Anda di halaman 1dari 22

BAB III

STRATIGRAFI

3.1. Stratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Regional menurut A. Achdan dan D. Sudana (1992),

tersusun mulai dari yang tertua hingga termuda (Tabel 3.1) adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1
Kolom Stratigrafi Regional Daerah Karawang
(A. Achdan dan D. Sudana, 1992)
(Tanpa Skala)

21
3.1.1. Formasi Cibulakan

Formasi Cibulakan bagian bawah dicirikan oleh serpih karbonan berwarna coklat

keabu-abuan dengan sisipan batubara, kadang-kadang ditemukan lapisan konglomerat.

semakin kearah atas dari formasi, kandungan karbonat semakin banyak dan dijumpai

napal berwarna abu-abu, banyak mengandung glaukonit dengan sisipan batugamping.

Formasi Cibulakan bagian tengah terdiri dari batugamping berwarna kecoklatan,

umumnya padat dengan sisipan serpih dan batupasir tipis mengandung glaukonit.

Kemudian Formasi Cibulakan atas, terdiri dari batupasir gampingan selang seling napal

di bagian bawah dan berubah ke atas menjadi lempung. Bagian atas Formasi ini terdiri

dari napal berselingan dengan batugamping kadang-kadang dolomitan. Ketebalan

bervariasi dari satu tempat ketempat lainnya, umumnya menebal ke arah selatan.

Ketebalan keseluruhan Formasi ini mencapai 2141 meter menurut hasil pemboran di

Purwakarta (PWK 1) yang dilakukan oleh Pertamina. Kisaran umur dari Formasi ini

adalah Miosen Tengah (N9-N14). Mikrofosil yang muncul pada bagian bawah Formasi

Cibulakan antara lain Robulus sp. Cibicides fletcheri, Epinoides sp. Quenquelocina sp.

merupakan fosil bentonik yang hidup pada lingkungan transisi, lingkungan lagoon

maupun dataran pasang surut. Bagian tengah dan atas merupakan endapan neritik dengan

bukti kandungan fosil foram benthos Nonion sp, Robulus sp. dan Bulimina sp.

menunjukan lingkungan dengan kedalaman maksimal 200 m, batas bawah merupakan

kontak tidak selaras dengan Formasi Jatibarang yang bercirikan endapan gunung api, ciri

di lapangan sangat mudah di tandai dengan munculnya batugamping masif yang

merupakan bagian terbawah dari Formasi Parigi yang menutupinya.

3.1.2. Formasi Parigi

Nama Parigi untuk satuan batugamping di Jawa Barat, diambil dari literatur yang

dibuat oleh Perusahaan Minyak Bumi jauh sebelum Perang Dunia II, pengacu nama

22
pertama adalah Frei (1931), dalam penyelidikannya di daerah Tegalwaru, di mana bukit

Parigi berada.

Bagian bawah di daerah Parigi, berciri boundstone, kaya akan koral, ganggang,

dan foraminifera. Bagian atas gamping agak pasiran, berwarna putih abu-abu,

mengandung kuarsa, fragmen saling bersentuhan membentuk packstone.

Fosil foraminifera yang muncul pada Formasi Parigi antara lain, Alveolina quoyi

sp, Sphaerogypsina globulosa sp, Operculina sp, Lepidocyclina orientalis sp,

Quinqueloculina kirembatika sp, Elphidium sp, Pyrgo sp dan Cibicides sp, fosil-fosil

terakhirnya menunjukkan umur antara N14 – N16. Lingkungan pengendapan formasi ini

adalah berupa laut dangkal (Martodjojo, 1984).

3.1.3. Formasi Subang

Nama Subang di ambil dari kota kabupaten Subang, penemuan Formasi Subang

pertama kali di usulkan oleh Sudjatmiko (1972), Frei (1931) menamakannya sebagai

“Orde Tomo“ untuk lempung bawah “Tjilangkap series“ untuk lanau di tengah “Boven

Tomo series”, Kehrer (1932) menamakannya sebagai “Cidadap lagen“ sedangkan Van

Bemmelen (1940) menyebutkan sebagai “Formasi Cisubuh”.

Penyebaran Formasi Subang cukup luas, dan umumnya menempati tepi selatan

dari morfologi dataran pantai utara Jawa Barat, penyebarannya dari mulai Cibinong

sampai ke daerah Tomo, Kadipaten. Ketebalan pada Formasi ini bervariasi pada

beberapa tempat ketebalan berkisar antara 516 m hingga 800 m dengan lapisan yang

menebal ke arah timur.

Ciri litologi yang terdapat pada lapisan terbawah Formasi ini umumnya berupa

Napal abu - abu sering berlapis baik, kadang - kadang menyerpih, sedangkan kearah atas

berubah menjadi lempung, napal dengan sisipan pasir tipis. Bagian tengah Formasi

23
Subang di cirikan oleh lempung tidak berlapis, konkoidal dan kaya akan konkresi, dari

ukuran beberapa cm sampai lebih dari 1 m. Formasi Subang bagian atas di dominasi oleh

lempung, abu-abu kehijauan, lunak sampai getas pada bagian atas terdapat sisipan

batupasir. Batupasir ini bersifat tufaan, abu-abu berbutir halus, mengandung glaukonit

kadang - kadang membentuk struktur silang-siur kecil.

Fosil penunjuk dari Formasi Subang, berupa fosil plankton yaitu: Globorotalia

tumida, Globorotalia lenguangensis, Globorotalia pleisiotumida, yang menunjukan

umur N17 atau Miosen Akhir. Fosil bentos yang di temukan pada Formasi Subang

bagian bawah antara lain : Nodosaria sp, Bolivina sp dan bagian atas ditemukan Rotalia

becarii sp yang menunjukan lingkungan pengendapan air payau atau transisi. Formasi

Subang memiliki kontak berangsur dengan gamping Formasi Parigi bagian bawahnya,

berubah menjadi gamping napalan yang akhirnya menjadi napal menyerpih Formasi

Subang. Ciri batas atas kadang - kadang sulit ditentukan, Formasi Kaliwangu umumnya

terdiri dari pasir dan lempung sedangkan Formasi Subang atas bersifat pasiran sehingga

pada beberapa tempat sulit untuk di tentukan batasnya. namun adanya lempung tidak

bereaksi dengan HCL, serta munculnya sisipan batubara dapat dipakai sebagai tanda

mulainya Formasi Kaliwangu.

3.1.4. Formasi Kaliwangu

Formasi Kaliwangu merupakan satu - satunya Formasi yang menutupi dua

mandala pengendapan yang ada sebelumnya, yakni mandala sedimentasi paparan utara di

utara dan cekungan bogor di selatan.

Ketebalan satuan ini dari hasil pengukuran Hirnawan (1971), ternyata

memberikan angka yang berlain - lainan dari satu tempat ke tempat lainnya. Di daerah S.

Cibeet (karawang) tebalnya 470 m, P. Kaliwangun (Karawang) 430 m, S. Cigaru

(Subang) 690 m, Citalaga (Cisaar, Subang) 490 m, Cibayawak (Ujung jaya) 490 m,
24
Cisaar (Tomo) 720 m, sedangkan di daerah Cirebon mencapai ketebalan antara 800 -

1000 m (Harloff, 1936).

Formasi Kaliwangu di cirikan oleh Batupasir tufaan, Konglomerat, Batulempung

yang kaya Molluska dan kadang - kadang Batupasir gampingan dan Batugamping. Selain

itu juga di endapkan lapisan - lapisan tipis gambut (peat) dan lignit yang di endapkan

selaras dengan Formasi Subang yang ada di bawahnya.

Formasi Kaliwangu dibedakan terhadap Formasi Subang di bawahnya karena

kandungan pasir dan kadang - kadang konglomerat, oleh karena itu ciri batas di lapangan

dapat di kenal dari urutan lempung hitam pada Formasi Subang, berubah menjadi

lempung yang kaya akan sisipan pasir pada Formasi Kaliwangun.

3.1.5. Formasi Tambakan

Tambakan adalah nama desa di Subang, dimana ditemukan juga bukit yang

bernama Pasir Tambakan. nama ini di pakai oleh Van Bemmelen (1940) untuk penamaan

satuan breksi yang dahulu disebut juga “Breccia Formatie“ (Koolhoven,1934) dan

“Tambakan Lagen” (Harloff,1945). Nama Tambakan dibakukan sebagai “Formasi

Tambakan“ oleh Koesoemadinata (1963), tetapi Silitonga (1974) dan Djuri (1973)

menamakan satuan ini hanya sebagai “Endapan Gunungapi Tua“.

Penyebaran Formasi Tambakan berkaitan dengan kompleks pegunungan Sunda

(Burangrang, Tangkuban Perahu), dimana ke arah timur yaitu di Majalengka Formasi ini

sudah tidak ditemukan lagi, ketebalannya berubah - ubah umumnya sekitar 470 m dan

menipis di sebelah timur. Ciri litologi pada Formasi ini terdiri atas breksi vukanik,

kompak dengan dengan komposisi andesit dengan ukuran dari butiran hingga bongkah

dengan masa dasar Tufa pasiran.

25
Formasi Tambakan ini menurut Koenigswald (1935), berkisar Pliestosen Awal

dan diendapkan pada lingkungan darat, hubungan stratigrafi Formasi ini tidak selaras

dengan Formasi Subang dan Formasi Kaliwangu.

3.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan, pengukuran serta ciri - ciri litologi batuan yang

tersingkap di lapangan, maka satuan batuan di daerah penelitian dibedakan menjadi 4

(empat) satuan batuan, dimulai dari yang tua ke muda (Tabel 3.2), yaitu :

1. Satuan Batuan Napal

2. Satuan Batuan Batugamping Sisipan Napal

3. Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir

4. Satuan Endapan Aluvial

Tabel 3.2. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian (Tanpa Skala)

26
3.2.1. Satuan Batuan Napal

3.2.1.1. Penamaan

Penamaan satuan stratigrafi Satuan Batuan Napal ini didasarkan pada data

pengamatan lapangan yang dilakukan sepanjang lintasan pengamatan di sungai-sungai

Cibenda dan Cisubah dimana batuan yang tersingkap di sungai-sungai tersebut berupa

Napal.

3.2.1.2. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batuan ini menempati luas sekitar 10% luas daerah penelitian, pada peta

geologi diwakili warna hijau dengan penyebaran di bagian timur daerah penelitian,

meliputi Desa Cisubah dan Desa Cibulakan. Kedudukan lapisan satuan batuan ini pada

umumnya memiliki jurus yang berarah N110°E – N120°E dengan kemiringan 20° - 36°.

Berdasarkan hasil rekonstruksi penampang pada peta geologi, satuan batuan ini memiliki

ketebalan lebih dari 525 m.

3.2.1.3. Ciri Litologi

Secara megaskopis napal berwarna abu-abu kecokelatan, ukuran butir lempung,

bersifat lunak sampai keras, menyerpih, dengan ketebalan 30-70cm, , dengan komposisi

mineral berupa mineral lempung 60% dan karbonat ±30%. Di lapangan, penentuan dan

pengujian napal ditentukan berdasarkan pada perbandingan mineral lempung dan mineral

karbonat dengan cara memberikan larutan HCl pada napal dan melihat seberapa banyak

sisa batuan setelah di tetesi oleh larutan HCl. Pada umumnya satuan batuan ini pada

daerah penelitian tersingkap dalam kondisi segar dan agak lapuk. Di bawah ini hasil uji

lab komposisi kimia pada napal:

27
SAMPEL SiO2 Na2O K2O Fe2O3 CaO MgO Al2O3 TiO2 H2O
N6-06 50.853% 0.177% 6.425% 0.707% 17.965% 0.24% 17.011% 3.783% 0.459%
A3-02 44.179% 0.125% 5.47% 0.937% 31.959% 0.226% 12.511% 2.729% 0.397%
A3-03 36.024% 0.124% 4.531% 0.252% 39.848% 0.271% 13.538% 2.606% 0.359%
N5-08 42.285% 0.131% 4.909% 0.624% 31.997% 0.196% 14.163% 3.055% 0.357%
Tabel 3.3. Persentase kandungan kimia pada Napal

Foto 3.1. Singkapan napal foto diambil di lokasi A3-03 sungai Cibulakan.

Foto 3.2. Singkapan napal foto diambil di lokasi A6-06 sungai Cibulakan.

3.2.1.4. Umur

Penentuan umur satuan batuan ini didasarkan pada sampel yang diambil pada

lokasi pengamatan N3-06 dan A4-11 di Sungai Cisubah dan Sungai Cibulakan yang

masing-masing mewakili bagian bawah dan bagian atas satuan. Hasil analisis persebaran

fosil foraminifera plantonik pada mikroskop binokuler untuk setiap sampel batuan

kemudian di-plot pada tabel Zonasi Blow (1969) sebagaimana terlihat pada Tabel 3.3

dan Tabel 3.4 dibawah.

28
Tabel 3.4. Kisaran umur fosil planktonik bagian atas pada lokasi pengamatan N3-06 di
Sungai Cisubah (Zonasi Blow, 1969).

Tabel 3.5. Kisaran umur fosil planktonik bagian bawah pada lokasi pengamatan A4-11
di Sungai Cibulakan (Zonasi Blow, 1969).

Berdasarkan penyebaran foraminifera plankton pada bagian atas didapat kisaran

umur N12─N15 pada N3-06, berdasarkan awal kemunculan fosil Globorotalia menardii

(D`Orbigny) dan berakhirnya Globorotalia mayeri. Pada bagian bawah A4-11 didapat

kisaran umur N12 - N15 berdasarkan atas punahnya fosil Globorotalia mayeri dan awal

kemunculan fosil Globorotalia menardii (D`Orbigny). Dengan demikian kisaran umur

Satuan Batuan Napal adalah N12 - N15 atau pada kala Miosen Tengah - Miosen Akhir.

3.2.1.5. Lingkungan Pengendapan

Untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan batuan ini, ditentukan

berdasarkan keterdapatan foraminifera bentos. Berdasarkan hasil analisis foraminifera

bentos yang terdapat pada lokasi pengamatan di Sungai Cibulakan, yaitu pada napal

lokasi pengamatan N3-06 yang mewakili bagian atas satuan batuan, napal lokasi

pengamatan A4-11 yang mewakili bagian bawah satuan batuan ini.

29
Tabel 3.6. Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan fosil bentos bagian atas N3-06
dan bawah A4-11 pada lokasi pengamatan di Sungai Cisubah dan Cibulakan
(Phleger, 1954).

Berdasarkan klasifikasi lingkungan pengendapan menurut Phleger (1954),

analisis fosil foraminifera bentos menghasilkan lingkungan pengendapan neritik

tengah─neritik luar (20 - 200 m).

3.2.1.6. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara Satuan Batuan Napal dengan satuan batuan yang

berada di bawahnya tidak dijumpai di lapangan, tetapi hubungan stratigrafi dengan

satuan batuan yang ada di atasnya yaitu Satuan Batuan Batugamping Sisipan Napal pada

N14-N15 adalah menjemari dicirikan dengan perlapisan batuan yang secara lateral

mengalami perubahan litologi.

3.2.1.7. Kesebandingan Stratigrafi

Bersdasarkan ciri litologi dan umur serta lingkungan pengendapan Satuan Batuan

Napal di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Cibulakan ( Soejono

Martodjojo,1984 ), dengan demikian penulis menyatakan satuan ini sebagai Formasi

Cibulakan.

30
3.2.2. Satuan Batuan Batugamping Sisipan Napal

3.2.2.1. Penamaan

Penamaan satuan stratigrafi Satuan batuan batugamping sisipan napal ini

didasarkan pada data pengamatan lapangan yang dilakukan sepanjang lintasan

pengamatan di sungai-sungai Citalahab, Cikereteg, Cisubah dimana batuan yang

tersingkap di sungai-sungai tersebut berupa batugamping sebagai penyusun utama dan

napal sebagai sisispan.

3.2.3.2. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batuan ini menempati luas sekitar 38% luas daerah penelitian, pada peta

geologi diwakili warna biru dengan penyebaran di bagian barat sampai timur daerah

penelitian, meliputi Desa Cijaleka, Desa Ciguha, Desa Ciburial dan Desa Tamansari.

Kedudukan lapisan satuan batuan ini pada umumnya memiliki jurus yang berarah N80°E

– N950°E dengan kemiringan 35°─55°. Kedudukan ini membentuk lipatan antiklin.

Berdasarkan hasil rekonstruksi penampang pada peta geologi, satuan batuan ini memiliki

ketebalan lebih dari 675 m.

3.2.2.3. Ciri Litologi

Pada umumnya satuan batuan ini pada daerah penelitian tersingkap dalam kondisi

segar dan agak lapuk.

Batugamping berwarna putih kecokelatan, konstitusi utama fosil foram, ukuran

butir pasir sedang-halus, membulat tanggung sampai menyudut tanggung, pemilahan

buruk, kemas terbuka, karbonatan, masif, sangat keras mengandung fosil foraminifera

besar dan fragmen moluska. Berdasarkan analisis petrografi dari conto batuan yang

diambil pada lokasi pengamatan A6-02 dan A2-15 diperoleh nama batuan Packstone

(Dunham, 1962) (lihat Lampiran Petrografi).

31
Napal Secara megaskopis batunapal berwarna abu-abu kecokelatan, ukuran butir

lempung, bersifat lunak sampai keras, menyerpih, dengan ketebalan sisipan 15-30cm, ,

dengan komposisi mineral berupa mineral lempung 60% dan karbonat ±30%. Di

lapangan, penentuan dan pengujian napal ditentukan berdasarkan pada perbandingan

mineral lempung dan mineral karbonat dengan cara memberikan larutan HCl pada napal

dan melihat seberapa banyak sisa batuan setelah di tetesi oleh larutan HCl.

Foto 3.3. Singkapan batugamping foto diambil di lokasi N5-06 di pinggir jalan Desa
Ciguha.

Foto 3.4. Batugamping foto diambil di lokasi N5-06 di pinggir jalan Desa Ciguha.

32
Foto 3.5. Batugamping sisipan Napal foto diambil di lokasi A4-06 di Sungai Citalahab

3.2.2.4. Umur

Penentuan umur satuan batuan ini didasarkan pada sampel yang diambil pada

lokasi pengamatan A6-02 dan A2-15 di Sungai Citalahab dan Sungai Cisubah yang

masing-masing mewakili bagian bawah dan bagian atas satuan. Hasil analisis persebaran

fosil foraminifera plantonik pada mikroskop binokuler untuk setiap sampel batuan

kemudian di-plot pada tabel Zonasi Blow (1969) sebagaimana terlihat pada Tabel 3.6

dan Tabel 3.7 dibawah.

Tabel 3.7. Kisaran umur fosil planktonik bagian atas pada lokasi pengamatan A6-02 di
Sungai Citalahab (Zonasi Blow, 1969).

33
Tabel 3.8. Kisaran umur fosil planktonik bagian bawah pada lokasi pengamatan A2-15
di Sungai Cisubah (Zonasi Blow, 1969).

Berdasarkan penyebaran foraminifera plankton pada bagian atas didapat kisaran

umur N14─N16 pada A6-02, berdasarkan awal kemunculan fosil Globorotalia

pseudomiocenica dan berakhirnya Globigerina praebulloides. Pada bagian bawah A2-

15 didapat kisaran umur N14 berdasarkan atas awal kemunculan fosil Globigeriona

nepenthes (Todd) dan punahnya fosil Globorotalia continousa (Blow). Dengan

demikian kisaran umur Satuan Batuan Batugamping sisipan Napal adalah N14─N16 atau

pada kala Miosen Akhir.

3.2.2.5. Lingkungan Pengendapan

Untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan batuan ini, ditentukan

berdasarkan keterdapatan foraminifera bentos. Berdasarkan hasil analisis foraminifera

bentos yang terdapat pada lokasi pengamatan di Sungai Citalahab, yaitu pada

batugamping lokasi pengamatan A6-02 yang mewakili bagian atas satuan batuan,

batugamping lokasi pengamatan A2-15 yang mewakili bagian bawah satuan batuan ini.

34
Tabel 3.9. Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan fosil bentos bagian atas A6-02
dan bawah A2-15 pada lokasi pengamatan di Sungai Citalahab dan Cisubah
(Phleger, 1954).

Berdasarkan klasifikasi lingkungan pengendapan menurut Phleger (1954),

analisis fosil foraminifera bentos menghasilkan lingkungan pengendapan neritik tengah

(20 - 100 m).

3.2.2.6. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara Satuan Batuan Batugamping Sisipan Napal dengan

satuan batuan yang berada di bawahnya yaitu Satuan Batuan Napal pada N14-N15

adalah menjemari di lapangan, tetapi hubungan stratigrafi dengan satuan batuan yang ada

di atasnya yaitu Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir adalah Selaras, hal ini

dicirikan dengan adanya kemenerusan umur yang continyu, serta dibuktikan pada data

yang dijumpai di lapangan berupa kedudukan jurus dan kemiringan lapisan batuan yang

relatif sama.

3.2.2.7. Kesebandingan Stratigrafi

Bersdasarkan ciri litologi dan umur serta lingkungan pengendapan Satuan Batuan

Batugamping Sisispan Napal di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi

Parigi ( Soejono Martodjojo,1984 ), dengan demikian penulis menyatakan satuan ini

sebagai Formasi Parigi.

35
3.2.3. Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir

3.2.3.1. Penamaan

Penamaan satuan stratigrafi Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir ini

didasarkan pada data pengamatan lapangan yang dilakukan sepanjang lintasan

pengamatan di sungai-sungai Cikereteg Cibenda, Citalahab, dimana batuan yang

tersingkap di sungai-sungai tersebut berupa batulempung sebagai penyusun utama dan

batupasir sebagai sisispan.

3.2.3.2. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batuan ini menempati luas sekitar 47% luas daerah penelitian, pada peta

geologi diwarnai warna kuning dengan penyebaran di bagian utara dan sekatan daerah

penelitian, meliputi Desa Cipeundeuy, Desa Tegalsil, Desa Babakankopo Desa Cipaksa,

Desa Cihambulu, Desa Tamanmekar, Desa Surupan, Desa Kampungbaru, Desa

Ciptasari, Desa Cikamuning, Desa Cibuluh, Desa Cibarengkok, Desa Jungkur, Desa

Kopi, Desa Cidita, dan Desa Cinaga. Kedudukan lapisan satuan batuan ini pada

umumnya memiliki jurus yang berarah N85°E – N110°E dengan kemiringan 15°─46°.

Berdasarkan hasil rekonstruksi penampang pada peta geologi, satuan batuan ini memiliki

ketebalan lebih dari 600 m.

3.2.3.3. Ciri Litologi

Pada umumnya satuan batuan ini pada daerah penelitian tersingkap dalam kondisi

segar dan agak lapuk.

Batulempung berwarna coklat keabuan, ukuran butir lempung, tidak karbonat.

Batupasir berwarna coklat, ukuran butir pasir halus, bentuk butir

menyudut─membulat tanggung, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas buruk, tidak

karbonat, Bagian atas dicirikan oleh batulempung tebal lapisan berkisar 30cm batupasir

36
berkisar 40cm. Berdasarkan analisis petrografi dari conto batuan yang diambil pada

lokasi pengamatan A4-01 sungai Citalahab diperoleh nama batuan Arkose Wacke

(Dunham, 1962) (lihat Lampiran Petrografi).

Foto 3.6. Singkapan Batulempung sisipan Batupasir foto diambil di lokasi N1-01 di
Sungai Citalahab.

Foto 3.7. Singkapan Batulempung foto diambil di lokasi A1-03 di Sungai Cikereteg.

3.2.3.4. Umur

Penentuan umur satuan batuan ini didasarkan pada sampel yang diambil pada

lokasi pengamatan A6-01 dan N1-05 di Sungai Cibulakan dan Sungai Citalahab yang

masing-masing mewakili bagian bawah dan bagian atas satuan. Hasil analisis persebaran

37
fosil foraminifera plantonik pada mikroskop binokuler untuk setiap sampel batuan

kemudian di-plot pada tabel Zonasi Blow (1969) sebagaimana terlihat pada Tabel 3.4

dibawah.

Tabel 3.10. Kisaran umur fosil planktonik bagian atas pada lokasi pengamatan A6-01 di
Sungai Cibulakan (Zonasi Blow, 1969).

Tabel 3.11. Kisaran umur fosil planktonik bagian bawah pada lokasi pengamatan N1-05
di Sungai Citalahab (Zonasi Blow, 1969).

Berdasarkan penyebaran foraminifera plankton pada bagian atas didapat kisaran

umur N18─N19 pada A6-01, berdasarkan awal kemunculan fosil Globorotalia tumida

(Brady) dan berakhirnya Sphaeroidinella subdehiscens (Blow). Pada bagian bawah N1-

05 didapat kisaran umur N17 - N19 berdasarkan atas terdapatnya fosil indeks yaitu fosil

Globorotalia merotumida. Dengan demikian kisaran umur Satuan Batuan Batulempung

Sisispan Batupasir dan adalah N17 - N19 atau pada Miosen Akhir─Pliosen.

38
3.2.3.5. Lingkungan Pengendapan

Untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan batuan ini, ditentukan

berdasarkan keterdapatan foraminifera bentos. Berdasarkan hasil analisis foraminifera

bentos yang terdapat pada lokasi pengamatan di Sungai Cibulakan, yaitu pada

batulempung lokasi pengamatan A6-01 yang mewakili bagian atas satuan batuan,

batulempung lokasi pengamatan N1-05 yang mewakili bagian bawah satuan batuan ini.

Tabel 3.12. Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan fosil bentos bagian atas A6-01
dan bawah N1-05 pada lokasi pengamatan di Sungai Cibulakan dan
Citalahab (Phleger, 1954).

Berdasarkan klasifikasi lingkungan pengendapan menurut Phleger (1954),

analisis fosil foraminifera bentos menghasilkan lingkungan pengendapan neritik luar

(100 - 200 m).

3.2.3.6. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir

dengan satuan batuan yang berada di bawahnya yaitu Satuan Batuan Batugamping

Sisipan Napal adalah selaras, ini dicirikan dengan adanya kemenerusan umur yang

continyu, serta dibuktikan pada data yang dijumpai di lapangan berupa kedudukan jurus

dan kemiringan lapisan batuan yang relatif sama. Tetapi hubungan stratigrafi dengan

39
satuan batuan yang ada di atasnya adalah tidak selaras, karena tidak dijumpai di

lapangan.

3.2.3.7. Kesebandingan Stratigrafi

Bersdasarkan ciri litologi dan umur serta lingkungan pengendapan Satuan Batuan

Batulempung Sisipan Batupasir di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan

Formasi Subang ( Soejono Martodjojo,1984 ), dengan demikian penulis menyatakan

satuan ini sebagai Formasi Subang.

3.2.4. Satuan Endapan Aluvial

3.2.4.1. Penamaan

Pada daerah penelitian penamaan satuan ini didasarkan pada material aluvial

sungai yang bersifat lepas berukuran lempung sampai kerakal.

3.2.4.2. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan aluvial pada peta geologi diwakili oleh warna abu – abu, menempati

sekitar 5 % dari luas daerah penelitian. Penyebarannya disepanjang bagian hilir sungai

Cikereteg, Cibenda dan Citalahab pada daerah penelitian. Ketebalan satuan ini

berdasarkan pengamatan di lapangan memiliki ketebalan antara 0.5 - 5 m.

3.2.4.3. Ciri Litologi

Satuan endapan ini disusun oleh material aluvial sungai yang bersifat lepas

berukuran lempung sampai kerakal, satuan ini diisi oleh pecahan dari batugamping,

napal, batulempung dan batupasir. Merupakan endapan hasil transportasi oleh sungai.

Satuan ini menutupi satuan batuan yang ada dibawahnya.

40
Foto 3.8. Endapan Aluvial sungai, foto diambil di lokasi N6-01 di Sungai Cikereteg

3.2.4.4. Umur

Berdasarkan pengamatan di lapangan, bahwa proses erosi, transportasi dan

sedimentasi pada satuan ini masih terus berlangsung sampai saat ini.

3.2.4.5. Hubungan Stratigrafi

Hubungan satuan endapan ini dengan satuan batuan di bawahnya tidak selaras,

dikarenakan proses erosi, sedimentasi masih berlangsung sampai sekarang.

3.3. Kesebandingan Stratigrafi Daerah Penelitian dengan Peneliti Terdahulu

Berdasarkan dari pengelompokkan satuan batuan maka dapat dibuat

kesebandingan kolom stratigrafi daerah penelitian dengan peneliti terdahulu atau

sebelumnya.Table

41
Tabel 3.13. Kolom kesebandingan stratigrafi regional menurut (Soejono Martodjojo,
1984), dengan stratigrafi daerah penelitian.

42

Anda mungkin juga menyukai