Anda di halaman 1dari 135

MANAJEMEN BENCANA

DAN DASAR
KEGEMPAAN

Rafki Imani, ST., MT


Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan
Penulis: Rafki Imani, ST., MT
Editor: Khoshshol Fairuz
Tata Sampul: Novi Wahyu
Tata Isi: Nurul Aini

Diterbitkan oleh:
Penerbit Boenga Ketjil
Parimono V/40, Plandi, Jombang
E-mail: boengaketjil40@gmail.com
Nomor telp.: 08123443449

Bekerja sama dengan:


Kertasentuh
Cangkring Malang, RT/RW 01/05, Desa Sidomulyo
Kecamatan Megaluh, Jombang
E-mail: kertasentuh@gmail.com
WA: 085 850 5857 00

Ukuran: 16 cm x 23 cm
viii +125 halaman
Cetakan I, Desember 2019
Cetakan II, Agustus 2020

ii
Untuk orang-orang tersayang:

Yanti Darmawi
Imam al Ikrami
Musa al Khawarizmi

iii
PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt. yang telah


memberi kesehatan dan kejernihan dalam bersikap dan berpikir
sehingga penulis bisa menyelesaikan buku ini. Semua ide dan materi
yang ada dalam buku ini sebetulnya telah ada dua tahun yang lalu,
yang penulis kumpulkan dari beberapa referensi dan bahan ajar
matakuliah Manajemen Pengelolaan Bencana yang penulis ampu sebagai
dosen Teknik Sipil.
Berbagai kejadian bencana alam telah melanda sebagian besar
wilayah Indonesia mulai dari Utara Pulau Sumatera hingga ujung
Timur kepulauan Nusantara. Bencana banjir, puting beliung, tanah
longsor, hujan badai, gempabumi bahkan bencana tsunami, sudah
menjadi langganan rutin wilayah Indonesia. Kondisi ini telah
memaksa kita mau tidak mau untuk dapat hidup berdampingan
secara harmonis dengan bencana. Hidup berdampingan dengan
bencana tentunya harus dengan cara menjaga alam dengan baik dan
terus meningkatkan pengetahuan kita akan bencana, serta mampu
mengenali wilayah tempat tinggal kita, apakah berada dalam daerah
rentan atau tidak.
Meningkatkan pengetahuan akan bencana berarti berupaya
untuk mengurangi risiko bencana itu. Buku yang berjudul
“Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan” yang ada di tangan
pembaca saat ini, adalah bentuk upaya yang penulis lakukan dalam
rangka berbagi pengetahuan serta upaya pengurangan risiko bencana
itu sendiri. Dengan kehadiran buku ini kita sama-sama berharap
dapat mengambil kebaikan di dalamnya, sehingga tujuan
penanggulangan bencana yang diinginkan bagi semua lapisan
masyarakat dapat tercapai hendaknya.

iv
Tidak seperti buku lainnya, buku ini juga membahas tentang
dasar-dasar kegempaan yang selama ini telah menjadi trend bencana
di Indonesia, sehingga pembahasan buku ini menjadi lebih kompleks
dan menarik. Dengan menyadari ungkapan bahwa, “tidak ada yang
sempurna,” maka penulis pun sangat berharap ada kritikan dan
masukan membangun demi kesempurnaan buku ini ke depannya.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih untuk keluarga kecilku
(istriku Yanti darmawi, kedua putraku Imam al Ikrami dan Musa al
Khawarizmi), yang telah memberi ruang khusus dan motivasi selama
proses penulisan buku ini, kakak-kakakku, para guru dan pakar
kegempaan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang idenya
banyak penulis gunakan dalam buku ini, serta kawan diskusi Tedy
Wiraseptya, yang beberapa waktu belakangan ini telah mengenalkan
hal baru dalam kajian kebencanaan. Semoga buku ini memberi
manfaat bagi masyarakat luas, khususnya bagi pembaca yang secara
khusus sedang mempelajari bidang kebencanaan dan kegempaan.
Sekali lagi penulis ucapkan terimakasih. Selamat membaca!

Padang, Oktober 2019

Rafki Imani

v
DAFTAR ISI

PENGANTAR ................................................................ v
DAFTAR ISI................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................... 1
1.1 Bencana Alam di Masa Lalu ................................... 2
1.2 Hikmah di Balik Bencana ....................................... 4
1.3 Pentingnya Pengetahuan Kebencanaan ................... 6
BAB 2 PENGETAHUAN BENCANA DAN
KARAKTERISTIKNYA ....................................... 7
2.1 Definisi Bencana .................................................... 8
2.2 Jenis dan Karakteristik Bencana .............................. 10
2.3 Bencana Alam di Indonesia .................................... 13
2.3.1 Kabut Asap dan Kebakaran Hutan .............. 13
2.3.2 Tanah Longsor (Landslide) ........................... 14
2.3.3 Banjir (Flood) .............................................. 15
2.3.4 Gempabumi (Earthquake) ............................. 16
2.3.5 Tsunami ..................................................... 17
2.3.6 Letusan Gunung Berapi (Volcano Eruption) ... 19
BAB 3 KAJIAN RISIKO BENCANA (DISASTER RISK
ASSESSMENT) .................................................... 23
3.1 Risiko Bencana (Disaster Risk) ................................. 24
3.2 Ancaman / Bahaya (Hazard) ................................... 26
3.3 Kerentanan (Vulnerability) ....................................... 27
3.3.1 Kerentanan Fisik (Physic Vulnerability) .......... 28
3.3.2 Kerentanan Sosial (Social Vulnerability) ......... 28
3.3.3 Kerentanan Ekonomi (Economic Vulnerability) 29
3.3.4 Kerentanan Sikap Masyarakat ..................... 29
3.4 Kapasitas (Capacity) ................................................ 29

vi
3.5 Hubungan antara Risiko (Risk), Bahaya (Hazard),
Kerentanan (Vulnerability) dan Kapasitas (Capacity) . 30
BAB 4 PENANGGULANGAN BENCANA DAN
PENGURANGAN RISKO BENCANA (PB-PRB) ....... 33
4.1 Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana (PB) 33
4.2 Manajemen Bencana (Disaster Management) ............. 38
4.3 Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia ........ 40
4.4 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ............ 42
4.4.1 Situasi Prabencana (Tidak Berpotensi
Bencana) .................................................... 43
4.4.2 Situasi Saat Terjadi Bencana ....................... 45
4.4.3 Situasi Pascabencana .................................. 45
4.5 Lembaga Kebencanaan .......................................... 46
4.6 Pihak Terkait dalam Penanggulangan Bencana ....... 48
4.7 Permasalahan dalam Penanggulangan Bencana ...... 52
4.7.1 Masalah Koordinasi ................................... 52
4.7.2 Masalah Penanganan Kelompok Rentan ..... 52
4.7.3 Masalah Sosial Ekonomi ............................ 52
4.7.4 Masalah Komunikasi dan Informasi ............ 53
4.7.5 Masalah Saling Menyalahkan ..................... 53
4.7.6 Masalah Distribusi Bantuan ........................ 54
BAB 5 GEMPABUMI DAN SEISMOLOGI (EARTHQUAKE
AND SEISMOLOGY) ............................................. 55
5.1 Indonesia Rawan Gempa ....................................... 55
5.2 Definisi Gempabumi .............................................. 56
5.3 Proses Kejadian Bumi ............................................ 57
5.4 Teori Lempeng Tektonik (Theory of Tectonic Plate)
dan Gempa Tektonik ............................................. 60
5.5 Sumber Gempa ...................................................... 63
5.6 Potensi Gempa di Indonesia ................................... 68
5.7 Seismologi Teknik ................................................. 72
5.7.1 Pusat Gempa .............................................. 72
5.7.2 Gelombang Gempa (Seismic Wave) .............. 74
5.7.3 Besaran Gempa .......................................... 76

vii
5.7.4 Percepatan Tanah Maksimum (Peak Ground
Acceleration, PGA) ....................................... 81
BAB 6 DAMPAK DAN MITIGASI GEMPA ...................... 85
6.1 Dampak Gempabumi ............................................. 86
6.1.1 Kerusakan Struktur Bangunan ..................... 87
6.1.2 Kelongsoran Tanah Akibat Gempa .............. 90
6.1.3 Bencana Tsunami ....................................... 91
6.1.4 Likuifaksi (Liquefaction) ............................... 94
6.2 Rekayasa Gempa (Earthquake Engineering) ............... 100
6.2.1 Hubungan Kondisi Tanah dengan Karakteris-
tik Gempa (Kekuatan, Frekuensi dan Periode
Getar Gelombang Gempa) .......................... 104
6.2.2 Pengaruh Jarak Pusat Gempa terhadap
Lokasi Struktur Bangunan ........................... 105
6.3 Seismisitas (Seismicity) dan Prediksi Gempa ............. 106
6.3.1 Studi Seismisitas (Seismicity) ........................ 106
6.3.2 Prediksi Gempabumi ................................... 109
6.4 Upaya Mitigasi Gempa ........................................... 112
6.4.1 Sebelum Terjadi Gempa .............................. 112
6.4.2 Saat Terjadi Gempa .................................... 114
6.4.3 Setelah Terjadi Gempa ................................ 115
REFERENSI ................................................................... 117
TENTANG PENULIS ....................................................... 125

viii
Bab 1
Pendahuluan

Tak berhenti sampai sekarang, hampir sebagian besar kawasan di


Indonesia setiap waktu dilanda bencana alam. Ada tugas berat sedang
menunggu kita dalam hal penanggulangan bencana alam ini. Upaya
penanggulangan bencana ini harus didukung oleh semua unsur
masyarakat termasuk diri sendiri dan keluarga.
Dalam beberapa kesempatan, presiden Republik Indonesia sering
mengingatkan kepada kita bahwa signifikansi edukasi dan sosialisasi
kebencanaan sangat penting dilakukan. Seperti yang dicontohkan
oleh Jepang, dimana kegiatan sosialisasi yang rutin digalakkan oleh
pemerintah lokal dan pusat di negara Jepang, terbukti dapat menekan
tingkat korban akibat gempa, minimal kepanikan yang datang dari
warga Jepang saat bencana itu terjadi sudah tidak ada lagi (Jordan,
2019).
Pada pertemuan Rapat Koordinasi Nasional Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (Rakornas-BMKG), presiden dalam
sambutannya juga menghimbau agar setiap pemangku kebijakan
secara berkesinambungan untuk terus memberikan informasi dan
pemahaman potensi bencana kepada masyarakat dalam rangka
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di masa mendatang (Ariefana,
2019).
Kondisi kawasan Indonesia yang memang secara geologis dilalui
oleh jalur cincin api (ring of fire) dunia memang telah menempatkan
negara Indonesia berada dalam tatanan kebencanaan yang kompleks.

Pendahuluan 1
Oleh sebab itu untuk penanganan dampak bencana yang akan datang,
perlu dikaji lebih jauh tentang bagaimana kebencanaan itu
mempengaruhi sisi kehidupan dan kondisi wilayah tertentu.

1.1 Bencana Alam di Masa Lalu


Hampir di seluruh negara-negara Pasifik di dunia mengalami
bencana alam (disaster natural). Penyebabnya dapat beragam, baik
yang diakibatkan oleh anomali peristiwa alam itu sendiri, maupun
yang diakibatkan oleh manusia. Secara umum kejadian bencana alam
lebih banyak terjadi karena kombinasi beberapa faktor seperti;
kemiskinan, kurangnya kemampuan dan juga rendahnya tingkat
pengetahuan (Widodo, 2012).
Jika kita pandang berdasarkan kitab suci al-Quran, dapat kita
yakini bahwa peristiwa-peristiwa alam yang menyebabkan terjadinya
bencana, tidak terjadi dengan sendirinya. Dalam Surat al-Naml ayat
88 Allah Swt menjelaskan yang artinya; “Dan kamu mengira gunung-
gunung itu tidak bergerak dan diam di tempatnya, padahal ia bergerak
sebagaimana awan yang bergerak.” Dari penjelasan al-Quran itu dapat
kita simpulkan bahwa bumi yang kita pijak saat ini tidaklah diam
seperti yang kita rasakan, namun bumi ini terus bergerak tak berhenti.
Pergerakan bumi seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas akan
mengakibatkan antar lempeng bumi saling bertumbukan dan
bergesekan. Secara keilmuan dapat dibuktikan, dimana tumbukan
antar lempeng bumi, menurut ilmu geofisika, akan mengakibatkan
terjadinya gempabumi. Semua yang rentan dan rawan yang ada di
atas permukaan bumi itu, baik manusia, bangunan-bangunan
maupun infrastruktur yang ada, maka akan terkena dampak dari
gempabumi tersebut.
Dalam al-Quran juga sudah diceritakan dengan sangat jelas,
bahwa selain karena sunatullah (hukum alam), faktor lain yang juga
menjadi penyebab bencana alam adalah karena ulah tangan
(perbuatan) manusia yang tinggal di atasnya. Kita sering diingatkan
dengan peristiwa gempabumi yang sangat hebat dialami oleh kaum
Nabi Luth di wilayah Sodom, karena perbuatan menyimpang yang
dilakukan oleh kaumnya. Peristiwa ini dijelaskan dalam Surat asy-

2 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Syu’ara ayat 173 yang berbunyi; “Kami menghujani mereka dengan batu
belerang keras sebagaimana tanah liat yang terbakar secara bertubi-tubi.”
Kemudian kita juga diberitahu tentang kisah kaum Nabi Nuh yang
durhaka kepada Nabi Nuh. Akibat kedurhakaan mereka itu, Allah
menghukumnya dengan mendatangkan banjir besar. Mereka yang
patuh dan taat kepada Nabi Nuh, termasuk juga hewan-hewan,
diselamatkan dari bencana banjir besar itu. Melalui beberapa
penemuan arkeologi dan bukti-bukti seperti yang dikisahkan dalam
al-Qur’an oleh Allah Swt, maka dipastikan bahwa kebenaran al-
Qur’an seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita
sebagai umat manusia, untuk selalu menjaga alam ini dengan
perbuatan yang benar dan sesuai tuntunan Illahi (Nurjanah dkk,
2013).

Gambar 1.1 Letusan Gunung Krakatau tahun 1883


(Sumber: http://www.tegar.id).
Selanjutnya kita telah mendengar cerita peristiwa erupsi Gunung
Krakatau yang sangat melegenda. Pada tahun 1883 Gunung
Krakatau telah memuntahkan jutaan ton materialnya ke laut Jawa di
Selat Sunda. Menurut Wikipedia Indonesia (2019a), letusan Gunung
Krakatau itu juga telah menyebabkan bencana tsunami dan korban

Pendahuluan 3
yang mencapai setidaknya 36.417 jiwa akibat letusan dan tsunami
yang dihasilkannya. Letusan Gunung Krakatau ini termasuk bencana
yang paling mematikan, dan dampak letusannya terasa hampir di
seluruh penjuru dunia (Iskandarsyah dkk, 2014).

1.2 Hikmah di Balik Bencana


Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan pikiran, manusia
seringkali berusaha menemukan kesimpulan yang tepat untuk
mencerna tentang apa, mengapa dan bagaimana suatu bencana itu
bisa terjadi. Ketika bencana terjadi, paling tidak kita sering
mengajukan tiga analisa terkait hal ini. Pertama, karena bencana
adalah fenomena alam yang biasa terjadi dan sudah menjadi hukum
alam (sunatullah) atau fenomena alam. Kedua, bencana terjadi karena
ketidakseimbangan yang ada pada alam akibat konsekuensi dari
perbuatan manusia. Dan ketiga, bencana merupakan ujian dan
bentuk kasih sayang Allah.
Melihat analisa pertama, dari kacamata ilmu pengetahun, ini
dapat dipahami bahwa bencana terjadi karena proses atau fenomena
alam itu sendiri. Pergerakan lempeng bumi seperti yang telah
diterangkan dalam ayat al-Qu’ran sebelumnya, adalah bukti bahwa
terjadinya bencana alam seperti gempabumi, karena antar lempeng
yang bergerak akan saling mendekati satu sama lain hingga pada
waktu tertentu saling bertumbukan, dan menyimpan energinya
hingga suatu masa sampai dilepaskan berupa energi gempa dan
merambat di dalam tanah hingga ke permukaan bumi menjadi
bencana gempabumi, seperti yang pernah kita alami selama ini.
Kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah Swt diajak
untuk dapat memperlakukan alam dengan sebagaimana mestinya.
Menjaga keseimbangan alam dan keberlangsungan makhluk yang ada
di dalamnya, akan sangat membantu dalam pengurangan ancaman
yang mungkin akan menjadi bencana. Misalkan, proses pengeboran
bumi oleh industri gas dan minyak yang dilakukan tanpa batas, akan
mengakibatkan terjadinya kebocoran gas yang sangat membahayakan
masyarakat, seperti yang terjadi di Lapindo, Jawa Timur (CNN
Indonesia, 2019). Oleh sebab itu keseimbangan interaksi manusia

4 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


dengan alam haruslah berada dalam batas yang wajar dan mengambil
dari alam sesuai dengan kebutuhan saja.
Bencana tentunya meninggalkan kerugian yang tidak sedikit bagi
manusia dan makhluk hidup lainnya di atas bumi, bahkan kematian
bisa saja terjadi akibat bencana alam. Namun dalam kasus dan waktu
tertentu, sebuah bencana dapat menjadi anugerah dan memiliki sisi
positif bagi manusia. Fenomena susulan (sekunder) akibat erupsi
gunung berapi, seperti lahar dingin yang terbawa oleh hujan ke
sungai, dapat menjadi bahan tambang dadakan bagi penambang pasir,
kerikil, batuan dan mineral lainnya di sekitar kawasan gunung berapi
tersebut. Bahan-bahan tambang, seperti pasir, dari lahar dingin yang
terbawa ke sungai itu memiliki kualitas pasir yang lebih bagus dari
pasir biasa. Selain itu, mineral-mineral yang dihasilkan dari lava yang
dimuntahkan oleh gunung merapi dapat menyuburkan tanaman dan
tumbuhan lainnya (Nurjanah dkk, 2013).

Gambar 1.2 Bantuan terhadap korban gempa Yogyakarta Mei 2006 silam
(LIPI, 2013).

Lebih jauh Nurjanah dkk (2013) menjelaskan, bahwa terjadinya


sebuah bencana telah menyebabkan terciptanya rasa sosial dan
kepedulian yang tinggi. Di negara manapun di dunia ini, tanpa
memandang suku, ras, golongan dan bangsa, akan dengan sadar
tanpa diminta datang memberi bantuan secara sukarela kepada
korban bencana. Tingginya tanggung jawab sosial antar sesama

Pendahuluan 5
dalam bantuan kebencanaan ini, adalah anugerah yang tak ternilai
oleh bentuk apapun, sehingga dengan ini dapat memperkokoh dan
mempersatukan bangsa dan negara ini hingga nanti.

1.3 Pentingnya Pengetahuan Kebencanaan


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berada dalam
tatanan geologi, geografi dan hidrologi yang rumit dan bervariasi dan
salah satu wilayah Pasifik yang memiliki gugusan gunungapi yang
aktif. Kondisi ini tentunya menjadi perhatian bagi kita bersama,
bahwa kemungkinan terjadinya bencana di wilayah NKRI ini tentu
lebih besar. Potensi ini jika dibiarkan terus-menerus maka akan
menjadi ancaman di masa mendatang.
Pelajaran berharga dari bencana-bencana besar yang pernah
terjadi di wilayah kita NKRI ini telah mengingatkan kita bahwa
persepsi dan paradigma lama masyarakat terhadap bencana harus
berubah, yang awalnya berfokus kepada upaya tanggap darurat dan
penanganan setelah bencana terjadi, sekarang beralih pada upaya
peningkatan kapasitas masyarakat menghadapi bencana melalui
pengetahuan dan pendidikan kebencanaan, dengan meningkatkan
sosialisasi dari tingkat bawah hingga tingkat yang paling atas.
Namun saat ini pendidikan dan pengetahuan kebencanaan
belum banyak dimanfaatkan secara luas dan merata oleh sebagian
masyarakat kita. Sementara upaya-upaya seperti simulasi dan
sosialisasi kebencanaan sudah dilakukan oleh pihak-pihak dan
pemangku kebijakan terkait, tetapi upaya tersebut masih belum
menyeluruh dan belum sistematis, sehingga informasi tentang
kebencanaan sering terputus dan tidak menerus.
Hal ini tentunya harus menjadi perhatian kita bersama, bahwa
kesempatan untuk memiliki pengetahuan kebencanaan melalui
pendidikan kebencanaan yang diberikan oleh pemangku kebijakan itu
sebaiknya dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Melalui
pengetahuan kebencanaan, manfaat yang paling utama adalah, kita
dapat meningkatkan kapasitas diri sendiri, karena tingkat
keselamatan dari bahaya bencana berasal dari kemampuan diri
sendiri untuk penyelamatan dari ancaman bencana (Hasymi, 2018).

6 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Bab 2
Pengetahuan Bencana
dan Karakteristiknya

Sebagaimana penjelasan sebelumnya dimana wilayah Republik


Indonesia berada dalam kawasan rawan risiko bencana yang tinggi,
yang menempati urutan ke-3 di negara Asia setelah India dan Filipina
(Sijabat, 2000). Kondisi geologis dan keberagaman suku yang ada di
Indonesia dapat saja menjadi penyebab terjadinya bencana alam dan
bencana sosial yang mengganggu stabilitas dan keberlangsungan alam
Indonesia.
Pada umumnya bencana dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
bagian besar, yaitu bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan
bencana yang disebabkan oleh faktor non-alam. Dalam Perka BNPB
Nomor 4 Tahun 2008, dua pokok besar bencana ini kemudian dibagi
lagi menjadi:
1. Bencana alam
a. Bencana karena faktor geologi, misalnya, gempabumi
(gempa), tsunami, dan letusan gunung berapi,
b. bencana karena faktor hidrometeorologi, seperti longsor,
banjir dan kekeringan, dan
c. bencana biologi seperti, penyakit dan hama tanaman.

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 7


2. Bencana non-alam, yaitu bencana yang disebabkan karena
perbuatan manusia seperti, tawuran, konflik etnis, kelaparan,
dan peperangan.

Gambar 2.1 Tingkatan bencana di negara Asia


(Modifikasi oleh Sijabat, 2000).

Dalam penjelasan berikutnya, pembahasan dalam buku ini akan


difokuskan pada bagian tentang bencana alam. Melihat begitu
besarnya dampak akibat bencana alam yang terjadi, maka
pembahasan ini didasarkan pada manajemen dan penanggulangan
bencana, termasuk penanggulangan bencana gempa yang banyak
menimbulkan korban hingga kini.

2.1 Definisi Bencana


Banyak definisi bencana yang dihasilkan baik dari pandangan
para ahli maupun dari peraturan-peraturan pemerintah yang telah
disahkan dan dirumuskan dengan cermat dan seksama serta

8 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


berdasarkan pertimbangan yang terstruktur. Semua definisi tersebut
mengarah kepada dampak buruk yang diakibatkan oleh bencana,
yang mengganggu sistem masyarakat dan pemerintahan, serta
pembangunan yang telah ada.
Berdasarkan beberapa definisi bencana yang akan diuraikan
berikutnya dalam bab ini, tentu lebih baik kiranya kita belajar dari
penjelasan al-Qur’an dalam Surat ar-Rum ayat 41, yang artinya;
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka (itu), agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Ayat di atas telah memperingatkan kita akan pentingnya
menjaga lingkungan dan alam sekitar. Sebagai contoh dekat, jika kita
menebang pohon secara membabi-buta di kawasan lereng perbukitan
tanpa memikirkan akibatnya, maka kemungkinan terjadinya longsor
semakin besar karena sudah tidak adanya lagi pohon-pohon besar
penahan tanah di kawasan itu.
Contoh lainnya yaitu, dalam pembangunan sebuah gedung, jika
takaran standar minimum campuran material untuk gedung tersebut
dikurangi dan dicurangi, maka kemungkinan rusak atau bahkan
runtuhnya gedung itu akan lebih besar. Oleh sebab itu, pelaksanaan
dan penyelenggaraan upaya pengurangan risiko terjadinya bencana
(PRB) harus dipikirkan mulai dari kasus kecil dan lingkungan sekitar.
Berangkat dari landasan al-Qur’an seperti pembahasan di atas,
maka uraian berikut akan dibahas definisi bencana menurut beberapa
sumber yang banyak digunakan. Menurut United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) 2004, bencana adalah suatu
gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari
segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya mereka sendiri.
Dalam Asian Disaster Reduction Center (2003) juga menjelaskan
bahwa bencana meupakan suatu gangguan serius terhadap
masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 9


baik oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan (alam),
dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia
guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada.
Menurut Khambali (2017), bencana alam merupakan
konsekuensi akibat adanya faktor gejala alam seperti letusan gunung
berapi, gempabumi, tanah longsor dan aktivitas manusia. Lebih lanjut
Word Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa bencana
(disaster) adalah segala kejadian yang menyebabkan kerusakan,
gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena
(WHO, 2002).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 (UU RI 24/2007) disebutkan bahwa bencana adalah Bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Berdasarkan beberapa pengertian bencana di atas, terdapat
kesamaan dari efek yang dihasilkan akibat bencana, yaitu dampak
buruk dan kerugian. Dampak buruk yang diakibatkan oleh bencana
menyebabkan melemahnya fungsi dan kemampuan yang ada pada
manusia dan lingkungan di sekitarnya. Seperti misalnya, hilangnya
harta benda, menyebabkan gangguan kejiwaan berupa trauma,
bahkan dapat menghilangkan nyawa. Sehingga jika terdapat
rendahnya kapasitas manusia dan lingkungan yang rentan terhadap
ancaman bahaya, maka dapat memungkinkan terjadinya bencana.

2.2 Jenis dan Karakteristik Bencana


Terjadinya bencana yang secara tiba-tiba dan sangat cepat,
membuat manusia sering tidak siap menghadapinya, sehingga
dampaknya semakin meluas dan besar, bahkan hingga kematian.
Ketidaksiapan manusia yang terlanda bencana ini disebabkan bisa
karena tidak memahami atau mengenali karakter bencana yang

10 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


terdapat di lingkungannya, dan juga bisa karena kurangnya
pengetahuan akan bencana tersebut.
Sementara untuk terwujudnya pemahaman terhadap bencana
harus ditingkatkan pengetahuan secara menyeluruh, baik tentang
proses terjadinya ancaman bencana, tingkat kemungkinan terjadinya
bencana hingga seberapa besar skala dampak dan kerusakan yang
ditimbulkannya (Nurjanah dkk, 2013). Untuk itu, agar seluruh
pengetahuan tentang karakteristik bencana itu dapat diketahui, maka
dampak bencana dapat diminimalisir dampaknya pada masyarakat
dan lingkungan.

Gambar 2.2 Macam-macam bencana menurut UU RI 24/2007.

Dalam UU RI 24/2007 disebutkan bahwa bencana dapat


dikelompokkan menjadi (1) bencana alam, (2) bencana non-alam, dan
(3) bencana sosial. Bencana alam merupakan bencana yang terjadi
akibat fenomena dan faktor alam. Secara garis besar bencana alam
dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Bencana geologi, yaitu bencana yang dibangkitkan oleh energi
dari dalam bumi. Contohnya gempabumi (gempa), erupsi
gunung berapi dan tsunami.
2. Bencana klimatologi, yaitu bencana karena faktor angin dan
hujan, seperti banjir, badai, rob, angin puting beliung,
kekeringan, dan juga kebakaran hutan secara alami.

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 11


3. Bencana hibrid, yaitu bencana gabungan dari bencana geologi
dan klimatologi. Misalnya, longsor karena hujan lebat
ataupun karena penurunan tanah akibat gempa.

Gambar 2.3 Karakteristik bencana (Widodo, 2012).

Bencana non-alam disebabkan bukan karena faktor alam, seperti


misalnya wabah penyakit (epidemi), hama tanaman dan penyakit
hewan. Kegagalan teknologi, dan pencemaran lingkungan juga
masuk dalam kategori ini. Contoh lain misalnya terjadinya
kecelakaan transportasi, baik karena kerusakan mesin, faktor
jalan/jalur/lalulintas, atau karena kesalahan manusianya.
Faktor penyebab bencana non-alam ini juga dapat terjadi karena
kesalahan atau akibat manusia (disaster man-made) seperti bencana
kabut asap dari kebakaran hutan, yang hampir setiap tahun terjadi di
Pulau Sumatera, seperti di Pakanbaru Provinsi Riau dan juga di
daerah Jambi Provinsi jambi.
Bencana sosial dipicu karena kedaruratan kompleks, walaupun
jarang terjadi tapi dampaknya juga sangat meluas. Misalnya,
konflik/perang antar suku, tawuran antar pelajar/antar kampung,
terorisme, serta pengungsian penduduk.
Secara keseluruhan, macam-macam bencana seperti yang
ditampilkan dalam Gambar 2.3 menurut Widodo (2012), adalah
sebagai berikut: (1) patahan gempa bumi, (2) tsunami tepi pantai, (3)

12 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


banjir, (4) tanah longsor, (5) pecemaran udara, (6) penggundulan
hutan, (7) letusan gunung api, (8) hujan angin/putting beliung, (9)
halilintar/petir, (10) kekeringan, (11) kebakaran hutan, dan (12)
kecelakaan (Accidents). Bahasan berikut kita akan fokuskan pada
bencana alam seperti yang menjadi topik utama dalam buku ini.

Gambar 2.4 Tren kejadian bencana tahun 2008 – 2018


(Sumber: http://dibi.bnpb.go.id/dibi/).

2.3 Bencana Alam di Indonesia


Bencana alam yang terjadi di Indonesia secara umum sudah
meliputi semua jenis bencana alam yang ada. Berikut akan diuraikan
bencana-bencana yang paling sering terjadi di wilayah Indonesia.

2.3.1 Kabut Asap dan Kebakaran Hutan


Bencana kabut asap yang terjadi di sejumlah wilayah di
Indonesia, seperti di Riau, Jambi dan Kalimantan, seperti sudah
menjadi bencana rutin setiap tahun. Kabut asap ini terjadi karena
adanya kebakaran hutan. Umumnya kebakaran hutan dapat
diakibatkan karena faktor alam akibat musim panas yang cukup
lama, namun juga dapat terjadi karena perbuatan manusia.

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 13


Gambar 2.5 Jarak pandang yang sangat dekat akibat bencana kabut asap
Riau (Sumber: www.kompas.com).

Kebakaran hutan karena manusia ini dipicu oleh adanya


keinginan segelintir orang atau korporasi (pihak perusahaan) yang
bertujuan untuk memperluas kawasan perindustriannya yang
dilakukan secara ilegal. Banyak dampak yang diakibatkan oleh
bencana kabut asap ini. Dampak seperti sesak nafas, lemas karena
terpapar kabut asap, bahkan sampai menyebabkan kecelakaan di
jalan raya sudah banyak dialami oleh warga sekitar daerah terdampak
kabut asap ini (Wismabrata, 2019).

2.3.2 Tanah Longsor (Landslide)


Tanah longsor adalah salah satu bencana yang cukup sering
terjadi di Indonesia, dan frekuensi terjadinya lebih sering
dibandingkan bencana lainnya (Noorwantoro dkk, 2013). Menurut
Arif (2015) longsor terjadi karena adanya ketidakstabilan lapisan
tanah akibat dari terganggunya ikatan tanah yang berasal dari tanah
rekah dan ditimpa hujan deras secara terus-menerus, seperti Gambar
2.6 di bawah.

14 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 2.6 Tanah longsor yang menimpa pemukiman warga
(Sumber: www.ilmugeografi.com).

Secara umum proses terjadinya tanah longsor adalah karena


bertambahnya bobot tanah akibat air yang terus-menerus merasap ke
dalam tanah yang menembus sampai ke tanah yang kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, yang mengakibatkan tanah menjadi
licin sehingga tanah yang lapuk di atasnya bergerak mengikuti lereng
dan luar lereng (Arif, 2015).
Berdasarkan Nandi (2007), gejala tanah longsor ditandai oleh
retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, dan
biasanya terjadi setelah hujan. Faktor umum penyebab tanah longsor
adalah hujan, lereng terjal, tanah yang kurang padat, batuan yang
kurang kuat dan getaran-getaran dari dalam tanah.

2.3.3 Banjir (Flood)


Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air (Awaliyah
dkk, 2014). Banjir telah menjadi bencana dengan frekuensi tertinggi
yang paling sering terjadi di Indonesia. Hampir dipastikan setiap
musim hujan di daerah tertentu di Indonesia terjadi banjir. Menurut
BNPB seperti yang disampaikan oleh Nisa (2014), bahwa persentase

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 15


terjadinya bencana banjir di Indonesia bahkan sampai mendekati
angka 80%.

Gambar 2.7 Bencana banjir Bengkulu 27 April 2019 yang menggenangi


pemukiman warga (Wahyu, 2019).

Penyebab terjadinya banjir lazimnya adalah karena terjadinya


peningkatan intensitas curah hujan yang di atas normal, dimana
sistem penampung hujan dari sungai dan anak sungai tidak mampu
menahan atau menampung akumulasi air hujan. Penyebab lainnya
dapat terjadi juga karena adanya pengundulan hutan, sehingga terjadi
erosi pada lhan yang curam. Pada daerah pemukiman, banjir terjadi
karena kurangnya daerah resapan air di lingkungan itu, seperti yang
sering terjadi di Jakarta (Darmawan & Suprajaka, 2017).

2.3.4 Gempabumi (Earthquake)


Gempabumi (earthquake) merupakan bencana alam yang terjadi
secara tiba-tiba dari dalam bumi dan dampak yang dihasilkannya dari
sebagian besar kasus sangat besar (Ilham dkk, 2019). Kebanyakan
gempa terjadi di daerah sepanjang batas pertemuan antar plat
tektonik dan daerah-daerah yang mengalami deformasi batuan (Bong,
2019).

16 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 2.8 Dampak dari gempa Padang 30 September 2009 silam
(Herdian, 2009).
Di Indonesia bencana gempabumi termasuk dalam kategori
bencana yang paling sering terjadi dan paling banyak menyebabkan
korban. Gempabumi adalah goncangan yang terjadi dari dalam bumi
berupa gelombang dan energi gempa yang sampai ke permukaan
bumi. Gempabumi atau gempa dapat berasal dari tumbukan plat
tektonik (lempeng tektonik di dalam bumi) yang disebut dengan
gempa tektonik, gempa akibat adanya aktivitas vulkanik di dasar
bumi, yang kemudian disebut dengan gempa vulkanik, gempa akibat
uji coba nuklir dan juga gempa akibat adanya runtuhan tanah
(wikipedia, 2019b).
Hampir di seluruh wilayah di Indonesia berisiko terhadap
gempabumi. Umumnya risiko gempabumi dialami oleh wilayah yang
berada di dekat dan dilalui oleh jalur pasifik (pasific circum) atau pada
jalur cincin api (ring of fire), dan daerah-daerah yang berada di dekat
zona subduksi yang membentang dari ujung pulau Sumatera hingga
ujung pulau Sulawesi dan Papua. Daerah-daerah di Kepulauan
Indonesia yang paling sering dilanda bencana gempabumi seperti,
wilayah di sepanjang bagian Barat pulau Sumatera, sepanjang bagian
Selatan pulau Jawa, Bali, Maluku, Kupang, Sulawesi dan daerah di
Papua.

2.3.5 Tsunami
Tsunami merupakan bencana alam yang terjadi akibat
mekanisme kejadian gempabumi (Sarwidi, 2015). Istilah tsunami

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 17


berasal dari bahasa Jepang, yang berarti gelombang besar yang
menghantam dermaga atau pelabuhan di daerah Jepang saat itu.
Secara lebih luas tsunami diartikan sebagai ombak atau
gelombang laut yang sangat besar yang menyapu daratan akibat
adanya gempabumi di laut. Tsunami termasuk bencana yang paling
banyak menyebabkan korban karena sifatnya yang masiv, yang
mampu menyapu bersih seluruh pemukiman warga dan menyeret
seluruh isinya ke laut lepas yang dalam (Khambali, 2017).
Contoh yang paling membekas hingga kini bagi kita adalah
kejadian bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Tsunami Aceh saat itu dipicu oleh beberapa kali bencana gempabumi
sebelumnya. Laporan berdasarkan Harian Kompas yang terbit pada
29 Desember 2004, kekuatan gempa yang terjadi berada di Samudera
Hindia pada kedalaman sekitar 10 kilometer di dasar laut. Wilayah
sumber gempa berjarak sekitar 149 kilometer sebelah barat Meulaboh,
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD-namanya saat itu).
Tabel 2.1 Karakteristik bencana tsunami.

Sumber: Widodo (2012).

18 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Tak hanya di wilayah Indonesia saja, setidaknya ada beberapa
negara yang terkena dampak tsunami yang terjadi pada 15 tahun
silam itu. Pantai-pantai yang berada Sri Lanka, India, Thailand,
Malaysia, Somalia, Bangladesh, Maladewa, dan Kepulauan Cocos,
adalah wilayah lainnya di luar Aceh Indonesia yang dilanda oleh
bencana Tsunami saat itu (Harian Kompas, 08 Januari 2005).

Gambar 2.9 Foto masjid yang menjadi satu-satunya bangunan utuh di


wilayah Meulaboh yang diambil pada 02 Januari 2005, menjadi salah satu
foto yang paling diingat Eugene Hoshiko, fotografer Associated Press yang
meliput tsunami Aceh (Sumber: Associated Press, 2005. Foto oleh: Eugene
Hoshiko).

Ribuan jiwa manusia menjadi korban, banyak bangunan hancur


dan rusak berat akibat keganasan tsunami itu. Setidaknya tercatat dari
Sumatera sampai Kepulauan Andaman, Thailand, India Selatan, Sri
Lanka dan sebagian Afrika, ada sekitar 230.000 orang yang tewas di
14 negara. Kerusakan parah terjadi di wilayah Aceh dengan kurang
lebih sekitar 170.000 orang tewas. Semua bangunan hancur yang
berada di sekitar pantai dan ratusan orang kehilangan tempat
tinggalnya (nasional.kompas.com, 2018).

2.3.6 Letusan Gunung Berapi (Volcano Eruption)


Selain dari bencana besar yang sudah disebutkan sebelumnya,
Indonesia juga sering mengalami erupsi gunung api. Karena berada

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 19


di kawasan Pasifik, mengakibatkan wilayah Indonesia memiliki
banyak gunung api. Hampir 30% gunung api aktif di dunia ada di
Indonesia, yang sebagian besar di antaranya masih aktif hingga
sekarang. Beberapa gunung api yang masih aktif itu adalah Gunung
Merapi di Yogayakarta, Gunung Bromo di Jawa Timur, Gunung
Sinabung di Sumatera Utara, Gunung Talang di Sumatera Barat,
Gunung Kerinci di Jambi, dan Gunung Agung di Bali (Pratomo,
2006). Tabel berikut adalah beberapa gunung api yang masih aktif
hingga sekarang.

Tabel 2.2 Beberapa letusan gunung api di Indonesia sejak tahun 1500.

Sebagian besar gunung berapi yang ada di Indonesia terdapat di


daerah yang padat penduduk, karena memiliki tanah yang subur
dan udara yang sejuk. Sehingga jika terjadi bencana erupsi dari
gunung tersebut, dampak yang ditimbulkannya menjadi lebih luas.

20 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 2.10 Bangun tubuh Gunung Merapi Yogyakarta setelah
mengalami erupsi (Pratomo, 2006).

Erupsi gunung api di Indonesia yang berkaitan dengan


pembentukan kaldera pernah terjadi pada Gunung Tambora (pulau
Sumbawa) pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau pada tahun
1883, yang dampak letusannya mempengaruhi iklim dunia, dan
mendatangkan bencana geologi besar di beberapa bagian bumi
(Sutawidjaja dkk, 2005).

Pengetahuan Bencana dan Karakteristiknya 21


22 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan
Bab 3
Kajian Risiko Bencana
(Disaster Risk Assessment)

Dalam sub-bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa berdasarkan


definisi bencana yang telah diuraikan, jika terdapat rendahnya
kapasitas manusia (capacity) dan adanya lingkungan yang rentan
terhadap ancaman bahaya, maka dapat memungkinkan terjadinya
bencana. Berdasarkan hal itu, maka suatu bencana dapat terjadi jika
telah memenuhi beberapa syarat berikut (UN-ISDR No. 24/2002):
1. Ada peristiwa,
2. adanya faktor alam dan faktor manusia,
3. terjadi secara tiba-tiba maupun secara perlahan,
4. menimbulkan hilangnya nyawa manusia, kehilangan harta
benda, kerugian sosial ekonomi, kerusakan lingkungan, dan
lain-lain, serta
5. lemahnya kemampuan manusia untuk menanggulanginya.

Kajian Risiko Bencana (Disaster Risk Assessment) 23


Gambar 3.1 Komponen-komponen penyebab bencana.

Melihat Gambar 3.1 di atas, jelas bahwa penyebab bencana


adalah karena adanya faktor pemicu pada risiko bencana (seperti
yang disebutkan dalam penjelasan sebelumnya). Risiko bencana (risk
disaster) terjadi karena adanya bahaya (hazard) dan kerentanan
(vulnerability) yang berasal dari manusia dan lingkungan di sekitarnya.
Secara lebih rinci, sebab-sebab terjadinya bencana dijelaskan seperti
Gambar 3.3.

3.1 Risiko Bencana (Disaster Risk)


Setiap tindakan yang kita ambil dalam kehidupan sehari-hari
penuh dengan risiko dan tantangan. Persepsi tentang risiko
bergantung pada pandangan individu seseorang. Bagaimana definisi
tentang risiko, itu tergantung pada bagaimana cara pandang
seseorang dalam menilai risiko tersebut. Risiko dapat diartikan
dengan peluang yang merugikan, kemungkinan terjadinya kehilangan
dan adanya ketidakpastian (uncertainty).
Berdasarkan klasifikasi dari definisi risiko di atas, maka suatu
risiko dapat terjadi jika sudah memenuhi kriteria seperti: kejadian,
kemungkinan dan peluang kerugian. Jika tiga kriteria tersebut belum
terpenuhi maka kondisi tersebut belum dapat disebut sebagai risiko.
Misalnya, pada suatu hari terjadi hujan lebat, kemungkinan akan
terjadi banjir, yang akan mengakibatkan hanyut dan tergenangnya
rumah-rumah di pemukiman warga. Namun jika peristiwa itu sudah

24 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


terjadi dan peristiwa tersebut menyebabkan kerugian, maka peristiwa
itu sudah dinyatakan sebagai bencana.
Dari contoh kasus di atas diketahui, bahwa terjadinya hujan
lebat adalah kriteria “kejadian,” kemungkinan akan terjadi banjir
adalah “kemungkinan,” dan hanyutnya rumah-rumah termasuk ke
dalam “peluang kerugian.” Tapi jika sudah terjadi hujan lebat dan
menyebabkan banjir, sehingga banyak rumah warga yang hanyut,
maka itu dinyatakan sebagai bencana banjir, dan bukan risiko banjir
lagi. Jadi disini jelas terlihat, bagaimana perbedaan antara risiko
bencana dan bencana itu sendiri.

Gambar 3.2 Kriteria risiko bencana.

Berdasarkan deskripsi di atas risiko dapat diartikan sebagai


potensi kerugian atau kemungkinan timbulnya korban manusia,
kerusakan dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bahaya
tertentu di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Menurut UU
RI 24/2007, risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang
dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, rasa tidak aman,
mengungsi, kerusakan, atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Besar-kecilnya risiko dari bencana bergantung kepada tingkat
kerentanan. Jika masyarakat sudah memiliki kapasitas dan
pengetahuan tentang bencana, itu berarti tingkat kerentanannya
rendah. Kerentanan juga dapat diukur berdasarkan jarak sumber

Kajian Risiko Bencana (Disaster Risk Assessment) 25


bahaya dari manusia dan lingkungannya. Jika sumber bahaya
(misalnya gunung berapi, dekat tebing dan perbukitan, dan dekat
dengan bantaran sungai) berada dekat dengan manusia dan atau
lingkungan, maka dapat dikatakan manusia dan lingkungan yang
berada dekat dengan bahaya itu adalah rentan terhadap bencana.

Gambar 3.3 Penyebab bencana alam (Modifikasi DeLeon, 2006).

Sudah dijelaskan di muka, bahwa komponen-komponen pemicu


bencana adalah adanya bahaya dan kerentanan yang menyebabkan
munculnya risiko bencana. Risiko bencana ini dapat ditekan (atau
mungkin dicegah) dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat
yang terancam bencana. Sebelum melakukan pencegahan terhadap
risiko bencana pada suatu daerah, harus terlebih dulu memahami
karakteristik risiko bencana yang ada di daerah tersebut. Oleh karena
itu, dalam bahasan berikut ini akan dijelaskan setiap komponen
pemicu penyebab risiko bencan dan bagaimana hubungan masing-
masing komponen itu.

3.2 Ancaman / Bahaya (Hazard)


Bahaya disebut juga ancaman luar yang mengancam kehidupan
di sekitarnya. Bahaya atau ancaman dari luar ini adalah semua faktor

26 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


yang dapat menyebabkan manusia rentan terhadap kondisi tersebut.
Faktor penyebab adanya bahaya dapat berasal dari dalam bumi
(secara geologi) maupun dari luar. Bahaya dari dalam bumi dapat
berasal bencana gempabumi, longsor, banjir dan tanah bergerak
(bencana alam).
Sementara bahaya dari luar seperti ancaman dari meteor yang
jatuh ke bumi, topan, badai, hujan lebat, global warming. Bahaya ini
akan terus mengancam kehidupan manusia selama bumi ini terus
bergerak. Pergerakan yang terjadi dapat memicu bahaya dan risiko
bencana. Sebagai contoh dari akibat pergerakan bumi ini adalah
adanya ancaman gempabumi dari tumbukan antar lempeng bumi dan
letusan gunung berapi akibat adanya aktivitas magma sebagai
konsekuensi pergerakan bumi.
Secara keilmuan dapat dipahami bahwa Indonesia berada pada
pertemuan tiga lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia di
bagian Selatan, lempeng Eurasia di Utara dan lempeng Pasifik di
bagian Timur. Tumbukan lempeng Indo-Australia yang menujum ke
bawah lempeng Eurasia telah menimbulkan gempabumi,
terbentuknya jalur gunung berapi dan terciptanya sesar-sesar aktif,
sehingga menjadi ancaman dan bahaya yang dapat mempengaruhi
keberlangsungan hidup (Nurjanah dkk, 2013).

3.3 Kerentanan (Vulnerability)


Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat, yang ditandai dengan menurunnya kemampuan
masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Penilaian terhadap
kerentanan, baik pada manusia, bangunan, geologi dan infrastruktur
lainnya penting dilakukan, karena jika ancaman atau bahaya bertemu
dengan kondisi rentan, maka saat itu dapat dikatakan telah terjadi
bencana.
Dalam UU RI 24/2007, kerentanan diartikan sebagai suatu
kondisi atau rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya
(bahaya alam dan non-alam) yang ada akan dapat menimbulkan
bencana atau tidak. Rangkaian kondisi yang dimaksud meliputi
kondisi fisik, sosial-ekonomi, politik-budaya dan sikap, yang

Kajian Risiko Bencana (Disaster Risk Assessment) 27


mempengaruhi atau mengurangi kemampuan masyarakat dalam
melakukan tindakan/upaya pencegahan, mitigasi, persiapan dan
tanggap bencana terhadap bahaya yang ada.

Gambar 3.4 Analogi risiko, rentan dan bencana.

Melihat beberapa kondisi rentan seperti yang diuraikan di atas,


maka kerentanan dapat dibedakan menjadi sebagai berikut.

3.3.1 Kerentanan Fisik (Physic Vulnerability)


Kerentanan fisik berkenaan dengan lingkungan infrastruktur,
lingkungan areal pertanian, kehutanan, budidaya air, area
pemukiman, konstruksi bangunan dan hasil-hasil produksi (struktur
dan infrastruktur). Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah; potensi
kekuatan ancaman berdasarkan pola geografis, keadaan fisik dan
topografi wilayah setempat, jumlah dan tingkat kepadatan penduduk,
pola tingkah laku masyarakat terhadap lingkungannya, jenis material
yang digunakan untuk konstruksi bangunan, dan drainase serta
saluran pembuangan kotoran.
3.3.2 Kerentanan Sosial (Social Vulnerability)
Berkenaan dengan kependudukan (demography concern) dan
tingkat kesadaran masyarakat (community awareness). Misalnya;
jumlah dan kategorisasi terhadap kelompok rentan (wanita orangtua
tunggal, ibu hamil, cacat fisik/mental, lansia, serta bayi dan balita),

28 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


tingkat kepadatan pemukiman penduduk yang memiliki korelasi yang
kuat tehadap jumlah korban yakni, perlu adanya penilaian tentang
dimana wilayah bahaya dalam hubungannya dengan dimana orang
bekerja dan bermukim, persepsi dan kepercayaan masyarakat tentang
bencana, dampaknya dan hubungannya dengan upaya mitigasi.

3.3.3 Kerentanan Ekonomi (Economic Vulnerability)


Berkenaan dengan bagaimana masyarakat dapat melangsungkan
kehidupannya dan dari mana mereka memperoleh mata
pencahariannya. Misalnya, mata pencarian yang paling mudah
terkena dampak bencana seperti; perikanan, pertanian, pengemudi
becak dan sebagainya.

3.3.4 Kerentanan Sikap Masyarakat


Persepsi masyarakat tentang bencana dan kemampuan mereka
untuk mengurangi/mengatasi dampak bencana yang tercermin dalam
menetapkan prioritas dalam upaya penanggulangan bencana (PB).
Melihat kondisi di atas, maka faktor kerentanan dapat dilihat
berdasarkan posisi masyarakat terhadap sumber bencana. Artinya,
masyarakat yang rentan bahaya tsunami adalah yang tinggal dekat
dengan daerah pesisir pantai, masyarakat yang rentan banjir adalah
yang tinggal dekat bantaran sungai, masyarakat yang rentan bencana
gempa adalah yang tinggal dekat daerah patahan dan sesar-sesar aktif
serta masyarakat yang rentan erupsi gunungapi adalah masyarakat
yang tinggal di lereng/kaki pegunungan.

3.4 Kapasitas (Capacity)


Berbadasarkan penjelasan di muka, dimana kerentanan termasuk
jadi penentu terjadinya bencana. Melihat hubungannya dengan
tingkat kapasitas masyarakat, kerentanan berbanding lurus dengan
kapasitas. Kita tahu bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di pulau
Jawa dan Madura lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya
di Indonesia. Urbanisasi warga desa ke kota yang masiv untuk tujuan
mencari pekerjaan namun tidak memiliki keahlian, hanya akan
meningkatkan jumlah pengangguran di kota-kota, sehingga
mengakibatkan kemisikinan (Renas-PB, 2010).

Kajian Risiko Bencana (Disaster Risk Assessment) 29


Kemiskinan dapat memicu terjadinya bencana. Bencana sosial
yang timbul akibat adanya kecemburuan sosial yang mengakibatkan
tingginya angka kriminalitas terjadi karena adanya faktor kemiskinan.
Kurangnya keahlian dalam bekerja dan lalu timbul pengangguran
sehingga menyebabkan kemiskinan juga akan dapat melemahkan
kemampuan (kapasitas) dalam berinteraksi dengan bencana. Hal ini
berarti bahwa dengan kemiskinan, akan menyebabkan lemahnya
kemampuan secara finansial, yang berdampak kepada kurangnya
kemampuan dalam upaya mengelola dan mencegah serta melakukan
mitigasi bencana.

3.5 Hubungan antara Risiko (Risk), Bahaya (Hazard),


Kerentanan (Vulnerability) dan Kapasitas (Capacity)
Sebelumnya telah dibahas mengenai bagaimana suatu bencana
dapat terjadi. Tiga komponen atau faktor terjadinya bencana dapat
melalui adanya ancaman/bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability)
dan kapasitas (capacity). Tiga hal ini saling berkaitan satu sama lain,
sehingga untuk menekan tingginya kerentanan maka harus diikuti
dengan kemampuan/kapasitas yang memadai.
Bencana akan terjadi apabila bahaya/ancaman luar lebih besar
daripada kerentanan dan kapasitas. Jika kerentanan tinggi, maka
ketahanan memikul beban akan rendah, sementara jika kapasitas
besar maka semakin baik kemampuannya menghadapi bencana.
Risiko bencana akan tinggi apabila kerentanan tinggi, kapasitas
rendah dan ancaman/bahaya besar. Risiko bencana dihitung
berdasarkan hubungan matematis, dimana hubungan antar ketiga
unsur atau komponen di atas dijelaskan seperti,
Hazard  Vulnerability
Risk 
Capacity
............. (3.1)
Berdasarkan hubungan di atas, risiko bencana merupakan yg
merupakan probabilitas dari dampak atau konsekuensi dari suatu
bahaya/ancaman, dimana berbanding lurus dengan ancaman dan
kerentanan (kerawanan) yang tinggi sementara kapasitas masyarakat
rendah. Dengan begitu, semakin tinggi ancaman, kerentanan dan
ketidakmampuan, maka akan semakin besar risiko yang akan

30 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


dihadapi. Usaha selanjutnya yang harus dilakukan adalah bagaimana
mengurangi ancaman atau bahaya yang berdampak pada rendahnya
kerentanan serta upaya untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan
masyarakat?
Menjawab pertanyaan di atas, cara yang mungkin dilakukan
adalah dengan mengenali karakteristik dan potensi bahaya yang ada
di daerah kita. Dengan mengenali potensi bahaya dan tingkat
kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan besar risiko yang akan
terjadi. Jika sudah memahami potensi bahaya, maka dapat dipikirkan
usaha selanjutnya. Misalkan, tinggal di daerah dekat gunungapi,
memiliki risiko terancam bahaya gunung meletus. Daerah di sekitar
lereng gunungapi ini tentunya merupakan daerah yang rentan. Agar
tidak terjadi berisiko, maka sudah seharusnya kita lakukan upaya
untuk pindah dari daerah tersebut.

Kajian Risiko Bencana (Disaster Risk Assessment) 31


32 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan
Bab 4
Penanggulangan Bencana
dan Pengurangan Risko
Bencana (PB-PRB)

Dalam melakukan upaya penanggulangan bencana, hal penting


yang perlu diperhatikan adalah bagaimana penanganan terhadap
risiko bencana yang akan terjadi di suatu daerah yang rawan terhadap
bencana. Sebelum melakukan upaya pengurangan/penanggulangan
risiko bencana, terlebih dulu kita harus mengetahui tentang
ancaman/bahaya, kerentanan/kerawanan dan kapasitas masyarakat
suatu wilayah terhadap bencana, seperti dalam uraian sub-bab
sebelumnya.
Banyaknya jenis bencana yang kemungkinan dapat terjadi
sewaktu-waktu, merupakan ancaman bencana yang harus dikurangi
risikonya. Risiko bencana dapat muncul akibat adanya situasi dan
kondisi ketidakpastian dan yang akan menyebabkan kerugian. Akibat
ketidakpastian itu, menyebabkan masyarakat yang bermukim di
daerah rawan bencana ada yang hidup dan berkehidupan secara
untung-untungan.

4.1 Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana


(PB)
Berbagai anggapan dan pandangan telah muncul dalam
memberikan pemahaman tentang penanggulangan bencana. Sejauh

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 33


ini berbagai pandangan atau paradigma perlahan mulai berkembang
dan menunjukkan usaha ke arah perbaikan dan pengurangan risiko
bencana (PRB). Dalam hal pengurangan risiko bencana (PRB) dan
penanggulangan bencana (PB) disini, terdapat perbedaan penting,
karena antara risiko dan bencana memiliki cara penanggulangan yang
masing-masing juga berbeda satu sama lain.
Paradigma lama manusia terhadap bencana memberi
pemahaman bahwa bencana adalah takdir hidup dan sudah
ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bencana memang sudah
seharusnya terjadi. Sehingga akibatnya lebih mengarah kepada tidak
adanya usaha dan upaya dalam mengurangi dampak yang
diakibatkan. Bencana (disaster) adalah kejadian yang merugikan yang
sudah terjadi, sementara risiko bencana (disaster risk) adalah sumber
ancaman /bahaya (hazard) yang mungkin bisa terjadi dan mungkin
bisa tidak, tergantung bagaimana paradigma tadi bisa dipahami
dengan benar.

Gambar 4.1 Workshop dan seminar kebencanaan (kiri) serta pembangunan


tanggul (kanan) sebagai upaya pengurangan risiko bencana.

Misalnya, PRB dilakukan lebih kepda upaya pencegahan dan


kesiapsiagaan, yang dilakukan pada tahap prabencana. Sementara PB
dilakukan pada tahap pascabencana, dimana segala bentuk upaya
tanggap darurat dan lebih ditekankan pada upaya penyelamatan
korban bencana, pemulihan, rekonstruksi struktur dan rehabilitasi.
Berdasarkan pemahaman itu, menurut UNDRR (2009) bahwa
Pengurangan risiko bencana-PRB (Disaster Risk Reduction-DRR) dapat

34 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


dipahami sebagai upaya yang dilakukan melalui upaya sistematis
untuk menganalisis dan mengelola faktor-faktor penyebab bencana,
termasuk melalui pengurangan paparan bahaya, berkurangnya
kerentanan manusia dan harta benda, pengelolaan tanah dan
lingkungan secara bijaksana, dan peningkatan kesiapan menghadapi
peristiwa buruk.
Definisi lain dari PRB juga bisa diartikan sebagai upaya terpadu
yang dilaksanakan oleh masyarakat dan stakeholder setempat untuk
mengurangi kerentanan yang ada di masyarakat dan meningkatkan
kapasitas masyarakat untuk dapat menanggulangi dampak dari
bencana, wabah penyakit, masalah kesehatan, masalah lingkungan
dan sebagainya. Melihat pengalaman, sumber bencana yang akan
berisiko tidak selalu menjadi bencana jika upaya PRB menjadi
prioritas utama dalam rangka mengurangi dampaknya jika terjadi
nantinya bencana. Tabel 4.1 berikut menjelaskan tentang pergeseran
paradigma penanggulangan bencana.

Tabel 4.1 Pergeseran paradigma penanggulangan bencana.

Paradigma Lama Paradigma Baru


Bersifat respons Pengurangan risiko (pencegahan dan
kesiapsiagaan)
Penanganan sektoral Multisektoral
Sistem sentralistik Desentralistik
Cara konvensional Holistik, penanganan dilakukan pada semua
fase, dari prabencana, pada saat bencana,
dan pascabencana dan dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha
Anggaran urusan Peran serta masyarakat dunia usaha
pemerintah
Sumber: Khambali (2017).

Oleh karena itu, upaya pengurangan risiko bencana jauh lebih


utama dibandingkan upaya pada penanggulangan bencananya,
karena upaya penanggulangan bencana adalah upaya-upaya yang
dilakukan karena sudah terjadi bencana yang telah menimbulkan

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 35


korban, baik ekonomi, sosial bahkan jiwa. Adapun kegiatan
pengurangan risiko bencana (PRB) yang bisa dilakukan adalah:

1. Relokasi penduduk dari daerah rawan bencana, misal:


memindahkan penduduk yang berada di pinggir tebing yang
rawan longsor,
2. pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan bencana bagi penduduk di
sebuah daerah,
3. pengkondisian rumah atau sarana umum yang tanggap
bencana,
4. mendesain bangunan yang ramah gempa, dan
5. penciptaan dan penyebaran kearifan lokal terkait kebencanaan

Seperti yang sudah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, upaya-


upaya untuk mengurangi risiko bencana secara umum adalah dengan
mengurangi tingkat ancaman/bahaya, memperkecil tingkat
kerentanan, dan meningkatkan kapasitas masyarakat dan sarana dan
prasarana yang ada. Lebih lengkapnya upaya PRB akan dijelaskan
berikut ini.
1. Membuat Peta Rawan Bencana. Pembuatan peta rawan bencana
ini seperti peta topografi kota, peta geologi, sungai, danau, peta
rawan gempa dengan program Sistem Informasi Geografis (SIG),
gunungapi dan sebagainya. Selain itu juga dengan melakukan
inventarisasi ancaman bencana geologis dan bencana lainnya,
serta melakukan pendataan tentang data-data demografi, data-
data masyarakat yang rentan dan data-data sarana dan prasarana
kesehatan.
2. Mengidentifikasi Jenis Ancaman/Bahaya. Jenis-jenis ancaman
yang ada adalah seperti: gempabumi, tsunami, letusan
gunungapi, angin badai, banjir, longsor, kebakaran hutan dan
kabut asap, kekeringan dan sebagainya.
3. Mengidentifikasi Karakteristik Ancaman/Bahaya. Seperti
intensitas bahaya, besar dampak bahaya, luasan dampak
bencananya serta mengidentifikasi rentang peringatan dini serta
seberapa lama terjadinya proses bencana itu.

36 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


4. Mengidentifikasi Kerentanan Fisik. Kerentanan fisik yang perlu
diperhatikan adalah kerentanan struktur bangunan, sistem
transportasi, sosial dan kerentanan ekonomi.
5. Membuat kebijakan-kebijakan, yang meliputi perundang-
undangan, regulasi, Perda, naskah akademis, dan kebijakan
lainnya terkait pengurangan risiko bencana.

Gambar 4.2 Siklus Managemen risiko bencana


(Sumber: NHP, 2019).

Perbedaan paradigma PB dan PRB lebih dititikberatkan kepada


waktu pelaksanaan. Jika PB dilakukan di tahap terjadinya bencana
dan tanggap darurat, maka PRB dilakukan pada masa-masa tidak
terjadi bencana, tahap ini disebut dengan tahap prabencana. Baik PB
maupun PRB semuanya mengarah kepada satu sistem dalam
manajemen bencana.

4.2 Manajemen Bencana (Disaster Management)


Berbagai paradigma tentang penanggulangan bencana dari waktu
ke waktu sudah bergeser ke arah yang lebih baik, yang awalnya
melakukan tanggap darurat bencana hingga beralih menjadi upaya
pengurangan risiko bencana. Upaya PRB seharusnya sudah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai makhluk

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 37


sosial dan saling berkebutuhan satu sama lain agar selalu membantu
dan meningkatkan kapasitas dengan dimulai dari diri sendiri,
keluarga, komunitas dan tetangga terdekat, guna tercapainya
kesejahteraan, keamanan, kedamaian dan keberlangsungan hidup ke
arah yang lebih baik.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa negara berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia, yang tentu saja termasuk dari
melindungi dari segala bencana. Bukti nyata dari perwujudan dari
UUD 1945 itu adalah diterbitkannya Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dikeluarkannya undang-undang tersebut bertujuan untuk
menyamakan persepsi dan pandangan dalam memahami istilah-
istilah tentang kebencanaan dan segala upaya yang harus dilakukan
untuk menanggulanginya.
Dalam UU RI 24/2007 disebutkan bahwa pengertian
manajemen bencana lebih dikatakan sebagai penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Dalam undang-undang tersebut, pada
pasal 1 ayat 5, penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi. Sebagai tahap standar
penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti gambar di bawah.

Gambar 4.3 Format dasar manajemen bencana.

38 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Melihat format manajemen bencana pada Gambar 4.3 di atas,
terdapat beberapa tahapan standar, dimana proses itu akan terus
berulang setiap waktu selama ancaman dan kerentanan itu terus ada.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan manajemen bencana tidak dapat
dilakukan sendiri dan secara terpisah, karena kegiatan manajemen
bencana adalah upaya terpadu, yang melibatkan semua unsur dan
komunitas masyarakat multidisiplin dengan persepsi yang sama,
yakni untuk mensejahterakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, sesuai dengan UUD 1945 di muka.
Menurut UU RI 24/2007, manajemen bencana merupakan suatu
proses dinamis, berkelanjutan, dan terpadu untuk meningkatkan
kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan
analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi
bencana. Secara umum manajemen bencana bertujuan untuk:
1. Mencegah dan menekan jumlah korban dan kerugian,
2. Menghilangkan kesengsaraan,
3. Mengembalikan korban pengungsian ke tempat tinggalnya
semula, atau bila mungkin dapat merelokasinya ke tempat
yang lebih aman,
4. Mengembalikan fungsi dari fasilitas umum seperti
transportasi, telekomunikasi, ruang publik serta sarana dan
prasarana penting lainnya, dan
5. Mengurangi kerusakan-kerusakan lebih lanjut.

Gambar 4.4 Siklus manajemen bencana (disaster management cyrcle).

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 39


Berdasarkan gambar di atas, kegiatan manajemen bencana secara
umum terdiri dari tiga tahap penting yaitu tahap prabencana, saat
bencana dan pascabencana. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari
pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan
(preparedness), peringatan dini (early warning), tanggap darurat
(response), bantuan darurat (relief), pemulihan (recovery), rehabilitasi
(rehabilitation), hingga rekonstruksi (reconstruction). Demi pelaksanaan
lebih lanjut dan pengembangan istilah manajemen bencana,
kemudian diarahkan untuk penyebutan Manajemen Penanggulangan
Bencana saja.

Gambar 4.5 Tahapan manajemen bencana.

Siklus manajemen bencana seperti pada Gambar 4.3 kemudian


dapat disederhanakan lagi berdasarkan tahapan yang telah
disebutkan, seperti Gambar 4.5 di atas, yang selanjutnya kita sebut
sebagai sistem penanggulangan bencana di Indonesia.

4.3 Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia


Manajemen bencana yang dibentuk berdasarkan UURI No.
24/2007 berlandaskan pada UUD 1945 yang berasaskan pada
kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, keseimbangan-keselarasan-keserasian, ketertiban dan

40 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Prinsip utama dari manajemen
bencana adalah cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan
keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan
akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, nondiskriminatif dan
nonproselitisi.
Setiap upaya penanggulangan bencana di Indonesia mengacu
kepada Sistem Nasional Penanggulangan Bencana (PB). Sistem PB
tersebut terdiri dari: legislasi, kelembagaan, pendanaan, perencanaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan penyelenggaraan
(penyelenggaraan penanggulangan bencana).

Gambar 4.6 Komponen sistem penanggulangan bencana (Sarwidi, 2015).

Setelah diterbitkannya UU No. 24 Tahun 2007, maka


dibentuklah Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres)
maupun Peraturan Menteri (Permen) serta Peraturan Kepala
Lembaga (Perka). PP dibuat lebih kepada bagaimana peran lembaga
usaha dan internasional, penyelenggaraan penanggulangan bencana
serta pendanaan dan bantuan. Dalam penyelenggaraan, PP lebih
fokus kepada proses rehabilitasi, rekonstruksi dan akses yang
memadai. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di
tingkat pusat dibentuk dalam putusan Perpres dan Badan

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 41


Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat daerah dibentuk
oleh putusan Permen.
Berdasarkan Pepres No. 8 Tahun 2008 pemerintah membentuk
BNPB di tingkat pusat dan segera setelah itu pemerintah daerah
membentuk BPBD melalui koordinasi dengan BNPB dengan Permen
Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 di tingkat kabupaten dan kota.
Oleh karena itu, BNPB bertanggung jawab langsung kepada presiden,
sedangkan BPBD provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan
BPBD kabupaten dan kota bertanggungjawab kepada bupati dan
walikota.
Dalam hal terkait pendanaan kebencanaan, baik itu untuk
bantuan maupun untuk dana sosialisasi dan pendidikan , secara
umum dapat langsung digunakan dari dana yang berasal dari
masyarakat individu maupun lembaga, baik tingkat lokal, nasional
maupun internasional. Sementara untuk mendukung segala kegiatan
yang dilakukan oleh BNPB/BPBD terkait dalam upaya
penanggulangan bencana, biayanya diambil dari keuangan Anggaran
Pendapatan Belanja Nasional (APBN).

4.4 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana


Setelah dirumuskan, membuat legislasi hukum dan memahami
prinsip-prinsip manajemen bencana, maka hal yang harus segera
dilakukan adalah bagaimana melakukan penyelenggaraan
penanggulangan yang tepat sasaran. Secara umum telah diuraikan
tahapan-tahapan penting dalam manajemen bencana, namun dalam
penyelenggaraan hal ini perlu dijelaskan lebih lanjut, tentang kegiatan
apa saja yang sebaiknya dilakukan pada setiap tahapan-tahapan itu
(Gambar 4.7).

42 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 4.7 Tahapan dan perencanaan manajemen bencana.

Dari Gambar 4.7 di atas, terdapat berbagai rencana untuk tiap-


tiap tahapan manajemen bencana yang ada. Rencana-rencana
tersebut sesuai dengan aktivitas yang akan dilakukan sebelum, saat
dan setelah bencana. Penjelasan berikut akan diberikan untuk masing-
masing tahapan.

4.4.1 Situasi Prabencana (Tidak Berpotensi Bencana)


Kegiatan manajemen risiko bencana dilakukan pada tahap
prabencana, yakni pada situasi tidak terjadi bencana hingga pada saat
berpotensi bencana, berupa upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
manajemen risiko bencana adalah:
1. Identifikasi jenis ancaman yang ada di sekitar kita
2. Identifikasi kemungkinan risiko dan dampaknya
3. Mengevaluasi ancaman yang berisiko tinggi dan ancaman
lainnya
4. Mengatur risiko melalui pencegahan dan mitigasi

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 43


5. Setelah itu tawakal dan berserah diri kepada Allah dengan
tetap berikhtiar dan melakukan upaya maksimal lainnya.

Pada situasi tidak terjadi bencana, yakni situasi dimana tidak


adanya ancaman bencana sampai pada waktu tertentu, dapat
dilakukan kegiatan dan upaya-upaya berupa rencana Penanggulangan
Bencana (Rencana PB), pengurangan risiko bencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis
risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana (Sarwidi, 2015).
Upaya pengurangan risiko bencana dan pencegahan pada tahap
ini juga tidak kalah penting. Pengenalan dan identifikasi ada atau
tidaknya ancaman sangat menentukan apakah suatu wilayah atau
orang yang ada disana berada dalam kerentanan, sehingga perlu
untuk meningktkan kapasitas guna mengurangi dan memperkecil
dampak yang diakibatkan oleh bencana.
Pada situasi berpotensi bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan meningkatkan
upaya kesiapsiagaan, peringatan dini, dan upaya-upaya mitigasi
bencana. Kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan mempersiapkan
segala kebutuhan yang dibutuhkan saat bencana akan terjadi,
termasuk juga mempersiapkan kapasitas sumber daya manusia yang
ada.
Menurut The United Nations International Strategy for Disaster
Reduction (UNISDR, 2009), kesiapsiagaan adalah pengetahuan dan
kapasitas yang dikembangkan oleh pemerintah, lembaga-lembaga
profesional dalam bidang respons dan pemulihan, serta masyarakat
dan perorangan dalam mengantisipasi, merespons, dan pulih secara
efektif dari dampak-dampak peristiwa atau kondisi ancaman bahaya
yang mungkin ada, akan segera ada, atau saat ini ada.
Persiapan dan kegiatan peringatan dini juga harus dipastikan
dengan baik. Kegiatan ini lebih ditekankan kepada kemudahan akses
baik informasi, pengamatan gejala-gejala yang terjadi, melakukan
analisis-analisis pengamatan gejala bencana serta pengambilan

44 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


keputusan oleh pihak berwenang. Dengan adanya pergeseran
paradigma penanggulangan bencana dari kegiatan penanggulangan
pada saat tanggap darurat menjadi kegiatan pengurangan risiko
bencana pada fase pabencana, maka semua kegiatan yang berada
dalam lingkup prabencana lebih diprioritaskan termasuk upaya dan
kegiatan kesiapsiagaan.

4.4.2 Situasi Saat Terjadi Bencana


Pada situasi saat terjadi bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana diberlakukan pada upaya tanggap darurat
bencana. Tanggap darurat bencana merupakan upaya yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menanggulangi
dampak yang ditimbulkan terutama dalam upaya penyelamatan
terhadap para korban, harta benda, proses evakuasi dan pengungsian.
Pada situasi ini keadaan sangat panik, terjadinya bencana yang
mendadak dan tak terkendali, dan korban yang ditimbulkan relatif
lebih banyak dan butuh bantuan sesegera mungkin, baik terhadap
sarana dan infrastruktur maupun terhadap warga yang menjadi
korban. Beberapa permasalahan yang sering muncul pada situasi ini
adalah:
1. Terbatasnya sumberdaya manusia, atau tenaga yang memiliki
kemampuan di bidang itu memiliki kesibukan di bidang lain.
2. Terbatasnya peralatan serta sarana dan prasarana.
3. Belum disiapkannya sistem kesehatan secara khusus untuk
penanganan korban.

4.4.3 Situasi Pascabencana


Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat setelah
bencana (pascabencana) meliputi upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
Banyak kegiatan yang dilakukan pada situasi ini, dan kebanyakan
lebih kepada pemulihan situasi yang terjadi setelah bencana. Upaya
rehabilitasi dilakukan dalam rangka untuk perbaikan lingkungan yang
terlanda bencana, perbaikan sarana-prasarana, pemberian bantuan
berupa rumah warga, pemulihan dampak psikologis, pelayanan

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 45


kesehatan, pemulihan sosial-ekonomi, keamanan-ketertiban, fungsi
pemerintah dan pemulihan segala fungsi pelayanan publik.

Gambar 4.8 Upaya pemulihan kondisi mental anak-anak di tempat


pengungsian setelah bencana.

Sementara untuk upaya rekonstruksi, lebih banyak dilakukan


dalam rangka pembangunan kembali struktur bangunan dari semua
sarana dan prasarana umum yang sudah hancur, pembangunan
kembali sarana sosial kemasyarakatan, kegiatan rancang bangun yang
tepat, penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana,
pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat,
partisipasi dan peran lembaga serta organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha, peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, serta
peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat (Sarwidi, 2015).

4.5 Lembaga Kebencanaan


Dalam uraian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pemerintah di
tingkat pusat sudah membentuk lembaga dengan fungsi
penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu BNPB, di tingkat
daerah juga dibentuk lembaga BPBD. Uraian berikut akan dijelaskan
peran dan tugas BNPB serta lembaga lainnya.

46 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Banyak tugas yang harus dilakukan oleh BNPB di antaranya
adalah sebagai pemberi pedoman dan pengarahan penanggulangan
bencana, menetapkan standarisasi penyelenggaraan penanggulangan
bencana dan peraturan perundang-undangan.
Disamping itu BNPB juga wajib menyampaikan informasi,
melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
presiden setiap sebulan sekali dalam keadaan normal dan setiap saat
pada saat darurat, serta mempertanggungjawabkan sumbangan atau
bantuan nasional dan internasiona, dan penggunaan anggaran yang
diterima dari APBN. Pada kegiatan ini, BNPB juga wajib menyusun
pedoman pembentukan BPBD di tingkat daerah.
Selanjutnya BNPB juga menyelenggarakan fungsi sebagai berikut
(BNPB, 2019):
1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat
dan tepat, dan
2. pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Sebelum dibentuknya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007


sebagai landasan hukum penanggulangan bencana di Indonesia,
serangkaian peraturan perundang-undangan terkait penanggulangan
bencana belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan bangsa,
sehingga upaya-upaya yang ada bersifat sporadis dan terpisah serta
belum sistematis. Berikut perkembangan lembaga-lembaga
kebencanaan dari waktu ke waktu:
1. Tanggal 22 Agustus 1945 Presiden Soekarno membentuk Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).
2. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54 Tahun
1961, selanjutnya dipertegas dengan Keppres Nomor 312 Tahun
1965, pemerintah membentuk panitia Pusat Penampungan
Bencana Alam (PPBA).

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 47


3. Pada tahun 1966 melalui Keppres Nomor 256 Tahun 1966,
dibentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam
Pusat (BP2BA Pusat).
4. Pada tahun 1967 melalui Keputusan Presidium Kabinet Nomor
14/U/Kep/I/1967, dibentuk Tim Koordinasi Pelaksanaan
Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
5. Pada Tahun 1979 dibentuk Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA) berdasarkan
Keppres Nomor 28 Tahun 1979.
6. Berdasarkan Keppres Nomor 43 Tahun 1990, dibentuk Badarn
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
7. Berdasarkan Keppres Nomor 106 Tahun 1999 dibentuk Badan
Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(Bakornas PBP).
8. Tahun 2001 melalui Keppres Nomor 3 Tahun 2001, dibentuk
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP).
9. Berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 2005, dibentuk Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
10. Setelah kejadian gempa Aceh 2004, gempa dan tsunami Nias
2005 serta gempa Yogyakarta-Jawa Tengah 2006, DPR menyusun
dan mensahkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
kebencanaan, dan dibentuklah BNPB di tingkat pusat dan BPBD
di tingkat daerah melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun
2008.
4.6 Pihak Terkait dalam Penanggulangan Bencana
Pada umumnya seluruh unsur yang ada di dalam suatu wilayah
yang rentan bencana, bertanggung jawab dalam upaya pengurangan
risiko bencana, beberapa pihak terkait dalam PRB itu seperti yang
akan diuraikan dalam penjelasan berikut.
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar
1945 bahwa negara berkewajiban melindungi warganya dengan
segenap tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberi
perlindungan kehidupan, termasuk perlindungan terhadap bencana.
Ini juga berarti bahwa setiap orang atau warga yang terkena atau

48 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


menjadi korban bencana berhak mendapatkan bantuan berupa
kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian dan rekonstruksi
bangunan.
Sementara itu disamping berhak mendapat perlindungan dari
negara (pemerintah) setiap warga/masyarakat juga memiliki
tanggung jawab dan bersama-sama berkewajiban memberikan
pertolongan kepada korban bencana, meskipun pemerintah dalam hal
ini tetap menjadi koordinator utama dalam penanggulangan bencana.
Pada tahap prabencana, masyarakat harus meningkatkan
ketangguhan (resilient) terhadap bencana, dengan melakukan langkah-
langkah antisipasi. Selain itu yang lebih penting adalah, masyarakat
harus mampu meningkatkan kapasitasnya melalui peningkatan
keterampilan, pendidikan kebencanaan dan mengikuti kegiatan-
kegiatan sosialisasi kebencanaan yang diadakan dan didukung oleh
lembaga kebencanaan yang ada.

Gambar 4.9 Unsur pemerintah dan lembaga NGO sedang membantu


penanganan korban bencana.

Kapasitas masyarakat dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan


pengetahuan kebencanaan, keterampilan, etika moral, sikap dan
kemauan serta komitmen yang sungguh-sungguh dalam upaya
penanggulangan bencana. Jika peran masyarakat sudah terlibat aktif
dalam upaya PRB, maka usaha lain yang perlu dimaksimalkan
adalah, meningkatkan dan mengoptimalkan segala sumberdaya yang
ada di dalam masyarakat tersebut. Sumberdaya yang dimaksud
adalah:
1. Mengaktifkan lembaga-lemabaga sosial yang ada (LSM),

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 49


2. sosialisasi-sosialisasi kebencanaan harus terus digalakkan,
3. peran perguruan tinggi harus ditingkatkan, dengan melakukan
riset-riset kebencanaan secara berkelanjutan,
4. meningkatkan semangat gotong-royong,
5. membangun desa tangguh bencana,
6. saling berbagi dan meningkatkan kedermawanan antar
sesama, dan
7. memaksimalkan lagi kearifan lokal (local wisdom) yang ada di
dalam masyarakat.

Gambar 4.10 Terlihat masyarakat/seseorang sedang melakukan upaya


pertolongan terhadap warga saat bencana erupsi Merapi di Yogyakarta pada
2010 silam.

Kearifan lokal yang dimiliki secara turun-temurun oleh


masyarakat setempat dalam upaya PRB, umumnya dapat berfungsi
sebagai upaya peringatan dini kebencanaan. Misalnya gempabumi di
Sumatera Barat, dimana masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat, dulunya telah membangun Tabuah Larangan di halaman
Rumah Gadang sebagai alat peringatan dini (early warning) terhadap
bencana gempabumi di masa itu (Wiraseptya dkk, 2019). Jadi dapat
dikatakan, bahwa peran atau pihak yang paling bertanggung jawab
atas keselamatan dari bencana adalah diri sendiri, dengan kata lain
masyarakat yang ada di daerah atau kawasan bencana itu sendiri
yang harus meningkatkan kekuatannya dalam usaha pengurangan
risiko bencana.

50 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Pihak terkait selanjutnya yang terlibat dalam penanggulangan
bencana adalah keterlibatan TNI dan Polri. Seperti yang kita tahu,
TNI/Polri telah memiliki kemampuan dalam kepemimpinan dan
kedisiplinan. Karakter ini dapat dijadikan modal dalam mengambil
keputusan yang tepat pada saat masa tanggap darurat kebencanaan.
Tanggap darurat yang sangat mendesak dengan waktu yang sangat
terbatas, tentunya diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam
penanganannya. Dalam hal ini, TNI/Polri yang sudah terbiasa
dengan keadaan darurat seperti itu, dapat dengan sigap mengambil
keputusan tepat sehingga penanggulangan tanggap darurat dapat
segera terlaksana dan dengan itu mampu menangani korban bencana
dengan lebih baik. Gambar 4.11 di bawah terlihat dimana TNI/Polri
sedang membantu penanggulangan bencana erupsi merapi
Yogyakarta 2010.

Gambar 4.11 TNI bersama-sama dengan Polri membantu penanganan


situasi dan korban bencana erupsi Merapi Yogyakarta 2010 (Widodo, 2012).

Kegiatan-kegiatan dan tindakan bantuan darurat yang dapat


dilakukan oleh TNI/Polri dan dengan dibantu secara profesional oleh
semua kalangan adalah sebagai berikut:
a. Distribusi kebutuhan pokok, seperti pangan dan sandang,
b. pelayanan kesehatan,
c. penyediaan air bersih,
d. menyediakan dapur umum,
e. menyediakan tranportasi dan telekomunikasi yang lancar,
f. mendirikan hunian sementara (huntara) dan tempat evakuasi
yang memadai.

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 51


4.7 Permasalahan dalam Penanggulangan Bencana
Permasalahan-permasalahan dalam penanggulangan bencana
setiap kali terjadi bencana tidak dapat dihindari. Beberapa
permasalahan tersebut biasanya sering dijumpai pada saat masa
tanggap darurat. Berikut permasalahan yang ditemukan seperti dalam
uraian yang akan dijelaskan berikut (Nurjanah dkk, 2013).

4.7.1 Masalah Koordinasi


Kejadian bencana memang sebuah kondisi yang tidak stabil dan
sangat rumit. Berbagai permasalahan terus ada terutama
ketidakteraturan koordinasi, mulai dari tingkat atas dan juga tingkat
bawah. Berbagai bantuan sebenarnya sudah datang dari berbagai
organisasi, institusi dan kelompok, yang membuat koordinasi antar
lembaga bantuan tersebut menjadi susah untuk diarahkan. Masalah
koordinasi di atas sebenarnya tidak harus disalahkan, karena pada
dasarnya semakin banyak bantuan datang, maka semakin lebih baik
dan semakin cepat tertangani korban akibat bencana.

4.7.2 Masalah Penanganan Kelompok Rentan


Ada beberapa kelompok rentan yang sebenarnya harus mendapat
prioritas utama dalam penanganan korban bencana, diantaranya
adalah perempuan dan ibu-ibu hamil, anak-anak dan lansia
(orangtua). Kelompok ini dalam penangaannya harus mendapat
perhatian khusus, namun permasalahan tetap saja tidak dapat
dihindari.
Sering di lapangan ketika bantuan disalurkan, banyak jenis
bantuan itu tidak tepat sasaran. Kebutuhan anak-anak sering
terlewatkan dan banyak yang memberikan bantuan berupa kebutuhan
orang dewasa. Permasalahan lainnya adalah, tidak adanya ruang
khusus untuk ibu-ibu menyusui juga sering ditemui di tempat
evakuasi, hingga kebutuhan MCK bagi korban bencana sering
menjadi permasalahan saat penanganan bencana.

52 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


4.7.3 Masalah Sosial Ekonomi
Masalah sosial-ekonomi yang sering terlupakan adalah, masalah
kejiwaan dari korban bencana. Sebagian besar korban bencana berada
dalam keterguncangan jiwa dan kecemasan yang sangat tinggi.
Permasalahan ini harus mendapat perhatian utama, terutama untuk
anak-anak, yang paling banyak mengalami kondisi kejiwaan seperti
ini.
Permasalahan lainnya di lapangan adalah terkait dengan
pendidikan. Pendidikan disini adalah pendidikan kebencanaan.
Sudah seharusnya pendidikan kebencanaan mulai digalakkan di
sekolah-sekolah di tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Pihak terkait
juga sudah seharusnya memberikan pengetahuan lingkungan kepada
siswa, dan mengajarkan bagaimana untuk bisa hidup harmonis
dengan alam dan lingkungan di sekitar.
Menjaga keseimbangan alam lebih penting dilakukan, dan
dengan mendapatkan pengetahuan lingkungan yang kuat, maka
anak-anak akan mampu memanfaatkan potensi alam untuk
kesejahteraan sehingga dapat terjaga keseimbangan alam, karena
dengan menjaga alam maka keberlangsungan segala yang ada di
dalamnya dapat berlangsung dengan baik.

4.7.4 Masalah Komunikasi dan Informasi


Permasalahan dalam masa tanggap darurat bencana seperti
masalah komunikasi dan informasi adalah masalah yang sering
ditemukan. Luasan dampak bencana bahkan hingga ke daerah
terpencil, tidak jarang membuat jaringan komunikasi susah
menjangkau ke daerah sana. Terputusnya jaringan komunikasi saat
tanggap darurat akibat bencana juga masalah yang paling sering
terjadi. Selain itu pengembangan sistem informasi ke daerah-daerah
terpencil juga selalu terkendala karena masalah jaringan.

4.7.5 Saling Menyalahkan


Dalam situasi darurat bencana, banyak pihak yang panik dan
cenderung tidak terkendali baik emosi maupun tindakannya. Tidak
jarang perkataan-perkataan cemooh dan umpatan serta perkataan

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana (PB-PRB) 53


miring lainnya menjadi tidak terkendali. Sikap saling menyalahkan
dalam situasi darurat bencana ini harus dihindari, agar tercipta dan
terjalin rasa persatuan dan saling membantu dengan sebaik-baiknya.
Sikap yang saling menyalahkan dan saling mematahkan
semangat hanya akan membuat situasi panik akan semakin panik,
dan situasi yang parah menjadi semakin tidak kondusif. Oleh sebab
itu semua permasalahan itu harus dihindari agar tercapai sistem
penanggulan bencana yang terarah dan tepat sasaran.

4.7.6 Masalah Distribusi Bantuan


Distribusi bantuan ke lokasi bencana dan ke tempat pengungsian
juga sering menjadi kendala dalam penanganan bencana. Adanya
prosedur yang rumit telah membuat distribusi bantuan sering menjadi
masalah dan kendala di lapangan. Dengan tanpa menyalahi aturan,
prosedur yang rumit dan formal tersebut sebetulnya dapat
disederhanakan. Permasalahan distribusi bantuan yang rumit itu
tentunya dapat menimbulkan bencana baru lagi seperti kemungkinan
timbulnya penyakit hingga ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah maupun pihak terkait yang mengurusi kewajiban
distrinusi bantuan tersebut.
Jenis bantuan yang paling mendasar bagi warga korban bencana
adalah sandang, pangan dan papan. Ketiga jenis ini sangat sensitif
sehingga harus segera disalurkan tanpa ada kendala berarti. Jika
ketiga bantuan ini sudah tersalurkan dengan baik, maka
permasalahan dasar sudah dapat ditanggulangi dengan baik.

54 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Bab 5
Gempabumi dan Seismologi
(Earthquake and
Seismology)

Membahas tentang gempabumi memang tidak akan pernah ada


habisnya selama bumi kita ini terus bergerak dan berotasi pada
sumbunya. Setiap peristiwa gempa kuat yang terjadi hingga saat ini di
seluruh belahan dunia, sebagian besar telah menimbulkan korban
jiwa dan kerugian secara ekonomi yang sangat banyak. Kecuali
bencana tsunami, gempabumi adalah bencana alam terbesar yang
paling ditakuti oleh seluruh umat manusia di muka bumi. Dalam
bahasan bab ini, akan diuraikan tentang definisi, jenis, sumber dan
potensi gempa di Indonesia.

5.1 Indonesia Rawan Gempa


Seperti pembahasan di awal bahwa Indonesia berada pada
kawasan rawan bencana (KRB). Bencana-bencana besar seperti
longsor, gunung meletus, gempabumi bahkan tsunami, semuanya
sudah pernah terjadi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena
posisi wilayah Indonesia yang terletak pada jalur cincin api (ring of
fire) dan pertemuan tiga lempeng bumi aktif seperti lempeng Indo-
Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan
lempeng Pasifik di bagian Timur. Kedua kondisi ini, dari
keberadaan jalur cincin api dan pergerakan antar lempeng tersebut,
telah menyebabkan terciptanya jalur subduksi yang menjadi sumber

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 55


gempa dan jalur pegunungan api yang selama ini mempengaruhi
wilayah Indonesia (Renas-PB, 2010).

Gambar 5.1 Pasar Imogiri Bantul Yogyakarta yang hancur akibat gempa
2006 di Yogyakarta (Renas-PB, 2010).

Kejadian gempa pada tahun 2006 di Yogyakarta dan Jawa


Tengah adalah bukti bahwa kerugian yang diakibatkan oleh gempa
sangat besar dan mampu melumpuhkan perekonomian sangat cepat–
walaupun sementara–namun sangat besar dampaknya, seperti yang
ditampilkan pada Gambar 5.1 di atas.

5.2 Definisi Gempabumi


Secara umum gempabumi dapat diartikan sebagai getaran yang
terasa di permukaan bumi, baik kecil, sedang, maupun getaran kuat.
Bencana gempabumi sangat erta kaitannya dengan bumi, karena
gempa yang membahayakan dan menimbulkan korban selama ini
adalah gempa yang berasal dari dalam bumi. Oleh sebab itu, untuk
selanjutnya penyebutan istilah gempabumi kita sebut dengan gempa
saja.

56 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Menurut Andreas, dkk (2005), gempa terjadi akibat pecahnya
massa batuan karena penumpukan tegangan yang terjadi di dalam
batuan sudah mencapai maksimal, sehingga batuan tidak mampu lagi
menahan tegangan tersebut, dan menyebabkan batuan melepaskan
energinya melalui gelombang (gelombang gempa) hingga ke
permukaan bumi dalam bentuk getaran. Getaran inilah yang kita
kenal selama ini sebagai bencana gempa.
Menurut Wikipedia (2019), gempabumi dapat berasal dari
tumbukan plat tektonik (lempeng tektonik di dalam bumi) yang
disebut dengan gempa tektonik, gempa akibat adanya aktivitas
vulkanik di dasar bumi, yang kemudian disebut dengan gempa
vulkanik, gempa akibat uji coba nuklir dan juga gempa akibat adanya
runtuhan tanah. Kejadian gempa lainnya–namun jarang terjadi–
seperti gempa akibat penumpukan tekanan air pada DAM, gempa
akibat ekstraksi cairan dari dan ke dalam bumi dan gempa akibat uji
coba nuklir.
Dalam uraian selanjutnya, pembahasan akan difokuskan kepada
gempa tektonik, karena gempa inilah yang selama ini banyak terjadi
di wilayah Indonesia. Untuk membahas tentang gempa tektonik,
maka tak lepas dari teori lempeng tektonik untuk menjelaskan
bagaimana gempa tektonik bisa terjadi.

5.3 Proses Kejadian Bumi


Untuk dapat menjelaskan bagaimana gempa tektonik terjadi,
maka tak bisa dipisahkan tentang bagaimana bumi awalnya terbentuk
sehingga lahirlah istilah dan Teori Lempeng Tektonik (Theory of
Tectonic Plate) dan terjadinya gempa tektonik. Hubungan ketiga ini
saling berkaitan, dimana terjadinya gempa tektonik karena adanya
pergerakan antar lempeng tektonik yang terjadi di dalam lapisan
bumi. Disamping itu pula, energi gempa yang merambat sebagai
gelombang di dalam lapisan bumi, membuka kesempatan bagi para
ilmuwan kebumian untuk mempelajari struktur dan lapisan dalam
bumi (interior bumi) lebih jauh.
Bumi yang kita kenal dan tempati sekarang, terbentuk karena
adanya proses panjang dalam evolusi bumi. Sebelum menjadi bumi

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 57


seperti saat ini, jagad raya, berikut isinya seperti galaksi-galaksi dan
bumi, merupakan sesuatu yang padu. Hal ini dijelaskan dengan
sempurna oleh Allah Swt dalam al Quran Surat al Anbiya’ ayat 30,
yang artinya: “..dan tidakkah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa
langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) dulunya sesuatu yang padu,
kemudian kami pisahkan keduanya itu.”

Gambar 5.2 Peristiwa ledakan Big-Bang sebagai awal perkembangan bumi


menurut ilmuwan (Wikipedia, 2019).
Teori Big-Bang (ledakan besar) seperti gambar di atas
dikemukakan pertama kali oleh George Lematitre. Teori ini
menyebutkan bahwa asal-usul alam semesta dimulai dari sebuah
primeval atom atau atom yang sangat padat. Suatu saat karena terlalu
padat dan memiliki energi kalor yang tinggi, atom ini meledak hingga
semua materinya terlempar ke seluruh penjuru ruang hampa yang ada
di sekitarnya. Sejak ledakan itu, semua partikel ledakan atom tersebut
(planet, asteroid, meteorid, dan sebagainya) berekspansi hingga
ribuan juta tahun. Dari ekspansi tersebut timbulah dua gaya yang
saling berlawanan yaitu gaya gravitasi dan gaya repulsi kosmis.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana alam semesta
(universe) ini tercipta? Banyak pendapat dan teori yang dikemukan

58 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


oleh beberapa ahli. Mulai teori dari zaman Yunani kuno seperti Teori
Geosentris, Teori Heliosentris, Teori Steady-state (Keadaan Tetap),
Hipotesa Nebular, hingga pada suatu kesimpulan, diputuskanlah
bahwa bumi itu dulunya terbentuk dan terdiri dari material homogen,
dimana material berat tenggelam dan yang ringan akan terlepas atau
terlempar, dan teori ini dikenal dengan peristiwa differentiation dengan
mengikuti hukum convection flow yang berlangsung selama milyaran
tahun. Akhirnya terbentuklah lapisan-lapisan bumi seperti tampak
pada gambar di bawah (Widodo, 2012).

(a) (b)

Gambar 5.3 (a) Proses terbentuknya lapisan bumi, dan (b) lapisan-lapisan
bumi.
Berdasarkan Gambar 5.3 di atas, terlihat bahwa bumi terbentuk
dari lapisan-lapisan. Berdasarkan rambat gelombang gempa, para
ilmuwan seperti ilmuwan abad ke-19, Mohorovicic (1904), Oldham
(1906), Gutenberg (1914), menyimpulkan bahwa inti bumi terdiri dari
lapisan inti bagian luar (outer core) yang merupakan bagian lapisan
cair dan inti bagian dalam (inner core) merupakan lapisan padat.
Lapisan Litosfer (50 – 100 km) adalah lapisan selimut bumi bagian
atas dan sangat padat. Di atas litosfer terdapat benua (continent) dan
lautan (ocean). Di bawah litosfer terdapat astenosfer yang merupakan
lapisan batuan yg sedikit padat, yang mengelilingi mantel.

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 59


Lapisan litosfer patah mejadi kepingan-kepingan kecil yang
disebut dengan plat tektonik (tectonic plate), yang mengambang di atas
lapisan astenosfer dan bergerak perlahan. Secara periodik beberapa
plat akan saling menjauh berbenturan dan bertumbukan satu sama
lain, yang menyebabkan patahan di permukaan bumi, tumbukan
antar pelat inilah yang memicu timbulnya gempa.

5.4 Teori Lempeng Tektonik (Theory of Tectonic Plate)


dan Gempa Tektonik
Istilah teori lempeng tektonik tak lepas dari kejadian gempa
tektonik. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gempabumi
tektonik terjadi karena adanya gerakan antar lempeng tektonik di
dalam bumi. Lempeng Tektonik terbentuk akibat pecahnya lapisan
kerak bumi (litosfer) karena penyusutan bumi selama proses
pembentukan bumi. Lapisan litosfer ini merupakan lapisan yang tidak
homogen dan terbagi dalam sejumlah lapisan yang terpecah-pecah,
dimana gerakan masing-masing lapisan tersebut tidak teratur
sehingga terbentuk lempeng-lempeng litosfer yang disebut dengan
lempeng tektonik.
Menurut Kremer (1996), Teori Lempeng Tektonik berasal
dari hipotesa pergeseran benua (continental drift) yang digagas oleh
Taylor (1910) dan Wegener (1915). Wegener menjelaskan bahwa,
sekitar 200 juta tahun yang lalu, bumi atau benua yang ada sekarang
merupakan satu bentang muka yang luas, yang disebut dengan
Pangea. Pangea ini bergerak dan kemudian pecah dalam beberapa
bagian lempeng yang bermassa jenis rendah dan bergerak satu sama
lain akibat adanya gaya sentrifugal yang disebabkan oleh proses rotasi
bumi karena terletak di atas lapisan plastis Atmosfer (Widodo, 2011).
Hipotesa lain untuk melanjutkan teori continental drift adalah teori
yang dibawa oleh Arthur Holmes (1928), seorang ahli geologi Inggris,
yang menyatakan bahwa peristiwa konveksi yang membawa cukup
energi sebagai gaya dorong (driving force) yang dapat menggerakkan
lapisan litosfer, karena letaknya yang mengambang di atas lapisan
atmosfer dan lapisan mantel yang bersifat plastis (lembek).

60 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Teori selanjutnya diperkuat oleh munculnya Sea-floor Spreading
Theory, yaitu melebarnya dasar lautan di daerah parit tengah
samudera (mid-ocean ridge). Hipotesa ini menjelaskan bahwa magma
panas yang berada di bawah lapisan litosfer (kerak bumi) bergerak
akibat peristiwa konveksi. Karena lapisan litosfer relatif lemah, maka
magma panas tersebut dapat menembus permukaan tanah dan
mendingin, sehingga terdorong secara lateral menjauhi parit tengah
samudera akibat munculnya magma panas baru dan berlangsung
terus-menerus, seperti gerakan benua Amerika Selatan dan Afrika
yang dulunya menyatu, yang bergerak saling menjauh dan terpisah
seperti sekarang. Ilustrasi dari pemisahan benua-benua tersebut
seperti yang disajikan pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4 Proses pemisahan lempeng bumi. Terlihat pada gambar


bahwa benua yang ada dulunya adalah satu-kesatuan, kemudian terbagi-bagi
seperti sekarang akibat proses pergerakan bumi seperti teori lempeng
tektonik
(Khoerunnisa, 2013).

Pengaruh gerakan lempeng tektonik sebagai akibat dari proses


konveksi, gravitasi dan proses rotasi bumi yang mengakibatkan
terbentuknya batas-batas pada pertemuan antar lempeng tektonik,
seperti (a) batas spreading ridge, (b) batas zona subduksi dan (c) batas
sesar transform seperti yang ditampilkan dalam Gambar 5.5. Sebagai
akibat dari terbentuknya batas-batas antar lempeng tersebut, sering

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 61


menyebabkan terjadinya gempabumi yang terjadi pada zona itu, yang
kemudian dikenal dengan gempabumi tektonik seperti sekarang.

Gambar 5.5 Jenis dan model pergerakan batas antar lempeng tektonik
(Wikipedia, 2019c).

Pada Gambar 5.5 di atas dapat kita lihat dimana antar lempeng
dapat mengalami pergeseran (sesar/fault), saling menjauh dan saling
membentur dengan yang salah satu lempeng menyusup (subduction)
ke lempeng lainnya. Jika antar lempeng saling menjauh (spreding),
maka dapat membentuk gunung dan pulau-pulau. Jika antar lempeng
saling membentur dimana yang satu menyusup (subduksi) ke yang
lain maka terjadi gempa subduksi dan jika antar lempeng saling
bergeser, maka juga akan menyebabkan terjadinya gempa (sesar
normal).

62 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 5.6 Pergerakan antar lempeng (NASA-USA, 2019), Pergerakan
lempeng berdasar pada data satelit GPS NASA JPL. Vektor di sini
menunjukkan arah dan magnitude gerakan.

Untuk lebih jelasnya, gambaran pergerakan antar lempeng dunia


seperti yang ditampilkan pada gambar di atas. Gambar 5.6 di atas
diambil oleh NASA-USA (2019) oleh satelit. Jadi setiap waktu
lempeng tempat kita berdiri terus bergerak walaupun tidak semua
getaran lempeng kita rasakan, namun dapat tercatat oleh seismograf.

5.5 Sumber Gempa


Kondisi tektonik Indonesia umumnya berpotensi mengakibatkan
terjadinya gempabumi. Lokasi gempa itu terdapat pada pertemuan
dan batas antar lempeng tektonik. Gempa pada zona tersebut terjadi
akibat pergerakan antar lempeng yang satu dengan yang lainnya.
Secara garis besar, gempa dapat bersumber dari lokasi/zona subduksi
di bawah laut dan zona sesar/patahan (fault zone) di daratan. Gempa
yang berasal dari kedua lokasi tersebut adalah gempa yang paling
sering menyebabkan kerusakan.
Gempa subduksi di bawah laut terjadi karena adanya salah satu
lempeng yang menyusup ke bawah lempeng lainnya. Pertemuan dua
lempeng yang saling menyusup ini lama kelamaan akan saling

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 63


mengungsi. Karena antar lempeng terus saling mendorong satu sama
lain, menyebabkan lempeng tersebut tidak mampu lagi menahan
dorongan/tekanan yang terjadi, hingga mengalami akumulasi energi
yang cukup lama sampai pada waktu tertentu akan melepaskan
tekanan itu berupa gempa. Sumber gempa di zona subduksi ini
contohnya zona Megathrust Mentawai di perairan pulau Sumatera
(Natawidjaja, 2007a). Umumnya gempa-gempa yang terjadi di lokasi
ini adalah gempa-gempa dengan kekuatan yang besar.

Gambar 5.7 Lokasi sumber gempa subduksi di bawah laut


(Natawidjaja, 2007a).
Patahan (fault rupture) terjadi karena bumi mendapatkan gaya
tekan dari proses pergerakan lempeng tektonik hingga batuan menjadi
pecah dan menyebabkan terjadinya getaran yang disebut dengan
gempabumi. Lokasi patahan bisa terlihat di permukaan dan bisa sulit
dideteksi. Namun dalam kenyataannya, patahan tidak sampai di
permukaan bumi pada kebanyakan peristiwa gempabumi.
Kemunculan patahan bisa jadi bukan ekspektasi dari suatu kejadian
gempabumi, karena pergerakan yang terjadi merupakan gerakan
kontinyu yang lambat atau bisa juga patahan tersebut tidak aktif.

64 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 5.8 Model patahan/sesar berdasarkan pergerakannya.

Berdasarkan pergerakannya, patahan/sesar dibagi dalam tiga


model, seperti pada Gambar 5.8. Pertama, Dip-slip Fault, yaitu
patahan yang arah gerakannya sejajar dengan kemiringan permukaan
patahan. Normal Fault dan Reverse Fault termasuk dalam tipe patahan
ini. Patahan normal (normal fault) terjadi pada batuan dimana salah
satu bagiannya mengalami pergerakan ke bawah terhadap keadaan
asalnya. Sedangkan reverse fault adalah kebalikan dari normal fault,
yaitu arah patahan pada bagian batuan naik terhadap keadaan awal
batuan. Gerakan patahan ini disebabkan oleh kekuatan konversi
tekanan yang mengakibatkan batuan mengalami pemendekan atau
penyempitan.
Kedua Strike-slip Fault, adalah patahan yang terjadi pada batuan
dengan arah patahan horizontal. Bagian yang bergerak menjauhi sisi
kanan bidang disebut dengan Left-fault, sedangkan bagian yang
bergerak menjauhi sisi kiri adalah Right-fault. Tipe patahan ini terjadi
karena gaya yang mengenai sebuah batuan berasal dari samping
(gaya melintang). Sedangkan ketiga, Oblique-slip Fault, dimana

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 65


patahan ini adalah kombinasi dari patahan dip-slip dan strike-slip, yang
dapat terjadi berupa gerakan naik atau dan turun dan juga bergerak
secara horizontal ke kanan dan ke kiri. Terjadinya patahan ini sebagai
akibat dari gaya tekan yang berasal dari bawah dan juga dari samping
atau melintang pada batuan.
Gempa di daratan terjadi karena adanya pergeseran/sesar (fault)
antar lempeng tektonik. Misalnya, sesar besar atau patahan Sumatera
yang terbentang di sepanjang pulau Sumatera dan membelah
Sumatera menjadi dua. Patahan/Sesar Sumatra terbentang sepanjang
Pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Teluk Semangko di Selat
Sunda sampai dengan wilayah Aceh di utara. Pada sesar ini terdapat
19 segmen sesar utama seperti yang ditampilkan di dalam Tabel 5.1.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sudah sekitar 20 gempa
besar terjadi di sepanjang patahan Sumatra dalam 100 tahun terakhir.

Gambar 5.9 Penampakan jalur patahan Sumatera Barat (Natawidjaja,


2007b).

66 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Tabel 5.1 Segmen sesar Sumatera.
Large Historical Depth to
Length Earthquakes, year
No Segmen Latitude Benioff
(km) (M) Zone (km)
1 Sunda 6.75oS–5.9oS 150 No record up to ~50
2 Semangko 5.9oS–5.25oS 65 1908 50–100
1933 (Ms = 7.5), 1994
3 Kumering 5.3oS–4.35oS 150 100–120
(Ms = 7.0)
o o
4 Manna 4.35 S–3.8 S 85 1893 120
o o
5 Musi 3.65 S–3.25 S 70 1979 (Ms = 6.6) 115
1943 (Ms = 7.3), 1952
6 Ketaun 3.35oS–2.75oS 85 110-125
(Ms = 6.8)
7 Dikit 2.75oS–2.3oS 60 No record —
1909 (Ms = 7.6), 1995
8 Siulak 2.25oS–1.7oS 70 120–130
(Mw = 7.4)
o o
9 Suliti 1.75 S–1.0 S 95 1943 (Ms = 7.4) 130
1943 (Ms = 7.6), 1926
10 Sumani 1.0oS–0.5oS 60 130
(Ms ~ 7.0)
11 Sianok 0.7oS–0.1oN 90 1822, 1926 (Ms ~ 7.0) 135–145
12 Sumpur o
0 –0.3 N o
35 No record 165–175
13 Barumun o
0.3 N–1.2 N o 125 No record 125–170
14 Angkola o
0.3 N–1.8 N o 160 1892 (Ms = 7.7) 135–155
1984 (Ms = 6.4), 1987
15 Toru 1.2oN–2.0oN 95 125–155
(Ms = 6.6)
1916, 1921 (mb = 6.8),
16 Renun 2.0oN–3.5oN 220 100–125
1936 (Ms = 7.2)
1990 (Ms = 6?), 1997
17 Tripa 3.4oN–4.4oN 180 125–150
(Mw = 6?)
18 Aceh 4.4oN–5.4oN 200 No record 105–130
19 Seulimeum 5.0oN–5.9oN 120 1964 (Ms = 6.5) 125–140
Sumber: Natawidjaja (2007b).

Kalau gempa di zona subduksi hanya dapat terjadi 2 – 3 kali


gempa dengan kekuatan di atas skala magnitude 8, maka gempa yang
terjadi di daratan (zona sesar) lebih sering terjadi namun besarnya di
bawah magnitude M7. Sumber gempa di daratan (sesar) berada dekat
dengan pemukiman penduduk, sehingga gempa ini banyak
menimbulkan korban. Misal gempa pada tanggal 6 April 2007 di
wilayah Danau Singkarak membuktikan bahwa gempa yang hanya

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 67


berkekuatan magnitude 6,3 itu dapat menimbulkan kerusakan dan
korban yang cukup banyak.

5.6 Potensi Gempa di Indonesia


Keberadaan jalur Circum Pasifik dan Jalur Mediteranian, adalah
bukti dari tingginya tingkat kerentanan wilayah Indonesia terhadap
gempa. Jalur Circum Pasifik adalah jalur wilayah dimana banyak
terjadi gempa-gempa dalam dan juga gempa-gempa besar yang
dangkal. Jalur ini terbentang mulai dari Sulawesi, Filipina, Jepang,
dan kepulauan Hawai. Sedangkan jalur Mediteranian adalah jalur
wilayah dimana banyak terjadi gempa-gempa besar yang
membentang dari benua Amerika, Eropa, Timur Tengah, India,
Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara (Hartuti, 2009). Pada jalur ini
telah diindikasi sering terjadi gempa-gempa tektonik dan juga
vulkanik.

Gambar 5.10 Dampak gempa Padang 2009 (Alfari, 2018).

Hampir setiap hari gempa tercatat pada alat pencatat gempa


yang terpasang. Ratusan gempa dalam sehari di seluruh dunia telah
terjadi, hanya saja intensitas dan skalanya berbeda-beda, bahkan ada

68 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


yang tidak dirasakan oleh manusia. Di Indonesia berulang kali
dilanda gempabumi. Dalam waktu yang singkat gempa telah
mengguncang Aceh, Mentawai, Yogyakarta, Tasikmalaya, Bengkulu,
Kota Padang dan Pariaman, Solok, Lombok, Palu dan Sulawesi.

Gambar 5.11 Distribusi gempa di Indonesia (Sunarjo dkk, 2012).

Dalam 500 tahun terakhir, gempa yang terjadi telah


mengakibatkan jutaan korban jiwa meninggal dunia, kerugian
infrastruktur yang tidak terhitung dan kerusakan serta keruntuhan
bangunan yang tidak sedikit. Kita telah banyak melihat gempa-gempa
besar yang melanda Indonesia. Bencana gempabumi terakhir terjadi
di Kota Palu pada 26 September 2019 yang lalu, telah mengakibatkan
warga kehilangan rumah dan jatuhnya korban meninggal hingga 30
orang lebih. Tabel 5.2 di bawah menjelaskan kejadian gempa yang
pernah terjadi di Indonesia sejak tahun 2000.

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 69


Tabel 5.2 Peristiwa gempa yang terjadi di Indonesia dari tahun 2000 – 2019.
Korban jiwa &
Tanggal Kekuatan Wilayah
Kerugian
4 Mei 2000 6,5 Banggai 54
4 Juni2000 7,3 Bengkulu >100
12 November 2004 7,3 Alor 26
131.000 meninggal,
29 Desember 2004 9,3 Samudera Hindia
37.000 orang hilang
28Maret 2005 8,2 Pulau Nias -
27 Mei 2006 5,9 Yogyakarta 6.234
17 Juli 2006 7,7 Ciamis dan Cilacap >400
11 Agustus 2006 6,0 P. Simeuleu
Solok, Kota Solok,
6 Maret 2007 6,4 Mw Tanah Datar, dan >60
Kota Bukittinggi
12 September 2007 7,7 Kep. Mentawai 10
26 November 2007 6,7 Sumbawa >3
17 November 2008 7,7 Sulawesi Tengah 4
4 Januari 2009 7,2 Manokwari 2
Tasikmalaya &
2 September 2009 7,3 >87
Cianjur
1.115 orang meninggal,
Padang Pariaman, 135.299 rumah rusak
30 September 2009 7,6 Mw Kota Pariaman, Kota berat, 65.306 rumah
Padang, dan Agam rusak sedang, 78.591
rumah rusak ringan
1 Oktober 2009 6,6 Mw Kerinci 2
1 orang meninggal, 80
9 November 2009 6,7 Sumbawa orang luka, 282 rumah
rusak berat
25 Oktober 2010 7,7 Sumatera Barat 408
Tanggal Kekuatan Wilayah Korban jiwa &
Kerugian
11 April 2012 8,5 Seluruh Pulau 1 orang meninggal,
Sumatera terasa hingga India &
Thailand
2 Juli 2013 6,2 Aceh 39 orang meninggal
2 Maret 2016 8,3 Kep. Mentawai -
7 Desember 2016 6,5 Kab. Pidie jaya 104 orang meninggal
29 Juli 2018 6,4 Lombok 16 orang meninggal
5 Agustus 2018 7,0 Lombok >390
17 Juli 2006 7,7 Ciamis dan Cilacap >400
19 Agustus 2018 6,5 & 6,9 Lombok

70 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


28 September 2018 7,4 Sulawesi >2073 meninggal dunia,
diikuti dengan tsunami
11 Oktober 2018 6,3 Situbonda 3
26 September 2019 7,4 Palu 31 lebih meninggal
dunia

Sebagai gambaran dari kejadian gempa besar yang pernah


melanda Indonesia, akan diilustrasikan seperti bahasan berikut. Pada
tanggal 30 September 2009 terjadi gempa di sebagian besar provinsi
Sumatera Barat. Bencana terjadi sebagai akibat dua gempa yang
terjadi kurang dari 24 jam pada lokasi yang relatif berdekatan. Pada
hari Rabu 30 September terjadi gempa berkekuatan 7,6 pada Skala
Richter dengan pusat gempa (episentrum) 57 km di Barat Daya Kota
Pariaman (0,84 LS - 99,65 BT) pada kedalaman (hiposentrum)
71 km.
Pada hari Kamis 1 Oktober terjadi lagi gempa kedua dengan
kekuatan 6,8 Skala Richter, kali ini berpusat di 46 km tenggara Kota
Sungai Penuh pada pukul 08.52 WIB dengan kedalaman 24 km.
Setelah kedua gempa ini terjadi rangkaian gempa susulan yang terjadi
semakin lemah. Gempa pertama terjadi pada daerah patahan
Mentawai (di bawah laut) sementara gempa kedua terjadi pada
patahan Semangko di daratan.
Gempabumi yang berpusat di Barat Daya Pariaman, Sumatera
Barat, pada 30 September 2009 itu mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa, hancurnya fisik lingkungan seperti rumah dan fasilitas umum,
dan mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial. Akibat gempa
berkekuatan 7,9 Skala Richter tersebut, tercatat 1.195 korban
meninggal, 2 orang hilang, 619 orang luka berat, dan 1.179 orang
luka ringan. Sebanyak 249.833 rumah dinyatakan rusak, 114.797 unit
rumah rusak berat, 67.198 rusak sedang, dan 67.838 rusak ringan.
Selain itu, ada 442 unit bangunan perkantoran, 4.748 unit fasilitas
pendidikan, 153 unit fasilitas kesehatan, 68 jembatan, 58 pasar, dan
2.851 unit tempat ibadah yang terdata rusak. Bahkan kerusakan dan
kerugian tersebut mencapai Rp. 21,6 triliun (Tempo, 2011).
Getaran gempa pertama dilaporkan terasa kuat di seluruh
wilayah Sumatera Barat, terutama di wilayah pesisir. Goncangan

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 71


juga dilaporkan dari Pematang Siantar, Medan, Kuala Lumpur,
Bandar Seri Begawan, Lembah Klang, Jabodetabek, Jakarta,
Singapura, Pekanbaru, Jambi, Pulau Batam dari Kota Batam,
Palembang dan Bengkulu (Wikipedia, 2009b).
Kerusakan parah terjadi di kabupaten-kabupaten pesisir
Sumatera Barat, bagian Selatan Sumatera Utara serta Kabupaten
Kerinci (Jambi). Sementara Bandar Udara Internasional
Minangkabau mengalami kerusakan pada sebagian atap bandara
(sepanjang 100 meter) yang terlihat hancur dan sebagian jaringan
listrik di bandara juga terputus. Tabel 5.2 di atas adalah kejadian-
kejadian gempa di Indonesia dalam kurun sembilan tahun terakhir.

5.7 Seismologi Teknik


Setelah mengetahui apa itu bencana gempabumi, penyebab
terjadinya dan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat gempa itu
sendiri, penjelasan berikut akan diuraikan tentang karakteristik gempa
terkait pusat gempa, besaran gempa, model gelombang gempa, yang
terangkum dalam satu bidang keilmuan yang disebut dengan
seismologi. Seismologi adalah ilmu kegempaan yang membahas
segala permasalahan gempa dan berbagai karakteristiknya. Uraian
berikut akan menjelaskan secara ringkas tentang seismologi teknik.

5.7.1 Pusat Gempa


Gambaran kejadian gempa akibat adanya tegangan yang
terakumulasi begitu lama di dalam batuan karena terkunci antar plat
tektonik, hingga tegangan tersebut mencapai maksimum, maka
dilepaskan berupa energi ke segala arah melalui rambat gelombang di
bawah tanah sampai permukaan. Gelambang yang sampai ke
permukaan inilah yang menyebabkan getaran/goncangan di bumi
yang kita kenal dengan gempa bumi.
Letak pertemuan antar plat tektonik atau batas antar plat itu
merupakan lokasi gempa, yang disebut sebagai pusat gempa. Titik
dimana gempa itu terjadi disebut dengan hiposenter (hypocenter) atau
fokus (focus). Sementara daerah yang tegak lurus sejajar dengan
fokus/hiposenter yang ada di permukaan bumi dinamakan dengan

72 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


episenter (epicenter). Ilustrasi dari lokasi sumber gempa itu seperti
yang digambarkan pada gambar di bawah.

Gambar 5.12 Pusat gempa (Earth Science, 2019).

Berdasarkan kedalaman sumber terjadinya, gempa dibedakan


menjadi gempa dangkal dan gempa dalam. Gempa-gempa dangkal
terletak di sekitar batas plat tektonik, dan dampak yang ditimbulkan
lebih besar terhadap kehidupan. Sedangkan gempa-gempa dalam
berada jauh dari batas plat tektonik, sehingga dampaknya tidak
terlalu buruk bagi kehidupan.
Gempa dangkal berada pada kedalaman kurang dari 70 km,
gempang sedang atau menengah berada pada kedalaman 70 hingga
300 km, sedangkan gempa dalam berada di kedalaman di atas 300 km
dari permukaan laut (Sarwidi, 2015). Jika hiposenter gempa berasal
dari bawah laut, maka kemungkinan besar akan menyebabkan
gelombang besar yang dikenal selama ini dengan tsunami
(Suharjanto, 2013). Gambar di bawah adalah lokasi gempa-gempa
kuat yang pernah terjadi di Indonesia.

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 73


Gambar 5.13 Letak pusat-pusat gempa yang ada di Indonesia (ODA, 2019).

Posisi wilayah Indonesia yang berada dekat dengan beberapa


plat tektonik dan sumber gempa ini, telah menyebabkan sebagian
besar daerah yang ada di Indonesia dikenal dengan sebutan kawasa
aktif gempa, seperti Nusa Tenggara, Sabang, Laut banda, daerah-
daerah di Utara Irian, maluku, Sulawesi dan Sumatera bagian Barat.

5.7.2 Gelombang Gempa (Seismic Wave)


Seperti uraian sebelumnya, gempa yang kita kenal dan dirasa di
permukaan bumi merupakan penyebaran dari gelombang energi
gempa yang sampai ke permukaan dalam bentuk gempabumi.
Berdasarkan Sarwidi (2015), mekanisme gelombang gempa di dalam
bumi hingga ke permukaan sangat kompleks dan rumit
mekanismenya, karena bumi memiliki lapisan-lapisan yang beragam
dari cair hingga padat.
Gelombang gempa diukur dengan seismograf, dimana
penyebarannya bergantung pada densitas dan elastisitas media yang
dilaluinya. Cara menentukan lokasi pusat gempa berdasarkan
gelombang yang tercatat pada seismograf adalah dengan melihat
kecepatan rambat gelombang dn waktu tempuhnya, dimana
kecepatan akan semakin tinggi seiring dengan kedalaman. Perbedaan
kecepatan rambat gelombang, juga akan menyebabkan perbedaan
waktu tempuh.

74 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Gambar 5.14 Gelombang gempa. Atas: Gelombang Badan, Bawah:
Gelombang Permukaan (USGS, 2004).

Untuk memudahkan dalam memahami jenis dan bentuk


gelombang gempa, para ahli membagi gelombang gempa dalam dua
bagian besar, (1) Gelombang Badan (Body Waves), dan (2) Gelombang
Permukaan (Surface Waves). Gelombang badan disebut juga dengan
gelombang dalam tanah, karena gelombang ini merambat dari pusat
gempa ke permukaan tanah. Gelombang badan ini terdiri dari (a)
Gelombang Primer (Gelombang-P), dan (b) Gelombang Sekunder
(Gelombang-S). Sementara gelombang permukaan adalah gelombang
yang merambat di sepanjang permukaan bumi. Gelombang
Permukaan dapat dibagi dua, yakni (a) Gelombang Love, dan (b)
Gelombang Rayleigh, seperti pada Gambar 5.14 di atas.

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 75


1. Gelombang Primer/Gelombang-P (Primary Wave/P-wave)
Gelombang primer (P-wave) adalah gelombang kompresi yang
merambat secara aksial di dalam badan bumi, dengan kecepatan
rambat yang lebih tinggi dari gelombang lainnya, dan dapat
merambat dan menjalar pada semua jenis benda.

2. Gelombang Sekunder/Gelombang-S (Secondary Wave/S-Wave)


Gelombang jenis S-wave merambat secara transversal atau geser dan
merambat lebih lambat dari P-wave. Gelombang S-wave hanya dapat
merambat pada benda padat dan cair saja, dan kecepatan rambatnya
lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan gelombang-P.

3. Gelombang Love/Gelombang-L (Love Wave/L-wave)


Gelombang Love merupakan gelombang permukaan bumi yang
menyebabkan lingkaran geser tanah. Di permukaan bumi efeknya
lebih besar dan rambatnya akan mengecil seiring kedalaman.
Dampak gelombang L-wave ini sangat merusak saat mengenai
gedung atau bangunan.

4. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh merupakan gelombang gempa yang paling
kecil, yang hanya sebesar 40% dari gelombang-S namun memiliki
amplitudo yang lebih besar. Gerakan gelombang ini adalah
kombinasi gerakan vertikal dan horizontal.

5.7.3 Besaran Gempa


Dalam banyak pemahaman, besaran gempabumi yang dikenal
selama ini adalah Skala Richter (SR). Namun dalam kasus-kasus
gempa kuat dan besar, informasi dan laporan di lapangan
memberikan penulisan satuan besaran gempa dengan ukuran
magnitude. Hal ini tentunya membingungkan masyarakat tentang
satuan mana yang digunakan untuk mengukur besaran gempa.
Awalnya skala dan ukuran gempa SR dipakai sebagai
penghormatan terhadap Charles F. Richter (1900-1985), yang telah
menemukan alat ukur gempa itu. Skala SR hanya mampu merekam

76 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


gempa-gempa menengah ke bawah atau skala di bawah magnitude 6,
serta kurang mampu merekam data gempa dengan lengkap. Saat ini
kecenderungan penggunaan ukuran magnitude lebih sering
digunakan, mengingat dengan skala magnitude (M) besaran gempa
lebih lengkap diperoleh dan tingkat keakuratannya lebih tinggi
(Koran NTB, 2019).
Selain ditentukan berdasarkan skala magnitude, besaran gempa
juga dinyatakan dengan skala intensitas. Skala intensitas (intensity)
merupakan skala ukuran gempa yang dinilai berdasarkan persepsi dan
hasil olah rasa/perasaan dan pemikiran orang/manusia yang
merasakan gempa saat itu. Skala ini digunakan sebagai jawaban atas
terjadinya dampak yang besar dari sebuah gempa tapi sebenarnya
kekuatannya kecil (magnitude kecil). Uraian berikut akan dijelaskan
tentang besaran magnitude dan skala intensitas.

1. Besaran Magnitude
Ukuran suatu gempa yang banyak dianggap sebagai magnitude
suatu gempa merupakan bentuk kuantifikasi terhadap kejadian
gempabumi agar diperoleh suatu pemahaman yang tepat bagi
masyarakat terhadap besar-kecilnya suatu gempa. Ukuran gempa
atau magnitude gempa diukur oleh sebuah alat pencatat dan
pengukur kekuatan gempa dengan tujuan agar dapat mengukur secara
objektif dan kuantitatif besarnya suatu gempa (Susilo, 2011).
Ukuran magnitude gempa biasanya tidak dipengaruhi oleh hasil
observasi kerusakan yang terjadi di lapangan seperti pada skala
intensitas (Widodo, 2012). Oleh karena itu, cara menentukan ukuran
suatu gempa dapat dilihat dari jenis dan karakteristik ukuran gempa
tersebut. Secara umum, ada 4 (empat) jenis ukuran atau magnitude
gempa yang akan dibahas berikut ini.

a. Magnitude Lokal (Local Magnitude, ML )


Magnitude Lokal merupakan skala ukuran gempa yang
diperkenalkan oleh Charles Richter (1935) yang kemudian dikenal
dengan M-Skala Richter (M-Richter Scale) (Anonim, 200_). Ukuran
gempa yang diukur dengan skala magnitude ini berdasarkan jarak

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 77


dekat (R<600 km) dan bersifat lokal, yang ditetapkan dengan notasi
ML.
b. Magnitude Gelombang Badan (Body Wave Magnitude, Mb)
Body wave magnitude (Mb) merupakan skala magnitude yang
didasarkan pada amplitudo beberapa siklus pertama dari P–wave, dan
tidak terlalu dipengaruhi oleh kedalaman fokus. Persamaan (5.1)
berikut adalah persamaan yang digunakan untuk mengukur skala
magnitude gelombang badan (Kramer, 1996):
Mb  log A  logT  0,01R  5,9 ................... (5.1)

dimana A adalah amplitudo getaran dalam mikrometer, T adalah


periode gelombang P dan R adalah jarak episenter dalam derajat
sudut.

c. Magnitude Gelombang Permukaan (Surface Wave Magnitude,


Ms )
Magnitude ini digunakan karena skala magnitude lokal oleh
Richter tidak dapat membedakan pengaruh jenis gelombang. Pada
jarak yang jauh, magnitude gelombang badan biasanya terlemahkan
dan tidak beraturan. Magnitude gelombang badan merupakan skala
magnitude berdasarkan gelombang Rayleigh dengan periode sekitar
20 detik. Salah satu rumus yang dipakai untuk menentukan skala
magnitude gelombang permukaan adalah (Kramer, 1996):
Ms  log A  1,66 log R  2 ............... (5.2)

dengan A amplitudo getaran (dalam mikrometer) dan R adalah jarak


episenter dalam kilometer (km).

d. Magnitude Momen (Mw)


Magnitude gempa yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan
magnitude empiris berdasarkan berbagai pengukuran dengan bantuan
karakteristik goncangan tanah. Saat sejumlah energi terlepas ketika
terjadi peningkatan gempabumi, karakteristik goncangan tanah belum
tentu meningkat pula. Pada gempa besar, karakteristik goncangan

78 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


tanah kurang sensitif terhadap besarnya gempa dibandingkan dengan
gempa kecil. Fenomena ini dikenal dengan saturasi, dimana
magnitude gelombang badan dan magnitude lokal menjadi jenuh
pada magnitude 6 hingga 7 dan magnitude gelombang permukaan
mengalami jenuh pada Ms 8.
Untuk menggambarkan ukuran gempabumi yang sangat besar,
diperlukan satu ukuran skala magnitude yang tidak bergantung pada
tingkat goncangan tanah dan tingkat saturasi. Skala magnitude yang
dimaksud adalah magnitude momen, yang diukur langsung dari
faktor keruntuhan di sepanjang patahan (fault rupture). Hubungan
dimensi bidang patahan dengan skala magnitude momen dinyatakan
dengan persamaan (5.3) berikut,
2
Mw  log Mo  16,3 ; Mo  DA ............... (5.3)
3
dimana Mo adalah seismic moment (dyne.cm), dengan μ adalah rupture
strength dalam dyne/cm2 (1 dyne = 10-5 kg), A adalah rupture area
dalam cm2 (A=length×width) dan D adalah rata-rata displacement
(avarage slip).
Penentuan skala magnitude momen Mw dipakai untuk menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada pada skala magnitude ML , Mb
dan Ms dalam membedakan gempabumi besar, yang dapat
menetukan magnitude suatu gempa menurut seismic moment (Mo)
yang merupakan gambaran deformasi dari suatu gempa dan
berhubungan langsung dengan energi gempa yang terlepas (release
energy).

2. Skala Intensitas Gempa (Intensity)


Intensitas gempabumi adalah suatu ukuran kekuatan
gempabumi secara kualitatif yang dapat dilihat secara langsung
tingkat kerusakannya dan dirasakan oleh manusia pada lokasi
terjadinya getaran gempa (Widodo, 2012). Skala angkanya
ditentukan dengan menilai kerusakan yang dihasilkan gempabumi,
pengaruhnya pada benda-benda, bangunan, tanah, dan orang-orang
di sekitarnya.

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 79


Skala intensitas ini disebut dengan MMI (Modified Mercalli
Intensity), yang diperkenalkan oleh Giuseppe Mercalli (1902).
Berdasarkan informasi dari korban yang selamat dari sebuah bencana
gempa dan dengan melihat serta membandingkan tingkat kerusakan
akibat gempa itu, skala intensitas (MMI) terbagi menjadi 12 bagian,
dimana ukuran I adalah intensitas terendah dan XII adalah intensitas
tinggi dengan dampak kerusakan bangunan yang sangat parah.
Tabel 5.3 Ukuran intensitas MMI suatu gempa dan dampak yang
ditimbulkannya (Modifikasi dari berbagai sumber).
Skala
Keterangan
MMI
I Tidak terasa.
II Terasa saat sedang istirahat, dan lebih terasa saat di dataran tinggi.
Terasa jika di dalam rumah, walau banyak yang tidak menyadari,
III
getaran gempa terasa seperti ada truk kecil yang lewat.
Terasa di dalam rumah seperti ada truk berat lewat, atau seperti ada
barang berat yang menabrak dinding rumah. Barang-barang yang
III tergantung terlihat bergoyang-goyang dan barang-barang yang berdiri
ikut bergerak. Pintu-pintu bergerak dan gelas gemerincing. Terdengar
dinding dan rangka rumah berbunyi.
Dapat terasa di luar rumah, orang yang sedang tidur terbangun, air dan
IV cairan lainnya bergerak. Properti rumah yang kecil-kecil bergerak dan
bahkan sampai jatuh.
Dapat dirasakan oleh semua orang, banyak yang berhamburan lari
keluar rumah, kaca-kaca pecah, buku-buku dan barang lainnya yang
V
berdiri tegak ikut terjatuh, dan plesteran dinding yang lemah ikut retak
dan pecah.
Getaran dirasakan oleh semua penduduk. Kebanyakan semua terkejut
VI dan lari keluar, plester dinding jatuh dan cerobong asap pada pabrik
rusak, kerusakan ringan.
Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah
dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Sedangkan pada
VII
bangunan yang konstruksinya kurang baik terjadi retak-retak bahkan
hancur, cerobong asap pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan.
Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat. Retak-
retak pada bangunan degan konstruksi kurang baik, dinding dapat
VIII
lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-
monumen roboh, air menjadi keruh.

80 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka rumah menjadi
IX tidak lurus, banyak retak. Rumah tampak agak berpindah dari
pondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus.
Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari
X pondamennya, tanah terbelah rel melengkung, tanah longsor di tiap-
tiap sungai dan di tanah-tanah yang curam.
Bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri. Jembatan rusak,
XI terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali,
tanah terbelah, rel melengkung sekali.
Hancur sama sekali, Gelombang tampak pada permukaan tanah.
XII
Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara.

Ukuran skala MMI akan lebih besar pada daerah yang berada
dekat dengan pusat gempa dan mengecil pada jarak yang lebih jauh
dari pusat gempa. Dalam keadaan tertentu skala MMI ini sangat
subjektif, sehingga kurang tepat jika dibanding dengan ukuran skala
magnitude. Tabel 5.3 di atas menjelaskan ukuran skala intensitas I –
XII. Sebagai pemahaman, tabel di bawah merupakan perbandingan
besaran gempa antara skala magnitude (M) dan skala intensitas
(MMI).

Tabel 5.4 Hubungan skala magnitude M dengan skala intensitas MMI.

5.7.4 Percepatan Tanah Maksimum (Peak Ground


Acceleration, PGA)
Selain besaran magnitude dan intensitas (MMI) di atas,
percepatan muka tanah/percepatan tanah maksimum (PGA) juga

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 81


penting diperhitungkan, mengingat suatu bangunan yang ada di atas
permukaan tanah berhubungan langsung dengan kondisi tanah di
sekitarnya, dimana efek dan pengaruh gelombang yang sampai ke
permukaan merupakan besaran dari energi gempa atau percepatan
gelombang yang mempengaruhi bangunan.
Menurut hukum Newton II bahwa nilai percepatan berbanding
lurus dengan beban yang diberikan, seperti persamaan (5.4). Jika
percepatan besar maka beban yang bekerja pada bangunan juga akan
semakin besar. Namun demikian, gerakan tanah cenderung memiliki
frekuensi tinggi, sehingga pengaruh beban maksimum akibat
percepatan maksimum itu juga hanyaakan bekerja dan berpengaruh
terhadap bangunan yang berfrekuensi tinggi saja.

F  ma ............... (5.4)


dimana persamaan (5.4) merupakan hukum Newton II dengan beban
F adalah produksi dari massa m dengan percepatan a.
Kerusakan bangunan akibat gempa tidak saja diakibatkan karena
kualitas bangunannya saja, namun juga karena jenis tanah yang
ditandai, yang salah satunya ditandai dengan besarnya PGA
(Sungkowo, 2018). Semakin besar nilai PGA di suatu tempat, maka
semakin besar risiko gempa yang akan terjadi. Untuk mendapatkan
nilai PGA, BMKG telah memasang alat akselerogram di titik-titik
dekat pusat gempa, seperti di Solo dan Yogyakarta, untuk
mendapatkan nilai percepatan tanah maksimum (PGA) dari suatu
kejadian gempa.
PGA merupakan gelombang gempa yang sampai ke permukaan
bumi, yang kemudian dikenal dengan percepatan tanah maksimum,
dan digambarkan dengan g yaitu percepatan gravitasi bumi (cm/dt2).
Banyak metode empiris yang menjadi acuan bagi para peneliti
kegempaan dalam menentukan besaran PGA, beberapa di antaranya
adalah (Faizah, 2018):
1. Generasi pertama: Esteva (1970), Donovan (1973), McGuire
(1977), Faccioli (1978), Ambraseys (1990), dan Campbell (1989).

82 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


2. Generasi kedua: Abrahamson Silva (1997), Joyner-Boore (1997),
Idris dan (2002).
3. Next Generation (NGA): Abrahamson-Silva 2007, Boore &
Atkinson (2007), Campbell & Bozorgnia (2007), dan Idris (2007).

Gambar 5.15 Contoh rekaman percepatan di pemukaan tanah


pada akselerogram wilayah Surabaya (Harnindra dkk, 2017).

Pada akselerogram, besarnya PGA akan tergambar seperti


Gambar 5.15 di atas. Secara empiris, besarnya nilai PGA dapat
dihitung dengan persamaan seperti yang diajukan oleh Donovan
(1973), dengan:

PGA  1080(2,178) 0,5 M ( H  25) 1,32 ............. (5.5)

dimana M adalah magnitude gempa, H adalah jarak hiposenter (km),


dan PGA adalah percepatan tanah maksimum (cm/dt2). Besarnya
nilai PGA untuk wilayah Indonesia sudah ditetapkan pada masing-
masing daerah, seperti nilai PGA wilayah Sumatera yang ditampilkan
pada Gambar 5.16 di bawah.
Dalam kasus tertentu, pemahaman dan pengukuran besaran
gempa dengan PGA tidak selamanya dapat dijadikan rujukan terbaik.
Hal ini telah dibuktikan saat kejadian gempa Parkfield dan El Centro.
Besar PGA pada gempa Parkfield (1996) adalah 0,5g namun

Gempabumi dan Seismologi (Earthquake and Seismology) 83


kerusakannya lebih kecil dibandingkan dengan gempa El centro
(1980) dengan nilai PGA yang hanya 0,33g (Sarwidi, 2015).

Gambar 5.16 Peta gempa dan nilai PGA untuk wilayah Sumatera
2017 (PUPR, 2019).

84 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Bab 6
Dampak dan Mitigasi
Gempa

Sebenarnya wilayah manapun di dunia dapat berpotensi


mengalami gempabumi, namun umumnya sering terkonsentrasi di
batas-batas plat tektonik. Seperti yang sudah disinggung di awal
bahwa Indonesia memiliki potensi tinggi terdampak gempa, karena
berada di antara batas plat/lempeng tektonik tersebut. Daerah ini
juga ditandai dengan munculnya gugusan gunungapi, dan daerah ini
dikenal dengan jalur ring of fire (sabuk api).
Melihat jalur sabuk api (jalur gempa) seperti Gambar 6.1, maka
Indonesia berada pada pertemuan dua jalur gempa Circum Pasific
Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt, sehingga kepulauan
Indonesia termasuk dalam kategori daerah rawan gempa. Kejadian
gempa besar seperti gempa dan tsunami Aceh 2004, gempa Nias
2005, gempa Yogyakarta 2006, gempa Solok 2007, gempa Padang
2009, hingga yang terbaru gempa Solok, gempa Lombok dan Palu
2018 serta gempa Ambon 2019, membuktikan bahwa negeri kita
Indonesia berada dalam kawasan rawan gempabumi yang tinggi.

Dampak dan Mitigasi Gempa 85


Gambar 6.1 Ring of fire (Guru Geografi, 2016).

6.1 Dampak Gempabumi


Julukan triple junction yang berarti lokasi bertemuanya tiga
lempeng tektonik, seperti lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan
lempeng Indo-Australia, adalah tempat terakumulasinya energi di
dalam batuan yang sangat lama hingga pada saatnya tiba untuk
dilepaskan dan menjalarkan gelombang ke permukaan tanah hingga
mengganggu bangunan di atasnya. Gelombang inilah yang akan
menjadi beban gempa sebagai beban yang dipertimbangkan dalam
perencanaan struktur.
Secara umum dampak dari gempa dapat ditinjau dalam dua
bagian yakni dampak langsung (primer) dan dampak tidak langsung
(sekunder). Dampak langsung selain berdampak terhadap struktur
bangunan gedung, perumahan warga, infrastruktur hingga
menyebabkan orang meninggal dunia, terlepasnya energi gempa tadi
juga dapat menyebabkan longsoran tanah, turunnya permukaan
tanah, dan likuifaksi di daerah dengan tanah berpasir.
Sementara dampak tidak langsung dari gempa adalah terjadinya
bencana tsunami (gelombang besar), kebakaran akibat putusnya
saluran gas di dalam tanah akibat tanah yang rusak, wabah penyakit
akibat terlambatnya distribusi bantuan dan sarana kesehatan yang

86 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


terganggu, ketidakstabilan politik dan dampak terhadap ekonomi
karena hancurnya sarana dan prasarana publik seperti yang terjadi
akibat gempa Kobe (1995) dan gempa Sumatera Barat (2009).

6.1.1 Kerusakan Struktur Bangunan


Beberapa penyebab kerusakan struktur akibat gempa adalah
sebagai berikut:
1. Kondisi iklim dan topografi daerah,
2. Rendahnya kualitas bangunan,
3. Pelaksanaan yang tidak memadai,
4. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan,
5. Lemahnya struktur dinding pemikul, dan
6. permukaan tanah yang rusak karena bergetarnya tanah oleh
gelombang gempa, dimana getaran gelombang tersebut akan
mentransmisikan energinya ke struktur bangunan, yang
memungkinkan bangunan mengalami kerusakan dan bahkan
keruntuhan.
Ada beberapa kategori kerusakan struktur di permukaan tanah
akibat gempa, diantaranya adalah:
1. Kerusakan ringan non-struktur. Kerusakan ini terdapat pada
elemen-elemen bangunan yang bukan elemen utama, seperti
kerusakan pada plesteran dinding, pintu, jendela, atap, partisi,
yang luasnya terbatas.
2. Kerusakan ringan struktur. Pada kerusakan ini, bangunan
masih berdiri tapi mulai lemah menahan beban, terdapat
retak-retak pada struktur yang ditandai dengan terlihatnya
kolom yang miring, namun masih laik fungsi.
3. Kerusakan struktur tingkat sedang. Kerusakan struktur sudah
meluas, kolom dan cerobong terlihat miring, kemampuan
struktur menahan beban sudah sangat lemah namun masih
laik huni.
4. Kerusakan struktur tingkat berat. Dinding pemikul beban
terbelah dan runtuh, bangunan terpisah akibat kegagalan

Dampak dan Mitigasi Gempa 87


unsur-unsur pengikat, 50% elemen utama mengalami
kerusakan, dan sudah tidak laik huni.
5. Kerusakan total. Pada kondisi ini bangunan sudah roboh
seluruhnya, sebagian besar elemen utama rusak, serta sudah
tidak laik huni.

Gambar 6.2 Kerusakan struktur akibat gempa. (a) Kerusakan non-struktur,


(b) kerusakan ringan struktur.

88 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


a b

Gambar 6.3 Kerusakan struktur akibat gempa. (a) Kerusakan struktur


tingkat sedang, (b) kerusakan struktur tingkat berat, dan (c) kerusakan
struktur total.

Dampak dan Mitigasi Gempa 89


6.1.2 Kelongsoran Tanah Akibat Gempa
Kelongsoran tanah akibat gempa merupakan dampak tak
langsung (bahaya sekunder) dari gempabumi, dan dapat mengancam
jiwa manusia dan lingkungan sekitarnya, termasuk merusak
bangunan. Longsoran tanah di daerah yang curam terjadi karena
lemahnya ikatan antar tanah yang mana jika dipengaruhi oleh
getaran gempa, maka ikatan tanahnya akan terlepas sehingga
mengakibatkan terjadinya longsoran.
Bahaya dan ancaman longsoran akibat lebih besar jika di sekitar
daerah longsoran tersebut banyak berdiri bangunan rumah warga dan
lingkungan yang padat penduduk, sehingga mengakibatkan
banyaknya korban. Contoh terjadinya longsoran tanah akibat gempa
adalah longsoran di Tandikat padang akibat gempa Padang tahun
2009 silam, yang menimbun pemukiman penduduk dan menutup
aliran sungai di bawah lereng tempat terjadinya longsoran tersebut
(Suharjanto, 2013).

Gambar 6.4 Longsoran akibat gempa yang menimbun bangunan


(Sumber: http://www.ilmugeografi.com/bencana-alam/dampak -
tanah-longsor).

90 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


6.1.3 Bencana Tsunami
Pada penghujung tahun 2004, tepatnya tanggal 26 Desember
2004, kita dikejutkan oleh bencana paling besar di awal dekade ini.
Gempabumi di laut sebesar 8,9 SR di sebelah Barat pulau Sumatera
dekat Simeuleu saat itu telah mengakibatkan terjadinya gelombang
tsunami besar yang melanda sebagian besar wilayah Aceh. Tidak saja
di Aceh, dampak tsunami itu juga dirasakan hingga sebagian wilayah
Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika Timur, yang meliputi negara
Malaysia, Thailand, Myanmar, India, maldives dan negara Asia
lainnya. Dampak tsunami saat itu telah menelan korban meninggal
dunia sebanyak 126.741 jiwa dan 750.000 lebih orang kehilangan
mata pencarian (BRR NAD-Nias, 2009).
Dalam kurun satu dekade terakhir, Indonesia telah dilanda
beberapa kali bencana tsunami dengan kerusakan dan jumlah korban
yang begitu banyak seperti peristiwa tsunami tahun 2004 di Aceh dan
Nias, tsunami di Pangandaran 2006, dan tsunami di Kepulauan
Mentawai 2010. Sebelum itu Indonesia juga telah dilanda beberapa
kali bencana tsunami dengan kerusakan dan jumlah korban yang
begitu banyak seperti peristiwa tsunami tahun 1992 di Flores, dan
tahun 1994 di Banyuwangi (Tabel 6.1).

Tabel 6.1 Peristiwa tsunami yang disebabkan oleh gempa.

Sumber: Naskah Akademik Pengurangan Risiko Bencana Tsunami (2013).

Dampak dan Mitigasi Gempa 91


Berdasarkan Kajian Risiko Bencana BNPB (2012), peta risiko
bencana tsunami Indonesia dapat dilihat seperti Gambar 6.5 di
bawah. Dari hasil kajian risiko tersebut, total jumlah jiwa terpapar
risiko bencana tsunami di Indonesia adalah sebanyak 4.102.406 jiwa
di seluruh Provinsi di Indonesia dengan potensi kerugian mencapai
Rp. 879 Trilyun (Renas-PB, 2015).

Gambar 6.5 Peta bencana tsunami Indonesia (BNPB, 2012).

Tsunami diartikan sebagai gelombang laut panjang akibat


adanya gangguan secara impulsif di dasar laut seperti adanya
longsoran di dalam laut, erupsi merapi dan paling sering disebabkan
oleh terjadinya gempa tektonik di laut. Menurut penelitian para ahli,
kondisi yang dapat menimbulkan tsunami adalah:
1. Gempa yang berpusat di laut,
2. besar gempa lebih dari magnitude 6 SR,
3. jenis gempa dangkal, yang kurang dari 33 km, dan
4. gempa dengan pola sesar naik dan atau sesar turun.

Meskipun tinggi gelombang tsunami di sumbernya kurang dari


satu meter, namun bisa mencapai lebih dari 10 meter saat mencapai
pantai. Hal ini sesuai dengan hukum kekekalan energi, dimana

92 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


kecepatan rambat gelombang akibat semakin dangkalnya kedalaman
laut di pantai, sehingga tinggi gelombang semakin bertambah. Seperti
yang sudah di bahas di muka, dimana dikatakan bahwa wilayah
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng bumi yang aktif,
yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng
Pasifik. Aktivitas lempeng tersebut adalah penyebab tsunami paling
sering di wilayah Indonesia.

Gambar 6.6 Gelombang tsunami (http://www.google.com).

Besarnya kekuatan tsunami (magnitude tsunami) berbeda untuk


setiap tingkatan, bergantung kepada besar dan jumlah kerusakan yang
ditimbulkannya, seperti yang disajikan oleh Tabel 6.2. Sebelum
ditemukannya alat pencatat kekuatan tsunami, besarnya magnitude
tsunami oleh Imamura-Lida (1958) dihitung dengan (Sunarjo dkk,
2012):

m  log 2 .h ............. (6.1)

dimana m adalah magnitude tsunami dan h adalah ketinggian


tsunami.

Dampak dan Mitigasi Gempa 93


Tabel 6.2 Skala magnitude tsunami oleh Imamura-Lida (1958).

Besarnya intensitas tsunami dapat ditentukan dengan persamaan


oleh Soloview (1970); dalam Sunarjo, dkk (2012):

t  log 2 . 2.h ............. (6.2)

dengan t adalah intensitas tsunami dan h adalah rata-rata ketinggian


tsunami. Seiring perkembangan beberapa penelitian kegempaan,
besaran magnitude tsunami kemudian juga telah dihitung
berdasarkan Abe (1989); dalam Sunarjo, dkk (2012):

M t  log H  C  9,1 ............. (6.3)

dimana Mt adalah magnitude tsunami, H adalah amplitudo


maksimum tinggi air pasang (meter) dan C adalah koefisien faktor
jarak antara sumber dan titik pantai.

6.1.4 Likuifaksi (Liquefaction)


Seperti uraian sebelumnya, yang mana dikatakan bahwa
gempabumi merupakan peristiwa alam akibat pecahnya massa batuan
secara tiba-tiba di dalam tanah yang menyebabkan terganggunya
kestabilan tanah akibat energi gempa yang merambat sampai
permukaan, sehingga tanah tidak mampu lagi menopang bangunan

94 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


yang ada di atasnya. Peristiwa menurunnya massa batuan tanah ini
disebut dengan likuifaksi (Tini dkk, 2017), yaitu kondisi dimana
massa tanah kehilangan daya dukungnya (Zettyara dkk, 2018).
Tanah merupakan tempat perletakan dari struktur bangunan,
sehingga dibutuhkan kondisi tanah yang stabil yang mampu
meningkatkan keamanan terhadap bangunan tersebut. Untuk
mendapatkan kondisi tanah yang baik diperlukan suatu penyelidikan
terhadap tanah baik berupa uji lapangan maupun uji laboratorium,
sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan
kontruksi bangunan. Dengan mengetahui karakteristik tanah, maka
perencana dapat membuat suatu kesimpulan tentang perilaku tanah
agar stabil dan aman. Sehingga perencana dapat mengantisipasi risiko
yang dapat menggangu kestabilan dan keamanan tanah, seperti risiko
dan bahaya yang diakibatkan oleh peristiwa likuifaksi dari dampak
sekunder suatu peristiwa gempabumi.

Gambar 6.7 Rumah tenggelam di Perumahan Bolora akibat likuifaksi


setelah gempa Palu 2018
(Sumber: http://www.jurnasulawesi.com/).

Bahaya likuifaksi dapat mengakibatkan tingginya tegangan air


pori tanah, dimana saat likuifaksi terjadi kekuatan tanah dan
kemampuan deposit tanah untuk menahan beban menjadi menurun.
Tegangan efektif tanah akibat beban siklik yang diterima tanah

Dampak dan Mitigasi Gempa 95


dengan karakteristik berbutir, jenuh air dan kepadatan sedang sampai
lepas, dimana tanah tersebut mengalami perubahan sifat dari padat ke
cair, yang dapat menyebabkan keruntuhan dan kerusakan pada
bangunan.

Gambar 6.8 Likuifaksi akibat Gempa Niigata 1964 pada magnitude M6,4
(Sumber: http://www.google.com).

Peristiwa likuifaksi ini telah dibuktikan melalui sejarah yang


telah terjadi di dunia, seperti pada gempa di Niagata, Jepang pada
tahun 1964. Melihat potensi yang ditimbulkan oleh likuifaksi sangat
besar, maka para ahli mulai mengembangkan beberapa metode
praktis untuk menganalisa potensi likuifaksi dari tanah. Terdapat
beberapa metode analisa likuifaksi, salah satunya adalah metode
analisa menggunakan data pengujian lapangan, seperti cone penetration
test, uji standar penetrasi, uji boring dan uji Swedish. Selain itu analisa
potensi likuifaksi juga dapat dilakukan berdasarkan uji di
laboratorium seperti analisa butiran. Dari sekian banyak metode yang
ada, metode menggunakan data uji SPT merupakan metode yang
sering digunakan oleh para ahli (Khan dkk, 2017).

1. Penyebab Likuifaksi
Dari berbagai penelitian dan pengamatan yang dilakukan telah
disimpulkan bahwa perilaku likuifaksi pada tanah potensial terjadi

96 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


pada deposit tanah yang tergolong tanah berbutir dengan level muka
air tanah tinggi dan kepadatan rendah sampai sedang. Tanah dengan
karakteristik seperti ini memiliki kecenderungan menjadi padat akibat
getaran yang terjadi dalam tanah sehingga volume berkurang
(Setianto & Soetoto,----). Pada fase ini pengaliran air pori yang berada
di dalam rongga yang terbentuk dari formasi butiran tidak dapat
terjadi sehingga tekanan air pori meningkat dan ketika tekanan air
pori mencapai batasnya yaitu memiliki nilai yang sama dengan
tekanan overbuden tanah maka tegangan efektif tanah menjadi nol dan
tanah secara keseluruhan telah kehilangan kekuatanya dan berada
dalam kondisi terlikuifaksi.
Secara umum penyebab likuifaksi pada tanah tak berkohesi dan
jenuh air selama gempabumi berlangsung adalah bertambahnya
tekanan hidrostatik secara berlebihan yang disebabkan oleh terjadinya
tegangan geser siklik akibat pergerakan tanah. Tegangan geser ini
dapat menyebabkan terjadinya kenaikan perambatan gelombang
geser pada tanah sehingga struktur tanah menjadi lebih padat yang
diikuti dengan perpindahan tegangan air pori dan berkurangnya
tegangan pada butir tanah yang mengakibatkan butiran tanah
berusaha untuk menjaga kekonstanan volumenya, dimana dalam
kondisi ini terjadi kenaikan tekanan air pori yang besar pada tanah.
Ketika tekanan air pori mencapai tekanan batas, pasir akan
mengalami perubahan bentuk. Pada pasir lepas tekanan air pori akan
meningkat secara tiba-tiba mencapai nilai yang sama dengan tekanan
batas, dan pasir akan berubah bentuk dengan cepat dengan tegangan-
regangan mencapai 20% atau lebih. Jika perubahan bentuk pasir
menjadi tidak terbatas tanpa diiringi daya tahan maka tanah ini bisa
dikatakan terlikuifaksi.

Dampak dan Mitigasi Gempa 97


Gambar 6.9 (a) Partikel tanah sebelum terjadi likuifaksi, (b) partikel tanah
setelah terjadi likuifaksi
(Sumber: http://www.likuifaksitanah.com).

2. Evaluasi Likuifaksi
Potensi likuifaksi pada suatu deposit tanah akan ditentukan oleh
kombinasi beberapa komponen, antara lain ((Setianto & Soetoto, -----
):
1. Indeks propertis tanah seperti modulus dinamis, karakteristik
kelembaban, berat volume, gradasi butiran, kepadatan relatif,
dan struktur tanah itu sendiri.
2. Faktor lingkungan seperti jenis formasi tanah, sejarah seismik
dan geologi, level muka air tanah, dan tegangan efektif tanah.
3. Karakteristik gempa seperti intensitas guncangan pada tanah
dan lama guncangan yang terjadi.
Dari beberapa faktor yang telah disebutkan diatas, tidak semua
dari faktor tersebut dapat ditentukan besarannya secara langsung,
akan tetapi dampak yang muncul dari ketiga faktor tersebut dapat
digunakan atau masukan kedalam prosedur evaluasi potensi likuifaksi
yaitu dengan melakukan uji beban siklik pada sampel tanah atau bisa
dengan cara pengukuran karakteristik likuifaksi pada tanah
menggunakan beberapa prosedur pengujian di lapangan.

98 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Pada dasarnya, prosedur standar evaluasi likuifaksi antara lain:
1. Menentukan besaran tegangan siklik yang muncul akibat
pergerakan tanah pada saat gempa bumi, pada setiap
kedalaman deposit tanah dan mengkonversi bentuk tegangan
yang tidak beraturan tersebut sehingga memiliki besaran yang
sama dalam bentuk tegangan siklik. Dengan kata lain,
intensitas guncangan, lama guncangan, dan variasi guncangan
yang terjadi akibat tegangan pada setiap kedalaman diubah
menjadi suatu besaran yang dapat dihitung. Penentuan
besaran siklik yang terjadi dapat diakukan dengan cara
menganalisa respon tanah terhadap tegangan yang terjadi.
2. Menentukan besaran tegangan siklik dengan cara uji
pembebanan di laboratorium yang diwakili oleh sampel tak
terganggu yang dilakukan dengan variasi tekanan bebas yang
telah ditentukan atau degan cara mengkolerasikan propertis
tanah dengan karakteristik di lapangan.
3. Membandingkan antara tegangan geser yang terjadi akibat
gempa bumi dengan hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya likuifaksi untuk menentukan apakah deposit tanah
berada dalam zona likuifaksi atau tidak. Seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 6.10.

Gambar 6.10 Metode evaluasi potensi likuifaksi tanah


(Sumber: http://www.ground-motion-and-soil-liquefaction-during-
earthquake.com).

Dampak dan Mitigasi Gempa 99


Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa perilaku likuifaksi
pada tanah bersifat merusak dan menimbulkan dampak negatif yang
besar terhadap stabilitas tanah dan bangunan di atasnya. Adapun
dampak yang ditimbulkan dari perilaku likuifaksi adalah:
1. Terjadinya penurunan hingga 5% dari ketebalan lapisan tanah
yang terlikuifaksi.
2. Terjadinya kehilangan daya dukung tanah lateral
3. Terjadinya kehilangan daya dukung tanah
4. Terjadinya pengapungan struktur yang dibenamkan dalam
tanah, seperti tangki di bawah tanah.
5. Meninggkatkan tekanan tanah lateral tanah yang dapat
menyebabkan kegagalan pada struktur penahan tekanan
lateral tanah, seperti quay walls
6. Terjadinya lateral spreading (limited lateral movements)
7. Terjadinya lateral flow (extensive lateral movements)

6.2 Rekayasa Gempa (Earthquake Engineering)


Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa
bencana gempabumi dapat menimbulkan kerugian baik sosial,
ekonomi bahkan meninggal dunia. Namun yang paling utama
adalah, bagaimana caranya agar dampak bencana gempa itu dapat
ditekan sekecil mungkin. Sejatinya bukanlah gempa yang
mengakibatkan kehilangan dan kematian, tapi keruntuhan bangunan
akibat gempa yang sebenarnya menjadi penyebab semua itu. Oleh
karena itu, upaya-upaya pengurangan risiko bencana (PRB)
gempabumi harus ditingkatkan, agar dampak buruk dari gempa dapat
dikurangi. Pemahaman mengenai upaya PRB tersebut akan kita
jelaskan dalam subbab berikut melalui pengetahuan tentang rekayasa
kegempaan.
Disinggung terhadap hubungannya dengan rekayasa gempa,
maka seismologi merupakan cabang ilmu kebumian yang membahas
tentang kegempaan, baik karakteristik, fenomena, mekanisme
maupun dampak yang ditimbulkan oleh gempa. Kita tahu bahwa
goncangan tanah akibat gempabumi berpengaruh langsung terhadap
pondasi struktur/gedung/bangunan yang ada di atas permukaan

100 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


tanah. Kemampuan struktur untuk mengimbangi beban/goncangan
gempa ini harus ditingkatkan dan direncanakan sesuai dengan syarat
dan standar yang berlaku dalam perancanaan pembanguanan gedung,
agar tidak terjadi kegagalan yang dapat menimbulkan korban, terlebih
keruntuhan bangunan saat terjadi gempabumi.
Berdasarkan uraian di atas, maka seismologi membahas tentang
fenomena gempa ataupun goncangan gempa dengan berbagai
kekuatan goncangnya, sementara rekayasa gempa (teknik gempa)
menjelaskan tentang bagaimana pengaruh gempa berdasarkan sudut
pandang kerekayasaan struktur (Structure engineering). Sehingga dalam
pelaksanaannya, data-data perencanaan yang digunakan oleh
rekayasa gempa diambil dari ketersediaan data yang ada pada
seismologi, agar perencanaan struktur dapat sesuai dan memenuhi
standar.

Gambar 6.11 Distribusi gempa di Indonesia sepanjang 1900 – 2016


(Asrurifak dkk, 2017).

Tujuan utama dalam rekayasa gempa adalah sebagai bentuk


usaha/ikhtiar dalam mengurangi dampak yang diakibatkan oleh
gempa, seperti terjadinya keruntuhan bangunan/struktur. Jenis dan

Dampak dan Mitigasi Gempa 101


tingkat bahaya dari keruntuhan bangunan bergantung pada seberapa
besar goncangan yang dialami oleh struktur itu. Jadi yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana caranya agar struktur dapat menahan
beban gempa, karena seperti yang disinggung dimuka bahwa
penyebab jatuhnya korban jiwa adalah karena keruntuhan bangunan,
dan bukan karena gempa itu sendiri.
Risiko keruntuhan bangunan akibat gempa akan lebih tinggi jika
pertumbuhan pembangunan tersebut juga tinggi namun tidak
dibangun sesuai standar perencanaan gempa yang telah disyaratkan.
Dalam rekayasa gempa, semua syarat itu harus sudah direncanakan
dengan baik dan memadai agar dapat menekan korban saat bangunan
dipengaruhi oleh gempa. Di Indonesia syarat minimum dari prosedur
perencanaan bangunan tahan gempa itu telah diatur dalam beberapa
standar nasional, seperti Standar Nasional Indonesia SNI 1726 Tahun
2002 Tentang Standar Perencanaan Bangunan Tahan Gempa.

Gambar 6.12 Contoh penerapan pondasi umpak pada bangunan tradisional


Rumah Gadang di Minangkabau (Soesilo, 2014).
Dalam pelaksanaannya terdapat dua jenis bangunan yaitu,
Engineered Construction (EC) dan Non-engineered Construction (NEC).

102 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Bangunan Engineered Construction dibangun di bawah pengawasan ahli
bangunan dan memenuhi perencanaan perhitungan struktur. Contoh
dari bangunan ini adalah, struktur jembatan, bangunan bertingkat,
flyover dan fasilitas infrastruktur lainnya. Bangunan Non-engineered
Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan tanpa
pengawasan ahli bangunan/arsitek dan biasanya dibangun sesuia
dengan kebiasaan masyarakat setempat. Contoh dari bangunan ini
adalah bangunan perumahan warga, bangunan tradisional, serta
bangunan kayu dan bambu.

Gambar 6.13 Rumah warga yang rubuh akibat gempa 2006 (Andrall, 2016).

Pengalaman dari peristiwa gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah


tahun 2006 yang banyak menyebabkan kerusakan dan keruntuhan
rumah warga, telah membuktikan bagaimana perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan itu dibuat dengan tanpa perhitungan
konstruksi dan struktur yang benar, sehingga korban meninggal juga
banyak berjatuhan saat itu (lihat Gambar 6.13). Keruntuhan
bangunan tidak saja dipengaruhi oleh frekuensi dan besar gempa saja,
tetapi beberapa faktor lain seperti kondisi tanah, jarak epsenter gempa
terhadap lokasi bangunan serta gelombang gempa juga memiliki

Dampak dan Mitigasi Gempa 103


pengaruh besar dalam mempertimbangkan perencanaan rekayasa
gempa.
Dalam rekayasa kegempaan perlu memperhitungkan kondisi
geologis suatu wilayah berupa jenis tanah dan karakteristik batuannya
sebagai masukan dalam metode Probablistic Seismic Hazard
Assessment (PSHA) dari teori probabilitas total untuk menentukan
besaran percepatan tanah akibat gempa yang akan terjadi.
Selanjutnya besaran percepatan tanah yang sudah diestimasi,
dikembangkan dalam peta seismic hazard yang digunakan sebagai
dasar perencanaan struktur di suatu wilayah.

6.2.1 Hubungan Kondisi Tanah dengan Karakteristik Gempa


(Kekuatan, Frekuensi dan Periode Getar Gelombang
Gempa)
Kondisi geologis suatu wilayah seperti jenis tanah dan batuan
dasarnya berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga beban gempa
yang diterima oleh suatu bangunan akibat pergerakan tanah yang
berasal dari frekuensi dan periode getar gelombang gempa juga
berbeda. Pada struktur tanah dengan batuan keras, gelombang gempa
dengan frekuensi tinggi (periode getar rendah) akan menjalar secara
efisien. Sementara untuk tanah yang lunak, gelombang gempa dengan
frekuensi rendah (periode tinggi) akan menjadi penghantar yang baik
(http://www.tekniksipil.org).
Sebagai contoh wilayah Sumatera dengan karakteristik batuan
yang keras, dimana tegangan yang terjadi pada batuannya menjadi
lebih besar yang akan menyebabkan gempa besar di masa mendatang
sebagai akibat dari akumulasi energi yang cukup lama (Imani, 2016).
Berdasarkan pengalaman, gempa-gempa merusak yang terjadi di
Sumatera umumnya didominasi oleh gempa pada kekuatan sedang
(Mw 4 – 5) karena berasal dari patahan besar Sumatera yang berada
di daratan dekat dengan pemukiman. Sedangkan gempa di zona
subduksi yang terjadi di laut dengan kekuatan besar (pada frekuensi
rendah dengan periode getar tinggi), tidak banyak berpengaruh
terhadap bangunan dan kondisi tanah kecuali gempa yang
mengakibatkan tsunami seperti gempa Aceh 2004 pada kekuatan

104 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Mw9, karena pusatnya yang jauh dari pemukiman pada tanah yang
keras.
Dengan kondisi geologis wilayah Sumatera yang memiliki
struktur tanah yang keras seperti dijelaskan di atas, menyebabkan
gelombang gempa merambat lebih efisien. Lapisan tanah di bawah
permukaan yang menopang pondasi bangunan dapat meningkatkan
besarnya beban gempa yang dialami oleh struktur bangunan, karena
adanya kemungkinan periode alami dari lapisan tanah di bawah
permukaan sama atau hampir sama dengan periode alami dari
bangunan di atasnya, sehingga risiko bahaya gempa akibat
keruntuhan bangunan menjadi cukup tinggi terhadap perumahan
penduduk yang umumnya memiliki struktur bertingkat rendah
(dengan periode getar rendah).

6.2.2 Pengaruh Jarak Pusat Gempa terhadap Lokasi Struktur


Bangunan
Jarak hiposenter (pusat gempa) terhadap lokasi bangunan
termasuk faktor yang mempengaruhi kerusakan dan keruntuhan
bangunan akibat gempa. Pergerakan gelombang gempa untuk
mencapai permukaan tanah dipengaruhi oleh kondisi tanah
setempat.Karena periode alami dari lapisan tanah di bawah
permukaan tanah sama atau hampir sama dengan periode alami dari
bangunan yang ada diatasnya, maka ada kemungkinan tanah yang
menopang fondasi bangunan dapat meningkatkan besarnya beban
gempa yang dialami oleh struktur bangunan itu.
Struktur bangunan bertingkat tinggi memiliki periode getar alami
yang tinggi (berkisar 1 – 5 detik), sehingga apabila dikenai gelombang
gempa dalam waktu yang lama (periode getar gempa tinggi) dan
akibat kemungkinan terjadinya resonansi, maka dapat menyebabkan
goncangan tanah menjadi besar terhadap struktur tersebut.
Gelombang gempa dengan periode getar tinggi memiliki tingkat
penurunan intensitas yang rendah. Hal ini berarti bahwa, gelombang
gempa dengan periode getar tinggi akan mampu mencapai jarak yang
jauh dari pusat gempa. Apabila pada jarak yang jauh tersebut
dibangun gedung bertingkat tinggi (periode getar alami tinggi), maka

Dampak dan Mitigasi Gempa 105


efek dari gempa dengan pusat gempa yang jauh tersebut bisa menjadi
besar sebagai akibat dari adanya resonansi. Sebaliknya bangunan-
bangunan bertingkat rendah yang umumnya bersifat kaku, akan
mengalami pengaruh besar akibat gelombang gempa dengan periode
rendah (frekuensi tinggi) jika dibangun di atas tanah yang keras dan
dekat dengan lokasi pusat gempa, seperti gempa yang berasal dari
sesar besar Sumatera.

6.3 Seismisitas (Seismicity) dan Prediksi Gempa


Frekuensi kejadian gempa yang mengindikasikan jumlah energi
gempa yang mempengaruhi suatu wilayah tertentu dan dalam kurun
waktu tertentu disebut dengan seismisitas (Sarwidi, 2015). Kejadian
gempa yang pernah melanda sebagian besar wilayah Indonesia dapat
dipelajari melalui studi seismisitas berdasarkan pengamatan lapangan
dan informasi historis kegempaan yang pernah terjadi di masa lalu
hingga sekarang.

6.3.1 Studi Seismisitas (Seismicity)


Studi seismisitas kegempaan bertujuan untuk mengetahui
karakteristik dan pengaruh-pengaruh dari parameter gempa, seperti
gelombang, sumber dan besar gempa, dalam rangka meminimal
dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa. Dampak gempa
seperti kematian dan luka-luka, yang selama ini kita yakini,
merupakan akibat dari keruntuhan bangunan. Oleh karena itu dalam
rangka melakukan upaya pengurangan risiko gempa, sering
diarahkan untuk pengembangan perencanaan struktur bangunan
tahan gempa (rekayasa gempa).
Beberapa aspek yang berhubungan dengan desain bangunan
tahan gempa ini adalah kondisi tanah, karakteristik dan parameter
gempa (energi, gelombang dan sumber gempa). Aspek-aspek tersebut
dapat dipelajari untuk menentukan dan memprediksi besarnya
goncangan gempa yang mempengaruhi struktur bangunan yang
berdiri di atas tanah yang bergoncang akibat gempa. Dalam
pelaksanaannya prediksi waktu terjadinya gempa menjadi
permasalahan yang belum dapat dipecahkan hingga sekarang,
sehingga prediksi terhadap seismisitas terkait lokasi, fekuensi dan

106 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


besarnya magnitude gempa menjadi lebih memungkinkan dibanding
melakukan prediksi terhadap waktu terjadinya gempa itu.
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menentukan besar
dan frekuensi gempa adalah dengan metode statistik yang disebut
dengan metode Frequency Magnitude Distribution (FMD) yang
diusulkan pertama kali oleh Gutenberg-Richter (1942). Pendekatan
dengan metode ini memungkinkan peneliti untuk menentukan
probabilitas atau peluang besarnya frekuensi gempa yang akan terjadi
di masa yang akan datang pada suatu wilayah tertentu. Untuk
menentukan frekuensi gempa itu maka data historis atau rekaman
data gempa terdahulu sangat diperlukan. Hubungan magnitude
gempa M dengan frekuensi kejadian gempa N dituliskan dengan
persamaan berikut:

Log N  a  bM ............... (6.4)

dengan N adalah frekuensi kejadian gempa, a adalah aktivitas


seismik, b adalah parameter tektonik dan M adalah magnitude
gempa.
Hubungan antara M dan N merupakan hubungan logaritmik,
yang menjelaskan bahwa semakin besar magnitude gempa M maka
akan semakin kecil frekunsi gempa N yang terjadi, begitupun
sebaliknya. Sebagai contoh, jika rekaman data gempa diketahui
seperti Tabel 6.3 (Sarwidi, 2015), maka nilai a dan b dapat ditentukan
berdasarkan metode kuadrat terkecil (Least Square Method, LSM).

Tabel 6.3 Contoh data gempa yang diambil pada waktu tertentu
(Sarwidi, 2015).

M 4 5 6 7 8

N 146 43 15 3 2

Dampak dan Mitigasi Gempa 107


Matriks penyelesaian dari tabel di atas dapat disusun seperti:

 n

M i  a    yi 
     ............. (6.5)
 Mi M  b   M i yi 
2
i

dan dengan memanfaatkan Tabel 6.4, sehingga diperoleh:


Tabel 6.4 Perhitungan nilai a dan b dengan Metode Least Square.
i Mi Ni yi = Log Ni M i2 Mi yi

1 8 2 0,301 64 2,408
2 7 3 0,477 47 3,339
3 6 15 1,176 36 7,056
4 5 43 1,634 25 8,168
5 4 146 2,164 16 8,656
n
=5 M i  30 y i  5,752 M i
2
 190 M y i i  29,627

Dengan memanfaatkan persamaan (6.5) maka nilai a dan b


diperoleh berturut-turut adalah a = 4,0754 dan b = - 0,4875, dan
persamaan (6.4) akan menjadi,
Log N  4,0754  0,4875 ............. (6.6)

Dan sketsa grafik dari persamaan di atas adalah,

2,5
Log N

1,5

0,5

0
0 2 4 6 8 10
Magnitude (M)

Gambar 6.14 Kurva hubungan antara besar M dan frekuensi N.

108 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


6.3.2 Prediksi Gempabumi
Kejadian gempa yang tiba-tiba, jangkauan pengaruh
gelombangnya yang sangat luas serta ketidakberaturan periode
terjadinya, membuat studi prediksi gempa menjadi sangat sulit
dilakukan oleh peniliti kegempaan. Upaya prediksi gempa sangat
berisiko sekali dibandingkan dengan prediksi jenis bencana lainnya
seperti banjir dan tanah longsor.
Meskipun untuk keperluan analisis gempabumi dapat diprediksi,
namun ketepatan waktu terjadinya gempa belum ada yang mampu
melakukannya. Secara teoritis gempabumi merupakan gejala alam
yang terjadi akibat pecahnya massa batuan dalam bumi. Berdasarkan
teori fisika hal ini dapat dipahami, bahwa sebelum gempa terjadi,
beberapa perubahan fisis dari batuan dapat diamati, yang dikenal
dengan tanda-tanda awal atau prekursor gempa. Dalam prakteknya
ternyata upaya evaluasi dan pengamatan prekursor ini ternyata
membutuhkan usaha dan biaya yang tidak sedikit.
Penerapan teknologi prekursor sebetulnya telah dilakukan dan
dikembangkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG). BMKG memanfaatkan model ini dengan cara mengukur
percepatan kulit bumi untuk mengetahui wilayah terjadinya
gempabumi. Disamping itu, beberapa pengamatan lainnya yang juga
bisa dilakukan adalah, seperti adanya perubahan sifat fisis batuan
sebelum gempa terjadi dapat dilihat dari penurunan tahanan listrik,
perubahan tegangan-regangan batuan, adanya fluktuasi unsur radon,
perubahan permukaan air dalam tanah, serta perubahan suhu air di
bawah tanah.
Secara umum prediksi gempa mencakup tiga hal yaitu; prediksi
waktu terjadinya gempa, lokasi terjadinya dan besar kekuatan
gempanya. Di Jepang upaya prediksi gempa sudah mulai
dikembangkan sejak tahun 1965, dengan melakukan pengamatan
gempa jangka panjang dan pendek, melalui penelitian-penelitian serta
menjalin kerjasama dengan institusi luar lainnya. Di Indonesia,
BMKG juga telah mengembangkan teknologi prekursor (upaya
jangka pendek), mengumpulkan data-data historis dan rekaman
kegempaan serta melakukan analisis kegempaan untuk membuat

Dampak dan Mitigasi Gempa 109


model prediksi. Langkah selanjutnya yang dilakukan BMKG adalah
memadukan hasil prekursor dengan hasil riset di luar BMKG lalu
membuat pemodelan dalam sebuah software seperti software GIS
(Geographic Information System) sebelum dilepas kepada masyarakat.
Terakhir, upaya prediksi yang dilakukan BMKG adalah membagi
waktu prediksi menjadi; prediksi jangka panjang (long-term), prediksi
jangka menengah (intermediate-term) dan prediksi jangka panjang
(short-term) (Ismail, -----).
Prediksi gempa jangka panjang (10 tahun ke atas), dilakukan
dengan pengamatan crustal movement, long-term planning (paleo seismic),
statistik dan data historis kegempaan. Prediksi jangka menengah yaitu
jangka waktu beberapa bulan hingga 5 tahun, dimana pada masa ini
dilakukan metode seismic gap dan crustal movement. Sedangkan prediksi
jangka pendek lebih dititikberatkan pada perubahan fisis batuan, dan
pada masa ini pengamatan prekursor memungkinkan untuk
dilakukan seperti yang sudah dijelaskan di muka.

1. Prediksi Probabilitas Periode Ulang Gempa


Upaya prediksi gempa di Indonesia banyak dilakukan secara
terpisah dari para peneliti kegempaan Indonesia, yang umumnya
dilakukan dengan metode statistik untuk perhitungan periode ulang
gempa. Menurut metode ini, gempa pada ukuran tertentu akan
terulang lagi di daerah yang sama pada waktu tertentu. Rekaman data
gempa yang diperlukan dalam metode ini dibutuhkan rekaman data
yang lebih panjang.
Model yang umum untuk memprediksi probabilitas suatu
gempa adalah model distribusi Poisson (Ferraes, 1986). Proses
Poisson memberikan probabilitas kejadian gempabumi dari
berbagai ukuran hingga ukuran maksimum di suatu wilayah gempa,
tetapi probabilitas kejadiannya bersifat independen terhadap ukuran
dan waktu yang terlampaui sejak gempa besar terakhir terjadi.
Model stokastik gempa lainnya adalah model gempa terbarui
(renewal model) yang pernah diajukan oleh Rititake (l999), yang
disebut dengan model realtime. Model ini menjelaskan bahwa,

110 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


akumulasi energi gempa tergantung pada waktu antar kejadian
gempabumi besar. Dalam model ini, kemungkinan gempa terjadi
setelah kejadian sebelumnya, yang dikenal dengan probabilitas
kondisional. Penelitian lainnya untuk memprediksi waktu
gempabumi berikutnya di masa mendatang juga telah diajukan oleh
beberapa ahli seperti, distribusi Weibull oleh Ferraes (2003) dan
distribusi Gamma oleh Yazdani-Kowsari (2011).

2. Perubahan Kecepatan Gelombang Gempa (vp/vs)


Dari eksperimen di laboratorium, jika batuan yang diberi gaya
terus-menerus maka lama kelamaan akan patah. Jika diamaati,
sebelum batuan itu mengalami patahan, maka batu akan mengalami
perubahan tegangan-regangan batuan yang ditandai dengan retakan-
retakan di sekitar patahan batuan tersebut. Begitupun dengan
peristiwa gempa, dimana lokasi di sekitar pusat gempa juga akan
mengalami perubahan tegangan-regangan, yang disebabkan karena
akumulasi energi yang terlalu lama sebelum dirilis dalam bentuk
gelombang gempa.
Perubahan tegangan-regangan berdasarkan teori di atas telah
menyebabkan terjadinya perubahan kecepatan gelombang gempa,
yang diukur dengan perbandingan kecepatan gelombang primer
dengan kecepatan gelombang sekunder (vp/vs). Perubahan dari
gelombang gempa dapat diamati dengan perbedaan waktu datang
gelombang s dan p, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh
Subardjo (1998) dalam website Geosains Nusantara (2010).

3. Pengamatan Gempa Susulan (Aftershocks)


Setiap setelah gempa tektonik dangkal (<100 km) akan diikuti
dengan dislokasi (patahan), yang dapat mengganggu kestabilan
daerah di sekitarnya. Untuk dapat menstabilkan kembali wilayah
tersebut, maka batuan di dalam bumi akan mengalami lagi gempa-
gempa ikutannya untuk mencapai keseimbangan baru.
Terjadinya gempa-gempa ikutan/susulan ini dapat berlangsung
mulai dari beberapa jam hingga beberapa minggu setelah gempa
utama, bergantung pada besarnya gempa utama dan sifat batuan di
Dampak dan Mitigasi Gempa 111
wilayah itu, dan frekuensinya akan menurun secara eksponensial
terhadap waktu, dan dapat dihitung berdasarkan pendekatan berikut:

N t  N o .exp(b.t ) ............. (6.7)

dimana, Nt adalah frekuensi gempa susulan dalam tiap waktu t, No


adalah frekuensi gempa susulan di waktu awal dan b adalah
konstanta atenuasi yang dapat ditentukan regresi linear berdasarkan
ketersediaan data. Gempa susulan dinyatakan berhenti jika Nt = 0
(Geosains Nusantara, 2010).
Prediksi aktivitas gempa susulan hingga Nt = 0 sangat diperlukan
dalam penentuan kebijakan oleh pemerintah terkait, hingga dapat
merencanakan langkah dan kegiatan rekonstruksi-rehabilitasi di masa
mendatang. Sebagai dasar penentuan prediksi gempa susulan ini
dapat dilihat berdasarkan ekstrapolasi frekuensi gempa susulan itu
dalam tiap waktu.

6.4 Upaya Mitigasi Gempa


Dari penjelasan di muka dikatakan bahwa gempabumi adalah
peristiwa yang sangat sulit diprediksi dan kejadiannya datang dengan
tiba-tiba. Gempa tidak mungkin dicegah kedatangannya, karena
gempa merupakan fenomena alam yang terjadi untuk menjaga
keseimbangan alam itu sendiri. Banyak korban yang diakibatkan oleh
gempa, dari kehancuran dan keruntuhan bangunan hingga korban
meninggal dunia. Segala upaya dan kebutuhan untuk menghadapi
datangnya bencana gempa harus dipersiapkan dengan baik. Sebelum
gempa benar-benar terjadi, sebaiknya harus dipahami bagaimana
upaya pengurangan risiko bencana gempa, agar dampak gempa itu
dapat ditekn sekecil mungkin.

6.4.1 Sebelum Terjadi Gempa


Usaha yang dapat kita lakukan sebelum gempa terjadi adalah
sebagai berikut:
1. Mengenali daerah tempat tinggal kita, apakah daerah tempat
tinggal kita itu termasuk dalam kategori daerah rawan/rentan
bencana gempa tinggi, sedang atau rendah.

112 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


2. Perkuat bangunan tempat tinggal kita, dengan cara evaluasi,
renovasi dan rehabilitasi, agar aman dari bahaya gempa.
3. Perhatikan letak pintu, lift, serta tangga darurat di rumah kita,
sehingga apabila terjadi gempa, kita sudah mengetahui tempat
paling aman untuk berlindung.
4. Belajar tentang bagaimana melakukan pertolongan pertama
tentang medis dan juga pelajari K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja).
5. Getaran akibat gempabumi dapat menjatuhkan perabot dan
segala yang ada di dinding rumah, oleh sebab itu lakukan
persiapan rutin di rumah dengan memperhatikan lemari, dan
perabot-perabot rumah yang menempel di dinding agar
diperkuat dan dipaku supaya lebih kuat.
6. Agar tidak terjadi kebakaran, jauhi benda-benda yang mudah
terbakar, simpan segala bahan yang mudah terbakar di tempat
yang tidak mudah pecah, selalu matikan gas dan listrik jika
sudah tidak digunakan.
7. Perhatikan benda-benda yang digantung, dan selalu
meletakkan benda berat di bagian bawah, karena kejatuhan
benda-benda berat banyak mengakibatkan jatuhnya korban.
8. Selalu menyediakan obat-obatan medis, lampu senter dan alat
komunikasi.

Dampak dan Mitigasi Gempa 113


Gambar 6.15 Rekonstruksi dan perkuatan bangunan.

6.4.2 Saat Terjadi Gempa


Saat gempa benar-benar terjadi, upaya-upaya yang mungkin kita
lakukan adalah:
1. Jika kita di dalam ruangan/rumah/gedung, segeralah lari
secepat mungkin ke luar ruangan jika memungkinkan.
Namun jika tidak memungkinkan, maka segeralah cari
perlindungan seperti sembunyi di bawah meja, berdiri di
sudut-sudut ruangan dan berdiri di belakang lemari yang
sudah dipaku dengan kuat.
2. Matikan kompor yang sedang menyala jika kita di dapur
sebelum kita menyelamatkan diri.
3. Jangan menggunakan lift, namun jika terpaksa maka tekanlah
semua tombol yang ada sampai lift berhenti, lalu carilah pintu
keluar.
4. Jangan membuat panik di tempat keramaian, karena akibat
kepanikan itu jika ada orang yang jantungan maka malah
menjadi korban kepanikan itu.

114 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


5. Jika kita berada di luar bangunan, maka menghindarlah dari
gedung-gedung tinggi, pohon-pohon besar, tiang listrik dan
papan reklame, serta ambillah posisi jongkok atau merayap di
tanah agar kita tidak terlalu merasakan goncangan gempa.
6. Jika kita sedang berada di pantai, maka cari dan larilah ke
tempat yang jauh dari pantai, serta segeralah menuju tempat
yang tinggi, karena jika gempabumi kuat berpusat di laut,
maka kemungkinan akan mengakibatkan tsunami.

Gambar 6.16 Anak-anak di Jepang sembunyi di bawah meja saat sedang


menjalani simulasi bencana gempabumi di sekolah (Kompas Online, 2017).

6.4.3 Setelah Terjadi Gempa


Setelah gempa terjadi maka dapat dilakukan upaya berikut:
1. Jika berada di dalam rumah/bangunan, pastikan sudah tidak
ada goncangan lagi, lalu setelah itu keluarlah dengan tenang
tanpa panik, dan hanya menggunakan tangga biasa saja.
2. Hubungi petugas medis jika kita terluka.
3. Periksa semua perabot, terutama kompor di dapur, kebocoran
gas, listrik dan benda-benda berbahaya lainnya.

Dampak dan Mitigasi Gempa 115


4. Jika bangunan rusak parah/sedang, jangan masuk ke
dalamnya.
5. Lakukan evakuasi ke tempat aman atau ke lokasi yang sudah
direkomendasikan oleh pemerintah atau pihak terkait seperti
Palang Merah Indonesia (PMI) dan BNPB/BPBD.
6. Segera jauhi pantai dan cari tempat yang lebih tinggi.

116 Manajemen Bencana dan Dasar Kegempaan


Referensi

Alfari, S (2018). “9 Bencana Alam Terdahsyat yang Pernah terjadi di


Indonesia. Artikel Online. Tersedia di:
http://blog.ruangguru.com/9-bencana-alam-terdahsyat-yang-
pernah-terjadi-di-indonesia.” Diakses pada tanggal 05
September 2019.
Andrall (2016). “Memperingati 10 tahun Gempa Jogja, Sudahkah
Kamu Melupakan Tragedi Memilukan Itu?” Online artikel,
tersedia di: https://www.hipwee.com/travel/memperingati-10-
tahun-gempa-jogja-sudahkah-kamu-melupakan-tragedi-
memilukan-itu/. Diakses tanggal 25 Oktober 2019, pukul 15:12
wib.
Anonim (2019). “16 Dampak Tanah Longsor Terhadap Lingkungan
dan Masyarakat.” Artikel online. Tersedia di:
https://ilmugeografi.com/bencana-alam/dampak-tanah-
longsor. Diakses pada Selasa, 18 September 2019, pukul
01:35 wib.
Ariefana, P (2019). Indonesia Rawan Bencana, Jokowi: Kebijakan
Nasional-Daerah Harus Sensitif. Artikel online. Tersedia di:
https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/indonesia-
rawan-bencana-jokowi-kebijakan-nasional---daerah-harus-
sensitif/ar-AAEJ7p7. Diakses pada tanggal 04 September 2019.
Artikel online. Tersedia di: http://www.google.com
Artikel online. Tersedia di: http://www.likuifaksitanah.com

117
Artikel online. Tersedia di: http://www.tekniksipil.org.
Artikel online. Tersedia di: http://www.tegar.id.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia
(BNPB-RI), 2012.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh - Nias (BRR NAD-Nias),
Laporan Akhir Dewan Pengarah Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi
Nanggaroe Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera
Utara, Tahun 2005-2009. Aceh & Nias: Dewan Pengarah BRR
NAD-Nias. 2009.
Bong, A.A (2019). Evaluation of b-value Variation of Earthquakes in
Papua New Guinea. World Scientific News: An International
Scientific Journal (WSN), 132 (2019) pg 155-168 EISSN 2392-
2192.
CNN Indonesia (2019). Menilik Kronologis Tragedi 13 Tahun
Lumpur Lapindo. Artikel online. Tersedia di:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190625172403-
92-406332/menilik-kronologis-tragedi-13-tahun-lumpur-
lapindo. Diakses pada Selasa, 18 September 2019, pukul 07:53
wib.
Davidson, J., Da Silva, S., (2000). Composite volcanoes. In: Sigurdsson,
H. (ed) Encyclopedia of Volcanoes. Academic Press.
De Leon J.C.V, 2006, Vulnerability : A Conceptual and
Methodological Review, United Nation University, LrNU
EHS.
Earth Science (2019). Is the epicenter always directly above the hypocenter?.
Artikel online, Tersedia di:
https://earthscience.stackexchange.com/questions/2100/is-
the-epicenter-always-directly-above-the-hypocenter?rq=1,
Diakses 10 Oktober 2019, pukul 14:48 wib
Eugene Hoshiko (2005). Foto Dampak Tsunami Aceh. Associated
Press.

118
Faizah, R (2018). Menghitung PGA (Peak Ground Acceleration). Rest
Blog: blog.umy.ac.id/restufaizah/menghitung-pga-peak-
ground-acceleration-hazard/. Diakses 14 Oktober 2019, pukul
16:12 wib.
Ferraes, S. G. (1986). Bayes Theorem and The Probabilistic Prediction of
Interarrival Times from Strong Earthquake Felt in Mexico City.
Journal of Physical of The Earth, Vol. 34, pp. 71–83
Ferraes, S. G. (2003). Probabilistic Prediction of The Next Large
Earthquake in The Michoacan Fault–Segment of The Mexican
Subduction Zone. Mexico Geofisica International, Vol. 42, No.
1, pp. 69–81
Geosains Nusantara (2010). “Prediksi Gempabumi.” Online:
shttps://geofisika42.wordpress.com/2010/08/22/prediksi-
gempabumi/
Guru Geografi (2016). “Perbedaan Sirkum Pasifik dan Sirkum
Mediterania.” Online:
https://www.gurugeografi.id/2016/12/perbedaan-sirkum-
pasifik-dan-sirkum.html. Diakses pada 18 Oktober 2019, pukul
14:44 wib.
Harian Kompas 08 Januari 2005.
Harian Kompas 29 Desember 2004.
Harnindra, V.A., Sunardi, B., Santosa, B.J. (2017). Implikasi Sesar
Kendeng Terhadap Bahya Gempa dan Pemodelan Percepatan
Tanah di Permukaan di Wilayah Surabaya. Jurnal Sains dan
Seni ITS, Vol. 6, No.2, 2337-3520 (2301-928X Print).
Hartuti, E.R (2009). Buku Pintar Gempa: Mengenai Seluk Beluk Gempa,
Jenis-jenisnya, Penyebab-penyebabnya, dan Dampak-dampaknya.
Penerbit Diva Press: Yogyakarta.
Hasymi, E (2018). Seminar Persiapan Hari Kebencanaan Nasional,
26 April 2018, di Kantor BPBD Kota Padang Sumatera Barat.
Herdian (2009). “Foto-foto Gempa padang September 2009.” Artikel
online. Tersedia di:

119
https://herdy07.wordpress.com/2009/10/01/foto-foto-gempa-
padang-september-2009/. Diakses pada Selasa, 18 September
2019, pukul 01:50 wib.
Ilham, Safani, J., Irawati (2019). Analisis Periode Ulang Gempabumi
Dan Parameter Fraktal dari Data Gempabumi Kurun Waktu
1960–2014 di Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Rekayasa
Geofisika Indonesia (JRGI), Edisi Mei 2019.
Iskandarsyah, T.Y.W.M., Djurnaliah, L., Sendjaja, Y.A (2014).
Kronologi kejadian tsunami Krakatau tahun 1883 di
Semenanjung Ujung Kulon. Seminar Nasional Ke–III Fakultas
Teknik Geologi Universitas Padjadjaran: Peran Geologi dalam
Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Kebencanaan.
Ismail, P (-----). Prediksi Gempa Bumi? Harian Koran Kompas (edisi
tidak diketahui).
Jet Propultion Laboratory, California Institute of Technology, NASA
(2019), GNSS Time Series, USA,
https://sideshow.jpl.nasa.gov/post/series.html , diakses 08
Oktober 2019, pukul 15.20 wib).
Jordan, R (2019). Jokowi Minta Edukasi dan Simulasi Kebencanaan
Rutin Dilakukan. Artikel online. Tersedia di:
https://news.detik.com/berita/d-4411460/jokowi-minta-
edukasi-dan-simulasi-kebencanaan-rutin-dilakukan. Diakses
pada Rabu, 18 September 2019, pukul 07:18 WIB.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2019). Peta
Gempa Indonesia 2017. Online:
http://litbang.pu.go.id/puskim/. Diakses pada hari senin, 14
Oktober 2019, pukul 15:37 wib.
Khan, S.A., Saeed, Z., Khan, A., Hamid, G., Haider, S.W. (2017).
Assessmentof Soil Liquefaction Potential in Defence Housing Authority
Karachi, Pakistan. Int. J. Econ. Environ. Geol. 8 (2), pg. 63-68.
Khoerunnisa, F (2013). Teori Pangea, Laurasia dan Gondwana.
Artikel online. Tersedia di:

120
https://fkhoerunnisa5.wordpress.com/2013/04/13/teori-
pangea-laurasia-dan-gondwana/. Diakses pada Selasa, 08
Oktober 2019, pukul 12:00 wib.
Koran NTB (2019). “Apa Perbedaan Skala Richter dengan
Magnitudo?” Online: https://koranntb.com/2019/04/19/apa-
perbedaan-skala-richter-dan-magnitudo/. Diakses pada 11
Oktober 2019, pukul 16:01 wib.
Kompas online (2017). “Pentingnya Pendidikan untuk
Penanggulangan dan Darurat Bencana.” Artikel online,
tersedia di:
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/17034841/pe
ntingnya-pendidikan-untuk-penanggulangan-dan-darurat-
bencana?page=all.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2013). Antara Gempa
Aceh Juli 2013 dan Gempa Yogyakarta 2006. Artikel online.
Tersedia di: http://lipi.go.id/berita/single/Antara-Gempa-
Aceh-Juli-2013-dan-Gempa-Yogyakarta-2006/8495. Diakses
pada Rabu, 18 September 2019, pukul 08:06 wib.
Naskah Akademik Pengurangan Risiko Bencana Tsunami (2013).
Natawidjaja, D.H (2007a). Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan
Sumber Gempa dan Tsunami. Pelatihan Pemodelan Run-up
Tsunami, Ristek, 20-24 Agustus 2007. Geoteknologi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Natawidjaja, D.H (2007b). Gempabumi dan Tsunami di Sumatra dan
Upaya untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup yang Aman
dari bencana Alam. Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia.
Natural Hazard Partnership-NHP (2019). Our role within the Disaster
Risk Management Cycle. Artikel online:
http://www.naturalhazardspartnership.org.uk/about-us/.
Diakses pada Jumat, 20 September 2019, pukul 15:17 wib.
Nurjanah. Official Development Assistance (ODA) from Japan to
Indonesia (2019). Online, Tersedia di: https://www.id.emb-

121
japan.go.jp/oda/en/whatisoda_04gdisperv03.htm. Diakses
tanggal 10 Oktober 2019, pukul 14:56 wib.
Pratama, A.N (2018). “26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami
Aceh Menimbulkan Duka Indonesia..” Artikel Online.
Tersedia di:
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/26/11213301/26
-desember-2004-gempa-dan-tsunami-aceh-menimbulkan-duka-
indonesia?page=all. Diakses pada Selasa, 18 September 2019,
pukul 01:06 wib.
Pratomo, I (2006). Klasifikasi Gunung Api Aktif Indonesia, Studi
Kasus dari Beberapa Letusan Gunung Api Dalam Sejarah.
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 4 pg. 209-227.
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas-PB) Tahun
2015.
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 Tahun 2010.
Rititake, T. (1999). Probability of A Great Earthquake to Recur in The
Tokai District, Japan: Reevolution Based on Newly-Developed
Paleoseismology, Plate Tectonics, Tsunami Study, Micro-Seismicity
and Geodetic Measurements. Earth Planet Space, Vol. 51, pp. 147–
157
Sarwidi (2015). Pengetahuan Dasar Kebencanaan dan Kegempaan.
Cetakan kedua. Malang: Kati-Kata.
Setianto, A., Soetoto. Mitigasi Bencana Tsunami di daerah Pesisir
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Interpretasi
Citra Penginderaan Jarak Jauh, Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Jurnal Geodesi UGM
(cgise.geodesi.ugm.ac.id).
Sijabat H.R. (2000). Urban Disaster Mitigation, The International Course
on Sustainable Structural Safety Design for Building Engineers.
Soesilo, A. (2014). Arsitektur Tradisional: Adaptasi Sistem Struktur
Rumah Gadang Terhadap Bencana Gempabumi. Program
Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Sriwijaya.

122
Sunarjo, Gunawan, M.T., Pribadi, S. (2012). Gempa Bumi Edisi
Populer. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Sungkowo, A. (2018). Perhitungan Nilai Percepatan Tanah
Maksimum Berdasar Rekaman Sinyal Accelerograph di Stasiun
Pengukuran UNSO Surakarta. Indonesian Journal of Applied
Physics, Vol.8 No.1 halaman 43, ISSN:2089 – 0133.
Sutawidjaja, I.S., Sigurdsson, H., Rachmat, H., Pratomo, I. (2005).
The Deadliest Volcanic Eruption of 1815 Tambora Volcano,
Sumbawa, Indonesia. Proc. Int. Semin. On Quart. Geol.
Tini., A. Tohari., M. Iryanti. (2017). Analisis Potensi Likuifaksi
akibat Gempa Bumi Menggunakan Metode SPT (Standard
Penetration Test) dan CPT (Cone Penetration Test) di Kabupaten
Bantul, Yogyakarta. Wahana Fisika. 2 (1), hal. 8-27 .
United Nations for Disaster Risk Reduction-UNDRR (2009). “What
is Disater Risk Reduction?” Online:
https://www.unisdr.org/who-we-are/what-is-drr. Diakses
pada Jumat, 20 September 2019, pukul 14:59 wib.
United State Geographic Survey-USGS (2004). A Seismic Wave is An
Elastic Wave Generated by An Impulse Such as An Earthquake Or An
Explosion. Seismic Waves may Travel Either Along or Near The
Earth's Surface (Rayleigh And Love Waves) or through The Earth's
Interior (P and S waves). Online:
https://earthquake.usgs.gov/learn/glossary/?term=seismic%2
0wave. Diakses pada 11 Oktober 2019, pukul 10:25 wib.
Wahyu (2019). “Banjir dan Longsor di Bengkulu Putus Akses
Antarkota: Wali Kota dan Bupati Diminta Tetapkan Siaga
Bencana.” Artikel online. Tersedia di:
https://www.jawapos.com/jpg-today/29/04/2019/banjir-dan-
longsor-di-bengkulu-putus-akses-antarkota/. Diakses pada
Selasa, 18 September 2019, pukul 01:41 wib.
Widodo, P (2012). Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

123
Wikipedia Indonesia (2019a). Letusan Krakatau 1883. Artikel online.
Tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_Krakatau_1883.
Diakses pada Rabu, 18 September 2019, pukul 07:37 wib.
Wikipedia (2019b). Gempabumi. Artikel online. Tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_Bumi. Diakses pada
Sabtu, 18 September 2019, pukul 01:52 wib.
Wikipedia (2019c). Tektonika Lempeng. Diambil dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Tectonic_plate_bou
ndaries.png. Diakses 08 Oktober 2019, pukul 15:24 wib.
Wismabrata, M.H (2019). “4 Fakta Baru Bencana Kabut Asap di
Riau, Udara Semakin Pekat hingga Klaim Menhub”. Artikel
online. Tersedia di:
https://regional.kompas.com/read/2019/09/14/08400011/4-
fakta-baru-bencana-kabut-asap-di-riau-udara-semakin-pekat-
hingga-klaim?page=all. Diakses pada Selasa, 18 September
2019, pukul 01:17 wib.
Yazdani, A., Kowsari, M. (2011). Statistical Prediction of The Sequence
of Large Earthquake in Iran. IJE Transaction B: Applications,
Vol. 24, No. 4. Department of Civil Engineering, University of
Kurdistan, Sanandaj, Iran.
Zettyara., Harimurti., Zaika., Y. (2018). Analisis Potensi Likuifaksi
akibat Gempa Bumi Menggunakan Data CPT (Cone Penetration
Test) di Kabupaten Tulungagung (Liquefaction Potential Analysis
of Earthquake using The Cone Penetration Test in Tulungagung
District). Jurnal Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas
Brawijaya. 2 (2), 631.

124
Tentang Penulis

Rafki Imani, Lahir di Nagari Saniangbaka Kecamatan X Koto


Singkarak Kabupaten Solok Sumatera Barat. Menyelesaikan studi S1
Teknik Mesin di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNas)
Yogyakarta (sekarang Institut Teknologi Nasional Yogyakarta–ITN
Yogyakarta) dan S2 Manajemen Kebencanaan dan Rekayasa Gempa
(MKRG) di Program Magister Teknik Sipil Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta. Penulis telah melakukan Penelitian
terkait Seismisitas dan Probabilitas Kegempaan Sumatera,
Pembuatan Peta Rawan Gempa dengan GIS, dan Perancangan Buku
Mitigasi Bencana Gempa untuk Anak-anak. Disamping itu, penulis
juga aktif menulis karya ilmiah yang telah dipublikasikan dalam
berbagai jurnal nasional dan internasional. Saat ini penulis
merupakan dosen Teknik Sipil di Universitas Putra Indonesia
“YPTK” Padang, Sumatera Barat.

125

Anda mungkin juga menyukai