ABDUL HAMID
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Habitat, Biologi Reproduksi dan
Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar
Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Abdul Hamid
NIM C261110021
RINGKASAN
ABDUL HAMID. Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan
(Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk
Lasongko, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DJAMAR
T.F. LUMBAN BATU dan ETTY RIANI.
Rajungan bernilai ekonomis penting dan permintaannya yang tinggi sehingga
dilakukan penangkapan secara intensif, diantaranya seperti yang terjadi di Teluk
Lasongko. Untuk itu, perlu dilakukan pengelolaan sehingga keberlanjutan populasi
rajungan di perairan ini terjaga, namun data kondisi habitat, biologi reproduksi dan
dinamika populasi rajungan belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan
hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran
populasi rajungan, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat
kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina
ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat
eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk
Lasongko. Pengambilan contoh rajungan dilakukan dengan menggunakan gill net
dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci pada tujuh stasiun dan dilakukan
setiap bulan, yaitu dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko
bervariasi baik spasial maupun temporal, namun masih dalam batas kisaran yang
optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Keberadaan rajungan di perairan
ini juga bervariasi secara spasial dan temporal, dan ditemukan tersebar pada tipe
substrat pasir (dominan), pasir berlempung dan liat lempung berpasir dengan
kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 31 m. Keempat jenis warna rajungan betina
ovigerous juga ditemukan pada berbagai tipe habitat. Rajungan di perairan ini banyak
tertangkap pada bulan Desember sampai Juli, sedangkan pada bulan Agustus sampai
Oktober sedikit tertangkap. Kondisi substrat, kedalaman air dan padang lamun
mempengaruhi distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko, dan sebagian besar
variabel kualitas air berkorelasi dengan distribusi rajungan.
Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan
bervariasi secara spasial dan temporal, yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 berukuran
kecil dan yang tertangkap pada stasiun 7 berukuran besar dibandingkan dengan stasiun
lainnya. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember
berukuran besar, sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September,
Februari dan Maret berukuran kecil. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan
Oktober, November, Maret, September dan Desember tergolong berukuran besar
sedangkan yang tertangkap pada bulan April tergolong berukuran kecil. Karakter
morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar
dari pada musim timur. Ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada penelitian ini lebih
kecil dari pada rajungan betina, masing-masing terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar
karapas untuk rajungan jantan dan rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran.
Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dan hubungan antar karakter morfometrik
rajungan jantan menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Tipe
pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina umumnya
bersifat allometrik negatif, sedangkan lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan
betina bersifat isometrik. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat rajungan jantan
dan betina bersifat allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif lebar/panjang-berat
tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan tahap dewasa tidak mengalami
perubahan, yaitu keduanya bersifat isometrik.
Rasio kelamin, TKG dan IKG rajungan jantan dan betina yang ditemukan di
Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal. Rasio kelamin rajungan
jantan dan betina secara spasial dan temporal umumnya seimbang, kecuali rasio
kelamin total tidak seimbang. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun
didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad sedangkan rajungan betina
sebagian besar didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada stasiun 1 dan 2.
Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan, serta pada musim
timur dan barat sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad.
Ukuran lebar karapas 50 % matang kelamin rajungan jantan 109.83 mm dan betina
115.71 mm.
Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan orange didominasi oleh yang
belum matang gonad, sedangkan yang berwarna coklat dan abu-abu gelap seimbang
antara yang belum matang gonad dan yang matang gonad. Perkembangan gonad dan
embrio rajungan betina ovigerous berlangsung paralel. IKG rajungan betina
ovigerous lebih rendah dari pada IKG rajungan betina yang belum ovigerous.
Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078
874 butir, berkorelasi linear dengan ukuran tubuh dan berat telur, serta bervariasi
terhadap ukuran tubuh dan warna telur rajungan. Kadar proksimat dan asam lemak
selama perkembangan embrio rajungan mengalami perubahan seiring dengan
perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap.
Jumlah kelompok ukuran rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari
satu sampai dua kelompok, dan sebagian besar tergolong ukuran dewasa atau matang
kelamin. Pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina.
Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan
tertinggi terjadi pada bulan Juli dan September, dan tingkat eksploitasi rajungan
jantan dan betina di perairan ini telah tergolong tangkap lebih (overfishing).
Potensi keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi
dilihat dari aspek habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi, namun
karena tingkat eksploitasi yang tinggi, status stok rajungan di perairan ini cenderung
tergolong kritis. Rajungan pada lokasi yang dangkal telah mengalami perubahan rasio
kelamin jantan dan betina serta ukuran rajungan jantan dan betina semakin kecil.
Konsep pengelolaan yang segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan populasi
rajungan dan penangkapan berkelanjutan adalah pengaturan rajungan yang boleh
ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah
penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka
rajungan serta pemantauan dan evaluasi.
Kata kunci : Portunus pelagicus, habitat, reproduksi, dinamika populasi,
pengelolaan, Teluk Lasongko.
SUMMARY
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HABITAT, BIOLOGI REPRODUKSI DAN DINAMIKA POPULASI
RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) SEBAGAI DASAR
PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO,
SULAWESI TENGGARA
ABDUL HAMID
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
(Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)
Dr Ir Toni Ruchimat, M.Sc
(Direktur Pelabuhan Perikanan Ditjen Perikanan
Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Abdul Hamid
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
1 Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan
stasiun dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko 12
2 Rataan kepadatan (tunas. m-2) padang lamun dan jenis lamun
dominan pada setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko 13
3 Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk
Lasongko 14
4 Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap
pada setiap kali penangkapan untuk setiap stasiun 18
5 Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap
pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan
dan musim 20
6 Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko
periode bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 21
7 Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel
karakteristik habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3) 22
8 Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah
populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko 23
9 Rataan suhu, salinitas habitat rajungan pada beberapa lokasi
perairan 24
10 Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan
betina yang dianalisis 32
11 Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina
berdasarkan stasiun di Teluk Lasongko 34
12 Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan
musim di Teluk Lasongko 37
13 Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina
berdasarkan musim di Teluk Lasongko 43
14 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji
t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter
morfometrik rajungan jantan dan betina 44
15 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji
b, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) antar karakter morfometrik
rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa 47
16 Persamaan allometrik power dan linear, koefisien korelasi (r), uji
t nilai b, ANCOVA, dan tipe pertumbuhan relatif (Al)
lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina 48
17 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA,
uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan lebar/panjang
karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan
dewasa 49
18 Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang
karapas-berat pada beberapa lokasi perairan 55
19 Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan
betina dan jantan secara makroskopik 60
20 Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan
stasiun 63
21 Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina
berdasarkan periode waktu penangkapan dan musim 64
22 Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap
musim 70
23 Rataan IKG rajungan betina dan jantan pada setiap TKG dan
stasiun 71
24 Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim 72
25 Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim 73
26 Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada
lokasi beberapa perairan 77
27 Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama
matang kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan 80
28 Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat 88
29 Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun,
warna telur dan musim 91
30 Berat, diameter, dan volume telur rajungan betina ovigerous
berdasarkan warna telur 92
31 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous pada setiap periode
penangkapan dan musim 95
32 IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan
stasiun, warna telur dan musim 96
33 Fekunditas, berat telur, berat tubuh dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun 97
34 Rataan ukuran tubuh, berat telur, fekunditas dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan kelas ukuran lebar karapas 97
35 Rataan fekunditas, berat telur , berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur 98
36 Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan musim 101
37 Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur 102
38 Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur 103
39 Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas rajungan betina
ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara 110
40 Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada
setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko 117
41 Parameter pertumbuhan, indeks perfoma dan persamaan
pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan di Teluk
Lasongko 119
42 Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak
April 2013 sampai Maret 2014 121
43 Nilai kematian total, alami dan penangkapan serta eksploitasi
populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko 122
44 Parameter populasi rajungan yang digunakan dalam analisis hasil
per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan model Beverton dan Holt 122
45 Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa
per rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas
rajungan pertama tertangkap 124
46 Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan 125
47 Parameter pertumbuhan populasi rajungan pada beberapa lokasi
perairan 126
48 Nilai kematian total (Z), alami (M) dan penangkapan (F) serta
tingkat eksploitasi (E) rajungan pada beberapa lokasi perairan 128
49 Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap
desa/ kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014 136
50 Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di
Teluk Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember
2006 dan 2013 137
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian 4
2 Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk
Lasongko 8
3 Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di
Teluk Lasongko 15
4 Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada
setiap stasiun 17
5 Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
periode penangkapan 19
6 Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada
sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) 22
7 Prosedur pengukuran morfometrik rajungan ( Sukumaran 1995) 31
8 Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan
betina (B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko 36
9 Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko 39
10 Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko 41
11 Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina
(B) di Teluk Lasongko 45
12 Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A)
dan betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko 48
13 Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan jantan 61
14 Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan betina 61
15 Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun 65
16 Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun 66
17 Proporsi TKG rajungan jantan dan betina berdasarkan tipe habitat 67
18 Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap periode penangkapan 68
19 Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan 69
20 Proporsi rajungan betina ovigerous dan rataan IKG total rajungan
jantan dan betina pada setiap bulan 74
21 Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina
pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko 75
22 Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada
setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko 76
23 Rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap 84
24 Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun
dan kekeruhan di Teluk Lasongko 89
25 Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan
kekeruhan di Teluk Lasongko 90
26 Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan
betina ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d)
abu-abu gelap 92
27 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun 93
28 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur 94
29 Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous 96
30 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) berdasarkan
total contoh rajungan betina ovigerous 98
31 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan
betina ovigerous warna kuning 99
32 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan
betina ovigerous warna orange 100
33 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan
betina ovigerous warna kuning coklat muda 100
34 Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan 101
35 Peluang lebar karapas rajungan yang tertangkap dengan gillnet di
Teluk Lasongko 118
36 Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko 119
37 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan
betina di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas 120
38 Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko 121
39 Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan
kurva konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko 121
40 Hubungan tingkat eksploitasi dengan hasil per rekrutmen relatif
(Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada LKc 97.20
mm (A), 105.11 mm (B) dan 113.95 mm (C) 123
41 Keterkaitan antar variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan
tereksploitasi di Teluk Lasongko 132
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu
pengukuran di Teluk Lasongko 159
2 Karakter morfometrik rajungan jantan berdasarkan periode waktu
penangkapan 160
3 Karakter morfometrik rajungan betina berdasarkan periode waktu
penangkapan 161
4 Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di
Teluk Lasongko 162
5 Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko 163
6 Riwayat Hidup 164
DAFTAR ISTILAH
Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus1758) merupakan komoditas perikanan
bernilai ekonomi dan permintaannya tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor utama perikanan Indonesia
setelah udang dan ikan. Volume dan nilai ekspor kepiting (rajungan dan kepiting
bakau) Indonesia pada tahun 2011, masing-masing mencapai 156.993 ton dan US$
208.424 juta (KKP 2012). Sampai saat ini permintaan rajungan untuk diekspor dan
memenuhi kebutuhan di dalam negeri sepenuhnya masih mengandalkan penangkapan
di alam. Penangkapan rajungan yang intensif tanpa didukung dengan upaya pengelolaan
yang baik, akan berdampak pada penurunan stok populasi rajungan di alam, dan pada
akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan penangkapan rajungan.
Data kondisi habitat, struktur kelompok ukuran, biologi reproduksi dan dinamika
populasi rajungan merupakan salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk
dijadikan sebagai dasar dalam menyusun strategi pengelolaan rajungan (Arshad et al.
2006; Johnson et al. 2010; Kamrani et al. 2010; Songrak et al. 2014; Green et al.
2014). Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks
kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan rajungan betina
mengerami telur (betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Sebaliknya,
kajian dinamika populasi (parameter populasi) meliputi pertumbuhan, rekrutmen dan
kematian, serta struktur kelompok ukuran. Kajian biologi populasi rajungan selama
ini masih terfokus pada tipe perairan, utamanya populasi rajungan di perairan estuari
dan teluk (Kangas 2000; Potter et al. 2001; de Lastang et al. 2003; Dineshbabu et al.
2008). Kajian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan berdasarkan tipe
habitat relatif masih kurang dilakukan di perairan Indonesia.
Penelitian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan diantaranya telah
dilakukan oleh (Pillay dan Nair 1971; Sukumaran 1995, Sukumaran dan Neelakantan
1996a, 1996b, 1997; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Josileen dan Menon
2007; Dineshbabu et al. 2008; Kamrani et al. 2010; Johnson et al. 2010; Jazayeri et al.
2011; Josileen 2011; Sunarto 2012; Kembaren et al. 2012; Ernawati 2013; Ihsan et
al. 2014; Liu et al. 2014). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fekunditas,
musim puncak pemijahan, dan ukuran rajungan pertama kali matang kelamin, serta
parameter pertumbuhan dan kematian rajungan bervariasi antar lokasi geografi dan
tipe perairan. Adanya variasi paramater biologi reproduksi dan parameter populasi
rajungan tersebut berkaitan dengan perbedaan kondisi habitat, suhu, salinitas, oksigen,
kecerahan dan intensitas penangkapan (Batoy et al. 1987; Kangas 2000; de Lestang
et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Kamrani et al. 2010; Johnston et al. 2011a;
Ikhwanuddin et al. 2011; 2012a; Green et al. 2014).
Kadar proksimat dan asam lemak telur dekapoda diantaranya juga dipengaruhi
kondisi habitat (Rosa 2003; Rosa et al. 2005; Figueiredo et al. 2008a, 2008b). Kadar
proksimat dan asam lemak telur dekapoda berperan menentukan siklus reproduksi,
kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan
hidup larva (Rosa 2003; Ying et al. 2006; Rosa et al. 2007; Figueiredo et al. 2008a;
Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012). Telur rajungan selama tahap perkembangan
2
embrio mengalami perubahan bentuk, ukuran, warna dan kadar proksimat dan asam
lemak (Radhakrishnan 2000; Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Singh 2008;
Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Khoei et al. 2012; Ravi
dan Manisseri 2013). Penelitian kadar proksimat dan asam lemak telur masih relatif
terbatas dan belum dibedakan berdasarkan perkembangan embrio atau perubahan
warna telur seperti dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei
et al. (2012).
Teluk Lasongko secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Buton
Tengah Sulawesi Tenggara. Luas perairan ini sekitar 13.6 km2 dengan kedalaman
berkisar antara 1 m hingga 50 m (adaptasi dari DKP Sulawesi Tenggara 2003; Supardan
2006). Rajungan di perairan ini dapat ditemukan pada daerah intertidal dan subtidal
yang ditumbuhi padang lamun dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus
sampai pasir kasar serta lokasi yang dalam dengan substrat berupa hamparan pasir
halus. Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim kemarau ditemukan
berkisar antara 28 oC hingga 31 oC, dan salinitas berkisar antara 31 ppt hingga 35 ppt
dan pH sekitar 8.0 (Hamid 2011), serta masih mendukung pertumbuhan rajungan.
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan sejak tahun 1970-an,
namun intensitasnya masih rendah dan belum menggunakan alat tangkap (ditangkap
dengan tangan) serta bertujuan untuk kebutuhan konsumsi keluarga nelayan. Pada
awal tahum 1990-an penangkapan kepiting rajungan di perairan ini mulai
menggunakan bubu dari anyaman bambu dan hasil tangkapannya untuk dijual.
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko semakin intensif sejak awal tahun 2000-an
dengan menggunakan gill net (dominan) dan sebagian kecil dengan bubu rajungan,
serta permitaan rajungan semakin tinggi karena di kawasan ini berkembang usaha
pengolahan daging rajungan sebagai perwakilan perusahaan eksportir rajungan di
Kota Bau-Bau dan Kendari (Hamid 2011). Sejak akhir 2008, penangkapan rajungan di
perairan ini lebih banyak menggunakan bubu, dan hal ini akan berpengaruh kepada
reproduksi, parameter dinamika populasi dan stok rajungan di Teluk Lasongko.
Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko cenderung semakin menurun dan
semakin kecil, serta hasil tangkapan rajungan di perairan ini setiap trip berkisar antara
0.7 kg hingga 1.9 kg per nelayan (Hamid 2011). Tingkat penangkapan krustasea
(rajungan dan udang Penaeus sp.) di Teluk Lasongko telah mencapai 95 % dari
potensi lestarinya atau telah melebihi jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) (Supardan
2006). Produksi kedua jenis krustasea tersebut pada tahun 2000 mencapai 242 ton
serta tahun 2003 dan 2004 masing-masing mencapai 790 ton dan turun 640 ton
(Supardan 2006). Hasil tangkapan rajungan yang diperoleh dari tiga pengolah daging
rajungan di Teluk Lasongko selama Februari sampai November 2006 hanya sekitar
37 ton (Hamid 2011), dan selama bulan Mei 2013 sampai April 2014 sekitar 67 ton.
Rajungan sebagai komoditas perikanan bernilai ekonomis penting, demikian
juga permintaannya sangat tinggi hal ini yang menyebabkan dilakukan penangkapan
yang intensif dan akhirnya akan berdampak pada penurunan populasi rajungan di
Teluk Lasongko. Di sisi lain, data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika
populasi rajungan merupakan data yang dibutuhkan sebagai dasar untuk menyusun
konsep pengelolaan rajungan di perairan ini masih terbatas. Oleh karena itu,
penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan ketiga jenis data tersebut.
3
Perumusan Masalah
Kondisi habitat sangat menentukan biologi reproduksi dan dinamika populasi
rajungan. Biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan saling berkaitan,
misalnya antara pemijahan dan rekrutmen populasi rajungan. Pemijahan rajungan
yang tinggi dan didukung oleh kondisi habitat serta kadar proksimat dan asam lemak
telur yang tinggi dapat meningkatkan kelangsung hidup larva rajungan dan berpotensi
meningkatkan rekrutmen populasi rajungan. Suhu, salinitas dan komposisi rajungan
jantan dan betina adalah faktor yang menentukan keberhasilan pemijahan rajungan
(de Lestang et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Jazayeri et al. 2011; Johnston et al.
2011; de Lestang et al. 2010; Gree et al. 2014). Kadar proksimat dan asam lemak telur
rajungan ditentukan oleh kondisi habitat, dan berpengaruh kepada siklus reproduksi,
kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan
kelangsungan hidup larva rajungan (Rosa 2003; Ying et al. 2006, Rosa et al. 2007;
Figueiredo et al 2008a, 2008b; Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012), dan secara
tidak langsung menentukan rekrutmen rajungan. Rekrutmen rajungan yang tinggi
berperan meningkatkan ketahanan dan daya pulih populasi rajungan dari tekanan
penangkapan dan mendukung keberlanjutan populasi rajungan pada suatu perairan.
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan secara intensif sejak
tahun 2000-an dan penangkapannya umumnya dilakukan di sekitar intertidal dan
subtidal yang ditumbuhi lamun. Dampak dari penangkapan rajungan secara intensif
tersebut adalah hasil tangkapan rajungan terindikasi semakin berkurang dan
ukurannya semakin kecil (Hamid 2011), bahkan tingkat penangkapan rajungan dan
udang Penaeus sp. di Teluk Lasongko telah melebihi JTB nya (Supardan 2006).
Permintaan rajungan di daerah ini semakin tinggi sehingga mendorong penangkapan
rajungan semakin intensif dan juga menangkap rajungan betina yang sedang bertelur
(betina ovigerous). Kedua hal tersebut akan semakin meningkatkan tekanan terhadap
populasi rajungan dan kesempatan rajungan melakukan reproduksi semakin menurun
dan akibatnya dapat menurunkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko.
Agar penangkapan rajungan optimum dan berkelanjutan di Teluk Lasongko,
maka perlu dilakukan pengelolaan yang didasarkan pada informasi kondisi habitat,
biologi reproduksi dan dinamika rajungan. Namun, sampai saat ini ketersediaan
ketiga jenis data ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan di perairan ini.
Pendekatan Masalah
Masalah penelitian ini dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pengendalian
tekanan penangkapan dan perbaikan kondisi habitat rajungan. Tekanan penangkapan
rajungan yang tinggi akan berpengaruh pada parameter biologi reproduksi dan
paramater dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko, yaitu dapat dievaluasi dari
ukuran pertama kali matang kelamin, pertumbuhan, rekrutmen, kematian penangkapan
dan tingkat eksploitasi. Kondisi habitat rajungan (kondisi padang lamun, substrat dan
kualitas air) yang baik akan mengoptimalkan pertumbuhan somatik dan reproduksi
rajungan serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan sehingga akan
meningkatkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko. Apabila penerapan
konsep pengelolaan yang rasional dilakukan dengan benar maka akan menghasilkan
tangkapan rajungan optimun dan berkelanjutan di perairan ini (Gambar 1).
4
Habitat : Pertumbuhan :
Padang lamun Somatik
Kualitas air & Reproduksi
Substrat Kadar proksimat
&
Asam lemak telur
Tangkapan
Implikasi Optimum &
Rajungan Ukuran I
Pengelolaan Berkelanjutan
Biologi Matang
Reproduksi Kelamin
Pertumbuhan
Dinamika Rekrutmen Status Stok
Populasi Kematian alami
Penangkapan:
∑ Nelayan Tekanan Kematian
penangkapan Eksploitasi
∑ Alat tangkap Penangkapan
Kebaruan Penelitian
Kebaruan dari penelitian ini adalah untuk determinasi kadar proksimat, asam
lemak telur, perkembangan kematangan gonad rajungan betina ovigerous berdasarkan
perubahan warna telur, serta tipe pemijahan rajungan dan distribusi rajungan betina
ovigerous yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun konsep pengelolaan
rajungan di Teluk Lasongko.
6
Pendahuluan
Rajungan ditemukan pada habitat yang cukup beragam, yaitu mulai ditemukan
di perairan pantai sampai pada landas kontinen dengan kedalaman 50 m (Edgar
1990), bahkan sampai kedalaman lebih 65 m (Juwana 1997). Di perairan pantai,
rajungan dapat ditemukan di bagian intertidal, muara sungai kecil (creek), bagian sub
litoral, teluk dangkal dan perairan pesisir yang dalam (Chande dan Mgaya 2003; de
Lestang et al. 2003) dan ditumbuhi padang lamun dan alga dengan tipe substrat
lumpur, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Dineshbabu
et al. 2008). Rajungan juga terdapat di mangrove dan di tambak-tambak air payau
yang berdekatan dengan air laut (Juwana 1997).
Setiap tipe habitat rajungan tersebut juga mempunyai kondisi lingkungan
perairan bervariasi. Variabel lingkungan perairan sebagai penentu kondisi habitat
rajungan meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan, tipe substrat,
kedalaman air, dan juga kondisi arus dapat mempengaruhi setiap tahap siklus hidup
rajungan (Dhawan et al. 1976; Batoy et al.1987; Kangas 2000; de Lestang et al.
2003; Kamrani et al. 2010; Bellchambers et al. 2005; Ikhwanuddin et al. 2011).
Rajungan dapat beradaptasi pada perubahan kondisi suhu, salinitas dan pH yang
ekstrim (Hosseini et al. 2012).
Rajungan di Perairan Brebes ditemukan pada suhu berkisar antara 27 oC hingga
o
30 C, salinitas 30 ppt hingga 33 ppt dan kedalaman air berkisar antara 3 m hingga 12
m dengan kondisi substrat didominasi oleh fraksi pasir, fraksi lumpur dan fraksi liat
dengan tipe substrat lempung berpasir dan lempung berliat (Sunarto 2012).
Selanjutnya juga dilaporkan distribusi rataan ukuran rajungan di Perairan Brebes
tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012). Rajungan di Perairan Pati
ditemukan pada suhu 27.5 oC hingga 31.5 oC dan salinitas 31.5 ppt hingga 35.5 ppt
dengan tipe substrat mulai dari pasir berlumpur sampai lumpur, namun rajungan
banyak tertangkap pada tipe substrat lumpur berpasir (Ernawati 2013).
Rajungan jantan dan betina di Pantai Sarawak, Laut Cina Selatan umumnya
ditemukan bermigrasi ke arah laut yang dalam selama musim memijah (Ikhwanuddin
et al. 2012b). Temuan tersebut berlawanan dengan dilaporkan oleh peneliti
sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000; Poter dan de Lestang 2000; de
Lestang et al. 2003) bahwa hanya rajungan betina bermigrasi ke arah perairan laut
yang lebih dalam sedangkan jantan tetap berada di perairan yang dangkal. Rajungan
di perairan teluk sering tidak bermigrasi ketika memijah, dan pada keadaan tertentu
ketika terjadi perubahan salinitas, rajungan memijah pada bagian perairan teluk yang
bersalinitas tinggi (Sumpton et al.1994; Potter dan de Lestang 2000; de Lestang et al.
2003; Ikhwanuddin et al. 2011).
Rajungan dapat mengatur kondisi osmotik di dalam tubuhnya yang hiposalin
terhadap kondisi air laut yang hipersalin agar tetap sesuai dengan lingkungannya,
sehingga rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas (11-53 ppt) untuk
7
waktu lama (Kangas 2000). Salinitas berperan penting dalam menentukan keberadaan
rajungan di daerah asuhan selama musim dingin (Potter dan de Lestang 2000; Kangas
2000). Rajungan toleran terhadap fluktuasi oksigen terlarut yang besar seperti terjadi
di estuari (Kangas 2000). Rajungan masih bertahan hidup di estuari dengan kondisi
oksigen terlarut < 2 mgl-1 (Dhawan et al. 1976), dan masih dapat melakukan respirasi
ketika terjadi anaerob dan dapat menahan kekurangan oksigen pada suhu rendah,
13 oC dan suhu lebih tinggi, 19 oC (Kangas 2000).
Rajungan jantan dan betina mempunyai toleransi berbeda terhadap berbagai
tipe habitat selama dalam setahun (Sumpton et al. 1994). Rajungan betina menyukai
substrat pasir ketika melepaskan telur untuk mendukung keberhasilan penetasannya
sehingga betina dewasa yang telah matang gonad bermigrasi ke dalam gundukan
pasir (sand bank) untuk mengeluarkan telurnya (Sumpton et al. 1994). Distribusi
spasial rajungan berkaitan dengan ukuran, yaitu rajungan berukuran lebih besar
(panjang karapas 50 mm) biasanya tertangkap pada kedalaman > 6 meter sedangkan
juvenil (panjang karapas 30 mm) ditemukan pada perairan lebih dangkal di dekat
pantai (Batoy et al.1988). Pola distribusi tersebut diduga berkaitan dengan migrasi
untuk memijah, molting dan mencari makan, serta dipengaruhi oleh salinitas dan
substrat perairan (Batoy et al.1988; Ikhwanuddin et al. 2011). Salinitas dan suhu
merupakan faktor utama yang mengontrol distribusi rajungan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand (Kunsook 2011).
Kajian karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Indonesia
diantaranya telah dilakukan di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati
(Ernawati 2013). Penelitian rajungan di Teluk Lasongko masih bersifat umum
(Hamid 2011) dan belum mengkaji populasi rajungan berdasarkan karakteristik
habitatnya. Rajungan di perairan Teluk Lasongko dapat ditemukan pada bagian yang
dangkal atau pada daerah intertidal sampai subtidal yang ditumbuhi padang lamun
dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus sampai pasir kasar (Hamid 2011)
mulai dari bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk. Kondisi habitat merupakan
salah satu informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan rajungan, namun informasi
kondisi habitat di Teluk Lasongko masih terbatas sehingga penelitian ini perlu
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik habitat
rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, dan (3)
keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan yang tertangkap di
Teluk Lasongko.
Metode Penelitian
Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk Lasongko
Penentuan Stasiun
Stasiun penelitian mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut Teluk
Lasongko dan terbagi dalam tujuh stasiun, yaitu tiga stasiun berada pada bagian
kepala teluk, tiga stasiun lain terletak pada bagian tengah teluk, dan satu stasiun
berada di bagian mulut teluk (Gambar 2). Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi
padang lamun, tipe substrat, dan kedalaman perairan yang mewakili tipe habitat
rajungan dan daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko.
Kondisi habitat rajungan dan merupakan lokasi setiap stasiun pengambilan
contoh rajungan di Teluk Lasongko adalah sebagai berikut :
Stasiun 1 : Terletak pada bagian kepala teluk, kondisi perairannya sempit, daerah
intertidal ditumbuhi padang lamun Enhalus acoroides (dominan) dan
Thalassia hemprichii dengan kepadatan rendah dan bibir pantainya
ditumbuhi mangrove. Secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan
kulit kerang dan lumpur, serta kondisi airnya keruh dengan kedalaman
air berkisar 1 m hingga 5 m. Stasiun ini dengan posisi 05o16’23.4”LS
hingga 05o16’48.3”LS; dan 122o31’37.3”BT hingga 122o31’48.9”BT,
Stasiun 2 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun E.
acoroides dan T. hemprichii (dominan) dengan kepadatan relatif
rendah. Secara visual bersubstrat pasir kasar dan sedang serta sebagian
dengan substrat berbatu. Kondisi airnya agak keruh dan kedalamannya
berkisar antara 1 m hingga 6 m. Stasiun ini terletak pada bagian kepala
teluk sisi kiri dengan posisi 05o16’59.4”LS hingga 05o17’19.3”LS dan
122o30’01.1”BT hingga 122o31’08.3” BT,
9
Stasiun 3 : Daerah intertidal sampai subtidal bagian atas ditumbuhi oleh lamun
jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan
sedang sampai padat. Kedalaman airnya berkisar dari 1.5 m hingga 7.0
m, dan secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan kulit kerang dan
lumpur, serta relatif jernih. Terletak pada bagian kepala teluk sisi
kanan dengan posisi 05o18’10.”LS hingga 05o18’32.1” LS dan
122o30’58,3” BT hingga 122o31’09.5” BT,
Stasiun 4 : Hamparan padang lamunnya luas dan padat terdiri atas jenis T.
hemprichii (dominan) dan E. acoroides. Secara visual bersubstrat
pasir halus, sedang, dan lumpur. Kondisi airnya relatif jernih dengan
kedalaman air berkisar dari 1.5 m hingga 12 m. Terletak pada bagian
tengah teluk sisi kanan dengan posisi 05o19’17.1” LS hingga
05o19’44.9” LS dan 122o31’21.7” BT hingga 122o31’47.7”BT,
Stasiun 5 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun jenis T.
hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan sedang.
Secara visual bersubstrat pasir kasar, sedang dan lumpur, dan airnya
relatif jernih dengan kedalaman berkisar 1.5 m hingga 7 m. Stasiun ini
terletak pada bagian tengah teluk sisi kiri dengan posisi 05o19’37,8”LS
hingga 05o20’06.1”LS dan 122o29’52.8” BT hingga 122o30’17.0”BT,
Stasiun 6 : Stasiun ini tidak memiliki intertidal, kedalaman air berkisar antara 5 m
hingga 10 m berupa hamparan pasir. Kondisi airnya relatif jernih dan
secara visual bersubstrat pecahan karang, pasir sedang pasir halus dan
lumpur. Terletak di bagian tengah teluk dengan posisi 05o18’11,4”LS
hingga 05o18’28.6”LS dan 122o29’51.9” BT hingga 122o30’32.9” BT,
Stasiun 7 : Stasiun ini juga tidak memiliki intertidal dan berada pada bagian mulut
telur dengan kedalaman air berkisar antara 14 m hingga 31 m dan
jernih. Secara visual bersubstrat pasir halus dan lumpur. Terletak pada
posisi 05o22’8.9” LS hingga 05o22’10.0” LS dan 122o31’9.9” BT
hingga 122o31’0.9” BT.
Stasiun 1, 2, 3, 4 dan 5 terdiri dari tiga sub stasiun, sedangkan stasiun 6 dan 7
hanya terdiri dari dua sub stasiun. Stasiun 6 dan7 tidak berhubungan langsung
dengan daratan dan daerah intertidal. Kelima stasiun yang disebutkan pertama,
selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga tipe habitat rajungan berdasarkan kesamaan
kondisi kedalaman air, tipe substrat dan padang lamun. Karakteristik ketiga tipe
habitat rajungan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Habitat A, terletak pada daerah intertidal dengan kedalaman air pada saat air
pasang berkisar 1.5 m hingga 2.5 m, ketika air surut terendah (paling besar)
yaitu terjadi pada bulan Oktober dan November daerah ini kering, ditumbuhi
padang lamun lebih padat dan bersubstrat didominasi fraksi pasir kasar,
(2) Habitat T terdapat pada daerah peralihan antara habitat A dan B dengan
kedalaman air ketika air pasang berkisar 2.5 m hingga 3.5 m, ditumbuhi lamun
dengan kepadatan lebih rendah dibnadingkan dengan habitat A dan bersubstrat
didominasi pasir, dan
(3) Habitat B terdapat pada daerah subtidal bagian atas dengan kedalaman air
berkisar 5 m hingga 12 m, bersubstrat lebih halus dan tidak ditumbuhi lamun.
10
sedangkan pada stasiun 6 dan 7 memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari,
yaitu antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA dan diangkat kembali mulai
pukul 06.30 hingga pukul 09.00 WITA. Rajungan yang tertangkap pada setiap sub
stasiun dicatat jumlahnya menurut jenis kelamin.
Data total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada
setiap hari dan bulan diperoleh dari catatan harian pengolah daging rajungan di
daerah ini. Data tersebut digunakan sebagai data pembanding.
D= ......................................................... (1)
D adalah kepadatan padang lamun pada setiap tipe habitat (tunas m-2), Ni jumlah
tunas jenis lamun ke-i (tunas), n jumlah ulangan pengambilan contoh, dan a luas
transek kuadrat (m2).
Analisis Data
Data kualitas air habitat rajungan dikelompokkan berdasarkan stasiun dan
periode pengukuran dan dianalisis secara deskriptif serta ditampilkan dalam bentuk
tabel dan grafik. Data jumlah dan berat rajungan yang tertangkap dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, stasiun dan periode penangkapan. Total jumlah dan berat
rajungan yang tertangkap selama penelitian dianalisis secara deskriptif. Jumlah dan
berat rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan periode penangkapan serta
hasil tangkapan rajungan harian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) satu
arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 0.05
(Steel dan Torie 1992). Jumlah dan berat rajungan serta hasil tangkapan bulanan
rajungan antara musim timur dan musim barat dianalisis dengan uji t dengan asumsi
ragam tidak sama pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1991). Sebelum dilakukan
uji ANOVA dan uji t, data jumlah, berat dan hasil tangkapan rajungan dilakukan uji
kenormalan dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie
1992) dan jika hasil uji t berbeda nyata, maka dilakukan ditransformasi ke log 10.
