Anda di halaman 1dari 159

Perfume: The Story of a Murderer

Perfume: The Story of a Murderer


Diterjemahkan dari Das Parfum: Die Geschichte eines Mrders
karya Patrick Sskind

Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDY) Sskind, Patrick


Perfume: The Story of a Murdered Patrick/ Sskind; penerjemah, Bima Sudiarto;
penyunting, Pray.Cet. 16.Jakarta. Dastan Books, 2009. 316 hal. ; 14 x 205 cm
ISBN 978-979-3972-46-6 Anggota IKAPI
I. Judul II. Sudiarto, Bima III. Pray 813
Penerjemah: Bima Sudiarto Penyunting: Pray
Copyright 1985 by Diogenes Verlag AG Zrich All rights reserved
This translation is published by arrangement with Diogenes Verlag AG Zrich
Hak terjemah ke dalam bahasa Indonesia ada pada Dastan Books
Indonesian Language Translation Copyright 2006 by Dastan Books
Cetakan 1, Maret 2006
Cetakan 12, Oktober 2007
Cetakan 13, Maret 2008
Cetakan 14, Desember 2008
Cetakan 15, Maret 2009
Cetakan 16, Agustus 2009
JI. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520
Telp: (021) 8092269 Faks: (021) 80871671
Hotline SMS: 0817 37 37 37
Website: wwwdastanbooks.com
E-mail: layanan@dastanbooks.com
Kontak Perwakilan:
Jabodetabek: (021) 32 37 37 37
Jawa Barat: (022) 7099 3737
Yogyakarta & Jawa Tengah: (0274) 711 3737
Jawa Timur & Indonesia bagian Timur: (031) 7766 3737

Perfume : The Story of a Murderer

terbitan Diogenes Verlag AG Zrich

Pujian Untuk Perfume


Anakronisme yang memuaskan dalam sastra, medis
Der Spiegel, Hamburg
Karya pertama penulis Eropa-setelah Rose-nya Eco-yang menarik penerbit Amerika
Cordere delia Sera, Mailan

Tidak seperti apa pun yang orang pernah baca. Sebuah fenomena...
Le Figaro, Paris
Mengejutkan dan membuat kagum-para kritikus di Mailand, Paris, London, dan Jerman.
Dia, Madrid
Cerdas, modis, amat memikat...
Observer
Cerdas, modis, memikat, dan sangat layak dibaca.
Literary Review
Sebuah meditasi tentang sifat kematian, hasrat, dan kebusukan... Sebuah debut yang luar
biasa.
Peter Ackroyd, The New York Times Book Review
Fantasi yang cerdas dan sungguh memikat.
Daily Telegraph
Sebuah tour de force yang mengagumkan, baik dalam konsep maupun eksekusi.
Guardian
Sebuah mahakarya...
USA Today
... kisah Mr. Sskind ditulis dengan baik dan amat tidak biasa.
Daily mail
Tour de force-nya Mr. Sskind.
The New York Times
Sebuah kisah tentang seorang genius yang kriminal... Luar biasa.
The New York Times
Penuturan-kisah yang sungguh luar biasa...
The Cleveland Plain Dealer
Mengagumkan. Sebuah adikarya.

Perfume : The Story of a Murderer

Kuat dan menghanyutkan.


Time Magazine

San Francisco Chronicle


Karya seni yang amat sempurna...
San Francisco Chronicle
Karya yang mengagumkan...
San Francisco Chronicle

Karya sastra yang unik dan cerdas...


The Boston Globe
Setelah diterbitkan di Jerman tahun lalu, novel perdana Sskind berjudul Perfume
langsung menjadi international bestseller. Penting bagi koleksi kesusastraan.
Library Journal
Sebuah novel yang pasti akan terus diingat.
Central Library

Perfume : The Story of a Murderer

Sebuah novel yang orisinal dan mengagumkan.


People

Tentang Penulis

Die Geschichte von Herrn Sommer (Kisah Tuan Sommer) terbitan 1992 telah pula
mendulang sukses internasional sebagaimana Das Parfum. Selanjutnya ia juga menerbitkan
Drei Geschichten (Tiga Kisah) pada tahun 1996. Patrick Sskind tinggal di Munich.

Perfume : The Story of a Murderer

PATRICK SSKIND lahir pada tahun 1949. Ia mempelajari sejarah di Munich dan telah
menjadi penulis di dunia pertelevisian sebelum menulis Das Parfum ini. Novel keduanya
bertajuk Die Taube (Burung Merpati) yang kemudian diadaptasi menjadi naskah panggung
dan dipentaskan pertama kali di Gedung Teater BAC di London pada bulan Mei 1993. Naskah
panggung lainnya yang berjudul Der Kontraba (Bas Ganda) pertama kali dipentaskan di
Munich pada tahun 1981, dan sejak itu menjadi salah satu kisah yang paling sering
dipentaskan di Jerman, Swiss, dan Austria. Karya ini telah pula dipentaskan di Festival
Edinburgh dan Royal National Theatre (Teater Nasional Kerajaan) di London. Novel Sskind
lain berjudul

Perfume
THE STORY OF A MURDERER

Perfume : The Story of a Murderer

Bagian I

Perfume : The Story of a Murderer

Satu

Pada zaman itu kota-kota disesaki aroma yang asing bagi hidung manusia modern: jalan
raya berbau pupuk kandang, halaman gedung berbau pesing, anak-anak tangga berbau jamur
kayu dan kotoran tikus, dapur berserakan sampah potongan kubis dan lemak daging domba,
ruang tamu berbau apak serta berdebu, kamar-kamar tidur seprainya tak pernah diganti
sampai berminyak, bantal-bantal lembab dan aroma manis yang tajam dari pispot di kolong
tempat tidur, amis sulfur mengembang dari perapian, aroma alkali menyengat dari bilik bilik penyamakan kulit, sementara rumah-rumah jagal menebar bau darah beku. Orangorang berbau keringat dan pakaian tak dicuci, mulut menebar bau gigi busuk, dari perut
mengambang aroma bawang, dan tubuh merekakalau tak lagi muda, menebar aroma keju
anyir, susu basi, dan penyakit tumor. Sungai-sungai juga tak kalah berlomba aroma. Bau
busuk hadir di pasar, di gereja, di kolong jembatan, dan bahkan di istana. Rakyat jelata tak
beda baunya dengan para pendeta. Para murid berbagi aroma dengan istri-istri guru mereka,
begitu pula kaum ningratbahkan sampai pada sang Raja, baunya seperti seekor singa
sementara sang Ratu seperti bandot tua, tak peduli musim panas atau musim dingin. Tak
ada yang mampu menghentikan kesibukan bakteri pembusuk pada abad kedelapan belas,
maka tak heran jika tak satu pun kegiatan manusiabaik konstruktif maupun destruktif,
yang tidak disertai oleh bau busuk.
Kebusukan tentu saja paling parah mendera Paris sebagai kota terbesar di Prancis. Dan
konon ada satu tempat di Paris yang selain berbau busuk juga menebar keangkeran. Terletak
di antara jalan Fers dan jalan Ferronnerie, persisnya di sebuah tanah permakaman bernama
Cimetire des Innocents. Selama delapan ratus tahun mayat-mayat dibawa ke tempat ini
dari Htel-Dieu dan gereja setempat. Selama delapan ratus tahun, siang dan malam, lusinan
mayat digelandang ke dalam satu lorong yang digali memanjang, ditumpuk tulang demi
tulang, baik dalam bangunan makam terpisah maupun dalam rumah makam. Baru pada saat
menjelang Revolusi Prancis, setelah beberapa bangunan makam runtuh dan baunya
sedemikian tak tertahankan sampai diprotes masyarakat sekitar, tempat itu ditutup dan
terlantar. Jutaan tulang dan tengkorak diserok begitu saja ke dalam liang kubur Montmartre.
Di tempat ini pula sebuah pasar makanan kemudian didirikan.
Alkisah, di tempat terbusuk seantero kerajaan inilah Jean-Baptiste Grenouille lahir pada
tanggal 17 Juli 1738. Kelahirannya disambut musim panas paling menggerahkan tahun itu.
Panasnya sampai mengelamkan pekuburan dan menebar aroma busuk yang kalau diendusi
kira-kira seperti gabungan antara melon busuk dan bekas bakaran kotoran binata ng.
Sedemikian meluas sampai ke gang-gang di sekitarnya. Saat didera rasa sakit menjelang
bersalin, ibunda Grenouille tengah berada di kedai ikan di jalan Fers dengan muka pias
seperti baru saja perutnya dibelek. Ikan di tempat itu baru dipanen pagi ini dari sungai
Seine, dengan amis yang sengatannya mampu menutupi aroma mayat. Namun seperti
umumnya manusia zaman itu, hidung ibunda Grenouille sudah tumpul dan tak lagi mampu

Perfume : The Story of a Murderer

PADA ABAD KEDELAPAN BELAS di Prancis, tinggallah seorang pria yang dikenal sebagai
salah seorang tokoh paling berbakat sekaligus paling ditakuti di zaman yang belum lagi
mampu menoleransi karakter paradoks seperti itu. Kisah inilah yang akan dituturkan.
Namanya Jean-Baptiste Grenouille. Tak seperti tokoh paradoks terkenal lain seperti de
Sade, Saint-Just, Fouche, atau Bonaparte, nama Grenouille kini terlupakan. Dan ini bukan
lantaran ia kekurangan atribut pendukung seperti arogansi, misantropi, amoralitas, atau
bahkan kekejian, tapi lebih karena bakat dan ambisinya diletakkan secara ketat di ranah
yang memang tak bisa dilacak dan diendusi sejarah.

ibunda Grenouille ketika itu masih beliabelum lewat 25 tahun. Berparas lumayan
cantik, gigi lumayan utuh, dengan rambut kusut tak terawat dan tidak sedang mengidap
penyakit seriuskecuali mungkin sedikit encok, sifilis, dan paru. Ia masih ingin hidup lebih
lamakatakanlah, lima atau sepuluh tahun lagi dan bahkan menikah kalau memang cukup
beruntung. Dengan status normal sebagai seorang istri atau setidaknya janda, ia baru merasa
pantas punya momongan. Ibunda Grenouille sungguh berharap momen menyakitkan ini
segera berlalu. Saat kontraksi terakhir dimulai, ia berjongkok di bawah meja jagal lalu
bersalin tanpa bantuan siapa pun seperti empat kesempatan sebelumnya. Kemudian ia
memotong tali pusar si jabang bayi dengan pisau jagal. Tapi tiba-tiba, karena tak tahan
sengatan cuaca panas dan bau busuk di tempat itu (sebenarnya ia tak menganggapnya bau
busuk, hanya bau sesuatu yang tak tertahankan seperti kebun bunga lili atau ruangan yang
dipenuhi bunga narsis), ia pun pingsan. Menggelosor jatuh dari bawah meja jagal ke tengah
jalan dan tergeletak di situ dengan tangan masih menggenggam pisau.
Kehebohan merebak. Orang-orang berkerumun di sekeliling, menonton, dan beberapa
memanggil polisi. Wanita dengan pisau di tangan itu masih terbaring di jalanan dan perlahan
siuman.
Apa yang terjadi padanya? Terdengar sejumlah orang bertanya.
Tidak apa-apa, jawab si wanita.
Apa yang ia lakukan dengan pisau itu?
Tidak ada apa-apa.
Darah apa itu di roknya?
Ini darah ikan.
ibunda Grenouille bangkit berdiri. Membuang pisau ke samping lalu berjalan gontai
hendak membersihkan diri.
Lalu tiba-tiba saja, si jabang bayi di bawah meja jagal menjerit keras. Orang -orang
segera celingukan. Dan di situlah, di balik kerumunan lalat, kotoran, dan kepala ikan,
mereka menemukan sesosok bayi yang baru lahir, lalu diangkat. Dus, sesuai hukum, segera
mereka bawa si bayi ke seorang ibu susu sementara ibunya mereka jebloskan ke penjara.
Dan karena si wanita mengaku terus terang bahwa ia lebih suka membunuh si jabang bayi
sebagaimana empat bayi sebelumnya, ia pun diadili, diputuskan bersalah atas pengguguran
kandungan beruntun dan dihukum penggal beberapa minggu kemudian di de Grve.
Selama beberapa minggu itu si bayi sudah tiga kali berganti ibu susu. Tak ada yang ingin
memeliharanya lebih dari beberapa hari. Mereka bilang si bayi begitu rakus. Porsi
menyusunya setara. dengan jatah dua bayi. Menghabiskan jatah susu dan daya hidup si ibu
susu sedemikian rupa. Wajar jika tak ada yang bersedia menampung karena tak mungkin

Perfume : The Story of a Murderer

membedakan antara bau amis ikan dan bau busuk mayat. Apalagi ditambah sakit di perut
yang tentunya semakin mematikan kepekaan indra. ia hanya ingin rasa sakit ini berhenti
bagaimana caranya agar proses melahirkan segera berlalu. Toh ini sudah yang kelima
kalinya. Semua proses persalinan dilakukan di warung ikan seperti ini, dalam kondisi
keguguran atau bayi setengah sempurna, karena daging belepotan darah yang keluar dari
rahim itu tak ubahnya jeroan ikan yang berserakan di situ. Kalaupun sukses lahir, hidup si
bayi juga tak lama. Ibunda Grenouille tak pernah terlalu ambil pusing karena biasanya saat
magrib seluruh porak-poranda ini sudah akan tersiram bersih dan diserok ke tanah
pekuburan atau ke sungai. Demikian pula yang akan terjadi hari ini.

Perfume : The Story of a Murderer

bagi seorang ibu susu untuk membiayai hidup dengan upah menyusui hanya seorang bayi.
Petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah seorang laki-laki bernama La
Fosse. Ia terusterusan dibuat pusing dan ingin agar si bayi dikirim saja ke rumah yatimpiatu di ujung terjauh jalan Saint-Antoine, di mana lalu lintas bayi dan anak-anak ramai
setiap hari dari dan ke rumah yatim-piatu publik di Rouen. Namun karena konvoinya terdiri
atas kuli angkut barang yang membawa keranjang bayi dengan kemasan seekonomis mungkin
sampai tega menjejerkan empat bayi dalam satu keranjang, maka tak heran bila angka
kematian di lalu lintas tersebut amat tinggi. Sejak itu para kuli disarankan agar hanya
mengangkut bayi-bayi yang sudah dibaptis dan memiliki sertifikat transportasi resmi yang
akan distempel setibanya di Rouen. Masalahnya sekarang, bayi Grenouille belum dibaptis
atau bahkan dinamai agar bisa dicatat secara resmi di sertifikat transportasi. Sementara di
pihak lain, secara sosial tak bisa dibilang baik jika seorang polisi menyelundupkan bayi
begitu saja ke rumah yatim-piatu. Padahal hanya itu satu-satunya cara menghindari
formalitas. Dus, dengan alasan kesulitan administrasi dan birokrasi yang pasti terjadi jika si
bayi disingkirkan begitu saja, dan karena desakan waktu, La Fosse menarik kembali putusan
awal dan memberi instruksi agar si bayi diserahterimakan dengan kuitansi ke beberapa
lembaga gereja tertentu, agar bisa dibaptis dan diputuskan nasibnya lebih jauh. Jadilah sang
polisi membuang si bayi ke biara Saint-Merri yang terletak di jalan Saint-Martin. Di sana ia
dibaptis dengan nama Jean-Baptiste. Dan karena suasana hati pada hari sebelumnya sedang
baik dan kotak amal gereja belum kering, mereka tidak mengirim si bayi ke Rouen dan malah
memanjakannya atas tanggungan biara. Pada titik ini ia diserahkan ke seorang ibu susu
bemama Jeanne Bussie yang tinggal di jalan Saint-Dennis dengan bayaran tiga franc
seminggu sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Dua
BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN, si ibu susu Jeanne Bussie berdiri di pintu gerbang biara
Saint-Merri dengan tangan menenteng keranjang belanja. Pintu dibuka oleh seorang pendeta
botak berusia paruh baya yang tubuhnya menebar aroma cuka.

Apa ini? bertanya Terrier sambil membungkuk ke arah keranjang dan mendengus
membaui, berharap isinya sesuatu yang bisa dimakan.
Ini anak haram milik perempuan dari jalan Fers yang tadinya hendak ia bunuh itu.
Si pendeta dengan lembut membuka keranjang itu dengan jarinya sampai terlihat wajah
si bayi yang lelap.
Kelihatannya baik-baik saja. Pipinya merona dan tampak kenyang minum.
Terang saja begitu, karena ia menempelkan dirinya padaku. Memompaku begitu kering
sampai ke tulang. Aku tak sudi. Kini terserah kau mau disusui dengan susu kambing, bubur,
atau gula biang... aku tak peduli. Haram jadah ini akan melahap apa saja.
Bapa Terrier dikenal ramah dan supel. Salah satu dari sekian tanggung jawabnya adalah
menangani administrasi kotak amal biara dan pendistribusiannya kepada fakir miskin. Untuk
itu ia berharap agar orang tahu berterima kasih dan tidak mengganggunya dengan tetek
bengek lain. Ia benci detail teknis karena detail baginya berarti kesulitan dan kesulitan
berarti gangguan kesehatania sangat menolak hal ini. Ia menyesal telah membuka pintu
gerbang dan berharap si wanita segera pergi membawa keranjang itu pulang ke rumah atau
apalah, pokoknya tidak lagi mengganggunya dengan remeh-temeh seperti ini. Perlahan ia
menegakkan tubuh sembari menghela napas. Hidungnya menangkap aroma susu dan keju
murahan yang ditebarkan tubuh si ibu susu. Bau yang enak.
Aku tak paham apa maumu, ia berkata. Sungguh, aku tak mengerti apa maksudmu.
Setahuku tak ada salahnya bagi si bayi untuk bernaung beberapa waktu lagi di dadamu.
Memang tak apa baginya, si ibu susu menyalak balik, tapi aku rugi besar. Beratku
turun lima kilo dan harus menanggung nafsu makan tiga perempuan digabung jadi satu.
Semua ini demi apa? Demi tiga Franc seminggu?!!
Ah... begitu rupanya, desah Bapa Terrier lega. Aku paham maksudmu. Sekali lagi, ini
hanya soal uang, kan?
Bukan!! jerit si ibu susu kesal.
Tentu saja iya! bantah si pendeta. Ujung-ujungnya selalu uang. Semua ketukan di
pintu gerbang ini selalu soal uang. Sampai-sampai aku berharap agar sesekali menemukan
seseorang berdiri di sini dengan masalah yang sama sekali berbedaseseorang dengan cukup
tenggang rasa dan kebijaksanaan untuk membawa oleh-oleh buah, misalnya. Atau sekadar
kacang. Lagi pula, di musim gugur begini pasti banyak yang bisa dijadikan hadiah. Bunga,
misalnya. Atau sepatah dua patah kata beramah-tamah, Semoga Tuhan memberkatimu,
Bapa Terrier.. semoga harimu menyenangkan! dan semacamnya. Tapi sepertinya aku tak
akan pernah menemui hal demikian sampai aku mati. Yang datang kemari kalau bukan
pengemis pasti saudagar. Kalau bukan saudagar, pasti pedagang. Jika bukan minta sedekah,

Perfume : The Story of a Murderer

Bapa Terrier, seru si ibu susu. Ini! katanya sembari meletakkan keranjang belanja
di muka gerbang.

pasti menyorongkan tagihan. Aku bahkan tak bisa lagi keluar jalan-jalan dengan tenang.
Belum tiga langkah pasti sudah ada saja yang menodong minta uang.
Tapi aku kan tidak begitu, protes si ibu susu.
Benar, tapi biar kuberi tahu: kau bukan satu-satunya ibu susu dalam jemaah kita. Ada
ratusan ibu angkat jempolan yang berebut ingin menyusui bayi memesona ini untuk tiga
Franc seminggu, atau memberi bubur atau jus atau makanan lain....

... di pihak lain, lanjut Bapa Terrier, tak baik kiranya mengoper-oper seorang bayi
seperti itu. Siapa tahu ia bisa lebih baik menyusu padamu ketimbang orang lain? Apalagi kau
pasti juga tahu bahwa ia sudah terbiasa dengan aroma tubuhmu, begitu pun dengan degup
jantungmu.
Sekali lagi si pendeta menghela napas panjang, menghirup dalam-dalam kehangatan
aroma tubuh si ibu susu.
Tapi saat menyadari bahwa kata-katanya tak mempan, segera ia menambahkan,
Sekarang bawalah anak ini kembali pulang! Keluhanmu akan kubicarakan dengan kepala
biara. Akan kusarankan agar kau diberi empat Franc seminggu.
Tidak, bantah si ibu susu.
Baiklah... lima! tukas si pendeta.
Tidak.
Lantas, kau ingin berapa kalau begitu? bentak Bapa Terrier. Lima Franc sudah
berlebihan untuk tugas seremeh menyusui bayi!
Aku sama sekali tak ingin uang,. timpal si ibu susu. Aku ingin haram jadah ini keluar
dari rumahku.
Tapi kenapa demikian, wahai wanita yang baik? tanya Bapa Terrier sambil menjawil
lagi keranjang itu dengan lembut. Lihatlah! Ia sungguh bayi yang menggemaskan. Kulitnya
segar kemerahan, ia tidak menangis dan juga telah dibaptis.
Anak ini dirasuki setan.
Kontan Terrier menarik jarinya dari keranjang.
Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin seorang bayi bisa dirasuki setan. Bayi adalah
manusia yang belum lengkapmakhluk pramanusia, yang karenanya belum memiliki jiwa
yang terbentuk sempurna. Oleh karena itu, ia tak mungkin diminati setan. Atau barangkali
ia sudah bisa bicara, ya? Apa ia meronta-ronta, begitu? Mampu menggerakkan sesuatu,
barangkali? Apa ada bau setan dari badannya?
Tidak, ia sama sekali tidak berbau, jawab si ibu susu. Nah, itu dia! Itu bukti yang
jelas bahwa ia tidak dirasuki setan. Sebab jika iya, mestinya berbau tak sedap.
Demi meyakinkan si ibu susu dan menguji keberaniannya sendiri, Terrier mengangkat
keranjang dan mendekatkannya ke hidung.
Aku tak mencium bau aneh apa pun, katanya setelah mengendus beberapa kali.
Sungguh tak ada yang aneh. Meski memang ada bau tertentu dari popoknya. Terrier
menyorongkan keranjang agar wanita itu yakin.

Perfume : The Story of a Murderer

Kalau begitu, serahkan saja ia pada mereka!

Bukan itu maksudku, jawab wanita itu kesal sambil menjauhkan keranjang dari
wajahnya. Bukan bau popok yang jadi masalah. Kotorannya memang bau, itu wajar.
Masalahnya si anak itu sendiriia tidak berbau sama sekali.

Tidak, jawab si ibu susu. Anak-anakku berbau seperti normalnya bau anak manusia.
Terrier meletakkan kembali keranjang itu ke tanah dengan hatihati. Kejengkelan mulai
naik ke ubun-ubun menghadapi perempuan keras kepala ini. Rasanya butuh lebih bebas
menggerakkan tangan kalau mau melanjutkan debat tanpa harus melukai si bayi dengan
menenteng keranjang terus-menerus. Tapi untuk sekarang ia masih merasa cukup menahan
tangan di belakang punggung, menyorongkan perut buncitnya ke arah si ibu susu, lalu
bertanya dengan nada tajam, Kau bersikeras kalau begitu, bahwa kau tahu bagaimana
mestinya bau seorang anak manusiayang kalau boleh kuingatkan bahwa begitu seorang
anak dibaptis maka ia adalah juga anak Tuhan. Benar?
Ya, jawab wanita itu.
Dan kau juga bersikeras bahwa jika seorang anak tidak berbaumenurut engkau, wahai
ibu susu bernama Jeanne Bussie dari jalan Saint-Dennismaka anak tersebut sudah pasti
dirasuki setan?
Tangan kiri si pendeta berkelebat dari balik punggung menegaskan pertanyaan dengan
jari telunjuk di depan wajah si ibu susu. Membuat perempuan itu meragu. ia tak menyukai
arah percakapan yang sekonyong-konyong berubah mempertanyakan keyakinannya sendiri,
di mana ia menjadi pihak yang salah.
Maksudku sama sekali tidak begitu, elaknya. Kalian para pendeta selalu saja
seenaknya memutuskan apakah segala sesuatunya harus berhubungan dengan setan atau
tidak, Bapa Terrier. Bukan hakku memutuskan demikian. Aku hanya tahu satu hal: bayi ini
membuatku merinding karena ia tidak berbau sewajarnya bau anak manusia.
Aha! jawab Terrier puas sambil mengibaskan tangan kembali. Sekarang kau menarik
tuduhan soal setan tadi, ya? Bagus. Tapi sekarang tolong katakan padaku: seperti apa kiranya
bau seorang bayi yang wajar menurut pendapatmu? Hmm?
Mestinya ia berbau enak, jawab si ibu susu.
Enak bagaimana maksudmu? desak Terrier. Banyak hal lain yang baunya juga bisa
dibilang enak. Seikat bunga, misalnya. Taman bunga Arab baunya juga enak. Tapi bagaimana
mestinya bau seorang bayi yang enak? itu yang kutanya.
Si ibu susu tergugu. ia tahu persis bagaimana bau seorang bayi. ia tahu persis karena ia
kenyang menyusui, merawat, menggendong, dan menciumi mereka. ia bahkan mampu
mengendusi mereka di kegelapan sekalipun. Saat ini pun ia mencium bau tersebut dengan
jelas. Tapi baru sekarang ia diminta menggambarkannya dengan kata-kata.
Bagaimana? desak Terrier lagi sambil menjentikkan jari tak sabar.
Yaah... ini..., gugu si ibu susu, ...tidak mudah dikatakan, karena... karena masingmasing baunya berbeda, walaupun masing-masing juga baunya enak. Bapa, kau tahu

Perfume : The Story of a Murderer

itu karena ia sehat! bantah Terrier jengkel. Wajar ia tidak berbau karena badannya
sehat! Hanya bayi sakit yang badannya bau. Semua orang tahu itu. Bukan rahasia bahwa
anak yang terserang cacar pasti berbau kotoran kuda, yang terserang demam berbau apel
busuk, dan yang terserang TBC berbau seperti bawang. Tapi anak ini sehat walafiat. Apa itu
salah? Apa menurutmu ia mestinya berbau, begitu? Apa anak-anakmu sendiri bau?

Bapa Terrier perlahan mengangkat kepala sambil melayangkan jemari mengelusi kepala.
botaknya beberapa kali seolah merapikan rambut, lalu mendaratkan jemari tersebut ke
bawah hidung seperti tak sengaja. Ia mengendus-endus sambil berpikir.
Seperti karamel, katamu ... ? ia bertanya, sambil mencoba membangkitkan ketegasan.
Karamel! Tahu apa kau soal karamel? Memangnya kau pernah mencicipi?
Tidak juga sih, jawab si ibu susu, tapi sekali aku pernah berada di sebuah rumah
besar di jalan Saint-Honore dan melihat sendiri bagaimana pembuatannya dari gula dan krim
cair. Baunya begitu enak dan tak terlupakan.
Ya, ya... baiklah, jawab Terrier sambil menarik jari dari hidung.
Tapi tolong jangan bicara lagi sekarang! Aku capek berdebat. Kuputuskan saja sekarang
bahwa dengan ini kau menolak bayi yang telah diserahkan oleh biara untuk kau rawat
bernama Jean-Baptiste Grenouille dan mengembalikannya ke pihak pelindung sementara,
yaitu biara Saint-Merri. Terus terang, ini sungguh meresahkan, tapi sepertinya tak ada
pilihan lain. Kau resmi dipecat. Dengan itu ia mengangkat keranjang, melepaskan endusan
terakhir dari kehangatan dan aroma susu yang menyenangkan dari tubuh si ibu susu,
membanting pintu, lalu langsung menuju ruang kantor.

Perfume : The Story of a Murderer

maksudku, kan? Kaki mereka, misalnya. Baunya seperti batu halus yang hangatatau...
tidak, lebih seperti susu... atau mentega... persisnya mentega segar. Kaki mereka berbau
mentega segar. Dan tubuh mereka berbau seperti... seperti kue serabi berbalur susu. Lantas
kepala, sampai ke ubun-ubun dan bagian belakang di mana rambut mulai mengijuk... itu
lho,... tahu maksudku, kan? Bagian yang kini tak lagi berambut di kepalamu ...... seraya
menepuk bagian yang botak di kepala si pendetayang dalam ketakjuban menyimak, tanpa
sadar merundukkan kepala dengan patuh. Di sini, persis di sini, baunya paling enak. Seperti
karamel. Begitu manis. Pokoknya enak sekali, Bapa. Sulit dijelaskan! Sekali mampu
mengendusi, kau akan menyukainya tanpa peduli itu bau anakmu sendiri atau bukan. Dan
begitulah mestinya bau bayi. Tak boleh berbau lain. Kalau tidak begitukalau mereka tidak
berbau apa-apa sama sekali di ubun-ubun itu atau bahkan nyaris tak berbau seperti si haram
jadah ini, maka... terserah kau mau bilang apa, Bapa, tapi aku ..., ia bersedekap dengan
tegas sambil menyalangkan pandangan jijik ke arah keranjang di kakinya seolah-olah berisi
katak. Aku, Jeanne Bussie, tak sudi menerima benda itu lagi!

Tiga

Begitulah, Bapa Terrier bergumam. Dan kau bayi kecilku yang malang! Makhluk yang
belum lagi memiliki dosa! Terpuruk di keranjang dan terbuang tanpa menyadari kecurigaan
jahat yang diarahkan kepadamu. Wanita lancang itu berani-beraninya menuduhmu tak
memiliki bau sewajarnya anak manusia lain. Benar-benar omong kosong konyol!
Poohpeedooh!
ia menggendong dan mengayun keranjang dengan lembut di atas lutut, mengelus-elus
kepala si bayi dengan jari sambil sesekali mengulang bergumam, Poohpeedooh. Ini
ekspresi yang dianggapnya lembut dan mampu menenangkan anak kecil. Katanya kau
seharusnya berbau karamel. Sungguh omong kosong. Poohpeedooh!

Perfume : The Story of a Murderer

BAPA TERRIER dikenal sebagai orang berpendidikan. Ia tak hanya mempelajari ilmu
agama tapi juga banyak membaca filsafat, di samping sedikit tentang botani dan ilmu kimia.
ia agak memandang tinggi institusinya sendiri. Tak seperti kebanyakan pendeta lain, ia tak
pernah mempertanyakan kesahihan mukjizat, peramalan dan hal ihwal kebenaran sejati
kandungan Alkitab, walaupun teks Alkitab memang tak bisa dijelaskan hanya dengan nalar
yang malah cenderung mengontradiksi. ia memilih untuk tidak mencampuri hal-hal seperti
itu karena dirasa menjengahkan dan membuat gelisah serta stres. Padahal nalar hanya
bermanfaat jika seseorang memiliki keyakinan, rasa aman, dan ketenangan. Yang paling ia
tentang adalah anggapan takhayul masyarakat kebanyakan dalam hal sihir-menyihir, kartu
ramalan, penggunaan jimat, mata jahat, pengusiran setan, omong k osong saat bulan
purnama, dan tetek bengek perilaku absurd lain. Sungguh meresahkan melihat betapa
kebiasaan seperti itu belum juga musnah, bahkan ribuan tahun sejak penetapan resmi
agama Kristen! Laporan-laporan perihal kerasukan setan atau perjanjian dengan Iblis yang
paling muluk sekalipun, setelah ditelaah lebih dalam ternyata tak lebih dari takhayul kuno
semata. Tapi ia juga menyadari bahwa mengingkari keberadaan setan sama saja dengan
mengingkari kewenangannyadan Terrier juga enggan untuk sampai sejauh itu, karena
badan-badan gereja di samping dirinya sendiri selaku seorang pendeta biasa, juga
ditugaskan untuk menetapkan hal-hal semacam itu yang notabene sangat menyentuh dasardasar keagamaan. Tapi di pihak lain rasanya sudah sangat jelas, bahwa ketik a seorang biasa
seperti ibu susu tadi bersikeras telah menyaksikan peristiwa kerasukan setan, si setan sendiri
tak mungkin punya andil di dalamnya. Fakta bahwa wanita tersebut merasa telah
menangkap basah perbuatan setan adalah bukti tak terbantahkan bahwa sama sekali tak
ada apa pun yang berkaitan dengan setan, karena setan tidak mungkin sedemikian bodoh
membiarkan diri tertangkap basah oleh seorang ibu susu seperti Jeanne Bussie. Apalagi
dengan hidung sebagai alasan! Dengan organ seprimitif alat penciuman yang merupakan
indra paling dasar! Sama saja dengan mengatakan bahwa neraka pasti berbau belerang dan
surga pasti berbau dupa serta parfum! Ini wujud takhayul paling buruk yang berakar langsung
dari sejarah kelam paganisme. Saat manusia masih hidup seperti binatang. Tak punya
kesadaran dan tak mampu membedakan warna tapi menganggap diri mampu mencium bau
darah, mampu membedakan mana kawan mana lawan, mengaku telah diendusi raksasa raksasa kanibal, serigala jadi-jadian dan perisementara di pihak lain mereka masih belum
jauh dari ritual pengorbanan manusia. Sungguh menjijikkan! Seperti kata pepatah, Orang
bodoh melihat dengan hidung ketimbang mata. Sungguh, anugerah nalar pemberian Tuhan
tampaknya harus menunggu sampai ribuan tahun lagi sebelum sisa-sisa terakhir dari
keyakinan primitif seperti itu terbasmi habis.

Setelah beberapa waktu ia menarik jarinya kembali, menariknya ke hidung dan


mengendusi. Tapi tak tercium bau apa pun selain bau bubur gandum yang ia makan siang
tadi.

Ia letakkan keranjang itu kembali ke atas lutut dan mengayun lembut. Si bayi masih
tertidur lelap. Kepalan tinju kanannya begitu mungil dan kemerahan, menyembul dari balik
selimut dan sesekali berkedut menggeseki pipi. Menggemaskan sekali. Terrier tersenyum
dan mendadak merasa amat nyaman. Sesaat ia membiarkan diri hanyut dalam lamunan
bahwa dialah ayah si bayi. Bahwa ia belum lagi jadi pendeta dan hanya orang biasa. Seorang
tokoh masyarakat, barangkali. Memiliki istrikehangatan seorang istri beraroma susu dan
wol, dan bahwa mereka telah memiliki anak yang kini sedang digendong dan diayun lembut.
Darah dagingnya sendiri. Poohpoohpoohpeedooh... khayalan ini sungguh menyamankan.
Begitu normal dan wajar. Seorang ayah menggendong anak di pangkuan. Poohpeedooh. Visi
yang sudah setua umur dunia tapi selalu terasa segar dan wajartentu saja selama dunia
masih berputar. Oh, jagat Terrier begitu hangat dalam sentimentalitas.
Lalu si kecil terbangun. Dimulai dari hidungnya. Hidung kecil itu bergerak, mendorong
ke atas dan mengendus. Menghirup dan menghela napas dalam embusan-embusan pendek
seperti bersin yang tak jadi. Lalu hidung itu berkerenyut dan matanya membuka. Warnanya
sulit dipastikanantara kelabu tiram dan krem opal putih, tersaput semacam lapisan lendir
tipis dan tampak tak terlalu biasa menatap cahaya. Terrier mendapat kesan bahwa sepasang
bola mata itu belum mampu menangkap sosok dirinya. Tapi hidungnya tidak begitu.
Sementara mata buta si kecil menyipit dengan tatapan tak jelas, hidung itu seperti
terpaku ke satu sasaran. Anehnya, Terrier merasa bahwa dialah sasaran tersebut. Gumpalan
daging mungil dengan dua lubang di wajah bayi itu mengembang seperti pucuk bunga
merekah. Atau barangkali lebih mirip bunga tanaman kecil pemakan daging yang tersimpan
di taman botani kerajaan. Dan seperti tanaman itu, hidung si kecil seolah membuat isapanisapan aneh dan menakutkanTerrier merasa seolah si bayi menatapnya dengan lubang
hidung. Melotot sedemikian rupa, memerhatikan dan memandang lebih tajam daripada mata
mana pun di dunia. Seolah menggunakan hidung untuk melahap sesuatu hidup-hidup.
Sesuatu dari dalam dirinya sendiridari Terrier, dan ia tak mampu menahan atau

Perfume : The Story of a Murderer

Sejenak ia ragu, lalu matanya berkeliling untuk memastikan tak ada yang melihat. Bapa
Terrier mengangkat keranjang dan mendekatkan hidungnya lebih dekat. Berharap mencium
sesuatu, ia mengendusi sekujur kepala si bayi. Begitu dekat sampai rambut merah si bayi
menggelitiki lubang hidung. ia tak tahu bagaimana mestinya bau kepala seorang bayi. Yang
jelas bukan karamel, karena karamel dibuat dari gula yang dicairkan. Bagaimana mungkin
seorang bayi yang hanya minum susu bisa berbau gula cair? Lebih masuk akal kalau ia berbau
sususeperti susu si ibu susu. Tapi toh tidak demikian. Atau barangkali berbau rambut,
seperti bau kulit dan rambut, dan sedikit bau keringat bayi. Terrier mengendus sedemikian
rupa dengan harapan mencium bau kulit, rambut, dan keringat si bayi. Tapi tetap tak
mencium apa pun sama sekali. Tampaknya bayi tak memiliki bau, pikirnya. Dan pasti
memang demikian. Bayi kan dipelihara dengan kebersihan, maka sewajarnya tak berbau.
Kecuali kalau ia sudah bisa bicara, berjalan, atau menulis. Hal-hal yang akan tumbuh seiring
usia. Kalau mau ditelusuri, manusia pertama kali mengeluarkan bau badan saat ia menginjak
pubertas. Memang demikianlah adanya. Bukankah pujangga Horace sendiri telah menulis,
Anak remaja berbau kesturi, sementara anak perawan berbau mekar bunga laksana narsis
putih...? Orang Romawi yang biangnya paganisme pun mafhum akan hal ini! Bau tubuh
manusia selalu bernuansa daging, atau lebih tepatnya bau dosa. Bagaimana mungkin seorang
bayi yang belum kenal dosabahkan dalam mimpinya sekalipun, bisa memiliki bau? Seperti
apa baunya kalau memang iya? Poohpeedooh... sungguh tidak mungkin!

Terrier memaksa diri untuk bangkit dan meletakkan keranjang di atas meja. Hatinya
didera keinginan untuk menyingkirkan benda itu sejauh dan sesegera mungkin. Lebih cepat
lebih baik.
Si bayi lalu mulai menangis. ia mengerjapkan mata, membukanya lebar-lebar, dan
melengkingkan jeritan sedemikian nyaring sampai pembuluh darah Terrier serasa beku.
Segera ia mengayun keranjang dengan kedua tangan dan berseru, Poohpeedooh, berusaha
mendiamkan. Tapi si kecil malah menjerit makin nyaring sampai wajahnya membiru dan
seperti mau meledak.
Harus segera menjauh! Begitu pikir Terrier. Pergi detik ini juga dari... Ia hendak
mengucap Iblis, tapi segera sadar dan menahan diri. Menjauh dari... monster ini! Dari anak
aneh ini! Tapi hendak kabur atau dijauhkan ke mana.? ia kenal selusin ibu susu dan yayasan
yatim piatu di kota ini, tapi rasanya masih terlalu dekat. Belum cukup jauh. Harus
menjauhkan benda ini sejauh mungkin. Sejauh-jauhnya sampai tak terdengar lagi. Sampai
benar-benar tak bisa dikirim balik ke lagi. Atau kalau mungkin dikirim saja ke gereja di
wilayah lainjika terletak di seberang sungai akan lebih baik. Pilihan terbaik adalah
membuangnya ke Saint-Antoine. Aha, benar, itu dia! Tempat yang paling tepat untuk bayi
penjerit ini. Letaknya jauh di Timur, melewati kota Bastille, di mana pintu gerbangnya
selalu dikunci saat malam.
Jadilah ia mengemasi barang seadanya, menjinjing keranjang, bergegas. Berlari
melewati labirin gang demi gang menuju Saint Antoine, ke Timur yang searah dengan sungai
Seine, keluar dari kota melangkah lebih jauh lagi ke jalan Charonne sampai nyaris mentok
ke ujung jalan, ke sebuah alamat dekat biara Madeleine de Trenelle. ia tahu di situ tinggal
seorang wanita bernama Madame Gaillard yang mau menerima anak-anak tanpa peduli umur
atau apa pun asal ada yang bersedia membayar. Ke sanalah ia akan menyerahkan anak ini
yang masih saja menangis. Membayar dengan bayaran penuh untuk setahun di muka, dan
kabur kembali ke kota. Sekembalinya di biara nanti ia bersumpah akan segera membuang
pakaian yang ia kenakan seolah habis terciprat najis, mandi sebersih mungkin dari kepala
sampai kaki, lalu merayap ke ranjang di kamarnya yang sempit, menyilang trinitas berulangulang, berdoa panjang-panjang dan akhirnya tidur dengan lega.

Perfume : The Story of a Murderer

menyembunyikan sesuatu itu. Sang bayi tak berbau kini membauinya tanpa malu-malu. Ah,
pasti begitu! ia sedang mengenali dan menetapkan baunya! Seketika itu juga ia mendadak
merasa berbau tak sedap. Berbau keringat serta cuka, bubur gandum dan paka ian kotor.
Serasa telanjang dan burukseolah ada yang ternganga menatap begitu tajam tanpa timbal
balik membuka jati diri. Si bayi seolah mengendus sampai menembus kulit dan seisi perut.
Sampai ke emosi yang terdalam, segala pikiran kotornya terpapar begitu saja di hadapan
hidung mungil nan rakus itu. Padahal bentuknya pun tak bisa dibilang sempurna. Hanya
segumpal daging berbentuk hidungsebuah organ dengan dua lubang yang tak benci
mengernyit, mendengus, dan berkedut. Bulu kuduk Terrier mendadak berdiri. Perut serasa
mual. ia menarik kembali hidungnya sendiri seolah membaui sesuatu yang tak sedap dan
enggan berdekatan lebih jauh. Lenyap sudah semua pikiran lembut yang semula
membayangkan si bayi sebagai darah dagingnya sendiri. Pupus sudah romantisme lamunan
soal ayah dan anak serta istriseperti ada orang yang tahu-tahu hadir dan
membumihanguskan segala fantasi indah tentang ia dan si bayi. Matanya kini hanya melihat
sesosok makhluk aneh dan dingin tengah bernaung di lututnyaatau bahkan binatang buas.
Kalau saja ia bukan manusia berwatak lembut, takut Tuhan, dan berakal sehat, pasti sudah
digebahnya seperti orang tersengat laba-laba.

Empat

Di pihak lain... atau barangkali justru karena ketiadaan emosi manusiawi itu, Madame
Gaillard terkenal bertangan besi dalam hal tatanan, keteraturan, dan keadilan. Ia tak
membedakan atau mendiskriminasi anak asuh. Jatah makanan setiap anak tetap tiga kali
sehari. Tak lebih, tak kurang. Ia bersedia mengganti popok tiga kali sehari, tapi hanya
sampai usia dua tahun. Siapa pun yang membangkang akan dipukul dan dikurangi jatah
makannya jadi dua kali sehari. Biaya perawatan setiap anak dibagi persis separo-separo
untuk kepentingan rumah penitipan yatim-piatu dan dirinya sendiri. Harga yang ditetapkan
juga tak pernah berubahtak peduli paceklik atau sedang makmur. Meski tampak aneh, tapi
hanya dengan cara itu ia bisa menghargai bisnis yang dijalani. Ia butuh uang dan sangat
memperhitungkan setiap peraknya. Saat tua kelak ia ingin punya simpanan tunjangan yang
cukup untuk membiayai kematian di rumahnya sendiritidak di Htel-Dieu seperti suaminya
dulu. Bayangan ini membuat perutnya dingin. Ia tak ingin mati bersama ratusan orang asing.
Ia ingin mati sendirian. Untuk itulah ia kini menabung dari usaha penitipan anak yatim-piatu.
Kendati publik mafhum dengan fakta bahwa kadang tiga atau empat anak titipnya meninggal
saat musim dingin, tapi ini masih jauh lebih baik dari kebanyakan rumah penitipan lain,
bahkan terhitung nomor dua terbaik di Paris karena umumnya perbandingannya mencapai 9
dari 10 anak mati setiap tahun. Toh tak ada yang peduli karena jumlah kelahiran jauh lebih
banyakParis menghasilkan sepuluh ribu bayi resmi, haram, dan yatimpiatu setiap tahun.
Jadi, perbandingan itu masih dianggap wajar.
Grenouille kecil sungguh beruntung dibuang ke rumah penitipan Madame Gaillard. Besar
kemungkinan ia tak akan bertahan di tempat lain. Tapi di sini, bersama wanita mati rasa
ini, ia tumbuh pesat. Grenouille punya ketahanan jasmani yang tinggi. Siapa pun yang
mampu bertahan dilahirkan di keranjang sampah tak akan semudah itu tersingkir dari dunia.
Sehari-hari ia mampu hanya makan sup tanpa tambahan apa pun. Susu paling encer, sayuran
maupun daging paling basi. Sepanjang masa kecil ia bertahan dari campak, disentri, cacar
air, kolera, jatuh ke sumur sedalam dua puluh kaki, atau luka bakar di dada akibat tersiram
air panas. Badannya kenyang memar dan bekas luka serta sedikit pincang di kaki, tapi ia
tetap hidup. Daya tahannya setangguh bakteri atau kutu pohon yang hidup dari setetes darah
yang diawet-awet selama bertahun-tahun. Ia hanya butuh sedikit saja jatah makan-minum
serta pakaian karena jiwanya tak menuntut apa-apa. Perlindungan, perhatian, kehangatan,
cinta, atau apa pun yang katanya dibutuhkan oleh anak-anak, benar-benar jauh dari
Grenouille. Atau barangkalisetidaknya dalam pandangan umum, ia sengaja membuang

Perfume : The Story of a Murderer

MADAME GAILLARD tampak jauh lebih tua dari usianya yang belum lagi tiga puluh tahun.
Banyak orang menganggap begitu. Bagi dunia ia terlihat sesuai dengan usia sebenarnya,
namun sekaligus pada saat yang sama tampak dua atau tiga ratus tahun lebih tuajadi
seperti mumi seorang gadis muda. Tak banyak yang tahu bahwa di balik itu semua, jiwanya
sudah lama mati. Sewaktu kecil ayahnya memukul kening Gaillard dengan tongkat, persis di
atas dasar tulang hidung. Sejak itu ia kehilangan kepekaan membaui berikut kehangatan dan
dinginnya rasa kemanusiaan. Satu pukulan sudah cukup membuatnya terasing dari perasaan
wajarnya manusia, baik itu kehangatan, kebaikan, dendam, kebahagiaan, atau kesedihan.
Ia tak merasakan apa pun saat tidur dengan seorang laki-laki, dan hanya ada setitik haru
saat ia mengandung anak. Ia tak menangisi yang mati atau mensyukuri yang hidup.
Bergeming saat dipukuli suami tidak pula lega saat laki-laki itu meninggal akibat kolera di
Htel-Dieu. Dua rasa kemanusiaan yang bisa ia rasakan hanya setitik depresi saat menjelang
migrain menstruasi dan perubahan mood saat kembali normal. Lain dari itu, wanita zombi
ini sama sekali tak merasakan apa pun.

Putusan ini hadir tidak seperti orang dewasa saat mengambil putusan, karena sebagai
anak kecil ia tidak memiliki cukup pengalaman dan nalar untuk memilih dari berbagai pilihan
yang dihadirkan oleh pengalaman. Bagaimanapun, putusan ini perlahan hadir. Seperti
kacang yang saat dilempar ke tanah harus memutuskan apakah hendak tumbuh atau tidak.
Atau seperti kutu pohon dalam permisalan tadi, di mana hidup tak menawarkan apa pun
selain hibernasi abadi. Kutu kecil nan jelek itu hanya tahu bagaimana menggulung badan
biru kelabunya tanpa menawarkan apa-apa bagi dunia. Juga dengan memuluskan serta
mengeraskan kulit yang tiada berkeringat sedikit pun. Sedemikian rupa menciutkan diri agar
tidak diperhatikan dan diinjak manusia. Sang kutu yang kesepian menggulung diri di pohon.
Buta, tuli, bodoh, dan tanpa kegiatan lain selain mengendus-endus sepanjang tahun,
sepanjang jalan, demi setetes darah dari binatang yang kebetulan lewat lantaran tak kuat
menggapai dengan kekuatan sendiri. Sang kutu hanya bisa jatuh. Jatuh ke tanah di tengah
hutan lalu merangkak barang satu atau dua milimeter ke sana kemari dengan enam kakinya
yang mungil, berbaring pasrah menunggu mati di bawah dedaunan. Tuhan tahu betapa tak
berartinya hal ini. Tak akan ada yang merasa kehilangan. Tapi dasar si kutu keras kepala,
menggerutu dan menjijikkan. Ia tetap bergeming. Hanya hidup dan menunggu. Menunggu
sang kebetularn untuk membawakan darah dalam wujud seekor binatang, persis di bawah
pohon. Hanya dengan cara itu si kutu bisa bebas jatuh dari pohon untuk menggaruk,
mengisap, dan menggigit kulit mulus korbannya.
Grenouille muda tak ubahnya si kutu pohon. Ia membungkus diri sedemikian rupa,
menanti saat yang lebih baik. Sumbangsihnya bagi dunia tak lebih dari sekadar kotoran saat
buang air. Tanpa senyum, tanpa tangis, tanpa keceriaan, bahkan tanpa bau badan! Wanita
mana pun pasti tak tahan dan segera menendangnya keluar rumah. Tapi tidak Madame
Gaillard. Ia tak bisa mencium fakta bahwa si bocah tak berbau, pun soal kejiwaan si anak,
karena ia juga menutup diri rapat-rapat.
Namun anak-anak lain langsung bisa merasakan kelainan Grenouille. Sejak hari pertama
ia datang, kehadirannya sudah membawa atmosfer mencekam. Refleks awal mereka adalah
menjauhi keranjang tidur si bayi dan meringkuk bergerombol di pojok ranjang masingmasing, seolah suhu ruangan mendadak anjlok. Yang termuda di antara mereka bahkan
kerap menangis saat malam. Yang lain bermimpi seperti ada yang hendak mencuri napas
mereka. Pernah suatu hari anak-anak tertua berencana mencekik saja bayi itu. Mereka
menumpuk potongan-potongan kain, selimut, serta jerami ke muka Grenouille lalu
memberati dengan batu bata. Saat Madame Gaillard menyingkirkan semua itu keesokan
paginya, si bayi sudah kisut, lumat, dan membiru, tapi tidak mati. Anak-anak mencoba lagi
beberapa kali, namun tetap gagal. Kalau saja mereka mencekik langsung dengan tangan
kosong atau menutup mulut serta hidung si bayi, kemungkinan akan lebih sukses, tapi tak
ada yang berani mencoba. Tak ada yang sudi menyentuh si bayi. Grenouille membuat

Perfume : The Story of a Murderer

semua itu agar mampu bertahan hidup. Ini dilakukan sejak usia amat muda. Tangisan yang
mengikuti kelahiran Grenouilletangisan yang mengangkatnya dari sampah dan mengirim
ibunya ke tiang gantungan, bukanlah tangisan naluri demi simpati atau cinta. Tangisan itu
berasal dari pertimbangan hati-hati sang bayi (bahkan boleh dibilang pertimbangan dewasa),
dari putusannya untuk membenci cinta dan kehidupan. Dalam situasinya kita bisa maklum
bahwa hidup hanya memungkinkan bagi Grenouille bila tanpa cinta atau kasih sayang.
Sejarah mungkin akan berbunyi lain kalau saja saat itu ia memilih tanpa kehidupan.
Memang, ia tetap bisa mengambil Jalan mudah dengan memilih untuk langsung mati saja
ketimbang membebani dunia dengan kelahirannya yang tak berarti. Tapi pilihan ini jelas
menuntut kerendahan hati yang tak sedikit, dan itu tidak dimiliki Grenouille. Merasa sebagai
monster sejak lahir, ia memilih untuk menjalani hidup di jalur dendam dan kebencian.

mereka gerah. Seperti orang yang tak tahan melihat laba-laba tapi tak berani menginjaknya
karena jijik.

Perfume : The Story of a Murderer

Seiring pertambahan usia, anak-anak akhirnya tak bernafsu lagi meneruskan percobaan
pembunuhan merekabarangkali di bawah kesadaran bahwa Grenouille tak bisa
dihancurkan. Pilihan yang tertinggal adalah aksi menjauh. Menyebar, berlarian, atau
setidaknya menghindar agar tak tersentuh. Anehnya, mereka tak membenci Grenouille.
Cemburu atau dendam pun tidak. Jatah Grenouille di rumah penitipan yatim-piatu tak
pernah lebih atau kurang dari mereka sendiri, jadi tak ada alasan untuk itu. Perasaan
terganggu dan tak nyaman berada dekat Grenouille semata-mata hadir karena tak bisa
mencium bau badannya. Untuk itu mereka takut dan jeri.

Lima

Suatu hari di bulan Maret, ketika sedang duduk di sebilah balok kayu besar sambil asyik
bergumam entah apa di tengah matahari musim panas, untuk pertama kalinya ia
menyerukan kata kayu. Ia sudah pernah melihat dan mendengar tentang kayu ratusan kali
sebelumnya, juga akrab dengan benda ini karena sering disuruh mengumpulkan kayu bakar
di musim dingin. Tapi benda ini belum pernah sedemikian menarik perhatian sampai
membuat ia mau menyebut namanya. Ini terjadi pertama kali di hari bulan Maret itu, saat
ia sedang duduk di balok yang ditumpuk di bawah pinggiran atap dan membentuk bangku
sepanjang sisi selatan gudang Madame Gaillard. Bagian atas balok mengambangkan aroma
terbakar yang manis sementara bagian dalamnya sampai ke atas menebar bau lumut. Di
tengah hangat terik matahari, tebaran aroma damar meluruh dari bilah-bilah papan pinus
yang membentuk dinding gudang.
Grenouille duduk di balok itu dengan kaki terjulur dan punggung bersandar ke dinding.
Mata terpejam dan tubuh bergeming. Ia tidak melihat, mendengar, atau merasakan apa pun.
Hanya aroma kayu yang menguap di sekeliling dan terperangkap di bawah atap bangunan
gudang. Ia menghirup dan tenggelam dalam aroma itu, seolah menyesaki seluruh pori-pori
kulit sampai akhirnya menjadi kayu itu sendiri. Seperti boneka kayu ia duduk di balok itu.
Seperti Pinokio. Berlagak mati dan setelah setengah jam atau lebih, mengucap kata kayu.
Ia muntahkan kata itu seperti orang yang seluruh tubuhnya sesak oleh kayu sampai ke
telinga, seolah terkubur dalam kayu sampai ke leher, seolah seluruh isi perut dan hidungnya
luber oleh kayu. Bayangan ini menyadarkan dan menyelamatkan benaknya, persis beberapa
saat sebelum aroma kehadiran kayu serasa mencekik. Dengan gemetar ia mengggebah
badan, meluruk turun dari balok dan terhuyunghuyung menjauh bagai orang berkaki kayu.
Sampai berhari-hari kemudian pusingnya tak juga hilang. Dan setiap kali ingatan penciuman
itu meluruk sedemikian kuat, mulutnya otomatis bergumam berkali-kali, Kayu... kayu ...
Jadilah ia belajar bicara. Kesulitan terbesar didapati saat terbentur pada kata-kata dari
benda-benda tak berbau, seperti ide-ide abstrak dan sejenisnyaterutama soal etika dan
moral. Ia sulit mengerti dan cenderung mencampur aduk satu sama lain. Sampai usia dewasa
ia selalu sungkan dan kerap salah menggunakan kata-kata seperti keadilan, nurani, Tuhan,
bahagia, tanggung jawab, kerendahan hati, rasa syukur, dan sebagainyamakna dari
ekspresi kata-kata ini tetap jadi misteri baginya.

Perfume : The Story of a Murderer

KALAU MAU JUJUR, sebenarnya tak ada yang menakutkan dalam. diri Grenouille. Saat
dewasa tubuhnya tidak besar ataupun kuat. Buruk rupa memang, tapi tidak sedemikian
buruknya sampai mampu membuat orang menjerit ketakutan. Ia tidak agresif atau culas,
tidak berlaku sembunyi-sembunyi atau memprovokasi orang. Ia malah lebih suka
menghindar. Soal kepandaian juga biasa-biasa saja. Umur tiga tahun ia baru bisa berdiri.
Kata pertama. yang keluar dari bibirnya adalah ikan. Ini terjadi jam empat pagi. Diucapkan
dengan keriangan luar biasa seperti gema suara, nelayan sepanjang jalan Charonne saat
memekikkan dagangan di kejauhan. Kata berikut adalah pelargonium, kandang kambing,
kubis savoy, dan Jacquestorreuryang terakhir ini adalah nama seorang pembantu
tukang kebun dari biara Filles de la Croix di seberang jalan yang kadang diserahi berbagai
pekerjaan kasar oleh Madame Gaillard dan terkenal tak pernah mandi seumur hidupnya.
Grenouille tak terlalu suka menyerukan kata kerja, kata sifat, dan kata seru. Kecuali untuk
ya dan tidak yang lumayan jarang dipakai. Ia hanya menyerukan kata bendakhususnya
benda-benda dasar seperti tanaman, binatang, manusia. Itu pun jika ketiga benda tersebut
mendadak menyerang hidungnya dengan aroma.

Pada usia enam tahun ia sudah sangat mampu memahami lingkungan dengan penciuman.
Tak ada benda apa pun dalam rumah Madame Gaillard, tidak juga sepanjang jalur utara
jalan Charonneorang, pohon, semak, tiang pancang, noda kecil atau besaryang tidak
dikenalinya berdasarkan bau. Ia juga mampu mengenali lagi benda yang sama berdasarkan
keunikan benda tersebut dalam ingatan. Otaknya menyimpan memori tentang puluhan,
bahkan ratusan ribu aroma spesifik dengan sangat jelas. Tak hanya mengingat masing masingnya secara acak kapan saja saat mencium bau yang sama, tapi juga mampu membaui
saat mengingattanpa harus mencium bau yang sama. Terlebih lagi, imajinasinya mampu
menyusun kombinasi baru dari masing-masing aroma tersebut sedemikian rupa sampai
tercipta aroma yang tak ada di dunia nyata. Grenouille bagai seorang autodidak penyusun
perbendaharaan raksasa pustaka aroma yang membuatnya mampu menciptakan banyak
sekali kalimat tentang aroma. Hebatnya lagi, semua ini terbentuk saat normalnya anak kecil
masih harus berusaha keras mengingat kata agar mampu menyusun kalimat koheren yang
menggambarkan dunia sekeliling. Analogi terdekat yang mampu menggambarkan bakat aneh
ini mungkin ibarat seorang genius musik dengan kemampuan mengidentifikasi melodi dan
harmoni dari alfabet di setiap nada individual, lalu menggubahnya menjadi melodi serta
harmoni yang sama sekali baru. Yang membedakan kedua realitas ini adalah bahwa
perbandingan alfabet untuk aroma tentu jauh lebih besar dan lebih bernuansa ketimbang
nada. Plus fakta menyedihkan bahwa seluruh keajaiban aktivitas kreatif seorang genius
bernama, Grenouille ini hanya bisa eksis dan diterima dalam pikirannya sendiri.
Dunia luar hanya mencatat bahwa ia tumbuh menjadi orang yang makin lama makin
pendiam dan misterius. Kegiatan favoritnya adalah berkelana sendirian sepanjang sisi utara
Saint-Antoine. Melalui kebunkebun sayur dan anggur serta padang rumput. Kadang ia tak
pulang dan menghilang berhari-hari. Hukuman rotan yang menanti ia terima tanpa jerit
kesakitan. Hukuman kurungan rumah, tak boleh makan, atau kerja berat tetap tak mampu
mengubah perilakunya. Delapan belas bulan kunjungan sporadis ke sekolah gereja di Notre
Dame de Bon Secours juga tak memberi dampak berarti. Grenouille belajar sedikit

Perfume : The Story of a Murderer

Di pihak lain, bahasa sehari-hari ternyata tak cukup mampu menjelaskan semua persepsi
penciuman yang diperolehnya selama ini. Dengan segera ia dapati bahwa ia tak hanya
mampu mencium dan menegaskan aroma kayu, tapi juga berbagai jenis kayu seperti kayu
pohon mapel, kayu pohon ek, kayu pohon pinus, kayu lapuk, segar, busuk, kayu berlumut,
sampai ke setiap balok, kepingan, dan serpihannya. Tak hanya itu, ia mampu membedakan
dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh orang lain secara visual. Ini juga berlaku untuk
banyak hal lain. Misalnya minuman berwarna putih yang biasa disajikan Madame Gaillard
untuk anak-anak asuhnya setiap hari. Orang lain akan langsung akur bahwa itu pasti susu,
tapi indra pencium dan pengecap Grenouille menegaskan hal yang berbeda setiap hari,
tergantung dari seberapa panas saat disajikan, dari sapi yang mana susu itu berasal, apa
yang dimakan sapi itu sebelumnya, jumlah kandungan krim, dan seterusnya. Atau kenapa
asap harus memiliki hanya satu nama saja: asap, padahal dari menit ke menit, dari detik
ke detik, campuran ratusan macam bau membaur menjadi kesatuan yang sama sekali
berbeda setiap kali asap membubung dari sebuah sumber api. Atau kenapa tanah, daratan,
udaramasing-masing dari setiap jengkalnya dan di setiap tarikan napas, sarat dengan
aneka aroma dan karenanya pasti memuat entitas yang juga berbeda-bedahanya dirujuk
dengan tiga kata yang umum tadi. Seluruh keganjilan dari keanekaragaman yang hanya bisa
ditangkap oleh indra penciuman plus keterbatasan jembatan bahasa ini sudah cukup
menjadi bukti bagi Grenouille muda untuk yakin bahwa penggunaan bahasa sama sekali tidak
logis. Jadilah ia makin terbiasa untuk berbicara hanya apabila benar-benar tak bisa
menghindari kontak dengan orang lain.

kemampuan mengeja dan menulis nama sendiri. Tidak lebih. Guru-guru menganggapnya
bodoh.

Ia kenal seorang penyamak kulit bernama Grimal yang tinggal dekat sungai di jalan
Mortellerie dan terkenal selalu mencari pekerja mudabukan untuk dididik sebagai murid
atau karyawan, tapi sebagai buruh murah. Ada tugas-tugas tertentu yang berbahaya, seperti
membersihkan daging dari kulit yang membusuk, mencampur larutan dan bahan celupan
beracun untuk proses penyamakan, dan membuat larutan alkali yang membakar kulit.
Sedemikian berbahaya sampai membuat si pemilik usaha enggan menyerahkan pengerjaan
pada tenaga ahli dan lebih suka mempekerjakan imigran, gelandangan, pelacur, atau anak
hilang yang tak akan menarik perhatian jika terjadi sesuatu. Madame Gaillard tentu saja
tahu bahwa dalam kondisi normal Grenouille tak mungkin bisa bertahan hidup di pabrik
penyamakan kulit milik Grimal. Tapi ia bukan wanita yang suka mengasihani. Toh tugasnya
sudah selesai. Perwalian dan pemeliharaannya sudah berakhir. Apa yang terjadi pada si anak
setelah itu bukan urusannya lagi. Kalau mampu bertahan, baguslah. Kalau mati, ya bagus
jugaasal dilakukan dan terjadi secara legal.
Jadilah ia meminta kuitansi dari Monsieur Grimal sebagai bukti tertulis serah terima
Grenouille, menyerahkan kuitansi biaya komisi sebesar lima belas Franc, lalu kembali pulang

Perfume : The Story of a Murderer

Madame Gaillard lain lagi. Ia menyadari bahwa anak ini punya kemampuan dan kualitas
tersendiri yang sangat tidak biasakalau tak mau dibilang ajaib. Terutama sejak ia tahu
bahwa tak seperti anak kecil lain, Grenouille sama sekali asing dengan rasa takut terhadap
kegelapan dan malam hari. Kau bisa menyuruhnya pergi ke loteng kapan saja, sementara
anak-anak lain biar ditemani lentera sekalipun pasti tak akan berani. Atau disuruh
mengambil kayu bakar di gudang saat tengah malam. Grenouille tak pernah membawa
penerangan apa pun, tapi selalu mampu menemukan jalan dan kembali dengan barang yang
diminta tanpa membuat kesalahantidak pakai terjatuh, tersandung, atau terjerembab.
Madame Gaillard juga menemukan bahwa Grenouille mampu melihat menembus kertas,
kain, kayu, bahkan tembok dan pintu terkunci. Tanpa memasuki pondok ia tahu persis
berapa jumlah dan anak yang mana yang ada di dalamnya. Ia tahu ada tidaknya ulat dalam
kembang kol sebelum kol itu dibelah. Dan sekali, saat Madame Gaillard yakin sudah
menyembunyikan uang sedemikian rupa sampai ia sendiri tak bisa menemukan (ia selalu
mengubah lokasi penyimpanan), Grenouille langsung menunjuk tanpa ragu ke sebuah lokasi
rahasia di balik langit-langit perapiandan memang benar adanya! Ia bahkan mampu
melihat masa depan, karena ia suka meramalkan kunjungan seseorang jauh sebelum orang
itu hadir, atau kehadiran badai sementara langit pada saat itu cerah. Tak ada yang tahu
bahwa Grenouille tidak melihat semua ini dengan mata, tapi mengendusi aromanya dengan
hidung yang dari hari ke hari makin menegaskan presisi aroma tersebut. Pada ulat dalam
kembang kol, uang di balik perapian, dan orang di balik tembok atau yang berada beberapa
blok di ujung jalan sekalipun. Madame Gaillard tentu saja tak akan menduga sampai sejauh
itupun andai pukulan ayahnya dulu tidak menumpulkan indra penciumannya. Ia hanya tahu
dan yakin bahwa idiot atau tidak, bocah ini punya indra ke enam. Sadar bahwa orangorang
seperti itu cenderung membawa sial dan kematian, kehadiran Grenouille membuatnya
resah. Apalagi jika mengingat bahwa ia tinggal seatap dengan orang yang punya bakat
menunjukkan persembunyian uang di balik tembok dan perapian. Dus, begitu yakin bahwa
Grenouille memang memiliki bakat mengerikan ini, timbul niat untuk menyingkirkan si
bocah. Kebetulan saat itu usia Grenouille sudah mencapai delapan tahun dan biara SaintMerri tiba-tiba menghentikan pembayaran tahunan begitu saja. Madame Gaillard sengaja
tidak menagih. Agar tampak wajar ia menunggu sampai seminggu. Saat kiriman uang tak
juga datang, ia menggandeng si malang Grenouille dan mengajaknya berjalan-jalan ke kota.

ke rumah. Nuraninya sama sekali tak menyisakan sesal. Ia justru merasa tindakannya tidak
hanya sah, tapi juga adil, karena jika ia mempertahankan seorang anak yang biaya
penitipannya tak lagi dibayar, biaya tersebut otomatis terbebankan ke anak lain atau dirinya
sendiri. Ini tentu sangat membahayakan masa depan anak asuh lain, atau lebih buruk lagi:
masa depannya sendiri, mengubur impiannya untuk mati wajar, sendiri, dan terlindung.
Satusatunya keinginan yang tersisa dalam hidup.

Walau mendambakan kematian yang wajar sejak kanak-kanak, Madame Gaillard temyata
diberi hidup sampai usia sangat, sangat tua. Pada tahun1782, menjelang ulang tahun
ketujuh puluh, ia melepaskan bisnisnya, membeli surat tunjangan hidup sesuai rencana, lalu
duduk di rumah menanti ajal. Tapi kematian tak kunjung tiba. Yang datang malah sesuatu
yang sama sekali tak terduga siapa pun: Revolusi Prancistransformasi gila-gilaan seluruh
tatanan sosial, moral, dan agama. Awalnya revolusi ini tak memengaruhi nasib Madame
Gaillard, tapi kemudiandi usianya yang nyaris delapan puluh tahun-orang yang memegang
kewajiban pembayaran tunjangan hidup Madame Gaillard harus beremigrasi, seluruh hak
kepemilikannya dilucuti, dan dipaksa melelang kepemilikannya atas sebuah pabrik garmen.
Untuk sementara perubahan ini tetap tidak berakibat fatal bagi Madame Gaillard, karena
pabrik garmen itu melanjutkan membayar tunjangan tepat waktu. Tapi kemudian tiba saat
di mana ia tak lagi menerima uang dalam bentuk koin, tapi secarik kertas tercetak. Ini
menandai awal kejatuhan kondisi perekonomian Madame Gaillard.
Dalam dua tahun, surat tunjangan itu tak lagi cukup untuk membiayai hidup. Madame
terpaksa menjual rumah dengan harga sangat rendah karena ribuan orang lain mendadak
juga terpaksa menjual rumah. Dan sekali lagi ia menerima pembayaran berupa secarik
kertas tercetak yang dalam dua tahun kembali tak bernilai. Tahun1797 (menjelang usia
sembilan puluh tahun), seluruh harta dari hasil kerja kerasnya selama hampir seratus tahun
ludes dan ia terpaksa tinggal di sebuah kamar sempit di jalan Coquilles. Pada saat itulah
setelah sepuluh-dua puluh tahun terlambat, sang maut menjelang. Hadir dalam wujud
penderitaan berkepanjangan bernama kanker tenggorokan yang merampas nafsu makan dan
akhirnya suara. Madame Gaillard bahkan tak mampu melenguh protes saat diusung ke HtelDieu. Ia ditaruh di sebuah bangsal bersama ratusan orang sekarat lain, di bangsal tempat
suaminya meninggal dulu, berbagi ranjang berdempet-dempet dengan lima wanita asing,
dan tiga minggu kemudian mati di depan umum. Mayatnya dibungkus karung, dilempar ke
gerobak pengusung pupuk kandang pada jam empat pagi bersama lima puluh mayat lain,
lalu seiring denting bel dibawa ke Damartsebuah tanah pekuburan baru berjarak satu mil
di luar gerbang kota. Dan demikianlah akhir seorang Madame Gaillard... dalam sebuah
kuburan massal, ditutup batu kapur tebal.
Itu terjadi tahun1799. Untungnya Madame Gaillard sama sekali tak menyadari nasib yang
menanti saat ia melenggang pulang pada tahun 1746, meninggalkan Grenouille dan cerita
kita untuk selamanya. Kalau saja ia menyadari, detik itu juga keyakinannya tentang keadilan
akan lenyap, bersama satu-satunya makna hidupnya yang paling berarti.

Perfume : The Story of a Murderer

Karena kita hendak meninggalkan Madame Gaillard dan tak akan bertemu dia lagi dalam
cerita ini, sudilah kita relakan beberapa kalimat untuk menggambarkan bagaimana akhir
hidupnya.

Enam

Jika tidak sedang mengubur atau menggali samakan kulit, ia ditugasi membawa air.
Selama berbulan-bulan ia membawa air dari sungai dengan dua ember. Jumlahnya bisa
ratusan ember dalam sehari karena penyamakan membutuhkan air dalam jumlah besar
untuk perendaman, perebusan, dan pencelupan kulit. Selama berbulan-bulan tugas ini
membuat badannya tak pernah kering. Sore hari pakaiannya selalu kuyup dan ia terpaksa
tidur dengan kulit dingin dan membengkak seperti rendaman kulit antelop.
Setelah setahun hidup seperti binatang, ia terjangkit anthrax penyakit yang paling
ditakuti penyamak dan biasanya fatal. Grimal langsung memecat dan celingukan mencari
penggantinya, walau diiringi sesal karena belum pernah ia menemui pekerja sepatuh dan
seproduktif Grenouille. Di luar dugaan, Grenouille ternyata mampu bertahan dan sembuh.
Yang tinggal hanya parut kehitaman dari radang kulit di belakang telinga, di kedua tangan,
dan pipi. Membuat wajahnya cacat dan lebih jelek daripada sebelumnya. Tapi ini juga
membuat ia kebal terhadap anthrax. Kini ia mampu menguliti kulit paling bau dengan tangan
tersayat dan berdarah sekalipun tanpa khawatir terinfeksi lagi. Ini membuatnya mencuat
tak hanya melebihi para pekerja magang dan pekerja senior, tapi juga dari para calon
penggantinya. Dan karena ia tak bisa lagi digantikan dengan mudah, nilai kerja dan nilai
hidupnya meningkat. Mendadak ia tak boleh lagi tidur di lantai dan diizinkan membuat
sendiri ranjang papan (kendati masih di lemari yang sama), diberi jerami sebagai kasur dan
selimut sendiri. Pintu lemari tak pernah dikunci lagi saat ia tidur. Makanan juga lebih
memadai. Grimal tak lagi memeliharanya sebagai binatang biasa, tapi sebagai peliharaan
yang berguna.
Di usia dua belas tahun, Grimal memberi istirahat setengah hari setiap minggu, dan di
usia tiga belas bahkan mengizinkan Grenouille keluar jalan-jalan setiap minggu sore selama

Perfume : The Story of a Murderer

SEJAK PERTAMA KALI menatap Monsieur Grimaltidak, tepatnya sejak endusan pertama
atas bau yang menyelimuti lelaki itu, Grenouille langsung tahu bahwa orang ini tega
menyiksanya sampai mati untuk kesalahan kecil sekalipun. Hidupnya bergantung pada
berapa banyak pekerjaan yang bisa ditangani dan seberapa bergunanya ia di mata Grimal.
Grenouille tak melihat pilihan selain patuh. Menurut dan tak mencoba melawan sama sekali.
Hari demi hari ia memendam seluruh energi pemberontakan dan pertentangan,
mengubahnya menjadi keinginan tunggal untuk bertahan hidup ala kutu pohon. Ia bekerja
keras, tak mengeluh dan tak mencolok. Harapan hidup dipelihara dengan kobaran sangat
kecil tapi tetap menyala. Ia menjadi teladan kepatuhan, kesederhanaan, dan ketekunan
bekerja. Mematuhi segala perintah tanpa bertanya dan tampak puas menerima makanan
apa pun yang disodorkan. Sore hari ia membiarkan diri dikunci di lemari di samping lantai
penyamakan tempat menyimpan peralatan dan menggantung kulit kasar yang baru saja
digarami. Di sana ia tidur beralas tanah yang keras dan dingin. Siang hari ia bekerja sampai
matahari terbenamempat jam di musim dingin, empat belas, lima belas, dan enam belas
jam di musim panas. Tugasnya mengoreki daging dari kulit binatang, membasahinya,
mencabuti bulunya, mengapur, merendamnya dengan cairan kimia, melebarkan,
menggosoknya dengan kotoran binatang, membelah kayu bakar, mencabuti ranting dari
pepohonan, turun ke sumur penyamakan berisi uap kimia yang membakar kulit, melapis kulit
yang masih mentah dan yang sudah jadi sesuai instruksi pekerja senior, memelarkannya
dengan remukan gallnut, lalu menutup lubang pembakaran dengan ranting dan tanah untuk
proses mumifikasi kulit. Bertahun-tahun kemudian ia harus menggali lagi lubang tersebut
dan mengangkat kulit yang kini sudah sempurna tersamak.

satu jam setelah jam kerja. Selama satu jam itu ia bebas melakukan apa saja. Grenouille
memenangkan taruhannya sendiri dengan tetap hidup dan menggenggam secuil kebebasan
yang lebih dari cukup untuk bernapas. Hibernasi sudah berakhir. Kini saatnya Grenouille
sang kutu pohon menggeliat. Aroma fajar dihirup kuat-kuat. Ia ingin sekali berburu aroma
lagi. Cagar aroma terbesar di dunia kini terbentang di depan mata: kota Paris.

Perfume : The Story of a Murderer

Tujuh

Sering kali ia hanya berdiri diam, bersandar di dinding atau berjongkok di sudut dengan
mata tertutup, mulut setengah terbuka dan hidung terkembang lebar. Tenang-tenang ia
menunggu setiap arus aroma yang datang. Saat angin mengantar aroma ke arahnya, ia akan
memburu sampai dapat. Kadang ia hanya membaui satu aroma saja, dihirupnya dalam-dalam
untuk disimpan baik-baik dalam ingatan. Kadang ia mencium aroma yang pernah dikenal
atau variasi dari aroma itu, kadang aroma yang sama sekali baru dan belum pernah tercium
atau terlihat sebelumnya, misalnya aroma kain sutra cetak, wangi teh liar, aroma kain
brokat bersulam benang perak, aroma gabus penyumbat sebuah botol anggur tua, dan aroma
sisir yang terbuat dari tempurung kura-kura. Grenouille terus berburu mencari berbagai
aroma asing. Ia memburu dengan kecintaan dan kesabaran seorang pemancing untuk
disimpan baik-baik dalam ingatan. Setelah kenyang menghirup bubur aroma jalanan ia akan
pergi ke daerah yang lebih segar, di mana aroma lebih tipis dan berbaur menyebar bersama
anginpersis seperti parfum. Misalnya seperti saat ia pergi ke pasar Les Halles, di mana
aroma siang hari terus bertahan sampai sore. Tak terlihat dan tipis-tipis, seolah para penjual
masih membaur dalam keramaian, seolah keranjang-keranjang dagangan mereka masih di
situ dan penuh dengan sayuran serta telur, atau tongtong sarat anggur dan cuka, kantongkantong berisi rempah, kentang, dan tepung, peti-peti dengan paku dan sekrupnya, meja
jagal, meja yang sarat gulungan pakaian, piring dan sol sepatu, serta ratusan macam barang
lain yang dijual di situ selama siang hari. Kesibukan dan keramaian yang terjadi, sampai
sekecil-kecilnya, masih terekam di udara. Grenouille melihat semua ini dengan hidung. Ia
membaui dengan ketepatan melebihi normalnya orang melihat dengan mata. Persepsi
indranya berdasarkan fakta dan karena itu berada di tataran lebih tinggikatakanlah, ia
mampu untuk langsung melihat esensi dan roh dari apa yang telah terjadi, dalam kondisi
murni dan tak terganggu oleh peristiwa sehari-hari pada saat itu, seperti suara, pandangan,
atau tekanan manusia lain yang membuatnya muak.
Di saat lain ia akan pergi ke tempat pemenggalan ibunya dulu. Tempat bernama de Grve
di mana tanjungnya menjorok ke sungai seperti lidah raksasa. Di sini kapal-kapal berlabuh,

Perfume : The Story of a Murderer

RASANYA SEPERTI HIDUP di tengah padang utopia. Perkampungan di sekitar SaintJacques de la Boucherie dan Saint-Eustache serasa taman surga. Di pinggiran jalan sempit
antara jalan Saint-Dennis dan jalan Saint-Martin, orang-orang tinggal dalam rumah yang
berdempet rapat satu sama lain, setinggi lima sampai enam lantai, membuat orang sulit
menatap langit. Udara di permukaan tanah membentuk kanal-kanal lembap yang sarat
dengan bekuan aromagabungan dari aroma manusia dan binatang, air dan batu, abu dan
kulit, sabun dan roti segar serta telur yang direbus dalam air cuka, bau mi da n kuningan
yang digosok, bau daun, bir dan air mata, juga bau lemak dan rumput basah serta kering.
Ribuan aroma membentuk bubur tak terlihat menyesaki selokan, jarang membubung
menguap melewati atap dan tak pernah berasal dari dalam tanah. Penghuninya tak lagi
menganggap aneh bubur aroma ini. Sebagian berasal dari badan mereka sendiri dan mereka
sudah sangat terbiasa. Lagi pula, ini juga udara yang mereka hirup sehari-hariseperti baju
yang sudah dipakai sedemikian lama sampai tak lagi tercium baunya atau terasa menempel
di kulit. Tapi ini tentu saja merupakan pengalaman pertama bagi Grenouille. Ia tidak
mengendusi sekaligus, tapi ia pilah-pilah secara analitis menjadi bank data aroma satu demi
satu dalam ingatan terpisah. Hidung ajaibnya lalu mengurai setiap gumpalan uap dan aroma
menjadi satu untaian terpadu yang tak bisa diuntai lebih jauh lagi. Seluruh proses ini
memberi kesenangan luar biasa.

ditarik atau ditambat ke tonggak sepanjang tanjung, dengan sebaran aroma batu bara,
butiran padi, rumput kering, dan tali lembap.

Jadilah ia kembali dengan tekun mengendusi jalanan antara SaintEustache dan Hotel
de Ville sampai ia mampu mencari jalan sendiri dalam kegelapan sekalipun. Grenouille
memutuskan untuk memperluas daerah perburuan. Pertama ke arah barat di sekitar
pinggiran Saint-Honore, lalu keluar sepanjang jalan Saint-Antoine ke arah Bastille, dan
akhirnya menyeberang sungai ke daerah Sorbonne dan pinggiran Saint-Germain, tempat
tinggal orang-orang kaya. Gerbanggerbang besi rumah mereka mengembuskan aroma
pakaian kulit dan bedak rambut palsu, sementara tembok-tembok tinggi mengembuskan
aroma taman yang terdiri dari sapu, bunga mawar, dan pagar tanaman yang baru dipotong
rapi. Di sini pula Grenouille pertama kali mencium aroma parfum secara lateral: aroma
lavender atau mawar yang menyarati air-air mancur di taman saat acara pesta. Ia juga
mencium aroma parfum yang lebih kompleks dan mahallarutan aroma kesturi yang
dicampur dengan minyak neroli dan tuberosa, bunga jonquil, melati, atau kayu manis.
Semua dicatat baik-baik dalam ingatan. Didaftar satu per satu seperti ketika orang
mendadak membaui aroma tak sedap dan lantas penasaran ingin tahu sumbernyameski
tanpa kekaguman. Grenouille tentu saja sadar bahwa tujuan parfum adalah untuk
menciptakan efek memabukkan dan memancing minat serta perhatian. Ia juga mengenali
nilai masingmasing aroma yang menyusun parfum tersebut. Namun kalau mau jujur, aromaaroma itu terasa agak kasar dan membosankanlebih seperti diaduk asal-asalan ketimbang
diracik. Grenouille yakin bisa membuat sendiri aroma parfum yang sama sekali berbeda
kalau diberi kesempatan mempelajari dan mengolah ramuan dasarnya.
Ia tahu bahwa sebagian besar ramuan tersebut bersumber dari bebungaan dan kios
rempah-rempah di pasar, sementara sisanya sama sekali tidak ia kenal. Grenouille
menyaring satu per satu, tetap dengan kondisi tanpa nama: aroma ambergris, kesturi,
patchouli, kayu cendana, aroma minyak perasan buah bergamot, aroma vetiver, aroma
getah pohon, kapur barus, perasan kelopak bunga, minyak jarak....

Perfume : The Story of a Murderer

Dari arah barat, melewati jalur tunggal yang memotong ke arah kota melalui sungai,
datang embusan angin besar yang membawa aroma pedesaanaroma padang rumput di
sekitar Neuilly, aroma hutan di jalur antara Saint-Germain dan Versailles, bahkan aroma
kotakota nun jauh di sana seperti Rouen atau Caen, dan tak jarang juga aroma laut. Aroma
laut tercium seperti sebuah pelayaran dengan ombak berisi campuran antara air, garam,
dan dingin matahari. Laut memiliki aroma sederhana tapi sekaligus juga unik dan begitu
kaya. Sedemikian kaya sampai Grenouille ragu apakah benar pilahan aromanya terdiri atas
ikan, garam, air, ganggang, udara segar, dan sebagainya. Ia lebih suka membaui aroma laut
sebagai satu kesatuan. Grenouille sangat menyukai aroma laut sampai ingin suatu hari nanti
meraup sendiri sepuasnya sampai mabuktentunya dalam kondisi yang murni dan belum
tercemar. Kelak, saat ia mendengar dari ceritacerita tentang betapa luasnya laut itu dan
betapa kau bisa melayarinya dengan kapal selama berhari-hari tanpa bertemu daratan,
dengan gairah menggebu Grenouille membayangkan dirinya duduk di atas tiang kapal,
sepuasnya meluncur di tengah samudra aroma lautan. Ia yakin bahwa yang tercium nanti
bukan hanya sekedar aroma, tapi napasnapas sebenar-benarnya yang menjadi akhir dari
segala aroma. Betapa senangnya jika bisa membaur lepas dalam napas itu. Tapi ini akan
tetap jadi impian bagi Grenouille, yang saat itu tengah berdiri di tepi sungai de Grve,
dalam lantunan ajeg sisa-sisa sepoi angin laut yang bisa ia endusi. Grenouille tak akan
pernah melihat laut. Laut yang sebenarnya-samudra luas yang terbentang jauh di barat, dan
tak akan pernah bisa melebur dengan aromanya.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille tidak mengkhususkan satu aroma pun. Tidak membedakan berdasarkan


dikotomi aroma yang enak dengan aroma yang tidak enak. Setidaknya belum. Saat ini ia
sedang ingin melahap saja dengan rakus. Tujuan perburuan ini semata-mata demi meraup
segala yang bisa diberikan oleh dunia dalam hal aromaterutama aroma yang baru dikenal.
Bagi Grenouille, bau keringat kuda sama berartinya dengan aroma seikat bunga mawar. Bau
sangit tubuh serangga tidak lebih berarti dari aroma sapi panggang di dapur -dapur para
borjuis. Grenouille melahap semua tanpa pandang bulu. Semua, segalanya, dihirup begitu
saja. Tak ada prinsip estetika apa pun di dapur imajinasi indra penciumannya. Di situ ia
senantiasa menyintesis dan meracik berbagai kombinasi aromatik. Bau tak sedap diterjang
juga, karena nantinya toh dibuang lagiseperti anak kecil dengan mainan balok, ia mencipta
dan menghancurkan. Kreativitas Grenouille tak mengenal norma.

Delapan

Grenouille duduk termenung dalam diam di bawah bayang-bayang Pavilyun de Flore,


persis di seberang Pont-Royal, di sisi kanan silngai. Tak sedikit pun ia turut bersorak. Apalagi
sampai mendongak memandangi petasan roket. Ia datang dengan harapan dapat mencium
sesuatu yang baru, tapi tak lama kemudian sadar bahwa kembang api ternyata tak punya
aroma apa pun yang bisa ditawarkan. Variasi kemegahan dan kemewahan audio-visual
mereka hanya meninggalkan campuran aroma yang amat monoton: sulfur, minyak, dan
potasium nitrat.
Grenouille sudah hendak bangkit dan berjalan pulang menyusuri gang Louvre ketika tiba
tiba saja angin membawa sebuah aroma yang amat samar clan sulit ditegaskan. Benarbenar
secuil aroma. Sekecil atomtidak, bahkan lebih samar dari itu. Lebih seperti pertanda
datangnya aroma ketimbang aroma itu sendiri, namun pada saat yang sama meniang sungguh
terasa seperti pertanda dari sesuatu yang belum pernah diciumnya selama ini. Grenouille
merapatkan punggung ke tembok, menutup mata dan mengembangkan hidung lebarlebar.
Aroma misterius itu sungguh lembut dan tipis sampai nyaris tak "terpegang". Persepsi yang
ditimbulkan juga berubah terus. Apalagi dikaburkan oleh aroma petasan, keringat sekian
banyak orang, menyerpih dan tergilas oleh ribuan aroma lain di kota ini. Tapi beberapa detik
kemudian aroma itu datang lagi. Tipistipis, bersama sekelebat bayangan pertanda akan
sesuatu yang amat hebat, tapi hanya sedetik... lalu hilang lagi. Grenouille sungguh dibuat
menderita. Untuk pertama kali dalam hidup ia tersiksa, bukan hanya ketamakannya
menghirup aroma yang tersinggung, tapi hatinya juga sakit. Seperti ada sesuatu yang
dahsyat di balik aroma iniaroma yang boleh jadi merupakan kunci untuk mengurutkan
senua aroma. Orang belum bisa disebut pakar aroma kalau belum mengerti aroma yang
satu ini. Celakalah Grenouille kalau sampai tak bisa mendapatkannya. Ia harus memiliki
tak hanya untuk disimpan tapi juga agar hatinya tenang.
Grenouille nyaris muntah karena gelisah. Ia bahkan belum bisa memastikan arah
datangnya aroma tersebut. Kadang ada jeda beberapa menit sebelum angin mengembuskan
aroma itu lagi. Dan setiap kalinya ia nyaris jantungan takut kehilangan. Setengah putus asa,
akhirnya ia yakin bahwa aroma itu datang dari seberang sungai. Dari suatu tempat di arah
tenggara.
Grenouille menjauh dari tembok Pavilyun de Flore, membaur di kerumunan orang, lalu
merintis jalan menyeberangi jembatan. Setiap beberapa langkah ia. berhenti dan berjingkat
agar marnpu mengendusi aroma itu dari atas kepala orangorang. Mulanya ia tak mencium

Perfume : The Story of a Murderer

TANGGAL 1 SEPTEMBER 1753 adalah hari ulang tahun penobatan Raja Prancis. Kota Paris
meriah dengan taburan petasan di Pont-Royal. Memang tidak semeriah kembang api saat
pesta pernikahan Sang Raja atau pesta peringatan kelahiran Dauphin yang legendaris, tapi
tetap saja meriah. Jauh sebelum dimulai, para pekerja sudah sibuk mengangkat kembang
api raksasa berbentuk roda matahari emas ke tiang kapal di pelabuhan. Jembatan kota Paris
berias kembang api berbentuk banteng yang membuncahkan percik api ke arah sungai. Suara
derak dan letupan berkumandang dari segala arah, memekakkan telinga di sepanjang
trotoar. Petasan-petasan roket melesat dan melukis langit malam dengan semburan cahaya
putih. Ribuan orang memadati jalanan sepanjang jembatan dan dermaga di kedua sisi
sungai, tak henti ber-aaah... uuuh... ria serta seruan memuji, bahkansesekali
ditingkahi, Panjang umur Sang Raja ... !walau sadar bahwa Sang Raja telah awet
bertahta selama lebih dari 38 tahun dan kepopulerannya sudah lama pudar. Hmm...
kembang api memang mampu membuat orang optimis.

apa pun selain kehebohannya sendiri, tapi perlahan ia bisa menangkap aroma itu. Bahkan
lebih kuat. Sadar sedang mengikuti jejak yang benar, ia menyelam lagi ke kerumunan orang,
menggeliat melewati jejalan para penonton dan pemasang petasan yang sibuk menyuluti
petasan roket, sempat kehilangan aroma buruan di tengah bubungan asap, panik,
mendorong dan menyikut membuka jalan lebih gegas, lalu entah. setelah. berapa menit
kemudian baru tiba di seberang sungai, dekat Hotel de Mailly, dermaga Malaquest, dan jalan
setapak yang mengarah ke jalan Seine.

Grenouille menyusuri jalan Seine. Tak ada orang sepanjang jalan. Rumah-rumah berdiri
lengang dan kosong karena penghuninya sedang masyuk kembang api di sungai. Tak ada
gangguan bau manusia atau sengatan asap mesiu. Jalan Seine kembali ke pelangi aroma
aslinya berupa air, kotoran manusia, tikus, dan sampah sayuran. Tapi di atasnya
mengambang aroma misterius yang kini tengah menarik hidung Grenouille. Beberapa
langkah memasuki jalan, remang cahaya malam habis ditelan bangunan-bangunan tinggi.
Grenouille melangkah dalam kegelapan. Peduli amat, toh ia tak butuh mata. Aroma tipis ini
saja sudah lebih terang ketimbang lentera mana pun.
Lima puluh meter berikutnya ia membelok tajam ke jalan Maraissebuah gang yang amat
sempit dan makin gelapkalau memang bisa lebih gelap lagi. Anehnya, di tempat ini aroma
misterius itu seperti memudartidak, bukan memudar, tapi menjadi lebih murni. Kemurnian
yang justru mengeluarkan daya tarik lebih besar. Kaki Grenouille seperti punya pikiran
sendiri. Satu ketika ia tertarik ke arah kanan, lurus menuju sebuah dinding. Grenouille
meraba sebentar dan menemukan celah rendah yang mengarah ke halaman belakang sebuah
rumahatau gedung. Tak tahulah. Yang jelas ia terus melangkah seperti orang mimpi
berjalan. Ia melewati pekarangan, membelok di sudut ke sebuah pekarangan lain yang lebih
kecil, dan di tempat ini akhirnya ada cahaya, meski hanya menerangi daerah seluas
beberapa kaki saja. Sebuah atap kayu menjuntai dari dinding. Di balik dinding itu ada meja
dengan sebatang lilin yang menyala. Seorang gadis duduk di depan meja sedang

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille menghentikan langkah, mengumpulkan segenap kekuatan, lalu mengendus.


Begitu dapat, ia "genggam eraterat. Aroma itu bergulung sepanjang jalan Seine seperti
pita. Begitu jelas tapi sekaligus juga begitu samar dan tipis. Jantung Grenouille berdegup
kencangbukan karena kecapekan sehabis berlari, tapi akibat kegelisahan dari
ketidakberdayaannya di hadapan aroma misterius itu. Ia mencoba mengingat sesuatu
sebagai pembanding, tapi tak ada yang sama. Aroma ini segar, tapi bukan seperti segarnya
jeruk limau atau buah delima. Bukan juga segarnya getah myrrh atau kayu manis, tidak pula
daun mint atau pohon birch atau getah camphor atau duri pohon pinus. Membanding lebih
jauh, kesegaran ini juga tidak mirip kesegaran rintik hujan bulan Mei atau angin musim
dingin atau air sumur. Grenouille juga mencium kehangatan dalam aroma tersebut. Tapi
lagilagi saat membandingkan ia yakin bahwa ini tidak seperti kehangatan pohon jeruk,
bergamot, pohon cemara, atau kesturi. Tidak pula menyerupai kehangatan bunga melati
atau narsis, bunga mawar ataupun iris. Aroma ini gabungan keduanyamengabur dan
substantif. Tidak, ini bukan gabungan, tapi kesatuan. Walau tipis dan amat samar namun
tetap bergaung kuat dan terus-menerusseperti selembar kain sutra... tapi bukan sutra.
Lebih seperti kue kering berbalur susu madu. Sampai di sini pun ia bingung sekaligus takjub:
bagaimana mungkin aroma susu dan sutra bisa hadir bersamaan! Grenouille tak habis pikir.
Aroma ini sungguh tak bisa dicerna, tak bisa digambarkan, dan tak bisa dikategorikan dengan
cara apa punbahkan mestinya tak mungkin ada! Tapi toh aroma itu hadir dan nyata karena
kini ia tengah membauinya. Grenouille mengekor perlahan. Jantungnya terus berdegup
kencang. Ia sadar bahwa sebenarnya bukan ia yang mengikuti aroma, tapi aroma itulah yang
telah menangkap dan menariknya seperti kerbau dicucuk hidung.

membersihkan sekeranjang plum kuning. Tangan kirinya mengambil buah dari keranjang,
digenggam lalu dikupas dengan pisau, kemudian ia melempar hasilnya ke sebuah ember.
Umur si gadis mestinya tak lebih dari tiga belas atau empat belas tahun. Grenouille
bergeming menatap nanar tak percaya. Seketika itu ia mengenali sumber aroma misterius
yang telah ia ikuti sejak setengah mil lalu dari seberang sungai: bukan berasal dari
pekarangan atau buah plum. Sumbernya adalah si gadis perawan itu!

Namun kini rupanya tiba saat Grenouille tak lagi bisa memercayai hidung dan harus
mengandalkan mata untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar melihat apa yang dicium. Tapi
kegalauan indra ini tak berlangsung lama. Hanya sedetik yang ia butuhkan untuk yakin pada
realitas optik tersebut. Detik berikut ia kembali terbenam dalam surga persepsi indra
penciuman. Baru sekarang ia tersenyum saat mencium aroma manusia... dari tubuh si gadis
mencium bau ketiaknya, minyak di rambutnya, bau amis di kemaluan.... Grenouille
menghirup dalamdalam seperti orang mengisap candu. Keringat si gadis sesegar angin laut,
lemak rambutnya semanis minyak zaitun, kemaluannya seharum bunga lili air, kulitnya
semerbak aprikot matang. Harmoni dari seluruh komponen ini menghasilkan aroma parfum
tiada tara yang begitu kaya, begitu seimbang dan ajaib, sampai-sampai setiap parfum yang
pernah ia cium selama ini dan setiap kumpulan aroma yang pernah ia ciptakan sampai detik
ini, menjadi begitu kerdil dan tak berarti. Ratusan ribu aroma jatuh tak berharga di hadapan
aroma yang satu ini. Aroma yang memiliki tataran hierarki dan prinsip jauh lebih tinggi dan
mampu menata susunan aroma lainnya. Sungguh sebuah keindahan murni.
Grenouille sadar bahwa ia harus memiliki aroma ini atau hidupnya tak berarti lagi. Ia
harus memahami detail terkecilnya, mengikuti sampai ke rambut terhalus. Ingatan saja,
betapa pun kompleks, tak akan cukup. Ia ingin menanam aroma dewa ini ke kedalaman
jiwanya yang hitam dan berlumpurmenelusuri sedemikian rupa sampai akhirnya tiba pada
putusan bahwa sejak detik ini ia akan hidup, berpikir, dan membaui hanya berdasarkan
struktur terintim dari formula magis aroma tersebut.
Perlahan ia mendekati si gadis, makin dekat dan makin dekat, sampai tiba persis di
bawah atap teras dan berhenti persis selangkah di belakang si gadis yang belum juga
menyadari kehadirannya.
Rambut si gadis berwarna merah dan ia mengenakan gaun kelabu panjang tak berlengan.
Lengannya putih bersih dan tangannya kekuningan oleh perasan buah plum. Grenouille
membungkuk ke arah si gadis dan menghirup aroma murni yang menguap dari tengkuk,
rambut, dan kerah baju. Grenouille menghirupnya seperti menghirup udara pagi. Belum
pernah ia merasa senyaman ini.
Si gadis lain lagi. Mendadak ia merasa udara berubah dingin. Kendati tidak melihat
Grenouille, tak urung tubuhnya gelisah. Bulu kuduk meremang seperti orang menjelang

Perfume : The Story of a Murderer

Sekejap ia begitu kalutnya sampai tak percaya sendiri. Baru pertama kali ini dalam hidup
ia menyaksikan sesuatu yang begitu indah seperti si gadis pengupas buah plum pun walau
hanya sempat melihat dari belakang, dalam siluet nyala lilin. Maksud Grenouille di sini tentu
saja lebih mengacu bahwa ia belum pernah mencium benda secantik ini. Sungguh berbeda
dengan aroma manusia yang ia kenal selama inidari sekian ribu pria, wanita, dan anakanak sepanjang pengalaman hidupnya, jadi tak heran bila ia sulit meyakini ada aroma yang
begitu elok bisa keluar dari tubuh seorang manusia. Selama ini ia yakin bahwa tak ada yang
istimewa dari aroma manusiamalah cenderung mengerikan. Anak-anak berbau hambar,
pria dewasa berbau kencing, asam keringat, serta keju, sementara wanita umumnya berbau
lemak anyir dan ikan busuk. Sungguh sangat tidak menarik dan memuakkan. Begitulah bau
tubuh manusia.

ketakutan luar biasa. Dingin aneh itu datang dari arah belakang, seolah ada yang baru saja
membuka pintu ruangan luas yang dingin itu. Si gadis meletakkan pisau ke atas meja,
menarik tangan ke dada, lalu berpaling.

Setelah si gadis mati, Grenouille meletakkan tubuh lunglai itu di lantai di antara biji-biji
buah plum, lalu merobek bajunya. Gelombang aroma tubuh si gadis sontak membanjir
memabukkan. Wajah Grenouille merangsek menggeseki kulit si gadis. Hidungnya rakus
melahap aroma yang menguapdari perut ke buah dada, ke leher, sekitar wajah dan
rambut, lalu kembali ke perut, turun ke kemaluan, ke paha dan kakinya yang putih. Ia
mengendusi mayat si gadis dari ujung kepala sampai ujung kaki, mengumpulkan sisa-sisa
terakhir aroma tubuh di bawah dagu, di pusar, dan di kerutan siku bagian dalam.
Setelah puas dan yakin tak bersisa lagi, untuk sesaat ia duduk berjongkok di sisi mayat,
mengumpulkan kesadaran setelah menyesakkan diri dengan aroma si gadis. Ibarat minuman,
ia tak ingin menumpahkan aroma itu sedikit pun. Untuk itu, pertama sekali ia harus
menguncinya di kamar ingatan yang terdalam. Barulah kemudian ia bangkit dan meniup lilin.
Sementara itu, orang-orang sudah mulai kembali pulang, bernyanyi dan bersorak ria
sepanjang jalan Seine. Grenouille kembali mengandalkan penciuman untuk menuntun
pulang di kegelapan sepanjang gang, tembus ke jalan Petits Augustins yang berseberangan
dengan jalan Seine, lalu terus ke arah sungai. Tak lama kemudian mayat si gadis ditemukan.
Jeritan dan kehebohan kontan meledak. Obor-obor dinyalakan. Para penjaga dan patroli
malam tergopoh-gopoh berdatangan. Sementara Grenouille sudah lama kembali berada di
seberang sungai.
Malam itu, kamar sempit Grenouille serasa istana dan ranjang papan serasa beralas bulu
angsa. Belum pernah seumur hidupnya ia mencicipi yang namanya kebahagiaan, selain
kesenangan-kesenangan kecil tapi tersumbatdan itu pun amat sangat jarang. Tapi kini ia
sedemikian bergelimang suka cita sampai tak bisa tidur. Rasanya seperti baru lahir kembali
tidak, bukan lahir kembali, tapi lahir untuk yang pertama kalinya, karena selama ini rasanya
ia tak lebih dari binatang dengan sekelumit kesadaran. Baru hari inilah ia menyadari jati diri
sesungguhnya sebagai seorang genius, di samping kesadaran bahwa arti serta tujuan
hidupnya memiliki takdir yang lebih tinggi, yaitu tiada lain untuk merevolusi dunia aroma.
Hanya dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang sanggup mewujudkan hal itu melalui
keistimewaan indra penciuman, ingatan luar biasa, dan yang terpenting, wewangian sejati
yang baru saja ia ambil dari gadis di jalan Marais tadi. Di dalamnya terkandung formula
magis untuk membuat parfum macam apa pun. Sebuah formula wewangian yang begitu
hebat, halus, kuat, stabil, bervariasi, dan sekaligus menakutkansebuah keindahan yang tak
tertahankan. Telah ia temukan kompas menuju masa depan.
Dus, seperti lazimnya tokoh-tokoh monster berbakat besar yang cenderung melompat
tanpa ragu ke pusaran kegelapan jiwa mereka setelah merasa mengalami pencerahan,
Grenouille tak pernah lagi berpaling dari apa yang diyakininya sebagai jalan takdir. Jelas
baginya sekarang kenapa ia harus begitu bertahan hidup selama ini, dalam kekejian dan
kekerasan yang luar biasa pula. Rupanya agar kelak bisa memenuhi takdir sebagai seorang

Perfume : The Story of a Murderer

Tubuh si gadis begitu kaku ketakutan melihat Grenouille, sampai tak mampu berbuat
apa-apa saat lelaki itu menjulurkan tangan mencekik leher. Ia bahkan tak sanggup menjerit,
meronta, atau berusaha membela diri. Grenouille berpejam mata. Ia tak ingin melihat
wajah berbintik si gadis, bibir ranum dan bola mata hijau yang mendelik penuh teror itu.
Matanya terus terpejam sementara mencekik. Yang dipedulikannya hanya satu: jangan
sampai aroma tubuh gadis itu hilang sedikit pun.

pencipta wewangian. Dan bukan yang biasa-biasa saja, tapi pencipta dan ahli parfum
terhebat sepanjang masa.

Sebuah pembunuhan menjadi awal dari semua kemegahan iniitu pun kalau ia sadar.
Tapi Grenouille benar-benar tak ambil pusing. Ia bahkan sudah tak ingat lagi bagaimana
rupa dan perawakan si gadis dari jalan Marais. Yang penting ia telah menyimpan dan
menjadikan bagian terbaik dari gadis itu sebagai milik pribadi, yaitu aroma tubuhnya.

Perfume : The Story of a Murderer

Dan pada malam itu juga, sejak bangun sampai di alam mimpi, ia memeriksa bank data
memorinya yang luar biasa itu. Jutaan demi jutaan matriks ingatan aroma dikaji dengan
teliti lalu disusun secara sisternatis dalam kategori aroma bagus, jelek, tipis, kasar, busuk,
serta menyenangkan. Seminggu berselang sistem ini tumbuh menjadi lebih halus dan
tersaring, katalog aroma menjadi lebih luas dan beragam, hierarkinya juga lebih jelas. Tak
lama kemudian Grenouille mulai mampu membangun fondasi struktur aroma yang telah
dibuat dengan sedemikian hati-hati, seperti membangun kastil saja. Ada rumahrumah,
tembok, tangga, menara, gudang bawah tanah, kamar-kamar, ruangan-ruangan rahasia ...
pokoknya sebuah benteng ingatan imajinasi yang dibangun berdasarkan aroma terdahsyat
yang pernah ada, yang setiap hari tumbuh makin besar, makin indah, dan makin
menyempurna.

Sembilan

Di belakang meja kasir dari kayu boxwood ringan, berdiri sang Baldinisetua dan sekaku
pilar, mengenakan wig berpupur perak dan mantel biru berhias bros katak -katak kecil dari
emas. Harum bunga kemboja yang ia semprotkan setiap pagi membungkusnya seperti kabut,
nyaris terlihat saking tebalnya dan membuat si pemakainya sedikit kabur dari pandangan.
Sedemikian kakunya ia sampai seolah menjadi bagian dari barang jualannya sendiri. Hanya
apabila bel berdering dan kedua bangau memercik parfumitu pun agak jarang terjadi, ia
mendadak hidup. Tubuhnya membungkuk dan mengecil sedemikian rupa, Ialu bergegas
keluar dari balik meja kasir begitu cepatnya sampai kabut parfum kemboja tak sempat
mengikuti. Segera ia menyambut serta mempersilakan duduk si pelanggan sementara ia
memperagakan dagangan parfum dan kosmetiknya yang terbaik.
Koleksi parfum serta kosmetik dagangan Baldini jumlahnya ribuan. Stoknya bervariasi,
mulai dari essences absolueswewangian utama dari minyak bunga, larutan alkohol,
ekstrak, sari pati, balsam, getah, dan bermacam obat dalam wujud kering, cair, atau lilin.
Ia juga menjual bermacam minyak rambut, pasta, bedak, sabun, krim, bedak wangi,
bandolin, sampo, lilin pengeras kumis, obat kutil, dan alat-alat kecantikan mulai dari minyak
mandi, losion, garam pewangi, perlengkapan kamar mandi, dan rupa-rupa parfum yang tak
terhitung banyaknya. Namun Baldini belum puas dengan produk-produk kecantikan klasik
ini. Ia berambisi mengumpulkan semua benda beraroma atau apa pun yang memiliki
kontribusi dalam pembuatan parfum. Jadi, selain pastiles pelega tenggorok, lilin dan tali
dupa, ia juga menyediakan bermacam rempah mulai dari biji minyak adas manis sampai
kayu manis, sirup, bermacam minuman anggur dan brendi perasan buah, minuman anggur
dari Cyprus, Malaga, dan Corinth, madu, kopi, teh, permen, dan buah kering, daun ara,
kembang gula. atau manisan, cokelat, kastanye, bahkan caper kering, mentimun, bawang,
serta ikan tuna yang diasinkan. Masih ditambah dengan filin penyegel parfum, alat tulismenulis, tinta khusus untuk menulis surat cinta beraroma bunga mawar, perangkat menulis
dengan tas kulit Spanyol, penyangga pena dari kayu cendana putih, peti jenazah dan petipeti biasa dari kayu cedar, pot air dan mangkuk berdekorasi mekaran bunga, kendi dupa

Perfume : The Story of a Murderer

ADA SELUSIN LEBIH ahli parfum tinggal di Paris pada zaman itu. Enam orang tinggal di
sebelah kanan sungai, enam orang tinggal di sisi kiri, dan satu orang tinggal pas di tengah,
persisnya di Pont au Change, yang menghubungkan sisi kanan sungai dengan Ile de la Cile.
Jembatan ini begitu padat dengan gedung-gedung berlantai empat sampai orang tak bisa
lagi melihat sungai saat menyeberang jembatan dan malah serasa berada di sebuah jalan
raya biasajalan yang sangat elegan, malah. Pont au Change memang terkenal sebagai salah
satu distrik bisnis terbaik di Paris. Bermacam toko ternama bisa ditemui di sini. Ada pandai
emas, pembuat lemari, pembuat wig dan dompet terbaik, bermacam pabrik pembuat
pakaian dalam wanita dan stoking terbaik, pembuat bingkai lukisan, para pedagang sepatu
berkuda, pembuat sulaman untuk hiasan bahu, pembuat kancing emas, dan para bankir. Di
distrik ini pula berdiri bisnis serta kediaman seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan
terkenal bernama Giuseppe Baldini. Jendela etalasenya dinaungi kanopi hijau beraltar nan
mewah, persis di samping bendera simbol keluarga Baldini. Bendera simbol keluarga itu
bertatahkan emas, bergambar flacon (tabung kimia) emas yang menumbuhkan seikat bunga
yang juga emas. Di depan pintu toko terhampar sebuah karpet merah dengan gambar simbol
keluarga Baldini bersulam emas. jika pintu dibuka akan terdengar denting bel Persia, disusul
ayunan leher dua patung bangau memerciki air beraroma bunga lembayung dari paruh
mereka ke sebuah bejana emas, yang kemudian dibentuk menyerupai flacon seperti pada
simbol keluarga Baldini.

dari kuningan, flacon kristal dan kendi-kendi bertutup gading, sarung tangan beraroma, sapu
tangan, bantal alas menjahit berisi bunga pala, serta kertas dinding beraroma kesturi yang
mampu menghiasi kamar selama lebih dari seratus tahun.

Dengan keadaan seperti itu, sungguh tidak mengherankan bila denting bel Persia dan
percik parfum dari paruh patung bangau di pintu toko Giuseppe Baldini makin lama makin
jarang terdengar.

Perfume : The Story of a Murderer

Tentu saja toko Baldini tidak cukup besar untuk menampung semua barang tersebut.
Ruangan toko memang apik, namun kecil dan menghadap ke arah jalan (atau ke arah
jembatan). Jadi, untuk gudang ia tak hanya menggunakan ruangan bawah tanah, tapi juga
seluruh lantai dua dan lantai tiga serta nyaris seluruh ruangan yang menghadap ke sungai di
lantai dasar. Bisa dibayangkan betapa kacaunya aroma yang menaungi Rumah Keluarga
Baldini. Betapa pun elok kualitas tiap-tiap barang tersebut (karena Baldini hanya mau
membeli barang kualitas terbaik), paduan aromanya nyaris tak tertahankan. Ibarat sebuah
orkestra beranggotakan ribuan musisi dan masing-masing memainkan melodi berbeda
sekencang dan sesuka hati. Baldini dan para asistennya sudah terbiasa dengan kekacauan
inipersis seperti konduktor-konduktor orkestra berusia senja (yang kemampuan
mendengarnya sudah pasti menurun). Begitu pun Nyonya Baldini yang tinggal di lantai empat
dan selalu menentang penumpukan barang lebih jauh, nyaris tak terganggu lagi oleh
kekacauan aroma tersebut. Tapi tidak demikian bagi para pelanggan Baldini yang baru
pertama kali memasuki toko. Neraka aroma yang menghantam indra penciuman terasa bagai
hantaman tinju tepat di wajah. Tergantung kekuatan masing -masing, yang bersangkutan
bisa seketika itu pusing atau malah segar. Apa pun itu, yang jelas tetap membuat indra
penciuman si pelanggan sedemikian linglung sampai tak ingat lagi tujuannya datang ke toko.
Tak sedikit bocah-bocah kurir yang lupa pesanan, pendekar pedang nan sangar mendadak
muntah-muntah, dan wanita ningrat yang mual-mual, setengah histeris, setengah
klaustrofobiaketakutan berada di ruang sempit, lantas pingsan dan hanya bisa dibangunkan
oleh olesan minyak beraroma paling tajam dari minyak cengkeh, amonia, dan getah
camphor.

Sepuluh
CHNIER! SERU BALDINI dari balik meja kasir setelah sebelumnya berdiri berjam-jam
sekaku pilar, menatap ke arah pintu. Pakai wigmu! demikian ia berseru lagi. Dari balik
tong-tong minyak zaitun dan juntaian daging-daging ham, muncullah Chnier, asisten Baldini
yang berusia lebih muda tapi sudah tampak seperti lelaki renta. Yang dipanggil melangkah
ke meja kasir. Ia mengambil wig dari kantung mantel dan mengepaskannya ke kepala.

Tidak, jawab Baldini. Aku ingin melanjutkan studi selama beberapa jam dan tak
ingin diganggu untuk apa pun juga. Paham?
Aha! Saya tahu! Anda pasti sedang membuat parfum baru.
BALDINI: Benar. Parfum yang akan dipakai untuk kulit Spanyol milik Count Verhamont.
Ia ingin sesuatu yang benar-benar baru. Ia meminta sesuatu yang seperti... seperti... kurasa
ia menyebutnya sebagai Cinta dan Jiwa, dan ia terima barang itu dari... dari pecundang
di jalan Saint-Andre-des-Arts... itu... si... si....
CHNIER: Plissier.
BALDINI: Ya. Tepat sekali, itu nama si pecundang itu. Hmm... Cinta dan jiwa, buatan
Plissier. Kau tahu soal ini?
CHNIER: Ya, ya, tentu saja saya tahu. Anda bisa mencium baunya di mana pun saat ini.
Apalagi di setiap sudut jalan. Tapi kalau menurut saya, sih, tak ada bagus-bagusnya! Sama
sekali tak bisa dibandingkan dengan apa yang akan Anda ciptakan, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tentu saja tidak.
CHNIER: Cinta dan jiwa ini baunya sungguh biasa saja.
BALDINI: Vulgar, begitu?
CHNIER: Sangat vulgar. Seperti apa pun ciptaan Plissier. Saya yakin pasti mengandung
minyak limau.
BALDINI: Sungguhkah? Apa lagi?
CHNIER: Sari bunga limau, barangkali. Dan sedikit rosemary dalam larutan alkohol. Tapi
saya tak pasti benar.
BALDINI: Semua itu tak ada gunanya sama sekali bagiku.
CHNIER: Tentu saja tidak.
BALDINI: Aku tak peduli apa pun yang dipakai si pecundang Plissier itu dalam membuat
parfum. Aku tak sudi menggunakannya sebagai inspirasi, kujamin itu.
CHNIER: Anda benar sekali, Monsieur.
BALDINI: Seperti kau tahu, aku tak mengambil inspirasi dari siapa pun. Seperti kau tahu,
aku menciptakan parfumku sendiri.
CHNIER: Saya tahu, Monsieur.
BALDINI: Aku sendiri yang melahirkan merekaparfumparfum itu.

Perfume : The Story of a Murderer

Anda mau keluar, Monsieur Baldini? ia bertanya.

CHNIER: Saya tahu.


BALDINI: Dan aku sedang berpikir untuk menciptakan sesuatu untuk Count Verhamont
yang akan membuat kehebohan besar.
CHNIER: Saya yakin pasti demikian, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tolong jaga toko. Aku butuh ketenangan dan kedamaian. Jangan biarkan siapa
pun mendekatiku, Chnier.

Chnier mengambil posisi di belakang meja kasir dan memasang pose persis seperti
majikannya, dengan pandangan lurus ke arah pintu. Ia tahu apa yang akan terjadi beberapa
jam ke depan: sama sekali tidak ada pengunjung yang datang dan malapetaka rutin di ruang
studi Baldini. Seperti biasa, Baldini akan melepas mantel biru yang sarat aroma kemboja
itu, duduk di belakang meja kerja, lalu menunggu inspirasi. Setelah dapat, ia bergegas
menuju lemari berisi ratusan flacon dan mulai mencampur asal-asalan. Campuran itu tentu
saja gagal. Ia lalu menyumpah-nyumpah, membuka jendela, dan membuang isi tabung ke
sungai. Ia akan mencoba lagi sesuatu yang lain yang juga gagal, lalu kembali menyumpahnyumpah sambil mengamuk melempari barang di kamar yang baunya makin pekat itu.
Sekitar jam tujuh malam ia akan kembali turun ke toko dengan roman sebal dan penampilan
berantakan, gemetar dan mengeluh, lalu berkata, Chnier, aku kehilangan hidungku. Aku
tak bisa menciptakan parfum itu, aku tak bisa memberi kulit Spanyol itu pada sang Count.
Habislah semua. Jiwaku sudah mati. Aku ingin mati, Chnier. Tolong bantu aku untuk mati!
Saat itu Chnier akan menyarankan agar menyuruh orang membeli sebotol Cinta dan jiwa
dari Plissier. Baldini setuju saja, tapi dengan syarat bahwa tak seorang pun yang boleh
mengetahui peristiwa memalukan ini. Chnier lantas akan bersumpah untuk tutup mulut
dan malam ini mereka akan membuat wangi bahan kulit Count Verhamont dengan produk
ciptaan orang lain. Pasti demikian yang akan terjadi. Tak diragukan lagi. Chnier hanya
berharap agar sirkus ini segera berakhir. Baldini bukan lagi seorang ahli parfum yang hebat.
Dulu memang. Tapi itu dulu sekali. Waktu Baldini masih muda, tiga atau empat puluh tahun
yang lalu, ia pernah menciptakan parfum bertajuk Mawar dari Selatan dan Buket Baldini
nan Megahdua parfum yang sangat hebat dan membuatnya sekaya sekarang. Tapi
sekarang ia sudah tua dan kelelahan, tidak tahu mode terkini serta cita rasa modern, dan
setiap kali berhasil menciptakan parfum sendiri, selalu ketinggalan zaman dan tak bisa
dipasarkan. Akibatnya dalam setahun mereka harus mengencerkan dan mengoplosnya hingga
sepuluh banding satu dan harus puas menjajakannya sebagai produk aditif untuk air mancur.
Memalukan sekali, pikir Chnier sambil memeriksa posisi wig lewat cermin. Memalukan soal
si Baldini tua, memalukan soal tokonya yang indah karena kalau begini terus lamakelamaan
pasti rusak, dan memalukan soal aku sendiri karena saat toko ini rusak kelak, aku sudah
terlalu tua untuk mengambil alih.

Perfume : The Story of a Murderer

Demikianlah, Monsieur Baldini bergegas. Tidak dengan langkah seperti patung, tapi
membungkuk sesuai usianya yang memang sepuh. Tapi bungkuknya begitu dalam sampai
nyaris seperti habis dipukuli, lalu perlahan menaiki tangga ke ruang studi di lantai dua.

Sebelas

Ya, kenapa tidak? Toh ini tak bisa dibilang ilegal. Hanya tidak etis saja. Membuat imitasi
gelap atau membajak parfum ciptaan pesaing dan menjualnya dengan nama sendiri adalah
tindakan yang sangat rendah dan tercelatapi tidak ilegal di zaman itu. Dan akan lebih tidak
pantas lagi kalau sampai ketahuan atau tertangkap basah. Itu sebabnya Chnier tak boleh
tahu, karena ia terkenal tukang gosip.
Sungguh mengerikan melihat kenyataan bahwa seorang jujur sampai terpaksa
mengambil jalan tercela. Betapa mengerikan melihat kenyataan bahwa hal terpenting dari
eksistensi manusia, yaitu kehormatan, bisa dikotori oleh keburukan seperti ini. Tapi Baldini
sudah kehilangan akal, harus bagaimana lagi. Count Verhamont adalah pelanggan penting
yang tak boleh dilepaskanapalagi karena tinggal dialah satu-satunya pelanggan yang
tersisa. Baldini tak mau harus mengejar-ngejar pelanggan lagi seperti di awal kariernya dulu
saat berusia dua puluhan, saat terpaksa menggelandang di jalanan dengan sekotak dagangan
menggantung di perut. Tuhan tahu betapa ia, Giuseppe Baldinipemilik toko parfum
terbesar di Paris, di lokasi bisnis yang juga terbaikkini hanya mampu bertahan hidup
melalui panggilan dari rumah ke rumah, berbekal koper kecil di tangan. Baldini tak suka

Perfume : The Story of a Murderer

GIUSEPPE BALDINI MEMANG melepas mantel berparfumnya, tapi itu hanya karena
kebiasaan. Aroma kemboja yang menyengat sudah sejak lama tak lagi mengganggu
kemampuannya untuk mencium. Puluhan tahun begini, tentunya sekarang sudah tidak terasa
lagi. Dan walau ia telah menutup pintu dan meminta agar tidak diganggu siapa pun, ia tidak
duduk di belakang meja menunggu inspirasi. Baldini tahu, lebih dari Chnier, bahwa inspirasi
tak akan datangdan memang tak pernah datang. Bahwa ia kini sudah tua dan lelah, itu
benar. Juga bahwa ia bukan lagi seorang ahli parfum yang hebat. Tapi hanya Baldini sendiri
yang tahu dan sadar bahwa ia tak pernah jadi ahli parfum sebenar-benarnya. Ia mewarisi
Mawar dari Selatan dari ayahnya, dan formula untuk parfum Buket Baldini nan Megah ia
beli dari seorang penjual rempah keliling dari Genoese. Sisa parfum yang lain hanya aroma
biasa. Ia tak pernah menciptakan apa pun. Ia bukan penemu. Hanya seorang penjual
wewangian tradisional yang hati-hati. Itu saja. Ibarat kata, ia adalah seorang koki dengan
dapur nan hebat plus rutinitas dan resep yang bagus, tapi tak pernah menciptakan hidangan
kreasinya sendiri. Seluruh omong kosong ketenaran soal studi, eksperimen, dan inspirasi
serta lagak-lagu kerahasiaan ia lakukan semata-mata demi menjaga citra profesional
seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan. Seorang ahli parfum sejati setidaknya
adalah juga seorang alkemisahli kimia, yang menciptakan keajaiban. Itu gambaran yang
diinginkan publik. Baik, jadilah ia menciptakan citra sedemikian. Bahwa karya seninya
menghasilkan sesuatu yang unik dan berbeda, hanya ia sendiri yang tahu dan bangga
karenanya. Baldini tak ingin jadi penemu. Ia malah sangat mencurigai hasil penemuan apa
pun karena yakin bahwa sebuah penemuan hanya bisa mewujud setelah melanggar hukum
alam atau hukum masyarakatentah dengan perilaku curang atau culas atau apalah. Baldini
juga tak berniat menciptakan parfum baru untuk Count Verhamont. Ia juga tak ingin
mengikuti saran Chnier untuk membeli saja Cinta dan jiwa dari Plissier sore ini. Ia sudah
beli dan kini teronggok di atas meja dekat jendela, dalam sebuah flacon berukuran kecil
dengan sumbat gelas. Ia membelinya beberapa hari lalu. Tidak secara langsung, tentu saja.
Tak mungkin ia melenggang ke toko Plissier dan membeli parfum itu dengan tangan sendiri.
Ia beli lewat seorang perantara yang juga menggunakan perantara lain sebelumnya. Kehatihatian dalam berbisnis adalah sebuah kemutlakan. Baldini tak berniat mengharumkan kulit
Spanyol itu dengan parfum Plissier begitu sajalagi pula parfum dalam botol sekecil itu
tak akan cukup. Tidak, ia punya ide lebih jahat lagi: ia ingin meniru parfum itu.

Parfum buatan Plissier selalu merombak selera pasar. Misalnya jika tren tahun ini
adalah air Hungaria dan Baldini menimbun minyak lavender, bergamot, dan rosemary
untuk memenuhi tuntutan pasar sebagaimana wajarnya, Plissier akan hadir
memperkenalkan Air de Museparfum kesturi yang amat keras. Setelah itu setiap orang
mendadak berbau binatang, dan Baldini terpaksa meracik ulang stok minyak rosemarynya
menjadi minyak rambut dan menjahit lavender menjadi pundi-pundi bedak. Kalau Baldini
kemudian ikut menimbun minyak kesturi, civet, dan castor untuk tahun depan, Plissier
segera merilis parfum lain bertajuk Kesegaran Rimba yang dengan cepat menjadi tren
baru. Lalu, setelah Baldini bermalam-malam melakukan percobaan dan menyuap sana-sini
demi menguak rahasia formula kesegaran Rimba, Plissier bakal segera melonjak lagi
dengan Senja di Turki atau Rempah Lisbon, atau Bouquet de la Cour atau parfum sialan
lainnya. Orang ini sungguh berbahaya bagi bisnis dengan kesembronoan kreativitasnya.
Membuatmu ingin kembali ke hukum perdagangan yang lama. Membuatmu ingin kembali ke
Hukum Draconian untuk melawan seniman pembangkang seperti Plissiersi biang inflasi
bisnis wewangian. Baldini gemas sekali. Kenapa izin praktik Plissier tidak dicabut saja, plus
ganjaran pasal yang melarangnya untuk berbisnis lebih jauh. Lebih dari itu, orang seperti
ini mestinya harus diberi pelajaran! Sangat menyebalkan, karena Plissier sendiri dikenal
bukan seorang ahli parfum atau pembuat sarung tangan yang terlatih. Ayahnya dulu hanya
seorang pembuat cuka apel, ia pun menuruni bakat yang sama: membuat cuka apel, tidak
yang lain! Tapi justru sebagai seorang pembuat cuka apel ia punya akses menangani bahanbahan beralkohol, dus jadilah si brengsek itu mampu menggebrak dan mengacau kedamaian
para ahli parfum sejati. Lagi pula, buat apa masyarakat membeli parfum baru setiap tahun?
Apa memang perlu demikian? Toh sejak dulu masyarakat sudah cukup nyaman dengan
kolonye sari bunga lembayung dan wewangian bunga sederhana yang hanya dimodifikasi
sedikit saja tiap sepuluh tahun. Selama ribuan tahun masyarakat terbiasa dengan wewangian
dan getah aromatik biasa, beberapa macam balsam, minyak dan rempah aromatik kering.
Pun saat orang kemudian belajar menggunakan flacon untuk menyuling jejamuan, bunga,
dan kayu serta mengambil sari aroma dari uap ketiga elemen tersebut dalam bentuk minyak
yang mudah menguap, lantas menggiling benih, biji, dan kulit buah dalam gilingan pohon
ek, kemudian mengekstraksi aroma dari kelopak bunga menggunakan minyak yang telah
disaring dengan hati-hati, bahkan pada saat itu jumlah parfum yang dihasilkan masih sangat
sedikit. Di zaman itu, figur seperti Plissier tak mungkin ada, karena untuk membuat minyak
rambut sederhana saja orang membutuhkan keahlian yang tak terbayangkan oleh seorang
pembuat cuka apel. Ia tidak hanya harus mampu menyuling, tapi juga bertindak sebagai
pembuat salep, apoteker, alkemis, seniman, pedagang, humanis, dan tukang kebun
sekaligus. Ia harus mampu membedakan lemak domba dengan lemak anak sapi, atau antara
bunga lembayung Victoria dengan bunga lembayung Parma. Ia juga harus fasih berbahasa
Latin. Harus tahu kapan waktu yang baik untuk memanen heliotrope dan kapan bunga
pelargonium mekar, dan tahu bahwa kelopak bunga melati cenderung kehilangan aroma saat
matahari terbit. Nah, mana mungkin Plissier mengerti hal-hal seperti ini? Seumur hidupnya
pun ia mungkin belum pernah meninggalkan Paris, atau melihat bunga melati mekar

Perfume : The Story of a Murderer

begini karena usianya sekarang sudah lebih dari enam puluh tahun, dan ia benci harus
menunggu di ruang tamu yang dingin sebelum sempat memperagakan eau des millefleurs
dan barang dagangan lain sampai borjuis-borjuis tua itu bersedia melirik. Belum lagi
kompetisi yang menjijikkan dengan para pesaing lain. Ada si Brouet, orang kaya baru dari
jalan Dauphine yang mengaku punya koleksi minyak rambut terlengkap di seluruh Eropa,
atau Calteau dari jalan Mauconseilpengusaha katering yang sukses memasok makanan
untuk keluarga Duchess dArtois, atau Antoine Plissier dari jalan Saint-Andr-des-Arts.
Seniman yang satu ini sungguh tak terduga, dan setiap musim selalu meluncurkan wewangian
baru yang digilai seluruh dunia.

Namun demikian, seperti yang selalu terjadi pada semua penemuan besar,
ditemukannya larutan alkohol juga memiliki akibat baik dan buruk yang mengantar umat
manusia pada bencana dan penderitaan, setara dengan manfaat yang bisa dihasilkan.
Penemuan Frangipani tak lepas dari hukum ini. Sekarang, saat orang tahu bagaimana
mengikat aroma bunga, jejamuan, kayu, getah, serta sekresi binatang dalam larutan alkohol
dan mengemasnya dalam botol, kualitas seni membuat parfum juga makin merosot. Dari
yang semula, agung berada di tangan para empu, kini juga bisa dilakukan oleh para penipu
setidaknya penipu berhidung lumayan tajam seperti si brengsek Plissier. Tanpa susah-payah
mempelajari proses penciptaan benda menakjubkan seperti dalam botol ini, orang -orang
macam. Plissier seenaknya mengikuti indra penciuman dan meracik apa saja yang muncul
di kepala atau apa pun yang bisa menjadi tren di masyarakat, walau untuk sementara.
Yang membuat Baldini lebih jengkel adalah fakta bahwa apa pun pendapatnya, di usia
35 tahun si brengsek Plissier sudah berhasil mengumpulkan kekayaan lebih besar dari dia
sendirisang Baldini, yang sebelumnya harus susah-payah membanting tulang tanpa henti
selama tiga generasi. Kejayaan Plissier tumbuh dalam hitungan hari, sementara Baldini
malah makin merosot. Hal seperti ini sama sekali tidak mungkin terjadi sebelumnya!
Kenyataan bahwa seorang seniman dan pedagang terhormat sampai harus berjuang
mempertahankan hidup, ini terjadi sejak beberapa dekade terakhir! Dan sejak kegilaan
terhadap barang baru merebak di mana-mana, masyarakat seperti kesetanan dengan hasrat
terhadap tindakan dan percobaan instan. Membuat perdagangan yang berlangsung jadi
penuh omong kosong, baik di dunia bisnis maupun ilmu pengetahuan.
Segala kegilaan soal kecepatan. Apa maksudnya membangun sekian banyak jalan baru
di mana-manajuga jembatan? Apa gunanya semua itu? Apa untungnya menempuh
perjalanan ke Lyon dalam seminggu? Siapa yang mampu membangun toko dalam waktu
sesempit itu? Siapa yang diuntungkan dari kondisi ini? Atau menyeberangi Laut Atlantik dan
berlomba ke Amerika dalam sebulanburu-buru sekali? Toh selama ini kita baik-baik saja
tanpa benua itu selama ribuan tahun. Apa sebenarnya yang dicari oleh bangsa beradab
seperti kita di tengah hutan yang dihuni oleh Indian atau orang Negro? Orang bahkan jauhjauh pergi sampai ke Lapland di Kutub Utara. Padahal yang ditemui hanya es abadi dan
kebiadaban sampai terpaksa makan ikan mentah. Dan sekarang kabarnya kita tengah
berharap menemukan benua baru yang konon berada di Pasifik Selatan, atau di manalah

Perfume : The Story of a Murderer

merekah. Belum lagi lengan sekuat Hercules yang dibutuhkan untuk memeras beberapa
tetes saja dari sari pati ratusan kelopak bunga melati. Hmm... mungkin ia sudah tahu hal
initahu soal bunga melati, tapi pasti hanya dalam bentuk sebotol cairan konsentrat
berwarna cokelat gelap yang dicampur bersama formula jadi lainnya untuk membuat
parfum. Bah! Di masa kejayaan seniman sejati zaman dulu, manusia ngawur seperti Plissier
tak akan pernah diterima di mana pun-terutama di bisnis parfum. Ia kekurangan segalanya:
karakter, pendidikan, keagungan, dan kepatuhan hierarki dalam serikat kerja. Kesuksesan
sebagai seorang ahli parfum ia peroleh semata-mata dari penemuan yang sudah ada sejak
dua ratus tahun lalu oleh sang genius Mauritius Frangipaniia orang Italia, lho! Si genius
penemu aroma yang dapat larut dalam larutan alkohol. Dengan mencampur bubuk aromatik
ciptaannya ke dalam alkohol untuk mentransfer aroma dari bubuk tersebut ke cairan yang
mudah menguap, Frangipani telah membebaskan aroma dari materi, menghaluskannya, dan
menemukan aroma sebagai aroma murni. Pendeknya, ialah pencipta parfum pertama kali.
Hebat sekali! Benar-benar prestasi monumental dan hanya bisa disejajarkan dengan
penemuan-penemuan besar umat manusia lainnya, seperti penemuan sistem penulisan oleh
bangsa Syria, Geometri oleh Euclid, gagasan-gagasan Plato, atau metamorfosis dari anggur
menjadi minuman keras oleh bangsa Yunani. Sungguh prestasi nan mulia!

peduli amat. Kenapa harus gila-gilaan begini? Mungkin lantaran yang lain juga berlaku
serupaorang Spanyol, orang Inggris nan terkutuk, dan orang Belanda yang kurang ajar
selalu menantang tarung sementara kita tak pernah punya cukup dana perang. Coba
bayangkan: sebuah kapal perang harganya 300 ribu livre, padahal dihajar kanon sekali saja
bakal tenggelam dalam waktu lima menitdan harga segitu dibayar dari pajak kita! Menteri
Keuangan baru-baru ini menuntut upeti sepersepuluh dari pendapatan pajak. Ini jelas
menghancurkan negarapun bila tuntutan itu tak dipenuhi. Benar-benar jahat.

Sejauh mata memandang, hanya kekacauan yang terlihat. Orang-orang asyik membaca
buku. Bahkan perempuan! Para pendeta membuang waktu di warung kopi. Jika polisi ikut
campur dan memenjarakan salah seorang di antara mereka, para penerbit segera menjerit
dan buru-buru menggelar petisi. Pria dan wanita dari kalangan ningrat berlomba
memanfaatkan pengaruh mereka dan dalam beberapa minggu saja orang itu dibebaskan atau
diizinkan keluar negeri, kembali sibuk menebar pamflet yang menyesatkan. Di salon orangorang ribut omong kosong soal orbit komet dan ekspedisi, tentang daya angkat dan hukum
fisika Newton, rencana membangun kanal, sirkulasi darah, serta diameter bumi.
Sang Raja sendiri ikut-ikutan meminta mereka mendemonstrasikan omong kosong gaya
barusemacam petir buatan yang mereka sebut sebagai listrik. Di hadapan seluruh majelis
istana, seseorang menggesek sebuah botol, lalu timbul bunga api. Konon menurut laporan,
Yang Mulia begitu terkesan. Baldini sungguh tak habis pikir. Tidak mungkin kakek sang Raja,
Louis nan agung yang sejatiyang di bawah pemerintahannya Baldini hidup selama
bertahun-tahunmembiarkan demonstrasi sekonyol itu. Tapi memang demikian tampaknya
watak zaman ini, kendati harus ditebus dengan konsekuensi cukup berat.
Saat orang sudah tak malu atau takut lagi mempertanyakan kekuasaan Tuhannya Gereja;
saat mereka membicarakan monarkimakhluk dengan keagungan setara Tuhandan raja
sebagai sosok suci di dalamnya semudah membicarakan tukar-menukar barang dalam
katalog tentang berbagai bentuk pemerintahan yang ingin dipilih seenak hati; saat orang
sudah sedemikian lancang menggambarkan Tuhan Yang MahaperkasaTuhan semesta alam,

Perfume : The Story of a Murderer

Penderitaan manusia berakar dari ketidakrelaan untuk menempatkan diri pada


tempatnya. Ini Pascal yang bilang. Dan Pascal adalah tokoh hebatkatakanlah, Frangipaninya kaum intelektual. Seorang seniman sejati. Orang zaman sekarang sudah enggan dengan
hal-hal begini. Sekarang orang membaca buku-buku panas karangan Huguenots atau orang
Inggris, menulis risalah atau mahakarya yang katanya ilmiah dan berakibat mempertanyakan
segala sesuatu. Akibatnya, segala sesuatu kini tampak salahtiba-tiba segala sesuatu mesti
berbeda. Yang terakhir adalah tentang binatang-binatang kecil yang belum pernah ditemui
sebelumnya dan katanya terkandung serta berenang ria dalam segelas air. Mereka juga
menyebut sifilis sebagai penyakit yang wajar dan bukan suatu bentuk hukuman Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan dunia dalam tujuh hari, katanya, tapi dalam waktu jutaan tahun.
Heh! Itu pun kalau benar Tuhan yang buat. Mereka juga bilang bahwa suku-suku liar
sebenarnya manusia biasa seperti kita juga, bahwa selama ini kita telah salah mendidik
anak, dan bahwa bumi tidak lagi bulat tapi rata di bagian atas dan bawahnya seperti buah
melonapa pun itu, tak ada bedanya! Di segala bidang, manusia mempertanyakan segala
sesuatu, menggali, mengorek-ngorek, membongkar dan bereksperimen sesuka hati. Manusia
sudah tak puas lagi dengan kondisi apa adanya. Semua harus bisa dibuktikan, harus ada
saksi, statistik, dan eksperimennya. Mereka mengagung-agungkan Diderot, dAlembert,
Voltaire, dan Rousseau, atau entah siapa lagibahkan ada pendeta dan kalangan ningrat
juga di antara mereka!Seluruh tatanan masyarakat terinfeksi oleh pengkhianatan mereka,
pada kegemaran mereka akan kegelisahan dan ketidakrelaan untuk puas dengan pemberian
alam, atau bahkan dengan segala kekacauan yang berkecamuk di kepala mereka sendiri!

Baldini berdiri dekat jendela sebagai seorang tua yang tengah menatap tegas ke arah
matahari terik di atas permukaan sungai. Kapalkapal tongkang hilir mudik di bawah kakinya,
perlahan bergerak ke barat, menuju Pont-Neuf dan dermaga di bawah serambi-serambi kota
Louvre. Kapal-kapal tidak ditambat melawan arus. Untuk itu mereka memanfaatkan arus
dari seberang pulau. Di sini segalanya mengapung menjauhbaik kapal-kapal kosong maupun
yang sarat muatan, sampan dan kapal-kapal nelayan yang lebar dan datar, gulungan air
keemasan maupun yang cokelat kotor.. semua bergerak menjauh, perlahan, dengan jarak
makin lebar dan tak tertahankan. Dan jika Baldini melihat persis ke bawahnya, persis ke
bawah tembok rumah dan jembatan, air serasa mengisap fondasi jembatan. Membuatnya
pusing.
Ia telah salah membeli rumah di atas jembatan. Terlebih di sisi barat, karena matanya
kini hanya bisa melihat sungai mengalir dan bergerak menjauh. Seolah ia dan rumah serta
seluruh kekayaan yang telah susah-payah ia kumpulkan selama ini ikut mengalir menjauh
bersama sungai, sementara, ia sudah terlalu tua dan lemah untuk melawan arus. Kadang
saat sedang berbisnis di sisi sungai sebelah kiri, di daerah Sorbonne atau sekitar SaintSulpice, ia sengaja tidak menyeberang jembatan dan langsung ke Pont Saint-Michel, tapi
mengambil jalan memutar lebih jauh lewat Pont-Neuf, hanya karena jembatan itu tidak
memiliki bangunan di atasnya. Kalau sudah begitu, ia akan berdiri di sisi timur dinding
jembatan dan menatap ke arah sungai. Menikmati arus sungai yang mengalir ke arahnya.
Selama beberapa saat itu ia biarkan dirinya hanyut dalam lamunan bahwa hidupnya kini
telah lebih baik, bahkan bisnisnya sedang marak, keluarganya makmur, dan banyak wanita
yang memuja dan menghambur ke pelukannya. Bahwa hidupnya sedang tumbuh makin besar
dan makin besar.
Tapi saat pandangan itu bergeser sedikit saja, ia langsung melihat rumahnya sendiri di
kejauhantinggi, panjang dan lurus, rapuh, berjarak beberapa ratus meter di Pont au
Change. Ia juga melihat jendela ruang kerja di lantai dua dan melihat dirinya sendiri di situ,
tengah memandang aliran sungai seperti sekarang. Dan mimpi indah itu pun pupus. Baldini
memutar tubuh, berjalan gontai dari Pont-Neuf dengan perasaan lebih remuk dari
sebelumnyaseremuk sekarang ini, saat ia berpaling menjauh dari jendela dan duduk di
meja kerja.

Perfume : The Story of a Murderer

seolah tak beda dengan materi lain yang bisa digantikan, plus imbuhan bahwa semua
tatanan, moral, serta kebahagiaan di bumi ini bisa ada tanpa Diamurni berdasarkan
moralitas dan nalar bawaan manusia semata.... Ampun Tuhan!! Tak heran kalau semua jadi
jungkir balik, degradasi moral dan azab Tuhan yang disangkal oleh manusia sendiri. HasiInya
kelak sungguh mengerikan. Komet besar yang jatuh pada tahun 1681, misalnya. Mereka
berani berolok dan menyatakan bahwa itu tak lebih dari nukilan bintang! Padahal
sesungguhnya pertanda yang diturunkan Tuhan sebagai peringatan. Ramalan teramat jelas
tentang seratus tahun degradasi dan disintegrasi di lingkungan spiritual, politik, dan agama
basil ciptaan manusia sendiri, dan bahwa suatu hari kelak semua ini akan mengarah pada
bencana dan keterpurukan global di mana hanya bunga rawa yang bisa tumbuhseperti
Plissier.

Dua Belas

Baldini menghela napas perlahan lalu menarik gorden menutupi jendela. Cahaya
matahari langsung dapat sangat merusak aroma parfum atau aroma konsentrat lain yang
sejenis. Sehelai sapu tangan putih berenda ia keluarkan dari laci dan digelarnya di atas
meja. Lalu, sambil menarik kepala sejauh mungkin dan memencet hidung, ia memutar tutup
flacon perlahan-lahan. Ia tak ingin merasakan sensasi penciuman prematur secara langsung
dari botol. Parfum harus diendus dalam bentuk gas yang sedang mekar, bukan dalam bentuk
konsentrat. Ia memercik beberapa tetes ke permukaan sapu tangan, mengibas-ibas sebentar
untuk mengusir uap alkohol, lalu didekatkan ke hidung. Dalam tiga tarikan napas cepat ia
mengisap aroma parfum seolah terbuat dari bubuk saja, lalu segera mendengus
menghembuskan napasnya ke diri sendiri, mengendus lagi dengan irama waltz, dan akhirnya
menarik napas panjang dalam-dalam yang kemudian dilepas perlahan dengan jeda diam
beberapa detik sampai hembusan terakhir. Baldini menghempaskan sapu tangan ke meja
dan ambruk ke kursi.
Jujur saja, aromanya luar biasa. Plissier sialan itu rupanya benarbenar ahli. Seorang
master, malah! Pun bila ia memang belum pernah menerima pelatihan apa pun soal
pembuatan parfum. Baldini sungguh berharap dialah yang membuat Cinta dan jiwa ini.
Benar-benar orisinal sekaligus klasik, padat, harmonis, dan sama sekali baru! Aromanya
terasa segar tapi tidak seronok. Bernuansa bunga tapi manisnya tidak terasa palsu. Ada
kedalaman dari warna cokelatnya yang kaya, enak dilihat dan menggairahkan, tapi tetap
tidak terkesan berlebihan atau bombastis.
Nyaris dengan ketakziman Baldini berdiri dan mengangkat sapu tangan itu sekali lagi ke
dekat hidung. Menakjubkan... menakjubkan..., demikian ia bergumam sambil mengendus
dengan rakus. Parfum ini punya karakter yang riang dan memesona. Seperti melodi yang
mampu membuatmu merasa nyaman sekaligus.... Ah, tidak! Langsung membuatmu nyaman
detik pertama kau menciumnya! Baldini melempar sapu tangan itu kembali ke meja dengan
kesal. Memutar badan dan berjalan menjauh ke sudut ruangan, seolah malu oleh
antusiasmenya sendiri.
Ngaco! Benar-benar ngaco! Bagaimana mungkin ia membiarkan diri hanyut memuji, ...
seperti melodi, riang, indah, terasa nyaman. Dasar idiot. Idiotisme kekanak-kanakan! Itu
kan cuma kesan sedetik. Kelemahan sesaat. Bias temperamen semata-terutama dari darah
Italianya. Jangan menilai saat mengendus! Itu peraturan nomor satu, dasar Baldini bodoh!
Baui saja saat mengendus dan menilai belakangan! Cinta dan jiwa tidak jelek sebagai
parfum dan terhitung produk berhasil. Peracikan dilakukan dengan cerdas dan baikkalau
tak mau disebut menyulap. Dan kau tak bisa berharap lebih dari sulap murahan kalau
sudah bicara soal Plissier. Orang seperti dia tak mungkin bisa menciptakan parfum
sempurna. Penipu itu menyulap dengan keahlian seorang master. Membingungkan indra

Perfume : The Story of a Murderer

DI HADAPANNYA DI ATAS MEJA, berdiri flacon berisi parfum karya Plissier. Berkilapan
cokelat keemasan diterpa sinar matahari, bening dan tidak kusam. Tampak begitu polos
seperti air teh yang tidak kental, tapi tetap solid sebagai parfum. Selain empat perlima
bagian alkohol, seperlimanya berisi campuran misterius yang mampu mengharubirukan
seluruh Paris. Campuran itu kalau diteliti mungkin berisi tiga atau tiga puluh ramuan
berbeda yang disiapkan dari berbagai kemungkinan kimia, yang masing-masing proporsinya
sangat tepat. Jiwa parfumnya sungguh terasaitu kalau kita cukup berbaik hati menyebut
parfum buatan oportunis macam Plissier memiliki jiwa. Tugas Baldini sekarang adalah
bagaimana menemukan komposisi parfum ini.

penciumanmu dengan kesempurnaan harmoni. Dalam seni klasik pembuatan parfum, orang
itu adalah serigala berbulu domba. Pendek kata: Plissier tak lebih dari monster berbakat.
Lebih buruk lagi: ia seperti setan yang menggoda iman para ahli parfum sejati.

Peraturan kedua menyatakan bahwa parfum sejati bersifat langgeng. Memiliki tiga
tahapan masasebutlah masa remaja, masa dewasa, dan masa tua. Hanya apabila
mampu memberikan aroma yang tetap segar dan enak di ketiga tahapan itu, sebuah parfum
bisa disebut berhasil. Berapa sering kita menemukan bahwa campuran aroma yang terasa
begitu segar saat pertama kali dicoba ternyata berbau seperti buah busuk selang beberapa
waktu dan akhirnya sama sekali tidak meninggalkan aroma apa pun selain bau kesturi yang
dipakai sebagai dasar? Seorang ahli parfum harus sangat hati-hati soal ini. Kelebihan setetes
saja akan sangat merusak hasil akhir sebuah parfum. Ini kesalahan klasik pembuatan parfum.
Siapa tahu, bisa saja Plissier berlebihan menggunakan aroma dasar ini. Barangkali malam
ini juga akan kita singkap kepalsuan Cinta dan jiwa. Lihat saja.
Kita akan mengendus lagi nanti. Indra penciuman kita ibarat kapak tajam yang mampu
membelah kayu sampai menyerpih. Memfragmentasi setiap detail parfum ini. Akan jelas
nanti betapa aroma magis palsu ini ternyata terbuat dari bahan dan metode yang biasa saja.
Kita, Baldini sang ahli parfum, akan menangkap basah tipuan Plissier si pembuat cuka apel.
Topeng itu akan kita robek dari wajah buruknya dan kita tunjukkan pada dunia bagaimana
sesungguhnya kehebatan Baldini. Campurannya akan kita tiru dan ubah menjadi sesuatu
yang sama sekali baru. Tiruan yang sedemikian sempurna sampai Plissier sendiri tak mampu
membedakannya dengan buatannya sendiri. Tidak! Masih belum cukup! Kita akan
meningkatkan parfum ini! Kita angkat apa yang salah, membuangnya, dan memamerkannya
di bawah hidungnya sendiri! Kau hanya seorang penipu, Plissier! Tak lebih dari penipu
busuk! Pesohor karbitan di dunia pembuatan parfum. Tak lebih dari itu.
Dan sekarang, ayo kita kerja, Baldini! Tajamkan hidungmu dan enduslah tanpa bias
sentimentalitas! Filter aroma ini dengan aturan seni yang benar! Sebelum malam ini
berakhir, kau sudah harus menggenggam formulanya!
Baldini seperti terjun ke meja kerja. Menyambar kertas, tinta, dan selembar sapu tangan
baru, lalu digelarnya baik-baik, dan ia pun mulai menganalisis. Prosedurnya begini: celup
ujung sapu tangan ke dalam parfum, kibaskan dengan cepat di bawah hidung, lalu saring
aromanya berdasarkan pilahan-pilahan ramuan yang terkandung tanpa bias dari
kompleksitas gabungan bagian yang lain. Kemudian, sambil memegang sapu tangan di ujung
tangan yang terjulur, catat nama ramuan yang ditemukan, lalu ulangi lagi dari awal sambil
terus melayang-layangkan sapu tangan ke dekat hidung, menangkap fragmen aroma
berikutnya, dan seterusnya....

Perfume : The Story of a Murderer

Tapi engkau, wahai Baldini, tidak akan sampai terbodohi. Kau memang terkejut untuk
sesaat oleh kesan pertama ramuan ini, tapi tahukah kau bagaimana aromanya satu jam dari
sekarang, saat unsurnya yang mudah menguap lenyap dan struktur utamanya naik ke
permukaan? Atau bagaimana perubahan aromanya malam ini, saat sisa-sisa aroma yang bisa
dicium meninggalkan komponen-komponen gelap nan berat yang saat ini tersembunyi di
balik kemegahan aroma bunga? Tunggu dan lihatlah sendiri, Baldini!

Tiga Belas
BALDINI BEKERJA TANPA HENTI selama dua jam, dengan gerakan yang makin lama makin
kacau, makin jorok menulis dari tinta ke kertas, dan makin besar dosis parfum yang ia
teteskan ke sapu tangan untuk diendus hidungnya.

Kendati niatnya demikian, tapi tangannya seperti punya pikiran sendiri. Ini buah dari
praktik selama ribuan kali sebagai pembuat parfum. Mencelupkan sapu tangan lalu
dianginkan dan dikibas dengan cepat melewati wajah. Setiap tarikan napas ia tahan selama
beberapa detik untuk kemudian dilepas dengan helaan dan jeda yang terlatih. Sampai
akhirnya hidung itu sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari siksaan. Baldini mulai
dihinggapi reaksi alergi sampai benar-benar tak mampu mencium apa-apa lagi seperti
disumbat lilin. Bernapas pun sulit. Seolah terserang pilek hebat sampai matanya berair. Puji
Tuhan!
Sekarang ia bisa berhenti dengan lega. Tugas telah dilakukan dengan sekuat tenaga dan
usaha terbaik, berdasarkan aturan seni yang benar, kendati akhirnya harus kalah (seringnya
begitu). Saatnya untuk ultra posse nemo obligaturtutup toko! Besok pagi ia akan pergi ke
tempat Plissier untuk membeli sebotol besar parfum Cinta dan jiwa untuk membuat wangi
kulit Spanyol milik Count Verhamont sesuai permintaan. Setelah itu ia akan k embali
menenteng koper kecil berisi ruparupa sabun model kuno, kantung-kantung aromatik,
minyak rambut, dan pundi-pundi bedak, lalu berkeliling ke salon-salon para countess tua
yang selalu gemetar sebagai langganan terakhir. Barangkali saat itu ia juga ak an sama
gemetarnya dan terpaksa menjual toko serta bisnisnya kepada Plissier atau salah satu dari
puluhan pedagang kaya karbitan di kota ini. Kalau cukup beruntung ia bisa menjual seharga
beberapa ribu livre. Ia akan mengepak satu atau dua koper dan pergi ke Italia bersama istri
tercinta (kalau belum keburu mati lantaran stres). Dan jika ia sanggup bertahan seusai
perjalanan, ia akan membeli sebuah rumah kecil di pedesaan dekat Messina karena harga
barang-barang di sana murah. Di sanalah, dalam pahitnya kemiskinan, ia, sang Giuseppe
Baldini, mantan ahli parfum terbesar di Paris, akan meninggal duniakapan pun Tuhan
mengizinkan. Yah, kedengarannya tidak terlalu buruk.
Baldini menyumbat kembali flacon parfum, meletakkan pena dan mengusap sapu tangan
beraroma tajam itu ke kening untuk terakhir kali. Luapan alkohol cukup menenangkan, tapi
tidak lebih. Matahari terbenam di ufuk barat.
Baldini berdiri dan membuka gorden. Tubuhnya mandi cahaya matahari sore sampai ke
lutut, merah padam seperti sebatang obor tua saat apinya habis. Ufuk merah matahari
bersembunyi di belakang kota Louvre bersama pijaran api lembut menjajari atap-atap
rumah. Sungai berkilau keemasan dan kapal-kapal sudah lenyap. Angin sore berhembus
menyapa permukaan air, berkilapan di sana-sini, bergerak makin dekat seperti tangan

Perfume : The Story of a Murderer

Ia nyaris tak bisa mencium apa-apa lagi sekarang. Uap parfum yang ia hirup membuat
mabuk. Ia tak bisa lagi mengenali niat awal untuk membongkar kepalsuan Plissier. Baldini
sadar tak ada gunanya terus mencium. Ia tak akan pernah bisa menyarikan ramuan parfum
misterius ini. Yang pasti bukan hari ini atau besok saat hidungnya pulih kembali kalau Tuhan
mengizinkan. Kegiatan mengendusi dan memilah-milah unsur dasar aroma, memfragmentasi
kesatuannya untuk memastikan kualitas gabungan aroma yang tercipta menjadi komponenkomponen terpisah, adalah kegiatan yang sangat melelahkan dan memualkan. Kini
semangatnya sudah terbang entah ke mana. Ia tak ingin meneruskan lebih jauh.

raksasa menebar jutaan koin emas di atas air. Sesaat Baldini merasa arus sungai sore itu
berbalik arah: mengalir ke arah Baldini. Banjir oleh kilauan emas.
Mata Baldini basah dalam kesedihan. Lama sekali ia berdiri diam memandang keelokan
alam. Lalu tiba-tiba ia mendorong membuka jendela lebar-lebar dan melempar parfum
Plissier sejauh mungkin, melengkung tinggi sepanjang sungai, berkecipak dan membelah
kilapan permukaan air sebelum tenggelam dalam sekejap.

Ekspresi wajah Baldini saat itu sumringah seperti bocah dan tiba-tiba ia merasa sangat
bahagia. Sekali lagi ia adalah Baldini tua sekaligus muda. Dengan keberanian dan keteguhan
kuat menghadapi nasib pun bila keteguhan itu berarti mundur teratur. Memangnya kenapa?!
Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Tekadnya bulat untuk meninggalkan masa lalu yang bodoh,
di mana seolah tak ada pilihan. Tuhan Mahaadil dalam memberi suka maupun duka, tapi Dia
tak ingin kita meratapi dan menangisi duka. Justru kita harus membuktikan pada diri sendiri
bahwa kita memang jantan. Dan rasanya Dia memang telah memberikan tanda-Nya.
Fatamorgana merah keemasan dari siluet kota saat ini merupakan peringatan: bertindaklah
sekarang, saat ini juga Baldini. Sebelum terlambat! Mumpung rumahmu masih berdiri
kokoh, gudangmu masih penuh, dan mumpung masih bisa menawar dengan harga yang baik
untuk bisnis gagalmu. Putusan masih Dia biarkan di tanganmu. Menikmati hari tua dengan
hidup sederhana di Messina memang bukan tujuan hidup sejak awal, tapi masih lebih
terhormat dan terhitung ibadah ketimbang musnah dalam kemewahan semu di Paris. Biarkan
saja keluarga Brouet, Calteau, dan Plissier bersorak sekarang. Giuseppe Baldini memang
gulung tikar, tapi setidaknya ini dilakukan dengan kehormatan dan atas kehendak sendiri!
Baldini merasa cukup bangga pada diri sendiri. Benaknya kini begitu damai. Untuk
pertama kalinya dalam hidup ia merasa begitu nyaman. Lehernya tidak kaku lagi dan
bahunya serasa hidup. Ia berdiri tegak tanpa beban, rileks, bebas dan puas dengan diri
sendiri. Duh, untuk pertama kalinya bernapas terasa begitu ringan. Ia bisa dengan jelas
mencium aroma parfum Cinta dan jiwa dalam ruangan tanpa harus terpengaruh. Baldini
telah mengubah jalan hidup dan merasa bahagia. Sekarang ia hendak naik menemui istrinya
dan menyampaikan putusan ini. Setelah itu ia akan berziarah ke Notre-Dame dan
menyalakan lilin sebagai ungkapan terima kasih atas petunjuk serta berkah yang telah Tuhan
berikan padanya, Giuseppe Baldini, dalam wujud kekuatan karakter.
Dengan bergegas, nyaris seperti anak muda, Baldini memakai wig di kepalanya yang
botak, mengenakan mantel biru, menyambar lilin dari meja, dan keluar dari ruangan. Ia
baru saja menyalakan lilin sepanjang perjalanan naik saat mendengar bel pintu berdenting
di lantai dasar. Bunyinya bukan denting bel Persia dari pintu toko, tapi bel dari pintu masuk
pelayanbunyi menyebalkan yang selalu terasa mengganggu. Ia selalu mengubah putusan
untuk menyingkirkan benda itu dan menggantinya dengan bel yang lebih enak didengar
dengan alasan biaya yang dirasa berlebihan. Tapi kini pikiran itu malah membuatnya terkikik

Perfume : The Story of a Murderer

Udara segar menghambur ke dalam ruangan. Baldini megap-megap menghirup napas dan
segera sadar bahwa hidungnya mulai membaik. Lalu menutup jendela. Hampir bersamaan,
malam turun begitu tiba-tiba. Pemandangan kota dan sungai yang semula berpendar
keemasan berubah menjadi siluet kaku berwarna kelabu. Ruang kerja Baldini kini gelap. Ia
tak bergeser dari posisi awal dan tetap menatap keluar jendela. Aku tidak akan mengirim
seorang pun ke tempat Plissier besok pagi, ia berkata. Kedua tangan mencengkeram
punggung kursi erat-erat. Tidak akan. Dan aku juga tidak akan berkeliling ke salon-salon
lagi. Aku akan langsung pergi ke notaris besok pagi dan menjual rumah serta bisnisku. Itu
yang akan kulakukan. Haram jadah!

geli. Toh tak ada bedanya lagi sekarang karena ia akan menjual bel itu sekalian bersama
rumahnya. Biar penghuni baru saja yang gantian jengkel kelak.
Denting nyaring bel terdengar lagi. Baldini menajamkan telinga ke arah suara di lantai
bawah. Tampaknya Chnier sudah pulang dan pelayan wanitanya juga enggan menjawab
membukakan pintu. Jadilah Baldini turun sendiri.

Mau apa kau?


Saya dari Matre Grimal, mengirimkan kulit kambing pesanan Anda, jawab orang itu
sambil melangkah lebih dekat dan menyorongkan setumpuk kulit kambing dari lengannya
yang menekuk. Dalam cahaya lilin, Baldini mulai bisa melihat wajah si bocah serta matanya
yang gugup dan tak bisa diam. Tubuhnya bungkuk, seolah bersembunyi di belakang kedua
lengan yang terjulur, menunggu untuk ditinju. Orang itu adalah Grenouille.

Perfume : The Story of a Murderer

Baldini melepas gerendel dan membuka pintu. Hmm... tak ada siapa-siapa? Kegelapan
malam seperti menelan bulat-bulat cahaya lilin yang ia bawa. Lalu, perlahan sekali, matanya
meraba sosok seorang anak atau pemuda tanggung mengapit sesuatu di lengannya.

Empat Belas

Masuklah!
Ia mempersilakan bocah itu masuk dan berjalan bersama ke arah toko. Baldini memimpin
dengan lilin di tangan, sementara Grenouille mengikuti di belakang sambil menenteng kulit
kambing. Ini adalah kali pertama Grenouille menginjakkan kaki di rumah seorang ahli
parfum. Tempat di mana aroma bukan sekadar hiasan tapi menjadi pusat perhatian. Ia
mengetahui setiap ahli parfum dan apoteker di kota ini, sering berdiam bermalam -malam di
etalase mereka dengan hidung menempel di celah lubang kunci. Ia tahu setiap aroma yang
ditangani di sini dan kerap menggabungkannya di rumah aroma imajiner dalam ingatan untuk
menciptakan parfum terbaik. Jadi sebenarnya tidak ada yang baru atau terlalu aneh, namun
ia tetap merasa seperti anak kecil genius musik yang jejingkrakan kegirangan ingin melihat
sebuah orkestra dari dekat atau memanjat melewati paduan suara gereja hanya untuk
melihat organ yang tersembunyi. Grenouille ingin sekali melihat toko parfum dari dalam,
dan karena itu segera menyambar kesempatan untuk mengantar kulit kambing ke tempat
Baldini.
Kini ia berdiri dalam ruang toko Baldini. Satu-satunya tempat di Paris dengan jumlah
terbesar aroma profesional yang diracik dalam sebuah ruangan kecil. Ia tak bisa melihat
banyak di keremangan cahaya lilin, kecuali sekejap bayangan meja kasir dengan
timbangannya, dua patung bangau di atas baki parfum, sebuah kursi berlengan untuk
pelanggan, lemari-lemari gelap sepanjang dinding, sekilas peralatan menulis dari perunggu,
serta label-label putih pada botol dan wadah leburan logam. Ia juga tak bisa mencium
melebihi apa yang sudah biasa diciumnya dari jalanan, tapi ia segera bisa merasakan
keseriusan yang melingkupi rumah ini. Boleh juga disebut sebagai keseriusan sucikalau
kata suci memang punya arti buat seorang seperti Grenouille. Yang jelas ia merasakan
sensasi keseriusan yang dingin, ketegasan dari keahlian dan seni seorang seniman, serta
keseriusan atmosfer bisnis yang melekat di setiap mebel, setiap alat, sampai ke kaleng,
botol, dan pot. Sepanjang langkah mengikuti Baldini, dalam bayang -bayang tubuh si ahli
parfum karena Baldini tak mau repotrepot menerangi jalan, Grenouille hanyut dalam
fantasi bahwa tempat ini miliknya. Bahwa di sinilah tempat di mana ia kelak akan
mengguncang dunia
Gagasan ini tentu saja sombong sekali. Tak ada alasan yang bisa membenarkan seorang
pembantu penyamak kulit berlatar belakang tak jelas, tanpa koneksi atau perlindungan dan
tanpa status sosial apa pun, untuk sampai berharap bahwa ia bisa mengambil keuntungan
dari toko parfum paling terkenal di Paris ini. Apalagi sejak kita tahu bahwa Baldini hendak
mengakhiri bisnisnya. Namun bagi Grenouille, gagasan sombong ini bukan semata-mata
harapan, tapi kepastian. Ia sadar bahwa satu-satunya cara untuk lolos dari penjara nasib

Perfume : The Story of a Murderer

KULIT KAMBING UNTUK BAHAN kulit Spanyol Count Verhamond. Baldini baru ingat
sekarang. Ia memesan kulit itu dari Grimal beberapa hari lalu. Kulit kambing dengan kualitas
terbaik dan terhalus yang akan dipakai sebagai pengering tinta di meja Count Verhamont,
seharga lima belas Franc per potong. Tapi ia tidak terlalu membutuhkannya lagi sekarang,
di samping untuk menghemat pengeluaran. Di pihak lain, kalau ia tolak begitu saja... ? Siapa
tahu akan membuat kesan jelek, orang-orang akan bergunjing dan menebar gosip bahwa
Baldini mulai tak bisa dipercaya, Baldini mulai kehabisan pesanan, Baldini tak bisa
membayar tagihan... dan itu tidak baik. Oho, tidak, karena justru akan menurunkan nilai
jual bisnisnya. Akan jauh lebih baik kalau sekarang ia terima saja kulit kambing tak berguna
ini. Tak ada yang perlu tahu bahwa Giuseppe Baldini sebenarnya telah memutar haluan.

adalah dengan kabur meninggalkan Grimal dan mengambil alih toko ini. Grenouille si kutu
parasit mulai mencium darah. Bersumber dari dendam dan kebencian yang ia biarkan tidur
selama bertahun-tahun, terbungkus rapat dan menanti peluang. Sekaranglah kesempatan
itu. Tak peduli bagaimana akhirnya. Jadi sama sekali bukan soal harapan. Itu sebabnya
Grenouille bisa begitu yakin.

Di sana! Baldini menunjuk ke sebuah meja besar di depan jendela. Taruh kulitnya di
sana!
Grenouille melangkah keluar dari bayang-bayang Baldini, menaruh kulit kambing di
meja, lalu dengan cepat melompat kembali ke belakang, memosisikan diri di antara Baldini
dengan pintu. Baldini berdiri diam beberapa saat. Lilin diletakkan tegak lurus di atas meja
agar cairannya tidak menetes. Punggung jemari Baldini mengusap permukaan kulit kambing
yang mulus. Ia membalik lapisan teratas dan mengusap lapisan berbulu dari kulit itu. Terasa
kasar sekaligus lembut. Kualitasnya benar-benar bagus dan cocok digunakan untuk kulit
Spanyol. Saat kering tidak akan menyusut, dan setelah dipasang dengan benar
permukaannya akan tetap fleksibel dan lentur. Baldini bisa langsung tahu hanya dengan
menekan lembaran kulit di antara jempol dan jari telunjuk. Kulit kambing ini mampu
menahan aroma sampai lima atau sepuluh tahun. Bagus, bagus sekali. Benar-benar kualitas
prima. Ia juga berpikir untuk membuat sarung tangantiga pasang untuk diri sendiri dan
tiga pasang lagi untuk istrinya, sebagai bekal perjalanan ke Messina.
Baldini menarik kembali tangannya. Meja kayu yang telah disiapkan juga dibuat dengan
baik. Semua sudah siap. Ada baskom kaca untuk merendam kulit dalam cairan parfum, piring
kaca untuk mengeringkan, adukan untuk mencampur racikan dalam alkohol, lengkap dengan
alu, pengaduk, kuas, mesin pengupas, dan gunting besar. Seolah semua ini sudah lama
tertidur dalam gelap dan akan bangun menjelang pagi. Ia jadi berpikir apakah harus
membawa meja ini sekalian ke Messina? Bersama beberapa peralatan lainyang pentingpenting saja tentunya. Meja ini sungguh enak dan cocok dipakai bekerja. Kayunya dari pohon
ek sampai ke kaki meja, dengan penahan rangka dipasang bersilangan agar tidak goyang.
Permukaannya juga tak mempan dihajar asam, minyak, atau goresan pisau. Tapi pasti akan
menuntut biaya besar bila diboyong ke Messina, bahkan dengan kapal sekalipun! Jadi
memang tidak bisa tidak, ia tetap harus menjual meja ini besok, lengkap dengan tetek
bengek yang ada di atas, di bawah, dan di sisinyapokoknya ia akan menjual semuanya
besok! Seorang Baldini memang sentimental, tapi tetap memiliki karakter kuat dan teguh
dengan pendirian, apa pun kesulitan yang menghadang. Boleh jadi ia menyerahkan semua
ini dengan mata berlinang, tapi akan tetap dilakukan karena inilah jalan yang benar, sesuai
pertanda dari Tuhan.
Baldini berbalik hendak pergi. Agak kaget melihat makhluk aneh yang kini berdiri
menghadang di pintuia sendiri hampir lupa.
Kulitnya bagus, kata Baldini. Katakan pada majikanmu bahwa aku puas dengan
pekerjaannya dan akan mampir beberapa hari lagi untuk membayar.
Baik, Tuan, jawab Grenouille. Tapi ia tetap bergeming. Menghalangi Baldini yang
sudah hendak meninggalkan ruangan. Baldini jelas kaget, tapi masih belum curiga dan
cenderung menangkap gelagat si bocah sebagai sikap malu-malu.

Perfume : The Story of a Murderer

Mereka sampai di ruangan toko. Baldini membuka ruang belakang yang menghadap ke
arah sungai dan berlaku sebagai gudang sekaligus bengkel dan laboratorium. Tempat di
mana sabun dimasak, pomade diracik menjadi minyak rambut, dan eau de toilette dicampur
dalam botol-botol besar.

Ada apa? ia bertanya. Ada hal lainnya yang bisa kulakukan untukmu? Hmm?
Bicaralah!
Grenouille berdiri di sana dengan tubuh membungkuk dan menatap Baldini dengan
tatapan yang sengaja dipasang malu-malu.
Saya ingin bekerja untuk Anda, Matre Baldini. Bekerja untuk Anda di bisnis ini.

Lho, kau kan murid seorang penyamak, anak muda, ujar Baldini. Aku tidak butuh
murid karena sudah ada asisten.
Anda ingin membuat kulit kambing ini harum, Matre Baldini? Ingin membuat kulit yang
saya bawa ini berbau harum, kan? Grenouille mendesis seperti tak menyimak jawaban
Baldini.
Benar, jawab Baldini.
Dengan parfum Cinta dan jiwa buatan Plissier? tanya Grenouille. Tubuhnya
membungkuk lebih dalam.
Mendengar ini, tubuh Baldini langsung gemetar tersengat teror. Bukan lantaran heran
bagaimana si bocah bisa tahu persis, tapi karena Grenouille telah menyebut nama parfum
terkutuk yang gagal ia uraikan siang tadi.
Dari mana kau dapat gagasan ngawur bahwa aku akan menggunakan parfum buatan
orang lain ... ?
Karena tubuh Anda sarat aroma itu! desis Grenouille lagi. Tercium di keningmu, dan
di kantong baju sebelah kanan ada sapu tangan yang juga kuyup oleh parfum itu. Parfum
Cinta dan jiwa ini tidak terlalu bagus. Jelek. Terlalu banyak bergamot dan daun rosemary,
dan sedikit sekali sari bunga mawarnya.
Aha! seru Baldini. Kaget menyadari percakapan yang bergeser ke penyebutan unsur
secara spesifik. Dengan bernafsu ia mengejar lebih jauh, Apa lagi?
Bunga pohon jeruk, limau, cengkeh, minyak kesturi, melati, alkohol, dan satu lagi saya
tak tahu namanyadi sana, tapi dari sana, di botol itu! telunjuk Grenouille menunjuk di
kegelapan. Baldini menjajarkan terang lilin sesuai arah telunjuk, ke arah lemari, ke sebuah
botol berisi balsam berwarna kuning kelabu.
Storax? ia bertanya.
Grenouille mengangguk. Benar. Itu juga. Storax. Tubuhnya membungkuk sedemikian
rupa sampai seolah kejang-kejang sambil menggumamkan sedikitnya nama itu dua belas
kali, Storaxstoraxstoraxstorax....
Baldini mengangkat lilin menerangi si aneh yang menggumamkan storax itu dan
berpikir, Orang ini kalau tidak gila, mestinya pencuri atau memang genius berbakat. Ia
yakin seratus persen bahwa memang itulah unsur yang dicarinya selama ini. Unsur yang
sedemikian rupa diracik dengan proporsi yang tepat dan membentuk parfum Cinta dan
Jiwa. Pengalamannya sebagai seorang ahli mengatakan bahwa ini memang mungkin sekali.
Sari bunga mawar, cengkeh, dan storaxtiga unsur itulah yang ia cari-cari sepanjang siang.

Perfume : The Story of a Murderer

Kalimat ini mengalir bukan sebagai permintaan, tapi tuntutan. Juga tak bisa dibilang
mengucap, karena mulut Grenouille mendesis seperti reptil. Sekali lagi, Baldini salah
membaca gelagat buruk ini sebagai kegugupan seorang anak kecil. Ia malah tersenyum
ramah.

Tampaknya kau memiliki hidung yang baik, anak muda, ujar Baldini setelah Grenouille
usai mendesah-desah. Ia kembali menuju meja dan meletakkan lilin dengan hati-hati. Tak
diragukan lagil memang hidung yang berbakat. Tapi....
Hidung saya adalah yang terbaik di seluruh Paris, Matre Baldini, potong Grenouille
dengan suara serak. Saya tahu semua aroma di dunia-semuanya. Hanya saja beberapa
namanya saya tidak tahu, tapi saya cepat belajar. Aroma yang memiliki nama jumlahnya tak
banyakhanya beberapa ribu. Saya mau mempelajari semuanya. Saya tak akan pernah lupa
nama balsam itu... storax. Balsam itu namanya storax, namanya storax, namanya storax....
Diam! bentak Baldini. Jangan potong kalau saya sedang bicara! Kau kurang ajar dan
tidak sopan. Tak ada orang yang tahu nama seribu macam aroma. Aku sendiri tidak tahu.
Paling hanya beberapa ratus, karena jumlahnya sendiri tak sampai beberapa ratus di bisnis
ini. Yang lain bukan aroma, hanya bau saja. Tak berguna.
Tubuh Grenouille yang semula nyaris tegak lagi saat begitu bersemangat
menggambarkan pengetahuannya tentang ribuan aroma sampai membentangkan tangan,
kembali mengkerut seperti katak mendengar bentakan dan selaan Baldini.
Tentu saja aku juga tahu, lanjut Baldini, meski belum lama, bahwa Cinta dan Jiwa
terdiri dari storax, sari bunga mawar, dan cengkeh, plus bergamot, ekstrak rosemary, dan
sebagainya. Yang ingin kuketahui, seperti kataku tadi, adalah hidungmu. Kemungkinan,
betapa Tuhan telah menganugerahimu dengan hidung setajam itusebagaimana berkahnya
pada banyak orang lain, khususnya pada orang-orang seusiamu. Tapi dalam kasus ahli
parfum, sampai di sini Baldini mengangkat telunjuk dan membusungkan dada, seorang
ahli parfum sejati membutuhkan lebih dari sekadar hidung tajam. Ia juga butuh organ lain
yang murni, bersih, serta terlatih membaui selama puluhan tahun. Mampu menguraikan
aroma yang paling kompleks sekalipun berdasarkan komposisi dan proporsi, sekaligus
menciptakan racikan parfum yang benar-benar baru. Hidung seperti ini, ujar Baldini sambil
mengetuk hidungnya dengan jari, bukanlah sesuatu yang dimiliki begitu saja, anak muda!

Perfume : The Story of a Murderer

Bila digabung dengan unsur lainnya dalam komposisi yang tepatyang ia yakin telah berhasil
ia kenali sebelumnya, akan menyatulah semua itu menjadi sebuah bulatan cantik berwujud
kue. Tinggal masalah proporsi penggabungannya saja sekarang. Untuk ini Baldini harus
melakukan percobaan selama beberapa hari. Ini pekerjaan sulit dan bahkan lebih buruk dari
kegiatan mengidentifikasi bagian-bagian tadi, karena ia harus mengukur bobot dan mencatat
serta mengawasi seluruh prosesnya dengan sangat hati-hati. Sedetik saja lengah dalam
jentikan pipet atau salah menghitung jumlah tetesan, akan merusak segalanya. Setiap
kegagalan akan menghabiskan biaya sangat mahal. Baldini jadi ingin menguji makhluk aneh
ini. Menanyakan formula yang tepat dari parfum Cinta dan Jiwa. Dalam perhitungan
Baldini, kalau ia bisa tahu sampai setiap tetes dan gramnya, maka ia pasti seorang pembajak
yangentah bagaimana, mencuri resep asli dari Plissier untuk dipakai sebagai dasar
negosiasi agar Baldini mau mengangkatnya sebagai murid. Tapi kalau mendekati, ia pasti
seorang genius aroma, dan ini tentu saja menggelitik minat profesional Baldini. Ini bukan
berarti ia hendak membatalkan niat awal untuk pensiun, karena parfum itu toh sudah tak
penting lagi sekarang. Bila orang ini mampu membawakan sampai bergalon-galon pun, ia
tetap enggan mengharumi kulit Spanyol milik Count Verhamont dengan parfum buatan
Plissier. Baldini yang sekarang bukan lagi seorang obsesif wewangian yang rela
menghabiskan umur dalam bisnis campur-mencapur aroma. Semangat bisnisnya sudah
bergeser sama sekali. Saat ini ia hanya ingin menemukan formula parfum sialan itu, dan
kemungkinan lebih jauh untuk mempelajari bakat bocah misterius ini. Anak yang mampu
mengendusi dan mengenali aroma begitu saja. Baldini ingin tahu rahasianya. Penasaran saja.

Tapi diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan. Atau barangkali kau bisa memberiku
komposisi yang tepat dari masing-masing unsur formula parfum Cinta dan jiwa saat ini
juga? Hmm? Bisa tidak?
Grenouille tak menjawab.

Tapi Grenouille tetap diam.


Hah! Sudah kuduga! seru Baldini puas sekaligus kecewa. Ia meluruskan badan. Kau
tidak bisa, kan? Tentu saja tidak. Kau termasuk orang yang tahu apakah ada peterseli atau
chervil dalam sebuah sup saat makan siang. Itu bagus, dan terhitung luar biasa. Tapi tidak
lantas menjadikanmu seorang koki, kan? Mendekati pun tidak. Dalam seni dan keahlian apa
puncatat ini baik-baik sebelum kau pergi, bakat tetap tidak berarti banyak bila
dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh dari kerendahan hati dan kerja keras. Itu
yang utama.
Baldini tengah mencari batang lilin di meja saat Grenouille nienggeram, Saya tak tahu
apa itu formula, Matre. Saya tidak tahu. Tapi selain dari itu, saya tahu segalanya!
Formula adalah dasar dari inti setiap parfum, tegas Baldini. Ia ingin mengakhiri saja
percakapan ini. Sekarang. Sebuah formula memuat instruksi langkah demi langkah dan
mendetail tentang proporsi yang dibutuhkan untuk mencampur setiap unsur agar hasilnya
persis sesuai keinginan. Itulah yang namanya formula. Ia bertindak sebagai resepkalau kau
lebih mengerti istilah ini.
Formula, formula gumam Grenouille serak, makin lama makin keras dari arah pintu.
Saya tidak butuh formula. Resepnya sudah ada di hidung saya. Boleh saya racikkan untuk
Anda, Matre? Bolehkah? Bolehkah?
Bagaimana caranya? pekik Baldini sambil mengangkat lilin ke wajah Grenouille.
Bagaimana caramu meraciknya? Sekali itu Grenouille tidak mengkerut. Lho, semua bahan
kan sudah ada di sini. Segala yang dibutuhkan, aroma-aromanya, semua ada di ruangan ini.
Kembali ia menunjuk-nunjuk ke kegelapan. Ada sari bunga mawar, ada bunga pohon jeruk,
di situ ada cengkeh, di sana
rosemary, itu....
Tentu saja semua ada di sini!! raung Baldini kesal. Semua memang tersedia di
ruangan ini. Tapi biar kukatakan padamu, bodoh, bahwa apa pun itu tetap tak berguna kalau
formulanya tidak adal
di sana bunga melati, di sana alkohol, bergarnot di sana, storax di sana Grenouille
mengoceh. Setiap nama ia sebutkan sambil menunjuk ke tempat-tempat berbeda di ruangan
itu. Padahal begitu gelap sampai orang hanya bisa mengira-ngira bayangan lemari berisi
bermacam botol di kejauhan.
Kau bisa melihat dalam gelap, ya? Baldini melanjutkan. Kau tak hanya memiliki
hidung terbaik, tapi juga mata paling tajam di seluruh Paris. Iya? Sekarang barangkali kau
juga punya kuping terbaikbuka lebar-lebar kupingmu karena akan kuberi tahu: kau ini sok

Perfume : The Story of a Murderer

Setidaknya perkiraan yang mendekati, barangkali? desak Baldini. Badannya sedikit


terjulur agar bisa melihat katak jelek di depannya dengan lebih jelas. Perkiraan saja.
Sekadar estimasi, begitu? Hmm ... ? Bisa tidak? Ayo bicara! Katanya hidungmu terbaik di
seluruh Paris?

tahu dan penipu. Bisa saja kau curi informasi itu dari Plissier. Habis kau mata-matai dia,
kan? Dan sekarang kau pikir bisa membodohi aku, begitu?
Grenouille kini berdiri tegak. Badannya menjulang dengan kaki membentang
menghalangi pintu, dengan kedua tangan sedikit terentangmirip laba-laba di sudut kusen.
Beri saya waktu sepuluh menit, ujarnya dengan nada dan suara nyaris normal. Saya akan
buatkan Cinta dan Jiwa untuk Anda. Saat ini, di sini juga, di ruangan ini. Matre, beri saya
waktu sepuluh menit saja!

Benar, jawab Grenouille.


Bah!! bentak Baldini, sambil memuntahkan seluruh udara dari paru-paru. Tapi
kemudian ia menghirup napas dalam-dalam dan menatap Grenouille lama sekali. Sambil
merenung. Kalau mau jujur, sebenarnya tak rugi bila dicoba. Toh semua akan berakhir
besok. Aku tahu persis ia tak akan bisa membuktikan apa pun. Tak mungkin. Sebab kalau
memang bisa, wah, artinya ia lebih dahsyat dari Frangipani sendiri. Jadi, kenapa tidak
kubiarkan saja ia mendemonstrasikan kebenaran ini? Bukan tidak mungkin suatu hari kelak,
di Messina, aku akan menyesal telah salah mengenali seorang ahli penciuman nan genius,
walau anugerah ini sengaja ditutupi Tuhan di balik wujud buruk... Ah, tidak mungkin.
Nalarku menegaskan bahwa hal ini tidak mungkintapi toh mukjizat memang bisa terjadi.
Itu pasti. Bagaimana jika suatu hari kelak, saat aku terbaring sekarat di Messina, aku akan
sampai berpikir bahwa dulu, suatu senja di Paris, aku menutup mata pada keajaiban? Duh,
sama sekali tak menyenangkan, Baldini. Biarkan saja si bodoh ini menyia-nyiakan beberapa
tetes sari bunga mawar dan minyak kesturi. Toh akan kau sia-siakan juga jika kau masih
berminat membajak parfum Plissier. Apalah artinya beberapa teteswalau memang amat
sangat mahal, dibanding peluang mendapatkan pengetahuan dan kedamaian di hari tua?
Sekarang, perhatikan! ujar Baldini dengan suara ditegas-tegaskan. Perhatikan baik-baik!
Aku... siapa namamu tadi?
Grenouille, jawab Grenouille, Jean-Baptiste Grenouille.
Aha, benar, balas Baldini sok tahu. Baiklah, sekarang perhatikan baik -baik, JeanBaptiste Grenouille! Telah kupertimbangkan masakmasak. Kuberi kau kesempatan,
sekarang, detik ini juga, untuk membuktikan ucapanmu. Kegagalanmu nanti juga akan
menjadi pelajaran berharga agar bersikap rendah hati, yang walau bisa dimaklumi
mengingat usiamu sekarang, akan menjadi syarat mutlak bagi kemajuanmu sendiri di masa
depan sebagai anggota perserikatan ahli parfum, sekaligus buat dirimu sendiri sebagai
seorang laki-laki, anggota masyarakat, dan umat Kristen yang baik. Aku siap mengajari tanpa
dipungut biaya. Entah kenapa aku sedang murah hati...sore ini. Siapa tahu parfum hasil
buatanmu akan berguna buatku kelak. Tapi jangan kau kira bisa menipu aku. Hidung
Giuseppe Baldini boleh jadi sudah tua, tapi masih cukup tajam untuk langsung mengenali
perbedaan antara buatanmu dengan parfum aslinya. Baldini mengeluarkan sapu tangan
beraroma Cinta dan jiwa dari saku dan mengibaskannya di depan hidung Grenouille.
Sekarang majulah, wahai pemilik hidung terbaik di seluruh Paris! Dekati meja dan
tunjukkan kehebatanmu. Tapi hati-hati, jangan menjatuhkan atau menyenggol apa pun.
Jangan sentuh apa-apa dulu. Biar aku beri penerangan lebih dulu. Kita ingin agar percobaan
kecil ini bisa terlihat dengan jelas, kan?
Jadilah Baldini memasang dan menyalakan dua batang lilin di sudut kanan dan kiri di
atas meja kerja besar dari kayu ek itu. Tiga lilin tambahan ia pasang bersisia n di bawah

Perfume : The Story of a Murderer

Kau pikir aku akan begitu saja membiarkanmu seenaknya mengacak-acak


laboratoriumku? Dengan segala ramuan mahal ini?Kau?

meja, di sudut kanan dan kiri. Ia menyingkirkan tumpukan kulit kambing, dan mengosongkan
bagian tengah meja. Dengan gerakan cepat dan terlatih ia menyiapkan peralatan yang
dibutuhkan: botol aduk berperut besar, corong gelas, pipet, gelas pengukur kecil dan besar,
lalu meletakkan semuanya dalam urutan yang benar di atas meja.

Sementara Baldini sibuk memasang lilin, Grenouille menyelinap berkeliling di kegelapan


laboratorium, mengamati lemari-lemari berisi bermacam ramuan mahal, minyak, dan
ramuan dalam larutan alkoholsemua mengikuti tuntunan hidung. Dengan santai ia
mengambil botol-botol yang dibutuhkan. Semua ada sembilan botol: sari bunga pohon jeruk,
minyak limau, sari bunga mawar, cengkeh, ekstrak melati, bergamot, rosemary, minyak
kesturi, serta balsam storax. Semua diambil dan disiapkan dengan cepat di pinggir meja.
Yang terakhir ia siapkan adalah sebuah botol besar berleher sempit berisi larutan alkohol
konsentrasi tinggi. Kemudian ia kembali menempatkan diri di belakang Baldini. Si tua itu
masih asyik menata peralatan racik dengan sikap dibuat-buat untuk memamerkan keahlian.
Memindahkan tabung yang ini sedikit ke belakang, yang itu sedikit ke pinggir, sedemikian
rupa agar sesuai tatanan tradisi dan tampak apik di tengah cahaya lilin. Grenouille
menunggu tak sabar.Ingin agar si tua segera menyingkir dan membiarkan ia bekerja.
Nah! akhirnya Baldini berseru sambil menyingkir. Sudah kusiapkan semua yang
dibutuhkan untuk eksperimenmu. Jangan pecahkan apa pun, jangan tumpahkan apa pun.
Dan ingat: semua cairan yang akan kau pakai selama lima menit ke depan adalah barang barang yang sangat mahal dan langka. Tak akan pernah lagi kau temui mereka dalam wujud
konsentrat seperti ini.
Berapa banyak yang harus kubuat, Matre? tanya Grenouille.
Membuat apa ... ? sergah Baldini yang merasa belum selesai bicara.
Parfum yang harus kubuat jawab Grenouille serak. Anda ingin berapa banyak?
Haruskah kupenuhi botol besar ini sampai ke ujungnya? Ia menunjuk ke sebuah botol aduk
berukuran minimal satu galon.
Jangan! jerit Baldini ngerispontan takut membayangkan betapa mubazirnya bila itu
sampai terjadi. Merasa malu sendiri, ia langsung berkoar lagi, Dan jangan memotong kalau
aku sedang bicara! Suaranya berubah kalem dan ironis saat kemudian bergumam,
Buat apa segalon parfum yang kita sendiri juga tak suka? Setengah gelas saja sudah
cukup. Tapi karena memang sulit mengukur sejumlah itu, bolehlah kau mulai dengan mengisi
sampai sepertiga botol.
Baiklah, tukas Grenouille. Saya akan mengisi sepertiga botol aduk ini dengan parfum
Cinta dan jiwa. Tapi, Matre Baldini, saya akan melakukannya dengan cara saya sendiri.
Entahlah bagaimana seorang ahli sejati melakukannya, tapi saya akan coba melakukan ini
dengan cara saya sendiri.

Perfume : The Story of a Murderer

Sementara itu, Grenouille telah beranjak dari ambang pintu. Bahkan ketika Baldini
berpidato panjang lebar, sikap kaku dan purapuranya telah lenyap. Yang ia dengar hanya
persetujuan Baldini, dengan gairah dan kegirangan seorang anak kecil saat keinginannya
diluluskan dan meledek pada keterbatasan, kondisi, serta kekangan moralitas yang semula
mengekang. Tenang-tenang ia berdiri menunggu sampai Baldini puas berorasi. Untuk
pertama kalinya ia merasa lebih sebagai manusia ketimbang binatang saat kelak berhasil
mematahkan sikap skeptis orang.

Perfume : The Story of a Murderer

Sesukamulah, sergah Baldini. Ia tahu bahwa dalam bisnis ini tak ada istilah caraku
atau caramu. Hanya ada satu cara, yaitu dengan mengetahui formula dan menggunakan
kalkulasi yang tepat untuk mencapai kuantitas yang diinginkan, menciptakan sebuah
konsentrat terukur yang tepat dari berbagai unsur, diuapkan menjadi parfum dengan cara
mencampurkan unsur-unsur tersebut dalam rasio yang tepat dengan alkoholbiasanya
dengan variasi perbandingan antara 1:10 dan 1:20. Tak ada cara lain lagi yang ia tahu. Inilah
yang hendak ia saksikan sekarang. Mulanya berbekal kesombongan karena yakin Grenouille
tak akan berhasil, tapi perlahan berubah menjadi kekagetan, dan akhirnya terheran-heran
tak habis pikir. Bahkan terasa seperti mukjizat. Seluruh detailnya begitu terpatri dalam
ingatan. Tak mungkin terlupa sampai mati.

Lima Belas

Grenouille seperti mencomot asal-asalan dari deretan flacon berisi unsur-unsur ramuan,
membuka sumbat, membaui isi flacon sekilas di bawah hidung, memercikkan sedikit dari
satu botol, menuang satu atau dua tetes dari botol lain, menuang isi botol ketiga ke dalam
corong, dan seterusnya. Grenouille sama sekali tak menyentuh pipet, tabung uji, gelas
pengukur, sendok, atau kayu pengukur yang tersedia dan biasa dipakai ahli parfum untuk
mengendalikan proses rumit saat pencampuran. Kelihatannya jadi seperti main-main.
Memercik dan mencampur ramuan demi ramuan seperti anak kecil saat asyik menggodok
rumput dan lumpur dalam rebusan air yang lalu disebut sebagai sup. Ya, memang persis
seperti anak kecil, pikir Baldini. Meski berlengan panjang menggantung, wajah rusak dan
hidung bulat besar seperti orang tua, ia tetap seperti anak -anak. Semula Baldini mengira
Grenouille berusia lebih tua, tapi sekarang ia tampak jauh lebih mudaseperti anak usia
tiga atau empat tahun. Tak beda dengan makhluk-makhluk mungil pramanusia yang polos,
sulit dimengerti, dan seenaknya sendiri itu. Makhluk-makhluk sok polos yang egois, selalu
ingin membudaki dunia agar tunduk pada keinginan pribadi mereka. Dan pasti akan begitu
kalau dibiarkan mengejar hasrat megalomaniak tanpa dibatasi aturan dan prinsip pengajaran
yang menuntun ke perilaku disiplin, pengendalian diri, dan kesejatian seorang manusia.
Seperti ada fanatisme anak kecil yang terperangkap dalam diri pemuda ini. Berdiri di depan
meja dengan mata bersinar, lupa sekeliling dan segalanya, kecuali diri sendiri dan botolbotol serta isinya yang ia tuang ke dalam corong dengan gerakan canggung dan konon akan
menghasilkan apa yang diyakini sepenuh hati sebagai parfum mahal bernama Cinta dan
Jiwa. Baldini bergidik melihat Grenouille sibuk bergerak di tengah cahaya lilin. Begitu
absurd tapi juga sangat percaya diri. Di zaman duludemikian ia merenung dan untuk
sejenak merasa begitu sedih, nelangsa, dan jengkel seperti sore itu saat menatap kota dalam
kobaran matahari senja dari balik jendela. Di zaman dulu, orang macam Grenouille tidak
mungkin ada. Kalaupun ada, maka terhitung ras manusia baru yang hanya mungkin eksis di
zaman edan seperti sekarang. Tapi sekaranglah saatnya memberi pelajaran, dasar bocah tak
tahu adat! Baldini hendak mengomelinya habis-habisan seusai percobaan, sampai si bocah
meringkuk seperti bangkai di tempat sampah! Dasar manusia hina! Seenaknya mencampuri
urusan orang. Dunia benar-benar sudah gila dan dipenuhi parasit!
Baldini begitu sibuk dengan kejengkelan dan rasa jijik sampai tak menyadari saat
Grenouille menutup kembali semua flacon, menarik corong dari mulut botol aduk,

Perfume : The Story of a Murderer

PEMUDA KECIL BERNAMA GRENOUILLE itu pertama-tama membuka sumbat botol-besar


berisi konsentrat alkohol. Mengangkat botolnya saja ia kesulitan. Harus mengangkat sampai
nyaris ke kepala agar mulut botol sejajar dengan corong di botol aduk. Buat apa ada gelas
pengukur kalau begini? Baldini bergidik melihat kebodohan itu. Grenouille
menjungkirbalikkan dunia pembuatan parfum karena memulai proses dengan pelarut,
padahal konsentratnya dulu yang harus dibuat. Selain itu, secara fisik pun ia nyaris tidak
memadai. Tangannya gemetar mengangkat botol. Baldini menunggu dan menebak -nebak
kapan kiranya botol besar itu selip dan pecah berantakan di atas meja. Lilin, pikirnya. Ya
Tuhan! Ada lilin! Wah, bisa terjadi kebakaran! Orang ini akan membakar habis rumahku!
Baldini sudah hendak menerjang menurunkan botol alkohol dari tangan si gila itu, tapi
Grenouille ternyata mampu meletakkannya sendiri baik-baik ke lantai dan ditutup kembali.
Alkohol berkilau tenang dalam botol aduk tanpa tumpah sedikit pun. Beberapa saat Baldini
terengah-engah, namun dengan wajah lega, seolah bagian terberat baru saja berlalu. Dan
memang demikian. Proses selanjutnya berlangsung begitu cepat sampai sulit diikuti mata,
apalagi mencatat urutan proses atau memahami keseluruhan prosedur.

Demikian Baldini bertitah. Dan sementara ia bicara, udara sekeliling dipenuhi aroma
parfum Cinta dan Jiwa. Aroma yang memiliki daya persuasif lebih kuat dari kata-kata,
penampilan, emosi, atau kehendak. Daya persuasif aroma ini tak bisa dibendung. Meresap
ke dalam diri seperti udara yang merayapi paru-paru saat bernapas mengisi dan mengilhami
seluruh keberadaan. Benar-benar tak bisa ditangkal.
Grenouille meletakkan botol ke atas meja, menyeka tangan serta lehernya yang basah
oleh parfum dengan ujung baju. Mundur satu dua langkah ke belakang. Kekagokan gerak
tubuhnya saat membungkuk dari hujan cercaan Baldini sudah lebih dari cukup untuk
menebar aroma yang baru saja tercipta ke segala arah. Begitu saja, tak butuh apa-apa lagi.
Baldini memang masih terus meledak dan mencacimaki, namun keraguan terasa makin kuat
di setiap tarikan napasnya. Sadar bahwa ia baru saja terbantah dengan telak dan makna
katakatanya makin kosong. Saat akhirnya Baldini terdiam, ia terdiam cukup lama. Tak
butuh kata Sudah selesai sebagai penegas dari Grenouille untuk menyadari bahwa parfum
itu memang sudah tercipta dengan baik dan sempurna.
Namun, meski sekujur tubuh dikabuti aroma Cinta dan Jiwa yang begitu jelas, ia tetap
menyeret langkah ke arah meja untuk menguji lebih jauh. Selembar sapu tangan bersih ia
ambil dari saku baju sebelah kiri, dilipat dan diperciki beberapa tetes dari botol aduk dengan
pipet panjang. Ia angin-anginkan sapu tangan dengan lengan terjulur lalu ditarik sekilas ke
bawah hidung dengan gerakan terlatih. Baldini menghirup napas dan mengeluarkan perlahan
dalam desahan terputusputus, perlahan-lahan sampai tak ada lagi udara tersisa di paruparu.
Baldini terhenyak di bangku kerja. Jika tadi wajahnya memerah murka, kini pucat pasi.
Luar biasa, gumamnya perlahan. Demi Tuhan, sungguh luar biasa. Ia menekan sapu
tangan itu ke hidung berkali-kali, mengendus dan menggelengkan kepala sambil tak putus
mengucap, Luar biasa... Tak diragukan lagi bahwa aroma ini memang aroma parfum Cinta
dan Jiwa. Begitu persis disalin sampai Plissier sendiri tak akan sanggup membedakannya
dengan karyanya sendiri. Luar biasa....
Merasa diri begitu kecil dan malu, sang Baldini tak beranjak dari bangku. Tampak konyol
menggenggam sapu tangan, menekannya ke hidung berkali-kali seperti babu tua yang
tersedu sedan. Saat ini ia tak bisa bicara apa-apa lagi. Menggumam Luar biasa pun tidak,
selain mengangguk-angguk lembut dan menatap nanar ke dalam isi botol Aduk. Bibirnya
bergumam monoton, Hmm, hmm, hmm.... hmm, hmm, hmm... hmm, hmm, hmm....
Beberapa saat kemudian, Grenouille mendekat ke meja tanpa suara, seperti bayangan.
Parfum ini jelek, ia berkata. Racikannya masih belum sempurna.

Perfume : The Story of a Murderer

mencengkeram. leher botol dengan tangan kanan lalu mengocok kuat-kuat diimbangi tangan
kiri. Saat botol diputar ke udara beberapa kali, isinya teraduk bolak-balik seperti limun dari
perut sampai ke leher botol, meski tidak sampai tumpah. Melihat ini, Baldini tak tahan lagi.
Ia menjerit ngeri dan murka, Hentikan! lengkingnya. Sudah cukup! Hentikan saat ini
juga! Haram jadah! Taruh botol itu kembali ke meja dan jangan sentuh apaapa lagi, kau
mengerti? Jangan sentuh apa pun! Aku pasti sudah gila sampai mau mendengar ocehanmu.
Caramu menangani semua ini, kekasaranmu dalam bekerja, metode yang primitif, sudah
cukup untuk membuktikan bahwa kau tak lebih dari seorang penipu! Penipu barbar dan anak
kecil buruk rupa tak tahu diri! Kau tak bisa mencampur limun atau air manis biasa, apalagi
meracik parfum! Bersyukur dan berterimakasihlah bahwa majikanmu masih mengizinkanmu
bermainmain dengan larutan penyamak. Tapi jangan pernah kau ulangi lagi, kau dengar?
Jangan pernah berani-berani menginjakkan kaki di toko parfum mana pun!

Hmm, hmm, hmm., jawab Baldini.


Grenouille berkata lagi, Jika diizinkan, Matre, saya akan membuatnya jadi lebih baik.
Beri waktu satu menit dan akan saya buat parfum yang lebih pantas.

Sudah selesai Matre, Grenouille berkata. Sekarang barulah aromanya bena r-benar
sempurna.
Ya, ya, baiklah, jawab Baldini sambil mengibas mengusir dengan tangan.
Tak ingin diuji dulu? desak Grenouille. Tak inginkah Anda mengujinya, Matre?
Maukah?
Nanti saja. Aku sedang tak bernafsu mengujinya sekarang. Aku... sedang teringat akan
hal lain. Sekarang pergilah! Ayo!
Baldini menyambar sebatang lilin dan bergegas menuju pintu. Grenouille mengikuti.
Kembali menyusuri koridor sempit menuju pintu belakang. Baldini membuka gerendel dan
membuka pintu, lalu menepi untuk memberi jalan pada Grenouille.
Bolehkah. aku bekerja untuk Anda, Matre? Bolehkah? tanya Grenouille. Berdiri di
ambang pintu sambil kembali memasang pose membungkuk, kembali dengan mata
mengintai.
Aku tak tahu, jawab Baldini. Akan kupikirkan. Sekarang pulangla h.
Detik berikutnya Grenouille menghilang di kegelapan malam. Baldini berdiri nanar
memandang malam. Tangan kanan memegang lilin dan tangan kiri menggenggam sapu
tangan, seperti orang mimisan. Tubuhnya menggigil takut. Segera ia masuk dan mengunci
pintu. Sapu tangan ia selipkan ke saku sambil berjalan kembali ke laboratorium.
Aroma baru ini begitu sempurna sampai Baldini terharu dan menangis. Ia tak butuh
menguji lebih jauh. Cukup berdiri di pinggir meja di depan botol aduk, lalu bernapas. Begitu
agung dan luar biasa. Serupa simfoni Cinta dan jiwa yang asli sekaligus gesekan biola
kesepian. Bahkan lebih. Baldini berpejam mata memandang kilasan memori yang berkelebat
dan terbangkitkan oleh parfum itu. Ia melihat sosoknya sebagai seorang pemuda yang tengah
melewati sebuah taman saat senja di kota Naples, kilasan lain saat terbaring di pelukan
seorang wanita berambut hitam keriting, serta siluet buket mawar di tepi jendela saat
malam makin meninggi. Ia mendengar nyanyian burung dan musik lamat-lamat dari bar-bar
di pelabuhan, menyimak bisikan di telingaselarik kata, Aku mencintaimu, dan betapa
tengkuknya meremang bahagia. Semua kenangan yang seolah terjadi saat ini juga! Persis
sekarang ini! Baldini memaksa diri membuka mata dan melenguh senang. Parfum ini tidak
seperti parfum mana pun yang pernah dibuat. Bukan aroma yang membuat hal-hal tercium

Perfume : The Story of a Murderer

Hmm, hmm, hmm..., jawab Baldini sambil mengangguk. Bukan maksud merestui, tapi
karena ia begitu kaget dan tak berdaya sampai hanya sanggup menggumam. Hmm, hmm,
hmm, dan mengangguk. Ia menyingkir sambil terus begitu. Sama sekali tak berusaha
merintangi Grenouille yang mulai meracik untuk kedua kalinya: menuang alkohol dari botol
besar ke botol aduk di atas meja (persis di atas parfum yang sudah jadi tadi), menuangkan
kembali kandungan flacon demi flacon tanpa urutan dan kuantitas pasti ke dalam corong.
Tapi di akhir prosedur, Grenouille tidak mengocok botol tapi diputar lembut seperti orang
mengaduk segelas brendi. Entah lantaran mengingat kehalusan cara dan teguran Baldini,
atau mungkin karena isinya terasa lebih berharga kali ini. Saat itulah, saat cairan tengah
diputar-putar lembut dalam botol, Baldini sadar dari keterkejutan dan berdiri. Sapu tangan
masih ditekan ke hidung seperti berjaga dari serangan baru.

lebih baik. Tidak seperti bedak wangi atau perlengkapan kamar mandi. Ini benarbenar baru
dan mampu menciptakan dunia yang utuhdunia yang ajaib dan begitu kaya. Seketika itu
mampu membuatmu lupa akan segala keburukan dunia dan merasa begitu kaya, begitu
ringan, bebas dan nyaman....

Setiba di lantai atas, ia tak berkata apa pun pada istrinya selagi mereka makan.
Terutama sekali ia tidak menyinggung soal putusan besar yang telah diambil sore tadi. Sang
istri ikut membisu, melihat bahwa suasana hati suaminya sedang baik, dan itu sudah lebih
dari cukup. Baldini juga tidak menuruti kebiasaan berjalan berkeliling Notre-Dame untuk
bersyukur pada Tuhan atas berkah kekuatan dan keteguhan karakter yang kini dirasakan.
Bahkan untuk pertama kalinya dalam hidup, sepanjang malam itu ia lupa berdoa.

Perfume : The Story of a Murderer

Bulu kuduk dan rambut halus di lengan Baldini yang semula meremang kini kembali
normal, bersama dengan debur kedamaian merengkuh sukma. Tangannya meraup kulit
kambing di pinggir meja, sebuah pisau, lalu mulai merapikan kulit itu agar layak dipakai.
Setelah itu ia letakkan dalam baskom kaca dan menuang parfum buatan Grenouille ke
atasnya. Sebentang kaca tebal ia tutupkan di atas baskom, lalu beranjak menuang sisa
parfum ke dua botol kecil, memberi kertas label dan menuliskan kata Nuit Napolitaine.
Kemudian meniup lilin dan pergi.

Enam Belas

Grimal juga berpikiran sama. Ia kembali ke Tour dArgent untuk minum dua botol arak
putih lagi, lalu pindah ke Lion dOr di seberang sungai menjelang siang. Begitu mabuknya
ia, sampai-sampai ketika memutuskan untuk kembali ke Tour dArgent tengah malam itu, ia
salah mengambil jalan ke jalan Nonanindieres yang ia sangka sebagai jalan Geoffroi LAnier.
Walhasil, saat mengira telah keluar di ujung jalan Pont-Marie, ia malah jatuh ke sungai Quai
des Ormes. Grimal jatuh tercebur dengan wajah lebih dulu dan langsung tewas tenggelam.
Perlu beberapa waktu sampai sungai menyeretnya keluar dari kedalaman, melewati
tambatan kapal-kapal tongkang ke aliran arus utama, mengapungkan mayatnya saat fajar,
mengambang ke arah barat.
Tubuh itu mengapung tanpa suara melewati Pont au Change tanpa terantuk tiang -tiang
dermaga, persis enam puluh kaki di bawah JeanBaptiste Grenouille yang hendak menjelang
tidur. Sebuah dipan telah disiapkan di sudut belakang laboratorium Baldini. Mulut Grenouille
menyeringai puas sementara mantan majikannya mengambang tak bernapas di sungai Seine
yang dingin. Ia menggulung diri di dipan seperti kutu menjelang hibernasi. Saat lelap,
jiwanya melayang makin dalam ke diri sendiri, membuncahkan perasaan kemenangan
sampai ke tembok benteng sanubari dan imajinasi, di mana ia melayang dalam mimpi
jamuan pesta yang sarat wewangiansebuah pesta raksasa gilagilaan dengan awan-awan
parfum dan kabut dupa, seluruhnya digelar atas nama keagungan pribadi.

Perfume : The Story of a Murderer

PAGI-PAGI SEKALI BALDINI langsung pergi ke tempat Grimal. Pertamatama ia membayar


pesanan kulit kambing dengan harga penuh tanpa mengeluh atau menawar macam-macam.
Lalu ia menjamu Grimal di Tour dArgent dengan sebotol arak putih untuk menegosiasikan
perihal Grenouille. Bisa dipastikan Baldini tak akan mengungkap mengapa ia menginginkan
pemindahan kepemilikan ini. Alih-alih berterus terang, ia mendongeng bahwa mendadak ia
kebanjiran pesanan bahan kulit berparfum dan untuk itu ia butuh pekerja tidak
berpengalaman. Dikatakan bahwa ia butuh pemuda yang tak banyak menuntut, bersedia
mengerjakan tugas-tugas mudah seperti memotong kulit dan sejenisnya. Baldini memesan
sebotol arak lagi sembari menawar 25 livre sebagai biaya kompensasi transfer. Zaman itu
uang 25 livre sangat besar. Grimal langsung menyambut. Berdua mereka berjalan ke
penyamakan, di manaanehnya, Grenouille telah menunggu dengan buntel sederhana yang
sudah lengkap terkemas. Baldini membayar 25 livre dan langsung membawa Grenouille
pergi. Benaknya sadar bahwa ia baru saja membuat transaksi terbesar sepanjang hidup.

Tujuh Belas
DEMIKIANLAH, DENGAN KEHADIRAN GRENOUILLE, ketenaran Rumah Parfum Giuseppe
Baldini mulai menanjak ke tingkat nasional, bahkan sampai ke seluruh Eropa. Bel Persia di
atas pintu nyaris tak pernah berhenti berdenting, begitu pun aksi tebaran wewangian patung
burung bangau penyambut tamupendek kata, mendadak kondisi bisnisnya berbalik 180
derajat.

Sementara Chnier berjuang menghadapi serbuan pelanggan, Baldini menutup diri di


laboratorium bersama murid baru kesayangannya. Kepada Chnier ia membualkan situasi
baru ini dengan teori fantastis yang ia sebut sebagai pendelegasian kerja demi peningkatan
produktivitas. Selama bertahun-tahun, demikian tuturnya, ia sengaja diam mengamati
dengan sabar sementara Plissier dan pecundang lain mencuri para pelanggan serta
meruntuhkan bisnisnya. Kesabaran itu kini telah sampai batasnya. Baldini menerima
tantangan dan menyerang balik dengan senjata mereka sendiri. Setiap musim, setiap bulan
bahkan kalau perlu setiap minggu, ia akan menghajar dengan sebuah parfum baru. Dan
bukan sembarang parfum! Baldini akan mengerahkan seluruh bakat kreatifnya. Karena itu
ia butuh bantuan asisten yang belum berpengalaman. Seseorang yang diserahi tugas khusus
menangani dan bertanggung jawab terhadap produksi parfum, sementara Chnier harus
berkonsentrasi pada penjualan. Dengan metode modern ini mereka akan membuka lembaran
baru dalam sejarah industri parfum, menyingkirkan para pesaing, dan tumbuh menjadi besar
serta kaya raya tanpa dapat ditahan siapa pun. Ya, dengan sadar dan secara eksplisit ia
menyebut kata Mereka karena ia berniat berbagi keuntungan dengan Chnier, rekan
pembantu yang telah begitu lama bekerja untuknya.
Kalau saja Baldini tahu bahwa beberapa hari lalu Chnier akan menganggap ocehan
seperti ini sebagai bukti kuat gejala kepikunan sang majikan. Bersiap-siaplah jatuh miskin,
demikian ia berpikir, tak akan lama lagi sebelum akhirnya si tua bangka itu bangkrut. Tapi
sekarang ia tak mampu berpikir apa-apa lagi. Benaknya bisu dengan segunung tugas yang
harus dilakukan. Begitu sibuknya sampai terkapar kelelahan setiap sore dan nyaris tak
sanggup mengosongkan kas serta mengutip upah bagiannya. Dalam mimpi yang paling liar
sekalipun ia tak pernah membayangkan situasi akan terus menanjak seperti ini, walau
menyaksikan sendiri betapa Baldini keluar dari laboratorium setiap hari dengan sedikitnya
tiga jenis parfum baru.
Aroma parfum-parfum itu juga bukan main-main. Dan tidak hanya parfum, Baldini hadir
dengan sederet krim, bedak, sabun, tonik rambut, eau de toilette, segala macam minyak...
pokoknya nyaris semua lini produksi kini berbau wangi segar, orisinal, berbeda, dan setiap

Perfume : The Story of a Murderer

Menjelang malam di hari pertama Grenouille bekerja, ia harus bekerja keras menyiapkan
sebotol besar Nuit Napolitaine yang langsung ludes terjual delapan puluh flacon keesokan
harinya. Ketenaran aromanya menyebar seperti kobaran api. Mata Chnier sampai basah
menghitung uang dan punggungnya sakit lantaran terlalu sering membungkuk hormat setiap
kali transaksi. Soalnya bukan apaapahanya orang-orang dari kalangan terhormat atau
setidaknya pelayan kalangan terhormatlah yang datang berkunjung. Pernah suatu hari pintu
toko terhempas begitu keras sampai bergetar. Setelah itu masuklah pesuruh Count
dArgenson seraya berteriak-karenamemang begitu kebiasaan seorang pesuruhbahwa ia
ingin lima botol parfum baru ini. Chnier masih belum habis kaget ketika lima belas menit
kemudian Count dArgenson muncul sendiri di ambang pintu. Bagaimana tidak kaget? Count
dArgenson adalah orang kepercayaan sang Rajaseorang penasihat perang dan tokoh
terkuat di Paris.

Kita tahu yang sesungguhnya bahwa si cebol Grenouille memang sumber segala keajaiban
ini. Semua yang dipajang Baldini di rak toko dan dipasarkan oleh Chnier baru seujung kuku
dari yang diciptakan oleh Grenouille di balik pintu laboratorium yang tertutup. Hidung
Baldini tak bisa cukup cepat mengimbangi kemampuan Grenouille. Ada kalanya ia merasa
begitu tersiksa karena terpaksa harus memilih di antara sekian banyak ciptaan Grenouille
yang semuanya begitu baik dan sempurna. Penyihir kecil itu mampu memetakan resep untuk
seluruh parfum yang ada di Prancis tanpa sekalipun mengulang resep yang sama dua kali,
dan tanpa sekalipun menghasilkan produk berkualitas jelek atau bahkan menengah. Lebih
jauh kalau mau jujur, Baldini tak bisa meresepkan atau memformulasikan setiap produk itu
sekaligus, karena Grenouille masih selalu mengomposisikan parfum dengan cara yang kacau
dan tidak profesional seperti saat pertama Baldini mengenalnya malam itu. Ia masih selalu
mencampur ramuan sesuka hati dan tanpa aturan. Tak tahan melihat semua ini, tapi dengan
harapan untuk bisa memahami barang sedikit, suatu hari Baldini menuntut agar Grenouille
mau menggunakan skala, gelas pengukur, dan pipet saat mempersiapkan campuran, pun
walau Grenouille merasa tak perlu begitu. Ia juga menuntut Grenouille membiasakan diri
untuk tidak menganggap alkohol sebagai salah satu bahan ramuan, tapi sebagai pelarut yang
harus ditambahkan di akhir percobaan. Dan demi Tuhan! Yang terpenting, Baldini menuntut
agar semua dilakukan lebih perlahan-dengan tahapan dan urutan yang lebih bisa dicermati
dan dipahami, sebagaimana lazimnya seniman.
Grenouille menurut. Saat itulah untuk pertama kali Baldini mampu mengikuti dan
mendokumentasikan setiap manuver individual penyihir ini. Berbekal kertas dan pena,
sambil terus mengingatkan agar bekerja lebih pelan, ia duduk di samping si pemuda dan
mencatat berapa ons bahan yang ini, berapa gram yang itu, berapa tetes yang dimasukkan
ke botol aduk, dan seterusnya. Metode ini amat detail dalam menganalisis prosedur;
melibatkan prinsip-prinsip yang bila diabaikan akan menghambat prosedur itu. Setelah
selesai mendokumentasikan setiap prosedur ke dalam buku dan menyimpannya dengan
aman, Baldini merasa yakin bahwa semua kini jadi miliknya seorang.
Bagaimanapun, Grenouille juga mengambil hikmah dan manfaat dari prosedur disiplin
terapan Baldini. Meski pada dasarnya ia tak pernah hanya mengandalkan semua itu.
Grenouille tak pernah sampai harus melongok sebuah formula tertentu untuk membuat
parfum yang sama berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian karena hidungnya tak
pernah melupakan aroma. Tapi dengan membiasakan diri menggunakan gelas pengukur dan
skala, ia mempelajari bahasa khusus dunia pembuatan parfum. Instingnya berkata bahwa
pengetahuan ini akan berguna kelak. Setelah beberapa minggu, Grenouille telah menguasai
tidak hanya nama seluruh aroma yang ada di laboratorium Baldini, tapi juga mampu
mencatat formula parfumnya sendiri. Atau sebaliknya, ia juga mampu memodifikasi formula
dan instruksi orang lain menjadi parfum dan/atau produk beraroma lain. Tidak hanya itu!
Sekali ia menguasai bagaimana mengekspresikan gagasan dalam bahasa pipet dan skala, ia

Perfume : The Story of a Murderer

kali bahkan terasa lebih baik. Seolah tersihir, masyarakat terus memburu produk baru apa
saja yang keluar dari toko Baldini. Benar-benar apa saja, bahkan sampai ke pita rambut
berparfum yang dibuat Baldini kala iseng. Harga tak pernah jadi masalah. Apa pun produk
keluaran Baldini selalu jadi hit. Kesuksesan ini begitu dahsyat sampai Chnier rela
menerimanya sebagai fenomena biasa dan tidak lagi mengusik mempertanyakan sebab.
Pikirnya, mungkin berhubungan dengan orang baru yang aneh itu, si cebol kaku yang selalu
mengunci diri seperti anjing di laboratorium dan kadang terlihat saat Baldini keluar ruangan,
berdiri di latar belakang sedang mengelap gelas dan membersihkan adukanmungkinkah
makhluk misterius ini punya andil dalam kesuksesan bisnis mereka? Rasanya Chnier tak
akan percaya kalau tidak diceritakan sendiri oleh Baldini.

Perfume : The Story of a Murderer

bahkan tak butuh lagi perantaraan eksperimen. Setiap kali Baldini menyuruh membuat
parfum baru, baik untuk kolonye atau apa saja, Grenouille tak lagi meraih flacon dan bubuk
ramuan. Ia langsung duduk di depan meja dan menulis formulanya saat itu juga. Grenouille
belajar menuangkan catatan mentalnya tentang aroma menjadi sebuah parfum jadi dengan
cara menuliskan formulanya. Buat dia hal ini sekadar jalan memutar saja, tapi di mata
dunia-khususnya Baldini, ini suatu kemajuan. Mukjizat Grenouille tidak berubah, namun
formulasi tertulisnya kini sedikit banyak menyingkirkan ketakutan yang dirasakan pengamat,
dan inilah yang terbaik. Setidaknya ini baik buat kewarasan banyak pihak. Makin Grenouille
menguasai teknik dan seni pembuatan parfum, ia makin mampu mengekspresikan diri dalam
bahasa konvensional dunia pembuat parfum, sekaligus mengurangi rasa takut dan
kecurigaan Baldini. Walau masih menganggap Grenouille sebagai orang dengan bakat dan
penciuman luar biasa, Baldini tak lagi menyamakannya dengan Frangipani atau penyihir
aneh. Grenouille merasa hal ini lebih baik. Peraturan dan disiplin seni bisa ia fungsikan
sebagai samaran. Kini nyaris setiap kali ia meninabobokan Baldini dengan prosedur yang
benar. Mengukur berat ramuan, memutar-mutar botol aduk, meneteskan parfum ke sapu
tangan sebagai bahan penguji. Grenouille kini sudah sama elegan dan ahlinya dengan Baldini
dalam hal membaui sapu tangan berparfum di bawah hidung. Kadang dari waktu ke waktu,
dengan interval yang diatur baik, ia sengaja membuat kesalahan yang bisa ditangkap Baldini,
seperti lupa menyaring ramuan, salah menentukan skala, salah mencampurkan persentase
larutan ambergris ke dalam formula, dan sebagainya. Dengan penuh perhatian ia menerima
omelan Baldini dan memperbaiki dengan patuh. Dengan cara ini ia menenangkan dan
menyeret Baldini ke dalam ilusi bahwa semuanya wajar-wajar saja. Toh dari awal
Grenouille memang tak berniat mencurangi Baldini. Ia sungguh-sungguh ingin belajar. Bukan
bagaimana mencampur ramuan, mengomposisi aroma, atau sejenisnya. Soal itu ia sudah
lebih mafhum dari siapa pun. Baginya, seluruh bahan yang ada di toko Baldini belum cukup
untuk menciptakan parfum yang sesungguhnya. Parfum yang dibuat selama ini hanya mainmain bila dibandingkan dengan apa yang tersimpan dalam pikirannyadan pasti akan ia buat
suatu hari nanti. Untuk mencapai hal ini, Grenouille sadar bahwa ada dua syarat mutlak
yang harus dipenuhi. Pertama adalah jubah status dan kehormatan kalangan menengah ke
atassetidaknya status sebagai murid utama di bisnis ini. Dari sini barulah ia bisa
memuaskan gelora sejati atas bakatnya dan mewujudkan mimpi tanpa terhalang siapa pun.
Yang kedua adalah pengetahuan tentang seni membuat parfum itu sendiribagaimana
memproduksi, mengisolasi, memekatkan, mengawetkan, dan menyalurkannya ke pelanggan
kalangan atas. Grenouille boleh jadi memiliki hidung terbaik di dunia, baik secara analitis
maupun visi, tapi pada saat ini ia belum memiliki kemampuan mewujudkan parfum yang
sesungguhnya.

Delapan Belas

Momen favorit Grenouille dalam proses pembelajaran ini adalah setiap kali Baldini
mengajari bagaimana membuat larutan ramuan dalam alkohol, ekstrak, dan sari ramuan.
Tanpa kenal lelah ia menggerus biji almond pahit dalam bejana peremuk, menumbuk
kesturi, mencincang ambergris yang berminyak dengan pisau jagal, memarut akar bunga
violet dan memeras hasilnya dalam larutan alkohol terbaik. Ia belajar bagaimana memakai
corong pemisah untuk mengambil sari minyak dari lemon tumbuk dan ampas susu,
mengeringkan jejamuan dan bebungaan di tempat hangat serta terhalang dari sinar
matahari, dan bagaimana mengawetkan dedaunan dalam tempayan dan peti bertutup lilin.
Ia belajar seni membilas pomade dan bagaimana memproduksi, menyaring, memekatkan,
menjernihkan, dan memurnikan penggabungan ramuan.
Sejujurnya, laboratoriurn Baldini bukanlah tempat yang tepat untuk membuat minyak
bunga, atau tetumbuhan dalam skala besar. Kota Paris tak cukup mampu memasok kuantitas
bunga segar sebanyak itu. Namun dari waktu ke waktu, saat kebetulan beroleh rosemary
murah dan segar, daun sage, mint, atau biji minyak adas dari pasar atau saat menerima
kiriman akar bunga valerian, jintan, pala, atau cengkeh kering, mulailah sang alkemis
Baldini beraksi. Tabung penyulingan ukuran besar segera dikeluarkan, bersama dengan alat
penyuling dari tembaga, di atasnya ada kepala tambat untuk mengondensasikan cairan.
Dengan bangga ia mengumumkan alat yang sudah empat puluh tahun ia pakai untuk
menyuling bunga lavender secara langsung dari tempatnya di dataran terbuka Liguria
Selatan dan puncak-puncak Luberon. Sementara Grenouille memilah-milah apa yang hendak
disuling, Baldini sibuk mondar-mandir memanaskan tungku beralas batu batakarena
kecepatan adalah inti dari prosedur ini, lalu memasukkan apa yang sudah disiapkan
Grenouille ke sebuah ketel tembaga, yang diisi sedikit air hingga menutupi dasarnya.
Beragam tanaman yang sudah dicincang ia masukkan, lalu dengan sigap menyumbat tutup
tabung dan menghubungkannya dengan dua buah selang agar air bisa keluar masuk dengan
bebas. Mekanisme pendinginan air yang cerdik ini, demikian Baldini menjelaskan, adalah
temuannya sendiri saat bekerja di lapangan. Kemudian ia mulai meniup api tungku.
Perlahan-lahan ketel mulai mendidih. Dan setelah beberapa waktu, hasil sulingan mulai
merembes keluar dari kepala tambat, mengalir ke sebuah botol Florentine yang telah

Perfume : The Story of a Murderer

GRENOUILLE DENGAN SUKACITA mempelajari seni membuat sabun dari lemak babi,
menjahit sarung tangan kulit kambing, meracik bedak dari tepung terigu, kulit pa di, dan
almond, serta menumbuk akar bunga violet. Ia juga belajar membuat lilin wangi dari arang,
potasium nitrat, dan potongan kayu cendana; membuat pastiles oriental tumbuk dari getah
dupa dan bubuk kayu; mengubah remasan getah olibanum, lak, vetiver, dan kayu manis
menjadi bola harum; mengayak dan mengaduk poudre impriale dari tumbukan kelopak
mawar, lavender, dan kulit pohon casearilla. Ia juga belajar bagaimana mengaduk perona
wajah berwarna putih dan biru halus, mencetak batangan-batangan gincu, membuat cat
kuku terbaik serta pasta gigi rasa mint, mengaduk cairan penggulung rambut palsu untuk
laki-laki, pemutih untuk menghilangkan bintik kulit, dan ekstrak nightshade untuk mata,
Spanish fly untuk pria-pria ningrat dan cuka apel higienis untuk para wanitanya.... Pokoknya
Grenouille belajar membuat segala macam produk wewangian mulai dari bedak,
perlengkapan kamar mandi, sampai peralatan kecantikan, plus ramuan teh dan jejamuan,
minuman keras, marinade, dan sejenisnya. Semua dipelajari dengan sabar, tanpa niat
macam-macam, tanpa mengeluh, dan semua sukses. Seluruh ilmu tradisional Baldini diserap
dengan mudah tanpa kesulitan.

disiapkan di bawah. Awalnya menetes lambat-lambat, lalu mengalir deras. Tampilannya


tampak biasa saja, seperti lapisan sup kelam yang tipis. Namun sedikit demi sedikitapalagi
setelah botol pertama diganti dengan yang kedua, godokan itu mulai terbagi menjadi dua:
di bagian bawah adalah cairan bunga atau tetumbuhan, dan di bagian atas mengambang
lapisan minyak yang tebal. Jika cairan ituyang beraroma sangat tipisdikeluarkan dengan
hati-hati melalui cerat bagian bawah botol Florentine, yang tinggal adalah minyak murni
inilah esensinya, sari pati aroma yang diperas dari tanaman.

Selang beberapa waktu, saat hasil sulingan mengembun dan menjernih, barulah tabung
penyulingan itu diangkat dari api, dibuka dan dibuang endapan kotorannya. Tampak lunak
dan pucat seperti jerami basah, seperti tulang burung kecil yang putih, seperti sayuran yang
direbus terlalu lama, terasa hambar dan berserabut, seempuk bubur dan sulit dikenali
asalnya, pucat pasi dan nyaris tidak berbau. Endapan atau ampas itu lalu dibuang ke luar
jendela, ke arah sungai. Baldini dan Grenouille kemudian memasukkan tanaman baru ke
dalam tabung penyulingan, memasukkan air, dan ditaruh lagi di atas tungku. Kembali ketel
itu mulai mendidih dan kembali darah kehidupan tanaman di dalamnya menetes ke botol
Florentine. Ini kerap berlanjut sepanjang malam. Baldini memandangi tungku sementara
Grenouille mengawasi botol. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu sampai siklus
berikutnya.
Mereka duduk di pinggir tungku, seolah tersihir menunggui ramuan mendidih. Namun
lamunan keduanya tak sama. Baldini suka memandangi nyala dan percik bunga api serta
permukaan tembaga yang merah membara. Ia suka mendengar suara halus kayu terbakar
dan gelegak isi tabung yang mendidih, karena ini mengingatkannya pada masa lalu. Hanyut
dibuai lamunan. Ia mengambil sebotol anggur dari toko karena panas godokan membuatnya
haus, meminum anggur sama mengingatkannya pada masa lalu. Lalu mulailah bibirnya
berceloteh tentang nostalgia masa muda, tak berkesudahan. Ia bercerita tentang Perang
Pemberontakan Spanyol, saat partisipasinya melawan Austria telah turut memberi pengaruh
penting dalam hidup; tentang Camisardskawan seperjuangan kala merajalela di Cvennes;
tentang putri seorang Huguenot di Estrel yang lantaran mabuk kepayang dengan parfum
bunga lavender lalu mengabulkan permintaannya; tentang bagaimana ia nyaris
mengakibatkan kebakaran hutan dan memusnahkan seluruh daerah tersebut kalau saja tidak
ada mistralangin utara yang bertiup kuat di Prancis selama musim dingin; plus berulangulang kisah basi tentang bagaimana ia menyuling parfum di tanah terbuka saat malam, di
bawah terang bulan, berteman anggur dan suara tokek serta derik jangkrik; juga tentang
minyak lavender ciptaannyaminyak parfum yang begitu kuat dan murni sampai bisa
ditimbang seharga perak; tentang tahun-tahun pembelajarannya di Genoa, tahun-tahun
pengabdiannya sebagai seorang ahli di kota Grasse, di mana jumlah ahli parfum sama banyak
dengan pembuat sepatubeberapa ada yang sangat kaya sampai bisa hidup seperti
pangeran, tinggal di rumah-rumah besar dengan taman dan teras serta ruangan-ruangan

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille terpana kagum melihat proses ini. Sangat sedikit dalam hidup ini yang mampu
menyulut antusiasmenya. Itu pun tak terlihat di wajahkegembiraan yang menyala dalam
kobaran beku. Namun demikianlah kini yang ia rasakan saat melihat prosedur penyulingan
memanfaatkan elemen api, air, dan uap, dengan peralatan sederhana namun cerdik untuk
menangkap sari pati atau jiwa sebuah materi. Jiwa beraroma, minyak tak terlihat yang kini
ada dalam botol Florentine itu adalah yang terbaik dari sebuah materi. Satu-satunya hal di
dunia ini yang mampu menarik hati Grenouifle. Sisanyakelopak bunga, daun, kulit, warna,
keindahan, vitalitas, dan kualitas lain sama sekali tak masuk hitungan. Sama sekali tidak
menarik. Tak lebih dari sekadar sekam yang harus disingkirkan.

makan berdekor mewah tempat mereka berpesta dengan peralatan makan dari porselen dan
emas, bla... bla.... bla....
Macam itulah dongeng Baldini sambil minum anggur. Pipinya makin merona oleh anggur,
panas tungku, dan antusiasme kisahnya sendiri.

Baldini yang terbakar anggur masih terus mengocehkan nostalgia yang makin lama makin
dahsyat dan terjerat dalam semangatnya sendiri. Sementara itu, Grenouille memutuskan
untuk berhenti mengkhayal. Saat itu ia hapus sama sekali lamunan menjadi tabung
penyulingan raksasa dan mulai memikirkan bagaimana cara memanfaatkan pengetahuan
baru ini untuk tujuan yang lebih nyata....

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille duduk memojok di balik bayang-bayang tanpa menyimak sama sekali. Ia tak
peduli segala macam cerita lama. Ia hanya peduli satu hal: proses baru ini. Matanya nyalang
tak berkedip menatap puncak tabung-tempat di mana rembesan sulingan mengalir keluar.
Dan saat menatap ia membayangkan diri sendiri sebagai isi tabung itu, mendidih dan
merembes keluar sebagai sulingan, tapi dalam bentuk yang lebih baik, lebih baru dan tak
dikenal dari sekian tanaman eksotis yang ia tanam dalam batin. Bermekaran membentuk
buketbuket bunga yang tak dikenal siapa pun selain dirinya sendiri, dan dengan aroma unik
yang tercipta ia mengubah dunia menjadi Taman Surga yang harum mewangi, di mana hidup
terasa lebih indah dan nyaman ditinggalitentu saja dalam kaitannya dengan penciuman.
Sebagai tabung penyulingan raksasa, ia akan membanjiri dunia dengan berbagai hasil
sulingan ciptaannya. Demikianlah lamunan Grenouille saat itu.

Sembilan Belas

Persiapan lain juga begitu. Mint dan lavender bisa disuling berkelompok. Yang lain ada
yang harus disisihkan dengan hati-hati terlebih dahulu, dipetik, dipotong, digerus,
ditumbuk, atau bahkan dibuat menjadi bubur sebelum ditaruh dalam ketel. Sialnya, ada
banyak hal yang tak bisa disuling sama sekali. Ini membuat Grenouille sebal.
Melihat betapa Grenouille makin mahir menangani perangkat kimia, Baldini bersedia
membebaskannya berkreasi dengan tabung penyulingan. Jelas sebuah peluang yang tidak
disia-siakan begitu saja oleh Grenouille. Sementara tetap mengerjakan tugas pembuatan
parfum dan produk wewangian lain di siang hari, malamnya ia habiskan khusus untuk
menguasai seni penyulingan. Ia berencana menciptakan aroma dasar yang sama sekali baru,
untuk kemudian dikembangkan menjadi beberapa macam aroma sesuai ingatannya selama
ini. Kesuksesan datang bertahap. Awalnya ia berhasil membuat minyak dari jelatang dan
dari biji seledri, eau de toilette dari batang elderberry segar dan ranting cemara. Hasil
sulingannya memang nyaris berbeda dengan aroma ramuan asal, tapi paling tidak masih
cukup menarik untuk diteruskan lebih jauh. Kendati demikian, tetap ada substansi tertentu
yang prosedurnya gagal sama sekali. Misalnya saat Grenouille mencoba menyuling aroma
kaca, lempung, aroma dingin sebuah kaca yang mulus, pokoknya benda-benda yang tak bisa
diendus hidung manusia normal. Ia telah mencoba sedikit pada kaca jendeladan pecahan
botol, dan sekarang ingin mencoba lagi dalam jumlah besar, dalam pecahan-pecahan yang
dibuat sehalus debusemuanya gagal. Selanjutnya ia mencoba menyuling kuningan,
porselen dan kulit, kayu, serta kerikil. Tanah juga ia coba suling mentah-mentah. Begitu
pun darah, kayu, ikan segar, dan rambutnya sendiri. Di ujung percobaan, ia menyuling air
mentah dari sungai Seine. Aroma uniknya dirasa pantas diabadikan. Ia yakin bahwa dengan
bantuan tabung penyulingan ia mampu menjarah aroma unik dari benda-benda itu, seperti
yang telah kenyang ia lakukan pada tumbuhan, lavender, dan biji jintan. Ia tak sadar bahwa
penyulingan sesungguhnya tak lebih dari sekadar proses memisahkan substansi kompleks
menjadi komponen yang mudah menguap dan yang tak mudah menguap. Ini hanya berguna
dalam seni membuat parfum, karena sari minyak yang mudah menguap dari tanaman
tertentu bisa diekstraksi atau dipisahkan dari substansi lain yang sedikit atau tidak memiliki
bau. Pada substansi yang kurang atau tidak memiliki sari minyak, proses penyulingan tentu
saja tak berguna. Buat manusia modern seperti kita hal ini pasti bisa segera dipahami, tapi
dalam kasus Grenouille, pengetahuan ini didapat secara menyakitkan, setelah melewati
berjam-jam percobaan yang mengecewakan. Selama berbulanbulan ia tetap keras kepala
menongkrongi tabung penyulingan, malam demi malam, mencoba setiap cara dan teknik
menyuling aroma baru yang radikalaroma yang tak pernah ada di bumi dalam wujud
konsentrat. Usaha ini tentu saja berbuah kekonyolan. Hasil terjauh yang didapat selalu
minyak tanaman. Sumur produktivitasnya yang tak terbatas itu terus memompa usaha tanpa
hasil. Hidung ajaib Grenouille justru jadi penghalang terbesarnya dalam memahami
kegagalan.

Perfume : The Story of a Murderer

TAK MAKAN WAKTU LAMA sampai Grenouille menjadi ahli penyulingan. Ia menemukan
dengan hidung yang jauh lebih membantu ketimbang segudang peraturan Baldinibahwa
panas api memegang peranan penting dalam menentukan kualitas hasil sulingan. Setiap
tanaman, setiap bunga, setiap jenis kayu, dan setiap minyak perasan biji menuntut prosedur
penggodokan tersendiri. Kadang harus sangat panas, kadang sedang, dan untuk bebungaan
apinya harus sekecil mungkin.

Saat akhirnya sadar bahwa ia telah gagal, Grenouille menyudahi percobaan dan jatuh
sakit.

Perfume : The Story of a Murderer

Dua Puluh

Baldini tentu saja khawatir. Sangat tidak menyenangkan kehilangan murid berharga di
saat ia justru tengah berencana mengembangkan bisnis lebih jauh. Membuat cabang-cabang
di luar kota dan bahkan sampai keluar negeri. Pesanan terus meningkat, tidak hanya dari
seluruh Paris, tapi terutama dari negeri-negeri seberang. Ini tentu saja harus segera
diantisipasi dengan membuka cabang baru. Baldini berniat membuka sebuah pabrik kecil di
kota Saint-Antoine, di mana ia bisa memproduksi parfum-parfum yang paling cepat dibuat
dalam kuantitas besar, dikemas dalam botol-botol kecil oleh anak-anak perempuan sebagai
buruh, dan segera dikirim ke Belanda, Inggris, dan Jerman Raya. Usaha begini tak
sepenuhnya legal untuk seorang ahli parfum yang berdiam di Paris, tapi Baldini baru saja
beroleh dukungan dari orang-orang berpengaruhbukan hanya dari komisaris perdagangan,
tapi juga dari pihak-pihak pemegang hak waralaba untuk kantor pabean kota Paris, atau
dengan salah seorang anggota Majelis Keuangan Istana dan promotor pelaksana perdagangan
nasional seperti Monsieur Feydeau de Brou. Tokoh terakhir ini bahkan menawarkan prospek
untuk mendapatkan paten kerajaanbenar-benar mimpi indah serupa cek kosong untuk
meretas semua batasan sipil dan profesional. Menjamin kebebasan dan keamanan berbisnis
secara permanen serta kekayaan tak terbayangkan.
Baldini juga menyimpan rencana lain. Rencana favorit yang berfungsi sebagai rencana
tandingan atas rencana pendirian pabrik di pinggiran kota Saint-Antoine. Barang-barang
dagangan di tempat itu, kelak, walau tidak diproduksi massal, akan tersedia untuk siapa
saja. Tapi untuk orang-orang tertentu dan klien-klien dari kalangan atas, ia ingin
menciptakanbahkan sudah dibuatparfum pribadi yang hanya cocok untuk masing-masing
orang tersebut, seperti pakaian jadi yang dibuat khusus dengan parfum tersebut, misalnya,
lengkap dengan pengenal dan sulaman nama pemakai. Ia bisa membayangkan nama-nama
parfum itu sebagai Parfum de la Marquise de Cema, Parfum de la Marechale de Villar,
Parfum du Duc dAiguillor, dan seterusnya. Ia membayangkan Parfum de Madame la
Marquise de Pompadour, atau bahkan Parfum de Sa Majeste le Roi dalam kemasan flacon
bertatahkan batu akik mahal dengan pegangan bersepuh emas dan di bagian dasarnya, pada
tempat tersembunyi, terukir tulisan: Giuseppe Baldini, Sang Ahli Parfum. Nama sang Raja
dan namanya kelak akan tertulis di satu benda yang sama. Sedemikian tingginya anganangan dan gagasan Baldini. Dan sekarang Grenouille jatuh sakit, kendati Grimalsemoga
arwahnya beristirahat dengan tenangtelah bersumpah bahwa anak itu tidak mengidap
penyakit apa pun, bahwa Grenouille sanggup menghadapi tugas apa pun, bahkan tak
mempan diganyang wabah hitamwabah pes abad pertengahan yang membunuh nyaris
separo penduduk Eropa Barat. Tapi nyatanya sekarang ia jatuh sakit. Sakit berat. Bagaimana
kalau sampai meninggal? Mengerikan! Bisa rusak semua rencana indah mendirikan pabrik,
mengupah buruh-buruh wanita, mendapatkan paten, dan parfum untuk sang Raja.
Baldini bertekad melakukan apa saja demi nyawa sang murid. Ia menyuruh Grenouille
pindah dari dipan di laboratorium ke ranjang haru yang bersih di lantai atas. Kasurnya ia

Perfume : The Story of a Murderer

DEMAM TINGGI MENYERANG GRENOUILLE. Beberapa hari pertama dibarengi keringat


deras, tapi kemudian, seolah pori-pori kulitnya tak tahan lagi dan mulai mengeluarkan
jerawat serta bisul dalam jumlah tak terhitung. Banyak yang pecah dan mengeluarkan air
tapi kemudian tumbuh lagi. Ada juga yang tumbuh sampai matang benar, membengkak tebal
dan memerah, lalu meletus menumpahkan nanah kental serta darah kekuningan. Dengan
segera ratusan borok, bisul, dan nanah itu membuat Grenouille tampak seperti patung
martir yang ditimpuki dari dalam.

lengkapi dengan kain sutra. Ia bahkan memapah Grenouille naik tangga dengan tangannya
sendiri, walau jijik pada jerawat dan pecahan bisul. Ia menyuruh istrinya memanaskan sup
kaldu ayam dan menyiapkan anggur. Ia memanggil dokter paling terkenal di Parisseorang
bernama Procope yang menuntut dibayar di muka sejumlah dua puluh franc, bahkan
sebelum ia setuju untuk berkunjung.

Baldini sangat terpukul. Ia meraung menangisi kehancuran yang menjelang. Menggigiti


jemari meratapi nasib. Sekali lagi, persis di ambang pencapaian cita-cita, seluruh rencana
agungnya runtuh berantakan. Kalau dulu ia dihancurkan oleh Plissier dan kelompoknya
dengan kekayaan dan plagiarisme mereka, sekarang oleh pemuda dengan sumur aroma baru
yang tak pernah kering ini, anak bungkuk sialan ini yang lebih berharga dari seluruh emas di
dunia. Entah bagaimana anak itu kini memutuskan untuk terserang cacar air sifilistik plus
campak bernanah stadium tinggi. justru di saat seperti ini! Kenapa tidak dua tahun ke depan
saja? Atau paling tidak setahun mendatang? Saat itu Baldini pasti sudah kaya raya seperti
tambang perak, seperti Raja Midas dengan pantat bersepuh emas! Grenouille boleh saja
mati tahun depan, tapi jangan sekarang, brengsek! Tidak dalam waktu 48 jam!
Sesaat Baldini sempat mempertimbangkan gagasan untuk ke Notre-Dame di mana ia bisa
menyalakan lilin dan berdoa memohon pertolongan Bunda Maria untuk kesembuhan
Grenouille. Tapi ia tepiskan gagasan itu karena waktunya sempit. Baldini bergegas
menyambar kertas dan tinta, lalu mengusir istrinya keluar dari kamar Grenouille. Ia akan
mengawasi sendiri. Duduk di kursi di samping ranjang, kertas catatan di pangkuan, sebuah
pena bertinta di tangan dan mencoba memeras pengetahuan Grenouille tentang seni buatan
parfum. Demi Tuhan, jangan sampai dia berani mati duluan tanpa berkata apa -apa
membawa harta karun Baldini ke liang kubur. Tidakkah Grenouille sudi meninggalkan
warisan pada orang terpercaya, agar generasi mendatang tidak harus kehilangan aroma
terbaik sepanjang masa? Ia, Baldini, dengan amat senang hati akan menyampaikan warisan
itu. Formula utama dari parfum terluhur yang pernah ada. Akan menghantarkannya ke
puncak ketenaran, bahkan atas nama Grenouilleya, ia sungguh bersumpah demi segala suci
akan melakukan itu. Ia akan menggelar yang terbaik dari parfumparfum itu di hadapan sang
Raja, dalam sebuah flacon batu akik bersepuh emas dengan ukiran dedikasi berbunyi, Dari
Jean-Baptiste Grenouille, Sang Ahli Parfum, Paris. Demikian bisik Baldini ke telinga
Grenouille. Dengan segenap hati memohon dan membujuk.
Namun sia-sia. Grenouille tak berucap apa-apa selain menghasilkan sekresi berair dan
bisul pecah. Berbaring bisu di atas kasur berlapis sutra, mengucapkan salam perpisahan
dengan cairan menjijikkan itu, tanpa mewariskan formula, pengetahuan, atau aroma apa
pun. Ingin sekali rasanya Baldini memberangus dan memukuli onggokan daging ini sampai

Perfume : The Story of a Murderer

Sang dokter datang, mengangkat selimut dengan tangan terjumput karena jijik, melihat
sekilas ke tubuh Grenouille yang seperti ditembusi ratusan peluru, dan langsung
meninggalkan kamar tanpa sekalipun membuka tas medis yang dibawa oleh seorang asisten.
Kepada Baldini sudah jelas. Ini kasus cacar air sifilistik bernanah stadium tinggi. Tak bisa ia
melaporkan bahwa kasusnya dengan komplikasi campak dilakukan pengobatan karena pisau
bedah tak bisa dimasukkan dengan benar ke bagian tubuh yang lukaini pun sudah lebih
mirip badan mayat ketimbang organisme hidup. Dan meskipun bau khas yang biasanya timbul
bersama wabah ini belum tercium (dari sudut pandang ilmiah, ini terhitung telaah detail
yang luar biasa), sang dokter memastikan bahwa si penderita akan mati dalam waktu 48
jamsepasti namanya, Procope. Saat itu ia menuntut dua puluh franc lagi untuk kunjungan
dan prognosisnyalima franc bisa diambil kembali apabila jasad Grenouille boleh dibawa
untuk keperluan demonstrasi medis. Lalu sang dokter pun pamit.

mati, memeras keluar rahasia berharga itukalau saja bisa demikian... dan kalau saja tidak
bertentangan dengan keyakinan Kristen untuk mencintai sesama.

Baldiniyang dengan mata tertutup mengelus kening, setengah yakin suara itu keluar
dari imajinasinya sendiri atau dari alam lainmenjawab otomatis, Ya, ada.
Apa itu? datang pertanyaan dari arah ranjang. Sontak Baldini membuka mata lelahnya
lebar-lebar. Grenouille masih terbaring tak bergerak. Mungkinkah mayat itu berbicara?
Apa sajakah itu? datang lagi pertanyaan itu. Kali ini Baldini menangkap bibir
Grenouille bergerak berucap. Berakhir sudah, pikirnya. Inilah akhirnya. Kegilaan akibat
demam atau menjelang kematian. Ia bangkit, melangkah ke sisi ranjang, lalu membungkuk
mendekati si sakit. Mata Grenouille terbuka dan menatap Baldini dengan pandangan aneh
yang sama seperti ketika pertama kali bertemu.
Apa sajakah itu? kembali ia bertanya.
Baldini merasa tak tega. Ia tak mungkin menolak permintaan terakhir seseorang
menjelang ajal. Ia menjawab, Ada tiga cara lain, anakku: enfleurage chaud, enfleurage
froid, dan enfleurage lhuile. Masing-masing merupakan teknik penyulingan superior
dalam banyak aspek, dan biasa digunakan untuk mengekstraksi aroma terbaik yang pernah
ada, yaitu bunga melati, mawar, dan jeruk.
Di mana semua ini bisa dilakukan? tanya Grenouille. Di selatan, jawab Baldini,
terutama sekali di kota Grasse.
Baguslah, jawab Grenouille.
Dan dengan itu ia menutup mata. Baldini bangkit dengan lemas. Batinnya tersiksa. Ia
kumpulkan semua kertas dan meniup lilin. Hari sudah lewat fajar dan ia sangat kelelahan.
Aku harus memanggil pendeta, pikirnya. Tangan kanan tergesa membuat tanda salib, lalu
pergi.
Sementara itu, Grenouille sama. sekali tidak mati. Ia hanya tidur nyenyak, hanyut dalam
mimpi, sambil mengisap kembali seluruh cairan kehidupan yang membuncah keluar bersama
bisul dan jerawat. Luka-luka dan kawah bernanah perlahan mengering dan menutup.
Seminggu kemudian kondisi Grenouille kembali pulih.

Perfume : The Story of a Murderer

Demikianlah ia terus mendengkur dan memelas dengan suara paling manis, memanjakan
Grenouille, dandengan perjuangan setengah mati menahan dirimengelapi keringat di
kening Grenouille, pada luka-lukanya yang mendidih, menyuapi sesendok demi sesendok
anggur, berharap agar setidaknya mampu melemaskan lidah Grenouille. Ini dilakukan
sepanjang malam dan berujung sia-sia. Menjelang fajar ia menyerah. Baldini jatuh kelelahan
di kursi di ujung ruangan seraya menataptidak lagi dengan kemarahan, tapi dengan
kepasrahan bisu. Pada tubuh sekarat Grenouille yang terbaring di ranjang, yang tak bisa ia
tolong, jarah, atau bujuk untuk mengatakan apa pun. Kematian yang hanya bisa disaksikan
dengan pikiran mati rasa seperti seorang nakhoda menyaksikan kapalnya karam, membawa
seluruh kekayaan ke dasar laut. Ketika itulah mendadak mulut pemuda sekarat itu
membuka, mengeluarkan suara jernih yang berlawanan dengan kondisinya. Ia berkata,
Katakan padaku, Matre, adakah cara lain mengekstraksi aroma dari benda -benda selain
diperas dan disuling?

Dua Puluh Satu

Di awal tahun 1756 Baldini membeli gedung seberang di Pont au Change yang ia pakai
untuk tempat tinggal karena gedung lama sudah penuh sampai ke atap dengan parfum dan
rempah-rempah. Saat itu ia menyampaikan pada Grenouille bahwa kini ia bersedia
melepasnya, dengan tiga syarat. Pertama, ia tak boleh membuat parfum apa pun yang sama
dengan apa yang kini ada di bawah atap gedung milik Baldini atau menjual formulanya pada
pihak ketiga. Kedua, ia harus meninggalkan Paris dan tidak kembali lagi selama Baldini masih
hidup. Dan ketiga, Grenouille harus merahasiakan dua syarat tersebut. Ia diminta
bersumpah atas nama semua santo, atas nama jiwa ibunya yang malang, dan atas nam a
kehormatannya sendiri.
Grenouille tidak memiliki kehormatan, tidak percaya santo, dan membenci ibunya, jadi
dengan enteng ia bersumpah. Sumpah demi apa pun ia bersedia. Syarat bagaimanapun yang
diajukan Baldini akan diterima, karena ia sudah sangat tak sabar ingin segera memiliki surat
resmi status ahli. Kunci menuju kebebasan, berkelana tanpa diganggu siapa pun, dan
mencari pekerjaan. Hal lain tidak penting. Lagi pula, syarat macam apa itu? Tak boleh
memasuki Paris lagi? Siapa juga yang butuh Paris? Ia sudah kenyang dengan kota ini sampai
ke ceruk terkecilnya sekalipun. Aroma kota ini akan selalu ia bawa ke mana pun melangkah.
Boleh dibilang ia telah memiliki Paris selama bertahun-tahun. Tak boleh membuat parfumparfum laris yang kini dimiliki Baldini? Tak boleh menyebarkan formulanya? Bah! Ia mampu
membuat ribuan lagi, dan setiap kali jauh lebih baik, kapan saja ia mau! Tapi ia tak mau
begitu. Grenouille tak berniat bersaing dengan Baldini atau ahli parfum borjuis lainnya. Tak
pernah terlintas niat untuk menjadi kaya dengan bakat ini. Tak ingin hidup dari situ kalau
memang ada jalan lain mengongkosi hidup. Yang paling diinginkan adalah mengosongkan

Perfume : The Story of a Murderer

GRENOUILLE AMAT INGIN saat itu juga berangkat ke selatan, ke kota di mana ia bisa
belajar teknik penyulingan baru seperti uraian Baldini. Tapi tentu saja tidak mungkin. Ia
hanya seorang murid rendahan, atau dengan kata lain: sama sekali bukan siapa-siapa.
Seperti dijelaskan Baldinisetelah menampakkan kegembiraan luar biasa menyambut
kebangkitan Grenouille dari kematiania bahkan lebih rendah dari bukan siapa-siapa
karena seorang murid yang benar harus memiliki persyaratan memadai seperti surat
legitimasi, akta kelahiran, memiliki kerabat kalangan ningrat, serta sertifikat ikatan
kontrak. Semua ini Grenouille tak punya. Pun andai Baldini kelak memutuskan untuk
membantunya mengurus surat-surat resmi kenaikan tingkat ke status ahli, itu hanya bisa
terjadi atas dasar bakat ajaib Grenouille, kesempurnaan perilaku sejak saat itu, dan
terutama sekali atas kebaikan Baldini. Yang terakhir ini meskipun banyak menguntungkan
Grenouille, tetap saja akan membuat ia berutang budi selamanya. Cukup lama sampai
Baldini bersedia memenuhi janjinyaris tiga tahun. Selama itu, dengan bantuan Grenouille,
Baldini mewujudkan impian. Ia membangun pabrik di pinggir kota Saint-Antoine, meloloskan
tender untuk parfum eksklusif di kalangan istana, serta menerima paten kerajaan.
Parfumnya terjual sampai ke St. Petersburg di Rusia, Palermo di Italia, dan Copenhagen di
Denmark. Barang-barang beraroma kesturi sangat dicari, bahkan di Konstantinopel. Padahal
Tuhan pun tahu orang-orang di sana sudah lebih dari cukup memiliki parfum sendiri. Parfum
Baldini tercium mulai dari kantor-kantor elegan di London sampai istana Parma, juga di puri
Warsawa dan di istana kecil dinasti Graf von und zu Lippe-Detmold. Kontras dengan anganangan semula untuk hidup menyepi dalam kemiskinan di Messina, Baldini yang kini berusia
tujuh puluh tahun, berubah menjadi pembuat parfum terbesar di seluruh Eropa dan
termasuk salah satu orang terkaya di Paris.

jiwanya yang paling dalamsatu-satunya hal terindah dari apa pun yang bisa ditawarkan
dunia. Dus, syarat Baldini bukan apa-apa buat Grenouille.

Baldini tidak mengangsurkan tangan memberi salamsimpatinya tak sampai sejauh itu.
Ia tak pernah bersalaman dengan Grenouille. Selama ini ia selalu berusaha agar mereka
tidak bersentuhan. Perasaan yang datang dari rasa jijik tanpa alasan, atau takut tertular,
atau terkontaminasi entah apa. Ia hanya berucap, Adieu. Grenouille mengangguk,
merunduk melewati pintu dan berlalu. Jalanan pagi itu tampak lengang.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille berkemas pagi-pagi sekali di awal musim semi, di bulan Mei. Baldini
membekalinya dengan sebuah ransel kecil, selembar kemeja, dua pasang stoking, sebongkah
besar sosis, selimut pelana kuda, dan uang 25 franc. Menurut Baldini, ini saja sudah
berlebihan dari apa yang semestinya diberikan, mengingat bahwa Grenouille tidak
membayar sepeser pun untuk pendidikan yang diterimanya selama ini. Grenouille hanya
diwajibkan membayar uang pemutusan kontrak sebesar dua franc. Tidak lebih. Yah, Baldini
rupanya masih menyimpan sedikit simpati untuk Jean-Baptiste Grenouille setelah sekian
lama tinggal bersama. Ia mendoakan semoga Grenouille beruntung dalam perjalanan dan
sekali lagi mengingatkan secara empatik agar tidak melupak an janji. Setelah itu ia
mengantar Grenouille melewati koridor sempit ke pintu belakang seperti saat pertama kali
bertemu, dan mereka berpisah.

Dua Puluh Dua


BALDINI MEMANDANG KEPERGIAN sang mantan murid. Ransel di punggung Grenouille
bergerak melintasi jembatan ke seberang. Tubuh itu kecil, bungkuk, mengusung ransel
seperti manusia bongkok dan dari samping malah seperti orang tua. Di ujung jalan yang
berkelok ke Palais de Parlement, Baldini tak bisa melihatnya lagi dan merasa amat lega.

Begitulah Baldini kerap berpikir selama tahun-tahun itu. Di pagi hari saat meniti tangga
turun ke toko, sore hari saat naik lagi membawa peti kas untuk menghitung koin-koin emas
dan perak, dan malam hari saat ia terbaring di sisi buntal tulang yang mendengkur-yang ia
sebut sebagai istri... tapi ia sendiri tak bisa tidur saking takut kehilangan harta.
Dan hari ini adalah saatnya mengenyahkan semua kecemasan itu. Tamu aneh itu telah
pergi dan tak akan kembali. Tapi kekayaan yang ditinggalkan tetap jadi miliknya dan aman
sampai ke masa depan. Baldini menangkup tangan ke dada dan merasakan di balik bajunya,
sebuah buku tebal terselip aman bersama detak jantung. Enam ratus formula telah tercatat
di sini. Lebih dari yang mampu diramu oleh seluruh generasi ahli parfum. Ia boleh saja
kehilangan harta sekarang, tapi dengan buku ini ia bisa jadi kaya lagi dalam waktu satu
tahun. Sungguh, ia tak bisa menuntut lebih dari ini!
Matahari pagi menerpa atap-atap rumah seberang jalan. Sinarnya berpendar keemasan
dan terasa hangat di wajah. Baldini masih menatap ke arah selatan, ke jalan yang menuju
Palais de Parlemenmenyenangkan sekali tak harus melihat tampang Grenouille lagi!

Perfume : The Story of a Murderer

Kini akhirnya ia mengaku bahwa ia tak pernah menyukai pemuda itu. Tak pernah merasa
nyaman setiap saat bersama Grenouille di bawah satu atap sementara terus menjarah
pengetahuan dan bakatnya. Ia merasa seperti seorang manusia suci yang kecipratan amal
jelek untuk pertama kali, atau seperti orang yang curang saat bermain kartu. Memang benar
bahwa risiko untuk sampai tertangkap basah selama ini kecil sekali, apalagi prospeknya juga
luar biasa, tapi kegugupan dan perasaan tak nyaman yang ditimbulkan juga sama besarnya.
Jujur saja, selama tahun-tahun belakangan ini ia selalu dihantui ketakutan bahwa suatu hari
nanti ia harus membayar keterlibatannya dengan Grenouille. Semoga semua bisa berakhir
dengan baik! Begitu doanya setiap hari. Semoga aku berhasil menggelembungkan
keuntungan dari bisnis berisiko tinggi tanpa harus membayar akibatnyal Semoga aku
berhasil! Yang kulakukan memang tidak benar, tapi Tuhan pasti mau memaklumi, aku yakin.
Tuhan telah cukup keras menghukumku berkalikali di masa lalu, tanpa sebab apa pun, jadi
cukup adil kalau Dia memberi keringanan untuk yang satu ini. Coba, dosa apa yang
sebenarnya kulakukan, kalau memang ada? Paling banter aku hanya beroperasi sedikit di
luar peraturan Serikat Kerja Ahli Parfum dengan mengeksploitasi berkah ajaib seorang
pekerja tak berpengalaman dan mengakui bakatnya sebagai milikku. Aku hanya melenceng
sedikit dari jalur tradisional nilai-nilai serikat kerja. Yang kulakukan hari ini adalah apa yang
selalu kubenci di masa lalu. Salahkah itu? Banyak orang lain berlaku curang sepanjang hayat.
Aku hanya menukil sedikit selama beberapa tahun. Itu pun hadir begitu saja di depan
rumahseperti berkah. Sebuah peluang sekali seumur hidup yang tak mungkin kulewatkan.
Mungkin bukan semata-mata peluang, tapi Tuhan sendiri yang mengirim penyihir itu ke
rumahku, sebagai ganti hari-hari memalukan saat menghadapi Plissier dan kawan-kawan.
Atau barangkali Tuhan tidak mengarahkan ini semua khusus untukku, tapi justru untuk
menghukum Plissier! Ya, itu lebih mungkin. Dengan cara bagaimana lagi Tuhan mampu
menghukum orang itu kalau tidak dengan mengangkatku? Dari sudut pandang itu,
keberuntunganku terletak pada cara Tuhan mencapai tujuan-Nya. Dus, tidak hanya harus
kuterima, tapi juga tanpa rasa malu dan tanpa penyesalan....

Dengan penuh rasa syukur ia memutuskan untuk berziarah ke NotreDame hari ini. Di sana
ia akan melempar koin emas ke dalam kotak amal, menyalakan tiga batang lilin, lalu
berlutut memanjatkan puji syukur pada Tuhan yang telah memberi karunia rezeki dan
menjauhkannya dari bencana.

Malam itu di tempat tidur, sebelum ia lelap, mendadak ia kedatangan ide bagus. Melihat
kemungkinan pecah perang dan kekerasan yang akan terjadi di seluruh koloni Dunia Baru,
ia akan meluncurkan produk parfum bertajuk Prestige du Quebec, sebuah parfum heroik
beraroma tar, yang apabila suksesia yakin pasti begituakan menghasilkan keuntungan
yang jauh melebihi kerugian akibat pembatalan bisnis dengan Inggris. Ide konyol ini
membuatnya lega dan menelungkup nyaman di atas bantal, di atas buku kumpulan formula
yang saking tebalnya sampai terasa menembus bantal. Tapi Baldini malah merasa nyaman
dan aman begitu. Matre Baldini tertidur lelap dan tidak pernah bangun lagi.
Kenapa? Malam itu terjadi sebuah bencana kecil. Dengan sedikit keterlambatan
pengumuman, pihak istana mengeluarkan dekrit yang mengharuskan peruntuhan sedikit
demi sedikit seluruh gedung yang berada di atas jembatan di seluruh Paris. Maka pada
malam itu, tanpa alasan jelas, sebelah Barat Pont au Change, di antara dermaga ketiga dan
keempat, runtuh berurutan. Dua buah gedung diserok ke arah sungai. Begitu menyeluruh
dan tiba-tiba sampai penghuninya tak sempat menyelamatkan diri. Untungnya hanya dua
orang yang tercatat sebagai korban, yaitu Giuseppe Baldini dan istrinya, Teresa. Para
pelayan telah keluar lebih dulu, dengan atau tanpa permisi. Chnier adalah pelayan pertama
yang berniat kembali lebih dulu (karena. ia tak punya tempat tinggal lain), melangkah
dengan kaki terseok agak mabuk. Bisa ditebak betapa syok dan runtuh sarafnya melihat
kejadian ini. Sia-sia saja pengorbanan hidupnya selama tiga puluh tahun, bersandar harapan
agar suatu hari nanti namanya tercantum dalam surat warisan Baldini karena si tua itu tak
punya sanak ataupun saudara. Kini, dalam sekali kebas, seluruh warisan itu musnah
semuanya: rumah, bisnis, bahan mentah, laboratorium, Baldini sendiri dan tentu saja surat
warisan Baldini. Padahal ia yakin bahwa kelak hampir pasti Baldini akan menunjuknya
sebagai pemilik pabrik di Saint-Antoine.
Tak ada apa pun yang bisa ditemukan. Tidak mayat, brankas, atau buku catatan berisi
enam ratus formula. Hanya satu yang tersisa dari Giuseppe Baldini sang pembuat parfum
terbesar seantero Eropa: aroma parfum aneka warnaada aroma kesturi, kayu manis, cuka
apel, lavender, dan ribuan aroma lain. Selama beberapa minggu aroma ini mengambang
tinggi di atas sungai Seine, membentang dari Paris sampai Le Havre.

Perfume : The Story of a Murderer

Tapi siang hari itu juga, persis saat Baldini hendak pergi ke gereja, sesuatu yang aneh
terjadi: ada kabar bahwa Inggris telah menyatakan perang terhadap Prancis. Berita ini saja
sudah sangat menggelisahkan. Terlebih lagi Baldini telah berencana mengirim produksi
parfum ke London persis pada hari itu. Terpaksalah ia menunda ziarah ke Notre-Dame dan
berbelok ke pusat kota untuk memastikan kabar itu lebih jauh. Setelah itu bergegas ke
pabriknya di pinggiran kota Saint-Antoine dan menunda kiriman menuju Londonsetidaknya
untuk saat ini.

Bagian II

Perfume : The Story of a Murderer

Dua Puluh Tiga

Bagi Grenouille, kesederhanaan ini menjadi pembebasan. Alunan aroma surga dunia
membelai hidung. Untuk pertama kali dalam hidup ia tak harus mempersiapkan diri
menangkap aroma baru yang tak terduga atau bahkan bersifat menyerang. Pun tak harus
kehilangan aroma yang menyenangkandi setiap tarikan napas. Untuk pertama kali ia
hampir bisa bernapas dengan begitu lega dan bebas, padahal biasanya ia harus selalu
waspada menangkap aroma. Disebut hampir karena kita pasti mafhum bahwa tak ada yang
lewat begitu saja di depan hidung Grenouille. Ia sudah sangat terbiasa memasang sikap
waspada dan cemas pada apa pun yang datang dari luar dan masuk ke indra penciuman.
Sepanjang hayat, bahkan pada detik-detik ia merasakan setitik kepuasan, kenyamanan, dan
barangkali juga kebahagiaan, ia lebih memilih membuang napas ketimbang menghirup.
Persis seperti ketika ia memulai hiduptidak dengan menghirup udara penuh kelegaan, tapi
dengan jerit tangis membekukan darah. Terlepas dari syarat Baldini yang ia terimayang ia
pandang semata-mata sebagai pembatasan konstitusionalyang jelas, makin jauh ia dari
Paris, perasaan semakin nyaman, semakin mudah bernapas, makin ringan melangkah,
sampai kadang mampu menegakkan tubuh kala berjalan sehingga tampak seperti seorang
ahli kalau dilihat dari jauh. Seperti manusia normal.
Yang paling melegakan adalah keadaan yang jauh dari siapa pun. Paris adalah tempat
berpenduduk terpadat dibanding kota mana pun di dunia. Enam sampai tujuh ratus ribu
orang tinggal di Paris. Setiap kelokan jalan dan gang-gangnya selalu terisi orang. Rumahrumah sesak dijejali penghuni dari ruang bawah tanah sampai loteng. Nyaris tak ada sudut
di Paris yang tidak dipenuhi oleh manusia. Tidak ada batu atau sejengkal tanah pun yang
tidak sumpek oleh bau manusia.
Makin jauh dari kungkungan manusia, makin jelas bagi Grenouille bahwa selama delapan
belas tahun ini emisi bau manusialah yang telah menekannya seperti udara saat badai petir.
Semula ia mengira hanya ingin menjauh dari dunia secara umum, tapi ternyata bukan dunia
bukan, tapi manusia penghuninya yang ingin ia jauhi. Kau bisa hidup nyaman di dunia ini
kalau tidak ada manusia lain.
Di hari ketiga perjalanannya, Grenouille mulai mengendus bau kota Orleans, jauh
sebelum ada tanda apa pun yang menyatakan bahwa ia sudah dekat kota. Hidungnya
mencium kondensasi aroma manusia di udara dan segera memutuskan untuk tidak langsung
masuk kota. Ia masih ingin merasakan kebebasan penciuman ini lebih lama lagi sebelum
tercemar oleh iklim manusia. Grenouille mengambil jalan memutar sangat jauh, tiba di Loire
at Chteaueuf dan menyeberang di sungai Sully. Bekal sosisnya hanya bertahan sejauh ini.
Ia beli lagi satu, setelah itu pergi meninggalkan sungai untuk masuk lebih jauh.
Grenouille menghindari tidak hanya kota, tapi juga pedesaan. Nyaris mabuk oleh udara
yang makin jernih dan jauh dari bau manusia. Permukiman atau peternakan terasing hanya
dimasuki kalau butuh bekal baru saja, membeli roti dan langsung menghilang lagi ke hutan.

Perfume : The Story of a Murderer

KETIKA RUMAH KELUARGA Giuseppe Baldini runtuh, Grenouille sudah dalam perjalanan
menuju Orleans. Paris, kota kejam nan berkabut itu, telah ia tinggalkan nun jauh di
belakang. Setiap langkah membuat udara makin jernih, bersih, dan murni. Juga makin tipis.
Tak ada lagi badai perubahan ribuan aroma setiap detik. Di sini hanya ada beberapa aroma
khas; bau jalan berpasir, padang rumput, bau tanah, tanaman, air, membentang sepanjang
daerah pedesaan dalam deburan arus panjang, bergulung perlahan, mereda perlahan, nyaris
tanpa jeda.

Akhirnya, malam hari jadi waktu favoritnya untuk bertualang. Siang hari ia merangsek
ke bawah belukar, tidur di bawah semaksemak, di cekungan akar pohon besar, di tempat
yang paling tidak bisa dijangkau, menggulung badan seperti binatang dengan selimut
tertarik sampai kepala, menekan hidung di lekukan siku agar mimpi tidak terganggu oleh
bau apa pun. Grenouille bangun setiap senja, mengendus-endus ke segala arah, dan hanya
saat ia yakin bahwa petani terakhir telah pergi dari ladang dan petualang paling berani telah
bermalam, hanya saat cahaya pupus dan jalan-jalan perkampungan sepi oleh manusia,
Grenouille berani keluar dan melanjutkan perjalanan. Ia tak butuh penerangan untuk
melihat. Bahkan saat masih berani jalan siang had ia kerap menutup mata dan berjalan
mengikuti petunjuk hidung. Bentangan tanah lapang dan penglihatan membuat matanya
sakit. Ia hanya suka pada cahaya bulan. Cahaya bulan tidak mengenal warna dan menyisiri
kontur benda-benda dengan sangat lembut.
Menyelimuti bumi dengan warna kelabu suram, menahan semut makhluk hidup agar
tetap di sarangnya sepanjang malam. Dunia seperti disepuh timah, di mana tak satu pun
yang bergerak kecuali angin yang kadang jatuh memayung seperti bayang -bayang di atas
rimba kelabu. Tak ada sesuatu pun yang hidup kecuali aroma ibu bumisatu-satunya dunia
yang ia terima, karena sangat mirip dengan dunia dalam jiwanya sendiri.
Grenouille berjalan ke arah selatan. Kira-kira saja karena ia tidak mengandalkan kompas
magnet tapi kompas hidung. Membuatnya berjalan memutari setiap kota, setiap desa, setiap
permukiman. Berminggu-minggu ia tidak bertemu satu manusia pun, sampai nyaris yakin
bahwa ia memang hidup sendirian di dunia ini, dalam banjir kegelapan atau cahaya bulan
nan beku. Tapi ternyata hidungnya masih bisa salah.
Manusia juga hadir saat malam. Bahkan di daerah paling terpencil sekalipun.
Bersembunyi seperti tikus masuk sarang kalau ingin tidur. Bumi belum bersih dari mereka
karena dalam tidur pun mereka masih mengeluarkan bau yang merembes keluar dari celah
retakan rumah ke udara terbuka, meracuni alam yang tak mampu berbuat apa-apa. Makin
Grenouille terbiasa dengan udara jernih, makin sensitif pula ia terhadap bau manusia, yang
sialnya kadang suka mengapung entah dari mana saat malam. Sama. memuakkannya dengan
bau kotoran binatang dan nyaris menutupi aroma tempat tinggal manusia itu sendiri. Kalau
sudah begini, Grenouille lebih memilih untuk kabur lebih jauh. Sensitivitas dan ketajaman
penciumannya makin meningkat, pun dengan bau yang makin jarang tercium. Demikianlah,
hidung ajaibnya membawa Grenouille ke daerah yang makin terpencil dan jauh dari
manusia. Seolah tertarik kutub magnet yang mendorongnya untuk tak tersentuh siapa pun.

Perfume : The Story of a Murderer

Setelah beberapa minggu ia bahkan tak tahan menemui petualang dan pejalan kaki yang
kadang ditemui. Tak kuat mencium konsentrat aroma yang pasti merebak bersama sosok
petani yang muncul saat menata jerami di padang rumput. Dengan gugup ia menghindari
setiap rombongan biri-biribukan lantaran bau kambing atau domba, tapi bau gembalanya
yang ia tak tahan. Dusun dan perkampungan ia lewati begitu saja dan lebih suka mengambil
jalan memutar setiap kali ia menangkap aroma penunggang kuda dari jarak beberapa jam
jauhnya. Bukan karena takut dihadang dan ditanyai surat-surat atau diseret masuk wajib
militer (ia bahkan tak tahu bahwa sedang ada perang), tapi karena ia jijik terhadap bau
penunggangnya. Dus, rencana semula untuk mengambil rute terpendek menuju Grasse
berubah menjadi sebuah perjalanan bebasseperti yang kerap terjadi setiap kali ia punya
niat atau rencana. Grenouille tak ingin lagi pergi ke suatu tempat. Ia hanya ingin menjauh.
Jauh dari manusia.

Dua Puluh Empat


KUTUB ITU, titik kerajaan yang paling jauh dari manusia itu bernama Massif Central di
Auvergne, sekitar lima hari perjalanan sebelah selatan Dermont, di puncak gunung Plomb
du Cantal berketinggian enam ribu kaki.

Sadar bahwa di gunung itu ia bakal mati sendirian. Lebih baik mati di bui bersama
manusia normal daripada jadi zombi kesepian. Bermilmil. di sekitar pegunungan, tak
sejengkal tanah pun dihuni manusia atau binatang mamalia. Kalaupun ada, paling -paling
kelelawar, beberapa ekor kumbang, dan ular beludak. Tak ada yang sudi menjejaki tempat
ini selama puluhan tahun.
Grenouille tiba di gunung ini pada suatu malam di bulan Agustus tahun 1756. Saat fajar
menyingsing, ia berdiri di puncak. Belum sadar bahwa perjalanannya sudah sampai akhir.
Dipikirnya ini sekadar lokasi transit sebelum tiba di daerah berudara lebih murni. Ia memutar
tubuh dan membiarkan hidungnya mengendus bebas, mengembara melintasi panorama alam
liar pegunungan. Di sebelah timur terletak dataran tinggi Saint-Flour dan rawa-rawa sungai
Riou. Di sebelah utaraarah datangnya tadiberjejer rapat pegunungan batu gamping. Dari
sebelah barat, angin lembut pagi hari membawa aroma bebatuan dan rumput liar. Dan dari
selatan, kaki gunung Plomb membentang bermil-mil sampai ke ngarai Truyre yang gelap.
Benar-benar tak ada manusia dari segala penjuru. Selangkah lebih dekat saja, ke arah mana
pun, baunya pasti akan tercium. Hidung kompas Grenouille berputar bingung kehilangan
orientasi. Ia sadar telah sampai tujuan, meski tetap butuh waktu untuk yakin dan jatuh hati
pada tempat ini.
Saat matahari terbit, Grenouille masih berdiri di puncak itu dengan hidung terangkat
tinggi ke udara. Setengah putus asa ia mencoba menentukan arah munculnya manusia yang
mungkin datang mengancam, plus arah sebaliknya untuk melarikan diri. Ia menduga bahwa
ke arah mana pun pasti sama saja, karena cepat atau lambat pasti bakal tercium. Tapi tak
ada apa pun. Hanya ada kedamaiankedamaian penciuman, kalau boleh dibilang demikian.
Ke mana pun kepala berputar yang tercium hanya aroma bebatuan, lumut, dan rumput
kering.
Grenouille butuh waktu sangat lama untuk percaya bahwa saat itu ia tidak mengandalkan
penciuman lagi. Ia tak siap mendapati kesialan dan jadi ragu terhadap indranya sendiri. Ia
bahkan menggunakan mata untuk membantu pengamatan, terutama saat matahari terbit.
Mencermati cakrawala, mencari tanda-tanda kehadiran manusia seperti atap gubuk, asap,
pagar, jembatan, atau hewan ternak. Tangannya mencakup ke dekat telinga dan menyimak
kalau-kalau ada suara desing sabit, gonggongan anjing, atau tangisan anak kecil. Seharian
penuh ia berdiri diam di terik matahari, di puncak Plomb du Cantal dan menunggu sedikit
saja dari tanda-tanda yang ia cari. Keraguannya perlahan reda menjelang senja, seiring

Perfume : The Story of a Murderer

Gunung itu terdiri atas sebuah karang kerucut raksasa berwarna biru kelabu dan
dikelilingi oleh tanah tandus yang amat luas, dipasaki beberapa pohon gosong yang tertutup
lumut serta semak belukar. Di sana-sini batu-batu besar mencuat seperti gigi busuk. Di terik
siang sekalipun daerah itu begitu muram dan redup sampai gembala terpapa di provinsi
termiskin ini tak akan sudi menggiring ternaknya ke sini. Malam hari diputihkan oleh cahaya
bulan, membuat dataran ini tampak seperti berasal dari dunia lain. Bahkan Lebrun, bandit
paling terkenal di Auvergne, walau dikejar dari segala penjuru, lebih suka lari ke Uvennes
untuk ditangkap, diseret, dan dipenjara ketimbang bersembunyi di Plomb du Cantal yang
jelas-jelas tak terusik orang.

terbitnya perasaan girang luar biasa. Ia telah lolos dari bau menjijikkan itu! Ia benar-benar
sendirian sekarang. Satu-satunya manusia di dunia.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille melompat bersorak keras-keras. Seperti awak kapal karam melihat daratan
setelah berminggu-minggu terapung tanpa arah. Kesendirian ini sungguh patut dirayakan!
Sekali lagi ia bersorak girang seraya melempar ransel, selimut, dan tongkat ke tanah.
Kakinya berhentakan ke tanah, kedua tangan terangkat, menari berputar-putar,
menjeritkan namanya sendiri ke empat penjuru angin, mengangkat dan mengguncang tinju
kuat-kuat ke arah bawah, dan kepada matahari tenggelam. Grenouille benar-benar
kegirangan seperti orang gila dan terus begitu sampai larut malam.

Dua Puluh Lima

Dekat retakan sumber air, Grenouille menemukan sebuah gua alam yang mengarah ke
perut gunung dengan jalur tajam dan berkelok, berakhir kira-kira 30 meter di sebuah lereng
berbatu. Punggung gua begitu sempit sampai Grenouille harus berjalan membungkuk dan
bahunya bergesekan dengan langit-langit. Tapi ia bisa duduk dan dengan sedikit memutar
badan bahkan bisa berbaring. Begini saja rasanya sudah sangat nyaman. Tempat ini banyak
memberi keuntungan. Ujung terowongan gelap gulita, bahkan di siang hari. Sepi, tanpa
suara apa pun. Udara terasa lembap, asin, dan dingin. Grenouilie dapat langsung mengendus
bahwa tak ada makhluk hidup yang pernah masuk ke sini. Saat tinggal di sana, batin
Grenouille terseret ke dalam arus kekaguman agungseperti saat pertama kali seseorang
menjejakkan kaki di katedral Paus di Roma, atau mesjid agung di Konstantinopel. Selimut
pelana digelar hari-hari di atas lantai seperti menutupi altar, lalu ia berbaring di atasnya.
Sangat nyaman dan penuh berkah. Grenouille kini berada 45 meter di bawah tanah, di dalam
perut gunung paling terpencil di Prancis. Seperti berada dalam kuburan sendiri. Seumur
umur ia tidak pernah merasa demikian aman. Bahkan melebihi kenyamanan berada dalam
kandungan. Dunia boleh musnah di luar sana, tapi Grenouille tak akan peduli. Lalu ia mulai
menangis perlahan. Tak tahu harus berterima kasih pada siapa untuk karunia sebaik ini.
Hari-hari selanjutnya, Grenouille keluar hanya untuk menjilat air, buang hajat, dan
berburu kadal serta ular. Mereka lebih mudah ditangkap pada malam hari, saat bernaung di
bawah batu gamping atau dalam lubang kecil yang mudah dilacak hidung.
Ia kembali ke puncak beberapa kali lagi selama beberapa minggu pertama untuk
mengendusi cakrawala. Lama-kelamaan ini lebih menjadi kebiasaan ketimbang
kewaspadaan karena ia tak pernah mencium ancaman apa pun. Jadi bosan sendiri dan lebih
suka kembali ke gua secepat mungkin setelah selesai memenuhi kebutuhan dasar bertahan
hidup. Di dalam sini ia merasa lebih hidup. Dua puluh jam sehari ia habiskan dalam
kegelapan, kesunyian, dan tidak bergerak sama sekali. Duduk di atas selimut pelana di ujung
koridor gua, punggung bersandar dinding, bahu terjepit di antara batu, dan menikmati diri.
Kita kenal orang-orang yang suka mencari kesendirian seperti orang saat dirundung
penyesalan, orang-orang yang mengalami kegagalan, para santo atau nabi. Umumnya
mereka menyepi ke gurun, hidup bersama serangga dan madu alam. Ada juga yang lebih
suka tinggal di gua, lubang, atau pulau terpencil. Yang lain berkutat di guagua pegunungan,
berkawan kabut dan udara dingin. Mereka melakukan semua ini agar bisa lebih dekat pada
Sang Pencipta. Kesendirian dijadikan media pertobatan dan penebusan dosa, didasari

Perfume : The Story of a Murderer

BEBERAPA HARI BERIKUTNYA ia habiskan waktu dengan bermukim di gunung, setelah


memutuskan bahwa ia tak akan meninggalkan daerah surgawi ini begitu cepat. Pertama tama ia mengendus mencari air dan menemukan sebuah arus kecil di retakan bebatuan,
sedikit di bawah puncak gunung. Memang tidak banyak, tapi kalau cukup sabar menjilat,
selama satu jam ia bisa memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Makanan ia temukan dalam
wujud kadal-kadal kecil dan ular cincin. Grenouille menjepit kepala mereka lalu memakan
mereka hidup-hidup. Ia juga makan lumut kering, rumput, serta buah berry lumut. Pola
makan seperti ini, walau tak bisa diterima olah standar borjuis, sama sekali tak menjijikkan
baginya. Dalam beberapa minggu dan bulan terakhir, ia tak lagi makan makanan hasil olahan
tangan manusia seperti roti, sosis, atau keju. Setiap kali lapar ia memakan apa saja yang
kira-kira bisa dimakan dan lewat dekat situ, tak peduli rasa. Ia lebih kenal indra penciuman
ketimbang indra pengecap, jadi tidak ada masalah. Ia juga tak butuh tempat berteduh dan
cukup puas bernaung di atas batu. Tapi tak lama sampai ia menemukan ini.

keyakinan bahwajalan hidup yang dipilih telah sesuai dengan kehendak Tuhan. Ikhlas
menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sampai kesendirian itu dipecahkan oleh
pertanda agung untuk mewartakan wahyu pada umat manusia.

Perfume : The Story of a Murderer

Tapi kasus Grenouille tidak begitu. Sama sekali tidak ada Tuhan dalam pikirannya. Ia
tidak sedang menebus dosa atau menunggu wahyu Ilahi. Kesendirian ini dilakukan murni atas
dasar kesenangan pribadi, untuk lebih dekat pada diri sendiri. Tidak lagi terganggu oleh halhal eksternal. Ia puas dengan diri sendiri dan sangat suka begini. Berbaring di atas batu
seperti mayat, nyaris tak bernapas dan jantung nyaris tak berdetak, tapi tetap merasa
menjalani hidup lebih intensif dan ceria daripada seumur hidup tinggal di luar.

Dua Puluh Enam

Kadang, kalau racun batin ini sedang cukup baik hati menyingkir dari ingatan, ia
membiarkan diri hanyut sesaat ke momen awal manisnya hidup saat di tempat Grimal
teringat pada kepulan aroma daging, kulit mentah, dan kubangan penyamakan, atau
membayangkan kumpulan aroma 600 ribu penduduk Paris di akhir musim panas yang pengap
dan gerah.
Lalu seketika itu, seluruh kebencian yang terpendam meledak sedemikian rupa-titik
kulminasi dari tahun-tahun awal latihan mendayagunakan keajaiban penciuman. Seperti
hujan badai disertai gemuruh petir ia menggulung semua ingatan aroma yang selama ini
begitu merendahkan hidung ningratnya. Ia lemparkan seperti hujan batu es mengguyur
ladang padi. Seperti angin topan ia mengacak-acak aroma-aroma tersebut, dan
menenggelamkan mereka dalam banjir bandang penyucian. Kemarahan ini terasa begitu adil
dan manis.Dendam kesumatnya terbalas pada saat ini. Ah, sungguh momen yang agung.
Tubuh Grenouille menggeliat kesenangan dan terangkat begitu tinggi sampai kepalanya
membentur atap gua, lalu mereda dan kembali rebah seperti orang kekenyangan. Sungguh
terlalu menyenangkan aksi vulkanik ini karena mampu menghapus seluruh ingatan aroma
yang tidak enak. Begitu terus rutinitas favorit Grenouille, berulang-ulang tanpa henti di
relung teater jagatnya yang terdalam. Melemparkannya ke kelelahan yang manis dari
ledakan pembenaran diri, seperti seorang pahlawan usai berbuat kebajikan.
Kini ia bisa istirahat sejenak dengan nurani jernih. Ia mengulatseluas yang bisa
dijangkau tubuhnya di koridor gua nan sempit itu. Keterbatasan fisik ini tak bisa disamai
dengan karpet bersih dalam batin, di mana ia bisa mengulat sepuas dan sekuatnya dengan
nyaman, lalu lelap lagi. Yang ada sekarang tinggal aroma-aroma menyenangkan, seperti
aroma hembusan angin gunung, misalnya. Begitu kaya dan asli, seolah terlahir dari padangpadang rumput musim semi. Lalu ada aroma angin bulan Mei yang berhembus mendesiri
dedaunan hijau dari rimba entah di mana, aroma angin laut yang terasa sedikit pahit dengan
hawa asin ikan salmon.
Sore menjelang saat ia bangkittak bisa pasti benar soal waktu di dalam gua seperti ini.
Tak ada cahaya atau bahkan kegelapan, karena sejatinya tak ada benda nyata apa pun dalam
jagat terdalam seorang Grenouille, kecuali aroma. (Itu sebabnya jagat ini diistilahkan
sebagai lanskap. Istilah ini tidak terlalu tepat, barangkali, tapi satu-satunya yang paling
mungkin karena bahasa kita memang tak bisa menjelaskan dunia aroma.) Dalam jagat jiwa
Grenouille, saat itu hari sore dan matahari berada di selatan, waktu tidur siang usai. Terik
tengah hari yang melumpuhkan perlahan menyusut, mengembalikan hawa hidup setelah
dibatasi begitu lama. Panas api dendam dan kemurkaanmusuh utama wewangian agung
telah menyingkir, dan kawanan iblis dalam batin telah diberangus. Lanskap yang tersisa
dalam hatinya kini melayangkan kelembutan dan mengkilap di bawah lapisan gairah

Perfume : The Story of a Murderer

KATA PANGGUNG UNTUK pesta batin ini tidak lain dan tidak bukan bersumber dari
kerajaan hati yang paling dalam. Tempat ia memendam lapisan demi lapisan aroma yang
ditemui sejak lahir. Mood awal dibangun dengan mengingat kembali ingatan-ingatan paling
awal dan terpendam: hawa permusuhan di kamar tidur Madame Gaillard, tangan-tangannya
yang kurus kering; napas cuka apel Bapa Terrier; manisnya hawa keibuan Bussie sang ibu
susu; aroma bangkai tanah pekuburan Cimetires des Innocents; dan hawa-membunuh
ibunya. Ingatan-ingatan horor ini membuat Grenouille berkubang dalam keseganan dan rasa
jijik sampai merinding.

kedamaian yang menandai momen kebangkitanmenanti uluran tangan sang majikan untuk
datang menyambut.
Grenouille serta-merta bangkit, mengusir sisa kantuk dari tubuh. Dalam pikiran dan
perasaan terdalam, sang Grenouille berdiri menjulang. Seperti raksasa yang dirawat sendiri
dalam segala kebesaran dan kemegahan, sempurna dalam pandangansayang sekali tak ada
yang melihat. Dan lihatlah ia: begitu angkuh dan agung.

Demi melihat betapa bagusnya semua ini, dan ketika seluruh bumi telah sesak oleh
berkah benih, Yang Mulia kemudian menurunkan hujan semangat nan lembut dan tanpa
putus. Dari segala arah benihbenih itu mulai berkecambah, bertunas, membuncahkan
taman surga yang mendamaikan hatinya. Seantero padang bergulung ombak wewangian nan
mewah, lengkap dengan taman-taman tersembunyi yang menyimpan batang-batang pohon
sarat getah, meledak bermekaran dengan indah.
Kemudian Grenouille Yang Agung memerintahkan hujan untuk berhenti. Dan
demikianlah. Lalu ia menyuruh matahari untuk mewartakan senyum lembutnya ke seantero
padang. Bila jatuh padi sebuah kuncup, niscaya akan merebak. Tak lupa Grenouille memberi
sentuhan pelangi dengan karpet warna yang ditenun dari berbagai jenis kapsul wewangian.
Grenouille Yang Agung melihat betapa sangat bagusnya hal ini, lalu mengirim angin napasnya
untuk bertiup ke seluruh padang. Mekaran-mekaran yang tersentuh segera menumpahkan
diri dengan wewangian dan saling mencampur aroma masingmasing menjadi sebuah aroma
tunggal yang terus berubah dalam keanekaragaman, bergulung berfusi menjadi aroma
pemujaan universal kepada Grenouille. Grenouille Yang Agung, Yang Tak Terbandingkan dan
Terelok, bertahta di awan beraroma emas, menghirup napasnya kembali, sangat puas
dengan persembahan tersebut. Ia berkenan memberkahi makhluknya beberapa kali lipat,
yang lantas dijawab dengan nyanyian puja-puji, rasa syukur, dan ledakan aroma yang lebih
megah lagi. Saat sore menjelang, aroma itu masih terus tumpah dan bersatu dengan birunya
malam, membentuk udara yang lebih fantastis lagi. Sebuah pesta aroma agung telah
menunggu, bersama sebuah ledakan besar semburan aroma bernuansa kembang api yang
butirannya berkilau seperti permata.
Namun Grenouille Yang Agung merasa agak lelah. Ia menguap dan berkata, Wahai, telah
kulakukan hal yang luar biasa, dan aku senang karenanya. Tapi sebagaimana semua
pekerjaan saat selesai, kiranya ini mulai terasa membosankan. Aku akan undur diri. Sebagal
puncak acara, akan kusimpan satu kesenangan kecil ke dalam hatiku. Demikianlah
Grenouille Yang Agung bersabda. Sementara warga jagat aroma berdansa dan berpesta di
bawahnya, ia meluncur dengan kepakan sayap terentang lebar dari singgasana awan emas,
melintasi padang jiwanya yang gelap, dan pulang ke hatinya.

Perfume : The Story of a Murderer

Ya! Inilah kerajaannya! Kerajaan tanpa tanding seorang Grenouille! Yang tercipta dan
diperintah olehnya, yang bisa dihancurkan kapan saja ia mau, untuk kemudian bangkit lagi,
dibuat menjadi tidak terbatas dan dipertahankan dengan pedang api dari segala
pengganggu. Di sini kehendaknya adalah mutlak. Kehendak sang Grenouille Yang Agung,
indah, dan tak terbandingkan. Setelah berhasil mengenyahkan aroma busuk masa lalu, ia
ingin kerajaannya harum semerbak. Dengan langkah-langkah besar ia lewati padang rendah
untuk menabur berbagai rupa wewangian. Di sana dan di sini sesuka hati, di bentangan
ladang dalam dimensi-dimensi tak berbatas, di bidang-bidang kecil, menabur benih atau
menjejalkan sendiri satu demi satu ke lokasi-lokasi terpilih. Di tempat terjauh dalam
kerajaan itu, Grenouille Yang Agung menjadi seorang tukang kebun yang gigih, giat berlarian
ke sana kemari sampai tak sejengkal tanah pun yang luput ditebari wewangian.

Dua Puluh Tujuh


AH, SUNGGUH MENYENANGKAN pulang ke rumah! Peran ganda sebagai pembalas dendam
dan pencipta jagat sungguh melelahkan. Kendati lantas dirayakan selama berjam -jam oleh
hasil ciptaan juga belum Cukup meredakan kelelahan. Grenouille Yang Agung kini
merindukan sedikit kesenangan domestik.

Kamar-kamar pribadi yang jumlahnya seribu itu dipenuhi rak dari lantai sampai ke langitlangit, berisi seluruh aroma yang dikumpulkan Grenouille seumur hidup. Jumlahnya ada
beberapa juta. Yang terbaik disimpan dalam tong-tong di gudang loteng. Seperti anggur,
setelah cukup lama disimpan aroma-aroma ini akan dipindah ke dalam botol yang disusun
berjejer bermil-mil sepanjang koridor puri, disusun berdasarkan tahun dan ting katan
tertentu. Begitu banyak sampai tak mungkin dihabiskan semuapun bila memakan waktu
seumur hidup untuk itu.
Begitu Jean-Baptiste kembali ke rumah, berbaring di sofa sederhana nan empuk di ruang
duduk berwarna ungu, barulah ia benarbenar beristirahat. Tangan Grenouille bertepuk
memanggil para pelayan. Sosok-sosok penurut ini tidak terlihat, tak bisa diraba, tidak
bersuara, dan tentu saja tidak berbausungguh gambaran pelayan imajiner sejati.
Grenouille memerintahkan mereka pergi ke kamar pribadi dan mengambil. sebotol ini atau
sebotol itu dari pustaka aroma, juga ke gudang loteng untuk mengambil minuman. Pelayanpelayan imajiner itu bergegas, sementara perut Grenouille keram menanti penuh harap.
Mendadak ia merasa seperti seorang pemabuk yang cemas kalau pesanan brendinya, entah
bagaimana, tidak ada. Bagaimana kalau gudang loteng atau pustaka aroma itu mendadak
kosong? Atau anggur dalam tong-tong itu mendadak masam? Kenapa mereka membiarkannya
menunggu? Kenapa mereka tidak datang juga? Ia butuh pesanan itu sekarang. Amat sangat.
Ia ketagihan dan bakal mati di tempat kalau tidak segera mendapatkannya.
Tenangkan dirimu, Jean-Baptiste! Tenanglah, kawan! Mereka pasti datang membawakan
pesananmu. Pelayan-pelayan seperti terbang mempersembahkan permintaan. Membawa
buku aroma di atas nampan tak terlihat, tangan-tangan bersaput mereka yang juga tak
terlihat membawakan botol-botol berharga itu, meletakkan di lantai dengan sangat hatihati, membungkuk hormat, lalu menghilang.
Kini akhirnya ia sendirian lagi. Tangan Jean-Baptiste meraih, membuka botol pertama,
menuang penuh-penuh sampai ke bibir gelas, menariknya ke mulut dan meminum sampai
habis. Segelas penuh aroma dingin ia habiskan dalam sekali teguk. Hmm... nikmat sekali.
Begitu segarnya sampai mata Jean-Baptiste berlinang bahagia. Segera ia menuang segelas
lagi. Aroma dari tahun 1752, dipanen saat musim semi, sebelum matahari terbit di Pont Royal. Waktu itu hidungnya dituntun ke arah barat, di mana angin semilir membawa aroma
laut, hutan, serta sedikit sentuhan tar dari kapal-kapal tongkang yang terikat di pinggir
sungai. Ini adalah aroma di penghujung malam pertama ia menghabiskan waktu berkeliling
Paris tanpa izin Grimal. Aroma segar dari hari baru berikutnya. Fajar pertama yang pernah

Perfume : The Story of a Murderer

Hatinya adalah sebuah puri berwarna ungu. Terletak di sebuah padang bertaburan
karang, tertutup bukit-bukit pasir, dikelilingi oasis berawa, dan didirikan di belakang
dinding-dinding batu. Puri ini hanya bisa dicapai dari udara. Memiliki seribu kamar pribadi,
seribu ruangan bawah tanah, dan seribu ruang duduk nan elegan yang salah satunya berisi
sebuah sofa ungu tempat Grenouille tak lagi menjadi Grenouille Yang Agung, tapi kembali
menjadi Grenouille biasa, atau barangkali lebih tepat disebut sebagai Jean-Baptiste. Di
sanalah ia beristirahat.

diendusnya dalam kebebasan. Tak heran jika kini jadi lambang kebebasan. Lambang sebuah
kehidupan yang berbeda. Aroma harapan bagi Grenouille. Ia jaga dengan sangat hati-hati
dan diminum setiap hari.

Ini dilakukannya sambil terus menenggak aroma tanpa putus. Setelah botol berisi aroma
harapan, ia membuka yang lain dari tahun 1744, berisi kehangatan aroma kayu di muka
rumah Madame Gaillard. Setelah itu ia melahap sebotol aroma sore musim panas, diimbuhi
parfum dan sarat percik aroma dari pinggiran sebuah taman di Saint-Germain-des-Prs,
bertahun 1753.
Grenouille minum sampai mabuk. Kaki dan tangan terasa makin berat tergeletak di sofa.
Pikiran nyaman dalam kabut. Tapi pesta belum berakhir. Mata memang sudah tak kuat
membaca dan jemarinya juga sudah tak kuat memegang buku, tapi ia belum ingin menyerah
sebelum menandaskan satu botol lagi. Aroma terbaik yang pernah ada. Aroma si gadis dari
jalan Marais....
Ia minum dengan takzim dan punggung tegak di atas sofa, walau sulit dan ruang duduk
serasa berputar setiap kali ia bergerak. Seperti anak kecil di ruang kelas ia merapatkan
kedua lutut, kaki lurus bersisian dan tangan kiri bersandar rapi di atas paha kiri. Begitulah
si kecil Grenouille menenggak aroma yang paling berharga. Segelas demi segelas dan merasa
makin sedih setiap kalinya. Ia sadar sudah minum terlalu banyak. Sadar tak akan bisa
menahan aroma lezat sebanyak itu. Tapi ia terus minum sampai botol kering. Ingatannya
melayang ke perjalanan menyusuri gang gelap dari jalan raya ke pekarangan samping rumah
dan akhirnya tiba di bawah penerangan teras belakang. Si gadis duduk mengupas plum
kuning. Di kejauhan, petasan roket dan desis kembang api membahana....
Grenouille meletakkan gelas dan duduk bergeming selama beberapa menit. Kaku oleh
nostalgia dan aroma, sampai rasa terakhir lenyap dari langit-langit mulut. Pandangan dan
kepala terasa kosong, lalu ia ambruk ke sofa dan mulai mendengkur.
Tepat saat itu, Grenouille yang lain juga lelap di atas selimut pelana. Sama lelapnya
dengan Grenouille imajiner tadi. Segala tindaklaku, dan kelelahan luar biasa yang dirasakan
oleh Grenouille Yang Agung juga persis dirasakan oleh Grenouille yang asli.
Saat bangun tentu saja ia tidak berada di ruang duduk atau puri ungu atau padang aroma
batin tadi, tapi dalam gua batu pengap di ujung terowongan, di atas tanah keras, dalam
kegelapan. Mual oleh lapar dan haus, kedinginan dan sengsara seperti seorang pemabuk
setelah semalam suntuk pesta minuman. Grenouille merangkak keluar dari gua.
Di luar sudah hari baru lagi. Biasanya menjelang malam atau pagi. Tapi di tengah malam.
buta sekalipun, cahaya bintang serasa menusuk seperti jarum. Udara berdebu, menyengat
dan menggores paru-paru. Bentangan lanskap serasa rapuh. Grenouille berjalan tertatih
membentur batu. Bau paling samar sekalipun tercium begitu tajam dan membakar bagi
hidung yang tak biasa dengan aroma realitas. Si kutu Grenouille kini sudah sepeka petapa
saat keluar dari cangkang, bertelanjang ria menyusur pantai.

Perfume : The Story of a Murderer

Begitu gelas kedua kosong, semua kegugupan, keraguan, dan rasa tidak aman langsung
lenyap, digantikan oleh kenyamanan luar biasa. Grenouille merebahkan punggung ke sofa,
membuka sebuah buku dan mulai membaca memoarnya sendiri. Ia membaca tentang aroma
masa kecil, masa sekolah, aroma jalan raya dan ceruk tersembunyi kota Paris, juga tentang
aroma manusia. Grenouille merinding lagi teringat bau tak sedap itubau yang telah ia
musnahkan. Dengan jijik ia terus menelaah, sampai akhirnya benar-benar tak tahan dan
menutup buku kuat-kuat, menyingkirkannya dan meraih buku lain.

Ia pergi ke sumber air di retakan batu, menjilat-jilat selama satu jam. Lebih dari itu
akan sangat menyiksa. Detak waktu di alam nyata ini tak kenal berhenti dan terus membakar
kulit. Beberapa larik lumut di kupas dari bebatuan, ditelan tanpa dikunyah. Ia berjongkok
dan buang air sembari makan. Ini harus dilakukan cepat, cepat, dan cepat. Bagai makhluk
buron yang ketakutanbinatang kecil berdaging lembut. Terlebih ketika melihat burung
nazar berputar-putar di atas kepala... ia bergegas lari masuk gua, ke ujung terowongan
tempat selimut pelana tergelar. Hanya di situ ia bisa merasa aman.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille bersandar ke dinding batu, merentang kaki dan menunggu. Ia harus menahan
tubuh agar diam sediam mungkin. Perlahan ia mulai bisa menguasai napasnya. jantungnya
berdetak lebih lambat dan teratur. Dentuman gelombang dalam jiwanya perlahan menyurut.
Mendadak kesendirian serasa menusuk jantung. Grenouille menutup mata. Pintu-pintu
kegelapan dalam dirinya membuka, dan ia masuk. Pementasan berikut dari teater jiwa
Grenouille akan segera dimulai

Dua Puluh Delapan


BEGITULAH SETERUSNYA dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan demi bulan. Tanpa
henti selama tujuh tahun.

Suatu hari di musim dingin selama periode tersebut, Grenouille nyaris mati kedinginan
tanpa disadari. Selama lima hari ia berbaring di ruang tunggu ungunya dan saat terbangun
begitu kedinginan sampai tak sanggup bergerak. Ia menutup mata dan ingin agar tidur saja
sampai mati. Tapi mendadak cuaca berubah. Es mulai mencair dan ia selamat.
Pernah salju begitu tebal sampai ia tak kuat menggali untuk mengambil lumut di
bebatuan. Jadilah ia mengisi perut dari bangkaibangkai kaku kelelawar beku.
Pernah seekor burung gagak terbaring mati di mulut gua. Ia memakannya juga. Hanya
realitas dunia luar seperti ini yang ia sadari selama tujuh tahun. Ia benar-benar tak pernah
meninggalkan gunung, nyaman bergumul dengan kerajaan mimpi dan pasti bakal di sana
terus sampai mati (karena ia tak merasa kekurangan apa-apa) kalau saja tidak tertimpa
sebuah bencana yang memaksanya turun gunung. Memuntahkan Grenouille kembali ke
dunia.

Perfume : The Story of a Murderer

Sementara itu, dunia dilanda perang dunia. Manusia berperang di Silesia dan Saxony, di
Hanover dan Low Countries, Bohemia dan Pomerania. Bala tentara Raja berguguran di Hesse
dan Westphalia, di Kepulauan Balearic, di India, di Mississippi, dan di Kanadaitu pun kalau
tidak lebih dulu ambruk terserang tifus dalam perjalanan. Perang merampas hidup lebih dari
sejuta orang. Prancis kehilangan daerah koloni, dan negara-negara lain kehilangan begitu
banyak uang sampai akhirnya memutuskan dengan berat hati untuk mengakhiri perang.

Dua Puluh Sembilan


BENCANA YANG DIMAKSUD bukan gempa bumi, bukan kebakaran hutan, bukan tanah
longsor atau gua runtuh. Sama sekali bukan bencana eksternal, tapi internal. Dan kebetulan
sangat menekan batin karena mampu menutup media pelarian favorit Grenouille. Ini terjadi
sewaktu tidur, atau lebih tepat dalam mimpinya, selagi ia berada di kerajaan aroma.

Walau tahu bahwa ini bau tubuh sendiri, tapi sungguh sangat tidak sedap dan tak
tertahankan. Sialnya, meski tak tahan bau ini, Grenouille malah tenggelam makin dalam. Ia
tak kuat mencium bau tubuhnya sendiri!
Grenouille menjerit seperti orang dibakar hidup-hidup. Jeritan itu mendobrak dinding
ruang duduk, meluluhkan dinding puri, dan melesat meruntuhkan seluruh jagat imajiner
dalam jiwanya seperti badai api. Melolong keluar dari mulut gua ke lorong gua dan menyebar
ke seantero dataran Saint-Flourseolah gunung itu sendiri yang menjerit. Grenouille
terbangun dalam jeritan. Ia langsung melompat meronta ke sana kemari, berusaha mengusir
kabut pikiran yang mencekik. Ia amat sangat ketakutan. Seluruh tubuh menggigil oleh
perasaan takut mati. Kalau jeritannya tak cukup kuat merobek kabut itu, ia pasti sudah
tenggelam. Brr.. sungguh kematian yang mengerikan. Badannya gemetar lagi setiap kali
teringat. Dan sementara duduk menenangkan diri, batinnya mendeburkan keyakinan baru:
ia harus mengubah jalan hidup. Tak sudi mengulang mimpi seperti itu untuk kedua kali. Ia
pasti mati kalau sampai terulang.
Grenouille menyambar selimut pelana, menutupi bahunya, lalu merayap keluar. Fajar
sudah menyingsing. Suatu pagi di akhir Februari. Matahari bersinar cerah. Bumi
mengepulkan aroma batu lembap, lumut, dan air. Angin menisikkan semilir bunga
anemones. Grenouille berjongkok di depan gua. Cahaya matahari menghangatkan tubuh,
bersama dengan tarikan napas menghirup udara segar. Ia masih gemetar setiap kali teringat
kabut mimpi tadi. Tapi gemetar yang sama juga ia nikmati dari kehangatan cahaya matahari
yang menyapa punggung. Lega rasanya mendapati bahwa dunia luar masih ada setidaknya
buat tempat mengungsi. Apa jadinya kalau waktu keluar gua tadi dunia sudah musnah! Tak
ada cahaya, tak ada aroma, tak ada apa punhanya kabut mengerikan di dalam, di luar, di
mana-mana....
Perlahan rasa kagetnya menyurut. Perlahan pula kegelisahan mereda, dan Grenouille
mulai merasa lebih aman. Menjelang siang ia kembali ke jiwa lama sebagai sosok berdarah
dingin. Grenouille merapatkan jari tengah dan telunjuk tangan kiri ke bawah hidung, lalu
bernapas sepanjang punggung kedua jari itu. Ia bisa mencium udara musim semi yang basah
bercampur aroma anemones, capi tak mencium bau apa pun dari jemarinya. Grenouille

Perfume : The Story of a Murderer

Saat itu ia sedang tidur di sofa ungu di ruang duduk seperti biasa, dengan botol-botol
aroma berserakan di sana-sini. Ia telah minum sangat banyak, plus dua botol aroma si gadis
berambut merah sebagai penutup. Tampaknya pesta kali ini sedemikian kelewatan, karena
meskipun tidurnya sudah seperti orang mati, tapi tidak dibarengi mimpi indah seperti biasa.
Mimpi yang datang berupa gumpalan-gumpalan kabut serupa hantu. Grenouille mengenali
kabut itu sebagai potonganpotongan aroma. Awalnya melayang -layang dalam rajutanrajutan tipis melewati hidung, tapi lama-lama makin tebal dan mengawan. Lalu mendadak
ia seperti berdiri persis di tengah-tengah kabut yang terus menebal, merambat naik
perlahan sampai sepenuhnya membungkusnya, menggulung begitu rupa dan membuatnya
sulit bernapas. Ia terpaksa menghirup napas kalau tak mau tercekik. Saat itulah batin
Grenouille berkata bahwa ini adalah aroma tubuhnya sendiri.

Grenouille mulai membuka pakaian satu per satu. Sudah dekil, kumal, dan sobek-sobek
karena tujuh tahun tak pernah dilepas. Aromanya pasti sudah sangat bercampur dengan
aroma tubuhnya sendiri. Ia menumpuk pakaian di depan gua dan berjalan menjauh. Seperti
tujuh tahun lalu ia memanjat lagi ke puncak gunung. Ia berdiri persis di tempat yang sama
waktu pertama kali datang, mengangkat hidung ke arah barat, dan membiarkan angin
menyisiri tubuh. Ia berniat mengangkat diri ke udara semaksimal mungkin. Memompa badan
ke angin baratke arah aroma laut dan padang basah, agar bisa dijadikan semacam
penyeimbang terhadap bau badan. Menciptakan gradient antara tubuh dengan pakaian yang
baru saja dilepas, agar bisa dicium lebih jelas. Dan agar hidung tidak terkontaminasi oleh
bau tubuh, ia mencondongkan diri sedemikian rupa ke arah angin, dengan tangan terjulur
ke belakang, seperti perenang sebelum mencebur ke air.
Pose konyol ini bertahan selama beberapa jam. Kulit Grenouille yang pucat karena
jarang kena matahari memerah seperti udang rebus. Menjelang sore ia kembali ke gua. Dari
jauh ia bisa melihat pakaiannya masih ada di tempat. Selang beberapa meter ia menutup
hidung dan membukanya lagi setelah berada persis di dekat tumpukan pakaian. Ia mencoba
teknik mengendus gaya Baldinimencuri udara dengan cepat lalu dilepas lagi penuh-penuh.
Untuk menangkap aroma, ia menangkup tangan membentuk lonceng di sekitar pakaian,
dengan hidung menempel di atas jempol. Segala kemungkinan dijajal demi mengekstraksi
aroma dari pakaian, tapi yang dicari tak kunjung tercium. Tampaknya memang tak ada di
situ. Aroma lain bisa dijejaki dengan mudah, seperti aroma bebatuan, pasir, lumut, getah,
darah burung gagak, bahkan bau sosis yang ia beli bertahun-tahun lalu dekat Sully juga masih
tercium jelas. Tumpukan pakaian ini menyimpan jurnal penciuman dari tujuh sampai
delapan tahun lalu. Hanya satu aroma yang tak ada: bau badannya sendiriorang yang
mengenakan pakaian itu sepanjang waktu.
Sekarang ia benar-benar mulai cemas. Matahari telah tenggelam dan ia masih berdiri
telanjang di pintu gua, yang telah dihuninya dalam kegelapan selama tujuh tahun ini. Angin
dingin bertiup. Tapi rasa dingin yang muncul datang dari rasa takut. Tak seperti kengerian
yang dirasakannya saat bermimpiyang satu ini harus selalu dihindari dengan segala cara.
Rasa takut yang dihadapi sekarang hadir dari kesadaran bahwa ternyata ia tak terlalu
mengenal diri sendiri. Ia tak bisa melarikan diri, tapi juga tak ragu melangkah lebih dekat.
Ia malah merasa harus memastikan lebih jauhpun bila harus berujung dengan kenyataan
bahwa ia memang tidak memiliki bau. Apa pun itu, ia harus tahu sekarang juga.
Grenouille masuk ke gua. Gelap memang, tapi seperti biasa ia selalu bisa menentukan
arah layaknya siang hari. Lagi pula ia sudah ribuan kali melewati jalan itu. Tahu setiap
jengkal dan kelokan, dapat membaui setiap stalagmit dan stalagmitnya. Sama sekali tidak
sulit menentukan arah. Yang sulit adalah perjuangan melawan ingatan ihwal mimpi
mencekik yang makin meninggi setiap langkah. Tapi Grenouille bukan pengecutsetidaknya

Perfume : The Story of a Murderer

membalik tangan dan mencium telapaknya. Ia bisa merasakan kehangatan yang memancar
tapi tak mencium apa pun. Lalu ia menggulung lengan baju dan mengubur hidung di lipatan
siku. Ia tahu ini lokasi yang biasanya jadi salah satu sumber bau manusia, tapi ia tetap tak
mencium apa pun. Ia tak mencium apa-apa di ketiak, tidak pula di kaki atau sekitar
kemaluan walau telah membungkuk sedekat mungkin. Aneh sekali. Ia, Grenouille, mampu
mencium orang lain dari jarak bermil-mil, tapi tak mampu mengendus kemaluan sendiri dari
jarak tak sampai serentangan tangan! Grenouille tidak lantas panik, tapi menanggapi dengan
dingin dan berkomentar sendiri, Bukannya aku tidak berbau, karena segala sesuatu pasti
mengeluarkan aroma. Tampaknya aku tak bisa mencium aromaku sendiri karena sudah
sangat terbiasa sejak lahir. Hidungku jadi kebal. Kalau aku bisa memilah-milah aromaku
atau setidaknya sebagian dari itu, lalu mencoba lagi, pasti bisa. Begitulah adanya aku.

Ia terus berjongkok selama beberapa waktu. Dengan tenang, mengangguk-angguk


lembut. Lalu ia berbalik dan berjalan. Semula membungkuk, sampai terowongan
memungkinkannya untuk berdiri tegak, dan terus ke udara terbuka.
Di luar gua, Grenouffle mengemasi buntelnya (jangan tanya sepatu, karena sudah hancur
sejak bertahun-tahun lalu), melingkari selimut pelana ke sekeliling bahu, dan malam itu
juga pergi meninggalkan Plomb du Cantal, ke arah selatan.

Perfume : The Story of a Murderer

dari sudut pandang perjuangan melawan rasa takut terhadap kesadaran bahwa ia tak tahu
banyak tentang diri sendiri. Grenouille bisa menang karena sadar tak punya pilihan lain.
Tiba di ujung terowongan, di tempat karang-karang menjulang miring ke atas, rasa takut itu
menghilang. Ia merasa tenang, berpikir jernih dan hidung setajam pisau. Grenouille
berjongkok, meletakkan tangan menutup mata dan mengendus. Di tempat ini ia berkubang
selama tujuh tahun. Sedikit banyak pasti ada aroma tubuh yang tertinggal. Melebihi tempat
lain di dunia. Grenouille bernapas perlahan, mencoba menganalisis setepat mungkin,
mengizinkan diri untuk menilai. Selama seperempat jam ia berjongkok di situ. Memorinya
sempurna dan ia tahu persis bagaimana bau tempat ini tujuh tahun yang lalu: aroma
bebatuan nan lembap, asin, dingin, dan begitu bersih-sangat pasti tak pernah ditempati
makhluk hidup lain baik manusia ataupun binatang.... Persis dengan aroma yang ia cium
sekarang.

Tiga Puluh
PENAMPILAN GRENOUILLE TAK KERUAN. Rambut panjang mengijuk sampai ke lutut,
janggut sampai ke pusar, kuku panjang-panjang seperti cakar burung, kulit di kedua lengan
dan kaki (yang tidak tertutup pakaian) mengelupas kemerahan.

Di usia empat puluh tahun, sang Marquis tak lagi peduli pada kehidupan istana di
Versailles dan lebih suka menyepi. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan.
Goresan penanya melahirkan banyak karya penting seputar dinamika ekonomi-politik,
termasuk usulan penghapusan pajak tempat tinggal dan hasil-hasil pertanian. Sebagai
gantinya, ia memperkenalkan metode pajak pendapatan progresif terbalik yang akan sangat
memberatkan masyarakat termiskin dan memaksa mereka untuk lebih giat mengusahakan
kegiatan ekonomi. Terdorong oleh kesuksesan buku ini, ia menulis sebuah risalah tentang
bagaimana mendidik anak-anak lelaki dan perempuan usia lima sampai sepuluh tahun.
Kemudian ia beralih ke eksperimen di bidang peternakan. Dengan menebar benih sapi jantan
ke berbagai jenis rumput, ia mencoba menghasilkan hibrida antara sayuran dengan binatang
penghasil susu. Setelah sukses membuat keju dan rumput susu ciptaannyaseperti
dijelaskan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Lyon sebagai, bercita rasa susu kambing, walau
agak pahitia terpaksa meninggalkan eksperimen itu karena mahalnya biaya menebar
benih banteng ke ratusan hektar ladang rumput. Kendati demikian, keseriusan menekuni
bidang agrobiologi telah membangkitkan minat tak hanya pada binatang pembajak sawah,
tapi juga pada bumi dan keterkaitannya dengan biosfer itu sendiri.
Ia belum lagi usai menuntaskan penelitian tentang hibrida tanaman-binatang ketika
mendadak terserang demam riset gila-gilaan untuk membuat risalah agung mengenai
hubungan antara kedekatan makhluk hidup terhadap bumi dan energi kehidupan. Tesisnya
menyatakan bahwa kehidupan hanya mampu berkembang pada jarak tertentu..dari bumi,
karena bumi secara terus-menerus mengeluarkan gas perusak (disebut sebagai fluidum
letale) yang melemahkan daya hidup, dan cepat atau lambatbahkan berpotensi
memusnahkan daya hidup tersebut. Itu sebabnya semua makhluk hidup secara naluriah
berusaha menjauhkan diri dari bumi melalui proses pertumbuhanmaksudnya bahwa kita

Perfume : The Story of a Murderer

Manusia pertama yang ia temui adalah para petani di ladang dekat kota Pierrefort.
Mereka langsung lari ketakutan. Tapi begitu tiba di kota, ia malah jadi tontonan. Ratusan
orang merubung ternganga. Banyak yang percaya bahwa ia pasti budak pelarian sebuah
kapal dagang. Yang lain bilang ia bukan manusia, tapi gabungan antara manusia dengan
beruang atau makhluk ajaib dari hutan. Seorang pelaut menyatakan bahwa ia tampak seperti
Indian Cayenne dari seberang lautan. Ia lantas digiring menghadap wali kota. Di sana sekali
lagi ia mengejutkan semua orang saat mengeluarkan surat-surat status sebagai seorang ahli,
membuka mulut dan berkata-kata dengan suara tidak terlalu jelas karena ini pertama
kalinya ia berbicara pada orang lain setelah tujuh tahun. Grenouille mengutarakan
bagaimana ia diserang perampok, diseret dan ditawan di dalam gua selama tujuh tahun.
Selama itu ia tak pernah melihat matahari atau manusia lain, diberi makan oleh tangantangan tak terlihat yang mengusung keranjang dalam gelap, dan akhirnya dibebaskan begitu
sajatanpa pernah tahu kenapa dan tanpa pernah melihat penculik ataupun penyelamatnya.
Grenouille sengaja mengarang kisah ini karena pasti akan lebih mudah dipercaya ketimbang
alasan sebenarnya. Toh waktu itu para perampok memang dikenal sering merajalela di
pegunungan Auvergne dan Languedoc, termasuk di Cvennes. Grenouille cakup puas melihat
wali kota mencatat tanpa protes, lalu mengirim laporan itu ke Marquis de la TailladeEspinasse, sang penguasa kota sekaligus anggota parlemen di kota Toulouse.

tumbuh semakin tinggi dan menjauh dari tanah, bukan mengarah ke tanah. Itu pula
sebabnya kenapa bagianbagian terpenting makhluk hidup secara alami mengarah ke atas,
seperti kuncup butir padi, mekaran bunga, kepala manusia. Dus, tubuh mulai membungkuk
dan merunduk kembali ke arah tanah selama proses penuaan, semua makhluk akhirnya
menjadi korban gas maut, untuk kemudian berubah menjadi gas itu sendiri setelah
membusuk dalam kematian.

Setiba di Montpellier, ia segera membawa Grenouille ke gudang di loteng, lalu menyebar


undangan ke seluruh anggota fakultas kedokteran, asosiasi botani, sekolah pertanian, klub
kimia terapan, Freemasons Lodge, dan kalangan terpelajar lain yang jumlahnya tak lebih
dari selusin di kota itu. Beberapa hari kemudian, persis seminggu setelah turun gunung,
Grenouille berdiri di atas podium, di aula utama Universitas Montpellier. Kepada ratusan
pengunjung yang datang ia dipersembahkan sebagai sebuah sensasi ilmiah tahun ini.
Dalam ceramah tersebut, Taillade-Espinasse menggambarkan Grenouille sebagai bukti
hidup kesahihan teorinya tentang fluidum letate. Sambil melucuti pakaian Grenouille satu
per satu ia menjelaskan efek merusak gas mematikan itu terhadap tubuh. Ia menunjuk bekas
gosong dan parut pada kulit, kanker kulit kemerahan yang amat luas di dada, bahkan bukti
efek merusak gas tersebut terhadap struktur tulang dengan mengacu pada kepincangan dan
kebongkokan Grenouille. Organ internal juga ditunjuk sebagai korban, seperti pankreas,
hati, paru-paru, kandung kemih, dan sistem pencernaan. Analisis ini dibeberkan dengan
sebaskom penuh contoh organ-organ tersebut, di kaki podium. Ringkasnya, tak diragukan
lagi bahwa kelumpuhan daya hidup yang disebabkan oleh kontaminasi fluidum letale selama
tujuh tahun telah sedemikian parah sampai si korbanyang penampilan luarnya memang
lebih mirip tikus ketimbang manusiabisa dikatakan sebagai makhluk di ambang kematian.
Namun demikian, sang Marquis meyakinkan bahwa hanya dalam waktu delapan hari, dengan
memakai alat terapi ventilasi plus diet ketat, ia mampu menyembuhkan makhluk malang

Perfume : The Story of a Murderer

Ketika Marquis de la Taillade-Espinasse menerima kabar bahwa di Pierrefort ada orang


yang pernah mendekam di gua selama tujuh tahunitu artinya benar-benar terbungkus oleh
elemen perusak dari bumi, ia girang bukan kepalang dan segera memboyong Grenouille ke
laboratoriumnya, untuk dijadikan objek penelitian. Ia menemukan bahwa teorinya terbukti
benar. Bahkan tampak secara visual. Gas fluidum letale telah begitu parah menyerang
Grenouille sampai tubuh berusia 25 tahun itu jelas-jelas menunjukkan gejala penuaan.
TailladeEspinasse menegaskan bahwa Grenouille bisa lolos dari kematian karena selama
dikurung ia diberi makan tanaman penyingkir elemen bumi secara teratur, kemungkinan
berupa roti dan buah-buahan. Kondisi fisik Grenouille hanya bisa dipulihkan melalui
pengusiran sepenuhnya unsur fluidum, menggunakan mesin ventilasi khusus ciptaan
Taillade-Espinasse. Alat itu tersimpan di rumah mewahnya di Montpellier. Kalau Grenouille
bersedia merelakan dirinya menjadi objek demonstrasi ilmiah, ia tak hanya akan membantu
melenyapkan kontaminasi gas beracun, tapi juga memberi Grenouille banyak uang. Dua jam
kemudian mereka duduk bersama di kereta kuda. Meski kondisi jalan amat buruk, mereka
berhasil menempuh jarak 64 mil ke Montpellier hanya dalam dua hari. Sang Marquis
mendayagunakan wewenang kebangsawanannya untuk melecut kuda dan saisnya sampai
maksimal. Bahkan tak sungkan membantu membetulkan roda patah atau pelana putus.
Begitu bergairahnya ia dengan temuan ini dan begitu ingin menampilkannya di hadapan
publik sesegera mungkin. Grenouille sendiri tak sekalipun diizinkan beranjak dari kereta. Ia
dipaksa terus duduk, dibungkus pakaian perca dan selimut pelana yang kumal oleh tanah
dan lumpur. Selama perjalanan ia diberi umbi mentah sebagai pengganjal perut. Sang
Marquis berharap prosedur ini mampu mempertahankan status kontaminasi fluidum untuk
sementara.

ini, mengarah kepada titik bukti berikutnya bahwa penyembuhan total tetap bisa diterapkan
bagi siapa saja. Dus, ia mengundang hadirin untuk datang lagi minggu depan dan
menyaksikan kesuksesan prognosis inidengan catatan tentu saja, bahwa paparan saat itu
harus dipandang sebagai bukti tak terbantahkan dari kebenaran teori Marquis tentang gas
fluidum dari bumi.

Seusai demonstrasi, Taillade-Espinasse bergegas mengepak dan memboyong Grenouille


kembali ke gudang di loteng rumah. Lalu di hadapan beberapa dokter terpilih dari fakultas
kedokteran ia mengunci Grenouille dalam mesin ventilasinyasebuah kamar sempit terbuat
dari papan-papan pinus yang dijalin rapat. Sebuah corong pengisap dipasang di atasnya,
mencuat sampai ke atap rumah. Corong ini berfungsi mengisap udara dari langit, bebas dari
gas maut. Udara ini lalu dialirkan keluar melalui sebuah katup buka-tutup dari kulit yang
dipasang di lantai. Seorang pelayan ditugasi mengoperasikan dan mengawasi siang-malam,
agar ventilator di dalam corong tidak berhenti memompa. Demikianlah, Grenouille kini
dikelilingi arus udara yang disaring terus-menerus, diberi menu diet penyingkir racun bumi
berupa kaldu daging burung dara, pai burung pipit, daging cincang bebek liar, buah-buahan
segar yang dipetik langsung dari pohon, roti gandum yang khusus dikukus di ketinggian,
anggur Pyrenees, susu kambing, dan krim beku dari telur ayam betina yang diternak di loteng
rumah. Semua disajikan selang beberapa jam melalui sebuah pintu bertekanan berdinding
ganda di sisi mesin.
Kombinasi perawatan dekontaminasi dan revitalisasi fisik ini berlangsung selama lima
hari. Pada hari keenam sang Marquis mematikan ventilator, membawa Grenouille ke kamar
bilas untuk dimandikan selama beberapa jam dalam sebuah bak berisi air hujan yang
dihangatkan, dan terakhir membedaki tubuh dari kepala sampai kaki dengan sabun cair
khusus dari Potosi di pegunungan Andes. Kuku jari tangan dan kaki dipotong rapi, gigi
dibersihkan dengan limau pembersih dari Dolomites. Setelah itu cakur jenggot, potong
rambut, disisiri, ditata, dan dibedaki. Penjahit dan tukang sepatu juga didatangkan.
Grenouille dibuatkan kemeja sutra, lengkap dengan jabot (rumbai kain) di dada dan manset,
stoking sutra, mantel panjang, celana panjang dan rompi beludru warna biru, plus sepatu
hitam gagah bermata sabuk dari kulit. Yang sebelah kanan diganjal sedemikian rupa untuk
menutupi kepincangan Grenouille. Sang Marquis turun tangan memberi riasan bedak putih
ke wajah Grenouille yang penuh parut, memberi pemerah pada pipi dan bibir, tak lupa
menebalkan alis membentuk lengkung khas para bangsawan dengan pensil alis nan lembut.
Terakhir ia memercikkan parfum favoritnya tipis-tipis beraroma violet. Sang Marquis mundur
dua langkah, mengamati hasil karyanya, dan lama memikirkan kata yang tepat
mengutarakan suka cita.
Monsieur, katanya kemudian, saya benar-benar puas. Kagum pada kegeniusan saya
sendiri. Tentu saja saya tak pernah meragukan teori saya tentang fluidum letale, apalagi

Perfume : The Story of a Murderer

Ceramah ilmiah itu sukses luar biasa. Para hadirin ramai menyambut bertepuk tangan,
lalu antre melewati podium tempat Grenouille berdiri. Dalam kondisi fisik seperti sekarang
penuh parut dan cacat bentukGrenouille memang tampak begitu mengerikan sampai orang
yakin ia tak mungkin bisa disembuhkan dan tinggal menunggu mati saja. Padahal yang punya
badan merasa sehat dan biasa saja. Banyak di antara orang -orang terpelajar itu yang
menepuk-nepuk tubuhnya atas-bawah dengan lagak profesional, mengukur, melihat ke
dalam mulut dan mata Grenouille seperti dokter. Beberapa ada yang langsung menyapa dan
bertanya tentang pengalaman selama tinggal di gua dan kondisi kesehatannya saat ini. Tapi
Grenouille bersikukuh dengan skenario Marquis dan menjawab semua pertanyaan dengan
suara seperti orang tercekik ditambah aksi gerakan tangan menunjuk ke pangkal tenggorok,
seolah mengatakan bahwa organ ini juga sudah busuk dimakan fluidum letate.

ditambah konfirmasi terapi terapan seperti ini. Telah saya ubah Anda dari binatang menjadi
manusia. Sungguh tindakan agung nan terpuji. Maaf, tapi saya benarbenar terharu!
Berdirilah di depan cermin dan pandang diri Anda sendiri. Untuk pertama kalinya Anda akan
sadar bahwa Anda adalah seorang manusia. Mungkin tidak tampan atau spesial atau apalah,
tapi tak pelak seorang manusia normal yang bisa diterima lingkungan. Silakan, Monsieur!
Pandangi dan kagumilah keajaiban yang telah saya ciptakan bersama Anda!

Grenouille melangkah ke depan cermin dan melihat keajaiban itu. Ini juga pertama
kalinya ia becermin. Di hadapannya berdiri seorang lelaki dalam balutan biru nan tampan,
dengan kemeja putih dan stoking sutra. Secara refleks ia merunduk, sebagaimana kebiasaan
untuk selalu merunduk di depan lelaki seperti itu. Si lelaki ikut merunduk. Begitu pun saat
ia tegak lagi. Keduanya saling pandang. Yang paling mencengangkan Grenouille adalah fakta
bahwa ia tampak begitu normal. Sang Marquis benar, bahwa tak ada yang spesial dari
penampilannya. Tidak tampan tapi juga tidak buruk. Biasa dan normal saja. Berpostur kecil
dan agak kaku, wajah sedikit tanpa ekspresipokoknya seperti ribuan lelaki normal lain di
dunia. Kalau sekarang ia keluar jalan-jalan pasti tak ada yang memerhatikan. Jenis orang
yang kalau bertemu di jalan tidak memberi kesan menonjol. Dan selain sedikit bau violet
serta perangkat yang dikenakan, Grenouille tak mencium apa-apa dari sosok itu.
Tak terbayangkan bahwa sepuluh hari lalu para petani berlarian menjerit ketakutan
melihatnya. Secara pribadi, Grenouille tak merasa ada perubahan antara ia yang dulu
dengan yang sekarangpun saat berpejam mata. Hirupan napasnya mengenali aroma parfum
murahan, beludru, sepatu baru, aroma sutra, bedak, riasan, dan aroma samar sabun Potosi.
Seketika ia sadar bahwa bukan makanan mewah atau omong kosong unit ventilasi yang
membuatnya tampak normal. Kenormalan itu murni datang dari balutan beberapa lembar
pakaian, potongan rambut, dan riasan kosmetik.
Grenouille berkedip membuka mata dan melihat lelaki di cermin mengedip balik. Selarik
senyum di bibir bergincu seolah menyatakan bahwa ketampanannya biasa saja. Tapi
Grenouille juga merasa bahwa lelaki di cermin itu, figur tak berbau yang didandani seperti
manusia ini, tidak terlalu jelek. Bahkan kalau kostumnya disempurnakan, mungkin cukup
berpotensi memengaruhi dunia. Jauh di luar dugaan Grenouille sendiri. Anggukan dibalas
anggukan. Begitu pun saat ia curi-curi mengembangkempiskan hidung.

Perfume : The Story of a Murderer

Itu adalah pertama kalinya seseorang memanggil Grenouille dengan sebutan monsieur.
Sebuah sapaan terhormat yang menggetarkan.

Tiga Puluh Satu


HARI BERIKUTNYA, ketika sang Marquis hendak mengajari pose-pose dasar, sikap tubuh,
dan langkah dansa yang dibutuhkan menjelang debut sosial Grenouille, si pemuda pura-pura
lemas. Berlagak sangat kelelahan dan tercekik, lalu ambruk ke sofa.

Grenouille menggeliat, batuk-batuk dan mengeluh. Menepis sapu tangan kuat-kuat dan
setelah jatuh dari sofa dengan gaya dramatis, merayap ke sudut ruangan. Jangan parfum
itu lagi! jeritnya lemah. Jangan parfum yang itu! Aku bisa mati! Taillade-Espinasse
segera membuang sapu tangan dan botol parfumnya sekalian keluar jendela. Baru setelah
itu Grenouille mau berlagak sembuh. Lalu, dengan suara makin tenang ia menjelaskan
bahwa sebagai seorang ahli parfum ia punya hidung sensitif dan selalu bereaksi terhadap
parfum tertentu, apalagi selama periode penyembuhan ini. Soal kenapa aroma violet bisa
sangat mengganggu dijelaskan karena parfum itu mengandung ekstrak akar bunga violet
berkonsentrasi tinggi yang pasti berasal dari dalam tanah dan dengan sendirinya memberi
efek buruk pada penderita fluidum letale. Kemarin saja, saat pertama kali mencium aroma
itu, ia sudah merasa tak enak. Dan hari ini aroma itu seperti membawanya kembali ke
ingatan mencekik dalam gua selama. tujuh tahun. Ia sungguh tak tahan. Kini setelah
disembuhkan secara ajaib oleh sang Marquis, ia merasa lebih baik mati daripada terserang
fluidum lagi. Mengingat bahwa parfum itu diekstraksi dari akar saja sudah cukup membuat
tubuhnya keram. Grenouille meyakinkan bahwa ia pasti bisa langsung sembuh jika Marquis
mengizinkan ia membuat parfum sendiri. Parfum yang mampu mengenyahkan sisasisa
aroma violet. Parfum baru ini sangat ringan dan beraroma udara, terbuat dari bahan-bahan
penyingkir elemen bumi seperti sari almond dan bunga pohon jeruk, minyak eukaliptus,
pinus, dan cemara. Jika dipercikkan sedikit pada pakaian, beberapa tetes di leher dan pipi,
Grenouille pasti akan kebal selamanya dari serangan memalukan yang baru saja terjadi.
Grenouille mengutarakan semua ini dalam ledakan verbal yang tak jelas, diiringi batukbatuk, napas tersengal dan kesulitan bernapas, plus aksentuasi tubuh menggigil, berkedutkedut dan mata yang diputar sedemikian rupa sampai tinggal putihnya saja yang kelihatan.
Sang Marquis sangat terkesan melihat semua ini. Meyakinkan sekali gejala dan penjelasan
yang diberikan dengan teori fluidum letale. Betapa bodohnya ia sampai tidak menyadari
soal parfum violet itu. jelas, memang sangat mengandung elemen bumi. Dia sendiri pasti
akan terinfeksi kalau memakainya bertahun-tahun. Sungguh di luar dugaan bahwa hari demi
hari ia digiring menuju kematian hanya gara-gara parfum! Lihat saja gejalanya: encok, leher
kaku, impotensi, sembelit, tekanan pada telinga, gigi busuktak diragukan lagi bahwa
semua bersumber dari racun fluidum di parfum bunga violet itu. Dan si bodoh ini, si bongkok
buruk rupa di sudut ruangan ini, telah menguak rahasia tersebut. Marquis jadi terharu. Ingin
rasanya menghambur, memeluk, dan mengangkat Grenouille penuh girang, tapi ia takut
masih terlalu banyak mengandung aroma violet. Kalau Grenouille sakit lagi bisa repot nanti.
Jadilah ia menjerit memanggil pelayan dan memerintahkan agar semua parfum bunga violet
disingkirkan, menganginkan seantero rumah, semua pakaian dicuci dari racun dengan
ventilator, dan membawa Grenouille dengan tandu saat itu juga ke pembuat parfum terbaik
di kota. Memang ini tujuan Grenouille berpura-pura sakit.

Perfume : The Story of a Murderer

Sang Marquis panik. Ia menjerit memanggil pelayan, memanggil tukang kipas dan
operator ventilator portabel. Sementara para pelayan berkelebat, ia berlutut di sisi
Grenouille, mengipasi dengan sapu tangan beraroma violet, lalu memohonbenar-benar
memohonagar Grenouille bangun dan jangan mati dulu sampai lusa demi kelangsungan
teori fluidum letale.

Laboratorium dan bengkel kerja Runel ternyata tidak selengkap milik Baldini. Seorang
ahli parfum biasa tak akan bisa berbuat banyak hanya dengan beberapa botol minyak bunga,
kolonye, dan rempahrempah, tapi hidung Grenouille yakin bahwa bahan-bahan di tempat
ini sudah cukup untuk mencapai tujuan. Toh ia tak ingin membuat parfum hebat atau
kolonye fantastis seperti yang ia buat untuk Baldini dulukolonye yang begitu terkenal dan
berkualitas jauh di atas ratarata ciptaan ahli parfum lain. Ia juga tak berniat membuat
parfum jeruk seperti bualannya pada Marquis tadi. Bahan-bahan dasar seperti minyak neroli,
eukaliptus, dan cemara akan dipakai Grenouille untuk menyamarkan aroma asli yang ingin
dibuat, yaitu aroma manusia. Ia ingin punya aroma seperti manusia normal lainpun bila itu
hanya buatan dan bersifat sementara. Grenouille mafhum bahwa setiap orang memiliki bau
khasnya sendiri-sendiri. Fakta ini jelas bagi hidung Grenouille yang mampu mengenali ribuan
aroma individual dan bisa menentukan perbedaannya pada setiap manusia sejak mereka
lahir. Kendati demikian, tetap ada tema dasar utama pada masing-masing aroma tersebut,
dan kebetulan umumnya sederhana saja, seperti aroma keju masam atau keringat, misalnya.
Tema dasar nan kaya ini ada pada semua manusia dan menciptakan aura khas individual
berbentuk awan kecil.
Aura itulah yang menjadi aroma persona pada masing-masing orang. Sangat kompleks
dan tak bisa dipersepsikan oleh kebanyakan orang. Manusia normal bahkan tak menyadari
bahwa mereka memiliki hal seperti ini. Aura yang tak bisa disamarkan atau ditutupi dengan
pakaian atau kosmetik apa pun, bahkan parfum. Aroma dasar yang merupakan emisi
primordial ini secara naluriah dikenal dan menciptakan kedekatan antar individu. Membuat
manusia merasa nyaman dan selalu ada dorongan naluri untuk tinggal bersama manusia lain,
merasa aman dan normal. Pendek kata, aroma standar ini membuat seorang manusia bisa
diterima oleh manusia lain.
Parfum aneh inilah yang dibuat Grenouille pada hari itu. Tidak seperti parfum atau
wewangian, tapi seperti manusia normal yang memancarkan bau. Sulit didefinisikan atau
dijelaskan, tapi begitulah adanya. Kalau seseorang mengendus aroma ini di kegelapan dalam
sebuah ruangan, ia bisa mengetahui bahwa ada manusia lain di ruangan itu. Kalau parfum
ini dipakai oleh manusia normal, ia akan memancarkan kesan seolah ada dua orang dalam
satu tubuhkatakanlah, makhluk aneh berpesona ganda. Sulit dijelaskan atau dijabarkan
dengan kata-kata karena secara visual (itu pun jika terlihat) akan tampak seperti bayangan
kabur dan tak fokus, seperti sesuatu di dasar danau di bawah gelombang permukaan air.
Grenouille tahu bahwa bau manusia tak akan pernah bisa ditiru secara sempurna, tapi
setidaknya yang ia buat cukuplah untuk mengelabui orang lain.
Ada sedikit kotoran kucing di balik ambang pintu yang mengarah ke halaman rumah dan
tampaknya masih lumayan segar. Grenouille mengambil setengah sendok teh kotoran itu

Perfume : The Story of a Murderer

Ilmu pembuatan parfum terhitung tradisi lawas di Montpellier, dan walau kini kalah
bersaing dengan. para ahli dari kota Grasse, masih ada beberapa ahli parfum dan pembuat
sarung tangan yang tinggal di kota itu. Sosok paling bergengsi di bidang ini adalah Runel,
yang telah lama berbisnis dengan dinasti Marquis de la Taillade-Espinasse sebagai penyedia
sabun, minyak, dan wewangian. Runel menyatakan bersedia meminjamkan studionya selama
satu jam pada si ahli parfum aneh dari Paris yang hadir bersama iringan pelayan serta tandu.
Grenouille tak mau diberi petunjuk. Ia bilang sudah cukup tahu apa yang harus dilakukan
dan akan baik-baik saja. Lantas ia mengunci diri di laboratorium selama satu jam, sementara
Runel menunggu bersama kepala rumah tangga keluarga sang Marquis sambil minum
beberapa gelas anggur di kedai minum. Di situ dengan masygul ia diberi tahu kenapa parfum
violetnya tak lagi jadi parfum favorit.

Di atas dasar aroma yang menjijikkan iniyang baunya lebih menyerupai mayat busuk
ketimbang manusia, Grenouille menggelar selapis aroma minyak segar dari permen,
lavender, terpentin, limau, dan eukaliptus, yang lalu disamarkan dan dilemahkan secara
simultan dengan wewangian dari minyak bunga seperti geranium, mawar, jeruk, dan melati.
Setelah dilarutkan kedua kalinya dengan alkohol dan sepercik cuka apel, aroma dasar yang
busuk tadi hilang. Sebenarnya tidak hilang, tapi bersifat laten dan tersamar oleh ramuan
segar di atasnya. Aneh juga bahwa sama sekali tak ada bau busuk yang tertinggal. Parfum
yang sudah jadi ini memancarkan aroma hidup yang sehat dan bersemangat.
Grenouille membuat dua flacon penuh, disumbat dan dimasukkan ke saku baju. Lalu ia
mencuci semua botol, pengaduk, corong, dan sendok bekas pakai dengan air. Dicuci hatihati dan dibilas dengan minyak almond pahit untuk membuang semua bau bekas percobaan
tadi. Terakhir, ia mengambil sebuah botol aduk lagi dan membuat lagi parfum yang sama
dengan cepat, sebagai salinan dari yang pertama. Sama-sama mengandung elemen segar
dan bebungaan tapi tidak dibangun dari aroma dasar yang busuk tadi. Kali ini ia memberi
aroma dasar konvensional dari kesturi, ambergris, setitik minyak musang dan kayu cedar.
Hasil. akhirnya sangat berbeda dari yang pertama. Lebih enak, lebih polos dan segar, karena
tidak mengandung imitasi aroma manusia. Jika manusia normal memakai parfum kedua ini
dan bercampur dengan aroma tubuhnya sendiri, hasilnya tak akan bisa dibedakan dengan
parfum Grenouille yang pertama.
Parfum kedua juga dituang ke flacon. Lalu Grenouille membuka pakaian. Parfum
pertama dipercikkan pertama kali ke pakaian, lalu ketiak, sela jempol kaki, daerah kelamin,
dada, leher, belakang telinga, dan rambut. Setelah itu ia mengenakan lagi pakaian dan
meninggalkan laboratorium.

Perfume : The Story of a Murderer

dan mencampurnya bersama beberapa tetes cuka apel dan garam halus dalam sebuah botol
aduk. Di bawah meja ia menemukan secuil keju sisa makan siang Runel. Sudah agak lama,
mulai membusuk dan berbau menyengat. Bau amis ia ambil dari tutup kaleng sarden di
belakang laboratorium, dicampur telur busuk dan minyak kastroli, amonia, pala, sisa-sisa
bekas cukur pada silet pencukur, plus gosongan kulit babi yang ditumbuk halus. Ia juga
menambahkan minyak kesturi dalam jumlah besar, baru setelah itu diaduk dalam larutan
alkohol, dibiarkan mengendap, lalu disaring ke botol kedua. Aroma hasil endapannya sangat
memuakkan. Berbau tengik seperti got, dan kalau disebar setitik saja ke udara, rasanya
seperti berdiri di tengah-tengah Paris di terik musim panas, di sudut perempatan jalan Fers
dan jalan Lingerie, muara tempat bertemunya seluruh aroma dari L es Halles, tanah
pekuburan Cimetire de Innocents dan perkampungan sekitar.

Tiga Puluh Dua


Di AMBANG PINTU RUMAH, mendadak ia merasa takut. Ini pertama kalinya ia
memancarkan aroma manusia. Baunya tidak enak dan membuat mual. Grenouille tak tahu
apakah orang lain bakal mencium seperti itu juga, karena itu ia tidak berani untuk langsung
menuju kedai minum tempat Runel dan kepala rumah tangga keluarga Marquis menunggu.
Akan lebih bijaksana kalau ia mencoba dulu aura baru ini di jalanan.

Sejak kecil Grenouille sudah terbiasa tidak diacuhkan orang. Bukan karena mereka jijik
seperti dugaannya semula, tapi lebih karena mereka tak menyadari kehadirannya. Ia tidak
memiliki aura manusia normal. Tak ada gelombang yang memancar dari tubuhnya ke
atmosfer seperti manusia normal (karenabau bisa dibaca juga sebagai gelombang kalau
menurut ilmu fisika). Ibarat kata, ia tak punya bayangan yang terpantul ke manusia lain.
Hanya kalau kebetulan bertubrukan saja mereka menoleh. Itu pun hanya sesaat. Beberapa
detik berisi pandangan seolah melihat makhluk aneh yang mestinya tidak adamakhluk yang
walau secara visual ada, tapi secara rasa tidak ada. Setelah itu berjalan lagi tanpa
menoleh dan melupakan Grenouille sama sekali.
Tapi lihatlah sekarang, di jalan kota Montpellier ini Grenouille merasa dan melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa ia memberi kesan pada orang yang dilewati. Setiap
langkah semakin menumbuhkan percaya diri dan kebanggaan yang mengguyur seperti
manusia gurun bertemu air. Ketika melewati seorang wanita yang sedang menimba air di
sumur, Grenouille melihat sendiri betapa si wanita mengangkat kepala untuk melihat siapa
yang lewat, lalu setelah puas kembali menimba. Lelaki yang semula duduk
membelakanginya juga menoleh dan menatap penasaran cukup lama. Anak -anak berhenti
bermain dan menyingkir memberi jalan. Bahkan saat segerombolan dari mereka berlarian
menghambur dari pintu sebuah rumah ke arahnya, tak ada wajah ketakutan di situ. Mereka
lewat seperti biasa. Tidak berlaku heboh atau apa.
Beberapa peristiwa sejenis mengajari Grenouille untuk menakar lebih persis daya dan
pengaruh aura barunya ini. Ia jadi makin percaya diri dan ceroboh. Berjalan makin cepat
ke arah orang-orang, lewat lebih dekat, bahkan sedikit menjulurkan sebelah tangan,
menyenggol seolah tak sengaja. Ia juga menubruk seseorang seolah tak sengaja waktu
kondisi jalan sedang ramai. Grenouille berhenti, meminta maaf, dan orang itu menanggapi
baik-baik. Menerima. permohonan maaf, bahkan menepuk pundak Grenouille seraya
tersenyum.
Grenouille meninggalkan gang sempit dan masuk ke alun-alun di depan gereja SaintPierre. Bel tengah berbunyi. Orang-orang bergerombol di depan pintu gereja. Rupanya ada
yang baru menikah dan mereka ingin melihat kedua mempelai. Grenouille ikut mendekat
dan membaur. Ia mendorong membuka jalan ke sana kemari, ke tumpukan manusia yang
paling padat di mana tubuhnya bisa bersenggolantak hanya lengan, tapi juga pipi dan dagu.
Sengaja menggosok-gosok membaurkan aroma barunya di bawah hidung mereka. Di tengah
keramaian itu ia membentangkan tangan, kedua kaki, dan melonggarkan kerah agar aroma
parfum bisa keluar dengan bebas. Kegembiraan makin membuncah ketika melihat bahwa

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille menyelinap ke arah sungai melalui gang-gang yang paling gelap dan sempit,
tempat para penyamak dan pencelup pakaian membuka kios dan berbisnis. Setiap kali ada
orang lewat atau saat melewati daerah tempat anak-anak kecil bermain atau ada wanita
yang sedang duduk-duduk, ia sengaja berjalan lebih perlahan agar aroma manusia-nya
bercampur dan membentuk awan aura yang lebih padat.

tak ada yang menanggapi berlebihan. Betapa ajaib dan ironisnya melihat betapa sekian
banyak pria, wanita, dan anak-anak berdiri berdesakan di sekitarnya, begitu bebas dan
begitu mudah dikelabui. Menghirup tanpa menghiraukan ramuan parfum yang ia buat dari
kotoran kucing, keju busuk, dan cuka apelmenganggapnya sebagai bau mereka sendiri dan
menerimanya begitu saja. Lihatlah dia kini, Grenouille si kutu busuk, berada di tengahtengah mereka sebagai seorang manusia normal!

Grenouille bertahan di situi selama seperempat jam dengan anak kecil di pelukan.
Upacara pernikahan terus berlanjut, berarak keluar gereja diiringi dentang bel, sorak-sorai
massa, dan denting koin tanda keberuntungan. Kegembiraan Grenouille lain lagi.
Kegembiraan hitamperasaan penuh kemenangan yang jahat dan membuatnya gemetar
seperti orang melepas berahi. Ia nyaris tak mampu membendung luapan kemenangan agar
tidak tiba-tiba menjerit gila-gilaan di depan orang-orang. Pernyataan bahwa ia tak takut
lagi pada mereka. Tidak membenci mereka lagi, kendati kejijikannya begitu dalam dan
total. Karena mereka demikian bodoh sampai kebodohan itu tercium begitu keras. Demikian
mudah diperdayai. Biarlah begitu. Toh mereka bukan apa-apa dan ia adalah segalanya!
Seolah mengumpatkan ejekan, Grenouille memeluk si kecil makin erat, ikut berseru dan
bersorak dalam paduan bersama yang lain, Hidup pasangan pengantin! Panjang umur kedua
mempelai!
Setelah pesta usai dan orang-orang mulai bubar, Grenouille mengembalikan si kecil ke
ibunya lalu masuk ke gereja untuk menenangkan diri dan beristirahat. Udara dalam gereja
masih sarat wewangian dua dupa di sisi altar, membumbung ke atas membentuk awan.
Mengapung dalam lapisan tipis di atas aroma samar para pengunjung yang baru saja duduk.
Grenouille duduk mencangkung di bangku di belakang tempat paduan suara.
Seketika itu ia diliputi perasaan nyaman. Tidak memabukkan seperti mimpinya dulu di
perut gunung, tapi perasaan nyaman yang dingin dan waras, seperti baru menyadari daya
kekuatan sendiri. Kini ia tahu persis apa yang mampu dilakukan. Dengan kegeniusannya ia
mampu menciptakan imitasi aroma manusia sedemikian sempurna sampai anak kecil saja
bisa tertipu. Grenouille sadar mampu berbuat lebih jauh lagi, seperti menyempurnakan
aroma ini, misalnya. Tak hanya aroma manusia tapi juga aroma supersemacam aroma
malaikat yang begitu baik dan vital. Siapa pun yang menciumnya akan terpengaruh dan
mencintainya. Mencintai Grenouille sang pembawa aroma tersebut.
Ya, itu yang ia inginkan. Bahwa mereka akan mencintainya seperti tersihir. Tidak hanya
menerimanya sebagai salah seorang dari mereka, tapi mencintainya sampai tergila-gila dan
lupa daratan. Membuat mereka bergulung di lantai, menjerit dan menangis. Bahkan berlutut
seperti memuja Tuhan. Ingin berdekatan hanya agar bisa menciumnya. Mencium Grenouille!
Ia akan menjadi dewa aroma seperti dalam fantasinya, tapi kali ini dengan dunia dan orangorang di dunia nyata. Ia sadar mampu melakukan semua ini. Orang bisa menutup mata dari
ketakutan, dari keindahan... dan menutup telinga dari melodi atau kata-kata, tapi tak ada
yang bisa melarikan diri dari aroma, karena aroma. bisa diibaratkan napas itu sendiri. Setiap
tarikan akan masuk ke tubuh dan tak mungkin bisa bertahan, kecuali kalau ingin mati
tercekik. Aroma akan masuk ke kesejatian diri, ke jantung, dan menetap selamanya antara
rasa pilihan untuk menyukai atau membenci aroma tersebut, memengaruhi bahkan sampai
ke pilihan untuk jijik dan nafsu, cinta dan benci. Barang siapa yang menguasai aroma pasti

Perfume : The Story of a Murderer

Seorang gadis kecil berdiri dekat lututnya, berdiri berdesakan di tengah orang dewasa.
Diangkatnya si kecil dengan perhatian pura-pura dan digendongnya dengan satu tangan agar
bisa melihat lebih jelas. Ibunya tak hanya toleran tapi juga berterima kasih, sementara si
gadis berseru gembira.

mampu menguasai hati manusia. Grenouille duduk santai di bangku panjang gereja SaintPerre.

Grenouille duduk cukup lama menikmati keheningan. Ia menarik napas dalam -dalam,
menghirup aroma gereja. Seulas senyum terlintas lagi. Tuhan kok baunya tengik, ya?! Konyol
juga kalau dipikir. Kok bisa Dia membiarkan diri-Nya berbau busuk. Selain itu juga palsu,
karena terbuat dari campuran ekstrak linden, dedak kayu manis, dan potasium nitrat. Tuhan
bau. Tuhan yang diaku oleh seorang pendeta bau di kejauhan. Tuhan yang ditipu umat, atau
barangkali Dia sendiri juga penipu. Tak beda dengan Grenouille. Hanya lebih buruk!

Perfume : The Story of a Murderer

Tersenyum dalam euforia sambil membangun rencana menguasai manusia. Sinar


matanya tidak memancarkan kegilaan, tidak pula senyum sinting seperti tokoh-tokoh
megalomaniak klasik. Ia tidak gila karena masih mampu mempertanyakan diri sendiri secara
objektif. Tanpa dramatisasi atau pretensi apa pun ia mengaku bahwa niat ini timbul karena
ia memang jahat. Sangat jahat. Pengakuan ini meluncur berbatur senyum dan kepuasan.
Dengan wajah polos bahagia.

Tiga Puluh Tiga

Grenouille memberi dua flacon aroma bunga konvensional yang ia buat berjam-jam lalu.
Sang Marquis memercikkan ke tubuhnya dan segera merasa puas. Ia mengaku bahwa setelah
bertahun-tahun terkungkung aroma violet, sepercik parfum buatan Grenouille mampu
membuatnya merasa tumbuh sayap. Dan kalau tidak salah, sakit lututnya juga mulai
berkurang, begitu pun dengung di telinga. Pokoknya ia serasa melayang, bugar, dan kembali
muda. Suka cita ia memeluk Grenouille dan memanggilnya, Saudara fluidal-ku, sambil
cepat-cepat menambahkan bahwa ini bukan sekadar sapaan sosial, tapi murni bersifat
spiritual dalam conspectu universalitatis fluidi letalisdalam kaitannya dengan fluidum
letale, dan hanya dalam hal ini, semua manusia setara! Tanpa sungkan mem eluk Grenouille,
seperti kawan ia menggiring Grenouille dalam rencana berikutnya untuk membangun sebuah
pondokan internasional tanpa memandang status, bertujuan membasmi fluidum letale dan
menggantikannya secepat mungkin dengan fluidum vitale (aroma buatan Grenouille). Saat
itu juga ia menjanjikan Grenouille sebagai penghuni pertama. Ia juga minta dituliskan
formula parfum bunga itu dalam secarik kertas, lalu memberi lima puluh koin emas pada
Grenouille.
Persis satu minggu setelah ceramah ilmiah yang pertama, Marquis de la TailladeEspinasse mempersembahkan Grenouille sekali lagi di aula utama universitas. Ramainya luar
biasa. Seolah seluruh Montpellier tumpah di situ. Tak hanya kalangan ilmuwan, tapi juga
kalangan sosial dan kaum wanita yang ingin melihat manusia gua nan legendaris. Musuhmusuh lama Taillade dari Friends of the University Botanical Gardens dan Society for the
Advancement of Agricultural tak bisa berbuat banyak kendati telah mengerahkan seluruh
anggota untuk mengacau. Acara itu sukses besar.
Taillade-Espinasse pertama-tama mengingatkan kondisi Grenouile seminggu lalu dengan
menyebarkan gambar manusia gua dengan segala keburukan dan atribut grafis lain.
Kemudian ia menampilkan Grenouile baru dalam balutan mantel biru beludru yang elok dan
kemeja sutra. Tampil klimis, berbedak, rapi. Berjalan tegak, anggun berlenggok sendiri ke
atas podium, membungkuk hormat dan mengangguk, senyum ke kiri lalu ke kanan.
Membungkam rasa skeptis dan kritik. Bahkan kawan-kawan dari Universitas Botani juga diam
seribu bahasa. Perubahan ini terlalu dahsyat, bahkan nyaris bagai mukjizat. Mereka melihat
sendiri betapa seminggu lalu Grenouille lebih mirip binatang ketimbang manusia. Lamatlamat terdengar bisikan orang-orang berdoa. Saat Taillade-Espinasse berbicara, seluruh
ruangan hening. Sekali lagi ia memaparkan teori yang sudah sangat dikenal tentang fluidum
letale, menjelaskan bagaimana dan dengan cara apa mekanika serta pola makan yang ia
terapkan terhadap tubuh Grenouille, sebelum akhirnya diberi fluidum vitale. Terakhir,
berdasarkan fakta-fakta yang telah dijabarkan, ia memohon pada hadirin baik kawan

Perfume : The Story of a Murderer

MARQUIS DE LA TAILLADE-ESPINASsE kagum dengan parfum baru Grenouille. Sangat


mengejutkan, katanyabahkan untuk orang sekelas penemu fluidum letale, melihat betapa
hebat pengaruh parfum secara umum. Barang seremeh dan sefana parfum ternyata bisa
seperti itu hanya karena berasal dari ekstraksi substansi bumi. Wajah Grenouille yang
tadinya pias kini terlihat segar dan memerah seperti orang sehat pada umumnya. Pun dengan
kualifikasi status rendah karena keterbatasan edukasi, ia kini tampak seperti memiliki
kepribadian baru. Tak diragukan lagi bahwa ia, sang Taillade-Espinasse, harus membahas
hal ini kelak dalam sebuah bab penting tentang etika pola makan di buku barunya nanti
sebuah risalah lanjutan tentang fenomena teori fluidum letale. Tapi sekarang ia ingin
merasakan parfum baru ini.

maupun lawan, agar sedianya menyudahi perlawanan terhadap doktrin baru. ini dan
berjuang bersama membasmi bencana fluidum letale dan membuka diri terhadap manfaat
fluidum vitale. Pada titik ini ia membentangkan tangan dan memandang takzim ke atas.
Banyak pengunjung dari kalangan terpelajar berlaku serupa dan para wanita menangis.

Saat ceramah selesai, seluruh hadirin bangkit berdiri dan bertepuk sorai. Meriah sekali,
ditingkahi seruan: Panjang umur fluidum vitale! Panjang umur Taillade-Espinasse!
Selamat untuk teori fluidal! Tinggalkan pengobatan ortodoks! Ini semua jeritan
kalangan intelek kota Montpellier dan anggota-anggota terhormat universitas terbesar di
selatan Prancis. Marquis de la Taillade-Espinasse tak pernah merasa begitu bahagia seperti
saat ini.
Lain lagi perasaan Grenouille. Saat turun dari podium untuk membaur bersama
keramaian, ia tahu bahwa sebenarnya sambutan ini diarahkan untuk dirinya seorang, JeanBaptiste Grenouille, walau tak seorang pun menyadari hal ini.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille berdiri di podium tapi tidak menyimak. Dengan amat puas ia menyaksikan
efek dari parfum yang sama sekah berbeda, yaitu parfumnya sendiri. Tak ada yang tahu
bahwa Grenouille telah mempersiapkan diri sebelum pertunjukan untuk memercik parfum,
khusus diperhitungkan berdasarkan ukuran ruang aula, agar efek aura parfumnya tersebar
maksimum. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan pengaruhnya begitu terlihat nyata,
dari penonton di kursi terdepan sampai ke pojok belakang dan galeri bagian atas. Hatinya
melonjak girang melihat tak ada seorang pun yang tidak berubah setelah menghirup parfum
itu tanpa disadari. Ekspresi wajah, aura, juga emosi, turut berubah. Mereka yang semula
melotot heran kini menatap dengan pandangan lebih sejuk. Yang duduk bersandar dengan
alis terangkat skeptis dan pinggir mulut melecehkan, kini lebih rileks dan menatap polos.
Saat aroma menerjang, bahkan yang semula takuttakut, ngeri dan terlalu sensitif melihat
penampilan lama Grenouille, kini memandang dengan lebih bersahabat dan bersimpati.

Tiga Puluh Empat

Pokoknya, ia bisa mengatakan apa saja pada siapa saja. Publik menaruh kepercayaan
bahkan sejak napas pertama, karena menghirup aroma parfum Grenouille selagi menyimak.
Mereka percaya apa saja. Dus, Grenouille beroleh keyakinan diri dalam bersosialisasi
sesuatu yang dulu tak pernah terpikir bisa jadi nyata. Ini juga terlihat dari tubuhnya yang
seolah bertumbuh. Punuknya hilang dan ia berjalan nyaris tegak. Setiap kali orang berbicara
padanya ia tidak lagi refleks merunduk tapi tetap tegak dan balas menatap. Ia memang tidak
langsung menjadi manusia abad ini atau selebritas sosial dalam semalam. Yang jelas terlihat
adalah bahwa ia tak lagi jadi makhluk penggugup dan ceroboh dalam pergaulan. Yang
tampak di permukaan adalah kesederhanaan alami atau sedikit sifat malu-malu yang
menarik simpati banyak orang, dan terutama tentu saja wanita. Lingkungan elite zaman itu
memang peka pada segala hal yang berbau natural dan pesona tertentu yang masih mentah
seperti yang tampak pada Grenouille.
Awal bulan Maret, Grenouille mengepak barang dan pergi diamdiam. Pagi-pagi sekali,
saat gerbang kota baru saja dibuka. Ia memakai mantel cokelat biasa yang ia beli di pasar
loak sehari sebelumnya, dan sebuah topi lusuh menutupi separo wajah. Tak ada yang melihat
atau mengenalinya, karena ia sengaja tidak memakai parfum. Menjelang tengah hari sang
Marquis datang tergopoh-gopoh ke pos penjaga di pintu gerbang. Si penjaga bersumpah
bahwa ia tahu dan mengawasi berbagai jenis orang yang meninggalkan kota pagi ini tapi
tidak melihat si manusia gua, yang pastinya akan segera dikenali. Marquis lantas menyebar
berita bahwa ialah yang mengizinkan Grenouille pergi dari Montpellier ke Paris karena ada
urusan keluarga. Padahal ia sangat terpukul karena sedianya berniat mengajak Grenouille
tur ke seluruh Prancis dalam rangka menggalang pendukung dan pengikut teori fluidal.
Setelah beberapa waktu ia tenang lagi. Terutama melihat ketenarannya tersebar sendiri
sedemikian rupa tanpa harus mengadakan tur dan nyaris tanpa berbuat apa-apa sama sekali.
Sebuah artikel panjang tentang fluidum letale Taillade muncul di Jurnal des Savans dan
bahkan di Courier de IEurope. Segera setelah itu pasien-pasien fluidal dari dalam dan luar
kota berbondong-bondong datang memohon penyembuhan. Pada musim panas 1764 ia
mendirikan organisasi Masyarakat Vital Fluidum-nya yang pertama, dengan 120 orang
anggota di Montpellier dan membuka cabang di Marseille serta Lyon. Tak lama sampai ia
memberanikan diri maju ke Paris, dan dari sana mulai bergerak menguasai dunia dengan
ajarannya. Sebagai tahap awal, ia ingin membangun basis propaganda dengan menorehkan
prestasi-prestasi heroik. Ini demi menenggelamkan kisah tentang Grenouille dan percobaanpercobaan lain di masa. lalu. Pada awal bulan Desember ia mengumpulkan sekelompok
murid dan pendukung setia untuk bergabung dalam sebuah ekspedisi ke gunung Pic du
Canigou di Paris. Konon disebut sebagai gunung tertinggi di seluruh Pyrenees. Walau sudah
uzur, ia ingin dikenal sebagai orang yang mampu mencapai puncak di ketinggian sembilan
ribu kaki dan tinggal di sana selama tiga minggu. Katanya ia baru akan turun persis pada

Perfume : The Story of a Murderer

GRENOUILLE TINGGAL DI MONTPELLIER selama beberapa minggu. Ia kini terkenal dan


kerap diundang ke berbagai perkumpulan untuk menceritakan pengalaman selama berada
di gua dan tentang bagaimana sang Marquis menyembuhkannya. Ia terpaksa terus
mengangkat kisah tentang perampok yang dulu. Bagaimana ia diseret, keranjang diletakkan
di sisinya setiap kali jam makan, dan tentang tangga penyelamat. Setiap kali ia
menambahkan detail baru dan hiperbola yang lebih hebat. Grenouille jadi makin pandai
bicarameski sangat terbatas karena ia belum pernah berbicara dengan benar sepanjang
hidup. Dan yang terpenting baginya adalah peluang latihan rutin untuk berbohong.

malam Natal. Setelah menghirup udara murni yang jauh dari bumi, kelak akan turun
layaknya perjaka tingting berusia dua puluh.

Pengikutnya menanti dengan sia-sia kepulangan Marquis de la Taillade-Espinasse pada


malam Natal itu. Ia tidak kembali sebagai pemuda atau orang tua. Tidak pula kembali saat
musim panas tahun berikutnya menjelang. Pengikut paling setia mencoba mengadakan
pencarian, namun pulang dengan tangan hampa. Tak ada jejak barang sesobek pakaian pun,
tak ada mayat, bagian tubuh atau tulang sekalipun yang mereka temui.
Ajaran Marquis tetap utuh. Malah tersebar legenda bahwa di puncak gunung itu ia
menyatu dengan fluidum vitale. Bersatu dan mengapung abadi di udara. Tak terlihat namun
senantiasa muda, bebas bersasana di puncak-puncak Pyrenees. Barang siapa mendaki dan
menemuinya akan terlindung dari penyakit atau proses penuaan selama setahun. Teori
fluidal Taillade terus kokoh sampai abad kesembilan belas. Banyak disokong oleh instansi
medis serta dipakai sebagai salah satu terapi penyembuhan oleh banyak kalangan. Bahkan
sampai sekarang, di kedua sisi Pyrenees (Prancis dan Spanyol), khususnya di Perpignan dan
Figueras, banyak perkumpulan rahasia pemuja Taillade yang mengadakan pertemuan
setahun sekali untuk mendaki puncak Pic du Canigou.
Di sana mereka menyalakan api unggun dengan dalih untuk merayakan titik balik musim
panas dan penghormatan terhadap St. Johntapi sebenarnya ini dilakukan sebagai
penghormatan terhadap guru mereka, TaiRade-Espinasse, dan ajaran fluidum-nya yang
agung, sembari mencari hidup abadi. Kalau beruntung.

Perfume : The Story of a Murderer

Para murid dan pendukung menyerah melakukan pendakian setiba di Vernetperkampungan manusia terakhir di kaki gunung yang menakutkan itu. Tapi tak ada yang bisa
menghentikan Marquis. Di bawah terjangan udara sedingin es, semangatnya meluap-luap
seperti anak kecil dan mulai mendaki sendirian. Hal terakhir yang dilihat gembira ke langit
plus orang hanya bayangan tangan melambai senandung nyanyian, sebelum akhirnya lenyap
di badai salju.

Bagian III

Perfume : The Story of a Murderer

Tiga Puluh Lima


KALAU DULU GRENOUILLE butuh waktu tujuh tahun saat pertama kali melanglang
Prancis, perjalanan kali ini ia tempuh dalam waktu kurang dari tujuh hari. Ia tidak lagi
menghindari jalan utama dan perkotaan. Tidak pula mengambil jalan memutar. Kini ia
memiliki aroma, uang, dan keyakinan diri. Ia tak mau buang waktu.

Dua jam kemudian ia berdiri di tanjakan, di hadapan sebentang lembah seluas beberapa
mil yang seperti cekungan di lanskap. Sekelilingnya dipagari perbukitan dan gunung terjal.
Di cekungan itu terdapat banyak ladang, taman, dan semak buah zaitun-menciptakan iklim
yang intim, asli, dan khusus. Meski laut begitu dekat dan terlihat dari puncak bukit, tapi
iklimnya tidak maritim. Tidak bergaram atau berpasir. Sebuah iklim nonekspansif. Pagar
perbukitan dan pegunungan membuat tempat ini hening bin tenang. Seolah berhari-hari
jauhnya dari tepi pantai. Dan meski puncak-puncak pegunungan sebelah utara tertutup
salju, tidak membuat tempat ini kering, tandus, atau berhawa dingin. Musim semi lebih dulu
muncul di sini ketimbang di Montpellier. Kabut tipis mencercah seperti kaca di atas padang.
Pohon-pohon aprikot dan almond sedang ranum, udara terasa hangat beraroma bunga
jonquil.
Di seberang lembah, sekitar dua mil jauhnya, berdiri sebuah kota diapit pegunungan.
Dari jauh tak begitu mengesankan. Tidak tampak puncak katedral mengungguli atap-atap
rumah, kecuali sebuah menari gereja kecil. Tidak ada benteng atau bangunan-bangunan
besu. Dinding-dinding berdiri bersahaja, rumah-rumah berserakan di sanasini, terutama
yang mengarah ke dataran, memberi kesan berantakan seperti daerah pinggiran. Seolah
kota itu sudah berkali-kali dikuasai dan diambil alih banyak pihak sampai tak lagi peduli soal
pertahanan terhadap pendatang. Mungkin bukannya tak mampu, tapi lebih didasari pada
kemalasan warganya, atau kesadaran akan kekuatan sendiri. Seperti tak merasa butuh
menonjolkan diri. Cukuplah dengan bercokol sedikit di atas lembah di kaki pegunungan, dan
rasanya memang lebih tepat begitu.
Kota yang nyaman dan percaya diri ini bernama Grasse. Sudah puluhan tahun menjadi
pusat produksi dan penjualan wewangian, parfum, sabun, serta minyak. Mendiang Giuseppe
Baldini selalu menyebut tempat ini dengan takzim. Kota ini adalah Roma-nya wewangian,
tanah surga para pembuat parfum, dan mereka yang belum pernah ke sini tak pantas
menyandang gelar ahli parfum.
Grenouille menatap kota itu dengan pandangan sejuk. Ia tak sedang mencari tanah surga
para pembuat parfum dan hatinya tidak melonjak melihat kota kecil menempel di lereng
gunung. Kedatangannya dilandasi kesadaran bahwa di tempat ini ia bisa mempelajari
beberapa teknik pembuatan aroma yang lebih baik ketimbang di kota mana pun di dunia. Ia
ingin tidakia harus mendapatkan pengetahuan itu, demi tujuan pribadi.
Grenouille mengambil flacon parfum dari saku, memercik sedikit, dan lanjut berjalan.
Satu setengah jam kemudian, sekitar tengah hari, ia tiba di Grasse.

Perfume : The Story of a Murderer

Sore hari sepeninggalnya dari Montpellier ia tiba di Le Grau-duRoi, sebuah kota


pelabuhan kecil di barat daya Aigues-Morres, di mana ia menumpang sebuah kapal dagang
menuju Marseille. Di Marseille ia tidak segera meninggalkan pelabuhan tapi langsung
mencari kapal untuk pergi lebih jauh lagi menyusur pantai ke arah selatan. Dua hari
kemudian ia tiba di Toulon, dan esoknya di Cannes. Sisa perjalanan dilakoni dengan berjalan
kaki. Mengikuti jalan belakang yang mengarah ke perbukitan, terus ke utara.

Ia makan siang di sebuah penginapan dekat jantung kota, di sebuah tempat bernama
Aires. Halamannya dibagi dua oleh sebuah selokan di mana para penyamak kulit mencuci
kulit hasil samakan dan setelahnya dijemur sampai kering. Baunya begitu menyengat dan
kerap membuat pelanggan penginapan kehilangan selera makan. Tapi tidak buat Grenouille.
Malah terasa akrab di hidung. Membuatnya merasa aman. Di setiap kota, yang dicari pertama
kali selalu lokasi penyamakan. Baru setelah itu menjelajah ke tempat lain.

Namun betapapun kotor, sempit, dan jorok, kota ini tetap ramai dengan aktivitas
perdagangan. Sepanjang perjalanan Grenouille mendapati tak kurang dari tujuh usaha
pembuatan sabun, selusin ahli parfum, pembuat sarung tangan, tempat-tempat penyulingan
berjumlah lebih dari sepuluh jari, studio pembuatan minyak rambut dan toko rempahrempah, juga tujuh pengusaha grosir parfum.
Mereka ini adalah para pedagang yang berkuasa penuh mengendalikan jalur perdagangan
aroma. Orang tak bisa langsung menebak dari rupa rumah-rumah mereka. Tampaknya saja
yang sederhana ala kelas menengah, tapi yang tersimpan di belakangnya, dalam gudang dan
loteng-loteng raksasa, dalam tong-tong minyak, di tumpukan sabun lavender terbaik, dalam
botol-botol besar kolonye bebungaan, anggur dan alkohol, dalam bal-bal kulit beraroma,
dalam tumpukan karung dan peti-peti besar serta kecil sarat berisi rempah-rempah....
Grenouille mengendusi setiap detail yang menguap dari balik dinding-dinding tebal. Baginya
ini jauh lebih kaya dari kekayaan sepuluh orang pangeran. Dan ketika ia mengendus lebih
dalam menembus toko-toko dan gudang penyimpanan sepanjang jalan, ia menemukan
bahwa di balik perumahan pinggiran ini tersimpan bangunan-bangunan mewah. Ada taman
kecil namun sangat elok, tempat mawar-mawar beracun dan pohon-pohon palem tumbuh
subur serta air-air mancur dipagari semak bunga berornamen. Ruangan-ruangan ini
memanjang dari sayap-sayap rumah yang tampak dari luar, biasanya dibuat membentuk
huruf U ke arah selatan. Di lantai atas, kamar-kamar tidur bermandikan sinar matahari,
dinding berlapis sutra, sementara di lantai bawah ada ruang -ruang duduk berlapis dinding
kayu, juga ruang makan. Kadang disertai teras yang dibangun menjorok ke udara terbuka.
Tempat ini, persis kata Baldini dulu, adalah tempat penghuninya makan dengan piring
porselen dan peralatan makan dari emas. Orangorang yang tinggal di balik selubung tokotoko sederhana ini bermandikan emas dan kekuasaan. Kekayaan yang diamankan dengan
sangat hati-hati. Tercium sangat kuat, melebihi apa pun yang pernah diendus Grenouille
sepanjang tur mengeliling kota ini.
Ia berhenti dan berdiri sejenak di depan salah satu istana terselubung ini. Rumah itu
terletak di muka jalan Droite yang merupakan jalan arteri utama yang membagi seluruh kota
dari timur sampai ke barat. Penampilannya biasa saja, tak ada yang luar biasa. Bagian depan
barangkali sedikit lebih luas dan lebih besar dari tetangga kanan-kiri, tapi tetap tidak
mencolok. Di pintu gerbang berdiri sebuah kereta tempat tong-tong diturunkan ke sebuah
jalur landai. Ada sebuah kendaraan lain yang menunggu. Seseorang membawa setumpuk
kertas masuk ke ruangan kantor, keluar lagi bersama seorang pria lain, keduanya menghilang
melewati pintu gerbang. Grenouille berdiri di seberang jalan dan mengamati. Kita tahu ia

Perfume : The Story of a Murderer

Sepanjang siang ia habiskan dengan berkeliling kota. Ternyata memang sangat kotor dan
jorok. Mungkin lantaran air yang memancar dari sumur dan banyak mata air lain dibiarkan
mengalir begitu saja tanpa dibuatkan sungai atau selokan, membanjiri jalan dan menyisakan
kotoran. Rumah-rumah di beberapa lokasi permukiman berdiri begitu rapat, menyisakan
celah hanya beberapa meter untuk gang dan tangga, memaksa pejalan kaki untuk saling
bersenggolan menyusuri tanah becek. Bahkan di alun-alun dan sepanjang jalan kota yang
lebih besar, kendaraan masih sulit lalu-lalang.

tidak tertarik dengan kesibukan atau bisnis atau apalah, tapi toh ia berdiri di situ, maka
pasti ada apa-apanya.

Grenouille menimbang-nimbang apakah hendak langsung menerabas saja melewati


gerbang dan masuk. Tapi sementara begitu banyak orang lalu-lalang sibuk mengangkut dan
menghitung tong-tong di muka rumah, risiko ketahuan akan cukup besar. Grenouille
memutuskan untuk kembali ke jalan, mencari gang kecil atau celah sepanjang sisi ruma h
yang mungkin bisa membawanya ke bagian belakang. Ia berjalan beberapa meter sampai
menembus gerbang kota di ujung jalan Droite, berbelok tajam ke kiri dan menyusuri dinding
kota sepanjang kaki gunung. Kaki belum lagi melangkah terlalu jauh ketika aroma taman itu
tercium. Mulanya samar, bercampur dengan aroma padang pegunungan, tapi makin lama
makin kuat. Tahulah ia bahwa jaraknya sudah dekat. Sangat dekat. Taman itu persis berada
di balik tembok kota. Persis di sebelah, hanya terhalang dinding. Kalau ia m undur sedikit
sepanjang lereng yang menuju ke atas, ia bisa melihat pucukpucuk dahan pohon jeruk di
balik tembok.
Sekali lagi ia menutup mata. Aroma taman menghambur masuk. Konturnya begitu persis
dan jelas terbayang di pikiran. Dan aroma itu, aroma magis yang paling berharga itu, ada di
antara mereka. Wajah Grenouille dibakar gairah, sekaligus dingin di tengkuk oleh rasa takut.
Darah naik ke kepala dan turun ke pusar, lalu naik lagi, turun lagitubuh ini nyaris tak bisa
dikendalikan. Serangan aroma ini datang begitu tiba-tiba. Untuk sesaat, setarikan napas
yang rasanya bagai seabad, waktu terlipat dua atau malah lenyap sama sekali karena detik
itu ia tak mampu menjejaki ruang dan waktu. Rasanya seperti ditembakkan dari moncong
meriam ke dinding masa lalu, ke jalan Marais di Paris, ke suatu malam di awal September
1753. Tak salah lagi. Aroma yang keluar dari taman ini adalah aroma gadis berambut merah
yang ia bunuh malam itu. Penemuan ini membuat ia menangis terharudan kesadaran
bahwa hal ini tak mungkin terjadi membuatnya takut setengah mati.
Grenouille merasa pusing. Ia gamang sejenak dan terpaksa bersandar ke tembok, lalu
melorot berjongkok. Berusaha mengendalikan diri dan indra penciumannya, ia mulai
menghirup aroma magis itu dalam tarikan-tarikan pendek dan tidak berbahaya. Perlahan
ia menyimpulkan bahwa walaupun aroma dari balik tembok ini sangat mirip dengan aroma
si gadis berambut merah, tapi tidak benar-benar persis. Katakanlah, 98 persen nyaris
menyamai. Sungguh luar biasa! Dalam imajinasi penciumannya Grenouille melihat si gadis
seolah dengan mata kepala sendiri. Ia tidak sedang duduk tapi berlompatan, melakukan
pemanasan lalu diam mendinginkan diri. Tampaknya sedang bermain permainan di mana ia
harus bergerak dan diam dengan cepat. Ada orang lain juga. Seseorang dengan bau yang
tidak terlalu menonjol. Orang ini memiliki kulit putih bersih. Bermata hijau. Bintik-bintik di
wajah, leher, dan buah dada.... napas. Grenouille berhenti sejenak, lalu mengendus lebih
giat dan mencoba menekan ingatan aroma si gadis berambut merah dari jalan Marais. Bukan
apa-apa, tapi gadis di balik tembok ini belum lagi memiliki buah dada! Kuncup pun belum.
Sangat lembut, nyaris tak berbau dan berbintik-bintik. Buah dada yang baru mulai

Perfume : The Story of a Murderer

Ia berpejam mata dan berkonsentrasi pada aroma yang mengambang dari bangunan di
seberang jalan itu. Ada aroma tong-tong cuka apel dan anggur, aroma sesak gudang barang,
aroma kekayaan yang disembunyikan oleh tembok-tembok tinggi, dan akhirnya aroma taman
yang pasti terletak jauh di ujung bangunan itu. Tidak mudah menangkap aroma taman itu,
karena mereka datang dalam untaian tipis dari atas atap rumah dan turun ke jalan.
Grenouille bisa mengenali aroma bunga magnolia, bakung, daphne, dan rhododendron, tapi
sepertinya ada aroma lain. Sesuatu di taman itu yang mengeluarkan aroma sangat indah.
Aroma yang begitu elok dan tak pernah ia endus sebelumnyaatau barangkali pernah, satu
kali. Tapi sudah lama sekali. Ia harus bisa mendekati sumber aroma ini.

mengembangkemungkinan sejak beberapa hari terakhir, atau malah beberapa jam, lalu
atau detik ini. Sedemikian mungilnya tangkup buah dada gadis ini.. Dengan kata lain: si gadis
masih bocah! Tapi bukan sembarang bocah!

Ah! Ingin sekali memiliki aroma ini. Tapi tidak dengan ceroboh seperti ketika menguras
aroma si gadis dari jalan Marais. Saat itu ia hanya mengisap untuk diri sendiri dan akhirnya
malah merusak aroma tersebut. Tidak. Ia ingin sungguh-sungguh memiliki aroma gadis kecil
di balik tembok ini. Menguliti dari kulitnya dan menjadikan aroma itu sebagai milik pribadi.
Bagaimana caranya, ia belum tahu. Tapi ia punya waktu dua tahun untuk putar otak. Yang
pasti akan jauh lebih sulit dari merampok aroma sekuntum mawar langka.
Grenouille bangkit. Nyaris dengan takzim, seperti meninggalkan sesuatu yang suci atau
kekasih yang lelap. Ia menjauh perlahan, dengan lembut, membungkuk agar tidak dilihat
atau didengar orang. Jangan sampai ada yang menyadari penemuan ini. Maka berlarilah ia
sepanjang tembok ke ujung lain kota itu, di mana ia tak lagi diusik aroma si gadis dan masuk
kembali lewat pintu gerbang Fnants.
Grenouille berdiri di bawah bayang-bayang bangunan. Kebusukan aroma jalanan
membuatnya merasa nyaman dan membantu menjinakkan nafsu yang semula membludak.
Dalam lima belas menit ia tenang kembali, sambil mencatat dalam hati untuk tidak lagi
mendekati daerah sekitar taman di belakang tembok. Sikap terlalu hati-hati ini sebenarnya
tidak perlu, tapi ia sedang terlalu senang. Sang bunga akan mekar sendiri di sana tanpa ia
harus melakukan apa-apa, dan ia sudah tahu persis dengan cara apa bunga itu akan merekah.
Grenouille tak ingin meracuni diri dengan aroma itu secara prematur. Ia harus menyibukkan
diri dengan pekerjaan. Memperluas pengetahuan dan menyempurnakan teknik agar lebih
siap saat panen tiba. Ia punya waktu dua tahun.

Perfume : The Story of a Murderer

Keringat menetes di kening Grenouille. Ia tahu bahwa anak-anak tidak memiliki aroma
khusus. Tak bedanya kuncup hijau pada bunga sebelum merekah. Tapi anak di balik tembok
ini, kuncup ini masih tertutup rapat, yang berarti baru saja memancarkan ujung aromanya.
Tak mungkin dikenali manusia lain kecuali Grenouille. Anak sekecil ini sudah mampu
mengeluarkan aroma surgawi yang kelak jika merekah akan memancarkan aroma parfum
yang belum pernah dicium jagat. Sekarang saja baunya sudah enak sekali. Grenouille
teringat dan membandingkannya dengan gadis berambut merah dari jalan Marais. Si kecil di
balik tembok pastinya tidak bertubuh semontok dan sematang itu, tapi lebih halus, lebih
kaya nuansa, dan lebih alami. Dalam satu atau dua tahun ke depan aroma ini akan semakin
matang dan menciptakan daya tarik yang tak mungkin ditolak siapa pun, pria atau wanita.
Orang akan dengan mudah luluh dan takluk di bawah pengaruh magis si gadis tanpa tahu
kenapa. Dan karena mereka sedemikian bodoh, menggunakan hidung hanya untuk bernapas
dan hanya meyakini apa yang bisa dilihat mata, lantas berpendapat bahwa ini pasti
disebabkan oleh kecantikan, keanggunan, dan pesona fisik si gadis. Dalam kedunguan
mereka akan memuji-muji keelokan tubuh, kerampingan, dan buah dada. Mata yang katanya
bagai zamrud, gigi mutiara, perut semulus gading, dan segudang pembanding idiot lainnya.
Lalu didaulatlah si gadis sebagai Ratu Melati. Dilukis oleh seorang pelukis bodoh, dikerling
penuh puja-puji sebagai wanita terelok di seluruh Prancis. Remaja-remaja pria berebut
memetik mandolin di bawah jendela; para lelaki kaya nan buncit berlutut merajuk pada
ayah si gadis agar menerima pinangan mereka; dan wanita segala usia akan mendesah iri
sampai terbawa mimpi ingin memiliki wajah dan tubuh seperti itu walau hanya sehari. Tidak
satu pun sadar bahwa sesungguhnya bukan penampilan yang telah menjerat mereka. Bukan
keindahan eksternal yang membuai jagat, tapi murni aroma tubuh! Hanya Grenouille yang
sadar akan hal ini. Ya, ia sendiri. Ia tahu persis fakta ini.

Tiga Puluh Enam


TAK JAUH DARI GERBANG FNANTS, di jalan Louve, Grenouille menemukan sebuah
tempat usaha pembuatan parfum kecil dan melamar kerja.

Setelah berkeluh-kesah tentang masa-masa paceklik dan kondisi keuangan yang


menjelang ajal, Madame Arnulfi menyatakan bahwa ia tak sanggup membiayai seorang ahli
lagi, tapi ia memang membutuhkan tenaga ahli untuk menangani bisnis di masa depan. Ia
tak bisa menampung Grenouille di rumah ini tapi memiliki sebuah kabin kecil di tengah
padang zaitun di belakang biara Franciscan yang jauhnya tak sampai sepuluh menit berjalan
kaki. Grenouille bisa tidur di situ kalau mau, kendati sempit. Ia mengaku bahwa sebagai
seorang nyonya yang baik ia berkewajiban mengurus kesejahteraan fisik para pekerjanya,
tapi tak mampu memberi sarapan dua kali sehari. Pendek kata, seperti dugaan Grenouille,
Madame Arnulfi adalah seorang wanita kaya nan pelit dengan insting bisnis yang baik. Dan
karena Grenouille tidak rewel soal uang dan menyatakan diri cukup puas dibayar dua franc
seminggu plus kebutuhan minim lainnya, kesepakatan dengan segera terjalin. Ahli pertama
dipanggilseorang pria raksasa bernama Druot. Grenouille langsung tahu bahwa orang ini
berbagi ranjang dengan Madame Arnulfi secara teratur dan sang janda tak bisa mengambil
putusan penting tanpa berkonsultasi dengannya lebih dulu. Dengan kaki terentang dan awan
aroma bernuansa sperma, ia menjejakkan diri di depan Grenouille yang tampak begitu
ringkih, mengamati dari ke bawah, memandang lurus ke mataseolah dengan teknik ini ia
bisa mencium niat buruk atau gelagat sebagai calon saingan, akhirnya memberi sinyal
persetujuan dengan sebuah anggukan.
Setelah urusan kontrak selesai, Grenouille berjabat tangan, dan makanan kecil yang
sudah dingin, sehelai selimut, dan kunci di belakang biara. Kabin itu lebih tepat disebut
gubuk. Tidak berjendela dan berbau jerami serta kotoran kambing. Tapi Grenouille tidak
protes. Ia malah suka dan mencoba membuat situasi senyaman mungkin. Esok ia mulai
bekerja untuk Madame Arnulfi.
Saat itu sedang musim bunga jonquil. Madame Arnulfi menanam bunga itu dalam bidangbidang kecil di sebidang tanah bercekungan lebar miliknya di bawah kota, atau membeli
dari para petani yang ia tawar gila-gilaan setiap onsnya. Bunga dikirim pagi-pagi sekali lalu
dipindah ke ruang kerja dengan keranjang, ke sebuah tumpukan yang sangat banyak namun
ringan dan harum. Di saat yang sama, Druor mencairkan lemak babi dan lemak sapi dalam
sebuah tungku besar untuk dijadikan sup berkrim. Sesekop penuh bunga segar ia masukkan
ke godokan sementara Grenouille terus mengaduk menggunakan pengaduk sepanjang sapu.
Bunga-bunga itu mengapung sebentar, seperti mata manusia menjelang kematian, dan
segera kehilangan warna begitu pengaduk mendesak mereka ke pelukan minyak hangat.
Nyaris seketika itu juga bunga-bunga itu pudar dan melayu. Kematian datang begitu cepat
dan mereka tak punya pilihan selain menghembuskan napas aroma terakhir ke dalam
minyak. Greno menyaksikan semua ini dengan sangat kagum. Makin banyak bunga yang ia
desak ke dalam tungku, makin manis aroma minyaknya. Bukan berarti bunga-bunga itu terus
menyesakkan aroma, tapi minyak sendiri telah membentuk dan menegaskan aroma
tersebut.

Perfume : The Story of a Murderer

Ia beroleh kabar bahwa pemilik usaha, Matre parfumeur Honor Arnulfi, telah
meninggal pada musim dingin tahun lalu dan bahwa janda berusia tiga puluh tahun berambut
hitam nan ceria ini sekarang mengurus bisnis sendiri, dibantu oleh seorang ahli.

Prosedur macerationpelembutan dengan metode perendaman ini berlanjut keesokan


harinya. Tungku dipanaskan lagi, minyak dicairkan dan diberi makan bebungaan baru. Ini
berlangsung sampai beberapa hari, dari pagi sampai sore. Benar-benar pekerjaan
melelahkan. Tangan Grenouille serasa rontok dan tinggal tulang. Punggungnya sakit setiap
kali menyeret badan pulang ke kabin. Walau Druot setidaknya berbadan tiga kali lebih kuat,
ia tak pernah mau bergantian mengaduk. Malah dengan ramah terus menuang bunga,
menjaga api dan kadangentah karena panas atau apapergi keluar untuk minum. Tapi
Grenouille tidak protes. Ia terus mengaduk bunga di dalam minyak tanpa mengeluh. Dari
subuh sampai malam dan nyaris tidak menyadari beratnya pekerjaan lantaran tak habis
kagum dengan proses yang berlangsung di depan mata dan di bawah hidungnya ini: pada
bunga-bunga yang layu begitu cepat dan penyerapan aroma mereka.
Suatu hari Druot memutuskan bahwa minyak sudah jenuh dan tak mampu menyerap
aroma lagi. Ia mematikan api, mengayak minyak kental untuk terakhir kali, dan menuang
hasilnya ke wadah tembikar. Minyak dengan segera mengeras menjadi pomademinyak
rambut yang sangat harum.
Kini giliran Madame Arnulfi beraksi. Ia hadir menguji kandungan logam dari produk yang
baru dibuat, memberi nama dan mencatat dengan persis kualitas serta kuantitas produk
tersebut. Setelah menyumbat wadah tembikar, menyegel, dan menyimpannya di gudang
loteng berhawa sejuk, ia merapikan gaun hitamnya, mengambil kerudung berkabung sebagai
seorang janda, lalu berkeliling ke pari penjual parfum grosir dan eceran. Dengan rayuan
mengharukan ia menjelaskan pada para lelaki itu tentang kondisinya sebagai seorang wanita
yang ditinggal mati suami, membiarkan mereka menawar, membandingkan harga, mendesah
lemas, dan akhirnya menjual atau kadang tidak menjual apa-apa.
Minyak rambut berparfum, jika disimpan di tempat sejuk, dapat bertahan dalam jangka
waktu lama. Kalau harga saat ini sedang jelek, siapa tahu akan naik lagi di musim dingin
atau musim panas berikutnya. Di samping pertimbangan lain apakah hendak menjual ke
pedagang keliling seperti ini atau bergabung dengan produsen-produsen kecil lain dan
bekerja sama mengirim pomade ke Genoa atau berbagai konvoi ke pasar malam musim gugur
di Beaucaire. Ini memang bisnis berisiko, tapi sangat menguntungkan kalau sukses. Madame
Amulfi dengan sangat hati-hati mempertimbangkan berbagai kemungkinan ini. Kadang ia
mau menekan kontrak, menjual beberapa porsi dagangan tapi tetap menyimpan porsi lain
untuk cadangan, juga mengambil risiko bernegosiasi dengan pihak ketiga untuk kepentingan
pribadi. Ini memang melanggar kontrak, tapi kalau selama masa negosiasi itu ia mendapat
kesan bahwa pasar pomade sedang jenuh dan bahaya jika menumpuk barang, ia segera
pulang ke rumah, menyampir kerudung, menyuruh Druot menuang produk ke tempat
pemurnian dan mengubahnya menjadi essence absolue.
Jika demikian yang terjadi, pomade akan dikeluarkan lagi dari gudang loteng,
dihangatkan dengan hati-hati dalam belanga-belanga tertutup, dicairkan dengan alkohol

Perfume : The Story of a Murderer

Kadang sup menjadi terlalu kental sehingga harus segera. dituang ke dalam ayakan,
membebaskannya dari bangkai bunga dan memberi ruang untuk bunga baru. Begitu terus
Grenouille dan Druot bekerja sepanjang hari tanpa berhenti karena prosedurnya memang
tidak memungkinkan penundaan. Sampai sore, seluruh tumpukan bunga ludes ke tungku
minyak. Agar tidak ada yang terbuang percuma, sisanya direndam dalam air panas dan
diperas sampai tetes terakhir dalam sebuah mesin pemeras. Itu pun masih sedikit
mengambangkan keharuman. Mayoritas aroma yang menjadi jiwa lautan bunga ini tetap
berada dalam tungku. Ditutup rapat dan diawetkan dalam pelumas berwarna putih buram
yang tidak berbau dan lambat mengental.

Hasilnya sedikit sekali. Cairan hasil sulingan hanya mampu mengisi tiga flacon kecil. Tak
ada yang tersisa dari ratusan ribu bunga kecuali tiga flacon mungil itu. Namun produk ini
kini memiliki nilai sangat tinggi, bahkan di kota Grasse ini. Nilainya bisa lebih tinggi lagi
begitu dikirim ke Paris atau Lyon, ke Grenoble, Genoa atau Marseille! Madame Arnulfi
memandangi tiga flacon itu seolah mengelusi permukaannya dengan mata, lalu menyumbat
lubang dengan gabus keras yang pas memenuhi leher flacon sambil menahan napas, seolah
cemas agar tidak setetes pun benda berharga ini yang terhirup atau terbuang percuma oleh
napas. Agar lebih yakin bahwa tidak satu atom pun terbuang percuma, ia menyegel sekeliling
sumbat dengan lilin dan membungkus leher botol dengan plastik keras. Baru setelah itu ia
taruh dalam sebuah peti kayu beralas kain katun, kemudian disimpan dan dikunci di loteng
atas.

Perfume : The Story of a Murderer

rektifikasi, lalu dicampur dan dibilas seluruhnya dengan pengaduk yang dioperasikan oleh
Grenouille. Sekembali ke gudang loteng, adukan ini segera didinginkan. Kandungan
alkoholnya dipisahkan dan dituang ke botol lain. Ini proses pembuatan sejenis parfum
dengan intensitas kepekatan luar biasa, sementara sisa pomade tak bisa dipakai karena telah
kehilangan mayoritas aroma. Dus, aroma bunga ditransfer ke medium lain. Tapi pekerjaan
tidak berhenti sampai di sini. Setelah alkohol berparfum disaring dengan hati-hati dengan
ayakan dawai agar sesedikit mungkin mengandung sisa minyak, Druot menuang alkohol
berparfum itu ke sebuah kepala tambat kecil, lalu disuling perlahan di atas api kecil. Yang
tersisa adalah sejumlah kecil cairan berwarna pucat yang sangat dikenal Grenouille tapi
belum pernah dicium dalam kualitas dan kemumian seperti ini, baik di laboratorium Baldini
ataupun Runel. Ini sari pati terbaik dari minyak bunga. Polesan aromanya dipekatkan seratus
kali menjadi sebotol kecil essence absolue. Esensi ini tak lagi membawa aroma manis.
Baunya nyaris menyengat, tajam, dan sengit. Tapi jika setetes saja dilarutkan dalam seliter
alkohol, mampu membugarkan dan membangkitkan seluruh aroma bunga yang tersembunyi.

Tiga Puluh Tujuh


PADA BULAN APRIL mereka merendam belukar broom serta bunga pohon jeruk. Lautan
mawar mendapat giliran di bulan Mei. Aroma manisnya seperti menenggelamkan seluruh
kota dalam kabut krim manis yang tak terlihat selama sebulan.

Druot tidak terlalu bodoh untuk mengabaikan begitu saja saransaran amatir ini. Ia
tahu bahwa hasilnya memang bisa lebih baik jika menuruti kata-kata Grenouille. Apalagi
melihat cara penyampaiannya yang tidak angkuh atau sok tahu, juga karena Grenouille tidak
pernahterlebih di hadapan Madame Arnulfimengabaikan atau meragukan otoritas dan
posisi Druot sebagai seorang ahli utama, tidak pula memberi saran dengan nada sinis atau
menyinggung. Jadi, tak ada salahnya dituruti. Pun seiring bergulirnya waktu, ia tak merasa
terlalu keberatan menyerahkan hampir segala putusan dalam proses pekerjaan pada
Grenouille.
Dus, makin lama Grenouille tak hanya ditugasi mengaduk adonan, tapi juga memasukkan
bunga ke tungku, memanaskan dan mengayak, sementara Druot pergi ke kedai Quatre
Dauphins di seberang jalan untuk minum segelas anggur atau ke lantai atas, menghibur
Madame Arnulfi. Yakin bahwa Grenouille bisa diandalkan.
Di pihak lain, meski pekerjaannya jadi dua kali lipat lebih berat, Grenouille lebih suka
bekerja sendiri. Menyempurnakan teknik baru dan kadang sedikit bereksperimen. Dengan
girang ia menemukan bahwa pomade buatannya bisa dibilang lebih baik, dan bahwa essence
absolue buatannya sendiri lebih murni beberapa persen ketimbang buatannya bersama
Druot.
Musim bunga melati berawal di akhir bulan Juli dan bunga tiberosa di bulan Agustus.
Parfum dari kedua bunga ini sangat halus, elok, dan rapuh. Tak hanya bunganya harus
dipetik sebelum matahari terbit, tapi mereka juga menuntut perhatian dan penanganan
khusus. Bila dihangatkan aromanya berkurang dan jika dididihkan akan musnah sama sekali.
Jiwa mereka tak bisa direnggut begitu saja, tapi harus dibujuk secara metodis
menggunakan ruang resapan khusus, di mana bunga-bunga itu ditabur di atas lempengan
kaca berlapis minyak lemak dingin atau dibungkus kain berlapis minyak lemak. Dengan cara
ini mereka akan mati dalam tidur. Butuh tiga hingga empat hari sampai mereka layu dan
menguapkan aromanya ke lapisan minyak... Sisa bunga diangkat hati-hati untuk memberi
ruang bagi bunga baru. Prosedur ini diulang antara sepuluh sampai dua puluh kali. Baru pada

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille bekerja seperti kuda pacu. Tanpa menonjolkan diri dan dengan kepatuhan
seorang budak, ia lakukan semua tugas yang disuruh Druot. Tapi sementara ia mengaduk,
menggosok bak mandi, membersihkan tempat itu, atau mengisi kayu bakar seolah tanpa
otak, sesungguhnya tak satu hal pun yang luput dari perhatiannya, baik bisnis maupun proses
metamorfosis aroma. Grenouille memanfaatkan hidung ajaibnya untuk mengobservasi dan
memonitor setiap detail kejadian dengan lebih baik ketimbang Druot. Contohnya, migrasi
aroma kelopak mawar tadi; dari minyak mawar ke alkohol, sampai ke flacon-flacon kecil
yang amat berharga. Jauh sebelum Druot sadar, ia sudah lebih dulu tahu kapan godokan
minyak sudah terlalu panas, kapan bunganya perlu ditambah, dan kapan godokan telah sarat
aroma. Grenouille bisa mencium apa yang terjadi di dalam. tungku dan kapan persisnya
penyulingan harus berhenti. Kadang ia sengaja memberi tahu initentu dengan cara yang
tidak mencurigakan dan berupa saran. Misalnya ketika ia berkata, Godokan minyak mungkin
sudah terlalu panas..., atau, Minyak ini sebaiknya disaring dulu..., atau, Rasanya
alkohol dalam tabung penyulingan ini sudah menguap .....

Berbagai teknik seni pembuatan parfum dikuasai Grenouille dengan cepat. Bahkan
melebihi Druot, gurunya sendiri. Namun Grenouille tetap waspada agar tidak menonjol dan
menjaga sikap merendah. Membuat Druot dengan senang hati membiarkannya perg i ke
rumah jagal untuk membeli lemak yang paling tepat, memurnikan dan memprosesnya,
menyaring serta menyesuaikan proporsinya sedemikian rupa agar menjadi media terbaik
penangkap aroma. Ini pekerjaan sulit dan kerap dikeluhkan oleh Druot karena lemak yang
banyak mengandung campuran bahan lain menjadi basi atau terlalu berbau babi, kambing,
atau sapi, dapat merusak pomade yang hendak dibuat. Ia biarkan Grenouille memutuskan
sendiri bagaimana mengatur lempengan-lempengan berlapis minyak di ruang resapan, kapan
waktu rotasi memasukkan bebungaan, dan apakah pomade yang dibuat sudah cukup resap.
Tak lama kemudian ia juga mengizinkan Grenouille memutuskan hal-hal krusial yang hanya
bisa dikira-kira, sama dengan Baldini dulu. Grenouille mampu menentukan takaran yang
lebih tepat, tentunya dengan bantuan hidung. Tapi Druot tak pernah curiga soal ini.
Ia punya sentuhan yang baik, ujar Druot suatu kali. Untuk sejumlah hal, instingnya
bisa diandalkan. Kadang ia juga berpikir, Sesungguhnya, kalau mau jujur, ia lebih
berbakat daripada akuseratus kali lebih baik sebagai seorang ahli parfum. Tapi tetap saja
ia menganggap Grenouille dungu karena pemuda itu sama sekali tak berniat
mengomersialisasikan bakatnya. Padahal kalau Druot diberi sedikit saja dari bakat itu,
niscaya ia bakal jadi pakarnya ahli parfum. Grenouille dengan lihai mendorong Druot untuk
sampai pada kesimpulan tersebut dengan menunjukkan kesan bodoh, membosankan, serta
tak berambisi. Bertingkah seperti tak menyadari kegeniusan diri sendiri dan hanya mau
bekerja berdasarkan perintah Druot yang dianggap lebih berpengalaman. Dus, atas dasar ini
mereka mampu bekerja sama dengan baik.
Musim gugur dan musim dingin tiba. Suasana tempat kerja jadi lebih sepi. Aroma bunga
terperangkap di tempayan dan flacon-flacon di gudang loteng. Jika Madame Arnulfi tidak
menyuruh membuat pomade atau barang lain atau menyuling sekarung rempah-rempah
kering, tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Panen zaitun tetap dipetik beberapa
keranjang tiap minggunya. Minyaknya diperas dan sisanya ditaruh di penggilingan. Anggur
juga disuling menjadi alkohol rektifikasi.
Makin lama, Druot makin jarang kelihatan. Ia lebih sering dinas di ranjang Madame
Arnulfi. Setiap kali muncul badannya bau keringat dan air mani. Itu pun paling hanya sekadar
lewat dan langsung menuju kedai minum. Madame juga jarang turun dari lantai atas. Sibuk
dengan perhitungan investasi dan menyiapkan pakaian berkabung sebagai seorang janda.
Berhari-hari Grenouille nyaris tidak melihat seorang pun kecuali pembantu yang bertugas
menyiapkan sup makan siang, roti, dan zaitun untuknya.

Perfume : The Story of a Murderer

bulan September pomade dari bunga ini bisa dibuat dan minyak wangi bisa diperas dari kain
pembungkus. Hasilnya memang jauh lebih sedikit daripada metode perendaman, namun
kemurnian dan kualitas pasta melati atau huile antique de tubereuse ini jauh melebihi hasil
yang diperoleh dengan teknik lain. Khusus untuk bunga melati, permukaan minyak wangi
yang dihasilkan sangat bening, manis, lengket, beraroma erotis dan murni. Hidung
Grenouille mampu membedakan antara aroma bunga yang asli dengan parfum yang
dihasilkan, karena campuran aroma spesifik dari media minyak yang dipakaibetapa pun
murnitetap hadir laksana kelambu jaring laba-laba di atas aroma melati. Melembutkan dan
menipiskan ketajaman aroma asli sedemikian rupa agar lebih enak diendus manusia normal.
Di pihak lain, teknik perendaman dingin tetap merupakan metode terbaik dan paling efektif
untuk menangkap aroma-aroma lembut. Tak ada cara lain lagi yang lebih baik. Pun bila
metode ini dirasa tidak cukup baik buat hidung Grenouille, sudah lebih dari cukup buat
hidung manusia normal.

Perfume : The Story of a Murderer

Sementara itu, Grenouille juga jarang sekali keluar rumah. Ia ikut ambil bagian dalam
kehidupan bisnis parfumdengan menghadiri pertemuan dan prosesi para ahlihanya agar
tidak terlalu menonjolkan, saat ada maupun tidak. Tak punya teman atau kenalan dekat,
namun tetap berhati-hati agar tidak dianggap sombong atau kurang supel. Pada para ahli
lain ia meninggalkan kesan sebagai sosok yang membosankan dan tidak menguntungkan.
Grenouille jadi ahli berakting membosankan dan ceroboh, walau tidak kelewatan sampai
menjadi bahan olok-olok atau objek lelucon di serikat kerja. Ia sukses membuat orang
berpikir bahwa ia sama sekali tidak menarik. Orang-orang membiarkannya sendiri, dan
Grenouille memang lebih suka begitu.

Tiga Puluh Delapan

Kadang aroma ini ada efek jeleknya juga, seperti saat disuruh Druot atau atas
keinginannya sendiri keluar membeli ekstrak kesturi. Saking bersahajanya parfum itu
sampai ia nyaris tidak tampak alias tidak diacuhkan oleh penjaga toko, tidak dilayani,
diberi barang yang salah atau terlupakan ketika sedang menunggu untuk dilayani. Grenouille
lantas membuat parfum yang lebih harum dan sedikit berbau keringatkatakanlah,
aromanya lebih punya karakter agar kehadirannya lebih tegas dan orang percaya bahwa ia
memang sedang buru-buru serta ada urusan penting. Ia juga sukses mengimitasi aura aroma
Druot, yang dipelajari dengan meresapi secarik linen berminyak dengan sedikit telur bebek
segar dan fermentasi tepung terigu. Biasa dipakai Grenouille saat sedang butuh menarik
perhatian.
Grenouille juga menciptakan parfum khusus untuk menarik simpati dan terbukti efektif
di kalangan wanita paruh baya dan neneknenek. Berbau susu encer dan kayu lembut segar.
Efek yang tercipta bahkan saat keluyuran dengan wajah berantakan tak bercukur, cemberut,
dan terbungkus mantel tebaladalah sosok seorang anak malang bermantel lusuh yang butuh
pertolongan. Sekali saja menangkap aromanya, wanita-wanita tua yang bersimpati akan
memenuhi kantung mantel Grenouille dengan kacang dan buah pir kering karena ia tampak
begitu kelaparan dan tak berdaya. Pernah seorang istri tukang daging membiarkannya
memilih daging dan tulang mana saja secara gratis karena aroma Grenouille menyentuh rasa
keibuannya. Grenouille menurut, lalu pulang dan mencerna daging itu dalam rendaman
alkohol untuk digunakan sebagai komponen utama dari aroma berikut yang akan dibuat,
khusus jika ia sedang ingin menghindar dan sendirian. Aura aromanya memuakkan, seperti
bau mulut seorang pelacur tua jalanan saat baru bangun tidur. Efeknya sangat efektif,
sampai Druot yang pemberani dan perkasa itu langsung menghindar dan keluar mencari
udara segartentunya tanpa benarbenar menyadari apa yang membuatnya menyingkir.
Beberapa parfum tersebut di sekitar kabin juga cukup ampuh mengusir pengganggu, baik
manusia maupun binatang.
Berbekal perlindungan beragam aroma ini, yang ia ganti sesuka hati seperti orang
bersalin pakaian sesuai situasi, Grenouille mampu bergerak. leluasa di tengah manusia
sambil tetap menyembunyikan wajah aslinya. Kegiatan utama difokuskan pada proses
pembuatan aroma. Ia belum lupa pada si gadis kecil di balik tembok, dan sisa waktu tinggal

Perfume : The Story of a Murderer

GRENOUILLE MENGHABISKAN WAKTU di tempat kerja. Pada Druot ia menjelaskan bahwa


ia sedang mencoba menciptakan formula kolonye baru. Padahal sesungguhnya ia sedang
bereksperimen aroma untuk hal yang sama sekali lain. Walau amat jarang dipakai, parfum
yang ia buat di Montpellier makin lama makin menipis. Grenouille harus membuat yang baru.
Kali ini ia tidak puas hanya menyalin aroma dasar manusia dengan mencampur ramuan
begitu saja. Ada kebanggaan baru untuk menambahkan setitik aroma pribadi, atau lebih.
Pertama-tama ia membuat aroma yang mampu membuatnya jadi tidak mencolokaroma
sehari-hari yang biasa-biasa saja, lengkap dengan aroma asam keju khas manusia, namun
dibuat sedemikian rupa agar seolah keluar dari pakaian yang dikenakan. Ini dimaksudkan
agar ia lebih leluasa bergerak di tengah manusia. Parfum ini cukup mampu menegaskan aura
kehadiran melalui penciuman, namun dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu hidung
orang lainmaksudnya, tidak begitu menyengat sampai membuat orang menoleh mencari
sumber bau. Dengart parfum ini, Grenouille seolah tidak benar-benar hadir namun
ditegaskan dengan aura bersahaja. Cocok dipakai di lingkungan rumah Arnulfi atau saat
harus berjalan ke kota.

setahun lebih sedikit. Secara sistematis ia merencanakan bagaimana mengasah senjata,


memoles teknik, dan menyempurnakan metode.
Dus, ia mulai dari percobaan yang dulu gagal dilakukan di tempat Baldini, yaitu
mengambil sari pati aroma benda-benda mati, seperti batu, metal, kaca, kayu, garam, air,
udara....

Grenouille juga sukses bereksperimen dengan debu kapur sebuah batu yang ia temukan
di semak taman zaitun di depan kabin. Ia rendam dan ekstraksi menjadi sejumlah kecil
pomade rasa batu. Ia suka aroma mikroskopisnya. Lantas dikombinasikan dengan aroma lain
dari berbagai objek di sekitar kabin dan dengan susah-payah membuat miniatur aroma
taman belukar zaitun di belakang biara Franciscan. Setelah disimpan dalam sebuah flacon
kecil, ia mampu membangkitkan taman belukar itu kapan saja ia mau.
Semua ini adalah adikarya aroma dari bermacam pernik remeh yang tak bisa dinikmati
atau dikagumi siapa pun selain Grenouille. Sebuah jagat kesempurnaan yang membuat
Grenouille berani mencatat bahwa inilah saat-saat paling membahagiakan dalam hidup. Kini
tiba saat ia melangkah ke lanskap yang lebih luas. Waktunya mengoleksi objek hidup.
Grenouille mengawali langkah dengan berburu lalat, belatung, tikus, dan kucing kecil,
lalu merendam mereka dalam minyak lemak hangat. Malam hari ia merayap ke kandang
binatang, menyampirkan kain berlapis minyak ke tubuh sapi, kambing, dan babi selama
beberapa jam, atau membungkus dengan perban berminyak. Lain waktu ia menyelinap ke
kandang domba dan diam-diam mencukur seekor biri-biri. Wol yang didapat lalu direndam
dalam alkohol rektifikasi. Awalnya tidak terlalu membuahkan hasil. Tidak seperti benda
mati, binatang punya kebiasaan buruk untuk protes setiap kali dipaksa menyerahkan aroma.
Babi suka merobek perban dengan menggosokkan badan ke tiang pancang; domba
mengembik tiap kali didekati tengah malam dengan pisau; sapi dengan bebalnya
mengguncang badan menjatuhkan kain lengket yang menempel di punggung. Bahkan
serangga juga ikut-ikutan. Beberapa ekor kumbang suka buang air saat dikerjai; lalu tikus
mungkin karena takutjuga buang air di lapisan kain berminyak yang sedianya mau dijadikan
dasar pomade ala tikus. Tidak seperti bebungaan, rata-rata binatang yang coba direndam
selalu sungkan menyerahkan aroma dengan sukarela. Kalau tidak berisik, pasti meronta ronta menjelang mati. Menolak pasrah, mencakar dan menendang, membuat keringat keluar
dan asamnya merusak lapisan minyak. Mana bisa bekerja dengan baik kalau begini. Objek
harus lebih dulu ditenangkan. Dan harus seketika, agar mereka tak sempat panik atau
berontak. Satu-satunya jalan adalah: dibunuh.

Perfume : The Story of a Murderer

Kalau dulu ia gagal total menggunakan proses penyulingan yang masih kasar, kini ia
sukses, berkat daya serap luar biasa dari teknik lemak. Grenouille mengambil sebuah
pegangan pintu dari kuningan karena ia suka aroma dingin, apak, dan keliatan benda itu.
Jadilah ia bungkus dengan lemak daging sapi selama beberapa hari. Dan ternyata berhasil.
Saat lemak dibuka dan diperiksa, memang mengandung aroma pegangan pintu, meski amat
samar. Pun setelah direndam dalam alkohol, aromanya tidak hilang. Sangat tipis, jauh, dan
terbayangi oleh uap alkohol, tapi tetap mampu diendus hidung Grenouille. Taruhlah tak ada
manusia lain yang bisa mencium ini selain Grenouille, tapi setidaknya secara prinsip
Grenouille sudah jauh lebih berhasil ketimbang dulu. Kalau ia punya seribu buah pegangan
pintu dan membungkusnya dalam buntel lemak sapi selama seribu hari, pasti bisa
menghasilkan beberapa tetes parfum beraroma pegangan pintu dari kuningan yang cukup
kuat untuk diendus manusia normal. Menghadirkan ilusi kehadiran benda itu di depan hidung
mereka.

Selanjutnya, dengan amat bertahap dan hati-hati ia mulai beralih ke manusia. Semula
ia menyebar jaring pengintaian agak luas karena belum tahu benar bagaimana melumpuhkan
korban baru ini. Metode perburuan dijajal dari jarak jauh.
Berbekal penyamaran dengan parfum, ia membaur di tengah-tengah pengunjung Quatre
Dauphins dan diam-diam menyelipkan sehelai kain berlapis minyak lemak di bawah bangku,
meja, serta sudut-sudut tersembunyi. Beberapa hari kemudian ia ambil kembali untuk dites.
Kendati membaur bersama rupa-rupa aroma dapur, asap rokok, dan anggur, setitik aroma
manusia tetap bisa dikenali. Namun ini masih sangat kabur dan tersamar. Tidak terasa
personal. Aura massal sejenis yang lebih murni dan halus ia peroleh dari katedral. Grenouille
menggantung kain eksperimentaInya pada malam tanggal 24 Desember di bawah bangku
gereja dan diambil lagi pada tanggal 26 setelah melalui lebih dari tujuh misa berturut-turut.
Bauran aroma yang menyembur dari resapan kain ini tajam berbau keringat dubur, darah
menstruasi, keringat di belakang lutut, dan keringat kepalan tangan, bercampur dengan bau
napas ribuan pelantun himne gereja dan ocehan paduan suara Ave Maria, plus induksi dupa
khas gereja. Konsentratnya membentuk awan menyesakkan yang tak terlihat, tapi tak petak
lagi memang bau manusia.
Aroma individual pertama ia peroleh dari Rumah Sakit de la Charit. Ia berhasil mencuri
seprai bekas membungkus mayat seorang ahli pembuat karung selama dua bulan. Sedianya
seprai itu hendak dibakar karena si mayat mati oleh sakit paru-paru. Hasilnya sungguh
menakutkan. Si pembuat karung seolah bangkit dari kematian. Menguap naik bersama
larutan alkohol, mengambang di langit-langit. Sedikit terkontaminasi oleh metode
penyulingan dan penyakit, tapi sangat bisa dikenali sebagai personifikasi aroma seseorang.
Grenouille bisa membayangkan si mayat bertubuh kecil, usia tiga puluhan, rambut pirang,
hidung pesek, tangan dan kaki pendek-pendek, kaki rusak dan rata, kemaluan bengkak,
gampang marah dan bau mulutnya apak. Secara aromatik pun tak bisa dibilang tampan. Tak
pantas disimpan lama-lama.
Kendati demikian, sepanjang malam. Grenouille membiarkan aroma itu berkibaran di
kabin sambil diendusnya berkali-kali. Senang dan puas dengan kekuatan yang kini dipegang
atas aura manusia lain. Setelah puas, botol parfumnya ia buang ke tong sampah.

Perfume : The Story of a Murderer

Metode ini dicoba pertama kali pada seekor anak anjing. Ia pancing agar terpisah dari
induknya dengan sepotong daging, dari rumah jagal sampai ke laboratorium. Begitu si anjing
kegirangan menikmati daging di tangan kiri Grenouille, segera Grenouille hajar bagian
belakang kepalanya dengan sebilah kayu di tangan kanan. Kematian datang begitu tiba-tiba
sampai wajah si anjing malang masih memerikan kegirangan di mata dan mulut. Pun setelah
dimasukkan ke ruang peresapan. Aroma yang keluar sempurna berbau anjing, tanpa
kontaminasi keringat. Tapi ia tetap harus hati-hati karena bangkai organik terkenal cepat
rusak. Jadilah Grenouille menunggui korban selama dua belas jam sampai detik pertama
hidungnya menangkap bau bangkai itubukannya tak suka, tapi ini harus segera dibereskan
kalau tak mau pekerjaan jadi sia-sia. Proses segera dihentikan, bangkai dibuang dan minyak
hasil serapan dituang ke belanga untuk dibilas hati-hati. Alkohol hasil sulingan dituang
sedikit, lalu ia mengisi sebotol kecil dengan beberapa tetes perasan minyak. Parfum yang
dihasilkan sangat jelas beraroma anjing-basah, segar, berlemak, dan agak tajam. Benarbenar seperti anjing. Iseng, ia mengetes parfum itu ke induk mendiang anak anjing tadi di
rumah jagal. Kontan si induk anjing langsung menggonggong kegirangan dan tak mau
melepas moncongnya dari botol parfum. Grenouille menyegel botol rapat-rapat,
menyimpannya di kantong cukup lama, dan membawanya ke manamana sebagai suvenir
kesuksesan. Saat pertama kali ia berhasil merampas jiwa aromatik dari makhluk hidup.

Grenouille mencoba satu eksperimen lagi musim dingin itu. Ia membayar satu franc pada
seorang wanita pemulung bisu-tuli untuk mengenakan beberapa set kain gombal berlapis
minyak lemak yang langsung menempel ke kulit. Dari sini ia menemukan bahwa lemak
panggul daging domba, babi, dan sapi bila dicairkan berkali-kali dengan kombinasi rasio
2:3:5 plus sedikit minyak perawan, sangat baik menyerap aroma manusia.

Lagi pula, aroma manusia sama sekali tidak penting. Ia lebih dari sanggup membuat
imitasinya kalau mau. Yang diimpikannya adalah aroma manusia tertentu. Manusia-manusia
langka yang mampu menumbuhkan rasa cinta. Inilah korban sesungguhnya.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille menyudahi sampai di situ. Ia menahan diri untuk tidak menguasai dan
memproses sepenuhnya seorang manusia hidup. Setidaknya jangan dulu. Risiko masih terlalu
besar dan tak ada pengetahuan baru yang bisa diperoleh. Yang penting sekarang ia telah
menguasai teknik yang dibutuhkan untuk merampas aroma manusia. Tak perlu pembuktian
lebih jauh lagi.

Tiga Puluh Sembilan

Tahun baru diawali dengan panen bunga cassia, kemudian bakung, mawar ungu, dan
narcissus narkotik. Pada suatu minggu di bulan Maret, setahun sejak tiba di Grasse,
Grenouille pergi melongok perkembangan segala sesuatunya di taman di belakang tembok
di ujung kota. Kali ini ia sudah bersiap diri menerima aroma. Sudah bisa mengira-ngira apa
yang menanti. Pun saat mengendusnya di gerbang Neuve, separo jalan dari jarak yang harus
ditempuh untuk sampai ke belakang tembok, jantungnya berdebar lebih keras dan darahnya
berdesir kegirangan. Si gadis masih di sana. Bunga tercantik itu tak cacat dihajar musim
dingin dan getahnya kian matang. Ia sedang tumbuh, berkembang, dan menguatkan kelopak
terelok yang akan muncul! Aromanya juga main kuat, sesuai dugaan, tanpa kehilangan ciri
khas dan keistimewaan. Apa yang setahun lalu hanya setetes, kini membaur menjadi aliran
halus aroma nan samar dan gemerlap dengan ribuan warna, namun tetap solid dan tidak
pecah. Grenouille mengenali mata air ini dengan suka cita. Satu tahun lagi. Ya, dua belas
bulan lagi, dan mata air ini akan meluap. Saat itu ia akan membendung dan menampung
aliran aroma tersebut.
Grenouille berjalan menyusuri tembok ke belakang taman. Walau si gadis tampaknya
sedang berada di dalam rumah, di kamarnya dengan jendela tertutup, aromanya mengalir
turun ke hidung Grenouille seperti angin lembut. Grenouille berdiri diam. Ia tidak pusing
atau segamang saat pertama kali mencium. Dadanya penuh kebahagiaan seorang pencinta
saat mendengar atau melihat kekasihnya dari kejauhan, dan sadar kelak akan memboyong
si gadis. Sungguh menggelikan sekaligus ironis melihat Grenouille, si kutu penyendiri, si
pembawa bencana, monster yang tak pernah merasakan cinta dan tak akan pernah mampu
mengilhami cinta, berdiri di belakang tembok kota Grasse di hari bulan Maret itu, penuh
rasa cinta dan bahagia dengan perasaan tersebut.
Benar bahwa ia tidak mencintai manusia lain, termasuk gadis yang tinggal di rumah di
balik tembok. Yang dicintai hanya aromanya. Itu saja, tak ada yang lain. Sekuat asa untuk
menjadikan aroma itu miliknya suatu hari kelak. Ia bersumpah akan membawa aroma ini
pulang tahun depan. Dan setelah sumpah setia yang aneh ini terlontar, ia pergi dengan hati
ringan dan kembali ke kota lewat gerbang Cours.
Malam hari, sambil berbaring di kabin, ia bangkitkan kembali kenangan aroma itu dan
meresapkan diri di dalamnya. Membelai dan dibelai. Begitu dekat, seolah telah memilikinya
benar-benar, lalu bercinta dengan aroma itu dan dengan dirinya sendiri. Lama sekali. Ia
ingin membawa perasaan mencintai diri sendiri ini untuk menemaninya dalam tidur. Namun
begitu mata terpejam, detik pertama tarikan napas menjelang lelap, aroma itu lenyap.
Pergi begitu saja. Digantikan oleh aroma kamar yang dingin dan tajamnya bau kandang
kambing.

Perfume : The Story of a Murderer

PADA BULAN JANUARI, sang janda Arnulfi menikahi ahli utamanya, Dominique Druot,
yang lantas naik pangkat menjadi Matre gantier etparfumeur. Jamuan makan besarbesaran digelar untuk para master kelas satu, dan pesta yang lebih sederhana untuk para
ahli biasa. Madame Arnulfi membeli seprai baru untuk ranjang yang kini dibagi secara, resmi
bersama Druot dan membuang semua pakaian mendiang suaminya dari lemari. Nama dinasti
Arnulfi tetap dipakai, bersama dengan warisan plus status manajer bisnis keluarga dan kunci
gudang loteng. Druot memenuhi kewajiban seksualnya setiap hari dan menyegarkan diri
dengan anggur. Grenouille sendiri, meski kini menjadi satu-satunya ahli di perusahaan ini,
tetap diserahi tanggung jawab mengurus hampir semua pekerjaan dengan upah dan kabin
yang itu-itu juga.

Grenouille ketakutan. Apa yang terjadi jika aroma itu sudah kumiliki... bagaimana jika
habis? Ini tidak sama dengan memori, karena ingatan membuat aroma abadi. Realitas selalu
punya batas. Fana. Setelah habis dipakai, sumber aromanya juga tak akan ada lag i, dan aku
harus kembali telanjang seperti dulukembali bergantung pada imitasi. Tidak, bahkan lebih
buruk dari sebelumnya, karena untuk sementara aku memang pernah memilikisudah begitu
terbiasa dan tak mampu melupakan karena aku memang tak pernah melupakan aroma. Lalu
setelah habis, aku terpaksa kembali ke memoriku. Persis seperti yang kulakukan sekarang
dengan pertanda atas apa yang akan kumiliki kelak. Buat apa begitu?

Kuduknya merinding. Mendadak ia dikuasai keinginan untuk membatalkan rencananya


dan menghilang saat ini juga di kegelapan malam. Berkelana menuruti langkah kaki,
melewati gunung-gunung bersalju tanpa berhenti, ratusan mil menuju gunung Auvergne,
kembali ke gua lamanya, terlelap dan mati.
Tapi ini tidak dilakukan. Grenouille duduk tegak meneguhkan hati, walau dorongan itu
amat kuat mendeburi batin. Ia tidak menyerah karena sadar bahwa keinginan ini sejak dulu
selalu mendera. Kawan lama yang menyuruh untuk kabur dan bersembunyi dalam gua. Ia
sudah tahu rasanya. Yang belum adalah bagaimana rasanya memiliki aroma manusia
sesempurna aroma gadis di balik tembok. Pun bila harus kehilangan lagi suatu saat, perasaan
memiliki dan kehilangan tampaknya lebih menggiurkan ketimbang tak pernah memiliki sama
sekali. Toh ia sudah menolak segalanya dalam hidup, tapi belum pernah merasa memiliki
dan kehilangan.
Perlahan keraguan itu mereda dan hawa tubuh kembali normal. Ia bisa merasakan
kehangatan darah yang menyegarkan dan keinginan untuk kembali ke niat awal. Kini bahkan
lebih kuat karena tidak lagi didasari nafsu semata, tapi juga atas dasar pertimbangan
matang. Grenouille si kutu psikopat berdarah dingin, dihadapkan pada pilihan antara mati
kering atau memeluk setetes harapan, dan ia memilih yang terakhir. Sadar bahwa tetes ini
akan benar-benar menjadi miliknya yang terakhir. Ia kembali berbaring di ranjang. Nyaman
di atas jerami, meringkuk di bawah selimut dan merasa sangat heroik.
Grenouille tak akan menjadi Grenouille yang kita kenal kalau menyerah begitu saja pada
fantasi fatalistik kepahlawanan. Kemauannya untuk bertahan dan menang terlalu kuat,
sangat lihai, dan semangatnya kenyang ditempa. Dus, ia memutuskan untuk memiliki aroma
gadis di balik tembok. Kalau ia harus kehilangan lagi setelah beberapa minggu dan mati
kangen, biarlah begitu. Lebih baik pernah memiliki lalu mati ketimbang tidak sama sekali.
Atau paling tidak memanjangkan kepemilikan itu selama mungkin. Ia hanya harus
mengawetkan dengan lebih hati-hati saja. Menahan eksistensi aroma tanpa harus kehilangan
karakternya. Semata-mata masalah seni.
Ada aroma-aroma yang mampu bertahan sampai berpuluh tahun. Sebuah..almari yang
digosok parfum kesturi, sepotong kulit yang dikuyupi minyak kayu manis, segumpal
ambergris, peti dari kayu pohon cedarsemua memiliki aroma yang boleh dibilang abadi.

Perfume : The Story of a Murderer

Ini pikiran yang sangat meresahkan Grenouille. Amat mengerikan ketika tahu bahwa
begitu ia memiliki aroma yang belum dimilikinya itu, mau tak mau ia akan kehilangan juga
suatu hari kelak. Berapa lama bisa ia simpan? Beberapa hari? Beberapa minggu? Mungkin
sebulan penuh kalau dihemat. Lalu? Dalam bayangannya, Grenouille melihat dirinya
menangkup beberapa tetes terakhir dari botol, membilas flacon dengan alkohol agar tetes
terakhir tidak lenyap, lalu ia melihatmengendus, betapa aroma tercinta itu menguap
ditelan udara, selamanya. Rasanya akan seperti kematian perlahan yang amat panjang
seperti tercekik namun dibalik. Penguapan tubuh secara perlahan yang menyakitkan, lalu
terlempar ke dunia fana.

Grenouille menepuk keningnya sendiri. Merasa bodoh tidak terpikir begini sebelumnya.
Aroma unik ini memang tak bisa digunakan dalam kondisi mentah. Harus diperlakukan
seperti batu berharga. Ia harus membuat semacam mahkota aroma, dengan puncak terhalus
terjalin bersama aroma lain namun terap berada di atas yang lain. Aroma utama akan tetap
berkilau. Parfum ini akan ia buat dengan mengerahkan seluruh tatanan seni pembuatan
parfum, dan aroma gadis dibalik tembok akan menjadi jiwa aroma tersebut.
Minyak kesturi, bunga atar, mawar, atau sari bunga pohon jeruk tak cukup tepat dipakai
sebagai aksesori, sebagai dasar, sebagai tenor sekaligus soprano, sebagai puncak dan bahan
pengikat. Ia yakin itu. Parfum manusia super spesial ini membutuhkan racikan lain.

Perfume : The Story of a Murderer

Sementara benda-benda lain seperti minyak limau, ekstrak bergamot, jonquil, tuberosa,
dan aroma bebungaan, umumnya menguap setelah beberapa jam terpapar udara terbuka
ketika dalam bentuk yang masih murni dan belum terikat oleh zat kimia lain. Ahli parfum
menyiasati situasi dengan mengikat aroma yang mudah menguap itu membentuk rantai
katakanlah begitu. Pada intinya adalah berusaha menjinakkan kecenderungan untuk bebas.
Namun rantai ini harus disusun berlubang atau berjeda satu sama lain agar aromanya
tetap keluar. Kalau diikat benar-benar malah tidak akan tercium. Jeda ini bisa diisi zat lain
yang berfungsi sebagai pengikat aroma dasar. Grenouille pernah sukses mencoba cara ini
dengan sempurna pada minyak wangi beraroma tuberosa. Ia mengikat aroma dasar bunga
itu dengan sedikit kesturi, vanila, labdanum, dan cemara. Hanya dengan cara itu aromanya
bisa keluar dan bertahan, meski sedikit tersamar oleh elemen pengikat. Kenapa cara serupa
tak bisa dicoba pada aroma si gadis? Kenapa ia harus mempertahankan aroma tak ternilai
dan paling rapuh ini dalam kondisi murni? Amatir sekali! Sama. sekali tidak berkelas kalau
begitu! Toh orang juga tidak begitu saja mengenakan permata yang belum dipotong atau
bongkahan emas sebagai kalung! Ia kan tidak sama dengan ahli parfum primitif macam Druot
atau siapalah. Bukankah ia ahli parfum terhebat di dunia?

Empat Puluh

Si gadis memang sangat cantik. Sosoknya termasuk jajaran wanitawanita rapuh terbuat
dari madu gelap yang mulus, manis dan sangat lengket. Biasa mengendalikan suhu ruangan
dengan tingkah laku berlebihan, seperti mengibas rambut dan mengerlingkan mata sambil
berdiri tegak di tengah ruangan laksana pusat badai, seolah tak menyadari daya tariknya
terhadap orang lain. Menumbuhkan hasrat pada lelaki dan kecemburuan pada wanita.
Apalagi ia masih sangat muda, sehingga gelombang daya tariknya belum terlalu kental.
Kedua kaki dan tangan masih mulus dan utuh, buah dada ranum dan puting sekeras telur
rebus. Bentangan wajahnya dihiasi rambut hitam panjang, sarat kontur kelembutan dan
lekak-lekuk indah. Namun justru rambut itu yang hilang. Si pembunuh memotong dan
memboyong rambut si gadis bersama pakaiannya.
Orang-orang langsung mencurigai kaum gipsi. Konon mereka tega melakukan apa saja.
Gipsi terkenal suka menggelar karpet dari tenunan pakaian, mengisi bantal dengan rambut
manusia, membuat boneka dari kulit dan gigi korban hukum gantung. Hanya gipsi yang
mampu melakukan kejahatan keji. Sayangnya, tidak ada gipsi di sekitar situ waktu kejadian.
Tidak dekat maupun jauh. Rombongan terakhir melewati daerah itu bulan Desember lalu.
Karena tak ada gipsi, orang lalu memutar tudingan kepada para pekerja migran
keturunan Italia. Tapi mereka juga tak ada saat ini. Terlalu awal buat mereka untuk datang.
Biasanya mereka baru muncul sekitar bulan Juni, saat panen bunga melati. Akhirnya,
kecurigaan jatuh pada para pembuat rambut palsu. Mereka langsung digeledah kalaukalau
menyimpan rambut si gadis. Tentu saja tak ada hasil. Lantas kaum Yahudi dapat giliran
dituduh, selanjutnya para pendeta biara Benedictine yang konon terkenal bejat, walau
semuanya sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Berikutnya para penganut Cistercian,
para Freemason, lalu orang-orang gila dari Rumah Sakit de la Charit berikutnya tukang
bakar arang, para pengemis, dan terakhir para bangsawan juga kena tuduhan, khususnya
Marquis de Cabris karena dikenal sudah tiga kali menikah dan konon sering menggelar misa
hitam pesta seks di gudang loteng di mana ia meminum darah perawan untuk memperkuat
kejantanan. Semua tuduhan ini tentu saja tidak berdasar dan tak bisa dibuktikan. Tak ada
yang menyaksikan pembunuhan itu. Pakaian dan rambut si korban juga tak ditemukan di
mana pun. Setelah beberapa minggu, letnan polisi yang ditugasi mengusut menangguhkan
penyelidikan.
Pada pertengahan bulan Juni, para pekerja migran Italia datang. Banyak yang hadir
bersama keluarga dan menyewakan diri sebagai buruh pemetik bunga. Para petani
mempekerjakan mereka seperti biasa. Tapi karena peristiwa pembunuhan itu masih
membayang, mereka melarang keras istri dan anak-anak mereka berhubungan dengan para
pekerja itu. Tak ada salahnya berhati-hati, begitu kata mereka. Walau tidak bertanggung
jawab langsung atas pembunuhan, bisa saja.. mereka ikut anda di situ, jadi lebih baik
berjaga-jaga.

Perfume : The Story of a Murderer

BULAN MEI TAHUN ITU, tubuh telanjang seorang gadis lima belas tahun ditemukan di
sebuah padang mawar, separo jalan antara Grasse dan dusun Opie di sebelah timur. Ia
dibunuh dengan pukulan keras di belakang kepala. Petani yang menemuk an begitu kaget
melihat pemandangan ini sampai nyaris dituduh sebagai pelaku. Waktu ditanya polisi
lidahnya terselip, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat hal yang begitu indah, padahal
ia ingin berkata sebaliknya bahwa ia tak pernah melihat hal sekeji itu.

Tak lama setelah awal musim panen melati, terjadi dua pembunuhan beruntun. Korban
lagi-lagi gadis muda nan cantik dari jenis rapuh seperti yang pertama; berambut hitam, lagilagi ditemukan telanjang, rambut dipotong dan terbaring di padang bunga dengan belakang
kepala remuk. Jejak pelaku juga tak ada. Kabar segera menyebar seperti kebakaran,
diimbuhi adanya ancaman tindakan kekerasan terhadap buruh migran karena kedua korban
ternyata keturunan Italia, putri seorang buruh harian dari Genoese.

Masyarakat kota Grasse merapatkan barisan. Para petani bersedia membuka gudanggudang mereka untuk ditinggali para migran yang selama ini selalu tidur di luar. Warga
menyusun jadwal ronda di setiap blok. Pihak kepolisian memperketat penjagaan di gerbang
kota. Namun semua usaha ini sia-sia karena beberapa hari setelah pembunuhan ganda itu
muncul lagi mayat gadis keempat. Lagi-lagi dengan karakteristik serupa. Korban kali ini
seorang buruh pencuci pakaian keturunan Sardinia dari istana uskup agung. Ia dibunuh dekat
cekungan raksasa Fontaine de la Foux, persis di depan gerbang kota. Dan meski warga
berhasil mendesak dewan kota untuk melakukan penanganan lebih jauh seperti kendali
pengawasan yang lebih ketat di gerbang kota, tambahan peserta ronda, dan penetapan jam
malam untuk semua wanita sejak jam tujuh malam, sepanjang musim panas itu setiap
minggu selalu jatuh korban wanita muda. Selalu gadis yang belum lama puber, sangat cantik,
dan biasanya berkulit gelaptipe manis. Tak lama berselang, si pembunuh tak lagi menolak
tipe yang lebih umum, dengan rata-rata karakteristik berkulit halus, pucat, dan lebih
montok. Bahkan mulai merambat ke gadis berambut cokelat dan pirang kusam, asal tidak
terlalu kurus. Ia melacak korban di mana saja. Tak hanya di dusun-dusun terbuka di sekitar
Grasse, tapi juga di dalam kota. Putri seorang tukang kayu ditemukan tewas di kamarnya
sendiri di lantai lima. Tak ada yang mengaku mendengar suara aneh. Dan kalau biasanya
anjing-anjing menyalak setiap mencium aroma asing, kali ini mereka diam saja. Makin
menumbuhkan kesan bahwa si pembunuh tak tersentuh dan tidak nyata. Seperti hantu.
Warga jelas marah dan memaki aparat yang dianggap tak becus menangani situasi. Gosip
sedikit saja sudah mampu memicu tawuran. Seorang pedagang keliling yang menjual ramuan
pelet dan obat ajaib lain nyaris dibantai massa hanya gara-gara gosip bahwa salah satu bahan
dalam ramuan obatnya menggunakan rambut wanita. Kebakaran terjadi di rumah hartawan
Cabris dan Rumah Sakit de la Charit. Seorang pelayan yang pulang kemalaman ditembak
oleh majikannya sendiri; seorang penenun wol bernama. Alexandre Misnard yang menyangka
si pelayan sebagai si pembunuh. Mereka yang mampu segera mengirim putri remaja mereka
ke saudara jauh atau sekolah asrama di Nice, Aix, atau Marseille. Letnan polisi yang
bertanggung jawab dicopot dari jabatannya atas desakan dewan kota. Penggantinya
menugaskan ahli medis untuk memeriksa tubuh korban guna menentukan kondisi
keperawanan. Hasilnya menunjukkan bahwa semua organ seksual masih utuh dan tampaknya
bahkan sama sekali disentuh.
Anehnya, penemuan ini justru menambah kesan seram karena semua orang menduga
pasti ada tanda-tanda perkosaan. Setidaknya dengan demikian orang tahu kemungkinan
motif pembunuhan tersebut. Tapi sekarang mereka seperti dibutakan dan benar-benar
bingung. Mereka yang percaya Tuhan segera memohon perlindungan dalam doa agar
rumahnya terlindung dari bencana.

Perfume : The Story of a Murderer

Ketakutan menghunjam seisi kota dan daerah sekitarnya. Orang tak tahu pada siapa
harus melampiaskan kemarahan. Walau masih ada yang mencurigai orang gila atau sang
Marquis nan nyentrik, namun tak ada yang benar-benar yakin karena yang pertama selalu
dijaga pengawal siang-malam, dan yang kedua sudah lama pergi ke Paris.

Hasilnya cukup nyata. Si pembunuh seolah lenyap dari muka bumi. Oktober dan
November berlalu tanpa berita penemuan mayat baru. Memasuki awal Desember, ada berita
dari Grenoble tentang seorang pembunuh yang suka mencekik gadis-gadis muda, lalu
merobek pakaian dan menarik rambut mereka sampai lepas dengan tangan.
Walau metode ini terdengar kasar dan tidak sebersih pembunuh Grasse, semua orang
yakin bahwa pelakunya pasti sama. Ada kelegaan bahwa binatang itu telah hijrah ke
Grenoble yang jauhnya tujuh hari perjalanan. Warga Grasse menyilangkan tanda salib tiga
kali berturut-turut tanda syukur. Lalu mereka merayakan sebuah prosesi obor untuk
menghormati sang uskup, sekalian merayakan thanksgiving tanggal 24 Desember. Pada
tanggal 1 januari 1766, penjagaan dikendurkan dan peraturan jam malam untuk wanita tidak
diberlakukan lagi. Kondisi normal kembali mengisi kehidupan dengan cepat. Ketakutan
publik menipis dan tak ada lagi yang membicarakan teror ganas yang pernah mendera dua
kota serta permukiman sekitar beberapa bulan berselang. Keluarga korban pun sungkan
banyak bicara. Kutukan sang uskup seolah tak hanya ampuh mengusir si pembunuh tapi juga
kenangan tentang dirinya. Warga sama sekali tak keberatan.
Namun, sejak peristiwa menghebohkan ini sampai sekarang di kota itu, mereka yang
memiliki putri remaja tak akan membebaskan mereki bergaul atau keluyuran begitu saja
tanpa pengawasan, apalagi menjelang malam. Setiap pagi saat ayah atau ibu melihat
putrinya masih sehat dan ceria, hatinya merasa bahagia tanpa mau mengakui kenapa begitu.

Perfume : The Story of a Murderer

Dewan kota Grasse adalah sebuah komite yang terdiri atas tiga puluh orang terkaya dan
paling berpengaruh dari kalangan umum serta ningrat. Mayoritas berpendidikan tinggi, tak
percaya takhayul, tak suka ke gereja, dan kalau boleh lebih suka menggusur saja semua
biara yang ada di kota lalu mengubahnya menjadi gudang atau pabrik. Namun dalam
kegentingan ini, orang-orang angkuh dan berkuasa itu bersedia merendahkan diri menulis
petisi permohonan pada uskup untuk mengutuk monster sadis yang tak bisa ditangkap oleh
kekuatan fana ini, persis seperti tindakan pendahulu mereka pada tahun 1708. Mereka juga
memohon agar si pembunuh dikucilkan dari semua kegiatan sosial. Implementasinya, mulai
akhir bulan September, pembunuh sadis yang telah membunuh tak kurang dari 24 gadis
tercantik dari semua kalangan itu dilaknat dan dikucilkan dari semua kegiatan sosial, baik
secara tertulis apalagi sampai disebut di mimbarmimbar umum dan gereja di seluruh kota
termasuk larangan sang uskup sendiri untuk membicarakan hal itu di mimbar katedral Norre
Dame-du-Puy.

Empat Puluh Satu


ADA SATU ORANG Di GRASSE yang tidak meyakini begitu saja kedamaian ini. Namanya
Antoine Richis. Ia adalah anggota kedua dewan kota dan tinggal di rumah besar dekat
gerbang kota yang mengarah ke jalan Droite.

Satu hal pasti yang mendukung angan-angan ini adalah kekayaan. Antoine Richis adalah
orang terkaya dibanding siapa pun. Propertinya tak hanya tersebar di sekitar Grasse dalam
wujud ladang-ladang jeruk, minyak zaitun, gandum, dan rami, tapi juga dekat Vence dan
sampai Antibes di mana ia menyewakan peternakan. Ia punya rumah dan vila di Aix dan di
pedesaan sekitar, saham di kapal dagang yang berbisnis dengan India, sebuah kantor
permanen di Genoa, dan termasuk penjual grosir terbesar di Prancis untuk parfum, rempahrempah, minyak, dan kulit.
Bagaimanapun, harta paling berharga bagi Richis adalah putrinya sendiri. Anak semata
wayang yang baru berumur enam belas tahun, berambut pirang-merah, bermata hijau.
Wajahnya begitu elok dan mampu memesona orang dari segala usia, baik pria maupun
wanita. Membuat orang melongo dengan wajah seperti sedang menjilat es krim, memasang
ekspresi dungu dan menjilat ludah. Bahkan Richis juga suka memandangi wajah putrinya
lama-lama. Seperempat atau setengah jam saja sudah cukup mengistirahatkan pikiran dari
urusan dunia, bahkan dari bisnisnya sendiri. Padahal dalam tidur pun ia selalu memikirkan
bisnis. Keelokan Laure membuat batin luluh dalam kontemplasi dan sejenak lupa apa yang
semula hendak dilakukan.
Dan akhir-akhir ini, perasan Richis selalu jengah. Setiap malam saat mengantar putrinya
tidur atau kadang pagi hari saat membangunkan, ia melihat Laure lelap seperti
diistirahatkan oleh tangan Tuhan. Matanya menelusuri pinggul dan buah dada putrinya
dalam balutan gaun tidur. Napas yang membuat buah dada itu turun naik, bahu jenjang,
siku dan lengan mulus tempat si gadis bersandar wajah. Saat-saat seperti ini kadang
membuat perutnya keram dan tercekat menelan ludah, seraya mengutuk posisinya sendiri
sebagai ayahbukan sebagai seorang lelaki asing agar ia bisa berbaring di samping Si gadis,
di atasnya dan di dalamnya. Di saat seperti ini keringat mengalir deras, tangan dan kaki
gemetar menahan berahi, dan akhirnya ia membungkuk memutuskan memberi kecupan di
kening khas seorang ayah.

Perfume : The Story of a Murderer

Richis hidup menduda dan punya seorang putri bernama Laure. Walau usianya belum
empat puluh tahun dan tubuh masih sempurna, ia belum berniat untuk menikah lagi. Ia ingin
mencari suami untuk putrinya. Dan tidak boleh sembarang orang, tapi harus dari kalangan
berpangkat atau ningrat. Kebetulan ada seorang baron bernama Baron de Bouyon yang punya
seorang putra dan tanah dekat Vence. Sang Baron terkenal bereputasi baik namun situasi
keuangannya buruk. Ia dan Richis telah mengatur kontrak tentang masa depan perkawinan
kedua anak mereka. Begitu Laure menikah, Richis juga berencana mengakhiri masa
mendudanya dengan salah seorang dari rumah keluarga Dre, Maubert, atau Fontmichel.
Bukan karena putus asa dan merasa hina kalau tak mendapat pasangan ningrat, tapi karena
ingin membangun dinasti sendiri dan mengatur agar anak-cucunya berada di jalur mudah
yang mengarah langsung ke posisi politik dan sosial tertinggi. Untuk itu, setidaknya ia harus
mempunyai dua orang putra. Satu untuk meneruskan bisnis keluarga, yang lain untuk
mengejar karier di bidang hukum yang mengarah ke parlemen di Aix dan peningkatan status
ke posisi ningrat. Posisinya sekarang tak memungkinkan untuk bisa berharap banyak, kecuali
jika berhasil menyatukan pertalian hubungan keluarga dengan salah satu keluarga ningrat.

Anehnya, kondisi itu kini berubah. Sementara masyarakat merayakan berakhirnya


pembunuhan seolah si pelaku sudah digantung dan dengan segera melupakan masa-masa
kelabu, ketakutan mulai merayapi jantung Antoine Richis seperti racun. Selama ini ia tak
pernah mengakui bahwa justru rasa takutlah yang membuat ia menunda berbagai perjalanan
dinas dan enggan meninggalkan rumah, atau buruburu mengakhiri kunjungan dan
pertemuan hanya agar bisa segera kembali pulang. Alasannya sibuk atau capek, tapi
sesungguhnya ia cemassewajarnya kecemasan seorang ayah pada putrinya saat menjelang
usia menikah. Tidakkah kecantikan Laure telah tersebar ke dunia luar? Tidakkah orang-orang
selalu memanjangkan leher, bahkan sekarang, saat ia menemani putrinya ke gereja setiap
Minggu? Berapa banyak lelaki terpandang yang telah mengajukan lamaran, baik atas nama
sendiri atau atas nama putra mereka ... ?

Perfume : The Story of a Murderer

Beberapa tahun terakhir, saat sedang heboh-hebohnya terjadi pembunuhan, godaan


jahat ini belum mendera. Daya tarik yang terasakan masih daya tarik normal seorang anak
kecil. Karena itu ia juga tidak terlalu mencemaskan Laure bakal jadi korban. Semua orang
tahu bahwa si pembunuh tak pernah menyerang anak-anak atau wanita dewasa. Incarannya
selalu gadis perawan yang baru mekar. Namun, ia tetap memperketat penjagaan di rumah,
memasang terali di semua jendela lantai atas, dan menyuruh pengasuh Laure berbagi kamar
tidur dengan si gadis. Ia tak mau mengirim putrinya keluar kota seperti banyak dilakukan
kawan-kawan lainbahkan ada yang memboyong seluruh keluarga. Richis menganggap sikap
ini sangat tidak pantas dilakukan sebagai seorang anggota dewan. Ia justru harus jadi
panutan ketegaran, keberanian, dan keteguhan bagi masyarakat. Lagi pula, ia jenis orang
yang tak rela putusannya dibuat oleh orang lain. Apalagi oleh publik yang panik dan gosip
kriminal yang tidak jelas. Jadilah ia selama hari-hari kelabu itu menjadi salah satu dari
segelintir orang yang kebal dari rasa takut dan tetap tenang.

Empat Puluh Dua

Malamnya Richis terbangun bermandikan keringat dan gemetar ketakutan. Akhirnya ia


mengaku bahwa ia takut. Terasa bagai cengkeraman. Tapi dengan pengakuan itu perasaan
jadi lebih tenang dan pikiran lebih jernih. Jujur saja, sejak awal ia tidak percaya pada
kemanjuran kutukan uskup, juga pada kabar bahwa kini si pembunuh tengah asyik berdiam
di Grenoble. Ia lebih yakin bahwa sebenarnya si pembunuh masih bercokol di Grasse.
Monster itu pasti tinggal di sini. Di tengah-tengah penduduk Grasse dan kelak akan
menyerang lagi. Richis pernah melihat sendiri beberapa gadis yang menjadi korban selama
bulan Agustus dan September. Pemandangan itu begitu mengguncang dan menghantui. Di
pihak lain ia juga mengakui dan kagum, bahwa masing-masing korban tersebut memang
sangat cantik dan elok. Si pembunuh telah membuka mata bahwa Grasse ternyata
menyimpan banyak wanita cantik. Harus diakui bahwa monster itu punya selera istimewa
soal wanita. Juga sistem yang dipakai. Setiap pembunuhan tidak hanya dilakukan dengan
efisiensi yang sama, tapi pilihan korban juga terencana dengan rapi dan halus. Richis
memang tidak tahu apa yang sebenarnya dicari si pembunuh dari setiap korban karena ia
pasti tak akan bisa merampas satu hal yang terbaik dari mereka semua, yaitu keindahan dan
pesona keremajaan.... Atau bisa? Renungan berikut memang terdengar musykil, tapi
tampaknya si pembunuh tidak memiliki jiwa destruktif, malah lebih seperti seorang kolektor
yang hati-hati. Bagaimana bila semua korban tidak dilihat secara terpisah, tapi sebagai
bagian dari prinsip atau idealisme tertentu yang lebih tinggi? Dus, karakteristik dari masingmasing korban bisa digabung secara idealistis menjadi sebuah kesatuan tunggalseperti
potongan-potongan mozaik yang membentuk sebuah keindahan absolut. Kalau hal ini bisa
dilakukan, pancaran aura yang keluar tak akan lagi menyerupai manusia, tapi malaikat
atau semacam itu. (Kita lihat di sini, Richis adalah seorang pemikir intelek yang tidak takut
mengambil kesimpulan tabu seputar agama. Walau tidak berpikir dalam kerangka
penciuman dan lebih ke arah visual, kesimpulannya sangat mendekati kebenaran.)
Kalau begitu, lanjut Richis, anggaplah bahwa si pembunuh adalah seorang kolektor
keindahan dan sedang mengerjakan sebuah lukisan tentang kesempurnaanpun bila itu
hanya eksis dalam pikiran sintingnya sendiri. Anggaplah kemudian bahwa si pembunuh tak
pelak lagi memang memiliki selera tinggi dan metode sempurna. Jika benar demikian, ia
pasti sadar bahwa masih ada satu komponen terpenting di muka bumi ini yang harus ia
dapatkan kalau mau lukisannya sempurna, yaitu keelokan Laure. Seluruh tindakan
sebelumnya tak akan berarti kalau yang satu ini luput. Laure adalah fondasi bagi bangunan
kesempurnaan itu.
Sementara kesimpulan mengerikan ini terbentuk, Richis duduk di pinggir ranjang dan
takjub melihat ketenangannya sendiri. Tubuh tidak terasa dingin atau menggigil lagi.
Ketakutan yang mendera selama berminggu-minggu telah lenyap, digantikan kesadaran akan
adanya sebuah bahaya. Jelaslah kini bahwa Laure memang menjadi tujuan utama sejak
awal. Menjadi mahkota dari semua pembunuhan, seperti orang naik tangga menuju puncak.
Belum jelas benar apa tujuan di balik semua ini, kalau memang ada. Apa pun itu, yang

Perfume : The Story of a Murderer

SUATU HARI DI BULAN MARET, Richis sedang santai di ruang duduk, menatap Laure keluar
menuju taman belakang rumah. Si gadis mengenakan gaun biru, rambut merah tergerai lepas
dan berkilau di terik matahari. Ia belum pernah melihat wajah itu demikian cantik. Laure
menghilang di batik tanaman pagar. Dua detik selama Laure lenyap dari pandangan terasa
terlalu lama, dan Richis ketakutan setengah mati karena dalam dua detik itu ia merasa
kehilangan.

penting sekarang Richis sudah tahu inti masalahnya. Rahasia di belakang metode sistematis
si pembunuh dan motif idealismenya. Makin lama dipikir ia makin puas dengan kesimpulan
ini dan makin besar pula kekagumannya pada si pembunuh. Kekaguman yang ia akui seperti
layaknya becermin, karena merasa berhasil mengungkap jejak musuh dengan kejelian dan
ketajaman analisis pribadi.

Pikiran ini muncul didasari pertimbangan bahwa jika ia mampu menempatkan diri dalam
pikiran calon pembunuh putrinya ini, berarti ia berada di atas si pembunuh. Toh si pembunuh
tak bisa berlaku sebaliknya, menempatkan diri di pikiran Richis. Teknik ini kira-kira sama
dengan teknik bisnis mutatis mutandis. Kita bisa mengalahkan pesaing jika mampu
menjejaki niat bisnisnya. Dengan demikian, si pesaing tak mungkin bisa unggul. Kecuali
mungkin Antoine Richis, karena ia adalah seorang pejuang alami dan petarung
berpengalaman. Orang tahu bahwa bisnis parfum terbesar di Prancis, kekayaan, jabatannya
sebagai anggota-kedua dewan kota, semua tidak jatuh begitu saja dari langit tapi diperoleh
dengan darah dan keringat perjuangan. Dengan kelihaian dan kelicikan, ia mampu mengenali
bahaya jauh-jauh hari, pandai menebak rencana pesaing dan mengalahkan lawan. Dengan
cara yang sama pula ia akan mencapai cita-cita di masa depan, yaitu kekuasaan dan status
bangsawan untuk anak-cucu. Demikian pula, ia akan mengatasi rencana si pembunuhdalam
hal ini sebagai pesaing mendapatkan Laure. Selain atas alasan sebagai seorang ayah, Laure
juga merupakan fondasi penting bagi rencana Richis ke depan. Jadi mutlak harus
dimenangkan. Ia tulus menyayangi tapi juga butuh untuk kepentingan pribadi. Tak ada yang
boleh melangkahi ambisinya. Akan ia pertahankan dengan segala cara.
Richis merasa lebih baik sekarang. Keberhasilan merendahkan posisi imajiner si
pembunuh dari sosok Iblis menakutkan menjadi sekadar pesaing membuatnya lebih berani
dan angkuh. Tak ada lagi sisa-sisa rasa takut. Kesedihan dan kegelisahan yang membuatnya
pikun telah lenyap. Kabut perangkap kemurungan yang meraja selama berminggu-minggu
itu terangkat sudah. Secara psikologis ia merasa lebih siap, kenal medan, dan mampu
mengatasi setiap tantangan.

Perfume : The Story of a Murderer

Richis merasa bahwa seandainya ia berada di posisi sebagai pembunuh dan terobsesi
dengan idealisme serupa, tindakannya pasti tak jauh beda dengan si pembunuh. Bekerja
perlahan, menempatkan Laure sebagai puncak prestasi.

Empat Puluh Tiga


DENGAN LEGA IA MELOMPAT dari ranjang, menarik bel pelayan, dan menyuruh
pelayannya yang terkantuk-kantuk mengepak pakaian dan perbekalan karena pagi ini juga
ia hendak pergi ke Grenoble bersama Laure. Setelah salin pakaian ia berg egas
membangunkan pelayan lain.

Sekitar jam enam pagi ia selesai dengan urusan korespondensi dan memberi semua
perintah yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana. Tak lupa mengantongi dua pucuk
pistol, mengencangkan sabuk uang, dan mengunci laci meja. Setelah itu ia beranjak
membangunkan Laure.
Jam delapan pagi rombongan kecil itu berangkat. Richis berkuda di depan. Tampak
gagah dengan bordiran emas, mantel burgundi di balik mantel berkuda warna hitam dan topi
hitam berhias bulu unggas. Ia diikuti Laure, berkuda dengan gaun lebih sederhana namun
memancarkan kecantikan yang membuat orang-orang sepanjang jalan dan di jendela
menatap sendu. Ditingkahi suara aah ... dan ooh... sementara para lelaki menurunkan
topiseolah demi sang anggota dewan, tapi sesungguhnya demi Laure sang gadis anggun.
Tak jauh di belakang menyusul si pengasuh dan rombongan pelayan dengan dua kuda beban.
Buruknya jalan menuju Grenoble membuat perjalanan tak mungkin ditempuh dengan
kereta. Ujung parade diisi selusin keledai beban di bawah pengawasan dua orang tukang
kuda. Tiba di gerbang du Cours, para penjaga menawarkan pengawalan sampai keledai
terakhir lewat dari gerbang. Anak-anak berlarian di belakang sampai beberapa lama,
melambaikan tangan pada rombongan yang berjalan perlahan menyusuri jalan curam dan
berliku ke arah pegunungan.
Kepergian Antoine Richis dan putrinya meninggalkan kesan aneh namun dalam pada
warga Grasse. Rasanya seperti baru saja menyaksikan prosesi pengorbanan kuno. Segera
tersebar berita bahwa Richis sedang menuju Grenoblekota tempat si pembunuh gadis kini
bernaung. Orang-orang tak bisa menebak apa maksudnya. Apakah Richis menunjukkan
keberanian atau kebodohan dengan mengabaikan ancaman kriminal? Apakah ia sedang
menantang atau berdamai dengan Tuhan? Ada pertanda samar bahwa inilah terakhir kali
mereka melihat Laure Richis, si gadis cantik berambut merah.
Kecurigaan ini bisa jadi benar, tapi dasar anggapannya palsu. Richis sama sekali tidak
sedang menuju Grertoble. Pawai kepergiannya hanya taktik pengalih perhatian. Satu
setengah mil di barat laut Grasse, dekat desa Saint-Vallier, ia memerintahkan rombongannya
untuk berhenti. Kepada pelayan ia menyerahkan surat-surat legal dan berkas-berkas

Perfume : The Story of a Murderer

Tengah malam itu, rumah di jalan Droite tampak begitu sibuk. Tungku menyala di dapur;
pembantu-pembantu wanita berkelebat di koridor; para pelayan bergegas turun naik tangga;
kunci-kunci gudang loteng bergemerencing di saku pengurus rumah tangga; obor-obor
menyala di pekarangan; pengurus kuda sibuk menyiapkan kuda tunggang dan keledai untuk
membawa perbekalansibuk memasang tali kekang, sadel, mondar-mandir memuati
barang. Orang sampai nyaris yakin bahwa pasukan Austro-Sardinian akan datang, menjarah
dan membakar seperti yang terjadi pada tahun 1746, dan bahwa pemilik rumah sedang
bersiap kabur dalam kepanikan. Padahal sama sekali tidak! Pemilik rumah sedang duduk di
ruang kerja dengan pose seagung panglima perang Prancis. Secangkir cafe au lait terseduh
nikmat seraya memberi perintah pada bawahan. Ia juga menulis surat untuk wali kota,
anggota-pertama dewan kota, sekretaris, pengacara, bankirnya di Marseille, kepada Baron
de Bouyon dan partner-partner bisnisnya.

pengiriman barang lalu menyuruhnya membawa rombongan keledai dan tukang kuda
melanjutkan perjalanan ke Grenoble.

Richis bukannya tak sadar bahwa dalam ketergesa-gesaan ini ia telah menawar harga
terlalu tinggi untuk mahar penyatuan kedua keluarga. Bisa lebih murah kalau ia mau
menunggu lebih lama. Sang Baron bakal mengemis padanya agar diizinkan meningkatkan
status sosial putri seorang pedagang grosir borjuis melalui perkawinan dengan putranya.
Dengan demikian, tak hanya keelokan
Laure yang akan tumbuh, tapi juga kekayaan Richis dan kondisi keuangan Bouyon. Tapi
peduli amat! Lawan sesungguhnya dalam bisnis kali ini bukan sang Baron, tapi si pembunuh
misterius. Dialah pesaing yang bisnisnya wajib dirusak. Seorang wanita menikah yang tak
lagi perawan, apalagi kalau hamil, tak akan cocok lagi untuk masuk ke galeri keindahannya.
Puncak potongan mosaik ini justru akan merusak keindahan yang lain. Dengan kata lain,
Laure tak akan lagi menarik minat si pembunuh dan semua usahanya akan sia-sia. Richis
ingin menikmati kekalahan itu! Ia berniat menyelenggarakan pesta pernikahan di Grasse,
lengkap dengan segala kemegahan dan terbuka untuk umum. Pun bila ia tak mengenal
sendiri seperti apa wajah saingannya itu, ia tetap akan mencicipi kesenangan pribadi dengan
menganggap bahwa si pembunuh pasti hadir di antara pengunjung dan terpaksa melihat
objek mimpinya dirampas di depan hidung.
Rencana telah disusun rapi, dan sekali lagi kita harus mengagumi ketajaman insting
Richis yang nyaris mendekati kenyataan. Perkawinan Laure Richis dengan putra Baron
memang akan menjadi pukulan berat bagi si pembunuh kota Grasse. Tapi rencana ini belum
sepenuhnya terlaksana. Richis belum menyelamatkan putrinya dengan perkawinan. Ia belum
menyeberang dan menitipkan putrinya di biara SaintHonorat. Tiga penunggang kuda itu
Richis, Laure, dan pengasuhnyamasih harus melewati pegunungan Tanneron yang tak
ramah. Kadang jalan begitu buruk sampai mereka terpaksa turun dari kuda. Sungguh
memperlambat perjalanan. Sore hari mereka berharap bisa mencapai laut dekat La Napoule,
sebuah kota kecil di sebelah barat Cannes.

Perfume : The Story of a Murderer

Ia sendiri malah balik arah bersama sang putri dan pengasuhnya ke arah Cabris. Di situ
mereka beristirahat siang hari dan setelah itu langsung melewati pegunungan Tannerort ke
arah selatan. Jalan yang ditempuh sangat sukar, tapi mampu memutari Grasse dan
lembahnya dalam jalur memutar sangat luas dan tiba di tepi pantai sore hari tanpa dikenali.
Hari berikutnya, menurut rencana Richis, ia akan menyeberang naik feri bersama Laure ke
Iles de Lrinssebuah pulau kecil tempat biara Saint-Honorat yang terkenal berbenteng dan
dijaga ketat. Pengurusnya memang sudah tua-tua, tapi terdiri dari pendeta-pendeta
mumpuni yang dikenal baik oleh Richis karena selama bertahun-tahun ia selalu membeli dan
menjual kembali seluruh hasil produksi biara berupa anggur eukaliptils, kacang pirtus, dart
minyak cemara. Biara Saint-Honorat iniselain penjara Chteau dIf dan penjara negara di
pulau Ile Sainte-Margueritemerupakan tempat paling aman di seluruh Provence. Richis
berniat menitipkan putrinya di situ untuk sementara. Ia sendiri harus segera kembali. Kali
ini memutari Grasse ke arah timur lewat Antibes dan Cagnes, lalu tiba di Verice sore itu
juga. Ia telah memerintahkan sekretarisnya untuk langsung ke sana menyiapkan perjanjian
dengan Baron de Bouyon tentang pernikahan anak-anak mereka, Laure dan Alphonse. Richis
akan memberi tawaran yang tak bisa ditolak sang Baron berupa pembayaran seluruh utang
berjumlah 40 ribu livre, maskawin berupa tanah bernilai setara berikut pembagian
kepemilikan atas tanah tersebut, sebuah penggilingan minyak dekat Maganose, dan
penghasilan tahunan sebesar 30 ribu livre untuk kedua mempelai. Richis sendiri mengajukan
syarat agar perkawinan ini harus berlangsung dalam tempo sepuluh hari ke depan, seluruh
kontrak diteken pada hari jadi dan kedua mempelai kelak tinggal di Vence.

Empat Puluh Empat

Grenouille sadar tak ada gunanya mendobrak rumah di jalan Droite begitu saj a. Itu
sebabnya ia berniat menyelinap tanpa menggunakan parfum apa pun persis setelah matahari
terbenam dan sebelum pintu-pintu ditutup. Tubuh Grenouille yang tiada berbau ini berkalikali terbukti ampuh menumpulkan indra perseptif manusia. Sedikit banyak ia jadi seperti
hantu, meski tetap harus berhati-hati dan segera mencari tempat persembunyian begitu
masuk rumah. Ia akan menunggu di persembunyian tersebut sampai seisi rumah lelap, baru
setelah itu beraksi mengikuti kompas hidung menyusuri kegelapan naik sampai ke kamar
harta karun. Ia berencana menggunakan kain berlapis minyak di tempat itu juga. Yang
dibawa pulang nanti, seperti biasa, hanya rambut dan pakaian korban, karena dua benda ini
bisa langsung dibilas dengan alkohol rektifikasi, kendati sebenarnya lebih aman dikerjakan
di tempat kerja. Mungkin butuh tambahan satu malam untuk menyelesaikan pembuatan
pomade dan mengolah konsentratnya. Kalau semua berjalan lancar, dan ia yakin pasti
begitu, dua hari mendatang ia akan memiliki seluruh ramuan yang dibutuhkan untuk
membuat parfum terbaik di dunia. Ia akan meninggalkan Grasse sebagai manusia paling
harum di dunia.
Sekitar tengah hari, ia selesai merendam jonquil. Grenouille mematikan api, menutup
belanga minyak, lalu keluar untuk menyegarkan diri. Angin bertiup dari arah barat.
Sejak napas pertama ia langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. Atmosfernya tidak
wajar. Seperti ada yang hilang dari kelambu rajutan benang emas yang membentuk aroma
istimewa di taman belakang tembok. Beberapa minggu terakhir Grenouille merasakan aroma
rajutan itu tumbuh makin kuat sampai bisa diendus dengan jelas dari kabinnya di ujung kota.
Sekarang kok hilang. Lenyap begitu saja dari jamahan hidung Grenouille yang supersensitif.
Grenouille nyaris kaku ketakutan.
Gadis mungilku sudah mati, pikirnya. Lalu yang lebih menakutkan lagi: ada yang
mendahului. Seseorang telah memetik bunga mawarku dan mengambil aromanya untuk
disimpan sendiri! Benarkah begitu? Grenouille bahkan tak sanggup menjerit saking
tegangnya, tapi tetap bisa menghasilkan air mata yang tahu-tahu mengalir di kedua sisi
hidung.
Lalu Druot, sekembalinya dari tongkrongan wajib di Quatre Dauphins untuk makan siang,
iseng mengabari sambil lalu bahwa subuh tadi sang anggota dewan pergi menuju Grenoble
bersama dua belas keledai beban dan putrinya. Grenouille segera mengusap air mata dan
lari memastikan sendiri ke gerbang Cours. Ia berhenti untuk mengendus udara di sekitar
rumah sebelum sampai di gerbang. Dari angin barat nan murni, yang belum lagi

Perfume : The Story of a Murderer

KETIKA LAURE RICHIS dan ayahnya meninggalkan Grasse, Grenouille sedang berada di
bagian lain kota itu, di tempat Arnulfi, sibuk merendam bunga jonquil. Sendirian dan
suasana hatinya cerah. Harihari di kota ini akan segera berakhir. Hari kemenangan sudah
dekat. Di kabinnya ada sebuah peti beralas kain kanin berisi 24 flacon kecil yang masingmasingnya sarat dengan aroma dari 24 perawan. Esensi aroma berharga ini dibuat Grenouille
selama setahun terakhir dengan merendam tubuh mereka dalam minyak dingin, memproses
potongan rambut dan pakaian, melakukan pembilasan dan penyulingan. Dan hari ini ia
berencana mengambil korban ke-25korban paling berharga dan terpenting. Persiapan akhir
telah dilakukan sebelum ekspedisi. Ia telah menyiapkan sebuah wadah kecil berisi minyak
yang dimurnikan beberapa kali, selembar kain dari linen terbaik, dan sebotol besar alkohol
berkadar tinggi. Medan telah dipelajari sampai detail terkecil. Bulan baru telah dimulai.

terkontaminasi aroma kota, ia bisa melacak rajutan benang emas itu. Walau tipis dan amat
samar, tapi tidak salah lagi! Tapi... aroma ini tidak bertiup dari barat laut menuju Grenoble,
tapi dari arah Cabriskalau tidak langsung berhembus dari barat daya.
Pada penjaga gerbang kota Grenouille bertanya jalan mana yang tadi diambil oleh sang
anggota dewan. Si penjaga menunjuk arah utara. Bukan jalan ke Cabris? Atau sebaliknya
barangkali, mengarah ke selatan ke arah Auribeau dan La Napoule? Sama sekali tidak, tegas
si penjaga. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Jalan yang diambil adalah jalur langsung menuju La Napoule yang membentang
sepanjang kaki bukit pegunungan Tanneron, lewat sungai di lembah Frayre dan Siagne. Ini
jalur mudah dan Grenouille menyusul dengan cepat. Begitu kota Auribeau muncul di sisi
kanannya, menempel pada pegunungan di atasnya, ia bisa mengendus bahwa ia hampir bisa
menyusul. Sekarang ia bisa mencium bau masing-masing rombongan dan bau kuda-kuda
mereka. Tak lebih dari setengah mil ke arah Barat, di suatu tempat di hutan Tartneron.
Mereka tengah menyusuri jalan ke arah selatan, ke arah laut. Grenouille mengikuti.
Sekitar jam lima sore itu, Grenouille tiba di La Napoule. Ia langsung ke penginapan,
makan, dan memesan kamar murah, di samping mengaku sebagai seorang ahli penyamak
kulit dari Nice yang hendak menuju Marseille. Ia bisa tidur di kandang kuda kalau mau.
Grenouille tak keberatan. Segera menggelar selimut di sudut kandang dan beristirahat.
Hidungnya mencium tiga penunggang kuda mendekati kota. Ia hanya harus menunggu.
Dua jam kemudian, menjelang malam, yang ditunggu akhirnya tiba di kota. Agar tetap
tak dikenali, mereka berganti kostum. Dua wanita dari rombongan itu kini bermantel dan
berkerudung hitam, sementara Richis mengenakan mantel panjang warna hitam. Ia
memperkenalkan diri sebagai seorang bangsawan yang tengah dalam perjalanan menuju
Castllane. Pagi-pagi sekali ia ingin diseberangkan ke Iles de Urins. Pemilik penginapan
diminta menyiapkan perahu untuk besok pagi. Apakah ada tamu lain di penginapan ini selain
ia dan rombongan? Richis bertanya. Tidak, jawab pemilik penginapan. Hanya seorang ahli
penyamak kulit dari Nice yang kemalaman dan tidur di kandang kuda.
Richis segera menyuruh putri dan pengasuhnya naik ke kamar mereka. Ia hendak ke
kandang kuda dengan alasan mau mengambil sesuatu dari tas di sadel. Awalnya ia tak bisa
menemukan si ahli karena gelap dan terpaksa meminjam lentera dari tukang kuda. Lalu ia
melihatnya: berbaring bersama tumpukan jerami dan selimut tua di sudut kandang, dengan
kepala bersandar buntel dan tidur lelap. Orang ini tidak tampak mencolok. Richis bahkan
beroleh kesan seolah si ahli tidak ada di situ sama sekali. Padahal persis di depan mata.
Pikirnya, pasti hanya pantulan bayangan dari cahaya lentera. Yang jelas saat itu ia langsung
yakin bahwa orang ini tidak berbahaya dan segera pergi lagi diam -diam karena tak ingin
membangunkannya, lalu kembali ke penginapan.
Richis makan malam di kamar bersama putrinya. Ia belum menjelaskan alasan dan tujuan
perjalanan ini padanya. Pun saat didesak. Richis berjanji akan bercerita besok pagi, seraya
meyakinkan bahwa semua ini demi kebaikan dan jaminan masa depan Laure sendiri.
Setelah makan mereka bermain kartu lhombre sebentar. Ia kalah karena lebih
menyimak wajah lawan ketimbang kartunya sendiri. Sekitar jam sembilan ia mengantar
Laure ke kamar yang berada persis di depan kamarnya sendiri. Pintu ia kunci dari luar lalu
pergi tidur.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille berlari kembali ke kabin dan segera mengepak kain linen, wadah pomade,
alat pengaduk, gunting, serta sebilah kayu kecil ke dalam buntel dan langsung menempuh
perjalanan. Tidak ke arah Grenoble, tapi ke arah yang ditunjuk hidungnya, yaitu ke selatan.

Mendadak Richis merasa begitu lelah setelah sehari semalam berkuda, sekaligus puas
dengan perkembangan situasi sejauh ini. Ia tidak curiga atau mencemaskan apa pun,
padahal baru kemarin ia sulit tidur selama berminggu-minggu. Malam ini ia langsung lelap
tanpa bermimpi, tanpa suara dan tidak bergerak sampai pagi. Untuk pertama kali Richis
tidur dengan begitu nyaman dan segar.

Dalam pertemuan itu kedua pihak sama-sama yakin bahwa yang diamati tidak perlu
dicemaskan. Keduanya sama-sama benar dan salah, dan memang demikianlah seharusnya,
pikir Grenouille. Buat dia sendiri, posisi ini akan mempermudah rencana. Richis juga akan
berpikiran sama jika situasinya dibalik.

Perfume : The Story of a Murderer

Bersamaan dengan itu, Grenouille bangun dari peraduannya di kandang kuda. Ia juga
puas dengan perkembangan situasi dan merasa bugar, walau belum tidur sedetik pun. Saat
Richis datang mencari, ia hanya pura-pura tidur. Menebar aura kepolosan melalui aroma
aslinya yang tak berbau. Jika Richis hanya melihat sekilas, Grenouille sempat mengamati
dengan cermat melalui hidung. Kelegaan Richis juga tak lolos dari perhatiannya.

Empat Puluh Lima

Setelah pomade habis dioles, ia haluskan lagi di sana-sini, membuang beberapa bagian
yang terlalu tebal, menambah lagi di sana, menata ulang, memeriksa lanskap sebaran lemak
dari model yang dibuat, sekali lagi. Semua dilakukan dengan hidung, bukan dengan mata,
karena sekelilingnya gelap gulita. Mungkin itu juga sebabnya Grenouille merasa nyaman.
Tak ada yang mengganggu di malam bulan baru ini. Dunia hanya menyisakan aroma dan
debur halus ombak dari laut.
Grenouille lalu menggulung kain linen seperti permadani. Ini prosedur menyakitkan
karena sadar bahwa bagian-bagian yang telah disempurnakan tadi pasti saling tumpangtindih, menipis, atau bergeser. Tapi tak ada cara lain lagi membawanya. Setelah dilipat
cukup kecil sampai muat di bawah lengan tanpa menghalangi gerak, ia memasukkan
pengaduk, gunting, dan pentungan kayu kecil ke saku, lalu menyelinap di kegelapan malam.
Awan sedang tebal. Tak ada cahaya menyala di penginapan. Satu-satunya sumber cahaya
hanya setitik kerdipan mercusuar di benteng pulau Ile Sainte-Marguerite, berjarak satu mil
di sebelah timur. Angin amis bertiup ringan dari arah pelabuhan. Anjing-anjing sedang lelap.
Grenouille berjalan ke jendela atap bagian belakang bangunan gudang tempat sebuah
tangga bersandar. Ia angkat tangga itu, diseimbangkan secara vertikal, tiga anak tangga ia
apit dengan tangan kanan, sementara sisanya dibiarkan menekan bahu kanannya. Lalu ia
bergerak melewati pekarangan sampai tiba persis di bawah jendela kamar Laure.
Jendelanya terbuka lebar. Sambil memanjat tangga ia bersyukur atas situasi yang
mempermudah panen aroma kali ini di La Napoule. Di Grasse, kebanyakan rumah, termasuk
rumah Richis, sudah dipasangi terali dan dijaga ketat. Laure bahkan tidur sendiri di kamar
ini. Ia tak harus memusingkan si pengasuh lagi.
Grenouille mendorong daun jendela, menyelinap ke kamar, dan menggelar kain linen.
Lalu beralih ke ranjang. Aroma dominan mengambang dari rambut Laure karena si gadis
tidur tengkurap dengan kepala bersandar bantal dan disangga lengan terlekuk
memperlihatkan belakang kepala dalam posisi yang nyaris ideal untuk dihajar dengan kayu.
Suara pukulan terdengar tumpul dan gemeretak. Grenouille benci ini. Benci karena suara
yang ditimbulkan. Suara yang keluar di tengah prosedur yang mestinya tak bersuara. la
menahan suara itu dengan mengeraskan gemeretak gerahamnya. Setelah usai ia berdiri kaku
seolah takut suara itu berbalik menggema. Tapi tidak. Hanya kesunyian yang datang.

Perfume : The Story of a Murderer

GRENOUILLE MENYIAPKAN PEKERJAAN dengan kecakapan seorang profesional. Ia


membuka buntel, mengeluarkan kain linen, pomade, dan alat pengaduk, kemudian
menggelar kain linen itu di atas selimut lalu mulai mengolah pasta berlemak. Pekerjaan ini
butuh waktu karena minyak lemak harus dioleskan tipis atau tebal tergantung bagian tubuh
mana yang akan ditempel di kain tersebut. Bagian mulut dan ketiak, buah dada, kelamin
dan kaki memberi aroma lebih kuat ketimbang garas kaki, punggung, dan siku, misalnya.
Telapak tangan lebih beraroma ketimbang punggung tangan, alis mata melebihi kelopak
mata, dan sebagainya. Karena itu harus diberi lapisan lemak lebih tebal. Grenouille sedang
membuat sebuah model, di mana diagram aroma ditransfer ke aras kain linen tersebut
berdasarkan bagian tubuh yang akan dibalut. Pekerjaan ini termasuk yang paling
menyenangkan dilakukan karena bergantung pada kecakapan teknik artistik yang digabung
dengan wawasan, imajinasi, dan ketangkasan si seniman itu sendiri, selain juga
melambungkan kenikmatan menunggu hasil akhir.

Kesunyian yang makin meninggi, karena kini napas si gadis tak lagi terdengar. Seketika itu
juga ketegangan Grenouille mengendur dan ia kembali rileks.

Dengan gunting ia memotong dan menyingkirkan gaun tidur lalu menebar kain linen
berlemak ke tubuh telanjang si gadis, mengangkat mayat dan menyelipkan bagian kain yang
tersampir ke bawah tubuh, membungkus rapat dari kaki sampai kening. Hanya rambut yang
menyembut keluar dari bungkusan mumi itu. Grenouille memotongnya sampai ke dekat kulit
kepala dan mengepaknya bersama pakaian tidur, diikat dan dibuntel. Terak hir ia mengambil
secarik kain yang masih tersampir dan membungkuskannya ke kepala yang baru dicukur.
Ujung-ujung kain dan bagian lain dirapikan dengan jari agar rapat dan ketat. Ia menjauh
sedikit, mencermati pekerjaannya dan puas melihat mayat telah terbungkus sempurna.
Kini waktunya menunggu. Selama enam jam, sampai fajar. Grenouille menarik kursi kecil
tempat ia menaruh buntel pakaian Laure. Ditariknya ke dekat ranjang dan ia pun duduk.
Desah lembut aroma si gadis masih menempel di mantel hitam, bercampur dengan aroma
biskuit adas manis dalam kantung yang disimpan sebagai bekal perjalanan. Grenouille
mengangkat kaki ke tepi ranjang, berselimut pakaian tidur korban dan asyik mengunyah
biskuit. Ia memang lelah, tapi tak mau tidur karena sangat tidak pantas tertidur kala
bekerja. Pun bila yang dilakukan hanya menunggu. Ia ingat kembali malam hari saat
menyuling di toko Baldini. Pada botol suling yang gosong, letikan api, decik lembut suara
hasil sulingan saat menetes dari tube ke botol Florentine. Saat seperti ini api harus tetap
dijaga, menuang lagi air penyulingan, mengganti botol Florentine serta mengganti ramuan
yang sudah jenuh. Saat itu Grenouille merasa mampu terjaga bukan semata-mata menjaga
rutinitas pekerjaan, tapi karena kondisi terjaga itu memiliki tujuan unik tersendiri. Bahkan
sekarang, di kamar tidur ini, di mana proses penyerapan sedang berlangsung dengan
sendirinya, karena kalau diusik dengan pemeriksaan prematur justru akan merusak proses
itu sendiri. Bahkan di sini, saat ini, Grenouille merasakan pentingnya kondisi terjaga. Tidur
hanya akan membahayakan semangat keberhasilan.
Tak sulit baginya untuk begadang dan menunggu, kendati lelah. Grenouille mencintai
penantian ini. Begitu juga dengan kasus ke-24 gadis sebelumnya. Tidak terasa hambar atau
apa. Bosan pun tidak. Yang terasa adalah penantian penuh perhatian, penuh makna dan
aktif. Ada yang terjadi sementara ia menunggu. Hal terpenting dan paling pokok dari seluruh
kegiatan yang dilakukan. Ia telah mengusahakan yang terbaik, mengerahkan selur uh
keahlian artistik dan tidak membuat kesalahan. Kerja yang dilakukan terasa unik.
Sepatutnya dimahkotai kesuksesan. Hanya tinggal beberapa jam lagi. Proses menunggu ini
justru membuatnya puas. Belum pernah ia merasa begitu nyaman, begitu damai, tenang,
utuh dan menyatu dengan diri sendiri. Bahkan melebihi saat di gunung dulu, karena sekarang
ada karya nyata yang sedang berlangsung sementara menunggu. Benak Grenouille jarang
disesaki keceriaan seperti ini.
Anehnya, pikiran ini tidak melambung sampai ke masa depan. Ia tidak memikirkan
seperti apa aroma yang akan diperoleh beberapa jam lagi, tidak pula soal aroma yang
terbentuk dari aura 25 orang perawan. Tidak membayangkan rencana, kebahagiaan, atau

Perfume : The Story of a Murderer

Setelah menyingkirkan pentungan, kini tinggal membereskan tujuan utama. Pertamatama ia membuka lipatan kain linen kemudian menggelarnya di atas meja dan kursi dengan
hati-hati agar lapisan lemaknya tidak rusak. Lalu ia menarik seprai pembungkus ranjang.
Aroma si gadis meledak begitu hangat dan masif, namun Grenouille tetap teguh. Ia kenal
aroma ini dan kelak akan dinikmati sendiri seutuhnya setelah pekerjaan selesai. Yang
penting sekarang adalah bagaimana menangkap aroma ini sebanyak mungkin. Kini waktunya
konsentrasi dan buru-buru.

Rasa syukur dan kerendahan hati membuncah mendeburi batin. Terima kasih, ujarnya
perlahan. Terima kasih, wahai Jean-Baptiste Grenouille, karena telah menjadi apa adanya
dirimu! Ia begitu terharu, oleh diri sendiri.
Grenouille menutup mata. Bukan untuk tidur, tapi agar mampu menyelimuti diri dengan
kedamaian malam suci ini. Kedamaian yang begitu tenang dan sekaligus mengungkung
mengelilingi. Ia mencium lelapnya si pengasuh di ruang sebelah, kenyamanan Antoine Richis
di seberang koridor, nyenyaknya si pemilik penginapan dan para pelayan, anjing penjaga,
ternak di kandang, seluruh desa dan laut. Angin telah lama mati. Waktu seperti berhenti
berdetak. Tak ada yang mengusik kedamaian.
Sesekali ia menggeser kaki di pinggir tempat tidur agar lebih nyaman dan menyenggol
lembut kaki mendiang Laure. Bukan kakinya persis, tapi kain yang membungkus tubuh itu
dan lapisan tipis lemak peresap yang terus melahap aroma. Aroma dahsyat sang gadis. Aroma
Grenouille.

Perfume : The Story of a Murderer

kesuksesan di masa depan. Tidak. Grenouille malah pergi ke masa lalu. Ia ingat berbagai
tahapan dan peristiwa dalam hidupnya, mulai dari rumah Madame Gaillard dan tumpukan
kayu lembap di pekarangan, sampai perjalanan hari ini ke desa La Napoule yang berbau
amis. Ia teringat Grimal si penyamak, Giuseppe Baldini, dan Marquis de la TailladeEspinasse. Ia teringat kota Paris, pada kabut aromanya yang amat luasaroma jahat dari
ribuan penghuninya yang angkuh, pada si gadis berambut merah dari jalan Marais, padangpadang nan luas, angin pegunungan dan hutan. Ia juga teringat gunung Auvergne dan mimpi
mengerikan di gua itu, pada kenangan tentang aroma diri yang tidak seperti manusia normal.
Setiap detail melintas dengan kepuasan luar biasa. Sungguh, kalau dikilas balik begini
rasanya ia jadi manusia paling beruntung sedunia. Takdir menuntun ke jalan hidup yang
keras dan sadis, tapi terbukti memang jalan yang benar. Bagaimana lagi caranya ia bisa
sampai di sini, pada saat ini, di kamar ini, persis di ambang pencapaian tujuan hidup? Makin
direnung, tak pelak lagi bahwa ia memang manusia penuh berkah.

Empat Puluh Enam

Grenouille membungkus pakaian dalam bekas mengelap bersama pakaian tidur dan
rambut. Hanya pada benda-benda itu si gadis kini hidup. Grenouille menggulung
sedemikian rupa sampai benar-benar padat lalu diapitnya di bawah lengan. Ia bahkan tak
mau repot menutup mayat telanjang itu di tempat tidur. Pun saat cahaya buram fajar
memberkas masuk dari jendela, ia tidak melirik untuk terakhir kalinya. Keelokan fisik tidak
menarik minat Grenouille. Laure tak lagi eksis sebagai tubuh, tapi sebagai aroma tanpa
wujud. Itu yang dibawanya sekarang di bawah ketiaknya.
Perlahan ia menyelinap keluar jendela menuruni tangga. Angin mulai bertiup dan langit
mulai cerah. Memancarkan cahaya biru gelap nan dingin ke tanah di bawahnya.
Setengah jam kemudian, pelayan penginapan menyalakan api di dapur. Saat keluar untuk
mengambil cambahan kayu bakar ia, melihat tangga masih bersandar di bawah jendela ,
namun ia masih terlalu mengantuk untuk berkesimpulan macam -macam. Beberapa menit
lewat jam enam, matahari bangkit. Berpendarlah raksasa merah keemasan itu, beranjak
naik dari bentangan laut di antara hes de Urins. Langit tak berawan, menandai datangnya
musim semi.
Dengan kamar menghadap ke arah barat, Richis belum mau bangun sampai jam tujuh.
Ia benar-benar tidur nyenyak untuk pertama kali sejak berbulan-bulan dan tidak seperti
biasanya memilih untuk berbaring dulu barang seperempat jam di atas ranjang. M engulat
dan melenguh nikmat sementara menyimak suara kesibukan dari dapur di lantai bawah.
Akhirnya ia bangun dan membuka jendela. Menikmati pemandangan dan cuaca cerah pagi
hari serta desir laut di kejauhan. Suasana hatinya meningkat tanpa batas. Richis bersiul
melantunkan melodi ceria.
Ia terus bersiul sambil bersalin, dan masih bersiul saat meninggalkan kamar lalu tiba di
depan pintu kamar putrinya di seberang koridor. Tangan mengetuk dan mengetuk lagi
dengan lembut agar tidak mengejutkan Laure yang mungkin masih lelap. Tak ada jawaban.
Richis tersenyum. Laure pasti masih tidur.
Dengan hati-hati ia menyelipkan kunci ke lubangnya dan memutar dengan sangat
perlahan agar tidak berisik. Ia ingin melihat Laure lelap. Ingin membangunkannya dengan
kecupan, untuk terakhir kali sebelum diserahkan ke lelaki lain dalam ikatan perkawinan.
Pintu terbuka, Richis masuk dan langsung disambut terik matahari pagi. Seisi kamar
berkilau seperti disepuh perak. Untuk sesaat ia terpaksa berpejam mata karena pedih.
Saat membuka pintu lebih lebar, ia melihat Laure terbaring di tempat tidur, telanjang,
botak, dan mati. Tubuhnya bersih dan berkilauan. Rasanya seperti mimpi buruk. Mimpi yang
menghantui beberapa minggu terakhir di Grasse dan sudah nyaris terlupakan. Kini setiap

Perfume : The Story of a Murderer

SAAT BURUNG MULAI BERCICIT, tak lama menjelang fajar, Grenouille bangkit dan
menyelesaikan pekerjaan. Kain linen dibuka dan diangkat seperti membuka perban. Lemak
mengelupas dari kulit dengan sempurna. Beberapa potongan kecil bersisa di sejumlah
tempat dan harus dikerik dengan sendok. Sisa lapisan pomade dilap dengan pakaian dalam
si gadis. Grenouille mengelap seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki untuk terakhir
kali. Begitu menyeluruh sampai minyak dari pori-pori kulit juga ikut terangkat, berikut
seluruh serpih dan filamen terakhir aromanya. Saat itulah Laure benar-benar mati bagi
Grenouille. Layu, pucat, dan lemas seperti kelopak jatuh.

detailnya kembali menyerbu bagai kilat. Detik itu segalanya persis seperti yang ada di
mimpi, hanya lebih terang.

Perfume : The Story of a Murderer

Empat Puluh Tujuh

Ketakutan kali ini lebih hebat daripada enam bulan lalu karena orang -orang merasa tak
berdaya menghadapi bahaya yang mereka kira sudah berakhir. Kutukan uskup saja tak
mempan! Bahkan Antoine Richissosok terkaya di kota, sang anggota dewan yang kuat,
berkuasa, dan pasti lebih dari mampu beroleh bantuan penjagaantak mampu melindungi
putrinya! Kalau tangan malaikat Laure saja tak mampu menyurutkan langkah si pembunuh
(karena ia memang begitu elok di mata publik yang mengenalnya, apalagi sekarang setelah
ia mati), harapan apa lagi yang tersisa untuk lolos dari jerat si pembunuh? Monster ini lebih
kejam ketimbang wabah penyakit. Kau bisa kabur sebelum wabah menyerang, tapi tidak
dari si pembunuh. Kasus Richis sudah cukup membuktikan ini. Tampaknya ia memiliki
kekuatan gaib. Pasti bersekutu dengan Iblis, kalau bukan Iblis itu sendiri. Banyak orang,
terutama rakyat biasa, tak tahu jalan lain selain melarikan diri ke gereja. Para saudagar
memanjatkan doa ke pelindung masing-masing: ahli kunci kepada St. Aloysius, tukang tenun
kepada St. Crispin, tukang kebun kepada St. Anthony, ahli parfum kepada St. Joseph. Mereka
juga menyertakan anak-istri, berdoa bersama, makan dan tidur di gereja. Tidak mau pulang
karena mereka yakin bahwa inilah satu-satunya tempat mengungsi paling aman. Di bawah
perlindungan jemaah yang putus asa dan tatapan patung Bunda Maria.
Mereka yang ingat bahwa gereja telah gagal lebih suka masuk ke kelompok-kelompok
klenik. Rela membayar mahal seorang penyihir resmi dari Gourdon, merayap ke salah satu
gua batu di jalur bawah tanah kota Grasse, dan mengadakan misa hitam untuk si penyihir.
Kelompok lain, khususnya kalangan menengah ke atas dan bangsawan intelek,
mempertaruhkan uang pada metode ilmiah terkini, seperti memagnetkan sekeliling rumah,
menghipnotis putri mereka, mengadakan pertemuan rahasia di ruang-ruang duduk mereka
untuk menggelar rapat bertema fluidal, plus menyewa ahli telepati untuk mengusir roh si
pembunuh dengan pemfokusan emisi pikiran komunal. Serikatserikat kerja menggelar
prosesi upacara penyesalan dan pengakuan dosa, bolak-balik dari Grasse ke La Napoule.
Para pendeta dari kelima biara yang ada di kota segera membuka layanan doa 24 jam serta
mengumandangkan nyanyian doa tanpa berhenti agar ratapan mereka terdengar siang dan
malam di setiap sudut kota. Aktivitas pekerjaan praktis lumpuh.
Demikianlah, dengan kepasifan dan keingintahuan, warga Grasse menanti siapa korban
berikutnya. Tak ada yang ragu bahwa pasti bakal jatuh korban baru. Diam -diam mereka tak
sabar menunggu kabar ini, asalkan terjadi pada orang lain, bukan diri sendiri.
Kali ini, kalangan pemerintah sipil, regional, dan provinsi tak mau terpengaruh oleh
mood histeria massa para warga. Untuk pertama kali sejak pembunuhan ini terjadi, usahausaha kerja sama yang efektif dan terencana diadakan antara pemerintah distrik kota
Grasse, Draguignan, dan Toulon, melibatkan hakim, polisi, komisaris, parlemen, dan
angkatan laut.

Perfume : The Story of a Murderer

BERITA KEMATIAN LAURE RICHIS menyebar ke seantero Grasse. Sama hebohnya dengan
berita, Sang Raja wafat! atau, Perang kembali m erebak! atau, Bajak laut tiba di
pantai! Lengkap dengan kengerian yang sama kuatnya. Seketika itu ketakutan yang telah
begitu hati-hati dilupakan kembali merebak dengan intensitas yang sama seperti musim
gugur lalu, diiringi fenomena klasik kepanikan, murka, marah, kecurigaan histeris yang
membabi buta, dan keputusasaan. Orangorang kembali mengunci diri di rumah, mengurung
putri mereka rapat-rapat, memasang barikade, saling curiga dan tak berani tidur. Semua
menduga peristiwa kali ini juga akan berlanjut seperti dulu: satu pembunuhan setiap
minggu. Kalender waktu seperti digulung mundur enam bulan.

Berbekal petunjuk ini, dua pasukan berkuda diutus untuk melakukan pengejaran siang
itu juga, mengikuti jalur sepanjang Marchausse ke arah Marseillesatu pasukan menyusuri
pantai dan satu lagi menjejaki jalur darat. Sekitar daerah La Napoule disisir oleh para
sukarelawan. Dua komisaris polisi dari pengadilan kota Grasse berkuda ke Nice untuk
mengonfirmasikan petunjuk tentang si ahli. Kapal-kapal yang berangkat dari pelabuhan
Frjus, Cannes, dan Antibes diperiksa, jalan ke arah perbatasan menuju Savoy diblokir dan
para musafir harus menunjukkan identitas diri. Mereka yang bisa membaca segera melihat
selebaran perintah penangkapan dan deskripsi pelaku tersebar di semua gerbang kota
Grasse, Vince, dan Gourdoti, termasuk di pintu-pintu gereja daerah pedesaan. Pengumuman
berita diteriakkan tiga kali sehari di seluruh kota. Laporan -bahwa si pelaku berkaki pincang
malah semakin menegaskan opini bahwa si pembunuh memang tak lain dari Iblis itu sendiri
dan cenderung menambah kepanikan ketimbang menjadi informasi berguna.
Hakim ketua pengadilan kota Grasse menawarkan hadiah 200 ribu livre atas nama Richis
bagi mereka yang memberi informasi yang mengarah pada tertangkapnya si pembunuh.
Pengaduan dan penahanan atas para ahli penyamak kulit segera marak di Grasse, Opio, dan
Gourdon hanya karena mereka berkaki pincang. Bahkan ada yang langsung diadili massa
walaupun punya alibi dan saksi.
Sepuluh hari setelah pembunuhan, seorang warga kota datang ke kantor pengadilan dan
memberikan pernyataan berikut: siang hari saat kejadian perkara, ia, Gabriel Tagliaseo,
kapten penjaga gerbang kota, telah didekati oleh seseorang saat sedang menjalankan tugas
harian di muka gerbang Cours. Ia baru sadar bahwa orang itu nyaris tepat dengan gambaran
yang disebarkan dalam selebaran perintah penangkapan. Ia didesak dan ditanya berkali-kali
tentang jalan mana yang ditempuh rombongan Richis pada pagi hari itu. Awalnya ia tidak
menganggap penting peristiwa ini, baik saat itu maupun kemudian, dan tak akan mampu
mengingat perawakan orang tersebut hanya berdasarkan ingatan kalau saja tidak bertemu
lagi secara kebetulan sehari yang lalu, di kota Grasse ini, tepatnya di jalan Louve, di depan
studio Matre Druot dan Madame Arnulfi. Pada saat itu, ia melihat si tersangka berjalan
masuk dengan langkah pincang.
Grenouille ditahan satu jam kemudian. Pemilik dan pelayan penginapan dari La Napoule
segera dipanggil ke Grasse. Mereka langsung mengenali Grenouille sebagai si ahli penyamak
kulit yang menginap di kandang kuda pada malam itu. Mereka yakin benar bahwa inilah si
buronan pembunuh itu.
Tempat Arnulfi digeledah. Juga kabin di padang zaitun di belakang biara Franciscan. Di
sebuah sudut mereka menemukan sobekansobekan gaun malam, pakaian dalam, dan
rambut merah Laure Richis. Dan waktu lantai kabin dibongkar, lembar demi lembar pakaian
dan rambut ke-24 korban lainnya langsung terlihat. Pentungan kayu yang digunakan untuk

Perfume : The Story of a Murderer

Kerja sama kolosal ini sebagian berangkat dari kecemasan akan timbulnya
pemberontakan sipil, dan sebagian lagi dari fakta bahwa hanya pada pembunuhan Laure
inilah mereka beroleh petunjuk yang memungkinkan pembentukan sistem pengusutan yang
lebih efektif. Ada saksi mata tentang deskripsi si pembunuh. Yakin bahwa buronan mereka
adalah si ahli penyamak kulit yang menginap di kandang kuda pada malam itu dan
menghilang tanpa jejak keesokan paginya. Menurut kesaksian gabungan antara pemilik
penginapan, para pelayan, dan Richis, orang ini sulit dideskripsikan. Yang jelas, ia lelaki
bertubuh pendek bermantel cokelat dan menyandang buntel kasar dari kain linen. Kesaksian
ini tak terlalu menghasilkan karena mereka tetap tak mampu menyusun profil fisik seperti
wajah, warna rambut, atau cara bicara. Pemilik penginapan juga menambahkan bahwa
kalau tidak salah orang itu agak pincang, seolah kakinya terluka atau lumpuh.

membunuh juga ditemukan, plus sebuah buntel linen. Lonceng gereja dibunyikan. Dewan
hakim mengumumkan bahwa pembunuh keji para perawan yang telah dicari selama hampir
setahun, akhirnya berhasil ditangkap dan ditahan.

Perfume : The Story of a Murderer

Empat Puluh Delapan


SEMULA TAK ADA YANG PERCAYA berita ini. Orang menganggap ini sekadar akal-akalan
pemerintah untuk menutupi ketidakmampuan mereka sendiri, di samping usaha meredakan
kemungkinan pemberontakan massa. Orang-orang masih ingat benar saat tersiar kabar
bahwa si pembunuh telah pindah ke Grenoble. Kali ini ketakutan telah mencengkeram
begitu dalam sampai mereka tak tahu lagi apa yang harus dipercaya.

Ratusan orang menyemut di depan galeri horor itu. Keluarga korban yang mengenali
bukti-bukti itu menjerit dan pingsan. Sisa keramaian, karena ingin mencari sensasi dan ingin
diyakinkan lebih jauh, menuntut melihat si pembunuh. Teriakan segera menjadi begitu keras
dan ramai. Begitu mengancam, sampai dewan hakim memutuskan membawa Grenouille
keluar dari sel dan dipertontonkan sesuai keinginan publik, di jendela lantai kedua kantor
pengadilan.
Begitu Grenouille muncul di jendela, keributan langsung hening. Tak ada suara batuk
atau bahkan tarikan napas. Semua menatap dengan mulut menganga selama beberapa
menit. Tak seorang pun yang mengerti bagaimana lelaki pendek jelek dan remeh di jendela
itumakhluk teramat biasa-biasa itu, mampu melakukan lebih dari dua lusin pembunuhan.
Memang tak ada yang bisa mengatakan bagaimana tampang si pembunuh itu sebenarnya,
tapi semua setuju: tidak mungkin seperti ini! Namun, meski tak cocok dengan imajinasi
mereka, bukti-bukti yang terpampang tak bisa dibantah. Realitas fisik orang yang disebut
sebagai pelaku ini sangat bertentangan, tapi begitulah adanya.
Kebingungan baru berhenti setelah bayangan Grenouille lenyap dari jendela. Orang orang yang semula bingung dan tak yakin kembali menggemakan reaksi yang wajar: mulut
tertutup dan sorot mata nan hidup. Satu tuntutan terdengar bagai kor gereja dalam balutan
amarah dan semangat balas dendam: Kami ingin dia!
Massa hendak menyeruduk menyerbu kantor pengadilan dan mencekik Grenouille dengan
tangan sendiri. Mencabiknya sampai menyerpih. Para penjaga dan petugas nyaris tak mampu
membendung dan memaksa massa mundur. Grenouille segera dijebloskan kembali ke
penjara bawah tanah. Dewan hakim muncul di jendela dan menjanjikan pengadilan yang
cepat dan adil. Butuh beberapa jam sampai massa benar-benar bubar, dan butuh beberapa
hari sampai kota tenang kembali.
Proses pengadilan Grenouille memang bergerak sangat cepat. Tidak hanya karena buktibuktinya sangat telak, tapi si tertuduh itu sendiri mengaku dengan suka rela atas semua
tuduhan pembunuhan.
Namun saat ditanya tentang motif, Grenouille tak punya jawaban meyakinkan. Berkalikali ia menjawab bahwa ia membunuh karena membutuhkan gadis-gadis itu. Dibutuhkan
untuk apa dan apa maksudnya membutuhkan sama sekali tidak dijawab. Warga menuntut
diadakan penyiksaan dengan digantung terbalik berjam-jam, dipaksa minum tujuh gentong
air, kaki dijepit.... Tapi tak berhasil. Monster ini seperti tak kenal rasa sakit. Tidak menjerit
atau bersuara, dan saat ditanya selalu menjawab, Aku membutuhkan mereka.

Perfume : The Story of a Murderer

Tapi semua ini berubah keesokan harinya, saat bukti-bukti digelar di alun-alun gereja di
depan kantor pengadilan. Sungguh pemandangan mengerikan: 25 pakaian dengan 25
kumpulan rambut, semua ditumpuk seperti orang-orangan sawah, di tiang-tiang pancang
yang disusun berjejer di depan gereja. Opini publik kontan berubah.

Hakim meyakini bahwa orang ini tidak waras. Siksaan dihentikan dan diputuskan untuk
menghentikan kasus tanpa interogasi lebih lanjut.

Pada tanggal 15 April 1766, putusan pengadilan dijatuhkan dan dibacakan pada tertuduh
di selnya, Ahli parfum bernama JeanBaptiste Grenouille, dalam waktu 48 jam ke depan,
akan diarak ke gerbang kota dan dipaku ke salib, wajah dihadapkan ke langit, dan jika masih
hidup akan dijatuhi dua belas pukulan dengan tongkat besi untuk mematahkan seluruh
persendian lengan, kaki, pinggul, dan bahu. Lalu, dengan tubuh masih terpaku ke salib, akan
diangkat dan dibiarkan tergantung sampai mati.
Tindakan pengampunan yang biasa, di mana terhukum dicekik kawat sampai mati setelah
tubuhnya hancur, dengan tegas dilarang. Pun bila rasa sakit menjelang ajalnya berlangsung
sampai berhari-hari. Setelah mati, mayat Grenouille akan dikubur malam hari di sebuah
kuburan tak bertanda di halaman belakang tempat penjagalan binatang.
Grenouille menerima putusan hukuman tanpa emosi. Petugas pelaksana pengadilan
bertanya apakah ia punya keinginan terakhir. Tidak, tidak ada, jawab Grenouille. Telah
ia dapatkan semua yang diinginkan.
Seorang pendeta masuk ke sel untuk mengorek pengakuan dosa, tapi keluar lagi lima
belas menit kemudian tanpa hasil. Saat disebut nama Tuhan, terhukum hanya menatap
dengan wajah kosong, seperti baru pertama kali mendengar nam a itu, lalu berbaring di
dipan dan tidur lelap. Tak ada gunanya berkata apa-apa lagi.
Selama dua hari menjelang pelaksanaan hukuman, banyak orang ingin melihat wajah si
pembunuh dari jarak dekat. Penjaga mengizinkan mereka mengintip lewat jendela kecil di
pintu sambil menarik pembayaran enam sol sekali intip. Seniman lukis yang ingin membuat
sketsanya harus membayar dua franc. Objek lukisannya mengecewakan. Dengan pinggang
dan pergelangan kaki terantai, ia berbaring di dipan dan tidur terus. Wajah menghadap
tembok dan tak bereaksi terhadap pukulan atau teriakan. Pengunjung dilarang masuk ke
sel. Walau iming-imingnya menggiurkan, kali ini para penjaga tak berani melanggar
larangan. Takut ada kerabat korban yang membunuh tahanan. Untuk alasan yang sama pula
turun larangan memberi makanan, karena takut diracun. Selama proses peradilan,
Grenouille makan dari hidangan pelayan di dapur uskup dan harus terlebih dulu dicicipi oleh
kepala penjara. Namun dua hari menjelang hukuman, ia tidak makan apa-apa sama sekali.
Hanya berbaring dan tidur. Kadang terdengar gemerencing rantainya, dan penjaga yang
buru-buru melongok melihat Grenouille menyesap air dari kantong air lalu kembali tidur.
Orang ini tampaknya benar-benar lelah hidup dan tak ingin menghabiskan sisa waktu dalam
keadaan sadar.
Sementara itu, sebuah parade disiapkan untuk menyambut pelaksanaan hukuman.
Tukang kayu membangun tempat eksekusi berukuran sembilan kaki kali sembilan kaki
persegi dan tinggi enam kaki, lengkap dengan tangga dan pegangannya. Grasse belum
pernah seramai ini. Sebuah panggung kayu juga dibuat untuk para bangsawan lokal, lengkap
dengan pagar untuk membatasi mereka dari rakyat biasa yang dibiarkan menonton agak
jauh. Di bangunan-bangunan di kiri dan kanan gerbang Cours serta barak-barak penjaga,

Perfume : The Story of a Murderer

Satu-satunya penundaan setelah itu hanya perebutan wewenang dengan lembaga


peradilan kota Draguignan yang membawahi La Napoule dan parlemen di Aix. Keduanya
menuntut pengambilalihan proses peradilan. Tentu saja pihak Grasse menolak mentahmentah karena merekalah yang telah menangkap si pelaku, plus fakta bahwa 24
pembunuhan terjadi di Grasse. Kalau Grenouille diserahkan ke pengadilan lain, bisa-bisa
Grasse musnah diamuk massa. Tidak! Darah Grenouille harus tumpah di Grasse!

orang-orang memesan tempat di jendela dengan harga gila-gilaan. Para asisten algojo
bahkan sampai menyewa kamar-kamar pasien di Rumah Sakit Charite, yang kebetulan
mengarah ke jalan. Mereka menyewakannya kembali kepada para calon penonton yang
penasaran dengan keuntungan yang lumayan. Para penjual limun menimbun bergentong gentong air gula-gula. Para pelukis mencetak beratus-ratus lembar salinan sketsa si
pembunuh di penjara, dengan sedikit sentuhan imajinasi pribadi. Lusinan penjaja keliling
mengalir ke kota seperti air, dan para pembuat roti sibuk membuat biskuit suvenir.

Warga kota bersiap diri seperti hendak menyambut perayaan nasional. Semua setuju
bahwa tak boleh ada aktivitas kerja pada hari itu. Para wanita menyetrika pakaian liburan
mereka; kaum pria membersihkan mantel-mantel panjang dan menyemir sepatu sampai
mengkilap. Pakaian-pakaian resmi dari semua lapisan profesi dan kenegaraan disiapkan
dengan rapi, lengkap dengan medali, kain selempang, rantai, dan wig yang dibedaki putihputih. Kelompok beragama berniat berkumpul bersama untuk upacara keagamaan begitu
hukuman selesai. Para pemuja setan berencana mengadakan misa thanksgiving untuk
Lucifer. Kalangan ilmuwan dan bangsawan berniat berkumpul dalam pertemuan spiritual
magnetis di istana Cabrises, Villeneuves, dan Fontmichels. Bakaran dan kukusan makanan
sudah mulai tercium di dapur-dapur; anggur-anggur dikeluarkan; bebungaan ditata di pasar;
para pemain organ dan paduan suara berlatih di katedral.
Di kediaman Richis di jalan Droite, keadaan tetap tenang. Richis melarang persiapan apa
pun menyambut apa yang disebut khalayak sebagai Hari Pembebasan. Malah terasa
munafik dan menjijikkan, baik rasa takut dadakan yang timbul saat Laure dibunuh maupun
suka cita mereka menjelang hukuman Grenouille. Ia tidak ikut waktu si pelaku dihadirkan
bersama bukti-bukti di alun-alun gereja. Tidak pula saat pengadilan atau prosesi para
pencari sensasi selama Grenouille ditahan. Ia hanya meminta petugas pengadilan untuk
datang ke rumah, agar ia bisa mengidentifikasi rambut dan pakaian putrinya, memberi
kesaksian dengan singkat dan tenang, serta diizinkan menyimpan barang -barang bukti itu
sebagai kenang-kenangan. Ia bawa bendabenda itu ke kamar Laure, menggelar gaun tidur
yang sobek-sobek bersama pakaian dalam di atas ranjang, menyusun rambut di atas bantal,
duduk di pinggir ranjang dan tidak meninggalkan kamar lagi siang atau malam. Seolah
dengan kesia-siaan ini ia bisa membayar apa yang gagal dijaganya malam itu di La Napoule.
Ia begitu mual dan jijik. Pada dunia dan pada dirinya sendiri, sampai tak mampu menangis.
Ia juga jijik pada si pembunuh. Tak sudi menganggapnya sebagai manusia. Lebih pantas
dipandang sebagai binatang kurban untuk disembelih. Ia tak mau melihatnya sampai
pelaksanaan hukuman, saat monster itu dipaku ke salib dan dua belas puk ulan peremuk
sendi dijatuhkan. Barulah ia mau melihatnya. Melihat dari dekat. Khusus untuk itu ia telah
memesan tempat di barisan depan. Dan setelah masyarakat bubar beberapa jam kemudian,
ia ingin merayap ke panggung eksekusi, berjongkok dekat situ, terus menatap bermalam
malam dan berhari-hari... tak peduli berapa lama. Menatap mata orang itu, si pembunuh
putri kesayangannya, setetes demi setetes mengalirkan rasa jijiknya ke mata itu,
menuangkan seluruh kebencian dan rasa jijik yang terasa bagai bara asam pada orang itu
dalam kesakitan menjelang ajal... sampai binatang itu musnah....

Perfume : The Story of a Murderer

Sang algojo bernama Monsieur Papon. Ia sudah lama tak mengeksekusi orang. Pengadilan
membuatkan sebilah tongkat besi baru untuknya. Dua hari ini ia rajin pergi ke rumah jagal
untuk melatih ketepatan pukulan pada daging bangkai yang telah disediakan. Ia hanya
diizinkan memukul dua belas kali dan harus persis menghancurkan kedua belas persendian
tanpa merusak organ vital seperti dada atau kepala. Sebuah tugas sulit yang menuntut
sentuhan ahli dan ketepatan waktu yang sempurna.

Setelah itu? Apa yang akan ia lakukan setelah itu? Entahlah. Meneruskan hidup normal,
barangkali? Atau menikah? Punya anak laki-laki? Atau tidak melakukan apa-apa? Atau
barangkali lebih enak mati saja? Apa pun itu, apalah bedanya sekarang. Dipikirkan pun tak
berguna. Ia sama sekali tak tahu hendak ke mana dan mau apa setelah itu.

Perfume : The Story of a Murderer

Empat Puluh Sembilan

Beberapa menit lewat pukul tiga, Monsieur Papon dan para asistennya muncul. Tepuk
tangan membahana bagai guntur. Mereka membawa dua bilah balok membentuk salib St.
Andrew ke tempat hukuman, memasangnya ke ketinggian tertentu dengan memasak
dasarnya ke sebuah lubang khusus. Seorang ahli kayu memaku posisinya agar kokoh. Setiap
gerakan disambut tepuk tangan penonton. Dan ketika Papon maju m embawa tongkat besi
ke arah salib, mengukur langkah, mengayunkan pukulan imajiner beberapa kali, sorak-sorai
massa langsung meledak.
Jam empat, panggung VIP mulai terisi. Banyak sosok bangsawan apik yang bisa dikagumi;
pria-pria kaya dengan pesuruh dan tingkah gemulai, wanita-wanita cantik, topi-topi besar,
serta pakaian berkilauan. Seluruh bangsawan dari kota dan desa hadir di situ. Para anggota
dewan kota hadir bergerombol, dipimpin dua orang anggota. Richis mengenakan pakaian
hitam, dengan stoking hitam dan topi yang juga hitam. Menyusul kemudian aparat
pengadilan, dipimpin oleh hakim tinggi. Terakhir, uskup datang dengan tandu, berkilauan
dalam jubah ungu dan topi kecil berwarna hijau. Semua yang bertopi langsung menurunkan
topi mereka. Ini benar-benar mengejutkan. Lalu tak ada apa-apa selama sepuluh menit.
Para tuan dan nyonya sudah duduk di tempat masing-masing, rakyat jelata menunggu
dengan tak sabar. Semua menunggu. Papon dan para asistennya berdiri di panggung eksekusi
seolah mereka juga dipaku tak bergerak. Matahari nanar menyemburkan sinar kuning di atas
Estrel. Dari lembah Grasse bertiup angin hangat, bersama sedikit aroma jeruk. Atmosfer
sangat hangat dan tenang.
Akhirnya, saat ketegangan seolah tak bisa ditahan lagi tanpa ledakan suara protes,
kegilaan, atau ribut-ribut, mereka mendengar suara derap kuda dan derak roda kereta.
Dari arah jalan Droite, datang sebuah kereta ditarik sepasang kuda. Itu kereta sang
letnan polisi. Berjalan melewati gerbang kota dan muncul lagi di jalan sempit yang menuju
ke panggung. Letnan polisi berkeras untuk tampil seperti ini, karena kalau tidak ia tak bisa
menjamin keselamatan si terhukum. Ini memang tidak biasa. Jarak dari penjara ke lokasi
hukuman tak sampai lima menit. Kalau si terhukum tak mampu menempuh jarak itu dengan
jalan kaki, biasanya ia akan dibawa dengan kereta keledai. Kini seorang terhukum dibawa

Perfume : The Story of a Murderer

EKSEKUSI DIJADWALKAN pada jam lima sore. Gelombang penonton pertama sudah
bersiap sejak pagi dan mengamankan tempat untuk menonton. Membawa kursi dan bangku,
bantal, makanan, anggur, dan anak-anak. Seperti piknik saja. Siang hari, penduduk desa
sekitar mengalir dari segala arah. Parade penonton dengan segera menjadi begitu padat.
Pendatang baru terpaksa berkemah sepanjang jalan ke Grenoble dan di taman-taman teras
serta lapangan di ujung areal tempat hukuman. Para pedagang segera kebanjiran uang.
Orang-orang makan, minum, bersenandung, dan berkeliaran seperti di pasar malam. Dengan
cepat jumlah pengunjung meledak sampai sepuluh ribu orang. Melebihi jumlah pengunjung
saat penobatan Ratu Yasmin atau peristiwa apa pun yang pernah terjadi di Grasse. Mereka
membanjir berdiri sampai ke lereng jalan, bergelantungan di pohon, bergerombol di tembok
dan atap bangunan. Hanya lokasi di pusat keramaian itusepetak areal yang terlindungi
pagar kokohyang sepi dari manusia dan terbuka untuk panggung penonton VIP serta
panggung eksekusi. Makin lama tampak makin kecil, seperti mainan atau panggung
sandiwara boneka. Sebuah jalan setapak dibiarkan lengang, dari tempat hukuman ke
gerbang Course dan terus ke jalan Droite.

ke lokasi hukumannya sendiri dalam sebuah kereta tertutup nan anggun, dengan sais dan
pengawalan lengkapsungguh luar biasa.

Kereta berhenti di tengah-tengah, di antara panggung eksekusi dan panggung VIP.


Seorang penjaga melompat turun, membuka pintu, dan menurunkan tangga penuntun.
Letnan polisi juga turun, menyusul petugas lain, dan akhirnya Grenouille. Ia mengenakan
mantel biru panjang, kemeja putih, stoking sutra putih, dan sepatu hitam bertali. Ia tidak
diikat atau diseret. Grenouille beranjak turun dari kereta seperti manusia bebas.
Lalu keajaiban terjadi. Atau menyerupai keajaiban, atau setidaknya sesuatu yang sulit
dijelaskanbegitu dahsyat sampai semua yang menyaksikan tak punya kata lain yang lebih
tepat selain keajaiban. Itu pun kalau mereka sanggup membuka aib, karena setelah
peristiwa ini, tak akan ada yang sudi mengungkitnya.
Sepuluh ribu penonton pelaksanaan eksekusi sore hari itu mendadak merasa tak percaya,
dan yakin bahwa orang bermantel biru yang baru turun dari kereta itu tak mungkin si
pembunuh. Bukannya mereka ragu atau tak mengenali. Orang itu adalah orang yang sama
dengan yang mereka lihat beberapa hari lalu di jendela kantor pengadilan. Saat itu, kalau
saja mampu terpegang pasti bakal habis tersate dengan kebencian membeludak. Ini memang
orang yang dua hari lalu dijatuhi vonis hukuman mati dengan disiksa, berdasarka n buktibukti tak terbantahkan dan pengakuannya sendiri. Orang yang sama yang telah dinanti
pelaksanaan hukumannya. Memang dia, tidak salah lagi!
Di pihak lain... kok seperti bukan dia juga. Tak mungkin. Dia tak mungkin si pembunuh.
Orang yang berdiri di panggung itu adalah perwujudan kepolosan. Semua langsung merasa
begitu, mulai dari uskup sampai penjual limun, dari marquis sampai pembantu, dari hakim
kepala sampai bocah miskin.
Papon juga demikian. Tangan kekarnya gemetar menggenggam tongkat besi. Seketika
itu kedua lengannya serasa lemah, lutut goyah, dan hatinya berdebar seperti anak kecil. Ia
tak mungkin sanggup mengangkat tongkat. Tak mungkin sanggup memakainya untuk
menghajar pemuda kecil tak bersalah ini. Ia terhuyung-huyung dan terpaksa menyangga
tubuh dengan tongkat besi yang sedianya dipakai untuk membunuh, agar tidak melorot
berlutut. Tak terbayangkan, Papon yang perkasa bisa sampai sedemikian. Perasaan serupa
juga dirasakan oleh sepuluh ribu laki-laki dan perempuan, anak-anak dan kepala-kepala
keluarga yang berada di situ. Lemas seperti seorang wanita di pelukan pesona sang kekasih.
Hati mereka dijerat perasaan kasih sayang, kelembutan dan... oh, demi Tuhan, cinta pada
pria pembunuh bertubuh kecil itu. Tak berdaya menahan perasaan. Rasanya seperti ledakan
tangis haru yang terpendam begitu lama dan tak bisa ditahan lagi. Meledak dan meluruhkan
semua benteng pertahanan. Semangat mereka kini layaknya cairan. Jiwa dan pikiran
meleleh tak bersisa kecuali sebentuk cairan. Hati seperti melambung dan meng ambang
dalam diri. Mereka persembahkan hati mereka ke haribaan lelaki kecil bermantel biru
panjang itu. Terserah mau diapakan. Mereka mencintainya.

Perfume : The Story of a Murderer

Tak ada tanda-tanda keributan atau ketidakpuasan di antara penonton. Malah


sebaliknya. Publik senang bahwa setidaknya ada yang terjadi. Mereka malah memuji gagasan
untuk memakai kereta tertutup. Persis seperti penonton drama yang senang melihat
pertunjukan disajikan dengan cara baru. Penjahat paling mengerikan sudah sepantasnya
diperlakukan lebih dari biasa. Tak bisa diseret ke tempat eksekusi dengan rantai seperti
pencuri ayam lalu dibunuh begitu saja. Tak ada sensasinya kalau begitu. Tapi kalau digotong
paksa untuk dipaku ke salib setelah badannya remuk, nah itu baru kreatif.

Para bangsawan yang berada sedikit lebih jauh menyerah pada emosi masing -masing
tanpa malu-malu. Semua bertingkah sesuai tuntutan hati. Ada wanita yang begitu melihat
Grenouille langsung berkepal tangan di pangkuan dan mendesah bahagia. Yang lain tak kuasa
menahan perasaan dan langsung pingsan. Ada pria bangsawan yang tak berhenti bangun dan
duduk dari kursi, melompat dan menggeram memegang pangkal pedang seolah hendak
mencabutnya. Tapi setiap kali dicabut selalu dimasukkan lagi sedetik kemudian. Ada yang
melempar pandangan ke langit, mengepal dan mengacungkan tangan ke udara sambil
berdoa dalam diam. Uskup Monseigneur seperti jatuh sakit. Tubuh ambruk ke depan dan
membenturkan kepala ke lutut sampai topi kecilnya jatuh. Ia tidak sakit, tapi untuk pertama
kalinya ia dibalut pesona religius melihat keajaiban yang terjadi di depan mata. Tuhan telah
menurunkan malaikat-Nya dalam wujud seorang pembunuh. Oh, menakjubkan, hal ini bisa
terjadi di abad ke-18. Betapa agung Tuhan! Dan betapa kecil serta tak berartinya diri ini,
yang telah lancang menurunkan kutukan-Nya padahal ia sendiri tak yakin. Semata-mata
demi menenangkan masyarakat. Oh, betapa tipis iman ini! Dan kini Tuhan telah
mempersembahkan mukjizat! Oh, betapa senangnya dipermalukan seperti ini. Penghinaan
yang manis. Sungguh agung menjadi seorang uskup yang dihinakan Tuhan seperti ini.
Sementara itu, massa di seberang pagar mulai bertingkah lebih liar melihat kehadiran
Grenouille. Mereka yang sejak semula sudah bersimpati kini sarat berahi, dan mereka yang
sejak awal mengagumi kini meledak dalam kegembiraan meluap-luap. Semua melihat lelaki
bermantel biru itu sebagai sosok paling tampan, paling menarik, dan sempurna. Di mata
biarawati ia hadir sebagai perwujudan sang Juru Selamat. Bagi pemuja setan ia adalah sang
Raja Kegelapan. Ia laksana perwujudan Prinsip Tertinggi di mata penganut aliran
Pencerahan, menjadi pangeran negeri dongeng bagi para remaja, dan sosok ideal bagi kaum
pria. Seolah Grenouille mampu melihat menembus titik terlemah masing-masing orang,
mencengkeram dan membelai pusat erotis dalam diri. Seolah memiliki sepuluh ribu tang an
tak terlihat dan merangsang sepuluh ribu orang yang ada di situ dengan cara yang paling
diinginkan oleh fantasi terliar masing-masing.
Hasilnya adalah sebuah pesta seks terbesar dalam sejarah. Wanitawanita terhormat
merobek pakaian, mempertontonkan dada, menjerit histeris, rebah ke tanah dengan rok
terangkat tinggi. Para lelaki menyaksikan lanskap daging ini dengan pandangan nafsu, jari
gemetar membuka celana, lalu menerkam siapa saja tanpa memandang wajah. Menggeram
dan bersanggama dalam posisi dan kombinasi yang paling musykil: kakek dengan perawan,
penganggur dengan istri pengacara, pekerja magang dengan biarawati, jesuit dengan istri
seorang free-masonsemua terjadi dengan semrawut dan sesuka hati. Udara disarati
manisnya aroma keringat nafsu dan jerit serta lenguhan dari sepuluh ribu binatang manusia.
Tak bedanya neraka.
Grenouille tersenyumatau begitulah yang tampak di mata yang melihat. Ia tampak
menyunggingkan senyum paling polos, penuh cinta dan menawan sekaligus amat menggoda.

Perfume : The Story of a Murderer

Grenouille berdiri di ambang pintu kereta, selama beberapa menit, bergeming. Penjaga
di sebelahnya berlutut dan terus merendah sampai ke posisi pasrah total seperti orang Timur
di hadapan sultan atau Tuhan. Bahkan dalam posisi ini pun ia masih terus merunduk dan
mengkerut, seperti coba meratakan diri dengan tanah atau tenggelam di dalamnya. Ia ingin
menyelam ke seberang dunia kalau bisa, atas dasar penyerahan diri sepenuhnya. Petugas
pengawal dan letnan polisi yang gagah berani dan semula bertugas menyeret terhukum ke
panggung untuk diserahterimakan ke tangan algojo, tak mampu berkoordinasi. Mereka
menangis, bolak-balik memakai dan melepas topi, berlutut, berpelukan, mengepakkan
tangan ke udara, memelintir tangan sendiri, kejang-kejang dan meringis seperti korban
tarian St. Vitus.

Ya, ia memang Grenouille yang Agung! Mimpi masa lalu kini menjadi nyata. Detik itu
Grenouille merasakan kemenangan terbesar dalam hidup.
Dan takut.
Ia, merasa takut karena, tak bisa menikmati saat itu sedetik pun. Sejak melangkah
keluar dari kereta, ke bawah terik matahari sebagai bahan tontonan, dibungkus parfum yang
membuat orang mencintainyaparfum yang telah digarapnya selama dua tahun, parfum
yang seumur hidup diinginkan... seketika ia, melihat dan mencium sendiri betapa, hebatnya
pengaruh yang ditimbulkan, seketika itu pula, segenap kebenciannya, pada, manusia,
melonjak dan menghambarkan rasa, kemenangan yang ada. Membuatnya tak hanya,
nelangsa, tapi juga sama, sekali tidak puas. Apa, yang selalu diimpikanyaitu agar orang
mau mencintainyamenjadi nyata bersamaan dengan kesadaran yang membuat menara
pencapaian itu hancur berantakan, karena ia, tidak balik mencintai mereka. Ia, membenci
dan mendendam lahir-batin. Grenouille baru menyadari bahwa ia, tak pernah menemukan
kegembiraan dalam cinta. Kegembiraan yang didapat selama ini selalu dari kebencian.
Dalam kondisi membenci dan dibenci.
Namun kebenciannya pada manusia tak lagi punya gaung. Makin ia membenci mereka
pada saat ini, makin mereka memujanya, karena, yang mereka rasakan hanya aura aroma
samaran, parfum curian yang memang pantas dipuja.
Ia akan senang sekali kalau bisa memusnahkan manusia dari muka bumi sekarang j uga,
sebagaimana ia pernah memusnahkan aroma asing dalam jiwa kelamnya sewaktu berada di
gua. Ia ingin mereka sadar betapa besar kebenciannya pada mereka. Betapa hanya itu emosi
yang ia punya. Ia ingin mereka balik membenci dan membunuhnya seperti niat sem ula.
Untuk pertama kalinya, Grenouille ingin sekali mengosongkan diri. Untuk pertama kali ia,
ingin seperti orang lain dan benarbenar mengosongkan diri. Pemujaan dan kecintaan
mereka akan ia balikkan dengan kebencian. Sekali saja, ia ingin ditangkap dalam kondisi
asli. Dalam. wujud Grenouille yang sebenarnya. Agar manusia balik merespons dengan
jawaban yang sama. Kebencian.

Perfume : The Story of a Murderer

Tapi sesungguhnya bukan senyuman, tapi seringai sinis dalam gelora kemenangan total
sekaligus kebencian. Ia, Jean-Baptiste Grenouilleyang terlahir tanpa bau badan di tempat
paling busuk di seluruh jagat, di tengah sampah, kotoran, dan keburukan, dibesarkan tanpa
cinta, tanpa kehangatan jiwa manusia, bertahan hidup hanya berdasarkan kekerasan dan
kekuatan kebencian, bertubuh kecil, bongkok, pincang, buruk rupa, dijauhi, sebenar benarnya kutukan luar-dalamternyata mampu membuat dunia kagum. Bukan, bukan
kagum... tapi cinta! Menginginkannya! Mengidolakannya! Ia telah melahirkan karya besar
ala Prometheus. Ia mampu bertahan dengan kelihaian dan kelicikan, mampu memercikkan
diri dengan semburat agung kedewataan. Sesuatu yang ada pada diri setiap manusia sejak
lahir tapi hanya mampu dibangkitkan oleh Grenouille. Dan tidak hanya itu! Ia telah
memercikkan keagungan itu ke diri sendiri. Oh, ia bahkan lebih hebat dari Prometheus. Ia
telah menciptakan aura yang lebih bersinar dan lebih efektif dari semua manusia yang
pernah hidup sampai sekarang. Dan ia tidak berutang pada siapa puntidak pada ayah, ibu,
atau Tuhan sekalipun. Ia berutang dan bersyukur hanya pada diri sendiri. Ia adalah tuhan
bagi diri sendiri, dan lebih elok dari tuhan berbau dupa dan terkurung di gereja -gereja.
Seorang uskup agung berlutut di hadapannya, melenguh kesenangan. Orang-orang kaya dan
berkuasa, wanita dan pria bangsawan yang angkuh, semua menjilat mengidolakannya.
Sementara rakyat jelatatermasuk kerabat para korban, merayakan pesta seks atas nama
dan demi kehormatannya. Sekali angguk saja mereka pasti sontak mengangkatnya sebagai
pengganti Tuhan dan memujanya. Memuja Grenouille yang Agung.

Tapi tentu saja tidak begitu. Khususnya hari ini, karena, ia sedang terbungkus oleh
parfum terbaik di dunia. Tak ada, wajah di balik topeng itu. Hanya, seonggok daging tanpa
bau. Mendadak perutnya sakit. Kabut itu naik lagi.

Kabut mencekik terus membumbung dari kekelaman jiwa Grenouille, sementara di


sekelilingnya, orang-orang melenguh dalam pesta dan luapan orgasme. Seseorang berlari ke
arahnya. Ia melompat dari barisan terdepan panggung VIP dengan begitu gegas sampai topi
hitamnya jatuh. Dan kini, dengan mantel hitam terkembang, orang itu melangkah melewati
padang manusia, seperti burung gagak atau malaikat pencabut nyawa. Orang itu ternyata,
Richis.
Ia akan membunuhku, pikir Grenouille. Satu-satunya manusia yang tak akan membiarkan
diri tertipu oleh topeng aroma. Tak mungkin rela ditipu sedemikian. Aroma putrinya,
menempel di tubuhku, mengkhianati bagai darah teracun. Ia pasti mengenali dan
membunuhku. Harus!
Grenouille membentangkan tangan menerima kehadiran sang malaikat pencabut nyawa.
Ia sudah bisa merasakan tusukan pisau atau ujung pedang menggelitik dada, pisau yang
bergerak menembus perisai aroma dan kabut menyesakkan ini, terus sampai ke jantungnya
yang bekuakhirnya, akhirnya ada sesuatu yang terasakan di hati ini selain diri sendiri!
Grenouille menyambut ajal dengan suka cita.
Yang terjadi kemudian, Richis menghambur ke pelukan Grenouille. Bukan sebagai
malaikat pencabut nyawa atau dengan dendam seorang ayah, tapi sebagai Richis yang
tergugu menangis sesenggukan. Memeluk dan bergelayutan begitu kuat seperti tak ada
pijakan lain di tengah laut kebahagiaan. Tak ada tusukan pisau yang membebaskan atau
tebasan pedang. Tidak pula sumpah serapah atau jerit kebencian. Hanya pipi sang jutawan
Richis yang basah oleh air mata, bergelayut dengan bibir gemetar merengek, Maafkan aku,
anakku... putraku tersayang... maafkan aku!
Dus, segala yang ada di dalam. diri Grenouille memutih sementara dunia luar di
sekelilingnya menghitam kelam. Perangkap kabut menebal sampai mencair seperti susu
mendidih. Menggenangi dan memaksakan bobot luar biasa ke relung jiwa. Tak ada jalan
melarikan diri. Demi Tuhan, ia ingin kabur.. tapi kabur ke mana? Ia ingin meledak. Lari dari
cekikan diri sendiri. Akhirnya ia luruh dan hilang kesadaran.

Perfume : The Story of a Murderer

Rasanya seperti kembali ke gua di pegunungan. Dalam mimpi, dalam tidur, dalam hati,
dalam fantasiseketika itu kabut meninggi. Kabut mengerikan dari bau badannya sendiri
yang tak bisa ia cium karena memang tidak berbau. Dan persis seperti dulu ia, kembali
dicengkeram ketakutan dan teror tanpa batas. Begitu mencekik. Tapi kali ini berbeda. Kali
ini bukan mimpi, bukan tidur, tapi nyata! Ia juga tidak sedang berbaring sendirian dalam
gua, tapi berdiri di tempat umum, di hadapan sepuluh ribu manusia. Kali ini tidak ada jeritan
yang membangunkan dan membebaskan. Tak bisa melarikan diri ke realitas karena yang
dipijaknya kini adalah dunia nyata. Saat ini mimpinya jadi kenyataan. Seperti keinginannya.

Lima Puluh
SAAT TERSADAR, ia tengah terbaring di ranjang Laure Richis. Bekas pakaian tidur dan
rambut telah disingkirkan. Sebatang lilin menyala di meja kecil di sisi ranjang jendela
terbuka dan ia bisa mendengar luapan ekstasi warga kota di kejauhan. Antoine Richis duduk
di bangku di samping ranjang sambil menatapnya. Memegang dan membelai tangan
Grenouille dengan lembut.

Tatapan Richis menyambut Grenouille. Pancaran kebaikan berpendar kuat di mata itu.
Kelembutan, kasih sayang, serta senyum bodoh dan rasa cinta seorang kekasih.
Ia tersenyum, menggenggam tangan Grenouille lebih erat, lalu berkata, Semua akan
baik-baik saja. Majelis hakim sudah membalik putusan pengadilan. Semua kesaksian ditarik
kembali. Kau bebas sekarang. Bebas melakukan apa saja. Tapi aku ingin kau tinggal di sini
bersamaku. Aku telah kehilangan seorang putri, tapi ingin memilikimu sebagai putra. Kau
mirip sekali dengannya. Sama elok. Rambutmu, mulutmu, tanganmu... aku memegangi
tanganmu terus selama ini. Tanganmu seperti diaputriku. Dan saat kutatap matamu,
rasanya ia seperti menatap balik padaku. Seolah kau benar-benar kakaknya. Dan aku ingin
kau jadi anakku, sobat. Menjadi kebanggaan dan sumber bahagiaku. Ahli warisku. Apakah...
orang tuamu masih hidup?
Grenouille menggeleng. Wajah Richis memerah kesenangan. Kalau begitu, maukah kau
jadi putraku? ia tergagap. Melompat dari bangku dan duduk di pinggir ranjang sambil
menggamit tangan Grenouille yang lain. Maukah? Maukah? Bersediakah kau menjadikan aku
sebagai ayahmu? Tunggu, jangan katakan apa-apa dulu! jangan bicara. Kau masih terIalu
lemah untuk bicara. Mengangguk sajalah.
Grenouille mengangguk. Kebahagiaan meledak dari seluruh poripori kulit Richis bagai
manisan bunga merah. Lalu ia membungkuk dan mencium mulut Grenouille.
Sekarang tidurlah, anakku! ia berkata sambil bangkit berdiri.
Aku akan mengawasi sampai kau lelap. Dan setelah memandang lekat-lekat dalam
diam cukup lama, ia menambahkan, Kau telah membuatku merasa amat sangat bahagia.
Grenouille menarik ujung-ujung bibirnya seperti yang selalu ia Iihat kalau orang
tersenyum. Lalu menutup mata. Ia menunggu beberapa saat sebelum mengatur napasnya,
makin teratur dan dalam seperti orang tidur. Ia bisa merasakan tatapan mesra Richis. Pada
satu titik ia merasakan gerakan Richis yang membungkuk hendak mencium lagi, tapi tak jadi
karena takut membangunkan. Akhirnya lilin ditiup dan Richis berjingkat keluar kamar.
Grenouille tetap berbaring sampai tak lagi mendengar suara apa pun dari dalam rumah
atau dari luar jendela. Saat bangun, hari sudah sore. Segera ia bersalin dan menyelinap
keluar diam-diam. Tanpa suara melewati koridor ruang atas, turun tangga, melewati ruang
duduk, dan tiba di teras.

Perfume : The Story of a Murderer

Bahkan sebelum membuka mata, Grenouille sudah lebih dulu memeriksa suasana.
Sekeliling sangat tenang. Tak ada ribut-ribut atau keramaian jiwanya kembali dikuasai
kebekuan, sesuai kebutuhan pikiran sadar saat ingin memproyeksikan pikiran ke realitas. Di
sana ia mencium aroma parfumnya. Sudah berubah. Puncaknya runtuh, sehingga inti aroma
Laure membuncah lebih kuat dari biasa, macam nyala api yang buram dan berpendar sejuk.
Ia merasa aman. Sadar tak akan bisa diserang setidaknya sampai beberapa jam lagi, lalu
membuka mata.

Dari sini ia bisa melihat melewati tembok kota sampai ke lembah yang mengelilingi
Grasse. Kabut tipis menggantung di atas tanah, dan aroma yang mengambang bau rumput,
semak, dan mawar terasa membilas... segar, datar, dan sederhana. Grenouille melewati
taman dan memanjat tembok.

Setibanya di jalan utama, ia tidak mengambil jalur menuju Grenoble atau Cabris, tapi
berjalan lurus melewati padang ke arah barat tanpa menoleh lagi. Saat matahari terbit,
gemuk dengan pendaran kekuningan dan terik hangat, ia sudah lama lenyap.
Warga kota Grasse bangun dengan sakit kepala luar biasa, seperti habis minum arak
semalaman. Bahkan mereka yang tidak mabuk juga merasa kepalanya berat, mual di perut
dan di hati. Di tempat eksekusi, di bawah siraman matahari pagi, rakyat jelata berusaha
mencari pakaian mereka yang tersampir entah di mana. Para wanita terhormat mencari
suami dan anak-anak mereka; pasangan-pasangan asing melepaskan pelukan dengan kaget
dan ngeri. Kenalan, tetangga, dan pasangan suami-istri mendadak berdiri saling
membelakangi. Malu oleh ketelanjangan masing-masing.
Umumnya mereka merasa pengalaman hari kemarin sangat menjijikkan, sulit dijelaskan,
dan sedemikian bertentangan dengan nilai-nilai moral. Sedemikian rupa sampai mereka
menghapus begitu saja dari ingatan begitu pikiran kembali waras. Banyak yang tak mampu
mengingat lagi peristiwa ini saat ditanya. Pihak lain yang tidak terlalu ketat dengan kendali
nilai-nilai, mencoba menutup mata, telinga, dan pikiran. Tapi tentu saja tidak mudah. Rasa
malu yang membayangi terlalu jelas dan universal. Jadilah, begitu menemukan pakaian dan
kerabat yang dicari, masing-masing segera pulang diamdiam secepat mungkin. Siang hari,
tempat itu kembali lengang.
Warga kota Grasse tidak keluar rumah sampai sore kecuali jika amat terpaksa. Salam
sapa saat bertemu dilakukan sepintas lalu atau tidak menyapa sama sekali. Tak ada yang
berani membuka pembicaraan. Tak sepatah kata pun terlontar soal peristiwa pagi ini dan
malam sebelumnya. Semua merunduk dan bicara seperlunya. Memendam jengah dan
perasaan bersalah. Belum pernah keselarasan tercipta demikian sempurna seperti pada hari
itu.
Banyak pihak yang dipaksa bertanggung jawab dan berurusan langsung dengan peristiwa
itu, tergantung wewenang institusi masingmasing. Keberlangsungan kehidupan
bermasyarakat, ketegasan hukum dan peraturan menuntut ketegasan penyelesaian. Dewan
kota segera mengadakan pertemuan sore itu juga. Para anggota, termasuk Richis, saling
memberi salam dan berpelukan dalam diam. Lalu tanpa menyebut langsung peristiwa itu
atau bahkan nama Grenouille, mereka memutuskan untuk segera membongkar dan

Perfume : The Story of a Murderer

Setibanya di tempat eksekusi (karena tak bisa memutar lewat jalan lain) ia harus
membuka jalan melewati endapan aroma manusia sebelum tiba di lapangan terbuka.
Seluruh areal sampai ke lereng lembah diseraki bekas-bekas pesta. Ribuan manusia terbaring
di sanasini, kelelahan setelah festival berahi. Banyak yang telanjang atau setengah
telanjang dengan baju dipakai sebagai selimut. Udara berisi aroma anggur basi, brendi,
keringat dan air seni, kotoran bayi dan daging gosong. Api unggun bekas bakaran, minuman,
dan pesta masih mengasap di sana-sini, berikut bisikan atau cekikikan di antara ribuan bunyi
dengkur. Besar kemungkinan ada beberapa orang yang masih bangun, melahap dengan rakus
sisa-sisa kesadaran dari benak masingmasing. Tapi tak ada yang melihat Grenouille. Dengan
cepat dan hatihati ia melewati serakan tubuh seperti melewati rawa-rawa. Yang melihat
pun tak lagi mengenali. Aromanya sudah hilang. Grenouille kembali tak berbau dan mukjizat
telah berakhir.

membubarkan lokasi eksekusi, plus mengembalikan lingkungan sekitar ke kondisi semula.


Untuk ini, dana 160 livre dianggap sudah cukup.
Bersamaan dengan itu, para hakim juga mengadakan pertemuan di kantor pengadilan.
Tanpa banyak debat, majelis hakim setuju untuk menganggap kasus G telah selesai,
ditutup dan diarsipkan tanpa registrasi. Lalu membuka pengadilan baru tentang pembunuh
25 perawan di sekitar Grasse yang dianggap belum terungkap. Perintah diserahkan ke letnan
polisi agar segera memulai penyelidikan.

Seluruh warga melupakan peristiwa itu sama sekali. Benar-benar melupakan sampai para
pelancong yang mampir setelah beberapa hari berselang dan iseng bertanya soal
pembunuhan perawan kota Grasse, tak menemukan satu orang waras pun yang mau memberi
informasi. Hanya segelintir orang bodoh dan orang gila dari Rumah Sakit Charit yang
bercerita dengan kacau tentang pesta besar di gerbang Cours. Mereka dendam karena pada
hari itu dipaksa keluar kamar.
Kehidupan kembali berjalan normal. Warga kembali bekerja keras, tidur nyenyak,
berbisnis dan bersikap seperti biasa. Air tetap menggelegak dari mata air dan pancuran,
menggenangi jalan dengan kotoran dan lumpur. Kota Grasse kembali kumuh, namun bangga
atas posisi mereka di atas lembah raksasa nan subur. Matahari bersinar hang at. Bulai Mei
menjelang. Saatnya panen bunga mawar.

Perfume : The Story of a Murderer

Esok harinya, sang letnan melaporkan penemuan baru. Atas dasar bukti-bukti tak
terbantahkan, ia menahan Dominique Druot, Matre parfumeur dari jalan Louve. Toh pakaian
dan rambut korban memang ditemukan di kabin yang tercatat menjadi miliknya. Para hakim
menyimak permohonan tak bersalah Druot beberapa saat sebelum memutuskan bahwa ia
berbohong. Setelah empat belas jam disiksa, Druot mengakui segalanya dan bahkan
memohon untuk segera dieksekusi. Permintaan dituruti dan eksekusi dilangsungkan sehari
kemudian. Ia digantung saat fajar. Tanpa ribut-ribut, tanpa panggung apa pun. Hanya
dihadiri seorang algojo, seorang hakim saksi, seorang dokter, dan pendeta. Begitu kematian
diresmikan, diverifikasi, dan dicatat, mayatnya langsung dikubur. Dengan demikian kasus
ditutup.

Bagian IV

Perfume : The Story of a Murderer

Lima Puluh Satu

Tiba di Auvergne, ia merapat ke Plomb du Cantat yang membentang ke arah barat.


Tampak megah dan berkilau keperakan diterpa terang bulan. Udara dingin berembus sejuk.
Tapi ia tak punya dorongan untuk berkunjung. Tak ingin tinggal di gua lagi. Hidup macam
itu sudah pernah dicicipi dan terbukti tidak menyenangkan. Grenouille tercekik oleh dua
dunia. Ia, ingin pergi ke Paris dan mati di sana. Itu yang diinginkannya sekarang.
Dari waktu ke waktu ia meraih ke dalam kantung dan menggenggam flacon kecil
parfumnya. Botol itu masih nyaris penuh. Hanya dipakai setetes saat pertunjukan di
Grasse. Satu flacon ini cukup untuk memperbudak seluruh dunia. Kalau mau, ia bisa, diarak
lagi di Paris. Tidak oleh sepuluh ribu, tapi ratusan ribu manusia. Atau ia bisa, langsung ke
Versailles dan menyuruh sang Raja mencium kakinya. Atau menulis surat wangi untuk Paus
dan mendeklarasikan diri sebagai sang Juru Selamat. Atau disucikan di Notre-Dame sebagai
Kaisar Tertinggi melebihi segala raja dan kaisar lain. Atau bahkan mengaku sebagai Tuhan
yang turun ke bumiitu pun kalau memang benar ada Tuhan yang membiarkan diri disucikan
manusia....
Ia bisa melakukan semua itu kalau mau. Kekuatan ada di genggaman tangan. Daya yang
jauh melebihi kekuatan uang, teror, atau kematian. Kekuatan mutlak untuk menguasai cinta
seluruh umat manusia. Hanya satu yang tak bisa dilakukannya, yaitu membaui tubuhnya.
sendiri. Apa gunanya bergaya jadi Tuhan kalau tak bisa mencium bau tubuh sendiri dan
karenanya tak pernah punya peluang untuk mengenali diri? Persetan. Persetan dengan
dunia. Persetan dengan diri sendiri. Persetan dengan parfumnya.
Tangan yang menggenggam flacon terasa wangi oleh aroma halus. Setiap kali tangan itu
didekatkan ke hidung dan diendus, Grenouille melamun. Lupa berjalan dan duduk
mengendus lebih lama. Tak ada yang tahu betapa enak parfum ini, pikirnya. Tak ada yang
tahu betapa sempurna pembuatannya. Orang hanya terkuasai efeknya tanpa pernah tahu
bahwa parfum inilah penyebabnya. Membudaki mereka. Yang benar-benar mengenali
keindahannya hanya aku, karena akulah yang membuatnya.
Dus, hanya aku pula yang tak bisa dikuasai. Hanya aku yang tahu betapa tak berartinya
semua ini.
Tiba di Burgundy, Grenouille lanjut berpikir: saat berdiri di belakang tembok itu, tempat
si gadis berambut merah bermain dan aromanya turun menggenangiku... atau bahkan
sekadar fantasi akan aromanyakarena parfum yang tercipta dari aroma itu belum lagi
ada... mungkin apa yang kurasakan saat itu sama dengan apa yang dirasakan oleh orang orang saat kubanjiri mereka dengan parfum ini? Ah, tidak. Bukan itu. Tidak tepat benar.
Karena aku tahu bahwa aku hanya menginginkan aroma, bukan si gadis itu sendiri. sedangkan
orang-orang itu percaya bahwa mereka menginginkan aku, dan apa yang mereka inginkan
sebenarnya tetap jadi misteri bagi mereka.
Lalu ia berhenti berpikir. Berpikir membuat kepalanya sakit. Saat itu ia tiba di Orlanais.

Perfume : The Story of a Murderer

GRENOUILLE MELANJUTKAN PERJALANAN hanya saat malam tiba. Seperti yang ia lakukan
saat pertama kali bertualang, ia menghindari perkotaan dan jalan besar. Ia tidur siang hari,
bangun saat senja dan melanjutkan perjalanan. Makan dari apa saja yang ditemui: rumput,
jamur, bunga, bangkai burung, cacing. Ia berjalan melewati Provence. Di selatan Orange ia
melintasi Rhne dengan perahu curian, mengikuti arus dalam sungai Ardche ke Uvennes,
lalu ke Allier di utara.

Grenouille menyeberangi sungai Loire di kota Sully. Keesokan harinya, aroma Paris sudah
sampai di hidung. Tanggal 25 juni 1766, jam enam pagi, ia memasuki kota lewat jalan Saintjacques.

Ia menyeberang jembatan Pont-Neuf ke sisi sungai sebelah kanan, terus ke Les Halles
dan Cimetire des Innocents. Grenouille duduk di bawah atap rumah makam yang
membatasi jalan Fers. Di hadapannya membentang tanah pemakaman yang rusak seperti
kawah-kawah bekas perang. Penuh liang, galian, dan parit-parit kuburan, bertabur
tengkorak dan tulang, semak atau rumput tajam. Sebuah diorama tong sampah kematian.
Sepi sekali. Tak ada orang. Bau busuk mayat begitu keras sampai penggali kubur
menyerah dan lebih suka menyingkir. Hanya saat matahari terbenam mereka muncul lagi
menggali lubang mayat berbekal obor sampai jauh malam.
Tapi lewat tengah malam, sepeninggal para penggali kubur, tempat ini ramai oleh
bermacam makhluk terbuang. Ada maling, pembunuh, begal, pelacur, desertir, dan bajingan
muda. Api unggun kecil dinyalakan agar mampu menyamarkan bau busuk.
Saat Grenouille keluar dan membaur, semula tak ada yang memerhatikan. Ia berjalan.
sampai perapian tanpa diganggu, seolah menjadi bagian dari mereka. Mereka seperti
berurusan dengan hantu, malaikat, atau makhluk gaib lain, karena biasanya mereka sangat
peka kalau ada orang asing.
Tapi malam ini, pria kecil bermantel biru panjang itu muncul begitu saja, seperti keluar
dari dalam tanah. Ada botol kecil di genggaman tangan yang tutupnya ia buka. Itulah yang
langsung diingat oleh mereka: bahwa orang asing itu berdiri di sana, dekat perapian,
membuka sebuah botol kecil, lalu menghabiskan isinya dengan menuangkannya ke seluruh
tubuh. Seketika itu tubuhnya bercahaya begitu indah. Seperti kobaran api.
Untuk sesaat mereka mundur, kagum sekaligus heran. Tapi detik itu juga mereka merasa
bahwa sikap mundur ini hanya persiapan sebelum merangsek maju. Kekaguman berubah
menjadi hasrat, dan keheranan menjadi kegembiraan luar biasa. Semua tertarik ke arah
malaikat kecil itu. Daya tarik yang liar dan amat kuat memancar dari tubuhnya. Tak mungkin
ditahan manusia. Pun kalau bisa, tak ada yang mau begitu. Pusaran daya tarik yang menyeret
ini berasal dari kehendak manusia sendiri. Terarah langsung ke pria itu.
Mereka mengitarinya. Berjumlah dua puluh sampai tiga puluh orang. Dan lingkaran itu
makin lama makin mengecil. Karena sempit, segera terjadi saling dorong dan sikut. Semua
ingin lebih dekat ke tengah.
Dan suatu ketika pertahanan kesadaran yang terakhir tumbang bersama dengan
lingkaran itu. Mereka merangsek ke arah malaikat kecil, mendorongnya ke tanah. Semua
ingin menyentuh dan memiliki sepotong dirinya, entah itu bulu, hiasan mantel, pokoknya
sepercik saja dari kobaran itu. Mereka merobek pakaian, rambut, dan kulit. Membenamkan
cakar dan gigi ke daging tubuhnya, menyerang seperti sekelompok hyena berebut makanan.
Tapi tubuh manusia liat dan tak mudah dikoyak. Kuda saja kesulitan membelah orang.
Kilatan pisau segera berkelebat. Menusuk dan mengiris. Tak lama ayunan kapak dan golok

Perfume : The Story of a Murderer

Hari panas sekali. Yang terpanas tahun ini. Puluhan ribu aroma dan kebusukan meretas
seperti keluar dari ribuan borok bernanah. Angin tak bertiup. Sayur-mayur di pasar menjadi
layu, daging dan ikan membusuk. Udara kotor menggantung di gang-gang. Bahkan sungai
seperti berhenti mengalir. Baunya amit-amit. Hari ini persis seperti hari saat Grenouille
lahir.

meluncur ke persendian. Menghantam dan meremukkan tulang. Dalam waktu singkat


malaikat itu telah terbagi menjadi tiga puluh potong. Setiap binatang di tempat itu
langsung menyambar potongan-potongan itu untuk diri sendiri. Dipeluk dan diciumi. Lantas,
terdorong oleh nafsu, mereka melahapnya. Setengah jam kemudian, Jean-Baptiste
Grenouilie lenyap dari muka bumi.

Saat keberanian itu muncul, diawali pandangan curi-curi, lalu terang-terangan. Membuat
mereka tersenyum. Tersenyum dan bangga. Untuk pertama kali mereka melakukan sesuatu
atas nama cinta.

TAMAT

GRENOUILLE

Perfume : The Story of a Murderer

Saat kanibal-kanibal itu tersadar, tak ada yang berkomentar. Ada yang bersendawa,
meludah potongan tulang, mencungkil sisa daging dengan lidah, atau melempar sobekan
mantel biru panjang ke perapian. Semua merasa sedikit malu dan takut memandang satu
sama lain. Setiap pria dan wanita di tempat itu pernah membunuh atau melakukan berbagai
kejahatan lain, tapi memakan manusia? Rasanya tak percaya baru saja melakukan hal itu.
Kaget menyadari kejadiannya berlangsung begitu mudah sampai tak sempat merasa
bersalah. Hanya sedikit malu saja. Dan meski daging sang malaikat terasa agak berat
mengganjal di perut, hati terasa begitu ringan. Tiba-tiba saja seperti ada cahaya terang
memayungi jiwa mereka yang gelap. Tak ada wajah menyesal. Malah terlihat begitu puas
dan bahagia. Mungkin itu sebabnya mereka malu untuk saling tatap.

Anda mungkin juga menyukai