Anda di halaman 1dari 179

Memberdayakan Instrumen

Pencegahan Korupsi
“Studi tentang Efektivitas
Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara
bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”

Komisi Pemberantasan Korupsi


Deputi Pencegahan
Direktorat Penelitian & Pengembangan
Jakarta
Desember 2006
Publikasi Internal
Tidak untuk disebarluaskan
di luar KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia


Deputi Pencegahan
Direktorat Penelitian & Pengembangan

Memberdayakan Instrumen
Pencegahan Korupsi
“Studi tentang Efektivitas
Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara
bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”

Tim peneliti:
Binziad Kadafi
Dian Patria
Niken Ariati
I Gusti Ayu Nyoman Lia Oktirani
R. Eric Juliana Rachman
Didik Mulyanto
Luthfi G. Sukardi
Aida Ratna Zulaiha

Penulis:
Binziad Kadafi

Editor:
Niken Ariati
Dian Patria

Diterbitkan oleh:
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
Jakarta, Desember 2006

www.kpk.go.id
Jl. Ir. H. Juanda No. 36, Jakarta 10110
Telp. (021) 3522546-50
Fax. (021) 3522625
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

RINGKASAN EKSEKUTIF
Kewajiban pelaporan kekayaan Penyelenggara Negara (PN) merupakan praktek yang lumrah
di berbagai negara. Di Indonesia pun, pelaporan kekayaan PN ternyata telah dimulai sejak
masa orde lama. Dan sekarang di era reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
berdasarkan pasal 13 huruf (a) UU No. 30/2002, merupakan lembaga yang diberi
kewenangan melakukan pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan PN. Namun demikian,
walaupun kewajiban pelaporan kekayaan PN telah lama diterapkan tetapi sangat jarang
ditemukan kajian mengenai efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan tersebut. Bagi KPK
sendiri, ini merupakan studi awal dan pertama kali untuk mengkaji efektivitas mekanisme
pelaporan kekayaan PN.

Selain itu, diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) lewat UU
No. 7/2006 pada April 2006 merupakan momentum yang tepat untuk memperbaiki
mekanisme pelaporan kekayaan PN antara lain dengan meningkatkan efektivitasnya di
segala aspek, baik dari sudut pengaturan dalam peraturan perundang-undangan,
optimalisasi kewenangan yang ada, kapasitas kelembagaan, hingga kriteria dan prosedur
pelaksanaannya.

Maksud dan tujuan utama dari studi ini adalah untuk mendapatkan solusi bagi peningkatan
efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan PN sebagai dukungan bagi upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. Data untuk analisa studi diperoleh dari data primer dan sekunder. Data
primer didapat melalui wawancara mendalam dengan 13 pakar dan praktisi berbagai bidang,
observasi business process Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
PN (Direktorat PP LHKPN), korespondensi dengan lembaga sejenis KPK di luar negeri serta
penyebaran kuesioner terhadap PN di tingkat pusat (Jakarta) maupun daerah (4 daerah)
dengan total 303 responden.

Adapun data sekunder didapat melalui studi berbagai literatur terkini. Analisa data
menggunakan metodologi pemecahan masalah (problem solving methodology) yang
dikembangkan oleh Robert Seidman dan Ann Seidman dari Boston University, Amerika
Serikat yaitu dengan lakukan indentifikasi masalah (mengenali gejala masalah dan aktornya),
mencari akar masalah (faktor yang menyebabkan para aktor berperilaku bermasalah dan
fakta empiris tertentu yang mempengaruhi perilaku tersebut) dan terakhir menyusun solusi
dengan merinci tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan faktor-faktor penyebab
perilaku bermasalah tersebut dan menguji solusi dengan kriteria solusi yang baik. Adapun
kriteria solusi yang baik adalah berangkat dari logika pemecahan masalah, berangkat dari
keterbatasan yang ada, dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.

Selain itu, agar efektif dan implementatif, usulan solusi studi mempertimbangkan hal-hal
seperti tidak boleh terlepas dari konteks masalah yang lebih luas, mempertimbangkan sejarah
dari masalah sosial yang ingin diselesaikan serta lessons learned dan best practice negara lain
bisa sebagai sumber ide, dan mengembangkan berbagai alternatif solusi berdasarkan ide-ide
yang diperoleh tim peneliti selama menjalankan seluruh proses studi. Dengan demikian
solusi yang diusulkan diharapkan dapat mentransformasi perilaku bermasalah menjadi
perilaku yang sesuai sehingga dapat mendukung efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan
PN bagi upaya pemberantasan korupsi.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
i
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Laporan studi ini dibagi dalam 4 (empat) Bab. Bab I berisikan latar belakang studi, Bab II
sejarah mekanisme pelaporan kekayaan PN di Indonesia dan berbagai gejala dan perilaku PN
dan KPK yang berkontribusi terhadap tidak efektifnya mekanisme pelaporan kekayaan PN di
Indonesia. Bab III berisikan analisa faktor-faktor yang menyebabkan PN dan KPK berperilaku
tertentu yang berkontribusi terhadap kurang efektifnya mekanisme pelaporan kekayaan PN.
Bab IV merupakan kumpulan solusi dan berbagai alternatifnya untuk menghilangkan faktor-
faktor penyebab dari berbagai perilaku bermasalah tersebut.

Adapun gejala tidak efektifnya mekanisme pelaporan kekayaan PN di Indonesia terlihat dari
minimnya kepatuhan PN (rata-rata nasional 56%,) belum adanya tindak lanjut pemeriksaan
secara hukum, minimnya laporan masyarakat (hanya ada 106 pengaduan masyarakat terkait
LHKPN ke KPK dari total 12.882 laporan pada Juni 2006) dan besarnya jumlah backlog
pengolahan LHKPN (rata-rata 11 ribu–12 ribu atau sekitar 25% dari jumlah PN yang sudah
lapor). Dari analisa gejala tersebut didapatkan 8 (delapan) perilaku bermasalah serta
penyebabnya sebagai dasar mendapatkan solusi. Delapan perilaku bermasalah tersebut
adalah PN tidak melaporkan harta kekayaannya, PN tidak memperbarui laporan kekayaan,
PN tidak melaporkan kekayaan dengan benar, PN tidak mengumumkan laporan kekayaan,
KPK kesulitan menyelesaikan pengolahan laporan kekayaan yang masuk, KPK kurang
gencar menjalankan pemeriksaan, KPK hanya mengumumkan laporan kekayaan PN di Berita
Negara/Tambahan Berita Negara (BN/TBN), dan KPK belum mengupayakan sanksi bagi
PN.

Usulan solusi studi dibagi dalam 3 (tiga) kelompok utama yaitu pertama, perbaikan peraturan
perundang-undangan (perbaikan UU–jangka panjang; pembentukan PP–jangka menengah;
perbaikan Keputusan KPK & SE Menpan–jangka pendek). Salah satu usulan solusi jangka
pendek adalah diundangkannya Keputusan KPK dalam Lembaran Negara atau BN agar bisa
diakses masyarakat luas. Usulan solusi kedua adalah perubahan di tingkat kelembagaan.
Salah satu usulannya adalah peningkatan fasilitas teknologi seperti piranti lunak sehingga
memungkinkan penerapan pelaporan harta kekayaan secara elektronik sebagaimana
keberhasilan Argentina Corruption Office meningkatkan kepatuhan PN menjadi 96% dari 67%
sejak sistem pelaporan secara elektronik diberlakukan. Solusi ketiga berupa perbaikan
mekanisme kerja. Salah satu usulannya adalah memperluas jangkauan distribusi CD LHKPN
ke pihak akademisi, LSM, dan memperkuat substansi materi sosialisasi dengan memasukkan
sejarah penerapan LHKPN dan mengaitkannya dengan materi UNCAC.

Usulan lain berupa penambahan klasifikasi pengelompokan PN yang sebelumnya terdiri dari
4 kelompok dengan menambahkan state auxiliary bodies dan lembaga negara/pemerintahan
yang telah dibubarkan (KPKPN, DPA, dan lain-lain). Terkait formulir, diusulkan antara lain
apabila PN tidak memiliki penambahan kekayaan secara signifikan, maka diusulkan agar PN
cukup membuat surat pernyataan tidak ada penambahan aset tanpa mengisi formulir B;
menetapkan harta benda yang dikecualikan dari pelaporan meliputi perlengkapan rumah
tangga, pakaian dan bahan makanan, benda bergerak dan logam mulia di bawah nilai
tertentu; serta melengkapi identitas PN dengan menyertakan nama dan kontak atasan
langsung dari PN. Terkait batas waktu pembaruan LHKPN, sebaiknya ditentukan seragam,
misalnya tanggal tertentu setiap tahun atau setiap tahun genap/ganjil. Terkait penerapan
sanksi moral, diusulkan agar KPK menggencarkan pengumuman PN yang melanggar dan
pengumuman peringkat lembaga dengan PN yang terbanyak melanggar dalam bentuk press
release ke media massa nasional, maupun lokal.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
ii
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat
dan karunia-NYA lah Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan
Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah diselesaikan dengan
baik. Studi ini dilakukan berdasarkan inisiatif bersama Direktorat Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) KPK dan Direktorat PP LHKPN setelah dilakukan identifikasi awal
(preliminary study) bahwa pengelolaan LHKPN perlu ditingkatkan efektivitasnya agar
berdampak maksimal terhadap usaha pemberantasan korupsi. Studi ini dilaksanakan oleh
Tim peneliti Direktorat Litbang KPK dimulai pada awal September hingga pertengahan
Desember 2006.
Secara umum tujuan Studi ini adalah memberikan alternatif solusi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan efektivitas mekanisme pendaftaran dan pemeriksaan
LHKPN, berdasarkan hasil kajian dan analisis terhadap berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif yaitu mengumpulkan berbagai
informasi untuk mengenali berbagai permasalahan yang terdapat pada obyek yang diteliti
serta pendekatan eksploratif antara lain dengan menggali informasi dari data primer maupun
sekunder. Informasi dari data primer diperoleh melalui pendistribusian kuesioner kepada
responden tertentu yang dipilih, wawancara, diskusi dengan para pakar. Sedangkan
informasi dari data sekunder antara lain berupa hasil kajian Bidang Hukum KPK, hasil audit
internal Direktorat Pengawasan Internal KPK terhadap kinerja Direktorat PP LHKPN, data
perbandingan antarnegara dengan fokus pada negara-negara yang menerapkan kebijakan
pelaporan kekayaan, data-data yang dipublikasikan, serta data yang tidak dipublikasikan
yang terdapat pada Direktorat PP LHKPN.
Hasil kajian dari studi ini berupa berbagai usulan antara lain: perbaikan peraturan
perundang-undangan yang ditentukan prioritas pelaksanaannya yakni jangka pendek,
menengah dan jangka panjang; perbaikan struktur kelembagaan pada tingkat Direktorat PP
LHKPN; serta perbaikan mekanisme kerja menyangkut berbagai bidang meliputi bidang
administratif, operasional, maupun kebijakan yang bersinggungan dengan aspek hukum.
Usulan dimaksud diharapkan dapat dipakai sebagai kerangka acuan bagi perbaikan secara
bertahap dan menyeluruh guna peningkatan efektivitas pengelolaan pendaftaran dan
pemeriksaan LHKPKN.
Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap
pelaksanaan studi ini yakni para pakar, ahli hukum dan pejabat yang telah meluangkan
waktu dalam memberikan berbagai masukan berkaitan dengan substansi studi ini, serta
berbagai pihak yang memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung yang
berada di lingkungan internal KPK.
Kami menyadari bahwa hasil studi ini masih banyak kekurangannya, sehingga saran
dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya sangat diharapkan.

Jakarta, Desember 2006


Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK
Mochammad Jasin

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
iii
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

DAFTAR ISI

Ringkasan Eksekutif ............................................................................................................... i


Kata Pengantar ....................................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................................. iv
Daftar Tabel ............................................................................................................................ x

Bab I Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN bagi Pemberantasan Korupsi …….... 1


A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Maksud dan Tujuan ......................................................................................................... 3
C. Sasaran ............................................................................................................................ 3
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................................................. 3
E. Metode Analisa ............................................................................................................. 5
F. Karakteristik Responden ................................................................................................ 6
G. Sistematika Pelaporan Penelitian ..................................................................................... 7

Bab II Mengenali Masalah dalam Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ………………...….... 9


A. Pengantar ......................................................................................................................... 9
B. Sejarah Umum Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ...................................................... 10
C. Tujuan Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN .................................................................. 14
D. Gejala Kurang Efektifnya Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ..................................... 16
E. Pihak-pihak yang Berkontribusi ...................................................................................... 21

Bab III Menemukan Akar Masalah dalam Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ................... 23
A. Pengantar ......................................................................................................................... 23
B. Perilaku Bermasalah dan Faktor-faktor Penyebabnya ..................................................... 25

Bab IV Usulan Solusi bagi Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN .......................... 109
A. Pengantar ........................................................................................................................ 109
B. Perbaikan Peraturan Perundang-undangan .................................................................... 110
C. Perubahan di Tingkat Kelembagaan ................................................................................ 129
D. Perbaikan Proses Kerja .................................................................................................... 132

Daftar Pustaka ………............................................................................................................. 161


Organisasi Penelitian ............................................................................................................. 167

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
iv
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

DAFTAR ISI

Ringkasan Eksekutif ............................................................................................................... i


Kata Pengantar ....................................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................................. iv
Daftar Tabel ............................................................................................................................ x

Bab I Efektivitas Mekanisme Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PN) bagi
Pemberantasan Korupsi .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 1
B. Maksud dan Tujuan .................................................................................................................... 3
C. Sasaran .......................................................................................................................................... 3
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................................................................... 3
E. Metode Analisa ............................................................................................................................ 5
F. Karakteristik Responden ............................................................................................................ 6
G. Sistematika Penulisan ................................................................................................................. 7

Bab II Mengenali Masalah Dalam Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ................................... 9


A. Pengantar ...................................................................................................................................... 9
B. Sejarah Umum Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ............................................................ 10
1. Masa Orde Lama ................................................................................................................. 10
2. Masa Orde Baru .................................................................................................................. 11
3. Masa Reformasi ................................................................................................................... 12
C. Tujuan Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN .......................................................................... 14
D. Gejala Kurang Efektifnya Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN .......................................... 16
1. Minimnya Tingkat Kepatuhan PN .................................................................................. 16
2. Belum Adanya Tindak Lanjut Pemeriksaan Secara Hukum ....................................... 18
3. Minimnya Laporan Masyarakat ....................................................................................... 18
4. Besarnya Jumlah Tunggakan Pengolahan Laporan Kekayaan PN ............................. 19
E. Pihak-pihak yang Berkontribusi ................................................................................................ 21

Bab III Menemukan Akar Masalah dalam Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN .................... 23
A. Pengantar ...................................................................................................................................... 23
B. Perilaku Bermasalah dan Faktor-faktor Penyebabnya ........................................................... 25
1. PN Tidak Melaporkan Kekayaan ..................................................................................... 25
a. Lemahnya Sanksi Hukum ....................................................................................... 25
b. Kewajiban PN Tidak Diimbangi Kewenangan KPK ........................................... 30
c. Wajib Lapor Kekayaan Belum Jadi Syarat Rekrutmen Secara Luas ................. 30
d. Menolak Diakui atau Tidak Tahu Kriteria PN Wajib Lapor .............................. 31

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
v
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

e. Belum Ada Contoh PN Dikenai Sanksi ................................................................. 33


f. PN yang Tidak Lapor Kekayaan Tidak Diumumkan ......................................... 34
g. Batas Waktu Pelaporan dan Mekanisme Penagihan Tidak Tegas .................... 35
h. Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) LHKPN Bentukan KPK Kurang Optimal 37
i. Kehabisan Formulir .................................................................................................. 39
j. Kesulitan Memahami dan Melengkapi Formulir ................................................ 40
k. Tidak Ada Waktu Khusus Melengkapi Formulir ................................................ 42
l. Keberatan atas Biaya yang Timbul ......................................................................... 42
m. Ada Kejanggalan Kekayaan .................................................................................... 43
n. Kuatir akan Konsekuensi Turunan ........................................................................ 43
o. Menganggap Kekayaan adalah Urusan Privat ..................................................... 44
2. PN Tidak Memperbarui Laporan Kekayaan .................................................................. 45
a. Wajib Lapor Kekayaan Hanya Sebelum dan Setelah Menjabat ........................ 45
b. Tidak Ada Perubahan Aset Signifikan .................................................................. 46
c. Laporan Awal Belum Diolah .................................................................................. 47
d. Tidak Tahu Peraturan .............................................................................................. 47
e. Tidak Punya Acuan untuk Memperbarui Laporan ............................................ 49
f. Menganggap Tidak Penting .................................................................................... 49
3. PN Tidak Melaporkan Kekayaan dengan Benar ............................................................ 50
a. Ada Sanksi, Tetapi Tidak Ditegakkan ................................................................... 50
b. Tanpa Laporan Masyarakat, Keterangan yang Tidak Benar Sulit Dideteksi ... 52
c. Probabilitas untuk Diperiksa Sangat Kecil ........................................................... 54
d. Kilah Lupa atau Tidak Sengaja ............................................................................... 54
e. Merasa Bisa Merevisi Kapan pun ........................................................................... 56
f. Tidak Tahu Peraturan .............................................................................................. 56
g. Tidak Punya Rujukan Bukti .................................................................................... 56
h. Tidak Tahu Nominal ............................................................................................... 58
i. Menutupi Kejanggalan Kekayaan .......................................................................... 59
j. Hibah sebagai Dalih ................................................................................................ 59
k. Warisan sebagai Dalih .............................................................................................. 62
4. PN Tidak Mengumumkan Laporan Kekayaan ............................................................. 62
a. Kewajiban PN Bukan Kewenangan KPK? ............................................................ 62
b. Ada Pilihan Model Pengumuman ......................................................................... 64
c. Penerbitan BN/TBN Belum Selesai ....................................................................... 65
d. Menutupi Kejanggalan Kekayaan .......................................................................... 65
e. Tidak Mau Dibanding-bandingkan ...................................................................... 66
f. Kuatir Disalahgunakan Pihak Ketiga .................................................................... 68
g. Berpandangan bahwa Mengumumkan Kekayaan Tidak Etis ........................... 68
5. KPK Kesulitan Menyelesaikan Pengolahan Laporan Kekayaan yang Masuk .......... 68
a. Kriteria PN Wajib Lapor dalam UU Tidak Rinci ................................................ 69

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
vi
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

b. KPK Tidak Merinci PN Wajib Lapor ...................................................................... 71


c. Belum Ada Prioritas ................................................................................................. 77
d. Penentuan PN Wajib Lapor oleh Menpan ............................................................ 78
e. Penyelesaian Pengolahan LHKPN Tidak Jadi Ukuran Kinerja ......................... 80
f. Terbatasnya Jumlah SDM ........................................................................................ 80
g. Fasilitas Kerja Kurang Memadai ............................................................................ 81
h. Motivasi yang Terganggu ........................................................................................ 83
i. Beban Kerja Tidak Diantisipasi ............................................................................... 83
6. KPK Kurang Gencar Menjalankan Pemeriksaan ........................................................... 83
a. Kriteria Pemeriksaan Kurang Lengkap ................................................................. 84
b. Sulit Memeriksa Semua PN ..................................................................................... 85
c. Permintaan untuk Pemeriksaan LHKPN Minim ................................................. 86
d. Ada Beda Pendapat tentang Hasil Pemeriksaan .................................................. 87
e. SDM, Infrastruktur, dan SOP Tidak Sebanding dengan Beban Pemeriksaan . 87
f. Fungsi-fungsi KPK Belum Jadi Kriteria Pemeriksaan ......................................... 90
g. Lessons Learned Belum Jadi Dasar Melengkapi Kriteria Pemeriksaan ............... 91
h. Basis Data Tidak Lengkap ....................................................................................... 92
i. Menambah Kriteria Berarti Menambah Beban Kerja .......................................... 92
j. Kriteria Pemeriksaan Masih Informal .................................................................... 93
7. KPK Hanya Mengumumkan Laporan Kekayaan PN di BN/TBN ............................. 94
a. Penafsiran Sempit Asas Publisitas ......................................................................... 94
b. Ada Masalah Hukum Jika Mengumumkan di Luar BN/TBN .......................... 96
c. Tidak Ada Tuntutan dari Luar ............................................................................... 97
d. Belum Punya Media Pengumuman Lain .............................................................. 98
e. Mengedepankan Tertib Administrasi .................................................................... 99
f. Belum Ada Kebijakan Tegas tentang Media Pengumuman ............................. 99
g. BN/TBN Danggap Lebih Formal ........................................................................... 100
8. KPK Belum Mengupayakan Sanksi bagi PN .................................................................. 100
a. UU No. 28/1999 Dinilai Mengecualikan KUHP .................................................. 100
b. Berbagai Aturan Pendisiplinan PN Tidak Efektif .............................................. 101
c. Ada Batasan Kewenangan ...................................................................................... 102
d. Sanksi Perbuatan Melawan Hukum Belum Dikaji untuk Diterapkan ............. 102
e. Kode Etik Belum Bisa Jadi Acuan .......................................................................... 103
f. Lapor Kekayaan Belum Mempengaruhi Pengisian Jabatan/Kepangkatan .... 105
g. Tindak Lanjut Laporan KPKPN di Masa Lalu Tidak Jelas ................................ 106
h. Data PN yang Melanggar Tidak Update ............................................................... 106
i. Belum Punya Strategi Meningkatkan Ketaatan PN ............................................ 107
j. Belum Menyepakati Sanksi ..................................................................................... 108

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
vii
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Bab IV Usulan Solusi bagi Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ............................ 109
A. Pengantar ...................................................................................................................................... 109
B. Perbaikan Peraturan Perundang-undangan ........................................................................... 110
1. Perbaikan UU sebagai Strategi Jangka Panjang ............................................................. 111
a. Penetapan Tujuan Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN ................................... 112
b. Penegasan PN Wajib Lapor ..................................................................................... 112
c. Pendefinisian Jabatan ............................................................................................... 114
d. Kewenangan KPK ..................................................................................................... 115
e. Kewajiban PN ............................................................................................................ 118
f. Penegasan Sanksi ...................................................................................................... 119
g. Akomodasi Materi Muatan UNCAC ..................................................................... 121
h. Peningkatan Kapasitas Organisasi ......................................................................... 122
2. Pembentukan PP sebagai Strategi Jangka Menengah ................................................... 123
a. Kelebihan Pengaturan dalam PP ........................................................................... 123
b. Materi Muatan PP .................................................................................................... 124
3. Perbaikan Keputusan KPK sebagai Strategi Jangka Pendek ........................................ 125
a. Kedudukan Hukum ................................................................................................ 125
b. Sifat Mengatur .......................................................................................................... 126
c. Proses Pembentukan ............................................................................................... 127
d. Materi Muatan ......................................................................................................... 127
4. Perbaikan SE Menpan sebagai Strategi Jangka Pendek ................................................ 128
C. Perubahan di Tingkat Kelembagaan ........................................................................................ 129
1. Penentuan Struktur Baru .................................................................................................. 129
2. Penyesuaian Kompetensi dan Jumlah SDM ................................................................... 130
3. Penyediaan Fasilitas Pendukung ...................................................................................... 131
D. Perbaikan Proses Kerja ................................................................................................................ 132
1. Penyediaan Dasar Perbaikan Proses Kerja ...................................................................... 133
2. Pengumpulan dan Penyusunan Data Primer ................................................................. 133
3. Sosialisasi ............................................................................................................................. 133
4. Identifikasi dan Penentuan PN Wajib Lapor .................................................................. 135
5. Formulir ................................................................................................................................ 137
a. Perbaikan Formulir ................................................................................................. 137
b. Perbaikan Buku Petunjuk Pengisian ..................................................................... 142
c. Distribusi Formulir .................................................................................................. 143
6. Batas Waktu Pelaporan dan Penagihan ........................................................................... 143
a. Batas Waktu Pelaporan LHKPN ............................................................................ 143
b. Batas Waktu Pembaruan LHKPN .......................................................................... 144
c. Penagihan .................................................................................................................. 145
7. Pengupayaan Sanksi ........................................................................................................... 145
a. Sanksi Pidana ............................................................................................................ 145

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
viii
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

b. Sanksi Administrasi ................................................................................................. 146


c. Sanksi Moral ............................................................................................................. 147
d. Sanksi Perdata .......................................................................................................... 148
8. Pengolahan Data LHKPN .................................................................................................. 149
9. Pengumuman ....................................................................................................................... 149
a. Materi Pengumuman ................................................................................................ 150
b. Media Pengumuman ................................................................................................ 150
c. Mekanisme Pengumuman ....................................................................................... 152
d. Penyalahgunaan Pengumuman LHKPN .............................................................. 152
10. Pemeriksaan ......................................................................................................................... 153
a. Jenis Pemeriksaan ..................................................................................................... 154
b. Kriteria Pemeriksaan ............................................................................................... 154
c. Hasil Pemeriksaan .................................................................................................... 155
d. Pembatasan Pemeriksaan ........................................................................................ 155
11. Kerjasama antar Unit Kerja/Direktorat KPK .................................................................. 156
12. Kerjasama dengan Pihak Ketiga ....................................................................................... 157
a. Pokja LHKPN ............................................................................................................. 157
b. Lembaga-lembaga Lain ............................................................................................ 158

Daftar Pustaka ……….......................................................................................................................... 161


Organisasi Penelitian .......................................................................................................................... 167

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
ix
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

DAFTAR TABEL

1. 1.1. Distribusi responden menurut provinsi ................................................................ 6


2. 1.2. Distribusi responden menurut usia ........................................................................ 7
3. 1.3. Distribusi responden berdasarkan eselon ............................................................. 7
4. 2.1. Pendapat PN apakah LHKPN sudah efektif mencegah korupsi ....................... 16
5. 2.2. Ringkasan PN yang sudah melaporkan kekayaan .............................................. 17
6. 2.3. Data tunggakan pengolahan LHKPN .................................................................... 20
7. 2.4. Klasifikasi PNS berdasarkan golongan .................................................................. 21
8. 2.5. Klasifikasi PNS berdasarkan eselon ....................................................................... 21
9. 3.1. Apakah PN termasuk wajib lapor kekayaan ........................................................ 32
10. 3.2. Apakah PN tahu pejabat di instansinya yang wajib lapor kekayaan ............... 32
11. 3.3. Klasifikasi PNS berdasarkan penempatan ............................................................ 39
12. 3.4. Apakah PN kesulitan mengisi formulir ................................................................. 41
13. 3.5. Kesulitan yang dihadapi PN dalam mengisi formulir ........................................ 41
14. 3.6. Apakah PN tertarik melihat pengumuman LHKPN ........................................... 52
15. 3.7. Apakah PN akan melapor jika menemukan kejanggalan ................................... 52
16. 3.8. Kebiasaan PN menyimpan bukti-bukti transaksi ................................................ 57
17. 3.9. Apakah PN punya pembukuan keuangan pribadi/keluarga ............................ 57
18. 3.10. Daftar 10 besar PN terkaya sementara ................................................................... 67
19. 3.11. Identifikasi dan klasifikasi PN wajib lapor kekayaan ......................................... 71
20. 3.12. Apakah PN tahu media pengumuman .................................................................. 97
21. 4.1. Frekuensi laporan kekayaan di berbagai negara .................................................. 119
22. 4.2. Sanksi terhadap pelanggaran laporan kekayaan di berbagai negara ............... 121
23. 4.3. Jenis sosialisasi yang dipilih PN ............................................................................ 134
24. 4.4. Kekayaan yang dikecualikan di berbagai negara ................................................ 141
25. 4.5. Pilihan pejabat di lembaga negara/pemerintah pusat tentang sanksi ............. 145
26. 4.6. Sikap pejabat di lembaga negara/pemerintah pusat bahwa tingkat 148
kepatuhan mencerminkan bersih/tidaknya suatu lembaga .............................
27. 4.7. Sikap PN tentang keterangan gaji/tunjangan diumumkan .............................. 150
28. 4.8. Pilihan pejabat di lembaga negara/pemerintah pusat tentang media 151
pengumuman yang sesuai ......................................................................................
29. 4.9. Lembaga negara/pemerintah pusat telah menetapkan unit kerja pengelola 157
LHKPN .......................................................................................................................
30. 4.10. Unit kerja yang telah ditetapkan sebagai pengelola LHKPN ............................ 157

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
x
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

BAB I
Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan
Penyelenggara Negara (PN)

A. Latar Belakang

da sebuah kisah. Konon di Cina, hidup seorang hakim yang adil bernama Hakim Bao.
Sepanjang karirnya, Hakim Bao telah menyelesaikan banyak perkara kriminal dan
menengahi bermacam perselisihan. Sampai suatu hari, dia harus berhadapan dengan
sebuah kasus pencurian.1

Seseorang datang ke rumah Hakim Bao, mengadu bahwa vas bunga antik miliknya dicuri.
Mendapat pengaduan, Hakim Bao pun bergegas ke Pengadilan. Dalam beberapa jam dia
telah mengumpulkan lima orang tersangka. Di hadapan kelima tersangka, Hakim Bao
bertanya lantang, “Siapa di antara kalian yang telah mencuri vas bunga antik milik Tuan
ini?” Kelima tersangka itu diam. Hakim Bao kembali berkata lantang, “Jika pelakunya mau
jujur mengaku, saya akan ampuni dia!” Mereka tetap membisu dan saling pandang.2

Hakim Bao pun berpikir, “Saya harus merencanakan sesuatu.” Lalu datang ide cemerlang.
Hakim Bao mengajak kelima tersangka ke sebuah ruangan yang sangat gelap. “Di tengah
ruangan ini ada sebuah lonceng ajaib.” Ujar Hakim Bao. “Lonceng itulah yang akan
memberitahu siapa pencuri sebenarnya. Jika disentuh si pencuri, lonceng ajaib akan
berbunyi.” Katanya.3

“Sekarang, satu persatu, letakkan tangan kalian di lonceng itu!” Perintah Hakim Bao. Selang
beberapa waktu, Hakim Bao menggiring para tersangka keluar dari ruangan gelap. Dengan
mudah Hakim Bao langsung menangkap pelaku sebenarnya.4

Sang pemilik vas antik jelas keheranan. Bagaimana Hakim Bao begitu mudah menentukan
siapa yang mencuri, pikirnya. Saat ditanya, Hakim Bao menjawab, “Sebenarnya tidak ada
lonceng ajaib. Saya hanya melumuri lonceng dengan tinta yang tidak diketahui para
tersangka karena ruang itu sangat gelap.”5

Hakim Bao menambahkan, “Jadi mereka benar-benar menyangka lonceng itu ajaib. Waktu
saya minta mereka semua menyentuh lonceng, si pencuri ketakutan. Bisa dipastikan tangan
semua orang berlumur tinta, kecuali tangan si pencuri.”6

1 Disarikan dari Stephen Suen, “Judge Bao and the Magic Bell”,
http://www.repeatafterus.com/title.php?i=8507.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Kisah Hakim Bao itu menarik dikemukakan, karena dengan membacanya, kita bisa memetik
sedikitnya tiga kesimpulan. Pertama, bahwa kapan pun, media untuk mengungkap
kebenaran, termasuk menguji kejujuran, memang selalu dibutuhkan. Kedua, perlu ada orang
atau lembaga yang otoritatif, kompeten, dan kreatif untuk mengoperasionalkan media
tersebut, agar tujuan mengungkap kebenaran bisa benar-benar dicapai. Ketiga, akan selalu
ada kecenderungan menolak, menentang, bahkan mengelabui apa pun media pengungkap
kebenaran oleh orang-orang yang menjadi targetnya. Dan umumnya, kecenderungan
tersebut datang dari segelintir orang yang memang punya masalah dengan kebenaran.

Cerita Hakim Bao juga penting disampaikan karena sangat relevan dengan topik yang
diangkat studi ini, yaitu efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan pejabat publik bagi
pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pelaporan kekayaan pejabat publik yang biasa disebut dengan assets disclosure atau wealth
reporting, atau yang dikenal di Indonesia sebagai laporan harta kekayaan penyelenggara
negara (LHKPN) telah berkembang pesat menjadi isu etik dan antikorupsi global. Kewajiban
lapor kekayaan diyakini penting oleh banyak negara sebagai media meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan lembaga publik, serta untuk mendukung
tercapainya tujuan pemberantasan korupsi yang efektif. Mekanisme pelaporan kekayaan
adalah media yang memungkinkan pengawasan kejujuran dan deteksi kemungkinan
adanya situasi benturan kepentingan atau tindakan memperkaya diri secara ilegal oleh
pejabat publik.

Sebagai sebuah media, tentu saja pelaporan kekayaan mensyaratkan keberadaan lembaga
yang menjalankannya. Di banyak negara, lembaga tersebut diberi mekanisme kerja yang
jelas, independensi yang memadai, serta sumberdaya, baik manusia maupun keuangan yang
cukup. Guna menjalankan tugasnya dengan baik, lembaga tersebut juga umumnya diberi
kewenangan melakukan investigasi dan mendorong kepatuhan.7

Jelas kewajiban lapor kekayaan diarahkan kepada para pejabat publik, baik yang merupakan
pejabat negara yang dipilih (elected officials) maupun mereka yang menempuh karir dalam
sistem birokrasi. Para pejabat publik yang jadi target pelaporan kekayaan biasanya
ditentukan secara spesifik berdasarkan potensi benturan kepentingan yang dimiliki dalam
jabatannya.

Lantaran yang dibidik bukan hanya jabatan atau orang-orang yang mengisinya, melainkan
juga kepentingan yang tercakup di dalamnya, kecenderungan untuk mengabaikan,
membangkang, atau mengakali mekanisme pelaporan kekayaan, terus menjadi tantangan
yang harus dihadapi oleh lembaga yang diserahi tugas mengelolanya. Meski di sisi yang
lain, kesadaran pejabat publik untuk mematuhinya juga mulai menguat dari waktu ke
waktu.

Berbagai unsur dasar mekanisme pelaporan kekayaan pejabat publik tersebut sesungguhnya
sudah dimiliki Indonesia. Tantangan dan prospeknya juga sama kuat dirasakan. Namun
yang terus menjadi pertanyaan adalah, seberapa mampukah unsur-unsur dasar mekanisme
pelaporan kekayaan tersebut mengatasi tantangan dan mengelola prospek untuk
menjadikannya sebagai media yang efektif dalam menguji kejujuran pejabat publik, atau

7 Sandra Elena, et.al. “Global Best Practices: Income and Asset Disclosure Requirements for Judges, Lessons
Learned from Eastern Europe and Latin America,” IFES & USAID, April 2004. Hal. 10.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 2
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

lebih jauh lagi mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia? Karena tergelitik untuk
mencoba menjawab pertanyaan tersebutlah, maka Direktorat Litbang KPK
menyelenggarakan studi yang belum pernah dilakukan pihak lain di Indonesia ini.

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan diselenggarakannya studi ini adalah:


1. Menjelaskan signifikansi mekanisme pelaporan kekayaan PN bagi upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia;
2. Menjelaskan akibat yang ditimbulkan oleh tidak efektifnya mekanisme pelaporan
kekayaan PN bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia;
3. Mengidentifikasi pihak-pihak dan lembaga, yang perilakunya berkontribusi baik
langsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan
PN;
4. Menganalisa berbagai faktor yang turut mempengaruhi efektivitas mekanisme
pelaporan kekayaan PN; dan
5. Mendapatkan usulan solusi bagi peningkatan efektivitas mekanisme pelaporan
kekayaan PN, sebagai dukungan bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

C. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai studi ini adalah:


1. KPK mendapatkan masukan tentang prasyarat di tingkat peraturan perundang-
undangan, kelembagaan, dan mekanisme kerja, guna menjalankan mekanisme
pelaporan kekayaan PN secara efektif;
2. KPK mendapatkan gambaran tentang strategi yang harus ditempuh untuk
meningkatkan efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan PN bagi upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.

D. Metode Pengumpulan Data

Sebagai studi yang bersifat eksploratif, data yang digunakan dalam studi ini terdiri dari data
sekunder maupun data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pelaksanaan
studi literatur. Studi literatur dimaksudkan untuk memperoleh data-data sekunder yang
relevan dengan topik penelitian yang meliputi:
1. Peraturan perundang-undangan;
2. Hasil penelitian berbagai pihak mengenai topik penelitian, seperti:
a. Hasil kajian Bagian Hukum KPK tentang sanksi bagi PN yang tidak melaporkan
kekayaannya; dan
b. Hasil audit internal yang dilakukan Direktorat Pengawasan Internal KPK terhadap
kinerja Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN (Direktorat PP LHKPN)
KPK;
3. Kliping pemberitaan media, baik koran, majalah, dan situs internet;
4. Data-data perbandingan antarnegara, dengan fokus pada negara-negara yang
menerapkan mekanisme pelaporan kekayaan;
5. Data dan dokumen kerja Direktorat PP LHKPN KPK, seperti:

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 3
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

a. Data tunggakan pengolahan LHKPN;


b. Data tingkat kepatuhan PN;
c. Formulir LHKPN A dan B berikut petunjuk teknis pengisian dan berbagai dokumen
pendukung; serta
d. Proses pengolahan LHKPN oleh KPK;
6. Data internal KPK lainnya yang relevan, seperti:
a. Data Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK tentang laporan/pengaduan
masyarakat yang terkait dengan LHKPN;
b. Data kepegawaian Direktorat PP LHKPN yang meliputi jumlah pegawai (tetap,
perbantuan, dan kontrak), distribusi kerja, hasil analisa beban kerja (workload), dan
lain-lain;
c. Data perkara korupsi hasil tindak lanjut atas pemeriksaan LHKPN; dan
d. Data pelaporan gratifikasi yang dikoordinasikan dengan Direktorat PP LHKPN.

Adapun data primer diperoleh melalui hasil wawancara mendalam dengan berbagai
narasumber, observasi terhadap business process (proses kerja) Direktorat PP LHKPN KPK
maupun observasi di lembaga lain, wawancara/korespondensi dengan lembaga sejenis KPK
di luar negeri, serta penyebaran kuesioner terhadap PN baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah.

Periode pengumpulan data sekunder dan data primer dilakukan selama 3 bulan (Agustus-
Oktober 2006). Instrumen penelitian yang digunakan meliputi pedoman wawancara
(interview guidelines) dan kuesioner.

Pengumpulan data primer lewat wawancara mendalam dan survei dapat diterangkan
sebagai berikut:
1. Wawancara mendalam dilakukan terhadap:
a. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H. (Guru Besar Ilmu Perundang-undangan UI);
b. Dr. Rudy Satrio, S.H. (Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum UI);
c. Subrata (Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI);
d. Isnu Edhi Wijaya (Direktur Penerbitan Multimedia dan Pengembangan Usaha Perum
Percetakan Negara RI);
e. Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H. (Ketua Komisi Hukum Nasional);
f. Ir. M. Iqbal (Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU);
g. Prapto Hadi, S.H., MM. (Kepala Badan Kepegawaian Negara);
h. Drs. Ramli Effendi Idris, M.Si. (Deputi Bidang Bina Kinerja dan Perundang-
undangan Badan Kepegawaian Negara);
i. Dra. Masni Rani Mochtar Rachim, M.Si. (Deputi Bidang Informasi Kepegawaian
Badan Kepegawaian Negara);
j. Abdullah Hehamahua (Penasihat KPK dan Mantan Ketua Sub Komisi Yudikatif
KPKPN);
k. Mochammad Jasin (Direktur Penelitan dan Pengembangan KPK dan Mantan
Direktur PP LHKPN KPK);
l. Muhammad Sigit (Direktur PP LHKPN KPK);
m. Lambok H. Hutauruk (Direktur Gratifikasi KPK).
2. Survei yang dilakukan terhadap:
a. Responden Klasifikasi I
Dilakukan dalam setiap sosialisasi tentang LHKPN (selama Agustus-September 2006)
terhadap pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai Badan Usaha Milik Negara

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 4
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di berbagai daerah, dengan total
responden 233 orang.
b. Responden Klasifikasi II
Dilakukan pada saat acara penggalangan komitmen pengisian LHKPN di Hotel Bumi
Karsa Jakarta, pada 8 November 2006. Responden untuk kuesioner ini adalah 70
orang pejabat eselon I dan II dari berbagai lembaga negara/pemerintahan tingkat
pusat.

E. Metode Analisa
Studi ini bersifat kualitatif, namun dalam analisanya didukung oleh beberapa data
kuantitatif. Metode analisis yang digunakan dalam studi ini adalah metodologi pemecahan
masalah, yang dikembangkan oleh Robert Seidman dan Ann Seidman dari Boston
University, Amerika Serikat. Berdasarkan metodologi pemecahan masalah, maka alur
penelitian yang ditempuh dalam studi ini adalah:
1. Mengidentifikasi masalah, dengan:
a. Mengenali gejala (dampak negatif yang ditimbulkan oleh) masalah, dengan:
- Mengajukan hipotesa tentang berbagai gejala yang ditimbulkan dari kurang
efektifnya mekanisme pelaporan kekayaan PN;
- Mengajukan data/fakta empirik tentang gejala-gejala tersebut; dan
- Menjelaskan secara logis bahwa gejala-gejala tersebut merupakan dampak dari
masalah.
b. Mengenali Aktor-aktor yang perilakunya terkait dengan masalah, dengan:
- Mengajukan hipotesa tentang para Aktor dan perilakunya yang turut
berkontribusi terhadap kurang efektifnya mekanisme pelaporan kekayaan PN;
dan
- Mengajukan data/fakta empirik tentang Aktor dan perilaku bermasalahnya
(whose and what behaviours) yang ingin dirubah menjadi perilaku yang lebih
sesuai.
c. Menarik benang merah antara masalah yang diteliti dengan konteks masalah yang
lebih luas.
2. Mencari akar masalah, dengan:
a. Mencari faktor-faktor yang menyebabkan para Aktor berperilaku bermasalah,
dengan mengenali:
- Faktor kelemahan peraturan tentang perilaku tersebut;
- Faktor kesempatan (lingkungan di luar diri Aktor) yang memungkinkan Aktor
berperilaku demikian;
- Faktor ketidaktahuan Aktor terhadap peraturan tentang perilaku tersebut;
- Faktor kemampuan Aktor yang menyulitkannya berperilaku sesuai;
- Faktor kepentingan (cara pandang Aktor tentang manfaat ekonomis/non-
ekonomis dari perilakunya) yang mendorong Aktor berperilaku bermasalah;
- Faktor kecukupan kriteria dan prosedur bagi Aktor untuk mengambil dan
menjalankan keputusan tentang perilakunya; serta
- Faktor nilai dan sikap Aktor berikut nilai dan sikap lingkungannya yang
mempengaruhi cara Aktor memandang perilakunya.
b. Mengajukan data/fakta empirik bahwa faktor penyebab tertentu memang eksis dan
mempengaruhi perilaku tertentu.
3. Menyusun solusi, dengan:

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 5
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

a. Merinci tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan faktor-faktor


penyebab perilaku bermasalah Aktor, dengan:
- Mengambil pelajaran dari pengalaman mengatasi masalah sejenis yang pernah
dilakukan di masa lalu;
- Mengambil pelajaran dari pengalaman negara lain dalam mengatasi masalah
sejenis;
- Mengembangkan alternatif solusi;
- Menjelaskan secara logis bahwa rincian tindakan tertentu mampu
menghilangkan faktor-faktor penyebab tertentu;
b. Menguji solusi dengan kriteria solusi yang baik.

F. Karakteristik Responden
Studi ini pada dasarnya bersifat kualitatif. Data hasil sebaran kuesioner hanya digunakan
sebagai pelengkap analisa. Dengan alasan tersebut, maka pemilihan sampel responden
untuk penyebaran kuesioner dalam studi ini menggunakan metode non-purposive sampling di
mana distribusi dan jumlah sampel tidak didasarkan pada kerangka sampling tertentu.
Seluruh responden dalam studi ini adalah PN yang merupakan target sosialisasi KPK dalam
kurun waktu studi.

Berdasarkan kuesioner yang digunakan, tahapan sebarannya, dan latar belakang responden,
maka responden dalam studi ini dibedakan ke dalam dua klasifikasi. Untuk klasifikasi
pertama, target responden adalah seluruh PN yang berasal dari semua golongan baik yang
wajib lapor maupun tidak wajib lapor, di berbagai daerah. Untuk klasifikasi kedua, target
responden adalah PN dengan jabatan setingkat eselon I dan II yang bertanggungjawab di
bidang kepegawaian dan/atau pengawasan dari berbagai lembaga negara/pemerintah
tingkat pusat. Lebih jelasnya, karakteristik responden pada setiap klasifikasi diterangkan
sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden Klasifikasi I

Responden klasifikasi I adalah PN yang dijumpai KPK pada saat sosialisasi di berbagai
provinsi yakni Kalimantan Tengah, Jakarta, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Selatan. Provinsi tersebut terpilih karena pada saat pelaksanaan studi, sosialisasi
KPK mengenai LHKPN berlangsung di 5 provinsi tersebut.

Tabel 1.1.
Distribusi responden menurut provinsi
No. Propinsi n %
1. Kalimantan Tengah 27 11,59
2. Jakarta 33 14,16
3. Sumatera Selatan 45 19,31
4. Kalimantan Timur 98 42,06
5. Kalimantan Selatan 30 12,88
Total 233 100

Secara demografis, mayoritas responden adalah laki laki yakni sebesar 91 persen, dan 70,4
persen dari responden berusia antara 30-50 tahun dengan sebaran sebagai berikut:

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 6
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tabel 1.2.
Distribusi responden menurut usia
No. Kelompok Umur n %
1. < 20 tahun 1 0,4
2. 20-30 tahun 4 1,7
3. 30-40 tahun 74 31,8
4. 40-50 tahun 90 38,6
5. > 50 tahun 64 27,5
Total 233 100

Umumnya responden adalah PN yang berasal dari kalangan PNS (88,4 persen), sedangkan
sisanya adalah pegawai BUMN/BUMD. Responden dari PNS sebagian besar berada pada
jabatan eselon III dan IV. Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.3
Distribusi responden berdasarkan eselon
No. Eselon n %
1. Eselon II 18 8,7
2. Eselon III 52 25,2
3. Eselon IV 73 35,4
4. Non-Eselon 63 30,6
Total 206 100

2. Karakteristik Responden Klasifikasi II

Responden klasifikasi II adalah para pejabat eselon I dan II yang mewakili 60 lembaga
negara/pemerintah di tingkat pusat. Jabatan responden beragam, namun berkisar antara
Sekretaris Jenderal, Sekretaris Utama, Inspektur Jenderal, Kepala Biro Kepegawaian, dan
Inspektur. Seluruh responden berdomisili di Jakarta dengan komposisi 81,4 persen laki-laki
dan 18,6 persen perempuan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan serta menunjukkan korelasi antara satu topik bahasan
dengan topik bahasan lainnya, laporan studi ini disajikan dalam 4 (empat) bab. Penulisan
diawali dengan Bab I yang menerangkan latar belakang dan alasan dilakukannya studi,
metode analisis, dan metode pengumpulan data. Selain itu, pada Bab I juga dipaparkan
narasumber yang dimintai pendapatnya serta karakteristik responden yang diwawancarai
dalam studi ini.

Pada Bab II dipaparkan sejarah mekanisme pelaporan kekayaan PN di Indonesia, berbagai


tujuan yang (ingin) dicakup dari penerapan mekanisme pelaporan kekayaan PN, hingga
berbagai gejala yang menunjukkan bahwa mekanisme pelaporan kekayaan PN di Indonesia
belum efektif. Bab II juga menjelaskan pihak-pihak (PN dan KPK) dan apa perilakunya yang
berkontribusi terhadap efektif tidaknya mekanisme pelaporan kekayaan PN.

Bab III berisikan analisa terhadap faktor-faktor yang menyebabkan PN dan KPK berperilaku
tertentu, yang berkontribusi terhadap kurang efektifnya mekanisme pelaporan kekayaan

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 7
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

PN. Dengan menganalisa penyebab berbagai perilaku dominan tersebut, dengan sendirinya
perilaku para Aktor lain yang terkait dengan pokok masalah juga ikut dibahas dalam Bab
ini.

Sementara pada Bab IV dituliskan berbagai usulan solusi dan alternatifnya yang diarahkan
untuk menghilangkan faktor-faktor penyebab berbagai perilaku bermasalah yang telah
diulas pada Bab III, yaitu rincian tindakan yang perlu diambil untuk mengarahkan berbagai
perilaku bermasalah Aktor menjadi perilaku yang lebih sesuai. Tentu saja tujuan pemaparan
solusi pada Bab ini adalah guna meningkatkan efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan
PN bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 8
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

BAB II
Mengenali Masalah dalam
Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN

A. Pengantar

etodologi pemecahan masalah (problem solving methodology) yang digunakan dalam


studi ini meletakkan proses pengenalan terhadap masalah sebagai langkah paling
awal. Pengenalan masalah dilakukan dengan mengungkapkan gejala-gejalanya.
Gejala sendiri adalah manifestasi konkrit dari masalah, yang perlu dikemukakan guna
membuktikan bahwa masalah yang ingin dikaji memang benar-benar ada, dirasakan
dampak buruknya, dan oleh sebab itu memang signifikan untuk diselesaikan.8

Pengenalan masalah juga dilakukan dengan mengidentifikasi para Aktor yang perilakunya
dipercaya turut membentuk masalah. Sebab metodologi pemecahan masalah yakin, bahwa
masalah dibentuk oleh rangkaian perilaku problematik para Aktor yang relevan, yang
terjadi/dilakukan secara berulang-ulang.9

Pada bab ini, akan dipaparkan hipotesa tentang gejala yang muncul dari kurang efektifnya
mekanisme pelaporan kekayaan PN di Indonesia. Kemudian hipotesa tersebut diuji dengan
berbagai fakta empirik yang diperoleh dari pengumpulan data primer maupun sekunder
dalam studi ini. Dalam proses pemaparan itu, didapatkan pula hipotesa tentang siapa saja
Aktor dominan, dan apa perilakunya masing-masing yang turut berkontribusi terhadap
kurang efektinya mekanisme pelaporan kekayaan PN di Indonesia. Sama halnya dengan
hipotesa tentang gejala, hipotesa tentang Aktor dan perilaku problematiknya juga diuji
dengan berbagai fakta empirik yang diperoleh dalam studi.

Selain itu, guna mengetahui tujuan-tujuan ideal yang ingin dicapai oleh mekanisme
pelaporan kekayaan di Indonesia, sebagai pedoman dalam mengukur efektif tidaknya
mekanisme pelaporan kekayaan PN yang dijalankan hingga sekarang, sengaja pada bab ini
diulas sejarah umum mekanisme pelaporan kekayaan di Indonesia sejak masa orde lama,
orde baru, hingga ke masa reformasi. Tujuan-tujuan ideal tersebut diinventarisasi
berdasarkan pernyataan eksplisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
pernah diberlakukan, serta kesimpulan implisit yang didapat dari berbagai kebijakan yang
pernah diambil mengenai mekanisme pelaporan kekayaan dari masa ke masa.

Ulasan tentang sejarah juga sengaja dibuat untuk mulai mengaitkan masalah efektivitas
mekanisme pelaporan kekayaan PN dan meletakkannya dalam konteks masalah yang lebih
besar, yaitu efektivitas upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yang mencakup kegiatan
pencegahan (preventif) serta penindakan (represif).

8 Ann Seidman et.al., “Legislative Drafting for Democratic Social Change, Manual for Drafters”, (Boston:
Kluwer Law International, 2001), hal. 90.
9 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 9
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

B. Sejarah Umum Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN


1. Masa Orde Lama

Di Indonesia, mekanisme pelaporan kekayaan pertama kali diterapkan di lingkungan


militer, khususnya di Angkatan Darat (AD). Tujuan utamanya adalah menyikapi korupsi
yang sudah sangat sistemik kala itu di AD, yang dilakukan banyak perwira menengah
hingga perwira tinggi. Maraknya praktek korupsi di lingkungan AD secara tidak langsung
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sejak masa kabinet Juanda, di mana kalangan
militer, terutama AD, diberi kesempatan seluas-luasnya menempati kedudukan politik dan
ekonomi yang menguntungkan di tengah masyarakat.

Mekanisme pelaporan kekayaan kala itu hanya menjadi satu bagian dari langkah-langkah
pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif. Berbekal mandat Presiden Soekarno
selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI lewat Keputusan Presiden (Kepres) No.
48/1957, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku Penguasa
Militer berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 74/1957 tentang Keadaan bahaya,
menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan
Korupsi. Peraturan tersebut dibentuk pada 9 April 1957 dan berlaku untuk seluruh wilayah
RI.

Aspek penting Peraturan tersebut adalah kewajiban setiap orang yang disangka, didakwa,
atau sepatutnya disangka melakukan korupsi untuk ditilik harta bendanya, termasuk harta
benda suami, istri, anak, atau badan yang diurusnya. Untuk kepentingan tersebut,
dibentuklah jabatan penilik harta benda yang diisi oleh para staf Penguasa Militer atau
orang lain yang ditunjuk Penguasa Militer. Mereka semua diangkat dengan sumpah.

Lantaran peran penilik harta benda sangat sentral, Peraturan menentukan bahwa mereka
tidak boleh merupakan orang-orang yang pernah melakukan korupsi, maupun disangka
atau sepatutnya disangka melakukan korupsi. Penilikan harta benda sendiri dilakukan
secara tertulis terhadap mereka yang disangka melakukan korupsi, dan pemeriksaannya
dilakukan antara lain lewat penggeledahan. Dalam penjelasan Peraturan tersebut
dinyatakan, bahwa harta benda yang tidak dapat diterangkan asal atau pemiliknya akan
dirampas, sedangkan harta yang terang diperoleh dari korupsi akan disita.

Sekitar 1 bulan kemudian, tepatnya pada 27 Mei 1957, Nasution kembali menerbitkan
Peraturan No. Prt/PM/08/1957, khusus tentang Penilikan Harta Benda. Peraturan ini dibuat
untuk mengatasi kendala pembuktian yang masih sangat dirasakan setelah pemberlakuan
Peraturan sebelumnya. Untuk itu, selain mereka yang disangka, didakwa, atau sepatutnya
disangka melakukan korupsi, mereka yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan
mencurigakan juga dapat diperiksa. Peraturan ini juga semakin menekankan kejujuran
pelaksana penilikan harta benda, termasuk Penguasa Militer sendiri, dengan mewajibkan
mereka lebih dulu memberi keterangan tentang kekayaannya. Dalam Peraturan yang baru,
dimuat sanksi bagi pejabat yang menolak memberikan bantuan demi kelancaran kegiatan
penilikan harta benda.

Mengingat pentingnya mekanisme penilikan harta benda sebagai bagian tidak terpisahkan
dari upaya pemberantasan korupsi, pada 16 April 1958, selaku Penguasa Perang Pusat untuk
daerah AD, Nasution kembali mengeluarkan Peraturan No. Prt/PEPERPU/013/1958

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 10
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta
Benda. Lewat Peraturan ini, Nasution membentuk Badan Koordinasi Penilik Harta Benda di
setiap provinsi yang dipimpin Kepala Kejaksaan setempat, beranggotakan pejabat sipil dan
militer yang diangkat Menteri Kehakiman. Para penilik harta benda diberi kewenangan
merampas dan menyita harta benda yang tidak jelas, membuka dan menahan komunikasi,
dan menjadi pengusut (penyidik) perkara korupsi di luar dari penyidik resmi.

2. Masa Orde Baru

Pada 1970, Presiden RI Soeharto menginstruksikan Menteri Kehakiman Oemar Senoadji


menyusun peraturan mengenai pendaftaran kekayaan para pejabat negara.10 Dari instruksi
tersebut, lahirlah Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat
Negara/Pegawai Negeri/ABRI pada 3 Agustus 1970. Tujuannya mendorong ketertiban,
kejujuran dan kebersihan bagi PN dalam pelaksanaan tugasnya, guna membentuk aparat
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu, pendaftaran kekayaan juga ditujukan
meningkatkan usaha-usaha pencegahan dan penindakan perbuatan korupsi.

Alat yang digunakan adalah Daftar Kekayaan Pribadi (DKP). Berdasarkan Keppres, mereka
yang wajib mengisi DKP adalah:
1. Para Menteri;
2. Kepala/Ketua/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dan pejabat-
pejabat lain yang bertanggungjawab kepada Presiden;
3. Para Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal dan pejabat-pejabat lain
yang bertanggungjawab langsung dan berada di bawah Menteri, termasuk Direksi
perusahaan-perusahaan negara;
4. Para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I;
5. Kepala/Pejabat dari jabatan-jabatan satu tingkat di bawah pejabat-pejabat sebagaimana
dimaksud dalam angka 2, 3, 4;
6. Semua perwira tinggi di lingkungan ABRI dan semua pegawai negeri golongan IV/c ke
atas; dan
7. Pejabat/pegawai negeri/ABRI lainnya yang tidak termasuk dalam angka 1 s/d 6,
namun dianggap perlu dan ditentukan oleh Menteri/Ketua/Kepala/Pimpinan LPND.11

DKP yang diisi pejabat dalam angka 1 s/d 4 disampaikan langsung kepada Presiden.
Sedangkan DKP yang diisi pejabat pada angka 5 s/d 7 disampaikan kepada Menteri atau
pimpinan lembaga terkait. DKP dinyatakan akan jadi bahan pengusutan apabila ada
petunjuk bahwa kekayaan PN tertentu tidak jelas asal-usulnya dan/atau pengisiannya tidak
sesuai dengan kenyataan.12 Dalam mengelola DKP, Presiden dan para Menteri dibantu oleh
tim khusus. Untuk memastikan kepatuhan, Keppres tersebut juga mengatur bahwa mereka
yang tidak mengisi DKP dapat dijatuhi hukuman jabatan/tindakan administratif menurut
ketentuan UU kepegawaian/hukum tentara yang berlaku.13

Satu tahun kemudian, melalui Keppres No. 52/197114 para Pejabat Negara/PNS/ABRI yang

10 Kompas, 6 Mei 2002.


11 BPKP, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, (Jakarta: BPKP, 1999), hal. 333-334.
12 Ibid.
13 Ibid.
14 Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 52/1971 tentang Laporan Para Pejabat
Negara/Pegawai Negeri/ABRI Mengenai Kewajiban Membayar Pajak-Pajak Pribadi, Jakarta, 3 Agustus 1971.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 11
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

wajib melaporkan DKP juga diwajibkan melaporkan pajak-pajak pribadinya. Pelaporan


pajak pribadi dilakukan dengan menggunakan formulir Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P).
LP2P dilaporkan setiap tahun pada akhir September. Sama dengan ketentuan Keppres No.
52/1970, penyampaian LP2P juga dibedakan, yaitu kepada Presiden dan kepada
Menteri/Kepala/Ketua/Pimpinan LPND yang bersangkutan.

Berbeda dengan mekanisme DKP yang tidak jelas nasibnya, mekanisme LP2P justru terus
diberlakukan. Terakhir diatur melalui Keppres No. 71/1985 yang kemudian dirubah dengan
Keppres No. 33/1986. Bahkan target wajib lapornya diperluas meliputi pula PNS dan
Anggota ABRI golongan III/a ke atas. Diwajibkannya PN membuat LP2P juga untuk
menunjang upaya penanggulangan korupsi, menggantikan peran DKP.

Menurut Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) periode 1993-1998, TB


Silalahi, Keppres No. 33/1986 terus dijalankan di masa pemerintahan Soeharto. Para pejabat
harus melaporkan pajak penghasilan/pendapatan tahun yang berjalan dan 4 tahun
sebelumnya. Selain itu mereka juga wajib melaporkan data tentang biaya hidup rata-rata
perbulan, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan. Menurut Silalahi, karena
diatur bahwa LP2P hanya disampaikan pada Presiden dan atasan pejabat yang
bersangkutan, maka LP2P tidak diumumkan kepada masyarakat. Namun, tambah Silalahi
lagi, LP2P yang disampaikan PN diteliti oleh Sekretariat Negara dan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jika laporan yang disampaikan tidak benar, kedua
lembaga itu akan mengusutnya.15

3. Masa Reformasi

Pada 1998, tepatnya setelah kejatuhan Presiden Soeharto, para Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) mengusulkan agar pejabat mengumumkan kekayaan pribadi dan
keluarganya sebelum atau sesaat setelah dilantik. Penekanan usulan mereka terletak pada
pemberdayaan fungsi pengawasan dengan mengumumkan secara terbuka kekayaan
seorang pejabat kepada masyarakat, serta tidak semata-mata mengandalkan Sekretariat
Negara dan BPKP dalam mengusut jika ditemukan kejanggalan. Sebab lewat mekanisme
pengawasan yang lama, masih banyak ditemukan penyimpangan.16

Usulan itu kemudian bergulir dan mendorong lahirnya Ketetapan (Tap) MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN pada 13
November 1998. Konsiderans menimbang Ketetapan tersebut mengakui bahwa dalam
penyelenggaraan negara telah terjadi praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok
tertentu, menyuburkan KKN, melibatkan para PN dan pengusaha, sehingga merusak
berbagai aspek kehidupan nasional. Untuk merehabilitasinya diperlukan usaha pemeriksaan
kekayaan PN dan mantan PN serta keluarganya.17

Dalam Pasal 3 Tap tersebut diatur bahwa untuk menghindarkan praktek KKN, seseorang
yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus
mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Pemeriksaan kekayaan sendiri dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk Kepala Negara

15 Kompas, 7 Maret 1998.


16 Ibid.
17 Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 12
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.18

Guna mengoperasionalkannya, pada 19 Mei 1999 pemerintah dan DPR membentuk UU No.
28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Lewat UU
tersebutlah berbagai kewajiban PN berkaitan dengan laporan kekayaan digariskan berikut
sanksinya. Lewat UU tersebut pula dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN).

Dari situ, pemerintah menerbitkan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan
dengan pelaporan kekayaan PN, seperti PP No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan PN dan PP No. 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang KPKPN, yang merupakan pengaturan lebih lanjut dan menjadi acuan
rinci pelaksanaan tugas dan wewenang KPKPN.

Selama kurang lebih 2 tahun KPKPN bekerja. Sebagai lembaga independen dengan alokasi
sumberdaya khusus, KPKPN yang beranggotakan 33 orang Komisioner berhasil meletakkan
dasar bagi mekanisme pelaporan kekayaan PN yang komprehensif. Selain mendata jumlah
PN wajib lapor, mendaftar dan memeriksa kekayaan mereka, mensosialisasikan kewajiban
mereka, mengupayakan sanksi terhadap penyimpangan atau ketidaktaatan, KPKPN juga
beberapa kali berusaha mengaitkan antara pelaporan LHKPN dengan penindakan korupsi.

Tetapi tidak dapat dipungkiri, ketika sepak terjang KPKPN mulai menyentuh kepentingan
para PN berpengaruh seperti Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ancaman terhadap
keberlanjutan lembaga tersebut mulai menguat. Pembubaran KPKPN menemukan
momentumnya ketika DPR dan pemerintah tengah membahas Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang KPK. Melalui Pasal 71 ayat (2) UU No. 30/2002 yang diberlakukan pada 27
Desember 2002, KPKPN secara resmi dibubarkan dan dinyatakan melebur ke dalam Bidang
Pencegahan KPK.

Banyak pihak saat itu menyambut baik keputusan pembubaran KPKPN dan peleburannya
ke dalam KPK. Mereka yang mendukung umumnya beranggapan penyatuan kewenangan
pencegahan dan penindakan korupsi di bawah satu lembaga akan berimplikasi positif, yaitu
meningkatkan efisiensi dan memperkuat koordinasi. Namun tidak sedikit pula yang
menentangnya, terutama para Anggota KPKPN sendiri. Untuk itu mereka mengajukan
judicial review terhadap UU No. 30/2002 yang akhirnya ditolak MK melalui Putusan No.
006/PUU-I/2003 tanggal 30 Maret 2004.

Namun sayangnya banyak pihak tidak menyadari bahwa peleburan KPKPN ke dalam KPK
dari sisi yuridis relatif melemahkan mekanisme pelaporan kekayaan PN. Memang jika
dilihat dari kewenangan KPK (koordinasi, supervisi, pencegahan, monitoring, dan
penindakan) seolah ada harapan baru terhadap pemberantasan korupsi secara keseluruhan.
Namun jika diteliti dari aspek pelaporan kekayaan PN, maka telah terjadi pengurangan
kewenangan secara signifikan.

Pasal 10-19 UU No. 28/1999 yang dicabut oleh Pasal 71 ayat (2) UU No. 30/2002 sebenarnya
justru merupakan jabaran kewenangan yang dibutuhkan dalam menjalankan mekanisme
pelaporan kekayaan PN. Dalam bahasa Jusuf Syakir, Pasal 10-19 adalah roh UU No. 28/1999

18 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 13
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

karena di situlah tugas dan kewenangan diatur, terutama kewenangan melakukan


pemeriksaan kekayaan PN. Akibat dicabutnya Pasal 10-19 UU No. 28/1999 pun, berbagai PP
yang sebelumnya jadi acuan kerja KPKPN juga turut tercabut. Belum lagi jika berbicara
tentang alokasi sumberdaya yang semula diperuntukkan bagi KPKPN sebagai sebuah
lembaga negara khusus, menjadi hanya satu Direktorat di bawah Deputi Pencegahan KPK.

Meski ada ketimpangan kondisi, mekanisme pelaporan kekayaan PN tetap dijalankan secara
serius oleh KPK. Apalagi di luar kelemahan akibat peleburan KPKPN ke dalam tubuh KPK,
terdapat pula kelebihan yang didapat, seperti koordinasi yang memang nyatanya lebih kuat
antara kegiatan pencegahan dan penindakan korupsi.

Di samping itu, kerja KPK pun secara tidak langsung didukung beberapa peraturan seperti
Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Terakhir
pada 18 April 2006, pemerintah dan DPR telah meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) lewat UU No. 7/2006, dan karenanya mengikatkan diri terhadap
berbagai ketentuan dalam konvensi tersebut. Konvensi itu mengatur pencegahan dan
penindakan korupsi dalam segala ruang lingkup. Konvensi itu antara lain mendesak
dibentuknya mekanisme pelaporan kekayaan yang efektif bagi pejabat-pejabat negara
tertentu. Lebih jauh lagi, konvensi itu juga merekomendasikan negara peratifikasi untuk
mengatur dan menerapkan sanksi yang efektif bagi mereka yang tidak patuh.

C. Tujuan Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN

Dengan mengkaji berbagai produk hukum yang mengatur mekanisme pelaporan kekayaan
PN dan pelaksanaannya sejak masa orde lama, orde baru, masa reformasi, hingga
terbentuknya KPK, dapat diinventarisasi beberapa tujuan yang ingin dicapai, meliputi:
1. Menguji integritas para (calon) PN
Dalam proses pemilihan calon pejabat publik, mekanisme pelaporan kekayaan bisa jadi
instrumen penting bagi masyarakat untuk menentukan layak tidaknya seorang calon
mengisi jabatan publik tertentu, dengan mengenali indikasi ada tidaknya kejanggalan
dalam kekayaannya. Kewajiban para calon anggota legislatif pusat dan daerah, calon
kepala daerah, serta calon presiden dan wakil presiden untuk melaporkan dan
mengumumkan kekayaannya di masa pemilu, seperti yang disyaratkan dalam UU
Pemilu, UU Pilpres, dan UU Pemda, merupakan cerminan betapa tujuan ini dirasa
penting. Hal yang sama ditemukan dalam kewajiban calon hakim agung untuk
menyampaikan daftar kekayaan dan sumber penghasilannya pada proses seleksi seperti
diatur dalam Pasal 16 ayat (2) UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial;
2. Menimbulkan rasa takut di kalangan PN untuk berbuat korupsi
Dengan adanya kewajiban melaporkan kekayaan secara rutin, maka setiap PN akan
merasa dimonitor baik oleh publik maupun oleh lembaga yang berwenang dari waktu
ke waktu. Perasaan diawasi sedikit banyak menjadi faktor yang membuat PN harus
berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi;
3. Menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggungjawab (karakter etis) di
kalangan PN
Dengan menginternalisasi sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggungjawab melalui
kewajiban lapor kekayaan sebagai bentuk perilaku etis PN, diharapkan secara gradual
hal tersebut akan berimplikasi pada integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem
penyelenggaraan negara secara keseluruhan. Tujuan ini sangat jelas terekam dalam

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 14
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

konsiderans menimbang Keppres No. 52/1970 yang menyatakan bahwa pendaftaran


kekayaan pribadi PN adalah penting guna membina sifat-sifat utama di kalangan PN,
serta meningkatkan usaha pencegahan dan penindakan perbuatan korupsi.
Dimasukkannya kewajiban lapor kekayaan ke dalam Kode Etik DPR RI 2004 (Pasal 10)
juga merupakan pengakuan bahwa menanamkan karakter etis lewat mekanisme
pelaporan kekayaan adalah penting;
4. Mendeteksi (potensi) konflik kepentingan antara tugas-tugas publik PN dengan
kepentingan pribadinya
Khusus bagi para PN yang dipilih (elected officials), potensi benturan antara kepentingan
publik dalam jabatan dengan kepentingan individu yang dipengaruhi latar belakang
pejabat yang bersangkutan sangat besar. Namun bukan berarti potensi benturan
kepentingan tidak ditemukan pada PN karir. Potensi itu sangat kuat dirasakan ketika
seorang PN dipercaya menjadi pimpinan proyek-proyek pembangunan yang
melibatkan proses pengadaan barang dan jasa. Tujuan ini tercermin antara lain dari
ketentuan Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999 yang memasukkan pimpinan dan
bendaharawan proyek ke dalam kategori PN wajib lapor;
5. Menyediakan bukti awal dan/atau bukti pendukung bagi penyidikan dan penuntutan
perkara korupsi
Laporan kekayaan sebagai bukti awal penyidikan perkara korupsi sangat potensial
diterapkan setelah diberlakukannya UU No. 20/2001, khususnya Pasal 12B mengenai
gratifikasi. Pemberian kepada PN yang bertentangan dengan kewajibannya diharapkan
bisa ditelusuri melalui laporan kekayaannya. Konsep tindak pidana illicit enrichment
yang diintroduksi UNCAC dan telah diratifikasi lewat UU No. 7/2006 juga
mensyaratkan laporan kekayaan PN sebagai bukti awal. Adapun fungsi laporan
kekayaan sebagai bukti pendukung penyidikan tindak pidana korupsi bisa ditemukan
di berbagai peraturan. Antara lain dengan mewajibkan tersangka/terdakwa pelaku
tindak pidana korupsi untuk melaporkan kekayaannya yang diatur dalam Pasal 28 dan
Pasal 37A UU No. 20/2001, yang ternyata juga telah diatur dalam peraturan
pemberantasan korupsi sejak masa orde lama;
6. Meningkatkan kontrol masyarakat terhadap PN
Tujuan ini terepresentasikan secara tidak langsung oleh kewajiban PN mengumumkan
laporan kekayaannya dalam UU No. 28/1999. Dengan menjadikan laporan kekayaan
PN sebagai domain publik lewat mekanisme pengumuman, maka masyarakat bisa
mengakses laporan tersebut, dan menjadikannya sarana mengontrol para PN, terutama
mengenai indikasi kejanggalan kekayaannya.

Tidak semua tujuan tersebut menjadi target pada setiap periode, meski agaknya seluruh
tujuan itu ingin dicakup oleh mekanisme pelaporan kekayaan PN setelah masa reformasi.
Prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pun berbeda-beda antara satu masa
dengan masa yang lain.

Mekanisme pelaporan kekayaan, baik yang diterapkan di masa orde lama maupun orde
baru sangat kental kerahasiaannya. Pejabat yang menerima laporan akan menyimpan
laporan tersebut sebagai dokumen yang sifatnya rahasia. Masyarakat sama sekali tidak
diberi akses sehingga tidak ada pengaruhnya dalam meningkatkan kontrol terhadap PN.
Selain itu, sesuai sistem pemerintahan di kedua masa tersebut yang sangat executive heavy
(kekuasaan dan sumberdaya tersentral di eksekutif), mekanisme pelaporan kekayaan hanya
difokuskan pada PN yang berada di bawah cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak
menyentuh anggota legislatif maupun yudikatif.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 15
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Mekanisme pelaporan kekayaan di masa orde baru juga sangat tidak efektif. PN diwajibkan
membuat laporan, lalu laporan tersebut dikumpulkan, dibundel dan disimpan, tanpa
dilakukan proses apa-apa. Bahkan pemantauan atas ketaatan pembuatan laporan tersebut
juga kurang dilaksanakan. Selain itu, tidak jelas siapa pejabat yang bertugas membantu
Presiden dalam mengelolanya.19 Meski Menpan di masa orde baru, TB Silalahi, pernah
menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh BPKP,20 namun pernyataan tersebut agaknya
tidak berdasar. Sebab pihak BPKP sendiri pernah menanyakan soal lembaga yang diberi
mandat memeriksa laporan kekayaan kepada Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab), tetapi
pertanyaan tersebut tidak memperoleh jawaban.21

Namun bukan berarti karena telah memenuhi beberapa prasyarat,22 maka mekanisme
pelaporan kekayaan yang dijalankan setelah masa reformasi bebas dari masalah.
Efektivitasnya sebagai instrumen pemberantasan korupsi masih menjadi tanda tanya,
bahkan hingga dibentuknya KPK. Pernyataan tersebut setidaknya didukung 66,5 persen
responden PNS dari berbagai daerah yang dimintai pendapatnya dalam studi ini. Menurut
mereka, LHKPN belum efektif mencegah terjadinya korupsi (Tabel 2.1).

Tabel 2.1.
Pendapat PN apakah LHKPN sudah efektif mencegah korupsi
No. Jawaban n %
1. Sudah 78 33,5
2. Belum 155 66,5
Total 233 100

D. Gejala Kurang Efektifnya Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN

Bisa dikatakan, hingga saat ini sebagian besar tujuan penerapan mekanisme pelaporan
kekayaan PN masih belum tercapai. Kesimpulan tersebut setidaknya turut dijelaskan oleh
gejala-gejala yang masih terus dihadapi KPK berikut ini:

1. Minimnya Tingkat Kepatuhan PN

Hingga Agustus 2006, PN yang melaporkan kekayaannya baru mencapai 63 ribu orang, atau
55 persen dari kurang lebih 114 ribu orang wajib lapor. Sebagaimana kondisi sebelumnya,
ketidakpatuhan tersebut merata di seluruh bidang PN, baik eksekutif, legislatif, yudikatif,
serta BUMN dan BUMD (Tabel 2.2).

19 BPKP, op.cit., hal. 335.


20 Kompas, 7 Maret 1998.
21 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Surat Kepala BPKP Nomor S-010000-756/K/1997 tanggal
13 Oktober 1997 tentang Permohonan menghadap berkaitan dengan informasi tentang pelaporan Daftar Kekayaan
Pribadi (Keppres 52 /1970), yang ditujukan kepada Menteri Negara Sekretaris Kabinet. Dalam BPKP, op.cit.,
hal. 335.
22
Seperti terbukanya akses publik terhadap laporan kekayaan, dibentuknya lembaga khusus, serta
dicakupnya PN dari seluruh cabang kekuasaan yang ada.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 16
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tabel 2.2
Ringkasan PN yang sudah melaporkan kekayaan
Status Laporan: 25 Agustus 2006 / 6:56:22
JUMLAH YANG BERITA NEGARA
Jumlah wajib MELAPORKAN
BIDANG Dalam Proses Diumumkan
lapor KEKAYAAN
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
Eksekutif 63,382 33,279 52.51 8,402 25.25 24,877 74.75
Legislatif 24,190 16,603 68.64 411 2.48 16,192 97.52
Yudikatif 19,233 8,481 44.10 1,239 14.61 7,242 85.39
BUMN/BUMD 7,252 5,039 69.48 189 3.75 4,850 96.25
TOTAL 114,057 63,402 55.59 10,241 16.15 53,161 83.85

Fakta lain guna membuktikan minimnya kepatuhan PN, khususnya di wilayah eksekutif,
diungkapkan oleh Menpan Feisal Tamin pada Agustus 2002. Dia menyatakan, 146 dari 535
pejabat eselon I di Indonesia belum melaporkan kekayaan, dan karenanya terancam terkena
sanksi sesuai PP No. 30/1980 tentang Displin PNS. Di antara mereka adalah 4 Gubernur dan
umumnya Bupati dan Walikota serta Sekretaris Daerah di berbagai provinsi, pejabat di
Departemen, Kementerian Negara, dan LPND.23

Fakta yang relatif baru untuk mengukur tingkat kepatuhan PN berdasarkan daerahnya, bisa
dilihat dari data di Sumatera Barat. Disebutkan bahwa dari 2.761 LHKPN yang seharusnya
dilaporkan ke KPK, baru sebanyak 1.423 LHKPN yang masuk. Tingkat kepatuhan PN
melaporkan kekayaan di Sumatera Barat baru mencapai 51,54 persen.24

Tingkat Pelaporan LHKPN Menurut Propinsi per tanggal 3 Agustus 2006


100
95
90
85
80
75
70
65
% Pelaporan

60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
NAD Sum Sum Riau Jam Ben Sum Kep. Lam DKI Jaba Ban- Jate D.I. Ja- Bali NTB NTT Kalb Kalt Kals Kalti Su- Goro Sul- Suls Sul- Malu Malu Pap Kepr Sul
ut bar bi gku- sel Ba- pung r ten ng Y tim ar eng el m lut ntalo teng el tra ku ku ua i bar
lu bel Utar

Nama propinsi

Secara menyeluruh, dalam Gambar 2.1 tampak bahwa rata-rata tingkat kepatuhan PN di
berbagai provinsi hanya sekitar 50 persen. Sulawesi Tenggara merupakan propinsi dengan
tingkat kepatuhan yang paling rendah, sementara Sulawesi Barat tercatat tingkat
kepatuhannya tinggi. Catatan tersebut pun lebih dikarenakan sebagai provinsi baru, jumlah
PN di Sulawesi Barat masih sangat sedikit.

23 http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/pikas/2002/straight290802.htm.
24 Padang Ekspres, 13 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 17
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

2. Belum Adanya Tindak Lanjut Pemeriksaan secara Hukum

Sejak masa bekerjanya KPKPN, pertanyaan tentang perkara korupsi yang merupakan tindak
lanjut dari pemeriksaan laporan kekayaan sudah banyak disampaikan berbagai kalangan.
Pertanyaan paling kuat datang dari DPR, khususnya Komisi II sebagai mitra kerja KPKPN
saat itu. Salah seorang Anggota Komisi II DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Reformasi,
Suminto Martono pernah menyatakan pada 2002 bahwa secara umum KPKPN belum
berhasil menjalankan tugas. Alasannya, selama 2 tahun bekerja, KPKPN hanya melakukan
pendataan, sementara tindak lanjut laporan-laporannya tidak banyak membawa hasil. Dari
sisi pendataan, menurut Anggota DPR dari Partai Keadilan tersebut, KPKPN memang
sudah sangat berani. Tetapi pendataan itu ternyata tidak memberi indikasi korupsi.
Sekalipun ada PN yang terindikasi korupsi, tetap saja sulit ditindaklanjuti oleh Kejaksaan
atau Kepolisian.25

Harapan berbagai kalangan terhadap kontribusi LHKPN bagi upaya konkrit pemberantasan
korupsi juga sangat disadari KPK. Direktur PP LHKPN KPK, M. Sigit pernah menegaskan
fungsi penting LHKPN dalam pengusutan sebuah kasus korupsi. Bisa saja muncul kasus
sebagai hasil analisa ketidakpantasan jumlah harta PN tertentu.26 Apa yang diungkapkan
Sigit tersebut sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas,
bahwa tidak tertutup kemungkinan ada penindakan kasus korupsi yang diawali dari
pemeriksaan LHKPN.27

Karenanya menurut Sigit, terdapat 5 kasus yang akan ditindaklanjuti ke tahap penyidikan,
yang berasal dari hasil pemeriksaan kekayaan PN tertentu. Kasus yang diajukan antara lain
melibatkan beberapa Kepala Daerah aktif baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,
serta beberapa orang mantan Menteri. Pasal-pasal korupsi yang potensial digunakan antara
lain menurut Sigit meliputi Pasal 5, 11, 12 huruf e, 12 huruf i, dan tentu saja Pasal 12 B UU
No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001.28 Namun hingga Juni 2006, belum satu pun tindak pidana
korupsi yang disidik KPK, yang merupakan tindak lanjut atau didasarkan pada data
LHKPN sebagai bukti awal.

3. Minimnya Laporan Masyarakat

Sejak awal berdirinya, hingga tepatnya Juni 2006, KPK telah menerima 12.882 laporan
masyarakat mengenai dugaan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar
106 laporan yang terkait dengan LHKPN, mulai dari:
1. Dugaan ketidakcocokan data LHKPN dengan fakta di lapangan;
2. Pernyataan tentang ketidakwajaran kekayaan PN tertentu; hingga
3. Permintaan agar KPK memeriksa kekayaan PN tertentu.

Dari jumlah tersebut pun ada 6 laporan yang tidak terkait langsung dengan dugaan korupsi,
melainkan hanya masukan umum tentang bagaimana meningkatkan efektivitas mekanisme
pelaporan kekayaan, permintaan formulir LHKPN oleh Badan Pengawas Daerah (Bawasda)
di daerah tertentu, dan lain-lain.

25 Hukumonline, 28 November 2002.


26 Media Indonesia, 15 September 2005.
27 Media Indonesia, 2 Juni 2006.
28 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 18
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Jika dibuat prosentasenya, maka hanya sekitar 0,8 persen dari total laporan masyarakat yang
masuk ke KPK, yang terkait dengan LHKPN. Memang kategori PN yang dilaporkan cukup
beragam, 4 laporan terkait kekayaan mantan Gubernur atau Gubernur aktif. 25 laporan
terkait kekayaan mantan, calon, atau Walikota/Bupati aktif. 37 laporan terkait kekayaan
PNS, 5 laporan terkait kekayaan pejabat BUMN/BUMD, 2 laporan terkait dengan kekayaan
pejabat pajak dan bea cukai, 2 laporan terkait kekayaan anggota legislatif, 7 laporan terkait
kekayaan anggota yudikatif, dan 9 laporan terkait kekayaan anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (POLRI). Namun tetap saja jumlah tersebut masih sangat
kecil dibanding total laporan/pengaduan yang masuk.

Minimnya laporan masyarakat mengindikasikan setidaknya dua hal. Pertama, akses


masyarakat secara umum untuk mendapatkan LHKPN masih sangat bermasalah, dan kedua,
LHKPN belum dipandang sebagai media yang efektif bagi masyarakat untuk menjalankan
kontrol terhadap PN.

4. Besarnya Jumlah Tunggakan Pengolahan Laporan Kekayaan PN

Gejala berikutnya yang merupakan dampak kurang efektifnya mekanisme pelaporan


kekayaan PN adalah jumlah tunggakan pengelolaan LHKPN (pendaftaran, pemeriksaan,
dan pengumuman) yang relatif besar. Kurang lebih terdapat 11.000-12.000 jumlah dokumen
LHKPN yang jadi tunggakan dan silih berganti dengan dokumen yang baru masuk. Dari
jumlah tunggakan itu, kurang lebih 7000 dokumen ada di tahap pendaftaran, dan kurang
lebih 5000 dokumen terganjal di proses entri data.29 Jika diprosentasekan dari jumlah PN
wajib lapor, maka tunggakan mencapai +10 persen, suatu prosentase yang cukup besar. Dan
jika diprosentasekan dari jumlah PN yang sudah melapor, maka prosentase tunggakan
mencapai sekitar 25 persen.

Berdasarkan keterangan mantan Wakil Ketua KPKPN sub-Komisi Legislatif, Abdullah


Hehamahua, sebenarnya sumbangan tunggakan dokumen dari KPKPN yang diwariskan
kepada KPK setelah proses peleburan tidak mencapai angka 6000 dokumen. Apalagi
mekanisme pengolahan data di masa KPKPN berbeda dari yang diterapkan KPK. Pada
masa KPKPN, LHKPN yang masuk dari PN langsung diumumkan dalam Berita
Negara/Tambahan Berita Negara (BN/TBN), tanpa harus diverifikasi yang bisa memakan
waktu. Mekanisme itu menurut Abdullah sangat vital dalam mengontrol jumlah
tunggakan.30

Dan sebagaimana diakui para Staf Direktorat PP LHKPN, tunggakan dokumen yang ada
sekarang memang tidak terlalu dipengaruhi oleh warisan KPKPN. Peningkatan tunggakan
terasa cukup drastis setelah diberlakukannya Surat Edaran (SE) Menpan pada Januari 2005
yang memperluas kriteria PN wajib lapor.31 Pada Tabel 2.3, bisa dilihat berapa jumlah
LHKPN yang sudah diolah dan berapa yang masih tertunda pengolahannya di KPK.

29 Diskusi Kelompok Terfokus dengan Tenaga Fungsional Direktorat PP LHKPN, 11 September 2006.
30 Wawancara dengan Abdullah Hehamahua, 11 September 2006.
31 Diskusi Kelompok Terfokus dengan Tenaga Fungsional Direktorat PP LHKPN, 11 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 19
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tabel 2.3.
Data tunggakan pengolahan LHKPN
Bidang Penerimaan Pengolahan Data
Diterima Diserahkan Pending Jumlah Entri Data Verifikasi Jumlah
Belum Sudah
Eksekutif 5.253 253 387 5.893 2.049 966 64 3.079
Legislatif 151 4 204 359 16 56 15 87
Yudikatif 897 13 116 1.026 38 135 7 180
BUMN/D 174 4 31 209 3 6 7 16
Jumlah 6.475 274 738 7.487 2.106 1.163 93 3.362

Menurut Direktur PP LHKPN, M. Sigit, setelah Menpan mengeluarkan SE, jumlah pejabat
yang wajib lapor kekayaan meningkat tajam, menjadi kurang lebih 110.000 orang dari
semula sekitar 70.000 orang. Karena itu Sigit mengkategorikan PN wajib lapor kekayaan ke
dalam 2 bagian, yaitu mereka yang diatur berdasarkan UU dan mereka yang diperluas oleh
SE Menpan. Perbandingannya secara kasar adalah 1:4. Tetapi dari jumlah 110 ribu tersebut
sudah banyak data yang tidak sesuai. Ada di antara mereka yang sudah pensiun.32

Apalagi jumlah 110 ribu tersebut diperoleh dengan mengirimkan surat ke berbagai instansi
tempat PN bekerja, untuk diidentifikasi atau ditentukan oleh pimpinan masing-masing. Itu
pun tidak semua meresponnya. Hanya data hasil respon yang dibandingkan dengan data
milik KPK yang sebelumnya diperoleh dari KPKPN.33

Di sisi lain, bukan mustahil data milik KPK belum merupakan data sebenarnya. Di cabang
eksekutif saja, berdasarkan Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) oleh Badan
Kepegawaian Negara (BKN) pada Juli 2003 yang dimutakhirkan sampai keadaan 31
Desember 2003, diperoleh gambaran bahwa jumlah PNS di Indonesia sebesar 3.648.005
orang. Jumlah itu terdiri dari 2.172.285 laki-laki (60 persen) dan 1.475.720 orang perempuan
(40 persen).

Dari jumlah PNS tersebut, sebesar 2.029.352 orang (56 persen) menjabat fungsional tertentu.
Paling banyak adalah tenaga fungsional guru, tenaga dosen, tenaga medis, dan tenaga
paramedis. Sebanyak 289.818 orang (14 persen) adalah fungsional lainnya yang belum
terpetakan, dan karenanya bisa menjadi beban tersendiri bagi KPK untuk memetakan,
apakah mereka masuk aktegori PN wajib lapor atau bukan.

Apabila diklasifikasikan berdasarkan golongannya, maka PNS golongan I tercatat sebanyak


88.676 orang (2,4 persen), golongan II sejumlah 981.061 orang (26,9 persen), golongan III
sebanyak 2.129.381 orang (58,4 persen), dan PNS yang memiliki golongan IV sejumlah
448.887 orang (12,3 persen). Sebuah beban tersendiri pula bagi KPK apabila rencana
mewajibkan PNS mulai dari golongan III untuk lapor kekayaan jadi direalisasikan (lihat
Tabel 2.4).

Dari keseluruhan PNS, sebanyak 289.163 orang menduduki jabatan struktural. Sementara
menurut jenjang jabatannya, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2.5, sebanyak 684 orang
(0,2 persen) merupakan pejabat eselon I yang termasuk pula para Sekretaris Daerah di
pemerintah daerah provinsi. Pejabat eselon II berjumlah 11.421 orang (4 persen), eselon III

32 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.


33 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 20
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

berjumlah 53.866 orang (18,6 persen), eselon IV berjumlah 210.804 orang (73 persen), serta
eselon V sejumlah 12.388 orang (4,3 persen).34

Tabel 2.4.
Klasifikasi PNS berdasarkan golongan
No. Golongan PNS Jumlah %
1. Golongan I 88.676 2,4
2. Golongan II 981.061 26,9
3. Golongan III 2.129.381 58,4
4. Golongan IV 448.887 12,3
Total 3.648.005 100

Tabel 2.5.
Klasifikasi PNS berdasarkan eselon
No. Eselon PNS Jumlah %
1. Eselon V 12.388 4,3
2. Eselon IV 210.804 73
3. Eselon III 53.866 18,6
4. Eselon II 11.421 3,9
5 Eselon I 684 0,2
Total 289.163 100

Besarnya jumlah PNS, yang sebagian belum terpetakan secara rinci, dengan sebaran yang
lebih terkonsentrasi di kabupaten/kota, merupakan tantangan luar biasa bagi KPK untuk
menjalankan mekanisme pelaporan kekayaan secara efektif. Belum lagi jika beban tersebut
harus ditambah dengan Anggota TNI, Anggota POLRI, Pimpinan dan Bendaharawan
Proyek, para anggota legislatif pusat dan daerah, hakim, pimpinan dan pegawai
BUMN/BUMD, serta para pejabat negara yang lain.

Besarnya jumlah PN yang harus didaftar dan diperiksa kekayaannya versus terbatasnya
kapasitas KPK dalam mengelola, merupakan hambatan konkrit bagi mekanisme pelaporan
kekayaan untuk menimbulkan rasa takut berbuat korupsi serta mendorong perilaku etis di
kalangan PN. Dengan tunggakan besar yang sifatnya terus-menerus (on-going), sulit
mengharapkan mekanisme pelaporan kekayaan bisa menyentuh PN hingga ke level
personal, yang pada akhirnya menyulitkan pula internalisasi karakter etis dan rasa takut
berbuat korupsi kepada para PN.

E. Pihak-pihak yang Berkontribusi


Mekanisme pelaporan kekayaan PN adalah sebuah institusi sosial yang dibentuk oleh
hukum dengan tujuan-tujuan tertentu, baik yang eksplisit maupun implisit, yaitu:
1. Memastikan integritas para calon PN/pengisi jabatan publik;
2. Menimbulkan rasa takut di kalangan PN untuk berbuat korupsi;
3. Menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggungjawab (karakter etis) di
kalangan PN;

34 Data Deputi Bidang Informasi dan Kepegawaian BKN, 15 April 2004, http://www.bkn.go.id/berita-
isi.php?news_id=11&title=Gambaran+Pegawai+Negeri+Sipil+Hasil+Lanjutan+PUPNS

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 21
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

4. Mendeteksi (potensi) konflik kepentingan antara tugas-tugas publik PN dengan


kepentingan pribadinya;
5. Menyediakan bukti awal dan/atau bukti pendukung bagi penyidikan dan penuntutan
perkara korupsi;
6. Meningkatkan kontrol masyarakat terhadap PN.

Mekanisme pelaporan kekayaan PN ditopang oleh peran/perilaku banyak pihak (Aktor)


terkait, yang dilakukan secara berkelanjutan, dan saling berkorelasi satu sama lain. Ketika
para Aktor berperilaku sesuai dalam institusi sosial tersebut, maka hal itu akan berimplikasi
positif bagi perilaku Aktor yang lain, dan karena itu menjadikan mekanisme pelaporan
kekayaan PN berjalan efektif, dalam arti mampu mencapai tujuan-tujuannya.

Sementara apabila para Aktor tidak berperilaku sesuai, atau perilakunya dikategorikan
bermasalah, maka hal itu akan berpengaruh buruk bagi perilaku Aktor lain. Pada akhirnya
rangkaian perilaku bermasalah tersebut menjadikan mekanisme pelaporan kekayaan PN
sebagai mekanisme bermasalah, yang membuatnya sulit mencapai tujuan-tujuannya.

Dari beberapa gejala yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, bisa disimpulkan
bahwa berdasarkan kondisi/realita saat ini, tujuan-tujuan yang diharapkan dari penerapan
mekanisme pelaporan kekayaan PN masih jauh dari pencapaian. Gejala-gejala itu adalah
wujud nyata dari masalah efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan PN, yang muncul
karena kontribusi rangkaian perilaku para Aktor yang bermasalah dan dilakukan secara
terus-menerus/berkelanjutan.

Para Aktor yang perilakunya secara dominan turut berkontribusi terhadap munculnya
masalah dalam mekanisme pelaporan kekayaan PN, dan akan dianalisa secara spesifik
dalam studi ini adalah:
1. Para PN sendiri
Perilaku bermasalah yang dilakukan PN adalah:
a. Tidak melaporkan kekayaan;
b. Tidak memperbarui laporan kekayaan;
c. Tidak melaporkan kekayaan dengan benar;
d. Tidak mengumumkan laporan kekayaan.
2. KPK, khususnya Direktorat PP LHKPN
Adapun perilaku bermasalah yang dilakukan oleh KPK, khususnya Direktorat PP
LHKPN:
a. Kesulitan menyelesaikan pengolahan laporan kekayaan PN yang masuk;
b. Kurang gencar menjalankan pemeriksaan;
c. Hanya mengumumkan laporan kekayaan PN di BN/TBN;
d. Belum mengupayakan sanksi bagi PN.

Dengan menganalisa perilaku kedua Aktor dominan tersebut, maka dengan sendirinya
perilaku para Aktor lain juga akan ikut terbahas, yaitu masyarakat, lembaga
negara/pemerintahan yang tugas dan wewenangnya terkait erat dengan pemberantasan
korupsi, lembaga negara/pemerintahan yang tugas dan wewenangnya terkait dengan
mekanisme pelaporan kekayaan, dan pimpinan/atasan PN di masing-masing instansi.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 22
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

BAB III
Menemukan Akar Masalah
dalam Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN

A. Pengantar

ada Bab II, studi ini telah mengajukan hipotesa, mengujinya dengan fakta-fakta empirik,
dan menjelaskan secara logis tentang gejala yang menunjukkan bahwa masalah yang
tengah dikaji memang ada. Pada bab tersebut, studi ini juga telah mengidentifikasi
siapa saja Aktor dan apa perilakunya masing-masing yang turut berkontribusi
menimbulkan masalah, yaitu kendala dalam menjalankan mekanisme pelaporan kekayaan
PN secara efektif.

Metodologi pemecahan masalah yang digunakan dalam studi ini selanjutnya mengantarkan
analisa pada tahap berikutnya, yaitu mencari akar masalah. Studi ini mengartikan akar
masalah sebagai faktor-faktor yang menyebabkan para Aktor berperilaku tertentu, sehingga
turut menimbulkan masalah yang dikaji. Faktor-faktor penyebab tersebut bisa terdiri dari
banyak kategori, dan sesungguhnya dalam kehidupan nyata, suatu perilaku tidak bisa
hanya dianalisa dengan penjelasan tunggal. Di kalangan ilmuwan sosial, pendekatan
monokausalitas telah lama ditinggalkan.35

Setiap Aktor berperilaku tidak hanya disebabkan oleh seperangkat aturan hukum mengenai
perilaku tersebut, melainkan juga didasarkan pada konteks sosial, politik, ekonomi, fisik,
dan kelembagaan di mana para Aktor tersebut berada.36 Faktor-faktor penyebab yang
beragam tersebut penting untuk ditemukan karena metodologi dalam studi ini percaya
bahwa perilaku bermasalah akan tetap dilakukan Aktor apabila penyebabnya dibiarkan ada.

Namun menemukan faktor-faktor penyebab yang begitu beragam, baik faktor hukum
maupun non hukum dapat menjadi agenda yang terlalu luas untuk dikerjakan. Sulit
menjadikannya sebagai hipotesis penyebab yang detail yang nantinya akan membantu bagi
pengusulan solusi yang efektif.37

Karena itulah digunakan kategori sebagai daftar periksa yang akan memudahkan pengajuan
hipotesa tentang penyebab perilaku bermasalah Aktor, yaitu: (1) peraturan; (2) kesempatan;
(3) sosialisasi; (4) kemampuan; (5) kepentingan; (6) proses; serta (7) nilai dan sikap. Ketujuh
kategori tersebut bisa diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, subjektif dan objektif.38

Kelompok subjektif terdiri dari faktor-faktor yang ada di kepala para Aktor, yaitu: (1)
kepentingan; serta (2) nilai dan sikap mereka. Faktor-faktor ini membentuk apa yang secara

35 Seidman, op.cit., hal. 93.


36 Ibid., hal. 99.
37 Ibid., hal. 94-95.
38 Ibid., hal. 95.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 23
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

intuitif diidentifikasi oleh setiap orang sebagai “alasan” di balik perilaku mereka.39

Kepentingan adalah persepsi Aktor tentang manfaat dari perilakunya, baik material maupun
non-material, seperti kekuasaan dan harga diri.40 Nilai dan sikap adalah nilai, sikap, dan rasa,
hingga mitos, asumsi terhadap kehidupan, kepercayaan, serta ideologi politik, sosial, dan
ekonomi, yang turut mempengaruhi perilaku Aktor.41

Berbeda dengan kelompok subjektif, kelompok objektif memusatkan perhatian pada faktor-
faktor penyebab suatu perilaku yang sifatnya institusional yang menghalangi terlaksananya
good governance. Kelompok objektif terdiri dari: (1) peraturan; (2) kesempatan; (3)
kemampuan; (4) sosialisasi; dan (5) proses.42

Peraturan bisa dipastikan selalu mempengaruhi perilaku yang diatur. Setiap orang seringkali
berperilaku tidak hanya didasarkan pada satu peraturan, tetapi pada banyak peraturan.
Meski seharusnya peraturan menjadi acuan dalam berperilaku, namun kadang peraturan
justru menjadi penyebab timbulnya perilaku bermasalah oleh Aktor, yaitu ketika:
1. Norma dalam peraturan tersebut dirumuskan secara kabur dan ambigu, sehingga
membuat orang bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukan berdasarkan
peraturan tersebut;
2. Beberapa peraturan membolehkan atau malah memerintahkan perilaku bermasalah;
3. Peraturan tidak memberi jalan keluar guna menghilangkan penyebab perilaku
bermasalah;
4. Peraturan memungkinkan dilakukannya perilaku yang tidak transparan, akuntabel, dan
partisipatif;
5. Peraturan memberikan diskresi yang berlebihan.

Kesempatan adalah kondisi di luar diri Aktor yang memungkinkannya atau malah
menyulitkannya berperilaku sesuai. Sedangkan kemampuan adalah kondisi internal atau
karakteristik yang membantu atau justru menyulitkan Aktor untuk berperilaku sesuai.
Kategori sosialisasi akan mengantarkan pada pertanyaan apakah pihak-pihak yang
berkompeten telah menyosialisasikan peraturan kepada mereka yang dituju oleh peraturan
tersebut? Sebab ketidaktahuan akan peraturan bisa menyebabkan perilaku bermasalah.
Tidak ada orang yang secara sadar mentaati peraturan tanpa mengetahui apa yang
diperintahkan peraturan tersebut. Adapun kategori proses akan mengantarkan pada
pertanyaan dengan kriteria dan prosedur apa, para Aktor memutuskan untuk berperilaku
sesuai atau justru bermasalah?43

Pada Bab ini, berbagai perilaku bermasalah para Aktor yang terkait dengan mekanisme
pelaporan kekayaan PN akan dicarikan faktor-faktor penyebabnya, mengacu pada kategori
penyebab yang telah disebutkan di atas. Tidak semua faktor penyebab dimiliki perilaku
bermasalah tertentu, tergantung pada konteks perilaku yang dianalisa. Dari situ setiap
hipotesa tentang penyebab akan diuji dengan fakta empirik dan dijelaskan secara logis
keterkaitannya antara satu dengan yang lain.

39 Ibid.
40 Ibid.
41 Ibid., hal. 96.
42 Ibid.
43 Ibid., hal. 98.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 24
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

B. Perilaku Bermasalah dan Faktor-faktor Penyebabnya

1. PN Tidak Melaporkan Kekayaan

Studi ini mengidentifikasi 15 faktor yang menyebabkan kenapa banyak PN tidak


melaporkan kekayaannya. Ke-15 faktor tersebut adalah:
1. Lemahnya sanksi hukum;
2. Kewajiban PN tidak diimbangi dengan kewenangan KPK;
3. Wajib lapor kekayaan belum menjadi syarat rekrutmen secara luas;
4. Menolak diakui, atau tidak tahu kriteria PN wajib lapor;
5. Belum ada contoh PN dikenai sanksi;
6. PN yang tidak lapor kekayaan tidak diumumkan;
7. Batas waktu pelaporan dan mekanisme penagihan tidak tegas;
8. Kelompok-kelompok kerja (Pokja) LHKPN bentukan KPK kurang optimal;
9. Kehabisan formulir;
10. Kesulitan memahami dan melengkapi formulir;
11. Tidak ada waktu khusus untuk melengkapi formulir;
12. Keberatan atas biaya yang timbul;
13. Ada kejanggalan kekayaan;
14. Kuatir akan konsekuensi turunan;
15. Menganggap kekayaan adalah urusan privat.

a. Lemahnya Sanksi Hukum

a.1. Sanksi dalam UU No. 28/1999 Dianggap Mengecualikan Sanksi dalam KUHP

Pasal 216 KUHP menyatakan:

(1) Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut
undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan
tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian
pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
Rupiah.
(2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang
terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum.

Apabila dirinci, maka unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah:


1. Barangsiapa;
2. Dengan sengaja;
3. Tidak menuruti perintah atau permintaan berdasarkan UU oleh:
a. Pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu; atau
b. Pejabat berdasarkan tugasnya; atau
c. Yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; atau
d. Setiap orang yang menurut ketentuan UU terus-menerus atau untuk sementara
waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum.

Pasal 216 KUHP sangat sering digunakan KPKPN sebagai rujukan ancaman hukuman.
Ketua Sub Komisi Yudikatif KPKPN, Chairul Imam, pernah menyatakan secara terbuka

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 25
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

bahwa PN yang tidak melaporkan kekayaan berarti tidak memenuhi permintaan pejabat
pengawas berdasarkan UU, dan karenanya masuk kategori tindak pidana sesuai Pasal 216
ayat (1) KUHP.44

KPKPN pun pernah merealisasikan ancamannya dengan melaporkan Bupati Tana Toraja
yang diduga memiliki kekayaan di luar dari yang dilaporkan dalam LHKPN ke Badan
Reserse dan Kriminal (Bareskrim) POLRI. Tetapi setelah terkatung-katung sekian lama
sampai KPKPN dibubarkan, baru pada April 2006 Bareskrim mengadakan gelar perkara.
Oleh Bareskrim kasus tersebut dihentikan. Terdapat beberapa unsur (bestandelen) dari Pasal
216 KUHP yang dinilai tidak terpenuhi. Menurut Bareskrim KPKPN tidak memiliki
wewenang penyidikan, wewenang pemeriksaan, dan wewenang pengawasan, berdasarkan
keterangan saksi ahli Andi Hamzah. Andi Hamzah juga menyatakan bahwa terhadap Pasal
216 KUHP berlaku lex specialis derogat lex generalis, karena Pasal 20 UU No. 28/1999 telah
mengatur secara spesifik sanksi bagi perbuatan Bupati Tana Toraja.

Pendapat yang berusaha menerapkan asas lex specialis derogat lex generalis tersebut, jelas
mengurangi insentif bagi PN untuk patuh. Sebab, selain ketidakjelasan sanksi dalam UU,
peluang menggunakan sanksi dari UU lain, juga ditutup oleh pemberlakuan asas tersebut.

Pertanyaannya, dengan dibubarkannya KPKPN, dan sejalan dengan pembentukan KPK,


apakah unsur-unsur Pasal 216 KUHP yang oleh Bareskrim POLRI dinilai tidak dapat
dipenuhi KPKPN, dapat dipenuhi oleh KPK? Pertanyaan berikutnya terkait dengan asas lex
specialis derogat lex generalis yang dijadikan salah satu pertimbangan Bareskrim POLRI dalam
mengeluarkan SP3. Apakah tepat asas tersebut diterapkan pada Pasal 216 KUHP dan Pasal
20 UU No. 28/1999? Apakah dua ketentuan tersebut saling bertentangan sehingga harus
diselesaikan dengan pengesampingan salah satu ketentuan oleh ketentuan yang lebih
spesifik? Apakah mungkin kedua ketentuan tersebut dipandang secara alternatif dan
komplementer, di mana ketentuan yang satu dianggap melengkapi ketentuan yang lain,
begitu sebaliknya?

a.2. Sanksi Hanya Administratif, Tidak Mengikat Keseluruhan PN

Pasal 20 ayat (1) UU No. 28/1999 menyatakan bahwa setiap PN yang melanggar ketentuan
Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan sanksi administratif yang berlaku. Lantaran
sanksinya hanya administratif, dan sanksi administratif paling tinggi adalah pemecatan,
maka sanksi tersebut hanya dapat dikenakan kepada PN yang merupakan pegawai negeri,
baik sipil maupun anggota TNI atau POLRI. Sebab hanya PN dalam kategori tersebutlah
yang masuk dalam wilayah pengaturan administrasi negara, baik sistem kepegawaiannya,
maupun pendisiplinannya. Sanksi administratif sulit diterapkan pada PN yang berasal dari
pejabat negara, khususnya mereka yang dipilih maupun diangkat melalui mekanisme
politik. Para pejabat negara tidak terikat pada sistem kepegawaian yang ada.

Mengingat pada masa bekerjanya KPKPN minimnya tingkat kepatuhan bahkan resistensi
banyak ditemukan di kalangan anggota legislatif, masalah tersebut pernah disampaikan
Jusuf Syakir, Ketua KPKPN. Menurutnya sanksi bagi anggota MPR/DPR/DPRD tidak ada.
Mereka tidak bisa dipecat karena sudah tidak ada mekanisme recall.45 Atau menurut Ketua
Sub Komisi Legislatif KPKPN, Abdullah Hehamahua, posisi anggota legislatif dibanding

44 Hukumonline, 7 Juli 2001.


45 Kompas, 7 Maret 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 26
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

eksekutif dan yudikatif memang berbeda. Kalau seorang pejabat eksekutif dan yudikatif
menolak memberitahu kekayaannya, bisa dikenai sanksi administratif, sedangkan anggota
legislatif yang tidak bersedia mengisi hanya akan dikenai sanksi moral.46

Pendapat kurang lebih sama juga pernah disampaikan Menpan saat itu, Feisal Tamin.
Menurut Tamin, pejabat negara yang bersifat politis, atau pejabat negara yang tidak berasal
dari PNS, memang tidak dapat dikenakan sanksi administratif, khususnya oleh Menpan.47

Sanksi administratif juga sulit diterapkan pada PN yang telah mengakhiri jabatannya, meski
sesuai Pasal 5 angka 2 dan angka 3 UU No. 28/1999 mereka wajib bersedia diperiksa
kekayaannya walau sudah tidak menjabat.48 Menurut Jusuf Syakir, mantan PN sudah tidak
lagi punya atasan, padahal sanksi administratif hanya bisa dijatuhkan oleh atasan. Mantan
PN pun jelas tidak bisa dipecat, padahal sanksi administratif paling berat adalah
pemecatan.49

Masalah konkrit tentang hal tersebut pernah ditemukan Mahkamah Agung (MA). Ketika
terdapat laporan terhadap Maruli Panjaitan yang diduga tidak melaporkan tanah senilai Rp
40 miliar yang diakuinya sebagai milik orang lain, Ketua Muda MA Bidang Pengawasan saat
itu, Marianna Sutadi, menyatakan tidak bisa memeriksa Maruli karena yang bersangkutan
telah pensiun dari hakim setahun sebelumnya. "Kalau sudah pensiun tidak ada lagi urusan
kita," ujar Marianna.50

a.3. Sanksi Tidak Dikaitkan dengan Pelanggaran Sumpah Jabatan

Hampir semua peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan publik


mencantumkan sumpah/janji. Jika ditelusuri, sebagian besar materi sumpah/janji jabatan
berbunyi kurang lebih sama, yaitu:

“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung
atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini,
tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan
sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta
bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau
dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan
wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”.

46 Tempointeraktif, 9 April 2002.


47 Kompas, 3 September 2002.
48 Lebih jauh, Pasal 15 PP No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan PN (yang sudah tidak
berlaku lagi bersamaan dengan dicabutnya Pasal 10-19 UU No. 28/1999) mengatur bahwa pemeriksaan
terhadap mantan PN dapat dilakukan hingga 5 tahun terhitung sejak tanggal masa jabatan PN tersebut
berakhir.
49 Kompas, 17 November 2001.
50 Hukumonline, 14 Maret 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 27
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Setidaknya materi sumpah/janji tersebut dapat ditemukan pada Pasal 35 UU No. 30/2002
tentang KPK dan Pasal 30 UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Materi sedikit berbeda
bisa ditemukan pada Pasal 26 UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang
wajib diucapkan setiap CPNS pada saat pengangkatannya menjadi PNS, yang bunyinya:

“Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:


Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas
kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab;
Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai
Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri,
seseorang atau golongan;
Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya
rahasiakan;
Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara”.

Secara umum ada tekanan yang sama dari materi sumpah/janji jabatan tersebut. Tekanan
tersebut terletak pada kalimat:

“...setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia”.

Atau dalam rumusan lain:

“...mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dengan adanya sumpah/janji PN untuk mengamalkan atau mentaati peraturan perundang-


undangan yang berlaku, maka ketidaktaatan PN terhadap kewajiban lapor kekayaan yang
diatur dalam UU No. 28/1999 bisa diartikan sebagai pelanggaran sumpah. Apalagi Pasal 6
UU No. 28/1999 menyatakan bahwa hak dan kewajiban PN dilaksanakan sesuai ketentuan
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Akan tetapi yang jadi masalah, tidak semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
jabatan publik tertentu memasukkan pelanggaran sumpah sebagai dasar bagi
pemberhentian secara tidak hormat. Masalah berikutnya adalah mekanisme pemberhentian
secara tidak hormat dengan alasan melanggar sumpah biasanya tidak diatur secara rinci,
sehingga relatif sulit dilaksanakan. Di beberapa lembaga negara, tidak dapat ditemukan
keberadaan Badan/Dewan Kehormatan dan hukum acaranya guna memeriksa pelanggaran
sumpah oleh PN tertentu. Meski di beberapa lembaga negara yang lain, mekanisme tersebut
sudah relatif berjalan efektif, atau mulai berjalan sebagaimana yang terjadi pada Badan
Kehormatan DPR RI pada 2006. Masalah terakhir, patut pula dipertanyakan apakah sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 28/1999 juga bisa diartikan
sebagai sanksi dengan dasar pelanggaran sumpah?

a.4. Sanksi Tidak Terkait dengan Penilaian Kinerja

Untuk berperilaku tertentu, seseorang sangat dipengaruhi cara pandangnya terhadap


manfaat dari perilaku tersebut, baik dari sisi ekonomis maupun non-ekonomis. Ketika suatu
kewajiban tidak diiringi dengan manfaat, baik berupa manfaat yang sifatnya langsung,
seperti promosi atau kenaikan gaji, maupun manfaat yang bersifat tidak langsung, seperti

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 28
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

terhindar dari sanksi atau dampak negatif lainnya, maka sulit memastikan pemenuhan
kewajiban tersebut. Begitu halnya yang terjadi pada PN dalam memandang kewajibannya
melaporkan kekayaan.

Hingga saat ini, bisa dikatakan bahwa manfaat langsung bagi PN untuk melaporkan
kekayaannya belum disediakan secara memadai. Sebagai contoh adalah pengaruh
pemenuhan kewajiban melaporkan kekayaan terhadap konduite PN yang bersangkutan.
Berbagai PP di bidang kepegawaian, seperti PP No. 9/2000 tentang kenaikan Pangkat PNS
dan PP No. 96/2000 tentang Mutasi PNS, meski dibentuk setelah berlakunya UU No.
28/1999 juga belum mengaitkan antara sistem kepegawaian dengan kewajiban PN
melaporkan kekayaannya. Bahkan PP tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS (PP No.
10/1979) belum dirubah hingga saat ini.

Pasal 4 PP No. 10/1979 hanya mengatur bahwa:

(1) Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, dituangkan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan.
(2) Dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan unsur-unsur yang dinilai adalah:
a. kesetiaan;
b. prestasi kerja;
c. tanggungjawab;
d. ketaatan;
e. kejujuran;
f. kerjasama;
g. prakarsa; dan
h. kepemimpinan.

Dari berbagai unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS, aspek yang bisa dijadikan
payung hukum untuk memasukkan pemenuhan kewajiban pelaporan kekayaan ke dalam
indikator penilaian kinerja PNS adalah aspek ketaatan (Pasal 4 huruf d). Penjelasan Pasal
tersebut menyatakan:

“Ketaatan adalah kesanggupan seorang Pegawai Negeri Sipil, untuk mentaati segala peraturan perundang-
undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan
yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang ditentukan.”

Adapun manfaat tidak langsung dari pemenuhan kewajiban PN, yaitu menghindarkannya
dari sanksi, sangat bergantung pada penegakan hukum atas berbagai peraturan yang sudah
disepakati. Namun jika dilihat dari belum adanya contoh konkrit PN yang dikenai sanksi
administratif akibat lalai melaporkan kekayaannya, agaknya manfaat tidak langsung pun
belum bisa diberikan bagi PN yang memang punya keinginan mematuhi kewajiban tersebut.

Salah satu instansi yang pernah berupaya mengaitkan antara kewajiban lapor kekayaan
dengan insentif karir adalah Kementerian Negara BUMN. Pada masa kepemimpinan
Laksamana Sukardi, pernah disusun rencana untuk mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan setiap pejabat Direksi BUMN menyerahkan daftar kekayaannya lebih dulu
sebelum menjabat. Daftar kekayaan juga direncanakan akan dipakai sebagai prasyarat
utama promosi atau jenjang karier di jajaran BUMN. Jika tidak dipenuhi, maka
pengangkatan mereka akan ditunda.51 Namun hingga kini tidak jelas apakah kebijakan
tersebut jadi dilaksanakan atau tidak.

51 Kompas, 15 Agustus 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 29
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

b. Kewajiban PN Tidak Diimbangi dengan Kewenangan KPK

Pasal 5 UU No. 28/1999 menyatakan bahwa, setiap PN berkewajiban untuk:

1. .....
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4. .....

Meski sekilas tidak bermasalah, tetapi UU No. 28/1999 mengandung problem. Norma UU
tersebut tidak jelas, atau tepatnya tidak tegas. Ketidaktegasan tersebut ditimbulkan karena
Pasal 5 UU No. 28/1999 hanya menggunakan norma “kewajiban PN” tanpa diimbangi
norma “kewenangan lembaga pelaksana”.

Dengan menggunakan norma “kewajiban PN” tanpa diimbangi norma “kewenangan


lembaga pelaksana”, UU No. 28/1999 telah menyembunyikan lembaga yang berwenang
memeriksa serta memastikan dilaporkan dan diumumkannya kekayaan PN. Dan hal itu jelas
menjadi salah satu penyebab dari sudut peraturan yang membuat PN tidak melaporkan
kekayaan.

c. Wajib Lapor Kekayaan Belum Jadi Syarat Rekrutmen secara Luas

Salah satu cara yang paling efektif dalam memastikan ketaatan PN, adalah dengan
mencantumkan kewajiban lapor kekayaan sebagai salah satu syarat rekrutmen mereka.
Namun sayangnya, tidak semua peraturan perundang-undangan mencantumkan kewajiban
lapor kekayaan sebagai syarat rekrutmen.

Memang ada kecenderungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah


UU No. 28/1999, mulai memasukkan kewajiban lapor kekayaan sebagai syarat rekrutmen.
Sebagai contoh adalah:
1. Pasal 29 huruf k UU No. 30/2002 yang menentukan seorang calon Pimpinan KPK harus
mengumumkan kekayaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Contoh lain ada pada Pasal 16 ayat (2) UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial yang
mensyaratkan calon hakim agung untuk menyerahkan daftar kekayaan serta sumber
penghasilannya;
3. Atau Pasal 26 huruf h UU yang sama, yang mensyaratkan calon Anggota Komisi
Yudisial untuk melaporkan daftar kekayaan; dan
4. Tidak hanya di level UU, Pasal 17 Inpres No. 18/2005 tentang Komisi Kejaksaan juga
mensyaratkan calon Anggota Komisi Kejaksaan untuk melaporkan kekayaannya.

Namun tidak semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah UU No.


28/1999 memasukkan klausul yang sama. Salah satu contoh bisa ditemukan dalam UU No.
24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 16 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi tidak
memasukkan wajib lapor kekayaan sebagai syarat rekrutmen hakim konstitusi. Kepres No.
15/2000 tentang Komisi Hukum Nasional juga tidak memasukkan persyaratan rekrutmen
sama sekali. Hal ini jelas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kenapa banyak PN
tidak melaporkan kekayaan.

Salah satu terobosan pernah diambil dalam proses rekrutmen anggota KPPU. Meski Pasal 32
UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 30
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

tidak memuat ketentuan wajib lapor kekayaan sebagai syarat rekrutmen, namun Komisi VI
DPR RI yang berwenang menyeleksi calon Anggota KPPU mewajibkan para calon
melaporkan kekayaan. Hal itu dimuat dalam pengumuman DPR tentang rekrutmen
Anggota KPPU di sebuah media massa.

Meski demikian, dari keterangan salah seorang yang mengikuti proses seleksi tersebut, tidak
ada format baku bagi laporan kekayaan yang mereka sampaikan. Komisi VI DPR tidak
menggunakan formulir LHKPN yang dikeluarkan KPK. Karena itu, calon hanya
menggunakan format laporan kekayaan untuk kepentingan pajak, yang memang familiar
karena harus diisi setiap tahun.52

d. Menolak Diakui atau Tidak Tahu Kriteria PN Wajib Lapor

Pasal 1 angka 1 UU No. 28/1999 menyatakan bahwa PN adalah:

“Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Secara lebih rinci Pasal 2 berikut Penjelasannya menentukan siapa saja yang dimaksud
sebagai PN.

Meski Pasal 1 angka 1 telah menyatakan bahwa PN meliputi pula mereka yang menjalankan
fungsi legislatif, namun di masa bekerjanya KPKPN, tidak sedikit Anggota DPRD yang
menolak dikategorikan sebagai PN dan karenanya menolak melaporkan kekayaan. Sikap
paling keras terhadap KPKPN pernah ditunjukkan Anggota DPRD Kota Malang. Mereka
menolak mengisi daftar kekayaan sampai ada revisi terhadap beberapa Pasal dalam UU No.
28/1999.

Menurut Ketua DPRD Kota Malang Sri Rahayu dan Wakil Ketuanya Oetojo Sardjito, Pasal 2
UU No. 28/1999 hanya menyebut pejabat-pejabat yang duduk di lembaga tertinggi dan
tinggi negara, menteri, gubernur, serta hakim sebagai wajib lapor kekayaan. Menurut
mereka Pasal tersebut sama sekali tidak menyinggung DPRD, oleh karenanya UU tersebut
harus direvisi lebih dulu. Apalagi, "buku putih" petunjuk pengisian yang dibuat KPKPN
juga tidak mencantumkan anggota DPRD sebagai PN yang wajib diperiksa kekayaannya.53

Penolakan serupa, namun dengan alasan berbeda pernah disampaikan para Anggota DPRD
Kabupaten Ciamis. Menurut Hasan Mumu, Ketua DPRD Ciamis saat itu, Anggota DPRD
tidak perlu mengisi formulir KPKPN karena bukan PN. Anggota DPRD hanyalah rakyat
biasa yang kebetulan diangkat menjadi wakil rakyat. Menurutnya Anggota DPRD tidak
menerima gaji bulanan, tetapi hanya honorarium dari Bupati. Situasi tersebut amat berbeda
dengan eksekutif yang jelas-jelas menjalankan pemerintahan dan menggunakan anggaran
daerah untuk aktivitasnya sehari-hari.54

Alasan yang sama juga pernah digunakan para Anggota DPRD DKI Jakarta, yang bersikeras
tidak mau mengisi formulir kekayaan dengan alasan belum jelasnya status hukum mereka,

52 Wawancara, 6 Oktober 2006.


53 Kompas, 7 April 2001.
54 Kompas, 11 April 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 31
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

apakah termasuk sebagai PN atau tidak. Dalam pandangan mereka, Anggota DPRD tidak
menerima gaji dan pensiun, melainkan hanya tunjangan kehormatan dan beberapa biaya
lainnya.55 Atau Anas Genda, Anggota DPRD Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa
Anggota DPRD tidak jelas statusnya sebagai PN atau bukan karena tidak diberikan haknya
seperti fasilitas rumah dinas, mobil dinas, tunjangan pensiun sampai mati dan sebagainya.56

Agaknya atas dasar penolakan tersebutlah, yang sebagian besar datang dari kalangan
Anggota DPRD, Penjelasan Pasal 11 huruf a UU No. 30/2002 tentang KPK sampai perlu
memasukkan secara spesifik Anggota DPRD sebagai PN, yang secara lengkap bunyinya:

“Yang dimaksud dengan penyelenggara negara, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Pertanyaannya, apakah dengan masuknya Penjelasan Pasal 11 UU No. 30/2002, atau


meredanya penolakan Anggota DPRD, peluang bagi kalangan PN tertentu untuk mengelak
dari kewajiban melaporkan kekayaan dengan alasan tidak masuk ke dalam kategori PN
telah selesai? Apakah masih ada bom waktu sehingga suatu saat penolakan dengan motif
serupa dapat muncul kembali?

Selain penolakan, ketidaktahuan apakah dirinya masuk dalam kriteria PN wajib lapor
berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah faktor penyebab lain yang sangat
berpengaruh bagi PN untuk tidak patuh. Ketidaktahuan tersebut tidak hanya dihadapi PN
wajib lapor, seperti PNS pada level paling rendah dan berdomisili di daerah dengan akses
informasi yang terbatas, melainkan juga dirasakan pejabat negara di tingkat pusat.

Seorang pejabat di sebuah lembaga negara mengaku hingga sekarang tidak yakin apakah
dirinya pejabat lain di lembaga tersebut masuk dalam kriteria PN wajib lapor. Begitu pula
seperempat (26,18 persen) responden PNS di daerah yang diwawancarai (Tabel 3.1). Mereka
tidak tahu apakah termasuk wajib lapor atau tidak. Lebih besar lagi, 40,34 persen responden
tidak tahu siapa saja pejabat di lembaga mereka yang wajib lapor (Tabel 3.2).

Tabel 3.1.
Apakah PN termasuk wajib lapor kekayaan
No. Jawaban n %
1. Ya 103 44,2
2. Tidak 69 29,6
3. Tidak tahu 61 26,2
Total 233 100

Tabel 3.2.
Apakah PN tahu pejabat di intansinya yang wajib lapor kekayaan
No. Jawaban n %
1. Tahu 139 59,7
2. Tidak tahu 94 40,3
Total 233 100

55 Kompas, 19 April 2001.


56 Tempointeraktif, 9 April 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 32
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Sebenarnya secara sadar beberapa pejabat yang diwancarai dalam studi ini merasa
seharusnya terkena ketentuan wajib lapor kekayaaan karena substansi tugas dan wewenang
mereka sangat strategis dan sarat dengan potensi konflik kepentingan. Namun karena UU
tidak secara eksplisit menyatakan mereka sebagai pejabat negara, maka pada awal masa
jabatannya, para pejabat di lembaga tersebut membuat kesepakatan informal untuk tidak
melaporkan kekayaan.57

KPKPN di masa itu secara implisit menerima kesepakatan tersebut. Agaknya sikap yang
sama juga diteruskan KPK. Sebab para pejabat di lembaga tersebut tidak pernah diminta
secara resmi untuk melaporkan kekayaan.58

Selain ketidakjelasan UU, hak-hak protokoler yang tidak pernah didapatkan para pejabat di
lembaga tersebut juga mempengaruhi isi kesepakatan. Ditambah lagi, lembaga tersebut
belum memiliki kesekretariatan jenderal seperti lembaga negara yang lain dan anggarannya
masih ditumpangkan pada anggaran proyek sebuah departemen.59

Pejabat yang diwawancarai Tim Peneliti meyakinkan bahwa dirinya dan rekan-rekannya
sama sekali tidak memiliki resistensi untuk melaporkan kekayaan. Malah mereka
mempertanyakan kebijakan KPK mengenai hal itu, mengingat para calon pejabat baru
tengah diseleksi dan akan diangkat dalam waktu dekat. Apabila KPK menganggap mereka
sebagai PN wajib lapor, maka KPK harus menegaskan dan mengkomunikasikannya.60

e. Belum Ada Contoh PN Dikenai Sanksi

Dalam sebuah tulisan di harian Kompas pada September 2000 pernah diulas fakta tidak
adanya PN yang dijatuhi sanksi meski setelah 1 tahun bekerjanya KPKPN banyak sekali PN
yang tidak melaporkan kekayaan. Tulisan tersebut menyatakan:

“Memang seorang pejabat yang tidak melaporkan dan mengumumkan kekayaannya tidak dianggap
melakukan kejahatan, melainkan pelanggaran, sehingga hukumannya datang dari atasannya. Tetapi sampai
kini, tidak pernah terdengar ada seorang pejabat yang dihukum administratif, bisa berupa teguran,
peringatan keras sampai pemecatan oleh atasan.”61

Ketiadaan contoh konkrit tentang PN yang dijatuhi sanksi, jelas sangat berpengaruh bagi
ketaatan PN. Ketiadaan contoh konkrit menjadi kesempatan bagi PN untuk tetap
berperilaku bermasalah, karena meskipun ada sanksi, namun tidak pernah ditegakkan.

Sebenarnya pernyataan untuk menjatuhkan sanksi pernah disampaikan beberapa kali.


Menpan Feisal Tamin pada Oktober 2002 pernah menyatakan secara terbuka, bahwa
sebanyak 15 pejabat eselon I akan diperiksa atasannya masing-masing karena terlambat
menyerahkan laporan kekayaan.62

Dari ancaman tersebut, seolah ada harapan bahwa pemerintah, khususnya atasan dari para
PN yang tidak melaporkan kekayaannya, akan bertindak tegas dengan menjatuhkan sanksi.

57 Wawancara tanggal 6 Oktober 2006.


58 Ibid.
59 Ibid.
60 Ibid.
61 Kompas, 8 September 2000.
62 Tempointeraktif, 9 Oktober 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 33
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Namun faktanya kemudian, tidak jelas bagaimana kelanjutan sanksi bagi 15 pejabat eselon I
tersebut, sama tidak jelasnya dengan sanksi bagi PN bandel yang menurut data KPK
jumlahnya sangat besar.

Upaya menerapkan sanksi yang dilakukan masyarakat pun pernah menemui kegagalan.
Pada Mei 2002, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutus tidak bersalah 16 Anggota
DPR yang dianggap melanggar hukum karena tidak melaporkan kekayaannya. Perkara
tersebut merupakan gugatan legal standing yang diajukan Asosiasi Penasehat Hukum dan
Hak Asasi Manusia (APHI) dan Yayasan 324. Mereka menggugat 16 Anggota DPR yang di
antaranya adalah Imam Mundjiat, Marsudi Fandi Negara, Soewignyo, Imam Suroso dan
Haryanto, karena terlambat mengembalikan LHKPN kepada KPKPN. Menurut APHI para
Anggota DPR tersebut telah melanggar PP No. 65/1999, sebab sejak Februari 2001 sampai
September 2002, mereka belum melaporkan kekayaannya.

Gugatan tersebut didasarkan pada data yang dilansir KPKPN pada 22 Maret 2002, tentang
79 nama pejabat negara yang belum menyerahkan LHKPN. 63 Dalam putusannya, majelis
hakim berpendapat penggugat tidak mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa para Anggota
DPR tersebut belum menyerahksn LHKPN. Pertimbangan majelis hakim yang lain, gugatan
tidak didasarkan pada data terakhir. Sebab setelah Agustus 2002, ternyata KPKPN masih
memberi kesempatan kepada pejabat negara untuk melaporkan kekayaannya.

Putusan PN Jakarta Selatan tersebut sedikit banyak turut membuka kesempatan bagi PN
untuk semakin mengabaikan kewajibannya, karena sekalipun ada PN yang digugat ke
Pengadilan dengan alasan tidak melaporkan kekayaannya, tetap saja mereka tidak dapat
disentuh hukum.

f. PN yang Tidak Lapor Kekayaan Tidak Diumumkan

Pascapemberlakuan UU No. 28/1999, KPKPN berulangkali menjanjikan bahwa PN yang


tidak mau mengembalikan formulir LHKPN akan diumumkan kepada publik.64 Ancaman
mengumumkan kepada publik tersebut akhirnya direalisasikan KPKPN pada 2002. Di
antaranya nama-nama 140 anggota MPR/DPR yang belum mengembalikan laporan
kekayaannya dilansir ke media. Sebelumnya KPKPN telah lebih dulu mengumumkan 79
nama pejabat negara yang belum melaporkan kekayaannya.

Tentu saja langkah KPKPN tersebut segera mendapatkan perlawanan, terutama dari
sebagian Anggota DPR periode 1999-2004. Anggota DPR Effendi Choirie menilai KPKPN
sudah kebablasan. Menurutnya tugas KPKPN hanya mencatat daftar kekayaan pejabat
negara dan mengumumkan dalam lembaran negara, bukan mengumumkan kepada
masyarakat. Dalam pandangan Choirie, apabila daftar kekayaan pejabat negara sudah
masuk dalam lembaran negara, KPKPN baru bisa mempersilahkan masyarakat melihatnya.
Choirie pun mengajak Anggota DPR yang merasa namanya dicemarkan KPKPN akibat
pengumuman tersebut untuk menggugat balik lembaga tersebut ke pengadilan.65

Memang kebijakan mengumumkan PN yang tidak melaporkan kekayaannya kepada publik,


telah lama menjadi silang sengketa. Ada pendapat yang menentang keras seperti yang

63 Tempointeraktif, 22 Mei 2002.


64 Kompas, 28 Februari 2001.
65 Suara Merdeka, 27 Agustus 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 34
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

ditunjukkan Effendi Choirie. Ada pula pendapat yang hanya menyatakan tidak setuju.
Seperti Ketua DPR masa itu, Akbar Tandjung yang tidak sependapat apabila KPKPN
mengumumkan nama-nama pejabat yang belum menyerahkan daftar kekayaannya, meski
kemudian mengembalikan tepat tidaknya langkah tersebut kepada KPKPN.66

Sedangkan dukungan terhadap pengumuman PN yang tidak melaporkan kekayaan pernah


disampaikan Abdul Hakim Garuda Nusantara, yang sekarang menjabat Ketua Komnas
HAM. Menurutnya, pejabat yang belum menyerahkan formulir kekayaan setelah batas
waktu yang ditentukan, hendaknya diumumkan KPKPN. Abdul Hakim menganjurkan agar
KPKPN mengadakan konferensi pers dan mengumumkan bahwa pejabat A, B, dan C
sampai saat ini belum menyerahkan formulir isian kekayaan.67 Atau lebih jauh, sebagaimana
diusulkan praktisi hukum Bambang Widjojanto, nama mereka harus diumumkan secara
terbuka kepada publik lewat media massa, terus-menerus sampai mereka menyerahkan
daftar kekayaan.68

Sebenarnya menurut Wakil Ketua KPKPN, Abdullah Hehamahua, dari kalangan Anggota
MPR/DPR sendiri, banyak yang tidak setuju terhadap tingkah laku rekan-rekannya yang
mengabaikan perintah Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998 dan UU No. 28/1999.
Beberapa Anggota malah meminta nama-nama rekannya yang membandel segera
diumumkan di media massa.69

Dukungan paling baru pernah dinyatakan para alumni Lemhanas pada 2005, yang
merupakan rekomendasi sebuah seminar tentang percepatan pemberantasan korupsi.
Menurut I Gede Artjana, juru bicara mereka, pelanggaran terhadap LHKPN harus segera
diumumkan kepada publik agar masyarakat bisa ikut mengontrol. Untuk menimbulkan efek
jera terhadap setiap pelaku, lanjut Artjana, perlu adanya terapi kejut berupa sanksi sosial
bagi pejabat yang melanggar, yaitu mengumumkan kepada publik.70 Mengekspos pejabat
yang tidak memenuhi ketentuan wajib lapor kekayaan pun diakui Wakil Ketua KPK,
Sjahruddin Rasul, sebagai sebuah sanksi moral untuk menutupi kelemahan sanksi
administratif.71

g. Batas Waktu Pelaporan dan Mekanisme Penagihan Tidak Tegas

KPK lewat Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 menentukan batas waktu bagi PN
dalam melaporkan kekayaannya. Batas waktu tersebut ditentukan sebagai berikut:

1. Formulir LHKPN model A diisi oleh PN yang pertama kali melaporkan harta kekayaannya. Formulir
LHKPN model A harus dilaporkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah secara resmi menduduki
jabatannya, atau pada saat yang bersangkutan menjadi calon PN apabila diperintahkan oleh Undang-
undang untuk melaporkan harta kekayaannya
2. Formulir LHKPN Model B diisi oleh PN yang telah mengisi formulir LHKPN model A, yang mengalami
mutasi jabatan, promosi jabatan, mengakhiri jabatan selaku PN, dan atau pensiun. Formulir LHKPN
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah serah terima jabatan, atau selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah PN menerima formulir bagi PN yang akan dilakukan pemeriksaan.

66 Kompas, 23 April 2001.


67 Kompas, 18 April 2001.
68 Kompas, 9 Agustus 2002.
69 Kompas, 14 Agustus 2002.
70 Kompas, 4 April 2005.
71 Kompas, 22 Juli 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 35
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Pasal 13 Keputusan tersebut menyatakan bahwa bagi PN yang menyalahi batas waktu dan
format pengumuman, serta tidak bersedia diperiksa kekayaannya, maka Pimpinan KPK
dapat merekomendasikan kepada penyidik atau pimpinan yang bersangkutan agar
dilakukan penindakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Ketentuan mengenai batas waktu juga pernah diatur pada Pasal 4 ayat (1) PP No. 65/1999
tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan PN yang pernah dijadikan acuan KPKPN dan
sudah tidak berlaku lagi. Formulir LHKPN dinyatakan harus disampaikan kepada KPKPN
selambat-lambatnya 14 hari terhitung sejak tanggal formulir tersebut diterima PN yang
bersangkutan.

Selama ini KPK kesulitan mengetahui kapan sebenarnya batas waktu penyerahan LHKPN
bagi PN tertentu, apalagi memastikan pemenuhannya, seperti dengan menjatuhkan sanksi.
Akhirnya KPK cenderung permisif terhadap mereka yang terlambat, malah kadang
menoleransinya dengan menetapkan batas waktu yang baru.

Masalah pemenuhan batas waktu memang merupakan masalah laten yang dihadapi bahkan
sejak KPKPN berdiri. Sibuk biasanya menjadi alasan. Kadang atasan PN yang bersangkutan
secara resmi meminta kepada KPKPN agar mengundurkan batas waktu, seperti yang
dilakukan Ketua DPR saat itu, Akbar Tandjung, yang mengaku bahwa DPR melalui fraksi-
fraksi sudah meminta kelonggaran waktu mengisi formulir itu kepada KPKPN.72 Kadang
permintaan tersebut dipenuhi KPKPN. Kadang juga KPKPN mengundurkan batas waktu
atas inisiatif sendiri karena kesulitan mendesak PN memenuhi batas waktu semula. Seperti
ketika menghadapi anggota DPR yang sudah melewati delapan bulan dari batas waktu
semula, dan tetap ditoleransi dengan batas waktu yang baru.73

Masalah pemenuhan batas waktu juga kadang dipengaruhi tidak sinkronnya batas waktu
yang ditetapkan KPK dengan batas waktu yang ditetapkan atasan di masing-masing
instansi, antara lain melalui SE yang dibuat. Contoh konkrit dari masalah ini adalah
pengakuan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, M Soebakir, yang mengakui bahwa PN di
lingkungan Departemen Keuangan belum menyerahkan LHKPN karena SE Menteri
Keuangan memberi batas waktu penyerahan hingga 31 Maret, yang agaknya berbeda dari
batas waktu yang ditetapkan KPKPN.74

Padahal ketegasan dalam penentuan batas waktu ternyata penting apabila KPK ingin
mengupayakan sanksi bagi PN yang tidak melaporkan kekayaan. Sebagai buktinya,
penolakan gugatan APHI terhadap 16 orang Anggota DPR pada Mei 2002 oleh Majelis
Hakim karena salah satunya KPKPN tidak tegas menentukan batas waktu bagi ke-16
Anggota DPR tersebut untuk menyerahkan laporan kekayaannya.

Tetapi agaknya, selain menentukan batas waktu penyerahan LHKPN (yang mengandung
masalahnya sendiri), KPK juga belum memiliki mekanisme yang terstruktur untuk menagih
LHKPN dari PN, maupun melengkapi data yang kurang. Karena itu bisa dimengerti apabila
Waluyo, Deputi Bidang Pencegahan KPK, menyatakan, “akan kami jemput secara individu”
ketika ditanya tentang beberapa Anggota DPR yang belum mengisi LHKPN secara lengkap,

72 Kompas, 23 April 2001.


73 Detikcom, 12 Februari 2002.
74 Tempointeraktif, 5 Maret 2003.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 36
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

termasuk menyerahkan dokumen bukti kepemilikannya.75 Atau seperti yang dikatakan


Wakil Ketua KPK, Sjahruddin Rasul, ketika ditanya kenapa banyak anggota legislatif yang
belum menunaikan kewajibannya, "Begitulah, seperti kita tahu bagaimana tabiat orang
Indonesia pada umumnya. Jadi ya disurati lagi, diingatkan lagi kewajibannya".76

Secara lebih umum, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas pernah menjanjikan
bahwa KPK dari waktu ke waktu akan semakin menggencarkan penagihan LHKPN kepada
semua PN.77 Tetapi belum terlalu jelas tergambar bagaimana mekanisme penagihan
dilakukan dan apakah mekanisme tersebut diterapkan secara baku.

Menurut para tenaga fungsional di Direktorat PP LHKPN, di tingkat pusat, penagihan


dilakukan langsung KPK kepada instansi tempat PN yang bersangkutan bekerja. Khusus
bagi pejabat struktural setingkat eselon I ke atas, termasuk pejabat negara, penagihan
dilakukan secara langsung ke individu yang bersangkutan. Adapun penagihan kepada PN
di daerah, mekanismenya dijalankan melalui Pokja-Pokja yang sudah ada. Namun mereka
mengakui bahwa mekanisme penagihan memang belum disusun secara baku, dan juga
belum mencakup keseluruhan PN.78

h. Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) LHKPN Bentukan KPK Kurang Optimal

Sebagai salah satu upaya menggiatkan pelaporan kekayaan, khususnya di seluruh wilayah
Indonesia, KPK telah membentuk Pokja LHKPN di setiap provinsi. Selain karena UU No.
30/2002 mengatur kewenangan KPK di bidang koordinasi, monitoring, dan pencegahan,
yang sangat relevan bagi upaya penggalangan dukungan dalam melancarkan kegiatan
LHKPN, berbagai peraturan baru pun dibuat. Di antaranya adalah Inpres No. 5/2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang memerintahkan pimpinan instansi
pemerintah di pusat maupun daerah untuk membantu pelaksanaan tugas KPK dalam
mendaftarkan, memeriksa, dan mengumumkan kekayaan PN. SE Menpan yang baru pun
dibuat. Berbeda dengan SE Menpan sebelumnya79, materi SE Menpan No.
03/M.PAN/01/2005 di samping memperluas kriteria PN wajib lapor, juga menganjurkan
ditunjuknya pejabat penanggungjawab pengurusan LHKPN di masing-masing instansi,
yang akan membantu terutama pelaksanaan pendataan PN (termasuk melaporkan data
kepegawaian) serta pendistribusian formulir.

Sesuai struktur organisasi KPK, unit yang bertugas memfasilitasi pembentukan Pokja adalah
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) dengan tentu saja
melibatkan Direktorat PP LHKPN. Biasanya Pokja dibentuk berdasarkan Memorandum of
Understanding (MoU) antara Ketua KPK dengan Gubernur di provinsi yang bersangkutan.
Fungsi Pokja yang paling umum adalah mendata PN, mendistribusikan formulir, dan
sosialisasi LHKPN. Pejabat yang ditunjuk biasanya merupakan ex-officio dari pejabat di
Bawasda, atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD), atau Biro Hukum dan Organisasi

75 Tempointeraktif, 17 November 2004.


76 Media Indonesia, 2 November 2004.
77 Media Indonesia, 2 Juni 2006.
78 Diskusi Kelompok Terfokus dengan Tenaga Fungsional Direktorat PP LHKPN, 11 September 2006.
79 SE Menpan No. 192/M.PAN/7/2002 yang dibuat pada masa KPKPN pun hanya berisikan teguran kepada
para pejabat eselon I di berbagai instansi yang belum melaporkan kekayaannya, bukan mengatur tentang
mekanisme pelaksanaan pelaporan LHKPN. Namun nyatanya KPKPN berhasil membentuk Pokja-Pokja
tersebut secara relatif merata.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 37
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

masing-masing pemerintah provinsi. Ada pula yang pejabat Sekretariat Daerah provinsi.80

Namun sayangnya, proses pembinaan Pokja tidak berjalan lancar. KPK tidak punya data
status terakhir tentang tingkat keaktifan masing-masing Pokja. Sebelumnya aktivitas
tersebut bisa dipantau melalui piranti lunak (software) on-line yang dikembangkan KPK,
antara lain dengan melihat berapa banyak data yang dientri dari waktu ke waktu (update
wajib lapor). Namun karena kendala komunikasi, khususnya akses internet yang tidak
merata dari satu provinsi ke provinsi yang lain, piranti lunak on-line tersebut tidak lagi bisa
diandalkan.81

Salah satu Pokja yang aktif terdapat di provinsi Lampung. Pokja tersebut berhasil
merampungkan inventarisasi jumlah PN di Lampung yang harus menyerahkan data
kekayaannya, yaitu 1.046 orang, yang berasal dari eksekutif, DPRD, POLRI, Kejaksaan, dan
BUMN/BUMD. Menurut Ketua Pokja yang sekaligus Kepala Bawasda Lampung, Helmi
Machmud, setelah mendata, pihaknya kemudian meminta formulir LHKPN ke KPK, lalu
menyebarkannya ke instansi terkait di Lampung. Oleh pimpinan instansi, formulir itu akan
disampaikan kepada para bawahannya. Pokja memberi batas waktu 2 bulan bagi PN untuk
mengembalikan LHKPN-nya ke Pokja, terhitung sejak formulir tersebut diterima PN yang
bersangkutan.82

Kegiatan pendataan kekayaan PN di Lampung didasarkan pada Inpres No. 5/2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Inpres tersebut kemudian Gubernur
Lampung Sjachroedin ZP dan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki membuat keputusan
bersama Nomor KEP.74/KPK/12/2004 dan G/398/B.II/HK/2004. Untuk
menindaklanjutinya, Gubernur Lampung selanjutnya mengeluarkan SK Nomor
700/221/IV.07/2005 tentang Pembentukan Pokja di Bidang LHKPN.83

Menurut M. Sigit, bagi setiap Pokja dikucurkan dana sebesar Rp 50 juta pada 2005 sebagai
biaya operasional ditambah satu perangkat komputer.84 Sejak 2006 dana operasional
ditingkatkan menjadi 75 juta setiap tahunnya. Tetapi menurut Sigit, secara rasional dana itu
tidak cukup, sebab harus digunakan untuk sosialisasi, transportasi, penyediaan alat tulis
kantor, dan biaya pengiriman formulir oleh Pokja. Peningkatan dana operasional pun tidak
mutlak. Setiap Pokja harus dievaluasi dulu kinerjanya, dan penambahan dana sangat
bergantung pada hasil evaluasi tersebut.85

Yang jelas, terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah, di mana komposisi PNS Pusat
dan Daerah sudah bergeser sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3.3, yaitu PNS Pusat
berjumlah 823.909 orang (23 persen), PNS provinsi berjumlah 311.047 orang (8,5 persen) dan
PNS kabupaten/kota berjumlah 2.513.049 orang (70 persen), keberadaan Pokja LHKPN akan
semakin dibutuhkan. Dan keaktifan mereka sangat berpengaruh pada kepatuhan PN
melaporkan kekayaan.

80 Diskusi Kelompok Terfokus dengan Tenaga Fungsional Direktorat PP LHKPN, 11 September 2006.
81 Ibid.
82 Radar Lampung, 25 April 2005.
83 Ibid.
84 Media Indonesia, 15 September 2005.
85 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 38
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tabel 3.3.
Klasifikasi PNS berdasarkan penempatan
No. Kategori PNS Jumlah %
1. PNS Pusat 823.909 23
2. PNS provinsi 311.047 8,5
3. PNS kabupaten/kota 2.513.049 70
Total 3.648.005 10
Sumber : Data Deputi Bidang Informasi dan Kepegawaian BKN, 2004

i. Kehabisan Formulir

Ketika keinginan untuk patuh terhadap kewajiban melaporkan kekayaan muncul, namun
media untuk mendukung hal tersebut tidak didapatkan, maka hal itu bisa menjadi
kesempatan bagi PN untuk berperilaku bermasalah. Ketiadaan formulir pernah dihadapi PN
di lingkungan Departemen Keuangan. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
Mohammad Soebakir, KPKPN pernah kehabisan formulir dan tersisa hanya 7 eksemplar.
Padahal jumlah PN di Departemen Keuangan yang harus melaporkan kekayaannya sangat
banyak. Mereka antara lain, sesuai dengan SE Menteri Keuangan, adalah seluruh pejabat
eselon II, pejabat eselon III yang mengepalai kantor, pejabat auditor fungsional, para
pimpinan proyek dan bendahara proyek, dan pejabat lain yang berurusan langsung dengan
keuangan negara.86

Banyak alasan yang bisa menyebabkan kenapa PN tidak mendapatkan formulir, antara lain:
1. Adanya gap antara peningkatan jumlah PN wajib lapor di suatu instansi, akibat
kebijakan atasan di instansi tersebut, sebagaimana yang dialami Departemen Keuangan,
dengan jumlah PN yang diidentifikasi KPK;
2. Tidak tersedianya formulir cadangan, dalam hal formulir yang telah dibagikan kepada
masing-masing PN hilang. Hal ini pernah dialami Anggota DPR, Panda Nababan;87 atau
3. PN di instansi atau daerah tertentu, luput dari identifikasi KPK, atau luput dari
mekanisme pendistribusian yang dijalankan. Hal ini bisa dibuktikan salah satunya dari
laporan ke Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, yang disampaikan pejabat Bawasda
Provinsi Sumatera Barat yang isinya meminta agar formulir LHKPN dikirimkan ke
daerahnya.88

Dalam rencana anggaran KPK tahun 2007, Direktorat PP LHKPN menganggarkan


pencetakan formulir sebanyak 50.000 eksemplar. Pada 2006, jumlah formulir yang dicetak
sebanyak 100 ribu, dengan perbandingan 2/3 adalah formulir model KPK-A dan 1/3 adalah
formulir model KPK-B. Di samping itu, KPK pada 2006 juga mencetak 10 ribu CD
multimedia LHKPN sebagai tambahan, yang bisa dianggap sebagai pengganti formulir.89

Namun tidak ada metode perhitungan yang digunakan KPK dalam menentukan jumlah
formulir yang harus dicetak setiap tahunnya. Jumlah 100 ribu formulir dan 10 ribu CD
didapat berdasarkan hitungan PN wajib lapor, yaitu 110 ribu orang. Perhitungan ini tentu
saja kurang tepat karena pelaporan LHKPN adalah kegiatan yang on-going, sehingga jumlah
kewajiban lapor setiap tahunnya pasti berbeda-beda.

86 Tempointeraktif, 5 Maret 2003.


87 Hukumonline, 7 Maret 2002.
88 Data Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK.
89 Diskusi Kelompok Terfokus dengan Tenaga Fungsional Direktorat PP LHKPN, 11 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 39
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Distribusi formulir LHKPN diakui Direktur PP LHKPN, M. Sigit, masih belum berjalan
secara sistematis dengan perhitungan yang baik. Menurut Sigit, bukan mustahil formulir
LHKPN bertumpuk di suatu instansi sementara di instansi lain kekurangan. Di Pokja
misalnya, jarang sekali yang memiliki stok formulir, biasanya masalah defisit.90

j. Kesulitan Memahami dan Melengkapi Formulir

Kesulitan PN dalam memahami formulir dan/atau melengkapinya dapat direkam dari


berbagai komentar di media massa. Anggota MPR periode 1999-2004 dari Fraksi Utusan
Golongan (F-UG) Prof. Dr. Soedijarto pernah mengaku belum mengisi formulir LHKPN
karena menurutnya formulir itu sulit dipahami.91 Anggota MPR periode yang sama,
Mohammad Assegaf, pernah mengaku belum menyerahkan formulir LHKPN karena
kesulitan mencantumkan kekayaan suami dan istri berikut saudara dan anaknya.92

Anggota Fraksi Reformasi DPR periode 1999-2004 Djoko Susilo juga pernah
mengungkapkan, bahwa meski sudah menyerahkan formulir LHKPN 6 bulan sebelumnya,
namun formulir tersebut dikembalikan karena tidak lengkap. Salah satu yang
menyulitkannya adalah bukti-bukti transaksi. Ia mencontohkan pada 1990 pernah
membelikan cincin istrinya di New York. Ketika KPKPN meminta kuitansinya, ia sudah
tidak menyimpan lagi karena pembelian dilakukan menggunakan kartu kredit. Contoh lain
adalah alat pendingin udara di rumahnya di Surabaya yang sudah dibeli bertahun-tahun
yang lalu, namun tetap diminta kuitansinya. Djoko juga pernah membeli jam tangan di
Baghdad, di pasar gelap yang tentu tidak ada kuitansi, tetapi hal itu diminta KPKPN.
Bahkan, komputer yang dibeli pada masa mahasiswa juga diminta kuitansinya, meski
komputer tersebut sudah hilang.93 Keluhan Djoko tersebut agaknya sejalan dengan pendapat
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Panda Nababan yang menyatakan banyaknya
Anggota F-PDIP yang belum mengembalikan formulir kekayaan lebih disebabkan masalah
teknis, yaitu kesulitan dalam pengisian formulir.94

Lain lagi masalah yang disampaikan Anggota F-PDIP DPR periode 1999-2004, Didi
Supriyanto. Ia mengaku belum mengirim formulir karena bukti-bukti kepemilikan tanah
dan bangunan miliknya masih menggunakan data lama, padahal bangunannya sudah
berubah. Apabila dilaporkan pada saat itu, menurut Didi, PBB-nya masih belum dirubah,
sehingga patokan nilai jualnya pun berbeda.95

Persoalan formulir pernah pula disampaikan para Anggota DPRD, bahkan sempat menjadi
alasan menolak mengisi LHKPN. Salah satunya Ketua FPKP DPRD DKI periode 1999-2004,
Posman Siahaan. Menurutnya Anggota DPRD DKI menolak mengisi fomulir karena isinya
rumit. Karena itu Dewan mengusulkan agar formulir tersebut direvisi lebih dulu.96

Kebingungan juga sempat disampaikan para Anggota DPRD Tangerang. Mereka merasa
bingung karena harus mengisi pula kekayaan milik orangtua atau mertua mereka.97 Paling

90 Ibid.
91 Kompas, 17 April 2002.
92 Kompas, 18 April 2002.
93 Kompas, 11 April 2002.
94 Kompas, 11 Februari 2002.
95 Kompas, 11 Maret 2002.
96 Kompas, 19 April 2001.
97 Kompas, 24 April 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 40
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

akhir adalah pernyataan Kepala Bawasda Lampung Selatan bahwa tidak sedikit PN di
wilayahnya yang belum menyerahkan LHKPN karena secara teknis kesulitan memahami
formulirnya.98

Tetapi alasan tersebut kurang kuat. Sejak masa KPKPN sekalipun alasan kesulitan teknis
dalam mengisi formulir sudah banyak dipakai. Padahal KPKPN telah menyiapkan buku
petunjuk pengisian yang memudahkan PN mengisi daftar kekayaannya. Bahkan di masa itu
KPKPN berulangkali menyatakan siap memfasilitasi pengisian.99 Kebijakan memfasilitasi PN
yang kesulitan mengisi formulir terus dipertahankan KPK. Menurut Direktur PP LHKPN,
M. Sigit, mereka akan dibantu KPK, dengan atau tanpa perjanjian sebelumnya.100

Sebenarnya menurut mantan Direktur PP LHKPN KPK yang sebelumnya menjabat Kepala
Biro Perencanaan KPKPN, M. Jasin, perubahan formulir LHKPN dari yang digunakan pada
masa KPKPN hingga KPK telah signifikan. Antara lain agar semakin mudah dipahami,
jumlah halaman formulir tersebut telah dikurangi. Dari semula 32 halaman menjadi hanya
20 halaman untuk formulir A dan 18 halaman untuk formulir B. Itu pun masih dianggap
terlalu banyak, karena di luar negeri, formulir sejenis bisa hanya terdiri dari 7 halaman.
Tetapi menurut M. Jasin tidak masuk akal apabila formulir seperti yang digunakan di luar
negeri tersebut ditiru oleh Indonesia, mengingat data perpajakan dan sistem administrasinya
yang belum lengkap dan rapi.101

Namun berbagai penyempurnaan tersebut ternyata belum begitu memberikan hasil.


Sebanyak 81,9 persen dari 83 orang responden PNS di berbagai daerah yang pernah mengisi
formulir LHKPN, mengaku masih kesulitan mengisi formulir (Tabel 3.4). Bentuk
kesulitannya pun beragam, salah satunya karena rumitnya formulir untuk dipahami (Tabel
3.5).

Tabel 3.4.
Apakah PN kesulitan mengisi formulir
No. Jawaban %
1. Ya 81,9
2. Tidak 18,1
Total 100

Tabel 3.5.
Kesulitan yang dihadapi PN dalam mengisi formulir
No. Jawaban %
1. Kesulitan melengkapi data pendukung 52,7
2. Formulirnya rumit 23,6
3. Tidak tahu harga 20
4. Kesulitan fotokopi dan materai 3,6
Total 100

98 Radar Lampung, 1 Juli 2006.


99 Kompas, 26 Agustus 2002.
100 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
101 Wawancara dengan M. Jasin, 7 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 41
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

k. Tidak Ada Waktu Khusus Melengkapi Formulir

Salah satu aspek kemampuan yang menyulitkan para PN melaporkan kekayaannya adalah
persoalan waktu. Kesibukan menjadi alasan bagi banyak sekali PN. Seperti yang
disampaikan Anggota DPR Akil Mochtar, yang mengaku belum menyerahkan formulir
LHKPN bukan karena ingin menghambat pemberantasan korupsi, tetapi karena memang
tidak mudah mengisi formulir KPKPN dan melengkapi persyaratannya. Menurut Akil,
semua kekayaannya ada di daerah dan untuk melengkapi laporan ke KPKPN berarti harus
mengambil berbagai buktinya di daerah. Padahal, pekerjaan di DPR amat banyak dan
menyita waktu.102 Kenyataan itu diakui pula oleh Ketua DPR, Akbar Tandjung. Menurutnya
sebagian besar Anggota Dewan memang belum menyerahkan kembali formulir daftar
kekayaannya kepada KPKPN karena sibuk menjalankan tugas ke daerah.103 Contoh terakhir
adalah Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang menyatakan alasannya belum
memperbarui laporan kekayaan karena kesibukan.104

Menanggapi alasan yang paling banyak diberikan PN yang belum melaporkan


kekayaannya, yaitu alasan sibuk, Abdullah Hehamahua, Wakil Ketua Sub-Komisi Legislatif
KPKPN, menyatakan alasan tersebut tidak bisa diterima. Buktinya Presiden yang juga sibuk,
bisa meluangkan waktu mengisi formulir tersebut untuk diperiksa. Adapun mengenai
alasan lain yang sering diberikan Anggota DPR, yaitu karena surat-surat yang dibutuhkan
tertinggal di daerahnya untuk mereka yang berasal dari daerah, menurut Abdullah hal-hal
teknis semacam itu, bisa diatasi dengan mengambilnya pada masa reses ketika mereka
pulang ke daerahnya. Apalagi waktu yang diberikan untuk mengisi formulir tersebut cukup
panjang.105

l. Keberatan atas Biaya yang Timbul

Menurut Direktur PP LHKPN, M. Sigit, PN bisa mengeluarkan biaya sekitar Rp. 75.000
untuk melaksanakan kewajibannya melaporkan kekayaan. Besarnya biaya tersebut terdiri
dari biaya materai, biaya fotokopi bukti-bukti kekayaan, dan biaya pengirimannya ke
KPK.106 Dalam setiap LHKPN yang disampaikan, setidaknya seorang PN harus
menyediakan 4 kali materai senilai Rp. 6.000, yang mesti dibubuhkan pada:
1. Surat Pernyataan Kebenaran Data Harta Kekayaan;
2. Surat Kuasa Mengumumkan Harta Kekayaan;
3. Surat Kuasa Bank; dan
4. Surat Pernyataan untuk Harta Hasil Hibah/Warisan/Hadiah.

Bahkan pada formulir yang lama, Surat Kuasa Bank harus dibuat terpisah untuk setiap bank,
per-pemilik rekening. Karenanya, materai yang diperlukan untuk Surat Kuasa tersebut bisa
lebih dari satu materai. Bayangkan jika seorang PN memiliki 5 rekening berbeda, dia harus
mengeluarkan Rp. 48.000 hanya untuk membeli materai. Karena itu terobosan KPK
menyatukan surat kuasa bank bagi seluruh rekening yang dimiliki PN, adalah langkah tepat
guna mereduksi biaya secara cukup signifikan.

102 Kompas, 11 Maret 2002.


103 Kompas, 23 April 2001.
104 Koran Tempo, 14 September 2006.
105 Hukumonline, 7 Maret 2002.
106 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 42
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

m. Ada Kejanggalan Kekayaan

Pakar hukum Denny Indrayana pernah menyatakan bahwa dengan logika sederhana, ketika
ada PN tidak melaporkan kekayaan maka ada sesuatu terkait dengan kekayaan PN yang
keliru atau disembunyikan. Sebab jika tidak ada yang salah, tidak ada alasan mereka
berlambat-lambat dan secara sengaja memanfaatkan lubang hukum mengenai ketiadaan
sanksi.107 Praktisi hukum Bambang Widjojanto juga mempertanyakan dan mengecam
Anggota MPR/DPR yang belum menyerahkan laporan kekayaannya. Tindakan tersebut
menurut Bambang justru bisa jadi salah satu indikasi awal bahwa mereka terlibat korupsi.
Indikasi ini bisa merupakan permulaan terjadinya tindak pidana korupsi. Sebab jika tidak,
apa alasan PN tidak menyerahkan formulir kekayaannya.108 Berbagai analisa di media massa
pun, agaknya cenderung mengaitkan antara PN yang menolak melaporkan kekayaannya
dengan indikasi KKN.109

n. Kuatir akan Konsekuensi Turunan

Sudah menjadi rahasia umum, kendala paling kuat bagi aktivitas yang berhubungan dengan
pengungkapan data kekayaan adalah ketakutan data tersebut akan dikaitkan dengan
kewajiban lain, khususnya perpajakan. Karena itulah ketika menyelenggarakan Susenas
2006, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Choiril Maksum sampai perlu menegaskan bahwa
Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) 2006 sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan
perpajakan, perizinan, maupun persoalan birokrasi lain, melainkan hanya untuk
kepentingan statistik semata. Pernyataan tersebut dibuat guna menanggapi sikap tertutup
pelaku industri di kota-kota besar ketika didatangi petugas sensus. Para pelaku industri
enggan menyodorkan data yang diperlukan untuk sensus ekonomi.110

Pertanyaannya, apakah kecenderungan yang ditemukan dalam kegiatan sensus ekonomi


nasional oleh BPS tersebut, juga dapat terjadi pada kegiatan pendaftaran kekayaan PN oleh
KPK? Yaitu PN enggan melaporkan kekayaannya karena kuatir berimplikasi pada
kewajiban pajaknya?

Bukan mustahil kepentingan di balik PN yang tidak melaporkan kekayaannya memang


benar untuk menghindar dari kewajiban perpajakan. Terutama atas penghasilan di luar
penghasilan resmi yang diperoleh dari negara. Beberapa pihak malah pernah mengusulkan
agar ada sinergi antara KPK dengan Direktorat Jenderal Pajak dalam memanfaatkan data
kekayaan PN.

Seperti yang pernah disampaikan Ketua KPKPN Jusuf Syakir, yang menyambut baik
terbitnya Form SPT Pajak Penghasilan (PPh) 2002 karena memuat daftar kekayaan wajib
pajak, baik bergerak maupun tidak bergerak. Menurut Jusuf Syakir saat itu, nantinya Dirjen
Pajak bisa mengecek kebenaran kekayaan yang diisi dalam SPT ke KPKPN.111

Tetapi dalam kenyataannya, menurut mantan Kepala Biro Perencanaan KPKPN, M. Jasin,
tukar menukar data antara KPKPN dengan Direktorat Jenderal Pajak tidak berjalan baik.

107 Denny Indrayana, “Korupsi dan Wakil Rakyat”, Kompas, 25 Februari 2002.
108 Kompas, 9 Agustus 2002.
109 Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2002.
110 Sinar Harapan, 13 Juni 2006.
111 Tempointeraktif, 22 Maret 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 43
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Malah kadang data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak tidak lengkap, lebih lengkap data
yang ada pada KPKPN. Karena itu KPKPN jarang meminta data perpajakan PN yang tengah
diperiksa ke Direktorat Jenderal Pajak. KPKPN lebih sering memintanya secara langsung ke
PN yang bersangkutan. Di lain pihak, Direktorat Jenderal Pajak juga tidak pernah meminta
data kekayaan PN ke KPKPN untuk kepentingan tugas mereka. Entah karena tidak peduli
atau karena ada semacam ego.

Tetapi menurut Jasin, pada masa KPK koordinasi secara perlahan mulai diperbaiki. Pada
waktu dilakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang menteri, KPK secara resmi meminta
data pajak mereka ke Direktorat Jenderal Pajak.112 Bahkan menurut Direktur PP LHKPN, M.
Sigit, pihaknya pernah mempresentasikan temuan secara khusus di hadapan Direktur
Jenderal Pajak.

Terlepas dari itu, Sigit mengakui bahwa hubungan dengan Dirjen Pajak sebelumnya, Hadi
Purnomo, relatif lebih baik. Sebab KPK bisa mengakses informasi pajak, dan aksesnya dalam
bentuk database. Pola kerjasamanya pun bersifat lebih informal dalam artian bisa dilakukan
di luar waktu kerja. Justru kerjasama menjadi lebih rumit setelah KPK menandatangani
MoU dengan Direktorat Jenderal Pajak.113

o. Menganggap Kekayaan adalah Urusan Privat

Nilai dan sikap yang paling dominan dalam mempengaruhi PN tidak melaporkan
kekayaannya adalah nilai dan sikap yang dianut masyarakat tentang privasi. Bahwa
kekayaan adalah persoalan personal sehingga tidak layak diketahui umum. Salah seorang
PN yang paling keras menyuarakan hak akan privasi juga berlaku bagi PN, bahkan dari situ
meminta agar UU No. 28/1999 dicabut adalah Kwik Kian Gie, yang pada saat KPKPN baru
terbentuk masih menjabat sebagai Anggota DPR dari FPDIP.

Dalam tulisannya di sebuah media massa, Kwik menyatakan bahwa membeberkan


kekayaan seseorang adalah tidak etis. Menurut Kwik setiap orang akan merasa risi berbicara
tentang kekayaannya. Tidak ada orang normal yang merasa tidak risi kalau kekayaannya
dibeber-beberkan, apalagi di media massa. Dalam pandangan Kwik, salah satu hakikat
manusia adalah dimilikinya perasaan privasi. Dengan alasan itulah Kwik memahami
mengapa mayoritas PN tidak mengirimkan formulir isian LHKPN. Dan atas dasar
pertimbangan tersebut, kemudian Kwik mengimbau agar UU yang mengatur pelaporan
kekayaan PN dicabut.114

Tentu saja tentangan atas pendapat tersebut datang dari KPKPN. Dikatakan oleh Wakil
Ketua KPKPN saat itu, Abdullah Hehamahua, penolakan Anggota DPR dan MPR terhadap
kewajiban melapor kekayaan atas alasan tidak ingin privasinya terganggu, tidak bisa
digunakan. Sebab menurutnya Anggota DPR dan MPR adalah figur publik yang segala
sesuatunya pantas diketahui publik.115

Dalam sebuah Tajuk Rencana harian Kompas, dinyatakan bahwa kewajiban pelaporan
kekayaan semestinya dijadikan momentum bagi siapa pun untuk membuat keputusan

112 Wawancara dengan M. Jasin, 7 September 2006.


113 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
114 Kwik Kian Gie, “KPKPN Jelas Keblinger”, Kompas, 7 Juli 2001.
115 Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 44
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

perihal karirnya secara sadar dan secara bertanggung jawab. Lewat kewajiban tersebut
berlaku prinsip noblesse oblige, kehormatan itu membawa kewajiban dan tanggung jawab.
Karenanya, ketika seseorang memilih karir atau panggilan politik menjadi Anggota
MPR/DPR dan pejabat negara, mereka harus menyadari dan memahami arti, konsekuensi,
dan implikasinya, bahwa itu adalah pilihan terhormat, mulia, jabatan publik, wakil rakyat.
Sekaligus juga mereka harus menyadari dan memahami makna noblesse oblige, bahwa
kehormatan membawa kewajiban.116

2. PN Tidak Memperbarui Laporan Kekayaan

Studi ini mengidentifikasi 6 faktor yang menyebabkan kenapa banyak PN tidak


memperbarui laporan kekayaannya. Ke-6 faktor tersebut adalah:
1. Wajib lapor kekayaan hanya sebelum dan setelah menjabat;
2. Tidak ada perubahan aset signifikan;
3. Laporan awal belum diolah;
4. Tidak tahu peraturan;
5. Tidak punya acuan untuk memperbarui laporan;
6. Menganggap tidak penting.

a. Wajib Lapor Kekayaan Hanya Sebelum dan Setelah Menjabat

Pasal 5 UU No. 28/1999 menyatakan bahwa setiap PN berkewajiban untuk:

1. .....
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4. .....

Jika dilihat dari materi muatan Pasal tersebut, khususnya pada angka 3, memang kewajiban
melaporkan dan mengumumkan kekayaan hanya dikenakan bagi PN “sebelum” memulai
dan “setelah” mengakhiri jabatannya. Berbeda dari materi muatan angka 2 mengenai
kewajiban PN untuk diperiksa kekayaannya yang secara eksplisit dinyatakan dapat
dilakukan “sebelum”, “selama”, dan “setelah” menjabat. Karena itu bisa dipahami apabila
sebagian PN mempertanyakan landasan hukum bagi kewajiban mereka memperbarui
LHKPN setiap 2 tahun, seperti yang disyaratkan KPK dalam Keputusannya.

Pasal 1 ayat (5) Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 menyatakan bahwa formulir
LHKPN model B diisi oleh PN yang telah menduduki jabatannya selama 2 tahun. Pasal 2
ayat (4) dan ayat (5) Keputusan yang sama menyatakan bahwa pelaporan kekayaan PN
selama menjabat dilakukan atas permintaan KPK dalam rangka memeriksa kekayaan
sebagai pelaksanaan atas Pasal 5 angka 2 UU No. 28/1999. Dan pelaporan kekayaan tersebut
dilakukan 2 tahun setelah PN yang bersangkutan menduduki jabatannya.

Dari situ bisa disimpulkan bahwa KPK berusaha menjembatani antara kewajiban PN untuk
bersedia diperiksa kekayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 28/1999
dengan kewajiban PN melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 angka 3 UU No. 28/1999. Meski secara eksplisit diatur bahwa kewajiban

116 Tajuk Rencana Kompas, 26 Agustus 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 45
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

melaporkan dan mengumumkan kekayaan hanya berlaku “sebelum” dan “setelah” PN


menduduki jabatan, namun KPK memperluasnya dengan kewajiban yang sama “selama”
menduduki jabatan. “Melaporkan kekayaan selama menjabat” ditafsirkan KPK sama dengan
“bersedia diperiksa kekayaannya selama menjabat”.

Namun tentu saja, Keputusan KPK sebagai dasar hukum bagi kewajiban PN memperbarui
laporan kekayaannya setiap 2 tahun potensial dipersoalkan dari 2 aspek. Aspek pertama
adalah, apakah KPK memang berwenang membuat penafsiran sedemikian rupa lewat
keputusannya? Adapun aspek kedua adalah, di mana letak Keputusan KPK dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan dan seberapa kuat posisinya untuk memuat norma
yang mengikat pihak-pihak eksternal?

Pertanyaan tersebut pernah disampaikan Anggota Komisi III DPR saat dengar pendapat
dengan KPK pada 20 Juni 2006. Sebagian Anggota DPR mempertanyakan kewajiban lapor
kekayaan setiap 2 tahun karena hal itu tidak diatur dalam UU, khususnya UU No. 28/1999.
Atas kritikan Komisi III DPR tersebut, tidak ada tanggapan berarti dari KPK. Pihak KPK
hanya menanggapi secara umum bahwa mekanisme pelaporan dan pemeriksaan kekayaan
PN memang masih perlu disempurnakan dari waktu ke waktu.117

Di masa KPKPN kewajiban melaporkan kekayaan setiap 2 tahun tidak diatur. Alasannya
semata-mata legal formal, karena UU No. 28/1999 tidak mengatur hal tersebut. Meski
demikian, formulir model B untuk memperbarui data kekayaan (di luar formulir model C
untuk diisi PN yang berhenti dari jabatannya) sudah dikenal sejak masa KPKPN. Bedanya,
formulir model B di masa KPKPN digunakan pada waktu pemeriksaan, jadi wajib diisi
hanya oleh PN yang diperiksa. Karena itu formulir model B sering menjadi sarana
menoleransi PN yang belum memasukkan data kekayaan tertentu. Dan karena kental
nuansa diskresi penggunaannya, formulir model B di masa KPKPN juga potensial menjadi
ajang korupsi.118

b. Tidak Ada Perubahan Aset Signifikan

Tidak adanya perubahan aset yang signifikan dalam masa waktu 2 tahun bisa menjadi
penyebab kenapa PN tidak memperbarui laporan kekayaannya, terutama bagi PN yang
merupakan PNS. Dengan pemasukan yang tetap, serta perolehan dari keikutsertaan dalam
berbagai proyek yang relatif terukur, bisa dikatakan masa 2 tahun belum mampu
menunjukkan peningkatan yang berarti terhadap aset-asetnya. Menurut tenaga fungsional
Direktorat PP LHKPN, Adlinsyah Nasution, berdasarkan estimasi kasar, ada sekitar 30
persen PN yang kenaikan hartanya signifikan antara formulir model A dan formulir model
B, metode analisanya adalah dengan membandingkan kenaikan kekayaan dengan sumber
penghasilan tambahan.119

Tetapi keadaan tersebut cenderung tidak berlaku bagi para pejabat negara. Seperti yang
pernah diungkapkan Abdullah Hehamahua pada akhir 2001, bahwa kekayaan Anggota DPR

117 Wawancara dengan M. Jasin, 7 September 2006.


118 Ibid. Namun menurut mantan Wakil Ketua KPKPN, Abdullah Hehamahua, rencana untuk mewajibkan PN
memperbarui LHKPN-nya setiap 2,5 tahun sebenarnya telah digodok oleh KPKPN. Hanya saja, sebelum
rencana tersebut dilaksanakan, KPKPN telah dibubarkan. Wawancara dengan Abdullah Hehamahua, 11
September 2006.
119 Wawancara dengan M. Adlinsyah Nasution, 29 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 46
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

rata-rata mengalami peningkatan pesat dalam waktu 2 tahun. Kondisi demikian sangat jelas
tergambar dari perbandingan data kekayaan Anggota DPR sewaktu menjadi calon legislatif
(caleg) tahun 1999 yang dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan LHKPN yang
dikelola KPKPN. Sebagai gambaran, selama beberapa tahun menjadi wakil rakyat, salah
seorang Anggota DPR mampu memiliki mobil mewah Jaguar.120

Peningkatan aset yang cukup pesat dalam waktu 2 tahun juga pernah diakui Menteri
Kehakiman di era Presiden Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra. Saat itu Yusril
sempat dituduh melakukan kebohongan karena tidak melaporkan seluruh asetnya. Dalam
laporan awalnya ke KPKPN Yusril mengakui kepemilikan modal di sebuah firma hukum
senilai Rp. 1 miliar, sementara berdasarkan laporan (surat kaleng) yang masuk ke KPKPN,
nilai modal Yusril disebut sebesar Rp. 1,9 miliar. Menanggapi laporan itu, Yusril beralasan
bahwa nilai modalnya memang berkembang pesat selama 2 tahun, jadi wajar jika berbeda
dari nilai modal yang dilaporkan sebelumnya.121

c. Laporan Awal Belum Diolah

Salah satu hipotesa untuk menjelaskan mengapa PN tidak memperbarui laporan


kekayaannya adalah karena laporan kekayaan yang disampaikannya pertama kali belum
selesai diolah KPK. Kondisi tersebut tentu saja menjadi disinsentif tersendiri. Sebab memang
belum ada kepastian tentang laporan kekayaan awal yang diserahkannya, apakah benar
sudah diterima KPK dan apakah laporan tersebut sudah memenuhi standard semestinya.

Diakui oleh Direktur PP LHKPN, M. Sigit, tertundanya penyelesaian laporan kekayaan PN


banyak terjadi sejak peralihan KPKPN ke KPK. Ada beberapa laporan yang sulit dideteksi.
Sigit mencontohkan seorang Anggota DPR dan beberapa rekannya pernah menanyakan
status laporannya yang belum jelas, padahal yang bersangkutan telah mengirimkan LHKPN
sejak 2002. Dalam catatan Sigit, tidak sedikit PN yang telah mengirimkan LHKPN namun
belum mendapat kepastian apakah LHKPN-nya sudah diterima atau belum karena dikirim
lewat pos, dan apakah LHKPN-nya sudah memenuhi syarat karena tidak kunjung dikirimi
nomor harta kekayaan (NHK) dan form pengumumannya.122

Tetapi menurut Sigit, hipotesa tentang penyebab PN tidak memperbarui laporan


kekayaannya karena laporan kekayaan awal belum selesai diolah KPK tidak sepenuhnya
tepat. Sebab ada beberapa PN yang tetap mengisi dan menyampaikan formulir LHKPN
model B meski formulir model A miliknya belum selesai diolah. Motivasinya semata-mata
ingin menaati peraturan.123

d. Tidak Tahu Peraturan

Salah satu kemungkinan penyebab PN tidak memperbarui laporan kekayaannya adalah


karena mereka tidak tahu ketentuan yang mengatur hal tersebut. Penyusunan Keputusan
KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 yang mewajibkan PN melaporkan kekayaannya setiap 2
tahun hanya dilakukan secara internal tanpa pelibatan partisipasi publik yang memadai.
Padahal keputusan tersebut setidaknya juga mengikat pihak-pihak eksternal khususnya PN,

120 Kompas, 28 Oktober 2001.


121 Tempointeraktif, 10 Juni 2003.
122 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
123 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 47
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

dan berimplikasi secara tidak langsung kepada masyarakat.

Karena itu, meski telah disosialisasikan lewat berbagai kesempatan, proses internalisasi
kewajiban yang timbul dari Keputusan tersebut, khususnya di kalangan PN, tidak berjalan
semestinya. Tidak sedikit PN yang tidak tahu kewajiban yang muncul dari Keputusan
tersebut, tidak sedikit pula yang mengabaikannya.

Hal ini terbukti dari data yang dimiliki KPK pada November 2004, bahwa terdapat 77
Anggota DPR dan 64 Anggota DPD yang hanya menyerahkan formulir atau fotokopi
formulir LHKPN model A ke KPK pada saat pengangkatannya, padahal mereka adalah
Anggota DPR yang terpilih kembali dari periode sebelumnya, yang seharusnya mengisi
formulir model B. Di samping itu, terdapat 128 Anggota DPR dan 10 Anggota DPD yang
hanya menyerahkan tanda bukti pernah melaporkan LHKPN dan fotokopi NHK.124 Dari 27
menteri dan pejabat setingkat menteri yang telah melaporkan kekayaan sekalipun, terdapat
13 laporan yang pernah ditunda pemeriksaannya karena berbagai persoalan, antara lain
salah mengirimkan formulir laporan kekayaan.125

Terbukti pula tidak sedikit PN yang masih mempertanyakan kewajiban tersebut karena
tidak diatur dalam UU, seperti yang pernah disampaikan sebagian Anggota Komisi III DPR
dalam dengar pendapat dengan KPK pada 20 Juni 2006. Meski menurut Direktur PP LHKPN
M. Sigit, ada pula Anggota DPR yang memahami bahwa kewajiban memperbarui laporan
kekayaan memang dikaitkan dengan kewenangan KPK memeriksa kekayaan mereka.126

Memang dalam penyusunan Keputusan KPK tersebut, PP No. 65/1999 menjadi acuan dasar,
apalagi sebelumnya sudah ada Keputusan KPK No. KEP.78/KPK/X/2004. Di internal KPK,
Keputusan tersebut bahkan dibahas dan dirumuskan hanya oleh Direktur PP LHKPN saat
itu, M. Jasin, Deputi Bidang Pencegahan, Waluyo, dan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki
dalam waktu kurang lebih 2 bulan. Tidak ada masukan signifikan yang datang atas
rancangan Keputusan tersebut dari unit-unit kerja KPK yang lain.127

Hal yang sama juga dialami dalam penyusunan Keputusan KPK No. KEP.78/KPK/X/2004.
Tidak ada partisipasi publik maupun partisipasi di internal KPK yang berarti dalam
penyusunannya. Keputusan KPK itu disusun lebih singkat lagi, yaitu hanya dalam jangka
waktu 1 bulan. Karena itulah kemudian ditemukan banyak kekurangan, yang menjadi
alasan untuk direvisi ke dalam Keputusan KPK yang baru. Poin perbedaan terpenting antara
kedua Keputusan tersebut adalah pengaturan tentang media pengumuman LHKPN,
penentuan siapa yang harus mengumumkan LHKPN, jangka waktu pengumuman Formulir
LHKPN model B (yang lalu ditentukan menjadi setiap 2 tahun), dan penentuan siapa saja
yang diwajibkan mengisi formulir LHKPN model B.128

Dari sudut publisitas, Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 relatif lebih baik dibanding
Keputusan sebelumnya, yaitu telah diumumkan dalam BN/TBN. Begitu pula dalam
sosialisasinya. Jika Keputusan KPK No. KEP.78/KPK/X/2004 hanya disosialisasikan dengan
disebarkan kepada PN, maka sosialisasi Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 juga

124 Kompas, 19 November 2004.


125 Kompas, 23 November 2004.
126 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
127 Wawancara dengan M. Jasin, 7 September 2006.
128 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 48
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

telah dikembangkan, antara lain dengan mencantumkannya dalam media interaktif LHKPN
yang didiseminasikan oleh KPK dalam bentuk compact disc, maupun dimuat dalam situs
resmi KPK yang bisa diakses kapan pun, oleh siapa pun.129

e. Tidak Punya Acuan untuk Memperbarui Laporan

Menurut mantan Direktur PP LHKPN, M. Jasin, tidak mungkin PN mengisi formulir


LHKPN model B tanpa mengacu pada formulir model A yang telah diisi sebelumnya. Sebab
format formulir B memang hanya meng-update data kekayaan yang sebelumnya dimuat
dalam formulir A. Seperti misalnya nomor rekening PN yang masih ada dan masih aktif
digunakan, tidak perlu dicantumkan kembali dalam form B. Begitu pula mobil atau tanah
lama yang telah dilaporkan, tidak perlu dilaporkan kembali dalam form B. Kecuali memang
apabila terdapat kekayaan baru yang diperoleh setelah PN mengisi formulir A.130

Karena itu, sangat penting bagi PN yang telah melaporkan kekayaannya melalui formulir A,
untuk mendapatkan salinan formulir yang telah diisinya tersebut, yang seharusnya didapat
bersamaan dengan didapatnya NHK dari KPK. Namun dengan bertambahnya jumlah PN
wajib lapor secara signifikan, proses pengadministrasian dan korespondensi dengan wajib
lapor memang sulit diselesaikan sesuai target semestinya. Tidak heran apabila kemudian
terdapat beberapa PN yang sudah melaporkan formulir model A sejak 2002, namun belum
mendapatkan NHK sampai 2006, seperti yang pernah ditemui Jasin di Kalimantan Selatan.131

Sebenarnya menurut Direktur PP LHKPN M. Sigit, kendala yang membuat PN tertunda


menerima NHK dan form pengumuman LHKPN-nya berasal dari pihak Percetakan Negara
RI (PNRI) yang butuh waktu lama untuk menerbitkan NHK dan mencetak BN/TBN. Pihak
KPK sendiri sudah menentukan bahwa setelah PN menyerahkan LHKPN-nya akan
dikirimkan tanda terima. Jika ada data yang kurang lengkap, KPK akan menyurati mereka
sebelumnya, atau menelepon jika hanya berupa klarifikasi minor.132

Tetapi dalam Buku Petunjuk Pengisian dan dalam setiap sosialisasi, KPK selalu
menganjurkan PN menyimpan fotokopi dokumen LHKPN yang telah diisi secara lengkap.
Karena, terutama untuk mengisi formulir LHKPN model B, maka formulir model A
memang sangat dibutuhkan. Dan para staf Direktorat PP LHKPN dalam setiap kesempatan
pun menginformasikan kepada PN, agar menghubungi KPK apabila fotokopi dokumen
LHKPN sebelumnya hilang. KPK akan mengirimkan dokumen tersebut bebas biaya.133

f. Menganggap Tidak Penting

Direktur PP LHKPN, M. Sigit, pernah menyatakan bahwa kesadaran para hakim


memperbaiki laporan kekayaannya begitu mereka sudah tak lagi menjabat atau sudah
menduduki jabatan baru sangat kurang. Pernyatan tersebut juga agaknya merefleksikan
tingkat kesadaran PN secara keseluruhan. Khusus di kalangan hakim, meski tercatat 2.669
hakim dari sekitar 6.000 hakim di seluruh Indonesia yang telah melaporkan kekayaannya
pada awal 2006, ternyata sangat minim hakim yang memperbaiki laporan kekayaannya.

129 Ibid.
130 Wawancara dengan M. Jasin, 7 September 2006.
131 Ibid.
132 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
133 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 49
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Di MA misalnya, dari 86 hakim, baik hakim agung maupun hakim lain yang bertugas di
MA, sebagian besar laporan kekayaan mereka masih laporan yang lama. Dari jumlah itu,
sebanyak 69 hakim, baik hakim agung maupun hakim tinggi dan hakim tingkat pertama
yang bertugas di MA, ternyata belum memperbarui LHKPN-nya.134

Dua orang Menteri Kabinet Indonesia Bersatu pun, Sri Mulyani Indrawati dan Fahmi Idris,
tidak kunjung memperbarui kekayaannya setelah memasuki jabatan yang baru. Sri Mulyani
yang semula Kepala BAPPENAS menjadi Menteri Keuangan, dan Fahmi Idris yang semula
Menteri Tenaga Kerja menjadi Menteri Perindustrian. Ketika dikonfirmasi oleh pers, baik Sri
Mulyani maupun Fahmi Idris, berusaha meluruskan, bahwa mereka sebenarnya sudah lapor
kekayaan, tetapi belum memperbaruinya.135 Sikap dan pernyataan keduanya sedikit banyak
mengindikasikan cara pandang mereka terhadap kewajiban memperbarui laporan kekayaan
yang tidak sejajar dengan cara mereka memandang kewajiban melaporkan kekayaan.

3. PN Tidak Melaporkan Kekayaan dengan Benar

Studi ini mengidentifikasi 10 faktor yang menyebabkan kenapa banyak PN tidak


melaporkan kekayaan dengan benar. Ke-10 faktor tersebut adalah:
1. Ada sanksi, tetapi tidak ditegakkan;
2. Tanpa laporan masyarakat, keterangan yang tidak benar sulit dideteksi;
3. Probabilitas untuk diperiksa sangat kecil;
4. Kilah lupa atau tidak sengaja;
5. Merasa bisa merevisi kapan pun;
6. Tidak tahu peraturan;
7. Tidak punya rujukan bukti;
8. Tidak tahu nominal;
9. Menutupi kejanggalan kekayaan;
10. Hibah sebagai dalih;
11. Warisan sebagai dalih.

a. Ada Sanksi, tetapi Tidak Ditegakkan

Cukup menggunakan logika sederhana, PN yang tidak melaporkan kekayaannya secara


benar, bisa diklasifikasikan sebagai tindakan pemalsuan. Pemalsuan yang mungkin
dilakukan dalam pelaporan kekayaan bisa berupa:
1. Menyembunyikan kekayaan tertentu;
2. Mengubah asal-usul kekayaan dari yang sebenarnya;
3. Mengurangi nominal kekayaan tertentu secara sepihak, dan praktek-praktek lainnya.

Karena pelaporan kekayaan dilakukan melalui suatu formulir resmi yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang, maka pemalsuan terhadap laporan kekayaan masuk dalam
kategori pemalsuan surat. Tindak pidana pemalsuan surat sesungguhnya telah diatur dalam
KUHP. Terdapat 2 Pasal yang mengatur hal tersebut, yaitu Pasal 263 dan 264 KUHP. Pasal
263 KUHP menyatakan:

134 Kompas, 26 Januari 2006.


135 Koran Tempo, 14 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 50
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak,
perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) .....

Dari rumusan Pasal tersebut, tindakan PN yang tidak melaporkan kekayaannya dengan
benar dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat yang diancam penjara
paling lama 6 tahun tersebut. Unsur-unsur itu adalah:
1. Barangsiapa;
2. Membuat surat palsu atau memalsukan surat yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal;
3. Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu;
4. Pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Apabila tindakan PN yang tidak melaporkan kekayaannya secara benar dibenturkan dengan
unsur-unsur tindak pidana tersebut, maka unsur pertama bisa dipenuhi oleh “PN”. Adapun
unsur ketiga bisa dipenuhi oleh “maksud PN agar KPK mendaftarkan LHKPN tersebut
seolah-olah isinya benar”.

Namun demikian, di antara keempat unsur tersebut, unsur kedua dan unsur keempat patut
dicermati secara lebih hati-hati. Perlu dipertanyakan apakah agar dapat memenuhi unsur
kedua dari Pasal 263 KUHP, LHKPN harus diakui sebagai bukti dari tindak pidana korupsi
yang mungkin dilakukan PN, atau cukup diakui sebagai bukti dari jumlah kekayaan PN
yang bersangkutan.

PP No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Harta Kekayaan PN yang sudah tidak
berlaku lagi agaknya lebih kuat mengakui LHKPN sebagai alat bukti tindak pidana korupsi
yang mungkin dilakukan PN. Pasal 6 PP tersebut secara eksplisit mengatur bahwa LHKPN
digunakan sebagai:

“…[S]alah satu alat bukti dalam penyidikan oleh instansi yang berwenang, apabila di kemudian hari diduga
atau patut diduga PN tersebut telah melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. “

Pengaturan eksplisit semacam itu tidak ditemukan dalam Keputusan KPK No.
KEP.07/KPK/II/2005. Sehingga bisa dikatakan bahwa berdasarkan Keputusan KPK
tersebut, LHKPN lebih diakui sebagai bukti dari kekayaan PN yang bersangkutan.

Sedangkan mengenai unsur keempat, patut dipertanyakan apa yang dimaksud dengan
menimbulkan kerugian dalam konteks LHKPN. Apa kerugian yang ditimbulkan akibat
suatu pelaporan kekayaan secara tidak benar? Agaknya justru di sinilah, pilihan untuk
menekankan LHKPN sebagai bukti dari tindak pidana korupsi yang mungkin dilakukan PN
menjadi penting. Sebab terdapat yurisprudensi berdasarkan Putusan MA tgl. 29-5-1965 No.
10 K/Kr/1965 dalam perkara Teuku Abdul Said yang menyatakan bahwa kerugian yang
mungkin ditimbulkan oleh pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus
berupa kerugian materiil, dapat juga berupa kerugian terhadap kepentingan masyarakat
seperti penggunaan surat yang dipalsukan itu dapat menyulitkan pengusutan suatu
perkara.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 51
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Lebih jauh, Pasal 264 KUHP menambah ancaman pidana menjadi 8 tahun apabila
pemalsuan surat tersebut dilakukan terhadap akta-akta otentik. Dan Pasal 264 menjadi
relevan untuk diterapkan terhadap PN yang tidak melaporkan kekayaan dengan tidak
benar, karena Pasal 3 ayat (3) Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 menyatakan bahwa
LHKPN beserta lampirannya yang telah diserahkan kepada KPK merupakan dokumen
resmi negara, atau dengan kata lain merupakan suatu akta otentik sesuai pengertian dalam
Pasal 264 KUHP. Hal yang sama juga pernah diatur dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 65/1999
yang sudah tidak berlaku lagi.

Dengan pengaturan dua Pasal dalam KUHP tersebut, meski tidak dirujuk dalam UU No.
28/1999, sebenarnya KPK bisa menggunakan tindak pidana pemalsuan surat sebagai
alternatif sanksi bagi PN yang tidak melaporkan kekayaannya secara benar. Namun hingga
sekarang, tindakan PN yang tidak melaporkan kekayaannya secara benar belum
dimasukkan menjadi salah satu dasar rekomendasi Pimpinan KPK kepada penyidik agar
dilakukan penindakan sesuai ketentuan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005.

b. Tanpa Laporan Masyarakat, Keterangan yang Tidak Benar Sulit Dideteksi

Menurut tenaga fungsional pada Direktorat PP LHKPN, kejanggalan tertentu kadang


dijadikan acuan KPK untuk menemukan indikasi pemalsuan data dalam LHKPN. Antara
lain seorang PN yang menyekolahkan anaknya di luar negeri, namun tidak mencantumkan
nomor rekening bank di luar negeri dalam laporannya. Atau perbedaan data LHKPN antara
dua atau lebih PN yang mempunyai hubungan keluarga (suami/istri, dan anak).

Tetapi jenis-jenis temuan kejanggalan tersebut belum diinventarisasi secara sistematis oleh
Direktorat PP LHKPN. Karenanya mereka masih lebih banyak mengandalkan laporan
masyarakat dalam meng-cross-check data di LHKPN dengan keadaan sebenarnya. Padahal
berdasarkan hasil survei, kepedulian terhadap kekayaan yang diumumkan sangat minim.

Pada Tabel 3.6 terlihat bahwa 34 persen responden PN di berbagai daerah tidak tertarik
melihat pengumuman LHKPN. Selain itu, sebanyak 63,1 persen responden mengaku tidak
akan melaporkan apabila menemukan kejanggalan dalam pengumuman (Tabel 3.7). Bagi
KPK sendiri, apresiasi yang rendah dari masyarakat untuk melapor, cukup menyulitkan jika
dalam mendeteksi kejanggalan, KPK semata-mata bergantung banyak dari laporan
masyarakat.

Tabel 3.6.
Apakah PN tertarik melihat pengumuman LHKPN
No. Jawaban n %
1. Tertarik 153 65,7
2. Tidak tertarik 80 34,3
Total 233 100

Tabel 3.7.
Apakah PN akan melapor jika menemukan kejanggalan
No. Jawaban n %
1. Ya 86 36,9
2. Tidak 147 63,1
Total 233 100

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 52
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Meski perdebatan tentang apakah KPK berwenang mengumumkan LHKPN kepada publik
atau tidak, relatif telah diselesaikan melalui kebijakan tentang surat kuasa, namun akses
publik terhadap pengumuman bisa dikatakan masih sangat minim. Aksesibilitas tersebut
bisa dibedakan ke dalam dua bentuk. Pertama, aksesibilitas terhadap dokumen LHKPN yang
telah diumumkan, dan kedua aksesibilitas terhadap materi pengumuman.

Mengenai bentuk aksesibilitas yang pertama, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki pernah
menyatakan bahwa publik setiap saat dapat mengakses LHKPN karena sudah dimuat dalam
BN/TBN. Apabila tetap ditemukan masalah di situ, maka masalah sebenarnya terletak pada
akses publik terhadap BN/TBN.136 Memang untuk mengatasinya, KPK telah menempuh
beberapa langkah. Antara lain dengan memasang pengumuman LHKPN di setiap instansi
masing-masing PN, sehingga masyarakat bisa melihatnya di setiap daerah. Atau dengan
kebijakan yang semula memungut biaya sebesar Rp. 1.500 perlembar sebagai pengganti
biaya cetak bagi anggota masyarakat yang ingin mendapatkan LHKPN,137 hingga kebijakan
KPK membebaskan biaya sama sekali. Masyarakat hanya diwajibkan mengisi formulir
permohonan.138

Namun akses masyarakat untuk memperoleh dokumen LHKPN di BN/TBN memang


bermasalah. Informasi mengenai BN/TBN dikelola oleh Bagian Arsip/Perpustakaan PNRI.
Tetapi ketika dilakukan observasi langsung oleh Tim Peneliti, informasi yang bisa diakses
masyarakat sebagai pemohon hanyalah BN. Adapun dokumen TBN LHKPN dinyatakan
oleh petugas PNRI bukan merupakan dokumen umum, dan mereka tidak berwenang
mengeluarkannya. Masyarakat diarahkan untuk memperoleh TBN LHKPN langsung dari
KPK.139

Menurut Direktur Utama PNRI, Soebrata, kebijakan itu sudah dijalankan sejak masa
KPKPN. Dalam catatan Soebrata, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kenapa
KPKPN melarang PNRI dan akhirnya PNRI menolak mengumumkan TBN. Pertama,
kebijakan pimpinan KPKPN bisa jadi berubah dari waktu ke waktu, dan PNRI dikuatirkan
tidak update dengan perubahan tersebut. Kedua, jika ada pertanyaan lebih lanjut mengenai
materi pengumuman LHKPN, maka yang paling tepat menjawabnya adalah KPKPN, dan
ketiga, akan terjadi banyak perubahan dalam LHKPN yang berada di luar kontrol PNRI.140

Sedangkan mengenai bentuk aksesibilitas yang kedua, pengamat dari UGM, Revrisond
Baswier, pernah mengkritiknya. Menurut Baswir, pengumuman kekayaan pejabat memang
penting. Namun pengumuman itu belum lengkap apabila tidak menjelaskan sumber dari
mana kekayaan diperoleh. Dan itu agaknya belum bisa didapat publik.141 Lain lagi pendapat
ICW. Dalam pandangan ICW, pengumuman kekayaan PN di BN/TBN telah terdistorsi.
Sebab LHKPN yang diumumkan dalam BN/TBN halamannya lebih terbatas dibandingkan
dengan formulir isian kekayaan. Belum lagi, ada rentang waktu yang lama antara laporan
pejabat negara dalam isian kekayaan sampai akhirnya diumumkan dalam TBN.142

136 Tempointeraktif, 7 Oktober 2004.


137 Tempointeraktif, 20 Januari 2005.
138 Tempointeraktif, 23 Januari 2005.
139 Observasi Tim Peneliti di Kantor PNRI, 12 September 2006. Meski demikian, TBN untuk pendirian
perusahaan dapat diminta masyarakat langsung dari PNRI.
140 Wawancara dengan Soebrata, 3 Oktober 2006.
141 Bernas, 20 April 2001.
142 Hukumonline, 25 Oktober 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 53
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Sepertinya bila ditelusuri, distorsi dalam pengumuman LHKPN itu berawal dari keraguan
KPKPN mengumumkan semua informasi yang tercantum dalam formulir. Pasalnya dalam
PP No. 65/1999 dinyatakan apa yang disampaikan pada KPKPN adalah dokumen negara.
Akhirnya, KPKPN hanya mengumumkan jumlah kekayaan PN. Rincian seperti pemasukan,
pengeluaran, dan data keluarga dianggap privasi, sehingga tidak diumumkan. Dengan
begitu tetap saja masyarakat tidak akan tahu, dari mana PN memperoleh kekayaannya.143

Sulitnya masyarakat mengakses dokumen LHKPN jelas merupakan insentif tersendiri bagi
PN untuk tidak melaporkan kekayaannya dengan benar. Kesulitan akses sama artinya
dengan ketiadaan kontrol. Dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kontrol
masyarakat terhadap laporan kekayaan PN merupakan instrumen terpenting bagi KPK
untuk mengetahui ada tidaknya kejanggalan dalam LHKPN.

c. Probabilitas untuk Diperiksa Sangat Kecil

Dengan kriteria pemeriksaan yang ada, pada 2007 Direktorat PP LHKPN menargetkan
untuk melaksanakan 100 pemeriksaan khusus terhadap LHKPN yang masuk. Target
tersebut didapat dari rencana anggaran KPK 2007. Bukan tidak mungkin target tersebut
akan bertambah. Sebab menurut seorang tenaga fungsional di Direktorat PP LHKPN, mulai
2007 pembagian tugas fungsional penelaah ditentukan per-departemen/wilayah. Masing-
masing penelaah mendapat target memeriksa 36 orang PN pertahun, meningkat dibanding
tahun sebelumnya yaitu 15 PN pertahun. Jumlah penelaah sendiri direncanakan akan
ditambah dari 6 menjadi 20 penelaah di tahun 2007.144

Apabila diperbandingkan antara jumlah PN wajib lapor yang mencapai kurang lebih 110
ribu orang, jelas jumlah target pemeriksaan tahunan tersebut sangat kecil. Tetapi bisa
dipahami mengingat target yang ditentukan KPK adalah pemeriksaan khusus, yang
pelaksanaannya jelas membutuhkan alokasi sumberdaya cukup besar mulai dari waktu,
tenaga, dan biaya. Sementara KPK hingga saat ini masih bergelut dengan persoalan
keterbatasan sumberdaya.

d. Kilah Lupa atau Tidak Sengaja

Salah seorang PN yang pernah memperbaiki laporan kekayaannya karena alasan lupa
adalah Kwik Kian Gie. Dalam sebuah jumpa pers, Kwik pernah menjelaskan perbaikan
LHKPN atas nama dirinya karena lupa mencantumkan nomor rekening tabungannya.
Akibat kelalaian tersebut, dalam pengumuman KPK pada 24 Februari 2005, kekayaan Kwik
meningkat dari Rp. 7,877 miliar menjadi Rp. 12,076 miliar. Setelah diperbaiki, dalam
pengumuman ulang mengenai kekayaan Kwik, KPK mengumumkan kekayaan Kwik
cenderung menurun, dari Rp. 7,877 miliar menjadi Rp. 7,416 miliar.145

Tingkat kerumitan formulir dan kurang jelasnya arahan dari KPK mengenai pengisian
formulir bisa menjadi peluang bagi PN untuk menggunakan alasan tidak sengaja ketika
ditemukan kesalahan dalam LHKPN-nya. Pengamat hukum, Chandra M. Hamzah, pernah
mengatakan bahwa formulir pelaporan kekayaan (dari KPKPN) memang membingungkan.
Akibatnya, seorang PN bisa saja melakukan kesalahan dalam mengisi hartanya, misalnya

143 Hukumonline, 8 September 2001.


144 Wawancara dengan Adlinsyah M. Nasution, 29 September 2006.
145 Kompas, 15 Maret 2005.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 54
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

menilai kekayaannya di bawah nilai sebenarnya. Dan karena formulirnya rumit dan tidak
ada arahan yang jelas, PN yang melakukan kesalahan dalam laporan kekayaannya tersebut
bisa berkilah tidak sengaja.146

Yang jadi masalah dalam hal ini, apa saja kriteria dan prosedur yang perlu ditetapkan KPK
agar alasan lupa atau tidak sengaja tidak dengan mudah digunakan PN yang jelas-jelas telah
memalsukan laporan kekayaannya. Selain menyederhanakan formulir agar mudah
dipahami dan memperjelas arahan bagi PN dalam mengisi formulir, adakah kriteria dan
prosedur lain yang perlu dibuat KPK?

Sebab berdasarkan data yang pernah disampaikan Wakil Ketua KPKPN, Muchayat,
sebanyak 25 persen PN yang sedang menjalani pemeriksaan lanjutan, terbukti
menyembunyikan hartanya. Biasanya jumlah yang disembunyikan antara seperempat
hingga setengah dari total harta yang dilaporkan dalam formulir kekayaan sebelumnya. Di
masa KPKPN, apabila terdapat laporan masyarakat tentang harta yang tidak tertulis dalam
formulir LHKPN yang sudah diisi PN tertentu, KPKPN akan secara aktif
mempertanyakannya. Namun biasanya apabila kesenjangan data tersebut terbongkar,
umumnya PN akan mengaku lupa kalau memiliki harta tersebut.147

Memang lupa adalah gejala yang sangat manusiawi dan bisa terjadi pada siapa pun. Karena
itu bukan mustahil apabila terdapat PN yang memang benar-benar lupa melaporkan
kekayaan tertentu, atau keliru menentukan nominal dan lupa mencantumkan data-data
tertentu. Salah seorang yang mengaku benar-benar lupa melaporkan sebagian kekayaannya
adalah mantan Menteri Koperasi Zarkasih Nur. Zarkasih pernah meminta Ketua KPKPN
Jusuf Syakir membuat klarifikasi atas penyebutan namanya dalam daftar pejabat yang
menyembunyikan harta. Zarkasih mengakui bahwa dia memang benar-benar lupa
menyebutkan sebuah rumahnya di atas tanah seluas 5.000 meter di daerah Nyalindung,
Sukabumi, Jawa Barat. Pasalnya, 4 tahun sebelumnya dia hanya membeli tanah kosong, dan
lupa bahwa kemudian anaknya membangun rumah di atas tanah itu untuk usaha
peternakan sapi.148

Namun apabila tidak ditentukan batasannya, lupa bisa dijadikan alasan paling mudah bagi
PN untuk menutupi kecurangannya. Tentu saja membedakan mana PN yang benar-benar
lupa, dan mana PN yang hanya menjadikan lupa sebagai tameng dari kesalahan, bukanlah
soal sederhana. Mungkin penilaiannya harus dilihat kasus per-kasus. Tidak masuk akal
agaknya apabila PN mengaku lupa mencantumkan tanahnya yang berhektar-hektar luasnya.

Selain itu, apakah alasan lupa, baik yang benar-benar atau yang pura-pura, bisa jadi dasar
pembenar terhadap kesalahan yang dilakukan, agaknya perlu ditinjau dari konsep hukum
pidana. Orang yang melakukan suatu tindak pidana secara tidak sengaja, atau karena
kelalaiannya, atau memenuhi unsur “culpa” (lalai), bisa tetap dinyatakan bersalah dan
dikenai sanksi apabila ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena
perbuatannya itu, atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara
perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu.

146 Kompas, 17 Mei 2001.


147 Kompas, 25 Oktober 2001.
148 Kompas, 26 Oktober 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 55
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

e. Merasa Bisa Merevisi Kapan pun

Disadari atau tidak, sikap PN yang merasa kapan pun dapat memperbaiki LHKPN asalkan
telah disampaikan kepada Komisi Pemeriksa, sedikit banyak dipicu kebijakan ad hoc yang
diambil, khususnya oleh KPKPN di masa lalu. Dalam sebuah kesempatan, mantan Ketua
DPR Akbar Tandjung pernah mengakui bahwa formulir LHKPN cukup rinci dan rumit.
Untuk mengisinya dibutuhkan ketelitian dan waktu yang cukup agar tidak terjadi
kesalahan. Atas pertimbangan tersebut DPR pernah meminta penundaan penyerahan
kembali formulir daftar kekayaan. Namun saat itu KPKPN menolaknya. Tetapi kebijakan
KPKPN menjadi problematik ketika justru KPKPN yang menyarankan agar batas waktu
tetap dipenuhi, namun bila ada kekurangan dalam pengisian bisa disusulkan kemudian.149

Karena itulah tidak heran apabila Anggota DPR Yasril Ananta Baharuddin bisa membantah
memiliki dana hibah walaupun dalam LHKPN-nya terdapat keterangan memiliki hibah Rp.
407,7 juta. Yasril dapat dengan mudah menyatakan bahwa dana tersebut bukan dana hibah,
melainkan dana keluarga. Menurutnya keterangan bahwa dana tersebut merupakan hibah
karena kesalahan teknis pada saat pengisian formulir LHKPN yang dilakukan stafnya.
Karena merasa kesalahannya tidak akan mendatangkan konsekuensi apa pun, Yasril cukup
memperbaiki dengan memberi keterangan secara terbuka.150

f. Tidak Tahu Peraturan

Salah satu cara mengidentifikasi apakah ketidaktahuan akan peraturan menjadi penyebab
PN tidak melaporkan kekayaannya secara benar adalah dengan mengenali materi sosialisasi
yang digunakan KPK. Sejak 2005, KPK telah menerbitkan CD multimedia tentang LHKPN.
CD tersebut bisa dikatakan sebagai materi sosialisasi paling komprehensif yang pernah
digunakan KPK.

CD tersebut memuat beberapa keterangan umum seperti kewenangan KPK, peraturan


perundang-undangan yang mendasari kewajiban lapor kekayaan, keterangan umum
mengenai PN wajib lapor, tata cara pelaporan dan pemeriksaan, hingga tanya jawab
mengenai masalah-masalah yang biasa ditemui PN dalam mengisi laporan kekayaannya.
Selain itu melalui CD tersebut, PN juga bisa memperoleh dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk menjalankan kewajibannya, seperti formulir LHKPN model A, formulir
LHKPN model B, hingga petunjuk teknis pengisian masing-masing formulir.

Namun di luar itu semua, keterangan mengenai sanksi yang bisa dikenakan bagi PN
hanyalah berupa kutipan atas ketentuan UU, khususnya UU No. 28/1999. Tidak ada
keterangan rinci mengenai bentuk-bentuk pelanggaran yang muncul dari kewajiban
melaporkan kekayaan, termasuk pemalsuan data dalam LHKPN, dan sanksi yang bisa
dikenakan.

g. Tidak Punya Rujukan Bukti

Sebuah Tajuk Rencana Kompas menyatakan, pengelolaan orang Indonesia pada umumnya
terhadap kekayaan sendiri belumlah lugas, belum zakelijk, belum businesslike. Misalnya
belum semua disertai tanda bukti dan keterangan yang berkekuatan hukum. Sehingga

149 Kompas, 23 April 2001.


150 Kompas, 7 September 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 56
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

ketika harus mengumumkannya, kesulitan akan dihadapi.151 Kenyataan tersebut diakui pula
dalam tulisan Marihot H. Tambunan, seorang pengamat perbankan. Ia menyatakan banyak
PN yang waswas dengan kewajiban pelaporan kekayaan. Penyebabnya bisa jadi selain
karena secara budaya –sebagai pejabat publik– masih banyak yang asing dengan
pengumuman kekayaan secara terbuka, atau juga tidak pernah mencatat secara akurat
berapa hartanya.152

Atau dalam analisis lain, kebiasaan mengumpulkan bukti kepemilikan dan transaksi yang
buruk dirasakan praktisi hukum Bambang Widjojanto pada para Anggota POLRI. Menurut
Bambang, dari segi pekerjaannya, POLRI tidak mempunyai kultur mencatat atau bahkan
merawat segala kekayaannya, terutama kekayaan yang berkaitan dengan jabatannya.
Dengan demikian, persoalan mengenai pelaporan kekayaan bukan merupakan sesuatu yang
penting bagi mereka. Bambang memisalkan, jika seorang polisi menggunakan peluru, ia
tidak menghitung peluru yang keluar, tetapi ia akan berpikir ketika peluru itu habis. Ia tidak
mempunyai kebiasaan mencatat sehingga dalam pelaporan kekayaan polisi akan mengalami
kesulitan.153

Lantaran kebiasaan yang kurang sejalan dengan kewajiban inilah, banyak pengalaman
konkrit mengenai kendala teknis yang dirasakan PN pada saat mengisi laporan
kekayaannya. Kendala teknis tersebut tidak cuma berpotensi mengulur waktu pengisian
LHKPN, tetapi juga mengurangi validitas data yang diisikan, yang keduanya potensial
mendatangkan konsekuensi hukum tertentu. Seperti yang dihadapi Anggota DPR dari
FPDIP Imam Mundjiat, yaitu kesulitan melacak pembeli kedua mobilnya.154 Atau kesulitan
yang dialami Anggota DPR lain dari FPAN, Djoko Santoso, sebagaimana telah dijelaskan
dalam bagian lain dari laporan ini.

Hipotesa tentang kebiasaan PN semakin terbukti dari hasil suvei yang dilakukan. Dari 233
PN di berbagai daerah yang dimintai pendapat, sebanyak 64,8 persen responden mengaku
tidak ketat dalam menyimpan bukti-bukti transaksi (Tabel 3.8). Lebih besar lagi (91,8) persen
juga mengaku tidak memiliki pembukuan keuangan pribadi (Tabel 3.9). Akibatnya,
melengkapi bukti dirasakan sebagai kesulitan terbesar bagi responden dalam melengkapi
formulir LHKPN (lihat Tabel 3.5).

Tabel 3.8.
Kebiasaan PN menyimpan bukti-bukti transaksi
No. Jawaban n %
1. Biasa 82 35,2
2. Tidak biasa 151 64,8
Total 233 100

Tabel 3.9.
Apakah PN punya pembukuan keuangan pribadi/keluarga
No. Jawaban n %
1. Punya 19 8,2
2. Tidak punya 214 91,8
Total 233 100

151 Kompas, 26 Agustus 2002.


152 Marihot H. Tambunan, “Warga Super Kaya Indonesia, Liputan Khusus Perbankan”, Kompas, 29 Mei 2001.
153 Kompas, 26 Januari 2004.
154 Tempointeraktif, 5 September 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 57
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Barangkali pertanyaan yang layak diajukan sehubungan dengan persoalan ini adalah,
langkah-langkah apa yang perlu ditempuh KPK untuk menjembatani kesenjangan antara
kebiasaan yang hidup di kalangan PN pada umumnya, dengan kewajiban yang muncul dari
suatu ketentuan UU, agar bisa saling sinergis, atau setidaknya tidak saling bertentangan?
Sebab tanpa didukung pembukuan yang baik, kemungkinan PN menyampaikan keterangan
yang tidak benar dalam LHKPN semakin besar.

h. Tidak Tahu Nominal

Kesulitan menilai nominal atau menyampaikan data yang benar tentang kekayaan tertentu
sering menjadi kendala bagi PN untuk melaporkan kekayaannya dengan benar. Kesulitan
ini bisa ditemui baik terhadap kekayaan yang secara lazim dimiliki seperti tanah dan
bangunan, kendaraan, hingga perhiasan, maupun terhadap kekayaan spesifik yang hanya
dimiliki orang-orang tertentu, seperti benda seni, saham, dan lain-lain.

Dalam kasus kekayaan yang lazim, seperti tanah, terdapat beberapa contoh konkrit yang
menunjukkan bahwa penentuan nominalnya, bahkan penentuan tanggal perolehannya juga
bukan soal sederhana. Misalnya pada pencantuman tahun perolehan harta tak bergerak,
seperti tanah. Tahun perolehan tanah umumnya dicantumkan berdasarkan data tanggal
pada SPT PBB, bukan pada tahun realisasi pembelian. Dengan demikian, bisa terjadi seorang
PN membeli tanah jauh sebelum tanggal yang tercantum dalam SPT PBB. Hal ini bisa
dipahami karena proses sertifikasi di Indonesia memakan waktu yang cukup lama, sehingga
kemungkinan besar terdapat perbedaan antara tahun pembelian tanah yang sesungguhnya
dengan tahun perolehan yang tertera dalam SPT PBB. Karenanya bukan tidak mungkin
apabila harga pembelian tanah berdasarkan NJOP berbeda dengan harga pembelian yang
sesungguhnya.155

Sedangkan contoh kasus mengenai kesulitan menyampaikan data sebenarnya dari kekayaan
yang sifatnya spesifik pernah disampaikan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, dalam pidato
pembukaan sebuah seminar mengenai pengumuman LHKPN pada akhir 2004. Ruki
mengambil contoh kasus Sri Edi Swasono dan keluarga besar proklamator RI Bung Hatta.
Keluarga tersebut mendapatkan peninggalan rumah Bung Hatta dengan harga yang tidak
ternilai karena merupakan bangunan bersejarah. Harta tersebut pun meski merupakan aset
yang dikuasai, namun tidak punya nilai untuk dijual, karena keluarga Bung Hatta tidak
mungkin menjual peninggalan bersejarah tersebut sampai kapan pun.156

Contoh lain adalah lukisan atau benda seni yang dimiliki PN yang harganya tidak bisa
begitu saja ditentukan, atau saham yang nominalnya amat tergantung pada pasar. Menurut
pengamat hukum Chandra M. Hamzah, menilai kekayaan semacam itu jelas tidak mudah.157
Atau seperti yang dikemukakan Prof. Ahmad Ali yang pada 2006 tengah mengikuti proses
pencalonan hakim agung. Ahmad Ali pernah menanyakan secara spesifik kepada KPK
apakah buku-buku yang dikoleksinya selama ini juga harus dilaporkan sebagai kekayaan?

Lalu dengan berbagai fakta empirik tersebut, apakah pilihan untuk menentukan nominal
secara tepat dalam LHKPN masih relevan? Sebab di Amerika Serikat misalnya, yang
digunakan adalah range dari nominal terendah hingga tertinggi. Pilihan ini tentu saja akan

155 Kompas, 7 Maret 2002.


156 KPK, “Laporan Seminar tentang Publikasi LHKPN di Masa Depan”, (Jakarta: KPK, 2004), hal. 13.
157 Kompas, 17 Mei 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 58
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

sangat berpengaruh terhadap dampak hukum yang ingin diberikan kepada PN yang tidak
mengisi LHKPN-nya dengan benar. Sampai batas mana perbedaan nominal kekayaan yang
dicantumkan dengan yang sesungguhnya bisa menjadi dasar bahwa telah terjadi tindakan
pemalsuan surat?

i. Menutupi Kejanggalan Kekayaan

Kepentingan menutupi kejanggalan sebagai penyebab kenapa PN melaporkan kekayaannya


secara tidak benar, atau malah enggan melaporkan kekayaannya, pernah dikemukakan
mantan Pimpinan KPKPN, Muchayat. Muchayat menjelaskan kenapa anggota legislatif
termasuk yang paling enggan melaporkan kekayaannya, adalah karena sebelum menduduki
kursi legislatif kekayaan mereka telah diperiksa lebih dulu oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Panitia Pemilihan Daerah (PPD) di daerah masing-masing. Dengan demikian,
anggota legislatif takut perbedaan mencolok antara jumlah kekayaan sebelum dan sesudah
menjabat diketahui umum. Apalagi berdasarkan daftar laporan kekayaan yang diterima,
Muchayat mengungkapkan bahwa memang umumnya terlihat perbedaan mencolok antara
kekayaan anggota legislatif pada saat belum menjabat dengan setelah menjabat, semata-
mata karena ada data pembandingnya.158

Dalam pemeriksaan yang pernah dilakukan KPKPN terhadap Ch. Kristi Purnamiwulan,
hakim Pengadilan Niaga sehubungan dengan dugaan suap pada perkara kepailitan PT
Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI), juga berhasil terungkap adanya rekening di Bank
Mandiri yang jumlah totalnya mencapai Rp 1,4 miliar, dan tidak dilaporkan dalam LHKPN.
Mengenai kenapa dana dan rekening tersebut tidak dilaporkan ke KPKPN, Kristi beralasan
nantinya akan habis untuk membiayai pendidikan keempat anaknya.159

Selain menutupi kejanggalan dalam kekayaan yang dimiliki sebelum dan selama menjabat
(dengan menyembunyikan kekayaan tertentu), pelaporan LHKPN secara tidak benar juga
bisa dimaksudkan menutupi kejanggalan dalam kekayaan setelah nantinya mengakhiri
jabatan (dengan melebih-lebihkan kekayaan yang dimiliki). Fakta ini pernah diungkapkan
Menpan Taufik Efendi, dalam artikelnya di Majalah Gatra. Menurutnya pernah terjadi
seorang pejabat yang melaporkan kekayaannya menjadi 10 kali lipat dari kekayaan yang
sebenarnya. Tujuannya, agar di akhir masa jabatan nanti, jumlah kekayaannya menjadi klop
dengan apa yang dilaporkan.160

j. Hibah sebagai Dalih

Kata "hibah" pernah menjadi sarana ampuh untuk memutihkan kekayaan PN. Dengan kata
tersebut seakan kekayaan mendadak para PN tidak layak dipersoalkan. Namun data yang
disampaikan KPKPN cukup menerbitkan tanda-tanya besar. Pasalnya, 53 dari 178 Anggota
DPR periode 1999-2004 yang terdata, menerima hibah dalam jumlah yang sangat besar,
bahkan terkadang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji yang mereka terima
setiap bulannya. Betapa tidak, salah seorang Anggota DPR melaporkan 90 persen dari total
kekayaannya berasal dari hibah. Suatu proporsi yang sulit diyakini dengan akal sehat.161

158 Kompas, 24 April 2002.


159 Hukumonline, 17 Juli 2002.
160 Taufik Efendi, “Sandiwara Telah Usai”, Gatra No. 7, 26 Desember 2005.
161 Kompas, 17 September 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 59
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Indikasi tersebut juga ditemukan dalam laporan kekayaan mantan Direktur Jenderal Pajak
Departemen Keuangan, Hadi Poernomo. Hampir seluruh kekayaannya berasal dari hibah.
Jumlah kekayaan Hadi Poernomo yang dilaporkan sebesar Rp. 13,85 milyar ditambah
sebuah rumah di Los Angeles AS senilai 50.000 dollar AS. Dari jumlah itu hanya Rp. 3 juta
yang merupakan hasil keringat sendiri. Sebanyak 16 kapling tanah dan bangunan milik Hadi
Poernomo senilai Rp 11,8 milyar (termasuk rumah di Los Angeles), 3 mobil senilai Rp. 370
juta, logam mulia Rp. 1,5 milyar seluruhnya merupakan perolehan hibah antara tahun 1972
sampai 1999. Memang masih ada simpanan Rp 108 juta yang bukan hibah, namun itu pun
berasal dari warisan.162 Dari sudut jumlah, hibah yang diterima Hadi Poernomo belum
seberapa dibandingkan Fuad Bawazier, yang juga pernah menjabat Dirjen Pajak, yang
menerima hibah hingga Rp. 42 milyar.163

Karenanya, praktisi hukum Indriyanto Senoadjie mengakui, bahwa pengertian hibah


memang paling mudah digunakan untuk "menyembunyikan" harta yang berasal dari suap
dan tindak pidana lain. Tetapi, karena hibah merupakan pengertian hukum yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan, setiap harta yang dilaporkan berasal dari hibah
tetap harus diselidiki. Menurutnya, hibah kepada PN sebaiknya memang dikriminalisasi.
Dan itu sudah diterapkan dalam UU Korupsi.164

Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, juga pernah menyatakan
bahwa hibah sebagai sumber kekayaan PN yang tercantum dalam laporan kekayaannya
harus dicurigai sebagai hasil korupsi, yang karenanya harus dibuktikan. Menurut Teten,
harus diperiksa dari mana harta hibah itu diperoleh, dan itu bukan perkara sulit. Dalam
pandangan Teten, sesuai aturannya hibah harus disertai bukti akta notaris yang antara lain
menyebutkan, dari siapa dan dalam kaitan apa hibah itu diberikan.165

Sebenarnya hibah diatur secara panjang-lebar dalam KUHPerdata. Pengaturannya mencapai


27 Pasal (Pasal 1666-1693) yang dibagi ke dalam 4 penggolongan:
1. Ketentuan-ketentuan Umum;
2. Kemampuan untuk memberikan dan menerima hibah;
3. Cara menghibahkan sesuatu; dan
4. Pencabutan dan pembatalan hibah.166

Rumusan Pasal 1666 KUHPerdata berbunyi:

"Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang
secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima
penyerahan barang itu.”

Dari isi Pasal tersebut dapat diambil rumusan bahwa hibah adalah suatu perjanjian, yang
dilakukan sewaktu pemberi hibah masih hidup, diberikan cuma-cuma kepada penerima
hibah, dan pemberian tersebut tidak dapat ditarik kembali. Perjanjian hibah digolongkan
sebagai perjanjian sepihak karena si penerima hibah tidak dibebankan atau disyaratkan
melakukan kontra prestasi sebagai imbalan untuk pemberi hibah.167

162 Kompas, 11 Oktober 2001.


163 Ibid.
164 Kompas, 14 September 2001.
165 Kompas, 31 Oktober 2001.
166 M. Syafei Hassanbasri, “Hibah yang Bikin Heboh”, Kompas, 3 Oktober 2001.
167 Hukumonline, 13 Mei 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 60
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Memang apabila barang yang dihibahkan merupakan benda tak bergerak seperti sebidang
tanah atau bangunan, maka perjanjian hibahnya harus dibuat dalam akta notaris. Hal itu
diatur dalam Pasal 1682 KUH Perdata. Malah fungsi akta notaris dalam hibah merupakan
suatu syarat yang esensial di mana hibah benda tak bergerak yang dibuat tidak dengan akta
notaris mengakibatkan hibahnya batal.168

Namun apabila barang yang dihibahkan merupakan benda bergerak bertubuh atau surat
penagihan utang atas tunjuk (aan toonder), dapat dilakukan dengan penyerahan begitu saja
tanpa perlu perjanjian hibahnya dibuat dalam akta notaris. Hibah benda bergerak telah
dianggap sah dengan diserahkannya barang yang akan dihibahkan dari pemberi hibah ke
penerima hibah. Dari pengaturan hibah di dalam KUH Perdata memang tidak ada ketentuan
yang mengharuskan kepada pemberi hibah untuk menyebutkan dan menjelaskan jati
dirinya kepada penerima hibah sebelum hibah dilakukan. Di Pasal 1677 KUHPerdata, hanya
ditentukan untuk dapat mengibahkan sesuatu, seseorang harus sehat pikirannya dan harus
sudah dewasa.169

Jika ditelusuri, miskinnya pembuktian dalam praktek hibah sangat dipengaruhi kebijakan
peradilan mengenai hal tersebut. Salah satu kebijakan paling awal adalah SE Mahkamah
Agung RI No. 3/1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai
Undang-undang. Dalam edaran kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Tinggi Seluruh Indonesia itu, MA antara lain menganggap, tidak berlaku lagi Pasal 1682
yang mengharuskan dilakukannya penghibahan dengan akta notaris (Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik yang disusun menurut sistem Engelbrecht, 1989, halaman
598).170

Dan menurut aktivis LSM Rachland Nashidik, praktek hibah yang dikenal dalam
masyarakat tidak tepat bagi PN. Menurutnya pemberian hibah kepada seorang pejabat tidak
sesuai dengan konsepsi hibah, sebab dari segi keagamaan, hibah yang dikenal merupakan
bantuan yang bersifat karitatif untuk menjaga harmoni antara si kaya dan si miskin.171

k. Warisan sebagai Dalih

Ketua KPKPN Jusuf Syakir pada 2001 pernah mengatakan, pihaknya mulai mewaspadai
kecenderungan PN untuk menjelaskan sumber hartanya dari warisan. Sebab setelah asal-
usul kekayaan PN dari hibah ramai diperdebatkan dan diberitakan secara luas oleh media
massa, ada kemungkinan besar jalur "warisan" akan dipakai sebagai jalan untuk menutupi
perolehan harta.172

Berdasarkan data yang pernah dilansir Humas KPKPN, sebanyak 1.075 PN di masa itu
memperoleh harta gratis dari peninggalan orangtua sebesar total Rp. 512,2 milyar. Anggota
DPR periode 1999-2004, Hussein Naro, merupakan penerima warisan terbesar, yaitu Rp.
95,190 milyar. Disusul Anggota DPR yang lain, Rekso Ageng Herman, Rp. 86,7 milyar. RM
Pardede yang merupakan pejabat terkaya pada saat itu dengan total harta Rp. 298,7 milyar,

168 Hukumonline, 13 Mei 2002.


169 Ibid.
170 M. Syafei Hassanbasri, loc.cit.
171 Kompas, 7 September 2001.
172 Kompas, 12 September 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 61
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

juga mengaku menerima warisan sebesar Rp. 65,9 milyar.173

Menurut Jusuf Syakir, harta yang diakui berasal dari warisan akan lebih sulit diperiksa
dibanding harta yang diakui berasal dari hibah. Sebab pemberi waris adalah orang yang
sudah meninggal dunia.174 Tetapi pendapat Syakir tersebut dibantah Ketua Komisi II DPR
periode 1999-2004, Teras Narang. Menurut Narang, meski pengakuan harta dari warisan
juga bisa menjadi alat untuk menyamarkan kekayaan yang berasal dari tindak pidana, tetapi
kemungkinan seseorang mengaku kekayaannya berasal dari harta warisan memang lebih
sulit dibanding hibah. Sebab pengertian warisan sudah sangat jelas. Warisan harus memiliki
alur waris. Tidak mungkin seseorang yang tidak ada alur waris memberikan warisan pada
orang lain.175

4. PN Tidak Mengumumkan Laporan Kekayaan

Studi ini mengidentifikasi 7 faktor yang menyebabkan kenapa banyak PN yang menolak
mengumumkan laporan kekayaannya. Ke-7 faktor tersebut adalah:
1. Kewajiban PN bukan kewenangan KPK?;
2. Ada pilihan model pengumuman;
3. Penerbitan BN/TBN belum selesai;
4. Menutupi kejanggalan kekayaan;
5. Tidak mau dibanding-bandingkan dengan PN lain;
6. Kuatir disalahgunakan pihak ketiga;
7. Berpandangan bahwa mengumumkan kekayaan tidak etis.

a. Kewajiban PN Bukan Kewenangan KPK?

Pada awal berdirinya, KPK sempat menutup sementara waktu akses publik ke LHKPN.
Alasan utama yang melatari kebijakan tersebut adalah kevakuman hukum yang muncul
karena dicabutnya Pasal 10 sampai 19 UU No. 28/1999, yang berarti seluruh PP yang terkait
dengan LHKPN juga turut dicabut, sehingga KPK perlu mengkaji kembali dasar hukumnya.

Di masa KPKPN, pengumuman LHKPN dan pemuatannya dalam BN/TBN didasarkan


pada Pasal 17 Ayat (1), (2), dan (3) UU No. 28/1999, yang dilaksanakan melalui PP No.
65/1999. Kewenangan KPKPN tersebut lalu dikukuhkan dengan Keppres No. 127/1999
bahwa KPKPN bertugas menetapkan dan mengumumkan hasil pemeriksaan kekayaan PN
dalam BN/TBN. Kewenangan KPKPN tersebut dilaksanakan dengan surat kuasa dari PN.

Tetapi menurut Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, banyak kalangan tidak menyadari
bahwa Pasal 17 UU No. 28/1999 menjadi dasar KPKPN memeriksa dan mengumumkan
kekayaan PN telah dicabut dengan Pasal 71 Ayat (2) UU No. 30/2002. Dengan pencabutan
ini, dalam pandangan KPK semula, kewenangan mengumumkan kekayaan tak lagi menjadi
milik KPK.176

Namun setelah mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan, KPK akhirnya segera

173 Kompas, 27 September 2001.


174 Kompas, 12 September 2001.
175 Ibid.
176 Kompas, 28 Agustus 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 62
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

membuka kembali akses publik terhadap LHKPN. KPK menyiapkan dasar hukum baru,
berupa SK Pimpinan KPK tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman
LHKPN.177 Selain menggantikan posisi PP No. 65/1999, SK yang dituangkan dalam
Keputusan KPK No. KEP.078/KPK/10/2004 dan KEP.07/KPK/02/2005 tersebut juga
menyempurnakan beberapa materi PP No. 65/1999.

Kekuatiran untuk mengumumkan LHKPN pernah dialami KPKPN pada masa awal
berdirinya. Wakil Ketua KPKPN Sub-Komisi Yudikatif, Chaerul Imam, menyatakan saat itu
alasan lembaganya urung mengumumkan LHKPN selama beberapa waktu adalah karena
lembaganya bisa menghadapi tuntutan, dan untuk itu KPKPN merasa perlu meneliti lebih
dulu dasar hukumnya.178

Bisa dipastikan pangkal masalah dari kekuatiran dua lembaga yang diberi kewenangan
mendaftar dan memeriksa kekayaan PN tersebut terletak pada norma Pasal 5 angka 3 UU
No. 28/1999. Pasal tersebut menyatakan bahwa mengumumkan laporan kekayaan adalah
kewajiban PN, dan tidak menyinggung secara eksplisit kewenangan lembaga pelaksananya.
Karena norma itulah, logika yang berkembang adalah, tidak mengumumkan LKPN melalui
lembaga pelaksana (KPKPN atau KPK) merupakan hak PN.

Dari sikap Amin Aryoso yang menolak LHKPN-nya diumumkan KPKPN dan
mempermasalahkan ketika KPKPN mengumumkan LHKPN-nya dalam BN/TBN tanpa
Surat Kuasa, bisa disimpulkan bahwa ada kebingungan di kalangan PN tentang
kewajibannya mengumumkan LHKPN dan kaitannya dengan kewenangan lembaga
pelaksana untuk memastikan kewajiban tersebut dipenuhi. Meski demikian, tidak sedikit
pula PN yang mengasumsikan bahwa pengumuman LHKPN adalah bagian dari
kewenangan KPK. Sejak berdirinya KPK, tidak ada PN yang secara substansial
mempermasalahkan pemberian kuasa.

Bisa dipahami karena di masa KPKPN, kebingungan PN justru didorong beragamnya


pendapat yang diberikan baik oleh pejabat di lembaga pelaksana, maupun oleh pihak-pihak
lain yang relevan, yang kadang tidak saling mendukung. Misalnya, mantan pimpinan
KPKPN Muchayat pernah mengatakan bahwa tugas KPKPN hanya sampai pada memeriksa
dan menyelidiki, untuk kemudian memberikan rekomendasi mana PN yang dalam
perolehan kekayaannya memenuhi unsur KKN dan mana yang tidak. Menurut Muchayat,
KPKPN tidak berhak mengumumkan LHKPN.179

Pada masa KPK, PN juga tidak mempersoalkan pemberian kuasa meski surat kuasa tidak
memperjelas media pengumuman. Atau bisa jadi karena KPK belum pernah merealisasikan
penggunaan media lain. Hal tersebut agaknya didukung pihak-pihak terkait seperti Ketua
MK, Jimly Asshiddiqie, menegaskan kewenangan KPK mengumumkan LHKPN. Jimly
menyatakan bahwa salah satu fungsi KPK adalah memberikan akses terhadap LHKPN. Ini
sesuai dengan UU KPK yang menyatakan bahwa KPK dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya harus menerapkan asas kepastian hukum, “keterbukaan”, akuntabilitas dan
profesionalitas.180

177 Ibid.
178 Tempointeraktif, 7 Juni 2001.
179 Kompas, 4 April 2001.
180 Tempointeraktif, 26 Agustus 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 63
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

b. Ada Pilihan Model Pengumuman

Salah seorang PN yang pernah bersikukuh tidak menginginkan kekayaannya diumumkan


KPKPN melalui BN/TBN adalah Amin Aryoso, mantan Ketua Komisi II DPR dari FPDIP.
Saat itu, tepatnya pada 27 September 2001, Amin mengirimkan surat memprotes tindakan
KPKPN yang mengumumkan LHKPN-nya tanpa surat kuasa. Menurut Amin, KPKPN telah
ceroboh dan berlebihan dalam menjalankan tugasnya, sebab ia hanya menginginkan laporan
kekayaannya disimpan dalam dokumen negara. Bukan hanya menolak menandatangani
surat kuasa, Amin Aryoso juga mengubah sebagian isi formulir LHKPN tanpa persetujuan
KPKPN.181

Amin Aryoso menyatakan bahwa ia bermaksud mengumumkan sendiri kekayaannya tanpa


melalui KPKPN. Karenanya ia tidak pernah memberikan kuasa kepada KPKPN. Sebagai
seorang sarjana hukum, menurut Amin, memberikan kuasa atau tidak memberikan kuasa
adalah haknya, sehingga ia merasa tidak ada satu pun ketentuan yang dilanggar lewat
tindakannya itu.182

Seorang PN lain, yang kebetulan merupakan mantan Anggota DPR pula, pernah menolak
memberikan kuasa kepada KPK untuk mengumumkan kekayaannya. Namun berbeda dari
Aryoso, PN tersebut tetap menandatangani surat kuasa, hanya saja menyelipkan kata
“tidak” sebelum kalimat “...memberikan kuasa kepada KPK…”183

Peluang bagi PN untuk memilih mengumumkan sendiri LHKPN-nya memang diberikan


sejak masa KPKPN, meski tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik
menentukan hal tersebut. Pasal 2 PP No. 65/1999 hanya mengatur soal kewajiban PN
mengumumkan kekayaannya, kurang lebih sama dengan materi Pasal 5 angka 3 UU No.
28/1999. Letak perbedaan hanya pada arahan PP No. 65/1999 agar pengumuman dilakukan
di BN/TBN. Pemberian pilihan tersebut berulangkali dinyatakan para pimpinan KPKPN,
termasuk pernyataan Wakil Ketuanya, Abdullah Hehamahua, bahwa memang hak PN
untuk menolak memberi kuasa kepada KPKPN mengumumkan kekayaannya.184

Tetapi di sisi lain, KPKPN juga memberikan insentif bagi PN untuk memberikan kuasa
mengumumkan LHKPN-nya. Paling tidak berupa pembebasan biaya dan penyederhanaan
proses. Sebab jika PN mengumumkan sendiri LHKPN-nya, dia harus mengeluarkan biaya
sebesar Rp. 400.000 (pada masa KPKPN), dan harus datang ke Jakarta karena PNRI hanya
ada di Jakarta dan permohonan pengumuman harus diajukan ke Menteri Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, sementara sebagian besar PN berada di luar Jakarta.185
Dan KPKPN mengatasinya dengan mengumumkan kekayaan PN melalui BN/TBN dengan
biaya negara.186

Meski demikian, KPKPN tidak terlalu menggencarkan sosialisasi kepada para PN, bahwa
sekalipun mereka berniat mengumumkan sendiri kekayaannya, maka prosedur yang telah
ditetapkan KPKPN, dan diatur dalam PP No. 65/1999 yaitu wajib diumumkan melalui

181 Kompas, 2 Oktober 2001.


182 Kompas, 3 Oktober 2001.
183 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
184 Kompas, 4 Oktober 2001.
185 Kompas, 13 Oktober 2001.
186 Kompas, 17 November 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 64
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

BN/TBN, harus dipenuhi. Karenanya, cukup mengejutkan ketika Jaksa Agung di masa
Presiden Abdurrahman Wahid, Baharuddin Lopa, tidak segera mengumumkan LHKPN-nya
karena merasa sudah mengumumkan kekayaannya lewat berita mengenai wawancara Lopa
dalam harian Kompas. Dalam berita tersebut memang Lopa mengaku mempunyai tiga
rumah yang dibelinya secara angsuran di Makassar, 2 rumah di Jakarta, dan 3 mobil.187

Memberi pilihan metode pengumuman tersebut ternyata masih dipertahankan KPK, bahkan
dilembagakan melalui Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/02/2005. Pasal 5 ayat (4)
Keputusan KPK tersebut menyatakan bahwa pengumuman LHKPN dilaksanakan oleh PN
yang bersangkutan dan atau oleh KPK berdasarkan surat kuasa. Adapun ayat (5) Pasal
tersebut menyatakan bahwa pengumuman LHKPN oleh PN yang bersangkutan
dilaksanakan atas biaya sendiri, melalui media dan format pengumuman, serta batas waktu
yang telah ditetapkan KPK. Apalagi di masa KPK, biaya pengumuman BN/TBN berhasil
ditekan menjadi hanya Rp. 60.000.

c. Penerbitan BN/TBN Belum Selesai

Tidak diumumkannya LHKPN karena belum selesainya proses penerbitan BN dan TBN
sangat terasa pada kewajiban PN di daerah untuk mengumumkan kekayaannya di instansi
masing-masing. Kasus ini pernah dialami secara konkrit oleh sebagian Anggota DPRD
Samarinda, Kalimantan Timur. Saat itu, hingga 19 Desember 2005, belum ada Anggota
DPRD Samarinda yang menyusul Fatimah Asyari menempelkan LHKPN-nya di papan
pengumuman DPRD.188

Sebenarnya banyak Anggota DPRD Samarinda yang menyatakan bersedia mengumumkan


LHKPN-nya. Namun sesuai keterangan Kabag Umum DPRD Samarinda, Gufran Ansyari,
instruksi dari KPK berdasarkan surat nomor B 1029/DGAH/KPK/9/2005 untuk
mengumumkan hasil pemeriksaan kekayaan di muka publik selama 1 bulan baru diberikan
terhadap 2 Anggota DPRD Samarinda, yaitu Ichsan Rubdy dan Fatimah Asyari.189

Menurut Gufran baru kedua orang tersebut yang BN/TBN-nya telah selesai diterbitkan.
Gufran menambahkan, sebenarnya setiap Anggota DPRD Samarinda telah menerima
laporan hasil pemeriksaan kekayaan sejak beberapa bulan sebelumnya. Namun mereka
tidak diharuskan mengumumkan laporan tersebut karena belum ada instruksi secara resmi
dari KPK.190

d. Menutupi Kejanggalan Kekayaan

Salah seorang PN yang menuai dampak langsung dari pengumuman laporan kekayaannya
adalah mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh. Solidaritas
Masyarakat Antikorupsi (Samak), LSM antikorupsi yang bermarkas di Banda Aceh,
menyatakan bahwa Puteh patut diduga tidak melaporkan 3 perusahaannya kepada KPKPN
pada September 2002. Puteh dituduh telah melakukan kebohongan publik, karena dari
LHKPN-nya, Samak menemukan ada 3 perusahaan milik Puteh yang tidak dilaporkan, yaitu
PT Pamor Sapta Dharma, PT Arthurindo Management Consultant, serta Summit

187 Kompas, 22 Maret 2001.


188 Kaltim Post, 20 Desember 2005.
189 Ibid.
190 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 65
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

International Associates Inc. di mana isterinya menjadi Managing Partner.191

Samak meragukan laporan kekayaan Puteh karena dalam laporan tersebut Puteh mengakui
jumlah kekayaannya hanya Rp 13 miliar, sementara Samak memperkirakan kekayaan Puteh
mencapai Rp 50 miliar. Apalagi Samak menduga banyak harta Puteh yang diatasnamakan
ke keluarga dan kerabatnya.192

Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham juga pernah beberapa kali diperiksa
KPKPN, dilaporkan ke Bareskrim POLRI, bahkan diusulkan ke DPRD untuk diberhentikan
dari jabatannya karena dugaan tidak melaporkan sejumlah kekayaannya berdasarkan
infromasi dari sejumlah LSM di kalimantan Selatan.193 Menurut keterangan Wakil Direktur
Tipikor Mabes POLRI, Marsudi Hanafi, dugaan KKN dari laporan kekayaan Darham
diindikasikan dari beberapa tanah yang dilaporkan terletak di Jakarta, Surabaya, Malang
dan Banjarmasin, namun setelah diperiksa fisik ternyata di atas sebagian tanah tersebut
terdapat bangunan. Begitu pula beberapa kendaraan mewah yang tidak dilaporkan sama
sekali.194

Atau Walikota Tangerang periode 1998-2003 Moch. Thamrin, yang pernah dilaporkan oleh
Solidaritas Masyarakat Islam Tangerang (SMIT) kepada Mendagri, Menneg PAN, dan
KPKPN karena diduga membuat laporan palsu tentang kekayaannya. Dalam laporannya ke
KPKPN, Thamrin menyebutkan kekayaannya sekitar Rp 3,2 milyar. Namun, hasil investigasi
SMIT menunjukkan bahwa harta Thamrin mencapai Rp 45 milyar. Dugaan laporan palsu itu
didapatkan SMIT setelah melakukan investigasi selama 8 bulan.195

Berdasarkan hasil investigasi SMIT, kekayaan Thamrin terdiri dari 9 bangunan dan sejumlah
kendaraan berbagai merek dan jenis yang kalau dihitung, nilainya mencapai Rp. 45 milyar.
Meski demikian, Thamrin menegaskan bahwa laporannya ke KPKPN sudah sesuai dengan
NJOP. Thamrin juga mengakui ada beberapa rumah yang dilaporkan SMIT yang sebenarnya
milik anaknya, termasuk kekayaan milik besannya, yang semua menurut Thamrin bisa
dipertanggungjawabkan kepada KPKPN.196

Bukan mustahil keengganan PN mengumumkan laporan kekayaannya disebabkan mereka


tidak ingin hal yang sama seperti yang dialami PN-PN tersebut terjadi pada mereka, yaitu
kejanggalan dalam kekayaannya disoroti publik.

e. Tidak Mau Dibanding-bandingkan

Tidak bisa dipungkiri, ada kecenderungan media massa menindaklanjuti pengumuman


kekayaan PN dengan membanding-bandingkan kekayaan mereka. Tidak sedikit liputan
media yang kemudian menggunakan istilah PN “terkaya” atau “termiskin”. Profil beberapa
PN termiskin pun pernah diberitakan di sebuah media. Mungkin kecenderungan ini tidak
bisa dihindari dalam memaparkan data kekayaan yang nyatanya memang berbeda-beda
antara satu PN dengan PN yang lain.

191 Sinar Harapan, 6 Mei 2003.


192 Ibid.
193 Kompas, 25 Januari 2003.
194 Tempointeraktif, 9 Mei 2003.
195 Kompas, 26 Februari 2003.
196 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 66
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Namun yang mesti diperhatikan adalah jangan sampai pembandingan kekayaan tersebut
pada akhirnya mendatangkan stigma bahwa mereka yang dinilai “miskin” oleh media lebih
jujur daripada mereka yang “kaya”, atau sebaliknya. Apalagi kadang pembandingan
tersebut tidak diikuti dengan penjelasan memadai tentang mengapa PN tertentu lebih
“kaya” dibanding yang lain. Tidak jarang pemberitaan mengenai hal tersebut tidak
dibarengi dengan pemberitaan tentang asal-usul PN yang bersangkutan, apakah pengusaha,
profesional, akademisi, atau birokrat karir, yang tentu saja masing-masing memiliki latar
belakang ekonomi yang berbeda.

Atau dalam bahasa Menpan Taufik Efendi, masyarakat sering terjerembap dalam definisi-
definisi dan paradigma yang tidak jelas alat ukurnya. Masyarakat sering terjebak pada
definisi atau paradigma yang tidak berdasarkan epistimologi. Contoh yang mudah disebut
adalah soal identifikasi "jujur" dan "kaya". Jujur diidentikkan dengan miskin. Sedangkan
kaya diidentikkan dengan perbuatan-perbuatan seperti korupsi, kolusi, dan manipulasi.
Karenanya orang takut kelihatan kaya, dan ada anggapan bahwa semakin kumuh semakin
bersih. Akibat paradigma atau definisi tersebut, orang didorong menjadi munafik dan penuh
kepura-puraan. Tidak tertutup kemungkinan seorang PN cenderung tidak melaporkan
semua kekayaannya. Sebab, kalau dilaporkan seluruhnya, takut dikatakan sebagai pejabat
yang tidak jujur, korup, dan sebagainya.197

PN yang pernah memprotes pemberitaan media yang cenderung membanding-bandingkan


kekayaan PN adalah mantan Anggota MPR periode 1999-2004 dari F-UG, Hartati Murdaya.
Menurutnya, tanpa proses matang dan jangka waktu yang cukup, kekayaan PN sudah
disiarkan di media massa, lalu dibanding-bandingkan siapa yang paling kaya dan siapa
yang paling miskin. Dalam pandangan Hartati tidak jelas apa tujuan dan manfaat
pengumuman dan pemberitaan semacam ini. Berbeda halnya apabila hasil pemeriksaan
kekayaan dijadikan tolok ukur apakah kekayaan seorang pejabat tiba-tiba menjadi jauh lebih
besar setelah dia menjabat. Dari situ bisa dideteksi apakah yang bersangkutan korupsi atau
tidak. Anggota MPR yang lain juga mengkritik kecenderungan media massa yang
membanding-bandingkan kekayaan antar-PN.198

Salah satu pemberitaan media yang membandingkan kekayaan beberapa PN, pernah
memuat tabel sebagai berikut:

Tabel 3.10.
199
Daftar 10 besar PN terkaya sementara
No. Nama Jabatan Total Harta (Rp)
1. RHM Husein Naro Anggota DPR 97.431.662.500 + 468.000 dollar AS
2. Rekso Ageng Herman Anggota DPR 94.484.956.519
3. Siswono Yudo Husodo Anggota DPR 74.776.947.040 + 81.700 dollar AS
4. Megawati/Taufik Kiemas Wapres/Anggota DPR 59.809.315.484
5. Habil Marati Anggota DPR 47.500.000.000
6. Awaludin Burhanan Anggota DPR 43.027.206.000
7. Akbar Tandjung Ketua DPR 32.441.316.167
8. Ginandjar Kartasasmita Wakil Ketua MPR 25.624.596.673 + 399.762 dollar AS

197 Taufik Efendi, loc.cit.


198 Kompas, 17 April 2002.
199 Kompas, 9 Mei 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 67
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

No. Nama Jabatan Total Harta (Rp)


9. Agung Laksono Anggota MPR 16.418.293.000
10. Lili Asdjudiredja Anggota KPKPN 16.109.969.581
Sumber : KPKPN, data hingga 7 Mei 2001

f. Kuatir Disalahgunakan Pihak Ketiga

Anas Genda, Anggota DPRD Sulsel periode 1999-2004 pernah mempertanyakan kelanjutan
program pelaporan kekayaan. Anas mempertanyakan jaminan perlindungan akan kekayaan
yang dimiliki pejabat. Sebab ia kuatir inventarisasi kekayaan PN yang sudah diumumkan
bakal dimanfaatkan untuk hal-hal yang bukan peruntukannya. Alasan tersebutlah yang
membuatnya menilai agar kekayaan PN tidak usah diumumkan kepada publik, melainkan
hanya disimpan sebagai rahasia negara.200

Kekuatiran tersebut sesungguhnya bisa dipahami mengingat UU No. 28/1999 dan berbagai
peraturan pelaksanaannya tidak mengatur implikasi dari mekanisme pendaftaran kekayaan,
termasuk penyalahgunaan atas daftar kekayaan tersebut oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Tidak diaturnya kriteria dan prosedur pemanfaatan data kekayaan
pernah memunculkan ide seorang pejabat marketing di sebuah bank swasta untuk
mendapatkan data LHKPN demi kepentingan pemasaran properti. Sesuai keterangan
pejabat bank yang diperoleh Tim Peneliti tersebut, dari data LHKPN yang ada, yang
bersangkutan akan memilah siapa saja PN yang prospektif dijadikan target pemasaran
kredit pemilikan rumah.

g. Berpandangan bahwa Mengumumkan Kekayaan Tidak Etis

Harus diakui, terdapat nilai dan sikap yang turut mempengaruhi kenapa PN menolak
mengumumkan kekayaannya. Salah satu yang paling kuat, yang telah dijelaskan secara
gamblang oleh Kwik Kian Gie di bagian sebelumnya adalah nilai dan sikap yang dianut di
masyarakat bahwa kekayaan merupakan urusan pribadi sehingga tidak etis untuk
diumumkan.

Namun sebuah ulasan di harian Kompas menganalisa nilai dan sikap tersebut dari sudut
pandang yang menarik. Ada kontradiksi antara nilai yang secara umum dianut orang
Indonesia, yaitu cenderung tidak ingin menyatakan secara publik kekayaannya, dengan
gaya hidup kebanyakan orang, khususnya PN. Menyatakan secara resmi terbuka enggan,
tetapi memamerkan kekayaan lewat gaya hidup tidak segan.201

5. KPK Kesulitan Menyelesaikan Pengolahan Laporan Kekayaan yang Masuk

Studi ini mengidentifikasikan 9 faktor yang menyebabkan KPK kesulitan dalam


menyelesaikan pengolahan laporan kekayaan yang masuk. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Kriteria PN wajib lapor dalam UU tidak rinci;
2. KPK tidak merinci PN wajib lapor;
3. Tidak ada prioritas;
4. Penentuan PN wajib lapor oleh Menpan;

200 Tempointeraktif, 9 April 2002.


201 Kompas, 26 Agustus 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 68
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

5. Penyelesaian pengolahan LHKPN tidak menjadi ukuran kinerja;


6. Terbatasnya jumlah SDM;
7. Fasilitas kerja kurang memadai;
8. Motivasi yang terganggu;
9. Dalam proses pengambilan keputusan tentang PN wajib lapor, beban kerja tidak
diantisipasi.

a. Kriteria PN Wajib Lapor dalam UU tidak rinci

Keterangan mengenai kriteria PN dimuat paling awal dalam Pasal 1 angka 1 UU No.
28/1999. PN dalam Pasal tersebut diartikan sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi
eksekutif legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya,
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Kriteria selanjutnya dimuat dalam Pasal 2 UU No. 28/1999 berikut penjelasannya. PN


didefinisikan secara rinci sebagai berikut:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim (yang meliputi hakim di semua tingkatan peradilan);
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, (misalnya Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya);
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (yang
ditentukan meliputi:
a. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD;
b. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan BPPN;
c. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
d. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
POLRI;
e. Jaksa;
f. Penyidik;
g. Panitera Pengadilan; dan
h. Pemimpin dan bendaharawan proyek.)

Jika dicermati, selain Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 6 juga menentukan kriteria yang
fleksibel tentang PN. Pasal 1 angka 1 memuat kriteria “pejabat lain”, seperti yang juga
ditemukan dalam rumusan Pasal 2 angka 6.

Sekilas Pasal 2 angka 7 juga sepertinya memberi fleksibilitas yang sama. Rumusan Pasal 2
angka 7 dibuat menggantung, bahwa pejabat lain, selama memiliki fungsi strategis, dapat
pula dikategorikan sebagai PN. Namun kriteria PN berdasarkan Pasal 2 angka 7 ternyata
diikat secara definitif hanya bagi mereka yang dirinci dalam penjelasan angka tersebut.
Berbeda dari penjelasan Pasal 2 angka 6 yang hanya memberi contoh tentang beberapa
pejabat negara yang dimaksudkan.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 69
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tidak lama setelah pemberlakuan UU No. 28/1999, para pembentuk UU menerbitkan


peraturan lain yang turut menentukan kriteria PN, yaitu UU No. 43/1999 tentang Ketentuan
Pokok Kepegawaian. Pasal 11 ayat (1) UU tersebut merinci siapa saja yang dikategorikan
sebagai pejabat negara, yaitu:
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;
4. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada MA, serta Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
6. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
9. Gubernur dan Wakil Gubernur;
10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
11. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.

Dan sama halnya dengan UU No. 28/1999, Pasal 11 ayat (1) UU No. 43/1999 juga masih
menyisakan fleksibilitas dalam menentukan kriteria pejabat negara, seperti yang dinyatakan
dalam huruf k, bahwa di samping yang telah disebutkan, tidak tertutup kemungkinan ada
pejabat negara lain yang ditentukan oleh UU.

Dari pengaturan kedua UU tersebut, bisa disimpulkan adanya keinginan para pembentuk
UU untuk tidak mengunci kriteria PN dan pejabat negara, melainkan menyerahkannya pada
dinamika pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejak awal para pembentuk UU
telah memprediksikan bahwa kriteria PN (dan pejabat negara) sangat dinamis sejalan
dengan pembentukan dan pembubaran berbagai lembaga negara atau pemerintahan. Para
pembentuk UU sengaja menghindari pengaturan secara rigid yang dikuatirkan pada
prakteknya akan mempersempit daya jangkau UU No. 28/1999.

Prediksi tersebut nyatanya tepat. Sebab setelah pemberlakuan UU No. 28/1999 dan UU No.
43/1999, banyak sekali lembaga baru yang dibentuk yang secara otomatis menghasilkan PN
(dan pejabat negara) baru, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang
diintroduksi oleh UU No. 5/2000, Mahkamah Konstitusi yang diintroduksi oleh UU No.
24/2003, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diintroduksi oleh UU No.
30/2002, Komisi Yudisial yang diintroduksi oleh UU No. 22/2004, dan lain-lain. Di sisi lain,
banyak pula lembaga lama yang dibubarkan yang otomatis juga menghapuskan jabatan-
jabatan tertentu, seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan KPKPN.

Kadar fleksibilitas UU No. 28/1999 bahkan lebih luas daripada UU No. 43/1999. Sebab PN
dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka 6 UU No. 28/1999, adalah pejabat lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berarti mereka yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bawah UU juga masuk dalam kriteria PN menurut UU
No. 28/1999. Berbeda dari Pasal 11 ayat (1) huruf k UU No. 43/1999 yang membatasi kriteria
pejabat negara hanya terdiri dari mereka yang diatur dengan UU.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 70
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

b. KPK Tidak Merinci PN Wajib Lapor

Peluang yang diberikan sayangnya belum dioptimalkan KPK. Padahal sesuai Pasal 1 angka
1 dan Pasal 2 angka 6 UU No. 28/1999, ditambah dengan Pasal 13 huruf a UU No. 30/2002,
KPK sebenarnya berwenang mendaftar siapa saja PN yang dimaksud dalam berbagai
klausul tersebut.

Pasal 1 ayat (2) Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/02/2005 hanya merujuk pengertian PN
pada Pasal 2 UU No. 28/1999, UU No. 30/2002, UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum,
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lain
yang berlaku. KPK sama sekali tidak menentukan siapa saja yang dimaksud sebagai PN
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Karenanya, bisa dipahami apabila sebagian PN tidak tahu atau tidak menyadari bahwa
dirinya sesungguhnya masuk dalam kriteria PN wajib lapor kekayaan. Bahkan lantaran
tidak adanya upaya untuk menentukan secara definitif siapa saja PN, KPK tidak lepas dari
kekurangan dan kesalahan identifikasi tentang PN yang menjadi target pendaftaran dan
pemeriksaan.

Sebenarnya berdasarkan piranti lunak LHKPN yang digunakan Direktorat PP LHKPN, KPK
telah memiliki hasil identifikasi tentang siapa saja PN yang wajib lapor kekayaaan. Namun
agaknya identifikasi tersebut hanya meneruskan hasil identifikasi yang digunakan KPKPN
sebelumnya. Klasifikasinya pun masih sama, yaitu 4 kategori besar yang terdiri dari
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan BUMN/BUMD. Identifikasi dan klasifikasi tersebut
termuat dalam tabel berikut:

Tabel 3.11.
Identifikasi dan klasifikasi PN wajib lapor kekayaan
No. Nama Instansi Kategori
1. MPR

2. DPR Pusat

3. DPD

4. 33 DPRD Provinsi
Daerah
5. 434 DPRD Kabupaten/Kota

6. Kantor Presiden

7. Sekretariat Negara

8. Sekretariat Kabinet Sekretariat Kepresidenan

9. Sekretariat Presiden

10. Sekretariat Militer

11. Sekretariat Jenderal MPR Sekretariat Lembaga Tinggi Negara

12. Sekretariat Jenderal DPR

13. Sekretariat Jenderal DPA

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 71
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

No. Nama Instansi Kategori


14. Sekretariat Jenderal MA

15. Sekretariat Jenderal BPK

16. Kantor Wapres


17. Kantor Menkokesra

18. Kantor Menkoekuin Kantor Menteri Koordinator

19. Kantor Menkopolhukkam

20. Kementerian PAN

21. Kementerian Pemberdayaan Perempuan

22. Kementerian Ristek

23. Kementerian Lingkungan Hidup

24. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal


Kementerian
25. Kementerian PPN

26. Kementerian Kominfo

27. Kementerian Koperasi & UKM

28. Kementerian Perumahan Rakyat

29. Kementerian Pemuda & Olahraga

30. Departemen Dalam Negeri Departemen

31. Departemen Luar Negeri

32. Departemen Pertahanan

33. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

34. Departemen Keuangan

35. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

36. Departemen Perindustrian dan Perdagangan

37. Departemen Pertanian

38. Departemen Kehutanan

39. Departemen Kelautan dan Perikanan

40. Departemen Perhubungan

41. Departemen Pekerjaan Umum

42. Departemen Kesehatan

43. Departemen Pendidikan Nasional

44. Departemen Agama

45. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

46. Departemen Sosial

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 72
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

No. Nama Instansi Kategori


47. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

48. Departemen Perindustrian

49. Departemen Perdagangan

50. Departemen Komunikasi dan Informatika

51. Mabes TNI

52. Mabes TNI AD


TNI
53. Mabes TNI AL

54. Mabes TNI AU

55. Kejaksaan Agung RI

56. 31 Kejaksaan Tinggi Kejaksaan

57. 348 Kejaksaan Negeri

58. Mabes POLRI

59. 31 Kepolisian Daerah

60. 18 Kepolisian Wilayah Kepolisian

61. 6 Kepolisian (Wilayah) Kota Besar

62. 355 Kepolisian Resor

63. Lembaga Administrasi Negara (LAN) Lembaga Pemerintah Non


Departemen (LPND)
64. Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg)

65. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

66. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

67. Lembaga Informasi Nasional

68. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)

69. Lembaga Kantor Berita Nasional Antara

70. Badan Kepegawaian Negara (BKN)

71. Badan Pusat Statistik (BPS)

72. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

73. Badan Pertanahan Nasional (BPN)

74. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

75. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

76. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal)

77. Badan Urusan Logistik (Perum Bulog)

78. Badan Pengembangan Sumber Daya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan
Menengah (BPS-KPKM)

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 73
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

No. Nama Instansi Kategori


79. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

80. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten)

81. Badan Tenaga Nuklir (Batan)

82. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)

83. Badan Standarisasi Nasional (BSN)

84. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

85. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

86. Badan Karantina Nasional (Barantin)

87. Badan Intelijen Negara (BIN)

88. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP-Budpar)

89. Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN)

90. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

91. Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

92. Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi NAD dan Kep. Nias (BRR)

93. Badan Pengawas Rekonstruksi dan Rehabilitasi NAD dan Kep. Nias

94. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)

95. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

96. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas)

97. Otorita Batam

98. Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas)

99. 33 Pemerintah Provinsi


Pemerintah Daerah
100. 440 Pemerintah Kabupaten/Kota

101. 220 BUMN


BUMN/BUMD
102. BUMD

103. Mahkamah Agung Peradilan tertinggi


104. 31 Pengadilan Tinggi
Peradilan Umum
105. 337 Pengadilan Negeri

106. 4 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)


Peradilan Tata Usaha Negara
107. 31 Pengadilan Tata Usaha negara (PTUN)

108. 30 Pengadilan Tinggi Agama Peradilan Agama

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 74
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

No. Nama Instansi Kategori


109. 348 Pengadilan Agama

110. 31 Pengadilan Tinggi Militer Peradilan Militer


111. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Khusus
112. Mahkamah Konstitusi
113. BPK
Lembaga independen yang dibentuk
114. Komisi Yudisial
oleh UUD
115. Bank Indonesia

116. KPK

117. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)


Lembaga independen yang dibentuk
118. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
oleh UU
119. KPPU

120. PPATK

121. DPA Lembaga negara yang telah


dibubarkan
122. KPKPN
123. Sekretariat Jenderal KPKPN

Berdasarkan Tabel 3.11 terlihat bahwa masih banyak lembaga dan jabatan di dalamnya yang
belum terdata. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang diatur dalam Perpres No.
11/2005 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen, tidak terdata. Pada level ini, bisa
diinventarisasi beberapa lembaga yang belum terdata seperti Komite Olahraga Nasional
Indonesia (KONI), dan Lembaga Sensor Film (LSF) yang dibentuk berdasarkan PP No.
7/1994.

Dalam kategori lembaga peradilan, identifikasi KPK terhadap pengadilan khusus agaknya
masih hanya menyentuh Pengadilan Tipikor. Sementara pengadilan khusus lainnya, seperti
Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Pajak, Pengadilan Perselisihan Hubungan
Industrial, dan Pengadilan Perikanan belum teridentifikasi. Berbagai Pengadilan Militer
tingkat pertama pun tampaknya belum terdata oleh KPK.

Begitu halnya beberapa state auxiliary bodies yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bawah UU, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi
Ombudsman Nasional (KON), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional yang
dibentuk berdasarkan Perpres No. 17/2005, tampak belum terdata. Bahkan state auxiliary
body yang dibentuk berdasarkan UU seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), juga luput
dari pendataan KPK.

Malah idealnya, lembaga-lembaga baru yang sudah diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan menjelang dibentuk, sebaiknya sudah masuk dalam identifikasi KPK. Seperti
Komite Olimpiade Indonesia yang akan dibentuk berdasarkan UU No. 3/2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional dan Komisi Perlindungan Saksi yang akan dibentuk
berdasarkan UU tentang Perlindungan Saksi.

Dari sudut klasifikasi, pilihan KPK untuk mempertahankan klasifikasi yang pernah

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 75
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

digunakan KPKPN, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan BUMN/BUMD potensial


menimbulkan masalah. KPK sebenarnya tidak terikat untuk menggunakan klasifikasi
tersebut, berbeda dengan KPKPN yang oleh Pasal 15 ayat (3) UU No. 28/1999 memang
diikat bahkan untuk juga menggunakan klasifikasi tersebut dalam struktur organisasinya. Di
samping itu, perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem administrasi negara sangat
pesat, sehingga sulit diakomodasi oleh klasifikasi berdasarkan UU No. 28/1999 tersebut.

Sebagai contoh, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UUD RI seperti Komisi
Yudisial, sulit dimasukkan ke dalam salah satu klasifikasi tersebut. Atau lembaga
independen yang dibentuk berdasarkan UU seperti KPK juga tidak dapat diklasifikasikan
sebagai eksekutif, legislatif, yudikatif, apalagi BUMN/BUMD. Belum lagi jika harus
mengidentifikasi lembaga-lembaga seperti DPA dan KPKPN, yang meski sudah dibubarkan,
namun tetap penting didata demi menjalankan klausul “setelah menjabat” dalam kewajiban
lapor kekayaan. Kedua lembaga itu sebaiknya masuk dalam klasifikasi tersendiri, yaitu
lembaga yang telah dibubarkan.

Dalam catatan media, persoalan klasifikasi yang digunakan KPKPN pernah menjadi alasan
berlarutnya pengiriman formulir LHKPN ke Mahkamah Militer. Para Anggota KPKPN
terbelah dua memandang posisi Mahkamah Militer. Satu pihak menganggap, pengadilan di
lingkungan militer masuk ke dalam sub-komisi yudikatif. Satu pihak lagi menganggap lebih
baik masuk sub-komisi eksekutif, sesuai dengan posisi petinggi TNI dan POLRI. Akibat
perbedaan persepsi tersebut, para Anggota KPKPN sepakat untuk mendahulukan para PN
yang statusnya sudah pasti masuk ke dalam salah satu Sub-Komisi.202

Mengingat pentingnya identifikasi PN dalam berbagai lembaga negara dan lembaga


pemerintahan, Direktur PP LHKPN KPK M. Sigit menerangkan bahwa kegiatan tersebut
secara khusus masuk dalam indeks kinerja kunci (Key Performance Indicator/KPI)
Direktoratnya. Namun Sigit tidak bisa memastikan bentuk koordinasi antara Direktoratnya
dengan Direktorat PJKAKI KPK dalam menjalankan kegiatan tersebut.203 Sebab tanpa
mengetahui secara jelas siapa saja dan di lembaga mana PN wajib lapor yang menjadi target
pelaksanaan tugas dan kewenangannya, KPK akan mengalami kesulitan dalam membuat
perencanaan bagi proses pengolahan laporan kekayaan.

Pasal 13 huruf a UU No. 30/2002 menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan


pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN. Banyak pihak tidak mengetahui, termasuk
KPK sendiri, bahwa terminologi “melakukan pendaftaran” sebenarnya menjadi kata kunci
yang membedakan antara kewenangan KPK dengan KPKPN. Dalam UU No. 28/1999 yang
dulu mengatur tugas dan wewenang KPKPN, tidak ditemukan sama sekali istilah
“mendaftarkan” atau “melakukan pendaftaran”. KPKPN hanya diberi kewenangan
“melakukan pemeriksaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 28/1999.

Meski dalam Penjelasan Pasal 13 UU No. 30/2002 tidak dimuat penafsiran lebih lanjut dari
pembentuk UU mengenai terminologi “melakukan pendaftaran”, namun fungsi spesifik
yang dimiliki KPK ini bisa diartikan secara epistimologi sebagai kegiatan mendata secara
formal atau memasukkan nama-nama ke dalam suatu daftar. Melakukan pendaftaran
laporan kekayaan PN tentu saja mensyaratkan lebih dulu pendaftaran PN yang wajib
melaporkan kekayaan. Dengan penafsiran tersebut, maka KPK berwenang menentukan

202 Hukumonline, 31 Oktober 2002.


203 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 76
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

siapa saja PN yang wajib lapor ke dalam suatu daftar dan berwenang pula memastikan para
PN tersebut melaporkan kekayaannya, untuk didaftar dan diperiksa.

Karenanya, Pasal 13 huruf a UU No. 30/2002 bisa diartikan terdiri dari beberapa elemen
kewenangan KPK yang meliputi:
1. Mendata/menentukan PN yang wajib lapor kekayaan;
2. Memastikan para PN yang wajib lapor tersebut melaporkan kekayaannya untuk
didaftar;
3. Memeriksa laporan kekayaan PN yang telah masuk dalam daftar.

Hanya saja dalam konteks ini, akan muncul pertanyaan, yaitu apakah dengan adanya
pengaturan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU No. 28/1999 yang menjelaskan siapa saja yang
dimasud sebagai PN, maka KPK bisa memperluas kriteria PN wajib lapor? Ataukah KPK
hanya bisa melakukan penafsiran terbatas, yaitu menentukan siapa saja PN yang belum
dijelaskan secara rinci oleh UU No. 28/1999? Atau sebagaimana dijalankan saat ini, apakah
penentuan kriteria PN wajib lapor sebaiknya tetap diserahkan kepada Menpan?

c. Belum Ada Prioritas

Pasal 25 ayat (1) UU No. 30/2002 menyatakan bahwa KPK:

a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang
Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai
yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi;
c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.

Adapun ayat (2) Pasal tersebut menyatakan bahwa ketentuan mengenai prosedur tata kerja
KPK diatur lebih lanjut dengan Keputusan KPK.

Dari materi muatan Pasal 25 ayat (1) huruf a bisa diartikan bahwa KPK berwenang
menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi dalam rangka melaksanakan tugas dan
wewenangnya, termasuk dalam mendaftar dan memeriksa LHKPN. Adapun materi muatan
Pasal 25 ayat (1) huruf b bisa diartikan sebagai kewenangan KPK dalam menentukan kriteria
penanganan tindak pidana korupsi, termasuk pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN.

Kedua klausul dalam Pasal 25 ayat (1) tersebut jelas merupakan lampu hijau yang diberikan
UU bagi KPK untuk menetapkan prioritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Bahwa KPK dapat menentukan strategi pemberantasan korupsi dengan menetapkan skala
prioritas tertentu dari berbagai tugas dan wewenang yang diberikan UU, salah satunya
pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN.

Dorongan bagi KPK untuk menentukan prioritas dalam melakukan pencegahan korupsi
lewat pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN pernah dinyatakan Direktur Eksekutif
Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI), Agung Hendarto yang menyatakan KPK
seharusnya lebih serius dalam memantau kekayaan para hakim dan jaksa. Pencegahan
korupsi di Indonesia menurut pendapatnya harus dimulai dari kalangan hakim dan jaksa.
Sebab merekalah ujung tombak dalam pemberantasan korupsi.204

204 Indopos, 17 April 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 77
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tidak ada kriteria baku sebagai alat sakti dalam menentukan prioritas. Prioritas biasanya
dibuat untuk mengimbangi pencapaian tujuan dengan keterbatasan. Namun secara garis
besar, penentuan prioritas harus didasarkan pada argumentasi sebagai berikut:
1. Kepentingan umum yang dipengaruhi;
2. Dampak sosial yang ditimbulkan;
3. Ketersediaan sumberdaya, baik keuangan, manusia, dan fisik;
4. Tingkat kesulitan.

Tentu saja keempat argumentasi tersebut tidak mudah dioperasionalkan sebagai dasar
pembenar dari suatu kebijakan penentuan prioritas. Akan selalu ada penyikapan, terutama
dari pihak-pihak di luar KPK yang membenturkan antara prioritas dengan tebang pilih. Ada
pula tendensi untuk terus mempertahankan kebijakan sampling dalam menjalankan
kewenangan pendaftaran daan pemeriksaan LHKPN mengingat kebijakan tersebut lebih
sulit diserang dari sudut diskriminasi dibanding penentuan prioritas.

Pertanyaan lain yang mungkin muncul adalah cocok tidaknya penggunaan klausul Pasal 25
ayat (1) huruf c tentang “kriteria penanganan tindak pidana korupsi” ke dalam ruang
lingkup pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, mengingat bunyi klausul tersebut terkesan
lebih dekat dengan aspek penindakan. Sementara pertanyaan terakhir yang juga potensial
mengemuka adalah bentuk dan dasar hukum dari penentuan prioritas tersebut.

d. Penentuan PN Wajib Lapor oleh Menpan

Menurut mantan Direktur PP LHKPN KPK M. Jasin, untuk mengidentifikasi siapa saja PN
wajib lapor kekayaan berdasarkan UU No. 28/1999 saja sebenarnya tidak mudah. PN yang
paling sulit diidentifikasi adalah para pimpinan proyek. Sebab umumnya masa jabatan
mereka 1 tahun sesuai periode proyek yang dipimpin, yang biasanya disesuaikan dengan
tahun anggaran. Pada saat itu Ryas Rasyid sebagai Menpan menyatakan bahwa jumlah PN
wajib lapor kekayaan sesuai UU No. 28/1999 adalah 52.000 orang.205

Setelah berjalan beberapa lama, mekanisme pelaporan kekayaan PN mulai menuai kritik dan
protes, khususnya dari para PN sendiri. Mereka keberatan terhadap ketimpangan bahwa
para pejabat eselon II dan para Kepala Unit Pelayanan Publik tidak masuk ke dalam kategori
wajib lapor, sementara pimpinan proyek yang masa jabatannya singkat diwajibkan
melapor.206

Akhirnya diterbitkanlah SE Menpan No. 268/2002, yang merupakan SE pertama yang


memperluas kriteria PN, khususnya bagi mereka yang berada di bawah naungan eksekutif.
SE Menpan tersebut merupakan hasil kesepakatan para Sekjen Departemen, Kementerian,
dan LPND dalam menentukan siapa saja PN yang sebaiknya dikenakan kewajiban lapor
kekayaan. Meski demikian, SE tersebut juga tetap menyerahkan kepada pimpinan di
masing-masing instansi untuk menentukan siapa yang wajib lapor di lingkungannya.207

Berawal dari SE tersebut kemudian muncul berbagai SK Menteri, Gubernur, dan lain-lain
yang menentukan sendiri-sendiri siapa saja PN wajib lapor. Seperti SK Mendagri No.
030/2799/SD tanggal 3 Desember 2002, yang menentukan wajib lapor di lingkungan

205 Wawancara dengan M. Jasin, 6 September 2006.


206 Ibid.
207 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 78
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

pemerintah daerah. Atau SE Menkeu yang menentukan seluruh pejabat eselon II, eselon III
yang mengepalai kantor, pejabat auditor fungsional, para pimpinan dan bendahara proyek,
serta pejabat lain yang berurusan langsung dengan keuangan negara sebagai wajib lapor.208

SE Menpan dipilih sebagai instrumen hukum untuk memperluas kriteria PN wajib lapor
karena pihak KPKPN saat itu menyadari bahwa lembaganya tidak punya kewenangan
regulasi. Karena itu KPKPN hanya melaksanakan pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan
PN yang wajib lapor berdasarkan UU. KPKPN tidak merasa punya kewenangan untuk
memperluasnya. Dan kebetulan pada saat itu Menpan menawarkan diri untuk membuat
pengaturan. Sebab meski secara yuridis (de jure) posisi Menpan juga layak untuk
dipertanyakan kewenangannya, namun mengingat jangkauan PN yang akan diatur Menpan
hanya dalam wilayah eksekutif, secara faktual (de facto), SE Menpan tersebut akan
mengikat.209 Pola pikir yang sama juga digunakan KPK. MoU antara KPK dengan Menpan
menjadi salah satu awal dibentuknya SE Menpan yang baru. Apalagi dengan bubarnya
KPKPN, maka SE Menpan No. 268/2002 sudah tidak berlaku lagi.210

SE Menpan No. SE/03/M.PAN/01/2005, dengan mengacu pada diktum pertama dan kedua
Inpres No. 5/2004, menentukan bahwa selain PN yang diatur dalam Pasal 2 UU No.
28/1999, maka pejabat berikut ini juga diwajibkan melaporkan kekayaannya, yaitu:
1. Pejabat Eselon II dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah
dan atau lembaga negara;
2. Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan;
3. Pemeriksa Bea dan Cukai;
4. Pemeriksa Pajak;
5. Auditor;
6. Pejabat yang mengeluarkan perijinan;
7. Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan
8. Pejabat pembuat regulasi.

Setiap pimpinan instansi diminta mengidentifikasi siapa saja PN di lingkungannya yang


masuk dalam kriteria PN yang diperluas tersebut, memastikan mereka segera melaporkan
kekayaan, menjatuhkan sanksi apabila mereka tidak melapor, melaporkan kepada KPK dan
Kementerian PAN setiap terjadi promosi, pergantian/mutasi, mengakhiri jabatan, dan atau
pensiun, serta menunjuk pejabat penanggungjawab urusan LHKPN di instansi masing-
masing.

Apabila dikaji, materi muatan SE Menpan tersebut mengandung beberapa masalah. Pertama,
apakah penentuan kriteria PN wajib lapor kekayaan sudah didasarkan pada kajian memadai
tentang pola-pola korupsi pada instansi pemerintahan sehingga bisa dijelaskan kenapa
pejabat pembuat regulasi dinilai lebih penting lapor kekayaan dibanding kepala gudang
misalnya? Kedua, penentuan kriteria PN wajib lapor kekayaan masih menyamaratakan
antara instansi yang satu dengan yang lain. Ketiga, SE Menpan tersebut menambah birokrasi,
khususnya dengan meminta pimpinan instansi dalam mengidentifikasi PN dan melaporkan
data kepegawaian, padahal kedua data tersebut dimiliki BKN yang ada di bawah koordinasi
Menpan. Keempat, tidak jelas bagaimana mekanisme pemantauan tindak lanjut SE tersebut,
baik oleh KPK maupun Menpan sendiri, guna memastikan instansi mana yang telah

208 Tempointeraktif, 5 Maret 2003.


209 Wawancara dengan M. Jasin, 6 September 2006.
210 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 79
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

menindaklanjutinya dan mana yang belum?

e. Penyelesaian Pengolahan LHKPN Tidak Jadi Ukuran Kinerja

Menurut Direktur PP LHKPN KPK, M. Sigit, penyelesaian pengolahan LHKPN, khususnya


pengikisan tunggakan (backlog) selama ini tidak menjadi ukuran keberhasilan kinerja
direktoratnya.211

f. Terbatasnya Jumlah SDM

Keluhan mengenai minimnya sumber daya manusia yang dialokasikan untuk mengelola
mekanisme pelaporan kekayaan PN sudah disampaikan sejak KPKPN masih berdiri. Pada
saat itu KPKPN memiliki Anggota berjumlah 33 orang ditambah 100 pegawai. Menurut
Jusuf Syakir, jumlah Anggota dan pegawai tersebut merupakan pilihan politik yang kurang
tepat. Jusuf Syakir memperbandingkan antara KPKPN dengan BPK yang meski Anggotanya
hanya berjumlah 7 orang, tetapi memiliki ribuan pegawai. Begitu halnya BPKP yang
memiliki auditor berjumlah ribuan. Bahkan saat itu Jusuf Syakir membayangkan bahwa
KPK yang akan dibentuk memiliki Anggota 3 atau 5 orang, tetapi dengan tenaga pemeriksa
yang banyak.212

Namun prediksi Jusuf Syakir tersebut agaknya meleset. Sebab hingga 2005, setelah lebih dari
1 tahun berdirinya KPK, Direktur PP LHKPN KPK, M. Sigit, masih menyampaikan keluhan
atas sumber daya yang dimiliki KPK untuk mengurus LHKPN. Menurut Sigit, saat itu di
kantor yang dipimpinnya hanya ada 18 pegawai untuk mengurus LHKPN, yang terdiri dari
6 orang pegawai tetap dan 12 orang tenaga honorer. Padahal dengan kondisi itu, Direktorat
PP LHKPN harus mengoptimalkan kerja yang meliputi administrasi, verifikasi, data entri,
dan pengumuman LHKPN. Sehingga dalam pandangan Sigit kala itu, sulit membandingkan
kinerja KPK dengan KPKPN dulu yang memiliki sumber daya lebih besar.213 Bahkan setelah
diselenggarakannya rekrutmen besar-besaran pada awal 2006, Direktorat PP LHKPN baru
memiliki 18 tenaga tetap (1 Direktur, 6 penelaah, 4 customer service, 4 pengelola form A dan
form B, serta 3 orang penanggungjawab pengumuman, pemeriksaan, dan tenaga
sekretariat). Meski ditambah dengan 26 tenaga kontrak, namun jumlah itu masih jauh lebih
kecil dari prediksi Jusuf Syakir dan dari kebutuhan real.214

Jika dilihat dari proses kerja pada Direktorat PP LHKPN KPK, terdapat beberapa distribusi
kerja dalam ruang lingkup administrasi yang dicerminkan oleh posisi-posisi berikut ini:
1. Customer service;
2. Entri wajib lapor;
3. Entri Formulir LHKPN model KPK-A;
4. Entri Formulir LHKPN model KPK-B;
5. Pengumuman; dan
6. Scanning.

Mengingat kegiatan dalam ruang lingkup administrasi bersifat klerikal dan membutuhkan
lebih banyak tenaga, maka pelaksanaannya digantungkan pada tenaga kontrak yang dalam

211 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.


212 Hukumonline, 3 Desember 2002.
213 Media Indonesia, 15 September 2005.
214 Data Monthly Report SDM Direktorat PP LHKPN, 19 Juni 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 80
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

bekerja disupervisi secara langsung oleh para staf tetap. Meski bersifat klerikal, namun tetap
saja diperlukan keterampilan untuk melaksanakan berbagai kegiatan tersebut yang
investasinya memerlukan waktu, setidaknya dalam masa penyesuaian.

Hanya saja, investasi keterampilan tersebut agaknya tidak terlalu diperhitungkan dalam
pola rekrutmen para tenaga kontrak tersebut. Umumnya mereka direkrut untuk jangka
waktu yang pendek, yaitu 6 bulan, dan hanya sedikit yang masa kerjanya diperpanjang.
Apabila periode penyesuaian untuk setiap jenis pekerjaan membutuhkan waktu sedikitnya 1
bulan, dapat dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan KPK setiap 6 bulan apabila
periode penyesuaian tersebut dikalikan dengan jumlah tenaga kontrak yang mencapai 26
orang.

Biaya tersebut tentu saja akan mempengaruhi stabilitas kerja dan pada akhirnya berdampak
negatif terhadap produktivitas. Masalah ini juga mulai dirasakan Direktur PP LHKPN KPK,
M. Sigit, yang tengah mengkaji kemungkinan untuk meng-outsource pekerjaan tertentu
kepada pihak luar, tanpa membebani infrastruktur yang dimiliki KPK seperti ruangan,
sistem pengamanan internal, dan lain-lain.215

g. Fasilitas Kerja Kurang Memadai

Beban kerja yang ditimbulkan oleh mekanisme pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN tentu
saja mensyaratkan adanya fasilitas kerja yang sesuai. Fasilitas kerja tersebut setidaknya
terdiri dari ruang kerja yang mampu menampung aktivitas SDM di Direktorat PP LHKPN,
mulai dari direktur, penelaah, customer service, hingga pelaksana kegiatan administrasi.

Fasilitas lain adalah ruang penyimpanan arsip yang mampu menampung tumpukan dan
memungkinkan ditatanya dokumen LHKPN secara baik dan sistematis. Dokumen LHKPN
pasti akan bertambah dari waktu ke waktu seiring dengan penambahan/perubahan PN
wajib lapor, penambahan/perubahan formulir yang harus diisi PN secara periodik, serta
dokumen LHKPN yang telah dicetak dan diumumkan. Di samping itu, dokumen LHKPN
juga harus terjamin aksesibilitas dalam jangka waktu yang relatif lama, setidaknya mulai
seorang PN menjabat hingga 5 tahun setelah berakhirnya jabatan tersebut.

Dan yang tidak kalah penting adalah piranti lunak pendukung kegiatan pendaftaran dan
pemeriksaan LHKPN yang terdiri dari identifikasi PN, entri data formulir model A dan
formulir model B berikut dokumen-dokumen pendukungnya, serta up-load hasil
pengumuman.

Dalam masa transisi sejak berdirinya KPK, di mana KPK menempati gedung sementara di Jl.
Ir. Juanda, jelas kebutuhan atas fasilitas kerja yang memadai belum bisa dipenuhi. Ruang
kerja sangat terbatas sehingga menyulitkan KPK untuk merekrut tenaga (khususnya data
entri) sesuai jumlah yang diperlukan. Begitu pula ruang penyimpanan arsip yang belum
sepenuhnya menampung dokumen LHKPN agar bisa ditata dan terklasifikasi dengan baik
sehingga memudahkan aksesnya. Belum lagi jika berbicara tentang aspek keamanan sistem
dan data yang mensyaratkan pemusatan orang dan pemusatan dokumen pada titik tertentu
untuk memudahkan pengawasannya.

215 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 81
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Karena itulah, besar harapan agar segala fasilitas kunci yang diperlukan Direktorat PP
LHKPN bisa disediakan di gedung KPK yang baru. Namun menurut Direktur PP LHKPN,
M. Sigit, gedung baru pun hanya bisa mencakup kurang lebih 50 persen dari kebutuhan real
Direktoratnya.216 Isu perencanaan dan komunikasi mengemuka di sini. Apakah perencanaan
tentang beban kerja (workload) ke depan dan dukungan kelembagaan yang diperlukan sudah
dilakukan secara memadai? Jika sudah, apakah perencanaan tersebut sudah
dikomunikasikan dengan baik dan dikaitkan dengan aktivitas pembangunan gedung KPK
yang baru? Lalu bagaimana sikap yang paling bijak untuk menjembatani kesenjangan antara
kebutuhan real dengan cakupan fasilitas kerja di gedung baru yang masih cukup besar?

Masalah yang sama kompleksnya juga ditemukan pada fasilitas piranti lunak yang
digunakan Direktorat PP LHKPN. Piranti lunak yang dipakai masih merupakan
peninggalan dari KPKPN217 yang agak berbeda sistem dan cara kerjanya dengan KPK.
Piranti lunak tersebut antara lain masih sulit membedakan secara jelas antara pemenuhan
kewajiban mengisi formulir model A dengan formulir model B, yang karenanya KPK pernah
keliru mengumumkan mana PN yang belum melaporkan sama sekali kekayaannya dengan
PN yang belum meperbarui laporan kekayaannya.218 Klasifikasi PN pun masih memakai
klasifikasi lama dari KPKPN, yaitu hanya eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/D.

Piranti lunak tersebut juga belum mampu mengolah kata kunci yang seharusnya bisa
digunakan KPK untuk mengefektifkan proses kerjanya serta melayani kebutuhan
pengolahan data untuk kepentingan yang lebih advance sifatnya. Misalnya piranti lunak
tersebut tidak dapat mendeteksi usia pensiun/masa berakhirnya jabatan PN yang
sebenarnya secara logis bisa diperkirakan sejak awal, sehingga akan memudahkan KPK
menagih laporan kekayaan kepada PN menjelang berakhirnya jabatan mereka.

Statistik tentang prosentase PN yang sudah melaporkan kekayaan, memperbarui laporan


kekayaan, yang memperbandingkan ketaatan pada setiap klasifikasi (misalnya eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan lain-lain), setiap instansi (misalnya antardepartemen/LPND), setiap
daerah, dan setiap golongan PN (misalnya eselon I, eselon II, dll) agaknya belum bisa
dilayani oleh piranti lunak tersebut. Padahal data statistik semacam itu penting bagi KPK
dalam menjalankan strategi public relation di bidang LHKPN untuk menggugah kepatuhan
PN secara tidak langsung dan menarik perhatian masyarakat terhadap isu LHKPN.

Tetapi karena sifatnya yang dinamis, kelemahan fasilitas piranti lunak lebih mudah
diperbaiki daripada kelemahan fasilitas kerja yang lain. Penyempurnaan piranti lunak yang
ada dan pembuatan piranti lunak baru juga terus dilaksanakan. Antara lain lewat proses
pengadaan konsultasi yang tengah dijalankan KPK sejak tahun anggaran 2006, dan
pembuatan aplikasi online yang menghubungkan antara data KPK dengan pencetakan dan
penerbitan LHKPN oleh PNRI, seperti yang sedang dibangun oleh Direktur Multimedia
PNRI dan Direktorat Pengolahan Informasi dan Data KPK.219

216 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.


217 Menurut Erry R. Hardjapamekas, sistem database yang dimiliki KPKPN diintegrasikan dengan sistem
komputerisasi KPK secara keseluruhan. Kompas, 14 April 2004.
218 Media Indonesia, 14 Juni 2006.
219 Wawancara dengan Isnu Edhi Wijaya, Direktur Multimedia PNRI, 3 Oktober 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 82
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

h. Motivasi yang Terganggu

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, hingga saat ini LHKPN belum
menjadi dasar bagi penindakan perkara korupsi, baik yang ditangani KPK maupun instansi
penegak hukum yang lain, dan belum secara aktif digunakan sebagai bukti pendukung
dalam penyelesaian perkara korupsi. Rendahnya ketergantungan pihak-pihak eksternal
terhadap LHKPN, sedikit banyak mempengaruhi moral kerja mereka yang ada di Direktorat
PP LHKPN. Pertanyaan tentang apa manfaat konkrit dari pekerjaan yang mereka jalankan
akan terus mengemuka.

Namun ketika pimpinan dan staf Direktorat PP LHKPN menyadari signifikansi tugasnya
bagi pemberantasan korupsi, terutama ketika hal itu dibuktikan lewat pengalaman empirik,
yaitu adanya tindak lanjut terhadap data laporan kekayaan PN, maka moral kerja mereka
pun otomatis akan meningkat. Tidak hanya produktivitas, tetapi juga kehati-hatian, kejelian,
dan kreativitas dalam mengolah LHKPN akan terpacu, sebab pendaftaran dan pemeriksaan
LHKPN dipandang sebagai bagian integral dari sistem pemberantasan korupsi yang salah
satunya berujung pada upaya penindakan.

i. Beban Kerja tidak Diantisipasi

Dari sudut proses pengambilan keputusan oleh KPK, maka permasalahan terletak pada
konversi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No. 28/1999 dan SE Menpan No. 5/2005. Sebelum
mendorong dan memfasilitasi pembentukan SE Menpan No. 5/2005, KPK tidak lebih dulu
mengantisipasi peningkatan jumlah PN wajib lapor, dengan menyusun perencanaan matang
mengenai jumlah SDM yang diperlukan, proses kerja yang akan ditempuh, skala prioritas
yang harus ditetapkan, hingga fasilitas kerja yang harus disediakan.

Antisipasi tersebut seharusnya dilakukan dengan studi pendahuluan yang memadai. Tanpa
studi pendahuluan, selain berbagai persoalan tersebut, KPK juga tidak bisa memastikan
apakah kriteria PN wajib lapor yang ditetapkan Menpan, sudah mampu merekam pola
korupsi dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, pada setiap instansi.

Karena itulah, output dari proses pengambilan keputusan yang lemah itu adalah penetapan
target kerja tanpa kendali penuh dari KPK. Ada pihak eksternal, dalam hal ini Menpan, yang
secara dominan turut menentukan target kerja KPK. Itu pun di luar dari target kerja yang
telah digariskan UU No. 28/1999.

Sebagai akibatnya, pemenuhan target kerja tersebut menjadi lebih sulit dan tidak
terantisipasi. Dan akibat tersebut diwakili oleh jumlah tunggakan pengolahan data laporan
kekayaan yang hingga saat ini masih cukup besar jumlahnya.

6. KPK Kurang Gencar Menjalankan Pemeriksaan

Studi ini mengidentifikasikan 10 faktor yang menyebabkan KPK tidak punya kriteria
lengkap untuk menjalankan pemeriksaan LHKPN. Ke-10 faktor penyebab tersebut adalah:
1. Kriteria pemeriksaan kurang lengkap;
2. Sulit memeriksa semua PN;
3. Permintaan untuk pemeriksaan LHKPN minim;

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 83
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

4. Ada beda pendapat tentang hasil pemeriksaan;


5. SDM, infrastruktur, dan SOP tidak sebanding dengan beban pemeriksaan;
6. Fungsi-fungsi KPK belum jadi kriteria pemeriksaan;
7. Lessons learned belum jadi dasar melengkapi kriteria pemeriksaan;
8. Basis data tidak lengkap;
9. Menambah kriteria berarti menambah beban kerja;
10. Kriteria pemeriksaan masih informal.

a. Kriteria Pemeriksaan Kurang Lengkap

Pemeriksaan LHKPN diatur dalam Bab V Keputusan KPK No. 7/2005. Pemeriksaan
ditentukan terdiri dari:
1. Pemeriksaan administrasi;
2. Pemeriksaan substansi; dan
3. Pemeriksaan khusus.

Pasal 6 ayat (3) Keputusan KPK mendefinisikan pemeriksaan administrasi sebagai kegiatan
untuk memeriksa kebenaran material isian formulir dan keabsahan bukti kepemilikan
kekayaan. Pemeriksaan administrasi berbeda dari verifikasi yang hanya memeriksa
kelengkapan.

Pasal 6 ayat (4) Keputusan KPK mendefinisikan pemeriksaan substansi sebagai kegiatan
analisa kekayaan PN sebelum, selama, dan sesudah menjabat, yang mencakup:
1. Analisa asal-usul kekayaan;
2. Analisa perbandingan antara penghasilan dan pengeluaran;
3. Analisa riwayat jabatan;
4. Analisa perkembangan kekayaan;
5. Klarifikasi, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi.

Adapun Pasal 6 ayat (5) Keputusan KPK mendefinisikan pemeriksaan khusus sebagai
pemeriksaan lanjutan berdasarkan temuan dari pemeriksaan substansi dan informasi yang
diperoleh dari pengaduan masyarakat, untuk menemukan kebenaran tentang adanya
kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar dan menunjukkan adanya indikasi tindak
pidana korupsi.

Meski dibedakan ke dalam 3 jenis, namun Pasal 7 ayat (3) menyimpulkan kegiatan dalam
pemeriksaan meliputi:
1. Meneliti dan menguji keabsahan dokumen/bukti kepemilikan harta;
2. Mencari dan menemukan semua data dan informasi berkaitan dengan kekayaan PN dan
keluarganya, baik yang dilaporkan dalam LHKPN maupun yang disembunyikan;
3. Meminta keterangan kepada perorangan, korporasi, instansi pemerintah dan
masyarakat yang berhubungan dengan kekayaan PN dan keluarganya;
4. Melakukan pemotretan dan atau memvisualisasikan obyek pemeriksaan.

Jika dilihat dari definisi ketiga jenis pemeriksaan tersebut, maka faktor yang membedakan
antara satu dengan yang lain adalah cakupan/ruang lingkup aktivitasnya. Pemeriksaan
administrasi merupakan tahapan awal dari jenis pemeriksaan yang lain. Namun tidak jelas
sebenarnya apa perbedaan antara pemeriksaan substansi dengan pemeriksaan khusus,
karena keduanya sama-sama mencakup pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 84
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Apakah mungkin pemeriksaan substansi tidak berlanjut menjadi pemeriksaan khusus? Lalu
apa yang membedakan antara pemeriksaan khusus dengan kegiatan penyelidikan?

Mengingat besarnya jumlah PN wajib lapor, kompleksitas aktivitas pemeriksaan, dan


ketersediaan sumberdaya KPK, baik manusia dan keuangan, maka jelas pemeriksaan tidak
dapat dilakukan terhadap seluruh LHKPN yang masuk. Karena itulah, KPK menentukan
kriteria kapan pemeriksaan terhadap suatu LHKPN harus dilakukan. Kriteria tersebut diatur
dalam Pasal 7 Keputusan KPK No. 7/2005, bahwa pemeriksaan dilakukan berdasarkan:
1. Sampling dalam jumlah tertentu dari seluruh LHKPN yang ada;
2. Adanya kecurigaan terhadap PN tertentu bahwa kekayaannya tidak wajar atau
diperoleh secara tidak sah;
3. Adanya laporan masyarakat tentang ketidakbenaran suatu LHKPN.

Yang jadi persoalan adalah, apakah kriteria tersebut telah memadai untuk menjembatani
antara tujuan-tujuan ideal dari mekanisme pelaporan kekayaan dengan keterbatasan yang
dimiliki KPK? Lalu jika terdapat agenda pengisian jabatan publik yang tengah berjalan,
seperti pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, atau seleksi pejabat negara, peran apa
yang bisa dikontribusikan KPK bagi agenda tersebut, terutama lewat mekanisme pelaporan
kekayaan? Atau ketika KPK tengah berfokus pada reformasi birokrasi, seperti yang akan
dilakukan terhadap MA, apa peran LHKPN untuk mendukungnya?

Agaknya berbagai kebutuhan tersebut belum bisa dicakup oleh kriteria pemeriksaan yang
ada saat ini. Karena itu melengkapi kriteria dan melembagakannya dalam produk hukum
tertentu, akan menjadi prasyarat awal bagi KPK untuk menjembatani secara lebih baik
keterbatasan sumberdaya KPK dalam melakukan pemeriksaan dengan tujuan-tujuan yang
seharusnya dicapai oleh mekanisme pelaporan kekayaan.

b. Sulit Memeriksa Semua PN

Dengan jumlah PN wajib lapor sebanyak 110.000 orang, yang tersebar di berbagai instansi di
berbagai daerah, dan berasal dari cabang kekuasaan negara yang berbeda-beda, memang
sulit dibayangkan bahwa KPK mampu memeriksa seluruh LHKPN mereka. Kegiatan
pengolahan LHKPN yang selama ini mencakup keseluruhan jumlah tersebut hanya berupa
aktivitas administratif, yaitu data entri, verifikasi, dan pengumuman. Itu pun masih
menemui berbagai kendala.

Cara pandang semacam itu agaknya juga hidup di kalangan PN dan masyarakat. Cara
pandang itu sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman mereka di bidang perpajakan,
seperti yang dinyatakan seorang PN:

“Tidak jelas LHKPN akan diapakan? Seperti pajak. Saya sih tinggal mengisi saja, tapi selanjutnya akan
diapakan? Tidak jelas apa yang jadi concern di sana.”220

Bukan tidak mungkin cara pandang tersebut digunakan secara meluas di kalangan PN dan
masyarakat. Meski menurut beberapa staf KPK, pernah di beberapa forum yang dihadiri,
terdapat PN yang meminta giliran untuk diperiksa kekayaannya oleh KPK, dengan harapan
hasil pemeriksaan itu akan menyimpulkan apakah PN yang bersangkutan adalah orang
berintegritas atau bukan.

220 Wawancara, 5 Oktober 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 85
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Cara pandang bahwa KPK tidak mungkin memeriksa semua LHKPN juga didukung oleh
materi pengaturan Keputusan KPK No. 07/2005 yang mengedepankan salah satunya
metode sampling dalam menentukan siapa PN yang akan diperiksa LHKPN-nya. Dan cara
pandang itu bisa menjadi disinsentif bagi KPK untuk melengkapi kriteria pemeriksaan
LHKPN agar cakupannya dapat lebih luas. Sebab jika dengan kriteria yang ada saat ini pun
PN dan masyarakat bisa memahami, untuk apa menambahnya dengan kriteria lain?

Namun ketika kriteria pemeriksaan yang ada diterjemahkan ke dalam jumlah target operasi
yang rendah dan mutu pemeriksaan yang lemah, maka melengkapi kriteria dapat menjadi
alat bantu guna menghindari pelaksanaan pemeriksaan yang sia-sia. Seperti yang pernah
dialami KPKPN ketika menetapkan 32 PN guna menjalani pemeriksaan khusus atas dugaan
KPKPN. Penetapan itu disampaikan KPKPN dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II
DPR. Banyak pihak, termasuk Koordinator Badan Pekerja ICW Teten Masduki yang hadir
dalam rapat itu mengatakan, angka 32 PN yang diduga KKN terlalu sedikit. Walaupun
KPKPN mengatakan jumlah itu merupakan pemeriksaan sementara dari 500 PN, namun
jumlah 32 menurut Teten terlalu kecil.221

c. Permintaan untuk Pemeriksaan LHKPN Minim

Berbagai permintaan dari lembaga eksternal untuk melakukan pemeriksaan LHKPN


seharusnya bisa menjadi input bagi KPK dalam melengkapi kriteria pemeriksaan. Variasi
kepentingan yang dicakup dalam berbagai permintaan tersebut bisa menjadi sumber
inspirasi yang kaya bagi KPK dalam melengkapi kriteria pemeriksaan, di luar dari kriteria
yang sudah ada. Selain itu, dengan membuka diri terhadap permintaan yang masuk, secara
tidak langsung KPK akan terbantu dalam hal penindaklanjutan data LHKPN. Apalagi jika
KPK kemudian meminta hasil tindak lanjut tersebut kepada pihak yang bersangkutan.

Namun menurut Direktur PP LHKPN KPK, M. Sigit, selama ini hanya sedikit permintaan
pemeriksaan maupun permintaan data LHKPN yang datang dari pihak-pihak eksternal.
Secara kelembagaan pernah ada permintaan dari PPATK.222 Permintaan lain datang dari
Komisi Yudisial yang pada akhir 2006 tengah menyelenggarakan proses seleksi hakim
agung, untuk memeriksa kekayaan para calon hakim agung. Permintaan tersebut dipenuhi
KPK dengan mendata laporan kekayaan yang dikirimkan para calon.223

Namun Sigit berani memastikan bahwa belum pernah ada permintaan data LHKPN yang
diajukan pihak Kepolisian maupun Kejaksaan baik untuk tahap penyelidikan, penyidikan,
maupun penuntutan tindak pidana korupsi atau tindak pidana yang lain.224 Padahal dalam
Pasal 7 huruf a Keputusan Bersama Ketua KPK dan Kapolri tanggal 7 Juli 2005 disebutkan
bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang
ditangani POLRI, maka pihak POLRI dapat meminta berkas dokumen LHKPN dari
tersangka. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 7 huruf a Keputusan Bersama Ketua KPK
dan Jaksa Agung tanggal 6 Desember 2005.

Permintaan data LHKPN yang aktif adalah dari unit-unit kerja di internal KPK seperti
Direktorat Gratifikasi dan Direktorat Pengaduan Masyarakat untuk kepentingan case

221 Kompas, 14 Juni 2002.


222 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.
223 Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 33/XXXV/09-15 Oktober 2006.
224 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 86
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

building, serta dari Direktorat Penyelidikan dan Penyidikan sebagai bukti pendukung. Tetapi
terhadap permintaan yang masuk pun, pihak Direktorat PP LHKPN belum
menginventarisasi pola-pola permintaan dan kepentingan di baliknya, sebagai bahan
pendukung untuk melengkapi kriteria pemeriksaan dari waktu ke waktu.

d. Ada Beda Pendapat tentang Hasil Pemeriksaan

Perbedaan pendapat tentang ruang lingkup pemeriksaan termasuk hasilnya, pernah


mengganjal kegiatan pemeriksaan oleh KPKPN di masa awal berdirinya. Rencana
pemeriksaan harta PN untuk meneliti kelengkapan administrasi dan dokumen kekayaan
yang rencananya dilaksanakan Juni 2001, dipastikan tertunda. Hal itu disebabkan belum
dicapainya kesamaan pendapat soal teknis pemeriksaan oleh para Anggota KPKPN yang
memang latar belakangnya berbeda-beda. Menurut Jusuf Syakir, Anggota KPKPN terdiri
dari bekas jaksa, bekas polisi, akuntan, politisi, dan birokrat. Masing-masing persepsinya
tentang pemeriksaan berbeda. Karenanya agak sulit menyatukan persepsi di antara mereka.
Pro-kontra antar-Anggota KPKPN di masa itu menjadi rumit karena ada usulan untuk
memutuskan wajar atau tidaknya harta seorang PN sebagai hasil dari pemeriksaan.225

Pada masa KPKPN, logis tidaknya harta PN yang diperiksa akan diputuskan lewat
musyawarah atau voting anggota tim pemeriksa. Hasil awal yang diputuskan berisi dua
opsi, yakni "wajar" atau "perlu ditindaklanjuti". Penetapan "perlu ditindaklanjuti" berarti
akan diadakan pemeriksaan lanjutan yang lebih intensif. Hasil pemeriksaan lanjutan ini
kemudian dituangkan dalam sebuah keputusan baru lewat rapat pleno KPKPN yang berisi
opsi "tidak ada tanda-tanda KKN" serta "Ditemukan tanda-tanda KKN". Bila hasilnya
“ditemukan tanda-tanda KKN”, berkas pemeriksaan akan disampaikan kepada Kepolisian
atau Kejaksaan untuk ditindaklanjuti secara hukum.226

Perbedaan pendapat tersebut juga dialami KPK. Sebagai contoh, ketika menghadapi proses
seleksi hakim agung 2006, sebenarnya selain mendaftarkan dan memeriksa LHKPN para
calon hakim agung, KPK juga diminta KY untuk mengeluarkan rekomendasi tentang wajar
tidaknya kekayaan mereka. Permintaan tersebut ditanggapi secara berbeda di internal KPK.
Ada yang berpendapat bahwa rekomendasi tersebut sebaiknya dibuat, namun ada pula
yang menyatakan sebaiknya KPK hanya memberi data ke KY apakah seorang calon sudah
mendaftarkan LHKPN-nya atau belum.227

Tetapi khusus untuk pemilihan kepala daerah, Pimpinan KPK telah memberi ketegasan
untuk memeriksa mereka yang pernah menjabat dan mengikuti pemilihan kembali. Di mata
Pimpinan KPK, untuk kategori tersebut LHKPN bisa menjadi salah satu tolok ukur apakah
seseorang yang telah menjabat pantas atau tidak untuk menjabat kembali.228

e. SDM, Infrastruktur, dan SOP Tidak Sebanding dengan Beban Pemeriksaan

Berdasarkan wawancara dengan Direktur dan beberapa staf Direktorat PP LHKPN KPK,
diperoleh keterangan bahwa di luar dari kriteria pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam
Keputusan No. 7/2005, terdapat beberapa kriteria tambahan untuk menentukan siapa saja

225 Kompas, 30 Mei 2001.


226 Kompas, 16 Mei 2001.
227 Wawancara dengan M. Sigit, 29 September 2006.
228 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 87
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

PN yang perlu diperiksa LHKPN-nya. Namun kriteria tambahan tersebut bersifat informal,
hanya berupa kesepakatan internal yang tidak dicantumkan dalam keputusan tertulis,
sehingga tidak menjadi kewajiban yang harus dijalankan.

Beberapa kriteria sebenarnya pernah digunakan dan kemudian dijalankan, baik oleh KPK
maupun oleh KPKPN dulu. Namun beberapa kriteria yang lain masih merupakan
inventarisasi saja yang belum dioperasionalkan ke dalam kegiatan pemeriksaan. Kriteria-
kriteria tersebut adalah:
1. PN yang masuk kategori terkemuka (prominent), memiliki posisi strategis, dalam artian
kewenangan yang dimiliki berpengaruh secara mendasar terhadap kepentingan orang
banyak, dan mengelola anggaran besar dalam ruang lingkup jabatannya;
Kriteria ini pernah digunakan KPKPN ketika Muchayat, Ketua Sub-Komisi Eksekutif
KPKPN, pada Januari 2003 menyatakan pihaknya akan memfokuskan pemeriksaan
LHKPN pada pejabat penerimaan keuangan negara seperti Direktorat Jenderal Pajak
dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC). Di lingkungan Bea Cukai, pejabat yang
masuk target pemeriksaan saat itu adalah Dirjen Bea Cukai Eddy Abdurrahman;
Direktur Cukai Djunaedy Djusan; Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan
Syahrir Djamaluddin; Direktur Fasilitas Kepabeanan Frans Rupang; Direktur Verifikasi
dan Audit Teguh Indrayana; Direktur Kepabeanan Internasional Irwan Ridwan;
Direktur Informasi Kepabeanan Erlangga Mantik; dan sejumlah Kepala Kantor wilayah
Bea Cukai dari Palembang, Semarang, Surabaya, Aceh, Bandung, Bali, dan
Balikpapan.229
2. Adanya pengaduan masyarakat tentang dugaan korupsi atau kejanggalan kekayaan PN
yang bersangkutan;
3. Adanya informasi dari media massa tentang dugaan korupsi atau kejanggalan kekayaan
PN yang bersangkutan;
Tuntutan menggunakan kriteria ini pernah secara kuat diarahkan kepada KPK ketika
majalah Forbes Asia melaporkan kekayaan Aburizal Bakrie yang sangat berbeda dari
data kekayaannya dalam LHKPN. Hasil survei Forbes tentang 10 orang terkaya di
Indonesia menempatkan Aburizal Bakrie dalam posisi ke-6 terkaya di Indonesia degan
jumlah kekayaan Rp. 10,2 triliun, padahal laporan kekayaan Aburizal yang masuk ke
KPK hanya Rp. 1,3 triliun. Dengan demikian ada selisih kekayaan senilai Rp. 9 triliun
dalam waktu 8 bulan. Menanggapi pemberitaan tersebut, KPK mengatakan bahwa
langkah pertama yang akan dilakukan adalah melakukan klarifikasi ke majalah Forbes
Asia untuk meneliti dan mengecek kebenaran survei tersebut.230
4. Mengikuti agenda kenegaraan tertentu, seperti pemilihan umum, pemilihan kepala
daerah, dan lain-lain;
Salah satu tugas awal yang dijalankan KPK setelah berdirinya adalah memeriksa
kekayaan para calon anggota legislatif yang akan kembali menduduki kursinya pada
Mei 2004. Sementara terhadap anggota legislatif yang tidak akan mencalonkan diri lagi,
KPK melakukan pemeriksaan kekayaan di akhir masa jabatan mereka, yakni Oktober
2004.231 Kontribusi KPK dalam proses seleksi hakim agung 2006, yaitu dengan
melaksanakan pemeriksaan kekayaan para calon, juga bisa menjadi contoh lain bahwa
kriteria ini telah dijalankan.
5. Adanya kesenjangan yang cukup besar antara pertambahan kekayaan dengan
penghasilan;

229 Kompas, 25 Januari 2003.


230 Suara Merdeka, 11 September 2006.
231 Kompas, 14 April 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 88
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Kriteria ini pernah digunakan KPK ketika berkoordinasi dengan POLRI dan PPATK
untuk menangani 15 rekening bermasalah yang melibatkan pejabat POLRI. Untuk itu,
KPK akan menyelidiki daftar LHKPN mereka, sementara pihak POLRI pun akan
menyelidiki mereka melalui Divisi Propam. Hasil kedua penyelidikan tersebut akan
disandingkan, untuk menentukan apakah dana pada rekening bermasalah tersebut
berasal dari korupsi atau bukan.232 Kriteria ini pulalah yang paling banyak diusulkan
berbagai pihak untuk digunakan dalam memeriksa LHKPN. Seperti yang pernah
dinyatakan Wakil Ketua Komisi II DPR periode 1999-2004, Hamdan Zoelva, “Ketika
besar sekali pertumbuhan kekayaan PN dibanding besarnya gaji yang diperoleh, maka
terhadap PN yang bersangkutan harus dilakukan pemeriksaan."233
6. Banyaknya kekayaan yang diterangkan bersumber dari warisan atau hibah;
Kriteria ini telah dijalankan KPK melalui aktivitas pemeriksaan gratifikasi dalam
LHKPN yang dijalankan secara rutin sebagai program tahunan oleh Direktorat
Gratifikasi KPK. Menurut anggota Tim Perumus UU No. 20/2001, Indriyanto Senoadji,
KPK dapat langsung mengadakan penyidikan terhadap PN yang menerima gratifikasi
(termasuk hibah) dan tidak melaporkannya ke KPK. Bahkan PN tersebut bisa langsung
dikenai status tersangka sampai ia bisa membuktikan sebaliknya di pengadilan bahwa
gratifikasi tersebut bukan suap.234
7. Adanya pertambahan kekayaan secara signifikan dalam periode yang cukup singkat;
KPKPN pernah menggunakan kriteria ini dengan melakukan pemeriksaan khusus
terhadap 7 anggota legislatif yang terindikasi KKN. Ada ketidakseimbangan antara
penerimaan dan pengeluaran keuangan, dan terjadi transfer yang tidak normal dalam
kurun waktu tertentu.235
8. Adanya jumlah kekayaan tertentu yang bertumpuk pada jabatan tertentu;
Harapan agar kriteria ini digunakan telah disuarakan sejak masa KPKPN, khususnya
oleh berbagai LSM pemantau peradilan. Koordinator Judicial Watch pernah meminta
KPKPN untuk memeriksa kekayaan kalangan hakim dan panitera yang menurutnya
mencurigakan. Judicial Watch mencontohkan kekayaan panitera PN Karawang Suhyar
Nana Sujana yang jumlahnya mencapai Rp. 4,964 miliar, yang tidak sebanding dengan
penghasilan resminya.236
9. PN yang di lembaganya terjadi tindak pidana korupsi dengan pola yang sistematik;
Kriteria ini pernah digunakan KPK ketika meminta para hakim agung di MA untuk
mengisi LHKPN. Permintaan KPK tersebut diajukan di tengah-tengah gencarnya
penyidikan dugaan suap pengusaha Probosutedjo yang melibatkan 5 pegawai MA dan
menyangkut nama 3 orang hakim agung.237

Lalu bagaimana kriteria-kriteria tersebut seharusnya ditentukan, apakah tetap sesuai dengan
kondisi sekarang yaitu tidak diatur dalam keputusan formal, atau seharusnya dimasukkan
ke dalam Keputusan KPK guna melengkapi 3 kriteria yang telah ditentukan di dalamnya?
Masing-masing jelas punya konsekuensi. Apabila tidak diatur dalam keputusan formal,
memang kriteria tambahan tersebut menjadi lebih fleksibel, bisa ditambahkan atau
dikurangi sesuai kondisi di masa tertentu.

232 Tempointeraktif, 30 Agustus 2005.


233 Bernas, 20 April 2001.
234 Kompas, 5 Mei 2001.
235 Kompas, 25 Maret 2004.
236 Hukumonline, 5 September 2001.
237 Hukumonline, 18 November 2005.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 89
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Sebab memang sekilas ada beberapa kriteria yang belum diinventarisasi baik secara formal
maupun informal oleh KPK. Yaitu kriteria untuk memeriksa laporan kekayaan PN yang
diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi. Kriteria ini digunakan KPKPN
terhadap dua hakim yang memutus perkara Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, yaitu Hasan
Basri dan Ch. Kristi Purnamiwulan. Menurut Ketua Sub-Komisi Yudikatif KPKPN Chairul
Imam, sebenarnya kedua hakim tersebut sudah masuk dalam daftar PN yang akan segera
diklarifikasi kekayaannya. Tetapi dengan adanya kasus Manulife, pemeriksaan mereka
akhirnya diprioritaskan.238 Kriteria lain yang pernah digunakan KPKPN adalah memeriksa
PN yang berbohong tentang kekayaannya dan menunjukkan sifat tidak kooperatif dalam
pemeriksaan, seperti tidak melengkapi keterangan mengenai kekayaan mereka dengan
dokumen dan bukti kepemilikan.239

Adapun kriteria lain yang justru merupakan kriteria paling formal adalah memprioritaskan
pemeriksaan LHKPN mereka yang tengah menjalani pemeriksaan baik sebagai tersangka
maupun terdakwa tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 37A
UU No. 20/2001 jo. UU No. 31/1999. UU menyatakan bahwa untuk kepentingan
penyidikan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan.

f. Fungsi-fungsi KPK Belum Jadi Kriteria Pemeriksaan

Pasal 6 UU No. 30/2002 mengatur tugas KPK yang meliputi:


1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Masing-masing tugas kemudian diturunkan ke dalam berbagai wewenang yang relevan.


Seperti meminta laporan dari instansi terkait mengenai pencegahan korupsi (koordinasi),
meneliti dan menelaah instansi yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan
pemberantasan korupsi dan pelayanan publik (supervisi), serta mengkaji sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah (monitor).

Berbagai tugas dan wewenang yang dimiliki KPK, kemudian dijabarkan ke dalam fungsi-
fungsi tertentu, yang didistribusikan kepada setiap unit kerja yang ada di KPK. Fungsi
penindakan serta sebagian fungsi koordinasi dan supervisi, dijalankan oleh Direktorat
Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, dan Direktorat Penuntutan di bawah Deputi
Penindakan. Sebagian fungsi koordinasi dan supervisi yang lain, dan tentu saja fungsi
pencegahan dan monitoring, dijalankan oleh berbagai Direktorat di bawah Deputi
Pencegahan, Deputi Informasi dan Data, serta Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat.

238 Hukumonline, 17 Juli 2002.


239 Kompas, 25 Maret 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 90
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Fungsi-fungsi tersebut selanjutnya dijalankan melalui program kerja tahunan setiap


Direktorat sebagai unit kerja terkecil di KPK. Antara lain kajian dan rekomendasi perbaikan
terhadap instansi vertikal seperti Direktorat Jenderal Imigrasi dan Badan Pertanahan
Nasional. Kajian dan rekomendasi perbaikan terhadap instansi horizontal seperti
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Penyelidikan dengan target dalam jumlah dan
kualitas tertentu. Atau program penyusunan MoU antara KPK dengan instansi lain. Dan
tentu saja program pemeriksaan LHKPN.

Sebenarnya program-program berbagai Direktorat di KPK yang menjalankan fungsi-


fungsinya bisa menjadi sumber penting bagi penentuan kriteria pemeriksaan LHKPN oleh
Direktorat PP LHKPN. Namun yang jadi persoalan, hingga saat ini belum ada kebijakan
terstruktur yang mensinergikan antara pelaksanaan fungsi-fungsi KPK yang lain dengan
pelaksanaan pemeriksaan LHKPN.

Misalnya pada saat KPK tengah melakukan pengkajian sistem di instansi tertentu, apakah
Direktorat PP LHKPN juga dapat mengimbanginya dengan fokus pemeriksaan terhadap PN
wajib lapor kekayaan yang ada di lembaga-lembaga tersebut? Atau pada saat KPK tengah
menyidik perkara korupsi di KPU atau lembaga lain, apakah Direktorat PP LHKPN juga
mengimbanginya dengan fokus pemeriksaan terhadap PN wajib lapor di lembaga-lembaga
tersebut?

Demikian pula, ketika Direktorat PJKAKI tengah menjalin kerjasama dengan instansi lain,
apakah Direktorat PP LHKPN telah memiliki paket kebijakan yang harus diupayakan untuk
masuk dalam klausul MoU antara KPK dengan lembaga-lembaga tersebut? Atau ketika
terdapat banyak LHKPN yang mencantumkan kekayaan bersumber dari hibah, apakah
Direktorat PP LHKPN segera berkoordinasi dengan Direktorat Gratifikasi dalam rangka case
building?

Meski koordinasi di sebagian titik pertemuan fungsi telah berjalan, seperti antara Direktorat
PP LHKPN dengan Direktorat Gratifikasi, namun agaknya koordinasi tersebut masih belum
melembaga. Sebab hingga sekarang, belum ada SOP atau dokumen resmi apa pun yang
menjabarkan secara rinci titik-titik pertemuan fungsi tersebut, dan bagaimana
mengkoordinasikannya.

g. Lessons learned Belum Jadi Dasar Melengkapi Kriteria Pemeriksaan

Dalam rangkaian pembicaraan dan diskusi antara Tim Peneliti dengan para staf Direktorat
PP LHKPN, sesungguhnya diperoleh banyak masukan untuk penyempurnaan proses kerja
yang ada sekarang. Masukan-masukan tersebut banyak yang bersifat genuine, karena
memang didasarkan pada lessons learned yang mereka dapat dari pelaksanaan tugas sehari-
hari.

Namun sayangnya masukan-masukan tersebut agaknya belum secara sistematis diolah


menjadi knowledge yang kemudian dapat diadvokasikan sebagai dasar penyempurnaan
proses kerja. Apalagi menurut salah seorang tenaga fungsional di Direktorat PP LHKPN,
belum ada media yang efektif di KPK untuk menggulirkan ide dari bawah menjadi suatu
kebijakan.

Kebutuhan akan hal itu sesungguhnya sudah sangat dirasakan Direktorat PP LHKPN.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 91
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Karenanya Direktur PP LHKPN M. Sigit pernah meminta stafnya yang bertindak sebagai
koordinator bimbingan teknis pengisian LHKPN untuk menginventarisasi berbagai
pertanyaan yang sering muncul mengenai pengisian LHKPN? Inventarisasi tersebut
dilakukan untuk kepentingan penyusunan pedoman frequently asked questions (FAQ). Namun
setelah pedoman tersebut terbit, kegiatan inventarisasi sudah tidak dijalankan lagi.240

h. Basis Data Tidak Lengkap

Salah satu tujuan pemeriksaan adalah menemukan kejanggalan dari laporan kekayaan
seorang PN, untuk kemudian diselidiki ada tidaknya indikasi kejahatan (khususnya tindak
pidana korupsi) yang bisa disimpulkan dari kejanggalan tersebut. Menemukan kejanggalan
berarti mencari penyimpangan dari standard yang wajar. Jika terdapat suatu data yang
secara ekstrim melenceng dari standard yang wajar, maka secara sederhana bisa
disimpulkan ada kejanggalan di situ.

Karena itu untuk memperoleh data kejanggalan, KPK harus lebih dulu memperoleh data
standard yang wajar. Namun hingga sekarang, KPK belum memiliki basis data yang
memadai untuk mendeteksi kejanggalan-kejanggalan tersebut, terutama dikaitkan dengan
kriteria pemeriksaan yang telah dan seharusnya ditetapkan.

Antara lain untuk mengetahui kesenjangan yang besar antara kekayaan dengan penghasilan
PN, KPK perlu terlebih dulu memiliki data tentang gaji dan tunjangan PN di setiap instansi.
Pada level instansi pemerintah di bawah eksekutif, data tentang gaji dan tunjangan
sebenarnya cukup mudah diperoleh, karena BKN memilikinya dan bersedia membagi data
tersebut kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Tetapi memang untuk data
honorarium proyek dan penghasilan yang lain, BKN mengaku tidak memilikinya, karena
proses pengadaan dan penentuan jumlahnya dilakukan masing-masing instansi dengan
standard yang mungkin berbeda-beda.241

Untuk mengimbangi kegiatan pemeriksaan LHKPN dengan agenda kenegaraan misalnya,


KPK seharusnya memiliki data tentang jadual pelaksanaan agenda-agenda tersebut, seperti
jadual pilkada di berbagai daerah dan jadual seleksi pejabat publik tertentu. Begitu pula data
tentang pola korupsi dan kaitannya dengan jabatan-jabatan tertentu dalam suatu instansi,
atau data-data lain seperti data tentang harga pasar barang-barang tertentu.

Perlunya basis data/data primer untuk bisa melakukan investigasi pernah disampaikan
Kastorius Sinaga. Menurutnya harus lebih dulu ada data primer untuk dibandingkan
dengan deklarasi sepihak dari PN. Data primer itu bisa didapat dari media massa atau dari
laporan-laporan lainnya. Bagi Sinaga, kualitas laporan kekayaan yang mendekati realitas
kebenaran dan rasionalitas publik lebih penting daripada mengandalkan banyaknya PN
yang melaporkan kekayaan, namun kebenarannya sulit dijamin.242

i. Menambah Kriteria Berarti Menambah Beban Kerja

Dengan kriteria pemeriksaan yang ada saat ini, Direktorat PP LHKPN telah merencanakan
untuk melakukan 36 pemeriksaan khusus pada tahun 2007, jumlah yang sudah meningkat

240 Wawancara dengan M. Sigit, 19 September 2006.


241 Wawancara dengan Kepala BKN, 6 Oktober 2006.
242 Kompas, 17 Mei 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 92
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

tajam dibanding target pada 2006, yaitu 15 pemeriksaan khusus. Target pemeriksaan 2007
tersebut akan dilaksanakan oleh 6 orang penelaah yang ada saat ini. Dengan demikian, jika
dibuat rata-ratanya, setiap orang penelaah dibebani target melaksanakan 6 pemeriksaan
khusus dalam 1 tahun.

Jelas apabila dibandingkan dengan jumlah PN yang wajib lapor kekayaan, jumlah tersebut
sangat kecil. Apalagi jika dari jumlah tersebut hanya sebagian kecil yang bisa ditindaklanjuti
dengan proses hukum, khususnya penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Jumlah itu tidak lebih baik dari jumlah yang pernah disampaikan KPKPN pada 2002, yaitu
melakukan pemeriksaan terhadap 32 orang PN, yang saat itu dikritik banyak kalangan.

Namun dengan kapasitas kelembagaan yang ada, antara lain jumlah SDM penelaah yang
ada, penetapan jumlah 36 pemeriksaan khusus dalam 1 tahun bisa dipahami. Bandingkan
saja dengan jumlah Komisioner di masa KPKPN yang jumlahnya mencapai 33 orang, itu pun
belum ditambah pemeriksa di level staf. Padahal beban dari tahapan pemeriksaan khusus
oleh KPK sama dengan beban pemeriksaan khusus di masa KPKPN, yang meliputi:
1. Pencarian data ke Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, informasi masyarakat, media
massa, dan instansi terkait;
2. Penelaahan data dan penyusunan resume;
3. Observasi fisik dan penyusunan resume;
4. Klarifikasi terhadap PN yang bersangkutan dan pembuatan berita acara;
5. Ekspose kasus ke Pimpinan KPK;
6. Penyusunan laporan hasil pemeriksaan;
7. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ke unit kerja terkait di KPK atau instansi eksternal.

Dan harus diingat bahwa pemeriksaan khusus sebenarnya ada di level paling ujung sesudah
pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substansi dilaksanakan. Dengan begitu, jumlah
pemeriksaan khusus merupakan saringan terhadap jumlah pemeriksaan administrasi dan
substantif yang lebih besar, yang telah dilakukan sebelumnya.

Apabila keterbatasan yang ada belum diatasi, maka penetapan kriteria pemeriksaan yang
lengkap tidak akan mendapat respon positif dari para penelaah di Direktorat PP LHKPN.
Penambahan kriteria pemeriksaan akan berimplikasi pada bertambahnya beban kerja.
Dengan kriteria yang ada saat ini pun beban kerja sudah terasa berat, akan muncul keraguan
apakah beban kerja dapat diatasi dengan penambahan kriteria baru.

j. Kriteria Pemeriksaan Masih Informal

Besarnya jumlah PN yang wajib lapor kekayaan, tingginya persepsi tentang korupsi yang
terjadi di kalangan PN, dan beragamnya tujuan pemeberantasan korupsi yang harus dicapai
oleh mekanisme pemeriksaan LHKPN, apabila dibenturkan dengan kapasitas yang dimiliki
KPK, khususnya SDM penelaah/pemeriksa pada Direktorat PP LHKPN, menghasilkan
kriteria pemeriksaan yang ada sekarang, yaitu:
1. Sampling dalam jumlah tertentu dari seluruh LHKPN yang ada;
2. Adanya kecurigaan terhadap PN tertentu bahwa kekayaannya tidak wajar atau
diperoleh secara tidak sah;
3. Adanya laporan masyarakat tentang ketidakbenaran suatu LHKPN.

Kriteria tersebut ditetapkan melalui Keputusan KPK No. KEP.07/2005 yang telah dibentuk

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 93
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

sebelum sebagian tenaga penelaah yang ada saat ini bergabung dengan KPK. Pada
prakteknya kriteria tersebut dinilai kurang memadai, sehingga dari situ pihak Direktorat PP
LHKPN menetapkan beberapa kriteria baru yang sifatnya informal (dalam arti tidak
dituangkan dalam keputusan resmi). Karena sifatnya yang informal, maka berbagai kriteria
tambahan tersebut tidak mengikat untuk dijalankan. Hal ini pun menguntungkan Direktorat
PP LHKPN, sebab keterbatasan SDM yang masih dihadapi akan menjadi hambatan untuk
menjalankan secara konsisten berbagai kriteria pemeriksaan yang memang dianggap perlu
tersebut. Namun kadang untuk menyiasati kesenjangan antara kriteria pemeriksaan dengan
keterbatasan SDM, Direktorat PP LHKPN harus berkoordinasi dengan Direktorat lain di
KPK agar sebagian beban yang muncul dari kegiatan pemeriksaan bisa didistribusikan
kepada Direktorat lain sesuai dengan fungsi mereka.

7. KPK Hanya Mengumumkan Laporan Kekayaan PN di BN/TBN

Studi ini mengidentifikasi 7 faktor yang menyebabkan mengapa KPK hanya mengumumkan
LHKPN melalui BN/TBN. Ke-7 faktor tersebut adalah:
1. Penafsiran sempit asas publisitas;
2. Ada masalah hukum jika mengumumkan di luar BN/TBN;
3. Tidak ada tuntutan dari luar;
4. Belum punya media pengumuman lain;
5. Mengedepankan tertib administrasi;
6. Belum ada kebijakan tegas tentang media pengumuman;
7. BN/TBN dianggap lebih formal.

a. Penafsiran Sempit Asas Publisitas

Saat ini, setiap LHKPN yang dilaporkan kepada KPK akan diumumkan melalui BN/TBN.
Mengumumkan LHKPN sebenarnya merupakan kewajiban PN. Tetapi dalam
perkembangannya, kewajiban tersebut diambilalih KPK berbekal surat kuasa dari PN agar
proses pengumuman LHKPN dapat berjalan lancar. Sebab bila PN sendiri yang
mengumumkannya secara perorangan, dikuatirkan akan timbul beberapa kendala dalam
prakteknya di lapangan.243

Salah satunya kendala ekonomi. Pengumuman LHKPN dalam BN/TBN tidak dilakukan
bebas biaya. KPK harus membayar kepada PNRI untuk setiap LHKPN yang diumumkan.
Dulu biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 400.000 per-LHKPN, padahal LHKPN yang
harus diumumkan jumlahnya ribuan. Akhirnya setelah dilakukan negosiasi dengan PNRI,
diperoleh kesepakatan bahwa KPK hanya membayar sekitar Rp. 70.000 untuk setiap LHKPN
yang diumumkan. Meskipun telah terjadi penurunan biaya yang cukup signifikan, tetap saja
biaya yang harus dikeluarkan KPK tidak kecil karena banyaknya jumlah LHKPN yang harus
diumumkan. Padahal kinerja PNRI dalam mengelola proses pengumuman LHKPN
terkadang lambat dan tidak profesional. Dan KPK mengalami hambatan yang cukup
signifikan karena terlambatnya pencetakan BN/TBN. Sebab LHKPN tidak bisa diumumkan,
dan NHK tidak bisa dikirimkan kepada PN.244

243 Wedrianto Rahardjo, “Haruskah LHKPN Diumumkan dalam Berita Negara?”, Jakarta, 2006. Paper tidak
diterbitkan.
244 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 94
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Pengumuman LHKPN di BN/TBN sering dikaitkan dengan pemenuhan asas publisitas.


Secara tertulis, istilah “asas publisitas” sering ditemukan pada peraturan perundang-
undangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, publisitas adalah penyiaran tentang
sesuatu atau seseorang kepada masyarakat luas (melalui pelbagai media). Yang menjadi
esensi asas publisitas adalah hak dari kepentingan umum atas informasi tersebut.245

Publisitas juga dapat memberikan implikasi beralihnya sesuatu hal dari yang tadinya hanya
dapat diakses di wilayah privat menjadi dapat diakses di wilayah publik. Contoh nyata yang
paling relevan adalah pengumuman LHKPN yang membuat kekayaan pribadi PN bisa
diakses/diketahui publik.246

Di Indonesia, asas publisitas diterapkan melalui beberapa peraturan perundang-undangan.


Salah satunya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik. Pasal 4 ayat (3) UU tersebut
menyebutkan bahwa pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hukum
diumumkan dalam BN oleh Menteri Kehakiman RI. Penjelasan Pasal tersebut menyatakan
bahwa pengumuman dalam BN dimaksudkan untuk keperluan administrasi hukum yang
bersifat nasional dan memenuhi asas publisitas.247

Contoh lain adalah UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 11 ayat (1) UU tersebut
menyatakan bahwa benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Dalam
penjelasan Pasal disebutkan bahwa pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan
fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia dan pendaftarannya mencakup
benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara RI untuk memenuhi asas
publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai
benda yang telah dibebani jaminan fidusia.248

Hal yang kurang lebih sama juga diatur dalam UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Pasal 13 UU tersebut
menyatakan bahwa pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas
tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Dengan dibuatnya buku-tanah hak tanggungan, asas
publisitas terpenuhi.249

Atau Pasal 38 UU No. 41/2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa Menteri dan Badan
Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah
terdaftar. Yang dimaksud dengan mengumumkan adalah dengan memasukkan data tentang
harta benda wakaf ke dalam register umum. Dengan dimasukkannya data tentang harta
benda wakaf dalam register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga
masyarakat dapat mengakses data tersebut.250

Dari contoh-contoh pengaturan di atas, bisa disimpulkan bahwa terdapat berbagai macam
cara untuk memenuhi ketentuan asas publisitas. Asas publisitas dipenuhi, tidak melulu

245 Ibid.
246 Ibid.
247 Ibid.
248 Ibid.
249 Ibid.
250 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 95
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

dengan mengumumkan sesuatu dalam BN RI.251

Karenanya, alasan yang bisa menjelaskan mengapa KPK hingga saat ini mengumumkan
LHKPN di BN/TBN adalah karena hal serupa telah dilakukan KPKPN. Pasal 2 ayat (1)
huruf b PP Nomor 65/1999 yang menjadi salah satu dasar bekerjanya KPKPN memang
mengatur bahwa setiap orang sebelum memangku dan setelah mengakhiri jabatannya
selaku PN wajib mengumumkan jumlah dan jenis seluruh kekayaannya dalam BN/TBN.
Begitu pula Pasal 11 huruf e Kepres No. 127/1999 yang mengatur bahwa KPKPN
mempunyai tugas menetapkan dan mengumumkan hasil pemeriksaan kekayaan PN dalam
BN/TBN.252

Sebenarnya dalam UU (baik UU No. 28/1999 maupun UU No. 30/2002) tidak ada
pengaturan tegas mengenai media pengumuman LHKPN. UU No. 30/2002 justru mengatur
secara tegas media yang harus digunakan dalam mengumumkan gratifikasi. Pasal 18 UU
tersebut menyatakan bahwa KPK wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi
milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.253

Agaknya berdasarkan UU No. 30/2002 kemudian KPK menafsirkan bahwa UU memberi


kebebasan pada KPK untuk menentukan sendiri media pengumuman LHKPN sesuai
konstruksi pengaturan lebih lanjut tentang media pengumuman LHKPN, yaitu Pasal 5 ayat
(2) Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/02/2005. Disebutkan di situ bahwa pengumuman
kekayaan PN dilakukan dengan cara mengumumkan LHKPN kepada publik melalui
BN/TBN dan atau media lain yang ditetapkan KPK. Pasal 5 ayat (3) Keputusan tersebut
kemudian menjelaskan bahwa media lain yang dimaksud meliputi web-site KPK dengan
format khusus, papan pengumuman pada Kantor KPK, papan pengumuman pada instansi
tempat PN yang bersangkutan bekerja, dan atau harian nasional atau harian lokal di tingkat
kabupaten dan atau provinsi di mana PN berdomisili.254 Tetapi hal itu belum dijalankan
seluruhnya.

b. Ada Masalah Hukum jika Mengumumkan di Luar BN/TBN

Sejak awal KPKPN berdiri, Jusuf Syakir pernah berjanji bahwa pada akhir 2001, KPKPN
akan mulai mengoperasikan situs internet (website)-nya yang berisi daftar kekayaan pejabat.
Menurut Jusuf, pembuatan situs internet menunggu fatwa dari MA dan menunggu kesiapan
teknis. Pasalnya beberapa Anggota KPKPN menyarankan untuk meminta fatwa ke MA
terlebih dulu sebelum mengumumkan data-data tersebut. KPKPN telah mengirim surat ke
MA yang menanyakan boleh atau tidaknya pengumuman BN/TBN dicantumkan dalam
situs internet.255

Baru pada pertengahan 2002, tepatnya 10 Juli 2002, fatwa MA mengenai hal tersebut
dikeluarkan. Ketua MA Bagir Manan melalui suratnya berpendapat bahwa kewenangan
publikasi laporan kekayaan PN adalah kewenangan KPKPN. Dalam jawabannya, Bagir
menyinggung maksud KPKPN untuk mengoptimalkan peran-serta masyarakat dengan
menempatkan BN/TBN yang berisi pengumuman harta PN di dalam web-site. Menurut

251 Ibid.
252 Ibid.
253 Ibid.
254 Ibid.
255 Hukumonline, 8 September 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 96
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Bagir hal itu merupakan kebijaksanaan KPKPN sejauh tidak bertentangan dengan peraturan
yang menjadi landasan hukum, serta tidak mengandung penyalahgunaan wewenang.256

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, KPK tidak
pernah menutup akses publik ke LHKPN. Publik tetap bisa mengakses ke LHKPN yang
sudah menjadi BN/TBN. Khusus untuk pengisian LHKPN, KPK membuat mekanisme berisi
petunjuk pengisian laporan kekayaan PN. KPK juga meminta agar para PN yang
melaporkan kekayaan mereka juga membuat surat kuasa kepada KPK untuk
mengumumkannya dalam BN/TBN. Menurut Erry, prinsipnya pengumuman kekayaan
dilakukan sendiri oleh PN. Karena itu, supaya KPK bisa mengumumkan kekayaan yang
dilaporkan, maka KPK meminta agar para PN membuat surat kuasa kepada KPK.257

c. Tidak Ada Tuntutan dari Luar

Pasal 5 ayat (2) Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/II/2005 menyatakan bahwa LHKPN
diumumkan kepada publik melalui BN/TBN, atau media lain yang ditetapkan KPK. Oleh
ayat (3), media lain didefinisikan sebagai:
1. Situs internet KPK dengan format khusus; atau
2. Papan pengumuman pada Kantor KPK; atau
3. Papan pengumuman pada instansi di mana PN yang bersangkutan bekerja; dan/atau
4. Koran harian nasional atau harian lokal di tingkat Kabupaten dan atau provinsi di mana
PN berdomisili.

Selain Keputusan KPK, tidak ada dokumen lain yang menjelaskan apa saja media bagi KPK
untuk mengumumkan LHKPN. Dengan demikian, apabila proses diseminasi Keputusan
KPK tidak berjalan dengan baik, maka pengetahuan PN tentang media-media tersebut juga
akan terganjal. Bahkan Surat Kuasa untuk mengumumkan LHKPN juga tidak merinci media
apa saja yang dapat digunakan untuk mengumumkan LHKPN.

Karena itulah cukup wajar apabila PN tidak tahu media apa saja yang bisa dan akan
digunakan KPK untuk mengumumkan LHKPN mereka. Wajar pula apabila publik secara
luas juga tidak tahu. Ketidaktahuan PN tentang media apa saja yang bisa dan akan
digunakan KPK untuk mengumumkan LHKPN, turut mempengaruhi mengapa KPK tidak
kunjung menggunakannya. Pada Tabel 3.12 bisa dilihat bahwa mayoritas responden (73
persen) yang terdiri dari para PNS di berbagai daerah tidak tahu apa saja media yang
digunakan untuk mengumumkan LHKPN.

Tabel 3.12
Apakah PN tahu media pengumuman
No. Jawaban n %
1. Tahu 63 27
2. Tidak tahu 170 73
Total 233 100

Ketidaktahuan PN tersebut justru memendam persoalan. Karena tidak tahu, tidak ada PN
yang berkomentar tentang media pengumuman. Karena diam, maka KPK tidak bisa
mengukur seberapa besar penentangan atau dukungan PN terhadap pengumuman LHKPN

256 Kompas, 24 Agustus 2004.


257 Kompas, 9 Oktober 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 97
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

di media-media tersebut. Tidak adanya ukuran ini akhirnya membuat KPK terus berada
dalam keraguan untuk menggunakan media-media tersebut. Sementara ketidaktahuan
publik bisa menjadi peluang bagi KPK untuk tidak kunjung menggunakan media-media
tersebut karena tidak ada desakan yang datang untuk segera menggunakannya.

Sebenarnya sejak semula, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas sudah menegaskan
bahwa ke depannya, semua laporan kekayaan PN akan diumumkan pada publik baik
melalui instansinya atau melalui media massa. Hal tersebut dinilai Erry perlu agar
masyarakat dapat memantau langsung kekayaan para pejabatnya dan bisa melaporkan bila
ada harta yang tidak dilaporkan atau perolehannya mencurigakan. Apabila sampai saat ini
rencana tersebut masih belum bisa diwujudkan, maka penyebabnya adalah keterbatasan
KPK. Erry mengakui bahwa KPK memang masih mempersiapkan segala sesuatunya.258

d. Belum Punya Media Pengumuman Lain

Meski mencantumkan 5 jenis media pengumuman LHKPN dalam keputusannya, namun


sejak berdirinya hingga sekarang, praktis KPK hanya menyelenggarakan pengumuman di 3
media, yaitu BN/TBN, papan pengumuman KPK, dan papan pengumuman instansi tempat
PN bekerja. Ketiga media tersebut pula yang berulang kali dijanjikan untuk digunakan
dalam berbagai pernyataan KPK di media massa.

Namun ke-3 media yang digunakan dari 5 media yang direncanakan tersebut, tidak
semuanya bebas dari masalah. Hanya pengumuman melalui BN/TBN-lah yang paling kuat
secara hukum dan paling tertib administrasi. Papan pengumuman KPK misalnya, jelas
kurang efektif untuk digunakan, terutama apabila pengumuman dilakukan dalam jumlah
besar, juga apabila dilakukan terhadap PN yang berdomisili di daerah. Persoalan akses
publik menjadi kendala utama.

Adapun papan pengumuman pada instansi tempat PN bekerja, meski relatif mampu
mengatasi persoalan akses publik, namun sulit dikontrol pelaksanaannya, baik dari sudut
kepatuhan maupun dari sudut tertib administrasi. Seperti yang terjadi pada para Anggota
DPRD Kota Pekanbaru yang hanya menempelkan LHKPN 41 Anggota pada papan
pengumuman di depan ruang rapat DPRD Kota Pekanbaru. Sementara kekayaan 4 Anggota
DPRD lainnnya, yaitu Suratiny Sulesdianingrum, Dt. Akmal, M Fadri AR dan Kismono tidak
ada dalam pengumuman tersebut.

Menurut keterangan Ketua DPRD Kota Pekanbaru HM Teguh Pribadi Arsyad tidak
diumumkannya LHKPN keempat Anggota DPRD tersebut besar kemungkinan karena
kalalaian teknis dari staf Sekretariat Dewan yang bertanggungjawab melaksanakannya. Dan
ketika dikonfirmasikan pada salah seorang dari keempat Anggota DPRD tersebut, yang
bersangkutan mengaku dirinya sudah mengisi LHKPN.

Bisa jadi persoalan yang sama juga akan ditemukan pada instansi lain di daerah lain. Namun
bisa jadi pula motifnya berbeda-beda, baik kelalaian teknis, maupun kesengajaan karena
resistensi. Sehingga apabila KPK tidak punya mekanisme untuk mengontrolnya, persoalan
semacam itu dapat terus terjadi. Sebab walaupun Keputusan KPK telah menegaskan bahwa
format dan tata cara pengumuman harus dipatuhi, namun tidak diatur mekanisme lanjutan

258 http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=MerahPutih&id=46154.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 98
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

untuk mengontrol maupun memperingatkan ketika ada PN atau instansinya yang


menyalahi kewajiban mengumumkan tersebut.

Hingga sekarang belum ada kejelasan tentang prospek digunakannya situs internet sebagai
media pengumuman. Meski sebenarnya piranti lunak untuk mendukung hal itu telah
dibangun dan siap digunakan sejak masa KPKPN. Agaknya KPK masih berhitung tentang
resiko hukum dan biaya sosial yang mungkin timbul dari penggunaan situs internet
tersebut. Apalagi ada pendapat di kalangan PN bahwa pengumuman LHKPN melalui situs
internet berpotensi untuk disalahgunakan, misalnya dimanipulasi pihak luar lewat
kecanggihan teknologi yang ada untuk beragam kepentingan. Di samping itu, dibukanya
akses melalui situs internet dinilai terlalu luas, siapa pun dengan kepentingan apa pun bisa
mengaksesnya jika tidak didukung dengan sistem pengamanan yang memadai.259

Sementara pengumuman melalui media massa jelas akan membebani anggaran KPK secara
signifikan. Yang paling mungkin dan sudah sering dilakukan adalah mengemas
pengumuman tersebut ke dalam bentuk pemberitaan, yang meskipun tidak punya
konsekuensi finansial, namun tentu saja sangat selektif sesuai kepentingan media massa
yang bersangkutan dan tidak mampu memuat informasi secara lengkap.

e. Mengedepankan Tertib Administrasi

Fakta bahwa mengumumkan LHKPN melalui BN/TBN secara hukum lebih kuat di samping
preseden yang telah dijalankan sejak masa KPKPN, menjadikan KPK lebih mengutamakan
media tersebut. Selain itu, dari sudut tertib administrasi pun pengumuman LHKPN melalui
BN/TBN jelas lebih terjamin. Karenanya sangat logis apabila KPK memiliki preferensi lebih
kuat untuk menggunakannya dibanding media yang lain.

f. Belum Ada Kebijakan Tegas tentang Media Pengumuman

Norma UU No. 28/1999 yang menyatakan bahwa pengumuman LHKPN adalah kewajiban
PN. Karena itulah KPK memerlukan surat kuasa dari PN untuk mengumumkan LHKPN.
Pembuatan surat kuasa tersebut telah dilakukan sejak masa KPKPN, yang prosedur dan tata
kerjanya juga diatur dalam PP No. 65/1999. Berdasarkan PP tersebut, KPKPN diwajibkan
mengumumkan LHKPN dalam BN/TBN. Sementara di sisi yang lain tuntutan masyarakat
yang diwakili kalangan LSM sangat kuat mengenai dibukanya akses publik terhadap
LHKPN.

Keempat input tersebut selanjutnya diolah KPK ke dalam Keputusan KPK No. 07/2005,
yang menekankan BN/TBN sebagai media pengumuman LHKPN, namun mengintroduksi
pula media pengumuman yang lain. Sebenarnya media alternatif seperti situs internet sudah
diintroduksi sejak masa KPKPN, namun karena berbagai pertimbangan dari aspek legal,
media alternatif tersebut tidak digunakan KPKPN. Dan agaknya pertimbangan dari aspek
legal pulalah yang membuat KPK terus menunda penggunaan media alternatif dalam
mengumumkan LHKPN.

Padahal, hingga saat ini masyarakat masih menemukan kesulitan untuk mengakses
BN/TBN, khususnya yang memuat LHKPN, ke PNRI, karena pihak PNRI menganggap

259 Wawancara tanggal 10 Oktober 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 99
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

bahwa pembukaan akses merupakan kewenangan KPK. Sikap yang sama juga digunakan
PNRI ketika KPKPN masih bekerja. Sementara untuk mendapatkan dokumen LHKPN ke
KPK, kendala akses khususnya dari sisi jarak bagi masyarakat di daerah, akan mengemuka.
Akibat kesulitan akses masyarakat tersebut, bisa dipahami apabila pengaduan masyarakat
berkaitan dengan LHKPN hingga saat ini masih minim.

Untuk itulah KPK agaknya perlu merevisi kebijakannya di bidang pengumuman LHKPN,
khususnya mengenai efektivitas pengumuman melalui BN/TBN yang tidak dapat disangkal
merupakan media paling kuat dan paling dipilih berbagai pihak. Selain memperbaiki
efektivitas pengumuman melalui BN/TBN, KPK pun perlu memastikan penggunaan media
alternatif yang telah ditetapkan, serta menemukan media alternatif lainnya yang lebih
masuk akal untuk dipakai.

g. BN/TBN Dianggap Lebih Formal

Dalam pembicaran antara Tim Peneliti dengan beberapa PN dan bahkan staf di Direktorat
PP LHKPN sendiri, masih kuat anggapan bahwa asas publisitas hanya bisa dipenuhi melalui
BN/TBN. Mereka antara lain menilai bahwa LHKPN adalah dokumen negara, dan
karenanya harus diumumkan melalui media resmi negara. Meski ada banyak peraturan
perundang-undangan yang bisa jadi rujukan bahwa asas publisitas tidak melulu harus
dipenuhi dengan pengumuman dalam BN/TBN atau Lembaran Negara, namun perspesi
tentang hal itu tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

8. KPK Belum Mengupayakan Sanksi bagi PN

Studi ini mengidentifikasi 10 faktor yang menyebabkan mengapa KPK belum


mengupayakan sanksi bagi PN. Ke-10 faktor tersebut adalah:
1. UU No. 28/1999 dinilai mengecualikan KUHP;
2. Berbagai aturan pendisiplinan PN tidak efektif;
3. Ada batasan kewenangan;
4. Sanksi perbuatan melawan hukum belum dikaji untuk diterapkan;
5. Kode etik belum bisa jadi acuan;
6. Lapor kekayaan belum mempengaruhi pengisian jabatan/kepangkatan;
7. Tindak lanjut laporan KPKPN di masa lalu tidak jelas;
8. Data PN yang melanggar tidak update;
9. Belum punya strategi meningkatkan ketaatan PN;
10. Belum menyepakati sanksi.

a. UU No. 28/1999 Dinilai Mengecualikan KUHP

Banyak kalangan, mulai dari Anggota KPKPN, aktivis LSM, hingga praktisi hukum seperti
Denny Kailimang meyakini bahwa Pasal 216 KUHP bisa digunakan sebagai dasar bagi
langkah hukum, yaitu melalui pengaduan secara pidana terhadap PN yang tidak mau
melaporkan kekayaannya.260 Pasal 216 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa dengan
sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut UU oleh pejabat
yang berwenang dapat dipidana selama paling lama empat bulan dua minggu atau denda

260 Kompas, 29 Agustus 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 100
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

paling banyak Rp 9.000.

Akan tetapi yang menjadi persoalan, Pasal 216 KUHP dianggap telah dikesampingkan oleh
Pasal 20 UU No. 28/1999. Menurut keterangan Humas KPKPN, di masa lembaga tersebut
bekerja terdapat beberapa pejabat yang dilaporkan ke Polri, seperti Gubernur Kalimantan
Selatan Sjachriel Darham, Mantan Kepala Panitera PN Jakarta Selatan yang kemudian
menjabat Bupati Toraja J. Amping Situru, Jaksa Agung M.A. Rahman, dan Hakim Agung
Abdulkadir Mapong.261 Sebagian kasus diadukan dengan menggunakan Pasal 216 KUHP
sebagai dasar hukum. Namun pada kasus J. Amping Situru, pengaduan tersebut dihentikan
proses hukumnya, salah satunya karena alasan bahwa KPKPN tidak bisa memenuhi unsur-
unsur dalam Pasal 216 KUHP, dan karena Pasal 216 KUHP dinilai telah dikesampingkan
oleh Pasal 20 UU No. 28/1999.

b. Berbagai Aturan Pendisiplinan PN tidak Efektif

Telah berkali-kali PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS dijadikan dasar hukum
untuk mengancam PN yang menolak melaporkan kekayaannya. Apalagi banyak kalangan
secara otomatis mengartikan bahwa salah satu turunan dari sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU No. 28/1999 adalah PP No. 30/1980, khususnya
bagi PN yang berasal dari kalangan PNS.

Ancaman tersebut pernah disampaikan oleh pejabat di berbagai level, mulai dari level
Menpan, pimpinan lembaga negara/pemerintah, gubernur, hingga bupati dan walikota atau
pejabat di bawahnya. Seperti yang pernah dinyatakan Kepala BKD Kabupaten Karanganyar,
Sandimin, bahwa Bupati berhak untuk menjatuhkan sanksi pada PN di lingkungan
pemerintah kabupaten Karanganyar yang menolak melaporkan kekayaannya, berdasarkan
PP No. 30/1980.262 Adapun pernyataan bahwa selain PN yang bersangkutan, pimpinan
masing-masing PN juga bisa dikenakan sanksi pernah disampaikan Gunawan Hadisusilo,
Deputi Menpan Bidang Pengawasan.263

Namun meski dijanjikan berkali-kali untuk digunakan dalam menjatuhkan sanksi bagi PN
yang tidak mau lapor kekayaan, belum pernah ada PN yang dijatuhi sanksi berdasarkan PP
tersebut. Selain prosesnya sangat panjang, PP No. 30/1980 juga tidak secara formal
membuka saluran pengaduan bagi pihak-pihak eksternal, termasuk KPK, selain atasan dan
pejabat pemeriksa internal di masing-masing instansi, untuk mengadukan PNS yang
dianggap melanggar peraturan disiplin, salah satunya tidak melaporkan kekayaan.

Namun sayangnya, meski saluran tersebut tidak jelas, prosedur pelaksanaan PP No. 30/1980
agaknya belum menjadi klausul dalam MoU yang selama ini dibentuk antara KPK dengan
lembaga-lembaga negara/pemerintah. Berbagai MoU tidak mencantumkan mekanisme yang
harus ditempuh baik oleh KPK maupun lembaga negara/pemerintah yang bersangkutan,
untuk memastikan kepatuhan PN dalam melaporkan kekayaan.

Misalnya bila terjadi pelanggaran, dalam hal ini ada PN yang menolak melaporkan
kekayaan, kepada siapa KPK harus melaporkannya? Apa peran yang harus dijalankan KPK
dalam proses pemeriksaan PN tersebut? Apa yang harus ditempuh KPK apabila laporan

261 Tempointeraktif, 15 Maret 2004.


262 Suara Merdeka, 16 Januari 2003.
263 Suara Merdeka, 8 Maret 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 101
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

tentang pelanggaran oleh PN tidak ditindaklanjuti? Agaknya ketentuan teknis semacam itu
perlu diakomodasi dalam MoU antara KPK dengan lembaga negara/pemerintah.

c. Ada Batasan Kewenangan

Pasal 14 huruf a dan huruf b UU No. 30/2002 mengatur kewenangan KPK dalam
menjalankan tugas monitor. Kewenangan tersebut terdiri dari pengkajian sistem
pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah, serta pemberian saran
kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan apabila berdasarkan hasil kajian sistem
pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi.

Pasal 14 huruf c UU No. 30/2002 juga mengatur saluran bagi KPK untuk melaporkan
kepada Presiden, DPR, dan BPK apabila saran tentang perbaikan sistem pengelolaan
administrasi tidak diindahkan. Tujuan dibukanya saluran tersebut adalah untuk lebih
memastikan ketaatan pimpinan lembaga-lembaga negara/pemerintah terhadap saran KPK
dalam rangka meminimalisasi potensi korupsi. Dengan adanya laporan kepada Presiden,
DPR, dan BPK, diharapkan sanksi administratif hingga sanksi politik dan moral, dapat
dikenakan kepada pimpinan lembaga negara/pemerintah yang menolak untuk berbenah
diri.

Meski tidak kalah pentingnya, namun saluran bagi KPK untuk memastikan ketaatan PN
melaporkan kekayaannya tidak disediakan secara khusus. Padahal apabila saluran tersebut
ditegaskan, setidaknya sanksi administratif hingga sanksi politik dan moral bisa diupayakan
untuk dikenakan baik terhadap PN maupun terhadap pimpinan instansi di mana mereka
bekerja.
Agaknya dalam kewenangan pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan PN, KPK memang
diarahkan untuk mengoptimalkan saluran-saluran yang sudah ada, paling tidak saluran
dalam hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata. Namun karena tugas dan
kewenangan KPK di bidang pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan PN tidak mencakup
pula tugas dan kewenangan untuk memastikan ketaatan PN, maka secara yuridis, tuntutan
bagi KPK untuk mengupayakan sanksi terhadap PN yang membandel, tidak terlalu kuat.
Padahal secara sosiologis, tuntutan tersebut sangat kuat disampaikan masyarakat,
khususnya LSM. Seperti yang disampaikan YLBHI bahwa KPK harus mencari terobosan
hukum untuk menindak PN yang tidak mau melaporkan kekayaan, yang apabila dilakukan,
maka KPK bisa dinilai telah melakukan pembiaran. Hal senada juga disampaikan oleh
ICW.264

d. Sanksi Perbuatan Melawan Hukum Belum Dikaji untuk Diterapkan

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”

Unsur-unsur dalam muatan pasal 1365 itu merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam
menentukan kategori perbuatan melawan hukum, yaitu:
1. Adanya tindakan yang melawan hukum;
2. Ada kesalahan pada pihak yang melakukan; dan

264 Media Indonesia, 31 Mei 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 102
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

3. Ada kerugian yang diderita.

Kerugian yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku perbuatan melawan hukum


adalah kerugian yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum, artinya
antara kerugian yang timbul dengan perbuatan melawan hukum harus terdapat hubungan
kausalitas.

Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919, substansi dari perbuatan melawan
hukum meliputi:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau
2. Melanggar hak subyektif orang lain; atau
3. Melanggar kaidah tata susila (goede zeden); atau
4. Bertentangan dengan azas “kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati, dalam pergaulan
hidup masyarakat.

Apabila pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut dikaitkan
dengan hukum acara perdata, ada kemungkinan gugatan tidak dapat diterima apabila
Penggugat tidak bisa membuktikan:
1. Adanya unsur perbuatan melawan hukum seperti melanggar hak orang lain,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan yang
baik, bertentangan dengan kepatutan serta keharusan yang harus diperhatikan dalam
pergaulan masyarakat;
2. Adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku;
3. Adanya unsur kerugian yang ditimbulkan baik berupa kerugian materiil maupun
kerugian immateriil;
4. Adanya unsur hubungan kausal (sebab-akibat) antara perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan sehingga pelaku dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Desakan agar gugatan perbuatan melawan hukum dijadikan salah satu terobosan untuk
mengupayakan sanksi bagi PN yang menolak melaporkan kekayaan, yang belum pernah
dilakukan KPK, pernah disampaikan Koordinator ICW, Teten Masduki. Dasar hukum
perbuatan melawan hukum sangat tepat digunakan terhadap pembangkangan yang
dilakukan sebagian PN dengan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No.
28/1999. Menurut Teten, pembangkangan tersebut setidaknya sudah memenuhi unsur-
unsur hukum secara perdata.265

e. Kode Etik Belum Bisa Jadi Acuan

Digunakannya kode etik sebagai salah satu sarana untuk mengupayakan sanksi bagi PN
yang melanggar kewajibannya melaporkan kekayaan sangat bergantung pada pelembagaan
kode etik tersebut. Pelembagaan tersebut terdiri dari akomodasinya ke dalam sistem hukum,
penetapannya dalam prosedur dan tata kerja lembaga, sosialisasi dan internalisasinya
terhadap PN yang menjadi subjek dari aturan-aturan dalam kode etik, hingga yang
terpenting adalah pembentukan mekanisme penegakannya serta pelaksanaannya di
lapangan.

Banyak kalangan menyangsikan efektivitas kode etik untuk mengarahkan perilaku yang

265 Kompas, 10 Agustus 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 103
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

sesuai, terutama karena kekuatan mengikatnya yang lemah. Kesangsian tersebut muncul
karena pandangan yang sudah sangat umum bahwa aturan hukum dengan sanksi tegas
sekalipun seringkali diabaikan sebagai pedoman berperilaku. Belum lagi jika berbicara
tentang garis batas antara materi muatan kode etik dengan materi muatan hukum yang
seringkali tidak jelas. Seringkali kode etik menduplikasi materi muatan hukum yang pada
akhirnya justru menjadi tameng ketika bagi proses penegakan hukum terhadap perilaku
yang juga notabene melanggar hukum.

Di Indonesia, aturan kode etik di kalangan pejabat publik sebenarnya sudah lama dikenal.
PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS merupakan salah satu rujukan paling awal
tentang pedoman perilaku PNS. Di kalangan hakim misalnya, kode etik Ikatan hakim
Indonesia telah lama diperkenalkan. Di lingkungan POLRI keberadaan kode etik pun telah
cukup lama dikenal. Tetapi pelembagaan kode etik secara serius dan penegakannya selalu
menjadi masalah yang mengganjal.

Aturan hukum paling baru mengenai kode etik PNS dimuat dalam PP No. 42 Tahun 2004
tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. PP tersebut mendefinisikan kode etik
PNS sebagai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS dalam menjalankan tugasnya
dan pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik PNS dikategorikan ke dalam:
1. Etika dalam bernegara;
2. Etika dalam berorganisasi;
3. Etika dalam bermasyarakat;
4. Etika terhadap diri sendiri; dan
5. Etika terhadap sesama PNS.

Pasal 13 dan Pasal 14 PP No. 42/2004 memberi mandat kepada pejabat pembina
kepegawaian di instansi PNS serta organisasi profesi di lingkungan PNS untuk menetapkan
kode etik berdasarkan karakteristik masing-masing, namun tanpa melanggar aturan kode
etik dalam PP tersebut.

Berbeda dari PP No. 30/1980, sanksi terhadap pelanggaran kode etik dalam PP No. 42/2004
adalah sanksi moral, berupa pernyataan tertulis tentang jenis pelanggaran kode etik oleh
PNS yang bersangkutan baik secara tertutup ataupun secara terbuka. Selain itu, tindakan
administratif sesuai peraturan perundang-undangan juga bisa dikenakan terhadap PNS
yang melanggar kode etik.

Untuk penegakannya, PP No. 42/2004 juga mengamanatkan dibentuknya Majelis Kode Etik
pada setiap instansi. Majelis Kode Etik berwenang memeriksa dugaan pelanggaran kode
etik, mendengar pembelaan diri PNS yang bersangkutan, dan mengambil keputusan.
Keputusan Majelis Kode Etik bersifat final dan disampaikan kepada pejabat pembina
kepegawaian di instansi masing-masing.

Apabila dikaji dari materi kode etik dalam PP No. 42/2004, maka kewajiban lapor kekayaan
bisa dikaitkan dengan kewajiban menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam melaksanakan tugas, yang masuk dalam kategori etika dalam bernegara. Selain itu,
kewajiban PNS untuk tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar,
juga bisa dikaitkan dengan kewajiban PN melaporkan kekayaannya secara benar.

Di kalangan pejabat negara, khususnya Anggota Legislatif, Kode Etik DPR yang paling

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 104
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

akhir, berdasarkan Keputusan DPR RI No. 16/DPR RI/I/2004-2005 yang disahkan pada 29
September 2004, mengatur kewajiban Anggota DPR untuk melaporkan kekayaan secara
jujur dan benar sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 10). Selain
menetapkan mekanisme penegakannya dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, pada
keanggotaan DPR RI 2004-2009 mekanisme tersebut telah mulai dijalankan.

Meski dari dua contoh kode etik tersebut bisa diambil gambaran bahwa terdapat beberapa
materi kode etik dan mekanisme penegakannya yang ada di lingkungan PN yang bisa
dikaitkan dengan pelanggaran kewajiban melaporkan kekayaan, namun hingga saat ini,
belum ada yang digunakan untuk mengenakan sanksi bagi pelanggaran di bidang laporan
kekayaan. Selain minimnya komitmen di lingkungan lembaga negara/pemerintah untuk
menegakkan disiplin serta mandulnya mekanisme penegakan yang ada, baik KPK maupun
KPKPN di masa lalu, memang belum pernah berupaya untuk menggunakan saluran ini
dalam memastikan ketaatan PN dalam melaporkan kekayaan.

f. Lapor Kekayaan Belum Mempengaruhi Pengisian Jabatan/Kepangkatan

Meski pengenaan tindakan disiplin kepada PN, khususnya yang berasal dari lingkungan
PNS berdasarkan PP No. 30/1980 akan berujung salah satunya pada penundaan kenaikan
pangkat (hukuman disiplin sedang) dan bahkan penurunan pangkat pada pangkat setingkat
yang lebih rendah (hukuman disiplin berat), namun sanksi tersebut merupakan bentuk
tindakan represif. Yaitu tindakan yang dikenakan kepada PNS yang telah melalaikan
kewajibannya melaporkan kekayaan.

Sementara dari sudut preventif, yaitu memastikan sejak awal agar PNS tidak melanggar
kewajibannya, belum ada aturan hukum yang menaungi. Meski PP No. 12 Tahun 2002
tentang Kenaikan Pangkat PNS sebenarnya dapat menjadi instrumen hukum yang tepat
untuk mengatur tindakan preventif guna memastikan kepatuhan PNS dalam memenuhi
kewajibannya melaporkan kekayaan, namun hal tersebut belum disinggung sama sekali.

Tanpa harus mengedepankan pendekatan sanksi semata, PP tentang Kenaikan Pangkat PNS
bisa sama efektifnya dalam mendorong kepatuhan PNS. Bahkan hal ini bisa dipandang dari
sudut reward. Bahwa apabila seorang PNS telah memenuhi kewajibannya melaporkan
kekayaan, maka hak-hak administratifnya, salah satunya berupa kenaikan pangkat berkala
yang akan berujung pada kenaikan penghasilan, bisa didapatkan sesuai jenjang karir yang
ada.

Di kalangan BUMN, mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi pernah berjanji membuat
peraturan yang mewajibkan setiap pejabat Direksi BUMN menyerahkan daftar kekayaannya
terlebih dulu sebelum menjabat. Bahkan lebih dari itu, daftar kekayaan juga pernah akan
dipakai sebagai prasyarat utama untuk promosi atau jenjang karir di jajaran BUMN. Meski
tidak jelas bagaimana kelanjutan dari rencana kebijakan tersebut, setidaknya pernyataan
Laksamana Sukardi tersebut bisa menjadi indikasi kuat bahwa kewajiban lapor kekayaan
layak dan bisa dijadikan syarat bagi kenaikan pangkat, baik PNS, maupun PN yang lain.266

Apalagi pendekatan ini juga digunakan bagi PN yang untuk mengisi jabatannya harus
menempuh proses pemilihan umum. Pasal 58 huruf i UU No. 32/2004 tentang Pemerintah

266 Kompas, 15 Agustus 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 105
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Daerah dan Pasal 38 huruf i PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah misalnya, mensyaratkan agar
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melaporkan dan mengumumkan
kekayaannya sebelum mengikuti pilkada. Apabila calon peserta pilkada tidak bersedia
melaporkan dan mengumumkan kekayaannya, maka mereka dapat dipandang tidak
memenuhi persyaratan UU untuk mengikuti pilkada.

g. Tindak Lanjut Laporan KPKPN di Masa Lalu Tidak Jelas

Tidak jelasnya tindak lanjut dari laporan KPKPN di masa lalu kepada instansi terkait
khususnya POLRI, bisa menjadi disinsentif tersendiri dari KPK untuk mengupayakan sanksi
bagi PN yang melanggar kewajibannya melaporkan kekayaan. Anggapan bahwa hal serupa
bisa terjadi pada laporan yang dibuat KPK, cukup membuat pesimis tentang efektivitas
ditempuhnya langkah mengupayakan sanksi.

Pada awal 2004, KPKPN pernah mempertanyakan tindak lanjut penyelidikan POLRI
terhadap 9 orang PN yang sekitar 2002-2003 sudah dilaporkan lantaran laporan kekayaan
yang mereka berikan ke KPKPN diduga bermasalah.267 Sampai KPKPN dibubarkan, tidak
ada tindak lanjut dari POLRI. Malah terakhir, keputusan POLRI menghentikan penyidikan
terhadap salah seorang PN yang dilaporkan, yaitu Bupati Tanah Toraja, baru dikeluarkan
beberapa tahun setelah KPK bekerja.

Selain kepada pihak POLRI, KPKPN juga pernah meminta DPRD Kalimantan Selatan
memberhentikan Gubernur Kalimantan Selatan Syahril Darham, yang diduga memalsukan
laporan kekayaannya. Namun sama dengan laporannya ke POLRI, tidak ada tindak lanjut
yang berarti terhadap upaya KPKPN pada 2003 tersebut.

h. Data PN yang Melanggar Tidak Update

Sejalan dengan kurang update-nya data tentang PN wajib lapor di berbagai lembaga
negara/pemerintah, maka data yang dimiliki KPK tentang PN yang belum melaporkan
kekayaan, terlebih lagi data tentang PN yang belum memperbarui laporan kekayaan, juga
agak sulit dipastikan kekiniannya. Apalagi, selain faktor tersebut, besarnya tunggakan
LHKPN yang belum didaftarkan oleh KPK sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
menjadi kendala tersendiri bagi KPK untuk mengidentifikasi secara pasti siapa saja PN wajib
lapor yang belum melaporkan kekayaan atau belum memperbarui laporan kekayaannya.

Menurut Direktur PP LHKPN KPK, M. Sigit, KPK tidak bisa secara sederhana menunjuk PN
tertentu melanggar ketentuan UU No. 28/1999 hanya berdasarkan data yang ada dalam
piranti lunak LHKPN. Sebab bisa jadi PN tersebut telah mengirimkan LHKPN-nya ke KPK,
namun belum diterima, atau sudah diterima namun belum diolah. Atau mungkin pula PN
tertentu (khususnya yang harus menempuh pemilu) telah melaporkan kekayaan ke KPU,
karena UU mensyaratkannya, namun belum diterima KPK. Hal ini pernah terjadi pada 13
orang Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang diumumkan belum
melaporkan kekayaan, namun ternyata telah menyerahkan laporan tersebut ke KPU melalui
KPUD, dan terselip dalam proses transisi logistik dari KPUD dan KPU ke KPK.268 Tentu saja
Sigit mengakui pentingnya perbaikan sistem kerja Direktorat PP LHKPN termasuk

267 Tempointeraktif, 15 Maret 2004.


268 FPKS Online, 16 Juni 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 106
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

perangkat pendukungnya dari waktu ke waktu, dan hal itu tengah dilakukan, agar
identifikasi PN yang melanggar bisa dilakukan dengan cepat dan tepat.
Kurang update-nya data tersebut pernah menyebabkan kekeliruan KPK saat mengumumkan
siapa saja Anggota DPR yang belum melaporkan kekayaan. Direktur PP LHKPN KPK, M.
Sigit, pernah mengungkapkan data rekapitulasi pelaporan kekayaan Anggota DPR di KPK
yang mencantumkan nama 103 Anggota DPR yang belum memperbarui laporan dan 64
nama mantan dan anggota dewan yang tidak pernah melapor kekayaan ke KPK. Setelah
dimuat di media massa, data tersebut diperbarui bahwa pertanggal 9 Juni 2006, dari 64 nama
yang sebelumnya diberitakan tak pernah melaporkan kekayaan, ada 16 nama yang
sebetulnya sudah pernah melaporkan kekayaannya (yaitu pada 2004 atau 2005) dan belum
wajib melaporkan kekayaan kembali. KPK menyatakan kesalahan data sebelumnya
disebabkan oleh dua hal. Pertama, pejabat dimaksud pernah melapor kekayaan ke KPU tapi
datanya tidak sampai ke KPK, sehingga dinyatakan belum pernah melapor. Kedua, pejabat
itu pernah melaporkan kekayaan kepada KPKPN (sebelum KPK) tetapi tidak diperbarui saat
terpilih kembali menjadi Anggota DPR sehingga dinyatakan belum pernah melapor.269

i. Belum Punya Strategi Meningkatkan Ketaatan PN

Direktur PP LHKPN KPK, M. Sigit, pernah menyatakan bahwa upaya penegakan hukum
dalam konteks pelaporan kekayaan adalah penting, namun hal itu harus dengan sosialisasi
kepada para PN. Setelah mereka paham, baru paksaan dapat dilakukan. Selama ini
sosialisasi tentang kewajiban lapor kekayaan sudah dijalankan. Begitu pula pembentukan
Pokja LHKPN di setiap provinsi yang mendukung kegiatan sosialisasi.
KPK juga sudah mengupayakan sanksi moral dengan mengumumkan nama-nama dan
mengeluarkan surat peringatan bagi PN yang tidak lapor kekayaan. Direktur PP LHKPN
pernah menyatakan bahwa surat peringatan KPK terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang ditembuskan kepada Presiden sudah
merupakan peringatan keras.270

Namun demikian, KPK tidak pernah secara gamblang mengumumkan kepada publik
tentang strategi yang akan ditempuh untuk meningkatkan ketaatan PN dalam melaporkan
kekayaan dari waktu ke waktu. Apakah fase sosialisasi sudah dijalani secara memadai,
sehingga perlu ditingkatkan dengan fase mengupayakan sanksi bagi PN yang membandel.
Sanksi apa yang akan diprioritaskan untuk diupayakan, apakah sanksi pidana, sanksi
perdata, administratif, atau moral? Lalu jika sudah harus mengupayakan sanksi, kategori PN
macam apa yang perlu diprioritaskan lebih dulu pemastian ketaatannya. Apakah
difokuskan golongan/eselon tertentu saja? Atau PN di instansi tertentu? Atau PN di wilayah
tertentu? Atau harus merepresentasikan PN di semua kategori?

Strategi semacam itu pernah diakui dan dirasakan berhasil dalam meningkatkan ketaatan
PN oleh Ketua KPKPN, Jusuf Syakir. Dalam sebuah wawancara dengan media massa, Jusuf
Syakir menyatakan bahwa setelah berkonsultasi dengan POLRI dan beroleh kesimpulan
bahwa Pasal 216 KUHP, KPKPN segera mengadukan beberapa PN yang membandel ke
polisi. Menurut Jusuf, setelah pengaduan itu terjadi peningkatan kepatuhan yang sangat
pesat. Dari semula hanya 33 persen dan tidak kunjung meningkat selama beberapa bulan,
hingga mencapai 39 persen hanya dalam tempo tidak sampai 1 bulan.271

269 Media Indonesia, 14 Juni 2006.


270 Koran Tempo, 14 September 2006.
271 Kompas, 13 Oktober 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 107
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Dan dalam sebuah jajak pendapat di Harian Kompas, mayoritas anggota masyarakat yang
dimintai pendapat tidak ragu menuntut perlunya diberlakukan sanksi bagi setiap PN yang
bersikeras menolak melaporkan kekayaannya. Responden terbanyak (42 persen)
menginginkan pemberhentian dari jabatan sebagai sanksi terbaik yang diberikan. Sisanya,
memandang sanksi teguran dan penurunan tingkat jabatan sebagai pilihan yang paling
tepat.272

j. Belum Menyepakati Sanksi

Lantaran KPK mengalami kendala dalam mendapatkan data PN wajib lapor yang update
dari waktu ke waktu, dan hal itu notabene juga menjadi kendala bagi KPK untuk
mendapatkan data siapa saja PN wajib lapor yang melanggar kewajibannya, maka KPK
kesulitan mengupayakan sanksi. Untuk meng-update data, KPK harus terlebih dulu
mengkonfirmasikan kepada setiap lembaga negara/pemerintah, yang prosesnya kadang
dirasakan lamban. Padahal sebelum mengupayakan sanksi kepada PN tertentu, KPK harus
yakin terlebih dulu bahwa PN tersebut memang benar belum melaporkan kekayaan atau
belum memperbarui laporan kekayaannya.

Selain itu, dari struktur organisasi dan tata kerja yang ada sekarang, belum jelas unit kerja
mana di tubuh KPK yang harus diberi tugas mengupayakan sanksi-sanksi tersebut. Apakah
Direktorat PP LHKPN sendiri, Tim Hukum di bawah Biro Umum, Direktorat Monitoring,
atau berbagai Direktorat di bawah Deputi Penindakan.

Jika sanksi pidana yang akan diupayakan, apakah sesuai Keputusan Pimpinan KPK No.
KEP-07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, di mana berbagai
Direktorat di bawah Deputi Penindakan diatur memiliki kewenangan pembinaan kerjasama
dengan instansi dan lembaga terkait mengenai penanganan tindak pidana korupsi, patut
dipertanyakan apakah berbagai Direktorat tersebut yang lebih tepat mengupayakannya,
baik ke Kepolisian atau ke Kejaksaan? Bagaimana halnya dengan sanksi administratif, baik
kepada PN yang bersangkutan maupun pimpinannya masing-masing, apakah tepat jika
Direktorat Monitoring KPK yang mengupayakannya, mengingat Direktorat tersebut
memiliki kewenangan menyampaikan laporan kepada Presiden, DPR, dan BPK mengenai
pengelolaan administrasi di lembaga negara/pemerintah yang berpotensi korupsi?

Bagaimana pula jika sanksi yang akan diupayakan adalah sanksi perdata berupa gugatan
perbuatan melawan hukum, unit kerja mana yang berwenang beracara di Pengadilan
mewakili KPK dalam lingkup perdata? Jika sanksi moral yang akan diupayakan, seperti
pengumuman nama PN maupun pengumuman instansi yang banyak PN-nya tidak
melaporkan kekayaan, agaknya tidak ada unit kerja yang lebih tepat selain Direktorat PP
LHKPN sendiri, yang menguasai dan mengelola data pelaporan dari waktu ke waktu.

Pada aspek usulan sanksi, KPK pun belum menyepakati sanksi apa saja yang akan
diupayakan terhadap setiap bentuk pelanggaran kewajiban melaporkan kekayaan oleh PN,
yang bisa berupa tidak melaporkan kekayaan sama sekali, tidak memperbarui laporan
kekayaan, tidak mau mengumumkan LHKPN, hingga memalsukan data dalam laporan
kekayaan. Belum ada pedoman pada pelanggaran apa saja sanksi pidana, perdata,
administratif dan sanksi moral bisa diterapkan.

272 Jajak Pendapat Kompas, 6 Mei 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 108
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

BAB IV
Usulan Solusi bagi
Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN

A. Pengantar

etodologi yang digunakan dalam studi ini mengarahkan agar solusi yang diusulkan
dapat menjamin penyelesaian masalah, yaitu dengan mengubah atau menghilangkan
berbagai perilaku bermasalah. Masalah hanya akan selesai apabila rincian solusi yang
diusulkan secara logis dapat merubah atau menghilangkan berbagai penyebab dari
berbagai perilaku bermasalah tersebut. Dengan demikian diharapkan usulan solusi dapat
mendorong munculnya perilaku baru yang lebih sesuai.273

Usulan solusi yang dihasilkan studi ini, selalu diupayakan memenuhi beberapa kriteria
solusi yang baik. Kriteria solusi yang baik adalah:
1. Berangkat dari logika pemecahan masalah.
Setiap rincian solusi harus secara logis mengarah pada berbagai penyebab perilaku
bermasalah yang telah dijelaskan dan dianalisa pada bab sebelumnya;
2. Berangkat dari keterbatasan yang ada.
Setiap rincian solusi harus secara logis mempertimbangkan berbagai keterbatasan
sumberdaya yang ada;
3. Mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Mengingat upaya perbaikan merupakan proses perubahan institusional yang
melibatkan banyak kepentingan, usulan solusi juga harus mengukur konsekuensi yang
ditimbulkannya terhadap kepentingan-kepentingan tersebut, terutama kepentingan
yang paling lemah di antaranya.

Dalam mengusulkan solusi yang efektif, studi ini mengacu pada hal-hal berikut:
1. Karena suatu masalah sosial tidak dapat dipungkiri saling terkait dengan masalah sosial
yang lain, maka usulan solusi harus diarahkan pada masalah sosial yang saling terkait
tersebut. Usulan solusi tidak boleh terlepas dari konteks masalah yang lebih luas,
namun juga harus spesifik berusaha menyelesaikan kesulitan yang dihadapi dalam
masalah sosial yang dituju;
2. Setiap masalah sosial pasti memiliki sejarah. Karenanya, usulan solusi harus
mempertimbangkan sejarah dari masalah sosial yang ingin diselesaikan, untuk
mengetahui kesulitan yang dihadapi, berikut upaya-upaya yang pernah dilakukan di
masa lalu untuk menyelesaikannya;
3. Peraturan dan pengalaman negara lain dalam menyelesaikan masalah sosial yang
serupa, bisa jadi merupakan sumber ide yang penting tentang solusi. Tentu saja harus
dihindari kecenderungan mentransplantasi solusi dari negara lain. Sebab yang penting
dari mengadakan perbandingan adalah bukan paket solusinya, melainkan pelajaran
tentang strategi yang dipilih dan cara meminimalisir risiko dalam menyelesaikan

273 Seidman, op.cit., hal. 99.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 109
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

masalah sosial, tentu saja berdasarkan konteks spesifik dari negara yang dijadikan
perbandingan tersebut;
4. Mengembangkan alternatif solusi dengan mendapatkannya berbagai literatur yang
relevan, serta ide-ide yang didapat Tim Peneliti selama menjalankan keseluruhan proses
studi.

Pada bab ini akan dipaparkan berbagai usulan solusi dan alternatif solusi yang merupakan
rincian tindakan untuk menghilangkan faktor-faktor penyeba perilaku bermasalah oleh
Aktor yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Dengan begitu diharapkan perilaku
bermasalah akan bertransformasi menjadi perilaku yang sesuai, yang karenanya
mendukung efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan PN bagi pemberantasan korupsi.

B. Perbaikan Peraturan Perundang-undangan


Perbaikan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan syarat mutlak untuk
meningkatkan efektivitas mekanisme pelaporan kekayaan bagi pemberantasan korupsi.
Sebab sebagian besar akar masalah yang ditemui hingga saat ini, berasal dari kurang
memadainya pengaturan tentang LHKPN dalam peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya pengaturan tentang LHKPN pernah dimuat dalam Ketetapan MPR RI No.
IX/1999, yang berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan di masa lalu
posisinya lebih tinggi dari UU. Namun kuatnya instrumen hukum tersebut tidak berarti
banyak ketika tidak ditindaklanjuti secara memadai oleh peraturan perundang-undangan di
bawahnya, dalam hal ini UU No. 28/1999. Ditambah lagi, sejak amandemen UUD RI yang
dipertegas dengan pemberlakuan UU No. 10/2004, posisi Tap MPR sudah tidak dikenal lagi
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Sayangnya kelemahan peraturan perundang-undangan mengenai LHKPN justru diawali


oleh materi muatan UU No. 28/1999. Definisi atau pengertian PN dalam UU tersebut kurang
jelas, dan cenderung membatasi kemungkinan untuk mengembangkannya demi
kepentingan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tidak diaturnya kewajiban PN
melaporkan kekayaan selama masa jabatan adalah contoh lain yang merupakan hasil
akomodasi terhadap kepentingan yang bertarung dalam proses penyusunan UU tersebut.
Selain itu, UU No. 28/1999 tidak mengatur sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban PN
secara tegas dan proporsional, melainkan hanya sanksi yang bersifat administratif.

Kelemahan tersebut ternyata masih ditambah lagi dengan dinamika legislasi yang
mengiringi pengaturan tentang kewajiban lapor kekayaan. Pencabutan Pasal 10-19 UU No.
28/1999 oleh Pasal 71 ayat (2) UU No. 30/2002, tanpa diimbangi pengaturan memadai
dalam UU No. 30/2002, telah menghilangkan rincian kewenangan lembaga pelaksana dalam
memeriksa laporan kekayaan PN.

Dan dampak ikutan dari pencabutan salah satu di antara Pasal tersebut, yaitu Pasal 17,
khususnya ayat (4) yang mengatur bahwa ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan
kekayaan PN diatur dengan PP, adalah ikut tercabutnya PP No. 65/1999. Dengan demikian,
kelemahan peraturan perundang-undangan, untuk tidak menyebutnya sebagai kekosongan
hukum, tidak hanya ditemukan pada tataran UU, melainkan juga pada tataran peraturan
pelaksanaannya.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 110
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Memang guna menyiasati berbagai kelemahan tersebut, telah diambil beberapa langkah
seperti pembentukan Keputusan KPK yang melengkapi kewajiban PN untuk juga
melaporkan kekayaan selama masa jabatan (yang tidak diatur secara eksplisit dalam UU),
dengan mengaitkannya pada kewajiban PN untuk bersedia diperiksa kekayaannya selama
menjabat (yang diatur tegas dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 28/1999). Keputusan KPK juga
dibentuk untuk mengatur tata cara pemeriksaan PN, yang tidak lagi memiliki aturan
pelaksanaan akibat tercabutnya PP No. 65/1999.

Selain Keputusan KPK, telah dibentuk pula beberapa peraturan seperti Instruksi Presiden
No. 5/2004 dan berbagai SE Menpan. Berbagai peraturan tersebut dibentuk untuk
melengkapi peraturan pelaksanaan mekanisme pelaporan kekayaan, untuk antara lain
memastikan mekanisme tersebut benar-benar berjalan di lapangan.

Jalan keluar lain yang sudah ditempuh adalah menggunakan berbagai peraturan
perundang-undangan lain yang relevan sebagai rujukan untuk mengatasi kurang jelas dan
kurang tegasnya beberapa norma dalam UU No. 28/1999, antara lain norma sanksi. Seperti
penggunaan beberapa ketentuan dalam KUHP dan peraturan disiplin PNS untuk
menegaskan sanksi bagi pelanggaran oleh PN, yang meski belum secara optimal
direalisasikan, namun sudah secara terbuka dinyatakan akan digunakan.

Meski jalan keluar yang sifatnya lebih pragmatis telah diambil, namun tetap saja untuk
mengatasi kelemahan peraturan perundang-undangan, perbaikan terhadap dasar hukum
pokok dari mekanisme pelaporan kekayaan, dalam hal ini UU No. 28/1999, perlu dilakukan,
agar kelemahan tersebut bisa diatasi secara lebih kuat di mata hukum. Diratifikasinya
UNCAC lewat UU No. 7/2006 yang mewajibkan pemerintah RI menyempurnakan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan korupsi, bisa menjadi
momentum bagi perbaikan UU No. 28/1999.

Akan tetapi, mengingat agenda perbaikan UU bisa menempuh prosedur yang kompleks dan
memakan waktu, maka pembentukan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan
tentang mekanisme pelaporan kekayaan PN di bawah UU juga perlu dilakukan. Hal ini
untuk memperoleh jalan keluar yang lebih cepat bagi berbagai persoalan yang dihadapi
karena kelemahan peraturan.

Atas pertimbangan tersebut, studi ini mengklasifikasikan rekomendasi bagi perbaikan


peraturan perundang-undangan ke dalam 3 bagian, yaitu:
1. Perbaikan UU sebagai strategi jangka panjang;
2. Pembentukan PP sebagai strategi jangka menengah; dan
3. Perbaikan Keputusan KPK dan SE Menpan sebagai strategi jangka pendek.

1. Perbaikan UU sebagai Strategi Jangka Panjang

Perubahan UU merupakan alternatif solusi jangka panjang, mengingat proses yang harus
ditempuh untuk merubah UU selain dapat memakan waktu yang lama, menempuh
prosedur yang rumit, melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, seperti DPR dan pemerintah,
juga sangat bergantung pada konstelasi politik di tingkat kenegaraan, dalam kaitannya
dengan prioritas kebijakan. Namun dengan kondisi tersebut, bukan berarti KPK tidak perlu
mengidentifikasi dan mempersiapkan materi perbaikan UU.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 111
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Perubahan UU untuk mengatasi kelemahan pengaturan di bidang LHKPN juga tidak hanya
terfokus pada UU No. 28/1999, namun juga bisa dikaitkan dengan materi dan agenda
perubahan UU yang relevan lainnya, seperti perubahan terhadap UU No. 30/2002, UU
tentang Tindak Pidana Korupsi, KUHP, bahkan hingga pada RUU tentang Administrasi
Negara dan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Adapun untuk
mempengaruhi kebijakan legislasi, KPK dapat memanfaatkan momentum akomodasi materi
UNCAC yang telah diratifikasi lewat UU No. 7/2006 ke dalam hukum nasional, untuk
mengegolkan agenda perbaikan UU yang terkait dengan mekanisme laporan kekayaan PN.

a. Penetapan Tujuan Mekanisme Pelaporan Kekayaan PN

Apabila terdapat agenda perubahan UU No. 28/1999, maka materi perubahannya sebaiknya
memuat penetapan tujuan (mission statement) dari mekanisme pelaporan kekayaan PN yang
setidaknya meliputi:
1. Memastikan integritas PN dan para calon PN/pengisi jabatan publik tertentu;
2. Menimbulkan rasa takut di kalangan PN untuk berbuat korupsi;
3. Menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggungjawab di kalangan PN;
4. Mendeteksi konflik kepentingan dan potensi konflik kepentingan antara tugas-tugas
publik PN dengan kepentingan pribadinya;
5. Menyediakan bukti awal dan/atau bukti pendukung bagi penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain yang dilakukan PN; serta
6. Meningkatkan kontrol masyarakat terhadap PN.

b. Penegasan PN Wajib Lapor

Salah satu materi perubahan yang penting dilakukan adalah penentuan PN secara lebih
tegas dan komprehensif. Sebelum menentukan PN wajib lapor, maka definisi PN dalam UU
No. 28/1999 sebaiknya diperjelas, dengan menentukan kriteria siapa saja yang bisa
dikategorikan sebagai PN. Kriteria tersebut sebenarnya sudah ada dalam berbagai ketentuan
UU yang ada, mulai dari UU No. 28/1999 sendiri, UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, hingga KUHP. Namun UU
No. 28/1999 belum mengakomodasi berbagai kriteria tersebut secara memadai. Apalagi
istilah PN agaknya ingin mencakup dua pengertian yang sudah ada sebelumnya, yaitu PNS,
TNI dan POLRI, serta pejabat negara.

Studi ini mengusulkan dibentuknya kriteria yang lebih jelas dalam mendefinisikan PN
dengan terlebih dulu merujuk pada berbagai ketentuan UU yang ada, yang sedikit banyak
memuat pengertian tentang PN, pegawai negeri, dan pejabat negara, bahkan merinci
jabatan-jabatan dalam ruang lingkup PN.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terdapat 2 model


penentuan kriteria PN. Model pertama adalah pola pengaturan yang merinci siapa yang
dimaksud dengan PN, pegawai negeri, dan pejabat negara, antara lain:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi
Negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan; Pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 UU No. 28/1999).

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 112
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

2. Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya (Penjelasan Pasal 2
angka 6 UU No. 28/1999).
3. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD; Pimpinan
Bank Indonesia dan Pimpinan BPPN; Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; Pejabat
Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan POLRI; Jaksa;
Penyidik; Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan bendaharawan proyek (Penjelasan
Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999).
4. Aparat penegak hukum (Pasal 11 UU No. 30/2002)
5. Anggota DPRD (Penjelasan Pasal 11 UU No. 30/2002)
6. PNS pusat dan daerah, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pegawai Tidak Tetap yang
diangkat oleh pejabat yang berwenang (Pasal 2 UU No. 43/1999);
7. Pejabat Negara yang terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan
Perwakilan; Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada MA, serta
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Dewan Pertimbangan Agung; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan
Pemeriksa Keuangan; Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri; Kepala Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh; Gubernur dan Wakil Gubernur; Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Wakil Walikota; dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh UU (Pasal 11
ayat (1) UU No. 43/1999).

Model kedua adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat kriteria lebih
umum mengenai PN, pegawai negeri, dan pejabat negara, yang meliputi:
1. Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya, berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 1 UU No. 28/1999).
2. Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 1 UU No. 43/1999).
3. Jabatan Negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan
lembaga tertinggi atau tinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan (Pasal 1 angka 5 UU
No. 43/1999).
4. Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara
sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara yang
ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 1 angka 4 UU No. 43/1999).
5. Pegawai Negeri adalah meliputi orang yang menurut ketentuan UU terus-menerus atau
untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum (Pasal 215 ke-1
KUHP dan Pasal 8-10 UU No. 20/2001);
6. Pegawai Negeri adalah meliputi orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah (Pasal 1 angka 2 UU No. 20/2001);
7. Pegawai Negeri adalah meliputi orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah (Pasal 1 angka 2
UU No. 20/2001);
8. Pegawai Negeri adalah meliputi orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 113
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat (Pasal 1 angka
2 UU No. 20/2001).

Idealnya definisi tentang PN memuat kriteria umum sebagaimana terdapat pada model
pengaturan yang kedua, yang sekurang-kurangnya memuat kriteria sebagai berikut:
1. Diangkat oleh pejabat negara yang berwenang; atau
2. Menjabat sebagai pimpinan, anggota, pegawai dari alat kelengkapan sesuai susunan
organisasi di lembaga negara, lembaga pemerintahan, atau lembaga lainnya yang
menggunakan anggaran, modal, atau fasilitas dari keuangan negara dan keuangan
daerah; atau
3. Menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, atau fungsi kenegaraan dan
pemerintahan lainnya baik di tingkat pusat atau daerah; atau
4. Menerima gaji atau upah atau tunjangan karena pelaksanaan fungsinya dari keuangan
negara atau daerah.

Dari situ baru ditentukan rincian tentang siapa saja di antara PN yang masuk dalam kategori
wajib lapor kekayaan, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Rincian PN wajib lapor kekayaan tersebut bisa dimuat dalam UU. Namun agar tidak
terlalu membatasi, rincian PN wajib lapor kekayaan sebaiknya hanya dibuat untuk
kepentingan memberikan contoh, atau sekalipun ditujukan untuk menentukan secara
definitif, tetap membuka peluang untuk memperluas cakupan PN wajib lapor atau
mengakomodasi jabatan-jabatan negara lainnya yang mungkin muncul di masa depan
sesuai dinamika administrasi negara yang sangat pesat.
2. Karena itu, rincian PN wajib lapor kekayaan perlu pula memuat klausul yang membuka
pintu bagi masuknya PN lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bisa meliputi UU, PP, Perpres, dan peraturan yang lain
(pendekatan Pasal 1 angka 1 UU No. 28/1999), tidak hanya merujuk pada ketentuan UU
(pendekatan Pasal 1 angka 4 UU No. 43/1999).
3. Batasan tentang ruang lingkup PN seperti yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 5 angka
7 UU No. 28/1999, terutama kata “meliputi” sebaiknya dihapuskan.

c. Pendefinisian Jabatan

Selain definisi tentang PN, pendefinisian kata “jabatan” atau “menjabat” dalam UU juga
perlu dipertegas. Pasal 5 angka 2 dan angka 3 UU No. 28/1999 yang mengatur kewajiban PN
di bidang pelaporan kekayaan memuat kata “menjabat”. Namun dalam UU tersebut tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan “menjabat”.

Definisi kata “jabatan” atau “menjabat” mudah dilakukan terhadap PN yang berasal dari
kalangan pegawai negeri, baik sipil ataupun TNI/POLRI. Referensi peraturan perundang-
undangan mengenai hal tersebut sudah cukup jelas, terutama dalam UU No. 43/1999.
Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU No. 43/1999 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
seorang PNS dalam suatu satuan organisasi Negara. Penjelasan tersebut juga
mengklasifikasikan jabatan karir yang hanya bisa diisi oleh pegawai negeri ke dalam 2 jenis,
yaitu:
1. Jabatan struktural
Jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi.
2. Jabatan fungsional

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 114
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut
fungsinya diperlukan oleh organisasi.

Selain jabatan tersebut, di lingkungan PN yang berasal dari PNS juga dikenal manajemen
kepegawaian yang meliputi antara lain pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan
promosi. Sehingga referensi tentang kata “menjabat” juga bisa dikaitkan dengan berbagai
kebijakan dalam manajemen kepegawaian tersebut.

Berdasarkan Pasal 37 UU No. 43/1999, manajemen kepegawaian bagi Anggota POLRI dan
Anggota TNI, diatur dalam UU tersendiri. Manajemen kepegawaian Anggota POLRI diatur
dalam UU No. 22/2002 tentang Kepolisian RI. Adapun manajemen kepegawaian Anggota
TNI diatur dalam UU No. 34/2004 tentang TNI.

Di kalangan PN yang berasal dari pejabat negara, istilah “jabatan” atau “menjabat” meski
tidak kalah penting untuk dipertegas definisinya, namun tidak memiliki referensi yang
sejajar dengan kalangan PN yang berasal dari pegawai negeri. Pengertian “jabatan” atau
“menjabat” di kalangan PN yang berasal dari pejabat negara sebaiknya dirujuk pada
berbagai peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda, tergantung pada kategori
pejabat negara yang bersangkutan.

Studi ini merekomendasikan untuk mendefinisikan istilah “menjabat” sebagai jabatan


fungsional maupun struktural yang dapat diisi oleh PNS, Anggota POLRI, dan Anggota
TNI, dalam susunan organisasi lembaga negara/pemerintahan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang diperoleh maupun dilepaskan melalui kegiatan
dalam manajemen kepegawaian yang ada, baik pengangkatan, pemindahan (mutasi),
kenaikan pangkat (promosi), dan pemberhentian.

Adapun istilah “menjabat” yang lebih umum, yang dapat mencakup pula pejabat negara
dapat diartikan sebagai: “pengisian jabatan dan fungsi yang ada dalam susunan organisasi
lembaga negara/pemerintahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, baik yang diisi oleh pejabat negara, pejabat negara tertentu, dan pegawai negeri”.
Dengan pengertian ini, maka pimpinan alat-alat kelengkapan MPR, DPD, DPR, DPRD
tingkat provinsi atau kabupaten/kota juga bisa dicakup.

d. Kewenangan KPK

d.1. Mengembalikan Rincian Kewenangan Pemeriksaan

Ketimpangan kewenangan antara KPKPN dengan KPK di bidang pelaporan kekayaan PN


muncul sejalan dengan dicabutnya Pasal 10-19 UU No. 28/1999. Meski tujuan awal
pencabutan tersebut adalah mengawal peralihan KPKPN untuk menjadi bagian KPK,
namun Pasal 17 UU No. 28/1999 yang mengatur rincian kewenangan dalam pemeriksaan
LHKPN juga ikut tercabut. Padahal menurut banyak kalangan, Pasal tersebutlah yang
merupakan roh dari kewenangan pemeriksaan kekayaan PN.

Rincian kewenangan dalam pemeriksaan LHKPN sebagaimana pernah diatur dalam Pasal
17 UU No. 28/1999 yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 71 ayat (2) UU No.
30/2002 sebaiknya diatur kembali untuk juga dimiliki KPK. Tidak semua rincian
kewenangan perlu diatur kembali, sebab ada rincian kewenangan tertentu yang sengaja

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 115
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

diberikan kepada KPKPN karena lembaga tersebut memang tidak memiliki kewenangan
menangani perkara korupsi, berbeda dengan KPK. Rincian kewenangan yang perlu
diberikan kepada KPK dari rincian kewenangan dalam Pasal 17 UU No. 28/1999 meliputi:
1. Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas kekayaan PN;
2. Melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai kekayaan PN berdasarkan
petunjuk adanya KKN terhadap PN yang bersangkutan;
3. Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi, atau meminta
dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan kekayaan PN
yang bersangkutan;
4. Selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh kekayaan PN yang diduga
diperoleh dari KKN selama menjabat sebagai PN, juga meminta pejabat yang
berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

d.2. Kewenangan untuk Memastikan PN Memenuhi Kewajiban

Apabila ada agenda perubahan UU No. 28/1999 dan UU No. 30/2002, maka perlu ada
penegasan tentang:
1. Kewenangan KPK melakukan penagihan laporan kekayaan PN sebelum, selama, dan
setelah PN menjabat, maupun meminta laporan kekayaan PN yang tengah diperiksa;
2. Kewenangan KPK mengumumkan laporan kekayaan PN yang disampaikan kepada
KPK;
3. Kewenangan KPK memeriksa laporan kekayaan PN;
4. Kewenangan KPK menetapkan tata cara pelaksanaan pelaporan kekayaan PN (antara
lain menetapkan formulir, menentukan batas waktu pelaporan, dan lain-lain);
5. Kewenangan KPK menetapkan tata cara pelaksanaan pengumuman laporan kekayaan
PN (antara lain menentukan materi, prosedur, dan media pengumuman yang efektif);
6. Kewenangan KPK menetapkan tata cara pelaksanaan pemeriksaan laporan kekayaan
PN (antara lain menetapkan kriteria pemeriksaan, jenis-jenis pemeriksaan, dan lain-
lain).

Berbagai kewenangan tersebut ditujukan untuk melengkapi kewenangan KPK dalam


melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN agar kendala yang dihadapi selama ini
karena pertentangan antara kewajiban PN dan kewenangan KPK bisa diatasi. Dengan
menegaskan kewenangan KPK mengumumkan laporan kekayaan PN dalam perubahan UU
No. 28/1999 misalnya, KPK tidak akan lagi memerlukan surat kuasa dari PN untuk
mengumumkan LHKPN.

Khusus mengenai penetapan tata cara pelaksanaan berbagai kewenangan tersebut, jika
kendala tentang kewenangan KPK membuat regulasi yang mengikat keluar tetap
dipertanyakan, meski Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 sebenarnya telah mengaturnya, maka
pendelegasian untuk mengatur lebih lanjut tata cara tersebut ke dalam PP perlu
dicantumkan. Apabila pilihan ini yang diambil, sebaiknya dipastikan sebelumnya bahwa
UU menyediakan acuan yang memadai tentang rincian kewenangan tersebut, agar materi
muatan PP yang dihasilkan nantinya tidak menyalahi UU dan tidak menyimpang dari
tujuan mengefektifkan mekanisme laporan kekayaan bagi pemberantasan korupsi.

Acuan tersebut dapat berupa kriteria sebagai berikut:


1. Tata cara pelaporan kekayaan PN diatur lebih lanjut dalam PP dengan memastikan

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 116
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

daya gunanya untuk merekam secara faktual perkembangan kekayaan PN dari waktu
ke waktu;
2. Tata cara pengumuman laporan kekayaan PN diatur lebih lanjut dalam PP dengan
memastikan kemudahan akses masyarakat untuk mendapatkannya serta guna
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi konflik kepentingan atau
potensi konflik kepentingan di kalangan PN;
3. Tata cara lebih lanjut tentang pemeriksaan kekayaan PN ditetapkan dalam PP dengan
memastikan daya gunanya sebagai bukti awal maupun bukti pendukung dalam
mengungkap tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lain yang dilakukan PN
yang sedang menjadi target pemeriksaan.

Namun yang harus digarisbawahi, apakah berbagai tata cara tersebut didelegasikan oleh UU
untuk ditetapkan oleh KPK atau diatur lebih lanjut dalam PP, maka perlu ada ketentuan
dalam UU yang memerintahkan agar materi pengaturannya memenuhi tujuan-tujuan
(mission statement) dari mekanisme pelaporan kekayaan PN.

d.3. Mengaitkan Kewajiban Lapor Kekayaan dengan Prioritas Pemberantasan Korupsi

Selain berbagai kewenangan yang telah disebutkan di atas, dalam agenda perubahan UU,
khususnya UU No. 30/2002 atau UU No. 28/1999, KPK perlu pula diberi kewenangan
mengaitkan antara pelaksanaan pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan PN dengan
prioritas penanganan tindak pidana korupsi. Perlu ada satu klausul dalam salah satu dari
kedua UU tersebut yang menghubungkan antara Pasal 13 huruf a UU No. 30/2002 yang
mengatur kewenangan KPK melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN dengan
Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No. 30/2002, yaitu “KPK menentukan kriteria penanganan
tindak pidana korupsi”. Klausul tersebut juga perlu menegaskan bentuk hukum dari
kebijakan penentuan kriteria tersebut, yaitu Keputusan KPK.

Klausul tersebut sebaiknya bisa menjadi dasar hukum bagi KPK untuk:
1. Menentukan prioritas pemeriksaan LHKPN; dan
2. Menentukan PN wajib lapor kekayaan di luar dari yang ditentukan dalam UU demi
efektivitas pencapaian tujuan mekanisme pelaporan kekayaan PN, selama Keputusan
KPK yang menentukan hal tersebut bersifat umum, tidak bersifat individual, dan
didasarkan pada pertimbangan yang jelas.

d.4. Memastikan Kepatuhan

Apabila terdapat agenda perubahan UU baik UU No. 28/1999 ataupun UU No. 30/2002,
maka KPK perlu diberi kewenangan menyampaikan surat peringatan, merekomendasikan
sanksi, termasuk menyediakan bukti-bukti pendukung bagi setiap bentuk pelanggaran yang
dilakukan PN terhadap kewajibannya melaporkan kekayaan, terutama jika bentuk-bentuk
pelanggaran tersebut dapat berujung pada sanksi administratif atau sanksi pidana, kepada
lembaga-lembaga terkait, seperti Kepolisian, Kejaksaan, atau Pimpinan lembaga
negara/pemerintahan di mana PN menjabat.

Selain itu materi perubahan UU perlu memuat ketentuan yang mewajibkan setiap
pimpinan/majelis kehormatan/dewan etik lembaga negara/pemerintah di mana PN
menjabat untuk mendorong kepatuhan, antara lain dengan:
1. Menyerahkan nama-nama PN wajib lapor di instansinya, mengacu pada kriteria yang

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 117
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

ditetapkan UU dan yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU;


2. Melaporkan kepada KPK siapa PN yang melanggar kewajiban lapor kekayaan di
instansinya masing-masing; dan
3. Menerapkan tindakan disiplin mulai dari pemberhentian sementara, penurunan
pangkat, hingga pemberhentian dari jabatan sesuai mekanisme pendisiplinan dan/atau
mekanisme penegakan kode etik di setiap lembaga, baik bagi PN yang berasal dari
PNS/Anggota TNI/Anggota POLRI, maupun yang berasal dari kalangan pejabat
negara.

Pengaturan semacam ini diterapkan di Amerika Serikat, di mana pimpinan lembaga negara
atau sekretarisnya seperti Director Office of Government's Ethics di lingkungan eksekutif,
Komite Etik Kongres di lingkungan legislatif, Judicial Conference di lingkungan yudikatif
untuk melaporkan kepada Jaksa Agung identitas PN yang tidak melaporkan kekayaannya.
Ethics in Government Act Amerika Serikat juga mewajibkan Presiden, Wakil Presiden,
Pimpinan Departemen, Komite Etik Kongres, dan Judicial Conference untuk memberhentikan
atau mengambil sanksi hukum lainnya bagi PN yang tidak melaporkan kekayaannya.274

Sebagai input, KPK perlu diberi kewenangan merekomendasikan sanksi termasuk


menyediakan bukti-bukti bagi kepentingan pemeriksaan PN yang tidak patuh oleh atasan
atau lembaganya, seperti kewenangan yang sudah dimiliki KPK berdasarkan Pasal 12 ayat
(1) huruf e, yaitu memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. Selain itu, KPK juga perlu diberi
kewenangan menjatuhkan sanksi tertentu, seperti teguran tertulis baik kepada PN yang
tidak patuh maupun kepata atasannya.

e. Kewajiban PN

UU No. 28/1999 telah mengatur berbagai kewajiban PN berkaitan dengan laporan kekayaan,
yaitu melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, serta
bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Dari berbagai
kewajiban tersebut, hanya satu kewajiban yang belum dimiliki PN secara eksplisit
berdasarkan UU, yaitu melaporkan kekayaannya selama menjabat. Sebagai jalan keluar,
KPK mewajibkan PN melaporkan kekayaan setiap 2 tahun selama PN menjabat, dengan
mengaitkan kewajiban tersebut pada kewajiban PN untuk bersedia diperiksa kekayaannya
selama menjabat.

Untuk mengatasi perdebatan tentang kewajiban PN memperbarui laporan kekayaan selama


masa jabatan, dalam perubahan UU No. 28/1999 nantinya, perlu dipertegas bahwa PN
berkewajiban melaporkan kekayaan kepada KPK, sebelum, selama, dan setelah menjabat,
dan KPK berwenang memastikan PN memenuhi kewajibannya tersebut. Kewajiban
melaporkan kekayaan selama masa jabatan PN sebenarnya sudah diusulkan banyak
kalangan dalam pembahasan UU No. 28/1999. Namun desakan tersebut tidak diakomodasi
dalam materi UU.

Adapun untuk lebih menertibkan kegiatan laporan kekayaan PN, perlu diatur pula
frekuensi pelaporan selama PN menjabat. Studi ini mengusulkan agar pelaporan kekayaan
oleh PN dilakukan setahun sekali dengan pertimbangan sebagai berikut:

274 www1.worldbank.org/publicsector/civilservice/assets.htm.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 118
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

1. Jangka waktu 1 tahun adalah periode yang lazim digunakan bagi kegiatan pembukuan
keuangan;
2. Penentuan periode pelaporan kekayaan PN setiap tahun juga digunakan sebagai
periode pelaporan kekayaan untuk kepentingan pajak, sehingga akan memudahkan PN
untuk merekam perkembangan kekayaannya dan menyelaraskan aktivitas pelaporan
kekayaan dengan aktivitas pelaporan pajaknya;
3. Memudahkan KPK memantau perkembangan kekayaan PN secara lebih teratur;
4. Memungkinkan KPK menyeragamkan batas waktu pelaporan kekayaan kepada seluruh
PN, tanpa harus bergantung pada tanggal pengangkatan PN yang akan menyulitkan
pengadministrasiannya karena berbeda-beda antara satu PN dengan PN yang lain.
5. Penentuan periode pelaporan kekayaan PN setiap tahun pernah dipraktekkan di
Indonesia saat berlakunya Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi
Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI, yaitu akhir Agustus setiap tahun;
6. Penentuan periode pelaporan kekayaan PN setiap tahun juga digunakan banyak negara
(lihat Tabel 4.1).

Tabel 4.1.
275
Frekuensi laporan kekayaan di berbagai negara
No. Negara Frekuensi Pelaporan Kekayaan PN
1. Romania Setiap tahun
2. Filipina 30 April setiap tahun
3. Mexico Bulan Mei setiap tahun serta pada saat PN pindah jabatan
4. Latvia 1 April setiap tahun
5. Korea Selatan Setiap tahun serta pada saat PN mendapatkan promosi
6. Kenya Bulan Desember setiap tahun
7. India Setiap tahun
8. Bangladesh Bulan Desember setiap tahun
9. Albania Pada tanggal 31 Maret setiap tahun, serta ketika diminta
10. Tanzania Setiap tahun
11. Amerika Serikat 15 Mei setiap tahun
12. Singapura Setiap tahun serta 1 minggu setelah PN melakukan pembelian properti

f. Penegasan Sanksi

Banyak pihak berdalih, bahwa sanksi bagi PN yang melanggar kewajibannya melaporkan
kekayaan telah disediakan secara memadai dalam Pasal 20 UU No. 28/1999, yaitu sanksi
administratif. Padahal sebenarnya apabila dikaji, materi pengaturan Pasal 20 tersebut
hanyalah merupakan pernyataan yang bersifat normatif yang sulit dioperasionalkan.

Kelemahan yang berhasil diidentifikasi dari pengaturan sanksi dalam UU No. 28/1999
adalah:
1. Tidak merinci tindakan apa saja yang dilakukan PN yang bisa dikenai sanksi
administratif;
2. Tidak merinci apa yang dimaksud dengan sanksi administratif dan bentuk-bentuk
sanksi administratif yang bisa dikenakan;
3. Menyamaratakan sanksi bagi berbagai tindakan;
4. Karena sanksi hanya berupa sanksi administratif, maka sulit diterapkan bagi PN yang

275 www1.worldbank.org/publicsector/civilservice/assets.htm

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 119
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

berasal dari kalangan pejabat negara, dan PN yang telah melepaskan jabatannya;
5. Karena sanksi hanya berupa sanksi administratif maka efek jera yang bisa ditimbulkan
sangat kecil, sementara ada tindakan-tindakan tertentu yang sesungguhnya masuk
dalam kategori tindak pidana.

Untuk itulah, apabila terdapat agenda perubahan UU No. 28/1999, materi pengaturannya
sebaiknya memuat rincian tentang bentuk-bentuk pelanggaran atas kewajiban PN
melaporkan kekayaan yang dapat dikenai sanksi, yaitu “dengan segaja”:
1. Tidak melaporkan dan/atau memperbarui laporan kekayaan;
2. Tidak mengisi formulir laporan kekayaan secara lengkap;
3. Membuat keterangan palsu dalam laporan kekayaannya;
4. Tidak melaporkan atau memperbarui laporan kekayaannya sesuai tata cara dan batas
waktu yang ditentukan KPK;
5. Menghalang-halangi atau mempersulit KPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap
kekayaannya.

Setelah itu perlu ditentukan, apa sanksi yang tepat untuk dikenakan pada masing-masing
tindakan, apakah sanksi administratif atau sanksi pidana, tentu saja sesuai dengan kadar
dari pelanggarannya. Guna menyelesaikan tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan sanksi
administrasi, maka sebaiknya istilah “sanksi administratif” tidak lagi digunakan dalam
perubahan UU, melainkan langsung ditentukan secara definitif sanksi atas tindakan-
tindakan tertentu yang bisa berupa:
1. Pemberhentian dengan tidak hormat;
2. Larangan menjabat dalam periode tertentu;
3. Pemberhentian sementara; atau
4. Teguran tertulis.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kewenangan menjatuhkan sanksi-sanksi tersebut


sebaiknya tetap diserahkan kepada atasan PN yang berwenang, atau alat kelengkapan dari
lembaga negara/pemerintahan yang memiliki wewenang menjatuhkan sanksi-sanksi
tersebut, seperti Majelis atau Dewan Kehormatan. Sementara KPK perlu diberi kewenangan
merekomendasikan sanksi serta menyediakan bukti-bukti bagi kepentingan pemeriksaan PN
yang bersangkutan oleh atasan atau lembaganya. KPK juga bisa diberi kewenangan
menjatuhkan sanksi tertentu secara mandiri, seperti teguran tertulis.

Sementara bagi tindak pelanggaran yang lain, bisa dikenakan sanksi pidana, yang berupa:
1. Denda;
2. Kurungan; atau
3. Kumulatif denda dan kurungan.

Selain itu, agar keseluruhan sanksi bisa mencakup pula mantan PN, maka bagi tindak
pelanggaran tertentu yang apabila dilakukan PN yang masih menjabat dikenai sanksi
administratif, dapat digantikan dengan sanksi pidana berupa denda jika tindakan yang sama
dilakukan oleh mantan PN.

Di berbagai negara, pelanggaran terhadap kewajiban melaporkan kekayaan juga diancam


dengan sanksi. Variasi pengaturan tentang bentuk pelanggaran dan sanksinya dapat dilihat
dalam Tabel 4.2 sebagai berikut:

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 120
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tabel 4.2.
Sanksi terhadap pelanggaran laporan kekayaan
276
di berbagai negara
No. Negara Bentuk Pelanggaran Sanksi
1. Korea Selatan Tidak melaporkan kekayaan tepat waktu Diberi peringatan oleh Ministry of Internal Affairs

Memberikan keterangan palsu Ditindaklanjuti dengan investigasi hukum


2. Filipina Menolak melaporkan kekayaan atau Pelanggar UU bisa dikenai denda tidak lebih dari 6 bulan
memberikan keterangan palsu gaji, pemberhentian tidak lebih dari 1 tahun, atau
pencopotan dari jabatan, tergantung kesalahannya
3. Thailand Menolak melaporkan kekayaan Dibebastugaskan dari jabatannya dan dilarang menjadi
PN 5 tahun terhitung sejak tanggal pembebastugasan
tersebut

Memberikan keterangan palsu Dipenjara tidak lebih dari 6 bulan, denda tidak lebih dari
10.000 Baht
4. Kenya Menolak melaporkan kekayaan atau Denda tidak lebih dari 1 juta schilling, atau penjara 1
Memberikan keterangan palsu tahun, atau keduanya
5. Albania Menolak melaporkan kekayaan Pemberhentian dari jabatan, serta denda dan kurungan
hingga 6 bulan

Memberikan keterangan palsu Pidana sesuai hukum pidana tentang pemalsuan surat
6. Amerika Serikat Menolak melaporkan kekayaan Kejaksaan melakukan civil action
Pimpinan instansi memberhentikan/ mengambil tindakan
lain

Memberi keterangan palsu Pidana sesuai hukum pidana tentang pemalsuan surat
7. Singapura Menolak melaporkan kekayaan atau Mendapatkan hukuman disiplin hingga pemecatan
Memberikan keterangan palsu

Rekomendasi ini juga sejalan dengan materi UNCAC, terutama Pasal 52 angka 5, yang telah
diratifikasi melalui UU No. 7/2006. Klausul tersebut menyatakan bahwa setiap negara
peserta wajib mempertimbangkan untuk membentuk, sesuai sistem hukum nasionalnya,
sistem-sistem keterbukaan finansial yang efektif, bagi pejabat-pejabat publik yang tepat, dan
wajib menyediakan sanksi-sanksi yang tepat bagi ketidakpatuhan.277

g. Akomodasi Materi Muatan UNCAC

Salah satu klausul terpenting dari UNCAC yang terkait erat dengan perbaikan UU bagi
mekanisme pelaporan kekayaan PN, adalah Pasal 20 tentang illicit enrichment (memperkaya
diri sendiri secara tidak sah) dalam Bab III tentang Kriminalisasi dan Penegakan Hukum.
Pasal tersebut mengatur bahwa:

“Tunduk pada konstitusinya dan prinsip-prinsip dasar dari sistem hukumnya, setiap negara peserta wajib
mempertimbangkan untuk mengadopsi tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain yang
mungkin diperlukan, untuk menetapkan sebagai suatu tindak pidana, bila dilakukan dengan sengaja,
memperkaya secara tidak sah, yaitu, suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang
tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah.”278

276 www1.worldbank.org/publicsector/civilservice/assets.htm
277 Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004), “United Nations Convention Against Corruption,
2003/Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003”, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005. Hal. 79.
278 Ibid., hal, 35.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 121
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Konsep illicit enrichment dalam UNCAC erat pula kaitannya dengan konsep statutory
declaration (SD) yang telah cukup lama disuarakan KPK. SD adalah sistem atau perangkat
hukum yang mewajibkan pejabat negara dan pegawai negeri melaporkan kekayaannya, baik
atas nama sendiri maupun yang dimiliki atas nama kerabat atau keluarganya.279

Hal yang membedakan antara LHKPN dengan SD adalah soal sanksi. Melalui SD, apabila
ada pejabat negara atau pegawai negeri yang tidak melaporkan kekayaannya secara
lengkap, baik atas nama pribadi atau keluarganya, maka harta yang tidak dilaporkan
tersebut bisa disita atau diserahkan kepada negara. SD juga bisa diterapkan hingga ke
pegawai negeri di golongan tertentu, guna memastikan birokrasi yang lebih bersih. SD pun
jika diterapkan, tidak lagi menjadi monopoli KPK. Lembaga pengawasan internal di setiap
lembaga negara/pemerintahan juga bisa diberi peran untuk melaksanakannya.280

Konsep SD dalam sejarah Indonesia pun sebenarnya pernah dijalankan, yaitu pada masa
Orde Lama, pada masa berlakunya Peperpu No. PRT/Peperpu/013/1958 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda.
Pasal 12 Peraturan tersebut menyatakan bahwa Penilik harta benda dapat menyita dan
merampas:

a. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh
pengurusnya;
b. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya;
c. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan
penghasilan mata pencariannya;
d. Harta benda yang asal-usulnya melawan hukum;
e. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya ternyata tidak benar;
f. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata, bahwa pemindahan nama dilakukan
untuk menghindari beban, berhubung dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tidak dapat
membuktikan, bahwa ia memperoleh barang itu dengan itikad yang baik.

Dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan tersebut, Badan Koordinasi Penilik Harta Benda
mengajukan permintaan tertulis kepada Pengadilan Tinggi untuk mengadakan pemeriksaan
harta benda. Lalu di Pasal 22 diatur bahwa tiap-tiap orang yang oleh Pengadilan Tinggi
diperiksa harta bendanya wajib memberi keterangan secukupnya, bukan saja mengenai
harta benda diri sendiri, tetapi juga mengenai harta benda orang lain yang dipandang erat
hubungannya. Dan pada Pasal 25 dinyatakan bahwa setelah memeriksa harta benda dengan
seksama, maka Pengadilan Tinggi memutuskan apakah harta benda itu harus dirampas,
atau dikembalikan kepada pemiliknya. Adapun Pasal 26 mengatur bahwa dalam
pemeriksaan harta benda, terhadap putusan Pengadilan Tinggi tidak diadakan banding atau
kasasi.

h. Peningkatan Kapasitas Organisasi

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dari sudut struktur dan kapasitas organisasi, terdapat
ketimpangan antara KPK dan KPKPN. Jika diperbandingkan, KPKPN adalah sebuah
lembaga independen, dengan seorang Ketua dan sekurang-kurangnya 20 orang Anggota,
yang terbagi dalam 4 (empat) Sub-Komisi, dan dibantu oleh Sekretariat Jenderal. Tugas dan
wewenang KPKPN pun sangat fokus, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan PN.

279 Taufiequrachman Ruki, “Jurus Alternatif Menangkal Korupsi”, Koran Tempo, 25 Februari 2006.
280 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 122
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Sementara mekanisme pelaporan kekayaan PN di KPK dilaksanakan hanya oleh sebuah


Direktorat setingkat eselon II di bawah Deputi Bidang Pencegahan, yang mengingat logika
birokrasi yang berlaku di kalangan lembaga negara dan pemerintahan, hanya mendapatkan
alokasi sumberdaya yang terbatas. Meski sebenarnya secara internal KPK bisa
mengembangkan Direktorat PP LHKPN dengan alokasi sumberdaya yang memadai, namun
tetap saja ketika berhubungan dengan pihak eksternal, struktur tersebut akan tetap menjadi
ganjalan. Sementara KPK berdasarkan UU memiliki banyak tugas dan kewenangan, dan
mekanisme pelaporan kekayaan PN hanya bagian kecil dari tugas dan kewenangan KPK.

Mengingat peran strategis Direktorat PP LHKPN bagi kegiatan pencegahan dan


pemberantasan korupsi, serta mengingat beban kerja yang diemban, cukup masuk akal
apabila studi ini merekomendasikan agar kapasitas dan struktur organisasi Direktorat PP
LHKPN ditingkatkan menjadi level Deputi (setingkat eselon I). Diharapkan dengan
peningkatan tersebut, alokasi sumberdaya tidak lagi menjadi persoalan, begitu pula
koordinasi internal dan interaksi dengan pihak-pihak eksternal akan dapat dilaksanakan
secara lebih baik.

Namun, berbeda dengan lembaga lain, UU No. 30/2002 mengatur secara rinci struktur
organisasi KPK hingga ke level Direktur, bahkan Kepala Sekretariat (Pasal 26). Karena itu,
peningkatan kapasitas dan struktur organisasi tersebut perlu dijadikan salah satu agenda
dalam rencana perbaikan UU No. 30/2002.

2. Pembentukan PP sebagai Strategi Jangka Menengah

a. Kelebihan Pengaturan dalam PP

Pasal 10 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


menyatakan bahwa materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“sebagaimana semestinya” adalah materi muatan PP tidak boleh menyimpang dari materi
yang diatur dalam UU yang bersangkutan.

Meski akibat dicabutnya Pasal 17 ayat (4) UU No. 28/1999 yang menyatakan bahwa tata cara
pemeriksaan kekayaan PN diatur lebih lanjut dalam PP, maka PP No. 65/1999 tentang Tata
Cara Pemeriksaan LHKPN ikut tercabut, namun bukan berarti bahwa tidak mungkin
dibentuk PP sebagai peraturan lebih lanjut guna menjalankan UU No. 28/1999 dan UU No.
30/2002, khususnya mengenai mekanisme pelaporan kekayaan PN.

Menurut pakar perundang-undangan Maria Farida Indrati, PP tetap bisa dibentuk


walaupun tanpa delegasi dalam suatu UU untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang
sifatnya lebih teknis, guna menjalankan UU. Jadi, tanpa adanya Pasal 17 ayat (4) UU No.
28/1999 sekalipun, PP tentang tata cara pemeriksaan LHKPN tetap bisa dibentuk, selama
tidak menyimpang dari ketentuan UU.281 Analogi terhadap hal ini adalah PP No. 63/2005
tentang Sistem Kepegawaian KPK yang tidak diamanatkan secara khusus oleh UU No.
30/2002, namun dibentuk karena memang ada kebutuhan mengatur lebih lanjut sistem
kepegawaian tersebut.

281 Wawancara dengan Maria Farida Indrati, 15 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 123
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Malah, menurut Maria, pengaturan lebih lanjut lewat PP justru bisa mencakup objek
pengaturan yang lebih luas, tidak hanya pegawai negeri atau bawahan Presiden seperti yang
jadi objek pengaturan SE Menpan, tetapi juga mencakup pejabat negara. Sebab PP
dikeluarkan oleh pemerintah yang memang memiliki kekuasaan regulasi. PP juga secara
hukum lebih kuat dari Perpres, sebab biasanya pejabat negara seperti Anggota DPR punya
resistensi lebih kuat untuk tunduk pada Perpres dibanding pada PP.282

Mekanisme pembentukan PP juga lebih sederhana dibanding mekanisme pembentukan UU.


PP hanya dibahas dan dibentuk oleh pemerintah, tanpa harus melibatkan DPR. Namun
demikian, harus dipertimbangkan pula risiko yang bisa ditimbulkan, terutama jika
komitmen Pemerintah atau Menteri yang bertanggungjawab merumuskan PP tersebut
terhadap efektivitas LHKPN kurang kuat. Materi muatan PP tersebut justru potensial
melemahkan. Karenanya, guna menyiasati potensi itu, KPK perlu terlebih dulu menyiapkan
materi muatan rancangan PP tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan ideal dari mekanisme
pelaporan kekayaan PN. Proses penyusunannya pun sebaiknya dijalankan secara
partisipatif, agar ada dukungan yang lebih luas dari para pemangku kepentingan.

b. Materi Muatan PP

Apabila PP sebagai pengaturan lebih lanjut atas UU No. 28/1999 dibentuk, sebagai agenda
jangka menengah sebelum perbaikan UU, maka materi PP tersebut setidaknya memuat
pokok-pokok sebagai berikut:
1. Rincian kewenangan KPK dalam mendaftar dan memeriksa LHKPN, berpedoman pada
UU No. 28/1999 dan UU No. 30/2002, namun dengan mengedepankan tujuan-tujuan
ideal dari mekanisme pelaporan kekayaan PN.
2. Tata cara pelaporan, pemeriksaan, dan pengumuman yang harus dipenuhi PN guna
memenuhi kewajibannya dalam melaporkan, bersedia diperiksa, dan mengumumkan
kekayaan. Antara lain mengaitkan antara kewajiban PN untuk bersedia diperiksa
dengan kewajiban PN melaporkan kekayaannya secara berkala dalam masa jabatannya;
3. Memperjelas siapa saja yang masuk ke dalam kategori PN wajib lapor kekayaan;
4. Mempertegas fungsi LHKPN sebagai alat untuk membuktikan kekayaan PN serta alat
bukti bagi tindak pidana korupsi;
5. Mengatur kewajiban pimpinan/alat kelengkapan dari lembaga negara/pemerintah
untuk mendukung efektivitas pelaksanaan mekanisme pelaporan kekayaan PN dan
mendorong kepatuhan PN, dengan memerintahkan dibentuknya berbagai peraturan
pelaksanaan di bidang pendisiplinan dan kepegawaian yang memasukkan kepatuhan
lapor kekayaan sebagai faktor penentu;
6. Memperjelas sanksi administrasi bagi pelanggaran yang dilakukan PN terhadap
kewajibannya berkaitan dengan pelaporan kekayaan, dengan menjadikannya sebagai
salah satu faktor penentu bagi konduite PN, seperti kenaikan pangkat, mutasi, dan DP3,
merujuk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik PN serta peraturan lain yang terkait;
7. Memperjelas koordinasi antara KPK dengan lembaga-lembaga yang tugas dan
fungsinya terkait dengan mekanisme pelaporan kekayaan PN, seperti alat kelengkapan
di bidang pengawasan dan kepegawaian di lembaga negara/pemerintah, Kementerian
PAN, BKN, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pemerintah,
Direktorat Jenderal Pajak, Kepolisian, Kejaksaan, PPATK, dan lain-lain.

282 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 124
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

3. Perbaikan Keputusan KPK sebagai Strategi Jangka Pendek

a. Kedudukan Hukum

Meski prosedurnya lebih sederhana dari pembentukan UU, pembentukan PP masih


menyisakan masalah seperti komitmen pemerintah dan potensi materi muatannya untuk
justru membatasi ruang gerak KPK dalam mencapai tujuan-tujuan ideal mekanisme
pelaporan kekayaan PN. Karena itu patut pula dipertimbangkan untuk memperbaiki
Keputusan KPK tentang LHKPN sebagai strategi jangka pendek.

Apalagi sebenarnya, Keputusan KPK yang diintroduksi dalam UU No. 30/2002 juga diakui
oleh UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
tidak hanya keberadaannya, namun juga kekuatan mengikatnya. Pasal 7 ayat (4) UU
tersebut menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud
pada ayat (1), yaitu UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda, tetap diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-
undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh:
1. MPR;
2. DPR;
3. DPD;
4. MA;
5. MK;
6. BPK;
7. BI;
8. Menteri;
9. Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas
perintah UU;
10. DPRD Provinsi;
11. Gubernur;
12. DPRD Kabupaten/Kota;
13. Bupati/Walikota;
14. Kepala Desa atau yang setingkat.

Dalam UU No. 30/2002, delegasi untuk mengatur lebih lanjut materi tertentu dalam
Keputusan KPK atau Keputusan Pimpinan KPK bisa ditemukan pada:
1. Pasal 17 ayat (3), mengenai Keputusan Pimpinan KPK yang menetapkan status
kepemilikan gratifikasi;
2. Pasal 24 ayat (3), mengenai Keputusan KPK yang mengatur lebih lanjut syarat dan tata
cara pengangkatan pegawai KPK;
3. Pasal 25 ayat (2), mengenai Keputusan KPK yang mengatur lebih lanjut prosedur tata
kerja KPK;
4. Pasal 26 ayat (8), mengenai Keputusan KPK yang mengatur lebih lanjut ketentuan
mengenai tugas Bidang-Bidang dan masing-masing Sub Bidang dalam susunan
organisasi KPK;
5. Pasal 27 ayat (4), mengenai Keputusan KPK yang mengatur lebih lanjut tugas dan
fungsi Sekretariat Jenderal KPK.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 125
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Di antara berbagai macam delegasi UU No. 30/2002 tersebut, maka Pasal 25 ayat (2) adalah
delegasi yang paling tepat bagi KPK untuk mengatur lebih lanjut mekanisme pelaporan
kekayaan PN. Dalam delegasi tersebut KPK diberi kewenangan mengatur lebih lanjut
prosedur tata kerja KPK dalam Keputusan KPK. Klausul tersebut adalah kelanjutan dari
Pasal 25 ayat (1) yang antara lain mengatur kewenangan KPK dalam menetapkan kebijakan
dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Dengan menggunakan metode penafsiran UU secara sistematis283, Pasal 25 ayat (2) bisa
ditafsirkan sebagai kewenangan KPK menerbitkan Keputusan KPK untuk menetapkan
kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Sementara dalam Pasal 13 huruf a, Bab II mengenai Tugas, Wewenang, dan Kewajiban,
dinyatakan bahwa KPK berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN.

Atau secara garis besar, dapat ditafsirkan bahwa KPK berwenang mengatur lebih lanjut tata
kerja KPK dalam mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN ke dalam Keputusan KPK,
berdasarkan delegasi UU No. 30/2002, yang keberadaan dan kekuatan mengikatnya diakui
oleh UU No. 10/2002.

b. Sifat Mengatur

Salah satu masalah klasik dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di


Indonesia adalah pembedaan antara peraturan perundang-undangan yang bersifat
mengatur (regeling) dan bersifat penetapan administratif (beschikking). UU No. 10/2004 pun
ternyata tidak menentukan secara gamblang perbedaan antara keduanya. Dalam kriteria apa
saja suatu peraturan perundang-undangan diakui bersifat mengatur atau menetapkan, tidak
dijelaskan di dalamnya.

Pasal 54 UU No. 10/2004 hanya mengikat berbagai Keputusan, termasuk Keputusan KPK,
agar teknik penyusunan dan bentuknya berpedoman pada UU tersebut. Penjelasan Pasal 54
hanya menyatakan bahwa Keputusan dalam Pasal ini menyangkut Keputusan di bidang
administrasi di berbagai lembaga yang ada sebelum UU ini diundangkan, dan dikenal
dengan Keputusan yang bersifat tidak mengatur. Namun demikian, Pasal 56 UU No.
10/2004 menyatakan bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau Keputusan Pejabat lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum UU ini berlaku,
harus dibaca peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Dari materi kedua
Pasal tersebut, tidak jelas apakah Keputusan KPK bersifat mengatur atau hanya bersifat
penetapan administratif.

Padahal pembedaan tersebut disuarakan oleh banyak kalangan, termasuk Prof. Jimly
Asshiddiqie. Dalam sebuah makalahnya, Jimly pernah menyatakan perlunya dibedakan
dengan tegas antara putusan-putusan yang bersifat mengatur (regeling) dari putusan-
putusan yang bersifat penetapan administratif (beschikking), guna penyusunan tertib
peraturan perundang-undangan yang baru.284 Jimly juga mengusulkan pembedaan

283 Metode penafsiran UU secara sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan antara Pasal yang satu
dengan Pasal yang lain dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau dengan peraturan perundang-
undangan yang lain, serta membaca Penjelasan peraturan perundang-undangan tersebut untuk memahami
maksudnya. Lihat Liza Erwina, “Penemuan Hukum oleh Hakim”, Medan: FH USU, 2002.
284 Jimly Asshiddiqie, “Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Problema Peraturan Daerah”, makalah

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 126
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

nomenklatur, agar peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur disebut


“peraturan”, sementara peraturan yang bersifat penetapan administratif disebut
“keputusan”.285

Dalam makalah lain, Jimly mengusulkan agar peraturan lembaga independen yang bersifat
khusus, seperti Peraturan KPK juga diakui dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan Indonesia. Namun Jimly menekankan bahwa kewenangan regulatif yang dimiliki
lembaga-lembaga tersebut, tergantung pada sejauh mana UU mendelegasikan kewenangan
semacam itu secara tegas.286

Pendapat berbeda tentang sifat mengatur Keputusan KPK disampaikan Maria Farida
Indrati. Menurut Maria, lembaga negara non pemerintah tidak berwenang mengatur umum,
karena dari segi fungsinya memang tidak berwenang mengatur umum. Lembaga non
pemerintah hanya mengatur ke dalam lembaga, meski dampaknya juga berimbas keluar.
Maria mencontohkan MA yang bisa mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang mengatur
adopsi anak dilaksanakan dengan cara tertentu. Jika orang mau mengadopsi anak, maka dia
harus menempuh jalur tersebut.287

c. Proses Pembentukan

Pasal 54 UU No. 10/2004 mengatur bahwa teknik penyusunan dan bentuk Keputusan
pejabat/lembaga negara/lembaga pemerintahan, termasuk Keputusan KPK sebaiknya
berpedoman pada UU No. 10/2004. Pasal 45 UU No. 10/2004 mengatur bahwa agar setiap
orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah, atau
Berita Daerah.

Untuk itu proses pembentukan Keputusan KPK, termasuk teknik penyusunan,


pengundangan dan penyebarluasan, serta pelibatan partisipasi masyarakat, sebaiknya
mengikuti proses yang ditetapkan UU No. 10/2004. Keputusan KPK antara lain sebaiknya
diundangkan dalam Lembaran Negara/Berita Negara RI agar masyarakat bisa
mengaksesnya, serta disusun dengan menggunakan metode partisipasi tertentu, agar
legitimasi sosiologisnya lebih kuat.

d. Materi Muatan

Berbagai norma yang selama ini dimuat dalam Keputusan KPK atau yang pernah dimuat
dalam PP No. 65/1999, serta aspek-aspek penting yang dicakup dalam rekomendasi studi ini
bisa dijadikan materi muatan Keputusan KPK, sebagai sebuah strategi jangka pendek
mengatasi persoalan yang terkait dengan mekanisme pelaporan kekayaan PN. Namun
terdapat beberapa batasan yuridis yang sebaiknya diperhatikan dalam penyusunan materi
muatan Keputusan KPK. Batasan tersebut adalah:

disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD se-Indonesia, diselenggarakan di Jakarta, oleh
LP3HET, Jum’at, 22 Oktober, 2000. Hal. 11.
285 Ibid.
286 Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”,
makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003. Hal. 49.
287 Wawancara dengan Maria F. Indrati, Depok, 15 September 2006. Pendapat yang sama pernah dimuat di
Kompas, 2 Maret 2004.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 127
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

1. Keputusan KPK sebaiknya tidak memuat norma yang secara sengaja ditujukan
mengatur keluar. Keputusan KPK sebaiknya hanya mengatur prosedur dan tata kerja
internal KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mendaftar dan memeriksa
LHKPN. Bahwa sebagai implikasinya pihak-pihak eksternal, terutama PN, menjadi
terikat terhadap Keputusan KPK tersebut, maka hal itu merupakan sebuah konsekuensi
logis, dan dapat dibenarkan secara yuridis;
2. Keputusan KPK sebaiknya tidak memuat norma baru di luar dari yang diatur dalam
UU;
3. Keputusan KPK sebaiknya hanya mengatur lebih lanjut norma-norma yang sudah
secara tegas dimuat dalam berbagai UU, khususnya UU No. 28/1999 dan UU No.
30/2002, guna memungkinkan norma-norma tersebut diimplementasikan di lapangan;
4. Rujukan ketentuan UU yang menjadi dasar hukum Keputusan KPK tersebut sebaiknya
diperjelas, agar legitimasi yuridisnya kuat. Berbagai ketentuan UU yang dijadikan dasar
hukum Keputusan KPK adalah:
a. Pasal 13 huruf a UU No. 30/2002 yang menyatakan bahwa KPK berwenang
melakukan pendaftaran dan pemeriksaan kekayan PN;
b. Pasal 25 ayat (2) UU No. 30/2002 yang menyatakan bahwa prosedur tata kerja KPK
diatur lebih lanjut dalam keputusan KPK; dan
c. Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang apabila ditafsirkan dalam konteks KPK, menyatakan
bahwa meski Keputusan KPK tidak termasuk dalam jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU tersebut, namun
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Perbaikan SE Menpan sebagai Strategi Jangka Pendek

Meski SE Menpan hanya mampu menyentuh PN yang ada di wilayah eksekutif, namun
mengingat konsentrasi PN mayoritas berada di wilayah eksekutif, maka tidak bisa
dipungkiri fungsi strategis SE Menpan tersebut dalam mekanisme pelaporan kekayaan PN.
Meski secara de jure SE Menpan yang memperluas kategori PN wajib lapor di wilayah
eksekutif tidak terlalu kuat, namun secara de facto, mengingat tugas dan wewenang Menpan
yang sangat strategis, SE Menpan tersebut sangat efektif dalam mendorong ketaatan PN di
wilayah eksekutif.

Sebagai alternatif strategi jangka pendek selain memperbaiki Keputusan KPK tentang
LHKPN, sebaiknya KPK segera menentukan sikap tentang materi muatan SE Menpan No.
03/M.PAN/01/2005, khususnya yang memperluas kategori PN wajib lapor, yaitu apakah
tetap dipertahankan, diperbaiki, atau dicabut. Penyikapan tersebut sebaiknya didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Sikap yang diambil KPK sebaiknya segera diimbangi dengan aktivitas kelembagaan
yang mengikutinya, seperti perencanaan SDM, perbaikan proses kerja, dan penyediaan
fasilitas pendukung. Sebab kesenjangan akan selalu ditemukan apabila aktivitas
kelembagaan tersebut hanya diarahkan untuk mengakomodasi beban kerja yang secara
yuridis ditimbulkan oleh UU No. 28/1999, sementara secara faktual tambahan beban
kerja yang besar juga ditimbulkan oleh SE Menpan;
2. KPK sebaiknya memastikan bahwa penambahan beban kerja akibat perluasan PN wajib
lapor oleh SE Menpan, memang benar sepenuhnya mendukung efektivitas mekanisme
pelaporan kekayaan PN terhadap pemberantasan korupsi. Karena itu KPK sebaiknya

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 128
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

mendorong dan mengkondisikan agar perluasan PN wajib lapor di wilayah eksekutif


benar-benar didasarkan pada potensi dan pola korupsi di lembaga-lembaga
negara/pemerintah, lewat kajian yang memadai tentang berbagai jabatan yang ada di
dalamnya.
3. Untuk mendukung kepastian hukum dan feasibility dari pelaksanaan SE Menpan di
lapangan, sebaiknya penentuan atau perluasan PN wajib lapor di wilayah eksekutif
dilakukan secara bersama-sama oleh KPK, Kementerian PAN, dibantu oleh BKN.
Kepala BKN sendiri telah menyatakan komitmennya dalam wawancara dengan Tim
Peneliti untuk mendukung aktivitas tersebut, mengingat data PN di berbagai instansi
pemerintah dikelola oleh BKN. Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan,
dan POLRI perlu dilibatkan dalam kegiatan tersebut, guna mencakup pula data PN di
daerah, data Anggota TNI dan juga Anggota POLRI;
4. Selain itu, perlu dibuat mekanisme evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan SE
Menpan di lapangan, yang dilakukan secara bersama-sama antara Menpan dan KPK.
Mekanisme evaluasi tersebut dapat menjadi media yang sangat penting, tidak hanya
untuk memonitor kepatuhan PN dan lembaganya, melainkan juga memperbaiki SE
Menpan dari waktu ke waktu.

C. Perubahan di Tingkat Kelembagaan


1. Penentuan Struktur Baru

Dengan mempertimbangkan keterbatasan di tingkat kelembagaan sebagaimana telah


dijelaskan sebelumnya, dan mengingat peningkatan struktur dan kapasitas kelembagaan
memerlukan perubahan di tingkat UU, maka sebagai strategi jangka pendek perlu dilakukan
reorganisasi pada Direktorat PP LHKPN KPK. Dalam jangka pendek, tentu saja reorganisasi
tersebut sebaiknya dilakukan dengan mengindahkan batasan yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang ada, yaitu tidak mencakup peningkatan struktur. Yang bisa
dilakukan adalah perluasan struktur saat ini, atau penegasan struktur yang ada dengan
pembagian tugas di dalamnya secara jelas.

Studi ini merekomendasikan perluasan atau penegasan struktur Direktorat PP LHKPN


dengan mendasarkannya pada proses kerja pokok dari mekanisme pelaporan kekayaan PN.
Perluasan atau penegasan struktur tersebut dilakukan untuk memperjelas fokus kerja SDM
yang ada di Direktorat PP LHKPN, serta untuk mendistribusikan tanggungjawab yang
selama ini tersentral pada Direktur kepada unit/satuan kerja di bawahnya. Dengan
demikian, Direktur PP LHKPN dapat lebih leluasa merancang dan mengambil kebijakan
strategis, terkait tugas dan wewenang KPK di bidang pendaftaran dan pemeriksaan
LHKPN. Perluasan atau penegasan struktur tersebut juga sangat penting sebagai dasar bagi
aktivitas kelembagaan, seperti perencanaan SDM, perbaikan proses kerja, dan penyediaan
fasilitas kerja.

Struktur yang diusulkan untuk dibentuk di bawah Direktur PP LHKPN adalah sebagai
berikut:
1. Unit/satuan kerja yang bertanggungjawab terhadap identifikasi dan penentuan PN
wajib lapor dan pembinaan Pokja LHKPN, baik yang ada di lembaga
negara/pemerintahan tingkat pusat dan daerah;
Unit/satuan kerja ini memantau dan mengidentifikasi pembentukan, peleburan, atau

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 129
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

pembubaran lembaga negara/pemerintah dari waktu ke waktu, serta jabatan-jabatan di


dalamnya di mana PN yang menduduki jabatan tersebut wajib melaporkan kekayaan.
Identifikasi tersebut juga sebaiknya mencakup lembaga yang secara de facto belum
berdiri namun secara de jure sudah dibentuk.
Selain itu unit/satuan kerja ini akan bertanggungjawab memfasilitasi pembentukan
Pokja LHKPN di lembaga-lembaga negara/pemerintahan tingkat pusat dan daerah,
serta membina hubungan kerja yang efektif secara reguler dengan Pokja-Pokja tersebut.
Unit/satuan kerja ini dapat bekerjasama dengan Direktorat PJKAKI KPK.
2. Unit/satuan kerja yang bertanggungjawab melakukan penagihan LHKPN dan
memastikan kepatuhan PN;
Unit/satuan kerja ini menangani kegiatan penagihan, yang pengelolaannya bisa
mengikuti (benchmarking) kegiatan penagihan di unit collecting lembaga lain, seperti unit
kredit di perbankan.
Unit/satuan kerja ini juga akan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
mengupayakan sanksi bagi PN yang melanggar kewajibannya, baik sanksi
administratif, pidana, dan sanksi moral. Unit/satuan kerja ini dapat bekerjasama
dengan Direktorat PJKAKI (untuk sanksi administratif), serta Direktorat Penyidikan
dan/atau Tim Hukum di bawah Biro Umum KPK untuk sanksi pidana.
3. Unit/satuan kerja yang bertanggungjawab mengelola kegiatan entri data, pengumuman
LHKPN, dan penyediaan layanan data LHKPN;
Unit/satuan kerja ini akan memastikan penghapusan backlog LHKPN, serta memastikan
bahwa setiap LHKPN yang masuk diselesaikan dalam jangka waktu yang terukur.
Selain itu, unit/satuan kerja ini juga akan mengelola kegiatan pengumuman LHKPN
lewat berbagai media yang ditetapkan, serta melayani permintaan data yang masuk
baik dari PN sendiri, lembaga-lembaga yang relevan, dan masyarakat pada umumnya.
4. Unit/satuan kerja yang bertanggungjawab menjalankan pemeriksaan LHKPN serta case
building.
Unit/satuan kerja ini akan menjalankan kegiatan investigasi dan pemeriksaan, baik
pemeriksaan dokumen maupun pemeriksaan lapangan, sesuai kriteria pemeriksaan
yang telah ditetapkan. Unit/satuan kerja ini yang akan mengembangkan kejanggalan
pelaporan kekayaan PN menjadi kasus tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain
yang relevan. Unit/satuan kerja ini juga bertugas menyusun data-data primer yang
perlu dimiliki KPK guna menjalankan pemeriksaan.
Unit/satuan kerja ini dapat bekerjasama dengan Direktorat Gratifikasi dan Direktorat
Penyelidikan KPK.
5. Unit/satuan kerja yang bertanggungjawab memberikan dukungan administrasi bagi
kegiatan Direktorat PP LHKPN.

2. Penyesuaian Kompetensi dan Jumlah SDM

Untuk melakukan penyesuaian kompetensi dan jumlah SDM, KPK perlu melakukan needs
assessment, dengan membenturkan antara:
1. Proses kerja yang baru;
2. Struktur organisasi yang baru;
3. Rata-rata jumlah PN wajib lapor dari waktu ke waktu;
4. Tantangan yang harus dihadapi dalam mekanisme pelaporan kekayaan PN, seperti
tingkat kepatuhan PN, sebaran PN, dan lain-lain;
5. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme pelaporan dan
pemeriksaan kekayaan PN di setiap tahap;

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 130
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

6. Jumlah dan kualifikasi SDM yang ada;


7. Dukungan yang potensial diberikan oleh Unit Kerja lain dalam tubuh KPK bagi
pelaksanaan mekanisme pendaftaran dan pemeriksaan kekayaan PN; serta
8. Kebutuhan jumlah dan kualifikasi SDM yang baru.

Khusus mengenai tenaga kontrak yang akan diserahi tugas menjalankan kegiatan
administrasi dan klerikal dari mekanisme pelaporan kekayaan PN, terutama entri data, pola
rekrutmen mereka sebaiknya mempertimbangkan investasi keterampilan dan proses
adaptasi mereka. Sebaiknya jangka waktu kontrak dibuat lebih lama, tidak hanya dibatasi
selama 6 bulan seperti yang sekarang diterapkan. Skema remunerasi mereka pun bisa
didasarkan pada kinerja yang jelas, seperti jumlah data yang berhasil diolah setiap bulannya.
Namun tentu saja pola rekrutmen dan skema remunerasi tenaga kontrak sebaiknya
mempertimbangkan ketentuan mengenai anggaran dan kepegawaian yang berlaku.

Gagasan melaksanakan outsourcing kepada lembaga profesional terhadap kegiatan entri data
juga layak dipertimbangkan sebagai alternatif jalan keluar. Namun tentu saja kebijakan
tersebut sebaiknya didukung perhitungan matang tentang:
1. Keamanan data;
2. Quality control; dan
3. Pembiayaan.

3. Penyediaan Fasilitas Pendukung

Fasilitas pendukung yang sifatnya fisik, sebaiknya seoptimal mungkin disediakan dalam
perencanaan pengadaan KPK. Fasilitas fisik yang teridentifikasi antara lain:
1. Ruang kerja;
2. Ruang pemeriksaan, terutama untuk aktivitas tatap muka dengan PN seperti klarifikasi;
3. Ruang penyimpanan berkas;
4. Ruang tamu;
5. Ruang pelayanan permintaan data.

Anggaran yang harus disediakan bagi pelaksanaan mekanisme pelaporan kekayaan PN juga
sebaiknya direncanakan secara matang. Anggaran tersebut setidaknya harus mencakup
anggaran untuk:
1. Sosialisasi;
2. Pembinaan Pokja;
3. Pengadaan dan distribusi formulir dan buku panduan;
4. Kegiatan penagihan dan komunikasi lainnya;
5. Pengumuman LHKPN;
6. Kegiatan pemeriksaan dan case building;
7. Remunerasi SDM;
8. Pengembangan teknologi;
9. Penyusunan dan pengadaan data-data primer;
10. Pengkajian dan perbaikan sistem;
11. Pengarsipan.

Salah satu fasilitas pendukung yang terpenting adalah teknologi, berupa piranti lunak untuk
mengelola keseluruhan mekanisme pelaporan kekayaan PN. Piranti lunak tersebut harus
mampu mempermudah pelaksanaan kerja, antara lain dengan memungkinkan:

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 131
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

1. Dihasilkannya statistik kepatuhan PN di setiap klasifikasi yang ada, seperti daerah


(hingga ke tingkatan Kabupaten/Kota), lembaga negara/pemerintahan di tingkat pusat
maupun daerah; kelompok jabatan, dan lain-lain. Statistik tersebut sangat diperlukan
untuk mendorong kepatuhan PN, terutama lewat pengupayaan sanksi moral dengan
mengumumkan tingkat kepatuhan PN di setiap klasifikasi yang ada;
2. Dibedakannya secara tegas data antara formulir A dan formulir B;
3. Digunakannya klasifikasi PN yang paling bisa mewakili dinamika administrasi negara
yang ada, serta memungkinkan revisi terhadap klasifikasi tersebut dari waktu ke waktu;
4. Digunakannya multi kata kunci untuk mendukung kepentingan pencarian data, baik
sebagai dukungan terhadap kegiatan pemeriksaan maupun kegiatan pelayanan data;
5. Diidentifikasinya data-data kunci seperti tanggal pengangkatan, tanggal pensiun/
pemberhentian, dan lain-lain.

Sebagaimana yang telah diupayakan Direktorat PP LHKPN, piranti lunak LHKPN juga
sebaiknya dikaji secara terus-menerus, terutama aspek legalnya, untuk memungkinkan
dilakukannya pelaporan LHKPN secara elektronik. Aspek legal sangat penting dikaji
mengingat:
1. Terdapat potensi masalah mengenai keabsahan formulir elektronik tersebut;
2. Terdapat dokumen-dokumen tertentu yang secara legal sulit disampaikan secara
elektronik seperti Surat Kuasa;
3. Kurang terjaminnya kerahasiaan data yang disampaikan PN; dan
4. Dasar hukum informasi elektronik (RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik)
belum disahkan.

Sementara aspek lain yang juga harus dipertimbangkan seperti akses teknologi yang tidak
merata antara satu daerah ke daerah lain, atau antara satu lembaga dengan lembaga lain.

Kajian untuk menerapkan sistem pelaporan LHKPN secara elektronik layak dilakukan, salah
satunya karena belajar dari pengalaman negara lain, sistem tersebut terbukti mampu
meningkatkan kepatuhan PN secara signifikan. Sebagai contoh adalah Argentina. Anti-
Corruption Office Argentina telah mendesain dan menerapkan sistem pelaporan kekayaan PN
secara elektronik. Sistem tersebut diterapkan setelah mengkaji kapasitas teknologi dari 158
lembaga yang berbeda.288

Setelah sistem tersebut dijalankan, kepatuhan pelaporan kekayaan di kalangan PN


Argentina meningkat hingga hampir mencapai 96 persen, dari semula 67 persen. Kasus yang
muncul dari pelaporan kekayaan mencapai hingga 331 kasus dari semula 40 kasus, dan
permintaan terhadap pengumuman daftar kekayaan tersebut meningkat menjadi 664 dari
sebelumnya 66 permintaan. Biaya administrasi pengelolaannya pun berkurang hingga 10
kali lipat, dari semula $70 menjadi hanya $8.289

D. Perbaikan Proses Kerja


Proses kerja Direktorat PP LHKPN, baik berupa SOP, prosedur tetap, atau petunjuk teknis
perlu diperbarui agar mampu mencerminkan berbagai aktivitas yang penting dalam

288 Roberto de Michele, “The Role of Anti-Corruption Office in Argentina”, The Journal of Public Inquiry, 2001.
Hal. 19.
289 Ibid.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 132
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

mekanisme pelaporan kekayaan PN. Proses kerja tersebut sebaiknya juga memperjelas titik
temu antara pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat PP LHKPN dengan tugas dan fungsi
Direktorat/Unit Kerja lain yang ada di KPK. Perlu diidentifikasi aktivitas mana yang bisa
ikut dikerjakan oleh berbagai Direktorat/Unit Kerja lain, yang terkait erat dengan tugas dan
fungsi Direktorat/Unit Kerja tersebut.

1. Penyediaan Dasar Perbaikan Proses Kerja

Pelajaran dan pengalaman (lessons learned) tentang pelaksanaan proses kerja sebaiknya
ditampung secara sistematis dan terstruktur dari waktu ke waktu, untuk dibahas pada tiap
kurun waktu tertentu (misalnya setiap semester), serta dijadikan dasar utama bagi
penyempurnaan proses kerja tersebut. Pelajaran dan pengalaman tersebut bisa berupa
kesulitan-kesulitan yang dihadapi KPK maupun PN dalam menjalankan atau memenuhi
mekanisme pelaporan kekayaan PN.

Pelajaran dan pengalaman tersebut bisa didapat dari:


1. Seluruh staf Direktorat PP LHKPN yang menjalankan secara langsung aspek-aspek
tertentu dari proses kerja;
2. Direktorat/Unit Kerja lain di KPK yang pelaksanaan tugas dan fungsinya terkait erat
dengan tugas dan fungsi Direktorat PP LHKPN;
3. PN wajib lapor kekayaan, baik yang disampaikan secara langsung maupun yang
diinventarisasi oleh Customer Service Direktorat PP LHKPN.

2. Pengumpulan dan Penyusunan Data Primer

Untuk kepentingan pemeriksaan LHKPN, KPK perlu mengumpulkan dan menyusun


berbagai data primer, sebagai salah satu media pendukung yang valid dalam
memperbandingkan antara data yang disampaikan PN dengan kebenaran di lapangan.
Selain itu, beberapa data primer yang lain juga penting dijadikan arahan bagi pelaksanaan
aktivitas dalam pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN lainnya. Data-data primer tersebut
setidaknya meliputi:
1. Standard gaji, tunjangan, serta honorarium PN dengan berbagai kualifikasi;
2. Susunan atau struktur organisasi berbagai lembaga negara/pemerintahan;
3. Agenda pemilihan pejabat publik di tingkat pusat dan daerah;
4. Dasar hukum pembentukan berbagai lembaga negara/pemerintahan;
5. Harga pasar barang, saham, dan lain-lain.

Kegiatan pengumpulan dan penyusunan data primer juga menjadi program Direktorat
Gratifikasi KPK pada 2006, yaitu pemetaan penghasilan pejabat, meski hal tersebut belum
terealisasi.

3. Sosialisasi

Sosialisasi secara terstruktur mengenai mekanisme pelaporan kekayaan PN perlu dilakukan


terutama untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran kewajiban oleh PN
hanya karena faktor ketidaktahuan akan peraturan. Selain itu sosialisasi juga dibutuhkan
untuk meningkatkan kepedulian masyarakat secara luas terhadap mekanisme pelaporan
kekayaan PN. Di kalangan PN sendiri, sosialisasi diharapkan secara bertahap mampu
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kepatuhan PN, hingga ke tahap internalisasi.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 133
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan kepada PNS di berbagai daerah, tampak bahwa
jenis sosialisasi konvensional, yaitu tatap muka, masih dipilih oleh sebagian besar
responden. Jenis sosialisasi lain, yaitu sosialisasi lewat media tertulis dan multimedia, jadi
preferensi berikutnya, dengan jumlah respon yang relatif berimbang (Tabel 4.3).

Tabel 4.3.
Jenis sosialisasi yang dipilih PN
No. Jenis sosialisasi n %
1. Sosialisasi tatap muka 173 74,2
2. Sosialisasi tertulis 58 24,9
3. Sosialisasi multimedia 56 24

Berbagai aspek yang sebaiknya dijadikan pertimbangan dalam menjalankan kegiatan


sosialisasi adalah:
1. Perlunya dicakup sejarah mekanisme pelaporan kekayaan PN sejak masa Orde Lama,
Orde Baru, dan masa reformasi, baik kelebihan maupun kekurangannya masing-masing
dalam setiap media/forum sosialisasi LHKPN untuk membantah anggapan bahwa
mekanisme tersebut bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia, serta untuk
mematahkan anggapan bahwa mekanisme tersebut merupakan akomodasi pemerintah
terhadap agenda asing yang diusung melalui LoI IMF.
2. Tujuan-tujuan yang dikandung dalam mekanisme pelaporan kekayaan PN juga perlu
disosialisasikan secara luas, baik kepada seluruh PN, masyarakat pada umumnya,
bahkan kepada para staf KPK sendiri, agar semua pihak bisa memahami arti penting
mekanisme tersebut bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Kriteria PN wajib lapor kekayaan berdasarkan UU, maupun hasil penjabarannya baik
oleh KPK atau peraturan lain yang menindaklanjutinya juga penting disosialisasikan
agar tidak ada lagi PN yang melanggar kewajibannya hanya karena tidak tahu apakah
yang bersangkutan masuk dalam kriteria/kategori PN wajib lapor atau tidak.
4. Produksi CD multimedia sebaiknya diperbanyak dan distribusinya diperluas,
mengingat efektivitasnya sebagai media sosialisasi. Target distribusi CD tersebut pun
sebaiknya tidak hanya dibatasi ke kalangan PN, melainkan pula ke berbagai
stakeholders LHKPN, seperti lembaga-lembaga terkait, kalangan akademisi, LSM, dan
lain-lain. Materi CD tersebut sebaiknya disempurnakan dan dilengkapi dengan
menambahkan informasi-informasi penting lainnya, yang bisa menambah tingkat
pemahaman PN tentang signikansi LHKPN bagi pemberantasan korupsi. Berbagai
informasi seperti sejarah LHKPN di Indonesia, tujuan diterapkannya mekanisme
pelaporan kekayaan, kriteria/kategori PN wajib lapor, berbagai peraturan yang terkait
dengan mekanisme pelaporan kekayaan, petunjuk tentang tata cara pelaporan dan
pengumuman LHKPN, jenis-jenis pelanggaran dan sanksi yang bisa dikenakan,
mekanisme mendapatkan salinan pengumuman LHKPN, dan lain-lain.
5. Sebaiknya KPK mengusung beberapa tema sentral dalam mensosialisasikan mekanisme
pelaporan kekayaan baik kepada PN maupun kepada masyarakat, antara lain:
a. “Noblesse oblige”, yang artinya “jabatan membawa kewajiban” untuk membantah
serangan PN selama ini terhadap kewajiban melaporkan kekayaan dengan alasan
privasi;
b. Sosialisasi juga bisa dikaitkan dengan kampanye soal pencucian uang, karena
memiliki tema yang sama, “kalau bersih kenapa harus risih”;
c. Membudayakan pencatatan transaksi dan menyimpan alat bukti, termasuk
membiasakan pembuktian atas hibah. Karena budaya/kebiasaan itu terbukti

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 134
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

mampu membantu memudahkan pengisian LHKPN.


6. Apabila ada pemanfaatan LHKPN baik sebagai bukti awal maupun sebagai bukti
pendukung dalam pengusutan perkara korupsi, terutama yang dilakukan KPK sendiri,
maka hal itu sebaiknya disosialisasikan kepada PN dan masyarakat pada umumnya,
tentu saja dengan mengindahkan batasan-batasan dalam menyampaikan informasi
mengenai pengusutan perkara. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan apresiasi
masyarakat tentang arti penting LHKPN bagi pemberantasan korupsi, serta
memberikan shock therapy kepada kalangan PN bahwa laporan kekayaan yang mereka
sampaikan dapat ditindaklanjuti ke upaya penindakan korupsi;
7. Materi muatan UNCAC tentang mekanisme pelaporan kekayaan PN juga perlu
dipaparkan dalam setiap media dan forum sosialisasi, guna menunjukkan kepada PN
dan masyarakat bahwa terdapat pengakuan dan dukungan yang kuat dari masyarakat
internasional terhadap signifikansi mekanisme pelaporan kekayaan PN bagi
pemberantasan korupsi;
8. Yang tidak kalah penting, prosedur bagi masyarakat untuk mengakses dan
mendapatkan pengumuman LHKPN juga sebaiknya disosialisasikan secara meluas,
termasuk dorongan agar masyarakat turut mengawasi PN lewat laporan kekayaan
mereka.

4. Identifikasi dan Penentuan PN Wajib Lapor

Kurang jelasnya norma dalam UU No. 28/1999 tentang kriteria PN wajib lapor kekayaan,
terbukti telah menjadi salah satu penyebab mengapa sebagian PN tidak mematuhi
kewajibannya melaporkan kekayaan. Selain merekomendasikan perbaikan materi muatan
UU, studi ini juga perlu memberikan alternatif langkah-langkah jangka pendek yang bisa
diambil.

Antara lain, KPK sebaiknya mengambil sikap terhadap Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999
tentang pejabat lain yang memiliki fungsi strategis, khususnya kata “meliputi” dalam
Penjelasan dari angka tersebut yang seolah-olah membatasi hanya pada PN yang disebutkan
di dalamnya. Studi ini merekomendasikan agar KPK tidak terikat pada kata “meliputi”
dalam Penjelasan tersebut mengingat:
1. Butir E Lampiran UU No. 10/2004 yang pernah dijadikan dasar pertimbangan MK
dalam Putusan No. 003/PUU-IV/2006 tentang uji materiil terhadap UU No. 31/1999
menentukan:
a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-
undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan
hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang
tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana memperjelas norma batang
tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan
lebih lanjut;
c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.290
2. Pendekatan yang digunakan dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 28/1999 berbeda dari

290 Pendapat berbeda disampaikan oleh Prof. Maria Farida Indrati yang diwawancarai oleh Tim Peneliti.
Menurut Maria, meski Penjelasan suatu UU tidak boleh memuat norma baru atau berbeda dari Batang
Tubuh, namun ketika norma tersebut sudah dimuat dalam Penjelasan, maka sifatnya menjadi tetap mengikat.
Wawancara tanggal 15 September 2006.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 135
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

angka yang satu dengan angka yang lain:


a. Penjelasan Pasal 2 angka 4 bersifat menegaskan;
b. Penjelasan Pasal 2 angka 5 bersifat memperluas pengertian;
c. Penjelasan Pasal 2 angka 6 bersifat memberi contoh;
d. Penjelasan Pasal 2 angka 7 bersifat membatasi.
3. Fungsi dan batasan dari materi muatan Penjelasan UU sebagaimana diterangkan dalam
butir a, serta beragamnya pendekatan yang digunakan dalam Penjelasan Pasal 2 UU
No. 28/1999 sebagaimana dijelaskan dalam butir b di atas, dapat menjadi dasar
penafsiran yang kuat bagi KPK untuk tidak terikat pada kata “meliputi” dalam
Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999.

Tetapi kegiatan identifikasi dan kebijakan penentuan PN wajib lapor kekayaan yang
didasarkan pada Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999 sekalipun, sebaiknya dilakukan secara
komprehensif, agar dapat mencakup seluas mungkin PN yang memang memiliki fungsi
strategis. Misalnya:
1. Jabatan Penyidik juga sebaiknya mencakup Penyidik PNS yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan tersebar di berbagai lembaga;
2. Jabatan Panitera Pengadilan juga sebaiknya mencakup Panitera di MK.

Selain itu, dalam mengidentifikasi dan menentukan PN wajib lapor kekayaan, studi ini
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dengan profil PN, terutama yang berasal dari kalangan PNS, yang sedemikian besar
jumlah dan sebarannya, yang pada umumnya terkonsentrasi di wilayah
Kota/Kabupaten, maka setiap usulan kebijakan untuk memperluas kategori PN wajib
lapor kekayaan sebaiknya dibuat dengan pertimbangan yang sangat hati-hati. Cost and
benefit analysis sebaiknya selalu dilakukan, dan efektivitasnya bagi upaya
pemberantasan korupsi harus jadi pertimbangan utama;
2. KPK sebaiknya secara proaktif melakukan pendekatan kepada PN dan lembaganya
yang masih memiliki keraguan apakah mereka masuk dalam kategori wajib lapor
(antara lain karena UU No. 28/1999 tidak menentukan secara tegas), namun
berdasarkan hasil identifikasi KPK, mereka patut dikategorikan sebagai PN wajib lapor
kekayaan;
3. Kegiatan identifikasi dan kebijakan penentuan PN wajib lapor, mungkin dilakukan KPK
dengan berpedoman pada Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka 6 berikut Penjelasannya
dari UU No. 28/1999. Yaitu penentuan tentang “Pejabat negara lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian, penentuan pejabat
negara lain mengacu pada UU No. 28/1999 mencakup tidak hanya pejabat negara yang
jabatannya diatur dalam UU, tetapi juga yang diatur dalam konstitusi dan peraturan
perundang-undangan di bawah UU;
4. Kegiatan identifikasi dan kebijakan penentuan PN wajib lapor juga mungkin dilakukan
KPK, mengacu pada Pasal 13 huruf a UU No. 30/2002 yang mengatur kewenangan KPK
melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan kekayaan PN. Selama
penentuan itu dilakukan secara umum, potensi KPK dituduh menyalahgunakan
wewenang bisa dikesampingkan;
5. Kebijakan penentuan KPK tentang PN wajib lapor sebaiknya dibuat dalam bentuk
Keputusan KPK, sebagai aturan lebih lanjut bagi KPK dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dan disosialisasikan secara luas dari waktu ke waktu;
6. Klasifikasi lama tentang pengelompokan PN yang hanya membatasi pada 4 kelompok,

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 136
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, serta BUMN/D sebaiknya dirubah karena sudah
tidak sesuai dengan dinamika ketatanegaraan dan hukum administrasi negara yang
ada. Klasifikasi yang baru setidaknya harus mencakup PN di wilayah:
a. Eksekutif;
b. Legislatif;
c. Yudikatif;
d. BUMN/D;
e. State auxiliary bodies yang diatur dalam konstitusi, UU, dan peraturan di bawah UU;
f. Lembaga negara/pemerintahan yang telah dibubarkan;
7. Kegiatan identifikasi dan penentuan PN wajib lapor kekayaan sebaiknya dilengkapi
dengan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur lembaga
negara/pemerintahan dan/atau jabatan tertentu, berikut:
a. Susunan organisasinya; dan
b. Hak keuangan bagi PN di dalam organisasi tersebut;
8. Kegiatan identifikasi dan kebijakan penentuan hingga perluasan PN wajib lapor
kekayaan di kalangan eksekutif sebaiknya tetap dilakukan KPK bersama dengan
Menpan lewat SE Menpan. Namun untuk memastikan validitas data, kegiatan tersebut
juga sebaiknya melibatkan pula BKN, Depdagri, POLRI, dan Departemen Pertahanan,
agar bisa menentukan secara definitif PNS di tingkat pusat, PNS di tingkat daerah,
Anggota POLRI, dan Anggota TNI.

5. Formulir

a. Perbaikan Formulir

Formulir LHKPN adalah media paling penting dalam mekanisme pelaporan kekayaan PN.
Sebab lewat formulir tersebutlah berbagai data, keterangan, hingga kejanggalan dari
kekayaan PN seharusnya bisa dideteksi. Untuk agenda perbaikan formulir, studi ini
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

a.1. Kesederhanaan Formulir

Mengenai kesederhanaan formulir, studi ini merekomendasikan:


1. Formulir sebaiknya dibuat sesederhana mungkin. Konsep “user friendly” sebaiknya
selalu dijadikan pertimbangan dalam aktivitas yang berkaitan dengan perbaikan
formulir.
2. Data/keterangan yang bisa didapatkan dari sumber lain sebaiknya dikeluarkan dari
formulir LHKPN. Data yang tidak perlu dikumpulkan pun sebaiknya dikeluarkan.
Pencantuman bukti, apabila bisa dirujuk ke lembaga lain sebenarnya bisa
dikesampingkan. Tetapi KPK sebelumnya harus menyepakati kerjasama dengan Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Lalu Lintas POLRI, Direktorat Jenderal Pajak,
Bursa Efek, dan lain-lain, untuk bisa memanfaatkan database mereka. Dan KPK
sebaiknya bisa menilai bahwa database yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut
memang lengkap dan valid, atau setidaknya resmi.
3. Patut dipertimbangkan agar NHK diganti atau paling tidak disandingkan dengan
Nomor Induk Pegawai bagi PNS dan TNI/POLRI atau nomor kependudukan. Khusus
bagi pejabat negara, penggunaan NHK bisa dipertahankan. Hal ini patut
dipertimbangkan agar kegiatan penomoran dalam pelaporan kekayaan PN juga sejalan
dengan konsep Single Identity Number, sehingga tidak perlu banyak nomor, yang pada

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 137
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

akhirnya akan mempersulit kepentingan pengadministrasian dan pencarian data.


4. Penyederhanaan surat kuasa, antara lain penggabungan surat kuasa untuk meminta
keterangan tentang rekening bank yang sudah dijalankan selama ini bisa dipertahankan.

a.2. Pembuktian

Kepentingan pembuktian sebaiknya jadi tekanan dalam formulir LHKPN. Prasyarat bagi
tercapainya kepentingan tersebut adalah KPK sebaiknya menjelaskan apa saja yang
dimaksud dengan bukti, dan data apa saja yang harus dicantumkan untuk kepentingan
pembuktian. Antara lain:
1. Bukti kepemilikan tanah, sebaiknya dijelaskan apakah sertifikat, girik, atau akta jual
beli. Fungsi pelampiran PBB juga harus dijelaskan untuk membuktikan apa.
2. Apabila terdapat kekayaan yang diterangkan didapat melalui warisan, selain
keterangan mengenai alur waris, keterangan tentang apakah harta warisan sudah
dipisahkan atau belum juga perlu disampaikan.
3. PN perlu mencantumkan perjanjian pemisahan kekayaan, jika ada, dengan
suami/isterinya dan melampirkan akad perceraian jika sudah bercerai.
4. Garis batas antara kekayaan sebelum, selama dan sesudah PN menduduki jabatannya
juga sebaiknya dipertegas dalam formulir LHKPN. Tanggal perolehan kekayaan
sebelum, selama, dan sesudah menjabat dalam formulir LHKPN harus tegas.
5. Keterangan tentang sumber (asal-usul) perolehan kekayaan sama pentingnya dengan
keterangan tentang tanggal dan nilai perolehan, khususnya bagi kekayaan yang
diterangkan berasal dari hibah/pemberian. Karena itu sebaiknya formulir LHKPN juga
memuat kolom untuk menjelaskan identitas pemberi, sebagaimana yang tercantum
dalam formulir gratifikasi.
6. Bukti hibah berupa akta hibah, dan bukti warisan berupa penetapan Pengadilan, atau
bukti-bukti lain, termasuk bukti yang terkait dengan pemenuhan pajaknya harus
dilampirkan PN yang menerangkan sumber kekayaan tertentu dari hibah atau warisan.

a.3. Identitas PN

Data PN sebaiknya mencantumkan media komunikasi selengkap-lengkapnya untuk


memudahkan kegiatan penagihan nantinya. Data yang umum setidaknya terdiri dari:
a. Nama;
b. Jabatan;
c. Instansi;
d. Unit Kerja;
e. Alamat Kantor;
f. Nomor telepon dan faksimili kantor;
g. Alamat rumah;
h. Nomor telepon dan faksimili rumah;
i. No. HP;
j. E-mail.

Selain data umum tersebut, nama atasan langsung bagi PN yang berasal dari PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, pegawai BUMN/BUMD, berikut alamat, nomor telepon, faksimili,
dan nomor HP atasan langsung tersebut perlu juga dimintakan. Bagi pejabat negara seperti
Anggota DPR, Anggota DPRD, Anggota DPD, nama dan detail kontak pimpinan lembaga,
atau pimpinan fraksi, atau pimpinan satuan pengelompokan PN yang bersangkutan

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 138
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

sebaiknya turut dimintakan.

a.4. Penentuan Nilai/Nominal Kekayaan PN

Formulir sebaiknya bisa mencakup keterangan-keterangan yang penting mengenai


kekayaan PN. Formulir sebaiknya bisa mencakup konsep-konsep dalam hukum kebendaan
dan hukum perikatan yang berlaku, termasuk mencakup pula keunikan-keunikan yang ada
pada hak-hak kebendaan.

Untuk jenis-jenis kekayaan yang unik, antara lain barang budaya dan keilmuan, formulir
LHKPN sebaiknya mengarahkan PN untuk lebih memperjelas spesifikasinya secara detail.
Misalnya jika harta benda tersebut merupakan lukisan berharga, maka baik Buku Petunjuk
Pengisian maupun formulir LHKPN bisa mengarahkan agar PN juga menjelaskan siapa
pelukisnya, kapan lukisan tersebut dibuat, di mana dan melalui apa lukisan tersebut
diperoleh, dan harga perolehan.

Secara umum, berdasarkan praktek di negara-negara lain, penentuan nilai/nominal


kekayaan menggunakan pendekatan dari salah satu atau gabungan dari cara-cara sebagai
berikut, yaitu:
a. Estimasi yang jujur tentang nilai kekayaan apabila harga yang pasti tidak diketahui atau
sulit didapatkan;
b. Nilai/harga berdasarkan appraisal tertentu yang up to date;
c. Nilai/harga perolehan;
d. Nilai/harga yang digunakan untuk kepentingan pelaporan pajak;
e. Nilai/harga yang pasti, seperti tabungan dan deposito;
f. Indikasi nilai/harga yang resmi seperti harga penjualan saham terakhir; dan
g. Nilai pembukuan akhir tahun bagi saham non-publik.

Studi ini merekomendasikan agar nilai/harga perolehan selalu digunakan PN dalam


melaporkan kekayaannya. Harga perolehan tidak akan berubah sampai kapan pun, dan
pembuktiannya pun mudah. Dengan menentukan harga perolehan, PN pun tidak akan
terjebak pada perkiraan tanpa dasar mengenai nilai kekayaannya yang bisa mendatangkan
konsekuensi hukum tersendiri, apabila perkiraan tersebut dimuat dalam LHKPN yang
merupakan dokumen resmi negara. Hal ini juga akan mempermudah PN dalam
menjalankan kewajibannya mengingat penentuan nominal seringkali menjadi kendala bagi
PN dalam melaporkan kekayaan. Sementara bagi kekayaan yang nilainya pasti seperti uang,
tabungan, atau deposito, dan bunga (bagi hasil) tentu saja bisa dinilai secara riil pada saat
pelaporan.

a.5. Rincian Kekayaan

Konsep-konsep benda (hukum kebendaan perdata) dan konsep-konsep hukum perikatan


sebaiknya didefinisikan secara baik dalam formulir LHKPN, agar formulir tersebut mampu
merekam seluruh kekayaan PN. Karena itu, dalam melakukan perbaikan/penyempurnaan
formulir LHKPN, KPK khususnya Direktorat PP LHKPN sebaiknya selalu mengacu pada
perkembangan di bidang hukum kebendaan dan hukum perikatan, termasuk soal hukum
kepailitan.

KPK juga dapat mengacu pada berbagai formulir pelaporan kekayaan di Indonesia, baik

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 139
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

yang memang digunakan untuk pencegahan korupsi, maupun yang digunakan untuk
kepentingan perpajakan, sekarang atau di masa lalu, untuk memeriksa apakah formulir
yang dipakai saat ini telah secara lengkap memuat konsep-konsep tersebut. Formulir
pelaporan kekayaan yang digunakan negara lain juga bisa dijadikan salah satu acuan
perbandingan. Tentu saja dengan terlebih dulu menyesuaikannya pada ketentuan dan
praktek hukum yang ada di Indonesia.

Khusus keterangan mengenai pengeluaran PN, mengingat banyak harta korupsi


dibelanjakan ke biaya pendidikan keluarga, maka pengeluaran tersebut harus dibuat serinci
mungkin, seperti status dan lokasi institusi pendidikan, biaya pendidikan (tuition fee), biaya
hidup, dan lain-lain.

a.6. Kekayaan yang Dikecualikan dari Pelaporan

Berbagai bentuk pengecualian kewajiban banyak dikenal dalam konsep hukum tertentu.
Salah satunya pengecualian yang berkaitan dengan harta benda. Pada hukum pajak, dikenal
beberapa jenis harta benda yang dikecualikan dari pelaporan pajak. Berdasarkan SPT Pajak
1976 misalnya, harta benda yang dikecualikan dari pelaporan meliputi:
1. Logam mulia, mutiara, permata, yang keseluruhan nilainya tidak lebih dari Rp. 2 juta;
2. Perlengkapan rumah tinggal, seperti tempat tidur, meja/kursi makan, meja/kursi tamu,
lemari pakaian, dan lain-lain;
3. Barang budaya dan keilmuan;
4. Pakaian dan bahan makanan, sepanjang barang-barang tersebut bukan merupakan
persediaan barang dagangan dan tidak digunakan untuk melakukan suatu perusahaan
atau pekerjaan;
5. Polis bunga seumur hidup;
6. Hak atas tunjangan seumur hidup, jika hak itu diperoleh dengan pembayaran premi di
bawah Rp. 75.000 pertahun;
7. Hak atas pensiun dan tunjangan, yang diberikan oleh pemerintah atau yang terhutang
oleh majikan karena kerja yang telah dilakukan.

Pengecualian juga dikenal dalam hukum kepailitan. Pasal 21 UU No. 37/2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, serta
segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Namun Pasal 22 UU tersebut
mengecualikan harta benda debitor berupa:
1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan
pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan,
tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya,
dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang
terdapat di tempat itu;
2. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian
dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3. Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut UU.

Pengecualian kekayaan dari kewajiban pelaporan juga diterapkan di beberapa negara,


dengan pendekatan yang beragam. Pada Tabel 4.4 bisa dilihat jenis-jenis pengecualian yang

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 140
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

diterapkan berbagai negara.

Tabel 4.4.
291
Kekayaan yang dikecualikan di berbagai negara
No. Negara Bentuk pengecualian
1. Amerika Serikat Harta kekayaan < USD 200
2. Turki Harta kekayaan < 5 kali gaji bulanan
3. Latvia Harta kekayaan < 20 kali gaji bulanan
4. Korea Harta kekayaan < USD 500
5. India Harta kekayaan < Rs. 1.500

Namun dalam aturan hukum yang mengatur mekanisme pelaporan kekayaan PN di


Indonesia, sama sekali tidak dikenal pengecualian. Secara normatif setiap PN wajib
melaporkan seluruh kekayaan yang dimiliki, terlepas apa fungsi kekayaan tersebut, dan
berapa pun nilainya. Karena itu, tidak heran apabila salah seorang staf pada Direktorat PP
LHKPN bercerita bahwa tidak sedikit PN yang melaporkan perabotan rumah tangga seperti
panci, kompor, dan lain-lain ke dalam LHKPN. Padahal pelaporan harta benda semacam itu
tidak signifikan untuk mengungkap kekayaan PN, menyulitkan PN sendiri, dan tentu saja
menyulitkan KPK dalam mengolah dan memeriksa datanya.

Studi ini merekomendasikan agar KPK membuat pengecualian dalam bentuk Keputusan
KPK, yang kemudian dioperasionalkan dalam formulir LHKPN. Kebijakan tersebut bisa
mengacu pada ketentuan hukum lain yang berlaku, meski dengan tujuan yang berbeda.
Pengecualian untuk melaporkan kekayaan baik yang dimiliki PN maupun isteri dan
anaknya, diusulkan setidaknya meliputi:
1. Perlengkapan rumah tinggal, seperti tempat tidur, meja/kursi makan, meja/kursi tamu,
lemari pakaian, dan lain-lain;
2. Pakaian dan bahan makanan, sepanjang barang-barang tersebut bukan merupakan
persediaan barang dagangan;
3. Benda bergerak lainnya yang nilai perolehannya per-unit di bawah Rp. 2 juta sepanjang
barang-barang tersebut bukan merupakan persediaan barang dagangan; serta
4. Logam dan batu mulia yang nilai perolehannya keseluruhan di bawah Rp. 2 juta.

a.7. Pernyataan Tidak Ada Penambahan Aset

Sebagai salah satu terobosan untuk menyederhanakan mekanisme pelaporan kekayaan PN,
studi ini mengusulkan agar apabila selama masa pembaruan laporan kekayaan, PN tidak
memiliki penambahan kekayaan yang signifikan, maka PN tersebut cukup membuat surat
pernyataan tanpa harus mengisi formulir B. Surat pernyataan tersebut dapat dibuat PN,
apabila:
1. PN, istri/suami, dan anak tidak memiliki:
a. Harta kekayaan atau sumber penghasilan yang baru;
b. Hutang yang baru;
c. Gratifikasi;
2. PN atau suami/isterinya tidak memiliki sumber penghasilan yang baru di luar sumber
penghasilan dari negara;
3. PN tidak memiliki:

291 www1.worldbank.org/publicsector/civilservice/assets.htm.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 141
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

a. Posisi/jabatan di luar posisi/jabatannya sekarang;


b. Perjanjian, kesepakatan, atau janji tentang posisi/jabatan di luar posisi/jabatan
negara, baik saat ini, masa depan, atau masa lalu;
4. PN tidak berubah jabatan/posisi, serta tidak memiliki perubahan tugas dan
kewenangan yang signifikan.

b. Perbaikan Buku Petunjuk Pengisian

Berdasarkan identifikasi terhadap berbagai penyebab dari berbagai perilaku bermasalah PN,
studi ini mengusulkan beberapa rekomendasi mengenai perbaikan Buku Petunjuk Pengisian
Formulir LHKPN. Perbaikan Buku Petunjuk penting terutama untuk mengubah perilaku PN
yang disebabkan oleh ketidaktahuan akan peraturan. Buku Petunjuk sebaiknya dibuat
untuk memperjelas berbagai aspek dari mekanisme pelaporan kekayaan secara keseluruhan,
juga memudahkan PN dalam menggunakan formulir LHKPN. Buku Petunjuk pengisian
juga sebaiknya dibuat secara hati-hati agar tidak memuat informasi yang justru bisa jadi
pangkal masalah.

Buku Petunjuk setidaknya harus memuat keterangan tentang:


1. Tujuan dan arti penting pelaporan kekayaan;
2. Siapa saja PN yang wajib mengisi;
Bisa dirinci, namun harus hati-hati dan lengkap, atau bisa dirujuk kepada peraturan
perundang-undangan yang ada, atau kombinasi antara keduanya. Sehingga ketika
terdapat PN yang belum dicakup, pembaruan terhadap peraturan perundang-
undangan tersebut bisa dilakukan;
3. Batas waktu pelaporan;
4. Frekuensi dan periode pelaporan;
5. Ke mana melaporkan LHKPN;
Bagi PN tertentu, apakah diarahkan kepada Pokja LHKPN di daerah-daerah atau di
berbagai lembaga, atau langsung ke KPK;
6. Definisi/konsep tentang hal-hal penting. Misalnya meliputi:
a. Isteri/suami;
b. Anak;
c. Kriteria legal tentang hibah dan warisan.
7. Informasi umum tentang tata cara pelaporan;
8. Batas minimum kekayaan yang wajib dilaporkan;
Jika memang batas minimum kekayaan yang wajib dilaporkan memang ingin dibuat.
9. Sanksi yang bisa dikenakan;
Merinci bentuk-bentuk pelanggaran yang umum terjadi, dan apa sanksi yang bisa
dikenakan terhadap masing-masing pelanggaran.
10. Rata-rata waktu pengisian;
Informasi tentang berapa rata-rata waktu yang diperlukan PN untuk mengisi formulir
LHKPN.
11. Masukan terhadap formulir LHKPN;
Halaman ini penting bagi KPK untuk menginventarisasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapi PN dari waktu ke waktu. Perlu diinformasikan kepada PN, jika terdapat
masukan bagi perbaikan formulir LHKPN, ke mana sebaiknya masukan tersebut
disampaikan, dan apa media untuk memberi masukan, misalnya halaman khusus
dalam formulir, kuesioner, dan lain-lain.
12. Bantuan yang bisa didapatkan PN jika menemukan kesulitan dalam mengisi;

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 142
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Misalnya fasilitasi oleh KPK, atau fasilitasi oleh Pokja LHKPN, dan lain-lain.
13. Data apa saja yang akan diumumkan.
Perlu diterangkan kepada PN, dari data-data yang disampaikannya dalam formulir
LHKPN, data apa saja dan tingkat kerinciannya yang kemudian akan ditampilkan
dalam pengumuman LHKPN.
14. Data-data yang sebaiknya tidak dilaporkan, jika ada.
15. Anjuran agar PN menyimpan salinan formulir yang sudah diisi sebaiknya diperkuat
dalam Buku Petunjuk. Hal ini penting sebagai salah satu bukti pelaporan dan sebagai
dasar bagi pelaporan kekayaan berikutnya.

Penyusunan Buku Petunjuk Pengisian juga sebaiknya didasarkan pada berbagai kendala
yang ditemui PN, baik yang sifatnya teknis maupun mendasar, yang berhasil diinventarisasi
KPK. Pendekatan untuk menjawab frequently asked questions sebaiknya digunakan dalam
menyusun Buku Petunjuk Pengisian.

c. Distribusi Formulir

Kebijakan membolehkan PN menggunakan fotokopi formulir dalam mengisi LHKPN perlu


tetap dijalankan. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan PN yang karena beberapa
alasan tidak mendapatkan formulir yang asli. Namun kebijakan tersebut tetap harus
mempertimbangkan anggapan yang luas di kalangan PN bahwa mengisi LHKPN dengan
formulir asli bersifat lebih resmi.

Karenanya, perencanaan dan pelaksanaan pencetakan formulir termasuk distribusinya


sebaiknya didasarkan pada data PN yang harus di-update dari waktu ke waktu. Distribusi
formulir LHKPN bisa dilakukan secara individual kepada PN yang bersangkutan,
sebagaimana yang dijalankan Direktorat Jenderal Pajak dalam mendistribusikan formulir
SPT kepada para wajib pajak, atau dapat pula melalui instansi tempat PN bekerja, atau
melalui Pokja LHKPN yang ada. Selain itu, berbagai saluran yang dapat memudahkan PN
memperoleh formulir LHKPN juga sebaiknya dibuka, seperti melalui situs internet KPK,
situs internet berbagai lembaga negara/pemerintahan, atau media lain.

Tetapi sebenarnya, tanpa harus mengalokasikan sumberdaya yang besar, KPK bisa bersifat
lebih pasif dalam mendistribusikan formulir. Yang perlu dilakukan hanyalah
menyosialisasikan kepada PN di mana formulir LHKPN bisa didapat, dan menekankan
bahwa menyerahkan formulir LHKPN yang telah diisi adalah kewajiban PN, karenanya
mereka harus berupaya mendapatkan formulir, mengisi, dan menyerahkannya kepada KPK
sebelum berakhirnya batas waktu yang ditentukan.

6. Batas Waktu Pelaporan dan Penagihan

a. Batas Waktu Pelaporan LHKPN

Ada beberapa problem teknis yang bisa ditemukan dari pengaturan tentang batas waktu
penyerahan LHKPN, yaitu:
1. Batas waktu dibuat seolah-olah personal, tergantung pada masa pengangkatan, mutasi,
promosi, dan berakhirnya jabatan masing-masing PN. Sementara jumlah PN yang wajib
lapor mencapai ratusan ribu orang. Jika jumlah sebanyak itu harus dipersonalisasi,
maka hampir bisa dipastikan KPK akan kesulitan menentukan batas waktu dan tentu

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 143
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

saja memastikan pemenuhannya. Masalah ini tidak akan terlalu dirasakan pada pejabat
negara, khususnya yang diangkat melalui mekanisme politik, seperti Anggota DPR,
Anggota DPRD, Presiden dan Wakil presiden, serta Anggota kabinet. Sebab masa
pengangkatan mereka relatif seragam. Namun ketika berhadapan dengan PNS yang
memiliki catatan karir yang berbeda antara satu dengan yang lain, masalah ini potensial
mengemuka
2. Batas waktu tidak akan berarti apa-apa jika KPK tidak memiliki basis data tentang
tanggal kapan PN tertentu diangkat, mutasi, promosi, dan mengakhiri jabatannya
3. Penentuan batas waktu yang didasarkan pada tanggal diterimanya formulir oleh PN,
mengasumsikan adanya sistem pengiriman dokumen yang akurat. Itu pun masih
menyisakan masalah tentang bagaimana memastikan PN telah benar-benar menerima
formulir yang sudah dikirimkan.

Guna mengatasi berbagai problem teknis tersebut, studi ini merekomendasikan agar:
1. Kerjasama antara Direktorat PP LHKPN KPK dengan Unit Kerja Kepegawaian atau
Pengawasan di masing-masing lembaga negara/pemerintahan tempat PN bekerja akan
sangat vital perannya guna mengetahui tanggal pengangkatan, promosi, mutasi,
pemberhentian dan/atau pensiun PN, serta memastikan bahwa pada tanggal tersebut
PN benar-benar telah mendapatkan formulir;
2. Penentuan batas waktu penyerahan LHKPN juga sebaiknya mempertimbangkan
peluang memperbaikinya apabila ada kesalahan. Setelah menetapkan batas waktu,
misalnya 2 bulan setelah PN menduduki jabatan, mutasi jabatan, promosi jabatan,
mengakhiri jabatan selaku PN, dan/atau pensiun, seperti yang diberlakukan sekarang,
KPK perlu memberi kesempatan untuk masa waktu tertentu, misalnya 1 bulan, bagi
perbaikan sebelum mengupayakan sanksi;
3. Apabila batas waktu perbaikan telah terlampaui, maka keterangan yang tidak benar
dalam LHKPN bisa dijadikan dasar bagi tindak pidana pemalsuan;
4. Penentuan batas waktu yang dihitung berdasarkan tanggal sejak PN menerima formulir
LHKPN sebaiknya dihapuskan. Melaporkan kekayaan, termasuk mendapatkan formulir
LHKPN adalah kewajiban PN. Apabila upaya-upaya masuk akal telah dilakukan KPK
dalam mendistribusikan formulir, maka alasan tidak mendapat formulir tidak bisa
dijadikan alasan bagi keterlambatan;
5. Sebaiknya tidak ada lagi toleransi terhadap pelanggaran batas waktu pelaporan.
Apabila setelah diberi waktu 2 bulan, ditambah waktu 1 bulan untuk perbaikan, PN
masih belum menyerahkan LHKPN, maka terhadapnya dapat langsung diusulkan
untuk mendapatkan sanksi.

b. Batas Waktu Pembaruan LHKPN

Studi ini merekomendasikan batas waktu pembaruan laporan kekayaan selama masa
jabatan, (baik 2 tahunan seperti yang dijalankan sekarang, atau apabila dirubah menjadi
tahunan), tidak dihitung berdasarkan tanggal pengangkatan atau tanggal penyerahan
LHKPN yang pertama. Sebab hal itu akan menyulitkan pengadministrasiannya. Sebaiknya
dibuat ketentuan yang sifatnya lebih umum dan seragam, misalnya tanggal tertentu setiap
tahu, atau setiap tahun genap/ganjil.

Bagi PN yang kurang dari 6 bulan dari batas waktu tersebut sudah menyerahkan laporan
kekayaan (baik laporan pertama maupun pembaruan laporan karena promosi atau mutasi),
tidak diwajibkan memperbarui laporannya pada batas waktu tersebut.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 144
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

c. Penagihan

Penagihan LHKPN sebaiknya dipersonalisasi ke setiap PN. Berbagai media komunikasi


seperti telepon, surat, email, fax, perlu digunakan untuk menagih. Sebab ada nuansa
psikologis yang berbeda ketika penagihan dibuat personal. Setidaknya PN merasa ada
kontak dengan KPK dan merasa diawasi. Namun penagihan melalui lembaga juga perlu
dilakukan. Antara lain melalui Pokja atau pimpinan lembaga negara/pemerintahan tempat
PN bekerja.

Supaya lebih sistematis, Direktorat PP LHKPN KPK perlu membentuk unit kerja yang
khusus menangani penagihan. Proses kerjanya bisa meniru unit penagihan di perbankan
atau lembaga lain.

7. Pengupayaan Sanksi

Ketiadaan sanksi sudah lama menjadi perhatian utama publik. Dalam sebuah jajak pendapat
Harian Kompas pada pertengahan 2002, mayoritas responden anggota masyarakat (42
persen) menginginkan agar PN yang tidak melaporkan kekayaan diberhentikan dari jabatan,
di samping teguran dan demosi (penurunan pangkat).292 Sejalan dengan pendapat itu, 85,71
persen responden pejabat di lembaga negara/pemerintahan tingkat pusat memilih sanksi
administrasi sebagai sanksi yang paling tepat bagi pelanggaran kewajiban lapor kekayaan
dan hanya 8,57 persen responden yang memilih sanksi pidana. Sebanyak 2,86 persen
responden memilih sanksi perdata, dan responden dalam jumlah sama juga memilih
gabungan dari ketiga sanksi (Tabel 4.5.)

Tabel 4.5.
Pilihan pejabat di lembaga negara/pemerintah pusat tentang sanksi
No. Jenis sanksi %
1. Sanksi pidana 8,57
2. Sanksi perdata (perbuatan melawan hukum) 2,86
3. Sanksi administrasi 85,71
4. Gabungan dari ketiga sanksi 2,86
Total 100

Studi ini merekomendasikan agar KPK mengupayakan contoh konkrit PN yang dikenai
sanksi baik pidana, perdata, dan terutama administrasi, ketika melanggar kewajiban lapor
kekayaan. Sebab meski ancaman mengenakan sanksi di beberapa kasus terbukti mampu
mendorong kepatuhan PN, namun tanpa adanya contoh konkrit, lama kelamaan ancaman
semacam itu akan tidak berwibawa.

Walau KPK tidak berwenang mengontrol hasil akhirnya, namun publisitas dari upaya
mengenakan sanksi pun sudah mendatangkan tekanan tersendiri bagi PN yang melanggar.
Baik PN maupun masyarakat juga bisa memetik pelajaran dari situ.

a. Sanksi Pidana

Pakar hukum Satya Arinanto pernah mempertanyakan efektivitas UU No. 28/1999 karena
tidak tegas mencantumkan sanksi bagi PN yang tidak melapor dan mengumumkan

292 Jajak Pendapat Kompas, 6 Mei 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 145
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

kekayaan. Menurut Arinanto, meski Pasal 20 UU No. 28/1999 menetapkan sanksi


administratif dan pidana, namun sanksi yang dimaksud terasa mengambang karena hanya
merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu Arinanto
menyarankan agar UU No. 28/1999 direvisi dengan memasukkan sanksi pidana bagi PN
yang menolak lapor kekayaan. Sebagai terobosan jangka pendek, menurut Arinanto, langkah
mencari Pasal-Pasal KUHP yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan ketiadaan sanksi
sangat tepat dan ditunggu realisasinya.293

Sejalan dengan usulan itu, sebagai sebuah strategi, KPK perlu mengupayakan kembali
penggunaan Pasal 216 KUHP. Biar Pengadilan dan proses hukum yang menentukan hasil
akhirnya. SP3 POLRI terhadap Bupati Tanah Toraja tidak semestinya jadi penghalang bagi
KPK, karena:
1. SP3 POLRI tersebut dibuat bagi KPKPN. Dari sudut tugas dan kewenangan, KPK bisa
memenuhi unsur-unsur Pasal 216 KUHP yang tidak bisa dipenuhi KPKPN;
2. Argumen lex specialis derogat lex generalis yang digunakan untuk mengesampingkan
Pasal 216 KUHP oleh Pasal 20 UU No. 28/1999 masih bisa diperdebatkan, karena
diterapkan pada dua ketentuan dengan ruang lingkup berbeda, yaitu antara lingkup
pidana dengan lingkup administrasi. Apalagi argumen lex specialis derogat lex generalis
hanya menjadi pertimbangan sekunder dalam SP3 POLRI tersebut.

Pasal 263-264 KUHP tentang pemalsuan surat juga bisa digunakan bagi PN yang memberi
keterangan tidak benar dalam LHKPN-nya. Akan tetapi untuk menggunakan Pasal 263-264,
KPK harus lebih dulu menimbang seberapa signifikan kesalahan data yang disampaikan.

Guna mengupayakan sanksi pidana, KPK perlu duduk bersama dengan POLRI dan
mengkonkritkan MoU menyangkut laporan kekayaan, untuk memperjelas ketentuan pidana
yang bisa dikenakan pada PN yang melanggar kewajibannya:
1. Melaporkan kekayaan, termasuk melaporkan kekayaan secara benar;
2. Mengumumkan kekayaan;
3. Bersedia diperiksa kekayaannya.

Posisi tawar KPK jelas lebih baik dibanding KPKPN, mengingat KPK memiliki interaksi
yang intens dengan POLRI, khususnya dalam pelaksanaan kewenangan koordinasi dan
supervisi. Namun demikian, mengingat ketidakpatuhan melaporkan kekayaan di kalangan
Anggota POLRI juga sangat tinggi, KPK perlu mempertimbangkan konflik kepentingan
yang ada, yang bisa jadi ganjalan memperoleh komitmen dan kata sepakat.

b. Sanksi Administrasi

Untuk mengupayakan sanksi administratif bagi PN baik yang berasal dari kalangan PNS
atau pejabat negara, studi ini merekomendasikan agar sebelumnya KPK:
1. Mengidentifikasi materi sumpah/janji jabatan, kode etik, dan aturan kedisiplinan pada
setiap jabatan PN;
2. Mengidentifikasi lembaga negara/pemerintahan yang sudah memiliki mekanisme
penegakan sumpah jabatan, kode etik, atau mekanisme pendisiplinan;
3. Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat di lembaga-lembaga yang belum memiliki
mekanisme penegakan sumpah jabatan, kode etik, atau mekanisme pendisiplinan;

293 Satya Arinanto, “Penolakan Pelaporan Kekayaan PN”, Kompas, 22 April 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 146
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

4. Mempelajari mekanisme penegakan sumpah jabatan, kode etik, atau mekanisme


pendisiplinan di masing-masing lembaga; dan
5. Mengupayakan menggunakan mekanisme tersebut untuk meningkatkan ketaatan PN
dalam melaporkan kekayaan.

Sebagai salah satu upaya mengenakan sanksi administratif bagi PN yang berasal dari
kalangan pejabat negara, KPK patut mempertimbangkan langkah yang pernah ditempuh
KPKPN, yaitu mengaitkan kewajiban lapor kekayaan dengan pelanggaran sumpah jabatan,
dalam surat pernyataan yang harus ditandatangani PN. Surat tersebut memuat pernyataan:
“Apabila di kemudian hari saya tidak melaporkan kekayaan saya atau keluarga, saya
dengan ikhlas diberhentikan atau mengundurkan diri demi tanggungjawab moral PN”.294

Selain itu, khusus bagi PN yang berasal dari kalangan PNS, Anggota POLRI, dan Anggota
TNI, KPK perlu mengupayakan agar kewajiban laporan kekayaan membawa dampak bagi
konduite mereka. Sanksi administratif akan lebih efektif apabila KPK mengaitkan peraturan
tentang kewajiban lapor kekayaan PN dengan:
1. PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS;
2. PP No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS;
3. PP No. 9/2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS;
4. PP No. 96/2000 tentang Mutasi PNS;
5. PP No. 10/1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS;
6. PP No. 2/2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI; dan
7. Peraturan kedisiplinan militer.

Sebagai strategi jangka pendek, KPK perlu melobi berbagai otoritas yang menyusun
peraturan pelaksanaan dari berbagai aturan tersebut, seperti Menpan, BKN, POLRI, dan TNI
untuk memasukkan LHKPN sebagai faktor penentu pengangkatan, promosi, mutasi,
pensiun, dan pendisiplinan. Selain itu, karena akan lebih efektif apabila ancaman
menjatuhkan sanksi administratif juga dilakukan oleh pimpinan lembaga
negara/pemerintah, KPK perlu membuat komitmen dengan mereka untuk secara berkala
mengeluarkan peringatan bersama, misalnya melalui konferensi pers dengan KPK.

Apalagi berdasarkan pengalaman empirik, ancaman pemberian sanksi pun pada beberapa
kasus sudah mampu mendatangkan dampak positif bagi kepatuhan PN. Sebagaimana yang
terjadi pada Abdullah Puteh yang sempat lamban menyampaikan laporan kekayaannya,
namun akhirnya melapor setelah Menpan saat itu, Feisal Tamin, mengultimatum akan
memberhentikannya.295

c. Sanksi Moral

Sebagai alternatif, yang justru kadang lebih efektif dan terbukti signifikan dalam
meningkatkan kepatuhan PN, studi ini merekomendasikan agar KPK mengupayakan sanksi
moral, berupa pengumuman kepada publik nama-nama PN yang melanggar kewajibannya
melaporkan kekayaan. Asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b dan huruf c UU No. 30/2002 bisa
menjadi dasar hukum yang kuat bagi KPK untuk mengumumkan PN yang melanggar.

294 Sriwijaya Post, 12 Oktober 2002.


295 Sinar Harapan, 6 Mei 2003.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 147
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Pengumuman tersebut perlu dilakukan secara berkala. Bentuknya bisa berupa:


1. Konferensi pers atau press release kepada media massa nasional untuk mengumumkan
pelanggaran oleh PN di tingkat pusat;
2. Konferensi pers atau press release kepada media lokal untuk mengumumkan
pelanggaran oleh PN di daerah;
3. Konferensi pers atau press release untuk mengumumkan peringkat lembaga dan daerah
yang PN-nya paling banyak melanggar kewajiban lapor kekayaan.

Dengan menjalankan strategi tersebut, pimpinan di masing-masing lembaga


negara/pemerintah dan pimpinan di masing-masing daerah yang membiarkan banyak PN
di lembaga/daerahnya tidak lapor kekayaan, juga turut terkena sanksi. Apalagi dari 70
responden pejabat di berbagai lembaga negara/pemerintah tingkat pusat, sebagian besar (80
persen) setuju bahwa tingkat kepatuhan lapor kekayaan di suatu instansi, menunjukkan
bersih atau tidaknya instansi tersebut. (Tabel 4.6)

Tabel 4.6.
Sikap pejabat di lembaga negara/pemerintah pusat bahwa
tingkat kepatuhan mencerminkan bersih/tidaknya suatu lembaga
No. Jawaban %
1. Setuju 80
2. Tidak setuju 20
Total 100

Untuk melaksanakannya, paling tidak KPK harus memiliki piranti lunak pengolahan data
LHKPN yang bisa menghasilkan statistik kepatuhan PN dalam berbagai klasifikasi PN, baik
pusat daerah, jabatan, ataupun lembaganya. Mengingat signifikansi sanksi moral bagi
ketaatan PN, KPK tidak perlu kuatir digugat pencemaran nama baik selama materi
pengumuman adalah data yang valid. Sebab KPK hanya mengungkapkan fakta dan
karenanya tidak dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik dalam
KUHP. Meski ancaman menggugat dengan dasar penyalahgunaan wewenang dan
pencemaran nama baik sering disampaikan PN yang merasa dirugikan akibat pengumuman
tersebut, namun selama ini ancaman tersebut tidak pernah direalisasikan.

Sekalipun ancaman gugatan tersebut direalisasikan, sumberdaya yang harus dikeluarkan


KPK dalam menghadapinya tetap sebanding dengan manfaat yang didapat. Salah satu bukti
bahwa pengumuman PN yang tidak melaporkan kekayaannya cukup efektif meningkatkan
kontrol masyarakat, adalah gugatan legal standing yang pernah diajukan APHI, yang
didasarkan pada data 79 nama pejabat negara yang tidak patuh. Hasilnya, satu persatu PN
tersebut akhirnya menaati kewajibannya.296 Atau ketika dalam sebuah konferensi pers KPK
mengumumkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perindustrian
Fahmi Idris belum melaporkan kekayaannya sejak menduduki jabatannya. Atas
pengumuman tersebut, Sri Mulyani sempat menyatakan risih, dan berjanji segera
melaporkan kekayaannya.297

d. Sanksi Perdata

Perbuatan melawan hukum sebagai sanksi perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata

296 Tempointeraktif, 22 Mei 2002.


297 Rakyat Merdeka, 14 September 2006

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 148
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

sesungguhnya bisa digunakan sebagai alternatif sanksi. Namun mengingat panjangnya


proses peradilan perdata dan sifatnya yang individual yang akan menyedot konsentrasi dan
sumberdaya cukup besar, maka studi ini menganjurkan agar KPK mempertimbangkan
kesiapan sumberdaya sebelum menempuh upaya gugatan tersebut.

8. Pengolahan Data LHKPN

Mengenai pengolahan data LHKPN, studi ini merekomendasikan agar:


1. Penyelesaian pengolahan data LHKPN yang masuk sebaiknya dibuat lebih terukur,
dengan jangka waktu yang lebih terukur. KPK antara lain perlu:
a. Mengidentifikasi rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
pengolahan data LHKPN;
b. Menetapkan batas waktu sebagai alat kontrol internal kapan formulir LHKPN
harus segera diselesaikan pengolahan datanya, yang dihitung sejak tanggal akhir
batas waktu penyerahan formulir tersebut oleh PN;
c. Mempertimbangkan untuk menerapkan sistem remunerasi tenaga entri data yang
dihitung berdasarkan data yang berhasil dientri.
2. KPK sebaiknya menegaskan batas waktu maksimal antara penyerahan LHKPN hingga
pengumumannya, supaya tidak terjadi distorsi yang terlalu besar antara data yang
disampaikan PN dengan kondisi real pada saat data tersebut diumumkan. Namun hal
ini memerlukan:
a. Klausul dalam kontrak kerja yang lebih tegas dengan PNRI, untuk membuat batas
waktu tersebut mengikat;
b. Menerapkan kompensasi tertentu jika pihak PNRI tidak memenuhi batas waktu
pengumuman;
c. Meneruskan pengembangan program online yang telah dirintis KPK dengan PNRI,
untuk meningkatkan akurasi dan akselerasi penyelesaian pengumuman LHKPN
melalui BN/TBN.
3. KPK patut mempertimbangkan untuk menerapkan pola kerja yang pernah dijalankan
KPKPN. Poin-poin penting dari pola kerja tersebut yang penting untuk mengikis backlog
pengolahan LHKPN dan menghindarkan terjadinya backlog di masa depan adalah:
a. Melakukan pemeriksaan, termasuk pemeriksaan administrasi setelah LHKPN
diumumkan;
b. Verifikasi sebelum pengumuman hanya dilakukan terhadap kelengkapan-
kelengkapan administrasi yang diperlukan untuk kepentingan pengumuman
seperti Surat Kuasa;
c. Dengan memberi waktu untuk melapor 2 bulan setelah PN menduduki jabatan,
dan memberi waktu tambahan 1 bulan untuk memperbaiki data, maka apabila
setelah LHKPN diumumkan masih terdapat kesalahan pengisian data, konsekuensi
hukumnya akan ditanggung PN.

9. Pengumuman

Asas “keterbukaan” dalam UU No. 30/2002 bisa jadi dasar hukum yang kuat untuk
melegitimasi pengumuman LHKPN oleh KPK. Meski demikian tetap saja, sebelum ada
norma peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberi kewenangan kepada
KPK untuk mengumumkan LHKPN, penggunaan surat kuasa dari PN tetap diperlukan.
Dengan kenyataan tersebut, maka peluang mengefektifkan pengumuman LHKPN sebagai
bagian terpenting dari keseluruhan mekanisme pelaporan kekayaan PN, terletak pada

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 149
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

materi pengumuman, media pengumuman, dan mekanisme pengumuman.

a. Materi Pengumuman

Studi ini merekomendasikan agar KPK merumuskan materi pengumuman yang lebih baik,
sehingga publik bisa mendapat informasi memadai untuk turut mendeteksi apabila terdapat
kejanggalan dalam kekayaan PN. Pengumuman setidaknya harus memuat keterangan-
keterangan seperti:
1. Jumlah gaji dan tunjangan. Agar publik dapat mengukur seberapa wajar perbandingan
antara penghasilan PN dengan kekayaannya. Pada Tabel 4.7 tampak bahwa sebagian
besar responden PNS di berbagai daerah menyetujui apabila keterangan mengenai gaji
dan tunjangan diumumkan dalam pengumuman LHKPN.

Tabel 4.7.
Sikap PN tentang keterangan gaji/tunjangan diumumkan
No. Jawaban n %
1. Setuju 165 70,8
2. Tidak setuju 68 29,2
Total 233 100

2. Sumber penghasilan dan kekayaan. Keterangan inilah yang paling banyak diminta
publik untuk dimuat dalam pengumuman LHKPN, dari mana PN yang bersangkutan
mendapatkan kekayaan tertentu. Jika disebutkan hibah, harus dijelaskan dari siapa
hibah tersebut diperoleh;
3. Keterangan mengenai waktu perolehan kekayaan. Hal ini penting untuk mengetahui
garis batas antara kekayaan PN yang diperoleh sebelum, selama, dan sesudah menjabat;
4. Spesifikasi kekayaan. Bagi kekayaan berupa tanah dan rumah, maka keterangan
mengenai lokasinya perlu dipersempit hingga ke level kecamatan.298 Pengumuman yang
sekarang hanya memuat keterangan lokasi pada level kabupaten/kota yang terlalu luas,
dan pada akhirnya menyulitkan publik untuk turut memonitor kebenaran data yang
disampaikan PN. Sebagai logika perbandingan, spesifikasi mengenai merek dan tahun
pembuatan kendaraan sudah cukup memadai bagi publik untuk turut memonitor
kekayaan PN;
5. Latar belakang/jenjang karir PN. Keterangan ini perlu dimasukkan untuk mengetahui
latar belakang PN, apakah birokrat karir atau hasil pengangkatan yang berasal dari
profesi lain, yang tentu saja aksesnya untuk memiliki kekayaan berbeda-beda.

b. Media Pengumuman

Sebenarnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, tidak ada kewajiban bagi KPK


mengumumkan LHKPN di BN/TBN. Tetapi untuk tertib dokumentasi, penggunaan
BN/TBN sebagai media pengumuman harus terus dipertahankan. Fakta hukum tidak
adanya kewajiban tersebut juga seharusnya mendorong KPK untuk tidak hanya berfokus
pada BN/TBN sebagai media pengumuman. Penggunaan media pengumuman lain
sebaiknya dioptimalkan, dengan tujuan memperluas akses masyarakat terhadap
pengumuman LHKPN.

298 Tidak dicantumkannya alamat detail tanah dan rumah biasanya disebabkan alasan keamanan. Keterangan
lain yang tidak diumumkan atas alasan keamanan biasanya meliputi nomor rekening dan nomor seri
kendaraan.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 150
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Selain hal tersebut, studi ini juga merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Karena dokumen hukum yang menjadi dasar KPK melaksanakan pengumuman
LHKPN adalah surat kuasa, maka patut dipertimbangkan untuk merinci jenis-jenis
media pengumuman yang akan digunakan KPK dalam surat kuasa. Ada dua manfaat
yang bisa dipetik dari langkah tersebut. Pertama, tindakan KPK mengumumkan LHKPN
di berbagai media menjadi lebih kuat secara hukum, karena ada kuasa spesifik yang
diberikan PN. Dengan demikian KPK tidak dilanda keraguan lagi untuk menggunakan
media pengumuman yang lain. Kedua, sosialisasi tentang jenis-jenis media
pengumuman LHKPN kepada para PN juga bisa dicapai dengan sendirinya;
2. Mengingat kapasitas PNRI dalam mendukung diseminasi BN/TBN LHKPN sangat
lemah, begitu pula akses mendapatkan BN/TBN LHKPN langsung di KPK sangat
terbatas, KPK patut mempertimbangkan untuk bekerjasama dengan lembaga yang
punya kemampuan pendokumentasian dan kemampuan melayani permintaan
dokumen yang baik, seperti berbagai Perpustakaan Daerah untuk mendiseminasikan
BN/TBN LHKPN di berbagai daerah. Materi BN/TBN LHKPN yang bisa diakses di
daerah adalah:
a. Pengumuman LHKPN dari para PN di tingkat daerah; dan
b. Pengumuman LHKPN dari sebagian PN tingkat pusat;
3. KPK harus meningkatkan kapasitasnya dalam mengelola data hasil pengumuman
termasuk melayani permintaan data pengumuman tersebut oleh publik;
4. Pengumuman LHKPN oleh masing-masing lembaga negara/pemerintahan di mana PN
bekerja layak dipertahankan. Namun demikian KPK sebaiknya menentukan tata cara
pengumuman yang lebih rinci dan menerapkan mekanisme kontrol yang lebih efektif
terhadap pelaksanaan pengumuman tersebut. Pada Tabel 4.8, tampak bahwa dari 70
orang pejabat eselon I dan II di berbagai lembaga negara/pemerintahan yang dimintai
pendapatnya, sebagian besar (67,14 persen) menyatakan bahwa pengumuman lewat
papan pengumuman di lembaga masing-masing adalah media yang paling sesuai untuk
mengumumkan LHKPN. Sebagian yang lain (28,57 persen) juga mengusulkan agar
pengumuman melalui buletin/newsletter internal sebagai media pengumuman
alternatif. Sebagaian lainnya (28,57 persen) juga mengusulkan media lain, seperti
pengumuman melalui apel/upacara, situs internet lembaga, intranet, SE, dan lain-lain.
Meski ada pula seorang pejabat yang menolak pengumuman dan mengatakan cukup
KPK saja yang mengetahui kekayaan PN;

Tabel 4.8.
Pilihan pejabat di lembaga negara/pemerintah pusat tentang
media pengumuman yang sesuai
No. Pilihan %
1. Dipasang di papan pengumuman 67,14
2. Dimuat dalam buletin/newsletter 28,57
3. Lainnya 28,57

5. KPK perlu segera mempertimbangkan untuk menyelenggarakan pengumuman LHKPN


melalu media situs internet. Namun dengan catatan agar prosedur mengaksesnya harus
dibuat, misalnya dengan mensyaratkan registrasi bagi siapa pun yang mengaksesnya.
Selain itu, proteksi data juga harus kuat untuk menghindari kemungkinan
penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 151
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

c. Mekanisme Pengumuman

Adapun mengenai mekanisme pengumuman LHKPN secara umum, studi ini


merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. KPK patut mempertimbangkan untuk mengganti NHK yang digunakan selama ini
untuk kepentingan pelaporan kekayaan dengan NIP atau nomor kependudukan, atau
nomor lain yang dekat dengan identitas PN. Hal ini direkomendasikan semata-mata
untuk memudahkan pengadministrasian, agar sejalan dengan konsep single identity
number yang selama ini diusung KPK.
2. Bagi kepentingan praktis, kebijakan yang telah diambil Direktorat PP LHKPN untuk
tidak mengumumkan LHKPN form B yang disampaikan PN selama masa jabatannya ke
dalam BN/TBN, layak dipertahankan. Kebijakan ini jelas akan mengurangi beban kerja
dan anggaran secara cukup signifikan. Namun demikian, kebijakan ini sebaiknya
diterapkan dengan catatan:
a. Meski tidak diumumkan ke dalam BN/TBN, pengolahan LHKPN form B ke dalam
format pengumuman tetap harus dilakukan;
b. Akses publik mendapatkan LHKPN form B yang telah diolah ke dalam format
pengumuman tersebut tetap harus dibuka, meski permintaan untuk itu hanya bisa
disampaikan langsung kepada KPK;
c. Kebijakan tidak mengumumkan LHKPN form B hanya diberlakukan bagi PN yang
masih ada dalam jabatan sama. Bagi PN yang mutasi, promosi, atau berhenti dari
jabatan, maka LHKPN-nya, meski menggunakan form B, tetap harus diumumkan.
3. Jarak antara waktu penyampaian LHKPN oleh PN kepada KPK dengan pengumuman
LHKPN tersebut dalam BN/TBN atau media lain, sebaiknya dipersempit. Sehingga
kesenjangan antara kondisi kekayaan PN pada saat pelaporan dengan kondisi real
setelah LHKPN-nya diumumkan tidak terlalu besar;
4. Pengiriman pengumuman LHKPN secara individual kepada PN sebaiknya tidak perlu
lagi menjadi fokus kerja. Sumberdaya yang selama ini digunakan bagi kepentingan
tersebut sebaiknya dialihkan ke upaya-upaya memperluas akses masyarakat untuk
mendapatkan pengumuman LHKPN hingga ke daerah-daerah, baik melalui Pokja atau
media pengumuman yang lain. Biarkan PN sendiri yang berusaha mendapatkan hasil
pengumuman LHKPN-nya, lewat akses yang telah diperluas KPK tersebut;
5. Namun demikian, sebagai salah satu bentuk pemanfaatan piranti lunak pengolahan
data LHKPN yang dimiliki KPK, patut dipertimbangkan untuk membuka kemungkinan
bagi bagi PN mendapatkan pengumuman LHKPN-nya melalui situs internet KPK,
dengan proteksi tertentu;
6. KPK perlu mendorong agar pengelolaan pengumuman LHKPN di daerah-daerah dan
di berbagai instansi menjadi salah satu tupoksi Pokja LHKPN;
7. Untuk kepentingan KPK dan kepentingan PN sendiri, sebaiknya KPK
mempertimbangkan untuk meniadakan pilihan bagi PN untuk mengumumkan sendiri
LHKPN-nya. Meski tidak dapat melarang, namun sebaiknya KPK tidak menawarkan
hal tersebut kepada PN.

d. Penyalahgunaan Pengumuman LHKPN

Secara umum, akses untuk mendapatkan informasi tentang kekayaan PN harus dibuat
semudah mungkin bagi siapa pun yang memerlukannya. Permintaan tersebut dapat
diajukan secara tertulis. Kemungkinan bagi pihak-pihak yang meminta informasi tersebut

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 152
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

untuk dipermasalahkan secara hukum juga harus diminimalisasi.299 Di negara-negara di


mana terdapat resiko keselamatan fisik PN, seperti hakim, maka membatasi informasi-
informasi tertentu dari pengumuman bisa dipahami. Seperti nomor rekening bank dan
alamat rumah mereka.300

Karena itu, studi ini menyimpulkan, bahwa salah satu aspek yang patut jadi perhatian
dalam pelaksanaan pengumuman LHKPN adalah ekses sampingan yang mungkin
ditimbulkannya. Selain meniadakan keterangan-keterangan yang dapat mengganggu
keamanan PN dari materi pengumuman LHKPN-nya, patut pula dipertimbangkan langkah-
langkah lain untuk menghindari penyalahgunaan pengumuman LHKPN, di antaranya:
1. Menyediakan formulir yang memadai tentang identitas dari pihak-pihak yang meminta
pengumuman LHKPN, termasuk mensyaratkan mereka menyatakan kepentingan yang
melatari permintaan tersebut;
2. Mendokumentasikan formulir permintaan pengumuman LHKPN tersebut dengan baik;
3. Memberitahukan kepada PN bahwa ada permintaan terhadap pengumuman LHKPN
mereka, tanpa memberitahukan identitas pihak yang meminta. Namun langkah ini
harus dipertimbangkan secara lebih matang. Karena besar kemungkinan langkah ini
akan menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk memonitor LHKPN. Sebab apabila
informasi mereka bocor, maka ada potensi mereka mendapatkan tekanan dan ancaman
dari PN yang bersangkutan301;
4. Mewajibkan Pokja atau lembaga yang diajak bekerjasama oleh KPK mengelola
pengumuman LHKPN untuk menerapkan prosedur yang sama bagi setiap permintaan
pengumuman LHKPN;
5. Menyerahkan implikasi disalahgunakannya pengumuman LHKPN oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab kepada aturan hukum yang ada, baik pidana maupun
perdata.

10. Pemeriksaan

Pemeriksaan LHKPN adalah titik penting dari keseluruhan mekanisme pelaporan kekayaan
PN. Lewat pemeriksaan, kejanggalan dalam laporan kekayaan PN bisa ditemukan, untuk
kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, jika
memang kejanggalan tersebut berasal dari tindak pidana korupsi, atau tindak pidana lain,
jika kejanggalan tersebut terkait dengan bentuk-bentuk tindak pidana yang lain.

Fakta bahwa probabilitas pemeriksaan sangat kecil dibandingkan jumlah keseluruhan


LHKPN yang dilaporkan, sebaiknya jadi pertimbangan KPK dalam mengoptimalkan
kegiatan pemeriksaan LHKPN, baik yang berupa pemeriksaan administrasi maupun
pemeriksaan substansi. Sebab pemeriksaan administrasi sekalipun sudah cukup membantu
untuk memperbesar probabilitas tersebut. Adanya persentuhan/komunikasi antara KPK
dengan PN tertentu dalam kegiatan pemeriksaan administrasi, seperti misalnya dalam
klarifikasi, cukup menjadi bukti bahwa KPK selalu memonitor kejujuran para PN.

a. Jenis Pemeriksaan

Studi ini merekomendasikan agar verifikasi dan pemeriksaan administrasi sebaiknya

299 Sandra Elena, et.al. op.cit., hal. 16.


300 Ibid.
301 Ibid., hal. 17.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 153
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

digabung, karena keduanya adalah aktivitas yang saling berhimpit. Begitu pula pemeriksaan
substansi dan pemeriksaan khusus. Istilah pemeriksaan khusus dikenal pada masa KPKPN
karena ditujukan untuk memperkaya aspek pemeriksaan agar hasilnya bisa digunakan
untuk kepentingan pro-yustisia yang melibatkan Kepolisian. Karena KPK memiliki
kewenangan penindakan, koordinasi, dan supervisi, maka pembedaan antara pemeriksaan
substansi dan pemeriksaan khusus tidak diperlukan lagi, cukup dilakukan sendiri oleh KPK.

Dengan rekomendasi tersebut, maka hanya akan ada 2 jenis pemeriksaan LHKPN, yaitu:
1. Pemeriksaan administrasi; dan
2. Pemeriksaan substansi, yang juga sebaiknya dikaitkan dengan penyelidikan.

b. Kriteria Pemeriksaan

Mengenai kriteria pemeriksaan, studi ini merekomendasikan:


1. Kriteria pemeriksaan LHKPN sebaiknya ditetapkan dalam Keputusan KPK dan
diturunkan ke dalam SOP, serta dimungkinkan untuk diperbaiki dari waktu ke waktu.
Karena itu KPK sebaiknya menginventarisir bentuk-bentuk kejanggalan dalam LHKPN
yang ditemukan setiap staf Direktorat PP LHKPN dalam setiap tahap pemeriksaan, agar
dapat dikomodasikan ke dalam kriteria dan SOP pemeriksaan.
2. Kriteria pemeriksaan secara sampling seperti yang dijalankan saat ini, apabila terarah ke
klasifikasi PN tertentu, apalagi jika ditambah dengan kriteria pemeriksaan yang lain
jelas besar pengaruhnya untuk memperbesar probabilitas LHKPN yang diperiksa.
3. Kriteria pemeriksaan yang diusulkan studi ini, yang sebagian besar sesungguhnya telah
dijadikan pedoman para pemeriksa/penelaah di Direktorat PP LHKPN adalah:
a. PN yang masuk kategori terkemuka (prominent), memiliki posisi strategis, dalam
artian kewenangan yang dimiliki berpengaruh secara mendasar terhadap
kepentingan orang banyak, dan mengelola anggaran besar dalam ruang lingkup
jabatannya;
b. PN yang diadukan masyarakat tentang dugaan korupsi atau kejanggalan kekayaan;
c. PN yang berdasarkan pemberitaan media massa atau sumber-sumber informasi
lain diduga korupsi atau memiliki kejanggalan kekayaan;
d. Mengikuti agenda kenegaraan tertentu, seperti pemilihan umum, pemilihan kepala
daerah, pemilihan pejabat publik, dan lain-lain;
e. PN yang memiliki kesenjangan yang cukup besar antara pertambahan kekayaan
dengan penghasilan;
f. PN yang kekayaannya banyak diterangkan bersumber dari warisan atau hibah;
g. PN yang mengalami penambahan kekayaan secara signifikan dalam periode yang
cukup singkat;
h. Adanya jumlah kekayaan tertentu yang bertumpuk pada jabatan tertentu;
i. PN yang di lembaganya terjadi tindak pidana korupsi dengan pola yang sistematik;
j. PN yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi;
k. PN yang berbohong tentang kekayaannya dan menunjukkan sifat tidak kooperatif
dalam pemeriksaan;
l. PN yang tengah menjalani pemeriksaan baik sebagai tersangka maupun terdakwa
tindak pidana korupsi.
4. Target pelaksanaan pemeriksaan berdasarkan berbagai kriteria yang ada, sebaiknya
ditentukan di akhir tahun anggaran untuk dilaksanakan sejak awal tahun berikutnya.
Namun prediksi tentang pelaksanaan pemeriksaan tambahan yang mungkin muncul
dan dinilai perlu dilakukan di tahun berikutnya juga sebaiknya diperhitungkan dalam

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 154
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

target dan program kerja tersebut.

c. Hasil Pemeriksaan

Studi ini mengusulkan agar KPK memperjelas apa saja rekomendasi hasil pemeriksaan
LHKPN. Rekomendasi tersebut bisa meliputi catatan pemeriksa/penelaah tentang adanya
indikasi korupsi, adanya indikasi tindak pidana lain (seperti pencucian uang dan pemalsuan
surat) dan lain-lain.

Catatan tentang indikasi tindak pidana tersebut dan catatan tentang berbagai bentuk
pelanggaran terhadap kewajiban pelaporan kekayaan juga sebaiknya bisa digunakan KPK
sebagai pertimbangan bagi Tim Seleksi dalam menentukan proses seleksi calon PN tertentu,
yang tengah menempuh proses pengisian jabatan publik. Sifat catatan tersebut bisa
rahasia/terbuka, tergantung pada proses pemilihan PN yang diberi catatan.

Selain itu mekanisme penentuan catatan/rekomendasi juga sebaiknya dibuat, apakah harus
ditentukan hingga pada level pimpinan KPK, atau cukup oleh pejabat-pejabat di bawahnya,
seperti Deputi Bidang Pencegahan dan/atau Direktur PP LHKPN, berdasarkan usulan dari
pemeriksa/penelaah.

d. Pembatasan Pemeriksaan

Pasal 15 PP No. 65/1999 mengatur:

“Pemeriksaan terhadap mantan Penyelenggara Negara hannya dapat dilakukan oleh Komisi Pemeriksa
paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal masa jabatan Penyelenggara Negara berakhir.”

Pasal tersebut membatasi pemeriksaan terhadap PN setelah yang bersangkuatn menjabat,


meski UU No. 28/1999 sama sekali tidak mengatur hal tersebut. Walaupun PP tersebut
otomatis tercabut dengan dicabutnya Pasal 10-19 UU No. 28/1999, akan tetapi ketentuan
tentang pembatasan pemeriksaan tetap dipertahankan KPK lewat Pasal 10 Keputusan KPK
No. 7/2005, yang berbunyi:

“Pemeriksaan terhadap PN yang telah selesai masa jabatannya dapat dilakukan oleh KPK paling lama 5
(lima) tahun terhitung sejak tanggal masa jabatan PN berakhir.”

Pembatasan justru merugikan KPK, karena selain tidak diperintahkan UU, dan PP yang
mengaturnya telah dicabut, juga pada akhirnya menutup kemungkinan KPK untuk
memeriksa mantan PN, apabila terdapat indikasi tindak pidana yang dilakukan berdasarkan
laporan kekayaannya.

Studi ini merekomendasikan agar:


1. Batasan waktu bagi mantan PN untuk dapat diperiksa kekayaannya dihapuskan dari
Keputusan KPK. Mantan PN tetap wajib bersedia diperiksa dengan melaporkan
kekayaannya apabila KPK memang memerlukan pemeriksaan tersebut berdasarkan
indikasi adanya tindak pidana korupsi;
2. Batasan waktu agaknya lebih tepat diterapkan pada kewajiban mantan PN untuk
melaporkan dan mengumumkan kekayaan secara berkala.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 155
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

11. Kerjasama antar-Unit Kerja/Direktorat KPK

Studi ini merekomendasikan agar proses kerja pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN
diperbarui agar mampu mencerminkan segala aktivitas yang penting secara lebih
komprehensif, termasuk mengidentifikasi, aktivitas mana dari proses kerja tersebut yang
bisa dikerjakan bersama atau secara koordinatif dengan berbagai Unit Kerja/Direktorat yang
ada di KPK. Guna melembagakannya, sebaiknya dibentuk SOP yang menentukan secara
rinci pertemuan fungsi antara Direktorat PP LHKPN dengan Unit Kerja/Direktorat lain di
KPK.

Pertemuan fungsi tersebut antara lain ditemukan pada:


1. Berbagai Direktorat di bawah Deputi Bidang Penindakan
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada:
a. Tindak lanjut temuan LHKPN bagi penindakan perkara korupsi;
b. Pemanfaatan LHKPN dalam pengusutan perkara korupsi;
c. Mengupayakan sanksi pidana terhadap bentuk-bentuk pelanggaran kewajiban
lapor kekayaan, berkoordinasi dengan pihak Kepolisian;
2. Direktorat Pengaduan Masyarakat
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada pengolahan dan tindak lanjut
laporan/pengaduan masyarakat tentang indikasi kejanggalan kekayaan PN
berdasarkan laporan kekayaannya.
3. Direktorat Gratifikasi
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada pelaksanaan pemeriksaan dengan kriteria
tertentu, terutama hibah dan warisan.
4. Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada:
a. Kampanye dan sosialisasi LHKPN dalam berbagai media;
b. Penyusunan strategi komunikasi massa untuk mendorong kepatuhan PN antara
lain lewat sanksi moral.
5. Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja antar-Komisi dan Instansi
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada:
a. Memantau dan mengidentifikasi pembentukan, peleburan, atau pembubaran
lembaga negara/pemerintah dari waktu ke waktu, yang PN di dalamnya wajib
melaporkan kekayaan;
b. Menginventarisasi susunan organisasi berbagai lembaga negara/pemerintahan dan
hak keuangan berbagai PN;
c. Membentuk dan membina hubungan kerja dengan Pokja LHKPN di berbagai
lembaga negara/pemerintahan maupun di berbagai daerah;
d. Mempersiapkan paket kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas
mekanisme pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN untuk diakomodasikan dalam
klausul MoU antara KPK dengan lembaga-lembaga eksternal.
6. Direktorat Monitoring
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada:
a. Peningkatan kepatuhan PN di berbagai lembaga negara/pemerintah yang tengah
menjadi target monitor;
b. Menekan instansi yang tingkat kepatuhan LHKPN-nya rendah lewat laporan
kepada Presiden, DPR, dan BPK sesuai Pasal 14 huruf c;
7. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada kegiatan mengkaji jabatan dan potensi

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 156
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

korupsinya di berbagai lembaga negara/pemerintahan untuk kepentingan identifikasi


PN wajib lapor kekayaan. Kajian ini pernah direkomendasikan BPKP dalam buku
“Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional302;
8. Direktorat Pengolahan Informasi dan Data
Pertemuan fungsi terletak pada pengembangan piranti lunak bagi kepentingan
pendaftaran, pemeriksaan, dan pengumuman LHKPN;
9. Bagian Hukum pada Biro Umum
Pertemuan fungsi antara lain terletak pada upaya membentuk dan memperbaiki
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan LHKPN.

12. Kerjasama dengan Pihak Ketiga

a. Pokja LHKPN

Mengingat komposisi PNS yang setelah otonomi daerah banyak terkonsentrasi di daerah,
baik provinsi maupun kabupaten/kota (lihat Tabel 3.3), serta mengingat keterbatasan SDM
dan potensi penambahan beban kerja di KPK, maka peran Pokja ke depan sangatlah strategis
dalam mengefektifkan mekanisme pelaporan kekayaan PN.

Mengenai kerjasama dengan berbagai Pokja LHKPN, studi ini merekomendasikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Perlu ditunjuk unit kerja yang konsisten di lingkungan lembaga negara/pemerintah
baik di tingkat pusat dan di daerah untuk mengelola LHKPN. Studi ini mengusulkan
unit kerja yang ditunjuk adalah:
a. BKD dan/atau Bawasda sebagai Pokja LHKPN di daerah. Sebaiknya Pokja LHKPN
di daerah diperluas hingga ke tingkat Kota/Kabupaten;
b. Unit kerja di bidang kepegawaian dan/atau pengawasan sebagai Pokja di tingkat
pusat. Ketika ditanyakan kepada 70 pejabat eselon I dan eselon II dari berbagai
lembaga negara/pemerintahan tingkat pusat, lebih dari separuh responden (54,29
persen) yang mengaku sudah menetapkan unit kerja pengelola LHKPN (Tabel 4.9).
Sebagian besar dari mereka yang sudah menetapkan (52,63 persen), mengaku
menunjuk gabungan antara unit kerja kepegawaian dan unit kerja pengawasan
untuk mengelola LHKPN di lembaganya (Tabel 4.10).

Tabel 4.9.
Lembaga negara/pemerintah pusat
telah menetapkan unit kerja pengelola LHKPN
No. Jawaban n %
1. Belum 32 45,71
2. Sudah 38 54,29
Total 70 100

Tabel 4.10.
Unit kerja yang telah ditetapkan sebagai pengelola LHKPN
No. Jawaban n %
1. Unit kepegawaian 12 31,58
2. Unit pengawasan 6 15,79
3. Gabungan keduanya 20 52,63
Total 38 100

302 Lihat BPKP, op.cit., hal. 61.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 157
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

2. KPK sebaiknya mendorong agar pengelolaan LHKPN dimasukkan ke dalam tupoksi


unit-unit kerja yang ditunjuk sebagai Pokja LHKPN tersebut;
3. Kewenangan Pokja LHKPN perlu diperjelas, antara lain:
a. Mendistribusikan formulir LHKPN;
b. Melakukan penagihan;
c. Menyampaikan teguran kepada PN yang tidak patuh berdasarkan mandat/kuasa
spesifik dari KPK;
d. Memfasilitasi sosialisasi;
e. Mengidentifikasi dan mengupdate data PN wajib lapor;
f. (Jika perlu) melayani permintaan data pengumuman LHKPN dari publik;
g. Memfasilitasi pengisian formulir LHKPN atau memfasilitasi PN yang menghadapi
kesulitan dalam melengkapi formulir LHKPN;
4. KPK sebaiknya mengalokasikan investasi untuk Pokja, anggaran, sarana, dan lain-lain,
seperti piranti lunak on-line yang menghubungkan KPK dengan Pokja LHKPN, dengan
tentu saja terlebih dulu mengidentifikasi kapasitas teknologi informasi di masing-
masing Pokja;
5. KPK perlu membuat forum rutin dengan Pokja-Pokja, baik untuk pembinaan, pelatihan,
sharing informasi, evaluasi, dan lain-lain. Pelatihan bagi Pokja juga sangat penting
dengan materi tekanan pada proses kerja LHKPN.

b. Lembaga-lembaga Lain

Studi ini merekomendasikan agar KPK lebih memperluas kerjasama dengan berbagai
lembaga negara/pemerintahan, guna mengefektifkan mekanisme pendaftaran dan
pemeriksaan LHKPN. Paket kebijakan yang harus diupayakan dalam MoU antara KPK
dengan lembaga negara/pemerintah harus disiapkan, termasuk klausul-klausul spesifik
sesuai lembaganya. Kerjasama tersebut setidaknya meliputi:
1. Kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Studi ini merekomendasikan agar
KPK mempertimbangkan untuk mengaitkan antara mekanisme pendaftaran dan
pemeriksaan LHKPN dengan kegiatan pelaporan kekayaan pribadi untuk kepentingan
perpajakan yang telah dijalankan kembali oleh DJP sejak 2002. Dalam MoU antara KPK
dengan DJP tanggal 23 Februari 2005, hal itu belum disinggung. Karena itu, KPK perlu
menegosiasikan dengan Menkeu/DJP untuk kepentingan tersebut dengan dasar
pemikiran:
a. Sudah ada preseden penggabungan di masa lalu;
b. Aktivitas pelaporan yang harus dilakukan PN pun sama sehingga memudahkan
PN;
c. Berbagi sumber daya;
d. Memastikan adanya ketaatan yang lebih kepada PN, dan lain-lain.
Namun demikian, tanpa ada penggabungan sekalipun, kerja sama dan tukar menukar
informasi antara KPK dengan DJP sangat diperlukan.
2. Kerjasama dengan Kementerian PAN. Antara lain untuk:
a. Penyusunan dan pelaksanaan mekanisme evaluasi terhadap implementasi SE
Menpan tentang LHKPN;
b. Penentuan PN wajib lapor di wilayah eksekutif secara lebih definitif, bersama
dengan BKN; dan
c. Mengupayakan dimasukkannya pelaporan kekayaan sebagai bagian dari kriteria
pengambilan kebijakan di bidang kepegawaian, seperti rekrutmen, promosi, mutasi,
dan lain-lain, dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 158
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

kepegawaian.
3. Kerjasama dengan lembaga penegak hukum. Antara lain untuk:
a. Pemanfaatan LHKPN dalam pengusutan perkara korupsi;
b. Pelimpahan hasil pemeriksaan dan casebuilding LHKPN;
c. Mempromosikan penggunaan LHKPN dalam penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan perkara korupsi maupun tindak pidana lain kepada lembaga-lembaga
penegak hukum.
4. Kerjasama dengan Arsip Nasional untuk kepentingan pengelolaan arsip.
5. Optimalisasi kerjasama dengan PNRI antara lain untuk memperbaiki mekanisme
diseminasi BN/TBN;
6. Kerjasama dengan berbagai lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial, Komisi
Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, untuk kepentingan peningkatan kepatuhan dan
pengupayaan sanksi.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 159
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 160
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah, Artikel, Laporan Penelitian

Arinanto, Satya. “Penolakan Pelaporan Kekayaan PN”. Harian Kompas, 22 April 2002.
Asshiddiqie, Jimly. “Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Problema Peraturan
Daerah”, makalah disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD se-
Indonesia, diselenggarakan di Jakarta, oleh LP3HET, Jumat, 22 Oktober, 2000.
_________ “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”,
makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar
14-18 Juli 2003.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”.
Jakarta: BPKP, 1999.
Bagian Hukum KPK. “Kajian Penerapan Sanksi dengan Menggunakan Pasal 216 KUHP”. Jakarta:
2006. Kertas kerja tidak diterbitkan.
Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK. “Data Monthly Report SDM”. 19 Juni
2006.
Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK. “Data Pengaduan Masyarakat ke KPK.” 21 Juni
2006.
Efendi, Taufik. “Sandiwara Telah Usai”. Majalah Gatra No. 7, 26 Desember 2005.
Elena, Sandra. et.al. “Global Best Practices: Income and Asset Disclosure Requirements for Judges,
Lessons Learned from Eastern Europe and Latin America”. IFES & USAID, April 2004.
Erwina, Liza. “Penemuan Hukum oleh Hakim”. Medan: FH USU, 2002.
Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004). “United Nations Convention Against
Corruption, 2003/Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003”. Jakarta: Perum Percetakan
Negara RI, 2005.
Gie, Kwik Kian. “KPKPN Jelas Keblinger”. Harian Kompas, 7 Juli 2001.
Hassanbasri, M. Syafei. “Hibah yang Bikin Heboh”. Harian Kompas, 3 Oktober 2001.
Indrayana, Denny. “Korupsi dan Wakil Rakyat”. Harian Kompas, 25 Februari 2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi. “Laporan Seminar tentang Publikasi LHKPN di Masa
Depan”. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2004.
Michele, Roberto de. “The Role of Anti-Corruption Office in Argentina”. The Journal of Public
Inquiry, 2001.
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia. “Manual Perancangan Peraturan untuk
Transformasi Sosial.” Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2005.
Rahardjo, Wedrianto. “Haruskah LHKPN Diumumkan dalam Berita Negara?”. Jakarta, 2006.
Paper tidak diterbitkan.
Ruki, Taufiequrachman. “Jurus Alternatif Menangkal Korupsi”. Koran Tempo, 25 Februari
2006.
Seidman, Ann. et.al. “Legislative Drafting for Democratic Social Change, Manual for Drafters”.
Boston: Kluwer Law International, 2001.
Tambunan, Marihot H. “Warga Super Kaya Indonesia, Liputan Khusus Perbankan”. Harian
Kompas, 29 Mei 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 161
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

B. Peraturan Perundang-undangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Ketetapan MPR RI No. XI Tahun 1998
tentang Pemerintahan yang bersih dan Bebas KKN.
_________ Ketetapan MPR RI No VIII/MPR Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
_________ Ketetapan MPR RI No. XI/MPR Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN.
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
_________ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
_________ Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
_________ Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
_________ Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas KKN.
_________ Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kepegawaian.
_________ Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
_________ Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
_________ Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD.
_________Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
_________ Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
_________ Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
_________ Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah.
_________ Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
_________ Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC.
Penguasa Militer atas Daerah Angkatan Darat. Peraturan Penguasa Militer No.
PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
_________ Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda.
_________ Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/011/1957 tentang Penyitaan dan
Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan
Hukum.
Penguasa Perang Pusat. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. PRT/PEPERPU/013/1958
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta
Benda.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1979 tentang
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 66 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Anggota KPKPN.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan
Evaluasi Kinerja KPKPN.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 162
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

Tindak Pidana Korupsi.


_________ Peraturan Pemerintah RI No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam
Jabatan Struktural.
_________ Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik PNS.
Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1971 tentang Laporan
Para Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI Mengenai Kewajiban Membayar Pajak-Pajak
Pribadi.
_________ Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi
PNS/ABRI.
_________ Keputusan Presiden RI No. 71 Tahun 1985 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan
Pajak-Pajak Pribadi bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, dan Pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Daerah.
_________ Keputusan Presiden RI No. 33 Tahun 1986 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan
Pajak-Pajak Pribadi bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, dan Pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Daerah.
_________ Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI.
_________ Keputusan Presiden RI No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan KPKPN.
_________ Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.
_________ Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
_________ Keputusan Presiden RI No. 81 Tahun 2003 tentang Pusat Pelaporan dan Analisa
Transaksi Keuangan.
_________ Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,
Administrasi, dan Finansial Sekretariat Jenderal KPKPN ke KPK.
_________ Instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
_________ Instruksi Presiden RI No. 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan.
_________ Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tata Kerja
Eselon I Kementerian Negara.
_________ Peraturan Presiden RI No. 11 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja LPND.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Keputusan DPR RI No. 16/DPR RI/I/2004-
2005 tentang Kode Etik DPR RI.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan KPK No. KEP-78/KPK/10/2004 tentang Tata
Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara.
_________ Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan
Tata Kerja KPK.
_________ Keputusan KPK No. KEP.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, dan
Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
_________ SE KPK No. B.529/KPK/05 tanggal 16 Mei 2005 tentang Pengumuman LHKPN
Bakal Calon Pilkada.
_________ MoU antara KPK dengan Lembaga-lembaga Terkait.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Keputusan Bersama KPKPN dan KPU
No. 006/KEP/KETUA.KPKPN/2003 dan No. 630.1 Tahun 2003 tentang Kerjasama
dalam Penyediaan, Pendistribusian, Penerimaan, dan Pengiri-man Kembali Formulir
Laporan Kekayaan bagi Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia. Surat Edaran No.
268/M.PAN/10/2002.
_________ Surat Edaran No. 192/M.PAN/07/2002 tentang Laporan Kekayaan Penyelenggara
Negara.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 163
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

_________ Surat Edaran No. 37A/2002 tentang Intensifikasi dan Percepatan Pemberantasan
KKN.
_________ Surat Edaran No. 03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara.
_________ Surat Edaran No. SE/16/M.PAN/10/2006 tentang Tindak Lanjut Penyampaian
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Bank Indonesia. SK Direksi BI No. 32/21/KEP/Dir tanggal 29 April 1999.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-
I/2003 tentang Judicial Review terhadap UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

C. Sumber Data Elektronik

Suen, Stephen. “Judge Bao and the Magic Bell”, http://www.repeatafterus.com/title.php?i=8507.


Deputi Bidang Informasi dan Kepegawaian BKN http://www.bkn.go.id/berita-
isi.php?news_id=11&title=Gambaran+Pegawai+Negeri+Sipil+Hasil+Lanjutan+PUPNS. 15
April 2004.
http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=MerahPutih&id=46154.
www1.worldbank.org/publicsector/civilservice/assets.htm.
http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/pikas/2002/straight290802.htm.

D. Pemberitaan Media Massa

Harian Kompas, 7 Maret 1998.


__________ 8 September 2000.
__________ 28 Februari 2001.
__________ 22 Maret 2001.
__________ 7 Maret 2001.
__________ 4 April 2001.
__________ 7 April 2001.
__________ 18 April 2001.
__________ 19 April 2001.
__________ 24 April 2001.
__________ 23 April 2001.
__________ 5 Mei 2001.
__________ 9 Mei 2001.
__________ 30 Mei 2001.
__________ 16 Mei 2001.
__________ 17 Mei 2001.
__________ 9 Agustus 2002.
__________ 14 Agustus 2002.
__________ 26 Agustus 2002.
__________ 15 Agustus 2001.
__________ 3 September 2002.
__________ 7 September 2001.
__________ 12 September 2001.
__________ 14 September 2001.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 164
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

__________ 17 September 2001.


__________ 27 September 2001.
__________ 2 Oktober 2001.
__________ 3 Oktober 2001.
__________ 4 Oktober 2001.
__________ 11 Oktober 2001.
__________ 13 Oktober 2001.
__________ 25 Oktober 2001.
__________ 26 Oktober 2001.
__________ 28 Oktober 2001.
__________ 31 Oktober 2001.
__________ 17 November 2001.
__________ 11 Februari 2002.
__________ 7 Maret 2002.
__________ 11 Maret 2002.
__________ 17 April 2002.
__________ 18 April 2002.
__________ 11 April 2002.
__________ 24 April 2002.
__________ 6 Mei 2002.
__________ 14 Juni 2002.
__________ 9 Agustus 2002.
__________ 10 Agustus 2002.
__________ 26 Agustus 2002.
__________ 29 Agustus 2002.
__________ 13 Oktober 2002.
__________ 25 Januari 2003.
__________ 25 Januari 2003.
__________ 26 Februari 2003.
__________ 26 Januari 2004.
__________ 25 Maret 2004.
__________ 14 April 2004.
__________ 22 Juli 2004.
__________ 24 Agustus 2004.
__________ 28 Agustus 2004.
__________ 9 Oktober 2004.
__________ 19 November 2004.
__________ 23 November 2004.
__________ 4 April 2005.
__________ 15 Maret 2005.
Hukumonline, 7 Juli 2001.
__________ 8 September 2001.
__________ 5 September 2001.
__________ 7 Maret 2002.
__________ 13 Mei 2002.
__________ 17 Juli 2002.
__________ 25 Oktober 2002.
__________ 31 Oktober 2002.
__________ 28 November 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 165
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

__________ 3 Desember 2002.


__________ 14 Maret 2004.
__________ 18 November 2005.
Tempointeraktif, 7 Juni 2001.
__________ 22 Maret 2002.
__________ 9 April 2002.
__________ 22 Mei 2002.
__________ 9 Oktober 2002.
__________ 5 September 2002.
__________ 5 Maret 2003.
__________ 9 Mei 2003.
__________ 10 Juni 2003.
__________ 15 Maret 2004.
__________ 26 Agustus 2004.
__________ 7 Oktober 2004.
__________ 17 November 2004.
__________ 20 Januari 2005.
__________ 23 Januari 2005.
__________ 30 Agustus 2005.
Koran Tempo, 14 September 2006.
Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 33/XXXV/09-15 Oktober 2006.
Harian Rakyat Merdeka, 14 September 2006.
Harian Media Indonesia, 2 November 2004.
__________ 15 September 2005.
__________ 31 Mei 2006.
__________ 2 Juni 2006.
__________ 14 Juni 2006.
Harian Suara Merdeka, 27 Agustus 2002.
__________ 16 Januari 2003.
__________ 8 Maret 2006.
__________ 11 September 2006.
Harian Radar Lampung, 25 April 2005.
__________ 1 Juli 2006.
Padang Ekspres, 13 September 2006
Detikcom, 12 Februari 2002.
Harian Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2002.
Harian Sinar Harapan, 6 Mei 2003.
__________ 13 Juni 2006.
Bernas, 20 April 2001.
Kaltim Post, 20 Desember 2005.
Indopos, 17 April 2006.
FPKS Online, 16 Juni 2006.
Sriwijaya Post, 12 Oktober 2002.

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 166
Direktorat Penelitian & Pengembangan KPK

ORGANISASI PENELITIAN

Penasehat Penelitian:
1. Mochammad Jasin (Direktur Litbang KPK)
2. Muhammad Sigit (Direktur PP LHKPN KPK)
3. Gregory Churchill (Konsultan Penelitian Hukum)
4. Paul T. Tambunan (Konsultan Penelitian Manajemen)

Koordinator Penelitian:
Binziad Kadafi

Tim Peneliti:
1. Dian Patria
2. Niken Ariati
3. I Gusti Ayu Nyoman Lia Oktirani
4. R. Eric Juliana Rachman
5. Didik Mulyanto
6. Luthfi G. Sukardi
7. Aida Ratna Zulaiha

Pendukung Penelitian:
1. Adlinsyah M. Nasution
2. Agung Kusnandar
3. Budi Waluya
4. Sri Endah Palupi
5. Udjun Sueb
6. Harun Hidayat

Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 167

Anda mungkin juga menyukai