Anda di halaman 1dari 10

MIMBAR, Vol. XXVII, No.

1 (Juni 2011): 21-30

Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorentasi


pada Masalah Kontemporer Pembangunan 1

NANA SUPRIATNA
2
Program Studi Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI Bandung

Abstract

This research seeks to explore alternative approach in teaching history which commonly
oriented toward enhancing collective memory. By applying Habermas’ model of “ways of
knowing” attributed to the contemporary social issues experienced by high school stu-
dents, there are several findings need to be addressed as results of this research. First,
students were emancipated during the process of teaching history by critical praxis. Sec-
ond, this emancipation has enabled students to create their own knowledge and experi-
ence toward the issue being discussed in historical perspective. Finally, the process of
knowledge production has empowering teachers and students as well.

Pembelajaran sejarah dalam kurikulum nasional, selama ini didominasi oleh hafalan kolektif.
Kajian ini membahas pendekatan alternatif dalam mengajarkan mata pelajaran sekolah,
yang diterapkan di SMA. Menggunakan model “ways of knowing” Habermas, sebagai bagian
dari pendidikan kritis, penelitian dilakukan terhadap pelajaran sejarah yang didasarkan pada
isu-isu sosial kontemporer sebagaimana dialami para siswa. Hasilnya, siswa mengalami
proses emansipasi sepanjang pembelajaran. Emansipasi tersebut memungkinkan siswa
menciptakan pengetahuannya sendiri menyangkut isu yang dibahas dengan perspektif
historis. Pada dasarnya, keseluruhan proses produksi pengetahuan dengan pendekatan ini
berhasil memberdayakan guru maupun siswa.

Kata Kunci: contemporary issues in history, critical pedagogy in teaching history,


emancipatory research.

I. PENDAHULUAN postmodernism yang menempatkan guru dan


peserta didik sebagai subjek yang otonom dalam
Tulisan ini menggunakan pendek atan proses pembelajaran sejarah.
kualitatif yang didesain untuk mengonstruksi Ko ns truk si y ang ak an dik em bangkan
pembelajaran sejarah di sekolah menengah yang berbentuk narasi kecil (small narrative) dalam
berorientasi pada masalah sosial kontemporer dan konteks lokasi penelitian (sekolah mitra PPL UPI)
dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis dan bukan dalam bentuk narasi besar (grand nar-
(critical paradigm) berupa participatory action re- rative) sebagaimana tradisi ilmiah penelitian
search (Habermas, 1971, Kemmis and MacTaggart, saintifik-positivistik-behavioristik. Konstruksi yang
1988; Carr and Kemmis, 1990). Subjeknya adalah akan dinarasikan berbentuk relasi konseptual antara
calon guru (mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah materi subjek/pokok bahasan (topic) sebagai
peserta Program Pengalaman Lapangan atau PPL) sebuah hasil dialog guru dan siswa dan antara
yang telah mengikuti mata kuliah Strategi Belajar mereka dengan dokumen kurikulum, konsep (sub-
Kengajar (SBM) sejarah yang penulis. stantive and analytical), pertanyaan-pertanyaan
Dengan menggunakan pendekatan pedagogi kritis dan emansipatoris model Jurgen Habermas
kritis (critical pedago gy), penelitian ini (Ways of Knowing), dengan masalah-masalah atau
mengonstruks i pembelajaran s ejarah y ang isu-isu sosial kontemporer yang kini sedang dihadapi
ditempatkan dalam kurikulum sebagai sebuah oleh para siswa.
praksis (praxis) yang mengacu pada pandangan Pentingnya mengonstruksi pembelajaran

1
Artikel ini merupakan penelitian mengenai pembelajaran yang disarikan dari disertasi.
2
Program Studi Pendidikan Sejarah, FPIPS, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154.
E-mail: nanasup@yahoo.com.

21
NANA SUPRIATNA. Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorentasi pada Masalah Kontemporer Pembangunan

sejarah yang berorientasi pada masalah-masalah misalnya Kurikulum 2004, Kurikulum Berbasis
sosial kontemporer didasarkan atas permasalahan Kompetensi (KBK 2004) dan Kurikulum yang
pembelajaran di lapangan sebagai pengalaman yang mengacu pada Permen Diknas No. 22, 23, dan 24
ditemukan peneliti sebagai dosen tetap PPL di Tahun 2006 – yang melahirkan Kurikulum Tingkat
sekolah menengah sebagai berikut: Satuan Pendidikan (KTSP 2006) pada setiap satuan
Pertama, dengan kurikulum yang berlaku saat pendidikan - juga bersifat esensialistik. Permen
ini, pembelajaran sejarah lebih banyak didominasi Diknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006 yang
oleh kegiatan menghapal dan mengingat nama menetapkan standar isi dan standar kompetensi
tokoh, nama peristiwa, dan tahun kejadian (rote untuk setiap pelajaran tidak banyak berubah dari
learning) mengenai kesinambungan dan perubahan kurikulum sebelumnya.
(continuity and change) dalam narasi besar (grand Kurikulum-kurikulum di atas menekankan
narrative) sejarah nasional yang menekankan pada pada penguasaan atau pengembangan academic
kejayan masa lalu bangsa. Dalam pandangan excellence dan cultivation of intellect. Kurikulum
Saixas (2000: 20) pembelajaran sejarah seperti itu yang terlalu menekankan pada penguasaan disiplin
berorientasi pada enhancing collective memory ilmu yang berlaku di Indonesia telah mengabaikan
sebab guru lebih banyak menyajikan the best story unsur kepribadian siswa (Hasan, 2004).
sebagai hasil dari interpretasi terpilih dari sejumlah Tulisan ini berangkat dari pengalaman selama
interpretasi sejarawan mengenai masa lalu yang lima belas tahun membimbing mahasiswa PPL di
direkomendasikan oleh mereka yang berada dalam seko lah menengah serta tem uan mengenai
posisi memegang otoritas. masalah-masalah pembelajaran sejarah yang
Kedua, pembelajaran sejarah menjadi sangat dipandang sebagai akibat dari implementasi
teknis dan instrumentalistis, dimulai dari rumusan kurikulum yang berorientasi transmisi yang bersifat
tujuan yang sangat operasional, diikuti dengan perenialistis-esensialistis-positivistik. (Miller and
pemilihan materi yang relevan, dikembangkan Seller, 1995, Smith, 2000: 7, Hasan, 1999) dan
dalam proses pembelajaran dengan menempatkan dianggap sebagai produk dari pemikiran modern-
siswa dalam posisi sebagai penerima materi ism (Doll, 1993; Hunkins and Hammill (1995).
pembelajaran, dan diakhiri dengan penilaian untuk Berangkat dari akar masalah dalam orientasi
mengukur ketercapaian tujuan. kurikulum dalam pandangan kritis (critical theory)
Ketiga, peran guru sangat dominan dalam dan postmodernism penelitian ini difokuskan pada
proses pembelajaran sejarah. Dalam posisinya (1) dialog emansipatoris dan partisipatif untuk
sebagai penyampai pengetahuan, para guru mengkonstruksi pandangan guru (calon guru,
sebagai pengembang kurikulum tidak memiliki mahasiswa PPL) tentang kurikulum sejarah dari
peluang lebih banyak untuk memfasilitasi para kurikulum sebagai sebuah body of knowledge to be
peserta didik kesempatan memaknai dan mencari transmitted (Smith, 2000: 7; Schubert, 1986)
relevansi antara materi sejarah yang dikembangkan menjadi kurikulum sebagai sebuah proses interaksi
dengan masalah-masalah sosial yang sedang antara guru dan peserta didik dan antara keduanya
dihadapinya. dengan dokumen kurikulum yang ada atau kurikulum
Keempat, dokumen kurikulum yang berlaku sebagai sebuah praksis (praxis); (2) penempatan
dengan segala perangkatnya (misalnya buku teks) siswa sebagai subjek yang aktif dan otonom yang
menjadi satu-s atunya rujuk an guru dalam merepresentasikan dan merefleksikan masalah-
mengembangkan pembelajaran sejarah. Hal itu masalah sosial kontemporer sebagai historical prob-
dipilih, karena guru yang berperan sebagai bagian lems atau sebagai materi pembelajaran sejarah ;
dari instrum en kurik ulum – s es uai dengan (3) Pembelajaran sejarah di kelas dikonstruksi
pandangan kurikulum yang dianut – diikat untuk sebagai proses untuk melakukan refleksi dengan
mengukur keterserapan isi kurikulum melalui tujuan emansipasi sehingga memberi ruang yang
penilaian yang menggunakan alat tes yang lebih luas kepada guru dan peserta didik untuk
diberikan setelah proses belajar mengajar sejarah mendialogkan materi sejarah; (4) menjadikan
selesai dilakukan. peserta didik sebagai pusat kegiatan belajar
Untuk mengonstruksi pembelajaran sejarah sekaligus beremansipasi dan berpartisipasi sebagai
yang berorientas i pada m as alah s os ial pelaku sejarah pada jamannya melalui konstruksi
kontemporer, perlu dikembangkan pandangan kritis relasi antara topik (pokok bahasan), penggunaan
terlebih dahulu mengenai praktik pembelajaran konsep, pertanyaan-pertanyaan kritis model ways
sejarah yang berangkat dari kurikulum perenialism of knowing dari Habermas (Habermas, 1971; dan
sebagai produk dari modernism. Habermas, sebagaimana dikutip oleh Gilbert and
Masalah-masalah sosial yang dapat dikaji Vick, 1996; oleh Kneller, (1984: 175-179), oleh
dalam pembelajaran sejarah, terutama dengan Lovat, (1991, 2004) dan oleh Morrison dalam Palmer
pendekatan interdisipliner atau ditempatkan dalam (2 00 1), dengan m as alah-m as alah s os ial
pendidikan IPS, menjadi sulit dilakukan oleh guru , kontemporer.
karena kurikulum perenialistik yang berlaku – Berdasarkan identifikasi akar masalah serta

22
MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 21-30

fokus penelitian di atas, participatory atau Relevansi aliran postmodernism dalam pem-
emansipatory action research ini mengajukan belajaran sejarah yang berorientasi pada masalah
pertanyaan penelitian emansipatoris dan reflektif sosial kontemporer dapat dilihat dari beberapa aspek
(Habermas, 1971), yaitu bagaimana participants yang dikembangkan oleh para pemikir kontemporer
mengem bangkan dialog partisipatif dan postmodernism seperti Poper (1993), Giddens
emansipatoris dalam mendesain, mengembangkan (1990), Lyotard (1997), Foucault, (1980), Jameson
praksis, dan melakukan refleksi kritis pembelajaran (1998), Derrida (dalam Sallis, 1987), Giroux (1983,
sejarah dengan memasukkan konstruksi relasi 2005), dan lain-lain.
antara topik pembelajaran, penggunaan konsep Sebagai pendukung aliran postmodernism,
yang relevan, merumuskan pertanyaan-pertanyaan Poper (1993), dalam bukunya berjudul The Poverty
kritis model Habermas, dengan isu-isu sosial of Historicism, menolak generalisasi dan narasi
kontemporer. besar (grand narrative) dalam sejarah. Poper
Penelitian yang dilakukan di dua SMA negeri (1993) menyatakan bahwa:
di Bandung ini menggunakan paradigma kritis (criti-
there is no absolute truth about deep philosophical
cal paradigm) dari Habermas, (1971), Giroux, (1983, questions that should stand for all time. ….. there is
2000, 2005), Cherryholmes, (1990), Carr and no objective way to determine which of the various
Kemmis, (1990), Kemmis, (1993), berupa partici- competing theories on a subject is correct. In sci-
patory atau emansipatory action research (Carr and ence, philosophy, or any other discipline, there are
Kemmis, 1991, Connole, 1993) terhadap tiga only the facts about who has believed what, and
when they believed it (p.3)
orang calon guru (mahasiswa tahun keempat
peserta program pengalaman lapangan atau PPL), Konstruksi pembelajaran sejarah yang
yang telah mengikuti mata kuliah Strategi Belajar bero rientasi pada masalah- masalah so sial
Mengajar (SBM) sejarah yang penulis bina sebagai kontemporer yang dikembangkan dalam penelitian
subjek yang di tempat PPL tersebut. Dengan ini didasarkan atas keyakinan peneliti bahwa
menggunakan sarana dialog partisipatif antara terdapat beragam narasi (multiples narratives) atau
semua partisipan sesuai dengan pedagogi kritis sejumlah narasi kecil (small narative) yang bisa
(critical pedagogy) (Giroux, 1983, 2005), dan dimasukkan dan dikembangkan dalam materi dan
postmodernism penelitian ini mengonstruksi pembelajaran sejarah, termasuk pengalaman sosial
pembelajaran sejarah melalui konstruksi relasi siswa pada masa kini.
sebagai sebuah matriks (Doll, 1993) yang berangkat Agar materi sejarah Indonesia lebih banyak
dari topik yang didialogkan, penggunaan substan- berisi tentang dinamika, kisah, dan peran orang
tive concepts (Lee, 2005) dan analytical concepts biasa (ordinary people) - yang selama ini menjadi
(Gilbert and Vick, 1994), serta pertanyaan- korban dari hegemonic groups dalam relasi kuasa
pertanyaaan emansipatoris model ways of know- menurut pandangan po stmo dernis m atau
ing Habermas dengan masalah-masalah atau isu postcolonial – sambil memasukkan kearifan lokal
sosial kontemporer, sebagai mana pada gambar 1. (local genious) termasuk pengalaman sosial pada
siswa, maka diperlukan dekonstruksi - meminjam
II. PEMBAHASAN teorinya Derrida (dalam Sallis, 1987) - dalam
pemilihan dan pengembangan materi pembelajaran
A. Pandangan “Postmodernism” dalam
sejarah.
Dekonstruksi Materi Pembelajaran
Dekonstruksi dari Derrida dijadikan landasan
Sejarah
pikir untuk mengkritik hegemoni keilmuan modern-
Pembelajaran sejarah yang berorientasi pada ism Barat serta grand narratives tentang peran
masalah sosial kontemporer relevan dengan aliran sejarah Barat serta Barat (Eropa) sebagai pusat
filsafat postmodernism. Aliran ini merupakan reaksi dari perkembangan atau kesinambungan (continu-
terhadap grand narrative filsafat modernism ity) sejarah bangsa-bangsa yang menjadi korban
(modernisme) dalam beberapa aspek kehidupan. kolonialisme. Dekonstruksi Derida juga dapat

Gambar 1
Konstruksi Relasi: topik, konsep pertanyaan emansipatoris dan masalah-masalah sosial kontemporer.

23
NANA SUPRIATNA. Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorentasi pada Masalah Kontemporer Pembangunan

diartikan sebagai sebuah pembelaan kepada the melainkan juga mendorong manusia memroduksi
other , atau kepada makna lain dari teks dan pengetahuan melalui ways of knowing (Carr and
keragaman narratives dalam sejarah. Kemmis, 1996, Gilbert and Vicks, 1996, Lovat,
2004). Kepentingan atau hasrat manusia untuk
B. Konstruksi Pembelajaran Sejarah melakukan penguasaan secara teknik (technical con-
dalam Paradigma Kurikulum Praksis trol) dalam kehidupannya dapat mendorong mereka
Kritis (Critical Praxis) untuk tahu (to know) mengenai fakta, benda fisik
atau tokoh (figure) sebagai subjek. Hal inilah yang
Berangkat dari masalah-masalah yang
kemudian mendorong manusia melakukan analisis-
ditemukan dalam pembelajaran sejarah di sekolah
empiris dalam prosess of knowing . Proses ini
mitra penelitian ini menggunakan paradigma
melahirkan tradisi positivistik untuk memuaskan
kurikulum praksis kritis (critical praxis) mengacu pada
hasrat penguasaan aspek yang bersifat teknis (tech-
pemikiran William Pinar (1974, 1975), sebagaimana
nical control) dalam kehidupan. Sedangkan hasrat,
dikutip dan dikembangkan oleh Schubert, (1986), Doll,
kepentingan (interest) manusia untuk memahami
(1993), dan Smith, (1996, 2000).
makna di balik sebuah peristiwa (event) dapat
Dalam pemikiran Schubert (1986: 177)
mendorong mereka untuk melakukan eksplorasi
paradigma praksis kritis dalam kurikulum, berusaha
terhadap dimensi dalam (inner dimensions) untuk
untuk membebaskan (liberation) dari hambatan-
mencoba menghubungkan satu faktor terhadap
hambatan ideologis (ideological constrain).
faktor yang lain. Proses ini mendorong lahirnya his-
Kurikulum seperti ini bertujuan mengkaji lebih
torical hermeneutic dan berfungsi sebagai sarana
lanjut dampak dari keragaman etnis dan kelompok,
untuk memahami secara total process of knowing.
status sosial ekonomi, jender, kualitas hidup, dan
Proses kedua ini melahirkan tradisi interpretative
memfasilitasi individu untuk membebaskan,
dalam process of knowing.
beremans ipas i, dan berpartis ipas i dalam
Kepentingan manus ia dalam menjaga
kedudukannya sebagai individu yang otonom. Dalam
otonominya sebagai knower dapat mendorong
praksis kritis, seorang individu dipandang sebagai
mereka untuk melakukan refleksi secara kritis (criti-
pencipta (creator) pengetahuan dan kebudayaan.
cal reflection) pada subjek matter atau pada aspek
Para siswa di sekolah, misalnya, tidak hanya
yang menjadi hasrat atau kepentingannya dan atas
berperan sebagai penerima pengetahuan dari guru
beragam sumber (resources) serta dirinya sendiri
atau kurikulum yang berlaku, melainkan juga melalui
(theirselves) sebagai agent of knowing. Dengan
interaksi dengan lingkungan fisik dan sosial serta
melalui refleksi diri secara kritis (critical or self re-
memeroleh pengetahuan dari proses interaksi
flective) maka terjadilah proses pemahaman (know-
dan komunikasi tersebut. Dengan demikian, setiap
ing) secara total (Lovat, 2004), dan dengan
orang merupakan pencipta pengetahuan. Kata
demikian power (kuasa) melekat pada diri knower
Schubert, the history of ordinary lives has made
melalui proses itu.
extraordinary constributions to human life and cul-
ture, although it goes largely unackowledged D. Penggunaan Konsep dan Pertanyaan
(Schubert, 1986: 177). Emansipatoris dalam Pembelajaran
Sejarah
C. Pedagogi Kritis (Critical Pedagogy)
dalam Pembelajaran Sejarah Penggunaan konsep yang bersifat analisis
(analytical concepts) (Gilbert and Vick, 1996: 41)
Salah seorang critical teorist yang menaruh dan pertanyaan kriris (critical questions) atau
perhatian pada pengembangkan pengetahuan yang pertanyaan emansipatoris (emancipatory questions)
bersifat kritis dan emansipatoris serta secara khusus (Habermas dalam Kemmis and Fitzcerance, 1996,
pada interpretasi sejarah – serta relevansinya dan Lovat, 2004) dalam pembelajaran sejarah dapat
dengan persoalan-persoalan kontemporer - adalah dipakai sebagai “sarana penghubung antara masa
Jürgen Haberm as (K neller, 1 984: 175-1 79; lalu dan m as a kini” sesuai dengan po ko k
Schubert, 1986, McCarthy, 1988). Teori kritis yang permasalahan dalam penelitian ini. Analytical con-
dikembangkannya bersifat eklektis yang diadopsi cepts dan emancipatiry and critical questions yang
dari aliran Marxism dan menggabungkannya dengan berangkat dari critical theory (Giroux, 1977, 1985,
Hermeneutics, Piagetian-Kolbergian Developmen- 1995) yang telah diuraikan di atas dapat dipakai
talism, Chomskyan-linguistic dan Psychoanalysis. oleh guru sejarah untuk mencari korelasi analogis
Pemikiran ek lektis J ürgen Haberm as (Ferguson, 1996), komparasi linier (Mansilla, 2000),
menghasilkan knowledge-constitute interest Kneller, kerangka pikir sejarah yang lebih luas (a wider his-
1984: 175-179; Schubert, 1986; McCarthy T., 1988, torical framework) (Lee, 2005: 65-72), atau
Carr and Kemmis, 1996:134-137), atau cognitive hubungan simbolis antara peristiwa masa lalu
interests (Lovat, 2004). dengan masalah-masalah atau isu-isu sosial
Interest tersebut tidak hanya memungkinkan kontemporer yang sedang dihadapi oleh para
berkembangnya budaya dalam m asyarakat, peserta didik.

24
MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 21-30

Secara sederhana, pembelajaran sejarah Kedua, pandangan guru di sekolah mitra A


dapat dimulai dengan penyajian topik yang diambil dan B tentang pembelajaran sejarah konvensional
dari k urik ulum y ang berlak u - yang dapat yang menekankan pada kebesaran masa lalu
ditransaksikan oleh guru dengan siswa dalam bangsa, peranan tokoh besar, kekhasan jiwa zaman,
memulai pembelajaran sesuai dengan pandangan yang secara tertulis terdapat dalam dokumen
postmodernism – lalu, segera diikuti dengan kurikulum y ang berisi seperangk at tujuan,
pengembangan konsep-konsep yang berisifat pengalaman belajar, pengorganisasian materi
analitis (analytical concepts), diteruskan dengan pem belajaran serta ev aluas i pembelajaran,
pengem bangan pertany aan kritis dan merupakan narasi besar (grand narrative). Guru
emansipatoris, dengan tujuan agar para siswa dapat adalah sebagai penyampai materi pelajaran dan
mengonstruksi – sesuai dengan pandangan penentu keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan
konstruktivisme - pengetahuan sejarah yang hasil dialog disepakati bahwa narasi besar tersebut
dipelajarinya, serta memahami dan memiliki merupakan wacana (discourse) dalam dunia
kepekaan terhadap masalah-masalah atau isu-isu akademik di sekolah yang tidak dapat dihindari dan
sosial kontemporer. telah memengaruhi cara pandang guru-guru
terhadap k urik ulum , pros es s erta tujuan
E. Hasil Penelitian
pembelajaran di sekolah. Namun, disepakati pula
Hasil atau pro duk penelitian dapat bahwa terdapat beragam narasi (multiple narra-
dirumuskan sebagai berikut. Temuan pertama, tives) yang bisa dikembangkan dalam menyusun
pros es dialo gis dan em ansipato ris dalam disain pembelajaran sejarah melalui proses dialog
mengonstruksi desain pembelajaran sejarah yang dengan tujuan untuk pemberdayaan (empowering)
bero rientasi pada masalah- masalah so sial semua pihak seperti guru pembimbing PPL (dosen
kontemporer pada penelitian di sekolah Mitra A dan luar biasa), mahasiswa peserta PPL, serta para
B dalam kegiatan program pengalaman lapangan siswa yang belajar sejarah.
(PPL) ini berangkat dari cara pandang yang berbeda Beberapa narasi di antaranya adalah (1)
di antara para partisipan, yaitu dosen peneliti komunikasi antara guru dengan siswa dan dengan
sebagai pembimbing PPL, guru pamong sebagai dokumen kurikulum sejarah di sekolah mitra bisa
dosen luar biasa, serta para peserta PPL. merupakan kurikulum sejarah itu sendiri; (2) setiap
Peneliti berangkat dari cara pandang kritis individu siswa di sekolah mitra memiliki sejarahnya
dari pemikiran Jürgen Habermas yang ingin sendiri dan oleh karena itu harus menjadi bagian
dikembangkan tentang pembelajaran sejarah di dari k urik ulum pendidikan sejarah; (3)
seko lah dengan m erujuk pada paradigm a pembelajaran sejarah yang dikembangkan dalam
postmodernism dan pedagogi kritis (critical peda- kegiatan penelitian dan PPL ini bukan hanya
gogy). Dalam pandangan ini, dialog digunakan memahami masyarakat masa lalu melainkan juga
sebagai sebuah metode untuk memproduksi untuk memahami masyarakat pada masa kini, pada
pengetahuan baru (knowledge production), sarana masa para siswa berada; (4) setiap siswa memiliki
untuk membagi kekuas aaan ( po wer), dan potensi untuk menjadi pelaku sejarah pada
membangun kemitraan (partnership), serta keadilan jamannya; (5) pengalaman guru mengajar di
dalam hubungan antarpartisipan (peneliti, guru, sekolah mitra merupakan teori bagi dirinya sendiri
mahasiswa PPL, dan siswa). yang relevan dengan situasi dan kondisi sekolah
Dalam proses dialogis untuk mendesain setempat; (6) cara siswa merespons serta bertanya
pembelajaran sejarah yang berorientasi pada mengenai materi sejarah mengandung unsur relasi
masalah-masalah sosial kontemporer, terungkap kuasa (power relation) jika difasilitasi dengan
beberapa hal berikut. pertanyaan-pertanyaan emansipatoris.
Pertama, kuatnya budaya ajar sejarah di sekolah Ketiga, beragam narasi yang terekam
mitra A dan B masih dipengaruhi oleh orientasi melalui dialog dengan guru pamong, mahasiswa
kurikulum perenialistis, proses belajar yang PPL, dan siswa, diakomodasi peneliti untuk
menekankan pada pandangan esensialistik, serta mendesain pembelajaran sejarah yang berorientasi
penilaian yang bersifat behavioristik. Proses pada masalah sosial kontemporer. Dalam bahasa
pembelajaran sejarah di sekolah tempat penelitian postmodernism, beragam narasi itu menggambar-
yang menekankan pada pewarisan nilai, transmisi kan dinamika akademik sesuai dengan situasi dan
pengetahuan sejarah dari guru pada siswa, serta kondisi sekolah masing-masing. Dalam hal ini,
panilaian hasil belajar untuk mengukur aspek peneliti menjadikan siswa, mahasiswa PPL, dan
intelektual, merupakan kondisi yang tidak bisa guru pamong sebagai mitra dialog partisipatif dalam
dilepaskan dari budaya ajar tersebut. Dominannya mendesain pembelajaran.
peran guru di kelas, pendewaan terhadap dokumen Berdasarkan hasil dialog dengan para
kurikulum serta dalam beberapa hal, meng-gambarkan partisipan, disepakati konstruksi relasi antara topik,
status quo merupakan kondisi yang menggambarkan konsep, pertanyaan kritis dan emansipatoris, dan
budaya ajar di sekolah mitra A dan B. isu sosial kontemporer yang dapat dikembangkan

25
NANA SUPRIATNA. Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorentasi pada Masalah Kontemporer Pembangunan

oleh para mahasiswa PPL di sekolah dan kelas yang memungkinkan berkembangnya kebebasan
masing-masing untuk kegiatan PPL di kelas serta dalam berpik ir, mengem bangkan beragam
kegiatan penelitian mereka. interpretasi sejarah sesuai dengan potensi yang
Konstruksi relasi di atas menjadi acuan bagi dimiliki s is wa s erta permasalahan so sial
guru dan m ahas is wa pes erta PPL untuk kontemporer yang sangat krusial untuk dipahami.
mengembangkan pembelajaran sejarah yang Keempat, mengangkat topik yang aktual dan
bero rientasi pada masalah- masalah so sial relevan dengan minat dan kepentingan siswa dan
kontemporer. dijadikan sebagai pokok bahasan dapat memenuhi
Berdasarkan hasil dialog, konstruksi tersebut unsur representasi para siswa pada materi
disepakati untuk mengacu pada Standar Kompetensi kurikulum yang dikaji. Hal ini relevan dengan
dan Kompetensi Dasar (SK-KD) Pelajaran Sejarah pandangan postmodernism yang mengangkat
untuk SMA. Unsur topik, konsep, pertanyaan- konsep keterwakilan (representasi) pada materi
pertanyaan kritis dan emansipatoris, serta masalah- kurikulum di sekolah.
masalah sosial kontemporer menjadi sarana Konsep-konsep yang diambil dari disiplin ilmu
penghubung antara materi pelajaran sejarah yang sosial dalam konstruksi relasi di atas telah dapat
berangkat dari SK-KD dengan pengalaman sosial dilaksanakan para mahasiswa di sekolah mitra A dan
para siswa. B dalam pembelajaran sejarah yang berorientasi pada
Guru mitra sepakat untuk mengubah pokok masalah-masalah sosial kontemporer. Substantive con-
bahasan menjadi topik walaupun cara pandang cepts seperti perubahan, evidensi, nasionalisme, raja,
mereka tentang pembelajaran sejarah yang kerajaan, kebudayaan, negara, ideologi, bangsa,
konvensional telah lama terkonstruksi melalui imperialisme, kolonialisme, kesinambungan, dan lain-
dokumen kurikulum yang digunakannya. Peneliti lain, telah digunakan sebagai jembatan penghubung
dan para mahasiswa PPL menghormati budaya ajar antara materi sejarah yang diambil dari SK-KD dengan
sejarah di sekolah melalui penggunan kata topik masalah-masalah sosial yang dialami oleh para siswa.
yang sebenarnya secara substantif tetap berasal Konsep tersebut menjadi dasar bagi siswa untuk
dari rumusan SK-KD. menumbuhkan historical conciousness tentang apa
Melalui dialog, para partisipan sepakat yang dipelajari dari materi sejarah itu berhubungan
menggunakan kata topik dalam pembelajaran dengan diri mereka sendiri.
sejarah itu dengan beberapa alasan. Berdasarkan dialog disepakati bahwa selain
Pertama, kata topik bis a merupakan substantive concepts dikembangkan pula analytical
jembatan penghubung antara materi sejarah yang concepts untuk menumbuhkan kemampuan pikir
tertuang dalam SK-KD sesuai dengan kurikulum yang kritis pada para siswa sesuai dengan pedagogi kritis
berlaku. Dalam hal ini, kurikulum yang dipakai di (critical pedagogy) yang dipilih dalam penelitian ini.
sekolah mitra bukan sebagai sesuatu yang harus Dengan penggunaan konsep-konsep di atas,
diko nf ro ntas i dengan “kurikulum menurut materi sejarah tentang masyarakat masa lalu berhasil
pandangan baru” seperti postmodernism atau critical didekatkan oleh mahasiswa peserta PPL dengan diri
pedagogy. Dalam desain pembelajaran sejarah siswa dengan cara menggunakan narasi.
yang berorientasi pada masalah-masalah sosial Hasil dialog dengan para partisipan
kontemporer, kata topik disepakati sebagai kata menyepakati bahwa pertanyaan- pertanyaan
ganti untuk menjadikan materi pelajaran sejarah emansipatoris dalam pembelajaran sejarah bisa
itu menjadi materi yang langsung terkait dengan menjadi jembatan penghubung antara materi
diri para siswa. Sebagai contoh, SK-KD mengenai sejarah dengan m as alah-m as alah s os ial
Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) kontemporer yang dialami para siswa.
diubah oleh mahasiswa PPL menjadi topik dalam Masih asingnya pemahaman guru sejarah di
bentuk pertanyaan Bisakah kita belajar dari sekolah mitra A dan B mengenai istilah ways of know-
kemajuan bangsa Jepang, atau dalam bentuk, ing dalam teori kritis dari Jürgen Habermas telah
pernyataan Belajar dari Kemajuan bangsa Jepang. berhasil dijembatani melalui dialog. Para guru sejarah
Kedua, kata topik merupakan alternatif dari yang terbiasa menggunakan pertanyaan-pertanyaan
pokok bahasan atau kompetensi dasar yang teknis (technical questions), pertanyaan interpretatif
disesuaikan dengan minat dan kepentingan siswa (interpretative questions) diakomodasi untuk terus
serta masalah-masalah historis dan isu sosial dikembangkan dalam pembelajaran sejarah. Namun,
kontemporer yang sedang dihadapi para siswa. untuk menempatkan diri penanya (siswa) dalam
Ketiga, penggantian is tilah itu bis a sebuah pertanyaan maka diperlukan jenis pertanyaan
membebaskan guru dari belenggu dokumen emansipatoris (emancipatory question).
kurikulum yang kaku dan sebagai alat mengontrol Dalam pertanyaan terakhir ini, para guru dan
negara terhadap siswa sebagai kelompok individu siswa dapat mengajukan pertanyaan historis sambil
yang memiliki potensi berpikir bebas bila dipandang menempatkan diriny a di dalam ny a. M odel
dari critical pedagogy. Oleh karena itu, kurikulum pertanyaan tersebut telah memfasilitasi peserta didik
dapat dikembangkan menjadi sebuah perangkat berpikir kritis, pemberdayaan dan emansipasi

26
MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 21-30

sekaligus juga memproduksi pengetahuan (knowl- berorientasi pada masalah sosial kontemporer telah
edge production) sesuai dengan materi yang ingin mengakomodasi empat persoalan.
dikembangkan. Pertanyaan emansipatoris dapat Pertama, dengan menggunakan konstruksi
mendorong sisw a kemampuan pikir kritis , relasi (antara topik , ko ns ep, pertanyaan
menghubungkan materi sejarah (masa lalu) dengan emansipatoris dan masalah/isu sosial kontemporer)
masalah-mas alah sosial kontempo rer, serta yang dikembangkan dalam praksis pembelajaran
sekaligus menjadikan dirinya sebagai pelaku sejarah menjadikan masa lalu itu dekat dengan masa kini,
pada jamannya. dan oleh karena itu belajar tentang sejarah masa
Melalui dialog, disepakati bahwa dalam lalu adalah belajar tentang persoalan siswa sendiri,
desain pembelajaran sejarah yang berorientasi serta menjadikan mereka bagian dari materi
pada masalah-masalah sosial kontemporer harus sejarah. Dengan demikian, power (kekuasaan) itu
memasukkan pengalaman sosial siswa (termasuk disebark an pada diri s is wa dengan segala
masalah sosial kontemporer) sebagai bagian dari persoalannya yang merupakan materi sejarah serta
materi pembelajaran sejarah dan relevan dengan pengembang materi pembelajaran (guru, dan
konstruksi relasi (topik, konsep, pertanyaan mahasiswa PPL).
emansipatoris, dan masalah-masalah sosial Kedua, dalam prak sis pem belajaran
kontemporer) yang dikembangkan di atas. ters ebut, pemilihan materi pem belajaran
Temuan k edua, berdasark an dialo g disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah
emansipatoris di antara partisipan disepakati bahwa mitra, persoalan kontemporer yang dihadapi para
dalam pembelajaran sejarah yang berorientasi pada siswa serta pendekatan pembelajaran yang
masalah- mas alah s osial k ontempo rer yang memungkinkan terjadinya dialog antara guru dan
dipraktikkan mahasiswa PPL tidak menggunakan siswa serta antara mereka dengan dokumen
cara pandang kurikulum sebagai sebuah body of kurikulum. Dengan demikian, praksis pembelajaran
knowledge to be transmited atau kurikulum sebagai yang dikembangkan merupakan konstruksi baru dari
sebuah upaya mencapai tujuan tertentu (curricu- pembelajaran sejarah konvensional yang lebih
lum as a product). Apa yang dipraktikkan dalam berorientasi pada masa lalu dan mengakomodasi
pros es pem belajaran sejarah di k elas kepentingan ideologis tokoh besar, rezim yang
menggambarkan cara pandang postmodernism, berkuasa atau colective memory bangsa. Dalam
yaitu kurikulum sebagai sebuah praksis (praxis). prak sis ini, pem belajaran sejarah yang
Kurikulum sebagai sebuah praksis bukan sebagai dikembangkan oleh mahasiswa PPL dengan
sebuah dokumen yang memuat seperangkat tujuan menggunakan cara pandang kurikulum sebagai
(objectives) serta materi untuk diimplementasikan sebuah praksis di sekolah mitra A dan B telah
dalam proses pembelajaran sejarah di kelas. menjadikan para siswa sebagai tokoh/pelaku
Dalam kegiatan penelitian ini, para partisipan sejarah yang harus berpikir kritis tentang
sepakat bahwa dokumen kurikulum yang berlaku persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam
digunakan sebagai bahan untuk melakukan proses kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hasrat
dialog partisipatif dan emansipatif antara para (interest) para siswa di sekolah untuk belajar
partisipan yaitu peneliti, dosen luar biasa, para sejarah sebagai sarana untuk melibatkan dirinya
mahasiswa peserta PPL. Dalam kajian teoretis yang dalam memahami masalah-masalah setempat telah
dirujuk pada paparan sebelumnya, menunjukkan terakomodasi.
bahwa keterlibatan para partisipan dalam proses Ketiga, dalam praksis pembelajaran sejarah
mengembangkan konstruksi pembelajaran sejarah yang berorientasi pada masalah-masalah sosial
yang berorientasi pada masalah-masalah sosial kontemporer, narasi besar (grand narrative) tentang
kontemporer merupakan kurikulum itu sendiri atau peranan tokoh besar, penguasa imperium atau
sebagai praksis pembelajaran. negara-bangsa, pahlawan, patriot, dan the great
Melalui dialog emansipatoris dan partisipatif figures lainnya - yang selama ini berlangsung dalam
serta rujukan teoretis pada teori kritis (critical pembelajaran sejarah konvensional (sejarah
theory), khususnya pedagogi kritis (critical peda- nasional) di sekolah mitra A dan B - telah dapat
go gy) , prak sis pembelajaran s ejarah y ang didekonstruksi dan dikonstruksi kembali dengan cara
dikembangkan para partisipan di sekolah mitra A memasukkan pengalaman para siswa sesuai
dan B, menggambarkan proses emansipasi. Proses dengan karakteristik budaya ajarnya sebagai narasi
emansipasi yang dimaksud adalah pemberdayaan kecil (small narrative). Dalam narasi kecil tersebut,
(empowering) serta penyadaran guru, mahasiswa peranan siswa sebagai pelaku sejarah pada
PPL dan siswa dalam proses pembelajaran tentang zamannya dimasukkan dalam konstruksi relasi di
adanya kepentingan (interest) dan relasi kuasa atas , yaitu belajar sejarah melalui to pik,
(power relation) khususnya dalam penggunaan menggunakan konsep yang bersifat analitis, serta
kurikulum yang berorientasi transmisi yang berlaku mempertanyakan secara emansipatoris persoalan-
di sekolah mitra A dan B. persoalan kontemporer.
Prak sis pembelajaran s ejarah y ang Keempat, praksis pembelajaran sejarah

27
NANA SUPRIATNA. Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorentasi pada Masalah Kontemporer Pembangunan

dengan konstruksi di atas dianggap berpihak atau pelajaran sejarah dengan masalah sehari-hari
selaras dengan aspek keadilan sosial (social jus- (tek nik bertanya dengan menggunakan
tice) s eperti diusung o leh pandangan emancipatory questions dari Habermas), dan ber-
postmodernism dan pedagogy kritis. inquiry dengan menggali sumber belajar sejarah
Temuan ketiga, refleksi kritis mahasiswa PPL dari internet (penggunaan internet) tentang
dalam mengembangkan pembelajaran sejarah yang pers oalan- pers oalan ko ntem po rer. M elalui
bero rientasi pada masalah- masalah so sial konstruksi relasi di atas, metode pembelajaran
kontemporer dengan menggunakan konstruksi relasi sejarah yang memberi porsi pada siswa berperan
antara topik pembelajaran, penggunaan konsep aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas lebih
yang relev an, pengem bangan pertany aan- mudah dilakukan. Hasil observasi menunjukkan
pertanyaan k ritis mo del Haberm as dan bahwa para siswa lebih aktif dalam mengajukan
mengembangkan isu-isu sosial kontemporer pertanyaan serta menyampaikan pendapat tentang
tergambar dari narasi di bawah ini. topik, konsep, dan masalah sosial kontemporer
Pertama, konstruksis relasi di atas yang melalui ketiga tek nik pembelajaran y ang
dikembangkan oleh mahasiswa PPL merupakan dikembangkan mahasiswa PPL di atas.
alternatif dari pembelajaran sejarah konvensional Keempat, dalam refleksi kritis tergambar
yang berorientasi pada masa lalu serta untuk secara subjektif bahwa para partisipan senang
memenuhi hasrat kurikulum transmisi menjadi belajar sejarah yang dihubungk an dengan
pembelajaran sejarah yang berorientasi pada persoalan-persoalan kontemporer. Hasil dialog
masalah sosial kontemporer. Dalam refleksi menunjukkan bahwa para mahasiswa PPL merasa
tergambar bahwa terdapat semangat mahasiswa puas karena pendekatan pembelajaran yang
PPL di sekolah mitra untuk memberikan power dipilihnya bisa direspons dan diterima dengan baik
(kuasa) pada para siswa dengan cara mengangkat oleh para siswa. Demikian juga sebaliknya, para
masalah-masalah yang dihadapi para peserta didik siswa menyukai pendekatan pembelajaran tersebut
sebagai materi pembelajaran sejarah sesuai karena pendekatan ini tidak membebani mereka
dengan pandangan pedagogi kritis (critical peda- untuk menghapal dan mengingat fakta sejarah untuk
gogy) yang digunakan. Pentingnya memerhatikan kepentingan ulangan dan angka rapor. Penghargaan
unsur representasi dalam pembelajaran sesuai (reward) guru terhadap karya siswa berupa
dengan pandangan postmodernism telah terpenuhi komentar, pendapat, pertanyaan, semangat
dengan memasukkan diri siswa dengan segala kerjasama (kooperasi), laporan mengakses sumber
persoalannya sebagai bagian dari materi sejarah. belajar dari internet, puisi, dan karangan bebas
Hal itu sekaligus untuk memenuhi unsur keadilan tentang pers oalan ko ntemporer merupakan
sosial tentang pentingnya memerhatikan peran dorongan (encouragement) guru yang disukai oleh
siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya dalam para siswa. Mahasiswa PPL menyatakan bahwa
memikirk an dan m em pertanyakan secara cara ini telah menempatkan pada siswa sebagai
emansipatoris tentang persoalan historis yang penentu keberhasilan belajarnya.
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, unsur richness, recursion, dan rela-
Kedua, konstruksi relasi di atas merupakan tion, yang merupakan praksis pembelajaran
sebuah prak sis pembelajaran s ejarah y ang postmodernism telah dipenuhi oleh mahasiswa PPL
memberi ruang lebih banyak untuk berdialog secara di sekolah mitra. Dalam refleksi kritis tergambar
emansipatoris tentang pentingnya belajar sejarah bahwa mahasiswa PPL telah memerkaya dan
yang bermakna (meaningful) bagi kehidupan sehari- mengubah cara pandang konvensional tentang
hari para siswa. Dalam refleksi kritis tergambar belajar sejarah yang identik dengan masa lalu
bahwa dengan menggunakan konstruksi relasi di menjadi cara pandang baru bahwa belajar sejarah
atas dan dikembangkan dengan teknik bertanya adalah belajar berefleksi tentang diri sendiri dengan
(questioning), pembelajaran kooperatif (coopera- segala persoalan yang sedang dihadapinya.
tive learning) dan penggunaan sarana internet, Memasukkan beragam interpretasi terhadap materi
maka po wer (kuas a) telah bergeser dari sejarah dengan menggunakan konstruksi relasi di
pengem bang k urik ulum (berupa dok um en atas telah dapat memerkaya beragam makna (lay-
kurikulum) kepada praksis pembelajaran (hubungan ers of meaning), sehingga memenuhi unsur rich-
dialogis antara guru dan siswa dan antara mereka ness. Unsur R yang kedua, yaitu recursion, dipenuhi
dengan dokumen kurikulum yang ada di sekolah Mahasiswa PPL dengan cara memutar garis
mitra A dan B). lingkaran berbentuk spiral dalam ruang dan waktu
Ketiga, dalam refleksi kritis tergambar antara masa lalu dan masa kini dan terus berulang.
bahwa posisi guru sebagai pemegang power (pusat Mengangkat topik yang aktual yang dekat
kegiatan belajar sejarah) telah bergeser kepada dengan kehidupan para siswa tidak hanya diambil
para siswa dengan memberi porsi yang besar untuk dari materi yang sesuai dengan dokumen kurikulum
bekerjasama memecahkan masalah (melalui coop- yang berlaku, melainkan juga disesuaikan dengan
erative learning), mempertanyakan relevansi minat siswa serta persoalan kontemporer yang

28
MIMBAR, Vol. XXVII, No. 1 (Juni 2011): 21-30

menarik untuk dikaji dan menjadi bagian dari lebih luas kepada para mahasiswa peserta PPL
kehidupan sehari-hari para siswa. berdasarkan pengalaman teoretis dari bangku kuliah
Mengembangkan pembelajaran sejarah serta untuk dikembangkan lebih lanjut dalam
seperti itu adalah relevan dengan unsur R yang pelaksanaan PPL. Posisi pembimbing PPL (dari UPI
ketiga dalam pandangan postmodernism yaitu re- dan dari sekolah mitra) yang dipandang melalui teori
lations. Secara pedagogis, unsur relation berkenaan kritis (critical theory) memiliki power (kekuasaan)
dengan hal-hal yang ada dalam struktur kurikulum lebih besar dapat disebarkan kepada para peserta
yang berlaku yang dikembangkan dalam konteks PPL untuk melakukan refleksi secara kritis tentang
yang lebih luas sehingga isi (contents) kurikulum masalah pembelajaran yang ditemukan selama
menjadi kaya. Mahasiswa PPL telah keluar dari kegitan PPL. Penggunaan critical paradigm
struktur kurikulum yang ada yang menempatkan (paradigma kritis) dalam penelitian ini telah
dirinya sebagai penyampai materi pembelajaran berujung dengan empowering, emancipation, par-
dengan cara menempatkan siswa sebagai pemeran ticipation dan knowledge production tidak hanya
atau pelaku utama pembelajar sejarah. untuk peneliti melainkan juga semua partisipan
Unsur relations y ang digunak anny a (guru pamong, mahasiswa PPL dan para siswa).
berkenaan dengan hubungan kosmologis atau
budaya yang terletak di luar kurikulum yang
kemudian membentuk sebuah matrik yang besar DAFTAR PUSTAKA
yang melekat di dalamnya. Matrik yang sejak awal
didisain berupa konstruksi relasi antara topik, A. Buku dan Makalah dalam Jurnal
konsep, pertanyaan emansipatoris dan masalah
sosial kontemporer merupakan konstrukti imajiner Carr, W & Kemmis, S. (1990). Becaming Critical,
yang tidak terdapat dalam struktur kurikulum tetapi Education, Knowledge and Action Research,
memiliki hubungan kosmologis dengan struktur Melbourne: Deakin University Press.
kurikulum yang ada melalui pembelajaran dialogis Cherryholmes. C. (1991). ‘Critical Pedagogy and
dengan pengalaman budaya para siswa yang tidak Social Education’, in Shaver, James P. (1991).
tertulis dalam dokumen kurikulum. Handbook of Research on Social Studies Teach-
ing and Learning, New York: Macmillan
III. PENUTUP Publishing Company.
Doll, W.E. Jr. (1993). A Post-Modern Perspective on
Hasil penelitian ini bisa dijadikan alternatif Curriculum. New York: Teachers College, Co-
dalam melihat kebutuhan masyarakat tentang lumbia University.
pentingnya mengangkat dan memecahkan masalah- Gilbert, R.and Vick, M. (1996). ‘The knowledge Base
maslah sosial kontemporer yang dihadapi para for Studying Society and Environment’, in Gil-
siswa. Selain orientasi kurikulum pendidikan sejarah bert, Rob, ed. (1996) Studying Society and
yang bersifat perenialistik dan essentialistik yang Enviro nm ent, A Handboo k fo r Teachers ,
selama ini berlaku dalam kurikulum kita, diperlukan Melbourne: Macmillan Education Australia, Pty.
juga alternatif orientasi kurikulum seperti recon- Ltd,
structionism yang dirujuk dalam penelitian ini. Giroux, H.A. (1983). ‘Theories of Reproduction and
Paradigma kurikulum praksis kritis (critical praxis) resistance in the new sociology of education:
dalam penelitian ini merupakan alternatif dalam A Critical Analysis’, Harvard Educational Re-
mengkaji lebih lanjut tentang keragaman kelompok view, A Journal (53).
etnis, status sosial ekonomi, jender, kualitas hidup Giroux, H.A. (2000). ‘Democratic Education and
yang dihadapi oleh para siswa. Tujuannya adalah Popular Culture’, in Hursh, David W & Ross, E
agar mereka beremansipasi dan berpartisipasi Wayne (2000), Democratic Social Education,
dalam kedudukannya sebagai individu yang otonom Social Studies for Social Change, Falmer Press.
dalam memecahkan masalah tersebut, selain New York.
mengenang kebesaran masa lalu bangsa melalui Habermas, J. (1971). Knowledge and Human In-
kurikulum yang bersifat perenialistik. terests, London: Heinemann.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai Hasan, S.H. (2000). “Kurikulum dan Buku Teks
alternatif untuk memberi peluang lebih banyak Sejarah” dalam Historia, Jurnal Pendidikan
kepada para siswa sebagai pencipta (creator) dan Sejarah, Nomor 1. Vol. 1.
pembangun pengetahuan dan kebudayaan Hasan, S.H. (2004). “Strategi Pembelajaran
berdasarkan pengalaman yang dibawa mereka dari Sejarah pada Era Otonomi Daerah sebagai
luar kelas. Dengan konstruksi baru tersebut Implementasi KBK,” dalam Helius Sjamsuddin
diharapk an para sisw a – melalui pros es dan Andi Suwirta, Ed, 2004, Historia Magistra
pembelajaran sejarah di kelas - bisa memerankan Vitae, Bandung: Historia Utama Press.
diri sebagai pelaku sejarah pada jamannya. Hasan, S.H. (2004). “Kurikulum dan Tujuan
Melalui dialog, konsep otonomi diberikan Pendidikan Nasional,” Makalah

29
NANA SUPRIATNA. Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorentasi pada Masalah Kontemporer Pembangunan

Stadium Generale, PPS, UPI, 2004. Palmer, J.A. (2001). Lima Puluh Pemikir Paling
Hasan, S.H.(1999). “Pendidikan Sejarah Untuk Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan
Membangun Manusia Baru Indonesia” dalam Moderen (Fifty Modern Thinkers on Education),
Jurnal Mimbar Pendidikan No. 2/XVIII/1999. terjemahan, Yogyakarta: IRCiSod.
Hunkins, F.P and Hammill, P.A. (1995). “Beyond Tyler Saixas, P. N. (2000). “Does Post-Modern History
and Taba: Reconceptualization the Curriculum Have a Place in the School,” in Stern, Peter N.
Process,” in Conrad and Haworth, 1995, et al. (2000) Knowing, Teaching, and Learning
Revisioning Curriculum in Higher Education, History, New York: New York University Press.
Massacusset: Simon & Schuster Custom Pub- Sallis, J. Ed. 1987. Deconstruction and Philosophy.
lishing. The Texts of Jacques Derrida. Chicago: The
Kemmis, S. (1993). “Action Research and Social University of Chicago Press.
Movement: A Challenge for Policy Research,” Schubert, William H, (1986), Curriculum, Perspec-
in Educational Policy Analysis Archieves, Vol. tive, Paradigm, and Possibilities, Macmillan
No. 1, 19 Januari 1993. Publishing Company, New York.
Kemmis, S with Fitzclarence, (1996). Curriculum Ward, B. (1996). “The Chaos of History: Notes To-
Theorizing: Beyond Reproduction Theory, wards a Postmodernist Historiography,” dalam
Geelong, Victoria: Deakin University Press. LIMINA. Volume 2.
Kemmis, S and MacTaggart, R. (1988). The Action Wiriaatmadja, R. (2005). Metode Penelitian
Research Planner, Geelong: Deakin University Tindakan Kelas, untuk Meningkatkan Kinerja
Press. Guru dan Dosen. Bandung: Rosda.
Kneller,G.F, (1984). Movements of Thought in Mod-
ern Education, Brisbane: John Willey & Sons. 2. Artikel dari Internet
Lee, Peter J. (2005). “Putting into Practice: Under-
Beck, C. (2005). Postmodernism, Pedagogy, and
standing History” in Donovan and Bransford,
Philosophy of Education, Ontario Institute
ed. (2005). How Students Learn History in the
for Studies in Education , tersedia dalam
Classroom , The National Academy Press,
internet:
Washington DC. www.nap.edu.
http://www.ed.uiuc.edu/ EPS/PES-Yearbook/
Lovat, T. J, (1991). Curriculum, Action on Reflec-
93_docs/BECK.HTM . 7-12-2005
tion, Wenworth Falls NSW: Social Sciences
Giroux, H.A. (2005) What is Critical Pedagogy?
Press.
(tersedia dalam internet: http://www.perfectfit.
Lovat, T. J, (2004). “Ways of Knowing in Doctoral
org/CT/giroux5.html, diakses pada tanggal 18
Examinations: How Examiners Position Them-
Desember 2005.
selves in Relation to the Doctoral Candidates”
Kemmis, S. (1993). “Action Research and Social
in Australian Journal of Education & Develop-
Movement: A Challenge for Policy Research,”
mental Psychology, Vol. 4.
in Educational Policy Analysis Archieves, Vol.
Mansilla, V.B. (2000). “Historical Understanding:
No. 1, 19 Januari 1993, tersedia dalam internet:
Beyond the Past and into the Present,” in Stern,
http://epaa.asu.edu./v1n1.html.
Peter N. et al. (2000) Knowing, Teaching, and
Lyotard, J.F. (1997). The Postmodernism Condition,
Learning History, New York: New York Univer-
A Report on Knowledge, tersedia dalam
sity Press.
internet: http://ww w.eng.fju.edu.tw /
McCarthy, T. (1988). The Critical Theory of Jurgen
Literary_Criticism tanggal 5 Februari 2006.
Habermas, Massachusetts: Massachusetts In-
Poper, K.(1993). The Poverty of Historicism. Tersedia
stitute of Technology Press.
dalam http://lachlan.bluehaza.com.au/books/
Miller, J.P and Seller, W. (1995). Curriculum, Per-
poper. tanggal 8 Agustus 2007.
spective and Practice, New York: Longman.
Smith. M.K. (2000). Curriculum Theory and Practice,
Noffke, Susan, and Stevenson, R. (1995). Educa-
tersedia dalam http://www.infed.org/biblio/b-
tional Action Research, Becoming Practically
curric.htm#praxis, pada 15 Oktober 2006.
Critical, New York: Teachers Colege Press.

30

Anda mungkin juga menyukai