Laporan Kasus Radiologi
Laporan Kasus Radiologi
PENDAHULUAN
Batu empedu merupakan penyakit yang jarang ditemukan di negara maju dan
sering ditemukan di negara-negara berkembang. Dengan membaiknya keadaan
sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta perbaikan sarana
diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit batu empedu di negara-
negara berkembang cenderung meningkat 1.
Di amerika serikat, 10% populasi menderita kolelitiasis dengan batu empedu
kolesterol mendominasi yang terjadi dalam 70% dari semua kasus batu empedu.
Sisanya 30% dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi2.
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang
dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi.Batu
saluran kemih (BSK) merupakan penyakit yang sering di Indonesia. BSK adalah
terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat
dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang
mempengaruhi daya larut substansi.Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal
(nefrolitiasis), di dalam ureter (ureterolitiasis) maupun di dalam kandung kemih
(vesikolitiasis).3
Penyakit batu saluran kemih merupakan penyebab terbanyak kelainan di
saluran kemih. Di rumah sakit di Amerika Serikat kejadian BSK dilaporkan sekitar
7-10 pasien untuk setiap 1000 pasien rumah sakit dan insidens dilaporkan 7-21
pasien untuk setiap 10.000 orang dalam setahun.4
Penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah
pasien di klinik urologi. Penyakit batu saluran kemih merupakan salah satu dari tiga
penyakit terbanyak di bidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan
pembesaran prostat benigna.3
Ganguan aliran urin dapat berlanjut menjadi infeksi saluran kemih, kerusakan
ginjal dan bahkan gagal ginjal. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan fisik dan
1
penunjang yang adekuat untuk memperoleh diagnosis dan untuk melaksanakan
terapi sesuai penyebabnya.5 Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
USG, foto polos abdomen, BNO IVP, dan CT Scan.6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2 Fisiologi dan Produksi Aliran Empedu
Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan
kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang
lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri
hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris
interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang
bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut
sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung
empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang
kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum
melalui ampulla Vater.1,7
4
besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga
terjadi penurunan pH intrasistik. 1,7
Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari
kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan
bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke
dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu
primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi
empedu perhari berkisar 500 – 600 mL. 1
Traktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih terdiri dari
dua buah ginjal, dua buah ureter, satu buah kandung kemih (vesika urinaria) dan
satu buah uretra.
5
dibungkus oleh 4 lapis jaringan yaitu kapsula renalis, corpus adiposum perirenale,
fascia renalis dan corpus adiposum pararenale.7
Masing-masing ginjal terdiri dari korteks renalis di bagian luar dan medula
renalis di bagian dalam.Korteks renalis merupakan suatu pita berkelanjutan dari
jaringan berwarna pucat yang mengelilingi seluruh medula renalis.Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring darah yang disebut nefron.Perpanjangan dari
korteks renalis (columnae renales) berproyeksi ke dalam aspectus internum ginjal,
membagi medula renalis menjadi jaringan agregasi-agregasi terpisah berbentuk
segitiga (piramid renalis).Basis piramid renalis mengarah ke luar menuju korteks,
sedangkan apeks piramid renalis mengarah ke dalam, menuju sinus renalis.Proyeksi
apikalis (papillae renales) dikelilingi oleh suatu kaliks renalis minor. Pada sinus
renalis, beberapa kaliks renalis minor bergabung membentuk suatu kaliks renalis
mayor, dan 2-3 kaliks renalis mayor akan bergabung membentuk pelvis renalis,
yang merupakan suatu struktur berbentuk corong dan merupakan ujung superior
dari ureter.7
6
Gambar 5. Struktur internal ginjal
(Sumber : Atlas of Anatomy Sobotta)
7
cabang ureter superiorjugaberasaldari arterirenalis danmemperdarahibagian
atasdari collecting system.9
8
Unit fungsional ginjal disebut nefron.Pada setiap ginjal terdapat sekitar satu
juta nefron.Fungsi utamadari ginjal adalahuntuk menghasilkan
urin, maka nefronadalahunit terkecil yangmampu membentukurin.Setiap nefron
terdiri dari komponen vaskular dan komponen tubular yang saling terkait baik
secara struktural maupun fungsional.9
Bagian utama dari komponen vaskular nefron adalah
glomerulus.Glomerulus merupakan kumpulan berkas-berkas kapiler berbentuk
seperti bola yang berperan dalam menyaring darah untuk selanjutnya membawa
hasil filtrasi (plasma bebas protein) ke komponen tubular.Selain glomerulus,
komponen vaskular nefron juga terdiri dari arteriol aferen, arteriol eferen dan
kapiler peritubular.Arteriol aferen berfungsi untuk membawa darah ke glomerulus,
sedangkan arteriol eferen berfungsi untuk membawa darah meninggalkan
glomerulus. Kapiler peritubular memasok darah pada jaringan ginjal dan akan
bergabung untuk membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis
kemudian membawa darah meninggalkan ginjal.9
Komponen tubular nefron dimulai dengan kapsula bowman, sebuah struktur
seperti dinding disekitar glomerulus yang berfungsi menampung hasil filtrasi dari
glomerulus. Kemudian hasil filtrasi akan melewati tubulus proksimal, lalu melewati
lengkung Henle dan aparatus jukstaglomerulus menuju tubulus distal dan akhirnya
masuk ke duktus pengumpul / duktus kolektivus. Selanjutnya hasil filtrasi akan
masuk ke pelvis renalis.9
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang berfungsi membawa
hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorbsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju
vesika urinaria.Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-
masing untuk setiap ginjal.9
9
Gambar 7. Ginjal, Ureter dan Vesika Urinaria
(Sumber : Atlas of Anatomy Sobotta)
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis renalis) akan turun di depan
m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca comunis. Ureter
berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara
ventro-medial untuk mencapai vesika urinaria.Adanya katup uretero-vesikal
mencegah aliran balik urin setelah memasuki kandung kemih.Ureter diperdarahi
oleh cabang a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca comunis, a.testicularis/ovarica,
serta a.vesicalis inferior.Serta persarafan ureter melalui segmen T10 – L1 atau L2
melalui pleksus renalis, pleksus aortikus serta pleksus hipogastrikus superior dan
inferior.9
Ureter berfungsi untuk menyalurkan urin dari ginjal ke vesika
urinaria.Gerakan peristaltik mendorong urin yang diekskresikan oleh ginjal melalui
ureter dan disemprotkan dalam bentuk pancaran melalui osteum uretralis masuk ke
dalam vesika urinaria.9
10
Gambar 8. Vesica Urinaria dan Uretra
(Sumber : Atlas of Anatomy Sobotta)
11
involunter) dan m.sphincter eksterna (bersifat volunter). Pada wanita panjang ureter
sekitar 3,5 cm. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada
orifisiumnya diantara klitoris dan vagina. Uretra wanita hanya memiliki satu otot
sphincter yaitu m.sphincter eksterna (bersifat volunter).9
12
Gambar 9. Mekanisme Pembentukan Urin
(Sumber : Human Physiology Sherwood)
13
Gambar 10. Batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)
14
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu
kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki.
Sementara di Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-
laki16.
4. Beberapa faktor lain
Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain:
obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi jangka vena
yang lama16,19.
2.5.3 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus20.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam
empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu,
Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang
dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk
metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet
tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan
batu empedu7.
15
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus12.
2.5.4 Etiologi
a. Batu Kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi
lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah
hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin16.
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol
terjadi dalam empat tahap:
Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Pembentukan nidus.
Kristalisasi/presipitasi.
Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa
lain yang membentuk matriks batu.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.
Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras
dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil
kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60% dari semua batu
empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam16
16
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen
abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan
predisposisi pembentukan batu pigmen (Sarr & Cameron, 1996). Pasien dengan
peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk
batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat
bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu
yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli
membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam
empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat
larut21.
c. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol16.
2.5.5 Manifestasi Klinis
Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien
yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik22.
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
17
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris12,22.
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita
usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari
kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa
serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan
pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini
dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada
kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik22.
2.5.5 Diagnosis
Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. 7,10,12
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 7,10,12
18
Pemeriksaan Fisik
1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. 7,10,12
2. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. 7,10,12
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. 7,10,12
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak
tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi
hati. Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan
langsung dari reaksi Van den bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik.
Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan
hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada
banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular
dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder
terhadap kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau
19
kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu
empedu, keganasan, atau pankreas jinak. 7,10,12
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25
sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan
produksi harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan
hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering
menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan
batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum
jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. 7,10,12
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat
transaminase) danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat
transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam
hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati,
tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi
tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama
obstruksi saluran empedu. 7,10,12
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran
empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel
duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat
menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan
di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat
selama kehamilan karena sintesis plasenta. 7,10,12
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatika. 25
20
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa. 25
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik
penyaring, tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa
diketahui secara meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau
pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa terbukti. Pada tahun belakangan ini,
ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring awal untuk memulai
evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik berdilatasi,
maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan
dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan
ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik
tergantung pada derajat dan lama obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi
90% . Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini.25
21
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. 25,26
22
memberikan informasi menngenai stadium, termasuk gambaran vascular pada
pasien dengan tumor periampula.25,26
Gambar 12. CT – Scan pada abdomen kuadran atas terhadap pasien dengan kanker pada distal
CBD. Kanker mengobstruksi CBD dan duktus pankreatikus. 1. Vena porta. 2. Duktus intrahepatik
yang berdilatasi. 3. Dilatasi duktus sistikus dan leher kandung empedu. 4. Dilatasi duktus
hepatikus komunis. 5. Bifurkasi aarteri hepatic komunis ke dalam arteri gastroduodenal dan. 6.
Dilatasi duktus pankreatikus. 7. Vena spllenikus.
23
Gambar 13. Diagram skematik PTC dan drainase untuk obstruksi proksimal kolangiokarsinoma.
A. Dilatasi duktus bilier intrahepatik dimasuki oleh jarum secara perkutan. B. Kawat kecil
dimasukkan melalui jarum ke duktus. C. Kateter yang masukkan bersama kawat, kawat lalu
dilepaskan. Kolangiogram dilakukan melalui kateter. D. kateter drainaase eksternal dipasang. E.
kawat panjang dipasang melalui kateter dan melewati tumor ke duodenum. F. sten internal
dipasang.
24
Gambar 14. MRCP., menunjukkan penebalan pada duktus bilier ekstrahepatik (garis) dan duktus
pankreatikus (garis berkepala).
25
G
ambar 15. A. ERCP, endoskop masuk ke duodenum dan kateter pada duktus koledokus. B.
endoscopic retrograde cholangiogram, menunjukkan batu pada duktus koledokus. Pasien ini telah
menjalani gastrektomi partial Polya sehingga endoskop mencapai ampula melalui fleksura
duodenojejunal.
2.5.6 Pengobatan
Konservatif
a). Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak
berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun
nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif.
Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu
kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan
monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil
dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun23.
b). Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut
kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya
adalah angka kekambuhan yang tinggi12.
26
c). Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun
yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien
yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat16.
Penanganan operatif
a). Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi,
meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan
mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989,
angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka
kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian
mencapai 0,5 %17.
b). Kolesistektomi laparoskopi
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di
rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang
berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat
mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering
dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan
teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot
abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga24.
c). Kolesistektomi minilaparatomi.
27
2.6 Batu Saluran Kemih
2.6.1 Definisi
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang
dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi.Batu
ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal), di dalam ureter (batu ureter) maupun
di dalam kandung kemih (batu kandung kemih).Batu ini terbentuk dari
pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein.3
Batu saluran kemih dapat berukuran dari sekecil pasir hingga sebesar buah
anggur.Batu yang berukuran kecil biasanya tidak menimbulkan gejala dan biasanya
dapat keluar bersama dengan urine ketika berkemih.Batu yang berada di saluran
kemih atas (ginjal dan ureter) menimbulkan kolik dan jika batu berada di saluran
kemih bagian bawah (kandung kemih dan uretra) dapat menghambat buang air
kecil.Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis dapat
menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat di daerah
antara tulang rusuk dan tulang pinggang yang menjalar ke perut juga daerah
kemaluan dan paha sebelah dalam). Hal ini disebabkan karena adanya respon ureter
terhadap batu tersebut, dimana ureter akan berkontraksi yang dapat menimbulkan
rasa nyeri kram yang hebat.3
28
Gambar 16 .Lokasi Batu Saluran Kemih
2.6.2 Etiologi
29
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya:
Geografi : Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal
sebagai daerah stone belt (sabuk batu).
Iklim dan temperatur tinggi.
Asupan air : Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
Faktor Diet : Diet tinggi purin, oksalat, dan kalsium mempermudah
terjadinya penyakit batu saluran kemih.
Pekerjaan : Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
hanya duduk atau kurang aktifitas
Kebiasaan menahan buang air kecil.3
1. Batu Kalsium
Kalsium adalah jenis batu yang paling banyak menyebabkan BSK
yaitu sekitar 70%-80% dari seluruh kasus BSK. Batu ini kadang-kadang
di jumpai dalam bentuk murni atau juga bisa dalam bentuk campuran,
misalnya dengan batu kalsium oksalat, batu kalsium fosfat atau
campuran dari kedua unsur tersebut. Terbentuknya batu tersebut
diperkirakan terkait dengan kadar kalsium yang tinggi di dalam urine
atau darah dan akibat dari dehidrasi. Batu kalsium terdiri dari dua tipe
yang berbeda, yaitu:
Whewellite (monohidrat) yaitu, batu berbentuk padat, warna cokat/
hitam dengan konsentrasi asam oksalat yang tinggi pada air kemih.
Kombinasi kalsium dan magnesium menjadi weddllite (dehidrat)
yaitu batu berwarna kuning, mudah hancur daripada whewellite. 3
30
oleh asam urat.Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi protein
mempunyai peluang lebih besar menderita penyakit BSK, karena
keadaan tersebut dapat meningkatkan ekskresi asam urat sehingga pH
air kemih menjadi rendah.3
Sumber asam urat berasal dari diet yang mengandung purin dan
metabolism endogen di dalam tubuh.Degradasi purin di dalam tubuh
melalui asam inosinat dirubah menjadi hipoxantin.Dengan bantuan
enzim xanthin oksidase, hipoxanthin dirubah menjadi xanthin yang
akhirnya dirubah menjadi asam urat. Asam urat tidak larut dalam urine
sehingga pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk kristal asam
urat, dan selanjutnya membentuk batu asam urat. Faktor yang
menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah : (1) urine yang
terlalu asam (pH urine <6), (2) volume urine yang jumlahnya sedikit
(<2 liter/hari) atau dehidrasi, dan (3) hiperurikosuri atau kadar asam
urat yang tinggi.3
Ukuran batu asam urat bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai
ukuran besar sehingga membentuk staghorn (tanduk rusa).Batu asam
urat ini adalah tipe batu yang dapat dipecah dengan obat-obatan.
Sebanyak 90% akan berhasil dengan terapi kemolisis.3
3. Batu Struvit.
Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih.Kuman penyebab infeksi
ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang dapat
menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana
basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Kuman yang termasuk
pemecah urea di antaranya adalah :Proteus spp, Klebsiella, Serratia,
Enterobakter, Pseudomonas, dan Staphiloccocus. Ditemukan sekitar
15-20% pada penderita BSK.3
Batu struvit lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.Infeksi
saluran kemih terjadi karena tingginya konsentrasi ammonium dan pH
air kemih >7.Pada batu struvit volume air kemih yang banyak sangat
penting untuk membilas bakteri dan menurunkan supersaturasi dari
fosfat.3
31
4. Batu Sistin.
Batu Sistin terjadi pada saat kehamilan, disebabkan karena gangguan
ginjal.Merupakan batu yang paling jarang dijumpai dengan frekuensi
kejadian 1-2%.Reabsorbsi asam amino, sistin, arginin, lysin dan
ornithine berkurang, pembentukan batu terjadi saat bayi.Disebabkan
faktor keturunan dan pH urine yang asam.Selain karena urine yang
sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang
memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang statis karena
imobilitas.Memerlukan pengobatan seumur hidup, diet mungkin
menyebabkan pembentukan batu, pengenceran air kemih yang rendah
dan asupan protein hewani yang tinggi menaikkan ekskresi sistin dalam
air kemih.3
2.6.4 Patofisiologi
32
Kfp ini disebut keadaan unstable, dan dapat terjadi pembentukan endapan
secara spontan. Endapan ini tersusun atas kristal-kristal yang terdiri dari
bahan-bahan organik dan non-organik yang terlarut dalam urin. Kristal-
kristal tersebut berada dalam keadaan metastable (tetap larut) dalam urin
jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi
kristal. Kristal-kristal ini saling mengadakan presipitasi membentuk inti
batu (nukleasi) yang kemudian akan menjadi agregasi, dan menarik bahan-
bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal),
dan bersama bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga memebentuk
batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.5
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal
memeberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut
batu staghorn.5
Batu yang terbentuk dan menetap di ginjal (nefrolitiasis) jarang
menimbulkan gejala, kalaupun ada batu pada kaliks ginjal memberikan rasa
nyeri ringan sampai berat karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu
juga baru pada pelvis renalis, dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai
dengan gejala berat . Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya
dapat keluar spontan dan tidak menimbulkan nyeri.Nyeri baru timbul ketika
ukuran batu ginjal yang lebih besar dari 5 mm memasuki ureter
(ureterolitiasis) dan menimbulkan obstruksi kronik berupa
hidroureter/hidronefrosis. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah
nyeri pada pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik
ataupun bukan kolik.Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot
polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk
mengeluarkan batu dari saluran kemih.Peningkatan peristaltik itu
menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga
terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat saluran
kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic
33
junction), dan ureter.Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang
(flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu
ureter distal sering ke kemaluan.Mual dan muntah sering menyertai keadaan
ini. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.Pada pemeriksaan fisik mungkin
didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi
sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine,
dan jika disertai infeksi didapatkan demam-menggigil.5
34
Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang beredar di dalam darah
sehingga menyebabkan suhu badan meningkat melebihi batas
normal.Gejala ini disertai jantung berdebar, tekanan darah rendah, dan
pelebaran pembuluh darah di kulit.3
Infeksi
BSK jenis apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder
akibat obstruksi dan statis di proksimal dari sumbatan. Infeksi yang
terjadi di saluran kemih karena kuman Proteus spp, Klebsiella,
Serratia, Enterobakter, Pseudomonas, dan Staphiloccocus.3
Hematuria dan kristaluria
Terdapatnya sel darah merah bersama dengan air kemih (hematuria)
dan air kemih yang berpasir (kristaluria) dapat membantu diagnosis
adanya penyakit BSK. 3
Mual dan muntah
Obstruksi saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter) seringkali
menyebabkan mual dan muntah.3
2.6.6 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar
mengenai onset kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat
membuat bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri. Keluhan yang
disampaikan pasien tergantung pada posisi, letak, ukuran batu.Keluhan paling
sering adalah nyeri pinggang. Nyeri bisa kolik atau bukan kolik.riwayat muntah,
gross hematuria, dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan
riwayat batu sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang sama.3
Pemeriksaan Fisik
o Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, pada didapatkan
nyeri ketok pada daerah kostovertebra (CVA), dapat disertai
takikardi, berkeringat, dan nausea.
35
o Teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis.
o Terlihat tanda gagal ginjal dan retensi urin, jika disertai infeksi
didapatkan demam dan menggigil
Pemeriksaan Penunjang
o Laboratorium
Urine analisis, volume urine, berat jenis urine, protein,
reduksi, dan sediment. Bertujuan menunjukkan adanya
leukosituria, hematuria, dan dijumpai kristal-
kristal pembentuk batu.
Urine kultur meliputi: mikroorganisme adanya pertumbuhan
kuman pemecah urea, sensitivity test.
Pemeriksaan darah lengkap, leuco, diff, LED,
Pemeriksaan kadar serum elektrolit, ureum, kreatinin,
penting untuk menilai fungsi ginjal, untuk mempersiapkan
pasien menjalani pemeriksaan foto IVU dan asam
urat, Paratiroid Hormon (PTH), dan fosfat sebagai faktor
penyebab timbulnya batu saluran kemih (antara lain:
kalsium, oksalat, fosfat, maupun asam urat di dalam darah
atau di dalam urin) serta untuk menilai risiko pembentukan
batu berulang.3
o Radiologi
USG Abdomen
Ultrasonografi (USG) ginjal adalah tes non-invasif
menggunakan transduser yang memproduksi gelombang
suara yang memantul dari ginjal dan mentransmisikan
gambar organ pada layar video. Tes ini digunakan untuk
menentukan ukuran dan bentuk ginjal, dan untuk mendeteksi
massa, batu ginjal, kista, atau obstruksi dan kelainan lainnya.
Pemeriksaan USG ginjal dilakukan juga untuk melihat renal
masses, untuk membedakan apakah cystic atau solid mass
dan ukuran dari mass tersebut. Pemeriksaan ini dapat
mengetahui bentuk, ukuran, gerakan ginjal dan hubungan
ginjal dengan jaringan sekitarnya seperti adrenal gland. 27
36
Gambar 17 .Batu Ginjal
37
BNO-IVP
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan antomi
dan fungsi ginjal, selain itu IVP juga dapat mendeteksi
adanya batu semi-opak ataupun batu non-opak yang tidak
dapat terlihat oleh foto polos abdomen.Pada yang radiopak
pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga
adanya batu ginjal bila diambil foto dua arah. Pada keadaan
tertentu terkadang batu terletak di depan bayangan tulang,
sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto
polos sering perlu ditambah foto pielografi intravena
(PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan bantuan
kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di
tempat batu berada. 27
Pemeriksaan piolegrafi intravena dilakukan dengan
menyuntikkan bahan kontras secara intravena dan dilakukan
pengambilan gambar radiologis secara serial yang
disesuaikan dengan saat zat kontras mengisi ginjal, berlanjut
ke ureter, dan ke kandung kemih. Indikasi pemeriksaan PIV
adalah untuk mendeteksi lokasi obstruksi misalnya pada batu
ginjal, konfirmasi penyakit ginjal polikistik, atau adanya
kelainan anatomis yang tidak terdeteksi oleh teknik
pemeriksaan lain. Pemeriksaam PIV memerlukan persiapan
yaitu :
a. 2 hari sebelum foto IVP penderita hanya makan bubur
kecap
b. Minum air putih yang banyak
c. Jam 24.00 WIB minum obat pencahar/laksans untuk
membersihkan kolon dari feses yang menutupi daerah
ginjal.
d. Selanjutnya puasa sampai dilakukan foto
e. Dilarang banyak bicara untuk mengurangi udara (gas)
dalam lambung dan usus.
38
Untuk bayi dan anak diberikan minum yang
mengandung karbonat, tujuannya untuk mengembangkan
lambung dengan gas. Usus akan berpindah, sehingga
bayangan kedua ginjal dapat dilihat melalui lambung yang
terisi gas. Sebelum pasien disuntikkan urofin 60% harus
dilakukan terlebih dahulu uji kepekaan. Jika pasien alergi
terhadap kontras maka pemeriksaan pielografi intravena
dibatalkan.27
Dosis urografin 60 mg % untuk orang dewasa adalah
20 ml. Kalau perlu diberikan dosis rangkap yaitu 40 ml.
Tujuh menit setelah penyuntikan dibuat film bucky
anteroposterior abdomen. Foto berikutnya diulangi pada 15
menit, 30 menit dan post miksi.27
Beberapa ahli menyatakan bahwa IVP masih
merupakan pencitraan yang terbaik untuk memberikan
gambaran secara vertikal mengenai struktur anatomi dari
saluran kemih.
Syarat-syarat seseorang boleh melakukan IVP yakni,
Tidak memiliki riwayat alergi
Fungsi ginjalnya baik. Cara untuk mengetahuinya
yakni dengan mengukur kadar BUN atau kreatininnya
(<2). Karena kontras itu bersifat nefrotoksik dan
dikeluarkan lewat ginjal, jadi apabila ginjal rusak atau
tidak berfungsi, akan sangat berbahaya bagi pasien.
Indikasi dilakukannya pemeriksaan IVP yakni untuk
melihat anatomi dan fungsi dari traktus urinarius yang terdiri
dari ginjal, ureter, dan bladder, yang meliputi:
Kelainan kongenital
Radang atau infeksi
Massa atau tumor
Trauma
Pada pielografi normal akan diperoleh gambaran
bentuk ginjal seperti kacang. Kutub ( pool ) atas ginjal kiri
39
setinggi Th.XI, bagian bawah, setinggi korpus vertebra LIII.
Ginjal kanan letaknya kira-kira 2 cm lebih rendah daripada
yang kiri. Pada pernafasan, kedua ginjal bergerak dan
pergerakan ini dapat dilihat dengan fluoroskopi. Arah sumbu
ke bawah dan lateral sejajar dengan muskuli psoas kanan dan
kiri. Dengan adanya lemak perirenal, ginjal mendapat lebih
jelas terlihat. Hal ini terutama dapat dilihat pada orang
gemuk. Pelvis renalis kemudian dilanjutkan dengan kalik
mayor, biasanyadari kalik mayor dilanjutkan dengan kalik
minor. Jumlahnya bervariasi antara 6-14. Kedua ureter
berjalan lurus dari pelvis renis ke daerah pertengahan sakrum
dan berputar ke belakang lateral dalam suatu arkus, turunke
bawah dan masuk ke dalam dan depan untuk memasuki
trigonum buli- buli. 27
Gambar 19.Nefrogram
40
Gambar 20.Pyelogram
Penilaian ureter:
1) Jumlah ureter.
Terkadang, ureter bisa hanya nampak 1 saja, itu mungkin
disebabkan kontraksi ureter saat pengambilan foto, jadi tidak
nampak ketika difoto.
2) Posisi ureter
3) Kaliber ureter/diameternya, normal < 0.5 cm
4) Ada tidaknya batu, baik lusen maupun opak.
Kemudian nyatakan bentuk,jumlah,ukuran, dan letak
batu.
Contoh penyakit pada menit ke 15 diantaranya: hidroureter,
ureterolitiasis, ureteritis.
41
Gambar 21.Sistogram
Gambar 22.Sistitis
42
Gambar 23.Indentasi
Gambar 24.Diverticulosis
43
Gambar 25.Filling Defect
44
Gambar 27.Ruptur VU Ekstraperitoneal
Gambar 28.Ruptur VU
45
Gambar 29.Post Miksi
CT-Scan
CT scan abdomen digunakan untuk mendiagnosa
pasien dengan masalah pada organ-organ di rongga perut.
CT scan menyediakan data visual lebih rinci
dibandingkan pemindaian sinar-X konvensional. CT scan
perut bisa mendiagnosa masalah pada berbagai organ
termasuk ginjal, hati, limpa, pankreas, usus kecil dan usus
besar, kandung kemih, serta kandung empedu..27
CT scan saat ini merupakan modalitas pilihan untuk
identifikasi batu, dengan sensitivitas 97%, spesifisitas 96%,
dan ketepatan secara keseluruhan dalam mendiagnosis batu
sebesar 97%. Banyak batu yang awalnya dipikirkan
merupakan batu radiolusen (misalnya batu asam urat) dapat
dideteksi dengan CT scan.27
46
2.6.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa
Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan.Terapi yang diberikan bertujuan mengurangi
nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak
supaya dapat mendorong keluar batu saluran kemih.3
Analgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan.Opioid seperti injeksi morfin sulfat yaitu
petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti ketorolac dan
naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri.Propantelin dapat
digunakan untuk mengatasi spasme ureter.Pemberian antibiotik apabila terdapat
infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi
sekunder. Setelah batu dikeluarkan, BSK dapat dianalisis untuk mengetahui
komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat
pembentukan batu berikutnya.3
1. Intervensi Bedah
ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotrypsi)
Teknik ini menggunakan getaran yang dapat memecah batu ginjal
menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah keluar melalui
saluran kemih tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa
pembiusan.3
PNL (Percutaneus Litholapaxy)
Usaha mengeluarkan batu dengan memasukkan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi kulit.Batu kemudian dikeluarkan
dengan memecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.3
Bedah laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat
ini sedang berkembang.cara ini banyak dipaki untuk mengambil
batu ureter.3
Bedah terbuka
47
Di klinik-klinik yang belum memiliki fasilitas endourologi,
laparaskopi, maupun ESWL, pengambilan batu dilakukan dengan
bedah terbuka, antara lain: pielolitotomi dan nefrolitotomi untuk
mengambil batu di ginjal dan ureter3
2.6.8 Komplikasi
Batu ginjal yang hanya menimbulkan keluhan nyeri kolik renal
mungkin tidak mengalami masalah setelah nyeri berhasil diatasi.Apabila
batu tersebut menyebabkan sumbatan atau infeksi.Sumbatan ini dapat
menetap dan batu berisiko menyebabkan gagal ginjal.3
2.6.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada besar batu, letak batu, adanya infeksi, dan
adanya obstruksi3
48
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. KR
Umur : 73 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karangawen, Demak
Suku : Jawa
Agama : Islam
No. CM : 3751**
Status perawatan : Rawat Inap
Tanggal Masuk RS : 6 Oktober 2016
Tanggal Keluar RS : -
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 8 Oktober 2016, pukul 14.00 WIB, di ruang Arjuna II Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
A. Keluhan Utama
49
harus menunggu agak lama sampai akhirnya terasa tuntas. Pada air
kencing pasien tidak terdapat darah.
D. Riwayat Pengobatan
- Tidak ada riwayat operasi sebelumnya
- Pasien sudah mendapat terapi pengobatan dari bagian penyakit
dalam untuk mengatasi keluhannya
50
STATUS GENERALISATA
Kulit sawo matang
Kepala
Normocephal, tidak teraba benjolan, rambut putih,
Mata
Palpebra superior et inferior tidak edema, konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3 mm, reflek cahaya +/+, ptosis -/-, eksoftalmus
-/-, enoftalmus -/-
Telinga
Bentuk normal, liang telinga lapang, serumen -/-, otore -/-
, Kelenjar getah bening pre-retro-infra aurikuler tidak
teraba membesar.
Hidung
Bentuk normal, tidak terdapat septum deviasi, tidak
terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat sekret,
tidak ada epistaksis.
Mulut
Sulkus nasolabialis simetris, tidak terdapat perioral
sianosis, bibir kering.
Thoraks
o Paru-paru
Inspeksi : Tampak simetris dalam diam dan
pergerakan nafas
Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan sama kuat
baik sisi depan maupun belakang
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Ronkhi -/-, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V 1 cm
medial linea aksilaris anterior sinistra, kuat angkat
51
Perkusi : Redup
o Batas jantung atas di ICS III linea mid klavikula
sinistra
o Batas jantung kanan di ICS IV linea parasternal
dextra
o Batas jantung kiri di ICS V 1 cm linea aksilaris
anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur
(-), gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, striae (-), scar (-),
pulsasi epigastrium (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 12x/menit
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, tidak ada massa, nyeri tekan
(-), nyeri ketok CVA (-/+)
o Ekstremitas
Ekstremitas superior: edema (-/-), akral dingin (-/-),
sianosis -/-. Capillary refill time <2 detik.
Ekstremitas inferior: edema (-/-), akral dingin (-/-),
sianosis -/-. Capillary refill time <2 detik.
o Status Neurologis
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
N. cranialis : tidak dilakukan
Motorik : tidak dilakukan
Kekuatan : tidak dilakukan
Refleks fisiologis : tidak dilakukan
Refleks Patologis : tidak dilakukan
Sensorik : tidak dilakukan
Rangsang Meningeal : tidak dilakukan
52
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaaan laboratorium
Pemeriksaan Satuan
Hasil Nilai Normal
(6 Oktober 2016)
Hematologi
Hematokrit 31,9 40 – 52 %
53
Pemeriksaan Satuan
Hasil Nilai Normal
(6 Oktober 2016)
Kimia klinik
CKMB 28 0 - 24 U/L
Pemeriksaan Urin
Rutin Hasil Nilai Normal
(6 Oktober 2016)
Makroskopis
Warna Kuning
Mikroskopis
Leukosit 2-3
54
Eritrosit 2-4
Silinder NEG
Epithel 3-6
Kristal Negatif
Trichomonas Negatif
Lain-lain Negatif
55
Pemeriksaan Radiologi
56
57
HEPAR : Ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen. Ekogenitas normal, tepi
rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V.Porta dan V.Hepatika tak melebar. Duktus
biliaris intra-ekstrahepatal tak melebar
VESIKA FELEA : Tak membesar, dinding tampak menebal (4,3 mm) , tampak
batu multipel yang saling berkonglomerasi dengan ukuran rata-rata 2,04 cm,
tak tampak sludge
LIEN : Ukuran normal, parenkim homogen, V.Lienalis tak melebar, tak tampak
nodul
PANCREAS : Ukuran normal, parenkim homogen, duktus pancratikus tak melebar
GINJAL KANAN : Ukuran dan bentuk normal, batas kortikomedular jelas, PCS
tak melebar, tampak batu ukuran sekitar 0,9 cm, tak tampak massa
GINJAL KIRI : Ukuran dan bentuk normal, batas kortikomedular jelas, PCS tak
melebar, tak tampak batu, tak tampak massa
AORTA : Tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi paraaorta
VESIKA URINARIA : dinding tak menebal, permukaan regular, tampak batu
ukuran 3,21 cm
PROSTAT :ukuran normal (Vol : 20,6 cm3), tak tampak kalsifikasi, tak tampak
nodul
Tampak efusi pelura kanan, Tak tampak cairan bebas intra abdomen.
KESAN :
Cholesistitis disertai multiple cholesistolithiasis (saling berkonglomerasi
dengan ukuran rata-rata 2,04 cm) Calculous cholesistitis
Non-obstructive nefrolithisis kanan (ukuran sekitar 0,9 cm)
Vesikolithiasis (ukuran sekitar 3,21 cm)
V. RESUME
Telah diperiksa seorang laki laki usia 73 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang tanggal 6 Oktober 2016 jam 01.00 dengan keluhan nyeri
tak tertahankan saat berkemih, terasa seperti ada rasa tidak tuntas saat berkemih
sejak satu bulan yang lalu. Menurut istrinya, pasien juga jarang mengkonsumsi air
putih. Minum air putih kurang lebih hanya 3-4 gelas sehari. Menurut istrinya, pasien
juga merasakan demam namun tidak terlalu tinggi. Pasien mengatakan jika ingin
58
berkemih harus menunggu agak lama sampai akhirnya terasa tuntas. Pada air
kencing pasien juga tidak terdapat darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketok costovertebrae angle dextra.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin menurun, hematokrit
menurun, ureum dan creatinin meningkat. Pada pemeriksaan USG abdomen
didapatkan kesan Calculous cholesistitis, Non-obstructive nefrolithiasis dan
vesicolithiasis
59
BAB IV
PEMBAHASAN
60
bagian epigastrium kuadran kanan atas, pasien hanya mengeluhkan nyeri tak
tertahankan pada saat berkemih dan tidak disertai darah maupun batu.
Menurut literatur, pasien dengan batu empedu dan batu saluran kemih pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan murphy sign (+), nyeri tekan pada kuadran kanan
atas abdomen, nyeri ketok costo vertebrae angle dan kadang teraba ginjal pada
pemeriksaan ballotement ginjal. Pada pasien ini ditemukan murphy sign (+) dan
nyeri ketok costo vertebrae angle sebelah kanan, pada pemeriksaan fisik lainnya
dalam batas normal.
Menurut literatur, pasien dengan batu kandung empedu yang asimtomatik
umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Pada pasien ini tidak ditemukan
adanya peningkatan leuksit, hanya ditemukan penurunan kadar hemoglobin. Pasien
dengan batu saluran kemih juga biasanya pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan
kelainan, bisa terjadi leukositosis jika memang ada infeksi. Pada pemeriksaan urin
dapat ditemukan proteinuri, hematuri dan jika dilakukan kultur urin juga dapat
ditemukan jenis kuman yang mungkin menyebabkan infeksi atau timbulnya batu
saluran kemih. Pada pasien ini pada pemeriksaan urin ditemukan adanya protein
(+2), dan pada kultus urin ditemukan adanya bakteri (+1).
Menurut literatur, pasien dengan batu empedu dan batu saluran kemih pada
pemeriksaan radiologi, khususnya pemeriksaan USG dapat ditemukan gambaran
hiperekoik yang disertai Acoustic shadow. Pada pasien ini ditemukan gambaran
hiperekoik pada pemeriksaan kandung empedu, ginjal dan buli-buli/vesika urinaria
yang disertai gambaran Acoustic shadow.
61
Daftar Pustaka
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-
4.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi
keenam jilid II. Jakarta: Interna Publishing.2014 P.341-358
4. Dunnick , N.R. Textbook of uroradiology. (5th ed.). Philadelphia:Lippincott
Williams &Wilkins; 2013.p 319-320
5. Kumar, Vinay; Ramzi S Cotran dan Stanley L Robbins. 2004. Buku Ajar
Patologi Robbins Edisi dan Volume 1.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. P.74-79
6. Rasad Siriraj. RADIOLOGI DIAGNOSTIK Edisi Kedua.Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2005 P.24-27
7. Guyton, Arthur C.2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Sekresi
Empedu oleh Hati;Fungsi dari Sistem Empedu. Hal 843-846. Jakarta : EGC
8. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi
Umum dan Muskuloskeletal P.136-142
9. Sherwood, L. Human Physiology from Cell to System. 7th ed. USA:
Brooks/Cole. 2010. P61-73
10. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States
America : McGraw Hill, 2005.826-42.
11. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
12. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
13. Reeves CJ. Penyakit Kandung Empedu dalam : Keperawatan Medika Bedah.
Edisi Ke-1. Jakarta : Salemba Medika, 2001. 149-51.
14. Clinic Staff [internet]. Gallstones. [cited Juli 2007]. Available from:
http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm.
15. Health Management [internet]. Cholelithiasis. [cited April 2017]. Available
from:http:/www.7.com/healthmanagement/ManagingYourHealth/HealthRefer
ence/Disease/InDepth.htm.
16. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of
Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
17. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China:
Elseiver, 2007. 23.
18. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
19. Latchie M. Cholelitiasis dalam : Oxford Handbook of Clinical Surgery. Oxford
University. 1996. 162
20. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
21. Bhangu AA et al. Cholelitiasis and Cholesistitis dalam: Flesh and Bones of
Surgery. China: Elseiver, 2007. 123.
22. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States
America : McGraw Hill, 2005.826-42.
62
23. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-
4.
24. Nealon TF. Kolesistektomi Laparoskopi dalam : Ketrampilan Pokok Ilmu
Bedah. Jakarta : EGC, 1996. 394
25. Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In :
Greenfield's Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006.h. 482-97.
26. Beckingham, IJ. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System
Gallstone Disease [internet]. British Medical Journal Vol 13. [cited Januari
2001]. 322(7278): h. 91–94. Avaliable
from:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388.
27. Schmidt G. Differential Diagnosis in Ultrasound Imaging, A Teaching Atlas.
New York: Thieme.P.41-48
63