Anda di halaman 1dari 5

Menentukan Pemberian bagi Karyawan dalam bentuk Benefit in Cash atau Benefit In

Kind
Untuk perusahaan yang dikenakan PPh badan dengan tarif umum (pasal 17 UU PPh),
bukan yang dikenakan PPh Final atau dikenakan PPh berdasarkan deemed profit, pada dasarnya
berlaku prinsip umum antara PPh Pasal 21 dengan PPh badan. Pertama, apabila penghasilan
pegawai dalam bentuk tunai (bersifat benefit in cash), maka penghasilan itu menjadi Objek PPh
Pasal 21 (taxable income/TI). Dalam PPh badan, dapat dibebankan sebagai biaya
(deductible expenses/DE). Contohnya, pembayaran gaji, THR, tunjangan-tunjangan, dan
sebagainya.
Kedua, apabila penghasilan pegawai dalam bentuk natura, fasilitas atau kenikmatan
(bersifat benefit in kinds), maka penghasilan tersebut bukan merupakan Objek PPh Pasal 21 (non
taxable income/NTI). Di PPh badan, tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non deductible
expenses/NDE). Contohnya, pemberian fasilitas berobat gratis, pemberian kendaraan, dan
sebagainya.
Natura merupakan imbalan atau kenikmatan atau benefit yang diberikan kepada pegawai
atau pekerja yang bukan dalam bentuk uang. Imbalan atau kenikmatan yang dimaksud
merupakan penghasilan bagi karyawan namun tidak dimasukkan sebagai bagian dari gaji atau
upah yang diterima karyawan. Natura biasanya diberikan pada waktu-waktu tertentu dimana
suatu pencapaian telah dihasilkan atau diraih, atau diharapkan dari pemberian natura tersebut
dapat mempermudah pekerjaan penerima natura.
Secara umum pemberian natura dan kenikmatan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan
dan tidak bisa dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible–nontaxable). Hal tersebut
terkecuali yang diatur khusus seperti makanan dan minuman yang diberikan kepada seluruh
karyawan di tempat kerja dan kendaraan dinas yang digunakan untuk pegawai tertentu karena
pekerjaan atau jabatannya (deductible–nontaxable) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 3/PMK.03/2009.

Sebagai contoh yaitu bentuk pemberian makan ada beberapa macam, tergantung dari kebijakan
perusahaan, yaitu:
1. Diberikan dalam bentuk uang (benefit in cash), atau biasa disebut dengan istilah uang makan.
Keunggulan pegawai diberikan uang makan adalah pegawai bisa memilih sendiri ingin
menyantap makan apa dengan harga yang sesuai dengan daya beli masing-masing. Namun,
pemberian tunjangan uang makan ini harus diperhatikan aspek pajaknya. Dari sisi pajak,benefit
in cash bagi pegawai merupakan objek penghasilan dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal
21 bagi perusahaan dan merupakan deductible expense.
2. Diberikan dalam bentuk non-tunai (benefit in kinds).
Pemberian biaya makan pegawai dalam bentuk non-tunai dapat dikategorikan sebagai natura dan
kenikmatan, yang menurut UU PPh tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto,
dikecualikan penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai. Dari sisi perusahaan,
penyediaan makanan dan minuman bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan membeli dari
perusahaan katering atau membeli bahan makanan dan memasaknya sendiri di tempat kerja.
Ada kalanya tidak semua pegawai dapat menikmati makanan dan minuman yang disediakan di
tempat kerja karena alasan dinas luar. Dalam hal ini, perusahaan diperkenankan untuk
memberikan kupon atau voucher makan kepada pegawai yang bersangkutan dengan nilai kupon
yang wajar. Nilai kupon akan dianggap wajar apabila tidak melebihi pengeluaran penyediaan
makanan dan atau minuman tiap pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.

5. Mengelola Pemberian Uang Tip yang Dicatat dalam Biaya Entertaiment


Dalam menentukan apakah Biaya Pegawai boleh dibebankan sebagai biaya (DE) atau
tidak boleh dibebankan sebagai biaya (NDE), ketentuan umum yang harus kita perhatikan adalah
Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh (UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).

Beberapa Pengecualian
Selain Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, ada beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur
mengenai masalah DE dan NDE-nya Biaya Pegawai, di antaranya adalah:

1. Penyediaan Makan dan Minum –> Seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e
UU PPh, pemberian natura kepada pegawai dalam bentuk penyediaan makanan dan
minuman bagi pegawai merupakan biaya yang boleh dibebankan dalam SPT Tahunan
PPh perusahaan. Hal ini juga ditegaskan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor
83/PMK.03/2009. Ketentuan ini berlaku secara umum tanpa melihat apakah perusahaan
tersebut berada di daerah terpencil atau bukan di daerah terpencil. Artinya, jika
perusahaan memilih kebijakan untuk menyediakan makan siang untuk karyawan
(maupun makan malam bagi pegawai yang lembur) dari pada memberikan uang
tunjangan makan, maka Biaya Pegawai untuk penyediaan makanan dan minuman itu
boleh dibiayakan (DE).
2. Penyediaan Kendaraan dan HP Dinas –> Seperti ditegaskan dalam Keputusan Dirjen
Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 mengenai perlakuan PPh atas biaya pemakaian telepon
seluler dan kendaraan perusahaan, biaya sehubungan dengan kendaraan yang dimiliki
atau disewa oleh perusahaan dan dipergunakan oleh karyawan tertentu secara penguasaan
penuh (dibawa pulang), dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan hanya sebesar 50%
(dari biaya penyusutan atau biaya sewa kendaraan). Ketentuan ini berlaku umum untuk
seluruh Wajib Pajak. Selain itu, penetapan DE hanya 50% ini tidak hanya berlaku
terhadap biaya penyusutan atau biaya sewa kendaraan tetapi untuk seluruh biaya terkait
kendaraan dan HP dinas seperti biaya perbaikan, pemeliharaan, ganti oli, uang tol,
voucher isi ulang, dlsb.
3. Natura dan Kenikmatan di Daerah Terpencil –> Bagi perusahaan yang sudah
mendapat penetapan (SK) dari Menteri Keuangan sebagai Daerah Terpencil, Biaya
Pegawai yang diberikan dalam bentuk natura maupun kenikmatan tertentu dapat
dibiayakan (DE) seperti mess karyawan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, dlsb baik
yang disediakan untuk karyawan maupun keluarganya. Ketentuan ini dapat dilihat pada
Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
83/PMK.03/2009.
4. Premi Asuransi–> Bagi perusahaan yang mengikutsertakan pegawainya pada
programasuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, beasiswa dan asuransi dwiguna, dan
kemudian perusahaan juga menanggung sebagian premi asuransi tersebut, maka premi
asuransi yang ditanggung perusahaan (bukan yang dipotong dari gaji, lho) boleh
dibiayakan (DE). Meskipun uang preminya tidak diberikan ke pegawai melainkan
langsung diberikan kepada perusahaan asuransi, namun menurut Pasal 9 ayat (1) huruf d
UU PPh premi asuransi yang ditanggung perusahaan (pemberi kerja) itu DE. Ketentuan
ini juga berlaku terhadap program JK, JPK dan JKK yang ada di Jamsostek. Sebab
menurut SE-02/PJ.31/1996perlakuan terhadap ketiga program Jamsostek tersebut
dipesamakan dengan kelima program asuransi yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf d UU PPh.
5. Iuran Pensiun–> Sama seperti premi asuransi, Iuran Pensiun untuk pegawai yang
ditanggung oleh perusahaan dan dibayarkan kepada dana pensiun juga boleh dibiayakan
(DE) dengan syarat dana pensiun tersebut sudah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) huruf c UU
PPh. Begitupun dengan program JHT yang dibayarkan kepada Jamsostek (SE-
02/PJ.31/1996). Tetapi harap diingat, yang boleh dibiayakan perusahaan hanya sebesar
yang ditanggung oleh perusahaan dan bukan yang dipotong dari gaji karyawan.
6. Perusahaan Dikenakan PPh Final –> Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94
Tahun 2010, diatur beberapa ketentuan khusus mengenai DE dan NDE. Misalnya, bagi
perusahaan yang menurut ketentuan PPh dikenakan PPh Badan bersifat final, maka
apapun cara maupun bentuk Biaya Pegawai tersebut seluruhnya tidak boleh dibiayakan
(NDE). Ketentuan ini juga berlaku terhadap WP Badan yang penghasilannya ditetapkan
sebagainon taxable income (bukan objek PPh) seperti yayasan atau organisasi nirlaba
yang penghasilannya hanya berupa sumbangan atau donasi. Sedangkan perusahaan yang
menurut ketentuan PPh dikenakan PPh badan bersifat final antara lain: Perusahaan yang
bergerak di bidang usaha persewaan tanah maupun bangunan; Perusahaan yang bergerak
di bidang usaha jual-beli tanah maupun bangunan (developer atau pengembang
property); Perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi; Perusahaan yang
bergerak di bidang usaha pelayaran dalam negeri; BUT dari perusahaan pelayaran luar
negeri; Pemberi kerja WP orang pribadi yang penghitungan PPh-nya menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21
Prosedur yang perlu ditempuh untuk melakukan ekualisasi adalah :
a. Akun-akun yang merupakan obyek pph 21,khususnya yang terkait dengan pegawai
tetap,dikelompokkan dalam satu akun.
b. setiap transsaksi yang masih terkait dengan obyek pph pasal 21 diberi kode khusus pada
deskripsinya.ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT pph 21
pasal 21 masa desember dilaporkan ke kantor pajak.
c. PAda akhir tahun, seluruh obyek pajak PPH pasal 21 yang tersebar di akun-akun biaya
menurut buku besar dikumpulkam menjadi satu dan ditandingkan dengan pernghitungan pph
pasal 21 masa desember.
d. Jika masih terdapat selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai tetap,maka terliti akun
yang menampung iuran jamsostek dan pastikan bahwa iuran JHT tidak termsk dalam obyek pph
pasal 21.
e. Jika selisih disebabkan dari penghasilan selain pegawai tetap,maka teliti kelompok
penghasilan yang belum dipotong pajaknya.
Contoh proses ekualisasi biaya yang terkait dengan pph pasal 21
PT.XYZ adalah perusahaan pembiayaan dengan 2 cabang yang terdaftar di KPP B dan KPP
C.Kantor pusat terdaftar di KPP A. Tahun buku PT.XYZ sama denga tahun takwim.Pada awal
tahun 2013. Kantor pusat PT.XYZ diperiksa all taxes oleh KPP A atas tahun pajak 2012. Sebagai
tidak lanjut juga di periksa dimasing2 kantor cabang.Pemeriksaan oleh KPP diselesaikan tepat
waktu sebelum jangka waktu pemeriksa selesai.
Hasil temuan tax auditor sbb :
- Obyek PPH Pasal 21 menurut pemeriksa Rp.22.257.844.284
- Obyek PPH Pasal 21 menurut SPT PPH Pasal 21 Des Rp.18.000.000.000
--------------------------
Koreksi Rp.4.257.844.284

Sebagai koreksi atas obyek pph 21 yng dilaporkan di kantor pusat berdasarkan hasil ekualisasi
dengan biaya yang dilaporkan dalam laporan laba rugi komersial 2012

Pembebanan Biaya dalam Laporan Laba Rugi Komersial


No Uraian Jumlah (Rp)
1 Gaji & Upah 7,978,566,206
2 Lembur non-staf 644,252,755
3 Honor part-timer 37,067,959
4 THR dan bonus 1,322,590,100
5 Tunjangan PPh Pasal 21 1,547,500,000
6 Medical insurance 388,902,137
7 Jamsostek (JHT dan THT) 24,743,043
8 Iuran pensiun 279,619,164
9 Tunjangan lain-lain 419,237,466
10 Tunjangan transport 68,477,300
11 Komisi 9,546,888,154
Jumlah 22,257,844,284

Objek PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 21


- Penghasilan bruto pegawai tetap Rp 15.000.000.000
- Penghasilan bruto selain pegawai tetap Rp 3000.000.000
Jumlah Rp
18.000.000.000
Ekualisasi Ojek PPh pasal 21 dengan Biaya di SPT Tahunan PPh Badan Jumlah beban dalam
SPT Tahunan PPh Badan Rp 22.257.844.284
Dikurangi :
Pembayaran ke Jamsostek (JHT &
THT) Rp 24.743.043

i. Iuran pensiun 279.619.164


ii. Provisi atas imbalan pascakerja 75.000.000
iii. Pembayaran gaji honorer di bawah PTKP 37.067.959
iv. Objek PPh Pasal 21 yang dilaporkan di cabang

- KPP B 2.118.058.956
- KPP C 586.258.750
- Jumlah pengurangan Rp 4.120.747.872
Objek PPh Pasal 21 Kantor Pusat menurut hasil ekualisasi Rp 18.137.096.412
Objek PPh Pasal 21 menurut SPT PPh Pasal 21 18.000.000
Objek PPh Pasal 21 yang belum dipotong Rp 137.096.412

Anda mungkin juga menyukai