Kiriman : Hendri Kho
Tiraikasih web http://dewi‐kz.info/
Daftar Isi
Perfume: The Story of a Murderer
Pujian Untuk Perfume
Tentang Penulis
BAGIAN I
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Bagian II
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Bagian III
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Bagian IV
Lima Puluh Satu
Perfume: The Story of a Murderer
Perfume: The Story of a Murderer
Diterjemahkan dari Das Parfum: Die Geschichte eines
Mörders
karya Patrick Süskind
terbitan Diogenes Verlag AG Zürich
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDY)
Süskind, Patrick
Perfume: The Story of a Murdered Patrick/ Süskind;
penerjemah, Bima Sudiarto;
penyunting, Pray. - Cet. 16. - Jakarta. Dastan Books, 2009.
316 hal. ; 14 x 205 cm
ISBN 978-979-3972-46-6
Anggota IKAPI
I. Judul II. Sudiarto, Bima III. Pray
813
Penerjemah: Bima Sudiarto
Penyunting: Pray
Copyright © 1985 by Diogenes Verlag AG Zürich
All rights reserved
This' translation is published by arrangement with
Diogenes Verlag AG Zürich
Hak terjemah ke dalam bahasa Indonesia ada pada Dastan
Books
Indonesian Language Translation Copyright © 2006 by
Dastan Books
Cetakan 1, Maret 2006
Cetakan 12, Oktober 2007
Cetakan 13, Maret 2008
Cetakan 14, Desember 2008
Cetakan 15, Maret 2009
Cetakan 16, Agustus 2009
JI. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520
Telp: (021) 8092269 Faks: (021) 80871671
Hotline SMS: 0817 37 37 37
Website: wwwdastanbooks.com
E-mail: layanan@dastanbooks.com
Kontak Perwakilan:
Jabodetabek: (021) 32 37 37 37
Jawa Barat: (022) 7099 3737
Yogyakarta & Jawa Tengah: (0274) 711 3737
Jawa Timur & Indonesia bagian Timur: (031) 7766 3737
Pembelian secara on-line dapat dilakukan melalui
www.zahra.co.id
BAGIAN I
Satu
PADA ABAD KEDELAPAN BELAS di Prancis, tinggallah
seorang pria yang dikenal sebagai salah seorang tokoh
paling berbakat sekaligus paling ditakuti di zaman yang
belum lagi mampu menoleransi karakter paradoks seperti
itu. Kisah inilah yang akan dituturkan. Namanya Jean-
Baptiste Grenouille. Tak seperti tokoh paradoks terkenal
lain seperti de Sade, Saint-Just, Fouche, atau Bonaparte,
nama Grenouille kini terlupakan. Dan ini bukan lantaran ia
kekurangan atribut pendukung seperti arogansi,
misantropi, amoralitas, atau bahkan kekejian, tapi lebih
karena bakat dan ambisinya diletakkan secara ketat di
ranah yang memang tak bisa dilacak dan diendusi sejarah.
Pada zaman itu kota-kota disesaki aroma yang asing bagi
hidung manusia modern: jalan raya berbau pupuk kandang,
halaman gedung berbau pesing, anak-anak tangga berbau
jamur kayu dan kotoran tikus, dapur berserakan sampah
potongan cabe dan lemak daging domba, ruang tamu
berbau apak serta berdebu, kamar-kamar tidur seprainya
tak pernah diganti sampai berminyak, bantal-bantal
lembap dan aroma manis yang tajam dari pispot di kolong
tempat tidur, amis sulfur mengembang dari perapian,
aroma alkali menyengat dari bilik-bilik penyamakan kulit,
sementara rumah-rumah jagal menebar bau darah beku.
Orang-orang berbau keringat dan pakaian tak dicuci, mulut
menebar bau gigi busuk, dari perut mengambang aroma
bawang, dan tubuh mereka - kalau tak lagi muda, menebar
aroma keju anyir, susu basi, dan penyakit tumor. Sungai-
sungai juga tak kalah berlomba aroma. Bau busuk hadir di
pasar, di gereja, di kolong jembatan, dan bahkan di istana.
Rakyat jelata tak beda baunya dengan para pendeta. Para
murid berbagi aroma dengan istri-istri guru mereka, begitu
pula kaum ningrat - bahkan sampai pada sang Raja, baunya
seperti seekor singa sementara sang Ratu seperti bandot
tua, tak peduli musim panas atau musim dingin. Tak ada
yang mampu menghentikan kesibukan bakteri pembusuk
pada abad kedelapan belas, maka tak heran jika tak satu
pun kegiatan manusia - baik konstruktif maupun destruktif,
yang tidak disertai oleh bau busuk.
Kebusukan tentu saja paling parah mendera Paris
sebagai kota terbesar di Prancis. Dan konon ada satu
tempat di Paris yang selain berbau busuk juga menebar
keangkeran. Terletak di antara jalan Fers dan jalan
Ferronnerie, persisnya di sebuah tanah permakaman
bernama Cimetière des Innocents. Selama delapan ratus
tahun mayat-mayat dibawa ke tempat ini dari Hôtel-Dieu
dan gereja setempat. Selama delapan ratus tahun, siang dan
malam, lusinan mayat digelandang ke dalam satu lorong
yang digali memanjang, ditumpuk tulang demi tulang, baik
dalam bangunan makam terpisah maupun dalam rumah
makam. Baru pada saat menjelang Revolusi Prancis, setelah
beberapa bangunan makam runtuh dan baunya sedemikian
tak tertahankan sampai diprotes masyarakat sekitar,
tempat itu ditutup dan terlantar. Jutaan tulang dan
tengkorak diserok begitu saja ke dalam liang kubur
Montmartre. Di tempat ini pula sebuah pasar makanan
kemudian didirikan.
Alkisah, di tempat terbusuk seantero kerajaan inilah
Jean-Baptiste Grenouille lahir pada tanggal 17 Juli 1738.
Kelahirannya disambut musim panas paling menggerahkan
tahun itu. Panasnya sampai mengelamkan pekuburan dan
menebar aroma busuk yang kalau diendusi kira-kira seperti
gabungan antara melon busuk dan bekas bakaran kotoran
binatang. Sedemikian meluas sampai ke gang-gang di
sekitarnya. Saat didera rasa sakit menjelang bersalin,
ibunda Grenouille tengah berada di kedai ikan di jalan Fers
dengan muka pias seperti baru saja perutnya dibelek. Ikan
di tempat itu baru dipanen pagi ini dari sungai Seine,
dengan amis yang sengatannya mampu menutupi aroma
mayat. Namun seperti umumnya manusia zaman itu,
hidung ibunda Grenouille sudah tumpul dan tak lagi
mampu membedakan antara bau amis ikan dan bau busuk
mayat. Apalagi ditambah sakit di perut yang tentunya
semakin mematikan kepekaan indra. Ia hanya ingin rasa
sakit ini berhenti - bagaimana caranya agar proses
melahirkan segera berlalu. Toh ini sudah yang kelima
kalinya. Semua proses persalinan dilakukan di warung ikan
seperti ini, dalam kondisi keguguran atau bayi setengah
sempurna, karena daging belepotan darah yang keluar dari
rahim itu tak ubahnya jeroan ikan yang berserakan di situ.
Kalaupun sukses lahir, hidup si bayi juga tak lama. Ibunda
Grenouille tak pernah terlalu ambil pusing karena biasanya
saat magrib seluruh porak-poranda ini sudah akan tersiram
bersih dan diserok ke tanah pekuburan atau ke sungai.
Demikian pula yang akan terjadi hari ini.
Ibunda Grenouille ketika itu masih belia - belum lewat
25 tahun. Berparas lumayan cantik, gigi lumayan utuh,
dengan rambut kusut tak terawat dan tidak sedang
mengidap penyakit serius - kecuali mungkin sedikit encok,
sifilis, dan paru. Ia masih ingin hidup lebih lama -
katakanlah, lima atau sepuluh tahun lagi dan bahkan
menikah kalau memang cukup beruntung. Dengan status
normal sebagai seorang istri atau setidaknya janda, ia baru
merasa pantas punya momongan. Ibunda Grenouille
sungguh berharap momen menyakitkan ini segera berlalu.
Saat kontraksi terakhir dimulai, ia berjongkok di bawah
meja jagal lalu bersalin tanpa bantuan siapa pun seperti
empat kesempatan sebelumnya. Kemudian ia memotong
tali pusar si jabang bayi dengan pisau jagal. Tapi tiba-tiba,
karena tak tahan sengatan cuaca panas dan bau busuk di
tempat itu (sebenarnya ia tak menganggapnya bau busuk,
hanya bau sesuatu yang tak tertahankan seperti kebun
bunga lili atau ruangan yang dipenuhi bunga narsis), ia pun
pingsan. Menggelosor jatuh dari bawah meja jagal ke
tengah jalan dan tergeletak di situ dengan tangan masih
menggenggam pisau.
Kehebohan merebak. Orang-orang berkerumun di
sekeliling, menonton, dan beberapa memanggil polisi.
Wanita dengan pisau di tangan itu masih terbaring di
jalanan dan perlahan siuman.
Apa yang terjadi padanya? Terdengar sejumlah orang
bertanya.
“Tidak apa-apa,” jawab si wanita.
Apa yang ia lakukan dengan pisau itu?
“Tidak ada apa-apa.”
Darah apa itu di roknya?
“Ini darah ikan.”
Ibunda Grenouille bangkit berdiri. Membuang pisau ke
samping lalu berjalan gontai hendak membersihkan diri.
Lalu tiba-tiba saja, si jabang bayi di bawah meja jagal
menjerit keras. Orang-orang segera celingukan. Dan di
situlah, di balik kerumunan lalat, kotoran, dan kepala ikan,
mereka menemukan sesosok bayi yang baru lahir, lalu
diangkat. Dus, sesuai hukum, segera mereka bawa si bayi ke
seorang ibu susu sementara ibunya mereka jebloskan ke
penjara. Dan karena si wanita mengaku terus terang bahwa
ia lebih suka membunuh si jabang bayi sebagaimana empat
bayi sebelumnya, ia pun diadili, diputuskan bersalah atas
pengguguran kandungan beruntun dan dihukum penggal
beberapa minggu kemudian di de Gréve.
Selama beberapa minggu itu si bayi sudah tiga kali
berganti ibu susu. Tak ada yang ingin memeliharanya lebih
dari beberapa hari. Mereka bilang si bayi begitu rakus.
Porsi menyusunya setara. dengan jatah dua bayi.
Menghabiskan jatah susu dan daya hidup si ibu susu
sedemikian rupa. Wajar jika tak ada yang bersedia
menampung karena tak mungkin bagi seorang ibu susu
untuk membiayai hidup dengan upah menyusui hanya
seorang bayi. Petugas polisi yang bertanggung jawab atas
kasus ini adalah seorang laki-laki bernama La Fosse. Ia
terus‐terusan dibuat pusing dan ingin agar si bayi dikirim
saja ke rumah yatim-piatu di ujung terjauh jalan Saint-
Antoine, di mana lalu lintas bayi dan anak-anak ramai
setiap hari dari dan ke rumah yatim-piatu publik di Rouen.
Namun karena konvoinya terdiri atas kuli angkut barang
yang membawa keranjang bayi dengan kemasan
seekonomis mungkin sampai tega menjejerkan empat bayi
dalam satu keranjang, maka tak heran bila angka kematian
di lalu lintas tersebut amat tinggi. Sejak itu para kuli
disarankan agar hanya mengangkut bayi-bayi yang sudah
dibaptis dan memiliki sertifikat transportasi resmi yang
akan distempel setibanya di Rouen. Masalahnya sekarang,
bayi Grenouille belum dibaptis atau bahkan dinamai agar
bisa dicatat secara resmi di sertifikat transportasi.
Sementara di pihak lain, secara sosial tak bisa dibilang baik
jika seorang polisi menyelundupkan bayi begitu saja ke
rumah yatim-piatu. Padahal hanya itu satu-satunya cara
menghindari formalitas. Dus, dengan alasan kesulitan
administrasi dan birokrasi yang pasti terjadi jika si bayi
disingkirkan begitu saja, dan karena desakan waktu, La
Fosse menarik kembali putusan awal dan memberi
instruksi agar si bayi diserahterimakan dengan kuitansi ke
beberapa lembaga gereja tertentu, agar bisa dibaptis dan
diputuskan nasibnya lebih jauh. Jadilah sang polisi
membuang si bayi ke biara Saint-Merri yang terletak di
jalan Saint-Martin. Di sana ia dibaptis dengan nama Jean-
Baptiste. Dan karena suasana hati pada hari sebelumnya
sedang baik dan kotak amal gereja belum kering, mereka
tidak mengirim si bayi ke Rouen dan malah
memanjakannya atas tanggungan biara. Pada titik ini ia
diserahkan ke seorang ibu susu bemama Jeanne Bussie
yang tinggal di jalan Saint-Dennis dengan bayaran tiga
franc seminggu sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Dua
BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN, si ibu susu Jeanne
Bussie berdiri di pintu gerbang biara Saint-Merri dengan
tangan menenteng keranjang belanja. Pintu dibuka oleh
seorang pendeta botak berusia paruh baya yang tubuhnya
menebar aroma cuka.
“Bapa Terrier,” seru si ibu susu. “Ini!” katanya sembari
meletakkan keranjang belanja di muka gerbang.
“Apa ini?” bertanya Terrier sambil membungkuk ke arah
keranjang dan mendengus membaui, berharap isinya
sesuatu yang bisa dimakan.
“Ini anak haram milik perempuan dari jalan Fers yang
tadinya hendak ia bunuh itu.”
Si pendeta dengan lembut membuka keranjang itu
dengan jarinya sampai terlihat wajah si bayi yang lelap.
“Kelihatannya baik-baik saja. Pipinya merona dan
tampak kenyang minum.”
“Terang saja begitu, karena ia menempelkan dirinya
padaku. Memompaku begitu kering sampai ke tulang. Aku
tak sudi. Kini terserah kau mau disusui dengan susu
kambing, bubur, atau gula biang... aku tak peduli. Haram
jadah ini akan melahap apa saja.”
Bapa Terrier dikenal ramah dan supel. Salah satu dari
sekian tanggung jawabnya adalah menangani administrasi
kotak amal biara dan pendistribusiannya kepada fakir
miskin. Untuk itu ia berharap agar orang tahu berterima
kasih dan tidak mengganggunya dengan tetek bengek lain.
Ia benci detail teknis karena detail baginya berarti
kesulitan dan kesulitan berarti gangguan kesehatan - ia
sangat menolak hal ini. Ia menyesal telah membuka pintu
gerbang dan berharap si wanita segera pergi membawa
keranjang itu pulang ke rumah atau apalah, pokoknya tidak
lagi mengganggunya dengan remeh-temeh seperti ini.
Perlahan ia menegakkan tubuh sembari menghela napas.
Hidungnya menangkap aroma susu dan keju murahan yang
ditebarkan tubuh si ibu susu. Bau yang enak.
“Aku tak paham apa maumu,” ia berkata. “Sungguh, aku
tak mengerti apa maksudmu. Setahuku tak ada salahnya
bagi si bayi untuk bernaung beberapa waktu lagi di
dadamu.”
“Memang tak apa baginya,” si ibu susu menyalak balik,
“tapi aku rugi besar. Beratku turun lima kilo dan harus
menanggung nafsu makan tiga perempuan digabung jadi
satu. Semua ini demi apa? Demi tiga Franc seminggu?!!”
“Ah... begitu rupanya,” desah Bapa Terrier lega. “Aku
paham maksudmu. Sekali lagi, ini hanya soal uang, kan?”
“Bukan!!” jerit si ibu susu kesal.
“Tentu saja iya!” bantah si pendeta. “Ujung-ujungnya
selalu uang. Semua ketukan di pintu gerbang ini selalu soal
uang. Sampai-sampai aku berharap agar sesekali
menemukan seseorang berdiri di sini dengan masalah yang
sama sekali berbeda - seseorang dengan cukup tenggang
rasa dan kebijaksanaan untuk membawa oleh-oleh buah,
misalnya. Atau sekadar kacang. Lagi pula, di musim gugur
begini pasti banyak yang bisa dijadikan hadiah. Bunga,
misalnya. Atau sepatah dua patah kata beramah-tamah,
'Semoga Tuhan memberkatimu, Bapa Terrier.. semoga
harimu menyenangkan!' dan semacamnya. Tapi sepertinya
aku tak akan pernah menemui hal demikian sampai aku
mati. Yang datang kemari kalau bukan pengemis pasti
saudagar. Kalau bukan saudagar, pasti pedagang. Jika
bukan minta sedekah, pasti menyorongkan tagihan. Aku
bahkan tak bisa lagi keluar jalan-jalan dengan tenang.
Belum tiga langkah pasti sudah ada saja yang menodong
minta uang.”
“Tapi aku kan tidak begitu,” protes si ibu susu.
“Benar, tapi biar kuberi tahu: kau bukan satu-satunya
ibu susu dalam jemaah kita. Ada ratusan ibu angkat
jempolan yang berebut ingin menyusui bayi memesona ini
untuk tiga Franc seminggu, atau memberi bubur atau jus
atau makanan lain....”
“Kalau begitu, serahkan saja ia pada mereka!”
“... di pihak lain,” lanjut Bapa Terrier, “tak baik kiranya
mengoper-oper seorang bayi seperti itu. Siapa tahu ia bisa
lebih baik menyusu padamu ketimbang orang lain? Apalagi
kau pasti juga tahu bahwa ia sudah terbiasa dengan aroma
tubuhmu, begitu pun dengan degup jantungmu.”
Sekali lagi si pendeta menghela napas panjang,
menghirup dalam-dalam kehangatan aroma tubuh si ibu
susu.
Tapi saat menyadari bahwa kata-katanya tak mempan,
segera ia menambahkan, “Sekarang bawalah anak ini
kembali pulang! Keluhanmu akan kubicarakan dengan
kepala biara. Akan kusarankan agar kau diberi empat Franc
seminggu.”
“Tidak,” bantah si ibu susu.
“Baiklah... lima!” tukas si pendeta.
“Tidak.”
“Lantas, kau ingin berapa kalau begitu?” bentak Bapa
Terrier. “Lima Franc sudah berlebihan untuk tugas seremeh
menyusui bayi!”
“Aku sama sekali tak ingin uang,. timpal si ibu susu. “Aku
ingin haram jadah ini keluar dari rumahku.”
“Tapi kenapa demikian, wahai wanita yang baik?” tanya
Bapa Terrier sambil menjawil lagi keranjang itu dengan
lembut. “Lihatlah! Ia sungguh bayi yang menggemaskan.
Kulitnya segar kemerahan, ia tidak menangis dan juga telah
dibaptis.”
“Anak ini dirasuki setan.”
Kontan Terrier menarik jarinya dari keranjang.
“Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin seorang
bayi bisa dirasuki setan. Bayi adalah manusia yang belum
lengkap - makhluk pramanusia, yang karenanya belum
memiliki jiwa yang terbentuk sempurna. Oleh karena itu, ia
tak mungkin diminati setan. Atau barangkali ia sudah bisa
bicara, ya? Apa ia meronta-ronta, begitu? Mampu
menggerakkan sesuatu, barangkali? Apa ada bau setan dari
badannya?”
“Tidak, ia sama sekali tidak berbau,” jawab si ibu susu.
“Nah, itu dia! Itu bukti yang jelas bahwa ia tidak dirasuki
setan. Sebab jika iya, mestinya berbau tak sedap.”
Demi meyakinkan si ibu susu dan menguji
keberaniannya sendiri, Terrier mengangkat keranjang dan
mendekatkannya ke hidung.
'Aku tak mencium bau aneh apa pun,” katanya setelah
mengendus beberapa kali. “Sungguh tak ada yang aneh.
Meski memang ada bau tertentu dari popoknya.” Terrier
menyorongkan keranjang agar wanita itu yakin.
“Bukan itu maksudku,” jawab wanita itu kesal sambil
menjauhkan keranjang dari wajahnya. “Bukan bau popok
yang jadi masalah. Kotorannya memang bau, itu wajar.
Masalahnya si anak itu sendiri ‐ ia tidak berbau sama
sekali.”
“Itu karena ia sehat!” bantah Terrier jengkel. “Wajar ia
tidak berbau karena badannya sehat! Hanya bayi sakit yang
badannya bau. Semua orang tahu itu. Bukan rahasia bahwa
anak yang terserang cacar pasti berbau kotoran kuda, yang
terserang demam berbau apel busuk, dan yang terserang
TBC berbau seperti bawang. Tapi anak ini sehat walafiat.
Apa itu salah? Apa menurutmu ia mestinya berbau, begitu?
Apa anak-anakmu sendiri bau?”
“Tidak,” jawab si ibu susu. “Anak-anakku berbau seperti
normalnya bau anak manusia.”
Terrier meletakkan kembali keranjang itu ke tanah
dengan hati‐hati. Kejengkelan mulai naik ke ubun-ubun
menghadapi perempuan keras kepala ini. Rasanya butuh
lebih bebas menggerakkan tangan kalau mau melanjutkan
debat tanpa harus melukai si bayi dengan menenteng
keranjang terus-menerus. Tapi untuk sekarang ia masih
merasa cukup menahan tangan di belakang punggung,
menyorongkan perut buncitnya ke arah si ibu susu, lalu
bertanya dengan nada tajam, “Kau bersikeras kalau begitu,
bahwa kau tahu bagaimana mestinya bau seorang anak
manusia - yang kalau boleh kuingatkan bahwa begitu
seorang anak dibaptis maka ia adalah juga anak Tuhan.
Benar?”
“Ya,” jawab wanita itu.
“Dan kau juga bersikeras bahwa jika seorang anak tidak
berbau ‐ menurut engkau, wahai ibu susu bernama Jeanne
Bussie dari jalan Saint-Dennis-maka anak tersebut sudah
pasti dirasuki setan?”
Tangan kiri si pendeta berkelebat dari balik punggung
menegaskan pertanyaan dengan jari telunjuk di depan
wajah si ibu susu. Membuat perempuan itu meragu. Ia tak
menyukai arah percakapan yang sekonyong-konyong
berubah mempertanyakan keyakinannya sendiri, di mana
ia menjadi pihak yang salah.
“Maksudku sama sekali tidak begitu,” elaknya. “Kalian
para pendeta selalu saja seenaknya memutuskan apakah
segala sesuatunya harus berhubungan dengan setan atau
tidak, Bapa Terrier. Bukan hakku memutuskan demikian.
Aku hanya tahu satu hal: bayi ini membuatku merinding
karena ia tidak berbau sewajarnya bau anak manusia.”
“Aha!” jawab Terrier puas sambil mengibaskan tangan
kembali. “Sekarang kau menarik tuduhan soal setan tadi,
ya? Bagus. Tapi sekarang tolong katakan padaku: seperti
apa kiranya bau seorang bayi yang wajar menurut
pendapatmu? Hmm?”
“Mestinya ia berbau enak,” jawab si ibu susu.
“Enak bagaimana maksudmu?” desak Terrier. “Banyak
hal lain yang baunya juga bisa dibilang enak. Seikat bunga,
misalnya. Taman bunga Arab baunya juga enak. Tapi
bagaimana mestinya bau seorang bayi yang enak? Itu yang
kutanya.”
Si ibu susu tergugu. Ia tahu persis bagaimana bau
seorang bayi. Ia tahu persis karena ia kenyang menyusui,
merawat, menggendong, dan menciumi mereka. Ia bahkan
mampu mengendusi mereka di kegelapan sekalipun. Saat
ini pun ia mencium bau tersebut dengan jelas. Tapi baru
sekarang ia diminta menggambarkannya dengan kata¬kata.
“Bagaimana?” desak Terrier lagi sambil menjentikkan
jari tak sabar.
“Yaah... ini...,” gugu si ibu susu, “...tidak mudah dikatakan,
karena... karena masing-masing baunya berbeda, walaupun
masing¬masing juga baunya enak. Bapa, kau tahu
maksudku, kan? Kaki mereka, misalnya. Baunya seperti
batu halus yang hangat - atau... tidak, lebih seperti susu...
atau mentega... persisnya mentega segar. Kaki mereka
berbau mentega segar. Dan tubuh mereka berbau seperti...
seperti kue serabi berbalur susu. Lantas kepala, sampai ke
ubun-ubun dan bagian belakang di mana rambut mulai
mengijuk... itu lho,... tahu maksudku, kan? Bagian yang kini
tak lagi berambut di kepalamu ...... seraya menepuk bagian
yang botak di kepala si pendeta - yang dalam ketakjuban
menyimak, tanpa sadar merundukkan kepala dengan
patuh. “Di sini, persis di sini, baunya paling enak. Seperti
karamel. Begitu manis. Pokoknya enak sekali, Bapa. Sulit
dijelaskan! Sekali mampu mengendusi, kau akan
menyukainya tanpa peduli itu bau anakmu sendiri atau
bukan. Dan begitulah mestinya bau bayi. Tak boleh berbau
lain. Kalau tidak begitu - kalau mereka tidak berbau apa-
apa sama sekali di ubun-ubun itu atau bahkan nyaris tak
berbau seperti si haram jadah ini, maka... terserah kau mau
bilang apa, Bapa, tapi aku ...,” ia bersedekap dengan tegas
sambil menyalangkan pandangan jijik ke arah keranjang di
kakinya seolah-olah berisi katak. 'Aku, Jeanne Bussie, tak
sudi menerima benda itu lagi!”
Bapa Terrier perlahan mengangkat kepala sambil
melayangkan jemari mengelusi kepala. botaknya beberapa
kali seolah merapikan rambut, lalu mendaratkan jemari
tersebut ke bawah hidung seperti tak sengaja. Ia
mengendus-endus sambil berpikir.
“Seperti karamel, katamu ... ?” ia bertanya, sambil
mencoba membangkitkan ketegasan. “Karamel! Tahu apa
kau soal karamel? Memangnya kau pemah mencicipi?”
“Tidak juga sih,” jawab si ibu susu, “tapi sekali aku
pernah berada di sebuah rumah besar di jalan Saint-Honore
dan melihat sendiri bagaimana pembuatannya dari gula
dan krim cair. Baunya begitu enak dan tak terlupakan.”
“Ya, ya... baiklah,” jawab Terrier sambil menarik jari dari
hidung.
“Tapi tolong jangan bicara lagi sekarang! Aku capek
berdebat. Kuputuskan saja sekarang bahwa dengan ini kau
menolak bayi yang telah diserahkan oleh biara untuk kau
rawat bernama Jean-Baptiste Grenouille dan
mengembalikannya ke pihak pelindung sementara, yaitu
biara Saint-Merri. Terus terang, ini sungguh meresahkan,
tapi sepertinya tak ada pilihan lain. Kau resmi dipecat.”
Dengan itu ia mengangkat keranjang, melepaskan
endusan terakhir dari kehangatan dan aroma susu yang
menyenangkan dari tubuh si ibu susu, membanting pintu,
lalu langsung menuju ruang kantor.
Tiga
BAPA TERRIER dikenal sebagai orang berpendidikan. Ia
tak hanya memelajari ilmu agama tapi juga banyak
membaca filsafat, di samping sedikit tentang botani dan
ilmu kimia. Ia agak memandang tinggi institusinya sendiri.
Tak seperti kebanyakan pendeta lain, ia tak pernah
mempertanyakan kesahihan mukjizat, peramalan dan hal
ihwal kebenaran sejati kandungan Alkitab, walaupun teks
Alkitab memang tak bisa dijelaskan hanya dengan nalar
yang malah cenderung mengontradiksi. Ia memilih untuk
tidak mencampuri hal-hal seperti itu karena dirasa
menjengahkan dan membuat gelisah serta stres. Padahal
nalar hanya bermanfaat jika seseorang memiliki keyakinan,
rasa aman, dan ketenangan. Yang paling ia tentang adalah
anggapan takhayul masyarakat kebanyakan dalam hal
sihir-menyihir, kartu ramalan, penggunaan jimat, mata
jahat, pengusiran setan, omong kosong saat bulan purnama,
dan tetek bengek perilaku absurd lain. Sungguh
meresahkan melihat betapa kebiasaan seperti itu belum
juga musnah, bahkan ribuan tahun sejak penetapan resmi
agama Kristen! Laporan-laporan perihal kerasukan setan
atau perjanjian dengan Iblis yang paling muluk sekalipun,
setelah ditelaah lebih dalam ternyata tak lebih dari
takhayul kuno semata. Tapi ia juga menyadari bahwa
mengingkari keberadaan setan sama saja dengan
mengingkari kewenangannya - dan Terrier juga enggan
untuk sampai sejauh itu, karena badan-badan gereja di
samping dirinya sendiri selaku seorang pendeta biasa, juga
ditugaskan untuk menetapkan hal-hal semacam itu yang
notabene sangat menyentuh dasar-dasar keagamaan. Tapi
di pihak lain rasanya sudah sangat jelas, bahwa ketika
seorang biasa seperti ibu susu tadi bersikeras telah
menyaksikan peristiwa kerasukan setan, si setan sendiri
tak mungkin punya andil di dalamnya. Fakta bahwa wanita
tersebut merasa telah menangkap basah perbuatan setan
adalah bukti tak terbantahkan bahwa sama sekali tak ada
apa pun yang berkaitan dengan setan, karena setan tidak
mungkin sedemikian bodoh membiarkan diri tertangkap
basah oleh seorang ibu susu seperti Jeanne Bussie. Apalagi
dengan hidung sebagai alasan! Dengan organ seprimitif alat
penciuman yang merupakan indra paling dasar! Sama saja
dengan mengatakan bahwa neraka pasti berbau belerang
dan surga pasti berbau dupa serta parfum! Ini wujud
takhayul paling buruk yang berakar langsung dari sejarah
kelam paganisme. Saat manusia masih hidup seperti
binatang. Tak punya kesadaran dan tak mampu
membedakan warna tapi menganggap diri mampu
mencium bau darah, mampu membedakan mana kawan
mana lawan, mengaku telah diendusi raksasa-raksasa
kanibal, serigala jadi-jadian dan peri - sementara di pihak
lain mereka masih belum jauh dari ritual pengorbanan
manusia. Sungguh menjijikkan! Seperti kata pepatah,
“Orang bodoh melihat dengan hidung ketimbang mata.
Sungguh, anugerah nalar pemberian Tuhan tampaknya
harus menunggu sampai ribuan tahun lagi sebelum sisa-
sisa terakhir dari keyakinan primitif seperti itu terbasmi
habis.
“Begitulah,” Bapa Terrier bergumam. “Dan kau bayi
kecilku yang malang! Makhluk yang belum lagi memiliki
dosa! Terpuruk di keranjang dan terbuang tanpa
menyadari kecurigaan jahat yang diarahkan kepadamu.
Wanita lancang itu berani-beraninya menuduhmu tak
memiliki bau sewajarnya anak manusia lain. Benar-benar
omong kosong konyol! Poohpeedooh!”
Ia menggendong dan mengayun keranjang dengan
lembut di atas lutut, mengelus-elus kepala si bayi dengan
jari sambil sesekali mengulang bergumam, “Poohpeedooh.”
Ini ekspresi yang dianggapnya lembut dan mampu
menenangkan anak kecil. “Katanya kau seharusnya berbau
karamel. Sungguh omong kosong. Poohpeedooh!”
Setelah beberapa waktu ia menarik jarinya kembali,
menariknya ke hidung dan mengendusi. Tapi tak tercium
bau apa pun selain bau bubur gandum yang ia makan siang
tadi.
Sejenak ia ragu, lalu matanya berkeliling untuk
memastikan tak ada yang melihat. Bapa Terrier
mengangkat keranjang dan mendekatkan hidungnya lebih
dekat. Berharap mencium sesuatu, ia mengendusi sekujur
kepala si bayi. Begitu dekat sampai rambut merah si bayi
menggelitiki lubang hidung. Ia tak tahu bagaimana
mestinya bau kepala seorang bayi. Yang jelas bukan
karamel, karena karamel dibuat dari gula yang dicairkan.
Bagaimana mungkin seorang bayi yang hanya minum susu
bisa berbau gula cair? Lebih masuk akal kalau ia berbau
susu - seperti susu si ibu susu. Tapi toh tidak demikian.
Atau barangkali berbau rambut, seperti bau kulit dan
rambut, dan sedikit bau keringat bayi. Terrier mengendus
sedemikian rupa dengan harapan mencium bau kulit,
rambut, dan keringat si bayi. Tapi tetap tak mencium apa
pun sama sekali. Tampaknya bayi tak memiliki bau,
pikirnya. Dan pasti memang demikian. Bayi kan dipelihara
dengan kebersihan, maka sewajarnya tak berbau. Kecuali
kalau ia sudah bisa bicara, berjalan, atau menulis. Hal-hal
yang akan tumbuh seiring usia. Kalau mau ditelusuri,
manusia pertama kali mengeluarkan bau badan saat ia
menginjak pubertas. Memang demikianlah adanya.
Bukankah pujangga Horace sendiri telah menulis, “Anak
remaja berbau kesturi, sementara anak perawan berbau
mekar bunga laksana narsis putih...”? Orang Romawi yang
biangnya paganisme pun mafhum akan hal ini! Bau tubuh
manusia selalu bernuansa daging, atau lebih tepatnya bau
dosa. Bagaimana mungkin seorang bayi yang belum kenal
dosa ‐ bahkan dalam mimpinya sekalipun, bisa memiliki
bau? Seperti apa baunya kalau memang iya? Poohpeedooh...
sungguh tidak mungkin!
Ia letakkan keranjang itu kembali ke atas lutut dan
mengayun lembut. Si bayi masih tertidur letap. Kepalan
tinju kanannya begitu mungil dan kemerahan, menyembul
dari balik selimut dan sesekali berkedut menggeseki pipi.
