Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Payudara
2.1.1 Anatomi Payudara
Payudara merupakan organ seks kunder yang merupakan symbol
femininitas perempuan. Batas payudara yang normal terletak antara iga 2 di
superior dan iga 6 di inferior (pada usia tua atau mamma yang besar bisa
mencapai iga 7), serta antara taut sternocostal di medial dan linea akselaris
anterior bilateral. Pda bagian lateral atasnya, jaringan kelenjar ini keluar dari
bulatannya kea rah aksila; disebut penonjolan sponce atau ekor payudara.
Dua per tiga bagian atas mamma terletak di atas otot pectoralis mayor,
sedangkan sepertiga bagian bawahnya terletak di atas otot seratus anterior,
otot oblikus eksternus bdominis, dan otot rectus abdominis. Setiap payudara
terdiri atas 12-20 lobulus kelenjar, masing-masing mempunyai saluran
bernama duktus laktiferus yang akan bermuara ke papilla mamma.1
Proses perkembangan mammae dimulai pada janin berumur 6
minggu dimana terjadi penebalan lapisan epidermis pada bagian ventral,
superfisial dari fasia pektoralis serta otot-otot pektoralis mayor dan minor.
Penebalan yang terjadi pada venteromedial dari regio aksila sampai ke regio
inguinal menjadi ‘milk lines’ dan selanjutnya pada bagian superior
berkembang menjadi puting susu dan bagian lain menjadi atrofi.8
Mammae lazimnya terletak di antara tulang sternum bagian lateral
dan lipatan ketiak, serta terbentang dari iga ke 2 sampai iga ke 6 atau 7. Pada
bagian puncak dari mammae terdapat struktur berpigmen dengan diameter
2-6 cm yang dinamakan areola. Warna areola itu sendiri bervariasi mulai
dari merah muda sampai coklat tua. Warna areoala ini bergantung pada
umur, jumlah paritas, dan pigmentasi kulit.8
Mammae adalah organ yang kaya akan suplai pembuluh darah yang
berasal dari arteri dan vena. Cabang dari arteri torakalis interna menembus
ruang antara iga 2, 3, dan 4 untuk memperdarahi setengah dari bagian

3
4

medial mammae. Arteri ini menembus sampai otot-otot interkostalis dan


membran interkostalis anterior untuk mensuplai otot-otot pektoralis mayor
dan pektoralis minor di kedua mammae. Cabang-cabang kecil dari arteri
interkostalis anterior juga mensuplai darah untuk mammae di bagian medial.
Di daerah lateral, mammae disuplai oleh cabang dari arteri aksilaris dan
arteri torakalis lateral. Cabang dari arteri aksilaris adalah arteri arteri
torakoakromial, kemudian bercabang lagi menjadi arteri pektoralis.
Sementara cabang dari arteri torakalis lateral adalah arteri mamari eksternal
yang menyusuri otot pektoralis mayor untuk memperdarahi setengah
mammae bagian lateral.8
Aliran darah balik pembuluh vena dari mammae mengikuti aliran
arteri secara berlawanan. Darah kembali menuju vena cava melalui vena
aksilaris dan vena torakalis interna. Selain itu, darah juga kembali ke vena
cava melalui pleksus vertebralis. Aliran balik vena pada kuadran atas lebih
besar daripada aliran balik vena dari kuadran bawah.8
Persarafan kulit mammae ditanggung oleh cabang pleksus servikalis
dan n. interkostalis. Jaringan kelenjar mammae sendiri diurus oleh saraf
simpatik. Aliran limfe dari mammae sekitar 75% menuju ke aksila, sisanya
ke kelenjar parasternal dan interpektoralis.1,8
5

Gambar 1. Anatomi Mammae8

Gambar 2. Anatomi Mammae8

2.1.2 Fisiologi Mammae


Perkembangan mammae dan fungsinya dipengaruhi oleh bermacam
stimulus, diantaranya stimulus dari estrogen, progesterone, prolaktin,
oksitosin, hormone tiroid, kortisol dan growth hormone. Terutama estrogen,
progesterone, dan prolaktin telah dibuktikan memiliki efek yang esensial
dalam perkembangan dan fungsi mammae normal. Estrogen mempengaruhi
perkembangan duktus, sedangkan progesterone berperan dalam perubahan
perkembangan epitel dan lobular. Prolaktin adalah hormone primer yang
menstimulus laktogenesis pada akhir kehamilan dan periode post partum.
6

Prolaktin meningkatkan regulasi reseptor hormon dan menstimulasi


perkembangan epitel.8
Sekresi dari hormon neurotropik dari hipotalamus, berperan dalam
regulasi sekresi dari hormone yang berefek terhadap jaringan mammae.
Luteinizing Hormone (LH) dan Folicle Stimulating Hormone (FSH)
berperan dalam pelepasan estrogen dan progesterone dari ovarium.
Pelepasan LH dan FSH dari sel basofil pada bagian hipofise anterior
dipengaruhi oleh sekresi dari Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
dari hipotalamus. Efek umpan balik baik positif maupun negative dari
sirkulasi estrogen dan progesterone ini berperan terhadap sekresi LH, FSH,
dan GnRH.1,8

2.2 Phyllodes Tumor


2.2.1 Definisi Phyllodes Tumor
Phyllodes Tumor merupakan sebuah tipe neoplasma jaringan ikat
yang timbul dari stroma intralobular mammae. Ditandai dengan pembesaran
yang cepat, massa mobile, dengan konsistensi keras serta asimetris. Secara
histologis tampak seperti celah stroma seperti daun yang dibatasi oleh sel-
sel epitel (leaf-like appearance). Tumor ini dibagi menjadi jinak, borderline,
dan ganas.1 Phyllodes Tumor merupakan sebuah tipe neoplasma jaringan
ikat yang timbul dari stroma intralobular payudara. Ditandai dengan
pembesaran cepat massa bergerak-keras asmiteris. Secara histologis tampak
seperti celah stroma seperti daun yang dibatasi oleh sel-sel epitel.8
Phyllodes Tumor payudara adalah suatu neoplasma dari kelompok
lesi fibroepitelial yang jarang ditemukan. Phyllodes Tumor dulu dikenal
dengan nama “cystosarcoma phyllodes”yang dikemukakan pertama kali
oleh Johannes Muller pada tahun 1838, untuk menunjukkan tumor yang
secara makroskopik menyerupai daging dengan gambaran mikroskopis
menyerupai daun atau leaf-like. Ada juga yang menyebutnya sebagai “giant
fibroadenoma”, cellular intercanalicular fibroadenoma”dan masih ada
beberapa nama lain tapi yang sekarang dipakai adalah menurut World
7

Health Organization yaitu Phyllodes Tumor (filodes) sebagai penamaan


yang paling sesuai. Insidensi kejadian Phyllodes Tumor <1% dari seluruh
neoplasma payudara yaitu 0,3-0,5%, dengan insidensi paling banyak terjadi
pada pada usia 30 hingga 40 tahun, bahkan pada salah satu literatur menulis
pada umur yang lebih tua yaitu 40-54 tahun. Kejadian tumor ini meningkat
pada negara-negara Asia, dilaporkan di Singapura kejadian tumor ini adalah
6,92% dari seluruh keganasan di payudara dan terjadi pada umur yang lebih
muda, yaitu 25-30 tahun.Walaupun jarang ditemukan, namun pernah
terdapat laporan tumor filodes pada laki-laki. Frekuensi kejadian tumor ini
berdasarkan perubahan gambaran histopatologinya (gradasi) adalah 75%
benign, 16% borderline dan 9% malignant.Walaupun pernah dilaporkan,
jarang ditemukan adanya sinkronous atau metakronouspada tumor ini.8

2.2.2 Epidemiologi
Tidak ada perbedaan dalam frekuensi Phyllodes Tumor yang terlihat
muncul diantara pasien-pasien dari Amerika Serikat dan pasien-pasien dari
negara lain. Phyllodes Tumor diperkirakan sekitar 1% dari total neoplasma
payudara.9
Karena data yang terbatas, persentase Phyllodes Tumor jinak
dibanding ganas tidak terdefenisi dengan baik. Laporan yang ada
mengindikasikan bahwa sekitar 80-95% Phyllodes Tumor adalah jinak dan
itu sekitar 10-15% adalah ganas.9
Predileksi tampaknya tidak ada untuk Phyllodes Tumor. Phyllodes
Tumor muncur hampir secara eksklusif pada wanita. Laporan kasus jarang
telah dijelaskan pada pria. Phyllodes Tumor dapat terjadi pada segala usia;
namun usia pertengahan adalah dekade kelima kehidupan. Tumor bilateral
sangat jarang. Usia mayoritas antara 35 dan 55 tahun. Phyllodes Tumor
jarang pada pasien dibawah usia 20 tahun. Beberapa fibroadenoma juvenil
pada remaja dapat terlihat seperti Phyllodes Tumor secara histologis;
namun, mereka berperilaku jinak sama seperti fibroadenoma lainnya.9
8

2.2.3 Gambaran Klinis


Manifestasi klinis Phyllodes Tumor umumnya unilateral, tunggal,
tidak disertai nyeri, dengan benjolan yang dapat teraba. Pasien biasa
mengeluh tumor yang tiba-tiba muncul dan terus menerus mengalami
pembesaran, atau berupa benjolan yang awalanya menetap dan tiba-tiba
tumbuh bertambah besar dalam beberapa bulan terakhir. Pada pemeriksaan
fisik payudara, Phyllodes Tumor berupa benjolan yang lunak dan bulat,
mirip dengan fibroadenoma, namun dengan ukuran yang besar (>2-3 cm).
Tumor dapat terlihat dengan jelas jika membesar dengan cepat. Walaupun
membesar dengan cepat tidak mengindikasikan sifatnya yang ganas.
Bentuknya yang terlihat mengkilat dengan permukaan kulit seperti teregang
dengan pelebaran vena pada permukaan kulit. Pada kasus-kasus yang tidak
tertangani dengan baik, dapat terjadi luka borok pada kulit akibat dari
iskemia jaringan. Walaupun perubahan kulit seperti ini layaknya pada tumor
payudara selalu menunjukkan tanda-tanda keganasan (lesi T4), namun tidak
pada Phyllodes Tumor, karena adanya borok pada kulit dapat terjadi pada
jenis lesi yang benign, borderline ataupun malignant. Adanya retraksi pada
puting tidak umum terjadi. Adanya ulserasi mengindikasikan nekrosis
jaringan akibat penekanan tumor yang besar. Metastasis dapat muncul
secara bersamaan saat pasien datang atau paling tidak hingga 12 tahun ke
depan. Metastasis dapat menyebar secara hematogen, menyebar ke paru-
paru (66%), tulang (28%), otak (9%) dan pada kasus yang lebih jarang pada
hati dan jantung (8%). Tumor ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar
getah bening regional, walaupun tanpa sel tumor. Tidak banyak literatur
yang melaporkan adanya metastasis ke kelenjar getah bening. Treves pada
33 kasus, hanya melaporkan 1 kasus metastasis ke kelenjar getah bening
9

aksila. Noris dan Taylor dari 94 pasien, 16 pasien mengalami pembesaran


kelenjar getah bening namun hanya 1 kasus yang terbukti secara histologi
mengalami metastasis. Reinfus menemukan 11 kasus pembesaran kelenjar
getah bening dari 55 kasus, namun hanya 1 kasus yang yang menunjukkan
metastasis. Minkowitz juga melaporkan satu kasus dengan dengan
metastasis ke kelenjar aksila.1,8
Gambaran klasik Phyllodes Tumor adalah tumor fibroepitelial yang
menyerupai intrakanalikular fibroadenoma dengan stroma yang sangat
dominan, hiperselular, membentuk gambaran yang menyerupai daun (leaf-
like). Adanya gambaran penyerta dengan fibroadenoma dapat ditemukan
pada 40% kasus Phyllodes Tumor. Pada Phyllodes Tumor benign
mempunyai gambaran khas stroma menunjukkan sel-sel stroma yang
terkondensasi pada daerah periduktal dengan aktivitas mitosis yang sangat
banyak ditemukan disekitar periduktal. Pada daerah stroma dapat ditemukan
degenerasi miksoid dengan daerah yang mengalami pseudoangiomatous
stroma hyperplasia (PASH) dapat ditemukan pada beberapa kasus, dan
dapat pula ditemukan perubahan lipomatous, (leiomyomatous, cartilaginous
dan osseous stromal metaplasia. Jumlah mitosis, derajat selularitas, dan
atipikal sel merupakan gambaran yang penting adalah menentukan gradasi
Phyllodes Tumor. Pada gradasi malignant, stroma dapat menyerupai
gambaran fibrosarkoma serta daerah sarcomatous menyerupai
liposarcoma, myosarcoma bahkan osteosarcoma. Penentuan gradasi
tumor dapat ditentukan berdasarkan kriteria Pietruszka and Barnes atau
WHO 2012.8,9
10

Phyllodes Tumor merupakan neoplasma non-epitelial mammae yang


paling sering terjadi, meskipun hanya mewakili 1% dari tumor mammae.
Tumor ini memiliki tekstur halus, berbatas tegas dan biasanya bergerak
secara bebas. Tumor ini adalah tumor yang relatif besar, dengan ukuran rata-
rata 5 cm. Namun, lesi yang > 30 cm pernah dilaporkan. Kebanyakan tumor
tumbuh dengan cepat menjadi ukuran besar sebelum pasien datang, namun
tumor-tumor tidak menetap dalam arti karsinoma besar. Hal ini disebabkan
mereka khususnya tidak invasif; besarnya tumor dapat menempati sebagian
besar mammae, atau seluruhnya, dan menimbulkan tekanan ulserasi di kulit,
namun masih memperlihatkan sejumlah mobilitas pada dinding dada.
Meskipun tumor jinak tidak bermetastase, namun mereka memiliki
kecenderungan untuk tumbuh secara agresif dan rekuren secara lokal. Mirip
dengan sarkoma, tumor maligna bermetastase secara hematogen. Ciri-ciri
Phyllodes Tumor maligna adalah sebagai berikut:1,8
1) Tumor maligna berulang terlihat lebih agresif dibandingkan tumor asal
2) Paru merupakan tempat metastase yang paling sering, diikuti oleh
tulang, jantung, dan hati
3) Gejala untuk keterlibatan metastatik dapat timbul mulai dari sesegera,
beberapa bulan sampai paling lambat 12 tahun setelah terapi awal
4) Kebanyakan pasien dengan metastase meninggal dalam 3 tahun dari
terapi awal.
5) Tidak terdapat pengobatan untuk metastase sistemik yang terjadi
6) Kasarnya 30% pasien dengan tumor filoides maligna meninggal karena
penyakit ini.5
11

2.2.4 Dasar Diagnosis


1) Anamnesa
a. Pasien khususnya datang dengan massa di mammae yang keras,
bergerak, dan berbatas jelas dan tidak nyeri.
b. Sebuah massa kecil dapat dengan cepat berkembang ukurannya
dalam beberapa minggu sebelum pasien mencari perhatian medis
c. Tumor jarang melibatkan kompleks puting-areola atau meng-
ulserasi kulit
d. Pasien dengan metastase bisa muncul dengan gejala seperti dispnoe,
kelelahan, dan nyeri tulang.1,8

2) Pemeriksaan fisik (Salah satu skrining / screening yang penting)


a. Didapatkan adanya massa mammae yang keras, mobile, dan
batasnya jelas
12

Gambar 8. Pemeriksaan Mammae

b. Secara tidak diketahui, tumor mammae cenderung melibatkan


mammae sinistra lebih sering dibandingkan mammae dekstra
c. Diatas kulit mungkin terlihat tampilan licin dan cukup translusen
untuk memperlihatkan vena mammae yang mendasarinya
d. Temuan fisik (misal, adanya massa mobile dengan batas tegas) mirip
dengan yang ada pada fibroadenoma
e. Tumor filoides umumnya bermanifestasi sebagai massa lebih besar
dan memperlihatkan pertumbuhan yang cepat.8

3) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada penanda tumor hematologik atau uji darah lainnya yang
bisa digunakan untuk mendiagnosa Phyllodes Tumor.1
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada mammogram, Phyllodes Tumor akan memiliki tepi yang
berbatas jelas dan radioopak. Baik mammogram
ataupun ultrasonografi (USG) mammae dapat membedakan secara
jelas antara fibroadenoma dan filoides jinak atau tumor ganas. Jenis
tumor mammae ini biasanya tidak ditemukan di dekat mikro
kalsifikasi.3
13

Gambar 9. Gambaran mamografi Phyllodes Tumor

Magnetic Resonance Imaging (MRI) mammae dapat membantu


tindakan operasi dalam pengangkatan jaringan tumor filoides.
Sebuah studi di Italia yang membandingkan mammogram, USG
dan MRI mammae dari Phyllodes Tumor melaporkan bahwa MRI
memberikan gambaran yang paling akurat dan ini membantu ahli
bedah tumor dalam menjalankan rencana operasi mereka. Bahkan
jika tumor itu cukup dekat dengan otot-otot dinding dada, MRI bisa
memberikan gambaran yang lebih baik dari Phyllodes Tumor
daripada mammogram atau USG.1,9
14

Gambar 10. Gambaran USG. Gambaran USG mammae normal (atas);


Gambaran USG Phyllodes Tumor (kiri) dengan color Doppler (kanan)

Gambar 11. Gambaran MRI Phyllodes Tumor


15

c. Biopsi
Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) untuk pemeriksaan
sitologi biasanya tidak memadai untuk diagnosis Phyllodes Tumor.
Biopsi jarum lebih dapat dipercaya, namun masih bisa terdapat
kesalahan pengambilan sampel dan kesulitan dalam membedakan
lesi dari sebuah fibroadenoma.1,8
Biopsi mammae eksisi terbuka untuk lesi lebih kecil atau biopsi
insisional untuk lesi lebih besar adalah metode pasti untuk
mendiagnosis Phyllodes Tumor. Sel-sel dari biopsi jarum dapat diuji
di laboratorium tapi jarang memberikan diagnosis yang jelas, karena
sel-sel dapat menyerupai karsinoma dan fibroadenoma. Pada Biopsi
bedah akan menghasilkan potongan jaringan yang akan memberikan
sampel sel lebih baik dan akan menghasilkan diagnosa yang tepat
untuk sebuah Phyllodes Tumor.1

d. Temuan histopatologi
Semua Phyllodes Tumor mengandung komponen stroma yang dapat
bervariasi dalam tampilan histologis dari satu lesi ke lesi lainnya.
Umumnya, tumor filoides jinak memperlihatkan peningkatan jumlah
mencolok pada fibroblas fusiformis reguler dalam stroma.
Adakalanya, sel-sel sangat anaplastik dengan perubahan miksoid
yang diamati. Atipia seluler tingkat tinggi, dengan peningkatan
selularitas stroma dan peningkatan jumlah mitosis, hampir selalu
diamati pada bentuk maligna cystosarcoma phylloides. Secara ultra-
struktural, pada Phyllodes Tumor bentuk jinak dan ganas, nukleolus
dapat mengungkapkan nukleolonema yang bertautan kasar dan
sisterna berlimpah dalam retikulum endoplasma.1,9
16

Gambar 12. Gambaran Histopatologi

Gambar 13. Gambaran Makroskopis


17

2.2.5 Diagnosis Banding


1) Fibroadenoma mammae
2) Karsinoma mammae1,9

Gambar 14. Gambaran USG fibroadenoma kiri) dan dengan color


Doppler (kanan)
18

Gambar 15. Gambaran USG karsinoma mammae

2.2.6 Penatalaksanan
Usia penting dalam manajemen lesi-lesi ini. Dibawah umur 20,
semuanya harus diterapi dengan enukleasi, karena mereka hampir selalu
bersifat jinak.1,9
Sitologi aspirasi dapat memberi kesan diagnosis Phyllodes Tumor
namun histologi yang lebih tepat pada biopsi jarum inti dibutuhkan sebelum
merencanakan pengobatan. Berbeda pada pasien yang lebih tua. Haagensen
merekomendasikan eksisi lokal luas sebagai pendekatan primer pada
penanganan Phyllodes Tumor jinak. Data yang dimiliki yaitu angka
rekurensi lokal sebesar 28% diantara 43 pasien yang ditangani dengan
eksisi lokal, dengan follow-up minimal 10 tahun. Namun hanya 3 dari
rekurensi tersebut yang membutuhkan mastektomi sekunder, dan tak
satupun yang meninggal akibat tumor ini. Hanya 1 dari 21 pasien yang
diterapi dengan mastektomi (simpel atau radikal) mengalami rekurensi
lokal; ini adalah sarkoma filoides (maligna) yang dengan cepat
menimbulkan metastasis lokal dan sistemik. Angka rekurensi lebih tinggi
untuk tumor filoides jinak dibandingkan ganas telah dilaporkan dalam
sejumlah studi.1,9
Jelas bahwa eksisi yang tidak tuntas merupakan penentu utama
rekurensi pada lesi jinak dan menengah. Ada dua alasan utama yang
mungkin, yaitu: kegagalan untuk mendiagnosis kemungkinan Phyllodes
Tumor dan kegagalan untuk menentukan teknik operasi. Eksisi
makroskopik komplit, dengan usulan batas 1 cm, dapat dipastikan adalah
teknik yang tepat. Untuk lesi besar dan lesi rekuren, pembersihan yang baik
pasti melibatkan mastektomi mendekati-total dan mastektomi sederhana
dengan rekonstruksi. Terdapat beberapa bukti meningkatnya insiden
karsinoma mammae yang berhubungan dengan pasien dengan Phyllodes
19

Tumor dan hal ini merupakan alasan untuk follow-up jangka panjang yang
teliti terhadap pasien-pasien yang demikian.1,9

2.2 Anestesi umum


2.2.1 Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur
bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan. Dalam melakukan tindakan anestesi terdapat Trias anestesi
yaitu sebagai berikut:
1) Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2) Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3) Relaxant: relaksasi otot rangka 2 5,6

2.2.2 Pilihan cara anestesi


 Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum
 Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat
mengetahui apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
20

o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.

 Posisi pembedahan
o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
 Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
 Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
 Keinginan pasien
 Bahaya kebakaran dan ledakan
o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif
adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.2 5

2.2.3 Tahapan Tindakan Anestesi Umum


1) Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. 2 5,6
21

2) Penilaian pra Anestesi


Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya 2 5,7
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua system organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.2 5,6
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi status fisik
22

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik


seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.1,5
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
 Kelas IV: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
 Kelas VI : Semua pasien yang telah mengalami mati otak yang organ
tubuhnya akan didonorkan.
 Kelas E : Semua pasien emergency yang memerlukan tindakan
bedah.1,2,5
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3
jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh
1 jam sebelum induksi anestesia.2 5
Premedikasi
23

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah


dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:6,7

1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
 Kunjungan pre anestesi
 Pengertian masalah yang dihadapi
 Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis.2,5

Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
24

premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit


hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.4,5

Obat-obat yang sering digunakan:


1) Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2) Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3) Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4) Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5) Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB, domperidon 4mg. 2, 5

2.3.5 Induksi Anastesi


25

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak


sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau
rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.5,6

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:


S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa


hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan.

C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction  Penyedot lender, ludah danlain-lainnya.2 5

Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian


pelumpuh otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai
karenan beberapa alasan :
26

 Adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan


intraabdominal saat insuflasi
 Perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea,
dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan
karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang
lebih baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi
lambung selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma
lambung saat insersi trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi
lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi
trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan
pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan
aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam
perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
 Induksi intravena
 Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.
 Obat-obat induksi intravena:
 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran
27

darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda


dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah
bersifat anti-analgesi.5,6
 Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg).
suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun
dan pada wanita hamil.
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non
emetogenik dan pemulihannya yang baik. Propofol
memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.5,6
 Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan
dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).6,7
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
28

kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil


dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.

 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur. 2 5
 Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairan anastetik lain seperti halotan
 Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks
baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah. Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur
laparoskopi, khususnya bila terjadi hiperkarbia penggunaan
halotan sudah digantikan oleh obat obat inhalasi yang baru seperti
29

isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi


miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik.5,6
 Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan.6,7
 Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.6,7
 Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.6
 Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.6,7

 Induksi per rectal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
30

 Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien,
tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur
baru sungkup muka kita tempelkan.

2.2.6 Rumatan Anestesi


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan
(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh
otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan. 2 5,6

2.2.7 Tatalaksana Jalan Nafas


Tatalaksana jalan napas (airway) merupakan keterampilan yang harus
dimiliki oleh setiap anestesis, karena itu ia harus menguasai anatomi jalan
napas atas secara baik dan benar.
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1) Hidung Menuju nasofaring
31

2) Mulut Menuju orofaring


Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum
dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.
Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang
aritenoid, kornikulata dan kuneiform.1,4,5
Pada pasien yang tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi
terlentang, tonus otot jalan napas atas, otot genioglossus hilang, sehingga
lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan napas
baik total maupun parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat
diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara, yaitu mauver tripel jalan
napas (Triple airway maneuver), pemasangan alat jalan napas faring
(Pharyngeal airway), pemasangan alat jalan napas sungkup laring
(laryngeal mask airway), pemasangan alat trakea (endotracheal tube).
Obatruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring pada saat anestesia
ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.1,5,6
1) Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
a. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
b. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
c. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan
napas bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea
lewat hidung atau mulut.
2) Jalan napas faring (Pharyngeal airway)
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan
napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
3) Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
32

sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan


tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.
4) Sungkup laring (Laryngeal mask airway)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya
dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai
LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral
untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
a. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
b. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan
dengan esophagus.
5) Pipa trakea (Endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).
6) Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru.
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring
secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan
baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
a. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
b. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
33

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka


maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi
4 gradasi. 2 5

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum


Molle

1 + + +

2 - + +

3 - - +

4 - - -

Tabel 2.1 Klasifikasi Mallapati

2.2.8 Indikasi Intubasi Trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat
bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
2) Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
3) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
4) Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
5) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi 2 5
34

2.2.9 Komplikasi intubasi


1) Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2) Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea 2 5

2.2.10 Ekstubasi
1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring.
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya. 2 5
35

2.2.11 Penilaian Skor Aldrete


Skor Aldrette adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien
yang dilakukan anestesi umum selama observasi di ruang pemulihan
(recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya pasien
dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan pada saat
observasi di ruang pulih adalah sebagai berikut 2 5

Tabel 2.2 Kriteria Skor Aldrette

Anda mungkin juga menyukai

  • Case Cody Pterygium
    Case Cody Pterygium
    Dokumen29 halaman
    Case Cody Pterygium
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Malaria Serebral
    Cover Referat Malaria Serebral
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Malaria Serebral
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Jurnal VIVI Rizki
    Jurnal VIVI Rizki
    Dokumen17 halaman
    Jurnal VIVI Rizki
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Referat Vivi
    Referat Vivi
    Dokumen32 halaman
    Referat Vivi
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Status Stase Mata + Gambar Rs Bari
    Status Stase Mata + Gambar Rs Bari
    Dokumen25 halaman
    Status Stase Mata + Gambar Rs Bari
    Livia Hanisamurti
    Belum ada peringkat
  • Louy 7
    Louy 7
    Dokumen9 halaman
    Louy 7
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Telinga
    Pemeriksaan Telinga
    Dokumen48 halaman
    Pemeriksaan Telinga
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • BST VIVI
    BST VIVI
    Dokumen23 halaman
    BST VIVI
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • KJHG
    KJHG
    Dokumen11 halaman
    KJHG
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kugyjh
    Kugyjh
    Dokumen28 halaman
    Kugyjh
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Lkuiyut
    Lkuiyut
    Dokumen21 halaman
    Lkuiyut
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • HCGFX
    HCGFX
    Dokumen14 halaman
    HCGFX
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Klih 8 H
    Klih 8 H
    Dokumen36 halaman
    Klih 8 H
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kugyjh
    Kugyjh
    Dokumen28 halaman
    Kugyjh
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Format Laporan 2019
    Format Laporan 2019
    Dokumen8 halaman
    Format Laporan 2019
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kelainan Pada Telinga
    Kelainan Pada Telinga
    Dokumen10 halaman
    Kelainan Pada Telinga
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Hidung
    Pemeriksaan Hidung
    Dokumen41 halaman
    Pemeriksaan Hidung
    ShintaAnggiaPrawesti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tumor Payudara
    Bab Ii Tumor Payudara
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii Tumor Payudara
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tumor Payudara
    Bab Ii Tumor Payudara
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii Tumor Payudara
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Virus Dengue
    Infeksi Virus Dengue
    Dokumen27 halaman
    Infeksi Virus Dengue
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • JKHGF
    JKHGF
    Dokumen14 halaman
    JKHGF
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Jhkug
    Jhkug
    Dokumen12 halaman
    Jhkug
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Cover Case
    Cover Case
    Dokumen1 halaman
    Cover Case
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Demam Tifoid
    Demam Tifoid
    Dokumen50 halaman
    Demam Tifoid
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • JKHGF
    JKHGF
    Dokumen14 halaman
    JKHGF
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kuiyf
    Kuiyf
    Dokumen16 halaman
    Kuiyf
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Kluyi
    Kluyi
    Dokumen46 halaman
    Kluyi
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • FAM
    FAM
    Dokumen36 halaman
    FAM
    Vivi Rizki Yusuf
    Belum ada peringkat
  • Jurnal VIVI Rizki 702014052
    Jurnal VIVI Rizki 702014052
    Dokumen5 halaman
    Jurnal VIVI Rizki 702014052
    Nabilah Ananda
    Belum ada peringkat