Disusun oleh
Nuryani
Tri Murni
Afifatunnisa
Haryanta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan
pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara. Dalam penyelenggaraan
pendidikan di setiap lembaga pendidikan tidak akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang
dibuat oleh pemerintahan dalam negera tempat lembaga pendidikan itu ada.
Di Indonesia,
yang merupakan negara hukum juga menitikberatkan sektor pendidikan sebagai wahana
untuk memajukan negaranya. Bagaimana tidak? Kebijakan demi kebijakan dibongkar pasang
untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang optimal, meski realitanya masih jauh dari
harapan.
Dimulai dari kebijakan pengalokasian 20% APBN untuk anggaran pendidikan yang
sampai saat ini masih belum 100% terlaksana, hingga kurikulum yang berubah-ubah.
Inkonsistensi pemerintah dalam memutuskan kebijakan pendidikan sering menimbulkan tanda
tanya dan kontroversi di masyarakat dan dunia pendidikan.
Tuntutan paling mendesak dalam memacu pembangunan pendidikan yang bermutu dan
relevan ialah peningkatan kemampuan dalam melakukan analisis kebijakan. Para analisis
kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai isu-isu pendidikan
yang relevan baik isu pendidikan secara internal maupun isu-isu pendidikan dalam kaitannya
secara lintas sektoral.
Dalam makalah kami ini, kami hendak memaparkan analisis kebijakan pendidikan di
Indonesia berikut permasalahan-permasalahan kebijakan pendidikan yang masih
menjadi trending topic di dunia pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari analisis kebijakan pendidikan?
2. Siapakah aktor analisis kebijakan pendidikan itu?
3. Seperti apakah ruang lingkup analisis kebijakan pendidikan?
4. Pendekatan seperti apa yang digunakan untuk melakukan analisis kebijakan?
5. Bagaimanakah metode analisis kebijakan pendidikan?
6. Permasalahan seperti apa saja yang dihadapi Indonesia terkait mengenai kebijakan
pendidikan
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian dan hakikat analisis kebijakan pendidikan
2. Mengetahui aktor analisis kebijakan pendidikan.
3. Mengetahui ruang lingkup analisis kebijakan pendidikan.
4. Mengetahui pendekatan apa saja yang digunakan untuk melakukan analisis kebijakan
pendidikan
5. Mengetahui metode analisis kebijakan pendidikan.
6. Mengetahui permasalahan-permasalahan dalam kebijakan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur berpikir yang sudah lama dikenal dan
dilakukan dalam sejarah manusia, paling tidak sejak manusia mampu melahirkan dan
memelihara pengetahuan dalam kaitannya dengan tindakan.
Beberapa ahli memiliki pengertian yang berbeda dalam mengartikan analisis kebijakan,
diantaranya:
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia analisis adalah (1) penyelidikan thd suatu peristiwa
(karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk
perkaranya, dsb); (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian
itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman
arti keseluruhan[1]
2. Dunn : mengungkapkan bahwa analisis kebijakan adalah suatu prosedur untuk menghasilkan
informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut tindakan pemecahannya[2].
3. Patton : analisis kebijakan adalah suatu rangkaian proses dalam menghasilkan kebijakan.
4. Duncan MacRae : analisis kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan,
menilai, dan membuahkan pikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik.
5. Stokey dan Zekhauser : analisis kebijakan sebagai suatu proses rasional dengan
menggunakan metode dan teknik rasional.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita tarik pengertian yang lebih rinci bahwa
analisis kebijakan merupakan cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia
terhadap dan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Jadi analisis kebijakan
pendidikan merupakan cara memecahkan masalah yang ada dalam kebijakan-kebijakan
tentang pendidikan menggunakan pemahaman yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
B. Aktor Analisis Kebijakan Pendidikan
Sejak berdirinya badan penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada permulaan tahun 1970-an, berbagai bentuk kegiatan
penelitian, penilaian, dan pengembangan pendidikan telah banyak dilakukan untuk menunjang
proses pembuatan keputusan. Badan ini terus berkembang dengan pesat, khususnya dalam
memberikan masukan pemikiran terhadap proses pembangunan pendidikan yang telah
direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis sejak Repelita I. Badan ini terus berperan
dalam melahirkan berbagai gagasan pembaharuan pendidikan sehingga proses pembangunan
pendidikan telah melewati masa-masa yang penuh tantangan.[3]
Para analisis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai
teknik-teknik penelitian dan pengembangan tetapi juga dituntut untuk menguasai isu-isu
pendidikan yang relevan baik isu pendidikan secara internal maupun isu-isu pendidikan dalam
kaitannya secara lintas sektoral.
Isu-isu pendidikan secara nternal akan meliputi sistem pendidikan berikut komponen-
komponennya yang integral, seperti pendidikan dasar (berfungsi menanamkan kemampuan
dasar), pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan profesional, pendidikan luar
sekolah, serta komponen-komponen penunjang sisitem pendidikan.
Isu-isu pendidikan secara eksternal, yang juga sangat penting untuk terus dikaji oleh
para analisis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang integral antar pendidikan dengan
kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, ketenagakerjaan,
lingkungan hidup, serta kehidupan sosial budaya.
Dalam kaitannya dengan hal-hal di atas suatu lembaga penelitian dan pengembangan
pendidikan perlu mencurahkan perhatiannya untuk memenuhi tantangan yang dimaksudkan.
Kemampuan lembaga penelitian dan pengembangan dalam melaksanakan analisis kebijakan
tidak hanya dituntut untuk menghasilkan gagasan-gagasan pembaharuan berdasarkan isu-isu
yang realistis dan sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi yang sama pentingnya ialah
kemampuan dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang dihasilkan tersebut agar benar-
benar terwujud dalam bentuk kebijakan pemerintah yang dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Dalam sejarahnya, badan ini terus meningkatkan fungsinya sebagai badan pembaru
sistem pendidikan nasional. Dari periode Repelita I berikutnya, pergeseran fungsi badan ini
semakin terasa terutama dalam menjalankan fungsinya mempersiapkan bahan kebijakan
jangkah menengah dan jangka panjang.
Di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, proses pengambilan
kebijakan public telah diatur baik oleh Undang-undang No. 2 Tahun 1989, Peraturan
Pemerintah maupun kebijakan Depdikbud itu sendiri. tentang proses pelaksanaan analisis
kebijakan sebagai suatu sistem telah diungkapkan secara sistematis oleh Penelaah sektor
Pendidikan, yang dilaksanakan oleh Balitbang—Depdikbud bekerjasama dengan proyek
IEES (Improving the Efficency System Project) pada tahun 1986.
Salah satu lembaga penelitian yang melakukan analisis kebijakan pendidikan yakni
Smeru. Smeru adalah sebuah lembaga penelitian independen yang melakukan penelitian dan
pengkajian kebijakan publik secara profesional dan proaktif, serta menyediakan informasi
akurat, tepat waktu, dengan analisis yang objektif mengenai berbagai masalah sosial-ekonomi
dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.[4]
b. Diversifikasi Pendidikan
Jenis pendidikan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah,
meskipun masih tetap berada dalam naungan pendidikan umum dan pendidikan kejuruan.
Macam prrogram pendidikan lebih lanjut dari pendidikan umum dan pendidikan kejuruan itu
diselenggarakan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Selain diversifikasi dalam
jenis pendidikan dapat diberlakukan pada kurikulum, penyelenggaraan pendidikan, cara
pembelajaran, dan pemanfaatan sumber belajar.
Kurikulum yang terbaik diberlakukan pada daerah tertentu selain kurikulum yang dianggap
memiliki perekat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat ditentukan oleh masing-
masing bahkan oleh sekolah. Yang penting kurikulum itu memiliki muatan tuntutan sesuai
dengan kebutuhan anak, kebutuhan orang tua dan kebutuhan masyarakat lokal maupun
masyarakat global.[8]
Penyelenggaraan penddikan menjadi bagian terpenting untuk diotonomikan,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak baik budaya, sosial, dan psikologi mereka, serta
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dan lingkungan nyata anak masing-masing.
Untuk itu otonomi daerah jangan hanya sekedar diwujudkan sebagai pengalihan
kekuasaan pusat ke daerah, akan tetapi harus mencerminkan kehidupan demokrasi bangsa yang
terwujud dalam penyelenggaraan pendidikan nasional kita sebagai bangsa yang merdeka.
Berdasarkan pertimbangan itu maka otonomi penyelenggaraan pendidikan yang diwujudkan
dalam “School Based Management” (SBM).
Di negara kita SBM jangan diartikan sebagai otonomi dalam pengelolaan dana, karena
kehidupan rakyat bangsa kita masih berada di bawah garis ambang ekonomi normal. Tekanan
utama SBM adalah pemberian otonomi dalam penyelenggaraan akademik setiap lembaga
pendidikan di negara kita. Pendidikan yang mendasarkan pada SBM memberi peluang anak-
anak kita terlatih hidup kontektual sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing anak.[9]
Pendidikan yang kontekstual itu menuntut adanya proses pembelajaran yang
berorientasi kepada“Community Based Education”(CBE) yang menggunakan kenyataan
hidup masyarakat sebagai pengalaman belajar mereka. Pendidikan kontekstual memerlukan
dukungan kemerdekaan memafaatkan lingkungan anak masing-masing menjadi sumber belajar
dan cara pembelajarannya. Oleh karena itu “juklak” dan “juknis” yang bersifat uniform
diberlakukan bagi semua lingkungan yang berbeda jelas tidak menguntungkan.
c. Orientasi Pembelajaran
Orientasi pembelajaran juga harus diubah dari pendekatan “tekstual” ke arah
pendekatan “faktual”. Pembelajaran yang berorientasi “tekstual” hanya menghasilkan
manusia-manusia penghafal dan hanya menghasilkan manusia-manusia penjiplak ilmu dan
teknologi yang meniadakan kreativitas. Pembelajaran yang berorientasi faktual membimbing
anak-anak kita terlatih bergaul dengan kenyataan kontekstual dengan lingkungan hidup
mereka, dengan demikian mereka mampu mendeteksi unsur-unsurnya, mampu
mengonseptualisasikan makna dari kenyataan itu, dan di sinilah mereka memperoleh
kemampuan dan pengetahuan dar hasil kegiatannya sendiri.
Terkait dengan masalah pembelajaran ini, UNESCO telah merumuskan empat pilar
belajar, yakni : learning to know, learning to to do, learning together, and learning to be yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam menerapkan aktivitas pembelajaran siswa. Di negara kita
di antara empat pilar belajar itu yang kita laksanakan baru “learning to know” . Hal ini karena
bangsa kita kliru dalam menyikapi ilmu dan teknologi. Kita menempatkan diri menjadi
konsumen ilmu dan teknologi dari produsen dengan sistem pembelajaran delivery
sistems bukandiscovery dan inquiry. Sehingga membuat pemahaman terhadap ilmu bagi
bangsa kita adalah ilmu-ilmu masa lampau dengan memperbesar dominasi kekuatan hafalan,
bukan kreativitas. Padahal hafalan hanya didukung IQ yang hanya mendukung keberhasilan
nilai, sedangkan keberhasilan hidup di masyarakat sangat ditentukan oleh CQ, EI, dan AQ yang
menuntut anak-anak kita memerlukan sosialisasi dengan dunia kehidupan nyata. Oleh karena
itu otonomi daerah diharapkan mampu mereformasikan kegiatan pembelajaran yang satu arah
menjadi sistem pembelajaran yang banyak arah dengan lebih memerdekakan penyelenggara
dan pelaku pendidikan.
d. Ukuran keberhasilan belajar
Hasil belajar yang diukur dengan satu alat ukur seperti sekarang ini hanya akan
menghasilkan ukuran semu. Ukuran hasil belajar yang realistik adalah yang didasarkan kepada
apa yang benar-benar dipelajari anak melalui pikiran, pengindraan, konseptualisasi dan
kesimpulan sendiri yang dapat disajikan dalam bentuk dokumen karya siswa dan dijadikan
kumpulan hasil evaluasi kemajuan anak.
Ukuran keberhasilan pendidikan seharusnya tidak hanya ditentukan oleh kualitas “out
put” akan tetapi harus diukur dari kualitas“out come” yakni keberhasilan anak-anak kita dalam
meraih kehidupan nyata berdasarkan tingkat pendidikan mereka. Bila diperhatikan sekarang
ini maka “out come” hasil pendidikan kita hanya mampu menawarkan ijazah untuk meraih
kehidupan, mereka tidak mampu mandiri dan bahkan tidak memiliki jati diri. Masyarakat kita
masih berada pada tingkatan“paper syndrome”.
Persoalannya adalah seberapa tanggap daerah dalam era otonomi daerah ini mampu
menangkap isyarat kelemahan pendidikan yang terjadi selama ini, untuk tidak mewarisi dan
diteruskan dalam membangun pendidikan daerah tetapi sebaliknya daerah mampu membuka
lembaran baru mengusahakan pendidikan kita menjadi barang nyata, berguna bagi bangsa
dalam peningkatan profil manusia Indonesia dan SDM bangsa demi peningkatan kesejahteraan
kehidupan masyarakat.
e. Penghambat pendidikan
Bangsa ini terlalu ambisius ingin menyamakan pendidikan di seluruh nusantara dengan
sistem sentralisasi dan uniformitas. Kita sendiri ingkar terhadap wawasan kita sendiri bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman baik lingkungan, suku,
bahasa, kebiasaan yang diwujudkan dalam tatanan sosial dan budaya.
Akibat dari keragaman keadaan bangsa ini maka terbukti sentralisasi dan uniformitas
pendidikan hanya menghasilkan kemunduran dalam perjalanan sejarah bangsa bila
dibandingkan dengan kemajuan bangsa-bangsa lain di sekitar kita.
Pengakuan kita terhadap keanekaragaman bangsa tidak diimbangi dengan diversifikasi
penyelenggaraan pendidikan kita, kurikulum kita, sistem managemen penyelenggaraan
pendidikan kita dan pengukuran terhadap hasil pendidikan kita. Kesemuanya itu membuat
penyelenggara pendidikan kita tidak kreatif dan inovatif, dan akhirnya pendidikan kita beku
yang hanya menghasilkan manusia tergantung.
f. Otonomi pendidikan dalam otonomi daerah
Otonomi daerah memberi konskuensi upaya peningkatan kualitas pendidikan menjadi
tanggung jawab daerah. Meskipun demikian, maka tidak berarti daerah harus terlalu banyak
terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Daerah dapat memikirkan hal-hal : mencarikan
model yang cocok dengan pendidikan daerahnya, memfasilitasi dana, prasarana dan sarana
pendidikan, menyiapkan pedoman pendidikan bagi sekolah yang membutuhkan.
2. Kontroversi Ujian Nasional (Unas)[10]
Mendiknas Bambang Sudibyo telah bersikeras menyelenggarakan Ujian Nasional
(Unas) sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang telah dihapus itu. Dalam jumpa
pers di Jakarta, Rabu 19 Januari 2005 Bambang Sudibyo menegaskan, bahwa Unas diperlukan
untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap jenjang pendidikan. Pada
kesempatan itu Mendiknas menargetkan standar nilai ujian nasional dari 4,01 menjadi
4,25.[11]
Kebijakan itu memicu polemik dari beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan
kita yang sebelumnya telah menyepakati bersama pemerintah untuk menghapus UAN. Sebab
pada prinsipnya penyelenggaraan UAN yang sentralistik, di samping bersebrangan dengan
konsep otonomi pendidikan dan rentan terhadap intervensi kepentingan negara, juga berakibat
pada pengabaian nilai-nilai khas kultural di beberapa wialayah di Indonesia.
Pelaksanaan ujian secara nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah (Diknas) itu
memakai istilah berbeda. Jika sebelumnya menggunakan nama Ujian Akhir Nasional (UAN)
yang kemudian dihapus, karena usulan beberapa pakar dan praktisi pendidikan kita, maka ke
depan rencananya akan tetap dilaksanakan dengan menggunkan nama Ujian Nasional (Unas).
Kontroversi UAN menjadi Unas itu, di samping mengundang masalah secara konstitusional,
juga terkesan hanya sekedar perubahan label saja. Meskipun namanya bereubah menjadi Unas,
tetapi substansinya sama.[12]
Pelaksanaan Unas dimulai dalam dua perode. Periode pertama untuk tingkat SLTP yang
mulai diselenggarakan pada 6-8 Juni dan 13-15 Juni 2005. Sedangkan untuk tingkat SLTA
diselenggarakan pada 9-11 Mei dan 16-18 Mei 2005. Pada periode kedua, untuk tingkat SLTP
diselenggarakan pada 3-5 Oktober 2005. Dan, untuk tingkat SLTA diselenggarakan pada 10-
12 Oktober 2005.
Pada Kamis, 30 Juni 2005, pengumuman hasil Ujian Nasional (Unas) di kota pelajar,
Yogyakarta. Sebanyak 18.657 siswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinyatakan tidak
lulus Ujian Nasional.[13] Padahal Yogyakarta selama ini menjadi ikon sekaligus barometer
pendidikan di Indonesia. Apakah yang demikian bukan suatu ironi?
Di Solo, angka ketidaklulusan siswa dalam menempuh Ujian Nasional stingkat
SMP/SMA sebanyak 20%. Sementara di Bengkulu tercatat paling parah. Sebanyak 50% siswa
setingkat SMP?MTs/SMA/SMK dinyatakan tidak lolos Ujian Nasional. Angka sebesar 50%
tersebut mewakili sekitar 18.095 sisiwa dari berbagai jenjang pendidikan. Dan yang paling
menyedihkan adalah nasib SMP Terbuka di Bengkulu yang mencapai 94% tidak lulus.[14]
Sebuah evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menunjukkan bahwa berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) 2012, kualitas pendidikan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati peringkat terendah di Indonesia. Lembata
merupakan sebuah kabupaten di NTT yang dianggap sangat membutuhkan bantuan di bidang
pendidikan karena sebagai daerah baru (hasil pemekaran dari sebagian wilayah Kabupaten
Flores Timur) Lembata masih jauh tertinggal dalam hal pembangunan sektor pendidikan.[15]
Kebijakan Unas lebih kentara ambisius dan idealis ketika menawarkan standar nilai
4,01 menjadi 4,25. Hal itu tentunya sangat memberatkan beberapa pihak, terutama pihak
sekolah dan murid-muridnya. Sebab untuk mencapai nilai standar minimal 4,01 saja sudah
harus melalui perjuangan berat, apa lagi untuk mencapai satandar minimal 4,25. Pemerintah
rasanya kurang bijak dalam melihat kemampuan masing-masing daerah dalam mengelola
pendidikan. Standarisasi nilai 4,25 jelas sangat sentralistik dengan menggeneralisis
kemampuan dan potensi masing-masing daerah. Padahal setiap daerah memiliki potensi yang
berbeda-beda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Analisis kebijakan pendidikan merupakan cara memecahkan masalah yang ada dalam
kebijakan-kebijakan tentang pendidikan menggunakan pemahaman yang dimiliki oleh manusia
itu sendiri.
2. Aktor yang melakukan analisis kebijakan pendidikan adalah lembaga penelitian dan
pengembangan yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayan serta lembaga
penelitian independent seperti SMERU.
3. Ruang lingkup analisis kebijakan pendidikan meliputi pengumpulan data statistik
pendidikan, pengembangan kurikulum, sistem pengujian, penelitian pendidikan dan
kebudayaan, teknologi komunikasi pendidikan, dan pengemabangan analisis kebijakan
pendidikan dan kebudayaan.
4. Pendekatan analisis pendidikan yakni pendekatan deskriptif dan normatif.
5. Metode analisis kebijakan pendidikan yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
6. Permasalahan kebijakan pendidikan di Indonesia diantaranya adalah sistem pendidikan di era
otonomi daerah yang masih menggunkan alat ukur berupa ujian nasional atau unas.
B. Saran
Seyogyanya analisis dalam bidang pendidikan harus selalu dilakukan karena
pendidikan di Indonesia masih jauh dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang
tercantum dalam pembukaan UUD alinea IV.
C. Penutup
Alhamdulillah makalah ini dapat kami selesaikan dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Kebijakan Pendidikan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pemakalah
pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA