Anda di halaman 1dari 101

PEDOMAN MITIGASI TSUNAMI

DENGAN VEGETASI PANTAI

DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Penanggung Jawab
Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus IT

Tim Penyusun:

 Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng.


 Ir. Andi Rusandi, M.Si.
 Enggar Sadtopo, ST., MT.
 Syofyan Hasan, S.Pi., M.Sc.
 Fegi Nurhabni, ST., MT., M.Sc.
 Erva Kurniawan, ST., M.Eng.
 Abdul Muhari, S.Si., MT.
 Giri Wilisandy, ST.
 Etik Sukesti, S.St.Pi
 Akhmad Muharram, S.Pi.
 Barnard Ceisaro Purba, S.St.Pi
 David, S.St.Pi, M.Emd
 M.Teddy Indriauan, S.St.Pi.
 Zafrian Akbar, SE.
 Deky Rahma Sukarno, S.Kel.

i
Kata Pengantar

Peristiwa bencana gempa yang menimbulkan


tsunami di Jepang mengingatkan kita kembali
pada bencana tsunami di Aceh pada tanggal 26
Desember 2004 yang merupakan salah satu
bencana pesisir terbesar yang pernah tercatat
dalam sejarah yang menewaskan lebih dari
200.000 orang, dan sejak saat itulah perhatian
masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap
tsunami.

Kewaspadaan masyarakat Indonesia yang semakin besar terhadap


ancaman tsunami mendorong perlu segeranya melakukan upaya
mitigasi untuk meminimalkan korban dan kerugian yang ditimbulkan
oleh bencana tsunami.

Sebagaimana amanah pada Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010


tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
bahwa upaya mitigasi bencana tsunami dapat dilakukan secara
struktural maupun non struktural. Salah satu upaya non struktural
adalah penyusunan Pedoman Mitigasi Tsunami dengan Vegetasi
Pantai.

Dalam pedoman ini dijelaskan berbagai upaya penanaman dan


pemeliharaan berbagai jenis tanaman seperti mangrove, kelapa,
ketapang, cemara laut, waru laut, dan vegetasi pantai lainnya di
pantai yang gundul maupun di pantai yang telah rusak vegetasinya.
Selain upaya yang tergolong murah, juga terbukti efektif dalam
meredam kekuatan tsunami yang merambat ke daratan.

Dengan hadirnya buku pedoman ini diharapkan dapat memberikan


pemahaman terhadap masyarakat luas tentang pentingnya tindakan
preventif untuk meminimalkan dampak bencana tsunami dengan
penanaman vegetasi pantai dan upaya pelestariannya.

ii
Akhir kata, Saya sangat menghargai kepada semua pihak yang telah
berkontribusi menyusun buku pedoman ini. Semoga pedoman ini
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak
baik masyarakat maupun instansi yang terkait dalam penanganan
bencana tsunami di wilayah pesisir.

Jakarta, April 2012


Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Dr. Sudirman Saad, S.H., M.Hum.

iii
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................ iv
Daftar Tabel ....................................................................................... vi
Daftar Gambar .................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Tujuan Penyusunan Pedoman................................................... 2
1.3 Sasaran Pengguna Pedoman ..................................................... 3
1.4 Ruang Lingkup ........................................................................ 3
II. PERAN DAN BATASAN SABUK PANTAI DALAM
MITIGASI TSUNAMI ....................................................................... 4
2.1 Vegetasi Pantai ......................................................................... 4
2.2 Peran Sabuk Pantai dalam Mitigasi Tsunami ........................... 6
2.3 Batasan Sabuk Pantai dalam Mitigasi Tsunami ....................... 6
III. PERENCANAAN SABUK PANTAI ....................................... 10
3.1 Langkah Dasar Perencanaan Sabuk Pantai untuk Mitigasi
Tsunami ........................................................................................ 10
3.2 Persyaratan dan Pengumpulan data ........................................ 12
3.2.1 Potensi bahaya tsunami ................................................... 12
3.2.2 Morfologi pesisir dan data pasang surut .......................... 13
3.2.3 Vegetasi yang telah ada ................................................... 14
3.2.4 Situasi penggunaan lahan dan kondisi sosial ................... 16
3.3 Desain parameter prosedur perhitungan ................................. 18
3.3.1 Gaya eksternal ................................................................. 18
3.3.2 Penentuan lebar sabuk vegetasi pantai ............................ 20
3.3.3 Pemilihan spesies pohon.................................................. 21
3.3.4 Penentuan kerapatan sabuk pantai ................................... 21
3.4 Kombinasi Sabuk Pantai dengan Struktur Lainnya ................ 25
IV. TEKNIS PENANAMAN .......................................................... 28
4.1 Penyiapan Bibit ...................................................................... 28
4.1.1. Membangun Persemaian ................................................ 28
4.1.2 Menanam Benih ............................................................. 33
4.2 Cara Menanam Bibit............................................................... 36

iv
4.2.1. Persiapan ........................................................................ 36
4.2.2. Cara Mengangkut Bibit .................................................. 39
4.2.3. Waktu dan Cara Menanam Bibit di Lapangan ............... 39
4.3 Pemeliharaan .......................................................................... 40
BAB V. PERANSERTA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT . 43
VI. MONITORING DAN EVALUASI PERTUMBUHAN
VEGETASI ...................................................................................... 50
6.1.1 Monitoring dan evaluasi pertumbuhan tanaman yang
berumur kurang dari 3 tahun .................................................... 53
5.1.2 Monitoring dan evaluasi pertumbuhan tanaman yang
berumur lebih daril 3 tahun ...................................................... 58
VII. PENUTUP ................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 67
LAMPIRAN ..................................................................................... 69

v
Daftar Tabel

Tabel 1. Kapasitas Maksimum Sabuk Pantai dalam Mitigasi


Tsunami .............................................................................. 9
Tabel 2. Deskripsi item survei vegetasi ......................................... 15
Tabel 3. Kekuatan tsunami dan bencana yang terkait [Sumber:
Shuto, 1992] ..................................................................... 18
Tabel 4. Efek reduksi tsunami yang dihasilkan oleh sabuk pantai
[Harada dan Kawata, 2004].............................................. 21
Tabel 5. Pengelompokan efek tsunami dalam bentuk kedalaman
genangan (h)dan diametr yang dijumlahkan (dn) sesuai
dengan Shuto [1987] ........................................................ 25
Tabel 6. Persyaratan persemaian jenis mangrove dan tanaman
pantai ................................................................................ 29
Tabel 10. Kesesuaian jenis tanaman terhadap lokasi penanaman .... 38
Tabel 11. Penyebab kerusakan tanaman dan cara penanganannya .. 41
Tabel 12. Pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan
ekosistem vegetasi pantai ................................................. 44
Tabel 13. Luas plot contoh, jarak antar plot contoh, dan intensitas
sampling yang dapat digunakan. sebagai acuan dalam
pendugaan potensi tegakan di hutan tanaman .................. 60

vi
Daftar Gambar

Gambar 1. Tingkat kerusakan pohon berdasarkan perbandingan


diameter batang dan tinggi tsunami di atas permukaan
tanah [Sumber: Shuto (1987)] ....................................... 8
Gambar 2 Ketinggian tsunami saat memecah pepohonan dalam
kaitannya dengan diameter pohon setinggi dada
[Sumber: Tanaka dkk (2006)] ....................................... 8
Gambar 3 Diagram alir langkah dasar perencanaan sabuk pantai
untuk mitigasi tsunami ................................................ 11
Gambar 4 Metode perhitungan sederhana gradien kemirinngan
pantai ........................................................................... 14
Gambar 5 Ilustrasi item survey vegetasi ...................................... 16
Gambar 6 Ilustrasi pengukuran kedalaman genangan tsunami .... 19
Gambar 7 Ilustrasi segmentasi sepanjang pantai untuk desain
hutan pantai berdasarkan kondisi gelombang,
kemiringan lahan dan hutan ........................................ 20
Gambar 8. (kiri) Hubungan antara kerapatan hutan dan diameter
bantang pada pohon Pinus [Harada & Kawata, 2004];
(kanan) Hubungan antara kerapatan hutan dan diamter
batang untuk Casuarina equisetifolia, Cocos nucifera,
Avicenia alba, Rhizopora apiculata, Pandanus
odoratissimus dan Anacardium occidentale (diplot
berdasarkan data yang disusun kembali dari [Tanaka
dkk, 2007]). ................................................................. 23
Gambar 9. Ilustrasi kombinasi antara sabuk pantai dengan struktur
keras ............................................................................ 27
Gambar 10. Bedeng tabur (atas) dan Bak kecambah (bawah).........30
Gambar 11. Alur kegiatan monitoring dan evaluasi pertumbuhan
tanaman vegetasi pantai. ............................................. 52
Gambar 12. Denah sensus pohon untuk monitoring dan evaluasi
pertumbuhan tanaman vegetasi pantai yang berumur
kurang dari 3 tahun...................................................... 55

vii
Gambar 13. Sebaran clan posisi pohon yang mati (diberi tanda X)
pada setiap anak petak ................................................. 56
Gambar 14. Rancangan sampling pada peta untuk systematic
random sampling dengan unit contoh berupa plot
lingkaran...................................................................... 63

viii
PEDOMAN MITIGASI TSUNAMI
DENGAN VEGETASI PANTAI

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang


lebih 17.480, panjang garis pantai 95.181 km dan luas perairan laut
sekitar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial,
2,8 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 juta km2 perairan ZEEI, yang
kaya akan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan.

Laut mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting, dan sekitar


65% penduduk Indonesia bermukim di sekitar wilayah pesisir.
Jumlah desa yang rawan tsunami sebesar 7.801 desa, dengan total
jumlah penduduk sebesar 15 juta jiwa.

Sebagian wilayah pesisir Indonesia yang rawan tsunami mulai dari


pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan Nusa
Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa Tenggara, kepulauan
Maluku, sebagian Sulawesi, dan Papua pantainya didominasi oleh
pasir dengan energi gelombang laut yang cukup tinggi, sehingga
kurang cocok ditanami mangrove (Diposaptono S., 2008). Untuk
wilayah-wilayah tersebut pantainya lebih cocok untuk vegetasi non
mangrove, seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain
sebagainya. Konfigurasi vegetasi pantai dengan ketebalan dan
kerapatan tertentu akan membentuk sabuk pantai yang memberikan
banyak manfaat bagi lingkungan dan masyarakat.

Sabuk pantai memiliki keuntungan yang nyata, baik secara


lingkungan maupun ekonomi. Bagi daerah yang rawan terhadap
tsunami, keuntungan akan bertambah bila sabuk tersebut didesain
sebagai upaya mitigasi bencana tsunami.

1
Sejauh ini kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi
pantai sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat
kurang dilakukan di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu
negara yang pernah memiliki hutan pantai terbesar kedua di dunia
(Diposaptono S., 2008). Penelitian lebih lanjut terhadap perilaku dari
berbagai jenis pohon pantai dalam mitigasi bencana tsunami masih
dibutuhkan, namun terdapat berbagai sumber pengetahuan yang ada
saat ini yang dapat menjelaskan kinerja sabuk pantai dalam
menghadapi gelombang tsunami yang menghempas pantai, sebagian
besar didasarkan pada hasil eksperimen empiris dan laboratorium.
Dengan didukung oleh beberapa hasil penyelidikan lapangan pasca
bencana tsunami, pengetahuan yang ada saat ini untuk batas tertentu
dapat digunakan sebagai panduan terhadap aplikasi yang mungkin
dari sabuk pantai sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana
tsunami.

Berdasarkan kondisi faktual yang terjadi di wilayah pesisir dan


pulau-pulau kecil maka Kementerian Kelautan dan Perikanan
menyusun Pedoman Mitigasi Tsunami dengan Vegetasi Pantai, untuk
memberikan panduan mengenai perencanaan, teknis penanaman,
serta monitoring sabuk pantai untuk mitigasi bencana tsunami sesuai
dengan pengetahuan yang tersedia saat ini.

1.2 Tujuan Penyusunan Pedoman


Tujuan penyusunan Pedoman Mitigasi Tsunami dengan Vegetasi
Pantai adalah:
1. Memberikan acuan/panduan dalam perencanaan dan desain
sabuk pantai untuk mitigasi bencana tsunami sesuai dengan
pengetahuan yang tersedia saat ini.
2. Memberikan acuan/panduan dalam pelaksanaan penamanan,
monitoring dan evaluasi sabuk pantai untuk mitigasi tsunami.

2
1.3 Sasaran Pengguna Pedoman

Pedoman ini ditujukan bagi pemerintah, pemerintah daerah,


masyarakat, organisasi profesi, dunia usaha, LSM, dan lembaga
terkait lainnya, yang ingin terlibat dalam upaya mitigasi tsunami
dengan pengelolaan sabuk pantai.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup Pedoman Mitigasi Tsunami dengan Vegetasi Pantai


ini meliputi :
a. Perencanaan Penanaman
b. Teknis Penanaman (termasuk pemeliharaan)
c. Peranserta Pemerintah dan Masyarakat
d. Monitoring dan Evaluasi

Pedoman ini disusun berdasarkan pengetahuan yang tersedia dan


terbuka bagi pengembangan lebih lanjut. Isi pedoman ini masih
memerlukan koreksi dan penyesuaian lebih lanjut sesuai dengan
perkembangan bidang keilmuan terkait.

3
II. PERAN DAN BATASAN SABUK PANTAI DALAM
MITIGASI TSUNAMI

2.1 Vegetasi Pantai


Kawasan pantai merupakan daerah datar atau bergelombang dengan
perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 m dari permukaan laut,
yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas,
dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah
(rawa). Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara
daratan dan air laut. Oleh karena itu, posisi garis pantai bersifat tidak
tetap dan dapat berpindah (walking land atau walking vegetation)
sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasai pantai atau endapan
lumpur (Anonimous (b), 2006). Secara umum, di pantai ditemukan
vegetasi mangrove dan vegetasi tanaman pantai.
Tumbuhan pada hutan pantai cukup beragam. Tumbuhan tersebut
bergerombol membentuk unit-unit tertentu sesuai dengan habitatnya.
Suatu unit vegetasi yang terbentuk karena habitatnya disebut formasi.
Setiap formasi diberi nama sesuai dengan spesies tumbuhan yang
paling dominan.
Berdasarkan susunan vegetasinya, ekosistem hutan pantai dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu formasi Pres-Caprae dan formasi
Baringtonia. Tumbuhan yang dominan pada masing-masing formasi
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Formasi Pres-Caprae
Pada formasi ini, tumbuhan yang dominan adalah Ipomea pres-
caprae, tumbuhan lainnya adalah Vigna, Spinifex littoreus
(rumput angin), Canavalia maritime, Euphorbia atoto, Pandanus
tectorius (pandan), Crinum asiaticum (bakung), Scaevola
frutescens (babakoan).
2. Formasi Baringtonia
Vegetasi dominan adalah pohon Baringtonia (butun), tumbuhan
lainnya adalah Callophylum inophylum (nyamplung), Erythrina,
Hernandia, Hibiscus tiliaceus (waru laut), Terminalia catapa
(ketapang).

4
Beberapa spesies pohon yang tumbuh di pantai dan menyusun
ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia asiatica, Casuarina
equisetifolia, Terminalia catappa, Hibiscus tiliaceus, Calophyllum
inophyllum, Hernandia peltata, Sterculia foetida, Manilkara kauki,
Cocos nucifera, Crinum asiaticum, Cycas rumphii, Caesalpinia
bonducella, Morinda citrifolia, Oehrocarpus ovalifolius, Taeea
leontopetaloides, Thespesia populnea, Tournefortia argentea,
Wedelia biflora, Ximenia americana, Pisonia grandis, Pluehea
indica, Pongamia pinnata, Premna Corymbosa, Premna obtusifolia,
Pemphis acidula, Planchonella obovata, Scaevola taccada, Scaevola
frutescens, Desmodium umbellatum, Dodonaea viscesa, Sophora
tomentosa, Erythrina variegata, Guettarda speciosa, Pandanus
bidur, Pandanus tectorius, dan Nephrolepis biserrata.
Tipe kawasan pantai, jenis vegetasi luas dan penyebaran hutan pantai
tergantung kepada karakteristik biogeografi dan hidrodinamika
setempat. Berbagai kawasan pantai di Indonesia memiliki persamaan
dan atau perbedaan faktor-faktor iklim, temperatur air, tingkat
sedimentasi, tingkat pasang surut air, relief, pelindung dari
pengikisan ombak dan angin, salinitas air (kadar garam) dan sejarah
geologis (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, 2006;
Anonimous (a), 2006).
Informasi tentang luas dan potensi hutan pantai cukup terbatas.
Hutan pantai menyebar di sepanjang pantai yang tidak tergenang oleh
pasang surut air laut dengan luas + 3,3 juta hektar. Ciri umum
ekosistem ini antara lain adalah : 1) Tidak terpengaruh iklim; 2)
Tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, lempung); 3) Tanah
rendah pantai; 4) Pohon kadang-kadang ditumbuhi epyphit; dan 5)
dapat dijumpai terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat
Sumatera dan pantai Sulawesi.

5
2.2 Peran Sabuk Pantai dalam Mitigasi Tsunami

Peran atau fungsi dari sabuk pantai dalam mereduksi tsunami dapat
disimpulkan sebagai berikut: (Tanaka [2007]; Shuto [1987])
1) Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut
(pohon tumbang, dll), reruntuhan (rumah yang hancur, dll) dan
puing lainnya (perahu, dll) ,
2) Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi
kecepatan aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan
air,
3) Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan
diri bagi orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara
berpengangan pada cabang-cabang pohon,
4) Sebagai sarana melarikan diri, yaitu untuk menjadi ‗cara‘
melarikan diri dengan memanjat pohon dari tanah atau dari
suatu bangunan,
5) Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan
pasir yang tertiup angin dan membentuk gumuk/bukit, yang
bertindak sebagai penghalang alami terhadap tsunami.

2.3 Batasan Sabuk Pantai dalam Mitigasi Tsunami

Saat ini literatur yang tersedia untuk memformulasikan kapasitas


sabuk pantai terhadap kekuatan tsunami secara memadai masih
terbatas. Namun demikian, beberapa penelitian telah dapat digunakan
sebagai dasar untuk mendesain sabuk pantai terhadap tsunami.
Dari literatur yang tersedia saat ini, dapat disimpulkan bahwa secara
umum:
1) sabuk pantai tidak memberikan atau hanya sedikit efek mitigasi
terhadap genangan tsunami yang lebih dari lima meter (Shuto
[1987] dan Tanaka dkk [2006, 2007]) dan

6
2) sabuk pantai tidak pernah memberikan perlindungan seratus
persen meskipun ketinggian genangannya kurang dari lima
meter (Harada dan Imamura [2003], Harada dan Kawata [2004],
Yanagisawa dkk [2008]).
Shuto [1987] menggambarkan grafik pada Gambar 1 berdasarkan
empat puluh lima contoh yang dikumpulkan dari catatan lima
tsunami besar di Jepang. Grafik tersebut menunjukkan situasi
kerusakan hutan pinus (kebanyakan pohon pinus hitam dan sebagian
kecil pohon pinus merah) dengan perbandingan diameter batang dan
ketinggian tsunami dari permukaan tanah.

Tanaka dkk [2006] menyajikan grafik pada Gambar 2 yang


menghubungkan diameter batang beberapa pohon lainnya (Exoecaria
agallocha, Casuarina equisetifolia, Rhizopora apiculata, Pandanus
odoratissimus, Lumnitzera racemosa) dengan tinggi tsunami
maksimum yang tersedia di lokasi bencana dimana pohon-pohon
ditemukan tumbang atau patah setelah tsunami. Data ini
dikumpulkan dari investigasi lapangan pasca tsunami di Sri Lanka
and Thailand.

7
Gambar 1. Tingkat kerusakan pohon berdasarkan perbandingan
diameter batang dan tinggi tsunami di atas permukaan tanah
[Sumber: Shuto (1987)]

Gambar 2 Ketinggian tsunami saat memecah pepohonan dalam


kaitannya dengan diameter pohon setinggi dada [Sumber: Tanaka
dkk (2006)]

8
Kapasitas maksimum sabuk pantai dalam mitigasi tsunami disajikan
dalam Tabel 1, berdasarkan Harada dan Imamura [2003], Harada dan
Kawata [2004], Yanagisawa dkk [2008]. Fungsi reduksi yang
disajikan berupa reduksi run-up, reduksi waktu penjalaran tsunami,
reduksi kedalaman genangan, dan reduksi gaya aliran tsunami.
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sabuk pantai
tidak pernah memberikan perlindungan seratus persen meskipun
ketinggian genangannya kurang dari lima meter.

Tabel 1. Kapasitas Maksimum Sabuk Pantai dalam Mitigasi


Tsunami
The maximum capacity of coastal forest *
(based on modeling results)
Flow Beach and Slope
deduction
1/100 1/200 1/500 1/1000
function
Run-up 11% 18% 22% 23%
reduction
Time 57 s 40 s 34 s 32 s
propagation
reduction
Inundation- - - 50% ** 20% ***
depth
reduction
Flow force 58% 56% 55% 54%
reduction
* vegetations of P.odoratissimus; A.occidentale; C.equisetifolia;
R.mucronata; inundation depth 3to7m; dNall equal to 1000; numerical
simulation results of Tanaka et al. [2009]
* under assumption that all trees effectively stand against tsunami
force.
** Harada & Kawata [2004]; Jap. pine tree; inundation depth 3m
*** Yanagisawa et al. [2008]; R.apiculata-type; inundation depth 3m
9
III. PERENCANAAN SABUK PANTAI

3.1 Langkah Dasar Perencanaan Sabuk Pantai untuk Mitigasi


Tsunami

Langkah dasar perencanaan sabuk pantai untuk mitigasi tsunami


terdiri dari penilaian kesesuaian lokasi bagi implementasi sabuk
vegetasi pantai dan penentuan variabel sabuk pantai. Gambar 3
menyajikan diagram alir langkah dasar perencanaan sabuk pantai
untuk mitigasi tsunami.

Dalam penilaian kesesuaian lokasi, analisis harus dilakukan terhadap


potensi bahaya tsunami, penilaian kondisi eksisting pesisir,
pengaturan tingkat perlindungan dan pemilihan spesies pohon.
Setelah penilaian kesesuaian lokasi, ukuran pohon dan densitas serta
lebar sabuk pantai juga harus ditentukan. Pada aktivitas kelompok
kedua ini, segala kemungkinan kombinasi dengan struktur yang lain
juga harus turut diperhitungkan.

Langkah akhir yang paling penting adalah formulasi pengelolaan dan


perawatan sabuk vegetasi pantai setelah kegiatan dimulai.
Pengelolaan dan perawatan sabuk vegetasi pantai adalah isu paling
krusial untuk menjamin keberlanjutan implementasi program.

10
Penilaian kelayakan lokasi hutan pantai
PENGATURAN BAHAYA TSUNAMI
POTENSIAL SEBAGAI DESAIN
KEKUATAN EKSTERNAL

PENILAIAN KONDISI EKSISTING LOKASI


(TOPOGRAFI, SOSIAL DAN VEGETASI
YANG TELAH ADA)

PENGATURAN TINGKAT
PERLINDUNGAN DAN KETERSEDIAAN
LAHAN UNTUK HUTAN
TIDAK

PEMILIHAN SPESIES POHON

LAYAK
?
Penentuan variabel hutan Y
A

PENGATURAN UKURAN POHON

PENGATURAN KERAPATAN HUTAN

PENGATURAN LEBAR VEGETASI


YANG EFEKTIF

PENILAIAN KEBUTUHAN KOMBINASI


DENGAN STRUKTUR YANG LAIN

FORMULASI PENGELOLAAN DAN


PERAWATAN HUTAN YANG
DIRENCANAKAN

PELAKSANAAN

Gambar 3 Diagram alir langkah dasar perencanaan sabuk pantai


untuk mitigasi tsunami
11
3.2 Persyaratan dan Pengumpulan data
3.2.1 Potensi bahaya tsunami
Potensi bahaya tsunami merupakan kedalaman maksimum genangan
tsunami pada suatu wilayah yang dapat diprediksi berdasarkan data
historis atau simulasi numerik. Informasi ini penting untuk
mengetahui kapasitas perlindungan pesisir yang dibutuhkan dalam
menghadapi potensi tsunami.
Catatan historis harus mendapat prioritas utama karena merupakan
catatan dari kejadian yang sebenarnya. Jika catatan historis tidak
tersedia, perkiraan harus dilakukan berdasarkan catatan yang tersedia
pada pesisir disekitarnya. Selain itu data historis harus dikumpulkan
dari berbagai sumber yang tersedia agar dapat dibandingkan dan
dipilih yang paling tepat. Definisi data juga harus dikaji dengan hati-
hati apakah merupakan data ketinggian gelombang tsunami
nearshore, ketinggian air tsunami di garis pantai, atau kedalaman
aliran tsunami di atas tanah. Data juga harus diperiksa posisi
relatifnya terhadap ketinggian pasang surut.
Prediksi tinggi genangan tsunami dengan menggunakan simulasi
numerik atau perhitungan analitik akan menjadi alternatif jika tidak
ada catatan sejarah yang tersedia atau data historis pantai di dekatnya
tidak relevan. Namun, pemanfaatan model numerik untuk
menentukan kedalaman genangan tsunami mungkin tidak praktis
bagi para pengguna akhir, misalnya petugas pemerintah daerah
setempat, tokoh masyarakat, atau individu. Dalam rangka untuk
memfasilitasi para pengguna akhir tersebut, prosedur dalam
menentukan kedalaman genangan tsunami sebagai berikut harus
dipertimbangkan.
(i) Catatan sejarah kedalaman genangan tsunami di wilayah yang
bersangkutan adalah data yang paling otentik untuk digunakan.
(ii) Jika data untuk wilayah yang bersangkutan tidak tersedia, data
lokasi yang paling dekat dapat digunakan dengan pertimbangan
yang seksama terkait dengan kesamaan kondisi antar kedua
lokasi, seperti kondisi batimetri, topografi dan morfologi pantai.
Dalam kasus ini, saran ahli sangat diperlukan.

12
(iii) Pemerintah pusat melakukan penyelidikan yang menyeluruh
terhadap catatan sejarah genangan tsunami di seluruh wilayah.
Simulasi numerik potensi genangan tsunami di wilayah pesisir
rawan tsunami juga harus dilakukan untuk menyediakan data
bagi daerah-daerah yang tidak memiliki data historis. Data
potensi genangan tsunami, baik dari sejarah maupun simulasi
harus terbuka untuk umum dan dibuat untuk diakses secara
bebas.
3.2.2 Morfologi pesisir dan data pasang surut
Data morfologi pesisir termasuk elevasi pesisir (topografi), elevasi
dasar laut (batimetri) dan juga klasifikasi lingkungan pesisir (seperti
wetland, pantai berpasir, delta estuari, dll).
Data topografi dan batimetri diperlukan untuk menentukan
kemiringan lahan dan menjalankan simulasi genangan tsunami.
Kemiringan pantai memiliki pengaruh yang signifikan pada reduksi
run-up. Untuk tujuan simulasi genangan tsunami, diperlukan peta
dengan skala 1:1.000.
Data lingkungan pesisir, khususnya jenis tanah dan tutupan lahan
(misalnya wetland, pantai berpasir atau daerah pasang surut
berlumpur) sangat penting karena terkait dengan habitat vegetasi.
Bersama dengan data vegetasi yang ada, data ini sangat diperlukan
untuk menentukan vegetasi yang cocok untuk perlindungan pantai.
Pada kasus dimana peta belum tersedia, pengukuran terestrial
topografi dan batimetri harus dilakukan untuk menyediakan data dan
peta yang dibutuhkan.
Sebuah metode pengukuran sederhana dari gradien kemiringan pantai
diilustrasikan pada Gambar 4. Kemiringan pantai wilayah yang
bersangkutan akan diukur pada beberapa titik, termasuk titik-titik
dengan lebar maksimum dan minimum dari pantai. Permukaan tanah
diukur secara bertahap ke arah darat dari garis pantai.
Seiring dengan ini, grafik catatan pasang surut diperlukan untuk
menghubungkan data topografi dan batimetri ke datum referensi.
Level air tertinggi rerata (HWL), level air rerata (MWL) dan level air
13
terendah rerata (LWL) adalah informasi standar pasang surut. Data
pasang surut ini dapat dikonfirmasikan dengan mewawancarai
masyarakat setempat dan administrator pesisir, atau dengan mengacu
pada data perencanaan pelabuhan dan pantai yang tersedia atau data
observasi pasang surut yang telah ada.
Catatan elevasi pasang surut juga penting untuk simulasi run-up
tsunami dan penentuan lahan yang efektif untuk pembangunan sabuk
vegetasi pantai

3.2.3 Vegetasi yang telah ada


Ketersediaan dan jenis vegetasi di daerah yang bersangkutan atau
pantai di sekitarnya merupakan informasi yang penting untuk
mengidentifikasi kelayakan lokasi untuk implementasi sabuk pantai.
Data ini juga memberikan gambaran awal mengenai tingkat mitigasi
yang mungkin dengan sabuk pantai yang ada. Survei terhadap
vegetasi mencakup variabel-variabel terkait, termasuk item vegetasi
depan, spesies, diameter batang, tinggi pohon, faktor pembentuk
vegetasi (yaitu komposisi akar, batang, cabang dan daun), jumlah
pohon per unit persegi dan lebar hutan. Vegetasi depan mengacu
pada semak-semak dan pohon berketinggian sedang, yang tumbuh di
sisi laut vegetasi.

Gambar 4 Metode perhitungan sederhana gradien kemirinngan


pantai

14
Tabel 3 menjelaskan tentang survei vegetasi, menunjukkan item
survei dan tujuannya, sedangkan Gambar 5 memberikan ilustrasi
pada item yang digunakan pada survei vegetasi.

Tabel 2. Deskripsi item survei vegetasi


Item Deskripsi survei
Untuk memastikan lokasi vegetasi yang tumbuh dekat titik
perencanaan, mengukur lebar antara garis pantai dan
Vegetasi depan vegetasi depan. Vegetasi depan adalah sabuk vegetasi di
sisi laut yang umumnya berupa semak dan pohon
berukuran sedang.
Untuk menentukan spesies pohon yang cocok, spesies
pohon utama di lokasi rencana harus diselidiki. Spesies
Spesies pohon
pohon yang dominan harus dikelompokkan menjadi pohon
berukuran tinggi, sedang dan semak belukar.
Untuk mengestimasi kerapatan pohon pada sebuah
Kerapatan pohon rencana, jumlah pohon yang tumbuh pada area 10 x 10 m2
dihitung berdasarkan spesiesnya.
Untuk memperkirakan toleransi tiap spesies pohon
terhadap ketinggian gelombang tsunami pada suatu
Tinggi pohon
rencana, tinggi rata-rata pohon diukur berdasarkan jenis
pohon.
Untuk menentukan lebar vegetasi pantai yang praktis dan
efektif, ukuran maksimum dan minimum vegetasi pantai
Lebar vegetasi pantai eksisting harus diukur. Lebar sabuk pantai dihitung tegak
lurus terhadap garis pantai, dari posisi batang terluar
hingga ke sisi yang berseberangan.
Mengecek material tanah pada area yang sedang
Jenis tanah
diselidiki.

15
Forest width
Species, density of tree
High tree
Sub tall tree
Tree height

Coast line
Shrub
Sea level Soil
Material
Vegetation front
Distance from
coastline

Gambar 5 Ilustrasi item survey vegetasi

3.2.4 Situasi penggunaan lahan dan kondisi sosial


Situasi penggunaan lahan dan kondisi sosial lokal termasuk situasi
penggunaan lahan pesisir dan kehidupan sehari-hari masyarakat
setempat, baik yang eksisting maupun rencana di masa yang akan
datang sangat diperlukan. Data penggunaan lahan dibutuhkan untuk
menentukan proteksi yang dibutuhkan dan wilayah yang tersedia
untuk sabuk pantai. Lebih lanjut, situasi kehidupan sehari-hari
(misalnya catatan tentang interaksi antara masyarakat setempat
dengan hutan saat ini, apakah mereka mengambil material dari hutan
untuk kehidupan sehari-hari dll) sangat penting untuk menilai
keberlanjutan hutan, pengelolaan di masa depan, dan perawatannya.
Informasi tentang material rumah juga penting untuk menentukan
reduksi kekuatan aliran yang dibutuhkan untuk melindungi rumah-
rumah di sekitarnya.
Deskripsi yang diberikan oleh Shuto [1992] pada Tabel 4
menunjukkan korelasi antara tinggi genangan tsunami dan potensi
kerusakan yang mungkin dihasilkan.

Ketersediaan lahan di sepanjang pantai bagi sabuk vegetasi pantai


harus jelas. Mengingat sabuk vegetasi pantai sebagai upaya mitigasi
16
bencana tsunami memerlukan area yang luas agar dapat bekerja
dengan efektif. Untuk memeriksa hal ini, citra satelit resolusi tinggi
akan sangat membantu dalam identifikasi awal sebelum melakukan
pengecekan lapangan. Daerah yang tersedia sepanjang pantai bagi
sabuk vegetasi pantai diukur dari titik batas run-up gelombang
hingga ke sisi daratan. Titik batas run-up gelombang ditentukan saat
kunjungan lapangan. Beberapa fitur pesisir yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi titik batas ini, yaitu, titik awal tumbuhnya
vegetasi penutup lahan pada kasus pantai berpasir dengan frekuensi
run-up gelombang yang rendah; atau titik batas karang pada kasus
pantai yang tererosi akibat gerusan gelombang. Wawancara dengan
masyarakat lokal akan sangat membantu dalam pengumpulan
informasi ini.

17
Tabel 3. Kekuatan tsunami dan bencana yang terkait
[Sumber: Shuto, 1992]
INTENSITAS TSUNAMI (M) 0 1 2 3 4 5
TINGGI TSUNAMI (m) 1 2 4 8 16 32
PROFIL GELOMBANG TIBA-TIBA NAIK DINDING AIR GELOMBANG GELOMBANG PERTAMA PECAH
DI KEMIRINGAN PANTAI DEKAT PANTAI GELOMBANG PERTAMA DENGAN BENTUK “PLUNGING”
YANG LANDAI KEDUA PECAH KADANG-
KADANG PECAH
DI KEMIRINGAN PANTAI PASANG SURUT YANG SANGAT CEPAT
YANG TERJAL
SUARA SUARA YANG BERKELANJUTAN DISEBABKAN OLEH GELOMBANG
PECAH (SEPERTI SUARA BADAI, SUARA KERETA API, SUARA TRUK
BESAR)
SUARA BESAR MENDADAK DISEBABKAN GELOMBANG
PECAH DIPANTAI (SEPERTI GUNTUR HANYA DAPAT
DIDENGAR DARI JARAK DEKAT)
SUARA BESAR DISEBABKAN OLEH HANTAMAN
TSUNAMI DI TEBING (SEPERTI GUNTUR ATAU
LEDAKAN YANG DAPAT DI DENGAR DALAM
JARAK JAUH
RUMAH RUMAH KAYU RUSAK HANCUR
SEBAGIAN
RUMAH BATU BERTAHAN TIDAK ADA DATA HANCUR

RUMAH BETON BERTAHAN TIDAK ADA DATA HANCUR

KAPAL IKAN MULAI RUSAK KERUSAKAN 100% RUSAK


>50%
HUTAN PANTAI DAPAT MENGHENTIKAN BENDA- RUSAK /ROBOH RUSAK/ROBOH, KURANG EFEKTIF
BENDA YANG HANYUT, DAPAT SEBAGIAN, MEREDAM TSUNAMI
MEREDAM TSUNAMI DAPAT
MENGHENTIKAN
BENDA-BENDA
YANG HANYUT
KARAMBA IKAN RUSAK

3.3 Desain parameter prosedur perhitungan

3.3.1 Gaya eksternal


Banyak peneliti menyarankan agar menggunakan kedalaman
genangan tsunami (inundation depth) untuk memperkirakan gaya
eksternal dan berdasarkan hal tersebut dihitung kecepatan dan
kekuatan tsunami (Shuto [1991], Harada dan Imamura [2000],
Tanaka [2008]). Gambar 6 menggambarkan kedalaman genangan.

18
Incoming
tsunami wave
height
run-up
Inundation Beach height
depth 1 slope
Still water
level

1
100
Coastline
point
Gambar 6 Ilustrasi pengukuran kedalaman genangan tsunami

Pada situasi yang sebenarnya, topografi pesisir umumnya tidak


beraturan dan kedalaman genangan tsunami akan bervariasi antar
bentang pantai. Pada kasus seperti itu, perhitungan harus dilakukan
berdasarkan segmen dengan mempertimbangkan keseragaman
gelombang, kemiringan lahan dan kondisi sabuk pantai. Dalam hal
ini, catatan detil genangan tsunami cukup penting. Gambar 7
memberikan ilustrasi pendekatan segmen ini. Segmentasi dan jumlah
segmen sangat spesifik dan ditentukan berdasarkan penyelidikan
lapangan.

19
land

S2 S3
S1
Sn

wave ray
seabed contour sea
Sn segment area

.
Gambar 7 Ilustrasi segmentasi sepanjang pantai untuk desain hutan
pantai berdasarkan kondisi gelombang, kemiringan lahan dan hutan

3.3.2 Penentuan lebar sabuk vegetasi pantai


Literatur yang ada menginformasikan bahwa lebar sabuk vegetasi
pantai pada arah aliran tsunami memiliki efek yang signifikan untuk
mereduksi aliran tsunami. Lebih lanjut, selama terdapat area yang
tersedia, sabuk vegetasi pantai harus dibangun seluas mungkin untuk
menyediakan perlindungan yang maksimum. Pada kondisi minimum,
sabuk vegetasi pantai dengan lebar 20 m yang terdiri dari pohon
pinus berdiameter batang 13 cm dan interval rata-rata antar pohon 1,6
m akan menghentikan puing namun tidak memiliki efek untuk
mereduksi aliran tsunami [Shuto, 1987].
Jika terjadi kekurangan data yang komprehensif tentang perilaku
berbagai jenis vegetasi, hasil simulasi numerik dari Harada and
Kawata [2004] pada Tabel 5 dapat digunakan sebagai pendekatan
awal untuk menentukan lebar sabuk vegetasi pantai yang dibutuhkan.
Penting untuk diingat bahwa nilai-nilai yang disajikan pada Tabel 5
didapat dari simulasi yang berdasarkan kondisi: kedalaman genangan
tsunami maksimum 3 m, periode tsunami 10 menit, densitas sabuk
pantai 300 pohon/100m2, diameter batang 0,15 m, ketinggian pohon
10 m, kanopi terendah 2 m dari tanah, dan kemiringan lahan 1:500.
20
Tabel 4. Efek reduksi tsunami yang dihasilkan oleh sabuk pantai
[Harada dan Kawata, 2004]
Kedalaman genangan tsunami (m) 1 2 3
Mitigasi kerusakan,
Sabuk control vegetasi pantai [Shuto, 1987] menghentikan puing, mengurangi
tsunami
50 0.98 0.86 0.81
Lebar sabuk 100 0.83 0.80 0.71
Jarak run-up
vegetasi (m) 200 0.79 0.71 0.64
400 0.78 0.65 0.57
50 0.86 0.86 0.82
Kedalaman Lebar sabuk 100 0.76 0.74 0.66
genangan vegetasi (m) 200 0.46 0.55 0.50
400 - 0.11 0.18
50 0.71 0.58 0.54
Lebar sabuk 100 0.57 0.47 0.44
Arus
vegetasi (m) 200 0.56 0.39 0.34
400 - 0.31 0.24
50 0.53 0.48 0.39
Gaya Lebar sabuk 100 0.33 0.32 0.17
hidraulik vegetasi (m) 200 0.01 0.13 0.08
400 - 0.02 0.01

3.3.3 Pemilihan spesies pohon


Spesies pohon yang sesuai akan ditentukan berdasarkan hasil survei
vegetasi dengan mempertimbangkan kombinasi dari pohon yang
tinggi dan rendah serta kerapatan vegetasi maksimum.

3.3.4 Penentuan kerapatan sabuk pantai


Setelah jenis vegetasi dan kapasitas dalam menghadapi kekuatan
tsunami diperhitungkan dalam pemilihan diameter batang, langkah
selanjutnya adalah penentuan kerapatan sabuk pantai. Kerapatan
sabuk vegetasi adalah hasil dari ukuran individual pohon (termasuk
akar, batang, cabang, dan daun) dan jumlah pohon yang terdapat
dalam sabuk pantai.
Berikut ini, penentuan jumlah pohon akan dilakukan berdasarkan
hubungan empiris antara diameter batang yang diwakili dan jarak
antar pohon rata-rata atau jumlah pohon per unit area yang
21
dikombinasikan dengan konsep ‗penjumlahan diameter‖ [Shuto,
1987].

Penentuan jumlah pohon (n)


Ilmu ekologi hutan menyatakan bahwa ada hubungan alometrik
tertentu diantara kelompok pohon (Asano, [2007], Yokozawa dan
Hara, [1995]), yaitu antara tinggi pohon dan diameter batang (Dauda
dkk, [2004]), antara diameter batang dan diameter kanopi (Zuhaidi,
[2009], O‘Brien dkk, [1995], Hemery dkk, [2005]), yang
mempengaruhi komposisi struktur pohon jumlah pohon pada daerah
tertentu. Hubungan alometrik ini bersifat unik untuk setiap jenis
pohon pada suatu periode waktu yang singkat (Yokozawa dan Hara,
[1995]). Pengertian yang baik mengenai hubungan tersebut
memungkinkan desain komposisi yang optimum dan pengaturan
hutan yang mampu menjadi sabuk vegetasi pantai. Sebagai contoh,
karena biasanya diameter kanopi lebih besar daripada diameter
batang, penentuan jarak antar pohon ditentukan berdasarkan diameter
kanopi. Jika hubungan alometerik antara diameter kanopi dan
diameter batang dapat diformulasikan, berbagai kombinasi diameter
kanopi, jarak antar pohon dan diameter batang dapat dibandingkaan
untk menentukan kerapatan sabuk pantai maksimum dengan
mengasumsikan bahwa kerapatan sabuk pantai adalah hasil dari
jumlah pohon dan diameter batang. Namun, saat ini pengetahuan
terkait allometris vegetasi pantai masih sangat sedikit. Hingga saat
ini hanya pohon Oak (Querqus sp.) yang telah dinilai hubungannya
(Hemery dkk, [2005]. Oleh karena itu, penelitian mengenai masalah
ini sangat mendesak untuk dilakukan sesegera mungkin.
Dalam hubungan ini, grafik yang dihasilkan oleh Harada & Kawata
[2004] dan Tanaka dkk [2007] dapat digunakan sebagai referensi.
Harada & Kawata [2004] menggambarkan hubungan empiris antara
diamter batang dan kerapatan sabuk pantai (pohon/100m2)
berdasarkan data hutan Pinus Jepang (Gambar 8 (kiri)). Tanaka dkk
[2007] menggunakan data lapangan yang diperoleh di Sri Lanka
untuk menghubungkan diameter batang dan jarak rata-rata antar
pohon untuk pohon Casuarina equisetifolia, Cocos nucifera,
Avicenia alba, Rhizopora apiculata, Pandanus odoratissimus and
Anacardium occidentale. Penyusunan kembali data Tanaka dkk
22
[2007] menghasilkan kerapatan hutan (jumlah pohon pada area
10x10m2) dalam bentuk diameter pohon (Gambar 8 (kanan)). Karena
kedua grafik digambar berdasarkan data yang diperoleh dari hutan
alami, diharapkan efek dari ukuran kanopi pada jarak antar pohon
telah diperhitungkan.
100
R² = 0.809
R² = 0.514

Trunk diameter (cm)


R² = 0.731
R² = 0.171
10 R² = 0.755
Casuarina equisetifolia R² = 0.700
Avicennia alba
Pandanus odoratissimus
Rhizopora apiculata
Anacardium occidentale
Casuarina - d>5
1
1 10 100 1000
Number of trees per 100m2

Gambar 8. (kiri) Hubungan antara kerapatan hutan dan diameter


bantang pada pohon Pinus [Harada & Kawata, 2004];
(kanan) Hubungan antara kerapatan hutan dan diamter
batang untuk Casuarina equisetifolia, Cocos nucifera,
Avicenia alba, Rhizopora apiculata, Pandanus
odoratissimus dan Anacardium occidentale (diplot
berdasarkan data yang disusun kembali dari [Tanaka
dkk, 2007]).
Kita dapat mengambil pohon Pinus sebagai contoh. Pada kedalaman
genangan (h) 4 m, diameter batang rata-rata (d) pertama sekali
diperkirakan dengan menggunakan Persamaaan 2 untuk memperoleh
nilai minimum 23.68 cm, atau hampir mencapai 24 cm. Dengan
menggunakan Gambar 8 (kiri) jumlah (n) pohon Pinus dengan
diameter batang seperti ini diidentifikasi sebanyak 15 per 100 m2
atau 0,15 per m2. Kerapatan ini sebanding dengan jarak rata-rata 2.9
m.
Jumlah pohon n yang sebenarnya harus dicek ulang untuk
mengetahui apakah n pohon berdiameter batang d benar-benar
tumbuh di dalam unit luasan, atau dengan kata lain, apakah tersedia
lahan yang cukup bagi n pohon berdiameter d untuk tumbuh di dalam

23
unit luasan. Kondisi ini dapat terkait pada ukuran kanopi atau
mahkota, yang mempengaruhi jarak alami antar pohon di hutan.
Hasil survei lapangan terhadap jarak rata-rata antar pohon atau
hubungan alometrik antara diameter batang dan ukuran kanopi cukup
penting untuk menyesuaikan jumlah pohon yang diperoleh dari
grafik diatas. Sebagai contoh, jika hasil survei menunjukkan bahwa
diameter kanopi maksimum dari pinus thumbergii adalah sekitar 2 m
dengan diameter batang sekitar 20-25 cm, jarak rata-rata antar pohon
paling sedikit harus satu meter. Kemudian pada contoh di atas, masih
terdapat kemungkinan untuk menambah jumlah pohon, yang akan
memberikan hasil maksimal dn.
Pemeriksaan penjumlahan diameter (dn = d×n)
Shuto [1987] menggunakan istilah ―penjumlahan diameter‖ untuk
menggambarkan kerapatan hutan, yang merupakan hasil dari diamter
batang rata-rata (d) dan jumlah pohon (n) yang terdapat di hutan. Ini
merupakan variabel yang sederhana dan berguna untuk pendugaan
awal atau menilai kapasitas reduksi aliran tsunami hutan saat ini
sebelum memulai perhitungan yang kompleks dengan melibatkan
semua ukuran pohon (termasuk akar, batang, cabang dan daun).
Pengelompokan pada Tabel 6 dijabarkan berdasarkan Shuto [1987]
dan dapat digunakan dalam penilaian kualitatif tingkat efektivitas
desain dalam mereduksi aliran tssunami. Kedalaman genangan
tsunami yang diberikan (h) sangat terbatas hingga 5m sejak banyak
bukti menunjukkan kerusakan total sabuk pantai saat genangan
tsunami lebih dari 5 m.

24
Tabel 5. Pengelompokan efek tsunami dalam bentuk kedalaman
genangan (h)dan diametr yang dijumlahkan (dn) sesuai dengan Shuto
[1987]
Respon terhadap tsunami
Kedalaman
Penjumlahan diameter
genangan (h) Menghentik Mengurangi
Kerusakan
(dn) dalam cm Kerusakan permukaan
dalam meter an puing kecepatan
tanah

h<3 dn < 30 Tidak Ya Tidak Mungkin


Tidak Ya Diharapka
30 < dn < 100 Tidak
n
100 < dn < 300 Tidak Ya Ya Tidak
3<h<5 dn < 30 Sebagian Ya Tidak Mungkin
30 < dn < 100 Sebagian Ya Ya Mungkin
100 < dn < 300 Sebagian Ya Banyak Mungkin

3.4 Kombinasi Sabuk Pantai dengan Struktur Lainnya


Kombinasi antara sabuk pantai dan struktur lainnya merupakan
pilihan dengan mempertimbangkan:
(i) seluruh hasil penyelidikan pasca tsunami menunjukkan sabuk
pantai tidak memiliki efek mitigasi terhadap tsunami dengan
ketinggian lebih dari 5 m (Shuto, [1987], Tanaka dkk, [2006],
Tanaka dkk, 2007]). Dengan kata lain, sabuk pantai hampir
tidak memberikan perlindungan terhadap wilayah yang rawan
terhadap tsunami dengan ketinggian lebih dari 5 m. Pada kasus
seperti ini, sabuk pantai dapat dipergunakan sebagai tambahan
atau dikombinasikan dengan struktur perlindungan lainnya
seperti tembok laut.
(ii) bahkan bagi genangan tsunami yang kurang dari 5 m, sabuk
pantai tidak pernah melindungi seratus persen. Oleh karena itu,
tergantung pada kebutuhan, kombinasi dengan upaya mitigasi
lainnya dianggap penting untuk memberikan tingkat
pengurangan resiko yang lebih tinggi.

25
(iii) sabuk pantai sebagai upaya mitigasi tsunami memerlukan
ketebalan yang cukup agar dapat bekerja secara efektif,
sedangkan kebanyakan daerah yang rawan terhadap tsunami
merupakan wilayah permukiman atau dibangun untuk
kepentingan lainnya (industri, perkotaan, perumahan, pariwisata,
transportasi, perikanan, dan pertanian). Kebijakan pemindahan
permukiman umumnya tidak berhasil tanpa upaya persuasif
yang serius serta perencanaan dan pengelolaan permukiman
kembali yang baik. Jika hanya ada sedikit ruang yang tersisa,
kombinasi dengan struktur perlindungan lainnya menjadi suatu
keharusan. Salah satu kemungkinannya adalah dengan
mengakomodir fungsi perlindungan tsunami dalam desain
pembangunan infrastruktur pesisir. Sebagai contoh, jalan di
wilayah pesisir dapat digunakaan untuk reduksi aliran tsunami
bersama dengan sabuk pantai.
(iv) Ketika mengkombinasikan sabuk pantai dengan struktur keras,
akan efisien untuk menanam sabuk pantai di sisi laut dan
membangun struktur keras di sisi daratan (Iimura dkk [2008]).
Desain struktur keras yang dibangun harus berdasarkan gaya
eksternal yaang dihasilkan oleh tsunami setelah menghantam
sabuk pantai. Struktur keras daratan ini, misalnya embankment,
dapat didesain dan digunakan sebagai jalan. Gambar 9
memberikan ilustrasi kombinasi tersebut.

26
Pandanus & Casuarina

Rising of coast road, to be


functioned as embankment

▽ Tsunami 

Gambar 9. Ilustrasi kombinasi antara sabuk pantai dengan struktur


keras

27
IV. TEKNIS PENANAMAN

4.1 Penyiapan Bibit


Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang
mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan penanaman vegetasi
pantai. Apabila bibit yang digunakan berkualitas tinggi dan siap
tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan akan tinggi.
Sebaliknya, penggunaan bibit berkualitas rendah hanya akan
menyebabkan kegagalan kegiatan. Uraian dibawah ini adalah
penjelasan mengenai tahapan umum dalam mempersiapkan bibit di
persemaian

4.1.1. Membangun Persemaian


Persemaian merupakan suatu unit yang dilengkapi sarana dan
prasarana seperti bedeng tabur, bedeng sapih, gudang dll untuk
mendukung kegiatan penyiapan bibit. Secara garis besar tahapan
pembangunan fasilitas persemaian meliputi penentuan lokasi dan
pembuatan bedengan.
A. Penentuan lokasi persemaian
Cara membibitkan tanaman mangrove (misalnya bakau, api-api,
pedada, tengar, dll) sangat berbeda dengan tanaman pantai lainnya
(misalnya waru, ketapang, nyamplung, cemara, dll). Kedua jenis
tanaman tersebut membutuhkan lingkungan dan persyaratan lokasi
yang sangat berbeda.
Tabel berikut ini menjelaskan persyaratan-persyaratan yang
diperlukan untuk persemaian vegetasi pantai.

28
Tabel 6. Persyaratan persemaian jenis mangrove dan tanaman pantai

Persemaian mangrove Persemaian tanaman pantai


K r i t e r i a
(persemaian pasang-surut) (persemaian darat)

Pemilihan Lokasi
dan kondisi  Tempat yang rendah
Persemaian  Topografi datar
 Bebas dari angin kencang
 Dekat dengan lokasi penanaman
 Lokasi mudah dijangkau
 Dekat dengan tenaga kerja
 Dekat dengan sumber media
 Terkena pasang surut air laut  Tidak terkena pasang surut air
 Bebas dari gelombang laut
secara langsung  Tapak relatif keras
 Bebas dari banjir
Sumber air  Air pasang surut  Air tawar
 Salinitas kurang dari 30  Berasal dari sungai atau
°/00 * sumur

Media yang dipakai  Lumpur, lumpur berpasir,  Tanah, pasir, kompos


pasir berlumpur

" Air laut umumnya memiliki salinitas sekitar 35 %. atau 35 ppt.

Namun demikian, sarana dan prasarana yang melengkapi kedua jenis


persemaian relatif sama (misalnya bedengan, naungan,gudang, dll).

B. Pembuatan bedengan
Di suatu persemaian, umumnya terdapat dua jenis bedengan yaitu
bedeng tabur dan bedeng sapih. Bedeng tabur berfungsi untuk
mengecambahkan benih (terutama benih yang berukuran kecil),

29
sedangkan bedeng sapih biasanya dipergunakan untuk menampung
bibit sapihan dan bibit dipelihara hingga siap tanam.
a. Bedeng tabur

Bedeng tabur adalah suatu bedeng


bersekat dengan ukuran tertentu, berisi
media semai, diberi naungan dan
digunakan untuk mengecambahkan benih
terutama benih yang kecil seperti api-api
dan nyiri. Posisi naungan diusahakan miring
(tinggi 120-170 cm menghadap ke Timur
dan tinggi 50-100 cm ke Barat).

Untuk yang ukurannya sangat kecil


(misalnya cemara), benih sebaiknya
dikecambahkan pada bak kecambah.
Gambar 10. Bedeng tabur (atas)
Media yang digunakan untuk bedeng
dan Bak kecambah (bawah).
tabur dan bak kecambah umumnya
berupa pasir atau tanah halus. Dengan
media ini, semai akan mudah dicabut tanpa mengalami kerusakan
akar pada saat penyapihan.

Keterangan:
Bedeng tabur pada umumnya berisi banyak semai. Oleh karena itu,
setiap semai harus disapih (dipindahkan) ke dalam polibag yang
berisi media pertumbuhan. Dengan demikian setiap semai akan
mendapatkan media atau unsur hara yang cukup untuk
mendukung pertumbuhannya. Semai yang siap disapih biasanya
telah memiliki 3-5 lembar daun.

30
b. Bedeng Sapih

Bedeng sapih adalah bedeng bersekat, berukuran tertentu, yang


difungsikan untuk menampung polibag yang berisi semai. Semai ini
bisa berasal dari semai yang disapih dari bedeng tabur atau semai dari
biji atau stek yang langsung ditanam dalam polibag. Di bedeng sapih
inilah semai dipelihara dari kecil hingga slap tanam.

Idealnya, bedeng sapih dilengkapi dengan naungan dengan intensitas


tertentu. Di pasaran, naungan ini sudah umum dijumpai dengan nama
perdagangan paranet atau sarlon. Namun demikian, naungan dapat
dibuat secara sederhana dengan memasang jalinan daun rumbia atau
daun kelapa.

Secara umum bedeng sapih dibuat dengan ketentuan sebagai berikut:


1. Berukuran 1m x 5 m memuat bibit sebanyak 1.200 bibit dengan
ukuran polibag 10 x 15 cm. Bedeng dengan ukuran 1 m x 10 m
akan dapat memuat 2.250 bibit (ukuran polibag 14 x 22 cm).
Secara sederhana, pembatas (sekat) bedeng dapat menggunakan
bambu atau tiang yang panjangnya disesuaikan dengan ukuran
bedeng.
2. Menghadap ke arah timur (membujur ke arah selatan-utara)
dengan maksud agar seluruh bibit di dalam bedeng mendapatkan
sinar matahari pagi yang merata dan optimal.
3. Antar bedengan diberi jarak setengah hingga satu meter untuk
jalan inspeksi dan memudahkan penyiraman.
4. Pemberian naungan.
Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang diberikan harus
lebih berat karena sangat rentan terhadap sengatan sinar matahari.
Apabila naungan yang ada di bedeng sapih adalah paranet, maka
sebaiknya di beri naungan tambahan berupa atap rumbia, tepat diatas

31
semai yang baru disapih. Setelah beberapa minggu, naungan rumbia
ini diambil hingga tinggal paranetnya.

Gambar 10. Bedeng sapih untuk bakau yang dinaungi sirap (kiri), dan bedeng untuk
tanaman pantai yang dinaungi paranet (kanan).

Khusus untuk lokasi yang rawan terhadap gangguan ternak,


persemaian sebaiknya dilengkapi dengan pagar. Dalam rangka
memudahkan kegiatan di persemaian, pagar tersebut sebaiknya
dilengkapi dengan pintu.

C. Memperoleh Benih

Benih sebaiknya dipanen dari pohon induk yang cukup umur dan
sehat. Pohon induk yang sehat dicirikan oleh batang yang lurus,
bentuk tajuk simetris, serta bebas dari hama/penyakit. Jenis tanaman
pantai dan mangrove mempunyai musim berbuah yang berlainan.
Jenis mangrove mempunyai musim berbuah yang serentak yaitu pada
pertengahan sampai akhir tahun. Sedangkan untuk jenis tanaman
pantai musim berbuahnya tidak serentak. Untuk mendapatkan benih
yang baik, pengadaan benih sebaiknya dilakukan pada waktu puncak
musim benih.

Buah yang masak untuk setiap jenis tanaman memiliki ciri-ciri yang
berlainan satu sama lain (lihat Tabel 8 berikut ini).

32
Tabel 7. Ciri-ciri Buah/Benih yang Masak Vegetasi Pantai Utama

No Jenis Ciri-ciri buah masak

1 Nyamplung Warna buah kuning kecoklatan. Diameter 2,5-4 cm.

2 Ketapang Berwarna hijau kekuningan


3 Cemara Berwarna hijau kekuningan dan berdiameter + 1 cm.
4 Sukun Berwarna Hijau kecoklatan
5 Butun Berwarna Coklat
6 Waru Laut Berwarna coklat/biasanya perbanyakan dilakukan
7 Kelapa dengaan
Berwarnastek
Kuning Kecoklatan

Pengunduhan buah dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain


memanjat, mengumpulkan buah/benih dibawah pohon induk, atau
dengan merontokkan buah dengan menggunakan galah.

Berbeda dengan mangrove, benih tanaman pantai relatif lebih lama


kehilangan daya kecambahnya. Dengan demikian, penyimpanan
benih tanaman pantai dapat dilakukan dalam waktu yang lebih lama.

4.1.2 Menanam Benih


A. Penyemaian pada bedeng/bak tabur

Benih yang berukuran kecil sebaiknya disemaikan di bedeng tabur


baru kemudian disapih ke polibag. Bahkan untuk ukuran biji yang
lebih kecil lagi (misalnya cemara), pengecambahan sebaiknya
dilakukan di bak tabur.
Penyiraman harus dilakukan dengan hati-hati dengan menggunakan
embrat/ gembor yang berlubang halus. Dengan demikian, siraman air
yang keluar jauh lebih halus tanpa mengganggu posisi benih yang
sedang dikecambahkan di dalam media.

Setelah tumbuh, kecambah dipindahkan kedalam polibag yang telah


33
diisi media. Dalam penyapihan ini, pemindahan kecambah harus
dilakukan secara hati-hari agar akar kecambah tidak rusak.

B. Penanaman ke Polibag

Untuk benih yang berukuran sedang hingga besar (misalnya bakau,


tancang, putat laut, ketapang, dan nyamplung), penanaman sebaiknya
dilakukan secara langsung dalam polibag. Penanaman langsung ini
dinilai lebih efektif dan efisien karena tidak memerlukan penyemaian
pada bedeng tabur dan penyapihan.

C. Cara menanam benih pada media

Tabel di bawah ini adalah rangkuman teknik menanam beberapa jenis


tanaman dari ukuran benih kecil hingga besar.

Tabel 8. Cara Menanam Benih Vegetasi Pantai Utama


Tanaman pantai
1 Cemara Di letakkan secara mendatar pada media tabur, kemudian ditaburi serbuk
gergaji atau tanah halus di atasnya.

2 Nyamplung bagian biji ditancapkan dalam media polibag.


3 Burun 1/2 bagian buah dibenamkankan pada media polibag. Bagian buah yang
dibenamkan adalah bagian yang tumpul.
Mengingat ukuran buah besar maka polibag yang dipakai harus berukuran
lebih besar.
4 Ketapang 2/3 bagian buah dibenamkan dengan posisi mendatar dalam media polibag.
5 Kelapa Dengan membenamkan buah ke dalam tanah, persemaian biasanya tidak
menggunakan polibag
6 Sukun Diperbanyak secara vegetatif yaitu dengan stek akar, okulasi, cangkok, atau
tunas akar.
7 Waru Laut Biasanya perbanyakan dengan stek, 1/3 bagian batang dibenamkan ke dalam
polibag

34
D. Media tanam

Untuk tanaman pantai, media tanam yang dipakai sebaiknya berupa


campuran tanah dan pasir dengan perbandingan (3 : 1). Untuk
menambah kesuburan media, penambahan pupuk kandang sangat
disarankan (apabila tersedia).

4.1.3 Memelihara Bibit di Persemaian

A. Pemeliharaan Bibit

Selama di persemaian, bibit disiram secara teratur pada pagi dan sore
hari. Penyiraman pada slang hari sebaiknya dihindarkan karena dapat
menyebabkan bibit merana/stres, dimana salah satu gejalanya adalah
daunnya menjadi keriting. Setelah beberapa bulan (3-4 bulan),
penyiraman dan pemberian naungan sebaiknya dikurangi secara
bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan bibit agar
mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi sebenarnya di lokasi
penanaman. Proses penyiapan bibit ini dikenal dengan istilah
pengerasan (hardening oft). Apabila akar bibit telah menembus tanah,
maka pernotongan akar sebaiknya dilakukan.

B. Pengendalian Hama dan Penyakit

Selain penyiraman dan pemberian naungan, pengendalian hama dan


penyakit juga harus dilakukan. Tabel dibawah ini adalah beberapa
jenis kerusakan tanaman yang umum dijumpai di persemaian serta
cara pencegahan atau penanganannya.

35
Tabel 9. Penyebab kerusakan bibit dan cara penanggulangannya
Penyebab Kerusakan yang
Pencegahan dan Penanggulangan
Kerusakan ditimbulkan
Persemaian darat (untuk tanaman pantai)
Tern ak Memakan daun namun tidak Membuat pagar disekeliling persemaian
(Kambing, sapi, sampai menyebabkan kematian
kerbau)
Semut Memakan biji di bedeng Membuat genangan air di sekeliling
atau bak tabur, terutama yang persemaian agar semut tidak dapat
berukuran kecil (misalnya masuk mencapai biji
cemara)
Ulat Memakan daun/tunas Membunuh ulat secara manual,
sehingga daun berlubang menyeprot dengan insektisida dengan jenis
dan dosis yang tepat .

4.2 Cara Menanam Bibit


4.2.1. Persiapan
Untuk mempermudah pelaksanaan penanaman di lapangan, perlu
dilakukan suatu persiapan yang matang. Persiapan ini meliputi
beberapa kegiatan antara lain penentuan dan penataan lokasi
penanaman, penentuan jenis tanaman, persiapan tenaga kerja,
pembagian tugas, serta persiapan alat dan bahan.
Rencana kerja dibuat dan diputuskan bersama oleh para pelaku
kegiatan. Rencana kerja dapat ditampilkan dalam bentuk tabel yang
mudah dimengerti dan memuat macam/jenis-jenis kegiatan, kapan
dilaksanakan, oleh siapa dan dimana.
A. Penentuan lokasi penanaman
Lokasi yang sesuai untuk jenis tanaman pantai adalah areal yang
berada di sekitar pantai berpasir, terutama yang telah ditumbuhi oleh
beberapa jenis tumbuhan menjalar, terutama galaran atau katang-
katang Ipomea pes-caprae.

36
Tabel 10. Kriteria lokasi penanaman yang sesuai untuk tanaman
pantai
Lokasi yang sesuai untuk
Kriteria
tanaman Pantai

Kondisi tanah  Tanah berpasir


Letak  Di pesisir yang bebas dari pasang surut (Bebas dari air asin)

Salinitas  Kering
Sumberair  Air tawar – payau
Indikator  Ditumbuhi oleh galaran/katangkatang (bibit ditanam disela-sela katang-
katang)

Lain-lain  Dekat dengan keberadaan para pekerja


 Bebas dari hewan ternak dan hama lain
 Lahan berpasir "terbuka" tidak layak ditanami, karena panas matahari
yang disimpan oleh pasir akan membuat layu/mati bibit tanaman

Sebelum penanaman dilakukan, koordinasi dengan pemerintah desa


sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui status kepemilikan
lahan dan rencana pembangunan ke depan di kawasan ini, sehingga
tidak ada konflik di kemudian hari.

B. Persiapan tenaga kerja dan pembagian tugas

Pembagian tugas sebaiknya dilakukan oleh kelompok sesuai


kesepakatan bersama. Untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan di
lapangan, anggota-anggota yang terlibat dibagi menjadi beberapa
kelompok misalnya kelompok pengangkutan bibit, pembuatan lubang
tanaman, pembuatan dan pemasangan ajir. Selanjutnya, masing-
masing anggota kelompok melaksanakan kegiatan sesuai dengan
tugasnya masing-masing (pengelompokannya).

C. Persiapan alat dan bahan

Beberapa peralatan yang perlu dipersiapkan dalam kegiatan


penanaman adalah sebagai berikut:
37
a. Gerobak sorong, pemikul, karung beras, atau alat lain yang
dapat digunakan untuk mengangkut bibit ke lokasi tanam.
b. Cangkul atau tugal, keduanya digunakan untuk membuat lubang
tanam.
c. Kompas digunakan untuk menentukan titik penanaman agar
lurus.
d. Tali tambang yang sudah diberi tanda untuk mengukur jarak
tanam.
e. Tali rafia digunakan untuk mengikat bibit pada ajir.
f. Parang digunakan untuk membersihkan sekitar lubang tanam,
membuat ajir dan pagar.

D. Penentuan Jenis Tanaman

Jenis tanaman harus disesuaikan dengan lokasi penanaman. Bila


lokasi penanaman adalah pantai berpasir, maka yang harus dipilih
adalah jenis tanaman pantai. Tabel 11 di bawah ini adalah
rekomendasi kesesuaian beberapa jenis tanaman terhadap lokasi
penanamannya.

Tabel 11. Kesesuaian jenis tanaman terhadap lokasi penanaman

Jenis Kondisi tanah Lokasi penanaman Suplai air


Cemara Tanah berpasir Pantai berpasir yang telah Tanah Kering
ditumbuhi galaran/katang-katang

Nyamplung Tanah berpasir Di belakang pantai berpasir Tanah Kering


Butun Tanah berpasir Di belakang pantai berpasir Tanah Kering
Ketapang Tanah berpasir Di belakang pantai berpasir Tanah Kering
Waru laut Tanah berpasir Pantai berpasir hingga ke darat Tanah kering
Kelapa Tanah berpasir Pantai berpasir
Pantai hingga
berpasir ke darat
hingga ke darat Tanah
Tanahkering
kering -
Sukun Tanah berpasir Pantai berpasir
Pantai hingga
berpasir ke darat
hingga ke darat Tanah
Tanahkering
kering -

38
E. Penataan Lokasi Penanaman
Setelah lokasi penanaman ditentukan, langkah selanjutnya adalah
penataan batas, pengukuran dan penentuan jarak tanam. Untuk
memudahkan pelaksanaan penanaman, maka setiap titik tanam
sebaiknya diberi ajir. Selain sebagai penanda lubang tanam, ajir ini
akan digunakan untuk mengikat bibit agar berdiri kokoh sehingga
tahan terhadap terpaan angin atau arus air. Umumnya, panjang ajir
adalah 100-150 cm, dibuat dari bambu yang dibelah.

4.2.2. Cara Mengangkut Bibit


Dari persemaian, bibit dipindahkan ke lokasi penanaman dengan
menggunakan alat angkut misalnya mobil bak, gerobak sorong,
perahu atau alat angkut lainnya. Pemilihan alat angkut sangat
tergantung pada tingkat kemudahan menjangkau lokasi penanaman
dengan mempertimbangkan jarak antara lokasi penanaman dengan
persemaian.
Untuk menghindarkan guncangan yang berlebihan selama
pengangkutan, bibit sebaiknya di atur terlebih dahulu sehingga tahan
terhadap guncangan.
Setelah sampai di lokasi penanaman, bibit sebaiknya tidak langsung
ditanam. Bibit tersebut sebaiknya diberi naungan dengan terpal dan
disiram seperlunya agar pulih dari stres karena proses pengangkutan.
Apabila kondisi bibit telah pulih, maka bibit tersebut dapat ditanam
di lapangan.

4.2.3. Waktu dan Cara Menanam Bibit di Lapangan


Untuk jenis tanaman pantai, penanaman sebaiknya dilakukan pada
awal musim penghujan, terutama pada pagi atau sore hari. Secara
umum, tahapan dalam pelaksanaan penanamannya adalah sebagai
berikut:
a. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran lebar mata cangkul
b. Merobek polibag secara hati-hati agar media tidak hancur
dan akar tidak rusak. Apabila media lumpur kompak, polibag
39
dapat dengan mudah dilepaskan tanpa merobek, melainkan
menariknya secara pelan-pelan.
c. Bibit dimasukkan dalam lubang dan ditimbun tanah bekas
galian
d. Kemudian bibit diikat ajir menggunakan tali rafia. Apabila
angin yang bertiup di sekitar lokasi penanaman keras,
pengikatan sebaiknya dilakukan di dua titik

4.3 Pemeliharaan
Pemeliharaan bertujuan untuk merawat tanaman setelah ditanam agar
keberhasilan tumbuh di lapangannya tinggi. Umumnya, kegiatan
pemeliharaan meliputi penyiraman, penyulaman, pengendalian/
pemberantasan hama dan penyakit serta mempertahankan tegaknya
tanaman
1. Penyiraman
Untuk tanaman pantai, penyiraman sangat diperlukan,
terutama bagi bibit yang baru ditanam. Setelah tanaman pulih
dan stabil, penyiraman tidak perlu lagi dilakukan.
2. Penyulaman
Penyulaman adalah kegiatan mengganti tanaman yang mati
dengan bibit baru yang sehat dan diusahakan seumur.
Dengan penyulaman ini maka prosentase tumbuh di lapangan
akan meningkat.
3. Pembersihan gulma dan sampah
Setelah ditanam di lapangan, tanaman seringkali terganggu
oleh ilalang atau tanaman liar lain yang tumbuh di sekitar
tanaman. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan tanaman.
Oleh karena itu maka perlu dilakukan pembersihan gulma
secara teratur. Kegiatan ini tidak perlu lagi dilakukan apabila
tanaman lebih tinggi dari ilalang. Kegiatan ini dilakukan
dengan cara membabat tanaman liar di sekitar tanaman
utama.

40
Tanaman mangrove seringkali terlilit oleh sampah, baik
plastik maupun bahan organik yang kemudian menghambat
pertumbuhannya. Apabila hal ini terjadi maka pembersihan
sampah tersebut harus segera dilakukan.
4. Pengendalian hama dan penyakit
Hama dan penyakit merupakan ancaman yang serius yang
perlu dikendalikan. Berikut ini adalah identifikasi kerusakan
serta pengendalian hama dan penyakit. Ternak adalah hama
yang seringkali menyerang tanaman pantai.

Tabel 12. Penyebab kerusakan tanaman dan cara penanganannya

Penyebab Identifikasi Cara Pencegahan dan Penanggulangan


Kerusakan Kerusakan
Ternak Dalam jumlah besar,  Memagari tanaman dengan kawat
(kerbau, ternak akan merusak bronjong. Selain kawat, bambu dan
kambing, sapi) tanaman bila melewati pandan dapat digunakan untuk
lokasi penanaman. melindungi bibit dari serangan ternak.
Selain memakan daun,  Mengandangkan ternak sehingga tidak
ternak juga sering berkeliaran di lokasi penanaman. kerbau
mencabut tanaman. dikandangkan.
 Memindahkan lokasi penanaman di
lokasi yang bebas dari gangguan
kerbau.
Angin kencang Tanaman rebah/patah/  Beni tiang penyangga yang kuat
tercerabut dari substrat dan/atau ikat batang tanaman pada
tiang penyangga.
Hama dan 
Penyakit
Cuaca Bibit kering  Penyiraman

Aktivitas Tanaman rebah/patah/  Sosialisasi


Nelayan tercerabut dari substrat

5. Mempertahankan tegakan tanaman


41
Angin yang kuat di lokasi penanaman dapat menyebabkan
tanaman menjadi miring atau bahkan roboh. Untuk
mengantisipasinya, bibit sebaiknya diikat pada ajir agar
tahan terhadap angin.
Apabila tidak diikat, maka tanaman dikuatirkan akan roboh/
patah atau bahkan tercerabut dari substratnya karena tiupan
angin kencang. Untuk jenis tanaman yang batangnya lentur
(misalnya cemara), pengikatan disarankan dilakukan pada
dua titik yaitu pada bagian tengah dan atas tanaman dan
diberi tonggak penyangga yang kuat.

42
BAB V. PERANSERTA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT

Secara umum pemerintah berperan dalam fasilitasi dan


regulasi. Informasi terkait dengan pelibatan masyarakat dalam
kegiatan rehabilitasi, pelestarian, pemanfaatan berkelanjutan relatif
jarang didokumentasikan dengan baik. Kebutuhan sosial masyarakat
yang berada di sekitar ekosistem vegetasi pantai harus
dipertimbangan secara cermat dalam perencanaan ekosistem vegetasi
pantai yang akan dilakukan. Pengelolaan ekosistem vegetasi pantai
dengan pelibatan masyarakat merupakan suatu proses dinamis dan
berkelanjutan yang menyatukan berbagai kepentingan.
Pelibatan masyarakat diperlukan untuk kepentingan
pengelolaan secara berkelanjutan pada suatu sumberdaya dan pada
umumnya kelompok masyarakat yang berbeda akan berbeda pula
dalam kepentingannya terhadap sumberdaya tersebut. Tidak ada
strategi pengelolaan sumberdaya yang berhasil tanpa mengikut
sertakan kepentingan para pihak. Sehingga strategi yang
komprehensif yang dilakukan untuk menangani isu-isu yang
mempengaruhi lingkungan pesisir melalui partisipasi aktif dan nyata
dari masyarakat pesisir mutlak dilakukan.
Partisipasi adalah kata kunci dalam pengelolaan ekosistem
vegetasi pantai berbasis masyarakat. Banyak program dan kegiatan
pengelolaan yang kurang atau tidak berhasil dikarenakan pelaksana
program gagal melibatkan partisipasi masyarakat sejak awal
program. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
vegetasi pantai dapat dilakukan dalam beberapa hal seperti:
a. Pelestarian vegetasi pantai : masyarakat dapat bertindak aktif
dalam memelihara, memonitor, dan mengawasi vegetasi pantai
dari berbagai kegiatan pemanfaatan yang merusak. Masyarakat
juga dapat memanfaatkan ekosistem vegetasi pantai untuk

43
berbagai keperluan sehari-hari secara lestari seperti mencari ikan,
udang, kerang-kerangan, buah, kayu dan lain-lain.
b. Rehabilitasi: dalam pelaksanaan rehabilitasi masyarakat
berpartisipasi aktif dalam penentuan lokasi, pengumpulan benih,
pengangkutan, penanaman, pemeliharan, dan penjagaan.
c. Pemeliharaan: pemeliharaan vegetasi pantai pasca penanaman
meliputi pembersihan dari sampah, hama, dan penjarangan.
d. Pemanfaatan : mengingat masyarakat di sekitar ekosistem
vegetasi pantai sangat membutuhkan produk-produk dari
vegetasi pantai maka pemanfaatan secara lestari harus tetap
diupayakan baik pemanfaatan langsung maupun tak langsung.

Secara singkat, Tabel 5.1 berikut menggambarkan secara


keseluruhan pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan
vegetasi pantai.
Tabel 12. Pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan
ekosistem vegetasi pantai
Tahapan Partisipasi/Peran Masyarakat dalam Pengelolaan
Ekosistem Vegetasi Pantai
Perencanaan  Partisipasi dalam pengumpulan data dasar dan pelatihan
pengumpulan data
 Menghadiri pertemuan dalam identifikasi dan analisis isu
 Pemberi masukan terhadap permasalahan dan isu serta
penentuan prioritas isu
 Berpartisipasi dalam penyusunan dn diseminasi profil desa
 Berpartisipasi dalam penyusunan draft perencanaan
Pelaksanaan Awal  Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan
hidup
 Berpartisipasi dalam pelatihan pengelolaan sumberdaya
 Berpartisipasi dalam pembuatan konsep rencana pengelolaan
 Pengambil keputusan dan pelaksanaan dalam kegiatan
pelaksanaan awal
 Berpartisipasi dalam penentuan kelompok inti/kelompok
perencanaan
 Pengambil keputusan dan pemberi masukan dalam rencana
pengelolaan (klarifikasi isu, visi desa, tujuan pengelolaan,

44
Tahapan Partisipasi/Peran Masyarakat dalam Pengelolaan
Ekosistem Vegetasi Pantai
strategi, kegiatan, sistem monitoring, dan struktur kelembagaan)
 Pemimpin dan pelaksana konsultasi, sosialisasi, perbaikan, dan
diseminasi rencana pengelolaan kepada masyarakat, pemerintah
setempat, sampai tingkat provinsi
Adopsi program /  Berpartisipasi dalam menentukan isu prioritas, tujuan
persetujuan pengelolaan, dan kegiatan yang akan dilakukan, serta waktu
pelaksanaan
 Berpartisipasi dalam musyawarah desa untuk persetujuan
rencana pengelolaan dan pendanaan
 Memberikan dukungan atau penolakan terhadap pendanaan dan
bantuan teknis dari Pemda dalam konsultasi dan presentasi
rencana pengelolaan
 Memberikan dukungan legitimasi rencana pengelolaan melalui
SK Kepala Desa tentang Penetapan Rencana Pengelolaan dan
Penetapan Kelompok Pengelola dan Pelaksana Rencana
Pengelola
 Berpartisipasi dalam pembuatan Rencana Pembangunan
Tahunan Desa (RPTD) berdasarkan rencana pengelolaan yang
ditetapkan
 Mencari dukungan dana dan bantuan teknis melalui swadaya
masyarakat, pengusaha, lembaga donor lain, LSM, perguruan
tinggi, selain dukungan dana dari pemerintah.
 Bersama-sama dengan pemerintah desa dan kabupaten
menyetujui rencan pengelolaan, strategi, dan pendanaannya
 Berpartisipasi dalam peluncuran dokumen rencana pengelolaan
Implementasi/Pelaksan  Berpartisipasi dalam rapat untuk menentukan rencana tahunan
aan desa
 Berpartisipasi dalam rapat untuk menentukan anggota kelompok
pengelola
 Pengambil keputusan bagi prioritas kegiatan dalam rencana
tahunan desa
 Penyusunan rencana kerja/kegiatan
 Pemberi kontribusi tenaga dan dana
 Berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
 Berpartisipasi dalam pembuatan laporan dan
pertanggungjawaban keuangan dan program
 Berpartisipasi dalam pembuatan laporan dan
pertanggungjawaban keuangan dan program
 Berpartisipasi dalam presentasi laporan dalam rapat umum desa
Pemantauan dan  Berpartisipasi dalam pelatihan pemantauan dan evaluasi
Evaluasi  Bertindak sebagai pengawas kesepakatan/aturan dan pelaporan
pelaksanaan aturan dan rencana
 Bertindak sebagai pemantau dan pengevaluasi pelaksanaan
rencana kerja tahunan dan dana

45
Adapun berbagai cara untuk meningkatkan kesadaran dan
keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan
ekosistem vegetasi pantai dapat dilakukan :
a. Sosialisasi; dilakukan di desa lokasi kegiatan untuk
menyampaikan dan menginformasikan maksud dan tujuan dari
kegiatan. Dalam kegiatan ini, masyarakat secara bersama-sama
akan menetapkan (i) lokasi penanaman; (ii) kegiatan dan biaya
pemeliharaan pasca penanaman yang diserahkan kepada
masing-masing kelompok; (iii) masyarakat yang akan terlibat
yang berasal dari masyarakat yang bertempat, dan bekerja
sebagai nelayan, penggarap/pemilik tambak dan yang
aktivitasnya berdekatan dengan lokasi vegetasi pantai; (iv)
pengumpulan dan pengangkutan benih;
b. Penyuluhan; Dalam kegiatan penyuluhan yang disampaikan
adalah fungsi dan manfaat vegetasi pantai baik secara ekologi
maupun fungsi jasa sosial. Kegiatan ini dilakukan bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi
dan manfaat vegetasi pantai.
c. Pembentukan kelompok binaan; Pembentukan kelompok
bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan
rehabilitasi dan pelatihan, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka akan
pentingnya fungsi ekosistem vegetasi pantai.
d. Pemantauan dan evaluasi; dilakukan dengan maksud untuk
mengetahui perubahan variabel administratif, sosial budaya,
perilaku masyarakat, dan lingkungan.

46
Karakteristik keberhasilan Pelibatan Masyarakat adalah :
- Keuntungan integrasi pengelolaan diakui oleh pemerintah dan
stakeholders lain.
- Pemerintah, mendukung dan memfasilitasi secara aktif pelibatan
masyarakat setempat dalam pengelolaan.
- Para pihak memberikan perhatian, saling percaya dan
berpartisipasi secara penuh dengan peran yang jelas.
- Terselenggaranya ―appropriate sharing‖ (sumberdaya,
informasi, kedudukan/ kemampuan, keputusan).
- Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak
lanjuti.
- Para pihak memiliki kemampuan yang cukup.
Unsur yang tidak kalah penting dalam pelibatan masyarakat
di dalam program pengelolaan ekosistem vegetasi pantai adalah
pendamping masyarakat atau disebut juga fasilitator masyarakat,
yang bekerja langsung dengan masyarakat. Pendamping masyarakat
ini dapat dibagi dalam dua kelompok, pendamping yang berasal dari
luar desa dan pendamping yang berasal dari dalam desa.
Secara umum, pendamping masyarakat yang berasal dari luar
desa memiliki kriteria sebagai seorang yang (i) mampu
mengembangkan kepercayaan, disegani, berkomunikasi, bekerja
sama, berinteraksi, menempatkan diri dan peka terhadap budaya
setempat, (ii) memiliki latar belakang pendidikan yang memadai
(mengerti aspek lingkungan dan masyarakat pesisir), (iii) memiliki
jiwa kepemimpinan dan kemampuan mengorganisir pelaku-pelaku
pengelolaan ekosistem vegetasi pantai, dan (iv) memiliki kesadaran
dan kepekaan dalam mendorong pelibatan seluruh masyarakat dalam
keseluruhan proses pengelolaan ekosistem vegetasi pantai.

47
Mengingat pentingnya pendamping masyarakat ini, proses
pemilihan orang hingga penempatannya haruslah dipersiapkan
dengan baik. Beberapa tahapan yang dilalui adalah :
- Pemilihan, kegiatan ini dapat dilakukan oleh lembaga dari luar
desa atau inisiator program melalui proses perekrutan secara
terbuka dan obyektif.
- Orientasi, dilakukan untuk memperkenalkan calon pendamping
masyarakat terhadap program dan kondisi lapangan tempat
pendamping masyarakat bertugas.
- Pelatihan, kegiatan ini memiliki arti penting bagi seorang
pendamping sebagai pembekalan bagi pendamping dalam
menjalankan tugasnya.
Selain pendamping dari luar desa, untuk mendorong
keterlibatan penuh masyarakat dalam pengelolaan ekosistem vegetasi
pantai, diperlukan adanya pendamping masyarakat dari dalam desa,
disebut juga motivator desa, asisten lapangan, atau community
organizer (CO). CO merupakan penggerak masyarakat yang berasal
dari dalam desa yang dipilih oleh masyarakat dan pemerintah desa.
Pendamping jenis ini dibutuhkan dengan tujuan menjamin
keberlanjutan pendampingan pada saat pendamping dari luar desa
selesai bertugas. Jumlah pendamping ini disesuaikan dengan luasan
pengelolaan ekosistem vegetasi pantai setempat.
Secara umum, kriteria CO ini adalah orang-orang yang mau
dan peduli pada kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan isu-isu di
desa, disegani, dapat diterima di berbagai kalangan dan tingkatan
masyarakat, tidak memiliki konflik besar dalam masyarakat, tidak
memihak atau masuk dalam kelompok-kelompok tertentu. Proses
penetapan CO di desa ini secara umum dapat disebutkan :
- Pengenalan, melalui sosialisasi perlu dan pentingnya program
pengelolaan ekosistem vegetasi pantai.
48
- Perolehan mandat dari masyarakat, yang didapat melalui
prosedur pemilihan dari penguasa setempat, dan pemberitahuan
kepada penanggung jawab program atau pengelola program.
- Pembekalan, dengan memberikan pelatihan, seperti yang
dilakukan pada pendamping yang berasal dari luar desa.
Keberadaan CO ini sangat penting karena mereka akan
menjadi kader-kader yang terlatih dalam melakukan program
pengelolaan ekosistem vegetasi pantai. Mereka akan menerima
banyak pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan pengelolaan
ekosistem vegetasi pantai yang akan diteruskan serta diterapkan
dalam di masyarakat. Keberadaan kedua jenis pendamping
masyarakat ini menjadi komponen penting pendukung keberhasilan
pengelolaan ekosistem vegetasi pantai.

49
VI. MONITORING DAN EVALUASI PERTUMBUHAN
VEGETASI

Setelah penanaman di lapangan, tanaman vegetasi pantai akan


mengalami proses pertumbuhan yang dicirikan oleh adanya
pertambahan ukuran/dimensi tanaman seperti pertambahan diameter
batang, pertambahan tinggi, perkembangan akar, serta perkembangan
cabang dan daun. Pertumbuhan tanaman akan terjadi apabila unsur-
unsur hara dan faktor-faktor lingkungan (baik faktor edafis maupun
klimatis) yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman tersedia
dalam jumlah yang memadai. Sebaliknya, apabila faktor-faktor
pendukung pertumbuhan tersebut tidak tercukupi, maka pertumbuhan
tanaman akan terhambat yang pada akhirnya tanaman akan
mengalami kematian. Tentunya, kegagalan penanaman tidaklah
dikehendaki dan karenanya perlu dilakukan upaya-upaya
pencegahannya sejak dini.
Sejalan dengan hal tersebut, kegiatan monitoring dan evaluasi
pertumbuhan tanaman vegetasi pantai perlu dilakukan dalam upaya
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kegagalan penanaman.
Adanya monitoring dan evaluasi yang intensif memungkinkan
diketahuinya jumlah pohon yang tumbuh secara sehat dan normal
sejak mulai ditanam hingga menjadi tegakan, sehingga potensi
(volume dan jumlah pohon) yang dapat dipanen pada akhir daur
dapat dihitung dan diduga secara akurat.

6.1. Teknik Monitoring dan Evaluasi


Pada prinsipnya, monitoring dan evaluasi pertumbuhan tanaman
vegetasi pantai dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan
pertumbuhan tanaman sejak ditanam hingga akhir daur. Data dan
informasi yang dapat diperoleh dari kegiatan ini terutama adalah :

50
 Persen tumbuh, yakni persentase jumlah pohon yang tumbuh
dengan sehat dan normal dibanding total pohon pada saat
penanaman.
 Kondisi kesehatan pohon, seperti tingkat gangguan hama dan
penyakit, dan penampakan fisik pohon.
 Pertumbuhan dimensi pohon dan tegakan, seperti pertambahan
(riap) diameter, riap tinggi, dan riap volume.

Kegiatan monitoring dan evaluasi pertumbuhan tanaman vegetasi


pantai dapat dilakukan, baik secara insidentil (sewaktu-waktu)
maupun secara terusmenerus (kontinyu) dengan periode tertentu.
Monitoring dan evaluasi secara insidentil merupakan kegiatan
monitoring yang dapat dilakukan kapan saja sesuai keperluan pihak
pengelola untuk mendapatkan data dan informasi tanaman pada saat
itu. Untuk tanaman yang masih berumur kurang dari 3 tahun,
kegiatan ini harus dilaksanakan secara intensif ( misal setiap tahun
atau setiap 6 bulan) karena pada umur tersebut pertumbuhan tanaman
masih belum stabil sehingga sangat rentan terhadap kematian.
Sedangkan untuk tanaman yang berumur lebih dari 3 tahun,
monitoring dapat dilakukan sesuai keperluan untuk menginventarisir
potensi pohon (volume dan jumlah pohon) yang dapat diperoleh pada
kurun waktu tersebut.
Adapun monitoring dan evaluasi secara kontinyu dimaksudkan untuk
memantau pertumbuhan tanaman secara lebih teliti dari waktu ke
waktu pada masing-masing individu tanaman. Umumnya, kegiatan
ini dilakukan dengan membuat petak ukur permanen (PUP) yang
diletakkan secara merata dan tersebar sehingga mewakili populasi
tegakannya.

51
Secara skematis, teknik monitoring dan evaluasi pertumbuhan
tanaman vegetasi pantai tersebut dapat digambarkan seperti terlihat
pada Gambar 11.

Tanaman Pantai

Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan Evaluasi


Pertumbuhan secara Insidentil Pertumbuhan secara Kontinyu

Tanaman Berumur Tanaman Berumur Pembuatan Petak Ukur Permanen


< 3 tahun > 3 tahun (PUP)

Pengukuran secara sensus Pengukuran secara sampling Pengukuran PUP secara Sensus

Data persen Data kesehatan Data persen Data dimensi Data Pertumbuhan pohon dan
tumbuh tanaman tanaman tumbuh tanaman pohon & tegakan tegakan

Arahan strategi
pengelolaan sabuk
pantai

Pelaporan Kegiatan
Monitoring dan Evaluasi
Tanaman Pantai

Gambar 11. Alur kegiatan monitoring dan evaluasi pertumbuhan


tanaman vegetasi pantai.

Adapun secara rinci, teknik monitoring dan evaluasi pertumbuhan


tanaman vegetasi pantai seperti digambarkan pada alur kegiatan di
atas dapat dijelaskan pada uraian berikut ini.

52
6.1.1 Monitoring dan evaluasi pertumbuhan tanaman yang
berumur kurang dari 3 tahun
Mengingat sangat rentannya pertumbuhan tanaman pada umur
kurang dari 3 tahun, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus
dilakukan secara lebih intensif pada fase ini. Oleh karena itu, teknik
monitoring yang paling tepat adalah dengan pengukuran secara
sensus (pohon per pohon) untuk memperoleh data tentang persen
tumbuh dan kondisi kesehatan dari masing-masing pohon yang
ditanam. Teknik monitoring tersebut dapat dilakukan dengan tahapan
kegiatan sebagai berikut :
1). Pembuatan peta situasi tanaman
Adanya peta situasi tanaman akan memudahkan pihak pengelola
untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan
pengelolaan secara tepat dan terarah. Untuk itu, peta situasi tanaman
perlu terlebih dahulu dibuat sebagai dasar perencanaan kegiatan
selanjutnya. Peta tersebut hendaknya dibuat dalam skala yang cukup
besar, misalnya skala 1 : 5000, sehingga dapat menampilkan
informasi yang lebih detail tentang pembagian petak tanaman (ke
dalam anak petak-anak petak), luas masing-masing petak tanaman
dan totalnya.
2). Pembuatan denah sensus pohon
Untuk pengukuran dan pencatatan secara sensus, terlebih dahulu
perlu dibuatkan denah sensus pohon yakni berupa denah yang terdiri
atas kotak-kotak kecil (grid) yang masing-masing memiliki koordinat
(x,y), dimana setiap grid merepresentasikan satu batang tanaman.
Pembuatan denah sensus pohon tersebut didasarkan atas peta situasi
tanaman yang dapat dibagi kedalam beberapa petak tanaman dengan
luasan tertentu. Adanya denah sensus pohon tersebut memberikan
keuntungan dalam hal : 1) memudahkan regu pengukur dalam
melakukan pengukuran dan pencatatan secara sistematis dan terarah,
53
dan 2) memudahkan untuk mengetahui posisi (tempat tumbuh) suatu
pohon karena diketahui koordinatnya.
Apabila pengukuran dan pencatatan pohon dilakukan oleh beberapa
regu, maka tiap regu harus membuat masing-masing denah sensus
pohon yang tidak saling tumpang tindih (overlap) sesuai dengan luas
blok tanaman yang akan diukurnya. Banyaknya grid yang harus
disediakan dalam suatu denah sensus dapat dihitung sebagai berikut:

10.000 (M2 /ha)


Jumlah grid = luas petak tanaman (ha) x
jarak tanam (m')

Sebagai contoh, apabila suatu regu akan mengukur pada luasan 2 ha


dengan jarak tanam 2 m x 2 m, maka grid yang harus dibuat pada
denah sensus tersebut adalah :

10.000 (M2 /ha)


Jumlah grid = 2 ha x = ± 5.000 grid
2 x 2 (m')

Untuk itu, regu tersebut harus menyiapkan denah sensus pohon yang
terdiri atas 5000 grids. Sebaaai contoh, bentuk denah sensus pohon
tersebut dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 12.

54
Gambar 12. Denah sensus pohon untuk monitoring dan evaluasi
pertumbuhan tanaman vegetasi pantai yang berumur kurang dari 3
tahun

3). Pengukuran dan pencatatan pohon


Berdasarkan denah sensus pohon, setiap regu survey melakukan
pengukuran dan pencatatan tanaman vegetasi pantai secara sensus
pada blok yang telah ditetapkan. Pengukuran hendaknya dilakukan
secara sistematis dalam jalur, yang dibuat dengan arah utara-selatan
atau barat-timur, dengan lebar tertentu (misal : lebar 20 m) yang
dimulai dari batas petak sampai tepi ujung petak dan kembali ke arah
semula pada jalur disebelahnya. Semua tanaman dalam jalur diukur
dan dicatat kondisi pertumbuhannya. Hal -hal yang perlu dicatat
tentang kondisi pertumbuhan tanaman meliputi :

a). Hidup atau matinya suatu individu tanaman


Data tentang hidup atau matinya tanaman dicatat pada denah
sensus pohon dengan memberi tanda silang (x) pada kolom yang
sesuai apabila dijumpai tanaman tersebut mati (Gambar 13).
Sedangkan pada kolom yang merepresentasikan tanaman yang
hidup tidak perlu diberi tanda. Dengan demikian, dari denah
sensus pohon dapat diketahui sebaran dan posisi tanaman yang
hidup dan mati. Informasi ini sangat berguna untuk menentukan
posisi tanaman yang memerlukan penyulaman.
55
Gambar 13. Sebaran clan posisi pohon yang mati (diberi tanda X)
pada setiap anak petak
b). Kondisi kesehatan tanaman
Untuk memperoleh data pertumbuhan tanaman secara komprehensif,
regu survey harus mencatat pula kondisi kesehatan setiap individu
tanaman, seperti : ada atau tidaknya serangan hama dan penyakit,
normal atau tidaknya penampakan tanaman, dan tingkat gangguan
gulma. Hasil pengamatan tersebut dapat dicatat pada suatu tabel.
Adapun waktu pelaksanaan pengukuran dan pencatatan secara sensus
tersebut dapat dijadwalkan secara periodik sesuai kebijakan pihak
pengelola. Namun disarankan, monitoring pertama dilakukan setelah
3 bulan sejak penanaman untuk mengetahui secara dini tentang perlu
tidaknya dilakukan penyulaman tanaman yang mati. Sedangkan
monitoring selanjutnya dilaksanakan setiap tahun sampai tahun ke-3
setelah penanaman.
4). Analisis data
Setelah pengukuran dan pencatatan kondisi tanaman dilakukan, perlu
dilakukan analisis data untuk mendapatkan informasi kuantitatif dan

56
kualitatif tentang kondisi pertumbuhannya. Untuk tanaman yang
berumur kurang dari 3 tahun, informasi yang perlu diperoleh adalah
tingkat keberhasilan penanaman yang dicerminkan oleh nilai persen
tumbuh minimal 80%. Nilai persen tumbuh dapat dihitung sebagai
hasil Pembagian antara jumlah tanaman yang tumbuh dengan baik
(hidup) terhadap total tanaman pada saat awal penanaman atau dapat
dinyatakan sebagai berikut :

Persen tumbuh = Jumlah pohon yang hidup X 100%


Total pohon yang ditanam

Misalkan, dari hasil pencatatan secara sensus (seperti tertera pada


denah sensus pohon) diketahui terdapat 20 pohon yang mati.
Sedangkan pada saat awal, total pohon yang ditanam pada anak petak
tersebut sebanyak 500 pohon. Dengan demikian, terdapat sebanyak
480 pohon (500-20) yang tumbuh dengan baik (hidup), sehingga
persen tumbuh tanaman pada anak petak tersebut adalah :
Persen tumbuh = (500-20) x 100% = 96%
500

Selain informasi tentang persen tumbuh, informasi lain tentang


kondisi tiap anakan pohon perlu diketahui. Dalam hal ini, hasil
pengamatan tentang ada atau tidaknya serangan hama dan penyakit,
normal atau tidaknya penampakan pohon, serta ada atau tidaknya
gulma, perlu dianalisis secara lebih mendalam untuk menentukan
tindakan-tindakan silvikultur yang diperlukan guna mendukung
pertumbuhan tegakan secara optimal.
5). Pelaporan hasil monitoring
Hasil monitoring perlu disajikan secara sistematis dalam bentulk
laporan. Dalam hal ini, tiap regu survey harus merekapitulasi data
hasil pengukurannya, menganalisis, dan menyajikannya dalam suatu
57
laporan. Dalam kegiatan monitoring ini, isi laporan terutama
menyajikan data dan informasi tentang keberhasilan penanaman yang
dicirikan oleh persen tumbuh, serta rekomendasi tentang perlu
tidaknya dilakulkan penyulaman. Laporan tersebut disampaikan
kepada Kepala Divisi Riset (atau semacamnya sesuai struktur
organisasi pengelolaan) untuk dikoreksi dan disahkan. Selanjutnya,
Kepala Divisi Riset menyampaikan atau mempresentasikan laporan
tersebut. kepada atasannya untuk dievaluasi lebih lanjut. Berdasarkan
laporan tersebut, pihak pengelola dapat mengevaluasi keberhasilan
kegiatan penanaman serta merekomendasikan kegiatan-kegiatan
lanjutan yang perlu dilakukan.
5.1.2 Monitoring dan evaluasi pertumbuhan tanaman yang
berumur lebih daril 3 tahun
Setelah 3 tahun penanaman, pertumbuhan tanaman vegetasi pantai
akan berkembang hingga membentuk suatu tegakan yang dicirikan
oleh semakin besarnya ukuran/dimensi (diameter, tinggi, luas bidang
dasar, dan volume) dari pohon-pohon yang ada di dalamnya. Dalam
kegiatan pengelolaan tegakan, umumnya pilhak pengelola sangat
berkepentingan untuk menduga parameter-parameter kuantitatif dari
tegakan seperti : jumlah pohon, tingkat serangan hama dan penyakit,
dan volume tegakan. Oleh karena itu, kegiatan monitoring dan
evaluasi tegakan lebih ditujukan untuk memperoleh data dan
informasi tentang nilai-nilai dugaan dari parameter-parameter
tersebut.
Mengingat luasnya tegakan yang dikelola, pengukuran secara sensus
kurang efektif diterapkan untuk kegiatan monitoring tegakan.
Umumnya, teknik yang efektif untuk diterapkan dalam monitoring
tegakan adalah teknik sampling (penarikan contoh/sampel). Pada
prinsipnya, monitoring tegakan dengan teknik sampling dilakukan
melalui pengambilan dan pengukuran sejumlah contoh (sample) dari

58
tegakan yang akan diduga parameternya. Untuk hutan tanaman
vegetasi pantai, unit contoh yang digunakan berupa plot-plot contoh
berbentuk lingkaran dengan ukuran tertentu (misal : 0,05 ha atau 0,1
ha) yang diletakkan secara sistematis dalam tegakan. Berdasarkan
hasil pengukuran volume dari setiap plot contoh, selanjutnya dapat
ditentukan nilai dugaan/taksiran bagi parameter-parameter tegakan,
seperti jumlah pohon (yang sehat dan terserang penyakit) dan volume
tegakan.
Umumnya, kondisi tegakan hutan tanaman vegetasi pantai pada suatu
petak tanaman relatif homogen. Dalam hal ini, teknik sampling yang
mudah diterapkan adalah systematic plot with random start sampling
(penarikan contoh sistematis dengan pengacakan awal) dengan unit
contoh berupa plot lingkaran dengan ukuran tertentu.
Dalam teknik sampling tersebut, tim survey menempatkan plot
contoh pertama secara acak dalam tegakan dan plot contoh lainnya
diletakkan secara sistematis dalam interval (jarak) tertentu.
Selanjutnya, pada plot-plot contoh tersebut dilakukan pengukuran
parameter tegakan, seperti : jumlah pohon, tingkat serangan hama
dan penyakit, dan dimensi pohon dan tegakan (diameter, tinggi, dan
volume).
Adapun banyaknya plot contoh yang harus dibuat dapat ditentukan
dengan menetapkan intensitas sampling (IS) yang akan digunakan
dalam survey tersebut. Intensitas sampling (IS) merupakan
perbandingan (dinyatakan dalam persen) antara jumlah unit contoh
(n) dengan total unit contoh yang dapat dibuat dalam
populasi/tegakan (N). Dalam hal ini, tim survey harus menetapkan
besarnya intensitas sampling yang akan digunakan berdasarkan
pedoman kerja (jika ada) atau pengalaman sebelumnya. Sebagai
arahan tentang luas plot contoh, jarak antar plot contoh dan intensitas

59
sampling yang dapat diujicobakan untuk diterapkan di hutan tanaman
vegetasi pantai adalah seperti tertera pada Tabel 13.

Tabel 13. Luas plot contoh, jarak antar plot contoh, dan intensitas
sampling yang dapat digunakan. sebagai acuan dalam pendugaan
potensi tegakan di hutan tanaman

Ukuran plot contoh Jarak antar Intensitas


Umur
plot Samping
tegakan Luas ( ha ) Radius ( m )
(m) (%)
< 5 tahun 0,02 7,94 200 0,5
5 – 10 tahun 0,04 11,28 200 1,0
> 19 tahun 0,10 17,80 200 2,5

Arahan pada Tabel 16 di atas sebaiknya hanya dipakai apabila tidak


ada pedoman baku. Apabila terdapat pedoman inventarisasi yang
telah dibakukan untuk diterapkan di hutan tanaman vegetasi pantai
atau berdasarkan pengalaman pihak pengelola diinginkan intensitas
sampling atau ukuran plot contoh yang berbeda, maka harus
dirancang kembali radius dan jarak antar plot contoh sesuai intensitas
sampling yang akan diterapkan. Pada prinsipnya, semakin besar
intensitas sampling yang akan diterapkan maka akan diperoleh hasil
pendugaan yang lebih teliti karena jumlah unit contoh yang diambil
pun semakin banyak, sehingga lebih mewakili variasi pertumbuhan
tegakannya. Namun demikian, tentunya harus disesuaikan pula
dengan sumberdaya (biaya, waktu, dan tenaga) yang tersedia untuk
kegiatan survey, karena semakin banyak unit contoh yang diambil,
maka diperlukan alokasi sumberdaya yang lebih besar.
Adapun secara rinci, tahapan kegiatan yang harus diiakukan dalam
teknik monitoring di atas adalah sebagai berikut :

60
1). Persiapan tim survey
Untuk pelaksanaan kegiatan survey di lapangan, maka suatu tim
survey yang terbagi atas beberapa regu harus disiapkan. Banyaknya
regu survey haruslah disesuaikan dengan beban kerja, alokasi biaya,
dan luas areal yang akan disurvey. Setiap regu terdiri atas 3 - 5 orang
yang sudah terlatih dalam pengukuran dimensi pohon dan tegakan.
Selain itu, setiap regu perlu mempersiapkan peralatan (utama) survey
yang harus dibawa, yaitu:
 Alat ukur diameter pohon, yaitu : pita diameter (phi-band)
atau pita keliling.
 Alat ukur tinggi pohon, yaitu : Haga hypsometer atau
Christen meter.
 Kompas Brunton.
 Tambang dengan panjang minimal 25 m.
 Tally sheet untuk pencatatan data.
2). Pembuatan rancangan sampling di peta
Sebelum pelaksanaan kegiatan di lapangan, terlebih dahulu tim
survey harus membuat rancangan sampling pada peta kerja.
Rancangan sampling yang dimaksud adalah pola (layout)
penempatan unit-unit contoh di lapangan sesuai teknik sampling
yang akan diterapkannya. Untuk teknik systematic random sampling,
rancangan sampling dapat dibuat dengan tahapan sebagai berikut :

 Lakukan deliniasi batas petak (sebagai populasi) pada peta


yang akan dirisalah (disurvey).
 Tentukan skal a peta yang digunakan. Misal : skala 1 : 10000
 Tentukan was populasi (L) yang akan dirisalah. Misalkan L =
10 ha.
 Tentukan luas plot contoh (I) yang akan digunakan. Misalkan
I = 0,05 ha.

61
 Tentukan ukuran populasinya (N), yakni : N = L / I.
 Tentukan intensitas sampling (IS) yang akan digunakan.
Tentukan jumlah plot contoh (n) yang harus dibuat, yakni n
= N x IS.
 Tentukan jarak/interval antar plot contoh (k) adalah :
k = √(luas plot) x 100% ) / IS
 Untuk menentukan plot pertama secara acak, lakukanlah
pengacakan koordinat (x,y) sebagai berikut:
 Untuk absis pertama (xl) pada sumbu X : keluarkan
angka acak (dari kalkulator) sehingga diperoleh
angka acak yang kurang dari absis terbesar. Misal :
dari kalkulator diperoleh angka acak 48, dan absis
terbesar 13, maka absis plot pertama (xl) adalah 48 -
3(13) = 9
 Untuk ordinat pertama (yl) pada sumbu Y :
keluarkan angka acak (dari kalkulator) sehingga
diperoleh angka acak yang kurang dari ordinat
terbesar. Misal : dari kalkulator diperoleh angka acak
02, dan absis terbesar 8, maka ordinat plot pertama
(yl) adalah 02 - 0(8) = 2
 Jadi, koordinat plot pertama adalah (9, 2)
 Catatan : Apabila diperoleh koordinat yang di luar
batas petak (populasi), maka proses di atas harus
dilakukan ulang sehingga diperoleh koordinat plot
pertama yang berada dalam batas petak (populasi).
 Untuk plot-plot contoh berikutnya, tentukanlah secara
sistematis dengan jarak (k) sesuai perhitungan di atas,
sehingga diperoleh sebanyak n plot contoh.
 Sebagai contoh (untuk kasus di atas) perhatikanlah sketsa
berikut ini :

62
Gambar 14. Rancangan sampling pada peta untuk systematic
random sampling dengan unit contoh berupa plot lingkaran

3). Pengukuran parameter tegakan di lapangan


Berdasarkan rancangan sampling yang telah dibuat, setiap regu
survey melakukan pengukuran parameter tegakan di lapangan pada
plot-plot contoh yang telah ditentukan pada peta kerja. Pengukuran
dimulai dari plot pertama yang mudah dijangkau dan terus berlanjut
ke plot-plot lainnya secara sistematis seperti yang tergambar pada
peta.
Adapun parameter tegakan yang perlu diukur dan dicatat pada setiap
plot adalah :
 Nama jenis
 Jumlah individu (baik yang tumbuh sehat maupun yang
terserang hama dan penyakit)
 Diameter pohon
 Tinggi pohon (baik tinggi bebas cabang maupun tinggi total)
Berdasarkan data diameter dan tinggi pohon, selanjutnya dapat
ditentukan volume (isi) dari pohon tersebut. Untuk penentuan volume
63
pohon, diperlukan tabel volume pohon yang mencantumkan nilai-
nilai volume (M3 ) berdasarkan diameter (cm) dan/atau tinggi (m)
pohon. Tabel volume pohon tersebut disusun melalui model regresi
yang mencantumkan hubungan antara volume dengan diameter
dan/atau tinggi pohon berdasarkan hasil pengukuran pohon-pohon
contoh. Mengingat volume pohon bersifat site specific (yakni
cenderung berbeda-beda sesuai lokasi tempat tumbuhnya), maka
tabel volume pohon perlu dibuat untuk suatu lokasi tertentu.
4). Analisis data hasil pengukuran
Berdasarkan hasil pengukuran parameter-parameter tegakan pada
setiap plot contoh, selanjutnya dilakukan analisis data untuk
memperoleh nilai-nilai dugaan populasiya. Analisis data meliputi
kegiatan : a) rekapitulasi tally sheet, dan b) perhitungan statistik
untuk memperoleh dugaan potensi tegakan.
a). Rekapitulasi data
Rekapitulasi data perlu dilakukan untuk mempermudah proses
analisis selanjutnya. Dalam hal ini, rekapitulasi data dilakukan
dengan membuat tabulasi nilai-nilai hasil pengukuran dari
setiap plot untuk masing-masing parameter yang diamati pada
tingkat semai, pancang dan pohon, baik untuk jumlah individu
setiap jenis dan totainya, jumlah individu yang terserang hama
dan penyakit, maupun volume tegakan.
b). Perhitungan nilai-nilai dugaan parameter tegakan
Berdasarkan data potensi tegakan pada setiap plot contoh,
selanjutnya dilakukan perhitungan untuk memperoleh nilai-
nilai dugaan bagi parameter tegakan. Dalam hal ini,
parameter-parameter yang ingin diketahui adalah :
 Persentase (proporsi) pohon yang terserang hama dan
penyakit.
64
 Jumlah individu tiap jenis dan totalnya untuk tingkat
semai, pancang dan pohon.
 Volume tegakan per hektar dan totalnya.

6.2. Pelaporan hasil monitoring


Pada tahap akhir, tim survey harus membuat laporan kegiatan survey
lapangan. Laporan yang dibuat haruslah memuat informasi utama
tentang data hasil survey serta analisis tentang nilai-nilai parameter
tegakan yang diduga, baik proporsi ( presentase ) jumlah pohon yang
terserang hama/penyakit, jumlah individu pohon per jenis dan
totalnya, serta dugaan volume tegakan pada saat itu. Selain itu,
informasi lain tentang kondisi pertumbuhan tegakan perlu pula
disajikan dalam laporan untuk memberikan gambaran yang
komprehensif tentang pertumbuhan tegakan pada saat itu.
Berdasarkan laporan tersebut, pihak pengelola dapat menentukan
kebijakan-kebijakan pengelolaan yang perlu dilakukan, seperti :
penjarangan tegakan dan pemberantasan hama dan penyakit.

65
VII. PENUTUP

Tersusunnya Pedoman Pengelolaan Sabuk Pantai untuk Mitigasi


Bencana Tsunami ini tidak lepas dari partisipasi aktif berupa kritik
maupun saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan
materi pedoman ini. Semoga usaha dan kerja keras dalam
penyusunan pedoman ini dapat bermanfaat bagi keberlanjutan dan
melembaganya di Indonesia dan membantu dalam mewujudkan
masyarakat pesisir yang tangguh terhadap bencana.

66
DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae. 1993. Ecology and Management of Mangroves.


IUCN Bangkok, Thailands. 176 pp.
Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap
Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Bakosurtanal. 2009. Peta Mangroves Indonesia. Pusat Survey
Sumberdaya Alam Laut.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Pedoman Pengelolaan
Ekosistem Mangrove, 2008.
Dahuri R, Rais J, Ginting P dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Diposaptono, S. dan Budiman, Hidup Akrab dengan Gempa dan
Tsunami, 2008.
International Centre For Water Hazard And Risk Management
(ICHARM), Tsunami-Protective Coastal Forest, 2009
Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusmana C, Istomo, Wibowo C, Budi SW, Siregar IZ, Tiryana T dan
Sukarjo S. 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia.
Kerjasama antara Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan dan
KOIKA.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Macnae W. 1968. A General Account of the Fauna and Flora of
Mangrove Swamps and Forest in the Indo-Wset-Pacific
Region. Adv. Mar. Biology.
Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San
Diego. California.

67
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia.
Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Snedaker. 1978. Mangrove; Their Values and Perpetuation.
National Resources. 14:6-13.

68
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. IDENTIFIKASI VEGETASI PANTAI UNTUK
MITIGASI BENCANA
1. Cemara Laut (Casuarina equisetifolia L.)
Berdasarkan taksonomi dan tatanama, cemara laut
tergolong famili: casuarinaceae sinonim : Casuarina littoralis
salisb., C. litorea L., C. littorea Oken, C. muricata roxb., C.
sumatrana jungh. Beberapa nama lokal Cemara Laut antara lain
beefwood, coast she-oak, horsetail casuarina, ironwood ; pin
d‘Australie, pino australiano. Dua subspecies yang sudah
dikenal adalah equisetifolia and incana.
Secara alami Cemara Laut terdapat di daerah tropis dan
subtropis sepanjang pantai mulai dari Australia Utara sampai
Malaysia, Myanmar Selatan, Kra Isthmus di Thailand,
Melanesia dan Polynesia. Dikenal luas di derah tropis dan
subtropis. Cemara Laut merupakan salah satu tipe pionir di
daerah pantai berpasir, tetapi mampu tumbuh sampai dengan
ketinggian 0 s/d 1500 m dpl, curah hujan rata-rata 350-5000
mm, musim kering 6-8 bulan, suhu rata-rata 15-30°C, suhu
bulan terpanas 20-47°C dan terdingin 7-20° C.
Cemara laut mampu tumbuh pada tanah ringan, berpasir,
cepat tumbuh pada tanah kurus dan toleran terhadap tanah
bergaram dan angin bergaram. Tumbuh baik pada tanah dengan
pH 5,0-9,5, tidak tahan terhadap pasang surut, tidak tahan
naungan dan sensitif terhadap kebakaran, menghasilkan nitrogen
(Frankia symbiosis).
Jenis cemara memiliki sumber proteoid dan bentuk
asosiasi dengan mikoriza vesikular-arbuskular, penyerbukan
dengan angin. Runjung (cones) masak kira-kira 18-20 minggu.
Buah disebarkan oleh angin.
C.equisetifolia memiliki ranting hijau keabuan dan alur
dalam, alurnya besar, jelas berambut, dan daun gagang dalam
bentuk karangan dari 6–9. Bunga berumah dua, bunga jantan
sebagian berbentuk bulir melekat atau duduk, sebagian lain
memanjang di terminal, anak daun gagang bagian lateral luruh,
69
menggalah 1–6 cm, daun gagang dipadati rambut putih, daun
gantian bertusuk dari tepi ujung, perhiasan bunga terdiri dari 2
cuping, tangkai sari 2-2,5 mm, kepala sari pada pangkal dan
ujung melekuk ke dalam, bunga betina bagian samping
mendekati ujung batang membulir, tunas samping pendek, buah
bulir menjorong, buah bulat telur menjorong, mahkota pohon
(tajuk) mendekati bentuk kerucut, bagian ujungnya melengkung
ke dalam.

Keterangan :
1. Pohon muda
2. Ranting yang
berbunga
3. Bagian dahan
4. Bunga jantan
dan betina
5. Infructescence
6. Buah.

Sumber : Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia


Gambar 1. Tanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia L.)
Cemara laut termasuk jenis serba guna, untuk industri dan
rumah tangga. Disebut sebagai ―kayu bakar terbaik di dunia‖
dan juga menghasilkan arang berkualitas tinggi. Kayu sangat
sulit dikerjakan untuk kayu gergajian.
Karena tahan garam, pohon ini digunakan sebagai
pengendali erosi di daerah pantai. Manfaat lainnya sebagai
bahan pulp, kayu perkakas, naungan dan peneduh, tanaman hias,
reklamasi lahan dan memperbaiki tanah. Karena kemampuannya
untuk menghasilkan nitrogen, banyak digunakan pada
70
agroforestri. Diskripsi botani Cemara Laut adalah sebagai
berikut ini :
 Pohon selalu hijau tinggi 6-35 m, subsp.
 Incana lebih kecil.
 Tajuk ringan.
 Kulit batang abu-abu coklat terang, kasar, dan pohon tua
beralur.
 Lingkaran
 Lentisel tampak jelas pada kulit yang muda.
 Ranting-ranting terkulai, menyerupai jarum; kecil sekali,
daun mengecil tersusun dalam 7-8 helai.
 Bunga berkelamin satu, bunga jantan dan betina bisa
terdapat dalam satu pohon atau pohon yang berbeda.
 Bunga jantan terletak di ujung, bulir memanjang, bunga
betina di cabang samping.
 Bunga betina berbentuk kerucut majemuk, bundar, panjang
10-24 mm, diameter 9-13 mm.
 Diskripsi buah dan benih
 Buah abu-abu atau kuning coklat (samara), panjang 6-8
mm, berbiji tunggal, satu kg kerucut menghasilkan 20-60 gr
benih.
 Terdapat 370.000 - 700.000 benih bersih per kg.
Pembungaan dan pembuahan cemara laut dengan melalui
penyerbukan dengan angin. Di daerah yang musim dingin atau
musim keringnya tidak nyata, berbunga dan berbuah secara
teratur, satu atau dua kali setahun. Di area dengan musim hujan
dan musim kering tidak nyata, pembungaan dan pembuahan
cenderung tidak teratur dan bisa saja sepanjang tahun. Kerucut
betina masak 18-20 minggu sesudah anthesis kemudian
membuka sebentar, melepaskan buah-buah kecil. Buah tidak
masak serempak dalam satu pohon, menyebabkan masalah saat
71
pengumpulan buah. Deskripsi tanaman Cemara Laut (Casuarina
equisetifolia L.) dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini

72
Tabel 1. Deskripsi Tanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia
L.)
Spesies : Casuarina equisetifolia L.

Nama Inggris : Coast she-oak, ironwood, whistling pine

Nama Indonesia : Cemara laut, eru

Pohon berumah satu, tinggi 6 - 35 m, diameter dapat mencapai 50


cm; daun berjarum, terdiri dari 7-8 daun di tiap nodus dan tersusun
melingkar. Bunga jantan terletak di ujung (terminal), berbentuk bulir
Deskripsi :
memanjang. Bunga betina muncul di bagian samping dari
percabangan batang, berbentuk kerucut; Buah samara, berwarna
coklat gelap.

Casuarina equisetifolia memiliki daerah penyebaran terluas


dibandingkan marga Casuarina lainnya. Tumbuhan ini tumbuh alami
Distribusi/Penyebaran : di sepanjang garis pantai dearah tropis Queensland dan Northern
Territory di Australia, di seluruh kawasan Malesia, hingga ke
Kepulauan Kra Isthmus (Thailand).

Umumnya Casuarina equisetifolia tumbuh mulai dari batas


ketinggian permukaan laut hingga 100 m dpl, namun di Hawaii dan
Filippina ditemukan tumbuh pada ketinggian berturut-turut 600 dan
800 m dpl. Tumbuhan ini dapat ditanam hingga ketinggian 1200 m
dpl. Spesies ini ditemukan pada batas awal dari vegetasi perbukitan
berpasir (the leading edge of dune vegetation) yang sering
mengalami hempasan dan genangan air laut pada saat terjadi air
pasang dan merupakan satu-satunya spesies pohon berkayu yang
tumbuh di antara rerumputan dan herba berdaun lebar yang toleran
kondisi bergaram. Spesies ini juga merupakan salah satu anggota dari
keanekaragaman flora pantai Indo-Pasifik, yang tumbuh berasosiasi
dengan Barringtonia asiatica (L.) Kurz, Calophyllum inophyllum L.,
Heritiera littoralis Aiton, Hibiscus tiliaceus L., Thespesia populnea
Sol. ex Correa dan berbagai spesies Pandanus. Tumbuhan ini
Habitat : memerlukan cahaya matahari yang banyak. Tunas-tunasnya tidak
dapat tumbuh di bawah naungan tegakkan Casuarina equisetifolia
sehingga biasanya akan dijumpai beberapa individu spesies ini di
dalam hutan campuran di sepanjang tepi muka pantai. Daerah
penyebaran alami nya beriklim semi-arid hingga agak lembap (sub-
humid) dan tidak bersalju, dengan curah hujan bervariasi pada
kisaran 700-2000 (3500) mm per tahun. Di sebagian besar daerah
penyebarannya mengalami periode musim kering dengan kisaran 4-6
(8) bulan. Casuarina equisetifolia tidak dapat tumbuh (intolerant)
dengan kondisi tergenang air dalam waktu lama. Rata-rata suhu
minimum yang toleran terhadap pertumbuhan spesies ini adalah 70C-
200C, sedangkan rata-rata suhu maksimumnya adalah 200C-
350C.Tumbuhan ini tumbuh pada tanah-tanah yang berdrainase baik
dan bertekstur agak kasar (coarse-textured) dengan komposisi utama
pasir dan pasir berhumus. Tumbuhan ini beradaptasi dengan baik

73
pada tanah dengan kesuburan rendah.

Perbanyakan Casuarina equisetifolia menggunakan biji dan stek.


Biji-biji yang akan ditanam tidak memerlukan perlakuan khusus.
Perkecambahan berlangsung selama 2 minggu. Di India dan
Thailand, stek batang dibuat dengan memotong cabang kecil
berdiameter 2 mm dan panjang 10-5 cm. Pertumbuhan dapat
dirangsang dengan menggunakan hormon indole-3-butyric acid
Perbanyakan :
(IBA) atau indole-3-acetic acid (IAA). Di Cina, stek dilakukan
dengan mengambil cabang kecil berdiameter 1 mm dan panjang 5 cm
dan kemudian direndam dalam larutan naphthalene-1-acetic acid
(NAA) sebelum ditanam dalam pot plastik. Inokulasi semai-semai
Casuarina equisetifolia menggunakan biakan murni galur Frankia
dianjurkan, bila tumbuhan tersebut akan diintroduksi di daerah baru.

kegunaan utama Eru adalah untuk menstabilisasi daerah berpasir di


tepi pantai, sebagai tanaman peneduh, reklamasi lahan dan
Manfaat tumbuhan : pengontrol erosi. Di Sarawak, Eru dilindungi karena memberikan
jasa lingkungan yang besar dalam melindungi kawasan dari bahaya
erosi.

Casuarina litorea L. (1759), Casuarina equisetifolia J.R. & G. Forster


Sinonim :
(1776).

11: Auxiliary plants p.86-89 (author(s): S. J. Midgley & R.


Sumber Prosea :
Sylvester)

Kategori : Tanaman perintis/reklamasi

Sumber : Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia

2. Kelapa (Cocos nucifera Linn)


Kelapa (Cocos nucifera Linn) adalah satu jenis tumbuhan
dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan adalah anggota
tunggal dalam marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan
hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap
sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat
pesisir. Kelapa juga adalah sebutan untuk buah yang dihasilkan
tumbuhan ini.

74
Gambar 2. Deskripsi Kelapa (Cocos Nucifera Linn)
Pohon dengan batang tunggal atau kadang-kadang
bercabang. Akar serabut, tebal dan berkayu, berkerumun
membentuk bonggol, adaptif pada lahan berpasir pantai. Batang
beruas-ruas namun bila sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe
monokotil dengan pembuluh menyebar (tidak konsentrik),
berkayu. Kayunya kurang baik digunakan untuk bangunan.
Daun tersusun secara majemuk, menyirip sejajar tunggal,
pelepah pada ibu tangkai daun pendek, duduk pada batang,
warna daun hijau kekuningan. Bunga tersusun majemuk pada
rangkaian yang dilindungi oleh bractea; terdapat bunga jantan
dan betina, berumah satu, bunga betina terletak di pangkal
karangan, sedangkan bunga jantan di bagian yang jauh dari
pangkal. Buah besar, diameter 10 cm sampai 20 cm atau bahkan
lebih, berwarna kuning, hijau, atau coklat; buah tersusun dari
mesokarp berupa serat yang berlignin, disebut sabut, melindungi
bagian endokarp yang keras (disebut batok) dan kedap air;
endokarp melindungi biji yang hanya dilindungi oleh membran
yang melekat pada sisi dalam endokarp. Endospermium berupa
cairan yang mengandung banyak enzim, dan fasa padatannya
mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua; embrio
kecil dan baru membesar ketika buah siap untuk berkecambah
(disebut kentos).
75
Kelapa secara alami tumbuh di pantai dan pohonnya
mencapai ketinggian 30 m. Ia berasal dari pesisir Samudera
Hindia, namun kini telah tersebar di seluruh daerah tropika.
Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m dari
permukaan laut, namun akan mengalami pelambatan
pertumbuhan.
Kelapa adalah pohon serba guna bagi masyarakat tropika.
Hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan orang. Akar
kelapa menginspirasi penemuan teknologi penyangga bangunan
Cakar Ayam (dipakai misalnya pada Bandar Udara Soekarno
Hatta) oleh Sedijatmo.
Batangnya, yang disebut glugu dipakai orang sebagai
kayu dengan mutu menengah, dan dapat dipakai sebagai papan
untuk rumah. Daunnya dipakai sebagai atap rumah setelah
dikeringkan. Daun muda kelapa, disebut janur, dipakai sebagai
bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk
hiasan yang sangat menarik, terutama oleh masyarakat Jawa dan
Bali dalam berbagai upacara, dan menjadi bentuk kerajinan
tangan yang berdiri sendiri (seni merangkai janur). Tangkai anak
daun yang sudah dikeringkan, disebut lidi, dihimpun menjadi
satu menjadi sapu.
Tandan bunganya, yang disebut mayang (sebetulnya
nama ini umum bagi semua bunga palma), dipakai orang untuk
hiasan dalam upacara perkawinan dengan simbol tertentu.
Bunga betinanya, disebut bluluk (bahasa Jawa), dapat dimakan.
Cairan manis yang keluar dari tangkai bunga, disebut (air) nira
atau legèn (bhs. Jawa), dapat diminum sebagai penyegar atau
difermentasi menjadi tuak. Bagian dalam tempurung kelapa,
memperlihatkan "daging" buah kelapa.
Buah kelapa adalah bagian paling bernilai ekonomi.
Sabut, bagian mesokarp yang berupa serat-serat kasar,
diperdagangkan sebagai bahan bakar, pengisi jok kursi,
anyaman tali, keset, serta media tanam bagi anggrek.
Tempurung atau batok, yang sebetulnya adalah bagian
endokarp, dipakai sebagai bahan bakar, pengganti gayung,

76
wadah minuman, dan bahan baku berbagai bentuk kerajinan
tangan.
Endosperma buah kelapa yang berupa cairan serta
endapannya yang melekat di dinding dalam batok ("daging buah
kelapa") adalah sumber penyegar populer. Daging buah muda
berwarna putih dan lunak serta biasa disajikan sebagai es kelapa
muda atau es degan. Cairan ini mengandung beraneka enzim
dan memilki khasiat penetral racun dan efek
penyegar/penenang. Beberapa kelapa bermutasi sehingga
endapannya tidak melekat pada dinding batok melainkan
tercampur dengan cairan endosperma. Mutasi ini disebut
(kelapa) kopyor. Daging buah tua kelapa berwarna putih dan
mengeras. Sarinya diperas dan cairannya dinamakan santan.
Daging buah tua ini juga dapat diambil dan dikeringkan serta
menjadi komoditi perdagangan bernilai, disebut kopra. Kopra
adalah bahan baku pembuatan minyak kelapa dan turunannya.
Cairan buah tua kelapa biasanya tidak menjadi bahan minuman
penyegar dan merupakan limbah industri kopra. Namun
demikian dapat dimanfaatkan lagi untuk dibuat menjadi bahan
semacam jelly yang disebut nata de coco dan merupakan bahan
campuran minuman penyegar. Daging kelapa juga dapat
dimanfaatkan sebagai penambah aroma pada daging serta dapat
dimanfaatkan sebagai obat rambut yang rontok dan mudah
patah. Deskripsi tanaman kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Deskripsi Tanaman Kelapa (Cocos nicifera Linn)
Spesies Cocos nucifera Linn.
Nama Inggris Coconut
Nama Indonesia Kelapa
Pohon palem berumah satu, tidak berduri, tidak bercabang, dengan
mahkota daun terminal.Batang menyilinder, tegak, sering menekuk
atau miring, abu-abu muda, menggundul dan mencincin nyata
dengan lampang daun yang gugur. Daun berpelepah, tersusun
spiral, menyirip, pinak daun melanset-memita, tersusun rapi pada
satu bidang. Perbungaan ketiak, ketika muda terlihat seperti tongkol
Deskripsi
dalam seludang, setelah terbuka tersusun membulir dan spiral,
masing-masing dengan 200—300 bunga jantan dan hanya satu
sampai beberapa bunga betina dekat bagian pangkal yang gundul.
Bunga jantan 1—3 menyatu, melekat, kuning muda, bunga betina
soliter, jauh lebih besar dari bunga jantan, membulat saat kuncup,
membundar telur saat antesis, Buah berserat, membulat,

77
membundar telur atau menjorong, lembut, hijau, oranye cerah,
kuning sampai warna gading bila masak, biasanya mengering
sampai coklat-keabu-abuan pada buah tua. Di bagian tengah dari
buahnya terdapat lubang besar, sebagian terisi dengan air kelapa
yang diabsorbsi semuanya pada 6 bulan setelah panen.
Cocos nucifera merupakan tumbuhan asli dari daerah pantai Asia
tropika dan Pasifik, tetapi daerah asal utamanya masih menjadi
bahan persengketaan. Fosil-fosil kelapa ditemukan di India dan
Selandia Baru. Kemampuan buah yang bersabut tebal dan untuk
berkecambah yang lambat dan tetap dapat hidup setelah terapung
jauh di laut memastikan penyebaran alami yang luas di Indo-Pasifik
jauh sebelum domestikasi dimulai di Malesia. Kelapa yang
didomestikasi mempunyai batang yang kuat dan buah yang besar,
Distribusi/Penyebar
yang tidak tahan jika terlalu lama terapung di laut karena sabut dan
an
cangkangnya lebih tipis dan perkecambahan yang lebih cepat.
Penyebaran awal dari kelapa domestikasi bersamaan dengan
migrasi orang-orang Malesia ke Pasifik dan India, yang dimulai
sekitar 3000 tahun yang lalu. Pelaut Polinesia, Melayu dan Arab
berperan penting dalam menyebarkan kelapa ke Pasifik, Asia dan
Afrika Timur. Kelapa menjadi benar-benar pantropis pada abad ke-
16 setelah penjelajah Eropa membawanya ke Afrika Barat, Karibia,
dan pantai Atlantik dari Amerika tropis.
Kelapa adalah tanaman daerah tropis yang lembab. Cukup mudah
beradaptasi dengan perbedaan suhu dan persediaan air dan masih
umum ditemui di daerah dekat batasan zona ekologinya. Kebutuhan
sinar matahari tahunan di atas 2000 jam, minimal 120 jam per
bulan. Suhu rata-rata optimal pada 27°C dengan rata-rata variasi
diurnal 5—7°C. Untuk hasil yang baik, suhu rata-rata minimum
20°C. Suhu di bawah 7°C dapat merusak palem muda, tetapi tiap-
tiap kultivar tertentu mempunyai toleransi berbeda terhadap suhu
rendah. Pada umumnya kelapa ditanam di daerah pada ketinggian di
bawah 500 m, tapi dapat tumbuh subur pada ketinggian sampai
Habitat :
1000 m, walaupun suhu rendah akan mempengaruhi pertumbuhan
dan hasil. Biasanya palem tumbuh di daerah dengan sebaran curah
hujan tahunan merata antara 1000—2000 mm dan kelembaban
relatif tinggi, tetapi masih dapat bertahan pada daerah lebih kering
tetapi dengan kelembaban tanah yang memadai. Daun yang semi-
serofitik memungkinkan untuk meminimalkan kehilangan air dan
tahan kering untuk beberapa bulan. Kelapa tumbuh subur pada
berbagai tanah, bila drainase dan aerasinya cukup. Kelapa
merupakan halofitik dan toleran pada garam dengan baik. Dapat
tumbuh pada berbagai pH tapi tumbuh paling baik pada pH 5.5—7.
Kelapa diperbanyak dengan biji yang rekalsitran. Hasil
perbanyakan kelapa termasuk rendah mengingat 1 pohon kelapa
tidak akan menghasilkan lebih dari 100—200 biji per tahun.
Walaupun kelapa dapat diregenerasi melalui embriogenesis
somatik, perbedaan genotip pada tingkatan pembentukan embrio
Perbanyakan :
dan kesulitan dalam tanaman in-vitro plants merupakan
keterbatasan untuk perbanyakan klonal skala besar. Kultur in vitro
dari embrio yang dipotong juga memungkinkan. Hal ini memberi
solusi terhadap batasan karantina tanaman dan menemukan aplikasi
dalam pertukaran germplasma internasional. Bijinya biasanya
78
didiamkan selama satu bulan setelah dipanen dan disimpan di
bedeng kecambah dimana kecambah yang seragam dapat
ditransplantasi ke pot plastik atau kebun bibit. Metode polibag dan
pembuahan reguler telah sebagian besar mengganti metode
kecambah akar gundul yang dibesarkan di bedengan. Kecambah
yang berumur 3—8 bulan ditransplantasi ke lahan. Dapat
ditumbuhkan lebih lama di kebun bibit tetapi akan mengalami shok
transplantasi yang lebih besar. Kelapa ditanam dengan jarak tanam
8—10 m x 8—10 m, dalam sistem segitiga atau bujur sangkar.
Kultivar kerdil ditanam dengan jarak 7.5 m x 7.5 m. Penanaman
tanaman pagar dipakai untuk meningkatkan intercropping, tetapi
tata letak daun tidak toleran terhadap bentuk penanaman barisan
yang ekstrim. Petani lebih menyukai jarak tanam palem yang lebar
untuk mencegah persaingan antar pohon. Karena kanopinya yang
terbuka maka kelapa cocok untuk intercropping. Kelapa kadang-
kadang tumbuh dengan coklat dan kopi. Walaupun hal ini akan
menghasilkan kopra yang rendah, pemasukan gabungan dari kelapa
yang dipupuk dengan baik dan intercrop masih lebih tinggi daripada
dari kelapa yang ditanam sendiri. Pada iklim lembab, coklat adalah
tanaman intercrop terbaik. Di Malaysia, lebih dari 1000 kg/ha biji
coklat didapat dari coklat yang ditanam di bawah kelapa. Kelapa
juga dapat ditanam dengan sistem mixed cropping systems dengan
pohon-pohon lain seperti karet, mangga, jambu mede dan pisang.
Di Filipina, pisang yang ditanam di bawah kelapa menghasilkan
40—60 ton/ha. Rerumputan biasanya ditumbuhkan di bawah palem
untuk pertanian campuran dan pupuk hijau kadang-kadang ditanam.
Akan tetapi rerumputan dan tanaman penutup dapat ditanam dan
dipelihara jika ada hujan yang cukup. Tanaman sela seperti padi,
jagung, padi milet, ubi jalar, singkong, sayuran dan rempah-rempah
sering ditanam sampai palem siap panen. Tanaman-tanaman
tersebut tidak boleh ditanam kurang dari 2 m dari palem.
Kelapa sering disebut sebagai 'pohon kehidupan', 'pohon surga' dan
'salah satu anugrah alam yang terbesar untuk manusia'. Hal ini
disebabkan karena segala manfaat yang diberikannya untuk
kehidupan. Untuk ekstraksi minyak dalam rumah tangga, endokarp
segar dari buah yang matang diparut dan diperas dengan air panas;
untuk produksi dalam skala industri, endosperma dikeringkan
menjadi kopra dan digiling untuk ekstraksi minyak. Minyak
berkualitas tinggi dipakai untuk memasak atau digunakan dalam
produksi margarin, shortening, susu isi, es krim dan gula-gula.
Minyak berkualitas agak rendah diproses menjadi sabun, detegen,
Manfaat tumbuhan kosmetik, sampo, cat, pernis dan produk-produk farmasi. Minyak
kelapa mempunyai potensi sebagai bahan baku energi, walaupun
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Saat ini minyak kelapa
murni yang disebut VCO (Virgin Coconut Oil) merupakan hasil
pemurnian minyak kelapa dengan menggunakan teknologi umum
diproduksi dan dijual dalam botolan untuk dipakai sebagai obat
dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sisa asam lemak
dan alkohol dan metil ester dipakai sebagai komponen pengemulsi
dan surfaktan. Santan yang diperas dari campuran antara
endosperma yang diparut dengan air merupakan bahan yang dipakai
dalam berbagai masakan Asia dan produk-produk bakery. Saat ini
79
dipasarkan dalam kaleng yang sudah dipasteurisasi dan
dihomogenisasi dan dalam bentuk bubuk. 'Blondo' atau 'galendo'
merupakan makanan yang lezat (di Jawa) yang diperoleh dari
proses pembuatan santan dengan merebus parutan dari kelapa segar.
Bubuk susu skim, yang diperoleh setelah merebus santan segar dan
membuang minyak yang mengapung, mengandung 25% tepung
yang terhidrolisis dan dapat dicampur dengan air sebagai minuman.
Protein dapat dipisahkan melalui ultrafiltrasi dan disemprot-
keringkan pada bubuk putih, dimana sangat cocok untuk nutrisi
anak-anak. Susu skim kelapa merupakan bahan penting untuk `nata
de coco` yang banyak digunakan makanan pencuci mulut (manis),
es krim dan gula-gula. Endosperma segar yang diparut atau diiris
tipis-tipis dan didesikasi merupakan hidangan pelengkap favorit dan
bahan dalam pembuatan berbagai macam gula-gula, bakery dan
makanan ringan. Air kelapa terasa manis pada kelapa muda dan saat
ini air kelapa telah diawetkan secara komersial tanpa mengubah
rasa aslinya. Digunakan juga dalam pembuatan `nata de coco`, yang
diproduksi dengan kerja bakteri pada air kelapa atau santan yang
diencerkan, telah dikembangkan di Indonesia. Juga merupakan
sumber dari hormon pertumbuhan yang murah bagi hortikultura,
seperti Cocogro di Filipina. Endospema yang kenyal, seperti jelly
dari kelapa muda sangat enak untuk dimakan langsung atau diparut
dan dicampur dengan makanan. Haustorium dari kelapa yang
berkecambah dapat dimakan langsung. Cangkang kelapa dapat
digunakan untuk membuat alat-alat rumah tangga dan pot-pot hias,
dan dibuat batubara (cocot untuk aktivasi) atau dipakai untuk bahan
bakar. Cangkang yang sudah ditumbuk halus dipakai sebagai
pengisi untuk perekat resin dan bubuk untuk mencetak. Sabut hijau
menghasilkan serat putih (serat kuning) untuk membuat tali, karpet,
keset dan geo-tekstil. Koir coklat dari sabut yang berasal dari buah
yang tua dipakai untuk sikat (serat bulu panjang), kasur, lapisan
barang-barang rumah tangga dan papan partikel (serat pendek).
Coco peat merupakan hasil hancuran serabut kelapa yang dapat
digunakan sebagai media semai atau komponen campuran tanah pot
(kapasitas menahan air 700—900%), bahan bangunan ringan,
insulasi termal, perekat dan pengikat. Cairan manis yang
mengandung sekitar 15% sukrosa dapat diambil dari perbungaan
yang belum membuka. Cairan tersebut merupakan minuman yang
menyegarkan bila langsung diminum dan menjadi anggur ringan
bila difermentasi. Produk sampingan dari anggur yang berasal dari
kelapa adalah cuka. Cairan segar yang direbus dapat menghasilkan
sirup dan gula kelapa. Anggur kelapa yang didistilasi menghasilkan
semacam arak. Daunnya untuk atap; pinak daunnya dianyam untuk
tikar, keranjang, tas dan topi; pinak daun yang muda untuk
membuat hiasan tradisional dan tas kecil atau tempat makanan;
tulang pinak daun dibuat sapu lidi. Jantung kelapa, yang terdiri dari
jaringan-jaringan yang berwarna putih dan kenyal dari daun-daun
termuda yang belum membuka pada ujung batang, merupakan
makanan yang lezat. Kelapa muda (3—4 tahun) mempunyai
jantung yang terberat, sekitar 6—12 kg. Kayu dari kelapa tua sangat
keras, tetapi batang yang baru jatuh dapat digergaji dengan pisau
gergaji yang ujungnya dengan tungsten carbid spesial. Pengawetan
80
untuk kayu gergajian perlu dilakukan jika akan digunakan untuk
konstruksi atau digunakan untuk kebutuhan luar rumah. Kayu
kelapa cocok untuk furnitur, alat-alat rumah tangga dan pegangan
alat. Akarnya dikenal sebagai anti-piretik dan diuretik. Rebusan
akarnya digunakan untuk melawan penyakit kelamin di Peninsular
Malaysia sedangkan infusinya dipakai untuk menyembuhkan
disentri di Indonesia. Air dari kelapa muda merupakan diuretik,
laksatif, anti-diare dan penetral racun. Minyaknya untuk
menyembuhkan penyakit kulit dan gigi dan dicampur dengan obat
lain untuk membuat embrocations. Biji dari buah muda dicampur
dengan bahan lain dan diusapkan pada perut untuk menyembuhkan
diare. Di Indo-Cina, bija diolah sebagai ramuan untuk mengobati
bisul pada kulit dan membran cairan hidung. Kelapa juga penting
untuk hiasan. Batangnya yang condong dan mahkotanya yang
anggun membatasi pantai putih sepanjang laut biru adalah ciri
daerah tropis yang menarik para turis. Hibrid dari kultivar kelapa
berpotensi untuk memberikan panen lebih dari 6 t/ha kopra per
tahun (3.7 ton minyak), tetapi kelapa tidak menjanjikan lagi sebagai
tanaman perkebunan untuk jangka panjang. Minyak kelapa bersaing
ketat dengan minyak biji palem lainnya, dan keduanya mungkin
tergantikan perlahan-lahan oleh minyak lauric dari minyak biji
kedelai dan Brassica. Sebaliknya sebagai tanaman perkebunan
kecil-kecilan di daerah pantai tropis, kelapa akan tetap penting
sebagai bahan berbagai makanan dan produk-produk lain. Kelapa
juga merupakan satu-satunya tumbuhan yang dapat tumbuh di
ekosistem yang ada seperti di Kepulauan Pasifik. Pasar yang
tumbuh cepat untuk produk-produk kesehatan dan ramah
lingkungan menawarkan kesempatan baru bagi perdagangan ekspor
kelapa. Sehingga perlu dilakukan berbagai penelitian tentang daya
saing ekonomi dari sistem produksinya (seperti penanaman
kembali, tumpang sari dan biokontrol terhadap hama dan
penyakitnya) de teknologi-teknologi baru dalam pemrosesannya
untuk industri lokal sampai industri diversifikasi produk kelapa
untuk pasar internasional.
Sinonim Cocos nana Griff.
14: Vegetable oils and fats p.76-83 (author(s): van der Vossen,
Sumber Prosea
H.A.M. and Umali, B.E.)
Kategori Tumbuhan pantai

3. Ketapang (Terminalia catappa L.)


Ketapang termasuk pohon dengan berukuran moderat,
mudah gugur, bentuk seperti pagoda, terutama bila pohon masih
muda. Batang sering berbanir pada pangkal, pepagan coklat abu-
abu tua, melekah; cabang tersusun dalam deretan bertingkat dan
melintang. Daun berseling, bertangkai pendek, mengumpul pada
ujung cabang, biasanya membundar telur sungsang, kadang-
kadang agak menjorong, mengertas sampai menjangat tipis,

81
mengkilap. Bunga berbulir tumbuh pada ketiak daun, sebagian
besar adalah bunga jantan, bunga biseksual terdapat ke arah
pangkal, sangat sedikit, warna putih-kehijauan dengan cakram
berjanggut. Buah pelok membulat telur atau menjorong, agak
pipih, hijau ke kuning dan merah saat matang. Buah batu
dikelilingi lapisan daging berair setebal 3-6 mm. Jenis ini dapat
dikenali langsung dari cabangnya yang kaku dan daun-daun
besarnya yang tersusun dalam roset.

Keterangan :
1. Pohon muda
2. Daun
3. Bunga
4. Buah

Sumber : Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Gambar 3. Deskripsi Tanaman Ketapang (Terminalia catappa L.)


Jenis tanaman ini telah banyak ditanam di lingkungan
rumah tinggal, halaman perkantoran, pinggir-pinggir jalan atau
di taman-taman rekreasi. Ketapang termasuk pohon tinggi,
kerapkali tajuknya kelihatan bertingkat, mencapai tinggi 10-35
m, dengan daun tunggal. Duduk daun tersebar, sebagian besar
terkumpul du ujung ranting. Helaian daun berbentuk bulat telur
terbalik oval, liat seperti kulit, berwarna hijau, tetapi setelah
mendekati rontok warnanya berubah menjadi merah, panjang
daun 15-31 cm, lebar 15-20 cm, pangkal daun bentuk jantung,

82
pada pangkal di bawah dari kedua sisi ibu tulang daun terdapat
kelenjar.
Bunga majemuk bulir, bulir dibagian bawah dengan
bunga berkelamin 2 atau bunga betina dan bunga jantan,
dibagian atas bunga tidak berkelamin. Tepi kelopak bunga
bertaju 5, berbentuk piring atau lonceng, pada bunga bagian
bawah panjang kelopak bunga 4-8 mm, berwarna putih. Benang
sari terdapat dalam lingkaran berbilangan lima-lima pada yang
berkelamin 2, bunga jantan muncul keluar jauh, pada bunga
betina dan tidak berkelamin, bentuknya lebih pendek dan steril.
Tangkai putik sangat pendek atau tidak bertangkai.
Buah ketapang termasuk buah batu, berbentuk lonjong
persegi, panjang 2,5-7 cm, lebar 4-5,5 cm. Kerap kali berwarna
hijau, setelah tua berwarna merah tua.
Perbanyakkan tanaman dapat dilakukan dengan biji yang
sudah tua atau jarang sekali dengan pencangkokan. Perbanyakan
dengan biji dapat dilakukan dengan disemaikan terlebih dahulu
ditempat persemaian berupa polybag. Setalah bibit tersebut
tumbuh, kuat, dan tingginya mencapai 50 cm sudah dapat
dipindahkan ketempat yang sudah disediakan untuk penanaman.
Tanaman ketapang dapat tumbuh dengan baik di tempat-
tempat yang terbuka dan kena sinar matahari secara langsung,
baik didataran rendah maupun pada ketinggian 700 m dpl,
namun ditanam di tempat yang agak sedikit ternaung atau
terlindung pun masih dapat tumbuh dan berbunga dengan baik.
Untuk mendapat tanaman yang sehat, media tanam atau lahan
yang akan ditanam harus subur, gembur dan drainase diatur
dengan baik.
Penyiraman dan pemupukan perlu dilakukan secara
teratur sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tanaman pada
setiap fase pertumbuhannya. Penyiraman sebaiknya dilakukan
setiap hari kecuali pada musim penghujan. Penyiraman dapat
dilakukan pagi hari pada saat cuaca sedang cerah tetapi bila
diperlukan dapat dilakukan pada sore hari. Pada saat tanaman
sedang aktif dalam pertumbuhan perlu dilakukan pemupukan

83
dengan pupuk NPK yang kandungan nitrogennya tinggi.
Pemupukan dapat dilakukan dengan pupuk kandang, kompos
atau pupuk buatan.
Ketapang disenangi untuk taman karena cabang-
cabangnya mempunyai bentuk etage dan bentuk tajuknya
kerucut. Deskripsi Tanaman Ketapang (Terminalia catappa L.)
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini

Tabel 3. Deskripsi Tanaman Ketapang (Terminalia catappa L.)


Spesies : Terminalia catappa L.

Nama Inggris : Indian almond, Singapore almond .

Nama Indonesia : Ketapang

Pohon berukuran moderat, mudah gugur, bentuk seperti pagoda,


terutama bila pohon masih muda. Batang sering berbanir pada
pangkal, pepagan coklat abu-abu tua, melekah; cabang tersusun
dalam deretan bertingkat dan melintang. Daun berseling, bertangkai
pendek, mengumpul pada ujung cabang, biasanya membundar telur
sungsang, kadang-kadang agak menjorong, mengertas sampai
menjangat tipis, mengkilap. Bunga berbulir tumbuh pada ketiak daun,
Deskripsi :
sebagian besar adalah bunga jantan, bunga biseksual terdapat ke arah
pangkal, sangat sedikit, warna putih-kehijauan dengan cakram
berjanggut. Buah pelok membulat telur atau menjorong, agak pipih,
hijau ke kuning dan merah saat matang. Buah batu dikelilingi lapisan
daging berair setebal 3-6 mm. Jenis ini dapat dikenali langsung dari
cabangnya yang kaku dan daun-daun besarnya yang tersusun dalam
roset.

Ketapang berasal dari Asia Tenggara, dan umum di seluruh daerah,


Distribusi/Penyebaran tetapi sepertinya jarang di Sumatra dan Borneo. Umumnya ditanam di
: Australia Utara, Polinesia, juga di Pakistan, India, Afrika Timur dan
Barat, Madagaskar dan dataran rendah Amerika Selatan dan Tengah.

Ketapang tumbuh alami pada pantai berpasir atau berbatu. Toleran


terhadap tanah asin dan tahan terhadap percikan air laut, sangat tahan
terhadap angin dan menyukai sinar matahari penuh atau naungan
sedang. Mampu bertahan hanya pada daerah-daerah tropis atau
Habitat :
daerah dekat tropis dengan iklim lembab. Pada habitat alaminya
curah hujan tahunan berkisar 3000 mm. Tumbuh baik pada semua
jenis tanah dengan drainase baik. Umumnya dibudidayakan pada
ketinggian sampai 800 m.

Seringkali buahnya ditanam di kebun pembibitan karena biji batunya


Perbanyakan : sulit dipisahkan dari daging buahnya. Kecepatan perkecambahan
sekitar 25%. Jarak tanam biji di persemaian 25 cm x 25 cm.

84
Pemindahan ke lahan dilakukan pada musim hujan tahun depannya.

Ketapang merupakan tumbuhan multiguna. Pepagan dan daunnya,


kadang-kadang juga akar dan buah mudanya dipakai secara lokal
untuk penyamakan kulit dan memberi warna hitam, dipakai unttuk
mencelup kapas dan rotan dan sebagai tinta. Kayunya berkualitas
baik dan digunakan untuk konstruksi rumah dan kapal. Kayunya
rentan terhadap rayap. Bijinya enak dimakan, dan mengandung
minyak yang tidak berbau, mirip minyak almond. Minyaknya dipakai
sebagai pengganti minyak almond yang sebenarnya untuk meredakan
radang rongga perut, dan dimasak dengan daun, dalam
menyembuhkan lepra, kudis dan penyakit kulit yang lain. Daging
buahnya dapat dimakan, tetapi berserat dan tidak enak walaupun
harum. Pohonnya ditanam di jalan raya dan kebun sebagai naungan
Manfaat tumbuhan : karena perawakannya yang cocok, seperti pagoda. Daunnya
digunakan untuk rematik pada sendi. Tanin dari pepagan dan daunnya
digunakan sebagai astringen pada disentri dan sariawan. Juga sebagai
diuretik dan kardiotonik dan dipakai sebagai obat luar pada erupsi
kulit. Di Filipina rebusan daunnya dipakai sebagai vermifuge.
Penggunaan ketapang sebagai bahan pewarna celup dan penyamak
sangat terbatas. Kandungan taninnya rendah, dan pewarna sintetis
banyak tersedia dan lebih mudah dipakai. Tetapi keserbagunaan dari
kegunaannya menyebabkan mahalnya penanaman di kemudian hari,
terutama dimana kadar garam tanah membatasi pilihan lain. Prioritas
penelitian adalah pemilihan tipe-tipe dengan buah besar, mempunyai
daging yang enak dan bij besar yang enak, dan metode untuk
perbanyakan vegetatifnya.

Terminalia moluccana Lamk (1783), Terminalia procera Roxb.


Sinonim :
(1832), Terminalia latifolia Blanco, non Swartz (1837).

3: Dye and tannin-producing plants p.120-122 (author(s): Lemmens,


Sumber Prosea :
R.H.M.J. and Wulijarni-Soetjipto, N.)

Kategori : Tanaman pantai

4. Waru Laut (Hibiscus tiliaceus L.)


Berdasarkan ekologinya jenis tanaman Waru biasanya
ditemukan di hutan sekunder dataran rendah dan daerah tandus,
kadang-kadang di hutan primer pada ketinggian 1500 m dpl.
Waru sering terdapat di daerah lembab dan sepanjang sungai,

85
serta merupakan anggota formasi Barringtonia sepanjang pantai
pesisir dan daerah pasang surut. Waru kadang-kadang terdapat
pada daerah lebih tinggi pada vegetasi bakau.

Keterangan :
1. Daun dan bunga
2. Daun
3. Bunga
4. Buah

Sumber : Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Gambar 4. Tanaman Waru Laut (Hibiscus tiliaceus L.)


Waru Laut tergolong pohon kecil atau semak. Daun agak
membulat, atau bagian atas membundar telur. Bunganya
tunggal, terminal, mengkilap, kelopak menggenta, bagian luar
dengan nektaria, mahkota besar, kuning dengan ungu menghati,
berubah menjadi oranye-merah. Biji 5 - 7 per sel, berbentuk
ginjal, berbintil-bintil kecil, hitam-coklat.
Jenis waru memiliki sifat bahan kayu berbobot ringan
sampai sedang dengan kepadatan 370-720 kg/m3 pada kadar air
15%, serat Waru pendek 0,7-1,3 mm. Perbanyakan dengan biji
dan stek batang, biji Waru akan menunjukan perkecambahan
30% setelah 23-48 hari. Perbanyakan dengan stek batang lebih
berhasil. Di Jawa telah dilakukan percobaan penanaman dengan
stek batang dengan jarak tanam 3 x 1 m. Awal pertumbuhan
waru cepat dan dalam waktu 2-3 tahun, pohon cukup besar
untuk memberikan naungan.
86
Tanaman waru tidak memerlukan perawatan yang khusus.
Untuk mendapatkan tanaman yang pertumbuhannya sehat dan
bagus, media tanam atau lahan yang akan ditanami sebaiknya
yang harus subur, gembur dan drainase diatur dengan baik.
Penyiraman dan pemupukan perlu dilakukan secara teratur
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tanaman pada setiap fase
pertumbuhannya. Penyiraman sebaiknya dilakukan setiap hari
kecuali pada musim penghujan, penyiraman dapat dilakukan
pagi hari pada saat cuaca sedang cerah tetapi bila perlu dapat
dilakukan pada sore hari. Pada saat tanaman sedang aktif dalam
pertumbuhan perlu dipupuk dengan pupuk NPK yang
kandungan nitrogennya tinggi, sedangkan pada saat tanaman
sudah waktunya pembungaan, untuk merangsang perlu dipupuk
dengan pupuk yang kandungan fosfornya tinggi. Dengan
perawatan, penyiraman dan pemupukan yang teratur sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan tanaman pada setiap fase
pertumbuhan, tanaman akan tumbuh dengan baik, sehat, tidak
mudah terserang penyakit dan akan selalu berbunga.
Tabel 4. Deskripsi Tanaman Waru Laut (Hibiscus tiliaceus L.)
Spesies : Hibiscus tiliaceus L.

Nama Inggris : Mahoe, sea hibiscus (En).

Nama Indonesia : Waru

waru (Jawa), waru (Sunda), waru laut (Melayu), baru


Nama Lokal :
(Melayu)

Pohon kecil atau semak. Daun agak membulat, atau bagian


atas membundar telur. Bunganya tunggal, terminal,
mengkilap, kelopak menggenta, bagian luar dengan nektaria,
Deskripsi :
mahkota besar, kuning dengan ungu menghati, berubah
menjadi oranye-merah. Biji 5-7 per sel, berbentuk ginjal,
berbintil-bintil kecil, hitam-coklat.

Hibiscus tiliaceus ditemui di seluruh daerah tropis terutama


Distribusi/Penyebaran :
dekat pantai

Hibiscus tiliaceus umum tumbuh sepanjang pantai dan dekat


Habitat :
arus pasang surut.

Perbanyakan : Perbanyakan di alam dilakukan dengan bijinya.

87
Di Filipina, pepagannya digunakan untuk mengobati disentri.
Di Papua Nugini, rebusan daunnya dipakai untuk radang
Manfaat tumbuhan : tenggorokan, paru-paru basah, batuk, TBC dan diare. Daun
dan akarnya bila ditumbuk dan dicampur dengan air, dapat
digunakan untuk memperlancar proses kelahiran.

Hibiscus hastatus L.f. (1781), Hibiscus similis Blume (1825),


Sinonim :
Hibiscus celebicus Koord. (1898).

12(2): Medicinal and poisonous plants 2 p.302-303


Sumber Prosea : (author(s): van Valkenburg, J.L.C.H. and Bunyapraphatsara,
N.)

Kategori : Tumbuhan pantai

Sumber : Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia

5. Butun / Keben / Putat Laut (Baringtonia asiatica Kurz.)


Jenis tanaman Baringtonia asiatica biasanya tumbuh di
daerah pantai sebagai tanaman liar yang kurang diperhatikan
orang. Akhir-akhir ini jenis tersebut sudah banyak
dimanfaatkan sebagai tanaman hias sekaligus sebagai tanaman
peneduh. Pada tanggal 5 Juni 1986, yaitu pada Hari Lingkungan
Hidup, tanaman ini mendapatkan kehormatan dan dinobatkan
sebagai ―Pohon Perdamaian‖. Maka sejak saat itu tanaman ini
banyak mendapat perhatian baik dari masyarakat maupun para
pencinta tanaman hias.
Baringtonia asiatica termasuk pohon, ketinggian bisa
mencapai 17 m. Daun tunggal termasuk daun duduk tidak
bertangkai, helaian daun berbentuk bulat telur terbalik,
memanjang atau bentuk lanset, kerapkali ujung dan pangkal
daun membulat, panjang daun 20-60 cm dengan lebar 10-24 cm,
daun yang berukuran besar kerapkali berseling dengan daun
yang kecil, tepi daun rata, gundul, tebal, liat seperti kulit,
mengkilat. Daun penumpu kecil tidak berarti.
Bunga beraturan, bertangkai panjang, bunga terletak pada
tandan yang tegak, pada ujungnya berbunga 4-20. Daun
pelindung bunga dan anak daun pelindung bunga kecil serta
lekas rontok. Tinggi tabung kelopak bunga diatas bakal buah
lebih kurang 1 cm, tepi sebelum mekar tertutup, kemudian
88
bertaju 2-3. Daun mahkota bunga kebanyakan 4, pangkalnya
melekat pada tabung benang sari, berbentuk oval lebar,
berwarna putih pada ujungnya berwarna merah, panjang tangkai
sari terluar lebih kurang 10 cm dan yang terdalam 3 cm.
Tonjolan dasar bunga datar. Bakal buah kerapkali beruang 4,
buahnya berbentuk piramida lebar, bersegi 4, berwarna hijau,
setelah tua coklat, tinggi 10 cm, dinding buah tebal, berserabut
seperti kayu, taju kelopak buah dan tangkai putik panjang tetap
melekat.
Untuk memperbanyak tanaman Baringtonia asiatica dapat
dilakukan dengan biji yang sudah tua atau dengan
pencangkokan. Dengan pencangkokan harus dipilih dari batang
atau cabang yang tidak terlalu muda atau terlalu tua. Beberapa
lama setelah dilakukan pencangkokan, biasanya di sekitar bekas
sayatan akan keluar akar-akarnya. Bila jumlah akar sudah cukup
banyak dan diperkirakan sudah cukup banyak dan diperkirakan
sudah dapat hidup, bibit cangkokan dapat dipotong dan ditanam
di pot atau polybag terlebih dahulu. Setelah bibit sudah cukup
kuat dan pertumbuhannya baik, kemudian dapat ditanam.

Sumber : Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia


Gambar 5. Tanaman Butun (Baringtonia asiatica Kurz)

89
Perbanyakan dengan biji dapat dilakukan dengan disemaikan di
tempat persemaian, baik menggunakan pot atau polybag. Bila
sudah tumbuh dengan baik dan ketinggian sudah mencapai 35-
50 cm, bibit ini dapat ditanam ditempat yang disediakan untuk
penanaman.
Baringtonia asiatica dapat hidup dengan baik di tempat-tempat
yang terbuka dan kena sinar matahari secara langsung terutama
di dataran rendah, yakni pada ketinggian 1-300 m dpl. Tanaman
ini akan tumbuh dengan baik di daerah pantai yang berpasir.
Penyebaran oleh air, oleh karena itu terdapat banyak di pinggir
pantai laut.
Untuk mendapat tanaman yang sehat, media tanam atau lahan
yang akan ditanam harus subur, gembur dan drainase diatur
dengan baik.
Penyiraman dan pemupukan perlu dilakukan secara teratur
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tanaman pada setiap fase
pertumbuhannya. Penyiraman sebaiknya dilakukan setiap hari
kecuali pada musim penghujan, penyiraman dapat dilakukan
pagi hari pada saat cuaca sedang cerah tetapi bila perlu dapat
dilakukan pada sore hari. Pada saat tanaman sedang aktif dalam
pertumbuhan perlu dipupuk dengan pupuk NPK yang
kandungan nitrogennya tinggi, sedangkan pada saat tanaman
sudah waktunya pembungaan, untuk merangsang perlu dipupuk
dengan pupuk yang kandungan fosfornya tinggi. Dengan
perawatan, penyiraman dan pemupukan yang teratur sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan tanaman pada setiap fase
pertumbuhan, tanaman akan tumbuh dengan baik, sehat, tidak
mudah terserang penyakit dan akan selalu berbunga.
Tabel 5. Deskripsi Tanaman Butun (Baringtonia asiatica Kurz.)
Spesies : Barringtonia asiatica Kurz

Nama Inggris : Sea putat .

Nama Indonesia : Keben

Butun (Jawa), Butun (Sunda), Bitung (Sulawesi Utara), Keben-


Nama Lokal :
keben (Bali).

90
Pohon tumbuh tegak dengan batang tampak bekas tempelan
daun yang besar. Daun membulat telur sungsang atau lonjong-
membulat telur sungsang. Perbungaan berbentuk tandan dan
letaknya diujung, jarang di ketiak, kelopak bunga hijau seperti
Deskripsi : tabung panjang, daun mahkota putih, menjorong, benang sari
memerah di ujung, putik memerah di ujung. Buahnya
membundar telur, menirus ke ujung, menetragonal tajam ke
pangkal yang mengggubang, bila muda berwarna hijau setelah
tua menjadi coklat.

Jenis tumbuhan pantai ini tumbuh tersebar dari Madagaskar, Sri


Lanka, India, Burma (Myanmar), Indo-Cina, Kepulauan
Andaman, Thailand, seluruh Malaysia termasuk Indonesia dan
Distribusi/Penyebaran :
ke arah Australia Utara dan daerah Pasifik hingga Samoa dan
Kepulauan Society (Tahiti). Jenis ini juga sudah ditanam di
Africa Timur, Hawaii, dan Hindia Barat.

Barringtonia asiatica merupakan jenis litoral yang hampir


ekslusif, pada beberapa daerah pohonnya dapat tumbuh jauh ke
Habitat : daratan pada bukit atau jurang berkapur, biasanya tumbuh pada
pantai berpasir atau dataran koral-pasir, di sepanjang pantai atau
rawa mangrove pada ketinggian 0-350 m di atas permukaan laut.

Perbanyakan : Perbanyakannya umum dilakukan dengan biji.

6. Sukun (Artocarpus communis)


Tanaman sukun terdapat di berbagai wilayah di Indonesia,
dan dikenal dengan berbagai nama seperti, Suune (Ambon), Amo
(Maluku Utara), Kamandi, Urknem atau Beitu (Papua), Karara
(Bima, Sumba dan Flores), Susu Aek (Rote), Naunu (Timor), Hatopul
(Batak), Baka atau Bakara (Sulawesi Selatan), dll. Nama lain sukun
di berbagai negara yaitu : Breadfruit (English); Fruit a Pain
(French); Fruta Pao, Pao de Mass a (Portuguese); Broodvrucht,
Broodboom (Holland); dan Ulu (Hawai). Tanaman sukun
mempunyai beberapa nama ilmiah yang sering digunakan,
yaitu Artocarpus communis Forst, Artocarpus Incisa Linn,
atau Artocarpus Altilis.
Sukun merupakan tanaman tahunan yang tumbuh baik pada
lahan kering (daratan), dengan tinggi pohon dapat mencapai 10 m
atau lebih. Buah muda berkulit kasar dan buah tua berkulit halus.
Daging buah berwarna putih agak krem, teksturnya kompak dan
berserat halus. Rasanya agak manis dan memiliki aroma yang
spesifik. Berat buah sukun dapat mencapat 1 kg per buah.
91
Pembentukan buah sukun tidak didahului dengan proses
pembuahan bakal biji (parthenocarphy), maka buah sukun tidak
memiliki biji. Buah sukun akan menjadi setelah tiga bulan sejak
munculnya bunga betina. Buah yang muncul awal akan menjadi tua
lebih dahulu, kemudan diikuti oleh buah berikutnya.
Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada
berbagai jenis tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan
ketinggian kurang lebih 600 m dari permukaan laut. Sukun juga
toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang
tinggi antara 80 - 100 inchi per pertahun dengan kelembaban 60 -
80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak
mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di
tempat yang lembab panas, dengan temperatur antara 15 - 38 °C
Buah sukun mengandung niasin, vitamin C, riboflavin,
karbohidrat, kalium, thiamin, natrium, kalsium, dan besi (Mustafa,
A.M.,1998). Pada kulit kayunya ditemukan senyawa turunan
flavanoid yang terprenilasi, yaitu artonol B dan sikloartobilosanton.
Kedua senyawa terebut telah diisolasi dan diuji bioaktivitas
antimitotiknya pada cdc2 kinase dan cdc25 kinase (Makmur, L., et
al., 1999). Kayu yang dihasilkan dari tanaman sukun bersih dan
berwarna kuning, baik untuk digergaji menjadi papan kotak, dapat
digunakan sebagai bahan bangunan meskipun tidak begitu baik. Kulit
kayunya digunakan sebagai salah satu bagian minuman di Ambon
kepada wanita setelah melahirkan (Heyne K, 1987).
Flavanoid adalah senyawa polifenol yang secara umum
mempunyai struktur phenylbenzopyrone (C6-C3-C6). Flavanoid dan
derivatnya terbukti memiliki aktivitas biologi yang cukup tinggi
sebagai cancer prevention. Berbagai data dari studi laboratorium,
investigasi epidemiologi, dan uji klinik pada manusia telah
menunjukkan bahwa Flavanoid memberikan efek signifikan sebagai
cancer chemoprevention dan pada chemotheraphy (Ren, W., et al.,
2003)

92

Anda mungkin juga menyukai