Anda di halaman 1dari 18

JURNAL GOL.

ANALGETIK ANTIPIRETIK (METAMPIRON)


ANALISIS KUANTITATIF GOLONGAN OBAT ANALGETK-ANTIPIRETIK (METAMPIRON) DENGAN
METODE IODIMETRI

ABSTRACK

In this experiment aims to determine the levels of the drug classes analgetic-antipireticum is metampiron

to use the appropriate method. The method used to measure the levels of metampiron in a tablet dosage

antalgin was iodimetri method. In this method, the sample solution is titrating by iodium 0,1 N solution.

ABSTRAK

Pada percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar golongan obat analgetik-antipiretik yaitu

metampiron dengan menggunakan metode yang sesuai. Metode yang digunakan untuk mengukur kadar

metampiron dalam sediaan tablet antalgin adalah metode iodimetri. Pada metode ini, larutan sampel

metampiron dititrasai dengan iodium 0,1 N.

PENDAHULUAN
Analgetik merupakan obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa

menghilangkan kesadaran. (DEPKES RI, 2007).

Antipiretik adalah zat-zat yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuh (demam). (Tjay, dan

Kirana. 2010)

Adapun maksud percobaan adalah untuk mengetahui dan menetapkan kadar metampiron yang

terdapat dalam sediaan tablet metampiron secara Iodimetri.

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui dan menentukan kadar metampiron

dalam sediaan tablet metampiron secara Iodimetri.

Adapun prinsip dari percobaan ini adalah berdasarkan titrasi iodimetri sampel dititrasi dengan

menggunakan larutan iodide dan menentukan kadar metampiron dalam tablet metampiron.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tentang Golongan Obat Analgetik Antipiretik


Analgesik atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalang rasa

nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak

nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan.. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan,

yakni pada 44-45o C.

Antipiretik adalah zat-zat yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuh (demam). Pada

umumnya demam adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri. Bila suhu mencapai

40-41o C, barulah terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal, karena tidak terkendali oleh tubuh. (Tjay

Tan Hoam dan Kirana, 2010).

B. Uraian Tentang Metampiron

Nama IUPAC : METHAMPYRONUM

Nama Lain : Metampiron, antalgin

Rumus Kimia : C13H16N3NaO4S. H2O

R.Bangun :

Bobot Molekul : 351,37

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan

Kelarutan : Larut dalam air, larut dalam HCl 0,02 N

Khasiat : Analgetik, antipiretik, untuk macam-macam rasa sakit, pada kolik dan sakit setelah

operasi

Dosis : Dewasa 3 g

Anak 6-12 tahun 2 g

Anak 6 tahun 1 g

Pemberian : Diberikan secara oral

Farmalogi : Pada fase ini, antalgin mengalami proses absorbs, distribusi, metabolism, dan ekskresi

yang berjalan secara stimuli langsung.

C. Uraian Metode Penetapan Kadar Metampiron


Titrasi Iodimetri (Farmakope IV, Hal. 538)

Timbang secara seksama lebih kurang 200 mg, larutkan dalam 5 mL air. Tambahkan 5 mL

asam klorida 0,02 N dan segera titrasi dengan iodium 0,1 N menggunakan indikator kanji, dengan

sekali-kali dikocok hingga terjadi warna biru mantap selama 2 menit.

Metodologi praktikum

A. Desain Praktikum

Penelitian untuk menguji adanya kandungan Metampiron pada sediaan tablet yang ada disalah

satu apotik yang beredar di Makassar.

B. Waktu dan Tempat Praktikum

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia

Timur, Makassar 2013. Pada hari Senin, Tanggal 28 Januari 2013, Pukul 14.00 WITA.

C. Alat dan Bahan

1. Alat-Alat

Adapun alat yang digunakan adalah :

a. Batang pengaduk

b. Buret

c. Corong gelas

d. Erlenmeyer

e. Gelas kimia

f. Gelas ukur

g. Kompor listrik

h. Labu ukur

i. Lap halus/lap kasar

j. Lumpang

k. Pipet tetes

l. Stamper

m. Sendok tanduk

n. Statif
o. Timbangan analitik

2. Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan :

a. Aquadest

b. Asam klorida 0,02 N

c. Indikator kanji 0,5 %b/v

d. Iodium 0,1 N

e. Metampiron

f. Kertas perkamen

D. Metode Kerja

1. Pengolahan Samprel

Sampel diambil secara acak dari salah satu Apotik yang beredar di wilayah Makassar, lalu

ditimbang pertablet sebanyak 10 tablet lalu digerus sampai halus.

2. Pembuatan larutan baku

a. Pembuatan Iodium 0,1 N

Ditimbang iodium sebanyak 1,4 g dan KI sebanyak 3,6 g, dimasukkan ke dalam gelas kimia,

dilarutkan dengan aquadest 100 mL. Ditambahkan 3 tetes HCl P dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 1000 mL.

b. Pembuatan Kanji 0,5% b/v

Ditimbang kanji sebanyak 500 mg, lalu dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 mL dalam

gelas kimia. Dipanaskan larutan tersebut dengan kompor listrik sampai selama ± 3 menit.

3. Prosedur Kerja

Ditimbang seksama 200 mg zat dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditamabahkan 5 mL

aquadest dan 5 mL asam klorida 0,01 n lalu dikocok hingga larut dan homogen dititrasi dengan

iodium 0,1 N menggunakan indikator kanji dengan sesekali dikocok hingga terjadi warna biru

mantap selama 2 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tabel Pengamatan
Pembacaan

Volume skala buret Volume Rata-

Rep sampel Titik Titik titrasi rata

(mg) awal akhir (ml) (ml)

(ml) (ml)

1. 200 0 20,7 20,7

2. 200 29.7 40,3 20,7


20
3. 200 0 19,7 20,7

B. Reaksi

C. Perhitungan

Kadar metampiron (etiket) = 500 mg

Kadar pada FI = 400 mg

Bobot rata-rata pertablet = 6,03 mg

B.ditimbang= x kadar FI

= x 400 mg

= 482,4 mg

Dit : %K = … ?

Peny : BM Metampiron =351,37

Konsentrasi =0,1 N

Mgrek =351,37x0,1

=35,13 mg

1 mL I2 ≈ metampiron 35,13 mg

1. Untuk volume titrasi 20,1 mL

maka

20,1 mL I2 0,1 N ≈ Metampiron ?

mg kadar titrasi = mL I2 x kadar

= 20,7 x 35,13

= 727,3359 mg
Bobot/tabet = x 6,03 mg

= 909,169 mg

Kadar/tablet = x 100 %

= x 100 %

= 181,83%

2. Untuk volume titrasi 20,1 mL

maka

20,1 mL I2 0,1 N ≈ Metampiron ?

mg kadar titrasi = mL I2 x kadar

= 19,6 x 35,13

= 688,6852 mg

Bobot/tabet = x 6,03 mg

= 860,8565 mg

Kadar/tablet = x 100 %

= x 100 %

= 172,17%

3. Untuk volume titrasi 20,1 mL

maka

20,1 mL I2 0,1 N ≈ Metampiron ?

mg kadar titrasi = mL I2 x kadar

= 19,7 x 35,13

= 692,1989 mg

Bobot/tabet = x 6,03 mg

= 861,248 mg

Kadar/tablet = x 100 %

= x 100 %

= 173,05%
%k rata-rata =

= 175,68%

D. Pembahasan

Pada percobaan ini, sebelum melakukan titrasi terlebih dahulu larutan sampel metampiron

ditambahkan dengan larutan asam klorida 0,02 N. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan

keasamaan metampiron sehingga dapat dititrasi.

Dari hasil percobaan diperoleh volume titrasi rata-rata adalah 20 mL. Dengan % K rata-rata

175,68%.

Dari hasil perhitungan diperoleh % K Metampiron adalah 175,68%. Hasil ini tidak sesuai dengan

literatur pada Farmakope Edisi III yakni tidak kurang dari 99 % dan tidak lebih dari 101,0 %.

KESIMPULAN

Dari hasil percobaan penetapan kadar Metampiron dalam tablet, dapat diambil kesimpulan

bahwa volume titrasi rata-rata yaitu 20 ml dengan %k metampiron 175,68%, dimana kadar masing-

masing Erlenmeyer 1 sampai 3 adalah 181,83%, 172,171%, dan 173,05%, dimana kadar tersebut tidak

sesuai dengan syarat yang tertera pada FI Edisi III, yaitu tidak kurang dari 99 % dan tidak lebih dari 101,0

DAFTAR PUSTAKA

Donald C. 2009. “Intisari Kimia Farmasi”. EGC ; Jakarta

DEPKES RI. 1979. “Farmakope Indonesia Edisi III”. DIRJEN POM ; Jakarta

DEPKES RI. 1995. “Farmakope Indonesia Edisi IV”. DIRJEN POM ; Jakarta

DEPKES RI. 2007. “Farmakologi”. Pusdikarsi ; Jakarta

DEPKES RI. “Pelayanan Informasi Obat”. DIRJEN POM ; Jakarta

Sulistia, G, Ganiswara. 2009. “Farmakologi dan Terapi Edisi V”. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia ; Jakarta

Tan, Hoan Tjay dan Kirana Rahardja. 2007. “Obat-Obat Penting”. Elex Media ; Jakarta
Analisis Kadar Parasetamol Dalam Tablet
dengan Metode Spektrofluorometri

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Panas tinggi atau demam adalah suatu kondisi saat suhu badan lebih tinggi daripada biasanya
atau diatas suhu normal. Umumnya terjadi ketika seseorang mengalami gangguan kesehatan.
Suhu normal manusia berkisar antara 36-370 C. Demam merupakan bentuk pertahanan tubuh
terhadap serangan penyakit dengan mengeluarkan zat antibodi. Pengeluaran zat antibodi yang
lebih banyak daripada biasanya ini diikuti dengan naiknya suhu (Widjaja, 2001).
Parasetamol atau asetaminofen adalah obat yang dapat digunakan untuk meredakan
demam. Selain itu Parasetamol juga dapat digunaan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal
dan sakit ringan. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu.
Parasetamol aman dan dapat memberikan efek bila diberikan dalam dosis standar, tetapi karena
mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Dalam rangka mengetahui berapa kadar suatu obat khususnya dalam kasus ini adalah
Parasetamol dapat digunakan berbagai macam metode. Salah satu metode yang dapat digunakan
adalah spektrofluorometri, yaitu dengan mereaksikan Parasetamol dengan oxidizing agent
terlebih dahulu untuk membentuk senyawa rigid yang dapat dibaca pada spektrofluorometer.
B. Permasalahan
Permasalahannya adalah apakah kadar zat aktif Parasetamol yang terkandung dalam
sediaan tablet telah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Farmakope Indonesia (FI) Edisi
IV Tahun 1995 yaitu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk megetahui kadar zat aktif Parasetamol dalam sediaan tablet
2. Untuk megetahui metode yang digunakan dalam penetapan kadar zat aktif Parasetamol
dalam sediaan tablet secara laboratorium.
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi tentang kadar zat aktif Parasetamol dalam sediaan tablet.
2. Memberikan informasi tentang apakah zat aktif Parasetamol yang terkandung dalam sediaan
tablet telah memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi IV Tahun
1995yaotu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.
3. Memberikan informasi tentang metode yang digunakan dalam penetapan kadar zat aktif
Parasetamol dalam sediaan tablet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Parasetamol
Acetaminophen atau Parasetamol adalah obat analgetik dan antipiretik yang digunakan
untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal atau sakit ringan dan demam. Parasetamol
digunakan dalam sebagian resep obat analgetik selesma dan flu. Berbeda dengan obat analgetik
yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parastamol tidak memiliki sifat antiradang.
Parasetamol merupakan derivate dari asetanilida yang efek enalgetiknnya dapat diperkuat
dengan koffein dengan kira-kira 50% dan codein. Overdose dapat menimbulkan antara lain mual,
muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat
penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya 8-10 jam setelah
intoksikasi. Penggunaan parasetamol dalam dosis besar dan dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan pada hati, untuk itu parasetamol dikontraindikasikan untuk pasien
dengan gangguan fungsi hati berat. Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman,
juga selama laktasi walaupun mencapai susu ibu. Interaksi dengan dosis tinggi memperkuat efek
antikoagulansia dan pada dosis biasa tidak interaktif ( Tjay, 2000).
Cara kerja parasetamol sebagai analgetik dengan meningkatkan ambang rangsang rasa
sakit pada prostalglandin. Cara kerja parasetamol sebagai antipiretik diduga bekerja langsung
pada pusat pengatur panas di hipotalamus.
Parasetamol merupakan obat yang sangat aman, tetapi bukan berarti tidak berbahaya.
Sejumlah besar parasetamol akan melebihi kapasitas kerja hati, sehingga hati tidak dapat
menguraikannya menjadi bahan yang tidak berbahaya. Akibatnya, terbentuk suatu zat racun yang
dapat merusak hati. Keracunan parasetamol pada anak-anak yang belum mencapai masa puber
jarang berakibat fatal. Pada anak-anak yang berumur lebih dari 12 tahun overdosis
acetaminophen dapat menyebabkan kerusakan hati.

Nomenclature :
Nama Latin : Acetaminophen
INN : Paracetamol
Nama Kimia : N-(-4-hydroxyphenyl)ethanamide
N-acetyl-para aminophenol
Rumus Kimia : C8H9NO2
Bobot Molekul: 151,2
Bentuk Fisik : serbuk Kristal putih tidak berbau
Kelarutan : 1 bagian larut dalam 70 bagian air
B. Spektrofluorometri
Ada dua peristiwa fotoluminesensi, yaitu fluoresensi dan fosforisensi. Pada fluoresensi,
pemancaran kembali sinar oleh melokul yang telah menyerap energi sinar terjadi dalam waktu
yang sangat singkat setelah penyerapan (10-8 detik). Jika penyinaran kemudian dihentikan,
pemancaran kembali oleh molekul tersebut juga berhenti. Fluoresensi berasal dari transisi antara
tingkat-tingkat energi elektronik singlet dalam suatu molekul.
Banyak senyawa kimia yang mempunyai sifat fotoluminesensi, artinya senyawa kimia
tersebut dapat dieksitasi oleh cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar yang panjang
gelombangnya sama atau berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang gelombang
eksitasi).
Variable-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosforesensi yaitu :
1. Hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield)
Merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara jumlah molekul yang
berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi. Besarnya quantum (ɸ)
adalah : 0 ≤ ɸ ≤ 1. Nilai ɸ diharapkan adlah mendekati 1, yang berarti efisiensi
fluoresensi sangat tinggi.
2. Pengaruh kekakuan struktur
Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur yang kaku
(rigid). Contoh fluoren yang memiliki efisiensi kuantum (ɸ) yang besar (mendekati 1)
karena adanya gugus metilen, dibandingkan dengan binefil yang memiliki efisiensi
kuantum yang lebih kecil (sekitar 0,2).
3. Pengaruh suhu
Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini
disebabkan pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul atau tabrakan
molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada peristiwa tabrakan,
kelebihan energy molekul yang tereksitasi dilepaskan ke molekup pelarut.jadi semakin
tinggi suhu maka terjadinya konversi ke luar besar, akibatnya efisiensi kuantum
berkurang.
4. Pengaruh pelarut
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi,
yaitu:
a. Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar.
b. Jika pelarut mengandung logam berat (Br, I atau senyawa lain), maka interaksi
antara gerakan spin dengan gerakan orbital elektron-elektron ikatan lebih banyak
terjadi dan hal tersebut dapat memperbesar laju lintasan antara sistem atau
mempermudah pembentukan triplet sehinga kebolehjadian fluorosensi lebih kecil,
sedangkan kebolehjadian fosforesensi menjadi lebih besar
5. Pengaruh ph
a. pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak
terionisasi. Sifat fluorosensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol
dalam suasana asam akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang
gelombang antara 285-365 nm dan nilai ε = 18 M-1 cm-1 , sementara jika dalam
suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk ion fenolat yang
mempunyai panjang gelombang antara 310-400 nm dan ε = 10 M-1 cm-1 .
6. Pengaruh oksigen terlarut
Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced oxidation).
Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau quenching. Molekul
oksigen bersifat paramagnetik, dan molekul yang bersifat seperti ini dapat mempengaruhi
dan mempermudah lintasan antara sistem sehingga memperkecil kemungkinan
fluorosensi, sebaliknya memperbesar kebolehjadian fosforesensi.
7. Pemadaman sendiri dan penyerapan sendiri
Pemadaman sendiri di sebabakan oleh tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu
sendiri. Tabrakan-tabrakan itu menyebabkan energi yang tadinya akan dilepaskan sebagai
sinar fluorosensi ditransfer ke molekul lain, akibatnya intensitas berkurang. Salah satu
proses pemadaman sendiri dapat ditulis sebagai berikut:
Molekul analit tereksitas + pemadaman menjadi molekul analit berkeadaan dasar +
pemadam+ energi

Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi. Jika
konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang mengenai
sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh
bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh karena itu, fluoresensi sampel yang
berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidakakan proporsional dengan konsentrasi senyawa.
Karena kejadian seperti ini tidak diinginkan untuk tujuan analisis kuantitatif, maka konsentrasi
larutan yang berfluoresensi harus dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah terjadinya
penyerapan radiasi yang tidak seragam ini.
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga
akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi elektromagnetik.
Senyawa-senyawa yang mempunyai ikan rangkap terkonjugasi ini merupakan calon senyawa
yang mampu berfluoresensi. Modifikasi struktur terhadap senyawa-senyawa ini dapat
menurunkan atau meningkatkan intensitas fluoresensi, tergantung pada sifat dan letak gugus
substituen.
Gugus-gugus yang memberikan elektron (elektron donating groups) seperti gugus
hidroksil, aminoatau metoksi yang terikat secara langsung pada sistem ikatan п dapat
memfasilitasi terjadinya proses fluoresensi. Gugus-gugus yang menarik elektron (elektron
withdrawing groups) seperti nitro, bromo, iodo, siano, atau karboksil cenderung mengurangi
intensitas fluoresensi. Untuk obat-obat yang mempunyai gugus fungsional yang dapat terionisasi
yang terikat pada siste konjugasi, pemilihan ph dapat mempengaruhi sensitifitas dan selektifitas
pengujian. Dalam kasus senyawa fenol, ionisasi menjadi anion fenolat biasanya mendorong
fluoresensi; sementara itu perubahan amin aromatis menjadi kation amonium aromatis
menghambat proses fluoresensi.
Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu sistem menyebabkan
peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam sistem struktur aromatis heterosiklik, yakni suatu
struktur aromatisnyang mengandung gugus N, S, dan O. Intensitas fluoresensi senyawa
heterosiklis yang mengandung gugus –NH seringkali meningkat pada ph asam yang mana gugus
nitrogen mengalami protonasi.
Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara interinsik, maka senyawa tersebut harus
dirubah menjadi senyawa yang berfluoresen untuk dapat dianalisis. salah satu pendekatan yang
telah sukses digunakan untuk merupah senyawa menjadi berfluoresen adalah dengan metode
induksi kimia seperti radiasi dengan UV, hidrolisis, dan dengan dehidrasi menggunakan asam
kuat. metode lain adalah dengan pengkoplingan atau penggabungan reaksi antara molekul obat
denagan reagen fluorometrik yang sesuai membentuk senyawa berfluoresensi yang disebut
dengan fluorofor. reaksi yang meningkatkan intensitas fluoresensi juga meningkatkan
perpanjangan sistem elektron п atau kekakuan(rigiditas) molekul yang berarti juga meningkatkan
planaritas struktur. prosedur- prosedur yang menhasilkan fluorofor jga dapat memberikan
peningkatan sensitifitas dan spesifisitas metode pengujian dengan menggeser panjang gelombang
eksitasi dan emisi ke panjang gelombang yang lebih panjang sehingga gangguan-gangguan dari
senyawa lain menjadi minimal atau hilang sama sekali..
Metode kedua yang digunakan untuk menguah obat yang tdak berfluoresensi atau
metabolitnya menjadi senyawa yang berfluoresensi (fluorofor) adalah metode pengkoplingan
atau penggabungan gugus fungsional molekul organik tertentu dengan reagen fluoresen. diantara
reagen-reagen yang sangat popular yang tersedia di pasaran adalah fluoresamin, o-ftalaldehid,
dansil klorida dan NBD klorida.
Kerugian metode pembentukan fluorofor dengan pengoplingan adalah: (1) Spesifitasnya
masih kalah bagus jika dibandingkan dengan metode induksi kimia,(2) Adanya fluoresensi dasar
(background) yang tinggi yang disebabkan oleh reagen yang tidak ikut bereaksi, (3) Beberapa
tahap pemisahan terhadap kelebihan reagen biasanya di perlukan sebelum dilakukan pengukuran,
dan (4) Ketersedian reagen untuk gugus fungsional tertentu biasanya terbatas.
Metode-metode yang melibatkan pembentukan fluorofor yang mengandung ion-ion
anorganik juga menarik terutama untuk analisis sekelumit (trace analysis) ion tertentu.
Prosedurnya ada 2 kategori, kategori pertama melibatkan pembentukan khelat berfluoresensi
antara ion dengan senyawa organik dilanjutkan dengan pengukuran emisinya. Metode ini
bermanfaat untuk ion-ion logam non transisi yang mana kurang begitu kompetitif dengan proses
fluoresensi dalam keadaan tereksitasi. Kategori ke dua pada umumnya digunakan untuk analisis
anion. Penurunan intensitas fluoresensi diamati sebagai peningkatan kuantitas anion yang
ditambahkan. Efek ini disebabkan oleh pengaruh pemadaman (quenching) ion-ion organik pada
emisi fluoresensi senyawa organik.
Fosforisensi lebih di sukai terjadi pada eksitasi elektronyang tidak berpasangan (non-
bonding elektron, n). Dan juga, adanya substitusi pada struktur molekul dengan halogen, logam
berat, dan gugus-gugus nitro (terutama yang dekat dengan elektron yang tereksitasi) akan
meningkatkan fosforisensi. Hal ini disebabkan adanya gugus-gugus fungsional tersebut yang
dapat mendorong transisi elektron dari keadaan tereksitasi singlet ke keadaan tereksitasi triplet
yang merupakan syarat untuk teramatinya fosforisensi.
Ada tiga keuntungan analisis fluorometri dan foforimetri dibandingkan dengan
spektrofotometri absorbsi yaitu:
1. fluorometri lebih peka
2. fluorometri lebih selektif
3. pada fluorometri gangguan spektral dapat dikurangi dengan cara merubah panjang
gelombang eksitasi atau emisi.
C. Tablet
Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung
pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau
lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat
pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok (
menurut FI III). Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan
pengisi. Berdasarkan metode pembuatan dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet
kempa (menurut FI IV).
Suatu tablet harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Harus mengandung zat aktif dan non aktif yang memenuhi persyaratan
2. Harus mengandung zat aktif yang homogen dan stabil
3. Keadaan fisik harus cukup kuat terhadap gangguan fisik/mekanik
4. Keseragaman bobot dan penampilan harus memenuhi persyaratan
5. Waktu hancur dan laju disolusi harus memenuhi persyaratan
6. Harus stabil terhadap udara dan suhu lingkungan
7. Bebas dari kerusakan fisik
8. Stabilitas kimiawi dan fisik cukup lama selama penyimpanan
9. Zat aktif harus dapat dilepaskan secara homogen dalam waktu tertentu;
10. Tablet memenuhi persayaratan Farmakope yang berlaku.
Komponen tablet yaitu :
1. Zat aktif
2. Zat tambahan (eksipien)
a. Bahan pengisi (dilluent/filler)
b. Bahan pengikat (binders)
c. Bahan penghancur (disintegrants)
d. Bahan pelican (anti frictional agents)
 Lubricants
 Glidants
 Anti adherent
Beberapa metode granulasi adalah sebagai berikut :
1. Granulasi basah
2. Granulasi kering
3. Kempa langsung
Cara Kerja Skematis Pembuatan Tablet:

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Alat
Alat yang digunakan dalam peneltian ini adalah Spektrofluorometer Shimadzu, kompor
listrik, kertas saring, gelas ukur, pipet volume, pipet ukur, mikro pipet, labu ukur, timbangan
digital, tabung reaksi, termometer, corong, cawan petri, alat uji dissolusi.
B. Bahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah hasil proses pencampuran
pembuatan tablet paracatamol, tablet parasetamol, baku pembanding BPFI, NaOCl,
Aq.bidestilata, Na2CO3, H3BO3, kertas pH,
C. Prosedur percobaan
Pembuatan larutan baku : larutan baku dibuat dari baku Parasetamol 1,mm mg/mL dibuat
menkadi kurva baku ( 0,1; 0,2; 0,4 dan 0,8 µg/mL)
Larutan NaOCl : dari standar 70,0 g/L dibuat NaOCl dengan konsentrasi 0,01 M dengan
aqua demineralisata
Larutan Buffer : 0,4 M Na2CO3 + 0,4 M H3BO3
dibuat dengan melarutkan 2,12 g Na2CO3 dalam aqua demineralisata ad 50,0 dan 1,24 g
H3BO3 yang dilarutkan dalam aqua demineralisata ad 50,0mL.
IPC (In Process Control)
a. Penentuan homogenitas campuran
1. Semua bahan di masukkan dalam mixer
2. Mixer digerakkan dengan kecepatan 100 RPM
3. Pada masing-masing waktu pengambilan sampel, sampel diambil dari dalam mixer dari
tiap bagian mixer (5 tempat)
4. Waktu pengambilan cuplikan 8 menit.
5. Sampel yang diambil masing-masing tempat sebesar 100 mg.
6. Sampel dilarutkan dengan NaOH ad pH 10
7. Ditambahkan aqudest ad 10,0 mL, gojok ad homogeny
8. Kemudian dilakukan pengenceran sampai 5000 kali.
9. Ambil 1,00 mL + 2,00 mL dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,5 mL NaOCl, kocok
10. Dipanaskan pada suhu 800 C selama 2 menit.
11. Didinginkan dengan aq.dest ad 10,0 mL
12. Dibaca dengan spektrofluorometer dengan panjang gelombang eksitasi = 335nm, panjang
gelombang emisi = 427 nm
13. Ditentukan homogenitas campuran berdasarkan nilai CV
b. Disolusi tablet parasetamol
1. Satu tablet parasetamol dimasukkan dalam medium disolusi yaitu 900,0 mL yaitu
aquadest.
2. Pengaduk diputar dengan kecepatan 50 RPM
3. Sampel diambil dari medium pada waktu 8 menit sebanyak 10,0 mL
4. Dari sampel diambil 1,00 mL dan dilakukan pengenceran 200 kali
5. Ambil 1,00 mL + 2,00 mL dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,5 mL NaOCl, kocok
6. Dipanaskan pada suhu 800 C selama 2 menit.
7. Didinginkan dengan aq.dest ad 10,0 mL
8. Dibaca dengan spektrofluorometer dengan panjang gelombang eksitasi = 335nm,
panjang gelombang emisi = 427 nm
c. Penetapan kandungan zat aktif
1. Timbang dan serbukkan tidak kurang dari 20 tablet.
1. Timbang seksama sejumlah serbuk tablet setara dg ± 100 mg PCT
2. Tambahkan NaOH ad pH 10
3. Tambahkan aq.dest ad 10,0 mL, gojok ad homogen
4. Kemudian dilakukan pengenceran sampai 5000 kali
5. Ambil 1,00 mL + 2,00 mL dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,50 mL NaOCl kocok
6. Panaskan sampai suhu 800 C
7. Dinginkan dengan aq.dest ad 10,0 mL
8. Dibaca dengan spektrofluorometer dengan panjang gelombang eksitasi = 335nm,
panjang gelombang emisi = 427 nm

Anda mungkin juga menyukai