Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara
geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis.
Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi
mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National
Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa
prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas
40 tahun adalah 16,8%.1,2,3
Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya
frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di
Indonesia adalah 35–52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo
didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun
adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain
itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu
penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.2,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi & Fisiologi


1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
mata bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva
tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi.1,4,5
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi
superior paling sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada
pterigium, konjungtiva yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva
bulbi.1,4,5

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva

2
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung
dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang
banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama
(oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.4,5

1.2 Fisiologi Konjungtiva


Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.1,4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.4,5
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan
untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen.1,4,5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan

3
mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
krause berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar
wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak pernah
bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah,
evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan
bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.4,5

1.3 Anatomi kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
a. Epitel
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng.

4
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
- epitel berasal dari ektoderm permukaan.2

b. Membran Bowman
- Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2

c. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama
yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.2

d. Membrane descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran
basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.2

5
e. Endotel
- Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari


saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.2 Trauma
atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea.2

6
2. PTERIGIUM
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga
yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium
berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.1,6

Gambar 2. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga


dengan puncak di kornea

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi


UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3,7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.3,7
7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan
fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada
fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix
tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi terhadap

8
TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan konjungtiva
normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-α (tumor
necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan
peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus
selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat
pada pterigium dibanding dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik,
SP (substance P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell
Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC.
Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs (Endothelial
Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor pencetus
neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang melalui
produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan
proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel
meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel
dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif, karakteristik dari E-cadherin, penumpukan
β-catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium.
Sel epitel meluas ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan cytokeratin 14.
Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam patogenesis
pterigium. β-catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting dalam
patogenesis pterigium.10,11

DIAGNOSIS PTERIGIUM
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3

9
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3

2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan
kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau
menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah
limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut
cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat
atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi
beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea

10
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar
3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8

Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea


lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil

c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp


1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan


pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan

11
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak ada
pulau Funchs head, cap, body)
(bercak kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G.,
Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu
Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)

12
3. Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang
terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat
diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan
dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang
sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di
daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering
digunakan untuk mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik
simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft
(Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva
normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara
normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya

13
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan
pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil
dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.
Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang
baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya
pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian
MMC juga cukup berat.10

Indikasi Operasi pterigium


1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik
yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1

14
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan
89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi
jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya
pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva
dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan
angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen
untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia.
Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di
atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan
penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion
menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.1

15
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan


dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6

16
Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,
(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place

4. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
 Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment
 Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
 Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang
tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva
autograft atau amnion graft.
 Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel
di atas pterigium.11
17
5. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau
transplantasi membran amnion.11

18
BAB III
LAPORAN KASUS

ANAMNESIS
Nama : Ny. M Ruang : -
Autoanamnesis dan
Umur : 47 tahun Kelas : -
Alloanamnesis

Nama Lengkap : Ny. M


Tempat dan Tanggal Lahir : Palembang, 1971
Umur : 47 tahun
Alamat : 7 ulu
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan :-

Dokter yang Merawat : dr. H. Ibrahim Sani, Sp.M


Dokter Muda : Ahmad Nabhan

Tanggal Pemeriksaan : 28 Mei 2018

Keluhan Utama :
Pengelihatan kabur sejak 1 tahun terakhir

Keluhan Tambahan :
pengelihatan seperti berasap serta silau saat melihat cahaya, Penglihatan seperti
asap, mata berair, sakit kepala, penghlihatan berbayang, pasien merasa seperti ada
yang mengganjal pada mata kiri.

19
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita mengeluh sejak ± 1 tahun yang lalu pengelihatan semakin lama
semakin kabur pada mata kiri. Pandangan seperti berasap dan berkabut (+). Ketika
melihat cahaya lampu mata silau dan merasa seperti berbayang.
Keluhan untuk mata kanan tidak dapat dinilai karena mata kanan telah di
angkat dan menggunakan Protesa
Sakit kepala (+), Mata seperti melihat pelangi bila melihat lampu (-), mual muntah
(-), pengelihatan turun mendadak seperti tertutup tirai disangkal, pandangan seperti
melihat terowongan (-).
Pada mata kanan pasien tidak dapat dilakukan pemeriksaan karena telah
dilakukan eviserasi dan telah menggunakan protesa.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal.
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat trauma pada mata disangkal
Sebelumnya pasien juga pernah melakukan tindakan operasi Pteryigium
sebanyak 2 kali
Riwayat trauma disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal

Nama : Ny. M Ruang : -


PEMERIKSAAN FISIK
Umur : 57 tahun Kelas : -
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis

20
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 88x/menit
- Laju Napas : 20 x/menit
- Suhu : 37 C

Status Oftalmologis

OD OS

No. Pemeriksaan OD OS
1. Visus (-) 20/70
2. Tekanan Intra Okuler (-) 15,6 mmHg
3. Kedudukan Bola Mata
Posisi (-) Ortoforia
Eksoftalmus (-) (-)
Enoftalmus (-) (-)
4. Pergerakan Bola Mata
Atas (-) (+) Baik
Bawah (-) (+) Baik
Temporal (-) (+) Baik
Temporal atas (-) (+) Baik

21
Temporal bawah (-) (+) Baik
Nasal (-) (+) Baik
Nasal atas (-) (+) Baik
Nasal bawah (-) (+) Baik
Nistagmus (-) (-)
5. Palpebrae
Hematom (-) (-)
Edema (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Benjolan (-) (-)
Ulkus (-) (-)
Fistel (-) (-)
Hordeolum (-) (-)
Kalazion (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Ektropion (-) (-)
Entropion (-) (-)
Sekret (-) (-)
Trikiasis (-) (-)
Madarosis (-) (-)
6. Punctum Lakrimalis
Edema (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Benjolan (-) (-)
Fistel (-) (-)
7. Konjungtiva Tarsal Superior
Edema (-) (-)
Hiperemis (-) (+)
Sekret (-) (-)
Epikantus (-) (-)

22
8. Konjungtiva Tarsalis Inferior
Kemosis (-) (-)
Hiperemis (-) (+)
Anemis (-) (-)
Folikel (-) (-)
Papil (-) (-)
Lithiasis (-) (-)
Simblefaron (-) (-)
9. Konjungtiva Bulbi
Kemosis (-) (-)
Pterigium (-) (+)
Pinguekula (-) (-)
Flikten (-) (-)
Simblefaron (-) (-)
Injeksi konjungtiva (-) (+)
Injeksi siliar (-) (-)
Injeksi episklera (-) (-)
Perdarahan subkonjungtiva (-) (-)
10. Kornea
Kejernihan (-) Jernih
Edema (-) (-)
Ulkus (-) (-)
Erosi (-) (-)
Infiltrat (-) (-)
Flikten (-) (-)
Keratik presipitat (-) (-)
Macula (-) (-)
Nebula (-) (-)
Leukoma (-) (-)
Leukoma adherens (-) (-)
Stafiloma (-) (-)

23
Neovaskularisasi (-) (-)
Imbibisi (-) (-)
Pigmen iris (-) (-)
Bekas jahitan (-) (-)
Tes sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

11. Limbus kornea


Arkus senilis (-) (+)
Bekas jahitan (-) (-)
12. Sklera
Sklera biru (-) (-)
Episkleritis (-) (-)
Skleritis (-) (-)
13. Kamera Okuli Anterior
Kedalaman (-) Sedang
Kejernihan (-) Keruh
Flare (-) (-)
Sel (-) (-)
Hipopion (-) (-)
Hifema (-) (-)
14. Iris
Warna (-) Coklat
Gambaran radier (-) Jelas/tidak jelas
Eksudat (-) (-)
Atrofi (-) (-)
Sinekia posterior (-) (-)
Sinekia anterior (-) (-)
Iris bombe (-) (-)
Iris tremulans (-) (-)
15. Pupil
Bentuk (-) Bulat

24
Besar (-) ± 5 mm
Regularitas (-) Reguler
Isokoria (+) (+)
Letak (-) Sentral
Refleks cahaya langsung (-) (-)
Seklusio pupil (-) (-)
Oklusi pupil (-) (-)
Leukokoria (-) (-)
16. Lensa
Kejernihan (-) Keruh
Shadow test (-) (-)
Refleks kaca (-) (-)
Luksasi (-) (-)
Subluksasi (-) (-)
Pseudofakia (-) (-)
Afakia (+) (-)

17. Funduskopi (Tidak diperiksa)


Refleks fundus
Papil
- warna papil
- bentuk
- batas
Retina
- warna
- perdarahan
- eksudat
Makula lutea

25
PEMERIKSAAN PENUNJANG Nama : Ny. M Ruang : -
Umur : 57 tahun Kelas : -
Anjuran Pemeriksaan:
Slit Lamp

Laboratorium :
Darah rutin (hemoglobin, trombosit, leukosit,LED), Kimia Klinik (Gula darah
sewaktu/BSS)

RINGKASAN ANAMNESIS DAN Nama : Ny. M Ruang : -


PEMERIKSAAN JASMANI Umur : 57 tahun Kelas : -

Seorang pasien Perempuan berumur 57 tahun dengan keluhan sejak ± 1


yang lalu
yang lalu pengelihatan kabur pada mata kiri. Pandangan seperti berasap dan
berkabut (+). Mata silau (+), sedangkan pada mata kanan tidak dapat dinilai karena
sudah menggunakan Protesa
Riwayat Hipertensi disangkal, riwayat kencing manis ada, riwayat trauma
pada mata disangkal. Riwayat penyakit sama dalam keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan didapatkan visus OS 20/70, Limbus kornea OS terdapat
arkus senilis, refleks cahaya langsung pada pupil OS (+), lensa OS keruh dengan
Shadow test (-).

Daftar Masalah:
Mata kiri kabur, seperti melihat asap dan berkabut, mata silau,
Visus : OS : 20/60
Limbus Kornea : OS Arkus Senilis (+)
Lensa : OS Keruh, Shadow test (-)

Kemungkinan Penyebab Masalah :


Pteryigium

26
Nama : Ny. M Ruang : -
RENCANA PENGELOLAAN
Umur : 57 tahun Kelas : -

1. Rencana tindakan Pembedahan jaringan Pteryigium


2. Edukasi
 Informasi kepada pasien bahwa matanya telah mengalami Pteryigium dan
sudah mencapai derajat 3 untuk pengobatan Pteryigium sendiri tidak efektif
menggunakan obat karena sudah mencapai derajat 3 melainkan harus
dioperasi, maka pasien disarankan untuk melakukan operasi.
 Menjelaskan kepada pasien serta keluarga tentang tindakan operasi yang
akan dilakukan pada Pteryigium

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien dating ke Poliklinik Mata RS Muhammadiyah Palembang dengan


keluhan utama pandangan kabur pada mata kiri. ± 1 tahun yang lalu penderita
mengeluh penglihatan mata kiri kabur, terlihat adanya jaringan berbentuk segitiga
pada mata sebelah kiri, perih (+), berair (+), silau saat melihat (+).Dari pemeriksaan
didapatkan adanya gambaran jaringan lipatan segitiga dari konjungtiva menjalar ke
kornea mata sebelah kiri. Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan maka
pasien ini diagnosis sebagai suatu pterigium
pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi terkena
pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang
diterima oleh mata.
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan
adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke limbus kornea
pada daerah fisura interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi
pterigium dengan pinguekula dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai
dengan melihat luas pterigium. Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk
penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup
dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan
tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared
with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002; 86(12): 1341–1346. Avaiable at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/
12. Pterygium and Pingueculum available at:
http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm
29

Anda mungkin juga menyukai

  • Louy 7
    Louy 7
    Dokumen9 halaman
    Louy 7
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Jurnal VIVI Rizki
    Jurnal VIVI Rizki
    Dokumen17 halaman
    Jurnal VIVI Rizki
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • KJHG
    KJHG
    Dokumen11 halaman
    KJHG
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Status Stase Mata + Gambar Rs Bari
    Status Stase Mata + Gambar Rs Bari
    Dokumen25 halaman
    Status Stase Mata + Gambar Rs Bari
    Livia Hanisamurti
    Belum ada peringkat
  • Case Cody Pterygium
    Case Cody Pterygium
    Dokumen29 halaman
    Case Cody Pterygium
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Referat Vivi
    Referat Vivi
    Dokumen32 halaman
    Referat Vivi
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Malaria Serebral
    Cover Referat Malaria Serebral
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Malaria Serebral
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Klih 8 H
    Klih 8 H
    Dokumen36 halaman
    Klih 8 H
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kugyjh
    Kugyjh
    Dokumen28 halaman
    Kugyjh
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Telinga
    Pemeriksaan Telinga
    Dokumen48 halaman
    Pemeriksaan Telinga
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • BST VIVI
    BST VIVI
    Dokumen23 halaman
    BST VIVI
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kugyjh
    Kugyjh
    Dokumen28 halaman
    Kugyjh
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Lkuiyut
    Lkuiyut
    Dokumen21 halaman
    Lkuiyut
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kelainan Pada Telinga
    Kelainan Pada Telinga
    Dokumen10 halaman
    Kelainan Pada Telinga
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Cover Case
    Cover Case
    Dokumen1 halaman
    Cover Case
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Hidung
    Pemeriksaan Hidung
    Dokumen41 halaman
    Pemeriksaan Hidung
    ShintaAnggiaPrawesti
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Virus Dengue
    Infeksi Virus Dengue
    Dokumen27 halaman
    Infeksi Virus Dengue
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tumor Payudara
    Bab Ii Tumor Payudara
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii Tumor Payudara
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Jhkug
    Jhkug
    Dokumen12 halaman
    Jhkug
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Demam Tifoid
    Demam Tifoid
    Dokumen50 halaman
    Demam Tifoid
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tumor Payudara
    Bab Ii Tumor Payudara
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii Tumor Payudara
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Format Laporan 2019
    Format Laporan 2019
    Dokumen8 halaman
    Format Laporan 2019
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tumor Payudara
    Bab Ii Tumor Payudara
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii Tumor Payudara
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • JKHGF
    JKHGF
    Dokumen14 halaman
    JKHGF
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kuiyf
    Kuiyf
    Dokumen16 halaman
    Kuiyf
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Jurnal VIVI Rizki 702014052
    Jurnal VIVI Rizki 702014052
    Dokumen5 halaman
    Jurnal VIVI Rizki 702014052
    Nabilah Ananda
    Belum ada peringkat
  • JKHGF
    JKHGF
    Dokumen14 halaman
    JKHGF
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • HCGFX
    HCGFX
    Dokumen14 halaman
    HCGFX
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kluyi
    Kluyi
    Dokumen46 halaman
    Kluyi
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • FAM
    FAM
    Dokumen36 halaman
    FAM
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat