Anda di halaman 1dari 107

Potret Tangguh Masyarakat Mentawai

Hidup Di Atas Patahan Sesar


Hidup Di Atas
Patahan Sesar
Potret Tangguh Masyarakat Mentawai
Diterbitkan atas dukungan

Cover MENTAWAI.indd 1 22/06/2015 15:42:40


Hidup Di Atas
Patahan Sesar
Potret Tangguh Masyarakat Mentawai
Judul : Hidup di Atas Patahan Sesar
Potret Tangguh Masyarakat Mentawai

Penulis : Iswanto & Adi Hamdani

Tim Dokumentasi : Udin Surya, Firja, Sandar

Tim Suport : Wawan Budianto, Josua Manulang, Nofri Yani

Editor : Chasan Ascholani

Desain & Lay Out : Iswanto

Diterbitkan Oleh : AIFDR-CDSP


Daftar Isi

Kata Pengantar

BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................................................................... 2
1.2 Batasan Penelitian ............................................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................................................. 4
1.4 Metode Penetlitian ................................................................................................................................

BAB II : PROFIL SINGKAT KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI...................7


2.1 Letak Geografis......................................................... ..............................................................................8
2.2 Demografi................................................................... ..............................................................................9
2.3 Sosial Budaya.........................................................................................................................................10
2.4 Sejarah dan Potensi Ancaman Bencana...............................................................................10
2.5 Dampak Bencana................................................................................................................................12

BAB III : PRAKTIK DAN IMPLEMENTASI MASYARAKAT TANGGUH.................15


3.1 Kearifan Lokal Berbasis Mitigasi Bencana ..........................................................................16
3.2 Dampak Pembangunan Terhadap Mitigasi Bencana .................................................19
3.3 Modal Sosial Pondasi Menghadapi Bencana ...................................................................21
3.4 Dampak Bencana Gempa dan Tsunami...............................................................................24
3.5 Praktik Tangguh Sebelum Bencana.........................................................................................25
3.5.1. Sipora Selatan .....................................................................................................................25
3.5.2. Pagai Selatan .......................................................................................................................31
3.5.3. Pagai Utara ............................................................................................................................36
3.5.4. Siberut .....................................................................................................................................45
3.6 Praktik Tangguh Saat Bencana ..................................................................................................48
3.6.1. Sipora Selatan .....................................................................................................................48
3.6.2. Pagai Selatan .......................................................................................................................55
3.6.3. Pagai Utara ............................................................................................................................62
3.6.4. Siberut .....................................................................................................................................65
3.7 Praktik Tangguh Sesudah Bencana..........................................................................................67
3.7.1. Sipora Selatan .....................................................................................................................67
3.7.2. Pagai Selatan .......................................................................................................................70
3.7.3. Pagai Utara ............................................................................................................................75
3.7.4. Siberut .....................................................................................................................................79
3.7.5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat ........................................................................80
3.7.6. Tata Ruang Berbasis Penanggulangan Bencana ...........................................86
3.7.7. Faktor Pendorong dan Penghambat Ketangguhan ...................................87
3.7.7.1. Faktor Pendorong ..........................................................................................87
3.7.7.2. Faktor Penghambat ......................................................................................88

BAB IV : PENUTUP..............................................................................................93
4.1. Kesimpulan.............................................................................................................................................94
Kata Pengantar

Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan bagian wilayah provinsi sumatera barat,


pada tahun 2010 lalu telah mengalami bencana gempa bumi dengan kekuatan
7,9 SR diikuti dengan kejadian tsunami. Banyak korban ketika kejadian ini terutama

disepanjang pantai barat dari Kecamatan Sipora Selatan dan Kecamatan Pagai Utara,
Selatan di Sikakap daerah yang terdampak secara langsung.

BPBD Provinsi Sumatera Barat dengan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai dibantu
BNPB serta LSM, TNI Polri serta SKPD dan masyarakat bahu membahu membantu
proses emergensi sampai dengan saat pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ada
beberapa daerah dengan kearifan dan kesiapsiagaan bisa selamat pada saat kejadian
bencana ini, apa yang menjadi latar belakangnya tentu patut untuk dipelajari dan
dijadikan sebagai contoh prilaku tangguh dan siaga kedepannya.

BPBD provinsi sumatera barat dalam hal ini mengucapkan terimakasih kepada program
CDSP – AIFDR yang telah membuat buku pembelajaran ketangguhan masyarakat
terhadap gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, demikian juga
terhadap BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, tim penulis dan peneliti serta
masyarakat yang telah berkontribusi sehingga buku pembelajaran ketangguhan ini
bisa dicetak menjadi referensi dan dibagikan kepada semua pihak.

Masyarakat memiliki kearifan terhadap bencana bagaimana kearifan ini bersinergi


dengan rencana pembangunan membutuhkan perencanaan yang matang serta
kesadaran terkait pemahaman risiko bencana, terimakasih

Salam Tangguh

Ir. ZULFIATNO, M.Sc


NIP : 19591015 198203 1 001
Plt. Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sumatera Barat
Kata Pengantar

Bicara ketangguhan (Resilience) membutuhkan pemahaman yang mendalam,


apalagi dikaitkan dengan ketangguhan terhadap bencana. Banyak literatur terkait
ketangguhan dari lembaga lembaga internasional bahkan sampai ke level PBB, parktisi
maupun akademisi dengan berbagai cara pandang yang beragam.

Buku ketangguhan kawasan, terutama terkait bagaimana masyarakat Kabupaten


Kepulauan Mentawai bersikap dan berprilaku sebelum terjadinya gempa tsunami
oktober 2010, saat terjadi dan bagaimana setelah terjadi merupakan ringkasan
ungkapan apa yang telah dilakukan dan dirasakan oleh masyarakat kabupaten
kepulauan mentawai.

Kesadaran akan potensi bencana yang muncul sebagai kebiasaan dan pengalaman
hidup, kemudian ditambah pengaruh dari pihak luar yang memberikan pengetahuan
maupun pengalaman secara langsung dari bencana yang dihadapinya menjadi
saripati dari buku kajian ketangguhan mentawai ini. Kondisi geografis tidak pernah
menjadi alasan untuk berdiam diri dan berpangku tangan tetapi justru menjadi
kekuatan untuk saling berbagi dan memberi melalui budaya “ Rob Parob “. Kearifan dan
budaya yang ada selayaknya menjadi dasar dari pengembangan pembangunan agar
menjadi lebih baik kedepan dalam upaya pengurangan dampak dan risiko bencana.

Mentawai tak pernah tenggelam dan akan selalu ada dipuncak gelombang mereka
berdiri, dilebatnya belantara mereka hidup harmoni dan selaras dengan alam, semoga
buku ini menjadi bagian hidup, bagaimana tangguhnya masyarakat mentawai.

Salam Tangguh

Wawan Budianto
Koordinator CDSP Sumatera Barat
Hidup di Atas Patahan Sesar
Potret Tangguh
Masyarakat Mentawai
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

pendahuluan
1

BAB I

Pendahuluan
BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam. Secara geologi, wilayah


Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Indo-
Australia di bagian Selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara, dan Lempeng Pasifik di
bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan, sehingga
Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia dan menimbulkan
gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction)
pendahuluan

Lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke Utara dengan Lempeng Eurasia yang
bergerak ke Selatan menimbulkan jalur gempa bumi, juga rangkaian gunung api aktif
sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang sejajar dengan jalur
penunjaman kedua lempeng. Di samping itu, jalur gempa bumi juga terjadi sejajar
dengan jalur penunjaman, maupun pada jalur patahan regional seperti patahan
2 Sumatera/Semangko.

Indonesia berada di jalur pegunungan api teraktif di dunia. Gugusan gunung berapi
memanjang sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Maluku, Nusa Tenggara, serta
Sulawesi Tenggara. Jumlah gunung berapi aktif di lndonesia mencapai 127 atau 13
persen dari yang ada di dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 68 gunung berapi berada
dalam pantauan, karena terdapat masyarakat yang bermukim di sekitarnya.1

Berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir,
tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan
untuk beberapa jenis bencana alam, Indonesia menduduki peringkat pertama
dari sisi jumlah korban manusia yang meninggal akibat bencana alam. Inilah yang
menasbihkan Indonesia sebagai negara dengan risiko dan dampak bencana alam
tertinggi di dunia.

Dari berbagai jenis bencana alam yang meliputi tsunami, tanah longsor, banjir, gempa
bumi, angin topan dan kekeringan, dari sisi jumlah korban, Indonesia menduduki
peringkat pertama pada dua bencana alam: tsunami dan tanah longsor. Berada di
peringkat ketiga pada gempa bumi dan peringkat keenam pada banjir. Hanya di dua
bencana alam, yaitu kekeringan dan angin topan, Indonesia “absen”.2
1 Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB.
2 United Nations International Stategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi
Internasional Pengurangan Risiko Bencana).
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Gempa dahsyat yang disusul gelombang tsunami di Aceh pada 2004, menjadi
pelajaran berarti bagi Pemerintah Indonesia. Bukan hanya Tanah Rencong Aceh yang
porak-poranda, melainkan negara lainnya, seperti Srilanka, India, Thailand, Somalia,
Myanmar, Malaysia, Maladewa, Tanzania, Bangladesh dan Afrika Selatan. Sejak tragedi
kelam itu, Pemerintah Indonesia mulai melakukan berbagai upaya dan strategi aksi
pengurangan risiko bencana. Di antara upaya tersebut adalah membentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai manajemen kontrol terhadap
berbagai ancaman bencana alam.

1.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.


Untuk mendapatkan hasil penelitian yang mampu mewakili sebagian ketangguhan
masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai, maka penelitian dilakukan di Kecamatan
Sipora Selatan, Pagai Selatan, dan Pagai Utara. Di Kecamatan Sipora Selatan, penelitian
dilakukan di Dusun Gobik dan Katiet, Desa Bosua. Kemudian di Kecamatatan Pagai

pendahuluan
Selatan, penelitian dilakukan di Dusun Maonai, Desa Bulasat. Sedangkan penelitian
di Kecamatan Pagai Utara berlangsung di Dusun Sabeugunggung, Desa Betumonga.

Ketiga kecamatan ini menjadi subjek penelitian karena pada 2007 terkena dampak
bencana alam gempa bumi. Bahkan pada 2010, gempa bumi di wilayah tersebut
disertai gelombang tsunami yang membuat kawasan porak-poranda serta merenggut 3
ratusan korban jiwa.

Masyarakat dari tiga kecamatan pun cenderung memiliki karakter dan pemahaman
yang sama dalam aktivitas sosial dan budaya, serta letak lokasi permukiman
masyarakat awalnya berada sekitar 50 meter dari bibir pantai. Penelitian pada tiga
kecamatan tersebut diyakini akan mampu memberikan jawaban dan pemetaan
terhadap sikap, perilaku, dan implementasi masyarakat tangguh dalam pemahaman
nilai-nilai pengurangan risiko bencana.

1.3. Tujuan Penelitian

Munculnya berbagai cerita dari para korban bencana alam yang selamat, selama ini
hanya menjadi konsumsi atau komoditas media massa tanpa mengungkap nilai-nilai
pemahaman dini terhadap ancaman bencana. Di samping itu, sejak bencana gempa
dan tsunami di Mentawai pada 25 Oktober 2010, para korban sebenarnya juga sudah
menceritakan banyak fakta yang mengejutkan terkait proses penyelamatan diri dari
malapetaka itu.

Para korban selalu bertutur kepada beragam lembaga yang ketika itu memberikan
bermacam bantuan, yang sarat dengan nilai-nilai ketangguhan. Dalam waktu relatif
singkat, kisah tersebut seperti menjadi dongeng, seiring dengan pergi atau habisnya
masa tugas program berbagai lembaga yang pernah ada di Mentawai.

Semua daerah pada prinsipnya hampir memiliki cerita sejarah secara turun-temurun
terkait bencana alam. Begitu juga di Mentawai, cerita leluhur nenek moyangnya
sebagian besar masih kental diingat, bahkan dilakukan. Namun tidak sedikit cerita
leluhur dianggap sebatas mitos oleh generasi modern saat ini. Padahal, kisah-kisah
leluhur memberikan makna berharga dalam membaca tanda-tanda alam. Terutama
sebagai model mitigasi atau peringatan dini untuk membentuk masyarakat tangguh
berdasarkan praktik dan perspektif masyarakat.

Penelitian ini akan mendokumentasikan kisah leluhur itu sebagai kearifan lokal
dalam membaca tanda-tanda alam saat ancaman bencana yang diprediksi akan
datang, melalui pendokumentasian dan penggalian data secara mendalam dengan
cara partisipatif. Dengan harapan, melalui penelitian ini diperoleh dokumentasi
model ketangguhan masyarakat, proses pengembangannya, dan berbagai inisiatif
masyarakat lokal.
pendahuluan

1.4. Metode Penelitian

Metode penelitian dan pendokumentasian praktik tangguh yang dilakukan masyarakat


ini dilakukan dengan cara observasi ke lapangan.
4 Proses pendokumentasian praktik ketangguhan diawali
dengan lima pertanyaan sebagai alat ukur untuk
menggali dan pengumpulan fakta perilaku tangguh
sebagai pengetahuan dengan melibatkan masyarakat.
Di antaranya, sejauh mana tingkat ketangguhan
masyarakat bisa mengurangi dampak bencana? Apa
dampak bencana yang dihadapi masyarakat? Bagaimana
praktik ketangguhan (adaptasi dan transformasi) yang
sudah dilakukan masyarakat untuk mengurangi dampak
bencana? Apa faktor pendukung dan penghambat
dalam proses membangun ketangguhan (adaptasi dan
transformasi) yang dilakukan masyarakat? Bagaimana
caranya masyarakat bisa melakukan praktik ketangguhan
(adaptasi dan transformasi) lebih baik untuk mengurangi
dampak bencana?

Dari lima pertanyaan tersebut, akan muncul indikator


dampak bencana dari berbagai sektor serta praktik-
praktik ketangguhan menurut masyarakat, baik melalui
pemahaman maupun perilakunya pada sebelum, saat,
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

dan sesudah bencana. Selanjutnya, indikator itu dkonfirmasi dan diverifikasi kepada
masyarakat yang menjadi sumber pendokumentasian. Hasilnya akan divalidasi untuk
menjadi data temuan terhadap praktik ketangguhan masyarakat.

pendahuluan
5
Hidup di Atas Patahan Sesar
Potret Tangguh
Masyarakat Mentawai
7

BAB I

Profil Singkat
Kabupaten
Kepulauan Mentawai
BAB II

Profil Singkat Kabupaten


Kepulauan Mentawai
Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

2.1. Letak Geografis

Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat dengan posisi


geografis yang terletak di antara 0055’00’’-3021’00’’Lintang Selatan dan 98035’00’’-100032’00’’
Bujur Timur dengan luas wilayah tercatat 6.011,35 km2 dan garis pantai sepanjang 1.402,66
km. Secara geografis, daratan Kabupaten Kepulauan Mentawai ini terpisahkan oleh laut
dari Provinsi Sumatera Barat, yaitu dengan batas sebelah utara adalah Selat Siberut, sebelah
selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Selat
Mentawai, serta sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

8 Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas gugusan pulau-pulau yakni Pulau Siberut,
Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan 95 pulau kecil lainnya sesuai dengan Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pada 2011, secara geografis dan administratif, Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri
atas 10 kecamatan, 43 desa dan 266 dusun. Kecamatan dimaksud adalah:

1. Kecamatan Pagai Selatan luas wilayah 901,08 km2 (14,99%).


2. Kecamatan Sikakap luas wilayah 278,45 km2 (4,63%).
3. Kecamatan Pagai Utara luas wilayah 342,02 km2 (5,69%).
4. Kecamatan Sipora Selatan luas wilayah 268,47 km2 (4,47%).
5. Kecamatan Sipora Utara luas wilayah 383,08 km2 (6,37%).
6. Kecamatan Siberut Selatan luas wilayah 508,33 km2 (8,46%).
7. Kecamatan Siberut Barat Daya luas wilayah 649,08 km2 (10,80%).
8. Kecamatan Siberut Tengah dengan wilayah 739,87 km2 (12,31%).
9. Kecamatan Siberut Utara luas wilayah 816,11 km2 (13,58%).
10. Kecamatan Siberut Barat luas wilayah 1.124,86 km2 (18,71%).3

Kondisi geografis dan alam Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagian besar kawasan
hutan. Total kawasan hutan (terdiri dari hutan lebat, hutan sejenis, semak belukar) memiliki
persentase terbesar, yaitu 85,19% dari luas wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai
3 Mentawai Dalam Angka Tahun 2011.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

atau sekitar 512.044 hektare dan


sebagian besar merupakan lahan
tidur. Sementara 456.956 hektare
berupa hutan lebat (76,02%),
12.348 hektare hutan sejenis
(2,05%), dan 42.740 hektare
semak belukar (7,11%). Komposisi

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai


luas lahan yang dimanfaatkan
untuk budi daya sektor pertanian
sebesar 85.809 hektare (14,27%)
dari total luas wilayah, yang
meliputi 619 hektare luas lahan
sawah (0,07%), 40 hektare tegalan
(0,01%), 68.246 hektare kebun
campuran (11,38%), dan 16.944
hektare perkebunan (2,81%).

Luas lahan untuk permukiman


atau rumah sebesar 3.042
hektare (0,51%) dari total luas
wilayah. Keadaan lahan untuk
permukiman tersebar di masing-
masing kecamatan. Untuk 9
mencapai daerah permukiman
di suatu dusun atau desa pada kecamatan yang sama memerlukan waktu yang lama.
Hampir sebagian besar transportasi utama masyarakat menggunakan jalur laut.

2.2. Demografi

Keadaan geografis bervariasi antara dataran, sungai, dan perbukitan. Rata-rata


ketinggian seluruh daerah ibu kota kecamatan mencapai dua meter dari permukaan
laut (DPL). Ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah Tuapeijat, yang terletak
di Kecamatan Sipora Utara dengan jarak tempuh ke Kota Padang sejauh 153 km.
Untuk mencapai ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu harus ditempuh melalui jalan
laut. Begitu pula halnya transportasi dari masing-masing ibu kota kecamatan ke Kota
Padang ataupun ke ibu kota kabupaten.

Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik, jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 2011 sebanyak
77.078 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 40.632 jiwa dan perempuan 36.446 jiwa.
Angka ini mengalami peningkatan sekitar 1,18% ketimbang jumlah penduduk pada
tahun 2010 yang tercatat sebanyak 76.173 jiwa.4
4 Mentawai Dalam Angka 2011.
2.3. Sosial Budaya

Salah satu seni budaya masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai yang sudah
diakui dunia adalah tato atau yang akrab disebut dalam bahasa Mentawai ti’ti. Tato
dalam pandangan Masyarakat Adat Mentawai (MAM) merupakan salah satu seni
budaya tradisional terkait dengan keper­ca­yaan dan keyakinan (Arat Sabulungan).
Meski masyarakat Mentawai sudah menganut agama yang dianggap resmi oleh
Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

pemerintah, mereka masih menjalankan ritual tradisional.

Fungsi tato MAM menunjukkan tanda kedewasaan, dalam tataran sosial tercermin
melalui ragam rupa motifnya. Masing-masing motif tato sebagai wahana komunikasi
yang membersitkan bermacam aturan, hukum, perilaku, serta dikenali melalui sistem
penandaan semiotika, yang tergambar lewat motif tato.5

Masing-masing jenis tato dapat dipahami dengan berbagai pers­pek­tif. Di antaranya


tato MAM yang berhu­bungan dengan perburuan, keperca­yaan, kesehatan, pengenal
profesi, dan hiasan. Melalui tato yang terukir di tubuh MAM, orang akan mengetahui
profesi dan eksistensi MAM sendiri. Namun dalam perkembangan zaman 10 tahun
terakhir, generasi Mentawai mulai enggan ditato, sehingga saat ini tato Mentawai
mulai jarang ditemui pada generasi sekarang.

Masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagian besar tinggal di pesisir pantai,


10 dengan aktivitas bertani, berburu, dan mencari ikan. Dalam tataran kehidupan,
masyarakat Mentawai awalnya hidup dalam satu keluarga dan tinggal pada rumah
besar (uma) yang dipimpin oleh seorang kepala suku.

Falsafah hidup warga Mentawai adalah hidup berdampingan dan saling tolong-
menolong satu sama lain. Inilah yang membuat masyarakat Mentawai hidup rukun
dan damai. Semua permasalahan diselesaikan dengan cara musyawarah secara
kekeluargaan. Jika tidak tuntas, masyarakat Mentawai biasanya menggunakan hukum
adat sebagai akhir penyelesaian masalah yang disebut tulo (denda). Sistem sosial atas
kehidupan keluarga menganut sistem garis keturunan dari laki-laki (ayah).

2.4. Sejarah dan Potensi Ancaman Bencana

Berdasarkan data gempa 1900-2014, seperti halnya beberapa kawasan di sepanjang jalur
subduksi, zona megathrust Mentawai termasuk zona seismic gap (daerah jarang gempa
atau yang sudah lama tidak mengalami gempa besar). Kendati demikian, menurut
penelitian para ahli, seismic gap pada zona megathrust Mentawai masih menyimpan
potensi gempa dengan magnitudo 8,9 skala richter (SR). Kawasan ini pernah mengalami
gempa besar pada tahun 1797 di wilayah Siberut dengan magnitudo 8,7-8,9 SR dan pada

5 Mentawai Dalam Angka 2011.


Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

1883 di wilayah Sipora dengan magnitudo 8,9-9,1 SR. Rentang waktu itu memperlihatkan
adanya masa berulang dalam 200-300 tahun.6

Sejarah kejadian bencana yang pernah terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai


merupakan peristiwa yang berpotensi berulang. Untuk peristiwa gempa dan tsunami
yang terjadi pada 25 Oktober 2010 di Mentawai data BNPB mengungkapkan ada 447
korban jiwa, 498 penduduk luka-luka, 56 orang hilang, dan 15.353 penduduk mengungsi.7

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai


Tabel 1. Sejarah Kejadian Bencana di Kabupaten Kepulauan Mentawai
Tahun 2000–2012
Rumah Rumah
Jumlah Me­ Luka-
Kejadian Hilang Meng­ungsi Rusak Rusak
Kejadian ninggal Luka
Berat Ringan
Gelombang
1 - - - - 14 -
Ekstrim & Abrasi
Gempa Bumi 3 14 58 - 500 5.013 18.991
Tsunami 1 447 498 56 15.353 - -
Cuaca Ekstrim 1 - - - - - -
Tanah Longsor 3 38 - - - 61 -
Total 9 499 556 56 15.853 5.088 18.991

Sumber: Data & Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Tahun 2000–2012 11

Tabel 2: Sejarah Kejadian Bencana Berdasarkan Data Pemerintah Kabupaten


Kepulauan Mentawai8
KEJADIAN TAHUN KETERANGAN
Gempa bumi 1797 Terjadi di Siberut dengan kekuatan 8,4 SR
Gempa bumi 1833 Terjadi di Pagai dengan kekuatan 9,0 SR
Gempa bumi 1935 Terjadi di antara Siberut dan Nias dengan kekuatan 7,7 SR
Banjir 1997 Terjadi di Sikabaluan Kecamatan Siberut Utara
Kekeringan 1997 Musim kemarau terjadi hampir sembilan bulan
Terjadi di antara Selat Sipora dan Painan dengan kekuatan 7,7
Gempa bumi 2007 SR. Kerusakan banyak terjadi di Siberut, Sipora, Pagai Utara
dan Selatan
Gempa bumi diikuti
2010 Terjadi di Pagai dengan kekuatan 7,2 SR
dengan tsunami
Terjadi di Dusun Betaet Desa Simalegi, Kecamatan Siberut
Puting beliung
2011 Barat dengan 20 unit rumah rusak berat dan satu bangunan
(cuaca ekstrem)
Sekolah Dasar.
6 Data & Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Tahun 2000–2012.
7 RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2018
8 RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2018
KEJADIAN TAHUN KETERANGAN
Abrasi pantai
1999 -
(gelombang Penyusutan pantai dan beberapa pulau kecil hilang.
sekarang
ekstrem dan abrasi)
Sumber: BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai 2013

Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki berbagai potensi ancaman bencana,


Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

juga dapat dianalisa berdasarkan kecenderungan kejadian bencana yang tetap dan
meningkat di daerah itu. Pertimbangan dalam penentuan analisa dan kecenderungan
diperoleh dari data kejadian bencana dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di
Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Kecenderungan kejadian yang meningkat merupakan bencana dengan


kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan untuk
kecenderungan kejadian tetap merupakan yang belum pernah terjadi sebelumnya,
seperti bencana cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan
lahan.

Tabel 3. Analisis Kecenderungan Kejadian dan Potensi Ancaman Bencana


di Kabupaten Kepulauan Mentawai9
No Jenis/Potensi Ancaman Kecenderungan Kejadian
12 1 Gelombang Ekstrim dan Abrasi Meningkat
2 Gempabumi Meningkat
3 Tsunami Masih Ada Ancaman
4 Banjir Meningkat
5 Epidemi dan Wabah Penyakit Meningkat
6 Cuaca Ekstrim Tetap
7 Tanah Longsor Tetap
8 Kekeringan Tetap
9 Kebakaran Hutan dan Lahan Tetap
Sumber: BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai 2013

2.5. Dampak Bencana

Gempa bumi yang disusul gelombang tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai


berdampak pada berbagai sektor, di antaranya infrastruktur, pertanian, peternakan,
kesehatan, sosial budaya, dan pendidikan, serta ratusan korban jiwa dan luka-luka.
Untuk lebih rinci, datanya dapat dilihat pada tabel berikut:
9 RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2018
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Tabel 4. Data Korban Jiwa, Luka-luka, Hilang dan Pengungsi Akibat Gempa
dan Tsunami Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2010
Luka- Pengungsi
No Lokasi Meninggal Hilang
Luka (Jiwa)
1 Kecamatan Sipora Selatan 23 1248
2 Kecamatan Pagai Selatan 184 3 5495

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai


3 Kecamatan Pagai Utara 292 5 18 2129
4 Kecamatan Sikakap 10 2553
5 Dirawat rujuk ke Padang 12
6 TOTAL 509 17 21 11.425
Sumber: Pusdalops PB Sumbar, 22 November 2010

Tabel 5. Rekapitulasi Kerusakan dan Kerugian Pascabencana Gempa Bumi


dan Tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai
Total Kepemilikan
Nilai Nilai
Sektor/ Kerusakan Peme­ Non-
No Kerusakan Kerugian
Subsektor dan Kerugian rintah Pemerintah
(Rp Juta) (Rp Juta) (Rp Juta)
1 PERUMAHAN 105.414,13 10.412,50 115.826,63 13.749,67 102.076,96
1. Perumahan 91.664,46 102.412,50 102.076,96 102.076,96
2. Prasarana 13.759,67 - 13.749,67 13.749,67
Lingkungan 13

2 INFRASTRUKTUR 17.365,00 1.801,44 19.166,44 19.003,60 162,84


1. Transportasi 17.245,00 1.758,60 19.003,60 19.003,60
2. Air dan Sanitasi 120,00 42,84 162,84 162,84
3 EKONOMI 53.423,85 64.397,77 117.821,61 - 117.821,61
1. Pertanian 4.658,50 4.465,00 9.123,50 9.123,50
2. Perkebunan 18.494,00 31.015,00 49.509,00 49.509,00
3. Peternakan 248,42 1.467,87 1.716,29 1.716,29
4. Perdagangan 405,00 - 405,00 405,00
5. Perikanan 21.430,43 22.278,90 43.709,33 43.709,33
6. Pariwisata 7.700,00 4.475,00 12.445,00 12.445,00
7. Perindustrian 235,00 402,00 637,00 637,00
8. Koperasi dan 252,50 24,00 276,50 276,50
UKM
4 SOSIAL 16.037,63 - 16.037,63 16.037,63 -
1. Kesehatan 1.065,68 - 1.065,68 1.065.68 -
2. Pendidikan 7.511,70 - 7.511,70 7.511,70 -
3. Agama 7.460,25 - 7.460,25 7.460,25 -
5 LINTAS SEKTOR 79.613,00 188,00 79.441,40 79.441,40 -
1. Lingkungan 75.450,00 - 75.450,00 75,450,00 -
Hidup
2. Pemerintahan 3.258,00 64,00 2.962,00 2.962,00 -
3. Ketertiban dan 905,40 124,00 1.029,40 1.029,40 -
Keamanan
Sumber: Pusdalops PB Sumbar, 29 November 2010
Hidup di Atas Patahan Sesar
Potret Tangguh
Masyarakat Mentawai
15

BAB III

Praktik dan
Implementasi
Masyarakat Tangguh
BAB III
Praktik dan Implementasi
Masyarakat Tangguh
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

3.1. Kearifan Lokal Berbasis Mitigasi Bencana

Provinsi Sumatera Barat


memiliki luas daratan
42.297,30 km2, jumlah
penduduk 5.886.977 jiwa,
luas perairan laut lebih
kurang 186.500 km2,
dengan panjang garis
pantai 2.420.357 km, serta
memiliki 375 buah pulau
16 besar dan kecil. Di wilayah
ini terdapat empat gunung
api aktif, yaitu Gunung
Marapi, Talamau, Talang, serta
Kerinci. Sumber daya air yang
melimpah dengan jumlah
sungai sebanyak 254 aliran,
bermuara di Pantai Timur
dan Barat Pulau Sumatera
serta dibagi dalam sembilan
satuan wilayah sungai (SWS),
yaitu empat SWS utuh dalam
provinsi dan lima SWS lintas
provinsi, empat danau besar
(Singkarak, Maninjau, di ateh-
di bawah).10

Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 19 kabupaten dan kota, yang sebagian besar
menyebar di sepanjang garis Pantai Barat Sumatera. Sumatera Barat merupakan salah
satu provinsi di Indonesia yang sangat rentan dengan berbagai ancaman bencana.
10 Artikel Wawan Budianto, Majalah Sasaraina Edisi 02 Februari 2015.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


PINGGIRAN. Beberapa dusun yang ada di Mentawai sebagian masih ada yang
terletak di hulu sungai dan jauh dari bibir pantai. (Foto: Iswanto)
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sejumlah bencana alam telah merusakkan
infrastruktur, pertanian, dan ribuan korban jiwa. Di antara bencana yang sudah
terjadi, seperti kemarau panjang, banjir bandang, longsor, angin puting beliung,
gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami. Bencana-bencana itu kerap berulang
ketika iklim berubah, seperti hujan yang akan berdampak pada banjir bandang serta
longsor di beberapa daerah kabupaten dan kota. 17

Salah satu daerah yang paling rentan dengan ancaman bencana adalah Kabupaten
Kepulauan Mentawai, yang menjadi daerah otonom setelah memisahkan diri dari
Kabupaten Padang Pariaman pada 2000. Kondisi geografis Kabupaten Kepulauan
Mentawai merupakan daerah yang paling rentan dengan ancaman gempa bumi
dan tsunami. Hal ini setelah terjadinya gempa bumi pada tahun 2010 yang disusul
dengan gelombang tsunami.

Pola hidup dan peradaban masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai pada


dasarnya sudah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi ancaman gempa dan
tsunami. Hal ini terbukti dengan sistem kontruksi rumah panggung berbahan kayu
dan beratapkan daun rumbiah. Selain itu, kehidupan masyarakat Mentawai pada
dasarnya berada di hulu sungai pedalaman hutan dan jauh dari bibir pantai.

Pola konstruksi rumah panggung berbahan kayu dan atap rumbiah itu sudah dilakukan
oleh nenek moyang orang Mentawai. Rumah besar (uma) yang dihuni sedikitnya 10
kepala keluarga ini menjadi wadah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dan
budaya. Uma bagi masyarakat Mentawai merupakan rumah suku, dan juga sebagai
sarana dalam menentukan persoalan terkait kehidupan. Konstruksi rumah panggung
yang dibuat masyarakat
Mentawai tersebut diyakini
sebagai bentuk antisipasi
terhadap dinginnya malam
di tengah hutan, ancaman
banjir, dan guncangan
gempa. Sebab masyarakat
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Mentawai yang tinggal di


sepanjang aliran sungai
tersebut tidak menutup
kemungkinan terimbas
kenaikan air sungai
ketika hujan lebat. Selain
itu, guncangan gempa
yang selalu dirasakan Arsitektur Uma. (Foto: Istimewa)
masyarakat Mentawai
juga menjadi dasar desain konstruksi rumah panggung. Sampai saat ini, pola rumah
panggung pun masih banyak ditemui di Kabupaten Kepulauan Mentawai, khususnya
yang masih tinggal di aliran sungai dan kawasan pesisir pantai.

Kepercayaan masyarakat Mentawai dalam memahami bencana alam, seperti


gempa, diartikan sebagai suatu berkah. Guncangan gempa bumi kerap dijadikan
18 sebagai pertanda musim buah atau tumbuhnya krumucu (jamur). Ketika merasakan
guncangan gempa, masyarakat Mentawai tidak pernah panik, melainkan hanya
berdiam di dalam atau luar rumah, kemudian berdoa karena sudah diberi nikmat
berupa buah-buahan.

Secara turun-temurun masyarakat Mentawai yakin, bahwa guncangan gempa itu


disebabkan oleh seorang teteu (nenek), yang berada di dalam tanah, terbangun dan
menarik-narik akar pohon. Akibatnya, terjadi guncangan gempa dan jatuhnya buah-
buahan.11 Namun, cerita teteu ini dibedakan sesuai dengan waktu kejadiannya.
Ketika gempa terjadi, pagi musim buah-buahan, siang munculnya krumucu, dan
malam munculnya penyakit.12

Cerita teteu sejauh ini belum dijadikan pemahaman atau pertanda adanya ancaman
bencana tsunami yang diakibatkan dari guncangan gempa oleh warga Dusun
Katiet dan Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. Namun dalam praktiknya,
cerita teteu tersebut mampu membuat mental masyarakat Mentawai yang tinggal
di bagian pesisir pantai tidak pernah panik atau khawatir setiap menghadapi
guncangan gempa.

11 Wawancara bersama Sarnida, masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan.
12 Wawancara bersama Alpaus Samongilailai, tokoh masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

3.2. Dampak Pembangunan Terhadap Mitigasi Bencana

Ketika Kabupaten Kepulauan Mentawai menjadi daerah otonom, pembangunan


dari pemerintah dan perusahaan pun gencar dilakukan. Hal ini menjadikan adanya
pola hidup yang terbalik. Masyarakat Mentawai yang awalnya tinggal di hulu sungai
akhirnya turun ke kawasan bibir pantai, menjadi pekerja dari berbagai proyek
pembangunan, seperti jalan, jembatan, serta dari perusahaan kayu (HPH) yang mulai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


masuk Mentawai sekitar tahun 1980-an.

19

PUSAT KOTA. Permukiman Ibu Kota Kecamatan Sikakap padat penduduk


dengan fasilitas pasar, kantor pemerintahan, sekolah, rumah ibadah, dermaga,
Puskesmas dan mata pencaharian dari keramba apung. (Foto: Iswanto)

Di samping itu, pemerintah pun melakukan pembangunan fasilitas umum, seperti


kantor pemerintahan, sekolah, puskesmas, serta pusat perdagangan (pasar). Secara
psikologis, lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur itu merupakan salah
satu intervensi bagi masyarakat Mentawai untuk lebih memilih tinggal di kawasan
pesisir pantai yang rentan dengan ancaman gempa bumi dan tsunami.

Sekitar tahun 1980-an, masyarakat Mentawai yang tinggal di hulu sungai banyak
menderita penyakit kolera. Salah satu penyebab penyakit kolera itu adalah pola hidup
yang kurang bersih. Pertengahan tahun 1970-an, adat-istiadat warga Mentawai dalam
menguburkan jenazah diawali dengan pencucian mayat di sungai. Selanjutnya,
mayat disimpan sampai membusuk dan dicuci pada aliran sungai yang kerap menjadi
sumber kehidupan (mandi dan minum). Kebiasaan inilah yang menyebabkan air
sungai tercemar dari cucian daging manusia yang sudah membusuk.
Bencana berupa wabah penyakit pun menjadi perhatian serius dari Pemerintah
Kabupaten Padangpariaman saat itu. Akhirnya, pembangunan pelayanan kesehatan
dilakukan di kawasan pesisir pantai dengan membangunan sarana pelayanan
kesehatan, seperti puskesmas. Hal ini dilakukan pemerintah, karena secara fisik, tim
medis kesulitan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang tinggal jauh
di pedalaman hutan dan hulu sungai.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Gencarnya pembangunan infrastruktur juga menyebabkan banyak penduduk baru


dari luar Mentawai datang ke Bumi Sikerei, untuk berdagang. Warga pendatang
tersebut tinggal di kawasan pesisir pantai. Hal ini didukung dengan sarana
pembangunan pasar di kawasan pesisir pantai. Karena keterbatasan akses jalan darat,
akhirnya warga yang tinggal di hulu sungai secara bertahap pindah ke kawasan pesisir
pantai. Apalagi di sana terdapat beberapa peluang pekerjaan serta dukungan pusat
pelayanan pemerintahan.

Memasuki 10 tahun otonomi daerah, telah terjadi perubahan dalam konteks sosial,
budaya, dan agama. Begitu juga dengan mata pencaharian warga, dari yang tadinya
bertani kini sebagian memilih menjadi nelayan. Secara sosial budaya, konstruksi
rumah warga Mentawai sebagian besar menjadi tembok permanen dan dibangun
di kawasan pesisir pantai. Perubahan ini didorong oleh perekonomian warga yang
sudah mulai meningkat sejak banyaknya lapangan pekerjaan, baik dari proyek
20 pembangunan infrastruktur pemerintah, maupun dari perusahaan kayu.

MEMBANGUN JEMBATAN. Warga Mentawai gotong royong dalam


membangun jembatan dari material kayu. (Foto: Istimewa)
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Pola hidup masyarakat Mentawai menjadi lebih konsumtif dan terkesan meninggalkan
nilai-nilai kearifan lokal dalam mengurangi risiko bencana. Banyak warga yang sibuk
menjadi buruh pada perusahaan kayu. Bahkan, tindakan menyerahkan isi tanah
kepada perusahaan untuk dijual kayunya pun kerap terjadi. Kebiasaan mendapatkan
uang banyak dengan cara cepat inilah yang menjadi perubahan sikap bagi warga
Mentawai.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Hukum adat (tulou-denda) yang menjadi benteng dalam menjaga nilai-nilai
kekeluargaan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Kini, semua tindakan amoral
selalu diselesaikan secara hukum administratif atau pidana, yang kadang juga tidak
menimbulkan efek jera.

Sebelum arus perubahan terjadi di Mentawai, hukum adat selalu menjadi benteng
untuk menjaga nilai-nilai luhur dan perilaku dalam bermasyarakat. Melalui hukum
adat, masyarakat Mentawai menjadi terdidik karena merasa dipermalukan dan
dirugikan, baik secara materil maupun moril. Sehingga menimbulkan efek jera.

3.3. Modal Sosial Menghadapi Bencana

Aktivitas berladang menanam sagu, pisang, dan keladi, bagi masyarakat Mentawai
sudah menjadi budaya secara turun-temurun. Tanpa disadari, hasil ladang seperti
pisang, keladi, dan sagu, mampu menjadikan ketahanan
pangan ketika mahalnya segala kebutuhan hidup, khususnya 21
sembilan bahan kebutuhan pokok atau sembako.

Di samping itu, sagu, keladi, dan pisang juga mampu

PANEN. Hasil panen


talas (keladi) untuk
dijadikan makanan.
(Foto: Sumarwoko)

SAGU. Warga
Mentawai mengolah
LADANG. Salah satu ladang tanaman taoto. (Foto: Sumarwoko) sagu. (Foto: Istimewa)
menjadikan masyarakat Mentawai tangguh ketika menghadapi masa darurat, seperti
menghadapi bencana alam. Kaum ibu rumah tangga di Mentawai biasanya mengolah
sagu, pisang, dan keladi menjadi beragam jenis makanan, seperti jurut yang berbahan
keladi dan pisang atau kapurut dengan bahan baku sagu.

Dalam proses membuat jurut, keladi direbus dan ditumbuk dengan campuran pisang
yang sudah matang. Ditambah dengan bahan kelapa muda serta airnya, seluruh
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

adonan masuk ke bambu dan dimasak atau dipanggang. Hasil dari makanan itulah
yang disebut warga Mentawai sebagai jurut.

Bukan hanya dalam kondisi darurat, sehari-hari masyarakat Mentawai juga terbiasa
mengonsumsi jenis makanan ini. Biasanya, dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti
acara pernikahan, punen (pesta kampung), dan gotong-royong, jurut dan kapurut
selalu menjadi hidangan utama. Misalnya, saat bergotong-royong membersihkan
lingkungan perkampungan, jurut selalu tersaji di atas daun pisang untuk peserta
gotong-royong yang tengah beristirahat.

Aktivitas mugalai simakere (gotong–royong) membersihkan lingkungan itu sudah


menjadi program dusun setiap bulan. Sebab masyarakat Mentawai menyadari,
lingkungan bersih akan membuat tubuh terjaga dari segala wabah penyakit. Bahkan
setiap kegiatan kemasyarakatan dan ibadah, tokoh agama dan masyarakat selalu
mengingatkan untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih. Di antaranya, melalui
22 imbauan agar tidak membuang air besar sembarangan, baik di pekarangan rumah
maupun di sejumlah aliran air yang menjadi sumber air bersih.13

Untuk menjaga lingkungan tetap bersih, khususnya tertib dalam membuang air
besar, warga membuat WC umum yang sudah disediakan di beberapa titik. Bagi
warga yang ekonominya dianggap sudah mampu, dianjurkan untuk membuat WC
pribadi di rumah.

Anjuran untuk berdisiplin agar tidak membuang air besar sembarangan berawal
ketika sering terjadinya warga yang membuang hajat di sepanjang pantai. Hal ini
berdampak pada buruknya kebersihan lingkungan serta nilai-nilai pariwisata di
Mentawai. Sementara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Dinas
Pariwisata sudah menetapkan beberapa dusun sebagai kawasan pariwisata untuk
lokasi berselancar atau surfing. Jika perilaku buang air besar sembarangan masih
terjadi di sepanjang pantai, dikhawatirkan para wisatawan asing enggan datang
kembali.14

Warga juga tidak diperkenankan membuang air besar di aliran sungai yang menjadi
13 Wawancara bersama Ferianto Gulo, Kepala Dusun Mongan Bosua dan Markelis, Kepala Dusun
Tattanen.
14 Wawancara bersama Risel Samaloisa, Ketua Tim PB Dusun Katiet.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

sumber air bersih. Bahkan ada ketetapan sanksi moral jika membuang air besar
sembarangan di sepanjang aliran sungai yang menjadi tempat konsumsi air bersih
untuk kebutuhan sehari-hari.15

Meski dalam kesehariannya sebagian besar masyarakat Mentawai sibuk berladang


untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebudayaan Rob Parob (tolong-menolong)
masih terus terjaga. Budaya Rob Parob merupakan satu hal terpenting dalam

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


kehidupan bermasyarakat. Bahkan Rob Parob mampu mengikat atau menyatukan
rasa persaudaraan bagi semua warga, meskipun pada prinsipnya tidak ada hubungan
kekeluargaan atau garis keturunan.

Di samping itu, budaya Rob Parob juga mampu mengurangi beban satu sama lain,
karena saling memberikan bantuan dalam berbagai bentuk atau masalah yang
dihadapi masing-masing warga. Misalnya, jika di sebuah dusun ada yang sakit
atau melahirkan, secara bersama warga satu dusun tersebut atau dusun tetangga
memberikan bantuan sejumlah uang untuk biaya perobatan dan transportasi menuju
puskesmas atau rumah sakit. Begitu juga dengan adanya kegiatan pernikahan, punen
(pesta adat kampung), serta orang meninggal, warga tanpa diminta pun turut
memberikan bantuan dalam berbagai bentuk.16

Warga yakin budaya Rob Parob tidak akan pernah luntur sampai ke anak cucu. Sebab
budaya Rob Parob selalu diajarkan kepada semua anak-anak sejak dini, baik melalui
lembaga pendidikan formal, maupun dalam kegiatan beribadah. Warga sendiri yakin, 23
budaya Rob Parob tidak akan luntur meskipun zaman sudah modern. Sebab bagi
generasi Mentawai yang pernah tinggal di kota besar untuk bersekolah, ketika pulang
kampung juga tidak pernah membawa sikap egois perkotaan. Mereka tetap kembali
pada nilai-nilai luhur Mentawai dengan menjunjung budaya Rob Parob.17

Sejauh ini, yang mengikis budaya Rob Parob bukan faktor kemajuan zaman,
melainkan sering terkikis dengan adanya selisih paham antarkeluarga atau rumah
tangga. Biasanya, faktor ini diakibatkan karena adanya pembagian warisan tanah yang
dianggap merugikan salah satu pihak. Akibatnya, tak jarang dalam satu suku terjadi
keributan dan berujung tidak mengakui persaudaraan, meskipun masih dalam satu
suku. Faktor warisan tanah sejauh ini selalu mendominasi pudarnya nilai-nilai budaya
Rob Parob yang sudah tertanam sejak masa kecil.18

Untuk menjaga nilai-nilai modal sosial tersebut, pada prinsipnya ada pengaruh dari
kepemimpinan yang menjadi panutan masyarakat. Di Mentawai, untuk kepemimpinan
tingkat dusun masih menjadi wadah dalam merencanakan arah pembangunan serta
15 Wawancara bersama Regina, masyarakat Dusun Gobik.
16 Wawancara bersama Kepala Desa Bosua.
17 Wawancara bersama Intan Permata, Sekretaris Desa Bosua.
18 Wawancara bersama Ketua Tim PB Dusun Katiet, Risel Samaloisa.
menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Hal ini karena tiga unsur
kepemimpinan tingkat dusun, seperti kepala dusun, pengurus gereja (paneinei), serta
tokoh masyarakat, selalu berperan aktif dalam menyikapi berbagai masalah.

Tiga unsur kepemimpinan tingkat dusun tersebut mengambil sikap selalu membawa
aspirasi masyarakat yang diputuskan secara bersama di rumah ibadah gereja sebagai
tempat untuk berkumpul dan bersuara. Namun tidak serta-merta aspirasi dan
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

keputusan bersama di tingkat dusun tersebut dapat diterima di tingkat desa, bahkan
kecamatan.

3.4. Dampak Bencana Gempa dan Tsunami

Bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2010


menghancurkan sebagian tiga pulau yang ada
di Mentawai, yaitu Kecamatan Sipora Selatan,
Sikakap, serta Pagai Selatan dan Utara. Fasilitas
umum seperti sekolah, rumah ibadah, jembatan,
jalan, pertanian, dan peternakan hancur
tergulung tsunami. Rasa trauma pada setiap
korban yang selamat juga menjadi beban hidup
mereka. BANTUAN. Setelah beberapa hari, para
korban menerima bantuan logistik dari
berbagai pihak. (Foto: Iswanto)
24 Akibat bencana tsunami itu, pemerintah telah
merelokasi seluruh masyarakat Mentawai yang
terdampak untuk pindah ke tempat yang lebih
aman dari jangkauan tsunami. Masyarakat
sendiri pada prinsipnya menyetujui rencana
itu, namun dalam pelaksanaannya, terjadi
ketegangan dalam relokasi gara-gara masalah
koordinasi dan komunikasi antara pemerintah
dan masyarakat yang kurang maksimal. Rasa
HUNTARA. Para korban tsunami tinggal di
percaya masyarakat terhadap pemerintah huntara selama empat tahun. (Foto: Iswanto)
mulai menyusut terkait proses relokasi hunian
sementara hingga pembangunan hunian tetap.
Ketegangan ini bukan hanya terjadi antara
masyarakat dan pemerintah, tetapi juga antara
sesama masyarakat. Namun ketegangan itu
selalu diselesaikan secara musyawarah di tingkat
pemerintahan dusun dan desa.

Akibat bencana tsunami, masyarakat yang HUNIAN TETAP. Memasuki tahun ke


terdampak juga mengalami kehidupan ekonomi lima, 2015, hunian tetap mulai selesai
pembangunannya. (Foto: Iswanto)
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

yang lemah. Masyarakat sendiri sempat kehilangan pekerjaan dalam beberapa bulan.
Hilangnya pekerjaan masyarakat pun berdampak keberlanjutan bagi anak-anak
mereka di tingkat SMP dan SMA. Bahkan, hampir satu tahun, sebagian siswa SMP dan
SMA putus sekolah akibat orang tuanya tidak memiliki pekerjaan dan lumpuhnya
perekonomian.

3.5. Praktik Tangguh Sebelum Bencana

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


3.5.1. Sipora Selatan

25

Letak permukiman Dusun Katiet dan Gobik sekitar 50 meter dari bibir pantai. Sejauh ini,
warga hanya memahami adanya ancaman badai yang disertai dengan angin kencang,
tapi tidak membuat mereka cemas. Sebab mereka sudah terbiasa mengalami cuaca
ekstrem seperti badai dan angin kencang pada bulan tertentu (musim badai).19

Namun berbeda dengan seorang tokoh masyarakat Dusun Gobik, Alpaus Samongilailai.
Berdasarkan pengamatannya, Dusun Gobik sudah mulai terancam dengan abrasi
pantai. Ia memperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun, sudah 50 meter terjadi abrasi
pantai yang bakal mengancam 27 Kepala Keluarga (KK) warga Dusun Gobik, Desa
Bosua. Melalui keputusan bersama, mereka bersepakat untuk pindah kampung,
mencari lokasi baru yang dianggap lebih aman.

19 Wawancara bersama Risel Samaloisa, Ketua Tim Penanggulangan Bencana (PB) juga Ketua Pokmas
Hunian Tetap, , Dusun Katiet, Desa Bosua.
Rupanya masih ada sebagian warga yang menolak. Begitu juga dengan Pemerintah
Desa Bosua, walaupun Pemerintah Kecamatan telah mendukung mendukung.
Mirisnya, akibat rencana relokasi mandiri itu, Kepala Dusun Gobik terancam dipecat
dari jabatan karena ikut mendukung program relokasi mandiri dari ancaman abrasi
pantai. Sampai akhirnya, sebagian warga Dusun Gobik tetap memilih pindah setelah
diguncang gempa pada 2007. Sebagian lagi tetap bertahan di Dusun Gobik.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

26

Kronologis Warga Dusun Maonai Mmemahami Tanda-tanda Sebelum Bencana

Sudah 40 tahun Dusun Gobik berdiri, namun tidak ada


perkembangan, khususnya pembangunan. Saya sendiri
sebenarnya warga Bosua dan pindah ke Dusun Gobik
sekitar 10 tahun lalu. Pada saat itu jumlah warga Dusun
Gobik masih 27 kepala keluarga. Selama tinggal di Dusun
Gobik, saya melihat pantai di depan permukiman warga
terkikis sampai 50 meter. Saya berpikir, kemungkinan lima
tahun ke depan, teras rumah sudah berada di bibir pantai
atau mungkin dusun kami bisa habis. Sementara, di
belakang permukiman Dusun Gobik terdapat rawa-rawa.

Saat itu saya mulai menawarkan kepada warga Dusun


Alpaus
Gobik untuk pindah dan mencari lokasi baru yang aman
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

dari abrasi pantai. Dalam rapat, memang semua warga sepakat untuk pindah, namun
semua masih dalam persiapan. Dalam kesepakatan, ada tiga tempat lokasi yang harus
dipilih dan disepakati secara bersama untuk menjadi permukiman dusun baru. Dan
selama dalam persiapan itu, tidak diperbolehkan lagi ada penambahan rumah baru,
karena lokasi Dusun Gobik lama akan dikosongkan.

Tangguh
Proses pemindahan ditargetkan selama lima tahun, sebab diangsur secara perlahan

Masyarakat Tangguh
untuk membuat rumah baru. Sementara saya dan warga juga menunggu momen
tepat dari kunjungan kerja anggota DPRD dan pihak kecamatan dengan tujuan

Implementasi Masyarakat
mengajukan pindah lokasi dusun.

Ketika itu, Camat Sipora Selatan merespons positif dan memberikan dukungan agar
pindah ke lokasi dusun yang baru dipercepat. Menurutnya, proses pindah selama lima

dan Implementasi
tahun itu cukup lama. Camat sendiri menyadari dan memahami kemungkinan terjadi
tsunami seperti di Aceh. Selain kepada petugas kecamatan, kami juga mengajukan
surat pindah yang dilengkapi tanda tangan seluruh warga kepada pengurus desa.
Namun pihak desa justru diam saja, tanpa memberikan respons setuju atau menolak.

Praktik dan
Pada tahun 2007, datanglah gempa dahsyat. Dan sepanjang tahun 2007 itu, sering sekali

Praktik
terjadi guncangan gempa. Hingga semua warga lari menyelamatkan diri dan berpencar.
Sebab memang tidak tahu dan belum ada kesepakatan penunjukan perbukitan yang
menjadi tempat evakuasi, maka penduduk menyelamatkan diri ke ladang masing- 27
masing. Lokasi itu menjadi pilihan karena setiap ladang milik warga dilengkapi pondok.

Seminggu setelah gempa 2007, timbul lagi rencana untuk pindah kampung. Tempat
yang kami sepekati sebagai lokasi dusun baru itu jaraknya sekitar 150 meter dari dusun
yang lama. Maka kami sepakat memilih lokasi baru yang dekat dengan perbukitan.
Lokasi Dusun Gobik yang baru itu cukup bagus dan memiliki sumber air bersih. Maka
warga pun langsung membuat rumah di lokasi tersebut.

Ketika sebagian warga sudah membuat rumah di lokasi Dusun Gobik baru, saya melaporkan
kepada Kepala Desa. Namun kepala desa tidak mengizinkan. Beberapa hari kemudian,
kepala desa memanggil saya dan melarang kami pindah. Warga diminta kembali ke dusun
yang lama. Kepala Desa juga sempat mengancam saya, kalau tidak pindah ke lokasi dusun
lama, jabatan sebagai kepala dusun akan digantikan kepada yang lainnya.

Menurut Kepala Desa, saya dianggap sudah meresahkan kenyamanan warga dengan
membawa isu ancaman bencana. Kepala Desa ambil sikap, tidak memberikan izin
untuk pindah. Penduduk boleh pindah dengan catatan tidak diakui lagi sebagai
warga Dusun Gobik.
Proses membuat rumah pun tetap kami lakukan bersama warga lainnya di lokasi
Dusun Gobik yang baru dengan segala caci maki. Hingga saya kembali dipanggil
Kepala Desa dan jajaran Badan Pengawas Desa (BPD). Saat itu saya seperti diadili
oleh dua pejabat desa tersebut. Namun saya tidak ambil pusing saat ditanya alasan
memindahkan warga Dusun Gobik ke lokasi baru.

Dalam sidang itu saya ceritakan, pertama, sudah 40 tahun Dusun Gobik tidak ada
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

perkembangan. Tujuan saya memindahkan ke lokasi baru agar ke depan bisa


mengembangkan Dusun Gobik. Kedua, abrasi pantai sudah mengancam. Ketiga,
pemerataan pembangunan tidak ada di Dusun Gobik. Selama ini Dusun Gobik dianggap
jumlah kepala keluarganya sedikit, sehingga selalu dianaktirikan dalam pembangunan.
Ketika itu saya jelaskan, sedikit pun tidak ada jawaban dari pihak penyidang yang terdiri
dari jajaran Kepala Desa dan BPD. Namun mereka tetap melarang untuk pindah lokasi.

Awalnya, 27 KK itu secara bersama menyatakan ingin bersama pindah ke lokasi Dusun
Gobik yang baru. Karena ada banyak tekanan, sebagian warga tidak mau pindah.
Hanya 11 KK yang ikut pindah dengan saya dan 16 KK memilih tinggal di Dusun Gobik
lama yang terancam abrasi pantai.

Meski awalnya ada tiga rencana lokasi, pada akhirnya kami hanya memilih satu tempat.
Sebab yang pindah hanya 11 KK, dan tidak mungkin mereka hidup berpencar di tiga
lokasi berbeda. Itu semua diputuskan setelah ada kebijakan dari Kepala Dusun.
28
Kami juga siapkan jatah lahan rumah bagi warga Dusun Gobik yang tidak mau
pindah. Tanah itu sendiri milik warga yang memang ikut pindah bersama kami. Dalam
perjalanannya, para pemilik tanah dipengaruhi supaya kembali lagi ke Dusun Gobik
lama. Tujuannya agar kami pisah dan bercerai-berai lagi di lokasi baru. Meskipun
sudah ada perpecahan, saya tetap menganjurkan warga yang ikut pindah agar tetap
rajin mengikuti kegiatan kemasyarakatan secara bersama. Namun tetap terjadi selisih
paham sampai pada organisasi kecil untuk kemasyarakatan.

Pada 2007, organisasi non-pemerintah (NGO) Surfaid datang dan programnya


berjalan setahun kemudian. Kami, warga Dusun Gobik di lokasi baru, mendapatkan
pelatihan terkait pengurangan risiko bencana. Saat itu, Surfaid memberikan dukungan
dana untuk membuat posko pengungsian di atas bukit yang dekat dengan lokasi
permukiman di Dusun Gobik baru. Bantuan juga kami pergunakan untuk membuat
bak air bersih. Kemudian kami secara bersama dilatih tentang kebencanaan.

Saat Surfaid memberikan latihan, warga Dusun Gobik lama, selalu mencaci maki kami.
Mereka mengolok-olok dan menyatakan kami tidak perlu dilatih karena dianggap
kurang beriman. Namun saya tetap menyampaikan dengan sabar dan tenang, bahwa
kami pindah bukan berarti meninggalkan Tuhan, tetapi hanya ingin menyelamatkan
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

diri dari bencana alam. Saya tegaskan kepada mereka yang mengolok-olok, bahwa
Nabi Eliya dipercaya Tuhan. Tetapi secara manusiawi, dia takut melihat perang
pertumpahan darah dan pembunuhan. Dia lari dari perang karena takut dibunuh,
tetapi bukan lari meninggalkan Tuhan-Nya.

Berhari-hari, saya dan warga yang pindah itu selalu diolok-olok. Pada akhirnya,
ketika beribadah di gereja saya sampaikan sambil berdoa, Tuhan tahu niat saya baik,

Tangguh
Masyarakat Tangguh
maka dukunglah aku, tapi kalau saya jahat, Tuhan silahkan hukum aku. Itulah doa
saya dihadapan jemaah saat itu. Sebab ketika saya mengajak pindah selalu dituduh
mengambil kesempatan dari masyarakat dan nanti akan bikin ini dan itu.

Implementasi Masyarakat
Ketika sudah memperoleh pelatihan Surfaid pada 2007-2008, tiga tahun
kemudian sudah ada persiapan di posko pengungsian. Kami membentuk tim PB
(Penanggulangan Bencana) dan tetap mengundang warga Dusun Gobik lama karena

dan Implementasi
berada di zona merah. Namun mereka tidak mau datang. Setelah itu kami bentuk
regu keamanan, tandu kesehatan, tim penyelamat orang hamil, buta, tim kebakaran,
dan tim pendeteksi dini. Semua itu disimulasikan dan kami laksanakan untuk belajar
menghadapi bencana ketika nantinya terjadi.

Praktik dan
Praktik
Menurut ilmu dari Surfaid, kalau ada gempa dan kita tidak bisa berdiri dengan
baik, maka berpotensi tsunami. Maka tim pendeteksi dini akan membunyikan toa
(megaphone), sebagai peringan dini. Setelah mendengar itu, tim pendeteksi dini akan
keluar melihat ombak untuk memastikan air laut surut atau naik. Kemudian disambut 29
dengan kentongan jika memang ada potensi tsunami dari pantauan tim pendeteksi
dini dari pantai. Semua sudah kami pelajari, bahkan arah untuk lari ke atas bukit juga
sudah dipahami semua warga Dusun Gobik di lokasi baru. Dalam pelatihan, warga
Dusun Gobik lama tidak ikut, karena menganggap sudah memisahkan diri.

Akhir cerita, aneh tapi nyata, seminggu kami resmi pindah ke lokasi Dusun Gobik yang
baru, datanglah tsunami pada tanggal 25 Oktober 2010. Warga yang saya ajak pindah
semuanya selamat dari musibah tsunami, sedangkan yang tidak mau pindah banyak yang
meninggal tergulung tsunami. Warga yang tidak mau saya ajak pindah pun meminta maaf.
Mereka menyesal dan yakin, seandainya ikut pindah pasti tidak akan tersapu tsunami.

Begitu juga dengan Kepala Desa, menyampaikan maaf atas kebijakannya yang
melarang kami untuk pindah ke lokasi dusun yang baru. Namun untuk Kepala
Desa, terpaksa saya tunjuk dengan bahasa tegas. Sebab gara-gara larangan Kepala
Desa, akhirnya banyak warga yang menjadi korban tsunami. Ingat, jangan pernah
mengambil kebijakan yang bisa mengorbankan nyawa saudara-saudara dan keluarga
kita sendiri.
Bukan hanya di Dusun Gobik, Dusun Katiet sejak tahun 2007 juga sudah membangun
posko pengungsian di area ladang warga setempat. Lokasi posko pengungsian itu
kini dibangun menjadi hunian tetap (huntap). Meski sejak awal belum memahami
ancaman bencana tsunami, warga Dusun Katiet selalu waspada ketika memasuki
musim badai dan angin kencang. Guncangan gempa tahun 2007 sangat memberikan
pelajaran berarti terhadap warga Dusun Katiet untuk meningkatkan kesadaran dalam
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

memahami pengurangan risiko bencana. Atas bantuan dan dukungan NGO Surfaid,
warga mulai sadar dan membangun jalur evakuasi serta posko pengungsian.20

Selama pendampingan NGO Surfaid, warga mendapatkan pelatihan pengurangan


risiko bencana hingga terbentuknya Tim PB. Ketika Tim PB terbentuk, Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Mentawia pun memberikan bantuan berupa perlengkapan
alat bangunan sebagai aset Dusun Katiet. Alat itu direncanakan untuk setiap kali
melakukan kerja bakti atau gotong-royong, tanpa harus dimiliki secara pribadi.

Untuk membuat jalur evakuasi dan posko pengungsian, warga Dusun Katiet menerima
kucuran dana sebanyak Rp20 juta. Meski anggaran itu tidak cukup, warga mampu
menyelesaikan mitigasi ancaman bencana dengan melakukan swadaya. Akhirnya,
setiap kali terjadi gempa, warga langsung menuju ke tempat evakuasi yang sudah
dilengkapi dengan dua posko pengungsian. Posko pengungsian itu sendiri sudah
dilengkapi dengan peralatan memasak sebagai bentuk persiapan darurat ketika
30 bencana terjadi dan tinggal di pengungsian.

Setiap kali terjadi guncangan gempa, Tim PB selalu memberikan arahan kepada warga
melalui megaphone sambil teriak keliling pedusunan. Suara sirine yang dikeluarkan
dari megaphone Tim PB tersebut sangat membantu untuk memberikan informsi dini
ketika adanya guncangan gempa untuk melakukan evakuasi secara dini. Di samping
itu, suara sirine dan himbauan evakuasi melalui megaphone sebelumnya juga sudah
disepakati oleh warga untuk dipatuhi dan dipahami dalam melakukan evakuasi.

Kalender Musim Dusun Gobik


BULAN
MUSIM Keterangan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Cengkeh   
Kopra             Panen 3 bulan sekali
Ikan       Pertengahan dan
akhir tahun
Lobster             Tergantung pasang-surut
Anggau       Awal Juni berakhir
November
Buah/
   
Durian
20 Wawancara Risel Samaloisa, Ketua PB Dusun Katiet, Desa Bosua.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

BULAN
MUSIM Keterangan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Panas/
     
Kemarau
Hujan         
Badai       
Penyakit    Demam, Batuk,Diare

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Catatan: Ada beberapa musim yang bergeser. Pergeseran musim sejak tahun 1999. Sebelumnya, musim
selalu tepat. (Sumber: Hasil diskusi dengan warga Dusun Gobik, Desa Bosua).

3.5.2. Pagai Selatan

31

Salah satu dusun yang paling terdampak dan menimbulkan banyak korban jiwa
di Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, adalah Dusun Maonai. Secara geografis
sebelum 2010, dusun ini terletak di bibir pantai dengan jarak rata-rata sekitar 50 meter.
Dalam teluk dan dilingkari sungai itulah, 40 kepala keluarga Dusun Maonai tinggal
dengan tingkat kerentanan ancaman tsunami dan badai yang cukup tinggi.
Kondisi Dusun Maonai yang terisolasi
dan jauh dari pembangunan
pemerintahan, membuat warga
setempat minim akses informasi. Untuk
menjual hasil komoditas pertanian dan
laut, warga harus pergi ke Kecamatan
Sikakap dengan jarak hampir 90 km.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Mujurnya, di beberapa dusun tetangga,


seperti Dusun Mapinang, ada beberapa
warga yang menjadi agen (pengumpul)
KOPRA. Warga mengumpulkan kelapa untuk diolah
hasil komoditas pertanian dan laut. menjadi kopra sebagai komoditas ekonomi.
Umumnya, warga Dusun Maonai (Foto: Surya Udin)
berladang pisang, keladi, cengkeh,
nilam, dan kakao, juga kelapa untuk diolah jadi kopra.

Sedangkan untuk hasil laut, biasanya warga menangkap udang lobster secara
tradisional untuk dijual. Namun untuk tangkapan ikan, warga hanya mengonsumsi
secara pribadi, tidak ada nilai tambah ekonomi.

Sebagian hasil dari panen cengkeh, nilam, kakao, dan tangkapan udang lobster itulah,
ditabung oleh warga untuk menyekolahkan anak-anaknya serta tabungan biaya
hidup. Tabungan bagi warga Dusun Maonai bukan berarti simpanan uang di bank,
32 melainkan hasil pertanian yang disimpan di rumah.21 Jika suatu saat membutuhkan
uang, hasil pertanian dijual. Seperti nilam dan cengkeh, kedua komoditas pertanian
ini kerap menjadi tabungan ketika membutuhkan biaya untuk keperluan sesuatu
yang sifatnya mendadak atau sudah direncanakan. Bahkan, seorang warga sudah
mampu membuktikan, bahwa pola menabung tersebut bisa untuk perencanaan
biaya persalinan istri.22

Menurut warga Dusun Maonai, tabungan itu sangat perlu untuk menjamin kebutuhan
keluarga ke depannya. Apalagi warga Dusun Maonai hanya bisa menyekolahkan
anak ke jenjang SMP dan SMA di Sikakap. Anak-anak tersebut harus kos atau tinggal
dengan sanak saudara. Namun untuk biaya kebutuhan sehari-hari, setiap bulan warga
harus mengirimkan bekal untuk anak-anaknya, baik bentuk uang maupun lauk pauk,
seperti ikan asin.

Mirisnya, Dusun Maonai belum memiliki pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD). Wrga
yang ingin menyekolahkan anaknya di tingkat SD harus ke Dusun Mapinang dengan
jarak sekitar 10 km. Mengingat akses jalan darat tidak layak untuk dilewati, mereka
terpaksa memilih lewat jalur laut untuk mengantarkan anaknya ke sekolah. Biasanya,
21 Wawancara bersama Yanti Saogo, masyarakat Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan.
22 Wawancara bersama Nelman Taileleu, tokoh masyarakat, Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan
Pagai Selatan.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

para siswa SD itu dititipkan kepada beberapa saudara di Dusun Mapinang dan setiap
pekan dijemput pulang.

Dalam beberapa tahun kemudian, Dusun Mapinang mendirikan sekolah yang bernama
“Sekolah Hutan”, atas bantuan NGO Rebana Indonesia. Nama tersebut terinspirasi dari
lokasi di belakang Dusun Maonai masih hutan, walaupun warga tinggal di kawasan
pesisir pantai. Dalam proses belajar-mengajar, beberapa staf NGO Rebana menjadi

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


guru pendidikan untuk non-permanen. Mereka juga melakukan kaderisasi calon guru
yang berasal dari warga Dusun Maonai, tanpa mendapat honor.

Setelah berjalan beberapa bulan, Rebana Indonesia menyerahkan sekolah tersebut


kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Dinas Pendidikan.
Akhirnya, sekolah tersebut resmi milik Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai
dan hanya sampai kelas III SD. Untuk menempuh jenjang kelas IV sampai VI SD, anak-
anak Dusun Maonmai harus sekolah ke Dusun Mapinang. Ketika sekolah tersebut
diserahkan oleh pihak Dinas Pendidikan, para guru sukarela yang berasal dari warga
Dusun Maonai mulai mendapatkan honor dari pemerintah.23

Melihat kondisi sekolah dasar di Dusun Maonai berada di bibir pantai yang rentan
dengan ancaman badai serta tsunami, Rebana Indonesia memberikan pendidikan
siaga bencana. Dalam pendidikan itu, diberikan simulasi tsunami sebanyak dua kali.
Siswa SD Dusun Maonai mendapatkan pemahaman cara berlindung di bawah meja
ketika gempa berguncang, kemudian lari, dan berkumpul di halaman sekolah. 33

Untuk memastikan kemungkinan tsunami, seperti disampaikan dalam simulasi,


sebagian anak-anak pergi ke bibir pantai untuk melihat pasang surut air laut.
Kemudian, beberapa siswa diarahkan melakukan evakuasi ke bukit yang ada di sekitar
Dusun Maonai, ketika ancaman tsunami datang. Dalam simulasi, anak-anak mampu
mencapai bukit sampai ke titik aman tsunami sekitar tujuh menit.24

Sebagian besar hutan di wilayah administratif Kecamatan Pagai Selatan dijadikan area
hak pengusahaan hutan (HPH) oleh perusahaan kayu PT Minas sejak tahun 1970-
an. Selama puluhan kayu di Kecamatan Pagai Selatan dieksploitasi untuk diekspor
ke luar negeri. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Pagai Selatan juga menjadi
buruh di perusahaan tersebut, termasuk warga Dusun Maonai. Namun, tanpa
disadari, pembabatan hutan menjadi ancaman baru bagi masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Pagai Selatan.

Meski tergolong masih awam terhadap lestari lingkungan, akhirnya masyarakat


Dusun Maonai mulai sadar terhadap lingkungannya yang mulai terancam kekeringan
dan longsor akibat hutan yang mulai gundul. Pemahaman ini diketahui warga ketika
23 Wawancara dengan Nelson, Staf NGO Rebana Indonesia.
24 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, Staf Rebana Indonesia.
melihat debit air sejumlah aliran sungai sudah mulai berkurang. Secara kasat mata,
di beberapa titik ladang mereka juga sudah ada yang longsor serta air sungai kerap
meluap, meski pun tidak pernah menimbulkan banjir sampai ke permukiman warga.25

Warga menilai, dulunya, setiap hujan air sungai tidak pernah keruh, melainkan tetap
jernih dan selalu bisa menjadi kebutuhan sehari-hari, seperti memasak, mencuci, dan
mandi. Selain itu, untuk mandi juga harus menggunakan gayung, padahal awalnya
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

anak-anak bisa mandi dengan cara berenang.

Bukit pun sudah mulai menipis di kawasan pengambilan kayu. Warga mulai menyadari,
ketika bukit mulai menipis karena faktor pengambilan kayu, maka perlu dilakukan
pencegahan dan kerja sama antara pihak pengelola kayu dan warga Dusun Maonai.
Tujuannya, agar semua hutan yang ada di Kecamatan Pagai Selatan, khususnya di
wilayah Dusun Maonai tidak semuanya diambil kayunya. Sebab ancaman banjir,
kekeringan, serta longsor menjadi perhatian dan kekhawatiran warga Dusun Maonai.

Kolom: Kronologis Warga Dusun Maonai Memahami Tanda-tanda


Sebelum Bencana

Saya asli orang Mentawai dan lahir di sini. Namun memasuki usia
remaja, saya sering merantau, bahkan pernah sampai ke Bengkulu
34 mencari kerja. Karena dibuka perusahaan kayu di Kecamatan
Pagai Selatan, saya pun pulang kampung dan bekerja pada
perusahaan kayu itu. Tapi tak lama, karena saya mengundurkan
diri.

Kemudian saya pergi merantau ke Kota Padang selama beberapa Tarsen Samongilalai
tahun. Di sana, saya pergi ke rumah teman, tepatnya di sekitar
Bukit Gado-gado atau Gunung Siti Nurbaya. Saya melihat beberapa titik di bagian
bukit ada yang longsor. Ketika saya tanyakan kepada masyarakat di sekitar, sebagian
bukit longsor akibat tidak ada pohon yang tumbuh, karena kerap ditumbangkan
untuk material kayu bangunan. Saat itu, warga Bukit Gado-gado di Kota Padang
sendiri sudah mulai sadar kalau hidup mereka dalam ancaman longsor.

Kala kembali pulang ke Dusun Maonai, saya pun teringat cerita ancaman bencana
longsor dari warga Bukit Gado-gado. Pandangan saya, bukit di sekitar Dusun Maonai
mulai menipis. Penilaian saya, semua itu pasti disebabkan penebangan hutan, seperti
yang terjadi di Bukit Gado-gado. Karena itu saya berkoordinasi dengan kepala dusun
untuk membuat sebuah peraturan dengan pihak Industri Pengelolah Kayu (IPK). Kami

25 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Tokoh Masyarakat dan juga Ketua Kelompok Masyarakat
Pembangunan Hunian Tetap, Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

melakukan musyawarah kepada semua warga untuk membuat kesepakatan kepada


pihak IPK terkait pengambilan kayu. Sebab tampak jelas, bukit sudah mulai menipis,
debit air berkurang, serta setiap hujan air meluap dan keruh.

Seingat saya, dulu warga masih bisa mandi sambil berenang di beberapa aliran
sungai. Tapi sekarang harus memakai gayung. Masa lalu, setiap hujan air sungai juga
tetap jernih. Sekarang justru airnya keruh dan sering meluap, meski belum pernah

Tangguh
Masyarakat Tangguh
membuat banjir sampai ke perkampungan.

Walau sudah ada batas-batas dan peraturan dalam pengambilan kayu, pihak IPK kerap

Implementasi Masyarakat
melanggar dengan mengambil kayu di luar batas wilayah. Tak jarang pula mengambil
kayu dari kawasan yang sudah resmi menjadi hutan lindung. Karena itu, saya bersama
tokoh masyarakat dan kepada dusun menemui pihak IPK untuk merumuskan
kesepatakan dalam pengambilan kayu di kawasan hutan Dusun Maonai.

dan Implementasi
Dalam kesepakatan itu, pihak IPK tidak boleh lagi mengambil kayu di kawasan
hutan lindung yang berjarak dekat dengan Dusun Maonai. Kedua, pihak IPK harus
membuatkan jalan bagi warga Dusun Maonai. Awalnya mereka menerima perjanjian

Praktik dan
itu. Tapi beberapa tahun berlalu, mereka kembali melanggarnya.

Praktik
Awalnya pelanggaran terjadi karena beberapa warga yang memiliki tanah secara
pribadi menjual kayu kepada pihak IPK. Padahal, dalam kesepakatan penduduk
Dusun Maonai dengan IPK, tidak ada lagi jual beli di kawasan hutan lindung. Karena 35
masing-masing warga mulai mencari keuntungan pribadi dengan cara menjual kayu
yang ada di dalam lahannya, maka aksi protes pun sempat terjadi, baik antara sesama
warga, maupun antara warga Dusun Maonai dengan pihak IPK.

Menurut pemikiran saya, jalan satu-satunya untuk menghentikan semua itu dengan
menutup usaha pihak IPK. Akhirnya, dengan beberapa kali aksi protes, pihak IPK
menutup usaha di kawasan hutan lindung. Dalam beberapa tahun kemudian, warga
Dusun Maonai sadar, bahwa penebangan kayu dapat memicu banjir dan longsor.
Warga Dusun Maonai mulai meyakininya ketika menonton berita di televise tentang
banjir dan longsor pada beberapa daerah di Indonesia. Saat itu saya menjelaskan,
bahwa Dusun Maonai bisa terjadi banjir dan longsor bila masih ada akitivitas
penebangan kayu secara besar-besaran.

Dalam kesehariannya, mayoritas aktivitas warga Dusun Maonai berladang merawat


cengkeh, keladi, pisang, kakao, nilam, kelapa, dan menyelam ke laut untuk menangkap
lobster. Setiap hari Sabtu, warga Dusun Maonai mengambil kelapa untuk dijadikan
kopra dan dijual. Rata-rata panen kopra untuk setiap Sabtu sebanyak 30 kg.
Karena itulah, setiap Sabtu warga Dusun Maonai selalu memiliki penghasilan pasti.
Seluruh komoditas pertanian tersebut berjalan berdasarkan musim panen. Pisang dan
keladi merupakan komoditas pertanian yang sudah melekat bagi warga Dusun Maonai
secara turun-temurun. Karenanya pisang dan keladi sering menjadi makanan pokok
alternatif bagi warga Dusun Maonai, ketika kondisi harga sembako tidak terjangkau.

3.5.3. Pagai Utara


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

36

Kejadian gempa besar di Pulau Pagai tahun 1833 memicu terjadinya pergerakan
tanah yang membelah Pulau Pagai terbagi menjadi dua bagian. Dampak dari
peristiwa tersebut, terciptalah selat yang menghubungi Pantai Timur dengan Pantai
Barat Kepulauan Pagai. Dampak lainnya, masyarakat mengalami perubahan cara
pikir untuk menentukan lokasi perkampungan baru, yang sebelumnya berada dekat
dengan pantai, kemudian beralih ke pedalaman perkampungan. Peristiwa bersejarah
ini diceritakan secara turun-temurun oleh almarhum orang tua Joni Siritoitet, Kepala
Desa Betumonga, untuk diteruskan kepada seluruh keluarganya.26

Secara administratif, Desa Betumonga berada di wilayah Kecamatan Pagai Utara.


Empat dusun berada di tepi pantai, yaitu Dusun Baru-baru, Muntei, Sabeugunggung,
dan Betumonga Selatan. Sementara dua dusun lainnya berada sekitar dua hingga tiga
kilometer dari bibir pantai, yaitu Dusun Betumonga Barat dan Dusun Betumonga Timur.
Lokasi Dusun Sabeugunggung berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Lama
26 Wawancara dengan Joni Siritoitet, Kepala Desa Betumonga.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

perjalanan laut dari pusat kecamatan membutuhkan waktu lebih kurang dua jam.
Sarana transportasi laut yang biasa digunakan adalah kapal, perahu dengan penggerak
mesin tempel (longboat), atau perahu dengan penggerak mesin genset (pompong).

Dusun ini merupakan pengembangan dari dusun yang berada di pusat Desa
Betumonga, berada di pinggiran pantai, di sebelah Selatan perkampungan terpisahkan
oleh aliran sungai dan di bagian Timur terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


(Mangrove). Mangrove salah satu yang menjadi kendala utama pada saat masyarakat
melakukan evakuasi bencana tsunami menuju perbukitan.

Tidak jauh beda dengan Pulau Sipora, masyarakat Dusun Sabeugunggung mengenal
gempa dengan sebutan Teteu, sedangkan tsunami disebut Ojuk Sabeu. Karena lokasi
dusun terpisah dengan pusat desa akibat keterbatasan sarana komunikasi yang ada,
warga pun belum mendapatkan pemahaman pengurangan risiko bencana dari
beberapa lembaga kemanusiaan. Pada tahun 2008, SurfAid International dengan
Program Siaga Bencana, melakukan pelatihan Satlinmas (Tim Penanggulangan
Bencana Dusun) yang direncanakan di Dusun Sabeugunggung. Karena lokasi dusun
yang terpisah serta keterbatasan sarana komunikasi, kegiatan tersebut pun gagal
dilaksanakan, sehingga rencana pelatihan dilakukan ke dusun lain.

Dalam hal ini, Kepala Dusun Sabeugunggung memiliki andil dalam memberikan
kesiapan dalam pengurangan resiko bencana. Melalui kerja sama dengan pengurus
gereja, selesai ibadah akan ada penyampaian informasi, sosialisasi, dan diskusi antara 37
masyarakat dengan stakeholder dusun. Dalam diskusi tersebut, selalu mengapung
rencana gotong-royong, pembersihan dan pembukaan badan jalan, pengajuan
rencana pembangunan jalan evakuasi, paket pembangunan yang didanai oleh
Pemerintah Kabupaten melalui Program P2D Mandiri, dan itu telah terlaksana
pascagempa 2007. Jarak yang cukup jauh untuk mencapai bukit, ditambah bentangan
rawa-rawa yang menghalangi menuju perbukitan menjadi kendala utama sehingga
jalur evakuasi belum selesai sampai kejadian tsunami tahun 2010.27

Pengurus Gereja GKPM, atau biasa disebut Paneinei, Bajak Gereja, ikut berperan dalam
menciptakan suasana nyaman di dalam lapisan masyarakat, tidak terkecuali kesiapan
masyarakat di dalam pengurangan resiko bencana. Ketika ada masalah antara sesama
masyarakat, bersama kepala dusun, pengurus gereja mencarikan jalan keluar dari
permasalahan. Prinsip keadilan dan netralitas dalam menyelesaikan masalah menjadi
hal pokok untuk mencegah munculnya konflik dari pihak-pihak yang dirugikan terkait
dengan keputusan bersama.

Ketika masyarakat memiliki kendala keuangan dalam kondisi sakit berat dan memiliki
keyakinan harus berobat ke pusat kecamatan ataupun ke pusat kabupaten, keluarga
akan mengupayakan mencari pinjaman kepada para keluarga atau kas gereja
27 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.
yang dikelolah pengurus. Jika yang sakit sembuh dari pengobatan tersebut, maka
pinjaman yang diperoleh dari gereja akan dicicil untuk pengembaliannnya. Namun
jika yang sakit tidak bisa diselamatkan, gereja tidak akan menuntut keluarga untuk
mengembalikan uang yang dipinjam. Hal ini sudah menjadi aturan dan disepakati
bersama antar masyarakat, kepala dusun, dan pengurus gereja..

Satu hari sebelum gempa dan tsunami, muncul tanda-tanda yang tidak disadari
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

oleh masyarakat sebagai peringatan dini. Di pagi harinya muncul rusa di jembatan.
Kehadiran rusa di perkampungan merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Ketika
masyarakat mendekatinya, rusa tersebut lari ke arah hutan. Di sore hari saat warga
bermain bola voli, tiba-tiba muncul ular sawa (piton) dari arah hutan dan mendekati
lokasi tempat bermain warga. Ular tersebut diusir oleh warga yang sedang bermain,
dan kembali ke hutan. Kehadiran ular di siang hari atau kala ramai masyarakat sangat
jarang terjadi. Menurut pemahaman masyarakat tentang ular, ketika masyarakat pergi
ke hutan dan mendengar suara manusia, ular akan menjauhkan diri dari manusia.
Ular piton akan sangat galak saat sedang bersama kumpulan anak-anaknya ataupun
melindungi telurnya di dalam sarang.28

Perekonomian masyarakat Dusun Sabeugunggung hanya bergantung pada alam.


Kekayaan sumber daya alam yang berada di laut perlu dijaga dan disyukuri sebagai
salah satu anugerah yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat yang berada
di daerah tersebut. Komoditi laut seperti ikan, lobster, teripang, yang memiliki nilai jual
38 ekonomi tinggi, sangat mudah didapat melalui penyelam-penyelam tradisional pada
saat musim timur (gelombang tenang).

Mata rantai perdagangan yang sudah terbentuk, sistem dan keamananan transaksi
antara nelayan tradisional dengan pengumpul di dusun, serta pengumpul yang
berada di pusat kecamatan, tidak semata-mata berorientasi dagang. Beberapa nilai
positif cerminan kebudayaan Mentawai muncul di balik hubungan tersebut. Saat
terjadi penurunan harga penjualan barang secara mendadak, pengumpul barang di
kecamatan sering kali memberikan keamanan harga kepada pengumpul di dusun
untuk meminimalisir terjadinya kerugian. Situasi seperti ini menjadi tanggung jawab
pengumpul yang berada di kecamatan untuk membuka komunikasi dan keamanan
transaksi ke level yang lebih tinggi.

Hal lain ketika masyarakat membutuhkan bantuan dana melalui proposal, seperti
pembuatan sarana olahraga (lapangan voli, tenis meja, dll). Pengumpul yang berada
di pusat kecamatan akan memberikan uluran tangan untuk ikut berkonstribusi kepada
masyarakat dusun. Ketika terjadi kejadian luar biasa yang tidak mampu ditangani
oleh masyarakat dusun, pengumpul hasil dagangan yang berada di kecamatan akan
turun tangan memberikan keringanan kepada masyarakat dusun. Ini merupakan
28 Wawancara dengan Asael, mantan Bajak Gereja dan pengurus gereja GKPM, Jursam, tokoh
masyarakat Dusun Sabeugunggung.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

perwujudan semangat tolong-menolong (parob) yang sudah ada sejak dulu di


Mentawai.29

Perbukitan dan dataran yang ada di sekitar permukiman masyarakat dimanfaatkan


dengan bertani kopi, coklat (kakao), kelapa, pisang, dan talas. Sebagian untuk
dikonsumsi keluarga serta dijual kepada pengumpul di dusun dan kecamatan.
Keberadaan pisang, talas, dan kelapa di dalam dusun, merupakan kapasitas dasar

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


masyarakat dari sisi ketersedian sumber makanan yang menjadikan warga memiliki
kemandirian dan mampu bertahan ketika terjadi bencana.

Kesehatan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat dusun
Sabeugunggung, beberapa aktivitas kesehari-harian hanya bisa dilakukan masyarakat
dalam keadaan sehat. Sebagian besar masyarakat mempercayai Siagai Laggek,
sebagai tujuan untuk melakukan pengobatan atas penyakit yang diderita. Tenaga
medis yang tidak selalu berada di dusun, dan tingginya keyakinan masyarakat untuk
berobat kepada Siagai Laggek, menjadikannya sebagai elemen penting yang mampu
memberikan solusi terhadap permasalahan kesehatan. Salah satu masyarakat yang
memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan tersebut adalah Ismail.

Garis keturunan Ismail tidak memiliki latar belakang Siagai Laggek (orang yang
memiliki pengetahuan/kemampuan tentang pengobatan tradisional Mentawai).
Tapi berawal dari penyakit demam yang dialami Ismail dan tidak sembuh meski
telah berobat pada beberapa dukun. Perasaan bosan dan jenuh mulai menghampiri. 39
Sampai suatu hari Ismail mendapatkan bisikan/kunjungan roh orang tuanya, dan
mengatakan bahwa sakit yang diderita disebabkan oleh rasa tidak suka seseorang
kepadanya. Maka harus meminta dukun lain untuk memberi penyakit kepada Ismail
(santet). Saat itu ia diminta untuk mencari beberapa daun-daunan yang akan diracik
dan digunakan sebagai obat.

Daun-daunan tersebut diolah sesuai dengan pesan yang Ismail peroleh dari bisikan
mimpi itu. Alhasil Ismail sembuh setelah memakai obat yang racikannya. Masyarakat
pun mendengar kabar soal Ismail dan penyakitnya. Dan mereka mulai membahasnya.
Isu kesembuhan Ismail tanpa melalui pengobatan sebagaimana layaknya masyarakat
lain, dengan menggunakan Siagai Laggek, menjadi cerita hangat di dalam
lingkungan kampung yang hanya dihuni lebih kurang 200 jiwa. Pelan tapi pasti. Isu ini
mulai didengar dusun tetangga dan di antara masyarakat mulai berdatangan untuk
meminta pengobatan. Keadaan tersebut berjalan sampai saat ini.

Pengetahuan Siagai Laggek

Pengetahuan pengobatan tradisional Mentawai, memiliki perbedaan antara satu daerah


dengan daerah lain. Di Pulau Siberut, seorang dukun lebih dikenal dengan sebutan Sikerei.
29 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.
Sementara untuk klasifikasi Sikerei di Pulau Pagai (Sikakap), tingkatannya berada di atas
Siagai Laggek. Sikerei memiliki kemampuan mengenal jenis penyakit seseorang pada
saat pertemuan sebelum melakukan diagnosa. Sementara Siagai Laggek mengetahui
penyakit seseorang melalui diagnosa. Untuk mendapatkan tingkatan Siagai Laggek, ada
beberapa kriteria yang harus ada dalam diri calon Siagai Laggek, di antaranya:

1. Memiliki kemauan, minat tentang pengobatan tradisional, indikasi ini akan terlihat
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

ketika calon Siagai Laggek, sering melihat, memperhatikan, dan bertanya tentang
penyakit dan obat-obatan yang digunakan, biasanya akan terlihat pada saat ada
pasien yang berobat kepada Siagai Laggek.

2. Memiliki semangat dan kemauan membantu, tidak terbatas waktu.

3. Memiliki jiwa keikhlasan tanpa mengharapkan pamrih atas pengobatan yang


dilakukan.

4. Orang pilihan, ditunjuk oleh roh leluhur. Seseorang yang berlatar belakang
dari keluarga Siagai Laggek tidak ada keharusan akan menjadi Siagai Laggek.
Biasanya, jika calon Siagai Laggek memiliki beberapa sifat yang di atas, akan
sangat berpotensi calon tersebut akan mendapatkan penunjukkan dari leluhur
untuk menjadi Siagai Laggek.

40 Secara umum pengobatan di lingkungan masyarakat memiliki beberapa tingkatan,


ruang lingkup yang terbatas memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengetahui
jenis obat untuk beberapa penyakit yang biasa terjadi di masyarakat.

Tabel 6. Klasifikasi Ahli Pengobatan Masyarakat Mentawai

No Juru Obat Jenis Penyakit Keterangan

1 Masyarakat / Penyakit ringan Luka ringan.


Dasar seperti luka

2 Siagai Laggek Penyakit berat Demam yang lama, dipatok ular berbisa, terkilir,
mengusir roh jahat.
Mengusir roh jahat, berkomunikasi dengan roh
3 Sikerei Penyakit berat leluhur, mampu mendeteksi penyakit pasien
sebelum dilakukan diagnosa.

Ekonomi Keluarga Siagai Laggek

Sebuah misteri tentang ketahanan ekonomi Siagai Laggek sampai saat ini menjadi
sebuah tanda tanya besar yang tidak bisa dipecahkan secara logika. Nilai-nilai
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

ketangguhan terkait pengobatan sangat jelas terlihat, budaya Rob Parop (tolong-
menolong) merupakan warisan dari nenek moyang yang telah terjalin dari dahulu
kala sampai sekarang. Tidak bergantung situasi dan kondisi, apakah di masa sebelum,
saat atau setelah bencana, kontribusi Siagai Laggek dalam memainkan peranan
di masyarakat sangat tinggi. Banyaknya orang yang berobat, membuktikan bahwa
Siagai Laggek memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah (penyakit) masyarakat.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Durasi waktu pengobatan sangat bervariasi tergantung berat ringannya jenis
penyakit, ada kalanya satu hari, se minggu, atau menghabiskan waktu selama 10 hari.
Dalam masa pengawasan tersebut Siagai Laggek tidak pernah memasang tarif atau
mewajibkan pasien untuk memberikan kompensasi dalam bentuk uang maupun
barang. Sebuah pantangan dalam pengobatan jika hal ini dilanggar.

Bagi pasien yang memiliki kemampuan finansial, pasien secara sukarela akan
membantu Siagai Laggek dengan memberikan bantuan materi maupun barang
dalam bentuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini tidak ada ukuran pasti, karena dilakukan
semata-mata memaknai budaya Rob Parob yang sudah terjalin dari dahulu kala.

Tata Cara Pengobatan Tradisional

Sebelum mengobati, Siagai Laggek melakukan


diagnosis kepada pasien. Cara yang lazim
digunakan adalah dengan interaksi komunikasi 41
antara penderita dengan Siagai Laggek.

Diagnosa

1. Penyakit biasa (sakit kepala, gigi, dan


demam), jenis penyakit yang biasa
dialami masyarakat dan mampu diobati RAMUAN. Seorang Sikerei membawa ramuan
obat-obatan. (Foto: Istimewa)
dalam waktu singkat.

2. Penyakit yang disebabkan kekuatan


alam lain. Biasanya memiliki jenis yang
sama dengan penyakit biasa, tetapi tidak
kunjung sembuh ketika menggunakan
metode pengobatan jenis penyakit
biasa. Contoh penyakit kepala seperti
ditusuk-tusuk jarum, pasien akan menilai
bahwa dia sakit kepala, tetapi seorang
Siagai Laggek akan mengenali jenis
PENGOBATAN. Seorang Sikerei mengobati
penyakit tersebut bukan sakit kepala pasiennya secara tradisional. (Foto: Istimewa)
biasa, sehingga metode pengobatan yang dilakukan menggunakan metode
pengobatan penyakit supranatural.

Mencari dan Meracik Obat

Bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan pengobatan tradisional Mentawai,


berada di sekitar perkampungan masyarakat. Sering kali masyarakat tidak menyadari
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

rumput liar dan tumbuh-tumbuhan liar yang berada di sekitar rumah memiliki khasiat
dari beberapa jenis penyakit. Selain Siagai Laggek, ada beberapa orang yang memiliki
pengetahuan tentang fungsi dari beberapa tumbuhan yang ada. Ini disebabkan ada
minat dan kemauan untuk mengetahui tentang pengobatan, tetapi belum memiliki
kemampuan dan mengetahui tentang doa-doa (mantra) yang dipergunakan pada
jenis penyakit tertentu. Untuk jenis ramuan daun, batang, dan akar yang biasa
digunakan pada beberapa penyakit yang sering terjadi pada tiga musim kebencanaan.

Pengawasan Pasien/Reaksi Obat

Penggunaan obat yang dilakukan Siagai Laggek/Sikerei kepada pasien, memberikan


tanggung jawab dan pengawasan ekstra dari Siagai Laggek kepada pasien. Sebuah
pantangan bagi Siagai Laggek selesai melakukan pengobatan, kemudian melakukan
aktivitas kerja di ladang ataupun ke laut. Makna yang terkandung di balik keadaan ini
adalah:
42

1. Pengawasan dari Siagai Laggek terhadap reaksi obat yang diberikan kepada pasien.

2. Rasa tanggung jawab dari Siagai Laggek kepada pasien (Parob).

3. Memberi rasa tenang kepada pasien.

Tabel 7. Jenis Daun Obat

No Jenis Bahasa Lokal No Jenis Bahasa Lokal

1 Daun Ailepet (Hijau) 12 Daun Goro-gori

2 Daun Ailepet (Merah) 13 Daun Kakaddut

34 Daun Ailepet simabo 14 Daun Karakak

Daun Baggak Daun Kelakkelak leleu


5 15
6 Daun Baiko 16 Daun Kelakkelaks Sabeu
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

7 Daun Bakkou enung 17 Daun Kiniu sailuk

8 Daun Boblo Merah 18 Daun Lakbek

9 Daun Boblo 19 Daun Lape-lape

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


10 Daun Ebbep (2) 20 Daun Leppe-leppe

11 Daun Ettet 21 Daun Manggeak

22 Daun Mumunen 32 Daun Ramun

23 Daun Oroket (Batang warna Merah) 33 Daun Saerasaera

24 Daun Oroket (Batang warna putih) 34 Daun Sek-Sek Koat

25 Daun Osap 35 Daun Sibekak

26 Daun Paka lajo 36 Daun Sibukak

27 Daun Paka sele 37 Daun Sikukuet buat kaju 43

28 Daun Pakasele Simabulau 38 Daun Sikukuet

29 Daun Pangantoili 39 Daun Siloipai sabeu

30 Daun Pekpek bagbag 40 Daun Silokpak

31 Daun Potcala 41 Daun Soisoi

42 Daun Puppu 51 Daun Sugguru-sugguru

43 Daun Surak Gorotet 52 Bunga Baglibagli

44 Daun Surak Leilei Gogok 53 Bunga Bekeu

45 Daun Surak 54 Bunga Kakainaok

46 Daun Tikuk 55 Bunga Patuleuleugat


47 Daun Toptopmamaik 56 Bunga sikukuet

48 Daun Tuik 57 Daun Uman Sagaik

49 Daun Tumu 58 Daun Ubbau


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

50 Daun Turu Ketcat.

Foto-foto: Adi Hamdani.

Di daerah Siberut, pemberian obat untuk penyakit berat, yang biasa dilakukan Sikerei
juga membutuhkan tambahan pengobatan dengan memakai ritual, seperti tari-
tarian adat, pemotongan babi, ayam, dan ditutup dengan makan bersama. Hal ini
akan menghabiskan waktu lebih kurang dua hari dua malam. Suasana seperti ini
merupakan hal yang biasa ditemukan, khususnya di pedalaman Pulau Siberut.

Atribut budaya yang dipakai oleh Sikerei seperti kalung, gelang, lonceng kecil, serta
tato yang menghiasi tubuh mencerminkan keaslian budaya Mentawai. Seluruh
proses pengobatan semata-mata memaknai semangat Parob yang sudah tertanam
sejak dulu di Mentawai. Tidak ada pembayaran secara tunai yang dilakukan seperti
di daerah lain, serta sangat langka ditemukan seorang Sikerei dan Siagai Laggek
44 memiliki kekayaan lebih hasil dari pengobatan yang dilakukan.

Dukun Beranak

Dukun beranak merupakan tenaga


profesional masyarakat yang memiliki
kemampuan serta pengetahuan
tentang cara melakukan persalinan.
Latar belakang kemampuan itu
sangat beragam. Ada yang berawal
dari keberanian karena sudah
sering melihat darah, juga ada
yang mendapatkan pengkaderan
dari dukun beranak senior ataupun
binaan bidan desa.

Dalam melaksanakan fungsinya,


dukun beranak dibantu oleh
kader kesehatan masyarakat. MEMANDIKAN BAYI. Seorang dukun beranak di
pedalaman memandikan bayi seorang warga.
Secara terorganisir di Dusun (Foto: Istimewa)
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Sabeugunggung terdapat lima kader kesehatan, tiga orang berlatar belakang


pengetahuan tentang persalinan, terdiri dari satu orang dukun beranak senior dan
dua orang asisten dukun beranak. Sementara dua orang lainnya berlatar belakang
masyarakat biasa yang memiliki kemauan untuk membantu proses persalinan secara
sukarela.

Di era kemajuan ini, dukun beranak mendapatkan kepercayaan lebih dari masyarakat

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


untuk mendampingi persalinan. Beberapa hal yang mendukung hal tersebut, tingginya
tingkat keselamatan ibu dan bayi saat persalinan. Terdapat kedekatan emosional
antara calon ibu dan dukun beranak yang didukung oleh kecilnya perkampungan,
sehingga proses interaksi masyarakat terbatas dan terjalin kuat. Komunikasi antara
dukun beranak dengan tenaga medis kesehatan berjalan baik.

Ketika tenaga medis tidak berada di kampung karena sedang perjalanan dinas dan
terjadi proses persalinan yang ditangani oleh dukun beranak, kader kesehatan akan
memberikan laporan ketika bidan atau perawat kembali ke lokasi Dusun Dampingan.
Beberapa hal yang berkaitan dengan penyakit, pengobatan dan kerja sama antara
Siagai Laggek/Sikerei dengan dukun beranak, kami tampilkan di dalam bentuk
lampiran terpisah.

3.5.4. Siberut

Gempa dan tsunami tahun 2004 45

yang melanda Aceh belum menjadi


persiapan khusus bagi masyarakat di
Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan
Mentawai, walaupun informasi sudah
mereka terima. Masyarakat Siberut
hanya sebatas merespons informasi
tanpa adanya persiapan khusus untuk
melakukan mitigasi terhadap ancaman
gempa dan tsunami.

Tahun 2005, gempa kembali


mengguncang dan meratakan Pulau
Nias. Guncangan itu juga dirasakan
masyarakat Siberut. Spontan, masyarakat
pun keluar dan berhamburan mencari
tempat tinggi sebagai respons
dari ancaman tsunami. Namun
guncangan gempa tahun 2005 itu tidak
mendatangkan tsunami di Siberut. Meski
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

PENGUNGSIAN. Pondok pengungsian di Desa SIMULASI. Puluhan siswa SD mengungsi di pondok


Muara Siberut, Kec. Siberut Selatan. pengungsian yang ada di Desa Sikabaluan,
(Foto: Tim Dokumentasi) Kecamatan Siberut Utara pada simulasi evakuasi
tsunami. (Foto: BPBD Mentawai)

demikian, masyarakat Siberut cukup terlatih dan terbiasa untuk melakukan evakuasi ke
berbagai bukit yang ada di sekitar permukiman ketika merasakan guncangan gempa.

Tahun 2007, kembali gempa berguncang dahsyat. Ratusan rumah rusak, begitu juga
beberapa fasilitas umum, seperti sekolah, perkantoran pemerintahan, rumah ibadah,
dan jembatan. Meski tidak mendatangkan tsunami, lebih dari seminggu warga
mengungsi di atas perbukitan sambil membuat tenda secara mandiri. Sekitar hampir
sebulan, warga tidur di atas bukit, kemudian menjelang pagi, warga kembali ke rumah
46 yang berada di kawasan pantai.

Guncangan gempa 2007 ternyata mampu membuat warga Siberut mulai berpikir
untuk meningkatkan mitigasi dari ancaman tsunami. Pertengahan 2008, warga
Siberut umumnya membuat pondok di atas bukit sebagai bentuk antisipasi untuk
mengungsi dari ancaman tsunami.

Pondok yang terbuat dari kayu dan sebagian beratap rumbia serta seng itu tersusun
rapi di atas perbukitan. Warga juga mengisi pondok pengungsian dengan berbagai
perlengkapan dapur dan tidur. Sehingga ketika tsunami datang, mereka sudah tidak
bingung untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya selama masa tanggap darurat.
Di samping itu, warga pun dapat tidur dengan nyenyak, karena perlengkapan tidur
juga tersedia di dalam pondok pengungsian.

Pondok pengungsian itu juga dilengkapi dengan WC dan sarana air bersih, serta
penerangan dari mesin genset. Fasilitas pendukung tersebut dipersiapkan ketika
masyarakat mengungsi akibat diguncang gempa.

Untuk mendukung proses evakuasi, warga Siberut, dibantu dengan beberapa NGO,
membuat jalur evakuasi menuju bukit. Sebagian jalur evakuasi itu masih terawat,
bahkan dilakukan pembangunan secara permanen (cor rabat beton) oleh pemerintah.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Sampai saat ini, warga Siberut cukup sadar terhadap ancaman tsunami yang datang
kapan saja, tanpa bisa diprediksikan.

Selain melakukan inisiatif membuat pondok pengungsian, warga sendiri sadar dengan
ancaman karena sebagian anggota keluarga menjadi korban tsunami pada tahun
2010. Kesadaran itu terbangun karena mereka tidak ingin lupa terhadap kesiapsiagaan
dari ancaman gempa dan tsunami. Masyarakat Siberut pun sangat terbuka dengan

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


para pendatang di Siberut. Keterbukaan tersebut memudahkan masyarakat untuk
terus menggali dan mendapatkan informasi terkait ancaman bencana alam.

Meski sudah banyak informasi dan isu berkembang tentang ancaman tsunami
setelah 2010, masyarakat Siberut tidak terprovokasi secara berlebihan. Mereka justru
meningkatkan kesiapsiagaan. Informasi yang mereka terima umumnya menjadi modal
pemahaman dan kesadaran dalam menghadapi ancaman bencana gempa serta tsunami.

Untuk menjaga ketahanan pangan di pondok pengungsian, warga bersiap dengan


menanam ubi dan pisang. Tanaman ubi dan pisang di ladang tersebut merupakan
karakter tanaman khas Mentawai sejak zaman dulu. Meski ada tanaman sagu dan
keladi, keduanya kerap tidak berfungsi ketika terjadi tsunami. Sebab sagu dan keladi
tumbuh di tanah rawa-rawa, sehingga kerap terkena dampak kala banjir, badai, dan
tsunami menghantam.

Sejauh ini, pengobatan tradisional yang dilakukan oleh seorang Sikerei (dukun 47
kampung) masih menjadi salah satu alternatif untuk menjaga kesehatan warga
Siberut. Berbagai ramuan dari daun-daun di hutan Siberut kerap menjadi obat
pelbagai penyakit. Sikerei merupakan salah satu modal bagi warga Mentawai untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, ketika pemerintah secara medis lambat untuk
memberikan pelayanan.

Untuk melakukan proses evakuasi secara terorganisir, setiap dusun di Pulau Siberut
umumnya sudah memiliki Kelompok Siaga Bencana (KSB). Bahkan untuk tingkat
kecamatan, juga sudah terbentuk Satgas Penanggulangan Bencana. Kedua organisasi
kebencanaan tingkat dusun, desa, dan kecamatan tersebut, selalu berkoordinasi aktif
dalam menyikapi berbagai ancaman bencana. Untuk mendukung koordinasi dan
komunikasi, juga tersedia jaringan telekomunikasi dan radio komunikasi, yang sangat
membantu organisasi kebencanaan setempat dalam merespon semua informasi
terkait ancaman bencana.

Perlengkapan proses evakuasi, seperti sirene dari megaphone, maupun tudukat


(kentongan), menjadi salah satu peringatan dini bagi warga Siberut untuk membaca
tanda-tanda ancaman gempa dan tsunami. Suara tersebut selalu dibunyikan ketika
terjadi gempa yang dianggap berpotensi tsunami. Meski kedua alat peringatan dini
secara modern menjadi acuan dalam melakukan
proses evakuasi terhadap ancaman bencana,
sebagian masyarakat Siberut cenderung masih
membaca bencana melalui tanda-tanda alam
sebelum suatu peristiwa berlangsung.

Salah satu kearifan lokal masyarakat Siberut


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

membaca tanda-tanda alam adalah dengan


mendengarkan suara Sibilou, (Hylobates klossii),
kera kecil endemik Mentawai. Kera tersebut
selalu menjadi acuan untuk mendeteksi bakal
adanya ancaman bencana.

Sejak awal secara turun-temurun, ketika


Sibilou berteriak, masyarakat yang mempunyai
profesi berburu akan menghentikan bahkan
membatalkan perburuannya. Sebab mereka
yakin akan ada bencana ketika mendengar suara
sibilou. Begitu juga dengan para petani, ketika
mendengar teriakan Sibilou bersahutan, mereka
membatalkan rencana pergi ke ladang. Sebab
suaranya memberi peringatan akan adanya
48 ancaman bencana. Sampai saat ini, warga tidak PENDETEKSI. Primata Endemik Mentawai,
Sibilou (Hylobates klossii), suaranya dijadikan
pernah memburu Sibilou, karena memberikan pendeteksi dini ancaman bencana.
arti penting dalam kehidupan yang damai serta (Foto: Iswanto)
ancaman bencana.

3.6. Praktik Tangguh saat Bencana

3.6.1. Sipora Selatan

Guncangan gempa dahsyat tahun 2007 membuat masyarakat Dusun Katiet dan
Gobik panik. Puluhan rumah kedua dusun tersebut hancur, sedangkan warga sendiri
hampir seminggu mengungsi di beberapa bukit, bahkan sebagian berdiam di ladang
masing-masing. Warga Dusun Katiet dan Gobin memang selalu membuat pondok di
ladang untuk tempat istirahat kerja dan tempat menyimpan beberapa hasil pertanian.
Namun dalam melakukan evakuasi, mereka belum terarah secara bersama menuju
perbukitan karena belum ada penetapan tempat evakuasi.

Berbeda pada guncangan gempa 25 Oktober 2010, sebagian warga kedua dusun
itu tidak merasakan getarannya. Mereka pun bersikap santai. Namun seorang warga
Dusun Gobik, Alpaus Samongilalai melihat informasi di televisi tentang peringatan
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


USAI WAWANCARA: Tim Peneliti foto bersama Kepala Desa Bosua setelah perkenalan dan wawancara
di rumahnya, Dusun Katiet, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. (Foto: Yani)

gempa berpusat di Mentawai dan berpotensi tsunami. Peringatan pertama di televisi


itu belum juga mempengaruhi Alpaus Samongilalai untuk melakukan evakuasi.

Ketika berita televisi kembali menampilkan informasi potensi tsunami, Alpaus


Samongilalai mulai meyakini kebenaran informasi bila akan ada tsunami setelah 49

guncangan gempa yang hampir tidak dirasakan getarannya oleh sebagian warga
Dusun Gobik.30

Untuk memastikan ancaman tsunami itu, Alpaus membawa lampu ke tepi laut.
Tujuannya guna memastikan pasang surut air. Ia terkejut ketika mendengar suara
gemuruh bagaikan pesawat datang. Di tepi pantai, Alpaus pun mencium bau busuk
air laut yang menyengat.

Dia meyakini suara gemuruh itu adalah gelombang tsunami yang datang. Tanpa
berpikir panjang, Alpus Samongilalai membangunkan istri dan anaknya sambil
berteriak memberitahukan warga yang lain. Mereka lalu berlari menuju perbukitan.
Sampai di sekitar perbukitan, terlihat air laut berwarna kemerah-merahan menyapu
perkampungan Dusun Gobik.

Warga Dusun Gobik sendiri tidak yakin kalau tsunami datang. Sebab berdasarkan ilmu yang
mereka terima dari NGO Surfaid dalam pelatihan pengurangan risiko bencana, gempa
yang menyebabkan tsunami itu ketika tidak mampu membuat orang berdiri dengan
sempurna. Namun berbeda pada gempa tahun 2010 itu, justru getarannya tidak terasa.

30 Wawancara dengan Alpaus, tokoh masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan.
Warga Gobik merasa kecolongan terhadap guncangan gempa yang hampir tidak dirasakan.
Mereka mengakui bila guncangan gempa itu pelan dan berayun dan agak lama. Jika
warga mengetahui guncangan gempa yang tidak terasa bisa menyebabkan tsunami, pasti
akan lebih cepat melakukan evakuasi dengan waktu yang relatif singkat. Meski dianggap
terlambat untuk melakukan evakuasi, warga Dusun Gobik Baru berhasil menyelamatkan
diri tanpa ada korban jiwa. Hanya warga Dusun Gobik lama yang ada korban jiwa.31
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Begitu halnya dengan warga Dusun Katiet, sebagian besar tidak merasakan
guncangan gempa. Warga hanya berteriak memberitahu adanya tsunami datang.
Tapi gelombang tsunami di Dusun Katiet tidak sedahsyat pada Dusun Gobik. Hanya
beberapa rumah saja yang rusak karena tsunami, sedangkan semua warga selamat.
Penduduk yang melihat tsunami pada malam itu, awalnya juga mendengar suara
gemuruh yang kuat. Suara itu sangat berbeda dengan suara ombak dalam setiap
harinya. Dengan keanehan suara gemuruh yang kuat itu, warga pun meyakini bahwa
yang datang adalah tsunami.32

Dusun Katiet dan Gobik, sama-sama sudah membentuk Tim Penanggulangan


Bencana (PB) yang dibentuk oleh NGO Surfaid. Dalam praktiknya, Tim PB tersebut
mampu menjalankan standar prosedur operasional (SOP). Sebab pada prinsipnya,
Tim PB menjalankan fungsi ketika terjadi bencana alam, bahkan selalu memberikan
informasi terkait ancaman bencana secara dini.

50 Ketika terjadi gempa, warga sendiri langsung ke pantai untuk memastikan


kemungkinan tsunami. Ketika melihat pasang-surut air laut (potensi tsunami), Tim PB
membunyikan sirine dari megaphone dan kentongan sebagai tanda bahaya bencana,
khususnya gempa dan tsunami. Suara sirine dari megaphone dan kentongan itu pada
umumnya juga sudah dipahami oleh warga, sehingga mampu melakukan evakuasi
dengan cepat. Dengan membunyikan suara sirine dan kentongan, Tim PB sendiri juga
mengarahkan warga untuk melakukan evakuasi ke bukit yang sudah disepakati. Di
atas bukit sudah tersedia Sapau (pondok) pengungsian milik warga.33

Dua jam setelah tsunami menghantam perkampungan Dusun Gobik, warga


langsung turun dari bukit untuk melakukan evakuasi penyelamatan terhadap korban
yang diduga masih hidup. Meski masih dalam ancaman tsunami, warga terus nekad
mencari korban di semak-semak bekas terjangan tsunami.

Dalam beberapa jam, mereka menemukan satu korban yang masih hidup dengan luka
di bagian perutnya yang cukup parah. Warga berencana membawanya ke atas bukit
dengan menggunakan daun pintu dari rumah yang sudah hancur. Saat melakukan
31 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan.
32 Wawancara dengan Kepala Dusun Katiet, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan.
33 Wawancara dengan Risel Samaloisa, Ketua PB Dusun Katiet, Ferianto Gulo, Kepala Dusun Mongan
Bosua, Markelis, Kepala Dusun Tattanen, Eden, Kaur Desa Bulasat.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


DISKUSI. Salah seorang tim peneliti berdiskusi dengan masyarakat di Dusun Gobik untuk mendapatkan
data akurat. (Foto: Yani).

evakuasi korban yang masih selamat, warga berhadapan dengan masalah jalan yang
masih terendam genangan air tsunami. Kembali nekad, mereka membawa korban 51
melalui jalur tepi pantai dengan kondisi masih khawatir adanya tsunami susulan.34

Menjelang pagi, warga turun dari bukit pengungsian untuk mencari makanan dan
minuman guna menyelamatkan korban luka. Mujurnya, warga memiliki uang iuran
gereja yang biasa dipergunakan untuk punen atau acara keagamaan. Berdasarkan
hasil musyawarah, uang iuran tersebut disepakati untuk membeli beras dan makanan
lain di Pasar Sioban.35

Agar mempercepat proses evakuasi korban setelah tsunami, warga Dusun Katiet turut
memberikan bantuan dalam pencarian korban yang belum ditemukan. Sebab di
Dusun Katiet sendiri, tsunami tidak sedahsyat di Dusun Gobik. Bahkan, masih banyak
rumah warga Dusun Katiet yang masih layak huni. Tapi karena masih ketakutan, warga
Dusun Katiet turut mengungsi dan membuat tenda yang jaraknya lebih jauh dari
pantai.36 Selain itu, sebagian warga mengambil kelapa dan memberikannya kepada
para korban luka serta anak-anak yang kehausan, sedangkan lainnya mencari dan
mengumpulkan korban meninggal untuk dikuburkan.

34 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik.


35 Wawancara dengan Sarnida, warga Dusun Gobik.
36 Wawancara dengan Risel Samaloisa, Ketua PB Dusun Katiet.
Meski dalam kondisi sulit dan terhimpit, warga masih terus berpartisipasi aktif dalam
pemenuhan kebutuhan di saat terjadi bencana. Untuk tetap bertahan hidup di
bukit pengungsian, sambil menunggu bantuan dari berbagai pihak datang, warga
mencari sisa makanan dan pakaian di permukiman yang sudah hancur. Sementara
penduduk yang rumahnya tidak terbawa tsunami, menyumbangkan makanan dan
pakaian kepada warga lain di pengungsian. Ini terlihat dari sebuah warung di Dusun
Gobik yang sebagian makanannya masih bisa dimanfaatkan dan dibagi-bagikan bagi
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

korban lainnya.37

Selama di pengungsian, warga tidak boleh makan sendiri-sendiri. Semua korban yang
mengungsi diwajibkan makan bersama-sama di posko dan mendahulukan anak-anak
serta korban luka. Dalam hal ini, kaum perempuan berperan untuk mengambil pisang
dan keladi sebagai bahan makanan selama beberapa hari sambil menunggu bantuan
dari berbagai pihak. Di posko pengungsian, para anak gadis sebagai juru masak
di dapur umum, sedangkan kaum ibu pergi ke ladang mencari pisang, keladi, dan
kelapa. Kemudian seluruh laki-laki dewasa turun dan melakukan pencarian korban di
lokasi permukiman yang hancur.38

Dengan hasil olahan makanan dari keladi dan pisang tersebut, korban yang
terdiri dari anak-anak dan orang dewasa mampu bertahan selama empat hari di
pengungsian. Kebiasaan membuat kue jurut memang sering dilakukan oleh warga
dalam kesehariannya. Dalam prosesnya, keladi direbus kemudian ditumbuk bersama
52 pisang yang sudah matang. Setelah itu, dimasukkan ke dalam bambu untuk dibakar
(panggang), layaknya memanggang lemang yang terbuat dari beras pulut. Untuk
anak bayi sendiri, warga memberinya dengan toitet (kelapa muda).39

Tabel 8. Sumber Ekonomi Produktif Dusun Katiet


Sumber Ekonomi BULAN
Produktif Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Cengkeh  
Kelapa            
Pala  
Souvenir         
Ombak Surfing    
Sumber: Diskusi dengan masyarakat Dusun Gobik

Tabel 9. Aktivitas Harian Warga Dusun Katiet


Aktivitas
Pukul
Orang Tua Anak Muda
37 Wawancara dengan Alpaus Samongilalai, tokoh masyarakat Dusun Gobik.
38 Wawancara dengan Sarnida, masyarakat yang juga kader kesehatan Dusun Gobik.
39 Wawancara dengan Basaria dan Regina, masyarakat Dusun Gobik.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

06.00-08.00 Bangun dan Sarapan, Kerja Souvenir Bangun dan Sarapan, Kerja Souvenir
08.00-10.00 Ke Ladang Istirahat Sebentar/Jalan-jalan
10.00-12.00 Ke Ladang Surfing
12.00-14.00 Keladang Kerja Souvenir
14.00-16.00 Pulang dari Ladang Kerja Souvenir
16.00-18.00 Istirahat dengan keluarga Istirahat, Olahraga, sesuai hobi

Tangguh
18.00-20.00 Keluarga dan tetangga Istirahat bersama keluarga

Masyarakat Tangguh
20.00-22.00 Kerja Souvenir Kerja Souvenir
22.00-24.00 Kerja Souvenir Kerja Souvenir

Implementasi Masyarakat
24.00-01.00 Istirahat Istirahat
Sumber: Diskusi dengan Masyarakat Dusun Katiet. Jumlah Pengrajin Souvenir 35 Orang Laki-laki.

dan Implementasi
Malam itu, ada warga yang berteriak menyebut ular. Jadi
saya keluar membawa parang. Ketika saya tanya, lalu
warga menjawab ini ularnya sudah sampai rumah. Warga
itu menunjukkan senternya ke arah air laut yang sudah

Praktik dan
mulai masuk permukiman Dusun Katiet. Lalu sebagian

Praktik
warga berteriak ada tsunami. Mereka panik dan lari ke
belakang Dusun Katiet, menyusuri jalur evakuasi.

Pagi di hari pertama setelah tsunami, kami langsung 53


melakukan Rob Parob atau gotong-royong membersihkan
permukiman sambil mencari sisa makanan dan pakaian.
Setelah membersihkan perkampungan, kami membuat
Kades Bosua
tenda. Sementara beberapa warga mengungsi dalam
pondok pada lading masing-masing. Dalam keseharian, pondok milik warga itu
menjadi tempat beristirahat menjelang makan siang.

Di Dusun Katiet memang tidak ada korban jiwa, bahkan rumah yang rusak tidak
parah. Sebab tsunami itu sendiri tidak kuat datangnya. Sambil mendirikan tenda, ibu-
ibu mencari makanan di ladang. Ada yang membawa keladi, pisang, ubi, dan hasil
ladang lainnya. Mereka memasaknya untuk dimakan warga, beramai-ramai. Selama di
pengungsian, tidak ada yang boleh makan sendiri-sendiri, dan kami mengutamakan
anak-anak untuk makan terlebih dulu.

Ketika itu, kami dengar kabar bila Dusun Gobik hancur karena tsunami. Sebagian
warga Dusun Katei pun pergi ke Dusun Gobik untuk memberikan bantuan tenaga
dalam mencari korban jiwa. Sebab kami sadar, bahwa dengan memberi bantuan itu,
proses evakuasinya juga akan cepat.

Selama di pengungsian, kami bergotong-royong membangun tenda darurat dan


menyediakan makanan. Kami di sini tertib, karena selalu bekerja sesuai budaya Rob
Parob yang sudah ada sejak dahulu dan tetap terjaga hingga kini. Bahkan pendidikan
Rob Parob diajarkan kepada anak-anak sejak kecil, baik di sekolah, di rumah ibadah,
dan di dalam rumah tangga. Meski zaman sudah modern, budaya Rob Parob sendiri
tidak akan pernah luntur.

Contoh saja, banyak anak-anak Mentawai yang kuliah di kota besar. Ketika pulang
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

kampung, tidak pernah membawa sikap egois seperti orang kota pada umumnya.
Mahasiswa itu tetap melakukan apa yang sudah menjadi nilai-nilai budaya di
Mentawai, salah satunya Rob Parob.

Sejak kecil mereka sudah menerima pendidikan Rob Parob, hingga sudah mendarah
daging. Padahal, kalau pun mereka yang sudah pernah tinggal di kota, baik merantau
atau sekolah, kemudian meninggalkan Rob Parob, juga tidak ada sanksi sosialnya. Tapi,
semua itu tidak bisa mereka tinggalkan atau lupakan, karena sudah menjadi budaya
sejak kecil. Jadi, kemungkinan ada rasa malu sendiri ketika meninggalkan nilai-nilai
budaya Mentawai, termasuk Rob Parob.
Akibat jalan darat yang tidak bisa diakses, satu-satunya distribusi bantuan hanya

54

EKSTREM. Hujan, dan jalan licin menjadi tantangan sekaligus menguji ketangguhan tim peneliti
menuju Dusun Gobik. (Foto: Yani)

melalui jalur laut. Kondisi inilah yang membuat bantuan selama empat hari belum
sampai kepada para korban yang tinggal di pengungsian. Meski bantuan bencana
menumpuk di Sikakap, untuk daerah terpencil seperti Dusun Gobik belum mampu
didistribusikan dengan waktu cepat. Karena belum ada kepastian kedatangan
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

bantuan makanan, warga secara mandiri mencari dan mengolah makanan yang
diambil dari ladang. Walaupun hidup dalam kekurangan di pengungsian, mereka
tetap mengutamakan kepentingan bersama, serta saling bahu-membahu untuk
membuat peti jenazah sampai penguburannya. Warga yakin, kondisi gelombang laut
yang masih ekstres setelah tsunami berdampak pada lambatnya distribusi sampai
pada korban yang tinggal di pedalaman.40

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Kehidupan warga setelah bencana tsunami semakin tidak stabil. Namun pendidikan
anak-anak hanya diliburkan selama satu minggu setelah ada arahan dari kepala
sekolah. Padahal, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai sendiri
belum mengeluarkan instruksi libur setelah terjadi tsunami. Namun siswa diliburkan
karena pertimbangan kondisi psikologis, sejumlah fasilitas belajar juga rusak. Beberapa
siswa juga kehilangan peralatan dan perlengkapan sekolah, seperti seragam, buku,
dan alat tulis. Namun dalam seminggu, pendidikan kembali normal seperti biasa.41

55

UJIAN KETANGGUHAN. Hujan deras membuat jalan licin menjadi tantangan sekaligus menguji
ketangguhan tim peneliti menuju Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan.
(Foto: Wawan Budianto)

3.6.2. Pagai Selatan

Guncangan gempa yang menyebabkan tsunami pada 25 Oktober 2010 dan berpusat
di perairan Kecamatan Pagai Selatan juga tidak dirasakan oleh sebagian warga Dusun
Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. Warga Dusun Maonai mengetahui
kemunculan tsunami ketika mendengar suara gemuruh yang sangat kuat dari laut.

40 Wawancara dengan Kepala Desa Bosua.


41 Wawancara dengan Nainggolan, guru SDN 12 Mongan Bosua.
Sebagian warga justru ke pantai untuk memastikan kejadian dari suara gemuruh
tersebut. Tidak berapa lama, warga melihat gulungan tsunami berwarna hitam.
Sejumlah orang berteriak memberikan informasi kepada warga lain untuk segera
melakukan evakuasi karena tsunami.

Warga memperkirakan kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 WIB, dengan
kondisi hujan. Meski sempat melakukan evakuasi, umumnya warga Dusun Maonai
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

terseret oleh tsunami. Permukiman Dusun Maonai sendiri dikelilingi sungai, sehingga
warga tidak sempat menyeberangi jembatan karena air laut sudah masuk melalui
aliran sungai. Akhirnya, warga pun terjebak dan tersapu tsunami.42

Menariknya, beberapa anak-anak justru mampu menyelamatkan diri tanpa terseret


dengan gulungan tsunami. Keberhasilan anak-anak tersebut mampu menyelamatkan
diri karena pernah mendapatkan pendidikan pengurangan risiko bencana melalui
NGO Rebana Indonesia dengan melakukan kegiatan simulasi tsunami sebanyak dua
kali. Sementara beberapa anak turut menjadi korban karena dibawa lari oleh orang
tuanya yang tidak mengetahui arah evakuasi menuju bukit serta belum pernah
mendapatkan pelatihan pengurangan risiko bencana.43

Winda Iri Nogroho


Staf Rebana Indonesia
56
Rebana memang awalnya concern terhadap pendidikan di Kecamatan Pagai Selatan,
termasuk daerah intervensi di Dusun Maonai. Saya salah satu staf yang melanjutkan
progam pendidikan teman-teman.

Untuk di Dusun Maonai, setiap hari kami melihat anak-anak berkeliaran. Kami
mengusulkan kepada warga Dusun Maonai agar anak-anak mendapatkan pendidikan.
Mereka mendukung ide pendirian sekolah. Dalam beberapa dusun wilayah intervensi
Rebana Indonesia, memang hanya Dusun Maonai yang belum memiliki sekolah.

Bersama warga, kami mendirikan bangunan sekolah yang sederhana. Target kami dan
harapan warga Dusun Maonai, anak-anak tidak harus pintar, melainkan bisa menulis
dan membaca. Awal berdiri, sekolah itu bernama Sekolah Hutan, sedangkan para
guru berasal dari sukarelawan Rebana Indonesia. Tapi petugas Rebana Indonesia
tidak selalu ada di Dusun Maonai, dan sangat menyulitkan kalau harus bolak-balik dari
Sikakap dengan akses jalan yang tidak layak. Maka kami mengangkat guru sukarela
dari warga Dusun Maonai.

42 Wawancara dengan Nelman Taileleu, tokoh masyarakat Dusun Maonai.


43 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, staf NGO Rebana Indonesia.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Kami menilai, memang ada potensi bencana tsunami di Mentawai. Maka kami dari
staf di lapangan membuat inisiatif untuk memberikan pendidikan pengurangan
risiko bencana. Hal pertama yang kami lakukan, memberikan pemahaman kepada
anak-anak ketika menghadapi ancaman gempa dan berpotensi tsunami. Anak-anak
tersebut kami didik proses menyelamatkan diri di dalam kelas untuk melindungi
kepala ketika gempa bergunacang.

Tangguh
Masyarakat Tangguh
Setelah itu, kami menyuruh anak-anak keluar kelas untuk berkumpul di halaman
sekolah. Ketika guncangan gempa sudah habis, beberapa siswa kami utus ke pantai
untuk memastikan pasang surut laut. Kalau lautnya surut, maka kami beri tahu akan

Implementasi Masyarakat
adanya tsunami, dan anak-anak harus lari bukit. Kami juga uji anak-anak untuk lari
kebukit dengan waktu lima menit sudah mencapai pada titik aman.

Kami di sekolah, antara Rebana Indonesia, para guru dan siswa, sudah sepakat terhadap

dan Implementasi
bukit yang dijadikan simulasi untuk dijadikan tempat evakuasi ketika tsunami terjadi.
Maka ada kegiatan rutinitas membersihkan jalur evakuasi dengan cara bergotong-
royong antara siswa dan guru sekolah. Warga sendiri juga mendukung, sehingga
turut berpartisipasi membersihkan jalur evakuasi yang menjadi simulasi tsunami

Praktik dan
itu. Simulasi tsunami ini sudah dua kali dilakukan, namun materi pengurangan risiko

Praktik
bencana selalu diingatkan oleh para guru relawan dari warga Dusun Maonai.

Sebenarnya pendidikan pengurangan risiko bencana melenceng dari Program


Rebana Indonesia. Ini hanya inisiatif dari fasilitator di lapangan. Tapi pada akhirnya, 57
pengurangan risiko bencana di sekolah menjadi salah satu program Rebana Indonesia.
Awalnya, kami juga tidak mengetahui materi pengurangan risiko bencana. Hanya
saja kami mendapatkan beberapa modul dari Yayasan Tanggul Bencana (YTB), yang
dikembangkan serta ajarkan kepada anak-anak. Kebetulan, basisnya memang untuk
anak-anak, dan materi itu dipahami oleh siswa tanpa ada kendala.

Alasan berinisiatif melahirkan program pengurangan risiko bencana melalui


pendidikan juga berdasarkan kejadian tahun 2004 dan 2007. Pada tahun 2007, warga
sendiri merasakan guncangan gempa yang dahsyat, sedangkan tahun 2004, warga
hanya mengamati air laut pasang surut akibat kiriman dari tsunami Aceh. Selain itu,
kami juga melakukan survei kepada warga Dusun Maonai, hasilnya memang sangat
mengharapkan pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah.

Dalam memberikan pemahaman terhadap tsunami, kami hanya memberitahukan adanya


suara gemuruh dari laut. Ketika ada suara gemuruh, maka itulah tsunami. Anak-anak itu
sendiri paham apa yang kami jelaskan terkait tanda-tanda ancaman gempa dan tsunami.

Karena tidak selamanya Rebana Indonesia ada di Mentawai, khusus Dusun Maonai,
maka pada Juli 2010, sekolah tersebut kami serahkan kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Harapannya, agar anak-anak Dusun Maonai
mendapatkan pendidikan formal sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

Target Rebana Indonesia, setelah memberikan pendidikan pengurangan risiko


bencana kepada anak-anak, juga akan membagi materi itu kepada warga Dusun
Maonai. Namun belum sempat memberikan materi pengurangan risiko bencana,
tsunami sudah datang. Rentetannya, Juli 2010 kami serahkan sekolah kepada
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

pemerintah, 25 Oktober 2010 tsunami datang. Jadi lebih dahulu datang tsunami dari
pada materi pengurangan risiko bencana yang akan kami sampaikan.

Kejadian tsunami itu cukup mengejutkan. Ternyata anak-anak yang didik pada
pelatihan simulasi umumnya selamat sampai ke titik aman perbukitan yang sudah
disepakati. Memang ada beberapa siswa didikan kami yang meninggal. Sebab, kejadian
tsunami malam itu, anak-anak sudah tidur. Kemudian dibangunkan oleh orang tuanya
diajak berlari sambil ditenteng tangannya. Orang tuanya sendiri membawa anaknya
menyelamatkan diri tanpa tahu jalur evakuasi, sedangkan anaknya sudah mengetahui.
Jadi mereka menjadi korban. Kemungkinan, jika tidak ditarik dan dibawa lari orang
tuanya, anak-anak yang menjadi korban itu bisa selamat dengan melakukan evakuasi
sendiri.

Hal ini juga ada bukti, bahwa anak-anak sekolah di Dusun Limosua yang sudah
mengikuti simulasi tsunami berhasil menyelamatkan orang tuanya dengan mengajak
58 berlari ke atas bukit melalui jalur evakuasi yang sudah disepakati. Jadi, di Limosua,
anak-anak itulah yang mengajak orang tuanya untuk lari ke bukit berdasarkan
pemahamannya saat mengikuti simulasi tsunami.

Beberapa jam setelah tsunami, warga yang selamat pun turun dari bukit untuk
menyelamatkan para korban yang diyakini masih hidup. Dalam gelap malam di atas
bukit, warga tetap bertahan dengan tubuh yang basah kehujanan. Menjelang pagi,
warga pindah mengungsi ke ladang yang juga masih kawasan perbukitan karena
diyakini ada makanan serta pondok.

Saat itu juga, mereka mendirikan tenda terpal yang sempat dibawa saat melakukan
evakuasi ketika tsunami datang. Sebab pondok yang ada di ladang tersebut tidak
mampu menampung semua pengungsi. Terpal dan pondok itu sendiri hanya
diperbolehkan untuk anak-anak, ibu hamil, dan korban luka.

Di pondok dan tenda terpal pengungsian, warga bertahan selama satu minggu
tanpa bantuan medis. Untuk merawat luka, warga hanya membersihkannya dengan
air. Tenaga medis dari pihak kecamatan datang empat hari setelah tsunami, namun
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


PENGGALIAN DATA. Tim peneliti melakukan diskusi bersama warga Dusun Maonai untuk menggali
data yang akurat (Foto: Yani).

hanya melakukan pendataan terhadap para korban tanpa memberikan bantuan


59
perawatan medis.44 Akhirnya beberapa korban luka dibawa ke Sikakap untuk
mendapatkan perawatan melalui Kapal Sikerei milik bupati ketika meninjau lokasi
korban. Berdasarkan hasil pendataan warga Dusun Maonai di pengungsian, dari 40
kepala keluarga, sebanyak 39 jiwa meninggal dan satu orang dinyatakan hilang.45

Warga Dusun Maonai yang selamat sebagian besar tergulung tsunami. Meski kondisi
lemas, beberapa jam setelah tsunami, mereka masih memiliki ketahanan mental
untuk turun dari bukit menyelamatkan para korban dengan kondisi gelap. Rasa
trauma warga Dusun Maonai sendiri tidak terlalu berkepanjangan. Selain itu, para
korban sendiri sebagian juga menghibur warga lainnya yang kondisinya masih lemah
dengan tujuan untuk bangkit sesegera mungkin.

Seminggu setelah bencana, sebagian warga belum mampu menceritakan kejadian


tsunami tersebut. Namun beberapa warga justru selalu menceritakan secara detail
pengalamannya ketika tergulung-gulung menyelamatkan diri menghadapi bencana
tsunami. Bagi mereka, pengalaman tsunami itu harus kembali diceritakan kepada setiap
warga Mentawai agar selalu waspada dan siap siaga ketika gempa berguncang. Cerita
tsunami itu selalu diceritakan dalam berbagai acara, seperti di sela-sela musyawarah,

44 Wawancara dengan Yanti Saogo, masyarakat Dusun Maonai yang menjadi korban luka.
45 Wawancara dengan Jonatan Samaloisa, Kepala Dusun Maonai.
pernikahan, dan beribadah. Dengan begitu, diharapkan menjadi pesan kesiapsiagaan
hingga anak cucu mampu menyelamatkan diri ketika ada ancaman tsunami yang
diakibatkan gempa, baik dengan gucangan kuat ataupun pelan berayun.46

Kondisi warga Dusun Maonai pada umumnya terluka, sehingga tidak mampu untuk
mencari makanan di ladang. Tanaman seperti keladi dan pisang pun sebagian hancur
dan tertimbun tanah akibat gulungan tsunami. Bahkan hanya sedikit yang memiliki
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

pakaian. Karena sebagian besar korban selamat telah kehilangan pakaian di badan
kala tergulung tsunami.

Hingga seorang penduduk Dusun Maonai mengajak warga lain untuk memberikan
informasi kepada warga Dusun Mapinang tentang hantaman tsunami di dusun
mereka. Tujuan pesan itu agar warga Dusun Maonai memperoleh bantuan berupa
makanan dan pakaian.

Hari pertama setelah tsunami, warga Dusun Mapinang yang tidak jauh dari Dusun
Maonai, membawakan makanan dan pakaian untuk dibagikan kepada korban di
pengungsian. Mereka makan bersama dan mendahulukan anak-anak serta korban
terluka. Warga Dusun Limosua juga turut memberikan bantuan makanan dan
pakaian setelah seorang utusan warga Dusun Maonai menyampaikan pesan. Selain
memberikan bantuan makanan dan pakaian, warga Dusun Mapinang serta Limosua
juga turut membantu pencarian korban. Kerjasama dan saling tolong-menolong itu
60 berhasil mempercepat proses evakuasi sampai penguburan jenazah.47

46 Wawancara dengan Ismail, tokoh masyarakat Dusun Maonai.


47 Wawancara dengan A. Ependi Sababalat, tokoh masyarakat Dusun Maonai.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Malam itu hujan dan gempa pelan berayun, tapi agak lama
ayunannya. Warga juga biasa-biasa saja, sebab guncangan
gempanya sebagian juga tidak dirasakan warga. Tidak berapa lama,
ada suara gemuruh dari arah laut, suaranya kuat seperti pesawat
mau turun. Karena heran, saya melihat ke arah laut, ternyata
warnanya hitam dan menggulung. Saya langsung berteriak ada

Tangguh
Masyarakat Tangguh
tsunami, warga lain yang mendengarkan pun berlarian.

Implementasi Masyarakat
Ketika lari ke belakang Dusun Maonai, belum sempat kami
melewati jembatan, air sudah menyambar dari arah sungai.
Saya pun langsung tergulung-gulung. Entah berapa lama
tergulung, saya juga tidak tahu. Kamudian air kembali surut,

dan Implementasi
ternyata saya masih hidup. Saya bangun dan berlari ke
bukit. Sepanjang pelarian, saya bertemu beberapa warga
yang juga tergulung tsunami dan masih selamat.

Praktik dan
Sampai di atas bukit, sudah ada beberapa warga, dan kami Ependi Sababalat
berkumpul. Sepanjang malam itu, saya hanya mendengar

Praktik
suara tangisan dari mereka yang selamat. Setelah beberapa jam dan air tsunami surut,
saya perintahkan sebagian warga untuk mencari korban yang masih ada di kampung,
mana tahu ada yang hidup meski tergulung tsunami. Sayang, sebagian besar korban
61
yang kami temukan telah meninggal.

Kala pagi, kami pindah ke bukit lain, yang sekarang ini dibangun hunian tetap. Dan
sebagian besar mereka yang selamat tidak mengenakan pakaian lengkap. Saya juga
tidak tahu, mungkin waktu tergulung tsunami, pakaian mereka terlepas semua.

Lalu minta beberapa orang menjadi utusan untuk menyampaikan pesan ke warga
Dusun Mapinang dan Limosua. Juga meminta bantuan berupa makanan dan
pakaian, hal yang sangat kami butuhkan pada saat itu. Saya sendiri tidak bisa bergerak
banyak, karena mengalami luka parah di tangan. Saya hanya menjadi koordinator dan
memberikan arahan ke warga Maonai, selama kondisi darurat itu.

Bagi yang selamat dan tidak mengalami luka parah, saya perintahkan untuk mencari
korban, pagi itu juga. Sekitar pukul 10.00, datanglah warga Dusun Mapinang dan
Limosua dengan membawakan bantuan. Mereka juga ikut turun ke kampung,
membantu mencari korban. Selama beberapa hari, kami selalu bantu-membantu,
baik sesama warga Dusun Maonai yang menjadi korban, maupun sesama warga
dusun lainnya, seperti Mapinang dan Limosua. Kalau tidak ada bantuan dari Dusun
Mapinang, entahlah siapa yang akan membantu.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

KUBURAN MASSAL. Di Dusun Maonai yang lama, warga yang menjadi korban dikuburkan secara
massal. (Foto: Yani)

Apalagi anak-anak semua sudah mulai kelaparan, tidak memiliki pakaian, dan
kedinginan. Bahkan sebagian anak-anak sudah mulai mengalami demam pada hari
pertama. Karena selama malam kejadian, kami berbasah-basahan dan ada yang
tidak mengenakan pakaian sampai pagi. Kami bisa bertahan sampai sekarang karena
kebersamaan untuk saling membantu.

Selama beberapa hari belum mendapatkan bantuan dari pemerintah, beberapa


warga Dusun Maonai pergi ke Sikakap untuk meminta bantuan. Akhirnya, NGO
Yayasan Citra Mandiri (YCM) dan Rebana Indonesia datang dalam waktu relatif cepat
dan memberikan bantuan. Pendistribusian bantuan ke Dusun Maonai memang
62
memiliki kendala berat karena hanya bisa menggunakan jalur laut. Akses jalan darat
sendiri tidak bisa dilewati kendaraan, sepeda motor atau mobil.48

3.6.3. Pagai Utara

Suasana gelap gulita, minim sarana penerangan listrik, tidak tersedia sinyal untuk
berkomunikasi dengan telepon genggam, merupakan kondisi beberapa malam di
Dusun Sabeugunggung usai gempa 7,7 Skala Richter. Guncangan gempa yang terjadi
pada Senin malam, sekitar pukul 21.42 WIB itu sesungguhnya tidak terlalu terasa oleh
penduduk Dusun Sabeugunggung. Namun ayunan gempa terjadi cukup lama.

Kala itu, sebagian masyarakat masih menonton televisi di satu-satunya rumah warga
yang memiliki penerangan listrik. Dari televisi, mereka melihat peringatan evakuasi
tsunami yang ditampilkan BMKG melalui running text televisi. Tapi beberapa kemudian,
peringatan itu dicabut. Sehingga beberapa orang tidak memandang sebagai sesuatu
hal penting. Sementara sebagian lainnya kembali ke rumah dengan rasa khawatir.

Sejumlah warga yang tidak menganggap genting situasi mengambil pengalaman


gempa tahun 2007. Kala itu Dusun Sabeugunggung diguncang gempa 7,9 Skala
48 Wawancara dengan Tarsen Samongilalai, Ketua Pokmas pembangunan Hunian Tetap.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Richter, hingga masyarakat melakukan evakuasi selama beberapa hari di bukit. Sampai
warga meninggalkan pengungsian dan kembali ke kampung, tsunami tak kunjung
datang.49

Namun di malam itu, warga mendengar suara besar seperti deru pesawat, beberapa
menit usai gempa. Mereka menganggap akan ada angin kencang yang menerpa
kampung. Dan ini merupakan hal biasa bagi masyarakat di pinggir pantai.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Sehingga terjadi dua kondisi kala itu. Pertama, warga yang berada di rumah Leisa
Saogo, langsung melakukan evakuasi menuju bukit pengungsian. Ketika suara
berdentum, mereka sudah menjauhi pantai tapi belum berada di bukit pengungsian.
Posisi mereka di dalam hutan belum berada pada level aman dari terjangan ombak
tsunami. Hingga kedatangan gelombang memisahkan satu warga dengan yang
lainnya. Kondisi gelap gulita tidak memungkinkan mereka untuk menyelamatkan
warga lain dari amukan ombak tsunami.

Sementara warga lain yang mendengar tsunami yang seperti suara pesawat berjalan,
segera memanjat pohon kelapa dengan ketinggian lebih kurang lima meter.
Malangnya, pecahan gelombang sempat melewati tinggi pohon kelapa. Mereka
bertahan dengan berpegangan satu dengan lainnya di atas pohon kelapa di tengah
arus tsunami. Namun beberapa orang terlepas pegangannya dan sempat terpisah
terbawa arus. Mereka berhasil selamat karena memiliki kemampuan berenang dan
berpegangan dengan kayu-kayu yang hanyut. Setelah gelombang surut, warga saling 63
bertemu dan pergi ke pondok di ladang, sekitar perbukitan.50

Kondisi kedua, sebagian warga sudah terlelap tidur karena letih bekerja seharian
sehingga tidak sempat melakukan evakuasi. Hingga hampir setengah dari penduduk
Dusun Sabeugunggung menjadi korban. Masyarakat yang selamat dari tsunami
berkumpul di Pulaungat (perbukitan) terpisah menjadi beberapa kelompok. Ada
kelompok yang memiliki pondok, banyak pula yang melawati malam di bawah
rimbun pohon-pohonan perbukitan. Kondisi sangat mencekam, dan suasana duka
menyelimuti setiap warga yang terpisah dengan keluarga. Terdengar suara erangan
kesakitan keluar dari korban yang luka. Saat itu ketahanan fisik sangat teruji sampai
keesokan hari.51

Pagi, sehari setelah tsunami, sebagian warga mencari makanan yang tidak hanyut
terbawa arus. Mereka mencari kelapa sebagai pengganti makanan, terutama untuk
warga yang luka parah, anak-anak, dan kaum ibu. Sebagian warga juga mencari
keluarga yang menghilang.

49 Wawancara dengan Philus, tokoh masyarakat.


50 Wawancara dengan Tarsi, Tokoh Pemuda Dusun Sabeugunggung.
51 Wawancara dengan Melki, Tokoh Pemuda Dusun Sabeugunggung.
Saat itu, Kepala Desa memantau kondisi dusun yang terkena terjangan tsunami,
sekaligus mengevakuasi korban ke pusat kecamatan menggunakan kapal cepat
di tengah gelombang besar dan kelangkaan BBM. Kepala Desa memerintahkan
pegawainya untuk mengantar makanan (beras, mi instan) serta minuman. Secara
spontan, turis peselancar yang berada di kapal dan selamat dari tsunami juga
memberikan bantuan. Mereka rela mengurangi perbekalan logistik kapal untuk
menolong penduduk lokal. Bantuan juga berupa tenda, peralatan memasak, uang
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

tunai, dan transportasi untuk korban bencana berobat ke Pusat Kecamatan Sikakap.52

Untuk pengadaan tenda, warga memperoleh bantuan dari turis peselancar, satu hari
setelah bencana. Karena jumlah bantuan tenda tidak mencukupi dengan kebutuhan
hunian sementara, beberapa warga mendirikan pondok dengan beratapkan daun
pisang (pisang hutan) dan tiang kayu.

Kehidupan di Pulaungat (perbukitan) yang berlangsung selama lebih kurang lima


bulan itu sangat minim fasilitas. Sebagian besar masyarakat tidak memiliki pondok
untuk tempat berlindung, makanan yang cukup, atau toilet untuk buang air besar
sebagai bentuk antisipasi penyebaran wabah penyakit di lokasi pengungsian.

Sarana tempat ibadah yang telah hancur di dusun lama, dibangun secara swadaya oleh
masyarakat bersama pimpinan gereja, kepala dusun, dan tokoh masyarakat. Hasilnya,
satu pekan setelah tsunami, berdiri bangunan darurat yang mampu menampung
64 warga dusun untuk melakukan ibadah. Rasa trauma kehilangan keluarga menjadi
beban yang tidak mudah disembuhkan, tetapi masyarakat sangat membutuhkan
sarana ibadah untuk mengembalikan kepercayaan diri, bahwa hidup belum berakhir.53

Saat peristiwa terjadi, Siagai Laggek sedang berada di luar dusun. Sehingga,
tidak tersedia kemampuan pengobatan yang membantu penanganan korban
bencana di dusun. Melihat kondisi korban bencana yang memerlukan pengobatan
segera, evakuasi korban ke pusat puskesmas merupakan satu-satunya jalan yang
harus ditempuh.

Budaya Rob Parob dalam kondisi bencana masih bisa dilaksanakan dengan
baik. Hal itu mencerminkan masih ada sikap mendahululukan yang sakit
untuk mendapatkan makan dan minuman karena tidak bisa berdiri. Korban
yang sakit pun dibawa berobat ke pusat kecamatan. Bahkan pembagian kerja
dalam bergotong-royong membangun sarana ibadah dilakukan masyarakat di
bawah kondisi trauma.

Pasca-tsunami, perekonomian warga berhenti total. Mereka hanyut dalam kedukaan.


Para penyelam baru kembali beraktivitas satu pekan bahkan sampai dua bulan
52 Wawancara dengan Joni Siritoitet, Kepala Desa Betumonga.
53 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

kemudian. Mereka yang sudah kembali ke laut sepekan setelah tsunami terdorong
untuk kembali hidup normal dan melupakan kesedihan. Sementara warga yang baru
memulai aktivitas di laut dua bulan kemudian, terlebih dulu harus mengurus keluarga
di pengungsian. Beberapa juga mesti memberikan keyakinan kepada keluarga agar
memberikan izin kembali menyelam.

Sebagian besar lahan pertanian warga rusak berat dan tidak menghasilkan, sehingga

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


sumber pendapatan untuk bertahan hidup di lokasi pengungsian bergantung pada
bantuan dari luar (pemerintah, NGO, swasta, atau masyarakat lainnya). Bangunan dan
sarana prasarana untuk belajar pun hancur total saat tsunami melanda. Sebagian
anak-anak yang seharusnya belajar menjadi korban jiwa, dan lainnya belum memiliki
kekuatan untuk memulai aktivitas pendidikan. Ada banyak faktor yang harus
masyarakat siapkan untuk memulai hidup baru, dan butuh waktu sekitar satu tahun
pasca-tsunami guna mencapainya.

Lembaga yang merespon bencana itu adalah Mercy Corp, Surf Aid International, dan
CFK dengan bantuan yang beragam. Untuk penampungan air bersih, masyarakat
mendapatkan tangki air dengan ukuran beragam. Sementara untuk pengganti
rumah, warga mendapatkan bantuan tenda, selimut, pakaian, peralatan pertukangan,
dan peralatan memasak.54

Pemulihan korban bencana dibantu pemerintah melalui puskesmas pusat yang


berada di Sikakap. Keterbatasan bangunan dan tenaga dibantu oleh sukarelawan 65
yang datang dari luar daerah, untuk melakukan respon bencana.

3.6.4. Siberut

Masyarakat Siberut merasakan guncangan gempa pada tahun 2005, yang terjadi
sebanyak dua kali. Pertama, gempa yang terjadi pada 28 Maret 2005 dan berpusat
di Nias, namun tidak begitu kuat dirasakan masyarakat Siberut. Isu dari Kota Padang
melalui telepon rumah (air pasang telah naik di Kota Padang) setelah gempa,
mendorong masyarakat melakukan evakuasi ke perbukitan tanpa komando.

Saat melakukan evakuasi, masyarakat tetap melakukan budaya Rob Parob (tolong-
menolong). Terbukti, ketika ada orang tua, anak-anak, orang sakit menjadi perhatian
bagi masyarakat lainnya untuk menuntunnya sampai ke atas perbukitan. Masyarakat
bermalam di pondok-pondok perladangan, sebagian mendirikan tenda terpal yang
telah mereka siagakan pasca-guncangan gempa Aceh. Ketika pagi, masyarakat turun
ke rumah dan beraktivitas seperti biasa, sambil tetap waspada ketika terjadi gempa
susulan. Kondisi bermalam di perbukitan ini berlangsung lebih kurang selama tiga hari.

54 Wawancara dengan Tarsi, tokoh Masyarakat Sabeugunggung.


Kedua, gempa 30 April 2005 yang merupakan guncangan lokal 6,5 SR dan hanya
dirasakan masyarakat Siberut, khususnya Kecamatan Siberut Selatan. Gempa ini terjadi
di sore hari, saat pemuda-pemuda bermain bola kaki. Warga sontak berlarian ke arah
bukit, terdorong rasa takut akan terjadi ancaman bencana tsunami. Beberapa anggota
Kepolisian dan TNI pergi ke pantai melihat reaksi air laut. Ketika malam, beberapa
pemuda menjaga rumah penduduk untuk mengantisipasi pencurian.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Gempa susulan berlangsung selama satu bulan. Sehingga memicu masyarakat untuk
bertahan bermalam di perbukitan. Satu-satunya informasi tentang gempa berasal
dari UNESCO melalui papan informasi yang terpajang di depan kantor, tepatnya di
rumah masyarakat di pusat Desa Muara Siberut.

Kerusakan rumah masyarakat dan prasarana pemerintah berawal dari gempa ini. Seringnya
gempa susulan dengan kekuatan yang cukup besar menjadi faktor utama kerusakan.

Gempa 29-30 September 2007, merupakan gempa terkuat yang dialami masyarakat
Siberut. Goyangan gempa terasa lama dan kuat. Masyarakat berhamburan ke luar rumah
begitu gempa terasa dan melakukan evakuasi ke perbukitan, lalu bermalam di sana.
Saat itu, Pulau Siberut telah memiliki beberapa pondok evakuasi yang dibangun secara
mandiri oleh masyarakat. Kejadian gempa sebelumnya memberikan motivasi kepada
masyarakat akan pentingnya pondok evakuasi untuk bencana gempa dan tsunami.

66 Kerusakan perumahan masyarakat pada gempa April 2005, semakin parah dengan
guncangan di tahun 2007. Pertengahan tahun 2007, masyarakat memperoleh
pencerahan informasi kesiapan bencana tsunami melalui program Siaga Bencana
Surf Aid International di Kecamatan Siberut Barat Daya. Program itu memberikan
sosialisasi dan pelatihan kebencanaan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat,
seperti kepala dusun, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, kepala desa, dan
camat. Dengan bantuan itu, masyarakat cepat memperoleh informasi kesiapan dalam
menghadapi ancaman bencana tsunami.

Masyarakat juga memperoleh sosialisasi rencana tempat pertemuan kala gempa.


Kesepakatan tempat pertemuan evakuasi ini sangat penting dalam menghadapi
waktu singkat antara gempa dan tsunami.

Mercy Corps Indonesia dengan Yayasan Penanggulangan Bencana Ready Mentawai


juga bekerja sama di Kecamatan Siberut Tengah, Desa Saibi Samukop dan Saliguma
untuk meningkatkan kemampuan Tim Penanggulangan Bencana Dusun. Juga
perencanaan mitigasi struktural dan non-struktural yang menjadi agenda besar
dan telah terealisasikan ke dalam lapisan masyarakat dampingan. Masyarakat juga
melakukan persiapan secara sukarela untuk membangun pondok pengungsian, atau
menanam ubi dan pisang di lokasi pengungsian.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Ketika gempa terjadi, kelompok siaga bencana dusun mampu menjalankan tugas
pokok dan fungsinya. Dalam beberapa menit perkampungan telah kosong, penduduk
yang telah berada di perbukitan dengan komando Tim Penanggulangan Bencana
Dusun. Kerja sama regu kesehatan KSB, tenaga medis, dan Sikerei berjalan berbagi
peran. Baik pemuka agama dan kepala dusun ikut memberikan ketenangan dalam
suasana kepanikan masyarakat.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


3.7. Praktik Tangguh Sesudah Bencana

3.7.1. Sipora Selatan

Bencana tsunami yang terjadi pada 2010 menghancurkan semua infrastruktur di


Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Pagai Selatan. Lahan pertanian, peternakan,
jalan perkampungan, rumah, fasilitas umum, seperti jembatan dan gereja juga hancur.
Untuk memperbaiki semua itu, warga harus melakukan mugalai simakare (gotong-
royong). Beberapa minggu setelah tsunami, warga mulai membangun gereja
bantuan dari Patmos. Di samping mendapatkan bantuan untuk membuat pondasi
dari Patmos, masing-masing kepala keluarga juga iuran menyumbang seng untuk
atap gereja. Mereka juga bergotong-royong membangun jalan perkampungan yang
sebagian rusak tertimbun tanah atau hancur tergulung tsunami.

Ketika kaum laki-laki melakukan gotong-royong perbaikan jalan, para perempuan


bersama-sama menyajikan makanan untuk istirahat makan siang. Kegiatan gotong- 67
royong memang merupakan tradisi bagi warga, bahkan menjadi program utama
dusun dalam menciptakan lingkungan bersih.55

Meski kondisi masih dalam serba keterbatasan setelah bencana tsunami, warga cepat
melakukan pembangunan hunian sementara (huntara) dengan bantuan dari beberapa
pihak luar, seperti organisasi kemanusiaan internasional. Warga juga mendapatkan
bantuan posko pengungsian beserta alat-alat tanggap darurat dari NGO Surfaid. NGO
Mercy Corps membangun dan memfungsikan sarana air bersih. Sementara NGO Habitat
memberikan bantuan pembangunan huntara bagi warga. Karena dalam pembangunan
huntara ada kelebihan anggaran, mereka pun mengalihkannya untuk pembangunan
jalan yang rusak.56 Sehingga mempermudah akses layanan kesehatan bagi penduduk.
Para tenaga medis seperti bidan bisa siap sedia bila dibutuhkan warga.57

Dalam kodisi tanggap darurat, masyarakat mulai sadar untuk melakukan pemulihan
ekonomi secara berkelompok. Kesadaran ini terjadi karena warga memiliki inventaris
sebagai aset dusun serta modal bersama. Inventaris itu berupa modal kapal cepat
55 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik.
56 Wawancara dengan Alpaus, tokoh masyarakat, Laskar, Wakil Kepala Dusun, Sarnida, Kader
Kesehatan, dan Regina, masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Pagai Selatan.
57 Wawancara dengan Regina, Sarnida, dan Basaria, sebagai kader kesehatan Dusun Gobik.
bantuan dari NGO Mercy Corps. Dengan kapal cepat, masyarakat bisa seperti menolong
orang yang sakit dan tidak memiliki uang untuk berobat ke Sioban atau Tuapeijat. Kapal
cepat itu juga boleh dipinjamkan untuk keperluan mendadak tanpa harus dipungut
biaya. Mercy Corps sendiri memberikan bantuan berdasarkan permintaan warga. Sebab
bencana tsunami menghancurkan semua transportasi laut warga, seperti kapal cepat.58

Setahun setelah tsunami, warga kembali melakukan kegiatan ekonomi produktif.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Sebagian mulai menanam kakao, cabe rawit, terong, jagung, dan sayuran, sedangkan
warga lainnya kembali mengolah kelapa untuk menjadi kopra. Hasil pertanian tersebut
cukup lumayan, bahkan dijual ke Sioban sebagai pasar ibu kota kecamatan. Ada pula
warga yang memperoleh bantuan modal sebesar Rp2 juta untuk membuka usaha
warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Bantuan itu berasal dari pemerintah
untuk warga yang sudah memiliki warung sebelum tsunami menerjang dusun.
Bantuan Rp2 juta dari pemerintah itu awalnya untuk membuat bangunan kedai,
warga juga dijanjikan akan menerima bantuan modal modal untuk mengisi kedai.
Namun ketika bangunan kedai itu sudah berdiri, pemerintah tak juga merealisasikan
bantuan modal untuk mengisi kedai. Mujurnya, masyarakat mendapatkan bantuan
modal pinjaman dari seorang pedagang di Sioban yang memang kerap menjadi
langganan belanjanya sebelum terjadi tsunami. Bahkan si pedagang menghapus
utang-utang pemilik kedai sebelum terjadi tsunami.59

Bencana tsunami menjadi pelajaran penting warga dusun. Mereka pun semakin aktif
68 mendapatkan pendidikan tentang pengurangan risiko bencana, khususnya gempa dan
tsunami. Warga juga rajin membahas pentingnya pengurangan risiko bencana dalam
berbagai pertemuan, seperti kala kegiatan keagamaan atau peringatan hari kejadian
tsunami. Sejauh ini, warga mengaku tidak takut tsunami, namun selalu ketakutan bila
merasakan guncangan gempa. Sebab ketika gempa, akan ada peringatan waspada
yang justru membuat semakin panik. Menurut mereka, jika mampu menyelamatkan
diri dari ancaman gempa, maka akan bisa menyelamatkan diri dari ancaman tsunami.
Alasannya, ada jarak antara gempa dan kedatangan tsunami.60

Selain warga yang semakin terdidik, lembaga pendidikan juga menjalankan fungsi
dalam memberikan pemahaman kepada para siswa. Sebab setelah tsunami, sekolah
juga semakin gampang untuk diakses. Pada tahun 2011, lembaga pendidikan untuk
tingkat SD sampai SMA selalu memberikan pendidikan terkait materi pengurangan
risiko bencana, baik bekerja sama dengan pemerintah maupun dengan lembaga
pengurangan risiko bencana tingkat internasional, seperti Surfaid dan Mercy Corps.
Namun program pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah itu tidak
berkelanjutan, hanya dari pihak orang tua siswa yang rajin mengajarkan pentingnya
58 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik.
59 Wawancara dengan Alpaus Samongilalai, tokoh masyarakat dan pelaku usaha kecil.
60 Wawancara dengan Alpaus Samongilailai, tokoh masyarakat, Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik,
Ferianto Gulo, Kepala Dusun Mongan Bosua, Eden Samaloisa, KAUR Desa Bulasat.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


MENGUJI KETANGGUHAN. Sebelum diskusi untuk menggali perilaku. (Foto: Iswanto) tangguh warga
Dusun Maonai, tim peneliti menguji dengan pemainan game 69

pemahaman pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami.61

Masalah tanah sering menjadi konflik di Mentawai, khususnya saat akan ada penetapan
lokasi pembangunan hunian tetap. Namun warga mampu menyelesaikan potensi
konflik serta mencari solusi kala muncul perbedaan pendapat terkait penetapan lokasi
hunian tetap. Melalui rapat musyawarah, warga mencari solusi apa yang menjadi
rencana bersama. Bahkan mereka melakukan kajian untuk menentukan lokasi hunian
tetap yang jauh dari pantai serta memiliki ketinggian yang aman dari jangkauan
tsunami. Penentuan lokasi hunian tetap juga berlandaskan kedekatan jarak antara
hunian tetap dengan ladang sebagai sumber penghasilan ekonomi.

Pada awalnya, pembahasan penentuan lokasi hunian tetap tidak mengikutsertakan


masyarakat. Mendadak mereka menerima surat edaran tentang penetapan lokasi
hunian tetap. Beberapa dusun merasa keberatan dengan penetapan lokasi hunian
tetap secara sepihak, warga pun melakukan rapat koordinasi. Hinga muncul
kesepakatan bila warga berhak menentukan lokasi hunian tetap selama masih masuk
dalam karakter aman dari ancaman tsunami dan dekat dengan jarak ladang sebagai
sumber penghasilan ekonomi.
61 Wawancara dengan Nainggolan, guru SD 12 Mongan Bosua.
Warga juga membeli tanah hunian tetap dengan harga murah, ada pula yang
menghibahkan, atau melakukan dengan cara tukar guling (tukar tanah). Beberapa
rentetan masalah terselesaikan oleh warga tanpa ada konflik antara sesama korban
bencana atau merugikan pihak lainnya.62

3.7.2. Pagai Selatan


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Bencana tsunami meluluhlantakkan semua bangunan yang berdiri di bibir pantai.


Fasilitas umum pun hancur. Saat kondisi darurat di pengungsian, warga berperan
aktif dalam membangun sarana dan prasarana umum. Bergotong-royong, mereka
membangun gereja sebagai tempat beribadah. Awalnya warga berencana membangun
sekolah, namun dalam prosesnya berubah fungsi menjadi gereja, karena dalam tahap
pembangunan, datang bantuan dari Rebana Indonesia yang membangun sekolah.

Tidak ingin ada bangunan yang sia-sia, sekolah pun beralih fungsi menjadi gereja.
Selain Rebana Indonesia, masyarakat juga mendapatkan dukungan dari Mercy Corps,
Lumbung Dharma, Arcenova, dan Plan Indonesia.

Bantuan pendidikan dari Rebana Indonesia tidak hanya bangunan sekolah, juga
pendidikan di tenda darurat, bantuan buku, serta perlengkapan seragam sekolah.
Ini terdorong keinginan anak-anak untuk segera kembali sekolah seperti biasa.
Dari Mercy Corps, setiap kepala keluarga memperoleh bantuan tangki air untuk
70 mendapatkan air bersih melalui tadahan hujan. Sementara Arcenova membangun
empat unit WC umum untuk menjaga kebersihan lingkungan dari ancaman wabah
penyakit. Dan Yayasan Citra Mandiri memberikan bantuan pembangunan hunian
sementara (huntara) dengan material pabrikan. Untuk material lokal seperti kayu,
warga memperoleh dengan cara swadaya.63

Sekitar hampir satu tahun tinggal di huntara, secara perlahan warga mulai melakukan
kegiatan ekonomi produktif. Mereka membuka puluhan hektar lahan tidur dan
menjadikannya sebagai lahan pertanian dengan menanam sawah, pada tahun 2012.
Ini dilakukan agar masyarakat bisa menanam padi dan tidak perlu lagi mengeluarkan
biaya besar untuk transportasi membeli besar di Sikakap. Untuk pertanian ini, mereka
meminta bantuan Rebana Indonesia, berupa bibit.

Sebetulnya, masyarakat Dusun Maonai tidak lihai bersawah. Namun mereka berkukuh
bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Rebana Indonesia sendiri
memberikan bantuan bibir karena warga kurang minat akan programnya. Beberapa kali
pertemuan, warga tidak menghadiri karena sibuk mencari penghasilan. Akhirnya Rebana
Indonesia mengabulkan permintaan bantuan bibit, syaratnya warga harus membuka lahan
62 Wawancara dengan Alpaus Samongilailai, tokoh masyarakat, Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik,
Ferianto Gulo, kepala Dusun Mongan Bosua, Markelis, Kepala Dusun Tattanen.
63 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan hunian tetap Dusun Maonai.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

terlebih dahulu. Dengan menggunakan alat cangkul dan lainnya, warga membersihkan
lahan tidur untuk dikelola menjadi sawah. Rebana Indonesia beranggapan, tidak akan
mungkin program berjalan ketika warga dalam kondisi kelaparan. Terbukti, di samping
rajin bertani dan merawat sawah, warga jadi aktif dalam kegiatan Rebana Indonesia.64

Selama hampir setahun, hampir seluruh warga Dusun Maonai pun fokus dalam
peningkatan ekonomi melalui sawah. Selama membuka lahan sawah, mereka tidak

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


pernah lagi membeli beras. Sebab di setiap rumah sudah tersedia lumbung padi
sebagai simpanan harian. Bahkan sampai sekarang, masih ada warga yang tidak
membeli beras karena rutin menanam padi.65

Bukan hanya membuka lahan tidur untuk sawah, warga juga menanam cengkeh
dengan cara membibit sendiri. Dan semua itu mereka lakukan dengan pendampingan
dari Rebana Indonesia. Pada prinsipnya, warga memang tidak meminta uang ke
NGO yang datang dalam kegiatan aktivitas pengurangan risiko bencana. Mereka
hanya menginginkan pendampingan untuk mengelola beberapa jenis komoditas
pertanian. Warga yakin, pendampingan dari petugas pendamping lapangan (PPL)
akan membantu hasil panen yang maksimal. Juga meningkatkan ekonomi meski
tinggal di huntara dalam serba keterbatasan.66

Tabel 10. Kalender Musim Dusun Maonai


BULAN
KOMODITI 71
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
PISANG            
CENGKEH   
KOPRA            
PADI            
COKLAT            
HASIL NELAYAN            
MUSIM PENYAKIT  
MUSIM BUAH   
MUSIM KEMARAU     
NILAM            
KEPITING/ANGGAU       
UBI JALAR            
BADAI       
DUKU (SAMUNG) 
Sumber: Hasil FGD Warga Dusun Maonai

64 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, Staf Rebana Indonesia.


65 Wawancara dengan Yanti Saogo, warga Dusun Maonai.
66 Wawancara dengan Nelman Taileleu, tokoh masyarakat dan Rudol, warga Dusun Maonai.
Tabel 11. Aktivitas Harian Warga Maonai
JAM AKTIVITAS SUAMI AKTIVITAS ISTRI
Masak dan menyiapkan makanan,
BANGUN TIDUR, NGOPI,
06.00-08.00 mandi, cuci piringng, menata dan
NGOBROL
bersihkan rumah.
08.00-12.00 KERJA MAKAN, ISTIRAHAT, BEKERJA
MASIH DI LADANG (TIDAK SETIAP HARI
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

12.00-13.00 ISTIRAHAT
KE LADANG)
13.00-18.00 MEMBANGUN HUNTAP MEMBANGUN HUNTAP, MEMANCING
MANDI, TUKAR BAJU, SIAPKAN MAKANAN, MAKAN BERSAMA
18.00-20.00
MAKAN KELUARGA
20.00-23.00 NONTON TV NONTON TV
23.00 TIDUR TIDUR
Sumber: Hasil FGD Warga Dusun Maonai

Selain mengelola sawah dan cengkeh, warga sadar untuk mengolah ekonomi secara
berkelompok. Agar meningkatkan ekonomi, mereka juga bersemangat mencari
uang dari berbagai aktivitas dan sumber penghasilan lainnya. Seperti membuat tim
penyelam untuk mencari lobster. Udang lobster yang masih melimpah di sekitar
pantai Dusun Maonai lama, membuat warga kembali untuk mencari penghasilan ke
laut. Umumnya, mereka membentuk tim yang terdiri dari tiga orang untuk menjadi
72 penyelam penangkap lobster.

Aksi penyelaman dilakukan secara manual dengan senter sebagai penerang ketika
beraktivitas malam. Mereka tidak memerlukan tabung oksigen, melainkan hanya
menahan napas. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan warga Dusun Maonai
untuk mencari lobster, hanya bermodalkan senter dan menahan nafas sepanjang
mungkin di dalam laut. Hasil tangkapan lobster akan dijual ke agen pengumpul
lobster, terdekat. Uang hasil penjualan akan dibagi rata sesama penyelam.67

Kondisi perkonomian yang terbatas dan masih lemah di pengungsian huntara


membuat warga lebih mengutamakan skala prioritas dalam mengelola keuangan.
Sebab sumber utama penghasilan warga setelah tsunami hanya mengelola kelapa
menjadi kopra. Hingga tidak sedikit siswa SMP dan SMA dari Dusun Maonai putus
sekolah sekitar hampir setahun. Dengan uang masuk baik, dari pemerintah maupun
NGO yang memberikan jasa pekerjaan, sebagian warga lebih banyak menunda untuk
membeli barang yang tidak produktif. Mereka lebih mengutamakan biaya pendidikan
anak-anak. Sedangkan warga yang belum memiliki anak sekolah, membelanjakan
uang untuk alat elektronik, seperti televisi.68

67 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas Pembangunan hunian tetap Dusun Maonai.
68 Wawancara dengan tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan huntap Dusun Maonai.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Meski sudah beberapa tahun setelah tsunami, sebagian warga masih mengalami
trauma bila mengingat bencana itu. Tapi mereka pun mulai terdidik tentang bencana
dan pengurangan risikonya. Kejadian tsunami yang pernah mereka alami selalu
diceritakan kepada semua orang sebagai bentuk pesan kesiapsiagaan terhadap
ancaman gempa dan tsunami yang bisa terjadi kapan saja. Pesan kesiapsiagaan itu
selalu disampaikan melalui acara pernikahan, keagamaan, gotong-royong, dan punen
(pesta kampung).69

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Warga juga aktif melakukan pelatihan pengurangan risiko bencana yang digelar
beberapa lembaga penanggulanagan bencana, baik dari NGO maupun pemerintah.
Bahkan sampai saat ini, Dusun Maonai sudah memiliki kelompok siaga bencana (KSB),
dibentuk oleh NGO Rebana Indonesia. Warga pun antusias mengikuti rangkaian
kegiatan pelatihan pengurangan risiko bencana dengan tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan terhadap berbagai ancaman bencana, khususnya gempa dan tsunami.

Sejak tinggal di lokasi huntara yang kini dibangun sebagai hunian tetap, warga
sendiri selalu siap siaga ketika ada angin kencang. Meski sudah tinggal di atas bukit
yang dianggap aman dari tsunami, mereka lebih waspada dan keluar rumah setiap
mendengar atap seng rumah berbunyi karena angin kencang.70

Kini warga Dusun Maonai sibuk dengan persiapan percepatan pembangunan


hunian tetap (huntap). Dalam perjalanan pembangunannya, mereka sudah memiliki
kemampuan advokasi dan negosiasi. Misalnya dalam penetapan lokasi huntap, 73
antara pilihan warga dan pemerintah berbeda. Penduduk mempunyai pilihan lokasi
huntap di jalan poros yang berada di kawasan hutan lindung. Pemerintah menolak
dengan alasan mengganggu hutan lindung yang sudah ditetapkan sebagai kawasan
konservasi.

Pemerintah mengusulkan penggabungan lokasi huntap warga Dusun Maonai


dengan Limu, dan ditolak warga. Warga Dusun Maonai meyakini akan terjadi konflik
antar-dusun berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi. Dan bila dipaksakan akan
mengganggu nilai-nilai kerukunan warga antar-dusun. Dengan penggabungan itu,
mereka juga khawatir tidak memiliki tanah untuk berladang. Tanpa tanah berladang,
mereka memprediksi akan kesulitan menghidupi kebutuhan keluarga.

Maka warga Dusun Maonai menawarkan kepada pemerintah agar lokasi huntap di
lokasi hunian sementara. Pemerintah pun menyetujuinya, karena lokasi itu sudah
memenuhi kriteria aman dari ancaman tsunami. Alasan warga Dusun Maonai memilih
lokasi huntap di lokasi huntara karena jarak dengan ladang masih relatif dekat. Sebab
dengan dekat ladang, kebutuhan sehari-hari bisa tercukupi.71
69 Wawancara dengan Ismail, tokoh masyarakat Dusun Maonai.
70 Wawancara dengan Nelman Taileleu, Ketua KSB Dusun Maonai.
71 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan huntap Dusun Maonai.
Proses pembangunan huntap sendiri juga banyak menuai polemik, khususnya
terkait pengambilan material kayu. Namun saat membangun, warga Dusun Maonai
menjalankan fungsi pengawasan terkait bantuan pembangunan huntap. Rencana
awal, Primer Koperasi Angkatan Darat (Primkopad) akan memasok material kayu.
Karena tidak ada kesepakatan, warga pun membeli kayu dari pemilik ladang yang
memiliki pohon berkayu kokoh.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Bukan hanya material kayu, warga juga melakukan verifikasi terhadap pihak pemasok
material pabrikan untuk pembangunan huntap. Untuk menghindari penipuan,
mereka melihat aset (harta) pihak pemasok. Dan ketika material pabrikan yang dikirim
tidak sesuai perjanjian, maka warga akan menolak dan menuntut ganti. Bila pemasok
tidak mau mengganti, masyarakat akan mengambil asetnya, sebagai jaminan, sambil
menunggu pertanggungjawaban terkait kualitas material huntap.

Sementara untuk pembangunan huntap, wargamengembangkan sumber daya


sendiri. Meski pembangunan huntap sudah memakai standar pemerintah, warga
lebih memilih desain yang mereka pahami. Pertimbangannya, mereka tidak mengerti
pola struktur pembangunan huntap berdasarkan desain gambar pemerintah.
Fasilitator huntap di lapangan juga jarang mendampingi pembangunan. Sebab
fasilitator hanya muncul menjelang pencairan dana huntap, bukan dalam proses
teknis pembangunan. Misalnya kala warga membangun kloset. Karena fasilitator
teknis tak kunjung datang untuk mendampingi, pemasangan kloset tertunda sampai
74 berbulan-bulan.72

Tabel 12. Aktivitas Membangun Huntap


AKTIVITAS SUAMI ISTRI
1. Menyiapkan Bahan
• Pasir • Mencangkul/Menggali • Mengangkat, masukan gerobak
• Batu • Mencangkul/Menggali • Mengangkat, masukan gerobak
• Kerikil • Mencangkul/Menggali • Mengangkat, Masukan Gerobak
• Kayu  • Membawa Kayu
• Papan  • Mengetam
• Semen 
• Seng 
• Paku  • Mengangkat
• Alat dan Mesin 
• Lubrik • Mencetak
• Besi 

72 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan huntap Dusun Maonai.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

2. Membuat
• Pondasi 
• Rangka 
• Pasang Seng 
• Pasang Dinding  
• Cor Lantai  
• Pasang Lubrik

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Sumber: Hasil FGD Warga Dusun Maonai

3.7.3. Pagai Utara

Pascabencana lebih kurang lima bulan peristiwa tsunami berlalu, warga melakukan
relokasi. Untuk menentukan relokasi, pemerintah menyiapkan bangunan huntara
yang bisa ditempati warga sampai hunian tetap selesai. Mereka pun memiliki
beberapa rute perpindahan warga dari perbukitan Sabeugunggung ke hunian tetap.

Pasar (Jalur 3)

Sebuah daerah di perbukitan dan berdekatan dengan lokasi hunian sementara


warga. Namun keterbatasan ukuran pasar tanpa dukungan sarana lainnya, seperti
ketersediaan sumber air bersih, membuat beberapa pengungsi harus absen mandi
dalam beberapa hari. Di sana tidak ada pula tempat buang air besar yang memadai,
sehingga lingkungan terkesan kotor. Warga hanya bertahan tinggal di pasar (jalur 3)
75
selama empat hari.73

Hunian Sementara (Huntara) Jalur 8

Huntara yang difasilitasi pemerintah berada di atas perbukitan, lebih kurang 10 km dari
bibir pantai kawasan permukiman lama. Lokasi huntara berada di jalur pengangkutan
kayu gelondongan milik PT Minas Lumber. Sarana jalan yang sudah dipadatkan dengan
menggunakan traktor dan belum dicor semen, menjadi akses utama penghubung
antara huntara dengan pusat perekonomian warga di Sikakap. Jika jalan diguyur hujan,
pengendara roda dua akan mengalami kesulitan karena rute menjadi sangat licin.

Warga menempati huntara dengan kondisi seadanya, sedangkan anak-anak


mulai sekolah di SDN 26 selama satu bulan. Untuk perlengkapan sekolah, mereka
mendapatkan bantuan pemerintah, NGO, dan dewan greja yang datang dari Jakarta,
juga PNPM. Bantuan perlengkapan mereka peroleh terdiri dari sepatu sekolah, kaos
kaki, buku, pena, pensil, tas sekolah, serta seragam sekolah. Huntara tersebut tidak
berada di area Dusun Sabeugunggung, dan warga hanya bertahan di sana selama
satu bulan. Setelahnya, mereka pindah ke huntara km 10.74

73 Wawancara dengan Tarsi, Tokoh Pemuda Dusun Sabeugunggung.


74 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung.
Hunian Sementara

Huntara km 10 merupakan persinggahan akhir warga sebelum menikmati huntap.


Mereka juga melakukan beberapa perbaikan sehingga huntara menjadi bangunan
layak huni sesuai dengan keinginan dan standar setiap keluarga. Kehidupan di km 10
berlangsung lebih kurang dua tahun dan anak-anak pindah sekolah ke SDN 3.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Pada saat relokasi di km 10, warga mendapatkan dampingan dari CFK, salah satu NGO
yang bergerak di sektor pendidikan dan pertanian, sehingga aktivitas anak-anak mulai
ada perubahan mental. Dengan pendampingan CFK, anak-anak mulai bermain dan
bernyanyi. Sebuah kegiatan yang menjadi salah satu media penyembuhan warga dari
rasa trauma terhadap bencana tsunami.

Untuk bercocok tanam, warga mendapatkan bantuan bibit cabe dan sayur-sayuran
yang dikelola ibu-ibu secara berkelompok. Ketika berhasil mendapatkan uang, akan
ada pembagian yang adil untuk seluruh peserta kelompok. Juga tersedia pertanian
yang dikelola kaum laki-laki melalui penanaman kopi dan coklat. Penambahan
kapasitas juga dilakukan melalui pelatihan yang difasilitasi pelatih pertanian dari CFK.75

Pemulihan mental kepala keluarga untuk kembali bekerja terjadi secara bervariasi. Ada
yang memiliki kemauan dan mampu untuk beraktivitas laut dua hari pascatsunami. Tapi
ada pula yang selama dua bulan pascatsunami baru bisa melakukan aktivitas normal.
76

Di daerah Kilometer 10 warga mulai bertani dengan tanaman yang menghasilkan


uang, seperti kopi, coklat, pisang, dan kelapa. Secara umum ekonomi warga Mentawai
khususnya non-PNS dan wiraswasta, sangat menggantungkan hidup dari alam
untuk pertanian. Panen yang dihasilkan akan memperbaiki kondisi perekonomian
masyarakat yang sedang berjalan. Sebab bagi masyarakat Mentawai, beban hidup
tidak terbatas pada makan saja, tapi juga untuk menciptakan generesi yang siap
bersaing. Untuk itu penduduk Mentawai gencar membuka jalur komunikasi dengan
seluruh elemen pendidikan, seperti program beasiswa pemerintah kabupaten,
provinsi, pusat, perusahaan, lembaga keagamaan, dan sebagainya. Kebanyakan
pelajar Mentawai mendapatkan fasilitas menyeluruh mulai dari biaya hidup, SPP, dan
tempat tinggal. Sehingga dukungan dana dari orang tua hanya menjadi pelengkap.

Hunian Tetap

Hunian tetap bekas warga Dusun Sabeugunggung berada di km 14. Dan mereka
memasukinya pada Desember 2013. Beberapa aktivitas warga di dusun lama dan
sempat hilang, mulai terasa kembali. Kegiatan ibadah pun digelar rutin, dan sering
ditutup dengan pengumumun informasi yang datang dari luar. Perencanaan gotong
royong warga pun selalu berawal dari tempat ibadah. Kerja sama antara pengurus
75 Wawancara dengan Tarsi, tokoh pemuda Dusun Sabeugunggung.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

gereja, kepala dusun, dan tokoh masyarakat terlihat harmonis dalam mencapai
tujuan dalam rangka kemaslahatan umat. Penyelesaian masalah yang terjadi di dalam
masyarakat juga dibicarakan di gereja bersama kepala dusun dan penatua gereja.76

Pengumpulan iuran yang menjadi kas umat yang dapat berguna untuk membantu
masyarakat kesulitan keuangan berobat, sudah berjalan normal. Pendampingan yang
dilakukan NGO terkait pertanian sudah menampakkan hasil, dengan panen cokelat.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Walaupun belum maksimal dan kondisi ekonomi yang belum menentu, aktivitas
warga sudah mulai berjalan.77

Rutinas menyelam di laut mencari lobster, teripang, ikan dan lainnya, juga berjalan
normal. Kendala saat ini adalah jarak yang jauh untuk mencapai pantai. Karena sangat
banyak energi yang terbuang untuk berjalan kaki sejauh 10 km untuk pergi dan
pulang. Di sisi lain, pengumpul barang di Sikakap memberikan dukungan kepada
pengumpul barang di dusun berupa keamanan harga jual ketika terjadi penurunan
harga hasil tangkapan. Juga pemberian alat dukung untuk menyelam seperti masker,
tapak bebek, dengan system pembayaran melalui pencicilan dari hasil tangkapan
nelayan.78

Pengobatan yang dilakukan Siagai Laggek, penanganan persalinan oleh dukun


beranak, dan kunjungan dari dinas kesehatan melalui tenaga medis puskesmas
Sikakap telah berjalan di kampung baru. Penimbangan anak-anak bayi melalui
keterlibatan kader-kader posyandu telah terlaksana sehingga kesehatan batita 77
dan balita dapat dipantau dari proses tersebut.

Hunian tetap seharusnya sudah bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat.
Namun hingga proses penelitian Maret 2015, masih banyak rumah yang belum selesai
pengerjaannya. Sehingga sejumlah warga masih menempati rumah hunian sementara
yang telah ukurannya sudah bertambah sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-
masing.

Beberapa konsensus masyarakat, seperti hari Minggu, tidak hanya berfungsi waktu
ibadah. Juga untuk memperkuat silaturahmi dan keakraban setiap warga. Selesai
melakukan ibadah, biasanya akan ada kunjungan satu keluarga dengan lainnya. Selain
untuk menjalin keakraban, juga berbagi suka duka kehidupan satu minggu yang
sudah berjalan. Suasana tersebut berlanjut pada sore harinya di lapangan bola voli.
Di sana, warga tidak saja mengolah tubuh. Tapi juga mengolahragakan mental yang
masih menyisahkan trauma atas peristiwa tsunami yang merenggut jiwa orang-orang
tersayang.

76 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung.


77 Wawancara dengan Jursam Sakerebau, masyarakat Dusun Sabeugunggung.
78 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

PERMUKIMAN. Letak Permukiman Desa Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan di Sepanjang Pesisir
Pantai. (Foto: Hamdani)

Ketika ada keluarga yang meninggal, sakit, atau melahirkan, para tetangga akan
datang berkunjung. Tidak hanya mendampingi keluarga yang sedang kesusahan,
juga ikut berjaga sampai pagi, menghibur keluarga yang sedang dilanda musibah.79
Kondisi ini sudah menjadi budaya semenjak di kampung baru, dan durasi kunjungan
78 semakin meningkat pasca-tsunami 2010, sebagai pertanda masyarakat semakin kuat
di tengah kebersamaan di kampung baru.

Pembangunan sekolah pasca-tsunami dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah


dengan penduduk. Bila pemerintah bertugas mengurus pembangunan sekolah,
warga menyediakan meja kursi. Tingginya harapan untuk memiliki generasi yang
berpengetahuan luas, tidak menjadi halangan bagi masyarakat dalam mengulurkan
tangan terkait bantuan meja kursi siswa.

Beberapa hal positif yang bisa dilihat pasca-peristiwa adalah tingginya minat masyarakat
untuk mengikuti proses pelatihan dari NGO. Kunjungan tugas perawat/bidan ke dusun
juga meningkat dari pada kondisi sebelum bencana, ini didukung oleh tersedianya
akses darat yang menghubungkan pusat Kecamatan Sikakap dengan dusun.

Keterlibatan kaum ibu untuk mensukseskan pembangunan huntara dan huntap


didasari keinginan untuk mempercepat memiliki rumah. Keterlibatan itu terlihat dari
aktivitas pengumpulan pasir bangunan dan mengantar seng dari km 10 ke km 14
hanya dengan berjalan kaki.80

79 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung.


80 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

3.7.4. Siberut

Pendataan kerusakan rumah oleh kepala dusun dan perangkat desa mulai dilakukan
saat gempa 2007. Beberapa titik di Pulau Siberut, pendataan dilakukan secara mandiri
oleh masyarakat. Mereka yang melakukan pendataan memiliki kemampuan tentang
konstruksi bangunan dan melaporkan hasil pendataan ke kepala desa.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Pasca-gempa Nias, melalui iuran warga, sebagian besar masyarakat melakukan
gotong-royong membuat jalur evakuasi sampai ke tahap pengecoran beton. Seperti
yang dilakukan penduduk Desa Muara Siberut, pusat Kecamatan Siberut Selatan. Pada
gempa Siberut, April 2005, iuran masyarakat dan bantuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Muara Siberut, juga memfasilitasi penerangan listrik dengan menggunakan
mesin tenaga diesel. Penerangan hanya diperuntukkan bagi jalur lintas evakuasi
sampai ke lokasi pengungsian ketika malam. Kondisi siap siaga masyarakat Muara
Siberut menjadi pemicu bagi masyarakat desa lain untuk bersikap serupa.

Muara Siberut lebih siaga ketimbang daerah lain dalam menghadapi bencana. Hal itu
disebabkan oleh ketersediaan informasi melalui televisi dan PLTD milik negara, radio,
keterbukaan masyarakat menerima informasi baru, dan kesiapan secara ekonomi.

Warga Muara Siberut juga melakukan perubahan dalam pembuatan rumah,


khususnya rumah panggung di pedalaman dan pinggir pantai terjadi pasca-gempa
2007. Ukuran posisi sandi rumah (tempat berdirinya tiang) dibuat lebih besar dan 79
memiliki besi yang diikatkan untuk dipasang ke dalam tiang rumah. Ini dilakukan
setelah masyarakat berpengalaman dari gempa sebelumnya ketika banyak rumah
jatuh dari sandi.

Penggunaan kawat untuk dinding rumah sebagai pengganti beton pun mengalami
perubahan yang sama di beberapa pusat desa. Kawat yang dilampisi beton dengan
ketebalan lebih kurang 10 cm, lebih memiliki ketahanan dari guncangan gempa dari
pada susunan bata ataupun hollowbrik.

Di Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, sebagian masyarakat sudah melakukan
relokasi dengan membuat rumah baru di lokasi yang dekat dengan bukit. Melalui
program siaga bencana, televisi, dan radio, masyarakat juga mulai paham tentang
kedangkalan hamparan laut di depan Desa Taileleu yang berpotensi terjadinya
gelombang tinggi.

Keberadaan Satgas Penanggulangan Bencana Kecamatan yang dibentuk pada 2009,


ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten melalui BPBD. Seperti dengan peningkatan
kapasitas melalui beragam pelatihan dalam mengambil peran pada fase saat, sebelum,
dan sesudah bencana. Namun pemerintah kabupaten belum menyediakan anggaran
operasional untuk kegiatan Satgas PB Kecamatan. Sehingga timbul dilema untuk
mempertahankan keberadaan Satgas di tengah-tengah masyarakat.

Cuaca ekstrem, badai, angin kencang, dan ombak tinggi juga menjadi pengalaman
akan kendala pemberian bantuan pasca-gempa dan tsunami. Sebab ketersediaan
transportasi laut seperti longboat berukuran besar dengan operator berpengalaman
cukup sulit didapat. Padahal longboat mampu memuat barang-barang bantuan
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

berjumlah banyak. Kini, ketersediaan longboat menjadi kebanggaan sumber daya


lokal potensial yang akan turun tangan dalam membantu masyarakat di desa lain.
Seperti membantu warga yang mendapatkan musibah sakit dan harus dibawa untuk
berobat ke Kota Padang.

Gesekan antar-umat beragama sampai saat ini belum pernah terjadi. Pada saat desa
tetangga mendapatkan musibah bencana seperti pengalaman bencana banjir di Desa
Muntei tahun 2013, masyarakat desa tetangga akan mengumpulkan nasi bungkus
dan memberikan bantuan. Mereka tidak melihat perbedaan ras, agama, dan suku.
Hanya ingin mengurangi derita saudara-saudara yang terdampak bencana.

3.7.5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat

Memasuki tahun kelima pasca-bencana gempa dan tsunami 2010, beberapa


lembaga kemanusiaan serta penanggulangan bencana semakin gencar melakukan
80 program kegiatan sosial. Juga terjadi peningkatan kapasitas, baik pemerintah
maupun masyarakat, terhadap pengurangan risiko bencana. Pemerintah, melalui
Badan Nasional Penanggulnagan Bencana (BNPB), juga melakukan kegiatan
peningkatan kapasitas masyarakat dalam memahami pengurangan risiko bencana.
Kini BNPB melaksanakan berbagai program dan kegiatan membangun ketangguhan
sebagai bentuk peningkatan kapasitas masyarakat. Seperti Program Desa Tangguh di
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang mulai dijalankan pada tahun 2012.81

Tabel 13. Program Desa Tangguh


Daerah
No Materi Komunitas
Intervensi
1 Konsep Desa Tangguh Masyarakat Siberut, Sipora
2 Menjadi Fasilitator yang Baik Masyarakat
3 Peta dan Kajian Risiko Bencana Tingkat Desa Masyarakat
4 Rencana Aksi Komunitas – Desa Tangguh Bencana Masyarakat
5 Pembentukan Forum-Destana_yul Masyarakat
6 Kelompok Rentan BNPB Masyarakat
Sumber BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai Program Desa Tangguh Bencana, 2014

81 Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai


juga ikut dalam peningkatan kapasitas masyarakat terhadap pengurangan risiko
bencana. Seperti membentuk Satgas dan Kelompok Siaga Bencana (KSB) di beberapa
kecamatan dan desa. Tujuan tim itu sebagai lembaga koordinasi yang bermitra
langsung dengan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai ketika terjadi berbagai
ancaman. Dengan koordinasi dengan lembaga terkait, respons dan proses evakuasi
pun akan berlangsung lebih cepat. Satgas dan KSB juga selalu menjadi garda depan

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


untuk melakukan tindakan awal dalam merespons berbagai bencana daerah masing-
masing.82

Selain pemerintah melalui BNPB dan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, berbagai
lembaga pengurangan risiko bencana (PRB) juga aktif melakukan kegiatan peningkatan
kapasitas pemerintah dan masyarakat. Seperti Mercy Corps Indonesia pada tahun
2012 melakukan program peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dengan
mitra kerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Readi di Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Program selama dua tahun itu membentuk masyarakat sadar dan paham
terhadap ancaman bencana. Sebab mereka memperoleh pelatihan manajemen
penanggulangan bencana serta simulasi evakuasi gempa dan tsunami. Untuk lebih
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam membaca dampak ancaman bencana,
Mercy Corps Indonesia juga melakukan kampanye pengurangan risiko bencana
melalui radio Surak FM serta kajian analisa melalui peta risiko ancaman tsunami di
Kabupaten Kepulauan Mentawai.83
81
Tabel 14. Peningkatan Kapasitas Program Readi Mercy Corps
No Materi Komunitas Daerah Intervensi
Kajian Kerentanan Masyarakat dan Desa Saibi dan Saliguma,
1
Kapasitas (VCA) Staf BPBD Kecamatan Siberut Tengah
Manajemen Dasar Staf BPBD
2 Tuapeijat
Penanggulangan Bencana Mentawai
Pemerintah
3 Kampanye PRB di Radio Mentawai
dan Masyarakat
Dusun Tuapeijat, Camp, Jati,
Simulasi Evakuasi Gempa Pemerintah
4 Kampung, Saibi, Saliguma,
dan Tsunami dan Masyarakat
Sikabaluan
Kajian Potensi Tempat
5 Staf BPBD Mentawai
Evakuasi Sementara (TES)
Kampanye PRB lewat
6 Masyarakat Dusun Saibi dan Saliguma
Poster

82 Wawancara dengan Yusuf, Kabid Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai.


83 Wawancara dengan Supriyanto, Manager Program READI Mercy Corps Indonesia.
Dusun Tuapeijat, Camp, Jati,
Peta Partisipatif Ancaman
7 Masyarakat Kampung, Saibi, Saliguma, Sirilanggai,
Risiko Tsunami
Batjoja, Maileppet, Muara, Puro
Dusun Mapadeggat, Sirilanggai,
8 Jalur Evakuasi (fisik) Masyarakat
Maileppet, Batjoja, Muara, Puro
Peta Landaan Tsunami
9 Masyarakat Pulau Sipora
Pulau Sipora
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Sumber: Program READI Mercy Corps Indonesia, 2013-2014

Di samping itu, NGO ASB juga melakukan rangkaitan kegiatan dengan program
peningkatan kapasitas masyarakat serta pendidikan pengurangan risiko bencana di
beberapa sekolah. Dalam hal ini, ASB melatih warga setempat untuk menjadi pelatih
bagi penduduk lain. Keterlibatan warga sebagai kader pelatihan pengurangan risiko
bencana penting untuk mengembangkan pemahaman pengurangan risiko bencana
secara berkelanjutan. Penduduk juga membentuk kelompok siaga bencana sebagai
komunitas yang bakal memberikan pelayanan dan komando tanggap darurat di tingkat
dusun. Dengan terbentuknya komunitas siaga bencana, komunikasi dan koordinasi
dalam mengelola manajemen penanggulangan bencana akan berjalan lebih mudah.

Seperti di Dusun Bosua, Desa Bosua, ASB melatih warga untuk menjadi pelatih
dalam mengembangkan materi pengurangan risiko bencana. Secara teknis, ASB
82 melatih beberapa orang untuk menjadi kader pelatih. Setelah dilatih, para kader
itu akan memberikan pelatihan kepada warga dusun tersebut. Dalam hal ini, setiap
kepala keluarga diwajibkan terlibat dalam mengikuti proses rangkaian kegiatan
pelatihan pengurangan risiko bencana. Kemudian setiap utusan keluarga wajib
untuk menyampaikan pesan pengurangan risiko bencana kepada anggota keluarga.
Untuk mengukur sampai atau tidaknya pesan pengurangan risiko bencana itu, ASB
membekali warga angket yang terkait materi pengurangan risiko bencana.

Untuk merealisasikan pemahaman warga dalam peningkatan kapasitas terhadap


ancaman bencana, maka dilakukan beberapa kali simulasi evakuasi gempa dan
tsunami. Hal ini penting untuk menguji sejauh mana pemahaman warga terhadap
pengurangan risiko bencana melalui pesan yang disampaikan masing-masing utusan
keluarga saat dilatih sebagai trainer.84

Utri Ambarita

Saya belum lama tinggal di Mentawai, bahkan saat kejadian tsunami 2010 juga tidak
ada di sini. Datang ke Mentawai ketika lulus dalam pengangkatan Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS). Terkait pemahaman pengurangan risiko bencana sangat minim.
84 Wawancara dengan Utri Ambarita, guru SMP Desa Bosua.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Bahkan ketika merasakan guncangan gempa, sama sekali tidak mengerti tindakan
apa yang mestinya dilakukan. Sejauh ini hanya panik dengan tindakan tanpa arah
untuk menyelamatkan diri.

Ketika tugas di Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan sebagai seorang guru, saya baru
memahami pentingnya pengurangan risiko bencana melalui NGO ASB. Saat itu, ASB
membentuk tim pelatih yang terdiri dari berbagai unsur, salah satunya keterwakilan dari

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


pekerja pendidik. Dan pihak sekolah merekomendasikan saya sebagai kader trainer.
Saat itu, kami dilatih selama beberapa hari dengan materi pengurangan risiko bencana.

Selesai menjalani pelatihan, kami memperoleh tugas untuk memberikan materi


pengurangan risiko bencana atau 3B tersebut kepada semua warga. Dalam hal ini,
setiap keluarga harus mengutus satu orang untuk menjadi peserta. Selama beberapa
hari, kami melatih warga, mereka pun harus menyampaikan pesan pengurangan
risiko bencana kepada keluarganya.

Untuk mengukur kualitas kapasitas keluarga terhadap pengurangan risiko bencana, warga
dibekali formulir berisi materi pengurangan risiko bencana yang disampaikan selama
pelatihan. Formulir dengan materi pengurangan risiko bencana itulah yang menjadi
alat ukur untuk mengetahui pemahaman tingkat keluarga terhadap ancaman bencana
gempa dan tsunami. Sebab hasil formulir yang diisi oleh warga bersama keluarganya itu
akan dievaluasi. Jadi dalam hal ini, ada trainer di tingkat dusun sampai keluarga.
83
Setelah memahami materi, kami melakukan simulasi evakuasi gempa dan tsunami
untuk menguji pemahaman warga dalam menyelamatkan diri saat terjadi ancaman
gempa dan tsunami.

Sebagai guru, sejauh ini saya akan mengupayakan adanya pelajaran pendidikan
pengurangan risiko bencana, baik melalui muatan lokal atau sudah menjadi kurikulum.
Tapi karena kondisi sekolah pasca-bencana gempa dan tsunami 2010 belum ada
persiapan, hingga kini pelajaran pengurangan risiko bencana belum masuk kurikulum
ataupun muatan lokal. Meski begitu, saya yakin jika pelajaran pengurangan risiko
bencana akan masuk muatan lokal, khususnya SMP di Desa Bosua.

Setelah menjadi trainer pengurangan risiko bencana, saya semakin terdidik terhadap
pentingnya pemahaman pengurangan risiko bencana. Secara pribadi saya meyakini,
sebelum dan sesudah menerima pemahaman pengurangan risiko bencana, pasti ada
tindakan atau perubahan perilaku ketika merasakan gucangan gempa. Kalau dulu
hanya panik dan bertindak tanpa arah kala gempa, sekarang pasti akan berubah.
Namun setelah menjadi pelatih, sampai saat ini, saya belum pernah merasakan
guncangan gempa.
Tabel 15. Materi Pengurangan Risiko Bencana
No MATERI KOMUNITAS DAERAH INTERVENSI
Basic DRR 3 B 1. Forum PRB Kecamatan Desa Bosua, 5 cluster/dusun
Bersimpuh 2. Forum PRB Desa Desa Taileleu 7 cluster/dusun
1 Berlindung 3. Tim PB Dusun Desa Sagulubek 7 cluster/dusun
Bertahan 4. Perwakilan Kepala Keluarga Desa Simalegi 5 cluster /dusun
5.Anggota Keluarga
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

2
Pelatihan untuk Tim Tim PB Desa Bosua 5 cluster/dusun
PB Dusun Materi Desa Taileleu 7 cluster/dusun
PPGD SAR Desa Sagulubek 7 cluster/dusun
Manajemen Logistik Desa Simalegi 5 cluster /dusun
dan Pendirian Tenda
Pelatihan
Komunikasi Radio
3
Pelatihan Forum PRB Kecamatan dan Desa Bosua Kecamatan Sipora
Pembuatan Forum PRB desa Selatan
Document RPB Desa Taileleu Kecamatan Siberut
Tingkat Desa dan Barat Daya
Kecamatan dalam Desa Sagulubek Kecamatan
PRB Siberut Barat Daya
Desa Simalegi Kecamatan
Siberut Barat
84 4 Pelatihan PRB Masyarakat Disabilitas Desa Bosua 5 cluster/dusun
untuk Disabilitas Desa Taileleu 7 cluster/dusun
Desa Sagulubek 7 cluster/dusun
Desa Simalegi 5 cluster/dusun
5 Simulasi Gempa Masyarakat Dusun Pusaregat Desa Sagulubek
dan Tsunami dan Pupaliat Desa Sagulubek
Tim PB Dusun Pusaregat dan
Pupaliat
Sumber : ASB, 2015

Tabel 16. Materi Pengurangan Risiko Bencana


No Materi Komunitas Daerah Intervensi
1 a. Pengetahuan Manajemen Bencana Masyarakat 1. Dusun Sao
b. Dapur Umum 2. Katiet
c. Komunikasi 3. Mongan Bosua
d. Pemetaan 4. Gobik
e. Logistik dan peralatan
f. Pertolongan Pertama
g. Psikososial dan trauma

Sumber: SurfAID International Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2008


Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Tingginya angka korban jiwa pada bencana tsunami tahun 2010 membuktikan
masih minimnya pengetahuan pengurangan risiko bencana terhadap masyarakat
di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Hal itu berakibat pada minimnya tingkat
kesiapsiagaan warga Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam membaca ancaman
bencana gempa dan tsunami. Seperti di Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan
Pagai Selatan. Terbukti, anak-anak yang sudah terlatih mendapatkan pembinaan
terhadap pemahaman pengurangan risiko bencana mampu melakukan evakuasi dari

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


bencana tsunami tahun 2010. Anak-anak tersebut hanya mendapatkan pendidikan
singkat mengenai pengurangan risiko bencana melalui simulasi evakuasi tsunami
sebanyak dua kali di sekolah. Namun pendidikan singkat itu mampu menyelamatkan
mereka dari pada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan pemahaman
pengurangan risiko bencana.

Untuk meningkatkan kapasitas terhadap pemahaman risiko bencana gempa dan


tsunami, kini masyarakat Dusun Maonai sedang mendapatkan pembinaan terhadap
pemahaman pengurangan risiko bencana dari NGO Rebana Indonesia. Awalnya, Rebana
Indonesia sudah bersiap untuk melatih warga Dusun Maonai terhadap pemahaman
pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami. Namun persiapan itu kalah cepat
dengan datangnya bencana tsunami yang meluluhlantakkan Dusun Maonai pada 2010.
Akibatnya, mayoritas yang menjadi korban jiwa dan luka-luka adalah orang dewasa.

Pada mulanya, Rebana Indonesia sendiri hanya konsentrasi terhadap pendidikan


anak-anak melalui sekolah. Namun mereka melihat kemampuan anak-anak sekolah 85
menyelamatkan diri dari bencana tsunami tahun 2010 setelah mengikuti simulasi
evakuasi gempa dan tsunami. Kemampuan anak-anak tersebut menjadi indikator,
bahwa ada perbedaan proses evkuasi penyelamatan diri antara warga yang sudah
atau pernah didik dalam pemahaman pengurangan risiko bencana. Sebab beberapa
anak sekolah yang pernah mengikuti simulasi evakuasi tsunami oleh Rebana Indonesia
menjadi korban akibat terbawa orang tuanya yang masih bingung menentukan arah
evakuasi saat gelombang tsunami datang.85

Atas dasar indikator kemampuan anak-anak sekolah yang mampu menyelamatkan diri
setelah mengikuti simulasi evakuasi gempa dan tsunami, maka orang dewasa atau warga
umumnya juga harus mendapatkan pelatihan dan pemahaman terhadap pengurangan
risiko bencana gempa-tsunami. Apalagi aktivitas sehari-hari warga masih di bibir pantai,
meski tempat tinggal mereka di huntara sudah dianggap aman dari jangkauan tsunami.

Secara terstruktur, Rebana Indonesia sudah membentuk Kelompok Siaga Bencana (KSB)
di beberapa dusun, termasuk Dusun Maonai. Kelompok Siaga Bencana yang terdiri
dari beberapa orang tersebut secara berkesinambungan mendapatkan pelatihan
pengurangan risiko bencana. Kelompok Siaga Bencana tersebut ditargetkan akan

85 Wawancara dengan Nelson, Staf Rebana Indonesia.


menjadi garda depan bagi semua warga Dusun Maonai untuk mampu menyelamatkan
dan melakukan evakuasi warga ketika timbul ancaman gempa dan tsunami.86

3.7.6. Tata Ruang Berbasis Penanggulangan Bencana

Tingginya korban jiwa terhadap bencana tsunami tahun 2010 di Kabupaten Kepulauan
Mentawai merupakan akibat dari lokasi permukiman warga yang dekat dengan bibir
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

pantai. Angka fantastis itu menunjukkan 509 korban jiwa dan 11.425 orang mengungsi
akibat bencana tsunami. Mayoritas korban berasal dari kelompok rentan, seperti anak-anak
dan ibu rumah tangga. Meski tsunami sudah melanda Kabupaten Kepulauan Mentawai,
bukan berarti ancaman itu tidak akan datang kembali. Apalagi Mentawai berada di patahan
lempeng Indo-Australia. Bahkan terakhir, masih ada energi terkuat di Kabupaten Kepulauan
Mentawai, tepatnya di Pulau Siberut dengan ancaman gempa berpotensi tsunami.

Untuk menyikapi hal itu, BNPB bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan
Kabupaten Kepulauan Mentawai memandang perlu untuk menata ruang berbasis
penanggulangan bencana. Hal ini tergambar dalam proses penempatan hunian tetap
(huntap) di semua titik yang terdampak tsunami tahun 2010.

Di Kecamatan Sipora Selatan, beberapa dusun yang terdampak tsunami kini sedang
melakukan percepatan pembangunan huntap di daerah yang dianggap sudah
memenuhi kriteria aman dari ancaman tsunami. Juga pembangunan huntap di
86 Kecamatan Pagai Utara dan Pagai Selatan, lokasi itu dianggap aman dari jangkauan
tsunami sebagaimana yang telah diprediksikan pada kegiatan MMDirex 2014.

Meski sebagian daerah pedesaan dan pedusunan yang terdampak tsunami tahun
2010 sudah direlokasi serta menempati lokasi aman tsunami, masih ada beberapa
tempat publik yang dianggap rawan ancaman tsunami. Seperti pusat pasar di ibu kota
kecamatan, yang umumnya masih berada di garis pantai dan masih rentan dengan
ancaman tsunami. Contohnya Pasar Sikakap sebagai ibu kota Kecamatan Sikakap.
Pasar Sikakap merupakan pusat pasar dari tiga kecamatan, di antaranya Kecamatan
Pagai Selatan, Kecamatan Pagai Utara, dan Kecamatan Sikakap. Sama halnya di Pasar
Sioban, Kecamatan Sipora Selatan dan Pasar Muara Siberut, Kecamatan Siberut
Selatan. Untuk Pasar di Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara sudah aman pada jangkauan
tsunami, namun hingga saat ini belum berfungsi. Semua aktivitas perdagangan masih
menyebar di sepanjang pantai.

Dari empat pasar ibu kota kecamatan tersebut, semuanya sudah memiliki jalur
evakuasi tsunami, lengkap dengan arah evakuasi yang sudah dipahami warga dan
pengungjung asing lainnya. Dengan proses tata ruang yang lengkap dengan jalur
dan arah evakuasi tsunami, diharapkan mampu mengurangi risiko bencana dari
ancaman bencana alam tesebut.
86 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, Staf Rebana Indonesia.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Untuk di kawasan Pulau Siberut, pemerintah sudah mulai memindahkan beberapa


sekolah dan kantor pemerintahan yang masih berada dalam jangkauan tsunami.
Seperti di Dusun Pei-Pei, Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, sekolah dasar
serta kantor pemerintahan sudah mulai direlokasi ke tempat yang aman dari tsunami.
Begitu juga dengan Desa Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara, kantor dan puskesmas
pun sudah pindah ke lokasi aman.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


Namun, semua sekolah di Kecamatan Siberut Utara masih dalam jangkauan ancaman
tsunami. Lokasi ibu kota Kecamatan Siberut Utara yang berada di Desa Sikabaluan
juga masih rentan dengan ancaman tsunami. Sedangkan jalur evakuasi menuju titik
aman sekitar 4,5 kilometer, membuat proses evakuasi akan menempuh risiko tinggi.
Apalagi badan jalan evakuasi yang kurang lebar.

Berdasarkan hasil kajian simulasi evakuasi tsunami di Desa Sikabaluan, Kecamatan


Siberut Utara, peserta mampu mencapai titik aman dengan menempuh waktu 35
menit. Padahal ancaman dari Megathrust Mentawai, penduduk hanya memiliki waktu
evakuasi selama tujuh menit.87

Untuk menekan angka korban jiwa dari ancaman tsunami di Desa Sekabaluan,
Kecamatan Siberut Utara, pemerintah sudah merencanakan pembangunan
penampungan dengan kapasitas sekitar seribu jiwa. Rencananya, shelter itu dibangun
pada tahun 2015 di Desa Sikabaluan sebagai ibu kota Kecamatan Siberut Utara.
87
Untuk mengetahui lokasi huntap yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai,
berikut dijelaskan dalam bentuk tabel.

Tabel 17. Lokasi Huntap di Kecamatan Sipora Selatan


No Kecamatan Ketinggian dari Permukaan Laut
1. Sipora Selatan 5 - 7 Meter
2 Pagai Selatan 17 – 25 Meter
3 Pagai Utara 17 – 25 Meter
Sumber: BPBD Provinsi Sumatera Barat, 2014

3.7.7. Faktor Pendorong dan Penghambat Ketangguhan

3.7.7.1. Faktor Pendorong

Kejadian bencana gempa bumi yang disusul tsunami menjadi satu faktor pendorong
bagi masyarakat Mentawai untuk lebih sadar terhadap ancaman bencana. Sikap
sadar terhadap ancaman bencana itu tentunya dengan meningkatkan kemampuan
terhadap pemahaman pengurangan risiko bencana. Hal ini didukung dengan
87 Hasil simulasi evakuasi gempa dan tsunami BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, 21 Oktober 2014.
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

SIAP KIRIM. Ribuan kubik kayu di Dermaga Polaga Sikakap milik PT Minas siap kirim. (Foto: Iswanto)

intervensi pihak luar, seperti organisasi kemanusiaan pengurangan risiko bencana.


Melalui intervensi NGO tersebut, masyarakat antusias mengikuti berbagai pelatihan
dan pendalaman pengetahuan terkait pengurangan risiko bencana. Antusiasme itu
juga didukung kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Mentawai yang menuntut
warga Bumi Sikerei menjadi lebih siap dengan kemampuan sumber daya yang ada.

Pembauran antara masyarakat Mentawai dengan para pendatang juga menjadi salah
satu upaya peningkatan kapasitas dalam memahami berbagai karakter ancaman
bencana. Di samping itu, munculnya perusahaan, seperti HPH, juga menjadi salah satu
pengalaman dasar bagi masyarakat untuk mampu mengelola konflik. Keberadaan
perusahaan kayu tersebut kerap memberikan pengalaman konflik sosial, terkait
88 berbagai kepentingan, kepada masyarakat. Berbagai masalah yang muncul selama
masyarakat bekerja dalam perusahaan kayu itu, secara tidak langsung mendidik
masyarakat untuk mampu dan mengelola konflik dalam kesehariannya. Musyawarah
dan mengambil keputusan secara bersama menjadi dasar hukum bagi masyarakat
untuk menentukan sikap dan tindakan.

Di samping itu, pasca-tsunami 2010, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai


juga menyadari pentingnya perencanaan pembangunan berbasis penanggulangan
bencana. Untuk menghindari ancaman gempa dan tsunami, Pemerintah Kabupaten
Kepulauan Mentawai mulai melakukan kebijakan arah pembangunan di kawasan
yang aman dari jangkauan tsunami. Beberapa fasilitas umum, seperti kantor
pemerintahan, sekolah, puskesmas, serta usaha bisnis penginapan mulai diarahkan
pada tempat tinggi dan relatif jauh dari bibir pantai. Kebijakan ini berdasarkan
kenyataan Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagai daerah yang paling rentan
dengan ancaman gempa dan tsunami yang tidak akan berakhir.

3.7.7.2. Faktor Penghambat

Kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak semuanya mendukung dalam


menciptakan masyarakat tangguh terhadap bencana. Seperti dalam kebijakan
penetapan hunian sementara dan hunian tetap. Dalam hal ini, pemerintah
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

merelokasi semua dusun, baik yang terdampak maupun yang dianggap rentan
dengan ancaman tsunami. Dalam melakukan kebijakan relokasi menuju huntara,
masyarakat menganggap pemerintah kurang berkoordinasi dan berkomunikasi.
Seperti pembangunan hunian sementara di Kecamatan Sipora Selatan, Desa Bosua.
Ratusan hunian sementara itu terbangun sia-sia, karena dengan pelbagai alasan
masyarakat tidak bersedia menempatinya. Seperti anggapan lokasi hunian sementara
yang jauh dari ladang warga. Lokasi hunian sementara itu juga tidak memiliki fasilitas

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


pendukung, seperti air bersih, penerangan, seta akses jalan yang layak. Akhirnya,
masyarakat lebih memilih membuat hunian sementara secara pribadi dan bantuan
dari NGO.

Bukan hanya di Kecamatan Sipora Selatan, Kecamatan Pagai Selatan dan Pagai
Utara juga hampir mengalami hal sama. Pemerintah cenderung kurang komunikasi
dan koordinasi dalam mengambil kebijakan. Terkesan, kebijakan pemerintah tidak
berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban. Bahkan terjadi ketegangan
karena sebagian dusun tidak menerima lokasi hunian tetap versi pemerintah.
Akhirnya, sebagian dusun melakukan kesepakatan bersama untuk mencari lokasi
hunian tetap berdasarkan pilihan masyarakat sendiri. Warga sendiri memilih lokasi
hunian berdasarkan lokasi yang dekat dengan ladang, sebagai ketahanan pangan.

Menurut penduduk, bila lokasi hunian tetap mengikuti kebijakan dari pemerintah,
ketahanan pangan tidak akan terjamin karena lokasi ladang terlalu jauh. Hingga kini,
warga yang sudah menempati lokasi hunian tetap berdasarkan kebijakan pemerintah 89
belum merencanakan pemulihan ekonomi secara mandiri. Mereka masih menunggu
kebijakan dan bantuan dari pemerintah terkait pemulihan ekonomi.

Intervensi dari pihak luar serta kultur masyarakat setempat sejauh ini juga belum
berjalan maksimal. Berbagai pembangunan dianggap kurang memahami nilai-nilai
kearifan lokal dalam mewujudkan masyarakat tangguh terhadap ancaman bencana.

JALAN LICIN. Tim Support, Wawan Budianto JALAN LICIN. Tim Support, Wawan Budianto
melawan jalan berlumpur dan licin menuju melawan jalan berlumpur dan licin menuju Dusun
Dusun Maonai. (Foto: Yani). Maonai. (Foto: Yani).
Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

MENEMBUS HAMBATAN. Dalam perjalanan menuju Maonai, hujan deras disertai angin kencang
90 mengakibatkan beberapa pohon tumbang dan menghambat perjalanan tim dokumentasi.
(Foto: Wawan Budianto)

Pemerataan pembangunan yang belum terealisasi juga menjadi penyebab kesulitan


antara masyarakat dan pihak luar untuk melakukan tahapan pembangunan.

Akses jalan dan sarana komunikasi menjadi urat nadi bagi masyarakat untuk
mengembangkan perekonomian secara mandiri. Namun sampai saat ini, keduanya
menjadi hambatan utama bagi masyarakat untuk tampil tangguh secara mandiri
dalam melakukan pemulihan ekonomi mandiri.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


91
Hidup di Atas Patahan Sesar
Potret Tangguh
Masyarakat Mentawai
93

BAB IV

Penutup
BAB IV
Penutup

4.1. Kesimpulan

Sebelum terjadi gempa-tsunami, sebagian masyarakat Mentawai sudah memahami


adanya ancaman bencana. Dengan memiliki pengetahuan terhadap ancaman
bencana, masyarakat pun mampu beradaptasi terhadap ancaman bencana. Setelah
gempa dan tsunami tahun 2010, pengetahuan warga Mentawai semakin bertambah
terhadap ancaman bencana.

Komunikasi dan keterbukaan terhadap semua informasi menjadi salah satu modal
bagi masyarakat Mentawai untuk tetap bersatu dan menjaga nilai-nilai kerukunan.
PENUTUP

Sejauh ini, dalam menyelesaikan masalah, masyarakat aktif melakukan komunikasi


untuk merumuskan dan mencari solusi terhadap semua masalah. Hal ini juga
didukung oleh pemimpin yang setia dalam barisan masyarakat sendiri. Secara
94 terorganisir, masyarakat selalu melakukan tahapan-tahapan dalam menyelesaikan
berbagai masalah, baik sosial, budaya, bahkan kebencanaan. Terbukti, ketika terjadi
bencana, secara spontan masyarakat mampu mengorganisir berbagai tugas dalam
menghadapi masa tanggap darurat sebelum mendapatkan bantuan dari pihak luar,
termasuk pemerintah.

Modal sosial, sejauh ini sangat berperan aktif dalam mengatasi berbagai masalah.
Aktivitas keseharian warga Mentawai pada prinsipnya menjadi sikap dan perilaku
tangguh saat menghadapi bencana. Berbagai kebiasaan hidup yang sudah menjadi
tradisi secara turun-temurun justru terpelihara tanpa terkikis oleh arus modernisasi.
Seperti kebiasaan Rob Parob (tolong-menolong) dan Mugalai Simakere (gotong-
royong), sikap itu sudah ada sejak dahulu. Hingga kini, perilaku itu terus terjaga
dan mampu menyelesaikan berbagai masalah untuk saling meringankan beban
kehidupan satu sama lainnya.

Gotong royong, bagi warga Mentawai merupakan kegiatan rutin yang selalu dilakukan
hampir setiap bulan, baik membersihkan lingkungan maupun memperbaiki fasilitas
umum yang dianggap mengganggu akses ekonomi dan hubungan antar-dusun.
Perilaku hidup bersih tersebut berlandaskan kesadaran warga yang didukung dengan
berbagai pihak, baik lembaga kemanusiaan (NGO) maupun pemerintah.
Hidup Diatas patahan sesar
potret tangguh masyarakat mentawai

Di samping itu, ketahanan pangan, melalui kebiasaan bertani dengan menanam keladi,
pisang, kelapa, dan sagu, justru menjadi solusi dalam menghadapi kondisi darurat
atau mahalnya harga kebutuhan di pasar. Di saat bencana, penduduk Mentawai tidak
seperti warga kota umumnya, saling berebut berbagai bantuan kebencanaan. Mereka
arif memanfaatkan hasil ladang sebagai ketahanan pangan ketika dalam kondisi susah
atau tanggap darurat. Dengan mengolah keladi dan pisang sebagai makanan, warga
mampu bertahan hidup selama beberapa hari di pengungsian sambil menunggu
bantuan datang dari berbagai pihak. Kebiasaan itu, tanpa disadari, sudah menjadi
sikap mandiri serta sadar dalam menghadapi berbagai bentuk masalah kehidupan.

Berbagai keahlian dan kemampuan sumber daya selalu dimanfaatkan warga Mentawai
untuk saling membantu. Ketika terjadi bencana, warga yang memiliki kemampuan
untuk mengobati luka dengan obat tradisional sangat membantu korban untuk
bertahan hidup, meski dalam kondisi lemah. Melalui ramu-ramuan bahan tradisional,
seorang Sikerei (dukun), dengan sukarela memberikan pertolongan kepada warga
yang menderita sakit, baik luka, melahirkan, maupun pasien yang mengalami
gangguan ghaib. Sikerei sendiri tidak pernah menerima bayaran, namun selalu siaga
ketika pasien membutuhkan pertolongan.

PENUTUP
Meski kondisi ekonomi masyarakat Mentawai belum stabil pasca-tsunami 2010,
masyarakat tetap bekerja keras untuk mencari penghasilan alternatif. Hal ini dilakukan
karena kondisi yang terbatas membuat masyarakat bangkit secara mandiri. Dalam 95
kesibukan mempersiapkan hunian sementara sampai hunian tetap, warga antusias
untuk mencari pekerjaan yang dianggap mampu untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Berbagai penghasilan alternatif selalu menjadi modal penghasilan bagi
para korban untuk tetap bertahan hidup.
Potret Tangguh Masyarakat Mentawai
Hidup Di Atas Patahan Sesar
Hidup Di Atas
Patahan Sesar
Potret Tangguh Masyarakat Mentawai
Diterbitkan atas dukungan

Cover MENTAWAI.indd 1 22/06/2015 15:42:40

Anda mungkin juga menyukai