A. Definisi
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada
tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus,
tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan terputusnya
komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan
pada medula spinalis tergantung dari keadaan komplet atau inkomplet.
Trauma pada tulang belakang adalah cidera mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis,
akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang, seringkali oleh kecelakaan lalu lintas.
Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal
pertolongan dan transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hati-hati trauma
pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen, dan
diskus tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang. (Suzanne C. Smeltzer :2008).
B. Etiologi
Etiologi cedera spinal adalah:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan
penyakit tulang atau melemahnya tulang.(Harsono, 2000).
1
Peristiwa jatuh karena suatu kegiatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya cidera salah satunya karena kegiatan olahraga yang berat contohnya adalah
olahraga motor GP , lari, lompat.
3. Luka tusuk, tembak
Luka tusuk pada abdomen atau tulang belakang dapat dikatakan menjadi faktor terjadinya
cidera karena terjadi suatu perlukaan atau insisi luka tusuk atau luka tembak.
4. Tumor
Tumor merupakan suatu bentuk peradangan. jika terjadi komplikasi pada daerah tulang
belakang spinal. Ini merupakan bentuk cidera tulang belakang.
C. Faktor Resiko
Berikut adalah beberapa faktor resiko cedera pada tulang belakang, sebagai berikut:
1. Gender
Seorang pria memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan wanita untuk terkena
cedera pada tulang belakang. Alasan aktivitas dan lain sebagaimana merupakan
pendukung banyaknya kasus yang ditemukan pada pria. Wanita juga memiliki resiko
yang sama apabila kurang kewaspadaan. Kita harus memperhatikan kemampuan fisik
kita sehingga dapat meminimalisir resiko cedera. Keselamatan untuk tulang belakang
sangat penting dijaga demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
2. Usia
Kasus kelumpuhan akibat cedera tulang belakang banyak ditemukan pada usia 16 hingga
30 tahun. Pada usia tersebut diketahui sebagai usia produktif yang memiliki banyak
aktivitas. Aktivitas yang sangat aktif beresiko terjadinya berbagai kecelakaan. Kehati –
hatian menjadi kunci untuk waspada akan segala kemungkinan yang terjadi. Peralatan
keamanan dan keselamatan harus dipenuhi saat kita melakukan aktivitas fisik yang
beresiko terhadap cedera.
3. Kegiatan yang Beresiko Tinggi
Kegiatan sangat menentukan dalam diperolehnya resiko cedera. Perlengkapan saat
melakukan aktivitas fisik yang berbahaya sangat penting dipakai. Standar peralatan yang
digunakan juga sangat penting untuk diperhatikan. Peralatan yang tidak berstandar
keselamatan kerja atau olahraga akan membuat resiko cedera semakin besar jika terjadi
kecelakaan. Kewaspadaan sebelum dilakukan kegiatan juga sangat penting demi
keamanan dan kenyamanan.
4. Gangguan Tulang dan Sendi
Kesehatan tulang dan sendi disarankan untuk di cek ke dokter. Kondisi kelainan pada
tulang dan sendi yang tidak baik akan beresiko pada cedera dan berbagai gangguan.
Syaraf juga dapat terganggu jika tidak diperhatikan dengan baik. Jaringan syaraf, otot,
2
maupun tulang membutuhkan perhatian yang ekstra agar tidak mengalami kelainan yang
berdampak pada kesehatan.
D. Patofisiologi
Kerusakan pada luas SCI dapat terjadi sementara yang disebabkanoleh concussion (dapat
pulih kembali), memar, laserasi dan tekanan pada jaringan saraf spinal (dapat satu per satu atau
kombinasi ) atau transection lengkap (memotong) dari saraf spinal (yang dapat menyebabkan
pasien lumpuh bagian bawah) vertebra yang sering terkena adalah C5-C7, T12, L1. (Hinkle &
Cheever, 2014).
SCI dapat dibagi dalam 2 kategori : cedera primer dan cederaskunder. Cedera primer terjadi
karena adanya injuri pada spinal atau adanya trauma dan biasanya menyebabkan
permanen.Cederasekunder biasanya terjadi karena memar, atau luka basah dimana serat saraf
menjadi bergelombang dan disintegrasi. Berikutnya terjadi secara berurutan iskemia, hypoxia,
edema dan perdarahan dimana terjadi destruksi pada myelin dan axon. Cederasekunder menjadi
fokus utama untuk perawatan kritis, secondary injury penyebab utama degenerasi saraf spinal
dan dapat berulang selama 4-6 jam setelah injury, pengobatan awal sangat penting untuk
mencegah terjadinya gangguan menjadi total atau permanen (NINDS, 2012a dalam (Hinkle &
Cheever, 2014).
Patway :
3
E. Tingkat Cedera Medulla Spinalis (Lewis, 2011)
Derajat kerusakan cedera sumsum tulang belakang dapat berupa cedera lengkap dan
cedera tidak lengkap (parsial). Kerusakan medula lengkap (complete) akan menghilangkan
semua fungsi sensorik dan motorik di bawah tingkat lesi (cedera). Kerusakan medula
Incomplete pada hilangnya kegiatan aktivitas motorik dan sensasi serta meninggalkan
beberapa bagian yang utuh. Tingkat kehilangan fungsi sensorik dan motorik bervariasi
tergantung pada tingkat cedera dan saluran saraf tertentu yang rusak dan robek. Enam gejala
yang berhubungan dengan cedera lengkap (complete) : sindrom medula pusat, sindrom
medula anterior, sindrom Brown-Sequard, sindrom medula posterior, sindrom cauda equina,
dan sindrom konus medullaris.
1. Sindrom Cord Central
4
Kerusakan pada sumsum tulang belakang pusat disebut Sindrom Cord Central. Hal ini
paling sering terjadi di wilayah medula servikal dan lebih sering terjadi pada orang
dewasa yang lebih tua. Kelemahan motorik dan gangguan sensorik terjadi di kedua
ekstremitas yaitu atas dan bawah, tetapi ekstremitas atas yang lebih mempengaruhi dari
pada yang bawah.
2. Sindrom Cord anterior
Sindrom medulla anterior ini disebabkan oleh kerusakan pada arteri spinalis anterior.
Aliran darah terganggu ke sumsum tulang belakang anterior. Biasanya hasil dari cedera
menyebabkan kompresi akut di bagian anterior sumsum tulang belakang, biasanya cedera
fleksi. Manifestasi termasuk kelumpuhan motorik dan hilangnya rasa sakit dan sensasi
suhu di bawah permukaan cedera. Karena saluran medula posterior tidak mengalami
cedera, sensasi sentuhan, posisi, getaran dan gerakan tetap terjaga.
3. Brown-Sequard Syndrome
Brown-Sequard Syndrome adalah hasil dari kerusakan pada satu setengah dari sumsum
tulang belakang. Sindrom ini ditandai dengan hilangnya fungsi motorik dan posisi dan
rasa getaran, serta kelumpuhan vasomotor pada sisi yang sama (ipsilateral) akibat dari
cedera. Sebaliknya bagian (kontralateral) terjadi hilangnya rasa nyeri dan suhu sensasi di
bawah tingkat cedera. Ini biasanya hasil dari penetrasi cedera sumsum tulang belakang.
4. Posterior Syndrome Cord
Sindrom medula posterior akibat kompresi / tekanan atau kerusakan pada arteri spinalis
posterior. Ini adalah kondisi yang sangat langka. Umumnya kolom dorsal yang rusak,
mengakibatkan hilangnya proprioception. Namun, rasa sakit suhu sensasi dan fungsi
motorik di bawah cedera tetap terjaga.
5. Conus medullaris Syndrome dan cauda equina Syndrome
Sindrom conus medullaris dan sindrom cauda equina merupakan kerusakan pada bagian
yang paling bawah sumsum tulang belakang (conus) dan lumbar dan akar saraf sakral
(cauda equia). Cedera pada area ini menghasilkan kelumpuhan ringan dari tungkai bawah
dan gangguan pada kandung kemih dan usus.
5
menjadi fraktur atau dislokasi. Stiap proses ini dapat menyebabkan kerusakan pada
sarafmenyebabkan perdarahan, edema dan nekrosis.
-Hiperekstensi : injuri biasanya terjadi didalam vehicle collision dimana terjadi dari belakang
atau saat jatuh ketika dagu terbentur. Kepala tiba-tiba bergerak cepat kemudian melambat.
Pada potongan atau cairan ligament longitudinal anterior, fraktur atau subluxates vertebra dan
kemungkinan rupture pada persendian intervertebral dengan fleksi injury dapat terjadi
kerusakan saraf spinal.
-Axial loading atau kompresi vertical: kecelakaan karena menyelam, jatuh dengan terduduk,
loncat dengan kaki dan dapat menyebabkan injury yang diakibatkan oleh axial loading
(vertical kompresi)
-Excessive rotation. Cedera rotasi excessiveadalah yang paling tidak stabil dari semua cedera
karena struktur ligamen yang robek dan tidak dapat menstabilkan tulang belakang. Cedera ini
paling sering terlibat dalam defisit neurologis berat (Lewis, 2011).
-Dapat juga terjadi penetrasi injury pada saraf spinal yang ditandai dengan terkena benda
dengan cepat (pisau, peluru) dapat menyebabkan injury. Benturan yang tidak terlalu cepat
dapat menyebabkan gangguan pada saraf spinal. Hal ini berbeda dengan benturan yang
cepatkarena tembakan menyebabkan gangguan secara langsung dan tidak langsung.
6
spinalis. Gangguan immobilitas, sensasi dan aktivitas reflex dan pengosongan usus dan kandung
kemih terjadi karena SCI dan dapat mengalami perubahan tingkah laku yang signifikan serta
masalah emosional seperti perubahan gambaran tubuh, perubahan peran dan konsep diri. Secara
umum, fungsi sensori berkaitan sejajar dengan fungsi motorik di semua tingkatan.
7
4. Sistem pencernaan (Gastrointestinal System)
Jika cedera tulang telah terjadi pada tingkat T5, masalah gastrointestinal utama terkait
dengan hypomotilitas. Penurunan aktivitas motorik pencernaan dapat menyebabkan ileus
paralitik dan distensi lambung. NGT diperlukan untuk mengeluarkan udara agar
meringankan distensi lambung. Metoclopramide (Reglan) dapat digunakan untuk
mengobati pengosongan lambung tertunda. Ulkus terjadi karena pelepasan berlebihan
asam klorida dalam lambung. Histamin (H2) reseptor blockers, seperti ranitidine (Zantac)
dan famotidine (Pepcid), dan inhibitor proton pump (misalnya, pantoprazole, omeprazole)
sering digunakan untuk mencegah terjadinya ulkus selama fase awal. Perdarahan
intraabdominal dapat terjadi dan sulit untuk mendiagnosa karena ada tanda-tanda subjektif
seperti nyeri, nyeri tekan, dan penjagaan yang diamati. Hipotensi meskipun pengobatan
yang kuat dan penurunan hemoglobin dan hematocrit mungkin indikasi perdarahan.
Pembesaran lingkar perut juga dicatat.
Kurangnya perhatian terhadap kontrol neurologis usus. Pada periode awal setelah
cedera bila syok spinal hadir dan untuk pasien dengan tingkat cedera T12 atau di bawah,
usus kehilangan refleks dan sfingter menurunt setelah refleks kembali, usus dapat
berfungsi kembali dan tonus otot sfingter meningkat serta refleks pengosongan terjadi. Hal
ini akan berdampak terhadap pasien berupa kelancaran dalam BAB.
Dekubitus adalah suatu daerah kerusakan selular yang terlokalisasi, baik akibat tekanan
langsung pada kulit, sehingga menyebabkan “iskemia tekanan”, maupun akibat kekuatan
gesekan sehingga menyebabkan stress mekanik terhadap jaringan. (Chapman dan Chapman,
1986,hal.106)
6. Termoregulasi (Thermoregulation)
Poikilothermism adalah penyesuaian suhu tubuh dengan suhu kamar. Hal ini terjadi di
cedera tulang belakang karena gangguan sistem saraf simpatik dan mencegah sensasi suhu
8
perifer mencapai hipotalamus. Dengan gangguan sumsum tulang belakang ada juga
penurunan kemampuan untuk berkeringat atau menggigil bawah permukaan cedera, yang
juga mempengaruhi kemampuan untuk mengatur suhu tubuh. Tingkat poikilothermism
tergantung pada tingkat cedera. Pasien dengan luka cervical yang tinggi memiliki kerugian
yang lebih besar dari kemampuan untuk mengatur suhu daripada mereka yang cedera
thoracic atau lumbal.
9
menstabilkan kepala;
menggunakan komputer dengan
tongkat mulut, tongkat kepala,
atau kontrol suara, perawatan
petugas 24 jam, mampu
menginstruksikan orang lain.
C4
Dominasi saraf vagus dari Sensasi dan gerakan leher ke Kemampuan untuk
jantung, pernapasan, dan semua atas, mungkin dapat bernapas mengarahkan kursi roda listrik
pembuluh darah dan organ di tanpa bantuan ventilator. dilengkapi dengan ventilator
bawah cedera. portable dengan menggunakan
kontrol dagu atautongkat mulut,
sandaran kepala untuk
menstabilkan kepala;
menggunakan komputer dengan
tongkat mulut, tongkat kepala,
atau kontrol suara, perawatan
petugas 24 jam, mampu
menginstruksikan orang lain.
C5
Dominasi saraf vagus dari Leher full, bahu parsial, Kemampuan untuk
jantung, pernapasan, dan semua punggung, bisep, siku, mengarahkan kursi roda listrik
pembuluh darah dan organ di ketidakmampuan untuk roll dengan dukungan tangan
bawah cedera. over atau menggunakan tangan, sendiri; mobilitas dalam
penurunan cadangan ruangan di kursi roda manual;
pernafasan. mampu makan sendiri dengan
peralatan bantuan partial dan
bantuan adaptif perawatan
petugas 10 jam / hari.
C6
Dominasi saraf vagus dari Abduksi bahu dan punggung Kemampuan untuk membantu
jantung, pernapasan, dan semua atas dan rotasi di bahu, full memindahkanalat dan
pembuluh darah dan organ di bisep pada fleksi siku, melakukan beberapa perawatan
bawah cedera. pergelangan tangan extensi, diri, diri seperti makan sendiri,
sentuhan ibu jari masih lemah, mendorong kursi roda di
penurunan cadangan permukaan datar dan licin;
10
pernafasan. menghidupkan kipas angin dari
kursi roda, beradaptasi
menggunakan komputer;
perawatanpetugas 6 jam / hari.
C7-8
Dominasi saraf vagus dari Semua trisep ekstensi siku, Kemampuan untuk berpindah
jantung, pernapasan, dan semua ekstensor dan fleksor jari, ke kursi roda, berguling dan
pembuluh darah dan organ di pegangan yang baik dengan duduk di tempat tidur dan di
bawah cedera. beberapa penurunan kekuatan, sebagian permukaan;
penurunan cadangan melakukan perawatan diri
pernapasan. secara mandiri; menggunakan
kursi rodasendiri; kemampuan
untuk mengendarai mobil
dengan kecepatan yang dipantau
(pada beberapa pasien);
perawatan petugas 0-6 jam /
hari.
Paraplegia
T1-6
Persarafan simpatis ke jantung, Persarafan penuh ekstremitas Kemandirian dalam perawatan
dominasi saraf vagus dari atas; punggung; otot intrinsik diri dan kursi roda; kemampuan
semua pembuluh darah dan penting pada tangan; kekuatan untuk mengendarai mobil
organ bawah cedera. penuh dan ketangkasan saat dengan kontrol kecepatan (pada
menggenggam; menurunnya kebanyakan pasien); berdiri
stabilitas tubuh; menurunnya bebas secara mandiri.
cadangan pernapasan.
T6-12
Dominasi saraf vagus pembuluh Penuh, otot dada dan punggung Lepas dari kursi roda;
darah kaki; GI dan organ atasstabil; fungsional kemampuan untuk berdiri tegak
urogenital. interkostalis mengakibatkan dengan dengan bantuan
peningkatan cadangan penyokong kaki, ambulasi
pernapasan. tongkat ketiak dengan ayunan
(meskipun cara berjalan masih
kesulitan); ketidakmampuan
untuk mendaki statis.
11
L1-2
Dominasi saraf vagus pembuluh Memvariasikan kontrol kaki Keseimbangan duduk yang
darah kaki. dan panggul; atau baik; penggunaan kursi roda
ketidakstabilan punggung mulai berkurang; ambulasi
bawah. dengan penyangga kaki /
tongkat yang lama dan jauh.
L3-4
Dominasi parsial saraf vagus Fleksor paha dan pinggul, tidak Ambulasi mandiri sepenuhnya
pembuluh darah kaki, GI dan adanya fungsi lutut, dengan penyangga kaki tongkat;
organ urogenital. pergelangan kaki menekan kemampuan untuk berdiri untuk
telapak kaki. waktu yang lama.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam mendiagnosis
cedera spinal.18 Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior merupakan pemeriksaan yang
fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat
digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan
plain x-ray karena dapat melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai
dengan keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI yang normal
memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan MRI servikal
dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal dari medulla spinalis, kompresi dari
radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen dan jaringan lunak.(5,6)
Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari servikal (C1-
C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya cedera pada segmen
bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian cervico-thoracic junction (CTJ) dapat
digunakan swimmer’s view atau traksi lengan. 18 Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray
servikal dapat dilakukan dengan “ABCs”, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.18
Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25 (perbedaan >3,5 mm
antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral facet
dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau tidak (tipe fraktur),
cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan pelebaran diskus intervertebralis, dan
soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari tulang belakang (nilai normal untuk lebar
jaringan prevertebral C4 keatas adalah ? 1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah
?100% lebarnya).
12
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelahterjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkanpentingnya penatalaksanaan prarumahsakit dalam menentukan
prognosispemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dansekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol padavertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
13
3.2. Sistem kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah syok
neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada lesi
diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut menyebabkan
vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok. Syok pada CMS
harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena apabila pada syok
neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema paru. Tatalaksana
syok neurogenik, antara lain pemberian cairan IV, vasopressor dengan karakteristik
alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin, epinefrin, dan dopamine), atropine
untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia akibat vasodilasi. Mean Arterial
Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas 70 mmHg, waaupun beberapa studi
menunjukan MAP > 85 mmHg memberikan prognosis yang lebih baik.
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS. Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum pada
pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada
kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan
selama 2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan dimulai dalam
72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low molecular weight heparin lebih baik
daripada warfarin).
Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut, ketika intake dan output
cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih.
Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat terjadi kerusakan otot detrusor dan
refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang tinggi.
Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih (ISK).
ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai dengan
antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik tidak perlu
diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk pencegahan ISK.
14
3.4. Sistem gastrointestinal
Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48 jam
karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat. Pada kondisi tersebut,
nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai bising usus
kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan. Apabila ileus paralitik
terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat menyebabkan gangguan pergerakan
diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi dengan perdarahan atau perforasi,
walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi ini berbahaya. Oleh karena itu,
pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai
secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah trauma.
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai secara
agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal. Ketinggian lesi
menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12 menyebabkan hiperrefleksia
dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan
flaccid dari sfingter tersebut. Metode pengosongan usus dengan kombinasi supositoria
dan stimulasi anorektal, merangsang pola evakuasi pada kolon distal.
3.5. Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini. Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring kanan
setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa membantu
mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap diubah tiap
2 jam.
4. Penggunaan kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini mengalami
kontroversi. Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute Spinal Cord Injury
Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15
menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23 jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah
CMS tertutup meningkatkan prognosis neurologis pasien. Studi NASCIS 3 kemudian
menambahkan bahwa terapi metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma
harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus
dilanjutkan selama 48 jam. Consortium for Spinal Cord Medicine tidak merekomendasikan
penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1, gacyclidine, tirilazad
dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir belum didapatkan secara
definit.
15
5. Terapi reduksi non-operatif dan operatif
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi dan
alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis. Setiap CMS yang tidak stabil harus
distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat pergerakan dan juga
melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan CMS daerah servikal dapat ditangani
dengan menggunakan skeletal traction untuk mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi
pada medulla spinalis pada burst fracture, dan splint tulang belakang. Skeletal traction untuk
mengembalikan atau mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang
cepat dan efektif. Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded tongs
(Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia . Beban yang digunakan tergantung
adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa dislokasi, beban yang digunakan umumnya
3-5 kg, sedangkan pada dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai
total 25 kg) dalam posisi leher dalam keadaan fleksi. Pasien harus diperiksa status
neurologis nya setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila
terjadi perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai alat
alternatif dari skeletal traction
BAB II
KONSEP DEKUBITUS
16
1. DEFINISI
Dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan dibawahnya, biasanya disebabkan
oleh adanya penonjolan tulang, sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan
gaya geser dan atau gesekan (Perry, et. Al,2010).
Ulkus dekubitus merupakan ulserasi yang disebabkan oleh tekanan yang berlangsung
lama pada pasien yang dibiarkan berbaring diam di tempat tidur.
Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang
disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan atau
kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP,2014).
Daerah yang paling sering terkena ulkus dekubitus adalah sacrum, trochanter,
tuberositasischium. Distribusi lokasi terjadinya ulkus sangattergantung pada status
fungsional, struktur anatomi sacrum, trochanter, tuberositas ischium pasien. Padapasien yang
hanya bisa duduk, lokasi yang paling sering terkena adalah ischium. Pada pasien yang tidak
mampu melakukan apapun, maka ulkus dapat timbul di lutut, tumit, malleoli, scapula, occiput
dan daerah tulang belakang (spina).
2. ETIOLOGI
Penyebab ulkus dekubitus yang utama adalah gesekan (friction), gaya meluncur
(shear), kelembaban yang berlebihan (excessive moisture) dan infeksi.
Ada dua hal utama yang berhubungan dengan resiko terjadinya dekubitus, yaitu
faktor tekanan dan toleransi jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas
tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas dan penurunan persepsi
sensori. Sedangkan faktor yang mempengaruhi toleransi jaringan dibedakan menjadi dua
faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari
pasien, sedangkan yang dimaksud dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor yang
berhubungan dari luar yang mempunyai efek deteriorasi pada lapisan eksternal dari kulit.
a. Factor tekanan
- Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,
sedangkan aktifitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien dengan berbaring
terus-menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi
untuk terkena dekubitus. Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab imobilitas
dan inaktifitas, diantaranya Spinal Cord Injury (SCI), stroke,multiple sclerosis,
trauma (misalnya patah tulang), obesitas,diabetes, kerusakan kognitif, penggunaan
obat (seperti sedative hipnotik, dan analgesik), serta tindakan pembedahan.
- Penurunan persepsi sensori
17
Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan lebih beresiko
mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien dengan sensasi normal. Pasien
dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan adalah pasien yang
tidak mampu merasakan kapan sensasi pada bagian tubuh mereka meningkat, adanya
tekanan yang lama, atau nyeri dan oleh karena itu pasien tanpa kemampuan untuk
merasakan bahwa terdapat nyeri atau tekanan akan menyebabkan resiko
berkembangnya dekubitus (Potter & Perry,2010).
b. Factor toleransi jaringan
- Factor intrinsic
Nutrisi
Hipoalbumin kehilangan berat badan dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai
faktor predisposisi terhadap terjadinya dekubitus, terutama pada lansia. Derajat III
dan IV dari dekubitus pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan,
rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi. Pasien yang
level serum albuminnya di bawah 3 g/100 ml lebih beresiko tinggi mengalami luka
daripada pasien yang level albumin tinggi (Potter & Perry, 2010).
Usia
Pasien yang sudah tua memiliki resiko tinggi untuk terkena dekubitus karena kulit
dan jaringan akan berubah seiring dengan proses penuaan. Sebanyak 70% dekubitus
terjadi pada orang yang berusia lebih dari 70 tahun. Seiring dengan meningkatnya
usia akan berdampak pada perubahan kulit yang di indikasikan dengan penghubung
dermis-epidermis yang rata (flat), penurunan jumlah sel, kehilangan elastisitas kulit,
lapisan subkutan yang menipis, pengurangan massa otot, dan penurunan perfusi dan
oksigenasi vaskular intradermal.
Tekanan arteriolar
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan
sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan
menjadi iskemia (Suriadi, et al., 2007). Studi yang dilakukan oleh Bergstrom &
Braden (1992) menemukan bahwa tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah
berkontribusi pada perkembangan dekubitus.
- Factor ekstrinsik
Kelembaban
Adanya kelembaban dan durasi kelembaban pada kulit meningkatkan resiko
pembentukan kejadian dekubitus. Kelembaban kulit dapat berasal dari
drainase luka, perspirasi yang berlebihan, serta inkontinensia fekal dan urine
(Potter & Perry,2010). Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah
18
mengalami erosi. Selain itu, kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah
terkena pergesekan (friction) dan pergeseran (shear). Inkontinensia alvi lebih
signifikan dalam perkembangan luka daripada inkontinensia urine karena
adanya bakteri dan enzim pada feses yang dapat meningkatkan PH kulit
sehingga dapat merusak kulit.
Gesekan
Gaya gesek (Friction) adalah tekanan pada dua permukaan bergerak
melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik yang digunakan saat
kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti seprei atau linen tempat tidur.
Cidera akibat gesekan memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang paling
atas. Kulit akan merah, nyeri dan terkadang disebut sebagai bagian yang
terbakar. Cidera akibat gaya gesek terjadi pada pasien yang gelisah, yang
memiliki pergerakan yang tidak terkontrol seperti keadaan spasme dan pada
pasien yang kulitnya ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat tidur
selama perubahan posisi (Potter & Perry, 2010).
Pergeseran
Gaya geser adalah peningkatan tekanan yang sejajar pada kulit yang berasal
dari gaya gravitasi, yang menekan tubuh dan tahanan (gesekan) diantara
pasien dan permukaan (Potter & Perry, 2010). Pada lansia akan cenderung
merosot kebawah ketika duduk pada kursi atau posisi berbaring dengan
kepala tempat tidur dinaikkan lebih dari 30°. Pada posisi ini pasien bisa
merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah
namun kulitnya masih tertinggal. Hal ini dapat mengakibatkan oklusi dari
pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot,
namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit.
3. KLASIFIKASi
Nationale Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014membagi derajat dekubitus menjadi
enam dengan karakteristik sebagaiberikut :
a. Derajat I :Nonblancable Erythema
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda akan
terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak
salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih
hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan perubahan
sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan kelihatan sebagai
kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan
sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk menentukan derajat I
19
adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga
detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari diangkat juga kulitnya
tetap berwarna merah.
b. Derajat II : Partial Thickness Skinloss
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya
adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi, melepuh, atau
membentuk lubang yang dangkal. Derajat I dan II masih bersifat reversible.
c. Derajat III : Full Thickness Skin Loss
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan
subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat seperti lubang
yang dalam. Disebut sebagai “typical decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya
kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan
tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling.
d. Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss
Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot.
Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar
luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman derajat
IV dekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput
dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV
dapat meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia,
tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon
yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.
e. Unstageable :Deep Unknown
Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (woundbed) ditutupi oleh slough
dengan warna kuning, cokelat, abu-abu,hijau, dan atau jaringan mati (eschar) yang
berwarna coklat atau hitam didasar luka. slough dan atau eschar dihilangkan sampai
cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka, kedalaman luka yang benar, dan oleh
karena itu derajat ini tidak dapat ditentukan
f. Susupected Deep Tissue Injury : Dept Unknown
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka secara
terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang berisi darah
karena kerusakan yangmendasari jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya
geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit,
tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan
yang ada di dekatnya. Cidera pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi
pada individu dengan warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis
diatas dasar luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus berkembang
20
tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas, dekubitus berkembang
dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down), namun menurut hasil
penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam
seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya adanya kerusakan pada permukaan
kulit. Ini dikenal dengan istilah injury jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury).
21
dekubitus diantaranya adalah : status kesehatan umum, status mental, aktivitas,
mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, asupan cairan melalui oral, dan
penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai berada pada rentang 0 sampai 33,
nilai tinggi menunjukkan resiko tinggi terjadi dekubitus, nilai resiko berada pada nilai 12
atau lebih (Kozier,2010).
22
Australian Wound Management Association (AWMA, 2012)memberikan rekomendasi
untuk standar pemberian makanan untuk pasien dengan dekubitus antara lain intake
energi/kalori 30 – 35 kal/kg per kgBB/hari, 1 – 1,5 g protein/kg per kg BB/hari dan 30 ml
cairan/kg per Kg BB/hr.
d. Support surface
Supportsurface yang bertujuan untuk mengurangi tekanan(pressure), gesekan (friction)
dan pergeseran (shear). Support surface ini terdiri dari tempat tidur, dan matras meja
operasi, termasuk pelengkap tempat tidur dan bantal.
e. Memberikan edukasi
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dilakukan secara terprogram dan komprehensif
sehingga keluarga diharapkan berperan serta secara aktif dalam perawatan pasien, topic
pendidikan kesehatan yang dianjurkan adalah sebagai berikut : etiologi dan faktor resiko
dekubitus, aplikasi penggunaan tool pengkajian resiko, pengkajian kulit, memilih dan
atau gunakan dukungan permukaan, perawatan kulit individual, demonstrasi posisi yang
tepat untuk mengurangi resiko dekubitus, dokumentasi yang akurat dari data yang
berhubungan, demonstrasi posisi untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan, dan
sertakan mekanisme untuk mengevaluasi program efektifitas dalam mencegah dekubitus.
23
BAB II
1. Pengkajian keperawatan
a. Tanggal MRS
b. Tanggal Pengkajian
c. No. Registrasi
d. Diagnose Medis
e. Identitas Nama Pasien
f. Usia
g. Jenis Kelamin
h. Alamat
i. Pendidikan
j. Agama
2. Anamnesis Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama: Cedera medulla spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama
yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul
seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggun dan kelemahan pada
ekstremitas atas maupun bawah.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat
kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologic. Medulla spinalis dapat
mengalami cedera melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau
lebih proses verikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan
trauma tembak.
24
c. Riwayat Penyakit Dahulu Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh
beberapa penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis,
Ankilosis, Osteoporosis maupun Tumor ganas.
d. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat
memperberat cedera medulla spinalis.
e. RiwayatLingkungan
3. Pola Aktifitas Latihan
4. Pola Nutrisi Metabolik
5. Pola Eliminasi
6. Pola Tidur-Istirahat
7. Pola Kebersihan Diri
8. Pola Toleransi Koping-Stress
9. Konsep Diri
10. Pola Peran Dan Hubungan
11. Pola Komunikasi
12. Pola Seksualitas
13. Pola Nilai Dan Kepercayaan
14. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran : obesrvasitingkatkesadaran, penampilan,
tingkahlaku, gayabicara
Tanda-tanda vital : TDmenurun , Nbradikardia, S ,RR
kemungkinanmengalamipeningkatan
Tinggi badan danBerat badan
2. Kepala & Leher :
3. Thorak & Dada : Kemungkinan didapatkan klien batuk peningkatan
produksi sputum, sesak napas
4. Payudara & Ketiak :
5. Punggung & Tulang Belakang :Dekubitus,kajiluas, kedalaman, kondisiluka
6. Abdomen : Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering
didapatkan adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada.
7. Genetalia & Anus :
8. Ekstremitas : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia. Paralisis
motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf yang
25
terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari
saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah.
9. Sistem Neorologi : ganguan sensibilitas pada klien cedera medula
spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan
10. Kulit & Kuku :
T.TERAPI :
2.DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1) Pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan atau kelumpuhan otot
diafragma.
2) Kerusakan integritas jaringan b/d hambatan mobilitas fisik
3) Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuro muskular, dan refleks spasme otot
sekunder.
4) Risiko cedera yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik
5) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuro muskular.
6) Resiko Disrefleksia autonomik
7) Ketidaefektifan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan tirah baring / imobilitas
8) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan gangguan neuromuskular
9) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
kemampuan mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan metabolisme
10) Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhansaraf perkemihan.
11) Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada
usus dan rektum.
12) Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imunprimer (cedera pada jaringan
paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi, dan tindakan invasif.
26
13) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasidan tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
14) Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsi persepsi spasial dan
kehilangan sensori.
15) Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis kondisisakit, program
pengobatan, danlamanyatirah baring.
16) Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancama nterhadap konsep diit,
danperubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran.
17) Berhubungan dengan ketegangan akibat krisis situasional
27
Rencana Asuhan Keperawatan
5. Penggunaan otot 5 1
1: Berat
28
bantu napas 5 1 2: Cukupberat
6. sianosis 5 1 3: Sedang
29
dan refleks verbal keparahan nyeri sebelum mengobati
spasme otot pasien
sekunder. NOC:Kontrolnyeri 6. Cek perintah pengobatan meliputi obat,
dosis, dan frekuensi obat yang diresepkan
NO Indikator Skala Keteranganskala 7. Cek adanya riwayat alergi obat
target 8. Berikan kebutuhan kenyamanan dan
Saat Target
aktifitas yang lain yang dapt membantu
pengkaji
relaksasi untuk memfasilitasi penurunan
an
nyeri
1. Mengenali apa yang terkait 5 1: Tidak pernah
menunjukkan
dengan nyeri 5 Managemen nyeri
2:Jarang 6. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
2. Menggambarkan faktor 5 menunjukkan
penyebab yang meliputi lokasi, karakteristik, onset,
5 3:Kadang-kadang frekuensi, kualitas,
Menggunakan tindakan menunjukkan intensitasdanberatnyanyeridanfaktorpence
3 pengurangan (nyeri) tanpa 5 tus
analgesic 4:Sering 7. Gunakan strategi komunikasi terapeutik
5 Menunjukkan untuk mengetahui pengalaman nyeri dan
Menggunakan analgesic sampaikan penerimaan pasien terhadap
4. yang direkomendasikan 5 5:Secara nyeri
5 konsistenmenunju 8. Gali pengetahuan dan kepercayaan klien
Melaporkan perubahan kkan terhadap nyeri
5. terhadap gejalan yeri pada 5 9. Pertimbangkan pengaruh budaya dan
professional kesehatan kepercayaan pasien mengenai nyeri
6 5 10. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
Melaporkannyeri yang
terhadap kualitas hidup pasien
terkontrol
11. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti
penyebab, berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat prosedur
12. Ajarkan prinsip-prinsip menejemen nyeri
13. Kolaborasi dengan keluarga, orang
Tingkat nyeri terdekat dan tim kesehatan lain
14. Dukungistirahat / tidur untuk membantu
30
NO Indikator Skala Keterangan skala penurunan nyeri
target 15. Libatkan keluarga dalam modalitas
Saat Target penurunan nyeri jika memungkinkan
pengkaji
an
4: Deviasi ringan
dari kisaran
normal
5: Tidak ada
deviasi dari
kisaran normal
31
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
32
NO Indikator Skala Keterangan skala 4.berikan pelembab yang hangat disekitar lukauntuk
target meningkatkan perfusi darah dan oksigen
Saat Target
pengkaji 5.bersihkan luka dengan lembuh dan lakukan debridement
an jika perlu
Granulasi 5 1: tidak ada 6.bersihkan luka dengan cairan yang tidak berbahaya
Nekrosis 5 1:Berat 12.ubah posisi tempat tidur setiap 1-2 jam sekali
Pelepasan sel ( sloughing 5 2: Cukup berat 13. gunakan tempat tidur khusu dekubitus
3.demam 5
33
4.peningkatan jumlah 5
leukosit
34
1 Kontraksi kekuatan otot 5 1: jelek
4: sedikit terganggu
4 Sensasi kulit 5
5: tidak terganggu
5 Kekuatan tubuh bagian atas 5
35
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
36
3.Monitor rasa kembung , distensi dan kram
perut
4.Monitor TTV
5.pasang NGT
37
6.mati rasa 4 kisaran normal 4.balikan pasien setiap 2 jam sekali
Status sirkulasi
1.Saturasi Oksigen
2.CRT
38
No Diagnosa Tujuandankriteriahasil Intervensi
39
Cukur pasien, jika diindikasikan
Aktivitas
40
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
41
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta EGC
2. Moorhead Sue dkk , 2013 . Nursing Outcomes Classifications Edisi Kelima . United
Kingdom . Elsevier
3. Bulechek Gloria M dkk , 2013 . Nursing Outcomes Classifications Edisi Kelima . United
Kingdom . Elsevier Global Rights
4. Herdman T Heather. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
klasifikasi 2015-2017 . Jakarta . EGC
5. Semlttzer, Suzanne C. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Jakarta EGC
6. Harsono.2000. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Gajah Mada University Press
7. Gondowardaja, Y., & Purwata, T. E. (2014). Trauma medula spinalis: patobiologi dan tata
laksana medikamentosa. Cell, 51, 1B.
8. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In: Grundy D, Swain
A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 11-6
9. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR,
Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012.
p.562-71
10. Published January 8, 2015 by Ian Huang, Spinal Cord Injury (SCI) / Cedera Medulla Spinalis,
diakses melalui http://drianhuang.com/informasi-kesehatan/tenaga-medis/spinal-cord-injury-
sc tanggal 27 November 2017
43