Anda di halaman 1dari 184

HABITAT, BIOLOGI REPRODUKSI DAN DINAMIKA

POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758)


SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO,
SULAWESI TENGGARA

ABDUL HAMID

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Habitat, Biologi Reproduksi dan
Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar
Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Abdul Hamid
NIM C261110021
RINGKASAN
ABDUL HAMID. Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan
(Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk
Lasongko, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DJAMAR
T.F. LUMBAN BATU dan ETTY RIANI.
Rajungan bernilai ekonomis penting dan permintaannya yang tinggi sehingga
dilakukan penangkapan secara intensif, diantaranya seperti yang terjadi di Teluk
Lasongko. Untuk itu, perlu dilakukan pengelolaan sehingga keberlanjutan populasi
rajungan di perairan ini terjaga, namun data kondisi habitat, biologi reproduksi dan
dinamika populasi rajungan belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan
hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran
populasi rajungan, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat
kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina
ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat
eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk
Lasongko. Pengambilan contoh rajungan dilakukan dengan menggunakan gill net
dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci pada tujuh stasiun dan dilakukan
setiap bulan, yaitu dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko
bervariasi baik spasial maupun temporal, namun masih dalam batas kisaran yang
optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Keberadaan rajungan di perairan
ini juga bervariasi secara spasial dan temporal, dan ditemukan tersebar pada tipe
substrat pasir (dominan), pasir berlempung dan liat lempung berpasir dengan
kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 31 m. Keempat jenis warna rajungan betina
ovigerous juga ditemukan pada berbagai tipe habitat. Rajungan di perairan ini banyak
tertangkap pada bulan Desember sampai Juli, sedangkan pada bulan Agustus sampai
Oktober sedikit tertangkap. Kondisi substrat, kedalaman air dan padang lamun
mempengaruhi distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko, dan sebagian besar
variabel kualitas air berkorelasi dengan distribusi rajungan.
Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan
bervariasi secara spasial dan temporal, yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 berukuran
kecil dan yang tertangkap pada stasiun 7 berukuran besar dibandingkan dengan stasiun
lainnya. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember
berukuran besar, sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September,
Februari dan Maret berukuran kecil. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan
Oktober, November, Maret, September dan Desember tergolong berukuran besar
sedangkan yang tertangkap pada bulan April tergolong berukuran kecil. Karakter
morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar
dari pada musim timur. Ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada penelitian ini lebih
kecil dari pada rajungan betina, masing-masing terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar
karapas untuk rajungan jantan dan rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran.
Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dan hubungan antar karakter morfometrik
rajungan jantan menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Tipe
pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina umumnya
bersifat allometrik negatif, sedangkan lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan
betina bersifat isometrik. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat rajungan jantan
dan betina bersifat allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif lebar/panjang-berat
tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan tahap dewasa tidak mengalami
perubahan, yaitu keduanya bersifat isometrik.
Rasio kelamin, TKG dan IKG rajungan jantan dan betina yang ditemukan di
Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal. Rasio kelamin rajungan
jantan dan betina secara spasial dan temporal umumnya seimbang, kecuali rasio
kelamin total tidak seimbang. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun
didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad sedangkan rajungan betina
sebagian besar didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada stasiun 1 dan 2.
Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan, serta pada musim
timur dan barat sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad.
Ukuran lebar karapas 50 % matang kelamin rajungan jantan 109.83 mm dan betina
115.71 mm.
Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan orange didominasi oleh yang
belum matang gonad, sedangkan yang berwarna coklat dan abu-abu gelap seimbang
antara yang belum matang gonad dan yang matang gonad. Perkembangan gonad dan
embrio rajungan betina ovigerous berlangsung paralel. IKG rajungan betina
ovigerous lebih rendah dari pada IKG rajungan betina yang belum ovigerous.
Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078
874 butir, berkorelasi linear dengan ukuran tubuh dan berat telur, serta bervariasi
terhadap ukuran tubuh dan warna telur rajungan. Kadar proksimat dan asam lemak
selama perkembangan embrio rajungan mengalami perubahan seiring dengan
perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap.
Jumlah kelompok ukuran rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari
satu sampai dua kelompok, dan sebagian besar tergolong ukuran dewasa atau matang
kelamin. Pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina.
Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan
tertinggi terjadi pada bulan Juli dan September, dan tingkat eksploitasi rajungan
jantan dan betina di perairan ini telah tergolong tangkap lebih (overfishing).
Potensi keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi
dilihat dari aspek habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi, namun
karena tingkat eksploitasi yang tinggi, status stok rajungan di perairan ini cenderung
tergolong kritis. Rajungan pada lokasi yang dangkal telah mengalami perubahan rasio
kelamin jantan dan betina serta ukuran rajungan jantan dan betina semakin kecil.
Konsep pengelolaan yang segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan populasi
rajungan dan penangkapan berkelanjutan adalah pengaturan rajungan yang boleh
ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah
penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka
rajungan serta pemantauan dan evaluasi.
Kata kunci : Portunus pelagicus, habitat, reproduksi, dinamika populasi,
pengelolaan, Teluk Lasongko.
SUMMARY

ABDUL HAMID. Habitat, Reproductive Biology and Population Dynamics as in


the a Management Based of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus Linnaeus
1758) in the Lasongko Bay, Southeast Sulawesi. Supervised by YUSLI
WARDIATNO, DJAMAR T.F. LUMBAN BATU and ETTY RIANI.
Blue swimming crabs have important economic value and high demand
therefore catching of the crabs has been intensively, such as occurred in the
Lasongko Bay. Therefore, management of the blue swimming crabs needs to be done
to keep sustainability of the crab populations. Yet, data of habitat conditions,
reproductive biology and population dynamics of the crabs have not been available.
This study aims to analyze (1) the characteristics of the habitat and the crab
population distribution based on catches, (2) the morphometric characteristics and
the size class frequency distribution, (3) the parameters of reproductive biology of
the crabs, (4) distribution, level of gonad maturity, fecundity and biochemical
composition of ovigerous female crab eggs, (5) the structure of the population size,
population dynamics parameters and the rate of exploitation crab, and (6) formulated
of management concepts of blue swimming crab in the Lasongko Bay. Samplings of
the crab using gill nets with mesh sizes 1.5, 2.5 and 3.5 inches taken place at seven
stations and conducted monthly, from April 2013 to March, 2014.
The results show that the characteristics of the crab habitat in the Lasongko Bay
varied both spatially and temporally, but still within the optimal range for the survival
life and growth of crab. The existence of the crabs in this waters also varied spatially
and temporally, and were found scattered on the sand substrate type (dominantly),
sand clay and sandy clay loam with a depth ranging from 0.35 m to 31 m. The fourth
color ovigerous female crabs were also found at various habitat types. The blue
swimming crabs in this water were mostly caught during periods from December to
July, and only less crabs were caught in period from August to October. The
condition of the substrate, water depth and seagrass affected the distribution of the
crab populations in the Lasongko Bay, and most of the water quality variables
correlated with the distribution of the crabs.
Morphometric characters of the male and the female crabs in the Lasongko Bay
were found to vary spatially and temporally, as well as caught at stations 1 and 2 was
characterized by small size, and at station 7 was chracterized by larger size than other
stations. The sizes of the male blue swimming crab caught in October to December
were large, meanwhile in the April, May, July, September, February and March were
small. The sizes of the female swimming crab captured in October, November,
March, September and December were large while caught in April were small.
Morphometric size characteristics of the male and the female crabs caught during west
monsoon season were larger than during the east moonson season. Furthermore, the
sizes of the male crabs caught in this study is smaller than the female crab, distributed
respectively in 10 carapace width size classes for male and in 12 class sizes for the
female. Relationship between carapace width/length with body weight and the
relationship among the male crab morphometric characters were very significant,
strong and positive. Relative growth of morphometric characters for the male and the
female crabs was generally negative allometric, while the width/length-weight of the
male and the female crabs were isometric. Relative growth of crab carapace length-
weight for males and females are negative allometric. Types of the relative growth of
the width/length-weight for the male and the female crabs at juvenile stage and adult
stages were unchanged, both were isometric.
Sex ratio, gonad maturity stages (GMS) and GSI of the male and the female
crabs found in the Lasongko Bay varied spatially and temporally. Sex ratio of the
male and the female crabs spatially and temporally generally balanced, except for the
total sex ratio which was unbalanced. The male crabs caught at each station were
dominated by immature crabs while the females were largely dominated by mature
gonads, except at stations 1 and 2. The male crabs caught in each period of sampling,
as well as during east and west season were largely dominated by small crabs with
immature gonads. Carapace width size of 50 % sex maturity of crabs for the male and
the female, respectively 109.83 mm 115.71 mm. Peak spawning season of the crabs
in this water occurred in May-June, August, and October-November and the
spawning was partial (partial spawner).
The yellow and orange ovigerous females crabs were dominated by immature
gonads, while the brown and dark gray had balanced composition between the
immature and mature gonads. Embryonic and gonad development for the ovigerous
female crabs were parallel. GSI of the ovigerous female crabs was lower than the GSI
of non-ovigerous female crabs. Fecundity of the crabs in the Lasongko Bay ranged
from 69,747 to 2,078,874 eggs, linearly correlated with body size and weight of eggs,
and varied with body size and colours of the crab eggs. Proximate and fatty acid
content during embryonic development of the crabs changed in accordance with the
change of the crab egg colours, from yellow to dark gray colours.
The sizes of the crabs found in this study consisted of one to two groups, and
many were classified into the size of an adult or mature sex. The male crab
population growth is faster than the female crabs. The recruitment of the crab
population in the Lasongko Bay took place every month and the highest was in July.
The population of both the male and the female crabs in this water has been
overexploitated (overfishing).
Sustainability potency of the crab populations in the Lasongko Bay was high,
viewed from the aspect of habitat, reproductive biology and population dynamics
parameters. However, due to high exploitation rates, the crab stocks in water has
been in critical condition. The small crabs in the shallow location had undergone
changes in the ratio of male and female. Also, both the male and the female crabs
sizes had been getting smaller. Management concept is needed to ensure the
sustainability of the crab population by setting the legal size of catch captured, setting
the fishing season, controlling fishing gears and fishing areas, protecting and
rehabilitating habitats, restocking, and developing crab sanctuary.
Keywords : Portunus pelagicus, habitat, reproduction, population dynamics,
management, Lasongko Bay
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HABITAT, BIOLOGI REPRODUKSI DAN DINAMIKA POPULASI
RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) SEBAGAI DASAR
PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO,
SULAWESI TENGGARA

ABDUL HAMID

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
(Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)
Dr Ir Toni Ruchimat, M.Sc
(Direktur Pelabuhan Perikanan Ditjen Perikanan
Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Penguji pada Sidang Promosi : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc


Dr Ir Toni Ruchimat, M.Sc
PRAKATA
Alhamdulillah dan puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT atas rahmat
kesehatan dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi
ini berhasil diselesaikan. Judul disertasi ini adalah Habitat, Biologi Reproduksi dan
Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar
Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara.
Saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr.
Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir.
Djamar T.F. Lumban Batu, M.Agr, dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S masing-masing
sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaannya untuk membimbing serta
meluangkan waktu dan curahan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penelitian
dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS 2011 dan Hibah Doktor 2014 yang
diberikan kepada penulis,
2. Rektor Universitas Halu Oleo, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan S3,
3. Bapak Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc sebagai Ketua Program Studi SDP, Bapak
Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga dan staf PS SDP yang telah membantu
kelancaran administrasi penyelesaian studi saya,
4. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Mohammad
Mukhlis Kamal, M.Sc atas saran dan pertanyaan yang sangat berharga yang
diberikan saat ujian pra kualifikasi Doktor,
5. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Toni Ruchimat,
M.Sc sebagai penguji luar komisi ujian tertutup dan sidang promosi atas koreksi
dan saran yang sangat berharga untuk perbaikan disertasi ini,
6. Bapak dan Ibu dosen pengasuh mata kuliah program Doktor di Program Studi SDP
yang memberikan Ilmunya dengan tulus,
7. Dr. Bahtiar, S.Pi, M,Si atas bantuannya dalam mengolah data dinamika populasi
rajungan, serta Pamaruddin, S.Pi dan Tarlan Subarno, S.Pi telah membuatkan peta,
8. Teman seangkatan SDP 2011, Eko Priyanto, Usman Madubun, Dadeh Jubaedah
dan Ani Suriyanti, serta teman-teman Wancana Sulawesi Tenggara Bogor atas
dukungan dan kerjasama yang terjalin selama masa studi,
9. Bapak La Mpiri, Kaharudin, ST atas bantunya selama pengambilan data di
lapangan, dan para nelayan rajungan dan pengolah daging rajungan telah
membantu mengumpulkan data hasil tangkapan rajungan,
10. Bapak Mertua H. Drs. Abdul Latief Hatman, kakak dan adik-adik saya,
khususnya keluarga Ridwan, S.Pd dan istri Riyanti serta Nafisa, A.Md atas
bantuan, doa dan dorongan semangat selama studi program Doktor, dan
11. Istri tercinta Umi Kalsum, telah setia, sabar dan pengorbanannya, serta sebagai
asisten dalam analisis fekunditas dan TKG rajungan jantan, serta anakda tercinta
Muhammad Hilmy, Nurul Hazriah dan Muhammad Ihza Raihan atas doa
dukungan dan pengertiannya.
Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2015

Abdul Hamid
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Pendekatan Masalah 3
Tujuan dan Kegunaan 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Kebaruan Penelitian 5
2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN DISTRIBUSI POPULASI
RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) TERTANGKAP
DI TELUK LASONGKO 6
Pendahuluan 6
Metode Penelitian 7
Hasil 12
Pembahasan 23
Simpulan 28
3 KARAKTERISTIK MORFOMETRIK DAN DISTRIBUSI
FREKUENSI KELAS UKURAN RAJUNGAN (Portunus
pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO 29
Pendahuluan 29
Metode Penelitian 30
Hasil 33
Pembahasan 50
Simpulan 55
4 BIOLOGI REPRODUKSI RAJUNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO 57
Pendahuluan 57
Metode Penelitian 58
Hasil 62
Pembahasan 75
Simpulan 81
5 DISTRIBUSI, FEKUNDITAS, TINGKAT KEMATANGAN
GONAD DAN KADAR BIOKIMIA TELUR RAJUNGAN
MENGERAMI TELUR (OVIGEROUS) DI TELUK LASONGKO 82
Pendahuluan 82
Metode Penelitian 84
Hasil 87
Pembahasan 104
Simpulan 112
6 DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO 113
Pendahuluan 113
Metode Penelitian 114
Hasil 116
Pembahasan 124
Simpulan 130
7 PEMBAHASAN UMUM 131
8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 145
DAFTAR PUSTAKA 147
LAMPIRAN 158

DAFTAR TABEL
1 Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan
stasiun dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko 12
2 Rataan kepadatan (tunas. m-2) padang lamun dan jenis lamun
dominan pada setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko 13
3 Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk
Lasongko 14
4 Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap
pada setiap kali penangkapan untuk setiap stasiun 18
5 Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap
pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan
dan musim 20
6 Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko
periode bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 21
7 Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel
karakteristik habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3) 22
8 Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah
populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko 23
9 Rataan suhu, salinitas habitat rajungan pada beberapa lokasi
perairan 24
10 Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan
betina yang dianalisis 32
11 Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina
berdasarkan stasiun di Teluk Lasongko 34
12 Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan
musim di Teluk Lasongko 37
13 Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina
berdasarkan musim di Teluk Lasongko 43
14 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji
t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter
morfometrik rajungan jantan dan betina 44
15 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji
b, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) antar karakter morfometrik
rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa 47
16 Persamaan allometrik power dan linear, koefisien korelasi (r), uji
t nilai b, ANCOVA, dan tipe pertumbuhan relatif (Al)
lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina 48
17 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA,
uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan lebar/panjang
karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan
dewasa 49
18 Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang
karapas-berat pada beberapa lokasi perairan 55
19 Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan
betina dan jantan secara makroskopik 60
20 Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan
stasiun 63
21 Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina
berdasarkan periode waktu penangkapan dan musim 64
22 Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap
musim 70
23 Rataan IKG rajungan betina dan jantan pada setiap TKG dan
stasiun 71
24 Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim 72
25 Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim 73
26 Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada
lokasi beberapa perairan 77
27 Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama
matang kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan 80
28 Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat 88
29 Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun,
warna telur dan musim 91
30 Berat, diameter, dan volume telur rajungan betina ovigerous
berdasarkan warna telur 92
31 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous pada setiap periode
penangkapan dan musim 95
32 IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan
stasiun, warna telur dan musim 96
33 Fekunditas, berat telur, berat tubuh dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun 97
34 Rataan ukuran tubuh, berat telur, fekunditas dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan kelas ukuran lebar karapas 97
35 Rataan fekunditas, berat telur , berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur 98
36 Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan musim 101
37 Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur 102
38 Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur 103
39 Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas rajungan betina
ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara 110
40 Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada
setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko 117
41 Parameter pertumbuhan, indeks perfoma dan persamaan
pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan di Teluk
Lasongko 119
42 Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak
April 2013 sampai Maret 2014 121
43 Nilai kematian total, alami dan penangkapan serta eksploitasi
populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko 122
44 Parameter populasi rajungan yang digunakan dalam analisis hasil
per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan model Beverton dan Holt 122
45 Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa
per rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas
rajungan pertama tertangkap 124
46 Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan 125
47 Parameter pertumbuhan populasi rajungan pada beberapa lokasi
perairan 126
48 Nilai kematian total (Z), alami (M) dan penangkapan (F) serta
tingkat eksploitasi (E) rajungan pada beberapa lokasi perairan 128
49 Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap
desa/ kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014 136
50 Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di
Teluk Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember
2006 dan 2013 137

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian 4
2 Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk
Lasongko 8
3 Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di
Teluk Lasongko 15
4 Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada
setiap stasiun 17
5 Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
periode penangkapan 19
6 Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada
sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) 22
7 Prosedur pengukuran morfometrik rajungan ( Sukumaran 1995) 31
8 Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan
betina (B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko 36
9 Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko 39
10 Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko 41
11 Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina
(B) di Teluk Lasongko 45
12 Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A)
dan betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko 48
13 Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan jantan 61
14 Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan betina 61
15 Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun 65
16 Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun 66
17 Proporsi TKG rajungan jantan dan betina berdasarkan tipe habitat 67
18 Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap periode penangkapan 68
19 Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan 69
20 Proporsi rajungan betina ovigerous dan rataan IKG total rajungan
jantan dan betina pada setiap bulan 74
21 Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina
pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko 75
22 Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada
setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko 76
23 Rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap 84
24 Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun
dan kekeruhan di Teluk Lasongko 89
25 Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan
kekeruhan di Teluk Lasongko 90
26 Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan
betina ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d)
abu-abu gelap 92
27 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun 93
28 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur 94
29 Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous 96
30 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) berdasarkan
total contoh rajungan betina ovigerous 98
31 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan
betina ovigerous warna kuning 99
32 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan
betina ovigerous warna orange 100
33 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)
dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan
betina ovigerous warna kuning coklat muda 100
34 Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan 101
35 Peluang lebar karapas rajungan yang tertangkap dengan gillnet di
Teluk Lasongko 118
36 Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko 119
37 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan
betina di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas 120
38 Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko 121
39 Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan
kurva konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko 121
40 Hubungan tingkat eksploitasi dengan hasil per rekrutmen relatif
(Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada LKc 97.20
mm (A), 105.11 mm (B) dan 113.95 mm (C) 123
41 Keterkaitan antar variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan
tereksploitasi di Teluk Lasongko 132

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu
pengukuran di Teluk Lasongko 159
2 Karakter morfometrik rajungan jantan berdasarkan periode waktu
penangkapan 160
3 Karakter morfometrik rajungan betina berdasarkan periode waktu
penangkapan 161
4 Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di
Teluk Lasongko 162
5 Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko 163
6 Riwayat Hidup 164
DAFTAR ISTILAH

AOAC : Association of Official Analysis Chemists


Asam lemak : Hidro karbon rantai lurus yang mengandung gugus
hidroksil pada salah satu ujungnya
E : Tingkat ekploitasi rajungan
Eopt : Tingkat eksploitasi rajungan optimum
F : Kematian rajungan akibat penangkapan
FAME : Fatty acid methyl ester
Fekunditas : Jumlah telur yang dihasilkan oleh rajungan pada setiap
tahap pemijahan
Habitat : Tempat hidup rajungan
IKG : Indeks kematangan gonad rajungan
JTB : Jumlah tangkapan diperbolehkan
K : Koefisien pertumbuhan von Bertalanffy rajungan
Kematian penangkapan (F) : Kematian rajungan yang diakibatkan oleh
penangkapan
LKc 50 % : Ukuran lebar karapas rajungan 50 % pertama
tertangkap dengan gill net
LKm 50 % : Ukuran pertama matang kelamin, ukuran yang mana
50 % dari semua individu rajungan telah matang
kelamin
LK∞ : Lebar karapas infinitif, lebar karapas
maksimum secara teoritis oleh rajungan
Kematian alami (M) : Kematian alami rajungan, kematian disebabkan
faktor alami (pemangsaan, penyakit atau faktor
lingkungan)
Musim pemijahan : Periode waktu rajungan melepaskan telur dan sperma
untuk pembuahan
MSY : Maximum sustainable yield, yaitu hasil tangkapan
maksimum tanpa menggangu keberlanjutan rajungan
Pertumbuhan alometrik : Laju pertumbuhan antar karakter morfomertik
rajungan tidak seimbang
Pertumbuhan isometrik : Laju pertumbuhan antar karakter morfomertik
rajungan seimbang
Rajungan betina ovigerous : Rajungan betina sedang mengerami telur
Suaka rajungan : Suatu kawasan lindung yang berada di daerah pantai
berfungsi untuk melindungi rajungan dan habitatnya.
Tangkap lebih (Overfishing) : Jumlah rajungan yang ditangkap melebihi potensi
biologi tumbuh rajungan
to : Umur teoritis, umur ketika lebar karapas rajungan nol
TKG : Tingkat kematangan gonad, tahap perkembangan
gonad rajungan
TSS : Total suspended solid atau total padatan tersuspensi
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus1758) merupakan komoditas perikanan
bernilai ekonomi dan permintaannya tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor utama perikanan Indonesia
setelah udang dan ikan. Volume dan nilai ekspor kepiting (rajungan dan kepiting
bakau) Indonesia pada tahun 2011, masing-masing mencapai 156.993 ton dan US$
208.424 juta (KKP 2012). Sampai saat ini permintaan rajungan untuk diekspor dan
memenuhi kebutuhan di dalam negeri sepenuhnya masih mengandalkan penangkapan
di alam. Penangkapan rajungan yang intensif tanpa didukung dengan upaya pengelolaan
yang baik, akan berdampak pada penurunan stok populasi rajungan di alam, dan pada
akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan penangkapan rajungan.
Data kondisi habitat, struktur kelompok ukuran, biologi reproduksi dan dinamika
populasi rajungan merupakan salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk
dijadikan sebagai dasar dalam menyusun strategi pengelolaan rajungan (Arshad et al.
2006; Johnson et al. 2010; Kamrani et al. 2010; Songrak et al. 2014; Green et al.
2014). Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks
kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan rajungan betina
mengerami telur (betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Sebaliknya,
kajian dinamika populasi (parameter populasi) meliputi pertumbuhan, rekrutmen dan
kematian, serta struktur kelompok ukuran. Kajian biologi populasi rajungan selama
ini masih terfokus pada tipe perairan, utamanya populasi rajungan di perairan estuari
dan teluk (Kangas 2000; Potter et al. 2001; de Lastang et al. 2003; Dineshbabu et al.
2008). Kajian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan berdasarkan tipe
habitat relatif masih kurang dilakukan di perairan Indonesia.
Penelitian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan diantaranya telah
dilakukan oleh (Pillay dan Nair 1971; Sukumaran 1995, Sukumaran dan Neelakantan
1996a, 1996b, 1997; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Josileen dan Menon
2007; Dineshbabu et al. 2008; Kamrani et al. 2010; Johnson et al. 2010; Jazayeri et al.
2011; Josileen 2011; Sunarto 2012; Kembaren et al. 2012; Ernawati 2013; Ihsan et
al. 2014; Liu et al. 2014). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fekunditas,
musim puncak pemijahan, dan ukuran rajungan pertama kali matang kelamin, serta
parameter pertumbuhan dan kematian rajungan bervariasi antar lokasi geografi dan
tipe perairan. Adanya variasi paramater biologi reproduksi dan parameter populasi
rajungan tersebut berkaitan dengan perbedaan kondisi habitat, suhu, salinitas, oksigen,
kecerahan dan intensitas penangkapan (Batoy et al. 1987; Kangas 2000; de Lestang
et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Kamrani et al. 2010; Johnston et al. 2011a;
Ikhwanuddin et al. 2011; 2012a; Green et al. 2014).
Kadar proksimat dan asam lemak telur dekapoda diantaranya juga dipengaruhi
kondisi habitat (Rosa 2003; Rosa et al. 2005; Figueiredo et al. 2008a, 2008b). Kadar
proksimat dan asam lemak telur dekapoda berperan menentukan siklus reproduksi,
kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan
hidup larva (Rosa 2003; Ying et al. 2006; Rosa et al. 2007; Figueiredo et al. 2008a;
Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012). Telur rajungan selama tahap perkembangan
2

embrio mengalami perubahan bentuk, ukuran, warna dan kadar proksimat dan asam
lemak (Radhakrishnan 2000; Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Singh 2008;
Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Khoei et al. 2012; Ravi
dan Manisseri 2013). Penelitian kadar proksimat dan asam lemak telur masih relatif
terbatas dan belum dibedakan berdasarkan perkembangan embrio atau perubahan
warna telur seperti dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei
et al. (2012).
Teluk Lasongko secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Buton
Tengah Sulawesi Tenggara. Luas perairan ini sekitar 13.6 km2 dengan kedalaman
berkisar antara 1 m hingga 50 m (adaptasi dari DKP Sulawesi Tenggara 2003; Supardan
2006). Rajungan di perairan ini dapat ditemukan pada daerah intertidal dan subtidal
yang ditumbuhi padang lamun dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus
sampai pasir kasar serta lokasi yang dalam dengan substrat berupa hamparan pasir
halus. Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim kemarau ditemukan
berkisar antara 28 oC hingga 31 oC, dan salinitas berkisar antara 31 ppt hingga 35 ppt
dan pH sekitar 8.0 (Hamid 2011), serta masih mendukung pertumbuhan rajungan.
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan sejak tahun 1970-an,
namun intensitasnya masih rendah dan belum menggunakan alat tangkap (ditangkap
dengan tangan) serta bertujuan untuk kebutuhan konsumsi keluarga nelayan. Pada
awal tahum 1990-an penangkapan kepiting rajungan di perairan ini mulai
menggunakan bubu dari anyaman bambu dan hasil tangkapannya untuk dijual.
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko semakin intensif sejak awal tahun 2000-an
dengan menggunakan gill net (dominan) dan sebagian kecil dengan bubu rajungan,
serta permitaan rajungan semakin tinggi karena di kawasan ini berkembang usaha
pengolahan daging rajungan sebagai perwakilan perusahaan eksportir rajungan di
Kota Bau-Bau dan Kendari (Hamid 2011). Sejak akhir 2008, penangkapan rajungan di
perairan ini lebih banyak menggunakan bubu, dan hal ini akan berpengaruh kepada
reproduksi, parameter dinamika populasi dan stok rajungan di Teluk Lasongko.
Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko cenderung semakin menurun dan
semakin kecil, serta hasil tangkapan rajungan di perairan ini setiap trip berkisar antara
0.7 kg hingga 1.9 kg per nelayan (Hamid 2011). Tingkat penangkapan krustasea
(rajungan dan udang Penaeus sp.) di Teluk Lasongko telah mencapai 95 % dari
potensi lestarinya atau telah melebihi jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) (Supardan
2006). Produksi kedua jenis krustasea tersebut pada tahun 2000 mencapai 242 ton
serta tahun 2003 dan 2004 masing-masing mencapai 790 ton dan turun 640 ton
(Supardan 2006). Hasil tangkapan rajungan yang diperoleh dari tiga pengolah daging
rajungan di Teluk Lasongko selama Februari sampai November 2006 hanya sekitar
37 ton (Hamid 2011), dan selama bulan Mei 2013 sampai April 2014 sekitar 67 ton.
Rajungan sebagai komoditas perikanan bernilai ekonomis penting, demikian
juga permintaannya sangat tinggi hal ini yang menyebabkan dilakukan penangkapan
yang intensif dan akhirnya akan berdampak pada penurunan populasi rajungan di
Teluk Lasongko. Di sisi lain, data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika
populasi rajungan merupakan data yang dibutuhkan sebagai dasar untuk menyusun
konsep pengelolaan rajungan di perairan ini masih terbatas. Oleh karena itu,
penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan ketiga jenis data tersebut.
3

Perumusan Masalah
Kondisi habitat sangat menentukan biologi reproduksi dan dinamika populasi
rajungan. Biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan saling berkaitan,
misalnya antara pemijahan dan rekrutmen populasi rajungan. Pemijahan rajungan
yang tinggi dan didukung oleh kondisi habitat serta kadar proksimat dan asam lemak
telur yang tinggi dapat meningkatkan kelangsung hidup larva rajungan dan berpotensi
meningkatkan rekrutmen populasi rajungan. Suhu, salinitas dan komposisi rajungan
jantan dan betina adalah faktor yang menentukan keberhasilan pemijahan rajungan
(de Lestang et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Jazayeri et al. 2011; Johnston et al.
2011; de Lestang et al. 2010; Gree et al. 2014). Kadar proksimat dan asam lemak telur
rajungan ditentukan oleh kondisi habitat, dan berpengaruh kepada siklus reproduksi,
kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan
kelangsungan hidup larva rajungan (Rosa 2003; Ying et al. 2006, Rosa et al. 2007;
Figueiredo et al 2008a, 2008b; Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012), dan secara
tidak langsung menentukan rekrutmen rajungan. Rekrutmen rajungan yang tinggi
berperan meningkatkan ketahanan dan daya pulih populasi rajungan dari tekanan
penangkapan dan mendukung keberlanjutan populasi rajungan pada suatu perairan.
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan secara intensif sejak
tahun 2000-an dan penangkapannya umumnya dilakukan di sekitar intertidal dan
subtidal yang ditumbuhi lamun. Dampak dari penangkapan rajungan secara intensif
tersebut adalah hasil tangkapan rajungan terindikasi semakin berkurang dan
ukurannya semakin kecil (Hamid 2011), bahkan tingkat penangkapan rajungan dan
udang Penaeus sp. di Teluk Lasongko telah melebihi JTB nya (Supardan 2006).
Permintaan rajungan di daerah ini semakin tinggi sehingga mendorong penangkapan
rajungan semakin intensif dan juga menangkap rajungan betina yang sedang bertelur
(betina ovigerous). Kedua hal tersebut akan semakin meningkatkan tekanan terhadap
populasi rajungan dan kesempatan rajungan melakukan reproduksi semakin menurun
dan akibatnya dapat menurunkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko.
Agar penangkapan rajungan optimum dan berkelanjutan di Teluk Lasongko,
maka perlu dilakukan pengelolaan yang didasarkan pada informasi kondisi habitat,
biologi reproduksi dan dinamika rajungan. Namun, sampai saat ini ketersediaan
ketiga jenis data ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan di perairan ini.

Pendekatan Masalah
Masalah penelitian ini dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pengendalian
tekanan penangkapan dan perbaikan kondisi habitat rajungan. Tekanan penangkapan
rajungan yang tinggi akan berpengaruh pada parameter biologi reproduksi dan
paramater dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko, yaitu dapat dievaluasi dari
ukuran pertama kali matang kelamin, pertumbuhan, rekrutmen, kematian penangkapan
dan tingkat eksploitasi. Kondisi habitat rajungan (kondisi padang lamun, substrat dan
kualitas air) yang baik akan mengoptimalkan pertumbuhan somatik dan reproduksi
rajungan serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan sehingga akan
meningkatkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko. Apabila penerapan
konsep pengelolaan yang rasional dilakukan dengan benar maka akan menghasilkan
tangkapan rajungan optimun dan berkelanjutan di perairan ini (Gambar 1).
4

Input Proses Output

Habitat : Pertumbuhan :
 Padang lamun Somatik
 Kualitas air & Reproduksi
 Substrat Kadar proksimat
 &
 Asam lemak telur
Tangkapan
Implikasi Optimum &
Rajungan Ukuran I
Pengelolaan Berkelanjutan
Biologi Matang
Reproduksi Kelamin

Pertumbuhan
Dinamika Rekrutmen Status Stok
Populasi Kematian alami

Penangkapan:
 ∑ Nelayan Tekanan Kematian
penangkapan Eksploitasi
 ∑ Alat tangkap Penangkapan

Gambar 1. Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian

Tujuan dan Kegunaan


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa aspek, yaitu (1)
karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, (2)
karakteristik morfometrik, distribusi frekuensi kelas ukuran populasi rajungan dan
hubungan serta tipe pertumbuhan antar karakter morfometrik, (3) parameter biologi
reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan
komposisi biokimia telur rajungan betina ovigerous, (5) struktur ukuran populasi,
parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan
konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Kegunaan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan data habitat, kelas ukuran, biologi reproduksi, distribusi dan
tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous, komposisi biokimia telur
rajungan, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan sebagai dasar
dalam menyusun konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.

Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan
(Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai dasar pengelolaan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara meliputi enam bagian, yaitu sebagai
berikut :
Pertama mengkaji karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan yang
tertangkap di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1)
5

karakateristik habitat rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil


tangkapan, dan (3) keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan
yang tertangkap di Teluk Lasongko.
Kedua meneliti karakteristik morfometrik dan distribusi kelas ukuran rajungan.
Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik morfometrik, (2)
distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas, dan (3) hubungan dan tipe
pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan di Teluk Lasongko.
Ketiga mengkaji biologi reproduksi rajungan di Teluk Lasongko. Bagian ini
bertujuan untuk menganalisis aspek (1) rasio kelamin, (2) tingkat dan indeks
kematangan gonad, (3) musim pemijahan, dan (4) ukuran pertama matang kelamin
rajungan di Teluk Lasongko.
Keempat mengkaji distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan kadar
biokimia telur rajungan mengerami telur di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan
untuk menganalisis aspek (1) fekunditas rajungan, (2) distribusi, (3) tingkat
kematangan gonad, serta (4) kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan
berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko.
Kelima mengkaji dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko. Bagian ini
bertujuan untuk menganalisis aspek (1) struktur kelompok ukuran, (2) pertumbuhan,
rekrutmen dan kematian, serta (3) tingkat eksploitasi rajungan populasi di Teluk
Lasongko.
Keenam merupakan pembahasaan umum. Bagian ini bertujuan untuk
menganalisis aspek (1) keterkaitan antar parameter penentu keberlanjutan populasi
rajungan, (2) potensi keberlanjutan populasi rajungan, (3) ancaman keberlanjutan
populasi rajungan, (4) status stok dan penangkapan rajungan, dan (5) merumuskan
konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.

Kebaruan Penelitian
Kebaruan dari penelitian ini adalah untuk determinasi kadar proksimat, asam
lemak telur, perkembangan kematangan gonad rajungan betina ovigerous berdasarkan
perubahan warna telur, serta tipe pemijahan rajungan dan distribusi rajungan betina
ovigerous yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun konsep pengelolaan
rajungan di Teluk Lasongko.
6

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN DISTRIBUSI POPULASI


RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758)
TERTANGKAP DI TELUK LASONGKO

Pendahuluan
Rajungan ditemukan pada habitat yang cukup beragam, yaitu mulai ditemukan
di perairan pantai sampai pada landas kontinen dengan kedalaman 50 m (Edgar
1990), bahkan sampai kedalaman lebih 65 m (Juwana 1997). Di perairan pantai,
rajungan dapat ditemukan di bagian intertidal, muara sungai kecil (creek), bagian sub
litoral, teluk dangkal dan perairan pesisir yang dalam (Chande dan Mgaya 2003; de
Lestang et al. 2003) dan ditumbuhi padang lamun dan alga dengan tipe substrat
lumpur, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Dineshbabu
et al. 2008). Rajungan juga terdapat di mangrove dan di tambak-tambak air payau
yang berdekatan dengan air laut (Juwana 1997).
Setiap tipe habitat rajungan tersebut juga mempunyai kondisi lingkungan
perairan bervariasi. Variabel lingkungan perairan sebagai penentu kondisi habitat
rajungan meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan, tipe substrat,
kedalaman air, dan juga kondisi arus dapat mempengaruhi setiap tahap siklus hidup
rajungan (Dhawan et al. 1976; Batoy et al.1987; Kangas 2000; de Lestang et al.
2003; Kamrani et al. 2010; Bellchambers et al. 2005; Ikhwanuddin et al. 2011).
Rajungan dapat beradaptasi pada perubahan kondisi suhu, salinitas dan pH yang
ekstrim (Hosseini et al. 2012).
Rajungan di Perairan Brebes ditemukan pada suhu berkisar antara 27 oC hingga
o
30 C, salinitas 30 ppt hingga 33 ppt dan kedalaman air berkisar antara 3 m hingga 12
m dengan kondisi substrat didominasi oleh fraksi pasir, fraksi lumpur dan fraksi liat
dengan tipe substrat lempung berpasir dan lempung berliat (Sunarto 2012).
Selanjutnya juga dilaporkan distribusi rataan ukuran rajungan di Perairan Brebes
tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012). Rajungan di Perairan Pati
ditemukan pada suhu 27.5 oC hingga 31.5 oC dan salinitas 31.5 ppt hingga 35.5 ppt
dengan tipe substrat mulai dari pasir berlumpur sampai lumpur, namun rajungan
banyak tertangkap pada tipe substrat lumpur berpasir (Ernawati 2013).
Rajungan jantan dan betina di Pantai Sarawak, Laut Cina Selatan umumnya
ditemukan bermigrasi ke arah laut yang dalam selama musim memijah (Ikhwanuddin
et al. 2012b). Temuan tersebut berlawanan dengan dilaporkan oleh peneliti
sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000; Poter dan de Lestang 2000; de
Lestang et al. 2003) bahwa hanya rajungan betina bermigrasi ke arah perairan laut
yang lebih dalam sedangkan jantan tetap berada di perairan yang dangkal. Rajungan
di perairan teluk sering tidak bermigrasi ketika memijah, dan pada keadaan tertentu
ketika terjadi perubahan salinitas, rajungan memijah pada bagian perairan teluk yang
bersalinitas tinggi (Sumpton et al.1994; Potter dan de Lestang 2000; de Lestang et al.
2003; Ikhwanuddin et al. 2011).
Rajungan dapat mengatur kondisi osmotik di dalam tubuhnya yang hiposalin
terhadap kondisi air laut yang hipersalin agar tetap sesuai dengan lingkungannya,
sehingga rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas (11-53 ppt) untuk
7

waktu lama (Kangas 2000). Salinitas berperan penting dalam menentukan keberadaan
rajungan di daerah asuhan selama musim dingin (Potter dan de Lestang 2000; Kangas
2000). Rajungan toleran terhadap fluktuasi oksigen terlarut yang besar seperti terjadi
di estuari (Kangas 2000). Rajungan masih bertahan hidup di estuari dengan kondisi
oksigen terlarut < 2 mgl-1 (Dhawan et al. 1976), dan masih dapat melakukan respirasi
ketika terjadi anaerob dan dapat menahan kekurangan oksigen pada suhu rendah,
13 oC dan suhu lebih tinggi, 19 oC (Kangas 2000).
Rajungan jantan dan betina mempunyai toleransi berbeda terhadap berbagai
tipe habitat selama dalam setahun (Sumpton et al. 1994). Rajungan betina menyukai
substrat pasir ketika melepaskan telur untuk mendukung keberhasilan penetasannya
sehingga betina dewasa yang telah matang gonad bermigrasi ke dalam gundukan
pasir (sand bank) untuk mengeluarkan telurnya (Sumpton et al. 1994). Distribusi
spasial rajungan berkaitan dengan ukuran, yaitu rajungan berukuran lebih besar
(panjang karapas 50 mm) biasanya tertangkap pada kedalaman > 6 meter sedangkan
juvenil (panjang karapas 30 mm) ditemukan pada perairan lebih dangkal di dekat
pantai (Batoy et al.1988). Pola distribusi tersebut diduga berkaitan dengan migrasi
untuk memijah, molting dan mencari makan, serta dipengaruhi oleh salinitas dan
substrat perairan (Batoy et al.1988; Ikhwanuddin et al. 2011). Salinitas dan suhu
merupakan faktor utama yang mengontrol distribusi rajungan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand (Kunsook 2011).
Kajian karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Indonesia
diantaranya telah dilakukan di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati
(Ernawati 2013). Penelitian rajungan di Teluk Lasongko masih bersifat umum
(Hamid 2011) dan belum mengkaji populasi rajungan berdasarkan karakteristik
habitatnya. Rajungan di perairan Teluk Lasongko dapat ditemukan pada bagian yang
dangkal atau pada daerah intertidal sampai subtidal yang ditumbuhi padang lamun
dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus sampai pasir kasar (Hamid 2011)
mulai dari bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk. Kondisi habitat merupakan
salah satu informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan rajungan, namun informasi
kondisi habitat di Teluk Lasongko masih terbatas sehingga penelitian ini perlu
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik habitat
rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, dan (3)
keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan yang tertangkap di
Teluk Lasongko.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah yang
terletak pada posisi berkisar antara 05o15’LS hingga 05o27’ LS dan antara 122o27’BT
hingga 122o33’ BT (Gambar 2). Perairan Teluk Lasongko meliputi dua kecamatan,
yaitu Kecamatan Lakudo dan Kecamatan Mawasangka Timur. Penelitian ini
dilakukan dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.
8

Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk Lasongko

Penentuan Stasiun
Stasiun penelitian mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut Teluk
Lasongko dan terbagi dalam tujuh stasiun, yaitu tiga stasiun berada pada bagian
kepala teluk, tiga stasiun lain terletak pada bagian tengah teluk, dan satu stasiun
berada di bagian mulut teluk (Gambar 2). Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi
padang lamun, tipe substrat, dan kedalaman perairan yang mewakili tipe habitat
rajungan dan daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko.
Kondisi habitat rajungan dan merupakan lokasi setiap stasiun pengambilan
contoh rajungan di Teluk Lasongko adalah sebagai berikut :
Stasiun 1 : Terletak pada bagian kepala teluk, kondisi perairannya sempit, daerah
intertidal ditumbuhi padang lamun Enhalus acoroides (dominan) dan
Thalassia hemprichii dengan kepadatan rendah dan bibir pantainya
ditumbuhi mangrove. Secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan
kulit kerang dan lumpur, serta kondisi airnya keruh dengan kedalaman
air berkisar 1 m hingga 5 m. Stasiun ini dengan posisi 05o16’23.4”LS
hingga 05o16’48.3”LS; dan 122o31’37.3”BT hingga 122o31’48.9”BT,
Stasiun 2 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun E.
acoroides dan T. hemprichii (dominan) dengan kepadatan relatif
rendah. Secara visual bersubstrat pasir kasar dan sedang serta sebagian
dengan substrat berbatu. Kondisi airnya agak keruh dan kedalamannya
berkisar antara 1 m hingga 6 m. Stasiun ini terletak pada bagian kepala
teluk sisi kiri dengan posisi 05o16’59.4”LS hingga 05o17’19.3”LS dan
122o30’01.1”BT hingga 122o31’08.3” BT,
9

Stasiun 3 : Daerah intertidal sampai subtidal bagian atas ditumbuhi oleh lamun
jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan
sedang sampai padat. Kedalaman airnya berkisar dari 1.5 m hingga 7.0
m, dan secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan kulit kerang dan
lumpur, serta relatif jernih. Terletak pada bagian kepala teluk sisi
kanan dengan posisi 05o18’10.”LS hingga 05o18’32.1” LS dan
122o30’58,3” BT hingga 122o31’09.5” BT,
Stasiun 4 : Hamparan padang lamunnya luas dan padat terdiri atas jenis T.
hemprichii (dominan) dan E. acoroides. Secara visual bersubstrat
pasir halus, sedang, dan lumpur. Kondisi airnya relatif jernih dengan
kedalaman air berkisar dari 1.5 m hingga 12 m. Terletak pada bagian
tengah teluk sisi kanan dengan posisi 05o19’17.1” LS hingga
05o19’44.9” LS dan 122o31’21.7” BT hingga 122o31’47.7”BT,
Stasiun 5 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun jenis T.
hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan sedang.
Secara visual bersubstrat pasir kasar, sedang dan lumpur, dan airnya
relatif jernih dengan kedalaman berkisar 1.5 m hingga 7 m. Stasiun ini
terletak pada bagian tengah teluk sisi kiri dengan posisi 05o19’37,8”LS
hingga 05o20’06.1”LS dan 122o29’52.8” BT hingga 122o30’17.0”BT,
Stasiun 6 : Stasiun ini tidak memiliki intertidal, kedalaman air berkisar antara 5 m
hingga 10 m berupa hamparan pasir. Kondisi airnya relatif jernih dan
secara visual bersubstrat pecahan karang, pasir sedang pasir halus dan
lumpur. Terletak di bagian tengah teluk dengan posisi 05o18’11,4”LS
hingga 05o18’28.6”LS dan 122o29’51.9” BT hingga 122o30’32.9” BT,
Stasiun 7 : Stasiun ini juga tidak memiliki intertidal dan berada pada bagian mulut
telur dengan kedalaman air berkisar antara 14 m hingga 31 m dan
jernih. Secara visual bersubstrat pasir halus dan lumpur. Terletak pada
posisi 05o22’8.9” LS hingga 05o22’10.0” LS dan 122o31’9.9” BT
hingga 122o31’0.9” BT.
Stasiun 1, 2, 3, 4 dan 5 terdiri dari tiga sub stasiun, sedangkan stasiun 6 dan 7
hanya terdiri dari dua sub stasiun. Stasiun 6 dan7 tidak berhubungan langsung
dengan daratan dan daerah intertidal. Kelima stasiun yang disebutkan pertama,
selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga tipe habitat rajungan berdasarkan kesamaan
kondisi kedalaman air, tipe substrat dan padang lamun. Karakteristik ketiga tipe
habitat rajungan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Habitat A, terletak pada daerah intertidal dengan kedalaman air pada saat air
pasang berkisar 1.5 m hingga 2.5 m, ketika air surut terendah (paling besar)
yaitu terjadi pada bulan Oktober dan November daerah ini kering, ditumbuhi
padang lamun lebih padat dan bersubstrat didominasi fraksi pasir kasar,
(2) Habitat T terdapat pada daerah peralihan antara habitat A dan B dengan
kedalaman air ketika air pasang berkisar 2.5 m hingga 3.5 m, ditumbuhi lamun
dengan kepadatan lebih rendah dibnadingkan dengan habitat A dan bersubstrat
didominasi pasir, dan
(3) Habitat B terdapat pada daerah subtidal bagian atas dengan kedalaman air
berkisar 5 m hingga 12 m, bersubstrat lebih halus dan tidak ditumbuhi lamun.
10

Pengukuran Data Variabel Karakteristik Habitat


Parameter karakteristik habitat yang diukur pada penelitian ini terdiri atas
tekstur sedimen, kepadatan padang lamun, kedalaman air, suhu air, kecerahan,
kekeruhan, total padatan tersuspensi (TSS), kecepatan arus, oksigen terlarut, salinitas,
dan pH. Variabel karakteristik habitat rajungan yang diukur sebagian besar hanya
pada bagian permukaan, kecuali padang lamun dan tekstur sedimen pada bagian dasar
perairan. Setiap variabel tersebut diukur setiap bulan pada setiap stasiun, kecuali
tekstur sedimen dan padang lamun hanya diukur sekali pada awal penelitian.
Contoh sedimen pada setiap sub stasiun (tipe habitat) diambil dengan
menggunakan Petersen grab untuk lokasi yang dalam dan lokasi yang dangkal
(intertidal) digunakan sekop kecil. Substrat ketika dianalisis di laboratorium
digunakan saringan bertingkat dan timbangan digital. Berat contoh sedimen yang
diambil pada setiap tipe habitat sekitar 500 gram. Kepadatan lamun ditentukan
dengan menggunakan transek kuadrat 100 x 100 cm dengan grid 25 x 25 cm dan
diulang tiga sampai empat kali untuk setiap tipe habitat, tergantung pada hamparan
padang lamun. Jenis lamun diidentifikasi berdasarkan Azkab (1996).
Kedalaman air diukur dengan tali berskala dan kecerahan diukur dengan piring
Secchi. Kadar kekeruhan air habitat rajungan diukur dengan turbidimeter (Hach tipe
21000). TSS dianalisis dengan metode gravimetrik dan alat yang digunakan antara
lain pompa vacum, timbangan digital, dan kertas saring Wathman nomor 45. Kadar
kekeruhan dan TSS dianalisis di laboratorium Lingkungan Balai Kesehatan, Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan
pelampung, tali dengan panjang 2 meter dan stop watch.
Oksigen terlarut diukur dengan DO meter Jenway tipe 770 dan juga dilengkapi
dengan sensor pengukuran suhu air. Salinitas air diukur dengan menggunakan
refraktometer ATAGO dan pH air diukur dengan pH meter CE RoHS tipe pH-035
(ATC) dan dilengkapi dengan sensor pengukuran suhu air.
Pengukuran setiap variabel habitat tersebut dilakukan pada pagi hari, yaitu
antara pukul 06.30 hingga pukul 09.30. Suhu dan pH air sebagian besar juga diukur
pada sore hari antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA. Suhu air, kedalaman,
kecerahan, kecepatan arus, salinitas, pH dan oksigen terlarut diukur langsung di
lapangan bersamaan dengan penangkapan rajungan pada setiap stasiun atau tipe
habitat. Posisi setiap stasiun atau tipe habitat ditentukan dengan GPS-Garmin, model
76CSx. Sarana transportasi yang digunakan pada setiap penangkapan rajungan dan
pengukuran kualitas air adalah perahu motor kantiting.

Pengukuran Data Populasi Rajungan


Populasi rajungan dilihat dari jumlah hasil tangkapan rajungan pada setiap
stasiun. Pengukuran data populasi rajungan pada setiap stasiun dilakukan sebanyak
12 kali dengan selang waktu satu bulan sekali untuk setiap stasiun. Alat tangkap
yang digunakan untuk menangkap rajungan adalah gillnet dasar dengan ukuran mata
jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri
menjadi satu unit gillnet penangkap rajungan dengan tinggi sekitar 75 cm.
Jumlah gillnet yang dipasang pada setiap sub stasiun atau tipe habitat sebanyak
dua unit dan diletakkan sejajar dengan garis pantai untuk stasiun 1 sampai stasiun 5,
11

sedangkan pada stasiun 6 dan 7 memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari,
yaitu antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA dan diangkat kembali mulai
pukul 06.30 hingga pukul 09.00 WITA. Rajungan yang tertangkap pada setiap sub
stasiun dicatat jumlahnya menurut jenis kelamin.
Data total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada
setiap hari dan bulan diperoleh dari catatan harian pengolah daging rajungan di
daerah ini. Data tersebut digunakan sebagai data pembanding.

Penentuan Fraksi Sedimen dan Kepadatan Lamun


Contoh tekstur sedimen dianalisis di Laboratorium Terpadu Universitas Halu
Oleo dengan metode gravimetrik dan pipet. Contoh sedimen pada setiap sub stasiun
dianalisis dalam tujuh ukuran fraksi sedimen, yaitu pasir kasar sekali = 2000-1000
µm, pasir kasar = 1000-500 µm, pasir sedang = 500-210 µm, pasir halus = 210-100
µm, pasir halus sekali = 100-62 µm, debu = 62-2 µm, dan liat < 2 µm (Brower et al.
1990). Ketujuh fraksi sedimen tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu pasir, lempung (debu) dan liat yang digunakan untuk menentukan
tipe substrat dengan segi tiga Milller (Brower et al. 1990). Kepadatan padang lamun
pada setiap stasiun dan tipe habitat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

D= ......................................................... (1)

D adalah kepadatan padang lamun pada setiap tipe habitat (tunas m-2), Ni jumlah
tunas jenis lamun ke-i (tunas), n jumlah ulangan pengambilan contoh, dan a luas
transek kuadrat (m2).

Analisis Data
Data kualitas air habitat rajungan dikelompokkan berdasarkan stasiun dan
periode pengukuran dan dianalisis secara deskriptif serta ditampilkan dalam bentuk
tabel dan grafik. Data jumlah dan berat rajungan yang tertangkap dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, stasiun dan periode penangkapan. Total jumlah dan berat
rajungan yang tertangkap selama penelitian dianalisis secara deskriptif. Jumlah dan
berat rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan periode penangkapan serta
hasil tangkapan rajungan harian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) satu
arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 0.05
(Steel dan Torie 1992). Jumlah dan berat rajungan serta hasil tangkapan bulanan
rajungan antara musim timur dan musim barat dianalisis dengan uji t dengan asumsi
ragam tidak sama pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1991). Sebelum dilakukan
uji ANOVA dan uji t, data jumlah, berat dan hasil tangkapan rajungan dilakukan uji
kenormalan dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie
1992) dan jika hasil uji t berbeda nyata, maka dilakukan ditransformasi ke log 10.
Keterkaitan populasi rajungan dengan variabel karakteristik habitat dianalisis
dengan analisis komponen utama (PCA) berdasarkan matriks korelasi dan jarak
Euiclidean (Bengen 2001). Selain itu, juga dilakukan analisis korelasi untuk
menentukan keterkaitan antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi rajungan
yang tertangkap. Setiap proses analisis data tersebut digunakan Minitab versi 15 dan
Microsoft Excel 2007.
12

Hasil
Karakteristik Habitat
Kondisi Substrat dan Padang Lamun
Komposisi fraksi sedimen habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan
terdiri dari fraksi pasir sangat kasar (PSK) sampai fraksi liat (Li). Proporsi setiap
fraksi sedimen pada setiap stasiun bervariasi dengan kisaran antara 0.75 % hingga
48.84 % (Tabel 1). Fraksi sedimen yang ditemukan pada setiap stasiun dan tipe
habitat sebagian besar didominasi PSK dan pasir kasar (PK) dengan tipe substrat
pasir, kecuali pada stasiun 6-2 dan stasiun 7 dan tipe habitat B. Stasiun 6-2
didominasi fraksi sedimen Li dan PSK dengan tipe substrat lempung liat berpasir
sedangkan pada stasiun 7 didominasi oleh Li dan lempung (Le) dengan tipe substrat
lempung (Tabel 1). Proporsi fraksi Le dan Li pada habitat B semakin meningkat dan
tipe substrat pada tipe habitat ini sebagian besar lempung berpasir, kecuali pada
habitat B pada stasiun 2 bertipe substrat pasir. Fraksi sedimen habitat rajungan di
Teluk Lasongko cenderung semakin halus dengan semakin bertambahnya kedalaman.
Tabel 1. Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan stasiun
dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko
Proporsi setiap jenis fraksi sedimen (%)
Stasiun Habitat Tipe substrat
PSK PK PS PH PSH Le Li
A 47.43 25.58 11.03 4.64 5.00 2.58 3.74 Pasir
1 T 41.18 38.86 5.18 3.84 4.60 2.60 3.74 Pasir
B 11.80 24.24 7.55 19.64 12.64 11.29 12.84 Pasir berlempung
A 48.46 18.19 8.85 5.76 4.75 8.57 5.42 Pasir
2 T 52.14 29.21 6.17 1.93 2.84 3.45 4.26 Pasir
B 41.66 25.84 9.02 4.45 5.49 3.66 9.88 Pasir
A 35.06 25.43 14.98 10.03 7.07 5.01 2.42 Pasir
3
T 48.84 32.42 6.93 2.26 3.83 3.39 2.33 Pasir
B 39.29 21.6 6.26 3.25 8.29 14.72 6.59 Pasir berlempung
A 20.72 22.26 14.99 16.83 14.74 7.69 2.77 Pasir
T 13.83 19.73 21.67 23.54 17.36 3.12 0.75 Pasir
4
B 44.57 21.48 6.48 3.21 6.05 10.33 7.88 Pasir berlempung
A 25.06 26.44 19.84 12.82 8.04 3.99 3.81 Pasir
5 T 38.67 32.62 8.88 8.32 4.75 4.16 2.60 Pasir
B 36.19 17.05 11.51 5.81 5.72 6.83 16.89 Pasir berlempung
6 1 41.27 29.65 10.67 5.99 6.55 4.56 1.31 Pasir
2 28.43 11.23 5.95 4.09 4.29 10.21 35.8 Lempung liat berpasir
7 1 1.25 4.86 3.62 1.20 3.02 39.19 46.86 Lempung
PSK pasir sangat kasar.; PK pasir kasar.; PS pasir sedang.; PH pasir halus.; PSH pasir sangat halus.;
Le lempung.; Li liat.; habitat A dengan kedalaman air 1.5 m hingga 2.5 m dan ditumbuhi lamun yang
padat.; habitat T dengan kedalaman air 2.5 m hingga 3.5 m dan ditumbuhi lamun dengan kepadatan
lebih rendah dari habitat A.; habitat B dengan kedalaman air 5 m hingga 12 m dan tidak ditumbuhi
lamun. ; 1 dan 2 sub stasiun.
13

Habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan pada padang lamun yang


didominasi jenis E. acoroides dan T. hemprichii pada setiap habitat A dan T yang
tersebar pada lima stasium. Kepadatan padang lamun pada habitat A berkisar antara
120 tunas m-2 hingga 416 tunas m-2 sedangkan pada habitat T berkisar antara114
tunas m-2 sampai 316 tunas m-2 (Tabel 2).
Tabel 2. Rataan kepadatan (tunas m-2) padang lamun dan jenis lamun dominan pada
setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko
Kepadatan setiap tipe habitat
Stasiun Jenis lamun dominan
A T
1 120 114 E. acoroides (dominan), T. hemprichii
2 242 236 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)
3 347 310 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)
4 416 316 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)
5 254 218 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)

Karakteristik Kualitas Air Habitat Rajungan


Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun tertera pada Tabel 3 dan
pada setiap periode pengukuran tertera pada Gambar 3 dan Lampiran 1. Kedalaman
air habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar dari 35 cm hingga 3100
cm yang diukur pada saat surut terendah dan pasang tertinggi. Rataan kedalaman air
habitat rajungan pada setiap stasiun berkisar antara 271.0 cm sampai 2250.1 cm
(Tabel 3), dan habitat rajungan terdalam ditemukan pada stasiun 7 dan terdangkal
ditemukan pada stasiun 1. Kedalaman air habitat rajungan terdangkal dan terdalam
selama penelitian ditemukan pada bulan November karena pada bulan ini terjadi surut
terendah dan pasang tertinggi di kawasan Teluk Lasongko.
Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 23.4 oC hingga
33.5 oC dengan rataan pada setiap bulan berkisar dari 27.7 oC hingga 29.1 oC (Tabel
3), suhu air terendah ditemukan pada stasiun 7 dan tertinggi ditemukan di stasiun 5.
Suhu air terendah ditemukan pada stasiun 7, karena pada stasiun ini tidak dilakukan
pengukuran suhu air pada waktu sore hari. Rataan suhu air habitat rajungan
berdasarkan periode pengukuran berkisar antara 27.3 oC hingga 30.0 oC, terendah
ditemukan pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November (Gambar 3). Variasi
suhu air harian habitat rajungan di Teluk Lasongko antara bulan Agustus sampai
bulan Oktober lebih tinggi dari pada bulan lainnya, hal ini dapat dilihat dari
simpangan baku suhu (Gambar 3). Variasi suhu air harian tertinggi selama penelitian
terjadi pada bulan Agustus, yaitu pada waktu pagi (pukul 06.15 WITA) 23.8 oC dan
menjelang siang hari (pukul 10.30 WITA) mencapai 35.6 oC (Lampiran 1).
Kecerahan air habitat rajungan yang ditemukan di Teluk Lasongko berkisar
antara 35 cm hingga 1532 cm dengan rataan berkisar antara 152.4 cm hingga 1345.5
cm (Tabel 3), tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1
sedangkan berdasarkan periode pengukuran kecerahan air terendah dan tertinggi
ditemukan pada bulan November. Kekeruhan air habitat rajungan yang ditemukan
pada penelitian ini berkisar antara 0.20 NTU hingga 12.00 NTU dengan rataan
berkisar antara 1.17 NTU hingga 2.40 NTU, tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan
14

terendah pada stasiun 4. Kekeruhan air habitat rajungan antara bulan Juli sampai
bulan September ditemukan lebih rendah, yaitu dengan rataan <1.00 NTU sedangkan
pada bulan Juni dan Oktober (dengan rataan > 2.00 NTU) lebih tinggi dibandingkan
dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3). Kekeruhan air habitat
rajungan pada bulan Juni dan Oktober juga ditemukan lebih bervariasi dibandingkan
dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3).
Tabel 3. Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk Lasongko
Stasiun
Variabel Nilai
1 2 3 4 5 6 7
Kedalaman Rataan 271.0 276.5 324.3 478.3 357.5 635.9 2250.1
(cm) Sd 133.3 173.5 209.7 439.4 229.8 167.8 477.1
Rataan 28.5 28.0 28.8 28.7 29.1 28.9 27.7
Suhu (oC)
Sd 1.5 1.9 1.7 1.8 1.9 2.0 1.8
Kecerahan Rataan 152.4 188.2 284.7 397.3 337.6 451.7 1345.5
(cm) Sd 46.5 81.3 123.6 271.1 161.0 100.4 139.1
Kekeruhan Rataan 2.40 1.90 1.33 1.17 1.52 1.18 1.20
(NTU) Sd 2.30 1.20 0.75 1.00 1.25 0.76 0.90
TSS Rataan 109.90 100.30 83.75 83.81 109.50 95.24 99.90
(mgl-1) Sd 40.90 31.60 30.80 42.18 54.57 39.41 21.20
Kecepatan arus Rataan 11.91 7.17 9.05 7.46 9.71 31.60 8.40
(cmdetik-1) Sd 6.98 2.54 4.53 4.45 4.50 1.80 5.53
Oksigen Rataan 5.20 5.43 5.10 5.42 5.36 5.90 5.1
(mgl-1) Sd 1.00 1.31 1.00 1.15 1.09 1.00 0.6
Salinitas Rataan 29.5 31.7 32.1 32.1 32.2 32.0 33.4
(ppt) Sd 3.4 1.5 1.6 1.5 1.5 1.8 1.4
Rataan 8.42 8.39 8.40 8.40 8.43 8.50 8.50
pH
Sd 0.18 0.18 0.20 0.10 0.17 0.10 0.10
Sd simpangan baku
Total padatan tersuspensi (TSS) habitat rajungan yang ditemukan pada
penelitian ini berkisar antara 15.0 mgl-1 hingga 292 mgl-1 dengan rataan pada setiap
stasiun berkisar antara 83.75 mgl-1 hingga 109.90 mgl-1 (Tabel 3). Kadar TSS pada
stasiun 1, 2 dan 5 ditemukan lebih tinggi sebaliknya pada stasiun 3 dan 4 lebih
rendah dibandingkan dengan kadar TSS pada stasiun lainnya. Kadar TSS habitat
rajungan terendah ditemukan pada bulan April (rataan 52.2 mgl-1) sedangkan
tertinggi ditemukan pada bulan Desember (rataan 123.9 mgl-1). Kadar TSS habitat
rajungan pada bulan September sampai bulan Desember dan bulan Maret (rataan
>100 mgl-1) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar TSS pada bulan lainnya. Variasi
kadar TSS pada bulan September dan Desember juga ditemukan lebih tinggi dari
pada periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3).
15

32.5 Suhu
30.0

Suhu (oC)
27.5
25.0
22.5
20.0
5.0
4.0
Kekeruhan

Kekeruhan
(NTU)

3.0
2.0
1.0
0.0
200.0 TSS
TSS (mg.l-1)

150.0
100.0
50.0
0.0
30.00
Kecepatan arus
(cm.det-1)
Kec. arus

20.00

10.00

0.00
40.0 Salinitas
Salinitas (ppt)

35.0
30.0
25.0
20.0
10.00
Oksigen terlarut
Oksigen
(mg.l-1)

7.50
5.00
2.50
0.00
9.00
8.00
pH
pH

7.00
6.00
5.00

Waktu pengukuran (bulan)

Gambar 3. Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di Teluk


Lasongko
Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar antara
0.44 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan pada setiap stasiun sebagian
besar <10.00 cm detik-1, kecuali pada stasiun 1 >10.00 cm detik-1 (Tabel 3).
Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi antar stasiun dan
periode waktu pengukuran. Keceparan arus tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan
16

ketika diukur bertepatan dengan puncak air laut bergerak surut. Kecepatan arus pada
beberapa stasiun kadang sama dengan nol karena tidak terdeteksi dengan alat yang
digunakan untuk mengukur kecepatan arus. Berdasarkan periode pengukuran,
kecepatan arus habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Desember, yaitu
berkisar antara 4.77 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan 14.35 cm detik-1
dan terendah ditemukan pada bulan Juni, yaitu berkisar antara 0.44 cm detik-1 hingga
12.66 cm detik-1 dengan rataan 6.56 cm detik-1 (Gambar 3 dan Lampiran 1).
Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko antara bulan Oktober sampai
bulan Desember cenderung meningkat sedangkan antara bulan Januari sampai bulan
Maret cenderung menurun (Gambar 3).
Kadar oksigen terlarut habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko berkisar
antara 3.05 mgl-1 hingga 7.82 mgl-1 (Lampiran 1) dengan rataan pada setiap stasiun
umumnya >5.00 mgl-1 (Tabel 3). Kadar oksigen terlarut pada stasiun 6 ditemukan
cenderung lebih tinggi sedangkan pada stasiun 3 dan 7 cenderung lebih rendah dari
pada stasiun lainnya (Tabel 3). Kadar oksigen terlarut habitat rajungan antara bulan
April sampai bulan Maret ditemukan berkisar antara 3.05 mgl-1 hingga 8.34 mgl-1
dengan rataan berkisar antara 4.24 mgl-1 hingga 6. mgl-1. Rataan kadar oksigen
terlarut habitat rajungan pada bulan April sampai Juli > 6.00 mgl-1, sedangkan antara
bulan Agustus sampai bulan September hanya sekitar 4 mgl-1. Rataan kadar oksigen
terlarut habitat rajungan dari bulan November sampai bulan Maret cenderung
menurun, yaitu berkisar antara 6.11 mgl-1 hingga 4.53 mgl-1 (Gambar 3). Rataan
kadar oksigen terlarut habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Juni dan
terendah pada bulan Oktober.
Salinitas habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 16 ppt hingga 35
ppt dengan rataan pada setiap stasiun umumnya > 30 ppt, kecuali di stasiun 1
ditemukan < 30 ppt (Tabel 3). Salinitas habitat rajungan tertinggi ditemukan pada
stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1. Salinitas habitat rajungan di perairan ini antara
bulan April sampai bulan September (musim timur) cenderung meningkat, sebaliknya
antara bulan Oktober sampai bulan Maret (Musim barat) cenderung menurun
(Gambar 3). Salinitas habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan November dan
terendah pada bulan Juli. Salinitas habitat rajungan di perairan ini selama bulan
September sampai November lebih tinggi, sedangkan antara bulan April sampai
bulan Juli dan Maret salinitas habitat rajungan lebih rendah dibandingkan dengan
bulan lainnya (Gambar 3). Rataan salinitas habitat rajungan berdasarkan waktu
pengukuran >30 ppt, dan salinitas habitat rajungan pada bulan Juli, Agustus dan
Oktober cenderung lebih bervariasi, sebaliknya pada periode pengukuran pada
sembilan bulan lainnya salinitas habitat rajungan cenderung stabil.
Nilai pH air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 7.45 hingga
8.74 (Lampiran 1) dengan rataan pada setiap stasiun umumnya relatif sama, yaitu
sekitar 8.4 (Tabel 3), sedangkan rataan pH berdasarkan periode pengukuran berkisar
antara 8.15 hingga 8.62 (Gambar 3), tertinggi ditemukan pada bulan Maret dan
terendah pada bulan Juni. Nilai pH air habitat rajungan di perairan ini cenderung
meningkat dari awal sampai akhir penelitian, dan pada setiap periode pengukuran
ditemukan cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan variabel kualitas air
lainnya (Gambar 3), karena air laut memiliki kapasitas penyangga yang lebih besar.
17

Distribusi Populasi Rajungan Berdasarkan Jumlah yang Tertangkap


Total jumlah rajungan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 1178 ekor,
terdiri atas 606 ekor jantan dan 572 ekor betina dengan total berat 54.27 kg untuk
jantan dan betina 52.85 kg. Jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap
stasiun berkisar antara 52 ekor hingga 139 ekor dengan berat berkisar antara 5.51 kg
hingga 10.04 kg, sedangkan jumlah rajungan betina berkisar antara 61 ekor hingga
128 ekor dengan berat berkisar antara 5.63 kg hingga 11.37 kg (Gambar 4). Jumlah
rajungan jantan dan betina tertinggi ditemukan pada stasiun 2, serta terendah
tertangkap pada stasiun 7 untuk jantan dan betina pada stasiun 6. Berat total
rajungan jantan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6,
sedangkan rajungan betina tertinggi tertangkap pada stasiun 7 dan terendah pada
stasiun 5 (Gambar 4).

300 Jantan Betina Gabunagn


A
Jumlah (ekor)

200

100

Jantan Betina Gabungan


20
B
Berat (kg)

15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun

Gambar 4. Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
stasiun
Rataan jumlah dan berat rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap
stasiun untuk setiap kali penangkapan tertera pada Tabel 4. Jumlah rajungan jantan
dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun dan setiap kali penangkapan masing-
masing berkisar antara 1 ekor hingga 29 ekor. Rajungan jantan tidak ditemukan pada
tiga kali penangkapan selama penelitian, satu kali pada stasiun 4 dan dua kali pada
stasiun 6. Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun untuk
setiap kali penangkapan berkisar antara 5 ekor hingga 13 ekor dengan rataan berat
berkisar antara 0.54 kg hingga 1.06 kg, sedangkan rajungan betina berkisar antara
5 ekor hingga 14 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.47 kg hingga 1.89 kg
(Tabel 4). Rataan jumlah gabungan kedua jenis kelamin berkisar antara 9 ekor
hingga 22 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.98 kg hingga 2.95 kg (Tabel 4).
18

Tabel 4. Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap
kali penangkapan untuk setiap stasiun
Jantan Betina Gabungan
Stasiun
Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat
1 13 +6a 0.91+0.41a 9+5 ac
0.60+0.39a 20+12 ab
1.51+0.74ab
2 12 +8ab 0.82+0.70a 11 +9a 0.66+0.44a 22+15ab 1.47+1.00ab
3 6 +5b 0.59+0.43a 5+ 4 bc
0.57+0.48a 11+8bc 1.16+0.87bc
4 7+6ab 0.72+0.61a 6+4ac 0.71+0.44a 13 + 10abc 1.37+0.90bc
5 6+4b 0.62+0.46a 5+ 2bc 0.47+0.15a 11+4abc 1.09+0.47bc
6 5+ 5b 0.54+0.50a 5+4c 0.53+0.43a 10 + 9bc 0.98+0.89c
7 9 +4ab 1.06+0.50a 14+6a 1.89+0.76a 23 + 8ab 2.95+0.89a
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap setiap kali penangkapan
tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6, sedangkan rataan
berat rajungan tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 6.
Rataan jumlah dan berat rajungan betina tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan
terendah pada stasiun 5, serta rataan jumlah dan berat gabungan kedua jenis kelamin
tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 6. Hasil analisis
ANOVA menunjukkan bahwa jumlah rajungan jantan dan betina serta jumlah dan
berat gabungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap kali penangkapan
menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun, namun berat rajungan jantan dan
betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antar stasiun (Tabel 4).

Distribusi Populasi Rajungan Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim


Jumlah rajungan jantan yang tertangkap setiap periode penangkapan berkisar
antara 20 ekor hingga 100 ekor dengan berat berkisar antara 1.69 kg hingga 8.38 kg,
sedangkan rajungan betina berkisar antara 25 ekor hingga 86 ekor dengan berat
berkisar antara 2.18 kg hingga 7.40 kg. Jumlah gabungan rajungan jantan dan betina
yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 45 ekor hingga 186
ekor dengan berat berkisar antara 3.87 kg hingga 15.78 kg, tertinggi tertangkap pada
bulan Mei sedangkan terendah pada bulan September (Gambar 5). Jumlah dan berat
rajungan jantan dan betina yang tertangkap dari bulan Mei sampai bulan September
cenderung menurun sedangkan dari bulan September sampai bulan Januari cenderung
meningkat.
Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap kali penangkapan
berdasarkan periode penangkapan berkisar antara 4 ekor hingga 17 ekor dengan
rataan berat berkisar antara 0.37 kg hingga 1.40 kg (Tabel 5). Jumlah rajungan jantan
tertinggi ditemukan pada bulan Mei sebanyak 29 ekor dengan berat 2.62 kg
sedangkan yang tertangkap pada bulan September, Oktober dan November lebih
rendah dari pada sembilan bulan lainnya (Gambar 5). Rajungan jantan tidak
tertangkap ditemukan sebanyak tiga kali selama penelitian, yaitu dua kali pada bulan
November dan satu kali pada bulan Desember. Rataan jumlah rajungan betina yang
tertangkap pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan berkisar
19

antara 5 ekor hingga 14 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.44 kg hingga 1.23
kg, tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan September (Tabel 5).

200
Jantan Betina Gabungan

Jumlah (ekor)
150

100

50

0
20.000
15.000 Jantan Betina Gabungan
Berat (kg)

10.000
5.000
0.000

Waktu penangkapan (bulan)

Gambar 5. Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
periode penangkapan
Rataan jumlah gabungan rajungan jantan dan betina pada setiap kali
penangkapan berdasarkan periode penangkapan berkisar antara 9 ekor hingga 31
ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.77 kg hingga 1.92 kg (Tabel 5). Hasil
analisis ragam menunjukkan jumlah dan berat rajungan jantan, betina dan gabungan
keduanya yang tertangkap pada setiap kali penangkapan sebagian besar menunjukkan
berbeda nyata (p<0.05) antar periode penangkapan, kecuali untuk berat rajungan
betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antar periode penangkapan (Tabel 5). Rataan
jumlah rajungan jantan dan betina serta gabungan keduanya pada setiap kali
penangkapan yang tertangkap pada bulan April, Mei, dan Januari ditemukan lebih
tinggi sedangkan yang tertangkap pada bulan September sampai bulan November
ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Rataan berat rajungan
jantan pada setiap kali penangkapan tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah
pada bulan September, sedangkan rataan berat rajungan betina serta gabungan jantan
dan betina yang tertangkap pada bulan Agustus dan September lebih rendah dari pada
yang tertangkap pada bulan lainnya sedangkan tertinggi ditemukan pada bulan Mei
(Tabel 5). Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap kali
penangkapan sangat bervariasi, hal ini terlihat dari simpangan bakunya mendekati
bahkan melebihi nilai rataan jumlah rajungan yang tertangkap setiap periode
penangkapan (Tabel 5).
Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur dan barat
masing-masing 52 ekor dan 49 ekor dengan rataan berat 4.54 kg dan 4.72 kg (Tabel
5). Rataan jumlah rajungan betina yang tertangkap pada musim timur 49 ekor dengan
20

rataan berat 4.05 kg sedangkan pada musim barat 47 ekor dengan rataan berat 4.81
kg. Rataan jumlah gabungan rajungan yang tertangkap pada musim timur cenderung
lebih tinggi dari pada musim barat, namun rataan beratnya yang tertangkap pada
musim barat lebih berat dari pada musim timur (Tabel 5). Berdasarkan uji t dengan
ragam tidak sama menunjukkan bahwa jumlah dan berat rajungan jantan dan betina
serta gabungan kedua jenis rajungan menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 5).
Tabel 5. Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap
kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan dan musim
Jantan Betina Gabungan
Waktu
Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat
April 10+ 5ab 0.82+0.29a 9+6ab 0.70+0.55a 19 +10ab 1.52+0.77ab
Mei 17+8a 1.40+0.73a 14+8a 1.23+0.58a 31+15a 2.63+1.18a
Juni 9 + 4ab 0.83+0.30ab 9 +2ab 0.75+0.34a 18+5ab 1.58+0.56ab
Juli 7 + 5abc 0.58+0,50ab 7+ 3 ab
0.56+0.25a 14+4 ab
1.14+0.50ab
Agustus 6 + 3abc 0.48+0.27ab 6 + 3ab 0.44+0.19a 11 +5ab 0.93+0.26ab
September 4 +5c 0.34+0.37b 5+ 6b 0.44+0.37a 9+11b 0.77+0.73b
Oktober 5+ 4bc 0.62+043ab 6+7b 0.67+0.93a 11 +11b 1.29+1.36ab
November 4 + 4bc 0.37+0.41ab 6+6 b
0.74+0.86a 10 +7b 1.11+0.96b
Desember 8+6abc 0.76+0.63ab 7+ 4ab 0.66+0.41a 14+8ab 1.42+0.88ab
Januari 11+10ab 1.06+0.85a 9 +7ab 0.86+0.64a 21 +16ab 1.92+1.18ab
Februari 7+6abc 0.57+0.37ab 7 + 4ab 0.57+0.24a 14 + 10ab 1.13+0.53ab
Maret 7 + 4bc 0.58+0.34ab 6+4 ab
0.62+0.60a 13 +8ab 1.20+0.89ab
Musim timur 52 + 28a 4.54+2.37a 49 + 21a 4.05+1.86a 101+49a 8.45+4.17a
Musim barat 49+18a 4.72+1.6a 47 + 9a 4.81+0.73a 96+27a 9.42+2.14a
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Lasongko


Total hasil tangkapan rajungan antara bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014
sebanyak 66 926.6 kg, terdiri atas pada musim timur 35 934.2 kg dan pada musim
barat 30 992.4 kg (Tabel 6). Hasil tangkapan rajungan setiap bulan di perairan ini
berkisar antara 2 922.4 kg hingga 8 445.8 kg, tertinggi pada bulan Juli dan terendah
pada bulan Oktober. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2013 ketiga pengolah daging
rajungan tidak mendapatkan bahan baku rajungan atau hasil tangkapan harian
rajungan sebesar 0 kg (Tabel 6) karena nelayan tidak melaut. Rataan hasil tangkapan
rajungan bulanan di Teluk Lasongko pada musim timur sebesar 5 989.0 kg cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan musim barat, yaitu sebesar 5 165.4 kg, namun hasil
uji t dengan ragam tidak sama menunjukkan hasil tangkapan rajungan bulanan tidak
berbeda nyata (p>0.05) antara musim timur dan musim barat (Tabel 6).
21

Tabel 6. Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko periode
bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014
Hasil tangkapan Hasil tangkapan setiap hari (kg)
Bulan
setiap bulan ( kg) Rataan Tertinggi Terendah
bc
Mei 2013 6584.5 212.4 354.3 126
a
Juni 2013 7976.4 265.9 573.3 136.7
a
Juli 2013 8445.8 272.5 366.8 172.3
Agustus 2013*) 3429.3 174.75c 231.4 63.9
d
September 2013 3893.0 129.8 201.7 91.2
e
Oktober 2013 2922.4 94.3 153.9 0
d
November 2013 4010.7 133.7 190.1 83.1
Desember 2013 6014.4 203.7bc 306.3 114
bc
Januari 2014 5835.4 194.4 270.6 136.3
b
Februari 2014 6214.8 222.0 297.5 171.5
bc
Maret 2014 5994.7 193.4 244.4 128.5
April 2014 5605.2 186.8c 340.8 10.6
a a
Musim timur 5989.0 + 2070.4 206.5+55.5 573.3 10.6
a a
Musim barat 5165.4 + 1365.5 194.4+54.8 306.3 0
Total 66926.6 M. timur 35934.2 M. barat 30992.4
Data diolah dari catatan harian tiga pengolah daging rajungan (Halik, Alimu dan La Hera 2014) di
Teluk Lasongko; Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (p>0.05).; *) kegiatan penangkapan rajungan hanya 19 hari.

Hasil tangkapan rajungan harian di Teluk Lasongko selama bulan Mei 2013
sampai April 2014 berkisar antara 10.6 kg hingga 573.3 kg dengan rataan berkisar
antara 94.3 kg hingga 272.5 kg, tertinggi ditemukan pada bulan Juli dan terendah
pada bulan Oktober. Hasil analisis ANOVA menunjukkan hasil tangkapan harian
rajungan di perairan ini berbeda nyata (p<0.05) antar periode bulan. Hasil uji Tukey
menunjukkan hasil tangkapan rajungan harian pada bulan Juni dan Juli adalah sama,
dan keduanya berbeda nyata (p<0.05) dengan hasil tangkapan rajungan harian pada
sepuluh bulan lainnya. Hasil tangkapan rajungan pada bulan Oktober berbeda nyata
(p<0.05) dengan kesebelas bulan lainnya. Hasil tangkapan rajungan harian pada bulan
Mei dan Desember, serta pada bulan Januari dan Maret tidak berbeda nyata
(p>0.05), namun berbeda nyata (p<0.05) dengan hasil tangkapan harian pada bulan
September dan bulan November (Tabel 6).

Keterkaitan Variabel Habitat dan Populasi Rajungan Tertangkap


Hasil analisis komponen utama (PCA) menunjukkan bahwa sebaran variabel
karakteristik habitat terhadap stasiun penelitian ditemukan tersebar pada tiga sumbu
(F) utama dengan kontribusi kumulatif sebesar 0.835 atau 83.5 % (Tabel 7). Variabel
karakteristik habitat rajungan yang berperan pada F1 meliputi kedalaman, kecerahan,
pH, pasir kasar, lempung dan liat, sedangkan pada F2 dan F3 terdiri atas suhu air,
TSS, oksigen terlarut, kecepatan arus, pasir sedang, pasir halus dan sangat halus,
serta kepadatan lamun.
22

Tabel 7. Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel karakteristik
habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3)
Hasil PCA Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) Sumbu 1 (F3)
Akar ciri 0.421 3.100 1.672
Proporsi kontribusi 0.554 0.182 0.098
Kontribusi kumulatif 0.554 0.737 0.835
Pada Gambar 6 terlihat bahwa stasiun 1, 2 dan 3 dicirikan oleh pasir sangat
kasar, pasir kasar, kekeruhan dan oksigen terlarut, stasiun 4 dan 5 dicirikan oleh pasir
halus, pasir sedang dan pasir sangat halus, dan kepadatan lamun. Stasiun 6 dicirikan
oleh TSS dan kecepatan arus, dan stasiun 7 dicirikan oleh kecerahan, kedalaman, liat
dan lempung (Gambar 6). Variabel-variabel penciri tersebut merupakan variabel
penciri karakteristik habitat yang berperan menentukan keberadaan dan distribusi
populasi rajungan pada setiap stasiun. Suhu air, salinitas dan pH bukan merupakan
penciri pada salah satu stasiun atau kelompok stasiun, karena penyebarannya antar
stasiun ditemukan relatif sama.

Gambar 6. Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada sumbu
1 dan 2 (F1 dan F2)
Hasil analisis korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah rajungan yang
tertangkap pada setiap periode penangkapan diperoleh nilai koefisien korelasi setiap
variabel kualitas air relatif kecil dan sebagian besar bersifat negatif, kecuali suhu dan
kecepatan air bersifat positif. Hasil uji statistik menunjukkan hanya kekeruhan yang
tidak berkorelasi nyata (p>0.05) dengan jumlah rajungan jantan, betina dan gabungan
keduanya yang tertangkap di Teluk Lasongko (Tabel 8), demikian juga antara pH dan
23

jumlah rajungan jantan tertangkap di perairan ini tidak berkorelasi nyata (p>0.05).
Variabel kualitas air berkorelasi nyata (p<0.05) dengan jumlah populasi rajungan
yang tertangkap di perairan ini dengan koefisien korelasi relatif besar dan positif
adalah kecepatan arus (positif), serta salinitas dan kecerahan air, namun keduanya
berkorelasi negatif dengan jumlah popualsi rajungan yang tertangkap.
Tabel 8. Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi
rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko
Koefisien korelasi (r)
Kualitas air
Jantan Betina Gabungan
Suhu 0.231* 0.3166* 0.269*
Kedalaman air -0.340* -0.418* -0.375*
Kecerahan -0.420* -0.477* -0.447*
Kekeruhan -0.089 0.009 -0.049
TSS -0.273* -0.234* -0.259*
Kecepatan arus 0.512* 0.631* 0.566*
Oksigen terlarut -0.164* -0.153* -0.161*
Salinitas -0.586* -0.540* -0.573*
pH -0.088 -0.147* -0.113
*berkolerasi nyata (p<0.05).

Pembahasan
Karakteristik Habitat
Habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko terdiri dari berbagai fraksi
sedimen, yaitu mulai PSK sampai Li. Rajungan di perairan ini umumnya banyak
ditemukan pada tipe substrat pasir, kecuali pada stasiun atau tipe habitat yang berada
pada lokasi yang lebih dalam bertipe substrat pasir berlempung, lempung liat berpasir
dan lempung. Kondisi fraksi sedimen dan tipe substrat habitat rajungan yang
ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Brebes
(Sunarto 2012). Sebaliknya, habitat rajungan di Perairan Pati yang terletak jauh dari
pantai terdiri dari tipe substrat pasir berlempung, sedangkan yang dekat dengan pantai
dan bagian tengah dengan tipe substrat lempung dan lempung berpasir (Ernawati
2013). Rajungan pada beberapa penelitian yang lain ditemukan pada tipe substrat
lempung, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003;
Dineshbabu et al. 2008; Huang et al. 2011). Rajungan lebih menyukai tipe substrat
pasir dan pasir berlempung (Kangas 2000; Kurnia et al. 2014) dan hal ini identik
dengan tipe substrat yang dominan ditemukan pada penelitian ini. Rajungan pada
penelitian ini banyak ditemukan tertangkap pada lokasi yang lebih dangkal dengan
tipe subsrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat, dan ini identik dengan yang
ditemukan di Perairan Brebes (Sunarto, 2012). Distribusi ukuran rajungan di Perairan
Brebes tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012) dan hasil tangkapan
rajungan tidak dipengaruhi oleh tipe substrat (Ernawati 2013).
24

Rajungan di perairan Teluk Lasongko ditemukan pada berbagai kedalaman,


yaitu mulai dari 35 cm hingga 3100 cm serta ditumbuhi lamun (E. acoroides dan T.
hemprichi) dan juga berupa hamparan pasir. Pada beberapa perairan lainnya, rajungan
ditemukan mulai pada daerah intertidal sampai landas kontinen dengan kedalaman 50
m (Edgar 1990), bahkan sampai kedalaman 65 m (Juwana 1997). Di perairan pantai,
rajungan dapat ditemukan di bagian intertidal yang ditumbuhi lamun dan hamparan
pasir, muara sungai kecil, bagian sublitoral, teluk dangkal, sekitar mangrove dan
tambak (Juwana 1997; Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Kunsook
2011; Kunsook et al. 2014). Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikatakan bahwa
kedalaman air pada lokasi penelitian ini masih berada pada kisaran kedalaman
optimum untuk kehidupan dan pertumbuhan rajungan di Teluk Lasongko.
Kualitas air habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko umumnya ditemukan
cukup bervariasi secara spasial dan temporal. Suhu air bervariasi secara spasial dan
temporal, dan ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Cirebon (Sumiono
2010), Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013). Rataan
suhu air antar stasiun tertinggi ditemukan pada stasiun 5 (29.1 oC) dan lebih rendah
pada stasiun 2 (28.0 oC) dan stasiun 7 (27.7 oC). Suhu air habitat rajungan antar
waktu pengukuran, pada pagi hari dapat mencapai 23.4 oC dan pada sore hari mencapai
33.5 oC, bahkan menjelang siang hari pada bulan Agustus sampai bulan November
suhu air lebih dari 35 oC. Suhu air terendah di Teluk Lasongko ditemukan pada bulan
Juli. Suhu air pada musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Rataan suhu di
Teluk Lasongko pada penelitian sebelumnya, yaitu antara bulan September sampai
November berkisar antara 28 oC hingga 31 oC (Hamid 2011). Rataan suhu air habitat
rajungan yang ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran suhu rataan yang
ditemukan pada beberapa perairan (Tabel 9). Rataan suhu habitat rajungan pada
musim timur pada penelitian ini identik dengan ditemukan di Perairan Pati
sedangkan suhu pada musim barat lebih rendah dari pada ditemukan di Perairan Pati
(Ernawati 2013). Rataan suhu air habitat rajungan di Teluk Kung Krabaen, Thailand
antara musim kemarau dan hujan adalah sama, yaitu 29.5 oC (Kunsook 2011).
Tabel 9. Rataan suhu, salinitas habitat rajungan pada beberapa lokasi perairan
Lokasi Suhu (oC) Salinitas (ppt) Sumber
Pantai Sarawak, Malaysia 28-30 28-31 Ikhwanuddin et al. 2011
Teluk Kung Krabaen, Thailand 29.5 29.5-32.2 Kunsook 2011
Perairan Cirebon 28.1-31.4 23.2-30.6 Sumiono 2010
Perairan Brebes 27-30 30-33 Sunarto 2012
Perairan Pati 28.2-30 32.2-34.8 Ernawati 2013
Teluk Lasangko 27.7-29.1 29.5-33.4 Penelitian ini
Rataan kecerahan air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 152.4
cm hingga 1345.5 cm. Rataan kadar oksigen terlarut yang ditemukan pada penelitian
ini berkisar antara 5.10 mgl-1 hingga 5.90 mgl-1, dan masih termasuk dalam kisaran
oksigen terlarut habitat rajungan yang ditemukan di Perairan Cirebon, yaitu berkisar
antara 4.28 mgl-1 hingga 6.60 mgl-1 (Sumiono 2010), serta berada pada batas
optimum bagi kehidupan rajungan di Teluk Lasongko. Hewan air laut umumnya
membutuhkan kadar oksigen terlarut >4 mgl-1 agar dapat hidup dan tumbuh secara
25

optimum. Rajungan betina dengan telur yang telah dibuahi umumnya bermigrasi ke
perairan yang lebih dalam dengan kondisi air jernih dan kadar oksigen dan salinitas
tinggi untuk mendukung perkembangan larva mereka (Sumpton et al. 1994; Kangas
2000). Kecepatan arus di Teluk Lasongko sangat dipengaruhi oleh pasang surut, dan
kecepatan arus tertinggi ditemukan ketika permulaan pasang atau surut.
Kekeruhan dan TSS habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan secara
spasial dan temporal cukup bervariasi. Kekeruhan dan TSS pada stasiun 3 dan 4
lebih rendah dari stasiun lainnya, karena kedua stasiun tersebut ditumbuhi padang
lamun yang lebih padat sehingga substratnya lebih stabil dan tidak mudah teraduk
oleh gelombang. Padang lamun antara lain berfungsi menstabilkan substrat dan
menurunkan kekeruhan air di sekitarnya (Azkab 1996; Larkum et al. 2006).
Kekeruhan dan kadar TSS habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim barat
lebih tinggi dari pada musim timur. Hal ini disebabkan intensitas turun hujan pada
musim barat lebih tinggi dari pada musim timur sehingga sedimen atau partikel yang
terbawa aliran air hujan yang masuk ke perairan ini ketika musim barat lebih tinggi
dari pada musim timur. Perairan Teluk Lasongko lebih dipengaruhi oleh angin barat
dari pada angin timur, dan selama terjadi angin barat akan menghasilkan gelombang
lebih tinggi dari pada musim timur sehingga substrat perairan teraduk secara intensif
pada musim barat dan menyebabkan kadar TSS dan kekeruhan air meningkat.
Salinitas habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan secara spasial dan
temporal umumnya dengan variasi relatif kecil, kecuali pada bulan Juli, Agustus dan
Oktober. Salinitas pada bulan Juli (16 ppt), Agustus (19 ppt) dan Oktober (25 ppt)
dan ketiganya ditemukan pada stasiun 1 dekat mangrove. Pada saat pengukuran
salinitas di lokasi tersebut, kondisi laut dalam keadaan surut dengan kedalaman air
berkisar antara 35 cm hingga 50 cm sehingga masuknya air tawar yang berasal dari
kali kecil di sekitar lokasi ini lebih dominan untuk menurunkan salinitas. Salinitas
habitat rajungan yang ditemukan pada sebagian besar stasiun dan pada periode
pengukuran > 30 ppt, kecuali pada stasiun 1 < 30 ppt. Salinitas habitat rajungan pada
stasiun 1 berkisar antara 16 ppt hingga 33 ppt dengan rataan 29.5 ppt. Salinitas yang
ditemukan pada setiap stasiun pada bulan September sebesar 34 ppt. Rataan salinitas
habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran salinitas
habitat rajungan yang ditemukan pada beberapa perairan (Tabel 9) dan masih dalam
kisaran optimum bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Rataan salinitas habitat
rajungan ditemukan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari yang ditemukan di Perairan
Cirebon (Sumiono 2010), Brebes (Sunarto 2012) dan Pati (Ernawati 2013). Rajungan
lebih menyukai hidup pada kisaran salinitas yang lebih tinggi, yaitu 30-40 ppt (Potter
et al. 1983; Romano dan Zeng 2006), serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup
larva (zoea) rajungan yang optimum membutuhkan salinitas berkisar antara 27 ppt
hingga 30 ppt (Juwana 2006). Rajungan jarang ditemukan pada salinitas yang rendah,
yaitu < 10 ppt (Kurnia et al. 2014).
Nilai pH air habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar antara 7.45
hingga 8.74 (Lampiran 1). Nilai pH air habitat rajungan ditemukan cenderung
meningkat dari awal sampai akhir penelitian, dan secara spasial dan temporal
bervariasi lebih kecil dibandingkan dengan variabel kualitas air lainnya (Tabel 3 dan
26

Gambar 3). Nilai pH air < 8 hanya ditemukan pada stasiun 1 pada bulan Juni,
sebaliknya pada stasiun lainnya >8. Rataan pH habitat rajungan di Teluk Lasongko
selama bulan Oktober dan November 2006 sebesar 8.0 (Hamid 2011). Rataan pH air
yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dari pada di Perairan Cirebon, yaitu
berkisar antara 8.0 hingga 8.81 (Sumiono 2010), namun lebih tinggi dari yang
ditemukan di Perairan Brebes, yaitu berkisar antara 5.2 hingga 7.1 (Sunarto 2012).

Distribusi Populasi Rajungan Berdasarkan Jumlah yang Tertangkap


Rajungan yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko bervariasi secara spasial
dan temporal, dan proporsi jumlah rajungan jantan cenderung lebih tinggi dari pada
betina, yaitu dengan proporsi masing-masing 51.44 % dan 48.56 %. Proporsi jumlah
rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan
ditemukan di Teluk Bone, yaitu jantan 51,8 % dan betina 48,1 % (Kembaren et al.
2012), dan di Perairan Pangkep, yaitu jantan 51.80 % dan betina 48.10 % (Ihsan et al.
2014), serta di Teluk Kung Karabaen, Thailand, yaitu jantan 51.96 % dan betina
48.04 % (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), Sebaliknya, di Perairan Brebes
proporsi rajungan betina lebih tinggi dari pada rajungan jantan, yaitu jantan 43.48 %
dan betina 56.52 % (Sunarto 2012).
Total jumlah jantan dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun tidak sama
(P<0.05), tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6. Total berat
kedua jenis kelamin rajungan tersebut antar stasiun tidak berbeda nyata (P>0.05), hal
ini menunjukkan bahwa rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 sebagian
besar berukuran lebih kecil dan lebih ringan dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Rajungan yang hidup pada habitat yang keruh dengan lebar karapas yang sama lebih
ringan (keropos) dibandingkan dengan yang hidup pada habitat yang jernih. Stasiun 1
dan 2 mempunyai kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada habitat yang dangkal
dan ditumbuhi oleh lamun yang padat dengan tipe substrat pasir lebih tinggi
dibandingkan dengan habitat rajungan yang lebih dalam, ditumbuhi oleh lamun yang
kurang padat dan juga pada habitat berupa hamparan dengan tipe substrat pasir dan
pasir berlempung. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi rajungan di Teluk Lasongko
terkait dengan kedalaman air, kepadatan lamun dan tipe substrat. Rajungan di
perairan ini yang tertangkap pada bagian yang dangkal dengan tipe substrat pasir dan
ditumbuhi lamun cenderung lebih tinggi dari pada bagian yang dalam dengan tipe
substrat pasir berlempung.
Jumlah rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko yang tertangkap pada
setiap kali penangkapan tidak sama (P<0.005) antar periode penangkapan (Tabel 5).
Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko pada musim timur
banyak tertangkap pada bulan April dan Mei, sedangkan pada musim barat banyak
tertangkap pada bulan Desember dan Januari (Tabel 5 dan Gambar 5A). Sebaliknya,
jumlah dan berat rajungan jantan dan betina tidak berbeda nyata (P>0.05) antara yang
tertangkap pada musim timur dan musim barat, dan identik dengan yang ditemukan
di Perairan Pati (Ernawati 2013). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan berat
rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko tidak dipengaruhi oleh
musim, namun dipengaruhi oleh periode penangkapan.
27

Hasil analisis korelasi parsial menunjukkan nilai koefisien korelasi antara


variabel kualitas air dengan jumlah rajungan jantan yang tertangkap di Teluk
Lasongko berkisar antara - 0.088 hingga 0.586, sedangkan untuk rajungan betina
dan gabungan kedua jenis kelamin rajungan masing masing berkisar antara 0.009
hingga 0.631, dan -0.049 hingga 0.566 (Tabel 8). Kecepatan arus merupakan variabel
kualitas air yang mempunyai nilai koefisien korelasi tertinggi dan positif dengan
jumlah rajungan yang tertangkap. Salinitas dan kecerahan air juga mempunyai
korelasi yang tinggi dengan jumlah rajungan yang tertangkap, namun bersifat negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan arus akan diikuti oleh
peningkatan jumlah rajungan yang tertangkap, sedangkan keterkaitan salinitas dengan
jumlah tangkapan rajungan terjadi pola yang sebaliknya (Gambar 3 dan 5A).
Kecepatan arus dan jumlah rajungan yang tertangkap terendah terjadi pada bulan
September, dan salinitas tertinggi juga ditemukan pada bulan September, namun
kecepatan arus dan jumlah tangkapan rajungan tertinggi serta salinitas terendah tidak
ditemukan pada periode waktu yang sama.
Sebagian besar variabel kualitas air berkorelasi nyata dengan jumlah rajungan
yang tertangkap di Teluk Lasongko. Kekeruhan tidak berkorelasi nyata (P>0.05)
dengan jumlah hasil tangkapan rajungan jantan, betina dan gabungan kedua jenis
kelamin rajungan, dan pH tidak berkorelasi nyata (P>0.05) dengan jumlah tangkapan
rajungan jantan (Tabel 8).

Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Lasongko


Hasil tangkapan di Teluk Lasongko 2013 dan 2014 lebih tinggi dari pada 2006.
Peningkatan hasil tangkapan di Teluk Lasongko selama bulan Mei 2013 sampai bulan
April 2014 diantaranya dikarenakan oleh peningkatan dan perubahan penggunaan
alat tangkap dari gillnet ke bubu rajungan. Jumlah alat tangkap bubu dan gillnet di
Teluk Lasongko sampai akhir tahun 2006 masing-masing adalah 2149 buah dan 521
pis (Hamid 2011), dan sampai bulan April 2014 jumlahnya berubah menjadi 14 970
buah dan 294 pis. Sebaliknya, jumlah nelayan mengalami penurunan dari 226 orang
pada tahun 2006 (Hamid 2011) menjadi 189 orang pada bulan April 2014.
Hasil tangkapan rajungan pada musim timur cenderung lebih tinggi dari pada
musim barat, namun hasil uji statistik menunjukkan hasil tangkapan rajungan setiap
bulan dan harian yang tertangkap pada musim timur dan barat tidak berbeda
(P>0.05). Hasil yang diperoleh tersebut identik dengan ditemukan di Perairan Pati,
bahwa hasil tangkapan rajungan per satuan upaya tidak berbeda antara musim timur
dan musim barat (Ernawati 2013). Sebaliknya, hasil tangkapan harian rajungan
menunjukkan berbeda antar bulan selama periode bulan Mei 2013 sampai April 2014.
Hasil tangkapan rajungan tiap bulan di Perairan Brebes berfluktuasi baik secara
keseluruhan maupun berdasarkan jenis kelamin (Sunarto 2012).
Hasil tangkapan rajungan tertinggi di Teluk Lasongko ditemukan pada Juli dan
terendah terjadi pada bulan Oktober. Berdasarkan Tabel 6, terlihat musim puncak
penangkapan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung pada bulan Mei sampai Juli
atau terjadi pada awal sampai pertengahan musim timur. Sebaliknya, musim hasil
tangkapan rajungan sedikit (musim paceklik) di perairan ini terjadi selama bulan
Agustus sampai bulan November atau akhir musim timur sampai awal musim barat.
28

Selama musim paceklik sebagian nelayan tidak melakukan penangkapan rajungan,


bahkan berdasarkan catatan tiga pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko pada
tanggal 15 dan 16 Oktober 2013 tidak ada nelayan melakukan penangkapan rajungan
(Tabel 6). Pada uraian sebelumnya disebutkan bahwa suhu air dan salinitas Teluk
Lasongko lebih tinggi selama bulan Agustus hingga bulan November dibandingkan
dengan delapan bulan lainnya. Disamping itu, fluktuasi suhu harian selama periode
tersebut sangat tinggi. Berdasarkan informasi tersebut dapat dikatakan bahwa selama
fluktuasi suhu harian tinggi dan salinitas tinggi rajungan diduga kurang aktif dan
lebih banyak membenamkan diri dalam substrat, dan susah tertangkap akibatnya hasil
tangkapan rajungan di Teluk Lasongko menurun.

Simpulan
1. Karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi dilihat dari tipe
substrat, kepadatan lamun dan kualitas air, serta didominasi oleh tipe substrat
pasir dan kualitas air berada kisaran yang optimum untuk kehidupan dan
pertumbuhan rajungan,
2. Distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi baik secara spasial
maupun temporal, dan
3. Kondisi substrat, padang lamun dan sebagian besar variabel kualitas air
menentukan distribusi spasial populasi rajungan di perairan ini.
29

3 KARAKTERISTIK MORFOMETRIK DAN DISTRIBUSI


FREKUENSI KELAS UKURAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO

Pendahuluan
Karakteristik morfometrik merupakan salah satu informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian populasi rajungan, khususnya untuk mendukung kajian genetik dan
lingkungan dalam mengidentifikasi stok rajungan (Jossilen 2011). Karakteristik
morfometrik kelompok kepiting (Portunidae) dapat digunakan untuk membandingkan
stok populasi yang berbeda pada spesies yang sama dimana lokasi geografi
perairannya berbeda (Atar dan Secer 2003; Josileen 2011). Karakteristik morfometrik
jantan yang biasa digunakan untuk membandingkan populasi rajungan antar perairan
meliputi lebar/panjang karapas dan panjang/tinggi propodus capit, sedangkan untuk
rajungan betina terdiri atas lebar/panjang karapas dan lebar/panjang abdomen
(Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Josileen 2011).
Rajungan yang telah dan belum dewasa biasanya menunjukkan adanya
perubahan karakteristik morfometrik dan perbedaan pertumbuhan relatif (Sukumaran
dan Neelakantan 1996a; de Lestang et al. 2003). Informasi tersebut berguna untuk
menilai sejarah hidup, pengembangan perikanan, dan pengelolaan sumber daya
rajungan (Jossilen 2011). Pertumbuhan rajungan sering dilihat dari beberapa
perubahan dimensi tubuh antara satu bagian dengan bagian tubuh lainnya, dan
biasanya dikenal dengan pertumbuhan relatif (Hartnoll 1978; Sukumaran dan
Neelakantan 1996a; Josileen 2011). Pertumbuhan relatif kelompok kepiting biasanya
dilihat dari perubahan beberapa karakter morfometrik, seperti perubahan bentuk dan
ukuran abdomen, pleopod, dan capit selama ontogeni (Sukumaran dan Neelakantan
1996a; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011; Araujo et al. 2012). Pertumbuhan relatif
didasarkan pada hubungan antara dua variabel karakter morfometrik. Salah satu
variabel karakter morfometrik tersebut merupakan variabel bebas dan variabel
karakter morfometrik lainnya bersifat relatif atau merupakan variabel terikat
(Hartnoll 1978; Araújo et al. 2012). Kedua variabel tersebut biasanya dinyatakan
dalam fungsi power atau fungsi linear (Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Jazayeri
et al. 2011; Josileen 2011; Araujo et al. 2012).
Hubungan panjang-berat dapat dikonversi dari persamaan pertumbuhan panjang
menjadi pertumbuhan berat dan dapat digunakan dalam model pendugaan stok
(Josileen 2011). Informasi hubungan panjang/lebar-berat tubuh individu dalam
populasi berguna untuk menduga ukuran populasi suatu stok, khususnya untuk
kebutuhan eksploitasi (Sukumaran dan Neelakantan 1997; Atar dan Secer 2003;
Josileen 2011). Hubungan panjang/lebar-berat dianggap lebih cocok untuk
mengevaluasi populasi (Atar dan Secer 2003; Josileen 2011).
Distribusi ukuran rajungan bervariasi antar jenis kelamin dan antar lokasi
perairan, serta juga bervarasi pada lokasi perairan yang sama. Rajungan di Perairan
Brebes terindikasi tidak berasal dari kohor yang sama karena variasi ukurannya lebar
(Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Distribusi ukuran rajungan yang tertangkap di
30

Perairan Brebes dan Pati berfluktuasi tiap bulan (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012;
Ernawati 2013). Kedalaman perairan juga dapat mempengaruhi distribusi ukuran
rajungan (Chande dan Mgaya 2003; Poter et al. 2001; Ernawati 2013).
Karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran rajungan di
Teluk Lasongko sampai saat ini belum pernah dikaji, oleh karena itu tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis aspek (1) karakteristik morfometrik, (2) distribusi
frekuensi kelas ukuran lebar karapas, serta (3) hubungan dan tipe pertumbuhan relatif
antar karakter morfometrik rajungan di Teluk Lasongko.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah,
terletak pada posisi 05o15’-05o27’ LS dan 122o27’-122o33’ BT (Gambar 2).
Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.

Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh rajungan dilakukan pada tujuh stasiun dengan letak stasiun
mulai dari bagian kepala teluk sampai mulut teluk. Stasiun 1 sampai stasiun 5 terdiri
atas tiga sub stasiun, sedangkan pada stasiun 6 dan 7 hanya terdiri dari dua sub
stasiun. Setiap sub stasiun pada stasiun 1 sampai stasiun 5 memiliki karakteristik tipe
habitat berbeda. Karakteristik setiap stasiun dan tipe habitat tersebut secara rinci
telah diuraikan pada Bab 2 bagian penentuan stasiun.
Contoh rajungan ditangkap dengan menggunakan gillnet dasar dengan tiga
ukuran mata jaring, yaitu 1.5, 2.5 dan 3.5 inci supaya dapat menangkap berbagai
ukuran rajungan. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi
satu unit gillnet penangkap rajungan dengan tinggi sekitar 75 cm. Selang waktu
pengambilan contoh rajungan pada setiap stasiun selama satu bulan, sehingga total
jumlah pengambilan contoh untuk setiap stasiun sebanyak 12 kali. Jumlah gillnet
yang dipasang pada setiap tipe habitat sebanyak dua unit dan diletakkan sejajar
dengan garis pantai untuk stasiun 1 sampai 5, sedangkan pada stasiun 6 dan 7
memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari (sekitar pukul 16.30 sampai pukul
17.30 WITA) dan diangkat kembali mulai pukul 06.30 sampai pukul 09.00 WITA.

Pengukuran Morfometrik
Hasil tangkapan rajungan pada setiap periode pengambilan contoh di setiap
stasiun pertama dipisahkan antara jantan dan betina, kemudian spesimen rajungan
diukur morfometriknya. Morfometrik rajungan jantan dan betina yang diukur
meliputi lebar karapas (LK), panjang karapas (PK), panjang propodus capit (PC),
tinggi propodus capit (TC), panjang abdomen (PA), lebar abdomen (LA). Prosedur
pengukuran setiap variabel morfometrik tersebut berdasarkan pada Sukumaran (1995)
dan Josileen (2011) (Gambar 7) dengan menggunakan jangka sorong atau kaliper
(Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05). Morfometrik capit yang diukur adalah bagian
kanan. Berat tubuh (BT) rajungan ditimbang dengan timbangan digital (Xon Med
Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 gram. Lebar karapas diukur dari duri lateral
terpanjang dari kedua sisi tubuh rajungan, sedangkan panjang karapas rajungan
diukur dari letak mata (anterior) sampai ke letak abdomen (posterior).
31

Gambar 7. Prosedur pengukuran morfometrik rajungan ( Sukumaran 1995).


A karapas (tampak atas).; B capit.; C abdomen.; LK lebar karapas.; PK
panjang karapas.; PC anjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.;
LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen
Penentuan Kelas Ukuran Lebar Karapas
Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina ditentukan
berdasarkan pada sebaran data lebar kelas antar kelas ukuran, dan diperoleh lebar
kelas antar kelas sebesar 10 mm. Distribusi kelas lebar karapas rajungan jantan dan
betina dikelompokkan berdasarkan spasial dan temporal.

Hubungan antar Karakter Morfometrik


Karakter morfometrik rajungan yang dianalisis dalam hubungan antar karakter
morfometrik terdiri atas berat, lebar karapas, panjang karapas, panjang propodus
capit, tinggi propodus capit, lebar abdomen dan panjang abdomen (Sukumaran dan
Neelakantan 1996b; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011). Hubungan panjang-berat
rajungan ditentukan dengan persamaan pertumbuhan relatif dalam bentuk persamaan
power (Dineshbabu et al. 2008; Sawusdee dan Songrak 2009; Kamrani et al. 2010;
Josileen 2011a) dengan persamaan sebagai berikut :
BT = aPKb ......................................................... (2)
Persamaan (2) ditransformasi ke logatrima basis 10 (log 10) sehingga diperoleh
persamaan seperti berikut :
Log BT = log a + b Log PK ............................................. (3)
BT berat tubuh rajungan (g), PK panjang karapas rajungan (mm), a intersep dan b
koefisien regresi atau koefisien pertumbuhan.
Persamaan (3) selanjutnya dapat dinyatakan sebagai persamaan pertumbuhan
relatif linear seperti berikut :
Y = a + bX ......................................................... (4)
Y berat tubuh rajungan (g), X panjang karapas rajungan (mm), a intersep dan b
koefisien regresi atau koefisien pertumbuhan rajungan.
32

Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan yang lain ditentukan


dengan persamaan pertumbuhan relatif bentuk linear (Sukumaran 1995; Jazayeri et
al. 2011; Josileen 2011), seperti tertera pada persamaan (4). Tipe pertumbuhan relatif
antar variabel karakter morfometrik rajungan digunakan persamaan (4), dan sebelum
dilakukan analisis semua data variabel karakter morfometrik terlebih dahulu
ditransformasikan ke log 10 (Sukumaran 1995). Beberapa hubungan antar karakter
morfometrik rajungan jantan dan betina yang dianalisis dalam penelitian ini
selengkapnya tertera pada Tabel 10.
Tabel 10. Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan betina
yang dianalisis
Persamaaan allometrik
Variabel bebas (X) Variabel terikat (Y) (Y = a + bX)
Jantan
Lebar karapas (LK) Panjang propodus capit (PC) PC = a + bLK
Panjang karapas (PK) Panjang propodus capit (PC) PC = a + bPK
Panjang karapas (PK) Tinggi propodus capit (TC) TC = a + bPK
Panjang propodus capit (PC) Tinggi propodus capit (TC) TC = a + bPC
Lebar karapas (LK) Berat tubuh (BT) BT = a + bLK
Panjang karapas (PK) Berat tubuh (BT) BT = a + bPK
Betina
Lebar karapas (LK) Lebar abdomen (LA) LA = a + bLK
Panjang karapas (PK) Lebar abdomen (LA) LA = a + bPK
Panjang karapas (LK) Panjang abdomen (PA) PA = a + bLK
Panjang karapas (PK) Panjang abdomen (PA) PA = a + bLK
Lebar abdomen (LA) Panjang abdomen (PA) PA = a + bLA
Lebar karapas (LK) Berat tubuh (BT) BT = a + bLK
Panjang karapas (PK) Berat tubuh (BT) BT = a + bPK

Analisis Data
Karakteristik morfometrik dan distribusi kelas ukuran rajungan dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, spasial (stasiun), dan temporal (periode penangkapan dan
musim). Data karakteristik morfometrik rajungan dianalisis dengan analisis ragam
(ANOVA) satu arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf
nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Setiap data karakteristik morfometrik rajungan
diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel
dan Torrie 1992). Jika hasil uji tersebut berbeda nyata, data karakteristik morfometrik
rajungan ditransformasi ke log 10, kemudian dilakukan uji ANOVA. Data distribusi
kelas ukuran rajungan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel
dan grafik.
Hubungan antar karakter morfometrik dianalisis berdasarkan total jumlah
contoh dan juga berdasarkan juvenil dan dewasa untuk kedua jenis kelamin rajungan
dengan persamaan seperti telah dijelaskan di atas. Analisis kovarian (ANCOVA)
33

dilakukan untuk menguji nilai koefisien regresi (b) dan intersep (a) setiap hubungan
antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina (Steel dan Torrie 1992). Tipe
pertumbuhan relatif setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan ditentukan
berdasarkan nilai b setelah dilakukan uji b dengan uji t pada taraf nyata 0.05 (Steel
dan Torrie 1992). Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan
dihipotesiskan (Ho) b=3, sedangkan pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik
lainnya dihipotesiskan b=1. Berdasarkan kedua hipotesis tersebut, tipe pertumbuhan
relatif antar karakter morfometrik rajungan sebagai berikut :
(i) Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan dengan tipe
isometrik, jika nilai b= 3, allometrik negatif jika b<3, dan allometrik positif
jika b>3 (Hartnoll 1978; Sukuraman 1995; Josileen 2011).
(ii) Pertumbuhan antar variabel karakter morfometrik bertipe isometrik jika nilai
b=1, allometrik negatif jika b <1, dan allometrik positif jika b >1 (Hartnoll
1978; Sukuraman 1995; Arujo et al. 2012).
Dalam proses setiap analisis data karakteristik morfometrik rajungan tersebut
digunakan Minitab versi 15 dan Microsoft Excel 2007.

Hasil

Karakteristik Morfometrik Berdasarkan Stasiun


Berat rajungan jantan yang ditemukan pada setiap stasiun berkisar antara 6.06 g
hingga 241.04 g dengan rataan berkisar antara 71.94 g hingga 120.99 g, sedangkan
rajungan betina berkisar antara 23.27 g hingga 314.22 g dengan rataan berkisar antara
62.16 g hingga 135.32 g. Hasil analisis ANOVA menunjukkan berat rajungan jantan
dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun. Berat rajungan jantan dan betina
tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2, demikian juga
variabel karakteristik morfometrik lainnya terbesar ditemukan pada stasiun 7 dan
terkecil pada stasiun 2 (Tabel 11).
Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap
stasiun berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dengan rataan berkisar antara
99.66 mm hingga 119.60 mm sedangkan lebar karapas rajungan betina berkisar
antara 52.10 mm hingga 166.20 mm dengan rataan berkisar antara 96.53 mm hingga
125.46 mm. Panjang karapas rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar antara 22.10
mm hingga 90.10 mm dengan rataan berkisar antara 45.65 mm hingga 55.99 mm
sedangkan panjang karapas rajungan betina berkisar antara 25.40 mm hingga 78.30
mm dengan rataan berkisar antara 44.10 mm hingga 58.99 mm. Hasil analisis
ANOVA menunjukkan lebar dan panjang karapas rajungan jantan dan betina berbeda
nyata (p<0.05) antar stasiun.
Panjang propodus capit rajungan jantan yang ditemukan pada setiap stasiun
berkisar antara 30.10 mm hingga 126.20 mm dengan rataan berkisar antara 63.12 mm
hingga 84.16 mm sedangkan untuk rajungan betina berkisar antara 26.70 mm hingga
92.40 mm dengan rataan berkisar antara 52.87 mm hingga 71.43 mm. Tinggi
propodus capit rajungan jantan berkisar antara 6.20 mm hingga 23.60 dengan rataan
berkisar antara 14.32 mm hingga 17.29 mm sedangkan untuk rajungan betina berkisar
34

antara 6.20 mm hingga 26.60 mm dengan rataan berkisar antara 14.16 mm hingga
18.87 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan panjang dan tinggi propodus capit
rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun (Tabel 11).
Tabel 11. Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan
stasiun di Teluk Lasongko
Karakteristik morfometrik (g dan mm)
Stasiun Kelamin
Berat LK PK PC TC LA PA
72.90a 100.40a 46.3a 64.51a 14.65a 21.77a 32.08a
1 Jantan
+36.14 +15.24 +8.25 +16.47 +3.09 + 4.87 + 5.41
2 71.94a 99.66a 45.65a + 63.12a 14.32a 21.46a 30.99a
Jantan
+33.16 +13.61 6.48 + 3.29 +3.43 +4.91 +5.68
101.11b 113.26b 52.06c 75.42b 16.76b 24.50b 35.05b
3 Jantan
+31.91 +10.79 +5.44 +12.72 +2.85 +4.72 +4.98
4 Jantan 100.58b 112.63b 52.73b 75.85b 16.74b 24.93b 35.03b
+38.71 +11.42 +6.09 +13.28 +5.62 +5.78 +4.90
5 Jantan 99.71b 111.46b 51.21b 74.36b 16.51b 24.55b 35.04b
+38.81 +12.22 +6.13 +14.22 +2.94 + 4.65 +4.96
6 Jantan 103.71b 113.05bc 52.24b 74.58b 16.13b 24.79bc 34.70b
+42.35 +14.43 +7.00 +17.10 +3.25 +4.66 +5.71
7 Jantan 120.99c 119.60c 55.99c 84.16c 17.29b 27.54c 39.91c
43.90 +10.97 +5.59 +14.45 +2.69 +2.98 +4.57
1 Betina 66.45a 99.44a 44.95a 53.53a 14.65a 28.25a 31.71a
+30.65 +15.85 +7.01 + 0.20 +3.60 +6.81 +6.52
2 62.16a 96.53a 44.10a 52.87a 14.16a 26.99a 30.91a
Betina
+23.08 +13.37 +7.63 +9.18 +3.60 +6.58 + 6.40
3 Betina 116.33cd 116.60bc 54.90b 66.90c 19.23b 37.18bc 38.68bc
+46.18 +14.57 +7.35 +10.16 +3.65 +6.71 +6.14
4 Betina 122.57de 119.07c 55.67c 66.74c 18.34b 37.72c 39.94c
+46.75 +14.33 +7.18 +10.47 +3.83 +6.90 +7.47
5 Betina 96.31b 111.99b 51.95b 62.33b 17.55b 34.98b 37.21b
+36.54 +14.17 +6.76 +8.77 +3.33 +7.14 +6.79
6 Betina 107.46cd 115.74bc 54.88c 64.21bc 17.68b 36.62bc 38.38bc
+33.49 +11.87 +6.77 +8.04 +3.47 +5.43 +5.58
135.32e 125.46d 58.99d 71.43d 18.87b 41.69d 45.53d
7 Betina
+43.46 +11.57 +5.78 +7.91 +3.41 +5.03 +5.42
Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(p>0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus
capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.
Lebar abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar
antara 6.00 mm hingga 36.30 m dengan rataan berkisar antara 21.46 mm hingga 27.54
mm, sedangkan lebar abdomen rajungan betina berkisar antara 12.20 mm hingga
54.30 mm dengan rataan berkisar antara 26.99 mm hingga 41.69 mm. Panjang
abdomen rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar antara 5.20 mm hingga 51.20
mm dengan rataan berkisar antara 30.99 mm hingga 39.91 mm, dan panjang abdomen
rajungan betina berkisar antara 16.40 mm hingga 59.00 mm dengan rataan berkisar
35

antara 30.91 mm hingga 45.53 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan lebar dan
panjang abdomen rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun.
Secara umum, karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan
stasiun seperti tertera pada Tabel 11 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu (1) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2
tergolong berukuran kecil, (2) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap
pada stasiun 3, 4, 5 dan 6 tergolong berukuran sedang, dan (3) karakteristik
morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 7 tergolong berukuran besar.

