Anda di halaman 1dari 28

HUKUM BISNIS

Perlindung Konsumen

Oleh :
Maya Callista Prameswari (196)
Binti Sri Wahyuni (197)
Ahmad Akhdiat (198)
Uzair Rizal (199)
Dimas Ari Sundawa (200)
Elfa Maya Sari (201)

Kelas :
II D

FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS

JURUSAN AKUNTANSI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

MALANG

2014
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah


memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik.
Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi
Muhammad SAW.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Perlindungan
Konsumen", yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini
di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan
dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang “Perlindungan Konsumen” yang Hukum perlindungan


konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak
konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan cabang dari Hukum Ekonomi.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Hukum Bisnis yaitu Ibu Rahayu
Hartini yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara
menyusun karya tulis ilmiah yang baik dan sesuai kaidah.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik
dan saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.

15 Mei 2014
Penyusun

(Penulis)
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………...... 1


1.2 Rumusan Masalah …….……………………………………………………...……... 1
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konsumen ..…………………………………………… ………..….. 2


2.2 Hak dan Kewajiban Konsumen………………………………………………............ 2
2.3 Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen …….……………………………………. 3
2.4 Perbuatan yang Dilarang Oleh Pelaku Usaha

BAB III KASUS-KASUS YANG TERJADI PERLINDUNGAN KONSUMEN

3.1 Kasus dan Solusi ......................................................................................................

BAB IV KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................


3.2 Kritik dan Saran ...........................................................................................................

Daftar Pustaka .................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para
konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku
usaha. Saat ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan
keselamatan konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
Undan-undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan namun
dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum
maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak
sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-
pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan
tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap
membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa yang dimaksud konsumen ?
3. Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
4. Apa Azas dan Tujuan Prlindungan Konsumen ?
5. Apa sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
6. Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
7. Apa sajakah Gerakan Konsumen ?
1.3 Tujuan Penulisan
2. Mengetahui pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.
3. Mengetahui aplikasi hukum perlindungan konsumen.
4. Mengetahui karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
5. Mengetahui perbuatan yang dilarang pada produsen.
6. Mengetahui Prinsip Konsumsi dalam Islam.
7. Mengetahuin maksud pada Gerakan Konsumen.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam bukunya principles of


marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh
barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.

Konsumen itu sendiri dibedakan menjadi dua :


a. Konsumen Akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk
yang diperolehnya.
 Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :
Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang
lain dan tidak diperjualbelikan.
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia):
Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan
diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
 Menurut KUH Perdata Baru Belanda :
orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang
yang menjalankan profesi atau perusahaan.
b. Konsumen Antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi
produk lainnya. Contoh: distributor, agen dan pengecer.
Ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni :
 Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli,
tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen
memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
 Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang
kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan
pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum
dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam
bentuk peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU
PK.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai
barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak
hal yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi,
seperti baan hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat
dan adanya batasan-batasan yang samar. Jika sekiranya badan usaha yang
memperdagangkan sebuah produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian
konsumen rasanya kurang tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah
‘konsumen antara’ yang menjembatani antara produsen dengan masyarakat selaku
konsumen akhir. Justru karena itu agar badan usaha tidak terjebak dari perilaku
produsen yang melawan hokum, seyogianyadimasukkan pula ke dalam lingkup
pengertian konsumen, sehingga mereka juga patut mendapat perlindungan hukum.

Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap individu atau


kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan khusus,
produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apabila ia berasal dari
pedagang, pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri
ataukah secara kolektif.

Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara definitive, siapakah


sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit
menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun
secara ketat dengan sederatan larangan (yakni: makan daging babi, minum
minuman keras, mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan
seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah rumusan pengertian
dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya menggambarkan secara sederhana
mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang Konsumen Muslim. Oleh
karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud Konsumen menurut penulis adalah
“setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa
dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.” Bagi Konsumen
Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang halal,
baik, dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi
kepentingan konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama
yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku.

2.2 Hak dan Kewajiban Konsumen


Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan
teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin penting. Untuk
pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu yang mengatur hak-hak
konsumen, disamping kewajiban yang harus dilakukan.
a. Hak Konsumen (Pasal 4)
 Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang,
atau jasa
 Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang dijanjikan
 Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina
barang atau jasa
 Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang
digunakan
 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasain
sengketa perlindungan konsumen secara patut
 Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen
 Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
 Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila
barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya
 Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban Konsumen (Pasal 5)


 Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau
pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan
 Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa
 Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati
 Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen.
Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis
untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar
memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan
agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing.
Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya
apa yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan
terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang di ajarkan dalam ekonomi
islam. Dengan prinsip keseimbangan akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis
agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus
memperhatikan kepentingan orang lain.

Salah satu wujud perlindungan pada orang lain, kepada produsen dituntut agar setiap produk
yang akan dihasilkan aman bahan bakunya, benar prosesnya dan halal zatnya sehingga
dengan demikian bisa menjawab pertanyaan Mannan sebagaimana dikutip sebelum ini, yakni
untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan jasa apa yang akan dihasilkan, dan
bagaimana cara menghasilkannya ?. Mampu menjawab dan mempraktikkan pertyaan-
pertayaan ini maka berarti para pelaku bisnis (produsen) telah melindungi kepentingan
konsumen sesuai yang di inginkan dalam syariat Islam.

Hak untuk memilih barang yang didalam Islam dikenal dengan istilah khiyar, disini
dimaksudkan agar konsumen diberi kebebesan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan
selera (keinginannya). Selain itu juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan harga
yang ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh pelaku bisnis terhadap
konsumen Karena bisa jadi barang yang telah diperoleh tidak sesuai dengan harga yang
dibayar.

2.3 Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para
konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku
usaha.
a. Azas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :
“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan
dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Azas Perlindungan Konsumen:

 Asas Manfaat
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
 Asas Keadilan
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
 Asas Keseimbangan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,
dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
 Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
 Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

b. Tujuan Perlindungan Konsumen


Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
 meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
 mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa.
 meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
 menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
 menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
 meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
2.4 Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
Tidak sesuai dengan :
 standar yang dipersyaratkan.
 peraturan yang berlaku.
 ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya

Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain
mengenai barang atau jasa yang menyangkut :
 berat bersih.
 isi bersih dan jumlah dalam hitungan.
 kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran.
 mutu, tingkatan, komposisi.
 proses pengolahan
 gaya, mode atau penggunaan tertentu.
 janji yang diberikan.

Tidak mencantumkan :
 tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas
barang tertentu.
 informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label.

Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:


 Nama barang.
 Ukuran, berat/isi bersih, komposisi.
 Tanggal pembuatan.
 Aturan pakai.
 Akibat sampingan.
 Nama dan alamat pelaku usaha.
 Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau
dibuat.
Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan),
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

b. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang atau jasa :

 Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :


 Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga, gaya, sejarah atau
guna tertentu.
 Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah
tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.

 Secara tidak benar dan selah-olah barang atau jasa tersebut :


 Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
 Dibuat perusahaan yang mempunyai sponsor atau persetujuan.
 Telah tersedia bagi konsumen.
 Langsung/tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
 Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
 Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
 Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud
tidak dilaksanakan.
 Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya
atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
 Dengan menjanjikan hadiah barang atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.

c. Dalam menawarkan barang atau jasa untuk diperdagangkan dilarang


mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau
menyesatkan mengenai :
 Harga/tarif dan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
 Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang atau jasa.
 Kegunaan dan bahaya penggunaan barang atau jasa.
d. Dalam menawarkan barang atau jasa untuk diperdagangkan dengan
memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
 Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
 Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
 Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

e. Dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau
cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik
maupun psikis.

f. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan
mengelabui konsumen dengan :

 Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar


mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
 Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual
barang lain.
 Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup
dengan maksud menjual barang lain.
 Menaikkan harga sebelum melakukan obral.

Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan menaikkannya
(mark up) dari harga normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah
harga yang sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan bagian
dari permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang harga barang
yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum telah
melarang mempermainkan harga:

“Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum
Muslimin dengan tujuan untuk menikkan harga tersebut, maka sudah menjai hak Allah untuk
menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah dari Abu Hurairah) ”.

Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat, diantaranya:
 permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat (al ikhtikar).
 penyalahgunaan kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-
istirsal¸karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang sedang
terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah.
 karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.

Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fikih Islam telah
menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan
persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubn
al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar al-mustarsil (karena tidak
tau harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-
najasy. Larangan jual beli talaqi rukban dan jual beli al-hadhir li bad.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha
secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.

 Sanksi Administratif (pasal 60)


 Badan Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
 Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 Tata cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
BAB III

Masalah Perlindungan Konsumen

Kasus 1

Analisis Kasus Posisi Perlindungan Konsumen

A. KASUS POSISI

Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai


PenerbanganWings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh
seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali
menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat
Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh
menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya,
pukul08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di
tiket,ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia
merasakurang mendapat pelayanan.

Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.DAVID menuding Wings Air
telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatankeberangkatan dan tidak
memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara.Selanjutnya DAVID
mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta
meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab
maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
B. ANALISA KASUS.

Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi
makaharus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana
ekonomi danHukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana
Ekonomi dalam arti luas.

Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan


olehProf. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri,
yaitucorak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan
yangmenghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.Dalam Hukum Pidana Ekonomi,
delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana
ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana.

Ekonomi dalam arti luas yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti
sempitadalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang
7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah
tindak pidanayang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang
lain yangmengatur tentang tindak pidana ekonomi.Dalam kasus yang menimpa DAVID,
Tindakan yang dilakukan oleh pihak ManajemenWings Air dengan mencantumkan klausula
baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakantindakan yang bertentangan dengan
hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapatdiklasifikasikan sebagai tindak
pidana ekonomi dalam arti luas.

Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus


pulamembicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban
atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai
motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak
seimbang biladibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas
bisnis untuk meraupkeuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.Berdasarkan
Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun1999 disebutkan
bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdaganganadalah tingkat
kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutamadisebabkan oleh
rendahnya pendidikan konsumen.
Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga
diharapkan segala kepentingan konsumensecara integrative dan komprehensif dapat
dilindungi.Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti
dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen,
yaknisetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagikepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi
ialahkonsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual
kembaliatau reseller consumer

Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi5
asas utama yakni :
 Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelakuusaha secara keseluruhan.

 Asas Keadilan
Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikankesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakankewajibannya secara adil.
 Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,dan pemerintah
dalam arti materiil ataupun spiritual.
 Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
 Asas Kepastian Hukum
Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjaminkepastian
hukum.Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannyadari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan
pemberdayaan konsumendalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasiserta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggungjawabdalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang menjamin kelangsunganusaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatankonsumen.Sedangkan ketentuan mengenai sanksi
pidana dari Undang-Undang PerlindunganKonsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal
61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secaraUltimuum Remedium mengingat penyelesaian
sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative
penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan HukumPerdata.

Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan


yangdijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62
Jo. Pasal18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana
terhadapnyadapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP.
2.000.000.000,-,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.Yang
dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi
tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain.Sebagaimana
ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:

 Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan


dilarangmembuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihatatau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjianyang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan bataldemi hukum.

 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-
undangini.Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan
bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan
Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak.Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa
ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang
menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket
penerbangan yang diperjualbelikan memuat kasus “Pengangkut tidak bertanggung
jawab atas kerugian apapun juga yangditimbulkan oleh pembatalan dan/atau
keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang
dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut
jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat

dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang
berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada
penumpang.
Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.
Penyedia jasadapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul
baik yangditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat
disimpulkan bahwatindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air
bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya
mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut
pendapatsaya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan
klausula tersebutmasih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian.
Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan
dalam setiap tindakan pencantumanklausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya
merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan
dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang
pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa
kegiatanatau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa
dan komplekssehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi dirasatidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku
ekonomi terhadap konsumen.Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana
Ekonomi Indonesia danmembuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam
mengikuti perkembangansocial yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan
diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan
menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi
mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk
seluruh rakyat sebagaimanadisebutkan oleh Prof. Bambang Purnom
Kasus II

“Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengadilan”

Konsumen merasa dikelabui iklan. Pengacara produsen anggap iklan sebagai cara
‘menggoda’ orang untuk membeli produk.

Iklan sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku.
Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acapkali merasa tertipu
iklan.

Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda
empat merek "Nissan March" Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat perempuan
berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla-- begitu Ludmilla Arief biasa disapa—
membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Sebulan
menggunakan moda transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’
dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan bakar. Penasaran, Milla
mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh
kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.
Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk
pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km).Hasil deteksi mandiri itu
ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim. Iklan yang
dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin
untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah
Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis
berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,”
imbuhnya.Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla
hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta
dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla
meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI).

Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK


menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf UU Perlindungan
Konsumen . NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang
pembelian Rp150 juta. Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan.
Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK
Jakarta.

Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia
meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan
produsen yang tak sesuai kenyataan.“Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March
dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah
dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,”
ujarnya usai persidangan. Kuasa hukum NMI, H. Pandjaitan menepis tudingan David.
Menurut Hinca, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah
sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan
rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan
cara menggoda orang,” pungk njurus ke penipuan.

ANALISIS :

Iklan memang ditujukan kepada konsumen agar tertarik untuk membeli produk atau barang
yang akan ditawarkan. Akan tetapi seharusnya iklan itu tidak menjurus ke penipuan. karena
hal tersebut dapat mebuat konsumen hilang kepercayaan terhadap produk yang dikeluarkan
oleh perusahaan tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut maka telah melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Kasus III

Kasus Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT

Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari
Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan
Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang
di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi
Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan
pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan
syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker
lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya
karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang
sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang
dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang).
Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke
Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang
pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah
menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian
(Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi
kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini
menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk
harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM. Ternyata pada
kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan
akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih
tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha


Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :

 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan, peraturan yang berlaku, ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
 Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai
barang dan/atau jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam
hitungan, kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran, mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu, janji yang
diberikan.
 Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan
paling baik atas barang tertentu, informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa
indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
 Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat
sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut
ketentuan harus dipasang atau dibuat.
 Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.

2. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa.

a. Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu
tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu, dalam
keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan
kelengkapan dari barang tertentu.

b. Secara tidak benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu, dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi konsumen, langsung/tidak langsung merendahkan
barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap, menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti, dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan
maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji, dengan
menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.

3. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang


mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan
mengenai :

a. Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.


b. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c. Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.

4. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c. Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

5. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain
yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.

6. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan:
a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan
tidak mengandung cacat tersembunyi.
b. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c. Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud
menjual barang lain.
Analisis

Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita
sebagai konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan
dan adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti:

1. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;


2. Teliti sebelum membeli;
3. Biasakan belanja sesuai rencana;
4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan,
keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;

Pasal 4, hak konsumen adalah :

a. Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
b. Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1
kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample. Pada tahun 2005 KLB yang tidak
jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat
mikroba 30 kasus. Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya
penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan
terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan
(seperti rhodamin B dan methanil yellow).
c. Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa”.
d. Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam
dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan
mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui
informasi komposisi bahan makanannya.
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Setelah kami mempelajari dari teori-teori yang kami terapkan pada makalah ini bahwa
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjaminkepastian
hukum.Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannyadari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasiserta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggungjawabdalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang menjamin kelangsunganusaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA

Kristiyanti, Cellina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 2009
Miru, Ahmadi. Prinsip-prinsip Perlindungan Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2011

Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk,
Penerbit Panta Rei, Jakarta. 2005

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

[1] Celina Tri Siwi Kristiyanti, SH, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, hlm 22
[2] Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan
Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Yayasan
lembaga Konsumen, 1981, hlm 2.
[3] Prof. Dr. Ahmadi Miru, SH, MH, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 20
[4] UUPK No.8 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2.
[5] Pasal 1 ayat 3 UUPK.
[6] UU LPM PUTS
[7] Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976 pasal 1 butir 13
[8] Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
[9] Undang-Undang Pangan adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 1996, yang diundangkan
pada tanggal 4 November 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
99. (Prof. Dr. Ahmadi Miru SH, MH., Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakrta, 2011
[10] N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm 100

Anda mungkin juga menyukai