Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan Adalah Hadiah Terbaik Dari Ibu

Pepatah mengatakan “Surga di telapak kaki ibu”. Saya sangat setuju, dan menginterpretasikan kata
surga adalah kesuksesan, baik kesuksesan hidup di dunia maupun di akhirat. Hal yang mendasari
interpretasi tersebut adalah hasil pengamatan saya secara peribadi. Banyak diantara kisah orang sukses
di dunia, tidak terlepas dari perbuatan baiknya kepada orang tua, khususnya ibu.

Masih terbayang dalam benak, semasa saya usia anak-anak. Ibu membanting tulang membantu ayah
dalam mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tak luput kebutuhan akan pendidikan bagi
saya dan saudara.

Sampai saya usia tiga puluh lima tahun saat ini, saya tidak pernah bosan mendengarkan cerita dari ibu
mengenai perjuangan dalam membesarkan Kami. Sembari memijit punggung beliau, tatkala berkunjung
seminggu sekali ke rumah ibu. Beliau selalu antusias dan bersemangat dalam bercerita, menandakan
semangat perjuangan dalam memberikan kasih sayang tak pernah henti.

Ibuku seorang ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai buruh tani di sawah. Semangat tinggi
dalam membantu suami yang bekerja sebagai caraka (pesuruh) di sebuah perguruan tinggi negeri di
Bandung. Saya sangat berkesan dengan kemampuan ibu, yang dapat memanfaatkan gaji seorang PNS
golongan 1a yang diangkat pada tahun 1975 ditambah penghasilan beliau sebagai buruh tani di sawah.

Saat bercerita, ibu meneteskan air mata. Saat itu beliau sedang hamil mengandung anak pertama yang
baru berusia 6 bulan. Saat berjalan menyusuri galengan sawah yang konturnya berbentuk sengkedan,
beliau jatuh terpeleset hingga menyebabkan sakit dan keguguran.

Demi membiayai pendidikan 6 anak pada jaman dulu yang masih tergolong mahal, ibu tak menyerah
dengan kejadian tragis yang pernah menimpanya. Beliau sangat rajin menanam palawija dan tanaman
lainnya yang bisa dikonsumsi. Beliau suka memanfaatkan singkong, jagung, biji nangka, dan hasil lainya
dari kebun sebelah rumah untuk dijadikan tambahan lauk pauk seadanya. Dengan cara demikian biaya
konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari bisa lebih irit dan dimanfaatkan untuk biaya sekolah.

Cara unik lainnya ibu menanam enam buah pohon jambu yang dinamai untuk masing-masing anak.
Beliau selalu berpesan, “tiap kali bangun tidur di pagi hari kalian harus menyiramkan air pipis kalian
pada pohon jambu tersebut agar tumbuh subur”. Dan, ternyata dari tahun ke tahun pohon jambu
tersebut memang tumbuh dengan baik sampai berbuah. Setiap anak tatkala pulang sekolah selalu
memanjat pohon jambu masing-masing untuk menikmati buahnya. Beliau mengatakan, “Daripada jajan,
lebih baik kalian cari buah jambu yang matang ! Kan, uang jajannya ibu tabung untuk biaya sekolah”.

Memang, pendidikan di tempat saya tinggal pada masa itu masih menjadi sesuatu yang langka dan
mahal, bahkan tidak diminati. Di lingkungan tempat Kami tinggal, pendidikan dianggap sebagai suatu hal
yang menghamburkan uang. Masyarakat masih sangat jarang menyekolahkan anak sampai pendidikan
SMA, apalagi tingkat perguruan tinggi. Rata-rata mereka bersekolah sampai tamat SD, kemudian bekerja
dan untuk anak perempuan ada juga yang dinikahkan oleh orang tuanya.

Celotehan teman-teman mengaji masih terngiang di telinga keluarga Kami, mereka mengatakan, “buat
apa sekolah tinggi-tinggi, presiden sudah ada, menteri ada, pengusaha ada? Hanya menghamburkan
uang saja !”. Mereka mengatakan itu sambil tertawa terbahak-bahak. Sepulang mengaji, saya langsung
menceritakannya pada ibu. Beliau hanya tersenyum dan berkata, “Kelak, kamu akan merasakan hasil
dari sekolah yang tinggi Naak!”

Saya merasakan pendidikan di rumah yang diberikan oleh ayah dan ibu sungguh luar biasa, disamping
pendidikan yang kami terima di bangku sekolah. Ibu selalu mengajarkan pola hidup sederhana, mandiri,
kerjasama dan tolong-menolong.

Pernah suatu saat, saya dijauhi teman karena masalah perbedaan dalam pendidikan. Teman-teman
bermain di saat SD mulai menjauhi saya karena saya terus melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Budaya
mengaji ke madrasah sampai usia SMA di kampung adalah hal biasa.
Ibu selalu memotivasi saya untuk terus mengaji ke madrasah. Bahkan setelah belajar mengaji, sesekali
saya tidur di madrasah sebagai kebiasaan yang diajarkan guru ngaji sepulang dari undangan syukuran
salah satu warga. Karena pulang ke rumah terlalu larut, saya dengan berat hati harus tidur di madrasah.

Kebiasaan sepulang dari undangan syukuran, semua tamu undangan di kasih bingkisan yang terbuat dari
“besek” (semacam wadah nasi dari bambu, kalau jaman now menggunakan stereoform). Termasuk saya
dan teman-teman sangat riang gembira pulang ke madrasah membawa makanan.

Sebelum tidur, saya seperti biasa mengerjakan PR atau belajar bila esok harinya akan ada ulangan di
sekolah. Teman-teman sudah pada tidur pulas sehabis menyantap makanan. Ketika saya ketiduran, ada
diantara teman yang jahil melahap bingkisan makanan saya. Ditambah, pas bangun tidur jam 4 shubuh
perut terasa sangat lapar. Saya pun tidak mempedulikannya.

Pengalaman seperti itu sering saya ceritakan kepada ibu, bukan untuk mengadu. Tapi, saya ingin tahu
apa yang harus saya lakukan ketikan menghadapi teman yang demikian. Ibuku selalu menjawab dengan
tenang dan positif thingking. Beliau mengatakan, “tidak apa-apa, mungkin teman kamu merasa lebih
lapar dari kamu, yang penting kita jangan berbuat demikian kepada orang lain”.

Singkat cerita, saya beres menyelesaikan pendidikan SMA. Saat itu, kakak saya sudah pada bekerja.
Mereka semua menamatkan pendidikan sampai Sarjana dengan menempuh pendidikan S-1 kelas
karyawan. Demikian pula dengan saya, Alhamdulillah saya sudah menamatkan pendidikan S-1 dan
bekerja di intansi pemerintah.

Ibu selalu memotivasi anak-anak untuk terus belajar dan sekolah. Bahkan, untuk saudara yang kurang
mampu dalam pembiayaan selalu dibantu oleh saudara yang lain atas dasar saran dari ibu. Sungguh
pendidikan kerja sama dan gotong royong yang diajarkan oleh ibu sangat melekat dalam kehidupan
Kami.

Terima Kasih Ibu ! Pendidikan adalah Hadiah Dari Ibu yang terbaik bagi Kami

Anda mungkin juga menyukai