Karakteristik Morfometrik Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim


Berat rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan
berkisar antara 6.06 g hingga 241.04 g dengan rataan berkisar antara 79.63 g hingga
117.35 g, sedangkan berat rajungan betina berkisar antara 9.95 g hingga 314.22 g
dengan rataan berkisar antara 77.59 g hingga 125.16 g (Gambar 8 serta Lampiran 2
dan 3). Rataan berat rajungan jantan dan betina terbesar keduanya ditemukan pada
bulan Oktober sedangkan rajungan jantan terkecil tertangkap pada bulan April dan
betina pada bulan Agustus (Gambar 8). Rajungan jantan dan betina terberat yang
tertangkap selama penelitian ditemukan pada musim barat, yaitu masing-masing
tertangkap pada bulan Desember dan bulan November, sedangkan rajungan jantan dan
betina terkecil tertangkap musim timur, yaitu masing-masing tertangkap pada bulan
Juli dan bulan Agustus (Lampiran 2 dan 3). Rataan berat rajungan jantan yang
tertangkap pada musim timur sekitar 84.58 g dan pada musim barat sekitar 94.93 g,
sedangkan rataan berat rajungan betina yang tertangkap pada musim timur sekitar
88.64 g dan pada musim barat sekitar 107.01 g (Tabel 12).
Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode
penangkapan berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dengan rataan berkisar
antara 103.00 mm hingga 117.57 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara
52.10 mm hingga 166.20 mm dengan rataan berkisar antara 99.94 mm hingga 121.17
mm. Panjang karapas rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode
penangkapan berkisar antara 22.10 mm hingga 90.10 mm dengan rataan berkisar
antara 45.64 mm hingga 56.14 mm, sedangkan panjang karapas rajungan betina
berkisar antara 25.40 mm hingga 89.10 mm dengan rataan berkisar antara 44.94 mm
hingga 56.82 mm (Gambar 8, Lampiran 2 dan 3). Rataan lebar dan panjang karapas
rajungan jantan terbesar masing-masing tertangkap pada bulan Oktober dan bulan
Desember, sedangkan terkecil keduanya tertangkap pada bulan April (Gambar 7).
Rataan lebar dan panjang karapas rajungan betina terbesar keduanya ditemukan pada
bulan Oktober sedangkan terkecil ditemukan pada bulan April.
Lebar dan panjang karapas rajungan jantan terbesar selama penelitian
tertangkap pada musim barat ditemukan pada bulan Desember sedangkan terkecil
tertangkap pada musim timur ditemukan pada bulan Juli. Sebaliknya, lebar dan
panjang karapas rajungan betina terbesar dan terkecil keduanya tertangkap pada
musim timur, yaitu terbesar tertangkap pada bulan Mei dan terkecil pada bulan
Agustus (Lampiran 1 dan 2). Rataan lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap
pada musim timur sekitar 105.53 mm dan pada musim barat sekitar 109.27 mm,
sedangkan rataan lebar karapas rajungan betina pada musim timur dan musim barat
36

masing-masing sekitar 106.68 mm dan 114.88 mm (Tabel 12). Rataan panjang


karapas rajungan betina pada musim timur dan musim barat masing-masing sekitar
49.87 mm dan 53.06 mm, sedangkan rataan panjang karapas jantan yang tertangkap
pada musim timur sekitar 48.53 mm dan pada musim barat sekitar 50.70 mm (Tabel 12).
130 130
A B
Morfometrik (g & mm)

Morfometrik (g & mm)


110 110

90 90

70 Berat tubuh 70 Lebar Karapas


Lebar Karapas Berat tubuh

50 50
90 A 90
B
Morfometrik (mm)

Morfometrik (mm)
70 70

50 50

Panjang propodus capit Panang karapas


Panjang Karapas Panjang Propodus capit
30 30
50 50
A B
40 40
Morfometrik (mm)

Morfometrik (mm)

30 30

20 20
Lebar abdomen Tinggi Propodus capit
10 Panjang abdomen 10 Lebar abdomen
Tinggi propodus capit Panjang abdomen
0 0

Waktu penangkapan (bulan) Waktu penangkapan (bulan)

Gambar 8. Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan betina
(B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko
Panjang propodus capit rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode
penangkapan berkisar antara 24.70 mm hingga 126.20 mm dengan rataan berkisar
antara 64.71 mm hingga 83.30 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 26.70
mm hingga 95.90 mm dengan rataan berkisar antara 64.71 mm hingga 83.30 mm.
Tinggi propodus capit rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar
antara 8.40 mm hingga 24.30 mm dengan rataan berkisar antara 13.10 mm hingga
17.21 mm, sedangkan untuk rajungan betina berkisar antara 8.30 mm hingga 28.10
mm dengan rataan berkisar antara 13.18 mm hingga 19.36 mm (Gambar 8, Lampiran
2 dan 3. Panjang dan tinggi propodus capit rajungan jantan terbesar yang tertangkap
pada musim barat, keduanya tertangkap pada bulan Desember, sedangkan terkecil
37

yang tertangkap pada musim timur, yaitu masing masing tertangkap pada bulan Juli
dan April. Rataan panjang propodus capit rajungan jantan yang tertangkap pada
musim timur sekitar 68.70 mm sedangkan pada musim barat sekitar 72.59 mm.
Rataan tinggi propodus capit rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim
timur masing-masing sekitar 15.20 mm dan 16.07 mm. Rataan panjang dan tinggi
propodus capit rajungan betina yang tertangkap pada musim barat masing-masing
63.90 mm dan 17.58 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim timur masing-
masing sebesar 59.21 mm dan 16.23 mm (Tabel 12).
Tabel 12. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan musim di
Teluk Lasongko
Karakteristik morfometrik ( g dan mm)
Musim Kelamin
Berat LK PK PC TC LA PA
84.58b 105.53b 48.53b 68.70b 15.20b 22.26b 31.69b
Timur Jantan
+ 33.33 +13.66 +6.91 +14.19 +3.47 +5.68 +5.21
94.93a 109.27a 50.70a 72.59a 16.07a 24.87a 36.07a
Timur Jantan
+ 42.04 + 15.79 +7.98 +17.14 +3.17 +4.08 +5.54
88.64b 106.68b 49.87b 59.21b 16.23b 32.13b 33.62b
Timur Betina
+ 41.20 + 16.41 +8.88 +10.94 +4.26 +7.94 +6.80
107.01a 114.88 a
53.06 a
63.90 a
17.58 a
36.07a 40.25a
Barat Betina
+ 49.26 + 17.22 +8.73 +11.77 +3.78 +8.15 +7.76
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05). ;
LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.; LA
lebar abdomen.; PA panjang abdomen.
Lebar abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan
berkisar antara 11.80 mm hingga 36.30 mm dengan rataan berkisar antara 13.73 mm
hingga 27.47 mm sedangkan rajungan betina berkisar antara13.30 mm hingga 55.10
mm dengan rataan berkisar antara 27.84 mm hingga 39.92 mm. Panjang abdomen
rajungan jantan pada setiap periode penangkapan berkisar antara 20.80 mm hingga
51.20 mm dengan rataan berkisar antara 28.33 mm hingga 36.61 mm sedangkan
rajungan betina berkisar antara 16.40 mm hingga 59.00 mm dengan rataan berkisar
antara 28.33 mm hingga 43.64 mm (Lampiran 1 dan 2). Rataan panjang dan tinggi
abdomen rajungan jantan terbesar keduanya tertangkap pada bulan Oktober
sedangkan terkecil tertangkap pada bulan April (Gambar 8). Panjang dan tinggi
abdomen rajungan jantan terbesar ditemukan pada musim barat, yaitu keduanya
tertangkap pada bulan Desember, sedangkan terkecil tertangkap pada musim timur,
yaitu masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan April. Rataan lebar dan panjang
abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur masing-masing sebesar
22.26 mm dan 31.69 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim barat masing-
masing 24.87 mm dan 36.07 mm. Rataan lebar dan panjang abdomen rajungan betina
yang tertangkap pada musim timur masing-masing sebesar 32.13 mm dan 33.62 mm,
sedangkan yang tertangkap pada musim barat masing-masing sebesar 36.07 mm dan
40.25 mm (Tabel 12).
Hasil analisis ANOVA menunjukkan ukuran setiap karakteristik morfometrik
rajungan jantan dan betina yang diuraikan di atas berbeda nyata (p<0.05) antar
periode penangkapan (Lampiran 2 dan 3). Ukuran karakteristik morfometrik rajungan
38

jantan terbesar umumnya tertangkap pada bulan Desember, dan rajungan betina
tertangkap pada bulan Mei, kecuali lebar abdomen rajungan jantan terbesar
tertangkap pada bulan Juni, dan tinggi abdomen rajungan betina terbesar tertangkap
pada bulan Januari (Lampiran 2 dan 3). Ukuran karakteristik morfometrik rajungan
jantan dan betina terkecil masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan bulan
Agustus (Lampiran 2 dan 3). Secara umum, rataan ukuran setiap karakteristik
morfomotrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap dari awal sampai akhir
penelitian terlihat cenderung meningkat (Gambar 8). Hasil uji t dengan asumsi ragam
tidak sama menunjukkan semua variabel karakteristik morfometrik rajungan jantan
dan betina seperti diuraikan di atas berbeda sangat nyata (p<0.001) antara musim
timur dan barat. Berdasarkan uraian sebelumnya dan hasil uji statistik tersebut dapat
dikatakan bahwa semua variabel karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina
yang tertangkap pada musim barat lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap
pada musim timur (Tabel 12).
Secara umum, karakteristik morfometrik rajungan jantan yang tertangkap pada
bulan Oktober sampai Desember tergolong berukuran besar, antara lain dicirikan oleh
ukuran rataan berat tubuh > 100 g dan rataan lebar karapas berkisar antara 109 mm
hingga 117 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juni, Agustus, dan
Januari tergolong berukuran sedang dengan rataan berat sekitar 90 g dan rataan lebar
karapas < 109 mm, sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April,
Mei, Juli, September, Februari dan Maret tergolong berukuran kecil dengan rataan
berat tubuh sekitar 80 g dan rataan lebar karapas berkisar 103 mm hingga < 107 mm.
Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret,
September dan Desember tergolong berukuran besar yang dicirikan oleh rataan berat
tubuh berkisar antara 101 g hingga 125 g, serta rataan lebar karapas berkisar antara
112 mm hingga 121 mm. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Februari,
Agustus, Juli, Mei dan Juni tergolong berukuran sedang dan memiliki rataan berat
tubuh berkisar antara 87 g hingga 91 g, dan lebar karapas berkisar antara 107 mm
hingga 109 mm, dan rajungan bertina yang tertangkap pada bulan April tergolong
berukuran kecil dengan rataan berat tubuh < 80 g dan ratan lebar karapas <100 mm.

Distribusi Kelas Ukuran Lebar Karapas Berdasarkan Stasiun


Ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada stasiun
1 terdistribusi dari kelas ukuran 49.8-59.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, sedangkan
yang tertangkap pada stasiun 2 terdistribusi pada kelas ukuran dari 59.9-69.8 mm
hingga 129.9-139.8 mm. Frekuensi rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada
kedua stasiun tersebut didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 79.9-
89.6 mm hingga 109.9-119.8 m (Gambar 9). Rajungan jantan yang tertangkap pada
stasiun 3 terdistribusi pada kelas ukuran lebar karapas dari 89.9-99.6 mm hingga
129.9-139.8 mm, sedangkan rajungan betina terdistribusi pada kelas ukuran lebar
karapas dari 79.9-89.6 mm hingga 159.9-169.8 mm. Pada stasiun 4, rajungan jantan
yang tertangkap terdistribusi pada kelas ukuran dari 69.9-79.8 mm hingga 129.9-
139.8 mm, sedangkan rajungan betina tersebar pada kelas ukuran dari 79.9-89.6 mm
hingga kelas ukuran 159.9-169.8 mm.
39

40

Jumlah (ekor)
30 Stasiun 1 Jantan
20 Betina

10

Nilai tengah lebar karapas (mm)


30 60

Stasiun 3 Jantan Stasiun 2

Jumlah (ekor)
Jantan
Jumlah (ekor)

20 Betina 40
Betina

10 20

0 0
30 40

Stasiun 4 Jantan
Stasiun 5 30

Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)

20 Jantan Betina
Betina
20
10
10

0 0
40 40

30
Jumlah (ekor)

Jantan 30
Jumlah (ekor)

Stasiun 7 Stasiun 6 Jantan


Betina
20 20 Betina

10 10

0 0

Nilai tengah lebar karapas (mm) Nilai tengah lebar karapas (mm)

Gambar 9. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko
Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 5 hanya sebanyak enam kelas
ukuran, yaitu dari 79.9-89.6 mm hingga 129.9-139.8 mm, sedangkan betina
sebanyak delapan kelas ukuran sama dengan jumlah kelas ukuran rajungan jantan
yang tertangkap pada stasiun 6, yaitu mulai dari 69.9-79.8 mm hingga 139.9-149.8
mm. Kelas ukuran rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 6 juga sebanyak
delapan kelas ukuran, namun kisaran kelas ukuran rajungan jantan lebih kecil dari
pada rajungan betina (mulai dari 79.9-89.6 mm hingga 149.9-159.8 mm). Rajungan
jantan dan betina yang tertangkap pada stasiun 3,4,5 dan 6 didominasi oleh tiga kelas
ukuran, yaitu kelas ukuran 99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 mm dan 109.9-119.8 mm
(Gambar 9).
40

Jumlah kelas ukuran rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 7 lebih
banyak dari pada rajungan jantan. Jumlah kelas ukuran rajungan jantan yang
tertangkap pada stasiun ini hanya sebanyak enam kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-
99.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, serta didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu
109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm. Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun
7 terdistribusi pada delapan kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-99.8 mm hingga
159.9-169.8 mm, serta didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm,
119.9-129.8 mm dan 129.9-139.8 mm.
Secara umum, rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun selama
penelitian ini ditemukan terdistribusi pada 10 kelas ukuran sedangkan rajungan betina
tersebar pada 12 kelas ukuran, namun kedua jenis kelamin rajungan didominasi oleh
empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-99.8 hingga 119.9-129.8 mm.

Distribusi Kelas Ukuran Lebar Karapas Berdasarkan Periode Penangkapan


Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April tersebar pada delapan kelas
ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8 mm hingga 129.9-139.8 mm, dan didominasi oleh
tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm.
Sebaliknya, rajungan betina tersebar pada sembilan kelas ukuran, yaitu mulai dari
59.9-69.8 hingga 159.9-169.8 mm, dan didominasi oleh kelas ukuran 99.9-109.8 mm
dan 109.9-119.8 mm (Gambar 10).
Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei terdistribusi
pada delapan kelas ukuran, yaitu mulai dari 49.8-59.8 mm hingga 129.9-139.8 mm,
dan didominasi oleh tiga kelas ukuran sama seperti tertangkap pada bulan April.
Sebaliknya, lebar karapas rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran (seluruh
kelas ukuran), dan didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8
mm dan 109.9-119.8 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juni dan
September ada enam kelas ukuran, yaitu mulai 79.9-89.8 mm hingga 129.9-139.8
mm. Ada tiga kelas ukuran rajungan jantan yang dominan tertangkap pada bulan
Juni, yaitu 89.9-99.8 mm, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm, serta pada bulan
September hanya satu kelas ukuran (89.9-99.8 mm). Rajungan betina yang tertangkap
pada bulan Juni dan September tersebar pada tujuh kelas ukuran, yaitu mulai dari
69.9-79.8 mm hingga 129.9-139.8 mm (Juni), dan pada bulan September mulai 79.9-
89.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, serta didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu 99.9-
109.8 mm dan 109.9-119.8 mm (Gambar 10).
Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober hanya ada empat kelas
ukuran, yaitu mulai dari 99.9-109.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, dan didominasi oleh
satu kelas ukuran (109.9-119.8 mm). Sebaliknya, lebar karapas rajungan betina
tersebar pada enam kelas ukuran, yaitu 69.9-79.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, dan
didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm, 119.9-129.8 mm dan 129.9-
139.8 mm.
Ukuran lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada bulan November
tersebar pada tujuh kelas ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8 mm hingga 129.9-139.8
mm dan didominasi oleh satu kelas ukuran, yaitu 99.9-109.8 mm. Sebaliknya, lebar
karapas rajungan betina tersebar pada sepuluh kelas ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8
mm hingga 159.9-169.8 mm. Lebar karapas rajungan betina pada bulan November
didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm.
41

20 30

Jantan Oktober - 13 Jantan


April -13

Jumlah (ekor)
Betina 20 Betina
Jumlah (ekor) 10
10

0 0
40 15
Jantan November - 13

Jumlah (ekor)
30 Mei - 13 Betina
Jantan
10 Betina
Jumlah (ekor)

20
5
10

0 0
20 15
Jantan
Desember - 13

Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)

Juni - 13 Jantan 10 Betina

10
5

0 0
15 30
Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

10 Juli - 13 Jantan Betina 20 Januari - 14 Jantan


Betina

5 10

0 0
15 15

Februari -14
Jumlah (ekor)

Jantan
Jumlah (ekor)

10 Agustus -13 Betina 10 Jantan


Betina

5 5

0
0
15 20

Maret-14
Jumlah (ekor)

15
Jumlah (ekor)

10 September - 13 Jantan
Betina Jantan
10 Betina
5
5

0 0

Nilai tengah lebar karapas (mm) Nilai tengah lebar karapas (mm)

Gambar 10. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko
42

Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Desember dan Januari tersebar pada
delapan kelas ukuran yang sama, yaitu pada kelas ukuran dari 69.9-79.8 mm hingga
139.9-149.8 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Desember didominasi
oleh dua kelas ukuran (89.9-99.8 mm dan 119.9-129.8 mm) dan pada bulan Januari
ada tiga kelas ukuran (99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 dan 119.9-129.8 mm). Rajungan
betina yang tertangkap pada bulan Desember juga tersebar pada delapan kelas ukuran
sama dengan yang tertangkap pada bulan Februari. Rajungan betina yang tertangkap
pada bulan Desember hanya satu kelas ukuran yang dominan (119.9-129.8 mm),
sedangkan yang tertangkap pada bulan Februari didominasi oleh dua kelas ukuran,
yaitu 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm.
Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Februari tersebar pada sembilan
kelas ukuran, yaitu pada kelas ukuran dari 49.8-59.8 mm hingga129.9-139.8 mm, dan
yang tertangkap pada bulan Maret tersebar pada enam kelas ukuran. Rajungan jantan
yang tertangkap pada bulan Februari didominasi oleh dua kelas ukuran (89.9-99.8 mm
dan 99.9-109.8 mm) sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Maret
didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm dan 109.9-
119.8 mm. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada bulan Januari dan bulan
Maret tersebar pada sembilan kelas ukuran yang sama, yaitu, mulai dari kelas ukuran
lebar karapas 69.9-79.8 mm hingga 149.9-159.8 mm, dan didominasi oleh dua kelas
ukuran yang sama, yaitu, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm (Gambar 10).

Distribusi Kelas Ukuran Lebar Karapas Berdasarkan Musim


Distribusi kelas lebar karapas ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap
pada musim timur dan barat di Teluk Lasongko selengkapnya tertera pada Tabel 13.
Secara umum, jumlah kelas ukuran lebar karapas rajungan betina lebih banyak dari
pada kelas ukuran rajungan jantan. Rajungan jantan yang tertangkap pada musim
timur tersebar pada sembilan kelas ukuran, yaitu mulai dari 49.8-59.8 mm hingga
129.9-139.8 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim barat bertambah satu kelas
ukuran dari sebaran kelas ukuran lebar karapas yang tertangkap pada musim timur
tersebut, yaitu 139.9-149.8 mm. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada
musim timur tersebar pada seluruh kelas ukuran (12 kelas ukuran) rajungan yang
tertangkap di Teluk Lasongko, sedangkan rajungan betina pada kelas ukuran lebar
karapas 49.8-59.8 mm tidak tertangkap pada musim barat sehingga rajungan betina
pada musim barat hanya tersebar pada 11 kelas ukuran (Tabel 13).
Rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim timur dan musim barat
didominasi oleh empat kelas ukuran lebar karapas, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8
mm, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm. Rajungan jantan dan betina berukuran
kecil (nilai tengah <84.85 mm) jarang tertangkap. Jumlah rajungan jantan berukuran
kecil yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5 ekor, dan
pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 7 ekor. Rajungan jantan berukuran
terkecil (nilai tengah 54.80 mm) banyak tertangkap pada bulan Mei, Juli dan Februari.
Jumlah rajungan jantan betina berukuran kecil yang tertangkap musim timur berkisar
antara 2 ekor hingga 6 ekor sedangkan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga
25 ekor. Rajungan betina berukuran terkecil tertangkap pada bulan Mei dan Agustus
(Tabel 13).
43

Tabel 13. Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina
berdasarkan musim di Teluk Lasongko
Nilai Musim Timur (ekor) Musim Barat (ekor)
Kelas ukuran
tengah
(mm) Jantan Betina Jantan Betina
(mm)
49.8-59.8 54.80 2 2 1
59.9-69.8 64.85 1 3 2 1
69.9-79.8 74.85 5 6 7 8
79.9-89.8 84.85 23 32 26 25
89.9-99.8 94.85 77 61 41 32
99.9-109.8 104.85 79 79 59 47
109.9-119.8 114.85 72 86 76 71
119.9-129.8 124.85 43 42 56 86
129.9-139.8 134.85 11 14 22 41
139.9-149.8 144.85 5 2 12
149.9-159.8 154.85 1 3
159.9-169.8 164.85 2 1
Jumlah (ekor) 313 333 292 327

Rajungan jantan dan betina berukuran besar (nilai tengah >144.85 mm) demikian
juga berukuran kecil (nilai tengah < 74.85 mm) jarang tertangkap selama penelitian.
Rajungan jantan dengan nilai tengah lebar karapas 144.85 mm tidak tertangkap pada
musim timur, sedangkan pada musim barat hanya sebanyak 2 ekor, masing-masing
tertangkap pada bulan Desember dan Januari. Sebaliknya, jumlah rajungan betina
berukuran besar yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5
ekor, sedangkan yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 12
ekor. Rajungan betina terbesar (nilai tengah 164.85 mm) berjumlah 3 ekor, masing-
masing tertangkap pada bulan April, Mei dan November. Jumlah rajungan jantan
berukuran kecil yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5
ekor dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 7 ekor, sedangkan jumlah
rajungan betina berukuran kecil yang tertangkap musim timur berkisar antara 2 ekor
hingga 6 ekor, dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 8 ekor, namun
kelas ukuran 49.8-59.8 mm tidak tertangkap (Tabel 13).

Hubungan antar Karakter Morfometrik Berdasarkan Total Contoh


Hubungan antar karakter morfometrik rajungan berdasarkan total contoh jantan
dan betina dengan persamaan allometrik linear selengkapnya tertera pada Tabel 14
dan Gambar 11. Koefisien korelasi (r) hubungan antar karakter morfometrik
rajungan jantan dan betina dengan persamaan tersebut umumnya > 0.9, kecuali
hubungan panjang karapas-tinggi propodus capit dan panjang-tinggi propodus capit
rajungan jantan < 0.9 (Tabel 14). Nilai koefisien regresi (b) dan intersep (a) dengan
analisis kovarian (ANCOVA) menunjukkan sangat nyata (p<0.001). Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina
yang tertangkap di Teluk Lasongko sangat nyata, kuat dan positif.
44

Tabel 14. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b,
dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter morfometrik rajungan
jantan dan betina
Persamaan allometrik Ancova
Hubungan n linear (Y = a + bX) r Uji t b Al
a b
Jantan
LK - PC 579 PC = -36.546 + 0.999LK 0.934 -21.187** 62.748** 0.082tn 0
PK - PC 579 PC = -29.106 + 2.013PK 0.932 -17.819** 61.764** 31.061* +
PK - TC 578 TC = -1.550 + 0.346PK 0.744 -2.396** 25.203** 50.666* -
PC - TC 579 TC = 4.540 + 0.156PC 0.727 10.196** 26.781** 134.730* -
LK - PK 583 PK = -2.930 + 0.491LK 0.962 -3.433** 90.844** 101.823* -
Betina
LK - LA 655 LA = -15.997 + 0.452LK 0.947 -23.830** 75.556** 91.454* -
PK - LA 656 LA = -11.506 + 0.887PK 0.946 -18.655** 75.013** 3.245* -
LK - PA 656 PA = -10.447 + 0.428LK 0.923 -7.360** 61.179** 81.897* -
PK - PA 656 PA = -5.649 + 0.828PK 0.910 -13.336** 56.250** 11.697* -
LA - PA 655 PA = 6.397 + 0.895LA 0.923 12.519** 61.427** 7.222* -
**sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; + allometrik
positif .; - allometrik negatif.; n jumlah contoh rajungan.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC
panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen
Hubungan lebar/panjang-panjang/tinggi propodus capit jantan pada penelitian
ini diperoleh nilai b < 1, kecuali hubungan panjang karapas-panjang propodus capit
> 2. Hasil uji t terhadap nilai b hubungan antar karakter morfometrik tersebut
umumnya menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b = 1, kecuali hubungan
antara lebar karapas dengan panjang propodus capit rajungan jantan tidak berbeda
nyata (p>0.05) dengan b=1. Berdasarkan nilai b dan uji statistik tersebut,
menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang propodus
capit, panjang-tinggi propodus capit, dan lebar-panjang karapas rajungan jantan
bertipe allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang
propodus capit rajungan jantan allometrik positif, sedangkan tipe pertumbuhan relatif
lebar karapas-panjang propodus capit rajungan jantan isometrik (Tabel 14).
Nilai b hubungan lebar karapas-lebar abdomen rajungan betina yang tertangkap
di Teluk Lasongko lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-lebar
abdomen. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lebar abdomen terhadap panjang
karapas rajungan betina yang tertangkap di perairan ini lebih cepat dari pada
pertumbuhan lebar abdomen terhadap pertumbuhan lebar karapas rajungan betina.
Nilai b hubungan lebar karapas-panjang abdomen rajungan betina lebih kecil dari
pada nilai b hubungan panjang karapas-panjang abdomen rajungan betina (Tabel 14).
45

Gambar 11. Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina (B) di
Teluk Lasongko
46

Hubungan lebar/panjang karapas-lebar/panjang abdomen serta hubungan lebar-


panjang abdomen rajungan betina juga diperoleh nilai b <1, namun lebih besar dari
pada nilai b hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan (Tabel
14). Pertumbuhan relatif antar kelima variabel karakter morfometrik rajungan betina
yang tertangkap di Teluk Lasongko bertipe allometrik negatif, dan hal ini juga
didukung oleh hasil uji statistik nilai b (uji t) kelima hubungan antar variabel karakter
morfometrik rajungan betina menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b=1. Hal
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lebar dan panjang karapas lebih cepat dari
pertumbuhan lebar dan panjang abdomen, demikian juga pertumbuhan lebar abdomen
lebih cepat dari pada pertumbuhan panjang abdomen rajungan betina

Hubungan antar Karakter Morfometrik Berdasarkan Juvenil dan Dewasa


Secara umum, koefisien korelasi setiap hubungan antar karakter morfometrik
rajungan jantan tahap juvenil dan dewasa yang tertangkap di Teluk Lasongko
berkisar antara 0.500 hingga 0.916, sebaliknya untuk rajungan betina tahap juvenil
dan dewasa berkisar antara 0.711 hingga 0.932 (Tabel 15). Koefisien korelasi (r)
hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tertinggi ditemukan pada
hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan terendah pada
hubungan panjang-tinggi propodus capit tahap juvenil. Sebaliknya, untuk rajungan
betina nilai r tertinggi ditemukan pada hubungan lebar karapas-lebar abdomen tahap
dewasa, dan terendah pada hubungan lebar abdomen-panjang abdomen tahap juvenil.
Nilai r hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil
untuk variabel yang sama lebih kecil dibandingkan dengan tahap dewasa (Tabel 15).
Nilai b hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan juvenil berkisar
antara 0.16 hingga 1.517 dan jantan dewasa berkisar antara 0.141 hingga 1.043,
sedangkan nilai b rajungan betina juvenil berkisar antara 0.291 hingga 0.716, serta
betina dewasa berkisar antara 0.421 hingga 0.985. Nilai b tertinggi hubungan antar
karakter morfometrik rajungan jantan juvenil dan dewasa ditemukan pada hubungan
antara panjang karapas-panjang propodus capit, dan terendah pada hubungan panjang
capit-tinggi propodus capit. Sebaliknya, nilai b tertinggi rajungan betina juvenil
ditemukan pada hubungan panjang karapas-lebar abdomen dan betina dewasa
ditemukan pada hubungan lebar-panjang abdomen, sedangkan nilai b terendah betina
juvenil ditemukan pada hubungan lebar karapas-panjang abdomen dan betina dewasa
pada hubungan lebar karapas-lebar abdomen (Tabel 15).
Hasil uji statistik (ANCOVA) terhadap nilai b setiap hubungan antar karakter
morfometrik rajungan jantan dan betina juvenil dan dewasa menunjukkan sangat
nyata (p<0.001). Berdasarkan nilai koefisien korelasi dan hasil uji statistik seperti
disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan lebar/panjang karapas-berat
tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa yang tertangkap di Teluk
Lasongko menunjukkan sangat nyata, berkolerasi kuat dan positif. Nilai b pada
setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil
lebih kecil dibandingkan dengan tahap dewasa, hal ini menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan karakter morfometrik rajungan jantan dan betina dewasa lebih cepat
dari pada pertumbuhan tahap juvenil.
47

Tabel 15. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji b, dan
tipe pertumbuhan relatif(Al) antar karakter morfometrik rajungan jantan
dan betina tahap juvenil dan dewasa
Persamaan allometrik Ancova
Hubungan Tahap r Uji t b Al
linear (Y = a + bX) a b
Jantan
Juvenil PC = -12.091+ 0.725LK 0.878 -3.703** 19.649** 0.692tn 0
LK-PC
Dewasa PC = -41.345+1.043LK 0.916 -15.662** 44.540** -0.095tn 0
Juvenil PC = -9.628+1.517PK 0.861 -2.838** 18.189** -0.578tn 0
PK-PC
Dewasa PC = -28.000+1.998PK 0.907 -11.214** 41.763** -3.049* +
Juvenil TC = -1.569+0.344PK 0.578 -0.852tn 7.596 ** 1.353* -
PK-TC
Dewasa TC = -0.307+ 0.324PK 0.679 -0.327tn 17.961** 2.089* -
Juvenil TC = 3.590+0.168PC 0.500 2.519** 6.198** 2.843* -
PC-TC
Dewasa TC = 5.816 +0.141PC 0.656 9.060** 16.905** 6.116* -
Betina
Juvenil LA = -6.804+0.338LK 0.740 -2.657** 11.540** 2.152* -
LK-LA
Dewasa LA =-11.959+0.421LK 0.929 -9.158** 38.785** 3.463* -
Juvenil LA =-5.780 + 0.716PK 0.782 -2.667** 13.177** 0.499tn 0
PK-LA
Dewasa LA =-6.304 + 0.802PK 0.932 -5.547** 39.684* 0.716 tn 0
Juvenil PA = 1.432 + 0.291LK 0.760 0.691nt 12.270** 2.850* -
LK-PA
Dewasa PA =-12.364+0.442LK 0.882 -6.729* 28.941** 2.372* -
Juvenil PA = 1.966 + 0.624PK 0.815 1.164nt 14.756** 0.846 tn 0
PK-PA
Dewasa PA = -4.412 + 0.805PK 0.843 -2.354** 24.181** 1.074tn 0
Juvenil PA = 13.260+ 0.596LA 0.711 10.290** 10.615** -20.830* -
LA-PA
Dewasa PA = 2.684 + 0.985LA 0.891 2.123** 30.265** -3.355* -
**sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05).; tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; + allometrik
positif.; - allometrik negatif.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.;
TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen
Nilai b hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap juvenil dan
dewasa, serta panjang karapas-panjang capit tahap juvenil propodus rajungan jantan
berdasarkan uji t tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=1. Walaupun hubungan
lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan hubungan panjang karapas-
panjang propodus capit rajungan jantan juvenil dengan nilai b > 1, namun
berdasarkan uji t tersebut, dan tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik
tersebut adalah isometrik. Hubungan panjang karapas-panjang propodus capit jantan
dewasa dengan nilai b>1, dan hasil uji t menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
dengan b =1, dan tipe pertumbuhannya allometrik positif. Sebaliknya, pertumbuhan
relatif panjang karapas-tinggi propodus capit dan panjang-tinggi propodus capit
rajungan jantan juvenil dan dewasa bertipe allometrik negatif (Tabel 15).
Hubungan lebar karapas-lebar/panjang abdomen, dan hubungan lebar abdomen-
panjang abdomen rajungan betina tahap juvenil dan dewasa dengan nilai b < 1 dan
hasil uji t berbeda nyata (p<0.05) dengan b=1. Berdasarkan nilai b dan uji t tersebut,
pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik tersebut bertipe allometrik negatif.
Nilai b hubungan panjang karapas-lebar/panjang abdomen rajungan betina tahap
juvenil dan dewasa dengan nilai b< 1, namun hasil uji t tidak berbeda nyata (p>0.05)
dengan b=1, sehingga pertumbuhannya bertipe isometrik (Tabel 15).
48

Hubungan Lebar/Panjang-Berat Tubuh Berdasarkan Total Contoh


Hasil analisis hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dari total contoh
rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko dengan persamaan
allometrik bentuk power dan linear dengan nilai r > 0.92 dan nilai b berkisar antara
2.646 hingga 3.052 (Tabel 16 dan Gambar 12). Hasil uji statistik (ANCOVA) terhadap
nilai intersep (a) dan nilai b menunjukkan sangat nyata (p<0.001). Hubungan
lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina menunjukkan sangat
nyata, berkolerasi kuat dan positif berdasarkan nilai b dan r serta uji statistik seperti
disebutkan di atas.
Tabel 16. Persamaan allometrik power dan linear, koefisien korelasi (r), uji t nilai b,
ANCOVA, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) lebar/panjang karapas-berat
tubuh rajungan jantan dan betina
Persamaan allometrik Ancova
Hubungan r Uji t b Al
Power (Y=abX) Linear (Y= a + bX)*) a b
Jantan
3.052
LK-BT BT= 5E-5LK BT = -4.277 + 3.052LK 0.943 47.013** 68.048** 1.024 tn 0
2.820
PK-BT BT= 0.001PK BT=-2.858 + 2.820PK 0.925 -35.119** 58.645** 3.738* -
Betina
LK-BT BT= 1E-4LK2.921 BT =-4.018 +2.921LK 0.942 -48.744** 72.305** 1.938tn 0
PK-BT BT= 0.002PK2.646 BT=2.571+ 2.646PK 0.936 -38.795** 68.110** 9.105* -
*) bentuk log10.; **sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.;
- allometrik negatif.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; BT berat tubuh.

Gambar 12. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A) dan
betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko
49

Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina dengan


nilai b< 3, sebaliknya nilai b >3 untuk hubungan lebar karapas-berat tubuh rajungan
betina. Namun, nilai b hubungan lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina
dengan uji t menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan b=3, sebaliknya nilai
b hubungan panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina berbeda nyata
(p<0.05) dengan b=3. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan relatif
lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko bertipe
isometrik, sebaliknya tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat tubuh rajungan
jantan dan betina allometrik negatif. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh
rajungan jantan dengan nilai b lebih besar dari pada rajungan betina. Hal ini
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berat tubuh rajungan jantan lebih cepat dari
pada pertumbuhan berat tubuh rajungan betina.

Hubungan Lebar/Panjang-Berat Tubuh Berdasarkan Juvenil dan Dewasa


Hasil analisis hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan
betina pada tahap juvenil dan dewasa dengan persamaan allometrik linear diperoleh
nilai r pada tahap juvenil berkisar antara 0.753 hingga 0.891, dan tahap dewasa
berkisar antara 0.905 hingga 0.936 (Tabel 17). Koefisien korelasi tertinggi tahap
juvenil dan dewasa ditemukan pada hubungan lebar karapas-berat rajungan jantan
dan terendah ditemukan pada hubungan panjang karapas-berat tubuh rajungan betina.
Tabel 17. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai
b, dan tipe allometrik (Al) hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh
rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa
Persamaan allometrik Ancova
Hubungan Tahap r Uji t b Al
linear (Y = a + bX)*) a b
Jantan
LK-BT Juvenil BT = -3.667+2.732 LK 0.891 -14.566** 21.074** 0.192tn 0
Dewasa BT = -4.202+3.019 LK 0.936 -35.346** 52.004** 0.017tn 0
PK-BT Juvenil BT = -2.495+2.576PK 0.854 -10.619** 17.594** 0.270tn 0
Dewasa BT = -2.531+2.635 PK 0.910 -24.173** 43.093** 0.305tn 0
Betina
Juvenil BT= -3.00 5+ 2.390LK 0.794 -8.889** 13.696** 0.333tn 0
LK-BT
Dewasa BT= -3.847 + 2.841LK 0.930 -25.522** 39.114** 0.141tn 0
PK-BT Juvenil BT= -1.764 + 2.124PK 0.753 -6.237** 11.985** 0.471 tn 0
Dewasa BT= -2.196 + 2.435PK 0.905 -16.990** 32.858** 0.493 tn 0
*) bentuk log10.; **sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.;
LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; BT berat tubuh.
Nilai a dan b hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan
betina tahap juvenil dan dewasa berdasarkan uji ANCOVA menunjukkan hubungan
yang sangat nyata (p<0.001). Berdasarkan nilai r dan hasil analisis statistik tersebut
menunjukkan hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina
juvenil dan dewasa yang tertangkap di Teluk Lasongko sangat nyata, kuat dan positif.
Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap
juvenil sebagian besar dengan nilai b < 3, kecuali hubungan lebar karapas-berat tubuh
rajungan jantan b>3. Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b antar karakter
morfometrik tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=3, sehingga tipe
50

pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina


tahap juvenil adalah isometrik (Tabel 17), yaitu menunjukkan pertumbuhan
lebar/panjang karapas dengan pertumbuhan berat tubuh rajungan pada tahap juvenil
dan dewasa adalah seimbang. Nilai b hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh
rajungan jantan tahap juvenil dan dewasa lebih besar dibandingkan dengan rajungan
betina tahap juvenil dan dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berat
tubuh rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina baik pada tahap juvenil
maupun tahap dewasa.

Pembahasan
Karakteristik Morfometrik
Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap di
Teluk Lasongko secara spasial menunjukkan adanya variasi dan nilai yang tidak sama
antar stasiun, hal ini disebabkan oleh kondisi habitat (tipe substrat dan kepadatan
lamun) dan kualitas air antar stasiun juga bervariasi atau relatif tidak sama (Tabel 3).
Rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 mempunyai karakteristik morfometrik
lebih kecil dibandingkan dengan stasiun lainnya, sebaliknya rajungan yang tertangkap
pada stasiun 7 mempunyai karakteristik morfometrik lebih besar dari pada stasiun
lainnya. Habitat rajungan pada stasiun 1 dan 2 terdiri dari substrat yang didominasi
oleh fraksi sedimen pasir sangat kasar, kepadatan lamun yang relatif rendah,
kecepatan arus dan kekeruhan yang tinggi, serta kedalaman dan salinitas yang rendah.
Sebaliknya, habitat rajungan pada stasiun 7 terdiri dari substrat yang didominasi oleh
fraksi sedimen lempung dan liat, kedalaman dan salinitas yang tinggi serta kekeruhan
yang rendah. Karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada lokasi yang
dangkal dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan yang ditemukan pada lokasi yang dalam dengan tipe substrat
pasir berlempung dan tidak ditumbuhi lamun (berupa hamparan pasir). Karakteristik
morfometrik rajungan yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang
ditemukan di Perairan Pati, yaitu rajungan yang tertangkap di dekat pantai lebih kecil
dari pada yang tertangkap pada bagian tengah atau lokasi yang lebih dalam
(Ernawati 2013).
Berat tubuh, lebar karapas dan panjang karapas sebagai contoh variabel
karakter morfometrik rajungan. Berat rajungan jantan yang tertangkap di Teluk
Lasongko berkisar antara 6.06 g hingga 241.04 g dengan lebar karapas berkisar antara
49.80 mm hingga 147.70 mm dan panjang karapas berkisar antara 22.10 mm hingga
90.10 mm, sedangkan berat rajungan betina berkisar antara 62.16 g hingga 314.22 g
dengan lebar karapas berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm, dan panjang
karapas berkisar antara 25.40 mm hingga 78.30 mm. Ukuran karakter morfometrik
rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko masih dalam kisaran ukuran rajungan
yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia. Panjang karapas
rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Brebes berkisar antara 22 mm hingga 75
mm dengan berat tubuh berkisar antara 10.12 g hingga 234.13 g, sedangkan rajungan
betina berkisar antara 21 mm hingga 74 mm dengan berat tubuh berkisar antara 6.53 g
hingga 253.24 g (Sunarto et al. 2010 ; Sunarto 2012). Lebar karapas rajungan jantan
di Perairan Pati berkisar antara 58.0 mm hingga 176 mm, serta betina berkisar antara
60.1 mm hingga 189 mm (Ernawati 2013). Lebar karapas rajungan jantan dan betina
51

di Perairan Pangkep berkisar antara 45.5 mm hingga 177.5 mm (Ihsan et al. 2014)
dan lebar karapas rajungan jantan dan betina di Teluk PGN (Perusahaan Gas Negara),
Lampung Timur masing-masing berkisar antara 26.41 mm hingga 120.80 mm dan
antara 31.35 mm hingga 99.89 mm (Kurnia et al. 2014).
Karakteristik morfometrik rajungan betina yang ditemukan pada penelitian ini
cenderung lebih besar dari pada rajungan jantan, dan hal ini serupa dengan ditemukan
di Pantai Leyte dan Bohol, Filipina (Batoy et al. 1988). Ukuran rajungan jantan dan
betina ditemukan relatif sama seperti tertangkap di Perairan Brebes (Sunarto 2012)
dan Pati (Ernawati 2013).
Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko juga
ditemukan bervariasi secara temporal. Karakteristik morfometrik rajungan jantan
yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember tergolong berukuran besar,
sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan
Maret tergolong berukuran kecil. Karakteristik morfometrik rajungan betina yang
tertangkap pada bulan Februari, Agustus, Juli, Mei dan Juni tergolong berukuran
sedang. Adanya variasi karakteristik morfometrik rajungan tersebut diantaranya
berkaitan dengan adanya variasi kualitas air habitat rajungan secara temporal selama
penelitian di Teluk Lasongko. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina
yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Adanya variasi
karakteristik morfometrik rajungan secara temporal juga ditemukan di Perairan
Brebes (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013).
Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Perairan Pati pada bulan Januari dan
Februari tergolong berukuran kecil sedangkan tertangkap pada bulan September
hingga November tergolong berukuran besar dibandingkan dengan pada bulan
lainnya (Ernawati 2013).

Distribusi Frekuensi Kelas Ukuran Lebar Karapas


Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar
antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dan terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar
karapas sedangkan lebar karapas rajungan betina berkisar dari 52.10 mm hingga
166.20 mm dan tersebar pada 12 kelas ukuran. Rajungan jantan tidak ditemukan
pada dua kelas ukuran lebar karapas terakhir, yaitu 149.9-159.8 mm dan 159.9-169.8
mm (Gambar 9). Distribusi spasial kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan
betina pada perairan ini terlihat bervariasi antar stasiun. Namun demikian, frekuensi
distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap setiap stasiun sebagian
besar didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai 89.9-99.6 sampai 119.9-129.8
mm atau dengan nilai tengah berkisar dari 94.85 mm hingga 124.85 mm (Gambar 9).
Adanya variasi kelas ukuran lebar karapas tersebut berkaitan dengan variasi kondisi
substrat (komposisi fraksi sedimen dan tipe substrat, kepadatan padang lamun dan
kualitas air (khususnya kecepatan arus, salinitas dan kecerahan) antar stasiun.
Peranan suhu air terhadap keberadaan rajungan, khususnya yang berkaitan dengan
distribusi kelas ukuran rajungan di Teluk Lasongko lebih kecil dibandingkan dengan
salinitas, karena penyebaran suhu air di perairan ini relatif sama sedangkan salinitas
relatif bervariasi antar stasiun (Tabel 3).
52

Distribusi ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko


lebih besar dari pada lebar karapas rajungan yang tertangkap di Perairan Lampung
Timur. Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lampung Timur
berkisar antara 26.41 mm hingga 120.80 mm dan didominasi oleh kelas ukuran lebar
karapas dengan nilai tengah berkisar antara 53.5 mm hingga 63.5 mm sedangkan
lebar karapas rajungan betina berkisar antara 31.35 mm hingga 99.89 mm dan
didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 63.5 mm (Kurnia et
al. 2014). Pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama ditemukan lebar karapas
rajungan berkisar antara 45 mm hingga 130 mm dan didominasi oleh kelas ukuran
lebar karapas dengan nilai tengah 81.0 mm (Wardiatno dan Zairion 2011). Distribusi
kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Brebes didominasi oleh
kelas ukuran panjang karapas 39-44 mm disusul dengan ukuran kelas panjnag karapas
45-50 mm, dan ukuran kelas 33-38 mm, sedangkan rajungan betina didominasi oleh
kelas ukuran panjnag karapas 33-38 mm, 39-44 mm dan 45-50 mm (Sunarto 2012).
Distribusi ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko
pada tipe habitat yang berbeda ditemukan bervariasi. Rajungan jantan dan betina
yang tertangkap dekat pantai dengan kedalaman 1.5 m sampai 2.5 m, bertipe substrat
pasir dan ditumbuhi lamun yang padat ditemukan lebih kecil dibandingkan dengan
yang tertangkap pada lokasi yang dalam (5 m sampai 12 m) dengan tipe substrat pasir
berlempung dan tidak ditumbuhi oleh lamun. Pada beberapa perairan lainnya, juga
ditemukan distribusi kelas ukuran rajungan yang hidup pada kondisi habitat yang
berbeda juga bervariasi. Rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Pati yang
terletak dekat pantai dengan tipe substrat lempung dan lempung berpasir (zona 2)
didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 106 mm, kemudian
pada bagian tengah bertipe substrat lempung berpasir dan lempung (zona 3)
didominasi oleh kelas ukuran dengan nilai tengah 136 mm dan 146 mm, serta
rajungan yang tertangkap jauh dari pantai dengan tipe substrat pasir berlumpur (zona
1) didominasi oleh rajungan dengan ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 136 mm
dan 146 mm (Ernawati 2013).
Distribusi ukuran rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko berdasarkan
periode penangkapan dan musim juga ditemukan bervariasi. Distribusi ukuran
rajungan setiap periode penangkapan umumnya didominasi oleh tiga kelas ukuran,
namun distribusi kelas ukurannya berbeda. Rajungan jantan yang dominan tersebar
mulai dari kelas ukuran 89.9-99.8 mm sampai 109.9-119.8 mm, sedangkan rajungan
betina tersebar pada kelas ukuran 99.9-109.8 mm sampai 119.9-129.8 mm. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kelas ukuran rajungan jantan banyak terdistribusi
pada kelas ukuran lebar karapas yang lebih kecil dibandingkan dengan rajungan
betina (Gambar 10), dan antar periode penangkapan terjadi pergeseran distribusi
ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko. Rajungan
jantan berukuran besar banyak tertangkap pada bulan Oktober, November dan
Desember, sedangkan rajungan betina berukuran besar banyak tertangkap pada bulan
Oktober, November, Maret, September dan Desember. Sebaliknya, ukuran rajungan
jantan berukuran kecil banyak tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September,
Februari dan Maret, sedangkan rajungan betina berukuran kecil banyak tertangkap
pada bulan April. Adanya pergeseran kelas ukuran rajungan antar periode
53

penangkapan juga ditemukan di Perairan Brebes dan Pati (Sunarto 2012; Ernawati
2013). Adanya variasi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina tersebut
berkaitan dengan variasi kualitas air habitat secara temporal, khususnya suhu,
salinitas dan kecepatan arus, serta faktor-faktor lain yang belum diamati.
Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina pada
kelas ukuran yang sama yang tertangkap pada bulan Mei dan Januari umumnya lebih
tinggi dari pada yang tertangkap pada 10 bulan lainnya, karena jumlah rajungan
jantan dan betina yang tertangkap pada kedua bulan tersebut lebih banyak
dibandingkan dengan yang tertangkap pada 10 bulan lainnya (Gambar 10). Jumlah
rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei dan Januari masing-masing
sebanyak 100 ekor dan 80 ekor, serta keduanya tersebar pada delapan kelas ukuran
lebar. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Januari tersebar pada kelas
ukuran lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap pada bulan Mei. Nilai
tengah lebar karapas kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei
berkisar antara 54.8 mm hingga 134.85 mm, sedang yang tertangkap pada bulan
Januari berkisar antara 74.85 mm hingga 144.85 mm. Jumlah rajungan betina yang
tertangkap pada bulan Mei sebanyak 89 ekor dan tersebar pada semua kelas ukuran
lebar karapas (12 kelas ukuran), dan yang tertangkap pada bulan Januari sebanyak 76
ekor dan tersebar pada sembilan kelas ukuran lebar karapas, yaitu dengan nilai tengah
lebar karapas dari 74.85 mm hingga 154.85 mm (Gambar 10).
Distribusi kelas ukuran rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko pada
musim timur dan barat didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-
99.8 mm sampai 119.9-129.8 mm. Rajungan jantan dan betina berukuran besar (nilai
tengah >144.85 mm) demikian juga yang berukuran kecil (nilai tengah < 74.85 mm)
jarang tertangkap baik pada musim timur maupun pada musim barat. Rajungan
jantan dan betina di Perairan Brebes dengan panjang karapas masing-masing 52 mm
dan 50 mm banyak tertangkap pada bulan September, sedangkan rajungan jantan
dengan panjang karapas 6 mm tertangkap pada bulan Juli, demikian juga rajungan
betina dengan panjang karapas 22 mm banyak tertangkap pada bulan Februari
(Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Rajungan jantan dan betina berukuran besar di
Perairan Pati banyak tertangkap pada bulan September sampai bulan November,
sebaliknya yang berukuran kecil banyak tertangkap pada bulan Januari dan Februari
(Ernawati 2013).

Hubungan antar Karakter Morfometrik


Hubungan antar karakter morfometrik dari total contoh rajungan jantan dan
betina di Teluk Lasongko berdasarkan hasil analisis persamaan linear menunjukkan
hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Hal ini seperti ditunjukkan oleh nilai
koefisien korelasi yang tinggi, yaitu berkisar antara 0.727 hingga 0.962 serta hasil
ANCOVA nilai b setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan
betina sangat nyata (p<0.001) yang dianalisis berdasarkan total contoh (Tabel 14).
Demikian juga, nilai r hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan
betina tahap juvenil dan dewasa berkisar antara 0.500 hingga 0.932 (Tabel 15) dan
hasil uji t juga menunjukkan nilai b sangat nyata (p<0.001).
54

Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang


ditemukan pada penelitian ini umumnya dengan nilai b < 1, kecuali hubungan
panjang karapas-panjang propodus capit rajungan jantan b > 2. Hasil uji statistik
terhadap nilai b juga sebagian besar menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b =
1 (Tabel 14), kecuali hubungan lebar karapas-panjang propodus capit rajungan jantan
tidak berbeda nyata (p<0.05). Pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik
rajungan jantan dan betina sebagian besar bertipe allometrik negatif, kecuali pada tipe
pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang propodus capit rajungan jantan
allometrik positif, dan tipe pertumbuhan relatif lebar karapas-panjang propodus capit
rajungan jantan bertipe isometrik. Tipe pertumbuhan relatif antar variabel karakter
morfometrik yang sama antara tahap juvenil dan dewasa pada rajungan jantan dan
betina di Teluk Lasongko sebagian besar ditemukan tidak mengalami perubahan
ketika tahap juvenil dan dewasa.
Nilai b hubungan lebar karapas-lebar abdomen rajungan betina juvenil dan
dewasa pada penelitian ini ditemukan lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang
karapas-lebar abdomen. Nilai b hubungan lebar karapas-panjang abdomen juga lebih
kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-panjang abdomen rajungan betina
juvenil dan dewasa.
Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai r setiap hubungan antar karakter
morfometrik rajungan jantan tahap juvenil dan dewasa berkisar antara 0.500 hingga
0.916, sebaliknya untuk rajungan betina tahap juvenil dan dewasa berkisar antara
0.711 hingga 0.932 (Tabel 15) dengan nilai b hubungan antar karakter morfometrik
rajungan jantan tahap juvenil berkisar antara 0.16 hingga 1.517, sedangkan untuk
tahap dewasa berkisar antara 0.141 hingga 1.043. Hubungan antar karakter
morfometrik rajungan betina tahap juvenil dengan nilai b berkisar antara 0.291
hingga 0.716, serta tahap dewasa berkisar antara 0.421 hingga 0.985.
Koefisien korelasi hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tertinggi
ditemukan pada hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan
terendah pada hubungan panjang-tinggi propodus capit tahap juvenil. Sebaliknya,
koefisien korelasi hubungan antar karakter morfometrik rajungan betina tertinggi
ditemukan pada hubungan lebar karapas-lebar abdomen tahap dewasa, dan terendah
pada hubungan lebar abdomen-panjang abdomen tahap juvenil. Koefisien korelasi
hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina pada tahap juvenil
lebih kecil dari pada tahap dewasa untuk variabel karakter morfometrik yang sama.

Hubungan Lebar/Panjang Karapas-Berat Tubuh


Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina
berdasarkan total contoh serta tahap juvenil dan dewasa di Teluk Lasongko
menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) > 0.9 berdasarkan total contoh serta tahap
juvenil dan dewasa nilai r umumnya > 0.75, serta hasil uji statistik nilai b rajungan
jantan dan betina menunjukkan korelasi yang sangat nyata (p<0.001), walaupun nilai
b umumnya < 3 (Tabel 16 dan 17). Nilai b, r dan tipe pertumbuhan lebar/panjang
karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina pada beberapa lokasi perairan di
Indonesia dan Thailand tertera pada Tabel 18.
55

Tabel 18. Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang karapas-berat
pada beberapa lokasi perairan
Lokasi Hubungan b r Al Sumber
Provinsi Trang, PK - BT Jantan 3.2192 0.938 0 Sawusdee dan
Thailand Selatan PK - BT Betina 3.1860 0.933 0 Songrak 2009
PK - BT Total 3.2024 0.935 0
Teluk Kung Krabaen, LK - BT Betina 2.9211 0.981 -
Thailand Kunsook 2011
LK - BT Betina 2.8944 0.967 -
PK - BT Jantan 3.0398 0.974 + Sunarto et al.
Perairan Brebes PK - BT Betina 2.8595 0.981 - 2010a; Sunarto
PK - BT Total 2.9407 0.977 - 2012
Perairan Pati LK - BT Jantan 3.342 0.957 +
Ernawati 2013
LK - BT Betina 3.259 0.948 +
Perairan Pangkep LK - BT Jantan 2.7542 0.860 -
Ihsan et al. 2014
LK - BT Betina 2.6508 0.817 -
LK - BT Jantan 3.052 0.942 0
PK - BT Jantan 2.820 0.925 -
Teluk Lasongko Penelitian ini
LK - BT Betina 2.921 0.916 0
PK - BT Betina 2.646 0.941 -
PK Panjang karapas.; LK Lebar karapas.; BT Berat tubuh.; 0 isometrik.; - allometrik negatif.;
+ allometrik positif
Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina pada
penelitian ini bertipe isometrik, sedangkan panjang karapas-berat tubuh bertipe
allometrik negatif. Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh di Perairan Brebes
untuk jantan bertipe allometrik positif dan betina betipe isometrik (Sunarto et al.
2010; Sunarto 2012). Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan
jantan dan betina juvenil dan dewasa di Teluk Lasongko keduanya bersifat isometrik
(Tabel 17).
Pertambahan berat rajungan jantan dan betina yang relatif besar terjadi pada
kisaran lebar karapas antara 70 mm hingga 80 mm diduga berdasarkan hubungan
lebar karapas-berat dengan persamaan power, sedangkan pertumbuhan rajungan
betina lebih besar dari pada rajungan jantan sampai lebar karapas rajungan betina
terbesar yang ditemukan pada penelitian ini (166.20 mm). Hal ini berbeda dengan
yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya (Sukumaran 1995; Josileen 2011).

Simpulan
1. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
bervariasi secara spasial dan temporal,
2. Ukuran rajungan betina di Teluk Lasongko lebih besar dari pada rajungan jantan,
56

3. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dan hubungan antar variabel karakter


morfometrik rajungan jantan dan betina dari total contoh, tahap juvenil dan
dewasa menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif,
4. Pertumbuhan relatif antar variabel karakter morfometrik jantan dan betina
sebagian besar bersifat allometrik negatif, dan umumnya tidak mengalami
perubahan selama tahap juvenil dan dewasa, dan
5. Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina bersifat
isometrik, sedangkan antara panjang karapas-berat bersifat allometrik negatif,
serta tidak mengalami perubahan selama tahap juvenil dan dewasa, keduanya
bersifat isometrik.
57

4 BIOLOGI REPRODUKSI RAJUNGAN (Portunus pelagicus


Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO

Pendahuluan
Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks
kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan betina mengerami
telur (rajungan betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Rasio kelamin
berkaitan dengan kesuksesan perkawinan populasi rajungan dan dalam kondisi
normal atau tanpa tekanan penangkapan rasio kelamin jantan : betina sebesar 1: 1
(Jazayeri et al. 2011). Kajian tentang rasio kelamin rajungan telah dilakukan oleh
peneliti terdahulu (seperti Sukumaran dan Neelakantan 1997a; Poter dan Lestang
2000; Dineshbabu et al. 2008; Ikhwanuddin et al. 2009; Kamrani et al. 2010; Jazayeri
et al. 2011; Kunsook 2011; Hosseini et al. 2012; Kembaren et al. 2012), dan
hasilnya menunjukkan adanya suatu variasi antar lokasi perairan. Perubahan rasio
jenis kelamin terhadap ukuran rajungan tidak memperlihatkan pola yang jelas, namun
demikian rasio kelamin bervariasi dalam kelompok ukuran berbeda pada berbagai
jenis alat tangkap di Pantai Karnataka, India (Sukumaran dan Neelakantan 1997a) dan
beberapa perairan di Australia (Potter dan de Lestang 2000; Potter et al. 2001).
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan aspek penting dalam biologi
reproduksi rajungan (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2012a). Perkembangan
TKG rajungan dapat diamati dengan dua metode, yaitu secara kasar (makroskopis,
yaitu dilihat dari perubahan morfologi dan warna gonad) dan secara histologis atau
mikroskopis (Sumpton et al. 1994; Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan
1998; de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010; Ikhawanuddin et al. 2012a).
Perkembangan TKG rajungan betina secara makroskopis ditentukan berdasarkan
perubahan warna dan morfologi atau ukuran ovarium, dan pada rajungan jantan
didasarkan pada perubahan ketebalan dan warna vas deferens, (de Lestang et al.
2003; Kamrani et al. 2010; Ikhawanuddin et al. 2012a). Perkembangan gonad
rajungan dipengaruhi oleh suhu air dan nilai indeks kematangan gonad (IKG) sangat
bervariasi dari waktu ke waktu bergantung pada perkembangan ovarium (de Lestang
et al. 2003; Kamrani et al. 2010). Umumnya, kajian TKG rajungan lebih banyak
difokuskan pada betina dibandingkan dengan jantan, termasuk di perairan Indonesia.
Ukuran pertama matang kelamin merupakan informasi yang dibutuhkan dalam
penentuan ukuran terkecil yang boleh ditangkap, sehingga informasi ini dibutuhkan
dalam pengelolaan rajungan (Kamrani et al. 2010; Rasheed dan Mustaquim 2010).
Ukuran pertama matang kelamin umumnya ditentukan berdasarkan pada dua kriteria,
yaitu secara fisiologi dan morfologi (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan
1996a, 1998; de Lestang et al. 2003; Rasheed dan Mustaquim 2010). Rajungan
matang secara fisiologi ditentukan berdasarkan perkembangan tingkat kematangan
gonad rajungan jantan dan betina (Rasheed dan Mustaquim 2010) dan kriteria ini
telah banyak digunakan dalam penelitian penentuan ukuran pertama matang kelamin
rajungan. Ukuran terkecil dari rajungan mengerami telur (betina ovigerous) juga
dapat digunakan sebagai kriteria ukuran pertama matang kelamin (Sukumaran 1995;
Rasheed dan Mustaquim 2010; Liu et al. 2014).
58

Pemijahan rajungan di perairan tropis dan subtropis terjadi sepanjang tahun,


sedangkan di perairan beriklim sedang hanya berlangsung pada musim panas (Kangas
2000; Potter dan de Lestang 2000; de Lestang et al. 2003; Johnson et al. 2010).
Musim pemijahan rajungan dapat diduga berdasarkan IKG bulanan dan proporsi
betina ovigerous, serta nilai maksimum dari keduanya menunjukkan puncak musim
pemijahan rajungan (Sukumaran dan Neelakantan 1998; Kamrani et al. 2010).
Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan secara intensif dan
hal ini akan berpengaruh kepada aspek biologi reproduksi rajungan terutama
keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini. Upaya pengelolaan secara rasional
terhadap rajungan di Teluk Lasongko perlu dilakukan yang didukung oleh data
biologi reproduksi rajungan yang memadai. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis aspek (1) rasio kelamin, (2) tingkat dan
indeks kematangan gonad, (3) musim pemijahan, dan (4) ukuran pertama matang
kelamin rajungan.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah
Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Perairan ini, secara administratif terdiri dari
dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.

Stasiun Pengambilan Contoh


Jumlah stasiun pengambilan contoh rajungan pada penelitian ini sebanyak tujuh
stasiun yang tersebar mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk.
Setiap stasiun terdiri dari tiga sub stasiun atau tiga tipe habitat. Penentuan stasiun
didasarkan kepada kondisi padang lamun, tipe substrat dan kedalaman perairan, serta
karakteristik setiap stasiun seperti telah diuraikan pada Bab 2.

Bahan dan Alat


Hewan yang digunakan untuk dikaji dalam penelitian ini adalah rajungan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alkohol 70 %, kertas label dan
es batu. Alat yang digunakan terdiri atas gillnet, jangka sorong (Vernier Caliper
0-150 mm x 0.05), timbangan digital (Xon Med Digital Scale), styrofoom, alat offset
dan mikroskop binokuler (Lecica), dan botol contoh.

Pengambilan Contoh dan Penentuan Ukuran Tubuh


Pengambilan data rajungan untuk analisis biologi reproduksi dilakukan sebulan
sekali pada setiap stasiun. Alat tangkap yang digunakan untuk pengambilan data
rajungan tersebut adalah gillnet dengan tiga ukuran mata jaring, yaitu 1.5, 2.5 dan 3.5
inci. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi satu unit
gillnet. Gillnet dipasang pada setiap stasiun sekitar pukul 17.00 sampai 17.45 dan
diangkat kembali mulai pukul 06.15 sampai pukul 08.45 keesokan harinya.
59

Rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan tipe habitat untuk setiap
periode penangkapan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan betina ovigerous,
serta dihitung jumlahnya. Selanjutnya, masing-masing ditimbang beratnya dengan
dengan timbangan digital (Xon Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 g dan
diukur lebar karapasnya dengan jangka sorong (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05)
dengan ketelitian 0.05 mm. Semua rangkaian kegiatan tersebut dilakukan di
lapangan, kecuali rajungan yang tertangkap pada stasiun 2. Spesimen rajungan yang
belum dianalisis di lapangan disimpan dalam styrofoom dan diberi es dan selanjutnya
dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Penentuan Rasio Kelamin


Rajungan yang tertangkap pada setiap pengambilan contoh dipisahkan
berdasarkan jenis kelamin, kemudian jumlah rajungan jantan dan betina dihitung dan
dicatat. Rasio kelamin rajungan ditentukan berdasarkan rasio jumlah rajungan jantan
terhadap jumlah rajungan betina yang tertangkap pada setiap pengambilan data rajungan
dan juga dianalisis secara total selama penelitian untuk setiap stasiun penelitian.
Persamaan untuk menentukan rasio kelamin rajungan adalah sebagai berikut :

Rasio kelamin = ............................................. (5)

Penentuan Tingkat Kematangan Gonad


Penentuan TKG rajungan jantan dan betina dilakukan pada lebar karapas > 60
mm, dan jumlah contoh yang dianalisis masing-masing 590 ekor jantan dan 487 ekor
betina. Pengamatan TKG rajungan betina sebagian besar dilakukan di lapangan,
kecuali yang tertangkap pada stasiun 2 dilakukan di laboratorium bersama-sama
dengan pengamatan TKG rajungan jantan. Cara mengamati TKG rajungan, yaitu
pertama membuka karapas rajungan, mengamati perkembangan gonad, dan terakhir
berat gonad ditimbang dengan timbangan digital (Xon Med Digital Scale) dengan
ketelitian 0.01 g.
TKG rajungan ditentukan secara makroskopik, yaitu dengan melihat perubahan
morfologi dan warna gonad rajungan. TKG rajungan betina ditentukan dari
perubahan morfologi, warna dan penyebaran ovarium menempati daerah hepatik
(Tabel 19), dan dibagi dalam empat tingkatan mengikuti metode de Lestang et al.
(2003), Kamrani et al. (2010) dan Ikhwanuddin et al. (2012a), yaitu: belum matang
(TKG I), awal pematangan (TKG II), pematangan akhir (TKG III), dan matang (TKG
IV). TKG rajungan jantan ditentukan dari perubahan morfologi, warna serta sebaran
testis dan vas deferen secara visual (Tabel 19) dengan alat bantu kaca pembesar (lop).
TKG rajungan jantan dibagi dalam tiga tingkatan mengikuti metode Sukumaran
(1995), Sukumaran dan Neelakantan (1998) dan de Lestang et al. (2003), yaitu:
belum matang (TKG I), sedang matang (TKG II), dan matang (TKG III). Kriteria
dan ciri penampakan gonad pada setiap TKG rajungan jantan dan betina tersebut
tertera pada Tabel 19 serta Gambar 13 dan 14.
60

Tabel 19. Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan betina dan
jantan secara makroskopik
TKG Penampakan ovarium rajungan betina secara makroskopis
I Ovarium kecil atau tipis dan tidak berwarna atau transparan
II Ovarium bertambah besar, berubah warna menjadi krem atau kuning muda,
tetapi belum berkembang sampai ke daerah hepatik
III Ovarium semakin bertambah besar, berwarna kuning tua atau gading,
sekitar 1/3 sampai 1/4 menempati daerah hepatik
IV Ovarium menempati sebagian besar daerah hepatik, adanya lobulus,
ovarium berwana orange atau orange kemerahan.
Penampakan gonad rajungan jantan secara makroskopis
I Testis dan vas deferen tidak jelas dibedakan, tabung vas deferen tipis
tembus pandang
II Testis dan vas deferen berkembang dengan baik, tabung testis besar
tergulung menyebar lateral dan posterior pada perut. Vas deferen buram
atau massa putih tergulung memanjang sampai pada kedua sisi hepatik.
III Testis membesar, vas deferen tebal dan massa putih susu meluas sampai
mengisi sebagian besar rongga tubuh.

Proporsi rajungan pada setiap tingkat kematangan gonad yang tertangkap pada
setiap stasiun dan periode penangkapan ditentukan dengan persamaan berikut :

RJi = 100 .............................................. (6)

RJi adalah proporsi jumlah rajungan pada TKG ke-i (%), ∑ Rji jumlah rajungan
betina pada TKG ke-i (ekor), dan ∑ RTi jumlah total contoh rajungan betina (ekor).

Penentuan Indeks Kematangan Gonad


Indeks kematangan gonad (IKG) rajungan ditentukan berdasarkan berat tubuh
dan berat gonad rajungan jantan dan betina. Berat tubuh dan berat gonad jantan dan
betina ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0.01 gram. IKG
dihitung berdasarkan perbandingan berat gonad (Bg) terhadap berat tubuh total (Bt)
rajungan (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1998; Kamrani et al. 2010;
Jazayeri et al. 2011) dengan persamaan berikut :

IKG = x 100 .............................................. (7)

Penentuan Musim Pemijahan


Musim pemijahan rajungan diduga berdasarkan pada keberadaan rajungan
betina ovigerous (Sukumaran 1995; Kamrani et al. 2010; Sunarto 2011; Safaie et al.
2013; Songrak et al. 2014), sedangkan puncak musim pemijahannya diduga
berdasarkan pada nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina yang tertinggi
(Sumpton et al. 1994; Sukumaran dan Neelakantan 1998; Potter dan de Lestang
2000; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011; Liu et al. 2014).
61

TKG I

TKG II TKG III


Gambar 13. Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan jantan

TKG I TKG II

TKG III TKG IV


Gambar 14. Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan betina
62

Penentuan Ukuran Pertama Matang Kelamin


Data yang digunakan untuk menentukan ukuran rajungan pertama matang
kelamin terdiri dari jumlah rajungan matang gonad dan lebar karapas rajungan.
Dalam penentuan ukuran pertama matang kelamin rajungan betina digunakan contoh
rajungan dengan TKG III dan IV (matang gonad), sedangkan untuk rajungan jantan
telah mencapai TKG III. Kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina
dibuat dengan selang kelas 5 mm, dan selanjutnya ditentukan proporsi rajungan
matang gonad pada setiap kelas ukuran. Ukuran rajungan pertama matang kelamin
diduga dengan kurva logistik dengan menggunakan Sigma plot 6.0. Persamaan
logistik untuk menduga ukuran pertama matang kelamin rajungan sebagai berikut :
Y= .............................................. (8)
( )

Y adalah proporsi rajungan matang pada setiap kelas ukuran (%), WC lebar karapas
rajungan matang gonad (mm), WCo lebar karapas rajungan 50 % matang kelamin
(mm), a dan b adalah intersep dan koefisien kemiringan kurva logistik, dan Y o
proporsi ukuran terkecil rajungan yang matang gonad (%).

Analisis Data
Data biologi reproduksi rajungan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin,
stasiun (spasial), periode penangkapan dan musim (temporal). Rasio kelamin
rajungan diuji terhadap rasio kelamin rajungan 1:1 dengan uji chi-kuadrat (χ2) pada
taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Sebaran proporsi setiap TKG rajungan
betina dan jantan antar stasiun, tipe habitat dan periode penangkapan dianalisis secara
deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk grafik, sedangkan IKG rajungan betina dan
jantan secara spasial dan temporal dianalisis dengan ANOVA. Data IKG rajungan
terlebih dahulu diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf
nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Jika hasil uji tersebut berbeda nyata, maka data
IKG rajungan ditransformasi ke log 10, baru dilakukan uji ANOVA. Proporsi TKG
dan IKG rajungan antara musim timur dan musim barat diuji dengan uji t dengan
asumsi ragam tidak sama. Dalam analisis data tersebut digunakan Minitab versi 15
dan Microsoft Excel 2007.

Hasil

Rasio Kelamin Berdasarkan stasiun


Jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun selama penelitian
berkisar antara 52 ekor hingga 139 ekor sedangkan rajungan betina berkisar antara
60 ekor hingga 129 ekor, tertinggi tertangkap di stasiun 1 dan 2, sedangkan terendah
di stasiun 6 dan 7. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada
setiap stasiun berkisar antara 0.62 : 1 hingga 1.34 : 1, tertinggi tertangkap di stasiun 1
dan terendah pada stasiun 7. Proporsi rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar
antara 38.24 % hingga 57.26 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah
pada stasiun 7. Proporsi rajungan betina berkisar antara 42.74 % hingga 61.76 %,
tertinggi pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1 (Tabel 20).
63

Tabel 20. Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun
Jumlah (ekor ) Proporsi (%) Rasio kelamin
χ2hit p
Stasiun Jantan Betina Jantan Betina jantan: betina
1 138 103 57.26 42.74 1.34 : 1 5.752 0.836
2 139 129 51.87 48.13 1.08 : 1 11.988 0.365
3 70 62 53.03 46.97 1.13 : 1 7.176 0.785
4 78 71 52.35 47.65 1.10 : 1 21.609* 0.028
5 75 61 55.15 44.85 1.23 : 1 17.736 0.088
6 54 60 47.37 52.63 0.90 : 1 6.235 0.716
7 52 84 38.24 61.76 0.62 : 1 9.490 0.091
Total 606 570 51.53 48.47 1.06 : 1 14.468* 0.025
* berbeda nyata (p<0.05) .; p taraf nyata
Pada Tabel 20 terlihat rasio kelamin dan proposi rajungan jantan yang tertangkap
dari stasiun 1 ke stasiun 7 cenderung semakin menurun. Hasil uji chi-kuadrat (χ2)
menunjukkan antara jumlah rajungan jantan dan betina seimbang (p>0.05), dan hanya
yang tertangkap pada stasiun 4 dan rasio kelamin total tidak seimbang (p<0.05), yaitu
rajungan jantan lebih banyak dari pada betina.

Rasio Kelamin Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim


Jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada musim timur relatif
lebih banyak dari pada musim barat (Tabel 21). Pada musim timur, jumlah rajungan
jantan yang tertangkap pada setiap bulan berkisar antara 20 ekor hingga 100 ekor
sedangkan jumlah rajungan betina berkisar antara 25 ekor hingga 83 ekor. Rasio
kelamin rajungan jantan dan betina rajungan yang tertangkap pada musim timur
berkisar 0.80 : 1 dan 1.20 : 1. Jumlah tangkapan, rasio kelamin dan proporsi rajungan
jantan dan betina tertinggi selama musim timur ditemukan pada bulan Mei dan
terendah pada bulan September (Tabel 21).
Hasil uji χ2 terhadap rasio kelamin menunjukkan jumlah rajungan jantan dan
betina yang tertangkap pada musim timur sebagian besar seimbang (p>0.05), kecuali
rajungan yang tertangkap pada bulan Juli tidak seimbang (p<0.05). Jumlah rajungan
jantan yang tertangkap pada bulan Juli lebih banyak dari pada betina, sebaliknya
rajungan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juni, Agustus dan September seimbang
antara jumlah jantan dan betina. Demikian juga, jumlah total rajungan jantan dan betina
yang tertangkap selama musim timur adalah seimbang.
Jumlah rajungan betina yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 39
ekor hingga 64 ekor sedangkan untuk rajungan jantan berkisar antara 26 ekor hingga
80 ekor. Rajungan jantan dan betina banyak tertangkap pada bulan Januari sedangkan
pada bulan Oktober dan November sedikit tertangkap (Tabel 21). Rasio kelamin
jantan dan betina tertinggi ditemukan pada bulan Januari (1.25 : 1) dan terendah pada
bulan November (0.62 : 1).
64

Tabel 21. Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan
periode waktu penangkapan dan musim
Waktu Jumlah (ekor) Proporsi (%) Rasio kelamin
χ2hit p
(Bulan) Jantan Betina Jantan Betina jantan:betina
April 62 54 53.45 46.55 1.15 : 1 5.820 0.324
Mei 100 83 54.64 45.36 1.20 : 1 6.173 0.290
Juni 54 53 50.47 49.53 1.02 : 1 2.456 0.783
Juli 44 42 51.16 48.84 1.05 : 1 11.93* 0.036
Agustus 33 33 50.00 50.00 1.00 : 1 6.407 0.269
September 20 25 44.44 55.56 0.80 : 1 1.926 0.749
Oktober 37 39 48.68 51.32 0.95 : 1 4.851 0.563
November 26 42 38.24 61.76 0.62 : 1 16.65** 0.005
Desember 53 47 53.00 47.00 1.13 : 1 9.719 0.137
Januari 80 64 55.56 44.44 1.25 : 1 6.944 0.326
Februari 50 46 52.08 47.92 1.09 : 1 7.465 0.280
Maret 47 42 52.81 47.19 1.12 : 1 3.602 0.608
Musim timur 313 290 51.91 48.09 1.08 : 1 1.868 0.867
Musim barat 293 280 51.13 48.87 1.05 : 1 6.111 0.296
**Sangat berbeda nyata (p<0.01).; * berbeda nyata (p<0.05).; p taraf nyata
Proporsi rajungan jantan berdasarkan periode penangkapan tertinggi tertangkap
pada bulan Januari dan tertendah pada bulan November, sebaliknya untuk rajungan
betina proporsi tertinggi dan terendah merupakan kebalikan waktu dari rajungan
jantan. Berdasarkan uji χ2 hanya yang tertangkap bulan November jantan dan betina
tidak seimbang (p<0.05) atau jumlah rajungan betina lebih banyak dari pada
rajungan jantan (Tabel 21). Sebaliknya, rasio kelamin rajungan yang tertangkap pada
kelima bulan lainnya dan juga total rajungan jantan dan betina yang tertangkap
selama musim barat adalah seimbang (p>0.05) antara rajungan jantan dan betina.

Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Stasiun


Jumlah contoh rajungan jantan yang digunakan dalam analisis perkembangan
TKG sebanyak 590 ekor, yang terdiri dari 78.98 % (466 ekor) dengan TKG I sampai
III dan sisanya 21.02 % (124 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang.
Rajungan jantan dengan TKG I banyak tertangkap pada stasiun 2 dan stasiun 5, yaitu
masing-masing dengan proporsi 22.58 % dan 22.86 %, sedangkan pada stasiun 6 dan
7 jarang tertangkap, yaitu dengan proporsi masing-masing 10.53 % dan 6.82 %
(Gambar 15). Proporsi rajungan jantan dengan TKG II yang tertangkap pada setiap
stasiun berkisar antara 32.76 % hingga 46.88 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 1,
dan terendah tertangkap pada stasiun 3. Proporsi rajungan jantan dengan TKG III
yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 35.42 % hingga 55.17 %,
tertinggi tertangkap pada stasiun dan terendah pada stasiun 1 (Gambar 15).
Secara umum, rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 1, 2 dan 5
didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (TKG I dan II) dengan proporsi
berkisar antara 62.36 % hingga 64.59 %, sebaliknya rajungan jantan yang tertangkap
65

pada stasiun 3, 6 dan 7 didominasi oleh rajungan yang matang gonad (TKG III)
dengan proporsi berkisar antara 52.27 % hingga 55.17 %. Rajungan jantan yang
tertangkap pada stasiun 4 cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang
gonad (56.72 %), sedangkan proporsi rajungan yang matang gonad (TKG III) sebesar
43.28 %.
100.00

80.00
Proporsi TKG (%)

TKG III
60.00
TKG II
40.00
TKG 1
20.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 15. Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun
Jumlah contoh rajungan betina yang digunakan dalam analisis TKG sebanyak
487 ekor, yaitu terdiri dari 68.38 % (333 ekor) rajungan betina dengan TKG I
sampai IV dan 31.62 % (154 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang.
Proporsi rajungan betina TKG I yang tertangkap pada stasiun 1 dan stasiun 2
masing-masing sekitar 40 % dan 39 %, sedangkan yang tertangkap pada stasiun 6
dan stasiun 7 masing-masing hanya sekitar 10 % dan 4 % (Gambar 15).
Proporsi rajungan betina dengan TKG II yang tertangkap pada setiap stasiun
berkisar antara 7.50 % hingga 32.26 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 2, dan
terendah pada stasiun 1 (Gambar 16). Proporsi rajungan betina dengan TKG III yang
tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 6.67 % hingga 28.57 %, tertinggi
tertangkap pada stasiun 6 dan terendah tertangkap pada stasiun 2. Rajungan betina
dengan TKG IV banyak tertangkap pada stasiun 3 dan stasiun 7, yaitu masing-
masing dengan proporsi sekitar 50 % dan 52 %. Sebaliknya, rajungan betina dengan
TKG IV pada stasiun 1 dan 2 relatif jarang tertangkap dibandingkan dengan stasiun
lainnya, yaitu masing-masing dengan proporsi sekitar 25 % dan 11 % dari jumlah
contoh rajungan betina yang tertangkap (Gambar 16). Rajungan betina yang
tertangkap pada stasiun 3, 4, 5, 6 dan 7 didominasi oleh TKG IV, sedangkan yang
tertangkap pada stasiun 1 dan 2 didominasi oleh TKG I.
Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 1, 3, 4, 6 dan 7 didominasi oleh
rajungan yang matang gonad (TKG III dan IV) dengan proporsi berkisar antara 52.5 %
hingga 81.13 %. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 2 dan 5
didominasi oleh yang belum matang gonad (TKG I dan II), masing-masing dengan
proporsi 70.97 % dan 52.38 %.
66

100.00

Propporsi TKG (%) 80.00

60.00 TKG IV
TKG III
40.00
TKG II
TKG 1
20.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 16. Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun
Secara umum, proporsi rajungan jantan matang gonad (TKG III) yang tertangkap
di Teluk Lasongko berdasarkan stasiun lebih rendah dari pada proporsi rajungan betina
yang matang gonad. Proporsi rajungan jantan yang matang gonad pada setiap stasiun
berkisar antara 35.42 % hingga 55.17 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 3, dan
terendah pada stasiun 1 (Gambar 15). Proporsi rajungan betina matang gonad berkisar
antara 29.03 % hingga 81.13 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada
stasiun 2 (Gambar 16). Sebaliknya, proporsi rajungan jantan yang belum matang gonad
yang tertangkap pada setiap stasiun lebih tinggi dari pada rajungan betina. Proporsi
rajungan jantan yang belum matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara 47.37 %
hingga 64.59 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6.
Proporsi rajungan betina yang belum matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara
18.86 % hingga 70.97 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 2 dan terendah pada stasiun 7 .

Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Tipe Habitat


Jumlah contoh rajungan jantan yang digunakan dalam analisis TKG berdasarkan
tipe habitat sebanyak 356 ekor, yaitu terdiri dari 79.21 % (282 ekor) merupakan
rajungan jantan dengan TKG I sampai III dan 20.79 % (74 ekor) dengan gonad belum
berkembang. Proporsi setiap TKG rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada
setiap tipe habitat tertera pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa rajungan
jantan yang tertangkap pada habitat A, T dan B didominasi oleh TKG III (matang
gonad) masing-masing dengan proporsi 43.84 %, 52.31 % dan 47.89 %, Rajungan
jantan dengan TKG I mempunyai proporsi terendah yang tertangkap pada setiap tipe
habitat, masing-masing dengan proporsi 15.75 %, 15.38 % dan 11.27 %.
Proporsi rajungan betina yang tertangkap pada habitat A didominasi oleh TKG
I (43.59 %), sedangkan yang tertangkap pada habitat T didominasi oleh TKG III
(34.88 %), dan yang tertangkap pada habitat B didominasi oleh TKG IV (34.09 %).
Proporsi TKG rajungan betina terendah yang tertangkap pada habitat A adalah TKG
III (11.54 %), sedangkan yang tertangkap pada habitat T dan B adalah TKG II
masing-masing dengan proporsi 16.28 % dan II 13.64 % (Gambar 17).
67

100

80

Proporsi TKG (%)


TKG
60 IV
TKG III
40
TKG II
20

0
A A T T B B
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Tipe habitat dan jenis kelamin


Gambar 17. Proporsi TKG rajungan jantan dan betina berdasarkan tipe habitat
Habitat A: bertipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat
dengan kedalaman air 1.5 m hingga 2.5 m.; Habitat T : bertipe substrat
pasir dengan kedalaman air 2.5 m hingga 3.5 m dan ditumbuhi lamun
dengan kepadatan lebih rendah dari habitat A.; Habitat B: bertipe
substrat pasir berlempung dengan kedalaman air 5 m hingga 12 m dan
tidak ditumbuhi lamun.
Secara umum, proporsi rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap
tipe habitat cenderung bervariasi. Rajungan jantan yang tertangkap pada habitat A
didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (TKG I dan II) dengan proporsi
sekitar 56.16 %, dan yang matang gonad (TKG III) sebesar 43.84 %. Proporsi
rajungan jantan yang belum matang gonad yang tertangkap pada habitat T dan B
masing-masing sebesar 47.69 % dan 52.11 %, sedangkan proporsi rajungan yang
matang gonad masing-masing sebesar 52.31 % dan 47.89 %. Rajungan betina yang
tertangkap pada habitat A didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (TKG
I dan II) dengan proporsi 64.10 %, sedangkan yang tertangkap pada habitat T dan B
didominasi oleh rajungan yang matang gonad (TKG III dan IV), masing-masing
dengan proporsi sebesar 65.12 % dan 63.64 %.

Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim


Total jumlah contoh rajungan jantan yang digunakan dalam analisis TKG
berdasarkan periode penangkapan sebanyak 586 ekor, yang terdiri dari 78.67 % (461
ekor) ditemukan dengan kondisi gonad TKG I sampai III, dan sisanya 21.33 % (125
ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang. Proporsi rajungan jantan TKG I yang
tertangkap pada setiap periode penangkapan lebih rendah dari pada rajungan jantan
TKG II dan III. Proporsi rajungan jantan TKG I yang tertangkap pada setiap periode
penangkapan berkisar antara 2.70 % hingga 35.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan
Maret dan terendah tertangkap pada bulan Oktober (Gambar 18).
68

100.00

80.00
Proporsi TKG (%)
60.00
TKG III

40.00 TKG II

20.00 TKG I

0.00

Periode penangkapan (bulan)


Gambar 18. Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap periode penangkapan
Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian
besar didominasi oleh TKG II, kecuali yang tertangkap pada bulan Mei, September,
Oktober, Desember dan Februari didominasi oleh TKG III (matang gonad). Proporsi
rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar
antara 25.00 % hingga 69.57 %, tertinggi tertangkap pada bulan Agustus dan terendah
pada bulan Februari. Proporsi rajungan jantan TKG III yang tertangkap pada setiap
periode penangkapan berkisar antara 15.00 % hingga 64.86 %, tertinggi tertangkap
pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Maret. Proporsi rajungan jantan dengan
TKG II dan III yang tertangkap pada bulan Desember cenderung seimbang, yaitu
masing-masing dengan proporsi sebesar 42.50 % dan 45.00 % (Gambar 18).
Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian
besar didominasi oleh yang belum matang gonad (TKG I dan II), kecuali yang
tertangkap pada bulan September, Oktober dan Februari didominasi oleh yang
matang gonad (TKG III). Proporsi rajungan jantan belum matang gonad yang
tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 35.14 % hingga 87.23 %,
terendah tertangkap pada bulan Oktober dan tertinggi tertangkap pada bulan Juni.
Proporsi rajungan jantan matang gonad yang tertangkap pada bulan September,
Oktober dan Februari masing-masing sebesar 55.00 %, 64.86 % dan 59.38 %.
Total jumlah contoh rajungan betina yang digunakan dalam analisis TKG
berdasarkan periode penangkapan sebanyak 483 ekor, yang terdiri dari 68.32 % (330
ekor) dengan gonad TKG I sampai IV dan 31.68 % (153 ekor) dengan gonad belum
berkembang. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Juli, Agustus dan Januari
didominasi oleh TKG I. Proporsi rajungan betina dengan TKG I yang tertangkap pada
setiap periode penangkapan berkisar antara 3.70 % hingga 40.91 %, tertinggi
tertangkap pada bulan Juli dan terendah pada bulan Oktober. Rajungan betina yang
tertangkap pada bulan September dan bulan Maret didominasi oleh TKG II. Proporsi
rajungan betina TKG II yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar
antara 0 % hingga 43.37 %, tertinggi tertangkap pada bulan September, dan pada
bulan Agustus rajungan betina TKG II tidak tertangkap (Gambar 19).
69

100.00

80.00

Proporsi TKG (%)


60.00
TKG IV
40.00
TKG III

20.00 TKG II
TKG 1
0.00

Periode penangkapan (bulan)

Gambar 19. Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan
Rajungan betina dengan TKG III selama penelitian dominan hanya pada bulan
Februari. Proporsi rajungan betina TKG III pada setiap periode penangkapan
berkisar antara 5.26 % hingga 44.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Februari dan
terendah pada bulan September. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei,
Juni, Oktober dan November didominasi oleh TKG IV. Proporsi rajungan betina
TKG IV pada setiap periode penangkapan berkisar antara 18.18 % hingga 47.62 %,
terendah tertangkap pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November.
Rajungan betina yang tertangkap pada bulan April, Juli, September, Januari dan
Maret didominasi oleh yang belum matang gonad, sedangkan yang tertangkap pada
bulan Mei, Juni, Agustus, Oktober, November, Desember dan Februari didominasi
oleh rajungan yang matang gonad. Proporsi rajungan betina yang belum matang
gonad pada setiap periode penangkapan berkisar antara 25.00 % hingga 68.42 %,
terendah tertangkap pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September. Proporsi
rajungan betina yang matang gonad pada setiap periode penangkapan berkisar antara
31.58 % hingga 75.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Juni dan terendah pada
bulan September.
Total jumlah contoh rajungan jantan ditemukan dengan TKG I sampai III pada
musim timur dan barat masing-masing sebanyak 229 ekor dan 232 ekor. Proporsi
rajungan jantan dengan TKG I pada musim timur berkisar antara 10.00 % hingga
21.54 % dengan rataan 16.43 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 2.70 %
hingga 35.00 % dengan rataan 15.56 % (Tabel 22, Gambar 18 dan19). Proporsi
rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 29.23 %
hingga 69.57 % dengan rataan 51.50 %, sedangkan yang tertangkap pada musim
barat berkisar antara 25.00 % hingga 60.00 % dengan rataan 42.75 %. Proporsi
rajungan jantan TKG III pada musim timur berkisar antara 12.77 % hingga 55.00 %
dengan rataan 31.87 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 15.00 % hingga
64.86 % dengan rataan 41.70 %. Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama
menunjukkan proporsi setiap TKG rajungan jantan tidak berbeda nyata (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 22).
70

Rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur didominasi oleh rajungan
yang belum matang gonad, kecuali pada bulan September didominasi oleh yang
matang gonad. Rajungan jantan yang belum matang gonad dan matang gonad yang
tertangkap pada musim barat relatif seimbang. Proporsi rajungan jantan yang belum
matang gonad pada musim timur berkisar antara 45.00 % hingga 87.23 %, sedangkan
pada musim barat berkisar antara 35.14 % hingga 85.00 %. Proporsi rajungan jantan
pada musim timur dan barat sama dengan proporsi TKG III yang telah disebutkan di
atas.
Tabel 22. Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap musim
Proporsi setiap TKG (%)
Jenis kelamin Musim
I II III IV
a a a
Betina
Timur 23.18 27.51 21.51 32.38a
Barat 21.94a 19.97a 24.70a 33.40a
Timur 16.43a 51.70a 31.87a
Jantan
Barat 15.56a 42.75a 41.70a
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Total jumlah contoh rajungan betina yang ditemukan dengan TKG I sampai IV
yang tertangkap pada musim timur dan barat masing-masing sebanyak 168 ekor dan
162 ekor. Proporsi rajungan betina dengan TKG I pada musim timur berkisar antara
5.00 % hingga 40.91 % dengan rataan 23.18 %, dan pada musim barat berkisar antara
3.7 % hingga 37.84 % dengan rataan 21.94 % (Tabel 22 dan Gambar 16). Proporsi
rajungan betina dengan TKG II yang tertangkap pada musim timur berkisar antara
0 % hingga 47.37 % dengan rataan 27.51 %, sedangkan pada musim barat berkisar
antara 12.00 % hingga 35.71 % dengan rataan 19.97 %. Proporsi rajungan betina
TKG III yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 14.29 % hingga 44.00 %
dengan rataan 24.70 %, sedangkan pada musim timur berkisar antara 5.26 % hingga
28.57 % dengan rataan 21.51 %. Proporsi rajungan betina TKG IV yang tertangkap
pada musim timur berkisar antara 18.18 % hingga 46.43 % dengan rataan 32.38 %,
sedangkan pada musim barat berkisar antara 20.00 % hingga 47.62 % dengan rataan
33.40 % (Tabel 22 dan Gambar 16). Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama
menunjukkan proporsi setiap TKG rajungan betina tidak berbeda nyata (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 22).
Proporsi rajungan betina pada musim timur didominasi oleh yang matang
gonad. Proporsi rajungan yang matang gonad pada musim timur berkisar antara
31.50 % hingga 75.00 %, sedangkan yang belum matang gonad berkisar antara
25.00 % hingga 68.42 %. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni dan
Agustus didominasi oleh yang matang gonad, sedangkan pada bulan April, Juli dan
September didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad. Rajungan betina yang
tertangkap pada musim barat di dominasi oleh yang matang gonad. Proporsi rajungan
betina yang matang gonad berkisar antara 43.24 % hingga 74.07 %, dan yang belum
matang gonad berkisar antara 25.93 % hingga 56.76 %.
71

Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan Stasiun


Rataan indeks kematangan gonad (IKG) rajungan betina TKG I pada setiap
stasiun berkisar antara 0.23 hingga 0.45, kemudian TKG II berkisar antara 0.61
hingga 1.13, TKG III berkisar antara 2.56 hingga 3.64, serta IKG rajungan betina
TKG IV lebih dari 6 (Tabel 23). Nilai IKG rajungan betina TKG I, III dan IV
cenderung bervariasi pada setiap stasiun, namun hasil uji statistik (ANOVA)
menunjukkan bahwa IKG rajungan betina pada setiap TKG tidak berbeda nyata
(p>0.05) atau seragam antar stasiun, kecuali IKG rajungan betina pada TKG II tidak
sama (p<0.05) antar stasiun (Tabel 23). IKG rajungan betina TKG II tertinggi
ditemukan pada stasiun 2 dan terendah ditemukan pada stasiun 3.
IKG rajungan jantan pada TKG I dan II relatif sama dengan IKG rajungan
betina. Rataan IKG rajungan jantan TKG I, II dan III masing-masing berkisar antara
0.24 hingga 0.46, antara 0.63 hingga 0.79, serta antara 1.07 hingga 1.99. Nilai IKG
rajungan jantan TKG I dan II terlihat bervariasi pada setiap stasiun, namun
berdasarkan uji ANOVA menunjukkan IKG rajungan jantan pada TKG I dan II
adalah sama (p>0.05) antar stasiun, sebaliknya IKG rajungan jantan TKG III
berbeda nyata (p<0.05 antar stasiun. Nilai IKG rajungan jantan TKG III terbesar
tertangkap pada stasiun 6, dan terkecil pada stasiun 1 (Tabel 23).
Tabel 23. Rataan IKG rajungan betina dan jantan pada setiap TKG dan stasiun
IKG pada setiap TKG
Stasiun
I II III IV
Rajungan jantan
1 0.31 + 0.16a 0.78 + 0.17a 1.07 + 0.27b
a a
2 0.37 + 0.19 0.79 + 0.26 1.30 + 0.50b
3 0.29 + 0.07a 0.65 + 0.13 a 1.65 + 1.13a
4 0.46 + 0.32a 0.78 + 0.37 a 1.50 + 0.55ab
a a
5 0.31 + 0.16 0.68 + 0.18 1.22 + 0.68b
6 0.29 + 0.12a 0.63 + 0.15 a 1.99 + 1.39a
7 0.24 + 0.06a 0.76 + 0.24 a 1.08 + 0.27b
Rajungan betina
a
1 0.29 + 0.18 0.78 + 0.41ab 3.64 + 1.36a 6.41 + 1.65a
2 0.23 + 0.13a 1.13 + 0.61a 3.13 + 0.39a 6.16 + 1.59a
3 0.45 + 0.08a 0.61 + 0.19b 3.03 + 1.50a 6.22 + 1.78a
4 0.33 + 0.28a 0.86 + 0.13ab 3.02 + 1.78a 6.07 + 2.16a
a ab
5 0.30 + 0.25 0.86 + 0.50 2.56 + 0.52a 6.48 + 2.23a
6 0.30 + 0.12a 0.66 + 0.25b 3.25 + 1.13a 6.91 + 1.45a
7 0.41 + 0.10a 0.85 + 0.19ab 2.58 + 0.99a 6.73 + 2.17a
Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(p>0.05).

Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim


Rataan IKG rajungan jantan TKG I yang tertangkap setiap bulan selama musim
timur berkisar antara 0.17 hingga 0.48, dan pada musim barat berkisar antara 0.18
72

hingga 0.56. Rataan IKG rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada setiap bulan
selama musim timur berkisar antara 0.71 hingga 0.89, sedangkan pada musim barat
berkisar antara 0.71 hingga 0.86. Hasil uji t menunjukkan IKG rajungan jantan
TKG I tidak berbeda nyata (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan
musim barat, sebaliknya IKG rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada musim
timur lebih besar (p<0.05) dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 24).
Tabel 24. Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim
IKG pada setiap TKG
Bulan
I II III
April 0.35 + 0.21 0.89 + 0.43 1.47 + 0.45
Mei 0.30 + 0.14 0.71 + 0.31 2.57 + 1.27
Juni 0.39 + 0.15 0.88 + 0.43 1.60 + 0.34
Juli 0.21 + 0.08 0.78 + 0.19 1.47 + 1.01
Agustus 0.48 + 0.08 0.83 + 0.42 0.86 + 0.28
September 0.17 + 0.03 0.76 + 0.32 1.16 + 0.48
Oktober 0.38 0.80 + 0.17 1.21 + 0.33
November 0.18 + 0.10 0.74 + 0.58 0.91 + 0.19
Desember 0.56 + 0.14 0.86 + 0.37 0.97 + 0.28
Januari 0.27 + 0.18 0.71 + 0.16 1.07 + 0.22
Februari 0.45 + 0.23 0.85 + 0.26 1.21 + 0.44
Maret 0.35 + 0.14 0.78 + 0.22 1.02 + 0.15
Musim timur 0.33 + 0.17a 0.84 + 0.38a 1.84 + 1.07a
Musim barat 0.36 + 0.19a 0.78 + 0.31b 1.10 + 0.32b
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Rataan IKG rajungan jantan TKG III yang tertangkap setiap bulan selama
musim timur berkisar antara 0.86 hingga 2.57, sedangkan pada musim barat berkisar
antara 0.91 hingga 1.21. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan jantan yang
tertangkap pada musim timur lebih besar (p<0.05) dibandingkan dengan yang
tertangkap pada musim barat. Nilai IKG rajungan jantan tidak menunjukkan pola
yang jelas terhadap perubahan TKG dan periode penangkapan baik yang tertangkap
pada musim timur maupun pada musim barat.
Rajungan betina dengan TKG I pada bulan Juni tidak tertangkap. Rataan IKG
rajungan betina TKG I yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar
antara 0.10 hingga 0.40, sedangkan pada musim barat berkisar antara 0.23 hingga
0.53. Hasil uji t menunjukkan IKG rajungan betina TKG I adalah sama (p>0.05)
antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 25).
Rajungan betina dengan TKG II tidak ditemukan pada bulan Agustus. Pada
musim timur, rataan IKG rajungan betina TKG II lebih dari 1 tertangkap pada tiga
bulan pertama, sedangkan rataan IKG rajungan betina yang tertangkap pada bulan
Juli dan September kurang dari 1. Rajungan betina TKG II yang tertangkap setiap
73

bulan selama musim barat umumnya dengan rataan IKG kurang dari 1, sebaliknya
yang tertangkap pada bulan Desember lebih besar dari 1. Hasil uji t menunjukkan
bahwa IKG rajungan betina TKG II berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan
barat. IKG rajungan betina TKG II yang tertangkap pada musim timur lebih besar
dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 25).
Tabel 25. Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG berdasarkan periode
penangkapan dan musim
IKG pada setiap TKG
Bulan
I II III IV
April 0.40 + 0.31 1.36 + 0.84 2.32 + 0.89 5.85 + 2.41
Mei 0.13 + 0.02 1.53 + 0.72 3.75 + 1.34 6.37 + 1.39
Juni - 1.28 + 0.89 3.50 + 1.18 6.25 + 1.69
Juli 0.12 + 0.06 0.75 + 0.03 3.38 + 1.52 6.58 + 2.27
Agustus 0.10 - 2.48 + 1.00 5.98 + 2.54
September 0.21 + 0.14 0.64 + 0.26 1.95 5.12 + 1.41
Oktober 0.53 0.80 + 0.58 3.32 + 1.47 7.57 + 2.05
November 0.30 + 0.19 0.57 + 0.04 3.03 + 2.03 5.83 + 2.02
Desember 0.30 + 0.09 1.18 + 0.36 2.98 + 0.62 7.05 + 2.09
Januari 0.29 + 0.17 0.69 + 0.22 2.53 + 1.16 7.35 + 1.75
Februari 0.23 + 0.14 0.81 + 0.06 2.71 + 1.36 6.09 + 2.78
Maret 0.27 + 0.12 0.77 + 0.25 2.86 + 1.89 6.18 + 2.00
Musim timur 0.22 + 0.18a 1.16 + 0.53 a
3.27 + 1.29a 6.17 + 1.70a
Musim barat 0.30 + 0.14a 0.81 + 0.35b 2.90 + 1.34a 6.76 + 2.08b
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
IKG rajungan betina dengan TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim
timur cukup bervariasi dibandingkan dengan yang tertangkap pada musim barat.
Rataan IKG rajungan betina TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim
timur berkisar antara 1.95 hingga 3.75, sedangkan rataan IKG rajungan betina pada
musim barat berkisar antara 2.53 hingga 3.32 (Tabel 25). Namun demikian, hasil uji
t menunjukkan bahwa rataan IKG rajungan betina antara musim timur dan musim
barat tidak berbeda nyata (p>0.05) atau IKG rajungan betina TKG III adalah sama
dengan yang tertangkap pada musim berbeda.
Rataan IKG rajungan betina TKG IV yang tertangkap setiap bulan selama
musim timur berkisar antara 5.12 hingga 6.37, sedangkan yang tertangkap pada musim
barat berkisar antara 5.83 hingga 7.5. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan
betina berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan barat. IKG rajungan betina
yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur (Tabel 25).
Secara umum, IKG rajungan betina jauh lebih besar dari pada IKG rajungan
jantan. Namun, IKG rajungan betina TKG I lebih kecil dibandingkan dengan IKG
rajungan jantan TKG I, sebaliknya pada TKG selanjutnya (TKG II, III dan IV) IKG
rajungan betina lebih besar dari pada IKG rajungan jantan (Tabel 24 dan 25).
74

Musim Pemijahan Rajungan


Rataan IKG total rajungan jantan dan betina yang tertangkap setiap bulan
selama penelitian selengkapnya tertera pada Gambar 20. Rataan IKG total rajungan
betina di Teluk Lasongko yang tertangkap setiap bulan berkisar antara 1.80 hingga
4.55, tertinggi tertangkap pada bulan Oktober dan terendah pada bulan September.
IKG total rajungan jantan lebih kecil dibandingkan dengan rataan IKG total rajungan
betina. Rataan IKG rajungan jantan berkisar antara 0.73 hingga 1.35, tertinggi
ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan November (Gambar 20).

40.00 BO IKG Jantan IKG Betina 5.00


Proporsi betina ovigerous (%)

35.00 4.50

Nilai IKG Jantan/betina


4.00
30.00
3.50
25.00 3.00
20.00 2.50
15.00 2.00
1.50
10.00
1.00
5.00 0.50
0.00 0.00

Waktu pengukuran (bulan)


Gambar 20. Proporsi rajungan betina ovigerous dan rataan IKG total rajungan
jantan dan betina pada setiap bulan
Rajungan yang matang gonad dan betina ovigerous tertangkap setiap bulan
selama penelitian, menunjukkan bahwa pemijahan rajungan di Teluk Lasongko
terjadi sepanjang tahun. Pada Gambar 18 terlihat nilai IKG rajungan jantan dan betina
serta proporsi rajungan betina ovigerous selama penelitian ditemukan ada tiga
puncak. Puncak IKG rajungan jantan ditemukan pada bulan Mei, Oktober dan
Februari, sedangkan puncak IKG rajungan betina ditemukan pada bulan Mei-Juni,
Agustus dan Oktober. Puncak keberadaan rajungan betina ovigerous terjadi pada
bulan Juli-Agustus, Oktober-November, dan Januari-Februari.
Siklus reproduksi rajungan, khususnya musim pemijahan dapat ditentukan
berdasarkan sebaran IKG dan proporsi rajungan betina ovigerous, dan nilai tertinggi
kedua variabel reproduksi tersebut menunjukkan puncak musim pemijahan rajungan
(Sukumaran dan Neelakantan 1998; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011). Puncak
musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko terjadi sebanyak tiga periode waktu,
yaitu pada bulan Mei-Juni, bulan Agustus dan pada bulan Oktober-November yang
didasarkan pada nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina (Gambar 20).

Ukuran Rajungan Pertama Matang Kelamin


Lebar karapas terkecil rajungan jantan yang telah matang gonad (TKG III)
tertangkap di Teluk Lasongko adalah 83.7 mm dengan berat 37.14 g. Lebar karapas
terkecil rajungan betina yang telah matang gonad pada TKG III dan TKG IV yang
75

tertangkap di perairan ini masing-masing sebesar 82.2 mm dengan berat 33.86 g dan
91.8 mm dengan berat 55.58 g. Lebar karapas terkecil rajungan betina ovigerous
yang tertangkap di Teluk Lasongko adalah 86.6 mm dengan berat 42.75 g.
Ukuran rajungan pertama kali matang kelamin adalah ukuran di mana 50 %
dari semua individu rajungan telah matang kelamin (diadopsi dari King 1995). Hasil
analisis ukuran rajungan pertama kali matang kelamin dengan persamaan logistik
diperoleh lebar karapas rajungan jantan dan betina 50 % pertama kali matang
kelamin adalah 109.83 mm untuk jantan dan 115.71 mm untuk betina (Gambar 21).
Hal ini menunjukkan ukuran rajungan jantan pertama kali matang kelamin lebih kecil
dari pada rajungan betina atau rajungan jantan lebih cepat matang kelamin dari pada
rajungan betina.

Jantan Betina
Gambar 21. Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina
pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko

Pembahasan

Rasio Kelamin
Rasio kelamin rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko
bervariasi antar stasiun, yaitu berkisar antara 0.62 : 1 hingga 1.34 : 1. Rasio kelamin
tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 7 (Tabel 20). Jumlah
rajungan jantan umumnya cenderung lebih banyak dari pada rajungan betina, namun
hasil uji statistik (uji χ2) menunjukkan rasio kelamin rajungan tidak berbeda nyata
(p>0.05) dengan rasio kelamin 1:1, kecuali pada stasiun 4 (Tabel 20). Hal ini
menunjukkan komposisi antara jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap
pada setiap stasiun umumnya relatif seimbang, kecuali pada stasiun 4 tidak seimbang,
yaitu jumlah rajungan jantan yang tertangkap lebih banyak dari pada betina.
Sebaliknya, pada stasiun 6 dan 7 jumlah rajungan betina lebih banyak dibandingkan
dengan rajungan jantan. Rasio kelamin rajungan sebagian besar tidak berbeda nyata
(p>0.05) pada sebagian besar stasiun tersebut disebabkan komposisi antara jumlah
rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap periode penangkapan adalah
relatif sama, dan hanya pada waktu tertentu jumlah salah satu jenis kelamin cukup
menonjol. Misalnya, jumlah rajungan jantan pada stasiun 1 pada bulan Desember
sebanyak 17 ekor sedangkan betina hanya 6 ekor. Demikian halnya jumlah rajungan
76

jantan tertangkap di stasiun 7 pada bulan November hanya dua ekor sedangkan
rajungan betina sebanyak 17 ekor.
Nilai rasio rajungan jantan terhadap rajungan betina ditemukan pada setiap
periode penangkapan sebagian besar >1, kecuali pada bulan September, Oktober dan
November <1 (Gambar 22). Namun, hasil uji statistik (χ2) menunjukkan sebagian
besar tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan 1:1, kecuali pada bulan Juli dan November
berbeda nyata (p<0.05) dengan 1:1. Hal ini identik seperti ditemukan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand (Kunsook 2011).
1.50
Rasio kelamin

1.00

0.50

0.00

Waktu penangkapan (bulan)

Gambar 22. Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada
setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko
Rasio rajungan jantan terhadap betina pada musim timur dan musim barat juga
>1, namun hasil uji χ2 menunjukkan rasio kelamin rajungan pada kedua musim
tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan 1:1. dan ini identik dengan yang
ditemukan pada musim barat di Perairan Pati, namun berlawanan dengan yang
ditemukan pada musim timur di perairan yang sama (Ernawati 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa secara statistik proporsi jumlah kedua jenis kelamin rajungan
adalah seimbang, namun kenyataan di alam jumlah rajungan jantan yang tertangkap
pada setiap periode penangkapan cenderung lebih banyak dari pada rajungan betina.
Rasio kelamin total rajungan jantan terhadap rajungan betina yang tertangkap di
Teluk Lasongko sebesar 1.06 : 1. Rasio rajungan jantan dan betina yang ditemukan di
perairan ini masih berada pada kisaran rasio rajungan jantan terhadap rajungan betina
yang ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya, yaitu berkisar antara 0.79 : 1
hingga 2.77:1 (Tabel 26). Rasio kelamin rajungan yang ditemukan pada penelitian
ini lebih rendah dari pada beberapa perairan di Indonesia (Kembaren et al. 2012;
Ernawati 2013; Ihsan et al. 2014), namun lebih tinggi dari pada yang ditemukan di
Perairan Brebes (Sunarto 2012). Berdasarkan data rasio kelamin rajungan pada Tabel
26, menunjukkan bahwa rasio kelamin bervariasi antar lokasi perairan.
Proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun dengan kondisi perairan
yang lebih dalam (stasiun 6 dan 7) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
rajungan betina, diduga hal ini berkaitan dengan migrasi. Pada penelitian ini
ditemukan rajungan jantan yang hidup di perairan yang lebih dalam (dicirikan oleh
77

warna karapasnya yang cerah) ditemukan tertangkap di daerah intertidal dan subtidal,
demikian juga rajungan jantan dan betina yang hidup di daerah intertidal dan subtidal
(dicirikan oleh warna karapasnya yang kusam) yang tertangkap pada bagian perairan
yang lebih dalam.
Tabe 26. Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada lokasi
beberapa perairan
Rasio
Lokasi IKG Sumber
Kelamin
Teluk Kung Krabaen, Thailand 1.08 : 1 0.54-6.13 Kunsook 2011
Pantai Trang,Thailand Selatan 1.17 : 1 - Nitiraswan et al. 2013
Pantai Sematan Sarawak, Malaysia 2.77 : 1 - Ikhwanuddin et al. 2009
Perairan Brebes 0.82 : 1 - Sunarto 2012
Teluk Bone 1.08 : 1 - Kembaren et al. 2012
Perairan Pati 1.17 : 1 - Ernawati 2013
Perairan Pangkep 1.20 : 1 - Ihsan et al. 2014
Teluk Lasongko 1.06 : 1 1.80 -4.55 Penelitian ini
- Tidak ada data

Perkembangan Kematangan Gonad


Perkembangan kematangan gonad rajungan jantan dan betina yang tertangkap
di Teluk Lasongko bervariasi secara spatial. Rajungan yang tertangkap pada stasiun
1, 2, 4 dan 5 didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (berkisar antara
56.72 % hingga 64.59 %) dengan rataan IKG berkisar antara 0.24 hingga 0.79.
Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 3, 6 dan 7 didominasi oleh yang
matang gonad (berkisar antara 52.27 % hingga 55.17 %) dengan rataan IKG berkisar
antara 1.07 hingga 1.99 (Gambar 17 dan Tabel 23). Sebaliknya, rajungan betina
yang tertangkap di setiap stasiun didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada
stasiun 2 dan 5 dengan proporsi berkisar antara 52.50 % hingga 81.13 % (Gambar
18) dengan rataan IKG berkisar antara 2.56 hingga 6.91 (Tabel 23). Proporsi rajungan
jantan dengan gonad belum berkembang yang tertangkap di Teluk Lasongko lebih
rendah dari pada rajungan betina, yaitu masing-masing sebesar 21.33 % dan 31.68 %.
Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 6 dan 7 (lokasi lebih dalam dan tidak
berhubungan langsung dengan daratan) didominasi oleh rajungan yang matang gonad,
sebaliknya di stasiun 1 dan 2 (bagian kepala teluk) didominasi oleh rajungan dengan
gonad yang belum berkembang. Rajungan jantan dengan gonad yang belum berkembang
banyak tertangkap pada stasiun 2, sebaliknya jarang ditemukan pada stasiun 7.
Proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada kedalaman 1.5 m hingga 2.5 m,
dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat (habitat A) dan pada
kedalaman 5 m hingga 12 m, bertipe substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi
oleh lamun (habitat B) cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang
gonad, sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada kedalaman 2.5 m hingga 3.5
m, bertipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang kurang padat (habitat T)
cenderung didominasi oleh rajungan yang matang gonad (Gambar 17). Rajungan
betina yang tertangkap pada habitat A didominasi oleh rajungan yang belum matang
78

gonad, sebaliknya yang tertangkap pada habitat T dan B didominasi oleh rajungan
yang matang gonad.
Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian
besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, kecuali yang tertangkap
pada bulan September dan Oktober didominasi oleh rajungan yang matang gonad.
Sebaliknya, rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei ditemukan cenderung
seimbang antara rajungan yang belum matang gonad dan rajungan yang matang
gonad (Gambar 16). Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan dominan
selama lima bulan, namun tidak pada periode bulan yang tidak berurutan, sedangkan
rajungan betina yang matang gonad ditemukan selama tujuh bulan dan dua kali
ditemukan pada bulan yang berurutan. Rajungan betina yang belum matang gonad
ditemukan dominan pada bulan April, Juli, September, Januari dan Maret, sedangkan
rajungan betina yang matang gonad ditemukan dominan pada bulan Mei, Juni,
Agustus, Oktober, November, Desember dan Februari. Hal ini menunjukkan pola
perkembangan gonad rajungan betina yang dominan di Teluk Lasongko yang
ditemukan dalam setahun terjadi silih berganti antara rajungan yang matang gonad
dengan rajungan yang belum matang gonad.
Perkembangan gonad rajungan jantan dan betina juga ditemukan bervariasi
berdasarkan musim. Berdasarkan proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada
musim timur sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad,
sedangkan rajungan betina yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi
oleh yang matang gonad. Namun, jika dilihat dari periode waktu, maka rajungan
betina yang tertangkap pada musim timur antara rajungan yang matang gonad dan
belum matang gonad adalah seimbang karena masing-masing ditemukan dominan
pada tiga bulan yang berbeda. Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan
pada bulan April, Juli dan September, sedangkan rajungan betina yang matang gonad
ditemukan dominan pada bulan Mei, Juni dan Agustus. Proporsi perkembangan
gonad rajungan jantan dan betina pada setiap TKG yang tertangkap pada musim
timur dan barat cenderung bervariasi, namun hasil uji t menunjukkan proporsi
perkembangan setiap TKG adalah sama (p>0.05) antara musim timur dan musim
barat ( Tabel 22).
Rajungan betina yang matang gonad di Teluk Lasongko ditemukan berlangsung
sepanjang tahun dan terdapat tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni, Oktober-
November dan bulan Februari. Proporsi rajungan betina yang matang gonad pada
bulan Juni dan Oktober lebih tinggi dibandingkan dengan sepuluh bulan lainnya
(Gambar 19). Rataan IKG total bulanan rajungan betina pada penelitian ini juga
ditemukan tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni (tertinggi), Agustus dan bulan
Oktober-November (Gambar 20). Nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina
untuk ketiga puncak tersebut masing-masing sebesar 4.41 dan 4.49 untuk bulan Mei
dan Juni, pada bulan Agustus sebesar 3.99, serta pada bulan Oktober dan November
masing-masing sebesar 4.55 dan 3.46. Waktu puncak rajungan yang matang gonad
dan IKG rajungan betina antar lokasi perairan berdasarkan pada beberapa penelitian
sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Potter dan de Lestang 2000; Kamrani et al. 2010;
Kunsook 2011; Kembaren et al. 2012; Sunarto 2012; Ernawati 2013; Safaie et al.
2013; Liu et al. 2014) ditemukan bervariasi.
79

IKG merupakan suatu indikator yang baik untuk menentukan perkembangan


gonad atau ovarium dekapoda (Wu et al. 2007 dalam Liu et al. 2014). Proporsi
rajungan jantan yang matang gonad (TKG III) berdasarkan periode penangkapan
ditemukan berkisar antara 12.77 % hingga 64.86 %, sedangkan yang belum matang
gonad berkisar antara 35.14 % hingga 87.23 % (Gambar 17). Proporsi rajungan
jantan yang matang gonad pada penelitian ini juga ditemukan pada tiga puncak, yaitu
pada bulan April-Mei, kemudian, September-Oktober (tertinggi), dan bulan Februari
(Gambar 18). Pola fluktuasi IKG rajungan jantan dan betina tidak selalu sama karena
rajungan betina dapat menyimpan dan menjaga spermatozoa yang matang di dalam
spermatheca sampai sembilan bulan (Sumpton et al.1994; Batoy et al. 1987). Pola
IKG rajungan dan betina pada penelitian ini juga tidak sama. Rataan IKG total
bulanan rajungan jantan ditemukan pada penelitian ini juga terdiri dari tiga puncak
seperti ditemukan pada rajungan betina, namun periode waktunya relatif tidak
bersamaan, khususnya nilai IKG tertinggi. Ketiga puncak IKG rajungan jantan
masing-masing ditemukan pada bulan April-Mei (tertinggi), bulan Oktober dan bulan
Februari (Gambar 19). Rataan IKG total bulanan rajungan jantan pada ketiga puncak
tersebut adalah 1.02 dan 1.35 untuk bulan April dan Mei, pada bulan Oktober sebesar
1.06 dan bulan Februari sebesar 1.00.
IKG rajungan jantan lebih kecil dari pada IKG rajungan betina. Rataan IKG
secara individu rajungan jantan TKG I sampai TKG III yang ditemukan pada
penelitian ini berkisar antara 0.24 hingga 1.99 (Tabel 23), dan rataan IKG total
bulanan rajungan jantan berkisar antara 0.73 hingga 1.35 (Gambar 18). Sebaliknya,
rataan IKG secara individu rajungan betina TKG I sampai TKG IV temukan di Teluk
Lasongko berkisar antara 0.23 hingga 6.91 (Tabel 23), dan rataan IKG total bulanan
berkisar antara 1.80 hingga 4.49.
Musim kawin rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun dengan
puncak musim kawin pada tiga periode waktu yang berbeda, yaitu pada bulan April,
Juli dan tertinggi pada bulan September (Gambar 20). Puncak musim kawin rajungan
di Teluk Kung Krabaen, Thailand juga ada tiga periode waktu, yaitu berlangsung
pada bulan bulan November, Januari dan Februari, serta April-Juni, dan pada bulan
Juni yang tertinggi (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dan pada beberapa
penelitian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa proporsi perkembangan gonad dan
IKG rajungan jantan dan betina ditemukan bervariasi secara spasial (stasiun dan tipe
habitat) dan temporal (periode penangkapan dan musim).

Musim Pemijahan dan Ukuran Pertama Matang Kelamin


Puncak musim pemijahan rajungan pada penelitian ini diduga berdasarkan pada
nilai IKG rajungan betina dan kehadiran betina ovigerous sebagai pendukung. Puncak
musim pemijahan rajungan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia, Filipina dan
Thailand tertera pada Tabel 27.
Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun, hal
ini ditandai dengan ditemukan rajungan betina ovigerous setiap bulan selama
penelitian (Gambar 20). Puncak musim pemijahan rajungan di perairan ini ditemukan
tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni, Agustus, dan Oktober-November, hal ini sama
80

dengan periode waktu ketiga puncak nilai IKG rajungan betina seperti telah diuraikan
sebelumnya (Gambar 20). Puncak musim pemijahan rajungan di Pantai Leyte dan
Bohol, Filipina (Batoy et al. 1987), Teluk Ragay, Filipina (Ingles dan Braum 1989),
dan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook et al. 2011) juga ditemukan tiga
puncak. Sebaliknya, puncak musim pemijahan rajungan di Perairan Brebes (Sunarto
2012), Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Pantai
Trang, Thailand (Songrak et al. 2014) hanya ditemukan dua puncak, namun periode
waktunya cenderung bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 27).
Tabel 27. Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama matang
kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan
Puncak Musim LKMK (mm)
Lokasi Sumber
Pemijahan (bulan) Terkecil Lk 50 % Kelamin
Leyte & Bohol, Filipina Jan, Apr, Jul 41 55 PK Betina Batoy et al.1987
Teluk Ragay, Luzon, 105.6 Jantan Ingles & Braum
Filipina Feb-Apr, Jul, Okt - 1989
96.4 Betina
Pantai Trang, 78.0- 80.2* Jantan Songrak et al. 2013,
Thailand Selatan Des-Feb, Jul-Sept. 64.5 2014
74.9- 80.9* Betina
Teluk Kung Krabaen, Kunsook 2011;
Thailand Des, Mar, Jul-Agu 58.2 106.2 Betina Kunsook et al. 2014
- 101 Betina
Perairan Brebes Apr, Sept Sunarto 2012
128 Jantan
Kembaren et al
Teluk Bone Mei, Des 69.36 71.63 Betina
2012
Perairan Pati Sept-Nov, Feb - 107.0 Betina Ernawati 2013
Jul , Agu, Sept, Okt - 95.5 Jantan Ihsan et al. 2014
Perairan Pangkep
85.0 106.0 Betina
Mei-Jun, Agu, 83.7 109.8 Jantan
Teluk Lasongko Penelitian ini
Okt-Nov 82.2** 115.7 Betina
PK panjang karapas.; *ukuran karapas dalam (kedua ujung duri lateral tidak terukur).; **TKG III
Hasil analisis dengan kurva logistik diperoleh ukuran 50 % pertama matang
kelamin rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko, yaitu masing-masing dengan
lebar karapas 109.83 mm dan 115.71 mm (Gambar 2). Ukuran 50 % pertama matang
kelamin rajungan jantan di perairan ini masih kisaran ukuran 50 % pertama matang
kelamin rajungan jantan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Asia
Tenggara, yaitu dengan lebar karapas berkisar antara 95.00 mm hingga 128 mm,
sedangkan rajungan betina lebih besar dari pada yang telah dilaporkan pada beberapa
lokasi perairan tersebut, yaitu dengan lebar karapas berkisar antara 71.63 mm hingga
107.0 mm (Tabel 27). Ukuran 50 % pertama matang kelamin rajungan jantan dan
betina berukuran lebih kecil ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012),
kemudian di pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2013, 2014).
Ukuran lebar karapas terkecil rajungan betina yang telah matang gonad di Teluk
Lasongko berkisar antara 82.2 mm (TKG III) hingga 91.8 mm (TKG IV), dan rajungan
jantan sebesar 83.7 mm. Lebar karapas terkecil rajungan betina yang ditemukan pada
penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di Teluk Bone
(Kembaren et al. 2012), Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014) dan Teluk Kung
81

Krabaen, Thailand (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), berkisar antara 58.2 mm
hingga 85.0 mm (Tabel 27).

Simpulan
1. Rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina di Teluk Lasongko secara
spasial dan temporal umumnya seimbang, namun berbeda dengan rasio kelamin
total,
2. Perkembangan kematangan gonad antara rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko cenderung berlangsung tidak seiring baik spasial maupun temporal,
serta indeks kematangan gonad rajungan betina lebih besar dari pada rajungan
jantan,
3. Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun dan
puncaknya terjadi pada bulan Mei-Juni, Agusus, dan Oktober-November, dan
4. Ukuran lebar karapas rajungan jantan 50 % matang kelamin sebesar 109.83 mm
dan rajungan betina sebesar 115.71 mm.
82

5 DISTRIBUSI, FEKUNDITAS, TINGKAT KEMATANGAN


GONAD DAN KADAR BIOKIMIA TELUR RAJUNGAN
MENGERAMI TELUR (OVIGEROUS) DI TELUK LASONGKO

Pendahuluan
Rajungan (Portunus pelagicus) betina yang matang gonad dan juga mengerami
telur (ovigerous) berlangsung di estuari dan perairan dangkal, kemudian bermigrasi
ke perairan pesisir yang lebih dalam untuk melepaskan telurnya (Sumpton et al.
1994; Kangas 2000). Rajungan betina ovigerous yang secara teratur melakukan
migrasi ke perairan dengan dasar pasir untuk melakukan pemijahan (Xiao dan Kumar
2004), dan juga untuk mencari lokasi perairan yang jernih dengan kadar oksigen
terlarut dan salinitas yang tinggi untuk mendukung perkembangan dan kelangsungan
hidup larva yang baru menetas (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000). Rajungan
betina ovigerous yang hidup di perairan estuari lebih kecil atau lebih muda dari pada
yang ditemukan di perairan teluk (Kangas 2000). Penelitian distribusi rajungan betina
ovigerous di Perairan Asia Tenggara telah dilakukan di Pantai Trang, Thailand
(Nitiratsuwan et al. 2010, 2013) berdasarkan kedalaman, fraksi sedimen dan padang
lamun. Kedua penelitian tersebut belum mengkaji distribusi rajungan betina
ovigerous berdasarkan warna telur pada ketiga karaketristik habitat tersebut.
Perkembangan gonad rajungan terjadi di dalam tubuh dan embrio berkembang
berlangsung di luar tubuh rajungan. Perkembangan embrio rajungan dari telur sampai
menjadi zoea terbagi dalam enam tahap (Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009;
Liao et al. 2011), dan pada setiap tahap terjadi perubahan warna, bentuk dan ukuran
telur (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al.
2011; Ikhwanuddin et al. 2012a; Ravi dan Manisseri 2013). Perubahan warna telur
selama perkembangan embrio rajungan bermula dari warna kuning, orange, coklat
dan berakhir warna abu-abu atau hitam (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan
Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Ravi dan Manisseri 2013), karena terjadi
penyerapan warna kuning pada kuning telur dan pigmen mata warna gelap mulai
berkembang (Samuel dan Soundarapandian 2009).
Tingkat kematangan gonad (TKG) dan fekunditas merupakan aspek penting
dalam kajian biologi reproduksi rajungan (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al.
2012a). Data fekunditas dan tingkat kematangan gonad berguna untuk memahami
biologi dan dinamika populasi rajungan (Arshad et al. 2006), dan mengevaluasi
strategi penangkapan rajungan (Johnson et al. 2010; Songrak et al. 2014). Fekunditas
dan tingkat kematangan gonad merupakan bagian dari kajian reproduksi rajungan.
Penelitian tingkat kematangan gonad rajungan betina selama ini masih terfokus pada
rajungan betina yang belum mengerami telur, sedangkan pada rajungan betina
mengerami telur (rajungan betina ovigerous) masih terbatas, diantaranya baru
dilakukan oleh Pillay dan Nair (1971) dan Sumpton et al. (1994). Namun, kedua
penelitian tersebut hanya menganalisis aspek reproduksi rajungan betina ovigerous
berkaitan dengan TKG dan IKG secara temporal, sedangkan yang berkaitan dengan
perubahan warna telur belum dikaji, demikian pula kajian fekunditas rajungan
83

berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous baru dilakukan oleh
Safaie et al. (2013).
Telur mempunyai peran penting dalam sejarah hidup hewan air yang memijah
secara bebas (Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008; Moran dan
Mcalister 2009) dan merupakan salah satu bagian dalam siklus reproduksi dekapoda.
Telur mengandung sejumlah nutrien yang dibutuhkan dalam perkembangan embrio.
Nutrien tersebut digunakan secara bertahap sesuai keperluan sel spesifik yang ditentukan
oleh program genetika embrio (Rosa et al. 2007; Figueiredo et al. 2008a). Siklus
reproduksi, kebugaran telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan
kelangsungan hidup larva dekapoda, termasuk rajungan dipengaruhi oleh kadar
proksimat dan asam lemak telur (Ying et al. 2006; Rosa et al. 2007; Figueiredo et al
2008a, 2008b; Moran dan Mcalister 2009; Figueiredo et al. 2012). Umumnya, kadar
proksimat dan asam lemak telur dekapoda ditentukan oleh ukuran telur, bahan kuning
telur (Figueiredo dan Narciso 2008; Soundarapandian dan Singh 2008; Moran dan
Mcalister 2009), kondisi habitat seperti suhu, salinitas, ketersediaan makanan, dan
kedalaman (Rosa dan Nunes 2003; Figueiredo dan Narciso 2008; Moran dan
Mcalister 2009; Garc’ıa-Guerrero 2010), dan perkembangan embrio (Radhakrishnan
2000; Rosa et al. 2007; Soundarapandian dan Singh 2008; Khoei et al. 2012; Li et al.
2012; Soundarapandian et al. 2013d, 2013e).
Protein merupakan komponen utama yang terkandung dalam telur dekapoda,
namun dalam proses metabolisme embrio, lemak lebih banyak dibutuhkan dari pada
protein (Ying et al. 2006; Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008).
Sumber energi utama dalam proses perkembangan embrio dekapoda adalah lemak
(Ying et al. 2006; Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008; Garc’ıa-
Guerrero 2010; Khoei et al. 2012), juga digunakan sebagai penyusun komponen
struktur membran sel (Figueiredo et al. 2008a; Garc´ıa-Guerrero 2010).
Penelitian kadar proksimat dan asam lemak rajungan selama ini masih banyak
berkaitan dengan perkembangan gonad atau ovarium (Pillay dan Nair 1973;
Soundarpandian dan Singh 2008; Rameshkumar et al. 2009; Ravi dan Manisseri
2010; Bhat et al. 2011, Sugumar et al. 2012; Priya et al. 2013; Muthuvelu et al.
2013), jenis kelamin (Hamsa 1978; Wu et al. 2010; Ayas dan Özoğul 2011), musim
(Pillay dan Nair 1973; Akbar et al. 1998) dan jenis makanan (Oniam et al. 2012).
Sebaliknya, penelitian kadar proksimat dan asam lemak pada telur rajungan sampai
saat ini masih terbatas, yaitu baru dilakukan oleh Radhakrishnan (2000),
Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al. (2012). Namun, mereka belum
menganalisis kadar proksimat pada semua tahap perubahan warna telur selama
perkembangan embrio rajungan. Kajian komposisi dan kadar asam lemak telur
rajungan yang dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al.
(2012) belum dianalisis berdasarkan perbedaan warna telur pada rajungan.
Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis aspek (1) fekunditas rajungan, (2) distribusi, (3) tingkat kematangan
gonad, serta (4) kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan berdasarkan
perubahan warna telur rajungan betina ovigerous.
84

Metode Penelitian

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Maret 2014 di Teluk
Lasongko. Teluk ini terletak pada posisi antara 05o15’hingga 05o27’ LS serta antara
122o27’ hingga 122o33’ BT (Gambar 2), dan secara administratif merupakan bagian
dari wilayah Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur Kabupaten Buton Tengah.
Pengambilan Contoh
Contoh rajungan betina ovigerous ditangkap dengan gill net dasar dengan
ukuram mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci, serta diperoleh dari hasil tangkapan nelayan
yang menangkap di dekat setiap stasiun penelitian ini dengan menggunakan gill net
dasar. Pengambilan contoh rajungan betina ovigerous dilakukan setiap bulan pada
tujuh stasiun (Gambar 2). Rajungan betina ovigerous yang diperoleh tertangkap pada
setiap periode penangkapan langsung disimpan dalam cold box berisi es dan dibawa
ke laboratorium.
Total jumlah contoh rajungan betina ovigerous 168 ekor, terdiri atas 57 ekor
warna kuning, 48 ekor warna orange, 31 ekor warna coklat dan 32 ekor warna abu-
abu gelap dan semua contoh dianalisis TKG nya. Jumlah rajungan betina ovigerous
untuk analisis fekunditas 113 ekor, terdiri atas 49 ekor warna kuning, 45 ekor warna
orange dan 19 ekor coklat muda. Untuk analisis kadar proksimat dan asam lemak
digunakan 95 ekor, terdiri atas 21 ekor warna kuning, 27 ekor warna orange, 26 ekor
warna coklat dan 21 ekor warna abu-abu gelap. Keempat warna telur rajungan betina
ovigerous tertera pada Gambar 23.

Warna Kuning Warna Orange

Warna Coklat muda Warna Abu-abu gelap


Gambar 23. Rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap
85

Semua contoh rajungan ditimbang berat tubuhnya dengan timbangan digital


(Vernier Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 g, dan lebar karapas diukur
dengan jangka sorong (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05) dengan ketelitian 0.05 mm.
Telur rajungan pada abdomen dilepas dari pleopod dengan gunting. Berat telur
ditimbang dengan timbangan digital serta ditimbang contoh telur untuk analisis
fekunditas. Telur rajungan dikeringkan dalam oven pada suhu 65 oC selama 24 jam,
dan contoh telur yang akan digunakan untuk analisis fekunditas dipreservasi dengan
larutan davidson dan alkohol 70 %.
Penentuan Distribusi, Diameter dan Volume Telur Rajungan Betina Ovigerous
Rajungan betina ovigerous terdiri dari warna kuning, orange, coklat, dan abu-
abu gelap. Distribusi rajungan betina ovigerous untuk setiap warna telur tersebut
akan dianalisis berdasarkan karakteristik habitat, khususnya kedalaman, kondisi dasar
(tipe substrat, terbuka atau berupa hamparan pasir, tertutup oleh padang lamun), dan
kekeruhan.
Diameter dan volume telur rajungan yang dianalisis terdiri atas telur rajungan
betina ovigerous berwarna kuning, orange, coklat, dan abu-abu gelap. Jumlah contoh
rajungan betina ovigerous yang dianalisis untuk setiap warna telur tersebut sebanyak
tiga ekor, dan jumlah telur yang diukur unutk setiap ekor rajungan sebanyak 100
butir. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikrometer obyektif dan
mikroskop binokuler (Olympus). Volume telur rajungan dihitung dari data diameter
telur dan dianggap sebagai embrio berbentuk bulat (Figueiredo dan Narciso 2008)
dan ditentukan dengan persamaan berikut :

V .......................................................... (9)

V adalah volume telur (µm3), π (phi) 3.14,dan D diameter telur (µm).

Penentuan Tingkat Kematangan Gonad


Rajungan betina ovigerous yang digunakan dalam analisis tingkat kematangan
gonad (TKG) sebanyak 168 ekor. Lebar karapas setiap rajungan betina ovigerous
tersebut diukur dengan jangka sorong, lalu dibuka karapasnya, diamati TKG nya serta
berat gonad ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0.01g. TKG
rajungan betina ovigerous ditentukan seperti telah diuraikan pada Bab 4. Proporsi
setiap TKG rajungan betina ovigerous ditentukan dengan persamaan (6), dan IKG
rajungan betina ovigerous ditentukan dengan persamaan (7) yang telah diuraikan
pada Bab 4.

Penentuan Fekunditas
Rajungan betina ovigerous yang digunakan dalam penentuan fekunditas
sebanyak 113 ekor, terdiri dari warna kuning, orange dan coklat muda (jumlah setiap
warna telah diuraikan sebelumnya). Fekunditas rajungan ditentukan dengan metode
gravimetrik. Berat contoh telur untuk analisis fekunditas berkisar antara 0.20 g
hingga 0.40 g, serta jumlah telur dihitung dengan mikroskop binokuler (Lecica), dan
fekunditas rajungan dihitung dengan persamaan Jazayeri et al. (2011), yaitu sebagai
berikut :
86

F= n .................................................................... (10)

F adalah fekunditas (butir), G berat total telur (g), g berat contoh telur (g), dan n
jumlah telur yang diamati dibawah mikroskop (butir).
Indeks masa telur ditentukan berdasarkan (Sukumaran dan Neelakantan 1997a;
Josileen 2013), yaitu sebagai berikut :

Indeks masa telur = x 100 ...................... (11)

Analisis Proksimat
Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air, abu, protein, dan lemak serta
karbohidrat untuk setiap warna telur rajungan dan dianalisis berdasarkan prosedur
AOAC (1984). Kadar protein kasar ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan
indikator brom cresol green–methyl red dan kadar protein (%) dihitung dengan
persamaan :

Kadar Protein = x 100 % ............... (12)

S adalah volume titran contoh (ml), B volume titran blanko (ml), w berat kering
contoh (mg), N normalitas HCl, 14 berat atom nitrogen, dan 6.25 faktor konversi
nitrogen menjadi protein.
Lemak diekstraksi dari jaringan telur menggunakan metode ekstrasi soxhlet
dengan pelarut heksan dan dikeringkan pada suhu 100 oC, serta kadarnya ditentukan
dengan metode gravimetrik, dan dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar lemak = x 100 % ......... (13)

Kadar air ditentukan dengan cara sampel telur dikeringkan dalam oven pada
suhu 105 ºC selama delapan jam, dan dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar air = x 100 % ........ (14)

Kadar abu ditentukan secara gravimetrik, sampel telur disimpan dalam cawan
porselin dan dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan dalam tanur pada suhu
600 ºC selama dua jam, dan dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar abu = x 100 % ...................... (15)

Karbohidrat ditentukan dengan metode Carbohydrate by difference (AOAC


1984) dengan persamaan berikut :
100 % - (kadar air + abu + protein + lemak) ...................... (16)

Analisis Asam Lemak


Analisis asam lemak telur rajungan betina ovigerous dilakukan berdasarkan
prosedur AOAC (1984). Lemak diekstraksi dengan metode mojonnier dan
dikeringkan sampai beratnya konstan. Lemak hasil ekstraksi dihidrolisis menjadi
87

asam lemak dan diubah menjadi bentuk metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl
Ester, FAME) yang mudah menguap. FAME dianalisis dengan mengggunakan
kromatografi gas-2010 Plus merek Shimadzu dengan kolom kapiler cyanopropil metil
yang panjangnya 60 meter dengan diameter dalam 0.25 ml dan 025 μm film tickness.
Kecepatan aliran N2, H2, dan udara masing-masing 20 ml menit-1, 30 ml menit-1, dan
200-250 ml menit-1. Suhu injektor dan detektor 200 oC dan 230 oC, suhu awal 190
o
C dan akhir 230 oC dengan laju 10 oC menit-1, volume injeksi 1 μl, rasio 1: 8 dan
laju aliran linear 20 cm detik-1. Asam lemak diidentifikasi dengan membandingkan
waktu retensi FAME dengan standarnya, dan kadar setiap komponen asam lemak
ditentukan dari luas puncak dari kromatografi gas, dan digunakan persamaan berikut :

.................................................................... (17)

Ax adalah area contoh, As area standar dan C berat standar asam lemak

Analisis Data
Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous dianalisis berdasarkan stasiun, warna
telur dan musim sedangkan berat, diameter dan volume telur dianalisis berdasarkan
warna telur. TKG dan IKG dikelompokkan berdasarkan stasiun, warna telur dan
musim. Fekunditas dan berat masa telur rajungan dianalisis berdasarkan stasiun, kelas
ukuran tubuh, warna telur dan musim, sedangkan kadar proksimat dan asam lemak
berdasarkan warna telur. Distribusi, proporsi TKG berdasarkan stasiun dan periode
penangkapan, serta fekunditas berdasarkan kelas ukuran dianalisis secara deskriptif.
Ukuran tubuh dan diameter telur, IKG, fekunditas berdasarkan stasiun dan warna
telur, serta kadar proksimat dan asam lemak berdasarkan warna telur dilakukan
analisis varian (ANOVA) satu arah dan uji Tukey pada taraf nyata 0.05 (P<0.05).
Ukuran tubuh, TKG, IKG, berat masa telur dan fekunditas berdasarkan musim
dilakukan uji t dengan asumsi ragam tidak sama. Data-data tersebut diuji
kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan
Torrie 1992), dan jika hasil uji berbeda nyata, ditransformasi ke log 10, kemudian
dilanjutkan uji ANOVA dan t.
Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui hubungan berat basah dan
berat kering telur rajungan. Analisis serupa juga digunakan untuk menentukan
hubungan lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas rajungan
(Arshad et al. 2006; Johnson et al. 2010; Ikhwanuddin et al. 2012a; Safai et al. 2013).
Selanjutnya dilakukan analisis korelasi dan ANOVA untuk mengetahui keeratan dan
nyata atau tidak nyata setiap hubungan tersebut. Dalam proses analisis data tersebut
digunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 15.

Hasil

Distribusi Rajungan Betina Ovigerous


Rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko ditemukan sepanjang tahun dengan
proporsi berkisar antara 4.00 % hingga 35.71 % dari total jumlah rajungan betina yang
tertangkap setiap bulan, tertinggi tertangkap pada bulan November dan terendah pada
88

September (Gambar 20). Proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada
setiap stasiun berkisar antara 6.72 % hingga 35.00 %, tertinggi ditemukan pada
stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2. Proporsi rajungan betina ovigerous yang
tertangkap selama penelitian pada kedalaman berkisar antara 1.5 m hingga 2.5 m
dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi padang lamun yang padat (habitat A) sebesar
11.95 %, pada kedalaman berkisar 2.5 m hingga 3.5 m dengan tipe susbtrat pasir dan
kondisi padang lamun yang kurang padat (habitat T) sebesar 13.33 %. Proporsi
rajungan betina oveigerous pada kedalaman berkisar antara 5 m hingga 12 m bertipe
substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi lamun (habitat B) sebesar 10.14 %.
Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur dan tipe habitat
yang tertangkap selama penelitian dan ditambah dengan hasil tangkapan nelayan yang
menangkap di sekitar lokasi penelitian selengkapnya tertera pada Tabel 28. Keempat
warna telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dapat ditemukan mulai pada
bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk pada kedalaman antara 0.35 m (surut)
sampai 31.0 m (pasang) dengan tipe substrat mulai dari pasir sampai lempung dan
dengan kondisi dasar perairan mulai dari yang tertutup padang lamun sampai berupa
hamparan pasir (Tabel 28, Gambar 24 dan 25).
Tabel 28. Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat
Tipe Habitat Distribusi rajungan betina ovigerous
Stasiun Kedalaman Tipe Dasar Kekeruhan Kuning Abu-abu
Orange Coklat
(m) substrat perairan (NTU) gelap
0.35-2.35 Pasir Lamun ++ 2.79 √ √ √ 0
1 1.60-3.65 pasir Lamun + 2.14 √ √ √ √
2.65-6.10 PL Hmp. pasir 2.18 √ √ 0 √
0.35-2.15 Pasir Lamun ++ 1.99 √ √ 0 0
2 1.70-3.30 Pasir Lamun + 2.27 √ √ √ √
3.70-6.60 pasir Hmp. pasir 1.60 √ 0 √ √
0.62-2.25 Pasir Lamun ++ 1.36 √ √ √ 0
3 2.00-3.71 Pasir Lamun + 0.99 0 √ √ √
4.00-8.85 PL Hmp. pasir 1.55 √ √ √ √
0.40-2.50 Pasir Lamun ++ 1.53 √ √ √ √
4 2.00-3.30 Pasir Lamun + 1.06 0 0 √ 0
8.85-13.02 PL Hmp. pasir 1.04 √ 0 √ √
0.35-2.60 Pasir Lamun ++ 1.44 √ √ 0 √
5 2.10-3.77 Pasir Lamun + 1.39 0 √ √ √
4.70-9.50 PL Hmp. pasir 1.17 0 0 0 0
6 3.65-9.55 Pasir, LLP Hmp. pasir 1.18 √ √ √ √
7 14.0-31.0 Lempung Hmp. pasir 1.18 √ √ √ √
PL pasir berlempung.; LLP lempung liat berpasir.; ++ padat.; + kurang padat.; Hmp. pasir hamparan
pasir.; √ ditemukan.; 0 tidak ditemukan.
Gambar 24. Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun dan kekeruhan di Teluk Lasongko

89
89
90

Gambar 25. Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan kekeruhan di Teluk Lasongko

90
91

Ukuran Tubuh Rajungan Betina Ovigerous


Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap di Teluk Lasongko
berkisar antara 86.6 mm hingga 162.3 mm dengan berat tubuh berkisar antara 42.75 g
hingga 314.22 g. Rataan lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap
pada setiap stasiun berkisar antara 104.4 mm hingga 125.0 mm dengan berat tubuh
berkisar antara 80.60 g hingga 150.72 g, terbesar ditemukan pada stasiun 7 dan
terkecil pada stasiun 2. Hasil uji ANOVA dan Tukey menunjukkan bahwa ukuran
tubuh rajungan betina ovigerous berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun (Tabel 29).
Tabel 29. Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna telur
dan musim
Variabel Jumlah (ekor) Lebar karapas (mm) Berat tubuh (g)
A. Berdasarkan stasiun
1 15 113.2 + 10.0bc 103.22 + 27.27b
2 8 104.4 + 6.0c 80.60 + 10.44b
ab
3 27 118.3 + 15.0 137.42 + 50.35ac
4 48 122.5 + 9.2ab 139.14 + 35.82ac
5 20 116.7 + 10.7ab 118.98 + 34.75bac
b
6 29 115.4 + 10.8 113.51 + 31.17b
7 21 125.0 + 13.3a 150.72 + 54.57a
B. Berdasarkan warna telur
Kuning 57 119.1 + 9.9a 123.62 + 33.39a
Orange 48 119.2 + 10.2a 129.69 + 33.84a
a
Coklat 31 117.6 + 7.3 119.76 + 25.52a
Abu-abu gelap 32 121.6 + 8.7a 142.16 + 33.83a
C. Berdasarkan musim
Musim timur 67 115.3 + 11.7a 118.72 + 36.72a
Musim barat 101 121.2 + 11.8b 135.60 + 46.40b
Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan lebar karapas rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur yang
tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 117.6 mm hingga 121.6 mm dengan
rataan berat tubuh berkisar antara 119.76 g hingga 142.16 g, terbesar adalah rajungan
betina berwarna abu-abu gelap dan terkecil berwarna coklat. Hasil uji ANOVA
menunjukkan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous adalah seragam (p>0.05) antar
warna telur (Tabel 29).
Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur
berkisar antara 87.6 mm hingga 144.7 mm dengan rataan 115.3 mm, dan berat tubuh
berkisar antara 60.83 g hingga 241.53 g dengan rataan 118.72 g. Lebar karapas
rajungan berina ovigerous yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 86.6 mm
hingga 162.3 mm dengan rataan 121.2 mm, dan berat tubuh berkisar antara 42.75 g
hingga 314.22 g dengan rataan 135.60 g (Tabel 29). Hasil uji t dengan asumsi ragam
tidak sama menunjukkan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous antara musim timur
dan musim barat tidak seragam (p<0.05). Rajungan yang tertangkap pada musim
barat lebih besar dari pada musim timur.
92

Berat, Diameter dan Volume Telur Rajungan


Berat basah telur rajungan betina ovigerous yang tertangkap selama penelitian
berkisar antara 1.50 g hingga 46.47 g, sedangkan berat kering telur berkisar antara
0.17 g hingga 10.55 g. Berat basah telur rajungan betina ovigerous meningkat sebesar
36.35 % dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke warna abu-abu gelap,
sebaliknya berat kering telur menurun sebesar 1.86 %. Hasil uji ANOVA berat basah
dan berat kering telur rajungan betina ovigerous menunjukkan tidak berbeda nyata
(p>0.05) antar warna telur (Tabel 30). Hubungan berat basah dan berat kering telur
untuk keempat warna telur rajungan betina ovigerous menunjukkan hubungan yang
sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif (Gambar 26). Hal ini
menunjukkan bahwa jika berat basah telur meningkat, maka berat kering telur
rajungan juga meningkat. Dilihat dari nilai koefisien regresi (b) pertambahan berat
kering telur tertinggi ditemukan pada telur berwarna kuning dan terendah pada telur
berwarna abu-abu gelap (Gambar 26), hal ini menunjukkan kadar air telur rajungan
berwarna kuning lebih rendah dari pada warna abu-abu gelap.
Tabel 30. Berat, diameter, dan volume telur rajungan betina ovigerous berdasarkan
warna telur
∑ Contoh Berat telur Berat telur Diameter Volume
Warna Telur
(ekor) basah (g) kering (g) telur (µm) telur (µm3)
Kuning 30 17.14 + 8.08a 4.31 + 2.01a 249.2+26.5a 8.5 x 106 a
Orange 29 18.39 + 8.30a 4.18 + 1.61a 291.6+19.4b 13.2 x 106 b
Coklat 26 20.00 + 7.55a 4.65 + 1.92a 310.3+17.8c 15.9 x 106 c
Abu-abu gelap 25 23.37 + 0.56a 4.23 + 1.78a 311.9+21.4c 16.3 x 106 c
Perubahan (%) +36.35 -1.86 +25.16 +91.76
+ = naik - = turun Angka pada kolom dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

12 Bk = 0.23 Bb + 0.365 12 Bk = 0.195Bb+ 0.740


10 R² = 0.851
Berat kering (g)

R² = 0.594
Berat kering (g)

10
8 n= 30 n = 29
8
6 6
4 4
2 2
0 0
0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40
Berat basah (g) (a) Berat basah (g) (c)
10 10
Bk = 0.151Bb + 0.694
Bk = 0.156Bb + 1.328
Berat kering (g)

8 8 R² = 0.805
Berat kerimg (g)

R² = 0.653
n = 25
6 n = 29 6
4 4
2 2
0 0
0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 50
Berat basah (g) (b) Berat basah (g) (d)

Gambar 26. Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan betina
ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d) abu-abu gelap
93

Diameter telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dari warna kuning
sampai warna abu-abu gelap berkisar antara 180 µm hingga 400 µm dan meningkat
sebesar 25.16 %. Volume telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap
berkisar antara 3.1 x 106 µm3 hingga 33.5 x 106 µm3 dan meningkat sebesar 91.76 %
(Tabel 30). Hasil uji ANOVA dan Tukey menunjukkan diameter dan volume telur
berbeda nyata (p<0.05) antar warna telur rajungan ovigerous.

Tingkat Kematangan Gonad Rajungan Betina Ovigerous


Hasil analisis TKG dari 168 ekor contoh rajungan betina ovigerous ditemukan
sekitar 76 % (128 ekor) dengan TKG I sampai IV dan sekitar 24 % (40 ekor) dengan
kondisi gonad belum berkembang. Rajungan betina ovigerous dengan TKG I sampai
TKG IV tersebut, cenderung didominasi oleh TKG II sedangkan proporsi TKG IV
relatif kecil dibandingkan dengan tiga TKG lainnya.
Jumlah rajungan betina ovigerous dengan TKG I sampai IV yang ditemukan
pada setiap stasiun berkisar antara 7 ekor hingga 38 ekor. Rajungan betina ovigerous
yang tertangkap pada stasiun 1, 4, 5, 6 didominasi oleh TKG I dan II atau yang
belum matang gonad, yaitu dengan proporsi berkisar antara 60.53 % hingga 75.00 %
(Gambar 27). Sebaliknya, rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 2
dan 3 antara rajungan yang matang gonad dengan yang belum matang gonad
cenderung seimbang. Proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad pada
kedua stasiun tersebut berkisar antara 55.56 % hingga 57.14 %, sedangkan rajungan
yang belum matang gonad berkisar antara 42.86 % hingga 44.44 % (Gambar 27).
Proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad dan belum matang gonad
yang tertangkap pada stasiun 7 adalah seimbang masing-masing sebesar 50 %, namun
tidak ditemukan rajungan betina ovigerous dengan TKG IV.
100.00

80.00
Proporsi TKG (%)

60.00
TKG IV
TKG III
40.00
TKG II

20.00 TKG I

0.00
1 2 3 4 5 6 7
Stasiun
Gambar 27. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun
Rajungan betina ovigerous warna kuning, orange dan abu-abu gelap didominasi
oleh TKG II, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 45.75 %, 34.29 % dan
32.14 %, sedangkan warna coklat didominasi oleh TKG III (33.33 %). Rajungan
94

betina ovigerous warna kuning dan orange didominasi oleh rajungan yang belum
matang gonad, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 77.50 % dan 80.00 %.
Sebaliknya, rajungan betina ovigerous berwarna coklat dan abu-abu gelap proporsi
rajungan yang matang gonad dan belum matang gonad adalah seimbang, yaitu
keduanya masing-masing dengan proporsi 50 %. Proporsi rajungan betina ovigerous
TKG IV cenderung meningkat dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Gambar 28).
100

80
Proporsi TKG (%)

60
TKG IV
TKG III
40
TKG II
TKG I
20

0
Kuning Orange Coklat Abu-abu gelap
Warna telur
Gambar 28. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur
Jumlah total contoh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim
timur sebanyak 67 ekor, terdiri atas 64.18 % (43 ekor) dengan gonad TKG I sampai
IV, dan 35.82 % (24 ekor) dengan gonad belum berkembang. Sebaliknya, jumlah
total rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat sebanyak 101 ekor,
terdiri dari 84.16 % (85 ekor ) dengan gonad TKG I sampai IV dan 15.84 % (16
ekor) dengan gonad belum berkembang. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap
pada musim timur dan barat didominasi oleh TKG II dan I (belum matang gonad),
masing-masing dengan proporsi sebesar 72.10 % dan 57.65 % (Tabel 31).
Rajungan betina ovigerous hanya yang tertangkap pada bulan November,
Januari dan Februari ditemukan semua tahap perkembangan gonad (TKG I sampai
IV), sedangkan pada bulan lainnya sebagian besar hanya ditemukan tiga tahap
perkembangan gonad. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Mei
hanya terdiri dari TKG III dan IV. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada
bulan Mei, Oktober dan November didominasi oleh rajungan yang matang gonad,
yaitu masing-masing dengan proporsi 100 %, 60.00 % dan 63.63 % dari jumlah
contoh rajungan ovigerous dengan gonad yang telah berkembang (TKG I sampai IV)
yang dianalisis. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Januari
adalah seimbang antara yang matang gonad dan yang belum matang gonad (Tabel
31). Rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko yang tertangkap di luar keempat
95

bulan tersebut didominasi oleh yang belum matang gonad, yaitu masing-masing
dengan proporsi berkisar antara 58.33 % hingga 92.86 %.

Indeks Kematangan Gonad Rajungan Betina Ovigerous


Rataan IKG rajungan betina ovigerous TKG I yang tertangkap pada setiap
stasiun berkisar antara 0.17 hingga 0.68, tertinggi tertangkap pada stasiun 1 dan
terendah pada stasiun 2. Rataan IKG rajungan betina ovigerous TKG II berkisar
antara 0.77 hingga 1.45, tertinggi tertangkap pada stasiun 6 dan terendah ditemukan
pada stasiun 4. Rataan IKG rajungan betina ovigerous TKG III berkisar antara 1.22
hingga 2.55, dan pada TKG IV berkisar antara 2.22 hingga 3.84. IKG rajungan
betina ovigerous TKG III dan IV tertinggi keduanya ditemukan pada stasiun 2
sedangkan terendah masing-masing ditemukan pada stasiun 6 dan stasiun 4 (Tabel
31). IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 3 umumnya
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap pada enam
stasiun lainnya, namun hasil analisis ANOVA menunjukkan IKG pada setiap TKG
tidak berbeda nyata (p>0.05) antar stasiun.
Tabel 31. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous pada setiap periode penangkapan
dan musim
Bulan Proporsi setiap TKG (%) Jumlah
I II III IV (ekor)
April 25.00 50.00 25.00 4
Mei 50.00 50.00 2
Juni 75.00 12.50 12.50 8
Juli 22.22 55.56 22.22 9
Agustus 77.78 11.11 11.11 9
September 27.27 45.45 27.27 11
Oktober 40 46.67 13.33 15
November 27.27 9.09 45.45 18.18 11
Desember 25.00 33.33 41.67 12
Januari 16.67 33.33 33.33 16.67 18
Februari 33.33 33.33 6.67 26.67 15
Maret 42.86 50.00 7.14 14
Musim timur 27.91 44.19 9.30 18.60 43
Musim barat 23.53 34.12 29.41 12.94 85
IKG rajungan betina ovigerous dengan TKG I tertinggi ditemukan pada warna
coklat dan terendah pada warna kuning, sedangkan pada TKG II, IKG tertinggi
ditemukan pada warna kuning dan terendah pada warna orange. IKG rajungan
betina ovigerous TKG III dan IV tertinggi ditemukan pada warna abu-abu gelap
sedangkan terendah ditemukan pada warna orange untuk TKG III dan warna kuning
untuk TKG IV (Tabel 32). Hasil analisis ANOVA menunjukkan IKG rajungan
betina ovigerous pada setiap TKG seragam (p>0.05) antar warna telur. Secara
umum, nilai IKG rajungan betina ovigerous berwarna abu-abu gelap lebih tinggi
dibandingkan dengan tiga warna telur lainnya.
96

Hasil uji statistik (uji t), hanya IKG rajungan betina ovigerous dengan TKG I
dan II menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan musim barat
(Tabel 31). IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat
sebagian besar lebih kecil dari pada musim timur (Tabel 32).
Tabel 32. IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan stasiun,
warna telur dan musim
IKG berdasarkan TKG
Variabel
I II III IV
A. Stasiun
1 0.68 + 0.19a 1.01 + 0.73a 1.75 3.39 + 0.84a
a a a
2 0.17 + 0.14 0.82 + 0.72 2.55 + 0.48 3.84
3 0.25 + 0.24a 1.29 + 1.15a 2.20 + 0.53a 3.62 + 0.70a
4 0.54 + 0.17a 1.02 + 0.37a 1.88 + 0.83a 2.22 + 1.00a
5 0.35 + 0.10a 0.81 + 0.24a 1.53 + 0.48a 2.82 + 0.87a
a a a
6 0.50 + 0.34 1.45 + 0.42 1.22 + 0.18 3.57
a a a
7 0.43 + 0.19 0.77 + 0.23 1.63 + 0.67
B. Warna Telur
Kuning 0.36 + 0.20a 1,23 + 0.72a 1.65 + 0.69a 1.85 + 1.33a
Orange 0.45 + 0.20a 0.86 + 0.35a 1.36 + 0.33a 1.86 + 0.49a
a a
Coklat 0.85 1.15 + 0.63 1.87 + 0.48 2.98 + 1.46a
Abu-abu gelap 0.40 + 0.34a 1.10 + 0.40a 1.99 + 1.04a 3.29 + 0.55a
C. Musim
Musim timur 0.29 + 0.24a 1.41 + 0.62a 2.36 + 1.16a 2.86 + 1.30a
b b a
Musim barat 0.48 + 0.20 0.91+ 0. 48 1.73 + 0.66 2.38 + 1.20a
Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous yang tertangkap selama
penelitian ditemukan sangat bervariasi (Gambar 29). Pada Gambar 29 terlihat IKG
rajungan betina ovigerous tertinggi tertangkap pada bulan Oktober (1.86) dan
terendah pada bulan Agustus (0.45). Rataan IKG rajungan betina ovigerous yang
tertangkap pada musim barat cenderung menurun sedangkan yang tertangkap pada
musim timur juga cenderung berfluktuasi (Gambar 29).

Gambar 29. Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous


97

Fekunditas dan Berat Telur


Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko dari hasil analisis dari 113 ekor contoh
rajungan betina ovigerous berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir (rataan
717 032 + 327 140 butir). Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous pada setiap
stasiun berkisar antara 436 142 butir hingga 841 595 butir dengan berat tubuh
berkisar antara 78.98 g hingga 156.71 g, tertinggi tertangkap pada stasiun 7 dan
terendah pada stasiun 2 (Tabel 33).
Tabel 33. Fekunditas, berat telur, berat tubuh dan indeks masa telur rajungan betina
ovigerous berdasarkan stasiun
Jumlah Fekunditas Berat telur Berat tubuh Indeks
Stasiun
(ekor) (butir) (g) (g) Telur
1 10 641 213a 16.47 + 5.32a 108.41 + 29.71 15.19
2 6 436 142ac 12.37 + 3.56abd 78.98 + 19.21 15.67
3 19 822 090ab 21.31+ 8.79a 134.55 + 45.74 15.83
4 29 796 436ab 22.99 + 7.74ac 140.63 + 39.47 16.35
5 18 584 138a 16.32 + 7.36ab 115.62 + 35.06 14.12
6 22 689 021a 18.60 + 7.82a 113.46 + 32.35 16.40
7 9 841 595a 22.72 + 12.93a 156.71 + 70.74 14.50
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
Rataan berat telur rajungan betina ovigerous pada setiap stasiun berkisar antara
12.37 g hingga 22.99 g, tertinggi ditemukan pada stasiun 4 dan terendah pada stasiun
2. Indeks masa telur rajungan pada setiap stasiun berkisar 14.12 hingga 16.40, tertinggi
ditemukan pada stasiun 6 dan terendah pada stasiun 5. Hasil analisis ANOVA dan
Tukey menunjukkan bahwa fekunditas dan berat telur rajungan betina ovigerous
tidak sama (p<0.05) antar stasiun (Tabel 33).
Tabel 34. Rataan ukuran tubuh, berat telur, fekunditas dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan kelas ukuran lebar karapas
Kelas Ukuran Jumlah Lebar karapas Berat tubuh Berat telur Fekunditas Indeks
(mm) (ekor) (mm) (g) (g) (butir) Telur
86.6 - 96.6 2 87.1 + 0.7 89.09 + 65.53 13.76 + 13.49 469 666 15.45
96.7 - 106.6 17 102.6 + 3.3 78.20 + 9.72 12.25 + 4.15 455 734 15.66
106.7 - 116.6 32 111.9 + 2.3 103.31 + 14.91 15.89 + 4.37 581 572 15.64
116.7 - 126.6 34 120.9 + 2.2 127.49 + 15.95 19.58 + 5.57 694 927 15.36
126.7 - 136.6 17 130.2 + 2.4 164.16 + 30.57 27.17 + 5.75 963 135 16.55
136.7 - 146.6 10 139.8 + 2.7 194.98 + 30.48 27.59 + 10.14 1 147 353 14.15
156.7 - 166.6 1 162.3 314.22 54.46 2 078 874 17.33

Rataan fekunditas rajungan berdasarkan kelas ukuran lebar karapas rajungan


betina ovigerous berkisar antara 469 666 butir hingga 2 078 874 butir (Tabel 34),
tertinggi ditemukan pada kelas ukuran karapas lebar 156.7-166.6 mm, dan terendah
pada kelas ukuran lebar karapas 86.6-96.6 mm, namun kedua kelas ukuran rajungan
tersebut jarang ditemukan. Rataan fekunditas rajungan yang sering tertangkap pada
penelitian ini adalah 694 927 butir dan 581 572 butir atau pada kelas lebar karapas
98

116.7-126.6 mm dan 106.7-116.6 mm (Tabel 34), sebaliknya kelas ukuran lebar


karapas 146.7-156.6 mm tidak ditemukan pada penelitian ini.
Rataan berat telur rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini
berkisar antara 12.25 g hingga 54.46 g dan rataan indeks masa telur berkisar antara
14.13 hingga 17.33 (Tabel 34). Berat telur dan indeks telur rajungan betina ovigerous
cenderung meningkat dengan bertambahnya kelas rajungan. Hubungan lebar karapas,
berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas total contoh rajungan betina ovigerous
menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif
(Gambar 30), demikian juga antara berat tubuh dan berat telur rajungan. Nilai
koefisien kolerasi (r) setiap hubungan tersebut berkisar antara 0.747 hingga 0.915.
25
Fekunsitas x 100000

Fekunditas x 100000
F = 19268 Lk - 2E+06 25 F = 6224.Bt- 53530
20 R² = 0.563 n = 113 20 R² = 0,699 n =113
15 15
10 10
5 5
0 0
50 100 150 200 50 150 250 350

Lebar Karapas (mm) (a) Berat Tubuh (g) (b)

25 60
Fekunditas x 100000

F = 35433Be + 21145 Be= 0,162 Bt - 0,461


Berat Telur (g)

20 R² = 0,837 n = 113 R² = 0,714 n = 113


40
15
10 20
5
0 0
5 25 45 65 50 150 250 350
Berat Telur (g) (c) Berat Tubuh (g) (d)
Gambar 30. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) berdasarkan total contoh
rajungan betina ovigerous
Fekunditas, berat telur dan berat tubuh bervariasi pada setiap kelompok warna
telur rajungan ovigerous. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning lebih bervariasi
dibandingkan dengan dua warna telur lainnya. Namun demikian, hasil ANOVA
menunjukkan bahwa fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous
seragam (p>0.05) antar warna telur (Tabel 35).
Tabel 35. Rataan fekunditas, berat telur , berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur
Jumlah Fekunditas Berat telur Berat tubuh Indeks
Warna telur
(ekor) (butir) (g) (g) Telur
Kuning 49 672289a 18.67+8.66a 122.38 + 44.73a 15.26
Orange 45 748179a 19.94+9.24a 133.17+46.98a 14.97
Coklat muda 19 749481a 21.35+5.46a 115.32+27.42a 18.51
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
99

Fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna kuning berkisar antara 326 848
butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 672 289 butir, serta berat telur berkisar
antara 1.67 g hingga 54.46 g dengan rataan 18.67 g (Tabel 35). Hasil analisis regresi
linear hubungan antara lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas
rajungan betina ovigerous berwarna kuning menunjukkan hubungan yang sangat
nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif, demikian juga antara berat tubuh dan
berat telur (Gambar 31).
25 25
Fekunditas x 100000

F = 20405 Lk - 2E+06

Fekunditas x 100000
F = 6455.Bt - 10027
20 R² = 0.651 n = 49 20
R² = 0.823 n = 49
15 15
10 10
5 5
0 0
50 100 150 200 50 100 150 200 250 300 350

Lebar karapas (mm) (a) Berat tubuh (g) (b)


25 60
Fekunditas x 100000

F = 36288 Be - 7168. Be = 0,171 Bt - 1.778

Beret telur (g)


20 R² = 0.911 n = 49 R² = 0.840 n = 49
40
15
10 20
5
0 0
5 25 45 65 50 150 250 350
Berat telur (g) (c) Berat total tubuh (g) (d)

Gambar 31. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina
ovigerous warna kuning
Fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna orange berkisar antara 222 031
butir hingga 1 816 334 butir dengan rataan 748 179 butir. Berat telur rajungan betina
ovigerous tersebut berkisar antara 4.22 g hingga 42.75 g dengan rataan 19.94 g, serta
indeks masa telur sebesar 14.97 (Tabel 35). Hubungan lebar karapas, berat tubuh dan
berat telur dengan fekunditas rajungan betina ovigerous warna orange menunjukkan
hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif, dan hal yang sama
juga terjadi pada hubungan antara berat tubuh dengan berat telur (Gambar 32).
Fekunditas rajungan betina ovigerous warna coklat muda berkisar antara 401
137 butir hingga 1 106 030 butir dengan rataan 749 481 butir , dan berat tubuh
berkisar antara 51.47 g hingga158.46 g dengan rataan 115.32 g, serta rataan berat
telur 21.35 g (Tabel 35) dan indeks masa telur 8.51. Hubungan lebar karapas dan
fekunditas rajungan betina ovigerous warna coklat muda menunjukkan hubungan
nyata (p<0.05), berkorelasi cukup kuat dan positif. Hubungan lebar karapas, berat
tubuh serta berat telur dan fekunditas rajungan menunjukkan hubungan sangat nyata
(p<0.01), berkorelasi kuat dan positif demikian juga antara berat tubuh dan berat
telur juga menunjukkan sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif (Gambar 33).
100

20 20

x 100000
x 100000 F = 6523.Bt - 13197
15 15 R² = 0.716 n = 45
F= 21582Lk - 2E+06
R² = 0.584 n = 45
10 10

Fekunditas
Fekunditas

5 5

0 0
50 70 90 110 130 150 50 100 150 200 250 300
Berat tubuh (g) (b)
Lebar karapas (mm) (a)
60
x 100000

20 Be = 0,174Bt - 3.156
F = 33614Be + 62915 R² = 0.726 n = 45

Berat telur (g)


15 R² = 0.793 n = 45 40
Fekunditas

10
20
5
0
0
5 15 25 35 45 50 100 150 200 250 300
Berat telur (g) (c) Berat tubuh (g) (d)

Gambar 32. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina
ovigerous warna orange
15 15
Fekunditas x 100000

F = 12774Lk - 76457 F = 4155.Bt + 25206


Fekunditas x 100000

R² = 0.280 n= 19 R² = 0.405 n= 19
10 10

5 5

0
0
25 75 125 175
70 90 110 130 150

Lebar karapas (mm) (a) Berat tubuh (g) (b)


15
40
Fekunditas x 100000

F = 27451 Be + 16153 Be = 0.153 Bt + 3.292


R² = 0.632 n = 19 R² = 0.679 n = 19
Berat telur (g)

10 30

20
5
10

0 0
5 15 25 35 50 100 150 200

Berat telur (g) (c) Berat tubuh (g) (d)

Gambar 33. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan
fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina
ovigerous warna kuning coklat muda
Fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap
pada setiap musim ditemukan bervariasi. Fekunditas, berat telur dan berat tubuh
rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat relatif lebih bervariasi
101

dari pada yang tertangkap pada musim timur. Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak
sama menunjukkan fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous
seragam (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 36).
Tabel 36. Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur
rajungan betina ovigerous berdasarkan musim
Jumlah Fekunditas Berat telur Berat tubuh Indeks
Musim
(ekor) (butir) (g) (g) Telur
Musim timur 47 709284a 19.90+7.38a 120.16+37.14a 16.56
Koefisien variasi (%) 41.09 30.91 37.08
Musim barat 66 722550a 19.43+9.19a 129.29+47.40a 15.03
Koefisien variasi (%) 48.78 36.66 47.29
Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous pada setiap bulan selama penelitian
tertera pada Gambar 34. Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous yang tertangkap
setiap bulan berkisar antara 556 248 butir hingga 868 261 butir, tertinggi tertangkap
pada bulan Mei dan terendah pada bulan Agustus.

.
Gambar 34. Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan

Kadar Proksimat Telur Rajungan


Kadar proksimat telur rajungan betina ovigerous tertinggi adalah kadar air dan
terendah kadar lemak (Tabel 37). Rataan kadar air telur rajungan berkisar antara
73.56 % hingga 82.53 %, tertinggi pada telur warna abu-abu gelap dan terendah pada
telur warna kuning. Hasil ANOVA menunjukkan kadar air berbeda nyata (p<0.05)
antar warna telur, serta hasil uji Tukey hanya rataan kadar air telur berwarna kuning
dan orange dengan telur berwarna abu-abu gelap berbeda nyata (p<0.05). Sebaliknya,
rataan kadar air telur rajungan antar warna lainnya relatif sama (p>0.05). Kadar air
telur rajungan betina ovigerous meningkat sekitar 12 % dengan perubahan warna
telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel 37).
102

Rataan kadar abu telur rajungan berkisar antara 1.57 % hingga 1.94 %,
tertinggi pada telur berwarna abu-abu gelap dan terendah pada warna coklat, serta
kadar abu meningkat sebesar 23.03 % dengan perubahan warna telur dari warna
kuning ke warna abu-abu gelap. Hasil uji ANOVA menunjukkan kadar abu dan
lemak tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur rajungan. Rataan kadar lemak
telur rajungan berkisar antara 1.31 % hingga 1.71 %, tertinggi pada telur warna coklat
dan terendah pada telur warna abu-abu gelap. Kadar lemak menurun sebesar 20.12 %
dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap.
Tabel 37. Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur
Kadar proksimat (% w/w)
No. Warna Telur
Air Abu Lemak Protein Karbohidrat
1. Kuning 73.56+4.41a 1.78+0.45a 1.64+0.33a 15.97+2.93b 7.06 +1.08b
2. Orange 76.00+2.81a 1.94+0.24a 1.66+0.33a 14.38+1.99ab 6.01 +1.03b
3. Coklat 81.24+4.04ab 1.57+0.52a 1.71+0.43a 11.37+3.10ab 4.23 +1.04a
4. Abu-abu gelap 82.53+4.31b 2.19+0.43a 1.31+0.57a 10.93+2.92a 3.09 +1.09a
Perubahan (%) +12.19 +23.03 -20.12 -31.56 -54.82
+ kadarnya naik .; - = kadarnya turun.; w = berat basah.; Angka pada kolom yang sama dengan
huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).
Rataan kadar protein telur rajungan berkisar antara 10.93 % hingga 15.97 %,
tertinggi ditemukan pada telur warna kuning dan terendah pada warna abu-abu gelap.
Hasil ANOVA menunjukkan kadar protein telur berbeda nyata (p<0.05) antar warna
telur. Berdasarkan uji Tukey, hanya antara telur warna kuning dan warna abu-abu
gelap yang berbeda nyata (p<0.05) kadar proteinnya, sedangkan kadar protein antar
warna lain tidak berbeda nyata (p>0.05). Kadar protein dan kadar karbohidrat
menurun masing-masing sebesar 31.56 % dan 54.82 % dengan perubahan warna telur
rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel 37). Rataan kadar
karbohidrat telur rajungan berkisar antara 3.09 % hingga 7.06 %, tertinggi ditemukan
pada telur warna kuning dan terendah abu-abu gelap. Hasil analisis ANOVA
menunjukkan kadar karbohidrat berbeda nyata (p<0.05) antara warna telur rajungan.
Namun, hasil uji Tukey menunjukkan kadar karbohidrat telur rajungan hanya antara
warna abu-abu gelap dan coklat dengan warna kuning dan coklat berbeda nyata (p<0.05),
sedangkan antar kedua pasang warna telur tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05).

Jenis dan Kadar Asam Lemak Telur Rajungan


Jumlah asam lemak yang ditemukan pada telur rajungan adalah 29 jenis (Tabel
38), terdiri atas 12 jenis asam lemak jenuh atau saturated fatty acid (SFA), delapan
jenis asam lemak tak jenuh tunggal atau mono unsaturated fatty acid (MUFA), dan
sembilan jenis asam lemak tak jenuh jamak atau poly unsaturated fatty acid (PUFA).
Jenis SFA yang dominan adalah asam palmitik, asam stearik dan asam miristik,
kemudian MUFA yang dominan terdiri dari asam oleik dan asam palmitoleid. Jenis
PUFA yang dominan adalah asam arakhidonat (ARA), asam eikosapentaenoat (EPA)
dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Asam kaprat hanya ditemukan pada warna
kuning dan orange, serta asam tridekanoat hanya ditemukan pada telur warna orange
103

dan coklat, dan asam miristoleat tidak ditemukan pada warna telur abu-abu gelap.
Asam nervonat hanya ditemukan pada telur warna kuning dan coklat, serta asam
linolelaidat hanya ditemukan pada telur warna orange (Tabel 38).
Tabel 38. Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur
Kadar asam lemak (%) /Warna telur Perubahan
Jenis asam lemak
Kuning Orange Coklat Abu-abu gelap (%)
A. SFA 26.42+0.42c 18.83+0.18a 28.45+0.11d 23.11+ 0.84b -12.56
Capric acid, C10:0 0.08+0.06 0.02+0.00 td td -75
Lauric acid, C12:0 0.04+0.01 0.06+0.01 0.06+0.01 0.04+0.01 0
Tridecanoic acid, C13:0 td 0.02+0.00 0.02+0.00 td 0
Myristic acid, C14:0 1.43+0.05 1.27+0.08 1.49+0.07 0.76+0.11 -46.67
Pentadecanoic acid, C15:0 0.99+0.26 0.64+0.00 0.72+0.21 0.54+0.04 -45.45
Palmitic acid, C16:0 15.39+1.49 11.46+0.25 16.25+0.63 12.18+0.54 -20.86
Heptadecanoic acid, C17:0 1.21+0.19 0.66+0.03 1.31+0.01 1.01+0.03 -16.60
Stearic acid, C18:0 6.17+0.49 4.06+0.01 7.20+0.33 7.28+0.00 +17.60
Arachidic acid, C20:0 0.55+0.09 0.34+0.02 0.74+0.04 0.68+0.01 +24.77
Heneicosanoic acid, C21:0 0.18+0.00 0.08+0.01 0.18+0.01 0.10+0.01 -44.44
Behenic acid, C22:0 0.29+0.04 0.18+0.03 0.38+0.02 0.47+0.01 +63.79
Lignoceric acid, C24:0 0.12+ 0.02 0.07+0.01 0.13+.0.00 0.08+0.06 -33.33
B. MUFA 14.17+2.57a 11.70+0.01a 14.15+0.64a 9.51+0.48a -32.89
Myristoleic acid, C14:1 0.05 + 0.03 0.04+0.00 0.05+0.02 td 0
Palmitoleic acid, C16:1 6.15+1.88 5.34+0.19 5.56+0.74 2.65+0.11 -56.88
Cis-10-Heptadecanoic acid, C17:1 0.08+0.02 0.07+0.01 0.07+0.01 0.05+0.01 -43.75
Elaidic acid, C18:1n9t 0.31+0.07 0.26+0.01 0.34+0.04 0.24+0.01 -22.95
Oleic acid, C18:1n9c 7.23+0.77 5.76+0.25 7.77+0.10 `6.31+0.31 -12.79
Cis-11-Eicosenoic acid, C20:1 0.21+0.01 0.21+0.03 0.26+0.06 0.25+0.07 +16.28
Erucic acid, C22:1n9 0.10+0.00 0.03+0.01 0.05+0.00 0.02+0.01 -75
Nervonic acid, C24:1 0.05+0.02 td 0.05+0.02 td 0
C. PUFA 13.22+2.30ab 9.34+1.41a 17.72+0.77bc 23.02+0.39c +74.23
Linolelaidic acid, C18:2n9t td 0.04+0.00 td td 0
Linoleic acid, C18:2n6c 0.75+0.04 0.70+0.03 0.99+0.07 0.85+0.02 +14.09
Linolenic acid, C18:3n3 0.34+0.02 0.19+0.03 0.39+0.03 0.21+0.01 -38.24
Cis-11,14-Eicosedienoic acid,
0.70+0.15 0.31+0.03 0.85+0.24 0.78+0.17 +12.23
C20:2
Cis-8,11,14-Eicosetrienoic acid,
0.20+0.02 0.16+0.01 0.25+0.02 0.16+0.00 -17.95
C20:3n6
Cis-11,14,17-Eicosetrienoic acid,
0.06+0.01 0.04+0.01 0.07+0.02 0.08+0.02 +25.00
C20:3n3
ARA, C20:4n6 3.26+0.75 2.90+0.49 3.91+0.39 7.38+0.29 +126.73
EPA, C20:5n3 3.23+0.88 2.76+0.17 4.98+0.09 7.26+0.65 +124.61
DHA, C22:6n3 4.70+0.56 2.25+0.73 6.30+0.24 6.32+0.58 +34.50
D. Total asam lemak 53.81+0.70b 39.87+1.56a 60.32+0.03c 55.64+0.93b +3.40
∑(n-3) 8.39 5.29 11.79 13.93 +66.13
∑(n-6) 4.39 3.91 5.395 8.55 +94.76
∑(n-3)/∑(n-6) 1.91 1.35 2.19 1.63 -14.70
EPA/DHA 0.69 1.23 0.79 1.15 +66.99
EPA/ARA 0.99 0.96 1.27 0.98 -0.93
td tidak terdeteksi.; - kadarnya turun.; +kadarnya naik.; Angka pada baris yang sama dengan huruf
sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).
104

Rataan kadar total asam lemak telur rajungan berkisar antara 39.87 % hingga
60.32 %, dan terbagi atas kadar SFA berkisar 18.83 % hingga 28.45 %, kadar MUFA
berkisar antara 9.51 % hingga 14.17 %, dan kadar PUFA berkisar antara 9.34 %
hingga 23.02 % (Tabel 38). Kadar total asam lemak dan SFA telur rajungan tertinggi
ditemukan pada telur warna coklat, kadar PUFA tertinggi ditemukan pada telur warna
abu-abu gelap, sedangkan kadar total asam lemak, SFA dan PUFA terendah
ditemukan pada telur warna orange. Kadar MUFA tertinggi ditemukan pada telur
warna kuning, dan terendah pada telur warna abu-abu gelap. Kadar SFA menurun
sebesar 12.56 % dan MUFA sebesar 32.89 %, sebaliknya kadar PUFA meningkat
sebesar 74.23 % dan total asam lemak sebesar 3.40 % seiring dengan perubahan
warna telur rajungan dari warna kuning ke abu-abu gelap (Tabel 38).
Hasil uji ANOVA kadar SFA, PUFA dan total asam lemak telur berbeda nyata
(p<0.05) antar warna telur rajungan, sebaliknya MUFA tidak berbeda nyata (p>0.05).
Hasil uji Tukey menunjukkan kadar SFA antar warna telur rajungan berbeda nyata
(p<0.05), dan juga kadar PUFA antara telur warna kuning dan orange dengan telur
warna abu-abu gelap, serta antara telur warna orange dengan warna coklat berbeda
nyata (p<0.05). Hasil uji Tukey menunjukkan kadar total asam lemak telur rajungan
hanya antara warna kuning dan warna abu-abu gelap yang tidak berbeda nyata
(p<0.05) (Tabel 38).
Jenis SFA yang mengalami penurunan kadar terbesar adalah asam kaprik,
sedangkan jenis MUFA adalah asam erucik, yaitu keduanya turun 75 % akibat
perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel
38). Jenis SFA yang juga menurun kadarnya adalah asam meristik, pentadecanoik,
heneicosanoik dan asam lignocerik, sedangkan kadar asam behenik, asam arachidik
dan asam stearik meningkat, dan kadar asam laurik dan asam tridecanoik tidak
berubah dengan perubahan warna telur rajungan tersebut. Asam palmitoleik dan
heptadecanoik adalah kelompok MUFA ditemukan kadarnya menurun, serta kadar
asam eicosenoik meningkat, namun kadar asam miristoleik dan asam nervonik
relatif tidak mengalami perubahan dengan perubahan warna telur rajungan tersebut.
Kadar PUFA umumnya meningkat seiring perubahan warna telur rajungan dari
kuning ke abu-abu gelap, kecuali asam linolenik dan asam eicosetrienoik (Tabel 38).
Jenis PUFA yang kadarnya meningkat tajam selama perkembangan embrio rajungan
adalah ARA, EPA dan DHA. Jumlah kadar asam lemak omega-3 (n-3) telur
rajungan lebih tinggi dari pada asam lemak omega-6 (n-6), namun kadar kedua
kelompok asam lemak tersebut meningkat dengan perubahan warna telur rajungan
dari warna kuning ke abu-abu gelap. Rasio asam lemak n-3 terhadap asam lemak n-6
menurun dengan perubahan warna telur rajungan dari kuning ke abu-abu gelap (Tabel
38). Rasio EPA terhadap DHA meningkat sekitar 67 % dengan perubahan warna telur
rajungan dari kuning ke abu-abu gelap, sebaliknya rasio EPA terhadap ARA menurun
< 1 % (Tabel 38) dengan perubahan warna telur rajungan tersebut.

Pembahasan
Keberadaan dan Distribusi Rajungan Betina Ovigerous
Keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko serupa dengan yang
ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Asia Tenggara (Batoy et al. 1987, Ingles dan
105

Braum 1989; Nitiratsuwan et al. 2010; Ikhwanuddin et al. 2011; Kunsook 2011;
Sunarto 2012; Songrak et al. 2014), yaitu dapat ditemukan sepanjang tahun. Proporsi
rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang
ditemukan di Teluk Kung Krabaen dan di Pantai Trang, Thailand, yaitu berkisar antara
4.4 % hingga 55.56 % (Kunsook 2011; Nitiratsuwan et al. 2013; Songkrak et al.
2014). Puncak keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko yang terjadi
pada bulan Oktober-November lebih tinggi dibandingkan yang tertjadi pada bulan
Juli-Agustus dan bulan Februari (Gambar 20). Periode waktu puncak tertinggi
keberadaan rajungan betina ovigerous tersebut bersamaan juga ditemukan suhu dan
salinitas lebih tinggi. Suhu dan salinitas di perairan ini pada bulan Oktober dan
November lebih tinggi dari pada sepuluh bulan lainnya (Gambar 3). Hal ini
menunjukkan bahwa puncak keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko
berkaitan dengan suhu dan salinitas. Hal ini didukung oleh pernyataan de Lestang et al.
(2003) bahwa suhu dan salinitas sangat menentukan siklus reproduksi dan
perkembangan gonad rajungan.
Secara umum, proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bagian
tengah (stasiun 6) dengan kedalaman berkisar antara 3.65 m hingga 9.55 m dan tipe
substrat pasir dan lempung liat berpasir, pada stasiun 7 dengan kedalaman 14.0 m
hingga 31.0 m dan tipe substrat lempung, dan kondisi dasar perairan berupa hamparan
pasir lebih tinggi dari pada yang tertangkap pada lima stasiun lainnya. Kondisi habitat
rajungan betina ovigerous pada kelima stasiun tersebut sebagian besar bertipe substrat
pasir (Tabel 1 dan Gambar 25) dan ditumbuhi lamun (Tabel 2 dan Gambar 24).
Distribusi rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko berdasarkan pada warna
telur yang dierami tidak memperlihatkan pola yang jelas terhadap kedalaman, tipe
substrat, kondisi dasar perairan dan kekeruhan (Tabel 28). Hal ini bertentangan
dengan yang ditemukan pada penelitian sebelumnya (Kangas 2000; Potter dan de
Lestang 2000; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Nitiratsuwan et al. 2013)
bahwa distribusi rajungan betina ovigerous dipengaruhi oleh kedalaman dan tipe
substrat dan kekeruhan air. Rajungan betina ovigerous dengan warna telur dari kuning
sampai abu-abu gelap hampir ditemukan pada semua tipe habitat, yaitu mulai dari
bagian intertidal yang ditumbuhi oleh lamun yang padat dengan tipe substrat pasir dan
relatif keruh sampai pada bagian mulut teluk dengan dasar perairan berupa hamparan
pasir dengan tipe substrat lempung (Tabel 28). Keempat warna telur rajungan
ovigerous ditemukan pada bagian tengah teluk (stasiun 6) dan pada bagian yang dalam
(stasiun 7).
Pada beberapa penelitian sebelumnya (Potter et al. 1983; Sumpton et al. 1994;
Kangas 2000; Xiao dan Kumar 2004) dilaporkan bahwa rajungan betina ovigerous
melakukan migrasi ke bagian perairan yang dalam dan jernih dengan kondisi substrat
berpasir untuk melakukan pemijahan. Sebaliknya, pada penelitian ini rajungan betina
ovigerous warna abu-abu gelap dapat ditemukan di padang lamun dengan kondisi air
yang relatif keruh. Pada bagian kepala teluk (stasiun 1 dan 2) yang relatif keruh hanya
pada kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 2.35 m dan ditumbuhi lamun yang
padat tidak ditemukan betina ovigerous warna abu-abu gelap, dan juga tidak
ditemukan pada stasiun 3 (Tabel 28). Rajungan betina ovigerous warna abu-abu
106

gelap juga tidak ditemukan pada stasiun 4, khususnya pada kedalaman 2.0 m hingga
3.30 m dengan kondisi lamun yang kurang padat. Hal ini mengindikasikan bahwa
lokasi pemijahan rajungan di Teluk Lasongko tidak selamanya berlangsung pada
lokasi yang dalam dengan kondisi air yang jernih, namun diduga dapat berlangsung di
daerah padang lamun yang dangkal (kedalaman berkisar antara 0.40 m hingga 3.71 m)
dan juga pada lokasi yang keruh (stasiun 1). Dugaan tersebut didasarkan pada hasil
penelitian Arshad et al. (2006) bahwa telur rajungan berwarna abu-abu gelap tidak ada
lagi perkembangan yang berarti dan telur siap menetas dalam periode waktu 12 jam
hingga 24 jam. Namun, untuk membuktikan dugaan tersebut dapat dilakukan dengan
mengkaji pola migrasi rajungan betina ovigerous, diantaranya dengan metode
penandaan (tagging), dan juga mengalisis distribusi larva rajungan di Teluk Lasongko.

Ukuran Tubuh, Diameter dan Volume Telur


Ukuran lebar karapas tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap di Teluk
Lasongko bervariasi, yaitu berkisar antara 86.6 mm hingga 162.3 mm dengan berat
tubuh berkisar antara 42.75 g hingga 314.22 g. Koefisien variasi lebar karapas
rajungan betina ovigerous berkisar antara 7.56 % hingga 9.94 % dan berat tubuh
berkisar antara 24.55 % hingga 32.57 %. Hal ini menunjukkan bahwa berat tubuh
rajungan betina ovigerous lebih bervariasi dari pada lebar karapas. Ukuran tubuh
rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur dan barat lebih
bervariasi dari pada berdasarkan stasiun dan warna telur yang dierami. Ukuran
rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 7 lebih besar, sebaliknya
yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 lebih kecil dibandingkan dengan yang
tertangkap pada stasiun lainnya. Stasiun 7 terletak pada bagian mulut teluk dan
perairannya lebih dalam (>14 m sampai 31 m) sedangkan stasiun 1 dan 2 terletak di
bagian kepala teluk dengan kondisi perairan lebih keruh dan dangkal (1 m sampai 4
m). Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous TKG I ditemukan lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran rajungan dengan TKG II, III dan IV. Rajungan betina
ovigerous yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur.
Rajungan betina ovigerous terbesar tertangkap di stasiun 7 pada bulan November
dengan telur berwarna kuning muda dan kondisi gonad TKG III, sedangkan yang
terkecil tertangkap di stasiun 3 pada bulan Maret dengan telur berwarna orange dan
kondisi gonad TKG I. Rajungan betina ovigerous terkecil tersebut tertangkap pada
bagian intertidal dan jarak dari garis pantai sekitar 100 m dengan tipe substrat pasir
dan ditumbuhi lamun yang padat dan kedalaman air sekitar 100 cm.
Ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada
penelitian ini menunjukkan ukuran lebar karapas rajungan betina dewasa dan telah
mampu melakukan reproduksi. Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang
ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran lebar karapas rajungan betina
ovigerous yang ditemukan beberapa lokasi perairan di Asia Tenggara. Lebar karapas
rajungan betina ovigerous di Perairan Malaysia Timur dan Barat, yaitu berkisar antara
96.4 mm hingga 193 mm (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2011, 2012a),
ukuran terkecil ditemukan di Pantai Johor Baru, Malaysia Barat (Ikhwanuddin et al.
2012a), dan ukuran terbesar ditemukan di Pantai Sematan, Serawak, Malaysia Timur
(Ikhwanuddin et al. 2011). Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang ditemukan
107

di perairan Thailand berkisar antara 64.5 mm hingga 141.5 mm (Nitiratsuwan et al.


2010; Kunsook et al. 2011; Songrak et al. 2014), ukuran terbesar dan terkecil
ditemukan di Pantai Trang (Nitiratsuwan et al. 2010). Ukuran rajungan betina
ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang ditemukan di
Perairan Malaysia Timur dan Barat, namun lebih besar dari yang ditemukan di
Perairan Thailand. Adanya perbedaan ukuran rajungan betina ovigerous tersebut
diduga disebabkan oleh perbedaan tipe perairan, kondisi habitat dan tekanan
penangkapan antar lokasi perairan. Hal ini didukung oleh Kangas (2000) dan Potter
(2000) bahwa rajungan betina ovigerous yang ditemukan di estuari lebih kecil atau
lebih muda dari pada yang ditemukan di perairan teluk.
Diameter telur pada setiap warna yang ditemukan pada penelitian ini lebih
kecil dari yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya, yaitu berkisar antara 300 µm
hingga 420 µm (Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Ikhwanuddin et al.
2011, 2012a; Safaie et al. 2013). Volume telur rajungan yang ditemukan pada
penelitian ini lebih kecil dari yang dilaporkan oleh Ravi dan Manisseri (2013).
Namun demikian, pola perubahan ukuran telur yang ditemukan pada penelitian ini
identik dengan yang ditemukan pada penelitian sebelumnya (Arshad et al. 2006;
Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Ikhwanuddin et al. 2011, 2012a; Ravi
dan Manisseri 2013; Safaie et al. 2013) bahwa selama perkembangan embrio
rajungan diantaranya mengalami perubahan ukuran dan warna telur. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran telur selama perkembangan embrio yang
ditandai dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke abu-abu gelap masing-
masing sebesar 25.16 % untuk diameter telur dan volume telur sebesar 91.76 %.
Peningkatan diameter dan volume telur tersebut disebabkan oleh ukuran embrio yang
dierami semakin bertambah besar dan juga karena volume air dalam telur semakin
meningkat (Arshad et al. 2006; Liao et al. 2011; Ravi dan Manisseri 2013).

Tingkat Kematangan Gonad


Rajungan betina ovigerous ditemukan dengan TKG I sampai TKG IV mencapai
sekitar 76 % dari total contoh rajungan, dan 24 % dengan kondisi gonad belum
berkembang. Rajungan betina ovigerous dengan TKG I sampai IV yang tertangkap
pada musim barat lebih tinggi dari pada musim timur, yaitu masing-masing sekitar
50 % dan 26 %. Sebaliknya, rajungan betina ovigerous dengan gonad belum
berkembang yang tertangkap pada musim timur lebih tinggi dari pada musim barat,
yaitu masing-masing dengan proporsi 14 % dan 10 %. Proporsi rajungan betina
ovigerous dengan TKG IV cenderung meningkat dari warna kuning ke warna abu-
abu gelap, dan proporsi rajungan betina ovigerous dengan gonad belum berkembang
semakin menurun.
Proporsi setiap TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna telur
serta periode dan musim penangkapan ditemukan bervariasi (Tabel 32, Gambar 25
dan 26). Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada setiap stasiun sebagian
besar cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, kecuali yang
tertangkap pada stasiun 7 antara rajungan yang matang gonad dan belum matang
gonad adalah seimbang, namun tidak ditemukan TKG IV.
108

Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa ada perbedaan warna telur pada
setiap stadia kematangan gonad. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan
orange umumnya merupakan rajungan yang belum matang gonad, sedangkan
rajungan betina dengan telur warna coklat dan abu-abu gelap antara yang matang
gonad dengan yang belum matang gonad adalah seimbang. Namun, demikian
proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad meningkat dengan perubahan
warna telur dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Gambar 26). Berdasarkan
warna telur menunjukkan bahwa peningkatan TKG rajungan betina ovigerous terjadi
seiring dengan perubahan warna telur rajungan, yaitu dari warna kuning ke warna
abu-abu gelap. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan gonad dalam tubuh
rajungan betina ovigerous terjadi bersamaan (paralel) dengan perkembangan embrio
yang ada di luar tubuhnya.
Adanya perkembangan kematangan gonad dan embrio rajungan betina
ovigerous berlangsung paralel yang ditemukan pada penelitian ini, merupakan suatu
bukti bahwa rajungan dapat mengeluarkan telur lebih dari satu tahap (batch) telur
dalam satu musim pemijahan atau dengan kata lain rajungan memijah secara parsial
(partial spawner). Gonad yang sedang berkembang dalam tubuh rajungan betina
ovigerous akan dikeluarkan pada tahap berikutnya dalam musim pemijahan yang
sama, dan hal ini berpotensi meningkatkan hasil reproduksi rajungan.
TKG dan proporsi setiap TKG rajungan betina ovigerous yang ditemukan
dalam penelitan ini pada setiap periode penangkapan cukup bervariasi. Rajungan
betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi oleh TKG
I dan II (belum matang gonad), namun proporsi rajungan betina ovigerous dengan
TKG III dan IV yang tertangkap pada musim barat lebih tinggi dari pada yang
tertangkap pada musim timur, sedangkan untuk TKG I dan II (belum matang gonad)
terjadi sebaliknya (Tabel 31). Hal ini memperkuat bukti yang dinyatakan pada
bagian sebelumnya (Bab 4) bahwa puncak musim pemijahan rajungan tertinggi di
Teluk Lasongko terjadi pada bulan Oktober-November atau pada musim barat
(Gambar 20).
Rataan IKG setiap TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna
dan musim berkisar antara 0.17 hingga 3.39 (Tabel 31), dan ditemukan cukup
bervariasi, namun antar stasiun dan warna telur rajungan tidak berbeda nyata
(p>0.05), kecuali antar musim. Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous
pada penelitian ini berkisar antara 0.45 hingga 1.93 (Gambar 20), lebih rendah dari
yang ditemukan di Pantai Cochin, yaitu berkisar antara 0.50 dan 3.16 (Pillay dan
Nair 1971). Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous pada penelitian ini
lebih rendah dari pada rataan IKG total bulanan rajungan betina yang belum
ovigerous, yaitu berkisar antara 1.80 hingga 4.55 (Gambar 19) dan mirip dengan yang
ditemukan di Pantai Cochin, India, yaitu berkisar 0.17 hingga 6.85 (Pillay dan Nair
1971). Hal ini diduga karena alokasi penggunaan energi untuk reproduksi pada
rajungan betina ovigerous terbagi untuk perkembangan embrio dan perkembangan
gonad sehingga berat gonad yang dihasilkan lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian
ini dapat diketahui bahwa berat gonad rajungan betina ovigerous pada TKG II, III dan
IV umumnya lebih rendah dari pada rajungan betina yang belum mencapai ovigerous.
Hal ini didukung oleh penelitian Oniam et al. (2014) bahwa fekunditas rajungan yang
109

dihasilkan pada pemijahan pertama lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pada
pemijahan kedua untuk rajungan betina ovigerous yang sama.
IKG rajungan betina ovigerous pada penelitian ini juga lebih rendah dari IKG
Scylla olivacea, yaitu berkisar antara 0.66 hingga 10.22 (Azmie et al. 2012) dan P.
sanguinolentus yang belum ovigerous, berkisar 1.26 hingga 4.90 (Soundarapandian
et al. 2013b). IKG rajungan betina ovigerous semakin besar dengan meningkatnya
tingkat kematangan gonad karena ukuran gonad semakin bertambah besar. IKG
rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur lebih tinggi dari pada
yang tertangkap pada musim barat (Tabel 31), karena diduga ketersediaan makanan
rajungan pada musim timur lebih tinggi dari pada musim barat. IKG rajungan betina
ovigerous tertinggi tertangkap pada bulan April dan terendah tertangkap pada bulan
Agustus (Gambar 20). IKG rajungan betina ovigerous pada bulan Agustus lebih
rendah dibandingkan dengan pada bulan lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh delapan
ekor rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan tersebut, tujuh ekor
diantaranya ditemukan dengan TKG I dan satu ekor dengan TKG II.

Fekunditas
Rataan berat basah masa telur rajungan betina ovigerous yang tertangkap di
Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar antara 16.32 g hingga 22.99 g, dan
berdasarkan kelas ukuran berkisar antara 12.25 g hingga 54.46 g, serta berdasarkan
warna telur berkisar antara 18.67 g hingga 21.35 g. Berat telur rajungan yang
diperoleh pada penelitian ini lebih ringan dari pada yang dilaporkan sebelumnya
(Arshad et al. 2006; Josileen 2013), yaitu berkisar antara 11.96 g hingga 61.5 g,
namun lebih berat dari yang dilaporkan oleh Sukumaran dan Neelakantan (1997,
1998), yaitu berkisar antara 1.99 g hingga 25.29 g. Ukuran tubuh (berat tubuh dan
lebar karapas) dan berat basah telur rajungan betina ovigerous pada penelitian ini
ditemukan bervariasi, dan menjadi penyebab bervariasinya fekunditas rajungan di
Teluk Lasongko. Namun, hasil uji statistik (ANOVA) menunjukkan bahwa berat
basah dan berat kering telur rajungan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur
rajungan betina ovigerous (Tabel 30).
Indeks masa telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko cenderung
meningkat dengan meningkatnya ukuran tubuh dan perubahan warna telur. Indeks
masa telur pada penelitian ini lebih tinggi dari Sukumaran dan Neelakantan (1997a)
dan Josileen (2013), namun indeks masa telur dari kedua penelitian ini tidak
memperlihatkan pola yang jelas terhadap perubahan ukuran tubuh rajungan betina
ovigerous. Hubungan linear berat tubuh dan berat telur rajungan betina ovigerous
menunjukkan hubungan yang sangat nyata, berkorelasi kuat serta positif. Secara
umum, rajungan betina ovigerous yang tubuhnya lebih berat memiliki bobot telur
yang lebih tinggi juga, namun pada kasus tertentu anggapan tersebut tidak berlaku.
Berat telur rajungan terkecil (1.67 g) pada penelitian ini ditemukan pada rajungan
betina ovigerous dengan berat tubuh 166.23 g dan lebar karapas 136.9 mm.
Fekunditas rajungan yang ditemukan di Teluk Lasongko cukup bervariasi, yaitu
berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 717 032 butir, dan
rataan fekunditas tersebut lebih rendah dari pada di Pantai Pati (Ernawati 2013).
Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko masih dalam kisaran fekunditas rajungan
110

yang ditemukan pada beberapa lokasi di Asia Tenggara, yaitu berkisar 105 443 butir
hingga 2 132 924 butir (Batoy et al. 1987, 1988; Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin
et al. 2011, 2012a; Oniam et al. 2012; Songrak et al. 2014). Fekunditas rajungan
tertinggi ditemukan di Pantai Sematan, Sarawak, Malaysia Timur (Ikhwanuddin et al.
2011), dan terendah di Pantai Johor, Malaysia Barat (Ikhwanuddin et al. 2012a).
Hasil penelitian fekunditas pada beberapa penelitian di Asia Tenggara menunjukkan
bahwa fekunditas rajungan bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 39).
Tabel 39. Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas (LK) rajungan betina
ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara
Fekunditas Berat telur LK
Lokasi Sumber
(butir) (g) (mm)
Teluk Kung Krabaen, Thailand 572 138 26.62 118.8 Kunsook 2011
Pantai Trang, Thailand 472 357 - 80.9 *) Songrak et al. 2014
Port Dickson, Malayasia 766 651 44.77 141.04 Arshad et al. 2006
Sematan-Sawarak, Malayasia 2 132 924 - 16.5 Ikhwanuddin et al. 2011
Pantai Johor, Malaysia 105 443 - 112.88 Ikhwanuddin et al. 2012a
Pantai Pati, Indonesia 957 200 - 124.88 Ernawati 2013
Teluk Lasongko, Indonesia 717 032 19.71 118.87 Penelitian ini
*)
lebar karapas dalam.; - tidak ada data.
Variasi fekunditas rajungan terbesar pada penelitian ini ditemukan berdasarkan
kelas ukuran, yaitu dengan koefisien variasi berkisar antara 23.13 % hingga 71.49 %,
sedangkan yang terkecil berdasarkan warna telur rajungan betina ovigerous, yaitu
berkisar antara 23.98 % hingga 49.67 %. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecederungan
fekunditas meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran rajungan, namun
besarnya peningkatan tersebut bervariasi pada kelas ukuran yang sama.
Rataan fekunditas rajungan yang dominan ditemukan di Teluk Lasongko
berkisar antara 694 927 butir hingga 599 717 butir dengan kelas ukuran lebar karapas
rajungan betina ovigerous 116.7-126.6 mm dan 106.7-116.6 mm (Tabel 34).
Fekunditas rajungan di Pantai Karnataka didominasi oleh 324 218 butir dan 541 610
butir pada kelas ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous 110-120 mm dan
140-150 mm (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan1997a), dan di Pantai
Mandapan, India 640 431 butir dengan lebar karapas 120-129 mm (Josileen 2013).
Rataan fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berdasarkan warna telur rajungan
betina ovigerous berkisar antara 700 698 butir hingga 733 794 butir dengan rataan
lebar karapas berkisar antara 117.2 mm hingga 120.0 mm (Tabel 7), tertinggi
ditemukan pada warna coklat muda dan terendah pada warna kuning.
Hubungan antara lebar karapas, berat tubuh rajungan betina ovigerous dan berat
telur dengan fekunditas menunjukkan hubungan linear yang sangat nyata, berkolerasi
kuat dan positif. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan lebar karapas, berat tubuh
dan berat masa telur akan diikuti oleh peningkatan fekunditas rajungan. Nilai
koefisien determinasi (R2) hubungan berat telur dengan fekunditas rajungan lebih
tinggi dari pada hubungan lebar karapas dan berat tubuh tubuh rajungan betina
ovigerous. Hal ini disebabkan oleh lebar karapas berhubungan sangat kuat dengan
111

ukuran lebar dan panjang abdomen rajungan betina (Tabel 14 dan Gambar 11).
Ukuran abdomen rajungan betina dewasa semakin besar, karena berfungsi untuk
menampung telur selama dierami atau perkembangan embrio. Oleh karena itu, untuk
memprediksi fekunditas rajungan secara empiris dengan persamaan regresi linear
lebih tepat apabila menggunakan berat telur dari pada lebar karapas dan berat total
tubuh rajungan betina ovigerous sebagai variabel penduga.

Kadar Proksimat Telur


Kadar abu telur rajungan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar abu telur Podophthalmus vigil (Soundarapandian et al. 2013f) dan daging
rajungan betina (Hamsa 1978; Chaiyawat et al. 2008). Kadar abu telur rajungan pada
penelitian ini juga ditemukan meningkat (23.03 %) selama perkembangan embrio
yang ditandai dengan perubahan warna telur dari kuning ke warna abu-abu gelap. Hal
ini identik dengan yang ditemukan pada telur Hyas araneus (Petersen dan Anger 1997)
dan Chionoecetes opilio (Reppond et al. 2008).
Kadar lemak, protein dan karbohidrat telur rajungan pada penelitian ini
ditemukan menurun selama perkembangan embrio, hal ini terlihat dari perubahan
warna telur rajungan dari warna kuning ke abu-abu gelap. Sebaliknya, pada penelitian
Radhakrishnan (2000) dan Khoei et al. (2012) ditemukan kadar lemak telur rajungan
meningkat akibat perubahan warna telur rajungan dari kuning ke coklat, namun kadar
protein dan karbohidrat menurun.

Jenis dan Kadar Asam Lemak Telur


Jenis asam lemak telur rajungan selama perkembangan embrio yang ditandai
oleh perubahan warna telur dari kuning ke abu-abu gelap juga mengalami perubahan
jumlah jenis dan kadar. Jumlah jenis asam lemak telur rajungan yang ditemukan
pada penelitian ini 29 jenis. Jenis-jenis asam lemak telur rajungan yang penting dan
berperan sebagai sumber energi dan materi yang utama dalam perkembangan embrio
rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari asam palmitat, stearat,
palmitoleat, oleat, ARA, EPA dan DHA. Kadar ketujuh jenis asam lemak tersebut
ditemukan lebih tinggi dari pada jenis asam lemak lainnya, yaitu berkisar antara 2.25 %
hingga 7.77 % (Tabel 38).
Penurunan kadar total asam lemak, SFA dan PUFA telur rajungan terbesar
ditemukan pada telur warna orange, sedangkan MUFA terjadi pada telur berwarna
abu-abu gelap (Tabel 38). Kadar MUFA, khususnya asam palmitoleik ditemukan
menurun drastis pada telur rajungan warna abu-abu gelap. Hal ini menunjukkan
bahwa MUFA banyak digunakan sebagai sumber energi dan materi pada akhir
perkembangan embrio rajungan.
Kadar SFA dan MUFA telur rajungan selama perkembangan embrio yang
ditandai dengan terjadinya perubahan warna telur dari warna kuning ke warna abu-
abu gelap umumnya menurun, kecuali asam arakhidat, asam stearat dan asam behenat
untuk SFA, dan asam eikosenoat untuk MUFA. Selama perkembangan embrio
rajungan pada penelitian ini ditemukan kadar SFA menurun 12.56 % dan MUFA
32.89 %, sebaliknya kadar PUFA meningkat 74.23 %. Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok SFA dan MUFA digunakan sebagai sumber energi selama perkembangan
embrio rajungan, namun pemanfaatan MUFA lebih besar dari pada SFA. Temuan ini
112

identik dengan ditemukan pada beberapa jenis dekapoda yang hidup di laut, Polybius
henslowii, Macropipus tuberculatus dan Plesionika narval (Rosa et al. 2007).
PUFA telur rajungan pada penelitian ini sebagian besar cenderung kurang
dimanfaatkan selama perkembangan embrio dilihat dari kadar PUFA dengan
perubahan warna telur dari warna kuning ke abu-abu gelap ditemukan meningkat,
kecuali asam linolenik dan asam eicosetrienoik (Tabel 38). PUFA, khususnya jenis
asam lemak esensial (ARA, EPA dan DHA) umumnya digunakan sebagai sumber
energi pada larva rajungan yang baru menetas.
Kadar ARA, EPA dan DHA pada telur rajungan warna orange menurun drastis,
namun pada telur rajungan warna coklat dan abu-abu gelap kadarnya meningkat. Hal
ini menunjukkan bahwa ketiga jenis asam lemak tersebut banyak dimanfaatkan pada
tahap gastrula dan pembentukan placode mata embrio rajungan, dan pada tahap
selanjutnya sebagian besar disimpan sebagai cadangan energi dan digunakan pada
tahap awal larva (zoea) rajungan. Hal ini merupakan strategi rajungan untuk
meningkatkan kelangsungan hidup larva yang baru ditetaskan.

Simpulan
1. Distribusi rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dari warna kuning sampai
warna abu-abu gelap ditemukan pada berbagai tipe habitat, dan frekuensi
tertangkap pada stasiun 6 dan 7 cenderung lebih tinggi dari pada lima stasiun
lainnya,
2. Tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko
cenderung meningkat seiring dengan perubahan warna telur dari warna kuning
menjadi warna abu-abu gelap,
3. Tipe pemijahan rajungan di Teluk Lasongko bersifat parsial (partial spawner),
4. Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078
874 butir (rataan 717 032 + 327 140 butir), dan
5. Kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan mengalami perubahan seiring
dengan perubahan warna telur.
113

6 DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus


Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO

Pendahuluan
Parameter dinamika populasi atau yang lazim disebut dengan parameter
populasi meliputi parameter pertumbuhan, rekrutmen dan kematian. Jika salah satu
parameter tersebut berubah, maka akan mempengaruhi perubahan struktur dan
keberadaan populasi rajungan pada suatu perairan, sehingga keberadaan data struktur
dan parameter populasi rajungan merupakan informasi yang dibutuhkan dalam
menyusun kebijakan pengelolaan rajungan (Potter et al. 2001; Dineshbabu et al.
2008; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Nilai parameter
populasi rajungan diantaranya dipengaruhi oleh intensitas penangkapan yang terjadi
pada suatu perairan.
Penelitian pendugaan parameter populasi rajungan di Indonesia sebelum tahun
2010 masih jarang dilakukan (Kembaren et al. 2012). Data parameter populasi
rajungan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan yang rasional untuk mendukung
kelestarian populasi rajungan dan keberlanjutan penangkapannya. Penelitian
parameter populasi rajungan di Indonesia, diantaranya telah dilakukan di Perairan
Bangkalan (Muhsoni dan Abida 2009), Perairan Brebes (Sunarto 2012), Teluk Bone
(Kembaren et al. 2012), Perairan Pati (Ernawati 2013), dan Perairan Pangkep (Ihsan
et al. 2014). Hasil dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa parameter
populasi rajungan juga bervariasi antar lokasi perairan.
Teluk Lasongko terletak di Pulau Muna dan secara administratif termasuk
wilayah Kabupaten Buton Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara. Perairan ini
merupakan daerah penangkapan rajungan di Kabupaten Buton Tengah dan telah lama
dilakukan penangkapan oleh nelayan di kawasan Teluk Lasongko. Penangkapan
rajungan secara intensif di perairan ini telah terjadi sejak awal tahun 2000-an, akibat
permintaan pasar rajungan semakin tinggi (Hamid 2011). Sejak kurun waktu tersebut
telah terjadi perubahan penggunaan alat tangkap rajungan dari bubu yang terbuat dari
anyaman bambu ke gillnet dasar. Jenis alat tangkap rajungan yang dominan
digunakan di Teluk Lasongko pada saat ini adalah bubu lipat. Dampak dari
penangkapan intensif dan perubahan jenis alat tangkap yang digunakan tersebut dapat
berpengaruh terhadap struktur populasi dan parameter populasi serta keberlanjutan
populasi rajungan di Teluk Lasongko.
Parameter populasi dan tingkat eksploitasi rajungan di Teluk Lasongko sampai
saat ini belum diketahui. Keadaan ini merupakan salah satu hambatan untuk
melakukan upaya pengelolaan rajungan yang rasional di perairan ini. Oleh karena itu,
penelitian tentang parameter-parameter populasi dan tingkat eksploitasi rajungan di
Teluk Lasongko perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek
(1) struktur kelompok ukuran, (2) pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta (3)
tingkat eksploitasi populasi rajungan.
114

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton
Tengah. Perairan ini secara administratif terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan
Lakudo dan Mawasangka Timur, dan teluk ini terletak pada posisi 05o15’-05o27’ LS
dan 122o27’-122o33’ BT (Gambar 2). Penelitian berlangsung mulai dari bulan April
2013 sampai Maret 2014.

Penentuan Stasiun
Lokasi stasiun pengambilan contoh rajungan dilakukan mulai pada bagian
kepala teluk sampai bagian mulut teluk, lokasi ini merupakan daerah penangkapan
rajungan di Teluk Lasongko. Jumlah stasiun pengambilan contoh rajungan pada
penelitian ini sebanyak tujuh stasiun. Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi padang
lamun, tipe substrat dan kedalaman perairan. Rincian kondisi setiap stasiun telah
dijelaskan pada Bab 2.

Pengukuran Parameter Dinamika Populasi Rajungan


Populasi rajungan yang tersebar di Teluk Lasongko dianggap berasal dari satu
populasi, karena tidak terpisah oleh hambatan geografis (mulai dari bagian mulut
sampai kepala teluk) sehingga saling berinteraksi untuk melakukan aktivitas
reproduksi, khususnya untuk melangsungkan perkawinan dan pemijahan secara acak.
Rajungan di perairan ini mempunyai pola reproduksi (pemijahan), pertumbuhan dan
kematian yang sama pada seluruh perairan Teluk Lasongko. Berdasarkan hal tersebut,
maka dalam analisis parameter dinamika populasi rajungan tidak dipisahkan menurut
stasiun dan tipe habitat.
Data yang digunakan untuk analisis parameter dinamika populasi rajungan
menggunakan data lebar karapas rajungan yang diperoleh pada setiap periode
penangkapan. Data ini telah ditabulasi dalam bentuk distribusi frekuensi ukuran lebar
karapas pada setiap kelas ukuran seperti dijelaskan pada Bab 3 bagian distribusi
frekuensi kelas ukuran. Parameter populasi rajungan yang dianalisis berdasarkan
data tersebut meliputi kelompok ukuran, parameter pertumbuhan (lebar karapas
infinitif, koefisien pertumbuhan dan umur teoritis), parameter kematian (kematian
total, alami, dan penangkapan), rekrutmen dan tingkat eksploitasi.

Penentuan Kelompok Ukuran


Pemisahan kelompok ukuran rajungan berdasarkan ukuran lebar karapas kedua
jenis kelamin rajungan dan dianalisis dengan metode Bhattacharya. Metode ini
merupakan salah satu metode grafis untuk memisahkan data sebaran frekuensi lebar
karapas rajungan ke dalam beberapa distribusi normal dengan menggunakan FISAT
II pada sub program modal progression analysis (Gayanilo et al. 2005).

Pendugaan Parameter Pertumbuhan


Parameter pertumbuhan rajungan jantan dan betina ditentukan dengan
persamaan pertumbuhan panjang von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) dan
115

dalam menganalisis parameter pertumbuhan rajungan jantan dan betina dilakukan


secara terpisah. Parameter pertumbuhan rajungan diduga dengan ELEFAN I sebagai
sub program FISAT II (Gayanilo et al. 2005). Persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy didasarkan pada lebar karapas rajungan sebagai berikut :
LKt = LK∞ [1-e-K(t-to)] ...……….…................................... (18)
LKt lebar karapas rajungan pada saat t (mm), LK∞ lebar karapas infinitif rajungan
(mm), K koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (tahun-1), t umur dugaan rajungan
(tahun), dan to umur teoritis rajungan (tahun). Umur teoritis rajungan diduga dengan
menggunakan persamaan empiris (Pauly 1984), yaitu sebagai berikut :
Log-to = -0.3952 - 0.2752 log LK∞ - 1.038 log K ...................... (19)
Indeks performa pertumbuhan berdasarkan Pauly (1984) digunakan untuk
membedakan performa pertumbuhan antara rajungan jantan dan betina dengan
persamaan seperti berikut :
Ø = log K+2 log LK∞ ............................................. (20)
Ø adalah indeks performa pertumbuhan rajungan, LK∞ lebar karapas infinitif
rajungan (mm), dan K koefisien pertumbuhan (tahun-1).

Pendugaan Rekrutmen Rajungan


Data yang digunakan untuk menduga nilai rekrutmen terdiri dari data frekuensi
ukuran panjang karapas gabungan jantan dan betina, nilai LK∞, nilai K, dan nilai to.
Rekrutmen dihitung secara teoritis dengan menggunakan sub program recruitment
patterns dari FISAT II (Gayanilo et al. 2005), yaitu dengan memasukkan nilai
parameter pertumbuhan von Bertalanffy (LK∞, K dan to), dan akan dihasilkan grafik
puncak-puncak rekrutmen rajungan setiap bulan.

Pendugaan Tingkat Kematian dan Eksploitasi


Tingkat kematian total (Z) rajungan juga ditentukan dengan menggunakan
program FISAT II (Gayanilo et al. 2005). Data yang digunakan untuk menduga nilai
kematian total (Z) rajungan adalah berdasarkan data distribusi frekuensi ukuran lebar
karapas rajungan jantan dan betina dengan kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke
panjang linear dengan interval waktu yang sama (Pauly 1984; Sparre dan Venema
1999; Gayanilo et al. 2005) dan persamaannya sebagai berikut :
ln (N/Δt) = a + bt .............................................. (21)
N jumlah rajungan dalam kelas ukuran tertentu (ekor), Δt waktu yang dibutuhkan
rajungan untuk tumbuh dalam kelas ukuran (tahun), t umur relatif (tahun), a intersep
dan b koefisien regresi. Nilai Z sama dengan nilai b yang diperoleh dari persamaan
regresi antara logaritma natural dari kurva hasil tangkapan dikonversi ke dalam lebar
karapas rajungan yang dihasilkan dengan program FISAT II.
Tingkat kematian alami rajungan (M) diduga dengan menggunakan rumus
empiris Pauly (1984) dengan persamaan berikut :
Log (M) = -0,0066-0,279 Log (LK∞) +0,6543 Log (K) +0,4637 log (T) ... (22)
116

LK∞ lebar karapas infinitif rajungan (mm), K koefisien pertumbuhan rajungan


(tahun-1), dan T suhu rataan tahunan perairan Teluk Lasongko (oC). Kematian
penangkapan (F) ditentukan berdasarkan pengurangan kematian total (Z) dengan
kematian alami (M), dan dihitung dengan persamaan berikut :
F=Z-M .......................................................... (23)
Tingkat eksploitasi (E) merupakan rasio antara kematian penangkapan (F)
dengan kematian total (Z) (Pauly 1984; Sparre dan Venema 1999; Sawusdee dan
Songrak 2009; Kamrani et al. 2010 ), sehingga nilai E diduga dengan persamaan
berikut :
E= ..................................................................... (24)

Jika nilai E> 0.5 menunjukkan tingkat eksploitasi rajungan tergolong tangkap
lebih (overfishing), E=0.5 menandakan tingkat eksploitasi rajungan optimum, dan
E<0.5 berarti tingkat eksploitasinya masih rendah (Pauly 1984).

Analisis Hasil Per Rekrutmen Relatif Rajungan


Hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) rajungan dianalisis dengan model Beverton
dan Holt 966 dalam Gayanilo et al. 2005 yang terdapat dalam program FISAT II
dengan pendekatan rekrutmen mata pisau (knife-edge recruitment fishery) (Sparre dan
Venema 1999). Data yang digunakan dalam analisis Y’/R rajungan adalah data
distribusi frekuensi lebar karapas gabungan rajungan jantan dan betina berdasarkan
periode penangkapan. Persamaan yang digunakan dalam analisis Y’/R tersebut
adalah sebagai berikut :
Y’/R = E.UM/K( ............... (25)

Nilai U dan m dimasukan dalam persamaan (19) masing-masing diperoleh dari


persamaan (26) dan (27) sebagai berikut :
U=( ) ......................................................... (26)

m =( )= ) ............................................. (27)
U adalah bagian dari pertumbuhan yang harus dicapai setelah masuk ke dalam fase
eksploitasi tertentu, E tingkat eksploitasi, K koefisien pertumbuhan von Bertalanffy
(tahun-1), m koefisien pertumbuhan terhadap kematian total, Lk∞ lebar karapas rajungan
infinitif (mm), LKc lebar karapas rajungan pertama kali tertangkap dengan gill net, F
kematian penangkapan, M kematian alami, dan Z kematian total (M+F).

Hasil

Kelompok Ukuran dan Peluang Ukuran Tertangkap


Berdasarkan modal progress analysis dengan metode Bhattacharya diperoleh
kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap
periode penangkapan seperti tertera pada Tabel 40. Rajungan jantan yang tertangkap
117

pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, Oktober, November, Februari dan Maret hanya
satu kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar karapas berkisar antara 99.50 mm
hingga 119.10 mm. Nilai tengah lebar karapas jantan terbesar tertangkap pada bulan
Oktober, dan terkecil tertangkap pada bulan Februari. Sebaliknya, rajungan jantan
yang tertangkap pada bulan Juni, September, Desember dan Januari terdiri dari dua
kelompok ukuran. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok pertama
berkisar antara 89.00 mm hingga 97.30 mm, dan kelompok kedua berkisar antara
116.49 mm hingga 124.48 mm. Ukuran rajungan jantan terbesar kelompok pertama
tertangkap pada bulan September, dan kelompok kedua tertangkap pada bulan
Desember, sedangkan ukuran terkecil tertangkap pada bulan Januari. Jumlah
populasi kelompok kedua umumnya lebih banyak dari pada kelompok pertama,
kecuali rajungan jantan tertangkap pada bulan September.
Tabel 40. Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada setiap
periode penangkapan di Teluk Lasongko
∑ Kelompok Nilai tengah (mm) Sd (mm) ∑ Populasi
Bulan
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
1 1 107.09 104.80 11.11 12.47 61 52
April-13
2 139.80 12.35 7
Mei-13 1 1 104.80 107.39 12.80 13.40 100 81
1 1 96.00 104.80 5.88 14.76 28 58
Juni-13
2 120.72 9.09 31
Juli-13 1 1 104.80 107.00 13.04 16.81 43 52
Agus-13 1 1 106.02 106.41 8.77 12.42 28 40
1 1 97.30 114.80 6.01 13.89 14 36
Sept-13
2 123.54 6.72 7
Okto-13 1 1 119.10 123.82 8.52 8.66 38 46
1 1 114.80 118.45 11.92 10.26 25 35
Nov-13
2 139.80 8.10 10
Des-13 1 1 97.00 89.80 8.86 10.45 23 12
2 2 124.48 125.49 8.94 8.25 30 31
1 1 89.00 97.54 8.74 12.01 25 30
Jan-14
2 2 116.49 124.29 8.89 8.52 57 45
Feb-14 1 1 99.50 111.77 13.09 14.36 39 46
1 1 104.80 97.24 12.59 10.71 45 21
Mar-14
2 123.10 14.73 33
Struktur ukuran populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan April,
November, Desember, Januari dan Maret ditemukan dua kelompok ukuran dengan
nilai tengah lebar karapas rajungan betina kelompok pertama berkisar antara 89.80
mm hingga 118.45 mm, serta kelompok kedua antara 123.10 mm hingga 139.80 mm.
Rajungan betina terbesar pada kelompok pertama tertangkap pada bulan November
dan terkecil tertangkap pada bulan Desember. Sebaliknya, ukuran terbesar pada
kelompok kedua tertangkap pada bulan November dan bulan April, serta ukuran
terkecil tertangkap pada bulan Maret. Jumlah populasi rajungan betina kelompok
kedua tertangkap pada bulan Desember, Januari dan Maret lebih banyak dari pada
kelompok pertama, sebaliknya jumlah populasi rajungan betina kelompok pertama
tertangkap pada bulan April dan November lebih banyak dari pada kelompok kedua.
Populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus,
118

September, Oktober dan Februari satu kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar
karapas berkisar antara 104.80 mm hingga 123.82 mm. Rajungan betina terbesar
tertangkap pada bulan Oktober dan terkecil tertangkap pada bulan Juni.
Distribusi frekuensi kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina di
Teluk Lasongko cenderung berbeda. Populasi rajungan jantan yang terdiri dari dua
kelompok ukuran ditemukan selama empat bulan dan tidak berada pada periode
waktu yang berurutan. Sebaliknya, populasi rajungan betina yang terdiri dari dua
kelompok ukuran ditemukan selama lima bulan dan umumnya terjadi pada periode
waktu yang berurutan, yaitu mulai dari bulan November hingga Maret (Tabel 40).
Secara umum, struktur populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
bervariasi antar periode penangkapan. Rajungan jantan dan betina tertangkap di
perairan ini terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran, namun lehih didominasi
oleh satu kelompok ukuran. Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk
Lasongko selama penelitian terdiri atas kelompok juvenil, dewasa dan tua, namun
didominasi oleh kelompok ukuran dewasa atau matang kelamin. Ukuran rajungan
jantan tertangkap di Teluk Lasongko relatif lebih kecil dari pada rajungan betina.
Hasil analisis FISAT II diperoleh peluang ukuran populasi rajungan yang
tertangkap dengan gillnet di Teluk Lasongko seperti tertera pada Gambar 35. Lebar
karapas populasi rajungan yang tertangkap dengan peluang 25 % , 50 % dan 75 %
masing-masing sebesar 97.20 mm, 105.11 mm dan 113.95 mm.

Gambar 35. Peluang ukuran lebar karapas rajungan tertangkap dengan gillnet
di Teluk Lasongko

Parameter dan Pola Pertumbuhan Populasi Rajungan


Nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan
betina yang tertangkap di Teluk Lasongko tertera pada Tabel 41. Nilai K dan to
rajungan jantan lebih besar dibandingkan dengan rajungan betina, sebaliknya lebar
karapas infinitif (LK∞) rajungan jantan lebih kecil dari pada rajungan betina.
Berdasarkan nilai-nilai parameter pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina, dan
lebih cepat mencapai lebar karapas infinitif dibandingkan dengan rajungan betina.
119

Tabel 41. Parameter pertumbuhan, indeks performa dan persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy populasi rajungan di Teluk Lasongko
Jenis Parameter pertumbuhan Indeks performa
-1
Kelamin LK∞ (mm) K (tahun ) to (tahun) pertumbuhan
Jantan 152.04 0.93 -0.963 4.309
Betina 173.04 0.68 -0.837 4.332
Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy Umur maksimum
Jantan Lkt = 152.04 [1-e-0.93(t+0.963)] 3.21 tahun
Betina Lkt = 173.04 [1-e-0.68(t+0.837)] 4.40 tahun
Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
tertera pada Gambar 36. Indeks performa pertumbuhan rajungan jantan dan betina
yang ditemukan pada penelitian ini relatif sama, yaitu sekitar 4.3 (Tabel 41). Lebar
karapas maksimum (0.95 LK∞) rajungan jantan dan betina masing-masing 144.44
mm dan 164.39 mm, serta dicapai pada umur 3.21 tahun untuk jantan dan betina
pada umur 4.40 tahun.

Gambar 36. Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko
Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina
tertera pada Tabel 41, dan kurva pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina
tertera pada Gambar 37. Nilai to rajungan menunjukkan bahwa lebar karapas rajungan
sama dengan nol. Nilai to rajungan jantan dan betina pada penelitian ini diperoleh
masing-masing sebesar -0.963 tahun dan -0.837 tahun. Pada Gambar 37 terlihat pada
umur 0.01 tahun sampai 0.41 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan jantan dan
betina relatif sama, dan pada umur >0.41 tahun sampai 1.61 tahun kecepatan
pertumbuhan rajungan jantan relatif lebih cepat dari pada rajungan betina, sebaliknya
pada umur >2.01 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan betina lebih cepat
120

dibandingkan dengan pertumbuhan rajungan jantan. Proses pertumbuhan rajungan


jantan berlangsung lebih cepat ketika berumur 0.01 tahun sampai 1.65 tahun, dan
rajungan betina terjadi pada kisaran umur 0.01 tahun hingga 1.51 tahun.
180
160
Lebar kaparas (mm)

140
120
100
80 Jantan
60
Betina
40
20
0
0.01
0.37
0.73
1.09
1.45
1.81
2.17
2.53
2.89
3.25
3.61
3.97
4.33
4.69
5.05
5.41
5.77
6.13
6.49
6.85
7.21
7.57
7.93
Umur (tahun)
Gambar 37. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina
di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas
Berdasarkan lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko
selama penelitian, maka umur rajungan jantan berkisar antara 0.4221 tahun hingga
3.819 tahun, serta umur rajungan betina berkisar antara 0.5205 tahun hingga 4.067
tahun. Rajungan jantan dan betina mencapai lebar karapas infinitif masing-masing
pada umur sekitar 13.69 tahun dan rajungan betina 17.68 tahun. Namun demikian,
pertumbuhan kedua jenis kelamin rajungan ditemukan pada penelitin ini setelah
berumur > 3.61 tahun sudah bersifat stasioner (Gambar 37).

Rekrutmen Rajungan
Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko yang didasarkan kepada data
frekuensi lebar karapas gabungan jantan dan betina hanya terdiri dari satu puncak
(Gambar 38). Pada Tabel 42 dan Gambar 38 terlihat bahwa rekrutmen rajungan di
perairan ini berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi berkisar antara
1.00 % hingga 19.17 %. Proporsi rekrutmen rajungan yang tinggi terjadi mulai dari
bulan Juni sampai Oktober, dan tertinggi terjadi pada bulan Juli (19.17 %), sedangkan
terendah terjadi pada bulan Desember (1.00 %).

Tingkat Kematian dan Eksploitasi Rajungan


Tingkat kematian rajungan jantan dan betina dengan analisis FISAT II di Teluk
Lasongko seperti tertera pada Tabel 43 dan Gambar 39. Tingkat kematian total,
alami dan penangkapan rajungan jantan masing-masing sebesar 2.80 tahun-1, 1.09
tahun-1 dan 1.71 tahun-1, serta rajungan betina sebesar 2.95 tahun-1, 0.86 tahun-1 dan
2.09 tahun-1. Hal ini menandakan bahwa tingkat kematian rajungan jantan lebih
121

rendah dari pada rajungan betina, sebaliknya kematian alami dan penangkapan
rajungan jantan lebih tinggi dari pada rajungan betina
Tabel 42. Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak April
2013 sampai Maret 2014
Bulan Rekrutmen (%) Bulan Rekrutmen (%)
April 2013 4.17 Oktober 2013 12.69
Mei 2013 5.12 November 2013 4.72
Juni 2013 13.75 Desember 2013 1.00
Juli 2013 19.17 Januari 2014 4.01
Agustus 2013 14.61 Februari 2014 2.17
September 2013 18.58 Maret 2014 0

Gambar 38. Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko

Gambar 39. Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan kurva
konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko
122

Tingkat eksploitasi populasi rajungan jantan diperoleh di Teluk Lasongko lebih


rendah dari pada rajungan betina, yaitu dengan nilai masing-masing 0.61 tahun-1
untuk jantan dan betina 0.71 tahun-1. Hal menunjukkan bahwa populasi rajungan
betina yang tertangkap di perairan ini lebih banyak dibandingkan dengan populasi
rajungan jantan.
Tabel 43. Nilai kematian total, alami dan penangkapan serta eksploitasi populasi
rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
Parameter kemtian (tahun-1) Eksploitasi
Jenis Kelamin Total Alami Penangkapan (tahun-1)
Jantan 2.80 1.09 1.71 0.61
Betina 2.95 0.86 2.09 0.71

Analisis Hasil Per Rekrutmen Relatif Rajungan


Analisis hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif
(B’/R) merupakan salah satu model yang digunakan dalam penentuan stok ikan,
termasuk rajungan. Ukuran rajungan pertama tertangkap (LKc) merupakan salah satu
parameter yang digunakan dalam analisis hasil per rekrutmen relatif dengan model
Berverton dan Holt. Dalam analisis hasil per rekrutmen relatif rajungan digunakan
tiga nilai ukuran rajungan pertama kali tertangkap gillnet dengan peluang 25 % (LKc
25 %), 50 % (LKc 50 %), dan 75 % (LKc 75 %) masing-masing sebesar 97.20 mm,
105.11 mm dan 113.95 mm. Parameter populasi rajungan lainnya yang digunakan
dalam analisis hasil per rekrutmen relatif model Berverton dan Holt semuanya tertera
pada Tabel 44. Dengan memasukkan nilai parameter populasi tertentu, khususnya
LKc, M dan K (Tabel 44) dalam model, maka diperoleh tingkat eksploitasi maksimun
dalam model, yaitu nilai yang menunjukkan besaran dari tingkat eksploitasi yang
aman (tingkatan maksimum lestari).
Tabel 44. Parameter populasi rajungan yang digunakan dalam analisis hasil per
rekrutmen relatif (Y’/R) dengan model Beverton dan Holt
Parameter populasi Satuan Nilai
Lebar karapas infinitif (LK∞) mm 173.04
Koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (K ) tahun-1 0.69
Tingkat kematian total (Z) tahun-1 3.42
Tingkat kematian alami (M) tahun-1 0.87
Tingkat kematian penangkapan (F) tahun-1 2.55
Tingkat eksploitasi (E) tahun-1 0.75*)
Ukuran pertama tertangkap (LKc) mm 105.11
Umur teoritis (to) tahun -0.844
*)
tingkat eksploitasi gabungan jantan dan betina
Hasil analisis hasil per rekrutmen relatif dan biomasa per rekrutmen relatif
model Berverton dan Holt tertera pada Tabel 45 dan Gambar 37. Pada LKc sebesar
123

97.20 mm (Gambar 40A) tingkat eksploitasi maksimum (E max) sebesar 0.76 tahun-1
dan Y’/R (MSY relatif) sebesar 0.056, tingkat eksploitasi pada E 0.1 sebesar 0.67
tahun-1 dan tingkat eksploitasi pada E0.50 sebesar 0.38 tahun-1. Biomasa per
rekrutmen pada saat E max sebesar 0.130 atau sebesar 13 % dari biomasa virgin atau
biomasa awal (biomasa tidak ada penangkapan).

E 0.1 ... E 0.5 ... E max ...


Gambar 40. Hubungan tingkat eksploitasi dengan hasil per rekrutmen relatif (Y’/R)
dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada LKc 97.20 mm (A),
105.11 mm (B) dan 113.95 mm (C)
Apabila LKc rajungan berubah menjadi 105.11 mm (Gambar 40B) terjadi
perubahan kecepatan tumbuh, maka MSY relatif bertambah sebesar 12.5 % menjadi
0.063 dan E max bertambah 0.83 tahun-1, serta E 0.1 dan E 0.5 masing-masing menjadi
0.71 tahun-1dan 0.39 tahun-1. Sebaliknya, biomasa per rekrutmen relatif mengalami
penurunan menjadi 0.091 atau 9.1 % dari biomasa awal. Ketika ukuran rajungan
pertama tertangkap (LKc) meningkat menjadi 113.95 mm (Gambar 40C), maka
diperoleh E 0.1, E 0.5 dan Emax meningkat masing-masing menjadi 0.81 tahun-1, 0.41
tahun-1 dan 0.91 tahun-1, sebaliknya MSY relatif turun menjadi 0.059, demikian juga
biomasa per rekrutmen relatif turun menjadi 0.038 (3.8 % dari biomasa awal).
124

Tabel 45. Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per
rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas rajungan pertama
tertangkap
Ukuran rajungan tertangkap (mm)
Parameter populasi
97.20 105.11 113.95
LKc/ LK∞ 0.56 0.61 0.66
M/K 1.261 1.261 1.261
E 0.10 = saat ini 0.67 0.71 0.81
E.0.50 = optimum 0.38 0.39 0.41
E max 0.76 0.83 0.91
Y’/R 0.056 0.063 0.059
B’/R 0.130 0.091 0.038

Pembahasan

Struktur Kelompok Ukuran


Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina yang tertangkap
di Teluk Lasongko berdasarkan analisis gerak maju modus dengan metode
Battacharya terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran atau kelompok umur
(kohor). Namun demikian, ukuran rajungan betina cenderung lebih besar
dibandingkan dengan rajungan jantan. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan
berkisar antara 89.00 mm hingga 124.48 mm, sedangkan rajungan betina berkisar
antara 89.80 mm hingga 139.80 mm. Struktur kelompok ukuran rajungan yang
tertangkap di Teluk Bone terdiri dari satu sampai tiga kelompok ukuran dengan nilai
tengah berkisar antara 32,5 mm hingga 147.5 mm (Kembaren et al. 2012), dan di
Perairan Brebes terdiri dari dua kelompok ukuran (Sunarto 2012).
Kelompok ukuran dan ukuran modus populasi rajungan jantan dan betina yang
ditemukan pada beberapa perairan di Indonesia juga ditemukan bervariasi antar lokasi
perairan (Tabel 46). Adanya variasi kelompok ukuran dan modus tersebut berkaitan
dengan perbedaan pertumbuhan, kondisi habitat dan lingkungan perairan pada antar
lokasi perairan. Struktur ukuran rajungan jantan dan betina di Perairan Pati yang
tertangkap setiap bulan ditemukan lebih dari empat modus (Ernawati 2013). Struktur
ukuran rajungan jantan di Perairan Lampung Timur terdiri dari dua modus sedangkan
rajungan betina hanya satu modus, masing-masing dengan lebar karapas 53.5 mm
dan 63.5 mm untuk jantan, dan betina 53.5 mm dan 63.5 mm (Kurnia et al. 2014).
Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk
Lasongko bervariasi atau terjadi pergerakan modus antar periode penangkapan.
Populasi rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, Agustus,
Oktober, November, Februari dan Maret hanya terdiri dari satu kelompok ukuran,
sedangkan yang tertangkap pada bulan Juni, September, Desember dan Januari
ditemukan dua kelompok ukuran. Sebaliknya, populasi rajungan betina yang
tertangkap pada bulan April, November, Desember, Januari dan Maret ditemukan dua
kelompok ukuran, sedangkan yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus,
September, Oktober dan Februari hanya satu kelompok ukuran. Lebar karapas
125

rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar
antara 49.80 mm hingga 147.70 mm sedangkan lebar karapas rajungan betina
berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan
jantan dan betina yang tertangkap di perairan ini selama penelitian terdiri atas
kelompok juvenil, dewasa dan tua, namun didominasi oleh kelompok ukuran dewasa.
Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok ukuran pertama berkisar antara
89.00 mm hingga 97.30 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 89.80 mm
hingga 118.45 mm. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok ukuran
kedua berkisar antara 116.49 mm hingga 124.48 mm, sedangkan betina berkisar
antara 123.10 mm hingga 139.80 mm.
Tabel 46. Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan
Jenis Lebar karapas (mm)
Lokasi Sumber
Kelamin Kisaran Modus
Teluk PGN, Jantan + Wardiatno dan
45-130 81.0
Lampung Timur betina Zairion 2011
Jantan 22-75 41.5
Perairan Brebesa) Sunarto 2012
betina 21-74 47.5
Jantan 58-159.4 106
Pantai Pati*) Ernawati 2013
betina 60.1-148.3 106
Jantan 26.41-120.80 53.5, 63.5
Lampung Timur Kurnia et al. 2014
betina 31.35-99.89 63.5
Teluk Lasongko Jantan 49.80-147.70 89.00, 124.48
Penelitian ini
betina 52.10-162.20 89.00, 139.80
*) pada zona 2 (dekat pantai).; a) panjang karapas
Ukuran rajungan pertama tertangkap dengan peluang 50 % ditemukan pada
penelitian ini 105.11 mm, dan ini lebih kecil dari yang ditemukan di Perairan Pati,
108 mm (Ernawati 2013) dan lebih besar dari pada di Teluk PGN Lampung Timur,
yaitu 103.5 mm (Kurnia et al. 2014) masing-masing tertangkap dengan bubu lipat
dan gill net. Hal ini menunjukkan tekanan penangkapan di Teluk Lasongko lebih
tinggi dari pada yang ditemukan di Perairan Pati (Ernawati 2013), namun lebih
rendah dari pada yang terjadi Teluk PGN, Lampung Timur (Kurnia et al. 2014).

Pertumbuhan dan Panjang Umur Populasi Rajungan


Hasil analisis FISAT II diperoleh koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (K)
jantan lebih besar (0.930 tahun-1) dari pada rajungan betina (0.680 tahun-1). Hal ini
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada
rajungan betina sehingga rajungan jantan lebih cepat mencapai lebar karapas infinitif
(LK∞) dari pada rajungan betina. Adanya perbedaan laju pertumbuhan antara rajungan
jantan dan betina, juga ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan
Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013 (Tabel 47). Perbedaan laju
pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perbedaan lebar karapas maksimum dan
126

pemanfaatan energi yang bersumber dari makanan untuk mendukung proses


metabolisme antara rajungan jantan dan betina (Kembaren et al. 2012).
Tabel 47. Parameter pertumbuhan populasi rajungan pada beberapa lokasi perairan
Parameter Pertumbuhan
Jenis
Lokasi perairan K LK∞ to Sumber
Kelamin
(tahun-1) (mm) (tahun)
Tang, Thailand Jantan 1.5 179.0 -0.041 Sawusdee dan
Selatan Betina 1.6 171.0 -0.041 Songrak 2009
Teluk Kung Krabaen, Jantan 0.56 122.3 - Raungprataungsuk
Thailand Betina 1.10 112.3 - 2010
Teluk Kung Krabaen, Jantan 2.75 142.6 -
Kunsook et al. 2014
Thailand Betina 1.13 167.3 -
Muhsoni & Abida
Bangkalan Total 1.51 62.0*) -0.1599
2009
Jantan 1.20 81.38*) -0.1459
Perairan Brebes Sunarto 2012
Betina 0.78 81.10*) -0.0933
Jantan 1.27 159.0 -0.08
Teluk Bone Kembaren et al. 2012
Betina 1.08 154.0 -0.09
Jantan 1.26 185 -0.0034
Perairan Pati Ernawati 2013
Betina 1.13 187 -0.0038
Jantan 1.2 173.78 -0.081
Perairan Pangkep Ihsan et al. 2014
Betina 1.5 186.38 -0.63
Jantan 0.93 152.04 -0.963
Teluk Lasongko Penelitian ini
Betina 0.68 173.04 -0.837
*)
panjang karapas.; - tidak ada data

Lebar karapas maksimum rajungan jantan (144.44 mm) yang ditemukan pada
penelitian ini lebih kecil dari pada rajungan betina (164.39 mm). Indeks performa
pertumbuhan rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko relatif sama, yaitu sekitar
4.3 (Tabel 42 dan Gambar 36).
Parameter pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina pada beberapa
perairan di Indonesia ditemukan bervariasi (Tabel 47). Koefisien pertumbuhan (K)
rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah, namun
nilai to lebih besar dari pada yang ditemukan pada empat lokasi perairan di Indonesia
(Tabel 47). Lebar karapas infinitif (Lk∞) rajungan jantan yang ditemukan di Teluk
Lasongko lebih kecil dari yang ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), di
Perairan Pati (Ernawati 2013) dan di Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014), namun
lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand
(Raungprataungsuk 2010; Kunsook et al. 2014). Sebaliknya, nilai LK∞ rajungan
betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih besar dari yang ditemukan di Teluk
Bone (Kembaren et al. 2012), Pantai Trang, Thailand dan Teluk Kung Krabaen,
Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009; Raungprataungsuk 2010; Kunsook et al.
2014), namun lebih kecil dari pada di Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Perairan
Pangkep (Ihsan et al. 2014). Nilai to rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada
penelitian ini lebih tinggi dari pada beberapa perairan di Indonesia (Tabel 47).
127

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian stok rajungan adalah
panjang umur atau umur maksimum (Sukumaran 1995; Kangas 2000), hal ini
diantaranya berkaitan dengan rekrutmen rajungan. Umur rajungan diduga berdasarkan
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan (Tabel 42) sehingga
diperoleh umur rajungan jantan pada saat mencapai lebar karapas infinitif sekitar
13.69 tahun dan rajungan betina 17.68 tahun. Laju pertumbuhan rajungan jantan dan
betina ketika berumur > 3.61 tahun sudah mendekati pertumbuhan stasioner (Gambar
37). Umur populasi rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko selama
penelitian berkisar antara 0.4221 tahun hingga 3.819 tahun, dan rajungan betina
berkisar antara 0.5205 tahun hingga 4.067 tahun. Lebar karapas maksimum (0.95
LK∞ =144.44 mm) rajungan jantan dicapai pada umur 3.21 tahun sedangkan rajungan
betina dicapai pada umur 4.40 tahun dengan lebar karapas maksimum 164.39 mm.
Dugaan lebar karapas dan umur maksimum rajungan jantan tersebut lebih rendah dari
pada umur rajungan jantan terbesar yang ditemukan selama penelitian.
Umur maksimum populasi rajungan jantan dan betina yang diperoleh pada
penelitian ini lebih lama dari yang ditemukan di Perairan Pati, yaitu masing-masing
2.38 tahun dan 2.65 tahun (Ernawati 2013). Sebaliknya, umur maksimum rajungan
jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih singkat dari pada di
Perairan Brebes, yaitu masing-masing dengan umur 5.66 tahun dan 5.63 tahun
(Sunarto 2012).

Rekrutmen Rajungan
Rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko berlangsung hampir sepanjang tahun,
kecuali pada bulan Maret dan proporsinya bervariasi antar bulan, yaitu berkisar antara
1.00 % hingga 19.17 %. Rekrutmen rajungan berlangsung hampir sepanjang tahun
juga ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011) dan di Perairan
Brebes (Sunarto 2012), namun pola rekrutmen di Perairan Brebes dan di Teluk
Kung Krabaen ditemukan sebanyak dua puncak, sedangkan di Teluk Lasongko hanya
satu puncak (Gambar 38). Puncak pertama rekrutmen rajungan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand terjadi antara bulan Oktober dan April, dan puncak kedua terjadi
antara bulan Mei dan September 2009 (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Puncak
pertama rekrutmen rajungan di Perairan Brebes terjadi antara bulan Januari dan
September, serta puncak kedua terjadi antara bulan Agustus dan November (Sunarto
2012). Proporsi rekrutmen rajungan tertinggi di Teluk Kung Krabaen, Thailand
masing-masing terjadi pada bulan Desember, April, Mei, dan Juni, sedangkan
terendah pada bulan Agustus (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014) sedangkan
proporsi rekrutmen tertinggi di Perairan Brebes terjadi pada bulan Maret sampai Mei
(Sunarto 2012). Proporsi rekrutmen yang ditemukan pada penelitian ini lebih tinggi
dari pada di Perairan Pangkep, yaitu 17.45 % (Ihsan et al. 2014) dan di Teluk Kung
Krabaen, Thailand, yaitu berkisar antara 0.22 % hingga 17.32 % (Kunsook 2011),
namun lebih rendah dari pada Perairan Brebes, yaitu berkisar antara 0.11 % hingga
21.24 % (Sunarto 2012).
Proporsi rekrutmen rajungan yang tinggi di Teluk Lasongko ditemukan pada
lima bulan berurutan, yaitu dari bulan Juni sampai Oktober dan puncak tertinggi
terjadi pada bulan Juli (19.17 %) dan bulan September (18.58 %), sedangkan
128

proporsi rekrutmen terendah pada bulan Desember (1.00 %) dan bulan Februari (2.17
%). Sebaliknya, di Perairan Brebes proporsi rekrutmen tertinggi terjadi pada tiga
bulan berturut-turut, yaitu Maret (16.1 %), April (21.34 %), dan Mei (18.13 %)
sedangkan rekrutmen terendah terjadi pada bulan Oktober dan November dengan
proporsi masing-masing 0.11 % dan 0.19 % (Sunarto 2012).

Tingkat Kematian dan Eksploitasi Rajungan


Tingkat kematian populasi rajungan pada sejumlah lokasi perairan di Indonesia
ditemukan bervariasi antar lokasi perairan, dan tingkat kematian populasi jantan
cenderung lebih besar dari pada populasi rajungan betina (Tabel 48). Tingkat
kematian total dan penangkapan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko relatif
lebih rendah dari pada populasi rajungan betina (Tabel 44), dan hal ini identik dengan
di Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014). Tingkat kematian total populasi rajungan
jantan dan betina di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada di Perairan Pangkep
untuk populasi rajungan betina (Ihsan et al. 2014), dan lebih rendah dari pada tingkat
kematian total rajungan jantan pada sejumlah perairan di Indonesia (Tabel 48).
Tabel 48. Nilai kematian total (Z), alami (M) dan penangkapan (F) serta tingkat
eksploitasi (E) rajungan pada beberapa lokasi perairan
Jenis Kematian (tahun-1) E
Lokasi perairan Sumber
Kelamin Z M F (tahun-1)
Trang, Thailand Jantan 9.23 1.61 7.62 0.83 Sawusdee dan
Selatan Betina 8.85 1.61 7.24 0.82 Songrak 2009
Teluk Kung Krabaen, Jantan 8.15 3.98 4.53 0.556
Thailand Kunsook 2011
Betina 6.95 2.07 4.88 0.702
Muhsoni & Abida
Bangkalan Total 17.46 3.67 13.69 0.788
2009
Perairan Brebes Total 2.52 0.98 1.53 0.391 Sunarto 2012
Jantan 9.21 1.33 7.88 0.86
Teluk Bone Kembaren et al. 2012
Betina 6.90 1.21 5.69 0.82
Jantan 6.24 1.27 4.97 0.80
Perairan Pati Ernawati 2013
Betina 6.19 1.18 5.01 0.81
Jantan 2.53 1.44 1.09 0.43
Perairan Pangkep Ihsan et al. 2014
Betina 3.22 1.27 1.95 0.60
Jantan 2.80 1.09 1.71 0.61
Teluk Lasongko Penelitian ini
Betina 2.95 0.86 2.09 0.71

Tingkat kematian penangkapan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko


lebih rendah dari pada tingkat kematian populasi rajungan betina (Tabel 44), dan hal
ini identik dengan ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011) dan
di Perairan Pati (Ernawati 2013). Tingkat kematian alami populasi rajungan jantan di
Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada populasi rajungan betina, dan ini identik
dengan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia dan Thailand
(Tabel 48).
129

Tingkat kematian alami populasi rajungan jantan dan betina yang ditemukan
pada penelitian ini lebih rendah dari pada yang ditemukan pada sejumlah lokasi
perairan di Indonesia (Tabel 48). Sebaliknya, tingkat kematian penangkapan populasi
rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada di Perairan
Pangkep (Ihsan et al. 2014) dan lebih rendah dari pada di Teluk Bone (Kembaren
et al. 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013), di Pantai Trang dan Teluk Kung
Krabaen, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009; Kunsook 2011). Kematian
penangkapan rajungan yang ditemukan pada penelitian ini dan juga pada beberapa
penelitian sebelumnya lebih tinggi dari pada kematian alami (Tabel 48).
Tingkat eksploitasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko telah
melewati tingkat eksploitasi optimum (E >0.5), dan ini menunjukkan bahwa telah
terjadi tangkap lebih (overfishing) untuk kedua jenis kelamin rajungan. Tingkat
eksploitasi rajungan di Perairan Indonesia sebagian besar telah berada pada kondisi
tangkap lebih (Tabel 48), kecuali di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan di Perairan
Pangkep untuk rajungan jantan (Ihsan et al. 2014), masih berada di bawah tingkat
eksploitasi optimum (E<0.5).
Tingkat eksploitasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih rendah dari pada
rajungan betina (Tabel 48), dan hal ini identik dengan yang ditemukan di Perairan
Pati (Ernawati 2013) dan Pangkep (Ihsan et al. 2014), dan di Teluk Kung Krabaen,
Thailand (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Sebaliknya, tingkat eksploitasi
rajungan jantan di Teluk Bone lebih tinggi dari pada rajungan betina (Kembaren et al.
2012) dan juga di Pantai Trang, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009). Bubu
merupakan alat tangkap rajungan yang dominan di Teluk Lasongko pada saat ini,
sedangkan delapan tahun yang lalu yang dominan adalah gillnet. Kondisi ini akan
semakin meningkatkan tekanan terhadap populasi rajungan di perairan ini, sehingga
perlu dilakukan pengaturan. Hal ini didukung oleh pernyataan de Lestang et al.
(2010) dan Johnston et al. (2011a) bahwa perubahan alat tangkap rajungan dari
gillnet ke bubu meningkatkan tekanan pada populasi rajungan di Cockburn Sound,
Australia.

Analisis Hasil per Rekrutmen Relatif Rajungan


Kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko tergolong kegiatan
perikanan yang pengelolaannya belum dilakukan dengan benar, hal ini dapat dilihat
dari ukuran rajungan yang tertangkap masih berada di bawah ukuran pertama matang
kelamin, dan juga menangkap rajungan betina ovigerous. Jumlah rajungan di Teluk
Lasongko yang telah mencapai ukuran rekrutmen dan masuk ke daerah penangkapan
belum diketahui dengan pasti sehingga rekrutmen rajungan di perairan ini diduga
berdasarkan hasil per rekrutmen relatif, Y’/R dan biomasa per rekrutmen relatif, B’/R
model Beverton dan Holt (Pauly 1984; Sparre dan Venema 1999; Saputra 2005).
Berdasarkan analisis Y’/R menunjukkan bahwa peningkatan ukuran (lebar
karapas) rajungan yang tertangkap dapat meningkatkan tingkat eksploitasi maksimum
(E max), tingkat eksploitasi optimum (E 0.05) dan tingkat eksploitasi berlangsung saat
ini (E 0.10) di Teluk Lasongko. Namun, Y’/R atau MSY (Maximum Sustainable
Yield) relatif rajungan mengalami peningkatan hanya sampai ukuran tertangkap
105.11 mm, sedangkan pada ukuran tertangkap 113.95 mm menurun (Tabel 46).
130

Peningkatan ukuran rajungan yang tertangkap dapat menurunkan nilai B’/R dari
biomasa awal jika tidak dilakukan penangkapan. Tingkat eksploitasi maksimum (E
max) dan optimum (E 0.5) rajungan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada yang
ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand yaitu masing-masing 0.81 tahun-1 dan
0.37 tahun-1 (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), sedangkan tingkat eksploitasi saat
ini (E 0.1) sama dengan yang ditemukan pada penelitian ini, yaitu 0.71 tahun-1. Nilai
E max pada analisis Y’/R tersebut sama dengan tingkat eksploitasi rajungan betina
(E= 0.71 tahun-1) dan telah melampaui tingkat eksploitasi rajungan jantan (E= 0.61
tahun-1).
Para ahli lebih memilih prinsip kehatian-hatian dalam menentukan kuota
penangkapan, mereka menyarankan tingkat eksploitasi pada tingkat E 0.1 atau hanya
menangkap rajungan sebesar 10 % dari biomasa awal (Saputra 2005). Berdasarkan
prinsip tersebut, jika diterapkan lebar karapas rajungan yang tertangkap pertama kali
sebesar 97.20 mm maka biomasa rajungan yang dieksploitasi di Teluk Lasongko
sebesar 13 %, berarti telah melebihi 10 %. Sebaliknya, jika rajungan yang tertangkap
pertama kali berukuran 105.11 mm dan 113.95 mm (LKc) maka biomasa rajungan
yang dieksploitasi keduanya <10 %, tetapi MSY relatif rajungan pada ukuran LKc
113.95 mm lebih rendah dari pada LKc 105.11 mm (Tabel 45). Oleh karena itu,
ukuran lebar karapas rajungan pertama kali yang tertangkap di Teluk Lasongko
disarankan sebesar 105.11 mm. Berdasarkan analisis Y’/R relatif juga menunjukkan
bahwa nilai Y’/R dan B’/R rajungan di Teluk Lasongko sensitif terhadap perubahan
ukuran lebar karapas dan intensitas penangkapan.

Simpulan
1. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terdiri dari
satu sampai dua kelompok ukuran, dan didominasi oleh kelompok dewasa,
2. Laju pertumbuhan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih cepat dari
pada rajungan betina dilihat dari nilai K,
3. Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan
yang terjadi pada bulan Juli dan September lebih tinggi dari pada bulan lainnya,
4. Kematian penangkapan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
lebih tinggi dari pada kematian alami, dan
5. Tingkat eksploitasi populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko telah
mengalami tangkap lebih (overfishing).
131

7 PEMBAHASAN UMUM
Keterkaitan antar Parameter Penentu Keberlanjutan Populasi Rajungan
Parameter yang berkaitan dengan keberadaan populasi rajungan dan telah
dikaji dalam penelitian ini meliputi karakteristik habitat, biologi reproduksi dan
parameter dinamika populasi rajungan. Ketiga parameter tersebut dianggap
merupakan hal yang sangat menentukan keberlanjutan populasi rajungan di Teluk
Lasongko. Beberapa fakta empiris yang ditemukan pada penelitian ini yang telah
dibahas pada Bab 2 sampai Bab 6, yaitu sebagai berikut :
1. Karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi
serta distribusi populasi rajungan berkaitan dengan karakteristik habitat,
2. Karakteristik morfometrik rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan
serta bervariasi secara spasial dan temporal. Hubungan antar karakter morfometrik
menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif, serta pertumbuhan
relative antar karakter morfometrik sebagian besar tidak mengalami perubahan
pada tahap juvenil dan dewasa,
3. Variabel reproduksi rajungan di Teluk Lasongko ditemukan bervariasi, namun
tergolong mempunya potensi reproduksi yang tinggi dilihat dari rasio kelamin, tipe
dan periode pemijahan, serta fekunditas, keberadaan rajungan yang matang gonad
dan rajungan betina ovigerous,
4. Distribusi rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap di
Teluk Lasongko dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat. TKG rajungan betina
ovigerous meningkat serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan
mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur dari warna kuning
sampai warna abu-abu gelap, dan
5. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
didominasi oleh ukuran dewasa, dan pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih
cepat dari pada rajungan betina. Rekrutmen rajungan di perairan ini berlangsung
setiap bulan, kematian penangkapan lebih tinggi dari pada kematian alami dan tingkat
eksploitasinya tergolong tangkap lebih (overfishing).
Berdasarkan fakta-fakta empiris tersebut, dibuat suatu skema keterkaitan antara
ketiga parameter penentu keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko seperti
tertera pada Gambar 41. Pertumbuhan dan rekrutmen berpengaruh positif terhadap
populasi rajungan, sedangkan kematian alami dan kematian rajungan akibat
penangkapan menyebabkan pengurangan pada populasi rajungan. Kondisi habitat,
khususnya kualitas dan kuantitas ketersediaan makanan serta kualitas air
berpengaruh langsung kepada kondisi populasi rajungan di Teluk Lasongko dengan
cara mempengaruhi keberhasilan reproduksi, pertumbuhan, rekrutmen dan kematian
alami rajungan di perairan ini. Struktur ukuran dan kepadatan populasi rajungan
berperan dalam menentukan keberhasilan proses reproduksi rajungan, selanjutnya
akan berpengaruh pada rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko.
Keberlanjutan populasi rajungan yang tereksploitasi di Teluk Lasongko dapat
tercipta, jika tingkat kematian penangkapan dan alami sama dengan laju pertumbuhan
dan rekrutmen rajungan. Disamping itu, habitat rajungan harus dalam kondisi baik
132

dan optimum sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan rekrutmen rajungan


berlangsung optimal, serta dapat menurunkan kematian alami rajungan. Tingkat
kematian rajungan akibat penangkapan merupakan variabel penentu keberlanjutan
populasi rajungan dan merupakan faktor yang dapat dikendalikan secara langsung.
Oleh karena itu, kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko perlu diatur
sesuai dengan potensi populasi rajungan di perairan ini. Selain itu, juga perlu
melindungi keutuhan habitat rajungan sehingga terjadi keseimbangan populasi
rajungan antara jumlah yang dieksploitasi dengan penambahan baru melalui
rekrutmen dan pertumbuhan biomasa rajungan, sehingga dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan.

Biologi
reproduksi
Kematian
Rekrutmen penangkapan
Populasi
Rajungan
Pertumbuhan Kematian alami

Kondisi habitat

Gambar 41. Keterkaitan antar variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan


tereksploitasi di Teluk Lasongko

Potensi Keberlanjutan Populasi Rajungan


Potensi keberlanjutan populasi rajungan yang dikaji hanya berdasarkan
informasi kajian karakteristik habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi
rajungan yang diperoleh selama penelitian. Rajungan di Teluk Lasongko ditemukan
tersebar pada beberapa tipe habitat mulai dari fraksi sedimen pasir sangat kasar
sampai fraksi sedimen sangat halus (liat) atau dengan tipe substrat mulai dari pasir
sampai liat (Tabel 1), dengan kedalaman bervariasi, yaitu mulai dari 35 cm sampai
3100 cm. Habitat rajungan yang bersubstrat pasir merupakan tipe habitat yang
dominan dan terletak pada lokasi yang dangkal (intertidal sampai sub tidal bagian
atas) dengan kedalaman dari 35 cm sampai 500 cm, sebaliknya tipe substrat pasir
berlempung, lempung berpasir dan liat ditemukan pada lokasi yang dalam, yaitu pada
kedalaman >500 cm sampai 3100 cm. Rajungan di perairan ini juga ditemukan di
dekat mangrove (bagian kepala teluk, stasiun 1). Semua variabel kualitas air habitat
yang menentukan pada setiap tahap siklus rajungan seperti suhu, salinitas, oksigen
terlarut, tipe substrat, kecerahan, kedalaman air, dan arus telah dikaji dan berada
dalam kisaran yang optimum bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan rajungan di
Teluk Lasongko, walaupun bervariasi secara spasial dan temporal (Tabel 3 dan
Gambar 3). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa potensi keberlanjutan populasi
133

rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi dilihat dari keragaman karakteristik


habitat rajungan yang ditemukan di perairan ini.
Padang lamun sebagai habitat potensial rajungan tersebar pada sebagian besar
intertidal sampai sub tidal perairan Teluk Lasongko. Luas padang lamun di perairan
ini sekitar 573.03 ha, yaitu tersebar pada bagian utara teluk sekitar 183.87 ha, sebelah
barat sekitar 209.89 ha, bagian timur seluas 130.56 ha, bagian barat dekat mulut
teluk sekitar 20.15 ha, dan pada bagian timur dekat mulut teluk sekitar 28.56 ha
(DKP Provinsi Sulawesi Tenggara 2003). Kepadatan lamun di perairan ini bervariasi,
yaitu berkisar 114 tunas m-2 hingga 416 tunas m-2 (Tabel 2). Jika keutuhan padang
lamun sebagai habitat rajungan selalu terjaga dan didukung oleh kondisi kualitas air
yang optimum maka akan meningkatkan potensi keberlanjutan populasi rajungan di
Teluk Lasongko. Oleh karena itu, keutuhan padang lamun tersebut perlu
dipertahankan sehingga fungsinya sebagai daerah asuhan juvenil rajungan dan daerah
mencari makanan rajungan dewasa selalu dalam keadaan optimun. Kualitas air
habitat rajungan yang ditemukan selama penelitian ini perlu dipertahankan sehingga
dapat menopang kelangsungan hidup dan pertumbuhan rajungan yang optimum di
perairan ini.
Aspek reproduksi rajungan yang ditemukan pada penelitian ini sangat potensial
untuk mendukung keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko, jika tidak
mendapat gangguan dari luar. Potensi reproduksi rajungan di Teluk Lasongko seperti
dijelaskan di atas tergolong tinggi. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina di
perairan ini secara spasial dan temporal ditemukan sebagian besar dalam kondisi
seimbang (Tabel 20 dan 21). Kondisi ini akan meningkatkan keberhasilan
perkawinan dan pemijahan rajungan serta berpotensi meningkatkan rekrutmen
rajungan dan keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini. Tipe pemijahan
rajungan di Teluk Lasongko tergolong partial spawner, yaitu rajungan dapat memijah
lebih dari satu kali pada setiap musim pemijahan, hal ini dilihat dari perkembangan
gonad dan embrio rajungan betina ovigerous berlangsung simultan (paralel).
Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko pada setiap kali memijah berkisar antara 69
747 butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 717 032 butir (Tabel 39). Musim
pemijahan rajungan di perairan ini berlangsung sepanjang tahun dengan tiga puncak
musim pemijahan (Gambar 20). Rajungan jantan dan betina yang matang gonad dan
rajungan betina ovigerous ditemukan pada semua stasiun penelitian dan pada setiap
bulan, serta dalam setahun ditemukan tiga puncak (Gambar 19 dan 20).
Potensi keberlanjutan rajungan di Teluk Lasongko berdasarkan parameter
dinamika populasinya tergolong cukup tinggi. Struktur kelompok ukuran populasi
rajungan di perairan ini ditemukan terdiri dari kelompok juvenil (<80 mm), dewasa
(>80 mm hingga 125 mm) dan tua (> 125 mm), dan didominasi oleh kelompok
rajungan dewasa. Rentang waktu hidup (life span) rajungan jantan dan betina di
Teluk Lasongko tergolong panjang atau lama, yaitu rajungan jantan 3.21 tahun dan
betina sebesar 4.40 tahun yang diduga berdasarkan persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy (Tabel 41). Anggapan tersebut didukung oleh beberapa hasil penelitian
sebelumnya (Sukumaran dan Neelakantan 1997; Kangas 2000; Josileen dan Menon
2007; Dineshbabu et al. 2008; Ernawati 2013) bahwa rentang waktu hidup rajungan
134

berkisar antara 2.4 tahun hingga 3.0 tahun. Rentang waktu hidup rajungan jantan
dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih lama dari pada di Perairan Pati,
yaitu masing-masing 2.38 tahun dan 2.65 (Ernawati 2013), namun lebih singkat dari
yang ditemukan di Perairan Brebes, yaitu rajungan jantan 5.66 tahun dan betina 5.63
tahun (Sunarto 2012).
Rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko berlangsung hampir sepanjang tahun
dengan proporsi berkisar antara 1.00 % hingga 19.17 %, dan selama lima bulan
berturut-turut ditemukan tinggi (Tabel 42 dan Gambar 38). Potensi keberlanjutan
rajungan di Teluk Lasongko juga tergolong cukup tinggi dilihat dari pola dan
proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan. Anggapan ini didukung oleh beberapa hasil
penelitian sebelumnya (Kunsook 2011; Sunarto 2012; Ihsan et al. 2014) bahwa
rekrutmen rajungan berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi rekrutmen
berkisar antara 0.11 % hingga 21.24 %. Tingkat kematian alami rajungan di Teluk
Lasongko lebih rendah dibandingkan dengan kematian akibat penangkapan (Tabel
43). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini
lebih banyak ditentukan oleh kegiatan penangkapan dari pada faktor alami.

Ancaman Keberlanjutan Populasi Rajungan


Beberapa ancaman keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko antara
lain tingkat penangkapan yang tinggi, penangkapan rajungan ukuran kecil dan betina
ovigerous, dan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan (budidaya rumput
laut dan penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan). Tingkat eksploitasi
(E) rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan masing-masing sebesar
0.61 tahun-1dan 0.71 tahun-1. Hal ini menunjukkan tingkat eksploitasi rajungan di
perairan ini telah melewati tingkat ekspoitasi optimum atau telah terjadi tangkap
lebih (overfishing). Tingkat eksploitasi rajungan betina di perairan ini lebih tinggi
dari pada rajungan jantan, dan jika hal ini terus berlangsung akan menyebabkan
proporsi rajungan jantan dan betina semakin tidak seimbang. Kondisi seperti ini
berdampak pada penurunan keberhasilan perkawinan dan pemijahan rajungan, sehingga
berpotensi menurunkan keberlanjutan populasi rajungan Teluk Lasongko.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rajungan yang tertangkap pada bagian
yang dangkal (100-250 cm) dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi oleh padang
lamun yang padat, utamanya di stasiun 1 dan 2 sebagian besar berukuran kecil.
Nelayan di Teluk Lasongko juga menangkap rajungan betina ovigerous. Rajungan yang
ditangkap berukuran kecil (< LKm 50 %) berarti rajungan belum sempat bereproduksi
telah mengalami kematian. Penangkapan rajungan betina ovigerous menyebabkan
pada kematian telur yang sedang dierami dan gonad yang sedang berkembang dalam
tubuh sehingga keduanya gagal menjadi larva. Fekunditas beberapa rajungan betina
ovigerous di perairan ini pada setiap kali pemijahan dapat mencapai sekitar 2 juta
butir. Oleh karena itu, penangkapan rajungan betina ovigerous dan rajungan
berukuran kecil berakibat pada penurunan rekrutmen rajungan. Di sisi lain, intensitas
penangkapan rajungan di Teluk Lasongko terus berlangsung tanpa pengendalian, dan
pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini.
Asosiasi Pengelola Rajungan Indonesia (APRI) telah melarang anggotanya
untuk membeli rajungan betina ovigerous, namun pada tingkat pengolah daging di
135

lapangan kebijakan tersebut belum berjalan dengan baik. Para pengolah daging
rajungan di Teluk Lasongko masih membeli dan mengolah rajungan betina
ovigerous. Telur rajungan betina ini tidak dimanfaatkan, bahkan menjadi limbah
pengolahan daging rajungan, karena pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko
belum mengetahui adanya larangan tersebut. Pemerintah baru saja mengeluarkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 1 Tahun 2015 yang
melarang menangkap rajungan betina ovigerous. Permen tersebut perlu disuluhkan
sampai ke tingkat nelayan dan pengolah daging rajungan di desa-desa pesisir.
Disamping itu, juga harus disertai dengan pengawasan dan pemantauan secara
berkala dari instansi terkait sehingga Permen tersebut dapat memberikan dampak
positif pada keberlanjutan rajungan di seluruh Perairan Indonesia.
Kegiatan budidaya rumput laut di Teluk Lasongko sekitar tahun 2004 sampai
2010 dilakukan secara intensif. Sebagian besar perairan ini, termasuk di atas padang
lamun ditanami rumput laut dengan metode apung. Sampai saat ini, pembudidaya di
daerah ini merendam bibit rumput laut dalam larutan pupuk sebelum ditanam untuk
memacu pertumbuhannya, dan sisa pupuk yang digunakan dibuang ke laut. Volume
buangan sisa pupuk tersebut yang masuk ke perairan teluk cukup besar dan secara
kontinu serta didukung air lingkungan yang baik sehingga pada 2009 dan 2010 terjadi
red tide fitoplankton jenis Pyminidum bahamense (Hamid et al. 2010). Dampak dari
red tide tersebut adalah terjadi penurunan kualitas air, seperti pH air berkisar antara
6.5 hingga 6.6, nitrat dan fosfat sangat rendah bahkan tidak terdeteksi, kecerahan air
berkisar antara 40 cm hingga 230 cm, air laut berbau busuk, dan fitoplankton
didominasi oleh satu jenis, serta beberapa jenis ikan mati, termasuk bulu babi (Hamid
et al. 2010).
Intensitas penggunaan bom dalam penangkapan ikan di Teluk Lasongko telah
berkurang, namun masih merupakan ancaman bagi keberlanjutan rajungan di perairan
ini. Selama penelitian masih terdengar bunyi ledakan bom ikan di perairan Teluk
Lasongko sekitar 1-3 ledakan hari-1, sedangkan pada tahun 2001 terdengar sekitar 12-
13 ledakan hari-1 (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Dampak bom ikan secara langsung
mematikan semua stadia rajungan yang berada di sekitar ledakan bom, sedangkan
secara tidak langsung adalah merusak habitat rajungan, karena bom ikan kadang
diledakan di padang lamun karena ikan target berada di lokasi ini.

Status Stok dan Penangkapan Rajungan


Tingkat kematian rajungan akibat penangkapan di Teluk Lasongko lebih tinggi
dari pada tingkat kematian alami (Tabel 43 dan Gambar 39). Hal ini menunjukkan
status stok rajungan di Teluk Lasongko dalam kondisi mengalami tekanan
penangkapan, dan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa stok rajungan
tereksploitasi berada pada kondisi optimum, jika kematian alami dan kematian
penangkapan adalah seimbang dengan tingkat eksploitasi (E) sebesar 0.5 (Pauly
1984). Dari analisis hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan asumsi ukuran lebar
karapas rajungan yang tertangkap di perairan ini sama dengan peluang 50 % ukuran
lebar karapas rajungan (LKc 50 %) yang tertangkap dengan gillnet sebesar 105.11
mm, maka tingkat eksploitasi optimum (EMSY) sebesar 0.39 tahun-1 (Tabel 45 dan
Gambar 40). Tingkat eksploitasi stok rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
136

pada saat ini masing-masing sebesar 0.61 tahun-1 dan 0.71 tahun-1 (Tabel 43 dan
Gambar 39). Berdasarkan hasil analisis stok tersebut, tingkat eksploitasi stok
rajungan di Teluk Lasongko pada saat ini telah melebihi tingkat eksploitasi optimum
atau telah mengalami overfishing. Proporsi tingkat eksploitasi rajungan jantan pada
saat ini sebesar 156.4 % dan rajungan betina sebesar 182.1 % dari tingkat eksploitasi
optimum (EMSY).
Jenis alat tangkap rajungan yang digunakan di Teluk Lasongko juga mengalami
perubahan, yaitu dari gillnet beralih ke bubu. Selama periode tahun 2006 hingga
2014, jumlah gillnet yang digunakan dalam penangkapan rajungan turun sebesar
40.50 %, sedangkan jumlah penggunaan bubu meningkat drastis selama periode
waktu tersebut, yaitu sebesar 600.09 %. Jumlah nelayan yang menangkap rajungan di
perairan ini pada tahun 2006 sebanyak 226 orang (Hamid 2011), sedangkan pada
tahun 2014 sebanyak 187 orang (Tabel 49) atau mengalami penurunan sebesar 17.26
%. Jumlah nelayan penangkap rajungan di Desa Lolibu dan Desa Wajogu turun
drastis, sebaliknya di Desa Batubanawa bertambah jumlahnya (Tabel 49).
Tabel 49. Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap desa/
kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014
Jumlah nelayan/ jenis alat Jumlah alat Jumlah alat
tangkap (orang) tangkap 2014 tangkap 2006a)
Desa/kelurahan
Gillnet Bubu Gillnet Bubu Gillnet Bubu
2006a)
2014 2014 (pis)b (buah) (pis)b (buah)
Lakudo 2 9 6 35
Wanepa-Nepa 4 - 14
Wongko Lakudo** 7 13 18 39
Matawine* 1 12 - 3 1100 - -
Nepa Mekar 7 - 61 - -
Teluk Lasongko** 7 11 - 18 660 - -
Mone* 1 16 19 3 1102 23 436
Wajogu 4 8 50 20 1172 156 -
Lolibu 25 38 167 148 5504 167 1713
Boneoge 2 1 - 6 75 - -
Batubanawa 5 36 33 13 5432 101 -
Jumlah 65 122 291 310 15045 521 2149
a)
Hamid 2011.; b) 1 pis dipotong menjadi 9-12 lembar gillnet **desa pemekaran.; *desa induk
Jumlah penggunaan alat tangkap rajungan di Teluk Lasongko dari tahun 2006
sampai 2014 mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jumlah alat tangkap
rajungan yang digunakan pada tahun 2006 sekitar 2 670 unit, terdari dari 521 pis
gillnet dan 2149 buah bubu (Hamid 2011) dan sampai bulan April 2014 meningkat
sebesar 475.09 % atau sebanyak 15 355 unit, terdiri dari 310 pis gillnet dan 15 045
buah bubu (Tabel 49). Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko selama periode
Februari sampai November 2006 sebesar 36 828.8 kg (Hamid 2011) atau sebesar 44
194.56 kg selama tahun 2006. Hasil tangkapan selama bulan Mei 2013 hingga bulan
137

April 2014 sekitar 66 926.6 kg atau hanya meningkat sebesar 51.44 % selama periode
waktu tersebut. Peningkatan jumlah alat tersebut tidak proporsional dengan
peningkatan hasil tangkapan rajungan selama periode waktu yang sama. Kondisi
penangkapan rajungan yang demikian merupakan salah satu ciri dari penangkapan
rajungan yang telah mengalami overfishing (Pauly 1984). Ciri lainnya, telah terjadi
overfishing penangkapan rajungan di Teluk Lasongko adalah ukuran lebar karapas
rajungan pertama kali tertangkap, LKc 50 % (105.11 mm) lebih kecil dari pada
ukuran lebar karapas pertama kali matang kelamin, LKm 50 % rajungan jantan
(109.83 mm) dan rajungan betina (115.71 mm).
Rasio kelamin rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko pada lokasi yang
dangkal (100 cm hingga 350 cm) atau pada padang lamun selama bulan Oktober
hingga Desember 2006 sebesar 0.96:1, dan pada lokasi yang dalam (>500 cm hingga
1200 cm) dan tidak ditumbuhi lamun sebesar 0.74:1( (Hamid 2011). Pada bulan
Oktober hingga bulan Desember 2013 pada kedua lokasi tersebut ditemukan rasio
kelamin rajungan jantan dan betina masing-masing sebesar 1.46:1 dan 0.70:1 (Tabel
50). Selama tujuh tahun terakhir, telah terjadi perubahan komposisi rajungan di
Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (100 cm hingga 350 cm) atau sekitar
padang lamun, yaitu jumlah rajungan betina semakin menurun dibandingkan dengan
rajungan jantan. Sebaliknya, komposisi pada lokasi yang dalam (>500 cm hingga
1200 cm) dan tidak ditumbuhi lamun selama periode waktu tersebut cenderung stabil
(tidak berubah). Perubahan rasio kelamin rajungan tersebut disebabkan oleh intensitas
penangkapan yang tinggi dan juga karena perubahan jenis alat tangkap yang dominan
dalam penangkapan rajungan, yaitu dari gillnet ke bubu yang berlangsung sejak bulan
Desember 2006 hingga bulan Mei 2014 (Tabel 49). Hal ini didukung oleh hasil
penelitian sebelumnya (Johnston et al. 2011a, 2011b; Kunsook 2011) bahwa perubahan
jenis alat tangkap rajungan dapat menyebabkan perubahan komposisi jenis dan rasio
kelamin rajungan, serta struktur ukuran rajungan yang tertangkap.
Tabel 50. Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di Teluk
Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember 2006 dan 2013
Tahun 2006*) Tahun 2013
Lokasi/ jenis dan
Jumlah Lebar Berat Jumlah Lebar karapas Berat
rasio kelamin
(ekor) karapas (mm) tubuh (g) (ekor) (mm) tubuh (g)
Dangkal (100-350 cm):
Jantan 1003 112.2 99.72 73 109.6 97.4)
Betina 1049 113.6 101.36 48 108.8 88.95
Rasio kelamin 0.96:1 1.46:1
Betina ovigerous 103 119.5 126.33 23a) 121.5 138.90
Dalam (>500-1200 cm):
Jantan 145 123.2 116.5 17 112.6 97.58
Betina 195 120.5 109.5 20 117.9 113.86
Rasio kelamin 0.74:1 0.70:1
Betina ovigerous 43 125.1 147.37 8a) 125.0 132.63
*) a)
diolah dari Hamid et al. (2006) dan Hamid (2011).; tidak termasuk ditangkap nelayan.
138

Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (di sekitar
lamun) telah lama dilakukan, dan rajungan betina mengalami tekanan penangkapan
lebih tinggi dari pada rajungan jantan. Hal ini terlihat dari kematian penangkapan
dan tingkat eksploitasi rajungan betina lebih tinggi dari pada rajungan jantan (Tabel
43 dan Gambar 39). Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina
yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap bulan terdiri dari satu sampai dua
kelompok ukuran, dan sebagian besar merupakan rajungan yang telah dewasa (Tabel
40). Nilai tengah (rataan) lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di perairan
ini berkisar antara 89.00 mm hingga 123.54 mm, sedangkan rajungan betina berkisar
antara 89.80 mm hingga 139.80 (Tabel 40).
Ukuran tubuh rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terlihat cenderung
mengalami perubahan selama periode 2006 sampai 2013. Lebar karapas dan berat
tubuh rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada periode bulan Oktober hingga
Desember 2013 pada lokasi yang dangkal lebih kecil dari pada yang terangkap pada
tahun 2006 untuk periode waktu yang sama (Tabel 50). Ukuran tubuh rajungan
betina ovigerous yang tertangkap pada lokasi yang dangkal selama periode waktu
tersebut semakin bertambah besar, sedangkan lebar karapas rajungan betina ovigerous
yang tertangkap pada lokasi yang dalam cenderung tidak mengalami perubahan,
tetapi berat tubuhnya semakin ringan (Tabel 50).
Kunsook et al. (2014) menyebutkan, ada lima indikator untuk menentukan
status stok rajungan pada suatu perairan dalam keadaan kritis, yaitu tingkat kematian
akibat penangkapan tinggi, tingkat eksploitasi melebihi tingkat eksploitasi optimum
(E>0.5), ukuran rajungan betina dewasa semakin kecil, jumlah rajungan betina
ovigerous yang tertangkap meningkat, dan rataan fekunditas menurun. Berdasarkan
pada indikator tersebut dan fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa status stok rajungan di Teluk Lasongko pada saat ini cenderung
pada kondisi kritis. Kondisi stok rajungan tersebut akan semakin kritis, jika tidak
segera dilakukan upaya pengelolaan.

Konsep Pengelolaan Rajungan


Kajian pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko ditekankan pada keberlanjutan
stok alami rajungan dan keberlanjutan penangkapannya. Oleh karena itu, prinsip
dasar konsep pengelolaan rajungan di perairan ini, harus didasarkan pada sistem dan
kapasitas daya dukung (carrying capacity) alaminya. Besar kecilnya hasil tangkapan
rajungan tergantung pada kondisi stok alami yang tersedia di perairan dan
kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomasa rajungan yang
didasarkan pada hasil kajian karakteristik habitat, biologi reproduksi dan dinamika
populasi rajungan yang dilakukan secara berkala.
Berdasarkan pada potensi dan ancaman keberlanjutan, serta status stok dan
penangkapan rajungan di Teluk Lasongko yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
beberapa konsep pengelolaan rajungan yang segera dilakukan dan akan
dikembangkan di perairan ini terdiri dari pengaturan rajungan yang boleh ditangkap,
pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah penangkapan,
perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka rajungan,
139

serta pemantauan dan evaluasi secara berkala. Konsep pengelolaan yang dapat
diterapkan secara efektif dan berkelanjutan, yaitu terdiri dari :

1. Pengaturan Rajungan yang Boleh Ditangkap


Pengaturan rajungan yang boleh ditangkap didasarkan pada teori bahwa untuk
menjaga keberlanjutan sumberdaya rajungan pada suatu perairan, maka rajungan
yang boleh ditangkap adalah rajungan yang minimal satu kali telah melakukan
pemijahan sehingga dapat menghasilkan keturunan sebelum mengalami kematian.
Selain itu, rajungan betina ovigerous harus dilindungi agar dapat menetaskan telur-
telur yang sedang dierami sebelum mengalami kematian. Upaya pengelolaan yang
dapat segera dilakukan untuk menjaga keberlanjutan populasi rajungan adalah
melarang menangkap rajungan betina ovigerous dan membatasi ukuran minimum
rajungan yang boleh ditangkap di Teluk Lasongko.
Pemerintah baru saja mengeluarkan Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 yang
mengatur rajungan yang boleh ditangkap secara nasional, yaitu larangan menangkap
rajungan dalam kondisi bertelur (betina ovigerous) dan ukuran lebar karapas rajungan
yang boleh ditangkap >100 mm. Ketentuan larangan menangkap rajungan betina
ovigerous sifatnya berlaku seragam di semua wilayah perairan Indonesia. Sebaliknya,
ketentuan ukuran lebar karapas rajungan yang boleh ditangkap bersifat umum, karena
ukuran lebar karapas rajungan matang kelamin (LKm 50 %) antar lokasi perairan
bervariasi, dan LKm 50 % antara rajungan jantan dan betina juga berbeda (Tabel 27).
Ukuran lebar karapas rajungan terkecil yang boleh ditangkap pada setiap lokasi
perairan bersifat spesifik untuk setiap lokasi perairan. Oleh karena itu, penerapan
Permen KP tersebut di lapangan harus dilakukan dengan prinsip kehatian-hatian.
Sebaiknya, setiap lokasi atau kawasan perairan perlu ada ketentuan batas ukuran lebar
karapas rajungan betina dan jantan terkecil yang boleh ditangkap yang didasarkan
pada hasil penelitian biologi reproduksi dan dievaluasi secara berkala. Ketentuan
seperti tersebut telah diterapkan dalam pengelolaan rajungan di perairan Australia
(Johnston et al. 2011b; Harris et al. 2014).
Ukuran rajungan terkecil yang boleh ditangkap pada suatu perairan harus
melebihi ukuran LKm 50 % yang matang kelamin supaya keberlanjutannya terjaga.
Ukuran lebar karapas rajungan jantan terkecil yang boleh ditangkap di Teluk
Lasongko >109.8 mm dan betina >115.7 mm. Salah satu upaya untuk meningkatkan
ukuran rajungan yang tertangkap dengan bubu adalah dengan menambahkan pintu
meloloskan diri (ventilasi) untuk rajungan berukuran kecil. Penggunaan bubu
berventilasi berbentuk persegi (35×45 mm) pada kedalaman 4 m hingga 6 m dapat
menurunkan tertangkapnya rajungan berukuran kecil (belum dewasa) berkisar dari
46.7 % hingga 72.3 %, dan tidak mempengaruhi jumlah rajungan dewasa yang
tertangkap (Boutson 2008). Bubu yang dilengkapi dengan ventilasi juga dapat
meningkatkan ukuran LKm 50 % (Songrak et al. 2013).

2. Pengaturan Musim Penangkapan


Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko telah diketahui, yaitu terjadi
sepanjang tahun dengan tiga puncak musim pemijahan, yaitu pada bulan Mei-Juni,
Agustus, dan bulan Oktober-November. Puncak musim keberadaan rajungan betina
140

ovigerous di perairan ini terjadi pada bulan Juli dan Agustus, Oktober dan November,
dan Februari. Untuk memberikan kesempatan rajungan melakukan pemijahan secara
optimal dan mengurangi rajungan betina ovigerous yang tertangkap, maka kegiatan
penangkapan pada bulan Juli, Agustus, Oktober, November, dan Februari intensitas
penangkapan harus dikurangi, bahkan bila perlu pada bulan Mei-Juni, Agustus serta
Oktober-November tidak dilakukan penangkapan rajungan (ditutup sementara).
Nelayan pada periode waktu tersebut lebih diarahkan untuk menangkap ikan atau
budidaya rumput laut.
Penutupan kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko ketika puncak
musim pemijahan dan keberadaan rajungan betina ovigerous pada saat ini masih
diperlukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya nelayan penangkap rajungan
dan pengolah daging rajungan di kawasan Teluk Lasongko untuk menghindari
adanya gejolak sosial dan ekonomi di daerah ini. Penutupan penangkapan rajungan
ketika puncak musim pemijahan baru akan dilakukan setelah nelayan dan pengolah
daging rajungan memahami tujuan dan manfaat dari penutupan kegiatan penangkapan
rajungan pada periode waktu tertentu, sehingga dapat berjalan efektif dan
berkelanjutan. Periode waktu penutupan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko
sebaiknya dilakukan pada bulan Oktober-November, karena pada bulan Oktober
merupakan puncak musim pemijahan tertinggi rajungan, dan pada bulan November
puncak tertinggi keberadaan rajungan betina ovigerous (Gambar 20).

3. Pengendalian Alat Tangkap dan Daerah Penangkapan


Pengendalian alat tangkap merupakan salah satu upaya pengelolaan rajungan
yang dapat segera diterapkan di Teluk Lasongko meliputi pengendalian jenis dan
jumlah alat tangkap yang boleh digunakan, yaitu cara mengurangi jumlah bubu
sampai 50 % dari jumlah yang digunakan saat ini sedangkan gillnet dipertahankan
jumlahnya seperti yang ada saat ini. Jadi jumlah alat tangkap yang boleh digunakan
untuk menangkap rajungan di Teluk Lasongko hanya sebanyak 7 288 unit, yang
terdiri dari 65 pis gillnet dan 7 223 buah. Jumlah gillnet dan bubu rajungan yang
digunakan di perairan ini perlu dievaluasi secara berkala, sehingga diperoleh jumlah
gillnet dan bubu yang optimum (upaya optimum) yang dapat digunakan untuk
menangkap rajungan di Teluk Lasongko. Penetapan jumlah upaya optimum tersebut
didasarkan pada potensi lestari (MSY) stok alami rajungan yang boleh ditangkap
sehingga tidak mengganggu keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko.
Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di lokasi yang dangkal dan di
tumbuhi lamun (habitat A dan T) di stasiun 1 dan 2 sebagian besar (75 %) berukuran
kecil (80 mm hingga 90 mm) yang masih dalam katogeri juvenil (Lampiran 4) dan
umumnya tertangkap dengan gillnet dengan ukuran mata jaring 1.5 inci dan 2.5 inci.
Beberapa nelayan mengatakan, bahwa ukuran mata jaring gillnet yang digunakan
untuk menangkap rajungan di kedua lokasi tersebut adalah 2.5 inci, karena jika
menggunakan ukuran matang jaring 3.5 inci, rajungan yang tertangkap sedikit.
Berdasarkan informasi tersebut, maka nelayan dilarang menggunakan gillnet dengan
ukuran mata jaring 2.5 inci untuk menangkap rajungan di dua lokasi tersebut, dan
bila perlu kedua lokasi tersebut (Lampiran 4) dinyatakan tertutup bagi kegiatan
penangkapan rajungan, karena diduga merupakan daerah asuhan rajungan yang
141

potensial di Teluk Lasongko. Selain itu, keempat warna telur rajungan betina
ovigerous sebagian besar dapat ditemukan di kedua lokasi tersebut (Tabel 28), dan
diduga lokasi tersebut merupakan daerah pemijahan dan pelepasan larva rajungan.
Ukuran mata jaring gillnet rajungan yang digunakan nelayan di Teluk
Lasongko pada saat ini adalah 3.5 inci dan 4.0 inci, serta bubu adalah 1.25 inci
(dominan) dan 1.50 inci. Gillnet berukuran mata jaring 3.5 inci digunakan pada
lokasi yang dangkal (sekitar padang lamun), sedangkan yang berukuran 4 inci
digunakan di lokasi yang dalam. Ukuran mata jaring gillnet yang digunakan di
perairan ini serupa dengan yang digunakan di Perairan Cirebon (Sumiono et al.
2010), dan lebih besar dari pada yang digunakan di Lampung timur, yaitu 3 inci
(Kurnia et al. 2014). Ukuran mata jaring bubu serupa dengan yang digunakan di
Pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2013).
Daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko sampai saat ini sebagian
besar masih terkonsentrasi pada lokasi yang dangkal dan di sekitar padang lamun,
serta telah menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan populasi rajungan, yaitu
terjadi perubahan rasio kelamin rajungan dan ukuran yang tertangkap semakin kecil
(Tabel 50). Untuk menjaga keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko, maka
daerah penangkapan rajungan lebih diarahkan ke bagian yang dalam, khususnya di
sekitar mulut teluk. Intensitas penangkapan rajungan di sekitar mulut Teluk Lasongko
sampai saat ini masih rendah (Lampiran 5), sedangkan rajungan yang tertangkap
berukuran besar (Tabel 11 dan Gambar 9).

4. Perlindungan dan Rehabilitasi Habitat


Distribusi rajungan, khususnya rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko
dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat. Lokasi-lokasi yang merupakan habitat
potensial rajungan betina ovigerous, demikian juga daerah pemijahan dan daerah
asuhan rajungan perlu dilindungi sehingga dapat mendukung keberlanjutan rajungan
di perairan ini. Padang lamun di Teluk Lasongko merupakan habitat potensial bagi
rajungan karena merupakan daerah asuhan dan pembesaran rajungan, bahkan diduga
sebagai daerah pemijahan rajungan (Gambar 21). Oleh karena itu, padang lamun di
Teluk Lasongko perlu dijaga keutuhannya, dilindungi serta direhabilitasi.
Perlindungan habitat rajungan di Teluk Lasongko, juga perlu dilakukan pada lokasi
yang dalam yang merupakan habitat potensial bagi pemijahan rajungan. Perlindungan
habitat rajungan di Teluk Lasongko dapat dilakukan dengan pembentukan daerah
perlindungan laut (DPL) yang sifatnya identik dengan suaka rajungan.
Kegiatan masayarakat, khususnya nelayan yang berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap habitat dan keberlanjutan populasi rajungan di Teluk
Lasongko perlu dicegah dan dikendalikan. Ada dua kegiatan perikanan yang
berpotensi mengancam keberlanjutan rajungan di Teluk Lasongko, yaitu penggunaan
bom ikan dan budidaya rumput laut. Seperti dijelaskan sebelumnya, intensitas
penggunaan bom dalam menangkap ikan di perairan ini pada saat ini semakin
berkurang, namun hal ini masih merupakan ancaman bagi keberlanjutan rajungan di
Teluk Lasongko. Dalam rangka melindungi habitat rajungan dan ancaman rajungan
dari kematian akibat penggunaan bom ikan, perlu dilakukan penyuluhan dan
penyadaran serta menyediakan mata pencaharian alternatif bagi pengguna bom.
142

Untuk menjaga dan melindugi keutuhan padang lamun di Teluk Lasongko,


diantaranya perlu dilakukan penataan dan pengaturan lokasi budidaya rumput laut
dan penggunaan pupuk dalam kegiatan budidaya rumput. Padang lamun sebaiknya
tidak dijadikan sebagai lokasi budidaya rumput laut, khususnya pada lokasi yang
keruh dan dangkal untuk menghindari terjadinya persaingan pemanfaatan cahaya dan
unsur hara antara rumput laut dengan lamun. Penggunaan pupuk dalam budidaya
rumput laut perlu dikaji untuk menentukan tingkat efektifitasnya dalam memacu
pertumbuhan rumput laut dan juga dampaknya terhadap kondisi kualitas air di Teluk
Lasongko.
Upaya yang perlu dilakukan berkaitan dengan rehabilitasi habitat rajungan
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu rehabilitasi lunak dan rehablitasi keras.
Rehabilitasi lunak berkaitan dengan penanganan sumber masalah yang menyebabkan
terjadinya degradasi habitat dan populasi rajungan di Teluk Lasongko dan
menekankan pada pengendalian perilaku manusia. Rehabilitasi lunak dikembangkan
dengan asumsi bahwa jika sumber masalah penyebab degradasi habitat dan populasi
rajungan di Teluk Lasongko dapat dikendalikan, maka habitat dan populasi rajungan
di perairan ini akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi dan memulihkan
dirinya sendiri secara alami.
Beberapa permasalahan yang berpotensi dapat menyebabkan terjadinya
degradasi habitat rajungan di Teluk Lasongko antara lain, kesadaran dan tingkat
pengetahuan nelayan dan masyarakat yang masih rendah, adanya kegiatan perikanan
yang tidak ramah lingkungan, tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang perairan,
penangkapan rajungan yang intensif dan belum adanya upaya pengelolaan sumber
daya rajungan. Pemecahan permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui rehabilitasi
habitat dengan pendekatan lunak. Pendekatan lunak dilakukan melalui kegiatan
penyadaran masayarakat (public awareness), penataan ulang pemanfaatan ruang
perairan Teluk Lasongko, pengendalian penangkapan rajungan seperti dijelaskan di
atas, dan penetapan dan penegakan aturan yang berkaitan dengan pengelolaan
rajungan serta mengembangkan mata pencaharian alternatif. Penyadaran masyarakat
dapat dilakukan melalui pendidikan formal, penyuluhan, sosialisasi melalui media
cetak dan elektronik, poster, leaft leat dan stiker tentang pelestarian habitat dan
populasi rajungan di Teluk Lasongko.
Rehabilitasi keras adalah berkaitan dengan kegiatan langsung perbaikan
lingkungan di lapangan. Rehabilitasi habitat rajungan dengan pendekatan rehabilitasi
keras di Teluk Lasongko adalah berkaitan dengan rehabilitasi padang lamun.
Beberapa metode rehabilitasi padang lamun yang telah dikenal, yaitu TERFs
(transplanting eelgrass remotely with frame system), plug, sod/turfs dan modifikasi
peat pot (Hutomo et al. 2010).
Kepadatan padang lamun yang ditemukan di stasiun 1 dan 2 pada kedalaman 150
cm hingga 250 cm (Gambar 21) telah mengalami degradasi. Untuk mengembalikan
keutuhan padang lamun pada kedua lokasi tersebut perlu dilakukan upaya
rehabilitasi. Padang lamun berfungsi sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi
rajungan. Disamping itu, untuk menjaga keutuhan padang lamun di Teluk Lasongko
maka sebaiknya budidaya rumput laut tidak dilakukan di padang lamun. Budidaya
rumput laut yang dilakukan di atas padang lamun menyebabkan persaingan antara
rumput laut dengan lamun dalam pemanfaatan unsur hara dan cahaya matahari,
sehingga mengganggu pertumbuhan dan bahkan mematikan lamun.
143

5. Restoking
Restoking atau pemacuan stok rajungan adalah salah satu upaya pengelolaan
rajungan yang bertujuan untuk memperbaiki stok alami dan meningkatkan hasil
tangkapan rajungan. Namun, upaya pengelolaan ini sangat tergantung pada
ketersediaan benih rajungan yang diproduksi secara massal melalui pembenihan.
Produksi massal pembenihan rajungan telah berhasil dilakukan Balai Budidaya Air
Payau Takalar dengan tingkat kelangsungan hidup dari telur hingga burayak (crablet
10) dengan lebar karapas berkisar 5 mm hingga 20 mm sebesar 50 % (BBAP Takalar
2012). Kondisi habitat Teluk Lasongko layak untuk dijadikan sebagai lokasi restoking
rajungan. Kualitas air dan kondisi padang lamun sangat mendukung restoking tersebut.

6. Mengembangkan Suaka Rajungan


Konsep pendekatan pengelolaan rajungan yang telah dijelaskan sebelumnya
masih bersifat parsial dan lebih ditekankan pada pendekatan keberlanjutan potensi
sumberdaya rajungan sehingga perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang bersifat
komprehensif yang melibatkan semua komponen pada kegiatan perikanan rajungan
di Teluk Lasongko melalui pendekatan berbasis ekosistem. Konsep pengelolaan
rajungan dengan pendekatan suaka rajungan merupakan salah satu pendekatan
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem yang ditujukan untuk
melindungi rajungan dan juga secara langsung dapat melindungi habitat rajungan
(Roberst et al. 2005), yaitu padang lamun dan hamparan pasir sebagai habitat
rajungan di Teluk Lasongko.
Kawasan suaka rajungan harus mempertimbangkan variasi sebaran spasial dan
temporal populasi rajungan di Teluk Lasongko, khususnya yang berkaitan dengan
pola distribusi rajungan betina ovigerous, larva dan pola migrasi rajungan di perairan
ini. Luas areal suaka rajungan yang akan dikembangkan di Teluk Lasongko
setidaknya harus dapat melindungi daerah asuhan dan pemijahan rajungan. Kedua
lokasi tersebut dinyatakan sebagai zona inti. Zona inti suaka rajungan secara
permanen dinyatakan tertutup dari kegiatan penangkapan rajungan serta kegiatan lain
yang berpotensi merusak keutuhan habitat rajungan. Di luar zona inti tersebut, dibuat
zona penangkapan rajungan dan ikan serta budidaya rumput laut.
Dalam pengembangan suaka rajungan di Teluk Lasongko, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, yaitu lokasi dan luas kawasan suaka rajungan yang akan
dikembangkan, partisipasi nelayan dan masyarakat, dukungan kelembagaan, serta
kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia pengelola suaka rajungan. Lokasi
suaka rajungan ditentukan berdasarkan pada kondisi habitat rajungan yang meliputi
parameter fisika, kimia dan biologi yang menentukan setiap tahap siklus hidup
rajungan, khusus daerah pemijahan dan asuhan rajungan.
Penetapan lokasi dan luas kawasan suaka rajungan harus disepakati oleh
nelayan dan pembudidaya rumput laut, tokoh masyarakat di kawasan Teluk Lasongko
dan didukung oleh instansi terkait. Oleh karena penetapan lokasi dan luas perairan
yang akan dikembangkan sebagai kawasan suaka rajungan harus ditetapkan melalui
musyawarah atau workshop yang dihadiri oleh unsur-unsur yang terlibat dalam
pengelolaan suaka rajungan di Teluk Lasongko diantaranya nelayan rajungan, nelayan
umum, pengolah daging rajungan, pembudidaya rumput laut, tokoh masyarakat,
144

instansi terkait seperti Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton
Tengah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Model kelembagaan pengelolaan suaka rajungan di Teluk Lasongko bersifat
kolaboratif dengan prinsip kemitraan. Dalam operasi pengelolaan suaka rajungan di
perairan ini berbasis kepada masyarakat dan didukung oleh pihak-pihak terkait.
Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam
pengelolaan suaka rajungan dapat dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan dan
workshop yang dilakukan sebelum dan setelah suaka rajungan terbentuk. Sasaran
yang diharapkan dari ketiga kegiatan tersebut antara lain (1) meningkatkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat di Teluk Lasongko tentang pentingnya suaka
rajungan bagi keberlanjutan populasi rajungan untuk mendukung keberlanjutan
penangkapan rajungan dan pengolahan daging rajungan di daerah ini, (2) meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia sebagai pihak yang terkait dengan pengelolaan suaka
rajungan di perairan ini, dan (3) pihak terkait dengan pengelolaan suaka rajungan
dapat mengetahui peran dan fungsinya dalam pengelolaan suaka rajungan sehingga
dapat berjalan efektif.

7. Pemantauan dan Evaluasi Secara Berkala


Pemantuan dan evaluasi perlu dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk
mengetahui apakah strategi pengelolaan yang telah diterapkan berjalan efektif atau
tidak.
145

8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN


Simpulan
1. Karakteristik habitat dan distribusi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi dilihat
dari tipe substrat, kepadatan lamun dan kualitas air, serta kecepatan arus, salinitas
dan kecerahan menentukan distribusi spasial populasi rajungan di Teluk
Lasongko,
2. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko
bervariasi secara spasial dan temporal, serta rajungan jantan dan betina masing-
masing terdistribusi pada 10 kelas ukuran dan 12 kelas ukuran lebar karapas,
3. Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina menunjukkan
hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif, serta tipe pertumbuhan pada tahap
juvenil dan dewasa tidak mengalami perubahan yaitu masing-masing bersifat
allometrik negatif untuk antar karakter morfometrik dan lebar/panjang karapas-
berat tubuh bersifat isometrik.
4. Rasio kelamin rajungan jantan terhadap betina di Teluk Lasongko umumnya
seimbang, perkembangan kematangan gonadnya cenderung berlangsung tidak
seiring antara rajungan jantan dan betina, serta indeks kematangan gonad
rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan,
5. Rajungan betina ovigerous yang berwarna kuning sampai abu-abu gelap dapat
ditemukan pada berbagai tipe habitat di Teluk Lasongko, pada stasiun 6 dan 7
cenderung ditemukan lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya;
6. Puncak musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko terjadi pada bulan Mei-
Juni, Agusus dan Oktober-November dengan tipe pemijahan parsial dan
fekunditas berkisar 69747 butir hingga 2078874 butir, serta ukuran lebar karapas
rajungan jantan 50 % matang kelamin sebesar 109.83 mm dan betina 115.71 mm,
7. Tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko
cenderung meningkat seiring dengan perubahan warna telur, serta kadar
proksimat dan asam lemak telur rajungan mengalami perubahan dengan
perubahan warna telur dari warna kuning sampai warna abu-abu gelap,
8. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terdiri
dari satu sampai dua kelompok ukuran, dan didominasi oleh kelompok dewasa,
9. Laju pertumbuhan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih cepat dari
pada rajungan betina, rekrutmen berlangsung setiap bulan dan kematian
penangkapan rajungan jantan betina lebih besar dari pada kematian alami, serta
telah mengalami tangkap lebih (overfishing), dan
10. Konsep pengelolaan rajungan yang segera dan akan dikembangkan di Teluk
Lasongko meliputi mengatur rajungan yang boleh ditangkap, mengatur musim
penangkapan, mengendalikan alat tangkap dan daerah penangkapan, melindungi
dan merehabilitasi habitat, melakukan restoking, mengembangkan suaka
rajungan, serta melakukan pemantuan dan evaluasi secara berkala.
146

Saran
Mengingat saat ini status populasi rajungan di Teluk Lasongko cenderung
berada pada kondisi kritis, maka beberapa saran yang diajukan, yaitu adalah sebagai
berikut :
1. Ukuran lebar karapas rajungan jantan yang boleh ditangkap adalah >109.83 mm
dan rajungan betina > 115.71 mm, serta melarang menangkap rajungan betina
ovigerous,
2. Mengurangi intensitas penangkapan rajungan ketika musim puncak pemijahan
rajungan,
3. Penangkapan rajungan di daerah yang dangkal perlu dikurangi dan diarahkan ke
lokasi yang lebih dalam dan di sekitar mulut Teluk Lasongko ,
4. Melarang pembudidaya rumput membuang sisa air rendaman bibit ke laut, tidak
menggunakan padang lamun sebagai lokasi budidaya rumput laut, dan perlu
merehabilitasi padang lamun pada beberapa lokasi di stasiun 1 dan 2,
5. Perlu penelitian lebih lanjut tentang distribusi larva dan pola migrasi rajungan
untuk mendukung pengembangan suaka rajungan di Teluk Lasongko,
6. Perlu pencatatan secara berkala jumlah penggunaan gillnet dan bubu, ukuran
rajungan yang tertangkap dan hasil tangkapan rajungan untuk dijadikan dasar
menentukan potensi dan mengevaluasi strategi pengelolaan, dan
7. Perlu dilakukan kajian genetika populasi rajungan untuk mendukung penentuan
unit stok rajungan dan pengembangan pembenihan rajungan untuk mendukung
restoking dan pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.
147

DAFTAR PUSTAKA
Akbar Z, Qasim R, and Siddiqui PJA. 1998. Seasonal variations in biochemical
composition of edible crab (Portunus pelagicus Linneaus). J. Islamic Acad. Sci.
1(2): 127-133
[AOAC] Association of Official Analysis Chemists. 1984. Official Methods of
Analysis of the Association of Official Analysis Chemists. Washington (US):
Association of Official Analytical Chemists. 14th Ed. 1102pp
Araújo MSC, Coelho PA and Castiglioni DS. 2012. Relative growth and determination
of morphological sexual maturity of the fiddler crab Uca thayeri Rathbun
(Crustacea, Ocypodidae) in two mangrove areas from Brazilian tropical coast.
Pan-American J. Aqu. Sci. 7(3): 156-170
Arshad A, Efrizal, Kamarudin MS and Saad CR. 2006. Study on fecundity,
embryology and larval development of blue swimming crab Portunus pelagicus
(Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Res.J.Fish.&Hydrobiol. 1(1): 35-44
Atar HH, Secer S. 2003. Width/length-weight relationships of the blue crab
(Callinectes sapidus Rathbun 1896) population living in Beymelek Lagoon
Lake. Turk J Vet Anim Sci. 27: 443-447
Ayas D, and Özoğul Y. 2011. The chemical composition of sexually mature blue
swimmer crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) in the Mersin Bay. J Fish.
Sci. 5(4):308-316 doi: 10.3153/jfscom.2011035
Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana 24(1): 1-16
Azmie G, Abol-Munafi AB, Faizal WWYM and Ikhwanuddin M. 2012. Ovarian
maturation stages of orange mud crab, Scylla olivacea. Paper presented at
UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and
Management, Terengganu, Malaysia 09th - 11th July 2012.
Balasubramanian CP and Suseelan C. 2001. Biochemical composition of the deep-
water crab Charybdis smithii. Indian J. Fish 48(3):333-335
Baklouti S, Derbali A, Dhieb K, Kammoun W and Jarboui O. 2013. Proximate
composition and its seasonality of the Mediterranean green crab: Carcinus
aestuarii Nardo,1847 (Brachyura, Portunidae), in Southern Tunisian waters
(Central Mediterranean). J. Mar.Biol., 6p http://dx.doi.org/10.1155/2013/989467
Batoy CB, Sarmago JF, Pilapil BC. 1987. Breeding season, sexual maturity and
fecundity of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in selected coastal waters in
Leyte and vicinity, Philippines. An.Trop. Res. 9(3):157-177.
Batoy CB, Pilapil BC, Sarmago JF. 1988. Size composition, distribution, length-
weight relationship and natural food of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in
selected coastal waters in Leyte and vicinity, Philippines. An.Trop. Res. 10(3
dan 4): 127-142
[BBAP Takalar] Balai Budidaya Air Payau Takalar. 2012. Restoking 100 000 ekor
benih rajungan.[diunduh 20Januari 2015]. Tersediapada: http://crabcenterbbapt.
blogspot.com/2012/07/restocking-100000-ekor-benih-rajungan.html
Bellchambers L, Sumner N and Melville-Smith R. 2005. Final Report Development
of Stock Allocation and Assessment Techniques in WA Blue Swimmer Crab
Fisheries. North Beach (AU): Department of Fisheries, Research Division.
148

Bellchambers L. 2010. The Effect of Western Rock Lobster Fishing on the Deepwater
Ecosystems of the West Coast of Western Australia. [Final FRDC Report,
Project 2004/049]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Government of
Western Australia. 96pp
Bengen DG. 2001. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 41 hal
Bertini G, Teixeira GM, Fransozo V and Fransozo A. 2010. Reproductive period and
size at the onset of sexual maturity of mottled purse crab, Persephona
mediterranea (Herbst, 1794) (Brachyura, Leucosioidea) on the southeastern
Brazilian coast. Invert. Repro. Devel. 54(1): 7-17.
Bhat BA, Ravichandran S and Allayie SA. 2011. Influence of the eyestalk hormone
on the metabolism and ionic regulation of the crab Portunus pelagicus
(Linneaus, 1857). J. Biol. Sci. 11(2): 203-209 doi: 10.3923/jbs.2011.203.209
Blankenhorn SU. 2007. Seaweed Farming and Artisanal Fisheries In An Indonesian
Seagrass Bed Complementary Or Competitive Usages?. [Dr. rer. nat. Thesis]
Bremen (NL): Faculty 2 Biology, University Bremen. 118pp
Boutson A. 2008. Behavior of Blue Swimming Crab for Improving Catch Selectivity
and Efficiency of Collapsible Pot in Thailand. [Dissertation]. Tokyo(JP): Tokyo
University of Marine Science and Technology (TUMSAT). 101 p.
Brower J, Jerrold HZ and Ende NVE. 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm. C. Brown Publishers.
Campbell S. 2009. Seaweed farms and seagrass can they co exist?. [diunduh 19
Februari 2015]; 3:12-13. Tersedia pada: www.seagrasswatch. org/.../SW
Magazine .
Caputi N, Pearce A and Lenanton R. 2010. Fisheries-Dependent Indicators of Climate
Change in Western Australia WAMSI Sub-Project 4.2.3. [Fisheries Research
Report No. 213]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Western
Australia. 36pp
Chande I and Mgaya YD. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species
diversity of portunid crabs along the Coast of Dar es Salaam, Tanzania.
Western Indian Ocean. J. Mar. Sci. 2(1): 75-84
Cobo VJ and Fransozo A. 2003. External factors determining breeding season in the
red mangrove crab Goniopsis cruentata (Latreille) (Crustacea, Brachyura,
Grapsidae) on the São Paulo State Northern Coast, Brazil. Revta bras. Zool. 20
(2): 2013-2017
Chaiyawat M, Eungrasamee I and Raksakulthai N. 2008. Quality characteristics of
blue swimming crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) meat fed Gracilaria
edulis (Gmelin) Silva. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 42: 522-530
de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer
crab (Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the
West Coast of Australia. Fish.Bull. 101: 745-757
de Lestang S, Bellchambers LM, Caputi N, Thomson AW, Pember MB, Johnston DJ
and Harris DC. 2010. Stock-Recruitment-Environment Relationship in a
Portunus pelagicus Fishery in Western Australia. in: Kruse GH, Eckert GL,
Foy RJ, Lipcius RN, Sainte-Marie B, Stram DL, and Woodby D (eds.). Biology
149

and Management of Exploited Crab Populations Under Climate Change.


Fairbanks (AU): Alaska Sea Grant, University of Alaska. doi: 10.4027/
bmecpcc.2010.06
Dhawan RM, Dwivedi SN and Rajamanickam GV. 1976. Ecology of the blue crab
Portunus pelagicus (Linnaeus) and its potential fishery in Zuari estuary. Indian
J. Fish. 23(1-2): 57-64.
Dineshbabu AP, Shridhara B and Muniyappa Y. 2008. Biology and exploitation of
the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758), from South
Karnataka Coast, India. Indian J. Fish. 55(3): 215-220.
Dixon C and Hooper GE. 2010. Blue Crab (Portunus pelagicus) Fishery 2008/2009.
[Stock Assesment Report to PIRSA Fisheries]. Adelaide (AU): South
Australian Research and Developmemt Institute (Aquatic Science). SARDI
Publication No. F2007/000729-6. SARDI Report Series No. 428.
[DKP Sulawesi Tenggara] Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara. 2003.
Penyusunan Detail Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Kendari (ID): Dinas
Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara.
Edgar GJ. 1990. Predator-prey interactions in seagrass beds. II. Distribution and diet
of the blue manna crab Portunus Pelagicus linnaeus at Cliff Head, Western
Australia. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 139 (1-2): 23-32.
Ernawati T. 2013. Dinamika Populasi dan Pengkajian Stok Sumberdaya Rajungan
(Portunus pelagicus) di Perairan Kabupaten Pati dan Sekitarnya. [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 80 hal
Figueiredo J and Narciso L. 2008. Egg volume, energy content and fatty acid profile
of Maja brachydactyla (Crustacea: Brachyura: Majidae) during embryogenesis.
J. Mar. Biol. Ass. U.K. 88(7): 140-1405
Figueiredo J, Penha-Lopes G, Anto J, Narciso L, and Lin J. 2008a. Potential fertility
And Egg Development (Volume, Water, Lipid, And Fatty Acid Content)
Through embryogenesis of Uca rapax (Decapoda: Brachyura: Ocypodidae). J.
Crus. Biol. 28(3): 528-533
Figueiredo J, Penha-Lopes G, Anto J, Narciso L, and Lin J. 2008b. Fecundity, brood
loss and egg development through embryogenesis of Armases cinereum
(Decapoda: Grapsidae). Mar. Biol. 154: 287-294
Figueiredo J, Anto J, Lin J and Narcico L. 2012. The consumption of DHA during
embryogenesis as an indicative of the need to supply DHA during early larval
development: Areview. J Aquacult Res Dev 3:5 doi:10.4172/2155-9546.1000140
Garc´ıa-Guerrero M. 2010. Effect of temperature on consumption rate of main yolk
components during embryo development of the prawn Macrobrachium
americanum (Crustacea: Decapoda: Palaemonidae). J. World Aqua. Soc.
41(S1): 84-92
Gayanilo FCJr., Sparre P, Pauly D. 2005. FAO-ICLARM Stok Assessment Tolls
(FISAT II). Revised Version. [User's Guide]. Rome (IT): FAO Computerized
Information Series (Fisheries), No 8, Revised version. 168 pp
150

Gerami MH, Ghorbani R, Paighmabari SY, Momeni M. 2013. Reproductive season,


maturation size (LM 50) and sex ratio of Metapenaeus affinis (Decapoda:
Penaeidae) in Hormozgan shrimp fishing grounds, South of Iran. Inter. J.
Aquatic Biol. 1(2): 48-54
Green BS, Gardner C, Hochmuth JD, Linnane A. 2014. Environmental effects on
fished lobsters and crabs. Rev Fish Biol Fisheries 24 (1): 1-26 doi: 10.1007/
s11160-014-9350-1
Halik, Alimu dan La Hera. 2014. Catatan Harian Penggunaan Bahan Baku
Rajungan Tiga Pengolah Daging Rajungan di Teluk Lasongko Selama Bulan
Mei 2013 sampai Bulan April 2014. Lolibu, Buton Tengah (ID): Pengolah
Daging Rajungan di Teluk Lasongko. 66 hal
Hamid A, La Sara dan Halili. 2006. Pembentukan Daerah Suaka Perikanan Kepiting
Rajungan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. Laporan Penelitian Inti Daerah.
Kendari (ID): Konsorsium Mitra Bahari RC Sulawesi Tenggara. 68 hal
Hamid A. 2011. Kondisi kepiting rajungan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mitra Bahari 5(2):75-86.
Hamid A, Yusnaini, Nur I and Halili. 2010. Red tide phenomenon in Lasongko Bay,
Buton District. Di dalam: Jompa J, Riyanto B, Suraji, Lestari ET, Editor.
Proceeding of International Conference on Small Islands and Coral Reefs; 2010
Agustus 4-5; Ambon, Indonesia. Jakarta (ID): COREMAP II, Kementerian
Kelautan dan Perikanan. hlm 1-10.
Hamsa KMSA. 1978. Chemical composition of the swimming crab Portunus pelagicus
Linnaeus. Indian J. Fish., 25(1):27-273
Harris D, Johnston D, Sporer E, Kangas M, Felipe N and Caputi N. 2014. Status of
the Blue Swimmer Crab Fishery in Shark Bay, Western Australia. [Fisheries
Research Report No. 233]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Western
Australia. 84pp
Hartnoll RG. 1978. The determination of relative growth in Crustacea. Crustaceana,
34(3): 281-293.
Hosseini M, Vazirizade A, Parsa Y and Mansori A. 2012. Sex ratio, size distribution
and seasonal abundance of blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus,
1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17(7): 919-925
Huang JR, CL Brown and TB Yang. 2011. Spatio-temporal patterns of crab fisheries
in the main bays of Guangdong Province, China. Iranian J Fish Scie. 10(3):
425-436
Hutomo H, Bengen DG, Kuriandewa TE, Taurusman AA, Haryani EBS (Editor).
2010. Prosiding Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Bogor
(ID): PKSPL, Institut Pertanian Bogor. 227 hal
Ihsan, Wiyono ES, Wisudo SH, Haluan J. 2014. A study of biological potential and
sustainability of swimming crab in the waters of Pangkep Regency South
Sulawesi Province. Inter. J. Sci.: Bacic Appl. Res. 16 (1): 351-363
Ikhwanuddin M, Shabdin ML and Abol-Munafi AB. 2009. Cath information of blue
swimming crab (Portunus pelagicus) from Sarawak coastal water of South
China Sea. J. Sustain .Sci. Manage. 4(1): 93-103
151

Ikhwanuddin AP, Muhamad JH, Shabdin ML and Abol-Munafi AB. 2011. Fecundity
of blue swimming crab, Portunus pelagicus Linnaeus, 1758 from Sematan
Fishing District, Sarawak coastal water of South China Sea. Borneo J. Resour.
Sci. Tech 1: 46-51
Ikhwanuddin M, M. Azra, H Siti-Aimuni and AB Abol-Munafi, 2012a. Fecundity,
Embryonic and Ovarian Development of Blue Swimming Crab, Portunus
pelagicus (Linnaeus, 1758) in Coastal Water of Johor, Malaysia. Pak. J. Biol.
Sci. 15:720-728. doi: 10.3923/pjbs.2012.720.728
Ikhwanuddin M, Nurfaseha AH, Abol-Munafi AB, and Shabdin ML. 2012b. Movement
patterns of blue swimming crab, Portunus pelagicus in the Sarawak coastal
water, South Cina Sea. J. Sustain .Sci. Manage. 7(1): 8-15
Ingles, JA and Braum E. 1989. Reproduction and larval ecology of the blue swimming
crab Portunus pelagicus in Ragay Gulf, Philippines. Int. Rev. Hydrobiol., 74(5):
471-490.
Jazayeri A, Papan F, Savari A, Nejad TS. 2011. Biological investigation of Persian
Gulf blue swimmer crab (Portunus pelagicus) in Khuzestan coasts. J.
American Sci. 7(2): 7-13
Johnson DD, Charles GA and Macbeth WG. 2010. Reproductive biology of Portunus
pelagicus in a South-East Australian Estuary. J.Crus. Biol. 30(2): 200-205
Johnston D, Harris D, Caputi N, Thomson A. 2011a. Decline, contributing factors
and future management strategy. Fish. Res. 109(1): 119-130
Johnston D, Harris D, Caputi N, de Lestang S, and Thomson A. 2011b. Status of The
Cockburn Sound Crab Fishery. [Fisheries Research Report No. 219]. North
Beach (AU): Department of Fisheries, Western Australia. 104pp.
Josileen J and Menon NG. 2007. Fishery and growth parameters of the blue swimmer
crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) along the Mandapam Coast, India. J.
Mar. Biol. Assoc. India 49(2): 159-165
Josileen J. 2011. Morphometrics and length-weight relationship in the blue swimmer
crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura) from the
Mandapam Coast, India. Crustaceana 84 (14): 1665-1681
Josileen J. 2013. Fecundity of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus,
1758) (Decapoda, Brachyura, Portunidae) along the coast of Mandapam, Tamil
Nadu, India. Crustaceana 86(1):48-55.
Juwana S. 1997. Tinjauan tentang perkembangan penelitian budidaya rajungan
(Portunus pelagicus). Oseana 22 (4):1-12
Juwana S. 2006. Petunjuk Praktis Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Jakarta [ID]: Pusat Penelitian
Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 45 hal
Kamrani E, Sabili AN, Yahyavi M. 2010. Stock assessment and reproductive biology
of the blue Swimming crab, Portunus pelagicus in Bandar Abbas Coastal Waters,
Northern Persian Gulf. Journal of the Persian Gulf (Marine Science) 1(2): 11-22.
Kangas MI. 2000. Synopsis of the Biology and Exploitation of the Blue Swimmer
Crab Portunus pelagicus Linnaeus in Western Australia. Fisheries Research
Report No. 121]. Perth (AU) : Fisheries Western Australia. 29 pp
152

Kembaren DD, Ernawati T dan Suprapto. 2012. Biologi dan parameter populasi rajungan
(Portunus pelagicus) di perairan Bone dan sekitarnya. J.Lit.Perikan.Ind.18
(4):273-281
King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Oxford (GB):
Blackwell Scientific. 341 p.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan,
Buku 1. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 182 hal
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus
spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.). Jakarta
(ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 5 hal
Khoei JK, Bastami AA and Esmailian M. 2012. The biochemical composition of the
eggs blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in the Persian
Gulf Coasts, Iran. Middle-East J. Sci. Res. 12(7): 915-920
Kumar M, Xiao Y, Venema S. 2003. Reproductive cycle of the blue swimmer
crab, Portunus pelagicus, of Southern Australia. J.Mar.Biol. Assoc.U.K. 83:
983-994. doi.org/10.1017/S0025315403008191h
Kunsook C. 2011. Assessment of Stock and Movement Pattern for Sustainable
Management of Blue Swimming Crab Portunus Pelagicus (Linnaeus, 1758): Case
study in Kung Krabaen Bay, Chanthaburi Province, Thailand. [PhD thesis].
Bangkok (TH): Chulalongkorn University. 166pp
Kunsook C, Gajaseni N and Paphavasit N. 2014. A stock assessment of the blue
swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) for sustainable management
in Kung Krabaen Bay, Gulf of Thailand. Trop. Life Sci. Res. 25(1): 41-59
Kurnia R, Boer M, Zairion. 2014. Biologi populasi rajungan (Portunus pelagicus)
dan karakteristik lingkungan habitat esensialnya sebagai upaya awal
perlindungan di Lampung Timur. JIPI 19 (1): 22-28
Larkum AD, Orth RJ and Duarte CM (eds). 2006. Seagrasses: Biology, Ecology
and Conservation. Dordrecht (NL): Springer. 649 pp
Li X, Li Z, Liu J, Zhang T, Zhang C. 2011. Effects of light intensity on molting,
growth, precocity, digestive enzyme activity, and chemical composition of
juvenile Chinese mitten crab Eriocheir sinensis. Aquacult Int 19:301-311 doi:
10.1007/s10499 -010-9414-8
Li S, Cheng Y, Zhou B and Hines AH. 2012. Changes in biochemical composition
of newly spawned eggs, prehatching embryos and newly hatched larvae of the
blue crab Callinectes sapidus. J. Shellfish Res. 31(4):941-946 doi: http://dx.
doi.org/10.2983/035.031.0405
Liao Y, Li F, and Dong X. 2011. External morphological characteristics during the
embryonic development of Portunus pelagicus. Zoological Research 32(6):
657-662 (Bahasa Cina) doi: 10.3724/SP.J.1141.2011.06657
Liu Z, Wu X, Wang W, Yen B, Cheng Y. 2014. Ovariun development, size
distribution and monthy variation of the female blue swimmer crab, Portunus
pelagicus in Beibu Gulf, off South Cina. Sci.Mar. 78 (2):257-268. doi:
10.3989/scimar.03919.24A
153

Mehanna SF, Khvorov S, Al-Sinawy M, Al-Nadabi YS and Al-Mosharafi MN. 2013.


Stock assessment of the blue swimmer crab Portunus pelagicus (Linnaeus,
1766) from the Oman Coastal Waters. Int. J. Fish. Aquat. Sci. 2(1):1-8
Muhsoni FF dan Abida IW. 2009. Analisis potensi rajungan (Portunus pelagicus) di
Perairan Bangkalan-Madura. Embryo, 6 (2): 140-147
Muthuvelu S, Sundhari S, Purusothaman S and Sivaraj S. 2013. Biochemical and
enzymatic fluctuation during ovarian development of edible marine crab
Portunus pelagicus (Linnaeus,1758). Int J Pharm Pharm Sci 5(4):638-642
Moran AL and Mcalister JS. 2009. Egg size as a life history character of marine
invertebrate: is it all it’s cracked up to be?. Biol Bull. 216:226-242
Nitiratsuwan T, Nitithamyong C, Chiayvareesajja S and Somboonsuke B. 2010.
Distribution of blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in
Trang Province. Songklanakarin J Sci Technol. 32(3): 207-212.
Nitiratsuwan T, Tanyaros S and Panwanitdumrong K. 2013. Distribution of berried
female blue swimmer crabs (Portunus pelagicus Linneaus, 1758) in the coastal
waters of Trang Province, Southern Thailand. Maejo Int. J. Sci. Technol. 7
(special issue): 52-59.
Oniam V, U Buathee, L Chuchit and T Wechakama. 2010. Growth and sexual
maturity of blue swimming crab (Portunus pelagicus, 1758) reared in earthen
ponds. Kasetsart Fish. Res. Bull. 34 (1): 20-27
Oniam V, Chuchit L and Arkronrat W. 2012. Reproductive perfomace and larval
quality of blue swimming crab (Portunus pelagicus) broodstock, fed with
different feeds. Songklanakarin J. Sci. Technol. 34(4): 381-386
Pauly D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters: A Manual for Use
Programmable Calculators. Manila (PH): ICLARM. 325pp
Petersen S and Anger K. 1997. Chemical and physiological changes during the
embryonic development of the spider crab, Hyas araneus L. (Decapoda:
Majidae). Comp. Biochem. Physiol. 117B(2):299-306
Pinheiro MAA and Fransozo A. 2002. Reproduction of the speckled swimming crab
Arenaeus cribrarius (Brachyura: Portunidae) on the Brazilian Coast near
23°30's. J. Crus. Biol. 22(2):416-428
Pillay K and Nair NB. 1971. The annual reproductive cycles of Uca annulipes,
Portunus pelagicus and Metapenaeus affinis (Decapoda : Crustacea) from the
South-West Coast of India. Mar Biol 11:152--166
Pillay K and Nair NB. 1973. Observations on the biochemical changes in gonads and
other organs of Uca annulipes, Portunus pelagicus and Metapenaeus affinis
(Decapoda: Crustacea) during the reproductive cycle. Mar Biol 18:167-198
Potter IC, Chrystal PJ and Loneragan NR. 1983. The biology of the blue manna crab
Portunus pelagicus in an Australian estuary. Mar Biol., 78:75-85
Potter IC and de Lestang S. 2000. Biology of the blue swimmer crab Portunus
pelagicus in Leschenault Estuary and Koombana Bay, South-Western
Australia. Journal of the Royal Society of Western Australia, 83: 443-458
Potter IC, de Lestang S and Melville-Smith R. 2001. The Collection of Biological
Data Required for Management of The Blue Swimmer Crab Fishery in The
154

Central and Lower West Coasts of Australia. Murdoch (AU): Centre for Fish
and Fisheries Research, Murdoch University. 56p
Priya ER, Jeyalakshmi K, Ravichandran S and Chandran M. 2013. Variation of lipid
concentration in some edible crabs. World J. Fish & Marine Sci. 5(1):110-112
Radhakrishnan CK. 2000. The eggs of marine crabs an unexploited resource. Naga,
The ICLARM Quarterly 23(3):4-5
Rameshkumar G, Ravichandran S, Chandan K and Ajithkumar TT. 2009. Comparison of
fatty acid profile in the edible crabs Scylla serrata and Portunus pelagicus.
Global J Env. Res. 3(1):42-45
Rasheed S, Mustaquim J. 2010. Size at sexual maturity, breeding season and
fecundity of three-spot swimming crab Portunus sanguinolentus (Herbst, 1783)
(Decapoda, Brachyura, Portunidae) occurring in the coastal waters of Karachi,
Pakistan. Fish.Res. 103: 56–62 doi:10.1016/j.fishres.2010.02.002
Ravi R and Manisseri MK. 2010. Biochemical Changes during Gonadal Maturation
Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758). Fishery Technology, 47(1): 27-34
Ravi R and Manisseri MK. 2013. Alterations in size, weight and morphology of the
eggs of blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, 1758 (Decapoda,
Brachyura, Portunidae) during incubation. Turk. J. Fish. Aquat. Sci. 13:509-515
Razek AFA, Taha SM and Ameran AA. 2006. Population biology of the edible crab
Portunus pelagicus (Linnaeus) from Bardawil Lagoon, Northern Sinai, Egypt.
Egyptian J. Aquat. Res. 32( 1): 401-418.
Reppond K, Rugolo L and de Oliveira ACM. 2008. Change in biochemical
composition during development of snow crab, Chionoecetes opilio, embryos.
J. Crus. Biol 28(3):519-527
Roberts CM, Hawkins PJ and Gell FR. 2005. The role of marine reserves in achieving
sustainable fisheries. Phil. Trans. R. Soc. B. 360, 123-132
Romano N and Zeng C. 2006. The effects of salinity on the survival, growth and
haemolymph osmolality of early juvenile blue swimmer crabs, Portunus pelagicus.
Aquaculture 260: 151-162
Rosa R, Calado R, Narciso L and Nunes ML. 2007. Embryogenesis of decapod
crustaceans with different life history traits, feeding ecologies and habitats: a
fatty acid approach. Mar Biol 151:935-947 doi 10.1007/s00227-006-0535-6
Safaie M, Pazooki J, Kiabi B and Shokri MR. 2013. Reproductive biology of blue
swimming crab, Portunus segnis (Forskal, 1775) in coastal waters of Persian
Gulf and Oman Sea, Iran. Iranian J Fish Sci. 12(2): 430-444.
Samuel MJ, Kannupandi T and Soundarapandian P. 1998. Fatty acid profile during
embryonic development of the cultivable freshwater prawn Macrobrachium
malcolmsonii (H. Milne Edwards). Indian J Fish 45(2): 141-148
Samuel NJ and Soundarapandian P. 2009. Embryonic development of commercially
important portunid crab Portunus sanguinolentus (Herbst). Int.J.Anim.Veter.Adv.
1(2): 32-38
Santos S, Negreiros-Fransozo ML. 1999. Reproductive cycle of the swimming crab
Portunus spinimanus Latreille (Crustacea, Oecapoda, Brachyura) from Ubatuba,
Sao Paulo, Brazil. Revta bras. Zool. 16(4): 1183 -1193.
155

Saputra SW. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus elegans de Man
1907) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 213 hal
Sawusdee A and Songrak A. 2009. Population dynamics and stock assessment of
blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in the coastal area of
Trang Province, Thailand. Walailak J Sci & Tech 6(2): 189-202.
Songrak A, Bodhisuwan W and Thapanand-Chaidee T. 2013. Selectivity of traps for
blue swimming crab in Trang province. Maejo Int. J. Sci. Technol. 7 (Special
Issue): 36-42
Songrak A, Bodhisuwan W, Yoocharern N, Udomwong W and Darbanandana T.
2014. Reproduction biology of the blue swimming crab, Portunus pelagicus
(Linnaeus, 1758) in the coastal waters of Trang Province, Southern Thailand.
Kasetsart Fish. Res. Bull. 38 (2): 27-40
Soundarapandian P and Singh RK. 2008. Biochemical composition of the eggs of
commercially important crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Int. J. Zool. Res.
4:53-58
Sounndarapandian P and Dey SS. 2008. Proximate composition of the eggs of
commercially important crab Portunus sanguinolentus (Herbst). J. Fish.
Aquatic Scie.. 3:60-65 doi: 10.3923/jfas.2008.60.65
Soundarapandian P and Tamizhazhagan T. 2009. Embryonic development of
commercially important swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Curr.
Res. J. Biol. Sci. 1(3):106-108
Soundarapandian P, Varadharajan D, Anand T. 2013a. Male Reproductive System of
Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758). J Cytol Histol. 5:
206. doi:10.4172/2157-7099.1000206
Soundarapandian P, Varadharajan D, Boopathi A. 2013b. Biology of the commercially
important portunid crab, Portunus sanguinolentus (Herbst). J Marine Sci Res
Dev 3: 124. doi: 10.4172/2155-9910.1000124.
Soundarapandian P, Ilavarasan N, Varadharajan D. 2013c. Reproductive System of
Flower Crab, Charybdis feriata (Linnaeus). Open Access Scientific Reports 2:
701 doi:10.4172/scientificreports.701
Soundarapandian P, Sudhakar S, Varadharajan D and Dinakaran GK. 2013d.
Biochemical Composition during the Embryonic Development and Freshly
Hatched Zoea of Macrobrachium idae (Heller, 1862). J Earth Sci Clim Change
5:171 doi: 10.4172/2157-7617.1000171
Soundarapandian P, Dinakaran GK and Varadharajan D. 2013e. Biochemical
composition during the embryonic development and freshly hatched zoea of
Macrobrachium idella idella (Hilgendorf, 1898). Adv Tech Biol Med. 1:111.
doi:10.4172/atbm.1000111
Soundarapandian P, Ravichandran S and Varadharajan D. 2013f. Biochemical
composition of edible crab, Podophthalmus vigil (Fabricius). J Marine Sci Res
Dev 3:119. doi:10.4172/2155-9910.1000119
Sparre P and Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Widodo J,
Merta IKG, Nurhakim S, Badrudin M., penerjemah. Jakarta (ID): Badan
156

Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari: Introduction to


Tropical Fish Stock Assessment. 438 pp
Srijaya TC, Pradeep PJ, Shaharom F and Chatterji A. 2011. A study on the energy
source in the developing embryo of the mangrove horseshoe crab,
Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille). Invertebrate Reproduction and
Development. 1: 1-10 doi:10.1080/07924259.2011.633621
Steel RGD and Torire JH. 1992. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. Sumantri B., penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan
dari: Principles and Procedure of Statistic: Biometric Aproach. 451 hal
Sugilar H, Park Y-C, Lee N-H, Han D-W and Han K-N. 2012. Population dynamics
of the swimming crab Portunus trituberculatus (Miers, 1876) (Brachyura,
Portunidae) from the West Sea of Korea. Int. J.Oceanogr. Marine Ecol.Sys.
doi: 10.3923/.ijomes
Sumiono B. 2010. Penelitian Sumberdaya Rajungan (Pendugaan Stok, Teknologi dan
Lingkungan Perairan) di Perairan Cirebon dan Sekitarnya. Laporan program
insentif peningkatan kemampuan penelitian dan perekayasa 2010. Jakarta (ID):
Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 31 hal
Sukumaran KK. 1995. Fishery, Biology and Population Dynamics of the Marine
Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus)
pelagicus (Linnaeus) Along the Karnataka Coast. [PhD Thesis]. Karwar (IN):
School of Ocean Sciences, Karnataka University. 403pp
Sukumaran KK dan Neelakantan B. 1996a. Relative growth and sexual maturity in
the marine crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus
(Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Southwest Coast of India. Indian J.
Fish 43(3): 215-223
Sukumaran KK dan Neelakantan B. 1996b. Mortality and stock assesment of two
marine portunid crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and
Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Southwest Coast of India.
Indian J. Fish 43 (3): 225-240
Sukumaran KK. dan Neelakantan B. 1996c. Spawning Biology of Two Marine
Portunid Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus
(Portunus) pelagicus (Linnaeus) From the Karnataka Coast. The fourth Asian
Fisheries Forum Proceedings, Kochi; 24-28 November 1996.
Sukumaran, KK and Neelakantan B. 1997a. Sex ratio, fecundity and reproductive
potential in two marine portunid crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus
(Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Karnataka
Coast. Indian J. Mar. Sci. 6: 43-48
Sukumaran, KK and Neelakantan B. 1997b. Age and growth in two marine portunid
crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus)
pelagicus (Linnaeus) along the Southwest Coast of India. Indian J. Fish. 44(2):
111-131
Sukumaran KK dan Neelakantan B. 1998. Maturation process and reproductive cycle
in two marine crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus
(Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Karnataka Coast. Indian J. Fish.
45(3): 257-264
157

Sumpton WD, Potter MA and Smith GS. 1994. Reproduction and growth of the
commercial sand crab, Portunus pelagicus (L.) in Moreton Bay, Queensland.
Asian Fisheries Science 7:103-113.
Sunarto, Soedharma D, Riani E dan Martasuganda S. 2010. Hubungan panjang berat
dan lebar dengan berat tubuh serta faktor kondisi populasi rajungan (Portunus
pelagicus) jantan dan betina di perairan pantai Brebes. Jurnal Akuatika 1(1): 83-92
Sunarto. 2012. Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan
Laut Kabupaten Brebes. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 175 hal
Supardan A. 2006. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Aplikasinya pada
Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten
Buton. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 324 hal
Wardiatno Y, Zairion. 2011. Study on Bio-Ecology of The Blue Swimming Crab and Bio-
Economic Perfomace of Crab Fishery in Order to Propose of Spawning Ground
Protection. [Report]. Jakarta (ID): Indonesian Blue Swimming Crab Management
Association in cooperation with Department of ARM-FFMS-IPB. 77p.
Wu X, Zhou B, Cheng Y, Zeng C, Wang C and L Feng. 2010. Comparison of gender
differences in biochemical composition and nutritional value of various edible
parts of the blue swimmer crab. Journal of Food Composition and Analysis
23:154-159
Yao J, Zhao Y, Wang Q, Zhou Z, Hu X, Duan X and An C. 2006. Biochemical
compositions and digestive enzyme activities during the embryonic
development of prawn, Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 253:573-582.
Ying X, Yang W and Zhang Y. 2006. Comparative studies on fatty acid composition
of the ovaries and hepatopancreas at different physiological stages of the
Chinese mitten crab. Aquaculture 256: 617-623
158

LAMPIRAN
Lampiran 1. Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu pengukuran di Teluk Lasongko
Waktu pengukuran (bulan)
Variabel Nilai
Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agu-13 Sep-13 Okt-13 Nov-13 Des-13 Jan-14 Feb-14 Mar-14
Rataan 28.5 28.3 28.3 27.3 27.5 28.7 28.8 30.0 28.7 29.6 29.1 28.8
Suhu Sd 1.9 1.5 1.4 1.2 2.4 2.5 2.2 1.5 1.4 1.5 1.4 1.2
(oC) Maks. 30.1 30.7 32.5 30.5 35.6 34.6 33.4 34.0 31.5 32.9 31.8 31.2
Min. 26.2 25.6 24.5 25.2 23.8 24.3 24.9 25.5 25.6 26.6 25.9 25.6
Rataan 1.5 1.0 2.0 0.9 1.0 0.8 2.7 2.0 1.5 1.7 1.2 1.4
Kekeruhan Sd 0.8 0.5 2.2 0.4 0.6 0.6 1.8 0.9 0.8 1.0 0.6 0.8
(NTU) Maks. 3.39 2.24 7.47 1.48 2.3 2.65 6.78 3.44 2.91 4.21 2.19 3.25
Min. 0.46 0.2 0.37 0.38 0.23 0.41 0.67 0.52 0.31 0.67 0.45 0.52
Rataan 52.2 84.6 97.9 74.9 55.3 120.6 115.7 111.7 123.9 95.1 97.2 111.8
TSS Sd 21.1 29.0 38.6 26.6 27.6 63.1 37.3 30.9 48.9 15.9 22.6 35.6
(mg.l-1) Maks. 95.5 130 165.5 120.0 119.0 239.0 183.0 175.0 292.0 120.0 134.0 203
Min. 19.0 38.0 50.0 38.0 15.0 33.0 46.0 52.5 74.0 71.0 59.0 64
Rataan - 7.24 6.56 7.40 8.55 6.63 9.37 11.79 14.35 9.95 9.52 9.73
Kec. Arus Sd - 1.69 4.23 3.43 4.15 3.58 4.06 5.39 9.08 3.72 4.55 3.92
(cm.detik-1) Maks. - 10.41 12.66 14.55 17.11 13.28 16.09 20.31 38.25 18.75 16.22 17.06
Min. - 5.15 0.44 2.75 1.10 3.42 2.76 4.49 4.77 4.36 3.40 4.59
Rataan 30.1 29.7 30.1 30.2 31.3 34.0 32.7 33.6 32.6 32.1 32.0 30.0
Salinitas Sd 0.3 0.5 0.5 3.9 3.3 0.0 2.1 0.7 1.1 0.7 1.1 0.3
(ppt) Maks. 31.0 30.0 31.0 32.0 34.5 34.0 34.0 35.0 34.0 33.0 33.0 31.0
Min. 30.0 28.5 29.0 16.0 19.0 34.0 25.0 32.0 30.0 31.0 30.0 29.5
Rataan 8.15 8.21 8.23 8.17 8.38 8.35 8.36 8.41 8.53 8.56 8.55 8.62
Sd 0.09 0.05 0.16 0.10 0.10 0.08 0.13 0.10 0.08 0.05 0.09 0.06
pH
Maks. 8.29 8.29 8.41 8.33 8.56 8.47 8.52 8.57 8.7 8.68 8.67 8.74
Min. 7.91 8.12 7.45 8.01 8.13 8.12 7.84 8.11 8.32 8.4 8.25 8.4
Rataan - 6.71 6.43 6.22 4.60 4.53 4.24 6.11 5.52 4.77 5.21 4.53
Oksigen Sd - 0.57 1.22 0.74 0.86 0.47 0.56 0.74 0.67 0.54 0.82 0.57
(mg.l-1) Maks. - 7.36 7.6 7.77 6.53 5.87 5.39 7.12 6.93 6.35 6.97 6.15
Min. - 5.74 4.11 5.15 4.03 3.59 3.05 4.72 4.44 3.96 3.66 3.64
159

159
160

Lampiran 2. Karakter morfometrik rajungan jantan berdasarkan periode waktu penangkapan


Karakter morfometrik (g dan mm)
Waktu Nilai
Berat (g) LK PK PC TC LA PA
Rataan 79.63b 103.00b 45.64c 64.71c 13.10a 13.73c 28.33d
SD 31.52 13.17 6.32 13.01 3.10 2.73 4.90
April-13 Maks. 162.12 134.50 61.70 93.50 21.10 20.50 40.00
Min 18.8 59.50 26.90 33.10 6.40 6.00 5.20
Rataan 84.49b 105.59b 48.71bc 67.64c 15.25b 24.01b 31.76c
SD 31.62 13.08 6.93 13.57 3.68 4.50 5.34
Mei-13 Maks. 173.96 131.30 63.50 104.20 24.50 34.60 44.80
Min 10.99 52.70 26.10 27.20 6.20 11.90 15.70
Rataan 92.52b 108.88b 50.39b 72.27bc 16.70ab 24.85b 33.49bc
SD 37.04 13.71 6.50 14.33 2.88 4.07 4.29
Juni-13 Maks. 170.73 133.00 63.90 100.00 22.20 36.30 42.10
Min 33.86 86.90 39.70 49.40 10.30 11.40 25.90
Rataan 79.57b 104.36b 48.59bc 69.16bc 15.08b 24.05b 32.29bc
SD 35.23 16.39 7.75 16.01 3.53 3.83 4.66
Juli-13 Maks. 154.33 136.80 66.30 102.10 23.20 32.10 44.10
Min 6.06 49.80 22.10 24.70 8.40 11.80 20.80
Rataan 88.07b 106.39b 49.38bc 71.28bc 16.62ab 24.71b 33.09bc
SD 32.74 12.82 6.04 14.09 2.69 3.25 4.37
Agustus-13 Maks. 172.85 131.50 60.30 101.50 21.30 31.90 41.40
Min 33.48 79.50 37.50 45.10 11.10 18.10 24.90
Rataan 83.62b 105.09b 49.91bc 72.09abc 15.17abc 24.74ab 33.14bc
SD 32.61 12.21 7.05 14.01 2.84 2.56 5.90
September-13 Maks. 151.29 131.40 68.50 96.10 18.80 29.50 51.50
Min 51.06 89.80 42.10 54.10 5.30 20.20 26.70
Rataan 117.35a 117.57a 56.14a 83.30a 17.21a 27.47a 36.61ab
SD 25.50 7.60 7.38 9.99 2.51 2.15 2.88
Oktober-13 Maks. 176.71 137.50 90.10 108.90 22.10 31.60 43.50
Min 63.21 100.70 43.60 63.50 13.60 22.10 30.30
Rataan 101.16ab 111.26ab 51.29ab 74.84abc 16.89ab 25.31ab 36.15ab
SD 40.66 15.22 7.68 16.97 3.01 4.79 5.59
November-13 Maks. 181.97 134.10 64.10 105.30 22.10 32.10 44.20
Min 12.46 63.50 27.30 31.10 8.10 11.40 19.60
Rataan 98.88ab 111.10ab 51.02b 75.14ab 16.30ab 25.14b 38.12a
SD 55.50 17.49 8.60 19.79 3.32 4.29 6.20
Desember-13 Maks. 241.04 147.70 71.50 126.20 24.30 34.40 51.20
Min 27.12 74.10 34.80 39.60 9.40 17.30 25.40
Rataan 92.20b 108.98b 50.14b 71.76bc 15.94ab 24.56b 36.19ab
SD 40.13 15.85 7.49 16.66 2.85 3.64 5.38
Januari-14 Maks. 208.38 144.60 67.60 116.10 21.10 31.80 46.80
Min 29.11 73.20 31.60 42.50 10.00 17.10 25.50
Rataan 81.66b 103.04b 48.07bc 65.52c 14.83bc 23.41b 34.54b
SD 43.54 18.07 8.48 18.27 4.11 4.84 6.27
Februari-14 Maks. 193.09 136.10 64.30 102.40 23.60 32.00 48.80
Min 11.34 57.80 27.10 28.10 7.30 9.10 19.60
Rataan 80.25b 106.95b 49.67bc 69.18bc 16.02ab 24.45b 34.77b
SD 35.49 13.25 6.43 13.51 2.52 3.56 5.10
Maret-14 Maks. 199.38 132.50 64.90 99.10 20.60 33.50 46.10
Min 32.26 80.70 36.80 45.40 11.00 17.50 20.70
Angka-angka pada kolom dan item yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P<0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC
panjang propodus capit.; LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.
161

Lampiran 3. Karakter morfometrik rajungan betina berdasarkan periode waktu penangkapan


Karakter morfometrik (g dan mm)
Waktu Nilai
Berat LK PK PC TC LA PA
Rataan 77.59c 99.94c 44.94c 54.17d 13.18d 27.84c 28.33e
SD 34.59 15.86 8.56 10.15 3.87 7.70 5.60
April-13 Maks. 231.66 156.00 74.50 91.00 26.20 54.30 46.50
Min 33.32 61.90 27.50 35.20 5.70 10.50 19.80
Rataan 88.31bc 106.90bc 50.33b 59.47c 15.72c 32.19b 32.79d
SD 46.10 17.96 10.29 12.30 4.53 8.80 6.80
Mei-13 Maks. 268.75 166.20 89.10 95.90 28.10 55.10 49.70
Min 27.59 56.70 26.80 30.30 7.50 12.20 17.20
Rataan 87.19bc 107.79bc 50.73b 60.78c 17.13bc 32.49b 34.29cd
SD 33.58 14.06 7.41 10.30 3.70 7.23 5.10
Juni-13 Maks. 156.93 138.20 69.40 87.40 24.80 45.00 43.20
Min 31.07 75.20 36.20 39.40 7.20 18.00 23.60
Rataan 88.82bc 106.89bc 50.24b 59.16cd 17.97ab 32.72b 34.23cd
SD 43.95 16.77 8.21 9.91 3.46 7.49 6.77
Juli-13 Maks. 227.17 148.90 68.60 84.20 28.10 48.60 53.40
Min 23.27 72.10 33.10 38.50 10.70 16.50 21.10
Rataan 91.23bc 107.47bc 50.95b 59.20cd 16.65bc 33.27b 35.10cd
SD 44.02 16.42 8.42 10.62 4.25 7.30 6.55
Agustus-13 Maks. 241.53 144.70 70.20 85.10 24.40 50.80 53.20
Min 9.95 52.10 25.40 26.70 8.30 13.30 16.40
Rataan 104.78ab 113.01ab 52.86ab 63.31abc 18.04ab 35.60ab 39.45ab
SD 38.45 13.68 6.86 9.05 3.70 5.78 5.53
September-13 Maks. 191.46 139.90 68.90 83.30 25.90 48.20 51.50
Min 39.16 85.30 38.60 44.00 9.80 23.10 25.50
Rataan 125.16a 121.17a 56.82a 69.46a 19.36a 39.92a 43.64a
SD 35.96 11.56 6.18 8.32 3.15 5.69 5.56
Oktober-13 Maks. 222.52 138.70 65.90 83.70 25.30 48.10 53.10
Min 31.79 79.10 30.40 43.10 11.90 20.10 23.80
Rataan 122.26a 120.34ab 55.64a 66.88ab 18.33ab 38.73ab 42.54a
SD 55.41 17.58 8.44 11.51 3.53 7.48 7.11
November-13 Maks. 314.22 162.30 73.90 92.40 26.60 53.70 58.70
Min 16.89 64.70 28.80 33.10 10.10 14.40 21.90
Rataan 103.72ab 114.13ab 52.57ab 63.22abc 16.85bc 35.46b 39.84ab
SD 50.90 18.16 9.11 11.99 4.46 9.06 8.36
Desember-13 Maks. 249.33 145.90 68.20 85.10 25.50 50.40 55.80
Min 28.44 77.90 34.80 39.10 9.40 18.60 23.10
Rataan 101.42b 112.56b 50.97b 62.72cb 17.07bc 34.35b 38.54b
SD 50.36 17.01 10.65 11.78 3.61 9.06 9.14
Januari-14 Maks. 248.06 155.20 70.50 90.30 26.20 49.70 59.00
Min 27.4 77.20 35.10 39.70 9.90 18.50 23.30
Rataan 91.01bc 108.95bc 50.05b 59.91cd 16.47bc 32.99b 37.66bc
SD 44.06 17.35 8.34 12.41 3.76 7.88 7.65
Februari-14 Maks. 207.69 142.70 65.30 84.50 25.20 47.50 52.80
Min 23.55 70.70 33.40 35.50 9.70 17.70 21.70
Rataan 105.74ab 114.89ab 53.22ab 63.31abc 17.77ab 35.96ab 40.06ab
SD 49.89 18.05 9.21 11.73 4.13 8.24 7.89
Maret-14 Maks. 202.71 153.30 72.40 86.30 26.50 52.30 56.30
Min 32.01 78.70 36.50 39.20 8.50 19.10 24.20
Angka-angka pada kolom dan item yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P<0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC
panjang propodus capit.; LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.
162

Lampiran 4. Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di Teluk Lasongko

162
Lampiran 5. Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko

163
163
164

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gu-Buton pada tanggal 22 Desember 1964 sebagai


anak ketiga dari pasangan La Ende (alm) dan Zariah (alm). Penulis menikah
dengan Umi Kalsum pada tahun 1995, dan dikarunia tiga orang putra-putri, yaitu
Muhammad Hilmy, Nurul Hazriah, dan Muhammad Ihza Raihan.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada bulan Januari 1989.
Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan Program
Pascasarjana IPB dengan Minat Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan lulus pada
bulan Agustus 1996. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Doktor
(S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana
IPB pada tahun 2011 dengan bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS)
dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
sejak tahun 1991 hingga 2006, dan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Halu Oleo sejak tahun 2006 sampai sekarang. Penulis pernah
dipercaya mengelola administrasi akademik, (1) sebagai Sekretaris Jurusan
Perikanan dari tahun 1998 hingga 2001, (2) Ketua Jurusan Perikanan dari tahun
2001 hingga 2005, dan (3) Kepala Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Laut
Universitas Halu Oleo dari tahun 2010 hingga 2011. Penulis dari tahun 2004
hingga 2011 dipercaya sebagai Ketua Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi
Tenggara, dan atas prestasinya dalam mengembangkan Konsorsium Mitra Bahari
Sulawesi Tenggara, pada tahun 2006 mendapat penghargaan Adhi Bakti Mina
Bahari bidang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dari Menteri Kelautan
dan Perikanan sebagai Konsorsium Mitra Bahari Teladan Tingkat Nasional.
Selama mengikuti Pendidikan S3, penulis berpartisipasi dalam beberapa
kegiatan ilmiah, diantaranya sebagai peserta TOT Perencanaan Adaptasi
Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Batam pada tahun
2011, Workshop Penulisan Karya Ilmiah Internasional di Bogor pada tahun 2012,
serta TOT dan Workshop IUCN Red List Assessor Training and Workshop di
Bogor pada tahun 2013. Artikel berjudul “Changes in Proximate and Fatty Acids
of the Eggs during Embryos Development in the Blue Swimming Crab, Portunus
pelagicus (Linnaeus 1758) at Lasongko Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia”
diterbitkan pada Indian Journal of Science and Technology volume 8 nomor 6
halaman 501–509, Maret 2015. Artikel kedua berjudul “Fekunditas dan Tingkat
Kematangan Gonad Rajungan (Portunus Pelagicus) Betina Mengerami Telur di
Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara” diterbitkan pada Jurnal Bawal Widya Riset
Perikanan Tangkap volume 7 nomor 1 halaman 43-50, April 2015 (Terakreditasi
LIPI). Kedua karya ilmiah tersebut adalah bagian dari program S-3 penulis.

Anda mungkin juga menyukai