Anda di halaman 1dari 14

Definisi

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi

ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan

glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai

suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau

tanpa disertai kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

Etiologi

Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,

yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).

Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah

penyakit peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik,

malformasi saat perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu

ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang

berulang (Wilson, 2005).

Klasifikasi Stadium

Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan

ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk memfasilitasi

penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan peningkatan

kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD (National Kidney Foundation,

2002). Berikut adalah klasifikasi stadium CKD:


Stadium Deskripsi GFR
(mL/menit/1,73m2)
1 Fungsi ginjal normal, ≥90
tetapi temuan urin,
abnormalitas struktur
atau ciri genetik
menunjukkan adanya
penyakit ginjal
2 Penurunan ringan fungsi 60-89
ginjal dan temuan lain
(seperti pada stadium 1)
menunjukan adanya
penyakit ginjal
3a Penurunan sedang fungsi 45-59
ginjal
3b Penurunan sedang fungsi 30-44
ginjal
4 Penurunan fungsi ginjal 15-29
berat
5 Gagal ginjal <15
Sumber: (The Renal Association, 2013)

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki

oleh pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin

parah CKD yang dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil (National

Kidney Foundation, 2010).

Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal.

Perjalanan klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan

kreatinin dengan GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap

kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN) (Wilson, 2005). Kadar

BUN dapat diukur dengan rumus berikut (Hosten, 1990):

BUN = Urea darah x 28/60


Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama

merupakan stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak

menunjukkan gejala dan kreatinin serum serta kadar BUN normal. Gangguan

pada fungsi ginjal baru dapat terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang

berat seperti tes pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti

(Wilson, 2005). Stadium kedua disebut dengan insufisiensi ginjal. Pada

stadium ini, ginjal sudah mengalami kehilangan fungsinya sebesar 75%.

Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat melebihi nilai normal,

namun masih ringan. Pasien dengan insufisiensi ginjal ini menunjukkan

beberapa gejala seperti nokturia dan poliuria akibat gangguan kemampuan

pemekatan.

Tetapi biasanya pasien tidak menyadari dan memperhatikan gejala ini,

sehingga diperlukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti (Wilson, 2005). Stadium

akhir dari gagal ginjal disebut juga dengan end- stage renal disease (ESRD).

Stadium ini terjadi apabila sekitar 90% masa nefron telah hancur, atau hanya

tinggal 200.000 nefron yang masih utuh. Peningkatan kadar BUN dan

kreatinin serum sangat mencolok. Bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10

mL per menit atau bahkan kurang. Pasien merasakan gejala yang cukup berat

dikarenakan ginjal yang sudah tidak dapat lagi bekerja mempertahankan

homeostasis cairan dan elektrolit. Pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010,

urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien biasanya mengalami oligouria

(pengeluran urin < 500mL/hari). Sindrom uremik yang terjadi akan


mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian

bila tidak dilakukan RRT (Wilson, 2005).

Patofisiologi

Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun

perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan

berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh

molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi

yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini

diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang

mendasarinya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).

Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai

bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang

terjadi di ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme peningkatan GFR yang

terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan

oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai

oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide,

prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya

glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai

terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis

tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009).


Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang

berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada

arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis)

dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal

(Wilson, 2005). Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi,

pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga

menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja

dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh.

Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan

tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu

siklus yang berbahaya (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney

Disease, 2014).

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan penyakit

yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium dini, terjadi

kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR masih normal atau justru meningkat.

Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%,

pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa

keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan

berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan gejala uremia

yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme

fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terserang infeksi, terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan air. Pada

GFR di bawah 15%, maka timbul gejala dan komplikasi serius dan pasien

membutuhkan RRT (Suwitra, 2009).


Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju

kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat

laun akan menyebabkan skleriosis dari nefron tersebut. Mekanisme terjadinya

peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik kemungkinan

disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang

diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon.

Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis

matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein

kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki

fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan

permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi

nonenzimatik asam amino dan protein atau reaksi Mallard dan Browning. Pada

awalnya, glukosa akan mengikat residu amino serta non-enzimatik menjadi basa

Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih

stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini

berlanjut terus, akan terbentuk Advenced Glycation End-Product (AGEs) yang

ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler

seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel

mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler

serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi

ekspansi mesangium dan pementukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis

sesuai dengan tahap 1-5.


Dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya glikosilasi protein

membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran basalis, dan terjadi

pula penumpukkan zat serupa glikoprotein membran basalis pada mesangium

sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus terdesak, dan aliran darah

terganggu yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan hipertrofi nefron yang

akan menimbulkan nefropati diabetik. Nefropati diabetik menimbulkan berbagai

perubahan pada pembuluh-pembuluh kapiler dan arteri, penebalan selaput

endotelial, trombosis, adalah karakteristik dari mikroangiopati diabetik dan mulai

timbul setelah periode satu atau dua tahun menderita Diabetes Melitus. Hipoksia

dan iskemia jaringan-jaringan tubuh dapat timbul akibat dari mikroangiopati

khususnya terjadi pada retina dan ginjal. Manifestasi mikroangiopati pada ginjal

adalah nefropati diabetik, dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang

kemudian menjadi kegagalan faal ginjal menahun pada penderita yang telah lama

mengidap Diabetes Melitus.

Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein

yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi

uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk

sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang

normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya

dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR)

mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin

serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang

menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan


nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak

mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada

neurosensori.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan

1. Perkembangan Data Antropometri


Pada perkembangan data antropometri berat badan, didapatkan hasil

penimbangan awal pasien saat masuk rumah sakit (MRS) adalah 85 kg.

Berdasarkan hasil penimbangan berat badan pasien didapatkan IMT yaitu

31,22 kg/m2 dengan status gizi pasien obesitas dan pada saat dilakukan 3 hari

intervensi pasien tidak dilakukan pengukuran antropometri dikarenakan

pasien terbaring ditempat tidur dengan keadaan lemah dan terpasang monitor.

2. Perkembangan Data Laboratorium


Tabel 4.2 Perkembangan data Biokimia
Tgl Pengamatan GDS Keterangan
11/03/2019 102 mg/dl Normal
12/03/2019 87 mg/dl Normal
13/03/2019 114 mg/dl Normal

Berdasarkan pengamatan selama 3 hari persentase hasil lab


biokimia dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 4.2 Data Lab Biokimia

GDS
120

100

80

60
GDS

40

20

0
11/03/2019 12/03/2019 13/03/2019

Pada perkembangan data laboratorium selama 3 hari intervensi

hanya pemeriksaan GDS yang dilakukan pemeriksaan lagi. Pada

pemeriksaan GDS pasien tanggal 11 Maret 2019 sampai 13 Maret 2019

didapatkan hasil yang normal, pemeriksaan biokimia pasien dilakukan 2

hari sekali, namun sampai selesainya intervensi kepada pasien belum ada

pemeriksaan biokimia pasien yang terbaru.

3. Perkembangan Asupan Zat Gizi Makro

Tabel 4.3 Perkembangan Asupan Zat Gizi Makro

Nilai Hari Kesimpulan


Uraian Satuan 𝑹𝒂𝒕𝒂𝟐
Standar I II III
Asupan 24 Tidak
80 – 100 % 6 28 40
Energi tercapai
Asupan 41
80 – 100 % 13 50 60 Tercapai
Protein
Asupan 32 Tidak
80 – 100 % 5 40 51
Lemak tercapai
Asupan
18 Tidak
Karbohi 80 – 100 % 5 19 32
Tercapai
drat
Berdasarkan pengamatan selama 3 hari persentase hasil asupan zat
gizi makro dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 4.3 Asupan Zat Gizi Makro

70

60

50

40
13/03/2019
30 14/03/20192
15/03/20193
20

10

0
Asupan Energi Asupan Protein Asupan Lemak Asupan
Karbohidrat

Grafik 4.3 Rata-rata Zat Gizi Makro

Rata-Rata Asupan Zat Gizi Makro


45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Asupan Energi Asupan Protein Asupan Lemak Asupan Karbohidrat
Pada hari pertama intervensi, asupan makan pasien tidak mencapai

target yang ditentukan yaitu 80-100% dari asupan hanya asupan protein yang

mencapai target. Hal ini disebabkan karena pasien tidak menghabiskan

makanan yang disediakan dari Rumah Sakit, makanan yang disajikan selalu

tersisa dikarenakan pasien mengalami mual dan muntah. Hal ini dibuktikan

dengan presentase asupan makan Tn. H pada hari pertama yaitu Energi = 6 %,

Protein = 13%, Lemak = 5 %, dan Karbohidrat = 5 %.

Hari kedua intervensi didapat asupan makan Tn. H sudah semakin

baik tapi tidak mencapai target asupan yang diberikan yaitu 80-100% dari

asupan dengan presentase Energi = 28 %, Protein 50 %, Lemak = 40 %, dan

Karbohidrat = 19 %. Menurut keluarga pasien, pasien belum menghabiskan

makanan yang disediakan dikarenakan pasien masih merasa mual pada saat

mengkonsumsi makanan.

Pada hari ketiga intervensi asupan Energi = 40 %, Protein = 60%,

Lemak = 51 %, dan Karbohidrat 32%. Pada hari ketiga ini asupan makan

pasien sudah semakin meningkat daripada hari pertama dan kedua, namun

masih belum mencapai target 80% dikarenakan pasien masih merasa mual

tetapi sudah tidak seberat hari pertama dan kedua.

Rata-rata presentase asupan 3 hari implementasi Energi = 24 %,

Protein = 41 %, Lemak = 32 %, dan Karbohidrat = 19%. Tidak adanya

perubahan diet tetapi bentuk makanan selama intervensi 3 hari. Namun

keluarga pasien selalu dimotivasi untuk memberikan makanan kepada pasien

secara bertahap atau porsi kecil tapi sering.


Vitamin dan mineral sangat penting untuk proses penyembuhan dan

nutrsi gizi untuk pasein. Vitamin A, vitamin C menunjukkan peran vitamin

tersebut terkait dengan fungsinya sebagai antioksidan, yaitu menurunkan

resistensi insulin melalui perbaikan fungsi endothelial dan menurunkan stress

oksidatif sehingga mencegah berkembangnya kejadian diabetes dan vitamin E

diberikan sebagai antioksidan dengan mengkonsumsi makanan yang kaya

bahan alami dan mengandung antioksidan dalam jumlah yang bermakna,

terutama buah dan sayuran adalah sumber vitamin serta antioksidan yang

direkomendasikan. Vitamin diberikan tinggi bila nafsu makan menurun

diberikan suplemen vitamin B kompleks, asam folat, piridoksin dan diberikan

Zat besi juga berperan dalam imunitas dalam pembentukan sel-sel limfosit.

Anda mungkin juga menyukai