Anda di halaman 1dari 26

referat

THERMOREGULATION, HYPOTHERMIA AND MALIGNANT

HYPERTHERMIA

Oleh:

Dea Annisa

Isnani Kurniyanti

Nurul Ulya Rahim

Nur Khairani Putri

Wahyuli Armi

Pembimbing:

dr. Dino Irawan, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD

PROVINSI RIAU

2019
Daftar Isi

1.

1. PENDAHULUAN
Anestesi dan operasi merupakan hal-hal yang dapat mengganggu
termoregulasi. Hipotermia merupakan suatu keadaan yang sering terjadi selama
penderita mengalami pembedahan. Hipotermia ini merupakan kombinasi dari
gangguan termoregulasi karena anestesi, ruangan operasi yang dingin dan faktor-
faktor pembedahan yang menyebabkan hilangnya panas tubuh (MORGAN)
Hipotermia adalah komplikasi pascaanestesi yang sering ditemukan di
ruang pemulihan, baik pascaanestesi umum maupun regional. Hipotermia ialah
keadaan dengan temperature inti 1OC lebih rendah di bawah temperatur rata-rata
inti tubuh manusia pada keadaan istirahat dengan suhu lingkungan yang normal.
Hipotermia adalah keadaan suhu inti tubuh dibawah 36ºC (normotermi: 36,6º C -
37,5ºC)(morgan dan gyton)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di rumah sakit Hasan sadikin
bandung di dapatkan hasil bahwa jenis operasi mempengaruhi kejadian
hipotermia. Pasien dengan operasi abdomen 93,6% hipotermia dan pasien dengan
operasi non abdomen 81,7% hipotermia. Selain itu perbedaan jenis anastesi juga
mempengaruhi kejadian hipotermia, pasien anastesi umum 95,6% hipotermi,
anastesi epidural 48% hipotermi dan anastesi spinal 75% hipotermi. (236-928-1
pb)
Hipertermi adalah suhu tubuh manusia melebihi 37,50C, karena
peningkatan suhu tubuh yang melebihi normal dan tidak terkontrol dimana
produksi panas tubuh melebihi kemampuan tubuh melepas panas. Hipertermi
maligna adalah suatu kondisi miopati langka yang terjadi pada pasien anak – anak
(1:15.000) dan dewasa (1:40.000) ditandai dengan kondisi hipermetabolisme akut
pada jaringan otot yang terjadi setelah induksi anestesi umum. Hipertermi maligna
dapat juga timbul pada masa post operatif satu jam setelah penerapan anestesia
tanpa paparan agen anestesia yang memiliki efek pemicu kondisi tersebut
(morgan).
Laporan kejadian hipertermia maligna dari berkisar 1 dalam 5000 anastesi
menjadi 1 dalam 50000-150000 anastesi. (Rosenberg et al ,2007). Hipertermia
maligna dapat terjadi pada individu yang mendapatkan paparan pertama kali
terhadap agen anestesi inhalasi. Kejadian hipertermi maligna biasanya lebih sering
pada laki laki daripada wanita (2 : 1) . Semua Ras dapat terkena, dan insiden
tertinggi terjadi pada individu usia muda dengan rata-rata usia 18.3 tahun. Telah
diketahui , bahwa anak anak dibawah usia dibawah 15 tahun didapatkan
terjadinya kemungkinan hipertermi maligna sebesar 52.1 %. Usia termuda yang
pernah dilaporkan dan telah dikonfirmasi dengan uji lab adalah terjadi pada usia 6
bulan dan yang tertua terjadi pada usia 78 tahun (Rosenberg et al, 2007). Di china
dilaporkan terjadi kejadian Hipertermi maligna pada anak usia 3 tahun 9 bulan
dengan tanpa riwayat penyakit keluarga sebelumnya yang dikarenakan pemberian
suksinil kolin dan sevofluran (shu chia hsu, 2007). Di amerika serikat dilaporkan
1-2 pasien meninggal setiap tahunya karena hipertermi maligna (Anne, 2008).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TERMOREGULASI

Suhu tubuh manusi dibagi menjadi 2 yaitu suhu tubuh inti dan suhu
tubuh permukaan. Suhu tubuh inti adalah suhu tubuh yang terdapat pada
jaringan pada bagian dalam tubuh. Suhu tubuh permukaan adalah suhu tubuh
yang terdapat pada permukaan luar tubuh (kulit). Suhu inti tubuh relatif tetap,
tetapi suhu tubuh permukaan dipengaruhi oleh lingkungan. Sistem pengaturan
suhu dalam tubuh disebut termoregulasi yang merupakan proses homeostasis,
yaitu proses keseimbangan antara produksi panas dan pelepasan panas.

Proses produksi panas dipengaruhi oleh :

a) BMR seluruh sel dalam tubuh


b) Penambahan produksi panas oleh metabolisme ekstra, yaitu :
i) aktivitas otot meliputi kontraksi otot dan menggigil
ii) Hormon :
(1) Thyroxin
(2) Testosterone
(3) Growth Hormon
(4) Epinefrin
(5) Norepinefrin
iii) Peningkatan respon saraf simpatis
iv) Peningkatan reaksi kimia dalam sel itu sendiri
Efek termogenik makanan (metabolisme ekstra yang dibutuhkan untuk
mencerna, menyerap dan menyimpan makanan) 4
Supaya suhu tubuh selalu stabil dan selalu berada dalam batas yang normal.
Hipotalamus yang terletak diantara hemisfer serebral, mengatur suhu inti tubuh.
Suhu lingkungan sangat nyaman atau setara dengan set point maka hipotalamus
akan berespon sangat ringan dan sedikit, sehingga suhu akan mengalami
perubahan yang ringan dan relatif stabil. Hubungan antara produksi dan
pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme
neurologis dan kardiovaskuler. Hipotalamus anterior mengendalikan panas yang
keluar, dan hipotalamus mengendalikan panas yang dihasilkan. Penurunan suhu
tubuh terjadi karena sel syaraf di hipotalamus anterior menjadi lebih panas
melebihi set point. Gangguan atau perubahan pada pengaturan suhu yang sangat
fatal dapat terjadi pada kondisi dimana adanya lesi dan trauma pada hipotalamus
atau korda spinalis. Berkeringat, vasodilatasi pembuluh darah, dan hambatan
produksi panas merupakan suatu mekanisme pengeluaran panas. Mekanisme
konversi panas mulai bekerja, apabila hipotalamus posterior merespon suhu tubuh
lebih rendah dari set point Proses menggigil terjadi pada tubuh apabila
ketidakefektifan vasokontriksi pembuluh darah dalam mengurangi tambahan
pengeluaran panas. Distribusi darah ke kulit dan ekstermitas berkurang karena
terjadinya Vasokontriksi pembuluh darah. Kontraksi otot volunter dan gerakan
pada otot merangsang atau merupakan kompensasi pergantian produksi panas
(Guyton & Hall, 2008).
Pusat pengaturan suhu tubuh pada hipotalamus distimulasi oleh dua
termoreseptor. Termoresepror tersebut yaitu termoreseptor perifer kulit dan
termoreseptor sentral (terdapat di hipotalamus, sistem saraf pusat, organ
abdomen). Pada pengaturan suhu tersebut mengatur produksi dan pelepasan panas
dalam tubuh. Tubuh menghasilkan panas dengan cara adaptasi perilaku (aktivitas,
konsumsi makanan, dan perubahan emosi) dan pergerakan tonus otot/ menggigil.
Hilangnya panas dilakukan dengan salah satu cara berkeringat dan berubahnya
pembuluh darah dengan vasokontriksi menjadi vasodilatasi.
Panas dihasilkan di dalam tubuh dengan cara metabolisme, yang merupakan
reaksi kimia dari semua sel dan jaringan tubuh. Makanan adalah sumber dasar
bahan bakar yang paling utama dalam metabolisme. Termoregulasi memerlukan
fungsi normal dari proses penghasilan panas. Reaksi kimia seluler memerlukan
energi untuk memproduksi adenosin trifosfat (ATP). Jumlah total energi yang
dibutuhkan untuk melakukan metabolisme disebut laju metabolik. Aktivitas yang
memerlukan tambahan reaksi kimia dapat menaikkan laju metabolisme. Bila
metabolik menjadi tinggi, panas tambahan akan lebih banyak dihasilkan. saat
metabolik menjadi turun, panas yang dihasilkan menjadi turun atau lebih sedikit
dari normal. Proses penghasilan panas terjadi selama istirahat, gerakan otot polos,
getaran otot dan termogenesis tanpa menggigil. (Guyton & Hall, 2008).
a) Metabolisme basal memproduksi panas yang dihasilkan tubuh saat
istirahat. Jumlah rata rata laju metabolik basal (BMR) sangat dipengaruhi oleh
luas permukaan tubuh. Hormon tiroid bergantung pada BMR. Hormon tiroid
bekerja dengan cara menaikkan pemecahan glukosa dan lemak tubuh.
Hormon tiroid menaikkan laju reaksi kimia hampir seluruh sel tubuh. Bila
hormon tiroid disekresi dalam jumlah besar, BMR dapat meningkat 100% di
atas normal. Tidak adanya hormon tiroid dapat mengurangi setengah jumlah
BMR, yang menyebabkan menjadi turunnya produksi panas. Stimulasi sistem
syaraf simpatis oleh norepinefrin dan epinefrin juga dapat menaikkan laju
metabolisme jaringan dan sel dalam tubuh. Mediator kimia ini mengakibatkan
glukosa darah menjadi turun, yang akan mempengaruhi sel untuk memproduksi
glukosa. Hormon sek pria, testosteron dapat juga menaikkan BMR.
b) Gerakan volunter seperti aktivitas otot memerlukan energi. Laju
metabolic dapat menaikkan menjadi 200 kali dari laju normal. Produksi panas
dapat naik menjadi di atas 50 kali dari laju normal.
c) Menggigil adalah gerakan tubuh involunter atau tanpa disadari terhadap
suhu yang berbeda dalam tubuh. Gerakan otot skelet saat menggigil memerlukan
energi yang tidak dapat diprediksi. Menggigil dapat menambah produksi
panas 4 sampai 5 kali lebih besar dari produksi panas normal. Produksi panas
untuk mempertahankan suhu tubuh. Pengeluaran dan produksi panas terjadi secara
konstan dan stabil tergantung dar faktor yang mempengaruhinya. Struktur kulit
dan paparan terhadap lingkungan secara konstan, pengeluaran panas secara biasa
melalui radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi. (Potter & Perry, 2006)
a) Radiasi merupakan panas yang berpindah dari bagian luar satu zat ke
bagian luar zat lain tanpa menempel satu sama lain. Melalui gelombang
elektromagnetik, panas akan berpindah dari satu zak ke zat lainnya. Panas
akan dibawa dari organ internal inti ke kulit dan ke pembuluh darah
permukaan melalui aliran darah. Tingkat vasodilatasi dan vasekonstriksi
mempengaruhi jumlah panas yang dibawa ke permukaan. Tingkat vasodilatasi dan
vasskonstriksi diatur oleh hipotalamus. Panas menyebar dari kulit ke setiap objek
yang lebih dingin di sekelilingnya. Penyebaran meningkat bila perbedaan suhu
antara objek juga meningkat. Vasodilatasi perifer juga meningkatkan aliran darah
ke kulit untuk memperluas penyebaran yang ke luar. Vasokonstriksi perifer
meminimalkan kehilangan panas ke luar sampai 85% area permukaan tubuh
manusia menyebarkan panas ke lingkungan. Namun, bila lingkungan lebih hangat
dari kulit, tubuh mengabsorbsi panas melalui radiasi. Perawat meningkatkan
produksi panas melalui radiasi dengan memakaikan lampu penghangat atau
menjemur diri bawah sinar matahari. Menutup tubuh dengan pakaian gelap dan
rajutan juga mengurangi jumlah kehilangan panas melalui radiasi.
b) Konduksi merupakan panas yang berpindah dari satu zat ke zat lain
dengan bersentuhan secara langsung. Ketika kulit yang memiliki suhu yang lebih
tinggi mengenai zat yang lebih dingin, maka panas akan berpindah. Ketika
suhu dua objek sama, kehilangan panas konduktif berhenti. Panas berkonduksi
melalui benda padat, gas, dan cair. Konduksi normalnya menyebabkan sedikit
kehilangan panas. Perawat meningkatkan kehilangan panas konduktif ketika
memberikan kompres es atau memandikan pasien dengan air dingin. Pemberian
beberapa lapis pakaian mengurangi kehilangan panas secara konduktif. Tubuh
menambah panas dengan konduksi ketika kontak dilakukan dengan material yang
lebih hangat dari suhu kulit.
c) Konveksi adalah perpindahan panas karena gerakan udara. Panas
dikonduksikan pertama kali pada molekul udara secara langsung dalam kontak
dengan kulit. Arus udara membawa udara hangat. Pada saat kecepatan arus udara
meningkat, kehilangan panas konvektif meningkat. Kipas angina listrik
meningkatkan kehilangan panas melalui konveksi. Kehilangan konvektif
meningkat ketika kulit lembab kontak dengan udara yang bergerak ringan.
d) Evaporasi adalah perpindahan energi panas, ketika cairan berubah
menjadi gas. Selama evaporasi, kira-kira 0,6 kalori panas hilang untuk setiap gram
air yang menguap. Tubuh secara kontinu kehilangan panas melalui evaporasi.
Kira-kira 600 sampai 900 ml sehari menguap dari kulit dan paru, yang
mengakibatkan kehilangan air dan panas. Kehilangan normal ini dipertimbangkan
kehilangan air tidak kasat mata dan tidak memainkan peran utama dalam
pengaturan suhu. Dengan mengatur perspirasi atau berkeringat, tubuh
meningkatkan kehilangan panas evaporatif tambahan. Berjuta-juta kelenjar
keringat yang terletak dalam dermis kulit menyekresi keringat melalui duktus
kecil pada permukaan kulit. Ketika suhu tubuh meningkat, hipotalamus anterior
memberi sinyal kelenjar keringat untuk melepaskan keringat. Selama aktivitas dan
stres emosi atau mental. Berkeringat adalah salah satu cara untuk menghilangkan
kelebihan panas yang dibuat melalui peningkatan laju metabolik. Evaporasi
berlebihan dapat menyebabkan kulit gatal dan bersisik, serta hidung dan faring
kering.

2.2 HIPOTERMI
Hipotermia adalah keadaan suhu inti tubuh dibawah 35ºC (normotermi:
36,6ºC - 37,5ºC) (Guyton & Hall, 2008). Hipotermi adalah keadaan dimana suhu
tubuh berada di bawah batas normal fisiologis. Hipotermi yang tidak diinginkan
mungkin dialami oleh pasien sebagai akibat suhu yang rendah di ruang operasi
(19ºC–22ºC), infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin,
kavitas atau luka terbuka, aktifitas otot-otot yang menurun, usia lanjut, neonatus,
agens obat-obatan (bronkodilator, fenotiasin, anesthesia). Efek hipotermia pada
sistem neurologi menyebabkan penurunan aliran darah cerebral 6% sampai 7%
pada setiap penurunan suhu 10ºC. Pada suhu 30ºC (86ºF) dimana pasien tidak
menggigil akan mengalami penurunan metabolisme otak sebesar 30% dan volume
cerebral sebanyak 20%. Fungsi sensori menghilang pada suhu 34ºC sampai 33ºC.
Efek hematologi dari hipotermia termasuk koagulopati dengan perpanjangan
masa protrombin dan uji masa tromboplastin parsial. Terjadi penurunan platelet
dan sel-sel darah putih, peningkatan hemoglobin dan hematokrit, dan perpindahan
ke kiri kurva oksihemoglobin, membuat perpindahan oksigen dari sel-sel darah
merah ke jaringan menjadi lebih sulit (De Witte & Sessler, 2006).
Menurut Lumintang (2011), hipotermi yang terjadi dalam waktu yang lama
> 6 jam dapat menyebabkan gangguan hampir pada semua sistem pada tubuh
manusia seperti sistem pernafasan, kardiovaskuler, saraf, urogenital, pencernaan
dan sistem pembekuan darah. Pada sistem pernafasan akan didapatkan kurva
disosiasi oksihemoglobin akan bergeser ke kiri sehingga terjadi peningkatan
afinitas hemoglobin terhadap oksigen, yang akan mengakibatkan peningkatan
pengambilan oksigen dalam paru-paru dan pelepasan oksigen ke jaringan akan
terganggu yang dapat menyebabkan hipoksia. Gangguan pada sistem
kardiovaskuler pada awalnya terjadi peningkatan heart rate, dan pada stadium
lanjut maka heart rate akan menurun, stroke volume juga akan menurun sehingga
menyebabkan cardiac arrest, viskositas darah akan meningkat serta terjadi
gangguan jantung lainnya. Hipotermi juga akan mengakibatkan gangguan sistem
pembekuan darah, dimana waktu pembekuan akan memanjang yang diikuti oleh
fibrinolisis serta trombositopeni. Pada sistem peredaran darah otak, CBF
(Cerebral Blood Flow) akan menurun sampai melebihi setengah dari normal.
Gangguan sistem urogenital akan menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal
yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal serta filtrasi glomerulus
dan adanya tahanan vaskuler yang meningkat.

2.2.1 intraoperatif
a. Anastesi Umum
Hampir semua penderita yang mendapatkan anestesi umum menjadi
hipotermia. Hal ini disebabkan anestesi umum mengakibatkan gangguan pada
termoregulasi tubuh. Anestesi umum menyebabkan peningkatan nilai ambang
respon terhadap panas dan penurunan nilai ambang respon terhadap dingin.
Dengan kata lain, interthreshold range menjadi melebar dari 0,4ºC menjadi sekitar
2-4ºC.
Klasifikasi mengenai hipotermia masih belum mendapatkan suatu
kesepakatan diantara ahli-ahli anestesiologi. Ada yang membagi hipotermia
menjadi hipotermia ringan antara 32-35ºC, hipotermia sedang 28-32º C dan
hipotermia berat kurang dari 28ºC. Tetapi ada yang menggunakan batasan untuk
hipotermia ringan antara 33-36,4ºC dan tidak menetapkan batasan antara
hipotermia sedang dan berat. Penggunaan batasan ini karena pada suhu ini
kemungkinan disfungsi organ akan mulai timbul.
Beberapa hal yang menyebabkan penderita menjadi hipotermia pada saat
menjalani operasi adalah:
 Anestesia menurunkan produksi panas.

 Panas tubuh yang hilang tinggi karena ruang operasi yang dingin,
pemberian cairan yang dingin, irigasi cairan pada luka operasi dan
evaporasi serta radiasi dari luka operasi.

 Kompensasi tubuh tidak terjadi karena penderita tidak sadar dan kadang-
kadang lumpuh karena obat pelumpuh otot serta respon otonom
termoregulasi terganggu.

Hipotermia selama anestesi umum mengikuti suatu pola tertentu, yaitu terbagi
menjadi 3 fase. Fase tersebut adalah fase redistribusi, fase linear dan fase plateau

FASE REDISTRIBUSI

Induksi anestesi umum akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Hal ini


terjadi melalui dua mekanisme, yaitu obat anestesi secara langsung menyebabkan
terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan anestesi umum menurunkan nilai
ambang vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral.

Vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian sentral suhu inti
mengalir ke bagian perifer. Redistribusi panas tubuh ini akan menyebabkan
peningkatan suhu perifer tetapi menyebabkan penurunan suhu inti. Penurunan
suhu inti pada fase ini terjadi dengan cepat. Suhu inti turun 1-1,5ºC selama jam
pertama.
FASE LINEAR

Setelah fase redistribusi, suhu inti akan turun dengan lambat selama 2-4 jam
berikutnya. Penurunan ini sekitar 0,5ºC setiap jamnya. Hal ini terjadi karena panas
tubuh yang hilang lebih basar daripada panas yang diproduksi. Metabolisme tubuh
menurun sebesar 15-40% selama anestesi umum. Pada fase ini, panas yang hilang
tergantung dari jenis operasi. Hipotermia lebih banyak terjadi pada operasi besar
dibanding operasi kecil. Juga pada suhu ruangan operasi yang lebih rendah. Pada
fase ini, penggunaan insulator atau pemanasan intra operatif paling efektif
dilakukan.

FASE PLATEAU

Setelah penderita teranestesi dan melewati fase linear, suhu tubuh akan
mencapai keseimbangan. Pada fase ini, produksi panas seimbang dengan panas
yang hilang. Fase ini terbagi menjadi dua, yaitu fase pasif dan aktif.

 Fase plateau pasif terjadi jika produksi panas seimbang dengan panas yang
hilang tanpa disertai aktivitas dari termoregulasi, yaitu tanpa disertai
terjadinya vasokonstriksi. Tapi kombinasi dari penurunan produksi panas
karena anestesi dan faktor-faktor operasi yang lain menyebabkan fase ini
jarang terjadi. Fase ini lebih sering terjadi pada operasi-operasi kecil pada
penderita yang terselimuti atau terbungkus oleh insulator yang baik.

 Fase palteau aktif terjadi saat suhu tubuh telah mencapai keseimbangan
dengan terjadinya mekanisme vasokonstriksi. Pada saat suhu inti mencapai
33-35ºC akan memicu sistem termoregulasi untuk vasokonstriksi untuk
mengurangi panas tubuh yang hilang dengan membatasi aliran panas dari
jaringan inti ke jaringan perifer.

Pada fase ini, panas tubuh yang dihasilkan akan dipergunakan untuk
mempertahankan suhu inti tetap stabil atau tidak turun lagi. Oleh karena itu suhu
perifer akan menurun karena tidak mendapatkan suplai panas dari suhu inti
walaupun suhu inti tetap dipertahankan konstan.

B. ANASTESI REGIONAL

Anestesi regional baik spinal maupun epidural menurunkan nilai ambang


vasokonstriksi dan shivering di atas level blok simpatis sekitar 0,6ºC . Penurunan
ini tidak disebabkan karena resirkulasi dari obat anestesi lokal, karena gangguan
yang ditimbulkan hampir sama antara spinal dan epidural, meskipun jumlah dan
lokasi obat anestesi lokal antara keduanya berbeda.

Perubahan nilai ambang ini terjadi karena anestesi regional menghalangi


semua informasi suhu dari bagian yang terblok, tetapi yang terbanyak adalah
informasi suhu dingin. Otak kemudian menginterpretasikan sebagai kaki yang
relatif hangat. Hal ini akan memberikan informasi terhadap sistem termoregulasi
untuk menurunkan nilai ambang vasokonstriksi dan shivering. Penurunan nilai
ambang ini sebanding dengan jumlah segmen yang terblok.

Seperti pada penderita dengan anestesi umum, pada penderita dengan


anestesi regional baik spinal maupun regional juga mengalami redistribusi panas
tubuh dari jaringan inti ke perifer. Anestesi regional menghambat kontrol
termoregulasi secara sentral tapi yang lebih penting adalah pengaruh anestesi
regional dalam menghambat aktivitas saraf simpatis yang menyebabkan tak
terjadinya vasokonstriksi dan shivering pada bagian tubuh yang terblok. Oleh
karena itu, redistribusi anestesi regional terbatas pada kaki . Seperti halnya
anestesi umum, redistribusi panas dari sentral ke perifer ini akan menyebabkan
terjadinya hipotermia, walaupun tak seberat pada anestesi umum.

Hipotermia pada anestesi regional juga diikuti oleh fase linear, fase
penurunan suhu tubuh yang lambat karena pembentukan panas lebih kecil
dibandingkan dengan produksi panas. Tapi pada anestesi regional, fase linear
tidak diikuti oleh fase plateau. Hal ini terjadi karena, hipotermia pada anestesi
regional akan memicu vasokonstriksi dan shivering pada bagian tubuh yang tidak
terblok. Tapi hal ini tak cukup untuk mencegah hipotermia yang terjadi.
Sedangkan kehilangan panas tubuh terus berlanjut karena bagian tubuh yang
terblok tidak terjadi vasokonstriksi dan vasodilatasi yang terjadi akan
menyebabkan tubuh terus kehilangan panas.

Hipotermia pada anestesia regional tidak memicu sensasi dingin dari


penderita. Hal ini disebabkan karena persepsi terhadap dingin tergantung dari
informasi suhu kulit, sedangkan vasodilatasi dari pembuluh darah kulit yang
disebabkan oleh anestesi regional akan memberikan sensasi panas / hangat di
kaki.

Redistribusi panas tubuh merupakan penyebab utama hipotermia selama


jam pertama baik pada anestesi umum maupun regional Selama tindakan
pembedahan yang relatif singkat, hipotermia lebih berat pada penderita yang
menjalani anestesi umum. Tetapi pada operasi yang lama dan besar, pada saat
penderita dengan anestesi umum mengalami fase plateau sehingga suhunya
cenderung stabil, penderita dengan anestesi regional sering makin menjadi
hipotermia

2.2.2 POST OPERASI

Faktor Yang Mempengaruhi Hipothermi Post Operasi

A. Obat anestesi
Anestesi memiliki arti yakni hilangnya rasa atau sensasi. Pemberian obat ini
dilakukan agar Anda tidak merasakan rasa sakit saat operasi berlangsung. Cara
kerja pemberian anestesi adalah dengan memblok sinyal saraf dari rasa sakit yang
dirasakan selama operasi atau tindakan medis lainnya yang berlangsung. Anestesi
dapat diberikan dengan beberapa cara, yakni sebagai salep atau semprotan,
suntikan, serta pemberian gas yang harus dihirup oleh pasien. Tujuan memberikan
anestesi adalah untuk membuat pasien merasa nyaman saat operasi berlangsung,
meminimalisir atau menghilangkan rasa nyeri yang dirasakan, maupun membuat
rasa mengantuk dan terlelap tidur sehingga pasien tidak menyadari operasi yang
dilakukan. Tindakan ini sangat membantu seorang pasien, terlebih bagi pasien
yang mengalami ketakutan dengan proses pembedahan atau tindakan medis
lainnya. Ada beberapa jenis anestesi yaitu anaestesi regional dan anestesi umum
(Corwin, 2009).
Untuk anestesi regional, fungsinya yakni untuk memblok rasa nyeri di
sebagian area tubuh. Prosedur ini untuk area yang akan mengalami mati rasa pada
bagian tubuh tertentu, misalnya sebagian area bawah pinggang. Terdapat beberapa
jenis anestesi regional, yakni blok saraf perifer, epidural dan spinal. Anestesi
regional yang paling sering digunakan adalah anestesi epidural yang kerap
digunakan saat melahirkan. Untuk jenis anestesi regional ini, pembiusan biasanya
disuntikkan di bagian dekat sumsum tulang belakang dan saraf yang terhubung.
Suntikan ini akan menghilangkan sakit pada beberapa bagian tubuh seperti
pinggul, perut, atau kaki. Anestesi umum adalah anastesi yang membuat pasien
tidak sadar sama sekali dan tidak ingat apa pun selama operasi berlangsung,
prosedur ini biasa disebut dengan bius total. Anestesi jenis ini akan diberikan
untuk operasi besar, seperti saat melakukan operasi jantung terbuka, operasi otak,
ataupun transplantasi organ yang memang sangat membutuhkan ketidaksadaran
pasien untuk melakukan tindakan operasi. Pemberian anestesi ini bisa melalui dua
cara, yakni dengan menghirup gas (inhalasi) ataupun dengan menyuntikan obat ke
dalam pembuluh darah (intravena). Bius intravena akan menghilang dengan
cepatdari aliran darah setelah operasi selesai, sedangkan untuk inhalasi
memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang. Meskipun anestesi umum
biasanya dianggap cukup aman untuk sebagian besar pasien, namun ternyata
dapat menimbulkan beberapa risiko untuk pasien usia lanjut, anak-anak, orang-
orang dengan variasi genetik tertentu, dan mereka yang memiliki penyakit kronis
seperti diabetes. Pada tindakan anestesi spinal (SAB) terjadi blok pada sistem
simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari
kompartemen sentral ke perifer, hal ini yang akan menyebabkan hipotermi.
Anestesi umum (GA) dapat mengakibatkan gangguan pada termoregulasi
tubuh, dimana anestesi umum mengakibatkan meningkatnya nilai ambang respon
terhadap panas dan penurunan nilai ambang respon terhadap dingin. Dalam
keadaan normal, tubuh manusia mampu mengatur suhu di lingkungan yang panas
dan dingin melalui refleks pelindung suhu yang diatur oleh hipotalamus. Selama
anastesi umum, reflek tersebut berhenti fungsinya sehingga pasien akan rentan
sekali mengalami hipotermia (Suanda, 2014).
B. Lama Operasi.
Orang yang terpapar lingkungan yang dingin akan mengalami kehilangan
panas dari tubuhnya dalam jumlah yang banyak melalui beberapa mekanisme
pengeluaran panas. Pada pasien pembedahan, seseorang akan terpapar pada
ruangan operasi dengan suhu yang dingin dalam waktu yang lama sehingga akan
menyebabkan terjadinya hipotermia. Ini berkaitan dengan lama operasi operasi.
Semakin lama dilakukan pembedahan maka semakin lama metabolisme akan
menurun sehingga dalam waktu yang bersamaan tubuh akan berkurang dalam
produksi panas. Hal tersebut akan mempercepat terjadinya proses hipotermia pada
pasien (Suanda, 2014).
Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan, artinya panas
tubuh dapat hilang atau berkurang akibat lingkungan yang lebih dingin. Begitu
juga sebaliknya, lingkungan dapat mempengaruhi suhu tubuh manusia.
Perpindahan suhu antara manusia dan lingkungan terjadi sebagian besar melalui
kulit. Proses kehilangan panas melalui kulit dimungkinkan karena panas
diedarkan melaluipembuluh darah dan juga disuplai langsung ke fleksus arteri
kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang mengandung banyak otot.
Kecepatan aliran dalam fleksus arteriovenosa yang cukup tinggi (kadang
mencapai 30% total curah jantung) akan menyebabkan konduksi panas dari inti
tubuh ke kulit menjadi sangat efisien. Dengan demikian, kulit merupakan radiator
panas yang efektif untuk keseimbangan suhu tubuh (Suanda, 2014).
C. Usia
Usia sebagai faktor yang penting. Pasien anak mempunyai luas permukaan
tubuh per kilogram berat badan lebih luas dibandingkan pasien dewasa. Umur
sangat mempengaruhi metabolisme tubuh akibat mekanisme hormonal sehingga
memberi efek tidak langsung terhadap suhu tubuh. Pada neonatus dan bayi,
terdapat mekanisme pembentukan panas melalui pemecahan (metabolisme) lemak
coklat sehingga terjadi proses termogenesis tanpa menggigil (non-shivering
thermogenesis). Secara umum, proses ini mampu meningkatkan metabolisme
hingga lebih dari 100%. Pembentukan panas melalui mekanisme ini dapat terjadi
karena pada neonatus banyak terdapat lemak coklat. Mekanisme ini sangat
penting untuk mencegah hipotermi pada bayi (Suanda, 2014).
Pada orang dewasa pengaturan panas dari produksi dan kehilangan panas
relatif stabil. Pengaturan ini dilakukan oleh hipotalamus. Hipotalamus yang
terletak diantara hemisfer serebral, mengatur suhu inti tubuh. Suhu lingkungan
sangat nyaman atau setara dengan set point maka hipotalamus akan berespon
sangat ringan dan sedikit, sehingga suhu akan mengalami perubahan yang ringan
dan relatif stabil. Hubungan antara produksi dan pengeluaran panas harus
dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme neurologis dan
kardiovaskuler. Hipotalamus anterior mengendalikan panas yang keluar, dan
hipotalamus mengendalikan panas yang dihasilkan. Penurunan suhu tubuh terjadi
karena sel syaraf di hipotalamus anterior menjadi lebih panas melebihi set point
(Guyton & Hall, 2008).
D. Lemak Viseral
Lemak viseral adalah lemak yang tertimbun dalam tubuh terletak dibawah
kulit. Lemak viseral juga disebut jaringan adipose yang ada dibawah lapisan kulit
dermis. Dangan adanya lemak yang banyak seseorang akan lebih mudah
mempertahankan panas dalam dirinya (De Witte & Sessler, 2006). Menurut
Archilona (2014) terdapat kerelasi positif antara IMT (Indeks Massa Tubuh)
dengan jumlah lemak viseral pada individu. IMT atau indeks massa tubuh adalah
gambaran atau indkator proporsi tubuh seseorang yang dilihat dari perhitungan
berat badan dan tinggi badan. Nilai dari IMT ini didapat dari berat badan dalam
kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter. Berat badan adalah ukuran
yang lazim atau sering juga dipakai untuk menilai keadaan suatu gizi manusia.
Berat badan akan mempengaruhi ketebalan kulit. Kulit yang tipis, lapisan lemak
sedikit dan luas permukaan tubuh yang relatif lebih besar dibanding berat badan
memungkinkan kehilangan panas lebih besar selama tindakan anestesi dilakukan.
(De Witte & Sessler, 2006).

E. Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan konsistensi suhu tubuh.
Secara general, perempuan mempunyai fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar dari
pada laki-laki. Hal ini terjadi karena pengaruh produksi hormonal yaitu hormon
progesteron. Hormon progesteron rendah, maka suhu tubuh akan mengalami
penurunan beberapa derajat di bawah batas normal. Hormon progesteron
meningkat dan menurun secara bertahap selama siklus menstruasi. Naik turunnya
hormon progesteron mengakibatkan fluktuasi suhu tubuh pada wanita. Pada saat
ovulasi (pembuahan) pada wanita hormon progesteron lebih banyak diproduksi
dan masuk kedalam sistem sirkulasi. Dengan adanya Kondisi tersebut
fluktuasisuhu tubuh dapat menjadi perkiraan masa subur pada wanita. Menopouse
(penghentian menstruasi) pada wanita dapat mempengaruhi perubahan suhu
tubuh. Wanita yang sudah berhenti menstruasi dapat mengalami periode
panastubuh dan berkeringat banyak, 30 detik sampai 50 menit. Hal tersebut
karena kontrol vasomotor yang tidak stabil dalam melakukan vasodilatasi dan
vasokontriksi.(Potter & Perry, 2006).

2.2.3 PENANGANAN HIPOTERMI


Hipotermia post operasi sangatlah merugikan bagi pasien. Hipotermia post
operasi dapat menyebabkan disritmia jantung, memperpanjang penyembuhan luka
operasi, menggigil, dan penurunan tingkat kenyamanan pasien. Intervensi yang
efektif penghangat membantu pasien dalam mempertahankan normotermia.
Penghangat aktif untuk tubuh yang mengalami hipotermia post operasi dapat
mengurangi kecemasan dan meningkatkan kenyaman pasien. Intervensi
penghangat ini bahkan dapat mengurangi keluhan nyeri pada pasien yang
mendapat luka pembedahan post operasi (Marta, 2013). Pada prinsipnya
manajemen penanagan hipotermi adalah :
a) Menghangatkan pasien preoperatif
b) Menyesuaikan temperatur di ruang operasi sebelum dan sesudah operasi
c) Monitor temperatur intraoperatif
d) Menghangatkan pasien dengan selimut dan cairan (cairan, darah dan
produk darah) yang dihangatkan
e) Memberikan suplai O2,kalau perlu dengan ventilator
f) Mencegah dan merawat gemetar dengan memberikan agonis alfa
adrenergik seperti klonidin, dexmedetomidine saat premedikasi dan
dexmedetomidine post operasi
g) Perawatan vasodilatasi post penghangatan dengan memberikan
vasokonstriktor1

Obat-obatan opioid atau non opioid yang telah terbukti untuk mencegah dan
menghentikan menggigil saat post operasi tetapi tidak mempengaruhi produksi
panas, seperti: Opioid (meperidine 25mg, 250 mcg alfentanil, fentanil, morfin,
pethidin) dan Obat lain yang bekerja sentral analgesik (tramadol, nefopam,
metamizol).
Menurut Nazma (2008), intervensi mekanik yang digunakan untuk
mengatasi hipotermi post operasi adalah
1) Pengaturan suhu ruang operasi, jika suhu ruang operasi dapat
dipertahankan antara 25ºC-26,6ºC maka suhu pasien dapat berkisar di bawah
36ºC. Hal ini disebut kondisi hipotermia. Di ruangan ICU suhu ruangan diatur
lebih rendah agar mengurangi efek penyebaran infeksi nasokomial. Hal ini
berlawanan dengan tujuan pemberian penghangat untuk pasien hipotermia post
operasi sehingga perlu modifikasi atau intervensi yang lain selain meningkatkan
suhu ruangan.
2) Pemberian matras penghangat, matras ini akan dapat menghambat
pelepasan panas secara konduksi, pemakaiannya sangat efektif digunakan pada
bayi dan anak. Biasanya pada bayi dan anak sering diberi lapisan kapas pada
tubuhnya untuk mencegah terjadinya penekanan yang disebabkan oleh cairan pada
matras. Pemberian matras penghangat ini kurang efektif jika digunakan pada
pasien dewasa. Ketidakefektifan tersebut dikarenakan disamping luas permukaan
pasien dewasa yang lebih luas dari anak-anak kelemahan dari pemberian matras
penghangat tersebut area yang terkena penghangat hanya pada daerah punggung
pasien. Hal ini terjadi karena pasien post operasi dilakukakan imobilisasi sehingga
tidak dilakukan perubahan posisi. Berat badan pasien juga memberikan penekanan
yang lebih tinggi kepada matras dengan kondisi hangat sehingga resiko iritasi
pada area tubuh yang mendapat penekanan yang lebih akan mungkin terjadi.
3) Pemberian cairan infus, cairan irigasi atau transfusi darah yang
dihangatkan, penghangatan cairan infus dan darah dapat berkisar diatas 32ºC
untuk menghindari hipotermi namun hati-hati pada penghangatan darah transfusi
karena akan dapat merusak sel-sel darah yang ada. Cairan irigasi sebaiknya
dihangatkan pada suhu 37ºC. Cairan intravena hangat dengan suhu 37⁰C secara
konduksi masuk ke pembuluh darah sehingga akan mempunyai kecepatan yang
lebih efektif dari penghangatan melalui ekstrinsik. Adanya perubahan suhu dalam
pembuluh darah langsung dideteksi oleh termoreseptor pada hipothalamus.
Hipothalamus secara langsung memantau tingkat panas didalam darah yang
mengalir melalui otak. Kemudian melalui traktus desendens merangsang pusat
vasomotor sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan aliran
darah meningkat. Tingginya kecepatan aliran darah ke kulit menyebabkan panas
dikonduksi dari bagian dalam tubuh ke kulit dengan efisiensi tinggi. Suhu tubuh
berpindah dari darah melalui pembuluh darah ke permukaan tubuh, sehingga
permukaan tubuh pun menjadi hangat.
4) Penggunaan humidifier hangat, humidifier yang dihangatkan merupakan
cara untuk mengurangi hiportemi selama anestesi. Dengan cara ini mengurangi
kerusakan mukosa dan silia pada saluran nafas karena kelembaban mukosa dan
silia akan tetap terjaga dengan baik. Suhu di saluran nafas dipertahankan
sekitar 38ºC. Kelemahan dari intevensi ini adalah cairan humidifier yang
dihangatkan akan cepat menjadi dingin kembali akibat terpapar suhu ruangan di
ICU yang dibawah suhu kamar. Hal ini akan memerlukan observasi yang lebih
ketat untuk mengganti cairan humidifier tersebut.
5) Lampu penghangat, lampu penghangat menghangatkan permukaan
kulit, sebab sistem termoregulasi lebih sensitif terhadap input peningkatan suhu
kulit. Lampu penghangat merupakan lampu listrik yang berfungsi memberikan
radiasi panas pada kulit sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh. Penghangatan
suhu dimaksudkan untuk mencegah hipotermia dan mengurangi input afferen
yaitu dengan penghangatan reseptor kulit terutama pada daerah dengan densitas
reseptor terbesar seperti leher, dada dan tangan (Sweney et al, 2001 dalam Nazma,
2008). Sedangkan kelemahannya adalah menggunakan lampu penghangat secara
langsung dapat menyebabkan kulit menjadi merah terutama daerah leher, dada
dan tangan karena alat ini mempunyai densitas yang tinggi pada termoreseptor
(Nazma, 2008).

2.3 HIPERTERMI MALIGNA

Hipertermi adalah suhu tubuh manusia melebihi 37,50C, karena peningkatan


suhu tubuh yang melebihi normal dan tidak terkontrol dimana produksi panas
tubuh melebihi kemampuan tubuh melepas panas. Penyebab hipertermi :3

A. Heat stroke
i) Penyebab eksernal : olahraga di luar ruangan pada suhu dan
kelembaban tinggi
ii) Penyebab internal : obat anti parkinson, anti histamin, anti kolinergik,
diuretik, fenotiazid
B. Hipertermi karena obat
 Amphetamines, cocaine, phencyclidine (PCP),
methylenedioxymethamphetamine, lysergic acid diethylamide ,
salicylates, lithium, anticholinergics, sympathomimetics
 Neuroleptic malignant syndrome
 Phenothiazines; butyrophenones, haloperidol and bromperidol;
fluoxetine; loxapine; tricyclic dibenzodiazepines; metoclopramide;
domperidone; thiothixene; molindone; withdrawal dari agen
dopaminergic
C. Serotonin syndrome
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), monoamine oxidase
inhibitors (MAOIs), tricyclic antidepresan
 Hipertermi Maligna: Anestesi inhalasi, succynil cholin
 Endocrinopathy: Thyrotoxicosis, pheochromocytoma
 Kerusakan sistem saraf pusat: Perdarahan serebral, status
epilepticus, cedera hipotalamus3

Hipertermi maligna adalah suatu kondisi miopati langka yang terjadi


pada pasien anak – anak (1:15.000) dan dewasa (1:40.000) ditandai dengan
kondisi hipermetabolisme akut pada jaringan otot yang terjadi setelah induksi
anestesi umum. Hipertermi maligna dapat juga timbul pada masa post operatif
satu jam setelah penerapan anestesia tanpa paparan agen anestesia yang
memiliki efek pemicu kondisi tersebut.1

Tanda hipertermi maligna


 Kenaikan suhu tubuh 10C / 5 menit
 Kaku pada otot maseter, kadang disertai kaku pada seluruh otot tubuh
 Hiperkarbia
 Takipnea jika pelemas otot tidak digunakan
 Overreaktivitas sistem simpatis menimbulkan gejala :
 Takikardi
 Aritmia
 Hipertensi yang diikuti dengan hipotensi karena depresi jatung
 Sianosis
 Mioglobinuria dan mioglobinemia yang ditandai dengan urin
berwarna hitam
 Pemeriksaan laboratorium
 Asidosis metabolik dan asidosis respirasi
1. Defisit basa
2. Hiperkalemia
3. Hipermagnesia
4. Saturasi oksigen yang sangat rendah
 Serum kalsium terionisasi menurun setelah mengalami peningkatan
 Peningkatan serum mioglobin, aldolase, laktat dehidrogenase
 Peningkatan creatinin kinase (melebihi 20.000 IU/L)1

peningkatan serum mioglobin dan creatinin kinase dapat terjadi pada


pasien yang mendapat suntikan succynil cholin tanpa hipertermi maligna1

Differential diagnosis

1) Sindrom neuroleptik ganas


2) Krisis tiroid
3) Feokrositoma
4) Sindrom serotonin hipertermi dipicu obat
5) Hipertermi iatrogenic
6) Cedera hipotalamus / batang otak
7) Sepsis
8) Reaksi tranfusi
9) Komplikasi hipertensi maligna
10) Fibrilasi ventrikel
11) Gagal ginjal
12) Gagal hati
13) Kejang disertai edema serebral
14) Disseminated intravascular coagulation2

Patofisiologi hipertermi maligna

Paparan succynil cholin ataupun gas – gas halogen anestesia memicu


terjadinya hipertermi maligna. Tidak semua orang yang terpapar succynil
cholin maupun gas – gas agen anestesia mengalami hipertermi maligna, hal ini
belum jelas, tetapi yang didapat dari penyelidikan adalah peningkatan kalsium
intraseluler pelepadan kalsium dari reticulum sarcoplasma menghilangkan
hamatan pada troponin menghasilkan kontraksi otot yang terus menerus
ditandai dengan meningkatnya ATP yang diproduksi dan digunakan
menyebabkan metabolisme aerob dan anaerob yang tidak terkontrol. Keadaan
hipermetabolik terus berlanjut menyebabkan peningkatan konsumsi O2 dan
produksi CO2 dan mengakibatkan hipertermi dan asidosis laktat yang berat.
Saat membran otot pecah, limpahan kalium dan laktat dehidrogenase
menyebabkan hiperkalemia. Peningkatan tonus simpatis, asidosis
hiperkalemia, kesemuanya menyebabkan fibrilasi ventrikel dan dapat
mengakibatkan kematian dalam waktu kurang dari 15 menit.1

 Manajemen hipertermi maligna

Prinsip perawatan hipertermi maligna adalah menghentikan hipertermi


dan merawat komplikasi yang terjadi seperti asidosis dan hiperkalemia.
Langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan pemberian agen
pemicu yaitu succynil cholin dan gas – gas anestesia halogen, diganti dengan
pemeberian oksigen 100 % untuk meminimalisasi efek hiperkapnea asidosis
metabolic dan peningkatan konsumsi O2.

Langkah selanjutnya, jika terdapat demam maka pendinginan


permukaan dengan es terutama pada arteri – arteri besar, melakukan
pendinginan dengan metode konveksi dengan udara dingin, selimut pendingin,
dapat juga dilakukan pemberian es salin pada lambung dan rongga – rongga
tubuh.

Asidosis yang terjadi dirawat dengan pemberian natrium bikarbonat 1


– 2 mEq/kg. Hiperkalemia dirawat dengan insulin 10 – 20 IU dan glukosa 25
– 50 g intra vena ditambah diuretika dan monitor balance cairan, elektrolit .
Agen antiaritmia dan katekolamin dapat diberikan sesuai kebutuhan kecuali
calcium channels blocker, karena dapat meningkatkan hiperkalemia pada
penggunaan dengan dantrolene.

Infus manitol dan furosemid harus diberikan untuk meningkatkan


diuresis dan mencegah gagal ginjal akut karena mioglobinuria. Langkah
terakhir adalah dengan memberikan dantrolene 2,5 mg / kg BB intravena.
Perawatan hipertermi maligna yang cepat masih menyisakan tingkat kematian
sebesar 5 – 30 %. 1

Dantrolene

Dantrolene adalah sebuah derivat hydantoin, langsung menghambat


kontraksi otot dengan mengikat channel kalsium yang bernama reseptor Ryr1
dan menghambat pelepasan ion kalsium dari reticulum sarcoplasmic.

Dosis 2,5 mg / kg secara intravena setiap 5 menit sampai episode


diakhiri. Dosis maximum dantrolene umumnya 10 mg / kg. Dantrolene
dikemas sebagai 20 mg bubuk dan dilarutkan dalam 60 mL air steril. Waktu
paruh dantrolene adalah sekitar 6 jam.

Setelah kontrol awal, dantrolene 1 mg / kg intravena diulang setiap 6


jam selama 24 - 48 jam untuk mencegah kambuh karena hipertermi maligna
dapat kambuh dalam waktu 24 jam. Perlu dicatat bahwa dantrolene bukan
obat spesifik untuk hipertermi maligna, tetapi juga juga dapat menurunkan
suhu dalam krisis tiroid dan sindrom neuroleptik ganas.

Dantrolene adalah obat yang relatif aman, komplikasi paling serius


setelah pemberian akut adalah kelemahan otot umum yang dapat
mengakibatkan insufisiensi pernafasan atau pneumonia aspirasi. Dantrolene
dapat menyebabkan phlebitis dalam pembuluh perifer kecil dan harus
diberikan melalui jalur vena sentral jika tersedia.1

Kesimpulan

1. Manusia mampu mengatur suhu tubuhnya pada set point tertentu dengan
pusat kontrol suhu tubuh pada hipotalamus.

2. Mekanisme dasar hipotermi dan hipertermi adalah terjadinya


ketidakseimbangan dalam menghasilkan panas dan kehilangan panas salah
satunya adalah tindakan anastesi dan pembedahan.
3. Hipertermi malignant dan hipotermi merupakan komplikasi yang dapat
terjadi karena tindakan anastesi dan pembedahan sehingga kita perlu
mengetahui prinsip pengelolaan kedua kondisi tersebut yaitu dengan
menyeimbangkan proses menghasilkan panas dan proses kehilangan panas.

Daftar Pustaka

1. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 5th ed.
Newyork : Lange Medical Book, 2006.

2. John LA. Complications in Ansthesia. 2 nd ed. Milwaukee: WB Saunders


Company, 2007

3. Harrison's Principle of Internal Medicine. 17th ed. The McGraw Hill's


Company,2008

4. Guyton Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevire Saunders,2006

Anda mungkin juga menyukai