Menggemaskan sekali. Terrier tersenyum dan mendadak
merasa amat nyaman. Sesaat ia membiarkan diri hanyut
dalam lamunan bahwa dialah ayah si bayi. Bahwa ia belum
lagi jadi pendeta dan hanya orang biasa. Seorang tokoh
masyarakat, barangkali. Memiliki istri - kehangatan
seorang istri beraroma susu dan wol, dan bahwa mereka
telah memiliki anak yang kini sedang digendong dan diayun
lembut. Darah dagingnya sendiri. Poohpoohpoohpeedooh...
khayalan ini sungguh menyamankan. Begitu normal dan
wajar. Seorang ayah menggendong anak di pangkuan.
Poohpeedooh. Visi yang sudah setua umur dunia tapi selalu
terasa segar dan wajar - tentu saja selama dunia masih
berputar. Oh, jagat Terrier begitu hangat dalam
sentimentalitas.
Lalu si kecil terbangun. Dimulai dari hidungnya. Hidung
kecil itu bergerak, mendorong ke atas dan mengendus.
Menghirup dan menghela napas dalam embusan-embusan
pendek seperti bersin yang tak jadi. Lalu hidung itu
berkerenyut dan matanya membuka. Warnanya sulit
dipastikan - antara kelabu tiram dan krem opal putih,
tersaput semacam lapisan lendir tipis dan tampak tak
terlalu biasa menatap cahaya. Terrier mendapat kesan
bahwa sepasang bola mata itu belum mampu menangkap
sosok dirinya. Tapi hidungnya tidak begitu. Sementara
mata “buta” si kecil menyipit dengan tatapan tak jelas,
hidung itu seperti terpaku ke satu sasaran. Anehnya,
Terrier merasa bahwa dialah sasaran tersebut. Gumpalan
daging mungil dengan dua lubang di wajah bayi itu
mengembang seperti pucuk bunga merekah. Atau
barangkali lebih mirip bunga tanaman kecil pemakan
daging yang tersimpan di taman botani kerajaan. Dan
seperti tanaman itu, hidung si kecil seolah membuat
isapan-isapan aneh dan menakutkan - Terrier merasa
seolah si bayi menatapnya dengan lubang hidung. Melotot
sedemikian rupa, memerhatikan dan memandang lebih
tajam daripada mata mana pun di dunia. Seolah
menggunakan hidung untuk melahap sesuatu hidup-hidup.
Sesuatu dari dalam dirinya sendiri ‐ dari Terrier, dan ia tak
mampu menahan atau menyembunyikan sesuatu itu. Sang
bayi tak berbau kini membauinya tanpa malu-malu. Ah,
pasti begitu! Ia sedang mengenali dan menetapkan baunya!
Seketika itu juga ia mendadak merasa berbau tak sedap.
Berbau keringat serta cuka, bubur gandum dan pakaian
kotor. Serasa telanjang dan buruk - seolah ada yang
ternganga menatap begitu tajam tanpa timbal balik
membuka jati diri. Si bayi seolah mengendus sampai
menembus kulit dan seisi perut. Sampai ke emosi yang
terdalam, segala pikiran kotornya terpapar begitu saja di
hadapan hidung mungil nan rakus itu. Padahal bentuknya
pun tak bisa dibilang sempurna. Hanya segumpal daging
berbentuk hidung - sebuah organ dengan dua lubang yang
tak benci mengernyit, mendengus, dan berkedut. Bulu
kuduk Terrier mendadak berdiri. Perut serasa mual. Ia
menarik kembali hidungnya sendiri seolah membaui
sesuatu yang tak sedap dan enggan berdekatan lebih jauh.
Lenyap sudah semua pikiran lembut yang semula
membayangkan si bayi sebagai darah dagingnya sendiri.
Pupus sudah romantisme lamunan soal ayah dan anak serta
istri - seperti ada orang yang tahu-tahu hadir dan
membumihanguskan segala fantasi indah tentang ia dan si
bayi. Matanya kini hanya melihat sesosok makhluk aneh
dan dingin tengah bernaung di lututnya - atau bahkan
binatang buas. Kalau saja ia bukan manusia berwatak
lembut, takut Tuhan, dan berakal sehat, pasti sudah
digebahnya seperti orang tersengat laba-laba.
Terrier memaksa diri untuk bangkit dan meletakkan
keranjang di atas meja. Hatinya didera keinginan untuk
menyingkirkan benda itu sejauh dan sesegera mungkin.
Lebih cepat lebih baik.
Si bayi lalu mulai menangis. Ia mengerjapkan mata,
membukanya lebar-lebar, dan melengkingkan jeritan
sedemikian nyaring sampai pembuluh darah Terrier serasa
beku. Segera ia mengayun keranjang dengan kedua tangan
dan berseru, “Poohpeedooh,” berusaha mendiamkan. Tapi si
kecil malah menjerit makin nyaring sampai wajahnya
membiru dan seperti mau meledak.
Harus segera menjauh! Begitu pikir Terrier. Pergi detik
ini juga dari... ia hendak mengucap 'Iblis’, tapi segera sadar
dan menahan diri. Menjauh dari... monster ini! Dari anak
aneh ini! Tapi hendak kabur atau dijauhkan ke mana.? Ia
kenal selusin ibu susu dan yayasan yatim piatu di kota ini,
tapi rasanya masih terlalu dekat. Belum cukup jauh. Harus
menjauhkan benda ini sejauh mungkin. Sejauh-jauhnya
sampai tak terdengar lagi. Sampai benar-benar tak bisa
dikirim balik ke lagi. Atau kalau mungkin dikirim saja ke
gereja di wilayah lain - jika terletak di seberang sungai
akan lebih baik. Pilihan terbaik adalah membuangnya ke
Saint-Antoine. Aha, benar, itu dia! Tempat yang paling tepat
untuk bayi penjerit ini. Letaknya jauh di Timur, melewati
kota Bastille, di mana pintu gerbangnya selalu dikunci saat
malam.
Jadilah ia mengemasi barang seadanya, menjinjing
keranjang, bergegas. Berlari melewati labirin gang demi
gang menuju Saint Antoine, ke Timur yang searah dengan
sungai Seine, keluar dari kota melangkah lebih jauh lagi ke
jalan Charonne sampai nyaris mentok ke ujung jalan, ke
sebuah alamat dekat biara Madeleine de Trenelle. Ia tahu di
situ tinggal seorang wanita bernama Madame Gaillard yang
mau menerima anak-anak tanpa peduli umur atau apa pun
asal ada yang bersedia membayar. Ke sanalah ia akan
menyerahkan anak ini ‐ yang masih saja menangis.
Membayar dengan bayaran penuh untuk setahun di muka,
dan kabur kembali ke kota. Sekembalinya di biara nanti ia
bersumpah akan segera membuang pakaian yang ia
kenakan seolah habis terciprat najis, mandi sebersih
mungkin dari kepala sampai kaki, lalu merayap ke ranjang
di kamarnya yang sempit, menyilang trinitas berulang-
ulang, berdoa panjang-panjang dan akhirnya tidur dengan
lega.
Empat
MADAME GAILLARD tampak jauh lebih tua dari usianya
yang belum lagi tiga puluh tahun. Banyak orang
menganggap begitu. Bagi dunia ia terlihat sesuai dengan
usia sebenarnya, namun sekaligus pada saat yang sama
tampak dua atau tiga ratus tahun lebih tua - jadi seperti
mumi seorang gadis muda. Tak banyak yang tahu bahwa di
balik itu semua, jiwanya sudah lama mati. Sewaktu kecil
ayahnya memukul kening Gaillard dengan tongkat, persis di
atas dasar tulang hidung. Sejak itu ia kehilangan kepekaan
membaui berikut kehangatan dan dinginnya rasa
kemanusiaan. Satu pukulan sudah cukup membuatnya
terasing dari perasaan wajarnya manusia, baik itu
kehangatan, kebaikan, dendam, kebahagiaan, atau
kesedihan. Ia tak merasakan apa pun saat tidur dengan
seorang laki-laki, dan hanya ada setitik haru saat ia
mengandung anak. Ia tak menangisi yang mati atau
mensyukuri yang hidup. Bergeming saat dipukuli suami
tidak pula lega saat laki-laki itu meninggal akibat kolera di
Hôtel-Dieu. Dua rasa kemanusiaan yang bisa ia rasakan
hanya setitik depresi saat menjelang migrain menstruasi
dan perubahan mood saat kembali normal. Lain dari itu,
wanita zombi ini sama sekali tak merasakan apa pun.
Di pihak lain... atau barangkali justru karena ketiadaan
emosi manusiawi itu, Madame Gaillard terkenal bertangan
besi dalam hal tatanan, keteraturan, dan keadilan. Ia tak
membedakan atau mendiskriminasi anak asuh. Jatah
makanan setiap anak tetap tiga kali sehari. Tak lebih, tak
kurang. Ia bersedia mengganti popok tiga kali sehari, tapi
hanya sampai usia dua tahun. Siapa pun yang
membangkang akan dipukul dan dikurangi jatah makannya
jadi dua kali sehari. Biaya perawatan setiap anak dibagi
persis separo-separo untuk kepentingan rumah penitipan
yatim-piatu dan dirinya sendiri. Harga yang ditetapkan juga
tak pemah berubah - tak peduli paceklik atau sedang
makmur. Meski tampak aneh, tapi hanya dengan cara itu ia
bisa menghargai bisnis yang dijalani. Ia butuh uang dan
sangat memperhitungkan setiap peraknya. Saat tua kelak ia
ingin punya simpanan tunjangan yang cukup untuk
membiayai kematian di rumahnya sendiri - tidak di Hôtel-
Dieu seperti suaminya dulu. Bayangan ini membuat
perutnya dingin. Ia tak ingin mati bersama ratusan orang
asing. Ia ingin mati sendirian. Untuk itulah ia kini
menabung dari usaha penitipan anak yatim-piatu. Kendati
publik mafhum dengan fakta bahwa kadang tiga atau empat
anak titipnya meninggal saat musim dingin, tapi ini masih
jauh lebih baik dari kebanyakan rumah penitipan lain,
bahkan terhitung nomor dua terbaik di Paris karena
umumnya perbandingannya mencapai 9 dari 10 anak mati
setiap tahun. Toh tak ada yang peduli karena jumlah
kelahiran jauh lebih banyak - Paris menghasilkan sepuluh
ribu bayi resmi, haram, dan yatim‐piatu setiap tahun. Jadi,
perbandingan itu masih dianggap wajar.
Grenouille kecil sungguh beruntung dibuang ke rumah
penitipan Madame Gaillard. Besar kemungkinan ia tak akan
bertahan di tempat lain. Tapi di sini, bersama wanita mati
rasa ini, ia tumbuh pesat. Grenouille punya ketahanan
jasmani yang tinggi. Siapa pun yang mampu bertahan
dilahirkan di keranjang sampah tak akan semudah itu
tersingkir dari dunia. Sehari-hari ia mampu hanya makan
sup tanpa tambahan apa pun. Susu paling encer, sayuran
maupun daging paling basi. Sepanjang masa kecil ia
bertahan dari campak, disentri, cacar air, kolera, jatuh ke
sumur sedalam dua puluh kaki, atau luka bakar di dada
akibat tersiram air panas. Badannya kenyang memar dan
bekas luka serta sedikit pincang di kaki, tapi ia tetap hidup.
Daya tahannya setangguh bakteri atau kutu pohon yang
hidup dari setetes darah yang diawet-awet selama
bertahun-tahun. Ia hanya butuh sedikit saja jatah makan-
minum serta pakaian karena jiwanya tak menuntut apa-
apa. Perlindungan, perhatian, kehangatan, cinta, atau apa
pun yang katanya dibutuhkan oleh anak-anak, benar-benar
jauh dari Grenouille. Atau barangkali - setidaknya dalam
pandangan umum, ia sengaja membuang semua itu agar
mampu bertahan hidup. Ini dilakukan sejak usia amat
muda. Tangisan yang mengikuti kelahiran Grenouille -
tangisan yang mengangkatnya dari sampah dan mengirim
ibunya ke tiang gantungan, bukanlah tangisan naluri demi
simpati atau cinta. Tangisan itu berasal dari pertimbangan
hati - hati sang bayi (bahkan boleh dibilang pertimbangan
dewasa), dari putusannya untuk membenci cinta dan
kehidupan. Dalam situasinya kita bisa maklum bahwa
hidup hanya memungkinkan bagi Grenouille bila tanpa
cinta atau kasih sayang. Sejarah mungkin akan berbunyi
lain kalau saja saat itu ia memilih “tanpa kehidupan”.
Memang, ia tetap bisa mengambil “Jalan mudah” dengan
memilih untuk langsung mati saja ketimbang membebani
dunia dengan kelahirannya yang tak berarti. Tapi pilihan
ini jelas menuntut kerendahan hati yang tak sedikit, dan itu
tidak dimiliki Grenouille. Merasa sebagai monster sejak
lahir, ia memilih untuk menjalani hidup di jalur dendam
dan kebencian.
Putusan ini hadir tidak seperti orang dewasa saat
mengambil putusan, karena sebagai anak kecil ia tidak
memiliki cukup pengalaman dan nalar untuk memilih dari
berbagai pilihan yang dihadirkan oleh pengalaman.
Bagaimanapun, putusan ini perlahan hadir. Seperti kacang
yang saat dilempar ke tanah harus memutuskan apakah
hendak tumbuh atau tidak.
Atau seperti kutu pohon dalam permisalan tadi, di mana
hidup tak menawarkan apa pun selain hibernasi abadi.
Kutu kecil nan jelek itu hanya tahu bagaimana menggulung
badan biru kelabunya tanpa menawarkan apa-apa bagi
dunia. Juga dengan memuluskan serta mengeraskan kulit
yang tiada berkeringat sedikit pun. Sedemikian rupa
menciutkan diri agar tidak diperhatikan dan diinjak
manusia. Sang kutu yang kesepian menggulung diri di
pohon. Buta, tuli, bodoh, dan tanpa kegiatan lain selain
mengendus-endus sepanjang tahun, sepanjang jalan, demi
setetes darah dari binatang yang kebetulan lewat lantaran
tak kuat menggapai dengan kekuatan sendiri. Sang kutu
hanya bisa jatuh. Jatuh ke tanah di tengah hutan lalu
merangkak barang satu atau dua milimeter ke sana kemari
dengan enam kakinya yang mungil, berbaring pasrah
menunggu mati di bawah dedaunan. Tuhan tahu betapa tak
berartinya hal ini. Tak akan ada yang merasa kehilangan.
Tapi dasar si kutu keras kepala, menggerutu dan
menjijikkan. Ia tetap bergeming. Hanya hidup dan
menunggu. Menunggu “sang kebetularn” untuk
membawakan darah dalam wujud seekor binatang, persis
di bawah pohon. Hanya dengan cara itu si kutu bisa bebas
jatuh dari pohon untuk menggaruk, mengisap, dan
menggigit kulit mulus korbannya.
Grenouale muda tak ubahnya si kutu pohon. Ia
membungkus diri sedemikian rupa, menanti saat yang lebih
baik. Sumbangsihnya bagi dunia tak lebih dari sekadar
kotoran saat buang air. Tanpa senyum, tanpa tangis, tanpa
keceriaan, bahkan tanpa bau badan! Wanita mana pun pasti
tak tahan dan segera menendangnya keluar rumah. Tapi
tidak Madame Gaillard. Ia tak bisa mencium fakta bahwa si
bocah tak berbau, pun soal kejiwaan si anak, karena ia juga
menutup diri rapat-rapat.
Namun anak-anak lain langsung bisa merasakan
kelainan Grenouille. Sejak hari pertama ia datang,
kehadirannya sudah membawa atmosfer mencekam.
Refleks awal mereka adalah menjauhi keranjang tidur si
bayi dan meringkuk bergerombol di pojok ranjang masing-
masing, seolah suhu ruangan mendadak anjlok. Yang
termuda di antara mereka bahkan kerap menangis saat
malam. Yang lain bermimpi seperti ada yang hendak
mencuri napas mereka. Pernah suatu hari anak-anak tertua
berencana mencekik saja bayi itu. Mereka menumpuk
potongan-potongan kain, selimut, serta jerami ke muka
Grenouille lalu memberati dengan batu bata. Saat Madame
Gaillard menyingkirkan semua itu keesokan paginya, si bayi
sudah kisut, lumat, dan membiru, tapi tidak mati. Anak-
anak mencoba lagi beberapa kali, namun tetap gagal. Kalau
saja mereka mencekik langsung dengan tangan kosong atau
menutup mulut serta hidung si bayi, kemungkinan akan
lebih sukses, tapi tak ada yang berani mencoba. Tak ada
yang sudi menyentuh si bayi. Grenouille membuat mereka
gerah. Seperti orang yang tak tahan melihat laba-laba tapi
tak berani menginjaknya karena jijik.
Seiring pertambahan usia, anak-anak akhirnya tak
bernafsu lagi meneruskan percobaan pembunuhan mereka-
barangkali di bawah kesadaran bahwa Grenouille tak bisa
dihancurkan. Pilihan yang tertinggal adalah aksi menjauh.
Menyebar, berlarian, atau setidaknya menghindar agar tak
tersentuh. Anehnya, mereka tak membenci Grenouille.
Cemburu atau dendam pun tidak. Jatah Grenouille di rumah
penitipan yatim-piatu tak pernah lebih atau kurang dari
mereka sendiri, jadi tak ada alasan untuk itu. Perasaan
terganggu dan tak nyaman berada dekat Grenouille semata-
mata hadir karena tak bisa mencium bau badannya. Untuk
itu mereka takut dan jeri.
Lima
KALAU MAU JUJUR, sebenarnya tak ada yang
menakutkan dalam. diri Grenouille. Saat dewasa tubuhnya
tidak besar ataupun kuat. Buruk rupa memang, tapi tidak
sedemikian buruknya sampai mampu membuat orang
menjerit kerakutan. Ia tidak agresif atau culas, tidak
berlaku sembunyi-sembunyi atau memprovokasi orang. Ia
malah lebih suka menghindar. Soal kepandaian juga biasa-
biasa saja. Umur tiga tahun ia baru bisa berdiri. Kata
pertama. yang keluar dari bibirnya adalah 'ikan’. Ini terjadi
jam empat pagi. Diucapkan dengan keriangan luar biasa
seperti gema suara, nelayan sepanjang jalan Charonne saat
memekikkan dagangan di kejauhan. Kata berikut adalah
‘pelargonium’, 'kandang kambing’, 'cabe savoy, dan
'Jacquestorreur’ - yang terakhir ini adalah nama seorang
pembantu tukang kebun dari biara Filles de la Croix di
seberang jalan yang kadang diserahi berbagai pekerjaan
kasar oleh Madame Gaillard dan terkenal tak pernah mandi
seumur hidupnya. Grenouille tak terlalu suka menyerukan
kata kerja, kata sifat, dan kata seru. Kecuali untuk 'ya' dan
'tidak’ yang lumayan jarang dipakai. Ia hanya menyerukan
kata benda - khususnya benda-benda dasar seperti
tanaman, binatang, manusia. Itu pun jika ketiga benda
tersebut mendadak menyerang hidungnya dengan aroma.
Suatu hari di bulan Maret, ketika sedang duduk di
sebilah balok kayu besar sambil asyik bergumam entah apa
di tengah matahari musim panas, untuk pertama kalinya ia
menyerukan kata ‘kayu’. Ia sudah pernah melihat dan
mendengar tentang kayu ratusan kali sebelumnya, juga
akrab dengan benda ini karena sering disuruh
mengumpulkan kayu bakar di musim dingin. Tapi benda ini
belum pernah sedemikian menarik perhatian sampai
membuat ia mau menyebut namanya. Ini terjadi pertama
kali di hari bulan Maret itu, saat ia sedang duduk di balok
yang ditumpuk di bawah pinggiran atap dan membentuk
bangku sepanjang sisi selatan gudang Madame Gaillard.
Bagian atas balok mengambangkan aroma terbakar yang
manis sementara bagian dalamnya sampai ke atas menebar
bau lumut. Di tengah hangat terik matahari, tebaran aroma
damar meluruh dari bilah-bilah papan pinus yang
membentuk dinding gudang.
Grenouille duduk di balok itu dengan kaki terjulur dan
punggung bersandar ke dinding. Mata terpejam dan tubuh
bergeming. Ia tidak melihat, mendengar, atau merasakan
apa pun. Hanya aroma kayu yang menguap di sekeliling dan
terperangkap di bawah atap bangunan gudang. Ia
menghirup dan tenggelam dalam aroma itu, seolah
menyesaki seluruh pori-pori kulit sampai akhirnya menjadi
kayu itu sendiri. Seperti boneka kayu ia duduk di balok itu.
Seperti Pinokio. Berlagak mati dan setelah setengah jam
atau lebih, mengucap kata 'kayu’. Ia muntahkan kata itu
seperti orang yang seluruh tubuhnya sesak oleh kayu
sampai ke telinga, seolah terkubur dalam kayu sampal ke
leher, seolah seluruh isi perut dan hidungnya luber oleh
kayu. Bayangan ini menyadarkan dan menyelamatkan
benaknya, persis beberapa saar sebelum aroma kehadiran
kayu serasa mencekik. Dengan gemetar ia mengggebah
badan, meluruk turun dari balok dan terhuyung‐huyung
menjauh bagai orang berkaki kayu. Sampai berhari-hari
kemudian pusingnya tak juga hilang. Dan setiap kali ingatan
penciuman itu meluruk sedemikian kuat, mulutnya
otomatis bergumam berkali-kali, “Kayu... kayu ...”
Hadilah ia belajar bicara. Kesulitan terbesar didapati
saat terbentur pada kata-kata dari benda-benda tak berbau,
seperti ide-ide abstrak dan sejenisnya - terutama soal etika
dan moral. Ia sulit mengerti dan cenderung mencampur
aduk satu sama lain. Sampai usia dewasa ia selalu sungkan
dan kerap salah menggunakan kata-kata seperti keadilan,
nurani, Tuhan, bahagia, tanggung jawab, kerendahan hati,
rasa syukur, dan sebagainya - makna dari ekspresi kata-
kata ini tetap jadi misteri baginya.
Di pihak lain, bahasa sehari-hari ternyata tak cukup
mampu menjelaskan semua persepsi penciuman yang
diperolehnya selama ini. Dengan segera ia dapati bahwa ia
tak hanya mampu mencium dan menegaskan aroma kayu,
tapi juga berbagai jenis kayu seperti kayu pohon mapel,
kayu pohon ek, kayu pohon pinus, kayu lapuk, segar, busuk,
kayu berlumut, sampai ke setiap balok, kepingan, dan
serpihannya. Tak hanya itu, ia mampu membedakan
dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh orang lain secara
visual. Ini juga berlaku untuk banyak hal lain. Misalnya
minuman berwarna putih yang biasa disajikan Madame
Gaillard untuk anak-anak asuhnya setiap hari. Orang lain
akan langsung akur bahwa itu pasti susu, tapi indra
pencium dan pengecap Grenouille menegaskan hal yang
berbeda setiap hari, tergantung dari seberapa panas saat
disajikan, dari sapi yang mana susu itu berasal, apa yang
dimakan sapi itu sebelumnya, jumlah kandungan krim, dan
seterusnya. Atau kenapa asap harus memiliki hanya satu
nama saja: 'asap’, padahal dari menit ke menit, dari detik ke
detik, campuran ratusan macam bau membaur menjadi
kesatuan yang sama sekali berbeda setiap kali asap
membubung dari sebuah sumber api. Atau kenapa tanah,
daratan, udara - masing-masing dari setiap jengkalnya dan
di setiap tarikan napas, sarat dengan aneka aroma dan
karenanya pasti memuat entitas yang juga berbeda-beda -
hanya dirujuk dengan tiga kata yang umum tadi. Seluruh
keganjilan dari keanekaragaman yang hanya bisa ditangkap
oleh indra penciuman plus keterbatasan jembatan bahasa
ini sudah cukup menjadi bukti bagi Grenouille muda untuk
yakin bahwa penggunaan bahasa sama sekali tidak logis.
Jadilah ia makin terbiasa untuk berbicara hanya apabila
benar-benar tak bisa menghindari kontak dengan orang
lain.
Pada usia enam tahun ia sudah sangat mampu
memahami lingkungan dengan penciuman. Tak ada benda
apa pun dalam rumah Madame Gaillard, tidak juga
sepanjang jalur utara jalan Charonne ‐ orang, pohon, semak,
tiang pancang, noda kecil atau besar - yang tidak
dikenalinya berdasarkan bau. Ia juga mampu mengenali
lagi benda yang sama berdasarkan keunikan benda
tersebut dalam ingatan. Otaknya menyimpan memori
tentang puluhan, bahkan ratusan ribu aroma spesifik
dengan sangat jelas. Tak hanya mengingat
masing¬masingnya secara acak kapan saja saat mencium
bau yang sama, tapi juga mampu membaui saat mengingat -
tanpa harus mencium bau yang sama. Terlebih lagi,
imajinasinya mampu menyusun kombinasi baru dari
masing-masing aroma tersebut sedemikian rupa sampai
tercipta aroma yang tak ada di dunia nyata. Grenouille
bagai seorang autodidak penyusun perbendaharaan
raksasa pustaka aroma yang membuatnya mampu
menciptakan banyak sekali kalimat tentang aroma.
Hebatnya lagi, semua ini terbentuk saat normalnya anak
kecil masih harus berusaha keras mengingat kata agar
mampu menyusun kalimat koheren yang menggambarkan
dunia sekeliling. Analogi terdekat yang mampu
menggambarkan bakat aneh ini mungkin ibarat seorang
genius musik dengan kemampuan mengidentifikasi melodi
dan harmoni dari alfabet di setiap nada individual, lalu
menggubahnya menjadi melodi serta harmoni yang sama
sekali baru. Yang membedakan kedua realitas ini adalah
bahwa perbandingan alfabet untuk aroma tentu jauh lebih
besar dan lebih bernuansa ketimbang nada. Plus fakta
menyedihkan bahwa seluruh keajaiban aktivitas kreatif
seorang genius bernama, Grenouille ini hanya bisa eksis
dan diterima dalam pikirannya sendiri.
Dunia luar hanya mencatat bahwa ia tumbuh menjadi
orang yang makin lama makin pendiam dan misterius.
Kegiatan favoritnya adalah berkelana sendirian sepanjang
sisi utara Saint-Antoine. Melalui kebun‐kebun sayur dan
anggur serta padang rumput. Kadang ia tak pulang dan
menghilang berhari-hari. Hukuman rotan yang menanti ia
terima tanpa jerit kesakitan. Hukuman kurungan rumah,
tak boleh makan, atau kerja berat tetap tak mampu
mengubah perilakunya. Delapan belas bulan kunjungan
sporadis ke sekolah gereja di Notre Dame de Bon Secours
juga tak memberi dampak berarti. Grenouille belajar sedikit
kemampuan mengeja dan menulis nama sendiri. Tidak
lebih. Guru-guru menganggapnya bodoh.
Madame Gaillard lain lagi. Ia menyadari bahwa anak ini
punya kemampuan dan kualitas tersendiri yang sangat
tidak biasa - kalau tak mau dibilang ajaib. Terutama sejak ia
tahu bahwa tak seperti anak kecil lain, Grenouille sama
sekali asing dengan rasa takut terhadap kegelapan dan
malam hari. Kau bisa menyuruhnya pergi ke loteng kapan
saja, sementara anak-anak lain biar ditemani lentera
sekalipun pasti tak akan berani. Atau disuruh mengambil
kayu bakar di gudang saat tengah malam. Grenouille tak
pernah membawa penerangan apa pun, tapi selalu mampu
menemukan jalan dan kembali dengan barang yang diminta
tanpa membuat kesalahan - tidak pakai terjatuh,
tersandung, atau terjerembab. Madame Gaillard juga
menemukan bahwa Grenouille mampu melihat menembus
kertas, kain, kayu, bahkan tembok dan pintu terkunci.
Tanpa memasuki pondok ia tahu persis berapa jumlah dan
anak yang mana yang ada di dalamnya. Ia tahu ada tidaknya
ulat dalam kembang kol sebelum kol itu dibelah. Dan sekali,
saat Madame Gaillard yakin sudah menyembunyikan uang
sedemikian rupa sampai ia sendiri tak bisa menemukan (ia
selalu mengubah lokasi penyimpanan), Grenouille langsung
menunjuk tanpa ragu ke sebuah lokasi rahasia di balik
langit-langit perapian - dan memang benar adanya! Ia
bahkan mampu melihat masa depan, karena ia suka
meramalkan kunjungan seseorang jauh sebelum orang itu
hadir, atau kehadiran badai sementara langit pada saat itu
cerah. Tak ada yang tahu bahwa Grenouille tidak melihat
semua ini dengan mata, tapi mengendusi aromanya dengan
hidung yang dari hari ke hari makin menegaskan presisi
aroma tersebut. Pada ulat dalam kembang kol, uang di balik
perapian, dan orang di balik tembok atau yang berada
beberapa blok di ujung jalan sekalipun. Madame Gaillard
tentu saja tak akan menduga sampai sejauh itu - pun andai
pukulan ayahnya dulu tidak menumpulkan indra
penciumannya. Ia hanya tahu dan yakin bahwa idiot atau
tidak, bocah ini punya indra ke enam. Sadar bahwa orang‐
orang seperti itu cenderung membawa sial dan kematian,
kehadiran Grenouille membuatnya resah. Apalagi jika
mengingat bahwa ia tinggal seatap dengan orang yang
punya bakat menunjukkan persembunyian uang di balik
tembok dan perapian. Dus, begitu yakin bahwa Grenouille
memang memiliki bakat mengerikan ini, timbul niat untuk
menyingkirkan si bocah. Kebetulan saat itu usia Grenouille
sudah mencapai delapan tahun dan biara Saint-Merri tiba-
tiba menghentikan pembayaran tahunan begitu saja.
Madame Gaillard sengaja tidak menagih. Agar tampak
wajar ia menunggu sampai seminggu. Saat kiriman uang
tak juga datang, ia menggandeng si malang Grenouille dan
mengajaknya berjalan-jalan ke kota.
Ia kenal seorang penyamak kulit bernama Grimal yang
tinggal dekat sungai di jalan Mortellerie dan terkenal selalu
mencari pekerja muda - bukan untuk dididik sebagai murid
atau karyawan, tapi sebagai buruh murah. Ada tugas-tugas
tertentu yang berbahaya, seperti membersihkan daging
dari kulit yang membusuk, mencampur larutan dan bahan
celupan beracun untuk proses penyamakan, dan membuat
larutan alkali yang membakar kulit. Sedemikian berbahaya
sampai membuat si pemilik usaha enggan menyerahkan
pengerjaan pada tenaga ahli dan lebih suka
mempekerjakan imigran, gelandangan, pelacur, atau anak
hilang yang tak akan menarik perhatian jika terjadi sesuatu.
Madame Gaillard tentu saja tahu bahwa dalam kondisi
normal Grenouille tak mungkin bisa bertahan hidup di
pabrik penyamakan kulit milik Grimal. Tapi ia bukan
wanita yang suka mengasihani. Toh tugasnya sudah selesai.
Perwalian dan pemeliharaannya sudah berakhir. Apa yang
terjadi pada si anak setelah itu bukan urusannya lagi. Kalau
mampu bertahan, baguslah. Kalau mati, ya bagus juga - asal
dilakukan dan terjadi secara legal.
Jadilah ia meminta kuitansi dari Monsieur Grimal
sebagai bukti tertulis serah terima Grenouille,
menyerahkan kuitansi biaya komisi sebesar lima belas
Franc, lalu kembali pulang ke rumah. Nuraninya sama
sekali tak menyisakan sesal. Ia justru merasa tindakannya
tidak hanya sah, tapi juga adil, karena jika ia
mempertahankan seorang anak yang biaya penitipannya
tak lagi dibayar, biaya tersebut otomatis terbebankan ke
anak lain atau dirinya sendiri. Ini tentu sangat
membahayakan masa depan anak asuh lain, atau lebih
buruk lagi: masa depannya sendiri, mengubur impiannya
untuk mati wajar, sendiri, dan terlindung. Satu‐satunya
keinginan yang tersisa dalam hidup.
Karena kita hendak meninggalkan Madame Gaillard dan
tak akan bertemu dia lagi dalam cerita ini, sudilah kita
relakan beberapa kalimat untuk menggambarkan
bagaimana akhir hidupnya.
Walau mendambakan kematian yang wajar sejak kanak-
kanak, Madame Gaillard temyata diberi hidup sampai usia
sangat, sangat tua. Pada tahun 1782, menjelang ulang tahun
ketujuh puluh, ia melepaskan bisnisnya, membeli surat
tunjangan hidup sesuai rencana, lalu duduk di rumah
menanti ajal. Tapi kematian tak kunjung tiba. Yang datang
malah sesuatu yang sama sekali tak terduga siapa pun:
Revolusi Prancis - transformasi gila-gilaan seluruh tatanan
sosial, moral, dan agama. Awalnya revolusi ini tak
memengaruhi nasib Madame Gaillard, tapi kemudian - di
usianya yang nyaris delapan puluh tahun-orang yang
memegang kewajiban pembayaran tunjangan hidup
Madame Gaillard harus beremigrasi, seluruh hak
kepemilikannya dilucuti, dan dipaksa melelang
kepemilikannya atas sebuah pabrik garmen. Untuk
sementara perubahan ini tetap tidak berakibat fatal bagi
Madame Gaillard, karena pabrik garmen itu melanjutkan
membayar tunjangan tepat waktu. Tapi kemudian tiba saat
di mana ia tak lagi menerima uang dalam bentuk koin, tapi
secarik kertas tercetak. Ini menandai awal kejatuhan
kondisi perekonomian Madame Gaillard.
Dalam dua tahun, surat tunjangan itu tak lagi cukup
untuk membiayai hidup. Madame terpaksa menjual rumah
dengan harga sangat rendah karena ribuan orang lain
mendadak juga terpaksa menjual rumah. Dan sekali lagi ia
menerima pembayaran berupa secarik kertas tercetak yang
dalam dua tahun kembali tak bernilai. Tahun 1797
(menjelang usia sembilan puluh tahun), seluruh harta dari
hasil kerja kerasnya selama hampir seratus tahun ludes dan
ia terpaksa tinggal di sebuah kamar sempit di jalan
Coquilles. Pada saat itulah ‐ setelah sepuluh-dua puluh
tahun terlambat, sang maut menjelang. Hadir dalam wujud
penderitaan berkepanjangan bernama kanker tenggorokan
yang merampas nafsu makan dan akhirnya suara. Madame
Gaillard bahkan tak mampu melenguh protes saat diusung
ke Hôtel-Dieu. Ia ditaruh di sebuah bangsal bersama
ratusan orang sekarat lain, di bangsal tempat suaminya
meninggal dulu, berbagi ranjang berdempet-dempet
dengan lima wanita asing, dan tiga minggu kemudian mati
di depan umum. Mayatnya dibungkus karung, dilempar ke
gerobak pengusung pupuk kandang pada jam empat pagi
bersama lima puluh mayat lain, lalu seiring denting bel
dibawa ke Damart - sebuah tanah pekuburan baru berjarak
satu mil di luar gerbang kota. Dan demikianlah akhir
seorang Madame Gaillard... dalam sebuah kuburan massal,
ditutup batu kapur tebal.
Itu terjadi tahun 1799. Untungnya Madame Gaillard
sama sekali tak menyadari nasib yang menanti saat ia
melenggang pulang pada tahun 1746, meninggalkan
Grenouille dan cerita kita untuk selamanya. Kalau saja ia
menyadari, detik itu juga keyakinannya tentang keadilan
akan lenyap, bersama satu-satunya makna hidupnya yang
paling berarti.
Enam
SEJAK PERTAMA KALI menatap Monsieur Grimal - tidak,
tepatnya sejak endusan pertama atas bau yang
menyelimuti lelaki itu, Grenouille langsung tahu bahwa
orang ini tega menyiksanya sampai mati untuk kesalahan
kecil sekalipun. Hidupnya bergantung pada berapa banyak
pekerjaan yang bisa ditangani dan seberapa bergunanya ia
di mata Grimal. Grenouille tak melihat pilihan selain patuh.
Menurut dan tak mencoba melawan sama sekali. Hari demi
hari ia memendam seluruh energi pemberontakan dan
pertentangan, mengubahnya menjadi keinginan tunggal
untuk bertahan hidup ala kutu pohon. Ia bekerja keras, tak
mengeluh dan tak mencolok. Harapan hidup dipelihara
dengan kobaran sangat kecil tapi tetap menyala. Ia menjadi
teladan kepatuhan, kesederhanaan, dan ketekunan bekerja.
Mematuhi segala perintah tanpa bertanya dan tampak puas
menerima makanan apa pun yang disodorkan. Sore hari ia
membiarkan diri dikunci di lemari di samping lantai
penyamakan tempat menyimpan peralatan dan
menggantung kulit kasar yang baru saja digarami. Di sana
ia tidur beralas tanah yang keras dan dingin. Siang hari ia
bekerja sampai matahari terbenam - empat jam di musim
dingin, empat belas, lima belas, dan enam belas jam di
musim panas. Tugasnya mengoreki daging dari kulit
binatang, membasahinya, mencabuti bulunya, mengapur,
merendamnya dengan cairan kimia, melebarkan,
menggosoknya dengan kotoran binatang, membelah kayu
bakar, mencabuti ranting dari pepohonan, turun ke sumur
penyamakan berisi uap kimia yang membakar kulit,
melapis kulit yang masih mentah dan yang sudah jadi
sesuai instruksi pekerja senior, memelarkannya dengan
remukan gallnut, lalu menutup lubang pembakaran dengan
ranting dan tanah untuk proses mumifikasi kulit. Bertahun-
tahun kemudian ia harus menggali lagi lubang tersebut dan
mengangkat kulit yang kini sudah sempurna tersamak.
Jika tidak sedang mengubur atau menggali samakan
kulit, ia ditugasi membawa air. Selama berbulan-bulan ia
membawa air dari sungai dengan dua ember. Jumlahnya
bisa ratusan ember dalam sehari karena penyamakan
membutuhkan air dalam jumlah besar untuk perendaman,
perebusan, dan pencelupan kulit. Selama berbulan-bulan
tugas ini membuat badannya tak pernah kering. Sore hari
pakaiannya selalu kuyup dan ia terpaksa tidur dengan kulit
dingin dan membengkak seperti rendaman kulit antelop.
Setelah setahun hidup seperti binatang, ia terjangkit
anthrax ‐ penyakit yang paling ditakuti penyamak dan
biasanya fatal. Grimal langsung memecat dan celingukan
mencari penggantinya, walau diiringi sesal karena belum
pernah ia menemui pekerja sepatuh dan seproduktif
Grenouille. Di luar dugaan, Grenouille ternyata mampu
bertahan dan sembuh. Yang tinggal hanya parut kehitaman
dari radang kulit di belakang telinga, di kedua tangan, dan
pipi. Membuat wajahnya cacat dan lebih jelek daripada
sebelumnya. Tapi ini juga membuat ia kebal terhadap
anthrax. Kini ia mampu menguliti kulit paling bau dengan
tangan tersayat dan berdarah sekalipun tanpa khawatir
terinfeksi lagi. Ini membuatnya mencuat tak hanya
melebihi para pekerja magang dan pekerja senior, tapi juga
dari para calon penggantinya. Dan karena ia tak bisa lagi
digantikan dengan mudah, nilai kerja dan nilai hidupnya
meningkat. Mendadak ia tak boleh lagi tidur di lantai dan
diizinkan membuat sendiri ranjang papan (kendati masih
di lemari yang sama), diberi jerami sebagai kasur dan
selimut sendiri. Pintu lemari tak pernah dikunci lagi saat ia
tidur. Makanan juga lebih memadai. Grimal tak lagi
memeliharanya sebagai binatang biasa, tapi sebagai
peliharaan yang berguna.
Di usia dua belas tahun, Grimal memberi istirahat
setengah hari setiap minggu, dan di usia tiga belas bahkan
mengizinkan Grenouille keluar jalan-jalan setiap minggu
sore selama satu jam setelah jam kerja. Selama satu jam itu
ia bebas melakukan apa saja. Grenouille memenangkan
taruhannya sendiri dengan tetap hidup dan menggenggam
secuil kebebasan yang lebih dari cukup untuk bernapas.
Hibernasi sudah berakhir. Kini saatnya Grenouille sang
kutu pohon menggeliat. Aroma fajar dihirup kuat-kuat. Ia
ingin sekali berburu aroma lagi. Cagar aroma terbesar di
dunia kini terbentang di depan mata: kota Paris.
Tujuh
RASANYA SEPERTI HIDUP di tengah padang utopia.
Perkampungan di sekitar Saint-Jacques de la Boucherie dan
Saint-Eustache serasa taman surga. Di pinggiran jalan
sempit antara jalan Saint-Dennis dan jalan Saint-Martin,
orang-orang tinggal dalam rumah yang berdempet rapat
satu sama lain, setinggi lima sampai enam lantai, membuat
orang sulit menatap langit. Udara di permukaan tanah
membentuk kanal-kanal lembap yang sarat dengan bekuan
aroma - gabungan dari aroma manusia dan binatang, air
dan batu, abu dan kulit, sabun dan roti segar serta telur
yang direbus dalam air cuka, bau mi dan kuningan yang
digosok, bau daun, bir dan air mata, juga bau lemak dan
rumput basah serta kering. Ribuan aroma membentuk
bubur tak terlihat menyesaki selokan, jarang membubung
menguap melewati atap dan tak pernah berasal dari dalam
tanah. Penghuninya tak lagi menganggap aneh bubur
aroma ini. Sebagian berasal dari badan mereka sendiri dan
mereka sudah sangat terbiasa. Lagi pula, ini juga udara
yang mereka hirup sehari-hari - seperti baju yang sudah
dipakai sedemikian lama sampai tak lagi tercium baunya
atau terasa menempel di kulit. Tapi ini tentu saja
merupakan pengalaman pertama bagi Grenouille. Ia tidak
mengendusi sekaligus, tapi ia pilah pilah secara analitis
menjadi bank data aroma satu demi satu dalam ingatan
terpisah. Hidung ajaibnya lalu mengurai setiap gumpalan
uap dan aroma menjadi satu untaian terpadu yang tak bisa
diuntai lebih jauh lagi. Seluruh proses ini memberi
kesenangan luar biasa.
Sering kali ia hanya berdiri diam, bersandar di dinding
atau berjongkok di sudut dengan mata tertutup, mulut
setengah terbuka dan hidung terkembang lebar. Tenang-
tenang ia menunggu setiap arus aroma yang datang. Saat
angin mengantar aroma ke arahnya, ia akan memburu
sampai dapat. Kadang ia hanya membaui satu aroma saja,
dihirupnya dalam-dalam untuk disimpan baik-baik dalam
ingatan. Kadang ia mencium aroma yang pernah dikenal
atau variasi dari aroma itu, kadang aroma yang sama sekali
baru dan belum pernah tercium atau “terlihat” sebelumnya,
misalnya aroma kain sutra cetak, wangi teh liar, aroma kain
brokat bersulam benang perak, aroma gabus penyumbat
sebuah botol anggur tua, dan aroma sisir yang terbuat dari
tempurung kura-kura. Grenouille terus berburu mencari
berbagai aroma asing. Ia memburu dengan kecintaan dan
kesabaran seorang pemancing untuk disimpan baik-baik
dalam ingatan.
Setelah kenyang menghirup bubur aroma jalanan ia akan
pergi ke daerah yang lebih segar, di mana aroma lebih tipis
dan berbaur menyebar bersama angin - persis seperti
parfum. Misalnya seperti saat ia pergi ke pasar Les Halles,
di mana aroma siang hari terus bertahan sampai sore. Tak
terlihat dan tipis-tipis, seolah para penjual masih membaur
dalam keramaian, seolah keranjang-keranjang dagangan
mereka masih di situ dan penuh dengan sayuran serta
telur, atau tong‐tong sarat anggur dan cuka, kantong-
kantong berisi rempah, kentang, dan tepung, peti-peti
dengan paku dan sekrupnya, meja jagal, meja yang sarat
gulungan pakaian, piring dan sol sepatu, serta ratusan
macam barang lain yang dijual di situ selama siang hari.
Kesibukan dan keramaian yang terjadi, sampai sekecil-
kecilnya, masih terekam di udara. Grenouille “melihat”
semua ini dengan hidung. Ia membaui dengan ketepatan
melebihi normalnya orang melihat dengan mata. Persepsi
indranya berdasarkan fakta dan karena itu berada di
tataran lebih tinggi - katakanlah, ia mampu untuk langsung
“melihat” esensi dan roh dari apa yang telah terjadi, dalam
kondisi murni dan tak terganggu oleh peristiwa sehari-hari
pada saat itu, seperti suara, pandangan, atau tekanan
manusia lain yang membuatnya muak.
Di saat lain ia akan pergi ke tempat pemenggalan ibunya
dulu. Tempat bernama de Gréve di mana tanjungnya
menjorok ke sungai seperti lidah raksasa. Di sini kapal-
kapal berlabuh, ditarik atau ditambat ke tonggak sepanjang
tanjung, dengan sebaran aroma batu bara, butiran padi,
rumput kering, dan tali lembap.
Dari arah barat, melewati jalur tunggal yang memotong
ke arah kota melalui sungai, datang embusan angin besar
yang membawa aroma pedesaan - aroma padang rumput di
sekitar Neuilly, aroma hutan di jalur antara Saint-Germain
dan Versailles, bahkan aroma kota‐kota nun jauh di sana
seperti Rouen atau Caen, dan tak jarang juga aroma laut.
Aroma laut tercium seperti sebuah pelayaran dengan
ombak berisi campuran antara air, garam, dan dingin
matahari. Laut memiliki aroma sederhana tapi sekaligus
juga unik dan begitu kaya. Sedemikian kaya sampai
Grenouille ragu apakah benar pilahan aromanya terdiri
atas ikan, garam, air, ganggang, udara segar, dan
sebagainya. Ia lebih suka membaui aroma laut sebagai satu
kesatuan. Grenouille sangat menyukai aroma laut sampai
ingin suatu hari nanti meraup sendiri sepuasnya sampai
mabuk - tentunya dalam kondisi yang murni dan belum
tercemar. Kelak, saat ia mendengar dari cerita‐cerita
tentang betapa luasnya laut itu dan betapa kau bisa
melayarinya dengan kapal selama berhari-hari tanpa
bertemu daratan, dengan gairah menggebu Grenouille
membayangkan dirinya duduk di atas tiang kapal,
sepuasnya meluncur di tengah samudra aroma lautan. Ia
yakin bahwa yang tercium nanti bukan hanya sekedar
aroma, tapi napas‐napas sebenar-benarnya yang menjadi
akhir dari segala aroma. Betapa senangnya jika bisa
membaur lepas dalam napas itu. Tapi ini akan tetap jadi
impian bagi Grenouille, yang saat itu tengah berdiri di tepi
sungai de Gréve, dalam lantunan ajeg sisa-sisa sepoi angin
laut yang bisa ia endusi. Grenouille tak aka-n pernah
melihat laut. Laut yang sebenarnya-samudra luas yang
terbentang jauh di barat, dan tak akan pernah bisa melebur
dengan aromanya.
Jadilah ia kembali dengan tekun mengendusi jalanan
antara Saint‐Eustache dan Hotel de Ville sampai ia mampu
mencari jalan sendiri dalam kegelapan sekalipun.
Grenouille memutuskan untuk memperluas daerah
perburuan. Pertama ke arah barat di sekitar pinggiran
Saint-Honore, lalu keluar sepanjang jalan Saint-Antoine ke
arah Bastille, dan akhirnya menyeberang sungai ke daerah
Sorbonne dan pinggiran Saint-Germain, tempat tinggal
orang-orang kaya. Gerbang‐gerbang besi rumah mereka
mengembuskan aroma pakaian kulit dan bedak rambut
palsu, sementara tembok-tembok tinggi mengembuskan
aroma taman yang terdiri dari sapu, bunga mawar, dan
pagar tanaman yang baru dipotong rapi. Di sini pula
Grenouille pertama kali mencium aroma parfum secara
lateral: aroma lavender atau mawar yang menyarati air-air
mancur di taman saat acara pesta. Ia juga mencium aroma
parfum yang lebih kompleks dan mahal - larutan aroma
kesturi yang dicampur dengan minyak neroli dan tuberosa,
bunga jonquil, melati, atau kayu manis. Semua dicatat baik-
baik dalam ingatan. Didaftar satu per satu seperti ketika
orang mendadak membaui aroma tak sedap dan lantas
penasaran ingin tahu sumbernya - meski tanpa kekaguman.
Grenouille tentu saja sadar bahwa tujuan parfum adalah
untuk menciptakan efek memabukkan dan memancing
minat serta perhatian. Ia juga mengenali nilai masing‐
masing aroma yang menyusun parfum tersebut. Namun
kalau mau jujur, aroma-aroma itu terasa agak kasar dan
membosankan ‐ lebih seperti diaduk asal-asalan ketimbang
diracik. Grenouille yakin bisa membuat sendiri aroma
parfum yang sama sekali berbeda kalau diberi kesempatan
memelajari dan mengolah ramuan dasarnya.
Ia tahu bahwa sebagian besar ramuan tersebut
bersumber dari bebungaan dan kios rempah-rempah di
pasar, sementara sisanya sama sekali tidak ia kenal.
Grenouille menyaring satu per satu, tetap dengan kondisi
tanpa nama: aroma ambergris, kesturi, patchouli, kayu
cendana, aroma minyak perasan buah bergamot, aroma
vetiver, aroma getah pohon, kapur barus, perasan kelopak
bunga, minyak jarak....
Grenouille tidak mengkhususkan satu aroma pun. Tidak
membedakan berdasarkan dikotomi 'aroma yang enak’
dengan 'aroma yang tidak enak’. Setidaknya belum. Saat ini
ia sedang ingin melahap saja dengan rakus. Tujuan
perburuan ini semata-mata demi meraup segala yang bisa
diberikan oleh dunia dalam hal aroma - terutama aroma
yang baru dikenal. Bagi Grenouille, bau keringat kuda sama
berartinya dengan aroma seikat bunga mawar. Bau sangit
tubuh serangga tidak lebih berarti dari aroma sapi
panggang di dapur-dapur para borjuis. Grenouille melahap
semua tanpa pandang bulu. Semua, segalanya, dihirup
begitu saja. Tak ada prinsip estetika apa pun di dapur
imajinasi indra penciumannya. Di situ ia senantiasa
menyintesis dan meracik berbagai kombinasi aromatik.
Bau tak sedap diterjang juga, karena nantinya toh dibuang
lagi - seperti anak kecil dengan mainan balok, ia mencipta
dan menghancurkan. Kreativitas Grenouille tak mengenal
norma.
Delapan
TANGGAL 1 SEPTEMBER 1753 adalah hari ulang tahun
penobatan Raja Prancis. Kota Paris meriah dengan taburan
petasan di Pont-Royal. Memang tidak semeriah kembang
api saat pesta pernikahan Sang Raja atau pesta peringatan
kelahiran Dauphin yang legendaris, tapi tetap saja meriah.
Jauh sebelum dimulai, para pekerja sudah sibuk
mengangkat kembang api raksasa berbentuk roda matahari
emas ke tiang kapal di pelabuhan. Jembatan kota Paris
berias kembang api berbentuk banteng yang
membuncahkan percik api ke arah sungai. Suara derak dan
letupan berkumandang dari segala arah, memekakkan
telinga di sepanjang trotoar. Petasan-petasan roket melesat
dan melukis langit malam dengan semburan cahaya putih.
Ribuan orang memadati jalanan sepanjang jembatan dan
dermaga di kedua sisi sungai, tak henti ber-”aaah...”
“uuuh...” ria serta seruan memuji, bahkan - sesekali
ditingkahi, “Panjang umur Sang Raja ... !” - walau sadar
bahwa Sang Raja telah awet bertahta selama lebih dari 38
tahun dan kepopulerannya sudah lama pudar. Hmm...
kembang api memang mampu membuat orang optimis.
Grenouille duduk termenung dalam diam di bawah
bayang-bayang Pavilyun de Flore, persis di seberang Pont-
Royal, di sisi kanan silngai. Tak sedikit pun ia turut
bersorak. Apalagi sampai mendongak memandangi petasan
roket. Ia datang dengan harapan dapat mencium sesuatu
yang baru, tapi tak lama kemudian sadar bahwa kembang
api ternyata tak punya aroma apa pun yang bisa
ditawarkan. Variasi kemegahan dan kemewahan audio-
visual mereka hanya meninggalkan campuran aroma yang
amat monoton: sulfur, minyak, dan potasium nitrat.
Grenouille sudah hendak bangkit dan berjalan pulang
menyusuri gang Louvre ketika tiba‐tiba saja angin
membawa sebuah aroma yang amat samar clan sulit
ditegaskan. Benar‐benar secuil aroma. Sekecil atom ‐ tidak,
bahkan lebih samar dari itu. Lebih seperti pertanda
datangnya aroma ketimbang aroma itu sendiri, namun
pada saat yang sama meniang sungguh terasa seperti
pertanda dari sesuatu yang belum pernah diciumnya
selama ini. Grenouille merapatkan punggung ke tembok,
menutup mata dan mengembangkan hidung lebar‐lebar.
Aroma misterius itu sungguh lembut dan tipis sampai
nyaris tak "terpegang". Persepsi yang ditimbulkan juga
berubah terus. Apalagi dikaburkan oleh aroma petasan,
keringat sekian banyak orang, menyerpih dan tergilas oleh
ribuan aroma lain di kota ini. Tapi beberapa detik
kemudian aroma itu datang lagi. Tipis‐tipis, bersama
sekelebat bayangan pertanda akan sesuatu yang amat
hebat, tapi hanya sedetik... lalu hilang lagi. Grenouille
sungguh dibuat menderita. Untuk pertama kali dalam hidup
ia tersiksa, bukan hanya ketamakannya menghirup aroma
yang tersinggung, tapi hatinya juga sakit. Seperti ada
sesuatu yang dahsyat di balik aroma ini ‐ aroma yang boleh
jadi merupakan kunci untuk mengurutkan senua aroma.
Orang belum bisa disebut 'pakar aroma’ kalau belum
mengerti aroma yang satu ini. Celakalah Grenouille kalau
sampai tak bisa mendapatkannya. Ia harus memiliki ‐ tak
hanya untuk disimpan tapi juga agar hatinya tenang.
Grenouille nyaris muntah karena gelisah. Ia bahkan
belum bisa memastikan arah datangnya aroma tersebut.
Kadang ada jeda beberapa menit sebelum angin
mengembuskan aroma itu lagi. Dan setiap kalinya ia nyaris
jantungan takut kehilangan. Setengah putus asa, akhirnya ia
yakin bahwa aroma itu datang dari seberang sungai. Dari
suatu tempat di arah tenggara.
Grenouille menjauh dad tembok Pavilyun de Flore,
membaur di kerumunan orang, lalu merintis jalan
menyeberangi jembatan. Setiap beberapa langkah ia.
berhenti dan berjingkat agar marnpu mengendusi aroma
itu dari atas kepala orang‐orang. Mulanya ia tak mencium
apa pun selain kehebohannya sendid, tapi perlahan ia bisa
menangkap aroma itu. Bahkan lebih kuat. Sadar sedang
mengikuti jejak yang benar, ia menyelarn lag~l ke
kerumunan orang, menggeliat melewati jejalan para
penonton dan pemasang petasan yang sibuk menyuluti
petasan roket, sempat kehilangan aroma buruan di tengah
bubungan asap, panik, mendorong dan menyikut membuka
jalan lebih gegas, lalu entah. setelah. berapa menit
kemudian baru tiba di seberang sungai, dekat Hotel de
Mailly, dermaga Malaquest, dan jalan setapak yang
mengarah ke jalan Seine.
Grenouille menghentikan langkah, mengumpulkan
segenap kekuatan, lalu mengendus. Begitu dapat, ia
"genggam” erat‐erat. Aroma itu bergulung sepanjang jalan
Seine seperti pita. Begitu jelas tapi sekaligus juga begitu
samar dan tipis. Jantung Grenouille berdegup kencang ‐
bukan karena kecapekan sehabis berlari, tapi akibat
kegelisahan dari ketidakberdayaannya di hadapan aroma
misterius itu. Ia mencoba mengingat sesuatu sebagai
pembanding, tapi tak ada yang sama. Aroma ini segar, tapi
bukan seperti segarnya jeruk limau atau buah delima.
Bukan juga segarnya getah myrrh atau kayu manis, tidak
pula daun mint atau pohon birch atau getah camphor atau
duri pohon pinus. Membanding lebih jauh, kesegaran ini
juga tidak mirip kesegaran rintik hujan bulan Mei atau
angin musim dingin atau air sumur. Grenouille juga
mencium kehangatan dalam aroma tersebut. Tapi lagi‐lagi
saat membandingkan ia yakin bahwa ini tidak seperti
kehangatan pohon jeruk, bergamot, pohon cemara, atau
kesturi. Tidak pula menyerupai kehangatan bunga melati
atau narsis, bunga mawar ataupun iris. Aroma ini gabungan
keduanya ‐ mengabur dan substantif. Tidak, ini bukan
gabungan, tapi kesatuan. Walau tipis dan amat samar
namun tetap bergaung kuat dan terus-menerus - seperti
selembar kain sutra... tapi bukan sutra. Lebih seperti kue
kering berbalur susu madu. Sampai di sini pun ia bingung
sekaligus takjub: bagaimana mungkin aroma susu dan sutra
bisa hadir bersamaan! Grenouille tak habis pikir. Aroma ini
sungguh tak bisa dicerna, tak bisa digambarkan, dan tak
bisa dikategorikan dengan cara apa pun ‐ bahkan mestinya
tak mungkin ada! Tapi toh aroma itu hadir dan nyata
karena kini ia tengah membauinya. Grenouille mengekor
perlahan. Jantungnya terus berdegup kencang. Ia sadar
bahwa sebenarnya bukan ia yang mengikuti aroma, tapi
aroma itulah yang telah menangkap dan menariknya
seperti kerbau dicucuk hidung.
Grenouille menyusuri jalan Seine. Tak ada orang
sepanjang jalan. Rumah-rumah berdiri lengang dan kosong
karena penghuninya sedang masyuk kembang api di
sungai. Tak ada gangguan bau manusia atau sengatan asap
mesiu. Jalan Seine kembali ke pelangi aroma aslinya berupa
air, kotoran manusia, tikus, dan sampah sayuran. Tapi di
atasnya mengambang aroma misterius yang kini tengah
menarik hidung Grenouille. Beberapa langkah memasuki
jalan, remang cahaya malam habis ditelan bangunan-
bangunan tinggi. Grenouille melangkah dalam kegelapan.
Peduli amat, toh ia tak butuh mata. Aroma tipis ini saja
sudah lebih terang ketimbang lentera mana pun.
Lima puluh meter berikutnya ia membelok tajam ke
jalan Marais - sebuah gang yang amat sempit dan makin
gelap - kalau memang bisa lebih gelap lagi. Anehnya, di
tempat ini aroma misterius itu seperti memudar - tidak,
bukan memudar, tapi menjadi lebih murni. Kemurnian
yang justru mengeluarkan daya tarik lebih besar. Kaki
Grenouille seperti punya pikiran sendiri. Satu ketika ia
tertarik ke arah kanan, lurus menuju sebuah dinding.
Grenouille meraba sebentar dan menemukan celah rendah
yang mengarah ke halaman belakang sebuah rumah - atau
gedung. Tak tahulah. Yang jelas ia terus melangkah seperti
orang mimpi berjalan. Ia melewati pekarangan, membelok
di sudut ke sebuah pekarangan lain yang lebih kecil, dan di
tempat ini akhirnya ada cahaya, meski hanya menerangi
daerah seluas beberapa kaki saja. Sebuah atap kayu
menjuntai dari dinding. Di balik dinding itu ada meja
dengan sebatang lilin yang menyala. Seorang gadis duduk
di depan meja sedang membersihkan sekeranjang plum
kuning. Tangan kirinya mengambil buah dari keranjang,
digenggam lalu dikupas dengan pisau, kemudian ia
melempar hasilnya ke sebuah ember. Umur si gadis
mestinya tak lebih dari tiga belas atau empat belas tahun.
Grenouille bergeming menatap nanar tak percaya. Seketika
itu ia mengenali sumber aroma misterius yang telah ia ikuti
sejak setengah mil lalu dari seberang sungai: bukan berasal
dari pekarangan atau buah plum. Sumbernya adalah si
gadis perawan itu!
Sekejap ia begitu kalutnya sampai tak percaya sendiri.
Baru pertama kali ini dalam hidup ia menyaksikan sesuatu
yang begitu indah seperti si gadis pengupas buah plum -
pun walau hanya sempat melihat dari belakang, dalam
siluet nyala lilin. Maksud Grenouille di sini tentu saja lebih
mengacu bahwa ia belum pernah mencium benda secantik
ini. Sungguh berbeda dengan aroma manusia yang ia kenal
selama ini - dari sekian ribu pria, wanita, dan anak-anak
sepanjang pengalaman hidupnya, jadi tak heran bila ia sulit
meyakini ada aroma yang begitu elok bisa keluar dari
tubuh seorang manusia. Selama ini ia yakin bahwa tak ada
yang istimewa dari aroma manusia - malah cenderung
mengerikan. Anak-anak berbau hambar, pria dewasa
berbau kencing, asam keringat, serta keju, sementara
wanita umumnya berbau lemak anyir dan ikan busuk.
Sungguh sangat tidak menarik dan memuakkan. Begitulah
bau tubuh manusia.
Namun kini rupanya tiba saat Grenouille tak lagi bisa
memercayai hidung dan harus mengandalkan mata untuk
meyakinkan bahwa ia benar-benar melihat apa yang
dicium. Tapi kegalauan indra ini tak berlangsung lama.
Hanya sedetik yang ia butuhkan untuk yakin pada realitas
optik tersebut. Detik berikut ia kembali terbenam dalam
surga persepsi indra penciuman. Baru sekarang ia
tersenyum saat mencium aroma manusia... dari tubuh si
gadis - mencium bau ketiaknya, minyak di rambutnya, bau
amis di kemaluan.... Grenouille menghirup dalam‐dalam
seperti orang mengisap candu. Keringat si gadis sesegar
angin laut, lemak rambutnya semanis minyak zaitun,
kemaluannya seharum bunga lili air, kulitnya semerbak
aprikot matang. Harmoni dari seluruh komponen ini
menghasilkan aroma parfum tiada tara yang begitu kaya,
begitu seimbang dan ajaib, sampai-sampai setiap parfum
yang pernah ia cium selama ini dan setiap kumpulan aroma
yang pernah ia ciptakan sampai detik ini, menjadi begitu
kerdil dan tak berarti. Ratusan ribu aroma jatuh tak
berharga di hadapan aroma yang satu ini. Aroma yang
memiliki tataran hierarki dan prinsip jauh lebih tinggi dan
mampu menata susunan aroma lainnya. Sungguh sebuah
keindahan murni.
Grenouille sadar bahwa ia harus memiliki aroma ini atau
hidupnya tak berarti lagi. Ia harus memahami detail
terkecilnya, mengikuti sampai ke rambut terhalus. Ingatan
saja, betapa pun kompleks, tak akan cukup. Ia ingin
menanam aroma dewa ini ke kedalaman jiwanya yang
hitam dan berlumpur - menelusuri sedemikian rupa sampai
akhirnya tiba pada putusan bahwa sejak detik ini ia akan
hidup, berpikir, dan membaui hanya berdasarkan struktur
terintim dari formula magis aroma tersebut.
Perlahan ia mendekati si gadis, makin dekat dan makin
dekat, sampai tiba persis di bawah atap teras dan berhenti
persis selangkah di belakang si gadis yang belum juga
menyadari kehadirannya.
Rambut si gadis berwarna merah dan ia mengenakan
gaun kelabu panjang tak berlengan. Lengannya putih bersih
dan tangannya kekuningan oleh perasan buah plum.
Grenouille membungkuk ke arah si gadis dan menghirup
aroma murni yang menguap dari tengkuk, rambut, dan
kerah baju. Grenouille menghirupnya seperti menghirup
udara pagi. Belum pernah ia merasa senyaman ini.
Si gadis lain lagi. Mendadak ia merasa udara berubah
dingin. Kendati tidak melihat Grenouille, tak urung
tubuhnya gelisah. Bulu kuduk meremang seperti orang
menjelang ketakutan luar biasa. Dingin aneh itu datang dari
arah belakang, seolah ada yang baru saja membuka pintu
ruangan luas yang dingin itu. Si gadis meletakkan pisau ke
atas meja, menarik tangan ke dada, lalu berpaling.
Tubuh si gadis begitu kaku ketakutan melihat Grenouille,
sampai tak mampu berbuat apa-apa saat lelaki itu
menjulurkan tangan mencekik leher. Ia bahkan tak sanggup
menjerit, meronta, atau berusaha membela diri. Grenouille
berpejam mata. Ia tak ingin melihat wajah berbintik si
gadis, bibir ranum dan bola mata hijau yang mendelik
penuh teror itu. Matanya terus terpejam sementara
mencekik. Yang dipedulikannya hanya satu: jangan sampai
aroma tubuh gadis itu hilang sedikit pun.
Setelah si gadis mati, Grenouille meletakkan tubuh
lunglai itu di lantai di antara biji-biji buah plum, lalu
merobek bajunya. Gelombang aroma tubuh si gadis sontak
membanjir memabukkan. Wajah Grenouille merangsek
menggeseki kulit si gadis. Hidungnya rakus melahap aroma
yang menguap - dari perut ke buah dada, ke leher, sekitar
wajah dan rambut, lalu kembali ke perut, turun ke
kemaluan, ke paha dan kakinya yang putih. Ia mengendusi
mayat si gadis dari ujung kepala sampai ujung kaki,
mengumpulkan sisa-sisa terakhir aroma tubuh di bawah
dagu, di pusar, dan di kerutan siku bagian dalam.
Setelah puas dan yakin tak bersisa lagi, untuk sesaat ia
duduk berjongkok di sisi mayat, mengumpulkan kesadaran
setelah menyesakkan diri dengan aroma si gadis. Ibarat
minuman, ia tak ingin menumpahkan aroma itu sedikit pun.
Untuk itu, pertama sekali ia harus menguncinya di kamar
ingatan yang terdalam. Barulah kemudian ia bangkit dan
meniup lilin.
Sementara itu, orang-orang sudah mulai kembali pulang,
bernyanyi dan bersorak ria sepanjang jalan Seine.
Grenouille kembali mengandalkan penciuman untuk
menuntun pulang di kegelapan sepanjang gang, tembus ke
jalan Petits Augustins yang berseberangan dengan jalan
Seine, lalu terus ke arah sungai. Tak lama kemudian mayat
si gadis ditemukan. Jeritan dan kehebohan kontan meledak.
Obor-obor dinyalakan. Para penjaga dan patroli malam
tergopoh-gopoh berdatangan. Sementara Grenouille sudah
lama kembali berada di seberang sungai.
Malam itu, kamar sempit Grenouille serasa istana dan
ranjang papan serasa beralas bulu angsa. Belum pernah
seumur hidupnya ia mencicipi yang namanya kebahagiaan,
selain kesenangan-kesenangan kecil tapi tersumbat-dan itu
pun amat sangat jarang. Tapi kini ia sedemikian
bergelimang suka cita sampai tak bisa tidur. Rasanya
seperti baru lahir kembali - tidak, bukan lahir kembali, tapi
lahir untuk yang pertama kalinya, karena selama ini
rasanya ia tak lebih dari binatang dengan sekelumit
kesadaran. Baru hari inilah ia menyadari jati diri
sesungguhnya sebagai seorang genius, di samping
kesadaran bahwa arti serta tujuan hidupnya memiliki
takdir yang lebih tinggi, yaitu tiada lain untuk merevolusi
dunia aroma. Hanya dialah satu-satunya manusia di dunia
ini yang sanggup mewujudkan hal itu melalui keistimewaan
indra penciuman, ingatan luar biasa, dan yang terpenting,
wewangian sejati yang baru saja ia ambil dari gadis di jalan
Marais tadi. Di dalamnya terkandung formula magis untuk
membuat parfum macam apa pun. Sebuah formula
wewangian yang begitu hebat, halus, kuat, stabil, bervariasi,
dan sekaligus menakutkan - sebuah keindahan yang tak
tertahankan. Telah ia temukan kompas menuju masa
depan.
Dus, seperti lazimnya tokoh-tokoh monster berbakat
besar yang cenderung melompat tanpa ragu ke pusaran
kegelapan jiwa mereka setelah merasa mengalami
“pencerahan”, Grenouille tak pernah lagi berpaling dari apa
yang diyakininya sebagai jalan takdir. Jelas baginya
sekarang kenapa ia harus begitu bertahan hidup selama ini,
dalam kekejian dan kekerasan yang luar biasa pula.
Rupanya agar kelak bisa memenuhi takdir sebagai seorang
pencipta wewangian. Dan bukan yang biasa-biasa saja, tapi
pencipta dan ahli parfum terhebat sepanjang masa.
Dan pada malam itu juga, sejak bangun sampai di alam
mimpi, ia memeriksa bank data memorinya yang luar biasa
itu. Jutaan demi jutaan matriks ingatan aroma dikaji dengan
teliti lalu disusun secara sisternatis dalam kategori aroma
bagus, jelek, tipis, kasar, busuk, serta menyenangkan.
Seminggu berselang sistem ini tumbuh menjadi lebih halus
dan tersaring, katalog aroma menjadi lebih luas dan
beragam, hierarkinya juga lebih jelas. Tak lama kemudian
Grenouille mulai mampu membangun fondasi struktur
aroma yang telah dibuat dengan sedemikian hati-hati,
seperti membangun kastil saja. Ada rumah‐rumah, tembok,
tangga, menara, gudang bawah tanah, kamar-kamar,
ruangan-ruangan rahasia ... pokoknya sebuah benteng
ingatan imajinasi yang dibangun berdasarkan aroma
terdahsyat yang pernah ada, yang setiap hari tumbuh
makin besar, makin indah, dan makin menyempurna.
Sebuah pembunuhan menjadi awal dari semua
kemegahan ini ‐ itu pun kalau ia sadar. Tapi Grenouille
benar-benar tak ambil pusing. Ia bahkan sudah tak ingat
lagi bagaimana rupa dan perawakan si gadis dari jalan
Marais. Yang penting ia telah menyimpan dan menjadikan
bagian terbaik dari gadis itu sebagai milik pribadi, yaitu
aroma tubuhnya.
Sembilan
ADA SELUSIN LEBIH ahli parfum tinggal di Paris pada
zaman itu. Enam orang tinggal di sebelah kanan sungai,
enam orang tinggal di sisi kiri, dan satu orang tinggal pas di
tengah, persisnya di Pont au Change, yang menghubungkan
sisi kanan sungai dengan Ile de la Cile. Jembatan ini begitu
padat dengan gedung-gedung berlantai empat sampai
orang tak bisa lagi melihat sungai saat menyeberang
jembatan dan malah serasa berada di sebuah jalan raya
biasa - jalan yang sangat elegan, malah. Pont au Change
memang terkenal sebagai salah satu distrik bisnis terbaik
di Paris. Bermacam toko ternama bisa ditemui di sini. Ada
pandai emas, pembuat lemari, pembuat wig dan dompet
terbaik, bermacam pabrik pembuat pakaian dalam wanita
dan stoking terbaik, pembuat bingkai lukisan, para
pedagang sepatu berkuda, pembuat sulaman untuk hiasan
bahu, pembuat kancing emas, dan para bankir. Di distrik ini
pula berdiri bisnis serta kediaman seorang ahli parfum dan
pembuat sarung tangan terkenal bernama Giuseppe
Baldini. Jendela etalasenya dinaungi kanopi hijau beraltar
nan mewah, persis di samping bendera simbol keluarga
Baldini. Bendera simbol keluarga itu bertatahkan emas,
bergambar flacon (tabung kimia) emas yang menumbuhkan
seikat bunga yang juga emas. Di depan pintu toko
terhampar sebuah karpet merah dengan gambar simbol
keluarga Baldini bersulam emas. jika pintu dibuka akan
terdengar denting bel Persia, disusul ayunan leher dua
patung bangau memerciki air beraroma bunga lembayung
dari paruh mereka ke sebuah bejana emas, yang kemudian
dibentuk menyerupai flacon seperti pada simbol keluarga
Baldini.
Kenapa? Malam itu terjadi sebuah bencana kecil. Dengan
sedikit keterlambatan pengumuman, pihak istana
mengeluarkan dekrit yang mengharuskan peruntuhan
sedikit demi sedikit seluruh gedung yang berada di atas
jembatan di seluruh Paris. Maka pada malam itu, tanpa
alasan jelas, sebelah Barat Pont au Change, di antara
dermaga ketiga dan keempat, runtuh berurutan. Dua buah
gedung diserok ke arah sungai. Begitu menyeluruh dan
tiba-tiba sampai penghuninya tak sempat menyelamatkan
diri. Untungnya hanya dua orang yang tercatat sebagai
korban, yaitu Giuseppe Baldini dan istrinya, Teresa. Para
pelayan telah keluar lebih dulu, dengan atau tanpa permisi.
Chénier adalah pelayan pertama yang berniat kembali lebih
dulu (karena. ia tak punya tempat tinggal lain), melangkah
dengan kaki terseok agak mabuk. Bisa ditebak betapa syok
dan runtuh sarafnya melihat kejadian ini. Sia-sia saja
pengorbanan hidupnya selama tiga puluh tahun, bersandar
harapan agar suatu hari nanti namanya tercantum dalam
surat warisan Baldini karena si tua itu tak punya sanak
ataupun saudara. Kini, dalam sekali kebas, seluruh warisan
itu musnah ‐ semuanya: rumah, bisnis, bahan mentah,
laboratorium, Baldini sendiri dan tentu saja surat warisan
Baldini. Padahal ia yakin bahwa kelak hampir pasti Baldini
akan menunjuknya sebagai pemilik pabrik di Saint-Antoine.
Tak ada apa pun yang bisa ditemukan. Tidak mayat,
brankas, atau buku catatan berisi enam ratus formula.
Hanya satu yang tersisa dari Giuseppe Baldini sang
pembuat parfum terbesar seantero Eropa: aroma parfum
aneka warna - ada aroma kesturi, kayu manis, cuka apel,
lavender, dan ribuan aroma lain. Selama beberapa minggu
aroma ini mengambang tinggi di atas sungai Seine,
membentang dari Paris sampai Le Havre.
Bagian II
Di belakang meja kasir dari kayu boxwood ringan, berdiri
sang Baldini - setua dan sekaku pilar, mengenakan wig
berpupur perak dan mantel biru berhias bros katak-katak
kecil dari emas. Harum bunga kemboja yang ia semprotkan
setiap pagi membungkusnya seperti kabut, nyaris terlihat
saking tebalnya dan membuat si pemakainya sedikit kabur
dari pandangan. Sedemikian kakunya ia sampai seolah
menjadi bagian dari barang jualannya sendiri. Hanya
apabila bel berdering dan kedua bangau memercik parfum
- itu pun agak jarang terjadi, ia mendadak “hidup”.
Tubuhnya membungkuk dan mengecil sedemikian rupa,
Ialu bergegas keluar dari balik meja kasir begitu cepatnya
sampai kabut parfum kemboja tak sempat mengikuti.
Segera ia menyambut serta memersilakan duduk si
pelanggan sementara ia memeragakan dagangan parfum
dan kosmetiknya yang terbaik.
Koleksi parfum serta kosmetik dagangan Baldini
jumlahnya ribuan. Stoknya bervariasi, mulai dari essences
absolues - wewangian utama dari minyak bunga, larutan
alkohol, ekstrak, sari pati, balsam, getah, dan bermacam
obat dalam wujud kering, cair, atau lilin. Ia juga menjual
bermacam minyak rambut, pasta, bedak, sabun, krim,
bedak wangi, bandolin, sampo, lilin pengeras kumis, obat
kutil, dan alat-alat kecantikan mulai dari minyak mandi,
losion, garam pewangi, perlengkapan kamar mandi, dan
rupa-rupa parfum yang tak terhitung banyaknya. Namun
Baldini belum puas dengan produk-produk kecantikan
klasik ini. Ia berambisi mengumpulkan semua benda
beraroma atau apa pun yang memiliki kontribusi dalam
pembuatan parfum. Jadi, selain pastiles pelega tenggorok,
lilin dan tali dupa, ia juga menyediakan bermacam rempah
mulai dari biji minyak adas manis sampai kayu manis,
sirup, bermacam minuman anggur dan brendi perasan
buah, minuman anggur dari Cyprus, Malaga, dan Corinth,
madu, kopi, teh, permen, dan buah kering, daun ara,
kembang gula. atau manisan, cokelat, kastanye, bahkan
caper kering, mentimun, bawang, serta ikan tuna yang
diasinkan. Masih ditambah dengan filin penyegel parfum,
alat tulis-menulis, tinta khusus untuk menulis surat cinta
beraroma bunga mawar, perangkat menubs dengan tas
kulit Spanyol, penyangga pena dari kayu cendana putih,
peti jenazah dan peti-peti biasa dari kayu cedar, pot air dan
mangkuk berdekorasi mekaran bunga, kendi dupa dari
kuningan, flacon kristal dan kendi-kendi bertutup gading,
sarung tangan beraroma, sapu tangan, bantal alas menjahit
berisi bunga pala, serta kertas dinding beraroma kesturi
yang mampu menghiasi kamar selama lebih dari seratus
tahun.
Tentu saja toko Baldini tidak cukup besar untuk
menampung semua barang tersebut. Ruangan toko
memang apik, namun kecil dan menghadap ke arah jalan
(atau ke arah jembatan). Jadi, untuk gudang ia tak hanya
menggunakan ruangan bawah tanah, tapi juga seluruh
lantai dua dan lantai tiga serta nyaris seluruh ruangan yang
menghadap ke sungai di lantai dasar. Bisa dibayangkan
betapa kacaunya aroma yang menaungi Rumah Keluarga
Baldini. Betapa pun elok kualitas tiap-tiap barang tersebut
(karena Baldini hanya mau membeli barang kualitas
terbaik), paduan aromanya nyaris tak tertahankan. Ibarat
sebuah orkestra beranggotakan ribuan musisi dan masing-
masing memainkan melodi berbeda sekencang dan sesuka
hati. Baldini dan para asistennya sudah terbiasa dengan
kekacauan ini - persis seperti konduktor-konduktor
orkestra berusia senja (yang kemampuan mendengarnya
sudah pasti menurun). Begitu pun Nyonya Baldini yang
tinggal di lantai empat dan selalu menentang penumpukan
barang lebih jauh, nyaris tak terganggu lagi oleh kekacauan
aroma tersebut. Tapi tidak demikian bagi para pelanggan
Baldini yang baru pertama kali memasuki toko. Neraka
aroma yang menghantam indra penciuman terasa bagai
hantaman tinju tepat di wajah. Tergantung kekuatan
masing-masing, yang bersangkutan bisa seketika itu pusing
atau malah segar. Apa pun itu, yang jelas tetap membuat
indra penciuman si pelanggan sedemikian linglung sampai
tak ingat lagi tujuannya datang ke toko. Tak sedikit bocah-
bocah kurir yang lupa pesanan, pendekar pedang nan
sangar mendadak muntah-muntah, dan wanita ningrat
yang mual-mual, setengah histeris, setengah klaustrofobia -
ketakutan berada di ruang sempit, lantas pingsan dan
hanya bisa dibangunkan oleh olesan minyak beraroma
paling tajam dari minyak cengkeh, amonia, dan getah
camphor.
Dengan keadaan seperti itu, sungguh tidak
mengherankan bila denting bel Persia dan percik parfum
dari paruh patung bangau di pintu toko Giuseppe Baldini
makin lama makin jarang terdengar.
Sepuluh
“CHÉNIER!” SERU BALDINI dari balik meja kasir setelah
sebelumnya berdiri berjam-jam sekaku pilar, menatap ke
arah pintu. “Pakai wigmu!” demikian ia berseru lagi. Dari
balik tong-tong minyak zaitun dan juntaian daging-daging
ham, muncullah Chénier, asisten Baldini yang berusia lebih
muda tapi sudah tampak seperti lelaki renta. Yang
dipanggil melangkah ke meja kasir. Ia mengambil wig dari
kantung mantel dan mengepaskannya ke kepala.
“Anda mau keluar, Monsieur Baldini?” ia bertanya.
“Tidak,” jawab Baldini. “Aku ingin melanjutkan studi
selama beberapa jam dan tak ingin diganggu untuk apa pun
juga. Paham?”
“Aha! Saya tahu! Anda pasti sedang membuat parfum
baru.”
BALDINI: Benar. Parfum yang akan dipakai untuk kulit
Spanyol milik Count Verhamont. Ia ingin sesuatu yang
benar-benar baru. Ia meminta sesuatu yang seperti...
seperti... kurasa ia menyebutnya sebagai 'Cinta dan Jiwa',
dan ia terima barang itu dari... dari pecundang di jalan
Saint-Andre-des-Arts... itu... si... si....
CHÉNIER: Pélissier.
BALDINI: Ya. Tepat sekali, itu nama si pecundang itu.
Hmm... 'Cinta dan jiwa', buatan Pélissier. Kau tahu soal ini?
CHÉNIER: Ya, ya, tentu saja saya tahu. Anda bisa
mencium baunya di mana pun saat ini. Apalagi di setiap
sudut jalan. Tapi kalau menurut saya, sih, tak ada bagus-
bagusnya! Sama sekali tak bisa dibandingkan dengan apa
yang akan Anda ciptakan, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tentu saja tidak.
CHÉNIER: 'Cinta dan jiwa' ini baunya sungguh biasa saja.
BALDINI: Vulgar, begitu?
CHÉNIER: Sangat vulgar. Seperti apa pun ciptaan
Missier. Saya yakin pasti mengandung minyak limau.
BALDINI: Sungguhkah? Apa lagi?
CHÉNIER: Sari bunga limau, barangkali. Dan sedikit
rosemary dalam larutan alkohol. Tapi saya tak pasti benar.
BALDINI: Semua itu tak ada gunanya sama sekali bagiku.
CHÉNIER: Tentu saja tidak.
BALDINI: Aku tak peduli apa pun yang dipakai si
pecundang Missier itu dalam membuat parfum. Aku tak
sudi menggunakannya sebagai inspirasi, kujamin itu.
CHÉNIER: Anda benar sekali, Monsieur.
BALDINI: Seperti kau tahu, aku tak mengambil inspirasi
dari siapa pun. Seperti kau tahu, aku menciptakan
parfumku sendiri.
CHÉNIER: Saya tahu, Monsieur.
BALDINI: Aku sendiri yang melahirkan mereka –
parfum‐parfum itu.
CHÉNIER: Saya tahu.
BALDINI: Dan aku sedang berpikir untuk menciptakan
sesuatu untuk Count Verhamont yang akan membuat
kehebohan besar.
CHÉNIER: Saya yakin pasti demikian, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tolong jaga toko. Aku butuh ketenangan dan
kedamaian. Jangan biarkan siapa pun mendekatiku,
Chénier.
Demikianlah, Monsieur Baldini bergegas. Tidak dengan
langkah seperti patung, tapi membungkuk sesuai usianya
yang memang sepuh. Tapi bungkuknya begitu dalam
sampai nyaris seperti habis dipukuli, lalu perlahan menaiki
tangga ke ruang studi di lantai dua.
Chénier mengambil posisi di belakang meja kasir dan
memasang pose persis seperti majikannya, dengan
pandangan lurus ke arah pintu. Ia tahu apa yang akan
terjadi beberapa jam ke depan: sama sekali tidak ada
pengunjung yang datang dan malapetaka rutin di ruang
studi Baldini. Seperti biasa, Baldini akan melepas mantel
biru yang sarat aroma kemboia itu, duduk di belakang meja
kerja, lalu menunggu inspirasi. Setelah dapat, ia bergegas
menuju lemari berisi ratusan flacon dan mulai mencampur
asal-asalan. Campuran itu tentu saja gagal. Ia lalu
menyumpah-nyumpah, membuka jendela, dan membuang
isi tabung ke sungai. Ia akan mencoba lagi sesuatu yang lain
yang juga gagal, lalu kembali menyumpah-nyumpah sambil
mengamuk melempari barang di kamar yang baunya makin
pekat itu. Sekitar jam tujuh malam ia akan kembali turun ke
toko dengan roman sebal dan penampilan berantakan,
gemetar dan mengeluh, lalu berkata, “Chénier, aku
kehilangan hidungku. Aku tak bisa menciptakan parfum itu,
aku tak bisa memberi kulit Spanyol itu pada sang Count.
Habislah semua. Jiwaku sudah mati. Aku ingin mati,
Chénier. Tolong bantu aku untuk mati!” Saat itu Chénier
akan menyarankan agar menyuruh orang membeli sebotol
'Cinta dan jiwd dari Pélissier. Baldini setuju saja, tapi
dengan syarat bahwa tak seorang pun yang boleh
mengetahui peristiwa memalukan ini. Chénier lantas akan
bersumpah untuk tutup mulut dan malam ini mereka akan
membuat wangi bahan kulit Count Verhamont dengan
produk ciptaan orang lain. Pasti demikian yang akan
terjadi. Tak diragukan lagi. Chénier hanya berharap agar
sirkus ini segera berakhir. Baldini bukan lagi seorang ahli
parfum yang hebat. Dulu memang. Tapi itu dulu sekali.
Waktu Baldini masih muda, tiga atau empat puluh tahun
yang lalu, ia pernah menciptakan parfum bertajuk 'Mawar
dari Selatan’ dan 'Buket Baldini nan Megah’ – dua parfum
yang sangat hebat dan membuatnya sekaya sekarang. Tapi
sekarang ia sudah tua dan kelelahan, tidak tahu mode
terkini serta cita rasa modern, dan setiap kali berhasil
menciptakan parfum sendiri, selalu ketinggalan zaman dan
tak bisa dipasarkan. Akibatnya dalam setahun mereka
harus mengencerkan dan mengoplosnya hingga sepuluh
banding satu dan harus puas menjajakannya sebagai
produk aditif untuk air mancur. Memalukan sekali, pikir
Chénier sambil memeriksa posisi wig lewat cermin.
Memalukan soal si Baldini tua, memalukan soal tokonya
yang indah karena kalau begini terus lama‐kelamaan pasti
rusak, dan memalukan soal aku sendiri karena saat toko ini
rusak kelak, aku sudah terlalu tua untuk mengambil alih.
Sebelas
GIUSEPPE BALDINI MEMANG melepas mantel
berparfumnya, tapi itu hanya karena kebiasaan. Aroma
kemboja yang menyengat sudah sejak lama tak lagi
mengganggu kemampuannya untuk mencium. Puluhan
tahun begini, tentunya sekarang sudah tidak terasa lagi.
Dan walau ia telah menutup pintu dan meminta agar tidak
diganggu siapa pun, ia tidak duduk di belakang meja
menunggu inspirasi. Baldini tahu, lebih dari Chénier, bahwa
inspirasi tak akan datang - dan memang tak pernah datang.
Bahwa ia kini sudah tua dan lelah, itu benar. Juga bahwa ia
bukan lagi seorang ahli parfum yang hebat. Tapi hanya
Baldini sendiri yang tahu dan sadar bahwa ia tak pernah
jadi ahli parfum sebenar-benarnya. Ia mewarisi 'Mawar
dari Selatan’ dari ayahnya, dan formula untuk parfum
'Buket Baldini nan Megah’ ia beli dari seorang penjual
rempah keliling dari Genoese. Sisa parfum yang lain hanya
aroma biasa. Ia tak pernah menciptakan apa pun. Ia bukan
penemu. Hanya seorang penjual wewangian tradisional
yang hati-hati. Itu saja. Ibarat kata, ia adalah seorang koki
dengan dapur nan hebat plus rutinitas dan resep yang
bagus, tapi tak pernah menciptakan hidangan kreasinya
sendiri. Seluruh omong kosong ketenaran soal studi,
eksperimen, dan inspirasi serta lagak-lagu kerahasiaan ia
lakukan semata-mata demi menjaga citra profesional
seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan. Seorang
ahli parfum sejati setidaknya adalah juga seorang alkemis -
ahli kimia, yang menciptakan keajaiban. Itu gambaran yang
diinginkan publik. Baik, jadilah ia menciptakan citra
sedemikian. Bahwa karya seninya menghasilkan sesuatu
yang unik dan berbeda, hanya ia sendiri yang tahu dan
bangga karenanya. Baldini tak ingin jadi penemu. Ia malah
sangat mencurigai hasil penemuan apa pun karena yakin
bahwa sebuah penemuan hanya bisa mewujud setelah
melanggar hukum alam atau hukum masyarakat - entah
dengan perilaku curang atau culas atau apalah. Baldini juga
tak berniat menciptakan parfum baru untuk Count
Verhamont. Ia juga tak ingin mengikuti saran Chénier untuk
membeli saja 'Cinta dan jiwa’ dari Pélissier sore ini. Ia
sudah beli dan kini teronggok di atas meja dekat jendela,
dalam sebuah flacon berukuran kecil dengan sumbat gelas.
Ia membelinya beberapa hari lalu. Tidak secara langsung,
tentu saja. Tak mungkin ia melenggang ke toko Pélissier
dan membeli parfum itu dengan tangan sendiri. Ia beli
lewat seorang perantara yang juga menggunakan perantara
lain sebelumnya. Kehati-hatian dalam berbisnis adalah
sebuah kemutlakan. Baldini tak berniat mengharumkan
kulit Spanyol itu dengan parfum Pélissier begitu saja - lagi
pula parfum dalam botol sekecil itu tak akan cukup. Tidak,
ia punya ide lebih jahat lagi: ia ingin meniru parfum itu.
Ya, kenapa tidak? Toh ini tak bisa dibilang ilegal. Hanya
tidak etis saja. Membuat imitasi gelap atau membajak
parfum ciptaan pesaing dan menjualnya dengan nama
sendiri adalah tindakan yang sangat rendah dan tercela -
tapi tidak ilegal di zaman itu. Dan akan lebih tidak pantas
lagi kalau sampai ketahuan atau tertangkap basah. Itu
sebabnya Chénier tak boleh tahu, karena ia terkenal tukang
gosip.
Sungguh mengerikan melihat kenyataan bahwa seorang
jujur sampai terpaksa mengambil jalan tercela. Betapa
mengerikan melihat kenyataan bahwa hal terpenting dari
eksistensi manusia, yaitu kehormatan, bisa dikotori oleh
keburukan seperti ini. Tapi Baldini sudah kehilangan akal,
harus bagaimana lagi. Count Verhamont adalah pelanggan
penting yang tak boleh dilepaskan - apalagi karena tinggal
dialah satu-satunya pelanggan yang tersisa. Baldini tak mau
harus mengejar-ngejar pelanggan lagi seperti di awal
kariernya dulu saat berusia dua puluhan, saat terpaksa
menggelandang di jalanan dengan sekotak dagangan
menggantung di perut. Tuhan tahu betapa ia, Giuseppe
Baldini - pemilik toko parfum terbesar di Paris, di lokasi
bisnis yang juga terbaik - kini hanya mampu bertahan
hidup melalui panggilan dari rumah ke rumah, berbekal
koper kecil di tangan. Baldini tak suka begini karena
usianya sekarang sudah lebih dari enam puluh talmn, dan
ia benci harus menunggu di ruang tamu yang dingin
sebelum sempat memeragakan eau des millefleurs dan
barang dagangan lain sampai borjuis-borjuis tua itu
bersedia melirik. Belum lagi kompetisi yang menjijikkan
dengan para pesaing lain. Ada si Brouet, orang kaya baru
dari jalan Dauphine yang mengaku punya koleksi minyak
rambut terlengkap di seluruh Eropa, atau Calteau dari jalan
Mauconseil - pengusaha katering yang sukses memasok
makanan untuk keluarga Duchess d'Artois, atau Antoine
Pélissier dari jalan Saint-André-des-Arts. Seniman yang
satu ini sungguh tak terduga, dan setiap musim selalu
meluncurkan wewangian baru yang digilai seluruh dunia.
Parfum buatan Pélissier selalu merombak selera pasar.
Misalnya jika tren tahun ini adalah air Hungaria dan Baldini
menimbun minyak lavender, bergamot, dan rosemary
untuk memenuhi tuntutan pasar sebagaimana wajarnya,
Pélissier akan hadir memperkenalkan 'Air de Muse' -
parfum kesturi yang amat keras. Setelah itu setiap orang
mendadak berbau binatang, dan Baldini terpaksa meracik
ulang stok minyak rosemary‐nya menjadi minyak rambut
dan menjahit lavender menjadi pundi-pundi bedak. Kalau
Baldini kemudian ikut menimbun minyak kesturi, civet, dan
castor untuk tahun depan, Pélissier segera merilis parfum
lain bertajuk 'Kesegaran Rimbi’ yang dengan cepat menjadi
tren baru. Lalu, setelah Baldini bermalam-malam
melakukan percobaan dan menyuap sana-sini demi
menguak rahasia formula ‘kesegaran Rimbi’, Pélissier bakal
segera melonjak lagi dengan 'Senja di Turki' atau 'Rempah
Lisbor’, atau 'Bouquet de la Cour' atau parfum sialan
lainnya. Orang ini sungguh berbahaya bagi bisnis dengan
kesembronoan kreativitasnya. Membuatmu ingin kembali
ke hukum perdagangan yang lama. Membuatmu ingin
kembali ke “Hukum Draconian' untuk melawan seniman
pembangkang seperti Pélissier ‐ si biang inflasi bisnis
wewangian. Baldini gemas sekali. Kenapa izin praktik
Pélissier tidak dicabut saja, plus ganjaran pasal yang
melarangnya untuk berbisnis lebih jauh. Lebih dari itu,
orang seperti ini mestinya harus diberi pelajaran! Sangat
menyebalkan, karena Pélissier sendiri dikenal bukan
seorang ahli parfum atau pembuat sarung tangan yang
terlatih. Ayahnya dulu hanya seorang pembuat cuka apel, ia
pun menuruni bakat yang sama: membuat cuka apel, tidak
yang lain! Tapi justru sebagai seorang pembuat cuka apel ia
punya akses menangani bahan-bahan beralkohol, dus
jadilah si brengsek itu mampu menggebrak dan mengacau
kedamaian para ahli parfum sejati. Lagi pula, buat apa
masyarakat membeli parfum baru setiap tahun? Apa
memang perlu demikian? Toh sejak dulu masyarakat sudah
cukup nyaman dengan kolonye sari bunga lembayung dan
wewangian bunga sederhana yang hanya dimodifikasi
sedikit saja tiap sepuluh tahun. Selama ribuan tahun
masyarakat terbiasa dengan wewangian dan getah
aromatik biasa, beberapa macam balsam, minyak dan
rempah aromatik kering. Pun saat orang kemudian belajar
menggunakan flacon untuk menyuling jejamuan, bunga,
dan kayu serta mengambil sari aroma dari uap ketiga
elemen tersebut dalam bentuk minyak yang mudah
menguap, lantas menggiling benih, biji, dan kulit buah
dalam gilingan pohon ek, kemudian mengekstraksi aroma
dari kelopak bunga menggunakan minyak yang telah
disaring dengan hati-hati, bahkan pada saat itu jumlah
parfilm yang dihasilkan masih sangat sedikit. Di zaman itu,
figur seperti Pélissier tak mungkin ada, karena untuk
membuat minyak rambut sederhana saja orang
membutuhkan keahlian yang tak terbayangkan oleh
seorang pembuat cuka apel. Ia tidak hanya harus mampu
menyuling, tapi juga bertindak sebagai pembuat salep,
apoteker, alkemis, seniman, pedagang, humanis, dan tukang
kebun sekaligus. Ia harus mampu membedakan lemak
domba dengan lemak anak sapi, atau antara bunga
lembayung Victoria dengan bunga lembayung Parma. Ia
juga harus fasih berbahasa Latin. Harus tahu kapan waktu
yang baik untuk memanen heliotrope dan kapan bunga
pelargonium mekar, dan tahu bahwa kelopak bunga melati
cenderung kehilangan aroma saat matahari terbit. Nah,
mana mungkin Pélissier mengerti hal-hal seperti ini?
Seumur hidupnya pun ia mungkin belum pemah
meninggalkan Paris, atau melihat bunga melati mekar
merekah. Belum lagi lengan sekuat Hercules yang
dibutuhkan untuk memeras beberapa tetes saja dari sari
pati ratusan kelopak bunga melati. Hmm... mungkin ia
sudah tahu hal ini - tahu soal bunga melati, tapi pasti hanya
dalam bentuk sebotol cairan konsentrat berwarna cokelat
gelap yang dicampur bersama formula-jadi lainnya untuk
membuat parfum. Bah! Di masa kejayaan seniman sejati
zaman dulu, manusia ngawur seperti Pélissier tak akan
pernah diterima di mana pun-terutama di bisnis parfum. Ia
kekurangan segalanya: karakter, pendidikan, keagungan,
dan kepatuhan hierarki dalam serikat kerja. Kesuksesan
sebagai seorang ahli parfum ia peroleh semata-mata dari
penemuan yang sudah ada sejak dua ratus tahun lalu oleh
sang genius Mauritius Frangipani - ia orang Italia, lho! Si
genius penemu aroma yang dapat larut dalam larutan
alkohol. Dengan mencampur bubuk aromatik ciptaannya ke
dalam alkohol untuk mentransfer aroma dari bubuk
tersebut ke cairan yang mudah menguap, Frangipani telah
membebaskan aroma dari materi, menghaluskannya, dan
menemukan aroma sebagai aroma murni. Pendeknya, ialah
pencipta parfum pertama. kali. Hebat sekali! Benar-benar
prestasi monumental dan hanya bisa disejajarkan dengan
penemuan-penemuan besar umat manusia lainnya, seperti
penemuan sistem penulisan oleh bangsa Syria, Geometri
oleh Euclid, gagasan-gagasan Plato, atau metamorfosis dari
anggur menjadi minuman keras oleh bangsa Yunani.
Sungguh prestasi nan mulia!
Namun demikian, seperti yang selalu terjadi pada semua
penemuan besar, ditemukannya larutan alkohol juga
memiliki akibat baik dan buruk yang mengantar umat
manusia pada bencana dan penderitaan, setara dengan
manfaat yang bisa dihasilkan. Penemuan Frangipani tak
lepas dari hukum ini. Sekarang, saat orang tahu bagaimana
mengikat aroma bunga, jejamuan, kayu, getah, serta sekresi
binatang dalam larutan alkohol dan mengemasnya dalam
botol, kualitas seni membuat parfum juga makin merosot.
Dari yang semula. agung berada di tangan para empu, kini
juga bisa dilakukan oleh para penipu - setidaknya penipu
berhidung lumayan tajam seperti si brengsek Missier.
Tanpa susah-payah memelajari proses penciptaan benda
menakjubkan seperti dalam botol ini, orang-orang macam.
Missier seenaknya mengikuti indra penciuman dan meracik
apa saja yang muncul di kepala atau apa pun yang bisa
menjadi tren di masyarakat, walau untuk sementara.
Yang membuat Baldini lebih jengkel adalah fakta bahwa
apa pun pendapatnya, di usia 35 tahun si brengsek Pélissier
sudah berhasil mengumpulkan kekayaan lebih besar dari
dia sendiri - sang Baldini, yang sebelumnya harus susah-
payah membanting tulang tanpa henti selama tiga generasi.
Kejayaan Pélissier tumbuh dalam hitungan hari, sementara
Baldini malah makin merosot. Hal seperti ini sama sekali
tidak mungkin terjadi sebelumnya! Kenyataan bahwa
seorang seniman dan pedagang terhormat sampai harus
berjuang mempertahankan hidup, ini terjadi sejak
beberapa dekade terakhir! Dan sejak kegilaan terhadap
barang baru merebak di mana-mana, masyarakat seperti
kesetanan dengan hasrat terhadap tindakan dan percobaan
instan. Membuat perdagangan yang berlangsung jadi penuh
omong kosong, baik di dunia bisnis maupun ilmu
pengetahuan.
Segala kegilaan soal kecepatan. Apa maksudnya
membangun sekian banyak jalan baru di mana-mana - juga
jembatan? Apa gunanya semua itu? Apa untungnya
menempuh perjalanan ke Lyon dalam seminggu? Siapa
yang mampu membangun toko dalam waktu sesempit itu?
Siapa yang diuntungkan dari kondisi ini? Atau
menyeberangi Laut Atlantik dan berlomba ke Amerika
dalam sebulan - buru-buru sekali? Toh selama ini kita baik-
baik saja tanpa benua itu selama ribuan tahun. Apa
sebenarnya yang dicari oleh bangsa beradab seperti kita di
tengah hutan yang dihuni oleh Indian atau orang Negro?
Orang bahkan jauh-jauh pergi sampai ke Lapland di Kutub
Utara. Padahal yang ditemui hanya es abadi dan
kebiadaban sampai terpaksa makan ikan mentah. Dan
sekarang kabarnya kita tengah berharap menemukan
benua baru yang konon berada di Pasifik Selatan, atau di
manalah ‐ peduli amat. Kenapa harus gila-gilaan begini?
Mungkin lantaran yang lain juga berlaku serupa - orang
Spanyol, orang Inggris nan terkutuk, dan orang Belanda
yang kurang ajar – selalu menantang tarung sementara kita
tak pernah punya cukup dana perang. Coba bayangkan:
sebuah kapal perang harganya 300 ribu livre, padahal
dihajar kanon sekali saja bakal tenggelam dalam waktu
lima menit - dan harga segitu dibayar dari pajak kita!
Menteri Keuangan baru-baru ini menuntut upeti
sepersepuluh dari pendapatan pajak. Ini jelas
menghancurkan negara - pun bila tuntutan itu tak
dipenuhi. Benar-benar jahat.
Penderitaan manusia berakar dari ketidakrelaan untuk
menempatkan diri pada tempatnya. Ini Pascal yang bilang.
Dan Pascal adalah tokoh hebat - katakanlah, Frangipani-nya
kaum intelektual. Seorang seniman sejati. Orang zaman
sekarang sudah enggan dengan hal-hal begini. Sekarang
orang membaca buku-buku “panas” karangan Huguenots
atau orang Inggris, menulis risalah atau mahakarya yang
katanya ilmiah dan berakibat mempertanyakan segala
sesuatu. Akibatnya, segala sesuatu kini tampak salah - tiba-
tiba segala sesuatu mesti berbeda. Yang terakhir adalah
tentang binatang-binatang kecil yang belum pernah
ditemui sebelumnya dan katanya terkandung serta
berenang ria dalam segelas air. Mereka juga menyebut
sifilis sebagai penyakit yang wajar dan bukan suatu bentuk
hukuman Tuhan. Tuhan tidak menciptakan dunia dalam
tujuh hari, katanya, tapi dalam waktu jutaan tahun. Heh! Itu
pun kalau benar Tuhan yang buat. Mereka juga bilang
bahwa suku-suku liar sebenarnya manusia biasa seperti
kita juga, bahwa selama ini kita telah salah mendidik anak,
dan bahwa bumi tidak lagi bulat tapi rata di bagian atas dan
bawahnya seperti buah melon - apa pun itu, tak ada
bedanya! Di segala bidang, manusia mempertanyakan
segala sesuatu, menggali, mengorek-ngorek, membongkar
dan bereksperimen sesuka hati. Manusia sudah tak puas
lagi dengan kondisi apa adanya. Semua harus bisa
dibuktikan, harus ada saksi, statistik, dan eksperimennya.
Mereka mengagung-agungkan Diderot, d'Alembert,
Voltaire, dan Rousseau, atau entah siapa lagi ‐ bahkan ada
pendeta dan kalangan ningrat juga di antara mereka!
Seluruh tatanan masyarakat terinfeksi oleh pengkhianatan
mereka, pada kegemaran mereka akan kegelisahan dan
ketidakrelaan untuk puas dengan pemberian alam, atau
bahkan dengan segala kekacauan yang berkecamuk di
kepala mereka sendiri!
Sejauh mata memandang, hanya kekacauan yang
terlihat. Orang-orang asyik membaca buku. Bahkan
perempuan! Para pendeta membuang waktu di warung
kopi. Jika polisi ikut campur dan memenjarakan salah
seorang di antara mereka, para penerbit segera menjerit
dan buru-buru menggelar petisi. Pria dan wanita dari
kalangan ningrat berlomba memanfaatkan pengaruh
mereka dan dalam beberapa minggu saja orang itu
dibebaskan atau diizinkan keluar negeri, kembali sibuk
menebar pamflet yang menyesatkan. Di salon orang-orang
ribut omong kosong soal orbit komet dan ekspedisi,
tentang daya angkat dan hukum fisika Newton, rencana
membangun kanal, sirkulasi darah, serta diameter bumi.
Sang Raja sendiri ikut-ikutan meminta mereka
mendemonstrasikan omong kosong gaya baru - semacam
petir buatan yang mereka sebut sebagai listrik. Di hadapan
seluruh majelis istana, seseorang menggesek sebuah botol,
lalu timbul bunga api. Konon menurut laporan, Yang Mulia
begitu terkesan. Baldini sungguh tak habis pikir. Tidak
mungkin kakek sang Raja, Louis nan agung yang sejati -
yang di bawah pemerintahannya Baldini hidup selama
bertahun-tahun - membiarkan demonstrasi sekonyol itu.
Tapi memang demikian tampaknya watak zaman ini,
kendati harus ditebus dengan konsekuensi cukup berat.
Saat orang sudah tak malu atau takut lagi
mempertanyakan kekuasaan Tuhannya Gereja; saat mereka
membicarakan monarki ‐ makhluk dengan keagungan
setara Tuhan - dan raja sebagai sosok suci di dalamnya
semudah membicarakan tukar-menukar barang dalam
katalog tentang berbagai bentuk pemerintahan yang ingin
dipilih seenak hati; saat orang sudah sedemikian lancang
menggambarkan Tuhan Yang Mahaperkasa - Tuhan
semesta alam, seolah tak beda dengan materi lain yang bisa
digantikan, plus imbuhan bahwa semua tatanan, moral,
serta kebahagiaan di bumi ini bisa ada tanpa Dia ‐ murni
berdasarkan moralitas dan nalar bawaan manusia semata....
Ampun Tuhan!! Tak heran kalau semua jadi jungkir batik,
degradasi moral dan azab Tuhan yang disangkal oleh
manusia sendiri. HasiInya kelak sungguh mengerikan.
Komet besar yang jatuh pada tahun 1681, misalnya. Mereka
berani berolok dan menyatakan bahwa itu tak lebih dari
nukilan bintang! Padahal sesungguhnya pertanda yang
diturunkan Tuhan sebagai peringatan. Ramalan teramat
jelas tentang seratus tahun degradasi dan disintegrasi di
lingkungan spiritual, politik, dan agama basil ciptaan
manusia sendiri, dan bahwa suatu hari kelak semua ini
akan mengarah pada bencana dan keterpurukan global di
mana hanya bunga rawa yang bisa tumbuh - seperti
Pélissier.
Baldini berdiri dekat jendela sebagai seorang tua yang
tengah menatap tegas ke arah matahari terik di atas
permukaan sungai. Kapal‐kapal tongkang hilir mudik di
bawah kakinya, perlahan bergerak ke barat, menuju Pont-
Neuf dan dermaga di bawah serambi-serambi kota Louvre.
Kapal-kapal tidak ditambat melawan arus. Untuk itu
mereka memanfaatkan arus dari seberang pulau. Di sini
segalanya mengapung menjauh-baik kapal-kapal kosong
maupun yang sarat muatan, sampan dan kapal-kapal
nelayan yang lebar dan datar, gulungan air keemasan
maupun yang cokelat kotor.. semua bergerak menjauh,
perlahan, dengan jarak makin lebar dan tak tertahankan.
Dan jika Baldini melihat persis ke bawahnya, persis ke
bawah tembok rumah dan jembatan, air serasa mengisap
fondasi jembatan. Membuatnya pusing.
Ia telah salah membeli rumah di atas jembatan. Terlebih
di sisi barat, karena matanya kini hanya bisa melihat sungai
mengalir dan bergerak menjauh. Seolah ia dan rumah serta
seluruh kekayaan yang telah susah-payah ia kumpulkan
selama ini ikut mengalir menjauh bersama sungai,
sementara, ia sudah terlalu tua dan lemah untuk melawan
arus. Kadang saat sedang berbisnis di sisi sungai sebelah
kiri, di daerah Sorbonne atau sekitar Saint-Sulpice, ia
sengaja tidak menyeberang jembatan dan langsung ke Pont
Saint-Michel, tapi mengambil jalan memutar lebih jauh
lewat Pont-Neuf, hanya karena jembatan itu tidak memiliki
bangunan di atasnya. Kalau sudah begitu, ia akan berdiri di
sisi timur dinding jembatan dan menatap ke arah sungai.
Menikmati arus sungai yang mengalir ke arahnya. Selama
beberapa saat itu ia biarkan dirinya hanyut dalam lamunan
bahwa hidupnya kini telah lebih baik, bahkan bisnisnya
sedang marak, keluarganya makmur, dan banyak wanita
yang memuja dan menghambur ke pelukannya. Bahwa
hidupnya sedang tumbuh makin besar dan makin besar.
Tapi saat pandangan itu bergeser sedikit saja, ia
langsung melihat rumahnya sendiri di kejauhan - tinggi,
panjang dan lurus, rapuh, berjarak beberapa ratus meter di
Pont au Change. Ia juga melihat jendela ruang kerja di lantai
dua dan melihat dirinya sendiri di situ, tengah memandang
aliran sungai seperti sekarang. Dan mimpi indah itu pun
pupus. Baldini memutar tubuh, berjalan gontai dari Pont-
Neuf dengan perasaan lebih remuk dari sebelumnya -
seremuk sekarang ini, saat ia berpaling menjauh dari
jendela dan duduk di meja kerja.
Dua Belas
DI HADAPANNYA DI ATAS MEJA, berdiri flacon berisi
parfum karya Pélissier. Berkilapan cokelat keemasan
diterpa sinar matahari, bening dan tidak kusam. Tampak
begitu polos seperti air teh yang tidak kental, tapi tetap
solid sebagai parfum. Selain empat perlima bagian alkohol,
seperlimanya berisi campuran misterius yang mampu
mengharubirukan seluruh Paris. Campuran itu kalau diteliti
mungkin berisi tiga atau tiga puluh ramuan berbeda yang
disiapkan dari berbagai kemungkinan kimia, yang masing-
masing proporsinya sangat tepat. Jiwa parfumnya sungguh
terasa - itu kalau kita cukup berbaik hati menyebut parfum
buatan oportunis macam Pélissier 'memiliki jiwa’. Tugas
Baldini sekarang adalah bagaimana menemukan komposisi
parfum ini.
Baldini menghela napas perlahan lalu menarik gorden
menutupi jendela. Cahaya matahari langsung dapat sangat
merusak aroma parfum atau aroma konsentrat lain yang
sejenis. Sehelai sapu tangan putih berenda ia keluarkan
dari laci dan digelarnya di atas meja. Lalu, sambil menarik
kepala sejauh mungkin dan memencet hidung, ia memutar
tutup flacon perlahan-lahan. Ia tak ingin merasakan sensasi
penciuman prematur secara langsung dari botol. Parfum
harus diendus dalam bentuk gas yang sedang mekar, bukan
dalam bentuk konsentrat. Ia memercik beberapa tetes ke
permukaan sapu tangan, mengibas-ibas sebentar untuk
mengusir uap alkohol, lalu didekatkan ke hidung. Dalam
tiga tarikan napas cepat ia mengisap aroma parfum seolah
terbuat dari bubuk saja, lalu segera mendengus
menghembuskan napasnya ke diri sendiri, mengendus lagi
dengan irama waltz, dan akhirnya menarik napas panjang
dalam-dalam yang kemudian dilepas perlahan dengan jeda
diam beberapa detik sampai hembusan terakhir. Baldini
menghempaskan sapu rangan ke meja dan ambruk ke
kursi.
Jujur saja, aromanya luar biasa. Missier sialan itu
rupanya benar‐benar ahli. Seorang master, malah! Pun bila
ia memang belum pemah menerima pelatihan apa pun soal
pembuatan parfum. Baldini sungguh berharap dialah yang
membuat 'Cinta dan jiwa’ ini. Benar-benar orisinal
sekaligus klasik, padat, harmonis, dan sama sekali baru!
Aromanya terasa segar tapi tidak seronok. Bernuansa
bunga tapi manisnya tidak terasa palsu. Ada kedalaman
dari warna cokelatnya yang kaya, enak dilihat dan
menggairahkan, tapi tetap tidak terkesan berlebihan atau
bombastis.
Nyaris dengan ketakziman Baldini berdiri dan
mengangkat sapu tangan itu sekali lagi ke dekat hidung.
“Menakjubkan... menakjubkan...,” demikian ia bergumam
sambil mengendus dengan rakus. “Parfum ini punya
karakter yang riang dan memesona. Seperti melodi yang
mampu membuatmu merasa nyaman sekaligus.... Ah, tidak!
Langsung membuatmu nyaman detik pertama kau
menciumnya!” Baldini melempar sapu tangan itu kembali
ke meja dengan kesal. Memutar badan dan berjalan
menjauh ke sudut ruangan, seolah malu oleh
antusiasmenya sendiri.
Ngaco! Benar-benar ngaco! Bagaimana mungkin ia
membiarkan diri hanyut memuji, “... seperti melodi, riang,
indah, terasa nyaman.” Dasar idiod. Idiotisme kekanak-
kanakan! Itu kan cuma kesan sedetik. Kelemahan sesaat.
Bias temperamen semata-terutama dari darah Italianya.
Jangan menilai saat mengendus! Itu peraturan nomor satu,
dasar Baldini bodoh! Baui saja saat mengendus dan menilai
belakangan! 'Cinta dan jiwa’ tidak jelek sebagai parfum dan
terhitung produk berhasil. Peracikan dilakukan dengan
cerdas dan baik - kalau tak mau disebut “menyulap”. Dan
kau tak bisa berharap lebih dari sulap murahan kalau
sudah bicara soal Missier. Orang seperti dia tak mungkin
bisa menciptakan parfum sempurna. Penipu itu menyulap
dengan keahlian seorang master. Membingungkan indra
penciumanmu dengan kesempurnaan harmoni. Dalam seni
klasik pembuatan parfum, orang itu adalah serigala berbulu
domba. Pendek kata: Missier tak lebih dari monster
berbakat. Lebih buruk lagi: ia seperti setan yang menggoda
iman para ahli parfum sejati.
Tapi engkau, wahai Baldini, tidak akan sampai
terbodohi. Kau memang terkejut untuk sesaat oleh kesan
pertama ramuan ini, tapi tahukah kau bagaimana aromanya
satu jam dari sekarang, saat unsurnya yang mudah
menguap lenyap dan struktur utamanya naik ke
permukaan? Atau bagaimana perubahan aromanya malam
ini, saat sisa-sisa aroma yang bisa dicium meninggalkan
komponen-komponen gelap nan berat yang saat ini
tersembunyi di balik kemegahan aroma bunga? Tunggu dan
lihatlah sendiri, Baldini!
Peraturan kedua menyatakan bahwa parfum sejati
bersifat langgeng. Memiliki tiga tahapan masa - sebutlah
'masa remaja’, 'masa dewasa’, dan 'masa tua’. Hanya apabila
mampu memerikan aroma yang tetap segar dan enak di
ketiga tahapan itu, sebuah parfum bisa disebut berhasil.
Berapa sering kita menemukan bahwa campuran aroma
yang terasa begitu segar saat pertama kali dicoba ternyata
berbau seperti buah busuk selang beberapa waktu dan
akhirnya sama sekali tidak meninggalkan aroma apa pun
selain bau kesturi yang dipakai sebagai dasar? Seorang ahli
parfum harus sangat hati-hati soal ini. Kelebihan setetes
saja akan sangat merusak hasil akhir sebuah parfum. Ini
kesalahan klasik pembuatan parfum. Siapa tahu, bisa saja
Missier berlebihan menggunakan aroma dasar ini.
Barangkali malam ini juga akan kita singkap kepalsuan
'Cinta dan jiwa'. Lihat saja.
Kita akan mengendus lagi nanti. Indra penciuman kita
ibarat kapak tajam yang mampu membelah kayu sampai
menyerpih. Memfragmentasi setiap detail parfum ini. Akan
jelas nanti betapa aroma magis palsu ini ternyata terbuat
dari bahan dan metode yang biasa saja. Kita, Baldini sang
ahli parfum, akan menangkap basah tipuan Pélissier si
pembuat cuka apel. Topeng itu akan kita robek dari wajah
buruknya dan kita tunjukkan pada dunia bagaimana
sesungguhnya kehebatan Baldini. Campurannya akan kita
tiru dan ubah menjadi sesuatu yang sama sekali baru.
Tiruan yang sedemikian sempurna sampai Missier sendiri
tak mampu membedakannya dengan buatannya sendiri.
Tidak! Masih belum cukup! Kita akan meningkatkan parfum
ini! Kita angkat apa yang salah, membuangnya, dan
memamerkannya di bawah hidungnya sendiri! Kau hanya
seorang penipu, Pélissier! Tak lebih dari penipu busuk!
Pesohor karbitan di dunia pembuatan parfum. Tak lebih
dari itu.
Dan sekarang, ayo kita kerja, Baldini! Tajamkan
hidungmu dan enduslah tanpa bias sentimentalitas! Filter
aroma ini dengan aturan seni yang benar! Sebelum malam
ini berakhir, kau sudah harus menggenggam formulanya!
Baldini seperti terjun ke meja kerja. Menyambar kertas,
tinta, dan selembar sapu tangan baru, lalu digelarnya baik-
baik, dan ia pun mulai menganalisis. Prosedurnya begini:
celup ujung sapu tangan ke dalam parfum, kibaskan dengan
cepat di bawah hidung, lalu saring aromanya berdasarkan
pilahan-pilahan ramuan yang terkandung tanpa bias dari
kompleksitas gabungan bagian yang lain. Kemudian, sambil
memegang sapu tangan di ujung tangan yang terjulur, catat
nama ramuan yang ditemukan, lalu ulangi lagi dari awal
sambil terus melayang-layangkan sapu tangan ke dekat
hidung, menangkap fragmen aroma berikutnya, dan
seterusnya....
Tiga Belas
BALDINI BEKERJA TANPA HENTI selama dua jam,
dengan gerakan yang makin lama makin kacau, makin jorok
menulis dari tinta ke kertas, dan makin besar dosis parfum
yang ia teteskan ke sapu tangan untuk diendus hidungnya.
Ia nyaris tak bisa mencium apa-apa lagi sekarang. Uap
parfum yang ia hirup membuat mabuk. Ia tak bisa lagi
mengenali niat awal untuk membongkar kepalsuan
Pélissier. Baldini sadar tak ada gunanya terus mencium. Ia
tak akan pemah bisa menyarikan ramuan parfum misterius
ini. Yang pasti bukan hari ini atau besok saat hidungnya
pulih kembali kalau Tuhan mengizinkan. Kegiatan
mengendusi dan memilah-milah unsur dasar aroma,
memfragmentasi kesatuannya untuk memastikan kualitas
gabungan aroma yang tercipta menjadi komponen-
komponen terpisah, adalah kegiatan yang sangat
melelahkan dan memualkan. Kini semangatnya sudah
terbang entah ke mana. Ia tak ingin meneruskan lebih jauh.
Kendati niatnya demikian, tapi tangannya seperti punya
pikiran sendiri. Ini buah dari praktik selama ribuan kali
sebagai pembuat parfum. Mencelupkan sapu tangan lalu
dianginkan dan dikibas dengan cepat melewati wajah.
Setiap tarikan napas ia tahan selama beberapa detik untuk
kemudian dilepas dengan helaan dan jeda yang terlatih.
Sampai akhirnya hidung itu sendiri yang memutuskan
untuk berhenti dari siksaan. Baldini mulai dihinggapi reaksi
alergi sampai benar-benar tak mampu mencium apa-apa
lagi seperti disumbat lilin. Bernapas pun sulit. Seolah
terserang pilek hebat sampai matanya berair. Puji Tuhan!
Sekarang ia bisa berhenti dengan lega. Tugas telah
dilakukan dengan sekuat tenaga dan usaha terbaik,
berdasarkan aturan seni yang benar, kendati akhirnya
harus kalah (seringnya begitu). Saatnya untuk ultra posse
nemo obligatur - tutup toko! Besok pagi ia akan pergi ke
tempat Pélissier untuk membeli sebotol besar parfum
'Cinta dan jiwa’ untuk membuat wangi kulit Spanyol milik
Count Verhamont sesuai permintaan. Setelah itu ia akan
kembali menenteng koper kecil berisi rupa‐rupa sabun
model kuno, kantung-kantung aromatik, minyak rambut,
dan pundi-pundi bedak, lalu berkeliling ke salon-salon para
countess tua yang selalu gemetar sebagai langganan
terakhir. Barangkali saat itu ia juga akan sama gemetarnya
dan terpaksa menjual toko serta bisnsnya kepada Pélissier
atau salah satu dari puluhan pedagang kaya karbitan di
kota ini. Kalau cukup beruntung ia bisa menjual seharga
beberapa ribu livre. Ia akan mengepak satu atau dua koper
dan pergi ke Italia bersama istri tercinta (kalau belum
keburu mati lantaran stres). Dan jika ia sanggup bertahan
seusai perjalanan, ia akan membeli sebuah rumah kecil di
pedesaan dekat Messina karena harga barang¬barang di
sana murah. Di sanalah, dalam pahitnya kemiskinan, ia,
sang Giuseppe Baldini, mantan ahli parfum terbesar di
Paris, akan meninggal dunia - kapan pun Tuhan
mengizinkan. Yah, kedengarannya tidak terlalu buruk.
Baldini menyumbat kembali flacon parfum, meletakkan
pena dan mengusap sapu tangan beraroma tajam itu ke
kening untuk terakhir kali. Luapan alkohol cukup
menenangkan, tapi tidak lebih. Matahari terbenam di ufuk
barat.
Baldini berdiri dan membuka gorden. Tubuhnya mandi
cahaya matahari sore sampai ke lutut, merah padam seperti
sebatang obor tua saat apinya habis. Ufuk merah matahari
bersernbunyi di belakang kota Louvre bersama pijaran api
lembut menjajari atap-atap rumah. Sungai berkilau
keemasan dan kapal-kapal sudah lenyap. Angin sore
berhembus menyapa permukaan air, berkilapan di sana-
sini, bergerak makin dekat seperti tangan raksasa menebar
jutaan koin emas di atas air. Sesaat Baldini merasa arus
sungai sore itu berbalik arah: mengalir ke arah Baldini.
Banjir oleh kilauan emas.
Mata Baldini basah dalam kesedihan. Lama sekali ia
berdiri diam memandang keelokan alam. Lalu tiba-tiba ia
mendorong membuka jendela lebar-lebar dan melempar
parfum Pélissier sejauh mungkin, melengkung tinggi
sepanjang sungai, berkecipak dan membelah kilapan
permukaan air sebelum tenggelam dalam sekejap.
Udara segar menghambur ke dalam ruangan. Baldini
megap-megap menghirup napas dan segera sadar bahwa
hidungnya mulai membaik. Lalu menutup jendela. Hampir
bersamaan, malam turun begitu tiba-tiba. Pemandangan
kota dan sungai yang semula berpendar keemasan berubah
menjadi siluet kaku berwarna kelabu. Ruang kerja Baldini
kini gelap. Ia tak bergeser dari posisi awal dan tetap
menatap keluar jendela. “Aku tidak akan mengirim seorang
pun ke tempat Pélissier besok pagi,” ia berkata. Kedua
tangan mencengkeram punggung kursi erat-erat. “Tidak
akan. Dan aku juga tidak akan berkeliling ke salon-salon
lagi. Aku akan langsung pergi ke notaris besok pagi dan
menjual nunah serta bisnisku. Itu yang akan kulakukan.
Haram jadah!”
Ekspresi wajah Baldini saat itu sumringah seperti bocah
dan tiba-tiba ia merasa sangat bahagia. Sekali lagi ia adalah
Baldini tua sekaligus muda. Dengan keberanian dan
keteguhan kuat menghadapi nasib pun bila keteguhan itu
berarti mundur teratur. Memangnya kenapa?! Tak ada lagi
yang bisa dilakukan. Tekadnya bulat untuk meninggalkan
masa lalu yang bodoh, di mana seolah tak ada pilihan.
Tuhan Mahaadil dalam memberi suka maupun duka, tapi
Dia tak ingin kita meratapi dan menangisi duka. Justru kita
harus membuktikan pada diri sendiri bahwa kita memang
jantan. Dan rasanya Dia memang telah memberikan tanda-
Nya. Fatamorgana merah keemasan dari siluet kota saat ini
merupakan peringatan: bertindaklah sekarang, saat ini
juga… Baldini. Sebelum terlambat! Mumpung rumahmu
masih berdiri kokoh, gudangmu masih penuh, dan
mumpung masih bisa menawar dengan harga yang baik
untuk bisnis gagalmu. Putusan masih Dia biarkan di
tanganmu. Menikmati hari tua dengan hidup sederhana di
Messina memang bukan tujuan hidup sejak awal, tapi
masih lebih terhormat dan terhitung ibadah ketimbang
musnah dalam kemewahan semu di Paris. Biarkan saja
keluarga Brouet, Calteau, dan Pélissier bersorak sekarang.
Giuseppe Baldini memang gulung tikar, tapi setidaknya ini
dilakukan dengan kehormatan dan atas kehendak sendiri!
Baldini merasa cukup bangga pada diri sendiri.
Benaknya kini begitu damai. Untuk pertama kalinya dalam
hidup ia merasa begitu nyaman. Lehernya tidak kaku lagi
dan bahunya serasa hidup. Ia berdiri tegak tanpa beban,
rileks, bebas dan puas dengan diri sendiri. Duh, untuk
pertama kalinya bernapas terasa begitu ringan. Ia bisa
dengan jelas mencium aroma parfum 'Cinta dan jiwa’ dalam
ruangan tanpa harus terpengaruh. Baldini telah mengubah
jalan hidup dan merasa bahagia. Sekarang ia hendak naik
menemui istrinya dan menyampaikan putusan ini. Setelah
itu ia akan berziarah ke Notre-Dame dan menyalakan lilin
sebagai ungkapan terima kasih atas petunjuk serta berkah
yang telah Tuhan berikan padanya, Giuseppe Baldini, dalam
wujud kekuatan karakter.
Dengan bergegas, nyaris seperti anak muda, Baldini
memakai wig di kepalanya yang botak, mengenakan mantel
biru, menyambar lilin dari meja, dan keluar dari ruangan. Ia
baru saja menyalakan lilin sepanjang perjalanan naik saat
mendengar bel pintu berdenting di lantai dasar. Bunyinya
bukan denting bel Persia dari pintu toko, tapi bel dari pintu
masuk pelayan - bunyi menyebalkan yang selalu terasa
mengganggu. Ia selalu mengubah putusan untuk
menyingkirkan benda itu dan menggantinya dengan bel
yang lebih enak didengar dengan alasan biaya yang dirasa
berlebihan. Tapi kini pikiran itu malah membuatnya
terkikik geli. Toh tak ada bedanya lagi sekarang karena ia
akan menjual bel itu sekalian bersama rumahnya. Biar
penghuni baru saja yang gantian jengkel kelak.
Denting nyaring bel terdengar lagi. Baldini menajamkan
telinga ke arah suara di lantai bawah. Tampaknya Chénier
sudah pulang dan pelayan wanitanya juga enggan
menjawab membukakan pintu. Jadilah Baldini turun
sendiri.
Baldini melepas gerendel dan membuka pintu. Hmm...
tak ada siapa-siapa? Kegelapan malam seperti menelan
bulat-bulat cahaya lilin yang ia bawa. Lalu, perlahan sekali,
matanya meraba sosok seorang anak atau pemuda
tanggung mengapit sesuatu di lengannya.
“Mau apa kau?”
“Saya dari Maltre Grimal, mengirimkan kulit kambing
pesanan Anda,” jawab orang itu sambil melangkah lebih
dekat dan menyorongkan setumpuk kulit kambing dari
lengannya yang menekuk. Dalam cahaya lilin, Baldini mulai
bisa melihat wajah si bocah serta matanya yang gugup dan
tak bisa diam. Tubuhnya bungkuk, seolah bersembunyi di
belakang kedua lengan yang terjulur, menunggu untuk
ditinju. Orang itu adalah Grenouille.
Empat Belas
KULIT KAMBING UNTUK BAHAN kulit Spanyol Count
Verhamond. Baldini baru ingat sekarang. Ia memesan kulit
itu dari Grimal beberapa hari lalu. Kulit kambing dengan
kualitas terbaik dan terhalus yang akan dipakai sebagai
pengering tinta di meja Count Verhamont, seharga lima
betas Franc per potong. Tapi ia tidak terlalu
membutuhkannya lagi sekarang, di samping untuk
menghemat pengeluaran. Di pihak lain, kalau ia tolak begitu
saja... ? Siapa tahu akan membuat kesan jelek, orang-orang
akan bergunjing dan menebar gosip bahwa Baldini mulai
tak bisa dipercaya, Baldini mulai kehabisan pesanan,
Baldini tak hisa membayar tagihan... dan itu tidak baik. Oho,
tidak, karena justru akan menurunkan nilai jual bisnisnya.
Akan jauh lebih baik kalau sekarang ia terima saja kulit
kambing tak berguna ini. Tak ada yang perlu tahu bahwa
Giuseppe Baldini sebenarnya telah memutar haluan.
“Masuklah!”
Ia memersilakan bocah itu masuk dan berjalan bersama
ke arah toko. Baldini memimpin dengan lilin di tangan,
sementara Grenouille mengikuti di belakang sambil
menenteng kulit kambing. Ini adalah kali pertama
Grenouille menginjakkan kaki di rumah seorang ahli
parfum. Tempat di mana aroma bukan sekadar hiasan tapi
menjadi pusat perhatian. Ia mengetahui setiap ahli parfum
dan apoteker di kota ini, sering berdiam bermalam-malam
di etalase mereka dengan hidung menempel di celah lubang
kunci. Ia tahu setiap aroma yang ditangani di sini dan kerap
menggabungkannya di rumah aroma imajiner dalam
ingatan untuk menciptakan parfum terbaik. Jadi
sebenarnya tidak ada yang baru atau terlalu aneh, namun ia
tetap merasa seperti anak kecil genius musik yang
jejingkrakan kegirangan ingin melihat sebuah orkestra dari
dekat atau memanjat melewati paduan suara gereja hanya
untuk melihat organ yang tersembunyi. Grenouille ingin
sekali melihat toko parfum dari dalam, dan karena itu
segera menyambar kesempatan untuk mengantar kulit
kambing ke tempat Baldini.
Kini ia berdiri dalam ruang toko Baldini. Satu-satunya
tempat di Paris dengan jumlah terbesar aroma profesional
yang diracik dalam sebuah ruangan kecil. Ia tak bisa
melihat banyak di keremangan cahaya lilin, kecuali sekejap
bayangan meja kasir dengan timbangannya, dua patung
bangau di atas baki parfum, sebuah kursi berlengan untuk
pelanggan, lemari-lemari gelap sepanjang dinding, sekilas
peralatan menulis dari perunggu, serta label-label putih
pada botol dan wadah leburan logam. Ia juga tak bisa
mencium melebihi apa yang sudah biasa diciumnya dari
jalanan, tapi ia segera bisa merasakan keseriusan yang
melingkupi rumah ini. Boleh juga disebut sebagai
keseriusan suci - kalau kata 'suci' memang punya arti buat
seorang seperti Grenouille. Yang jelas ia merasakan sensasi
keseriusan yang dingin, ketegasan dari keahlian dan seni
seorang seniman, serta keseriusan atmosfer bisnis yang
melekat di setiap mebel, setiap alat, sampai ke kaleng,
botol, dan pot. Sepanjang langkah mengikuti Baldini, dalam
bayang-bayang tubuh si ahli parfum karena Baldini tak mau
repot‐repot menerangi jalan, Grenouille hanyut dalam
fantasi bahwa tempat ini miliknya. Bahwa di sinilah tempat
di mana ia kelak akan mengguncang dunia
Gagasan ini tentu saja sombong sekali. Tak ada alasan
yang bisa membenarkan seorang pembantu penyamak kulit
berlatar belakang tak jelas, tanpa koneksi atau
perlindungan dan tanpa status sosial apa pun, untuk
sampai berharap bahwa ia bisa mengambil keuntungan
dari toko parfum paling terkenal di Paris ini. Apalagi sejak
kita tahu bahwa Baldini hendak mengakhiri bisnisnya.
Namun bagi Grenouille, gagasan sombong ini bukan
semata-mata harapan, tapi kepastian. Ia sadar bahwa satu-
satunya cara untuk lolos dari penjara nasib adalah dengan
kabur meninggalkan Grimal dan mengambil alih toko ini.
Grenouille si kutu parasit mulai mencium darah.
Bersumber dari dendam dan kebencian yang ia biarkan
tidur selama bertahun-tahun, terbungkus rapat dan
menanti peluang. Sekaranglah kesempatan itu. Tak peduli
bagaimana akhirnya. Jadi sama sekali bukan soal harapan.
Itu sebabnya Grenouille bisa begitu yakin.
Mereka sampai di ruangan toko. Baldini membuka ruang
belakang yang menghadap ke arah sungai dan berlaku
sebagai gudang sekaligus bengkel dan laboratorium.
Tempat di mana sabun dimasak, pomade diracik menjadi
minyak rambut, dan eau de toilette dicampur dalam botol-
botol besar.
“Di sana!” Baldini menunjuk ke sebuah meja besar di
depan jendela. “Taruh kulitnya di sana!”
Grenouille melangkah keluar dari bayang-bayang
Baldini, menaruh kulit kambing di meja, lalu dengan cepat
melompat kembali ke belakang, memosisikan diri di antara
Baldini dengan pintu. Baldini berdiri diam beberapa saat.
Lilin diletakkan tegak lurus di atas meja agar cairannya
tidak menetes. Punggung jemari Baldini mengusap
permukaan kulit kambing yang mulus. Ia membalik lapisan
teratas dan mengusap lapisan berbulu dari kulit itu. Terasa
kasar sekaligus lembut. Kualitasnya benar-benar bagus dan
cocok digunakan untuk kulit Spanyol. Saat kering tidak
akan menyusut, dan setelah dipasang dengan benar
permukaannya akan tetap fleksibel dan lentur. Baldini bisa
langsung tahu hanya dengan menekan lembaran kulit di
antara jempol dan jari telunjuk. Kulit kambing ini mampu
menahan aroma sampai lima atau sepuluh tahun. Bagus,
bagus sekali. Benar-benar kualitas prima. Ia juga berpikir
untuk membuat sarung tangan - tiga pasang untuk diri
sendiri dan tiga pasang lagi untuk istrinya, sebagai bekal
perjalanan ke Messina.
Baldini menarik kembali tangannya. Meja kayu yang
telah disiapkan juga dibuat dengan baik. Semua sudah siap.
Ada baskom kaca untuk merendam kulit dalam cairan
parfum, piring kaca untuk mengeringkan, adukan untuk
mencampur racikan dalam alkohol, lengkap dengan alu,
pengaduk, kuas, mesin pengupas, dan gunting besar. Seolah
semua ini sudah lama tertidur dalam gelap dan akan
bangun menjelang pagi. Ia jadi berpikir apakah harus
membawa meja ini sekalian ke Messina? Bersama beberapa
peralatan lain - yang penting-penting saja tentunya. Meja
ini sungguh enak dan cocok dipakai bekerja. Kayunya dari
pohon ek sampai ke kaki meja, dengan penahan rangka
dipasang bersilangan agar tidak goyang. Permukaannya
juga tak mempan dihajar asam, minyak, atau goresan pisau.
Tapi pasti akan menuntut biaya besar bila diboyong ke
Messina, bahkan dengan kapal sekalipun! Jadi memang
tidak bisa tidak, ia tetap harus menjual meja ini besok,
lengkap dengan tetek bengek yang ada di atas, di bawah,
dan di sisinya - pokoknya ia akan menjual semuanya besok!
Seorang Baldini memang sentimental, tapi tetap memiliki
karakter kuat dan teguh dengan pendirian, apa pun
kesulitan yang menghadang. Boleh jadi ia menyerahkan
semua ini dengan mata berlinang, tapi akan tetap dilakukan
karena inilah jalan yang benar, sesuai pertanda dari Tuhan.
Baldini berbalik hendak pergi. Agak kaget melihat
makhluk aneh yang kini berdiri menghadang di pintu - ia
sendiri hampir lupa.
“Kulitnya bagus,” kata Baldini. “Katakan pada majikanmu
bahwa aku puas dengan pekerjaannya dan akan mampir
beberapa hari lagi untuk membayar.”
“Baik, Tuan,” jawab Grenouille. Tapi ia tetap bergeming.
Menghalangi Baldini yang sudah hendak meninggalkan
ruangan. Baldini jelas kaget, tapi masih belum curiga dan
cenderung menangkap gelagat si bocah sebagai sikap malu-
malu.
“Ada apa?” ia bertanya. “Ada hal lainnya yang bisa
kulakukan untukmu? Hmm? Bicaralah!”
Grenouille berdiri di sana dengan tubuh membungkuk
dan menatap Baldini dengan tatapan yang sengaja dipasang
malu-malu.
“Saya ingin bekerja untuk Anda, Maître Baldini. Bekerja
untuk Anda di bisnis ini.”
Kalimat ini mengalir bukan sebagai permintaan, tapi
tuntutan. Juga tak bisa dibilang mengucap, karena mulut
Grenouille mendesis seperti reptil. Sekali lagi, Baldini salah
membaca gelagat buruk ini sebagai kegugupan seorang
anak kecil. Ia malah tersenyum ramah.
“Lho, kau kan murid seorang penyamak, anak muda,”
ujar Baldini. “Aku tidak butuh murid karena sudah ada
asisten.”
“Anda ingin membuat kulit kambing ini harum, Maître
Baldini? Ingin membuat kulit yang saya bawa ini berbau
harum, kan?” Grenouille mendesis seperti tak menyimak
jawaban Baldini.
“Benar,” jawab Baldini.
“Dengan parfum 'Cinta dan jiwa’ buatan Pélissier?” tanya
Grenouille. Tubuhnya membungkuk lebih dalam.
Mendengar ini, tubuh Baldini langsung gemetar
tersengat teror. Bukan lantaran heran bagaimana si bocah
bisa tahu persis, tapi karena Grenouille telah menyebut
nama parfum terkutuk yang gagal ia uraikan siang tadi.
“Dari mana kau dapat gagasan ngawur bahwa aku akan
menggunakan parfum buatan orang lain ... ?”
“Karena tubuh Anda sarat aroma itu!” desis Grenouille
lagi. “Tercium di keningmu, dan di kantong baju sebelah
kanan ada sapu tangan yang juga kuyup oleh parfum itu.
Parfum 'Cinta dan jiwa’ ini tidak terlalu bagus. Jelek. Terlalu
banyak bergamot dan daun rosemary, dan sedikit sekali
sari bunga mawarnya.”
“Aha!” seru Baldini. Kaget menyadari percakapan yang
bergeser ke penyebutan unsur secara spesifik. Dengan
bernafsu ia mengejar lebih jauh, “Apa lagi?”
“Bunga pohon jeruk, limau, cengkeh, minyak kesturi,
melati, alkohol, dan satu lagi saya tak tahu namanya - di
sana, tapi dari sana, di botol itu!” telunjuk Grenouille
menunjuk di kegelapan. Baldini menjajarkan terang lilin
sesuai arah telunjuk, ke arah lemari, ke sebuah botol berisi
balsam berwarna kuning kelabu.
“Storax?” ia bertanya.
Grenouille mengangguk. “Benar. Itu juga. Storax.”
Tubuhnya membungkuk sedemikian rupa sampai seolah
kejang-kejang sambil menggumamkan sedikitnya nama itu
dua belas kali, “Storaxstorax‐storaxstorax....
Baldini mengangkat lilin menerangi si aneh yang
menggumamkan 'storax’ itu dan berpikir, “Orang ini kalau
tidak gila, mestinya pencuri atau memang genius berbakat.”
Ia yakin seratus persen bahwa memang itulah unsur yang
dicarinya selama ini. Unsur yang sedemikian rupa diracik
dengan proporsi yang tepat dan membentuk parfum 'Cinta
dan Jiwa'. Pengalamannya sebagai seorang ahli mengatakan
bahwa ini memang mungkin sekali. Sari bunga mawar,
cengkeh, dan storax ‐ tiga unsur itulah yang ia cari-cari
sepanjang siang. Bila digabung dengan unsur lainnya dalam
komposisi yang tepat - yang ia yakin telah berhasil ia kenali
sebelumnya, akan menyatulah semua itu menjadi sebuah
bulatan cantik berwujud kue. Tinggal masalah proporsi
penggabungannya saja sekarang. Untuk ini Baldini harus
melakukan percobaan selama beberapa hari. Ini pekerjaan
sulit dan bahkan lebih buruk dari kegiatan mengidentifikasi
bagian-bagian tadi, karena ia harus mengukur bobot dan
mencatat serta mengawasi seluruh prosesnya dengan
sangat hati-hati. Sedetik saja lengah dalam jentikan pipet
atau salah menghitung jumlah tetesan, akan merusak
segalanya. Setiap kegagalan akan menghabiskan biaya
sangat mahal. Baldini jadi ingin menguji makhluk aneh ini.
Menanyakan formula yang tepat dari parfum 'Cinta dan
Jiwa’. Dalam perhitungan Baldini, kalau ia bisa tahu sampai
setiap tetes dan gramnya, maka ia pasti seorang pembajak
yang - entah bagaimana, mencuri resep asli dari Pélissier
untuk dipakai sebagai dasar negosiasi agar Baldini mau
mengangkatnya sebagai murid. Tapi kalau mendekati, ia
pasti seorang genius aroma, dan ini tentu saja menggelitik
minat profesional Baldini. Ini bukan berarti ia hendak
membatalkan niat awal untuk pensiun, karena parfum itu
toh sudah tak penting lagi sekarang. Bila orang ini mampu
membawakan sampai bergalon-galon pun, ia tetap enggan
mengharumi kulit Spanyol milik Count Verhamont dengan
parfum buatan Pélissier. Baldini yang sekarang bukan lagi
seorang obsesif wewangian yang rela menghabiskan umur
dalam bisnis campur-mencapur aroma. Semangat bisnisnya
sudah bergeser sama sekali. Saat ini ia hanya ingin
menemukan formula parfum sialan itu, dan kemungkinan
lebih jauh untuk memelajari bakat bocah misterius ini.
Anak yang mampu mengendusi dan mengenali aroma
begitu saja. Baldini ingin tahu rahasianya. Penasaran saja.
“Tampaknya kau memiliki hidung yang baik, anak
muda,” ujar Baldini setelah Grenouille usai mendesah-
desah. Ia kembali menuju meja dan meletakkan lilin dengan
hati-hati. “Tak diragukan lagil memang hidung yang
berbakat. Tapi....”
“Hidung saya adalah yang terbaik di seluruh Paris,
Maître Baldini,” potong Grenouille dengan suara serak.
“Saya tahu semua aroma di dunia-semuanya. Hanya saja
beberapa namanya saya tidak tahu, tapi saya cepat belajar.
Aroma yang memiliki nama jumlahnya tak banyak ‐ hanya
beberapa ribu. Saya mau memelajari semuanya. Saya tak
akan pernah lupa nama balsam itu... storax. Balsam itu
namanya storax, namanya storax, namanya storax....
“Diam!” bentak Baldini. “Jangan potong kalau saya
sedang bicara! Kau kurang ajar dan tidak sopan. Tak ada
orang yang tahu nama seribu macam aroma. Aku sendiri
tidak tahu. Paling hanya beberapa ratus, karena jumlahnya
sendiri tak sampai beberapa ratus di bisnis ini. Yang lain
bukan aroma, hanya bau saja. Tak berguna.”
Tubuh Grenouille yang semula nyaris tegak lagi saat
begitu bersemangat menggambarkan pengetahuannya
tentang ribuan aroma sampai membentangkan tangan,
kembali mengkerut seperti katak mendengar bentakan dan
selaan Baldini.
“Tentu saja aku juga tahu,” lanjut Baldini, “meski belum
lama, bahwa 'Cinta dan Jiwa’ terdiri dari storax, sari bunga
mawar, dan cengkeh, plus bergamot, ekstrak rosemary, dan
sebagainya. Yang ingin kuketahui, seperti kataku tadi,
adalah hidungmu. Kemungkinan, betapa Tuhan telah
menganugerahimu dengan hidung setajam itu ‐
sebagaimana berkahnya pada banyak orang lain,
khususnya pada orang-orang seusiamu. Tapi dalam kasus
ahli parfum,” sampai di sini Baldini mengangkat telunjuk
dan membusungkan dada, “seorang ahli parfum sejati
membutuhkan lebih dari sekadar hidung tajam. Ia juga
butuh organ lain yang murni, bersih, serta terlatih
membaui selama puluhan tahun. Mampu menguraikan
aroma yang paling kompleks sekalipun berdasarkan
komposisi dan proporsi, sekaligus menciptakan racikan
parfum yang benar-benar baru. Hidung seperti ini,” ujar
Baldini sambil mengetuk hidungnya dengan jari, “bukanlah
sesuatu yang dimiliki begitu saja, anak muda! Tapi diperoleh
melalui kerja keras dan ketekunan. Atau barangkali kau
bisa memberiku komposisi yang tepat dari masing-masing
unsur formula parfum 'Cinta dan jiwa' saat ini juga? Hmm?
Bisa tidak?”
Grenouille tak menjawab.
“Setidaknya perkiraan yang mendekati, barangkali?”
desak Baldini. Badannya sedikit terjulur agar bisa melihat
katak jelek di depannya dengan lebih jelas. “Perkiraan saja.
Sekadar estimasi, begitu? Hmm ... ? Bisa tidak? Ayo bicara!
Katanya hidungmu terbaik di seluruh Paris?”
Tapi Grenouille tetap diam.
“Hah! Sudah kuduga!” seru Baldini puas sekaligus
kecewa. Ia meluruskan badan. “Kau tidak bisa, kan? Tentu
saja tidak. Kau termasuk orang yang tahu apakah ada
peterseli atau chervil dalam sebuah sup saat makan siang.
Itu bagus, dan terhitung luar biasa. Tapi tidak lantas
menjadikanmu seorang koki, kan? Mendekati pun tidak.
Dalam seni dan keahlian apa pun - catat ini baik-baik
sebelum kau pergi, bakat tetap tidak berarti banyak bila
dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh dari
kerendahan hati dan kerja keras. Itu yang utama.
Baldini tengah mencari batang lilin di meja saat
Grenouille nienggeram, “Saya tak tahu apa itu formula,
Maître. Saya tidak tahu. Tapi selain dari itu, saya tahu
segalanya!”
“Formula adalah dasar dari inti setiap parfum,” tegas
Baldini. Ia ingin mengakhiri saja percakapan ini. Sekarang.
“Sebuah formula memuat instruksi langkah demi langkah
dan mendetail tentang proporsi yang dibutuhkan untuk
mencampur setiap unsur agar hasilnya persis sesuai
keinginan. Itulah yang namanya formula. Ia bertindak
sebagai resep - kalau kau lebih mengerti istilah ini.”
“Formula, formula…” gumam Grenouille serak, makin
lama makin keras dari arah pintu. “Saya tidak butuh
formula. Resepnya sudah ada di hidung saya. Boleh saya
racikkan untuk Anda, Maître? Bolehkah? Bolehkah?”
“Bagaimana caranya?” pekik Baldini sambil mengangkat
lilin ke wajah Grenouille. “Bagaimana caramu meraciknya?”
Sekali itu Grenouille tidak mengkerut. “Lho, semua
bahan kan sudah ada di sini. Segala yang dibutuhkan,
aroma-aromanya, semua ada di ruangan ini.” Kembali ia
menunjuk-nunjuk ke kegelapan. “Ada sari bunga mawar,
ada bunga pohon jeruk, di situ ada cengkeh, di sana
rosemary, itu....”
“Tentu saja semua ada di sini!!” raung Baldini kesal.
“Semua memang tersedia di ruangan ini. Tapi biar
kukatakan padamu, bodoh, bahwa apa pun itu tetap tak
berguna kalau formulanya tidak adal”
“… di sana bunga melati, di sana alkohol, bergarnot di
sana, storax di sana…” Grenouille mengoceh. Setiap nama ia
sebutkan sambil menunjuk ke tempat-tempat berbeda di
ruangan itu. Padahal begitu gelap sampai orang hanya bisa
mengira-ngira bayangan lemari berisi bermacam botol di
kejauhan.
“Kau bisa melihat dalam gelap, ya?” Baldini melanjutkan.
“Kau tak hanya memiliki hidung terbaik, tapi juga mata
paling tajam di seluruh Paris. Iya? Sekarang - barangkali
kau juga punya kuping terbaik - buka lebar-lebar kupingmu
karena akan kuberi tahu: kau ini sok tahu dan penipu. Bisa
saja kau curi informasi itu dari Pélissier. Habis kau mata-
matai dia, kan? Dan sekarang kau pikir bisa membodohi
aku, begitu?”
Grenouille kini berdiri tegak. Badannya menjulang
dengan kaki membentang menghalangi pintu, dengan
kedua tangan sedikit terentang - mirip laba-laba di sudut
kusen. “Beri saya waktu sepuluh menit,” ujarnya dengan
nada dan suara nyaris normal. “Saya akan buatkan 'Cinta
dan Jiwa’ untuk Anda. Saat ini, di sini juga, di ruangan ini.
Maître, beri saya waktu sepuluh menit saja!”
“Kau pikir aku akan begitu saja membiarkanmu
seenaknya mengacak-acak laboratoriumku? Dengan segala
ramuan mahal ini? Kau?”
“Benar,” jawab Grenouille.
“Bah!!” bentak Baldini, sambil memuntahkan seluruh
udara dari paru-paru. Tapi kemudian ia menghirup napas
dalam-dalam dan menatap Grenouille lama sekali. Sambil
merenung. Kalau mau jujur, sebenarnya tak rugi bila
dicoba. Toh semua akan berakhir besok. Aku tahu persis ia
tak akan bisa membuktikan apa pun. Tak mungkin. Sebab
kalau memang bisa, wah, artinya ia lebih dahsyat dari
Frangipani sendiri. Jadi, kenapa tidak kubiarkan saja ia
mendemonstrasikan kebenaran ini? Bukan tidak mungkin
suatu hari kelak, di Messina, aku akan menyesal telah salah
mengenali seorang ahli penciuman nan genius, walau
anugerah ini sengaja ditutupi Tuhan di balik wujud buruk...
Ah, tidak mungkin. Nalarku menegaskan bahwa hal ini
tidak mungkin - tapi toh mukjizat memang bisa terjadi. Itu
pasti. Bagaimana jika suatu hari kelak, saat aku terbaring
sekarat di Messina, aku akan sampai berpikir bahwa dulu,
suatu senja di Paris, aku menutup mata pada keajaiban?
Duh, sama sekali tak menyenangkan, Baldini. Biarkan saja
si bodoh ini menyia-nyiakan beberapa tetes sari bunga
mawar dan minyak kesturi. Toh akan kau sia-siakan juga
jika kau masih berminat membajak parfum Pélissier.
Apalah artinya beberapa tetes - walau memang amat sangat
mahal, dibanding peluang mendapatkan pengetahuan dan
kedamaian di hari tua?
“Sekarang, perhatikan!” ujar Baldini dengan suara
ditegas-tegaskan. “Perhatikan baik-baik! Aku... siapa
namamu tadi?”
“Grenouille,” jawab Grenouille, “Jean-Baptiste
Grenouille.”
“Aha, benar,” balas Baldini sok tahu. “Baiklah, sekarang
perhatikan baik-baik, Jean-Baptiste Grenouille! Telah
kupertimbangkan masak‐masak. Kuberi kau kesempatan,
sekarang, detik ini juga, untuk membuktikan ucapanmu.
Kegagalanmu nanti juga akan menjadi pelajaran berharga
agar bersikap rendah hati, yang - walau bisa dimaklumi
mengingat usiamu sekarang, akan menjadi syarat mutlak
bagi kemajuanmu sendiri di masa depan sebagai anggota
perserikatan ahli parfum, sekaligus buat dirimu sendiri
sebagai seorang laki-laki, anggota masyarakat, dan umat
Kristen yang baik. Aku siap mengajari tanpa dipungut
biaya. Entah kenapa aku sedang murah hati...sore ini. Siapa
tahu parfum hasil buatanmu akan berguna buatku kelak.
Tapi jangan kau kira bisa menipu aku. Hidung Giuseppe
Baldini boleh jadi sudah tua, tapi masih cukup tajam untuk
langsung mengenali perbedaan antara buatanmu dengan
parfum aslinya.” Baldini mengeluarkan sapu tangan
beraroma 'Cinta dan jiwa’ dari saku dan mengibaskannya di
depan hidung Grenouille. “Sekarang majulah, wahai pemilik
hidung terbaik di seluruh Paris! Dekati meja dan tunjukkan
kehebatanmu. Tapi hati-hati, jangan menjatuhkan atau
menyenggol apa pun. Jangan sentuh apa-apa dulu. Biar aku
beri penerangan lebih dulu. Kita ingin agar percobaan kecil
ini bisa terlihat dengan jelas, kan?”
Jadilah Baldini memasang dan menyalakan dua batang
lilin di sudut kanan dan kiri di atas meja kerja besar dari
kayu ek itu. Tiga lilin tambahan ia pasang bersisian di
bawah meja, di sudut kanan dan kiri. Ia menyingkirkan
tumpukan kulit kambing, dan mengosongkan bagian tengah
meja. Dengan gerakan cepat dan terlatih ia menyiapkan
peralatan yang dibutuhkan: botol aduk berperut besar,
corong gelas, pipet, gelas pengukur kecil dan besar, lalu
meletakkan semuanya dalam urutan yang benar di atas
meja.
Sementara itu, Grenouille telah beranjak dari ambang
pintu. Bahkan ketika Baldini berpidato panjang lebar, sikap
kaku dan pura‐puranya telah lenyap. Yang ia dengar hanya
persetujuan Baldini, dengan gairah dan kegirangan seorang
anak kecil saat keinginannya diluluskan dan meledek pada
keterbatasan, kondisi, serta kekangan moralitas yang
semula mengekang. Tenang-tenang ia berdiri menunggu
sampai Baldini puas berorasi. Untuk pertama kalinya ia
merasa lebih sebagai manusia ketimbang binatang saat
kelak berhasil mematahkan sikap skeptis orang.
Sementara Baldini sibuk memasang lilin, Grenouille
menyelinap berkeliling di kegelapan laboratorium,
mengamati lemari-lemari berisi bermacam ramuan mahal,
minyak, dan ramuan dalam larutan alkohol - semua
mengikuti tuntunan hidung. Dengan santai ia mengambil
botol-botol yang dibutuhkan. Semua ada sembilan botol:
sari bunga pohon jeruk, minyak limau, sari bunga mawar,
cengkeh, ekstrak melati, bergamot, rosemary, minyak
kesturi, serta balsam storax. Semua diambil dan disiapkan
dengan cepat di pinggir meja. Yang terakhir ia siapkan
adalah sebuah botol besar berleher sempit berisi larutan
alkohol konsentrasi tinggi. Kemudian ia kembali
menempatkan diri di belakang Baldini. Si tua itu masih
asyik menata peralatan racik dengan sikap dibuat-buat
untuk memamerkan keahlian. Memindahkan tabung yang
ini sedikit ke belakang, yang itu sedikit ke pinggir,
sedemikian rupa agar sesuai tatanan tradisi dan tampak
apik di tengah cahaya lilin. Grenouille menunggu tak sabar.
Ingin agar si tua segera menyingkir dan membiarkan ia
bekerja.
“Nah!” akhirnya Baldini berseru sambil menyingkir.
“Sudah kusiapkan semua yang dibutuhkan untuk
eksperimenmu. Jangan pecahkan apa pun, jangan
tumpahkan apa pun. Dan ingat: semua cairan yang akan
kau pakai selama lima menit ke depan adalah barang‐
barang yang sangat mahal dan langka. Tak akan pernah lagi
kau temui mereka dalam wujud konsentrat seperti ini.”
“Berapa banyak yang harus kubuat, Maître?” tanya
Grenouille.
“Membuat apa ... ?” sergah Baldini yang merasa belum
selesai bicara.
“Parfum yang harus kubuat' “ jawab Grenouille serak.
“Anda ingin berapa banyak? Haruskah kupenuhi botol
besar ini sampai ke ujungnya?” Ia menunjuk ke sebuah
botol aduk berukuran minimal satu galon.
“Jangan!” jerit Baldini ngeri - spontan takut
membayangkan betapa mubazirnya bila itu sampai terjadi.
Merasa malu sendiri, ia langsung berkoar lagi, “Dan jangan
memotong kalau aku sedang bicara!” Suaranya berubah
kalem dan ironis saat kemudian bergumam,
“Buat apa segalon parfum yang kita sendiri juga tak
suka? Setengah gelas saja sudah cukup. Tapi karena
memang sulit mengukur sejumlah itu, bolehlah kau mulai
dengan mengisi sampai sepertiga botol.”
“Baiklah,” tukas Grenouille. “Saya akan mengisi sepertiga
botol aduk ini dengan parfum 'Cinta dan jiwa’. Tapi, Maître
Baldini, saya akan melakukannya dengan cara saya sendiri.
Entahlah bagaimana seorang ahli sejati melakukannya, tapi
saya akan coba melakukan ini dengan cara saya sendiri.”
“Sesukamulah,” sergah Baldini. Ia tahu bahwa dalam
bisnis ini tak ada istilah 'caraku’ atau 'caramu’. Hanya ada
satu cara, yaitu dengan mengetahui formula dan
menggunakan kalkulasi yang tepat untuk mencapai
kuantitas yang diinginkan, menciptakan sebuah konsentrat
terukur yang tepat dari berbagai unsur, diuapkan menjadi
parfum dengan cara mencampurkan unsur-unsur tersebut
dalam rasio yang tepat dengan alkohol - biasanya dengan
variasi perbandingan antara 1:10 dan 1:20. Tak ada cara
lain lagi yang ia tahu. Inilah yang hendak ia saksikan
sekarang. Mulanya berbekal kesombongan karena yakin
Grenouille tak akan berhasil, tapi perlahan berubah
menjadi kekagetan, dan akhirnya terheran-heran tak habis
pikir. Bahkan terasa seperti mukjizat. Seluruh detailnya
begitu terpatri dalam ingatan. Tak mungkin terlupa sampai
mati.
Lima Belas
PEMUDA KECIL BERNAMA GRENOUILLE itu pertama-
tama membuka sumbat botol-besar berisi konsentrat
alkohol. Mengangkat botolnya saja ia kesulitan. Harus
mengangkat sampai nyaris ke kepala agar mulut botol
sejajar dengan corong di botol aduk. Buat apa ada gelas
pengukur kalau begini? Baldini bergidik melihat kebodohan
itu. Grenouille menjungkirbalikkan dunia pembuatan
parfum karena memulai proses dengan pelarut, padahal
konsentratnya dulu yang harus dibuat. Selain itu, secara
fisik pun ia nyaris tidak memadai. Tangannya gemetar
mengangkat botol. Baldini menunggu dan menebak-nebak
kapan kiranya botol besar itu selip dan pecah berantakan di
atas meja. Lilin, pikirnya. Ya Tuhan! Ada lilin! Wah, bisa
terjadi kebakaran! Orang ini akan membakar habis
rumahku! Baldini sudah hendak menerjang menurunkan
botol alkohol dari tangan si gila itu, tapi Grenouille ternyata
mampu meletakkannya sendiri baik-baik ke lantai dan
ditutup kembali. Alkohol berkilau tenang dalam botol aduk
tanpa tumpah sedikit pun. Beberapa saat Baldini terengah-
engah, namun dengan wajah lega, seolah bagian terberat
baru saja berlalu. Dan memang demikian. Proses
selanjutnya berlangsung begitu cepat sampai sulit diikuti
mata, apalagi mencatat urutan proses atau memahami
keseluruhan prosedur.
Grenouille seperti mencomot asal-asalan dari deretan
flacon berisi unsur-unsur ramuan, membuka sumbat,
membaui isi flacon sekilas di bawah hidung, memercikkan
sedikit dari satu botol, menuang satu atau dua tetes dari
botol lain, menuang isi botol ketiga ke dalam corong, dan
seterusnya. Grenouille sama sekali tak menyentuh pipet,
tabung uji, gelas pengukur, sendok, atau kayu pengukur
yang tersedia dan biasa dipakai ahli parfum untuk
mengendalikan proses rumit saat pencampuran.
Kelihatannya jadi seperti main-main. Memercik dan
mencampur ramuan demi ramuan seperti anak kecil saat
asyik menggodok rumput dan lumpur dalam rebusan air
yang lalu disebut sebagai sup. Ya, memang persis seperti
anak kecil, pikir Baldini. Meski berlengan panjang
menggantung, wajah rusak dan hidung bulat besar seperti
orang tua, ia tetap seperti anak-anak. Semula Baldini
mengira Grenouille berusia lebih tua, tapi sekarang ia
tampak jauh lebih muda - seperti anak usia tiga atau empat
tahun. Tak beda dengan makhluk-makhluk mungil
pramanusia yang polos, sulit dimengerti, dan seenaknya
sendiri itu. Makhluk-makhluk sok polos yang egois, selalu
ingin membudaki dunia agar tunduk pada keinginan
pribadi mereka. Dan pasti akan begitu kalau dibiarkan
mengejar hasrat megalomaniak tanpa dibatasi aturan dan
prinsip pengajaran yang menuntun ke perilaku disiplin,
pengendalian diri, dan kesejatian seorang manusia. Seperti
ada fanatisme anak kecil yang terperangkap dalam diri
pemuda ini. Berdiri di depan meja dengan mata bersinar,
lupa sekeliling dan segalanya, kecuali diri sendiri dan botol-
botol serta isinya yang ia tuang ke dalam corong dengan
gerakan canggung dan konon akan menghasilkan apa yang
diyakini sepenuh hati sebagai parfum mahal bernama
'Cinta dan Jiwa’. Baldini bergidik melihat Grenouille sibuk
bergerak di tengah cahaya lilin. Begitu absurd tapi juga
sangat percaya diri. Di zaman dulu - demikian ia merenung
dan untuk sejenak merasa begitu sedih, nelangsa, dan
jengkel seperti sore itu saat menatap kota dalam kobaran
matahari senja dari balik jendela. Di zaman dulu, orang
macam Grenouille tidak mungkin ada. Kalaupun ada, maka
terhitung ras manusia baru yang hanya mungkin eksis di
zaman edan seperti sekarang. Tapi sekaranglah saatnya
memberi pelajaran, dasar bocah tak tahu adat! Baldini
hendak mengomelinya habis-habisan seusai percobaan,
sampai si bocah meringkuk seperti bangkai di tempat
sampah! Dasar manusia hina! Seenaknya mencampuri
urusan orang. Dunia benar-benar sudah gila dan dipenuhi
parasit!
Baldini begitu sibuk dengan kejengkelan dan rasa jijik
sampai tak menyadari saat Grenouille menutup kembali
semua flacon, menarik corong dari mulut botol aduk,
mencengkeram. leher botol dengan tangan kanan lalu
mengocok kuat-kuat diimbangi tangan kiri. Saat botol
diputar ke udara beberapa kali, isinya teraduk bolak-balik
seperti limun dari perut sampai ke leher botol, meski tidak
sampai tumpah. Melihat ini, Baldini tak tahan lagi. Ia
menjerit ngeri dan murka, “Hentikan!” lengkingnya. “Sudah
cukup! Hentikan saat ini juga! Haram. jadah! Taruh botol itu
kembali ke meja dan jangan sentuh apa‐apa lagi, kau
mengerti? Jangan sentuh apa pun! Aku pasti sudah gila
sampai mau mendengar ocehanmu. Caramu menangani
semua ini, kekasaranmu dalam bekerja, metode yang
primitif, sudah cukup untuk membuktikan bahwa kau tak
lebih dari seorang penipu! Penipu barbar dan anak kecil
buruk rupa tak tahu diri! Kau tak bisa mencampur limun
atau air manis biasa, apalagi meracik parfum! Bersyukur
dan berterimakasihlah bahwa majikanmu masih
mengizinkanmu bermain‐main dengan larutan penyamak.
Tapi jangan pernah kau ulangi lagi, kau dengar? Jangan
pernah berani-berani menginjakkan kaki di toko parfum
mana pun!”
Demikian Baldini bertitah. Dan sementara ia bicara,
udara sekeliling dipenuhi aroma parfum 'Cinta dan Jiwa’.
Aroma yang memiliki daya persuasif lebih kuat dari kata-
kata, penampilan, emosi, atau kehendak. Daya persuasif
aroma ini tak bisa dibendung. Meresap ke dalam diri
seperti udara yang merayapi paru-paru saat bernapas
mengisi dan mengilhami seluruh keberadaan. Benar-benar
tak bisa ditangkal.
Grenouille meletakkan botol ke atas meja, menyeka
tangan serta lehernya yang basah oleh parfum dengan
ujung baju. Mundur satu dua langkah ke belakang.
Kekagokan gerak tubuhnya saat membungkuk dari hujan
cercaan Baldini sudah lebih dari cukup untuk menebar
aroma yang baru saja tercipta ke segala arah. Begitu saja,
tak butuh apa-apa lagi. Baldini memang masih terus
meledak dan mencaci‐maki, namun keraguan terasa makin
kuat di setiap tarikan napasnya. Sadar bahwa ia baru saja
terbantah dengan telak dan makna kata‐katanya makin
kosong. Saat akhirnya Baldini terdiam, ia terdiam cukup
lama. Tak butuh kata “Sudah selesai” sebagai penegas dari
Grenouille untuk menyadari bahwa parfum itu memang
sudah tercipta dengan baik dan sempurna.
Namun, meski sekujur tubuh dikabuti aroma 'Cinta dan
Jiwa' yang begitu jelas, ia tetap menyeret langkah ke arah
meja untuk menguji lebih jauh. Selembar sapu tangan
bersih ia ambil dari saku baju sebelah kiri, dilipat dan
diperciki beberapa tetes dari botol aduk dengan pipet
panjang. Ia angin-anginkan sapu tangan dengan lengan
terjulur lalu ditarik sekilas ke bawah hidung dengan
gerakan terlatih. Baldini menghirup napas dan
mengeluarkan perlahan dalam desahan terputus‐putus,
perlahan-lahan sampai tak ada lagi udara tersisa di paru-
paru.
Baldini terhenyak di bangku kerja. Jika tadi wajahnya
memerah murka, kini pucat pasi.
“Luar biasa,” gumamnya perlahan. “Demi Tuhan,
sungguh luar biasa.” Ia menekan sapu tangan itu ke hidung
berkali-kali, mengendus dan menggelengkan kepala sambil
tak putus mengucap, “Luar biasa...” Tak diragukan lagi
bahwa aroma ini memang aroma parfum 'Cinta dan Jiwa’.
Begitu persis disalin sampai Missier sendiri tak akan
sanggup membedakannya dengan karyanya sendiri. “Luar
biasa....”
Merasa diri begitu kecil dan malu, sang Baldini tak
beranjak dari bangku. Tampak konyol menggenggam sapu
tangan, menekannya ke hidung berkali-kali seperti babu
tua yang tersedu sedan. Saat ini ia tak bisa bicara apa-apa
lagi. Menggumam “Luar biasa' pun tidak, selain
mengangguk-angguk lembut dan menatap nanar ke dalam
isi botol Aduk. Bibirnya bergumam monoton, “Hmm, hmm,
hmm.... hmm, hmm, hmm... hmm, hmm, hmm....”
Beberapa saat kemudian, Grenouille mendekat ke meja
tanpa suara, seperti bayangan.
“Parfum ini jelek,” ia berkata. “Racikannya masih belum
sempurna.”
“Hmm, hmm, hmm….”, jawab Baldini.
Grenouille berkata lagi, “Jika diizinkan, Maître, saya akan
membuatnya jadi lebih baik. Beri waktu satu menit dan
akan saya buat parfum yang lebih pantas.”
“Hmm, hmm, hmm..., jawab Baldini sambil mengangguk.
Bukan maksud merestui, tapi karena ia begitu kaget dan tak
berdaya sampai hanya sanggup menggumam. “Hmm, hmm,
hmm, dan mengangguk. Ia menyingkir sambil terus begitu.
Sama sekali tak berusaha merintangi Grenouille yang mulai
meracik untuk kedua kalinya: menuang alkohol dari botol
besar ke botol aduk di atas meja (persis di atas parfum
yang sudah jadi tadi), menuangkan kembali kandungan
flacon demi flacon tanpa urutan dan kuantitas pasti ke
dalam corong. Tapi di akhir prosedur, Grenouille tidak
mengocok botol tapi diputar lembut seperti orang
mengaduk segelas brendi. Entah lantaran mengingat
kehalusan cara dan teguran Baldini, atau mungkin karena
isinya terasa lebih berharga kali ini. Saat itulah, saat cairan
tengah diputar-putar lembut dalam botol, Baldini sadar
dari keterkejutan dan berdiri. Sapu tangan masih ditekan
ke hidung seperti berjaga dari serangan baru.
“Sudah selesail Maître,” Grenouille berkata. “Sekarang
barulah aromanya benar-benar sempurna.”
“Ya, ya, baiklah,” jawab Baldini sambil mengibas
mengusir dengan tangan.
“Tak ingin diuji dulu?” desak Grenouille. “Tak inginkah
Anda mengujinya, Maître? Maukah?”
“Nanti saja. Aku sedang tak bernafsu mengujinya
sekarang. Aku... sedang teringat akan hal lain. Sekarang
pergilah! Ayo!”
Baldini menyambar sebatang lilin dan bergegas menuju
pintu. Grenouille mengikuti. Kembali menyusuri koridor
sempit menuju pintu belakang. Baldini membuka gerendel
dan membuka pintu, lalu menepi untuk memberi jalan pada
Grenouille.
“Bolehkah. aku bekerja untuk Anda, Maître? Bolehkah?”
tanya Grenouille. Berdiri di ambang pintu sambil kembali
memasang pose membungkuk, kembali dengan mata
mengintai.
“Aku tak tahu,” jawab Baldini. “Akan kupikirkan.
Sekarang pulanglah.”
Detik berikutnya Grenouille menghilang di kegelapan
malam. Baldini berdiri nanar memandang malam. Tangan
kanan memegang lilin dan tangan kiri menggenggam sapu
tangan, seperti orang mimisan. Tubuhnya menggigil takut.
Segera ia masuk dan mengunci pintu. Sapu tangan ia
selipkan ke saku sambil berjalan kembali ke laboratorium.
Aroma baru ini begitu sempurna sampai Baldini terharu
dan menangis. Ia tak butuh menguji lebih jauh. Cukup
berdiri di pinggir meja di depan botol aduk, lalu bernapas.
Begitu agung dan luar biasa. Serupa simfoni 'Cinta dan jiwa’
yang asli sekaligus gesekan biola kesepian. Bahkan lebih.
Baldini berpejam mata memandang kilasan memori yang
berkelebat dan terbangkitkan oleh parfum itu. Ia melihat
sosoknya sebagai seorang pemuda yang tengah melewati
sebuah taman saat senja di kota Naples, kilasan lain saat
terbaring di pelukan seorang wanita berambut hitam
keriting, serta siluet buket mawar di tepi jendela saat
malam makin meninggi. Ia mendengar nyanyian burung
dan musik lamat-lamat dari bar-bar di pelabuhan,
menyimak bisikan di telinga - selarik kata, “Aku
mencintaimu,” dan betapa tengkuknya meremang bahagia.
Semua kenangan yang seolah terjadi saat ini juga! Persis
sekarang ini! Baldini memaksa diri membuka mata dan
melenguh senang. Parfum ini tidak sepertti parfum mana
pun yang pernah dibuat. Bukan aroma yang membuat hal-
hal tercium lebih baik. Tidak seperti bedak wangi atau
perlengkapan kamar mandi. Ini benar‐benar baru dan
mampu menciptakan dunia yang utuh - dunia yang ajaib
dan begitu kaya. Seketika itu mampu membuatmu lupa
akan segala keburukan dunia dan merasa begitu kaya,
begitu ringan, bebas dan nyaman....
Bulu kuduk dan rambut halus di lengan Baldini yang
semula meremang kini kembali normal, bersama dengan
debur kedamaian merengkuh sukma. Tangannya meraup
kulit kambing di pinggir meja, sebuah pisau, lalu mulai
merapikan kulit itu agar layak dipakai. Setelah itu ia
letakkan dalam baskom kaca dan menuang parfum buatan
Grenouille ke atasnya. Sebentang kaca tebal ia tutupkan di
atas baskom, lalu beranjak menuang sisa parfum ke dua
botol kecil, memberi kertas label dan menuliskan kata 'Nuit
Napolitaine'. Kemudian meniup lilin dan pergi.
Setiba di lantai atas, ia tak berkata apa pun pada istrinya
selagi mereka makan. Terutama sekali ia tidak
menyinggung soal putusan besar yang telah diambil sore
tadi. Sang istri ikut membisu, melihat bahwa suasana hati
suaminya sedang baik, dan itu sudah lebih dari cukup.
Baldini juga tidak menuruti kebiasaan berjalan berkeliling
Notre-Dame untuk bersyukur pada Tuhan atas berkah
kekuatan dan keteguhan karakter yang kini dirasakan.
Bahkan untuk pertama kalinya dalam hidup, sepanjang
malam itu ia lupa berdoa.
Enam Belas
PAGI-PAGI SEKALI BALDINI langsung pergi ke tempat
Grimal. Pertama‐tama ia membayar pesanan kulit kambing
dengan harga penuh tanpa mengeluh atau menawar
macam-macam. Lalu ia menjamu Grimal di Tour d’Argent
dengan sebotol arak putih untuk menegosiasikan perihal
Grenouille. Bisa dipastikan Baldini tak akan mengungkap
'mengapa’ ia menginginkan pemindahan kepemilikan ini.
Alih-alih berterus terang, ia mendongeng bahwa mendadak
ia kebanjiran pesanan bahan kulit berparfum dan untuk itu
ia butuh pekerja tidak berpengalaman. Dikatakan bahwa ia
butuh pemuda yang tak banyak menuntut, bersedia
mengerjakan tugas-tugas mudah seperti memotong kulit
dan sejenisnya. Baldini memesan sebotol arak lagi sembari
menawar 25 livre sebagai biaya kompensasi transfer.
Zaman itu uang 25 livre sangat besar. Grimal langsung
menyambut. Berdua mereka berjalan ke penyamakan, di
mana ‐ anehnya, Grenouille telah menunggu dengan buntel
sederhana yang sudah lengkap terkemas. Baldini
membayar 25 livre dan langsung membawa Grenouille
pergi. Benaknya sadar bahwa ia baru saja membuat
transaksi terbesar sepanjang hidup.
Grimal juga berpikiran sama. Ia kembali ke Tour
d’Argent untuk minum dua botol arak putih lagi, lalu
pindah ke Lion d’Or di seberang sungai menjelang siang.
Begitu mabuknya ia, sampai-sampai ketika memutuskan
untuk kembali ke Tour d’Argent tengah malam itu, ia salah
mengambil jalan ke jalan Nonanindieres yang ia sangka
sebagai jalan Geoffroi L’Anier. Walhasil, saat mengira telah
keluar di ujung jalan Pont-Marie, ia malah jatuh ke sungai
Quai des Ormes. Grimal jatuh tercebur dengan wajah lebih
dulu dan langsung tewas tenggelam. Perlu beberapa waktu
sampai sungai menyeretnya keluar dari kedalaman,
melewati tambatan kapal-kapal tongkang ke aliran arus
utama, mengapungkan mayatnya saat fajar, mengambang
ke arah barat.
Tubuh itu mengapung tanpa suara melewati Pont au
Change tanpa terantuk tiang-tiang dermaga, persis enam
puluh kaki di bawah Jean‐Baptiste Grenouille yang hendak
menjelang tidur. Sebuah dipan telah disiapkan di sudut
belakang laboratorium Baldini. Mulut Grenouille
menyeringai puas sementara mantan majikannya
mengambang tak bernapas di sungai Seine yang dingin. Ia
menggulung diri di dipan seperti kutu menjelang hibernasi.
Saat lelap, jiwanya melayang makin dalam ke diri sendiri,
membuncahkan perasaan kemenangan sampai ke tembok
benteng sanubari dan imajinasi, di mana ia melayang dalam
mimpi jamuan pesta yang sarat wewangian - sebuah pesta
raksasa gila‐gilaan dengan awan-awan parfum dan kabut
dupa, seluruhnya digelar atas nama keagungan pribadi.
Tujuh Belas
DEMIKIANLAH, DENGAN KEHADiRAN GRENOUILLE,
ketenaran Rumah Parfum Giuseppe Baldini mulai menanjak
ke tingkat nasional, bahkan sampai ke seluruh Eropa. Bel
Persia di atas pintu nyaris tak pernah berhenti berdenting,
begitu pun aksi tebaran wewangian patung burung bangau
penyambut tamu - pendek kata, mendadak kondisi
bisnisnya berbalik 180 derajat.
Menjelang malam di hari pertama Grenouille bekerja, ia
harus bekerja keras menyiapkan sebotol besar 'Nuit
Napolitaine' yang langsung ludes terjual delapan puluh
flacon keesokan harinya. Ketenaran aromanya menyebar
seperti kobaran api. Mata Chénier sampai basah
menghitung uang dan punggungnya sakit lantaran terlalu
sering membungkuk hormat setiap kali transaksi. Soalnya
bukan apa‐apa - hanya orang-orang dari kalangan
terhormat atau setidaknya pelayan kalangan terhormatlah
yang datang berkunjung. Pernah suatu hari pintu toko
terhempas begitu keras sampai bergetar. Setelah itu
masuklah pesuruh Count d'Argenson seraya berteriak-
karena ‐ memang begitu kebiasaan seorang pesuruh -
bahwa ia ingin lima botol parfum baru ini. Chénier masih
belum habis kaget ketika lima belas menit kemudian Count
d’Argenson muncul sendiri di ambang pintu. Bagaimana
tidak kaget? Count d’Argenson adalah orang kepercayaan
sang Raja - seorang penasihat perang dan tokoh terkuat di
Paris.
Sementara Chénier berjuang menghadapi serbuan
pelanggan, Baldini menutup diri di laboratorium bersama
murid baru kesayangannya. Kepada Chénier ia
membualkan situasi baru ini dengan teori fantastis yang ia
sebut sebagai 'pendelegasian kerja demi peningkatan
produktivitas'. Selama bertahun-tahun, demikian tuturnya,
ia sengaja diam mengamati dengan sabar sementara
Missier dan pecundang lain mencuri para pelanggan serta
meruntuhkan bisnisnya. Kesabaran itu kini telah sampai
batasnya. Baldini menerima tantangan dan menyerang
balik dengan senjata mereka sendiri. Setiap musim, setiap
bulan ‐ bahkan kalau perlu setiap minggu, ia akan
menghajar dengan sebuah parfum baru. Dan bukan
sembarang parfum! Baldini akan mengerahkan seluruh
bakat kreatifnya. Karena itu ia butuh bantuan asisten yang
belum berpengalaman. Seseorang yang diserahi tugas
khusus menangani dan bertanggung jawab terhadap
produksi parfum, sementara Chénier harus berkonsentrasi
pada penjualan. Dengan metode modern ini mereka akan
membuka lembaran baru dalam sejarah industri parfum,
menyingkirkan para pesaing, dan tumbuh menjadi besar
serta kaya raya tanpa dapat ditahan siapa pun. Ya, dengan
sadar dan secara eksplisit ia menyebut kata 'Mereka’
karena ia berniat berbagi keuntungan dengan Chénier,
rekan pembantu yang telah begitu lama bekerja untuknya.
Kalau saja Baldini tahu bahwa beberapa hari lalu
Chénier akan menganggap ocehan seperti ini sebagai bukti
kuat gejala kepikunan sang majikan. “Bersiap-siaplah jatuh
miskin,” demikian ia berpikir, “tak akan lama lagi sebelum
akhirnya si tua bangka itu bangkrut.” Tapi sekarang ia tak
mampu berpikir apa-apa lagi. Benaknya bisu dengan
segunung tugas yang harus dilakukan. Begitu sibuknya
sampai terkapar kelelahan setiap sore dan nyaris tak
sanggup mengosongkan kas serta mengutip upah
bagiannya. Dalam mimpi yang paling liar sekalipun ia tak
pernah membayangkan situasi akan terus menanjak seperti
ini, walau menyaksikan sendiri betapa Baldini keluar dari
laboratorium setiap hari dengan sedikitnya tiga jenis
parfum baru.
Aroma parfum-parfum itu juga bukan main-main. Dan
tidak hanya parfum, Baldini hadir dengan sederet krim,
bedak, sabun, tonik rambut, eau de toilette, segala macam
minyak... pokoknya nyaris semua lini produksi kini berbau
wangi segar, orisinal, berbeda, dan setiap kali bahkan
terasa lebib baik. Seolah tersihir, masyarakat terus
memburu produk baru apa saja yang keluar dari toko
Baldini. Benar-benar apa saja, bahkan sampai ke pita
rambut berparfum yang dibuat Baldini kala iseng. Harga
tak pernah jadi masalah. Apa pun produk keluaran Baldini
selalu jadi hit. Kesuksesan ini begitu dahsyat sampai
Chénier rela menerimanya sebagai fenomena biasa dan
tidak lagi mengusik mempertanyakan sebab. Pikirnya,
mungkin berhubungan dengan orang baru yang aneh itu, si
cebol kaku yang selalu mengunci diri seperti anjing di
laboratorium dan kadang terlihat saat Baldini keluar
ruangan, berdiri di latar belakang sedang mengelap gelas
dan membersihkan adukan - mungkinkah makhluk
misterius ini punya andil dalam kesuksesan bisnis mereka?
Rasanya Chénier tak akan percaya kalau tidak diceritakan
sendiri oleh Baldini.
Kita tahu yang sesungguhnya bahwa si cebol Grenouille
memang sumber segala keajaiban ini. Semua yang dipajang
Baldini di rak toko dan dipasarkan oleh Chénier baru
seujung kuku dari yang diciptakan oleh Grenouille di balik
pintu laboratorium yang tertutup. Hidung Baldini tak bisa
cukup cepat mengimbangi kemampuan Grenouille. Ada
kalanya ia merasa begitu tersiksa karena terpaksa harus
memilih di antara sekian banyak ciptaan Grenouille yang
semuanya begitu baik dan sempurna. Penyihir kecil itu
mampu memetakan resep untuk seluruh parfum yang ada
di Prancis tanpa sekalipun mengulang resep yang sama dua
kali, dan tanpa sekalipun menghasilkan produk berkualitas
jelek atau bahkan menengah. Lebih jauh kalau mau jujur,
Baldini tak bisa meresepkan atau memformulasikan setiap
produk itu sekaligus, karena Grenouille masih selalu
mengomposisikan parfum dengan cara yang kacau dan
tidak profesional seperti saat pertama Baldini mengenalnya
malam itu. Ia masih selalu mencampur ramuan sesuka hati
dan tanpa aturan. Tak tahan melihat semua ini, tapi dengan
harapan untuk bisa memahami barang sedikit, suatu hari
Baldini menuntut agar Grenouille mau menggunakan skala,
gelas pengukur, dan pipet saat mempersiapkan campuran,
pun walau Grenouille merasa tak perlu begitu. Ia juga
menuntut Grenouille membiasakan diri untuk tidak
menganggap alkohol sebagai salah satu bahan ramuan, tapi
sebagai pelarut yang harus ditambahkan di akhir
percobaan. Dan demi Tuhan! Yang terpenting, Baldini
menuntut agar semua dilakukan lebih perlahan-dengan
tahapan dan urutan yang lebih bisa dicermati dan
dipahami, sebagaimana lazimnya seniman.
Grenouille menurut. Saat itulah untuk pertama kali
Baldini mampu mengikuti dan mendokumentasikan setiap
manuver individual penyihir ini. Berbekal kertas dan pena,
sambil terus mengingatkan agar bekerja lebih pelan, ia
duduk di samping si pemuda dan mencatat berapa ons
bahan yang ini, berapa gram yang itu, berapa tetes yang
dimasukkan ke botol aduk, dan seterusnya. Metode ini
amat detail dalam menganalisis prosedur; melibatkan
prinsip-prinsip yang bila diabaikan akan menghambat
prosedur itu. Setelah selesai mendokumentasikan setiap
prosedur ke dalam buku dan menyimpannya dengan aman,
Baldini merasa yakin bahwa semua kini jadi miliknya
seorang.
Bagaimanapun, Grenouille juga mengambil hikmah dan
manfaat dari prosedur disiplin terapan Baldini. Meski pada
dasarnya ia tak pernah hanya mengandalkan semua itu.
Grenouille tak pernah sampai harus melongok sebuah
formula tertentu untuk membuat parfum yang sama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian karena
hidungnya tak pernah melupakan aroma. Tapi dengan
membiasakan diri menggunakan gelas pengukur dan skala,
ia memelajari bahasa khusus dunia pembuatan parfum.
Instingnya berkata bahwa pengetahuan ini akan berguna
kelak. Setelah beberapa minggu, Grenouille telah
menguasai tidak hanya nama seluruh aroma yang ada di
laboratorium Baldini, tapi juga mampu mencatat formula
parfumnya sendiri. Atau sebaliknya, ia juga mampu
memodifikasi formula dan instruksi orang lain menjadi
parfum dan/atau produk beraroma lain. Tidak hanya itu!
Sekali ia menguasai bagaimana mengekspresikan gagasan
dalam bahasa pipet dan skala, ia bahkan tak butuh lagi
perantaraan eksperimen. Setiap kali Baldini menyuruh
membuat parfum baru, baik untuk kolonye atau apa saja,
Grenouille tak lagi meraih flacon dan bubuk ramuan. Ia
langsung duduk di depan meja dan menulis formulanya
saat itu juga. Grenouille belajar menuangkan catatan
mentalnya tentang aroma menjadi sebuah parfum jadi
dengan cara menuliskan formulanya. Buat dia hal ini
sekadar jalan memutar saja, tapi di mata dunia-khususnya
Baldini, ini suatu kemajuan. Mukjizat Grenouille tidak
berubah, namun formulasi tertulisnya kini sedikit banyak
menyingkirkan ketakutan yang dirasakan pengamat, dan
inilah yang terbaik. Setidaknya ini baik buat kewarasan
banyak pihak. Makin Grenouille menguasai teknik dan seni
pembuatan parfum, ia makin mampu mengekspresikan diri
dalam bahasa konvensional dunia pembuat parfum,
sekaligus mengurangi rasa takut dan kecurigaan Baldini.
Walau masih menganggap Grenouille sebagai orang dengan
bakat dan penciuman luar biasa, Baldini tak lagi
menyamakannya dengan Frangipani atau penyihir aneh.
Grenouille merasa hal ini lebih baik. Peraturan dan disiplin
seni bisa ia fungsikan sebagai samaran. Kini nyaris setiap
kali ia meninabobokan Baldini dengan prosedur yang
benar. Mengukur berat ramuan, memutar-mutar botol
aduk, meneteskan parfum ke sapu tangan sebagai bahan
penguji. Grenouille kini sudah sama elegan dan ahlinya
dengan Baldini dalam hal membaui sapu tangan berparfum
di bawah hidung. Kadang dari waktu ke waktu, dengan
interval yang diatur baik, ia sengaja membuat kesalahan
yang bisa ditangkap Baldini, seperti lupa menyaring
ramuan, salah menentukan skala, salah mencampurkan
persentase larutan ambergris ke dalam formula, dan
sebagainya. Dengan penuh perhatian ia menerima omelan
Baldini dan memperbaiki dengan patuh. Dengan cara ini ia
menenangkan dan menyeret Baldini ke dalam ilusi bahwa
'semuanya wajar-wajar saja’. Toh dari awal Grenouille
memang tak berniat mencurangi Baldini. Ia sungguh-
sungguh ingin belajar. Bukan bagaimana mencampur
ramuan, mengomposisi aroma, atau sejenisnya. Soal itu ia
sudah lebih mafhum dari siapa pun. Baginya, seluruh bahan
yang ada di toko Baldini belum cukup untuk menciptakan
parfum yang sesungguhnya. Parfum yang dibuat selama ini
hanya main-main bila dibandingkan dengan apa yang
tersimpan dalam pikirannya - dan pasti akan ia buat suatu
hari nanti. Untuk mencapai hal ini, Grenouille sadar bahwa
ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pertama
adalah jubah status dan kehormatan kalangan menengah
ke atas ‐ setidaknya status sebagai murid utama di bisnis
ini. Dari sini barulah ia bisa memuaskan gelora sejati atas
bakatnya dan mewujudkan mimpi tanpa terhalang siapa
pun. Yang kedua adalah pengetahuan tentang seni
membuat parfum itu sendiri - bagaimana memproduksi,
mengisolasi, memekatkan, mengawetkan, dan
menyalurkannya ke pelanggan kalangan atas. Grenouille
boleh jadi memiliki hidung terbaik di dunia, baik secara
analitis maupun visi, tapi pada saat ini ia belum memiliki
kemampuan mewujudkan parfum yang sesungguhnya.
Delapan Belas
GRENOUILLE DENGAN SUKACITA memelajari seni
membuat sabun dari lemak babi, menjahit sarung tangan
kulit kambing, meracik bedak dari tepung terigu, kulit padi,
dan almond, serta menumbuk akar bunga violet. Ia juga
belajar membuat lilin wangi dari arang, potasium nitrat,
dan potongan kayu cendana; membuat pastiles oriental
tumbuk dari getah dupa dan bubuk kayu; mengubah
remasan getah olibanum, lak, vetiver, dan kayu manis
menjadi bola harum; mengayak dan mengaduk poudre
impériale dari tumbukan kelopak mawar, lavender, dan
kulit pohon casearilla. Ia juga belajar bagaimana mengaduk
perona wajah berwarna putih dan biru halus, mencetak
batangan-batangan gincu, membuat cat kuku terbaik serta
pasta gigi rasa mint, mengaduk cairan penggulung rambut
palsu untuk laki-laki, pemutih untuk menghilangkan bintik
kulit, dan ekstrak nightshade untuk mata, Spanish fly nntuk
pria-pria ningrat dan cuka apel higienis untuk para
wanitanya.... Pokoknya Grenouille belajar membuat segala
macam produk wewangian mulai dari bedak, perlengkapan
kamar mandi, sampai peralatan kecantikan, plus ramuan
teh dan jejamuan, minuman keras, marinade, dan
sejenisnya. Semua dipelajari dengan sabar, tanpa niat
macam-macam, tanpa mengeluh, dan semua sukses.
Seluruh ilmu tradisional Baldini diserap dengan mudah
tanpa kesulitan.
Momen favorit Grenouille dalam proses pembelajaran
ini adalah setiap kali Baldini mengajari bagaimana
membuat larutan ramuan dalam alkohol, ekstrak, dan sari
ramuan. Tanpa kenal lelah ia menggerus biji almond pahit
dalam bejana peremuk, menumbuk kesturi, mencincang
ambergris yang berminyak dengan pisau jagal, memarut
akar bunga violet dan memeras hasilnya dalam larutan
alkohol terbaik. Ia belajar bagaimana memakai corong
pemisah untuk mengambil sari minyak dari lemon tumbuk
dan ampas susu, mengeringkan jejamuan dan bebungaan di
tempat hangat serta terhalang dari sinar matahari, dan
bagaimana mengawetkan dedaunan dalam tempayan dan
peti bertutup lilin. Ia belajar seni membilas pomade dan
bagaimana memproduksi, menyaring, memekatkan,
menjemihkan, dan memurnikan penggabungan ramuan.
Sejujurnya, laboratoriurn Baldini bukanlah tempat yang
tepat untuk membuat minyak bunga. atau tetumbuhan
dalam skala besar. Kota Paris tak cukup mampu memasok
kuantitas bunga segar sebanyak itu. Namun dari waktu ke
waktu, saat kebetulan beroleh rosemary murah dan segar,
daun sage, mint, atau biji minyak adas dari pasar atau saat
menerima kiriman akar bunga valerian, jintan, pala, atau
cengkeh kering, mulailah sang alkemis Baldini beraksi.
Tabung penyulingan ukuran besar segera dikeluarkan,
bersama dengan alat penyuling dari tembaga, di atasnya
ada kepala tambat untuk mengondensasikan cairan.
Dengan bangga ia mengumumkan alat yang sudah empat
puluh tahun ia pakai untuk menyuling bunga lavender
secara langsung dari tempatnya di dataran terbuka Liguria
Selatan dan puncak-puncak Luberon. Sementara Grenouille
memilah-milah apa yang hendak disuling, Baldini sibuk
mondar-mandir memanaskan tungku beralas batu bata -
karena kecepatan adalah inti dari prosedur ini, lalu
memasukkan apa yang sudah disiapkan Grenouille ke
sebuah ketel tembaga, yang diisi sedikit air hingga
menutupi dasarnya. Beragam tanaman yang sudah
dicincang ia masukkan, lalu dengan sigap menyumbat tutup
tabung dan menghubungkannya dengan dua buah selang
agar air bisa keluar masuk dengan bebas. Mekanisme
pendinginan air yang cerdik ini, demikian Baldini
menjelaskan, adalah temuannya sendiri saat bekerja di
lapangan. Kemudian ia mulai meniup api tungku.
Perlahan-lahan ketel mulai mendidih. Dan setelah
beberapa waktu, hasil sulingan mulai merembes keluar dari
kepala tambat, mengalir ke sebuah botol Florentine yang
telah disiapkan di bawah. Awalnya menetes lambat-lambat,
lalu mengalir deras. Tampilannya tampak biasa saja, seperti
lapisan sup kelam. yang tipis. Namun sedikit demi sedikit -
apalagi setelah botol pertama diganti dengan yang kedua,
godokan itu mulai terbagi menjadi dua: di bagian bawah
adalah cairan bunga atau tetumbuhan, dan di bagian atas
mengambang lapisan minyak yang tebal. Jika cairan itu -
yang beraroma sangat tipis ‐ dikeluarkan dengan hati-hati
melalui cerat bagian bawah botol Florentine, yang tinggal
adalah minyak murni - inilah esensinya, sari pati aroma
yang diperas dari tanaman.
Grenouille terpana kagum melihat proses ini. Sangat
sedikit dalam hidup ini yang mampu menyulut
antusiasmenya. Itu pun tak terlihat di wajah - kegembiraan
yang menyala dalam kobaran beku. Namun demikianlah
kini yang ia rasakan saat melihat prosedur penyulingan
memanfaatkan elemen api, air, dan uap, dengan peralatan
sederhana namun cerdik untuk menangkap sari pati atau
jiwa sebuah materi. Jiwa beraroma, minyak tak terlihat
yang kini ada dalam botol Florentine itu adalah yang
terbaik dari sebuah materi. Satu-satunya hal di dunia ini
yang mampu menarik hati Grenouifle. Sisanya - kelopak
bunga, daun, kulit, warna, keindahan, vitalitas, dan kualiras
lain sama sekali tak masuk hitungan. Sama sekali tidak
menarik. Tak lebih dari sekadar sekam yang harus
disingkirkan.
Selang beberapa waktu, saat hasil sulingan mengembun
dan menjernih, barulah tabung penyulingan itu diangkat
dari api, dibuka dan dibuang endapan kotorannya. Tampak
lunak dan pucat seperti jerami basah, seperti tulang burung
kecil yang putih, seperti sayuran yang direbus terlalu lama,
terasa hambar dan berserabut, seempuk bubur dan sulit
dikenali asalnya, pucat pasi dan nyaris tidak berbau.
Endapan atau ampas itu lalu dibuang ke luar jendela, ke
arah sungai. Baldini dan Grenouille kemudian memasukkan
tanaman baru ke dalam tabung penyulingan, memasukkan
air, dan ditaruh lagi di atas tungku. Kembali ketel itu mulai
mendidih dan kembali darah kehidupan tanaman di
dalamnya menetes ke botol Florentine. Ini kerap berlanjut
sepanjang malam. Baldini memandangi tungku sementara
Grenouille mengawasi botol. Tak ada yang bisa dilakukan
selain menunggu sampai siklus berikutnya.
Mereka duduk di pinggir tungku, seolah tersihir
menunggui ramuan mendidih. Namun lamunan keduanya
tak sama. Baldini suka memandangi nyala dan percik bunga
api serta permukaan tembaga yang merah membara. Ia
suka mendengar suara halus kayu terbakar dan gelegak isi
tabung yang mendidih, karena ini mengingatkannya pada
masa lalu. Hanyut dibuai lamunan. Ia mengambil sebotol
anggur dari toko karena panas godokan membuatnya haus,
meminum anggur sama mengingatkannya pada masa lalu.
Lalu mulailah bibirnya berceloteh tentang nostalgia masa
muda, tak berkesudahan. Ia bercerita tentang Perang
Pemberontakan Spanyol, saat partisipasinya melawan
Austria telah turut memberi pengaruh penting dalam
hidup; tentang Camisards - kawan seperjuangan kala
merajalela di Cévennes; tentang putri seorang Huguenot di
Estérel yang lantaran mabuk kepayang dengan parfum
bunga lavender lalu mengabulkan permintaannya; tentang
bagaimana ia nyaris mengakibatkan kebakaran hutan dan
memusnahkan seluruh daerah tersebut kalau saja tidak ada
mistral - angin utara yang bertiup kuat di Prancis selama
musim dingin; plus berulang-ulang kisah basi tentang
bagaimana ia menyuling parfum di tanah terbuka saat
malam, di bawah terang bulan, berteman anggur dan suara
tokek serta derik jangkrik; juga tentang minyak lavender
ciptaannya - minyak parfum yang begitu kuat dan murni
sampai bisa ditimbang seharga perak; tentang tahun-tahun
pembelajarannya di Genoa, tahun-tahun pengabdiannya
sebagai seorang ahli di kota Grasse, di mana jumlah ahli
parfum sama banyak dengan pembuat sepatu - beberapa
ada yang sangat kaya sampai bisa hidup seperti pangeran,
tinggal di rumah-rumah besar dengan taman dan teras
serta ruangan-ruangan makan berdekor mewah tempat
mereka berpesta dengan peralatan makan dari porselen
dan emas, bla... bla.... bla....
Macam itulah dongeng Baldini sambil minum anggur.
Pipinya makin merona oleh anggur, panas tungku, dan
antusiasme kisahnya sendiri.
Grenouille duduk memojok di balik bayang-bayang
tanpa menyimak sama sekali. Ia tak peduli segala macam
cerita lama. Ia hanya peduli satu hal: proses baru ini.
Matanya nyalang tak berkedip menatap puncak tabung-
tempat di mana rembesan sulingan mengalir keluar. Dan
saat menatap ia membayangkan diri sendiri sebagai isi
tabung itu, mendidih dan merembes keluar sebagai
sulingan, tapi dalam bentuk yang lebih baik, lebih baru dan
tak dikenal dari sekian tanaman eksotis yang ia tanam
dalam batin. Bermekaran membentuk buket‐buket bunga
yang tak dikenal siapa pun selain dirinya sendiri, dan
dengan aroma unik yang tercipta ia mengubah dunia
menjadi Taman Surga yang harum mewangi, di mana hidup
terasa lebih indah dan nyaman ditinggali - tentu saja dalam
kaitannya dengan penciuman. Sebagai tabung penyulingan
raksasa, ia akan membanjiri dunia dengan berbagai hasil
sulingan ciptaannya. Demikianlah lamunan Grenouille saat
itu.
Baldini yang terbakar anggur masih terus mengocehkan
nostalgia yang makin lama makin dahsyat dan terjerat
dalam semangatnya sendiri. Sementara itu, Grenouille
memutuskan untuk berhenti mengkhayal. Saat itu ia hapus
sama sekali lamunan menjadi tabung penyulingan raksasa
dan mulai mernikirkan bagaimana cara memanfaatkan
pengetahuan baru ini untuk tujuan yang lebih nyata....
Sembilan Belas
TAK MAKAN WAKTU LAMA sampai Grenouille menjadi
ahli penyulingan. Ia menemukan - dengan hidung yang jauh
lebih membantu ketimbang segudang peraturan Baldini -
bahwa panas api memegang peranan penting dalam
menentukan kualitas hasil sulingan. Setiap tanaman, setiap
bunga, setiap jenis kayu, dan setiap minyak perasan biji
menuntut prosedur penggodokan tersendiri. Kadang harus
sangat panas, kadang sedang, dan untuk bebungaan apinya
harus sekecil mungkin.
Persiapan lain juga begitu. Mint dan lavender bisa
disuling berkelompok. Yang lain ada yang harus disisihkan
dengan hati-hati terlebih dahulu, dipetik, dipotong, digerus,
ditumbuk, atau bahkan dibuat menjadi bubur sebelum
ditaruh dalam ketel. Sialnya, ada banyak hal yang tak bisa
disuling sama sekali. Ini membuat Grenouille sebal.
Melihat betapa Grenouille makin mahir menangani
perangkat kimia, Baldini bersedia membebaskannya
berkreasi dengan tabung penyulingan. Jelas sebuah peluang
yang tidak disia-siakan begitu saja oleh Grenouille.
Sementara tetap mengerjakan tugas pembuatan parfum
dan produk wewangian lain di siang hari, malamnya ia
habiskan khusus untuk menguasai seni penyulingan. Ia
berencana menciptakan aroma dasar yang sama sekali
baru, untuk kemudian dikembangkan menjadi beberapa
macam aroma sesuai ingatannya selama ini. Kesuksesan
datang bertahap. Awalnya ia berhasil membuat minyak dari
jelatang dan dari biji seledri, eau de toilette dari batang
elderberry segar dan ranting cemara. Hasil sulingannya
memang nyaris berbeda dengan aroma ramuan asal, tapi
paling tidak masih cukup menarik untuk diteruskan lebih
jauh. Kendati demikian, tetap ada substansi tertentu yang
prosedurnya gagal sama sekali. Misalnya saat Grenouille
mencoba menyuling aroma kaca, lempung, aroma dingin
sebuah kaca yang mulus, pokoknya benda-benda yang tak
bisa diendus hidung manusia normal. Ia telah mencoba
sedikit pada kaca jendela - dan pecahan botol, dan sekarang
ingin mencoba lagi dalam jumlah besar, dalam pecahan-
pecahan yang dibuat sehalus debu ‐ semuanya gagal.
Selanjutnya ia mencoba menyuling kuningan, porselen dan
kulit, kayu, serta kerikil. Tanah juga ia coba suling mentah‐
mentah. Begitu pun darah, kayu, ikan segar, dan rambutnya
sendiri. Di ujung percobaan, ia menyuling air mentah dari
sungai Seine. Aroma uniknya dirasa pantas diabadikan. Ia
yakin bahwa dengan bantuan tabung penyulingan ia
mampu menjarah aroma unik dari benda-benda itu, seperti
yang telah kenyang ia lakukan pada tumbuhan, lavender,
dan biji jintan. Ia tak sadar bahwa penyulingan
sesungguhnya tak lebih dari sekadar proses memisahkan
substansi kompleks menjadi komponen yang mudah
menguap dan yang tak mudah menguap. Ini hanya berguna
dalam seni membuat parfum, karena sari minyak yang
mudah menguap dari tanaman tertentu bisa diekstraksi
atau dipisahkan dari substansi lain yang sedikit atau tidak
memiliki bau. Pada substansi yang kurang atau tidak
memiliki sari minyak, proses penyulingan tentu saja tak
berguna. Buat manusia modern seperti kita hal ini pasti
bisa segera dipahami, tapi dalam kasus Grenouille,
pengetahuan ini didapat secara menyakitkan, setelah
melewati berjam-jam percobaan yang mengecewakan.
Selama berbulan‐bulan ia tetap keras kepala menongkrongi
tabung penyulingan, malam demi malam, mencoba setiap
cara dan teknik menyuling aroma baru yang radikal -
aroma yang tak pernah ada di bumi dalam wujud
konsentrat. Usaha ini tentu saja berbuah kekonyolan. Hasil
terjauh yang didapat selalu minyak tanaman. Sumur
produktivitasnya yang tak terbatas itu terus memompa
usaha tanpa hasil. Hidung ajaib Grenouille justru jadi
penghalang terbesarnya dalam memahami kegagalan.
Saat akhirnya sadar bahwa ia telah gagal, Grenouille
menyudahi percobaan dan jatuh sakit.
Dua Puluh
DEMAM TINGGI MENYERANG GRENOUILLE. Beberapa
hari pertama dibarengi keringat deras, tapi kemudian,
seolah pori-pori kulitnya tak tahan lagi dan mulai
mengeluarkan jerawat serta bisul dalam jumlah tak
terhitung. Banyak yang pecah dan mengeluarkan air tapi
kemudian tumbuh lagi. Ada juga yang tumbuh sampai
matang benar, membengkak tebal dan memerah, lalu
meletus menumpahkan nanah kental serta darah
kekuningan. Dengan segera ratusan borok, bisul, dan nanah
itu membuat Grenouille tampak seperti patung martir yang
ditimpuki dari dalam.
Baldini tentu saja khawatir. Sangat tidak menyenangkan
kehilangan murid berharga di saat ia justru tengah
berencana mengembangkan bisnis lebih jauh. Membuat
cabang-cabang di luar kota dan bahkan sampai keluar
negeri. Pesanan terus meningkat, tidak hanya dari seluruh
Paris, tapi terutama dari negeri-negeri seberang. Ini tentu
saja harus segera diantisipasi dengan membuka cabang
baru. Baldini berniat membuka sebuah pabrik kecil di kota
Saint-Antoine, di mana ia bisa memproduksi parfum-
parfum yang paling cepat dibuat dalam kuantitas besar,
dikemas dalam botol-botol kedl oleh anak-anak perempuan
sebagai buruh, dan segera dikirim ke Belanda, Inggris, dan
Jerman Raya. Usaha begini tak sepenuhnya legal untuk
seorang ahli parfum yang berdiam di Paris, tapi Baldini
baru saja beroleh dukungan dari orang-orang berpengaruh
- bukan hanya dari komisaris perdagangan, tapi juga dari
pihak-pihak pemegang hak waralaba untuk kantor pabean
kota Paris, atau dengan salah seorang anggota Majelis
Keuangan Istana dan promotor pelaksana perdagangan
nasional seperti Monsieur Feydeau de Brou. Tokoh terakhir
ini bahkan menawarkan prospek untuk mendapatkan
paten kerajaan - benar-benar mimpi indah serupa cek
kosong untuk meretas semua batasan sipil dan profesional.
Menjamin kebebasan dan keamanan berbisnis secara
permanen serta kekayaan tak terbayangkan.
Baldini juga menyimpan rencana lain. Rencana favorit
yang berfungsi sebagai rencana tandingan atas rencana
pendirian pabrik di pinggiran kota Saint-Antoine. Barang-
barang dagangan di tempat itu, kelak, walau tidak
diproduksi massal, akan tersedia untuk siapa saja. Tapi
untuk orang-orang tertentu dan klien-kiien dari katangan
atas, ia ingin menciptakan - bahkan sudah dibuat - parfum
pribadi yang hanya cocok untuk masing-masing orang
tersebut, seperti pakaian jadi yang dibuat khusus dengan
parfum tersebut, misalnya, lengkap dengan pengenal dan
sulaman nama pemakai. Ia bisa membayangkan nama‐
nama parfum itu sebagai 'Parfum de la Marquise de Cema’,
'Parfum de la Marechale de Villar’, 'Parfum du Duc
d'Aiguillor’, dan seterusnya. Ia membayangkan 'Parfum de
Madame la Marquise de Pompadour', atau bahkan 'Parfum
de Sa Majeste le Roi' dalam kemasan flacon bertatahkan
batu akik mahal dengan pegangan bersepuh emas dan di
bagian dasarnya, pada tempat tersembunyi, terukir tulisan:
'Giuseppe Baldini, Sang Ahli Parfum’. Nama sang Raja dan
namanya kelak akan tertulis di satu benda yang sama.
Sedemikian tingginya angan-angan dan gagasan Baldini.
Dan sekarang Grenouille jatuh sakit, kendati Grimal -
semoga arwahnya beristirahat dengan tenang - telah
bersumpah bahwa anak itu tidak mengidap penyakit apa
pun, bahwa Grenouille sanggup menghadapi tugas apa pun,
bahkan tak mempan diganyang wabah hitam - wabah pes
abad pertengahan yang membunuh nyaris separo
penduduk Eropa Barat. Tapi nyatanya sekarang ia jatuh
sakit. Sakit berat. Bagaimana kalau sampai meninggal?
Mengerikan! Bisa rusak semua rencana indah mendirikan
pabrik, mengupah buruh-buruh wanita, mendapatkan
paten, dan parfum untuk sang Raja.
Baldini bertekad melakukan apa saja demi nyawa sang
murid. Ia menyuruh Grenouille pindah dari dipan di
laboratorium ke ranjang haru yang bersih di lantai atas.
Kasurnya ia lengkapi dengan kain sutra. Ia bahkan
memapah Grenouille naik tangga dengan tangannya
sendiri, walau jijik pada jerawat dan pecahan bisul. Ia
menyuruh istrinya memanaskan sup kaldu ayam dan
menyiapkan anggur. Ia memanggil dokter paling terkenal di
Paris - seorang bernama Procope yang menuntut dibayar di
muka sejumlah dua puluh franc, bahkan sebelum ia setuju
untuk berkunjung.
Sang dokter datang, mengangkat selimut dengan tangan
terjumput karena jijik, melihat sekilas ke tubuh Grenouille
yang seperti ditembusi ratusan peluru, dan langsung
meninggalkan kamar tanpa sekalipun membuka tas medis
yang dibawa oleh seorang asisten. Kepada Baldini sudah
jelas. Ini kasus cacar air sifilistik bernanah stadium tinggi.
Tak bisa ia melaporkan bahwa kasusnya dengan komplikasi
campak dilakukan pengobatan karena pisau bedah tak bisa
dimasukkan dengan benar ke bagian tubuh yang luka - ini
pun sudah lebih mirip badan mayat ketimbang organisme
hidup. Dan meskipun bau khas yang biasanya timbul
bersama wabah ini belum tercium (dari sudut pandang
ilmiah, ini terhitung telaah detail yang luar biasa), sang
dokter memastikan bahwa si penderita akan mati dalam
waktu 48 jam - sepasti namanya, Procope. Saat itu ia
menuntut dua puluh franc lagi untuk kunjungan dan
prognosisnya - lima franc bisa diambil kembali apabila
jasad Grenouille boleh dibawa untuk keperluan
demonstrasi medis. Lalu sang dokter pun pamit.
Baldini sangat terpukul. Ia meraung menangisi
kehancuran yang menjelang. Menggigiti jemari meratapi
nasib. Sekali lagi, persis di ambang pencapaian cita-cita,
seluruh rencana agungnya runtuh berantakan. Kalau dulu
ia dihancurkan oleh Pélissier dan kelompoknya dengan
kekayaan dan plagiarisme mereka, sekarang oleh pemuda
dengan sumur aroma baru yang tak pernah kering ini, anak
bungkuk sialan ini yang lebih berharga dari seluruh emas di
dunia. Entah bagaimana anak itu kini memutuskan untuk
terserang cacar air sifilistik plus campak bernanah stadium
tinggi. justru di saat seperti ini! Kenapa tidak dua tahun ke
depan saja? Atau paling tidak setahun mendatang? Saat itu
Baldini pasti sudah kaya raya seperti tambang perak,
seperti Raja Midas dengan pantat bersepuh emas!
Grenouille boleh saja mad tahun depan, tapi jangan
sekarang, brengsek! Tidak dalam waktu 48 jam!
Sesaat Baldini sempat mempertimbangkan gagasan
untuk ke Notre-Dame di mana ia bisa menyalakan lilin dan
berdoa memohon pertolongan Bunda Maria untuk
kesembuhan Grenouille. Tapi ia tepiskan gagasan itu
karena waktunya sempit. Baldini bergegas menyambar
kertas dan tinta, lalu mengusir istrinya keluar dari kamar
Grenouille. Ia akan mengawasi sendiri. Duduk di kursi di
samping ranjang, kertas catatan di pangkuan, sebuah pena
bertinta di tangan dan mencoba memeras pengetahuan
Grenouille tentang seni buatan parfum. Demi Tuhan, jangan
sampai dia berani mati duluan tanpa berkata apa-apa -
membawa harta karun Baldini ke liang kubur. Tidakkah
Grenouille sudi meninggalkan warisan pada orang
tepercaya, agar generasi mendatang tidak harus kehilangan
aroma terbaik sepanjang masa? Ia, Baldini, dengan amat
senang hati akan menyampaikan warisan itu. Formula
utama dari parfum terluhur yang pernah ada. Akan
menghantarkannya ke puncak ketenaran, bahkan atas
nama Grenouille - ya, ia sungguh bersumpah demi segala
suci akan melakukan itu. Ia akan menggelar yang terbaik
dari parfum‐parfum itu di hadapan sang Raja, dalam
sebuah flacon batu akik bersepuh emas dengan ukiran
dedikasi berbunyi, “Dari Jean-Baptiste Grenouille, Sang Ahli
Parfum, Paris”. Demikian bisik Baldini ke telinga Grenouille.
Dengan segenap hati memohon dan membujuk.
Namun sia-sia. Grenouille tak berucap apa-apa selain
menghasilkan sekresi berair dan bisul pecah. Berbaring
bisu di atas kasur berlapis sutra, mengucapkan salam
perpisahan dengan cairan menjijikkan itu, tanpa
mewariskan formula, pengetahuan, atau aroma apa pun.
Ingin sekali rasanya Baldini memberangus dan memukuli
onggokan daging ini sampai mati, memeras keluar rahasia
berharga itu - kalau saja bisa demikian... dan kalau saja
tidak bertentangan dengan keyakinan Kristen untuk
mencintai sesama.
Demikianlah ia terus mendengkur dan memelas dengan
suara paling manis, memanjakan Grenouille, dan - dengan
perjuangan setengah mati menahan diri - mengelapi
keringat di kening Grenouille, pada luka-lukanya yang
mendidih, menyuapi sesendok demi sesendok anggur,
berharap agar setidaknya mampu “melemaskan' lidah
Grenouille. Ini dilakukan sepanjang malam dan berujung
sia-sia. Menjelang fajar ia menyerah. Baldini jatuh
kelelahan di kursi di ujung ruangan seraya menatap - tidak
lagi dengan kernarahan, tapi dengan kepasrahan bisu. Pada
tubuh sekarat Grenouille yang terbaring di ranjang, yang
tak bisa ia tolong, jarah, atau bujuk untuk mengatakan apa
pun. Kematian yang hanya bisa disaksikan dengan pikiran
mati rasa seperti seorang nakhoda menyaksikan kapalnya
karam, membawa seluruh kekayaan ke dasar laut. Ketika
itulah mendadak mulut pemuda sekarat itu membuka,
mengeluarkan suara jernih yang berlawanan dengan
kondisinya. Ia berkata, “Katakan padaku, Maître, adakah
cara lain mengekstraksi aroma dari benda-benda selain
diperas dan disuling?”
Baldini - yang dengan mata tertutup mengelus kening,
setengah yakin suara itu keluar dari imajinasinya sendiri
atau dari alam lain ‐ menjawab otomatis, “Ya, ada.”
“Apa itu?” datang pertanyaan dari arah ranjang. Sontak
Baldini membuka mata lelahnya lebar-lebar. Grenouille
masih terbaring tak bergerak. Mungkinkah mayat itu
berbicara?
“Apa sajakah itu?” datang lagi pertanyaan itu. Kali ini
Baldini menangkap bibir Grenouille bergerak berucap.
Berakhir sudah, pikirnya. Inilah akhirnya. Kegilaan akibat
demam atau menjelang kematian. Ia bangkit, melangkah ke
sisi ranjang, lalu membungkuk mendekati si sakit. Mata
Grenouille terbuka dan menatap Baldini dengan pandangan
aneh yang sama seperti ketika pertama kali bertemu.
“Apa sajakah itu?” kembali ia bertanya.
Baldini merasa tak tega. Ia tak mungkin menolak
permintaan terakhir seseorang menjelang ajal. Ia
menjawab, “Ada tiga cara lain, anakku: enfleurage à chaud,
enfleurage à froid, dan enfleurage à l’huile. Masing-masing
merupakan teknik penyulingan superior dalam banyak
aspek, dan biasa digunakan untuk mengekstraksi aroma
terbaik yang pernah ada, yaitu bunga melati, mawar, dan
jeruk.”
“Di mana semua ini bisa dilakukan?” tanya Grenouille.
“Di selatan, jawab Baldini, “terutama sekali di kota
Grasse.”
“Baguslah,” jawab Grenouille.
Dan dengan itu ia menutup mata. Baldini bangkit dengan
lemas. Batinnya tersiksa. Ia kumpulkan semua kerras dan
meniup lilin. Hari sudah lewat fajar dan ia sangat kelelahan.
Aku harus memanggil pendeta, pikirnya. Tangan kanan
tergesa membuat tanda salib, lalu pergi.
Sementara itu, Grenouille sama. sekali tidak mati. Ia
hanya tidur nyenyak, hanyut dalam mimpi, sambil
mengisap kembali seluruh cairan kehidupan yang
membuncah keluar bersama bisul dan jerawat. Luka-luka
dan kawah bernanah perlahan mengering dan menutup.
Seminggu kemudian kondisi Grenouille kembali pulih.
Tiga Puluh
PENAMPILAN GRENOUILLE TAK KERUAN. Rambut
panjang mengijuk sampai ke lutut, janggut sampai ke pusar,
kuku panjang-panjang seperti cakar burung, kulit di kedua
lengan dan kaki (yang tidak tertutup pakaian) mengelupas
kemerahan.
Manusia pertama yang ia temui adalah para petani di
ladang dekat kota Pierrefort. Mereka langsung lari
ketakutan. Tapi begitu tiba di kota, ia malah jadi tontonan.
Ratusan orang merubung ternganga. Banyak yang percaya
bahwa ia pasti budak pelarian sebuah kapal dagang. Yang
lain bilang ia bukan manusia, tapi gabungan antara manusia
dengan beruang atau makhluk ajaib dari hutan. Seorang
pelaut menyatakan bahwa ia tampak seperti Indian
Cayenne dari seberang lautan. Ia lantas digiring menghadap
wali kota. Di sana sekali lagi ia mengejutkan semua orang
saat mengeluarkan surat-surat status sebagai seorang ahli,
membuka mulut dan berkata-kata dengan suara tidak
terlalu jelas karena ini pertama kalinya ia berbicara pada
orang lain setelah tujuh tahun. Grenouille mengutarakan
bagaimana ia diserang perampok, diseret dan ditawan di
dalam gua selama tujuh tahun. Selama itu ia tak pernah
melihat matahari atau manusia lain, diberi makan oleh
tangan-tangan tak terlihat yang mengusung keranjang
dalam gelap, dan akhirnya dibebaskan begitu saja - tanpa
pernah tahu kenapa dan tanpa pernah melihat penculik
ataupun penyelamatnya. Grenouille sengaja mengarang
kisah ini karena pasti akan lebih mudah dipercaya
ketimbang alasan sebenarnya. Toh waktu itu para
perampok memang dikenal sering merajalela di
pegunungan Auvergne dan Languedoc, termasuk di
Cévennes. Grenouille cakup puas melihat wali kota
mencatat tanpa protes, lalu mengirim laporan itu ke
Marquis de la Taillade-Espinasse, sang penguasa kota
sekaligus anggota parlemen di kota Toulouse.
Di usia empat puluh tahun, sang Marquis tak lagi peduli
pada kehidupan istana di Versailles dan lebih suka
menyepi. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu
pengetahuan. Goresan penanya melahirkan banyak karya
penting seputar dinamika ekonomi-politik, termasuk
usulan penghapusan pajak tempat tinggal dan hasil-hasil
pertanian. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan metode
pajak pendapatan progresif terbalik yang akan sangat
memberatkan masyarakat termiskin dan memaksa mereka
untuk lebih giat mengusahakan kegiatan ekonomi.
Terdorong oleh kesuksesan buku ini, ia menulis sebuah
risalah tentang bagaimana mendidik anak-anak lelaki dan
perempuan usia lima sampai seputuh tahun. Kemudian ia
beralih ke eksperimen di bidang peternakan. Dengan
menebar benih sapi jantan ke berbagai jenis rumput, ia
mencoba menghasilkan hibrida antara sayuran dengan
binatang penghasil susu. Setelah sukses membuat keju dan
‘rumput susu’ ciptaannya - seperti dijelaskan oleh Akademi
Ilmu Pengetahuan Lyon sebagai, “bercita rasa susu
kambing, walau agak pahit” - ia terpaksa meninggalkan
eksperimen itu karena mahalnya biaya menebar benih
banteng ke ratusan hektar ladang rumput. Kendati
demikian, keseriusan menekuni bidang agrobiologi telah
membangkitkan minat tak hanya pada binatang pembajak
sawah, tapi juga pada bumi dan keterkaitannya dengan
biosfer itu sendiri.
Ia belum lagi usai menuntaskan penelitian tentang
hibrida tanaman-binatang ketika mendadak terserang
demam riset gala-gilaan untuk membuat risalah agung
mengenai hubungan antara kedekatan makhluk hidup
terhadap bumi dan energi kehidupan. Tesisnya
menyatakan bahwa kehidupan hanya mampu berkembang
pada jarak tertentu..dari bumi, karena bumi secara terus-
menerus mengeluarkan gas perusak (disebut sebagai
fluidum letale) yang melemahkan daya hidup, dan cepat
atau lambat - bahkan berpotensi - memusnahkan daya
hidup tersebut. Itu sebabnya semua makhluk hidup secara
naluriah berusaha menjauhkan diri dari bumi melalui
proses pertumbuhan - maksudnya bahwa kita tumbuh
semakin tinggi dan menjauh dari tanah, bukan mengarah ke
tanah. Itu pula sebabnya kenapa bagian‐bagian terpenting
makhluk hidup secara alami mengarah ke atas, seperti
kuncup butir padi, mekaran bunga, kepala manusia. Dus,
tubuh mulai membungkuk dan merunduk kembali ke arah
tanah selama proses penuaan, semua makhluk akhirnya
menjadi korban gas maut, untuk kemudian berubah
menjadi gas itu sendiri setelah membusuk dalam kematian.
Ketika Marquis de la Taillade-Espinasse menerima kabar
bahwa di Pierrefort ada orang yang pernah mendekam di
gua selama tujuh tahun - itu artinya benar-benar
terbungkus oleh elemen perusak dari bumi, ia girang bukan
kepalang dan segera memboyong Grenouille ke
laboratoriumnya, untuk dijadikan objek penelitian. Ia
menemukan bahwa teorinya terbukti benar. Bahkan
tampak secara visual. Gas fluidum letale telah begitu parah
menyerang Grenouille sampai tubuh berusia 25 tahun itu
jelas-jelas menunjukkan gejala penuaan. Taillade‐Espinasse
menegaskan bahwa Grenouille bisa lolos dari kematian
karena selama dikurung ia diberi makan tanaman
penyingkir elemen bumi secara teratur, kemungkinan
berupa roti dan buah-buahan. Kondisi fisik Grenouille
hanya bisa dipulihkan melalui pengusiran sepenuhnya
unsur fluidum, menggunakan mesin ventilasi khusus
ciptaan Taillade-Espinasse. Alat itu tersimpan di rumah
mewahnya di Montpellier. Kalau Grenouille bersedia
merelakan dirinya menjadi objek demonstrasi ilmiah, ia tak
hanya akan membantu melenyapkan kontaminasi gas
beracun, tapi juga memberi Grenouille banyak uang. Dua
jam kemudian mereka duduk bersama di kereta kuda.
Meski kondisi jalan amat buruk, mereka berhasil
menempuh jarak 64 mil ke Montpellier hanya dalam dua
hari. Sang Marquis mendayagunakan wewenang
kebangsawanannya untuk melecut kuda dan saisnya
sampai maksimal. Bahkan tak sungkan membantu
membetulkan roda patah atau pelana putus. Begitu
bergairahnya ia dengan temuan ini dan begitu ingin
menampilkannya di hadapan publik sesegera mungkin.
Grenouille sendiri tak sekalipun diizinkan beranjak dari
kereta. Ia dipaksa terus duduk, dibungkus pakaian perca
dan selimut pelana yang kumal oleh tanah dan lumpur.
Selama perjalanan ia diberi umbi mentah sebagai
pengganjal perut. Sang Marquis berharap prosedur ini
mampu mempertahankan status kontaminasi fluidum
untuk sementara.
Setiba di Montpellier, ia segera membawa Grenouille ke
gudang di loteng, lalu menyebar undangan ke seluruh
anggota fakultas kedokteran, asosiasi botani, sekolah
pertanian, klub kimia terapan, Freemasons' Lodge, dan
kalangan terpelajar lain yang jumlahnya tak lebih dari
selusin di kota itu. Beberapa hari kemudian, persis
seminggu setelah turun gunung, Grenouille berdiri di atas
podium, di aula utama Universitas Montpellier. Kepada
ratusan pengunjung yang datang ia dipersembahkan
sebagai sebuah sensasi ilmiah tahun ini.
Dalam ceramah tersebut, Taillade-Espinasse
menggambarkan Grenouille sebagai bukti hidup kesahihan
teorinya tentang fluidum letate. Sambil melucuti pakaian
Grenouille satu per satu ia menjelaskan efek merusak gas
mematikan itu terhadap tubuh. Ia menunjuk bekas gosong
dan parut pada kulit, kanker kulit kemerahan yang amat
luas di dada, bahkan bukti efek merusak gas tersebut
terhadap struktur tulang dengan mengacu pada
kepincangan dan kebongkokan Grenouille. Organ internal
juga ditunjuk sebagai korban, seperti pankreas, hati, paru-
paru, kandung kemih, dan sistem pencernaan. Analisis ini
dibeberkan dengan sebaskom penuh contoh organ-organ
tersebut, di kaki podium. Ringkasnya, tak diragukan lagi
bahwa kelumpuhan daya hidup yang disebabkan oleh
kontaminasi fluidum letale selama tujuh tahun telah
sedemikian parah sampai si korban - yang penampilan
luarnya memang lebih mirip tikus ketimbang manusia -
bisa dikatakan sebagai makhluk di ambang kematian.
Namun demikian, sang Marquis meyakinkan bahwa hanya
dalam waktu delapan hari, dengan memakai alat terapi
ventilasi plus diet ketat, ia mampu menyembuhkan
makhluk malang ini, mengarah kepada titik bukti
berikutnya bahwa penyembuhan total tetap bisa
diterapkan bagi siapa saja. Dus, ia mengundang hadirin
untuk datang lagi minggu depan dan menyaksikan
kesuksesan prognosis ini - dengan catatan tentu saja,
bahwa paparan saat itu harus dipandang sebagai bukti tak
terbantahkan dari kebenaran teori Marquis tentang gas
fluidum dari bumi.
Ceramah ilmiah itu sukses luar biasa. Para hadirin ramai
menyambut bertepuk tangan, lalu antre melewati podium
tempat Grenouille berdiri. Dalam kondisi fisik seperti
sekarang - penuh parut dan cacat bentuk - Grenouille
memang tampak begitu mengerikan sampai orang yakin ia
tak mungkin bisa disembuhkan dan tinggal menunggu mati
saja. Padahal yang punya badan merasa sehat dan biasa
saja. Banyak di antara orang-orang terpelajar itu yang
menepuk-nepuk tubuhnya atas-bawah dengan lagak
profesional, mengukur, melihat ke dalam mulut dan mata
Grenouille seperti dokter. Beberapa ada yang langsung
menyapa dan bertanya tentang pengalaman selama tinggal
di gua dan kondisi kesehatannya saat ini. Tapi Grenouille
bersikukuh dengan skenario Marquis dan menjawab semua
pertanyaan dengan suara seperti orang tercekik ditambah
aksi gerakan tangan menunjuk ke pangkal tenggorok,
seolah mengatakan bahwa organ ini juga sudah busuk
dimakan fluidum letate.
Seusai demonstrasi, Taillade-Espinasse bergegas
mengepak dan memboyong Grenouille kembali ke gudang
di loteng rumah. Lalu di hadapan beberapa dokter terpilih
dari fakultas kedokteran ia mengunci Grenouille dalam
mesin ventilasinya - sebuah kamar sempit terbuat dari
papan-papan pinus yang dijalin rapat. Sebuah corong
pengisap dipasang di atasnya, mencuat sampai ke atap
rumah. Corong ini berfungsi mengisap udara dari langit,
bebas dari gas maut. Udara ini lalu dialirkan keluar melalui
sebuah katup buka-tutup dari kulit yang dipasang di lantai.
Seorang pelayan ditugasi mengoperasikan dan mengawasi
siang-malam, agar ventilator di dalam corong tidak
berhenti memompa. Demikianlah, Grenouille kini
dikelilingi arus udara yang disaring terus-menerus, diberi
menu diet penyingkir racun bumi berupa kaldu daging
burung dara, pai burung pipit, daging cincang bebek liar,
buah-buahan segar yang dipetik langsung dari pohon, roti
gandum yang khusus dikukus di ketinggian, anggur
Pyrenees, susu kambing, dan krim beku dari telur ayam
betina yang diternak di loteng rumah. Semua disajikan
selang beberapa jam melalui sebuah pintu bertekanan
berdinding ganda di sisi mesin.
Kombinasi perawatan dekontaminasi dan revitalisasi
fisik ini berlangsung selama lima hari. Pada hari keenam
sang Marquis mematikan ventilator, membawa Grenouille
ke kamar bilas untuk dimandikan selama beberapa jam
dalam sebuah bak berisi air hujan yang dihangatkan, dan
terakhir membedaki tubuh dari kepala sampai kaki dengan
sabun cair khusus dari Potosi di pegunungan Andes. Kuku
jari tangan dan kaki dipotong rapi, gigi dibersihkan dengan
limau pembersih dari Dolomites. Setelah itu cakur jenggot,
potong rambut, disisiri, ditata, dan dibedaki. Penjahit dan
tukang sepatu juga didatangkan. Grenouille dibuatkan
kemeja sutra, lengkap dengan jabot (rumbai kain) di dada
dan manset, stoking sutra, mantel panjang, celana panjang
dan rompi beludru warna biru, plus sepatu hitam gagah
bermata sabuk dari kulit. Yang sebelah kanan diganjal
sedemikian rupa untuk menutupi kepincangan Grenouille.
Sang Marquis turun tangan memberi riasan bedak putih ke
wajah Grenouille yang penuh parut, memberi pemerah
pada pipi dan bibir, tak lupa menebalkan alis membentuk
lengkung khas para bangsawan dengan pensil alis nan
lembut. Terakhir ia memercikkan parfum favoritnya tipis-
tipis beraroma violet. Sang Marquis mundur dua langkah,
mengamati hasil karyanya, dan lama memikirkan kata yang
tepat mengutarakan suka cita.
“Monsieur,” katanya kemudian, “saya benar-benar puas.
Kagum pada kegeniusan saya sendiri. Tentu saja saya tak
pernah meragukan teori saya tentang fluidum letale, apalagi
ditambah konfirmasi terapi terapan seperti ini. Telah saya
ubah Anda dari binatang menjadi manusia. Sungguh
tindakan agung nan terpuji. Maaf, tapi saya benar‐benar
terharu! Berdirilah di depan cermin dan pandang diri Anda
sendiri. Untuk pertama kalinya Anda akan sadar bahwa
Anda adalah seorang manusia. Mungkin tidak tampan atau
spesial atau apalah, tapi tak pelak seorang manusia normal
yang bisa diterima lingkungan. Silakan, Monsieur! Pandangi
dan kagumilah keajaiban yang telah saya ciptakan bersama
Anda!”
Itu adalah pertama kalinya seseorang memanggil
Grenouille dengan sebutan 'monsieur'. Sebuah sapaan
terhormat yang menggetarkan.
Grenouille melangkah ke depan cermin dan melihat
kcajaiban itu. Ini juga pertama kalinya ia becermin. Di
hadapannya berdiri seorang lelaki dalam balutan biru nan
tampan, dengan kemeja putih dan stoking sutra. Secara
refleks ia merunduk, sebagaimana kebiasaan untuk selalu
merunduk di depan lelaki seperti itu. Si lelaki ikut
merunduk. Begitu pun saat ia tegak lagi. Keduanya saling
pandang. Yang paling mencengangkan Grenouille adalah
fakta bahwa ia tampak begitu normal. Sang Marquis benar,
bahwa tak ada yang spesial dari penampilannya. Tidak
tampan tapi juga tidak buruk. Biasa dan normal saja.
Berpostur kecil dan agak kaku, wajah sedikit tanpa ekspresi
‐ pokoknya seperti ribuan lelaki normal lain di dunia. Kalau
sekarang ia keluar jalan-jalan pasti tak ada yang
memerhatikan. Jenis orang yang kalau bertemu di jalan
tidak memberi kesan menonjol. Dan selain sedikit bau
violet serta perangkat yang dikenakan, Grenouille tak
mencium apa-apa dari sosok itu.
Tak terbayangkan bahwa sepuluh hari lalu para petani
berlarian menjerit ketakutan melihatnya. Secara pribadi,
Grenouille tak merasa ada perubahan antara ia yang dulu
dengan yang sekarang - pun saat berpejam mata. Hirupan
napasnya mengenali aroma parfum murahan, beludru,
sepatu baru, aroma sutra, bedak, riasan, dan aroma samar
sabun Potosi. Seketika ia sadar bahwa bukan makanan
mewah atau omong kosong unit ventilasi yang
membuatnya tampak normal. Kenormalan itu murni datang
dari balutan beberapa lembar pakaian, potongan rambut,
dan riasan kosmetik.
Grenouille berkedip membuka mata dan melihat lelaki di
cermin mengedip balik. Selarik senyum di bibir bergincu
seolah menyatakan bahwa ketampanannya biasa saja. Tapi
Grenouille juga merasa bahwa lelaki di cermin itu, figur tak
berbau yang didandani seperti manusia ini, tidak terlalu
jelek. Bahkan kalau kostumnya disempurnakan, mungkin
cukup berpotensi memengaruhi dunia. Jauh di luar dugaan
Grenouille sendiri. Anggukan dibalas anggukan. Begitu pun
saat ia curi-curi mengembangkempiskan hidung.
Bagian III
Bagian IV