Anda di halaman 1dari 41

USULAN PENELITIAN

DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI BERDASARKAN


KARAKTERISTIK SEDIMEN DAN KEMIRINGAN PANTAI DI
PESISIR PANTAI KABUPATEN CIREBON

Disusun untuk dipresentasikan dalam rangka penelitian untuk Skripsi


di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman

oleh:
Suhendra
NIM. H1K013028

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2017
USULAN PENELITIAN

DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI BERDASARKAN


KARAKTERISTIK SEDIMEN DAN KEMIRINGAN PANTAI DI
PESISIR PANTAI KABUPATEN CIREBON

oleh:
Suhendra
NIM. H1K013028

Disetujui untuk dipresentasikan


tanggal .......................

Pembimbing Umum, Pembimbing Anggota,

Dr. Amron, S.Pi, M.Si Dr. H. Endang Hilmi, S. Hut, M.Si


NIP. 19780717 200604 1 003 NIP. 19720202 200312 1 002

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Dr. Ir. H. Isdy Sulistyo, DEA


NIP. 19600307 198601 1 003
DAFTAR ISI
halaman

DAFTAR ISI......................................................................................................... 1
DAFTAR TABEL................................................................................................. 2
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ 3

I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang............................................................................................... 4
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................................... 4
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 6
1.4. Manfaat .......................................................................................................... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 8


2.1. Kondisi Pesisir Kabupaten Cirebon ............................................................... 8
2.2. Pesisir dan Pantai ........................................................................................... 9
2.3. Klasifikasi Pantai ........................................................................................... 11
2.4. Dinamika Perubahan Garis Pantai ................................................................. 16
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Garis Pantai .................................... 17
2.6. Citra Landsat.................................................................................................. 20
2.7. Aplikasi Pengideraan Jauh dalam Kajian Perubahan Garis Pantai................ 22

III. MATERI DAN METODE ............................................................................ 25


3.1. Materi Penelitian ........................................................................................... 25
3.2. Metode Penelitian ..........................................................................................
26
3.3. Prosedur Penelitian ........................................................................................ 26
3.4. Waktu dan Tempat ........................................................................................ 33
3.5. Analisis Data ................................................................................................. 34
3.6. Jadwal Penelitian ........................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

1
DAFTAR TABEL

Tabel halaman
1. Ukuran Partikel Sedimen Berdasarkan Skala Wentworth ........................... 19
2. Aplikasi Band Landsat 1-5 MSS ................................................................. 21
3. Aplikasi Band Landsat 4-5 TM dan Landsat 7 ETM+ ................................ 21
4. Aplikasi Band Landsat 8 OLI/TIRS ............................................................ 22
5. Alat yang digunakan pada penelitian .......................................................... 25
6. Bahan yang digunakan pada penelitian ....................................................... 26
7. Jadwal penelitian ......................................................................................... 35

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Definisi dan batasan pantai.......................................................................... 10
2. Terminologi mengenai zona dekat pantai dan profil pantai ........................ 12
3. Pengukuran kemiringan dengan waterpass ................................................. 28
4. Diagram alur pengolahan citra satelit Landsat ............................................ 29
5. Skema alur penelitian .................................................................................. 33
6. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................. 34

3
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Garis pantai merupakan suatu fitur garis imajiner yang mempertemukan antara

batas darat dan laut. Disebut imajiner karena kedudukannya tidak tetap setiap waktunya,

selalu terjadi perubahan secara terus menerus terhadap kondisi pantai (Sutikno, 1993;

Saptarini, 2000; Ghosh et al., 2015). Pantai merupakan daerah yang memiliki dinamika

yang sangat kompleks disebabkan oleh faktor alam maupun manusia. Faktor alam seperti

kondisi gelombang, arus dan pasang surut, sedangkan faktor manusia seperti kegiatan alih

fungsi lahan dan reklamasi pantai. Sehingga, perubahan garis pantai sangat mungk in

terjadi di pantai dengan dinamika yang tinggi.

Perubahan garis pantai dapat ditandai dengan adanya proses abrasi dan akresi

(sedimentasi) di sepanjang pantai. Menurut Triatmodjo (1999), suatu pantai mengala mi

abrasi atau akresi tergantung pada sedimen yang masuk dan yang meninggalkan pantai

tersebut. Abrasi pantai terjadi apabila suatu pantai mengalami pengurangan sedimen yang

menyebabkan garis pantai menjadi berkurang. Sedangkan akresi terjadi apabila suatu

pantai mengalami penambahan sedimen (Triatmodjo, 1999).

Semua pantai di Indonesia pasti mengalami dinamika perubahan garis pantai,

walaupun kecil. Tak terkecuali pantai Kabupaten Cirebon. Perubahan garis pantai

Kabupaten Cirebon didominasi oleh proses akresi (Raharjo dan Novico, 2012). Putri

(2013) melaporkan dalam kurun waktu 1954-2004, pantai Kabupaten Cirebon telah

mengalami akresi sebesar 1,53 km. Akan tetapi, abrasi pantai pun terjadi di sebagian

wilayah pantai Kabupaten Cirebon. Setyawan (2011) melaporkan bahwa pada tahun

2008-2009 terjadi abrasi di beberapa titik di kawasan pesisir Mundu, Kabupaten Cirebon

dengan pergeseran antara 10,63-13,85 m ke arah darat.

4
Faktor yang paling sering kali mengakibatkan terjadinya perubahan garis pantai

adalah gelombang. Gelombang memberikan gaya terhadap badan pantai dan

menyebabkan terjadinya abrasi. (Komar, 1976). Akan tetapi, tingkat pengaruh gelombang

dalam menyebabkan perubahan garis pantai ditentukan oleh karakteristik pantai. Pantai

dengan kemiringan yang landai akan memberikan pengaruh yang lebih cepat untuk

gelombang dalam menyebabkan perubahan garis pantai daripada pantai yang curam (Yin

et al., 2012). Tingkat kemiringan pantai dapat menggambarkan karakteristik sedimen

suatu pantai. Pantai yang landai mempunyai karakteristik sedimen yang lebih halus

dibandingkan dengan pantai yang curam (Triatmodjo, 1999).

Dinamika perubahan garis pantai dapat dianalisis dengan menggunakan teknologi

satelit penginderaan jauh melalui analisis multi temporal. Teknologi penginderaan jauh

adalah teknik atau seni yang berlandaskan pada penggunaan gelombang elektromagne tik.

Teknologi tersebut menghasilkan citra yang diperoleh dengan cara membangun suatu

relasi antara flux yang diterima oleh sensor yang dibawa oleh satelit dengan sifat-sifat

fisik objek yang diamati di permukaan bumi. Perubahan citra tersebut dapat digunaka n

untuk melihat perubahan garis pantai (Arief et al., 2011).

Penelitian mengenai perubahan garis pantai menggunakan data satelit penginderaa n

jauh serta hubungannya dengan karakteristik sedimen pantai telah dilakukan oleh

Rachmani et al. (2017) di desa Meskom, Kecamatan Bengkalis Provinsi Riau. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa melalui interpretasi citra selama kurun waktu 20 tahun

(1995-2015) didapat perubahan garis pantai mundur (abrasi) mencapai 760,44

meter/tahun dengan rata-rata 38,02 meter/tahun. Perubahan garis pantai maju

(sedimentasi) mencapai 595,48 meter/tahun dengan rata-rata 29,77 meter/tahun.

Perubahan garis pantai tersebut dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan yang

memungkinkan terjadinya abrasi pantai. Pesisir Bengkalis memiliki fraksi sedimen

5
berpasir dengan kemiringan pantai yang hampir terjal. Namun pada wilayah-wila ya h

tertentu di pesisir Bengkalis juga mengalami sedimentasi pada pesisir yang memilik i

fraksi sedimen lumpur dan kemiringan pantai yang landai.

Penelitian di atas menjadi dasar untuk penelitian serupa dengan lokasi yang berbeda

yaitu di pesisir pantai Kabupaten Cirebon. Penelitian mengenai perubahan garis pantai

dihubungkan dengan karakteristik sedimen dan kemiringan pantai di pesisir Kabupaten

Cirebon penting untuk dilakukan. Hal ini mengingat dinamika perubahan garis pantai

sering terjadi di kawasan pesisir pantai Kabupaten Cirebon.

1.2. Perumusan Masalah

Perubahan garis pantai sering kali terjadi akibat gaya yang disebabkan oleh

gelombang. Gelombang berperan dalam mendorong sedimen pantai, sehingga terjadi

proses abrasi. Akan tetapi, penggunaan data gelombang sebagai variabel dalam penelitia n

perubahan garis pantai, sudah banyak dilakukan. Terdapat faktor lain yang tidak dapat

diabaikan dalam kajian perubahan garis pantai. Resistensi batuan atau sedimen berperan

penting mempengaruhi seberapa besar gelombang dalam mendorong sedimen pantai

(Komar, 1976). Karakteristik sedimen menggambarkan tingkat kemiringan suatu pantai

(Triatmodjo, 1999). Pesisir Pantai Kabupaten Cirebon dengan dinamika perubahan garis

pantai berupa abrasi dan akresi, selain oleh gelombang tentu juga dipengaruhi oleh

karakteristik sedimen dan kemiringan pantai.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1) Bagaimana dinamika laju perubahan garis di pesisir pantai Kabupaten Cirebon?

2) Bagaimana hubungan laju perubahan garis pantai dengan karakteristik sedimen dan

kemiringan pantai di pesisir pantai Kabupaten Cirebon?

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan yaitu sebagai berikut:

6
1) Mengetahui dinamika laju perubahan garis pantai di pesisir pantai Kabupaten

Cirebon?

2) Mengetahui hubungan laju perubahan garis pantai dengan karakteristik sedimen

dan kemiringan pantai di pesisir pantai Kabupaten Cirebon?

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1) Dapat dijadikan informasi dalam melakukan penanganan permasalahan lingkunga n

dan mitigasi bencana bagi pihak-pihak yang berkepentingan

2) Menjadi acuan bagi pelaksanaan rehabilitasi lingkungan dan membantu dalam

rangka pemulihan daerah pesisir Kabupaten Cirebon.

7
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Pesisir Kabupaten Cirebon

Pesisir Pantai Kabupaten Cirebon merupakan wilayah yang secara geografis

berbatasan dengan perairan Laut Jawa. Sedangkan secara administratif, wilayah pesisir

Kabupaten Cirebon termasuk dalam 9 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kapetakan,

Cirebon Utara, Cirebon Kota, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Babakan dan Losari

(Astjario dan Harkins, 2005). Secara umum, Kabupaten Cirebon dilalui oleh 18 aliran

sungai yang berhulu di wilayah Kabupaten Cirebon bagian selatan. Sungai – sungai yang

ada di Kabupaten Cirebon yang tergolong besar antara lain Cisanggarung, Ciwaringin,

Cimanis, Cipager, Pekik dan Kalijaga (Anas, 2011).

Kondisi wilayah Kabupaten Cirebon secara geologi berada di bawah kaki Gunung

Ciremai dan pantai utara yang cukup dinamis (Astjario dan Harkins, 2005). Perairan

Cirebon memiliki topografi dasar laut yang cukup homogen dengan kemiringan dasar laut

yang landai (kemiringan kecil). Morfologi dasar laut yang landai ini merupakan ciri khas

dari paparan dasar laut pesisir Utara Pantai Jawa, dengan kedalaman dasar laut 2-10 m

dari permukaan, relief datar hingga bergelombang lemah. Perkiraan laju sedimen yang

mengisi alur pelayaran di pelabuhan Cirebon dalam 6 bulan sebesar 127,080 m3 . Pada

saat surut kadar suspensi sedimen di muara Sungai Sukalila sebesar 328,0 mg/l, saat

pasang berkisar 41,0 – 54,0 mg/l (Supriadi, 2012).

Kondisi oseanografi Pantai Utara Kabupaten Cirebon Jawa Barat dipengaruhi Laut

Jawa. Arus permukaan mengikuti pola musim yaitu pada musim barat (bulan Desember

sampai Februari) arus permukaan bergerak ke arah timur, dan pada musim timur (bulan

Juni sampai Agustus) arus bergerak ke arah barat. Pada musim barat, arus permukaan

mencapai maksimum 65,6 cm/detik dan minimum 0,6 cm/detik, sedangkan pada musim

8
timur arus maksimum mencapai 59,2 cm/detik dan minimum 0,6 cm/detik. Tinggi

gelombang di laut Jawa umumnya rata-rata kurang dari 2 meter (BPLHD dan PKSPL-

IPB, 2006).

Salinitas di permukaan Laut Jawa bagian barat berkisar antara 30,6 ‰ hingga 32,6

‰ atau dengan rata-rata tahunan berkisar antara 2 ‰ hingga 3,5 ‰. Kisaran suhu

permukaan Laut Jawa bagian barat berkisar 28,5-30° C pada musim barat, musim

peralihan pertama berkisar antara 29,5- 30,7° C, musim timur berkisar antara 28,5-31° C

dan musim peralihan kedua berkisar antara 28,5-31° C (Anas, 2011).

2.2. Pesisir dan Pantai

Ada dua istilah mengenai kepantaian dalam bahasa Indonesia yang sering rancu

dalam pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengena i

beberapa definisi mengenai kepantaian ini dengan melihat Gambar 1. Pesisir adalah

daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin

laut dan perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan yang

dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan surut terendah. Pantai merupakan batas antara

wilayah yang bersifat daratan dengan wilayah yang bersifat lautan. Daerah daratan adalah

daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis

pasang tertinggi. Sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di

bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut

dan bagian bumi di bawahnya (Triatmodjo, 1999).

9
Gambar 1. Definisi dan batasan pantai (Triatmodjo, 1999)

Kesepakatan umum di dunia, bahwa wilayah pantai adalah suatu wilayah peralihan

antara daratan dan laut. Jika ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilaya h

pantai memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai

(longshore), dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Bagi kepentinga n

pengolahan, penetapan batas – batas wilayah pantai dan laut yang sejajar dengan garis

pantai relatif mudah. Penetapan batas – batas wilayah pantai yang tegak lurus garis pantai,

sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain (Bengen, 2001).

Menurut Triatmodjo (1999) permasalahan yang ada di wilayah pantai di antaranya

adalah:

1. Abrasi pantai, yang menyebabkan mundurnya garis pantai dan merusak berbagai

fasilitas yang ada akibat adanya penambangan pasir dan terumbu karang,

penebangan hutan bakau, dan pembuatan bangunan pantai yang kurang tepat.

2. Tanah timbul atau sedimentasi, menyebabkan tersumbatnya muara sungai dan

saluran drainase. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya banjir dan genangan.

3. Pencemaran lingkungan oleh limbah yang berasal dari daerah pemukima n,

perkotaan, ataupun kawasan industri.

10
4. Intrusi air laut ke cadangan air tanah, akibat adanya pemompaan air tanah yang

tidak terkendali.

5. Pemukiman kumuh yang tumbuh dan berkembang daerah pantai.

Menurut Bengen (2001), bahwa degradasi kawasan pantai memerlukan perhatian

manajemen ekosistem dan sumber daya laut tingkat lokal, regional, maupun global.

Kawasan pantai terkadang menjadi konflik kepentingan dan dilema antara pengembang

sektor ekonomi seperti perikanan, pemukiman, industri dan pariwisata dengan kelestarian

hidup. Sebagian masyarakat juga menggantungkan hidup berkomunitas di wilayah pantai.

2.3. Klasifikasi Pantai

2.3.1. Profil Pantai

Jika ditinjau dari profil pantai (Gambar 2), daerah ke arah pantai dari garis

gelombang pecah dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore dan backshore.

Perbatasan antara inshore dan foreshore adalah batas pantai pada saat muka air terendah.

Proses gelombang pecah di daerah inshore sering menyebabkan terjadinya longshore bar,

yaitu gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Foreshore

adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah sampai batas

atas dari uprush (gelombang bergerak naik pada permukaan pantai) pada saat air pasang

tinggi. Profil pantai di daerah ini memiliki kemiringan yang lebih curam dibandingka n

profil di daerah inshore dan backshore. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh

foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan

dengan muka air tertinggi (USACE, 2003).

Profil pantai dibawah pengaruh gelombang terbagi atas daerah pecah (breaker

zone), daerah selancar (surf zone) dan daerah hempasan (swash zone) (Brown et al.,

1989). Garis gelombang pecah merupakan batas perubahan perilaku gelombang dan

transpor sedimen pantai. Daerah gelombang pecah (breaker zone) adalah daerah dimana

11
gelombang yang datang dari laut dalam (lepas pantai) mencapai ketidakstabilan dan

pecah. Surf zone adalah daerah di antara bentangan bagian dalam dari gelombang pecah

dan batas naik turunnya gelombang di pantai. Pantai yang landai memiliki daerah surf

zone yang lebar. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi

naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai (Ismail, 2012).

Gambar 2. Terminologi yang digunakan untuk menjelaskan zona dekat pantai dan
profil pantai (CERC, 1984)

Bentuk profil pantai sangat dipengaruhi oleh serangan gelombang, sifat-sifat

sedimen seperti rapat massa dan tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel,

kondisi gelombang dan arus, serta batimetri pantai. Pantai dapat terbentuk dari material

dasar berupa pasir atau kerikil (gravel). Kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk

dan ukuran material dasar. Pantai berlumpur mempunyai kemiringan sangat kecil hingga

sekitar 1:5000. Kemiringan pantai pasir lebih besar berkisar antara 1:20 dan 1:50.

Sedangkan kemiringan pantai berkerikil bisa mencapai 1:4. Pantai berlumpur banyak

dijumpai di daerah pantai dimana banyak sungai yang mengangkut sedimen suspensi

bermuara di daerah tersebut dan gelombang relatif kecil. Pantai utara Jawa dan timur

12
Sumatera sebagian besar merupakan pantai berlumpur. Sebagian besar pantai yang

menghadap ke Samudera Hindia, seperti pantai selatan Jawa, Bali Nusa Tenggara, pantai

barat Sumatera, adalah pantai berpasir. Kedua tipe pantai tersebut memiliki karakteristik

yang berbeda (Triatmodjo, 1999).

Berdasarkan energinya, gelombang yang mempunyai energi lebih besar cenderung

memindahkan sedimen ke arah laut, mengikisnya dari gundukan pasir (berm) di pantai,

kemudian mengendapkannya sebagai bukit pasir (sand bar) di zona pecah (breaker zone).

Proses sebaliknya terjadi pada gelombang dengan energi yang lebih kecil (Komar 1983).

Akumulasi sedimen di pantai menyerap dan memantulkan energi yang berasal dari

gelombang. Apabila seluruh energi gelombang terserap maka pantai dalam kondisi

seimbang. Sebaliknya, pantai dalam kondisi tidak seimbang apabila terjadi perubahan

garis pantai abrasi dan akresi (Dirjen P3K DKP, 2004).

2.3.2. Jenis Pantai

Terdapat banyak jenis pantai berdasarkan berbagai komponen sebagai berikut.

a) Berdasarkan materi penyusun pantai (Triatmodjo, 1999; Diposaptono, 2004).

1. Pantai berbatu. Dinding pantainya terjal yang langsung berhubungan dengan

laut dan sangat dipengaruhi oleh serangan gelombang. Biasanya tidak mudah

tererosi akibat adanya arus atau gempuran gelombang. Kalaupun ada lebih

banyak disebabkan oleh pelapukan batuan atau proses geologi lain dalam waktu

yang relatif lama. Erosi pada material masif (seperti batu atau karang) ini lebih

dikenal dengan nama abrasi.

2. Pantai berpasir. Pantai tipe ini terbentuk oleh proses di laut akibat erosi

gelombang, pengendapan sedimen, dan material organik. Material penyusun

terdiri atas pasir bercampur batu yang berasal dari daratan yang terbawa aliran

sungai atau berasal dari daratan di belakang pantai tersebut. Di samping berasal

13
dari daratan, material penyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis

biota laut yang ada di daerah pantai itu sendiri.

3. Pantai berlumpur. Pantai berlumpur yang banyak dijumpai di muara sungai

yang ditumbuhi oleh hutan mangrove, energi gelombang terdisipasi oleh hutan

mangrove dan lumpur. Pantai tipe ini relatif mudah berubah bentuk, mengala mi

deformasi, dan tererosi.

b) Berdasarkan morfologi pantai dan pesisir yang dipengaruhi oleh proses geologi,

laut dan iklim (Hantoro, 2006).

1. Pantai curam singkapan batuan. Umumnya ditemukan di pesisir yang

menghadap laut lepas dan merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa

pantai curam singkapan batuan vulkanik, terobosan, malihan atau sedimen.

2. Pantai landai (datar). Pesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat

kraton stabil atau cekungan belakang. Pembentukan pantai dikendalikan oleh

proses eksogen cuaca dan hidrologi.

3. Pantai dengan bukit atau paparan pasir. Pantai menghadap perairan

bergelombang dan angin kuat dengan asupan sedimen sungai cukup, umumnya

membentuk rataan dan perbukitan pasir. Kondisi kering dan berangin kuat dapat

membentuk perbukitan pasir.

4. Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar. Pantai tepian samudera dengan

agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai kecil berjajar

padanya dengan asupan sedimen, dapat membentuk garis lurus dan panjang

pantai berpasir. Erosi terjadi bila terjadi ketidakseimbangan lereng dasar

perairan dan asupan sedimen.

14
5. Pantai berbukit dan tebing terjal. Pantai yang ditemukan pada berbagai mintakat

berbeda, yaitu di jalur tumbukan/tunjaman, jalur vulkanik, pulau-pulau sisa

tinggian di paparan tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik geser.

6. Pantai erosi. Terjadinya erosi terhadap pantai disebabkan oleh adanya: batuan

atau endapan yang mudah tererosi, agen erosi berupa air oleh berbagai bentuk

gerak air.

7. Pantai akresi. Proses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen

lebih dari jumlah yang kemudian tererosi oleh laut.

c) Berdasarkan genesa (Sastroprawiro et al., 1992).

1. Emergence coast. Pantai yang terbentuk karena pengangkatan daratan sehingga

terjadi kemunduran garis pantai, dasar laut mendalam secara teratur dan

perlahan. Ciri pada peta topografi : (i) garis pantai yang relatif lurus (garis

kontur lurus); (ii) pantai yang relatif landai (garis kontur renggang) dan (iii) jika

dijumpai perkampungan umumnya relatif sejajar dengan garis pantai.

2. Submergence coast. Pantai yang terbentuk jika air laut menggenangi daratan

sehingga terjadi kemajuan garis pantai, dasar laut mempunyai kedalaman yang

tidak teratur, yang merupakan lembah-lembah dan bukit-bukit lama. Ciri pada

peta topografi : (i) garis pantai tidak teratur; (ii) garis pantai berkelok-kelok tidak

teratur; (iii) pantainya relatif curam (garis kontur relatif rapat) dan (iv)

perkampungan di sekitar pantai umumnya tidak sejajar dengan garis pantai.

3. Pantai netral (neutral coast). Pantai yang terbentuk karena adanya pengendapan

aluvial/sungai, delta dataran aluvial dan dataran outwasth. Ciri pada peta

topografi : (i) adanya delta plain, aluvial plain; (ii) biasanya garis kontur

renggang; (iii) bentuk garis relatif melengkung dan (iv) sungai di bagian muara

mempunya banyak cabang (pola sungai berbentuk pohon atau dendritik).

15
4. Pantai campuran (compound coast). Pantai yang terbentuk dari proses

pengangkatan dan penurunan. Ciri pada peta topografi: (i) adanya dataran

pantai, teras-teras (emergence) dan (ii) adanya teluk-teluk dengan kontur yang

relatif rapat.

d) Berdasarkan hubungan antara faktor pembentuk dengan perbedaan bentuk-bentuk

awal (initial) dan bentuk sequential (Sastroprawiro et al., 1992).

1. Pantai primer. Pantai berstadium muda dan dihasilkan oleh proses bukan asal

dari laut (non marine egency). Misalnya pantai karena erosi daratan; pantai yang

dibentuk oleh pengendapan asal darat dan bentuk pantai akibat aktivitas

vulkanisme.

2. Pantai sekunder. Pantai yang mempunyai stadium dewasa dan dihasilkan oleh

proses-proses laut. Misalnya bentuk pantai karena erosi air laut dan bentuk

pantai karena pengendapan laut

2.4. Dinamika Perubahan Garis Pantai

Bagian pantai yang berbentuk garis dan menjadi arah batas antara laut dan darat

secara jelas disebut sebagai garis pantai (Saptarini, 2000). Garis pantai adalah salah satu

fitur linear yang paling penting di permukaan bumi, yang menampilkan sifat dinamis dan

merupakan indikator untuk erosi pantai dan akresi (Ghosh et al., 2015). Garis pantai

adalah garis pertemuan antara air laut dengan daratan yang kedudukannya berubah-ubah

sesuai dengan kedudukan pada saat pasang-surut, pengaruh gelombang dan arus laut

(Sutikno, 1993).

Keberadaan garis pantai selalu mengalami perubahan secara kontinu, pada pantai

yang berhadap langsung dengan arah datang gelombang dan arus pantai selalu mengala mi

abrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pantai yang letaknya sejajar atau

searah dengan arah datangnya gelombang (Hermanto, 1986). Garis pantai terbagi atas dua

16
kelompok besar yang dipengaruhi oleh gerakan tektonik, gerakan eustatik dan kombinas i

kedua gerakan tersebut (Hermanto, 1986):

1) Garis pantai naik. Garis pantai yang mengalami pengangkatan dan biasanya lurus

dan datar, disebabkan karena daratan mengalami pengangkatan.

2) Garis pantai turun. Garis pantai yang mengalami penurunan, biasanya memilik i

bentuk yang tidak lurus dan disebabkan daratan mengalami penurunan.

Maka dari itu, dinamikanya disebut dengan perubahan garis pantai. Perubahan garis

pantai adalah suatu proses tanpa henti (terus menerus) melalui pelbagai proses baik

pengikisan (abrasi) maupun penambahan (akresi) pantai yang diakibatkan oleh

pergerakan sedimen, arus susur pantai (longshore current), tindakan ombak dan

penggunaan tanah (Vreugdenhill, 1999). Perubahan pantai terjadi apabila proses

geomorfologi yang terjadi pada segmen pantai melebihi proses yang biasa terjadi.

Perubahan proses geomorfologi merupakan akibat dari sejumlah parameter oseanografi

yang berperan seperti gelombang, arus, dan pasang surut (Opa, 2011). Perubahan pada

garis pantai yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas dapat menunjukka n

kecenderungan perubahan garis pantai tersebut terkikis (mengarah ke daratan) atau

bertambah (menjorok ke laut) (Arief et al., 2011). Analisis dinamika perubahan garis

pantai secara historis dapat digunakan untuk memahami kecenderungan evolusi dari suatu

pesisir (Li et al., 2015).

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Garis Pantai

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan garis pantai terbagi ke

dalam 2 (dua) faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia (antropogenik). Faktor alam

dapat berasal dari darat dan laut. Faktor dari daratan berupa sedimentasi lewat sungai dan

adanya vegetasi pantai. Faktor dari laut berupa angin, arus dan gelombang laut, pasang

surut, sedimentasi dari laut, dan morfologi dasar laut. Selain itu faktor yang dapat

17
mempengaruhi perubahan pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah

naiknya permukaan air laut (Handayani, 2004). Sedangkan faktor yang dipengaruhi oleh

pengaruh kegiatan manusia antara lain oleh penggalian, pengerukan, dan penambahan

sedimen pantai dan laut, reklamasi laut, penanggulangan pantai, penggundulan dan

penanaman hutan pantai serta pengaturan pola aliran sungai (Handriani, 2006).

2.5.1. Sedimen Pantai

Sedimen adalah partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara bebas

(Duxbury and Duxbury, 1991). Friedman (1978) memberikan pengertian sedimen adalah

kerak bumi yang ditransformasikan dari suatu tempat ke tempat lain baik secara vertikal

maupun secara horizontal. Selanjutnya Ongkosongo (1992) menambahkan bahwa proses

hidrologi tersebut akan terhenti pada suatu tempat dimana air tidak sanggup lagi

membawa kerak bumi yang tersuspensi tersebut. Biasanya suatu kawasan perairan tidak

ada sedimen dasar yang hanya terdiri dari satu tipe substrat saja, melainkan terdiri dari

kombinasi tiga fraksi yaitu pasir, lumpur dan tanah liat. Menurut Rifardi (2008) ukuran

butir sedimen dapat menjelaskan hal-hal berikut: 1) menggambarkan daerah asal

sedimen, 2) perbedaan jenis partikel sedimen, 3) ketahanan partikel dari bermacam-

macam komposisi terhadap proses pelapukan (weathering), erosi, abrasi dan transportasi

serta 4) jenis proses yang berperan dalam transportasi dan deposisi sedimen.

Keberadaan sedimen sebagai penutup dasar perairan terlihat sangat kompleks dan

memiliki peran yang sangat signifikan bagi keberadaan perairan tersebut baik dari sisi

kimia, biologi maupun fisik perairan. Sedimen dapat dikelompokkan berdasarkan

berbagai komponen. Berdasarkan komponen pembentuk, yaitu detrial, biogenous,

hydrogenous dan cosmogenous. Berdasarkan region atau keberadaannya terhadap laut

dan massa daratan adalah sedimen neritik (perairan dangkal) dan laut dalam. Berdasarkan

ukuran butiran yakni batu, pasir, lumpur dan lempung (Dyer, 1986). Skala tersebut

18
menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron sampai

beberapa milimeter dengan spektrum yang bersifat kontinu.

Tabel 1. Ukuran Partikel Sedimen Berdasarkan Skala Wentworth (Dyer, 1986)


Nama Partikel Ukuran (mm)
Bongkah (boulder) > 256
Krakal (cobble) 64 – 256
Batu (stone)
Kerikil (pebble) 4 – 64
Butiran (granule) 2–4
Pasir sangat kasar (very coarse sand) 1–2
Pasir kasar (coarse sand) ½-1
Pasir (sand) Pasir sedang (medium sand) ¼-½
Pasir halus (fine sand) 1/8 – ¼
Pasir sangat halus (very fine sand) 1/16 – 1/8
Lumpur kasar (coarse silt) 1/32 – 1/16
Lumpur sedang (medium silt) 1/64 – 1/32
Lumpur (silt)
Lumpur halus (fine silt) 1/128 – 1/64
Lumpur sangat halus (very fine silt) 1/256 – 1/128
Lempung kasar (coarse clay) 1/640 – 1/256
Lempung sedang (medium clay) 1/1024 – 1/640
Lempung (clay)
Lempung halus (fine clay) 1/2360 – 1/1024
Lempung sangat halus (very fine clay) 1/4096 – 1/2360

Menurut Ingmanson dan Wallace (1985), besar kecilnya ukuran partike l

dipengaruhi oleh transpor yang disebabkan oleh arus, hal ini berkaitan dengan besar

kecilnya tekanan yang diterima oleh partikel sedimen. Selain itu, mencerminka n

keberadaan partikel dari jenis yang berbeda, daya tahan partikel terhadap proses

pelapukan, erosi atau abrasi serta proses pengangkutan dan pengendapan material

(Friedman and Sanders, 1978). Serta juga penting untuk menentukan tingkat

pengangkatan sedimen dari ukuran tertentu dan tempat sedimen tersebut terakumulasi di

lautan (Gross, 1993). Dari ukuran partikel sedimen dapat menentukan lingkunga n

sedimentasi dan transpor sedimen dengan pendekatan parameter statistik, yakni besar

ukuran partikel rata-rata (mean grain size), standar deviasi kecondongan (skewness) dan

kurtosis (Dyer, 1986).

19
2.5.2. Kemiringan Pantai

Kemiringan (slope) merupakan istilah untuk menggambarkan pengukuran

kecuraman, gradien, atau tingkat kelurusan suatu garis. Nilai kemiringan yang lebih tinggi

menunjukkan kemiringan yang curam dan sebaliknya. Kemiringan pantai didefinis ika n

sebagai rasio perubahan ketinggian terhadap jarak horizontal antara dua titik di pantai

(Kumar et al., 2010). Kemiringan pantai merupakan nilai kecuraman area pantai antara

pasang tertinggi dan terendah. Kemiringan pantai dibedakan menjadi datar (<5°), curam

(5°-30°) dan terjal (>30°) (NOAA, 2002; Utantyo, 2001). Besarnya kemiringan pantai

juga dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran material dasar (Triatmodjo, 1999).

Kemiringan pantai merupakan indikator yang perlu dipertimbangkan -bersama

dengan parameter lain seperti elevasi dan morfologi pantai- dalam memperkiraka n

kerentanan relatif terhadap potensi laju perubahan garis pantai, karena daerah dengan

kemiringan pantai yang rendah akan mengalami perubahan garis pantai yang lebih cepat

dari pada daerah yang lebih curam (Yin et al., 2012). Menurut Li et al. (2014), semakin

curam topografi dari suatu pesisir, maka semakin rentan terhadap erosi pantai.

2.6. Citra Landsat

Aplikasi teknologi satelit penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam

berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan, dan telah banyak satelit baik yang berorbit

polar maupun geostationer (berada pada posisi yang sama terus-menerus di atas Bumi

yang berorbit). Salah satu satelit berorbit polar adalah satelit seri Landsat, dimulai dengan

Landsat-4 MSS (Multi Spectral Scanner) dengan resolusi spasial 80 meter, Landsat-5 TM

(Thematic Mapper) hingga satelit Landsat-7 ETM+ (Enchanced Thematic Mapper)

dengan resolusi spasial 30 meter dan 15 meter. Satelit seri Landsat merupakan satelit

berorbit polar, dengan ketinggian 900 km dan meliput Bumi setiap 16 hari (Arief et al.,

2011). Pada tahun 1998 Amerika Serikat telah meluncurkan Landsat 7 yang membawa

20
sensor ETM+ yang terdiri atas 8 (delapan) kanal yang dapat bermanfaat untuk mendeteksi

obyek-obyek. Aplikasi setiap band pada Landsat MSS, TM dan ETM+ ditunjukkan pada

Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Aplikasi Band Landsat 1-5 Multispectral Scanner (MSS) (Barsi et al., 2014;
Arief et al., 2011; USGS, 2017)
Band Band Panjang Aplikasi
Landsat Landsat MSS Gelombang
MSS 1, 2, 3 4 dan 5 (μm)
Band 4 - Green Band 1 - Green 0.5 - 0.6 Memetakan sedimen di dalam air,
menggambarkan daerah perairan
dangkal
Band 5 - Red Band 2 - Red 0.6 - 0.7 Fitur budaya
Band 6 - Near Band 3 - Near 0.7 - 0.8 Batas vegetasi antara daratan dan
Infrared Infrared perairan, dan bentang alam
Band 7 - Near Band 4 - Near 0.8 - 1.1 Penetrasi kabut atmosfer, mendeteksi
Infrared Infrared vegetasi, batas antara daratan dan air,
serta bentang alam

Tabel 3. Aplikasi Band Landsat 4-5 Thematic Mapper (TM) and Landsat 7 Enhanced
Thematic Mapper Plus (ETM+) (Barsi et al., 2014; Arief et al., 2011; USGS,
2017)
Band Panjang Aplikasi
Gelombang (μm)
Band 1 - Blue 0.45 - 0.52 Pemetaan perairan pantai, membedakan tanah dan
vegetasi, tanaman berdaun jarum dan berdaun gugur,
membedakan tipe tanah
Band 2 - Green 0.52 - 0.60 Mendeteksi vegetasi sehat, mengestimasi konsentrasi
sedimen air dan pemetaan air keruh
Band 3 - Red 0.63 - 0.69 Membedakan jenis tanaman
Band 4 - Near Infrared 0.77 - 0.90 Menentukan biomassa, membedakan tubuh air
Band 5 - Short-wave 1.55 - 1.75 Menentukan kelembaban vegetasi, membedakan salju
Infrared dan awan
Band 6 - Thermal 10.40 - 12.50 Pemetaan suhu
Infrared
Band 7 - Short-wave 2.09 - 2.35 Pemetaan hidrotermal, eksplorasi mineral
Infrared
Band 8 - Panchromatic 0.52 - 0.90 Resolusi 15 meter, studi perkotaan
(hanya Landsat 7)
Selain tiga jenis satelit Landsat di atas, ada juga jenis satelit lain yang merupakan

generasi terbaru dari ketiga satelit sebelumnya. Satelit Landsat terbaru yakni seri Landsat-

8 yang dikenal dengan teknologi Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared

Sensor (TIRS). Landsat-8 diluncurkan pada sekitar bulan Februari 2013. Landsat- 8

melanjutkan warisan Landsat sebelumnya, yaitu membangun arsip pencitraan bumi

dengan resolusi sedang, namun instrumen itu sendiri berbeda signifikan dengan rangkaian

21
sensor Thematic Mapper (TM) di Landsat-5 dan -7. Instrumen TM adalah sensor

whiskbroom dengan detektor yang relatif sedikit yang melayang di atas bumi dalam arah

lintas jalur satelit. Sedangkan instrumen OLI adalah sensor pushbroom, dengan array

panjang pada detektor yang membentuk citra saat satelit bergerak melintasi Bumi. OLI

juga mencakup dua band yang tidak ada di TM; sebuah band Cirrus untuk membantu

mendeteksi awan cirrus dan band Coastal/Aerosol (CA) untuk resolusi air dan aerosol

yang lebih baik di wilayah biru. Berbeda dengan TM, OLI tidak termasuk band termal.

Akan tetapi, daerah termal dideteksi pada instrumen TIRS yang memiliki dua band (Barsi

et al., 2014). Aplikasi Landsat-8 OLI dan TIRS lebih lengkap disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Aplikasi Band Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) and Thermal
Infrared Sensor (TIRS) (Barsi et al., 2014; USGS, 2017)
Band Panjang Aplikasi
Gelombang
(μm)
Band 1 – Coastal 0.435 - 0.451 Studi pesisir dan aerosol
Aerosol
Band 2 – Blue 0.452 - 0.512 Pemetaan perairan pantai, membedakan tanah dan
vegetasi, tanaman berdaun jarum dan berdaun gugur,
membedakan tipe tanah
Band 3 - Green 0.533 - 0.590 Mendeteksi vegetasi sehat, mengestimasi konsentrasi
sedimen air dan pemetaan air keruh
Band 4 - Red 0.636 - 0.673 Membedakan jenis tanaman
Band 5 - Near Infrared 0.851 - 0.879 Menentukan biomassa, membedakan tubuh air
(NIR)
Band 6 - Short-wave 1.566 - 1.651 Menentukan kelembaban vegetasi, membedakan salju
Infrared (SWIR) 1 dan awan
Band 7 - Short-wave 2.107 - 2.294 Pemetaan suhu
Infrared (SWIR) 2
Band 8 - Panchromatic 0.503 - 0.676 Pemetaan hidrotermal, eksplorasi mineral
Band 9 – Cirrus 1.363 - 1.384 Peningkatan deteksi kontaminasi awan cirrus
Band 10 – TIRS 1 10.60 – 11.19 Resolusi 100 meter, pemetaan termal dan perkiraan
kelembaban tanah
Band 11 – TIRS 2 11.50 - 12.51 Resolusi 100 meter, pemetaan termal dan perkiraan
kelembaban tanah yang ditingkatkan

2.7. Aplikasi Pengideraan Jauh dalam Kajian Perubahan Garis Pantai

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi

untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung

dengan objek tersebut (Noor, 2011). Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit

22
menjadi sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya

untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini

disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif

murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat

digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangka u

daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai

keperluan dan ditampilkan sesuai keinginan (Ekadinata et al., 2008).

Pemanfaatan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah

banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan

lautan. Penelitian yang dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik

perairan (suhu permukaan laut, klorofil, muatan padat tersuspensi, kecerahan perairan,

dan lain-lain) wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti

monitoring dan penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir

(Hastuti, 2012). Salah satu kegiatan monitoring wilayah pesisir yaitu analisis perubahan

garis pantai memanfaatkan penginderaan jauh dan SIG.

Pemanfaatan penginderaan jauh dan SIG untuk menganalisis perubahan garis pantai

telah banyak dilakukan. Adapun penelitian tersebut antara lain:

a. Arief et al. (2011) melakukan analisis perubahan garis pantai di Kabupaten Kendal

menggunakan citra satelit Landsat tahun 1972, 1991, 2001 dan 2008. Hasil

menunjukkan adanya perubahan yang paling dominan terjadi di daerah teluk dan

sepanjang tanjung, selain itu perubahannya tidak signifikan.

b. Opa (2011) melakukan pengukuran langsung perubahan garis pantai di Desa

Bentenan Kecamatan Pusomaen, Minahasa Tenggara menggunakan GPS Garmin

e-Trex 30 di sepanjang 85 titik dan dibandingkan dengan bantuan peta Dishidros

tahun 1992. Perbandingannya menunjukkan garis pantai desa Bentenan mengala mi

23
perubahan rata-rata sebesar 165 m mundur ke arah daratan dalam selang waktu

1985-2008 (23 tahun). Dalam periode tersebut setiap tahun daerah ini mengala mi

kemunduran garis pantai rata-rata 7,17 m.

c. Sardiyatmo et al. (2013) melakukan analisis perubahan garis pantai di pantai utara

Semarang, Jawa Tengah dengan menggunakan interpretasi citra satelit Landsat

tahun 1989, 1994, 1999, 2004 dan 2009. Garis pantai yang terjadi antara tahun 1989

sampai tahun 2009 lebih banyak mengalami proses abrasi jika dibandingkan dengan

akresi. Abrasi yang terjadi sebesar 2086,1 ha, sedangkan akresi sebesar 1221,6 ha.

24
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi Penelitian

Materi dalam penelitian ini terdiri dari alat dan bahan yang terbagi ke dalam 3 (tiga)

analisis yang berbeda, yaitu untuk analisis perubahan garis pantai, analisis karakteristik

sedimen pantai dan analisis kemiringan pantai.

3.1.1. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Tabel 5. Alat yang digunakan pada penelitian


No. Alat Tipe/ketelitian Kegunaan
1. Laptop Lenovo G400 Sebagai tempat instalasi software yang
akan digunakan untuk mengolah data
2. GPS Garmin V Untuk menentukan titik koordinat
lokasi penelitian secara langsung
3. Kamera 5 MP Untuk mendokumentasikan kegiatan
penelitian
4. Core Sampler - Untuk mengambil sampel sedimen
pantai
5. Saringan ASTM E- Untuk menyaring sampel sedimen
bertingkat 11/Mesh 6, pantai
20,40, 100
6. Kuas Untuk membersihkan ayakan
7. Alumunium foil - Sebagai pembungkus sampel sedimen
pada saat dikeringkan dalam oven
8 Timbangan ANDF/0,1 mg Untuk mengukur berat sampel sedimen
analitik
9. Oven - Untuk mengeringkan sampel sedimen
10. Wadah - Untuk menampung sedimen fraksi
lumpur yang tidak tersaring
11. Tabung silinder 2 liter Sebagai wadah untuk melakukan proses
pipeting
12. Pipet 20 ml Untuk mengambil fraksi lumpur
13. Cawan - Untuk menampung fraksi lumpur
setelah proses pipeting
14. Stopwatch - Untuk mengukur waktu selama proses
pipeting
15. Waterpass - Untuk mengukur kemiringan pantai
16. Software ER 7.1 Untuk mengolah data citra Landsat
Mapper
17. Software ArcGIS 10.5 Untuk melakukan digitasi
18. Software SPSS 24 Untuk melakukan analisis statistik

25
3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Tabel 6. Bahan yang digunakan pada penelitian


No. Bahan Kegunaan
1. Peta Administrasi Untuk membuat peta daerah penelitian
2. Data Citra Landsat tahun Sebagai acuan untuk mengekstraksi informasi
1991, 1999 dan 2017 perubahan garis pantai
3. Data DEM ASTER Untuk mengetahui elevasi daerah penelitian
4. Sampel Sedimen Pantai Untuk mengetahui karakteristik sedimen pantai di
daerah penelitian
5. Larutan H2 O2 Sebagai pelarut untuk memisahkan partikel-
partikel sedimen yang masih berkohesif satu sama
lain
6. Air Sebagai pelarut selama proses pengayakan
7. Larutan dispersan Sebagai pelarut yang ditambahkan pada fraksi
lumpur

3.2. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan adalah metode survei berdasarkan penelitian Rachmani et

al. (2017). Menurut Cohen et al. (2005) metode survei adalah pengumpulan data pada

waktu tertentu dengan tujuan menguraikan keadaan yang sebenarnya, atau

mengidentifikasi standar yang ada dibanding dengan kondisi yang ada, atau menentuka n

hubungan antara peristiwa-peristiwa yang spesifik.

3.3. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur dalam penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu penentuan

titik sampling, pengambilan data dan pengolahan data.

3.3.1. Penentuan Titik Sampling

Sebelum melakukan pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan penentuan titik

stasiun pengambilan data. Stasiun pengambilan data ditentukan berdasarkan cluster with

stratified sampling. Jumlah stasiun sebanyak 9 titik dengan masing- masing stasiun terdiri

dari 3 sub stasiun yang mewakili stratifikasi kondisi pantai secara melintang tegak lurus

pantai.

26
3.3.2. Pengambilan data

1) Citra Landsat Kabupaten Cirebon

Data citra satelit Landsat Kabupaten Cirebon terdiri dari Landsat-5 TM akuisisi 5

Juli 1991, Landsat-7 ETM+ akuisisi 5 September 1999 dan Landsat-8 OLI/TIRS akuisis i

25 Mei 2017. Data didapat dari U.S Geological Survey (USGS) yang bisa diunduh di

https://earthexplorer.usgs.gov. Data tersebut digunakan untuk ekstraksi garis pantai pada

masing- masing tahun.

2) Sampel sedimen pantai

Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada setiap titik dengan menggunaka n

core sampler. Sedimen yang didapat dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diika t

(Rachmani et al., 2017).

3) Kemiringan pantai

Data kemiringan pantai didapat berdasarkan pendugaan menggunakan data DEM

dan pengukuran langsung secara insitu di lapangan. Data DEM yang digunakan yaitu

ASTER Global DEM V2 resolusi spasial 30×30 meter yang diperoleh dari

https://gdex.cr.usgs.gov/gdex. Sedangkan kemiringan pantai insitu diukur menggunaka n

waterpass secara tidak langsung dengan mengukur beda tinggi dan jarak dua titik,

kemudian dihitung berdasarkan prinsip trigonometri (Agus et al., 1999). Skema

pengukuran kemiringan pantai menggunakan waterpass ditunjukkan pada Gambar 3.

27
Gambar 3. Pengukuran kemiringan dengan waterpass (Agus et al., 1999)

3.3.3. Pengolahan data

1) Citra Landsat Kabupaten Cirebon

Pengolahan citra satelit Landsat bertujuan untuk memperoleh data perubahan garis

pantai dengan metode visual dengan on screen digital kemudian melakukan tumpang

susun citra dari tahun 1991, 1999 dan 2017 (Winarso, et al., 2001), sehingga dapat

diketahui daerah yang diduga terjadi abrasi dan akresi. Pengolahan citra satelit Landsat

meliputi: klasifikasi data, koreksi radiometrik, band stacking, image enhancement,

digitasi, dan overlay. Hasil analisis dan interpretasi digunakan untuk mengeta hui

perubahan garis pantai (Azizul et al., 2015). Diagram alir pengolahan data citra

ditunjukkan pada Gambar 4.

28
Data Citra Landsat
(1991, 1999 dan 2017)

Klasifikasi Data
Citra
Koreksi Radiometrik

Koreksi Geometrik

Band Stacking

Image Enhancement

Digitasi

Overlay

Analisis Perubahan
Interpretasi
Garis Pantai
Gambar 4. Diagram alur pengolahan citra satelit Landsat untuk analisis dan interpretas i
perubahan garis pantai

2) Sampel sedimen pantai

Sampel sedimen yang didapat selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dilakukan

analisis ukuran butir sedimen dengan menggunakan metode grafik Fork and Ward (1957)

dalam Rifardi (2008). Fraksi sedimen dianalisis dengan menggunakan metode

pengayakan basah bertingkat dan pipet. Hasil dari pengayakan basah bertingkat dan

metode pipet akan diperoleh persentase fraksi sedimen meliputi kerikil, pasir dan lumpur.

Kemudian hasil kedua metode tersebut digabungkan untuk dilakukan perhitunga n

statistik sedimen meliputi ukuran rata-rata (Mz), koefisien sortasi (δ1), Skewness (Skᵢ)

dan Kurtosis (K G). Perhitungan statistika sedimen dapat dilakukan menggunakan rumus

di bawah ini (Folk and Ward, 1957; Rifardi, 2008).

29
Ø16 +Ø50 +Ø84
𝑈𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 (Mz) = 3

Klasifikasi :

Ø1 : coarse sand (pasir kasar)

Ø2 : medium sand (pasir menengah)

Ø3 : fine sand (pasir halus)

Ø4 : very fine sand (pasir sangat halus)

Ø5 : coarse silt (lumpur kasar)

Ø6 : medium silt (lumpur menengah)

Ø7 : fine silt (lumpur halus)

Ø8 : very fine silt (lumpur sangat halus)

>Ø8 : clay (lempung)

Ø84 −Ø16 Ø95 −Ø5


𝐾𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑠𝑜𝑟𝑡𝑎𝑠𝑖 (δ1) = +
4 6,6

Klasifikasi:

<0,35 : very well sorted (terpilah sangat baik)

0,35-0,50 : well sorted (terpilah baik)

0,50-0,70 : moderately well sorted (terpilah)

0,70-1,00 : moderately sorted (terpilah sedang)

1,0-2,0 : poorly sorted (terpilah buruk)

>2,0 : very poorly sorted (terpilah sangat buruk)

30
Ø16 +Ø84 −2Ø50 Ø5 +Ø95 −2Ø50
𝑆𝑘𝑒𝑤𝑛𝑒𝑠𝑠 (Skᵢ ) = +
2(Ø84 −Ø16 ) 2(Ø5 −Ø95 )

Klasifikasi:

+ 3,0 s.d + 1,0 : very positively skewed

+ 0,1 s.d + 0,3 : positively skewed

+ 0,1 s.d – 0,1 : near symmitrical

- 0,1 s.d – 0,3 : negatively skewed

- 0,3 s.d – 1,0 : very negatively skewed

Ø95 −Ø5
𝐾𝑢𝑟𝑡𝑜𝑠𝑖𝑠 (𝐾𝐺 ) =
2,44(Ø75 −Ø25 )

Klasifikasi:

<0,6 : very platycartic

0,67 – 0,90 : platycartic

0,90 – 1,11 : mesokurtic

1,11 – 1,50 : leptokurtic

1,50 – 3,00 : very leptocartic

>3,00 : extremely leptokurtic

3) Kemiringan pantai

Data kemiringan pantai yang berasal dari data ASTER GDEM V2, diolah di dalam

software ArcGIS untuk diekstraksi nilai kemiringan pantai di setiap stasiun. Sedangkan

pengukuran kemiringan pantai secara insitu tidak langsung diperoleh nilai kemiringa n

pantai, melainkan diperoleh data beda tinggi dan jarak antara dua titik. Pengukuran

kemiringan pantai dengan alat waterpass menggunakan modifikasi perhitungan Cahyanto

et al. (2014), yaitu:

31

tan 𝜃 = 𝑥


𝜃 = 𝑎𝑟𝑐 tan 𝑥

Keterangan:

θ = Kemiringan pantai (°)

h = Ketinggian vertikal (m)

x = Panjang horizontal (m)

nilai θ:

<5° : Datar

5°-30° : Curam

>30° : Terjal (NOAA, 2002; Utantyo et al., 2003)

32
Secara umum, skema alur penelitian yaitu sebagai berikut:

Pesisir Pantai
Kabupaten Cirebon

Citra Sedimen Kemiringan pantai


Landsat Pantai dan DEM

Analisis perubahan Analisis ukuran Analisis


garis pantai butir sedimen kemiringan pantai

Tingkat
Perubahan Karakteristik kemiringan
garis pantai sedimen pantai

Analisis

Hasil

Gambar 5. Skema alur penelitian

3.4. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September-November 2017. Lokasi

yang menjadi objek penelitian adalah pesisir Pantai Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Berikut ini merupakan peta lokasi penelitian.

33
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

3.5. Analisis Data

Data yang telah diolah, selanjutnya dianalisis sebagai berikut.

3.5.1. Laju perubahan garis pantai

Data perubahan garis pantai disajikan dalam bentuk peta. Sedangkan laju perubahan

garis pantai dianalisis menggunakan metode Digital Shoreline Analysis System (DSAS)

yang terdapat di dalam ArcGIS (Thieler et al., 2017). Data tersebut kemudian dibahas

secara deskriptif.

3.5.2. Hubungan perubahan garis pantai dengan karakteristik sedimen dan

kemiringan pantai

Sebelum dianalisis, data laju abrasi/akresi, analisis karakteristik sedimen dan

kemiringan pantai ditabulasikan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan analisis korelasi

menggunakan software SPSS.

34
3.6. Jadwal Penelitian

Adapun jadwal penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:


Tabel 7. Jadwal penelitian
Bulan ke-
No. Keterangan
1 2 3 4 5
1. Penyusunan proposal
2. Seminar
3. Pelaksanaan penelitian
4. Analisis data
5. Pembuatan laporan
6. Ujian skripsi

35
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S. H. Tala’ohu, A. Dariah, B. R. Prawiradiputra,


B. Hafif, S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim
Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Jakarta.
Anas, P. 2011. Studi Keterkaitan Antara Sumberdaya Ikan dan Kemiskinan Nelayan
Sebagai Dasar Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon
Provinsi Jawa Barat. Disertasi, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arief, M., G. Winarso, T. Prayogo. 2011. Kajian Perubahan Garis Pantai Menggunaka n
Data Satelit Landsat Di Kabupaten Kendal. Jurnal Penginderaan Jauh, 8: 71-80.
Astjario, P., F. Harkins. 2005. Penelitian Lingkungan Pantai Wilayah Pesisir Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Geologi Kelautan, 3(2): 19-26.
Azizul, R., Rifardi, M. Galib. 2015. Study on Abrasion and Sediment in Angso Duo Island
Pariaman City West Sumatera, Indonesia. International Journal of Science and
Research (IJSR), 6(6): 1945-1948.
Barsi, J. A., K. Lee, G. Kvaran, B. L. Markham, J. A. Pedelty. 2014. The Spectral
Response of the Landsat-8 Operational Land Imager. Remote Sensing, 6: 10232-
10251.
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut: Sinopsis. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
BPLHD Provinsi Jawa Barat, PKSPL-IPB. 2006. Laporan Akhir Monitoring Kualitas Air
Laut di Pesisir Utara Jawa Barat. Bogor.
Brown, J., P. Colly, D. Paul, J. Philips, D. Rottery, J. Wright. 1989. Waves, Tides and
Shallow Water Process. Pegamon Press Ltd. New York.
Cahyanto, N. P., H. Setiyono, E. Indrayanti. 2014. Studi Profil Pantai di Pulau Parang
Kepulauan Karimunjawa Jepara. Jurnal Oseanografi, 3(2): 161-166.
Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection Manual (4th ed., Vol. I).
U.S. Army Coastal Engineering Research Center. Washington DC.
Cohen, L., L. Manion, K. Morrison. 2005. Research Methods in Education. Taylor &
Francis eLibrary. London.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Diposaptono, S. 2004. Penambangan Pasir Dan Ekologi Laut. Kasubdit Mitigas i
Lingkungan Pesisir, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

36
Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2004. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan
Garis Pantai. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Duxbury, A. C. dan A. B. Duxbury. 1991. An Introduction to the World's Ocean (3rd ed.).
Wm. C. Brown. Dubuque.
Dyer, K. R. 1986. Costal and Estuarine Sediment Dynamics. John Wiley & Sons, Inc.
New York.
Ekadinata, A., S. Dewi, P. Hadi, D. K. Nugroho, F. Johana. 2008. Sistem Informas i
Geografis untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam. Dalam
Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh. World Agroforestr y
Centre. Bogor.
Folk, R. L., W. C. Ward. 1957. Brazos river bar: a study in the significance of grain- size
parameters. Journal of Sedimentary Petrology, 27(1): 3-26.
Friedman, G. M., J. E. Sanders. 1978. Principles of Sedimentology. John Wiley & Sons,
Inc. New York.
Friedman, R. 1978. Kind of Sediment Particle. McGraw-Hill Book Company. New York.
Ghosh, M. K., L. Kumar, C. Roy. 2015. Monitoring the coastline change of Hatiya Island
in Bangladesh using remote sensing techniques. ISPRS Journal of
Photogrammetry and Remote Sensing, 101: 137-144.
Gross, M. G. 1993. Oceanography: A Viewof Earth (6th ed.). Prentice-Hall Inc.,
Englewood Cliffs. New Jersey.
Handayani, R. 2004. Pemanfaatan Data Landsat TM dan Landsat 7/ETM Untuk Melihat
Perubahan Garis Pantai Tahun 1995 – 2000 Di Teluk Cempi, Kabupaten Dompu,
Nusa Tenggara Barat. Skripsi, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Handriani, M. 2006. Aplikasi Citra IKONOS Untuk Kajian Perubahan Pantai Di Wilayah
Ulee Lheue dan Lhok Nga, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Pra dan Pasca
Tsunami Tahun 2004. Skripsi, Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hantoro, W. S. 2006. Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai Terhadap Perkembangan
Kawasan Kota Pantai. Proceeding – Kerugian Pada Bangunan Dan Kawasan
Akibat Kenaikan Muka Air Laut Pada Kota-Kota Pantai Di Indonesia (hal. 5-24).
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Jakarta.
Haslett, S. K. 2000. Coastal Systems. Routledge. New York.
Hastuti, A. W. 2012. Analisis Kerentanan Pesisir Terhadap Ancaman Kenaikan Muka
Laut Di Selatan Yogyakarta. Skripsi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hermanto, B. 1986. Pemantauan Garis Pantai dengan Menggunakan Citra Landsat.
Oseana, 11(4): 163-170.

37
Ingmanson, D. E., and W. J. Wallace. 1985. Oceanography: An Introduction. Stack
University. San Diego.
Ismail, N. P. 2012. Dinamika Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan Batang, Jawa
Tengah. Skripsi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Komar, P. D. 1976. Beach Processes and Sedimentation. Prentice-Hall & Englewood
Cliffs. New Jersey.
Komar, P. D. 1983. Beach Processes and Erossion. Dalam P. D. Komar, & J. R. Moore,
CRC Handbook of Coastal Processes and Erossion. CRC Press Inc. Boca Raton,
Florida.
Kumar, T. S., R. S. Mahendra, S. Nayak, K. Radhakrishnan, K. C. Sahu. 2010. Coastal
Vulnerability Assessment for Orissa State, East Coast of India. Journal of Coastal
Research, 26(3): 523-534.
Li, X., Y. Zhou, B. Tian, R. Kuang. 2015. GIS-based methodology for erosion risk
assessment of the muddy coast in the Yangtze Delta. Ocean & Coastal
Management, 108: 97-108.
NOAA. 2002. Environmental Sensitivity Index Guidlines Version 3.0. NOAA Technica l
Memorandum NOS OR&R 11, Hazardous Material Response Division, Office of
Response and Restoration, NOAA Ocean Service. Washington.
Noor, D. 2011. Geologi untuk Perencanaan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Ongkosono, O. S. 1992. Keadaan Lingkungan Fisik Pantai Jakarta. LON-LIPI. Jakarta.
Opa, E. T. 2011. Perubahan Garis Pantai Desa Bentenan, Kecamatan Pusomaen,
Minahasa Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 7(3): 109-114.
Putri, E. 2013. Identifikasi Kerusakan Pesisir Akibat Konversi Hutan Hutan Bakau
Menjadi Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kabupaten Cirebon. Skripsi,
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univers itas
Padjadjaran. Bandung.
Rachmani, C., Rifardi, M. Ghalib. 2017. Sediment and Coastline Change Analysis of
Meskom Village, Riau. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Perikanan dan
Ilmu Kelautan, 4(1).
Raharjo, P., Novico, F. 2012. Karakteristik Lingkungan Air Laut dengan Perubahan Garis
Pantai Kabupaten Cirebon - Jawa Barat. Buletin Geologi Tata Lingkungan, 22(2):
115-127.
Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen: Sampling dan Analisis. UNRI Press. Pekanbaru.
Saptarini, D. 2000. Coastline Changes Detection Using Remote Sensing Technique
Banten Bay Study Case. Thesis, Graduate Program, Bogor Agricultura l
University. Bogor.

38
Sardiyatmo, Supriharyono, A. Hartoko. 2013. Dampak Dinamika Garis Pantai
Menggunakan Citra Satelit Multi Temporal Pantai Semarang Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Saintek Perikanan: 33-37.
Sastroprawiro, H. S., A. Sungkowo, H. Purnomo, Supomo. 1992. Geomorfologi.
Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran” Yogyakarta. Yogyakarta.
Supriadi, D. 2012. Analisis Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Skala Kecil dan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Dasar di Kota Cirebon, Jawa Barat.
Disertasi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Malang.
Sutikno. 1993. Karakteristik Bentuk dan Geologi Pantai di Indonesia. Dirjen Pengairan
Pepartemen PU. Yogyakarta.
Thieler, E. R., Himmelstoss, E. A., Zichichi, J. L., Ergul, A. 2017. The Digital Shoreline
Analysis System (DSAS) Version 4.0 - An ArcGIS extension for calculating
shoreline change (ver. 4.4, July 2017). U.S. Geological Survey. Reston.
https://pubs.er.usgs.gov/publication/ofr20081278. (Diakses pada 20 November
2017).
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.
U.S. Army Corps of Engineers. 2002. Surf Zone Hydrodynamics. Part II. Department of
the Army. U.S Army Corps of Engineers. Washington DC.
U.S. Geological Survey. 2017. FAQs: What are the best spectral bands to use for my
study?. USGS - Landsat Missions: https://landsat.usgs.gov. (Diakses pada 22
Agustus 2017).
Utantyo, Hartono, Sutikno. 2003. Aplikasi SIG Untuk Pemetaan Indeks Kepekaan
Lingkungan: Studi Kasus di Pesisir Cilacap dan Segara Anakan. Jurnal Manusia
dan Lingkungan, 10(3): 131-140.
Vreugdenhill, C. B. 1999. Transport Problems in Shallow water, Battleneeks and
Appropriate Modeling: Twente University, Department of Civil Engineering and
Management. Seminar on Sediment Transport Modelling (hal. 5-6).
Winarso, G., S. Budiman, Judijanto. 2001. The Potential Application of Remote Sensing
Data for Coastal Study. 22nd Asian Conference on Remote Sensing (hal. 1-5).
CRISP NUS and Asian Association on Remote Sensing. Singapore.
Yin, J., Z. Yin, J. Wang, S. Xu. 2012. National assessment of coastal vulnerability to sea-
level rise for the Chinese coast. Journal of Coastal Conservation, 16(1): 123–133.

39

Anda mungkin juga menyukai