Anda di halaman 1dari 15

1

Epidemi HIV/AIDS di Papua: Kesiapan Indonesia Dalam


Mencapai Target Sustainable Development Goals (SDGs)

HIV/AIDS Epidemy in Papua: Indonesian Ability to Reach


Sustainable Development Goals (SDGs) Target

Metha Setyoaji Wedhaninggar

Magister Ilmu Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Korespondensi: Metha Setyoaji Wedhaninggar (methawedhaninggar@mail.ugm.ac.id)

Abstrak

Sustainable Development Goals (SDGs) dalam salah satu tujuannya


mentargetkan mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030, sebagai ukuran keberhasilan
pembangunan berkelanjutan dan menyeluruh. Dengan melihat kasus HIV/AIDS di Papua,
tulisan ini ingin melihat kesiapan Indonesia dalam melaksanakan target SDGs tersebut.
Dari segi kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan, Indonesia telah membuat kemajuan
dalam penanganan dan penanggulangan kasus HIV/AIDS. Namun demikian faktor
tersebut perlu diimbangi dengan penanganan yang bersifat menyeluruh yang menyetuh
aspek karakteristik sosiodemografis dan pembangunan yang berwawasan kependudukan.
Kajian ini disampaikan dengan pendekatan epidemiologi spasial dan sosiodemografis.

Kata kunci: SDGs; epidemi HIV/AIDS; Sosiodemografis; epidemiologi spasial;


karakteristik

Abstract

Sustainable Development Goals (SDGs) ensure to promote healthy lives and


well-being at all ages by forcing efforts to end the epidemics of AIDS by 2030 as an
essential sustainable development achievement. On HIV/AIDS case in Papua, this
research aims to look at Indonesian governments ability and improvement while taking
part in SDGs target. Indonesian government noted major improvement on the number
and quality of health facilities. However another comprehensive approach covering socio
demographic character and population based sustainable development is urge to do. On
this research, it is presented on spatial epidemiology and socio demographic perspective.

Key words: SDGs; epidemics of HIV/AIDS; socio demographic; spatial epidemiology;


characteristic
2

Pendahuluan

Permasalahan Human Immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune


Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu pada tingginya transmisi infeksi, angka kesakitan
dan angka kematian menjadi tantangan kesehatan hampir di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Pada tahun 2017, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan
dari 48.300 kasus HIV positif, tercatat sebanyak 9.280 kasus AIDS, 33.660 kasus baru
HIV atau sekitar 94 infeksi baru per harinya. Bahkan untuk wilayah Asia Pasifik,
Indonesia menempati urutan tertinggi ketiga jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (odha)
serta kasus infeksi baru setelah India dan China. Secara kumulatif sampai Juni 2018,
jumlah infeksi HIV di Indonesia mencapai 301.959 jiwa dan kasus AIDS sebanyak
108.829 kasus. Selain itu, World Health Organization (WHO) juga melaporkan
kematian karena AIDS di Indonesia meningkat hingga 68% pada tahun 2016 (WHO,
2018). Kondisi ini menjadi tantangan berat bagi Indonesia untuk melakukan percepatan
pembangunan.
Salah satu indikator pembangunan menyeluruh yang juga digunakan oleh
Indonesia adalah 17 tujuan SDGs, yang juga mentargetkan berakhirnya epidemi AIDS
pada Tahun 2030. SDGs memiliki makna lebih universal dan bersifat holistik
dibandingkan dengan Millenium Development Goals (MDGs). Untuk penanggulangan
HIV/AIDS sendiri memang tidak dijelaskan secara rinci, tetapi masuk dalam salah satu
target yang merupakan ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030. Mengakhiri
epidemi AIDS adalah salah satu poin tujuan SDG 3, yaitu memastikan kehidupan yang
sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang.
Mungkinkah Indonesia pada tahun 2030 memenuhi target mengakhiri epidemi
AIDS, seperti yang ditetapkan SDGs? Dalam tulisan ini akan dijajaki kesiapan
Indonesia untuk mencapai target tersebut dengan pendekatan epidemiologi spasial dan
memaparkan karakteristik sosio demografis kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua.
Di Papua, jumlah kasus HIV/AIDS terlapor pada tahun 2017 sebanyak 4.358
kasus infeksi HIV, 804 kasus AIDS, 3.046 kasus baru HIV atau sekitar 8 infeksi baru per
harinya. Papua menempati urutan tertinggi ketiga jumlah Orang Dengan HIV/AIDS
(odha) di Indonesia, setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Secara kumulatif kasus HIV
dan AIDS sampai Maret 2018 mencapai 13.327 kasus HIV dan 22.510 kasus AIDS.
Kasus HIV/AIDS tertinggi terjadi di kalangan usia produktif, yaitu 57,54% merupakan
kelompok umur 25-49 tahun, diikuti 23,45% pada kelompok umur 20-24 tahun, 11,6%
pada kelompok umur 15-19 tahun (11,6%). Dari jumlah tersebut tercatat 2.381 kasus
diantara nya meninggal dunia. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena angka
kesakitan dan kematian penduduk usia produktif meningkat.
Tanah Papua menggambarkan kasus ketidakadilan ekstrim dalam pola infeksi.
Dengan populasi hanya 1,5 persen dari penduduk Indonesia, Tanah Papua di tahun 2011
berkontribusi terhadap lebih dari 15 persen dari semua kasus HIV baru di Indonesia.
Papua memiliki angka kasus hampir 15 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Tidak
seperti daerah-daerah lain di Indonesia, Tanah Papua mengalami tingkat epidemi HIV
tergeneralisir rendah dengan prevalensi 3 persen pada orang muda usia 15-24 tahun.
3

Prevalensi HIV pada penduduk asli Papua lebih tinggi (2,8 persen) dari prevalensi
penduduk non-pribumi (1,5 persen) dan lebih tinggi pada laki-laki (2,9 persen)
dibandingkan pada perempuan (1,9 persen) (Unicef, 2012).

Metodologi

Tulisan ini akan mengkaji tentang ketercapaian target mengakhiri epidemi


HIV/AIDS dalam SDGs di Papua, dengan memaparkan karakteristik sosio-demografi,
analisis spasial dan permasalahannya. Bahasan dalam tulisan ini merupakan analisis hasil
kajian literatur, serta segala data dan informasinya bersumber dari data sekunder berupa
jurnal hasil penelitian, laporan organisasi dan instansi terkait, peraturan pemerintah, dan
hasil olah data spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Pembahasan

Tulisan ini menyajikan bahasan yang mencakup tentang Sustainable


Development Goals dan situasi epidemi HIV/AIDS, karakteristik sosiodemografi epidemi
HIV/AIDS, serta epidemiologi spasial berupa persebaran kasus HIV/AIDS dan
persebaran layanan kesehatan dalam upaya ketercapaian SDGs untuk mengakhiri epidemi
AIDS di Papua.

Sustainable Development Goals dan situasi epidemi HIV/AIDS


Pemimpin dari 193 negara yang tergabung dalam PBB, pada September 2015
hadir untuk membicarakan pembangunan berkelanjutan setiap negara dalam kerangka
pembangunan global. Rencana aksi pembangunan global berkelanjutan tersebut atau lebih
dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs), merupakan upaya pembangunan
bersama hingga 2030 dengan gerakan partisipatif yang melibatkan semua pihak terkait
dalam pembangunan, baik pemerintah, warga masyarakat, akademisi, swasta maupun
lembaga pemerhati lain prinsip No One Left Behind. Dokumen kesepakatan SDGs
diterbitkan pada Oktober 2015 dan merupakan pemutakhiran dari Millenium
Development Goals (MDGs). Salah satu dari 17 tujuan SDGs adalah menjamin
kehidupan sehat dan sejahtera bagi semua, tertuang pada tujuan 3, yang menyatakan
mengakhiri epidemi AIDS di tahun 2030 (United Nations, 2015).

Situasi Epidemi HIV/AIDS di Indonesia


Gambaran situasi epidemi HIV di Indonesia disajikan pada Tabel 1, mencakup
infeksi baru HIV, kasus, dan kematian karena AIDS pada periode tahun 2005 hingga
2016.
4

Tabel 1. Epidemi HIV di Indonesia Periode 2005-2016

Tahun
Epidemi HIV 2005 2010 2016
Infeksi baru HIV 61.000 61.000 48.000
(55.000-67.000) (55.000-67.000) (43.000-52.000)
Kasus HIV per 0,28 0,26 0,19
1000 penduduk (0,25-0,3) (0,24-0,28) (0,17-0,21)
Kematian karena 8.800 23.000 38.000
AIDS (6.600-11.000) (19.000-27.000) (34.000-43.000)
Orang dengan HIV 290.000 510.000 620.000
(260.000-330.000) (450.000-580.000) (530.000-730.000)
Sumber: (UNAIDS, 2017b)

Kasus Infeksi baru HIV di Indonesia telah mengalami penurunan yaitu dari
61.000 di tahun 2005 menjadi 48.000 di tahun 2016 atau terjadi penurunan sekitar 21%.
Jika dibandingkan dengan wilayah Asia Pasifik lainnya, angka kasus infeksi baru HIV di
Indonesia ini relatif tinggi, menempati urutan tiga tertinggi setelah India dan China
(UNAIDS, 2017b). Trend penurunan juga terjadi pada kasus HIV di Indonesia. Angka
kasus HIV mengalami penurunan hinga 32% dari puncak epidemi di tahun 2005 hingga
tahun 2016. Walaupun di tahun 2016 kasus HIV berada pada 0,19 per 1000 penduduk,
masih di bawah kasus HIV secara global (0,26 per 1000 penduduk), tetapi angka tersebut
juga relatif tinggi jika dibandingkan angka rata-rata di wilayah Asia Tenggara (0,08 per
1000 penduduk) (World Health Statistics, 2018). Terkait kematian karena AIDS, justru
berbanding terbaik dengan kasus infeksi baru HIV dan kasus HIV. Kematian karena
AIDS mengalami peningkatan di tahun 2016 bahkan mencapai 331% jika dibandingkan
tahun 2005.
Penularan infeksi HIV di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar
terkonsentrasi pada kelompok populasi kunci, yaitu wanita pekerja seks (WPS), pengguna
NAPZA suntik (penasun), laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki (LSL),
transgender, dan tahanan (Kemenkes RI, 2017). Kasus infeksi baru sebagian besar berasal
dari populasi kunci dan pasangan seksual mereka. Oleh karena itu salah satu langkah
efektif untuk menahan laju penyebaran HIV/AIDS di Indonesia adalah melalui program
yang difokuskan pada kelompok populasi kunci.
Berdasarkan gambaran situasi epidemi tersebut dapat dinyatakan bahwa epidemi
HIV/AIDS di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang baik. Namun masih
diperlukan upaya percepatan pada sistem kesehatan, khususnya pada populasi kunci agar
epidemi HIV mampu mencapai getting to zero yang juga merupakan target SDGs di
tahun 2030. Program getting to zero ini mencakup zero new infection, zero related
deaths, dan zero discrimination.
5

Situasi Epidemi HIV/AIDS di Papua

Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi Papua

Jumlah kasus HIV di Papua tumbuh dengan cepat, baik dari sisi wilayah
penyebaran maupun pola penyebaran. Dari sisi wilayah pada gambar 1. Peta Administrasi
Provinsi Papua, infeksi HIV telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Papua, hampir
tidak ada lagi kabupaten/kota yang bisa dikatakan kebal terhadap penyebaran virus
tersebut. Sementara itu jika melihat pola penyebaran penularannya, kini tidak hanya pada
kelompok masyarakat beresiko tinggi yang terjangkit, tetapi sudah menjalar pada
kelompok masyarakat nonresiko tinggi. Bahkan penularan orang yang terinfeksi HIV pun
bisa terjadi pada semua kelompok umur. Jika pada mulanya infeksi HIV tersebut hanya
terpapar pada penduduk yang termasuk dalam kelompok umur di atas 25 tahun, namun
berdasarkan pelaporan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sampai Maret 2018, sudah ada
17 kasus terjadi pada kelompok umur kurang 1 tahun dan 260 kasus pada kelompok umur
1 – 14 tahun positif terinfeksi HIV. Yang lebih memprihatinkan adalah penduduk usia
produktif antara 15 – 24 tahun yang hidup terinfeksi HIV mencapai 6.741 kasus.
Jika dilihat dari komposisi penduduk menurut jenis kelamin, penduduk
perempuan hidup dengan infeksi HIV mencapai 7.440 kasus, lebih tinggi dari penduduk
laki – laki hidup dengan infeksi HIV sebanyak 5.825 kasus.
Kasus infeksi HIV terlapor terus meningkat menjadi di atas 1.000 kasus sampai
dengan tahun 2009. Sesudah tahun 2009 sampai 2013 kasus meningkat tajam dari 1.736
menjadi 3.974 kasus. Kasus sempat menurun menjadi 3.278 kasus di tahun 2014 dan
kemudian terus meningkat tiap tahunnya sampai mencapai angka kumulatif 13.327 kasus
pada Maret tahun 2018. Gambaran tersebut menunjukkan trend kasus infeksi HIV tidak
6

selinier dengan trend kasus infeksi baru HIV Indonesia. Hal ini dikarenakan peningkatan
jumlah kasus HIV baru dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran penderita untuk
melaporkan diri dan keaktifan pihak- pihak yang terlibat dalam pelaksanaan tes darah
seperti Pukesmas, rumah sakit, dan PMI.
Berbeda dengan trend kasus infeksi HIV, trend kasus AIDS dari tahun ke tahun
lebih variatif. Sampai dengan tahun 2009 jumlah kasus AIDS mencapai 4.409 kasus.
Jumlah kasus AIDS di Papua meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir (2010-2015) dari
1.330 kasus sampai 2.414 kasus. Peningkatan drastis terjadi di tahun 2012 di mana
jumlah kasus AIDS baru menembus angka 2.620 kasus.
Tetapi untuk beberapa tahun berikutnya (2016-2017) jumlah kasus AIDS baru
mengalami penurunan, berada pada angka 1.584 kasus pada tahun 2016 dan 804 kasus
tahun 2017. Jika jumlah kasus AIDS dikumulatifkan, maka jumlah kasus AIDS terlapor
secara resmi lebih banyak dari kasus infeksi HIV pada periode yang sama (Maret tahun
2018) , kasus AIDS mencapai 22.510 kasus.
Dalam kasus AIDS pun pola penyebaran sudah menjalar pada populasi nonresiko
tinggi. Selain itu, kasus AIDS juga sudah menyebar di seluruh kelompok umur. Jika pada
mulanya kasus AIDS tersebut hanya menginfeksi penduduk yang termasuk dalam
kelompok umur di atas 25 tahun, kondisi saat ini sudah ada 17 kasus pada kelompok
umur kurang 1 tahun dan 578 kasus pada kelompok umur 1 – 14 tahun yang terpapar
AIDS. Dan yang menjadi keprihatinan adalah penduduk usia produktif antara 15 – 24
tahun yang hidup terpapar AIDS mencapai 7.820 kasus.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin, penduduk perempuan hidup dengan
AIDS mencapai 11.208 kasus, hampir sama dengan penduduk laki – laki hidup dengan
AIDS sebanyak 11.267 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun jumlah kasus AIDS
penduduk perempuan lebih sedikit, tetapi menunjukkan trend meningkat.
Berdasarkan gambaran situasi epidemi tersebut dapat dinyatakan bahwa epidemi
HIV/AIDS di Papua telah menunjukkan perkembangan yang baik. Namun masih
diperlukan upaya percepatan pada ketersediaan fasilitas kesehatan baik kuantitas maupun
kualitasnya, khususnya untuk memacu kesadaran masyarakat aktif memeriksakan diri ke
tempat fasilitas kesehatan terdekat.

Karakteristik Sosiodemografis Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA)


Karakteristik sosiodemografis epidemi HIV/AIDS akan dilihat dari indikator
jenis kelamin, umur dan faktor resiko orang hidup dengan HIV/AIDS (odha) serta
beberapa dampak sosial-ekonomi yang diduga menjadi akibat peningkatan jumlah kasus
HIV/AIDS di Papua

Jenis Kelamin
Secara umum kasus HIV/AIDS lebih banyak ditemukan pada laki-laki, tetapi
dalam perkembangannya kasus HIV/AIDS pada perempuan juga mengalami peningkatan.
Data menunjukkan bahwa proporsi kasus HIV di Papua pada perempuan mencapai 52%
(7440 kasus) dan laki -laki sekitar 48% (5825 kasus). Berbeda yang terjadi pada kasus
AIDS, proporsi laki-laki 50,13% (11.267 kasus) dan perempuan 49,87% (11.208) kasus).
Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di kalangan
7

perempuan yang dilaporkan. Perbedaan proporsi kasus HIV/AIDS pada perempuan


daripada laki-laki sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Apakah data ini
merefleksikan kenyataan sebenarnya atau karena bias dalam pelaporan/pengumpulan
data. Terlebih peran perempuan secara tradisional masih cenderung ada dalam tekanan
ketidakadilan (Unicef, 2012).

Kelompok Umur
Kasus HIV/AIDS di Papua telah menjangkit di semua kelompok umur, mulai dari
bayi, balita, remaja, dewasa hingga orang tua. Jumlah kasus HIV/AIDS yang tertinggi
terjadi pada kelompok umur 25 - 49 tahun, jumlah kasus mencapai 20.671 kasus atau
sekitar 57,68% dari seluruh kasus AIDS yang diketemukan di Papua. Proporsi tertinggi
kedua jumlah kasus HIV/AIDS terjadi pada kelompok umur 20 - 24 tahun mencapai 8403
kasus atau sekitar 23,45%. Dengan demikian penduduk pada kedua kelompok umur
tersebut telah terinfeksi virus HIV pada rentang usia yang masih sangat muda.
Hal yang cukup memprihatinkan adalah kasus AIDS telah ditemukan pada
kelompok umur yang kurang beresiko seperti bayi dan balita. Data menunjukkan bahwa
sampai Maret 2018 terdapat sekitar 49 kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada kelompok
umur kurang 1 tahun, 838 kasus HIV/AIDS pada kelompok umur 1 – 14 tahun dan 4158
kasus HIV/AIDS pada kelompok umur 15 – 19 tahun. Anak – anak yang terinfeksi
HIV/AIDS akan mengalami beberapa kesulitan, seperti diskriminasi yang menghambat
akses mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan. Selain itu anak yang
terinfeksi akibat penularan dari orang tua, juga akan mengalami kesulitan dalam
pembiayaan pengobatan karena merawat orang tuanya yang sakit.
Tingginya proporsi kelompok umur usia produktif yang terpapar HIV/AIDS,
mempunyai kecenderungan menurunkan angka harapan hidup. Penurunan angka harapan
hidup pada usia produktif menurunkan kontribusi mereka pada ekonomi daerah dan
perkembangan sosial. Berkurangnya penduduk usia produktif/ usia kerja, mengakibatkan
penurunan pendapatan, pengalihan sumber daya produktif untuk perawatan kesehatan,
dan waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit.
Tingginya proporsi kelompok umur usia produktif yang terpapar HIV/AIDS juga
sulit dicegah karena orang muda memiliki akses yang terbatas terhadap informasi dan
pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi. Ini berkaitan dengan persepsi umum yang
menganggap pendidikan seks sebagai sesuatu yang tabu dan bahkan disalahartikan
sebagai tindakan kriminal (Unicef, 2012).

Faktor Resiko
Awal kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia ditemukan pada laki-laki dari
kelompok homoseksual dan biseksual. Perilaku seksual kelompok homoseks/biseks
cenderung rentan terpapar virus HIV/AIDS karena hubungan seks mereka cenderung
dilakukan melalui anus.
Distribusi kasus HIV/AIDS di Papua menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS
terbesar diketemukan pada kelompok heteroseksual yang melakukan hubungan seksual
tidak sehat dan tidak aman. Dari sekitar 35.837 kasus HIV/AIDS, 34.838 kasus atau
97,21% di antaranya diakibatkan oleh hubungan seks heteroseksual. Lebih lanjut data
8

pada periode yang sama juga mengungkapkan bahwa metode penularan dari ibu ke anak
berkontribusi terhadap 604 kasus HIV/AIDS. Sisanya kasus HIV/AIDS ditularkan
melalui hubungan seks homo-biseksual 160 kasus, transfusi 51 kasus, IDU 20 kasus dan
tidak diketahui 164 kasus. Data tersebut menunjukkan bahwa fenomena HIV/AIDS sudah
merambah ke populasi nonrisiko tinggi mengingat telah ditemukan kasus AIDS di tingkat
keluarga, an tara lain pada istri yang tertular dari suami serta bayi/anak yang tertular dari
ibunya.
Fakta menarik di tanah Papua, pola penularan utama virus HIV/AIDS berbeda
dengan provinsi lainnya di Indonesia. Di Papua penularan utama adalah melalui
hubungan seksual yang tidak aman. Kemiskinan yang terjadi karena kesenjangan
pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam, ketidakadilan etnis dan bahasa,
rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang HIV, diskriminasi gender, inisiasi
seksual pada usia muda dan norma – norma sosial dan budaya lainnya, merupakan
penyebab dasar dan struktural yang khas di Papua (Unicef, 2012).

Penyebaran kasus HIV – AIDS di Provinsi Papua

Persebaran Kasus HIV

Gambar 2. Distribusi Kasus HIV Provinsi Papua


9

Berdasarkan persebaran kasus HIV pada Gambar 2. Distribusi Kasus HIV


Provinsi Papua, terdapat 2 kabupaten/kota yang kasus HIV-nya tinggi, terdeteksi lebih
dari 2000 kasus. Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus HIV paling tinggi adalah
Kabupaten Mimika dan Kabupaten Nabire di mana telah terdeteksi lebih dari 2000 kasus.
Kabupaten/kota dengan jumlah kasus lebih dari 1500 kasus, yaitu Kota Jayapura dan
Kabupaten Jayawijaya masing-masing dengan 1.822 kasus dan 1.558 kasus. Kabupaten
Jayapura dan Kabupaten Merauke terlapor kasus HIV nya lebih dari 1000 kasus, masing
– masing 1220 kasus dan 1039 kasus.
Distribusi Kasus HIV Provinsi Papua menunjukkan terdapat 4 kabupaten/kota
yang tidak ada kejadian kasus HIV, yaitu Mamberamo Raya, Nduga, Sarmi, dan Yalimo.
Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus HIV rendah dengan jumlah kasus kurang dari 500
kasus, ada 18 kabupaten/kota.
Dilihat dari jumlah kasusnya perkembangan tertinggi terdapat di Kabupaten
Mimika dengan jumlah kasus mencapai 2835 kasus. Tingginya kasus HIV di Kabupaten
Mimika salah satu di antaranya berkaitan dengan perilaku hubungan seks bebas.
Penyebaran angka HIV/AIDS di Mimika pun tergolong tinggi, hal ini
disebabkan rendahnya pengetahuan masyarakat setempat terhadap bahaya HIV/AIDS
dan kurangnya informasi yang diterima masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.
Yayasan Peduli AIDS Timika (YPAT) mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS di
Mimika lebih tinggi dari data yang dilaporkan. Pasalnya, banyak kasus warga meninggal
di Mimika dengan gejala AIDS, namun tidak tercatat dalam administrasi.

Persebaran Kasus AIDS di Provinsi Papua per Kabupaten/Kota


Gambar 3. Distribusi Kasus AIDS Provinsi Papua
10

Berdasarkan persebaran kasus AIDS pada Gambar 3. Distribusi Kasus AIDS


Provinsi Papua, terdapat 2 kabupaten/kota yang kasus AIDS-nya tinggi. Kabupaten/ kota
dengan jumlah kasus AIDS paling tinggi adalah Nabire dan Kota Jayapura di mana telah
terdeteksi lebih dari 4000 kasus. Jumlah kasus perkembangan kasus AIDS tertinggi di
Kabupaten Nabire mencapai 4239 kasus, Kota Jayapura mencapai 4185 kasus. Kabupaten
Jayawijaya jumlah kasus AIDS nya juga tinggi, mencapai 3.957 kasus, disusul Kabupaten
Mimika 2.536 kasus.
Distribusi Kasus AIDS Provinsi Papua juga menunjukkan terdapat 5
kabupaten/kota yang kejadian kasus AIDS nya rendah kurang dari 10 kasus, yaitu Nduga,
Yahukimo, Sarmi, Intan Jaya, dan Puncak. Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus AIDS
rendah ini juga terdapat di sekitar kabupaten/kota dengan jumlah kasus AIDS sedang –
tinggi dan memiliki ketersediaan layanan kesehatan seperti Kabupaten/kota Mimika,
Jayawijaya, Jayapura, Nabire dan Kota Jayapura.

Persebaran Kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua per Kabupaten/Kota


Gambar 4. Distribusi Kasus HIV/AIDS Provinsi Papua

Berdasarkan persebaran kasus HIV-AIDS pada Gambar 4. Distribusi Kasus


HIV/AIDS Provinsi Papua, terdapat 2 kabupaten/kota yang kasus HIV-nya tinggi,
terdeteksi lebih dari 6000 kasus. Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus HIV/AIDS paling
tinggi adalah Kabupaten Nabire dan Kota Jayapura. Disusul Kabupaten Jayawijaya dan
11

Kabupaten Mimika dengan jumlah kasus lebih dari 5000 kasus, yaitu masing-masing
dengan 5515 kasus dan 5371 kasus. Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Merauke
terlapor kasus HIV/AIDS nya lebih dari 2000 kasus, masing – masing 2756 kasus dan
2070 kasus.
Distribusi Kasus HIV/AIDS Provinsi Papua menunjukkan terdapat 10
kabupaten/kota yang kejadian kasus HIV/AIDS kurang dari 100 kasus, yaitu Intan Jaya,
Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Nduga, Puncak, Sarmi, Supiori, Waropen,
Yahukimo dan Yalimo. Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus HIV/AIDS paling rendah
dengan jumlah kasus kurang dari 10 kasus, yaitu Kabupaten Nduga (1 kasus) dan
Kabupaten Sarmi (5 kasus).
Dilihat dari jumlah kasusnya perkembangan tertinggi kasus HIV/AIDS terdapat
di Kabupaten Nabire dengan jumlah kasus mencapai 6640 kasus. Tingginya kasus AIDS
di Nabire selain karena kabupaten Nabire menjadi kabupaten rujukan dari beberapa
kabupaten lain di wilayah Meepago dalam pemeriksaan kasus HIV/AIDS, juga
dikarenakan perilaku hidup tidak sehat seperti melakukan seks bebas berganti-ganti
pasangan. Disamping itu, peningkatan jumlah kasus juga dipengaruhi oleh giatnya deteksi
pemeriksaan HIV/AIDS oleh petugas kesehatan lapangan.
Penyebaran HIV/AIDS bukan hanya terjadi di daerah - daerah porstitusi di
wilayah pantai melainkan sudah meluas sampai ke wilayah pegunungan tengah, terlihat
dari tingginya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayawijaya yang geografisnya merupakan
daerah dataran tinggi. Salah satu fenomena yang terjadi dengan adanya dana otonomi
khusus melalui program Rencana Strategis Pembangunan Kampung Respek yang
diterima oleh masyaraka,t tidak jarang digunakan oleh pemuda kampung untuk
mendapatkan kenikmatan sesaat bersama pekerja seks komersial tanpa alat pelindung
atau kondom. Disebutkan juga bahwa penyebaran HIV AIDS awalnya disebarkan oleh
para pelaut dari Thailand namun kini sudah menyebar bahkan sampai ke wilayah negara
tetangga Papua Nugini PNG.

Persebaran Layanan Kesehatan di Provinsi Papua


Gambar 5. Distribusi Layanan Kesehatan Provinsi Papua
12

Mimika, Jayawijaya, Jayapura, Nabire dan Kota Jayapura memiliki layanan


kesehatan yang lengkap, meliputi layanan Konseling dan Tes, layanan Perawatan dan
Dukungan Pengobatan baik sebagai rujukan maupun satelit, layanan Pencegahan
Penularan dari Ibu ke Anak dan layanan Infeksi Menular Seksual.
Jika dilihat dari distribusi kasus HIV/AIDS pada peta dan pola keterhubungan,
kabupaten/kota yang mempunyai status rendah sampai tidak ada, merupakan
kabupaten/kota yang berada di sekitar kabupaten/kota dengan jumlah kasus tinggi. Dapat
dikatakan, penduduk kabupaten/kota yang memiliki kasus HIV-AIDS rendah atau nol
memiliki kecenderungan memeriksakan diri ke layanan kesehatan kabupaten/kota yang
lengkap. Hal ini juga dapat menyumbang tingginya kasus HIV/AIDS terlapor di
kabupaten/kota tersebut. Semakin gencarnya pemeriksaan kesehatan umum termasuk
IMS dan HIV/AIDS di kalangan penduduk usia produktif maka semakin banyak kasus
HIV/AIDS terlapor sesuai dengan realita di lapangan. Seperti diketahui bahwa adanya
IMS merupakan pintu gerbang terkuaknya kasus HIV-AIDS (Situmorang dkk,2007).
Kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah HIV-AIDS di Papua yaitu
tidak semua Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) bisa mengakses layanan obat Anti
Retroviral/ARV yaitu obat untuk menekan pertumbuhan virus HIV dalam tubuh
seseorang. Realita yang ditemukan sekarang adalah banyaknya kasus kegagalan minum
obat ARV dari penderita HIV-AIDS karena berbagai sebab seperti sulitnya mengakses
layanan kesehatan karena jauh dari tempat tinggal mereka, tidak punya uang untuk bisa
mengakses layanan, pendistribusian obat ARV yang tidak merata, dan ketersediaan obat
ARV yang terbatas. Terutama di wilayah pedalaman belum tersedia banyak layanan
pemeriksaan HIV-AIDS dan layanan obat ARV.

Kesimpulan

Kasus HIV Papua telah mengalami kenaikan pada 5 tahun terakhir, dari jumlah
3974 kasus tahun 2013 menjadi 4358 kasus tahun 2017. Kasus AIDS mengalami
penurunan dari 2567 kasus pada tahun 2013 menjadi 804 kasus tahun 2017. Kenaikan ini
adalah hasil dari peningkatan pelayanan kesehatan yang bersifat proaktif dengan
menurunkan petugas kesehatan aktif mengunjungi daerah – daerah untuk melakukan
pendataan dan pengobatan. Selain itu kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri
atau keluarga penderita HIV/AIDS ke fasilitas kesehatan juga meningkat. Jika dilihat dari
sudut pandang kesiapan pemerintah untuk melaksanakan target SDGs dalam hal
penanggulangan epidemi HIV/AIDS ada tiga hal yang bisa dinilai: 1) peningkatan jumlah
kasus HIV merupakan bukti bahwa penyediaan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan
dan tenaga medis semakin meningkat; Penurunan jumlah kasus AIDS merupakan bukti
peran terapi ARV pada penderita infeksi HIV sangat penting, sehingga tidak menjadi
kasus AIDS; Dari point pertama menunjukkan peningkatan kapasistas pemerintah dalam
upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS. 2) namun demikian ada hal yang harus
ditindaklanjuti, yaitu masih adanya perbedaan pemerataan ketersediaan fasilitas
kesehatan baik kuantitas maupun kualitas di tingkat kabupaten/kota. Terlihat dari kasus
HIV/AIDS terlapor yang tinggi terdapat di kabupaten/kota yang memiliki fasilitas
kesehatan lengkap, sedangkan kabupaten/kota yang fasilitas kesehatannya minim, kasus
13

HIV/AIDS terlapornya rendah. 3) Peran analisis spasial dengan pendekatan epidemiologi


spasial membantu pemetaan pola persebaran orang yang hidup dengan HIV/AIDS,
pendistribusian obat ARV, persebaran fasilitas kesehatan, kondisi geografis wilayah dan
persebaran konsentrasi faktor resiko untuk melanjutkan perencanaan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan kependudukan.

Referensi

Kemenkes RI. (2011). Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral : pada orang dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Diakses
melalui http://spiritia.or.id/Dok/pedomanart2011.pdf

Kemenkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 87 tahun 2014 tentang
pedoman pengobatan antiretroviral. Diakses melalui
http://preventcrypto.org/wp-
content/uploads/2015/10/IndonesiaAdultARTguidelines20141432907 982.pdf

Kemenkes RI. (2017). Kajian epidemiologi HIV Indonesia 2016. Jakarta. Diakses melalui
http://siha.depkes.go.id/files_upload/KAJIAN_EPIDOMIOLOGY_
HIV_INDONESIA_2016.pdf

Pangaribuan, Simanjuntak. (2017). Pengaruh stigma dan diskriminasi odha terhadap


pemanfaatan VCT di Distrik Sorong Timur Kota Sorong. Global Health Science,
2(1), 1–5.

Dinas Kesehatan Provinsi Papua,(2018), Informasi HIV/AIDS Provinsi Papua Triwulan I


Tahun 2018

Halim Akbar, (2011). Pencegahan HIV/AIDS, PKVHI. Makassar


Gafur Abdul, (2012). Pengaruh Intervensi Program HIV dan AIDS Terhadap Perubahan
Pengetahuan dan Sikap Buruh di Proyek Pembangunan Teknik Unhas Gowa.
Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012.

Arlin, Adam. Informasi Dasar HIV/AIDS. Makassar

Purwaningsih Sri, Widayatun, (2008). Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia:


Tinjauan Sosio Demografi. Jurnal Kependudukan Indonesia vol. III no 3.

Zeth Arwam, dkk, (2010). Perilaku dan Risiko Penyakit HIV/AIDS di Masyarakat Papua
Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS, Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, Vol. 13 No 4 Desember 2010
14

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit, (2018). Laporan Perkembangan HIV-AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2017

https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/09/02/pef7pv383-kasus-baru-
hivaids-di-papua-mencapai-2003-kasus
http://www.mimikakab.go.id/baru/penderita-hivaids-di-mimika-tertinggi-di-indonesia/
https://www.pasificpos.com/item/29873-hiv-lebih-banyak-diderita-perempuan-di-papua

UNAIDS. (2014). UNAIDS PCB field visit to Indonesia. Diakses melalui


http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/20141218_Ind
onesiaFieldVisit_finalreport.pdf

UNAIDS. (2016). Fast-track commitments to end AIDs by 2030. Geneva. Diakses


melalui
http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/fast-track-
commitments_en.pdf

UNAIDS. (2017a). The sustainable development goals and the HIV response: stories of
putting people at the centre. Geneva: UNAIDS. Diakses melalui
http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/SDGsandHIV_ en.pdf

UNAIDS. (2017b). Unaids data 2017. Geneva: UNAIDS. https://doi.org/978- 92-9173-


945-5

United Nations. (2015). Transforming our world: the 2030 agenda for sustainable
development. New York. Diakses melalui
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/2125203 0 Agenda for
Sustainable Development web.pdf

United Nations. (2018). The sustainable development goals report 2018. New York.
Diakses melalui
https://unstats.un.org/sdgs/files/report/2018/TheSustainableDevelopmentGoals
Report2018-EN.pdf

World Health Statistics. (2018). Monitoring health for the SDG’s (Sustainable
development goals). Geneva: World Health Organization. Diakses melalui
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/272596/978924156 5585-
eng.pdf?ua=1

http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2017.pdf
15

WHO. (2018). Global health observatory data: HIV/AIDS. Diakses melalui


http://www.who.int/news-room/fact- sheets/detail/hiv-aids

UNAIDS. (2018a). AIDS info. Geneva. Diakses melalui http://aidsinfo.unaids.org/

UNAIDS. (2018b). Global AIDS monitoring 2018, Indicators for monitoring the 2016
united nations political declaration on ending AIDS. Geneva. Diakses melalui
http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/2017-Global- AIDS-
Monitoring_en.pdf

Unicef Indonesia. 2012. Respon Terhadap HIV/AIDS. Ringkasan Kajian: Oktober 2012

Utami Sri. 2018. HIV/AIDS Dalam Sustainable Development Goals (SDGs): Insiden,
Permasalahan, Dan Upaya Ketercapaian di Indonesia. Peran Matematika, Sains,
dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ SDGs.

Anda mungkin juga menyukai