Keterkaitan populasi rajungan dengan variabel karakteristik habitat dianalisis
dengan analisis komponen utama (PCA) berdasarkan matriks korelasi dan jarak
Euiclidean (Bengen 2001). Selain itu, juga dilakukan analisis korelasi untuk
menentukan keterkaitan antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi rajungan
yang tertangkap. Setiap proses analisis data tersebut digunakan Minitab versi 15 dan
Microsoft Excel 2007.
12
Hasil
Karakteristik Habitat
Kondisi Substrat dan Padang Lamun
Komposisi fraksi sedimen habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan
terdiri dari fraksi pasir sangat kasar (PSK) sampai fraksi liat (Li). Proporsi setiap
fraksi sedimen pada setiap stasiun bervariasi dengan kisaran antara 0.75 % hingga
48.84 % (Tabel 1). Fraksi sedimen yang ditemukan pada setiap stasiun dan tipe
habitat sebagian besar didominasi PSK dan pasir kasar (PK) dengan tipe substrat
pasir, kecuali pada stasiun 6-2 dan stasiun 7 dan tipe habitat B. Stasiun 6-2
didominasi fraksi sedimen Li dan PSK dengan tipe substrat lempung liat berpasir
sedangkan pada stasiun 7 didominasi oleh Li dan lempung (Le) dengan tipe substrat
lempung (Tabel 1). Proporsi fraksi Le dan Li pada habitat B semakin meningkat dan
tipe substrat pada tipe habitat ini sebagian besar lempung berpasir, kecuali pada
habitat B pada stasiun 2 bertipe substrat pasir. Fraksi sedimen habitat rajungan di
Teluk Lasongko cenderung semakin halus dengan semakin bertambahnya kedalaman.
Tabel 1. Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan stasiun
dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko
Proporsi setiap jenis fraksi sedimen (%)
Stasiun Habitat Tipe substrat
PSK PK PS PH PSH Le Li
A 47.43 25.58 11.03 4.64 5.00 2.58 3.74 Pasir
1 T 41.18 38.86 5.18 3.84 4.60 2.60 3.74 Pasir
B 11.80 24.24 7.55 19.64 12.64 11.29 12.84 Pasir berlempung
A 48.46 18.19 8.85 5.76 4.75 8.57 5.42 Pasir
2 T 52.14 29.21 6.17 1.93 2.84 3.45 4.26 Pasir
B 41.66 25.84 9.02 4.45 5.49 3.66 9.88 Pasir
A 35.06 25.43 14.98 10.03 7.07 5.01 2.42 Pasir
3
T 48.84 32.42 6.93 2.26 3.83 3.39 2.33 Pasir
B 39.29 21.6 6.26 3.25 8.29 14.72 6.59 Pasir berlempung
A 20.72 22.26 14.99 16.83 14.74 7.69 2.77 Pasir
T 13.83 19.73 21.67 23.54 17.36 3.12 0.75 Pasir
4
B 44.57 21.48 6.48 3.21 6.05 10.33 7.88 Pasir berlempung
A 25.06 26.44 19.84 12.82 8.04 3.99 3.81 Pasir
5 T 38.67 32.62 8.88 8.32 4.75 4.16 2.60 Pasir
B 36.19 17.05 11.51 5.81 5.72 6.83 16.89 Pasir berlempung
6 1 41.27 29.65 10.67 5.99 6.55 4.56 1.31 Pasir
2 28.43 11.23 5.95 4.09 4.29 10.21 35.8 Lempung liat berpasir
7 1 1.25 4.86 3.62 1.20 3.02 39.19 46.86 Lempung
PSK pasir sangat kasar.; PK pasir kasar.; PS pasir sedang.; PH pasir halus.; PSH pasir sangat halus.;
Le lempung.; Li liat.; habitat A dengan kedalaman air 1.5 m hingga 2.5 m dan ditumbuhi lamun yang
padat.; habitat T dengan kedalaman air 2.5 m hingga 3.5 m dan ditumbuhi lamun dengan kepadatan
lebih rendah dari habitat A.; habitat B dengan kedalaman air 5 m hingga 12 m dan tidak ditumbuhi
lamun. ; 1 dan 2 sub stasiun.
13
terendah pada stasiun 4. Kekeruhan air habitat rajungan antara bulan Juli sampai
bulan September ditemukan lebih rendah, yaitu dengan rataan <1.00 NTU sedangkan
pada bulan Juni dan Oktober (dengan rataan > 2.00 NTU) lebih tinggi dibandingkan
dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3). Kekeruhan air habitat
rajungan pada bulan Juni dan Oktober juga ditemukan lebih bervariasi dibandingkan
dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3).
Tabel 3. Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk Lasongko
Stasiun
Variabel Nilai
1 2 3 4 5 6 7
Kedalaman Rataan 271.0 276.5 324.3 478.3 357.5 635.9 2250.1
(cm) Sd 133.3 173.5 209.7 439.4 229.8 167.8 477.1
Rataan 28.5 28.0 28.8 28.7 29.1 28.9 27.7
Suhu (oC)
Sd 1.5 1.9 1.7 1.8 1.9 2.0 1.8
Kecerahan Rataan 152.4 188.2 284.7 397.3 337.6 451.7 1345.5
(cm) Sd 46.5 81.3 123.6 271.1 161.0 100.4 139.1
Kekeruhan Rataan 2.40 1.90 1.33 1.17 1.52 1.18 1.20
(NTU) Sd 2.30 1.20 0.75 1.00 1.25 0.76 0.90
TSS Rataan 109.90 100.30 83.75 83.81 109.50 95.24 99.90
(mgl-1) Sd 40.90 31.60 30.80 42.18 54.57 39.41 21.20
Kecepatan arus Rataan 11.91 7.17 9.05 7.46 9.71 31.60 8.40
(cmdetik-1) Sd 6.98 2.54 4.53 4.45 4.50 1.80 5.53
Oksigen Rataan 5.20 5.43 5.10 5.42 5.36 5.90 5.1
(mgl-1) Sd 1.00 1.31 1.00 1.15 1.09 1.00 0.6
Salinitas Rataan 29.5 31.7 32.1 32.1 32.2 32.0 33.4
(ppt) Sd 3.4 1.5 1.6 1.5 1.5 1.8 1.4
Rataan 8.42 8.39 8.40 8.40 8.43 8.50 8.50
pH
Sd 0.18 0.18 0.20 0.10 0.17 0.10 0.10
Sd simpangan baku
Total padatan tersuspensi (TSS) habitat rajungan yang ditemukan pada
penelitian ini berkisar antara 15.0 mgl-1 hingga 292 mgl-1 dengan rataan pada setiap
stasiun berkisar antara 83.75 mgl-1 hingga 109.90 mgl-1 (Tabel 3). Kadar TSS pada
stasiun 1, 2 dan 5 ditemukan lebih tinggi sebaliknya pada stasiun 3 dan 4 lebih
rendah dibandingkan dengan kadar TSS pada stasiun lainnya. Kadar TSS habitat
rajungan terendah ditemukan pada bulan April (rataan 52.2 mgl-1) sedangkan
tertinggi ditemukan pada bulan Desember (rataan 123.9 mgl-1). Kadar TSS habitat
rajungan pada bulan September sampai bulan Desember dan bulan Maret (rataan
>100 mgl-1) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar TSS pada bulan lainnya. Variasi
kadar TSS pada bulan September dan Desember juga ditemukan lebih tinggi dari
pada periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3).
15
32.5 Suhu
30.0
Suhu (oC)
27.5
25.0
22.5
20.0
5.0
4.0
Kekeruhan
Kekeruhan
(NTU)
3.0
2.0
1.0
0.0
200.0 TSS
TSS (mg.l-1)
150.0
100.0
50.0
0.0
30.00
Kecepatan arus
(cm.det-1)
Kec. arus
20.00
10.00
0.00
40.0 Salinitas
Salinitas (ppt)
35.0
30.0
25.0
20.0
10.00
Oksigen terlarut
Oksigen
(mg.l-1)
7.50
5.00
2.50
0.00
9.00
8.00
pH
pH
7.00
6.00
5.00
ketika diukur bertepatan dengan puncak air laut bergerak surut. Kecepatan arus pada
beberapa stasiun kadang sama dengan nol karena tidak terdeteksi dengan alat yang
digunakan untuk mengukur kecepatan arus. Berdasarkan periode pengukuran,
kecepatan arus habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Desember, yaitu
berkisar antara 4.77 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan 14.35 cm detik-1
dan terendah ditemukan pada bulan Juni, yaitu berkisar antara 0.44 cm detik-1 hingga
12.66 cm detik-1 dengan rataan 6.56 cm detik-1 (Gambar 3 dan Lampiran 1).
Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko antara bulan Oktober sampai
bulan Desember cenderung meningkat sedangkan antara bulan Januari sampai bulan
Maret cenderung menurun (Gambar 3).
Kadar oksigen terlarut habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko berkisar
antara 3.05 mgl-1 hingga 7.82 mgl-1 (Lampiran 1) dengan rataan pada setiap stasiun
umumnya >5.00 mgl-1 (Tabel 3). Kadar oksigen terlarut pada stasiun 6 ditemukan
cenderung lebih tinggi sedangkan pada stasiun 3 dan 7 cenderung lebih rendah dari
pada stasiun lainnya (Tabel 3). Kadar oksigen terlarut habitat rajungan antara bulan
April sampai bulan Maret ditemukan berkisar antara 3.05 mgl-1 hingga 8.34 mgl-1
dengan rataan berkisar antara 4.24 mgl-1 hingga 6. mgl-1. Rataan kadar oksigen
terlarut habitat rajungan pada bulan April sampai Juli > 6.00 mgl-1, sedangkan antara
bulan Agustus sampai bulan September hanya sekitar 4 mgl-1. Rataan kadar oksigen
terlarut habitat rajungan dari bulan November sampai bulan Maret cenderung
menurun, yaitu berkisar antara 6.11 mgl-1 hingga 4.53 mgl-1 (Gambar 3). Rataan
kadar oksigen terlarut habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Juni dan
terendah pada bulan Oktober.
Salinitas habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 16 ppt hingga 35
ppt dengan rataan pada setiap stasiun umumnya > 30 ppt, kecuali di stasiun 1
ditemukan < 30 ppt (Tabel 3). Salinitas habitat rajungan tertinggi ditemukan pada
stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1. Salinitas habitat rajungan di perairan ini antara
bulan April sampai bulan September (musim timur) cenderung meningkat, sebaliknya
antara bulan Oktober sampai bulan Maret (Musim barat) cenderung menurun
(Gambar 3). Salinitas habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan November dan
terendah pada bulan Juli. Salinitas habitat rajungan di perairan ini selama bulan
September sampai November lebih tinggi, sedangkan antara bulan April sampai
bulan Juli dan Maret salinitas habitat rajungan lebih rendah dibandingkan dengan
bulan lainnya (Gambar 3). Rataan salinitas habitat rajungan berdasarkan waktu
pengukuran >30 ppt, dan salinitas habitat rajungan pada bulan Juli, Agustus dan
Oktober cenderung lebih bervariasi, sebaliknya pada periode pengukuran pada
sembilan bulan lainnya salinitas habitat rajungan cenderung stabil.
Nilai pH air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 7.45 hingga
8.74 (Lampiran 1) dengan rataan pada setiap stasiun umumnya relatif sama, yaitu
sekitar 8.4 (Tabel 3), sedangkan rataan pH berdasarkan periode pengukuran berkisar
antara 8.15 hingga 8.62 (Gambar 3), tertinggi ditemukan pada bulan Maret dan
terendah pada bulan Juni. Nilai pH air habitat rajungan di perairan ini cenderung
meningkat dari awal sampai akhir penelitian, dan pada setiap periode pengukuran
ditemukan cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan variabel kualitas air
lainnya (Gambar 3), karena air laut memiliki kapasitas penyangga yang lebih besar.
17
200
100
15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 4. Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
stasiun
Rataan jumlah dan berat rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap
stasiun untuk setiap kali penangkapan tertera pada Tabel 4. Jumlah rajungan jantan
dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun dan setiap kali penangkapan masing-
masing berkisar antara 1 ekor hingga 29 ekor. Rajungan jantan tidak ditemukan pada
tiga kali penangkapan selama penelitian, satu kali pada stasiun 4 dan dua kali pada
stasiun 6. Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun untuk
setiap kali penangkapan berkisar antara 5 ekor hingga 13 ekor dengan rataan berat
berkisar antara 0.54 kg hingga 1.06 kg, sedangkan rajungan betina berkisar antara
5 ekor hingga 14 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.47 kg hingga 1.89 kg
(Tabel 4). Rataan jumlah gabungan kedua jenis kelamin berkisar antara 9 ekor
hingga 22 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.98 kg hingga 2.95 kg (Tabel 4).
18
Tabel 4. Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap
kali penangkapan untuk setiap stasiun
Jantan Betina Gabungan
Stasiun
Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat
1 13 +6a 0.91+0.41a 9+5 ac
0.60+0.39a 20+12 ab
1.51+0.74ab
2 12 +8ab 0.82+0.70a 11 +9a 0.66+0.44a 22+15ab 1.47+1.00ab
3 6 +5b 0.59+0.43a 5+ 4 bc
0.57+0.48a 11+8bc 1.16+0.87bc
4 7+6ab 0.72+0.61a 6+4ac 0.71+0.44a 13 + 10abc 1.37+0.90bc
5 6+4b 0.62+0.46a 5+ 2bc 0.47+0.15a 11+4abc 1.09+0.47bc
6 5+ 5b 0.54+0.50a 5+4c 0.53+0.43a 10 + 9bc 0.98+0.89c
7 9 +4ab 1.06+0.50a 14+6a 1.89+0.76a 23 + 8ab 2.95+0.89a
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap setiap kali penangkapan
tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6, sedangkan rataan
berat rajungan tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 6.
Rataan jumlah dan berat rajungan betina tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan
terendah pada stasiun 5, serta rataan jumlah dan berat gabungan kedua jenis kelamin
tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 6. Hasil analisis
ANOVA menunjukkan bahwa jumlah rajungan jantan dan betina serta jumlah dan
berat gabungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap kali penangkapan
menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun, namun berat rajungan jantan dan
betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antar stasiun (Tabel 4).
antara 5 ekor hingga 14 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.44 kg hingga 1.23
kg, tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan September (Tabel 5).
200
Jantan Betina Gabungan
Jumlah (ekor)
150
100
50
0
20.000
15.000 Jantan Betina Gabungan
Berat (kg)
10.000
5.000
0.000
Gambar 5. Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
periode penangkapan
Rataan jumlah gabungan rajungan jantan dan betina pada setiap kali
penangkapan berdasarkan periode penangkapan berkisar antara 9 ekor hingga 31
ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.77 kg hingga 1.92 kg (Tabel 5). Hasil
analisis ragam menunjukkan jumlah dan berat rajungan jantan, betina dan gabungan
keduanya yang tertangkap pada setiap kali penangkapan sebagian besar menunjukkan
berbeda nyata (p<0.05) antar periode penangkapan, kecuali untuk berat rajungan
betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antar periode penangkapan (Tabel 5). Rataan
jumlah rajungan jantan dan betina serta gabungan keduanya pada setiap kali
penangkapan yang tertangkap pada bulan April, Mei, dan Januari ditemukan lebih
tinggi sedangkan yang tertangkap pada bulan September sampai bulan November
ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Rataan berat rajungan
jantan pada setiap kali penangkapan tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah
pada bulan September, sedangkan rataan berat rajungan betina serta gabungan jantan
dan betina yang tertangkap pada bulan Agustus dan September lebih rendah dari pada
yang tertangkap pada bulan lainnya sedangkan tertinggi ditemukan pada bulan Mei
(Tabel 5). Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap kali
penangkapan sangat bervariasi, hal ini terlihat dari simpangan bakunya mendekati
bahkan melebihi nilai rataan jumlah rajungan yang tertangkap setiap periode
penangkapan (Tabel 5).
Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur dan barat
masing-masing 52 ekor dan 49 ekor dengan rataan berat 4.54 kg dan 4.72 kg (Tabel
5). Rataan jumlah rajungan betina yang tertangkap pada musim timur 49 ekor dengan
20
rataan berat 4.05 kg sedangkan pada musim barat 47 ekor dengan rataan berat 4.81
kg. Rataan jumlah gabungan rajungan yang tertangkap pada musim timur cenderung
lebih tinggi dari pada musim barat, namun rataan beratnya yang tertangkap pada
musim barat lebih berat dari pada musim timur (Tabel 5). Berdasarkan uji t dengan
ragam tidak sama menunjukkan bahwa jumlah dan berat rajungan jantan dan betina
serta gabungan kedua jenis rajungan menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 5).
Tabel 5. Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap
kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan dan musim
Jantan Betina Gabungan
Waktu
Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat
April 10+ 5ab 0.82+0.29a 9+6ab 0.70+0.55a 19 +10ab 1.52+0.77ab
Mei 17+8a 1.40+0.73a 14+8a 1.23+0.58a 31+15a 2.63+1.18a
Juni 9 + 4ab 0.83+0.30ab 9 +2ab 0.75+0.34a 18+5ab 1.58+0.56ab
Juli 7 + 5abc 0.58+0,50ab 7+ 3 ab
0.56+0.25a 14+4 ab
1.14+0.50ab
Agustus 6 + 3abc 0.48+0.27ab 6 + 3ab 0.44+0.19a 11 +5ab 0.93+0.26ab
September 4 +5c 0.34+0.37b 5+ 6b 0.44+0.37a 9+11b 0.77+0.73b
Oktober 5+ 4bc 0.62+043ab 6+7b 0.67+0.93a 11 +11b 1.29+1.36ab
November 4 + 4bc 0.37+0.41ab 6+6 b
0.74+0.86a 10 +7b 1.11+0.96b
Desember 8+6abc 0.76+0.63ab 7+ 4ab 0.66+0.41a 14+8ab 1.42+0.88ab
Januari 11+10ab 1.06+0.85a 9 +7ab 0.86+0.64a 21 +16ab 1.92+1.18ab
Februari 7+6abc 0.57+0.37ab 7 + 4ab 0.57+0.24a 14 + 10ab 1.13+0.53ab
Maret 7 + 4bc 0.58+0.34ab 6+4 ab
0.62+0.60a 13 +8ab 1.20+0.89ab
Musim timur 52 + 28a 4.54+2.37a 49 + 21a 4.05+1.86a 101+49a 8.45+4.17a
Musim barat 49+18a 4.72+1.6a 47 + 9a 4.81+0.73a 96+27a 9.42+2.14a
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 6. Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko periode
bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014
Hasil tangkapan Hasil tangkapan setiap hari (kg)
Bulan
setiap bulan ( kg) Rataan Tertinggi Terendah
bc
Mei 2013 6584.5 212.4 354.3 126
a
Juni 2013 7976.4 265.9 573.3 136.7
a
Juli 2013 8445.8 272.5 366.8 172.3
Agustus 2013*) 3429.3 174.75c 231.4 63.9
d
September 2013 3893.0 129.8 201.7 91.2
e
Oktober 2013 2922.4 94.3 153.9 0
d
November 2013 4010.7 133.7 190.1 83.1
Desember 2013 6014.4 203.7bc 306.3 114
bc
Januari 2014 5835.4 194.4 270.6 136.3
b
Februari 2014 6214.8 222.0 297.5 171.5
bc
Maret 2014 5994.7 193.4 244.4 128.5
April 2014 5605.2 186.8c 340.8 10.6
a a
Musim timur 5989.0 + 2070.4 206.5+55.5 573.3 10.6
a a
Musim barat 5165.4 + 1365.5 194.4+54.8 306.3 0
Total 66926.6 M. timur 35934.2 M. barat 30992.4
Data diolah dari catatan harian tiga pengolah daging rajungan (Halik, Alimu dan La Hera 2014) di
Teluk Lasongko; Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (p>0.05).; *) kegiatan penangkapan rajungan hanya 19 hari.
Hasil tangkapan rajungan harian di Teluk Lasongko selama bulan Mei 2013
sampai April 2014 berkisar antara 10.6 kg hingga 573.3 kg dengan rataan berkisar
antara 94.3 kg hingga 272.5 kg, tertinggi ditemukan pada bulan Juli dan terendah
pada bulan Oktober. Hasil analisis ANOVA menunjukkan hasil tangkapan harian
rajungan di perairan ini berbeda nyata (p<0.05) antar periode bulan. Hasil uji Tukey
menunjukkan hasil tangkapan rajungan harian pada bulan Juni dan Juli adalah sama,
dan keduanya berbeda nyata (p<0.05) dengan hasil tangkapan rajungan harian pada
sepuluh bulan lainnya. Hasil tangkapan rajungan pada bulan Oktober berbeda nyata
(p<0.05) dengan kesebelas bulan lainnya. Hasil tangkapan rajungan harian pada bulan
Mei dan Desember, serta pada bulan Januari dan Maret tidak berbeda nyata
(p>0.05), namun berbeda nyata (p<0.05) dengan hasil tangkapan harian pada bulan
September dan bulan November (Tabel 6).
Tabel 7. Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel karakteristik
habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3)
Hasil PCA Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) Sumbu 1 (F3)
Akar ciri 0.421 3.100 1.672
Proporsi kontribusi 0.554 0.182 0.098
Kontribusi kumulatif 0.554 0.737 0.835
Pada Gambar 6 terlihat bahwa stasiun 1, 2 dan 3 dicirikan oleh pasir sangat
kasar, pasir kasar, kekeruhan dan oksigen terlarut, stasiun 4 dan 5 dicirikan oleh pasir
halus, pasir sedang dan pasir sangat halus, dan kepadatan lamun. Stasiun 6 dicirikan
oleh TSS dan kecepatan arus, dan stasiun 7 dicirikan oleh kecerahan, kedalaman, liat
dan lempung (Gambar 6). Variabel-variabel penciri tersebut merupakan variabel
penciri karakteristik habitat yang berperan menentukan keberadaan dan distribusi
populasi rajungan pada setiap stasiun. Suhu air, salinitas dan pH bukan merupakan
penciri pada salah satu stasiun atau kelompok stasiun, karena penyebarannya antar
stasiun ditemukan relatif sama.
Gambar 6. Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada sumbu
1 dan 2 (F1 dan F2)
Hasil analisis korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah rajungan yang
tertangkap pada setiap periode penangkapan diperoleh nilai koefisien korelasi setiap
variabel kualitas air relatif kecil dan sebagian besar bersifat negatif, kecuali suhu dan
kecepatan air bersifat positif. Hasil uji statistik menunjukkan hanya kekeruhan yang
tidak berkorelasi nyata (p>0.05) dengan jumlah rajungan jantan, betina dan gabungan
keduanya yang tertangkap di Teluk Lasongko (Tabel 8), demikian juga antara pH dan
23
jumlah rajungan jantan tertangkap di perairan ini tidak berkorelasi nyata (p>0.05).
Variabel kualitas air berkorelasi nyata (p<0.05) dengan jumlah populasi rajungan
yang tertangkap di perairan ini dengan koefisien korelasi relatif besar dan positif
adalah kecepatan arus (positif), serta salinitas dan kecerahan air, namun keduanya
berkorelasi negatif dengan jumlah popualsi rajungan yang tertangkap.
Tabel 8. Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi
rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko
Koefisien korelasi (r)
Kualitas air
Jantan Betina Gabungan
Suhu 0.231* 0.3166* 0.269*
Kedalaman air -0.340* -0.418* -0.375*
Kecerahan -0.420* -0.477* -0.447*
Kekeruhan -0.089 0.009 -0.049
TSS -0.273* -0.234* -0.259*
Kecepatan arus 0.512* 0.631* 0.566*
Oksigen terlarut -0.164* -0.153* -0.161*
Salinitas -0.586* -0.540* -0.573*
pH -0.088 -0.147* -0.113
*berkolerasi nyata (p<0.05).
Pembahasan
Karakteristik Habitat
Habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko terdiri dari berbagai fraksi
sedimen, yaitu mulai PSK sampai Li. Rajungan di perairan ini umumnya banyak
ditemukan pada tipe substrat pasir, kecuali pada stasiun atau tipe habitat yang berada
pada lokasi yang lebih dalam bertipe substrat pasir berlempung, lempung liat berpasir
dan lempung. Kondisi fraksi sedimen dan tipe substrat habitat rajungan yang
ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Brebes
(Sunarto 2012). Sebaliknya, habitat rajungan di Perairan Pati yang terletak jauh dari
pantai terdiri dari tipe substrat pasir berlempung, sedangkan yang dekat dengan pantai
dan bagian tengah dengan tipe substrat lempung dan lempung berpasir (Ernawati
2013). Rajungan pada beberapa penelitian yang lain ditemukan pada tipe substrat
lempung, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003;
Dineshbabu et al. 2008; Huang et al. 2011). Rajungan lebih menyukai tipe substrat
pasir dan pasir berlempung (Kangas 2000; Kurnia et al. 2014) dan hal ini identik
dengan tipe substrat yang dominan ditemukan pada penelitian ini. Rajungan pada
penelitian ini banyak ditemukan tertangkap pada lokasi yang lebih dangkal dengan
tipe subsrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat, dan ini identik dengan yang
ditemukan di Perairan Brebes (Sunarto, 2012). Distribusi ukuran rajungan di Perairan
Brebes tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012) dan hasil tangkapan
rajungan tidak dipengaruhi oleh tipe substrat (Ernawati 2013).
24
optimum. Rajungan betina dengan telur yang telah dibuahi umumnya bermigrasi ke
perairan yang lebih dalam dengan kondisi air jernih dan kadar oksigen dan salinitas
tinggi untuk mendukung perkembangan larva mereka (Sumpton et al. 1994; Kangas
2000). Kecepatan arus di Teluk Lasongko sangat dipengaruhi oleh pasang surut, dan
kecepatan arus tertinggi ditemukan ketika permulaan pasang atau surut.
Kekeruhan dan TSS habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan secara
spasial dan temporal cukup bervariasi. Kekeruhan dan TSS pada stasiun 3 dan 4
lebih rendah dari stasiun lainnya, karena kedua stasiun tersebut ditumbuhi padang
lamun yang lebih padat sehingga substratnya lebih stabil dan tidak mudah teraduk
oleh gelombang. Padang lamun antara lain berfungsi menstabilkan substrat dan
menurunkan kekeruhan air di sekitarnya (Azkab 1996; Larkum et al. 2006).
Kekeruhan dan kadar TSS habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim barat
lebih tinggi dari pada musim timur. Hal ini disebabkan intensitas turun hujan pada
musim barat lebih tinggi dari pada musim timur sehingga sedimen atau partikel yang
terbawa aliran air hujan yang masuk ke perairan ini ketika musim barat lebih tinggi
dari pada musim timur. Perairan Teluk Lasongko lebih dipengaruhi oleh angin barat
dari pada angin timur, dan selama terjadi angin barat akan menghasilkan gelombang
lebih tinggi dari pada musim timur sehingga substrat perairan teraduk secara intensif
pada musim barat dan menyebabkan kadar TSS dan kekeruhan air meningkat.
Salinitas habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan secara spasial dan
temporal umumnya dengan variasi relatif kecil, kecuali pada bulan Juli, Agustus dan
Oktober. Salinitas pada bulan Juli (16 ppt), Agustus (19 ppt) dan Oktober (25 ppt)
dan ketiganya ditemukan pada stasiun 1 dekat mangrove. Pada saat pengukuran
salinitas di lokasi tersebut, kondisi laut dalam keadaan surut dengan kedalaman air
berkisar antara 35 cm hingga 50 cm sehingga masuknya air tawar yang berasal dari
kali kecil di sekitar lokasi ini lebih dominan untuk menurunkan salinitas. Salinitas
habitat rajungan yang ditemukan pada sebagian besar stasiun dan pada periode
pengukuran > 30 ppt, kecuali pada stasiun 1 < 30 ppt. Salinitas habitat rajungan pada
stasiun 1 berkisar antara 16 ppt hingga 33 ppt dengan rataan 29.5 ppt. Salinitas yang
ditemukan pada setiap stasiun pada bulan September sebesar 34 ppt. Rataan salinitas
habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran salinitas
habitat rajungan yang ditemukan pada beberapa perairan (Tabel 9) dan masih dalam
kisaran optimum bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Rataan salinitas habitat
rajungan ditemukan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari yang ditemukan di Perairan
Cirebon (Sumiono 2010), Brebes (Sunarto 2012) dan Pati (Ernawati 2013). Rajungan
lebih menyukai hidup pada kisaran salinitas yang lebih tinggi, yaitu 30-40 ppt (Potter
et al. 1983; Romano dan Zeng 2006), serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup
larva (zoea) rajungan yang optimum membutuhkan salinitas berkisar antara 27 ppt
hingga 30 ppt (Juwana 2006). Rajungan jarang ditemukan pada salinitas yang rendah,
yaitu < 10 ppt (Kurnia et al. 2014).
Nilai pH air habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar antara 7.45
hingga 8.74 (Lampiran 1). Nilai pH air habitat rajungan ditemukan cenderung
meningkat dari awal sampai akhir penelitian, dan secara spasial dan temporal
bervariasi lebih kecil dibandingkan dengan variabel kualitas air lainnya (Tabel 3 dan
26
Gambar 3). Nilai pH air < 8 hanya ditemukan pada stasiun 1 pada bulan Juni,
sebaliknya pada stasiun lainnya >8. Rataan pH habitat rajungan di Teluk Lasongko
selama bulan Oktober dan November 2006 sebesar 8.0 (Hamid 2011). Rataan pH air
yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dari pada di Perairan Cirebon, yaitu
berkisar antara 8.0 hingga 8.81 (Sumiono 2010), namun lebih tinggi dari yang
ditemukan di Perairan Brebes, yaitu berkisar antara 5.2 hingga 7.1 (Sunarto 2012).
Simpulan
1. Karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi dilihat dari tipe
substrat, kepadatan lamun dan kualitas air, serta didominasi oleh tipe substrat
pasir dan kualitas air berada kisaran yang optimum untuk kehidupan dan
pertumbuhan rajungan,
2. Distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi baik secara spasial
maupun temporal, dan
3. Kondisi substrat, padang lamun dan sebagian besar variabel kualitas air
menentukan distribusi spasial populasi rajungan di perairan ini.
29
Pendahuluan
Karakteristik morfometrik merupakan salah satu informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian populasi rajungan, khususnya untuk mendukung kajian genetik dan
lingkungan dalam mengidentifikasi stok rajungan (Jossilen 2011). Karakteristik
morfometrik kelompok kepiting (Portunidae) dapat digunakan untuk membandingkan
stok populasi yang berbeda pada spesies yang sama dimana lokasi geografi
perairannya berbeda (Atar dan Secer 2003; Josileen 2011). Karakteristik morfometrik
jantan yang biasa digunakan untuk membandingkan populasi rajungan antar perairan
meliputi lebar/panjang karapas dan panjang/tinggi propodus capit, sedangkan untuk
rajungan betina terdiri atas lebar/panjang karapas dan lebar/panjang abdomen
(Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Josileen 2011).
Rajungan yang telah dan belum dewasa biasanya menunjukkan adanya
perubahan karakteristik morfometrik dan perbedaan pertumbuhan relatif (Sukumaran
dan Neelakantan 1996a; de Lestang et al. 2003). Informasi tersebut berguna untuk
menilai sejarah hidup, pengembangan perikanan, dan pengelolaan sumber daya
rajungan (Jossilen 2011). Pertumbuhan rajungan sering dilihat dari beberapa
perubahan dimensi tubuh antara satu bagian dengan bagian tubuh lainnya, dan
biasanya dikenal dengan pertumbuhan relatif (Hartnoll 1978; Sukumaran dan
Neelakantan 1996a; Josileen 2011). Pertumbuhan relatif kelompok kepiting biasanya
dilihat dari perubahan beberapa karakter morfometrik, seperti perubahan bentuk dan
ukuran abdomen, pleopod, dan capit selama ontogeni (Sukumaran dan Neelakantan
1996a; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011; Araujo et al. 2012). Pertumbuhan relatif
didasarkan pada hubungan antara dua variabel karakter morfometrik. Salah satu
variabel karakter morfometrik tersebut merupakan variabel bebas dan variabel
karakter morfometrik lainnya bersifat relatif atau merupakan variabel terikat
(Hartnoll 1978; Araújo et al. 2012). Kedua variabel tersebut biasanya dinyatakan
dalam fungsi power atau fungsi linear (Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Jazayeri
et al. 2011; Josileen 2011; Araujo et al. 2012).
Hubungan panjang-berat dapat dikonversi dari persamaan pertumbuhan panjang
menjadi pertumbuhan berat dan dapat digunakan dalam model pendugaan stok
(Josileen 2011). Informasi hubungan panjang/lebar-berat tubuh individu dalam
populasi berguna untuk menduga ukuran populasi suatu stok, khususnya untuk
kebutuhan eksploitasi (Sukumaran dan Neelakantan 1997; Atar dan Secer 2003;
Josileen 2011). Hubungan panjang/lebar-berat dianggap lebih cocok untuk
mengevaluasi populasi (Atar dan Secer 2003; Josileen 2011).
Distribusi ukuran rajungan bervariasi antar jenis kelamin dan antar lokasi
perairan, serta juga bervarasi pada lokasi perairan yang sama. Rajungan di Perairan
Brebes terindikasi tidak berasal dari kohor yang sama karena variasi ukurannya lebar
(Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Distribusi ukuran rajungan yang tertangkap di
30
Perairan Brebes dan Pati berfluktuasi tiap bulan (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012;
Ernawati 2013). Kedalaman perairan juga dapat mempengaruhi distribusi ukuran
rajungan (Chande dan Mgaya 2003; Poter et al. 2001; Ernawati 2013).
Karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran rajungan di
Teluk Lasongko sampai saat ini belum pernah dikaji, oleh karena itu tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis aspek (1) karakteristik morfometrik, (2) distribusi
frekuensi kelas ukuran lebar karapas, serta (3) hubungan dan tipe pertumbuhan relatif
antar karakter morfometrik rajungan di Teluk Lasongko.
Metode Penelitian
Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh rajungan dilakukan pada tujuh stasiun dengan letak stasiun
mulai dari bagian kepala teluk sampai mulut teluk. Stasiun 1 sampai stasiun 5 terdiri
atas tiga sub stasiun, sedangkan pada stasiun 6 dan 7 hanya terdiri dari dua sub
stasiun. Setiap sub stasiun pada stasiun 1 sampai stasiun 5 memiliki karakteristik tipe
habitat berbeda. Karakteristik setiap stasiun dan tipe habitat tersebut secara rinci
telah diuraikan pada Bab 2 bagian penentuan stasiun.
Contoh rajungan ditangkap dengan menggunakan gillnet dasar dengan tiga
ukuran mata jaring, yaitu 1.5, 2.5 dan 3.5 inci supaya dapat menangkap berbagai
ukuran rajungan. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi
satu unit gillnet penangkap rajungan dengan tinggi sekitar 75 cm. Selang waktu
pengambilan contoh rajungan pada setiap stasiun selama satu bulan, sehingga total
jumlah pengambilan contoh untuk setiap stasiun sebanyak 12 kali. Jumlah gillnet
yang dipasang pada setiap tipe habitat sebanyak dua unit dan diletakkan sejajar
dengan garis pantai untuk stasiun 1 sampai 5, sedangkan pada stasiun 6 dan 7
memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari (sekitar pukul 16.30 sampai pukul
17.30 WITA) dan diangkat kembali mulai pukul 06.30 sampai pukul 09.00 WITA.
Pengukuran Morfometrik
Hasil tangkapan rajungan pada setiap periode pengambilan contoh di setiap
stasiun pertama dipisahkan antara jantan dan betina, kemudian spesimen rajungan
diukur morfometriknya. Morfometrik rajungan jantan dan betina yang diukur
meliputi lebar karapas (LK), panjang karapas (PK), panjang propodus capit (PC),
tinggi propodus capit (TC), panjang abdomen (PA), lebar abdomen (LA). Prosedur
pengukuran setiap variabel morfometrik tersebut berdasarkan pada Sukumaran (1995)
dan Josileen (2011) (Gambar 7) dengan menggunakan jangka sorong atau kaliper
(Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05). Morfometrik capit yang diukur adalah bagian
kanan. Berat tubuh (BT) rajungan ditimbang dengan timbangan digital (Xon Med
Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 gram. Lebar karapas diukur dari duri lateral
terpanjang dari kedua sisi tubuh rajungan, sedangkan panjang karapas rajungan
diukur dari letak mata (anterior) sampai ke letak abdomen (posterior).
31
Analisis Data
Karakteristik morfometrik dan distribusi kelas ukuran rajungan dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, spasial (stasiun), dan temporal (periode penangkapan dan
musim). Data karakteristik morfometrik rajungan dianalisis dengan analisis ragam
(ANOVA) satu arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf
nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Setiap data karakteristik morfometrik rajungan
diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel
dan Torrie 1992). Jika hasil uji tersebut berbeda nyata, data karakteristik morfometrik
rajungan ditransformasi ke log 10, kemudian dilakukan uji ANOVA. Data distribusi
kelas ukuran rajungan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel
dan grafik.
Hubungan antar karakter morfometrik dianalisis berdasarkan total jumlah
contoh dan juga berdasarkan juvenil dan dewasa untuk kedua jenis kelamin rajungan
dengan persamaan seperti telah dijelaskan di atas. Analisis kovarian (ANCOVA)
33
dilakukan untuk menguji nilai koefisien regresi (b) dan intersep (a) setiap hubungan
antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina (Steel dan Torrie 1992). Tipe
pertumbuhan relatif setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan ditentukan
berdasarkan nilai b setelah dilakukan uji b dengan uji t pada taraf nyata 0.05 (Steel
dan Torrie 1992). Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan
dihipotesiskan (Ho) b=3, sedangkan pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik
lainnya dihipotesiskan b=1. Berdasarkan kedua hipotesis tersebut, tipe pertumbuhan
relatif antar karakter morfometrik rajungan sebagai berikut :
(i) Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan dengan tipe
isometrik, jika nilai b= 3, allometrik negatif jika b<3, dan allometrik positif
jika b>3 (Hartnoll 1978; Sukuraman 1995; Josileen 2011).
(ii) Pertumbuhan antar variabel karakter morfometrik bertipe isometrik jika nilai
b=1, allometrik negatif jika b <1, dan allometrik positif jika b >1 (Hartnoll
1978; Sukuraman 1995; Arujo et al. 2012).
Dalam proses setiap analisis data karakteristik morfometrik rajungan tersebut
digunakan Minitab versi 15 dan Microsoft Excel 2007.
Hasil
antara 6.20 mm hingga 26.60 mm dengan rataan berkisar antara 14.16 mm hingga
18.87 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan panjang dan tinggi propodus capit
rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun (Tabel 11).
Tabel 11. Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan
stasiun di Teluk Lasongko
Karakteristik morfometrik (g dan mm)
Stasiun Kelamin
Berat LK PK PC TC LA PA
72.90a 100.40a 46.3a 64.51a 14.65a 21.77a 32.08a
1 Jantan
+36.14 +15.24 +8.25 +16.47 +3.09 + 4.87 + 5.41
2 71.94a 99.66a 45.65a + 63.12a 14.32a 21.46a 30.99a
Jantan
+33.16 +13.61 6.48 + 3.29 +3.43 +4.91 +5.68
101.11b 113.26b 52.06c 75.42b 16.76b 24.50b 35.05b
3 Jantan
+31.91 +10.79 +5.44 +12.72 +2.85 +4.72 +4.98
4 Jantan 100.58b 112.63b 52.73b 75.85b 16.74b 24.93b 35.03b
+38.71 +11.42 +6.09 +13.28 +5.62 +5.78 +4.90
5 Jantan 99.71b 111.46b 51.21b 74.36b 16.51b 24.55b 35.04b
+38.81 +12.22 +6.13 +14.22 +2.94 + 4.65 +4.96
6 Jantan 103.71b 113.05bc 52.24b 74.58b 16.13b 24.79bc 34.70b
+42.35 +14.43 +7.00 +17.10 +3.25 +4.66 +5.71
7 Jantan 120.99c 119.60c 55.99c 84.16c 17.29b 27.54c 39.91c
43.90 +10.97 +5.59 +14.45 +2.69 +2.98 +4.57
1 Betina 66.45a 99.44a 44.95a 53.53a 14.65a 28.25a 31.71a
+30.65 +15.85 +7.01 + 0.20 +3.60 +6.81 +6.52
2 62.16a 96.53a 44.10a 52.87a 14.16a 26.99a 30.91a
Betina
+23.08 +13.37 +7.63 +9.18 +3.60 +6.58 + 6.40
3 Betina 116.33cd 116.60bc 54.90b 66.90c 19.23b 37.18bc 38.68bc
+46.18 +14.57 +7.35 +10.16 +3.65 +6.71 +6.14
4 Betina 122.57de 119.07c 55.67c 66.74c 18.34b 37.72c 39.94c
+46.75 +14.33 +7.18 +10.47 +3.83 +6.90 +7.47
5 Betina 96.31b 111.99b 51.95b 62.33b 17.55b 34.98b 37.21b
+36.54 +14.17 +6.76 +8.77 +3.33 +7.14 +6.79
6 Betina 107.46cd 115.74bc 54.88c 64.21bc 17.68b 36.62bc 38.38bc
+33.49 +11.87 +6.77 +8.04 +3.47 +5.43 +5.58
135.32e 125.46d 58.99d 71.43d 18.87b 41.69d 45.53d
7 Betina
+43.46 +11.57 +5.78 +7.91 +3.41 +5.03 +5.42
Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(p>0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus
capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.
Lebar abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar
antara 6.00 mm hingga 36.30 m dengan rataan berkisar antara 21.46 mm hingga 27.54
mm, sedangkan lebar abdomen rajungan betina berkisar antara 12.20 mm hingga
54.30 mm dengan rataan berkisar antara 26.99 mm hingga 41.69 mm. Panjang
abdomen rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar antara 5.20 mm hingga 51.20
mm dengan rataan berkisar antara 30.99 mm hingga 39.91 mm, dan panjang abdomen
rajungan betina berkisar antara 16.40 mm hingga 59.00 mm dengan rataan berkisar
35
antara 30.91 mm hingga 45.53 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan lebar dan
panjang abdomen rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun.
Secara umum, karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan
stasiun seperti tertera pada Tabel 11 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu (1) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2
tergolong berukuran kecil, (2) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap
pada stasiun 3, 4, 5 dan 6 tergolong berukuran sedang, dan (3) karakteristik
morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 7 tergolong berukuran besar.
90 90
50 50
90 A 90
B
Morfometrik (mm)
Morfometrik (mm)
70 70
50 50
Morfometrik (mm)
30 30
20 20
Lebar abdomen Tinggi Propodus capit
10 Panjang abdomen 10 Lebar abdomen
Tinggi propodus capit Panjang abdomen
0 0
Gambar 8. Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan betina
(B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko
Panjang propodus capit rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode
penangkapan berkisar antara 24.70 mm hingga 126.20 mm dengan rataan berkisar
antara 64.71 mm hingga 83.30 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 26.70
mm hingga 95.90 mm dengan rataan berkisar antara 64.71 mm hingga 83.30 mm.
Tinggi propodus capit rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar
antara 8.40 mm hingga 24.30 mm dengan rataan berkisar antara 13.10 mm hingga
17.21 mm, sedangkan untuk rajungan betina berkisar antara 8.30 mm hingga 28.10
mm dengan rataan berkisar antara 13.18 mm hingga 19.36 mm (Gambar 8, Lampiran
2 dan 3. Panjang dan tinggi propodus capit rajungan jantan terbesar yang tertangkap
pada musim barat, keduanya tertangkap pada bulan Desember, sedangkan terkecil
37
yang tertangkap pada musim timur, yaitu masing masing tertangkap pada bulan Juli
dan April. Rataan panjang propodus capit rajungan jantan yang tertangkap pada
musim timur sekitar 68.70 mm sedangkan pada musim barat sekitar 72.59 mm.
Rataan tinggi propodus capit rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim
timur masing-masing sekitar 15.20 mm dan 16.07 mm. Rataan panjang dan tinggi
propodus capit rajungan betina yang tertangkap pada musim barat masing-masing
63.90 mm dan 17.58 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim timur masing-
masing sebesar 59.21 mm dan 16.23 mm (Tabel 12).
Tabel 12. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan musim di
Teluk Lasongko
Karakteristik morfometrik ( g dan mm)
Musim Kelamin
Berat LK PK PC TC LA PA
84.58b 105.53b 48.53b 68.70b 15.20b 22.26b 31.69b
Timur Jantan
+ 33.33 +13.66 +6.91 +14.19 +3.47 +5.68 +5.21
94.93a 109.27a 50.70a 72.59a 16.07a 24.87a 36.07a
Timur Jantan
+ 42.04 + 15.79 +7.98 +17.14 +3.17 +4.08 +5.54
88.64b 106.68b 49.87b 59.21b 16.23b 32.13b 33.62b
Timur Betina
+ 41.20 + 16.41 +8.88 +10.94 +4.26 +7.94 +6.80
107.01a 114.88 a
53.06 a
63.90 a
17.58 a
36.07a 40.25a
Barat Betina
+ 49.26 + 17.22 +8.73 +11.77 +3.78 +8.15 +7.76
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05). ;
LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.; LA
lebar abdomen.; PA panjang abdomen.
Lebar abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan
berkisar antara 11.80 mm hingga 36.30 mm dengan rataan berkisar antara 13.73 mm
hingga 27.47 mm sedangkan rajungan betina berkisar antara13.30 mm hingga 55.10
mm dengan rataan berkisar antara 27.84 mm hingga 39.92 mm. Panjang abdomen
rajungan jantan pada setiap periode penangkapan berkisar antara 20.80 mm hingga
51.20 mm dengan rataan berkisar antara 28.33 mm hingga 36.61 mm sedangkan
rajungan betina berkisar antara 16.40 mm hingga 59.00 mm dengan rataan berkisar
antara 28.33 mm hingga 43.64 mm (Lampiran 1 dan 2). Rataan panjang dan tinggi
abdomen rajungan jantan terbesar keduanya tertangkap pada bulan Oktober
sedangkan terkecil tertangkap pada bulan April (Gambar 8). Panjang dan tinggi
abdomen rajungan jantan terbesar ditemukan pada musim barat, yaitu keduanya
tertangkap pada bulan Desember, sedangkan terkecil tertangkap pada musim timur,
yaitu masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan April. Rataan lebar dan panjang
abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur masing-masing sebesar
22.26 mm dan 31.69 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim barat masing-
masing 24.87 mm dan 36.07 mm. Rataan lebar dan panjang abdomen rajungan betina
yang tertangkap pada musim timur masing-masing sebesar 32.13 mm dan 33.62 mm,
sedangkan yang tertangkap pada musim barat masing-masing sebesar 36.07 mm dan
40.25 mm (Tabel 12).
Hasil analisis ANOVA menunjukkan ukuran setiap karakteristik morfometrik
rajungan jantan dan betina yang diuraikan di atas berbeda nyata (p<0.05) antar
periode penangkapan (Lampiran 2 dan 3). Ukuran karakteristik morfometrik rajungan
38
jantan terbesar umumnya tertangkap pada bulan Desember, dan rajungan betina
tertangkap pada bulan Mei, kecuali lebar abdomen rajungan jantan terbesar
tertangkap pada bulan Juni, dan tinggi abdomen rajungan betina terbesar tertangkap
pada bulan Januari (Lampiran 2 dan 3). Ukuran karakteristik morfometrik rajungan
jantan dan betina terkecil masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan bulan
Agustus (Lampiran 2 dan 3). Secara umum, rataan ukuran setiap karakteristik
morfomotrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap dari awal sampai akhir
penelitian terlihat cenderung meningkat (Gambar 8). Hasil uji t dengan asumsi ragam
tidak sama menunjukkan semua variabel karakteristik morfometrik rajungan jantan
dan betina seperti diuraikan di atas berbeda sangat nyata (p<0.001) antara musim
timur dan barat. Berdasarkan uraian sebelumnya dan hasil uji statistik tersebut dapat
dikatakan bahwa semua variabel karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina
yang tertangkap pada musim barat lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap
pada musim timur (Tabel 12).
Secara umum, karakteristik morfometrik rajungan jantan yang tertangkap pada
bulan Oktober sampai Desember tergolong berukuran besar, antara lain dicirikan oleh
ukuran rataan berat tubuh > 100 g dan rataan lebar karapas berkisar antara 109 mm
hingga 117 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juni, Agustus, dan
Januari tergolong berukuran sedang dengan rataan berat sekitar 90 g dan rataan lebar
karapas < 109 mm, sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April,
Mei, Juli, September, Februari dan Maret tergolong berukuran kecil dengan rataan
berat tubuh sekitar 80 g dan rataan lebar karapas berkisar 103 mm hingga < 107 mm.
Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret,
September dan Desember tergolong berukuran besar yang dicirikan oleh rataan berat
tubuh berkisar antara 101 g hingga 125 g, serta rataan lebar karapas berkisar antara
112 mm hingga 121 mm. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Februari,
Agustus, Juli, Mei dan Juni tergolong berukuran sedang dan memiliki rataan berat
tubuh berkisar antara 87 g hingga 91 g, dan lebar karapas berkisar antara 107 mm
hingga 109 mm, dan rajungan bertina yang tertangkap pada bulan April tergolong
berukuran kecil dengan rataan berat tubuh < 80 g dan ratan lebar karapas <100 mm.
40
Jumlah (ekor)
30 Stasiun 1 Jantan
20 Betina
10
Jumlah (ekor)
Jantan
Jumlah (ekor)
20 Betina 40
Betina
10 20
0 0
30 40
Stasiun 4 Jantan
Stasiun 5 30
Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)
20 Jantan Betina
Betina
20
10
10
0 0
40 40
30
Jumlah (ekor)
Jantan 30
Jumlah (ekor)
10 10
0 0
Nilai tengah lebar karapas (mm) Nilai tengah lebar karapas (mm)
Gambar 9. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko
Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 5 hanya sebanyak enam kelas
ukuran, yaitu dari 79.9-89.6 mm hingga 129.9-139.8 mm, sedangkan betina
sebanyak delapan kelas ukuran sama dengan jumlah kelas ukuran rajungan jantan
yang tertangkap pada stasiun 6, yaitu mulai dari 69.9-79.8 mm hingga 139.9-149.8
mm. Kelas ukuran rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 6 juga sebanyak
delapan kelas ukuran, namun kisaran kelas ukuran rajungan jantan lebih kecil dari
pada rajungan betina (mulai dari 79.9-89.6 mm hingga 149.9-159.8 mm). Rajungan
jantan dan betina yang tertangkap pada stasiun 3,4,5 dan 6 didominasi oleh tiga kelas
ukuran, yaitu kelas ukuran 99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 mm dan 109.9-119.8 mm
(Gambar 9).
40
Jumlah kelas ukuran rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 7 lebih
banyak dari pada rajungan jantan. Jumlah kelas ukuran rajungan jantan yang
tertangkap pada stasiun ini hanya sebanyak enam kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-
99.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, serta didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu
109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm. Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun
7 terdistribusi pada delapan kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-99.8 mm hingga
159.9-169.8 mm, serta didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm,
119.9-129.8 mm dan 129.9-139.8 mm.
Secara umum, rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun selama
penelitian ini ditemukan terdistribusi pada 10 kelas ukuran sedangkan rajungan betina
tersebar pada 12 kelas ukuran, namun kedua jenis kelamin rajungan didominasi oleh
empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-99.8 hingga 119.9-129.8 mm.
20 30
Jumlah (ekor)
Betina 20 Betina
Jumlah (ekor) 10
10
0 0
40 15
Jantan November - 13
Jumlah (ekor)
30 Mei - 13 Betina
Jantan
10 Betina
Jumlah (ekor)
20
5
10
0 0
20 15
Jantan
Desember - 13
Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)
10
5
0 0
15 30
Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)
5 10
0 0
15 15
Februari -14
Jumlah (ekor)
Jantan
Jumlah (ekor)
5 5
0
0
15 20
Maret-14
Jumlah (ekor)
15
Jumlah (ekor)
10 September - 13 Jantan
Betina Jantan
10 Betina
5
5
0 0
Nilai tengah lebar karapas (mm) Nilai tengah lebar karapas (mm)
Gambar 10. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko
42
Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Desember dan Januari tersebar pada
delapan kelas ukuran yang sama, yaitu pada kelas ukuran dari 69.9-79.8 mm hingga
139.9-149.8 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Desember didominasi
oleh dua kelas ukuran (89.9-99.8 mm dan 119.9-129.8 mm) dan pada bulan Januari
ada tiga kelas ukuran (99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 dan 119.9-129.8 mm). Rajungan
betina yang tertangkap pada bulan Desember juga tersebar pada delapan kelas ukuran
sama dengan yang tertangkap pada bulan Februari. Rajungan betina yang tertangkap
pada bulan Desember hanya satu kelas ukuran yang dominan (119.9-129.8 mm),
sedangkan yang tertangkap pada bulan Februari didominasi oleh dua kelas ukuran,
yaitu 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm.
Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Februari tersebar pada sembilan
kelas ukuran, yaitu pada kelas ukuran dari 49.8-59.8 mm hingga129.9-139.8 mm, dan
yang tertangkap pada bulan Maret tersebar pada enam kelas ukuran. Rajungan jantan
yang tertangkap pada bulan Februari didominasi oleh dua kelas ukuran (89.9-99.8 mm
dan 99.9-109.8 mm) sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Maret
didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm dan 109.9-
119.8 mm. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada bulan Januari dan bulan
Maret tersebar pada sembilan kelas ukuran yang sama, yaitu, mulai dari kelas ukuran
lebar karapas 69.9-79.8 mm hingga 149.9-159.8 mm, dan didominasi oleh dua kelas
ukuran yang sama, yaitu, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm (Gambar 10).
Tabel 13. Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina
berdasarkan musim di Teluk Lasongko
Nilai Musim Timur (ekor) Musim Barat (ekor)
Kelas ukuran
tengah
(mm) Jantan Betina Jantan Betina
(mm)
49.8-59.8 54.80 2 2 1
59.9-69.8 64.85 1 3 2 1
69.9-79.8 74.85 5 6 7 8
79.9-89.8 84.85 23 32 26 25
89.9-99.8 94.85 77 61 41 32
99.9-109.8 104.85 79 79 59 47
109.9-119.8 114.85 72 86 76 71
119.9-129.8 124.85 43 42 56 86
129.9-139.8 134.85 11 14 22 41
139.9-149.8 144.85 5 2 12
149.9-159.8 154.85 1 3
159.9-169.8 164.85 2 1
Jumlah (ekor) 313 333 292 327
Rajungan jantan dan betina berukuran besar (nilai tengah >144.85 mm) demikian
juga berukuran kecil (nilai tengah < 74.85 mm) jarang tertangkap selama penelitian.
Rajungan jantan dengan nilai tengah lebar karapas 144.85 mm tidak tertangkap pada
musim timur, sedangkan pada musim barat hanya sebanyak 2 ekor, masing-masing
tertangkap pada bulan Desember dan Januari. Sebaliknya, jumlah rajungan betina
berukuran besar yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5
ekor, sedangkan yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 12
ekor. Rajungan betina terbesar (nilai tengah 164.85 mm) berjumlah 3 ekor, masing-
masing tertangkap pada bulan April, Mei dan November. Jumlah rajungan jantan
berukuran kecil yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5
ekor dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 7 ekor, sedangkan jumlah
rajungan betina berukuran kecil yang tertangkap musim timur berkisar antara 2 ekor
hingga 6 ekor, dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 8 ekor, namun
kelas ukuran 49.8-59.8 mm tidak tertangkap (Tabel 13).
Tabel 14. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b,
dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter morfometrik rajungan
jantan dan betina
Persamaan allometrik Ancova
Hubungan n linear (Y = a + bX) r Uji t b Al
a b
Jantan
LK - PC 579 PC = -36.546 + 0.999LK 0.934 -21.187** 62.748** 0.082tn 0
PK - PC 579 PC = -29.106 + 2.013PK 0.932 -17.819** 61.764** 31.061* +
PK - TC 578 TC = -1.550 + 0.346PK 0.744 -2.396** 25.203** 50.666* -
PC - TC 579 TC = 4.540 + 0.156PC 0.727 10.196** 26.781** 134.730* -
LK - PK 583 PK = -2.930 + 0.491LK 0.962 -3.433** 90.844** 101.823* -
Betina
LK - LA 655 LA = -15.997 + 0.452LK 0.947 -23.830** 75.556** 91.454* -
PK - LA 656 LA = -11.506 + 0.887PK 0.946 -18.655** 75.013** 3.245* -
LK - PA 656 PA = -10.447 + 0.428LK 0.923 -7.360** 61.179** 81.897* -
PK - PA 656 PA = -5.649 + 0.828PK 0.910 -13.336** 56.250** 11.697* -
LA - PA 655 PA = 6.397 + 0.895LA 0.923 12.519** 61.427** 7.222* -
**sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; + allometrik
positif .; - allometrik negatif.; n jumlah contoh rajungan.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC
panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen
Hubungan lebar/panjang-panjang/tinggi propodus capit jantan pada penelitian
ini diperoleh nilai b < 1, kecuali hubungan panjang karapas-panjang propodus capit
> 2. Hasil uji t terhadap nilai b hubungan antar karakter morfometrik tersebut
umumnya menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b = 1, kecuali hubungan
antara lebar karapas dengan panjang propodus capit rajungan jantan tidak berbeda
nyata (p>0.05) dengan b=1. Berdasarkan nilai b dan uji statistik tersebut,
menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang propodus
capit, panjang-tinggi propodus capit, dan lebar-panjang karapas rajungan jantan
bertipe allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang
propodus capit rajungan jantan allometrik positif, sedangkan tipe pertumbuhan relatif
lebar karapas-panjang propodus capit rajungan jantan isometrik (Tabel 14).
Nilai b hubungan lebar karapas-lebar abdomen rajungan betina yang tertangkap
di Teluk Lasongko lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-lebar
abdomen. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lebar abdomen terhadap panjang
karapas rajungan betina yang tertangkap di perairan ini lebih cepat dari pada
pertumbuhan lebar abdomen terhadap pertumbuhan lebar karapas rajungan betina.
Nilai b hubungan lebar karapas-panjang abdomen rajungan betina lebih kecil dari
pada nilai b hubungan panjang karapas-panjang abdomen rajungan betina (Tabel 14).
45
Gambar 11. Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina (B) di
Teluk Lasongko
46
Tabel 15. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji b, dan
tipe pertumbuhan relatif(Al) antar karakter morfometrik rajungan jantan
dan betina tahap juvenil dan dewasa
Persamaan allometrik Ancova
Hubungan Tahap r Uji t b Al
linear (Y = a + bX) a b
Jantan
Juvenil PC = -12.091+ 0.725LK 0.878 -3.703** 19.649** 0.692tn 0
LK-PC
Dewasa PC = -41.345+1.043LK 0.916 -15.662** 44.540** -0.095tn 0
Juvenil PC = -9.628+1.517PK 0.861 -2.838** 18.189** -0.578tn 0
PK-PC
Dewasa PC = -28.000+1.998PK 0.907 -11.214** 41.763** -3.049* +
Juvenil TC = -1.569+0.344PK 0.578 -0.852tn 7.596 ** 1.353* -
PK-TC
Dewasa TC = -0.307+ 0.324PK 0.679 -0.327tn 17.961** 2.089* -
Juvenil TC = 3.590+0.168PC 0.500 2.519** 6.198** 2.843* -
PC-TC
Dewasa TC = 5.816 +0.141PC 0.656 9.060** 16.905** 6.116* -
Betina
Juvenil LA = -6.804+0.338LK 0.740 -2.657** 11.540** 2.152* -
LK-LA
Dewasa LA =-11.959+0.421LK 0.929 -9.158** 38.785** 3.463* -
Juvenil LA =-5.780 + 0.716PK 0.782 -2.667** 13.177** 0.499tn 0
PK-LA
Dewasa LA =-6.304 + 0.802PK 0.932 -5.547** 39.684* 0.716 tn 0
Juvenil PA = 1.432 + 0.291LK 0.760 0.691nt 12.270** 2.850* -
LK-PA
Dewasa PA =-12.364+0.442LK 0.882 -6.729* 28.941** 2.372* -
Juvenil PA = 1.966 + 0.624PK 0.815 1.164nt 14.756** 0.846 tn 0
PK-PA
Dewasa PA = -4.412 + 0.805PK 0.843 -2.354** 24.181** 1.074tn 0
Juvenil PA = 13.260+ 0.596LA 0.711 10.290** 10.615** -20.830* -
LA-PA
Dewasa PA = 2.684 + 0.985LA 0.891 2.123** 30.265** -3.355* -
**sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05).; tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; + allometrik
positif.; - allometrik negatif.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.;
TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen
Nilai b hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap juvenil dan
dewasa, serta panjang karapas-panjang capit tahap juvenil propodus rajungan jantan
berdasarkan uji t tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=1. Walaupun hubungan
lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan hubungan panjang karapas-
panjang propodus capit rajungan jantan juvenil dengan nilai b > 1, namun
berdasarkan uji t tersebut, dan tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik
tersebut adalah isometrik. Hubungan panjang karapas-panjang propodus capit jantan
dewasa dengan nilai b>1, dan hasil uji t menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
dengan b =1, dan tipe pertumbuhannya allometrik positif. Sebaliknya, pertumbuhan
relatif panjang karapas-tinggi propodus capit dan panjang-tinggi propodus capit
rajungan jantan juvenil dan dewasa bertipe allometrik negatif (Tabel 15).
Hubungan lebar karapas-lebar/panjang abdomen, dan hubungan lebar abdomen-
panjang abdomen rajungan betina tahap juvenil dan dewasa dengan nilai b < 1 dan
hasil uji t berbeda nyata (p<0.05) dengan b=1. Berdasarkan nilai b dan uji t tersebut,
pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik tersebut bertipe allometrik negatif.
Nilai b hubungan panjang karapas-lebar/panjang abdomen rajungan betina tahap
juvenil dan dewasa dengan nilai b< 1, namun hasil uji t tidak berbeda nyata (p>0.05)
dengan b=1, sehingga pertumbuhannya bertipe isometrik (Tabel 15).
48
Gambar 12. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A) dan
betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko
49
Pembahasan
Karakteristik Morfometrik
Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap di
Teluk Lasongko secara spasial menunjukkan adanya variasi dan nilai yang tidak sama
antar stasiun, hal ini disebabkan oleh kondisi habitat (tipe substrat dan kepadatan
lamun) dan kualitas air antar stasiun juga bervariasi atau relatif tidak sama (Tabel 3).
Rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 mempunyai karakteristik morfometrik
lebih kecil dibandingkan dengan stasiun lainnya, sebaliknya rajungan yang tertangkap
pada stasiun 7 mempunyai karakteristik morfometrik lebih besar dari pada stasiun
lainnya. Habitat rajungan pada stasiun 1 dan 2 terdiri dari substrat yang didominasi
oleh fraksi sedimen pasir sangat kasar, kepadatan lamun yang relatif rendah,
kecepatan arus dan kekeruhan yang tinggi, serta kedalaman dan salinitas yang rendah.
Sebaliknya, habitat rajungan pada stasiun 7 terdiri dari substrat yang didominasi oleh
fraksi sedimen lempung dan liat, kedalaman dan salinitas yang tinggi serta kekeruhan
yang rendah. Karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada lokasi yang
dangkal dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan yang ditemukan pada lokasi yang dalam dengan tipe substrat
pasir berlempung dan tidak ditumbuhi lamun (berupa hamparan pasir). Karakteristik
morfometrik rajungan yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang
ditemukan di Perairan Pati, yaitu rajungan yang tertangkap di dekat pantai lebih kecil
dari pada yang tertangkap pada bagian tengah atau lokasi yang lebih dalam
(Ernawati 2013).
Berat tubuh, lebar karapas dan panjang karapas sebagai contoh variabel
karakter morfometrik rajungan. Berat rajungan jantan yang tertangkap di Teluk
Lasongko berkisar antara 6.06 g hingga 241.04 g dengan lebar karapas berkisar antara
49.80 mm hingga 147.70 mm dan panjang karapas berkisar antara 22.10 mm hingga
90.10 mm, sedangkan berat rajungan betina berkisar antara 62.16 g hingga 314.22 g
dengan lebar karapas berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm, dan panjang
karapas berkisar antara 25.40 mm hingga 78.30 mm. Ukuran karakter morfometrik
rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko masih dalam kisaran ukuran rajungan
yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia. Panjang karapas
rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Brebes berkisar antara 22 mm hingga 75
mm dengan berat tubuh berkisar antara 10.12 g hingga 234.13 g, sedangkan rajungan
betina berkisar antara 21 mm hingga 74 mm dengan berat tubuh berkisar antara 6.53 g
hingga 253.24 g (Sunarto et al. 2010 ; Sunarto 2012). Lebar karapas rajungan jantan
di Perairan Pati berkisar antara 58.0 mm hingga 176 mm, serta betina berkisar antara
60.1 mm hingga 189 mm (Ernawati 2013). Lebar karapas rajungan jantan dan betina
51
di Perairan Pangkep berkisar antara 45.5 mm hingga 177.5 mm (Ihsan et al. 2014)
dan lebar karapas rajungan jantan dan betina di Teluk PGN (Perusahaan Gas Negara),
Lampung Timur masing-masing berkisar antara 26.41 mm hingga 120.80 mm dan
antara 31.35 mm hingga 99.89 mm (Kurnia et al. 2014).
Karakteristik morfometrik rajungan betina yang ditemukan pada penelitian ini
cenderung lebih besar dari pada rajungan jantan, dan hal ini serupa dengan ditemukan
di Pantai Leyte dan Bohol, Filipina (Batoy et al. 1988). Ukuran rajungan jantan dan
betina ditemukan relatif sama seperti tertangkap di Perairan Brebes (Sunarto 2012)
dan Pati (Ernawati 2013).
Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko juga
ditemukan bervariasi secara temporal. Karakteristik morfometrik rajungan jantan
yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember tergolong berukuran besar,
sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan
Maret tergolong berukuran kecil. Karakteristik morfometrik rajungan betina yang
tertangkap pada bulan Februari, Agustus, Juli, Mei dan Juni tergolong berukuran
sedang. Adanya variasi karakteristik morfometrik rajungan tersebut diantaranya
berkaitan dengan adanya variasi kualitas air habitat rajungan secara temporal selama
penelitian di Teluk Lasongko. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina
yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Adanya variasi
karakteristik morfometrik rajungan secara temporal juga ditemukan di Perairan
Brebes (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013).
Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Perairan Pati pada bulan Januari dan
Februari tergolong berukuran kecil sedangkan tertangkap pada bulan September
hingga November tergolong berukuran besar dibandingkan dengan pada bulan
lainnya (Ernawati 2013).
penangkapan juga ditemukan di Perairan Brebes dan Pati (Sunarto 2012; Ernawati
2013). Adanya variasi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina tersebut
berkaitan dengan variasi kualitas air habitat secara temporal, khususnya suhu,
salinitas dan kecepatan arus, serta faktor-faktor lain yang belum diamati.
Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina pada
kelas ukuran yang sama yang tertangkap pada bulan Mei dan Januari umumnya lebih
tinggi dari pada yang tertangkap pada 10 bulan lainnya, karena jumlah rajungan
jantan dan betina yang tertangkap pada kedua bulan tersebut lebih banyak
dibandingkan dengan yang tertangkap pada 10 bulan lainnya (Gambar 10). Jumlah
rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei dan Januari masing-masing
sebanyak 100 ekor dan 80 ekor, serta keduanya tersebar pada delapan kelas ukuran
lebar. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Januari tersebar pada kelas
ukuran lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap pada bulan Mei. Nilai
tengah lebar karapas kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei
berkisar antara 54.8 mm hingga 134.85 mm, sedang yang tertangkap pada bulan
Januari berkisar antara 74.85 mm hingga 144.85 mm. Jumlah rajungan betina yang
tertangkap pada bulan Mei sebanyak 89 ekor dan tersebar pada semua kelas ukuran
lebar karapas (12 kelas ukuran), dan yang tertangkap pada bulan Januari sebanyak 76
ekor dan tersebar pada sembilan kelas ukuran lebar karapas, yaitu dengan nilai tengah
lebar karapas dari 74.85 mm hingga 154.85 mm (Gambar 10).
Distribusi kelas ukuran rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko pada
musim timur dan barat didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-
99.8 mm sampai 119.9-129.8 mm. Rajungan jantan dan betina berukuran besar (nilai
tengah >144.85 mm) demikian juga yang berukuran kecil (nilai tengah < 74.85 mm)
jarang tertangkap baik pada musim timur maupun pada musim barat. Rajungan
jantan dan betina di Perairan Brebes dengan panjang karapas masing-masing 52 mm
dan 50 mm banyak tertangkap pada bulan September, sedangkan rajungan jantan
dengan panjang karapas 6 mm tertangkap pada bulan Juli, demikian juga rajungan
betina dengan panjang karapas 22 mm banyak tertangkap pada bulan Februari
(Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Rajungan jantan dan betina berukuran besar di
Perairan Pati banyak tertangkap pada bulan September sampai bulan November,
sebaliknya yang berukuran kecil banyak tertangkap pada bulan Januari dan Februari
(Ernawati 2013).
Tabel 18. Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang karapas-berat
pada beberapa lokasi perairan
Lokasi Hubungan b r Al Sumber
Provinsi Trang, PK - BT Jantan 3.2192 0.938 0 Sawusdee dan
Thailand Selatan PK - BT Betina 3.1860 0.933 0 Songrak 2009
PK - BT Total 3.2024 0.935 0
Teluk Kung Krabaen, LK - BT Betina 2.9211 0.981 -
Thailand Kunsook 2011
LK - BT Betina 2.8944 0.967 -
PK - BT Jantan 3.0398 0.974 + Sunarto et al.
Perairan Brebes PK - BT Betina 2.8595 0.981 - 2010a; Sunarto
PK - BT Total 2.9407 0.977 - 2012
Perairan Pati LK - BT Jantan 3.342 0.957 +
Ernawati 2013
LK - BT Betina 3.259 0.948 +
Perairan Pangkep LK - BT Jantan 2.7542 0.860 -
Ihsan et al. 2014
LK - BT Betina 2.6508 0.817 -
LK - BT Jantan 3.052 0.942 0
PK - BT Jantan 2.820 0.925 -
Teluk Lasongko Penelitian ini
LK - BT Betina 2.921 0.916 0
PK - BT Betina 2.646 0.941 -
PK Panjang karapas.; LK Lebar karapas.; BT Berat tubuh.; 0 isometrik.; - allometrik negatif.;
+ allometrik positif
Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina pada
penelitian ini bertipe isometrik, sedangkan panjang karapas-berat tubuh bertipe
allometrik negatif. Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh di Perairan Brebes
untuk jantan bertipe allometrik positif dan betina betipe isometrik (Sunarto et al.
2010; Sunarto 2012). Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan
jantan dan betina juvenil dan dewasa di Teluk Lasongko keduanya bersifat isometrik
(Tabel 17).
Pertambahan berat rajungan jantan dan betina yang relatif besar terjadi pada
kisaran lebar karapas antara 70 mm hingga 80 mm diduga berdasarkan hubungan
lebar karapas-berat dengan persamaan power, sedangkan pertumbuhan rajungan
betina lebih besar dari pada rajungan jantan sampai lebar karapas rajungan betina
terbesar yang ditemukan pada penelitian ini (166.20 mm). Hal ini berbeda dengan
yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya (Sukumaran 1995; Josileen 2011).
Simpulan
1. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
bervariasi secara spasial dan temporal,
2. Ukuran rajungan betina di Teluk Lasongko lebih besar dari pada rajungan jantan,
56
Pendahuluan
Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks
kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan betina mengerami
telur (rajungan betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Rasio kelamin
berkaitan dengan kesuksesan perkawinan populasi rajungan dan dalam kondisi
normal atau tanpa tekanan penangkapan rasio kelamin jantan : betina sebesar 1: 1
(Jazayeri et al. 2011). Kajian tentang rasio kelamin rajungan telah dilakukan oleh
peneliti terdahulu (seperti Sukumaran dan Neelakantan 1997a; Poter dan Lestang
2000; Dineshbabu et al. 2008; Ikhwanuddin et al. 2009; Kamrani et al. 2010; Jazayeri
et al. 2011; Kunsook 2011; Hosseini et al. 2012; Kembaren et al. 2012), dan
hasilnya menunjukkan adanya suatu variasi antar lokasi perairan. Perubahan rasio
jenis kelamin terhadap ukuran rajungan tidak memperlihatkan pola yang jelas, namun
demikian rasio kelamin bervariasi dalam kelompok ukuran berbeda pada berbagai
jenis alat tangkap di Pantai Karnataka, India (Sukumaran dan Neelakantan 1997a) dan
beberapa perairan di Australia (Potter dan de Lestang 2000; Potter et al. 2001).
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan aspek penting dalam biologi
reproduksi rajungan (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2012a). Perkembangan
TKG rajungan dapat diamati dengan dua metode, yaitu secara kasar (makroskopis,
yaitu dilihat dari perubahan morfologi dan warna gonad) dan secara histologis atau
mikroskopis (Sumpton et al. 1994; Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan
1998; de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010; Ikhawanuddin et al. 2012a).
Perkembangan TKG rajungan betina secara makroskopis ditentukan berdasarkan
perubahan warna dan morfologi atau ukuran ovarium, dan pada rajungan jantan
didasarkan pada perubahan ketebalan dan warna vas deferens, (de Lestang et al.
2003; Kamrani et al. 2010; Ikhawanuddin et al. 2012a). Perkembangan gonad
rajungan dipengaruhi oleh suhu air dan nilai indeks kematangan gonad (IKG) sangat
bervariasi dari waktu ke waktu bergantung pada perkembangan ovarium (de Lestang
et al. 2003; Kamrani et al. 2010). Umumnya, kajian TKG rajungan lebih banyak
difokuskan pada betina dibandingkan dengan jantan, termasuk di perairan Indonesia.
Ukuran pertama matang kelamin merupakan informasi yang dibutuhkan dalam
penentuan ukuran terkecil yang boleh ditangkap, sehingga informasi ini dibutuhkan
dalam pengelolaan rajungan (Kamrani et al. 2010; Rasheed dan Mustaquim 2010).
Ukuran pertama matang kelamin umumnya ditentukan berdasarkan pada dua kriteria,
yaitu secara fisiologi dan morfologi (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan
1996a, 1998; de Lestang et al. 2003; Rasheed dan Mustaquim 2010). Rajungan
matang secara fisiologi ditentukan berdasarkan perkembangan tingkat kematangan
gonad rajungan jantan dan betina (Rasheed dan Mustaquim 2010) dan kriteria ini
telah banyak digunakan dalam penelitian penentuan ukuran pertama matang kelamin
rajungan. Ukuran terkecil dari rajungan mengerami telur (betina ovigerous) juga
dapat digunakan sebagai kriteria ukuran pertama matang kelamin (Sukumaran 1995;
Rasheed dan Mustaquim 2010; Liu et al. 2014).
58
Metode Penelitian
Rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan tipe habitat untuk setiap
periode penangkapan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan betina ovigerous,
serta dihitung jumlahnya. Selanjutnya, masing-masing ditimbang beratnya dengan
dengan timbangan digital (Xon Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 g dan
diukur lebar karapasnya dengan jangka sorong (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05)
dengan ketelitian 0.05 mm. Semua rangkaian kegiatan tersebut dilakukan di
lapangan, kecuali rajungan yang tertangkap pada stasiun 2. Spesimen rajungan yang
belum dianalisis di lapangan disimpan dalam styrofoom dan diberi es dan selanjutnya
dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Tabel 19. Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan betina dan
jantan secara makroskopik
TKG Penampakan ovarium rajungan betina secara makroskopis
I Ovarium kecil atau tipis dan tidak berwarna atau transparan
II Ovarium bertambah besar, berubah warna menjadi krem atau kuning muda,
tetapi belum berkembang sampai ke daerah hepatik
III Ovarium semakin bertambah besar, berwarna kuning tua atau gading,
sekitar 1/3 sampai 1/4 menempati daerah hepatik
IV Ovarium menempati sebagian besar daerah hepatik, adanya lobulus,
ovarium berwana orange atau orange kemerahan.
Penampakan gonad rajungan jantan secara makroskopis
I Testis dan vas deferen tidak jelas dibedakan, tabung vas deferen tipis
tembus pandang
II Testis dan vas deferen berkembang dengan baik, tabung testis besar
tergulung menyebar lateral dan posterior pada perut. Vas deferen buram
atau massa putih tergulung memanjang sampai pada kedua sisi hepatik.
III Testis membesar, vas deferen tebal dan massa putih susu meluas sampai
mengisi sebagian besar rongga tubuh.
Proporsi rajungan pada setiap tingkat kematangan gonad yang tertangkap pada
setiap stasiun dan periode penangkapan ditentukan dengan persamaan berikut :
RJi adalah proporsi jumlah rajungan pada TKG ke-i (%), ∑ Rji jumlah rajungan
betina pada TKG ke-i (ekor), dan ∑ RTi jumlah total contoh rajungan betina (ekor).
TKG I
TKG I TKG II
Y adalah proporsi rajungan matang pada setiap kelas ukuran (%), WC lebar karapas
rajungan matang gonad (mm), WCo lebar karapas rajungan 50 % matang kelamin
(mm), a dan b adalah intersep dan koefisien kemiringan kurva logistik, dan Y o
proporsi ukuran terkecil rajungan yang matang gonad (%).
Analisis Data
Data biologi reproduksi rajungan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin,
stasiun (spasial), periode penangkapan dan musim (temporal). Rasio kelamin
rajungan diuji terhadap rasio kelamin rajungan 1:1 dengan uji chi-kuadrat (χ2) pada
taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Sebaran proporsi setiap TKG rajungan
betina dan jantan antar stasiun, tipe habitat dan periode penangkapan dianalisis secara
deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk grafik, sedangkan IKG rajungan betina dan
jantan secara spasial dan temporal dianalisis dengan ANOVA. Data IKG rajungan
terlebih dahulu diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf
nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Jika hasil uji tersebut berbeda nyata, maka data
IKG rajungan ditransformasi ke log 10, baru dilakukan uji ANOVA. Proporsi TKG
dan IKG rajungan antara musim timur dan musim barat diuji dengan uji t dengan
asumsi ragam tidak sama. Dalam analisis data tersebut digunakan Minitab versi 15
dan Microsoft Excel 2007.
Hasil
Tabel 20. Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun
Jumlah (ekor ) Proporsi (%) Rasio kelamin
χ2hit p
Stasiun Jantan Betina Jantan Betina jantan: betina
1 138 103 57.26 42.74 1.34 : 1 5.752 0.836
2 139 129 51.87 48.13 1.08 : 1 11.988 0.365
3 70 62 53.03 46.97 1.13 : 1 7.176 0.785
4 78 71 52.35 47.65 1.10 : 1 21.609* 0.028
5 75 61 55.15 44.85 1.23 : 1 17.736 0.088
6 54 60 47.37 52.63 0.90 : 1 6.235 0.716
7 52 84 38.24 61.76 0.62 : 1 9.490 0.091
Total 606 570 51.53 48.47 1.06 : 1 14.468* 0.025
* berbeda nyata (p<0.05) .; p taraf nyata
Pada Tabel 20 terlihat rasio kelamin dan proposi rajungan jantan yang tertangkap
dari stasiun 1 ke stasiun 7 cenderung semakin menurun. Hasil uji chi-kuadrat (χ2)
menunjukkan antara jumlah rajungan jantan dan betina seimbang (p>0.05), dan hanya
yang tertangkap pada stasiun 4 dan rasio kelamin total tidak seimbang (p<0.05), yaitu
rajungan jantan lebih banyak dari pada betina.
Tabel 21. Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan
periode waktu penangkapan dan musim
Waktu Jumlah (ekor) Proporsi (%) Rasio kelamin
χ2hit p
(Bulan) Jantan Betina Jantan Betina jantan:betina
April 62 54 53.45 46.55 1.15 : 1 5.820 0.324
Mei 100 83 54.64 45.36 1.20 : 1 6.173 0.290
Juni 54 53 50.47 49.53 1.02 : 1 2.456 0.783
Juli 44 42 51.16 48.84 1.05 : 1 11.93* 0.036
Agustus 33 33 50.00 50.00 1.00 : 1 6.407 0.269
September 20 25 44.44 55.56 0.80 : 1 1.926 0.749
Oktober 37 39 48.68 51.32 0.95 : 1 4.851 0.563
November 26 42 38.24 61.76 0.62 : 1 16.65** 0.005
Desember 53 47 53.00 47.00 1.13 : 1 9.719 0.137
Januari 80 64 55.56 44.44 1.25 : 1 6.944 0.326
Februari 50 46 52.08 47.92 1.09 : 1 7.465 0.280
Maret 47 42 52.81 47.19 1.12 : 1 3.602 0.608
Musim timur 313 290 51.91 48.09 1.08 : 1 1.868 0.867
Musim barat 293 280 51.13 48.87 1.05 : 1 6.111 0.296
**Sangat berbeda nyata (p<0.01).; * berbeda nyata (p<0.05).; p taraf nyata
Proporsi rajungan jantan berdasarkan periode penangkapan tertinggi tertangkap
pada bulan Januari dan tertendah pada bulan November, sebaliknya untuk rajungan
betina proporsi tertinggi dan terendah merupakan kebalikan waktu dari rajungan
jantan. Berdasarkan uji χ2 hanya yang tertangkap bulan November jantan dan betina
tidak seimbang (p<0.05) atau jumlah rajungan betina lebih banyak dari pada
rajungan jantan (Tabel 21). Sebaliknya, rasio kelamin rajungan yang tertangkap pada
kelima bulan lainnya dan juga total rajungan jantan dan betina yang tertangkap
selama musim barat adalah seimbang (p>0.05) antara rajungan jantan dan betina.
pada stasiun 3, 6 dan 7 didominasi oleh rajungan yang matang gonad (TKG III)
dengan proporsi berkisar antara 52.27 % hingga 55.17 %. Rajungan jantan yang
tertangkap pada stasiun 4 cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang
gonad (56.72 %), sedangkan proporsi rajungan yang matang gonad (TKG III) sebesar
43.28 %.
100.00
80.00
Proporsi TKG (%)
TKG III
60.00
TKG II
40.00
TKG 1
20.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 15. Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun
Jumlah contoh rajungan betina yang digunakan dalam analisis TKG sebanyak
487 ekor, yaitu terdiri dari 68.38 % (333 ekor) rajungan betina dengan TKG I
sampai IV dan 31.62 % (154 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang.
Proporsi rajungan betina TKG I yang tertangkap pada stasiun 1 dan stasiun 2
masing-masing sekitar 40 % dan 39 %, sedangkan yang tertangkap pada stasiun 6
dan stasiun 7 masing-masing hanya sekitar 10 % dan 4 % (Gambar 15).
Proporsi rajungan betina dengan TKG II yang tertangkap pada setiap stasiun
berkisar antara 7.50 % hingga 32.26 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 2, dan
terendah pada stasiun 1 (Gambar 16). Proporsi rajungan betina dengan TKG III yang
tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 6.67 % hingga 28.57 %, tertinggi
tertangkap pada stasiun 6 dan terendah tertangkap pada stasiun 2. Rajungan betina
dengan TKG IV banyak tertangkap pada stasiun 3 dan stasiun 7, yaitu masing-
masing dengan proporsi sekitar 50 % dan 52 %. Sebaliknya, rajungan betina dengan
TKG IV pada stasiun 1 dan 2 relatif jarang tertangkap dibandingkan dengan stasiun
lainnya, yaitu masing-masing dengan proporsi sekitar 25 % dan 11 % dari jumlah
contoh rajungan betina yang tertangkap (Gambar 16). Rajungan betina yang
tertangkap pada stasiun 3, 4, 5, 6 dan 7 didominasi oleh TKG IV, sedangkan yang
tertangkap pada stasiun 1 dan 2 didominasi oleh TKG I.
Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 1, 3, 4, 6 dan 7 didominasi oleh
rajungan yang matang gonad (TKG III dan IV) dengan proporsi berkisar antara 52.5 %
hingga 81.13 %. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 2 dan 5
didominasi oleh yang belum matang gonad (TKG I dan II), masing-masing dengan
proporsi 70.97 % dan 52.38 %.
66
100.00
60.00 TKG IV
TKG III
40.00
TKG II
TKG 1
20.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 16. Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun
Secara umum, proporsi rajungan jantan matang gonad (TKG III) yang tertangkap
di Teluk Lasongko berdasarkan stasiun lebih rendah dari pada proporsi rajungan betina
yang matang gonad. Proporsi rajungan jantan yang matang gonad pada setiap stasiun
berkisar antara 35.42 % hingga 55.17 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 3, dan
terendah pada stasiun 1 (Gambar 15). Proporsi rajungan betina matang gonad berkisar
antara 29.03 % hingga 81.13 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada
stasiun 2 (Gambar 16). Sebaliknya, proporsi rajungan jantan yang belum matang gonad
yang tertangkap pada setiap stasiun lebih tinggi dari pada rajungan betina. Proporsi
rajungan jantan yang belum matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara 47.37 %
hingga 64.59 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6.
Proporsi rajungan betina yang belum matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara
18.86 % hingga 70.97 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 2 dan terendah pada stasiun 7 .
100
80
0
A A T T B B
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
100.00
80.00
Proporsi TKG (%)
60.00
TKG III
40.00 TKG II
20.00 TKG I
0.00
100.00
80.00
20.00 TKG II
TKG 1
0.00
Gambar 19. Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan
Rajungan betina dengan TKG III selama penelitian dominan hanya pada bulan
Februari. Proporsi rajungan betina TKG III pada setiap periode penangkapan
berkisar antara 5.26 % hingga 44.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Februari dan
terendah pada bulan September. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei,
Juni, Oktober dan November didominasi oleh TKG IV. Proporsi rajungan betina
TKG IV pada setiap periode penangkapan berkisar antara 18.18 % hingga 47.62 %,
terendah tertangkap pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November.
Rajungan betina yang tertangkap pada bulan April, Juli, September, Januari dan
Maret didominasi oleh yang belum matang gonad, sedangkan yang tertangkap pada
bulan Mei, Juni, Agustus, Oktober, November, Desember dan Februari didominasi
oleh rajungan yang matang gonad. Proporsi rajungan betina yang belum matang
gonad pada setiap periode penangkapan berkisar antara 25.00 % hingga 68.42 %,
terendah tertangkap pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September. Proporsi
rajungan betina yang matang gonad pada setiap periode penangkapan berkisar antara
31.58 % hingga 75.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Juni dan terendah pada
bulan September.
Total jumlah contoh rajungan jantan ditemukan dengan TKG I sampai III pada
musim timur dan barat masing-masing sebanyak 229 ekor dan 232 ekor. Proporsi
rajungan jantan dengan TKG I pada musim timur berkisar antara 10.00 % hingga
21.54 % dengan rataan 16.43 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 2.70 %
hingga 35.00 % dengan rataan 15.56 % (Tabel 22, Gambar 18 dan19). Proporsi
rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 29.23 %
hingga 69.57 % dengan rataan 51.50 %, sedangkan yang tertangkap pada musim
barat berkisar antara 25.00 % hingga 60.00 % dengan rataan 42.75 %. Proporsi
rajungan jantan TKG III pada musim timur berkisar antara 12.77 % hingga 55.00 %
dengan rataan 31.87 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 15.00 % hingga
64.86 % dengan rataan 41.70 %. Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama
menunjukkan proporsi setiap TKG rajungan jantan tidak berbeda nyata (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 22).
70
Rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur didominasi oleh rajungan
yang belum matang gonad, kecuali pada bulan September didominasi oleh yang
matang gonad. Rajungan jantan yang belum matang gonad dan matang gonad yang
tertangkap pada musim barat relatif seimbang. Proporsi rajungan jantan yang belum
matang gonad pada musim timur berkisar antara 45.00 % hingga 87.23 %, sedangkan
pada musim barat berkisar antara 35.14 % hingga 85.00 %. Proporsi rajungan jantan
pada musim timur dan barat sama dengan proporsi TKG III yang telah disebutkan di
atas.
Tabel 22. Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap musim
Proporsi setiap TKG (%)
Jenis kelamin Musim
I II III IV
a a a
Betina
Timur 23.18 27.51 21.51 32.38a
Barat 21.94a 19.97a 24.70a 33.40a
Timur 16.43a 51.70a 31.87a
Jantan
Barat 15.56a 42.75a 41.70a
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Total jumlah contoh rajungan betina yang ditemukan dengan TKG I sampai IV
yang tertangkap pada musim timur dan barat masing-masing sebanyak 168 ekor dan
162 ekor. Proporsi rajungan betina dengan TKG I pada musim timur berkisar antara
5.00 % hingga 40.91 % dengan rataan 23.18 %, dan pada musim barat berkisar antara
3.7 % hingga 37.84 % dengan rataan 21.94 % (Tabel 22 dan Gambar 16). Proporsi
rajungan betina dengan TKG II yang tertangkap pada musim timur berkisar antara
0 % hingga 47.37 % dengan rataan 27.51 %, sedangkan pada musim barat berkisar
antara 12.00 % hingga 35.71 % dengan rataan 19.97 %. Proporsi rajungan betina
TKG III yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 14.29 % hingga 44.00 %
dengan rataan 24.70 %, sedangkan pada musim timur berkisar antara 5.26 % hingga
28.57 % dengan rataan 21.51 %. Proporsi rajungan betina TKG IV yang tertangkap
pada musim timur berkisar antara 18.18 % hingga 46.43 % dengan rataan 32.38 %,
sedangkan pada musim barat berkisar antara 20.00 % hingga 47.62 % dengan rataan
33.40 % (Tabel 22 dan Gambar 16). Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama
menunjukkan proporsi setiap TKG rajungan betina tidak berbeda nyata (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 22).
Proporsi rajungan betina pada musim timur didominasi oleh yang matang
gonad. Proporsi rajungan yang matang gonad pada musim timur berkisar antara
31.50 % hingga 75.00 %, sedangkan yang belum matang gonad berkisar antara
25.00 % hingga 68.42 %. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni dan
Agustus didominasi oleh yang matang gonad, sedangkan pada bulan April, Juli dan
September didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad. Rajungan betina yang
tertangkap pada musim barat di dominasi oleh yang matang gonad. Proporsi rajungan
betina yang matang gonad berkisar antara 43.24 % hingga 74.07 %, dan yang belum
matang gonad berkisar antara 25.93 % hingga 56.76 %.
71
hingga 0.56. Rataan IKG rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada setiap bulan
selama musim timur berkisar antara 0.71 hingga 0.89, sedangkan pada musim barat
berkisar antara 0.71 hingga 0.86. Hasil uji t menunjukkan IKG rajungan jantan
TKG I tidak berbeda nyata (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan
musim barat, sebaliknya IKG rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada musim
timur lebih besar (p<0.05) dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 24).
Tabel 24. Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim
IKG pada setiap TKG
Bulan
I II III
April 0.35 + 0.21 0.89 + 0.43 1.47 + 0.45
Mei 0.30 + 0.14 0.71 + 0.31 2.57 + 1.27
Juni 0.39 + 0.15 0.88 + 0.43 1.60 + 0.34
Juli 0.21 + 0.08 0.78 + 0.19 1.47 + 1.01
Agustus 0.48 + 0.08 0.83 + 0.42 0.86 + 0.28
September 0.17 + 0.03 0.76 + 0.32 1.16 + 0.48
Oktober 0.38 0.80 + 0.17 1.21 + 0.33
November 0.18 + 0.10 0.74 + 0.58 0.91 + 0.19
Desember 0.56 + 0.14 0.86 + 0.37 0.97 + 0.28
Januari 0.27 + 0.18 0.71 + 0.16 1.07 + 0.22
Februari 0.45 + 0.23 0.85 + 0.26 1.21 + 0.44
Maret 0.35 + 0.14 0.78 + 0.22 1.02 + 0.15
Musim timur 0.33 + 0.17a 0.84 + 0.38a 1.84 + 1.07a
Musim barat 0.36 + 0.19a 0.78 + 0.31b 1.10 + 0.32b
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Rataan IKG rajungan jantan TKG III yang tertangkap setiap bulan selama
musim timur berkisar antara 0.86 hingga 2.57, sedangkan pada musim barat berkisar
antara 0.91 hingga 1.21. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan jantan yang
tertangkap pada musim timur lebih besar (p<0.05) dibandingkan dengan yang
tertangkap pada musim barat. Nilai IKG rajungan jantan tidak menunjukkan pola
yang jelas terhadap perubahan TKG dan periode penangkapan baik yang tertangkap
pada musim timur maupun pada musim barat.
Rajungan betina dengan TKG I pada bulan Juni tidak tertangkap. Rataan IKG
rajungan betina TKG I yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar
antara 0.10 hingga 0.40, sedangkan pada musim barat berkisar antara 0.23 hingga
0.53. Hasil uji t menunjukkan IKG rajungan betina TKG I adalah sama (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 25).
Rajungan betina dengan TKG II tidak ditemukan pada bulan Agustus. Pada
musim timur, rataan IKG rajungan betina TKG II lebih dari 1 tertangkap pada tiga
bulan pertama, sedangkan rataan IKG rajungan betina yang tertangkap pada bulan
Juli dan September kurang dari 1. Rajungan betina TKG II yang tertangkap setiap
73
bulan selama musim barat umumnya dengan rataan IKG kurang dari 1, sebaliknya
yang tertangkap pada bulan Desember lebih besar dari 1. Hasil uji t menunjukkan
bahwa IKG rajungan betina TKG II berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan
barat. IKG rajungan betina TKG II yang tertangkap pada musim timur lebih besar
dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 25).
Tabel 25. Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim
IKG pada setiap TKG
Bulan
I II III IV
April 0.40 + 0.31 1.36 + 0.84 2.32 + 0.89 5.85 + 2.41
Mei 0.13 + 0.02 1.53 + 0.72 3.75 + 1.34 6.37 + 1.39
Juni - 1.28 + 0.89 3.50 + 1.18 6.25 + 1.69
Juli 0.12 + 0.06 0.75 + 0.03 3.38 + 1.52 6.58 + 2.27
Agustus 0.10 - 2.48 + 1.00 5.98 + 2.54
September 0.21 + 0.14 0.64 + 0.26 1.95 5.12 + 1.41
Oktober 0.53 0.80 + 0.58 3.32 + 1.47 7.57 + 2.05
November 0.30 + 0.19 0.57 + 0.04 3.03 + 2.03 5.83 + 2.02
Desember 0.30 + 0.09 1.18 + 0.36 2.98 + 0.62 7.05 + 2.09
Januari 0.29 + 0.17 0.69 + 0.22 2.53 + 1.16 7.35 + 1.75
Februari 0.23 + 0.14 0.81 + 0.06 2.71 + 1.36 6.09 + 2.78
Maret 0.27 + 0.12 0.77 + 0.25 2.86 + 1.89 6.18 + 2.00
Musim timur 0.22 + 0.18a 1.16 + 0.53 a
3.27 + 1.29a 6.17 + 1.70a
Musim barat 0.30 + 0.14a 0.81 + 0.35b 2.90 + 1.34a 6.76 + 2.08b
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
IKG rajungan betina dengan TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim
timur cukup bervariasi dibandingkan dengan yang tertangkap pada musim barat.
Rataan IKG rajungan betina TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim
timur berkisar antara 1.95 hingga 3.75, sedangkan rataan IKG rajungan betina pada
musim barat berkisar antara 2.53 hingga 3.32 (Tabel 25). Namun demikian, hasil uji
t menunjukkan bahwa rataan IKG rajungan betina antara musim timur dan musim
barat tidak berbeda nyata (p>0.05) atau IKG rajungan betina TKG III adalah sama
dengan yang tertangkap pada musim berbeda.
Rataan IKG rajungan betina TKG IV yang tertangkap setiap bulan selama
musim timur berkisar antara 5.12 hingga 6.37, sedangkan yang tertangkap pada musim
barat berkisar antara 5.83 hingga 7.5. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan
betina berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan barat. IKG rajungan betina
yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur (Tabel 25).
Secara umum, IKG rajungan betina jauh lebih besar dari pada IKG rajungan
jantan. Namun, IKG rajungan betina TKG I lebih kecil dibandingkan dengan IKG
rajungan jantan TKG I, sebaliknya pada TKG selanjutnya (TKG II, III dan IV) IKG
rajungan betina lebih besar dari pada IKG rajungan jantan (Tabel 24 dan 25).
74
35.00 4.50
tertangkap di perairan ini masing-masing sebesar 82.2 mm dengan berat 33.86 g dan
91.8 mm dengan berat 55.58 g. Lebar karapas terkecil rajungan betina ovigerous
yang tertangkap di Teluk Lasongko adalah 86.6 mm dengan berat 42.75 g.
Ukuran rajungan pertama kali matang kelamin adalah ukuran di mana 50 %
dari semua individu rajungan telah matang kelamin (diadopsi dari King 1995). Hasil
analisis ukuran rajungan pertama kali matang kelamin dengan persamaan logistik
diperoleh lebar karapas rajungan jantan dan betina 50 % pertama kali matang
kelamin adalah 109.83 mm untuk jantan dan 115.71 mm untuk betina (Gambar 21).
Hal ini menunjukkan ukuran rajungan jantan pertama kali matang kelamin lebih kecil
dari pada rajungan betina atau rajungan jantan lebih cepat matang kelamin dari pada
rajungan betina.
Jantan Betina
Gambar 21. Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina
pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko
Pembahasan
Rasio Kelamin
Rasio kelamin rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko
bervariasi antar stasiun, yaitu berkisar antara 0.62 : 1 hingga 1.34 : 1. Rasio kelamin
tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 7 (Tabel 20). Jumlah
rajungan jantan umumnya cenderung lebih banyak dari pada rajungan betina, namun
hasil uji statistik (uji χ2) menunjukkan rasio kelamin rajungan tidak berbeda nyata
(p>0.05) dengan rasio kelamin 1:1, kecuali pada stasiun 4 (Tabel 20). Hal ini
menunjukkan komposisi antara jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap
pada setiap stasiun umumnya relatif seimbang, kecuali pada stasiun 4 tidak seimbang,
yaitu jumlah rajungan jantan yang tertangkap lebih banyak dari pada betina.
Sebaliknya, pada stasiun 6 dan 7 jumlah rajungan betina lebih banyak dibandingkan
dengan rajungan jantan. Rasio kelamin rajungan sebagian besar tidak berbeda nyata
(p>0.05) pada sebagian besar stasiun tersebut disebabkan komposisi antara jumlah
rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap periode penangkapan adalah
relatif sama, dan hanya pada waktu tertentu jumlah salah satu jenis kelamin cukup
menonjol. Misalnya, jumlah rajungan jantan pada stasiun 1 pada bulan Desember
sebanyak 17 ekor sedangkan betina hanya 6 ekor. Demikian halnya jumlah rajungan
76
jantan tertangkap di stasiun 7 pada bulan November hanya dua ekor sedangkan
rajungan betina sebanyak 17 ekor.
Nilai rasio rajungan jantan terhadap rajungan betina ditemukan pada setiap
periode penangkapan sebagian besar >1, kecuali pada bulan September, Oktober dan
November <1 (Gambar 22). Namun, hasil uji statistik (χ2) menunjukkan sebagian
besar tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan 1:1, kecuali pada bulan Juli dan November
berbeda nyata (p<0.05) dengan 1:1. Hal ini identik seperti ditemukan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand (Kunsook 2011).
1.50
Rasio kelamin
1.00
0.50
0.00
Gambar 22. Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada
setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko
Rasio rajungan jantan terhadap betina pada musim timur dan musim barat juga
>1, namun hasil uji χ2 menunjukkan rasio kelamin rajungan pada kedua musim
tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan 1:1. dan ini identik dengan yang
ditemukan pada musim barat di Perairan Pati, namun berlawanan dengan yang
ditemukan pada musim timur di perairan yang sama (Ernawati 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa secara statistik proporsi jumlah kedua jenis kelamin rajungan
adalah seimbang, namun kenyataan di alam jumlah rajungan jantan yang tertangkap
pada setiap periode penangkapan cenderung lebih banyak dari pada rajungan betina.
Rasio kelamin total rajungan jantan terhadap rajungan betina yang tertangkap di
Teluk Lasongko sebesar 1.06 : 1. Rasio rajungan jantan dan betina yang ditemukan di
perairan ini masih berada pada kisaran rasio rajungan jantan terhadap rajungan betina
yang ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya, yaitu berkisar antara 0.79 : 1
hingga 2.77:1 (Tabel 26). Rasio kelamin rajungan yang ditemukan pada penelitian
ini lebih rendah dari pada beberapa perairan di Indonesia (Kembaren et al. 2012;
Ernawati 2013; Ihsan et al. 2014), namun lebih tinggi dari pada yang ditemukan di
Perairan Brebes (Sunarto 2012). Berdasarkan data rasio kelamin rajungan pada Tabel
26, menunjukkan bahwa rasio kelamin bervariasi antar lokasi perairan.
Proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun dengan kondisi perairan
yang lebih dalam (stasiun 6 dan 7) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
rajungan betina, diduga hal ini berkaitan dengan migrasi. Pada penelitian ini
ditemukan rajungan jantan yang hidup di perairan yang lebih dalam (dicirikan oleh
77
warna karapasnya yang cerah) ditemukan tertangkap di daerah intertidal dan subtidal,
demikian juga rajungan jantan dan betina yang hidup di daerah intertidal dan subtidal
(dicirikan oleh warna karapasnya yang kusam) yang tertangkap pada bagian perairan
yang lebih dalam.
Tabe 26. Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada lokasi
beberapa perairan
Rasio
Lokasi IKG Sumber
Kelamin
Teluk Kung Krabaen, Thailand 1.08 : 1 0.54-6.13 Kunsook 2011
Pantai Trang,Thailand Selatan 1.17 : 1 - Nitiraswan et al. 2013
Pantai Sematan Sarawak, Malaysia 2.77 : 1 - Ikhwanuddin et al. 2009
Perairan Brebes 0.82 : 1 - Sunarto 2012
Teluk Bone 1.08 : 1 - Kembaren et al. 2012
Perairan Pati 1.17 : 1 - Ernawati 2013
Perairan Pangkep 1.20 : 1 - Ihsan et al. 2014
Teluk Lasongko 1.06 : 1 1.80 -4.55 Penelitian ini
- Tidak ada data
gonad, sebaliknya yang tertangkap pada habitat T dan B didominasi oleh rajungan
yang matang gonad.
Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian
besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, kecuali yang tertangkap
pada bulan September dan Oktober didominasi oleh rajungan yang matang gonad.
Sebaliknya, rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei ditemukan cenderung
seimbang antara rajungan yang belum matang gonad dan rajungan yang matang
gonad (Gambar 16). Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan dominan
selama lima bulan, namun tidak pada periode bulan yang tidak berurutan, sedangkan
rajungan betina yang matang gonad ditemukan selama tujuh bulan dan dua kali
ditemukan pada bulan yang berurutan. Rajungan betina yang belum matang gonad
ditemukan dominan pada bulan April, Juli, September, Januari dan Maret, sedangkan
rajungan betina yang matang gonad ditemukan dominan pada bulan Mei, Juni,
Agustus, Oktober, November, Desember dan Februari. Hal ini menunjukkan pola
perkembangan gonad rajungan betina yang dominan di Teluk Lasongko yang
ditemukan dalam setahun terjadi silih berganti antara rajungan yang matang gonad
dengan rajungan yang belum matang gonad.
Perkembangan gonad rajungan jantan dan betina juga ditemukan bervariasi
berdasarkan musim. Berdasarkan proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada
musim timur sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad,
sedangkan rajungan betina yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi
oleh yang matang gonad. Namun, jika dilihat dari periode waktu, maka rajungan
betina yang tertangkap pada musim timur antara rajungan yang matang gonad dan
belum matang gonad adalah seimbang karena masing-masing ditemukan dominan
pada tiga bulan yang berbeda. Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan
pada bulan April, Juli dan September, sedangkan rajungan betina yang matang gonad
ditemukan dominan pada bulan Mei, Juni dan Agustus. Proporsi perkembangan
gonad rajungan jantan dan betina pada setiap TKG yang tertangkap pada musim
timur dan barat cenderung bervariasi, namun hasil uji t menunjukkan proporsi
perkembangan setiap TKG adalah sama (p>0.05) antara musim timur dan musim
barat ( Tabel 22).
Rajungan betina yang matang gonad di Teluk Lasongko ditemukan berlangsung
sepanjang tahun dan terdapat tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni, Oktober-
November dan bulan Februari. Proporsi rajungan betina yang matang gonad pada
bulan Juni dan Oktober lebih tinggi dibandingkan dengan sepuluh bulan lainnya
(Gambar 19). Rataan IKG total bulanan rajungan betina pada penelitian ini juga
ditemukan tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni (tertinggi), Agustus dan bulan
Oktober-November (Gambar 20). Nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina
untuk ketiga puncak tersebut masing-masing sebesar 4.41 dan 4.49 untuk bulan Mei
dan Juni, pada bulan Agustus sebesar 3.99, serta pada bulan Oktober dan November
masing-masing sebesar 4.55 dan 3.46. Waktu puncak rajungan yang matang gonad
dan IKG rajungan betina antar lokasi perairan berdasarkan pada beberapa penelitian
sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Potter dan de Lestang 2000; Kamrani et al. 2010;
Kunsook 2011; Kembaren et al. 2012; Sunarto 2012; Ernawati 2013; Safaie et al.
2013; Liu et al. 2014) ditemukan bervariasi.
79
dengan periode waktu ketiga puncak nilai IKG rajungan betina seperti telah diuraikan
sebelumnya (Gambar 20). Puncak musim pemijahan rajungan di Pantai Leyte dan
Bohol, Filipina (Batoy et al. 1987), Teluk Ragay, Filipina (Ingles dan Braum 1989),
dan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook et al. 2011) juga ditemukan tiga
puncak. Sebaliknya, puncak musim pemijahan rajungan di Perairan Brebes (Sunarto
2012), Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Pantai
Trang, Thailand (Songrak et al. 2014) hanya ditemukan dua puncak, namun periode
waktunya cenderung bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 27).
Tabel 27. Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama matang
kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan
Puncak Musim LKMK (mm)
Lokasi Sumber
Pemijahan (bulan) Terkecil Lk 50 % Kelamin
Leyte & Bohol, Filipina Jan, Apr, Jul 41 55 PK Betina Batoy et al.1987
Teluk Ragay, Luzon, 105.6 Jantan Ingles & Braum
Filipina Feb-Apr, Jul, Okt - 1989
96.4 Betina
Pantai Trang, 78.0- 80.2* Jantan Songrak et al. 2013,
Thailand Selatan Des-Feb, Jul-Sept. 64.5 2014
74.9- 80.9* Betina
Teluk Kung Krabaen, Kunsook 2011;
Thailand Des, Mar, Jul-Agu 58.2 106.2 Betina Kunsook et al. 2014
- 101 Betina
Perairan Brebes Apr, Sept Sunarto 2012
128 Jantan
Kembaren et al
Teluk Bone Mei, Des 69.36 71.63 Betina
2012
Perairan Pati Sept-Nov, Feb - 107.0 Betina Ernawati 2013
Jul , Agu, Sept, Okt - 95.5 Jantan Ihsan et al. 2014
Perairan Pangkep
85.0 106.0 Betina
Mei-Jun, Agu, 83.7 109.8 Jantan
Teluk Lasongko Penelitian ini
Okt-Nov 82.2** 115.7 Betina
PK panjang karapas.; *ukuran karapas dalam (kedua ujung duri lateral tidak terukur).; **TKG III
Hasil analisis dengan kurva logistik diperoleh ukuran 50 % pertama matang
kelamin rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko, yaitu masing-masing dengan
lebar karapas 109.83 mm dan 115.71 mm (Gambar 2). Ukuran 50 % pertama matang
kelamin rajungan jantan di perairan ini masih kisaran ukuran 50 % pertama matang
kelamin rajungan jantan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Asia
Tenggara, yaitu dengan lebar karapas berkisar antara 95.00 mm hingga 128 mm,
sedangkan rajungan betina lebih besar dari pada yang telah dilaporkan pada beberapa
lokasi perairan tersebut, yaitu dengan lebar karapas berkisar antara 71.63 mm hingga
107.0 mm (Tabel 27). Ukuran 50 % pertama matang kelamin rajungan jantan dan
betina berukuran lebih kecil ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012),
kemudian di pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2013, 2014).
Ukuran lebar karapas terkecil rajungan betina yang telah matang gonad di Teluk
Lasongko berkisar antara 82.2 mm (TKG III) hingga 91.8 mm (TKG IV), dan rajungan
jantan sebesar 83.7 mm. Lebar karapas terkecil rajungan betina yang ditemukan pada
penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di Teluk Bone
(Kembaren et al. 2012), Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014) dan Teluk Kung
81
Krabaen, Thailand (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), berkisar antara 58.2 mm
hingga 85.0 mm (Tabel 27).
Simpulan
1. Rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina di Teluk Lasongko secara
spasial dan temporal umumnya seimbang, namun berbeda dengan rasio kelamin
total,
2. Perkembangan kematangan gonad antara rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko cenderung berlangsung tidak seiring baik spasial maupun temporal,
serta indeks kematangan gonad rajungan betina lebih besar dari pada rajungan
jantan,
3. Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun dan
puncaknya terjadi pada bulan Mei-Juni, Agusus, dan Oktober-November, dan
4. Ukuran lebar karapas rajungan jantan 50 % matang kelamin sebesar 109.83 mm
dan rajungan betina sebesar 115.71 mm.
82
Pendahuluan
Rajungan (Portunus pelagicus) betina yang matang gonad dan juga mengerami
telur (ovigerous) berlangsung di estuari dan perairan dangkal, kemudian bermigrasi
ke perairan pesisir yang lebih dalam untuk melepaskan telurnya (Sumpton et al.
1994; Kangas 2000). Rajungan betina ovigerous yang secara teratur melakukan
migrasi ke perairan dengan dasar pasir untuk melakukan pemijahan (Xiao dan Kumar
2004), dan juga untuk mencari lokasi perairan yang jernih dengan kadar oksigen
terlarut dan salinitas yang tinggi untuk mendukung perkembangan dan kelangsungan
hidup larva yang baru menetas (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000). Rajungan
betina ovigerous yang hidup di perairan estuari lebih kecil atau lebih muda dari pada
yang ditemukan di perairan teluk (Kangas 2000). Penelitian distribusi rajungan betina
ovigerous di Perairan Asia Tenggara telah dilakukan di Pantai Trang, Thailand
(Nitiratsuwan et al. 2010, 2013) berdasarkan kedalaman, fraksi sedimen dan padang
lamun. Kedua penelitian tersebut belum mengkaji distribusi rajungan betina
ovigerous berdasarkan warna telur pada ketiga karaketristik habitat tersebut.
Perkembangan gonad rajungan terjadi di dalam tubuh dan embrio berkembang
berlangsung di luar tubuh rajungan. Perkembangan embrio rajungan dari telur sampai
menjadi zoea terbagi dalam enam tahap (Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009;
Liao et al. 2011), dan pada setiap tahap terjadi perubahan warna, bentuk dan ukuran
telur (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al.
2011; Ikhwanuddin et al. 2012a; Ravi dan Manisseri 2013). Perubahan warna telur
selama perkembangan embrio rajungan bermula dari warna kuning, orange, coklat
dan berakhir warna abu-abu atau hitam (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan
Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Ravi dan Manisseri 2013), karena terjadi
penyerapan warna kuning pada kuning telur dan pigmen mata warna gelap mulai
berkembang (Samuel dan Soundarapandian 2009).
Tingkat kematangan gonad (TKG) dan fekunditas merupakan aspek penting
dalam kajian biologi reproduksi rajungan (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al.
2012a). Data fekunditas dan tingkat kematangan gonad berguna untuk memahami
biologi dan dinamika populasi rajungan (Arshad et al. 2006), dan mengevaluasi
strategi penangkapan rajungan (Johnson et al. 2010; Songrak et al. 2014). Fekunditas
dan tingkat kematangan gonad merupakan bagian dari kajian reproduksi rajungan.
Penelitian tingkat kematangan gonad rajungan betina selama ini masih terfokus pada
rajungan betina yang belum mengerami telur, sedangkan pada rajungan betina
mengerami telur (rajungan betina ovigerous) masih terbatas, diantaranya baru
dilakukan oleh Pillay dan Nair (1971) dan Sumpton et al. (1994). Namun, kedua
penelitian tersebut hanya menganalisis aspek reproduksi rajungan betina ovigerous
berkaitan dengan TKG dan IKG secara temporal, sedangkan yang berkaitan dengan
perubahan warna telur belum dikaji, demikian pula kajian fekunditas rajungan
83
berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous baru dilakukan oleh
Safaie et al. (2013).
Telur mempunyai peran penting dalam sejarah hidup hewan air yang memijah
secara bebas (Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008; Moran dan
Mcalister 2009) dan merupakan salah satu bagian dalam siklus reproduksi dekapoda.
Telur mengandung sejumlah nutrien yang dibutuhkan dalam perkembangan embrio.
Nutrien tersebut digunakan secara bertahap sesuai keperluan sel spesifik yang ditentukan
oleh program genetika embrio (Rosa et al. 2007; Figueiredo et al. 2008a). Siklus
reproduksi, kebugaran telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan
kelangsungan hidup larva dekapoda, termasuk rajungan dipengaruhi oleh kadar
proksimat dan asam lemak telur (Ying et al. 2006; Rosa et al. 2007; Figueiredo et al
2008a, 2008b; Moran dan Mcalister 2009; Figueiredo et al. 2012). Umumnya, kadar
proksimat dan asam lemak telur dekapoda ditentukan oleh ukuran telur, bahan kuning
telur (Figueiredo dan Narciso 2008; Soundarapandian dan Singh 2008; Moran dan
Mcalister 2009), kondisi habitat seperti suhu, salinitas, ketersediaan makanan, dan
kedalaman (Rosa dan Nunes 2003; Figueiredo dan Narciso 2008; Moran dan
Mcalister 2009; Garc’ıa-Guerrero 2010), dan perkembangan embrio (Radhakrishnan
2000; Rosa et al. 2007; Soundarapandian dan Singh 2008; Khoei et al. 2012; Li et al.
2012; Soundarapandian et al. 2013d, 2013e).
Protein merupakan komponen utama yang terkandung dalam telur dekapoda,
namun dalam proses metabolisme embrio, lemak lebih banyak dibutuhkan dari pada
protein (Ying et al. 2006; Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008).
Sumber energi utama dalam proses perkembangan embrio dekapoda adalah lemak
(Ying et al. 2006; Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008; Garc’ıa-
Guerrero 2010; Khoei et al. 2012), juga digunakan sebagai penyusun komponen
struktur membran sel (Figueiredo et al. 2008a; Garc´ıa-Guerrero 2010).
Penelitian kadar proksimat dan asam lemak rajungan selama ini masih banyak
berkaitan dengan perkembangan gonad atau ovarium (Pillay dan Nair 1973;
Soundarpandian dan Singh 2008; Rameshkumar et al. 2009; Ravi dan Manisseri
2010; Bhat et al. 2011, Sugumar et al. 2012; Priya et al. 2013; Muthuvelu et al.
2013), jenis kelamin (Hamsa 1978; Wu et al. 2010; Ayas dan Özoğul 2011), musim
(Pillay dan Nair 1973; Akbar et al. 1998) dan jenis makanan (Oniam et al. 2012).
Sebaliknya, penelitian kadar proksimat dan asam lemak pada telur rajungan sampai
saat ini masih terbatas, yaitu baru dilakukan oleh Radhakrishnan (2000),
Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al. (2012). Namun, mereka belum
menganalisis kadar proksimat pada semua tahap perubahan warna telur selama
perkembangan embrio rajungan. Kajian komposisi dan kadar asam lemak telur
rajungan yang dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al.
(2012) belum dianalisis berdasarkan perbedaan warna telur pada rajungan.
Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis aspek (1) fekunditas rajungan, (2) distribusi, (3) tingkat kematangan
gonad, serta (4) kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan berdasarkan
perubahan warna telur rajungan betina ovigerous.
84
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Maret 2014 di Teluk
Lasongko. Teluk ini terletak pada posisi antara 05o15’hingga 05o27’ LS serta antara
122o27’ hingga 122o33’ BT (Gambar 2), dan secara administratif merupakan bagian
dari wilayah Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur Kabupaten Buton Tengah.
Pengambilan Contoh
Contoh rajungan betina ovigerous ditangkap dengan gill net dasar dengan
ukuram mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci, serta diperoleh dari hasil tangkapan nelayan
yang menangkap di dekat setiap stasiun penelitian ini dengan menggunakan gill net
dasar. Pengambilan contoh rajungan betina ovigerous dilakukan setiap bulan pada
tujuh stasiun (Gambar 2). Rajungan betina ovigerous yang diperoleh tertangkap pada
setiap periode penangkapan langsung disimpan dalam cold box berisi es dan dibawa
ke laboratorium.
Total jumlah contoh rajungan betina ovigerous 168 ekor, terdiri atas 57 ekor
warna kuning, 48 ekor warna orange, 31 ekor warna coklat dan 32 ekor warna abu-
abu gelap dan semua contoh dianalisis TKG nya. Jumlah rajungan betina ovigerous
untuk analisis fekunditas 113 ekor, terdiri atas 49 ekor warna kuning, 45 ekor warna
orange dan 19 ekor coklat muda. Untuk analisis kadar proksimat dan asam lemak
digunakan 95 ekor, terdiri atas 21 ekor warna kuning, 27 ekor warna orange, 26 ekor
warna coklat dan 21 ekor warna abu-abu gelap. Keempat warna telur rajungan betina
ovigerous tertera pada Gambar 23.
V .......................................................... (9)
Penentuan Fekunditas
Rajungan betina ovigerous yang digunakan dalam penentuan fekunditas
sebanyak 113 ekor, terdiri dari warna kuning, orange dan coklat muda (jumlah setiap
warna telah diuraikan sebelumnya). Fekunditas rajungan ditentukan dengan metode
gravimetrik. Berat contoh telur untuk analisis fekunditas berkisar antara 0.20 g
hingga 0.40 g, serta jumlah telur dihitung dengan mikroskop binokuler (Lecica), dan
fekunditas rajungan dihitung dengan persamaan Jazayeri et al. (2011), yaitu sebagai
berikut :
86
F= n .................................................................... (10)
F adalah fekunditas (butir), G berat total telur (g), g berat contoh telur (g), dan n
jumlah telur yang diamati dibawah mikroskop (butir).
Indeks masa telur ditentukan berdasarkan (Sukumaran dan Neelakantan 1997a;
Josileen 2013), yaitu sebagai berikut :
Analisis Proksimat
Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air, abu, protein, dan lemak serta
karbohidrat untuk setiap warna telur rajungan dan dianalisis berdasarkan prosedur
AOAC (1984). Kadar protein kasar ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan
indikator brom cresol green–methyl red dan kadar protein (%) dihitung dengan
persamaan :
S adalah volume titran contoh (ml), B volume titran blanko (ml), w berat kering
contoh (mg), N normalitas HCl, 14 berat atom nitrogen, dan 6.25 faktor konversi
nitrogen menjadi protein.
Lemak diekstraksi dari jaringan telur menggunakan metode ekstrasi soxhlet
dengan pelarut heksan dan dikeringkan pada suhu 100 oC, serta kadarnya ditentukan
dengan metode gravimetrik, dan dihitung dengan persamaan berikut :
Kadar air ditentukan dengan cara sampel telur dikeringkan dalam oven pada
suhu 105 ºC selama delapan jam, dan dihitung dengan persamaan berikut :
Kadar abu ditentukan secara gravimetrik, sampel telur disimpan dalam cawan
porselin dan dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan dalam tanur pada suhu
600 ºC selama dua jam, dan dihitung dengan persamaan berikut :
asam lemak dan diubah menjadi bentuk metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl
Ester, FAME) yang mudah menguap. FAME dianalisis dengan mengggunakan
kromatografi gas-2010 Plus merek Shimadzu dengan kolom kapiler cyanopropil metil
yang panjangnya 60 meter dengan diameter dalam 0.25 ml dan 025 μm film tickness.
Kecepatan aliran N2, H2, dan udara masing-masing 20 ml menit-1, 30 ml menit-1, dan
200-250 ml menit-1. Suhu injektor dan detektor 200 oC dan 230 oC, suhu awal 190
o
C dan akhir 230 oC dengan laju 10 oC menit-1, volume injeksi 1 μl, rasio 1: 8 dan
laju aliran linear 20 cm detik-1. Asam lemak diidentifikasi dengan membandingkan
waktu retensi FAME dengan standarnya, dan kadar setiap komponen asam lemak
ditentukan dari luas puncak dari kromatografi gas, dan digunakan persamaan berikut :
.................................................................... (17)
Ax adalah area contoh, As area standar dan C berat standar asam lemak
Analisis Data
Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous dianalisis berdasarkan stasiun, warna
telur dan musim sedangkan berat, diameter dan volume telur dianalisis berdasarkan
warna telur. TKG dan IKG dikelompokkan berdasarkan stasiun, warna telur dan
musim. Fekunditas dan berat masa telur rajungan dianalisis berdasarkan stasiun, kelas
ukuran tubuh, warna telur dan musim, sedangkan kadar proksimat dan asam lemak
berdasarkan warna telur. Distribusi, proporsi TKG berdasarkan stasiun dan periode
penangkapan, serta fekunditas berdasarkan kelas ukuran dianalisis secara deskriptif.
Ukuran tubuh dan diameter telur, IKG, fekunditas berdasarkan stasiun dan warna
telur, serta kadar proksimat dan asam lemak berdasarkan warna telur dilakukan
analisis varian (ANOVA) satu arah dan uji Tukey pada taraf nyata 0.05 (P<0.05).
Ukuran tubuh, TKG, IKG, berat masa telur dan fekunditas berdasarkan musim
dilakukan uji t dengan asumsi ragam tidak sama. Data-data tersebut diuji
kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan
Torrie 1992), dan jika hasil uji berbeda nyata, ditransformasi ke log 10, kemudian
dilanjutkan uji ANOVA dan t.
Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui hubungan berat basah dan
berat kering telur rajungan. Analisis serupa juga digunakan untuk menentukan
hubungan lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas rajungan
(Arshad et al. 2006; Johnson et al. 2010; Ikhwanuddin et al. 2012a; Safai et al. 2013).
Selanjutnya dilakukan analisis korelasi dan ANOVA untuk mengetahui keeratan dan
nyata atau tidak nyata setiap hubungan tersebut. Dalam proses analisis data tersebut
digunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 15.
Hasil
September (Gambar 20). Proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada
setiap stasiun berkisar antara 6.72 % hingga 35.00 %, tertinggi ditemukan pada
stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2. Proporsi rajungan betina ovigerous yang
tertangkap selama penelitian pada kedalaman berkisar antara 1.5 m hingga 2.5 m
dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi padang lamun yang padat (habitat A) sebesar
11.95 %, pada kedalaman berkisar 2.5 m hingga 3.5 m dengan tipe susbtrat pasir dan
kondisi padang lamun yang kurang padat (habitat T) sebesar 13.33 %. Proporsi
rajungan betina oveigerous pada kedalaman berkisar antara 5 m hingga 12 m bertipe
substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi lamun (habitat B) sebesar 10.14 %.
Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur dan tipe habitat
yang tertangkap selama penelitian dan ditambah dengan hasil tangkapan nelayan yang
menangkap di sekitar lokasi penelitian selengkapnya tertera pada Tabel 28. Keempat
warna telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dapat ditemukan mulai pada
bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk pada kedalaman antara 0.35 m (surut)
sampai 31.0 m (pasang) dengan tipe substrat mulai dari pasir sampai lempung dan
dengan kondisi dasar perairan mulai dari yang tertutup padang lamun sampai berupa
hamparan pasir (Tabel 28, Gambar 24 dan 25).
Tabel 28. Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat
Tipe Habitat Distribusi rajungan betina ovigerous
Stasiun Kedalaman Tipe Dasar Kekeruhan Kuning Abu-abu
Orange Coklat
(m) substrat perairan (NTU) gelap
0.35-2.35 Pasir Lamun ++ 2.79 √ √ √ 0
1 1.60-3.65 pasir Lamun + 2.14 √ √ √ √
2.65-6.10 PL Hmp. pasir 2.18 √ √ 0 √
0.35-2.15 Pasir Lamun ++ 1.99 √ √ 0 0
2 1.70-3.30 Pasir Lamun + 2.27 √ √ √ √
3.70-6.60 pasir Hmp. pasir 1.60 √ 0 √ √
0.62-2.25 Pasir Lamun ++ 1.36 √ √ √ 0
3 2.00-3.71 Pasir Lamun + 0.99 0 √ √ √
4.00-8.85 PL Hmp. pasir 1.55 √ √ √ √
0.40-2.50 Pasir Lamun ++ 1.53 √ √ √ √
4 2.00-3.30 Pasir Lamun + 1.06 0 0 √ 0
8.85-13.02 PL Hmp. pasir 1.04 √ 0 √ √
0.35-2.60 Pasir Lamun ++ 1.44 √ √ 0 √
5 2.10-3.77 Pasir Lamun + 1.39 0 √ √ √
4.70-9.50 PL Hmp. pasir 1.17 0 0 0 0
6 3.65-9.55 Pasir, LLP Hmp. pasir 1.18 √ √ √ √
7 14.0-31.0 Lempung Hmp. pasir 1.18 √ √ √ √
PL pasir berlempung.; LLP lempung liat berpasir.; ++ padat.; + kurang padat.; Hmp. pasir hamparan
pasir.; √ ditemukan.; 0 tidak ditemukan.
Gambar 24. Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun dan kekeruhan di Teluk Lasongko
89
89
90
Gambar 25. Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan kekeruhan di Teluk Lasongko
90
91
Rataan lebar karapas rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur yang
tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 117.6 mm hingga 121.6 mm dengan
rataan berat tubuh berkisar antara 119.76 g hingga 142.16 g, terbesar adalah rajungan
betina berwarna abu-abu gelap dan terkecil berwarna coklat. Hasil uji ANOVA
menunjukkan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous adalah seragam (p>0.05) antar
warna telur (Tabel 29).
Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur
berkisar antara 87.6 mm hingga 144.7 mm dengan rataan 115.3 mm, dan berat tubuh
berkisar antara 60.83 g hingga 241.53 g dengan rataan 118.72 g. Lebar karapas
rajungan berina ovigerous yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 86.6 mm
hingga 162.3 mm dengan rataan 121.2 mm, dan berat tubuh berkisar antara 42.75 g
hingga 314.22 g dengan rataan 135.60 g (Tabel 29). Hasil uji t dengan asumsi ragam
tidak sama menunjukkan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous antara musim timur
dan musim barat tidak seragam (p<0.05). Rajungan yang tertangkap pada musim
barat lebih besar dari pada musim timur.
92
R² = 0.594
Berat kering (g)
10
8 n= 30 n = 29
8
6 6
4 4
2 2
0 0
0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40
Berat basah (g) (a) Berat basah (g) (c)
10 10
Bk = 0.151Bb + 0.694
Bk = 0.156Bb + 1.328
Berat kering (g)
8 8 R² = 0.805
Berat kerimg (g)
R² = 0.653
n = 25
6 n = 29 6
4 4
2 2
0 0
0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 50
Berat basah (g) (b) Berat basah (g) (d)
Gambar 26. Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan betina
ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d) abu-abu gelap
93
Diameter telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dari warna kuning
sampai warna abu-abu gelap berkisar antara 180 µm hingga 400 µm dan meningkat
sebesar 25.16 %. Volume telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap
berkisar antara 3.1 x 106 µm3 hingga 33.5 x 106 µm3 dan meningkat sebesar 91.76 %
(Tabel 30). Hasil uji ANOVA dan Tukey menunjukkan diameter dan volume telur
berbeda nyata (p<0.05) antar warna telur rajungan ovigerous.
80.00
Proporsi TKG (%)
60.00
TKG IV
TKG III
40.00
TKG II
20.00 TKG I
0.00
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 27. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun
Rajungan betina ovigerous warna kuning, orange dan abu-abu gelap didominasi
oleh TKG II, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 45.75 %, 34.29 % dan
32.14 %, sedangkan warna coklat didominasi oleh TKG III (33.33 %). Rajungan
94
betina ovigerous warna kuning dan orange didominasi oleh rajungan yang belum
matang gonad, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 77.50 % dan 80.00 %.
Sebaliknya, rajungan betina ovigerous berwarna coklat dan abu-abu gelap proporsi
rajungan yang matang gonad dan belum matang gonad adalah seimbang, yaitu
keduanya masing-masing dengan proporsi 50 %. Proporsi rajungan betina ovigerous
TKG IV cenderung meningkat dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Gambar 28).
100
80
Proporsi TKG (%)
60
TKG IV
TKG III
40
TKG II
TKG I
20
0
Kuning Orange Coklat Abu-abu gelap
Warna telur
Gambar 28. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur
Jumlah total contoh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim
timur sebanyak 67 ekor, terdiri atas 64.18 % (43 ekor) dengan gonad TKG I sampai
IV, dan 35.82 % (24 ekor) dengan gonad belum berkembang. Sebaliknya, jumlah
total rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat sebanyak 101 ekor,
terdiri dari 84.16 % (85 ekor ) dengan gonad TKG I sampai IV dan 15.84 % (16
ekor) dengan gonad belum berkembang. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap
pada musim timur dan barat didominasi oleh TKG II dan I (belum matang gonad),
masing-masing dengan proporsi sebesar 72.10 % dan 57.65 % (Tabel 31).
Rajungan betina ovigerous hanya yang tertangkap pada bulan November,
Januari dan Februari ditemukan semua tahap perkembangan gonad (TKG I sampai
IV), sedangkan pada bulan lainnya sebagian besar hanya ditemukan tiga tahap
perkembangan gonad. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Mei
hanya terdiri dari TKG III dan IV. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada
bulan Mei, Oktober dan November didominasi oleh rajungan yang matang gonad,
yaitu masing-masing dengan proporsi 100 %, 60.00 % dan 63.63 % dari jumlah
contoh rajungan ovigerous dengan gonad yang telah berkembang (TKG I sampai IV)
yang dianalisis. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Januari
adalah seimbang antara yang matang gonad dan yang belum matang gonad (Tabel
31). Rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko yang tertangkap di luar keempat
95
bulan tersebut didominasi oleh yang belum matang gonad, yaitu masing-masing
dengan proporsi berkisar antara 58.33 % hingga 92.86 %.
Hasil uji statistik (uji t), hanya IKG rajungan betina ovigerous dengan TKG I
dan II menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan musim barat
(Tabel 31). IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat
sebagian besar lebih kecil dari pada musim timur (Tabel 32).
Tabel 32. IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan stasiun,
warna telur dan musim
IKG berdasarkan TKG
Variabel
I II III IV
A. Stasiun
1 0.68 + 0.19a 1.01 + 0.73a 1.75 3.39 + 0.84a
a a a
2 0.17 + 0.14 0.82 + 0.72 2.55 + 0.48 3.84
3 0.25 + 0.24a 1.29 + 1.15a 2.20 + 0.53a 3.62 + 0.70a
4 0.54 + 0.17a 1.02 + 0.37a 1.88 + 0.83a 2.22 + 1.00a
5 0.35 + 0.10a 0.81 + 0.24a 1.53 + 0.48a 2.82 + 0.87a
a a a
6 0.50 + 0.34 1.45 + 0.42 1.22 + 0.18 3.57
a a a
7 0.43 + 0.19 0.77 + 0.23 1.63 + 0.67
B. Warna Telur
Kuning 0.36 + 0.20a 1,23 + 0.72a 1.65 + 0.69a 1.85 + 1.33a
Orange 0.45 + 0.20a 0.86 + 0.35a 1.36 + 0.33a 1.86 + 0.49a
a a
Coklat 0.85 1.15 + 0.63 1.87 + 0.48 2.98 + 1.46a
Abu-abu gelap 0.40 + 0.34a 1.10 + 0.40a 1.99 + 1.04a 3.29 + 0.55a
C. Musim
Musim timur 0.29 + 0.24a 1.41 + 0.62a 2.36 + 1.16a 2.86 + 1.30a
b b a
Musim barat 0.48 + 0.20 0.91+ 0. 48 1.73 + 0.66 2.38 + 1.20a
Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous yang tertangkap selama
penelitian ditemukan sangat bervariasi (Gambar 29). Pada Gambar 29 terlihat IKG
rajungan betina ovigerous tertinggi tertangkap pada bulan Oktober (1.86) dan
terendah pada bulan Agustus (0.45). Rataan IKG rajungan betina ovigerous yang
tertangkap pada musim barat cenderung menurun sedangkan yang tertangkap pada
musim timur juga cenderung berfluktuasi (Gambar 29).
Fekunditas x 100000
F = 19268 Lk - 2E+06 25 F = 6224.Bt- 53530
20 R² = 0.563 n = 113 20 R² = 0,699 n =113
15 15
10 10
5 5
0 0
50 100 150 200 50 150 250 350
25 60
Fekunditas x 100000
Fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna kuning berkisar antara 326 848
butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 672 289 butir, serta berat telur berkisar
antara 1.67 g hingga 54.46 g dengan rataan 18.67 g (Tabel 35). Hasil analisis regresi
linear hubungan antara lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas
rajungan betina ovigerous berwarna kuning menunjukkan hubungan yang sangat
nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif, demikian juga antara berat tubuh dan
berat telur (Gambar 31).
25 25
Fekunditas x 100000
F = 20405 Lk - 2E+06
Fekunditas x 100000
F = 6455.Bt - 10027
20 R² = 0.651 n = 49 20
R² = 0.823 n = 49
15 15
10 10
5 5
0 0
50 100 150 200 50 100 150 200 250 300 350
Gambar 31. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina
ovigerous warna kuning
Fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna orange berkisar antara 222 031
butir hingga 1 816 334 butir dengan rataan 748 179 butir. Berat telur rajungan betina
ovigerous tersebut berkisar antara 4.22 g hingga 42.75 g dengan rataan 19.94 g, serta
indeks masa telur sebesar 14.97 (Tabel 35). Hubungan lebar karapas, berat tubuh dan
berat telur dengan fekunditas rajungan betina ovigerous warna orange menunjukkan
hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif, dan hal yang sama
juga terjadi pada hubungan antara berat tubuh dengan berat telur (Gambar 32).
Fekunditas rajungan betina ovigerous warna coklat muda berkisar antara 401
137 butir hingga 1 106 030 butir dengan rataan 749 481 butir , dan berat tubuh
berkisar antara 51.47 g hingga158.46 g dengan rataan 115.32 g, serta rataan berat
telur 21.35 g (Tabel 35) dan indeks masa telur 8.51. Hubungan lebar karapas dan
fekunditas rajungan betina ovigerous warna coklat muda menunjukkan hubungan
nyata (p<0.05), berkorelasi cukup kuat dan positif. Hubungan lebar karapas, berat
tubuh serta berat telur dan fekunditas rajungan menunjukkan hubungan sangat nyata
(p<0.01), berkorelasi kuat dan positif demikian juga antara berat tubuh dan berat
telur juga menunjukkan sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif (Gambar 33).
100
20 20
x 100000
x 100000 F = 6523.Bt - 13197
15 15 R² = 0.716 n = 45
F= 21582Lk - 2E+06
R² = 0.584 n = 45
10 10
Fekunditas
Fekunditas
5 5
0 0
50 70 90 110 130 150 50 100 150 200 250 300
Berat tubuh (g) (b)
Lebar karapas (mm) (a)
60
x 100000
20 Be = 0,174Bt - 3.156
F = 33614Be + 62915 R² = 0.726 n = 45
10
20
5
0
0
5 15 25 35 45 50 100 150 200 250 300
Berat telur (g) (c) Berat tubuh (g) (d)
Gambar 32. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina
ovigerous warna orange
15 15
Fekunditas x 100000
R² = 0.280 n= 19 R² = 0.405 n= 19
10 10
5 5
0
0
25 75 125 175
70 90 110 130 150
10 30
20
5
10
0 0
5 15 25 35 50 100 150 200
Gambar 33. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina
ovigerous warna kuning coklat muda
Fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap
pada setiap musim ditemukan bervariasi. Fekunditas, berat telur dan berat tubuh
rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat relatif lebih bervariasi
101
dari pada yang tertangkap pada musim timur. Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak
sama menunjukkan fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous
seragam (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 36).
Tabel 36. Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan musim
Jumlah Fekunditas Berat telur Berat tubuh Indeks
Musim
(ekor) (butir) (g) (g) Telur
Musim timur 47 709284a 19.90+7.38a 120.16+37.14a 16.56
Koefisien variasi (%) 41.09 30.91 37.08
Musim barat 66 722550a 19.43+9.19a 129.29+47.40a 15.03
Koefisien variasi (%) 48.78 36.66 47.29
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous pada setiap bulan selama penelitian
tertera pada Gambar 34. Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous yang tertangkap
setiap bulan berkisar antara 556 248 butir hingga 868 261 butir, tertinggi tertangkap
pada bulan Mei dan terendah pada bulan Agustus.
.
Gambar 34. Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan
Rataan kadar abu telur rajungan berkisar antara 1.57 % hingga 1.94 %,
tertinggi pada telur berwarna abu-abu gelap dan terendah pada warna coklat, serta
kadar abu meningkat sebesar 23.03 % dengan perubahan warna telur dari warna
kuning ke warna abu-abu gelap. Hasil uji ANOVA menunjukkan kadar abu dan
lemak tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur rajungan. Rataan kadar lemak
telur rajungan berkisar antara 1.31 % hingga 1.71 %, tertinggi pada telur warna coklat
dan terendah pada telur warna abu-abu gelap. Kadar lemak menurun sebesar 20.12 %
dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap.
Tabel 37. Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur
Kadar proksimat (% w/w)
No. Warna Telur
Air Abu Lemak Protein Karbohidrat
1. Kuning 73.56+4.41a 1.78+0.45a 1.64+0.33a 15.97+2.93b 7.06 +1.08b
2. Orange 76.00+2.81a 1.94+0.24a 1.66+0.33a 14.38+1.99ab 6.01 +1.03b
3. Coklat 81.24+4.04ab 1.57+0.52a 1.71+0.43a 11.37+3.10ab 4.23 +1.04a
4. Abu-abu gelap 82.53+4.31b 2.19+0.43a 1.31+0.57a 10.93+2.92a 3.09 +1.09a
Perubahan (%) +12.19 +23.03 -20.12 -31.56 -54.82
+ kadarnya naik .; - = kadarnya turun.; w = berat basah.; Angka pada kolom yang sama dengan
huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).
Rataan kadar protein telur rajungan berkisar antara 10.93 % hingga 15.97 %,
tertinggi ditemukan pada telur warna kuning dan terendah pada warna abu-abu gelap.
Hasil ANOVA menunjukkan kadar protein telur berbeda nyata (p<0.05) antar warna
telur. Berdasarkan uji Tukey, hanya antara telur warna kuning dan warna abu-abu
gelap yang berbeda nyata (p<0.05) kadar proteinnya, sedangkan kadar protein antar
warna lain tidak berbeda nyata (p>0.05). Kadar protein dan kadar karbohidrat
menurun masing-masing sebesar 31.56 % dan 54.82 % dengan perubahan warna telur
rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel 37). Rataan kadar
karbohidrat telur rajungan berkisar antara 3.09 % hingga 7.06 %, tertinggi ditemukan
pada telur warna kuning dan terendah abu-abu gelap. Hasil analisis ANOVA
menunjukkan kadar karbohidrat berbeda nyata (p<0.05) antara warna telur rajungan.
Namun, hasil uji Tukey menunjukkan kadar karbohidrat telur rajungan hanya antara
warna abu-abu gelap dan coklat dengan warna kuning dan coklat berbeda nyata (p<0.05),
sedangkan antar kedua pasang warna telur tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05).
dan coklat, dan asam miristoleat tidak ditemukan pada warna telur abu-abu gelap.
Asam nervonat hanya ditemukan pada telur warna kuning dan coklat, serta asam
linolelaidat hanya ditemukan pada telur warna orange (Tabel 38).
Tabel 38. Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur
Kadar asam lemak (%) /Warna telur Perubahan
Jenis asam lemak
Kuning Orange Coklat Abu-abu gelap (%)
A. SFA 26.42+0.42c 18.83+0.18a 28.45+0.11d 23.11+ 0.84b -12.56
Capric acid, C10:0 0.08+0.06 0.02+0.00 td td -75
Lauric acid, C12:0 0.04+0.01 0.06+0.01 0.06+0.01 0.04+0.01 0
Tridecanoic acid, C13:0 td 0.02+0.00 0.02+0.00 td 0
Myristic acid, C14:0 1.43+0.05 1.27+0.08 1.49+0.07 0.76+0.11 -46.67
Pentadecanoic acid, C15:0 0.99+0.26 0.64+0.00 0.72+0.21 0.54+0.04 -45.45
Palmitic acid, C16:0 15.39+1.49 11.46+0.25 16.25+0.63 12.18+0.54 -20.86
Heptadecanoic acid, C17:0 1.21+0.19 0.66+0.03 1.31+0.01 1.01+0.03 -16.60
Stearic acid, C18:0 6.17+0.49 4.06+0.01 7.20+0.33 7.28+0.00 +17.60
Arachidic acid, C20:0 0.55+0.09 0.34+0.02 0.74+0.04 0.68+0.01 +24.77
Heneicosanoic acid, C21:0 0.18+0.00 0.08+0.01 0.18+0.01 0.10+0.01 -44.44
Behenic acid, C22:0 0.29+0.04 0.18+0.03 0.38+0.02 0.47+0.01 +63.79
Lignoceric acid, C24:0 0.12+ 0.02 0.07+0.01 0.13+.0.00 0.08+0.06 -33.33
B. MUFA 14.17+2.57a 11.70+0.01a 14.15+0.64a 9.51+0.48a -32.89
Myristoleic acid, C14:1 0.05 + 0.03 0.04+0.00 0.05+0.02 td 0
Palmitoleic acid, C16:1 6.15+1.88 5.34+0.19 5.56+0.74 2.65+0.11 -56.88
Cis-10-Heptadecanoic acid, C17:1 0.08+0.02 0.07+0.01 0.07+0.01 0.05+0.01 -43.75
Elaidic acid, C18:1n9t 0.31+0.07 0.26+0.01 0.34+0.04 0.24+0.01 -22.95
Oleic acid, C18:1n9c 7.23+0.77 5.76+0.25 7.77+0.10 `6.31+0.31 -12.79
Cis-11-Eicosenoic acid, C20:1 0.21+0.01 0.21+0.03 0.26+0.06 0.25+0.07 +16.28
Erucic acid, C22:1n9 0.10+0.00 0.03+0.01 0.05+0.00 0.02+0.01 -75
Nervonic acid, C24:1 0.05+0.02 td 0.05+0.02 td 0
C. PUFA 13.22+2.30ab 9.34+1.41a 17.72+0.77bc 23.02+0.39c +74.23
Linolelaidic acid, C18:2n9t td 0.04+0.00 td td 0
Linoleic acid, C18:2n6c 0.75+0.04 0.70+0.03 0.99+0.07 0.85+0.02 +14.09
Linolenic acid, C18:3n3 0.34+0.02 0.19+0.03 0.39+0.03 0.21+0.01 -38.24
Cis-11,14-Eicosedienoic acid,
0.70+0.15 0.31+0.03 0.85+0.24 0.78+0.17 +12.23
C20:2
Cis-8,11,14-Eicosetrienoic acid,
0.20+0.02 0.16+0.01 0.25+0.02 0.16+0.00 -17.95
C20:3n6
Cis-11,14,17-Eicosetrienoic acid,
0.06+0.01 0.04+0.01 0.07+0.02 0.08+0.02 +25.00
C20:3n3
ARA, C20:4n6 3.26+0.75 2.90+0.49 3.91+0.39 7.38+0.29 +126.73
EPA, C20:5n3 3.23+0.88 2.76+0.17 4.98+0.09 7.26+0.65 +124.61
DHA, C22:6n3 4.70+0.56 2.25+0.73 6.30+0.24 6.32+0.58 +34.50
D. Total asam lemak 53.81+0.70b 39.87+1.56a 60.32+0.03c 55.64+0.93b +3.40
∑(n-3) 8.39 5.29 11.79 13.93 +66.13
∑(n-6) 4.39 3.91 5.395 8.55 +94.76
∑(n-3)/∑(n-6) 1.91 1.35 2.19 1.63 -14.70
EPA/DHA 0.69 1.23 0.79 1.15 +66.99
EPA/ARA 0.99 0.96 1.27 0.98 -0.93
td tidak terdeteksi.; - kadarnya turun.; +kadarnya naik.; Angka pada baris yang sama dengan huruf
sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).
104
Rataan kadar total asam lemak telur rajungan berkisar antara 39.87 % hingga
60.32 %, dan terbagi atas kadar SFA berkisar 18.83 % hingga 28.45 %, kadar MUFA
berkisar antara 9.51 % hingga 14.17 %, dan kadar PUFA berkisar antara 9.34 %
hingga 23.02 % (Tabel 38). Kadar total asam lemak dan SFA telur rajungan tertinggi
ditemukan pada telur warna coklat, kadar PUFA tertinggi ditemukan pada telur warna
abu-abu gelap, sedangkan kadar total asam lemak, SFA dan PUFA terendah
ditemukan pada telur warna orange. Kadar MUFA tertinggi ditemukan pada telur
warna kuning, dan terendah pada telur warna abu-abu gelap. Kadar SFA menurun
sebesar 12.56 % dan MUFA sebesar 32.89 %, sebaliknya kadar PUFA meningkat
sebesar 74.23 % dan total asam lemak sebesar 3.40 % seiring dengan perubahan
warna telur rajungan dari warna kuning ke abu-abu gelap (Tabel 38).
Hasil uji ANOVA kadar SFA, PUFA dan total asam lemak telur berbeda nyata
(p<0.05) antar warna telur rajungan, sebaliknya MUFA tidak berbeda nyata (p>0.05).
Hasil uji Tukey menunjukkan kadar SFA antar warna telur rajungan berbeda nyata
(p<0.05), dan juga kadar PUFA antara telur warna kuning dan orange dengan telur
warna abu-abu gelap, serta antara telur warna orange dengan warna coklat berbeda
nyata (p<0.05). Hasil uji Tukey menunjukkan kadar total asam lemak telur rajungan
hanya antara warna kuning dan warna abu-abu gelap yang tidak berbeda nyata
(p<0.05) (Tabel 38).
Jenis SFA yang mengalami penurunan kadar terbesar adalah asam kaprik,
sedangkan jenis MUFA adalah asam erucik, yaitu keduanya turun 75 % akibat
perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel
38). Jenis SFA yang juga menurun kadarnya adalah asam meristik, pentadecanoik,
heneicosanoik dan asam lignocerik, sedangkan kadar asam behenik, asam arachidik
dan asam stearik meningkat, dan kadar asam laurik dan asam tridecanoik tidak
berubah dengan perubahan warna telur rajungan tersebut. Asam palmitoleik dan
heptadecanoik adalah kelompok MUFA ditemukan kadarnya menurun, serta kadar
asam eicosenoik meningkat, namun kadar asam miristoleik dan asam nervonik
relatif tidak mengalami perubahan dengan perubahan warna telur rajungan tersebut.
Kadar PUFA umumnya meningkat seiring perubahan warna telur rajungan dari
kuning ke abu-abu gelap, kecuali asam linolenik dan asam eicosetrienoik (Tabel 38).
Jenis PUFA yang kadarnya meningkat tajam selama perkembangan embrio rajungan
adalah ARA, EPA dan DHA. Jumlah kadar asam lemak omega-3 (n-3) telur
rajungan lebih tinggi dari pada asam lemak omega-6 (n-6), namun kadar kedua
kelompok asam lemak tersebut meningkat dengan perubahan warna telur rajungan
dari warna kuning ke abu-abu gelap. Rasio asam lemak n-3 terhadap asam lemak n-6
menurun dengan perubahan warna telur rajungan dari kuning ke abu-abu gelap (Tabel
38). Rasio EPA terhadap DHA meningkat sekitar 67 % dengan perubahan warna telur
rajungan dari kuning ke abu-abu gelap, sebaliknya rasio EPA terhadap ARA menurun
< 1 % (Tabel 38) dengan perubahan warna telur rajungan tersebut.
Pembahasan
Keberadaan dan Distribusi Rajungan Betina Ovigerous
Keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko serupa dengan yang
ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Asia Tenggara (Batoy et al. 1987, Ingles dan
105
Braum 1989; Nitiratsuwan et al. 2010; Ikhwanuddin et al. 2011; Kunsook 2011;
Sunarto 2012; Songrak et al. 2014), yaitu dapat ditemukan sepanjang tahun. Proporsi
rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang
ditemukan di Teluk Kung Krabaen dan di Pantai Trang, Thailand, yaitu berkisar antara
4.4 % hingga 55.56 % (Kunsook 2011; Nitiratsuwan et al. 2013; Songkrak et al.
2014). Puncak keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko yang terjadi
pada bulan Oktober-November lebih tinggi dibandingkan yang tertjadi pada bulan
Juli-Agustus dan bulan Februari (Gambar 20). Periode waktu puncak tertinggi
keberadaan rajungan betina ovigerous tersebut bersamaan juga ditemukan suhu dan
salinitas lebih tinggi. Suhu dan salinitas di perairan ini pada bulan Oktober dan
November lebih tinggi dari pada sepuluh bulan lainnya (Gambar 3). Hal ini
menunjukkan bahwa puncak keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko
berkaitan dengan suhu dan salinitas. Hal ini didukung oleh pernyataan de Lestang et al.
(2003) bahwa suhu dan salinitas sangat menentukan siklus reproduksi dan
perkembangan gonad rajungan.
Secara umum, proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bagian
tengah (stasiun 6) dengan kedalaman berkisar antara 3.65 m hingga 9.55 m dan tipe
substrat pasir dan lempung liat berpasir, pada stasiun 7 dengan kedalaman 14.0 m
hingga 31.0 m dan tipe substrat lempung, dan kondisi dasar perairan berupa hamparan
pasir lebih tinggi dari pada yang tertangkap pada lima stasiun lainnya. Kondisi habitat
rajungan betina ovigerous pada kelima stasiun tersebut sebagian besar bertipe substrat
pasir (Tabel 1 dan Gambar 25) dan ditumbuhi lamun (Tabel 2 dan Gambar 24).
Distribusi rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko berdasarkan pada warna
telur yang dierami tidak memperlihatkan pola yang jelas terhadap kedalaman, tipe
substrat, kondisi dasar perairan dan kekeruhan (Tabel 28). Hal ini bertentangan
dengan yang ditemukan pada penelitian sebelumnya (Kangas 2000; Potter dan de
Lestang 2000; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Nitiratsuwan et al. 2013)
bahwa distribusi rajungan betina ovigerous dipengaruhi oleh kedalaman dan tipe
substrat dan kekeruhan air. Rajungan betina ovigerous dengan warna telur dari kuning
sampai abu-abu gelap hampir ditemukan pada semua tipe habitat, yaitu mulai dari
bagian intertidal yang ditumbuhi oleh lamun yang padat dengan tipe substrat pasir dan
relatif keruh sampai pada bagian mulut teluk dengan dasar perairan berupa hamparan
pasir dengan tipe substrat lempung (Tabel 28). Keempat warna telur rajungan
ovigerous ditemukan pada bagian tengah teluk (stasiun 6) dan pada bagian yang dalam
(stasiun 7).
Pada beberapa penelitian sebelumnya (Potter et al. 1983; Sumpton et al. 1994;
Kangas 2000; Xiao dan Kumar 2004) dilaporkan bahwa rajungan betina ovigerous
melakukan migrasi ke bagian perairan yang dalam dan jernih dengan kondisi substrat
berpasir untuk melakukan pemijahan. Sebaliknya, pada penelitian ini rajungan betina
ovigerous warna abu-abu gelap dapat ditemukan di padang lamun dengan kondisi air
yang relatif keruh. Pada bagian kepala teluk (stasiun 1 dan 2) yang relatif keruh hanya
pada kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 2.35 m dan ditumbuhi lamun yang
padat tidak ditemukan betina ovigerous warna abu-abu gelap, dan juga tidak
ditemukan pada stasiun 3 (Tabel 28). Rajungan betina ovigerous warna abu-abu
106
gelap juga tidak ditemukan pada stasiun 4, khususnya pada kedalaman 2.0 m hingga
3.30 m dengan kondisi lamun yang kurang padat. Hal ini mengindikasikan bahwa
lokasi pemijahan rajungan di Teluk Lasongko tidak selamanya berlangsung pada
lokasi yang dalam dengan kondisi air yang jernih, namun diduga dapat berlangsung di
daerah padang lamun yang dangkal (kedalaman berkisar antara 0.40 m hingga 3.71 m)
dan juga pada lokasi yang keruh (stasiun 1). Dugaan tersebut didasarkan pada hasil
penelitian Arshad et al. (2006) bahwa telur rajungan berwarna abu-abu gelap tidak ada
lagi perkembangan yang berarti dan telur siap menetas dalam periode waktu 12 jam
hingga 24 jam. Namun, untuk membuktikan dugaan tersebut dapat dilakukan dengan
mengkaji pola migrasi rajungan betina ovigerous, diantaranya dengan metode
penandaan (tagging), dan juga mengalisis distribusi larva rajungan di Teluk Lasongko.
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa ada perbedaan warna telur pada
setiap stadia kematangan gonad. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan
orange umumnya merupakan rajungan yang belum matang gonad, sedangkan
rajungan betina dengan telur warna coklat dan abu-abu gelap antara yang matang
gonad dengan yang belum matang gonad adalah seimbang. Namun, demikian
proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad meningkat dengan perubahan
warna telur dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Gambar 26). Berdasarkan
warna telur menunjukkan bahwa peningkatan TKG rajungan betina ovigerous terjadi
seiring dengan perubahan warna telur rajungan, yaitu dari warna kuning ke warna
abu-abu gelap. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan gonad dalam tubuh
rajungan betina ovigerous terjadi bersamaan (paralel) dengan perkembangan embrio
yang ada di luar tubuhnya.
Adanya perkembangan kematangan gonad dan embrio rajungan betina
ovigerous berlangsung paralel yang ditemukan pada penelitian ini, merupakan suatu
bukti bahwa rajungan dapat mengeluarkan telur lebih dari satu tahap (batch) telur
dalam satu musim pemijahan atau dengan kata lain rajungan memijah secara parsial
(partial spawner). Gonad yang sedang berkembang dalam tubuh rajungan betina
ovigerous akan dikeluarkan pada tahap berikutnya dalam musim pemijahan yang
sama, dan hal ini berpotensi meningkatkan hasil reproduksi rajungan.
TKG dan proporsi setiap TKG rajungan betina ovigerous yang ditemukan
dalam penelitan ini pada setiap periode penangkapan cukup bervariasi. Rajungan
betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi oleh TKG
I dan II (belum matang gonad), namun proporsi rajungan betina ovigerous dengan
TKG III dan IV yang tertangkap pada musim barat lebih tinggi dari pada yang
tertangkap pada musim timur, sedangkan untuk TKG I dan II (belum matang gonad)
terjadi sebaliknya (Tabel 31). Hal ini memperkuat bukti yang dinyatakan pada
bagian sebelumnya (Bab 4) bahwa puncak musim pemijahan rajungan tertinggi di
Teluk Lasongko terjadi pada bulan Oktober-November atau pada musim barat
(Gambar 20).
Rataan IKG setiap TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna
dan musim berkisar antara 0.17 hingga 3.39 (Tabel 31), dan ditemukan cukup
bervariasi, namun antar stasiun dan warna telur rajungan tidak berbeda nyata
(p>0.05), kecuali antar musim. Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous
pada penelitian ini berkisar antara 0.45 hingga 1.93 (Gambar 20), lebih rendah dari
yang ditemukan di Pantai Cochin, yaitu berkisar antara 0.50 dan 3.16 (Pillay dan
Nair 1971). Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous pada penelitian ini
lebih rendah dari pada rataan IKG total bulanan rajungan betina yang belum
ovigerous, yaitu berkisar antara 1.80 hingga 4.55 (Gambar 19) dan mirip dengan yang
ditemukan di Pantai Cochin, India, yaitu berkisar 0.17 hingga 6.85 (Pillay dan Nair
1971). Hal ini diduga karena alokasi penggunaan energi untuk reproduksi pada
rajungan betina ovigerous terbagi untuk perkembangan embrio dan perkembangan
gonad sehingga berat gonad yang dihasilkan lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian
ini dapat diketahui bahwa berat gonad rajungan betina ovigerous pada TKG II, III dan
IV umumnya lebih rendah dari pada rajungan betina yang belum mencapai ovigerous.
Hal ini didukung oleh penelitian Oniam et al. (2014) bahwa fekunditas rajungan yang
109
dihasilkan pada pemijahan pertama lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pada
pemijahan kedua untuk rajungan betina ovigerous yang sama.
IKG rajungan betina ovigerous pada penelitian ini juga lebih rendah dari IKG
Scylla olivacea, yaitu berkisar antara 0.66 hingga 10.22 (Azmie et al. 2012) dan P.
sanguinolentus yang belum ovigerous, berkisar 1.26 hingga 4.90 (Soundarapandian
et al. 2013b). IKG rajungan betina ovigerous semakin besar dengan meningkatnya
tingkat kematangan gonad karena ukuran gonad semakin bertambah besar. IKG
rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur lebih tinggi dari pada
yang tertangkap pada musim barat (Tabel 31), karena diduga ketersediaan makanan
rajungan pada musim timur lebih tinggi dari pada musim barat. IKG rajungan betina
ovigerous tertinggi tertangkap pada bulan April dan terendah tertangkap pada bulan
Agustus (Gambar 20). IKG rajungan betina ovigerous pada bulan Agustus lebih
rendah dibandingkan dengan pada bulan lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh delapan
ekor rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan tersebut, tujuh ekor
diantaranya ditemukan dengan TKG I dan satu ekor dengan TKG II.
Fekunditas
Rataan berat basah masa telur rajungan betina ovigerous yang tertangkap di
Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar antara 16.32 g hingga 22.99 g, dan
berdasarkan kelas ukuran berkisar antara 12.25 g hingga 54.46 g, serta berdasarkan
warna telur berkisar antara 18.67 g hingga 21.35 g. Berat telur rajungan yang
diperoleh pada penelitian ini lebih ringan dari pada yang dilaporkan sebelumnya
(Arshad et al. 2006; Josileen 2013), yaitu berkisar antara 11.96 g hingga 61.5 g,
namun lebih berat dari yang dilaporkan oleh Sukumaran dan Neelakantan (1997,
1998), yaitu berkisar antara 1.99 g hingga 25.29 g. Ukuran tubuh (berat tubuh dan
lebar karapas) dan berat basah telur rajungan betina ovigerous pada penelitian ini
ditemukan bervariasi, dan menjadi penyebab bervariasinya fekunditas rajungan di
Teluk Lasongko. Namun, hasil uji statistik (ANOVA) menunjukkan bahwa berat
basah dan berat kering telur rajungan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur
rajungan betina ovigerous (Tabel 30).
Indeks masa telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko cenderung
meningkat dengan meningkatnya ukuran tubuh dan perubahan warna telur. Indeks
masa telur pada penelitian ini lebih tinggi dari Sukumaran dan Neelakantan (1997a)
dan Josileen (2013), namun indeks masa telur dari kedua penelitian ini tidak
memperlihatkan pola yang jelas terhadap perubahan ukuran tubuh rajungan betina
ovigerous. Hubungan linear berat tubuh dan berat telur rajungan betina ovigerous
menunjukkan hubungan yang sangat nyata, berkorelasi kuat serta positif. Secara
umum, rajungan betina ovigerous yang tubuhnya lebih berat memiliki bobot telur
yang lebih tinggi juga, namun pada kasus tertentu anggapan tersebut tidak berlaku.
Berat telur rajungan terkecil (1.67 g) pada penelitian ini ditemukan pada rajungan
betina ovigerous dengan berat tubuh 166.23 g dan lebar karapas 136.9 mm.
Fekunditas rajungan yang ditemukan di Teluk Lasongko cukup bervariasi, yaitu
berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 717 032 butir, dan
rataan fekunditas tersebut lebih rendah dari pada di Pantai Pati (Ernawati 2013).
Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko masih dalam kisaran fekunditas rajungan
110
yang ditemukan pada beberapa lokasi di Asia Tenggara, yaitu berkisar 105 443 butir
hingga 2 132 924 butir (Batoy et al. 1987, 1988; Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin
et al. 2011, 2012a; Oniam et al. 2012; Songrak et al. 2014). Fekunditas rajungan
tertinggi ditemukan di Pantai Sematan, Sarawak, Malaysia Timur (Ikhwanuddin et al.
2011), dan terendah di Pantai Johor, Malaysia Barat (Ikhwanuddin et al. 2012a).
Hasil penelitian fekunditas pada beberapa penelitian di Asia Tenggara menunjukkan
bahwa fekunditas rajungan bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 39).
Tabel 39. Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas (LK) rajungan betina
ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara
Fekunditas Berat telur LK
Lokasi Sumber
(butir) (g) (mm)
Teluk Kung Krabaen, Thailand 572 138 26.62 118.8 Kunsook 2011
Pantai Trang, Thailand 472 357 - 80.9 *) Songrak et al. 2014
Port Dickson, Malayasia 766 651 44.77 141.04 Arshad et al. 2006
Sematan-Sawarak, Malayasia 2 132 924 - 16.5 Ikhwanuddin et al. 2011
Pantai Johor, Malaysia 105 443 - 112.88 Ikhwanuddin et al. 2012a
Pantai Pati, Indonesia 957 200 - 124.88 Ernawati 2013
Teluk Lasongko, Indonesia 717 032 19.71 118.87 Penelitian ini
*)
lebar karapas dalam.; - tidak ada data.
Variasi fekunditas rajungan terbesar pada penelitian ini ditemukan berdasarkan
kelas ukuran, yaitu dengan koefisien variasi berkisar antara 23.13 % hingga 71.49 %,
sedangkan yang terkecil berdasarkan warna telur rajungan betina ovigerous, yaitu
berkisar antara 23.98 % hingga 49.67 %. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecederungan
fekunditas meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran rajungan, namun
besarnya peningkatan tersebut bervariasi pada kelas ukuran yang sama.
Rataan fekunditas rajungan yang dominan ditemukan di Teluk Lasongko
berkisar antara 694 927 butir hingga 599 717 butir dengan kelas ukuran lebar karapas
rajungan betina ovigerous 116.7-126.6 mm dan 106.7-116.6 mm (Tabel 34).
Fekunditas rajungan di Pantai Karnataka didominasi oleh 324 218 butir dan 541 610
butir pada kelas ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous 110-120 mm dan
140-150 mm (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan1997a), dan di Pantai
Mandapan, India 640 431 butir dengan lebar karapas 120-129 mm (Josileen 2013).
Rataan fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berdasarkan warna telur rajungan
betina ovigerous berkisar antara 700 698 butir hingga 733 794 butir dengan rataan
lebar karapas berkisar antara 117.2 mm hingga 120.0 mm (Tabel 7), tertinggi
ditemukan pada warna coklat muda dan terendah pada warna kuning.
Hubungan antara lebar karapas, berat tubuh rajungan betina ovigerous dan berat
telur dengan fekunditas menunjukkan hubungan linear yang sangat nyata, berkolerasi
kuat dan positif. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan lebar karapas, berat tubuh
dan berat masa telur akan diikuti oleh peningkatan fekunditas rajungan. Nilai
koefisien determinasi (R2) hubungan berat telur dengan fekunditas rajungan lebih
tinggi dari pada hubungan lebar karapas dan berat tubuh tubuh rajungan betina
ovigerous. Hal ini disebabkan oleh lebar karapas berhubungan sangat kuat dengan
111
ukuran lebar dan panjang abdomen rajungan betina (Tabel 14 dan Gambar 11).
Ukuran abdomen rajungan betina dewasa semakin besar, karena berfungsi untuk
menampung telur selama dierami atau perkembangan embrio. Oleh karena itu, untuk
memprediksi fekunditas rajungan secara empiris dengan persamaan regresi linear
lebih tepat apabila menggunakan berat telur dari pada lebar karapas dan berat total
tubuh rajungan betina ovigerous sebagai variabel penduga.
identik dengan ditemukan pada beberapa jenis dekapoda yang hidup di laut, Polybius
henslowii, Macropipus tuberculatus dan Plesionika narval (Rosa et al. 2007).
PUFA telur rajungan pada penelitian ini sebagian besar cenderung kurang
dimanfaatkan selama perkembangan embrio dilihat dari kadar PUFA dengan
perubahan warna telur dari warna kuning ke abu-abu gelap ditemukan meningkat,
kecuali asam linolenik dan asam eicosetrienoik (Tabel 38). PUFA, khususnya jenis
asam lemak esensial (ARA, EPA dan DHA) umumnya digunakan sebagai sumber
energi pada larva rajungan yang baru menetas.
Kadar ARA, EPA dan DHA pada telur rajungan warna orange menurun drastis,
namun pada telur rajungan warna coklat dan abu-abu gelap kadarnya meningkat. Hal
ini menunjukkan bahwa ketiga jenis asam lemak tersebut banyak dimanfaatkan pada
tahap gastrula dan pembentukan placode mata embrio rajungan, dan pada tahap
selanjutnya sebagian besar disimpan sebagai cadangan energi dan digunakan pada
tahap awal larva (zoea) rajungan. Hal ini merupakan strategi rajungan untuk
meningkatkan kelangsungan hidup larva yang baru ditetaskan.
Simpulan
1. Distribusi rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dari warna kuning sampai
warna abu-abu gelap ditemukan pada berbagai tipe habitat, dan frekuensi
tertangkap pada stasiun 6 dan 7 cenderung lebih tinggi dari pada lima stasiun
lainnya,
2. Tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko
cenderung meningkat seiring dengan perubahan warna telur dari warna kuning
menjadi warna abu-abu gelap,
3. Tipe pemijahan rajungan di Teluk Lasongko bersifat parsial (partial spawner),
4. Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078
874 butir (rataan 717 032 + 327 140 butir), dan
5. Kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan mengalami perubahan seiring
dengan perubahan warna telur.
113
Pendahuluan
Parameter dinamika populasi atau yang lazim disebut dengan parameter
populasi meliputi parameter pertumbuhan, rekrutmen dan kematian. Jika salah satu
parameter tersebut berubah, maka akan mempengaruhi perubahan struktur dan
keberadaan populasi rajungan pada suatu perairan, sehingga keberadaan data struktur
dan parameter populasi rajungan merupakan informasi yang dibutuhkan dalam
menyusun kebijakan pengelolaan rajungan (Potter et al. 2001; Dineshbabu et al.
2008; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Nilai parameter
populasi rajungan diantaranya dipengaruhi oleh intensitas penangkapan yang terjadi
pada suatu perairan.
Penelitian pendugaan parameter populasi rajungan di Indonesia sebelum tahun
2010 masih jarang dilakukan (Kembaren et al. 2012). Data parameter populasi
rajungan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan yang rasional untuk mendukung
kelestarian populasi rajungan dan keberlanjutan penangkapannya. Penelitian
parameter populasi rajungan di Indonesia, diantaranya telah dilakukan di Perairan
Bangkalan (Muhsoni dan Abida 2009), Perairan Brebes (Sunarto 2012), Teluk Bone
(Kembaren et al. 2012), Perairan Pati (Ernawati 2013), dan Perairan Pangkep (Ihsan
et al. 2014). Hasil dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa parameter
populasi rajungan juga bervariasi antar lokasi perairan.
Teluk Lasongko terletak di Pulau Muna dan secara administratif termasuk
wilayah Kabupaten Buton Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara. Perairan ini
merupakan daerah penangkapan rajungan di Kabupaten Buton Tengah dan telah lama
dilakukan penangkapan oleh nelayan di kawasan Teluk Lasongko. Penangkapan
rajungan secara intensif di perairan ini telah terjadi sejak awal tahun 2000-an, akibat
permintaan pasar rajungan semakin tinggi (Hamid 2011). Sejak kurun waktu tersebut
telah terjadi perubahan penggunaan alat tangkap rajungan dari bubu yang terbuat dari
anyaman bambu ke gillnet dasar. Jenis alat tangkap rajungan yang dominan
digunakan di Teluk Lasongko pada saat ini adalah bubu lipat. Dampak dari
penangkapan intensif dan perubahan jenis alat tangkap yang digunakan tersebut dapat
berpengaruh terhadap struktur populasi dan parameter populasi serta keberlanjutan
populasi rajungan di Teluk Lasongko.
Parameter populasi dan tingkat eksploitasi rajungan di Teluk Lasongko sampai
saat ini belum diketahui. Keadaan ini merupakan salah satu hambatan untuk
melakukan upaya pengelolaan rajungan yang rasional di perairan ini. Oleh karena itu,
penelitian tentang parameter-parameter populasi dan tingkat eksploitasi rajungan di
Teluk Lasongko perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek
(1) struktur kelompok ukuran, (2) pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta (3)
tingkat eksploitasi populasi rajungan.
114
Metode Penelitian
Penentuan Stasiun
Lokasi stasiun pengambilan contoh rajungan dilakukan mulai pada bagian
kepala teluk sampai bagian mulut teluk, lokasi ini merupakan daerah penangkapan
rajungan di Teluk Lasongko. Jumlah stasiun pengambilan contoh rajungan pada
penelitian ini sebanyak tujuh stasiun. Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi padang
lamun, tipe substrat dan kedalaman perairan. Rincian kondisi setiap stasiun telah
dijelaskan pada Bab 2.
Jika nilai E> 0.5 menunjukkan tingkat eksploitasi rajungan tergolong tangkap
lebih (overfishing), E=0.5 menandakan tingkat eksploitasi rajungan optimum, dan
E<0.5 berarti tingkat eksploitasinya masih rendah (Pauly 1984).
m =( )= ) ............................................. (27)
U adalah bagian dari pertumbuhan yang harus dicapai setelah masuk ke dalam fase
eksploitasi tertentu, E tingkat eksploitasi, K koefisien pertumbuhan von Bertalanffy
(tahun-1), m koefisien pertumbuhan terhadap kematian total, Lk∞ lebar karapas rajungan
infinitif (mm), LKc lebar karapas rajungan pertama kali tertangkap dengan gill net, F
kematian penangkapan, M kematian alami, dan Z kematian total (M+F).
Hasil
pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, Oktober, November, Februari dan Maret hanya
satu kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar karapas berkisar antara 99.50 mm
hingga 119.10 mm. Nilai tengah lebar karapas jantan terbesar tertangkap pada bulan
Oktober, dan terkecil tertangkap pada bulan Februari. Sebaliknya, rajungan jantan
yang tertangkap pada bulan Juni, September, Desember dan Januari terdiri dari dua
kelompok ukuran. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok pertama
berkisar antara 89.00 mm hingga 97.30 mm, dan kelompok kedua berkisar antara
116.49 mm hingga 124.48 mm. Ukuran rajungan jantan terbesar kelompok pertama
tertangkap pada bulan September, dan kelompok kedua tertangkap pada bulan
Desember, sedangkan ukuran terkecil tertangkap pada bulan Januari. Jumlah
populasi kelompok kedua umumnya lebih banyak dari pada kelompok pertama,
kecuali rajungan jantan tertangkap pada bulan September.
Tabel 40. Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada setiap
periode penangkapan di Teluk Lasongko
∑ Kelompok Nilai tengah (mm) Sd (mm) ∑ Populasi
Bulan
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
1 1 107.09 104.80 11.11 12.47 61 52
April-13
2 139.80 12.35 7
Mei-13 1 1 104.80 107.39 12.80 13.40 100 81
1 1 96.00 104.80 5.88 14.76 28 58
Juni-13
2 120.72 9.09 31
Juli-13 1 1 104.80 107.00 13.04 16.81 43 52
Agus-13 1 1 106.02 106.41 8.77 12.42 28 40
1 1 97.30 114.80 6.01 13.89 14 36
Sept-13
2 123.54 6.72 7
Okto-13 1 1 119.10 123.82 8.52 8.66 38 46
1 1 114.80 118.45 11.92 10.26 25 35
Nov-13
2 139.80 8.10 10
Des-13 1 1 97.00 89.80 8.86 10.45 23 12
2 2 124.48 125.49 8.94 8.25 30 31
1 1 89.00 97.54 8.74 12.01 25 30
Jan-14
2 2 116.49 124.29 8.89 8.52 57 45
Feb-14 1 1 99.50 111.77 13.09 14.36 39 46
1 1 104.80 97.24 12.59 10.71 45 21
Mar-14
2 123.10 14.73 33
Struktur ukuran populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan April,
November, Desember, Januari dan Maret ditemukan dua kelompok ukuran dengan
nilai tengah lebar karapas rajungan betina kelompok pertama berkisar antara 89.80
mm hingga 118.45 mm, serta kelompok kedua antara 123.10 mm hingga 139.80 mm.
Rajungan betina terbesar pada kelompok pertama tertangkap pada bulan November
dan terkecil tertangkap pada bulan Desember. Sebaliknya, ukuran terbesar pada
kelompok kedua tertangkap pada bulan November dan bulan April, serta ukuran
terkecil tertangkap pada bulan Maret. Jumlah populasi rajungan betina kelompok
kedua tertangkap pada bulan Desember, Januari dan Maret lebih banyak dari pada
kelompok pertama, sebaliknya jumlah populasi rajungan betina kelompok pertama
tertangkap pada bulan April dan November lebih banyak dari pada kelompok kedua.
Populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus,
118
September, Oktober dan Februari satu kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar
karapas berkisar antara 104.80 mm hingga 123.82 mm. Rajungan betina terbesar
tertangkap pada bulan Oktober dan terkecil tertangkap pada bulan Juni.
Distribusi frekuensi kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina di
Teluk Lasongko cenderung berbeda. Populasi rajungan jantan yang terdiri dari dua
kelompok ukuran ditemukan selama empat bulan dan tidak berada pada periode
waktu yang berurutan. Sebaliknya, populasi rajungan betina yang terdiri dari dua
kelompok ukuran ditemukan selama lima bulan dan umumnya terjadi pada periode
waktu yang berurutan, yaitu mulai dari bulan November hingga Maret (Tabel 40).
Secara umum, struktur populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
bervariasi antar periode penangkapan. Rajungan jantan dan betina tertangkap di
perairan ini terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran, namun lehih didominasi
oleh satu kelompok ukuran. Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk
Lasongko selama penelitian terdiri atas kelompok juvenil, dewasa dan tua, namun
didominasi oleh kelompok ukuran dewasa atau matang kelamin. Ukuran rajungan
jantan tertangkap di Teluk Lasongko relatif lebih kecil dari pada rajungan betina.
Hasil analisis FISAT II diperoleh peluang ukuran populasi rajungan yang
tertangkap dengan gillnet di Teluk Lasongko seperti tertera pada Gambar 35. Lebar
karapas populasi rajungan yang tertangkap dengan peluang 25 % , 50 % dan 75 %
masing-masing sebesar 97.20 mm, 105.11 mm dan 113.95 mm.
Gambar 35. Peluang ukuran lebar karapas rajungan tertangkap dengan gillnet
di Teluk Lasongko
Tabel 41. Parameter pertumbuhan, indeks performa dan persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy populasi rajungan di Teluk Lasongko
Jenis Parameter pertumbuhan Indeks performa
-1
Kelamin LK∞ (mm) K (tahun ) to (tahun) pertumbuhan
Jantan 152.04 0.93 -0.963 4.309
Betina 173.04 0.68 -0.837 4.332
Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy Umur maksimum
Jantan Lkt = 152.04 [1-e-0.93(t+0.963)] 3.21 tahun
Betina Lkt = 173.04 [1-e-0.68(t+0.837)] 4.40 tahun
Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
tertera pada Gambar 36. Indeks performa pertumbuhan rajungan jantan dan betina
yang ditemukan pada penelitian ini relatif sama, yaitu sekitar 4.3 (Tabel 41). Lebar
karapas maksimum (0.95 LK∞) rajungan jantan dan betina masing-masing 144.44
mm dan 164.39 mm, serta dicapai pada umur 3.21 tahun untuk jantan dan betina
pada umur 4.40 tahun.
Gambar 36. Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko
Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina
tertera pada Tabel 41, dan kurva pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina
tertera pada Gambar 37. Nilai to rajungan menunjukkan bahwa lebar karapas rajungan
sama dengan nol. Nilai to rajungan jantan dan betina pada penelitian ini diperoleh
masing-masing sebesar -0.963 tahun dan -0.837 tahun. Pada Gambar 37 terlihat pada
umur 0.01 tahun sampai 0.41 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan jantan dan
betina relatif sama, dan pada umur >0.41 tahun sampai 1.61 tahun kecepatan
pertumbuhan rajungan jantan relatif lebih cepat dari pada rajungan betina, sebaliknya
pada umur >2.01 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan betina lebih cepat
120
140
120
100
80 Jantan
60
Betina
40
20
0
0.01
0.37
0.73
1.09
1.45
1.81
2.17
2.53
2.89
3.25
3.61
3.97
4.33
4.69
5.05
5.41
5.77
6.13
6.49
6.85
7.21
7.57
7.93
Umur (tahun)
Gambar 37. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina
di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas
Berdasarkan lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko
selama penelitian, maka umur rajungan jantan berkisar antara 0.4221 tahun hingga
3.819 tahun, serta umur rajungan betina berkisar antara 0.5205 tahun hingga 4.067
tahun. Rajungan jantan dan betina mencapai lebar karapas infinitif masing-masing
pada umur sekitar 13.69 tahun dan rajungan betina 17.68 tahun. Namun demikian,
pertumbuhan kedua jenis kelamin rajungan ditemukan pada penelitin ini setelah
berumur > 3.61 tahun sudah bersifat stasioner (Gambar 37).
Rekrutmen Rajungan
Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko yang didasarkan kepada data
frekuensi lebar karapas gabungan jantan dan betina hanya terdiri dari satu puncak
(Gambar 38). Pada Tabel 42 dan Gambar 38 terlihat bahwa rekrutmen rajungan di
perairan ini berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi berkisar antara
1.00 % hingga 19.17 %. Proporsi rekrutmen rajungan yang tinggi terjadi mulai dari
bulan Juni sampai Oktober, dan tertinggi terjadi pada bulan Juli (19.17 %), sedangkan
terendah terjadi pada bulan Desember (1.00 %).
rendah dari pada rajungan betina, sebaliknya kematian alami dan penangkapan
rajungan jantan lebih tinggi dari pada rajungan betina
Tabel 42. Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak April
2013 sampai Maret 2014
Bulan Rekrutmen (%) Bulan Rekrutmen (%)
April 2013 4.17 Oktober 2013 12.69
Mei 2013 5.12 November 2013 4.72
Juni 2013 13.75 Desember 2013 1.00
Juli 2013 19.17 Januari 2014 4.01
Agustus 2013 14.61 Februari 2014 2.17
September 2013 18.58 Maret 2014 0
Gambar 39. Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan kurva
konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko
122
97.20 mm (Gambar 40A) tingkat eksploitasi maksimum (E max) sebesar 0.76 tahun-1
dan Y’/R (MSY relatif) sebesar 0.056, tingkat eksploitasi pada E 0.1 sebesar 0.67
tahun-1 dan tingkat eksploitasi pada E0.50 sebesar 0.38 tahun-1. Biomasa per
rekrutmen pada saat E max sebesar 0.130 atau sebesar 13 % dari biomasa virgin atau
biomasa awal (biomasa tidak ada penangkapan).
Tabel 45. Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per
rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas rajungan pertama
tertangkap
Ukuran rajungan tertangkap (mm)
Parameter populasi
97.20 105.11 113.95
LKc/ LK∞ 0.56 0.61 0.66
M/K 1.261 1.261 1.261
E 0.10 = saat ini 0.67 0.71 0.81
E.0.50 = optimum 0.38 0.39 0.41
E max 0.76 0.83 0.91
Y’/R 0.056 0.063 0.059
B’/R 0.130 0.091 0.038
Pembahasan
rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar
antara 49.80 mm hingga 147.70 mm sedangkan lebar karapas rajungan betina
berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan
jantan dan betina yang tertangkap di perairan ini selama penelitian terdiri atas
kelompok juvenil, dewasa dan tua, namun didominasi oleh kelompok ukuran dewasa.
Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok ukuran pertama berkisar antara
89.00 mm hingga 97.30 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 89.80 mm
hingga 118.45 mm. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok ukuran
kedua berkisar antara 116.49 mm hingga 124.48 mm, sedangkan betina berkisar
antara 123.10 mm hingga 139.80 mm.
Tabel 46. Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan
Jenis Lebar karapas (mm)
Lokasi Sumber
Kelamin Kisaran Modus
Teluk PGN, Jantan + Wardiatno dan
45-130 81.0
Lampung Timur betina Zairion 2011
Jantan 22-75 41.5
Perairan Brebesa) Sunarto 2012
betina 21-74 47.5
Jantan 58-159.4 106
Pantai Pati*) Ernawati 2013
betina 60.1-148.3 106
Jantan 26.41-120.80 53.5, 63.5
Lampung Timur Kurnia et al. 2014
betina 31.35-99.89 63.5
Teluk Lasongko Jantan 49.80-147.70 89.00, 124.48
Penelitian ini
betina 52.10-162.20 89.00, 139.80
*) pada zona 2 (dekat pantai).; a) panjang karapas
Ukuran rajungan pertama tertangkap dengan peluang 50 % ditemukan pada
penelitian ini 105.11 mm, dan ini lebih kecil dari yang ditemukan di Perairan Pati,
108 mm (Ernawati 2013) dan lebih besar dari pada di Teluk PGN Lampung Timur,
yaitu 103.5 mm (Kurnia et al. 2014) masing-masing tertangkap dengan bubu lipat
dan gill net. Hal ini menunjukkan tekanan penangkapan di Teluk Lasongko lebih
tinggi dari pada yang ditemukan di Perairan Pati (Ernawati 2013), namun lebih
rendah dari pada yang terjadi Teluk PGN, Lampung Timur (Kurnia et al. 2014).
Lebar karapas maksimum rajungan jantan (144.44 mm) yang ditemukan pada
penelitian ini lebih kecil dari pada rajungan betina (164.39 mm). Indeks performa
pertumbuhan rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko relatif sama, yaitu sekitar
4.3 (Tabel 42 dan Gambar 36).
Parameter pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina pada beberapa
perairan di Indonesia ditemukan bervariasi (Tabel 47). Koefisien pertumbuhan (K)
rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah, namun
nilai to lebih besar dari pada yang ditemukan pada empat lokasi perairan di Indonesia
(Tabel 47). Lebar karapas infinitif (Lk∞) rajungan jantan yang ditemukan di Teluk
Lasongko lebih kecil dari yang ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), di
Perairan Pati (Ernawati 2013) dan di Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014), namun
lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand
(Raungprataungsuk 2010; Kunsook et al. 2014). Sebaliknya, nilai LK∞ rajungan
betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih besar dari yang ditemukan di Teluk
Bone (Kembaren et al. 2012), Pantai Trang, Thailand dan Teluk Kung Krabaen,
Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009; Raungprataungsuk 2010; Kunsook et al.
2014), namun lebih kecil dari pada di Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Perairan
Pangkep (Ihsan et al. 2014). Nilai to rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada
penelitian ini lebih tinggi dari pada beberapa perairan di Indonesia (Tabel 47).
127
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian stok rajungan adalah
panjang umur atau umur maksimum (Sukumaran 1995; Kangas 2000), hal ini
diantaranya berkaitan dengan rekrutmen rajungan. Umur rajungan diduga berdasarkan
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan (Tabel 42) sehingga
diperoleh umur rajungan jantan pada saat mencapai lebar karapas infinitif sekitar
13.69 tahun dan rajungan betina 17.68 tahun. Laju pertumbuhan rajungan jantan dan
betina ketika berumur > 3.61 tahun sudah mendekati pertumbuhan stasioner (Gambar
37). Umur populasi rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko selama
penelitian berkisar antara 0.4221 tahun hingga 3.819 tahun, dan rajungan betina
berkisar antara 0.5205 tahun hingga 4.067 tahun. Lebar karapas maksimum (0.95
LK∞ =144.44 mm) rajungan jantan dicapai pada umur 3.21 tahun sedangkan rajungan
betina dicapai pada umur 4.40 tahun dengan lebar karapas maksimum 164.39 mm.
Dugaan lebar karapas dan umur maksimum rajungan jantan tersebut lebih rendah dari
pada umur rajungan jantan terbesar yang ditemukan selama penelitian.
Umur maksimum populasi rajungan jantan dan betina yang diperoleh pada
penelitian ini lebih lama dari yang ditemukan di Perairan Pati, yaitu masing-masing
2.38 tahun dan 2.65 tahun (Ernawati 2013). Sebaliknya, umur maksimum rajungan
jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih singkat dari pada di
Perairan Brebes, yaitu masing-masing dengan umur 5.66 tahun dan 5.63 tahun
(Sunarto 2012).
Rekrutmen Rajungan
Rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko berlangsung hampir sepanjang tahun,
kecuali pada bulan Maret dan proporsinya bervariasi antar bulan, yaitu berkisar antara
1.00 % hingga 19.17 %. Rekrutmen rajungan berlangsung hampir sepanjang tahun
juga ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011) dan di Perairan
Brebes (Sunarto 2012), namun pola rekrutmen di Perairan Brebes dan di Teluk
Kung Krabaen ditemukan sebanyak dua puncak, sedangkan di Teluk Lasongko hanya
satu puncak (Gambar 38). Puncak pertama rekrutmen rajungan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand terjadi antara bulan Oktober dan April, dan puncak kedua terjadi
antara bulan Mei dan September 2009 (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Puncak
pertama rekrutmen rajungan di Perairan Brebes terjadi antara bulan Januari dan
September, serta puncak kedua terjadi antara bulan Agustus dan November (Sunarto
2012). Proporsi rekrutmen rajungan tertinggi di Teluk Kung Krabaen, Thailand
masing-masing terjadi pada bulan Desember, April, Mei, dan Juni, sedangkan
terendah pada bulan Agustus (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014) sedangkan
proporsi rekrutmen tertinggi di Perairan Brebes terjadi pada bulan Maret sampai Mei
(Sunarto 2012). Proporsi rekrutmen yang ditemukan pada penelitian ini lebih tinggi
dari pada di Perairan Pangkep, yaitu 17.45 % (Ihsan et al. 2014) dan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand, yaitu berkisar antara 0.22 % hingga 17.32 % (Kunsook 2011),
namun lebih rendah dari pada Perairan Brebes, yaitu berkisar antara 0.11 % hingga
21.24 % (Sunarto 2012).
Proporsi rekrutmen rajungan yang tinggi di Teluk Lasongko ditemukan pada
lima bulan berurutan, yaitu dari bulan Juni sampai Oktober dan puncak tertinggi
terjadi pada bulan Juli (19.17 %) dan bulan September (18.58 %), sedangkan
128
proporsi rekrutmen terendah pada bulan Desember (1.00 %) dan bulan Februari (2.17
%). Sebaliknya, di Perairan Brebes proporsi rekrutmen tertinggi terjadi pada tiga
bulan berturut-turut, yaitu Maret (16.1 %), April (21.34 %), dan Mei (18.13 %)
sedangkan rekrutmen terendah terjadi pada bulan Oktober dan November dengan
proporsi masing-masing 0.11 % dan 0.19 % (Sunarto 2012).
Tingkat kematian alami populasi rajungan jantan dan betina yang ditemukan
pada penelitian ini lebih rendah dari pada yang ditemukan pada sejumlah lokasi
perairan di Indonesia (Tabel 48). Sebaliknya, tingkat kematian penangkapan populasi
rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada di Perairan
Pangkep (Ihsan et al. 2014) dan lebih rendah dari pada di Teluk Bone (Kembaren
et al. 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013), di Pantai Trang dan Teluk Kung
Krabaen, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009; Kunsook 2011). Kematian
penangkapan rajungan yang ditemukan pada penelitian ini dan juga pada beberapa
penelitian sebelumnya lebih tinggi dari pada kematian alami (Tabel 48).
Tingkat eksploitasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko telah
melewati tingkat eksploitasi optimum (E >0.5), dan ini menunjukkan bahwa telah
terjadi tangkap lebih (overfishing) untuk kedua jenis kelamin rajungan. Tingkat
eksploitasi rajungan di Perairan Indonesia sebagian besar telah berada pada kondisi
tangkap lebih (Tabel 48), kecuali di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan di Perairan
Pangkep untuk rajungan jantan (Ihsan et al. 2014), masih berada di bawah tingkat
eksploitasi optimum (E<0.5).
Tingkat eksploitasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih rendah dari pada
rajungan betina (Tabel 48), dan hal ini identik dengan yang ditemukan di Perairan
Pati (Ernawati 2013) dan Pangkep (Ihsan et al. 2014), dan di Teluk Kung Krabaen,
Thailand (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Sebaliknya, tingkat eksploitasi
rajungan jantan di Teluk Bone lebih tinggi dari pada rajungan betina (Kembaren et al.
2012) dan juga di Pantai Trang, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009). Bubu
merupakan alat tangkap rajungan yang dominan di Teluk Lasongko pada saat ini,
sedangkan delapan tahun yang lalu yang dominan adalah gillnet. Kondisi ini akan
semakin meningkatkan tekanan terhadap populasi rajungan di perairan ini, sehingga
perlu dilakukan pengaturan. Hal ini didukung oleh pernyataan de Lestang et al.
(2010) dan Johnston et al. (2011a) bahwa perubahan alat tangkap rajungan dari
gillnet ke bubu meningkatkan tekanan pada populasi rajungan di Cockburn Sound,
Australia.
Peningkatan ukuran rajungan yang tertangkap dapat menurunkan nilai B’/R dari
biomasa awal jika tidak dilakukan penangkapan. Tingkat eksploitasi maksimum (E
max) dan optimum (E 0.5) rajungan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada yang
ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand yaitu masing-masing 0.81 tahun-1 dan
0.37 tahun-1 (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), sedangkan tingkat eksploitasi saat
ini (E 0.1) sama dengan yang ditemukan pada penelitian ini, yaitu 0.71 tahun-1. Nilai
E max pada analisis Y’/R tersebut sama dengan tingkat eksploitasi rajungan betina
(E= 0.71 tahun-1) dan telah melampaui tingkat eksploitasi rajungan jantan (E= 0.61
tahun-1).
Para ahli lebih memilih prinsip kehatian-hatian dalam menentukan kuota
penangkapan, mereka menyarankan tingkat eksploitasi pada tingkat E 0.1 atau hanya
menangkap rajungan sebesar 10 % dari biomasa awal (Saputra 2005). Berdasarkan
prinsip tersebut, jika diterapkan lebar karapas rajungan yang tertangkap pertama kali
sebesar 97.20 mm maka biomasa rajungan yang dieksploitasi di Teluk Lasongko
sebesar 13 %, berarti telah melebihi 10 %. Sebaliknya, jika rajungan yang tertangkap
pertama kali berukuran 105.11 mm dan 113.95 mm (LKc) maka biomasa rajungan
yang dieksploitasi keduanya <10 %, tetapi MSY relatif rajungan pada ukuran LKc
113.95 mm lebih rendah dari pada LKc 105.11 mm (Tabel 45). Oleh karena itu,
ukuran lebar karapas rajungan pertama kali yang tertangkap di Teluk Lasongko
disarankan sebesar 105.11 mm. Berdasarkan analisis Y’/R relatif juga menunjukkan
bahwa nilai Y’/R dan B’/R rajungan di Teluk Lasongko sensitif terhadap perubahan
ukuran lebar karapas dan intensitas penangkapan.
Simpulan
1. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terdiri dari
satu sampai dua kelompok ukuran, dan didominasi oleh kelompok dewasa,
2. Laju pertumbuhan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih cepat dari
pada rajungan betina dilihat dari nilai K,
3. Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan
yang terjadi pada bulan Juli dan September lebih tinggi dari pada bulan lainnya,
4. Kematian penangkapan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
lebih tinggi dari pada kematian alami, dan
5. Tingkat eksploitasi populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko telah
mengalami tangkap lebih (overfishing).
131
7 PEMBAHASAN UMUM
Keterkaitan antar Parameter Penentu Keberlanjutan Populasi Rajungan
Parameter yang berkaitan dengan keberadaan populasi rajungan dan telah
dikaji dalam penelitian ini meliputi karakteristik habitat, biologi reproduksi dan
parameter dinamika populasi rajungan. Ketiga parameter tersebut dianggap
merupakan hal yang sangat menentukan keberlanjutan populasi rajungan di Teluk
Lasongko. Beberapa fakta empiris yang ditemukan pada penelitian ini yang telah
dibahas pada Bab 2 sampai Bab 6, yaitu sebagai berikut :
1. Karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi
serta distribusi populasi rajungan berkaitan dengan karakteristik habitat,
2. Karakteristik morfometrik rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan
serta bervariasi secara spasial dan temporal. Hubungan antar karakter morfometrik
menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif, serta pertumbuhan
relative antar karakter morfometrik sebagian besar tidak mengalami perubahan
pada tahap juvenil dan dewasa,
3. Variabel reproduksi rajungan di Teluk Lasongko ditemukan bervariasi, namun
tergolong mempunya potensi reproduksi yang tinggi dilihat dari rasio kelamin, tipe
dan periode pemijahan, serta fekunditas, keberadaan rajungan yang matang gonad
dan rajungan betina ovigerous,
4. Distribusi rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap di
Teluk Lasongko dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat. TKG rajungan betina
ovigerous meningkat serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan
mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur dari warna kuning
sampai warna abu-abu gelap, dan
5. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
didominasi oleh ukuran dewasa, dan pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih
cepat dari pada rajungan betina. Rekrutmen rajungan di perairan ini berlangsung
setiap bulan, kematian penangkapan lebih tinggi dari pada kematian alami dan tingkat
eksploitasinya tergolong tangkap lebih (overfishing).
Berdasarkan fakta-fakta empiris tersebut, dibuat suatu skema keterkaitan antara
ketiga parameter penentu keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko seperti
tertera pada Gambar 41. Pertumbuhan dan rekrutmen berpengaruh positif terhadap
populasi rajungan, sedangkan kematian alami dan kematian rajungan akibat
penangkapan menyebabkan pengurangan pada populasi rajungan. Kondisi habitat,
khususnya kualitas dan kuantitas ketersediaan makanan serta kualitas air
berpengaruh langsung kepada kondisi populasi rajungan di Teluk Lasongko dengan
cara mempengaruhi keberhasilan reproduksi, pertumbuhan, rekrutmen dan kematian
alami rajungan di perairan ini. Struktur ukuran dan kepadatan populasi rajungan
berperan dalam menentukan keberhasilan proses reproduksi rajungan, selanjutnya
akan berpengaruh pada rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko.
Keberlanjutan populasi rajungan yang tereksploitasi di Teluk Lasongko dapat
tercipta, jika tingkat kematian penangkapan dan alami sama dengan laju pertumbuhan
dan rekrutmen rajungan. Disamping itu, habitat rajungan harus dalam kondisi baik
132
Biologi
reproduksi
Kematian
Rekrutmen penangkapan
Populasi
Rajungan
Pertumbuhan Kematian alami
Kondisi habitat
berkisar antara 2.4 tahun hingga 3.0 tahun. Rentang waktu hidup rajungan jantan
dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih lama dari pada di Perairan Pati,
yaitu masing-masing 2.38 tahun dan 2.65 (Ernawati 2013), namun lebih singkat dari
yang ditemukan di Perairan Brebes, yaitu rajungan jantan 5.66 tahun dan betina 5.63
tahun (Sunarto 2012).
Rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko berlangsung hampir sepanjang tahun
dengan proporsi berkisar antara 1.00 % hingga 19.17 %, dan selama lima bulan
berturut-turut ditemukan tinggi (Tabel 42 dan Gambar 38). Potensi keberlanjutan
rajungan di Teluk Lasongko juga tergolong cukup tinggi dilihat dari pola dan
proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan. Anggapan ini didukung oleh beberapa hasil
penelitian sebelumnya (Kunsook 2011; Sunarto 2012; Ihsan et al. 2014) bahwa
rekrutmen rajungan berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi rekrutmen
berkisar antara 0.11 % hingga 21.24 %. Tingkat kematian alami rajungan di Teluk
Lasongko lebih rendah dibandingkan dengan kematian akibat penangkapan (Tabel
43). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini
lebih banyak ditentukan oleh kegiatan penangkapan dari pada faktor alami.
lapangan kebijakan tersebut belum berjalan dengan baik. Para pengolah daging
rajungan di Teluk Lasongko masih membeli dan mengolah rajungan betina
ovigerous. Telur rajungan betina ini tidak dimanfaatkan, bahkan menjadi limbah
pengolahan daging rajungan, karena pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko
belum mengetahui adanya larangan tersebut. Pemerintah baru saja mengeluarkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 1 Tahun 2015 yang
melarang menangkap rajungan betina ovigerous. Permen tersebut perlu disuluhkan
sampai ke tingkat nelayan dan pengolah daging rajungan di desa-desa pesisir.
Disamping itu, juga harus disertai dengan pengawasan dan pemantauan secara
berkala dari instansi terkait sehingga Permen tersebut dapat memberikan dampak
positif pada keberlanjutan rajungan di seluruh Perairan Indonesia.
Kegiatan budidaya rumput laut di Teluk Lasongko sekitar tahun 2004 sampai
2010 dilakukan secara intensif. Sebagian besar perairan ini, termasuk di atas padang
lamun ditanami rumput laut dengan metode apung. Sampai saat ini, pembudidaya di
daerah ini merendam bibit rumput laut dalam larutan pupuk sebelum ditanam untuk
memacu pertumbuhannya, dan sisa pupuk yang digunakan dibuang ke laut. Volume
buangan sisa pupuk tersebut yang masuk ke perairan teluk cukup besar dan secara
kontinu serta didukung air lingkungan yang baik sehingga pada 2009 dan 2010 terjadi
red tide fitoplankton jenis Pyminidum bahamense (Hamid et al. 2010). Dampak dari
red tide tersebut adalah terjadi penurunan kualitas air, seperti pH air berkisar antara
6.5 hingga 6.6, nitrat dan fosfat sangat rendah bahkan tidak terdeteksi, kecerahan air
berkisar antara 40 cm hingga 230 cm, air laut berbau busuk, dan fitoplankton
didominasi oleh satu jenis, serta beberapa jenis ikan mati, termasuk bulu babi (Hamid
et al. 2010).
Intensitas penggunaan bom dalam penangkapan ikan di Teluk Lasongko telah
berkurang, namun masih merupakan ancaman bagi keberlanjutan rajungan di perairan
ini. Selama penelitian masih terdengar bunyi ledakan bom ikan di perairan Teluk
Lasongko sekitar 1-3 ledakan hari-1, sedangkan pada tahun 2001 terdengar sekitar 12-
13 ledakan hari-1 (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Dampak bom ikan secara langsung
mematikan semua stadia rajungan yang berada di sekitar ledakan bom, sedangkan
secara tidak langsung adalah merusak habitat rajungan, karena bom ikan kadang
diledakan di padang lamun karena ikan target berada di lokasi ini.
pada saat ini masing-masing sebesar 0.61 tahun-1 dan 0.71 tahun-1 (Tabel 43 dan
Gambar 39). Berdasarkan hasil analisis stok tersebut, tingkat eksploitasi stok
rajungan di Teluk Lasongko pada saat ini telah melebihi tingkat eksploitasi optimum
atau telah mengalami overfishing. Proporsi tingkat eksploitasi rajungan jantan pada
saat ini sebesar 156.4 % dan rajungan betina sebesar 182.1 % dari tingkat eksploitasi
optimum (EMSY).
Jenis alat tangkap rajungan yang digunakan di Teluk Lasongko juga mengalami
perubahan, yaitu dari gillnet beralih ke bubu. Selama periode tahun 2006 hingga
2014, jumlah gillnet yang digunakan dalam penangkapan rajungan turun sebesar
40.50 %, sedangkan jumlah penggunaan bubu meningkat drastis selama periode
waktu tersebut, yaitu sebesar 600.09 %. Jumlah nelayan yang menangkap rajungan di
perairan ini pada tahun 2006 sebanyak 226 orang (Hamid 2011), sedangkan pada
tahun 2014 sebanyak 187 orang (Tabel 49) atau mengalami penurunan sebesar 17.26
%. Jumlah nelayan penangkap rajungan di Desa Lolibu dan Desa Wajogu turun
drastis, sebaliknya di Desa Batubanawa bertambah jumlahnya (Tabel 49).
Tabel 49. Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap desa/
kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014
Jumlah nelayan/ jenis alat Jumlah alat Jumlah alat
tangkap (orang) tangkap 2014 tangkap 2006a)
Desa/kelurahan
Gillnet Bubu Gillnet Bubu Gillnet Bubu
2006a)
2014 2014 (pis)b (buah) (pis)b (buah)
Lakudo 2 9 6 35
Wanepa-Nepa 4 - 14
Wongko Lakudo** 7 13 18 39
Matawine* 1 12 - 3 1100 - -
Nepa Mekar 7 - 61 - -
Teluk Lasongko** 7 11 - 18 660 - -
Mone* 1 16 19 3 1102 23 436
Wajogu 4 8 50 20 1172 156 -
Lolibu 25 38 167 148 5504 167 1713
Boneoge 2 1 - 6 75 - -
Batubanawa 5 36 33 13 5432 101 -
Jumlah 65 122 291 310 15045 521 2149
a)
Hamid 2011.; b) 1 pis dipotong menjadi 9-12 lembar gillnet **desa pemekaran.; *desa induk
Jumlah penggunaan alat tangkap rajungan di Teluk Lasongko dari tahun 2006
sampai 2014 mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jumlah alat tangkap
rajungan yang digunakan pada tahun 2006 sekitar 2 670 unit, terdari dari 521 pis
gillnet dan 2149 buah bubu (Hamid 2011) dan sampai bulan April 2014 meningkat
sebesar 475.09 % atau sebanyak 15 355 unit, terdiri dari 310 pis gillnet dan 15 045
buah bubu (Tabel 49). Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko selama periode
Februari sampai November 2006 sebesar 36 828.8 kg (Hamid 2011) atau sebesar 44
194.56 kg selama tahun 2006. Hasil tangkapan selama bulan Mei 2013 hingga bulan
137
April 2014 sekitar 66 926.6 kg atau hanya meningkat sebesar 51.44 % selama periode
waktu tersebut. Peningkatan jumlah alat tersebut tidak proporsional dengan
peningkatan hasil tangkapan rajungan selama periode waktu yang sama. Kondisi
penangkapan rajungan yang demikian merupakan salah satu ciri dari penangkapan
rajungan yang telah mengalami overfishing (Pauly 1984). Ciri lainnya, telah terjadi
overfishing penangkapan rajungan di Teluk Lasongko adalah ukuran lebar karapas
rajungan pertama kali tertangkap, LKc 50 % (105.11 mm) lebih kecil dari pada
ukuran lebar karapas pertama kali matang kelamin, LKm 50 % rajungan jantan
(109.83 mm) dan rajungan betina (115.71 mm).
Rasio kelamin rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko pada lokasi yang
dangkal (100 cm hingga 350 cm) atau pada padang lamun selama bulan Oktober
hingga Desember 2006 sebesar 0.96:1, dan pada lokasi yang dalam (>500 cm hingga
1200 cm) dan tidak ditumbuhi lamun sebesar 0.74:1( (Hamid 2011). Pada bulan
Oktober hingga bulan Desember 2013 pada kedua lokasi tersebut ditemukan rasio
kelamin rajungan jantan dan betina masing-masing sebesar 1.46:1 dan 0.70:1 (Tabel
50). Selama tujuh tahun terakhir, telah terjadi perubahan komposisi rajungan di
Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (100 cm hingga 350 cm) atau sekitar
padang lamun, yaitu jumlah rajungan betina semakin menurun dibandingkan dengan
rajungan jantan. Sebaliknya, komposisi pada lokasi yang dalam (>500 cm hingga
1200 cm) dan tidak ditumbuhi lamun selama periode waktu tersebut cenderung stabil
(tidak berubah). Perubahan rasio kelamin rajungan tersebut disebabkan oleh intensitas
penangkapan yang tinggi dan juga karena perubahan jenis alat tangkap yang dominan
dalam penangkapan rajungan, yaitu dari gillnet ke bubu yang berlangsung sejak bulan
Desember 2006 hingga bulan Mei 2014 (Tabel 49). Hal ini didukung oleh hasil
penelitian sebelumnya (Johnston et al. 2011a, 2011b; Kunsook 2011) bahwa perubahan
jenis alat tangkap rajungan dapat menyebabkan perubahan komposisi jenis dan rasio
kelamin rajungan, serta struktur ukuran rajungan yang tertangkap.
Tabel 50. Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di Teluk
Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember 2006 dan 2013
Tahun 2006*) Tahun 2013
Lokasi/ jenis dan
Jumlah Lebar Berat Jumlah Lebar karapas Berat
rasio kelamin
(ekor) karapas (mm) tubuh (g) (ekor) (mm) tubuh (g)
Dangkal (100-350 cm):
Jantan 1003 112.2 99.72 73 109.6 97.4)
Betina 1049 113.6 101.36 48 108.8 88.95
Rasio kelamin 0.96:1 1.46:1
Betina ovigerous 103 119.5 126.33 23a) 121.5 138.90
Dalam (>500-1200 cm):
Jantan 145 123.2 116.5 17 112.6 97.58
Betina 195 120.5 109.5 20 117.9 113.86
Rasio kelamin 0.74:1 0.70:1
Betina ovigerous 43 125.1 147.37 8a) 125.0 132.63
*) a)
diolah dari Hamid et al. (2006) dan Hamid (2011).; tidak termasuk ditangkap nelayan.
138
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (di sekitar
lamun) telah lama dilakukan, dan rajungan betina mengalami tekanan penangkapan
lebih tinggi dari pada rajungan jantan. Hal ini terlihat dari kematian penangkapan
dan tingkat eksploitasi rajungan betina lebih tinggi dari pada rajungan jantan (Tabel
43 dan Gambar 39). Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina
yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap bulan terdiri dari satu sampai dua
kelompok ukuran, dan sebagian besar merupakan rajungan yang telah dewasa (Tabel
40). Nilai tengah (rataan) lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di perairan
ini berkisar antara 89.00 mm hingga 123.54 mm, sedangkan rajungan betina berkisar
antara 89.80 mm hingga 139.80 (Tabel 40).
Ukuran tubuh rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terlihat cenderung
mengalami perubahan selama periode 2006 sampai 2013. Lebar karapas dan berat
tubuh rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada periode bulan Oktober hingga
Desember 2013 pada lokasi yang dangkal lebih kecil dari pada yang terangkap pada
tahun 2006 untuk periode waktu yang sama (Tabel 50). Ukuran tubuh rajungan
betina ovigerous yang tertangkap pada lokasi yang dangkal selama periode waktu
tersebut semakin bertambah besar, sedangkan lebar karapas rajungan betina ovigerous
yang tertangkap pada lokasi yang dalam cenderung tidak mengalami perubahan,
tetapi berat tubuhnya semakin ringan (Tabel 50).
Kunsook et al. (2014) menyebutkan, ada lima indikator untuk menentukan
status stok rajungan pada suatu perairan dalam keadaan kritis, yaitu tingkat kematian
akibat penangkapan tinggi, tingkat eksploitasi melebihi tingkat eksploitasi optimum
(E>0.5), ukuran rajungan betina dewasa semakin kecil, jumlah rajungan betina
ovigerous yang tertangkap meningkat, dan rataan fekunditas menurun. Berdasarkan
pada indikator tersebut dan fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa status stok rajungan di Teluk Lasongko pada saat ini cenderung
pada kondisi kritis. Kondisi stok rajungan tersebut akan semakin kritis, jika tidak
segera dilakukan upaya pengelolaan.
serta pemantauan dan evaluasi secara berkala. Konsep pengelolaan yang dapat
diterapkan secara efektif dan berkelanjutan, yaitu terdiri dari :
ovigerous di perairan ini terjadi pada bulan Juli dan Agustus, Oktober dan November,
dan Februari. Untuk memberikan kesempatan rajungan melakukan pemijahan secara
optimal dan mengurangi rajungan betina ovigerous yang tertangkap, maka kegiatan
penangkapan pada bulan Juli, Agustus, Oktober, November, dan Februari intensitas
penangkapan harus dikurangi, bahkan bila perlu pada bulan Mei-Juni, Agustus serta
Oktober-November tidak dilakukan penangkapan rajungan (ditutup sementara).
Nelayan pada periode waktu tersebut lebih diarahkan untuk menangkap ikan atau
budidaya rumput laut.
Penutupan kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko ketika puncak
musim pemijahan dan keberadaan rajungan betina ovigerous pada saat ini masih
diperlukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya nelayan penangkap rajungan
dan pengolah daging rajungan di kawasan Teluk Lasongko untuk menghindari
adanya gejolak sosial dan ekonomi di daerah ini. Penutupan penangkapan rajungan
ketika puncak musim pemijahan baru akan dilakukan setelah nelayan dan pengolah
daging rajungan memahami tujuan dan manfaat dari penutupan kegiatan penangkapan
rajungan pada periode waktu tertentu, sehingga dapat berjalan efektif dan
berkelanjutan. Periode waktu penutupan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko
sebaiknya dilakukan pada bulan Oktober-November, karena pada bulan Oktober
merupakan puncak musim pemijahan tertinggi rajungan, dan pada bulan November
puncak tertinggi keberadaan rajungan betina ovigerous (Gambar 20).
potensial di Teluk Lasongko. Selain itu, keempat warna telur rajungan betina
ovigerous sebagian besar dapat ditemukan di kedua lokasi tersebut (Tabel 28), dan
diduga lokasi tersebut merupakan daerah pemijahan dan pelepasan larva rajungan.
Ukuran mata jaring gillnet rajungan yang digunakan nelayan di Teluk
Lasongko pada saat ini adalah 3.5 inci dan 4.0 inci, serta bubu adalah 1.25 inci
(dominan) dan 1.50 inci. Gillnet berukuran mata jaring 3.5 inci digunakan pada
lokasi yang dangkal (sekitar padang lamun), sedangkan yang berukuran 4 inci
digunakan di lokasi yang dalam. Ukuran mata jaring gillnet yang digunakan di
perairan ini serupa dengan yang digunakan di Perairan Cirebon (Sumiono et al.
2010), dan lebih besar dari pada yang digunakan di Lampung timur, yaitu 3 inci
(Kurnia et al. 2014). Ukuran mata jaring bubu serupa dengan yang digunakan di
Pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2013).
Daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko sampai saat ini sebagian
besar masih terkonsentrasi pada lokasi yang dangkal dan di sekitar padang lamun,
serta telah menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan populasi rajungan, yaitu
terjadi perubahan rasio kelamin rajungan dan ukuran yang tertangkap semakin kecil
(Tabel 50). Untuk menjaga keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko, maka
daerah penangkapan rajungan lebih diarahkan ke bagian yang dalam, khususnya di
sekitar mulut teluk. Intensitas penangkapan rajungan di sekitar mulut Teluk Lasongko
sampai saat ini masih rendah (Lampiran 5), sedangkan rajungan yang tertangkap
berukuran besar (Tabel 11 dan Gambar 9).
5. Restoking
Restoking atau pemacuan stok rajungan adalah salah satu upaya pengelolaan
rajungan yang bertujuan untuk memperbaiki stok alami dan meningkatkan hasil
tangkapan rajungan. Namun, upaya pengelolaan ini sangat tergantung pada
ketersediaan benih rajungan yang diproduksi secara massal melalui pembenihan.
Produksi massal pembenihan rajungan telah berhasil dilakukan Balai Budidaya Air
Payau Takalar dengan tingkat kelangsungan hidup dari telur hingga burayak (crablet
10) dengan lebar karapas berkisar 5 mm hingga 20 mm sebesar 50 % (BBAP Takalar
2012). Kondisi habitat Teluk Lasongko layak untuk dijadikan sebagai lokasi restoking
rajungan. Kualitas air dan kondisi padang lamun sangat mendukung restoking tersebut.
instansi terkait seperti Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton
Tengah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Model kelembagaan pengelolaan suaka rajungan di Teluk Lasongko bersifat
kolaboratif dengan prinsip kemitraan. Dalam operasi pengelolaan suaka rajungan di
perairan ini berbasis kepada masyarakat dan didukung oleh pihak-pihak terkait.
Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam
pengelolaan suaka rajungan dapat dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan dan
workshop yang dilakukan sebelum dan setelah suaka rajungan terbentuk. Sasaran
yang diharapkan dari ketiga kegiatan tersebut antara lain (1) meningkatkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat di Teluk Lasongko tentang pentingnya suaka
rajungan bagi keberlanjutan populasi rajungan untuk mendukung keberlanjutan
penangkapan rajungan dan pengolahan daging rajungan di daerah ini, (2) meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia sebagai pihak yang terkait dengan pengelolaan suaka
rajungan di perairan ini, dan (3) pihak terkait dengan pengelolaan suaka rajungan
dapat mengetahui peran dan fungsinya dalam pengelolaan suaka rajungan sehingga
dapat berjalan efektif.
Saran
Mengingat saat ini status populasi rajungan di Teluk Lasongko cenderung
berada pada kondisi kritis, maka beberapa saran yang diajukan, yaitu adalah sebagai
berikut :
1. Ukuran lebar karapas rajungan jantan yang boleh ditangkap adalah >109.83 mm
dan rajungan betina > 115.71 mm, serta melarang menangkap rajungan betina
ovigerous,
2. Mengurangi intensitas penangkapan rajungan ketika musim puncak pemijahan
rajungan,
3. Penangkapan rajungan di daerah yang dangkal perlu dikurangi dan diarahkan ke
lokasi yang lebih dalam dan di sekitar mulut Teluk Lasongko ,
4. Melarang pembudidaya rumput membuang sisa air rendaman bibit ke laut, tidak
menggunakan padang lamun sebagai lokasi budidaya rumput laut, dan perlu
merehabilitasi padang lamun pada beberapa lokasi di stasiun 1 dan 2,
5. Perlu penelitian lebih lanjut tentang distribusi larva dan pola migrasi rajungan
untuk mendukung pengembangan suaka rajungan di Teluk Lasongko,
6. Perlu pencatatan secara berkala jumlah penggunaan gillnet dan bubu, ukuran
rajungan yang tertangkap dan hasil tangkapan rajungan untuk dijadikan dasar
menentukan potensi dan mengevaluasi strategi pengelolaan, dan
7. Perlu dilakukan kajian genetika populasi rajungan untuk mendukung penentuan
unit stok rajungan dan pengembangan pembenihan rajungan untuk mendukung
restoking dan pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.
147
DAFTAR PUSTAKA
Akbar Z, Qasim R, and Siddiqui PJA. 1998. Seasonal variations in biochemical
composition of edible crab (Portunus pelagicus Linneaus). J. Islamic Acad. Sci.
1(2): 127-133
[AOAC] Association of Official Analysis Chemists. 1984. Official Methods of
Analysis of the Association of Official Analysis Chemists. Washington (US):
Association of Official Analytical Chemists. 14th Ed. 1102pp
Araújo MSC, Coelho PA and Castiglioni DS. 2012. Relative growth and determination
of morphological sexual maturity of the fiddler crab Uca thayeri Rathbun
(Crustacea, Ocypodidae) in two mangrove areas from Brazilian tropical coast.
Pan-American J. Aqu. Sci. 7(3): 156-170
Arshad A, Efrizal, Kamarudin MS and Saad CR. 2006. Study on fecundity,
embryology and larval development of blue swimming crab Portunus pelagicus
(Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Res.J.Fish.&Hydrobiol. 1(1): 35-44
Atar HH, Secer S. 2003. Width/length-weight relationships of the blue crab
(Callinectes sapidus Rathbun 1896) population living in Beymelek Lagoon
Lake. Turk J Vet Anim Sci. 27: 443-447
Ayas D, and Özoğul Y. 2011. The chemical composition of sexually mature blue
swimmer crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) in the Mersin Bay. J Fish.
Sci. 5(4):308-316 doi: 10.3153/jfscom.2011035
Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana 24(1): 1-16
Azmie G, Abol-Munafi AB, Faizal WWYM and Ikhwanuddin M. 2012. Ovarian
maturation stages of orange mud crab, Scylla olivacea. Paper presented at
UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and
Management, Terengganu, Malaysia 09th - 11th July 2012.
Balasubramanian CP and Suseelan C. 2001. Biochemical composition of the deep-
water crab Charybdis smithii. Indian J. Fish 48(3):333-335
Baklouti S, Derbali A, Dhieb K, Kammoun W and Jarboui O. 2013. Proximate
composition and its seasonality of the Mediterranean green crab: Carcinus
aestuarii Nardo,1847 (Brachyura, Portunidae), in Southern Tunisian waters
(Central Mediterranean). J. Mar.Biol., 6p http://dx.doi.org/10.1155/2013/989467
Batoy CB, Sarmago JF, Pilapil BC. 1987. Breeding season, sexual maturity and
fecundity of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in selected coastal waters in
Leyte and vicinity, Philippines. An.Trop. Res. 9(3):157-177.
Batoy CB, Pilapil BC, Sarmago JF. 1988. Size composition, distribution, length-
weight relationship and natural food of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in
selected coastal waters in Leyte and vicinity, Philippines. An.Trop. Res. 10(3
dan 4): 127-142
[BBAP Takalar] Balai Budidaya Air Payau Takalar. 2012. Restoking 100 000 ekor
benih rajungan.[diunduh 20Januari 2015]. Tersediapada: http://crabcenterbbapt.
blogspot.com/2012/07/restocking-100000-ekor-benih-rajungan.html
Bellchambers L, Sumner N and Melville-Smith R. 2005. Final Report Development
of Stock Allocation and Assessment Techniques in WA Blue Swimmer Crab
Fisheries. North Beach (AU): Department of Fisheries, Research Division.
148
Bellchambers L. 2010. The Effect of Western Rock Lobster Fishing on the Deepwater
Ecosystems of the West Coast of Western Australia. [Final FRDC Report,
Project 2004/049]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Government of
Western Australia. 96pp
Bengen DG. 2001. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 41 hal
Bertini G, Teixeira GM, Fransozo V and Fransozo A. 2010. Reproductive period and
size at the onset of sexual maturity of mottled purse crab, Persephona
mediterranea (Herbst, 1794) (Brachyura, Leucosioidea) on the southeastern
Brazilian coast. Invert. Repro. Devel. 54(1): 7-17.
Bhat BA, Ravichandran S and Allayie SA. 2011. Influence of the eyestalk hormone
on the metabolism and ionic regulation of the crab Portunus pelagicus
(Linneaus, 1857). J. Biol. Sci. 11(2): 203-209 doi: 10.3923/jbs.2011.203.209
Blankenhorn SU. 2007. Seaweed Farming and Artisanal Fisheries In An Indonesian
Seagrass Bed Complementary Or Competitive Usages?. [Dr. rer. nat. Thesis]
Bremen (NL): Faculty 2 Biology, University Bremen. 118pp
Boutson A. 2008. Behavior of Blue Swimming Crab for Improving Catch Selectivity
and Efficiency of Collapsible Pot in Thailand. [Dissertation]. Tokyo(JP): Tokyo
University of Marine Science and Technology (TUMSAT). 101 p.
Brower J, Jerrold HZ and Ende NVE. 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm. C. Brown Publishers.
Campbell S. 2009. Seaweed farms and seagrass can they co exist?. [diunduh 19
Februari 2015]; 3:12-13. Tersedia pada: www.seagrasswatch. org/.../SW
Magazine .
Caputi N, Pearce A and Lenanton R. 2010. Fisheries-Dependent Indicators of Climate
Change in Western Australia WAMSI Sub-Project 4.2.3. [Fisheries Research
Report No. 213]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Western
Australia. 36pp
Chande I and Mgaya YD. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species
diversity of portunid crabs along the Coast of Dar es Salaam, Tanzania.
Western Indian Ocean. J. Mar. Sci. 2(1): 75-84
Cobo VJ and Fransozo A. 2003. External factors determining breeding season in the
red mangrove crab Goniopsis cruentata (Latreille) (Crustacea, Brachyura,
Grapsidae) on the São Paulo State Northern Coast, Brazil. Revta bras. Zool. 20
(2): 2013-2017
Chaiyawat M, Eungrasamee I and Raksakulthai N. 2008. Quality characteristics of
blue swimming crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) meat fed Gracilaria
edulis (Gmelin) Silva. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 42: 522-530
de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer
crab (Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the
West Coast of Australia. Fish.Bull. 101: 745-757
de Lestang S, Bellchambers LM, Caputi N, Thomson AW, Pember MB, Johnston DJ
and Harris DC. 2010. Stock-Recruitment-Environment Relationship in a
Portunus pelagicus Fishery in Western Australia. in: Kruse GH, Eckert GL,
Foy RJ, Lipcius RN, Sainte-Marie B, Stram DL, and Woodby D (eds.). Biology
149
Ikhwanuddin AP, Muhamad JH, Shabdin ML and Abol-Munafi AB. 2011. Fecundity
of blue swimming crab, Portunus pelagicus Linnaeus, 1758 from Sematan
Fishing District, Sarawak coastal water of South China Sea. Borneo J. Resour.
Sci. Tech 1: 46-51
Ikhwanuddin M, M. Azra, H Siti-Aimuni and AB Abol-Munafi, 2012a. Fecundity,
Embryonic and Ovarian Development of Blue Swimming Crab, Portunus
pelagicus (Linnaeus, 1758) in Coastal Water of Johor, Malaysia. Pak. J. Biol.
Sci. 15:720-728. doi: 10.3923/pjbs.2012.720.728
Ikhwanuddin M, Nurfaseha AH, Abol-Munafi AB, and Shabdin ML. 2012b. Movement
patterns of blue swimming crab, Portunus pelagicus in the Sarawak coastal
water, South Cina Sea. J. Sustain .Sci. Manage. 7(1): 8-15
Ingles, JA and Braum E. 1989. Reproduction and larval ecology of the blue swimming
crab Portunus pelagicus in Ragay Gulf, Philippines. Int. Rev. Hydrobiol., 74(5):
471-490.
Jazayeri A, Papan F, Savari A, Nejad TS. 2011. Biological investigation of Persian
Gulf blue swimmer crab (Portunus pelagicus) in Khuzestan coasts. J.
American Sci. 7(2): 7-13
Johnson DD, Charles GA and Macbeth WG. 2010. Reproductive biology of Portunus
pelagicus in a South-East Australian Estuary. J.Crus. Biol. 30(2): 200-205
Johnston D, Harris D, Caputi N, Thomson A. 2011a. Decline, contributing factors
and future management strategy. Fish. Res. 109(1): 119-130
Johnston D, Harris D, Caputi N, de Lestang S, and Thomson A. 2011b. Status of The
Cockburn Sound Crab Fishery. [Fisheries Research Report No. 219]. North
Beach (AU): Department of Fisheries, Western Australia. 104pp.
Josileen J and Menon NG. 2007. Fishery and growth parameters of the blue swimmer
crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) along the Mandapam Coast, India. J.
Mar. Biol. Assoc. India 49(2): 159-165
Josileen J. 2011. Morphometrics and length-weight relationship in the blue swimmer
crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura) from the
Mandapam Coast, India. Crustaceana 84 (14): 1665-1681
Josileen J. 2013. Fecundity of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus,
1758) (Decapoda, Brachyura, Portunidae) along the coast of Mandapam, Tamil
Nadu, India. Crustaceana 86(1):48-55.
Juwana S. 1997. Tinjauan tentang perkembangan penelitian budidaya rajungan
(Portunus pelagicus). Oseana 22 (4):1-12
Juwana S. 2006. Petunjuk Praktis Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Jakarta [ID]: Pusat Penelitian
Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 45 hal
Kamrani E, Sabili AN, Yahyavi M. 2010. Stock assessment and reproductive biology
of the blue Swimming crab, Portunus pelagicus in Bandar Abbas Coastal Waters,
Northern Persian Gulf. Journal of the Persian Gulf (Marine Science) 1(2): 11-22.
Kangas MI. 2000. Synopsis of the Biology and Exploitation of the Blue Swimmer
Crab Portunus pelagicus Linnaeus in Western Australia. Fisheries Research
Report No. 121]. Perth (AU) : Fisheries Western Australia. 29 pp
152
Kembaren DD, Ernawati T dan Suprapto. 2012. Biologi dan parameter populasi rajungan
(Portunus pelagicus) di perairan Bone dan sekitarnya. J.Lit.Perikan.Ind.18
(4):273-281
King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Oxford (GB):
Blackwell Scientific. 341 p.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan,
Buku 1. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 182 hal
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus
spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.). Jakarta
(ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 5 hal
Khoei JK, Bastami AA and Esmailian M. 2012. The biochemical composition of the
eggs blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in the Persian
Gulf Coasts, Iran. Middle-East J. Sci. Res. 12(7): 915-920
Kumar M, Xiao Y, Venema S. 2003. Reproductive cycle of the blue swimmer
crab, Portunus pelagicus, of Southern Australia. J.Mar.Biol. Assoc.U.K. 83:
983-994. doi.org/10.1017/S0025315403008191h
Kunsook C. 2011. Assessment of Stock and Movement Pattern for Sustainable
Management of Blue Swimming Crab Portunus Pelagicus (Linnaeus, 1758): Case
study in Kung Krabaen Bay, Chanthaburi Province, Thailand. [PhD thesis].
Bangkok (TH): Chulalongkorn University. 166pp
Kunsook C, Gajaseni N and Paphavasit N. 2014. A stock assessment of the blue
swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) for sustainable management
in Kung Krabaen Bay, Gulf of Thailand. Trop. Life Sci. Res. 25(1): 41-59
Kurnia R, Boer M, Zairion. 2014. Biologi populasi rajungan (Portunus pelagicus)
dan karakteristik lingkungan habitat esensialnya sebagai upaya awal
perlindungan di Lampung Timur. JIPI 19 (1): 22-28
Larkum AD, Orth RJ and Duarte CM (eds). 2006. Seagrasses: Biology, Ecology
and Conservation. Dordrecht (NL): Springer. 649 pp
Li X, Li Z, Liu J, Zhang T, Zhang C. 2011. Effects of light intensity on molting,
growth, precocity, digestive enzyme activity, and chemical composition of
juvenile Chinese mitten crab Eriocheir sinensis. Aquacult Int 19:301-311 doi:
10.1007/s10499 -010-9414-8
Li S, Cheng Y, Zhou B and Hines AH. 2012. Changes in biochemical composition
of newly spawned eggs, prehatching embryos and newly hatched larvae of the
blue crab Callinectes sapidus. J. Shellfish Res. 31(4):941-946 doi: http://dx.
doi.org/10.2983/035.031.0405
Liao Y, Li F, and Dong X. 2011. External morphological characteristics during the
embryonic development of Portunus pelagicus. Zoological Research 32(6):
657-662 (Bahasa Cina) doi: 10.3724/SP.J.1141.2011.06657
Liu Z, Wu X, Wang W, Yen B, Cheng Y. 2014. Ovariun development, size
distribution and monthy variation of the female blue swimmer crab, Portunus
pelagicus in Beibu Gulf, off South Cina. Sci.Mar. 78 (2):257-268. doi:
10.3989/scimar.03919.24A
153
Central and Lower West Coasts of Australia. Murdoch (AU): Centre for Fish
and Fisheries Research, Murdoch University. 56p
Priya ER, Jeyalakshmi K, Ravichandran S and Chandran M. 2013. Variation of lipid
concentration in some edible crabs. World J. Fish & Marine Sci. 5(1):110-112
Radhakrishnan CK. 2000. The eggs of marine crabs an unexploited resource. Naga,
The ICLARM Quarterly 23(3):4-5
Rameshkumar G, Ravichandran S, Chandan K and Ajithkumar TT. 2009. Comparison of
fatty acid profile in the edible crabs Scylla serrata and Portunus pelagicus.
Global J Env. Res. 3(1):42-45
Rasheed S, Mustaquim J. 2010. Size at sexual maturity, breeding season and
fecundity of three-spot swimming crab Portunus sanguinolentus (Herbst, 1783)
(Decapoda, Brachyura, Portunidae) occurring in the coastal waters of Karachi,
Pakistan. Fish.Res. 103: 56–62 doi:10.1016/j.fishres.2010.02.002
Ravi R and Manisseri MK. 2010. Biochemical Changes during Gonadal Maturation
Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758). Fishery Technology, 47(1): 27-34
Ravi R and Manisseri MK. 2013. Alterations in size, weight and morphology of the
eggs of blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, 1758 (Decapoda,
Brachyura, Portunidae) during incubation. Turk. J. Fish. Aquat. Sci. 13:509-515
Razek AFA, Taha SM and Ameran AA. 2006. Population biology of the edible crab
Portunus pelagicus (Linnaeus) from Bardawil Lagoon, Northern Sinai, Egypt.
Egyptian J. Aquat. Res. 32( 1): 401-418.
Reppond K, Rugolo L and de Oliveira ACM. 2008. Change in biochemical
composition during development of snow crab, Chionoecetes opilio, embryos.
J. Crus. Biol 28(3):519-527
Roberts CM, Hawkins PJ and Gell FR. 2005. The role of marine reserves in achieving
sustainable fisheries. Phil. Trans. R. Soc. B. 360, 123-132
Romano N and Zeng C. 2006. The effects of salinity on the survival, growth and
haemolymph osmolality of early juvenile blue swimmer crabs, Portunus pelagicus.
Aquaculture 260: 151-162
Rosa R, Calado R, Narciso L and Nunes ML. 2007. Embryogenesis of decapod
crustaceans with different life history traits, feeding ecologies and habitats: a
fatty acid approach. Mar Biol 151:935-947 doi 10.1007/s00227-006-0535-6
Safaie M, Pazooki J, Kiabi B and Shokri MR. 2013. Reproductive biology of blue
swimming crab, Portunus segnis (Forskal, 1775) in coastal waters of Persian
Gulf and Oman Sea, Iran. Iranian J Fish Sci. 12(2): 430-444.
Samuel MJ, Kannupandi T and Soundarapandian P. 1998. Fatty acid profile during
embryonic development of the cultivable freshwater prawn Macrobrachium
malcolmsonii (H. Milne Edwards). Indian J Fish 45(2): 141-148
Samuel NJ and Soundarapandian P. 2009. Embryonic development of commercially
important portunid crab Portunus sanguinolentus (Herbst). Int.J.Anim.Veter.Adv.
1(2): 32-38
Santos S, Negreiros-Fransozo ML. 1999. Reproductive cycle of the swimming crab
Portunus spinimanus Latreille (Crustacea, Oecapoda, Brachyura) from Ubatuba,
Sao Paulo, Brazil. Revta bras. Zool. 16(4): 1183 -1193.
155
Saputra SW. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus elegans de Man
1907) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 213 hal
Sawusdee A and Songrak A. 2009. Population dynamics and stock assessment of
blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in the coastal area of
Trang Province, Thailand. Walailak J Sci & Tech 6(2): 189-202.
Songrak A, Bodhisuwan W and Thapanand-Chaidee T. 2013. Selectivity of traps for
blue swimming crab in Trang province. Maejo Int. J. Sci. Technol. 7 (Special
Issue): 36-42
Songrak A, Bodhisuwan W, Yoocharern N, Udomwong W and Darbanandana T.
2014. Reproduction biology of the blue swimming crab, Portunus pelagicus
(Linnaeus, 1758) in the coastal waters of Trang Province, Southern Thailand.
Kasetsart Fish. Res. Bull. 38 (2): 27-40
Soundarapandian P and Singh RK. 2008. Biochemical composition of the eggs of
commercially important crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Int. J. Zool. Res.
4:53-58
Sounndarapandian P and Dey SS. 2008. Proximate composition of the eggs of
commercially important crab Portunus sanguinolentus (Herbst). J. Fish.
Aquatic Scie.. 3:60-65 doi: 10.3923/jfas.2008.60.65
Soundarapandian P and Tamizhazhagan T. 2009. Embryonic development of
commercially important swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Curr.
Res. J. Biol. Sci. 1(3):106-108
Soundarapandian P, Varadharajan D, Anand T. 2013a. Male Reproductive System of
Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758). J Cytol Histol. 5:
206. doi:10.4172/2157-7099.1000206
Soundarapandian P, Varadharajan D, Boopathi A. 2013b. Biology of the commercially
important portunid crab, Portunus sanguinolentus (Herbst). J Marine Sci Res
Dev 3: 124. doi: 10.4172/2155-9910.1000124.
Soundarapandian P, Ilavarasan N, Varadharajan D. 2013c. Reproductive System of
Flower Crab, Charybdis feriata (Linnaeus). Open Access Scientific Reports 2:
701 doi:10.4172/scientificreports.701
Soundarapandian P, Sudhakar S, Varadharajan D and Dinakaran GK. 2013d.
Biochemical Composition during the Embryonic Development and Freshly
Hatched Zoea of Macrobrachium idae (Heller, 1862). J Earth Sci Clim Change
5:171 doi: 10.4172/2157-7617.1000171
Soundarapandian P, Dinakaran GK and Varadharajan D. 2013e. Biochemical
composition during the embryonic development and freshly hatched zoea of
Macrobrachium idella idella (Hilgendorf, 1898). Adv Tech Biol Med. 1:111.
doi:10.4172/atbm.1000111
Soundarapandian P, Ravichandran S and Varadharajan D. 2013f. Biochemical
composition of edible crab, Podophthalmus vigil (Fabricius). J Marine Sci Res
Dev 3:119. doi:10.4172/2155-9910.1000119
Sparre P and Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Widodo J,
Merta IKG, Nurhakim S, Badrudin M., penerjemah. Jakarta (ID): Badan
156
Sumpton WD, Potter MA and Smith GS. 1994. Reproduction and growth of the
commercial sand crab, Portunus pelagicus (L.) in Moreton Bay, Queensland.
Asian Fisheries Science 7:103-113.
Sunarto, Soedharma D, Riani E dan Martasuganda S. 2010. Hubungan panjang berat
dan lebar dengan berat tubuh serta faktor kondisi populasi rajungan (Portunus
pelagicus) jantan dan betina di perairan pantai Brebes. Jurnal Akuatika 1(1): 83-92
Sunarto. 2012. Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan
Laut Kabupaten Brebes. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 175 hal
Supardan A. 2006. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Aplikasinya pada
Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten
Buton. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 324 hal
Wardiatno Y, Zairion. 2011. Study on Bio-Ecology of The Blue Swimming Crab and Bio-
Economic Perfomace of Crab Fishery in Order to Propose of Spawning Ground
Protection. [Report]. Jakarta (ID): Indonesian Blue Swimming Crab Management
Association in cooperation with Department of ARM-FFMS-IPB. 77p.
Wu X, Zhou B, Cheng Y, Zeng C, Wang C and L Feng. 2010. Comparison of gender
differences in biochemical composition and nutritional value of various edible
parts of the blue swimmer crab. Journal of Food Composition and Analysis
23:154-159
Yao J, Zhao Y, Wang Q, Zhou Z, Hu X, Duan X and An C. 2006. Biochemical
compositions and digestive enzyme activities during the embryonic
development of prawn, Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 253:573-582.
Ying X, Yang W and Zhang Y. 2006. Comparative studies on fatty acid composition
of the ovaries and hepatopancreas at different physiological stages of the
Chinese mitten crab. Aquaculture 256: 617-623
158
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu pengukuran di Teluk Lasongko
Waktu pengukuran (bulan)
Variabel Nilai
Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agu-13 Sep-13 Okt-13 Nov-13 Des-13 Jan-14 Feb-14 Mar-14
Rataan 28.5 28.3 28.3 27.3 27.5 28.7 28.8 30.0 28.7 29.6 29.1 28.8
Suhu Sd 1.9 1.5 1.4 1.2 2.4 2.5 2.2 1.5 1.4 1.5 1.4 1.2
(oC) Maks. 30.1 30.7 32.5 30.5 35.6 34.6 33.4 34.0 31.5 32.9 31.8 31.2
Min. 26.2 25.6 24.5 25.2 23.8 24.3 24.9 25.5 25.6 26.6 25.9 25.6
Rataan 1.5 1.0 2.0 0.9 1.0 0.8 2.7 2.0 1.5 1.7 1.2 1.4
Kekeruhan Sd 0.8 0.5 2.2 0.4 0.6 0.6 1.8 0.9 0.8 1.0 0.6 0.8
(NTU) Maks. 3.39 2.24 7.47 1.48 2.3 2.65 6.78 3.44 2.91 4.21 2.19 3.25
Min. 0.46 0.2 0.37 0.38 0.23 0.41 0.67 0.52 0.31 0.67 0.45 0.52
Rataan 52.2 84.6 97.9 74.9 55.3 120.6 115.7 111.7 123.9 95.1 97.2 111.8
TSS Sd 21.1 29.0 38.6 26.6 27.6 63.1 37.3 30.9 48.9 15.9 22.6 35.6
(mg.l-1) Maks. 95.5 130 165.5 120.0 119.0 239.0 183.0 175.0 292.0 120.0 134.0 203
Min. 19.0 38.0 50.0 38.0 15.0 33.0 46.0 52.5 74.0 71.0 59.0 64
Rataan - 7.24 6.56 7.40 8.55 6.63 9.37 11.79 14.35 9.95 9.52 9.73
Kec. Arus Sd - 1.69 4.23 3.43 4.15 3.58 4.06 5.39 9.08 3.72 4.55 3.92
(cm.detik-1) Maks. - 10.41 12.66 14.55 17.11 13.28 16.09 20.31 38.25 18.75 16.22 17.06
Min. - 5.15 0.44 2.75 1.10 3.42 2.76 4.49 4.77 4.36 3.40 4.59
Rataan 30.1 29.7 30.1 30.2 31.3 34.0 32.7 33.6 32.6 32.1 32.0 30.0
Salinitas Sd 0.3 0.5 0.5 3.9 3.3 0.0 2.1 0.7 1.1 0.7 1.1 0.3
(ppt) Maks. 31.0 30.0 31.0 32.0 34.5 34.0 34.0 35.0 34.0 33.0 33.0 31.0
Min. 30.0 28.5 29.0 16.0 19.0 34.0 25.0 32.0 30.0 31.0 30.0 29.5
Rataan 8.15 8.21 8.23 8.17 8.38 8.35 8.36 8.41 8.53 8.56 8.55 8.62
Sd 0.09 0.05 0.16 0.10 0.10 0.08 0.13 0.10 0.08 0.05 0.09 0.06
pH
Maks. 8.29 8.29 8.41 8.33 8.56 8.47 8.52 8.57 8.7 8.68 8.67 8.74
Min. 7.91 8.12 7.45 8.01 8.13 8.12 7.84 8.11 8.32 8.4 8.25 8.4
Rataan - 6.71 6.43 6.22 4.60 4.53 4.24 6.11 5.52 4.77 5.21 4.53
Oksigen Sd - 0.57 1.22 0.74 0.86 0.47 0.56 0.74 0.67 0.54 0.82 0.57
(mg.l-1) Maks. - 7.36 7.6 7.77 6.53 5.87 5.39 7.12 6.93 6.35 6.97 6.15
Min. - 5.74 4.11 5.15 4.03 3.59 3.05 4.72 4.44 3.96 3.66 3.64
159
159
160
Lampiran 4. Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di Teluk Lasongko
162
Lampiran 5. Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko
163
163
164
RIWAYAT HIDUP