederhana untuk para ahli biasa. Madame
Arnulfi membeli seprai baru untuk ranjang yang kini dibagi
secara, resmi bersama Druot dan membuang semua
pakaian mendiang suaminya dari lemari. Nama dinasti
Arnulfi tetap dipakai, bersama dengan warisan plus
status
manajer bisnis keluarga dan kunci gudang loteng.
Druot
memenuhi kewajiban seksualnya setiap hari dan
menyegarkan diri dengan anggur. Grenouille sendiri, meski
kini menjadi satu-satunya ahli di perusahaan ini, tetap
diserahi tanggung jawab mengurus hampir semua
pekerjaan dengan upah dan kabin yang itu-itu juga.
Tahun baru diawali dengan panen bunga cassia,
kemudian bakung, mawar ungu, dan narcissus narkotik.
Pada suatu minggu di bulan Maret, setahun sejak
tiba di
Grasse, Grenouille pergi melongok perkembangan segala
sesuatunya di taman di belakang tembok di ujung kota. Kali
ini ia sudah bersiap diri menerima aroma. Sudah
bisa
mengira-ngira apa yang menanti. Pun saat
mengendusnya
di gerbang Neuve, separo jalan dari jarak yang
harus
ditempuh untuk sampai ke belakang tembok,
jantungnya
berdebar lebih keras dan darahnya berdesir kegirangan. Si
gadis masih di sana. Bunga tercantik itu tak cacat
dihajar
musim dingin dan getahnya kian matang. Ia sedang
tumbuh, berkembang, dan menguatkan kelopak terelok
yang akan muncul! Aromanya juga main kuat, sesuai
dugaan, tanpa kehilangan ciri khas dan keistimewaan. Apa
yang setahun lalu hanya setetes, kini membaur
menjadi
aliran halus aroma nan samar dan gemerlap dengan ribuan
warna, namun tetap solid dan tidak pecah. Grenouille
mengenali “mata air” ini dengan suka cita. Satu tahun lagi.
Ya, dua belas bulan lagi, dan mata air ini akan meluap. Saat
itu ia akan membendung dan menampung aliran
aroma
tersebut.
Grenouille berjalan menyusuri tembok ke belakang
taman. Walau si gadis tampaknya sedang berada di
dalam
rumah, di kamarnya dengan jendela tertutup, aromanya
mengalir turun ke hidung Grenouille seperti angin lembut.
Grenouille berdiri diam. Ia tidak pusing atau segamang saat
pertama kali mencium. Dadanya penuh kebahagiaan
seorang pencinta saat mendengar atau melihat kekasihnya
dari kejauhan, dan sadar kelak akan memboyong si
gadis.
Sungguh menggelikan sekaligus ironis melihat Grenouille,
si kutu penyendiri, si pembawa bencana, monster yang tak
pernah merasakan cinta dan tak akan pernah mampu
mengilhami cinta, berdiri di belakang tembok kota
Grasse
di hari bulan Maret itu, penuh rasa cinta dan
bahagia
dengan perasaan tersebut.
Benar bahwa ia tidak mencintai manusia lain, termasuk
gadis yang tinggal di rumah di balik tembok. Yang dicintai
hanya aromanya. Itu saja, tak ada yang lain. Sekuat
asa
untuk menjadikan aroma itu miliknya suatu hari
kelak. Ia
bersumpah akan membawa aroma ini pulang tahun depan.
Dan setelah sumpah setia yang aneh ini terlontar, ia
pergi
dengan hati ringan dan kembali ke kota lewat
gerbang
Cours.
Malam hari, sambil berbaring di kabin, ia
bangkitkan
kembali kenangan aroma itu dan meresapkan diri di
dalamnya. Membelai dan dibelai. Begitu dekat, seolah telah
memilikinya benar-benar, lalu bercinta dengan aroma
itu
dan dengan dirinya sendiri. Lama sekali. Ia ingin membawa
perasaan mencintai diri sendiri ini untuk menemaninya
dalam tidur. Namun begitu mata terpejam, detik
pertama
tarikan napas menjelang lelap, aroma itu lenyap. Pergi
begitu saja. Digantikan oleh aroma kamar yang dingin dan
tajamnya bau kandang kambing.
Grenouille ketakutan. Apa yang terjadi jika aroma
itu
sudah kumiliki... bagaimana jika habis? Ini tidak sama
dengan memori, karena ingatan membuat aroma abadi.
Realitas selalu punya batas. Fana. Setelah habis
dipakai,
sumber aromanya juga tak akan ada lagi, dan aku
harus
kembali telanjang seperti dulu - kembali bergantung
pada
imitasi. Tidak, bahkan lebih buruk dari sebelumnya, karena
untuk sementara aku memang pemah memiliki - sudah
begitu terbiasa dan tak mampu melupakan karena
aku
memang tak pernah melupakan aroma. Lalu setelah
habis,
aku terpaksa kembali ke memoriku. Persis seperti
yang
kulakukan sekarang dengan pertanda atas apa yang
akan
kumiliki kelak. Buat apa begitu?
Ini pikiran yang sangat meresahkan Grenouille. Amat
mengerikan ketika tahu bahwa begitu ia memiliki
aroma
yang belum dimilikinya itu, mau tak mau ia akan
kehilangan juga suatu hari kelak. Berapa lama bisa
ia
simpan? Beberapa hari? Beberapa minggu? Mungkin
sebulan penuh kalau dihemat. Lalu? Dalam
bayangannya,
Grenouille melihat dirinya menangkup beberapa tetes
terakhir dari botol, membilas flacon dengan alkohol
agar
tetes terakhir tidak lenyap, lalu ia melihat -
mengendus,
betapa aroma tercinta itu menguap ditelan udara,
selamanya. Rasanya akan seperti kematian perlahan
yang
amat panjang - seperti tercekik namun dibalik. Penguapan
tubuh secara perlahan yang menyakitkan, lalu terlempar ke
dunia fana.
Kuduknya merinding. Mendadak ia dikuasai keinginan
untuk membatalkan rencananya dan menghilang saat
ini
juga di kegelapan malam. Berkelana menuruti langkah kaki,
melewati gunung-gunung bersalju tanpa berhenti, ratusan
mil menuju gunung Auvergne, kembali ke gua
lamanya,
terlelap dan mati.
Tapi ini tidak dilakukan. Grenouille duduk tegak
meneguhkan hati, walau dorongan itu amat kuat
mendeburi batin. Ia tidak menyerah karena sadar
bahwa
keinginan ini sejak dulu selalu mendera. Kawan lama yang
menyuruh untuk kabur dan bersembunyi dalam gua.
Ia
sudah tahu rasanya. Yang belum adalah bagaimana rasanya
memiliki aroma manusia sesempurna aroma gadis di balik
tembok. Pun bila harus kehilangan lagi suatu saat, perasaan
memiliki dan kehilangan tampaknya lebih menggiurkan
ketimbang tak pernah memiliki sama sekali. Toh ia
sudah
menolak segalanya dalam hidup, tapi belum pernah merasa
memiliki dan kehilangan.
Perlahan keraguan itu mereda dan hawa tubuh kembali
normal. Ia bisa merasakan kehangatan darah yang
menyegarkan dan keinginan untuk kembali ke niat
awal.
Kini bahkan lebih kuat karena tidak lagi didasari
nafsu
semata, tapi juga atas dasar pertimbangan matang.
Grenouille si kutu psikopat berdarah dingin, dihadapkan
pada pilihan antara mati kering atau memeluk setetes
harapan, dan ia memilih yang terakhir. Sadar bahwa
tetes
ini akan benar-benar menjadi miliknya yang terakhir.
Ia
kembali berbaring di ranjang. Nyaman di atas jerami,
meringkuk di bawah selimut dan merasa sangat heroik.
Grenouille tak akan menjadi Grenouille yang kita
kenal
kalau menyerah begitu saja pada fantasi fatalistik
kepahlawanan. Kemauannya untuk bertahan dan menang
terlalu kuat, sangat lihai, dan semangatnya kenyang
ditempa. Dus, ia memutuskan untuk memiliki aroma
gadis
di balik tembok. Kalau ia harus kehilangan lagi
setelah
beberapa minggu dan mati kangen, biarlah begitu.
Lebih
baik pernah memiliki lalu mati ketimbang tidak sama
sekali. Atau paling tidak memanjangkan kepemilikan itu
selama mungkin. Ia hanya harus mengawetkan dengan
lebih hati-hati saja. Menahan eksistensi aroma tanpa harus
kehilangan karakternya. Semata-mata masalah seni.
Ada aroma-aroma yang mampu bertahan sampai
berpuluh tahun. Sebuah..almari yang digosok parfum
kesturi, sepotong kulit yang dikuyupi minyak kayu
manis,
segumpal ambergris, peti dari kayu pohon cedar -
semua
memiliki aroma yang boleh dibilang abadi. Sementara
benda-benda lain seperti minyak limau, ekstrak
bergamot,
jonquil, tuberosa, dan aroma bebungaan, umumnya
menguap setelah beberapa jam terpapar udara terbuka
ketika dalam bentuk yang masih murni dan belum
terikat
oleh zat kimia lain. Ahli parfum menyiasati situasi
dengan
mengikat aroma yang mudah menguap itu membentuk
rantai - katakanlah begitu. Pada intinya adalah berusaha
menjinakkan kecenderungan untuk bebas. Namun rantai ini
harus disusun “berlubang” atau “berjeda” satu sama
lain
agar aromanya tetap keluar. Kalau diikat benar-benar
malah tidak akan tercium. Jeda ini bisa diisi zat
lain yang
berfungsi sebagai pengikat aroma dasar. Grenouille pernah
sukses mencoba cara ini dengan sempurna pada
minyak
wangi beraroma tuberosa. Ia mengikat aroma dasar bunga
itu dengan sedikit kesturi, vanila, labdanum, dan
cemara.
Hanya dengan cara itu aromanya bisa keluar dan bertahan,
meski sedikit tersamar oleh elemen pengikat. Kenapa cara
serupa tak bisa dicoba pada aroma si gadis? Kenapa
ia
harus mempertahankan aroma tak ternilai dan paling
rapuh ini dalam kondisi murni? Amatir sekali! Sama. sekali
tidak berkelas kalau begitu! Toh orang juga tidak
begitu
saja mengenakan permata yang belum dipotong atau
bongkahan emas sebagai kalung! Ia kan tidak sama dengan
ahli parfum primitif macam Druot atau siapalah. Bukankah
ia ahli parfum terhebat di dunia?
Grenouille menepuk keningnya sendiri. Merasa bodoh
tidak terpikir begini sebelumnya. Aroma unik ini
memang
tak bisa digunakan dalam kondisi mentah. Harus
diperlakukan seperti batu berharga. Ia harus membuat
semacam mahkota aroma, dengan puncak terhalus terjalin
bersama aroma lain namun terap berada di atas yang lain.
Aroma utama akan tetap berkilau. Parfum ini akan ia buat
dengan mengerahkan seluruh tatanan seni pembuatan
parfum, dan aroma gadis di balik tembok akan menjadi jiwa
aroma tersebut.
Minyak kesturi, bunga atar, mawar, atau sari bunga
pohon jeruk tak cukup tepat dipakai sebagai aksesori,
sebagai dasar, sebagai tenor sekaligus soprano, sebagai
puncak dan bahan pengikat. Ia yakin itu. Parfum
manusia
super spesial ini membutuhkan racikan lain.
Empat Puluh

BULAN MEI TAHUN ITU, tubuh telanjang seorang


gadis
lima belas tahun ditemukan di sebuah padang mawar,
separo jalan antara Grasse dan dusun Opie di
sebelah
timur. Ia dibunuh dengan pukulan keras di belakang kepala.
Petani yang menemukan begitu kaget melihat
pemandangan ini sampai nyaris dituduh sebagai pelaku.
Waktu ditanya polisi lidahnya terselip, mengatakan bahwa
ia tak pemah melihat hal yang begitu indah, padahal ia ingin
berkata sebaliknya bahwa ia tak pernah melihat hal
sekeji
itu.
Si gadis memang sangat cantik. Sosoknya termasuk
jajaran wanita‐wanita rapuh terbuat dari madu gelap yang
mulus, manis dan sangat lengket. Biasa mengendalikan
suhu ruangan dengan tingkah laku berlebihan, seperti
mengibas rambut dan mengerlingkan mata sambil
berdiri
tegak di tengah ruangan laksana pusat badai, seolah
tak
menyadari daya tariknya terhadap orang lain.
Menumbuhkan hasrat pada lelaki dan kecemburuan
pada
wanita. Apalagi ia masih sangat muda, sehingga gelombang
daya tariknya belum terlalu kental. Kedua kaki dan tangan
masih mulus dan utuh, buah dada ranum dan
puting
sekeras telur rebus. Bentangan wajahnya dihiasi rambut
hitam panjang, sarat kontur kelembutan dan
lekak-lekuk
indah. Namun justru rambut itu yang hilang. Si pembunuh
memotong dan memboyong rambut si gadis bersama
pakaiannya.
Orang-orang langsung mencurigai kaum gipsi. Konon
mereka tega melakukan apa saja. Gipsi terkenal suka
menggelar karpet dari tenunan pakaian, mengisi bantal
dengan rambut manusia, membuat boneka dari kulit
dan
gigi korban hukum gantung. Hanya gipsi yang mampil
melakukan kejahatan keji. Sayangnya, tidak ada gipsi
di
sekitar situ waktu kejadian. Tidak dekat maupun jauh.
Rombongan terakhir melewati daerah itu bulan
Desember
lalu.
Karena tak ada gipsi, orang lalu memutar tudingan
kepada para pekerja migran keturunan Italia. Tapi mereka
juga tak ada saat ini. Terlalu awal buat mereka
untuk
datang. Biasanya mereka baru muncul sekitar bulan
Juni,
saat panen bunga melati. Akhirnya, kecurigaan jatuh
pada
para pembuat rambut palsu. Mereka langsung digeledah
kalau‐kalau menyimpan rambut si gadis. Tentu saja tak ada
hasil. Lantas kaum Yahudi dapat giliran dituduh,
selanjutnya para pendeta biara Benedictine yang konon
terkenal bejat, walau semuanya sudah berusia di atas tujuh
puluh tahun. Berikutnya para penganut Cistercian, para
Freemason, lalu orang-orang gila dari Rumah Sakit de
la
Charité berikutnya tukang bakar arang, para pengemis, dan
terakhir para bangsawan juga kena tuduhan, khususnya
Marquis de Cabris karena dikenal sudah tiga kali
menikah
dan konon sering menggelar misa hitam pesta seks
di
gudang loteng di mana ia meminum darah perawan untuk
memperkuat kejantanan. Semua tuduhan ini tentu saja
tidak berdasar dan tak bisa dibuktikan. Tak ada
yang
menyaksikan pembunuhan itu. Pakaian dan rambut si
korban juga tak ditemukan di mana pun. Setelah beberapa
minggu, letnan polisi yang ditugasi mengusut
menangguhkan penyelidikan.
Pada pertengahan bulan Juni, para pekerja migran Italia
datang. Banyak yang hadir bersama keluarga dan
menyewakan diri sebagai buruh pemetik bunga. Para
petani mempekerjakan mereka seperti biasa. Tapi
karena
peristiwa pernbunuhan itu masih membayang, mereka
melarang keras istri dan anak-anak mereka
berhubungan
dengan para pekerja itu. Tak ada salahnya
berhati-hati,
begitu kata mereka. Walau tidak bertanggung jawab
langsung atas pembunuhan, bisa saja..mereka ikut anda
di
situ, jadi lebih baik berjaga-jaga.
Tak lama setelah awal musim panen melati, terjadi
dua
pembunuhan beruntun. Korban lagi-lagi gadis muda nan
cantik dari jenis rapuh seperti yang pertama;
berambut
hitam, lagi-lagi ditemukan telanjang, rambut dipotong
dan
terbaring di padang bunga dengan belakang kepala remuk.
Jejak pelaku juga tak ada. Kabar segera menyebar
seperti
kebakaran, diimbuhi adanya ancaman tindakan kekerasan
terhadap buruh migran karena kedua korban ternyata
keturunan Italia, putri seorang buruh harian dari Genoese.
Ketakutan menghunjam seisi kota dan daerah sekitamya.
Orang tak tahu pada siapa harus melampiaskan kemarahan.
Walau masih ada yang mencurigai orang gila atau
sang
Marquis nan nyentrik, namun tak ada yang
benar-benar
yakin karena yang pertama selalu dijaga pengawal
siang-
malam, dan yang kedua sudah lama pergi ke Paris.
Masyarakat kota Grasse merapatkan barisan. Para petani
bersedia membuka gudang-gudang mereka untuk ditinggali
para migran yang selama ini selalu tidur di luar.
Warga
menyusun jadwal ronda di setiap blok. Pihak
kepolisian
memperketat penjagaan di gerbang kota. Namun semua
usaha ini sia-sia karena beberapa hari setelah pembunuhan
ganda itu muncul lagi mayat gadis keempat. Lagi-lagi
dengan karakteristik serupa. Korban kali ini seorang buruh
pencuci pakaian keturunan Sardinia dari istana uskup
agung. Ia dibunuh dekat cekungan raksasa Fontaine
de la
Foux, persis di depan gerbang kota. Dan meski
warga
berhasil mendesak dewan kota untuk melakukan
penanganan lebih jauh seperti kendali pengawasan yang
lebih ketat di gerbang kota, tambahan peserta ronda,
dan
penetapan jam malam untuk semua wanita sejak jam tujuh
malam, sepanjang musim panas itu setiap minggu
selalu
jatuh korban wanita muda. Selalu gadis yang belum
lama
puber, sangat cantik, dan biasanya berkulit gelap - tipe
manis. Tak lama berselang, si pembunuh tak lagi
menolak
tipe yang lebih umum, dengan rata-rata karakteristik
berkulit halus, pucat, dan lebih montok. Bahkan mulai
merambat ke gadis berambut cokelat dan pirang
kusam,
asal tidak terlalu kurus. Ia melacak korban di mana
saja.
Tak hanya di dusun-dusun terbuka di sekitar Grasse,
tapi
juga di dalam kota. Putri seorang tukang kayu
ditemukan
tewas di kamarnya sendiri di lantai lima. Tak ada
yang
mengaku mendengar suara aneh. Dan kalau biasanya
anjing-anjing menyalak setiap mencium aroma asing,
kali
ini mereka diam saja. Makin menumbuhkan kesan bahwa si
pembunuh tak tersentuh dan tidak nyata. Seperti hantu.
Warga jelas marah dan memaki aparat yang
dianggap
tak becus menangani situasi. Gosip sedikit saja sudah
mampu memicu tawuran. Seorang pedagang keliling
yang
menjual ramuan pelet dan obat ajaib lain nyaris
dibantai
massa hanya gara-gara gosip bahwa salah satu bahan
dalam ramuan obatnya menggunakan rambut wanita.
Kebakaran terjadi di rumah hartawan Cabris dan
Rumah
Sakit de la Charité. Seorang pelayan yang pulang
kemalaman ditembak oleh majikannya sendiri; seorang
penenun wol bernama. Alexandre Misnard yang
menyangka si pelayan sebagai si pembunuh. Mereka
yang
mampu segera mengirim putri remaja mereka ke
saudara
jauh atau sekolah asrama di Nice, Aix, atau
Marseille.
Letnan polisi yang bertanggung jawab dicopot dari
jabatannya atas desakan dewan kota. Penggantinya
menugaskan ahli medis untuk memeriksa tubuh korban
guna menentukan kondisi keperawanan. Hasilnya
menunjukkan bahwa semua organ seksual masih utuh dan
tampaknya bahkan sama sekali disentuh.
Anehnya, penemuan ini justru menambah kesan
seram
karena semua orang menduga pasti ada tanda-tanda
perkosaan. Setidaknya dengan demikian orang tahu
kemungkinan motif pembunuhan tersebut. Tapi sekarang
mereka seperti dibutakan dan benar-benar bingung.
Mereka yang percaya Tuhan segera memohon
perlindungan dalam doa agar rumahnya terlindung dari
bencana.
Dewan kota Grasse adalah sebuah komite yang
terdiri
atas tiga puluh orang terkaya dan paling berpengaruh dari
kalangan umum serta ningrat. Mayoritas berpendidikan
tinggi, tak percaya takhayul, tak suka ke gereja, dan
kalau
boleh lebih suka menggusur saja semua biara yang
ada di
kota lalu mengubahnya menjadi gudang atau pabrik.
Namun dalam kegentingan ini, orang-orang angkuh dan
berkuasa itu bersedia merendahkan diri menulis petisi
permohonan pada uskup untuk mengutuk monster
sadis
yang tak bisa ditangkap oleh kekuatan fana ini,
persis
seperti tindakan pendahulu mereka pada tahun 1708.
Mereka juga memohon agar si pembunuh dikucilkan
dari
semua kegiatan sosial. Implementasinya, mulai akhir bulan
September, pembunuh sadis yang telah membunuh tak
kurang dari 24 gadis tercantik dari semua kalangan
itu
dilaknat dan dikucilkan dari semua kegiatan sosial,
baik
secara tertulis apalagi sampai disebut di
mimbar‐mimbar
umum dan gereja di seluruh kota - termasuk larangan sang
uskup sendiri untuk membicarakan hal itu di mimbar
katedral Norre‐Dame-du-Puy.
Hasilnya cukup nyata. Si pembunuh seolah lenyap
dari
muka bumi. Oktober dan November berlalu tanpa
berita
penemuan mayat baru. Memasuki awal Desember, ada
berita dari Grenoble tentang seorang pembunuh yang suka
mencekik gadis-gadis muda, lalu merobek pakaian dan
menarik rambut mereka sampai lepas dengan tangan.
Walau metode ini terdengar kasar dan tidak sebersih
pembunuh Grasse, semua orang yakin bahwa pelakunya
pasti sama. Ada kelegaan bahwa binatang itu telah hijrah ke
Grenoble yang jauhnya tujuh hari perjalanan. Warga Grasse
menyilangkan tanda salib tiga kali berturut-turut tanda
syukur. Lalu mereka merayakan sebuah prosesi obor untuk
menghormati sang uskup, sekalian merayakan thanksgiving
tanggal 24 Desember. Pada tanggal 1 januari 1766,
penjagaan dikendurkan dan peraturan jam malam untuk
wanita tidak diberlakukan lagi. Kondisi normal kembali
mengisi kehidupan dengan cepat. Ketakutan publik menipis
dan tak ada lagi yang membicarakan teror ganas
yang
pernah mendera dua kota serta permukiman sekitar
beberapa bulan berselang. Keluarga korban pun
sungkan
banyak bicara. Kutukan sang uskup seolah tak hanya
ampuh mengusir si pembunuh tapi juga kenangan
tentang
dirinya. Warga sama sekali tak keberatan.
Namun, sejak peristiwa menghebohkan ini sampai
sekarang di kota itu, mereka yang memiliki putri remaja tak
akan membebaskan mereki bergaul atau keluyuran
begitu
saja tanpa pengawasan, apalagi menjelang malam.
Setiap
pagi saat ayah atau ibu melihat putrinya masih
sehat dan
ceria, hatinya merasa bahagia tanpa mau mengakui kenapa
begitu.

Empat Puluh Satu

ADA SATU ORANG Di GRASSE yang tidak meyakini


begitu saja kedamaian ini. Namanya Antoine Richis. Ia
adalah anggota kedua dewan kota dan tinggal di
rumah
besar dekat gerbang kota yang mengarah ke jalan Droite.
Richis hidup menduda dan punya seorang putri bernama
Laure. Walau usianya belum empat puluh tahun dan tubuh
masih sempurna, ia belum berniat untuk menikah lagi.
Ia
ingin mencari suami untuk putrinya. Dan tidak boleh
sembarang orang, tapi harus dari kalangan berpangkat atau
ningrat. Kebetulan ada seorang baron bernama Baron
de
Bouyon yang punya seorang putra dan tanah dekat Vence.
Sang Baron terkenal bereputasi baik namun situasi
keuangannya buruk. Ia dan Richis telah mengatur
kontrak
tentang masa depan perkawinan kedua anak mereka.
Begitu Laure menikah, Richis juga berencana
mengakhiri
masa mendudanya dengan salah seorang dari rumah
keluarga Drée, Maubert, atau Fontmichel. Bukan karena
putus asa dan merasa hina kalau tak mendapat
pasangan
ningrat, tapi karena ingin membangun dinasti sendiri
dan
mengatur agar anak-cucunya berada di jalur mudah
yang
mengarah langsung ke posisi politik dan sosial
tertinggi.
Untuk itu, setidaknya ia harus mempunyai dua orang putra.
Satu untuk meneruskan bisnis keluarga, yang lain
untuk
mengejar karier di bidang hukum yang mengarah ke
parlemen di Aix dan peningkatan status ke posisi
ningrat.
Posisinya sekarang tak memungkinkan untuk bisa
berharap banyak, kecuali jika berhasil menyatukan
pertalian hubungan keluarga dengan salah satu keluarga
ningrat.
Satu hal pasti yang mendukung angan-angan ini
adalah
kekayaan. Antoine Richis adalah orang terkaya
dibanding
siapa pun. Propertinya tak hanya tersebar di sekitar Grasse
dalam wujud ladang-ladang jeruk, minyak zaitun,
gandum,
dan rami, tapi juga dekat Vence dan sampai Antibes
di
mana ia menyewakan peternakan. Ia punya rumah dan vila
di Aix dan di pedesaan sekitar, saham di kapal dagang yang
berbisnis dengan India, sebuah kantor permanen di Genoa,
dan termasuk penjual grosir terbesar di Prancis untuk
parfum, rempah-rempah, minyak, dan kulit.
Bagaimanapun, harta paling berharga bagi Richis adalah
putrinya sendiri. Anak semata wayang yang baru berumur
enam belas tahun, berambut pirang-merah, bermata
hijau.
Wajahnya begitu elok dan mampu memesona orang
dari
segala usia, baik pria maupun wanita. Membuat orang
melongo dengan wajah seperti sedang menjilat es
krim,
memasang ekspresi dungu dan menjilat ludah. Bahkan
Richis juga suka memandangi wajah putrinya
lama-lama.
Seperempat atau setengah jam saja sudah cukup
mengistirahatkan pikiran dari urusan dunia, bahkan
dari
bisnisnya sendiri. Padahal dalam tidur pun ia selalu
memikirkan bisnis. Keelokan Laure membuat batin
luluh
dalam kontemplasi dan sejenak lupa apa yang semula
hendak dilakukan.
Dan akhir-akhir ini, perasan Richis selalu jengah. Setiap
malam saat mengantar putrinya tidur atau kadang pagi hari
saat membangunkan, ia melihat Laure lelap seperti
diistirahatkan oleh tangan Tuhan. Matanya menelusuri
pinggul dan buah dada putrinya dalam balutan gaun tidur.
Napas yang membuat buah dada itu turun naik,
bahu
jenjang, siku dan lengan mulus tempat si gadis
bersandar
wajah. Saat-saat seperti ini kadang membuat perutnya
keram dan tercekat menelan ludah, seraya mengutuk
posisinya sendiri sebagai ayah ‐ bukan sebagai
seorang
lelaki asing agar ia bisa berbaring di samping Si
gadis, di
atasnya dan di dalamnya. Di saat seperti ini
keringat
mengalir deras, tangan dan kaki gemetar menahan
berahi,
dan akhirnya ia membungkuk memutuskan memberi
kecupan di kening khas seorang ayah.
Beberapa tahun terakhir, saat sedang heboh-hebohnya
terjadi pembunuhan, godaan jahat ini belum mendera. Daya
tarik yang terasakan masih daya tarik normal seorang anak
kecil. Karena itu ia juga tidak terlalu mencemaskan
Laure
bakal jadi korban. Semua orang tahu bahwa si
pembunuh
tak pernah menyerang anak-anak atau wanita dewasa.
Incarannya selatu gadis perawan yang baru mekar. Namun,
ia tetap memperketat penjagaan di rumah, memasang terali
di semua jendela lantai atas, dan menyuruh pengasuh
Laure berbagi kamar tidur dengan si gadis. Ia tak
mau
mengirim putrinya keluar kota seperti banyak
dilakukan
kawan-kawan lain - bahkan ada yang memboyong seluruh
keluarga. Richis menganggap sikap ini sangat tidak
pantas
dilakukan sebagai seorang anggota dewan. Ia justru
harus
jadi panutan ketegaran, keberanian, dan keteguhan bagi
masyarakat. Lagi pula, ia jenis orang yang tak rela
putusannya dibuat oleh orang lain. Apalagi oleh publik yang
panik dan gosip kriminal yang tidak jelas. Jadilah ia selama
hari-hari kelabu itu menjadi salah satu dari segelintir orang
yang kebal dari rasa takut dan tetap tenang.
Anehnya, kondisi itu kini berubah. Sementara
masyarakat merayakan berakhirnya pembunuhan seolah si
pelaku sudah digantung dan dengan segera melupakan
masa-masa kelabu, ketakutan mulai merayapi jantung
Antoine Richis seperti racun. Selama ini ia tak
pernah
mengakui bahwa justru rasa takutlah yang membuat
ia
menunda berbagai perjalanan dinas dan enggan
meninggalkan rumah, atau buru‐buru mengakhiri
kunjungan dan pertemuan hanya agar bisa segera kembali
pulang. Alasannya sibuk atau capek, tapi sesungguhnya
ia
cemas - sewajarnya kecemasan seorang ayah pada putrinya
saat menjelang usia menikah. Tidakkah kecantikan
Laure
telah tersebar ke dunia luar? Tidakkah orang-orang
selalu
memanjangkan leher, bahkan sekarang, saat ia
menemani
putrinya ke gereja setiap Minggu? Berapa banyak
lelaki
terpandang yang telah mengajukan lamaran, baik atas
nama sendiri atau atas nama putra mereka ... ?
Empat Puluh Dua

SUATU HARI DI BULAN MARET, Richis sedang santai di


ruang duduk, menatap Laure keluar menuju taman
belakang rumah. Si gadis mengenakan gaun biru,
rambut
merah tergerai lepas dan berkilau di terik matahari.
Ia
belum pernah melihat wajah itu demikian cantik.
Laure
menghilang di batik tanaman pagar. Dua detik selama
Laure lenyap dari pandangan terasa terlalu lama, dan
Richis ketakutan setengah mati karena dalam dua detik itu
ia merasa kehilangan.
Malamnya Richis terbangun bermandikan keringat dan
gemetar ketakutan. Akhirnya ia mengaku bahwa ia
takut.
Terasa bagai cengkeraman. Tapi dengan pengakuan itu
perasaan jadi lebih tenang dan pikiran lebih jernih.
Jujur
saja, sejak awal ia tidak percaya pada kemanjuran kutukan
uskup, juga pada kabar bahwa kini si pembunuh
tengah
asyik berdiam di Grenoble. Ia lebih yakin bahwa
sebenarnya si pembunuh masih bercokol di Grasse.
Monster itu pasti tinggal di sini. Di tengah-tengah
penduduk Grasse dan kelak akan menyerang lagi.
Richis
pemah melihat sendiri beberapa gadis yang menjadi
korban selama bulan Agustus dan September.
Pemandangan itu begitu mengguncang dan menghantui. Di
pihak lain ia juga mengakui dan kagum, bahwa
masing-
masing korban tersebut memang sangat cantik dan elok. Si
pembunuh telah membuka mata bahwa Grasse ternyata
menyimpan banyak wanita cantik. Harus diakui bahwa
monster itu punya selera istimewa soal wanita. Juga sistem
yang dipakai. Setiap pembunuhan tidak hanya dilakukan
dengan efisiensi yang sama, tapi pilihan korban juga
terencana dengan rapi dan halus. Richis memang tidak tahu
apa yang sebenarnya dicari si pembunuh dari setiap
korban karena ia pasti tak akan bisa merampas
satu hal
yang terbaik dari mereka semua, yaitu keindahan dan
pesona keremajaan.... Atau bisa? Renungan berikut
memang terdengar musykil, tapi tampaknya si
pembunuh
tidak memiliki jiwa destruktif, malah lebih seperti seorang
kolektor yang hati-hati. Bagaimana bila semua korban tidak
dilihat secara terpisah, tapi sebagai bagian dari prinsip atau
idealisme tertentu yang lebih tinggi? Dus, karakteristik dari
masing-masing korban bisa digabung secara idealistis
menjadi sebuah kesatuan tunggal - seperti potongan-
potongan mozaik yang membentuk sebuah keindahan
absolut. Kalau hal ini bisa dilakukan, pancaran aura
yang
keluar tak akan lagi menyerupai manusia, tapi
malaikat -
atau semacam itu. (Kita lihat di sini, Richis adalah seorang
pemikir intelek yang tidak takut mengambil kesimpulan
tabu seputar agama. Walau tidak berpikir dalam
kerangka
penciuman dan lebih ke arah visual, kesimpulannya sangat
mendekati kebenaran.)
Kalau begitu, lanjut Richis, anggaplah bahwa si
pembunuh adalah seorang kolektor keindahan dan sedang
mengerjakan sebuah lukisan tentang kesempurnaan - pun
bila itu hanya eksis dalam pikiran sintingnya sendiri.
Anggaplah kemudian bahwa si pembunuh tak pelak
lagi
memang memiliki selera tinggi dan metode sempurna. Jika
benar demikian, ia pasti sadar bahwa masih ada
satu
komponen terpenting di muka bumi ini yang harus
ia
dapatkan kalau mau lukisannya sempurna, yaitu
keelokan
Laure. Seluruh tindakan sebelumnya tak akan berarti kalau
yang satu ini luput. Laure adalah fondasi bagi
bangunan
kesempurnaan itu.
Sementara kesimpulan mengerikan ini terbentuk, Richis
duduk di pinggir ranjang dan takjub melihat
ketenangannya sendiri. Tubuh tidak terasa dingin atau
menggigil lagi. Ketakutan yang mendera selama berminggu-
minggu telah lenyap, digantikan kesadaran akan adanya
sebuah bahaya. Jelaslah kini bahwa Laure memang menjadi
tujuan utama sejak awal. Menjadi mahkota dari
semua
pembunuhan, seperti orang naik tangga menuju puncak.
Belum jelas benar apa tujuan di balik semua ini,
kalau
memang ada. Apa pun itu, yang penting sekarang
Richis
sudah tahu inti masalahnya. Rahasia di belakang
metode
sistematis si pembunuh dan motif idealismenya. Makin
lama dipikir ia makin puas dengan kesimpulan ini
dan
makin besar pula kekagumannya pada si pembunuh.
Kekaguman yang ia akui seperti layaknya becermin, karena
merasa berhasil mengungkap jejak musuh dengan kejelian
dan ketajaman analisis pribadi.
Richis merasa bahwa seandainya ia berada di
posisi
sebagai pembunuh dan terobsesi dengan idealisme serupa,
tindakannya pasti tak jauh beda dengan si pembunuh.
Bekerja perlahan, menempatkan Laure sebagai puncak
prestasi.
Pikiran ini muncul didasari pertimbangan bahwa jika ia
mampu menempatkan diri dalam pikiran calon pembunuh
putrinya ini, berarti ia berada di atas si pembunuh.
Toh si
pembunuh tak bisa berlaku sebaliknya, menempatkan
diri
di pikiran Richis. Teknik ini kira-kira sama dengan
teknik
bisnis mutatis mutandis. Kita bisa mengalahkan pesaing jika
mampu menjejaki niat bisnisnya. Dengan demikian, si
pesaing tak mungkin bisa unggul. Kecuali mungkin Antoine
Richis, karena ia adalah seorang pejuang alami dan
petarung berpengalaman. Orang tahu bahwa bisnis parfum
terbesar di Prancis, kekayaan, jabatannya sebagai anggota-
kedua dewan kota, semua tidak jatuh begitu saja dari langit
tapi diperoleh dengan darah dan keringat perjuangan.
Dengan kelihaian dan kelicikan, ia mampu mengenali
bahaya jauh-jauh hari, pandai menebak rencana pesaing
dan mengalahkan lawan. Dengan cara yang sama pula
ia
akan mencapai cita-cita di masa depan, yaitu
kekuasaan
dan status bangsawan untuk anak-cucu. Demikian pula,
ia
akan mengatasi rencana si pembunuh - dalam hal ini
sebagai pesaing mendapatkan Laure. Selain atas alasan
sebagai seorang ayah, Laure juga merupakan fondasi
penting bagi rencana Richis ke depan. Jadi mutlak
harus
dimenangkan. Ia tulus menyayangi tapi juga butuh
untuk
kepentingan pribadi. Tak ada yang boleh melangkahi
ambisinya. Akan ia pertahankan dengan segala cara.
Richis merasa lebih baik sekarang. Keberhasilan
merendahkan posisi imajiner si pembunuh dari sosok Iblis
menakutkan menjadi sekadar pesaing membuatnya lebih
berani dan angkuh. Tak ada lagi sisa-sisa rasa takut.
Kesedihan dan kegelisahan yang membuatnya pikun
telah
lenyap. Kabut perangkap kemurungan yang meraja selama
berminggu-minggu itu terangkat sudah. Secara psikologis ia
merasa lebih siap, kenal medan, dan mampu
mengatasi
setiap tantangan.

Empat Puluh Tiga

DENGAN LEGA IA MELOMPAT dari ranjang, menarik bel


pelayan, dan menyuruh pelayannya yang terkantuk-kantuk
mengepak pakaian dan perbekalan karena pagi ini
juga ia
hendak pergi ke Grenoble bersama Laure. Setelah
salin
pakaian ia bergegas membangunkan pelayan lain.
Tengah malam itu, rumah di jalan Droite tampak begitu
sibuk. Tungku menyala di dapur; pembantu-pembantu
wanita berkelebat di koridor; para pelayan bergegas turun
naik tangga; kunci-kunci gudang loteng bergemerencing di
saku pengurus rumah tangga; obor-obor menyala di
pekarangan; pengurus kuda sibuk menyiapkan kuda
tunggang dan keledai untuk membawa perbekalan -
sibuk
memasang tali kekang, sadel, mondar-mandir memuati
barang. Orang sampai nyaris yakin bahwa pasukan Austro-
Sardinian akan datang, menjarah dan membakar seperti
yang terjadi pada tahun 1746, dan bahwa pemilik
rumah
sedang bersiap kabur dalam kepanikan. Padahal sama
sekali tidak! Pemilik rumah sedang duduk di ruang
kerja
dengan pose seagung panglima perang Prancis.
Secangkir
cafe au lait terseduh nikmat seraya memberi perintah pada
bawahan. Ia juga menulis surat untuk wali kota,
anggota-
pertama dewan kota, sekretaris, pengacara, bankirnya
di
Marseille, kepada Baron de Bouyon dan partner-partner
bisnisnya.
Sekitar jam enam pagi ia selesai dengan urusan
korespondensi dan memberi semua perintah yang
dibutuhkan untuk melaksanakan rencana. Tak lupa
mengantongi dua pucuk pistol, mengencangkan sabuk
uang, dan mengund laci meja. Setelah itu ia
beranjak
membangunkan Laure.
Jam delapan pagi rombongan kecil itu berangkat. Richis
berkuda di depan. Tampak gagah dengan bordiran
emas,
mantel burgundi di balik mantel berkuda warna hitam dan
topi hitam berhias bulu unggas. Ia diikuti Laure,
berkuda
dengan gaun lebih sederhana namun memancarkan
kecantikan yang membuat orang-orang sepanjang jalan dan
di jendela menatap sendu. Ditingkahi suara “aah...”
dan
“ooh...” sementara para lelaki menurunkan topi - seolah
demi sang anggota dewan, tapi sesungguhnya demi
Laure
sang gadis anggun. Tak jauh di belakang menyusul
si
pengasuh dan rombongan pelayan dengan dua kuda beban.
Buruknya jalan menuju Grenoble membuat perjalanan
tak
mungkin ditempuh dengan kereta. Ujung parade diisi
selusin keledai beban di bawah pengawasan dua
orang
tukang kuda. Tiba di gerbang du Cours, para
penjaga
menawarkan pengawalan sampai keledai terakhir lewat
dari gerbang. Anak-anak berlarian di belakang sampai
beberapa lama, melambaikan tangan pada rombongan yang
berjalan perlahan menyusuri jalan curam dan berliku
ke
arah pegunungan.
Kepergian Antoine Richis dan putrinya meninggalkan
kesan aneh namun dalam pada warga Grasse.
Rasanya
seperti baru saja menyaksikan prosesi pengorbanan
kuno.
Segera tersebar berita bahwa Richis sedang menuju
Grenoble - kota tempat si pembunuh gadis kini
bernaung.
Orang-orang tak bisa menebak apa maksudnya. Apakah
Richis menunjukkan keberanian atau kebodohan dengan
mengabaikan ancaman kriminal? Apakah ia sedang
menantang atau berdamai dengan Tuhan? Ada pertanda
samar bahwa inilah terakhir kali mereka melihat
Laure
Richis, si gadis cantik berambut merah.
Kecurigaan ini bisa jadi benar, tapi dasar
anggapannya
palsu. Richis sama sekali tidak sedang menuju
Grertoble.
Pawai kepergiannya hanya taktik pengalih perhatian.
Satu
setengah mil di barat laut Grasse, dekat desa
Saint-Vallier,
ia memerintahkan rombongannya untuk berhenti. Kepada
pelayan ia menyerahkan surat-surat legal dan berkas-
berkas pengiriman barang lalu menyuruhnya membawa
rombongan keledai dan tukang kuda melanjutkan
perjalanan ke Grenoble.
Ia sendiri malah balik arah bersama sang putri
dan
pengasuhnya ke arah Cabris. Di situ mereka
beristirahat
siang hari dan setelah itu langsung melewad
pegunungan
Tannerort ke arah selatan. Jalan yang ditempuh
sangat
sukar, tapi mampu memutari Grasse dan lembahnya dalam
jalur memutar sangat luas dan tiba di tepi pantai sore hari
tanpa dikenali. Hari berikutnya, menurut rencana Richis, ia
akan menyeberang naik feri bersama Laure ke Iles
de
Lérins - sebuah pulau kecil tempat biara Saint-Honorat
yang terkenal berbenteng dan dijaga ketat. Pengurusnya
memang sudah tua-tua, tapi terdiri dari
pendeta-pendeta
mumpuni yang dikenal baik oleh Richis karena
selama
bertahun-tahun ia selalu membeli dan menjual kembali
seluruh hasil produksi biara berupa anggur eukaliptils,
kacang pirtus, dart minyak cemara. Biara Saint-Honorat ini
- selain penjara Cháteau d’If dan penjara negara di pulau Ile
Sainte-Marguerite - merupakan tempat paling aman di
seluruh Provence. Richis berniat menitipkan putrinya di
situ untuk sementara. Ia sendiri harus segera kembali. Kali
ini memutari Grasse ke arah timur lewat Antibes
dan
Cagnes, lalu tiba di Verice sore itu juga. Ia telah
memerintahkan sekretarisnya untuk langsung ke sana
menyiapkan perjanjian dengan Baron de Bouyon
tentang
pernikahan anak-anak mereka, Laure dan Alphonse. Richis
akan memberi tawaran yang tak bisa ditolak sang
Baron
berupa pembayaran seluruh utang berjumlah 40 ribu livre,
maskawin berupa tanah bernilai setara berikut pembagian
kepemilikan atas tanah tersebut, sebuah penggilingan
minyak dekat Maganose, dan penghasilan tahunan sebesar
30 ribu livre untuk kedua mempelai. Richis sendiri
mengajukan syarat agar perkawinan ini harus berlangsung
dalam tempo sepuluh hari ke depan, seluruh kontrak
diteken pada hari jadi dan kedua mempelai kelak tinggal di
Vence.
Richis bukannya tak sadar bahwa dalam ketergesa-
gesaan ini ia telah menawar harga terlalu tinggi
untuk
mahar penyatuan kedua keluarga. Bisa lebih murah kalau ia
mau menunggu lebih lama. Sang Baron bakal
mengemis
padanya agar diizinkan meningkatkan status sosial putri
seorang pedagang grosir borjuis melalui perkawinan
dengan putranya. Dengan demikian, tak hanya keelokan
Laure yang akan tumbuh, tapi juga kekayaan Richis
dan
kondisi keuangan Bouyon. Tapi peduli amat! Lawan
sesungguhnya dalam bisnis kali ini bukan sang Baron, tapi
si pembunuh misterius. Dialah pesaing yang bisnisnya
wajib dirusak. Seorang wanita menikah yang tak lagi
perawan, apalagi kalau hamil, tak akan cocok lagi
untuk
masuk ke galeri keindahannya. Puncak potongan mosaik ini
justru akan merusak keindahan yang lain. Dengan kata lain,
Laure tak akan lagi menarik minat si pembunuh dan semua
usahanya akan sia-sia. Richis ingin menikmati
kekalahan
itu! Ia berniat menyelenggarakan pesta pernikahan di
Grasse, lengkap dengan segala kemegahan dan terbuka
untuk umum. Pun bila ia tak mengenal sendiri
seperti apa
wajah saingannya itu, ia tetap akan mencicipi
kesenangan
pribadi dengan menganggap bahwa si pembunuh pasti
hadir di antara pengunjung dan terpaksa melihat
objek
mimpinya dirampas di depan hidung.
Rencana telah disusun rapi, dan sekali lagi kita
harus
mengagumi ketajaman insting Richis yang nyaris
mendekati kenyataan. Perkawinan Laure Richis dengan
putra Baron memang akan menjadi pukulan berat
bagi si
pembunuh kora Grasse. Tapi rencana ini belum
sepenuhnya terlaksana. Richis belum menyelamatkan
putrinya dengan perkawinan. Ia belum menyeberang
dan
menitipkan putrinya di biara Saint‐Honorat. Tiga
penunggang kuda itu - Richis, Laure, dan pengasuhnya
-
masih harus melewati pegunungan Tanneron yang tak
ramah. Kadang jalan begitu buruk sampai mereka terpaksa
turun dati kuda. Sungguh memperlambat perjalanan.
Sore
hari mereka berharap bisa mencapai laut dekat La Napoule,
sebuah kota kecil di sebelah barat Cannes.
Empat Puluh Empat

KETIKA LAURE RICHIS dan ayahnya meninggalkan


Grasse, Grenouille sedang berada di bagian lain kota itu, di
tempat Arnulfi, sibuk merendam bunga jonquil.
Sendirian
dan suasana hatinya cerah. Hari‐hari di kota ini akan segera
berakhir. Hari kemenangan sudah dekat. Di kabinnya
ada
sebuah peti beralas kain kanin berisi 24 flacon kecil
yang
masing-masingnya sarat dengan aroma dari 24
perawan.
Esensi aroma berharga ini dibuat Grenouille selama
setahun terakhir dengan merendam tubuh mereka
dalam
minyak dingin, memproses potongan rambut dan
pakaian,
melakukan pembilasan dan penyulingan. Dan hari ini
ia
berencana mengambil korban ke-25 - korban paling
berharga dan terpenting. Persiapan akhir telah
dilakukan
sebelum ekspedisi. Ia telah menyiapkan sebuah wadah
kecil berisi minyak yang dimurnikan beberapa kali,
selembar kain dari linen terbaik, dan sebotol besar alkohol
berkadar tinggi. Medan telah dipelajari sampai detail
terkecil. Bulan baru telah dimulai.
Grenouille sadar tak ada gunanya mendobrak rumah
di
jalan Droite begitu saja. Itu sebabnya ia berniat menyelinap
tanpa menggunakan parfum apa pun persis setelah
matahari terbenam dan sebelum pintu-pintu ditutup.
Tubuh Grenouille yang tiada berbau ini berkali-kali
terbukti ampuh menumpulkan indra perseptif manusia.
Sedikit banyak ia jadi seperti hantu, meski tetap
harus
berhati-hati dan segera mencari tempat persembunyian
begitu masuk rumah. Ia akan menu.nggu di persembunyian
tersebut sampai seisi rumah lelap, baru setelah itu beraksi
mengikuti kompas hidung menyusuri kegelapan naik
sampai ke kamar “harta karun'. Ia berencana menggunakan
kain berlapis minyak di tempat itu juga. Yang
dibawa
pulang nanti, seperti biasa, hanya rambut dan pakaian
korban, karena dua benda ini bisa langsung dibilas dengan
alkohol rektifikasi, kendati sebenarnya lebih aman
dikerjakan di tempat kerja. Mungkin butuh tambahan satu
malam untuk menyelesaikan pembuatan pomade dan
mengolah konsentratnya. Kalau semua berjalan lancar, dan
ia yakin pasti begitu, dua hari mendatang ia akan memiliki
seluruh ramuan yang dibutuhkan umuk membuat
parfum
terbaik di dunia. Ia akan meninggalkan Grasse sebagai
manusia paling harum di dunia.
Sekitar tengah hari, ia selesai merendam jonquil.
Grenouille mematikan api, menutup belanga minyak,
lalu
keluar untuk menyegarkan diri. Angin bertiup dari
arah
barat.
Sejak napas pertama ia langsung tahu bahwa ada
yang
tidak beres. Atmosfernya tidak wajar. Seperti ada
yang
hilang dari kelambu rajutan benang emas yang membentuk
aroma istimewa di taman belakang tembok. Beberapa
minggu terakhir Grenouille merasakan aroma rajutan
itu
tumbuh makin kuat sampai bisa diendus dengan jelas dari
kabinnya di ujung kota. Sekarang kok hilang. Lenyap begitu
saja dari jamahan hidung Grenouille yang supersensitif.
Grenouille nyaris kaku ketakutan.
Gadis mungilku sudah mati, pikirnya. Lalu yang
lebih
menakutkan lagi: ada yang mendahului. Seseorang telah
memetik bunga mawarku dan mengambil aromanya untuk
disimpan sendiri! Benarkah begitu? Grenouille bahkan
tak
sanggup menjerit saking tegangnya, tapi tetap bisa
menghasilkan air mata yang tahu-tahu mengalir di
kedua
sisi hidung.
Lalu Druot, sekembalinya dari tongkrongan wajib di
Quatre Dauphins untuk makan siang, iseng mengabari
sambil lalu bahwa subuh tadi sang anggota dewan
pergi
menuju Grenoble bersama dua belas keledai beban
dan
putrinya. Grenouille segera mengusap air mata dan
lari
memastikan sendiri ke gerbang Cours. Ia berhenti
untuk
mengendus udara di sekitar rumah sebelum sampai
di
gerbang. Dari angin barat nan murni, yang belum
lagi
terkontaminasi aroma kota, ia bisa melacak rajutan benang
emas itu. Walau tipis dan amat samar, tapi tidak salah lagi!
Tapi... aroma ini tidak bertiup dari barat laut
menuju
Grenoble, tapi dari arah Cabris - kalau tidak langsung
berhembus dari barat daya.
Pada penjaga gerbang kota Grenouille bertanya jalan
mana yang tadi diambil oleh sang anggota dewan.
Si
penjaga menunjuk arah utara. Bukan jalan ke Cabris? Atau
sebaliknya barangkali, mengarah ke selatan ke arah
Auribeau dan La Napoule? Sama sekali tidak, tegas
si
penjaga. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Grenouille berlari kembali ke kabin dan segera
mengepak kain linen, wadah pomade, alat pengaduk,
gunting, serta sebilah kayu kecil ke dalam buntel
dan
langsung menempuh perjalanan. Tidak ke arah
Grenoble,
tapi ke arah yang ditunjuk hidungnya, yaitu ke selatan.
Jalan yang diambil adalah jalur langsung menuju La
Napoule yang membentang sepanjang kaki bukit
pegunungan Tanneron, lewat sungai di lembah Frayère dan
Siagne. Ini jalur mudah dan Grenouille menyusul
dengan
cepat. Begitu kota Auribeau muncul di sisi kanannya,
menempel pada pegunungan di atasnya, ia bisa mengendus
bahwa ia hampir bisa menyusul. Sekarang ia bisa mencium
bau masing¬masing rombongan dan bau kuda-kuda
mereka. Tak lebih dari setengah mil ke arah Barat, di suatu
tempat di hutan Tartneron. Mereka tengah menyusuri jalan
ke arah selatan, ke arah laut. Grenouille mengikuti.
Sekitar jam lima sore itu, Grenouille tiba di La Napoule.
Ia langsung ke penginapan, makan, dan memesan
kamar
murah, di samping mengaku sebagai seorang ahli
penyamak kulit dari Nice yang hendak menuju Marseille. Ia
bisa tidur di kandang kuda kalau mau. Grenouille
tak
keberatan. Segera menggelar selimut di sudut kandang dan
beristirahat. Hidungnya mencium tiga penunggang kuda
mendekati kota. Ia hanya harus menunggu.
Dua jam kemudian, menjelang malam, yang ditunggu
akhirnya tiba di kota. Agar tetap tak dikenali,
mereka
berganti kostum. Dua wanita dari rombongan itu kini
bermantel dan berkerudung hitam, sementara Richis
mengenakan mantel panjang warna hitam. Ia
memperkenalkan diri sebagai seorang bangsawan yang
tengah dalam perjalanan menuju Castllane. Pagi-pagi sekali
ia ingin diseberangkan ke Iles de Urins. Pemilik penginapan
diminta menyiapkan perahu untuk besok pagi. Apakah ada
tamu lain di penginapan ini selain ia dan
rombongan?
Richis bertanya. Tidak, jawab pemilik penginapan.
Hanya
seorang ahli penyamak kulit dari Nice yang kemalaman dan
tidur di kandang kuda.
Richis segera menyuruh putri dan pengasuhnya naik ke
kamar mereka. Ia hendak ke kandang kuda dengan
alasan
mau mengambil sesuatu dari tas di sadel. Awalnya
ia tak
bisa menemukan si ahli karena gelap dan terpaksa
meminjam lentera dari tukang kuda. Lalu ia
melihatnya:
berbaring bersama tumpukan jerami dan selimut tua
di
sudut kandang, dengan kepala bersandar buntel dan
tidur
lelap. Orang ini tidak tampak mencolok. Richis bahkan
beroleh kesan seolah si ahli tidak ada di situ
sama sekali.
Padahal persis di depan mata. Pikirnya, pasti hanya
pantulan bayangan dari cahaya lentera. Yang jelas
saat itu
ia langsung yakin bahwa orang ini tidak berbahaya
dan
segera pergi lagi diam-diam karena tak ingin
membangunkannya, lalu kembali ke penginapan.
Richis makan malam di kamar bersama putrinya. Ia
belum menjelaskan alasan dan tujuan perjalanan ini
padanya. Pun saat didesak. Richis berjanji akan
bercerita
besok pagi, seraya meyakinkan bahwa semua ini demi
kebaikan dan jaminan masa depan Laure sendiri.
Setelah makan mereka bermain kartu l'hombre sebentar.
Ia kalah karena lebih menyimak wajah lawan
ketimbang
kartunya sendiri. Sekitar jam sembilan ia mengantar Laure
ke kamar yang berada persis di depan kamarnya
sendiri.
Pintu ia kunci dari luar lalu pergi tidur.
Mendadak Richis merasa begitu lelah setelah sehari
semalam berkuda, sekaligus puas dengan perkembangan
situasi sejauh ini. Ia tidak curiga atau mencemaskan
apa
pun, padahal baru kemarin ia sulit tidur selama berminggu-
minggu. Malam ini ia langsung lelap tanpa bermimpi, tanpa
suara dan tidak bergerak sampai pagi. Untuk pertama
kali
Richis tidur dengan begitu nyaman dan segar.
Bersamaan dengan itu, Grenouille bangun dari
peraduannya di kandang kuda. Ia juga puas dengan
perkembangan situasi dan merasa bugar, walau belum
tidur sedetik pun. Saat Richis datang mencari, ia
hanya
pura-pura tidur. Menebar aura kepolosan melalui aroma
aslinya yang tak berbau. Jika Richis hanya melihat
sekilas,
Grenouille sempat mengamati dengan cermat melalui
hidung. Kelegaan Richis juga tak lolos dari perhatiannya.
Dalam pertemuan itu kedua pihak sama-sama yakin
bahwa yang diamati tidak perlu dicemaskan. Keduanya
sama-sama benar dan salah, dan memang demikianlah
seharusnya, pikir Grenouille. Buat dia sendiri, posisi
ini
akan mempermudah rencana. Richis juga akan
berpikiran
sama jika situasinya dibalik.
Empat Puluh Lima

GRENOUILLE MENYIAPKAN PEKERJAAN dengan


kecakapan seorang profesional. Ia membuka buntel,
mengeluarkan kain linen, pomade, dan alat pengaduk,
kemudian menggelar kain linen itu di atas selimut
lalu
mulai mengolah pasta berlemak. Pekerjaan ini butuh waktu
karena minyak lemak harus dioleskan tipis atau tebal
tergantung bagian tubuh mana yang akan ditempel di kain
tersebut. Bagian mulut dan ketiak, buah dada, kelamin dan
kaki memberi aroma lebih kuat ketimbang garas kaki,
punggung, dan siku, misalnya. Telapak tangan lebih
beraroma ketimbang punggung tangan, alis mata
melebihi
kelopak mata, dan sebagainya. Karena itu harus diberi
lapisan lemak lebih tebal. Grenouille sedang membuat
sebuah model, di mana diagram aroma ditransfer ke
aras
kain linen tersebut berdasarkan bagian tubuh yang
akan
dibalut. Pekerjaan ini termasuk yang paling menyenangkan
dilakukan karena bergantung pada kecakapan teknik
artistik yang digabung dengan wawasan, imajinasi, dan
ketangkasan si seniman itu sendiri, selain juga
melambungkan kenikmatan menunggu hasil akhir.
Setelah pomade habis dioles, ia haluskan lagi di
sana-
sini, membuang beberapa bagian yang terlalu tebal,
menambah lagi di sana, menata ulang, memeriksa
lanskap
sebaran lemak dari model yang dibuat, sekali lagi.
Semua
dilakukan dengan hidung, bukan dengan mata, karena
sekelilingnya gelap gulita. Mungkin itu juga sebabnya
Grenouille merasa nyaman. Tak ada yang mengganggu
di
malam bulan baru ini. Dunia hanya menyisakan aroma dan
debur halus ombak dari laut.
Grenouille lalu menggulung kain linen seperti
permadani. Ini prosedur menyakitkan karena sadar bahwa
bagian-bagian yang telah disempurnakan tadi pasti
saling
tumpang-tindih, menipis, atau bergeser. Tapi tak ada
cara
lain lagi membawanya. Setelah dilipat cukup kecil
sampai
muat di bawah lengan tanpa menghalangi gerak, ia
memasukkan pengaduk, gunting, dan pentungan kayu kecil
ke saku, lalu menyelinap di kegelapan malam.
Awan sedang tebal. Tak ada cahaya menyala di
penginapan. Satu-satunya sumber cahaya hanya setitik
kerdipan mercusuar di benteng pulau Ile Sainte-
Marguerite, berjarak satu mil di sebelah timur. Angin amis
bertiup ringan dari arah pelabuhan. Anjing-anjing
sedang
lelap.
Grenouille berjalan ke jendela atap bagian belakang
bangunan gudang tempat sebuah tangga bersandar. Ia
angkat tangga itu, diseimbangkan secara vertikal, tiga anak
tangga ia apit dengan tangan kanan, sementara
sisanya
dibiarkan menekan bahu kanannya. Lalu ia bergerak
melewati pekarangan sampai tiba persis di bawah
jendela
kamar Laure. Jendelanya terbuka lebar. Sambil
memanjat
tangga ia bersyukur atas situasi yang mempermudah panen
aroma kali ini di La Napoule. Di Grasse, kebanyakan rumah,
termasuk rumah Richis, sudah dipasangi terali dan
dijaga
ketat. Laure bahkan tidur sendiri di kamar ini. Ia tak harus
memusingkan si pengasuh lagi.
Grenouille mendorong daun jendela, menyelinap ke
kamar, dan menggelar kain linen. Lalu beralih ke
ranjang.
Aroma dominan mengambang dari rambut Laure karena si
gadis tidur tengkurap dengan kepala bersandar bantal dan
disangga lengan terlekuk ‐ memperlihatkan belakang
kepala dalam posisi yang nyaris ideal untuk dihajar dengan
kayu.
Suara pukulan terdengar tumpul dan gemeretak.
Grenouille benci ini. Benci karena suara yang ditimbulkan.
Suara yang keluar di tengah prosedur yang mestinya
tak
bersuara. la menahan suara itu dengan mengeraskan
gemeretak gerahamnya. Setelah usai ia berdiri kaku seolah
takut suara itu berbalik menggema. Tapi tidak. Hanya
kesunyian yang datang. Kesunyian yang makin
meninggi,
karena kini napas si gadis tak lagi terdengar.
Seketika itu
juga ketegangan Grenouille mengendur dan ia kembali
rileks.
Setelah menyingkirkan pentungan, kini tinggal
membereskan tujuan utama. Pertama-tama ia membuka
lipatan kain linen kemudian menggelarnya di atas meja dan
kursi dengan hati-hati agar lapisan lemaknya tidak
rusak.
Lalu ia menarik seprai pembungkus ranjang. Aroma si gadis
meledak begitu hangat dan masif, namun Grenouille
tetap
teguh. Ia kenal aroma ini dan kelak akan dinikmati sendiri
seutuhnya setelah pekerjaan selesai. Yang penting sekarang
adalah bagaimana menangkap aroma ini sebanyak
mungkin. Kini waktunya konsentrasi dan buru-buru.
Dengan gunting ia memotong dan menyingkirkan
gaun
tidur lalu menebar kain linen berlemak ke tubuh telanjang
si gadis, mengangkat mayat dan menyelipkan bagian
kain
yang tersampir ke bawah tubuh, membungkus rapat
dari
kaki sampai kening. Hanya rambut yang menyembut keluar
dari bungkusan mumi itu. Grenouille memotongnya sampai
ke dekat kulit kepala dan mengepaknya bersama
pakaian
tidur, diikat dan dibuntel. Terakhir ia mengambil
secarik
kain yang masih tersampir dan membungkuskannya ke
kepala yang baru dicukur. Ujung-ujung kain dan bagian lain
dirapikan dengan jari agar rapat dan ketat. Ia
menjauh
sedikit, mencermati pekerjaannya dan puas melihat mayat
telah terbungkus sempurna.
Kini waktunya menunggu. Selama enam jam, sampai
fajar. Grenouille menarik kursi kecil tempar ia
menaruh
buntel pakaian Laure. Ditariknya ke dekat ranjang
dan ia
pun duduk. Desah lembut aroma si gadis masih menempel
di mantel hitam, bercampur dengan aroma biskuit
adas
manis dalam kantung yang disimpan sebagai bekal
perjalanan. Grenouille mengangkat kaki ke tepi ranjang,
berselimut pakaian tidur korban dan asyik mengunyah
biskuit. Ia memang lelah, tapi tak mau tidur karena sangat
tidak pantas tertidur kala bekerja. Pun bila yang dilakukan
hanya menunggu. Ia ingat kembali malam hari saat
menyuling di toko Baldini. Pada botol suling yang
gosong,
letikan api, decik lembut suara hasil sulingan saat menetes
dari tube ke botol Florentine. Saat seperti ini api
harus
tetap dijaga, menuang lagi air penyulingan, mengganti botol
Florentine serta mengganti ramuan yang sudah jenuh. Saat
itu Grenouille merasa mampu terjaga bukan
semata-mata
menjaga rutinitas pekerjaan, tapi karena kondisi terjaga itu
memiliki tujuan unik tersendiri. Bahkan sekarang, di kamar
tidur ini, di mana proses penyerapan sedang
berlangsung
dengan sendirinya, karena kalau diusik dengan
pemeriksaan prematur justru akan merusak proses itu
sendiri. Bahkan di sini, saat ini, Grenouille merasakan
pentingnya kondisi terjaga. Tidur hanya akan
membahayakan semangat keberhasilan.
Tak sulit baginya untuk begadang dan menunggu,
kendati lelah. Grenouille mencintai penantian ini. Begitu
juga dengan kasus ke-24 gadis sebelumnya. Tidak
terasa
hambar atau apa. Bosan pun tidak. Yang terasa
adalah
penantian penuh perhatian, penuh makna dan aktif.
Ada
yang terjadi sementara ia menunggu. Hal terpenting
dan
paling pokok dari seluruh kegiatan yang dilakukan. Ia telah
mengusahakan yang terbaik, mengerahkan seluruh
keahlian artistik dan tidak membuat kesalahan. Kerja yang
dilakukan terasa unik. Sepatutnya dimahkotai kesuksesan.
Hanya tinggal beberapa jam lagi. Proses menunggu ini
justru membuatnya puas. Belum pernah ia merasa
begitu
nyaman, begitu damai, tenang, utuh dan menyatu
dengan
diri sendiri. Bahkan melebihi saat di gunung dulu,
karena
sekarang ada karya nyata yang sedang berlangsung
sementara menunggu. Benak Grenouille jarang disesaki
keceriaan seperti ini.
Anehnya, pikiran ini tidak melambung sampai ke
masa
depan. Ia tidak memikirkan seperti apa aroma yang
akan
diperoleh beberapa jam lagi, tidak pula soal aroma
yang
terbentuk dari aura 25 orang perawan. Tidak
membayangkan rencana, kebahagiaan, atau kesuksesan di
masa depan. Tidak. Grenouille malah pergi ke masa lalu. Ia
ingat berbagai tahapan dan peristiwa dalam hidupnya,
mulai dari rumah Madame Gaillard dan tumpukan
kayu
lembap di pekarangan, sampai perjalanan hari ini ke
desa
La Napoule yang berbau amis. Ia teringat Grimal si
penyamak, Giuseppe Baldini, dan Marquis de la
Taillade-
Espinasse. Ia teringat kota Paris, pada kabut
aromanya
yang amat luas - aroma jahat dari ribuan penghuninya yang
angkuh, pada si gadis berambut merah dari jalan
Marais,
padang-padang nan luas, angin pegunungan dan hutan.
Ia
juga teringat gunung Auvergne dan mimpi mengerikan
di
gua itu, pada kenangan tentang aroma diri yang
tidak
seperti manusia normal. Setiap detail melintas dengan
kepuasan luar biasa. Sungguh, kalau dikilas balik
begini
rasanya ia jadi manusia paling beruntung sedunia.
Takdir
menuntun ke jalan hidup yang keras dan sadis, tapi terbukti
memang jalan yang benar. Bagaimana lagi caranya ia
bisa
sampai di sini, pada saat ini, di kamar ini, persis di ambang
pencapaian tujuan hidup? Makin direnung, tak pelak
lagi
bahwa ia memang manusia penuh berkah.
Rasa syukur dan kerendahan hati membuncah
mendeburi batin. “Terima kasih,” ujarnya perlahan.
“Terima kasih, wahai Jean-Baptiste Grenouille, karena telah
menjadi apa adanya dirimu!” Ia begitu terharu, oleh
diri
sendiri.
Grenouille menutup mata. Bukan untuk tidur, tapi
agar
mampu menyelimuti diri dengan kedamaian malam suci
ini. Kedamaian yang begitu tenang dan sekaligus
mengungkung mengelilingi. Ia mencium lelapnya si
pengasuh di ruang sebelah, kenyamanan Antoine Richis
di
seberang koridor, nyenyaknya si pemilik penginapan
dan
para pelayan, anjing penjaga, ternak di kandang,
seluruh
desa dan laut. Angin telah lama mati. Waktu seperti
berhenti berdetak. Tak ada yang mengusik kedamaian.
Sesekali ia menggeser kaki di pinggir tempat tidur
agar
lebih nyaman dan menyenggol lembut kaki mendiang
Laure. Bukan kakinya persis, tapi kain yang
membungkus
tubuh itu dan lapisan tipis lemak peresap yang
terus
melahap aroma. Aroma dahsyat sang gadis. Aroma
Grenouille.

Empat Puluh Enam

SAAT BURUNG MULAI BERCICIT, tak lama menjelang


fajar, Grenouille bangkit dan menyelesaikan pekerjaan.
Kain linen dibuka dan diangkat seperti membuka
perban.
Lemak mengelupas dari kulit dengan sempurna.
Beberapa
potongan kecil bersisa di sejumlah tempat dan harus
dikerik dengan sendok. Sisa lapisan pomade dilap
dengan
pakaian dalam si gadis. Grenouille mengelap seluruh tubuh
dari kepala sampai telapak kaki untuk terakhir kali. Begitu
menyeluruh sampai minyak dari pori-pori kulit juga
ikut
terangkat, berikut seluruh serpih dan filamen terakhir
aromanya. Saat itulah Laure benar-benar mati bagi
Grenouille. Layu, pucat, dan lemas seperti kelopak jatuh.
Grenouille membungkus pakaian dalam bekas mengelap
bersama pakaian tidur dan rambut. Hanya pada
benda-
benda itu si gadis kini “hidup”. Grenouille
menggulung
sedemikian rupa sampai benar-benar padat lalu
diapitnya
di bawah lengan. Ia bahkan tak mau repot menutup mayat
telanjang itu di tempat tidur. Pun saat cahaya
buram fajar
memberkas masuk dari jendela, ia tidak melirik untuk
terakhir kalinya. Keelokan fisik tidak menarik minat
Grenouille. Laure tak lagi eksis sebagai tubuh, tapi sebagai
aroma tanpa wujud. Itu yang dibawanya sekarang di bawah
ketiaknya.
Perlahan ia menyelinap keluar jendela menuruni tangga.
Angin mulai bertiup dan langit mulai cerah.
Memancarkan
cahaya biru gelap nan dingin ke tanah di bawahnya.
Setengah jam kemudian, pelayan penginapan
menyalakan api di dapur. Saat keluar untuk
mengambil
cambahan kayu bakar ia, melihat tangga masih
bersandar
di bawah jendela, namun ia masih terlalu mengantuk untuk
berkesimpulan macam-macam. Beberapa menit lewat jam
enam, matahari bangkit. Berpendarlah raksasa merah
keemasan itu, beranjak naik dari bentangan laut di
antara
hes de Urins. Langit tak berawan, menandai
datangnya
musim semi.
Dengan kamar menghadap ke arah barat, Richis
belum
mau bangun sampai jam tuJuh. Ia benar-benar tidur
nyenyak untuk pertama kali sejak berbulan-bulan dan tidak
seperti biasanya memilih untuk berbaring dulu barang
seperempat jam di atas ranjang. Mengulat dan
melenguh
nikmat sementara menyimak suara kesibukan dari dapur di
lantai bawah. Akhirnya ia bangun dan membuka
jendela.
Menikmati pemandangan dan cuaca cerah pagi hari
serta
desir laut di kejauhan. Suasana hatinya meningkat
tanpa
batas. Richis bersiul melantunkan melodi ceria.
Ia terus bersiul sambil bersalin, dan masih bersiul
saat
meninggalkan kamar lalu tiba di depan pintu kamar
putrinya di seberang koridor. Tangan mengetuk dan
mengetuk lagi dengan lembut agar tidak mengejutkan
Laure yang mungkin masih lelap. Tak ada jawaban.
Richis
tersenyum. Laure pasti masih tidur.
Dengan hati-hati ia menyelipkan kunci ke lubangnya dan
memutar dengan sangat perlahan agar tidak berisik.
Ia
ingin melihat Laure lelap. Ingin membangunkannya dengan
kecupan, untuk terakhir kali sebelum diserahkan ke
lelaki
lain dalam ikatan perkawinan.
Pintu terbuka, Richis masuk dan langsung disambut terik
matahari pagi. Seisi kamar berkilau seperti disepuh
perak.
Untuk sesaat ia terpaksa berpejam mata karena pedih.
Saat membuka pintu lebih lebar, ia melihat Laure
terbaring di tempat tidur, telanjang, botak, dan mati.
Tubuhnya bersih dan berkilauan. Rasanya seperti
mimpi
buruk. Mimpi yang menghantui beberapa minggu
terakhir
di Grasse dan sudah nyaris terlupakan. Kini setiap detaiinya
kembali menyerbu bagai kilat. Detik itu segalanya
persis
seperti yang ada di mimpi, hanya lebih terang.

Empat Puluh Tujuh

BERITA KEMATIAN LAURE RICHIS menyebar ke


seantero Grasse. Sama hebohnya dengan berita, “Sang Raja
wafat!” atau, “Perang kembali merebak!” atau, “Bajak
laut
tiba di pantai!” Lengkap dengan kengerian yang sama
kuatnya. Seketika itu ketakutan yang telah begitu hati-hati
dilupakan kembali merebak dengan intensitas yang
sama
seperti musim gugur lalu, diiringi fenomena klasik
kepanikan, murka, marah, kecurigaan histeris yang
membabi buta, dan keputusasaan. Orang‐orang kembali
mengunci diri di rumah, mengurung putri mereka
rapat-
rapat, memasang barikade, saling curiga dan tak
berani
tidur. Semua menduga peristiwa kali ini juga akan berlanjut
seperti dulu: satu pembunuhan setiap minggu. Kalender
waktu seperti digulung mundur enam bulan.
Ketakutan kali ini lebih hebat daripada enam bulan lalu
karena orang-orang merasa tak berdaya menghadapi
bahaya yang mereka kira sudah berakhir. Kutukan
uskup
saja tak mempan! Bahkan Antoine Richis - sosok terkaya di
kota, sang anggota dewan yang kuat, berkuasa, dan
pasti
lebih dari mampu beroleh bantuan penjagaan ‐ tak mampu
melindungi putrinya! Kalau tangan malaikat Laure saja tak
mampu menyurutkan langkah si pembunuh (karena ia
memang begitu elok di mata publik yang
mengenalnya,
apalagi sekarang setelah ia mati), harapan apa lagi
yang
tersisa untuk lolos dari jerat si pembunuh? Monster
ini
lebih kejam ketimbang wabah penyakit. Kau bisa
kabur
sebelum wabah menyerang, tapi tidak dari si
pembunuh.
Kasus Richis sudah cukup membuktikan ini. Tampaknya ia
memiliki kekuatan gaib. Pasti bersekutu dengan Iblis, kalau
bukan Iblis itu sendiri. Banyak orang, terutama rakyat
biasa, tak tahu jalan lain selain “melarikan diri” ke
gereja.
Para saudagar memanjatkan doa ke pelindung masing-
masing: ahli kunci kepada St. Aloysius, tukang tenun
kepada St. Crispin, tukang kebun kepada St. Anthony,
ahli
parfum kepada St. Joseph. Mereka juga menyertakan anak-
istri, berdoa bersama, makan dan tidur di gereja. Tidak mau
pulang karena mereka yakin bahwa inilah satu-satunya
tempat mengungsi paling aman. Di bawah perlindungan
jemaah yang putus asa dan tatapan patung Bunda Maria.
Mereka yang ingat bahwa gereja telah gagal lebih
suka
masuk ke kelompok-kelompok klenik. Rela membayar
mahal seorang penyihir resmi dari Gourdon, merayap
ke
salah satu gua batu di jalur bawah tanah kota
Grasse, dan
mengadakan misa hitam untuk si penyihir. Kelompok
lain,
khususnya kalangan menengah ke atas dan bangsawan
intelek, mempertaruhkan uang pada metode ilmiah terkini,
seperti memagnetkan sekeliling rumah, menghipnotis putri
mereka, mengadakan pertemuan rahasia di ruang-ruang
duduk mereka untuk menggelar rapat bertema fluidal, plus
menyewa ahli telepati untuk mengusir roh si
pembunuh
dengan pemfokusan emisi pikiran komunal. Serikat‐serikat
kerja menggelar prosesi upacara penyesalan dan
pengakuan dosa, bolak-balik dari Grasse ke La
Napoule.
Para pendeta dari kelima biara yang ada di kota
segera
membuka layanan doa 24 jam serta mengumandangkan
nyanyian doa tanpa berhenti agar ratapan mereka
terdengar siang dan malam di setiap sudut kota.
Aktivitas
pekerjaan praktis lumpuh.
Demikianlah, dengan kepasifan dan keingintahuan,
warga Grasse menanti siapa korban berikutnya. Tak
ada
yang ragu bahwa pasti bakal jatuh korban baru. Diam-diam
mereka tak sabar menunggu kabar ini, asalkan terjadi pada
orang lain, bukan diri sendiri.
Kali ini, kalangan pemerintah sipil, regional, dan provinsi
tak mau terpengaruh oleh mood histeria massa para warga.
Untuk pertama kali sejak pembunuhan ini terjadi,
usaha-
usaha kerja sama yang efektif dan terencana diadakan
antara pemerintah distrik kota Grasse, Draguignan, dan
Toulon, melibatkan hakim, polisi, komisaris, parlemen, dan
angkatan laut.
Kerja sama kolosal ini sebagian berangkat dari
kecemasan akan timbulnya pemberontakan sipil, dan
sebagian lagi dari fakta bahwa hanya pada
pembunuhan
Laure inilah mereka beroleh petunjuk yang memungkinkan
pembentukan sistem pengusutan yang lebih efektif. Ada
saksi mata tentang deskripsi si pembunuh. Yakin
bahwa
buronan mereka adalah si ahli penyamak kulit yang
menginap di kandang kuda pada malam itu dan menghilang
tanpa jejak keesokan paginya. Menurut kesaksian gabungan
antara pemilik penginapan, para pelayan, dan Richis, orang
ini sulit dideskripsikan. Yang jelas, ia lelaki bertubuh
pendek bermantel cokelat dan menyandang buntel
kasar
dari kain linen. Kesaksian ini tak terlalu menghasilkan
karena mereka tetap tak mampu menyusun profil
fisik
seperti wajah, warna rambut, atau cara bicara.
Pemilik
penginapan juga menambahkan bahwa kalau tidak salah
orang itu agak pincang, seolah kakinya terluka atau
lumpuh.
Berbekal petunjuk ini, dua pasukan berkuda diutus
untuk melakukan pengejaran siang itu juga, mengikuti jalur
sepanjang Maréchaussée ke arah Marseille - satu
pasukan
menyusuri pantai dan satu lagi menjejaki jalur darat.
Sekitar daerah La Napoule disisir oleh para
sukarelawan.
Dua komisaris polisi dari pengadilan kota Grasse
berkuda
ke Nice untuk mengonfirmasikan petunjuk tentang si
ahli.
Kapal-kapal yang berangkat dari pelabuhan Fréjus, Cannes,
dan Antibes diperiksa, jalan ke arah perbatasan
menuju
Savoy diblokir dan para musafir harus menunjukkan
identitas diri. Mereka yang bisa membaca segera
melihat
selebaran perintah penangkapan dan deskripsi pelaku
tersebar di semua gerbang kota Grasse, Vince, dan
Gourdoti, termasuk di pintu-pintu gereja daerah pedesaan.
Pengumuman berita diteriakkan tiga kali sehari di seluruh
kota. Laporan -bahwa si pelaku berkaki pincang malah
semakin menegaskan opini bahwa si pembunuh
memang
tak lain dari Iblis itu sendiri dan cenderung
menambah
kepanikan ketimbang menjadi informasi berguna.
Hakim ketua pengadilan kota Grasse menawarkan
hadiah 200 ribu livre atas nama Richis bagi mereka
yang
memberi informasi yang mengarah pada tertangkapnya
si
pembunuh. Pengaduan dan penahanan atas para ahli
penyamak kulit segera marak di Grasse, Opio, dan Gourdon
hanya karena mereka berkaki pincang. Bahkan ada
yang
langsung diadili massa walaupun punya alibi dan saksi.
Sepuluh hari setelah pembunuhan, seorang warga
kota
datang ke kantor pengadilan dan memberikan
pernyataan
berikut: siang hari saat kejadian perkara, ia, Gabriel
Tagliaseo, kapten penjaga gerbang kota, telah didekati oleh
seseorang saat sedang menjalankan tugas harian di
muka
gerbang Cours. Ia baru sadar bahwa orang itu nyaris tepat
dengan gambaran yang disebarkan dalam selebaran
perintah penangkapan. Ia didesak dan ditanya
berkali-kali
tentang jalan mana yang ditempuh rombongan Richis pada
pagi hari itu. Awalnya ia tidak menganggap penting
peristiwa ini, baik saat itu maupun kemudian, dan tak akan
mampu mengingat perawakan orang tersebut hanya
berdasarkan ingatan kalau saja tidak bertemu lagi
secara
kebetulan sehari yang lalu, di kota Grasse ini,
tepatnya di
jalan Louve, di depan studio Maître Druot dan
Madame
Arnulfi. Pada saat itu, ia melihat si tersangka
berjalan
masuk dengan langkah pincang.
Grenouille ditahan satu jam kemudian. Pemilik dan
pelayan penginapan dari La Napoule segera dipanggil
ke
Grasse. Mereka langsung mengenali Grenouille sebagai
si
ahli penyamak kulit yang menginap di kandang kuda pada
malam itu. Mereka yakin benar bahwa inilah si
buronan
pembunuh itu.
Tempat Arnulfi digeledah. Juga kabin di padang zaitun di
belakang biara Franciscan. Di sebuah sudut mereka
menemukan sobekan‐sobekan gaun malam, pakaian dalam,
dan rambut merah Laure Richis. Dan waktu lantai
kabin
dibongkar, lembar demi lembar pakaian dan rambut ke-24
korban lainnya langsung terlihat. Pentungan kayu yang
digunakan untuk membunuh juga ditemukan, plus
sebuah
buntel linen. Lonceng gereja dibunyikan. Dewan hakim
mengumumkan bahwa pembunuh keji para perawan
yang
telah dicari selama hampir setahun, akhirnya berhasil
ditangkap dan ditahan.

Empat Puluh Delapan

SEMULA TAK ADA YANG PERcAYA berita ini.


Orang
menganggap ini sekadar akal-akalan pemerintah untuk
menutupi ketidakmampuan mereka sendiri, di samping
usaha meredakan kemungkinan pemberontakan massa.
Orang-orang masih ingat benar saat tersiar kabar bahwa si
pembunuh telah pindah ke Grenoble. Kali ini
ketakutan
telah mencengkeram begitu dalam sampai mereka tak tahu
lagi apa yang harus dipercaya.
Tapi semua ini berubah keesokan harinya, saat
bukti-
bukti digelar di alun-alun gereja di depan kantor
pengadilan. Sungguh pemandangan mengerikan: 25
pakaian dengan 25 kumpulan rambut, semua ditumpuk
seperti orang-orangan sawah, di tiang-tiang pancang
yang
disusun berjejer di depan gereja. Opini publik kontan
berubah.
Ratusan orang menyemut di depan galeri horor itu.
Keluarga korban yang mengenali bukti-bukti itu
menjerit
dan pingsan. Sisa keramaian, karena ingin mencari sensasi
dan ingin diyakinkan lebih jauh, menuntut melihat si
pembunuh. Teriakan segera menjadi begitu keras dan
ramai. Begitu mengancam, sampai dewan hakim
memutuskan membawa Grenouille keluar dari sel dan
dipertontonkan sesuai keinginan publik, di jendela
lantai
kedua kantor pengadilan.
Begitu Grenouille muncul di jendela, keributan langsung
hening. Tak ada suara batuk atau bahkan tarikan
napas.
Semua menatap dengan mulut menganga selama beberapa
menit. Tak seorang pun yang mengerti bagaimana
lelaki
pendek jelek dan remeh di jendela itu ‐ makhluk
teramat
biasa-biasa itu, mampu melakukan lebih dari dua
lusin
pembunuhan. Memang tak ada yang bisa mengatakan
bagaimana tampang si pembunuh itu sebenarnya, tapi
semua setuju: tidak mungkin seperti ini! Namun, meski tak
cocok dengan imajinasi mereka, bukti-bukti yang
terpampang tak bisa dibantah. Realitas fisik orang
yang
disebut sebagai pelaku ini sangat bertentangan, tapi
begitulah adanya.
Kebingungan baru berhenti setelah bayangan Grenouille
lenyap dari jendela. Orang-orang yang semula bingung dan
tak yakin kembali menggemakan reaksi yang wajar: mulut
tertutup dan sorot mata nan hidup. Satu tuntutan terdengar
bagai kor gereja dalam balutan amarah dan semangat balas
dendam: “Kami ingin dia!”
Massa hendak menyeruduk menyerbu kantor
pengadilan dan mencekik Grenouille dengan tangan
sendiri. Mencabiknya sampai menyerpih. Para penjaga dan
petugas nyaris tak mampu membendung dan memaksa
massa mundur. Grenouille segera dijebloskan kembali
ke
penjara bawah tanah. Dewan hakim muncul di jendela dan
menjanjikan pengadilan yang cepat dan adil. Butuh
beberapa jam sampai massa benar-benar bubar, dan butuh
beberapa hari sampai kota tenang kembali.
Proses pengadilan Grenouille memang bergerak sangat
cepat. Tidak hanya karena bukti-buktinya sangat telak, tapi
si tertuduh itu sendiri mengaku dengan suka rela
atas
semua tuduhan pembunuhan.
Namun saat ditanya tentang motif, Grenouille tak punya
jawaban meyakinkan. Berkali-kali ia menjawab bahwa
ia
membunuh karena membutuhkan gadis-gadis itu.
Dibutuhkan untuk apa dan apa maksudnya 'membutuhkan’
sama sekali tidak dijawab. Warga menuntut diadakan
penyiksaan dengan digantung terbalik berjam-jam, dipaksa
minum tujuh gentong air, kaki dijepit.... Tapi tak
berhasil.
Monster ini seperti tak kenal rasa sakit. Tidak menjerit atau
bersuara, dan saat ditanya selalu menjawab, “Aku
membutuhkan mereka.”
Hakim meyakini bahwa orang ini tidak waras.
Siksaan
dihentikan dan diputuskan untuk menghentikan kasus
tanpa interogasi lebih lanjut.
Satu-satunya penundaan setelah itu hanya perebutan
wewenang dengan lembaga peradilan kota Draguignan
yang membawahi La Napoule dan parlemen di Aix.
Keduanya menuntut pengambilalihan proses peradilan.
Tentu saja pihak Grasse menolak mentah-mentah
karena
merekalah yang telah menangkap si pelaku, plus fakta
bahwa 24 pembunuhan terjadi di Grasse. Kalau
Grenouille
diserahkan ke pengadilan lain, bisa-bisa Grasse musnah
diamuk massa. Tidak! Darah Grenouille harus tumpah
di
Grasse!
Pada tanggal 15 April 1766, putusan pengadilan
dijatuhkan dan dibacakan pada tertuduh di selnya,
“Ahli
parfum bernama Jean‐Baptiste Grenouille, dalam waktu 48
jam ke depan, akan diarak ke gerbang kota dan
dipaku ke
salib, wajah dihadapkan ke langit, dan jika masih
hidup
akan dijatuhi dua belas pukulan dengan tongkat besi untuk
mematahkan seluruh persendian lengan, kaki, pinggul, dan
bahu. Lalu, dengan tubuh masih terpaku ke salib,
akan
diangkat dan dibiarkan tergantung sampai mati.”
Tindakan pengampunan yang biasa, di mana
terhukum
dicekik kawat sampai mati setelah tubuhnya hancur,
dengan tegas dilarang. Pun bila rasa sakit menjelang
ajalnya berlangsung sampai berhari-hari. Setelah mati,
mayat Grenouflle akan dikubur malam hari di sebuah
kuburan tak bertanda di halaman belakang tempat
penjagalan binatang.
Grenouille menerima putusan hukuman tanpa emosi.
Petugas pelaksana pengadilan bertanya apakah ia punya
keinginan terakhir. “Tidak, tidak ada,” jawab Grenouille.
Telah ia dapatkan semua yang diinginkan.
Seorang pendeta masuk ke sel untuk mengorek
pengakuan dosa, tapi keluar lagi lima belas menit kemudian
tanpa hasil. Saat disebut nama Tuhan, terhukum
hanya
menatap dengan wajah kosong, seperti baru pertama
kali
mendengar nama itu, lalu berbaring di dipan dan
tidur
lelap. Tak ada gunanya berkata apa-apa lagi.
Selama dua hari menjelang pelaksanaan hukuman,
banyak orang ingin melihat wajah si pembunuh dari
jarak
dekat. Penjaga mengizinkan mereka mengintip lewat
jendela kecil di pintu sambil menarik pembayaran enam sol
sekali intip. Seniman lukis yang ingin membuat
sketsanya
harus membayar dua franc. Objek lukisannya
mengecewakan. Dengan pinggang dan pergelangan kaki
terantai, ia berbaring di dipan dan tidur terus.
Wajah
menghadap tembok dan tak bereaksi terhadap pukulan
atau teriakan. Pengunjung dilarang masuk ke sel.
Walau
iming-imingnya menggiurkan, kali ini para penjaga tak
berani melanggar larangan. Takut ada kerabat korban yang
membunuh tahanan. Untuk alasan yang sama pula
turun
larangan memberi makanan, karena takut diracun.
Selama
proses peradilan, Grenouille makan dari hidangan
pelayan
di dapur uskup dan harus terlebih dulu dicicipi oleh kepala
penjara. Namun dua hari menjelang hukuman, ia tidak
makan apa-apa sama sekali. Hanya berbaring dan
tidur.
Kadang terdengar gemerencing rantainya, dan penjaga
yang buru-buru melongok melihat Grenouille menyesap air
dari kantong air lalu kembali tidur. Orang ini
tampaknya
benar-benar lelah hidup dan tak ingin menghabiskan
sisa
waktu dalam keadaan sadar.
Sementara itu, sebuah parade disiapkan untuk
menyambut pelaksanaan hukuman. Tukang kayu
membangun tempat eksekusi berukuran sembilan kaki kali
sembilan kaki persegi dan tinggi enam kaki, lengkap
dengan tangga dan pegangannya. Grasse belum pernah
seramai ini. Sebuah panggung kayu juga dibuat untuk para
bangsawan lokal, lengkap dengan pagar untuk
membatasi
mereka dari rakyat biasa yang dibiarkan menonton
agak
jauh. Di bangunan-bangunan di kiri dan kanan
gerbang
Cours serta barak-barak penjaga, orang-orang memesan
tempat di jendela dengan harga gila-gilaan. Para
asisten
algojo bahkan sampai menyewa kamar-kamar pasien di
Rumah Sakit Charite, yang kebetulan mengarah ke
jalan.
Mereka menyewakannya kembali kepada para calon
penonton yang penasaran dengan keuntungan yang
lumayan. Para penjual limun menimbun
bergentong¬gentong air gula-gula. Para pelukis mencetak
beratus-ratus lembar salinan sketsa si pembunuh di
penjara, dengan sedikit sentuhan imajinasi pribadi. Lusinan
penjaja keliling mengalir ke kota seperti air, dan
para
pembuat roti sibuk membuat biskuit suvenir.
Sang algojo bernama Monsieur Papon. Ia sudah lama tak
mengeksekusi orang. Pengadilan membuatkan sebilah
tongkat besi baru untuknya. Dua hari ini ia rajin
pergi ke
rumah jagal untuk melatih ketepatan pukulan pada daging
bangkai yang telah disediakan. Ia hanya diizinkan memukul
dua belas kali dan harus persis menghancurkan kedua
belas persendian tanpa merusak organ vital seperti
dada
atau kepala. Sebuah tugas sulit yang menuntut
sentuhan
ahli dan ketepatan waktu yang sempurna.
Warga kota bersiap diri seperti hendak menyambut
perayaan nasional. Semua setuju bahwa tak boleh ada
aktivitas kerja pada hari itu. Para wanita menyetrika
pakaian liburan mereka; kaum pria membersihkan mantel-
mantel panjang dan menyemir sepatu sampai
mengkilap.
Pakaian-pakaian resmi dari semua lapisan profesi dan
kenegaraan disiapkan dengan rapi, lengkap dengan medali,
kain selempang, rantai, dan wig yang dibedaki putih-putih.
Kelompok beragama berniat berkumpul bersama untuk
upacara keagamaan begitu hukuman selesai. Para
pemuja
setan berencana mengadakan misa thanksgiving untuk
Lucifer. Kalangan ilmuwan dan bangsawan berniat
berkumpul dalam pertemuan spiritual magnetis di
istana
Cabrises, Villeneuves, dan Fontmichels. Bakaran dan
kukusan makanan sudah mulai tercium di dapur-dapur;
anggur-anggur dikeluarkan; bebungaan ditata di pasar;
para pemain organ dan paduan suara berlatih di katedral.
Di kediaman Richis di jalan Droite, keadaan tetap tenang.
Richis melarang persiapan apa pun menyambut apa
yang
disebut khalayak sebagai 'Hari Pembebasan’. Malah
terasa
munafik dan menjijikkan, baik rasa takut dadakan
yang
timbul saat Laure dibunuh maupun suka cita mereka
menjelang hukuman Grenouille. Ia tidak ikut waktu si
pelaku dihadirkan bersama bukti-bukti di alun-alun gereja.
Tidak pula saat pengadilan atau prosesi para pencari
sensasi selama Grenouille ditahan. Ia hanya meminta
petugas pengadilan untuk datang ke rumah, agar ia
bisa
mengidentifikasi rambut dan pakaian putrinya, memberi
kesaksian dengan singkat dan tenang, serta diizinkan
menyimpan barang-barang bukti itu sebagai kenang-
kenangan. Ia bawa benda‐benda itu ke kamar Laure,
menggelar gaun tidur yang sobek-sobek bersama
pakaian
dalam di atas ranjang, menyusun rambut di atas
bantal,
duduk di pinggir ranjang dan tidak meninggalkan
kamar
lagi siang atau malam. Seolah dengan kesia-siaan ini ia bisa
membayar apa yang gagal dijaganya malam itu di
La
Napoule. Ia begitu mual dan jijik. Pada dunia dan
pada
dirinya sendiri, sampai tak mampu menangis.
Ia juga jijik pada si pembunuh. Tak sudi menganggapnya
sebagai manusia. Lebih pantas dipandang sebagai binatang
kurban untuk disembelih. Ia tak mau melihatnya
sampai
pelaksanaan hukuman, saat monster itu dipaku ke salib dan
dua belas pukulan peremuk sendi dijatuhkan. Barulah
ia
mau melihatnya. Melihat dari dekat. Khusus untuk itu
ia
telah memesan tempat di barisan depan. Dan setelah
masyarakat bubar beberapa jam kemudian, ia ingin
merayap ke panggung eksekusi, berjongkok dekat situ,
terus menatap bermalam‐malam dan berhari-hari... tak
peduli berapa lama. Menatap mata orang itu, si pembunuh
putri kesayangannya, setetes demi setetes mengalirkan
rasa jijiknya ke mata itu, menuangkan seluruh
kebencian
dan rasa jijik yang terasa bagai bara asam pada
orang itu
dalam kesakitan menjelang ajal... sampai binatang itu
musnah....
Setelah itu? Apa yang akan ia lakukan setelah
itu?
Entahlah. Meneruskan hidup normal, barangkali? Atau
menikah? Punya anak laki-laki? Atau tidak melakukan apa-
apa? Atau barangkali lebih enak mati saja? Apa pun
itu,
apalah bedanya sekarang. Dipikirkan pun tak berguna.
Ia
sama sekali tak tahu hendak ke mana dan mau apa setelah
itu.

Empat Puluh Sembilan

EKSEKUSI DIJADWALKAN pada jam lima sore.


Gelombang penonton pertama sudah bersiap sejak pagi dan
mengamankan tempat untuk menonton. Membawa kursi
dan bangku, bantal, makanan, anggur, dan anak-anak.
Seperti piknik saja. Siang hari, penduduk desa sekitar
mengalir dari segala arah. Parade penonton dengan segera
menjadi begitu padat. Pendatang baru terpaksa
berkemah
sepanjang jalan ke Grenoble dan di taman-taman
teras
serta lapangan di ujung areal tempat hukuman. Para
pedagang segera kebanjiran uang. Orang-orang makan,
minum, bersenandung, dan berkeliaran seperti di pasar
malam. Dengan cepat jumlah pengunjung meledak
sampai
seputuh ribu orang. Melebihi jumlah pengunjung saat
penobatan Ratu Yasmin atau peristiwa apa pun yang
pernah terjadi di Grasse. Mereka membanjir berdiri sampai
ke lereng jalan, bergelantungan di pohon, bergerombol
di
tembok dan atap bangunan. Hanya lokasi di pusat
keramaian itu ‐ sepetak areal yang terlindungi pagar kokoh
- yang sepi dari manusia dan terbuka untuk panggung
penonton VIP serta panggung eksekusi. Makin lama tampak
makin kecil, seperti mainan atau panggung sandiwara
boneka. Sebuah jalan setapak dibiarkan lengang, dari
tempat hukuman ke gerbang Course dan terus ke
jalan
Droite.
Beberapa menit lewat pukul tiga, Monsieur Papon
dan
para asistennya muncul. Tepuk tangan membahana
bagai
guntur. Mereka membawa dua bilah balok membentuk
salib St. Andrew ke tempat hukuman, memasangnya
ke
ketinggian tertentu dengan memasak dasarnya ke
sebuah
lubang khusus. Seorang ahli kayu memaku posisinya
agar
kokoh. Setiap gerakan disambut tepuk tangan penonton.
Dan ketika Papon maju membawa tongkat besi ke
arah
salib, mengukur langkah, mengayunkan pukulan imajiner
beberapa kali, sorak-sorai massa langsung meledak.
Jam empat, panggung VIP mulai terisi. Banyak
sosok
bangsawan apik yang bisa dikagumi; pria-pria kaya dengan
pesuruh dan tingkah gemulai, wanita-wanita cantik,
topi-
topi besar, serta pakaian berkilauan. Seluruh bangsawan
dari kota dan desa hadir di situ. Para anggota
dewan kota
hadir bergerombol, dipimpin dua orang anggota. Richis
mengenakan pakaian hitam, dengan stoking hitam dan topi
yang juga hitam. Menyusul kemudian aparat pengadilan,
dipimpin oleh hakim tinggi. Terakhir, uskup datang dengan
tandu, berkilauan dalam jubah ungu dan topi kecil
berwarna hijau. Semua yang bertopi langsung menurunkan
topi mereka. Ini benar-benar mengejutkan. Lalu tak
ada
apa-apa selama sepuluh menit.
Para tuan dan nyonya sudah duduk di tempat
masing-
masing, rakyat jelata menunggu dengan tak sabar.
Semua
menunggu. Papon dan para asistennya berdiri di panggung
eksekusi seolah mereka juga dipaku tak bergerak. Matahari
nanar menyemburkan sinar kuning di atas Estérel.
Dari
lembah Grasse bertiup angin hangat, bersama sedikit
aroma jeruk. Atmosfer sangat hangat dan tenang.
Akhirnya, saat ketegangan seolah tak bisa ditahan
lagi
tanpa ledakan suara protes, kegilaan, atau ribut-ribut,
mereka mendengar suara derap kuda dan derak roda
kereta.
Dari arah jalan Droite, datang sebuah kereta ditarik
sepasang kuda. Itu kereta sang letnan polisi. Berjalan
melewati gerbang kota dan muncul lagi di jalan sempit yang
menuju ke panggung. Letnan polisi berkeras untuk
tampil
seperti ini, karena kalau tidak ia tak bisa menjamin
keselamatan si terhukum. Ini memang tidak biasa.
Jarak
dari penjara ke lokasi hukuman tak sampai lima
menit.
Kalau si terhukum tak mampu menempuh jarak itu dengan
jalan kaki, biasanya ia akan dibawa dengan kereta keledai.
Kini seorang terhukum dibawa ke lokasi hukumannya
sendiri dalam sebuah kereta tertutup nan anggun,
dengan
sais dan pengawalan lengkap - sungguh luar biasa.
Tak ada tanda-tanda keributan atau ketidakpuasan di
antara penonton. Malah sebaliknya. Publik senang
bahwa
setidaknya ada yang terjadi. Mereka malah memuji gagasan
untuk memakai kereta tertutup. Persis seperti penonton
drama yang senang melihat pertunjukan disajikan
dengan
cara baru. Penjahat paling mengerikan sudah
sepantasnya
diperlakukan lebih dari biasa. Tak bisa diseret ke
tempat
eksekusi dengan rantai seperti pencuri ayam lalu
dibunuh
begitu saja. Tak ada sensasinya kalau begitu. Tapi
kalau
digotong paksa untuk dipaku ke salib setelah
badannya
remuk, nah itu baru kreatif.
Kereta berhenti di tengah-tengah, di antara panggung
eksekusi dan panggung VIP. Seorang penjaga melompat
turun, membuka pintu, dan menurunkan tangga penuntun.
Letnan polisi juga turun, menyusul petugas lain, dan
akhirnya Grenouille. Ia mengenakan mantel biru
panjang,
kemeja putih, stoking sutra putih, dan sepatu hitam bertali.
Ia tidak diikat atau diseret. Grenouille beranjak turun
dari
kereta seperti manusia bebas.
Lalu keajaiban terjadi. Atau menyerupai keajaiban,
atau
setidaknya sesuatu yang sulit dijelaskan - begitu dahsyat
sampai semua yang menyaksikan tak punya kata lain yang
lebih tepat selain keajaiban. Itu pun kalau mereka sanggup
membuka aib, karena setelah peristiwa ini, tak akan
ada
yang sudi mengungkitnya.
Sepuluh ribu penonton pelaksanaan eksekusi sore
hari
itu mendadak merasa tak percaya, dan yakin bahwa orang
bermantel biru yang baru turun dari kereta itu tak mungkin
si pembunuh. Bukannya mereka ragu atau tak
mengenali.
Orang itu adalah orang yang sama dengan yang
mereka
lihat beberapa hari lalu di jendela kantor pengadilan.
Saat
itu, kalau saja mampu terpegang pasti bakal habis
tersate
dengan kebencian membeludak. Ini memang orang yang
dua hari lalu dijatuhi vonis hukuman mati dengan
disiksa,
berdasarkan bukti-bukti tak terbantahkan dan
pengakuannya sendiri. Orang yang sama yang telah dinanti
pelaksanaan hukumannya. Memang dia, tidak salah lagi!
Di pihak lain... kok seperti bukan dia juga. Tak mungkin.
Dia tak mungkin si pembunuh. Orang yang berdiri
di
panggung itu adalah perwujudan kepolosan. Semua
langsung merasa begitu, mulai dari uskup sampai
penjual
limun, dari marquis sampai pembantu, dari hakim
kepala
sampai bocah miskin.
Papon juga demikian. Tangan kekarnya gemetar
menggenggam tongkat besi. Seketika itu kedua
lengannya
serasa lemah, lutut goyah, dan hatinya berdebar
seperti
anak kecil. Ia tak mungkin sanggup mengangkat
tongkat.
Tak mungkin sanggup memakainya untuk menghajar
pemuda kecil tak bersalah ini. Ia terhuyung-huyung
dan
terpaksa menyangga tubuh dengan tongkat besi yang
sedianya dipakai untuk membunuh, agar tidak melorot
berlutut. Tak terbayangkan, Papon yang perkasa bisa
sampai sedemikian. Perasaan serupa juga dirasakan
oleh
sepuluh ribu laki-laki dan perempuan, anak-anak dan
kepala-kepala keluarga yang berada di situ. Lemas
seperti
seorang wanita di pelukan pesona sang kekasih. Hati
mereka dijerat perasaan kasih sayang, kelembutan dan...
oh, demi Tuhan, cinta pada pria pembunuh bertubuh kecil
itu. Tak berdaya menahan perasaan. Rasanya seperti
ledakan tangis haru yang terpendam begitu lama dan
tak
bisa ditahan lagi. Meledak dan meluruhkan semua benteng
pertahanan. Semangat mereka kini layaknya cairan. Jiwa
dan pikiran meleleh tak bersisa kecuali sebentuk
cairan.
Hati seperti melambung dan mengambang dalam diri.
Mereka persembahkan hati mereka ke haribaan lelaki kecil
bermantel biru panjang itu. Terserah mau diapakan.
Mereka mencintainya.
Grenouille berdiri di ambang pintu kereta, selama
beberapa menit, bergeming. Penjaga di sebelahnya berlutut
dan terus merendah sampai ke posisi pasrah total
seperti
orang Timur di hadapan sultan atau Tuhan. Bahkan dalam
posisi ini pun ia masih terus merunduk dan
mengkerut,
seperti coba meratakan diri dengan tanah atau
tenggelam
di dalamnya. Ia ingin menyelam ke seberang dunia
kalau
bisa, atas dasar penyerahan diri sepenuhnya. Petugas
pengawal dan letnan polisi yang gagah berani dan
semula
bertugas menyeret terhukum ke panggung untuk
diserahterimakan ke tangan algojo, tak mampu
berkoordinasi. Mereka menangis, bolak-balik memakai dan
melepas topi, berlutut, berpelukan, mengepakkan tangan
ke udara, memelintir tangan sendiri, kejang-kejang dan
meringis seperti korban tarian St. Vitus.
Para bangsawan yang berada sedikit lebih jauh
menyerah pada emosi masing-masing tanpa malu-malu.
Semua bertingkah sesuai tuntutan hati. Ada wanita
yang
begitu melihat Grenouille langsung berkepal tangan di
pangkuan dan mendesah bahagia. Yang lain tak kuasa
menahan perasaan dan langsung pingsan. Ada pria
bangsawan yang tak berhenti bangun dan duduk dari kursi,
melompat dan menggeram memegang pangkal pedang
seolah hendak mencabutnya. Tapi setiap kali dicabut selalu
dimasukkan lagi sedetik kemudian. Ada yang melempar
pandangan ke langit, mengepal dan mengacungkan tangan
ke udara sambil berdoa dalam diam. Uskup
Monseigneur
seperti jatuh sakit. Tubuh ambruk ke depan dan
membenturkan kepala ke lutut sampai topi kecilnya
jatuh.
Ia tidak sakit, tapi untuk pertama kalinya ia dibalut pesona
religius melihat keajaiban yang terjadi di depan mata.
Tuhan telah menurunkan malaikat-Nya dalam wujud
seorang pembunuh. Oh, menakjubkan, hal ini bisa terjadi di
abad ke-18. Betapa agung Tuhan! Dan betapa kecil serta tak
berartinya diri ini, yang telah lancang menurunkan
kutukan-Nya padahal ia sendiri tak yakin. Semata-mata
demi menenangkan masyarakat. Oh, betapa tipis iman ini!
Dan kini Tuhan telah mempersembahkan mukjizat! Oh,
betapa senangnya dipermalukan seperti ini. Penghinaan
yang manis. Sungguh agung menjadi seorang uskup
yang
dihinakan Tuhan seperti ini.
Sementara itu, massa di seberang pagar mulai
bertingkah lebih liar melihat kehadiran Grenouille. Mereka
yang sejak semula sudah bersimpati kini sarat berahi,
dan
mereka yang sejak awal mengagumi kini meledak
dalam
kegembiraan meluap-luap. Semua melihat lelaki bermantel
biru itu sebagai sosok paling tampan, paling menarik,
dan
sempurna. Di mata biarawati ia hadir sebagai
perwujudan
sang Juru Selamat. Bagi pemuja setan ia adalah sang
Raja
Kegelapan. Ia laksana perwujudan Prinsip Tertinggi di mata
penganut aliran Pencerahan, menjadi pangeran negeri
dongeng bagi para remaja, dan sosok ideal bagi kaum pria.
Seolah Grenouille mampu melihat menembus titik terlemah
masing-masing orang, mencengkeram dan membelai pusat
erotis dalam diri. Seolah memiliki sepuluh ribu tangan
tak
terlihat dan merangsang sepuluh ribu orang yang ada
di
situ dengan cara yang paling diinginkan oleh fantasi terliar
masing-masing.
Hasilnya adalah sebuah pesta seks terbesar dalam
sejarah. Wanita‐wanita terhormat merobek pakaian,
mempertontonkan dada, menjerit histeris, rebah ke
tanah
dengan rok terangkat tinggi. Para lelaki menyaksikan
lanskap daging ini dengan pandangan nafsu, jari
gemetar
membuka celana, lalu menerkam siapa saja tanpa
memandang wajah. Menggeram dan bersanggama dalam
posisi dan kombinasi yang paling musykil: kakek
dengan
perawan, penganggur dengan istri pengacara, pekerja
magang dengan biarawati, jesuit dengan istri seorang free‐
mason - semua terjadi dengan semrawut dan sesuka
hati.
Udara disarati manisnya aroma keringat nafsu dan
jerit
serta lenguhan dari sepuluh ribu binatang manusia.
Tak
bedanya neraka.
Grenouille tersenyum - atau begitulah yang tampak di
mata yang melihat. Ia tampak menyunggingkan senyum
paling polos, penuh cinta dan menawan sekaligus
amat
menggoda. Tapi sesungguhnya bukan senyuman, tapi
seringai sinis dalam gelora kemenangan total sekaligus
kebencian. Ia, Jean-Baptiste Grenouille - yang terlahir tanpa
bau badan di tempat paling busuk di seluruh jagat,
di
tengah sampah, kotoran, dan keburukan, dibesarkan tanpa
cinta, tanpa kehangatan jiwa manusia, bertahan hidup
hanya berdasarkan kekerasan dan kekuatan kebencian,
bertubuh kecil, bongkok, pincang, buruk rupa, dijauhi,
sebenar-benarnya kutukan luar-dalam - ternyata mampu
membuat dunia kagum. Bukan, bukan kagum... tapi
cinta!
Menginginkannya! Mengidolakannya! Ia telah melahirkan
karya besar ala Prometheus. Ia mampu bertahan
dengan
kelihaian dan kelicikan, mampu memercikkan diri
dengan
semburat agung kedewataan. Sesuatu yang ada pada
diri
setiap manusia sejak lahir tapi hanya mampu dibangkitkan
oleh Grenouille. Dan tidak hanya itu! Ia telah memercikkan
keagungan itu ke diri sendiri. Oh, ia bahkan lebih hebat dari
Prometheus. Ia telah menciptakan aura yang lebih bersinar
dan lebih efektif dari semua manusia yang pernah
hidup
sampai sekarang. Dan ia tidak berutang pada siapa
pun -
tidak pada ayah, ibu, atau Tuhan sekalipun. Ia berutang dan
bersyukur hanya pada diri sendiri. Ia adalah tuhan bagi diri
sendiri, dan lebih elok dari tuhan berbau dupa dan
terkurung di gereja-gereja. Seorang uskup agung
berlutut
di hadapannya, melenguh kesenangan. Orang-orang kaya
dan berkuasa, wanita dan pria bangsawan yang
angkuh,
semua menjilat mengidolakannya. Sementara rakyat jelata -
termasuk kerabat para korban, merayakan pesta seks atas
nama dan demi kehormatannya. Sekali angguk saja mereka
pasti sontak mengangkatnya sebagai penggand Tuhan
dan
memujanya. Memuja Grenouille yang Agung.
Ya, ia memang Grenouille yang Agung! Mimpi masa lalu
kini menjadi nyata. Detik itu Grenouille merasakan
kemenangan terbesar dalam hidup.
Dan takut.
Ia, merasa takut karena, tak bisa menikmati saat
itu
sedetik pun. Sejak melangkah keluar dari kereta, ke bawah
terik matahari sebagai bahan tontonan, dibungkus
parfum
yang membuat orang mencintainya - parfum yang telah
digarapnya selama dua tahun, parfum yang seumur
hidup
diinginkan... seketika ia, melihat dan mencium sendiri
betapa, hebatnya pengaruh yang ditimbulkan, seketika
itu
pula, segenap kebenciannya, pada, manusia, melonjak
dan
menghambarkan rasa, kemenangan yang ada. Membuatnya
tak hanya, nelangsa, tapi juga sama, sekali tidak puas. Apa,
yang selalu diimpikan - yaitu agar orang mau mencintainya
- menjadi nyata bersamaan dengan kesadaran yang
membuat menara pencapaian itu hancur berantakan,
karena ia, tidak balik mencintai mereka. Ia, membenci dan
mendendam lahir-batin. Grenouille baru menyadari bahwa
ia, tak pernah menemukan kegembiraan dalam cinta.
Kegembiraan yang didapat selama ini selalu dari kebencian.
Dalam kondisi membenci dan dibenci.
Namun kebenciannya pada manusia tak lagi punya
gaung. Makin ia membenci mereka pada saat ini,
makin
mereka memujanya, karena, yang mereka rasakan
hanya
aura aroma samaran, parfum curian yang memang
pantas
dipuja.
Ia akan senang sekali kalau bisa memusnahkan manusia
dari muka bumi sekarang juga, sebagaimana ia pemah
memusnahkan aroma asing dalam jiwa kelamnya
sewaktu
berada di gua. Ia ingin mereka sadar betapa besar
kebenciannya pada mereka. Betapa hanya itu emosi yang ia
punya. Ia ingin mereka balik membenci dan membunuhnya
seperti niat semula. Untuk pertama kalinya, Grenouille
ingin sekali mengosongkan diri. Untuk pertama kali
ia,
ingin seperti orang lain dan benar‐benar mengosongkan
diri. Pemujaan dan kecintaan mereka akan ia balikkan
dengan kebencian. Sekali saja, ia ingin ditangkap
dalam
kondisi asli. Dalam. wujud Grenouille yang sebenarnya.
Agar manusia balik merespons dengan jawaban yang sama.
Kebencian.
Tapi tentu saja tidak begitu. Khususnya hari ini, karena,
ia sedang terbungkus oleh parfum terbaik di dunia.
Tak
ada, wajah di balik topeng itu. Hanya, seonggok
daging
tanpa bau. Mendadak perutnya sakit. Kabut itu naik lagi.
Rasanya seperti kembali ke gua di pegunungan.
Dalam
mimpi, dalam tidur, dalam hati, dalam fantasi - seketika itu
kabut meninggi. Kabut mengerikan dari bau badannya
sendiri yang tak bisa ia cium karena memang tidak berbau.
Dan persis seperti dulu ia, kembali dicengkeram ketakutan
dan teror tanpa batas. Begitu mencekik. Tapi kali
ini
berbeda. Kali ini bukan mimpi, bukan tidur, tapi
nyata! Ia
juga tidak sedang berbaring sendirian dalam gua, tapi
berdiri di tempat umum, di hadapan sepuluh ribu manusia.
Kali ini tidak ada jeritan yang membangunkan dan
membebaskan. Tak bisa melarikan diri ke realitas
karena
yang dipijaknya kini adalah dunia nyata. Saat ini mimpinya
jadi kenyataan. Seperti keinginannya.
Kabut mencekik terus membumbung dari kekelaman
jiwa Grenouille, sementara di sekelilingnya, orang-orang
melenguh dalam pesta dan luapan orgasme. Seseorang
berlari ke arahnya. Ia melompat dari barisan
terdepan
panggung VIP dengan begitu gegas sampai topi
hitamnya
jatuh. Dan kini, dengan mantel hitam terkembang, orang itu
melangkah melewati padang manusia, seperti burung
gagak atau malaikat pencabut nyawa. Orang itu
ternyata,
Richis.
Ia akan membunuhku, pikir Grenouille. Satu-satunya
manusia yang tak akan membiarkan diri tertipu oleh
topeng aroma. Tak mungkin rela ditipu sedemikian. Aroma
putrinya, menempel di tubuhku, mengkhianati bagai darah
teracun. Ia pasti mengenali dan membunuhku. Harus!
Grenouille membentangkan tangan menerima kehadiran
sang malaikat pencabut nyawa. Ia sudah bisa
merasakan
tusukan pisau atau ujung pedang menggelitik dada,
pisau
yang bergerak menembus perisai aroma dan kabut
menyesakkan ini, terus sampai ke jantungnya yang
beku -
akhirnya, akhirnya ada sesuatu yang terasakan di hati
ini
selain diri sendiri! Grenouille menyambut ajal dengan suka
cita.
Yang terjadi kemudian, Richis menghambur ke
pelukan
Grenouille. Bukan sebagai malaikat pencabut nyawa
atau
dengan dendam seorang ayah, tapi sebagai Richis
yang
tergugu menangis sesenggukan. Memeluk dan bergelayutan
begitu kuat seperti tak ada pijakan lain di tengah
laut
kebahagiaan. Tak ada tusukan pisau yang membebaskan
atau tebasan pedang. Tidak pula sumpah serapah atau jerit
kebencian. Hanya pipi sang jutawan Richis yang basah oleh
air mata, bergelayut dengan bibir gemetar merengek,
“Maafkan aku, anakku... putraku tersayang... maafkan aku!”
Dus, segala yang ada di dalam. diri Grenouille
memutih
sementara dunia luar di sekelilingnya menghitam
kelam.
Perangkap kabut menebal sampai mencair seperti susu
mendidih. Menggenangi dan memaksakan bobot luar biasa
ke relung jiwa. Tak ada jalan melarikan diri. Demi Tuhan, ia
ingin kabur.. tapi kabur ke mana? Ia ingin meledak.
Lari
dari cekikan diri sendiri. Akhirnya ia luruh dan
hilang
kesadaran.
Lima Puluh

SAAT TERSADAR, ia tengah terbaring di ranjang


Laure
Richis. Bekas pakaian tidur dan rambut telah disingkirkan.
Sebatang lilin menyala di meja kecil di sisi ranjang jendela
terbuka dan ia bisa mendengar luapan ekstasi warga
kota
di kejauhan. Antoine Richis duduk di bangku di
samping
ranjang sambil menatapnya. Memegang dan membelai
tangan Grenouille dengan lembut.
Bahkan sebelum membuka mata, Grenouille sudah lebih
dulu memeriksa suasana. Sekeliling sangat tenang. Tak ada
ribut-ribut atau keramaian jiwanya kembali dikuasai
kebekuan, sesuai kebutuhan pikiran sadar saat ingin
memproyeksikan pikiran ke realitas. Di sana ia
mencium
aroma parfumnya. Sudah berubah. Puncaknya runtuh,
sehingga inti aroma Laure membuncah lebih kuat dari
biasa, macam nyala api yang buram dan berpendar sejuk. Ia
merasa aman. Sadar tak akan bisa diserang
setidaknya
sampai beberapa jam lagi, lalu membuka mata.
Tatapan Richis menyambut Grenouille. Pancaran
kebaikan berpendar kuat di mata itu. Kelembutan,
kasih
sayang, serta senyum bodoh dan rasa cinta seorang
kekasih.
Ia tersenyum, menggenggam tangan Grenouille lebih
erat, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja. Majelis
hakim sudah membalik putusan pengadilan. Semua
kesaksian ditarik kembali. Kau bebas sekarang. Bebas
melakukan apa saja. Tapi aku ingin kau tinggal di
sini
bersamaku. Aku telah kehilangan seorang putri, tapi
ingin
memilikimu sebagai putra. Kau mirip sekali dengannya.
Sama elok. Rambutmu, mulutmu, tanganmu... aku
memegangi canganmu terus selama ini. Tanganmu
seperti
dia - putriku. Dan saat kutatap matamu, rasanya ia seperti
menatap balik padaku. Seolah kau benar-benar
kakaknya.
Dan aku ingin kau jadi anakku, sobat. Menjadi kebanggaan
dan sumber bahagiaku. Ahli warisku. Apakah... orang tuamu
masih hidup?”
Grenouille menggeleng. Wajah Richis memerah
kesenangan. “Kalau begitu, maukah kau jadi putraku?”
ia
tergagap. Melompat dari bangku dan duduk di pinggir
ranjang sambil menggamit tangan Grenouille yang lain.
“Maukah? Maukah? Bersediakah kau menjadikan aku
sebagai ayahmu? Tunggu, jangan katakan apa-apa dulu!
jangan bicara. Kau masih terIalu lemah untuk bicara.
Mengangguk sajalah.”
Grenouille mengangguk. Kebahagiaan meledak dari
seluruh pori‐pori kulit Richis bagai manisan bunga
merah.
Lalu ia membungkuk dan mencium mulut Grenouille.
“Sekarang tidurlah, anakku!” ia berkata sambil
bangkit
berdiri.
“Aku akan mengawasi sampai kau lelap.” Dan
setelah
memandang lekat-lekat dalam diam cukup lama, ia
menambahkan, “Kau telah membuatku merasa amat sangat
bahagia.”
Grenouille menarik ujung-ujung bibirnya seperti yang
selalu ia Iihat kalau orang tersenyum. Lalu menutup
mata.
Ia menunggu beberapa saat sebelum mengatur
napasnya,
makin teratur dan dalam seperti orang tidur. Ia bisa
merasakan tatapan mesra Richis. Pada satu titik ia
merasakan gerakan Richis yang membungkuk hendak
mencium lagi, tapi tak jadi karena takut
membangunkan.
Akhirnya lilin ditiup dan Richis berjingkat keluar kamar.
Grenouille tetap berbaring sampai tak lagi
mendengar
suara apa pun dari dalam rumah atau dari luar jendela. Saat
bangun, hari sudah sore. Segera ia bersalin dan menyelinap
keluar diam-diam. Tanpa suara melewati koridor ruang
atas, turun tangga, melewati ruang duduk, dan tiba di teras.
Dari sini ia bisa melihat melewati tembok kota sampai ke
lembah yang mengelilingi Grasse. Kabut tipis menggantung
di atas tanah, dan aroma yang mengambang - bau rumput,
semak, dan mawar – terasa membilas... segar, datar,
dan
sederhana. Grenouille melewati taman dan memanjat
tembok.
Setibanya di tempat eksekusi (karena tak bisa memutar
lewat jalan lain) ia harus membuka jalan melewati endapan
aroma manusia sebelum tiba di tapangan terbuka. Seluruh
areal sampai ke lereng lembah diseraki bekas-bekas pesta.
Ribuan manusia terbaring di sana‐sini, kelelahan setelah
festival berahi. Banyak yang telanjang atau setengah
telanjang dengan baju dipakai sebagai selimut. Udara berisi
aroma anggur basi, brendi, keringat dan air seni,
kotoran
bayi dan daging gosong. Api unggun bekas bakaran,
minuman, dan pesta masih mengasap di sana-sini,
berikut
bisikan atau cekikikan di antara ribuan bunyi
dengkur.
Besar kemungkinan ada beberapa orang yang masih
bangun, melahap dengan rakus sisa-sisa kesadaran dari
benak masing‐masing. Tapi tak ada yang melihat
Grenouille. Dengan cepat dan hati‐hati ia melewati serakan
tubuh seperti melewati rawa-rawa. Yang melihat pun
tak
lagi mengenali. Aromanya sudah hilang. Grenouille kembali
tak berbau dan mukjizat telah berakhir.
Setibanya di jalan utama, ia tidak mengambil jalur
menuju Grenoble atau Cabris, tapi berjalan lurus melewati
padang ke arah barat tanpa menoleh lagi. Saat
matahari
terbit, gemuk dengan pendaran kekuningan dan terik
hangat, ia sudah lama lenyap.
Warga kota Grasse bangun dengan sakit kepala
luar
biasa, seperti habis minum arak semalaman. Bahkan
mereka yang tidak mabuk juga merasa kepalanya
berat,
mual di perut dan di hati. Di tempat eksekusi, di
bawah
siraman matahari pagi, rakyat jelata berusaha mencari
pakaian mereka yang tersampir entah di mana. Para wanita
terhormat
mencari suami dan anak-anak mereka; pasangan-
pasangan asing melepaskan pelukan dengan kaget dan
ngeri. Kenalan, tetangga, dan pasangan suami-istri
mendadak berdiri saling membelakangi. Malu oleh
ketelanjangan masing-masing.
Umumnya mereka merasa pengalaman hari kemarin
sangat menjijikkan, sulit dijelaskan, dan sedemikian
bertentangan dengan nilai-nilai moral. Sedemikian rupa
sampai mereka menghapus begitu saja dari ingatan begitu
pikiran kembali waras. Banyak yang tak mampu mengingat
lagi peristiwa ini saat ditanya. Pihak lain yang tidak terlalu
ketat dengan kendali nilai-nilai, mencoba menutup
mata,
telinga, dan pikiran. Tapi tentu saja tidak mudah. Rasa malu
yang membayangi terlalu jelas dan universal. Jadilah, begitu
menemukan pakaian dan kerabat yang dicari, masing-
masing segera pulang diam‐diam secepat mungkin.
Siang
hari, tempat itu kembali lengang.
Warga kota Grasse tidak keluar rumah sampai sore
kecuali jika amat terpaksa. Salam sapa saat bertemu
dilakukan sepintas lalu atau tidak menyapa sama
sekali.
Tak ada yang berani membuka pembicaraan. Tak
sepatah
kata pun terlontar soal peristiwa pagi ini dan
malam
sebelumnya. Semua merunduk dan bicara seperlunya.
Memendam jengah dan perasaan bersalah. Belum
pernah
keselarasan tercipta demikian sempurna seperti pada
hari
itu.
Banyak pihak yang dipaksa bertanggung jawab dan
berurusan langsung dengan peristiwa itu, tergantung
wewenang institusi masing‐masing. Keberlangsungan
kehidupan bennasyarakat, ketegasan hukum dan peraturan
menuntut ketegasan penyelesaian. Dewan kota segera
mengadakan pertemuan sore itu juga. Para anggota,
termasuk Richis, saling memberi salam dan berpelukan
dalam diam. Lalu tanpa menyebut langsung peristiwa
itu
atau bahkan nama Grenouille, mereka memutuskan
untuk
segera membongkar dan membubarkan lokasi eksekusi,
plus mengembalikan lingkungan sekitar ke kondisi semula.
Untuk ini, dana 160 livre dianggap sudah cukup.
Bersamaan dengan itu, para hakim juga mengadakan
pertemuan di kantor pengadilan. Tanpa banyak debat,
majelis hakim setuju untuk menganggap “kasus G”
telah
selesai, ditutup dan diarsipkan tanpa registrasi. Lalu
membuka pengadilan baru tentang pembunuh 25 perawan
di sekitar Grasse yang dianggap belum terungkap. Perintah
diserahkan ke letnan polisi agar segera memulai
penyelidikan.
Esok harinya, sang letnan melaporkan penemuan
baru.
Atas dasar bukti-bukti tak terbantahkan, ia menahan
Dominique Druot, Maître parfumeur dari jalan Louve.
Toh
pakaian dan rambut korban memang ditemukan di
kabin
yang tercatat menjadi miliknya. Para hakim menyimak
permohonan tak bersalah Druot beberapa saat sebelum
memutuskan bahwa ia berbohong. Setelah empat belas jam
disiksa, Druot mengakui segalanya dan bahkan
memohon
untuk segera dieksekusi. Permintaan dituruti dan eksekusi
dilangsungkan sehari kemudian. Ia digantung saat fajar.
Tanpa ribut-ribut, tanpa panggung apa pun. Hanya dihadiri
seorang algojo, seorang hakim saksi, seorang dokter,
dan
pendeta. Begitu kematian diresmikan, diverifikasi, dan
dicatat, mayatnya langsung dikubur. Dengan demikian
kasus ditutup.
Seluruh warga melupakan peristiwa itu sama sekali.
Benar-benar melupakan sampai para pelancong yang
mampir setelah beberapa hari berselang dan iseng
bertanya soal pembunuhan perawan kota Grasse, tak
menemukan satu orang waras pun yang mau
memberi
informasi. Hanya segelintir orang bodoh dan orang gila dari
Rumah Sakit Charité yang bercerita dengan kacau
tentang
pesta besar di gerbang Cours. Mereka dendam karena pada
hari itu dipaksa keluar kamar.
Kehidupan kembali berjalan normal. Warga kembali
bekerja keras, tidur nyenyak, berbisnis dan bersikap
seperti biasa. Air tetap menggelegak dari mata air
dan
pancuran, menggenangi jalan dengan kotoran dan
lumpur.
Kota Grasse kembali kumuh, namun bangga atas
posisi
mereka di atas lembah raksasa nan subur. Matahari
bersinar hangat. Bulai Mei menjelang. Saatnya panen bunga
mawar.

Bagian IV

Lima Puluh Satu

GRENOUILLE MELANJUTKAN PERJALANAN hanya saat


malam tiba. Seperti yang ia lakukan saat pertama
kali
bertualang, ia menghindari perkotaan dan jalan besar.
Ia
tidur siang hari, bangun saat senja dan melanjutkan
perjalanan. Makan dari apa saja yang ditemui:
rumput,
jamur, bunga, bangkai burung, cacing. Ia berjalan melewati
Provence. Di selatan Orange ia melintasi Rhéne
dengan
perahu curian, mengikuti arus dalam sungai Ardéche
ke
Uvennes, lalu ke Allier di utara.
Tiba di Auvergne, ia merapat ke Plomb du Cantat
yang
membentang ke arah barat. Tampak megah dan
berkilau
keperakan diterpa terang bulan. Udara dingin berembus
sejuk. Tapi ia tak punya dorongan untuk berkunjung.
Tak
ingin tinggal di gua lagi. Hidup macam itu sudah
pernah
dicicipi dan terbukti tidak menyenangkan. Grenouille
tercekik oleh dua dunia. Ia, ingin pergi ke Paris dan mati di
sana. Itu yang diinginkannya sekarang.
Dari waktu ke waktu ia meraih ke dalam
kantung dan
menggenggam flacon kecil parfumnya. Botol itu masih
nyaris penuh. Hanya dipakai setetes saat “pertunjukan”
di
Grasse. Satu flacon ini cukup untuk memperbudak seluruh
dunia. Kalau mau, ia bisa, diarak lagi di Paris.
Tidak oleh
sepuluh ribu, tapi ratusan ribu manusia. Atau ia
bisa,
langsung ke Versailles dan menyuruh sang Raja
mencium
kakinya. Atau menulis surat wangi untuk Paus dan
mendeklarasikan diri sebagai sang Juru Selamat. Atau
disucikan di Notre-Dame sebagai Kaisar Tertinggi melebihi
segala raja dan kaisar lain. Atau bahkan mengaku
sebagai
Tuhan yang turun ke bumi - itu pun kalau memang
benar
ada Tuhan yang membiarkan diri disucikan manusia....
Ia bisa melakukan semua itu kalau mau. Kekuatan ada di
genggaman tangan. Daya yang jauh melebihi kekuatan
uang, teror, atau kematian. Kekuatan mutlak untuk
menguasai cinta seluruh umat manusia. Hanya satu
yang
tak bisa dilakukannya, yaitu membaui tubuhnya. sendiri.
Apa gunanya bergaya jadi Tuhan kalau tak bisa
mencium
bau tubuh sendiri dan karenanya tak pernah punya peluang
untuk mengenali diri? Persetan. Persetan dengan dunia.
Persetan dengan diri sendiri. Persetan dengan parfumnya.
Tangan yang menggenggam flacon terasa wangi oleh
aroma halus. Setiap kali tangan itu didekatkan ke
hidung
dan diendus, Grenouille melamun. Lupa berjalan dan duduk
mengendus lebih lama. Tak ada yang tahu betapa
enak
parfum ini, pikirnya. Tak ada yang tahu betapa
sempurna
pembuatannya. Orang hanya terkuasai efeknya tanpa
pernah tahu bahwa parfum inilah penyebabnya.
Membudaki mereka. Yang benar-benar mengenali
keindahannya hanya aku, karena akulah yang membuatnya.
Dus, hanya aku pula yang tak bisa dikuasai. Hanya aku yang
tahu betapa tak berartinya semua ini.
Tiba di Burgundy, Grenouille lanjut berpikir: saat berdiri
di belakang tembok itu, tempat si gadis berambut
merah
bermain dan aromanya turun menggenangiku... atau
bahkan sekadar fantasi akan aromanya - karena parfum
yang tercipta dari aroma itu belum lagi ada... mungkin apa
yang kurasakan saat itu sama dengan apa yang
dirasakan
oleh orang-orang saar kubanjiri mereka dengan parfum ini?
Ah, tidak. Bukan itu. Tidak tepat benar. Karena aku
tahu
bahwa aku hanya menginginkan aroma, bukan si
gadis itu
sendiri. sedangkan orang-orang itu percaya bahwa mereka
menginginkan aku, dan apa yang mereka inginkan
sebenarnya tetap jadi misteri bagi mereka.
Lalu ia berhenti berpikir. Berpikir membuat
kepalanya
sakit. Saat itu ia tiba di Orléanais.
Grenouille menyeberangi sungai Loire di kota Sully.
Keesokan harinya, aroma Paris sudah sampai di
hidung.
Tanggal 25 juni 1766, jam enam pagi, ia memasuki
kota
lewat jalan Saint-jacques.
Hari panas sekali. Yang terpanas tahun ini. Puluhan ribu
aroma dan kebusukan meretas seperti keluar dari
ribuan
borok bernanah. Angin tak bertiup. Sayur-mayur di
pasar
menjadi layu, daging dan ikan membusuk. Udara
kotor
menggantung di gang-gang. Bahkan sungai seperti berhenti
mengalir. Baunya amit-amit. Hari ini persis seperti hari saat
Grenouille lahir.
Ia menyeberang jembatan Pont-Neuf ke sisi sungai
sebelah kanan, terus ke Les Halles dan Cimetiére
des
Innocents. Grenouille duduk di bawah atap rumah
makam
yang membatasi jalan Fers. Di hadapannya membentang
tanah pemakaman yang rusak seperti kawah-kawah bekas
perang. Penuh liang, galian, dan parit-parit kuburan,
bertabur tengkorak dan tulang, semak atau rumput
tajam.
Sebuah diorama tong sampah kematian.
Sepi sekali. Tak ada orang. Bau busuk mayat begitu keras
sampai penggali kubur menyerah dan lebih suka
menyingkir. Hanya saat matahari terbenam mereka muncul
lagi menggali lubang mayat berbekal obor sampai
jauh
malam.
Tapi lewat tengah malam, sepeninggal para penggali
kubur, tempat ini ramai oleh bermacam makhluk terbuang.
Ada maling, pembunuh, begal, pelacur, desertir, dan
bajingan muda. Api unggun kecil dinyalakan agar
mampu
menyamarkan bau busuk.
Saat Grenouille keluar dan membaur, semula tak
ada
yang memerhatikan. Ia berjalan. sampai perapian tanpa
diganggu, seolah menjadi bagian dari mereka. Mereka
seperti berurusan dengan hantu, malaikat, atau makhluk
gaib lain, karena biasanya mereka sangat peka kalau
ada
orang asing.
Tapi malam ini, pria kecil bermantel biru panjang
itu
muncul begitu saja, seperti keluar dari dalam tanah.
Ada
botol kecil di genggaman tangan yang tutupnya ia
buka.
Itulah yang langsung diingat oleh mereka: bahwa
orang
asing itu berdiri di sana, dekat perapian, membuka sebuah
botol kecil, lalu menghabiskan isinya dengan
menuangkannya ke seluruh tubuh. Seketika itu
tubuhnya
bercahaya begitu indah. Seperti kobaran api.
Untuk sesaat mereka mundur, kagum sekaligus
heran.
Tapi detik itu juga mereka merasa bahwa sikap mundur ini
hanya persiapan sebelum merangsek maju. Kekaguman
berubah menjadi hasrat, dan keheranan menjadi
kegembiraan luar biasa. Semua tertarik ke arah
malaikat
kecil itu. Daya tarik yang liar dan amat kuat memancar dari
tubuhnya. Tak mungkin ditahan manusia. Pun kalau
bisa,
tak ada yang mau begitu. Pusaran daya tarik yang menyeret
ini berasal dari kehendak manusia sendiri. Terarah
langsung ke pria itu.
Mereka mengitarinya. Berjumlah dua puluh sampai
tiga
puluh orang. Dan lingkaran itu makin lama makin mengecil.
Karena sempit, segera terjadi saling dorong dan sikut.
Semua ingin lebih dekat ke tengah.
Dan suatu ketika pertahanan kesadaran yang terakhir
tumbang bersama dengan lingkaran itu. Mereka merangsek
ke arah malaikat kecil, mendorongnya ke tanah.
Semua
ingin menyentuh dan memiliki sepotong dirinya, entah
itu
bulu, hiasan mantel, pokoknya sepercik saja dari
kobaran
itu. Mereka merobek pakaian, rambut, dan kulit.
Membenamkan cakar dan gigi ke daging tubuhnya,
menyerang seperti sekelompok hyena berebut makanan.
Tapi tubuh manusia liat dan tak mudah dikoyak.
Kuda
saja kesulitan membelah orang. Kilatan pisau segera
berkelebat. Menusuk dan mengiris. Tak lama ayunan kapak
dan golok meluncur ke persendian. Menghantam dan
meremukkan tulang. Dalam waktu singkat malaikat itu
telah terbagi menjadi tiga puluh potong. Setiap
“binatang”
di tempat itu langsung menyambar potongan-potongan itu
untuk diri sendiri. Dipeluk dan diciumi. Lantas,
terdorong
oleh nafsu, mereka melahapnya. Setengah jam
kemudian,
Jean-Baptiste Grenouilie lenyap dari muka bumi.
Saat kanibal-kanibal itu tersadar, tak ada yang
berkomentar. Ada yang bersendawa, meludah potongan
tulang, mencungkil sisa daging dengan lidah, atau
melempar sobekan mantel biru panjang ke perapian.
Semua merasa sedikit malu dan takut memandang
satu
sama lain. Setiap pria dan wanita di tempat itu
pernah
membunuh atau melakukan berbagai kejahatan lain,
tapi
memakan manusia? Rasanya tak percaya baru saja
melakukan hal itu. Kaget menyadari kejadiannya
berlangsung begitu mudah sampai tak sempat merasa
bersalah. Hanya sedikit malu saja. Dan meski daging
sang
malaikat terasa agak berat mengganjal di perut, hati terasa
begitu ringan. Tiba-tiba saja seperti ada cahaya terang
memayungi jiwa mereka yang gelap. Tak ada wajah
menyesal. Malah terlihat begitu puas dan bahagia. Mungkin
itu sebabnya mereka malu untuk saling tatap.
Saat keberanian itu muncut, diawali pandangan curi-
curi, lalu terang-terangan. Membuat mereka tersenyum.
Tersenyum dan bangga. Untuk pertama kali mereka
melakukan sesuatu atas nama cinta.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai