2007-2010
BAB I
PENDAHULUAN
Sejalan dengan masalah yang dihadapi, Indonesia telah melaksanakan strategi
penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode yang dimuat dalam Strategi
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun 2003-2007.
Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan
HIV dan AIDS semakin besar dan rumit sehingga diperlukan strategi baru untuk
menghadapinya. Strategi Nasional 2007-2010 (STRANAS 2007-2010) menjabarkan
paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dari upaya
yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan terintegrasi
diselenggarakan dengan harmonis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).
Namun strategi ini akan terus mengembangkan kemajuan yang telah dicapai oleh
strategi-strategi sebelumnya. Akserelasi upaya perawatan, pengobatan dan
dukungan pada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) dijalankan
bersamaan dengan akselerasi upaya pencegahan baik dilingkungan sub-populasi
berperilaku risiko tinggi maupu dilingkungan sub-populasi berperilaku risiko rendah
dan masyarakat umum.
Penguatan Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat dan kelompok-kelompok
kerja penanggulangan AIDS (Pokja AIDS) di semua sektor diteruskan agar mampu
mengkoordinasikan implementasi dari strategi ini di tingkat nasional, regional
maupun institusi.
1. SITUASI HIV DAN AIDS DI INDONESIA 1987 – 2006
Situasi HIV dan AIDS dalam kurun waktu 9 tahun yang semula meningkat
perlahan-lahan, sejak tahun 2000 peningkatannya sangat tajam. Untuk
mengembangkan kebijakan strategi, situasi dibagi dalam dua periode.
1.1. Situasi tahun 1987 – 2002
Pada 10 tahun pertama periode ini peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS
masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan
HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel.
Penularan 70 % melalui hubungan seksual berisiko.Pada akhir abad ke 20
terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di
beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah
mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan kedalam kelompok
negara dengan epidemi terkonsentrasi. Jumlah kasus AIDS pada tahun
2002 menjadi 1016 kaus dan HIV positiv 2552 kasus. Jumlah ini jauh masih
sangat rendah bila dibandingkan dengan estimasi Departemen Kesehatan
bahwa pada tahun 2002 terdapat 90.000 – 120.000 kasus. Peningkatan
Draft final 040107
2
yang cukup tajam disebabkan penularan melalui penggunaan jarum suntik
tidak steril di sub-populasi pengguna napza suntik (penasun) meningkat
pesat sementara penularan melalui hubungan seksual berisiko tetap
berlansung.
1.2. Situasi tahun 2003 – 2006
Sejak awal abad ke 21 peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan.
Pada akhir tahun 2003 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan bertambah 355
kasus sehingga berjumlah 1371 kasus, semantara jumlah kasus HIV positif
mejadi 2720 kasus.Pada akhir tahun 2003 25 provinsi telah melaporkan
adanya kasus AIDS. Penularan di sub-populasi penasun meningkat menjadi
26,26% . Peningkatan jumlah kasus AIDS terus terjadi, pada akhir
Desember 2004 berjumlah 2682 kasus, pada akhir Desember 2005 naik
hampir dua kali lipat menjadi 5321 kasus dan pada akhir September 2006
sudah menjadi 6871 kasus dan dilaporkan oleh 32 dari 33 provinsi.
Sementara estimasi tahun 2006, jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan
169.000 – 216.000 orang. Data hasil surveilans sentinel Departemen
Kesehatan menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi HIV positif pada
sub-populasi berperilaku berisiko, dikalangan penjaja seks (PS) tertinggi
22,8% dan di kalangan penasun 48% dan pada penghuni Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 68%. Peningkatan prevalensi HIV positif
terjadi di kota-kota besar, sementara peningkatan prevalensi di kalangan PS
terjadi baik di kota maupun di kota kecil bahkan di pedesaan terutama di
provinsi Papua dan Irian Jaya Barat. Di kedua provinsi terakhir ini epidemi
sudah cenderung memasuki populasi umum (generalized epidemic).
Distibusi umur penderita AIDS pada tahun 2006 memperlihatkan tingginya
persentase jumlah usia muda dan jumlah usia anak. Penderita dari
golongan umur 20-29 tahun mencapai 54,77%, dan bila digabung dengan
golongan sampai 49 tahun, maka angka menjadi 89,37%. Sementara
persentase anak 5 tahun kebawah mencapai 1,22%. Diperkirakan pada
tahun 2006 sebanyak 4360 anak tertular HIV dan separuhnya telah
meninggal.
1.3. Kecenderungan dimasa depan
1.3.1. Kecenderungan Epidemi
Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kajiannya tentang
kecenderungan epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bila tidak
ada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada
tahun 2010 jumlah kasus AIDS menjadi 400.000 orang dengan
kematian 100.000 orang dan pada tahun 2015 menjadi 1.000.000
orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari sub-populasi
berperilaku berisiko kepada isteri atau pasangannya akan terus
berlanjut Diperkirakan pada akhir tahun 2015 akan terjadi penularan
HIV secara kumulatif pada lebih dari 38,500 anak yang dilahirkan
dari ibu yang sudah terinfeksi HIV.
Kecenderungan ini disebabkan meningkatnya jumlah sub-populasi
berperilaku berisiko terutama penasun dan karena masih adanya
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Resistensi terhadap obat
anti retroviral (ARV) lini pertama mungkin akan berperan, bilamana
Draft final 040107
3
surveilans ARV belum berjalan baik dan penyediaan ARV lini kedua
belum mencukupi.
1.3.2. Kecenderungan respons
Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya
peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh
Indonesia. Respons harus ditujukan untuk mengurangi semaksimal
mungkin peningkatan kasus baru dan kematian.
Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat akan semakin kuat.
Anggaran dari sektor pemerintah diharapkan juga akan meningkat
sejalan dengan masalah yan dihadapi. Sektor-sektor akan
meningkatkan cakupan program masing-masing. Masyarakat sipil
termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan meningkatkan
perannya sebagai mitra pemerintah sampai ke tingkat desa.
Sementara itu mitra internasional diperkirakan akan terus membantu
pemerintah setidaknya sampai tahun 2010.
Akan tetapi disamping sikap optimis, pelaksanaan respons nasional
akan menghadapi tantangan yang tidak kecil yang harus dicermati.
2. DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI
2.1. Dampak terhadap demografi
Salah satu efek jangka panjang endemi HIV dan AIDS yang telah meluas –
seperti yang telah terjadi di Papua – adalah dampaknya pada indikator
demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda
terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya
akan menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang
yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi
yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan
sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi
masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah
besar tidak akan mudah dapat digantikan. Pada tingkat makro, biaya yang
berhubungan dengan kehilangan seperti itu, seumpama meningkatnya
pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang
berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas
produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang
terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga
akan meningkat.
2.2. Dampak terhadap sistem pelayanan kesehatan
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun
berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa
pelayanan kesehatan. Perkembangan penyakit yang lamban dari infeksi HIV
berarti bahwa pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka
Draft final 040107
4
waktu yang panjang, membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan.
Biaya langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan
menjadi semakin besar. Diperhitungkan juga adalah waktu yang dihabiskan
oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan
aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan untuk
merawat pasien HIV dan AIDS sedikit demi sedikit dapat mempengaruhi
program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan
lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor dkk pada tahun 2005
memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak
ditingkatkan maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS
dan di Papua mencapai 14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut
akan menjadi 11% dan 29%. Meningkatnya jumlah penderita AIDS berarti
meningkatnya kebutuhan ARV.
Rusaknya sistem kekebalan tubuh telah memperparah masalah kesehatan
masyarakat yang sebelumnya telah ada yaitu tuberkulosis. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian TB telah meningkat secara
nyata di antara kasus HIV. TB masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dimana setiap tahunnya
ditemukan lebih dari 300.000 kasus baru, maka perawatan untuk kedua
jenis penyakit ini harus dilakukan secara bersamaan.
2.3. Dampak terhadap ekonomi nasional
Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang muda dan mereka
yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia 19
sampai 49 tahun), epidemi HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar
pada angkatan kerja, terutama di Papua. Epidemi HIV dan AIDS akan
meningkatkan terjadinya kemiskinan dan ketidak seimbangan ekonomi
yang diakibatkan oleh dampaknya pada individu dan ekonomi. Dari sudut
pandang individu HIV dan AIDS berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah
hari kerja yang berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan
pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih
pendek. Dampak individu ini harus diperhitungkan bersamaan dengan
dampak ekonomi pada anggota keluarga dan komunitas. Dampak pada
dunia bisnis termasuk hilangnya keuntungan dan produktivitas yang
diakibatkan oleh berkurangnya semangat kerja, meningkatnya ketidak
hadiran karena izin sakit atau merawat anggota keluarga, percepatan masa
penggantian pekerja karena kehilangan pekerja yang berpengalaman lebih
cepat dari yang seharusnya, menurunnya produktivitas akibat pekerja baru
dan bertambahnya investasi untuk melatih mereka. HIV dan AIDS juga
Draft final 040107
5
berperan dalam berkurangnya moral pekerja (takut akan diskriminasi,
kehilangan rekan kerja, rasa khawatir) dan juga pada penghasilan pekerja
akibat meningkatnya permintaan untuk biaya perawatan medis dari pusat
pelayanan kesehatan para pekerja, pensiun dini, pembayaran dini dari dana
pensiun akibat kematian dini, dan meningkatnya biaya asuransi.
Pengembangan program pencegahan dan perawatan HIV di tempat kerja
yang kuat dengan keikutsertaan organisasi manajemen dan pekerja
sangatlah penting bagi Indonesia.
Perkembangan ekonomi akan tertahan apabila epidemi HIV menyebabkan
kemiskinan bagi para penderitanya sehingga meningkatkan kesenjangan
yang kemudian menimbulkan lebih banyak lagi keadaan yang tidak stabil.
Meskipun kemiskinan adalah faktor yang paling jelas dalam menimbulkan
keadaan resiko tinggi dan memaksa banyak orang ke dalam perilaku yang
beresiko tinggi, kebalikannya dapat pula berlaku – pendapatan yang
berlebih, terutama di luar pengetahuan keluarga dan komunitas – dapat
pula menimbulkan resiko yang sama. Pendapatan yang besar (umumnya
tersedia bagi pekerja terampil pada pekerjaan yang profesional) membuka
kesempatan bagi individu untuk melakukan perilaku resiko tinggi yang
sama: berpergian jauh dari rumah, pasangan sex yang banyak,
berhubungan dengan PS, obat terlarang, minuman keras, dan lainnya.
2.4. Dampak terhadap tatanan sosial
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial
masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan
kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan
sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial.
Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah
anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah
tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stiga dan diskriminasi
sangat perlu mendapat perhatian dimasa mendatang.
3. RESPONS TERHADAP HIV DAN AIDS
3.1. Respons Tahun 1985 – 2002
Respons Nasional terhadap epidemi HIV AND AIDS di Indonesia telah
dimulai pada tahun 1985 dan terus meningkat selaras dengan
meningkatnya jenis dan besaran masalah yang dihadapi baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat. Respons utama dalam kurun waktu
Draft final 040107
6
tersebut meliputi pembentukan Kelompok Kerja Penanggulangan AIDS di
Departemen Kesehatan, penetapan wajib lapor kasus AIDS, penetapan
laboratorium untuk pemerikasaan HIV, penyiapan dan penyebaran bahan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Surveilans HIV pada sub-populasi
tertentu dilakukan demikian pula peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
dan non-kesehatan dalam menghadapi epidemi serta lahirnya banyak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap HIV AND AIDS.
Pada tahun 1994 dengan Keputusan Presiden Nomor 36, Pemerintah
membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat Pusat disusul
dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi. Strategi Nasional
Penanggulangan HIV AND AIDS (STRANAS 1994)merupan respons yang
sangat penting pada periode tersebut. KPA mulai mengkoordinasikan upaya
penanggulangan yang dilaksanakan pemerintah dan LSM, sementara itu
bantuan dari luar negeri baik bantuan bilateral maupun multi lateral mulai
berperan meningkatkan upaya penanggulangan. Bantuan-bantuan tersebut
terus meningkat baik jenis maupun besarannya pada masa-masa
berikutnya.
Pada Maret dan November 2002 Pemerintah mengadakan Sidang Kabinet
Khusus HIV dan AIDS yang memutuskan hal-hal penting antara lain:
Departemen /Lembaga harus memberikan komitmen dan respons
yang kuat untuk menghambat lajunya epidemi HIVdan AIDS;
Adanya Gerakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS sampai
tahun 2010;
Menetapkan Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai Prioritas
Pembangunan Nasional dan dicantumkan dalam Perencanaan Strategis
Pembangunan Nasional masing-masing Departemen/Lembaga terkait;
Menetapkan ketersediaan dana nasional Gerakan Nasional Stop HIV
dan AIDS setiap tahun;
Menetapkan dan memperkuat organisasi KPA untuk
mengkoordinasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
3.2. Respons tahun 2003 - 2006
Pada tahun 2003 STRANAS 2003 –2007 diluncurkan sebagai respons
terhadap berbagai perubahan, tantangan dan masalah HIV dan AIDS yang
semakin besar dan rumit. Tahun 2004 Program penanggulangan HIV dan
AIDS di tempat kerja diluncurkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dengan pemberlakuan Kaidah ILO. Untuk meningkatkan
penyelenggaraan upaya pengurangan dampak buruk (Harm Reduction)
penyalahgunaan napza ditandatangi Nota Kesepahaman tentang upaya
Draft final 040107
7
terpadu pencegahan penularan HIV dan AIDS dan pemberantasan
penyalahgunaan NAPZA dengan cara suntik antara Menko Kesra selaku
Ketua KPA dan KAPOLRI selaku Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN).
Untuk memenuhi kebutuhan, maka obat ARV mulai diproduksi di alam
negeri oleh perusahaan farmasi pemerintah PT Kimia Farma. Percepatan
respons di 6 provinsi dengan prevalensi HIV dan AIDS tertinggi dilakukan
setelah Komitmen Sentani pada Januari 2004 dan meluas ke 8 provinsi
lainnya. Penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas dimulai tahun 2005 dan
terus ditingkatkan. Pada awal 2005 diluncurkan program akselerasi di 100
kabupaten/kota di 22 provinsi, disertai dengan diberlakukannya Sistem
Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan HIV dan AIDS Nasional. Pada Juli 2006
Institusi KPA Nasional diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 75
Tahun 2006 (Perpres 75/2006) yang melibatkan lebih banyak sektor, TNI
dan Polri dan masayarakat sipil. Tahun 2006 diakhiri dengan perhitungan
estimasi jumlah sub-populasi rawan terhadap penularan HIV tahun 2006
sebagai dasar perencanaan mendatang, penerbitan Peraturan
MenkoKesra/Ketua KPA Nasional tentang Kebijakan Penanggulangan HIV
AND AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Jarum Suntik
sebagai tindak lanjut dari Nota Kesepahaman KPA-BNN yang
ditandatangani pada tahun 2003. dan retrukturisasi sekretariat KPA
Nasional.
4. ISU – ISU PENTING
4.1 Meningkatnya jumlah penasun
Jumlah pengguna obat-obat terlarang di Indonesia terus meningkat
terutama di kalangan remaja dan kelompok dewasa muda. Walaupun
sebagian besar dari sekitar 1,3 – 2 juta pengguna NAPZA tidak
menggunakan heroin atau suntikan, namun sebagian kecil melakukannya.
Menurut estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 terdapat antara
191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia. Badan Narkotika Nasional
(BNN) menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun yang sama. Penasun
masih terkonsentrasi di daerah perkotaan di Jawa dan kota-kota provinsi di
luar Jawa. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penularan HIV di subpopulasi
ini tinggi dan terus meningkat. Masalah menjadi semakin sulit
karena ketidak pedulian akan bahaya tertular seperti ditunjukkan hasil
survei perilaku tahun 2002 sekitar dua per tiga penasun yang menyatakan
bahwa mereka tidak memiliki resiko terinfeksi juga menyatakan bahwa
mereka telah menggunakan peralatan secara bersama-sama dalam minggu
sebelumnya pada survei yang sama.
Draft final 040107
8
4.2. Mobilitas Penduduk
Pembangunan fisik yang dilakukan di daerah urban dan lapangan kerja yang
sempit di daerah pedesaan,menyebabkan arus urbanisasi ke kota-kota
besar Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pekerja di daerah industri
dan proyek pembangunan fisik didominasi oleh laki-laki, sedangkan
kelompok perempuan mendominasi pekerjaan domestik. Dominasi dari satu
jenis kelamin di setiap jalur urbanisasi menunjukkan bahwa para pendatang
ini hidup membujang dan berpotensi untuk berperilaku risiko tinggi.
Membaiknya sarana transportasi juga berdampak terhadap peningkatan
mobilitas penduduk.
Migrasi antar negara juga perlu diperhitunkan diperhitungkan sebagai
potensi masuknya HIV ke suatu negara. Jumlah tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri bertambah dari tahun ketahun. Sebagian besar
berusia muda, dengan pengetahuan yang sangat minim tentang HIV dan
AIDS.
4.3. Narapidana penasun
Dari jumlah penghuni Lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia
sebesar 101.036 orang, ternyata 23.409 diantaranya adalah narapidana
dalam pelanggaran narkotika. Sekitar 70% dari mereka adalah pengguna
NAPZA (17.088) dan 40% dari pengguna NAPZA adalah penasun. Meskipun
Indonesia memiliki 13 penjara khusus narkotika, 50-60% dari
narapidananya berada di pusat penahanan umum atau penjara umum.
Lapas merupakan tempat yang beresiko sangat tinggi untuk penyebaran
HIV, karena terjadinya praktek perilaku berisiko. Keadaan ini diperparah
dengan minimnya pelayanan kesehatan dan tingkat penghunian yang
melebihi kemampuan. Petugas penjara menerima sangat sedikit informasi
mengenai HIV dan AIDS.
Narapidana di Indonesia yang positif HIV terus meningkat jumlahnya. Data
Depkes menunjukkan di tahun 2000, 17,5% dari semua narapidana positif
HIV dan jumlah ini meningkat menjadi 22% di tahun 2002. Studi lainnya
menunjukkan 24,5% narapidana di Jakarta terinfeksi sedangkan di Bali
10,2%. Pada penjara yang sama (Bali) 56% dari narapidana pengguna
NAPZA suntik juga terinfeksi. Jumlahnya telah bertambah besar dari 7.211
di tahun 2002 menjadi 11.973 di tahun 2003 dan 17.000 di tahun 2004.
Walaupun beberapa narapidana telah terinfeksi di luar penjara, terdapat
kemungkinan adanya infeksi baru yang terjadi di dalam penjara yang
diakibatkan oleh perilaku berisiko tinggi di kalangan narapidana sendiri.
Draft final 040107
9
Para narapidana positif HIV yang sudah selesai menjalani hukuman akan
kembali ke masyarakat dan bila tidak didampingi dengan benar, akan
menjadi sumber penularan baru bagi keluarga dan orang lain.
4.4. Hubungan seks berisiko
Suatu ciri khas yang penting dari daerah industri termasuk industri
pariwisata yang padat dan mobilitas populasi yang tinggi adalah
berkembangnya hubungan seks berisiko. Jumlah penjaja seks (PS) baik
perempuan maupun laki-laki meningkat dari tahun ketahun. PS lansung
berada si lokasi , lokalisasi dan ditempat-tempat umum, dan PS tidak
lansung umumnya berada di lingkungan bisnis hiburan seperti karaoke, bar,
salon kecantikan, pati pijat, dsb. PS merupakan sub-populasi berperilaku
risiko tinggi (risti) bersama dengan waria, lelaki suka lelaki (LSL). Menurut
estimasi Depkes tahun 2006 jumlah wanita PS (WPS) 177.200 -265.000
orang,waria penjaja seks 21.000 – 35.000 orang dan LSL berjumlah
384.000 – 1.148.000 orang. Jumlah pelanggan mereka jauh lebih banyak
yaitu 2.435.000 – 3.813.000 untuk WPS, 62.000 – 104.000 untuk waria.
Lelaki PS semakin meningkat jumlahnya di kota besar. Pertumbuhan
ekonomi di daerah perkotaan dan pelemahan ekonomi pedesaan
dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah WPS lebih pesat. Bilamana upaya
melakukan seks aman bagi mereka dan pelanggannya tidak berjalan baik,
maka penyebaran HIV melalui modus ini akan terus berlansung. Keadaan di
Papua akan semakin buruk karena pelanggan WPS membawa HIV ke
pedesaan.
Homoseksual dan biseksual masih tetap merupakan kelompok yang
termarginalkan di Indonesia. Meskipun merupakan faktor penting dalam
penyebaran HIV, namun masih sedikit kampanye pencegahan yang
membahas secara spesifik masalah yang berkaitan dengan homoseksualitas
dan biseksualitas. Marginalisasi telah memaksa banyak pria homoseksual
yang menjalani kehidupan biseksual dimana kehidupan homoseksual yang
terselubung ditutupi oleh kehidupan heteroseksual yang sesuai nilai-nilai
komunitas, sehingga menyulitkan untuk dapat menjangkau kelompok yang
rentan ini dengan pesan-pesan yang dapat mereka rasakan sesuai dengan
kondisi mereka. Marginalisasi juga berarti bahwa konteks sosial dari
komunitas homoseksual didominasi oleh kurangnya kepercayaan dan
komunikasi terbuka, kurangnya penyebaran informasi dan perilaku seks
yang tidak aman. Kondisi tersebut memberi dampak kepada komunitas
yang lebih luas melalui perilaku biseksual, yang masih belum diakui secara
umum sebagai beresiko tinggi menyebarkan HIV.
Draft final 040107
10
5. TANTANGAN
Setidaknya sampai empat tahun mendatang upaya penanggulangan HIV dan
AIDS di Indonesia masih akan menghadapi berbagai tantangan yang perlu
mendapat perhatian. Tantangan-tantangan tersebut adalah sebagai berikut:
5.1. Norma-Norma dan Perilaku Sosial
Sifat dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia juga mempengaruhi
jalannya epidemi. Banyak kalangan masih menyebarkan pesan ketidak
sukaannya terhadap kampanye penggunaan kondom untuk hubungan seks
yang aman. Komunikasi yang buruk di antara pasangan dalam kebutuhan
dan kecemasan seksual mereka ditambah dengan rasa ketergantungan
perempuan terhadap laki-laki baik secara emosi maupun sosial-ekonomi,
telah mengurangi kemampuan perempuan untuk meminta hubunan seks
yang aman. Faktor-faktor tersebut seringkali diperparah oleh tingginya aksi
kekerasan seksual di sebagian komunitas, dan fakta bahwa aktivitas seksual
di antara anak muda seringkali dimulai jauh pada usia yang lebih muda
daripada yang diperkirakan oleh orang tua, guru, dan orang dewasa
lainnya.
Karena secara sosial “tabu” untuk dibicarakan, menyebabkan sulitnya
mengajarkan atau mendiskusikan seks dengan kaum remaja serta
menghalangi dimasukannya pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah.
Pandangan negatif pada hubungan seks sesama jenis mengakibatkan baik
individu maupun kelompok sosial sama-sama enggan mengakui adanya
resiko yang nyata; banyak LSL juga melakukan hubungan seks dengan
perempuan, sehingga meningkatkan resiko penularan kepada perempuan
dan anak-anak. Meskipun kondom kini lebih mudah diperoleh, penerimaan
masyarakat yang masih terbatas mengurangi penggunaannya. Konsumsi
alkohol yang luas dan berlebihan serta zat-zat lainnya, terutama di
kalangan anak muda, seringkali berperan sebagai faktor yang melepas
kendali diri dan menjadi penyalur kekerasan seksual serta perilaku resiko
tinggi lainnya. Agar dapat berhasil, kampanye pencegahan harus mengakui
dan menghadapi faktor-faktor tersebut secara realistis.
5.2. Koordinasi multipihak terhadap Respon
Pengalaman dari banyak negara memperlihatkan kenyataan bahwa suatu
respon yang efektif terhadap HIV harus didasarkan oleh keikutsertaan
semua sektor pemerintahan sebagai membimbing bagi pelibatan
masyarakat. Dukungan oleh pemerintah di tingkat elite dan komitmen
politik sangat penting untuk suksesnya usaha apapun dalam jangka
Draft final 040107
11
panjang. Meskipun banyak pemuka masyarakat telah berbicara secara
terbuka mengenai pentingnya penanggulangan epidemi ini, masih
diperlukan adanya kemauan politis, komitmen, dan dinamika yang nyata
dan berkelanjutan serta kepemimpinan yang tidak diragukan dan
menyentuh banyak orang dalam melawan epidemi ini. Hal ini dapat semakin
diperlukan di banyak propinsi dan kabupaten setelah proses desentralisasi,
dimana banyak pemerintahan lokal lebih berfokus pada proyek fisik yang
nyata dan perlu dihimbau untuk lebih memperhatikan dan mendukung
program pencegahan HIV.
5.3. Kebijakan dan Pengembangan Program
Kebijakan dan pengembangan program tetap masih lemah akibat dari
berbagai macam sebab, termasuk kurangnya data yang dapat diandalkan
dari luas dan jangkauan epidemi, penyebab dan konsekuensinya, dan
perkiraan arahnya di masa depan. Riset operasional dan perilaku yang
mencukupi masih dibutuhkan untuk membantu pembuatan kebijakan, dan
kurangnya dana yang tersedia untuk program nasional (terutama dana dari
dalam negeri dibandingkan dengan dana dari negara donor) menunjukkan
rendahnya prioritas yang diberikan pada epidemi ini. Perencanaan strategis
masih belum dilakukan secara konsisten untuk menentukan cara alokasi
dana yang terbatas, terutama mengenai intervensi yang efektif secara
pembiayaan. Pengumpulan data statistik yang akurat dan teratur di setiap
propinsi dan kabupaten juga sangat penting untuk mendukung Pemerintah
Daerah dalam menangani program mereka secara efektif.
5.4. Memenuhi Kebutuhan Para Remaja dan Dewasa Muda
Satu aspek yang penting pencegahan HIV diarahkan pada kelompok remaja
dan dewasa muda. Kenyataan bahwa 57,8% kasus AIDS (2006) berasal
dari kelompok umur 15 – 29 tahun mengindikasikan bahwa mereka tertular
HIV pada umur yang masih sangat muda. Hal ini sejalan pula dengan fakta
bahwa penyalahguna napza sebagian besar adalah remaja dan dewasa
muda. Hampir 30% populasi Indonesia berumur antara 10 sampai 24 tahun,
dan mereka ini seharusnya menjadi sasaran edukasi dan penyuluhan yang
benar agar tidak masuk kedalam sub-populasi berperilaku risiko tinggi.
Kontak seksual dini membawa resiko tinggi infeksi HIV. Banyak survei
mengungkapkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa
pengalaman seksual pertama mereka dimulai pada usia yang sangat muda.
Informasi ini mengejutkan banyak orang dewasa, termasuk orang tua dan
guru yang sering kali menghalangi upaya pemberian informasi mengenai
seks dan kesehatan reproduksi pada anak di usia yang semuda itu. Banyak
Draft final 040107
12
program keterampilan hidup dan kesehatan reproduksi lainnya yang
diarahkan pada anak muda difokuskan pada kelompok umur yang lebih tua;
namun bukti ini menunjukkan perlunya memberikan informasi tersebut
pada usia yang jauh lebih muda. Statistik saat ini menunjukkan hampir
60% anak perempuan di desa tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD,
sehingga mereka tidak akan mendapatkan kurikulum keterampilan hidup
apabila hanya diberikan di SMA.
5.5. Resiko Khusus yang Dihadapi Anak Perempuan
Perempuan sangat rentan terinfeksi pada umur muda, dimana fenomena ini
merupakan refleksi dari kondisi sosial yang terjadi di beberapa komunitas.
Tekanan dari teman sebaya pada anak perempuan untuk melakukan
hubungan seksual dini dan masalah tersembunyi dari hubungan seksual
paksaan, pemerkosaan, inses, dan kekerasan rumah tangga yang harus
ditanggung anak perempuan.
Anak muda, terutama perempuan, juga dihadapkan pada kekerasan dan
eksploitasi seksual, umumnya dihubungkan dengan kemiskinan dan
keluarga yang disfungsional. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual
di masa muda, umumnya kehilangan harga diri dan perasaan kendali atas
kehidupan mereka sendiri, yang kemudian meningkatkan resiko
penyalahgunaan NAPZA dan memasuki kehidupan seks lebih dini dan
terpapar pada HIV. Secara umum, kekerasan kepada perempuan pada
umumnya dan anak perempuan pada khususnya terus meningkat. Meskipun
sangat memprihatikan, isi-isu ini membutuhkan para pembuat keputusan
untuk menghadapi kenyataan yang dialami mereka dan mengambil
langkah-langkah untuk melindungi mereka.
5.6. Kebutuhan Memperluas Perawatan, Pengobatan dan Dukungan
Memperbaiki ketersediaan dan kualitas dari perawatan bagi jumlah orang
yang hidup dengan HIV AND AIDS yang meningkat harus menjadi prioritas.
Sampai akhir 2006 pelayanan kesehatan untuk merespon meningkatnya
jumlah ODHA yang membutuhkan perawatan, pengobatan dan dukungan
semakin meningkat. Tujuh puluh lima Rumah Sakit siap untuk memerikan
perawatan dan pengobatan dengan ARV dengan berbagai fasilitas untuk
menegakkan diagnosis dan memantau pengobatan. Penyertaan Puskesmas
sebagai upaya mendekatkan pelayanankepada yang membutuhkan mulai
dilaksanakan dan perlu diperluas dimasa mendatang.Peningkatan pelatihan
tenaga kesehatan harus terorganisasi untuk membuat mereka dapat
menghasilkan kesempatan penting dalam meningkatkan nutrisi, sokongan
psikologis, pencegahan dan perawatan infeksi oportunis yang terjadi pada
Draft final 040107
13
ODHA. Program untuk memperkuat kapasitas pelayanan kesehatan
mengikutsertakan tidak hanya ketersediaan obat yang lebih baik, tapi juga
peningkatan kualitas dan kerahasiaan data kesehatan. Kemungkinan
terjadinya resistensi pada ARV lini pertama diantisipasi dengan
melaksanakan surveilans ARV dan penyediaan ARV lini kedua.
5.7. Stigma dan Diskriminasi
Stigma dan diskrimansi terhadap ODHA walaupun sudah banyak berkurang
dalam 5 tahun terakhir namun masih tetap merupakan tantangan yang bila
tidak teratasi, potensial untuk menjadi penghambat upaya penanggulangan
HIV dan AIDS terutama di daerah-daerah. Diskriminasi yang dialami ODHA
baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga
maupun di masyarakat umum haruslah tetap menjadi prioritas upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh sebab itu perlu dukungan dan
perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra
kerja yang efektif dalam mengurangi stigma dan diskriminasi sekaligus
pemberi dukungan bagi mereka yang membutuhkan.
5.8. Desentralisasi
Desentralisasi dan otonomi pemerintahan dimaksudkan untuk mempercepat
tercapainya kesejahteraan rakyat termasuk dalam bidang kesehatan.
Dengan demikian memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk
merencanakan program yang dibutuhkan – termasuk pencegahan HIV dan
AIDS – yang didasarkan pada kebutuhan lokal dan mengalokasikan
anggaran yang sesuai. Dengan semangat Komitmen Sentani beberapa
provinsi dan kabupaten/kota telah memperlihatkan perhatian yang cukup
besar terhadap masalah HIV dan AIDS di daerah masing-masing. Namun
sebagain besar pemerintah daerah belum menganggap masalah HIV dan
AIDS sebagai prioritas pembangunan untuk ditanggulangi, walaupun data
telah menunjukkan masalah HIV dan AIDs sudah mengkhawatirkan.
Advokasi kepada pemerintah daerah perlu tetap dilanjutkan dan
ditingkatkan untuk mewujudkan tujuan otonomi dan desentralisai
pemerintahan, antara lain melalui penguatan dan pemberdayaan KPA di
daerah dan pemberiaan bantuan teknis.
Draft final 040107
14
BAB II
STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
1. TUJUAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
1.1. Tujuan Umum penanggulangan HIV dan AIDS
Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup
ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS
pada individu, keluarga dan masyarakat.
1.2. Tujuan Khusus Penanggulangan HIV dan AIDS
1.2.1. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan
suasana kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan
AIDS, dengan menitikberatkan pencegahan pada sub-populasi
berperilaku resiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap
memperhatikan sub-populasi lainnya.
1.2.2. Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan,
pengobatan, dan dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan
upaya pencegahan.
1.2.3. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan
masyarakat umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya
penanggulangan HIV dan AIDS.
1.2.4. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga
pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi,
dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan
respons nasional terhadap HIV dan AIDS.
1.2.5. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif
dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
2. DASAR KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Penularan dan penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku
beresiko, oleh karena itu penanggulangan harus memperhatikan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut. Bahwa kasus HIV dan AIDS diidap
sebagian besar oleh kelompok perilaku resiko tinggi yang merupakan kelompok
yang dimarginalkan, maka program-program pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan normanorma
masyarakat yang berlaku disamping pertimbangan kesehatan. Perlu
adanya program-program pencegahan HIV dan AIDS yang efektif dan memiliki
jangkauan layanan yang semakin luas dan program-program pengobatan,
perawatan dan dukungan yang komprehensif bagi ODHA maupun OHIDA untuk
meningkatkan kualitas hidupnya.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut, maka kebijakan penanggulangan HIV
dan AIDS di Indonesia disusun sebagai berikut:
Draft final 040107
15
2.1. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus memperhatikan nilai-nilai
agama dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan
untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan
keluarga;
2.2. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat,
pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM
menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan,
membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya
upaya penanggulangan HIV dan AIDS;
2.3. Upaya penanggulangan harus didasari pada pengertian bahwa masalah HIV
dan AIDS sudah menjadi masalah sosial kemasyarakatan serta masalah
nasional dan penanggulangannya melalui “Gerakan Nasional
Penanggulangan HIV and AIDS”;
2.4. Upaya penanggulangan HIV and AIDS diutamakan pada kelompok
masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan
kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan
pekerjaannya dan kelompok marginal terhadap penularan HIV and AIDS;
2.5. Upaya penanggulangan HIV and AIDS harus menghormati harkat dan
martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;
2.6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja dan
masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi
dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat;
2.7. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada
setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai
penularan HIV;
2.8. Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna napza suntik melalui kegiatan
pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara
komprehensif dengan juga mengupayakan penyembuhan dari
ketergantungan pada napza.
2.9. Upaya penanggulangan HIV and AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari
peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan
perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap
ODHA.
2.10.Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV and AIDS harus didahului
dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang
bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus
diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan
diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada
fihak lain.
2.11.Diusahakan agar peraturan perundang-undangan harus mendukung dan
selaras dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV and AIDS disemua
tingkat.
Draft final 040107
16
2.12.Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa
diskriminasi kepada ODHA dan OHIDA.
3. STRATEGI
Untuk mencapai tujuan STRANAS, ditetapkan strategi sebagai berikut:
3.1. Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan
menguji coba cara-cara baru;
3.2. Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang
memerlukan akses perawatan dan pengobatan;
3.3. Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan
di daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan;
3.4. Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi
pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS;
3.5. Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV
dilingkungannya;
3.6. Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan
evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS;
3.7. Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemamfaatannya di
semua tingkat.
BAB III
AREA PRIORITAS PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Menilik bahasan-bahasan pada bab-bab terdahulu maka untuk empat tahun
mendatang area prioritas penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia belum perlu
diubah dan perlu dilanjutkan sebagai pokok-pokok program dengan penajaman.
Dengan melaksanakan program – program yang dikembangkan dari setiap area
prioritas secara bersungguh – sungguh, penuh tanggung jawab, terpadu, harmonis
dan berkesinambungan maka walaupun dengan sumberdaya yang terbatas, tujuan
penanggulangan HIV AND AIDS akan dapat dicapai dalam kurun waktu yang telah
ditetapkan oleh karena akan terdapat kemampuan untuk:
• Mencegah meluasnya penularan HIV dan menjamin akses terhadap berbagai
upaya pencegahan, perawatan dan pengobatan.
• Berkontribusi untuk menyediakan kebutuhan ODHA untuk meringankan
penderitaan sekaligus meningkatkan kwalitas hidup mereka.
• Menjamin capacity building bagi mereka yang terlibat dalam penanggulangan HIV
dan AIDS.
• Mengkoordinasikan dan mempertahankan respon
Draft final 040107
17
Mengingat luasnya wilayah Indonesia, sementara sumberdaya masih terbatas,
kriteria dalam menentukan tempat dan wilayah pelaksanaan program perlu
memperhatikan data epidemiologis HIV dan AIDS dan kemungkinan memperoleh
daya ungkit yang besar bila program dilaksanakan.
Area prioritas penanggulangan HIV dan AIDS untuk tahun 2007-2010 adalah sebagai
berikut:
1. Pencegahan HIV dan AIDS;
2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA;
3. Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular Seksual;
4. Penelitian dan riset operasional;
5. Lingkungan Kondusif;
6. Koordinasi dan harmonisasi multipihak;
7. Kesinambungan penanggulangan
1. AREA PENCEGAHAN HIV DAN AIDS
Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko kelompok-kelompok
masyarakat. Pencegahan dilakukan kepada kelompok-kelompok masyarakat
sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi ancaman yang dihadapi. Kegiatankegiatan
dari pencegahan dalam bentuk penyuluhan, promosi hidup sehat,
pendidikan sampai kepada cara menggunakan alat pencegahan yang efektif
dikemas sesuai dengan sasaran upaya pencegahan.
Dalam mengemas program-program pencegahan dibedakan kelompok-kelompok
sasaran sebagai berikut:
• Kelompok tertular (infected people)
Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi HIV. Pencegahan
ditujukan untuk menghambat lajunya perkembangan HIV, memelihara
produktifitas individu dan meningkatkan kwalitas hidup.
• Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people)
Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku sedemikian
rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini
termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki, pelanggan
penjaja seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya, waria penjaja
seks dan pelanggannya serta lelaki suka lelaki. Karena kekhususannya,
narapidana termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan untuk kelompok ini
ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman.
• Kelompok rentan (vulnerable people)
Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup
pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang
Draft final 040107
18
rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap
penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang dengan
mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak
jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugas
pelayanan kesehatan. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan agar
tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV. (
Menghambat menuju kelompok berisiko)
• Masyarakat Umum (general population)
Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatkan
kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di lingkunagnnya.
1.1. Tujuan
Tujuan program-program pencegahan adalah agar setiap orang mampu
melindungi dirinya agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada
orang lain.
1.2. Program
Untuk mencapai tujuan pencegahan dengan berbagai sasaran maka
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kelompokan dalam program –program
sebagai berikut:
1.2.1. Program peningkatan pelayan konseling dan testing sukarela
Pelayanan konseling dan testing sukarela ditingkatkan jumlah dan
mutunya dengan melibatkan kelompok dukungan sebaya sehingga
mencapai hasil maksimal.
1.2.2. Program peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks
berisiko
Peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks
berisiko ditingkatkan untuk mencegah infeksi HIV dan IMS.
Penggunaan kondom perempuan dimungkinkan untuk digunakan
pada tempat-tempat yang memerlukan. Program mencakup juga
Intervensi Perubahan Perilaku (Behavior Change Intervention =
BCI).
Draft final 040107
19
1.2.3. Program pengurangan dampak buruk penyalahgunaan napza suntik
Pengurangan dampak buruk penyalahgunaan napza suntik untuk
mencegah penularan HIV dilaksanakan secara komprehensif dan
bersama-sama dengan semua pemangku kepentingan terkait.
Program juga dikaitkan dengan upaya pengurangan kebutuhan
napza suntik bagi penasun. Program diutamakan di seluruh provinsi
di Jawa dan ibu kota seluruh provinsi. Program mencakup juga
Intervensi Perubahan Perilaku (Behavior Change Intervention =
BCI).
1.2.4. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
Pencegahan penularan dari ibu HIV positif kepada bayinya
dilaksanakan terutama di daerah epidemi terkonsentrasi dan di
provinsi Papua dan Irian Jaya Barat.
1.2.5. Program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS)
Penderita IMS mempunyai risiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular
HIV dibandingkan dengan bukan penderita. Program
penanggulangan IMS meliputi surveilans, penemuan, pengobatan
dan pencegahan ditingkatkan di semua daerah.
1.2.6. Program penyediaan darah dan produk darah yang aman
Penyediaan darah dan produk darah yang aman diupayakan di
semua unit transfusi darah baik yang berada di bawah binaan Palang
Merah Indonesia (PMI) maupun yang berada di rumah sakit
pemerintah dan swasta. Diutamakan di daerah dengan prevalensi
tinggi.
1.2.7. Program peningkatan kewaspadaan universal
Penerapan kewaspadaan universal harus dilaksanakan dengan benar
oleh petugas dan masyarakat yang lansung terpapar seperti petugas
pelayanan kesehatan, petugas sosial, polisi, penyelenggara jenazah,
petugas lapas dan lainnya. Pengetahuan dan ketrampilan petugas
Draft final 040107
20
dan sarana serta prasarana yang diperlukan perlu disediakan dengan
cukup.
1.2.8. Program komunikasi publik
Komunikasi publik yang baik akan menurunkan derajat kerentanan
dari kelompok – kelompok rentan. Upaya ini dilakukan melalui
komunikasi, informasi, pendidikan, penyuluhan, tatapmuka,
pengurangan kemiskinan, pembinaan ketahanan keluarga dan
penyetaraan gender dengan menggunakan jalur komunikasi dan
media yang tersedia.
2. AREA PERAWATAN, PENGOBATAN DAN DUKUNGAN KEPADA ODHA
Peningkatan jumlah penderita AIDS memerlukan peningkatan jumlah dan mutu
layanan perawatan dan pengobatan. Peningkatan juga dilakukan bagi dukungan
maksimal kepada ODHA. Upaya ini dilakukan melalui pendekatan klinis dan
pendekatan berbasis masyarakat dan keluarga. Universal Access yang bertujuan
memberikan kemudahan kepada mereka yang memerlukan untuk akses kepada
layanan perawatan dan pengobatan melandasi program – program pada area ini.
2.1. Tujuan
Mengurangi penderitaan akibat HIV dan AIDS dan mencegah penularan
lebih lanjut infeksi HIV serta meningkatkan kwalitas hidup ODHA.
3.1. Program
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kelompokan dalam program –program sebagai berikut:
2.2.1. Program peningkatan sarana pelayanan kesehatan
Jumlah dan mutu pelayan untuk konseling dan testing sukarela
(VCT), pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya (PMTC) dan
perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA (CST)
ditingkatkan.
2.2.2. Program peningkatan penyediaan, distribusi obat dan reagensia
Untuk memenuhi kebutuhan ODHA dan sejalan dengan peningkatan
jumlah sarana perawatan dan pengobatan, ketersediaan ARV, obat
Draft final 040107
21
infeksi oportunistik dan reagensia ditingkatkan jumlah dan mutunya
serta harganya diupayakan terjangkau.
Manajemen obat dan reagensia disempurnakan sehingga pengadaan
dan distribusi obat dan reagensia terjamin.
2.2.3. Program pendidikan dan pelatihan
Peningkatan jumlah dan mutu pelayanan dan dukungan kepada
ODHA membutuhkan tenaga yang berilmu, terampil dan beretika.
Pendidikan dan pelatihan teknis diberikan kepada mereka yang
berkarya dalam upaya penanggulangan AIDS sesuai dengan bidang
kerjanya.
2.2.4. Program peningkatan penjangkauan dan dukungan ODHA
Upaya yang sungguh-sungguh untuk menjangkau sedikitnya 80%
kelompok berperilaku risiko tinggi agar mereka yang memerlukan
perawatan dan pengobatan dapat akses kepada pencegahan,
perawatan, pengobatan dan dukungan yang diperlukan.
3. AREA SURVEILANS HIV DAN AIDS SERTA IMS
Besaran, kecenderungan dan distribusi persebaran HIV dan AIDS diketahui dari
data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan surveilans penyakit. Surveilans
penyakit dan surveilans perilaku bersama-sama memberikan petunjuk tentang
hasil upaya penanggulangan dan amat diperlukan bagi perumusan kebijakan dan
perencanaan. Kegiatan surveilans akan terus disempurnakan baik metodologinya
maupun implementasinya sehingga hasilnya valid dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Selain surveilans HIV dan AIDS dan perilaku, surveilans IMS ditingkatkan
pelaksanaannya dan hasilnya dipublikasikan agar dapat digunakan oleh pihakpihak
yang memerlukan.
3.1. Tujuan
Untuk memperoleh data dan informasi yang valid tentang besaran,
kecenderungan dan distribusi persebaran HIV dan AIDS serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
3.2. Program
Draft final 040107
22
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kelompokan dalam program –program sebagai berikut:
3.2.1. Program peningkatan surveilans HIV
Pelaksanaan surveilans HIV pada sub-populasi dengan berbagai
tingkat risiko penularan diperluas wilayah cakupannya dan
ditingkatkan mutunya. Di daerah dengan tingkat generalized
epidemic dilaksanakan surveilans HIV di populasi umum.
3.2.2. Program Peningkatan surveilans perilaku
Pelaksanaan surveilans perilaku ditingkatkan wilayah cakupan dan
mutunya.Variabel yang digunakan dipilih variable yang sensitif yang
dapat menggambarkan hasil program intervensi perubahan perilaku.
3.2.3. Program peningkatan surveilans IMS
Pelaksanaan surveilans IMS ditingkatkan wilayah cakupan dan
mutunya. Dan juga digunakan untuk mengetahui hasil program
intervensi perilaku dan program penggunaan kondom pada setiap
hubungan seks berisiko.
3.2.4. Program peningkatan laboratorium HIV
Laboratorium HIV untuk keperluan surveilans, penegakan diagnosis
dan pemantauan proses pengobatan ditingkatkan baik jumlahnya
maupun mutu pemeriksaannya.
3.2.5. Program peningkatan mutu pelaporan
Pelaporan merupakan aspek penting dari surveilans. Laporan
surveilans dibuat sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh
mereka yang membutuhkan, akurat dan tepat waktu.
4. AREA PENELITIAN DAN RISET OPERASIONAL
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dan akan diselenggarakan
memerlukan pengembangan terus menerus. Banyak aspek penanggulangan yang
belum diketahui. Perbedaan laju epidemi di berbagai daerah perlu dicari faktorfaktor
yang menyebabkannya. Penelitian dan riset operasional diharapkan
Draft final 040107
23
mampu memberikan jawaban atas hal- hal tersebut sehingga ditingkatkan pada
empat tahun kedepan.
Untuk melaksanakan penelitian yang bermutu tinggi, dipersiapkan tenaga-tenaga
peneliti di semua tingkat. Selain daripada itu ditingkatkan kerjasama antar pusatpusat
penelitaian HVI dan AIDS di dalam negeri dan di luar negeri. Inventory
hasil penelitian dilakukan sesuai dengan tatacara yang lazim. Setiap hasil
penelitian dipublikasikan secara luas sehingga dapat diakses oleh yang
memerlukan.
4.1. Tujuan
Penelitian dan riset operasional HIV dan AIDS bertujuan untuk memperoleh
data dan fakta yang terpercaya sebagai dasar perbaikan dan
pengembangan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
4.2. Program
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kelompokan dalam program –program sebagai berikut:
4.2.1. Program riset operasional
Berbagai upaya penanggulangan yang sedang diselenggarakan
memerlukan penelitian untuk perbaikan kinerjanya agar lebih efektif
dan efisien. Hasil-hasil survei dapt dijadikan petunjuk untuk
melakukan penelitian yang lebih mendalam.
4.2.2. Program penelitian resistensi obat antiretroviral
Penggunaan ARV yang semakin meluas dengan pengawasan yang
tidak selalu dapat dilakukan berpotensi untuk menimbulkan
resistensi ARV. Penelitian tentang kemungkinan resistensi ini
dilakukan untuk kewaspadaan dan perencanaan pengadaan ARV lini
berikutnya.
4.2.3. Program penelitian obat tradisional HIV dan AIDS
Indonesia kaya dengan flora dan fauna sebagai bahan pembuat
obat-obatan. Beberapa produk diklaim sebagai bermamfaat untuk
pengidap HIV dan AIDS. Penelitian obat tradisional diarahkan untuk
mencari bukti-bukti ilmiah tentang obat-obat tradisional tersebut
sekaligus mencari peluang-peluang lain.
Draft final 040107
24
4.2.4. Program penelitian dampak sosial ekonomi dan budaya HIV dan
AIDS
Penelitian terhadap dampak sosial ekonomi dan budaya dari HIV
dan AIDS dilaksanakan sebagai bahan advokasi dan penyusunan
program dukungan pada ODHA
4.2.5. Penelitian epidemiologi dan perilaku
Penelitian epidemiologi dan perilaku dilaksanakan untuk mengetahui
lebih dalam tentang perilaku epidemi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Hasilnya merupakan data dan fakta yang paling
mendasar dalam perumusan kebijakan upaya penanggulangan.
5. AREA LINGKUNGAN KONDUSIF
Lingkungan yang kondusif dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
diperlukan agar upaya-upaya tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Hal
ini dikarenakan masalah HIV dan AIDS merupakan masalah yang kompleks dan
unik.
Deklarasi UNGASS 2001 yang mengamanatkan bahwa tahun 2003 negara
mengesahkan,mendukung dan menegakkan peraturan dan ketentuan lain untuk
menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan memastikan pemilikan hak-hak
azasi dan kemerdekaan secara penuh oleh ODHA dan sub-populasi rentan lainnya
belum sepenuhnya tercapai sehingga perlu terus diupayakan.
5.1. Tujuan
Meningkatkan pembuatan peraturan perundangan dan ketentuan-ketentuan
lain di pusat dan daerah dalam rangka menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi terselenggaranya upaya pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS.
5.2. Program
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kelompokan dalam program –program sebagai berikut:
5.2.1. Program advokasi dan sosialisasi
Meningkatkan sosialisasi dan advokasi upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS kepada eksekutif dan legislatif di
pusat dan daerah agar memahami masalah yang dihadapi yang
memerlukan pengaturan pemerintah.
5.2.2. Program peningkatan kapasitas
Meningkatkan kapasitas anggota legislatif daerah dalam menciptakan
peraturan-peraturan di daerah dalam mendukung terciptanya
lingkungan yang kondusif di daerah.
Draft final 040107
25
5.2.3. Program peningkatan kapasitas organisasi-organisasi masyarakat
sipil
Organisasi masyarakt sipil termasuk LSM dan KDS ditingkatkan
kemampuannya untuk turut menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi peneyelenggaraan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS di daerah.
6. AREA KOORDINASI DAN HARMONISASI MULTIPIHAK
Masalah HIV dan AIDS bukan lagi masalah kesehatan semata akan tetapi telah
menjadi masalah sosial yang sangat komplek dan unik.Upaya pencegahan dan
penanggulangannya memerlukan berbagai pendekatan dan diselenggarakan oleh
berbagai pihak. Peranan utama dijalankan oleh masyarakat dengan arahan dan
pembinaan oleh sektor-sektor pemerintah. Pemerintah berperan sebagai
pemimpin upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS baik di pusat
maupun di daerah. Mitra internasional membantu penyelenggaraan tersebut.
Banyaknya pemangku kepentingan yang menyelenggarakan upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS ini, mengharuskan adanya koordinasi yang
baik sejak perencanaan sampai evaluasinya.
Harmonisasi dimaksudkan agar penyelenggaraan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS berjalan selaras dan seirama sehingga merupakan
orkestra aktivitas yang padu, terarah dan mencapai sasaran. Harmonisasi
diupayakan di semua tingkat penyelenggaraan.
6.1. Tujuan
Menyelaraskan dan mengkoordinasikan berbagai program dan kegiatan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang diselenggarakan pemerintah,
masyarakat sipil dan mitra internasional sehingga mencapai tujuan yang
diinginkan.
6.2. Program
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kelompokan dalam program –program sebagai berikut:
6.2.1. Program penguatan kelembagaan
Sebagai lembaga yang mengemban tugas mengkoordinsikan dan
mengharmoniasikan berbagai program, KPA pada semua tingkat
akan terus diperkuat dan ditingkatkan kemampuannya dengan
meningkatkan kemampuan SDM, melengkapi sarana kerja, dan
mengusahakan anggaran yang cukup untuk kegiatan operasional.
6.2.2. Program peningkatan jaringan informasi dan komunikasi
Adanya jaringan informasi yang luas dan berfungsi baik
mempermudah dilakukannya koordinasi dan harmonisasi upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Jaringan ini
Draft final 040107
26
diperluas disemua tingkat. Sarana teknologi informasi
disempurnakan sehingga berfungsi dengan baik.
6.2.3. Program peningkatan kerjasama internasional
Kerjasama internasional yang sudah terjalin ditingkatkan. Kerjasama
tersebut meliputi kerjasama regional dan global. Di dalam negeri
kerjasama dilakukan dengan mitra internasional.
7. AREA KESINAMBUNGAN PENANGGULANGAN
Memperhatikan kecenderungan epidemi HIV dan AIDS dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, upaya pencegahan dan penaggulangan di Indonesia akan
memakan waktu yang cukup lama.
Oleh sebab itu upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus
dapat dijamin kesinambungannya. Kesinambungan upaya ini sangat ditentukan
oleh komitmen politik, kepemimpinan yang kuat, tersedianya dana yang terus
menerus, perawatan sarana dan prasarana yang digunakan serta pelibatan
seluruh unsur masyarakat termasuk mereka yang sudah terinfeksi.
7.1. Tujuan
Menjamin kelansungan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS di setiap tingkat administrasi melalui komitmen yang tinggi,
kepemimpinan yang kuat, didukung oleh informasi dan sumberdaya yang
memadai.
7.2. Program
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kelompokan dalam program –program sebagai berikut:
7.2.1. Advokasi
Advokasi dilakukan secara terus menerus kepada para pengambil
keputusan di pusat dan di daerah, baik kepada eksekutif, legislatif,
maupun kepada pimpinan partai politik dan organisasi masyarakat
sipil lainnya.
7.2.2. Peningkatan sumber daya manusia
Melalui pendidikan dan pelatihan ditingkatkan jumlah dan mutu para
penyelenggara upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS di pusat dan di daerah. Pendidikan dan pelatihan dimaksud
diperoleh di dalam negeri dan di luar negeri.
7.2.3. Peningkatan sarana dan prasarana
Draft final 040107
27
Sarana dan prasarana di unit-unit pelayanan HIV dan AIDS
ditingkatkan jumlah dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Dilakukan pengawasan kwalitas (quality control) atas sarana dan
prasarana tersebut
BAB IV
PENYELENGGARA UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh
masyarakat dan pemerintah bersama-sama dibantu oleh mitra internasional.
Pemerintah meliputi departemen, kementerian, lembaga non-departemen dan
dinasdinas
daerah serta TNI dan POLRI. Masyarakat meliputi LSM, swasta dan dunia
usaha, civil soceity lainnya dan masyarakat umum. KPA di semua tingkat berfungsi
sebagai koordinator.
Para pemangku kepentingan mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing
dan bekerja sama dalam semangat kemitraan. Pokok-pokok tugas dan tanggung
jawabmasing-masing penyelenggara adalah sebagai berikut:
1. PEMERINTAH PUSAT
Departemen, Kementerian, Lembaga Non- Departemen, TNI dan POLRI
membentuk Kelompok Kerja Penanggulangan HIV dan AIDS dan membuat
rencana pencegahan dan penanggulangan yang selaras dengan Stranas HIV dan
AIDS 2007 – 2010 sesuai dengan area kegiatan instansi bersangkutan. KPAN
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dari unsur pemerintah pusat.
2. PEMERINTAH PROVINSI
Dinas-dinas Provinsi, Kantor Wilayah dari instansi pusat di provinsi, komando TNI
dan POLRI di provinsi menyelenggarakan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh Gubernur. Pemerintah Propinsi
membentuk dan memfungsikan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan di
propinsi.
3. PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
Dinas-dinas Kabupaten/Kota, Kantor Departemen dari instansi pusat di
kabupaten/kota, komando TNI dan POLRI di kabupaten/kota menyelenggarakan
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh
Bupati/Walikota. Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk dan memfungsikan
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota dan menyediakan sumberdaya
untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan di kabupaten/kota.
4. PEMERINTAH KECAMATAN DAN KELURAHAN/DESA
Di wilayah kecamatan dan kelurahan /desa yang berpotensi adanya penularan
HIV, dapat dibentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS yang masing-masing dipimpin oleh Camat dan Lurah/Kepala Desa. Tugas
utama adalah menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam upaya
Draft final 040107
28
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang dirancang oleh KPA
Kabupaten/Kota.
5. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI DAERAH
DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan kepedulian yang
tinggi menampung informasi dari masyarakat tentang situasi HIV dan AIDS di
wilayah urusannya dan sesuai dengan tugas dan fungsinya membantu upaya
pencegahan dan penanggulangan. Bersama dengan KPAN/KPA di daerah dapat
membentuk Forum Komunikasi.
6. KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai penanggung jawab upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia mempunyai tugas
yang sangat berat sehingga memerlukan kawenangan yang jelas untuk dapat
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan efektif.
Tugas pokok dan fungsi KPA Nasional sebagaimana tercantum dalam Perpres No.
75 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:
6.1. Menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum
pencegahan, pengendalian dan penaggulangan AIDS;
6.2. Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan
kegiatan;
6.3. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan,
pelayanan, pemantauan, pengendalian dan penaggulangan AIDS;
6.4. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai
media massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak
menimbulkan keresahan masyarakat;
6.5. Melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan
dan penanggulangan AIDS;
6.6. Mengkoordinasikan pengelolaan dan dan informasi yang terkait dengan
masalah AIDS;
6.7. Mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan AIDS;
6.8. Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
Kabupaten / Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan AIDS.
7. KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA
Draft final 040107
29
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS
Kabupaten / Kota dibentuk dan dipimpin masing-masing oleh Gubernur dan
Bupati / Walikota. KPA di daerah membantu kelancaran pelaksanaan tugas KPA
Nasional.
Tugas pokok dan fungsi KPA Provinsi dan KPA Kabupaten / Kota adalah sebagai
berikut:
7.1. Merumuskan kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan
dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya sesuai dengan
kebijakan, strategi dan pedoman yang ditetapkan oleh KPA nadional.
Implementasi dari tugas pokok tersebut meliputi fungsi-fungsi sebagai
berikut:
7.1.1. Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan
pencegahan, pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di
wilayahnya;
7.1.2. Menghimpun, menggerakkan dan memamfaatkan sumberdaya
yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat dan bantuan luar
negeri secara efektif dan efisien
7.1.3. Melakukan bimbingan dan pembinaan kepada pemangku
kepentingan dalam pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah kerjanya
7.1.4. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dan menyampaikan laporan berkala
secara berjenjang kepada KPA Nasional.
8. MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCEITY)
Civil soceity merupakan mitra kerja yang penting dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi
Non- Pemerintah lainnya seperti Kelompok Dukungan Sebaya telah memberikan
kontribusi yang bermakna karena mampu menjangkau sub-populasi berperilaku
berisiko dan menjadi pendamping dalam proses perawatan dan pengobatan
ODHA. Civil Soceity berperan dalam penyuluhan, pelatihan, pendampingan
ODHA, pemberian dukungan dan konseling serta melakukan pelayanan VCT.
Dimasa mendatang peran ini diharapkan meningkat dan merata di seluruh
wilayah Indonesia. Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat menciptakan
lingkungan yang kondusif sehingga civil soceity dapat menjalankan perannya
dengan tenang dan aman.
9. DUNIA USAHA DAN SEKTOR SWASTA
Jenis pekerjaan, lingkungan dan tempat kerja berpotensi bagi pekerja untuk
terpapar HIV. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah mengakui bahwa
HIV dan AIDS sebagai persoalan dunia kerja. Prinsip-prinsip utama Kaidah ILO
tentang HIV dan AIDS dan Dunia Kerja perlu ditingkatkan implementasinya di
dunia kerja Indonesia melalui kesepakatan tripartit. Implementasi Kaidah ILO
Draft final 040107
30
tersebut dijabarkan dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja
dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan.
10. TENAGA PROFESIONAL, ORGANISASI PROFESI DAN LEMBAGA
PENDIDIKAN TINGGI
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan pelibatan
tenaga profesional baik secara individu maupun melalui organisasi profesi dan
lembaga pendidikan tinggi. Para profesional berperan dalam perumusan
kebijakan, penelitian, riset operasional.
11. KELUARGA DAN MASYARAKAT UMUM
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan dukungan
masyarakat luas. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat mempunyai tugas
penting dan sangat mulia sebagai benteng pertama dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Ketahanan keluarga dalam arti yang
sesungguhnya perlu tetap diupayakan dan ditingkatkan. Selain itu keluarga
mampu memberikan lingkungan yang kondusif bagi ODHA dengan berempati dan
menjauhkan sikap diskriminatif terhadap mereka.
Masyarakat Umum berperan membantu upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS di lingkungan masing-masing dengan memberikan kemudahan dan
meciptakan lingkungan yang kondusif. Untuk menjalankan fungsi tersebut,
masyarakat berhak menerima informasi yang benar tentang masalah HIV dan
AIDS.
12. ORANG DENGAN HIV DAN AIDS (ODHA)
Peranan ODHA dalam upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS di masa
mendatang semakin penting. Selaras dengan prinsip Greater Involvement of
People with AIDS (GIPA) ODHA berhak berperan pada semua tingkat proses
pecegahan dan penanggulangan mulai dari tingkat perumusan kebijakan sampai
pada monitoring dan evaluasi. Untuk dapat menjalankan peran tersebut, ODHA
baik secara individual maupun organisasi meningkatkan persiapan diri.
Seimbang dengan hak-haknya, ODHA bertanggung jawab untuk mencegah
penularan HIV kepada pasangannya dan orang lain.
BAB V
KERJASAMA INTERNASIONAL
Kerjasama internasional dengan para mitra bilateral dan multilateral adalah suatu
komponen yang bermakna dalam penanggulangan masalah HIV dan AIDS dan telah
dirasakan mamfaatnya. Bantuan telah diberikan antara lain bagi program
peningkatan kapasitas kelembagaan baik di pusat maupun di daerah, program
perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA, program pengurangan dampak
buruk di kalangan penasun , program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
dan program penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja.
Draft final 040107
31
Kerjasama internasional diperlukan dan diharapkan berlanjut, dan implementasinya
mengacu kepada Strategi Nasional 2007-2010 dan Rencana Aksi Nasional 2007-
2010. Berdasarkan Perpres No 75/2006 mobilisasi dan pemanfaatan bantuan dana
dan bantuan teknis dari mitra internasional akan diarahkan dan dikoordinasikan oleh
KPAN. Evaluasi menggunakan sistem monitoring dan evaluasi nasional serta
menggunakan instrumen-instrumen pemantauan yang baku.
Bantuan mitra internasional diperlukan untuk mendukung kegiatan-kegiatan prioritas
penanggulangan HIV dan AIDS untuk 2007-2010, terutama pengembangan
kelembagaan; perawatan, dan pengobatan dukungan terhadap ODHA; peningkatan
upaya pencegahan terutama di kalangan kelompok berperilaku risiko tinggi;
pengembangan dan pemanfaatan sistem monitoring dan evaluasi nasional;
penyediaan obat antiretroviral; pengembangan pencegahan penularan dari ibu ke
anak, penanggulangan masalah-masalah lintas batas HIV dan AIDS, serta penelitian.
KPAN memfasilitasi upaya menuju harmonisasi dan koordinasi di antara para mitra
internasional, dan dengan berbagai sektor pemerintah terkait serta pemangku
kepentingan lainnya (masyarakat, dunia usaha, LSM, universitas). Hal ini bertujuan
juga agar bantuan yang diperlukan dapat tersedia dan menjangkau mereka yang
sangat membutuhkan dengan cepat dan efisien.
Untuk mengetahui dan mendukung pencapaian harmonisasi dan koordinasi yang
lebih kuat dan perencanaan strategis yang baik dari bantuan mitra internasional,
KPAN perlu mempunyai sistem informasi khusus. Agar sistem ini berjalan dengan
baik dan dirasakan manfaatnya, maka KPAN sebagai koordinator memerlukan
dukungan dan partisipasi aktif dari mitra internasional internasional.
BAB VI
PELAKSANAAN STRATEGI NASIONAL
Strategi Nasional HIV dan AIDS dilaksanakan sejalan dengan rencana pembangunan
nasional. Pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, pelaksanaan Stranas akan
disesuaikan dengan rencana pembangunan daerah masing-masing.
Pelaksanaan STRANAS harus konsisten dengan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin
dicapai, serta ditujukan untuk merespon situasi dan kondisi lokal dan nasional HIV
dan AIDS. STRANAS merupakan living document sehingga terbuka untuk perubahan
atas dasar kebutuhan respons.
Peran KPAN dalam pelaksanaan SRTANAS sesuai dengan “Three One Principle” yang
dianjurkan oleh UNAIDS, yaitu (1) setiap negara perlu mempunyai satu institusi yang
mengkoordinasikan upaya penanggulangan, (2) satu strategi nasional yang menjadi
acuan semua pihak dalam menyelenggarakan upaya penanggulangan, dan (3) satu
sistem monitoring dan evaluasi nasional yang berlaku secara nasional.
KPAN menjabarkan lebih lanjut STRANAS dalam suatu RENCANA AKSI NASIONAL
(RAN) untuk periode yang sama. Sektor dan pemangku kepentingan lainnya di
tingkat Pusat dan KPA di Daerah membuat RENCANA STRATEGI PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS bidang masing-masing dan atau daerah dengan menggunakan
STRANAS dan RAN 2007-2010 sebagai acuan utama.
Draft final 040107
32
BAB VII
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk (i) menjamin bahwa program pencegahan
HIV AND AIDS mencapai tingkat efisiensi dan akuntabilitas yang tinggi, (ii)
membantu mengintensifkan dan meningkatkan pelaksanaan program, (iii)
memungkinkan tindakan korektif untuk mengarahkan program, dan (iv)
menghasilkan informasi yang berguna bagi pelaksanaan program serta sebagai
masukan untuk penyusunan program lanjutan. Hasil monitoring dan evalusi
dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan Perpres No. 75 Tahun 2006.
Pedoman Nasional Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan HIV dan AIDS yang telah
diterbitkan (2006) digunakan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
STRANAS 2007 – 2010 bagi KPA di semua tingkat. Pedoman tersebut dibuat
sederhana dan mudah digunakan sehingga dapat membantu KPA di berbagai tingkat
melakukan monev dan pelaporan seperti yang diharapkan.
Sosialisasi dan pelatihan tentang penggunaan Pedoman tersebut akan terus
dilakukan agar pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan dari KPA pada
semua tingkat dapat berjalan secara optimal.
BAB VIII
PENDANAAN
Sejalan dengan makin meningkatnya penularan HIV, program penanggulangan HIV
dan AIDS semakin beragam dengan cakupan yang semakin luas. Peningkatan
tersebut membutuhkan dana yang besar
Dana yang diperlukan untuk melaksanakan STRANAS ini sesuai dengan amanat
Perpres No 75 tahun 2006 bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber-sumber lain.
Sumber lain dimaksud mencakup dana dari swasta, masayarakat dan bantuan
internasional.
Peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam membantu pendanaan untuk
program penanggulangan HIV dan AIDS akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
mobilisasi dana di bawah koordinasi KPA di berbagai tingkat. Bantuan internasional
dalam bentuk hibah dan bantuan teknis digunakan untuk meningkatkan upaya dan
tidak diartikan sebagai pengganti dana yang bersumber dari pemerintah
Pengelolaan dana menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, efisensi , efektivitas
dan harmoni. KPAN mengkoordinasikan mobilisasi dan penggunaan dana untuk
menjamin tidak terjadinya pemborosan dan dipenuhinya prinsip tersebut.
BAB IX
PENUTUP
.
Strategi Nasional ini merupakan respons pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap
epidemi HIV dan AIDS yang semakin meningkat. Dengan Strategi Nasional yang jitu,
dapat dikembangkan program-program pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS yang komprehensif, integratif dan harmonis untuk tahun-tahun mendatang.
Draft final 040107
33
Disadari sepenuhnya bahwa tidaklah mudah melaksanakan program-program yang
besar ini, karena kompleksnya masalah yang dihadapi yang dapat berubah dengan
cepat. Namun dengan kesungguhan, keikhlasan dan dengan tekat yang bulat serta
berbekal pengalaman bangsa Indonesia dalam memecahkan persoalan-persoalan
besar, upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS akan dapat
membuahkan hasil yang diharapkan.
Draft final 040107
34
Draft final 040107
35
Draft final 040107
36
BAB IV
PENYELENGGARA UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh
masyarakat dan pemerintah bersama-sama dibantu oleh mitra internasional.
Pemerintah meliputi departemen, kementerian, lembaga non-departemen dan
dinasdinas
daerah serta TNI dan POLRI. Masyarakat meliputi LSM, swasta dan dunia
usaha, civil soceity lainnya dan masyarakat umum. KPA di semua tingkat berfungsi
sebagai koordinator.
Para pemangku kepentingan mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing
dan bekerja sama dalam semangat kemitraan. Pokok-pokok tugas dan tanggung
jawabmasing-masing penyelenggara adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat
Departemen, Kementerian, Lembaga Non- Departemen, TNI dan POLRI
membentuk Kelompok Kerja Penanggulangan HIV dan AIDS dan membuat
rencana pencegahan dan penanggulangan yang selaras dengan Stranas HIV dan
AIDS 2007 – 2010 sesuai dengan area kegiatan instansi bersangkutan. KPAN
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dari unsur pemerintah pusat.
2. Pemerintah Provinsi
Dinas-dinas Provinsi, Kantor Wilayah dari instansi pusat di provinsi, komando TNI
dan POLRI di provinsi menyelenggarakan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh Gubernur. Pemerintah Propinsi
membentuk dan memfungsikan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan di
propinsi.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota
Dinas-dinas Kabupaten/Kota, Kantor Departemen dari instansi pusat di
kabupaten/kota, komando TNI dan POLRI di kabupaten/kota menyelenggarakan
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh
Bupati/Walikota. Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk dan memfungsikan
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota dan menyediakan sumberdaya
untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan di kabupaten/kota.
6. Pemerintah Kecamatan dan Kelurahan/Desa
Di wilayah kecamatan dan kelurahan /desa yang berpotensi adanya penularan
HIV, dapat dibentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS yang masing-masing dipimpin oleh Camat dan Lurah/Kepala Desa. Tugas
utama adalah menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang dirancang oleh KPA
Kabupaten/Kota.
5. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Draft final 040107
37
DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan kepedulian yang
tinggi menampung informasi dari masyarakat tentang situasi HIV dan AIDS di
wilayah urusannya dan sesuai dengan tugas dan fungsinya membantu upaya
pencegahan dan penanggulangan. Bersama dengan KPAN/KPA di daerah dapat
membentuk Forum Komunikasi.
6. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai penanggung jawab upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia mempunyai tugas
yang sangat berat sehingga memerlukan kawenangan yang jelas untuk dapat
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan efektif.
Tugas pokok dan fungsi KPA Nasional sebagaimana tercantum dalam Perpres No.
75 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:
8.1. Menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman
umum pencegahan, pengendalian dan penaggulangan AIDS;
8.2. Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam
pelaksanaan kegiatan;
8.3. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan,
pelayanan, pemantauan, pengendalian dan penaggulangan AIDS;
8.4. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai
media massa, dalam kaitan dengan pemberitaaan yang tepat dan tidak
menimbulkan keresahan masyarakat;
8.5. Melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan AIDS;
8.6. Mengkoordinasikan pengelolaan dan dan informasi yang terkait dengan
masalah AIDS;
8.7. Mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelkasanaan pencegahan,
pengendalian dan penangulangan AIDS;
8.8. Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
Kabupaten / Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan AIDS.
8. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan
AIDS Kabupaten / Kota
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS
Kabupaten / Kota dibentuk dan dipimpin masing-masing oleh Gubernur dan
Bupati / Walikota. KPA di daerah membantu kelancaran pelaksanaan tugas KPA
Nasional.
Tugas pokok dan fungsi KPA Provinsi dan KPA Kabupaten / Kota adalah sebagai
berikut:
Draft final 040107
38
8.9. Merumuskan kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan
dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya sesuai dengan
kebijakan, strategi dan pedoman yang ditetapkan oleh KPA nadional.
Implementasi dari tugas pokok tersebut meliputi fungsi-fungsi sebagai
berikut:
8.9.1. Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan
pencegahan, pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di
wilayahnya;
8.9.2. Menghimpun, menggerakkan dan memamfaatkan sumberdaya
yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat dan bantuan luar
negeri secara efektif dan efisien
8.9.3. Melakukan bimbingan dan pembinaan kepada pemangku
kepentingan dalam pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah kerjanya
8.9.4. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dan menyampaikan laporan berkala
secara berjenjang kepada KPA Nasional.
9. Masyarakat sipil (Civil soceity)
Civil soceity merupakan mitra kerja yang penting dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi
Non- Pemerintah lainnya seperti Kelompok Dukungan Sebaya telah memberikan
kontribusi yang bermakna karena mampu menjangkau sub-populasi berperilaku
berisiko dan menjadi pendamping dalam proses perawatan dan pengobatan
ODHA. Civil Soceity berperan dalam penyuluhan, pelatihan, pendampingan
ODHA, pemberian dukungan dan konseling serta melakukan pelayanan VCT.
Dimasa mendatang peran ini diharapkan meningkat dan merata di seluruh
wilayah Indonesia. Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat menciptakan
lingkungan yang kondusif sehingga civil soceity dapat menjalankan perannya
dengan tenang dan aman.
9. Dunia Usaha dan sektor swasta
Jenis pekerjaan, lingkungan dan tempat kerja berpotensi bagi pekerja untuk
terpapar HIV. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah mengakui bahwa
HIV dan AIDS sebagai persoalan dunia kerja. Prinsip-prinsip utama Kaidah ILO
tentang HIV dan AIDS dan Dunia Kerja perlu ditingkatkan implementasinya di
dunia kerja Indonesia melalui kesepakatan tripartit. Implementasi Kaidah ILO
tersebut dijabarkan dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja
dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan.
13. Tenaga Profesional, Organisasi Profesi dan Perguruan Tinggi
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan pelibatan
tenaga profesional baik secara individu maupun melalui organisasi profesi dan
Draft final 040107
39
lembaga pendidikan tinggi. Para profesional berperan dalam perumusan
kebijakan, penelitian, riset operasional.
14. Keluarga dan Masyarakat Umum
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan dukungan
masyarakat luas. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat mempunyai tugas
penting dan sangat mulia sebagai benteng pertama dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Ketahanan keluarga dalam arti yang
sesungguhnya perlu tetap diupayakan dan ditingkatkan. Selain itu keluarga
mampu memberikan lingkungan yang kondusif bagi ODHA dengan berempati dan
menjauhkan sikap diskriminatif terhadap mereka.
Masyarakat Umum berperan membantu upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS di lingkungan masing-masing dengan memberikan kemudahan dan
meciptakan lingkungan yang kondusif. Untuk menjalankan fungsi tersebut,
masyarakat berhak menerima informasi yang benar tentang masalah HIV dan
AIDS.
15. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
Peranan ODHA dalam upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS di masa
mendatang semakin penting. Selaras dengan prinsip Greater Involvement of
People with AIDS (GIPA) ODHA berhak berperan pada semua tingkat proses
pecegahan dan penanggulangan mulai dari tingkat perumusan kebijakan sampai
pada monitoring dan evaluasi. Untuk dapat menjalankan peran tersebut, ODHA
baik secara individual maupun organisasi meningkatkan persiapan diri.
Seimbang dengan hak-haknya, ODHA bertanggung jawab untuk mencegah
penularan HIV kepada pasangannya dan orang lain.
BAB V
KERJASAMA INTERNASIONAL
Kerjasama internasional dengan para mitra bilateral dan multilateral adalah suatu
komponen yang bermakna dalam penanggulangan masalah HIV dan AIDS dan telah
dirasakan mamfaatnya. Bantuan telah diberikan antara lain bagi program
peningkatan kapasitas kelembagaan baik di pusat maupun di daerah, program
perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA, program pengurangan dampak
buruk di kalangan penasun , program pencegahan penularan dari ibu ke anak dan
program penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja.
Kerjasama internasional diperlukan dan diharapkan berlanjut, dan implementasinya
mengacu kepada Strategi Nasional 2007-2010 dan Rencana Aksi Nasional 2007-
2010. Berdasarkan Perpres No 75/2006 mobilisasi dan pemanfaatan bantuan dana
dan bantuan teknis dari mitra internasional akan diarahkan dan dikoordinasikan oleh
KPAN. Evaluasimenggunakan sistem monitoring dan evaluasi nasional serta
menggunakan instrumen-instrumen pemantauan yang baku.
Draft final 040107
40
Kerjasama internasional diperlukan untuk mendukung kegiatan-kegiatan prioritas
penanggulangan HIV dan AIDS untuk 2007-2010, terutama pengembangan
kelembagaan; perawatan, dan pengobatan dukungan terhadap ODHA; peningkatan
upaya pencegahan terutama di kalangan kelompok berperilaku risiko tinggi;
pengembangan dan pemanfaatan sistem monitoring dan evaluasi nasional;
penyediaan obat antiretroviral; pengembangan pencegahan penularan dari ibu ke
anak, penanggulangan masalah-masalah lintas batas HIV dan AIDS, serta penelitian.
KPAN memfasilitasi upaya menuju harmonisasi dan koordinasi di antara para mitra
internasional, dan dengan berbagai sektor pemerintah terkait serta stakeholders
lainnya (masyarakat, dunia usaha, LSM, universitas). Hal ini bertujuan juga agar
bantuan yang diperlukan dapat tersedia dan menjangkau mereka yang sangat
membutuhkan dengan cepat dan efisien.
Untuk mendukung pencapaian harmonisasi dan koordinasi yang lebih kuat dan
perencanaan strategis yang baik, KPAN akan menggunakan alat bantu sistem
informasi yang disebut “Development Assistance Database” (DAD). Agar sistem ini
berjalan dengan baik dan dirasakan manfaatnya, maka KPAN sebagai koordinator
DAD memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak terkait yang
terdiri dari pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota), mitra bilateral dan
multilateral, organisasi internasional, dan LSM.
BAB VI
PELAKSANAAN STRATEGI NASIONAL
Strategi Nasional HIV dan AIDS dilaksanakan sejalan dengan rencana pembangunan
nasional. Pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, pelaksanaan Stranas akan
disesuaikan dengan rencana pembangunan daerah masing-masing.
Pelaksanaan STRANAS harus konsisten dengan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin
dicapai, serta ditujukan untuk merespon situasi dan kondisi lokal dan nasional HIV
dan AIDS. STRANAS merupakan living document sehingga terbuka untuk perubahan
atas dasar kebutuhan respons.
Peran KPAN dalam pelaksanaan SRTANAS sesuai dengan “Three Ones Principles”
yang dianjurkan oleh UNAIDS, yaitu (1) setiap negara perlu mempunyai satu institusi
yang mengkoordinasikan upaya penanggulangan, (2) satu strategi nasional yang
menjadi acuan semua pihak dalam menyelenggarakan upaya penanggulangan, dan
(3) satu sistem monitoring dan evaluasi nasional yang berlaku secara nasional.
KPAN menjabarkan lebih lanjut STRANAS dalam suatu RENCANA AKSI NASIONAL
(RAN) untuk periode yang sama. Sektor dan pemangku kepentingan lainnya di
tingkat Pusat dan KPA di Daerah membuat RENCANA STRATEGI PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS bidang masing-masing dan atau daerahdengan menggunakan
STRANaS dan RAN 2007-2010 sebagai acuan utama.
BAB VII
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Draft final 040107
41
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk (i) menjamin bahwa program pencegahan
HIV AND AIDS mencapai tingkat efisiensi dan akuntabilitas yang tinggi, (ii)
membantu mengintensifkan dan meningkatkan pelaksanaan program, (iii)
memungkinkan tindakan korektif untuk mengarahkan program, dan (iv)
menghasilkan informasi yang berguna bagi pelaksanaan program serta sebagai
masukan untuk penyusunan program lanjutan. Hasil monitoring dan evalusi
dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan Perpres No. 75 Tahun 2006.
Pedoman Nasional Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan HIV dan AIDS yang telah
diterbitkan (2006) digunakan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
STRANAS 2007 – 2010 bagi KPA di semua tingkat. Pedoman tersebut dibuat
sederhana dan mudah digunakan sehingga dapat membantu KPA di berbagai tingkat
melakukan monev dan pelaporan seperti yang diharapkan.
Sosialisasi dan pelatihan tentang penggunaan Pedoman tersebut akan terus
dilakukan agar pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan dari KPA pada
semua tingkat dapat berjalan secara optimal.
BAB VIII
Pendanaan
Sejalan dengan makin meningkatnya penularan HIV, program penanggulangan HIV
dan AIDS semakin beragam dengan cakupan yang semakin luas. Peningkatan
tersebut membutuhkan dana yang besar
Dana yang diperlukan untuk melaksanakan STRANAS ini sesuai dengan amanat
Perpres No 75 tahun 2006 bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber-sumber lain.
Sumber lain dimaksud mencakup dana dari swasta, masayarakat dan bantuan
internasional.
Peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam membantu pendanaan untuk
program penanggulangan HIV dan AIDS akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
mobilisasi dana di bawah koordinasi KPA di berbagai tingkat. Bantuan internasional
dalam bentuk hibah dan bantuan teknis digunakan untuk meningkatkan upaya dan
tidak diartikan sebagai pengganti dana yang bersumber dari pemerintah
Pengelolaan dana menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, efisensi , efektivitas
dan harmoni. KPAN mengkoordinasikan mobilisasi dan penggunaan dana untuk
menjamin tidak terjadinya pemborosan dan dipenuhinya prinsip tersebut.
BAB IX
PENUTUP
4. Keterbatasan
Tidak ada kerangka sampel dan sulit mengakses rumah tangga ODHA
Rumah tangga ODHA tidak memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai
responden
Bias pemilihan karena akses kerumah tangga ODHA dipilih oleh JOTHI
Kemungkinan salah dalam menjawab pertanyaan kejadian masa lalu dan perkiraan
oleh responden
Hambatan sosial budaya untuk terbuka dalam keterangan rinci pasangan dan keadaan
keuangan
4
5. Distribusi Responden
5
Jumlah responden terdistribusi secara proporsional dengan jumlah kasus AIDS yang
dilaporkan
6. Profil Responden (%)
6
7. Dampak Pada Pendapatan, Pola Konsumsi, Aset, Tabungan dan Cara Menanggulangi
Masalah
7
8. Pekerjaan
Prosentase Rumah Tangga ODHA yang bekerja di sektor formal (sebagai karyawan)
lebih rendah dari rumah tangga non-ODHA
8
Prosentase Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan
9. Pendapatan yang hilang
o Rerata hilangnya pendapatan akibat merawat anggota rumah tangga yang sakit,
55% lebih tinggi pada rumah tangga ODHA dibanding rumah tangga kontrol
o Hilangnya pendapatan pada responden Laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
9
Rerata Pendapatan Yang Hilang Akibat Merawat ODHA Dalam 1 Bulan Terakhir
Menurut Jenis Kelamin
10. Pendapatan & Pengeluaran
o Rerata pendapatan utama Rumah Tangga ODHA dalam 1 bulan sedikit lebih
rendah dibanding Rumah Tangga Non-ODHA
o Rerata Pengeluaran Rumah Tangga ODHA jauh lebih besar
o Bantuan dari keluarga/pihak lain pada Rumah Tangga ODHA sangat
membantu menutupi sebagian kebutuhan
10
Rerata Pendapatan dan Pengeluaran 1 Bulan Terakhir Menurut Status Rumah Tangga
11
13
14
15
17
Rerata Biaya Kesehatan Dalam 1 Bulan Terakhir Menurut Status Rumah Tangga
18
19
Prosentase Responden ODHA Menurut Infeksi Oportunistik 1 Tahun Terakhir dan
Jenis Kelamin
Prosentase Responden ODHA Menurut Tempat Layanan Kesehatan yang Didatangi
Ketika Mengalami Infeksi Oportunistik
21
22.
o Tingkat putus sekolah pada Rumah Tangga ODHA lebih tinggi
o Putus sekolah pada tingkat SLTP & SLTA lebih tinggi dari SD
o Tingkat sekolah anak perempuan pada Rumah Tangga ODHA hampir 2 kali
lipat anak Laki-laki
22
Putus Sekolah
Prosentase Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin dan Rumah Tangga
25
26. Kesimpulan
26
Related
More by user
0 Favorites
0 Comments
25 Downloads
1,133 Views on
SlideShare
0 Views on
Embeds
1,133 Total Views
Accessibility
Additional Details
Flag as inappropriate
File a copyright complaint
Categories
Health & Medicine
Tags
plwa
aids
economic impact
indonesia
hiv
0
2
0
footer Search
Learn About Us
About
Careers
Our Blog
Press
Contact us
Help & Support
Using SlideShare
SlideShare 101
Terms of Use
Privacy Policy
Copyright & DMCA
Community Guidelines
SlideShare Outside
SlideShare Mobile New
Facebook App
LinkedIn App
Widgets for your blog
SlideShare is the world's largest community for sharing presentations. Upload and
share on blogs, Twitter, Facebook or LinkedIn. Over 60 million people use SlideShare every
month for research, sharing ideas, connecting with others, and generating business leads.
SlideShare also supports documents, PDFs, and videos. Get an account.
Follow @SlideShare
KBR68H - Penyakit tak pernah pandang korban, termasuk HIV/Aids. Anak-anak pun bisa
mengidap virus ini. Di Indonesia, anak-anak dengan HIV belum banyak dapat perhatian.
Inilah yang menyebabkan komunitas Lentera Anak Pelangi memberikan perhatian khusus
pada anak-anak ODHA. Salah satunya Erlangga alias Putra, yang baru saja meninggal dunia
pekan lalu. Reporter KBR68H Ayu Poernamaningrum mengikuti perjalanan Lentera datang
ke rumah anak-anak ini.
Mengunjungi Eka
Pagi-pagi, tim lapangan Lentera Anak Pelangi dari kampus Universitas Atmajaya, Jakarta,
bersiap mengunjungi rumah anak ODHA yang mereka dampingi.
Kami berjalan di sebuah gang kecil di belakang Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.
Selokan di pinggir jalan tampai mulai meluapkan air. Di kiri kanan, tampak tumpukan
sampah setinggi mata kaki. Gang ini sempit, hanya selebar tubuh orang dewasa. Kami
berhenti di depan sepetak rumah, ukuran 3x3 meter.
Eka, 6 tahun, tampak kegirangan menerima camilan yang diberikan tim Lentera. Perempuan
kecil ini tengah bermanja-manja dengan bibi yang merawatnya. Ketika ditanya, apa cita-
citanya kalau besar nanti, Eka menjawab,”Mau sekolah!”
Tapi Eka belum sekolah. Tubuh Eka pun lebih kecil dibandingkan anak-anak seusianya.
Berat tubuhnya 11 kilogram, sama dengan anak usia 2 tahun. Perutnya menonjol ke depan,
penuh dengan guratan urat, karena kelebihan cairan. Sejumlah luka bernanah tampak di
tangan dan kakinya. Mulut Eka terlihat putih, penuh dengan jamur.
Eka adalah salah satu anak pengidap HIV. Orangtuanya meninggal karena Aids saat Eka baru
1 tahun. Eka lantas dirawat oleh paman dan bibinya. Bibi Eka, Nurhayati, semula tak tahu
apa pun soal HIV/Aids. Ia tak tahu seberapa berbahayanya penyakit ini sampai tim Lentera
Anak Pelangi datang dan mengajari cara merawat anak istimewa seperti Eka.”Kita yang
melihara, nggak ada yang lain. Terpaksa deh,” kata Nurhayati.
Eka tak sulit makan, kata Nur, meski kenyataannya berat Eka di bawah normal. Kata Nur,
Eka sering jajan di warung dekat rumahnya. Nur yakin, perut Eka yang membesar justru
karena kebanyakan makan. “Yah kalau makan bubur juga banyak, sepiring,” kata Nur yakin.
Nur mengaku pilu jika Eka sedang sakit. Tapi ia tak bisa berbuat banyak, karena ia tak
bekerja. Sementara suaminya hanyalah kuli panggul di Pasar Induk Kramat
Jati. Penghasilannya hanya untuk dua kali makan dalam sehari. “Kalau dibilangin dari sana,
katanya nih Eka harus diberi obat sehari-harinya. Cuma saya masih ragu. Takutnya keseleo
doang.”
Menilik kondisi Eka, tim Lentera menduga bibinya berbohong soal perawatan Eka. Eka
diduga tak diberi makan cukup sehingga mengalami gizi buruk. Padahal ia baru saja keluar
rumah sakit karena hal serupa. Natasya Sitorus, Koordinator Divisi Psikososial Lentera Anak
Pelangi menilai perawatan Eka terkendala karena bibinya juga harus merawat 3 sepupu Eka
yang lain. “Sesudah keluar dari rumah sakit, kondisinya bisa memburuk lagi karena ternyata
di rumah tidak disediakan makanan yang cukup
bergizi, sanitasi tidak diperhatikan.”
Kondisi Putra memburuk, seiring kakaknya, Yolanda kembali dari rumah sakit. Yolanda dan
Putra mengiddap HIV sejak lahir. Penyakit ini baru diketahui ibunya, ketika Yolanda masuk
rumah sakit. Saat itu usianya 6 tahun.”Aku memang sudah tidak sama bapaknya Yolanda.
Tapi aku sudah punya anak dari suami yang baru. Sedangkan Erlangga ini kan umurnya
setahun waktu itu. Dari situ aku bingung. Kalau misalnya Yolanda kena, aku kena, pasti
kenanya dari aku. Pasti Erlangga juga kena.”
Penyakit ini masih dirahasiakan Wilda dari keluarga dan kerabatnya. “Kita top secret banget.
Keluarga, tadinya yang tahu hanya ibu dan kakak. Pas kemarin Yolanda sakit, kan sudah di
ICU. Mereka cuma mikir-mikir itu dari apa. Dari situ mungkin ketahuan ya kalau
penyakitnya kayak gitu.” Ia tak soal kalau ada yang tahu penyakit anaknya, yang juga
diidapnya. “Asal jangan dijauhi keluarga,” begitu pintanya.
Putra dan Yolanda lebih beruntung ketimbang Eka. Sebab ibunya punya pengetahuan lebih
dalam merawat anak-anak dengan HIV. Begitu tahu kedua anaknya mengidap virus ini,
Wilda segera mencari tahu tentang penyakit ini lebih jauh. Wilda mengaku masih suka
kebingungan menghadapi anaknya yang sakit. Di sinilah tim Lentera Anak Pelangi datang
membantu. Selain soal mengurus anak, Lentera juga membantu Wilda memperoleh rujukan
kesehatan.
Perjalanan tim lapangan Lentera Anak Pelangi jadi panduan bagi komunitas tersebut untuk
memberikan bantuan. Bantuan apa saja yang dapat diberikan Lentera Anak Pelangi?
Lentera Anak Pelangi lahir dari sebuah penelitian lapangan soal anak-anak HIV/Aids di
Universitas Atmajaya, Jakarta. Karena dianggap membantu, banyak LSM yang meminta
program penelitian lapangan itu berlanjut. Lentera pun terbentuk pada 2009.
Di awal, ada 140-an anak positif dan negatif HIV/Aids ditangani oleh komunitas tersebut,
kata Manajer Kasus Lentera, Rovina Tarigan. Anak-anak ini berasal dari keluarga miskin,
yang biasanya tak punya informasi memadai soal penanganan HIV/Aids. Ada juga anak-anak
yang tak mengidap HIV tapi tetap didampingi Lentera. Mereka kerap diabaikan oleh
orangtuanya yang ODHA.
“Anak-anak ini kan dari orangtua yang positif. Biasanya orangtua mereka ini ada juga yang
menggunakan metadon. Walaupun mereka menggunakan metadon, ada yang mencampur
metadon dengan obat-obatan lain. Akhirnya mereka putus asa dan pakai lagi bersama-sama,”
kata Vina.
Karena kekurangan sumber daya manusia, Lentera harus mengutamakan 28 anak yang
positif HIV sebagai bimbingannya. Anak-anak ini biasanya berasal dari orangtua ODHA dan
penganan kesehatannya kurang. Mereka lah yang mendapat kunjungan rutin ke rumah,
minimal sekali sebulan. “Sekarang ini donatur kita nggak ada, jadi kita prioritaskan untuk
anak-anak yang HIV positif.”
Untuk mendukung program pemantauan anak pengidap HIV/Aids, Lentera membuat empat
divisi, yakni divisi manajer kasus, psikososial, kesehatan, dan advokasi. Namun, dengan
hanya 6 pekerja, sulit. Asisten Koordinator Program Lentera, Gracia Simanulang atau Sisi.
“Ujung tombaknya adlah manajemen kasus. Dua layanan utama yang diberikan adalah
kesehatan dan psikososial.”
Dengan segala keterbatasannya, Lentera tetap melayani anak-anak dan orangtua pengidap
HIV AIDS. Kata Sisi, mereka kini menggandeng sejumlah instansi dan LSM untuk
membantu keberlangsungan kunjungan rumah rutin mereka. “Yang langsung misalnya
pemberi layanan kesehatan, misalnya rumah sakit, puskesmas dan juga LSM yang juga
menangani HIV, nggak khusus ke anak.”
Kerjasama ini penting untuk terus memantau kondisi anak-anak dengan HIV. Manajer Kasus
Lentera, Vina mengatakan, lembaga lain bisa ikut menyumbang pemeriksaan media, atau
bantuan lain seperti susu. “Misalnya susu, kita juga minta pertolongan ke Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi. Ada lagi rujukan ke tempat lain, misalnya ke YPI,”
tambahnya. YPI yang dimaksud adalah Yayasan Pelita Ilmu, salah satu LSM pemerhati
HIV/Aids.
Menurut Koordinator Psikososial Lentera, Natasya Sitorus, kerjasama yang paling penting
adalah antara Lentera dengan orangtua anak-anak ODHA. Orangtua punya peran utama untuk
memantau kesehatan anak-anak mereka. Kalau butuh tambahan informasi, Lentera siap
memberikan penyuluhan dan konseling. “Kita bisa sampai berbusa-busa ngomongin edukasi
mereka,” kata Tasya. Menurut dia, ini adalah salah satu tahap paling sulit, dan paling
membutuhkan kesabaran. “Butuh waktu yang intensif untuk mengingatkan mereka, untuk
lebih peduli kesehatan dan kebersihan anak-anaknya.”
Membantu Anak
Lentera juga membantu mendorong rasa percaya diri anak ODHA. Kondisi fisik mereka yang
berbeda akibat gerogotan virus, seringkali membuat mereka tak mau keluar rumah. Ukuran
tubuh yang kecil dari teman sebaya, membuat mereka malas sekolah. Atau malu bermain
dengan teman-teman, akibat luka nanah di tubuh. “Ada salah satu dampingan kita, dia
sebetulnya pintar di sekolah. Cuma karena dia korengan segala macam, akhirnya teman-
temannya ada yang mengejek. Dia malu, nggak berani pergi ke sekolah. Akhirnya diobatin
dulu korengnya, baru dia timbul percaya diri,” tambah Tasya.
Tasya mengatakan, status HIV dan Aids seringkali disembunyikan orangtua. Demi
menghindarkan diskriminasi, itu alasan yang paling sering. Padahal menyimpan rahasia
bukanlah hal yang terbaik, karena jadi tak tahu kebutuhan yang diperlukan. Di sinilah Lentera
datang membantu: memberikan informasi seputar perawatan anak-anak dengan HIV/Aids.
Kata Tasya, Lentera hanya berperan sebagai pembimbing dan pemantau. Yang paling penting
adalah peran orangtua.
Tasya juga meminta masyarakat agar tidak mengucilkan para pengidap HIV AIDS. “Stop
diskriminasinya dulu. Bahwa mereka ODHA, mau dia karena pengguna narkoba suntik atau
dia tertular dari suaminya atau dia adalah pekerja seks, atau dia adalah anak dari seorang
ODHA, dari mana pun dia mendapatkan HIV itu, dia adalah manusia. Dia masih punya hak
hidup,” tandas Tasya.
Walau hanya mengawal orangtua anak ODHA, Lentera berharap supaya kegiatan mereka
terus berjalan. Asisten Koordinator Program, Sisi berharap makin banyak orang yang peduli
pada para anak-anak dengan HIV. Supaya penyebaran virus bisa ditekan. “Anak-anak itu
memang butuh sekali program, dan orang-orang yang bisa membantu mereka.”
HIV/Aids sejauh ini belum dapat disembuhkan. Tapi orang-orang dengan virus ini bisa terus
berumur panjang. Wilda, ibu dari dua anak ODHA, berharap bisa bersama anak-anaknya
sampai waktu yang lama. “Aku cuma ingin dia hidup kayak orang normal. Biar sekolah
tinggi. Aku ingin bisa lihat dia sampai menikah. Itu saja.”
eRelated News
Merawat
Odha
di
Rumah
spiritia
Supriono, anggota komisi I DPRD kota Blitar ketika dikonfirmasi di gedung dewan Senin
siang (10/10) mengakui, dari sisi kedisiplinan pegawai terutama PNS dilingkup pemerintah
Kota Blitar, sudah mengalami tren kenaikan dibandingkan tahun lalu, namun hal itu masih
perlu ditingkatkan. Disisi lain sidak juga masih perlu dilakukan untuk meningkatkan disiplin
PNS dimaksud. Sementara berkaitan dengan pemberian sanksi bagi PNS yang kedapatan
tidak disiplin dalam upacara, menurutnya hal itu perlu dikaji kembali dan pemberian sanksi
tetap disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Menanggapi hal ini Dra. Rusmiatun, Inspektur daerah Kota Blitar saat dikonfirmasi terpisah
mengatakan, selama ini pengawasan untuk meningkatkan disiplin PNS terus ia lakukan
secara maksimal. Disinggung mengenai sanksi yang dikenakan kepada PNS yang kedapatan
tidak disiplin, pihaknya tetap mengacu pada peraturan yang berlaku yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS.
”Sementara berkaitan dengan sidak yang kabarnya akan dilakukan dengan sasaran hingga
rumah PNS bersangkutan, selain rumah makan atau tempat-tempat umum pada jam kerja,
pihaknya enggan menjelaskan, namun sesuai ketentuan seorang PNS tetap terikat jam kerja
sesuai ketentuan mulai pukul 07.00 WIB s/d 15.00 WIB,” imbuh Rusminatun.(yuk)
More Articles...
Font size:
Menurut dia, saat menyampaikan paparan mengenai refleksi penanggulangan AIDS secara
komprehensif di Indonesia, di ruang Borobudur Hotel Inna Garuda Yogyakarta, Senin, saat
ini pemerintah baru menggelontorkan dana sebesar Rp 85,9 miliar khusus untuk mensubsidi
pengobatan ARV, dari Rp 136 miliar dana kesehatan khusus penanggulangan HIV dan AIDS
di Indonesia pada 2011.
"Data terbaru Kementerian Kesehatan hingga Juni 2011, jumlah orang yang terinfeksi HIV
dan perlu pengobatan ARV segera di Indonesia adalah sebanyak 29.012 orang, dan baru
terpenuhi 76 persennya saja," kata dia.
Endang melanjutkan, jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia yang telah memperoleh
pengobatan ARV hingga Juni 2011 adalah sebanyak 21.775 orang.
Berdasarkan hasil survei perubahan perilaku yang dirilis Kementerian Kesehatan, sebanyak
55 persen dari keseluruhan infeksi baru HIV dan kasus AIDS disebabkan oleh hubungan seks
heteroseksual, atau naik dua persen dibandingkan lima tahun lalu.
Terkait fenomena tersebut, kementerian memprioritaskan penanganan HIV dan AIDS pada
2011 yang difokuskan pada upaya promotif preventif dengan mengedepankan pemberdayaan
masyarakat, selain terus melakukan sosialisasi penggunaan kondom dalam melakukan
hubungan seksual beresiko.
Sementara untuk sosialisasi penggunaan kondom bagi kalangan pelaku seks beresiko tinggi
terinfeksi HIV, kementerian akan mendorong penyusunan regulasi tentang pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di seluruh daerah, dan penyuluhan penggunaan kondom di
berbagai lokasi yang beresiko terjadinya penularan, seperti kafe, lokalisasi, dan tempat kerja
di lepas pantai, pertambangan, dan kawasan hutan.
Endang juga mengakui, sejumlah target yang dicanangkan Kementerian saat ini masih
banyak yang belum tercapai.
Beberapa target yang belum tercapai itu diantaranya adalah penurunan prevalensi orang yang
terinfeksi HIV menjadi 0,2 saat ini masih belum tercapai dan baru mencapai 0,24.
Selain itu, penyuluhan pengetahuan komprehensif bagi remaja usia di bawah 15 tahun juga
masih jauh dari target yang dicanangkan sebesar 65 persen, dan baru tercapai 11,4 persen.
Selain itu, jumlah klinik VCT yang masih kurang di Indonesia, baru berjumlah 388 unit juga
dianggap menjadi salah satu permasalahan serius HIV di Indonesia yang belum teratasi.
Sementara sosialisasi tentang HIV di lembaga pemasyarakatan juga masih belum maksimal,
dan dianggap mengakibatkan penyebaran virus tersebut di lingkungan penjara masih tinggi.
(abd)
Share |
Font size:
Menurut dia, saat menyampaikan paparan mengenai refleksi penanggulangan AIDS secara
komprehensif di Indonesia, di ruang Borobudur Hotel Inna Garuda Yogyakarta, Senin, saat
ini pemerintah baru menggelontorkan dana sebesar Rp 85,9 miliar khusus untuk mensubsidi
pengobatan ARV, dari Rp 136 miliar dana kesehatan khusus penanggulangan HIV dan AIDS
di Indonesia pada 2011.
"Data terbaru Kementerian Kesehatan hingga Juni 2011, jumlah orang yang terinfeksi HIV
dan perlu pengobatan ARV segera di Indonesia adalah sebanyak 29.012 orang, dan baru
terpenuhi 76 persennya saja," kata dia.
Endang melanjutkan, jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia yang telah memperoleh
pengobatan ARV hingga Juni 2011 adalah sebanyak 21.775 orang.
Berdasarkan hasil survei perubahan perilaku yang dirilis Kementerian Kesehatan, sebanyak
55 persen dari keseluruhan infeksi baru HIV dan kasus AIDS disebabkan oleh hubungan seks
heteroseksual, atau naik dua persen dibandingkan lima tahun lalu.
Terkait fenomena tersebut, kementerian memprioritaskan penanganan HIV dan AIDS pada
2011 yang difokuskan pada upaya promotif preventif dengan mengedepankan pemberdayaan
masyarakat, selain terus melakukan sosialisasi penggunaan kondom dalam melakukan
hubungan seksual beresiko.
Sementara untuk sosialisasi penggunaan kondom bagi kalangan pelaku seks beresiko tinggi
terinfeksi HIV, kementerian akan mendorong penyusunan regulasi tentang pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di seluruh daerah, dan penyuluhan penggunaan kondom di
berbagai lokasi yang beresiko terjadinya penularan, seperti kafe, lokalisasi, dan tempat kerja
di lepas pantai, pertambangan, dan kawasan hutan.
Endang juga mengakui, sejumlah target yang dicanangkan Kementerian saat ini masih
banyak yang belum tercapai.
Beberapa target yang belum tercapai itu diantaranya adalah penurunan prevalensi orang yang
terinfeksi HIV menjadi 0,2 saat ini masih belum tercapai dan baru mencapai 0,24.
Selain itu, penyuluhan pengetahuan komprehensif bagi remaja usia di bawah 15 tahun juga
masih jauh dari target yang dicanangkan sebesar 65 persen, dan baru tercapai 11,4 persen.
Selain itu, jumlah klinik VCT yang masih kurang di Indonesia, baru berjumlah 388 unit juga
dianggap menjadi salah satu permasalahan serius HIV di Indonesia yang belum teratasi.
Sementara sosialisasi tentang HIV di lembaga pemasyarakatan juga masih belum maksimal,
dan dianggap mengakibatkan penyebaran virus tersebut di lingkungan penjara masih tinggi.
(abd)
Share |
kesehatannya.( sumber : wikipedia )
Wadoh kalo ane jadi istrinye pas bangun end sadar dah kutabokin
tuwh suami, bisa-bisanya mengajukan euthanasia atas diriku, padahal
yang punya hidup kan Alloh SWT!!
Yah tapi ga bisa dipungkiri juga beban mereka yang menanggungnya
kalo da yang sakit begini, kalo nolongin doa mah pasti banyak tapi
kalo masalah materi well sesukarelanya aja orang lain menolong,
apakah cekap semonten mengingat billing berjut JUT JUTaaaa???!
Ajaran Agama manapun ga ada yang mengajarkan untuk terjadinya
euthanasia karena inti dari yang punya kehidupan adalah Tuhan,
dengan menghilangkan nyawa seseorang adalah sebuah dosa besar…
Well tergantung dari mana sekarang kita menanggapi euthanasia,
masing masing kasus tentunya berbeda toh, sebisa dan seoptimal
mungkin sebagai tim medis mempertahankan kelangsungan hidup
seorang manusia meskipun secara rasio sudah tidak memungkinkan
lagi.Tentu kami masih punya hati nurani, karena kami hanyalah
manusia biasa, andaikan kami dihadapkan pilihan 2 nyawa
dipertaruhkan sedangkan salah satu kemungkinannya tipis maka
kami akan berusaha keras menyelamatkan yang kemungkinan
hidupnya lebih besar daripada yang tidak, namun kembali lagi itu
merupakan keputusan hak yang paling asasi dari yang paling
berwenang atas hidupnya sendiri kami tak punya wewenang
memutuskan. Secara kasus biar hukum yang menegakkan sengketa
ini,karena ini bukanlah keputusan orang ke orang hidup matinya, ada
baiknya diperdebatkan ada baiknya dipersulit. Kali aja saking
ribetnya trus berubah pikiran ga jadi euthanasia!
Semoga bermanfaat-end of the story.
Oleh: aidsmeds.com
Hampir sepertiga orang dengan HIV dari lima klinik di London, Inggris melaporkan
memikirkan untuk bunuh diri baru-baru ini. Hal ini berdasarkan sebuah penelitian yang
diterbitkan dalam jurnal AIDS edisi 20 Agustus 2008.
Beberapa penelitian menemukan bahwa tingkat depresi dan kecemasan adalah lebih tinggi
pada orang yang hidup dengan HIV dibandingkan rekannya yang HIV-negatif. Untuk
menentukan frekuensi pasien HIV-positif mengalami keinginan dan bayangan rencana bunuh
diri (ideation), Lorraine Sherr, PhD, dari Royal Free and College Medical School di London,
Inggris dan rekan mendaftarkan 778 pasien HIV-positif dari lima klinik di London. Kurang
lebih separuh pasiennya tidak lahir di Inggris, 67% berkulit putih dan 65% adalah laki-laki
gay.
Sherr dan rekan meminta para relawan penelitian untuk mengisi angket yang luas tentang
kesehatan mereka secara fisik dan psikologis. Tiga puluh satu persen relawan melaporkan
keinginan bunuh diri selama tujuh hari terakhir. Di antara mereka, kurang lebih 5%
mengatakan bahwa keinginan bunuh diri tersebut tetap ada, dan 11% mengatakan sering
mengalaminya. Laki-laki heteroseks hampir 50% lebih mungkin melaporkan keinginan
bunuh diri dibandingkan perempuan heteroseksatau laki-laki gay. Relawan yang tidak lahir di
Inggris cenderung melaporkan frekuensi keinginan bunuh diri yang lebih tinggi.
Para peneliti mengatakan bahwa hasil penelitian mereka “mengkhawatirkan,” dan walaupun mereka
mengakui bahwa sampel dari klinik tersebut mungkin tidak dapat mewakili populasi orang dengan
HIV secara umum, mereka berpendapat bahwa pencegahan bunuh diri harus dimasukkan dalam
perawatan ruAnjungan Tunai Mandiri atau yang lebih dikenal dengan nama ATM, bukan hanya
sebagai mesin penarikan uang tunai. Di beberapa negara mesin berbentuk kotak ini juga digunakan
sebagai mesin penjual minuman dan rokok. Seiring dengan berkembangnya kebudayaan dan
kebutuhan manusia, mesin ini sekarang bisa digunakan sebagai “penarikan” kondom dan dikenal
dengan istilah ATM kondom.
ATM kondom atau Condom Vending Machine (CVM) tidak jauh beda cara pemakaiannya dengan
masin penjual minuman atau mesin penjual rokok di kota-kota besar. Hanya dengan memasukkan
tiga koin Rp 500, anda sudah bisa mendapatkan sekotak kondom yang berisi tiga kondom dengan
berbagai pilihan rasa. Seperti strowberry, vanilla, dan cokelat.
Bagi sebagian masyarakat di kota-kota besar, mendengar ATM kondom bukan hal yang asing, karena
sebenarnya kebijakan pemerintah untuk menyediakan ATM kondom di beberapa daerah mulai
bergulir 2003 lalu.
Mengapa pemerintah melalui lembaganya seperti Dinas Kesehatan dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) sangat bersemangat mengampanyekan dan memperbanyak ATM
kondom. Pemerintah mengkhawatirkan penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan
semakin meningkatnya jumlah penderita AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) di Indonesia.
Bangsa Indonesia memang belajar dari negara-negara maju yang berhasil dengan program ATM
kondomnya. Di luar negeri penyebaran HIV dan jumlah penderita AIDS bisa ditekan dan dicegah
dengan pengadaan ATM kondom.
Kebijakan pemerintah ini tidak begitu saja diterima. Beberapa organisasi islam seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) turut bersuara keras terhadap kebijakan ini. Kalangan mahasiswa di beberapa
daerah seperti Bogor, menggelar aksi menentang masuknya ATM kondom di daerahnya.
Pihak yang menolak penyediaan ATM kondom berpendapat bahwa pengadaan ATM kondom
menyebabkan makin maraknya perilaku seks bebas atau free sex dikalangan remaja. Dengan adanya
ATM Kondom, maka kalangan remaja akan beranggapan bahwa boleh saja melakukan hubungan
seks diluar nikah asalkan menggunakan kondom.
Alasan penolakan terhadap ATM kondom juga didasari pada segi pengawasan ATM Kondom. Karena
ATM kondom tidak ada yang mengawasi, akibatnya siapa saja akan leluasa mendapatkan kondom,
asalkan punya uang yang cukup. Walaupun peletakan ATM ini diupanyakan di tempat-tempat yang
tidak mudah dijangkau oleh umum.
Dilihat dari tujuan penyediaan ATM kondom di Indonesia adalah untuk mengurangi penyebaran HIV,
karena diduga penyebab terbesar penyebaran HIV adalah karena maraknya seks bebas yang tidak
aman.
Di Indonesia, penyebaran HIV terutama disebabkan oleh jarus suntik para pengguna Narkoba. Dari
data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
penyebab utama penyebaran HIVadalah melalui jarum suntik atau Injecting Drugs User (IDU) para
pengguna Narkoba sekitar 40-70 %. Penyebab kedua adalah melalui Pekerja Seks komersil (PSK).
UNAIDS melaporkan bahwa Indonesia memasuki tahap awal epidemi (wabah) AIDS.
Menurut lembaga itu, penyebaran tercepat penyakit itu melalui pertukaran jarum suntik pada
pengguna narkotika, serta pelacur dan para pelanggannya.
Sementara cara penularan kasus AIDS kumulatif tertinggi banyak terjadi melalui pengguna
jarum suntik (intravena drug user/IDU) sebanyak 48,9% disusul heteroseksual 39,4% dan
homoseksual 4,8%. Tercatat kelompok umur 20-29 tahun memiliki peringkat tertinggi dalam
proporsi kumulatif kasus AIDS yaitu sebesar 54,07%, selanjutnya kelompok umur 30-39
tahun sebesar 25,86% dan kelompok umur 40-49 tahun sebesar 8,48%.
Dari data tersebut, kebijakan pemerintah melakukan penyediaan ATM kondom untuk para pengguna
jasa PSK merupakan kebijakan yang salah, karena sebagian besar penularan HIV kebanyakan adalah
melalui jarum suntik. Artinya pencegahan penularan HIV baru tingkat pengguna Jasa PSK. Sedangkan
untuk penularan HIV terhadap pengguna Narkoba jarum suntik belum ada kebijakan yang jelas.
Artinya kebijakan pemerintah belum menyelesaikan permasalahan penyebaran HIV secara
keseluruhan. Kebijakan pemerintah hanya bersifat setengah-setengah dan menyebabkan tidak
tuntasnya sebuah permasalahan. Penyebab utama dari masalah tersebut tidak terpecahkan.
Jangan sampai kebijakan pengadaan ATM kondom, yang harga per unitnya mencapai Rp 7,5 juta ini
hanya dijadikan sebagai lahan proyek bagi pemerintah. Bagaiman kebijakan akan berjalan dengan
baik jika sejak awal sudah dikotori oleh sikap korup untuk mencari keuntungan pribadi.
Lampung pun tidak lepas dari imbas kebijakan ATM kondom yang digalakkan pemerintah. Di
beberapa daerah bahkan sudah tegap berdiri mesin ATM kondom yang berbentuk seperti gardu
listrik dengan logo lingkaran biru.
Berdasarkan data dari 2001 hingga 2005, di Propinsi Lampung jumlah kasus HIV berjumlah 110,
penderita AIDS 65, dan meninggal akibat AIDS 28. Untuk kota Bandar Lampung, kasus HIV 85,
penderita AIDS 52, dan korban meninggal akibat AIDS 19.
Untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS yang makin meningkat, Pemerintah Propinsi Lampung
telah menyediakan ATM kondom di klinik Keluarga Berencana CV Bumi Waras Bandar lampung dan
PT Sweet Indo Lampung (SIL) Tulang Bawang. Kebijakan ini akan diterapkan di daerah daerah lain
seperti Lampung Tengah dan Lampung Selatan.
Sebelum pemerintah lebih jauh menerapkan ATM kondom di lampung. Ada beberapa hal yang perlu
dipertanyakan. Efektifkah penyediaan ATM kondom untuk mencegah penyebaran HIV?. Karena jika
kebijakan ini tidak efektif, dana yang dikeluarkan pun tidak efektif.
Yang harus dikaji adalah penyebab utama penyebaran HIV di suatu daerah, tidak semua daerah
penyebab uatama penyebaran HIV melalui hubungan seks, karena ada daerah yang penyebab
penularan HIV melalui jarum suntik. Lalu apa penyebab utama penyebaran HIV di Lampung,
sudahkah ada penelitian ke arah sana?.
Data dari Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3PL) Dinas Kesehatan
Provinsi Lampung menunjukkan penularan HIV berubah dari heteroseksual ke penggunaan narkoba
suntik. Data tersebut juga menunjukkan Sepanjang 2005 kasus HIV mencapai 110 dan AIDS 60.
Korban meninggal 21, dan 80% penularan HIV/AIDS berasal dari jarum suntik.
Penyebaran HIV di Lampung, disebabkan oleh jarum suntik, jika Pemerintah tetap menyediakan ATM
kondom, berarti kebijkan pemerintah tidak menyelesaikan masalah penyebaran HIV secara
keseluruhan. Jadi apa solusi pemerintah untuk mengatasi penyebaran HIV yang disebabkan oleh
pengguna Narkoba jarum suntik.
Hal lain yang menyebabkan kebijakan ATM kondom tidak efektif adalah para pengguna jasa PSK
banyak yang tidak mau mengenakan kondom. Hal ini terbukti ketika terjadi pembagian kondom
secara geratis di beberapa rumah hiburan ternyata malah banyak pria yang tidak menggunakan
kondom saat berhubungan seks.
Penelitian Yayasan Kerti Praja membuktikan selama enam tahun (1994-2000), dimana mereka setiap
hari menaruh kondom diatas meja setiap kamar PSK bekerja. Ternyata sebagian besar pelanggan (60
persen) tidak mau menggunakan kondom. Ini fakta. Lalu masih efektifkah ATM Kondom menekan
laju perkembangan HIV/AIDS.
Mengapa fenomena ini terjadi. Masyarakat Indonesia belum banyak yang mengetahui arti
penggunaan kondom dan bahaya penyakit AIDS. Kebanyakan PSK adalah golongan ekonomi lemah
dan berpendidikan rendah, sehingga belum banyak mengetahui pengunaan kondom dan bahaya
penyakit AIDS yang bisa menyebabkan kematian.
Dengan makin maraknya kampanye penggunaan kondom, diharapkan makin banyak yang
menggunakan kondom, sehingga fasilitas yang disediakan pemerintah tidak percuma.
Fakta yang ada di tempat pelacuran, seperti di Saritem, hanya 5% saja yang memakai kondom.
Namun, setelah diberikan penerangan, ada peningkatan pemakaian kondom sekira 30-40%. Wajib
pakai kondom bagi mereka yang berisiko tinggi harus terus disosialisasikan. Jadi, yang perlu disoroti
bukan masalah kemudahan dari alat, tapi mendidik secara moral.
Hal berikutnya yang masih merupakan tugas pemerintah adalah pengawasan ATM kondom, hal
inilah yang dikhawatirkan para orang tua dan organisasi-organisasi islam. Jika ATM ini tidak diawasi
dengan baik, bukan tidak mungkin ATM ini akan mudah diakses oleh kalangan remaja.
Jika pemerintah bisa memberikan solusi terhadap semua permasalahan ini, bukan tidak mungkin
kehawatiran orang tua, para ulama, dan organisasi yang awalnya menolak kebijakan ini, malah ikut
mendukung kebijakan pemerintah.
Haruskah pemerintah tergesa-gesa mengelurakan kebijakan tanpa dikaji terlebih dahulu akar
permasalahannya. Sebuah kebijakan juga harus diteliti dampak positif dan negatif yang ditimbulkan.
Jangan sampai mengeluarkan solusi yang ternyata menambah sebuah permasalahan.
A. Latar Belakang
Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti misalnya prostitusi,
pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, pendamping (escorts), dan penari
telanjang. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau
tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali
menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga
pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan
terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.
“Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada
seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut.” Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks
di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual.
Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia
karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan
menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia,
kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia.
Tindak kriminal seksual dibagi ke dalam dua kategori: mereka yang menjadi korban dan
mereka yang bukan.
Dari perspektif korban, pemerkosaan orang dewasa, pemerkosaan anak-anak dan remaja, dan
penyerangan seksual masuk ke dalam kategori tindak kriminal karena seseorang telah
menjadi korban. Sementara itu, aktivitas seksual yang dipersiapkan melalui persetujuan
kedua belah pihak, prostitusi dan pornografi, “tidak ada korbannya” (victim-less). Artinya,
pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang saling dirugikan.
Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak
perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali
melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan
mengirimnya ke panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya, tetapi hal ini tidak membuat
jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa
melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa
mereka dan memang tidak ada pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena
takut dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur. Selain itu
Pemerintah kurang serius menangani masalah pelacuran ini, terbukti razia-razia yang
bertujuan untuk mengurangi pelacuran itu tidak berhasil.
Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini
anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas
atau pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan
mitos keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka
yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan kerja
yang kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka
para pelacur itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak dalam
kepelacuran itu sendiri.
Makalah ini difokuskan terhadap hukum yang membungkus kategori victim-less sebagai
perbuatan seks kriminal. Apabila mengacu pada pendapat di atas, maka hukuman terhadap
victim-less yang dipandang sebagai tindak kriminal sebaiknya dieliminasi dan lebih jauh
aktivitas seperti itu sebaiknya didekriminalisasi (decriminalized). Persoalannya, mungkinkah
dekriminalisasi prostitusi dikembangkan di Indonesia?
Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik prostitusi, ada
beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual
atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah
pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan
dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau
lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan
sebagai tindakan kriminal.
Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi
ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia,
sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap
“menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang “bermoral” dan
“beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah prostitusi. Langkah pertama
yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan
seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada
“kesenangan seksual” (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya
karena berkaitan dengan “kesenangan seksual” yang menjadi hak asasi seseorang.
C. Identifikasi Masalah
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti bahwa
paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat.
Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah adalah liberalisasi
seks komersial tersebut.
Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi pada
praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan
prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat,
khususnya generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan paradigma
prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas
seksual?
Menurut hemat penulis, tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan
liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa. Intinya,
Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah
besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas
di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.
Fakta lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat ditemukan di mana saja dan
bahwa sebagian besar orang dapat melihat produk tersebut. Jika hukum memandang aktivitas
ini, yang melibatkan banyak orang, sebagai ilegal, berarti hukum ketinggalan zaman dan
harus diubah dan diperbarui. Indonesia sangat mungkin melakukan penataan terhadap
prostitusi. Pemerintah dapat memberikan lisensi bisnis kepada prostitusi dan menjamin
mereka yang menjajakan seks untuk memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik
sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Belanda. Kewajiban pemerintah adalah memberikan
pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka terhindar dari konsekuensi
keterlibatan mereka dalam kegiatan seks komersial.
BAGIAN II
PEMBAHASAN MASALAH
A. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya memproteksi hak
perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial yang disebabkan prostitusi. Apabila
demikian adanya, lalu apakah Indonesia perlu melegalkan prostitusi? Penulis menolak tegas
gagasan legalisasi prostitusi di Indonesia, tetapi yang penulis setuju adalah bagaimana
gagasan “dekriminalisasi prostitusi” dapat diwacanakan kepada publik dan
diimplementasikan dalam regulasi pemerintah.
Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai suatu isu moral.
Jika dua orang dewasa mencapai kesepakatan menyangkut persetujuan mengenai seks, kita
sebaiknya tidak memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun alasannya.
Apakah kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang perlu dicermati prostitusi
dipandang dari dimensi moral, dan pada dimensi inilah pemerintah seharusnya melakukan
kajian dan hasilnya didiseminasikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan
termotivasi untuk memberdayakan norma dan nilai agama dalam mengendalikan atau
menghentikan praktik prostitusi secara sistematis melalui sebuah proses jangka panjang.
Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi? Hingga sekarang,
belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan
mengeliminasi semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah
Indonesia hanya sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi
lainnya, hal itu justru akan mendorong prostitusi berlangsung secara “bawah tanah”.
Pada tahap berikutnya, prostitusi bawah tanah ini akan mendorong munculnya campur tangan
organisasi kriminal terorganisasi maupun korupsi di kalangan penegak hukum, dan muncul
masalah sosial lainnya. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti,
akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan menemukan solusi efektif untuk
menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang
terlalu emosional. Wujud dari pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual adalah
munculnya kebijakan nasional yang mendorong pemerintah daerah membuat konsep “pusat
kesenangan seksual” dengan cara mendirikan bangunan besar dan bertingkat di pusat bisnis
di tengah-tengah kota. Akan lebih bijaksana karena dampak sosialnya paling kecil
dibandingkan dengan membangun lokalisasi wanita tunasusila (WTS) di daerah yang
bercampur baur dengan penduduk setempat.
B. Bentuk Penanganan
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of
Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi
Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan
Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta
prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini
menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun
bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban.
Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya
penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai
individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama
ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi
sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga
miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak
kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.
Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam
melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta.
Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses pembuatan
misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya, khususnya masukan dari
warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah
yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala eksesnya.
Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan bias kelas,
karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan
alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan
hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat
hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera
agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang
bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat
baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang
benar.
Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat “kantung-
kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena
HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang
dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai
kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan
yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.
Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa
setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki
yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain
dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen,
germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum.
Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan
menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan
disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan.
Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.
C. Pendekatan Kemanusiaan
Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi
terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi.
Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi.
Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti
yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah.
Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan
pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang
memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban
mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau
pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum
pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.
Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif.
Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai
sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita
bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan
untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah,
menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.
Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat,
penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan.
Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin
dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.
Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola
militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan
penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah
proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi “pajangan”.
Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi
pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal
dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi
proyek pemulangan saja.
Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya para pelaku dunia prostitusi,
diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini tidak perlu ada kontroversi.
Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya merupakan sikap manusia yang amat bagus dan
aman. Namun hal ini belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-
jangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk menghindar dari menyebutkan masalah-
masalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa hanya berarti, misalnya untuk orang Islam
(Pria atau wanita), ingat kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat
senang lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu beriman dan
mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan dariNYA. Jadi, seperti di mana-mana
iman dan taqwa, itu hanya berguna apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri
hukum, yang mau dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu
diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa harus merupakan
sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara orang membawa diri terhadap orang lain:
Menghormati identitasnya, tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri
secara beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas golongan, jujur,
rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri. Orang macam itulah yang betul-betul
beriman, betul-betul taqwa.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan
tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan
manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci,
bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan
berupaya untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan
‘absurd’. Namun bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus
berlangsung di sekitar kita.
pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu
penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula
untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan
prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan
aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya,
ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan
pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.
Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan.
Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial,
budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta
menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan
dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak
selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang
banyak memanfaatkannya.
BAGIAN III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi
melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai
ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga
dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar
belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering
dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang
lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari
sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah
maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya,
termasuk MELACUR.
B. Saran
Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak
atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti
kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang
berperikemanusiaan.
masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu
melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.
15 Comments »
15 Responses
1. Membantu dan mendukung perluasan penyakit menular seksual alias pms. Korban bisa
dari orang tidak berdosa yang tertular suami/istri atau orang di sekitarnya.
4. Banyak generasi muda yang bercita-cita jadi pelacur agar bisa cepat kaya
Apa jadinya apabila ini terjadi di negara kita?
dan masih banyak lagi efek negatif lain dibandingkan dampak positif.
dampak / efek positif dari pelacuran bebas dan legal adalah pemasukan negara dari uang
lendir yang tidak barokah untuk membangun bangsa ala kadarnya dan sebagian masuk ke
rekening oknum korup.
reply
reply
Assalamu'alaikum...
g sekedar jawab forum ini
tapi geram hati saya kalo mendengar kata prostitusi sendiri.
ko kayaknya Indonesia dah benar-benar harus dikasihani ya? secara yang bikin legal kan
orang-orang atas, giman amau maju yang di atas juga ga bisa jadi tauladan.
jadi jangankan dilegalakan, adanya prostitusi aja harus dihilangkan.
reply
Menurut saya Prostitusi di indonesia harus di hilang dan hukum bener2 di tegakkan
demi masa depan anak2 kita juga, gimana jadinya masa depan anak2 jika kita selaku orang
tua
atau orang2 dewasa sudah berada dijalan yang salah. untuk itu sebelum telanjur mari kita
berbenah diri
sebelum semua terlanjur.
reply
N0 Coment
mau dilegalkan silahkan, mau tidak ya silahkan. semua itu nanti ada akibatnya.
reply
semua tergantung dari hati masing2, kalo emang niat baik... buat apa takut ama hal gituan. gw
rasa gak banya ngaruh kalo di legalkan, dibanding skrg....
emang dah busuk hatinya mao di atur gimana tetap aja banyak cara cari cela buat mesum...
reply
jiah onar petinggi sapa lg tu? ngaca dunk! mo g gwe ajarin cr taubat... tolng bc tlsn ne
beraktifitaslah untk duniamu seolah olah km akn hdp slmanya.dan beraktfitslah utk akhrtmu
seakan esok km akan mati..
apa pemrnth dah psn trlnjr beli tiket jahanam?
reply
Setahu gw sih... prostitusi itu udah legal kok di Indonesia... still a bit shady, tapi udah diakui
ama pemerintah, bahkan dikenai pajak sebagai sebuah bisnis...
Well, menurut gw, sama seperti judi, mau dilarang, dibasmi dan dibakar sekalipun, judi dan
prostitusi itu ga akan ada matinya, jadi daripada PSK berkeliaran di tengah kota atau dekat
permukiman, mendingan mereka dilokalisasikan sekalian di pinggiran... sekalian supaya
kondisi kesehatannya bisa lebih terpantau daripada nyebarin STD di tengah kota, iya nggak?
Hampir semua negara maju dan negara sekuler, mengambil tindakan yang sama kok, dan
apapun itu, negara kita juga negara yang berbasis sekuler kan?
reply
apakah masa depan anak2 kita akan suram kalo dilegalkan ???? weh hanya org yg terlalu
takut yg berpikiran begini !!! kalo gw gw ajarain anak2 gw tentang pendidikan seks supaya
mengerti "lw kalo berbuat berarti tanggung sendiri nih contohnya dah banyak !!!" .......
ilustrasi : kalau dari kecil hingga dewasa kita biasa melihat orang telanjang bugil bulat ga
pake apa2... apakah kita selalu horny dan berpikir yang bukan2 ???? gw yakin yg ada
dipikiran... "ah biasa aja ! ga aneh"
MERDEKA INDONESIA !!! JADI LEBIH DEWASA PIKIRAN MANUSIA2 NYA !!!!
reply
LEGALIZE IT
legal kan aja...manusia kan punya hak untuk berpikir,memilih dan bertindak...itu adalah
pilihan masing-masing individu..kita bisa aja protes tapi apakh kita merasakan susahnya
mencari uang bagi para wts,apakah kita merasakan kesedihan mereka mencari kerja,apakah
kita merasakan background/latar belakang kenapa mereka memilih itu...hanya ada 2
alasannya..karena terpaksa (tidak punya pilihan) dan karena mereka betul2 menikmati
bertanggung awab..jadi jika kita melarangnya adakah ada yang berani
menanggungnya???adakah yang bisa menjamin bersedia memberi mereka
pekerjaan,makanan dan penghasilan...........bahkan negara ja tidak bisa melakukan itu..jadi
hidup adalh pilihan teman...support each other, karena kita semua emang beda
reply
sudah legal
reply
banyak lo tempat-tempat hiburan seperti panti pijat, spa, diskotik, executive club, bar,
karaoke, dan lain sebagainya memberikan layanan plus-plus esek-esek bagi para konsumen
mereka baik secara langsung terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. bisnis
seperti ini tidak akan pernah mati untuk para hedonis pengejar kenikmatan dunia / duniawi
dan pengejar siksa neraka. jadi sudah jelas bahwa prostitusi secara tidak langsung adalah
legal di beberapa tempat di indonesia karena penyedia lokalisasi prostitusi itu pada bayar
pajak dan pemerintah justru malah terlihat senang. memang negara yang aneh.
reply
prostitusi
reply
sepakat legal
jika diberangus apa ada solusinya buat mereka yang juga korban laki-laki. apa kalian semua
tahu bagaimana menderitanya mereka. memang dilihat dari sudut pandang religi sih dosa tapi
dosa mana dengan menghancurkan kehidupan manusia lain. apa tidak pernah terpikirkan
bagaimana jika hal itu menimpa kita sendiri..mau tahu rasanya..makanya coba survei
kelokasi...sebenarnya mereka itu juga sakit lho...tapi apa daya gak ada pekerjaan. kalian mau
kasih kerja mereka...ayo jawab..jangan bilang itu tugas pemerintah..inimtugas kita
semua..jangan hanya bilang itu zina, najis dan lain-lain solusinya bagaimana....bangsa ini
menjadi tidak maju lha pakaian aja mau diatur..jangan-jangan nanti kita mau kencing aja
diatur..duh kasihan bangsa ini. atauu wakil kita sudah gak mampu ngurus negara yang rumit
ini ya.......sampai baju atau pakaian aja mau ada undang-undangnya....he..he..he.....
jika aku nih biarkan aja taoh sebelum kita lahir sejak jaman nabi adam dahulu....sudah ada
namanya prostitusi...kok. mau di larang gimana...laki-laki aja yang kurang puas...makanya
bikin prinsip hidup monogami..jadi gak lirik kemana-mana...itu baru prostitusi gak laku
dijual...setuju...atau tidak setuju terserah anda......
reply
dan untuk saudara pakar yang setuju di legalkan dengan alasan mereka gak punya pekerjaan
lain, saya benar-benar tidak habis pikir dengan cara pandang anda, dan jika anda terlalu
pusing dengan teori, cobalah berfikir sederhana, apa yang anda rasakan jika anak anda sendiri
atau istri atau saudara perempuan anda adalah PSK,
perlu kita sadari ini semua adalah ekses dari kegagalan patform hukum yang kita anut,
kenapa?
sederhana saja, karena hukum yang kita anut adalah hukum kebo bingung, yang
menkompilasi sana-sini tanpa jelas ujung pangkalnya,
atau katakan saja negara kita terdiri dari orang-orang islam yang taat, lalu kenapa tidak kita
terapkan hukum islam. toh sudah terbukti berhasil pada jaman rosululloh, yang mampu
menjadikan hukum islam sebagai rahmatan lilalamin,
reply
melegalkan prostitusi??????
reply
prostitusi???????
kalo di legalkan , yang jadi pelaku prostitusi tuh ibu kamu, kakak,adik,bibi,nenek,sodara2 km,
temen kamu,sobat km,pacar km, isteri kamu.dari segi aga jelas dilarang, bagaimana dengan
hati kamu jika prostitusi legal, dan pelakunya adalah;ibu kamu,
kakak,adik,bibi,nenek,sodara2 km, temen kamu,sobat km,pacar km, isteri kamu,sedih yaaa,
sakit hati kita kan, di pake rame-rame.ibu kamu dipake temen kamu,isteri kamu sama bapak
kamu, pacar kamu sam sodara kamu, di pake giliran, sediiiihhh, kan?
reply
Jangan Munafik
Mending di-legal-kan. Setelah itu secara bertahap, dibatasi dan dikurangi.
Dengan di-legal-kan berarti PSK akan diawasi dan dimonitor dan harus turut aturan yang
berlaku. Kesehatan diperiksa, yang memiliki penyakit menular tidak boleh berpraktek.
Pajak yang diterima negara digunakan untuk menyantuni korban bencana seperti: Lumpur
Lapindo Brantas.
Dan pajak prostitusi juga digunakan untuk mengurangi pertumbuhan prostitusi itu sendiri,
seperti pendidikan seks yang bertanggungjawab, program sosial yang mendukung
keharmonisan keluarga dan penyerapan pengangguran supaya tidak beralih menjadi PSK.
Jadi, marilah berpikir secara rasional, dan jangan mudah terhasut / menghanyutkan diri
sendiri dengan emosi berdalih keagamaan dan lain sebagainya.
reply
So what
No problem
reply
Apapun yang dilegalkan, mau prostitusi kek, judi kek, rumah minum kek semua tergantung
praktik hukumnya. TEGAS! DISIPLIN!
Apa yang sudah dianggap sebagai hukum yang berlaku jalankan dong. LALIN Berantakan...
UU dibikin tapi tunggu JUKLAK... Hukum mati dijatuhkan tapi gak dieksekusi... tunggu
bertahun-tahun sampai terdakwa dapet remisi berkali-kali?? Masuk kantor telat telepon temen
minta di print-in kartu presensi.
Sanggup gak masyarakatnya dan pengawas taat pada perjanjian hukum yang berlaku?
TANPA TOLERANSI!
kalo sanggup silakan! kalo nggak.... mati aja lu! Gak akan pernah beres...
Dari yang paling kecil aja deh... di rumah kita dulu taat hukum gak... jujur gak...
reply
pusing deh
kalau laki laki legal nga legal kalau doyan pasti cari kemana mana. jadi percuma aja
didebatkan, dan juga perempuannya dengan alasan cari kerjaan susah banyak kerjaan yang
halal , karena mau dapat duit banyak dan gampang dan enak lagi .bohong kalau dengan
alasan apapun juga,kalau aku juga nga punya malu dengan yg lain aku juga mau jadi psk,
kenapoa nga enak koq ,duit nya juga gede yakan.selama ada psk banyak laki yg cari kalau
susah nga ada psk lelaki jadi lebih sulit untuk berbuat yg nga bener.kalau dibiarkan justru
membuka jalan buat laki laki. kasihankan istrinya kena penyakit dan banyak yg berantakan.
reply
Menurut saya istilah dilegalkan terlalu ektreem, akan lebih bijaksana diatur lewat undang-
undang yang bijaksana: tidak merugikan pelaku prostitusi maupun lingkungan/masyarakat.
Secara teori minimalis: sitik eding! Aturan itu diantaranya: lokalisasi, pengawasan yang ketat
hingga tak terjadi expoitation de lomparlon antara penyelenggara/pelaku prostitusi,
penggunaan masukan/izin lokalisasi dimanfaatkan untuk kebutuhan lingkungan/kesehatan
pelaku prostitusi dan berbagai kegiatan memberastas penyakit masyarakat, hanya orang
tertentu yang diizinkan masuk ke lokalisasi. Sementara itu: pelanggaran harus dikenakan
sangsi yang sangat berat, misalnya: mereka yang melakukan prostitusi di luar wilayah yang
telah mendapatkan izin, memaksa/menipu seseorang untuk melakukan/terlibat dalam
kegiatan prostitusi dll yang langsung atau tak langsung merugikan masyarakat.
Pendapat saya ini atas dasar kegiatan prostitusi liar yang tak terkontrol justru akan sangat
merugikan masyarakat. Untuk "membunuh" kegiatan ini hanya dapat dilakukan dengan
tindakan yang kurang manusiawi, misalnya merejam pelaku didepan umum, memotong alat
vital lelaki yang melakukan zina dll.
reply
kalo setauku sih...kata orang2 yang sudah berpengalaman....kalo cowok udah menikah selama
bertahun-tahun....dan setiap hr melakukan hubungan suami istri dengan istrinya terus-
menerus,cowok itu bakal jenuh...dan membutuhkan sebuah sensasi yang baru...lha,untuk
mendapatkan sensasi baru itu,maka para cowok (suami2) pergi k tempat2 prostitusi....jadi
setelah melakukan hubungan suami istri dengan para "cewex" itu...suami2 jadi lebih
bersemangat lagi ama istrinya...soalnya bisa membayangkan "cewex" tersebut...
ini sepengetahuan saya....untuk lebih jelasnya biar cowok2 berkomentar....sekian...thanx
reply
SETUJUU.....
nice solution.....
tapi hukumannya jangan terlalu kejam.
yang penting memiliki efek jera alias kapok.
misal: diarak bugil sambil diberi tulisan "saya adalah BINATANG", karena hanya binatang
saja yang melegalkan sex bebas. so, kalau ada yang SETUJU dengan yang namanya FREE
SEX, status keMANUSIAannya perlu dipertanyakan tuh....
thx
reply
reply
reply
g buwanget deh........
reply
setuju2 saja..
gw setuju prostitusi dilegalkan. bukan krn atas alasan itu hak dy mw banderol-banderol
onderdil ato dy mlakukan itu krn terpaksa ato gmn, cuma faktanya mreka skrg ada. dan
mreka ga diperlakukan secara layak dan manusiawi, kerja seharian tanpa upah minimum,
bahkan srg disiksa tanpa bayaran, krn mreka dipaksa/diancam. nah bg gw mengapa prostitusi
ini dilegalkan murni spy kt bs kasi perlindungan hukum ke pekerja2 itu, supaya pelanggan ga
seenaknya nyiksa pekerja. saat ini, pekerja yg dirugikan ga bs melapor kekerasan yg terjadi
sm dy, krn bgitu mreka melapor mreka malah ditangkap, ya krn melakukan prostitusi itu. ad
yg slh sm negara ini. klo mw stop prostitusi ya hentikan konsumennya, otomatis nanti
produsen jg akan gulung tikar. apa gunanya razia pekerja, toh nanti bgitu bebas mreka balik
ke kerjany semula, krn konsumennya masih ada. jd mnrt saya prtanyaanny bukan
legal/ilegalkan prostitusi, tapi kalo mw mmg tuntas, tindak semua yg tertangkap mnjdi
pelanggan. pelanggan habis, otomatis pekerja akan terpaksa mncari pekerjaan lain yg lbh
halal toh?
reply
Untukyg haus sex...dan menururuti hawa nafsu binatangnya sih ...wah pasti seneng bgt
tuh...:-(
Tapi
reply
???
reply
Prostitusi Indonesia
Halo !
Aku perancis dan Aku ingin tahu : Pelacuran legal itu Indonesia ?
Amandine
reply
reply
setuju banget
iya... seharusnya kita berpikir rasional... melihat fakta di lapangan, bukan sok suci dan tidak
mau peduli
reply
semakin dilegalkan semakin hancur moral dan etika para penghuni bangsa ini
reply
Tidak
Tidak
reply
50 50
reply
Sat, 20/03/2010 - 2:11am — Tamu
reply
Perjudian dan Prostistusi adadalah hal tertua yang pernah ada di dunia. Dan apakah sampai
sekarang dapat DIBASMI atau setidaknya DICEGAH ? Jawablah dengan nurani anda sendiri,
dan utarakan solusi yang masuk akal untuk mengatasi permasalahan purba manusia ini
apabila anda merasa hal tersebut bukanlah hal yang patut ada di dunia, terutama di
Indonesia...
Saya benar-benar ingin mengetahui solusi yang anda ingin kemukakan. Karena tindakan
adalah hal yang paling utama daripada hanya sebuah isapan jempol belaka. Terima kasih.
reply
reply
reply
kalau Gratis itu baru saya setuju, bila perlu dibuatkan undang-Undangnnya bahwa prostitusi
itu gratis....... Kalau gratis wanita mana yang mau maka bebaslah negera kita dari prostitusi
reply
lebih baek di legal aja... biar pemerintah bisa diawasi,bisa tiap bulan check apakah dah kenah
HIV/AIDS. tidak di legalpun msh banyak malah bertambah banyak aja... lebih baik pisitive
thinkinglah
reply
Tidak Setuju
reply
Tue, 23/11/2010 - 8:41am — Tamu
prostitution
ilegal aja banyak yang menjadikan sebagai mata pencaharian , bagaimana kalo di legalkan ...
bakal jadi mata pencaharian populer,,,,,,
bayangkan jika itu terjadi,,bagaimana citra indonesia di mata dunia,,,yang memang sudah
mulai kurang baik
reply
ghimanna yhaaa
gag tau ah
.
.
kenapa kita ngelarang prostitusi????\itu juga salah satu pekerjaan..
lagiyan,,
di indonesia lapangan pekerjaan mulai sempit...
gak sebanding sama jumlah penduduk di indonesia...
boleh kita ngelarang,,
asal kita udah punya solusi gimana carany mengurangi jobless yang ada di indonesia...
.
.
logk kataku githu shiiiii......
tapi,,
mau gimana lagi......
reply
hiii
itu pndapat kamu aja yang gitu. kalo istri kamu selingkuh, yakin. nangis deh kamu
reply
ihhhh
y udah. ihhh. dari segi rasional juga udah banyak keburukannya di banding baiknya. bukan
masalah berdalih agama atau gimana. kalo jualan makanan bergizi sih mending. dari segi
apapun baik lah. lah ini jual moral. kok malah di dukung
reply
waduhhhhhhhh !!
illegal aja bentuk'a udah kaya' sekarang ini, apalagi kalo legal ya?
bisa-bisa anak kita yg masih sekolah di TK pas di tanyain, "cita kamu apa? tar gede' mau jadi
apa nak?"
ga lucu kan kalo jawabannya "aku pengen jd pelacur mah......"
wahhhhh! berbahaya sekali !!
Na'udzubillahimindzalik deeeh >_<
reply
reply
MONYONG
sebenarnya psk dilegalkan it lebih baik karena kita bisa tau mana yang psk beneran, mana
selingkuhan tp kita juga harus mikir cewek-cewek sekarang gak ad uang mereka malah jd
PSK supaya bisa dpat uang.. trus masa depan anak perempuan kita apa mau jadi PSK seumur
hidup buat cari uang....
dengan jd pelacur bukanlah alasan untuk punya uang dan bisa bertahan hidup..... banyak kerja
di dunia ini yang bisa buat kita mampu untk hidup hanya kita aja yang tdk mw BERUSAHA.
dgn melegalkan PSK apakah kita tidak takut sama TUHAN.....
memangx kalian tidak lelah apa jd PELACUR selain menghncurkan rumah tangga suami dan
istri, terinfeksi penyakit AIDS...dll
para WANITA_WANITA tu mikir,,,, tidak punya uang bwt biaya sekolah, kuliah, dll itu
bukan ALASAN yang TEPAT bwt jd PELACUR.. memangx tidk ad kerjaan lain bwt cari
sesuap nasi......
buat para PELACUR bertobat jangan cuma kerjanya menghancurkan rumahtangga orang
karena banyak SUAMI_SUAMI yang DOYAN PELACUR hanya untuk melampiaskan
NAFSUnya ketimbang memikirkan ANAK dan ISTRI nya di rumah..........
Setuju saja ada pelacuran/pelacuran dilegalkan, syarat harus dilokalisasi. Tidak boleh
dijalanan. Sebagai lokalisasi laki2 hidung belang dalam tujuannya, biar gak menular kepada
masyarakat lainnya.
Dan yg paling perlu diawasi adalah bahaya HUMAN TRAFFICKING. Pemerintah harus
bener2 bisa mengawasi hal itu. Karena sekarang banyak kasus, pelacur yg sebenarnya gak
ada keinginan untuk jadi pelacur. Tapi dejebak untuk jadi pelacur.
Semisal, di desanya di datangi calo yg menawarkan untuk bekerja jadi pembantu rumah
tangga, TKW, dlsb. Tapi ternyata dijebak untuk terjun kedalam pelacuran. Ditekan dgn
ketakukan yg tak berperikemanusiaan.
Jangan sampai hal ini menjadi masalah besar di Indonesia. Karena masalah ini sudah menjadi
masalah besar yg menghantui negara2 bekas Uni Soviet.
Banyak perempuan2 dan anak2 dibawah umur, ditipu, dijebak, diculik, dan dipaksa untuk
menjadi pelacur. Dan kemudian dikirim keluar negeri. Dihabiskan kemudaannya sampai ia
sudah tidak laku lagi, maupun bunuh diri. Dijadikan budak seks.
Dan kalau masalah human trafficking/perbudakan manusia ini, kalau sudah terlanjur
membesar, bisa sangat sulit diatasi. Karena biasanya berwujud gerombolan mafia yg
terorganisir (mafia-pejabat bejat). Semoga pemerintah memperhatikan hal ini. Kasihan
pelacur2 yg tidak ada keinginan untuk jadi pelacur, tapi dipaksa untuk menjadi pelacur.
reply
« first‹ previous12
Hiv tidak menyebar melalui keringat, ludah, urin, tinja.