Anda di halaman 1dari 155

Otobiografi 80 Tahun

Prof. dr. Harun Rasyid Lubis Sp.PD-KGH


Pakar Ginjal Dari Muara Botung

1
Sekapur Sirih
Dari Penulis

Mencapai usia hingga 80 tahun dengan telah melalui berbagai kiprah dan meraih
pencapaian dan prestasi adalah sebuah anugerah dalam kehidupan. Itulah anugerah
terindah yang pernah diterima Prof. dr. Harun Rasyid Lubis Sp.PD- KGH dalam
hidupnya.

Ia adalah orang beruntung sekaligus bahagia bila kita mengartikan hidup dengan
analogi kesuksesan (success) dan bahagia (happiness), satu lagi kebajikan (welfare).
Tidak semua orang bisa meraihnya, sehingga bisa dikatakan beliau merupakan figur yang
unik dan langka pula.

Lahir di sebuah kampung kecil di Mandailing Natal bernama Muara Botung pada
10 November 1938, Harun kecil ditempa menjadi anak yang mandiri, harus berani dan
bisa bertahan di tengah kesulitan apa pun.

Ia dipenuhi keberuntungan, selain kecerdasan yang sudah menjadi bakat alam


dalam dirinya. Sehingga ia mampu melewati masa-masa sulit di masa penjajahan
sebelum masa kemerdekaan, masa kecil yang berliku sehingga harus berpindah-pindah
sekolah dasar karena gejolak perang.

Dari sana ia terus ditempa menjadi anak mandiri sejak ingin masuk ke SMP
terbaik di Medan. Berbekal tekad untuk masuk SMP terbaik, ia memberanikan diri untuk
menemui Direktur SMP N 2 Medan, yang waktu dijabat oleh Kayamuddin Nasution.
Setelah melalui ujian, ia pun lulus.

Mental mandiri itu berlanjut hingga pada saat ia meraih gelar dokter pada tahun
1966. Ketika ujian ke tingkat dua, Fakultas Kedokteran USU, ia meraih cum laude,
sebuah sejarah baru ia catat di fakultas itu.

Titik baliknya ialah ketika ia mengikuti program pengiriman dosen ke negeri


2
Belanda pada tahun 1975, setelah sebelumnya mendapat course di Singapura. Di negeri
Kincir Angin itu mendalami nefrologi dan penguasaaan proses cuci darah (hemodialisis
—HD).

Sepulang dari negeri Kincir Angin pada tahun 1976, sejarah baru kembali ia catat
sebagai pelopor penanganan cuci darah kepada pasien ginjal di Sumatera Utara, setelah
sebelumnya hanya ada di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Cikini, Jakarta yang
dipelopori oleh Prof. dr. R.P. Sidabutar. Dimulai dari Medan, ia merintis dan membuka
unit cuci darah (hemodialisis—HD) pertama di RS Pirngadi dan mengembangkan unit
HD berbagai rumah sakit yang ada di Sumatera Utara dan Aceh, yang sampai kini
jumlahnya mencapai 80 unit.

Pada 10 November 1995, ia pun mulai membangun mimpinya dengan mendirikan


Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi (KSGH) “Rasyida”. Pada 10 November 2016,
klinik tersebut berubah status menjadi Rumah Sakit Khusus Ginjal Rasyida dan tetap
berdiri sampai sekarang sebagai rujukan utama, khusus untuk para pasien ginjal dan
hipertensi di Sumatera Utara.

Kiprahnya di Universitas Sumatera Utara juga terus bergulir. Ia menjabat sebagai


Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan Dokter Spesialis (TK PPDS) sejak tahun
1986, hingga akhirnya dikukuhkan menjadi Guru Besar USU pada tahun 1998 dan
berlanjut menjadi Ketua Senat Universitas.

Namun, setelah pensiun dari USU pada tahun 2008, usia dan akhir jabatan tidak
menjadi hambatan baginya untuk tetap menjalankan profesi yang sekaligus menjadi
kesenangannya, yaitu sebagai dokter sekaligus sebagai guru—seperti almarhum ayahnya
Muhammad Rasyid yang dulunya merupakan seorang guru agama.

“Saya memang dokter, tapi suatu saat nanti saya juga ingin dikenang sebagai
guru,” begitu katanya. Baginya guru adalah sosok mulia. Filosofinya, dengan menjadi
guru, ia bisa berperan menciptakan lahirnya dokter-dokter penerus yang bisa melanjutkan
visi dan misinya.

3
Sebagai penulis, saya merasa bangga bisa menuliskan kisah hidup Prof. dr. Harun
Rasyid Lubis Sp.PD- KGH. Dalam perjalanan hidupnya saya menemukan potongan-
potongan kisah, yang menurut saya, sangat inspiratif namun unik dan langka. Kisah-kisah
yang bermuara pada pelajaran hidup tentang kemandirian, bertahan di tengah berbagai
rintangan dan semangat menggapai cita-cita. Kisah yang menurut saya, pantas..., bahkan
sangat pantas, untuk dibaca para generasi masa kini dan yang akan datang.

Medan, 5 November 2018

Penulis
Tonggo Simangunsong

4
_

Buku ini saya persembahkan yang akan selalu dikenang


almarhum ayah Muhammad Rasyid Lubis dan ibunda tercinta
Juriah Dalimunthe; istri saya Siti Asrah Siregar dan anak-anak
saya: Rasyid Muda Lubis (almarhum), Muhammad Reza Lubis,
Muhammad Riza Lubis; juga untuk almamater saya Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5
Daftar Isi
Sekapur Sirih………………………………………………………………………
Lembar Dedikasi…………………………………………………………………...
Daftar Isi……………………………………………………………………………

ANAK KECIL DITEMPA ZAMAN


- Anak Guru Agama dari Muara Botung…………………………………….
- Mengungsi di Masa Gejolak Perang ………………………………………..
- Demi Menonton Film di Bioskop……………………………………………..
- Ditempa Jadi Mandiri……………………………………………………….
- Teman-teman Baik di Masa SMA………………………………………….
MENGEJAR CITA-CITA
- “Harun Lubis…, Cum Laude!”…………………………………………………..
- Ketika Harus Memilih……………………………………………………………..
- Menimba Ilmu Sampai Negeri Belanda………………………………………….
- Cikal Bakal Unit HD di Sumatera Utara………………………………………….
- Operasi Cangkok Ginjal Pertama……………………………………………….
MENGALIR SEPERTI AIR
- Klinik Ginjal Pertama di Medan…………………………………………………..
- Dari Klinik Menjadi Rumah Sakit...........................................................................
- Gelar “Bapak Ginjal”..…………………………………………………………….
- Bukan “Malaikat Penyambung Nyawa”..………………………………………….
CINTA & ASA
- Menikahi Putri Mantan Walikota…………….…………………………………….
- Mengiklaskan Kepergiannya…………….……….…………………………………
- Dua Sisi: Dokter dan Guru……..………...………………………………………….
- Asa yang Masih Tersimpan…………………………………………………………
KARENA DIA PINTAR DAN BERAGAMA…………………………………………….

TESTIMONIAL

- Prof. Habibah Hanum Nst. Sp.PD, K-Psi…………………………………………


- dr. Alwi Thamrin Nasution Sp.PD-KGH………………………………………….
- Muhammad Norman………………………………………………………………
- Suriati S.Kep………………………………………………………………………
- dr. Syafrizal Nasution Sp.PD-KGH………………………………………………..

6
ANAK KECIL DITEMPA ZAMAN

7
Anak Guru Agama dari Muara Botung
Muara Botung adalah satu desa di Kabupaten Mandailing Natal (Madina),
Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Kotanopan, sebagai kota
kecamatan. Desa tersebut hanya 7 kilometer menjelang Muara Sipongi, yang merupakan
kota paling selatan Kabupaten Tapanuli Selatan—hanya beberapa kilometer sebelum
mencapai perbatasan Sumatera Barat.

Di desa inilah saya dilahirkan, tepat pada 10 November 1938 lalu. Desa itu
terletak persis di muara sungai kecil, yang bermuara ke besar Sungai Batang Gadis, yang
merupakan ikon tanah Mandailing. Sungai tersebut berhulu di Gunung Kulabu dan
bermuara ke Singkuang, desa yang berada di pantai Lautan Hindia, yang begitu jauh dari
Kota Natal. Boleh dikata sungai mengalir di sepanjang tanah Mandailing.

Muara Botung punya udara yang begitu sejuk, tanah yang subur apalagi dekat
sungai sehingga tak sulit mencari pengairan untuk sawah dan ladang. Hasil buminya
melimpah, ada padi, karet, kulit manis (cinnamon) dan kopi Mandailing yang kenikmatan
dan aromanya sampai ke Amerika Serikat dan Eropa itu.

Desa kecil ini hanya ditempati berpuluh rumah. Di antara sungai cabangnya yang
dinamai Aek Botung berdiri sebuah mesjid yang berdiri persis di tepi Sungai Batang
Gadis. Bisa dikatakan, mesjid itu merupakan pengikat masyarakat desa. Dalam artian,
masyarakat menganggapnya sebagai milik bersama, mereka merawatnya bersama dan
memperbaiki bersama bila perlu.

Sebenarnya, ada lagi satu lagi aset yang juga dianggap sebagai milik bersama,
yaitu Madrasah Irsyadiah, yang letaknya di pangkal desa, sebelah kanan jalan besar
Medan – Bukit Tinggi. Letaknya agak lebih tinggi, di atas satu tapak tanah, yang boleh
dikatakan berbatasan dengan hutan.

Madrasah ini bertingkat dua dan masing-masing memiliki dua lokal—atau empat
lokal per kelas. Halaman madrasah tidak begitu luas, dan seingat saya, berbatasan dengan

8
tanah gunung yang cukup curam, ditumbuhi pepohonan karet, langsat, pinang dan semak-
semak. Sekitar 50 meter ke bawah langsung berbatasan dengan jalan raya.

Sekolah itu berada di halaman satu rumah yang bentuknya khas rumah desa,
punya kolong, tidak terlalu tinggi dan bertangga kayu tebal yang kuat. Sekolah ini
didirikan dan pada awalnya diasuh oleh ayah Muhammad Rasyid Lubis dan ibu saya
Juriah Dalimunthe. Anak-anak desa belajar mengaji dan pengetahuan dasar agama di
sekolah itu.

Ayah dan ibu memberi saya nama Harun Lubis, meneruskan marga dari silsilah
ayah saya, yaitu Lubis. Saya adalah anak kedua dari 11 orang bersaudara. Saya punya
kakak perempuan bernama Jamilah, yang tidak sempat saya inga wajahnya karena
meninggal semasa kecil. Semasa di kampung, lahir tiga adik saya, dua perempuan
berturut dan seorang laki-laki. Dua adik perempuan setelah saya bernama Badi’ah,
Rusdiah dan adik laki-laki Adbullah Helmy.

Selebihnya, enam orang lagi adik saya lahir di perantauan, yaitu Abdul Rahim
Rasyid yang belakangan juga berprofesi sebagai dokter seperti saya, Deliana Lubis,
Nurhana, Muhammad Nur Rasyid juga menjadi dokter dan si bungsu bernama Rasyidah.
Karena kakak saya sudah meninggal, otomatis saya menjadi anak sulung dan secara
alamiah harus bisa mengayomi adik-adik saya.

Ayah dan ibu memberi kami nama yang semuanya punya arti tersendiri, yang
umumnya diambil dari bahasa Arab karena ayah saya adalah guru agama dan mengaji.
Saya diberi nama Harun Lubis, tanpa Rasyid. Belakangan setelah saya menjadi dokter
yang menambah kata Rasyid di belakang nama saya sebagai bentuk penghormatan
kepada ayah saya. Secara spesifik saya tidak pernah menanyakan kenapa ayah saya
memberi nama Harun, namun di kemudian hari saya ketahui bahwa nama itu punya arti
khusus.

Harun ialah nama salah satu nabi, yang merupakan saudaranya Nabi Musa. Dari
situ saya memahami bahwa nama saya penuh arti. Barangkali ayah saya sungguh

9
mengagumi karakter Harun, sehingga ia menjadikannya sebagai nama saya.

Ayah saya adalah seorang guru agama yang memiliki displin dan dedikasi yang
tinggi pada profesinya. Pada awalnya ia mengajar agama di Madrasah Irsyadiah di desa
kami. Akan tetapi, karena dedikasinya, ia juga mengajar agama hingga ke daerah-daerah.
Bahkan, ayah saya mengajar agama sampai ke Melaka dan ke Kajang, sebuah daerah
yang lokasinya tak jauh dari Kuala Lumpur, Malaysia. Semasa ia mengajar di sana, ia
juga memperdalam ilmu agamanya dan sekembalinya dari sana, ia pun diangkat menjadi
pegawai di Kantor Urusan Agama.

Masa kecil saya di Muara Botung sangat melekat dengan masa penjajahan, di
mana terjadi pergantian invasi dari penjajahan Belanda ke penjajahan Jepang. Gempuran
perang menimbulkan ketakutan dan selalu menghantui masyarakat setiap saat.

Ada kejadian yang masih melekat di ingatan saya tentang itu. Di desa kami, ada
salah satu keluarga yang memiliki gramafon. Mereka kerap memutar piringan hitam dan
terdengarlah lagu-lagu yang terdengar, sampai ke telinga saya. Kadang nyanyian
berbahasa Tapanuli, kadang berbahasa Belanda, bahkan ada juga berbahasa Jepang.

Suatu kali anak dari keluarga itu mengajak saya ke rumahnya untuk mendengar
gramafon itu. Kami pun memutar lagu-lagu yang bagi saya semuanya bagus dan enak
didegar, karena saya belum sering mendengar musik seperti itu. Sedang asyik
mendengarkan lagu-lagu, tiba-tiba terdengar bunyi mobil, jeep dan truk dari luar rumah.
Mobil-mobil itu melaju serentak di jalan besar dari arah Kotanopan menuju Muara
Sipongi.

Melihat itu, kami pun panik, tapi masih sempat mematikan gramafon yang masih
memutar lagu. Kami bersembunyi ketakutan di bawah meja. Lama kemudian, baru kami
berani bergerak dari bawah meja itu. Kami mengintip beberapa saat ke arah jalan besar
dan sudah tidak ada lagi jeep, mobil dan truk dan para serdadu. Kami bergegas
menyimpan gramafon itu dan saya berlari kencang kembali ke rumah. Sesudah itu tak
pernah lagi saya mendengar gramafon tersebut.

10
***

Tidak ada Sekolah Dasar di Muara Botung. SD terdekat terletak di Desa Gunung
Botung, sekitar 1,5 kilometer ke arah Muara Sipongi. Saya masih ingat, bila pergi sekolah
saya harus berjalan kaki sejauh itu ke sekolah demi memperoleh pendidikan.

Pada saat saya masuk sekolah di SD itu pada 1945 - 1946, seingat saya hanya ada
dua kelas, yaitu kelas 1 dan kelas 2. Kalau tidak salah dulu nama sekolah itu Sekolah
Rakyat (SR). Waktu itu masih di zaman penjajahan Jepang, sehingga setiap pagi sebelum
masuk kelas, pada pukul 07.00 pagi, kami harus berbaris rapi, kemudian semua barisan
dikomando menghadap matahari dan memberi hormat dengan menundukkan kepala.
Hanya sampai kelas 2 saya sekolah di sana, yaitu pada tahun 1946.

Riwayat pendidikan saya di SD rasanya memang unik, karena penuh dengan lika-
liku dan perjuangan. Setelah sekolah dari SD di Gudang Botung sampai kelas 2,
selanjutnya saya menjalani masa pendidikan di tengah berbagai gejolak di masa sebelum
dan sesudah kemerdekaan dan masa revolusi. Sehingga keluarga saya sering berpindah-
pindah bahkan mengungsi untuk menghindari gejolak perang dengan Belanda.

***

11
Mengungsi di Masa Gejolak Perang
Semasa terjadinya proses penyerahan kedaulatan kekuasaan ke tangan Republik
Indonesia, antara tahun 1946 – 1950, waktu itu Residen Tapanuli dijabat oleh Ferdinand
L Tobing. Beliau mengangkat ayah saya menjadi sebagai pejabat pegawai di Kantor
Urusan Agama di Sibolga. Ayah juga membawa dua orang sejawatnya ke Sibolga.

Setelah beberapa lama tinggal sendirian di Sibolga, ayah membawa kami pindah
sana dan tinggal di satu rumah peninggalan Belanda, di daerah Simare-mare. Di Sibolga,
saya disekolahkan ayah saya di Sekolah Rakyat Katolik Roma (Rome Catholic). Di
sekolah ini saya dimasukkan di kelas 3 dan menjalani sistem pendidikan gaya Belanda.

Komplek gereja sekolah ini lumayan besar. Di belakang gereja ada bangunan
cukup besar berlantai semen, tidak berdinding dan dipakai para pedagang kecil untuk
berjualan barang-barang kecil, seperti buku tulis, pensil, baru greep—batu hitam panjang
yang dipakai untuk menulis di batu tulis atau disebut juga sebagai batu lei. Seingat saya,
saya pun pernah berjualan kacang tojin, yang dibungkus menggunakan kertas koran yang
dilipat seperti kerucut. Satu bungkus isinya 9 – 11 butir kacang.

Namun, hanya dua tahun saya sekolah di sana, karena keluarga kami harus pindah
lagi dari Sibolga karena terjadinya masa revolusi pada masa itu. Suatu pagi, Kota Sibolga
digempur dengan meriam oleh kapal perang Belanda yang lego jangkar di tengah laut, di
teluk Tapian Nauli. Pada saat itu, kami berdiam di rumah yang berada di Komplek
Simare-mare, yang berjarak hanya sekitar 500 meter dari pantai. Kami panik, apalagi
dinding sumur kami bolong sebesar bola kaki. Merasa tidak aman, kami pun mengungsi
ke suatu rumah di Sibolga Julu, saya tidak ingat persis rumah siapa itu.

Sesudah 3 hari kami pindah lagi ke rumah yang lain, tempatnya lebih dalam

12
masuk ke pinggir kota, sudah dekat dengan jalan menuju Kota Tarutung. Beberapa hari di
Sibolga Julu, selanjutnya kami mengungsi ke Pandan, desa ke arah Padangsidimpuan.
Letaknya di pinggir pantai, yang amat banyak pohon nyiurnya, tetapi jauh dari Tapian
Nauli.

Ayah kemudian membawa keluarga pindah ke Sigalangan, sebuah desa di Batang


Angkola, Tapanuli Selatan, yang jaraknya tidak begitu jauh dari Padangsidimpuan. Pada
saat itu, kami tidak pindah begitu saja dengan kendaraan mesin. Melainkan ikut bersama
pengungsi. Setelah berulangkali masuk rumah dan mengungsi di Sibolga, akhirnya kami
memutuskan untuk mengungsi meninggalkan kota itu.

Saya masih ingat kejadian membekas pada saat pengungsian itu. Waktu itu, pada
suatu waktu pertengahan tahun 1947, terdengarlah bahwa Belanda akan menyerang
kembali Sibolga. Mendengar isu itu, maka ayah membawa kami—ayah ibu bersama
adik-adik saya. Saya ikut mengikuti arus pengungsian dengan berjalan kaki dari Sibolga
menuju Padangsidimpuan.

Ayah saya semula naik sepeda, namun waktu itu di Barus arus pengungsian sangat
banyak, maka akhirnya ayah ikut bersama pengungsi lain berjalan kaki. Sampailah kami
di satu tempat. Saya tidak tahu persis tempat itu, Hajoran, atau apa nama kampung itu
saya tidak ingat persis, yang pasti, kampung itu sangat terpencil.

Kami melintasi kampung itu pada saat menjelang subuh. Tahu-tahu saya terpisah
dari orangtua saya. Umur saya waktu itu masih sembilan tahun. Karena langkah saya
kecil tentu membuat jalan saya lebih lambat, sehingga terpisah beberapa jauh dari
orangtua saya. Waktu itu, pada saat menjelang subuh, rupanya ayah saya pergi sholat
subuh dan saya pun mencari beliau. Dimana ayah saya?

Di tengah kecemasan itu, saya tetap mengikuti arus pengungsi. Di perjalanan saya
menumpang pedati seorang bapak yang tidak saya kenal. Saya diijinkan naik pedati itu
dan duduk di samping saisnya. Pada saat menjelang pagi ketika matahari sudah mulai
terbit, tiba-tiba terdengar suara meraung dari atas. Awalnya suaranya pelan, lama

13
kelamaan semakin kuat. Ternyata pesawat perang Belanda yang sedang terbang kencang
dan menukik.

Di saat bersamaan, saya melihat seseorang sedang mengayuh sepedanya


sekencang mungkin melewati kami. Dia mencoba menghindar dari pesawat itu dengan
segera. Lalu, dia menghentikan sepedanya dan bersembunyi di balik semak di antara tepi
parit besar. Setelah pesawat itu menukik pergi, sosok bersepeda tadi muncul dan saya
melihat dari pedati, ternyata dia adalah ayah saya.

Rasa cemas saya hilang seketika dan segera menghampiri beliau. Kejadian itu
tidak pernah saya lupakan dan selalu membekas dalam ingatan saya. Setelah itu, saya dan
ayah bersepeda sampai ke Padangsidimpuan. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke
Sigalangan dan tinggal di sebuah perkampungan selama satu tahun.

Pada saat itu saya sedih karena terpaksa meninggalkan sekolah beberapa saat. Tapi
karena kondisi yang tidak kondusif, saya tidak bisa berbuat-apa selain menunggu situasi
reda. Tak lama kemudian, ayah memasukkan saya ke sokolah.

Di Sigalangan waktu itu hanya ada SR Muhammadyah. Tetapi di desa tetangga


terdekatnya, Janji Manaon, ada satu sekolah SR Negeri, yang kelasnya hanya sampai
kelas 3. Di desa yang lain, yaitu Sidadi yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Sigalangan
juga ada SR komplit dari kelas 1 – 6.

Selama di pengungsian di kampung di Sigalangan, saya awalnya masuk kelas 3 di


SR Sidadi, kemudian pindah ke SR di Janji Manaon. Perpindahan itu bukan karena alasan
apa-apa, melainkan karena masalah kapasitas, sehingga murid harus dibagi-bagi.
Akhirnya, saya ikut kelas di 4 SR Muhammadyah sampai naik ke kelas 5.

Selama tinggal di kampung pengungsian itu, kehidupan kami tidak kekurangan


makanan. Ibu saya memanfaatkan lahan yang ada dengan berladang. Ayah saya
memelihara kolam ikan dan sering menangkap belut untuk kami makan.

Semua kebutuhan kami tercukupi dari ladang. Saya tak kekurangan protein karena

14
ayah saya sering membawa belut ke rumah untuk dimasak ibu saya. Walaupun saya tidak
belajar di sekolah formal, tapi saya juga banyak belajar selama di sana. Saya belajar
berjuang hidup dari ayah dan ibu yang tekun menjalani tanggungjawabnya sebagai ibu
untuk anak-anaknya.

Setelah gejolak mulai reda, kami kembali ke Sibolga. Tapi, pada tahun 1948 –
1949 kala itu, walaupun perang dengan Belanda sudah reda, masih ada gejolak revolusi,
yaitu gejolak di dalam tubuh Tentara Republik Indonesia (TNI).

Waktu itu terjadi faksi-faksi di tubuh TNI, yaitu pertikaian antara Divisi Banteng
Negara pimpinan Liberty Malau dan pasukan Resimen I pimpinan Mayor Bedjo
pimpinan Mayor Bedjo, yang pada akhirnya Bedjo berbasis di Padangsidimpuan dan
Mayor Liberty Malau berbasis di Tarutung. Pada saat itu keduanya berganti-gantian
menduduki Sibolga.

Suatu saat Malau menyerang Sibolga. Sehingga, atas kejadian itu, terjadi
kecemasan yang membuat rakyat takut pergi ke kota itu. Bahkan, sepulang mengantar
gaji pegawai ke Sigalangan, ayah tidak bisa masuk ke Sibolga untuk menjemput saya
yang ketika itu masih berada di sana. Akhirnya, saya tinggal selama tiga bulan saya
tinggal di sana. Untung ada saudara yang menemaninya saya. Saya memanggilnya abang
karena masih ada hubungan keluarga. Dia bekerja di sebuah pabrik getah di luar Sibolga
—tak jauh dari Lopian.

Waktu itu, saya bersama abang saya itu tinggal di salah satu rumah di kawasan
komplek Simare-mare. Dulunya, kawasan ini dikenal sebagai tempat tinggal elit warga di
Sibolga. Namun, karena revolusi yang terjadi, belakangan siapa saja tinggal di situ.
Sebelumnya, ayah saya bersama kami pernah tinggal di sana, tepatnya di sebuah garasi
mobil besar yang dijadikan seperti rumah.

Saya dan abang saya itu tinggal di sana selama tiga bulan dan tak tahu bakal
bagaimana kami hidup di sana. Namun, entah mengapa pula kami bisa hidup, saya juga
heran. Ada saja yang berbaik hati kepada kami. Selalu ada beras untuk dimasak. Kadang

15
kami pergi ke pantai, membantu nelayan menarik pukat dan diberi ikan kalau kami minta.
Sehingga, kami pun tidak pernah kelaparan.

Selama tiga bulan kami menjalani hidup seperti itu dan waktu itu Mayor Malau
masih menguasai Sibolga. Karena merasa cemas, akhirnya ayah mengorganisir teman-
temannya untuk menjemput saya. Saya tidak tahu persis bagaimana ayah saya
melakukanya, tapi saya yakin mungkin karena kedekatannya dengan beberapa orang di
kalangan imam mesjid. Juga, karena saat itu dia bekerja sebagai pegawai di Kantor
Urusan Agama, sehingga dia punya banyak teman untuk membantu proses penjemputan
saya.

Proses penjemputan saya waktu itu bisa dikatakan agak dramatis. Suatu waktu,
sebelum penjemputan saya diberitahu seseorang bahwa, pada hari dan jam yang
ditentukan, saya akan dijemput naik perahu pada tengah malam.

“Akan ada orang dari Lopian naik perahu menjemput,” begitu pesan yang saya
terima. Dan benar, malamnya saya dijemput oleh dua orang utusan ayah saya. Kami
mengayuh perahu sepanjang malam dan sampai di Lopian pada saat menjelang subuh.
Secara administratif, Lopian kini adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan
Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pada saat subuh, setelah sholat dan makan pisang goreng, kami melanjutkan
perjalanan dengan perahu menuju muara sungai di Lopian itu. Kami berhenti di bawah
sebuah jembatan yang dekat perbatasan Sibolga – Padangsidimpuan. Dari situ kami naik
ke atas dan saya melihat sudah ada ayah saya. Rupanya beliau sudah menunggu lama di
sana. Ayah pun membonceng saya naik sepeda menuju Padangsidimpuan dan seterusnya
menuju kampung di Sigalangan.

Setelah kejadian tertinggal oleh ayah saat mengungsi dari Sibolga ke


Padangsidimpuan, itulah peristiwa kedua yang paling membekas dalam ingatan saya
tentang masa kecil saya. Saya selalu sedih membayangkan kejadian itu. Bayangkan,
seorang anak kecil yang terpisah dari orangtuanya dan tak tahu mau berbuat apa, selain

16
menjalani hidup bagaimana adanya.

Satu hal yang tidak bisa pahami saya sampai sekarang, entah dari kami dapat beras
untuk dimakan pada saat itu, saya sudah tidak ingat lagi. Namun yang pasti, saya
menjalani hidup apa adanya waktu itu dan saya akhirnya bertemu kembali dengan ayah
saya.

Sigalangan punya kesan tersendiri pada saya. Karena ada kisah-kisah yang tidak
bisa saya lupakan ketika melewati masa kecil di sana. Ada satu kisah yang selalu saya
kenang. Jadi, setelah tak lagi tinggal di perkampungan, kami tinggal di dekat pasar.
Waktu itu Belanda menganggap kota terdepan di wilayah Tapanuli Selatan ialah masih
Padangsidimpuan dan di Pijorkoling dan ada Benteng Huraba di sana.

Waktu itu masih perang kemedekaan, belum penyerahan kedaulatan. Sigalangan


tidak dianggap sebagai daerah berbahaya karena jarang perlawan kepada Belanda dari
wilayah itu. Meski demikian, jika melakukan patroli Belanda kerap berhenti di
Sigalangan. Mereka patroli menaiki truk militer, bisa lima hingga sepuluh truk. Mereka
sering berhenti di Sigalangan karena ibukota kecamatan.

Waktu itu usia saya sekitar sepuluh tahun. Kami tinggal di rumah yang diisi
beberapa keluarga, persis di sebelah Pasar Sigalangan. Seperti anak-anak kampung
lainnya, kami sering pergi mandi ke sungai. Namun, ketika pulang mandi dari sungai
sudah ada banyak tentara Belanda berdiri di pinggir jalan.

Bila begitu, karena kami masih anak-anak kami melewati saja truk-truk Belanda
itu. Tapi biasanya sesudah itu kami masuk ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
Semua juga menutup pintu, sehingga ketika tentara Belanda datang, jarang sekali
bertemu masyrakat karena semua sudah masuk ke rumah.

Waktu itu ada cara dilakukan warga agar tentara Belanda tidak menggeledah
rumah. Waktu itu sedang berjangkit wabah penyakit kulit pokken, kulit luka-luka dan
terkelupas akibat virus. Tidak ada obatnya, sehingga bila ada warga yang terkena wabah
itu biasanya membalurkan bedak ke bagian lukanya. Sering di wajah jadi bentol-bentol
17
dan capuk dikarenakan pokken itu. Lebih parahnya lagi, bisa menimbulkan luka,
bengkak, bernanah, pecah dan hilang namun meninggalkan semacam parut kecil hitam.

Wabah itu sangat ditakuti para tentara Belanda, termasuk orang-orang pribumi
yang ikut jadi Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau dalam bahasa Belanda disebut
Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL). Begitu mengetahui itu, warga
mengelabui mereka dengan menggunakan bedak. Begitu tahu warga menggunakan
bedak, tentara-tentara itu langsung batal menggeledah rumah. Mereka ketakutan
ketularan. Karena penularannya melalui udara dan sangat cepat.

Untuk itulah di setiap rumah selalu ada bedak yang digunakan untuk menakut-
nakuti tentara Belanda.

***

18
Demi Menonton Film di Bioskop
Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
Republik Indonesia pada saat Konferensi Meja Bundar, yang digelar di Den Haag,
Belanda. Pada saat itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta. Sesudah
perjanjian itu, Belanda akhirnya melepaskan Indonesia sebagai negara jajahannya.
Selanjutnya, Republik Indonesia berhak menentukan nasib sendiri dan menjalankan
pemerintahannya sendiri.

Setelah penyerahan kedaulatan itu, ayah saya kemudian mendapat panggilan dari
Sibolga, yaitu dari Gubernur Militer Republik Indonesia, Gr Ferdinand L. Tobing, untuk
ikut kembali menjalankan roda pemerintahan Republik Indonesia di Keresidenan
Tapanuli, yang terpusat di Sibolga.

Kami pun kembali ke Sibolga, semula hanya saya dan ayah. Saya masuk sekolah
lagi di SR Timbangan. Senang rasanya bisa kembali ke sekolah. Saya masuk ke kelas 5,
walau tanpa dokumen dari sekolah-sekolah sebelumnya. Saya sempat akan dimasukkan
ke kelas 4. Tapi, saya menolak karena sesuai umur, saya sudah layak masuk kelas lima.
Kepala sekolah bersikeras bahwa saya harus masuk kelas 4 karena tidak ada rapor yang
menunjukkan kelulusan saya. Tapi saya tetap tidak mau. Saya memang sempat tidak

19
sekolah karena kondisi negara yang tidak aman. Akhirnya saya pun diterima.

Di Sibolga, semula kami tinggal di Aek Habil, dekat dengan mesjid besar. Tetapi
kemudian kami pindah ke Pancuran Kelapa (Harambir), sehingga lebih dekat berjalan
kaki ke sekolah. Sekolah saya sempat tidak lancar, tidak bisa mengikuti pelajaran karena
sempat lama tidak masuk sekolah. Saya masuk pada pertengahan tahun ajaran sehingga
akhirnya saya tinggal kelas dan mengulang lagi di tahun ajaran baru.

Di kelas 5 yang baru, ternyata saya mampu mengikuti pelajaran dengan baik,
malah menurut guru sangat baik. Saya tidak perlu mengulang pelajaran di rumah, angka
tetap di puncak dan mendapat pujian guru.

Namun, ini membuat saya menjadi anak nakal di luar sekolah. Saya bergaul
dengan anak sebaya yang tidak bersekolah, kebanyakan anak nelayan atau pedagang.
Saya pun mendapat pelajaran tidak begitu baik. Karena sering bergaul dengan mereka,
saya pun mulai ikut gaya hidup mereka, mulai suka menonton di bioskop, menonton
segala jenis film. Untuk itu, saya perlu duit.

Dari mereka juga saya dapat semacam anggapan bahwa kelapa yang tumbuh di
desa itu tak berpunya atau kepunyaan alam. Jadi, apabila diambil buahnya, tidak akan ada
yang melarang. Saya pun melihat ada mata pencaharian gratis, yaitu memanjat pohon
kelapa atas permintaan warga yang tinggal di dekatnya. Saya diberi upah untuk setiap
kelapa yang saya petik. Kadang-kadang saya panjat pohon kelapa yang tampaknya tak
bertuan, kelapanya saya jual dan duitnya saya kantongi. Tidak ada pula yang marah.

Belakangan pendapatan saya dari “bisnis kelapa” itu bertambah sejak ada orderan
daun kelapa muda dari seorang ibu penjual ketupat. Saya juga pernah menjajakan tape
puluik, panganan khas di Sibolga saat itu, yang rasanya sangat enak. Saya dapat upah dari
setiap tape yang saya jual. Tapi, hanya seminggu saya menjual tape, karena saya pernah
ketahuan ayah. Begitu melihat saya, beliau langsung menghardik saya, saya pun tak
berani lagi menjual tape.

Pada saat itu, bisa menonton film di bioskop merupakan kesenangan tersendiri.
20
Tak semua orang pula bisa menonton bioskop karena harga karcis terbilang tak murah.
Dari setiap menjual kelapa, itu semua uangnya saya beli untuk beli karcis—tak ada sisa
untuk beli yang lain. Jadi setiap saya mau menonton, saya panjat kelapa, jual dan dapat
uang. Dapat uang lagi, nonton bioskop lagi. Seingat saya, saat itu ada dua bioskop yang
tenar di Sibolga, yaitu bioskop Horas dan Haven Teater, menyusul kemudian Bioskop
Tagor—yang pemiliknya juga adalah pemilik bioskop Horas. Tagor itu adalah nama
pemiliknya.

Pada masa itu, bioskop sering memutar film Barat dan saya selalu suka itu karena
bisa sekalian belajar Bahasa Inggris. Pada saat itu ada beberapa film yang terkenal, sebut
saja di antaranya film cowboy yang dibintangi Bob Steele dan Gene Autry dan film
bertema komedi seperti Abbott and Costello.

Ayah dan umak (ibu) tidak mengetahui apa yang saya lakukan di luar sekolah yang
sudah mulai senang mencari duit untuk menonton bioskop. Pada saat itu beliau sudah
dikenal sebagai tokoh masyarakat, pegawai Kantor Urusan Agama, pemrakarsa pendirian
surau dan mendirikan sekolah mengaji yang punya murid banyak sampai tiga kelas. Saya
tak berani meminta uang untuk menonton film di bioskop dari ayah, karena saya tahu
beliau pasti tidak mau dan tidak suka. Jadi, terpaksa saya diam-diam mencari uang demi
membeli karcis film.

Tapi, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Suatu kali saya
kembali memanjat kelapa, yang berada di pekarangan sekolah mengaji yang didirikan
ayah. Entah karena apa, saya lepas kendali ketika hendak turun. Kaki saya memijak
pangkal daun kelapa yang tua, sehingga lepas dari batangnya. Saya pun jatuh terjerembab
ke tanah. Itulah “misi terakhir” saya panjat memanjat dan bisnis kelapa itu.

Setelahnya, saya tidak sadar. Seingat saya kemudian ialah saya sudah ada di
pangkuan umak di kursi belakang sado yang membawa saya ke rumah sakit umum.
Tulang siku kedua tangan saya lepas dari persendiannya sehingga harus ditarik dan
dipasang bor. Selama tiga bulan lebih saya dirawat di sana dan sempat diopname. Waktu

21
itu dokter yang menangani saya ialah dr. Gono Pane.

Setelah tulang tangan saya kembali lurus, bor ditarik kembali. Nah, karena bor
sudah ditarik, saya anggap sudah selesailah penanganannya. Saya pun sudah menganggap
sudah sehat dan dan pergi jalan-jalan sebagaimana orang sehat. Suatu kali saya pergi ke
kamar mandi. Tahu-tahu kamar mandinya licin dan saya terjatuh. Patah lagi tangan saya
dan dibor lagi.

Mengetahui hal itu, dr. Gono pun mengetok kepala saya. “Anak nakal kau!”
katanya kepada saya. Besok-besoknya kalau dia datang ke rumah sakit lagi, dia selalu
melihat saya dan dari jendela dia ketok kepala saya dan bilang, “Hei, anak nakal kau!”
Saya kadang tertawa mengingat kenakalan saya pada masa itu.

Pada saat berdekatan, ketika saya masih dirawat di rumah sakit, ayah saya
mendapat promosi jabatan untuk dipindahkan ke tingkat provinsi. Waktu itu namanya
Provinsi Sumatera Timur – Aceh, yang terdiri dari tiga keresidenan Sumatera Timur,
Tapanuli dan Aceh. Pada saat itu keresidenan Sumatra Timur dan Tapanuli digabung
dalam satu keresidenan, yaitu Keresidenan Tapanuli - Sumatera Timur. Sementara Aceh
jadi satu keresidenan. Ketiganya, dulunya satu dalam pemerintahan Sumatera Timur –
Aceh.

Belakangan, Aceh berdiri sendiri dan Keresidenan Sumaetra Timur dan Tapanuli
menjadi Provinsi Sumatera Utara. Karena Aceh mayoritas Islam, maka Kantor urusan
Agama dipusatkan di Kutaraja di Aceh, bukan di Medan. Sementara yang lain, seperti
urusan politik dan lainnya, berkantor di Medan.

Maka, ayah pun memboyong kami pindah ke Aceh dengan menaiki kapal laut
perusahaan Belanda bernama Koninklijke Paketvaart Maatscappi, dari Sibolga menuju
Ulee-Lheue, Aceh. Saya yang masih dalam perawatan di rumah sakit karena jatuh dari
pohon kelapa, mau tak mau harus ikut. Tidak pakai tandu, dengan menggunakan kursi
biasa, bahan kursi roda, saya dibantu empat orang untuk naik ke kapal. Masing-masing
mengangkat satu kaki kursi.

22
Setelah naik kapal selama dua hari dua malam lebih, kami pun sampai di Ulee-
Lheue. Ombaknya luar biasa tinggi sekali—hampir setinggi pohon kelapa. Kapal melego
jangkar di laut. Penumpang pun diturunkan satu per satu ke perahu penjemputan.
Caranya, perahu ditunggu dulu terangkat ombak tinggi, sehingga mendekati sejajar
dengan kapal. Pada saat itulah penumpang dipindahkan.

Pada saat perahu turun oleh ombak, rasanya seperti jatuh terhempas ke bawah.
Pada saat saya dipindahkan, rasanya seperti jatuh dari pohon kelapa lagi. Maklum,
kondisi saya waktu itu belum pulih. Dari sana kami naik perahu penjemputan menuju
Kutaraja, Banda Aceh, tempat di mana ayah saya ditugaskan.

Di Kutaraja, kami tinggal sementara di sebuah hotel bernama Hotel Merdeka di


daerah Merduati karena waktu itu belum ada perumahan untuk pegawai Kantor Urusan
Agama. Dua hari di sana, saya kembali dirawat di RSU Kutaraja untuk pemulihan patah
tulang saya. Kaki saya yang belum kuat berjalan dan lutut kanan saya tidak bisa
dibengkokkan.

Kenyataanya, setelah sebulan di rumah sakit tersebut saya tidak mendapatkan


terapi apa pun. Saya pun dipulangkan ke rumah. Selama dua minggu di rumah, ayah saya
pun mencari sekolah yang layak menurutnya terbaik untuk saya. Sekolah yang dipilihnya
waktu itu ialah SR Kedah, yang tidak jauh dari Merduati.

Nah, pada saat mau masuk sekolah ini, lucu juga ceritanya. Soalnya, saat itu guru
sekolah menanyakan, “Kelas berapa?”

“Kelas enam,” jawab saya.

“Kelas enam, mana bukti kenaikan kelasnya?” Guru kepala berkeras. Saya juga
tak mau kalau masih tetap kelas lima. Masak tiga tahun kelas lima, pikir saya ketika itu.
Akhirnya guru kepala sekolah tersebut pun menyerah. “Kita coba dulu,” katanya. Saya
diperbolehkan masuk ke kelas enam dengan kesepakatan, kalau tidak sanggup, maka saya
akan diturunkan ke kelas lima.

23
Saya pun sekolah, namun hanya satu hari saya sekolah di sana. Ternyata, pada saat
itu, ayah kedatangan tamu teman sekantornya. Dia membawa berita bahwa ada seorang
dukun patah di Gayo, Takengon yang sudah berpengalaman menyembuhkan orang yang
patah tulang. Sebelumnya, ayah memang sudah mencaritahu kemana-mana dukun patah
yang bisa menyembuhkan kaki saya. Tamu tersebut berhasil meyakinkan ayah saya dan
beliau setuju membawa saya ke dukun patah tersebut.

Waktu itu, jalan saya terpincang-pincang. Besok paginya, saya dijemput dan
dibawa ke Takengon. Ayah ikut mengantar naik bus sampai ke Gayo, menjumpai dukun
patah yang terkenal itu. Untuk sementara, sekolah saya pun harus dihentikan. Artinya,
hanya sehari saja saya sekolah di SR Kedah, padahal sebelumnya sempat terjadi
perdebatan agar saya bisa sekolah di situ.

Ayah sempat tinggal sehari di rumah dukun patah menemani saya. Setelah itu saya
tinggal di rumah dukun patah itu selama enam bulan. Saya memanggil sang dukun patah
Awan, bahasa lokal yang berarti kakek. Hampir setiap malam saya menjerit pada saat
diurut. Kadang-kadang saya pura-pura tidur pada malamnya supaya tidak diurut.

Awan tinggal bersama Anan—panggilan untuk nenek, yang tidak lain adalah
istrinya. Mereka ditemani menantu mereka dengan dua cucu yang pada saat itu masih
berumur sekitar 2 tahun.

Pada saat itu, anaknya bernama Nurahman, ditahan oleh negara di penjara
Pematangsiantar karena diduga terlibat gerakan separatis Aceh. Belakangan, Nurahman
menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh.

Keluarga dukun patah tersebut sangat sayang kepada saya. Sehingga istri dukun
patah tersebut seperti ibu angkat saya. Setelah seminggu, saya masuk SR Bebesar yang
berada di Simpang Empat, Desa Bebesar, sampai akhirnya saya tamat.

Setamat dari sana dan dianggap pengobatan sudah selesai, saya kembali ke
Kutaraja. Sekitar enam bulan kemudian, ibukota provinsi dikembalikan ke Medan.
Lantas, ayah saya pun dipindahkan ke Medan. Kami hanya satu tahun di Aceh, namun
24
kami masih tetap mengingat kebaikan Awan dan Anan.

***

Ditempa Jadi Mandiri


Kisah perjuangan saya untuk mendapatkan pendidikan terbaik tak kalah unik dari
pengalaman sewaktu di sekolah rakyat. Bedanya, pada tahun-tahun berikutnya saya
ditempa jadi mandiri. Jika tidak, saya akan ketinggalan.

Sepindahnya di Kutaja, di Medan kami menumpang di satu rumah di Jalan


Cempaka. Tidak berapa lama kami tinggal sementara di Hotel Segar di Jalan Puri, hanya
beberapa puluh meter dari persimpangan Jalan Sisingamangaraja. Memang, pada masa-
masa itu, setiap perpindahan pegawai negeri biasanya menetap sementara di hotel hingga
mendapatkan perumahan tetap. Waktu itu, ketika Walikota Medan dijabat oleh Haji Muda
Siregar—yang kelak menjadi ayah mertua saya—pembangunan perumahan sedang baru
dimulai.

Selama kurang lebih satu tahun kami tinggal di hotel hingga akhirnya kami pindah
ke sebuah perumahan di Jalan Sungai Putih, kawasan Medan Baru. Setelah dapurnya
selesai, kami langsung pindah ke sana. Selanjutnya, rumah itu dibangun ayah saya

25
perlahan-lahan dengan biaya sendiri.

Karena ayah saya adalah penganut ajaran Muhammadyah, maka beliau pun
memasukkan saya ke SMP Muhammadyah di Jalan Demak. Sementara, adik saya
Badi’ah dan Rusdiah dimasukukkan di SR di Jalan Antara. Setiap dzuhur kami segera
berjalan ke sekolah masing-masing dengan melalui jalan pintas, sehingga tidak terasa
jauh.

Saya selala bersemangat ke sekolah sehingga nilai saya selalu bagus. Rapor saya
selalu berisi angka 8, 9 dan 10. Misalnya ketika kenaikan dari kelas dua ke kelas tiga,
angka 10 saya ada dua, angka 9 ada enam, hanya satu angka 7 dan tidak ada angka 6.
Pelajaran yang menonjol yaitu Aljabar. Bedanya, pada saat itu tidak ada pengumuman
juara seperti sekarang ini. Pun demikian, di sekolah saya dikenal siswa berprestasi.

Sebagaimana diketahui, waktu itu pada saat ujian nasional, semua soal ujian
dicetak di Jakarta dan dibagi ke seluruh sekolah di Indonesia. Amplop berisi soal ujian
dibuka pada saat ujian. Jawabannya menyusul dan diumumkan oleh pejabat tertentu.

Tapi, saya tidak pernah kesulitan setiap kali menghadapi ujian, walaupun saya
lebih sering belajar sendiri. Ayah sendiri adalah guru mengaji dan tak tahu Aljabar,
sehingga waktu itu saya belajar Aljabar dan pelajaran lainnya tanpa guru les.

Namun, saya tidak menamatkan SMP saya dari sekolah itu. Karena pada akhirnya
saya pindah dari sana begitu mengetahui ada guru yang saya rasa tidak bijak dalam hal
mendidik murid-muridnya. Saya merasa ada pembeda-bedaan yang dilakukan oleh guru
kepada muridnya.

Kejadiannya bermula saat masih di kelas 2 dan mau naik ke kelas 3, saya
mendapat suatu soal ujian yang biasanya diuji pada ujian nasional SMP. Suatu ketika saya
mengerjakan soal Aljabar yang dianggap sangat sulit. Setelah mengerjakannya dengan
susah payah, dengan bangga dan gegap gempita saya tunjukkan ke guru Aljabar saya.
Namun, setelah saya berikan, beliau tidak langsung memberi jawaban.

26
“Nanti saya lihat dulu,” kata guru saya itu.

Setelah dua hari, saya tanyakan guru tersebut, namun dia mengatakan belum
melihatnya.

“Nantilah saya lihat dulu, belum sempat,” katanya.

Dua kali saya mendapat jawaban seperti itu. Saya semakin penasaran, kenapa
belum juga guru tersebut memberikan jawaban. Apakah sudah memeriksanya atau
belum? Berangkat dari rasa penasaran itu, saya pun pergi menelusuri rumah guru saya itu,
yang ternyata tidak jauh dari rumah saya. Rumahnya di Jalan Sei Petani, yang tak begitu
jauh dari rumah kami di Jalan Sei Putih. Rumah guru saya itu rupanya sudah sering saya
lewati. Saya mau tahu pekerjaan saya itu pekerjaan saya itu benar atau tidak.

Saya naik sepeda ke rumahnya. Waktu itu sekitar pukul lima sore tampak beberapa
orang duduk di depan rumahnya. Saya pun menghampiri mereka.

“Bapak ada?” saya tanyakan pada salah seorang dari mereka.

“O, ada. Sebentar saya beritahu, ya,” jawabnya. Namun, sekembalinya orang itu,
jawabannya seketika berubah.

“O bapak rupanya tidak ada,” katanya.

Baiklah saya pikir, dan saya pun pulang setelah mengucapkan terimakasih. Tapi,
waktu saya mengayuh sepeda ketika hendak pulang, saya melihat kembali ke rumah itu
dan tanpa sengaja melihat ke arah jendela depan rumah itu. Di situ saya lihat, ia
membuka tirai jendelanya dan saya lihat muncul bagian kepala guru saya itu. Rupanya
dia ada di dalam rumah. Sejak itu saya menilai guru saya itu tidak sportif dan saya pun
kecewa kepadanya.

“Guru kok begitu, ya,” gumam saya dalam hati.

Saya kecewa karena pada saat itu saya sudah berharap betul dengan jawaban atas
pekerjaan saya. Pada akhirnya saya tidak pernah menerima jawaban dari guru itu. Sejak

27
itu saya pun tidak pernah menyinggungnya. Saya cukup menyimpannya dalam hati.
Namun, pada saat itu saya mengambil sikap tegas untuk pindah dari sekolah itu.

Sesudah itu, saya mencari tahu di mana SMP Negeri terbaik di Medan saat itu.
Waktu itu masa hanya ada ada tiga SMP Negeri di Medan, yaitu SMP Negeri 1, SMP
Negeri 2 dan SMP Negeri 3. Dari ketiga SMP itu, SMP Negeri 2 dikenal sebagai yang
terbaik dan saya pun memutuskan untuk mencoba pindah ke SMP itu.

Tapi, untuk masuk ke sekolah bonafide itu, saya pun harus melalui perjuangan
yang tidak mudah. Langkah pertama yang saya lakukan ialah menemui langsung direktur
sekolah itu. Pada saat itu, tidak seperti sekarang, seorang direktur sekolah begitu
disegani, posisinya terhormat dan sangat dikenal di mana-mana. Beda dengan sekarang,
barangkali seorang rektor pun tak dikenali banyak orang.

Pada saat itu, Direktur SMP Negeri 2 ialah Bapak Kayamuddin Nasution. Beliau
dikenal banyak orang. Rumahnya di Jalan (Sei) Sungai Ular, sekarang Jalan D.I.
Panjaitan, dekat dengan Pajak Peringgan. Sosoknya, selain dikenal baik, juga terhormat
sebagai tokoh pendidik.

Berbekal keinginan kuat, saya pun ingin menemuinya di rumahnya di Jalan Sei
Ular. Ketika itu, saya mengajak teman akrab saya Ibrahim Astar Siregar —yang kelak ia
menjadi orang hebat dengan menjabat sebagai direktur keuangan di salah satu Badan
Usaha Milik Negara.

Waktu itu hari Sabtu menjelang sore dan kami bertemu dengan Pak Kayamuddin
Nasution. Begitu menghadap beliau, saya langsung memperkenalkan diri dan
menyampaikan niat saya ingin masuk ke SMP Negeri 2. Tapi, apa jawabannya ketika itu?

“Dari mana kian (sekolah) kamu rupanya?”

“SMP Muhammadyah, Pak,” jawab saya.

“Ini SMP negeri, Muhammadyah kan swasta.”

“Ya, Pak. Tapi angka saya bagus,” ucapku lagi dengan percaya diri.
28
“Mana kutengok!”

Saya berikan rapor saya dan beliau pun memeriksanya. Tapi, jawabannya masih
mengindikasikan setengah keyakinan.

“Memang bagus ini. Tapi…, ini kan swasta, bedalah. Berani diuji?” katanya
kemudian seolah menantang kemampuan akademis saya. Saya katakan berani dan siap.
Pada saat itu, beliau pun menyuruh saya datang pada hari Senin untuk mengikuti ujian.

“Hari Senin kau datang ke sekolah, jumpai saya di kantor saya,” pesannya.

Pada hari yang dijadwalkan itu, saya pun datang dengan semangat ke sekolah itu.
Sesampai di kantornya dan menghadapi beliau. Tanpa banyak basa-basi, kepada saya
langsung disodorkan kertas dan soal-soal ujian. Waktu itu yang diuji semua mata
pelajaran ujian naik kelas. Ujiannya satu mata pelajaran per hari dan berlangsung hingga
hari Jumat.

Pada hari terakhir saya diberi soal ujian Bahasa Indonesia dengan topik
mengarang. Nah, di situlah saya tulis cerita pengalaman saya ketika ikut mengungsi
dengan ayah dari Sibolga ke Padangsidimpuan. Karangan itu saya beri judul
“Pengalaman Yang Tak Terlupakan”.

Keesokan harinya, Sabtu sore, saya datang lagi ke rumah beliau. Saya
menanyakan apakah saya lulus atau tidak. “Kau masuk, hari Senin kau datang. Bawa
bangku,” kata Pak Nasution. Ya, pada masa itu memang setiap murid membawa
bangkunya sendiri ke sekolah. Waktu itu masih jaman bersih, jadi kalau mau sekolah
wajib bawa bangku sendiri.

Sepulang dari sekolah saya lapor ke ibu lebih dahulu, lalu ke ayah saya.

“Ayah, mulai hari Senin saya sekolah di SMP Negeri 2, ya…” ucapku kepada
beliau.

Ayah saya pun terkejut. “Eh, itu kan SMP Negeri,” katanya dengan nada agak
pesimis.
29
“Ialah, Yah. Tapi kan tidak bayar uang sekolah. Kalau di Muhammadyah kan
bayar, di sini tidak,” jawabku kemudian. Ayah saya belum percaya saya bisa masuk ke
SMP Negeri 2. Setelah saya katakan saya sudah mengikuti tes, ayah saya pun heran dan
mengiyakan. Beliau pun mengupayakan saya sebuah bangku.

Begitulah selanjutnya, saya pun menjalani sekolah di SMP ini dan selalu mendapat
nilai bagus. Pada saat mengikuti ujian akhir SMP, saya juga mendapat nilai yang bagus.
Setelah mengetahuinya, saya pun pergi menemui Pak Kayamuddin Nasution ingin
mengatakan bahwa saya lulus dengan nilai bagus. Sesampainya di ruangannya, rupanya
beliau sudah tahu.

“Iya, sudah saya tahu, tapi bukan kau yang terbaik,” ujarnya dengan ekspresi yang
berbeda. Saya menangkap pada saat itu ia mengharapkan sayalah harusnya yang
mendapat nilai yang terbaik pertama. Namun, bagi saya sebenarnya tidak mengharapkan
menjadi lulusan terbaik, yang penting lulus dengan nilai bagus.

Di sekolah ini saya punya teman yang akrab sampai tamat. Salah satunya ialah
Mansyur Nasution, yang kemudian menjadi Prof. Dr. Mansyur A. Nasution (almarhum),
Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin, yang pada masanya sangat terkenal di Kota
Medan.

Setelah lulus dari SMP tahun 1955, saya pun melirik SMA Negeri terbaik di
Medan saat itu. Ada dua pilihan saya, kalau tidak SMA Negeri 1, ya SMA Negeri 2. Saya
daftarkan diri di kedua sekolah itu karena keduanya mempunyai bagian Bahasa dan
Sastra dan Ilmu Pasti. Karena nilai saya bagus, saya pun diterima di kedua sekolah itu.
Tapi, saya akhirnya memilih SMA Negeri 1, yang saat itu masih berlokasi di Jalan Seram
Biru.

Itulah pengalaman saya waktu di SMP, yang mengajarkan saya pelajaran hidup
yang berharga. Bukan hanya mengenai perjuangan mendapatkan pendidikan yang baik
dengan prestasi yang membanggakan, tapi juga tentang kemandirian.

***
30
Perihal kemandirian ini juga menjadi satu prinsip dalam hidup saya.

Sejak tahun 1996 – 2008, tepat usia saya 70 tahun dan pensiun dari USU, saya
ditunjuk menjadi Ketua Tim Koordinasi Penerimaan Pendidikan Dokter Spesialis
(TKPPDS) Fakultas Kedokteran USU. Sehingga setiap dokter yang ingin dokter spesialis,
harus melalui saya. Semua dokumen saya sortir, mulai dari pengalaman kerja dan berkas
lainnya.

Saya kemudian menyalurkan semua berkas ke departemen bersangkutan, yang


terdiri dari 10 bagian. Merekalah yang menyeleksi dan melaporkan nama-nama yang
lulus. Pihak yang memutuskan bukan pada saya, melainkan departement terkait,
meskipun kami setiap bulan selalu rapat dengan kepala departemen terkait untuk
menyatukan persepsi.

Apabila semua persyaratan lengkap, sebenarnya jarang yang ditolak. Hanya saja,
meskipun sudah beberapa tahun bekerja, ada saja dokter yang masih ditemani
orangtuanya datang ke tempat saya. Saya tidak tahu tujuannya apa. Artinya, mereka tidak
percaya diri. Mungkin karena orangtuanya kenal dengan saya. Tapi, ada juga yang tidak
kenal.

Ketika saya menjadi Ketua Program Studi S-3, kejadian serupa juga terjadi. Saya
tidak habis pikir, seorang master atau sudah dokter spesialis yang mau jadi doktor, ada
juga yang ditemani orangtuanya datang ke tempat saya. Saya heran juga. Mungkin
mereka menganggap bahwa saya punya peran untuk menentukan kelulusan.

Karena begitu, akhirnya meja saya pun harus ditambah satu kursi lagi. Selain
untuk dokter tadi, juga kursi untuk orangtuanya. Ketika berhadapan dengan mereka, saya
kemukakan bahwa bukan saya penentu kelulusan. Keputusan ada di departemen.

Memang tidak banyak yang seperti itu, tapi saya rasa itu merupakan salah satu
indikasi kemunduran budaya di lingkungan pendidikan saat ini. Saya tidak habis pikir
dan kadang saya bisa marah dengan mental yang seperti itu. Kok, rasanya terjadi kontra
dengan apa yang terjadi masa masa saya dulu—sekitar 50 tahun lalu ketika saya masih
31
ingin masuk SMP, menemui Bapak Kayamuddin Nasution. Belakangan ini, terjadi
perubahan budaya. Bagi siapa yang membaca dengan arif, sangat tahulah perubahan yang
merupakan satu kemunduran itu.

***

Teman-teman Baik di Masa SMA


Waktu di SMA, saya sebenarnya tak punya pengalaman ketika di SMP, di mana
saya harus berjuang sendiri untuk masuk ke sekolah terbaik. Hanya saja, di waktu SMA-
lah saya dapat merasakan arti pertemanan dan lingkungan sekolah yang penuh disiplin.
Dan pada masa inilah saya mendapatkan banyak teman yang terus berkomunikasi sampai
kami menjalani karir masing-masing. Mereka semuanya baik-baik dan bila jumpa di
kemudian hari, kami senang bercerita kisah-kisah lama di SMA.

Dulu, kalau mau masuk SMA Negeri 1 itu memang harus lulusan SMP dengan
nilai bagus. Tak heran bila tak sedikit lulusan dari sekolah yang kelak jadi orang-orang
hebat, ada yang menjadi, dokter, gubernur, pejabat tinggi di BUMN dan beberapa orang

32
teman saya di sekolah ini juga ada yang berhasil menjadi Jenderal TNI.

Beberapa kawan sekolah saya yang kemudian jadi orang hebat itu misalnya Raja
Inal Siregar yang menjabat Gubernur Sumatera Utara ke-13 dan memerintah dari tahun
1988 hingga 1998. Ada juga dr. Darwan Purba. Dia adalah anak mantan Walikota Medan
ke-11, yaitu Madja Purba—sesudah dijabat oleh Haji Muda Siregar, yang kelak menjadi
ayah mertua saya. Teman saya ini ialah dokter spesialis mata yang punya andil besar
mendirikan Jakarta Eye Center pada tahun 1984.

Ada lagi dua teman dekat saya di SMA Negeri 1 yang kelak menjadi jenderal di
TNI, antara lain Brigjend. Effendi Ritonga dan Mayjen Haposan Silalahi. Ada juga yang
menjadi sekjen di Departemen Perindustrian. Semasa di SMA inilah saya punya banyak
teman yang pada tahun-tahun berikutnya menjadi sahabat baik dan saling mendukung
karir satu sama lain. Beberapa di antaranya M. Saleh Sarumpaet yang menjadi dosen di
IKIP Medan, Pardamean Sinulingga, Sorta Silalahi dan beberapa teman yang belakangan
sangat jarang bertemu karena terpencar untuk mengejar cita-cita masing-masing.

Saya juga belajar disiplin semasa di sekolah ini. Waktu itu saya sangat terkesan
dengan direktur sekolah yang sangat luar biasa. Beliau ialah Rondang M Simanjuntak,
yang memimpin sekolah itu dari tahun 1950 – 1960. Kepemimpinannya berwibawa dan
ia begitu disegani para murid. Suaranya tegas dan aturan dijalankan dengan tegas. Kami
merasakan hasil didikan beliau sehingga kelak tidak sedikit lulusan sekolah itu yang
kelak menjadi orang-orang besar dan berhasil.

Selain itu, saya juga merasakan bagusnya masa berteman di saat SMA dan di saat
ini pulalah saya mulai merokok. Ceritanya, waktu itu di kelas dua SMA itu, ada kawan
saya di kelas yang suka mengambil rokok bapaknya dan suka membagi-bagikannya
kepada kami. Dari situlah saya mulai juga ikut kebagian rokok. Sejak saat itu pula saya
jadi kelak perokok, dari perokok biasa sampai perokok yang candu. Saya pun bisa
berhenti merokok setelah operasi bypass jantung di Singapura.

Sampai kami lulus hingga sekarang, kami lulusan SMA Negeri angkatan tahun

33
1958 masih berhubungan baik. Belakangan, kami pernah berkumpul lagi di Jakarta dalam
satu acara reuni sekolah, yang diinisiasi Hesman Manaor Simanjuntak.

***

34
MENGEJAR CITA-CITA

“Harun Lubis…, Cum Laude!”


Saya tidak tahu persis kapan terbersit cita-cita menjadi dokter dalam benak saya.
Banyak saja memang, belakangan saya menyadari bahwa sejak masa kecil saya sudah
memiliki tanda-tanda ke sana. Itu saya sadari pada masa-masa saya sudah menjadi dokter.

Jadi, pada waktu ketika kami tinggal di Sigalangan, masa sesudah kami
mengungsi dari Sibolga, ada momen kecil yang tetap saya ingat. Suatu siang saya tidur di
rumah. Tiba-tiba saya dibangunkan suara kambing yang mengembik-embik kuat karena
kesakitan, tak jauh dari rumah.

Semula saya tidak tahu dan tidak terlalu peduli dengan kambing itu. Saya pun

35
kembali masuk ke rumah dan tidur lagi. Tetapi embikan kambing itu terdengar begitu
keras. Akhirnya, saya pun keluar dan mencari tahu, ada apa gerangan dengan kambing
itu?

Setelah saya keluar, saya mendapati kambing itu rupanya tersangkut kawat duri
sehingga membuat kulit di bagian tubuhnya terkoyak dan tersangkut di kawat. Darahnya
bercucuran ke tanah. Oh, ternyata itu yang bikin kambing ini ribut. Saya pun spontan
mengambil pisau dari rumah dan menyayat bagian kulit kambing yang tersangkut tadi.
Seketika si kambing lepas, walau masih kesakitan tapi dia sudah terbebas dari jeratan
kawat itu.

Belakangan saya sadari dari kejadian itu bahwa saya sudah belajar menyelesaikan
masalah. Barangkali itu pun berkaitan dengan profesi saya kelak.

Namun, bukan hanya itu. Mengenai cita-cita dan masa depan pernah menjadi
obrolan dengan sahabat saya ketika masih SMA. Teman saya itu, Ibrahim Astar Siregar,
kelak menjadi Direktur Keuangan di PLN. Saya teman dekat dengan dia karena kebetulan
dia sekampung dengan saya. Kami dekat, barangkali karena ada chemistry-nya.

Suatu kali kami bicara tentang cita-cita dan saya pernah sebutkan kepadanya,
kelak saya akan menjadi dokter. Namun, saya mengatakan itu sepintas saja. Barangkali
hanya obrolan anak muda kebanyakan saja, yang kadang antara serius dan tidak serius.
Pada akhirnya, saya memang menjadi dokter, namun sebelum itu tercapai, banyak kisah
dan perjalanan yang mesti saya lalui dulu.

***

Jadi, setamat SMA, teman-teman semua bercerita mau ke sana, mau ke sini. Mau
ke Surabaya, mau kuliah ke Bandung dan banyak cerita saya dengar, teman-teman saya
akan pergi mencapai impiannya ke luar daerah. Bagi saya anak pegawai negeri ini,
manalah mungkin bisa seperti mereka. Saya punya keterbatasan besar terutama dalam hal
ekonomi.

36
Rasa minder ada, namun waktu itu saya menjalani apa adanya. Tidak terlalu
banyak muluk-muluk, namun tetap mencari peluang yang cocok untuk saya. Hingga
suatu ketika, saya membaca koran yang menerbitkan iklan pengumuman. Isinya: “Dicari
pemuda-pemudi Indonesia menjadi perwira Angkatan Laut…”

Kala itu ada empat jenis tenaga yang dibutuhkan untuk dididik. Namun, saya
tertarik untuk pilihan yang terakhir, yaitu untuk tenaga apoteker, dengan beasiswa di
Surabaya. Waktu itu saya tunjukkan iklan itu orangtua saya. Namun, ayah saya memberi
jawaban yang membuat keinginan saya pupus.

“Apa ongkosmu nanti ke Surabaya?”

Mendengar itu, saya hanya bisa terdiam dan tak lagi melanjutkan keinginan itu.
Mungkin waktu itu, ada rencana lain untuk saya.

Barangkali saya tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang apoteker. Sebab, tak
lama kemudian dibukalah penerimaan Mahasiswa Kedokteran di Universitas Sumatera
Utara (USU) dengan melalui tes. Saya sempat berpikir dua kali apakah akan ikut atau
tidak, sebab dari mana nanti biayanya kalau saya nanti kuliah.

Saya tak mau berpikir panjang lebar. Saya sebenarnya tertariknya testingnya itu,
bahwa saya nanti akan menjadi mahasiwiswa kedokteran, sama sekali tidak terpikir oleh
saya. Karena, saya merasa nanti siapa yang akan membiayainya?

Saya hanya tertarik dengan testing itu. Sekali lagi saya hanya ingin menguji
kemampuan saya. Sebab, ketika ujian SMA, ijazah SMA saya ada dua angka 10,
selainnya angka 8 dan 9. Hanya ada satu angka 7 yaitu pelajaran Bahasa Jerman.
Pelajaran lainnya, angka 8 dan 9.

Kalau saya perkirakan waktu itu, nilai sayalah yang paling tinggi di seluruh SMA
yang ada di Sumatera Utara pada saat itu. Tapi, dulu tidak ada sistem juara dan tidak
pernah dipublikasikan. Saya pun tidak pernah membandingkan nilai saya dengan teman-
teman di sekolah saya. Sebab, yang menjadi prioritas setelah lulus sekolah itu ialah

37
pertanyaan, “Kemana setelah lulus?” Jadi, saya tidak begitu menggembar-gemborkan
nilai saya yang tinggi itu. Pada masa itu memang begitulah budaya di lingkungan
pendidikan.

Saya ikut testing dan diumumkan. Dari 100 rang yang dterima, saya nomor dua.
Pertama, seorang yang bernama Poltak Simbolon. Saya tak kenal dia dari SMA mana.
Setelah namanya, baru nama saya. Pengumuman itu saya bawa ke orangtua. Namun,
jawaban yang saya dapatkan pada awalnya masih belum meyakinkan.

Hingga waktu ada semacam solusi dari ayah saya yang mengindikasikan, “Kalau
uang masuk barangkali masih ada bisa kita sisihkan. Jalani saya dulu, mau sampai di
mana nanti perjalanan kuliahmu di kedokteran, sampai di situlah…”

Saya pun terima dengan syarat itu. Maka, mulailah saya menjadi mahasiswa
angkatan tahun 1958 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang pada masa
itu juga berlokasi di Jalan Seram. Seperti tradisi di kampus, saya ikut dipelonco dan
mengikuti kelas, sampai praktikum di laboratorium.

Perjalanan kuliah saya lancar dan nilai saya selalu bagus. Padahal waktu tidak
mudah mudah untuk lulus dari dosen-dosen yang pada saat itu banyak berasal dari Eropa,
seperti Inggris, Jerman dan Belanda.

Masa itu ada satu dosen asal Belanda, yaitu Profesor Althuisius yang mengajar
tiga pelajaran sekaligus, yaitu Fisika, Kimia dan Biologi. Tidak mudah lulus dari
kelasnya dan tidak sedikit yang mengulang, baru lulus.

Suatu kali, ketika saya sedang berada di laboratorium, beliau menemui saya dan
meminta saya datang ke ruangannya.

“Zeg, kamu punya nama Harun Lubis?”

“Iya prof…”

“Mari sini…” dia menyuruh saya datang ke ruangannya.

38
“Saya dengar kamu punya angka Kimia di SMA 10?”

“Iya prof…”

“Kamu dengar ya, itu angka 10 bukan untuk siswa SMA. Itu untuk profesor. Siswa
tidak ada angka 10. Tapi, saya lihat hanya kamu yang punya angka 10, ya…”

Saya mencoba memahami maksud profesor itu. Barangkali ia ingin berpesan


bahwa saya memang punya nilai bagus, namun bagaimana mungkin saya bisa
mendapatkan nilai yang terbilang jarang diraih itu. Belakangan, profesor tersebut
memang mengamati perjalanan kuliah saya.

Pada saat kenaikan ke tingkat dua, saya cukup terkejut karena mendapat nilai cum
laude. Pada saat itu, mahasiswa yang mendapat indeks prestasi cum laude disebut cum
lauder. Momen itu sangat bersejarah bagi saya. Seperti biasa, setiap tahun, pada saat ujian
akhir diumumkan nama-nama mahasiswa dengan pencapaiannya.

Sebelum dimumkan, skenarionya biasanya seperti ini:

Pada hari tersebut, biasanya hari Sabtu pagi, para dosen rapat di ruang tertentu.
Biasanya yang wajib hadir pada rapat itu, Dekan, Pembantu Dekan 1 (PD 1) dan dosen
penguji, bisa satu atau dua orang. Saya masih ingat, waktu kami berpakaian putih dan
mengenakan dasi hitam. Dasi saya pinjam dari teman.

Setelah selesai rapat sekitar pukul 11.00, KTU akan mulai memanggil nama-nama
mahasiswa yang telah ikut ujian. Para mahasiswa, sekitar 120 orang, sebelumnya sudah
menunggu di luar ruangan. Kami disuruh masuk secara bertahap. Dan mulailah waktunya
memanggil nama mahasiswa satu persatu.

“Si ini, si ini, si ini… Mengulang duabelas bulan…”

“Si ini, si ini, si ini… Mengulang sembilan bulan…”

“Si ini, si ini, si ini… Mengulang enam bulan…”

“Si ini, si ini, si ini…. Mengulang tiga bulan…”

39
Seperti mahasiswa lainnya, saya ikut cemas pada saat pemanggilan nama itu.
Setelah pemanggilan pertama dan kedua, saya belum juga dipanggil. Pengumuman
dilanjutkan kembali dengan menyebutkan nama-nama dan hasil ujiannya.

“Si ini, si ini, si ini… lulus dengan tugas tiga bulan!”

“Si ini, si ini, si ini… lulus dengan tugas enam bulan!”

“Si ini, si ini, si ini… tidak lulus!”

Nama saya belum juga dipanggil.

Teman-teman saya, yang namanya sudah diumumkan, ada yang gembira karena
lulus. Ada yang lemas karena disuruh mengulang lagi.

Setelah menunggu cukup lama dengan rasa cemas, akhirnya tibalah waktunya.
Sudah siang hari, setelah pemanggilan kesekian kali, saya masuk daftar masasiswa
pemanggilan terakhir. Mula-mula nama teman saya. Setelah semua nama dipanggil, saya
tinggal sendirian di ruangan, yang terakhir. Dekan pun membacakan nama saya.

“Harun Lubis!”

Saya bersiap. Lumayan gugup.

“Cum laude!”

Lega sekali rasanya begitu mendengar pengumuman itu. Saya lulus dengan pujian.
Sebenarnya masih ada prestasi yang lebih membanggakan yaitu summa cum laude dan
magna cum laude, namun itu sangat jarang. Cum laude saja pun masih jarang. Baru saya
yang pertama di angkatan saya setelah sebelumnya pernah dicapai seorang mahawiswa
dari angkatan ketiga.

Ketika mendengar saya menjadi mahasiswa cum lauder, hati saya sangat gembira.
Saya sontak berteriak, “Horeeee!” Saya pun dipeluk ramai-ramai.

Setelah itu, teman-teman mengajak saya ke sebuah kantin, tidak jauh dari kampus,

40
namanya Warung Marhaenis. Saya tidak tahu itu bakal menjadi semacam perayaan atau
bukan. Kami makan misop rame-rame, namun belakangan saya tidak tahu siapa yang
membayar itu semua.

Cerita berlanjut, selama tahun pertama sudah ada tanda-tanda bahwa saya akan
diberi penugasan (job) di belakang hari oleh Guru Besar Kimia, yang masa itu dijabat
oleh orang Belanda. Setelah naik ke tingkat dua, saya pun didatangi profesor Kimia itu
dan ditawari menjadi asisten dosen. Saya sempat terkejut dan tentu saja tawaran itu cepat-
cepat saya terima.

“Saya mau, prof…”

Setelah saya menjadi asisten dosen, rasanya selesai sudah masalah yang
dicemaskan orangtua saya tentang keberlanjutan perkuliahan saya. Sebab, ketika diangkat
menjadi asisten dosen, saya segera mendapat tunjangan honor Rp 125 per bulan. Ya, pada
masa itu honor sejumlah itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan sendiri yang masih
mahasiswa. Bahkan pada hari Sabtu, uang dari honor itu masih bisa saya sisihkan untuk
kesenangan saya, yaitu menonton film di bioskop.

Tak hanya sampai di situ, pencapaian saya sebagai mahasiswa cum lauder itu
rupanya tak hanya tersiar di lingkungan Fakultas Kedokteran saja, tapi tersiar kemana-
mana. Bahkan di lingkungan istri-istri pejabat pun nama saya mulai dibicarakan. “Itulah
yang namanya Harun Lubis, mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang mendapat
prestasi cum laude itu…”

Pada saat itu, saya memang sudah punya pergaulan yang luas di lingkungan
kampus dan anak-anak kedokteran. Beberapa di antara mereka sudah menjadi teman
akrab dan saya sering ke rumahnya, tidak hanya sekadar bermain, tapi juga mengajari
mereka pelajaran di kampus. Dari situ, saya sudah dikenal di kalangan teman-teman dan
orang tua mereka juga tahu. Tak sedikit teman saya di kedokteran adalah anak-anak
pejabat, termasuk anak walikota. Belakangan teman saya itu menjadi ahli THT. Dia
sekelas dengan Raja Inal Siregar waktu di SMA Negeri 1.

41
Dalam beberapa acara pejabat, beberapa kali saya pernah diajak teman saya. Di
situ saya dengar dengan Bahasa Belanda, mereka membicarakan saya. “Itulah mahasiswa
yang kedokteran yang lulus dengan nilai cum laude itu.”

Pada tahun keempat, saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),
ditempatkan di USU dengan pangkat golongan F-3. Saya tidak ingat berapa gaji pokok
saya pada saat itu.

Selama menjadi mahasiswa ke kedokteran, nama saya juga cukup dikenal karena
saya sering menjadi perwakilan kelas dalam setiap kegiatan di kampus. Apalagi, saya
juga pernah menjadi Anggota Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran mulai dari tingkat
dua sampai tingkat tiga, hingga kemudian menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas dan
Wakil Ketua Dewan Mahasiswa USU.

Saya sempat menjadi student assistant dan mendapat honor setiap bulan meskipun
dalam setahun itu, aktif paling lama sekitar tiga sampai empat bulan di laboratorium.
Saya sudah pegawai negeri setelah sebelumnya mendapat beasiswa. Sehingga saya
mendapat dua pemasukan. Selain dari asisten dosen, saya juga mendapat gaji dari
universitas.

Ya sudah, persoalan selesai. Orangtua saya tidak perlu lagi pusing memikirkan
bagaimana membiayai saya selama kuliah di FK karena saya sudah mandiri sejak saat itu
dalam pembiyaan pendidikan. Sebenarnya, saya pun tidak bayar uang kuliah pada saat
itu, karena saya masuk kedokteran melalui tes. Biaya yang harus saya keluarkan biasanya
untuk membeli buku dan keperluan praktikum.

Pada masa itu, nyaris tidak ada waktu saya yang terpakai untuk kegiatan yang
tidak berguna, kecuali nonton bioskop pada akhir pekan. Selebihnya saya gunakan waktu
saya di kelas sebagai asisten, di laboratorium dan mengikuti kegiatan di organisasi
kemahasiswaan.

Saya menjalani kuliah selama delapan tahun. Pada 18 Juni 1966 saya akhirnya
tamat dari Fakultas Kedokteran USU setelah melewati berbagai gejolak yang saya lewati
42
pada saat itu, termasuk melewati masa-masa kelam Gerakan 30 September PKI dan
Pemberontakan Kolonel Maludin Simbolon. Situasi genting pada masa-masa itu turut
mempengaruhi masa-masa kuliah yang membuat waktu ujian mundur.

Sebelum mencapai kelulusan itu, waktu itu dr. Muhammad Arifin yang merupakan
dosen Ilmu Penyakit Dalam mengatakan kepada agar setelah lulus saya bekerja di Bagian
Penyakit Dalam sebagai asisten. Beliau ialah dosen yang menguji saya pada saat itu.
Setelah selesai ujian, di luar ruangan dia mengatakan kepada saya agar nanti bekerja di
bagian penyakit dalam. Waktu itu saya lulus dengan catatan (vermelding).

Ujian Arts-1, pada saat itu terbilang ketat. Pada saat ujian mahasiswa disuruh
masuk ke dalam ruang ujian, di mana ada tiga hingga empat panelis yang langsung
menguji. Setelah melewati berbagai pertanyaan, mahasiswa disuruh keluar dan
selanjutnya hasilnya akan diberitahu.

Pada ujian doktoral dua lebih sulit lagi, karena ada pasien yang dihadirkan dalam
ujian. Selain mendapatkan pertanyaan, mahasiswa diminta memberi catatan, diagnosa
dan memberikan anjuran pengobatan. Semua itu harus dipertanggungjawabkan dan
dibacakan di depan panel penguji dan akan ditanyakan oleh panel. Ujian itu tentu lebih
berat karena dianggap sudah merupakan ujian praktek langsung dan ujian penguasaan
ilmu.

Biasanya, kalau mahasiswa menjawab gelagapan, bicaranya terbata-bata,


umumnya tidak akan lulus dan akan diwajibkan mengulang perkuliahan selama tiga
hingga setahun perkuliahan. Nah, yang paling sedih kalau disuruh mengulang setahun. Itu
namanya balik ke nol.

Saya sendiri tidak pernah mengulang dan tak jarang saya bisa mengejar
mahasiswa yang sudah lebih dahulu masuk dari saya. Sehingga kami belajar di kelas
yang sama, padahal tahun angkatannya mereka lebih duluan daripada saya. Bahkan,
beberapa di antara mereka (mahasiswa senior) belajar kepada saya.

Namun, setelah mengikuti ujian saya merasa sedih. Sebabnya, waktu itu ada teman
43
akrab saya yang harus mengulang. Saya lulus, beliau tidak. Padahal kami ujian di waktu
yang sama. Teman saya itu Syarifuddin Munthe, asalnya dari Rantauprapat. Belakangan
ia pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Dengan dialah kemudian saya merayakan kelulusan saya dari Fakultas Kedokteran
saat itu. Kami makan pecal di Jalan Sei Bahorok. Waktu itu karena saya sedang tidak
punya uang, dia pula yang traktir makan pecalnya. Itulah selebrasi kelulusan saya dari
Fakultas Kedokteran.

Selebrasi berlebihan bukanlah kebiasaan bagi saya, termasuk bagi keluarga. Itulah
kenapa ketika saya beritahu kepada ayah dan ibu saya bahwa saya sudah lulus dan sudah
menjadi dokter, tidak ada selebrasi selain ucapan syukur. Ayah waktu itu hanya berpesan,
jangan tinggalkan sholat, berterimakasihlah kepada Tuhan.

“Alhamdullilah, syukurilah. Jangan tinggalkan sholat, berterimakasihlah kepada


Tuhan,” begitu pesan ayah saya kala itu. Kami tidak mengenal nama selebrasi berlebihan,
seperti yang menjadi tradisi di Fakultas Kedokteran USU di era bertahun-tahun sesudah
masa kami.

Orangtua saya memang tidak punya cita-cita tinggi kepada anak-anaknya. Dia
tidak suka muluk-muluk, namun mengalir apa adanya. Barangkali ada rasa terkejut dalam
hati orangtua saya, namun mereka merespon dengan tidak berlebihan.

Saya mengenal ayah saya bukanlah tipe orangtua yang begitu muluk-muluk untuk
menjadikan semua anaknya menjadi anak-anak hebat, meskipun pada akhirnya semua
anak-anaknya sekolah dengan baik. Selain saya, adik saya juga ada yang kelak menjadi
dokter. Adik-adik saya yang lain juga ada yang kemudian menjadi dokter, guru dan punya
pekerjaan yang baik.

Ayah kami juga bukan tipe orangtua yang terlalu keras (strenght) dalam mendidik
anak-anaknya, namun tidak juga longgar sekali. Tidak ada aturan-aturan khusus di rumah.
Hanya saja, kebiasaan yang tidak bisa kami tinggalkan setiap hari di rumah ialah sholat
berjamaah. Sudah menjadi tradisi, saat maghrib, kami sudah bersiap untuk sholat
44
berjamaah.

Perjalanan hidup keluarga yang tidak mampu untuk berlebih menjadikan kami
terbilang tidak suka bermewah-mewah. Wajar ketika saya lulus menjadi dokter, tak ada
kata lain dari ayah saya selain berpesan agar tetap bersyukur.

Kelak ketika saya menjadi dokter, bukan pula cita-cita muluk-muluk orangtua,
sebab ia punya prinsip seperti air yang mengalir apa adanya. Dia tidak pernah
memaksakan sesuatu di luar kehendaknya. Sebagai pegawai negeri dengan punya anak
banyak memang bukan posisi yang tepat untuk bercita-cita tinggi, meskipun segala usaha
telah dilakukan ayah saya.

Selain bekerja sebagai pegawai di Kantor Urusan Agama, dia juga berladang
bersama ibu di daerah Saentis, Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Saya juga beberapa kali
bermalam di ladang untuk membantu ayah. Ayah saya menanam padi dan sayuran di
sana. Kesederhanaan itu yang membuat saya tidak berharap lebih untuk sebuah selebrasi
ketika lulus menjadi dokter.

***

Setelah tamat dari Fakultas Kedokteran USU, kemudian saya diminta menjadi
asisten di Bagian Ilmu Penyakit Dalam (IPD), sebagai kelanjutan dari tawaran yang telah
diberikan dr. Muhammad Arifin kepada saya sewaktu lulus ujian Arts-1, karena nilai yang
bagus sewaktu ujian mata pelajaran Ilmu Penyakit Dalam. Kasus yang diujikan pada saya
waktu itu adalah Nefrologi.

Beberapa lama saya merangkap kepembimbingan di Bagian Kimia dan Bagian


IPD, sekitar dua tahun, selanjutnya saya fokus ke Bagian IPD. Tugas saya ialah
membimbing dokter muda (Co-assistant) di Bagian IPD dan belajar memperdalam ilmu
keterampilan IPD, agar pada waktunya dapat meraih gelar spesialis.

***

45
Ketika Harus Memilih
Setelah lulus jadi dokter, saya masih sempat menjalani aktivitas sebagai asisten
dosen Kimia di Fakultas Kedokteran USU. Saya pun sempat menjadi asisten dosen
pembimbing dokter muda (co-assistant) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam (IPD) dan

46
bekerja di rumah sakit, tapi gaji dari fakultas sebagai pegawai negeri—tidak dari rumah
sakit umum.

Ketika itu, saya menghadapi berbagai pasien korban gejolak yang terjadi pada saat
itu. Seperti diketahui, pada saat itu HMI merupakan organisasi yang menentang
keberadaan PKI. Secara ideologi, tentu saja sangat berlawanan. Namun, pada saat itu
ketika saya juga mulai menjalani profesi sebagai dokter, juga sering menangani dampak
peristiwa itu. Saya ikut menangani korban-korban yang ikut gerakan PKI pada saat itu.
Secara ideologi berlawanan, tapi secara profesi, saya harus melaksanakan tugas saya
sebaik-baiknya sebagai dokter. Karena bagi saya profesi dokter menyangkut
kemanusiaan, bukan soal ideologi.

Sebenarnya, setelah menjadi dokter saya sempat melewati masa-masa bingung,


mau kemana setelah jadi dokter? Waktu tahun-tahun terakhir di kedokteran, lima tahun
kuliah, kadang-kadang saya masih membimbing praktikum. Tahun keenam tidak ada lagi
kuliah. Kerjanya di rumah sakit sebagai co-assistant (coass), residen sepanjang hari, tapi
pada sore dan malam bebas, siang hari kerja. Saat itu, ada beberapa mahasiswa saya di
Fakultas Kedokteran memberi saya pekerjaan private less, baik untuk anak SMP maupun
anak SMA. Biasanya pelajaran eksakta (Fisika, Kimia dan Aljabar). Biasanya untuk ujian
naik kelas. Walau saya sudah jadi dokter, tapi saya pergi mengajar masih naik sepeda
pergi mengajar private less. Pada masa itu, sebenarnya ada gengsi tersendiri buat para
dokter. Biasanya sudah malu kalau masih naik sepeda, ya, minimal harusnya naik sepeda
motor, waktu itu yang populer bromfit.

Hal yang membuat saya bingung akan mengambil arah masa depan ke mana ialah,
di sisi lain, kalau saya mau tetap jadi dokter, maka harus mengikuti penempatan ke
daerah, atau cari pekerjaan sendiri. Lamar sendiri, misalnya perkebunan swasta.
Pekerjaannya wajib mendatangi karyawannya sekali seminggu.

Sebagai dosen di laboratorium, saya tetap mendapat tunjangan honor walaupun


hanya tiga bulan aktif dalam setahun, gajinya tetap per bulan. Saya juga pegawai negeri

47
sejak tahun keempat, golongan F-3 setelah tamat menjadi dokter. Tapi gajinya masih
cukup untuk diri sendiri—untuk nonton bioskop lebih dari cukup. Dan untuk memberi
lebih kepada orangtua pada saat itu bisa dikatakan belum bisa.

Dalam situasi itu, muncul pikiran, rasanya kok tidak bisa mempraktekkan ilmu
kedokteran. Harusnya saya buka praktek sendiri. Namun, keinginan itu masih saya
simpan, karena harus terlebih dahulu menjadi dokter spesialis.

Dalam keadaan bingung seperti itu, saya tetap memberi private less setiap sore,
yang paling jauh dekat Jalan Teladan, murid saya anak-anak SMA waktu itu. Ada juga
mahasiswa tingkat satu yang ingin ujin untuk lulus C-1. Karena saya mengajar di fakultas
itu untuk tingkat satu. Jadi dari segi keuangan sebenarnya lumayan untuk seorang lajang,
walaupun belum menyumbang untuk orangtua. Masih mampu membutuhi kebutuhan
sendiri. Saya tidak ingat berapa tahun sampai kapan mengajar private less, tapi lumayan
lama.

Kembali ke soal kebingungan tadi, waktu itu saya dihadapkan pada pilihan, yaitu
meninggalkan fakultas kedokteran atau bekerja di bidang yang lain. Pernah saya
kepikiran untuk pulang kampung, namun saya urungkan karena mungkin tidak akan
mengembangkan karir saya di kedokteran. Jadi, belakangan akhirnya saya putuskan tetap
di kedokteran dengan meningkatkan keilmuan menjadi dokter spesialis.

Pada masa itu, pendidikan dokter di Indonesia belum teratur dan belum dengan
kurikulum yang baku. Seorang dokter untuk menjadi dokter spesialis harus mengikuti
seorang spesialis senior atau profesor, sampai sang pembimbing merasa bimbingannya
sudah cukup. Mungkin sang pembimbing akan memberikan sepucuk surat atau notes
bahwa sang dokter telah cukup matang untuk berpraktek sebagai dokter spesialis. Dokter
tersebut membawa notes itu ke Biro Pendaftaran Dokter Spesialis di Jakarta dan
mendapat keterangan sudah terdaftar. Selesai.

Seorang calong dokter spesialis belum tentu harus bekerja di RS Pendidikan resmi,
48
di mana ada peserta didik lain dan termasuk kepada pendidikannya tugas membimbing
perserta didik lain itu. Boleh di mana saja sang pembimbing juga bekerja. Pada masa di
mana sudah ada pendidikan dengan memakai RS Pendidikan masa tugas membimbing
peserta didik lain ini merupakan bagian pokok dari pendidikan dokter spesialis.
Tujuannya untuk mencapai lahirnya dokter spesialis yang lebih berkualitas. Saya menjadi
dokter spesialis dengan tata cara itu. Dewasa ini Pendidikan Dokter Spesialis sudah
teratut dengan kurikulum baku secara nasional, juga sudah menerapkan ujian nasional.

Pada awal tahun 1974, di suatu siang, saya ikut mengantar Kepala Bagian IPD, dr.
Kadri, pulang dari Rumah Sakit Umum Pusat Provinsi (RSUPP)—belakangan namanya
menjadi RS Pirngadi, Medan. Dalam perjalanan terjadi pembicaraan yang diarahkan
beliau ke hal mengenai pendidikan saya sebagai calon internist (Dokter Spesialis IPD).
Waktu itu beliau berpendapat bahwa saya sudah cukup matang untuk diberi Surat
Keterangan Layak menjadi dokter spesialis. Saya sangat gembira dan berharap. Akan
tetapi, ternyata tidak ada tindak lanjutnya.

Pada pertengahan tahun muncul berita bahwa akan ada pengiriman rombongan
Dokter Spesialis Indonesia yang akan dikirim ke negeri Belanda untuk pendidikan
lanjutan. Dari USU, waktu itu ditentukan calon pesertanya dari Bagian IPD. Pada saat itu,
dr. Kadri mengajukan nama saya dan diterima oleh dekan. Untuk keperluan itu, sebagai
Kepala Bagian IPD beliau menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa saya
sudah menyelesaikan pendidikan spesialis IPD. Bekal itulah yang kemudian saya bawa
ke Belanda.

***

Menimba Ilmu Sampai Negeri Belanda


Program pengiriman rombongan Dokter Spesialis Indonesia ke negeri Belanda
pada tahun 1974 merupakan titik balik terbesar dalam karir saya sebagai dokter pada
tahun-tahun berikutnya.

49
Sebelumnya, pada tahun 1972 sebenarnya ada program pengiriman dokter untuk
belajar ke Australia. Saya sudah dijadwalkan pergi, namun entah karena apa tiba-tiba
batal. Begitu ada info bakal program belajar ke negeri Belanda dua tahun berikutnya,
kesempatan itu pun tidak saya lewatkan.

Beruntungnya lagi, sebelum ke sana saya mendapat kesempatan mengikuti course


di Singapura melalui program beasiswa. Salah satu syaratnya harus bahasa Inggris. Saya
beruntung karena sejak awal saya sudah suka bahasa Inggris, karena saya suka menonton
film Barat. Saya sempat minta perpanjang masa course di Singapura selama satu bulan
lagi, namun akhirnya diperpanjang selama tiga minggu.

Di negeri Singa itu saya, saya diberi kesempatan untuk magang (attachment) di
Department of Internal Medicine di Singapore General Hospital di Outram Road (SGH).
SGH merupakan salah satu rumah sakit tertua di Singapura dan dikenal memiliki reputasi
bagus, bahkan sampai saat ini.

Selama tiga kemudian di Singapura, saya ikut dengan salah seorang ahli ginjal
(nephrologist) dan selama di sana saya tinggal di asrama di rumah sakit itu. Walau hanya
satu bulan saya di sana, tapi cukup untuk memberi saya pemahaman dasar mengenai
ginjal. Satu hal yang saya pelajari di sana ialah bagaimana menjalankan penanganan
pasien yang efisien dan efektif, tidak hanya dijalankan oleh sistem tapi juga secara
pribadi oleh dokter-dokter senior.

Berbekal surat keterangan dari dr. Kadri, dan setelah berunding dengan istri, saya
pun bersiap-siap berangkat ke Belanda. Lalu bersiaplah saya berangkat ke Jakarta, tiga
hari sebelum jadwal keberangkatan ke Negeri Kincir Angin itu. Eh, sesampainya di
Jakarta, sempat terancam batal berangkat. Namun, akhirnya ternyata keberangkatannya
diundur selama dua bulan, atau menjadi bulan November tahun 1974.

Daripada harus pulang kembali ke Medan, saya putuskan menunggu di Jakarta


saja. Selama penantian dua bulan itu, saya tinggal di rumah kakak di Jakarta. Ketika di
ibukota, saya pergi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menemui Prof.

50
dr. Radja Pingkir (R.P) Sidabutar. Beliau adalah pakar ginjal pertama di Indonesia, yang
sebelumnya sudah menimba ilmu di Universitas Leiden, Belanda.

Saya menceritakan rencana saya dan ingin mengisi waktu lowong selama dua
bulan untuk ikut beliau, menunggu keberangkatan ke negeri Belanda. Beliau
mengizinkan dan selama dua bulan itu saya pun belajar dan “magang” di Sub-Bagian
Ginjal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI-RSCM), termasuk
membantunya menangani pasien. Saya mendapat banyak teman-teman baru selama di
sana, yang terus menjadi sahabat-sahabat saya sampai sekarang.

Setelah sekitar dua bulan di Jakarta, kami pun bertolak ke negeri Belanda dengan
pesawat Garuda. Rutenya dari Jakarta menuju Medan terlebih dahulu, kemudian terbang
ke Belanda. Kami berangkat malam sekitar pukul 12.00 WIB dan tiba keesokan harinya
di Bandara Schiphol, Belanda.

Ada 20 orang yang dikirim dari seluruh Indonesia saat itu, termasuk saya. Pertama
kali sampai di Belanda kami tinggal selama seminggu di International House,
Amsterdam. Selama satu minggu itu, kami dikumpulkan pihak Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) dan ditanya satu persatu mengenai keinginan belajar ke negeri itu,
karena ketika berangkat dari Indonesia kami tidak diberi pesan apa-apa.

Dari situ juga terungkap bahwa program itu merupakan bagian dari kesepakatan
pemerintah Belanda dengan pemerintah RI sebagai konpensasi penjajajan Belanda, atau
dengan kata lain semacam membayar utang moral penjajahan kepada Indonesia. Program
tersebut dikelola oleh seorang guru besar di Universiteit Leiden. Beliau adalah seorang
keturunan Tionghoa, bernama Prof. Tung, dulunya pernah tinggal di Bogor dan fasih
berbahasa Indonesia.

Selain saya, sebelum dan sesudahnya, ada beberapa orang yang dikirim ke sana
belakangan menjadi orang-orang hebat. Misalnya, Mariam Darus—yang belakangan
menjadi salah satu ahli hukum terbaik Indonesia—juga ikut waktu itu. Program serupa
juga pernah diikuti tokoh pengacara kondang Adnan Buyung Nasution, yang belajar

51
hukum di Universitas Leiden, Belanda.

Pada pertemuan itu pihak KBRI menanyakan kami satu persatu. “Coba saya mau
dengar dulu kalian arahnya mau ke mana biar saya rekomendasikan,” kira-kira begitu
kata salah seorang dari pihak dari KBRI saat itu. Maka satu per satu pun kami
memberitahu maksud dan tujuan, mau belajar apa dan seterusnya. Dari situ kemudian
terungkap bahwa setiap dokter peserta program akan ditempatkan di berbagai universitas
di berbagai kota. Akhirnya, saya pun mengetahui bahwa saya akan ditempatkan di
Universitas Groningen, yaitu Rijksuniversiteit van Groningen (RUG). Di sana saya akan
tinggal di Asrama Perawat (Zusterhuis) yang ada di rumah sakit.

Setiap dokter harus menentukan bidang ilmu yang akan ditekuni dan mereka
sudah dipersiapkan penasehatnya masing-masing. Saya katakan waktu itu saya ingin
belajar ginjal. “O, kalau kau mau belajar ginjal, kau pergilah ke bagian ginjal di
Universitas Leiden, jumpai profesor yang menanganinya di sana,” begitu rekomendasi
yang saya terima.

Pada hari yang ditentukan, saya pun pergi ke sana dan menemui Profesor de Graef,
yang ternyata anak bekas Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta), jabatan
tertinggi di pemerintahan saat itu atau setara dengan presiden saat ini.

Nama itu sebenarnya sudah tak asing bagi saya karena ketika saya di Jakarta, Prof.
dr. R.P. Sidabutar sudah menyebutkannya. Beliau juga telah menyurati Prof. de Graef
sebelumnya. Kebetulan, sebelumnya sang profesor Belanda itu juga belum lama
sebelumnya berkunjung ke sub-bagian Ginjal dan Hipertensi di RSCM dan RS Cikini.

Saya juga sudah mengantongi alamat dan nomor telepon Prof. de Graef dari
Jakarta. Ketika di Amsterdam saya menelepon beliau menggunakan telepon umum.
Setelah beberapa gagal, akhirnya saya berhasil berbicara dengan beliau. Ia mengatakan
sudah mengetahui maksud dan tujuan saya dan meminta saya datang ke Leiden keesokan
harinya, tepat pada hari Minggu.

Beliau pun memberi arahan menuju Leiden.


52
“Saya naik kereta api yang mana?”

“You ambil kereta api jurusan Leiden, lihat di jadwal perjalanan kereta api
Belanda, nomor peron berapa yang berangkat pada jam 04.23 (tidak persis), tunggu di
peron tersebut sekitar 2 – 5 menit sebelumnya, lalu naik. Kami akan tiba di Leiden jam
sekian dan saya akan tunggu kamu.”

“Kita belum pernah bertemu, bagaimana saya akan mengenali Anda?”

“Saya yang akan mengenali Anda”

“Bagaimana?”

“Saya bisa mengenali orang Indonesia di negeri Belanda.” Benar sekali, tentulah
dari bentuk tubuhnya yang relatif lebih kecil daripada orang Belanda.

Saya mengikuti arahan beliau dan sesampai di Leiden, kereta api tersebut berhenti
dengan lokomotif di stop di kawasan pusat stasiun, sedang gerbong yang saya naiki agak
jauh ke belakang, sehingga sampai di luar kawasan stasiun. Maklum kereta api kelas tiga.

Begitu saya turun, saya menuju kerumunan penumpang yang antre untuk keluar
stasiun. Dari jauh saya melihat seorang orang Belanda datang bergegas ke arah saya. Oh.
Prof. de Graef, pikir saya. Kami bersalaman dan saya ikuti beliau ke mobilnya di luar
stasiun. Ternyata dia membawa mobilnya menuju rumahnya. Di sana sudah berkumpul
anggota keluarganya di sekeliling meja makan. Setelah salam-salaman, saya dipersilakan
ikut makan sambil menonton televisi yang sedang menyiarkan resume pertandingan
Devisi Utama Sepakbola Belanda.

“Inilah rutinitas kami di negeri ini, Harun. Setiap Minggu malam dapat suguhan
hasil-hasil pertandingan Devisi Utama Liga Sepakbola Belanda. Hampir semua
melakukan kebiasaan ini setiap Minggu malam, sehingga di luar biasanya sepi,” begitu
kata Prof. de Graef kepada saya saat menonton televisi.

Sesudah selesai menonton televisi, kami pindah duduk ke sofa dan mengobrol
mengenai rencana saya. Pada awal pembicaraan beliau mengatakan bahwa telah
53
mendapat surat dari dr. Sidabutar mengenai rencana saya yang ingin memperdalam ilmu
dan keterampilan di bidang penyakit ginjal. Saya menguatkan lagi keinginan saya itu dan
mengatakan sudah mendapat informasi mengenai penempatan saya di Groningen.

Beliau mengatakan tidak ada masalah dan segera beliau bertelepon ke rumah
Kepala Devisi Nefrologi di RS Groningen (Academisch Ziekehuis Groningen – AZG),
yang masa itu dijabat oleh dr. Gjalt Klaas Van der Hem. Setelah itu, Prof. de Graef
mengatakan kepada saya bahwa dr. Van der Hem akan menunggu saya di kantornya pada
hari tertentu, pada pukul 10.00 pagi. Saya pun kembali ke Amsterdam malam itu juga
dengan kereta api dan dari central station saya menaiki trem nomor 26 dan berhenti
sekitar 100 meter dari pintu masuk International Huis.

Pada hari yang ditentukan saya berangkat dengan kereta api ekspress ke
Groningen yang memakan waktu sekitar tiga jam. Dengan taksi dari stasiun saya menuju
Zusterhuis di AZG dan mendapat kamar di lantai dua, yang cukup nyaman. Kamar ini
akan saya huni selama setahun penuh.

Setelah satu harian beristirahat, keesokan harinya sekitar jam 09.00 pagi saya
mendatangi Kepala Devisi Ginjal di bagian Interne Klinik, yang letaknya di lantai tiga,
bersebelahan dengan Zusterhuis. Pertama-tama saya memperkenalkan diri kepada
sekretarisnya dan saya disuruh menunggu sebentar. Kemudian saya dipanggil dan
diperkenalkan dengan dr. GK van der Hem. Setelah berbicara basa-basi yang singkat
beliau bertanya kepada saya.

“Apa tujuannya datang ke Groningen ini?”

“Saya mau belajar ginjal,” jawabku.

“Ginjal, di bidang apa yang akan kamu pelajari? Nephro-Pathology Experimental


Nephrology atau Clinical Nephrology?”

Nephro-Pathology Experimental Nephrology ialah bidang pengembangan


keilmuan di bidang ginjal melalui berbagai eksperimen terhadap binatang sebelum

54
nantinya diterapkan pada manusia. Sedangkan, Clinical Nephrology merupakan ilmu
ginjal yang diterapkan kepada pasien.

“Clinical Nephrology,” jawabku.

“Apa maksud dan tujuan?” beliau masih ingin tahu.

“Kalau saya nanti pulang ke Medan, saya ingin dapat melakukan hemodialisis
(penanganan cuci darah kepada pasien ginjal).” Waktu itu penanganan cuci darah bagi
pasien penyakit ginjal masih hanya ada di RSCM Jakarta, yang ditangani Dr. R.P.
Sidabutar. Di daerah lain, di luar Jawa belum ada samasekali. Saya jelaskan mengenai
motivasi saya untuk membuka klinik ginjal di Medan dan sang profesor sangat
mendukung keinginan saya itu.

“Bagus, sekarang kau kuantar ke bagian cuci darah (hemodialisis). Tapi, pertama
pakai baju dokter dulu. Itu jas putih tergantung, pilih satu mana yang cocok,” katanya.
Kebetulan ada jas putih yang ukurannya cocok dengan ukuran badan saya.

Begitu saya diantar, saya langsung diperkenalkan ke suster kepala. Selanjutnya,


saban hari saya belajar sambil bekerja di sana, ikut menangani pasien setiap hari. Selama
tiga bulan saya bekerja di rumah sakit itu. Selebihnya saya belajar, mengikuti berbagai
konferensi, sehingga saya punya banyak perbekalan ilmu nefrologi.

Selama belajar di Groningen, saya happy saja tinggal di Zusterhuis. Bergaul


dengan sejumlah perawat, teknisi HD dan dokter yang belakangan terus menjadi teman
akrab dan masih berkomunikasi setelah saya kembali ke Indonesia. Bahkan, anak dari
guru saya di sana pernah datang ke Medan.

Banyak pengalaman berkesan selama belajar di sana, salah satunya soal makanan.
Semula saya memaksakan diri untuk makan pagi sesuai tradisi orang Belanda Utara,
yaitu sarapan dengan roti, keju, selai, susu dan kopi. Pada siangnya makan di cafetaria
Zusterhuis dengan menu hampir sama, dominasi roti dengan beef, telur, ikan kering dan
sayuran mentah, sebagai salad dengan sausnya.

55
Namun, itu hanya bertahan selama tiga hari. Untung ada teman dokter, orang
Tionghoa dari Medan, namanya Sahat Halim, yang mau membagikan nasi dan lauknya.
Namun, sangat terbatas karena beliau kerap memakan makanan yang bahannya
diharamkan sesuai ajaran agama saya.

Tapi, belakangan saya mendapat arahan dari beliau tempat-tempat di mana bisa
membeli bahan makanan Asia untuk dimasak. Beliau juga memberitahu saya tentang
aturan memasak di dapur Zusterhuis agar tidak terjadi kegaduhan. Sebab, orang Belanda
tidak terlalu suka dengan masakan berbumbu terutama yang mengandung cabai, merica
dan bahan makanan kebanyakan orang Asia.

Sejak itu saya pun mulai masak makanan sendiri, terutama untuk makan siang,
yang disisihkan sebagian untuk makan malam. Atau, pada malam hari bisa juga membeli
makanan di restoran Asia. Saat itu yang cukup terkenal di sana ialah Chinese-Indische
Restaurant, yang menjual bermacam lauk pauk “indonesisch”.

Namun, kadang rasanya bisa tidak sama seperti makanan yang biasa kita kenal,
mungkin karena sudah ada pengaruh masakan Eropa di dalamnya. Biasanya di restoran
itu harga makanan lumayan mahal. Bila dibandingkan dengan jumlah uang beasiswa
yang saya terima setiap bulan via pos dari Kementeria Luar Negeri Belanda, F 800
(Gulden), pastilah akan membuat biaya hidup saya menjadi tinggi, bila sering-sering beli
makanan di restoran itu. Waktu itu, dengan menghemat di sana-sini, saya masih bisa
menyisihkan uang beasiswa antara F 100 – 150 (Gulden) setiap bulannya. Agar hemat,
setiap Sabtu saya belanja bahan makanan selama seminggu, menyimpannya di dalam
lemari pendingin, membeli penanak nasi listrik juga pressure-cooker, khusus untuk
memasak sop. Setelah menjalani tiga bulan, boleh dikata, saya tidak punya masalah lagi
dengan makanan.

***

Apa yang saya dapat selama tiga bulan course di Singapura, menjadi lebih nyata
ketika saya belajar di Belanda. Memang saya diberikan kebebasan, namun mereka

56
ternyata sangat peduli dengan orang-orang yang ingin serius belajar.

Pada awal-awalnya, sempat ada perasaan bahwa saya tidak begitu diacuhkan,
namun anggapan saya salah ketika GJ van der Hem menghampiri saya.

“Kamu, sudah berapa bulan saya tidak lihat…”

“Saya setiap hari di unit HD, Prof,” jawab saya.

“Ya, tapi kamu kan belajar nefrologi, bukan hanya cuci darah…”

“Ya, saya juga ikut visit.”

“Tapi, kamu sama saya tidak pernah memberikan laporan. Saya mau tahu progress
yang sudah kamu buat,” cecarnya lagi.

“Baik, Prof. Kalau begitu saya akan lapor selalu.”

Sejak itu saya menyadari bahwa Belanda memang peduli dengan program yang
mereka kerjakan. Setelah dialog-dialog seperti itu, hilang sudah paradigma bahwa
Belanda tidak serius mengajari para pelajar Indonesia, yang dikirim ke sana dengan biaya
Kementerian Luar Negeri negara mereka.

Selama setahun saya belajar sambil bekerja di Belanda. Tidak hanya belajar, tapi
juga berteman dengan banyak kalangan akademisi. Sehingga, waktu di sana, kami
merupakan pekerja scientific. Selama belajar di sana saya bergaul dengan mereka dan
sudah mengutarakan niat saya untuk membuka unit cuci darah (hemodialisis—HD) di
Medan.

Waktu itu, rekan-rekan saya juga mendukung saya. “Kalau kau mau buka unit HD
di negaramu, kumpulkan apa saja yang kau butuhkan dari sini, bawa pulang,” begitu
saran mereka. Sehingga ketika saya pulang ke Indonesia, saya membawa pulang
peralatan alat pencuci darah dan berbagai macam alat-alat pendukungnya. Satu kontainer
kapal itu penuh karena banyaknya. Sampai maskernya pun saya bawa waktu itu. Itu
semua diberikan, tidak satu pun saya beli. Semua itu bisa terjadi karena saya pandai

57
bergaul dengan pihak rumah sakit, perawat, dokter bahkan sampai ke bagian teknisi.

Tak cukup sampai di situ, belakangan pada tahun 1996 ketika Raja Inal Siregar
pergi berobat ke Belanda saya ikut menemaninya. Saat itu beliau masih menjabat
Gubernur Sumatera Utara. Pada saat itu, saya bawa juga peralatan medis dari sana hampir
satu kontainer banyaknya. Waktu itu semua peralatan tersebut dikirim dengan
menggunakan kapal perang, kebetulan pada kala itu Indonesia mendapat bantuan kapal
perang dari Belanda.

Kapal tersebut berangkat dari pelabuhan Den Helder ke Indonesia. Saya bilang ke
Raja Inal, tolong peralatan saya dari Belanda ditumpangkan. Sesampainya di Surabaya,
saya jemput ke sana, bawa ke Medan.

***

Cikal Bakal Unit HD di Sumatera Utara


Sepulang dari Belanda saya bekerja di rumah sakit dan belum langsung membuka
unit cuci darah (hemodialisis—HD). Tahun 1977 baru saya baru buka unit cuci darah di
Rumah Sakit Pirngadi, Medan, dibantu dr. Oka Moehadsyah dan dr. Mangara Silalahi.

58
Untuk melakukannya dengan yakin dan benar, diperlukan persiapan semalam kurang
lebih tiga bulan.

Kebetulan tahun berdekatan, sebuah perusahaan dari Amerika Serikat, yang


mempunyai cabang usaha di Indonesia, menghibahkan 20 unit mesin kepada Pemerintah
RI, melalui Ibu Tien Soeharto. Waktu saya pulang dari Belanda, saya melihat sudah ada
mesin cuci di RS Pirngadi dan RS. Malahayati. Namun, waktu itu belum ada dokter yang
dapat melakukan cuci darah. Lalu, saya gunakan mesin itu untuk memulai penangan cuci
darah dan berjalan sebagaimana mestinya.

Pasien pertama saya, saya lupa namanya. Tapi saya tahu ia orang Karo, bermarga
Sembiring. Dia merupakan pasien dari Rumah Sakit Rumkit TK. II Putri Hijau Kesdam
I/BB, Medan. Ketika saya datang ke rumah sakit itu, sudah ada ada mesin dialisis di sana,
di ruang nefrologi. Tapi tidak ada dokter spesialis ginjal yang bisa melakukan
hemodialisis. Setelah dia banyak pasien dari berbagai daerah berdatangan ke Medan.

Pasien tersebut kemudian saya saya rujuk ke RS Pirngadi dan melakukan cuci
darah di sana. Itulah unit cuci darah pertama di Medan, di Sumatera Utara sekaligus yang
pertama di luar Jawa.

RS Pirngadi kemudian menjadi rumah sakit ketiga pertama di Indonesia yang


memiliki unit cuci darah setelah RSCM dan Rumah Sakit Cikini di Jakarta. Waktu itu,
Direktur RS Pirngadi, dr. Zainal Rasyid, yang merupakan teman dekat saya dan
sebelumnya bertugas di Tebingtinggi, turut mendukung saya membuka unit cuci darah di
rumah sakit itu.

Itulah yang kemudian menjadi cikal bakal unit HD di Sumatera Utara. Banyak
pasien ginjal yang kemudian saya tangani, termasuk seniman Batak Nahum Situmorang
yang didiagnosis Nephrotic Syndrome, yaitu kerusakan pada ginjal. Beliau ditangani di
RS Pirngadi juga saat itu.

Beberapa tahun kemudian saya pergi ke Kementerian Kesehatan RI dan bertemu


dengan seorang Purnawirawan TNI, kalau tidak salah namanya Kol. Tobing. Saya
59
menceritakan mengenai unit hemodialisis yang telah saya rintis di Medan dan
membutuhkan pengembangan lebih lanjut, seperti pengadaan mesin.

Beliau sangat menyambut niat saya dan tak lama kemudian mengupayakan mesin
cuci darah, awalnya dua unit kemudian menyusul satu lagi. Mesin itu, ditempatkan di RS
Malahayati. Tak lama kemudian RS. Herna juga mendapatkan mesin cuci darah, namun
bukan dari perusahaan AS tadi.

Beberapa tahun kemudian, unit cuci darah juga dibuka di sejumlah rumah sakit
yang ada di Medan. Apalagi, setelah terbitnya peraturan tentang cuci darah, Permenkes
812 tahun 2010, unit cuci darah pun sudah bisa dibuka di RS Gleneagles (sekarang RS
Columbia Asia), RS Siloam dan rumah sakit lainnya.

Setelah itu, pasien dari luar kota juga datang ke Medan, menyusul dari daerah-
daerah lain, Rantauprapat, Pematangsiantar, Kabanjahe, Sibolga, termasuk di Sipirok, itu
sudah ada unit cuci darah di sana. Di RS Adam Malik sendiri baru mulai tahun 1993 dan
tahun 1995 buka unit cuci darah di sana.

Sejak tahun 1977, kalau saya tidak salah, sudah ada 80 unit HD di Sumatera Utara
dan Aceh, yang sudah saya buka atau resmikan. Selain di Medan, di daerah lain antara
lain Pematangsiantar, Sipirok, Padangsidimpuan, Meulaboh, Blangpidie, Sigli,
Lhoksemawe, Langsa, Bireun dari di beberapa daerah lainnya. Malah ironisnya, di
Panyabungan, dekat kampung halaman saya belum ada. Saya sudah lama mengupayakan
supaya ada unit HD di RSUD Panyabungan, namum belum terelealisasi sampai sekarang.

Dulu, unit cuci darah memang tergolong langka. Jadi, bila ada pasien yang terkena
gangguan ginjal, biasanya tidak bisa langsung ditangani dan jarang yang bisa bertahan
lama. Saya masih ingat, setelah lulus dari FK USU, ada seorang teman yang meninggal
karena gagal ginjal. Belakangan, dengan adanya unit hemodialisis membuka harapan
baru bagi pasien ginjal di Sumatera Utara - Aceh.

Penanganan cuci darah bagi pasien penyakit ginjal bukanlah langkah


penyembuhan atau pengobatan, melainkan sebagai pengganti organ.
60
Penyebabnya penyakit ginjal sangatlah beragam. Ada faktor keturunan biasanya
disebabkan sejak kecil sudah terjadi kerusakan (defect) pada ginjal. Bisa juga disebabkan
penyakit yang sudah ada sejak dari kecil, sembuh tapi tak sempurna. Setelah dewasa,
barulah kelihatan fungsi ginjalnya tinggal sekian persen. Atau, ada juga yang kronis,
yaitu penyakit yang tak pernah sembuh walau tak bergejala. Ada banyak penyakit yang
tak bergejala setelah diperiksa benar-benar. Darahnya diperiksa, organ, biopsi, tapi tidak
bergejala selama belasan hingga puluhan tahun, sampai akhirnya runtuh.

Dengan fungsi ginjal tinggal 15 persen pun, sebenarnya manusia masih mampu
menjalankan aktivitas, bahkan ikut lomba lari juga masih sanggup. Itu sebenarnya misteri
juga bahwa kekuatan manusia itu tidak bisa diukur. Analoginya begini, di Medan dengan
segala fasilitas, wajarlah masih ada kalangan muda yang bisa berlari sejauh 100 meter
dalam hitungan waktu antara 10 – 12 detik. Namun, anak-anak yang tinggal di kampung,
saya yakini banyak yang mampu lebih dari itu. Begitu hipotesis saya.

Kenapa, karena mereka berusaha menaklukkan alam dengan segala rintangan yang
dihadapinya. Andai saja dengan fasilitas yang dia dapat seperti di perkotaan, saya rasa
rekor lari 100 meter bisa dicapai hanya hitungan di bawah 10 detik. Artinya, kemampuan
manusia itu sangat tergantung dari tantangan yang dihadapinya.

Umpamanya, penyebabnya infeksi tenggorokan yang terjadi ketika masih anak-


anak hingga remaja yang disebaban kuman, membuat reaksi tubuh terhadap infeksi itu
berlebihan. Ada kuman memasuki tubuh manusia, maka tubuh akan membentuk zat
antibodi yang akan menyerang kuman yang masuk tersebut. Namun sel tubuh yang
memakan ikut hancur, sama-sama hancur. Nah, hancurannya ini bisa mengalir di tubuh
manusia. Apabila ukurannya lebih besar dari sel-sel darah, itu bisa sangkut di ginjal dan
meradang secara sedikit demi sedikit. Nanti bisa terjadi infeksi lagi, semakin sering
terjadi infeksi, maka ginjal akan semakin rusak.

Jadi anggap saja dari awal fungsi ginjal 100 persen, karena ada peristiwa
kerusakan turun jadi 99 persen, turun lagi menjadi 98 persen, 95 persen. Apabila terus

61
terjadi penurunan, maka penurunannya berkelipatan. Bukan deret hitung, tapi deret
kelipatan. Ketika mengalami penurunan, pekerjaan ginjal tetap melakukan pekerjaan
sebesar 100 persen. Di samping menurun, juga harus tetap kerja lebih keras. Kerja lebih
keras karena turun. Dengan demikian, tubuh akan anjlok sampai akhirnya ke titik
terendah.

Sebenarnya, apabila ginjal tidak mengalami penurunan fungsi di bawah 15 persen,


tidak ada gejala. Jadi, hilang 85 persen, masih bisa gagah. Tapi, jangan sampai di bawah
15 persen, itu akan curam. Dengan cepat akan muncul gejala ketidakampuan untuk
menutupi kebutuhan sehari-sehari, untuk mengeluarkan zat atau cairan yang tidak boleh
ada dalam tubuh, seperti urine, cairan muntah. Itu semua harus dikeluarkan dan tidak bisa
menumpuk di dalam tubuh, tugas ginjal yang mengeluarkan itu semua. Air dan zat
terlarut, yang merupakan bahan-bahan kimia yang memang harus dikeluarkan. Air cukup,
tapi zat terlarut kurang, menyebabkan mual.

Sementara itu, adapun kebisaan buruk, biasanya tidak akan menjadi penyebab,
tetapi menjadi pemberat. Beberapa kebiasaan buruk yang menjadi faktor pemberat antara
lain merokok, dehidrasi akibat kurang minum, kurangnya daya tahan tubuh kurang akibat
kurang berolahraga baik terhadap serangan kuman maupun untuk menangani kebutuhan
tubuh.

***

Operasi Cangkok Ginjal Pertama


Pada tahun 1993, saya bersama tim medis yang saya organisir melakukan
penanganan cangkok ginjal terhadap pasien laki-laki di RS Pirngadi. Itu merupakan yang

62
pertama dilakukan luar Jawa setelah di RSCM dan RS Cikini yang dilakukan oleh Prof.
Dr. R.P. Sidabutar.

Di dalam dunia medis, cangkok ginjal merupakan salah satu prosedur pengobatan
penyakit ginjal yang paling paripurna. Jadi, sebelum ke tahapan itu, biasanya orang harus
terlebih dahulu melakukan tindakan terapi pengganti ginjal, yaitu cuci darah, baik melalui
perut maupun melalui mesin.

Pasien yang menjalani cuci darah, namun sudah tidak mampu ginjalnya
membersihkan badannya, perlu dibantu ginjal buatan. Ginjal buatan itu bekerja melalui
satu komplek alat yang terdiri dari mesin penggerak. Ginjal buatan menjadi tempat
mengadakan pembersihan tersebut. Ada yang dapat dilakukan melalui perut, selang
dimasukkan melalui perut, pengisian cairan sehingga akhirnya pasiennya bisa
melakukannya sendiri. Itu sangat direkomendasikan untuk pasien jarak jauh, yang punya
waktu tiga hingga enam bulan sekali.

Kapan harus dimulai, kapan harus diakhiri tergantung selesai pencangkokan.


Namun, yang menjadi masalah ialah teknologi, sumber daya manusia dan biaya yang
tinggi—yang meliputi biaya perobatan dan pendonor. Dalam dunia medis, khususnya
penanganan ginjal, tak jarang terjadi pasien harus membayar ginjal dari pendonor dengan
harga puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Pun demikian, ginjal donor kepada pasien harus melewati proses yang panjang.
Pertama, golongan darah mesti cocok dulu. Lalu, ada lagi tahap yang lebih penting, yaitu
setelah dicangkok, apakah tubuh penerima dapat menerima dengan baik. Ada namanya
tissue typing, pengenalan tipe jaringan. Tapi, itu tidak menjamin sehingga sekarang pun
tidak dipakai lagi.

Pasien pertama cangkok ginjal kami lakukan terhadap seorang anak muda berasal
dari Aceh, pada pertengahan tahun 1993. Waktu itu pendonor ginjalnya juga dari Aceh.
Penanganan cangkok ginjal berjalan bagus sesuai prosedur medis. Semua sukses dan
pasien pulang ke rumah.

63
Sayangnya, sesampai di rumah, penjagaan pasien tidak dilakukan dengan ekstra.
Tak lama sesudah pencangkokan itu, pasien langsung menjalani aktivitas sehari-hari,
pergi naik angkutan umum kemana-mana tanpa menggunakan masker. Padahal,
seharusnya si pasien belum boleh melakukannya, namun karena tuntutan aktivitas sehari-
sehari, dia mengabaikan perawatan ekstra yang semestinya dilakukan. Sehingga, pasien
tersebut mengalami infeksi pada paru-parunya.

Sebelumnya, juga berjalan dengan baik. Setelah pencangkokan itu, seperti biasa
dia rutin datang kontrol ke rumah sakit. Suatu ketika, dia batuk-batuk. Paru-parunya
ternyata sudah berisi jamur. Lantas, dia harus mendapatkan obat untuk mencegah tubuh
menolak ginjal yang dicangkok. Artinya, supaya ginjal yang didonor tidak ditolak dan
bisa bergaul dengan tubuh yang baru.

Tapi ternyata, obat tersebut menghentikan penolakan ke dalam tubuh, termasuk


kuman. Akibatnya, semua yang bisa masuk ke dalam tubuh, termasuk kuman, diterima
saja. Padahal, dia tidak boleh berhenti makan obat itu. Akhirnya terjadi kontradiksi. Pada
masa-masa pengobatan luka itu, selama tiga bulan, akhirnya dia mengalami demam
tinggi, menggigil dan akhirnya meninggal.

Pada transplantasi ginjal kedua, juga hampir sama kejadiannya.

Masalahnya pada saat itu, penjagaan diri belum bisa diharapkan sepenuhnya dari
pasien. Selain itu, faktor ekonomi juga mempengaruhi, karena penjagaannya harus ekstra,
sehingga pasien tidak boleh bekerja dulu dan beraktivitas yang berat.

Pasien yang mengalaminya tidak boleh sembarangan beraktivitas, apalagi kontak


dengan dunia luar, semisal berbaur di angkutan kota yang penuh dengan berbagai kuman.
Pasien cangkok ginjal harus mendapatkan perawatan dan perlakuan medis ekstra bahkan
super ekstra.

Itulah mengapa pada saat melakukan transplantasi ginjal pertama, ada support dari
berbagai pihak, termasuk Gubernur Sumatera Utara saat itu, Raja Inal Siregar. Untuk
kalangan tertentu, penanganan cangkok ginjal terbilang berbiaya tinggi karena
64
melibatkan banyak tim.

Biayanya menjadi tinggi karena cangkok ginjal itu merupakan tindakan paripurna.
Timnya ada tiga, pertama bedah, ginjal (penyakit dalam) dan tim laboratorium untuk
pemantauan. Jadi, nampaknya waktu itu, ada juga faktor kesolidan tim yang membuat
transplantasi ginjal itu tidak mudah dilakukan. Namun, kami sudah melakukan semampu
kami, hanya saja kami tidak bisa mengontrol seluruhnya.

Di Indonesia, penanganan cangkok ginjal saat ini sudah sering dilakukan. Di


Jakarta, ada dua rumah sakit yang cukup sering melakukannya, seperti RSCM dan RS
Cikini. Belakangan di Semarang juga sudah ada. Di Surabaya pernah dilakukan, namun
sudah jarang. Barangkali mengalami hal seperti di Medan. Di Bandung juga pernah
dilakukan, namun sempat berhenti.

Masalah lainnya ialah pasien yang memiliki kondisi ekonomi lebih baik, biasanya
akan pergi ke rumah sakit di luar negeri. Sementara faktanya, pasien yang sering dihadapi
di dalam negeri ialah pasien-pasien kurang mampu, sehingga kerap menghadapi kendala.
Dalam hal ini, pemerintah sebenarnya sudah membuka akses, namun yang menjadi
kendala ialah mahalnya biaya pembelian obat dan membayar tim medis.

Barangkali kendala terbesar yang saya hadapi pada sat itu ialah tim, itu yang tidak
mudah. Jadi, saya tidak memulai lagi dan tidak ada lagi orang yang mau memulai selain
saya. Belakangan, saya merasa kalau saya sendiri yang melakukannya lagi, sudah bukan
waktunya lagi. Saya ingin generasi di bawah saya dapat melanjutkannya.

Namun, saya melihat di daerah ini mungkin masih lama itu akan terwujud karena
belum ada yang punya semangat tinggi dan mau melakukannya melalui dorongan dari
dalam. Itu bisa dimaklumi karena kebanyakan dokter kita itu masih kebanyakan dari
kampung, berangkat dari rumah tangga yang “mengkais pagi, dimakan sore”, pada
umumnya.

Kalau pun ada dari kalangan berada atau mapan, tidak menjadikan dokter spesialis
sebagai cita-citanya. Jadi yang dibutuhkan ialah leader, yang punya inisiatif dan mau
65
berkorban. Itulah dulu yang saya lakukan. Artinya pada saat itu, saya punya “kekuatan”
untuk melakukannya.

Saya juga berasal dari kampung, tapi saya beruntung punya teman-teman yang
punya jabatan pada saat itu, seperti Raja Inal Siregar, yang begitu akrab dengan saya—
bahkan sebelum ia menjadi gubernur.

Saat ini, walaupun ada yang berpotensi, namun saya belum menemukan ada
dokter spesialis yang mau meneruskan visi, yang pernah saya idealkan. Masih banyak
dokter yang masih berorientasi pada kenyamanan dan keluarga mapan. Sangat jarang ada
dokter yang keluar dari rumah yang mapan, yang mau melakukan pekerjaan idelias ini.
Karena pekerjaan ini merupakan eksperimen dan tidak ada untungnya secara materi. Bisa
dikatakan ini pekerjaan dokter idealis.

Saya menunggu adakah dokter yang mau melakukan hal seperti itu. Ada pernah
dokter seperti itu, sangat berpotensi namun umurnya tidak panjang. Potensi sedemikian
menjanjikan sehingga membuat iri senior-senior dia yang ada di bagian saya. Dia adalah
murid saya, namanya Tunggul Sukendar, saya mengharapkan dia yang akan melanjutkan
visi saya. Sayangnya, umurnya pendek. Beliau adalah hasil didikan saya, murid saya di
kedokteran.

Saat ini, sebenarnya ada beberapa dokter spesialis ginjal yang saya lihat berpotensi
untuk melanjutkan apa yang pernah saya cita-citakan itu, yaitu menjadi dokter spesialis
yang bisa melakukan eksperimen-eksperimen besar untuk kemajuan ilmu kedokteran
spesialis ginjal. Misalnya, dr. Alwi Nasution dan dr. Syafrizal Nasution. Namun, saya
berharap mereka tidak menghadapi kendala yang kebanyakan dihadapi dokter pada masa
kini, yaitu menjalani kehidupan yang terlalu nyaman untuk keluarganya, sehingga
melakukan pekerjaan seperti ini dianggap tidak terlalu berarti.

Dr. Alwi sudah melakukan inovasi. Dia merupakan dokter pertama di Medan yang
melakukan tindakan mapping sebelum pasien menjalani cuci darah, di mana pembuluh
darah yang benar dipetakan lebih dahulu, lalu diberikan ke ahli bedah.

66
Sebelumnya, ahli bedah melakukan pembedaan tanpa mapping sehingga
kadangkali menemukan identifikasi di luar dugaan. Dengan adanya mapping tersebut,
tindakan medis dapat dilakukan dengan lebih terukur. Ilmu itu dia dapat bukan dari saya,
dan itu dia lakukan melalui eskperimen sendiri. Saya berharap ia mengembangkan
potensinya dengan belajar ke luar negeri, tinggal mencari sumber dana misalnya dari
universitas.

Harus ada orang yang tidak melihat keuntungan, karena itu adalah penyempurnaan
pelayanan. Tidak sempurna pelayanan kepada pasien ginjal apabila tidak termasuk di
dalamnya penanganan yang paling paripurna (ultimate). Karena apabila itu sudah
dilakukan dengan berhasil, pasiennya akan menjadi lebih manusiawi. Mereka tidak perlu
lagi sering-sering ke rumah sakit, paling kontrol sekali enam bulan, atau sekali dalam
setahun.

Semua yang pasien cuci darah, wajar untuk mendapatkan penanganan cangkok
ginjal. Supaya pasien tersebut lebih manusiawi. Di seluruh dunia begitu, tidak semua bisa
dilakukan. Karena keterbatasan donor ginjal dan biaya. Pendonor merupakan elemen
yang paling krusial, karena orang terdekat sekalipun tidak langsung dengan mudah dapat
atau mau mendonorkan ginjalnya.

Anggap misalnya seorang suami ingin mendonorkan ginjalnya kepada adiknya,


maka ia harus merundingkannya terlebih dahulu dengan istrinya. Istrinya tersebut
mungkin akan bertanya, bila ginjalnya diberikan bagaimana nanti kondisi kesehatannya,
apakah berpengaruh. Jika berpengaruh bagaimana nanti anak-anak mereka bila ayah
mereka menjadi tidak normal. Pokoknya banyak sekali kendala, dan sangat sedikit yang
benar-benar iklas mendonorkan ginjalnya. Itulah salah satu alasan mengapa cangkok
ginjal itu belum bisa dilakukan untuk semua pasien cuci darah.

Selain ketersediaan donor ginjal, biaya juga menjadi kendala dalam hal
penanganan cangkok ginjal. Sebagai gambaran, untuk melanggengkan (preserve) ginjal
donor dengan “rumah barunya” (host) memerlukan obat yang tidak sedikit, meskipun di

67
belakangan hari nanti jumlah obat yang diperlukan akan makin sedikit. Namun, tidak
sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli obat tersebut.

Dengan keterbatasan itu semua, maka penanganan yang paling sering dilakukan
saat ini ialah cuci darah. Tidak sedikit yang harus menjalaninya selama bertahun-tahun.
Bahkan, di RSKGH Rasyida, pernah ada pasien yang menjalani cuci darah selama 23,5
tahun, hingga akhirnya anak pasien tersebut menjadi dokter spesial ginjal juga. Waktu
ibunya mulai cuci darah, anaknya masih bayi. Kebetulan, suaminya adalah dokter dan
anaknya kelak disekolahkan menjadi dokter spesialis penyakit dalam setelah kejadian
ibunya yang akhirnya meninggal setelah terus menerus menjalani cuci darah.

***

68
MENGALIR SEPERTI AIR

Klinik Ginjal Pertama di Medan


Setelah sekian tahun bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam, membuka
praktek dan melayani unit cuci darah di hampir semua rumah sakit yang ada di Sumatera
Utara, saya pun merasa sampai pada satu keinginan, yaitu mendirikan klinik ginjal yang
akan saya kelola sendiri.

Keinginan itu pun sebenarnya didorong oleh keinginan untuk melayani lebih
maksimal. Sebab sepanjang saya melayani di rumah sakit, saya masih menghadapi

69
kendala. Misalnya, pemenuhan kebutuhan medis untuk di rumah sakit yang kadangkala
masih harus melalui jalur-jalur birokrasi.

Akhirnya dengan keingian yang kuat, meskipun dengan kondisi keuangan yang
masih terbatas saya dan istri mendirikan Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi (KSGH)
“Rasyida” pada tahun 1995.

Nama Rasyida diambil dari nama ayah saya, juga nama adik perempuan bungsu
bernama Rasyidah. Menjelang akhir hayatnya, kami ingin menyenangkan hati ayah saya.
Nama itu juga sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada sosok ayah yang konsisten
pada prinsip-prinsip hidupnya, seorang ayah yang pengayom, pendidik dan ramah kepada
setiap orang, kepada tetangga, dan kepada siapa saja. Di mana pun kami tinggal, ayah
selalu dapat berhubungan baik satu sama lain.

Saya sendiri sudah mulai menambahkan nama Rasyid di belakang nama saya sejak
ditahbiskan menjadi internist (Dokter Penyakit Dalam). Sejak saat itu, saya ingin
menunjukan kepada ayah saya bahwa saya menunjukkan rasa hormat kepada beliau yang
menjadikan kami anak-anaknya menjadi pejuang sejati dalam kehidupan, tidak mudah
menyerah pada keadaan dan tetap berpegang pada prinsip untuk mencapai cita-cita, serta
tetap mengajarkan nilai-nilai agama, salah satunya jangan pernah meninggalkan sholat.

Kondisi pada saat itu berbeda sekali dengan sekarang—sudah banyak murid saya
yang juga berhasil jadi dokter spesialis ginjal. Pada waktu itu, bisa dikatakan sayalah
dokter spesialis ginjal pertama di luar Jawa, setelah Prof. Dr. R.P. Sidabutar di Jakarta.
Sehingga semua pasien ginjal dari hampir seluruh daerah di Sumut, bahkan Aceh bisa
dikatakan juga saya yang menangani. Namun, masih ada kepuasan yang belum tercapai
pada saat itu, sehingga mendorong saya untuk mengelola klinik ginjal.

Pada awal pembangunan Klinik Rasyida saya dan istri tak ingin berurusan dengan
bank, tak ada urusan pinjam meminjam. Artinya, “usaha kampungan”-lah. Seberapa uang
yang ada di tabungan, langsung saya alokasikan untuk pengembangan klinik. Saat itu,
klinik ini sudah didukung alat pencuci darah yang sebahagian saya bawa dari Belanda.

70
Pada saat itu, alat pencuci darah memang masih langka. Sekarang, sudah tidak
menjadi penghambat jika ingin membuka unit cuci darah, melainkan tenaga medisnya.

Anggap saja ada seorang dokter di Gunung Tua yang ingin membuka unit cuci
darah, mesin pencuci darah tidak menjadi kendala vital. Sebab, sumber utama itu ialah
sumber daya manusia di bagian medis, terutama dokter spesialis yang memang
kompeten. Pertama, dokter bersangkutan harus mengikuti training selama tiga bulan.
Kemudian, apakah pasien di daerah itu memang banyak? Setelah mendapat sertifikat,
minta izin dari direktur rumah sakit, dapat ruangan, mesin cuci darah bisa didatangkan
dari pabriknya tanpa harus bayar.

Sebab, pabrik mesin pun memproduksi satu unit mesin cuci darah yang bisa
bertahan hingga 10 tahun. Itu bisa diberikan kepada dokter, hanya saja bahan
pendukungnya yang mesti tetap disuplai produsen. Anggap saja satu mesin bisa
menggunakan dua bahan habis pakai, dalam masa 300 hari dalam setahun, maka ada 600
bahan habis pakai. Jika ada enam pasien, maka bahan habis pakai yang terpakai bisa
mencapai 2.400 unit selama setahun.

Jadi, untuk kondisi saat ini, dokter tidak perlu kesulitan mendapatkan mesin cuci
darah. Hanya saja, sumber daya yang bertanggungjawab pada kemampuannya menjadi
sangat penting.

***

Setelah merundingkan dengan istri, akhirnya saya mendirikan Klinik Spesialis


Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan tepat sesuai tanggal lahir saya, yaitu 10 November
1995, di Jalan D. I Panjaitan No. 144, Medan.

Klinik Ginjal Rasyida dengan dana yang masih terbilang tidak terlalu besar pada
saat itu. Semula klinik berbentuk badan hukum yayasan dan terakhir diubah menjadi
badan hukum perseroan terbatas, dan terdaftar dengan nama PT. Nurani Ummi Rasyida
Medan.

71
Pada saat itu, rumah tinggal merangkap jadi klinik. Tidak ada niat berurusan denga
bank, karena bagi saya membuka klinik dengan berurusan dengan bank akan membuat
saya merasa bekerja di bawah tekanan. Saya ingin klinik ini berkembang dengan
sendirinya. Sehingga, pembangunan klinik ini berjalan secara bertahap. Seberapa uang
yang ada, kami alokasikan untuk penambahan bangunan.

Suatu kali tetangga kami datang kepada kami. Tetangga kami itu sangat baik, dan
selama tinggal di sana, kami bertetangga baik dengan mereka. Mereka orang Menado dan
saya tahu bekerja di salah satu perusahaan perkebunan. Mereka ingin menjual rumahnya
kepada kami karena ingin pindah dari Medan. Rumah itu bagus dan sangat terpelihara.

Bertepatan pada saat itu kami ingin menambah bangunan lantai dua. Jadi sudah
ada dana yang siap dialokasikan. Setelah merundingkannya dengan istri, akhirnya kami
sepakat membeli rumah itu, yang kemudian menjadi bagian bangunan klinik. Dana yang
semula akan digunakan untuk menambah bangunan di lantai dua, dialokasikan untuk
membeli rumah itu, ditambah dengan bantuan dari Bank Sumut.

Beberapa tahun kemudian, pemilik rumah di belakang klinik yang berada di Jalan
Sei Besilam, juga datang menawarkan rumahnya untuk kami beli. Tanpa pikir panjang,
kami pun beli rumah itu juga dengan bantuan bank. Kemudian, rumahnya di belakangnya
juga ikut mau menjual rumahnya dan kami beli juga. Akhirnya semua bangunan rumah
disatukan, sehingga klinik pun semakin luas.

Jadi, artinya tidak ada rencana awal klinik ini akan menjadi besar secara fisik.
Semuanya berjalan seperti air mengalir apa adanya. Tidak terlalu muluk-muluk.

Pada awalnya KSGH Rasyida Medan hanya memiliki mesin hemodialisis


sebanyak 5 unit, dengan jumlah pasien sebanyak tujuh orang. Namun, dengan kerja keras
dan dukungan seluruh karyawan, klinik ini terus tumbuh dan berkembang sehingga
sekarang telah mengoperasikan 52 unit mesin hemodialisis dan alat pendukung
hemodialisis lainnya seperti satu unit mesin rontgen, alat USG Warna, laboratorium, Bio
Impedance Analysis dan apotek.

72
Tindakan medis pendukung seperti intervensi nefrologis berupa operasi
doublelumen, doublelumen tunnel dan cimino juga sudah dapat dilakukan oleh dokter
yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Sistem manajemen klinik juga terus diperbaharui untuk menciptakan suatu sistem
manajemen mutu yang dapat meningkatkan kinerja dari masa ke masa. Sejak November
2010, KSGH Rasyida pun telah terakreditasi Manajemen Mutu ISO 9001:2008 oleh SAI
GLOBAL dengan nomor registrasi 28282 yang berlaku selama tiga tahun dan telah di
akreditasi ulang sampai November 2016. Setiap tahun SAI GLOBAL melaksanakan audit
tahunan untuk memastikan komitmen kami dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu
ISO 9001:2008.

Untuk aplikasi Sistem Informasi Manajemen Klinik, klinik mengembangkan


software yang diberi nama SO KLIK: Sistem Operasional Klinik, yang terintegrasi pada
semua komputer dengan jaringan Lokal Area Network mulai dari pendaftaran pasien
hemodialisis, penerbitan kwitansi, rekam medis dan data administrasi lainnya dan
selanjutnya menghasilkan laporan neraca dan laba rugi pada satu periode. Software ini
terus dikembangkan sesuai kebutuhan dan perkembangan klinik dan kini berubah
memakai ESCO 2018. Komitmen pelayanan dituangkan dalam visi yang ditetapkan yaitu
menjadi klinik pelayanan hemodialisis terbaik se-Indonesia, dengan daya saing,
produktifitas, dan efisiensi yang tinggi didukung oleh sumber daya yang handal.

***

Dari Klinik Menjadi Rumah Sakit

Pada 10 November 2016, Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida


mengembangkan status klinik tersebut menjadi Rumah Sakit Khusus Ginjal Rasyida.
Dengan dikeluarkannya izin operasional nomor 445/442.31/XI/2016 oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kota Medan, Hj. drg. Usma Polita Nasution, M. Kes, maka status klinik

73
berubah menjadi Rumah Sakit Khusus Ginjal Rasyida Kelas C.

Dengan dilengkapi fasilitas 20 tempat tidur dan dengan penambahan fasilitas lain
seperti PoliKlinik Penyakit Dalam dan Poliklinik Penyakit Bedah Vaskular, UGD, dengan
demikian fasilitas kesehatan Rumah Sakit Khusus Ginjal Rasyida dapat melayani
pelayanan gawat darurat selama 24 jam, Pelayanan Anesthesiologi dan Terapi Intensif
(UPI), Pelayanan Medis Spesialis dan sub-spesialis, antara lain klinik sub-spesialis ginjal
hipertensi, klinik sub-spesialis ginjal anak, klinik penyakit dalam, klinik bedah,
pelayanan hemodialisis, pelayanan kamar bedah: vaskulas akses; double lumen jugular
dan Tunnel, AV-Shunt.

Adapun pelayanan penunjang medis antara lain, patologi klinik (laboratorium),


farmasi (apotek), melayani 24 jam, USG, EKG, bio scan, ambulans, hemodialisa, gizi,
radiologi. RSKGH juga telah pelayanan rawat inap Super VIP, VIP, Kelas I, Kleas II,
Kelas III.

Selain itu, berbagai kegiatan dilakukan untuk melaksanakan komitmen pelayanan


ke pasien dan karyawan. Setiap enam bulan dilakukan gathering dengan
pasien/pelanggan beserta keluarganya dalam Program Pemantauan Peningkatan Kwalitas
Hidup (P3KH) dengan mengundang pejabat-pejabat yang terkait seperti dari BPJS
Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan perusahaan mitra kerja seperti PTPN IV,
PELINDO, PLN, ANGKASA PURA dan PT Asuransi INHEALTH Indonesia, juga para
ahli di berbagai bidang ilmu yang memberi ceramah dengan topik yang terkait dengan
pengelolaan medik dari berbagai penyakit terutama penyakit ginjal dan hipertensi.

Rumah sakit ini juga telah mengirimkan dokter dan perawat untuk mengikuti
seminar yang diadakan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dan
organisasi profesi kesehatan lainnya. Setiap tahun mengirim perawat untuk mengikuti
Course Perawatan Intensif Ginjal yang dilakukan di RSCM Jakarta dan RS. Cikini
Jakarta untuk mendapat sertifikat Dialisis Nasional.

Tak hanya itu, setiap tahun secara bergiliran perawat-perawat juga dikirim untuk

74
mengikuti seminar nasional PPGII (Perhimpunan Perawat Ginjal Intensif Indonesia),
yang juga diikuti dengan program workshop yang diadakan di berbagai kota-kota besar di
Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Bali, Bandung, Makasar dan kota-kota
lainnya.

Tim medis rumah sakit juga telah beberapa kali melakukan studi banding ke
negara tetangga dan mengunjungi unit-unit hemodialisis ternama yang diikuti oleh
manajemen, dokter, teknisi dan perawat. Pusat-pusat Hemodialisis yang telah dikunjungi
adalah di Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura.

Untuk meningkatkan sosialisasi seputar ginjal, seluruh perawat selalu terlibat


dengan kegiatan PPGII Kota Medan yang secara teratur mengadakan pertemuan dengan
seluruh Unit Dialisis yang berada di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, yang
diisi ceramah oleh para pakar.

KSGH Rasyida juga aktif mengadakan kegiatan pada Hari Ginjal Sedunia yang
jatuh pada hari Kamis kedua bulan Maret setiap tahun dengan mengadakan seminar gratis
sehari bagi para dokter dan masyarakat umum dengan tema seputar hipertensi dan ginjal.

Setiap akhir tahun sebelum audit eksternal oleh SAI GLOBAL, juga dilaksanakan
survey kepuasan pelanggan untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan atau pasien
kami, survey tersebut merupakan agenda tetap yang diwajibkan oleh System Manajemen
Mutu ISO 9001:2008.

Sepulang dari Belanda, saya juga selalu aktif mendorong dan memfasilitasi
pembukaan unit-unit hemodialisis pada rumah sakit pemerintah dan swasta yang berada
di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh.

***

75
Bukan “Malaikat Penyambung Nyawa”
Seorang dokter spesialis ginjal bukanlah “malaikat penyambung nyawa”. Masuk
ke ranah itu, berarti masuk ke ranah filosofi dan akhirnya ke agama—ketuhanan. Dokter
tidak menyelamatkan nyawa manusia, yang menyelamatkan manusia adalah Tuhan.
Nyawa adalah milik Tuhan, bukan milik dokter. Sehingga salah apabila pasien

76
mengatakan, bahwa dokterlah yang telah menyelamatkan nyawanya.

Jadi apabila ada seorang ibu mengatakan, ”Untunglah ada dokter itu, dialah yang
menyelamatkan nyawa anakku,” maka itu salah. Karena yang lebih tepat ialah, “Karena
dokter itu maka anak saya dapat bertahan.” Soal nyawa adalah Yang Maha Kuasa.
Banyak ungkapan masa lalu yang harus diperbaiki. Seorang dokter tidak boleh sombong.
Kebugaran, kesehatan bisa dipelihara oleh dokter, namun nyawa hanyalah kuasa Tuhan.

Dalam dunia kedokteran, memang terkadang ada misteri kehidupan. Ada pasien
yang secara fisik sudah tak berdaya, sudah tidak dapat lagi berbuat apa, hanya tergeletak
di atas tempat tidur, pakai selang, infus, tidak bisa berkomunikasi, tapi ia mampu
bertahan dan masih hidup. Sebenarnya pasien tersebut tinggal nyawa saja, kalau fisik bisa
dianggap sudah “mati”, karena dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah dan
memohon kesembuhan. Jadi, ranah dokter hanya sampai pada kesempurnaan fungsi fisik,
yang sering terkait juga dengan fungsi psikis.

Sepanjang menjalani profesi dan mendedikan hidup sebagai dokter, tidak sedikit
pasien atau keluarga pasien yang merasa berterimakasih kepada dokter. Mereka ingin
menyampaikan balas budi melalui berbagai cara. Namun, sebenarnya pada momen
seperti itu, dokter tidak bisa sombong karena mereka sebenarnya sebatas melakukan
pekerjaannya dan dibayar secara profesional. Dari segi ketuhanan, saya menganggapnya
bahwa Tuhan memberikan saya rezeki dan tugas sekaligus untuk bisa melaksanakan itu.

Sangat anggap itu tugas saya. Saya memang sudah ditakdirkan untuk itu. Kenapa
saya katakan ditakdirkan, dari awal saya juga tidak pernah menyangka bahwa saya akan
memilih hidup menjadi dokter. Setelah di kedokteran, saya juga mendalami ginjal. Bahwa
ada orang berterimakasih, itu sangat wajar.

Secara pribadi, banyak pasien yang datang kepada saya dengan maksud
mengucapkan rasa terimakasih, namun sebagai dokter saya tidak mau mengingat-ingat
itu, karena itu memang tugas dan profesi saya. Satu dua kali, ada yang bilang, ”Kalau
bukan karena profesor, saya tidak tahu bagaimana jadinya saya.”

77
Mendengar seperti itu, biasanya langsung saya katakan bahwa itu bukan karena
saya, tapi karena Tuhan masih berkenan memberinya kehidupan. Saya sebagai dokter,
kami melakukan hanya apa yang kami tahu. Jangan pernah sekalipun menuhankan
dokter.

Pada posisi itu, saya hanya berusahan menajamkan naluri saya untuk bisa
diterapkan pada praktek medis. Setiap pasien merupakan inspirasi baru, di mana saya bisa
menerapkan ilmu dan pengalaman yang telah saya dapatkan.

***

Gelar “Bapak Ginjal”


Pada tahun 2008, di dunia internasional mulai muncul usulan-usulan pembaharuan
terkait penanganan ginjal. Hal itu mengemuka pada saat kongres yang dilaksanakan oleh
International Society of Nefrology. Dari sana muncullah gagasan yang menetapkan hari

78
Kamis kedua setiap bulan Maret, setiap tahun sebagai Hari Ginjal Sedunia.

Di Indonesia, usulan itu direspon oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)


yang juga rutin mengadakan kongres setiap tahun. Pertama kali dicanangkan pada tahun
2008, kemudian setiap tahun kemudian dikampanyekan ke masyarakat.

Sejak tahun 1970-an, saya sudah jadi anggota Perhimpunan Penyakit Dalam
(Papdi). Bahkan, Medan pernah menjadi tuan rumah Kongres Penyakit Dalam pada tahun
1975. Waktu itu saya kebetulan menjadi ketua penyelenggaranya dan ikut menjadi
pembicara pada waktu itu.

Sesudah saya tidak lagi kepala bagian penyakit dalam dan fokus di ginjal, saya
kemudian aktif di Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia).

Sampai suatu ketika, Pernefri mulai ikut aktif mengampanyekan Hari Ginjal
Sedunia, Walikota Medan menyambut positif dan ikut serta mendukung kampanye itu di
Medan. Pada saat pelaksanaan Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Konferensi Kerja
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PIT-KONKER PERNEFRI 2016) di Hotel JW
Marriot, Kota Medan, 7 Oktober 2016, Walikota Medan Dzulmi Eldin mengemukakan
dan memberikan saya gelar penghormatan sebagai “Bapak Ginjal”.

Sesudah itu, Gubernur Sumut, waktu itu T Erry Nuradi menyampaikan gelar
serupa pada saat Hari Kesehatan Nasional, pada tanggal 27 November 2016, di Lapangan
Merdeka. Ketika itu, beliau memberikan gelar penghormatan “Pelopor Hemodialisa
Sumut” kepada saya dengan memberikan pin emas.

Pemberian kedua gelar kehormatan merupakan bentuk apresiasi bahwa pelayanan


ginjal di Sumut, sudah established, sudah meluas walau belum merata, dan yang
terpenting tidak ketinggalan dari daerah lain.

***

79
80
CINTA & ASA

Menikahi Putri Mantan Walikota


Pada saat kuliah, saya punya teman akrab namanya Junjung Raja Siregar. Beliau
juga kuliah di Fakultas Kedokteran USU, namun merupakan angkatan terdahulu, dua
tahun di atas saya. Tiba di suatu saat, kami satu kelas. Dari situ kami berkenalan hingga
kami pun akrab. Dulu kami suka bermain bola volley bersama. Dia menjadi juru smash
dan saya jadi folder.

81
Belakangan saya ketahui bahwa ternyata Junjung adalah anak dari adik Haji Muda
Siregar. Beliau memanggil uwak kepada mantan Walikota Medan itu. Junjung tinggal di
sebuah kamar yang berdekatan dengan garasi rumah uwak-nya yang berada di Jalan Kyai
Ahmad Dahlan itu. Saya sering diajak main-main ke sana.

Karena lumayan sering datang ke rumah itu, saya jadi tahu bahwa Haji Muda
Siregar memiliki anak perempuan yang sedang bersekolah di IKIP Jakarta. Namun, saya
sendiri tak kenal dia dan belum pernah bertemu sebelumnya. Hingga pada suatu waktu,
sesudah tamat dia kembali ke Medan. Waktu itu, kami berkenalan secara situasional saja.
Namanya ialah Siti Asrah Siregar.

Setelah berkenalan, pada awal-awalnya berlalu biasa-biasa saja. Tidak ada


hubungan khusus. Kami berteman seperti layaknya awam dan teman biasa, karena pada
saat itu di rumah itu cukup banyak teman-temannya. Rumah itu memang jarang sepi,
selalu banyak orang, karena sering orang datang ke sana, umumnya anak-anak kuliah dari
kampung.

Pertemanan kami berjalan secara alamiah. Pergi nonton film di bioskop bersama,
sehingga akhirnya kami pun sepakat menjalin hubungan. Ya, kata orang pacaran. Tapi,
kalau kemana-mana kami biasanya pergi ramai-ramai. Kalau pergi nonton misalnya,
biasanya selalu ramai-ramai dengan teman-temannya. Jadi, beberapa orang menganggap
kami tidak berpacaran, tapi berteman saja.

Tanpa terasa pertemanan kami itu terus berlanjut, hingga kami seolah lupa usia.
Mulai muncul pertanyaan di hati, apakah hubungan kami akan berlangsung seperti ini
saja selamanya? Atau, akan lebih serius menuju pernikahan?

Saya sendiri pun waktu itu sudah mulai dijodoh-jodohkan orangtua saya dengan
perempuan, yang mungkin dirasa sesuai dengan saya. Ada boru tulang, ada juga putri
kerabat orangtua saya, namun rasanya kok tidak ada yang cocok dan menarik.

Belakangan orangtua saya tahu mengenai hubungan kami. Hingga sekali waktu
beliau berkata kepada saya, “Kamu, yang bagaimananya ini, jangan tinggi kalilah cita-
82
cita. Kita ini hanya rakyat jelata.”

Mendengar itu, saya hanya bisa diam, tak tahu mau menjawab apa kepada ayah
saya. Saya memahami maksud ayah yang mungkin melihat hubungan kami tidak akan
mungkin berlanjut hingga ke pernikahan. Manalah mungkin anak kampung menikahi
seorang putri mantan Walikota Medan, yang tentu saja kelas sosialnya berbeda? Begitu
barangkali yang dipikirkannya saat itu.

Waktu berjalan, usia bertambah. Orangtua saya kembali bertanya, namun kali ini
lebih serius. Mendengar itu, saya pun mulai “terdesak” dan memastikan hubungan kami
yang sudah berlangsung hampir tiga tahun.

“Macam mana dengan hubungan kita ini?”

Sebenarnya, sudah ada beberapa pria yang ingin meminang Siti Asrah, namun
entah karena apa tidak jadi. Tetapi, ketika saya tanyakan itu kepadanya, saya tidak
menerima penolakan. “Ya sudah terserah saja,” begitu jawabanya yang aku terima saat
itu.

“Ya sudahlah, kita jadikan sajalah,” kataku kemudian. Waktu itu umur kami sudah
mendekati 32 tahun. Selisih usia kami tidak jauh berbeda, hanya selisih beberapa bulan.

Dengan keyakinan itu, saya pun pergi menjumpai ayah saya dan menjelaskan
rencana kami untuk menjalani hubungan serius dan kemungkinan besar akan
melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.

Tak lama kemudian, ayah saya pun pergi bertamu ke rumah ayah Asrah. Tidak lain
yang dibicarakan saat itu, selain berterus terang dan apa adanya.

“Hami, halak napogos do hami… (Kami ini orang miskin). Tidak ada banyak yang
dapat kami lakukan, kami hanya bisa melakukan semampu kami,” begitu kata ayah saya
pada saat itu.

Namun, apa kata Haji Muda Siregar, yang kelak menjadi ayah mertua saya, saat
mendengar ucapan ayah saya itu?
83
“Ya sudahlah, kalau memang mereka sudah saling cocok, nanti mereka akan dapat
banyak rezeki.” Ia menenangkan dan dari kalimatnya, beliau tidak menunjukkan rasa
penolakan, namun menerima hubungan kami berlanjut ke jenjang pernikahan.

Setelah pertemuan itu, Siti Asrah pun saya bawa ke rumah orang tua saya dan
mulai mengakrabkan diri dengan keluarga. Beliau ikut memasak dan membantu
pekerjaan di dapur. Saya pun semakin yakin kalau dialah yang akan menjadi istri saya.

Sebelum melangsungkan pernikahan, saya juga berpesan kepada perempuan yang


akan menjadi istri saya itu, bahwa ketika ia nanti sudah menjadi istri saya, maka pada
saat itu ia juga akan sekaligus menjadi ibu dari sembilan anak. Karena saya adalah anak
tertua, masih ada sembilan lagi adik saya, yang paling kecil saat itu masih bayi.

“Saya siap…” begitu jawaban yang semakin membuat saya yakin.

Alasan lain kenapa saya akhirnya menjatuhkan pilihan padanya ialah karena sikap
dan pola pikirnya yang lebih matang dan lebih maju. Maklum saja, ia merupakan orang
berpendidikan dan pergaulannya selangkah lebih maju. Sebelumnya, saya juga memang
pernah berteman dekat perempuan yang sangat kaya, tapi saya menilai dia bukanlah
orang yang tepat untuk menjadi istri saya. Waktu itu, saya juga khawatir bahwa ayah saya
tidak akan setuju.

Setelah kedua belah pihak keluarga sepakat, kami pun melangsungkan acara
pernikahan yang berlangsung cukup sederhana untuk ukuran setaraf bekas Walikota
Medan. Tapi, untuk ukuran orangtua saya itu sudah termasuk maksimal.

Prosesi pernikahan digelar pada tanggal 9 Mei 1970 di Gedung RRC, dulunya
berlokasi di depan Hotel TD. Pardede di Jalan Mongonsidi. Gedung itu sudah diambil
massa pada tahun 1965 dan dijadikan gedung pertemuan. Kini gedung itu sudah tidak ada
lagi.

Sehari kemudian, pada tanggal 10 Mei, digelar tradisi “Mangalap Boru”, tradisi
adat Mandailing, di mana perempuan dibawa ke rumah keluarga laki-laki. Acara itu juga

84
berlangsung sederhana, namun tetap diadakan resepsi, di mana hadir teman-teman dari
FK USU, teman-teman organisasi. Nuansa orde baru masih sangat kuat.

Karena pada saat itu saya sudah praktek menjadi dokter, saya keluarkan semua
tabungan saya. Mulailah saya sibuk dengan urusan pesta perkawinan. Percaya atau tidak,
saya tidak pikirkan tamu-tamu pejabat yang datang. Namun, yang menarik saat itu,
karena saya punya banyak relasi dan sempat aktif di organisasi mahasiswa, banyak sekali
rekan-rekan dari organisasi mahasiswa yang membantu proses pernikahan saya pada saat
itu.

Pada saat itu saya Ketua Senat Mahasiswa Universitas. Para aktivis di Laskar
Ampera angkatan 66, boleh dikatakan sangat dekat dengan saya. Juga kawan-kawan di
organisasi lain, seperti HMI, GAMKI, PMKRI. Saya punya banyak rekan di organisasi
itu semua.

Pernikahan kami berlangsung tanpa prosesi adat Mandailing, karena orangtua saya
pengikut ajaran Muhammadyah, di mana segala adat tidak bisa dibolehkan lagi.
Sementara, dari pihak keluarga istri malah pentolan Nadhatul Ulama (NU). Namun, acara
pernikahan itu berlangsung dengan baik, tidak ada gesekan karena perbedaan pandangan.

Setelah selesai pesta, selesai semua urusan. Beberapa teman mengusulkan dengan
nada bercanda, “Sudah istirahatlah dulu. Pergilah dulu kalian ke liburan Parapat.”

“Ke Parapat, apa mau saya buat ke sana?” jawabku dengan setengah tertawa lepas.
Memang, pada saat itu, saya sudah kehabisan uang, bahkan satu sen pun tidak ada lagi
uang di kantong saya. Jadi sehabis acara pernikahan, setelah dua tiga hari, saya langsung
kembali bekerja. Waktu itu saya memang sudah buka praktek. Istri saya juga bekerja pada
saat itu di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai guru di Sekolah Guru
Kepandaian Putri (SGKP).

Setelah menikah, sepanjang pada awal tahun 1970, kami masih tinggal di rumah
orangtua. Setelah setahun, kakaknya istri saya memberitahu bahwa ada tanah yang akan
direncakan jadi paviliun di Jalan DI. Panjaitan—yang sekarang menjadi klinik. Kami
85
pindah dan pun tinggal di sana, mulai mandiri. Belakangan kami dirikan garasi dan
perlahan-lahan kami bangun. Awalnya sebagai rumah tinggal dan tempat praktek,
kemudian menjadi klinik.

Begitulah pada akhirnya sampai kami menikah, kami menjalani kehidupan dan
karir masing-masing. Saya mendalami profesi dan karir saya sebagai dokter yang saat itu
sedang menempuh ke tingkat dokter spesialis (internist), sementara istri saya menjalani
profesinya sebagai istri yang tetap bekerja di bawah naungan P&K.

Seiring waktu, ketika saya akhirnya memutuskan menjalankan praktek dan klinik,
istri saya selalu berada di belakang saya untuk memberi dorongan sepenuhnya, tanpa
terlalu banyak mencampuri. Karena, ia tahu bekerja telah sekaligus menjadi kesenangan
bagi saya.

***

Mengiklaskan Kepergiannya
Setelah setahun menikah, kami dikarunia anak laki-laki tepat pada 12 April 1971.
Pada saat itu kami masih tinggal di rumah orangtua, di Jalan Sei Putih. Ia lahir dengan
normal, setelah dikandung ibunya selama sembilan bulan hari. Kami sangat bahagia
menyambut kelahirannya. Ia lahir sehat. Panjangnya 54 cm dan beratnya 3,8 kg.

86
Ia kemudian diberi nama Muhammad Rasyid Muda oleh ompung-nya (kakek),
yang masih hidup saat itu. Nama itu dimaksudkan untuk meneruskan nama “Rasyid”.
Bisa dikata begitu, namun juga merupakan penggabungan antara nama ayah saya:
Muhammad Rasyid dan ayah mertua saya: Haji Muda Siregar.

Pun begitu, kami lebih sering memanggilnya Coky. Awalnya karena kami sering
memanggilnya Ucok, lama kelamaan jadi terbiasa memanggilnya Coky. Ia tumbuh
sebagaimana anak-anak normal lainnya. Badannya bahkan lebih tinggi daripada saya,
kulitnya terang dan wajahnya barangkali lebih mengarah mirip ke saya.

Coky lumayan cerdas di sekolah. Umur lima tahun ia sudah masuk TK. Kemudian
masuk SD Bhayangkara di usia 6 tahun. Masuk SMP Harapan dan dan masuk SMA
Negeri 1. Prestasinya lumayan bagus. Memang, kami belum menemukan apa
kegemarannya pada saat dia sekolah, namun ia terbilang anak yang aktif.

Pada 28 Desember 1976, lahirlah anak kami si kembar abang dan adik. Kami
memberi keduanya nama Muhammad Reza Lubis untuk abangnya dan Muhammad Riza
Lubis untuk adiknya. Jarak waktu lahir bayi kembar kami ini hanya 15 menit. Reza lahir
dengan berat 3,4 kilogram, tinggi sekitar 44 cm. Sementara, adiknya Riza lahir dengan
berat 2,8 kilogram dan tingginya 48 cm.

Coky sangat sayang kepada keduanya adik kembarnya itu.

Suatu ketika pada pertengahan tahun 1979, Coky menunjukkan ada benjolan di
kaki kanan bagian bawah, tepat di bagian depan betis sebelum pergelangan kaki.
Awalnya, kami menganggapnya bukan benjolan serius. Tapi kami pun tetap
memeriksanya. Saya pun menghubungi teman saya ahli Patologi dan berjanji bertemu di
RS Herna. Kami membawa Coky ke sana untuk dia periksa.

Setelah memeriksanya, teman saya itu merekomendasikan tindakan aspirasi jarum


halus, yaitu menyedot cairan yang ada pada benjolan di kaki. Saya tidak ada
berprasangka apa-apa, sehingga saya pun setuju untuk dilakukan aspirasi.

87
Namun, keesokan harinya dokter Patologi mengatakan ada kucurigaan mengenai
keganasan. Berita itu pun pecah ke teman-teman sesama dokter. Asisten saya juga sempat
ribut dan mendesak agar kami membawa Coky ke rumah sakit yang bisa menangani lebih
intens.

Setelah mendengar berbagai masukan dari teman, saya pun memutuskan


membawa Coky ke Singapura. Saya memang masih punya koneksi di sana, karena
sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1974, saya pernah mengikuti course selama
tiga bulan di Singapore General Hospital (SGH).

Saya menghubungi teman saya di sana, kami berdikusi dan merekomendasikan


dokter yang akan memeriksa Coky. Setelah diperiksa, dokter menyarankan agar benjolan
tersebut dibuang dengan cara menjalani operasi. Sebelum dioperasi, benjolan tersebut
difoto terlebih dahulu semua. Kelihatannya tidak ada penjalaran apa pun.

Waktu itu, dokter memberi solusi dengan dua pilihan. Pertama, amputasi dari
mulai bagian paha, atau berprasangka baik saja bahwa tidak ada apa-apa—artinya
membuang benjolan. Akhirnya operasi pun dilakukan dan benjolan tersebut dibuang
setelah koordinasi dengan dokter di sana.

Setelah operasi selesai dan setelah menjalani pemulihan selama beberapa hari,
kami membawa Coky pulang ke Medan. Hasilnya mulai nampak. Kondisinya perlahan
mulai membaik, sehingga ia pun kembali ke sekolah dan menjalani aktivitasnya dengan
baik.

Namun, suatu ketika di hari Minggu, tidak seperti biasanya, wajah Coky tampak
murung dan kelihatan tidak bergairah. Saat turun dari mobil ia terjatuh. Dia ditangkap,
dibawa ke rumah dan dibaringkan di atas tempat tidur. Badannya lemas dan kakinya tidak
bisa dia langkahkan.

Cemas dengan kondisinya itu, kami pun membawanya ke RS Herna dan meminta
dokter saraf untuk memeriksanya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa terdapat
defect di otak. Artinya, ada kelihatan benda atau jaringan yang tak seharusnya ada di
88
bagian otaknya.

Setelah pemeriksaaan itu, ia pun menjalani perawatan di RS Herna. Tapi, kawan-


kawan menyarankan supaya kami membawanya kembali ke Singapura. Tapi, setelah
memikirkan beberapa saat, saya putuskan untuk membawanya ke Amsterdam.

Mengetahui kabar itu, kawan sekolah saya dr. Bachtiar Fanani menelepon gurunya
seorang profesor di Rumah Sakit Antonie van Leeuwenhoek, di Amsterdam. Beliau
memang punya koneksi ke rumah sakit bersejarah itu, karena ia pernah belajar di Belanda
dan sempat setahun bekerja di rumah sakit itu. Rumah sakit itu dikenal punya reputasi
bagus. Dalam sejarah ilmu kedokteran, Antonie van Leeuwenhoek merupakan tokoh
penting. Ia merupakan penemu protozoa. Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi
keilmuannya, didirikanlah rumah sakit sesuai namanya. Belakangan, rumah sakit tersebut
akhirnya memfokuskan pengobatan kanker dan tumor.

Berkat bantuan dr. Bachtiar Fanani yang mengkondisikan kami di sana, saya dan
Coky, berdua saja, pun terbang naik Garuda dari Polonia ke Amsterdam. Begitu kami
sampai di sana, sudah menunggu ambulans rumah sakit tersebut dan dibawa ke bagian
kanker.

Di rumah sakit ini ia menjalani kemoterapi—akibatnya rambutnya berguguran


sampai botak. Berat badannya juga turun drastis. Namun, ada hasil positif setelah
kemoterapi tersebut, kondisinya perlahan membaik.

Selama seminggu di rumah sakit, Coky kemudian berobat jalan. Kami tinggal di
sebuah penginapan tak jauh dari rumah sakit itu. Sesekali kami menyempatkan jalan-
jalan di Kota Amsterdam di sela-sela berobat jalan itu. Sesudah itu, Umi-nya (istri saya)
datang menyusul kami ke Belanda. Sesudah sepakat dengan profesor yang menangani
Coky, kami pun membawanya kembali ke Medan. Namun, kami sudah diwanti-wanti,
tanpa terduga defect di otak Coky masih bisa kambuh kapan saja.

Sekembalinya ke Medan, Coky kembali sekolah seperti biasa. Ia pun menjalani


aktivitasnya sampai kelas 1 SMA Negeri 1. Menjelang naik ke kelas 2, pada masa-masa
89
itu, ada indikasi menunjukkan perkembangan yang tidak bagus. Lagi-lagi gangguan yang
menyerang di otaknya kambuh lagi. Tanpa perlu berlama-lama, kami langsung
membawanya ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Kami menemui Prof. dr. R.P
Sidabutar di sana dan beliau merekomendasikan agar ditangani ahli saraf dr. Herdin
Sibuea.

Coky diopname di sana dan saat diperiksa tampak otaknya semakin membesar.
Dokter menemukan adanya metastasis, yaitu kanker yang awalnya tumbuh bagian tubuh
lalu menyebar ke otak. Dia pun menjalani kemoterapi dan radioterapi di bagian kepala
selama 25 hari. Kondisinya semakin lama semakin menurun. Pada hari terakhir, ia
bahkan sudah lumpuh. Tangan dan kaki sudah tidak bisa lagi digerakkan.

Dia masih sempat berbicara kepada saya sehari sebelum kepergiannya.

“Yah, barangkali beginilah rasanya orang mau meninggal…” katanya pelan. Saya
pun memeluknya.

“Sabarlah, nak, mudah-mudahan sembuhnya itu. Kita upayakan yang terbaik, dr


Sibuea berupaya sekuat mungkin,” saya katakan kepadanya.

Besok paginya, dia masih melalui perawatan. Paginya masih sempat dimandikan,
sehabis itu dibaringkan di tempat tidur. Umi-nya menemaninya di sampingnya. Tapi tak
lama kemudian, istri saya berteriak.

“Pa, ini si Coky kok tak bergerak-gerak?”

Saya sedang di kamar mandi waktu itu. Saya datangi dan saya lihat. “Sudah, kita
iklaskanlah…” ucapku ke istri.

Segala upaya telah kami lakukan. Namun, kehendak kami bukanlah kehendakNya.
Tepat pada tanggal 10 November 1986 pagi, kami pun harus merelakan kepergian Ucok
yang kami sayangi, untuk selamanya.

Sejam kemudian, dr. Sibuea datang.

90
“Kalian pun sudah tahunya akhirnya ini, kan? Begitulah yang bisa kita lakukan,”
begitu katanya kemudian menenangkan hati kami yang telah dirundung sedih.

Kami pun mengurus segala keperluan pemberangkatannya ke Medan. Teman saya,


Ihutan Ritonga, direktur pertama Bank Sumut, yang pertama datang melayat. Ketika kami
sampai di bandara, dia sudah ada. Begitu juga saat kami bawa ke rumah, sampai ke
peristirahatan terakhirnya di pemakaman Sei Batugingging, Medan Baru.

Adik-adik saya turut merasakan kesedihan saya. Namun, saya katakan kepada
mereka, anak-anak mereka juga anak-anak saya. Keponakan saya juga sangat anggap
anak saya. Seorang pergi, tapi masih ada anak-anak saya, yaitu anak-anak dari adik-adik
saya. Kedua anak kembar kami juga menguatkan kami. Kelak, dari keduanya kami telah
dikaruniai masing-masing dua cucu—perempuan dan laki-laki.

Pada awal-awal setelah Coky pergi, kesedihan tak luput dari saya dan istri.
Dengan sekuat hati, sampai saat ini, saya dan istri telah mengiklaskan kepergiannya
menghadap Yang Maha Kuasa.

Begitulah, bahwa tak ada yang lebih sedih daripada kehilangan orang tercinta
dalam hidup ini. Hanya dengan cara mengiklaskannya, maka kami kuat dan mampu
menanam sedalam-dalamnya kesedihan itu.

***

Dua Sisi: Dokter dan Guru


Seperti perjalanan saya meraih gelar dokter, saya tidak pernah memperkirakan
bahwa kelak juga akan menjadi dosen. Kedua profesi yang melekat pada diri saya itu,
saya peroleh setelah menjalani pendidikan, di samping saya selalu berusaha mendapatkan
prestasi yang bagus. Pada akhirnya, kedua profesi tersebut pun saya jalani secara

91
beriringan: selain sebagai dokter, juga sebagai dosen. Atau, saya lebih senang
menyebutnya sebagai guru—seperti ayah saya.

Prestasi akademik sayalah yang kemudian mendukung karir saya di universitas.


Perjalanan ke sana dimulai dari perjalanan panjang, ketika saya mulai duduk di bangku
SMP hingga SMA. Pada masa-masa itu saya selalu memperoleh angka bagus. Ketika di
SMP, angka saya selalu bagus. Begitu juga ketika di SMA. Ketika kelas 3 SMA saya
mendapat angka ujian akhir yang cemerlang. Saya termasuk siswa terbaik di seluruh
Sumatera Utara. Selain saya, ada dua teman saya yang angkanya bagus. Pertama kawan
sebangku saya, bernama Ruslan Efendi. Kedua, teman saya yang duduk bangku sebelah
meja kami, bernama Aidil Yuzhar.

Pada saat ujian akhir, angka saya termasuk yang paling tinggi. Tidak ada nilai nilai
6. Nilai 7 hanya ada satu, selainnya angka 8, 9 dan 10. Prestasi saya di SMA itu juga
menjadi “tanda tanya” bagi profesor Belanda, dosen saya di Fakultan Kedokteran USU.
“Sebenarnya angka 10 tidak perlu untuk siswa SMA, ya,” begitu katanya suatu kali.

Begitu juga ketika naik ke tingkat dua di Fakultas Kedokteran USU, saya sudah
diangkat sebagai asisten dosen karena indeks prestasi saya mencapai cum laude. Saat itu,
terbilang jarang mahasiswa yang bisa meraih cum laude, karena sistem pengajaran sangat
ketat dan hampir semua dosennya masih dari Eropa, seperti Belanda, Inggris dan Jerman.

Sebagai asisten dosen pada tingkat dua, saya membimbing mahasiswa tingkat
pertama di laboratorium. Dari situ, saya semakin senang mengajar dan berbagi ilmu. Saya
ingin ilmu yang saya peroleh dapat saya turunkan ke generasi berikutnya, sehingga ilmu
tersebut berguna bagi masa depan orang lain.

Tidak hanya itu, ketika di tingkat tiga, empat dan selanjutnya, saya bahkan
mengajari mahasiswa yang lebih dahulu masuk ke Fakultas Kedokteran USU daripada
saya. Selain itu, saya juga mengajar private less untuk anak-anak SMA yang ingin masuk
ke perguruan tinggi.

Di Fakultas Kedokteran USU, sejak menjadi asisten dosen saya membimbing


92
mahasiswa tingkat pertama di laboratorium Kimia. Itu saya lakukan selama 10 tahun
lebih, termasuk ketika saya sudah lulus meraih gelar dokter dan masuk ke Bagian Ilmu
Penyakit Dalam atas dorongan dosen saya, dr. Muhammad Arifin.

Dari pengalaman yang menempah saya itu, artinya saya punya isi yang bisa
dibagikan dan ditularkan. Saya pun menyadari bahwa saya punya bakat menjadi guru.
Mungkin karena ayah saya juga ialah seorang guru, juga ibu saya. Bahkan, beliau
mendirikan sekolah di beberapa tempat beliau pernah tinggal. Di kampung halaman saya
Muara Botung, beliau mendirikan madrasah, namanya Madrasah Irsyadiah. Pada
kemudian hari madrasah tersebut saya renovasi sedikit demi sedikit agar lebih layak dan
tetap bisa berdiri. Ayah saya juga mendirikan sekolah mengaji di Sibolga. Ibu saya ikut
mengajar di sekolah itu. Pada tahun 1957 beliau juga pernah mendirikan Sekolah Dasar
Muhammadyah di Medan, di kawasan Jalan Darussalam, yang dulu dikenal dengan Pasar
Melintang I.

Bisa dikatakan ayah merupakan inspirasi bagi saya dalam hal pendidikan. Rasa
percaya diri saya sebagai dosen juga didorong oleh pengalaman saya sebagai dokter,
khususnya di bidang ginjal dan hipertensi.

Setelah Prof. Dr. R.P. Sidabutar, saya termasuk orang kedua yang mengembangkan
pelayanan ginjal di Indonesia, sekaligus yang pertama di luar Jawa—di luar Jakarta. Saya
menganggap beliau sebagai guru saya. Itulah sebabnya, sepulang dari negeri Belanda,
ketika ada kesempatan ke Jakarta, saya menemui beliau. Sebagai orang pertama yang
mengembangkan layanan ginjal di Indonesia, saya sangat hormat kepadanya.

Begitu juga di Fakultas Kedokteran USU, saya termasuk salah satu generasi
pertama pribumi lulusan yang mengajar di fakultas tersebut. Sebelumnya, banyak dosen
di Fakultas Kedokteran USU berasal dari luar negeri, termasuk dosen-dosen dari negeri
Belanda. Satu lagi yang mendahului saya ialah dr. Boloni Marpaung. Beliau lebih dahulu
masuk ke Fakultas Kedokteran USU daripada saya. Setelah tamat dari Fakultas
Kedokteran USU, beliau belajar internis di Jakarta, kemudian kembali ke Medan dan

93
menjadi dosen di kampus almaternya tersebut.

Kiprah saya berlanjut terus. Sepulang dari Belanda pada tahun 1975 dan
mempelopori unit HD di RS Pirngadi dan beberapa rumah sakit di Medan, karir saya
terus naik, baik sebagai dokter maupun di universitas. Saya mengumpulkan resume paper
yang saya tulis dan mengajukannya ke universitas untuk kenaikan pangkat.

Hingga pada 1 April 1998 saya pun menerima surat keputusan untuk dikukuhkan
menjadi profesor sekaligus Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU). Setelah
menerima surat pengangkatan itu, saya resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar (USU) dari
dari Fakultas Kedokteran, pada Februari 1999. Setelah sebagai Guru Besar, maka
otomatis saya juga menjadi Anggota Senat Universitas, karena waktu itu belum banyak
profesor. Dalam sebuah rapat, saya pun terpilih menjadi Ketua Senat Universitas yang
memimpin pemilihan rektor. Itu merupakan jabatan tertinggi yang pernah saya capai
selama berkiprah di USU.

Namun, di tengah perjalanan kiprah saya di universitas, bukan tidak pernah saya
mengalami kegagalan, yaitu saat maju sebagai Dekan FK USU. Saya mencoba menjadi
dekan selama tiga kali. Pertama, pada masa kepemimpinan Rektor USU Dr. A.P.
Parlindungan S.H (1978 – 1986), saya gagal. Waktu itu jabatan dekan diraih Prof. dr.
Aslim Sihotang Sp.M menggantikan dr. Bachtiar Fanani Lubis, yang sudah menjabat dua
selama periode. Empat tahun kemudian saya coba lagi, gagal lagi. Di akhir periode saya
maju lagi, namun gagal lagi. Waktu itu bekas mahasiswa saya yang menjadi dekan, yaitu
Prof. dr. Sutomo Kasiman Sp.PD. Akhirnya, dari situ saya berpikir bahwa menjadi dekan
bukan bidang saya. Saya pun lebih fokus pada bidang yang saya tekuni dan pada tahun
1993 menjalani transplantasi ginjal.

Pada tahun 1981, ketika dr. Bachtiar Fanani Lubis menjadi Dekan FK USU, saya
didaulat menjadi Kepada Bagian Ilmu Penyakit Dalam (IPD) di FK USU, menggantikan
Prof. dr. Kadri. Pendaulatan saya itu sekaligus mengakhiri “rezim feodalisme” di FK
USU bahwa jabatan Kepala Bagian IPD merupakan jabatan seumur hidup, yang hanya

94
bisa digantikan apabila pemegang jabatannya meninggal. Belakangan dr. Bachtiar Fanani
mempelopori kebijakan batu bahwa Kepala Bagian IPD hanya bisa dijabat selama empat
tahun dengan maksimal dua periode. Saya menjabat Kepala Bagian IPD selama dua
periode. Seharusnya berakhir pada 1989, namun karena pada masa itu sempat terjadi
kevakuman untuk memilih kepala bagian yang baru, saya tetap mengisi jabatan itu
hingga 1991.

Tahun 1996 saya diminta menjadi Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan
Dokter Spesialis (TKP-PPDS) Penyakit Dalam. Sejak itu, rasanya seperti tidak ada yang
bisa menggantikan saya. Sampai akhirnya saya pensiun pada tahun 2008, jabatan itu
masih saya pegang.

Setelah pensiun dari jabatan Guru Besar USU, setiap tahun saya masih mendapat
perpanjangan tugas dan setiap pelaksanaan Dies Natalis Guru Besar masih diundang
hingga di usia 79 tahun. Bahkan, sampai saat itu saya masih tetap menjadi dosen pengajar
dan penguji bagi dokter spesialis yang akan meraih gelar Doktor (S-3) pada Program
Pasca Sarjana USU. Setelah mereka selesai menjalani masa pendidikan, saya ikut
mengujinya pada ujian kelayakan, ujian proposal, pemaparan hasil penelitian dan ujian
akhir.

Sementara, sebagai pencetus unit HD di RS Adam Malik, di sana saya diangkat


sebagai Ketua Komite Medik, selain sebagai penasehat di bagian dialisis rumah sakit
tersebut. Saya juga masih dipercaya membimbing mahasiswa PPDS, mereka para calon
dokter spesialis saya mengikuti bimbingan saya selama tiga bulan. Saya hadir saat
mereka membaca jurnal atau reading assignment dan diminta untuk menguji.

Mengabdi di dunia pendidikan merupakan kesenangan bagi saya. Sebagai guru,


saya akan merasa bangga bila mendengar murid-murid saya berhasil. Beberapa di
antaranya sudah menjadi dokter penyakit dalam dan spesialis ginjal.

Sekarang ini saya memang bisa dikatakan paling senior di bagian ginjal di seluruh
Indonesia. Ketika Prof. Dr. R.P. Sidabutar masih ada, saya dianggap orang kedua. Wajar

95
bila dalam pertemuan para ahli nefrologi di seluruh Indonesia, saya masih dianggap
tempat orang bertanya. Setelah saya, ada seorang murid Prof. Dr. Sidabutar, namanya Dr.
Yose Rusma. Beliau juga merupakan ahli ginjal senior.

Sepengalaman saya sebagai dosen, tidak sedikit bermunculan dokter spesialis


ginjal menonjol setelah generasi saya, mereka masih muda-muda. Beberapa di antaranya
bahkan sudah mendapat gelar profesor, namun masih menganggap saya sebagai gurunya.
Mereka terinspirasi dari updating pengetahuan yang tetap saya lakukan dari waktu ke
waktu. Selain itu, mereka beranggapan bahwa secara keilmuan dan jam terbang,
marwahnya masih pada para dokter senior.

Sebagai dosen, barangkali saya juga tidak lepas dari tidak bisa saya pungkiri
bahwa sebagian yang pernah menjadi mahasiswa saya mengganggap saya sebagai dosen
yang disegani, apalagi menyangkut perkuliahan. Namun, di ruang belajar, saya selalu
bersikap demokratis dan kepada para mahasiswa saya selalu mencoba untuk selalu
komunikatif.

Saya dikenal sebagai dosen yang memang menguasai bidang ilmu yang saya
tekuni. Sehingga, dalam memberikan pertanyaan kepada mahasiswa pun, saya tidak
pernah memberi pertanyaan biasa-biasa. Pada umumnya pertanyaan yang high class.
Menurut saya, karena itulah mahasiswa takut pada saya. Sebenarnya mereka bukan
“takut” kepada saya sebagai personal, tapi takut karena tidak bisa menjawab pertanyaan
saya. Saya tahu mana mahasiswa yang pintar dan tidak menguasai mata kuliah. Meskipun
ia menggunakan berbagai kamuflase, saya akan segera mengetahuinya dari cara dia
menjawab pertanyaan saya.

Menjadi guru memberi kesenangan dan kebanggaan tersendiri bagi saya, tidak lagi
semata-mata mengejar materi, melainkan untuk mewariskan ilmu yang saya peroleh.
Kesenangan saya cukup sederhana. Ketika suatu kali dalam perjalanan ke luar kota, tiba-
tiba seseorang datang menghampiri saya dan dengan bangga mengatakan:

“Profesor, saya dulu muridmu…”

96
Saat begitu, seperti kata orang, rasanya seperti berbunga-bunga.

Menjadi guru adalah pengabdian. Melalui pengabdian itu, saya selalu berharap
kelak akan lahir generasi dokter yang lebih baik. Ketika mereka berhasil dan mampu
menerapkan ilmunya sebaik-baiknya untuk masyarakat, di situlah letak kebanggaan saya.
Dan pada saatnya nanti tiba, saya pun akan dikenang sebagai guru.

***

Asa yang Masih Tersimpan

97
Ayah saya dulu sekolah agama di Pondok Pesantren Sumatera Thawalib, Parabek,
dekat Bonjol, Sumatera Barat. Di masa mudanya, beliau tidak puas hanya sekolah di situ.
Lantas, ia pun merantau dan ke Malaysia, di Kajang, sekitar 20-an kilometer dari Kuala
Lumpur.

Sepulang dari sana, beliau mendirikan sekolah madrasah di depan rumah kami di
Muara Botung, namanya Irsadyah. Sekolah itu dipeliharanya terus dan ia mengajar terus
di sana. Sampai sekarang madrasah itu masih berdiri sejak dirintis pada tahun 1930-an.

Lima tahun setelah kepergian ibu, ayah meninggal di Medan pada usia 78 tahun
setelah sakit beberapa lama. Beliau memiliki riwayat penyakit diabetes. Ayah memang
tidak mewariskan harta, tapi tempat mengenyam ilmu dan membangun karakter manusia
yang sesuai dengan agama. Bila saya mampu melanjutkan apa yang telah dibangun ayah,
itu akan menjadi satu kebangaan bagi saya.

Madrasah itu terdiri dari dua kelas dan dua tingkat, sehingga ada empat ruangan
belajar. Satu kelas bisa hingga 40 orang. Memang dari dulu sampai sekarang tidak
berubah. Namun, fisik bangunannya menua. Saya merasa memilikinya dan sedikit demi
sedikit saya renovasi agar bisa tetap berdiri.

Saya tidak bisa menghitung berapa anak kampung yang sudah belajar di sana.
Sejak dulu ayah tidak pernah meminta uang sekolah kepada murid-murid yang belajar di
sana. Belakangan, orangtua murid memberi santunan agar ada guru yang tetap mau
mengajar di madrasah itu.

Tentu tidak mudah, sehingga kurang terorganisir dengan baik. Saya berharap,
sekolah itu bisa diorganisir secara mandiri oleh orang di kampung. Sejauh ini, kampung
itu tidak bisa menghidupinya.

Saya belum bisa menemukan solusi untuk itu. Sejauh ini, yang bisa saya lakukan
ialah merenovasi bangunan. Saya mengharapkan ada orang yang bisa mengorganir itu
dengan baik agar sekolah itu dapat berjalan seperti dicita-citakan oleh ayah saya.

98
***

99
KARENA DIA PINTAR DAN
BERAGAMA

Dra. Siti Asrah Siregar

Setelah pensiun dari dunia politik, ayah saya, Haji Muda Siregar, suka melewati

100
masa pensiunnya di rumahnya, yang saat itu masih berada di Jalan Kiai Ahmad Dahlan.

Ayah merupakan mantan Walikota Medan ke-5 di zaman kemerdekaan, pada

periode 1954 - 1958, sesudah dijabat oleh Dzaidin Purba. Ayah yang juga sering kami

panggil papa, juga sempat menjadi anggota Konstituante pada periode 9 November 1956

– 5 Juli 1959 dari Nadhatul Ulama. Setelah bersidang pertama kali pada tanggal 4 Maret

1956, Konstituante dibubarkan pada 5 Juli 1959 menyusul berlakunya dekret presiden.

Saya merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Ketika saya kuliah di IKIP

Jakarta sekitar tahun 1967. Setiap libur, biasanya saya selalu rutin pulang ke Medan

minimal sekali dalam setahun. Biasanya pada masa liburan bisa lebih lama. Selain saya,

kakak saya juga sekolah di Jakarta pada saat itu.

Kalau saya pulang, rumah biasanya tidak pernah sepi. Ada saja orang yang datang

ke rumah, baik keluarga maupun teman-teman adik-adik dan kakak saya. Mendiang papa

memang selalu welcome kepada siapa saja.

Rumah lebih sering ramai, apalagi pada malam Minggu. Ada yang main-main

kartu, makan-makan. Pokonya rumah selalu ramai. Sampai suatu kali saya katakan ke

ibu, “Mak, kok nggak pernah rumah kita sepi ya, pingin juga sesekali.”

Tapi begitulah papa saya yang suka menerima orang di rumah, apalagi anak-anak

dari kampung yang sedang sekolah di Medan. Selalu saja ada anak-anak anggota keluarga

yang disuruhnya supaya tinggal di rumah saja, biar hemat tak perlu lagi bayar uang kos.

Kalau tidak salah sampai 15 orang yang tinggal di rumah saat itu.

101
Waktu itu, di rumah juga tinggal Junjung Siregar, anak adik bapak. Kami

memanggilnya ito—panggilan untuk saudara laki-laki atau perempuan. Junjung

memanggil uwak kepada papa saya. Ayahnya Junjung yang paling kecil dari keluarga

ompung (kakek) dari papa.

Waktu tinggal di rumah, beliau sedang kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) USU.

Sesudah tamat jadi dokter, beliau sempat kerja di Malaysia, pindah ke Medan dan bekerja

di perkebunan di Pamela. Beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Nah, semasa masih kuliah di FK USU, ito kami Junjung ini juga sering membawa

temannya ke rumah. Biasanya setiap hari Sabtu atau Minggu. Kalau datang datang

mereka banyak kegiatan di rumah, masak-masak, makan ramai-ramai. Kalau hari Minggu

biasanya main pingpong di halaman rumah.

Suatu kali ito saya Junjung Siregar datang ke rumah bersama teman-temannya.

Waktu itu salah satu temannya diperkenalkannya kepada saya, namanya Harun Lubis—

mahasiswa di Fakultas Kedokteran USU. Beberapa kali datang ke rumah dibawa ito kami

Junjung, kami pun semakin saling kenal. Setelah libur, saya kembali ke Jakarta. Kami

tidak pernah saling surat menyurat.

Teman mereka, dr. Gading Hakim, juga sering datang ke rumah, dan juga suka

bawa temannya ramai-ramai ke rumah. Apalagi kalau ada yang lulus ujian, biasanya

orang-orang di rumah memasak untuk merayakannya bersama.

Tak lama sesudah itu, saya tamat. Setelah tamat, saya pun mendapat kesempatan

102
kerja untuk ditempatkan di daerah mana saja di seluruh Indonesia. Tapi, waktu itu papa

saya bilang agar saya di Medan saja. “Nanti kalau ada apa-apa susah datang untuk

menengok kami. Kenapa tidak di Medan saja?” begitu kata papa waktu itu.

Ito kami Junjung sangat dekat dengan Junjung. Juga, kepada ayah saya karena

sering dibawa Junjung. Bahkan, beliau ikut membantu papa saya untuk mengurus

penempatan kerja saya di Medan, karena temannya banyak.

Akhirnya, saya bekerja pindah ke Medan dan bekerja di kantor di Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan (P&K). Waktu itu sebenarnya saya ingin bekerja di luar

Medan karena khawatir tidak bisa tinggal dengan lingkungan di Medan yang pada saat itu

masih jauh dengan yang saya lalui di Jakarta.

Setelah saya bekerja, beliau pun sering datang ke rumah. Biasanya kami pergi

nonton ramai-ramai, tidak pernah pergi berdua-duaan. Kalau pergi, saya juga selalu bawa

teman saya. Karena sering pergi ramai-ramai, bahkan ada yang tidak tahu kalau kami

berpacaran. Memang, kami pun tidak pernah menunjukkan kami sedang berpacaran.

Saya suka dengan sosoknya karena pintar dan beragama. Kemana-mana dia dicari

orang, tak hanya mahasiswa-mahasiswanya. Sejak dulu saya memang selalu mencari

pasangan yang pintar dan beragama. Tahu-tahu ketemu dia, sejak itu saya berpegang

dalam hati, apa pun yang terjadi pokoknya dia. Begitulah dalam hati saya waktu itu.

Karena kami bekerja, biasanya kami pergi pada malam Minggu saja. Ia jarang

datang sendirian, biasanya datang ke rumah ramai-ramai. Suatu kali, dia pernah

103
menanyakan hubungan kami. Waktu itu, sepulang nonton dari bioskop, ia menceritakan

rencana kedatangan orangtuanya ke rumah, ingin melamar saya. Waktu itu kami sudah

berpacaran selama kurang lebih tiga tahun.

“Kalau memang serius, kita lanjutkan ke pernikahan,” begitu kira-kira katanya

saat itu.

Ketika orangtuanya datang, saya tidak terlalu tahu apa yang dibicarakan pada saat

itu, karena yang bicara saat itu ialah antara orang tua. Kami tidak terlalu mendengar. Tapi,

biasanya kalau sudah begitu, saya pun sudah tahu maksudnya. Tak lama kemudian, papa

menceritakan kedatangan itu, ingin melamar saya. Papa menanyakan apa saya setuju

dengan lamaran itu. Saya tidak menolak lamaran itu karena merasa sudah siap.

Maka, setelah mempersiapkan segala sesuatunya, acara pernikahan dilakukan pada

9 Mei 1970, di Gedung RRC di Jalan Mongonsidi, Medan. Acara pernikahan terbilang

sederhana. Keesokan harinya, pada 10 Mei 1970, acara dilanjutkan dengan tradisi budaya

Mandailing, yaitu “Mangalap Boru”, di mana keluarga laki-laki datang menjemput saya

ke rumahnya. Setelah itu, kami pun tinggal di rumah mertua sampai beberapa tahun.

Setelah kami menikah, beberapa teman suami saya suka mencandainya. Beberapa

temannya yang belum menikah juga suka iseng-iseng meledek saya karena saya mau

menikah dengan bapak yang pada saat itu masih kuat merokok.

“Asrah, kamu kok tahan kali sama bapak?” katanya.

Sebelumnya, mereka memang tahu bahwa saya tidak begitu suka dengan pria

104
perokok. Tak hanya itu, pada saat setelah acara pernikahan selesai, teman-teman bapak

menggangguinya dengan candaan.

“Ngapain langsung bekerja, pergilah dulu kalian berlibur ke Parapat.”

Waktu itu bapak meresponnya dengan tertawa, karena pada saat itu dia sudah

kehabisan uang dan tabungan untuk acara pernikahan. Pada saat itu dia memang sedang

ambil spesialis penyakit dalam dan lebih sering ke kampus jadi dosen.

Pada tahun 1974, suami saya ke Belanda mengambil program pendidikan

mengenai nefrologi. Ketika akan pulang dari Belanda, beliau sempat meminta saya

datang untuk menjemputnya, sekalian ingin jalan-jalan ke Eropa. Tadinya kami mau pergi

mengelilingi Eropa, sebelum pulang ke Indonesia.

Tetapi ternyata bapak mendapatkan bantuan mesin pencuci darah untuk dibawa ke

Indonesia. Akhirnya, hanya beberapa negara di Eropa yang kami jalani.

‘Nggak apa-apa, lain kali masih bisa kita jalan-jalan keliling Eropa,” begitu

katanya waktu itu. Sebenarnya pada saat itu, saya kepingin sekali jalan-jalan ke Spanyol,

Swiss, Copenhagen, dan lain-lain, karena memang sudah lama direncanakan.

Tapi, saya pun memahami maksud beliau karena mesin pencuci darah itu sangat

berarti bagi profesinya. Kelak, itulah cikal bakal cuci darah di Sumatera Utara, dan beliau

senang sekali bisa memulai mewujudkan keinginannya. Niat mengelilingi Eropa akhirnya

terwujud setelah beberapa tahun kembali ke Indonesia.

***

105
Waktu itu, setelah dikarunia anak pertama, yang oleh ompungnya diberi nama

Rasyid Muda, kami pindah ke Jalan D.I. Panjaitan. Rumah itu dulunya belum klinik,

masih digunakan praktek dan tempat tinggal. Dulu, ketika membangun rumah,

belakangnya saja dibangun lebih dahulu. Garasi digunakan juga sebagai bagian dari

tempat tinggal.

Kemudian dari tempat praktek, berkembang jadi klinik. Kebetulan pada saat

berdekatan, tetangga kami menjual rumahnya ke kami, kalau tidak salah sekitar Rp40 juta

pada saat itu. Itu pun kami bayarnya bertahap. Kami pinjam uang ke bank, itulah pertama

kali kami pinjam ke bank. Dari situ bangunan bertambah, klinik pun bertambah luas.

Pada awal-awal praktek saya membantu bapak menyiapkan ruang praktek,

menjahitkan sprei tempat tidur pasien. Ikut menata ruangan supaya biayanya tidak terlalu

besar. Selebihnya, saya tidak mencampuri pekerjaan bapak terlalu berlebihan, karena

saya tahu beliau sangat tekun dengan profesinya. Profesi itu itu kesenangan baginya.

Saya tetap mendukungnya untuk mendalami profesinya. Namun, dalam hal mengelola

klinik sampai rumah sakit adalah hasil jerih payahnya.

Bapak menjalani profesinya dengan sepenuh hati, tidak hanya melulu menjadikan

profesinya tersebut untuk membesarkan klinik. Makanya hampir semua pasiennya

memiliki kesan padanya. Beberapa kali bahkan pasien datang hanya untuk melihatnya.

“Sudah capek bapak itu, mau istirahat dulu beliau,” kadang begitu alasan saya

kalau pasiennya datang, misalnya karena sudah kemalaman dan sudah lama menunggu.

“Kami lihat saja pun dia sudah sembuh sakit kami,” begitu kata mereka. Mereka sangat

106
sayang pada bapak. “Asal nampak bapak, kami sudah baik,” kadang begitu kata pasien.

Bapak selalu menganggap pasien itu tak hanya sekadar pasien. Beberapa

dianggapnya seperti teman dan saudara. Beliau selalu beranggapan bahwa pasien itu tidak

seorang pun yang menginginkan dirinya sakit dan bagaimana apabila kondisi mereka

dibalikkan kepada kita.

Bahkan saya kadang cemburu, karena beliau lebih sayang kepada pasiennya

daripada saya. Semua pasien sama bagi dia. Tidak suka membeda-bedakan. Kalau

pasiennya orang Aceh, dia bahasa Aceh. Kalau pasiennya orang Karo, bahasa Karo juga

dia. Ketika bapak sakit sampai harus menjalani operasi bypass di Singapura, banyak

pasien yang datang ke rumah sakit mencarinya.

Sebagai dosen, beliau juga sangat disiplin. Sampai usia menjelang 80 tahun pun ia

masih tetap mengajar. Saya sudah katakan, kasihlah kesempatan yang muda-muda.

Beliau juga sangat disiplin dengan waktu mengajar. Pada saat liburan misalnya,

beliau tidak suka mengambil kesempatan dengan bolos. Biasanya, kan orang suka bolos

masuk kerja kalau habis libur, tapi bapak tidak mau seperti itu.

“Harus pulang, besok saya mau ngajar. Pemerintah kan sudah bayar, tahu-tahu kita

tidak ngajar…” begitu katanya.

Bagi beliau, mengajar bukan hanya sebagai profesi, tapi juga hobi. Dia sangat

senang mengajar, baik mengajar mahasiswa, dokter yang mau mengambil spesialis, juga

perawat. Dia tidak pilih-pilih.

107
Bagi dia menjadi guru lebi dari sekadar dokter. Pekerjaan itu adalah

kesenangannya. Menjadi guru adalah pekerjaan mulia baginya karena bisa menularkan

ilmu dan melahirkan generasi-generasi baru di dunia kedokteran. Kalau dihitung-hitung,

sejak menjadi asisten dosen sejak tahun 1959, pastilah muridnya sudah sangat banyak

dan banyak yang sudah berhasil. Bahkan, hingga generasi sekarang ada dosen, kepala

bagian hingga dekan di Fakultas Kedokteran USU, tidak sedikit yang dulunya adalah

muridnya. Beberapa di antaranya pun sudah ada yang jadi profesor.

Tidak hanya di Medan. Kadangkala, ketika kami pergi ke Palembang misalnya,

ada aja yang datang menyamparinya dan mengatakan bahwa dia dulu adalah muridnya.

Di mana saja singgah, selalu ada muridnya. Dalam beberapa kesempatan, beberapa

muridnya kerap mendatanginya dan minta foto bersama. “Seperti selebriti saja aku dibuat

orang itu,” begitu katanya seraya tertawa.

Wajar saja, beliau telah mendidikasikan ilmunya di kampus sejak mahasiswa

tingkat dua di Fakultas Kedokteran USU dan tidak terhitung berapa banyak mahasiswa

yang sudah melewati kelas dan bimbingannya. Di semua kampus, di semua kabupaten

ada muridnya. Kadangkala dia suka lupa, tapi kalau muridnya itu mengatakan bahwa dia

adalah dulu anak mahasiswanya, barulah dia mencoba mengingat-ingat.

Bisa dikatakan dia sekarang guru tertua di Fakultas Kedokteran USU. Padahal

kalau dilihat dari usia dan apa yang telah dicapainya saat ini, buat apa lagi dia mengajar?

Tapi begitulah beliau, mengajar itu baginya bukan untuk mencari uang. Saya juga heran

kadangkala, honor mengajarnya tidak pernah diperhitungkannya.

108
Kalau saya tanyakan tentang honornya, beliau bilang, “Tak dibayar pun aku tetap

mau mengajar.” Saya lihat beberapa orang tidak mau lagi mengajar kalau tidak ada

honornya. Tapi, bagi bapak mengajar itu bukan soal uang. Mengajar bukan untuk

mengejar uang, tapi membagikan ilmu dan kesenangan hidup.

Saya selalu bilang, jangan lagi mengajar karena cemas dengan fisiknya yang

mudah lelah. Harusnya beliau banyak beristirahat. Tapi, selalu berkeras ingin pergi kalau

staf di universitas menyuruhnya datang. Sampai saya bilang ke mereka, ”Jangan lagi

suruh bapak mengajar.”

“Nggak, Bu. Bapak duduk-duduk saja, kok. Tidak kami minta ngajar.”

“Jadi, ngapain kalian suruh lagi bapak datang?”

Saya juga tahu bapak masih mengajar kalau pergi ke kelas-kelas spesialis yang

diadakan di RS Adam Malik, RS. Pirgadi dan beberapa tempat. Saya juga sering bertanya

dalam hati, mengapa semangatnya untuk mengajar itu begitu tinggi? Barangkali kali

karena melihat sosok ayah mertua saya yang dulunya juga seorang guru dan

mendedikasikan dirinya untuk dunia pendidikan, khususnya agama. Sekarang anak bekas

muridnya pun sudah jadi dekat dengan dia. Beberapa di antaranya mereka bahkan sudah

ada yang bekerja di RSKGH Rasyida.

Di kampus, dikenal sebagai dosen tegas. Tidak suka dengan mahasiswa yang

malas belajar. Apalagi kalau ada orangtua murid yang minta bantuan agar anaknya masuk

penyakit dalam. “Dia kan sudah dokter, ngapain bapaknya dibawa-bawa,” katanya.

109
***

Dulu, pada saat unit HD masih terbilang jarang di daerah, tidak sedikit pasien

datang ke Medan, termasuk dari Aceh. Apalagi sebelum ada BPJS, biaya cuci darah

tergolong sangat mahal. Bahkan, ada keluarga pasien yang sampai harus jual tanah untuk

biaya berobat. Obatnya yang mahal. Bahkan, ada pasien yang terpaksa indekos di Medan.

Suatu kali, dalam sebuah acara, bapak menyampaikan pidatonya dan mengatakan

kegembiraanya bahwa unit cuci darah sudah ada di berbagai daerah. Sehingga tidak perlu

lagi harus datang jauh-jauh ke Medan. Tapi, ketika itu beberapa undangan yang hadir

malah “menyindir” bapak.

“Hebat kalilah abang ini. Kalau nanti sudah ada unit cuci darah di semua daerah,

mana ada lagilah nanti pasien yang datang ke sini (Klinik Rasyida).” Waktu itu, beberapa

tokoh Sumut hadir, seperti Gus Irawan Pasaribu, Walikota Medan pada saat itu

Rahudman Harahap. Mendengar ucapan seperti itu, bapak meresponnya dengan jawaban

apa adanya. “Mana tertampungku semua pasien itu,” katanya.

Sekarang, hampir semua kabupaten di Sumut hingga Aceh sudah punya unit cuci

darah, sehingga tidak perlu lagi ke Medan. Suatu kebanggaan bagi dia membuka unit cuci

darah, hatinya sangat senang. Bagi dia hidup itu seperti itu, untuk menyenangkan hati

orang.

“Kalau duit kan tidak bisa diukur, tapi karya itu kelihatan,” begitu selalu katanya.

Selain cerdas dan tegas, beliau juga sangat baik hati. Dia suka menolong orang

110
lain, mulai dari keluarga, orang terdekat, kawan sekolah, mahasiswa, orang dari

kampung, bahkan beberapa stafnya.

Satu hal lagi, selama 48 tahun menikah dengan beliau, dia tidak pernah marah

kepada saya. Kami tidak pernah berkelahi. Kami saling tenggang rasa. Dia tidak pernah

menyakiti hati saya. Dia sangat takut, sampai saya sakit hati. Bahkan, dia tidak mau hati

saya tersinggung sekalipun melalui orang.

Begitulah sosok Prof. dr. Harun Rasyid Lubis Sp.PD-KGH yang saya kenal dan

telah menjadi istri baginya selama hampir setengah abad. Tiga kata sederhana yang selalu

saya pakai untuk menggambarkan dirinya, yaitu pintar, beragama dan baik—

kesenangannya ialah menyenangkan orang lain.

***

111
TESTIMONIAL

Prof. dr. Habibah Hanum Nasution Sp.PD, K-Psi

112
Perpaduan Guru dan Dokter
Saya mengenal Prof. dr. Harun Rasyid Lubis Sp.PD-KGH sejak beliau masuk di

Fakultas Kedokteran USU (FK USU) pada tahun 1960. Waktu beliau masuk, saat itu saya

sudah tingkat dua di FK USU.

Saya mengenal beliau pada saat itu sebagai mahasiswa yang cerdas, rajin belajar

dan punya sifat-sifat positif sebagai calon sarjana. Ketika beliau masih di kelas 1 di SMA

Negeri 1, saya sudah kelas 3. Tapi, walaupun saya duluan masuk Fakultas Kedokteran

USU, jarak kami tamat tidak begitu jauh. Saya tamat tahun 1966, beliau juga tamat di

tahun yang sama.

Saya dan Prof. Harun punya banyak kesamaan. Hanya satu yang membedakan

saya dan beliau. Beliau berhasil punya rumah sakit— Rumah Sakit Khusus Ginjal dan

Hipertensi (RSKGH) Rasyida yang dikenal sebagai satu-satunya rumah sakit yang khusus

menangani pasien ginjal dan hipertensi di Sumatera Utara bahkan Aceh.

Kesamaan kami yang pertama ialah, kami sama-sama orang Mandailing.

Walaupun tidak satu kampung, tapi kami sama-sama dari Mandailing Natal (Madina).

Saya dari Gunung Baringin, Panyabungan. Sedangkan beliau dari Muara Botung, satu

kampung dengan Todung Mulya Lubis—pengacara hebat itu.

Sesudah tamat, Prof. Harun masuk ke bagian penyakit dalam. Saya juga masuk

bagian penyakit dalam. Waktu itu, Prof. Harun disuruh guru kami, dr. Muhammad Arifin,

untuk meminta saya untuk masuk juga bagian penyakit dalam. Padahal, saat itu

113
sebenarnya saya ingin jadi ahli kebidanan, dan kebetulan juga suami saya kurang setuju

karena nanti terlalu repot untuk perempuan. Akhirnya, saya menyetujui dan masuk bagian

penyakit dalam. Sehingga kami pun kembali sama-sama belajar lagi dengan Prof. Harun.

Di sini saya mengenal Harun lebih dekat lagi. Beliau suka dan aktif

berorganisasi, bersilahturahmi dan orangnya begitu energetik dan cenderung tipe orang

pekerja (workaholic). Kalau tidak bekerja, akan sakit. Barangkali di situ juga letak

kesamaan saya denga beliau, seperti sekarang ini di usia 82 tahun masih mengajar di

kampus, masih buka praktek dan masih aktif berorganisasi walaupun tidak lagi seaktif

dulu.

Dalam aktivitas berorganisasi, ketika beliau masuk HMI, saya ketika itu Ketua

HMI Cabang Medan. Sebelumnya, begitu masuk di Fakultas Kedokteran selama tiga

tahun berturut-turut saya menjadi bendahara cabang. Waktu itu di masa ketua Yusuf

Hanafiah, Erzan Akbar, Gading Hakim, baru yang keempat saya.

Saya melihat pada saat itu beliau sangat aktif. Waktu itu kalau kami butuh dana

untuk bikin kegiatan, kami anti “ngemis-ngemis”, kami bikin kegiatan kreatif. Misalnya

pemutaran film dan bazaar. Kebetulan beliau memang suka sekali menonton. Gala

premiere yang pada saat itu sedang trend.

***

Suka bersilahturahmi, dalam organisasi dan pendidikan, kami ada kesamaan.

Hanya mungkin ada satu yang membedakan kami, yaitu bidang usaha. Beliau mendirikan

114
rumah sakit, sedangkan saya tidak. Jadi pasti ekonomi beliau juga pasti lebih baik dari

saya.

Sebenarnya dulu saya punya niat mendirikan rumah sakit khusus, konsultan

Psikosomatik. Rencana awalnya akan berlokasi di Jalan Iskandar Muda, namun

sepertinya Allah berkehendak lain. Sebab, ketika saya ingin mendirikannya, suami saya

Prof. Syafri Yusuf Sp.KJ, jatuh sakit tiba-tiba. Beliau sakit gagal ginjal.

Nah, pada saat itulah saya merasakan peran Prof. Harun sebagai sahabat saya,

bahkan seperti saudara. Karena selama tiga tahun lebih suami saya sakit, beliau menjadi

dokter pribadi suami saya, sampai akhirnya meninggal pada hari Senin, 11 Desember

1996.

Saya terutang budi pada saya. Beliau yang selalu melakukan cuci darah pada

suami saya, merawat suami saya selama tiga tahun sembilan bulan. Pertama, suami saya

dibawa ke RS Cikini Jakarta, beliau ikut untuk membuat cimino-nya karena pada saat itu

di Medan belum bisa dilakukan. Kemudian setelah pulang dari Jakarta, beliau yang

langsung melanjutkan tindakan hemodialisa kepada suami saya.

Mula-mula suami saya dirawat di RS Pirngadi, kemudian sebentar ke RS

Malahayati dan yang paling lama di RS Herna, sampai akhir hayatnya di sana setelah

mengalami koma selama 20 hari. Suami saya meninggal di usia 63 tahun 9 bulan.

Ketika itu, pada pagi hari Prof. Harun datang dan marah kepada perawat karena

suami saya tidak dibawa ke ruang HD. Ternyata beliau pada saat itu belum tahu bahwa

115
suami saya sudah meninggal.

Jadi saya menghampirinya. “Dia sudah meninggal, Run.”

“Apa kau bilang?”

“Ia tadi pagi menjelang subuh dan sesuai dengan doaku, buatlah yang terbaik

untuk suamiku.”

Jadi saya menganggap Harun itu tidak lagi hanya teman biasa, tapi lebih dari

saudara. Karena, banyak hal-hal yang selalu kita pecahkan bersama, termasuk merawat

suami saya. Dalam hal ini rasanya saya belum bisa membalas budi Harun.

Begitu suami saya meninggal, tiga hari kemudian, pada hari Rabu, Harun

berangkat ke Singapura untuk pemeriksaan jantung. Itu pun saya tahu belakangan dari

anak saya.

“Tadi saya ketemu dengan dr. Harun, katanya mau bypass ke Singapura, tapi

jangan kasih tahu sama mama, ya,” begitu kata anak saya. Tapi, anak saya tidak mungkin

tidak memberitahunya ke saya. Karena kondisi saya masih dalam keadaan berduka saat

itu, saya tidak bisa datang. Tapi akhirnya saya minta anak saya pergi ke Singapura untuk

ikut melihat kondisi beliau selama operasi.

Ketika beliau menjadi Kepala Devisi Neflogi dan Hipertensi di FK USU, kami

juga sering bekerjasama, saling mendukung bagaimana agar devisi ini lebih maju.

Dalam pergaulan beliau sangat baik dan banyak teman, beliau sosok yang

disenangi banyak orang karena sifatnya yang berjiwa sosial dan tidak sombong. Ketika
116
beliau mencapai apa yang diimpikan, beliau tidak menjadi sombong dan merasa paling di

atas. Saya pernah katakan ke beliau, nanti kalau sudah jadi profesor jangan sombong ya.

Apalagi perilakunya berubah, seperti ada beberapa profesor yang kami lihat seperti itu.

Saya hanya berpesan, ”Nanti siapa pun yang duluan profesor di antara kita berdua,

jangan berubah perilaku kita ya.” Ketika saya katakan itu kepadanya, beliau hanya

tersenyum. Dan memang beliau tidak berubah, tetap seperi Harun sebelumnya.

Kami punya prinsip yang sama bahwa profesor itu kan hanya panggilan di kelas

atau guru besar. Tidak perlu harus berubah perilaku hanya karena gelar dan jabatan itu.

Memang, Harun yang duluan profesor daripada saya. Saya tahun 2001 dan beliau pada

tahun 1998.

Sampai saat ini masih tetap berkomunikasi karena kami berdua termasuk sepuh di

FK USU saat ini. Di samping itu, kami juga ada perkumpulan dokter senior dan biasanya

bertemu sekali dalam sebulan. Sehingga masih tetap intens berkomunikasi. Grup tersebut

terdiri dari beberapa dokter senior yang berusia 70 tahun ke atas dan beliau salah satu

anggotanya. Figur yang paling senior itu Prof. Dr. Mohammad Jusuf Hanafiah, SpOG,

Prof. dr. Yasmeini Yazir, Prof. Ama Nasution dan saya. Pada pertemuan itu biasa kami

suka bernostalgia tentang masa anak-anak, masa mahasiswa dan membahas

perkembangan dunia kedokteran saat ini.

Saya melihat dia betul-betul sepenuh hati menangani suami saya ketika sakit.

Banyak hal sebenarnya kebaikan beliau yang saya rasakan. Anak sulung saya juga dokter

bagian penyakit dalam, murid beliau juga. Ketika anak saya ingin ujian penyakit dalam,

117
beliau mendorong anak saya supaya jangan sampai tidak mengambil ujian penyakit

dalam. Sampai akhirnya beliau langsung yang menyuruh anak saya untuk ujian.

Begitulah dorongannya terhadap dunia pendidikan.

Orangnya tidak ambisi, namun ketika dia diminta dan memang mampu beliau

selalu siap. Sama seperti saya, selama dua kali jadi Dekan FK USU, ketika diminta saya

diminta jadi rektor, saya tidak mau karena usia saya juga sudah tidak lagi mendukung.

Saya dan Harun punya kesamaan di situ. Apalagi sampai menonjolkan diri, itu bukan

karakter beliau. Kami tidak termasuk yang suka kampanye, ke sana sini agar dikenal

orang.

Di kampus juga beliau punya hubungan yang baik dengan semua jajaran mulai

dari sesama dosen, sampai mahasiswanya dulu banyak yang masih tetap mengingat

beliau karena sudah berhasil atas didikannya.

Salah satu yang membuktikan kepintarannya ketika di kampus ialah ketika lulus

dari Prof. Stemertz, dosen tiga mata pelajaran (Kimia, Biologi dan Aljabar), yang jarang

sekali mahasiswa lulus sekali dari kelasnya.

Ilmu Aljabar-nya banyak kalah di kelas dia. Ketika pada zaman kami, kalau dua

kali bisa langsung drop out, berbeda dengan sekarang. Makanya dokter yang tamat di

bawah tahun 1970, saya pribadi mengakui kualitasnya. Semuanya didikan dosen dari

Eropa, seperti Belanda, Inggris dan Jerman dari WHO.

Karakter, seorang sarjana, ilmuwan, silaturahmi bagus, ilmiah, dan bahkan dunia

118
dunia usaha juga. Dan dia sudah berhasil juga meneruskan ilmunya ke mahasiswanya,

misalnya dr. Alwi Nasution, dr. Feldi Nasution, Syafrizal Nasution di devisi nefrologi.

Keberhasilan seorang guru itu ialah apabila anak muridnya berhasil dari gurunya.

Sekarang ini yang paling sepuh di bagian penyakit dalam di FK USU itu adalah

saya dan Prof. Harun. Sementara, yang lain sudah pensiun dan sudah tidak mau lagi

bekerja. Kami memang beda, walau sudah pensiun, tapi tetap mengabdi untuk universitas

dan profesi sebagai dokter.

Saya memandang Prof. Harun sebagai figur perpaduan antara guru dan dokter.

Karena sebagai guru beliau punya nama dan di bidang kedokteran juga beliau berhasil.

Berhasil di bidang ilmunya, apalagi bidang hemodialisasi, beliau dikatakan sebagai

pelopor di Sumatera Utara. Saya berharap beliau diberi kesehatan, panjang umur dan

sukses di bidangnya untuk kepentingan agama, bangsa dan negara. *

119
dr. Alwi Thamrin Nasution Sp.PD-KGH
Koordinator Pelayanan Transplantasi Ginjal RS. Adam Malik, Medan
Wakil Direktur Pelayanan (RSKGH) Rasyida

Guru yang Selalu Up to Date


Saya mulai mengenal Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, sekitar tahun

1989. Saat itu saya kuliah tingkat dua di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.

Meskipun lahir di Padangsidimpuan, tapi asal usul keluarga saya dari Muara

Botung, satu kampung halaman dengan profesor. Orangtua saya berasal dari sana, sebuah

kampung kecil di Kabupaten Mandailing Natal, yang tidak begitu jauh dari jalan lintas

antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Tidak lama setelah saya kuliah, beliau memanggil saya untuk tinggal di rumahnya.

“Di sini saja kau tinggal,” katanya. Saya pun tinggal di rumahnya sampai saya tamat dari

FK USU pada tahun 1995.

Ketika lulus saya tidak lagi tinggal di rumah beliau. Saya mulai bekerja di rumah

sakit. Tetapi pada tahun 1995, ketika berniat membuka unit HD, beliau memanggil saya

120
agar ikut membantunya di klinik tersebut. Waktu itu, saya tidak menolaknya, lalu saya

menjadi orang pertama yang dipercaya sebagai dokter pelaksana di klinik tersebut.

Padahal, saya masih dokter umum saat itu.

Sekitar sepuluh tahun saya menjalaninya. Selama itu, profesor tidak hanya sebagai

atasan saya, tapi merangkap sebagai guru. Beliau membimbing saya dari nol sampai

benar-benar menguasai prosedur pelaksanaan cuci darah. Sebagai guru, banyak ilmu yang

saya dapat dari beliau.

Meskipun saya merasa sudah cukup lama bekerja di klinik tersebut dan sudah

banyak mendapat ilmu mengenai cuci darah, waktu itu saya merasa perlu meng-upgrade

ilmu. Lantas, setelah satu dekade, saya pun keluar dari klinik dan mengambil sekolah

spesialis penyakit dalam pada tahun 2003. Kemudian tahun 2008, saya tamat. Saya

ditugaskan di Sabang, Aceh. Di sana saya dipercaya sebagai dokter spesialis penyakit

dalam di RSUD Sabang.

Ketika bekerja di sana saya sudah merasa sudah mapan, tidak ada teringat mau

sekolah lagi. Waktu itu, saya sudah memiliki keluarga dan selama di sana kehidupan saya

sudah settle.

Suatu ketika, saya masih ingat benar, waktu itu pada Juni 2011, profesor

menelepon saya. Tidak banyak basa-basi, beliau hanya menyampaikan satu pertanyaan.

“Kamu masih mau sekolah apa tidak?” Itu saja.

Setelah itu, pertanyaan itu memang tidak langsung saya iyakan, tetapi masih saya

121
simpan. Sejak itu saya mencoba memahami apa maksud dan tujuan beliau meminta saya

kembali ke Medan dan belajar konsultan. Saya juga mendiskusikannya dengan keluarga.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, saya pun memutuskan pindah dari

Sabang dan kembali ke Medan. Saya mengikuti apa nasehat beliau. Saya disuruhnya

mendaftar untuk sekolah konsultan pada tahun 2011. Setelah saya diterima di sana, mulai

dari nol saya diajari. Saya sering dibawa visite pasien ke sejumlah rumah sakit di mana

pasiennya berada.

Bersamaan pada saat beliau mengunjungi pasien, di situ saya diajari semua tentang

penanganan penyakit ginjal—seperti yang beliau pelajari sampai negeri Belanda. Sampai

kemudian selama setahun, selanjutnya setiap ada kegiatan seminar dan program

pelatihan, saya selalu ikut diberangkatkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri

untuk memperkaya ilmu yang beliau ajarkan.

Di samping saya sebagai murid, beliau juga memperkenalkan saya pada banyak

orang. Beliau selalu dengan bangga mengatakan bahwa saya adalah tangannya. Beliau

juga memperkenalkan saya ke orang-rang, termasuk para petinggi-petinggi di rumah sakit

yang tidak pernah saya kenal sebelumnya.

“Perkenalkan, ini dr. Alwi, tangan kanan saya,” begitu katanya. Beliau membuat

saya dikenal banyak orang.

Pada tahun 2014, berkat bimbingannya saya tamat konsultan ginjal dari kolegium

Jakarta, setelah menjalani pendidikan di Medan. Beliau ingin saya mendalami intervensi

122
di bagian ginjal atau dengan kata lain tindakan-tindakan medis dalam penanganan bagian

ginjal. Karena waktu yang berkecimpung di situ belum ada—atau masih sangat jarang.

Setelah tamat, saya ditempatkannya di RS Adam Malik. Dari situ sampai sekarang

saya bekerja di rumah sakit itu saya menangani intervensi dan transplantasi ginjal.

Transplantasi ginjal yang saya lakukan di RS Adam Malik, itu semua berkat dukungan

beliau.

***

Prof. Harun adalah guru yang sangat baik. Tidak ada pelitnya mengenai ilmu.

Semua ilmu yang ada padanya diajarkannya sepanjang kita mau belajar. Semasa di

kampus beliau dikenal sebagai dosen yang disiplin dan selalu on time, tidak suka tidak

tepat waktu.

Kalau mengajar sistemnya dua arah. Tidak otoriter. Beliau melihat respon

muridnya dulu, apakah menangkap apa tidak? Bahkan, bila ada yang tidak paham, beliau

mau mengulanginya sampai mahasiswanya paham. Jadi, selain disiplin, beliau juga ingin

semua muridnya memahami apa yang beliau ajarkan.

Kalau bukan karena beliau, mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini.

Bagi saya, momen ketika beliau menelepon saya dan menanyakan apakah saya masih

mau sekolah, sungguh tidak terlupakan. Itu merupakan titik balik bagi saya menjadi

dokter spesialis penyakit ginjal, dari awalnya merasa sangat mapan sebagai dokter

spesialis penyakit dalam.

123
Waktu itu saya merasa, menjadi dokter spesialis dalam sudah cukup. Tapi saya

melihat sosok profesor yang tidak pernah berhenti untuk belajar. Bahkan, hingga sudah

mencapai gelar profesor, ia masih tetap belajar. Membaca buku adalah kesenangannya. ia

tak puas dengan ilmu yang sudah didapatkan, melainkan ingin tetap memperbaharui agar

tidak ketiggalan zaman.

Ketika saya mengambil pendidikan Konsultan Ginjal, pada situ saja banyak

menyerap ilmunya. Saya sering menangani pasien bersama-sama. Setelah beliau merasa

kita mampu, maka beliau akan melepaskannya untuk mengerjakannya sendirian. Beliau

tinggal menerima laporan. Begitulah sistem mendidiknya.

Sebelumnya, ketika masih dokter umum di klinik, saya sudah mulai belajar

penyakit dalam selama sepuluh tahun. Penyakit dalam sudah banyak, namun dokter yang

menggeluti cuci darah masih sedikit pada saat itu.

Profesor juga sangat mendukung karir saya. Sejak tahun 2017, di Rumah Sakit

Khusus Ginjal dan Hipertensi (RSKGH) Rasyida, saya dipercaya menjadi Wakil Direktur

Pelayanan. Waktu itu pun saya diteleponnya. “Bantu saya di Rasyida, ya,” ujarnya pada

saat itu. Saya tidak pernah bisa menolaknya. Tentu saja, karena beliau telah banyak

berbuat kebaikan kepada saya. Bagi saya, tawaran itu merupakan bukti kepercayaannya

kepada saya sehingga saya harus menjaganya dengan baik. Saya pun kembali ke rumah

sakit tersebut. Di rumah sakit ini saya bertanggungjawab dalam hal penatalaksanaan

hipertensi dan hemodialisasi sedalam-dalamnya.

Saat ini, sebagai dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Ginjal dan

124
hipertensi (Sp.PD-KGH), sudah bisa melakukan penanganan seperti yang dilakukan

beliau, tapi secara ilmu beliau masih tetap lebih tinggi daripada saya. Dengan bimbingan

beliau, saya sudah pernah ikut melakukan cangkok ginjal bersama timnya. Sebelumnya,

pernah beliau melakukannya pada tahun 1993.

Saya menangani intervensi yang sebelumnya dilakukan oleh profesor, seperti

intervensi pemasangan alat untuk bisa menyambungkan ke mesin pencuci darah. Dulu,

beliau yang memotivasi saya agar bisa melakukannya dan dia mengirim saya untuk

belajar. Sejak awal beliau sudah mengajari saya untuk fokus di intervensi.

Ilmunya banyak, sehingga saya merasa apa yang saya serap dari beliau masih

hanya sepertiga saja. Walaupun di usia yang sudah beranjak di atas tujuh puluh tahun,

beliau selalu memperbaharui (upgrade) ilmunya di bidang nefrologi. Sampai saat ini

beliau masih rajin memperbaharui ilmunya. Ketika saya ambil sekolah konsultan, malah

beliau lebih rajin daripada saya. Ilmunya up to date, bukan ilmu lama yang tidak

berkembang.

Saya mengagumi beliau, karena jiwa kepemimpinannya. Apabila saya melakukan

kesalahan, beliau tidak pernah menegur saya di depan umum. Biasanya dia akan

memanggil saya ke ruang praktek. “Yang kau lakukan itu tidak benar,” katanya. Saya

tidak pernah dipermalukan di depan orang. Meskipun beliau didikan Belanda yang keras.

Ketika saya masuk kuliah, beliau waktu itu menduduki Ketua Tim Kordinasi

Penerimaan Pendidikan Dokter Spesialis (TKP PPDS) USU. Beliau sangat dihargai

berbagai kalangan kampus. Nilai-nilai yang bisa dipelajari. Cara mendidik, tidak pernah

125
menjatuhkan orang. Saya pernah melakukan kesalahan kepada pasien, tapi pada saat itu

beliau mencoba meluruskan dengan tanpa menjatuhkan profesi saya sebagai dokter.

Metode pengajarannya membuat muridnya terpacu untuk mempelajari apa yang

dia ajarkan. Tidak hanya di kelas, di mana saja baginya tempat belajar. Kadangkala begitu

juga, tiba-tiba saja ketika ketemu di jalan beliau langsung menanyakan secara spontan,

apakah sudah menguasai yang sudah diajarkannya sebelumnya.

Itu merupakan bagian dari proses belajar secara demokratis. Namun, dalam hal

disiplin beliau tidak bisa ditawar-tawar. Kalau beliau duluan masuk ke dalam kelas,

mahasiswa yang terlambat tidak dibolehkan masuk. Memang, beliau tidak pernah

terlambat dan selalu on time dalam setiap hal, tidak hanya di kampus. Dia sangat

menghargai waktu.

Di departemen penyakit dalam juga mengakui, ilmunya up to date, terus

berkembang. Kadang-kadang keluarga pasien mengatakan ke saya, terus belajar agar bisa

seperti profesor.

Sebelumnya, ketika masih dokter umum di klinik, saya sudah mulai belajar

penyakit dalam selama sepuluh tahun. Penyakit dalam sudah banyak, namun dokter yang

menggeluti cuci darah masih sedikit pada saat itu. Konsultan ini menjadi urgent.

Semuanya merupakan murid beliau. Pada saat itu konsultan, namun sayang umurnya

tidak panjang, antara lain dr. Tunggul, dr. Sali, dr. Zulhelmi, sehingga pada saat itu krisis

konsultan. Saat ini ada empat orang konsultan ginjal di Medan, beliau, saya, dr. Syafrizal,

dr. Rahim.

126
Di organisasi, beliau juga Korwil Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia),

yang adil. Artinya, tugas dan tanggungjawab dibaginya sesuai dengan porsi masing-

masing.

Sebagai anak yang berasal dari kampung, beliau tetap mengingat asal usulnya,

Muara Botung. Di kampung halaman beliau dikenal punya program untuk memacu anak

kampung untuk maju. Apabila ada anak yang berprestasi dari Muara Botung, maka akan

dia undang ke Medan. Bahkan ada pernah murid berprestasi yang disekolahkannya

sampai menjadi dokter—sekarang beliau di Aceh.

Bila beliau pulang kampung, tak lupa selalu bertanya apa yang bisa dia bantu,

terutama untuk sekolah. Dia sangat senang membantu anak-anak berprestasi yang ingin

sekolah tinggi untuk mencapai cita-citanya.

Kemudian, murid-murid SD yang berprestasi beliau undang ke Medan, dibawa

jalan-jalan, dibawa ke toko buku dan disuruh mau pilih buku apa saja. Bukan hanya di

murid madrasah Irsadyah, yang dididikan oleh almarhum ayahnya, tapi juga murid-murid

dari sekolah lain. Bahkan pernah suatu kali, satu bus anak sekolah diajak jalan-jalan ke

Medan. Pada akhir perjalanan, mereka semua dibawa ke toko buku.

Karena beliau rajin membaca, beliau suka membagikan apa yang baru saja

dibacanya untuk dipelajari bersama dengan murid-murid dan rekan-rekannya. Saya tidak

bisa menolak bila beliau meminta saya melakukan pekerjaan yang diinginkannya, seperti

membantu penanganan pasien di RSKGH Rasyida.

127
Beliau juga dijuluki sebagai “Bapak Ginjal”, atas dedikasi beliau untuk

penanganan ginjal. Beliau selalu berharap agar penanganan secara dini dapat dilakukan

kepada pasien agar tidak sampai ke tahap cuci darah.

Di usianya yang sudah tua, masih mau berlelah agar unit penanganan ginjal ini

dapat dilakukan di semua daerah. Sejumlah muridnya ditugaskannya di semua unit itu.

Jadi artinya pemikiran beliau sangat visioner dan terarah.

Semoga kelak, saya bersama murid-muridnya dapat meneruskan cita-cita beliau,

yaitu mengembangkan penanganan ginjal di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara,

yang lebih baik, luas dan merata.

***

128
Mohammad Norman

Ibarat Payung Besar


Setelah tamat SPK Depkes Medan tahun 1979, saya langsung bekerja di RS

Pirngadi Medan, di Divisi Nefrologi dan Hipertensi. Kepala Divisinya waktu itu ialah dr.

Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH. Waktu itu beliau belum lama pulang dari Belanda

mendalami ilmu Nefrologi dan Hipertensi.

Pada saat itu sudah mulai dilakukan pelayanan pasien hemodialisis. Pasiennya

pada saat itu pun masih sangat sedikit., bisa hanya satu dalam enam bulan pasiennya.

Begitu juga alat yang dipakai teknologinya masih sederhana, tidak seperti alat

hemodialisis yang tersedia sekarang.

Pada tahun yang sama sore harinya saya juga bekerja di praktek dr. Harun di Jl.

DI. Panjaitan yang kelak menjadi klinik dan berkembang menjadi RSKGH Rasyida. Di

situ saya bekerja di bagian laboratorium mini, sampai akhir tahun 1980-an, atau sekitar

129
sepuluh tahun.

Sebagai dokter beliau sangat profesional, bagi saya beliau sangat menginspirasi.

Walaupun tidak punya hubungan kekerabatan, saya sangat dekat dengan beliau. Dan pada

waktu itu saya masih muda, beliau adalah idola saya. Kecerdasan, perilaku dan sikap

humanis, saya banyak belajar dari beliau. Sampai kepada kehidupan sekarangpun, beliau

tetap menjadi panutan. Karir saya sampai menjadi Wadir Umum Keuangan di RS

Pirngadi selama tujuh tahun adalah atas dorongan beliau.

Tahun 1993, saya dihadapkan pada dua pilihan yaitu untuk tetap di fungsional

atau pindah ke jabatan struktural. Namun, di situlah saya salut dengan sikap beliau yang

mendukung untuk pindah ke jabatan struktural. Karena pada masa itu perawat yang

terampil masih terbatas di unit hemodialisis. Apalagi saya termasuk anggota Tim inti

Transplantasi ginjal di RS Pirngadi, karena saya merupakan orang yang beliau percaya

penuh mengelola logistik dan perlengkapan tim.

Apresiasi beliau terhadap orang yang mau belajar dan meningkatkan karir tidak

pernah pupus dan berhenti. Seperti ketika beliau merekomendasikan saya mengambil

Magister Manajemen (MM) di USU.

Tahun 1995, saya termasuk anggota tim yang ikut bersama-sama memulai

kegiatan pada klinik khusus Rasyida dalam upaya beliau untuk mengembangkan

Hemodialisis secara mandiri. Alhamdulillah pelayanan tersebut berkembang menjadi

Rumah Sakit Khusus Ginjal seperti sekarang ini

130
Beliau adalah sosok inovatif dan suka menciptakan gagasan baru. Dulu, ada satu

program yang rutin dilakukan bersama pasien hemodialis, yaitu family gathering.

Rekreasi pada pasien dan keluarga, dilakukan di sela-sela waktu jadwal cuci darah, pada

hari-hari tertentu seperti libur umum, pasien dari semua rumah sakit, dibawa rekreasi ke

sejumlah tempat wisata, misalnya ke Bukit Lawang, Berastagi, dan lokasi yang dipilih

tidak begitu jauh dari kota Medan.

Itu merupakan gagasan dan kepedulian Prof. Harun, sebagai bentuk penerapan

program peningkatan kualitas hidup, untuk berekreasi dalam suasana yang berbeda dari

menjalani perawatan rutin Hemodialisis pada pasien.

Secara profesional, di luar konteks hemodialisis, beliau juga mempunyai sikap

kepemimpinan yang mengayomi, dan membuat kebijakan-kebijakan dalam pembiayaan

jasa untuk perawat, dokter dan dalam pengadaan obat-obatan.

***

Setahu saya, sejak kuliah beliau mepunyai prestasi cemerlang. Di rumah sakit,

beliau tempat bertanya banyak orang, selain dokter dan perawat. Ketika kita berdialog

dengan beliau, sepatah dua kata kita lontarkan beliau sudah tahu apa kita maksud.

Kemana pun beliau pergi, selalu dijadikan narasumber. Saya pernah bersamanya

ke Singapura, Malaysia. Kebiasan jika orang berpergian ke luar negeri, berkumpul

dengan teman-teman dikelompoknya saja, akan tetapi beliau berbeda. Beliau fokus pada

acara yang diikuti dan bersosialisasi dengan teman sejawat yang berasal dari manca

131
negara.

Beliau juga sangat hormat kepada orang yang sayang kepada orangtuanya.

Misalnya, beliau sangat senang melihat kalau ada pasien ditemani oleh anaknya datang

berobat.

Dalam sikap keagamaan, beliau sangat toleran. Suatu kali ada teman saya suster

beragama Katolik, mengalami kesulitan ekonomi keluarganya dan memerlukan

pekerjaan. Saya mengusulkan supaya menemui beliau dan diterima bekerja di

prakteknya. Dan suster tersebut bekerja hingga 20 an tahun.

Hubungan kemanusiaan dengan siapa saja sangat baik. Beliau tidak suka birokrasi

yang terlalu berbelit-belit, seperti menandatangani surat-menyurat dapat dilakukan

dimana saja.

Itu terlihat juga ketika mengundang tim teknisi medis dari luar negeri. Saat

istirahat, malah beberapa kali kami makan dan minum di warung kaki lima. Beliau tidak

selalu menujukkan dirinya sebagai orang di level atas. Istilahnya, beliau adalah sosok

yang merakyat dan low profile.

Yang tidak kalah menarik, sosoknya juga sangat fashionable, dalam berpakaian,

beliau merupakan contoh kami. Di kantor, jarang menggunakan pakaian yang sama,

warnanya berbeda-beda tapi selalu matching. Mungkin karena kulitnya putih sehingga

pakaian apa saja dipakaianya nampak selalu pas, tidak norak dan selalu trendy.

Sejak lama beliau secara teratur giat berolah raga untuk menjaga kebugaran m

132
fisiknya. Olah raga yang diminati beliau, adalah ping pong dan bridge. Dan pernah

menjuarai kedua cabang olah raga ini di kota Medan. Bagi beliau kedua olah raga ini

melatih kesehatan fisik dan otak.

Senang Menyenangkan Orang Lain

Beliau selalu berbuat untuk menyenangkan orang lain. Contoh kecil, darimana pun

dia berpergian, tidak pernah lupa bawa oleh-oleh dan diberikan ke mitra kerja, dan

apapun yang diberikan terasa sangat berkesan bagi yang menerima.

Setahu saya, dia juga sering menjadi tempat orang sering mengharapkan bantuan.

Dulu, saya masih ingat ketika beliau buka praktek, ada orang yang sering datang ke

ruangannya, untuk berbagai keperluan seperti donasi organisasi, anak yatim, kegiatan

masyarakat dan lain sebagainya.

Ada lagi cerita lain. Suatu ketika orangtua seorang Dirjen di Kementerian

Kesehatan mengalami gangguan fungsi ginjal. Pasien tersebut dikirim ke Jakarta, saya

bersama beliau mengeavakuasi pasien dari Medan ke Jakarta. Begitu pulang dari Jakarta

sang Dirjen memberikan jasa atas penanganan terhadap orangtuanya. Tak saya duga

beliau memberikan semua dana tersebut kepada saya. Dan saya luar biasa surprise dan

bersyukur karena dana itu memang sangat saya perlukan.

Saya rasa bukan hanya saya yang pernah mendapat perlakuan baik dari beliau

seperti itu. Beberapa stafnya juga ada yang sudah beli rumah dan lain-lain, karena beliau

juga mendukung karir mereka. Makanya, tak sedikit juga yang hormat dan

133
menyayanginya.

Atas kebaikannya itulah banyak orang yang mendoakannya agar beliau diberi

kesehatan lahir dan batin. Karena dokter seumuran beliau sangat jarang yang mampu

melakukan pekerjaan seperti yang beliau kerjakan. Di usia 80 tahun masih tetap praktek,

melayani pasien, mengajar di kampus dan rumah sakit pendidikan. Bahkan, masih aktif

mengikuti konferensi organisasi, seperti Pernefri. Saya rasa itu sebuah berkah yang luar

biasa dari Yang Maha Kuasa.

Sayangnya, ada pula segelintir orang di sekitarnya yang tega memanfaatkan

kebaikan dan ketulusan beliau. Hingga saat ini Alhamdulillah hubungan saya sebagai

personal masih tetap terjaga dan sangat baik.

***

Beliau itu ibarat payung besar yang menaungi banyak orang. Saya berharap beliau

tetap berbuat kebajikan untuk kemanusiaan. Karena apa yang beliau miliki, seperti ilmu

dan dedikasinya, masih sangat diperlukan oleh masyarakat, terutama pasien

Hemodialisis. Semoga Tuhan memberinya kekuatan kesehatan, dan hidayah sehingga

beliau tetap bisa berbuat untuk kemaslahatan umat manusia.

Saya beserta keluarga mengucapkan terimakasih dan bersyukur di dalam

kehidupan ini dipertemukan oleh Allah SWT yang sangat menginspirasi dan menjadi

panutan saya dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Prof Harun bagi saya adalah sosok

yang amat saya hormati setelah kedua orang tuasaya. Semoga Allah SWT senantiasa

134
mencurahkan rahmat dan berkah usia kepada beliau dan seluruh keluarga.

***

Suriati S.Kep
Wakil Kepala Instalasi di Unit Hemodialisa RSU P H. Adam Malik Medan

Atasan, Guru, Sekaligus “Ayah”

Saya mengenal Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, sejak tahun 1990

ketika saya masuk sebagai perawat hemodialisis (HD) di RS Pirngadi dan beliau sebagai

Kepala Devisi Nefrologi dan Hipertens di sana pada saa itu. Bagi saya, sosok beliau

selama bekerja tidak hanya saya anggap sebagai atasan dan guru, tetapi juga sebagai

“ayah”.

Tahun 1992, kami staf yang masih muda dan belum berumahtangga, diajarkan

135
belajar apa itu seluk beluk penyakit ginjal. Mereka yang berniat dan tekun belajar, dibawa

ke Singapura guna mendalami ilmu seputar perawatan untuk pasien ginjal.

Beliau memang sangat suka dan mau mendukung staf yang mau belajar dan

mengembangkan potensinya. Sehingga pada waktu itu, kami didukung beliau untuk

mengikuti seminar di Singapura.

Dengan bekal pelatihan dan berbagai seminar seperti itu, beliau senantiasa

mendorong kami untuk maju. Acapkali beliau merasa bangga dan tidak pernah sungkan

memberi apresiasi kepada saya yang disebut beliau perawat profesional—bukan perawat

biasa-biasa. Hingga sampai saat ini, sikap serupa masih tetap beliau tunjukkan. Tidak

pernah merendahkan posisi perawat. Baginya, profesi perawat tidak kalah penting dengan

profesi lainnya. “Jika tidak ada perawat kami juga tidak bisa melakukan apa-apa,” begitu

tuturnya.

Ada sebuah peristiwa yang tidak bisa saya lupakan mengenai kepedulian beliau

kepada stafnya, khususnya perawat. Masih pada tahun 1992, saya bersama dr. Helmi, dr.

Sali, dr. Rahim diajak oleh beliau mengikuti seminar ginjal di Singapura.

Tidak disangka, hotel tempat kami menginap kebakaran. Dalam kondisi panik,

masih mengenakan celana pendek, beliau langsung bergegas dan lebih dahulu

menyelamatkan kami, bukan istrinya yang juga ikut pada saat itu. Kami sendiri heran.

Namun, karena beliau yang membawa kami, masa dirasa bawa beliau juga yang

bertanggungjawab pada keselamatan kami.

136
Kemudian, pada tahun 1993 saya mengikuti pelatihan di RS Cikini. Kala itu

beliau kebetulan diundang dalam sebuah acara di Jakarta. Beliau menyempatkan diri

menemui kami. Bahkan, ketika pulang beliau menyangui. Katanya, buat menambah biaya

kebutuhan kami selama di Jakarta. Begitulah kebaikan beliau, yang kadang menganggap

kami tidak sebagai bawahan, melainkan sebagai anak. Hal-hal seperti itu juga yang

membuat kami menganggap profesor tidak hanya sebagai atasan tetapi juga sosok ayah

yang kerap memperhatikan kehidupan para stafnya.

Ada satu peristiwa lagi yang masih terkenang di benak saya. Suatu kali saya

pernah kena surat peringatan karena dianggap menyalahi prosedur di RS Pirngadi. Suatu

malam, masuklah pasien cito—yaitu pasien di unit gawat darurat HD pada saat tengah

malam. Waktu itu, pasien sudah mengalami pendarahan melena (bau yang khas).

Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Badannya sudah tampak memprihatinkan, baunya

sangat tajam dan mengeluarkan sesuatu yang khas. Pada jam 2 dini hari, pasien tersebut

tidak mampu bertahan dan akhirnya meninggal.

Saat itu, teman saya bertugas di rumah sakit ialah bang Norman dan kak Rosli.

Seharusnya pasien yang baru meninggal itu kami letakkan di kamar mayat. Tapi, karena

kami kelelahan kami membawanya ke ruang pasien VIP.

Akibatnya, keesokan hari kami dipanggil direktur. Kami dinilai tidak punya

perikemanusiaan dan menyalahi prosedur rumah sakit. Kami akui, saat itu, kami salah.

Kami juga tidak memanggil perawat untuk kerjasama membersihkan pasien yang baru

meninggal. Sebab, kami juga mengetahui petugas di kamar mayat tidak mau menerima

137
mayat yang kotor—mesti dibersihkan terlebih dahulu. Kami akui itu sebuah kesalahan.

Kondisi ini kami sampaikan ke profesor dan beliau mencari solusi supaya kami tidak

terkena SP

“Tindakan mereka memang sudah benar. Kalau dibersihkan di ruang HD, pasien

HD jam tujuh pagi sudah datang. Itu baunya tidak akan hilang. Ini yang jelas-jelas sudah

meninggal jam dua pagi. Kenapa disorong ke sana kembali, karena tidak layak dari ruang

HD langsung ke kamar mayat,” begitu profesor membela kami anak buahnya. Dengan

penjelasan dari profesor, akhirnya kami tidak terkena SP.

Namun, setelah kejadian itu profesor mengingatkan kami agar tidak melakukan

kesalahan prosedur semacam itu lagi, dengan alasan apapun. Kami memang sangat lelah

dan mengantuk sekali pada malam itu dan kami mengakui kesalahan kami kepada beliau.

Pun begitu, profesor tidak ingin anak buahnya disudutkan, sepanjang alasan masih bisa

diterima dengan kondisi yang terjadi. Beliau tetap melindungi kami. Dia rela “pasang

badan” untuk anak buahnya.

***

Pada tahun 1994, unit HD dibuka di RS Adam Malik. Beliau merupakan pencetus

dan terus berupaya keras agar unit cuci darah tersebut dibuka di sana. Namun, kendala

muncul karena tidak ada orang yang masuk perawat di sana. Alasannya sederhana, belum

banyak perawat yang paham HD. Alasan lain, karena jauh.

Beliau pun memita saya untuk membantunya di unit HD RS Adam Malik. Akan

138
tetapi, masalah muncul lagi karena direktur RS Pirngangi—tempat di mana saya bekerja

saat itu—tidak memperbolehkan kami bekerja di dua rumah sakit.

Unit HD sudah dibuka dan semestinya sudah bisa berjalan. Tapi, menghadapi

kendala perawat. Saya pun ikut membantu beliau. Untuk menyiasatinya, pada pagi hari

kami ke RS Pirngadi, dan siangnya ke RS Adam Malik. Sorenya, kembali bekerja ke RS

Pirngadi. Melihat jam kerja yang menjadi sangat sibuk itu, apalagi jarak antara RS

Pirngadi dengan RS Adam Malik yang sangat jauh, membuat profesor menaruh kasihan

melihat kami.

Profesor pun mendatangi direktur RS Pirngadi saat itu. Namun, direktur bersikeras

tidak memberi izin agar saya bisa membantu unit HD di RS Adam Malik. Sempat tercipta

kondisi kerja kurang menggenakkan. Profesor harus menerima lontaran kemarahan

direktur, kendati profesor Harun adalah gurunya.

“Saya direktur di sini. Tidak ada kerajaan di dalam kerajaan,” begitu ujar direktur

saat itu.

Namun, profesor tetap pada prinsipnya. “Pokoknya anak saya harus ke Adam

Malik karena tidak ada tenaga di sana membantu,” katanya memastikan bahwa unit HD

yang sudah dibuka semestinya harus mendapat dukungan dan tidak dipersulit. Tekad

keras inilah yang akhirnya membuat unit HD di Adam Malik masih berjalan sampai saat

ini.

***

139
Tahun 1992, unit HD di Rumkit Putri Hijau dibuka. Saat itu beliau dibantu dr.

Yusuf. Kendalanya juga kekurangan orang. Sama halnya dengan kondisi unit HD di RS

Adam Malik. Perawat yang menaruh minat di unit HD waktu itu memang tidak banyak.

Waktu itu, kalau ada pasien cito (mendadak), beliau selalu datang. Kalau kita jaga

malam, beliau mau menemani dan beberapa kali mau membelikan makanan. Suatu

malam, setelah menangani pasien, beliau langsung pulang karena punya jadwal akan

berangkat ke luar kota pada besok paginya.

Sebelum pulang, beliau mendatangi salah satu dokter jaga pada saat itu, supaya

nantinya mengantarkan saya pulang. Waktu itu, karena masih harus menunggu, saya bisa

pulang pada jam 04.00 subuh. Dokter yang disuruh beliau pun mengantar saya. lama-

lama, dokter tersebut semakin sering mengantar saya sampai akhirnya kami saling kenal

dan dekat. Siapa sangka, dokter jaga itu kelak menjadi suami saya, namanya Kolonel

CKM dr. Farhaan Abd. Sp.THT-KL—yang sekarang menjabat sebagai Kepala RS Tentara

Putri Hijau.

Setelah sebelumnya kami berpacaran selama empat tahun, kami menikah.

Banyak kisah-kisah tentang profesor yang tidak bisa saya lupakan bahwa beliau

adalah sosok yang benar-benar suka menolong orang lain. Karena itu, saya sendiri selalu

menganggapnya sebagai sosok ayah, bukan sebagai atasan.

Tak hanya sampai di situ, ketika kami sudah menikah, beliau juga masih suka

membantu kami. Suatu kali, suami saya mendapat tugas ke Papua. Di lain sisi, profesor

140
meminta saya untuk tetap membantu beliau di unit HD.

Agar saya tetap bisa membantu prof dan bisa tinggal tetap dengan suami saya,

beliau membantu dengan cara membantu suami saya agar bisa mengambil sekolah lagi di

USU. Suami saya pun mengambil dokter spesialis THT pada saat itu. Setelah sekolah,

barulah ia berangkat ke Papua.

Kemudian, ketika suami saya akan dipindahtugaskan ke Padang dan profesor

kembali tidak memperbolehkan saya ikut ke Padang dan ingin tetap membantu beliau di

unit HD RS Adam Malik. Waktu itu, adik kandung beliau dr. M Nur Rasyid Lubis

(almarhum) menjabat sebagai Wadir Bidang Sumber Daya Manusia (SDM), yang

memungkinkan saya bisa menemui suami bersama keluarga pada hari-hari tertentu ke

Padang.

Pada tahun 1995 dibukalah Klinik Spesialis Ginjal & Hipertensi Rasyida. Kami

diajak ke sana, untuk membantu klinik. Karena memang pada waktu itu belum banyak

perawat yang paham mengenai HD. Dan siapa yang mau belajar, beliau siap membantu

dan mendukung. Saya pribadi, sering dibantunya, sehingga saya tidak pernah menolak

bila beliau meminta untuk membantunya. Saya selalu katakan siap, walaupun ternyata

kadang tak siap.

Pengalaman saya ketika bekerja sebagai perawat di Klinik Rasyida, tak sedikit

pasien kurang mampu secara ekonomi tak diminta bayaran oleh profesor. Dulu, banyak

sekali pasien yang dibantunya. Berbeda dengan saat itu setelah ada Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS), sangat banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk cuci darah.

141
Sekarang, pasien sangat terbantu dengan adanya BPJS.

Namun, walaupun suka membantu orang, beliau adalah tipe orang yang tidak

terlalu suka menunjukkan bahwa beliaulah yang telah membantu. Bukan tipe orang yang

suka “cari muka”, sehingga jasa beliau itu harus diketahui banyak orang. Ia ingin selalu

menyenangkan hati orang, meskipun kadangkala tetap ada orang yang menyakiti hatinya.

Pun begitu, ia tetap tersenyum, tak punya rasa dendam. Apalagi ingin memusuhi.

Beliau punya ibu angkat yang beliau kenal ketika belajar di negeri Belanda pada

tahun 1972. Belakangan ibu angkatnya menjadi dokter spesialis pembuluh darah. Suatu

kali beliau mengundang beliau datang ke Medan, memfasilitasinya, membiayai

kedatangannya. Beliau memanggil pasien yang bermasalah dengan pembuluh darah

untuk dioperasi, tanpa dipungut biaya.

Dulu bukan hal mengherankan bila pasien sering mengungkapkan rasa

terimakasihnya dengan berbagai cara. Ada yang mengantarkan jeruk sekeranjang, tomat

berkilo-kilo. Mereka datang menemui profesor dan mengucapkan terimakasih secara

langsung.

Waktu krisis moneter, sekitar tahun 1998, sangat terasa bagaimana sulitnya

menjalankan unit HD saat itu. Bahan tidak ada. Namun, beliau tetap mempedulikan

pasien. Untung saja, profesor masih memiliki alat-alat medis yang dibawa dari Belanda.

Dia tidak mau HD itu gagal. Beliau sangat mencintai profesinya sepenuh hati.

Beliau tak henti-hentinya juga mendukung karir saya. Saya sampai dua kali

142
dikirim ke Gold Coast, Australia selama tiga bulan. Pertama paa tahun 2003 dengan dr.

Tunggul (almarhum). Beliau membantu kami dengan memberikan uang tambahan biaya

hidup di sana. Begitu juga pada tahun 2015, bersama dr. Rahmawati, kami pergi lagi

belajar ke Australia.

Selain saya, ada juga beberapa orang yang saya kenal dibantunya. Di RS Pirngadi

misalnya, ada seorang pegawai cleaning service, namanya Supomo, yang dibantu sekolah

mulai dari mengambil ijazah SMP sampai diploma. Sepeda motornya entah berapa kali

hilang dicuri dari parkiran tak jauh dari ruangan HD, profesor selalu menggantinya.

Ada lagi namanya Irvan, yang juga disekolahkan karena punya kemampuan lebih

berbahasa Inggris. Beberapa kali dia bahkan diminta profesor untuk mempersiapkan

materi seminarnya dalam Bahasa Inggris.

Namun, kebaikannya itu beberapa kali disalahgunakan orang. Seperti di RS

Malahayati, ketika uang dilarikan staf, beliau yang mengganti. Waktu itu memang sistem

keuangan belum seperti sekarang, yang sistem online dan tertata rapi. Dulu catatan

keuangan pakai buku. Sehingga, bila tak hati-hati, bisa saja uang dilarikan staf. Profesor

yang harus menggantinya semua ke pihak rumah sakit. Waktu itu jumlahnya ratusan juta

—mungkin kalau saat ini hitungan miliar. Ia ingin menyenangkan semua orang, tapi

orang lain kadang menyalahgunakan kebaikannya.

Di mata pasien beliau dikenal sangat ramah dan perhatian. Pada saat operasi

jantung tahun 1994, profesor menjalani operasi jantung bypass di Singapura. Untuk

kondisi saat ini operasi seperti mungkin saja, biasa saja. Namun, pada saat itu rasanya

143
seperti sedang “mengantarkan mayat”, karena sangat kecil harapan untuk bisa bertahan

hidup.

Pada saat itu, berhari-hari pasien menanti kabar beliau. Mereka berdoa di depan

ruangan HD, pasien yang beragama Islam membacakan dulu surat Yasin sebelum naik ke

atas tempat tidur, sedangkan pasien yang Kristen turut berdoa agar profesor mampu

bertahan melalui operasi tersebut. Seminggu kemudian mereka mendapat kabar bahwa

kondisi profesor sudah membaik, mereka sangat lega. Mereka sangat berharap jangan

sampai pergi. Mereka takut kehilangan beliau.

Selain kepada pasien, beliau juga akrab dengan banyak orang karena mampu

menciptakan suasana kekeluargaan. Beliau tidak pernah punya sikap saling membenci.

Tidak pernah marah. Tidak pernah melontarkan kata yang menyakiti. Sehingga, tidak

sedikit orang yang akrab dengan beliau, bahkan menjadi seperti saudara.

Kepada para perawat, apalagi. Profesor juga merupakan salah satu pendiri Ikatan

Perawat Dialisis di Indonesia (IPDI) Wilayah Sumatera Utara, beliau selalu

mendukungnya. Bahkan, beliau selalu membanggakannya karena ikut membesarkannya.

“Itu IPDI kalau ada pertemuan itu selalu di hotel,” katanya dengan bangga. Sampai

sekarang IPDI ada. Rekan-rekan di IPSI juga selalu mengingatnya kalau beliau ulang

tahun, kadang kami bikin acara untuk beliau atau berkunjung ke rumahnya untuk

menyampaikan selamat ulang tahun.

Bagi saya, beliau merupakan penggabungan sosok ayah, guru dan dokter yang

hebat. Bagi saya ia saya anggap sebagai ayah karena beliau telah banyak membantu saya

144
seperti menganggap saya seperti anaknya. Beliau banyak membantu saya dalam karir

juga suami saya.

Sedangkan sebagai dokter, beliau dikenal sebagai “Bapak Ginjal” karena jasa

beliau dalam penanganan ginjal di Indonesia sudah sangat panjang dan telah nampak

hasil karya nyata yang telah dilakukannya, antara lain pembukaan unit-unit HD di hampir

seluruh daerah di Sumatera Utara (Sumut) hingga Aceh. Beliau merupakan pelopor

berdirinya unit cuci darah di Sumut atau kedua setelah di Jakarta.

Beliau juga guru teladan, yang telah banyak mendidik murid-muridnya sampai

berhasil. Sehingga, tidak ada seorang pun yang tidak kenal beliau, terutama di lingkungan

FK USU dan di kalangan ahli medis Indonesia, khususnya ginjal. Beberapa muridnya

yang berhasil antara lain dr. Tunggul (almarhum), dr. Sali (almarhum), dr. Syafrizal

Nasution dan dr. Alwi Thamrin Nasution, yang beliau harapkan dapat meneruskan visi

dan misi beliau kelak. Sebagai guru beliau melakukan proses regenerasi yang baik. Dia

sangat senang dan bangga apabila ada murid-muridnya tak mau berhenti belajar.

Sikap kepemimpinan yang diterapkannya juga menjadikan murid-muridnya sangat

menghormati beliau. Bagi dia, ketika beliau meminta muridnya untuk mengerjakan apa

yang dia minta, pantang bagi muridnya untuk mengatakan tidak bisa. Katakan saja dulu

bisa, terlepas dari setelah itu bagaimana untuk memang benar-benar bisa melakukan yang

diminta. Katakan saja ya dulu. Memang terkesan “gaya militer”, tapi cara itu efektif

mendidik orang-orang didikannya, baik di kampus maupun di lingkungan pekerjaan.

Jika ditanya, apakah akan ada nanti sosok dokter yang bisa menggantikan beliau?

145
Sangat sulit menemukan jawabannya. Sangat sulit rasanya juga menemukan sosok seperti

dia pada saat ini. Sebab, beliau bekerja tidak semata-mata untuk uang. Bagi dia yang

terpenting ialah pasien. Urusan rezeki dan uang akan menyusul. Karena itu beliau selalu

mengajarkan kami, “Kamu masuk ke unit HD, kamu seperti berjihad. Jangan pikirkan

dulu uang.” Beliau tidak suka bila setiap pekerjaan langsung diawali dan selalu

disangkutpautkan dengan uang terlebih dahulu.

Ia berprinsip, dengan iklas maka pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan.

Ketika menolong pasien, Tuhan membalasnya dengan cara lain. Begitulah prinsipnya

sebagai dokter.

Kami selalu berharap agar profesor diberi kesehatan dan umur panjang. Kami

masih membutuhkan sosok seperti beliau hingga nanti ada sosok yang benar-benar bisa

menggantikan sosok seperti beliau.

***

dr. Syafrizal Nasution, Sp.PD-KGH

Kepala Instalasi Renal dan Hipertensi RS. Adam Malik


Kepala Devisi Nefrologi dan Hipertensi Departemen Penyakit Dalam FK USU

Tak Hanya Guru, Tapi Juga Teladan

Hubungan saya dengan Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH pada awalnya

hanyalah sebatas antara murid dan guru, itu dimulai sejak saya masuk FK USU tahun
146
1986. Lama-lama, karena sering bertemu di kampus dan mengikuti kelasnya, saya pun

mulai mengenal beliau sebagai guru yang berdedikasi, juga dokter yang sangat

menguasai ilmu yang ditekuninya.

Menariknya, selain sebagai guru saya, beliau juga adalah guru istri saya, bahkan

juga guru kedua mertua saya. Artinya, beliau adalah guru senior yang telah melalui

berbagai perubahan zaman, dan perannya dalam pendidikan terbilang sudah sangat

berpengalaman, khususnya di FK USU.

Selama saya menjadi murid beliau, Prof. Harun (Prof) yang saya kenal sebagai

dosen di kampus adalah sosok pengajar yang demokratis. Beliau bukan dosen otoriter,

apalagi “killer” yang pendapatnya tidak bisa dibantah. Ia bukan pula guru yang kaku,

sehingga mahasiswanya takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Bahkan beliau suka

memancing “debat” di kelas untuk memacu daya pikir mahasiswa. Ia menerima semua

argumen. Sepanjang itu debatable dan bisa dipertanggungjawabkan, bagi beliau itu tidak

menjadi masalah.

Tidak hanya membimbing kami secara akademis, Prof juga banyak memberi

pelajaran tentang perilaku, bagaimana berhadapan dengan orang, dalam berorganisasi

bahkan dalam hal beribadah .

Saat saya mengambil pendidikan dokter spesialis penyakit dalam tahun 2000

beliau mengajari kami hingga benar-benar menguasai ilmu yang diajarkannya. Kami

menyerap banyak ilmunya saat mengikuti beliau visite pasien, mengajukan suatu kasus

untuk didikusikan sampai kepada mempresentasikan penelitan.

147
Kelebihan beliau juga ialah mampu mengenali potensi muridnya dengan baik

sehingga dapat menempatkan orang yang tepat untuk posisi yang tepat (the right man on

the right place). Ketika saya kemudian memilih nefrologi, bisa dikatakan tidak lepas dari

motivasi dan penilaian beliau.

Pada awalnya, saya tidak mampu mengatakan secara langsung kepada beliau

keinginan untuk melanjutkan pendidikan sub spesialis ginjal, karena saya merasa tidak

“percaya diri”. Waktu itu ada pemahaman dalam diri saya bahwa para nefrolog itu adalah

orang-orang perfect. Sehingga, keinginan itu hanya berani saya sampaikan melalui orang

yang dekat dengan beliau, lagipula saat itu saya bukanlah orang yang “dekat” dengan

beliau dan kelak ketika beliau mulai menganggap saya sebagai “orang dekat”-nya,

rasanya seperti mimpi jadi kenyataan (dream come true).

Belakangam, beliau pun menanyakan kepada saya, kenapa keinginan saya menjadi

nefrolog harus melalui orang lain? Waktu itu saya menjawab bahwa saya merasa kurang

percaya diri untuk menyatakan keinginan saya masuk ke nefrologi yang berarti masuk ke

lingkungan orang-orang perfect sampai ada lampu hijau dari Prof melalui “ orang dekat

nya” tersebut .

Pun begitu, beliau tidak langsung menerima saya begitu saja, namun memberi

waktu untuk melihat keseriusan dan perkembangan saya.

“Oke itu, saya terima kamu. Tapi kita lihat nanti sejauh mana kamu bisa,” begitu

katanya dengan tegas.

148
Pada tahun 2008 saya mengambil pendidikan konsultan ginjal dan hipertensi.

Lagi-lagi saya merasa beruntung dan bangga bisa belajar langsung dengan guru yang

tepat yang senioritasnya tak perlu diragukan lagi.Prof Harun adalah pioneer untuk

spesialis ginjal dan hipertensi di Sumatera Utara. Bahkan, di tingkat nasional, beliau bisa

dikatakan yang paling tua dan paling senior setelah almarhum Prof. dr. RP Sidabutar di

Jakarta—yang pernah berpesan kepada para muridnya bahwa Prof. Harun merupakan

orang kedua setelah beliau yang berpotensi besar mengembangkan penanganan ginjal di

Indonesia.

Saat belajar padanya, baginya tidak ada pertanyaan yang bodoh. Dalam sebuah

diskusi dengan dokter muda, dia bisa meluruskan dan mengolah pertanyaan yang

awalnya terkesan sederhana menjadi pertanyaan berisi, kemudian dari situ muncul topik

diskusi yang menarik.

Dalam hal pembahasan nephrology cases misalnya, kami selalu mengandalkan

Prof untuk menjawab berbagai pertanyaan yang datang jawaban Proff selalu up to date

meski di usianya yang sudah sepuh itu disebabkan beliau rajin membaca dan punya

pergaulan luas, sehingga tetap bisa memperbaharui ilmunya. Kadang beliau membagikan

referensi tersebut kepada kami.

Saya menjadi menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam Dan Konsultan Ginjal dan

Hipertensi (Sp.PD-KGH), tentu tidaklah lepas dari didikan beliau.

Kadang saya merasa iri dalam artian positif kepada beliau. Di usianya yang sudah

sepuh, saya merasakan masih jauh dari beliau. Seharusnya saya yang lebih muda, bisa

149
lebih unggul. Tapi, saya akui saya masih jauh dari beliau, misalnya dalam hal berpikir

menganalisis kasus pasien. Salah satu contoh, ketika kami mendiskusikan kasus pasien

dengan beliau, kami kadang tidak mampu memikirkan seperti apa yang beliau pikirkan.

Beliau sangat berperan dalam karir kami juga. Tidak heran, bahwa tidak hanya

saya, semua murid-muridnya sangat menghormatinya. Tidak jarang, dalam sebuah

pertemuan, mereka menyapanya dengan hormat, mencium tangannya dan beberapa

malah mengajaknya berfoto bersama. Itu semata-mata sebagai bentuk penghormatan atas

dedikasi beliau.

***

Sebagai Penasehat dan Staf Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

dan di Instalasi Renal & Hipertensi RS Adam Malik Medan, Prof. Harun punya andil

besar membimbing kami. Kami masih tetap mengharapkan peran Prof sebagai supervisor,

maupun memberi nasehat dan sebagai narasumber dalam kegiatan-kegiatan penting,

misalnya dalam penyelenggaraan seminar baik yang bersifat lokal sampai bertaraf

internasional, penyelenggaraan akreditasi Fakultas Kedokteran USU, Departemen

Penyakit Dalam bahkan akreditasi RS Adam Malik baik versi KARS yang bertaraf

Nasional sampai JCI level Internasional.

Beliau tetap punya komitmen yang tinggi untuk memajukan layanan penanganan

pasien ginjal, khususnya di semua rumah sakit yang ada di Sumatera Utara. Rasanya

belum ada yang bisa menggantikan beliau. Meskipun saya melihat ada sosok nefrologis

yang berpeluang untuk meneruskan jejaknya, namun belum tentu bisa persis seperti

150
beliau. Dulu juga ada dokter yang punya peluang seperti beliau, namun usianya tak

panjang.

Salah satu catatan sejarah dari beliau yang saat ini ingin kami teruskan ialah

cangkok ginjal, yang dahulunya masih terkendala soal donor,pembiayaan dan sumber

daya manusia, karena membutuhkan tim yang solid. Menciptakan tim yang solid

merupakan salah satu cita-cita Prof dan itu menjadi kewajiban kami untuk

mewujudkannya .

Waktu saya mendengar bahwa beliau merupakan pelopor cangkok ginjal pertama

di luar Jawa pada tahun 1993, Kami mendengar perjuangan Prof untuk mengorganisir tim

pada saat itu, yang bisa dikatakan tidak mudah, mulai dari upaya beliau berkomunikasi

dengan para pejabat, para direktur sampai mendatangkan peralatan juga bantuan tim dari

luar.

Saat ini kami merasa berkewajiban untuk meneruskan cita-cita Prof menjadikan

Medan sebagai pusat penanganan ginjal yang disegani, punya kontribusi besar bagi

seluruh Indonesia, maupun dunia.

Sejauh ini, kami telah melakukan transplantasi ginjal sebanyak tiga kali mulai dari

tahun 2016 hingga Desember 2017. Sekarang kami sedang siap-siap untuk transplantasi

ginjal selanjutnya. Pada pelaksanaannya, kami terus didampingi Prof sebagai supervisi.

Beliau hadir untuk mengawasi dan memastikan semuanya berjalan seperti yang

diinginkan.

151
Kami mungkin lebih beruntung melakukannya saat ini, karena sekarang tidak

sesulit pada masa Prof dulu, apalagi dalam hal pembiayaan pasien sudah didukung Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bahkan, sekarang pemerintah memberi dukungan

lebih dengan menunjuk 10 rumah sakit untuk melakukan transplantasi ginjal di Indonesia.

RS Adam Malik, yang sudah masuk dalam kategori tipe A merupakan satu di antaranya.

Semoga cita-cita Prof dapat kami lanjutkan dan wujudkan.

***

Bagi sebagian orang, sosok Prof barangkali tampak sebagai sosok yang sangat

serius. Namun, tidak selamanya anggapan itu benar. Beliau juga sosok yang mau

bercanda kepada siapa saja, tidak hanya kepada murid-muridnya, tapi juga kepada

pasien-pasiennya. Anehnya, dengan saya pribadi beliau lebih sering serius Biasanya, saya

yang terlebih dahulu memancingnya agar mau bercanda .

Kelebihan lainnya, Prof juga bisa bergaul dengan berbagai macam kalangan, mulai

dari kalangan terdidik, sophisticated, formal, bahkan dengan orang temperamental. Salah

satu buktinya ialah pertemanannya dengan sosok yang nyentrik, dr. Alan Parnham, dari

Australia. Mereka begitu akrab dan saling menegur seperti teman yang sudah kenal

berpuluh-puluh tahun. Orangnya sangat tidak formal.

Berkat kedekatannya dengan dr. Alan Parnham tersebut, kami bisa tinggal di

apartemennya selama tiga bulan ketika belajar di Gold Coast, Australia, pada tahun 2013.

Itu sudah terjadi sejak eranya almarhum dr. Tunggul dan dr. Salli ketika mereka belajar ke

152
Gold Coast, Australia, mereka tinggal di rumah dr. Alan Farham. Beliau juga

membimbing kami selama belajar di negeri Kanguru itu. Saya rasa, kami tidak akan bisa

seperti itu kalau bukan karena faktor kedekatan Prof denga beliau.

Sebagai personal, saya banyak belajar dari Prof. Ada sebuah filosofi hidup yang

pernah saya dapat dari beliau. Pernah suatu kali saya menemukan tulisan di dinding ruang

kerjanya, yang kira-kira artinya seperti ini: “Orang yang harinya hari ini lebih jelek dari

hari sebelumnya, itu orang yang paling buruk. Kalau harinya sama dengan hari kemarin

berarti orang yang rugi. Tetapi, orang yang paling beruntung ialah, orang yang harinya

lebih baik dari hari sebelumnya.”

Ia menjalani filosofi itu. Itu bisa terlihat dari karakternya yang disiplin, salah

satunya menyangkut waktu. Beliau tidak suka orang terlambat.

Dalam hal waktu, ia punya aturan sendiri. Beliau sangat jarang menjawab telepon

pada saat jam-jam sholat. Namun, di luar jam itu, kapan saja, siapa saja boleh

meneleponya kapan saja, apalagi berkaitan dengan pendidikan dan keselamatan pasien.

Uniknya, beliau bisa dihubungi langsung tanpa melalui stafnya, seperti lazimnya

beberapa profesor. Dengan begitu, beliau dapat dihubungi dengan cepat apabila

diperlukan pasien. Sebab, baginya keselamatan pasien adalah yang utama.

Dedikasinya sebagai dokter juga sangat humanis. Bagi dia pasien adalah segalanya

bagi beliau. Prof tak segan-segan menegur kami bila mendapat pengaduan dari pasien

yang kurang puas dengan layanan kami.

153
“Hei, pasienmu itu kenapa?” begitu katanya kepada kami.

Baginya, tidak boleh ada pasien yang tidak dilayani dengan baik. Semua pasien

berhak menerima layanan yang baik. Teguran seperti itu kami anggap sebagai didikan

agar kami melakukan yang lebih baik. Itu berarti, kami ini dianggap anaknya, bukan anak

buah. Dan kami menganggapnya sebagai orangtua.

Perlu dicatat pula, bahwa ketika menegur bukan berarti ia sedang marah.

Sepanjang saya mengenal beliau, saya tidak pernah melihatnya marah. Bila beliau tidak

suka dengan sesuatu, beliau lebih suka menggunakan pengandaian. Misalnya dalam hal

waktu, ketika ada pertemuan penting, lantas ada peserta terlambat. Beliau tidak akan

melontarkan kalimat keras, ”Eh, kenapa kau terlambat!”

Itu tidak pernah terjadi. Beliau hanya menyampaikan teguran halus.

“Oooh, sebentar dulu, pembesar kita baru sampai…”

Lalu, direspon dengan tawa dan canda.

Ia juga sosok yang senang membantu orang dalam kesusahan, membantu biaya

pendidikan dan memberi pekerjaan. Namun, dengan semua yang ada pada dirinya, Prof

memiliki satu “kekurangan”, yaitu selalu memandang positif pada orang, sehingga

kadangkala orang lain sering menyalahgunakannya.

Dalam hal agama, dalam sehari-hari, beliau sekaligus menjadi pembimbing dalam

hal pengetahuan hukum-hukum agama dan kaitannya dengan penyakit dalam. Dia bukan

tipe orang yang sangat proporsional dalam beragama tapi bisa juga “total” kalau

154
menyangkut hal yang prinsip. Dalam beberapa kesempatan beliau dapat menempatkan

kapan agama dilebih dulukan.

Dengan segala yang dimilikinya, mulai dari kepintaran, cara berpikir, sikap dan

karakter, jiwa kepemimpinan dan sikap pengayomnya, saya berharap akan tetap ada

dokter seperti Prof. Di usia yang sudah sepuh, beliau tetap punya spirit tinggi untuk

mengembangkan penanganan ginjal dan hipertensi.

Begitulah Prof. Harun yang saya kenal. Bagi saya, beliau tidak hanya sebagai

guru, tapi juga sosok teladan.*

155

Anda mungkin juga menyukai