Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kematian perinatal merupakan ukuran memberikan pelayanan obstetri

yang mencerminkan kesejahteraan suatu negara. Di negara berkembang

mortalitas dan morbiditas perinatal masih sangat tinggi yang bersumber dari:

kelahiran bayi dengan berat lahir rendah (prematuritas, retardasi pertumbuhan

intra uterin, bayi kecil untuk masa gestasi), asfiksia karena persalinan

perdarahan intra krani, infeksi intra sampai ekstra uterin, terjadi kelainan

kongenital (Manuaba, 2001).

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka

Kematian Bayi (AKB) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup. AKB di Indonesia

masih tergolong tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN,

yaitu Singapura 3 per 1000 KH, Brunei Darussalam 8 per 1000 KH, Malaysia

10 per 1000 KH, Vietnam18 per 1000 KH dan Thailand 20 per 1000 KH.

Dari hasil survei Dinas kesehatan Provinsi Riau tahun (2009) tercatat

Angka Kematian Bayi sebesar 10,58 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya

menurunkan Angka Kematian Bayi di Indonesia, program kesehatan

melakukan intervensi sesuai dengan empat pilar Safe Motherhood yang terdiri

dari keluarga berencana, antenatal care, persalinan bersih dan aman serta

pelayanan obstetri esensial yang bertujuan untuk menurunkan AKB

(Manuaba, 1998).
2

Dari hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar (Rinkesdas) pada Agustus

2007 hingga September 2008, penyebab kematian perinatal (0 hingga 7 hari)

yang terbanyak dipicu oleh ganguan pernapasan (35,9%). Lalu disusul oleh

kelahiran prematur (32,3%) (http://www.gizi.net).

Penyebab tingginya angka kematian perinatal yaitu: asfiksia neonatorum

49-60%, infeksi 24-34%, prematur 15-20%, trauma persalinan 2-7% dan cacat

bawaan 1-3% (Manuaba,1998). Hal ini menjadi dorongan kuat bagi penulis,

untuk lebih mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan janin

dalam uterus, termasuk apa yang menyebabkan prematuritas karena sebagian

besar bayi yang meninggal dalam minggu pertama ialah bayi premature

(Prawirohardjo, 2005).

Menurut WHO, persalinan prematur adalah persalinan dengan usia

kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat bayi kurang dari 2500 gr

(Manuaba,et.al, 2007). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

persalinan prematur adalah faktor ibu, faktor kehamilan, faktor janin dan faktor

yang belum diketahui. Dimana diantara faktor kehamilan yang berhubungan

dengan kejadian prematur adalah umur, paritas, dan status gizi. Umur ibu yang

kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, grandemultiparitas, jarak

kehamilan yang kurang dari 2 tahun, dan anemia merupakan faktor kehamilan

yang dapat menyebabkan terjadinya prematur (Manuaba, 1998).

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru adalah Rumah Sakit pendidikan dan

Rumah sakit rujukan yang menerima rujukan dari semua Kabupaten/kota yang

ada di Provinsi Riau. Data yang diperoleh dari ruang kebidanan RSUD Arifin
3

Achmad tahun 2009 total persalinan adalah 2.635 kasus. Dari Total persalinan

didapat 220 kasus persalinan premature atau sebanyak 8,2% dari total

persalinan. Dengan cara kelahiran 103 kasus Persalinan Spontan dan 117 kasus

persalinan Seksio Caesarea. Dari 220 kasus persalinan prematur terdapat bayi

hidup 167 bayi (75%) dan 53 bayi (25%) yang meninggal.

Berdasarkan data diatas jelaslah bahwa persalinan prematur masih

merupakan masalah dengan angka kejadian yang meningkat dari tahun ke

tahun. Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Faktor –Faktor pada Ibu yang Menyebabkan Kejadian Persalinan

Prematur di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan, maka penulis

merumuskan masalah yang akan diteliti adalah “Apakah faktor umur,

paritas dan status gizi ibu menyebabkan kejadian persalinan premature

di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru tahun 2009?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan

tujun untuk mengetahui faktor-faktor ibu yang menyebabkan kejadian

persalinan premature di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya

persalinan prematur di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009


4

Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh umur terhadap kejadian persalinan

prematur di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

b. Untuk mengetahui pengaruh paritas terhadap kejadian persalinan

prematur di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

c. Untuk mengetahui pengaruh status gizi terhadap kejadian persalinan

prematur di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Penelitian ini merupakan suatu pengalaman yang berharga serta

dapat menambah wawasan penulis khususnya tentang faktor faktor ibu

yang mempengaruhi terjadinya persalinan prematur di Rumah Sakit

Umum Daerah Pekanbaru. .

2. Bagi Rumah Sakit

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

informasi tentang prematur dan untuk melihat hubungan umur, paritas,

spasing dan status gizi terhadap kejadian persalinan prematur.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

informasi bagi mahasiswa STIKES TUANKU TAMBUSAI

BANGKINANG tentang persalinan prematur dan sebagai bahan literature

peneliti yang akan datang.


5

E. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi penelitian pada

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya persalinan prematur

yaitu dari segi umur, paritas, dan status gizi pada ibu bersalin di RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru tahun 2009.


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Pengertian Persalinan Prematur

Menurut beberapa ahli, pengertian persalinan prematur adalah :

a. Persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara

20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gr (Saifuddin,

et.al, 2006).

b. Menurut Hakimi (2003) partus prematurus atau persalinan prematur

dapat diartikan sebagai di mulainya kontraksi uterus yang teratur yang

disertai pendataran dan/atau dilatasi cervix serta turunya bayi pada

wanita hamil yang lama kehamilanya kurang dari 37 minggu (kurang

dari 259 hari) sejak hari pertama haid akhir.

c. Sedangkan menurut Sastrawinata, et.al (2004) partus prematur adalah

persalinan pada umur kehamilan <37 minggu atau berat badan lahir

antara 500-2499 gram.

2. Etiologi

2.1. Faktor ibu

 Gizi saat hamil yang kurang

 Umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun

 Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

 Grandemultipara (Manuaba, 2001)


7

 Penyakit menahun ibu ; hipertensi, jantung, gangguan pembuluh

darah

 Faktor pekerjaan yang terlalu berat

2.2. Faktor kehamilan

 Hamil dengan hidramnion

 Hamil ganda

 Perdarahan antepartum

 Komplikasi hamil: pre-eklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini

2.3. Faktor janin

 Cacat bawaan

 Infeksi dalam rahim

2.4. Faktor lain yang belum diketahui (Manuaba, 1998)

3. Klasifikasi

Berdasarkan atas timbulnya bermacam-macam problematika pada

derajat prematuritas, maka Usher (1975) menggolongkan bayi tersebut

dalam tiga kelompok:

a. Bayi yang sangat prematur (extremely premature): 24-30 minggu. Bayi

dengan masa gestasi 24-27 minggu masih sukar hidup terutama di

negara yang belum atau sedang berkembang. Bayi dengan masa gestasi

28-30 minggu masih mungkin dapat hidup dengan perawatan yang

sangat intensif agar dicapai hasil yang optimum.


8

b. Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately premature): 31-36

minggu. Pada golongan ini kesanggupan untuk hidup jauh lebih baik

dari golongan pertama dan gejala sisa yang dihadapinya dikemudian

hari juga lebih ringan, asal saja pengelolaan terhadap bayi ini betul-

betul intensif.

c. Borderline premature: masa gestasi 37-38 minggu. Bayi ini mempunyai

sifat-sifat prematur dan matur. Biasanya beratnya seperti bayi matur dan

dikelola seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problematik

seperti yang dialami bayi prematur, misalnya sindroma gangguan

pernafasan, hiperbilirubinemia, daya isap yang lemah dan sebagainya,

sehingga bayi ini harus diawasi dengan seksama (Wiknjosasto, et.al,

2005).

4. Gambaran Klinis

Berat badan kurang dari 2500 garam, panjang badan kurang atau

sama dengan 45 cm, lingkaran dada kurang dari 30 cm,lingkaran kepala

kurang dari 33 cm. Masa gestasi kurang dari 37 minggu. Tampak luar

sangat bergantung pada maturitas atau lamanya masa gestasi itu. Kepala

relatif besar daripada badannya, kulitnya tipis, transparan, lanugo banyak,

lemak subkutan kurang. Osifikasi tengkorak sedikit, ubun-ubun dan sutura

lebar, genitalia immatur. Densus testikulorum biasanya belum sempurna

dan labia minora belum tertutup oleh labia mayora. Pembuluh darah kulit

banyak terlihat dan peristaltik usus pun dapat terlihat. Rambut biasanya

tipis, halus, dan teranyam sehingga sulit terlihat satu persatu. Tulang
9

rawan dan tulang telinga belum cukup, sehingga elastisitas daun telinga

masih kurang. Jaringan mama belum sempurna, demikian pula puting susu

belum terbentuk dengan baik. Bayi kecil, posisinya masih posisi fetal,

yaitu posisi dekubitus lateral, pergerakannya kurang dan masih lemah.

Bayi lebih banyak tidur daripada bangun. Tangisannya lemah, pernafasan

belum teratur dan sering terdapat serangan apnu. Otot masih hipotonik,

sehingga sikap selalu dalam keadaan kedua tungkai dalam abduksi, sendi

lutut dan sendi kaki dalam fleksi dan kepala menghadap kesatu jurusan.

”Tonic neck reflek” biasanaya lemah, refleks moro dapat positif. Reflek

menghisap dan menelan belum sempurna, demikian pula refleks batuk.

Kalau bayi lapar biasanya menangis, gelisah, aktifitas bertambah. Bila

dalam waktu 3 hari tanda kelaparan ini tidak terdapat, kemungkinan besar

bayi menderita infeksi atau perdarahan intrakranial. Dalam hal ini penting

sekali melakukan pemeriksaan radiologis toraks (Hasan, et.al, 1985).

5. Patofisiologi

Persalinan preterm dapat diperkirakan dengan mencari faktor

resiko mayor atau minor.

Faktor risiko minor ialah penyakit yang disertai demam,

perdarahan pervaginam pada kehamilan lebih dari 12 minggu, riwayat

pielonefritis, merokok lebih dari 10 batang per hari, riwayat abortus

trimester II, riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.

Faktor risiko mayor ialah kehamilan multipel, hidramnion, anomali

uterus, serviks terbuka lebih dari 1cm pada kehamilan 32 minggu, serviks
10

mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat

abortus pada trimester ke II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan preterm

sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi

konisasi dan iritabilitas uterus.

Pasien tergolong resiko tinggi bila dijumpai 1 atau lebih faktor

risiko mayor atau bila ada 2 atau lebih faktor resiko minor atau bila

ditemukan keduanya (Mansjoer, et.al 2001).

6. Prognosis

a. Prematuritas dewasa ini merupakan faktor yang paling sering terjadi

yang terkait kematian dan morbiditas bayi. Sebagian besar bayi yang

meninggal dalam 28 hari pertama mempunyai bobot yang kurang

2.500g pada saat lahir.

b. Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi-bayi prematur.

c. Gangguan respirasi menyebabkan 44 persen kematian yang terjadi

pada umur kurang dari 1 bulan. Jika berat bayi kurang dari 1.000g

,angka kematian ini menjadi 74 persen.

d. Karena lunaknya tulang tenggorokan dan immaturitas jaringan otak,

bayi prematur lebih rentan terhadap kompresi kepala.

e. Pendarahan intracranial lima kali lebih sering pada bayi prematur

dibanding pada bayi aterm. Kebanyakan keadaan ini terjadi akibat

anoksia.

f. Cerebral palsy lebih sering di jumpai pada bayi-bayi prematur.


11

g. Prognosis untuk kesehatan fisik dan intelektual pada bayi berat badan

lahir rendah belum jelas sekalipun telah dilakukan sejumlah

penyelidikan. Tampaknya terhadap insidensi kerusakan organik otak

yang lebih tinggi pada bayi-bayi prematur (meskipun banyak orang

jenius dilahirkan sebelum aterm) (Hakimi, 2003).

7. Diagnosis

Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman

persalainan preterm. Tidak jarang kontraksi uterus yang timbul pada

kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan.

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan

preterm, yaitu:

a. Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali,atau 2-3

kali dalam waktu 10 menit

b. Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)

c. Perdarahan bercak

d. Perasaan menekan daerah serviks

e. Pemeriksaan serviks menunjukan telah terjadi pembukaan sedikitnya

2 cm,dan penipisan 50-80%

f. Presentasi janin telah sampai mencapai spina ischiadika

g. Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya

persalinan preterm

h. Terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Saifuddin, et.al, 2008).


12

8. Komplikasi

a. Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin). Paru-paru

yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa bernafas

dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi

oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena

adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh

paru-paru dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi

prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang

memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka. Diantara saat-saat

bernafas, paru-paru benar-benar mengempis, akibatnya terjadi

Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa menyebabkan

kelainan lainnya dan pada beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada

bayi diberikan oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin mereka perlu

ditempatkan dalam sebuah ventilator dan diberikan obat surfaktan

(bisa diteteskan secara langsung melalui sebuah selang yang

dihubungkan dengan trakea bayi).

b. Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan

gangguan refleks menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya

perdarahan otak atau serangan apneu. Selain paru-paru yang belum

berkembang, seorang bayi prematur juga memiliki otak yang belum

berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu (henti nafas), karena

pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk mengurangi

frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan. Jika oksigen


13

maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang

sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau

cedera .

c. Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi

pemberian makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil

mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan,

sehingga pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan

bayi muntah.

d. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia

retrolental).

e. Displasia bronkopulmoner.

f. Penyakit jantung.

g. Jaundice.

Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang

normal untuk membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil

pemecahan sel darah merah) dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru

lahir, terutama yang lahir prematur, memiliki kadar bilirubin darah

yang meningkat (yang bersifat sementara), yang dapat menyebabkan

sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi hatinya

masih belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan

mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat

ringan dan akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi

pencernaan bayi.
14

h. Infeksi atau septikemia.

Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna.

Mereka belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya

melewati plasenta (ari-ari). Resiko terjadinya infeksi yang serius

(sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi. Bayi prematur juga lebih

rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi (peradangan pada usus).

i. Anemia.

j. Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-

ubah, bisa tinggi (hiperglikemia) maupun rendah (hipoglikemia).

k. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.

l. Keterbelakangan mental dan motorik. (http://kesehatan.net)

9. Penatalaksanaan

a. Pengaturan suhu: Bayi prematur mudah dan cepat sekali menderita

hipotermia bila di lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan

oleh permukaan tubuh bayi yang relatif lebih luas bila dibandingkan

dengan berat badan,kurangnya jaringan lemak dibawah kulit dan

kekurangan lemak coklat (brown fat). Untuk mencegah hiportemi,perlu

diusahakan lingkungan yang cukup hangat untuk bayi dan dalam keadaan

istirahat konsumsi oksigen paling sedikit, sehingga suhu tubuh bayi tetap

normal. Bila bayi dirawat didalam inkubator, maka suhunya untuk bayi

dengan berat badan kurang dari 2 kg dalam 350C dan untuk bayi dengan

berat badan 2-2,5 kg 340C, agar ia dapat mempertahankan suhu tubuh


15

sekitar 370C. Bila inkubator tidak ada, pemanasaan dapat dilakukan

dengan membungkus bayi dengan botol-botol hangat di sekitarnya atau

dengan memasang lampu petromaks didekat tempat tidur bayi. Cara lain

untuk memperatahankan suhu tubuh bayi sekitar 360C-370C adalah dengan

memakai alat perspexbeat sbield yang diselimuti pada bayi didalam

inkubator. Akhir-akhir ini telah mulai digunakan inkubator yang

dilengkapi dengan alat temperator sensor (thermistor probe). Alat ini

ditempelkan dikulit bayi. Bayi dalam inkubator hanya dipakai popok. Hal

ini penting untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan umum,

perubahan tingkah laku, warna kulit,pernapasan, kejang dan sebagainya

sehingga penyakit yang diderita dapat dikenal sedini-dininya dan tindakan

serta pengobatan dapat dilaksanakan secepat-cepatnya.

b. Makanan bayi: Pada bayi prematur refleks isap, telan dan batuk belum

sempurna, kapasitas lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan

terutama lipase masih kurang disampingitu kebutuhan protein 3-5 g/hari

dan tinggi kalori (110 kal/kg/hari), agar berat badan bertambah sebaik-

baiknya. Sebelum pemberian minum pertama harus dilakukan pengisapan

lambung. Hal ini perlu untuk mengetahui ada tidaknya atresia esofagus

dan muntah. Pengisapan lambung juga pada setiap sebelum pemberian

minum berikutnya. Pada umumnya bayi dengan berat lahir 2000 gram atau

lebih dapat menyusu pada ibunya. Bayi dengan berat kurang dari 1500

gram kurang mampu mengisap air susu ibu atau susu botol, terutama pada

hari-hari pertama. Sesudah 5 hari di coba menyusu pada ibunya. Bila daya
16

isap cukup baik maka pemberian air susu diteruskan. Ada kalanya daya

isap bayi kecil ini lebih baik dibandingkan dengan dot dibandingkan

dengan puting susu ibu. Pada keadaan ini air susu ibu di pompa dan

diberikan melalui botol.

c. Infeksi: Bayi prematur mudah sekali diserang infeksi. Ini disebabkan oleh

karena daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang, relatif belum sanggup

membentuk antibodi dan daya fagiositosis serta reaksi terhadap

peradangan belum baik. Tindakan aseptik dan antiseptik harus selalu

ditegakkan, baik di rawat gabung maupun di bangsal neonatus. Infeksi

yang sering terjadi ialah infeksi silang melalui para dokter, perawat, bidan

dan petugas lain yang berhubungan dengan bayi. Untuk pencegahan ini

para petugas perlu disadarkan akan bahaya infeksi pada bayi. Selanjutnya

perlu: 1) diadakan pemisahan antara bayi yang kena infeksi dan bayi yang

tidak kena infeksi, 2) mencuci tangan setiap kali sebelum dan sesudah

memegang bayi, 3) membersihkan tempat tidur bayi segera sesudah tidak

dipakai lagi, 4) membersihkan ruangan pada waktu-waktu tertentu, 5)

setiap bayi mempunyai perlengkapan sendiri, 6) kalau mungkin setiap bayi

dimandikan di tempat tidurnya masing-masing dengan perlengkapan

sendiri, 7) setiap petugas dibangsal bayi harus memakai pakaian yang telah

disediakan, 8) petugas yang menderita penyakit menular dilarang merawat

bayi, 9) kulit dan tali pusat bayi harus dibersihkan, 10) para pengunjung

orang sakit hanya boleh melihat bayi dari belakang kaca (Winkjosastro,

et.al, 2005).
17

10. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan persalinan

prematur :

a. Umur

Umur adalah lamanya waktu hidup (KKBI, 2002). Usia reproduksi

yang aman dari berbagai resiko akibat kehamilan dan persalinan adalah

20 – 35 tahun dibandingkan usia <20 tahun atau >35 tahun karena terjadi

gangguan hormonal dan degenerasi sel – sel trofoblas (Manuaba, 1998).

Pada umur <20 tahun alat reproduksinya masih belum siap untuk

menerima kehamilan sehingga dapat menimbulkan berbagai bentuk

komplikasi. Tumbuh kembang janin yang belum matang dapat

menimbulkan abortus, persalinan prematur atau gestosis. Kematian

maternal dan perinatal pada kehamilan remaja relatif tinggi dibandingkan

masa reproduksi sehat usia antara 20 sampai 35 tahun (Manuaba, 2001).

Menurut penelitian Furdon (2007), ibu dengan umur 13-15 tahun

mempunyai kemungkinan persalinan preterm sebesar 5,9%. Presentase ini

menurun menjadi 1,75% pada ibu-ibu usia 18-19 tahun dan 1,1% pada

usia 20-24 tahun. Presentase ini kembali meningkat pada ibu yang berusia

diatas 40 tahun atau primigravida dengan usia diatas 30 tahun. Dan

Jumirah et al (2002) mengatakan ibu-ibu yang hamil pada usia muda

masih sangat membutuhkan zat-zat gizi untuk pertumbuhannya sendiri

dan juga dipengaruhi oleh kematangan fisiologis organ- organ reproduksi.


18

b. Paritas

Paritas adalah keadaan wanita berkaitan dengan jumlah anak yang

dilahirkan (Saifuddin AB, 2006). Menurut Wiknjosastro (2002) paritas

juga berhubungan dengan keadaan anatomi uterus, servik yang lebih muda

berdilatasi pada paritas yang sering.

Pada primigravida dapat terjadi gangguan adaptasi ibu terhadap

kehamilannya, meliputi gangguan adaptasi trofoblas sehingga

meningkatkan resiko terjadinya pre eklampsi dan eklampsi yang

ditemukan pada 31% primigravida muda, serta gangguan adaptasi

hormonal meliputi estrogen dan HCG yang menyebabkan lebih sering

terjadi hiperemesis gravidarum dengan hasil akhir meningkatnya resiko

kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah (Wiknjosastro, 2002).

Penelitian Agustina tahun 2005 di RSUD DR. Soetomo Surabaya

menyebutkan bahwa wanita yang telah melahirkan lebih dari tiga kali

mempunyai risiko 4 kali lebih besar mengalami partus prematur bila

dibandingkan dengan paritas yang kurang dari tiga. Sedangkan dari hasil

penelitian Yulida Mufidah tahun 2007 di Kamar Bersalin RSUD Gambiran

Kota Kediri menyatakan bahwa partus prematur banyak terjadi pada ibu

dengan paritas tinggi (multipara, grandemultipara) sebanyak 70,91%

sedangkan ibu dengan paritas rendah sebanyak 29,09% (nullipara,

primipara).
19

c. Status gizi

Penyebab lain dari anemia dalam kehamilan adalah status gizi.

Faktor penyebabnya yaitu asupan makanan yang berkurang. Seperti

kekurangan Fe, kekurangan asam folat dan gangguan penyerapan zat besi.

Kekurangan asupan gizi pada trimester I dikaitkan dengan tingginya

kejadian bayi lahir prematur, kematian janin, dan kelainan pada sistem

saraf pusat bayi (Sutrisno, 2007).

Anemia adalah turunnya kadar hemoglobin kurang dari 12 gr% ml

darah pada wanita yang tidak hamil dan kurang dari 11 gr% ml darah

pada wanita hamil (Varney, 2002).

Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan

dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan

metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan janin dalam rahim. Akibat anemia dapat terjadi gangguan

dalam bentuk anemia, terjadi kematian intra uterin, persalinan

prematuritas, BBLR, kelahiran dengan anemia, cacat bawaan, infeksi dan

inteligensia rendah (Manuaba, 1998).

Berdasarkan studi di kuala lumpur memperlihatkan terjadinya

20 % kelahiran premature bagi bayi yang tingkat kadar hemoglobinnya

dibawah 6,5 gr/dl. Studi lain menunjukkan bahwa resiko kejadian BBLR,

kelahiran premature dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil

dengan kadar hemoglobin kurang dari 10,4gr/dl (Amirudin,2004).


20

B. Penelitian terkait

Menurut penelitian Listya Dewi Purwana dengan judul “Faktor-Faktor

yang Melatarbelakangi Kejadian Persalinan Pre Term Di RSUD Dr. R. Koesma

Tuban” Persalinan preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas neonatal di seluruh dunia (60-80%).

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual berkaitan dengan

bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis

beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah.

Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Indedependen Variabel Dependen


Umur Ibu
Persalinan Prematur
Paritas

Status Gizi

D. Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah jawaban sementara penelitian,

patokaan dugaan atau dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan

dalam penelitian (Notoatmodjo, 2005). Menurut Budiarto (2001) pengujian

hipotesis diawali dengan suatu pernyataan sementara yang disebut hipotesis.


21

Sementara pada penelitian ini hipotesis nol (Ho) penulis adalah :

1 : Tidak ada hubungan umur ibu terhadap kejadian persalinan prematur di

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

2 : Tidak ada hubungan paritas terhadap kejadian persalinan prematur di

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

3 : Tidak ada hubungan status gizi terhadap kejadian persalinan prematur di

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

Pada penelitian ini hipotesa operasional (Ha) penulis adalah :

1 : Ada hubungan umur ibu terhadap kejadian persalinan prematur di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

2 : Ada hubungan paritas terhadap kejadian persalinan prematur di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

3 : Ada hubungan status gizi terhadap kejadian persalinan prematur di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

BAB III
22

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam

penelitian, yang memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor

yang bisa mempengaruhi aku rasi suatu hasil ( Nursalam, 2003 ).

Jenis penelitian ini adalah Analitik secara retrospektif dengan

desain penelitian Cross sectional yaitu suatu penelitian dimana variabel-

variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel-variabel yang termasuk

efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama (Notoadmodjo, 2005).

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Rekam Medik RSUD Arifin

Ahmad Pekanbaru

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 06 sampai dengan 12

Oktober 2010.

C. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2005). Sementara populasi yang dalam penelitian ini

adalah semua ibu bersalin di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun

2009, dengan jumlah populasi : 2635 orang.


23

2. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi penelitian (

Notoatmodjo, 2005).

D. TEKNIK SAMPLING

Penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling di kasus dari

populasi kasus persalinan yang tercatat pada bagian Rekam Medik RSUD

Arifin Achmad periode 2009.

E. BESAR SAMPEL

Besarnya sampel dalam penelitian ini sesuai dengan rumus :

n = N
1 + N (d2)

n = 2635
1 + 2635 (0,052)

n = 2635
7,5875

n = 347,2
n = 347

Keterangan :

N = Besar Populasi

n = Besar Sampel

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

(Notoatmodjo, 2005)
24

F. ETIKA PENELITIAN

1. Anonimity.

Didalam laporan penelitian ini penulis tidak mencantumkan nama dari

pasien RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru yang menjadi sumber

observasi.

2. Kerahasiaan

Di dalam laporan penelititan ini penulis menjamin kerahasiaan data

rekam medik sumber observasi yang tecatat dibagian Rekam Medik

RSUD Arifin Ahmad kepada khalayak umum demi menjaga

kerahasiaan pribadi sumber.

G. ALAT PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan data

sekunder yaitu data yang diambil dari dokumentasi medik ibu bersalin di

bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad tahun 2009.

H. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

1. Mengajukan surat permohonan izin kepada Ketua STIKes Tuanku

Tambusai Bangkinang untuk mengadakan penelitian di RSUD Arifin

Ahmad Pekanbaru

2. Setelah mendapatkan izin, peneliti mohon izin kepada Direktur RSUD

Arifin Ahmad Pekanbaru


25

3. Setelah mendapatkan izin dari Direktur RSUD Arifin Ahmad Pekan

baru maka peneliti mohon izin kepada Kepala Ruang Kebidanan dan

Perinatologi, selanjutnya ke bagian rekam medik untuk mendapatakn

izin penelitian.

I. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen yang digunakan adalah format cek list yang dirancang

oleh peneliti sendiri dan memuat variable-variabel yang akan diteliti.

J. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga

memungkinkan peneliti melakukan observasi atau pengukuran secara

cermat terhadap suatu obyek atau fenomena ( Hidayat, 2007 ).

Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran

atau penga matan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta

pengembangan instrumen / alat ukur ( Notoatmojo, 2005 ).


26

Tabel 3.2
DEFINISI OPERASIONAL

Definisi Alat Skala


No Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Independen
1) Umur Usia ibu bersalin Daftar Dokumentasi Nominal a. < 20 th
sampai pada saat isian b. 20-35 th
melahirkan yang c. > 35 th
tercatat pada
Medical Record.

2) Paritas Jumlah anak yang Daftar Dokumentasi Nominal


a. 1
pernah dilahirkan isian
b.2- 3
ibu bersalin baik
C. > 3
hidup atau mati
sampai pada yang
tercatat di medical
record.

3) Status Kadar Hb ibu Daftar Dokumentasi Nominal a. < 11 gr%


gizi bersalin pada saat isian b. > 11 gr%
melahirkan yang
tercatat pada
medical record.

Dependen Persalinan dengan Daftar Dokumentasi Nominal a. persalinan


2.
Persalinan usia kehamilan 20- isian prematur
Prematur 36,6 minggu yang b. persalinan
terdiagnosa pada non prematur
ibu bersalin dan
tercatat pada
medical record.
27

K. TEKNIK PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data merupakan salah satu ringkasan penelitian setelah

pengumpul an data (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan peng olahan data secara manual. Pengolahan data dapat

dilakukan dengan beberapa tahap antara lain:

a. Editing

Editing yaitu upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang di

peroleh atau dikumpulkan.

b. Coding

Coding adalah pemberian kode jawaban dengan angka atau kode lain

seperti kode angka satu, dua, dan lain – lain untuk setiap jawaban

Data yang telah ter kumpul dicoding satu per satu mengenai jawaban

dan kelengkapan nya lalu dilanjutkan dengan tabulasi.

c. Entry data

Memasukkan data kedalam program pengolahan data dengan

menggunakan SPSS 17

d. Tabulating

Tabulasi data adalah untuk menyusun dan menghitung data yang di

peroleh. Setelah data diolah kemudian disajikan dalam bentuk distri

busi frekuensi. Data yang telah selesai kemudian di hitung jumlah -

nya sesuai dengan alternatif jawaban.


28

2. Cleaning

Cleaning (pembersihan data ) merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak.

L. ANALISA DATA

1. Analisa Univariat

Adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap variable hasil penelitian.

Pada umumnya hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap

variable.

Menurut Budiarto, E (2003) dengan rumus :

P = F / N x 100%

Keterangan :

P : Presentasi

F : Frekwensi

N : jumlah responden

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat merupakan pemilihan yang mempunyai dua variable

dcapat dihitung dengan menggunakan kuantitas X2 (chi-kuadrat) yakni

distribusi probiliti untuk statistik. Chi-Kuadrat adalah uji statistik untuk

melihat atau mengetahui hubungan antara variable independent dengan

variabel depedent.
29

Menurut Hastono (2001), dasar pengambilan keputusan dapat dilakukan

dengan 2 cara yaitu :

a. Berdasarkan perbandingan chi-square dan tabel :

1. Jika chi-square hitung < chi square table maka Ho diterima

2. Jika chi-square hitung > chi square table maka Ho ditolak.

b. Berdasarkan probabilitas :

1. Jika probabilitas (p) < α (0,05) Ho ditolak

2. Jika probabilitas (p) > α(0,05) Ho diterima

Dengan rumus :
( fo  fe) 2
x2  
fo

( fo  fe) 2
x  2

fo
Keterangan :

fo = Frekuensi yang diamati

fe = Frekuensi yang diharapkan

X2 = Chi-kuadrat (Hidayat, 2007)


30

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada tanggal

06 -12 Oktober 2010. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 347 rekam

medik. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan :

A. Analisa Univariat

1. Umur

Tabel 4.1 :
Distribusi Frekuensi Umur Ibu Bersalin di RSUD Arifin Ahmad
Pekanbaru Tahun 2009

No Umur Frekuensi Persentase (%)

1. <20 th 51 14.7
2. 20-35th 193 55.6
3. >35 th 103 29.7
Total 347 100

Dari table 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berada

pada rentang umur 20-35 tahun sebanyak 193 responden (55,6%.)

2. Paritas

Tabel 4.2 :
Distribusi Frekuensi Paritas Ibu Bersalin di RSUD Arifin Ahmad
Pekanbaru Tahun 2009

No Paritas Frekuensi Persentase (%)


1. 1 anak 99 28.5
2. 2-3 anak 123 35.4
3. > 3 anak 125 36.0
Total 347 100
31

Dari tabel 4.2, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden

mempunyai anak dengan paritas lebih dari 3 anak yaitu 125 responden

(36%).

3. Status Gizi

Tabel 4.3 :
Distribusi Frekuensi Status Gizi Ibu Bersalin di RSUD Arifin Ahmad
Pekanbaru Tahun 2009

No Status Gizi (Hb) Frekuensi Persentase (%)


1. < 11 gr% 187 53.9
2. > 11 gr% 160 46.1
Total 347 100

Dari table 4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden adalah

dengan status gizi (Hb) < 11 gr% dengan 187 responden (53,9%).

4. Jenis Persalinan

Tabel 4.4 :
Distribusi Frekuensi Jenis Persalinan Ibu Bersalin di RSUD Arifin
Ahmad Pekanbaru Tahun 2009

No Persalinan Frekuensi Persentase (%)


1. Persalinan non Prematur 252 72.6
2. Persalinan Prematur 95 27.4
Total 347 100

Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami

persalinan non premature yaitu 252 responden (72,6%) dan persalinan

premature 95 responden (27,4%).


32

B. Analisa Bivariat

b. Umur

Tabel 4.5 :
Pengaruh Faktor Umur terhadap Kejadian Persalinan Premature
Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2009

Jenis Persalinan
Pengaruh Faktor Umur
Persalinan Persalinan
terhadap Kejadian Total P value
Persalinan Premature non Prematur
Prematur
Umur <20 th Frekuensi 17 34 51
% 33.3% 66.7% 100.0%
20-35th Frekuensi 176 17 193
% 91.2% 8.8% 100.0%
0,00
>35 th Frekuensi 59 44 103
% 57.3% 42.7% 100.0%
Frekuensi 252 95 347
Total
% 72.6% 27.4% 100.0%
X2 = 85.260

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,00 (p < 0,05) berarti dapat

disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor umur terhadap

kejadian persalinan premature.


33

c. Paritas

Tabel 4.6 :
Pengaruh Faktor paritas terhadap Kejadian Persalinan Premature Di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2009

Jenis Persalinan
Pengaruh Faktor paritas
Persalinan Persalinan
terhadap Kejadian Persalinan Total P value
Premature non Prematur
Prematur
Paritas 1 anak Frekuensi 75 24 99
% 75.8% 24.2% 100.0%
2-3 anak Frekuensi 102 21 123
% 82.9% 17.1% 100.0%
0,00
> 3 anak Frekuensi 75 50 125
% 60.0% 40.0% 100.0%
Frekuensi 252 95 347
Total
% 72.6% 27.4% 100.0%
X2 = 17.075

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,00 (p < 0,05) berarti dapat

disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor paritas terhadap

kejadian persalinan premature.


34

d. Status Gizi
Tabel 4.7 :
Pengaruh Faktor Status Gizi terhadap Kejadian Persalinan
Premature Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2009

Pengaruh Faktor Status Gizi Jenis Persalinan


terhadap Kejadian Persalinan Persalinan Persalinan
Premature Total P value
non Prematur
Prematur
Status < 11 gr% Frekuensi 124 63 187
Gizi % 66.3% 33.7% 100.0%
> 11 gr% Frekuensi 128 32 160
0,04
% 80.0% 20.0% 100.0%
Frekuensi 252 95 347
Total
% 72.6% 27.4% 100.0%
X2 = 8.128

Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,09 (p < 0,05) berarti dapat

disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor status gizi

terhadap kejadian persalinan premature. Dari analisis nilai OR (Odds

Ratio) = 0,4, artinya ibu dengan status gizi < 11gr% berpeluang 0,4 kali

mengalami persalinan premature dibandingkan dengan ibu status gizi ≥

11gr%.

Tabel 4.8
Faktor yang paling berpengaruh menyebabkan kejadian Persalinan
Prematur di RSUD Arifin Achmad Tahun 2009

No. Variabel Prematur Persentase (%)


1 Umur 44 46,3
2 Paritas 50 52,6
3 Status Gizi 63 66,3

Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa variabel yang paling berpengaruh

menyebabkan terjadinya persalinan prematur di RSUD Arifin Achmad tahun

2009 adalah status Gizi sebanyak 63 responden (66,3%).


35

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas, akan dibahas faktor – faktor yang

mempengaruhi kejadian persalinan premature Di RSUD Arifin Achmad

Pekanbaru tahun 2009 yang ditinjau dari kenyataan yang ditemui dan

dibandingkan dengan teori – teori yang ada.

Hasil penelitian dibahas sesuai dengan variabel-variabel yang ada, sebagai

berikut:

Pembahasan Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Umur
Mayoritas umur ibu bersalin Di RSUD Arifin Achmad

Pekanbaru Tahun 2009 dapat dilihat dari table 4.1 yaitu 193 orang

(55,6%) ibu dengan usia 20-35 th, 103 orang (29,7%) ibu berusia > 35

th dan 51 orang ( 14,7%) ibu berusia < 20 th.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa umur ibu bersalin

dapat dikategorikan sebagai usia reproduksi. Hal ini sesuai dengan

teori bahwa usia reproduksi yang aman dari berbagai resiko akibat

kehamilan dan persalinan adalah 20 – 35 tahun dibandingkan usia <20

tahun atau >35 tahun karena terjadi gangguan hormonal dan

degenerasi sel – sel trofoblas (Manuaba, 1998).


36

Menurut Hartanto (2003) bahwa pada umur 20-35 tahun

termasuk usia reproduksi yang memiliki kematangan dalam berfikir

mengambil keputusan dan mempertimbangkan hal yang terbaik,

mempunyai semangat, keinginan dan minat yang tinggi untuk

mengetahui segala sesuatu tentang pengetahuan kesehatan.

b. Paritas

Mayoritas hasil penelitian yang dilakukan Di RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru antara faktor paritas ibu pada kejadian persalinan

prematur yaitu pada ibu dengan paritas > 3 anak 125 orang ( 36 %).

Kemudian diikuti dengan ibu berparitas 2-3 anak yaitu 123 orang

( 35,4%) dan 99 orang (28,5%) ibu primigravida.

Hal ini sesuai dengan pendapat Wiknjosastro (2002) bahwa

paritas juga berhubungan dengan keadaan anatomi uterus, servik yang

lebih muda berdilatasi pada paritas yang sering.

Dalam hal ini peneliti dapat menyimpulkan bahwa hal tersebut

dapat terjadi karena ibu yang mempunyai paritas > 3 anak akan lebih

beresiko dibandingkan dengan ibu dengan paritas < 3 anak. Ibu

dengan paritas 2-3 menduduki persentase kedua karena sesuai dengan

mayoritas umur ibu adalah usia reproduksi. Untuk ibu primigravida

hal ini terjadi karena adanya proses adapatasi tubuh terhadap

penerimaan kehamilan yang dapat meningkatkan resiko kejadian

prematur.
37

c. Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mayoritas

ibu bersalin Di RSUD Arifin Achmad mengalami anemia (

kekurangan zat besi) yaitu 187 orang (53,9 %) dan 160 orang (

46,1%) yang tidak mengalami anemia.

Penyebab lain dari anemia dalam kehamilan adalah status gizi.

Faktor penyebabnya yaitu asupan makanan yang berkurang. Seperti

kekurangan Fe, kekurangan asam folat dan gangguan penyerapan zat

besi. Kekurangan asupan gizi pada trimester I dikaitkan dengan

tingginya kejadian bayi lahir prematur, kematian janin, dan kelainan

pada sistem saraf pusat bayi (Sutrisno, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti

maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata ibu yang bersalin di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2009 mengalami anemia karena

RSUD adalah Rumah Sakit rujukan, sehingga pasien yang datang

adalah pasien yang telah bermasalah sebelum dirujuk.

d. Jenis Persalinan

Dari hasil penelitian di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

Tahun 2009 dapat diketahui bahwa mayoritas jenis persalinan yaitu

252 orang mengalami persalinan non premature (73,8%) dan

persalinan secara premature sebanyak 95 orang (26,2%).


38

Hal ini sesuai dengan data yang ada Di RSUD Arifin Achmad

bahwa jumlah kasus persalinan Tahun 2009 adalah 2635 kasus.

Persalinan premature Di RSUD Arifin Achmad adalah sebanyak 220

kasus (8,2 %).

2. Analisa Bivariat

a. Pengaruh Faktor Umur terhadap Kejadian Persalinan Prematur


Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat

bahwa mayoritas usia ibu yang mengalami prematur adalah ibu yang

berusia > 35 th dan minoritas ibu yang mengalami persalinan

prematur adalah ibu yang berusia 20 -35 th, kemudian jumlah

kejadian meningkat pada ibu yang berusia < 20 th.

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,00 (p < 0,05) berarti

dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor umur

terhadap kejadian persalinan premature.

Hal ini terjadi karena pada usia > 35 th fungsi reproduksi ibu

sangat beresiko baik pada saat kehamilan maupun persalinan. Usia >

35 th termasuk indikasi terjadinya komplikasi kehamilan dan

persalinan sehingga dapat meningkatkan kejadian persalinan prematur

karena terjadinya degenerasi sel ovum pada umur lebih dari 35 tahun.

Pada ibu yang berusia < 20 th juga sangat beresiko terhadap

komplikasi kehamilan dan persalinan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan bahwa pada umur <20 tahun alat reproduksinya masih


39

belum siap untuk menerima kehamilan sehingga dapat menimbulkan

berbagai bentuk komplikasi. Tumbuh kembang janin yang belum

matang dapat menimbulkan abortus, persalinan prematur atau

gestosis. Kematian maternal dan perinatal pada kehamilan remaja

relatif tinggi dibandingkan masa reproduksi sehat usia antara 20

sampai 35 tahun (Manuaba, 2001).

Menurut penelitian Furdon (2007), ibu dengan umur 13-15

tahun mempunyai kemungkinan persalinan preterm sebesar 5,9%.

Presentase ini menurun menjadi 1,75% pada ibu-ibu usia 18-19 tahun

dan 1,1% pada usia 20-24 tahun. Presentase ini kembali meningkat

pada ibu yang berusia diatas 40 tahun atau primigravida dengan usia

diatas 30 tahun. Dan Jumirah et al (2002) mengatakan ibu-ibu yang

hamil pada usia muda masih sangat membutuhkan zat-zat gizi untuk

pertumbuhannya sendiri dan juga dipengaruhi oleh kematangan

fisiologis organ- organ reproduksi.

b. Pengaruh Faktor Paritas terhadap Kejadian Persalinan


Prematur Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tertinggi ibu

yang mengalami persalinan prematur adalah ibu dengan paritas > 3

anak dan jumlah terendah adalah ibu dengan paritas 2-3 anak. Jumlah

ini kembali meningkat pada ibu yang mempunyai satu orang anak.

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,00 (p < 0,05) berarti

dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor paritas

terhadap kejadian persalinan premature.


40

Pada primigravida dapat terjadi gangguan adaptasi ibu

terhadap kehamilannya, meliputi gangguan adaptasi trofoblas

sehingga meningkatkan resiko terjadinya pre eklampsi dan eklampsi

yang ditemukan pada 31% primigravida muda, serta gangguan

adaptasi hormonal meliputi estrogen dan HCG yang menyebabkan

lebih sering terjadi hiperemesis gravidarum dengan hasil akhir

meningkatnya resiko kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah

(Wiknjosastro, 2002).

Penelitian Agustina tahun 2005 di RSUD DR. Soetomo

Surabaya menyebutkan bahwa wanita yang telah melahirkan lebih

dari tiga kali mempunyai risiko 4 kali lebih besar mengalami partus

prematur bila dibandingkan dengan paritas yang kurang dari tiga.

Sedangkan dari hasil penelitian Yulida Mufidah tahun 2007 di Kamar

Bersalin RSUD Gambiran Kota Kediri menyatakan bahwa partus

prematur banyak terjadi pada ibu dengan paritas tinggi (multipara,

grandemultipara) sebanyak 70,91% sedangkan ibu dengan paritas

rendah sebanyak 29,09% (nullipara, primipara).

c. Pengaruh Faktor Status Gizi terhadap Kejadian Persalinan


Prematur Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2009
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat

bahwa jumlah ibu dengan persalinan prematur mengalami anemia (Hb

< 11 gr%) sebanyak 63 orang dan yang tidak mengalami anemia

sebanyak 32 orang. Kekurangan asupan gizi pada trimester I dikaitkan


41

dengan tingginya kejadian bayi lahir prematur, kematian janin, dan

kelainan pada sistem saraf pusat bayi (Sutrisno, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad

Tahun 2009 tentang pengaruh pada ibu terhadap kejadian persalinan

premature didapatkan nilai p=0,09 (p < 0,05) berarti dapat

disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor status gizi

terhadap kejadian persalinan premature. Dari analisis nilai OR (Odds

Ratio) = 0,4, artinya ibu dengan status gizi < 11gr% berpeluang 0,4

kali mengalami persalinan premature dibandingkan dengan ibu status

gizi ≥ 11gr%.

Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai

kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi

kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan janin dalam rahim. Akibat anemia dapat terjadi

gangguan dalam bentuk anemia, terjadi kematian intra uterin,

persalinan prematuritas, BBLR, kelahiran dengan anemia, cacat

bawaan, infeksi dan inteligensia rendah (Manuaba, 1998).

Berdasarkan studi di kuala lumpur memperlihatkan terjadinya

20 % kelahiran premature bagi bayi yang tingkat kadar

hemoglobinnya dibawah 6,5 gr/dl. Studi lain menunjukkan bahwa

resiko kejadian BBLR, kelahiran premature dan kematian perinatal

meningkat pada wanita hamil dengan kadar hemoglobin kurang dari

10,4gr/dl (Amirudin,2004).
42

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil uji statistik yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru Tahun 2009 terhadap 347 responden maka dapat

disimpulan bahwa :

1. Ada hubungan umur ibu terhadap kejadian persalinan prematur di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru dengan nilai p = 0,00 (p < 0,05).

2. Ada hubungan paritas terhadap kejadian persalinan prematur di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru dengan nilai p = 0,00 ( p< 0,05).

3. Ada hubungan status gizi terhadap kejadian persalinan prematur di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru dengan nilai p = 0,04 (p < 0,05).

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Sebaiknya pihak RS dapat meningkatkan pelaksanaan program

kesehatan sesuai dengan empat pilar Safe Motherhood yang terdiri dari

keluarga berencana, antenatal care, persalinan bersih dan aman serta

pelayanan obstetri esensial. Khususnya antenatal care yaitu penyuluhan

tentang gizi ibu hamil.


43

2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebaiknya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan bagi

mahasiswa sehingga mahasiswa dapat lebih baik dan lebih terarah dalam

melakukan penelitian dimasa yang akan datang.

3. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan bagi peneliti berikutnya agar dapat meneliti persalinan

premature lebih mendalam sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik

Anda mungkin juga menyukai