Anda di halaman 1dari 14

PENGOLAHAN LIMBAH KEGIATAN PENAMBANGAN BATUBARA

MENGGUNAKAN BIOKOAGULAN : STUDI PENURUNAN KADAR


TSS, TOTAL Fe DAN TOTAL Mn MENGGUNAKAN BIJI KELOR
ABSTRAK:

Salah satu alternatif pengolahan air limbah kegiatan penambangan batubara adalah dengan
menggunakan biji kelor (Moringa oleifera) sebagai biokoagulan. Protein dan logam alkali kuat yang
terkandung dalam biji kelor (Moringa oleifera) dapat bersifat sebagai poliektrolit dan kutub positif yang
dapat mengikat koloid dalam air buangan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis optimum dan
efektifitas biji kelor dalam menurunkan TSS, total Fe dan total Mn pada kondisi aktual terhadap perbedaan
karakteristik air limbah kegiatan penambangan batubara dengan menggunakan jartest. Hasil penelitian
menunjukkan dari tiga sumber air limbah yang berbeda (sampel A, sampel B dan sampel C), terjadi
penurunan TSS sebesar 99,93%, total Fe 99,71% dan total Mn 10,84% dengan dosis optimum 1,50 gr/L
untuk sampel A, kemudian penurunan TSS sebesar 91,52%, total Fe 85,47% dan total Mn 0,53% dengan
dosis optimum 0,50 gr/L untuk sampel B dan penurunan TSS sebesar 99,29%, total Fe 99,43% dan total
Mn 50,54% dengan dosis optimum 1,25 gr/L untuk sampel C. Perbedaan karakterisik sumber air limbah
dan sifat polutan yang terkandung akan mempengaruhi kinerja biji kelor (Moringa oleifera). Kata kunci :
Moringa oleifera, karakteristik sampel, koagulasi, dosis optimum. PENDAHULUAN Air limbah usaha dan
atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan batu bara
yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang
bawah tanah. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau
jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah batu bara yang akan dibuang
atau dilepas ke air permukaan. Parameter yang dimonitoring pada air limbah kegiatan penambangan
batubara adalah TSS, total Fe dan total Mn (KepMenLH no.113/2003). Penelitian sebelumnya mengenai
pemanfaatan biji kelor (Moringa oleifera) sebagai biokoagulan menunjukkan bahwa biji kelor (Moringa
oleifera) mampu menurunkan kekeruhan, kadar logam berat dan jumlah bakteri pada pengolahan air
limbah maupun air bersih. Berdasarkan hasil Studi Eksplorasi Tentang Bahan Koagulan Alami Dari
TumbuhTumbuhan Dan Efeknya Terhadap Kandungan Bakteri Coli, biji kelor (Moringa oleifera) dapat
mereduksi bakteri Coli sekitar 28% (Juli, N., Suria, W., Birsyam, I., 1986). Penelitian M. Hindun Pulungan
mengenai pamanfaatan biji kelor (Moringa oleifera) untuk menjernihkan air limbah, menunjukkan
penurunan turbiditas dari limbah tahu sebesar 72,21% (Pulungan, H., 2007). Selain itu serbuk biji kelor
(Moringa oleifera) juga memiliki efektifitas 99,529% untuk menurunkan kadar ion Fe dan 99,355% untuk
Mn serta 99,868% kekeruhan dalam air (Srawaili, E. T., 2009). Kelebihan biji kelor (Moringa oleifera)
sebagai Biokoagulan dibanding koagulan kimia, yaitu mudah untuk dibudidayakan di lingkungan sekitar,
karena tanaman biji kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah dengan
ketinggian mulai dari pesisir laut sampai ke daerah dataran tinggi. Penelitian mengenai penggunaan
biokoagulan ini merupakan kajian terhadap dosis optimum dan efektifitas koagulan tersebut dalam
mereduksi polutan (TSS, Total Fe, dan Total Mn) pada air limbah kegiatan penambangan batubara.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam pemilihan koagulan yang tepat
dalam Jurnal PRESIPITASI Vol. 7 No.2 September 2010, ISSN 1907-187X 58 pengolahan air limbah kegiatan
penambangan batubara dan salah sebagai satu masukan pada pemilihan alternatif tanaman untuk
reklamasi lahan bekas penambangan. Dengan pengolahan limbah yang tepat, selain pencemaran
lingkungan akibat air limbah kegiatan penambangan batubara dapat dicegah, tanaman kelor (Moringa
oleiera) yang dibudidayakan pada lahan bekas penambangan maupun lingkungan sekitar tambang, dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk pengolahan air lainnya. Hal ini dapat menjadi menjadi
salah satu nilai tambah perusahaan tambang dalam menerapkan coorperate social responsibility (CSR)
dan sistem manajemen lingkungan. METODOLOGI Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah air
limbah kegiatan penambangan batubara yang berasal dari daerah tambang PT. Kaltim Prima Coal. Uji
pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik (pH, DO, Turbidity, TDS, TSS, Total Fe dan Total
Mn) pada sampel air limbah kegiatan penambangan batubara. Setelah diketahui kadar awal TSS, Total Fe
dan Total Mn pada air limbah kegiatan penambangan batubara, selanjutnya dilakukan uji kinerja koagulan
dengan menggunakan jartest (rapid mix : 200 rpm selama 30 detik, slow mix : 30 rpm selama 10 menit
dan settling selama 30 menit). Melalui uji kinerja koagulan ini diharapkan dapat diketahuinya dosis
optimum dan efektifitas biji kelor (Moringa oleifera) sebagai koagulan dalam menurunkan TSS, Total Fe
dan Total Mn pada air limbah kegiatan penambangan batubara. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik
Sampel Air LimbahKegiatan Penambangan Batubara Sampel yang digunakan merupakan air limbah
kegiatan penambangan batubara yang berasal dari daerah tambang PT. Kaltim Prima Coal. Sampel diambil
secara grab pada inlet kolam pengendap. Berikut ini merupakan Tabel 1 mengenai hasil analisis
karakteristik sampel. Tabel 1. Karakterisik Sampel No. Lokasi Sampel pH TSS (mg/L) TDS (mg/L) DO (mg/L)
1 A 6,59 2780 256 5,1 2 B 3,64 171 1100 4,8 3 C 7,43 986 103,3 4,2 2. Dosis Optimum dan Efektifitas Biji
Kelor (Moringa oleifera) pada kondisi aktual dalam menurunkan TSS, Total Fe dan Total Mn 1. Sampel A
Untuk mengetahui dosis optimum pada sampel A, dapat diketahui melalui grafik hubungan variasi dosis
biji kelor terhadap TSS, total Fe dan total Mn di bawah ini. Gambar 1. Grafik Hubungan Variasi Dosis Biji
Kelor Terhadap TSS, Total Fe dan Total Mn (Sampel A) Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui
bahwa secara keseluruhan setelah penambahan biji kelor untuk sampel A, TSS, total Fe dan total Mn
menunjukkan penurunan. Pada sampel A, TSS dan total Fe menunjukkan penurunan yang lebih besar dari
pada total Mn. Perbedaan kuantitas dan sifat logam Fe dan Mn kemungkinan dapat berpengaruh pada
penurunan tersebut. Dosis optimum penurunan TSS, total Fe dan total Mn pada sampel A untuk kondisi
aktual pH 6,59 adalah berkisar antara 1,00 gr/L - 1,50 gr/L. Namun untuk penerapan di lapangan, dosis
yang dipilih adalah 1,50 gr/L, karena dari tiga parameter yang dianalisis pada dosis tersebut penurunan
TSS dan total Fe menunjukkan penurunan yang paling besar. Selain itu penurunan TSS dapat diketahui
secara visual. karena TSS biasanya akan sebanding dengan kekeruhan (turbidity). Efektifitas pada dosis
optimum untuk sampel A dalam penurunan TSS adalah 99,93%, total Fe 99,71% dan total Mn 10,84%.
Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa ketika dosis kelor ditambahkan melebihi dosis optimum,
kemampuan penyisihan Fe justru akan menurun. Hal ini disebabkan oleh telah terlampauinya konsentrasi
optimum protein tersebut untuk mengikat koloid dan ion logam Nugeraha, Sri Sumiyati, Ganjar Samudro
Pengolahan Air Limbah Kegiatan Penambangan Batubara Menggunakan Biokoagulan 59 (Darmono, 1995).
Oleh karena itu penambahan dosis yang berlebih tidaklah memperbaiki kinerja suatu koagulan. Biji kelor
mengandung suatu zat aktif 4α- 4r- rhamnosyloxy- benzyl- isothiocyanate yang berfungsi sebagai protein
kationik. Zat aktif ini dapat membantu menurunkan gaya tolakmenolak antara partikel koloid dalam air.
Prinsip utama mekanismenya adalah adsorbs dan netralisasi tegangan protein tersebut. Ionion logam
yang terlarut akan diadsorbsi oleh biji kelor sedangkan koloid yang terbentuk akan terjadi netralisasi
muatan oleh protein yang terkandung dalam kelor tersebut (Adfa dkk, 2006). 2. Sampel B Untuk
mengetahui dosis optimum pada sampel B secara keseluruhan, dapat diketahui melalui grafik hubungan
variasi dosis biji kelor terhadap TSS, total Fe dan total Mn di berikut ini : Gambar 2. Grafik Hubungan
Variasi Dosis Biji Kelor Terhadap TSS, Total Fe dan Total Mn (Sampel B) Gambar di atas merupakan grafik
hubungan variasi dosis biji kelor terhadap TSS, total Fe dan total Mn (sampel B). Berdasarkan gambar 5.8
dapat ketahui bahwa TSS, total Fe dan total Mn menunjukkan penurunan setelah penambahan biji kelor.
grafik tersebut menunjukkan dosis optimum untuk setiap parameter terjadi pada dosis yang berbeda.
Dosis optimum TSS, total Fe dan total Mn diperoleh masing-masing pada dosis 0,50 gr/L, 1,75 gr/L dan
1,25 gr/L. Dapat dilihat pada grafik, untuk dosis 1,25 gr/L terjadi persilangan antara grafik TSS dan total
Fe, selain itu pada dosis tersebut total Mn juga menunjukkan penurunan terbesar. Persilangan pada grafik
tersebut berarti jika dosis biji kelor yang ditambahkan melebihi dari titik tersebut maka penurunan TSS
akan berkurang sedangkan penurunan total Fe justru akan semakin besar. Untuk penerapan dilapangan,
dosis yang optimum yang digunakan adalah 0,50 gr/L. Pada dosis tersebut TSS menunjukkan penurunan
yang terbesar setelah ditambahkan biji kelor. Efektifitas pada dosis optimum untuk sampel B dalam
penurunan TSS adalah 99,29%, total Fe 99,43% dan total Mn 50,54%. Penurunan TSS juga dapat diketahui
secara visual dengan berkurangnya kekeruhan pada sampel. Partikel yang disisihkan oleh biji kelor
merupakan partikel yang berbentuk koloid. Logam Fe dan Mn memiliki sifat yang bebeda, tidak semua
dari logam tersebut akan membentuk koloid dalam air. Hal tersebut akan behubungan dengan
karakteristik sampel. 3. Sampel C Untuk mengetahui dosis optimum pada sampel C secara keseluruhan,
dapat diketahui melalui grafik hubungan variasi dosis biji kelor terhadap TSS, total Fe dan total Mn di
bawah ini. Gambar 3. Grafik Hubungan Variasi Dosis Biji Kelor Terhadap TSS, Total Fe dan Total Mn
(Sampel C) Gambar di atas merupakan grafik hubungan variasi dosis biji kelor terhadap TSS, total Fe dan
total Mn. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa penambahan biji kelor pada sampel C menunjukkan
penurunan terhadap TSS, total Fe dan total Mn. Dosis optimum pada sampel C berkisar antara 1,00 gr/L -
1,25 gr/L. Penurunan optimum total Mn terjadi pada dosis 1,00 gr/L sedangkan untuk TSS dan total Fe
terjadi pada dosis 1,25 gr/L. Untuk penerapan di lapangan, dosis yang dipilih adalah 1,25 gr/L, karena dari
tiga Jurnal PRESIPITASI Vol. 7 No.2 September 2010, ISSN 1907-187X 60 parameter yang dianalisis pada
dosis tersebut penurunan TSS dan total Fe menunjukkan penurunan yang paling besar. Selain itu
penurunan TSS dapat diketahui secara visual. karena TSS biasanya akan sebanding dengan kekeruhan
(turbidity). Efektifitas pada dosis optimum untuk sampel C dalam penurunan TSS adalah 99,29%, total Fe
99,43% dan total Mn 50,54% dengan dosis optimum 1,25 gr/L untuk sampel C 3. Perubahan pH Sampel
Setelah Ditambahkan Biji Kelor Setelah dilakukan penambahan biji kelor pada sampel, dilakukan
pengukuran akhir sampel. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan pH yang terjadi pada
masingmasing sampel. Berikut ini merupakan perubahan pH sampel A, B dan C setelah ditambahkan biji
kelor. Gambar 4. Perubahan pH Setelah Penambahan Biji Kelor Pada Sampel A Setelah dilakukan
penambahan biji kelor pada sampel A, sampel B dan Sampel C, pH menunjukkan perubahan. Untuk pH
pada sampel A dengan pH awal 6,59, pH berubah cenderung naik untuk masing dosis yang ditambahkan.
pH akhir sampel A berkisar antara 7,00 hingga 7,18. Gambar 5. Perubahan pH Setelah Penambahan Biji
Kelor Pada Sampel B Pada sampel B dari pH awal 3,64, setelah dilakukan penambahan biji kelor terjadi
perubahan pH yang cenderung tetap pada dosis 0,50 gr/L, kemudian turun pada dosis 0,75 gr/L dan 1,00
gr/L, dan meningkat pada dosis 1,25 gr/L – 1,75 gr/L. pH akhir sampel B terjadi pada kisaran 3,64 – 3,74.
Pada sampel B dari pH awal 3,64, setelah dilakukan penambahan biji kelor terjadi perubahan pH yang
cenderung tetap pada dosis 0,50 gr/L, kemudian turun pada dosis 0,75 gr/L dan 1,00 gr/L, dan meningkat
pada dosis 1,25 gr/L – 1,75 gr/L. pH akhir sampel B terjadi pada kisaran 3,64 – 3,74. Gambar 6. Perubahan
pH Setelah Penambahan Biji Kelor Pada Sampel C Untuk sampel C dari pH awal 7,43 setelah ditambahkan
biji kelor, pH akhir sampel cenderung turun seiring dengan peningkatan dosis biji kelor yang ditambahkan.
Kisaran pH akhir sampel C adalah 7,00 – 7,41. Secara keseluruhan setelah dilakukan penambahan biji kelor
pada sampel A, sampel B dan sampel C pH akhir cenderung berubah. Namun perubahan pH yang terjadi
tidak terlalu signifikan dan masih mendekati pH awal. pH yang tidak banyak dipengaruhi oleh dosis
pembubuhan koagulan biji kelor merupakan suatu kelebihan karena dapat dilakukan penghematan untuk
pembelian bahan kimia khususnya untuk kontrol pH setelah dilakukan proses koagulasi. Koagulan yang
berasal dari biji M. oleifera hanya mempengaruhi nilai pH sedikit saja jika dibandingkan dengan tawas dan
PAC. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan hasil temuan studi, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut: 1. Sampel A memiliki karakteristik pH 6,56, TSS 2780 mg/L, TDS 256 mg/L, Turbidity : 8830 NTU,
Total Fe 6,810 mg/L dan Total Mn 0,572 mg/L. Sampel B memiliki Nugeraha, Sri Sumiyati, Ganjar Samudro
Pengolahan Air Limbah Kegiatan Penambangan Batubara Menggunakan Biokoagulan 61
Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia (setelah Australia, 2006). Menurut Gautama
(2007) dalam Anonim (2010) untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah
peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4, dan emas peringkat ke-8 dunia.

Limbah Tambang Batubara

Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat merepresentasikan
produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun 2003
dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan batubara
Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam antara batubara kualitas rendah
seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%) serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit
(14%) (Asthary, 2008).

Sekitar 74% dari batubara Indonesia merupakan hasil penambangan perusahaan swasta. Satu-satunya
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Tambang Bukit Asam, menghasilkan sekitar 10 Mt (hanya 9% dari
total produksi batubara Indonesia pada tahun 2003) dari penambangan terbuka. Bila dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, serta PT Arutmin yang
dapat memproduksi batubara hingga di atas 10 Mt pada tahun yang sama. Perusahaan penambangan
batubara milik negara kalah produksi oleh perusahaan swasta.

Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber
kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah
tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai
perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat
seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau
melepaskan biji tanbang dari batu-batuan atau pasir seperti dalam pertambangan emas, para penambang
pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau
sungai dan lingkungan.

Pada pertambangan bawah (underground mining) kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan karena
adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih. Baik tambang dalam maupun
tambang terbuka menyebabkan terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S dari senyawa
pirit (Fe2S) menghasilkan air buangan bersifat asam (Acid Mine Drainage / Acid Rock Drainage) yang dapat
hanyut terbawa aliran permukaan pada saat hujan, dan masuk ke lahan pertanian di bagian hilir
pertambangan, sehingga menyebabkan kemasamam tanahnya lebih tinggi. Tanah dan air asam tambang
tersebut sangat masam dengan pH berkisar antara 2,5 – 3,5 yang berpotensi mencemari lahan pertanian.
Dampak Pertambangan Batubara

Pengolahan air Limbah Tambang Batubara

Pertambangan batubara menimbulkan kerusakan lingkungan baik aspek iklim mikro setempat dan tanah.
Kerusakan klimatis terjadi akibat hilangnya vegetasi sehingga menghilangkan fungsi hutan sebagai
pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen, pengatur suhu. Lahan
bekas tambang batubara juga mengalami kerusakan. Kerapatan tanah makin tinggi, porositas tanah
menurun dan drainase tanah, pH turun, kesedian unsur hara makro turun dan kelarutan mikro meningkat.
baik, dan mengandung sulfat. Lahan seperti ini tidak bisa ditanami. Bila tergenang air hujan berubah
menjadi rawa-rawa.

Salah satu daerah pertambangan batu bara yang cukup besar di Indonesia berada di Provinsi Kalimantan
Selatan. Bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, pertambangan batu bara di Provinsi
Kalimantan Selatan sangat merusak lingkungan dan lahan pertanian yang ada di provinsi tersebut,
terutama pertambangan yang dilakukan secara illegal. Selain menghasilkan asam tambang yang dapat
memasamkan tanah, penggalian tanah dan batu-batuan yang menutup lapisan batu bara dilakukan secara
tidak terkendali dan penumpukan hasil galian (overburden) tidak mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan pemerintah. Akibatnya lahan dengan tumpukan tanah dan batu-batuan eks pertambangan
sangat sulit untuk ditumbuhi vegetasi.

Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan batubara :

Lubang tambang. Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon raksasa atau kawah
bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak mungkin bisa direklamasi

Air Asam tambang: mengandung logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka
panjang

Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan seperti tembaga,
timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.

Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga mengandung logam
berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.

Polusi udara : akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk dan menyebabkan
infeksi saluran pernapasan. Menurut logika, udara kotor pasti mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan
polutan ikut andil dalam merangsang penyakit pernafasan seperti influensa, bronchitis dan pneumonia
serta penyakit kronis seperti asma dan bronchitis kronis.
Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah
dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) dalam Widyati (2010) pada lahan
bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada
pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan
tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro
kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam
Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada
lingkungan tersebut.

Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau
baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan
maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora
dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai yang
terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas
tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang
ada dapat mengganggu kesehatan manusia.

Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diijinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1,336
juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan bahkan luas total areal penambangan yang masih aktif dan
yang sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area daratan total) (Anonim,
2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil, kebanyakan kegiatan penambangan
menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan
usikan terhadap lansekap setempat; areal areal vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan
pemindahan lapisan atas tanah yang menutupi ‘cadangan mineral menghasilkan’ perubahan yang tegas
dalam topografi, hidrologi, dan kestabilan lansekap. Apabila pengelolaan lingkungan tidak efektif,
pengaruh lokal (on-site) ini dapat mengakibatkan usikan lanjutan di luar areal penambangan (off-site),
yang bersumber dari erosi air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan sisa yang
berasal dari pengolahan mineral. Pengaruh-pengaruh ini dapat pula meliputi sedimentasi sungai-sungai,
dan penurunan kualitas air akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur beracun
dalam air sungai tersebut.

Definisi Bioremediasi

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat


bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun
dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada
banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi,
strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak
beracun (Wikipedia, 2010).
Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah
dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau
mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan
air).

Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean
up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme
hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal,
2005).

Tambang BatubaraSejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk


mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan
yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan
dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat,
petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan
lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang
sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik
mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba
yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik.
Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang
terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan
pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak
berbahaya.

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam
mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah
bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya
ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis
lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi,
penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai
komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi
komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Jenis Bioremediasi

Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:

Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar
untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah
tersebut.

Bioaugmentasi

Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air
atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di
suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk
mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para
ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan
mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.

Bioremediasi Intrinsik

Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.

Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif untuk
mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan
itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut,
apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke
lingkungan.

Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD

Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine drainage (AMD). Teknologi yang
diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat
mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya
pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH
dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan
antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik
bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup
menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat
meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan
menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.

Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang
menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya
pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen dan
menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam
menangani AMD. Sebagai contoh PT. Bukit Asam Tbk menghambat kontak mineral-oksigen dengan
melapisi lahan bekas tambang dengan blue clay setebal 1-2 m sehingga biaya yang dikeluarkan untuk
kegiatan ini per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses AMD secara geokimia jauh lebih lambat
dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh BOS. Sehingga di PT. Bukit Asam masih terjadi AMD. Oleh
karena itu, pengendalian BOS adalah kunci untuk mengatasi AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof,
sehingga penambahan bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan
organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana
melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan
organik. Sebab bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai
sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat
logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang.
Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam
tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.

Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan

Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi, tembaga, timbal, seng, timah,
mangan. Sedangkan bahan galian nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona, borak,
asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan bangunan dan batuan ornamen
termasuk didalamnya slate, marmer, kapur, traprock, travertine, dan granite.

Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis,
sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang
menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting.

Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara. Pembakaran batu bara merupakan
metode pemanfaatan batu bara yang telah sekian lama dilakukan. Masalah yang muncul sebagai akibat
pembakaran langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur yang terdapat dalam batu bara
perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif bagi lingkungan.

Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan
sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang yang timbul akibat
pembakaran batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga dapat
menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil
pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan atau minuman yang dimasak atau
dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman,
serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan).

Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisika, kimiawi, dan biologis.
Penyingkiran sulfur secara biologis atau biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran sulfur dengan
menggunakan mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH, medium nutrisi, konsentrasi sel,
konsentrasi batu bara, ukuran partikel, komposisi medium, kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat
dan surfaktan, serta interaksi dengan mikroorganisme lain. Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut
adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.

Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah secara
mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan
kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans
memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak
mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi
teroksidasi.

Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Penanganan Air Asam Tambang

Teknologi bioremediasi dapat juga digunakan untuk mengatasi air asam tambang dan logam berat terlarut
terutama dari pertambangan batu bara. Teknologi tersebut mengandalkan aktivitas berbagai bakteri
pereduksi sulfat diantaranya Desulfotomaculum orientis ICBB 1204, Desulfotomaculum sp ICBB 8815 dan
ICBB 8818 yang mengubah sulfat dalam air asam tambang menjadi hidrogen sulfida dan kemudian
bereaksi dengan logam berat. Setelah reaksi belangsung pH (keasaman) air asam tambang yang mula-
mula berkisar dari 2 – 3 meningkat mendekati netral (6-7). Sementara logam berat yang terdapat air asam
tambang mengendap. Dari hasil penelitian Santosa (2009) selama sembilan (9) tahun diperoleh teknologi
yang mampu meningkatkan pH ke netral dan menurunkan konsentrasi berbagai logam berat diantaranya
Cr, Pb dan Cd. Teknologi ini efisien, karena hanya membutuhkan biaya 1/10 dari biaya penanganan air
asam konvensional.

Menurut Alexander (1977) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)
terdiri dari 2 genus, yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada kisaran pH 6
sampai netral, sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil (menyukai suhu
yang tinggi). Dari hasil penelitian lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi perlakuan
bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C) tidak
termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan
genus Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa
media Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang paling cocok untuk mengisolasi BPS dari
genus Desulfovibrio.

Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas
tambang batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara.
Peningkatan pH yang dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk mendukung
pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.

Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara


Umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas) atau kompos untuk
mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000 ton per hektar kompos atau top soil.
Metode konvensional ini kurang tepat diterapkan pada bekas lahan tambang yang luas. Pemanfaatan
sludge limbah industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan. Industri kertas menghasilkan 10 persen
sludge dari total pulp yang mengandung N dan P (Anonim, 2006a).

Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lebih efektif
dibandingkan perlakuan top soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam proses bioremediasi tanah bekas
tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan organik tanah (BOT) dan sumber inokulum bakteri
pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada bekas tambang batubara menimbulkan 2 proses yakni
perbaikan lingkungan (soil amendment) dan inokulasi mikroba yang efektif.

Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas tambang batubara mampu menurunkan
ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48 persen, Zn 78 persen dan Cu 63 persen. BPS mampu mereduksi
sulfat menjadi senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.

Bioremediasi Tanah Tercemar

Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi
perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah
logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri.
Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi
kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).

Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri
pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat
dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid, 2009)..

Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui
akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan “extrahyphae slime” (Aggangan et al, 1997 dalam
Madjid, 2009). sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua
mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing
mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah
tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme
pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan
khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid, 2009). Hal
semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi
tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi.
Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni
lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak
dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan
terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih
tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus
yang tidak tercemar logam berat.

Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi
atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009) menunjukkan
bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara
gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi
(phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan
Leyval (2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar
oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan
clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena
PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang
melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat.

Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid (2009)
menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza.
Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya “oil
droplets” dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan
beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.

Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat
(Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan
unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau
penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009)
menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di
lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan
inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.

Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Pertambangan Batu
Bara
Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh penambang batu bara
dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, untuk dilakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai
berikut :

Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi preventif (control/protective) yaitu pengembangan


sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara sehingga akan mengurangi keruwetan masalah
transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar dari ruang udara yang kotor. Menggunakan masker
debu (dust masker) agar meminimalkan risiko terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).

Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan terhindar dari kerugian
yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi dan penghijauan kembali bekas
penambangan batu bara dapat mencegah perkembangbiakan nyamuk malaria. Dikhawatirkan bekas
lubang/kawah batu bara dapat menjadi tempat perindukan nyamuk (breeding place).

Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan penambangan batu
bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law enforcement)

Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk membina dan
memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus memotivasi perubahan perilaku dan
membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai