Anda di halaman 1dari 32

SURVEI HIDROGRAFI PESISIR PANTAI DAN PERAIRAN

SUNGAI DUA LAUT KABUPATEN TANAH BUMBU

LAPORAN PRAKTEK SURVEI HIDROGRAFI

NARENDRO HADININGRAT

2010716210020

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Survei Hidrografi Pesisir Pantai dan Perairan Sungai Dua


Laut Kabupaten Tanah Bumbu
Nama : Narendro Hadiningrat
NIM : 2010716210020

Laporan Praktiik Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh

Dosen II Dosen II

Baharuddin, S.Kel, M.Si. Ira Puspita Dewi, S.Kel., M.Si.


NIP. 19791010 200801 1 019 NIP. 198104232005012004

Tanggal Disetujui : Desember 2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan laporan praktik lapang
ini dapat diselesaikan oleh penulis tepat waktu dan tanpa adanya hambatan. Tak
lupa juga penulis panjatkan shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar
Muhammad SAW.
Adapun tujuan dari pada penulisan laporan praktek lapang ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Survei Hidrografi yang telah penulis lakukan.
Selain itu laporan ini dapat digunakan untuk referensi untuk pembaca mengetahui
beberapa kajian dan ilmu yang ada dalam pada ruang lingkup pengolahan data
hidrografi.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada para dosen pembimbing
yang telah berupaya membimbing penulis selama melakukan kegiatan praktik
lapang serta penyusunan laporan ini mulai dari penulisan sampai dengan finalisasi
penyusunan sehingga penulis dapat bekerja lebih mudah. Penulis menyadari bahwa
laporan ini masih terdapat kekurangan mulai dari segi penulisan maupun materi
maka dari itu penulis meminta saran dan kritik kepada pembaca guna
kesempurnaan penulisan yang akan datang.

Banjarbaru, 12 Desember 2023

Narendro Hadiningrat

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan ................................................................... 2
1.3. Ruang Lingkup .......................................................................... 2
1.3.1. Ruang Lingkup Lokasi ................................................. 2
1.3.2. Ruang Lingkup Materi ................................................. 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 3
2.1. Pengertian Survei Hidrografi ................................................... 4
2.2. Pasang Surut ............................................................................. 5
2.3. Garis Pantai .............................................................................. 6
2.4. Kedalaman ............................................................................... 7
2.5. Peta Laut .................................................................................. 8
BAB 3. METODE PENELITIAN ...................................................... 10
3.1. Waktu dan Tempat Lokasi ........................................................ 11
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................... 12
3.4.1. Alat ........................................................................... 13
3.4.2. Bahan ........................................................................ 14
3.1. Metode Perolehan Data ........................................................... 20
3.3.1. Penentuan Titik Sampling ........................................ 23
3.3.2. Pasang Surut ............................................................. 24
3.3.3. Garis Pantai .............................................................. 25
3.3.4. Kelerengan dan Geomorfologi Pantai ...................... 26
3.3.5. Substrat Dasar Perairan ............................................ 27
3.3.6. Kedalaman................................................................ 27
3.3.7. Pemetaan Garis Pantai dengan Drone ...................... 27
3.4. Metode Analisis Data ................................................................

iv
3.4.1. Pasang Surut ............................................................. 27
3.4.2. Garis Pantai (teristris, drone dan analisis citra garis pantai27
3.4.3. Koreksi Garis Pantai dan Kedalaman....................... 27
3.4.4. Kelerengan dan Geomorfologi Pantai ...................... 27
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 28
4.1. Pasang Surut ....................................................................... 28
4.2. Garis Pantai (teristris dan analisis citra garis pantai) ......... 29
4.3. Kedalaman.......................................................................... 30
4.4. Kelerengan dan Geomorfologi Pantai ................................ 30
BAB 5. PENUTUP ............................................................................... 31
5.1. Kesimpulan......................................................................... 31
5.2. Saran ................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Alat-Alat di Lapangan serta Kegunaannya ............................. 10

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Ilustrasi Survei Hidrografi ................................................. 4


Gambar 3.1. Peta Kerja Perairan Sungai Dua Laut ................................ 6
Gambar 4.1. Ilusasi Jalur Terbang dengan Overlap dan Sidelap ........... 7

Gambar 4.2. Peta Garis Pantai ............................................................... 9


Gambar 4.4. Peta Kedalaman Pada Saat MSL ..................................... `10
Gambar 4.5. Peta kedalaman pada saat HAT ........................................ 11
Gambar 4.6. kelerengan pantai bagian timur ........................................ 18
Gambar 4.7. kelerengan pantai bagian barat ......................................... 20

vii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegiatan survei hidrografi dilakukan untuk mengetahui suatu kondisi pada


sebuah perairan yang nantinya digunakan untuk beberapa keperluan lain seperti
pembangunan yang berada diatas perairan, pemetaan, dan penentuan jalur laut.
Salah satu kegiatan survei hidrografi yang sering dilakukan yaitu survei batimetri.
Survei batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan, dimulai dari
pengukuran, pengolahan, hingga visualisasi dasar perairan (Poerbandono dan
Djunarsjah, 2005). Pemetaan dasar laut merupakan suatu kegiatan untuk
mengetahui kondisi topografis atau kedalaman yang ada di perairan laut tersebut.
Pemetaan dassar laut ini sangat penting guna mengetahui atau mendapatkan
informasi kolom perairan berupa kedalaman atau topografis dasar perairannya
secara mendalam dan dapat digunakan untuk keperluan tertentu seperti
menentukan jalur pelayaran, menentukan titik terdalam dan terdangkal perairan,
dan juga sebagai informasi untuk kajian penelitian yang berhubungan dengan
bidang kemaritiman.

Batimetri merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar laut, sehingga


peta batimetri memberikan informasi tentang dasar laut, di mana informasi
tersebut dapat memberikan manfaat pada beberapa bidang yang berkaitan dengan
dasar laut, seperti alur pelayaran untuk kapal rakyat. Data batimetri tersebut
sangat diperlukan dalam pengembangan dermaga baru ataupun pemeliharaan
dermaga yang telah ada. Ketersediaan dan pemeliharaan data menjadi sangat
penting. Sebagai contoh, suatu dermaga dirancang dengan kondisi batimetri
tertentu, berdasarkan jenis kapal yang dilayani. Dikarenakan operasional keluar-
masuk kapal di pelabuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi batimetri, maka
kedalaman laut di sekitar pelabuhan mesti terjaga. Selain itu, batimetri juga
dibutuhkan dalam menentukan rute pelayaran kapal dan lokasi pemasangan
rambu-rambu laut. Optimasi rute dan tersedianya rambu-rambu laut akan
melancarkan kapal yang melakukan pelayaran dan mengurangi bahaya terjadinya
kecelakaan.Pengukuran batimetri dengan metode konvensional menggunakan

1
metode batu duga yaitu sistem pengukuran dasar laut menggunakan kabel
yang dilengkapi bandul pemberat yang massanya berkisar 25-75 kg. Namun
seiring perkembangan zaman dan teknologi, metode tersebut sudah mulai
ditinggalkan khususnya dalam pengukuran perairan yang luas dan dalam.
Perkembangan teknologi saat ini pemetaan batimetri bisa dilakukan dengan
teknologi hidroakustik yaitu dengan menggunakan gelombang suara
sehingga penggunaan teknologi ini lebih baik karena tidak merusak
lingkungan sekitar penelitian (Febrianto,2015).

1.2. Ruang Lingkup


1.2.1. Ruang lingkup lokasi

Kegiatan praktik lapang ini dilakukan bertempat di lokasi area pesisir dan
perairan Sungai Dua laut Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.

1.2.2. Ruang lingkup materi

Ruang lingkup materi yang digunakan dalam kegiatan praktik lapang ini
adalah materi mengenai survei hidrografi dengan penjelasan pengambilan data
dan pengolahan data hidrografin seperti pasang surut, batimetri, dan kelerengan
garis pantai.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Survei Hidrografi

Hidrografi adalah ilmu yang mempelajari dan menggambarkan bentuk


fisik bagian permukaan bumi yang dilingkupi air, termasuk daratan yang
berbatasan dengan perairan (Poerbandono & Djunarsjah, 2005; International
Hydrographic Organization, 1994, 2009). Permukaan bumi yang dilingkupi air
mencakup: permukaan dan kolom air, juga dasar perairan, serta perubahan
parameter tersebut terhadap waktu. Hidrografi juga bisa diartikan sebagai cabang
ilmu yang berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat serta bentuk
dasar perairan dan dinamika badan air (Kelompok Keahlian Hidrografi, 2004).
Kegiatan survei hidrografi dilakukan untuk mengetahui suatu kondisi pada
sebuah perairan yang nantinya digunakan untuk beberapa keperluan lain seperti
pembangunan yang berada diatas perairan, pemetaan, dan penentuan jalur laut.
Salah satu kegiatan survei hidrografi yang sering dilakukan yaitu survei batimetri.
Survei batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan, dimulai dari
pengukuran, pengolahan, hingga visualisasi dasar perairan (Poerbandono dan
Djunarsjah, 2005).
Adapun yang dimaksud dengan dasar perairan meliputi topografi dasar
laut, jenis material dasar laut dan morfologi dasar laut, sedangkan yang dimaksud
dengan dinamika badan air meliputi pasut dan arus. Data mengenai fenomena
dasar perairan dan dinamikan badan air tersebut diperoleh melalui pengukuran
yang kegiatannya disebut sebagai survei hidrografi. Informasi yang diperoleh
dari kegiatan ini untuk pengelolaan sumber daya laut dan pembangunan 3ptic3ry
kelautan. Informasi yang diperoleh dari kegiatan ini untuk pengelolaan
sumberdaya laut dan pembangunan 3ptic3ry kelautan (Al Kautsar, dkk, 2013).
2.2. Pasang surut
Pasang-surut (pasut) merupakan salah satu gejala alam yang tampak nyata
di laut, yakni suatu gerakan vertikal (naik turunnya air laut secara teratur dan
berulang-ulang) dari seluruh partikel massa air laut dari permukaan sampai bagian
terdalam dari dasar laut. Gerakan tersebut disebabkan oleh pengaruh gravitasi
(gaya tarik menarik) antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, atau bumi dengan

3
bulan dan matahari. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa, tetapi
berbanding terbalik terhadap jarak. Sejalan dengan hukum di atas, dapat dipahami
bahwa meskipun massa bulan lebih kecil dari massa matahari tetapi jarak bulan ke
bumi jauh lebih kecil, sehingga gaya tarik bulan terhadap bumi pengaruhnya lebih
besar dibanding matahari terhadap bumi. Kejadian yang sebenarnya dari gerakan
pasang air laut sangat berbelit-belit, sebab gerakan tersebut tergantung pula pada
rotasi bumi, angin, arus laut dan keadaan-keadaan lain yang bersifat setempat.
Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan
dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan
pasang surut ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut antara sumbu rotasi bumi dan
bidang orbital bulan dan matahari (Wardiyatmoko & Bintarto,1994).
Pasang-sumt laut dapat didefinisikan pula sebagai gelombang yang
dibangkitkan oleh adanya interaksi antara bumi, matahari dan bulan. Puncak
gelombang disebut pasang tinggi (High Water/RW) dan lembah gelombang
disebut surut/pasang rendah (Low Water/LW). Perbedaan vertikal antara pasang
tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasang-surut atau tunggang pasut (tidal
range) yang bisa mencapai beberapa meter hingga puluhan meter. Periode pasang-
surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah
gelombang berikutnya. Harga periode pasang-surut bervariasi antara 12 jam 25
menit hingga 24 jam 50 menit (Setiawan, 2006).

2.3. Garis Pantai


Pantai adalah kawasan yang bersifat dinamis karena merupakan tempat
pertemuan dan interaksi antara darat, laut, dan udara. Pantai selalu memiliki
penyesuaian yang terus menerus menuju keseimbangan alami terhadap dampak
yang terjadi sehingga mempengaruhi perubahan garis pantai. Perubahan garis
pantai merupakan salah satu proses yang cukup dinamis dalam dinamika pesisir,
seperti halnya juga perubahan delta dan batimetri perairan pantai (Mills dkk.,
2005 dalam Darniati dkk. 2020) Pengertian lain dalam Standar Nasional Indonesia
garis pantai adalah garis yang menggambarkan pertemuan antara perairan dan
daratan di wilayah pantai pada saat kedudukan pasang tertinggi (Badan
Standardisasi Nasional, 2010 dalam Sasmito dan Suprayogi. 2019). Guariglia dkk,
(2006) menerangkan bahwa garis pantai (coastline) didefinsikan sebagai batas

4
antara permukaan darat dan permukaan air. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
hubungannya dengan keseimbangan dinamika alami perubahan garis pantai
diantaranya adalah; hidrografi, iklim, geologi dan vegetasi. Berkenan dengan
berbagi faktor tersebut, untuk mendokumentasikan dan memetakan perubahan
lokasi suatu garis pantai maka dikenal beberapa proksi yang menjadi fitur bagi
terminalogi batas darat dan air sebagai garis pantai. Ini bergantung pada data yang
digunakan, acuan pendekatan, serta lokasi pantai tersebut berada atau pun instansi
bersangkutan.
2.4. Kedalaman (Batimetri)
Batimetri atau kedalaman air laut merupakan ukuran kedalaman daerah
perairan laut yang diukur dari atas permukaan air ke dasar laut . Peta batimetri
adalah data spasial yang berisi informasi kedalaman suatu daerah peraiaran.
Informasi batimetri dapat mengambarkan tentang kondisi struktur dan bentuk
dasar perairan dari suatu daerah (Setiawan, dkk, 2014). Informasi kedalaman
merupakan salah satu aspek sangat penting untuk beberapakajian kegiatan
sumberdaya kelautan, baik kedalaman di perairan dalam maupun perairan
dangkal. Secara umum informasi kedalaman hanya dilakukan untuk daerah atau
lokasi yang mampu dilalui kapal sehingga untuk perairan dangkal seringkali tidak
dapat dilakukan, informasi sebaran titik kedalaman untuk perairan dangkal sangat
minim atau terbatas (Nurkhayati, 2013).
Batimetri merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar laut, sehingga
peta batimetri memberikan informasi tentang dasar laut, di mana informasi
tersebut dapat memberikan manfaat pada beberapa bidang yang berkaitan dengan
dasar laut, seperti alur pelayaran untuk kapal rakyat. Data batimetri tersebut
sangat diperlukan dalam pengembangan dermaga baru ataupun pemeliharaan
dermaga yang telah ada. Ketersediaan dan pemeliharaan data menjadi sangat
penting. Sebagai contoh, suatu dermaga dirancang dengan kondisi batimetri
tertentu, berdasarkan jenis kapal yang dilayani. Dikarenakan operasional keluar-
masuk kapal di pelabuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi batimetri, maka
kedalaman laut di sekitar pelabuhan mesti terjaga. Selain itu, batimetri juga
dibutuhkan dalam menentukan rute pelayaran kapal dan lokasi pemasangan
rambu-rambu laut. Optimasi rute dan tersedianya rambu-rambu laut akan

5
melancarkan kapal yang melakukan pelayaran dan mengurangi bahaya terjadinya
kecelakaan.

Gambar 2.1. Ilustrasi Survei Hidrografi


Sumber Oseanvision.com
Pengukuran batimetri dengan metode konvensional menggunakan
metode batu duga yaitu sistem pengukuran dasar laut menggunakan kabel
yang dilengkapi bandul pemberat yang massanya berkisar 25-75 kg. Namun
seiring perkembangan zaman dan teknologi, metode tersebut sudah mulai
ditinggalkan khususnya dalam pengukuran perairan yang luas dan dalam.
Perkembangan teknologi saat ini pemetaan batimetri bisa dilakukan dengan
teknologi hidroakustik yaitu dengan menggunakan gelombang suara
sehingga penggunaan teknologi ini lebih baik karena tidak merusak
lingkungan sekitar penelitian (Febrianto,2015).
Penentuan alur pelayaran dan perencanaan bangunan pantai merupakan
salah satu pemanfaatan peta batimetri dalam bidang kelautan. Peta batimetri dapat
menunjukkan relief dasar dengan garis-garis berupa kontur kedalaman, sehingga
peta batimetri dapat memberikan informasi yang mudah untuk diketahui
(Soeprobowati, 2012). Pemet aan batimetri mempunyai peranan penting dalam
kegiatan perikanan, hidrografi dan keselamatan pelayaran. Secara umum sumber
data dari batimetri adalah peta batimetri yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro

6
Oseanografi dari data echosounder, namun data dari echosounder belum
mencakup seluruh wilayah dalam skala yang rinci, oleh karena itu teknologi
penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan informasi batimetri secara sinoptik sehingga dapat mengamati
fenomena yang terjadi di lautan yang luas dan dinamis (Setiawan et al., 2014;
Wahyuningrum, 2001). Informasi kedalaman suatu perairan tidak hanya dapat
diukur menggunakkan alat akustik yaitu echosounder tapi juga dapat
memanfaatkan system penginderaan jauh (Arief et al., 2013). Teknologi
penginderaan jauh merupakan salah satu cara yang dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan informasi batimetri. Informasi batimetri dapat mengambarkan
tentang kondisi struktur dan bentuk dasar perairan dari suatu daerah (Setiawan et
al., 2014).
2.5. Substrat dasar
Substrat merupakan susunan dasar perairan yang tersusun dari dua
komponen, yaitu biotik dan abiotik. Contoh dari komponen biotik yang menyusun
dasar perairan adalah karang, sedangkan contoh komponen abiotik yang
menyusun dasar perairan adalah pasir dan lumpur. Substrat dasar perairan dibagi
menjadi dua kategori, yaitu living dan non living. Living merupakan kategori substrat
dasar perairan yang terdiri dari karang keras, karang lunak, spons, dan alga. Non
living merupakan kategori substrat dasar perairan yang terdiri dari karang yang
baru mati, karang sudah lama mati, pecahan karang, pasir, dan lumpur [4].
Substrat living diperairan memiliki peran sebagai tempat tinggal, tempat memijah,
dan tempat mencari makan berbagai biota laut. Selain itu, substrat living juga
berperan dalam pembentukan ekosistem karang dan sumber kebutuhan bagi
manusia.
2.6. Peta laut
Peta laut yang digunakan harus mencerminkan situasi yang seakurat
mungkin berdasarkan survei terbaru dan dapat dibuat oleh Kantor Hidrografi
(Hydrographic Office) dari negara-negara yang terkait atau oleh negara lain. Peta
terbaru seharusnya digunakan agar informasi yang disajikan lengkap dan akurat
serta harus dipertahankan dengan pemakaian koreksi-koreksi kecil secara reguler
melalui Berita Pelaut (Notice to Mariners) yang diterbitkan oleh Kantor

7
Hidrografi. Sejarah peta dapat memberikan informasi berguna dimana terdapat
sengketa untuk memperoleh hak pakai dan hak milik, perubahan garis pantai, dan
keperluan lain.
Penyajian morfologi dasar laut (dalam hubungannya dengan morfologi
terestris dari negara pantai terdekat) secara akurat, dapat diperoleh dengan cara
memadukan peta-peta yang diperlukan dengan lembar lukis teliti (fair sheet) asli
dan data yang dapat diterima, yang diperoleh dari organisasi atau badan yang
mempunyai kualifikasi untuk melakukan survei batimetrik dan oseanografik.
Jika dibutuhkan informasi numerik secara langsung dari peta berkaitan
dengan masalah penentuan batas, maka peta kertas (paper chart) harus didigitasi
terutama garis air rendah dan features lainnya yang dibuthkan. Proses digitasi
pada dasarnya merupakan transformasi antara sistem koordinat lokal yang
dihasilakn oleh digitizer dan koordinat geodetik (lintang dan bujur)

8
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi


Pada Praktikum kali ini dilaksanakan pada tanggal 6 November 2023
sampai 9 November 2023. Tempat Praktikum lapang ini adalah di Perairan
wilayah Sungai Dua Laut, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, dalam
analisis sampel exsitu dilakukan di laboratorium Kualitas Air dan Laboratorium
Oseanografi di Fakultas Perikanan dan Kelautan.

Gambar 3.1. Peta Kerja Perairan Sungai Dua Laut


3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk praktikum lapang adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Alat-Alat di Lapangan serta Kegunaannya
No. Alat Kegunaan
1. Tiang skala pasang-surut Mengukur tinggi muka air
2. Tiang skala gelombang Mengukur tinggi gelombang
3. Tide gauge Mengukur tinggi muka air secara otomatis
4. Layang-layang arus Mengukur kecepatan arus
5. Wind detector Mengukur kecepatan dan arah angin
6. Termometer Mengukur suhu
7. Hand GPS Menentukan titik koordinat
8. Handrefraktometer Mengukur salinitas perairan
9. GPS mapsounder Menentukan titik sampling

9
10. Kompas Menentukan arah
11. Stopwatch Menentukan waktu
12. Alat tulis Mencatat hasil pengukuran
13. Sechi disk Mengukur kecerahan perairan
14. Kapal Transportasi ke titik sampel

15. Karet pengikat Mengikatkan alat-alat


16. Botol sampel Menyimpan sampel air yang diambil
Menyimpan sampel substrat atau biota
17. Plastik sampel
yang diambil
Mengetahui kualitas suatu perairan (pH,
18. Water Quality Cheker
DO dan lain-lain)
19. Cool box Menyimpan sampel air

3.3. Metode Pengambilan Data

3.3.1. Penentuan Titik Sampling

Penentuan titik sampling ini dilakukan untuk menentukan distribusi spasial


status mutu perairan wilayah Desa Angsana. Penentuan titik diawali dengan
pembuatan peta kerja. Untuk sedimen trap diletakkan secara tegak lurus pantai,
bukan utara sebenarnya. Untuk titik pengambilan sample grab sampler dilakukan
saat melakukan pengambilan data eksitu dan insitu.

3.3.2. Pasang Surut

Dalam pengambilan data pasang surut di lakukan beberapa hal yakni:


1. Menempatkan (pemasangan) rambu pasut pada tempat yang aman, mudah
dibaca dan tidak bergerak-gerak akibat arus atau gelombang. Pemasangan nol
rambu terletak di bawah permukaan laut pada saat air rendah saat surut besar
dan bacaan skala masih terbaca pada saat terjadi air tinggi saat pasang besar.
2. Metode pengamatannya dilakukan dengan pembacaan secara langsung dan
dicatat secara kontinyu setiap 30 menit maupun 1 jam selama berada di lokasi
praktik.
3.3.3. Garis Pantai

Menentukan garis pantai dapat dilakukan dengan menggunakan cara


sebagai berikut:

1. Mengamati langsung dengan menyusuri garis pantai dengan metode


teristiris disesuaikan dengan spesifikasi yang ditentukan dan kondisi area
survei

10
2. Mengamati dan mencatat kenampakan – kenampakan alami/penting saat
melaksanakan pengukuran garis pantai (bentuk pantai, kedangkalan). Hal
ini perlu dilakukan untuk melihat adanya objek atau bahaya yang tidak
dapat diamati dalam proses pemeruman terutama pada saat mendekati
garis pantai.

3.3.4. Kelerengan dan Geomorfologi Pantai

a. Kelerengan

1. Lakukan pengukuran kelandaian pantai dengan menggunakan theodolit dan


waterpass. Setiap titik alat dan detail dilakukan pencatat posisi GPS.
2. Lakukan pengukuran kedalaman perairan dengan membuat lajur perum
b. Geomorfologi Pantai

1. Lakukan pengamatan terhadap jenis dan tipe pantai dengan memetakan titik
GCP pada setiap tipe pantai di sepanjang pantai (dokumentasikan setiap
perubahan).
2. Identifikasikan bentuk geomorfologi pantai apakah terdapat gisik pasir, lidah
pasir, gumuk. Setiap lokasi dilakukan GCP dan didokumentasikan.
3. Identifikasi bentuk dan geomorfologi pantai apakah pengaruh flufial atau
pengaruh proses marine.
3.3.5. Substrat Dasar Perairan

Pengambilan sample sedimen dasar dilakukan untuk mengetahui kondisi


sebaran sedimen di perairan Angsana menggunakan grab sampler pada beberapa
stasiun. Cara penggunaan grab sampler diturunkan ke dasar laut dalam keadaan
terbuka menggunakan tali, ketika sudah sampai ke dasar tali tersebut ditarik
secara tiba-tiba agar menutup kemudian tarik ke atas. Jika sudah masukkan
sampel sedimen ke dalam kantong sampel dan beri kode sesuai di Mapsounder.

3.3.6. Kedalaman

Pemeruman atau sounding dilakukan untuk mengukur kedalaman.


Kedalaman diukur dengan menggunakan mapsounder pada beberapa titik
(representatif) yang membentuk lintasan sepanjang lokasi penelitian. Titik
tersebut dicatat posisinya (menggunakan GPS) yang diplotkan dalam peta digital
guna mendapatkan gambaran kedalaman laut. Pemeruman dilakukan sepanjang
lokasi studi. Sebelum pelaksanaan kegiatan pemeruman, terlebih dahulu yang
dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan sarana dan instalasi peralatan yang akan digunakan dalam


pemeruman.

11
2. Melakukan percobaan pemeruman (sea trial) untuk memastikan seluruh
peralatan survei siap digunakan sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan.
3. Melaksanakan pemeruman setelah semua peralatan dan sarana dinyatakan
siap.
4. Melakukan kalibrasi sebelum dan sesudah kegiatan pemeruman. Kalibrasi
membantu untuk mendapatkan ukuran kedalaman yang benar akibat beberapa
sumber kesalahan sekaligus. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan cakra
tera (bar check) yang terbuat dari bahan baja. Prinsip metoda bar check adalah
membandingkan kedalaman suatu titik yang telah ditentukan dan diketahui
kedalamannya di bawah permukaan laut dengan kedalaman titik tersebut dari
hasil pengukuran dengan GPS Mapsounder yang digunakan. Selisih nilai
kedalaman hasil pengukuran dengan nilai kedalaman yang sebenarnya tersebut
adalah besarnya atau nilai kesalahan alat yang merupakah kombinasi dari
penggunaan peralatan yang dilakukan. Pelaksanaan koreksi dengan bar check
adalah dengan menggantungkan batang atau piringan baja tersebut pada
sebuah kawat atau rantai baja, dan diletakkan tepat di bawah transducer dan
GPS Mapsounder yang digunakan. Setelah itu, dilakukan pengukuran
kedalaman dengan menggunakan GPS Mapsounder pada saat kapal survei
dalam keadaan berhenti untuk beberapa nilai kedalaman batang atau piringan
baja yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil pemeruman ini dikoreksi dengan
hasil pengukuran pasut sehingga dapat diketahui kedalaman sesungguhnya
terhadap referensi DTS/MSL.

3.3.7. Pemetaan Garis Pantai dengan Drone

Pengambilan data dilakukan dengan pemotretan diatas udara


menggunakan wahana DJI Mavic 2 Pro. Sebelum melakukan penerbangan, UAV
terlebih dahulu harus melalui proses perakitan serta kalibrasi agar tidak
mengalami permasalahan selama pengambilan foto udara. Kemudian untuk
pengambilan foto udara dalam praktik ini menggunakan terbang autopilot, dimana
wahana akan terbang sesuai dengan jalur terbang yang telah direncanakan.
Pembuatan jalur terbang seperti pada gambar 4.1. dibawah berikut.

Gambar 4.1. Ilusasi Jalur Terbang dengan Overlap dan


Sidelap
12
3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Pasang surut

Metode yang digunakan selama praktikum lapang adalah metode


pengamatan langsung (observasi). Untuk perhitungan tunggang pasut dan MSL
(Mean Sea Level) atau muka rata-rata air laut menggunakan data pengamatan
yang telah didapat, menggunakan rumus sebagai berikut:
Tunggang pasut = pasang tertinggi − surut terendah
∑ Pembacaan
MSL =
palem ×
faktor Faktor
penggali

3.4.2. Garis Pantai (teristis, drone, dan analisis citra garis pantai)

Pembuatan peta topografi garis pantai dari data UAV terbagi menjadi
beberapa tahapamtara lain menyisihkan foto – foto yang blur, miring ataupun
sudut yang memiliki ketegakan 90°. Pengolahan data foto udara yang diperoleh
menggunakan software Pix4D Mapper. Pada tahapan ini dilakukan proses
aligning photo, build dense cloud, texturing, orthomosaicking, build DSM hingga
exporting peta ortho.

a. Alight photo adalah proses mensejajarkan atau meluruskan foto – foto


sebelum proses penggabungan banyak foto menjadi satu foto.
b. Build dense cloud memproses foto hasil alignment menjadi banyak titik yang
memiliki nilai ketinggian atau kedalaman.
c. Texturing merubah data yang berbentuk titik menjadi tekstur atau kekasaran
dari permukaan bumi.
d. Orthomosaicking merupakan proses menggabungkan foto – foto berdasarkan
referensi koordinat dan nilai kedalaman piksel.
e. Digital Surface Model (DSM) merupakan model tinggi rendahnya objek di
permukaan bumi hasil proses orthomosaic yang selanjutnya akan diekspor
kedalam format tif.

3.4.3. Koreksi Garis Pantai dan Kedalaman

Data hasil dari pengukuran kedalaman yang dilakukan tidak dapat


langsung digunakan Karena belum mengalami koreksi terhadap elevasi pasang
surut maupun letak pemasangan alat tranduser. Maka dari itu data kedalaman hasil
pengukuran sebelumnya harus dilakukan pengkoreksian terhadap pasang surut
(MSL) dan dikoreksi pula dengan draft tranduser ketika pemasangan perangkat di
kapal.

13
d = du + (Ks – Kp)
dimana:
d : Kedalaman sebenarnya (m)
du : Kedalaman ukuran (m)
Ks : Koreksi sarat tranduser (m)
Kp : Koreksi pasut (MSL)

14
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pasang Surut


Pasang-surut (pasut) merupakan salah satu gejala alam yang tampak nyata
di laut, yakni suatu gerakan vertikal (naik turunnya air laut secara teratur dan
berulang-ulang) dari seluruh partikel massa air laut dari permukaan sampai bagian
terdalam dari dasar laut. Gerakan tersebut disebabkan oleh pengaruh gravitasi
(gaya tarik menarik) antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, atau bumi dengan
bulan dan matahari. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa, tetapi
berbanding terbalik terhadap jarak. Sejalan dengan hukum di atas, dapat dipahami
bahwa meskipun massa bulan lebih kecil dari massa matahari tetapi jarak bulan ke
bumi jauh lebih kecil, sehingga gaya tarik bulan terhadap bumi pengaruhnya lebih
besar dibanding matahari terhadap bumi. Kejadian yang sebenarnya dari gerakan
pasang air laut sangat berbelit-belit, sebab gerakan tersebut tergantung pula pada
rotasi bumi, angin, arus laut dan keadaan-keadaan lain yang bersifat setempat.
Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan
dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan
pasang surut ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut antara sumbu rotasi bumi dan
bidang orbital bulan dan matahari (Wardiyatmoko & Bintarto,1994).
Pasang-sumt laut dapat didefinisikan pula sebagai gelombang yang
dibangkitkan oleh adanya interaksi antara bumi, matahari dan bulan. Puncak
gelombang disebut pasang tinggi (High Water/RW) dan lembah gelombang
disebut surut/pasang rendah (Low Water/LW). Perbedaan vertikal antara pasang
tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasang-surut atau tunggang pasut (tidal
range) yang bisa mencapai beberapa meter hingga puluhan meter. Periode pasang-
surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah
gelombang berikutnya. Harga periode pasang-surut bervariasi antara 12 jam 25
menit hingga 24 jam 50 menit (Setiawan, 2006).

15
Chart Title
120

100

80

60

40

20

6:30
0:30
3:00
5:30
8:00

1:30
4:00

9:00

0:00
2:30
5:00
7:30
22:00

13:00
15:30
18:00
20:30
23:00

11:30
14:00
16:30
19:00
21:30
Chart Title
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39

16
Chart Title
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57

Gambar 4.1. Grafik Pasang Surut


Grafik di atas merupakan gambaran pasang surut yang terjadi di perairan
Sungai Dua Laut. Pengukuran di lakukan pada tanggal 6 November 2023 sampai
9 November 2023. Pengukuran dilakukan tiap 60 menit selama 64 jam. Dari
grafik di atas dapat diketahui pasang tertinggi terjadi pada tanggal 6 November
2023 pada pukul 18:00 dengan tinggi 5 cm dan surut tertinggi pada tanggal 9
November 2023 pukul 23:00 dengan ketinggian 80 cm. Tunggang pasut di
Perairan Sungai Dua Laut sebesar 148 cm. Dari hasil analisis pasang surut di
perairan Sungai Dua Laut, tipe pasang surut di perairan tersebut tergolong pasang
surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal).
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan
periodenya berbeda. Pasut jenis ini terdapat di perairan Indonesia bagian Timur.
4.2. Garis Pantai (Teritis dan analisis citra garis pantai)
Pantai adalah kawasan yang bersifat dinamis karena merupakan tempat
pertemuan dan interaksi antara darat, laut, dan udara. Pantai selalu memiliki
penyesuaian yang terus menerus menuju keseimbangan alami terhadap dampak
yang terjadi sehingga mempengaruhi perubahan garis pantai. Perubahan garis
pantai merupakan salah satu proses yang cukup dinamis dalam dinamika pesisir,
seperti halnya juga perubahan delta dan batimetri perairan pantai (Mills dkk.,
2005 dalam Darniati dkk. 2020) Pengertian lain dalam Standar Nasional Indonesia
garis pantai adalah garis yang menggambarkan pertemuan antara perairan dan
daratan di wilayah pantai pada saat kedudukan pasang tertinggi (Badan

17
Standardisasi Nasional, 2010 dalam Sasmito dan Suprayogi. 2019). Guariglia dkk,
(2006) menerangkan bahwa garis pantai (coastline) didefinsikan sebagai batas
antara permukaan darat dan permukaan air. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
hubungannya dengan keseimbangan dinamika alami perubahan garis pantai
diantaranya adalah; hidrografi, iklim, geologi dan vegetasi. Berkenan dengan
berbagi faktor tersebut, untuk mendokumentasikan dan memetakan perubahan
lokasi suatu garis pantai maka dikenal beberapa proksi yang menjadi fitur bagi
terminalogi batas darat dan air sebagai garis pantai. Ini bergantung pada data yang
digunakan, acuan pendekatan, serta lokasi pantai tersebut berada atau pun instansi
bersangkutan.
Posisi garis pantai berdasarkan pengukuran diperoleh dengan
menggabungkan (overlay) posisi/titik dari pengukuran topografi dengan batimetri
(kedalaman) yang dikoreksi terhadap MSL sebagai titik referensi. Posisi garis
pantai perekaman dapat diketahui dengan cara mendeliniasi pertemuan antara
batas daratan dengan laut dilakukan secara langsung (digitizing on screen)
terhadap citra Fungsi dari penentuan garis pantai perekaman adalah sebagai garis
awal untuk perbandingan mendapatkan garis pantai terkoreksi.

Gambar 4.2. Peta Garis Pantai

18
Berdasarkan data diatas menunjukan posisi garis pantai Sungai Dua Laut
ketika surut cenderung jauh ke arah laut dan sebagian menempel pada dinding
pesisir. Sedangkan ketika pasang tidak terlalu jauh dari garis pantai dan sebagian
menempel atau berdekatan dengan pesisir.

4.3. Kedalaman
Pengukuran batimetri dengan metode konvensional menggunakan
metode batu duga yaitu sistem pengukuran dasar laut menggunakan kabel
yang dilengkapi bandul pemberat yang massanya berkisar 25-75 kg. Namun
seiring perkembangan zaman dan teknologi, metode tersebut sudah mulai
ditinggalkan khususnya dalam pengukuran perairan yang luas dan dalam.
Perkembangan teknologi saat ini pemetaan batimetri bisa dilakukan dengan
teknologi hidroakustik yaitu dengan menggunakan gelombang suara
sehingga penggunaan teknologi ini lebih baik karena tidak merusak
lingkungan sekitar penelitian (Febrianto,2015).
Pengukuran kedalaman perairan Sungai Dua Laut dilakukan dengan
menggunakan GPS Maps Sounder. Sinyal yang dipancarkan tranducer akan
kembali dan diterima oleh receiver lalu merekam kedalaman perairan tersebut.
Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman dengan menggunakan GPS Map
Sounder di perairan Sungai Dua Laut, diperoleh data kedalaman yang diolah dan
ditampilkan pada Gambar 4.3. sampai Gambar 4.5 dibawah.

19
Gambar 4.3. Peta Kedalaman Pada Saat LAT

Gambar 4.4. Peta Kedalaman Pada Saat MSL

20
Gambar 4.5. Peta kedalaman pada saat HAT

Berdasarkan data yang didapat, diketahui bahwa kedalaman di perairan


bervariasi dengan perubahan kedalaman cukup sedikit yakni pada kondisi LAT
berkisa antara 0 – 4 meter, pada kondisi MSL berkisar antara 0 – 5 meter pada
saat kondisi HAT berkisar antara 0 – 6,3 meter

4.4. Kelerengan dan Geomorfologi Pantai

Gambar 4.6. kelerengan pantai bagian timur

21
Gambar 4.7. kelerengan pantai bagian barat

Berdasarkan hasil analisis kelerengan pantai di Pantai Sungai Dua Laut


berada di kisaran elevasi 0 – 6 pada bagian timur dan 0 – 5 pada bagian barat yang
dikategorikan sebagai pantai landai menurut US Soil Survey dalam Sastroprawiro,
S dan Yudo (1996). Kelerengan di perairan Pantai Sungai Dua Laut dipengaruhi
oleh proses hidrooseanografi baik yang berasal dari darat maupun dari laut.

22
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat pada penelitian di perairan Swarangan adalah


sebagai berikut:

1. Tipe pasang surut di perairan Sungai Dua Laut tergolong pasang surut
campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal).
Dalam artian selama satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air
surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
2. Garis pantai Sungai Dua Laut ketika surut cenderung jauh ke arah laut dan
sebagian menempel pada dinding pesisir. Sedangkan ketika pasang tidak
terlalu jauh dari garis pantai dan sebagian menempel atau berdekatan
dengan pesisir.
3. kedalaman di perairan bervariasi dengan perubahan kedalaman cukup
sedikit yakni pada kondisi LAT berkisa antara 0 – 4 meter, pada kondisi
MSL berkisar antara 0 – 5 meter pada saat kondisi HAT berkisar antara 0
– 6,3 meter
4. analisis kelerengan pantai di Pantai Sungai Dua Laut berada di kisaran
elevasi 0 – 6 pada bagian timur dan 0 – 5 pada bagian barat yang
dikategorikan sebagai pantai landai menurut US Soil Survey dalam
Sastroprawiro, S dan Yudo (1996). Kelerengan di perairan Pantai Sungai
Dua Laut dipengaruhi oleh proses hidrooseanografi baik yang berasal dari
darat maupun dari laut.

5.2. Saran

Kegiatan survey hidrografi perlu dipersiapkan secara matang sebelum


melakukan kegiatan surveinya dimulai dari tahap persiapan hingga sebelum
survey dan pelaksanaan survey. Oleh karena itu perlu dipahami terlebih dahulu
tentang kegiatan survey hidrografi agar surveyor tidak terkendala dalam
melakukan kegiatan survey hidrografi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Poerbandono dan E. Djunarsjah. 2005. Survey Hidrografi. Refika Aditama,


Bandung.

Febrianto, T., Hestirianoto, T., & Agus, S. B. (2015). Pemetaan batimetri di


perairan dangkal Pulau Tunda, Serang, Banten menggunakan singlebeam
echosounder. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 6(2), 139-147.

Al Kautsar, M., & Sasmito, B. (2013). Aplikasi Echosounder Hi-Target HD 370


untuk Pemeruman di Perairan Dangkal (Studi Kasus: Perairan Semarang).
Jurnal Geodesi UNDIP, 2(4).

Wardiyatmoko, K. dan H.R. Bintarto 1994. Geografi untuk SMU Kelas 1.


Erlangga. Jakarta: 95-125.

Setiawan, K. T., Osawa, T., & Nuarsa, I. W. (2014). Aplikasi algoritma Van
Hengel dan Spitzer untuk ekstraksi informasi batimetri menggunakan data
landsat. In Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014 (pp. 222-
230). LAPAN.

Nurkhayati, R., & Khakhim, N. (2013). 140 Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal
Menggunakan Citra Quickbird Di Perairan Taman Nasional Karimun Jawa,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia, 2(2), 78320.

Darniati. Nurjaya I.W., Atmadipoera A.S.2020. Analisis Perubahan Garis Pantai


di Wilayah Pantai Barat Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 12 No. 1, Hlm. 211-222. Program
Studi Teknologi Kelautan, FPIK, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Sasmito B. Suprayogi A. 2019. Kajian Deteksi dan Penentuan Garis Pantai


dengan Metode Terestris dan Pengindraan Jauh. Jurnal Geodesi Dan
Geomatika. Elipsoida Vol 02 No 02. Departemen Teknik Geodesi Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai