Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Markoff (2001: 2-3) mencatat sepanjang 1950-an hingga 1990an dua gelombang yang saling
bertentangan, gelombang demokrasi dan anti demokrai, justru saling berkoeksistensi menjadi
momentum sejarah dunia. Runutan kegemaran perseteruan sistem komunis dan vis-a-vis sistem
liberalisme-kapitalisme menghasilkan kemenangan sistem liberalisme--kapitalisme. Gerakan rakyat
pun turut mendukung kedua perseturuan ini. Bagi negara pemihak anti-demokrasi jelas gerakan
diarahkan pada kehendak anti-demokrasi, begitupun sebaliknya bagi negara pro-demokrasi, gerakan
rakyat berjalan mengusung prinsip demokrasi. Sejalan dengan itu, gerakan rakyat menjadi pengawal
jalannya demokrasi. Gerakan rakyat menjadi promotor demokrasi dan/ atau mengawal
demokratisasi karena tak ayal terdapat negara penganut demokrasi namun tak sedemokrasi yang
diidealkan. Tak terkecuali, kebenaran ini juga terjadi di Indonesia.

Berjalin dengan sejarah demokrasi lndonesia, tentu saja gerakan rakyat sangat akrab, karena
melingkupi juga jenis demokrasi yang terpilih Untuk dijalankan. Gerakan rakyat pasca reformasi dan
demokratis, yang tengah berjalan ini turut memenuhi timeline sejarah Indonesia modern, yang tak
dipungkiri juga saling berayun dengan masa lalu. Pasca satu dekade reformasi dihentakkan, gerakan
rakyat “dianggap” semakin kondusif untuk menyuarakan perubahan. Hal ini berkaitan dengan tata
pemerintahan demokrasi Indonesia yang diusung-hingga saat ini-tak lebih dari demokrasi
prosedural, menguatnya politik oligarki dan masalah yang menguasai hajat hidup orang banyak
urung terselesaikan. Gerakan rakyat dapat dalam berbagai bentuk seperti demonstrasi penolakan
rencana kenaikan BBM, konHik hutan dan/atau tanah, protes buruh atas penentapan UMK/UMP,
berbagai aktivitas 'klik' pada jejaring sosial dan sebagainya. Tulisan ini mempertanyakan bagaimana
gerakan rakyat berusaha memengaruhi kebijakan publik. Geliat masyarakat Pulau Padang niscaya
dapat manggambarkan status gerakan rakyat dalam mengubah kebijakan publik di indonesia.

GERAKAN SOSIAL DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Giddens (2009: 1010) mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar
kepentingan bersama atau gerakkan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui
tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Gerakan sosial adalah tindakan
kolektif (Tilly, 1978; Giugni, McAdam dan Tilly, 1999; dan Opp, 2009). Bahkan secara tegas, Opp
(2009: 91) menguatkan teori tindakan kolektif ini dapat diaplikasikan sebagai protes politik yang
merupakan kontribusi terhadap barang publik dan tujuan utama dari sosial adalah untuk
menyediakan barang publik.

Merujuk kaitan antara politik dan gerakan sosial, maka konsep gerakan sosial ala Tarrow yang dianut
Giugni (Giugni, McAdam, dan Tilly, 1999: xxi-xxii) menjadi relevan yaitu sebagai tantangan kolektif
yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks
interaksi berkelanjutan melawan kelompok elit, lawan, dan penguasa. Konsep gerakan sosial yang
ditawarkan Snow, Soule dan Kriesi (2004: 11) pun menjadi acuan lebih tegas:

“Collectivitie: acting with some degree organization and continuity outside of institutional or
organizational channel for the purpose of challenging or defending axtant authority, whether it is
institutionally or culturally based, in the group, organization, society, culture, or world order of
which they are a part.”

Berdasarkan definisi tersebut, bagi Snow, Soule, dan Kriesi (2004: 6) setidaknya gerakan sosial akan
selalu membawa prasyarat untuk dipenuhi (setidaknya harus terpenuhi tiga dari lima syarat) yaitu
kolektif bersama atau join; tujuan yang berorientasi perubahan atau klaim; beberapa tindakan
kolektif yang berbentuk ekstraparlementer atau nonkelembagaan; beberapa derajat organisasi dan
beberapa kontinuitas sementara.

Sementara Tarrow dalam Subarko (2006: 5-7) menekankan konsep gerakan sosial harus mempunyai
empat properti dasar yaitu a) tantangan kolektif gerakan sosial yang membedakannya dengan
tindakan kolektif lainnya sebab kenyataan gerakan sosial biasa kurang sumber daya yang stabil.
Tantangan kolektif menjadi mungkin sebagai satusatunya sumber daya yang dikuasai sebagai focal
point bagi pendukung, memperoleh perhatian dari kubu yang dilawan dan pihak ketiga serta
menciptakan konstituen untuk diwakili; b) tujuan utama gerakan sosial. Tujuan yang paling jelas
berfokus pada alasan untuk menyusun klaim menentang pihak lawan, pemegang otoritas atau para
elit; c) solidaritas dan identitas kolektif dari gerakan sosial dimunculkan dari Pertimbangan partisipan
tentang kepentingan bersama yang kemudian mengantarai perubahan dari sekadar potensi gerakan
menjadi aksi nyata. Konsensus menjadi penting dalam menciptakan gerakan sosial; d) memelihara
politik perlawanan terhadap pihak musuh karena cara tersebut dapat mengubah perlawanan
menjadi gerakan sosial. Tujuan kolektif, identitas bersama dan tantangan dapat diidentifikasi
membantu gerakan untuk memelihara politik perlawanan ini.

Jenkins dan Klandermars (1995: 3-5) secara lebih komprehensif menjelaskan hubungan yang lebih
luas antara gerakan sosial dan sistem kenegaraan dalam ranah demokrasi. Jenkins dan Kladermas
menggunakan empat domain yang saling terkait yaitu negara, gerakan sosial, warga negara, dan
sistem perwakilan politik. Hubungan-hubungan yan terbangun terlihat pada gambar segi berlian.
Jenkins dan Klandermas menjelaskan hubungan warga negara dengan negara melalui sistem politik
perwakilan. Tentu saja, sistem perwakilan politik yang dimaksud merupakan sistem politik yang
solid-terdapat partai-partai politik, berbagai asosiasi kepentingan formal dan lembaga lain yang
mengklaim dirinya sebagai representasi kepentingan publik pada sisi kanan dan tengah merupakan
perhatian Jenkins dan Klandermars karena berpusat pada upaya gerakan dan dampak protes sosial
pada sistem politik maupun sebaliknya dampak sistem politik terhadap gerakan sosial.

Studi gerakan sosial dikaitkan dengan sistem politik juga merujuk situasi konfliktual atau suasana
perlawanan (contentious politics) yang bisa saja bersifat spontan atau terorganisir. Ciri utama
gerakan sosial dalam ranah politik adalah gerakan sosial berada di luar sistem Politik secara formal.
Gidden (2009: 1010) menempatkan gerakan sosial sebagai “the most common type of non-orthodox
political activity”. Hal ini adalah cara lain rakyat untuk menunjukkan suaranya karena saluran yang
selama ini dianggap saluran politik formal-berkisar ketika pemilihan umum digelar, rakyat
berpartisipasi dalam pemilihan perwakilan rakyat dan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah-
tidak efektif. Untuk hal ini, gerakan sosial lebih sering dikaitkan sebagai cara menunjukkan adanya
missing link dari kegagalan demokrasi menciptakan kesejahteraan umum.

Tentu saja hal di atas tidak terlepas dari perhatian kajian gerakan sosial tertuju pada kemunculan,
berkembang, dan kemerosotan gerakan sosial itu sendiri, namun perkembangan terakhir kajian
gerakan sosial memunculkan minat baru dalam memahami apa dan bagaimana gerakan sosial
peduli-terutama di mereka dampak pada politik dan kebijakan (Giugni, McAdam, dan Tilly, 1999).
Sejak kemunculan studi gerakan sosial hingga saat ini, memang gerakan sosial mampu mengubah
tatanan kehidupm sosial masyarakat baik dengan usaha meskipun dapat dikatakan gerakan sosial
mengalami proses pasang-surut. Sebagai gerakan di luar institusi mapan, maka gerakan sosial harus
diakui betapapun signifikannya gerakan, mereka tidak dapat memerintah dalam arti sesungguhnya
(Giddens, 2002: 61). Namun bukan berarti gerakan sosial tidak mampu memengaruhi proses politik
dan kebijakan. Justru Meyer and Lupo (2007: 114) menekankan posisi gerakan sosial dalam dua
kondisi, yaitu jika sistem politik relatif terbuka, maka gerakan tidak akan diperlukan, jika sistem
politik benar-benar insuler dari kepentingan konstituen tertentu, maka gerakan tidak akan bisa
muncul secara efektif di tempat pertama. Treatment gerakan sosial dimainkan melawan latar
belakang ini-awalnya difokuskan pada hubungan antara protes dan kebijakan publik.

Kebijakan publik sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem politik. Lowi dalam Smith dan Larimer
(2009: 37) menjelaskan

hubungan antara politik dan kebijakan diasumsikan linier dan kausal “politik menentukan kebijakan”,
namun juga pendapat sebaliknya, bahwa “kebijakan menentukan politik”. dengan menggunakan
“government Comes”, Lowi menjelaskan pada basis awal, kebijakan publik berusaha mempengaruhi
perilaku individual. Ketika masuk ke dalam lingkungan politik, dapat diprediksi pula perilaku politik.
E. E. Schattschneider, dalam Smith dan Larimer (2009: 37) juga sependapat dengan Lowi bahwa
kebijakan dan politik saling terhubung. Dalam hal ini, setuju dengan Smith dan Larimer (2009: 40)
bahwa mempelajari kebijakan publik akan memperbaiki sistem politik, kebijakan publik dipelajari
karena dapat membantu memprediksi tipe politik yang ditampilkan dalam sistem politik. Secara
lebih spesifik, kebijakan publik diperlakukan sebagai Bagian yang relatif kecil dari struktur peluang
politik yang mungkin memacu gerakan sosial (Meyer, 2005z6).

Gerakan sosial dan kebijakan publik berhubungan erat menyangkut hajat hidup orang banyak.
Meyer (2005: 1-22) menganalogikan gerakan Sosial dan kebijakan publik sebagai telur dan ayam.
Gerakan sosial tidak akan ada tanpa kebijakan publik dan kebijakan publik tidak akan ada tanpa
gerakan sosial. Keduanya saling kait-mengait. Namun para pengkaji kebijakan publik maupun
gerakan sosial menurut Meyer (2005: 2/3) masih belum berada dalam kotak masing-masing saling
terisolasi dan belum saling terhubung.

Pendapat Meyer di atas tentu saja berdasarkan studi terdahulu salah satunya, Meyer (2005: 5) yang
mengutip pendapat Lipsky dan pendapat Piven dan Cloward. Studi Lipsky pada tahun 1970
berkesimpulan protes adalah strategi politik bagi masyarakat yang diposisikan secara tidak adil untuk
memperjuangkan kepentingan mereka melalui cara-cara konvensional. Sedangkan studi Piven dan
Cloward tahun 1971 menyimpulkan kebijakan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah pada
dasarnya merupakan upaya untuk memelihara perdamaian sosial, kebijakan diarahkan untuk
mencegah protes. Jika dibalik, pemerintah membeli masyarakat miskin agar ‘diam’ dengan adanya
kebijakan kesejahteraan.

Berkaitan dengan kebijakan publik, Kay (2006: 2) mengutip Dye dalam mendefinisikan kebijakan
publik adalah “anything a government choose: to do or not to do” dan menjelaskan bahwa kebijakan
adalah tentang pilihan: pilihan tujuan, pilihan alasan tindakan, pilihan atas instrumen kebijakan,
pilihan-pilihan bagaimana menanggapi konsekuensi output kebijakan. Pilihan-pilihan ini,
konsekuensi dan pilihan berikutnya terungkap dalam sebuah proses temporal yang mana
ketidakpastian merupakan fitur yang menentukan. Dari konsep ini, kebijakan publik menjadi domain
pemerintah. Studi kebijakan publik sendiri mengalami banyak perkembangan dalam
merepresentasikan proses kebijakan termasuk keterlibatan governance untuk terlibat dalam proses
kebijakan. Proses kebijakan menurut (Lindblom, 1986: 3) merupakan proses rumit dan kompleks,
oleh karenanya untuk mengkajinya para ahli membagi proses kebijakan ke dalam beberapa tahapan.
Tujuannya untuk mempermudah pemahaman terhadap proses tersebut. Selanjutnya, siklus proses
kebijakan yang terdiri dari beberapa tahap, misalnya yang ditawarkan oleh Dunn (1998) yaitu:
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi
kebijakan.
Taksonomi kebijakan dan gerakan secara apik dijelaskan Meyer (2005: 13-16) antara lain: kebijakan
publik merupakan tindakan pemerintah yang dapat memengaruhi perkembangan gerakan sosial.
Kebijakan dapat secara langsung memengaruhi permeabilitas arena politik, misalnya melalui sistem
voting. Dalam cara ini, tindakan pemerintah dapat menciptakan dampak protes dan mobilisasi sosial
sebagai strategi. Pada saat yang sama, tindakan pemerintah mendapat manfaat strategi tertentu
dari organisasi politik. Kebijakan publik juga menciptakan penyebab atau keluhan. Gerakan sosial
maupun perorangan menyampaikan keprihatinan terhadap kebijakan-apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan-pemerintah ini melalui lembaga politik atau tidak sama sekali. Selanjutnya, interaksi
antara mobilisasi gerakan sosial dan lembaga politik dapat menghasilkan pengeluaran yang
meningkat secara langsung atau peraturan di wilayah kebijakan yang ditentukan. Dengan demikian,
melihat output kebijakan sebagai outcome gerakan sosial merupakan hal penting. Namun, dampak
gerakan sosial tidak terbatas pada pengaruh kebijakan secara langsung. Selain itu, studi gerakan
sosial dan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Giugni dan Passy (1998) menjelaskan gerakan
sosial mempunyai tiga jenis efek terhadap perubahan kebijakan yaitu dampak langsung, dampak
mediasi, dan dampak bersama. Ketiga dampak tersebut merupakan hasil pertanyaan apakah opini
publik, sekutu politik atau keduanya merupakan faktor krusial pada dampak gerakan sosial terhadap
kebijakan publik.

Model pertama direct-effect model, dampak langsung gerekan sosial terhadap kebijakan publik
hanya dengan melibatkan varian opini publik sudah mampu mengubah kebijakan. Model kedua
mediated-effect model dampak mediasi dengan menguji model mediasi opini publik dan model
mediasi politik terhadap perubahan kebijakan. Model ketiga, join-effect model merupakan penilaian
terhadap kekuatan opini publik dan sekutu politik secara bersama-sama menekan pemerintah untuk
mengubah kebijakan.

Perubahan kebijakan yang didorong gerakan sosial menunjukkan bahwa kebijakan tersebut memiliki
responsivitas. Studi Schumaker tahun 1975 yang dikutip Della Porta dan Diani (2006: 230-231) untuk
menjelaskan perubahan yang dibawa oleh gerakan sosial dapat dicvaluasi dengan melihat berbagai
tahapan proses pengambilan keputusan. Terdapat lima tingkat responsivitas kebijakan terhadap
tuntutan kolektif dalam sistem politik, yaitu: pertama, terbukanya akses mengindikasikan derajat
ketika pemilik otoritas (target) bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan. Kedua, respon
di tingkat agenda ketika target rela mcnempatkan tuntutan gerakan pada agenda politiknya. Ketiga,
respon kebijakan, ketika target mengadopsi kebijakan barn (khususnya legislasi) yang kongruen
dengan manifestasi tuntutan gerakan. Kempat, hasil yang dicapai jika target secara efektif
mcngimplemcntasikan kebijakan barn. Kelima, dampak yang terjadi, tingkat ketika aksi maupun
respon sistem politik meredakan dan menjawab tuntutan gerakan. Burstein, et al. (1995: 284)
menambahkan tipe respon kebijakan terhadap gerakan sosial menjadi berbcda-beda di atas
dikarcnakan kcberhasilan gcrakan sosial harus dipahami sebagai sesuatu yang tidak bcrlangsung
secara linier sepcrti sildus kcbijakan yang dipahami sccara rasional. Hal ini juga dipengaruhi oleh
stratcgi gerakan yang digunakan dan sumbcr daya yang dikerahkan. Sebagai contoh, pilihan protes
yang disertai kekerasan ccnderung memperoleh kemenangan berupa tcrbukanya akses daripada
perubahan aktual.

Keterkaitan gerakan sosial dan kebij akan publik masih memerlukan penelitian lanjutan, hal ini sesuai
dengan Jenness, Meyer, dan Ingram (2005: 302) bahwa hubungan dialog gerakan sosial dan
kebijakan publik dan nasib demokrasi sangat penting. Penjelasannya adalah kebijakan publik
melembagakan keuntungan yang dicari kelompok-kelompok terkait dan menyediakan sumber daya
yang mendukung dan memperkuat gerakan-gcrakan sosial. Sayangnya yang disebut hal positif ini
juga dapat memperkuat hal yang justru melemahkan karena lembaga dan proses yang berjalan
dalam kebijakan publik dapat menggagalkan pengakuan bersama untuk aspirasi perubahan.

GERAKAN RAKYAT UNTUK KEBIJAKAN AGRARIA: GENERAL INDONESIA

Masalah agraria di Indonesia tak pernah lekang oleh waktu. Berkaitan dengan gerakan rakyat vis-a-
vis masalah agraria maka merujuk pada reformasi agraria digagas dan dilaksanakan selama ini di
Indonesia. Tanah negara dan hutan negara merupakan konsep penting dalam hukum agraria
indonesia yang mencerminkan dominasi negara dalam sistem kepemilikan lahan nasional (Bachriadi,
2010: 40). Keberadaan tanah negara dan kontrol negara terhadap penggunaan tanah negara
berlandaskan pasal 33 UUD 1945 yang oleh pemerintah Orde Baru telah dimanipulasi sedemikian
hingga masih berjalan sampai sekarang Manipulasi yang dimaksud adalah pemerintah
memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya demi kesejahteraan rakyat, namun dalam
pelaksanaannya justru berkebalikan. Bachriadi (2010: 45) justru hal ini dimaksudkan untuk
digunakan untuk kepentingan bisnis komersial atau hanya untuk keuntungan ekonomi, apalagi untuk
menciptakan monopoli sumber-sumber agraria.

Catatan Bachriadi (2010: 61-62) menunjukkan program pembangunan berbiaya mahal justru
menciptakan konflik di seluruh bagian Indonesia;10 bahkan di beberapa wilayah, wilayah hutan yang
digunakan sebagai lahan bisnis, menipulasi hukum untuk menolak keberadaan tanah adat.
masyarakat lokal dan indigenous people: berkehidupan di area hutan yang diklaim sebagai tanah
negara selama bertahun-tahun. Secara umum, Bachriadi dalam disertasinya (2010) berkesimpulan
bahwa pembangunan dan kebijakan agraria selama masa Orde Baru hingga tahun 2006 telah
menyebabkan masalah agraria di Indonesia." Implementasi program reformasi agraria pada tahun
1961 hingga 1965 diberhentikan setelah perubahan rezim penguasa pada tahun 1966. Inisiatif untuk
advokasi kebijakan dipimpin oleh akademisi selama tahun 1970-80an ternyata gagal untuk
menghidupkan kembali Program ini. Selama masa kekuasaan Orde Baru, gerakan rakyat baik
perkotaan dan pedesaan melawan pemerintah dan menjadi kendaraan untuk menghidupkan
kembali politik massa dalam rangka reformasi agraria. Terdapat juga masa bagi para pegiat agraria
untuk membentuk koalisi secara nasional bagi gerakan petani. Titik poin dari studi Bachriadi ini
adalah meskipun tidak langsung mencantumkan hasil perubahan kebijakan pada Tabel Dinamika
Perubahan Pro Reformasi Agraria Dan Gerakan Sosial Pedesaan di Indonesia l980-2000an di bawah
ini, studi Bachriadi telah memberi gambaran terhadap jatuh-bangunnya gerakan rakyat baik di
pedesaan maupun perkotaan dalam rangka memperjuangkan reformasi agraria.

KASUS GERAKAN RAKYAT PULAU PADANG

Asal-usul gerakan sosial adalah dalam koeksistensi sistem nilai kontras dan dalam konflik kelompok
satu sama lain (Della Porta dan Diani, 2006:13). Karakter gerakan sosial ini dijumpai pada kasus
Pulau Padang yang menjadi topik nasional yang hangat pada bulan Desember 2011 hingga sekarang.
Hal ini dikarenakan media memberitakan 27 warga melakukan jahit mulut di depan gedung DPR R1.
Penyebab utamanya adalah masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau
menuntut pencabutan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 327 Tahun 2009-SK izin
operasional Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikantongi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di
Pulau Padang.“ Baik Sutarno maupun Yuwono (2012) dalam penjelasan masing-masing menyebut SK
327/Menhut-II/2009 telah menbuat masyarakat Pulau Padang sejak Desember 2009 lalu hingga saat
ini melakukan penolakan atas beroperasinya PT RAPP secara berkesinambungan. Yuwono (2012)
mencatat temuan yang menjadi bumerang masyarakat Pulau Padang dan PT RAPP antara lain proses
penyusunan AMDAL yang bertentangan dengan amanah PP 27/1999
pasal 16 ayat 4 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya ketidaksesuaian
peruntukan kawasan hutan yang dicadangkan sebagai areal HTI dengan dokumen TGHK, RTRWN,
RTRWP Riau (Perda No. 10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004) hingga
permasalahan Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan
peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan
data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara.

Penolakan masyarakat Pulau Padang terhadap keberadaan PT RAPP dilakukan dengan berbagai cara,
Sutarno (2012) mencatat setidaknya masyarakat Pulau Padang melakukan aksi tergabung dalam
Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMPPP) maupun Serikat Tani Riau (STR)
terhadap pemerintah Kecamatan Merbau, Pemerintah Kabupaten Meranti,” Pemerintah Propinsi
Riau,ls dan Pemerintah Pusat.16 Dalam aksinya, masyarakat Pulau Padang juga didampingi oleh LSM
dan organisasi lain seperti Walhi, Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang
Lawas, dan sebagainya. Masyarakat Pulau Padang tidak hanya melakukan aksi demonstrasi tetapi
juga melakukan aksi jahit mulut dan kemah massal (Sutarno, 2012):

a. Pengaduan. Pengaduan dalam bentuk Pengiriman surat dan/ atau mendatangi kantor pihak
berwenang baik dari pemerintah maupun PT RAPP. Cara ini bertujuan untuk berdialog guna
menyampaikan permasalahan yang dihadapi dan mendapat respon dari pihak yang bersangkutan.
Dalam cara langsung dengan mendatangi/menemui pihak berwenang ini, jumlah perwakilan dari
masyarakat dalam skala kecil/perwakilan.

b. Aksi demonstrasi dan protes yang melibatkan massa (puluhan, ratusan hingga ribuan orang). Sejak
2010 tercatat massa berdemonstrasi dengan frekuensi yang sering sekali.17

c. Diskursus publik yaitu pada tanggal 15 Desember 2010 seminar terbuka “Dampak HTI terhadap
Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat” dihadiri oleh 2500 orang masyarakat Pulau Padang dan
Pulau Rangsang tanpa ada perwakilan Pemerintah Kabupaten Meranti dan Manajemen PT RAPP

d. Aksi radikal yaitu aksi stempel darah, mogok makan“ dan jahit mulut masyarakat Pulau Padang
yang tidak dilakukan sekali saja. Mogok makan pertama dilakukan pada tanggal 25-28 April 2011.”
Lalu pada tanggal l November 2011 terdapat aksi jahit mulut di Masjid Kompleks DPRD Provinsi Riau;
aksi demonstrasi pada tanggal 16 Desember 2011 juga diikuti dengan aksi jahit mulut pada tanggal
20, 21, dan 22 Desember 2011. Aksi radikal terakhir ini berjalan hingga akhir tahun 2011, namun aksi
menginap di Gedung DPR RI mencapai lebih dari 1bulan.

Berbagai bentuk aksi tersebut mampu membuat pemerintah di tiga level melakukan tindakan baik
positif maupun negatif terhadap tuntutan masyarakat Pulau Padang. Sutarno (2012) dan Yuwono
(2012) mcncatat beberapa respon pemerintah, beberapa antara lain:

a. Penerbitan SK 327/menhut-II/2009 sebagai pemicu gerakan rakyat Pulau Padang karena substansi
dari SK 327/menhut II/2009 adalah menghilangkan sumber penghidupan bagi 35.224 jiwa. Namun
setelah ditelusur ternyata perizinan dan penyusunan AMDAL juga bermasalah. Bupati terdahulu
sempat mengirim surat Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan untuk peninjauan ulang terhadap
semua IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPP di Kabupaten Kepualauan Meranti.

b. Dialog masyarakat dengan DPRD Kabupaten Meranti pada 26 Juli 2010 menghasilkan janji bahwa
DPRD akan meninjau lapangan, bahkan DPRD dan Bupati Kabupaten Meranti juga mengajukan surat
permohonan peninjauan ulang izin operasional PT SRL, PT LUM, dan PT RAPP kepada Kemenhut
pada waktu yang bersamaan. Namun di sisi lain Gubernur Riau mengeluarkan Surat No. 223/ IX/
2010 tanggal 8 September 2010, tentang Izin Pembuatan Koridor pada IUPHHK-HT, PT RAPP Pulau
Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti. Balasan surat Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan
tertanggal 3 November 2010 adalah IUPHHK-HTI ketiga perusahaan tersebut adalah sah dan aktif
dan area operasi IUPHHK-HTI tersebut berada dalam Kawasan Hutan Produksi. Oleh karena itu,
Pemda Kabupaten Meranti mengikuti surat tersebut melalui sosialisasi PT RAPP.

c. Setelah terjadi aksi penolakan terhadap PT RAPP dan dialog antara masyarakat dan DPRD Provinsi
Riau pada 11 Februari 2011, diputuskan pembentukan Pansus HTI Riau yang agar pansus tersebut
dapat mengkaji dampak operasional PT RAPP di Pulau Padang maupun secara umum di Riau pada
tanggal 23 Februari 2011. sementara di tingkat kabupaten memang terdapat pembentukan Tim
Pengkaji Kelayakan Operasional PT RAPP di Pulau Padang namun berubah menjadi tim pengawas
operasional PT RAPP di Pulau Padang (16 Maret 2011). Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten
Meranti tidak berkomitmen terhadap kesepakatan dengan masyarakat.

d, DPRD Provinsi Riau tampak tidak responsifbahkan mempingpong masyarakat Pulau Padang. Hal
ini karena Komisi A, Komisi B, bahkan Ketua DPRD tidak memberi jawaban yang tegas dan terkesan
melempar tanggung jawab.” Terdapat dialog antara masyarakat Pulau Padang dengan PemProv Riau
terkait “tim terpadu” bentukan Pemkab Meranti pada tanggal 4 November 2011. Gubernur Riau
urung Rekomendasi Pencabutan SK No. 327 Menhut Tahun 2009 Blok PulauPadang.

e. Pada pertengahan November 2011 terdapat dialog bersama di gedung DPRD Provinsi Riau antara
Bupati dan seluruh pejabat Pemda Meranti, Ketua DPRD Provinsi Riau, Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi Riau, Masyarakat Pulau Padang, dan lain-lain. Dialog ini yang difasilitasi oleh DPD RI dapil
Riau, namun lagi-lagi hasilnya sangat-sangat mengecewakan warga Pulau Padang.

f. Bersamaan dengan berakhirnya aksi jahit mulut, Menhut membentuk tim mediasi untuk
menyelesaikan masalah antara masyarakat Pulau Padang dan PT RAPP. Menhut, tim mediasi, dan
masyarakat Pulau Padang membuat kesepakatan pada 5 Januari 2012 Surat Keputusan Revisi SK
Mcnhut No 327 Tahun 2009, dengan mengeluarkan seluruh hamparan blok Pulau Padang seluas
41.205 ha Dari SK 327.

Selain itu, pemerintah masih menggunakan cara kekerasan dalam menghadapi aksi masyarakat
Pulau Padang karena masih menggunakan aparat keamanan untuk melakukan pengeroyokan dan
penculikan terhadap warga Pulau Padang. Kejadian ini terjadi pada tanggal 9 Juni 2011. Sementara
catatan Sutarno (2012) yang berkaitan dengan PT RAPP adalah masyarakat beberapa kali melakukan
aksi terhadap PT RAPP namun ditanggapi dengan mengecewakan. Selain itu, PT RAPP melakukan
pembentukan opini berkaitan dengan tingkat deforestasi di kawasan Pulau Padang yang dilakukan
saat forum sosialisasi kepada komponen masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 30
Oktober 2010 dan mengelak menunjukkan dokumen AMDAL yang menjadi dasar perijinan HTI-nya.

PENUTUP

Aksi kolektif yang ditunjukkan masyarakat Pulau Padang secara terus-menerus menunjukkan bahwa
masyarakat membutuhkan sumber daya yang luar biasa agar mampu membuat pemerintah
mengubah kebijakannya. Pasca-aksi jahit mulut, masyarakat Pulau Padang masih melanjutkan aksi
massa terhadap pemerintah hingga saat ini. Menhut membuat tim mediasi guna menyelesaikan
persoalan tersebut. Dalam hal ini, gerakan rakyat memengaruhi pembentukan opini publik. Melalui
media, masyarakat umum yang tadinya tidak mengetahui, menjadi tahu atas peristiwa yang terjadi
termasuk pro dan kontra. Berbagai elemen
masyarakat salah satunya perwakilan dari masyarakat sipil, turut serta mendukung proses
penyelesaian masalah Pulau Padang. Masukan dari organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari LSM,
ORMAS dan Organisasi Mahasiswa adalah bahwa Kementerian Kehutanan bukan sebatas
membentuk tim mediasi namun membentuk Tim Verifikasi Independen dan multipihak, untuk
meninjau kembali perizinan SK No. 327/Menhut-II/2009 (Yuwono, 2012).

Tim mediasi telah bekerja dan memberi dua rekomendasi khusus terkait penyelesaian Kasus Pulau
Padang yaitu pertama, revisi keputusan Menhut Nomor 327/Menhut-II/2009, dengan mengeluarkan
selumh blok Pulau Padang dari areal konsesi. Rekomendasi kedua, revisi keputusan Menhut Nomor
327/Menhut-II/2009, dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang. Menhut memilih
opsi yang kedua. Namun menurut rakyat Pulau Padang tuntutan mereka belum dipenuhi oleh
Menhut. Karena Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mdah mengeluarkan solusi untuk Pulau
Padang dengan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). SejakJuni 2012, wacana warga akan
melakukan aksi aksi bakar diri di depan istana. Hal ini dikarenakan Surat Keputusan Revisi SK Menhut
No 327 Tahun 2009, dengan mengeluarkan seluruh hamparan blok Pulau Padang seluas 41.205 ha
dari SK No. 327 belum sesuai kesepakatan 5 Januari 2012.

Saat ini, perjalanan masyarakat Pulau Padang masih panjang melanjutkan aksinya menuntut revisi SK
Menhut No 327 Tahun 2009 yang sesuai dengan tuntutan mereka. Selama pemerintah membuat
kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, maka rakyat tidak akan pernah berhenti bergerak
Ironisnya, penyebab yang ditengarai memicu konflik masyarakat Pulau Padang belum menjadi
pedoman pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai